iperkuat kembali atau diperpanjang dengan
injeksi ulang(‘booster’, revaksinasi). Injeksi
booster ini harus diberikan paling lambat
maksimal 6 bulan setelah serangkaian injeksi
primer (imunisasi dasar).
Antibodi monoklonal yaitu antibodi yang
hanya aktif terhadap satu antigen spesifik.
Dibuat dengan teknik rekombinan DNA
dengan memakai sel-sel hewani, pada
umumnya tikus.
Adjuvantia. Di samping antigen ini
di atas, vaksin dapat mengandung zat-zat
tambahan (adjuvantia) seperti bahan untuk
mensuspensikan, zat pengawet, stabilisator,
antibiotika dalam kadar rendah dan zat lain
yang tidak memengaruhi respons imunitas.
Begitu juga garam-garam aluminium (mis.
Al-fosfat) atau kalsium, yang berdaya mengadsorpsi jasad yang telah diinaktifkan atau
metabolitnya (toksoid, fragmen virus yang
bersifat antigen). Vaksin jerap demikian
yang telah diserap pada garam, dimaksudkan
untuk menciptakan suatu daya kerja depot,
sehingga sifat antigen diperkuat dan dapat
memicu imunitas dengan jangka kerja
lebih lama.
pemakaian . Vaksin dan imunoglobulin terutama dipakai untuk tujuan profilaksis,
untuk menghindari terkena infeksi contoh
cacar, polio, rabies dan tetanus. namun beberapa jenis vaksin juga dipakai sebagai
pengobatan penyakit menahun, contoh
pada penyakit yang disebabkan oleh stafilokok atau gonokok, sehingga mendorong
tubuh membentuk antibodies ekstra terhadap
infeksi tersebut.
Vaksin kombinasi. Selain vaksin khusus
untuk prevensi satu jenis penyakit, contoh
vaksin cacar, juga dapat dibuat vaksin kombinasi terhadap beberapa jenis penyakit sekaligus dengan tujuan mempermudah penggunaannya. Lagi pula sering kali saling memperkuat khasiatnya. Contohnya yaitu vaksin
terhadap kolera-tifus-paratifus (Kotipa) dan
terhadap difteri-tetanus-pertussis(DTP). Juga
tersedia kombinasi dari vaksin dan toksoid,
contoh vaksin DKTP, yang terdiri dari
toksoid difteri/tetanus dan jasad pertussis/
polio.
Sama dengan vaksin pasif (dahulu disebut
serum), maka secara teoretis vaksin aktif dapat dibuat dari berbagai jenis mikroba, namun
beberapa pertimbangan mengenai khasiat
dan faktor ekonomi memegang peranan penting.
Serokonversi. Sukses dari suatu vaksinasi
dalam kebanyakan hal tampak dari serokonversi pasien. Dengan ini dimaksudkan bahwa
pasien yang sebelumnya tidak memiliki antibodies spesifik (seronegatif) sekarang memilikinya (seropositif). namun hal ini tidak
berarti bahwa sudah tercapai imunitas.
B. IMUNISASI PASIF
Dengan ini dimaksudkan pemberian antibodies “siap-pakai” dalam bentuk imunoglobulin yang telah dimurnikan untuk menghasilkan imunitas dalam waktu singkat dan
ternyata efektif untuk prevensi dan terapi
(imunoprofilaksis dan imunoterapi) beberapa
jenis infeksi bakteriil maupun viral. Imunitas yang diperoleh demikian dengan vaksinasi pasif ini selalu bertahan agak singkat, biasanya hanya beberapa minggu sampai beberapa bulan, tergantung dari t½
antibodies yang dipakai .
Keuntungan imunisasi pasif yaitu perlindungan yang berlangsung dengan segera,
namun “kerugiannya” yaitu jangka waktu
perlindungan yang singkat.
S e r a diperoleh dari darah hewan yang
mengandung antibodi spesifik (imunoglobulin) dalam kadar tinggi. Dalam arti luas, serum (bentuk jamak: sera) sebetulnya
dimaksudkan cairan darah yang telah dikeluarkan sel-sel darah dan fibrinnya. Fibrin
yaitu suatu zat serat protein yang pada
pembekuan darah memisahkan diri.
Seekor hewan, umumnya kuda, disuntik
dengan suatu antigen mikroba tertentu yang
kemudian dalam darahnya akan terbentuk
antibodi terhadap antigen ini (imunisasi
aktif). Dari darah ini, melalui ekstraksi dan
pemurnian, dibuat serum yang bila disuntikkan pada manusia, memicu kekebalan pasif terhadap penyakit ini (imunisasi pasif). namun , sebab selalu masih
mengandung sisa-sisa protein hewan, penggunaan serum ini dapat memicu reaksireaksi hipersensitivitas yang tidak diinginkan.
Kasus demikian dapat terjadi bila suatu serum
yang berasal dari hewan yang sama .(kuda)
dipakai untuk kedua kalinya. Oleh sebab
itu, sekarang ini di banyak negara sera hewan
sudah diganti dengan sera berasal dari darah
manusia, yang dinamakan imunoglobulin,
contoh tetanus imunoglobulin dan difteriimunoglobulin.
Sumber sera yaitu darah hewan, bila darah manusia yang dipakai disebut imunoglobulin (antibodi).
pemakaian . Pada keadaan akut, contoh
bila infeksi sudah terjadi, maka imunisasi
aktif tidak dapat dipakai dengan efektif. Penyebabnya ialah masa inkubasi suatu infeksi berlangsung antara 2-5 hari, sedangkan pembentukan antibodies dalam
tubuh umumnya membutuhkan waktu beberapa minggu. contoh , masa tunas rabies
yaitu panjang, antara 1-6 bulan, maka
sepasien yang telah digigit anjing gila dapat
segera diberikan imunoglobulin rabies untuk
perlindungan langsung dan „menjembatani“
masa tunas. Serentak disuntik pula dengan
vaksin rabies untuk memicu imunitas
aktif yang setelah antibodies terbentuk, bekerja
lebih kuat dan lebih panjang.
Singkatnya kedua cara imunisasi, aktif
(melalui vaksinasi) maupun pasif (melalui
pemberian serum atau imunoglobulin) dapat
dikombinasi.
Rabies (penyakit gila anjing) yaitu penyakit
infeksi yang disebabkan oleh virus rabies
yang via air liur hewan (anjing, kelalawar)
atau manusia yang terinfeksi ditularkan
melalui gigitan atau garukan. Bila gejalagejala klinisnya sudah timbul, penyakit ini
tidak dapat disembuhkan dan berlangsung
fatal.
Penyakit ini dapat dihindari melalui vaksinasi yang pertama kali dilakukan oleh
Louis Pasteur, ahli bakteriolog termashur, di
tahun 1885.
Ref. Ned Tijdschr Geneeskd 2008, 1 Maart;152
(9), 473-477
Pada umumnya sera antibakterial memiliki
khasiat terapi yang rendah sekali. Sebaliknya,
sera terhadap infeksi virus (sera antiviral)
memiliki khasiat yang tinggi bila diberikan
setelah penyakitnya sudah berjangkit. Dalam
kasus demikian, lazimnya terapi dengan
imunoglobulin dan vaksin menjadi kurang
efektif. Pengecualian yaitu pengobatan dengan antiserum spesifik terhadap gigitan
ular berbisa (polyvalen antivenin). Begitu pula
antitetanus imunoglobulin dipakai untuk
pengobatan bila diagnosis tetanus sudah ditentukan secara klinis.
Dalam kasus lainnya harus dipakai kemoterapeutika.
Efek-efek samping
a. Imunoglobulin. Banyak pasien memiliki
kepekaan berlebihan (hipersensitivitas) terhadap protein asing hewani, yang mengakibatkan timbulnya anafilaksis (= tanpa
perlindungan) bila diinjeksi dengan sediaan
yang mengandung protein ini. Juga ada
kepekaan bawaan (idiosinkrasi) terhadap produk metabolisme bakteri. Kuda dan kelinci
yaitu hewan yang terbanyak dipakai
untuk pembuatan imunoglobulin. Suatu
injeksi dengan serum yang mengandung
imunoglobulin ini dapat membuat sesepasien
peka terhadap komponen darah hewan
tersebut. Injeksi selanjutnya dengan serum
dari hewan yang sama dapat memicu
reaksi alergi, seperti ‘serum sickness’(demam,
nyeri di persendian) atau syok anafilaktik.
* Hipersensitivas. Serum sickness merupakan
reaksi hipersensitivity ke-III (Arthus atau
imunkompleks, lih. Bab 51 Antihistaminika)
dan sering kali timbul akibat injeksi serum
asing pada pengobatan penyakit infeksi.
Dapat juga akibat contoh pemakaian
antibiotika seperti penisilin, streptomisin dan
sulfonamida. Diperkirakan bahwa peristiwa
ini disebabkan oleh pembentukan kompleks
antigen-antibodi yang mengendap di saluran
darah, kulit, ginjal dan persendian. Gejalanya
berupa antara lain demam, urticaria, radang
kulit, proteinuria dan timbulnya eosinofilia
yang khas.
Dengan tujuan untuk sementara waktu
menghilangkan kepekaan yang berlebihan
ini dapat dilakukan injeksi dengan serum
dalam jumlah sekecil-kecilnya (desensitizing,
desensibilisasi). Atau, memberikannya dengan
suatu cara yang memicu absorpsi
berlangsung lambat atau memberikan serum
yang dibuat dari hewan lain.
– Tes hipersensivitas. Pada proses pembuatannya, sera telah dipekatkan dan dimurnikan dengan saksama. Walaupun
demikian, suatu tes untuk menyelidiki
kemungkinan adanya kepekaan berlebihan (hipersensitasi) selalu harus dilakukan, sebelum menyuntikkan suatu
serum hewan. Untuk ini tersedia antara
lain dua cara, yakni tes intradermal dan tes
konjungtiva.
– Tes intradermal: serum hewani yang
telah diencerkan 1:10 disuntikkan intradermal sebanyak 0.1 ml untuk kemudian
dipantau selama 15 menit. Timbulnya
kemerahan (eritema) dan udema yang
disertai timbulnya suatu gelembung
(wheal) pada kulit, menandai hipersensitivitas spesifik terhadap serum ybs.
– Tes konjungtiva: pemberian 1 tetes bahan yang telah diencerkan 1:10 pada
konjungtiva akan memicu kemerahan, air mata dan gatal dalam 5 menit
apabila yang bersangkutan hipersensitif.
Sebagai kontrol, 1 tetes larutan garam
faäli diteteskan pada mata sebelahnya.
b. Vaksin. Pada umumnya efek samping
dari pemakaian vaksin tidaklah begitu
serius, biasanya hanya berupa reaksi ringan
setempat yang selewat (eritema, bengkak dan
nyeri lokal). Reaksi ini dapat timbul segera,
setelah beberapa hari atau lebih lama lagi.
Efek samping setempat yang lebih serius
dapat ditimbulkan oleh beberapa vaksin
yang terdiri dari mikroorganisme hidup.
contoh vaksin BCG dan vaksin cacar dapat memicu peradangan, abses/ulserasi dan timbulnya parut.
Efek samping dapat pula timbul sebagai
akibat dari kepekaan terhadap beberapa
jenis antibiotika, contoh penisilin dan streptomisin, yang kadang-kadang dipakai pada pembuatan vaksin.
Keamanan. Mikroba hidup yang diperlemah
praktis tidak memicu infeksi, sedangkan jasad yang telah diinaktifkan dan toksinnya bukan merupakan sesuatu yang
hidup dan tidak memicu infeksi.
Kontra indikasi. Vaksinasi pada umumnya
hanya diberikan pada pasien sehat dan tidak pada pasien yang sedang menderita
suatu infeksi (pilek, batuk) atau dalam masa
inkubasi suatu penyakit infeksi. Pengecualian
yaitu pemberian vaksinasi terhadap rabies
dan tetanus.
Kontra-indikasi lain terhadap pemakaian
vaksin yaitu selama pengobatan dengan
steroida dan imunosupresiva (hormon kelamin, kortison dan vitamin D), sebab zatzat ini merintangi pembentukan antibodies.
contoh , pencacaran pada pasien yang sedang menjalani terapi dengan steroida dapat
mengakibatkan reaksi hebat dan adakalanya
fatal. namun steroida tidak membatasi penggunaan seraVaksinasi juga jangan diberikan pada
mereka yang diketahui memiliki kepekaan
berlebihan atau yang pernah memberikan
reaksi serius terhadap vaksin tertentu.
* Anak-anak. Pemberian beberapa jenis
vaksin kepada anak-anak di bawah usia
tertentu tidak ada gunanya, sebab pada
anak-anak yang terlampau muda sistem
imunnya belum berkembang. Vaksin dengan
bakteri hidup juga jangan diberikan pada
anak-anak di bawah usia 1 tahun, sebab
kemungkinan mereka masih memiliki antibodies yang berasal dari ibunya, sehingga
akan melemahkan respons imunnya.
* Kehamilan dan laktasi. Pemberian vaksin
dengan jasad hidup pada wanita hamil atau
wanita yang diperkirakan akan hamil dalam
jangka waktu 3 bulan setelah vaksinasi,
merupakan kontra-indikasi sebab ada kemungkinan terjadinya infeksi pada janin.
Di lain pihak, vaksin dengan kuman mati/
diinaktifkan atau toksoid, pada umumnya
dapat diberikan. Untuk pemakaian selama
laktasi belum tersedia data yang cukup.
Vaksinasi juga jangan diberikan bila pasien
menderita infeksi parah akut yang disertai
demam tinggi. Juga harus berhati-hati pada
pemakaian vaksin dengan mikroorganisme
hidup pada penderita dengan defisiensi imunologik atau imunosupresi, sebab bahaya
timbulnya infeksi menyeluruh (generalized).
Pasien demikian dapat diberikan vaksin
dengan mikroorganisme mati, walaupun
vaksinasi menjadi kurang efektif sebab berkurangnya pembentukan antibodi. Dalam
hal ini perlu dipantau titernya.
C. DIAGNOSTIKA
Salah satu metode pemeriksaan dalam ilmu
pengobatan pencegahan (preventive medicine)
penyakit infeksi, didasarkan atas reaksi
antara suatu antibodi dengan antigen yang
bersangkutan. Untuk ini dipakai suntikan intrakutan atau goresan di atas kulit
(immunity skin test) dengan suatu antigen
dalam kadar yang serendah-rendahnya, yang
masih memungkinkan timbulnya reaksi.
– Reaksi positif dalam bentuk semacam
benjolan di atas kulit menunjukkan
bahwa tubuh sudah memiliki antibodi
tertentu. Hal ini berarti bahwa pasien itu
pernah mengalami infeksi dengan kuman
ini ataupun pernah dikebalkan
dengan sengaja. Antibodi itu melindungi
tubuhnya terhadap infeksi ulang dengan
antigen (kuman) bersangkutan VAKSINASI SELAMA
KEHAMILAN
Selama kehamilan ada suatu keseimbangan pada sistem imun sang ibu.
Di satu pihak ibu harus melindungi dirinya
sendiri dan janin terhadap infeksi, namun di
pihak lain tidak boleh memicu reaksi imunologi/penolakan terhadap janinnya. Keseimbangan imunologi ini dapat dipengaruhi
secara tidak baik oleh vaksinasi, terutama
bila ada zat-zat tambahan pada vaksin
yang dipakai . Sebagai akibat dapat timbul
pertumbuhan terhambat dari janin, abortus
atau lahir prematur dan juga risiko efek
teratogen dari vaksin. Lagipula kemungkinan
timbulnya infeksi pada janin akibat vaksin
yang mengandung jasad hidup.
namun vaksinasi selama kehamilan dapat
melindungi neonat terhadap penyakit infeksi
melalui pengalihan zat-zat anti dari sang ibu.
Sebagai contoh yaitu vaksinasi terhadap
infeksi dengan risiko tinggi bagi sang ibu,
seperti influenza pandemik di tahun 2009.
Status imun selama kehamilan
Pada hakikatnya janin merupakan suatu
allotransplantaat asing bagi tubuh sehingga
proses-proses yang timbul selama kehamilan
dapat disamakan dengan proses pemeliharaan
toleransi setelah suatu tranplantasi organ.
Oleh sebab ini dapat dipahami bahwa sistem
imun sang ibu harus mengalami perubahan
untuk dapat menerima janin.
Penelitian mengenai efek sistemik dari
vaksinasi selama kehamilan tidak/belum
banyak dilakukan. namun berdasar keyakinan baru terhadap imunologi selama kehamilan dan pengalaman sampai sekarang,
vaksinasi lebih bermanfaat ketimbang risiko potensialnya. Namun tiap keadaan memerlukan pertimbangan sendiri mengenai
untung ruginya yang dapat diputuskan oleh
dokter yang merawat.
Ref. Eden W.van: Vaccinatie tijdens de
zwangerschap: veilig of niet? Ned Tijdschr
Geneeskd Infectieziekten 2014; 1(1).– Reaksi negatif menunjukkan bahwa
tubuh tidak memiliki antibodi itu, berarti tanpa perlindungan. Dalam keadaan demikian, lazimnya pasien ini
diberikan suatu vaksin untuk mengebalkan tubuhnya secara aktif.
* Reaksi tuberkulin yaitu salah satu tes
kekebalan yang terkenal untuk mendiagnosis penyakit tuberkulosa (Mantoux skin test,
Pirquet´s scarification test). Tuberkulin adalah larutan filtrat dari perbenihan basil
Mycobacterium tuberculosis. Reaksi negatif biasanya dilanjutkan dengan pemberian vaksin
BCG (vaksin tbc). 1 ml mengandung 100.000
U.T. alt tuberkulin.
* Schicks skin-test toxin yaitu suatu reaksi
lainnya untuk mendiagnosis penyakit difteri.
Tes ini memakai larutan encer dari toksin
difteri (Toxinum diphtericum diagnosticum).
MONOGRAFI
A. VAKSIN MIKROBA
Vaksin dipakai untuk imunisasi aktif
terhadap penyakit bersangkutan. Yang kini
tersedia yaitu vaksin-vaksin berikut:
1. Autovaksin
Autovaksin mengandung mikroba mati
yang diperoleh dan dikembangbiakkan dari
jaringan sakit penderita. dipakai untuk
imunisasi terhadap infeksi kronis yang tidak
kunjung sembuh, contoh furunculosis.
2. Vaksin BCG kering (Bacillus Calmette
Guérin)
Khusus dipakai sebagai pencegahan
terhadap penyakit TBC bagi mereka yang
bereaksi negatif terhadap tes tuberkulin.
Vaksin ini mengandung suspensi basil
Mycobacterium bovis (lembu) hidup dari suatu suku Paris yang sudah dilemahkan.
Kontra-indikasi yaitu bila reaksi Mantoux
positif. Perlindungan yang diberikan oleh
vaksinasi ini berlangsung untuk 10-15 tahun.
Efektivitasnya sering kali disangsikan oleh
sebagian ahli (Lancet 1997, December 13, 350).
namun ada petunjuk kuat bahwa vaksin BCG
juga memberikan perlindungan terhadap penyakit kusta bentuk menjalar (bentuk-L),
lihat Bab 10, Leprostatika. Di samping memiliki sifat imunostimulans spesifik, vaksin
ini juga menstimulasi imunitas aspesifik.
berdasar yang terakhir ini, vaksin ini
juga dipakai pada kanker kandung kencing, lihat juga Bab 49, Imunostimulansia.
Efek samping: timbulnya ulserasi dan abses
pada tempat injeksi yang kemudian terjadi
parut. Beberapa tuberkulostatika dapat mengurangi efektivitas vaksinasi, sebab perlipatgandaan Mycobacterium terhambat.
Dosis: bayi < 1 tahun: 0,05 ml i.k.; anak >
1 tahun: 0,1 ml i.k. Imunisasi ulang: usia 5-7
tahun 0,1 ml dan usia 12-15 tahun 0,1 ml.
3. Vaksin Campak Kering(measles)
Vaksin yang dibeku-keringkan ini mengandung virus campak hidup suku „CAM
70“ yang sudah sangat dilemahkan. Tidak
boleh diberikan kepada wanita hamil, sebab
efek vaksin virus campak hidup terhadap
janin belum diketahui.
Dosis: anak mulai umur 9 bulan s.k. 1 dosis
0,5 ml dari vaksin yang telah dilarutkan.
4. Vaksin Hepatitis-B Rekombinan: HB Vax
yaitu vaksin virus rekombinan yang
telah di-inaktivasi dan non-infectious, berasal
dari HbsAg yang dihasilkan dalam sel ragi
memakai teknologi DNA rekombinan.
dipakai untuk imunisasi aktif terhadap
infeksi akibat HBV, tidak untuk Hepatitis A
(Avaxim, Havrix) atau C. Khusus dianjurkan
bagi mereka yang memiliki risiko tinggi
terhadap infeksi oleh virus ini. contoh ,
tenaga (para-)medis, penderita hemofili,
pasien hemodialisis dan pasien yang sering
mendapat transfusi darah, pecandu
obat bius suntik dan kaum homoseksual.
Satu bulan atau lebih setelah imunisasi
dasar, dianjurkan untuk menentukan titer
anti-HBsAg dan perlu/tidaknya revaksinasi
tergantung dari titer ini.
Penyebaran. Di seluruh dunia lebih dari 2
miliar pasien telah terinfeksi HBV, ±350 juta
di antaranya merupakan pembawa kronis.
Maka, pada tahun 1991, WHO menyarankan
untuk mencantumkan vaksin HBV pada
program vaksinasi di semua negara. Di Taiwan, bayi menerima dosis pertama langsung setelah dilahirkan, yang disusul oleh
dosis berikutnya setelah 1 dan 2 bulan,
lalu pada usia 12 bulan. Pada tahun 1984,
seroprevalensi pada anak-anak di bawah usia
12 tahun yaitu 9,8%, setelah 10 tahun turun
secara dramatis sampai 1,3%. (NTvG 1996;
140: 2106). Lihat juga Bab 7, Virustatika.
Wanita hamil: vaksinasi tidak dianjurkan,
sebab pengaruh antigen terhadap janin
belum diketahui.
Imunisasi pasif-aktif dapat dilakukan dengan
jalan pemberian serentak serum hepatitis-B,
yang mengandung minimal 90% IgG serta
IgA dan IgM dalam jumlah sedikit.
Dosis: Vaksin terdiri dari 3 dosis, yang
disuntikan i.m. dengan interval 1 dan 6 bulan
(pada bulan 1, 2, dan 7). Kemudian setiap 5
tahun setelah imunisasi dasar.
5. Vaksin influenza:Influvac, Vaxigrip, ACTHIB, Agrippal, Fluarix, Hiberix
Influenza atau ‘griep’/flu disebabkan oleh
suatu virus RNA kecil (diameter 0,l mu), yang
terdiri atas inti protein dengan antara lain
RNA dan polimerase. Bagian luarnya yaitu
membran dari albumin dan lemak, di mana
ada tajuk („spikes“) dari glikopeptida
[hemagglutin (HA) dan neuraminidase (N)]
yang bekerja sebagai antigen. Lihat Gambar
50-1 di bawah.
Disebabkan adanya mutasi spontan yang
terjadi hampir setiap tahun, maka susunan
vaksin influenza juga perlu diganti setiap
tahun, sebab tidak ampuh lagi terhadap mutan baru. Lihat juga Bab 7, Virustatika, sub 4.
Virus influenza. Masalah sama dike-temukan
pada perkembangan vaksin AIDS, yang
sering kali bermutasi. Hal ini berbeda dengan
vaksin virus lainnya, seperti polio, cacar dan
rubella, yang tidak mengalami mutasi.
Di tahun 2005 telah diberitakan 9 bahwa
suatu perusahaan Hongaria yang bekerja
sama dengan Institut Virologi Hongaria telah
berhasil untuk membuat vaksin terhadap
virus flu burung A/ H5
N1
. Dikabarkan bahwa vaksin ini mudah di sesuaikan dengan
varian-varian baru dari virus. namun vaksin
ini belum boleh diedarkan sebelum semua
persyaratan keamanan bagi suatu obat baru
telah di penuhi untuk mendapat izin
perdaftaran dari instansi kesehatan Hongaria
maupun Eropa.
* Jenis vaksin influenza. Vaksin terdiri dari
virus influenza dari 1 atau lebih suku tipe
A dan/atau B yang diinaktivasi dengan formaldehida, lalu disemaikan pada telur ayam
yang telah dibuahi. Jenis yang paling banyak
dipakai yaitu split-virus vaccin dan
subunit vaccin.
– Split-virus vaccin(Vaxigrip), di mana lapisan lemak dan sebagian protein dikeluarkan setelah inti virus dirombak. Mengandung virion yang diuraikan, yakni
antigen selubung HA dan N, juga bahan
intinya.
– Subunit vaccin (Influvac) atau „sub-virion“
vaccin yaitu vaksin split-virus yang
dimurnikan: hanya terdiri dari antigen
HA dan N tanpa kotoran tak-berguna
lainnya. Vaksin ini paling murni dengan
efek samping paling ringan (nyeri otot,
demam dan sebagainyanya). Dalam
praktik, khasiat melindungi kedua jenis
vaksin itu ternyata tidak berbeda banyak
sewaktu timbul mutasi ‘drift’ kecil.
Pada suatu mutasi „shift”-antigen besar
dengan subtipe baru, efeknya belum
diketahui.
– Vaksin trivalen. Vaksin yang kini dibuat
setiap tahun lazimnya terdiri atas kombinasi dari 3 suku (trivalen), yang susunannya setiap tahun ditentukan pada bulan
Maret oleh para ahli WHO berdasar
ramalan epidemiologi.
* Siapa yang harus divaksinasi. pemakaian nya
khusus dianjurkan bagi lansia (>65 tahun),
pasien berisiko tinggi, antara lain pasien
asma dan bronchitis kronis, pasien jantung,
epilepsi, diabetes, pasien ginjal kronis dan
tbc. Tidak dianjurkan bagi ibu hamil dalam
3 bulan pertama dan bayi di bawah usia 6
bulan.
Di negara Barat, vaksinasi biasanya dilakukan pertengahan November berhubung
munculnya epidemi griep selalu di bulan
Desember atau Januari. Imunitas humoral
(antibodies) baru terbentuk sesudah ±10
hari dan bertahan hanya 8-12 bulan. Untuk
memperoleh perlindungan selama masa
inkubasi itu, maka dapat diberikan amantadin(Symmetrel) 2 dd 100 mg selama 10
hari. Obat Parkinson ini bekerja cepat (dalam
1-2 jam) dan melindungi terhadap virus
influenza A subtipe H1
N1
, H2
N2
, dan H3
N2,
dan mungkin juga terhadap subtipe lainnya.
Terhadap virus B tidak berdaya. Saat ini
dianjurkan oseltamivir (Tamiflu, per oral)
yang juga aktif terhadap flu burung H5
N1
,
lihat selanjutnya Bab 7.
Dosis: vaksin flu subkutan 0,5 ml.
6. Vaksin kolera:*Kotipa
Tiap ml mengandung suspensi dari 4
miliar kuman Vibrio cholerae Inaba resp. Ogawa
yang telah dimatikan melalui pemanasan.
Kadang-kadang juga dipakai tipe El Tor.
Perlindungan (terbatas) yang diberikan oleh
vaksinasi ini terhadap kolera menurun setelah 3-6 bulan.
Dosis: untuk imunisasi dasar s.k. 2 dosis
dengan jarak antara 4-6 minggu. Besarnya
dosis sesuai usia.
* Vaksin Kotipa yaitu vaksin kombinasi
untuk imunisasi aktif terhadap kolera, tifus
dan para tifus.
7. Vaksin pertussis:*DKTP, Tripacel
Batuk rejan (pertussis, kinkhoest) yaitu
penyakit infeksi saluran pernapasan oleh
kuman Bordetella pertussis, yang telah dibahas
dalam Bab 41, Obat-obat Batuk. Vaksin ini
hanya dipakai dalam vaksin cocktail
DKTP (difteri, pertussis, tetanus dan polio).
Mengandung suspensi dari toksoid difteri
dan tetanus serta kuman pertussis yang
dimatikan dan virus polio yang diinaktifkan.
Kekebalannya berlangsung selama 2-4 tahun
dan menurun selama 10 tahun berikutnya
sampai nihil. Untuk memperpanjang daya
kerja vaksin ini, dapat juga diendapkannya
dengan garam aluminium (aluminium precipitated vaccin) atau diadsorpsi pada permukaan aluminium hidroksida (vaksin jerap/
serap petussis). Berhubung efek sampingnya,
di Belanda tidak dipakai lagi vaksin
yang mengandung seluruh kuman (whole
cell vaccin), namun suatu acellular vaccin, yang
terdiri dari hanya beberapa protein kuman
yang berperan pada respons imun.
Morbiditas dan kematian akibat batuk
rejan paling besar pada bayi di bawah
usia 4-5 bulan.Infeksi bakteri yang sangat
menular ini menyerang 30 hingga 50 juta
pasien di seluruh dunia setiap tahun (data
WHO) dan menewaskan sekitar 300 ribu per
tahun, sebagian besar anak-anak di negaranegara berkembang. Oleh sebab itu timbul
pertanyaan apakah bayi cukup terlindungi
dengan program vaksinasi dewasa ini (NTvG
1996; 140: 2006).
Dosis: imunisasi bayi pada usia 3, 4 dan
5 bulan 3 dosis pertama; minimal 6 bulan
kemudian dosis ke-4.
8. Vaksin Polio Oral Trivalen( Albert Sabin,
1961): Imovax Polio
Vaksin ini terdiri dari virus poliomyelitis
hidup dari tipe 1, 2, dan 3 dari suku Sabin
yang telah dilemahkan dan dibuat dalam
biakan jaringan ginjal kera. Vaksin ini diberikan per oral dan mengakibatkan infeksi
tanpa-gejala (asimtomatis) di bagian usus
besar selama beberapa minggu. Vaksin ini
memberikan kekebalan ke seluruh tubuh.
Keuntungan vaksin suku Sabin ini yaitu
mudah diberikan (per oral), terjadinya kekebalan yang lebih cepat (dalam beberapa
minggu) dan perlindungan yang lebih sempurna. Vaksin yang terdiri dari jasad hidup,
seperti vaksin polio, tidak boleh diberikan kepada mereka yang kekebalan tubuhnya
bermasalah (immunodeficient patients)
NTvG 2006; 150:2691.
Dosis: dasar, mulai usia 3 bulan diberikan
per oral 3 dosis dari 2 tetes selang 6 minggu;
ulangan (booster) 3 tahun kemudian 1 dosis (2
tetes).
* Vaksin polio dari Salk yaitu vaksin
trivalen dan terdiri atas ketiga tipe polio
ini di atas yang telah diinaktifkan dengan formaldehida. Kekurangan dari vaksin ini yaitu lambatnya pembentukan antigen di tubuh, di samping tidak memberikan
perlindungan yang sempurna. Kebaikan utamanya yaitu khasiatnya yang dapat mengurangi gejala kelumpuhan. Vaksin ini
diberikan dengan cara injeksi subkutan
atau intramuskular dan memberikan perlindungan selama ±14 tahun. Setelah waktu itu,
perlu diberikan injeksi booster.
Dosis: bayi sejak usia 2 bulan s.k. 1 ml, 1-2
bulan kemudian dosis kedua, 6-12 bulan
kemudian dosis ke-3.
9. Vaksin rabies kering:Verorab, Imovax Rabies
Vero
Vaksin yang dibeku-keringkan ini mengandung suspensi otak bayi mencit yang telah
disuntik dengan virus rabies (Lat. rabere =
mengamuk) dan dipakai sebagai pencegah
terhadap penyakit anjing gila (rabies, lyssa
atau hydrophobia = takut kepada air). Imunisasi aktif ini biasanya dilakukan selama
masa inkubasi (yang agak panjang, antara
1-6 bulan) setelah digigit oleh seekor anjing
yang diduga menderita rabies. Profilaksis ini
yaitu sangat penting sebab bila penyakit
sudah berjangkit, maka rabies yaitu fatal
berhubung tidak adanya suatu terapi khusus.
Pengobatan dilakukan dengan cara vaksinasi
atau penyuntikan rabies immune globulin
(ImogamRabies). Cara terakhir ini terutama
dilakukan bila gigitan anjing terletak pada
bagian tubuh yang dekat kepala, sebab virus
rabies terutama menyerang otak (lihat juga
di bawah C.2 Rabies immune globulin).Vaksin
rabies diberikan dengan cara penyuntikan
subkutan sekitar pusar atau antara tulang
belikat (interskapuler). Cara imunisasi tergantung pada tujuannya, yakni untuk pengobatan
(sesudah digigit) atau pencegahan (sebelum
digigit).
Dosis: s.k. anak-anak < 3 tahun 1 ml, di atas
3 tahun/dewasa 2 ml.
10. Vaksin sampar (pes)
Tiap ml mengandung suspensi 1 miliar
kuman pes (Pasteurella pestis, ditemukan oleh
Alexandre Yersin 1893) hidup yang sudah
dilemahkan dari suku Ciwidey dan Harbin.
Kuman ini dibuat non-virulen dengan cara
pembiakan melalui berbagai jenis hewan
(animalpassage, Otten).
Dosis: untuk imunisasi dasar s.k. 2 dosis
vaksin dengan jarak antara 4 minggu. Dosis
disesuaikan dengan usia dan di daerah
endemis pemberian booster tiap 6 bulan.
11. Vaksin Stafilokok Polivalen
Tiap ml mengandung 1 miliar kuman
mati yang terdiri dari Staphylococcus aureus
haemolyticus dan anhaemolyticus dengan Staph.
albus. Vaksin ini antara lain dipakai terhadap furunculosis.
12. Vaksin Streptokok Polivalen
Tiap ml mengandung 1 miliar kuman mati
yang terdiri atas Streptococcus haemolyticus
dan anhaemolyticus serta S. viridans.
13. Vaksin tifus:Typhim VI, Vivotif, Typherix
Vaksin tifus dipakai untuk imunisasi
aktif terhadap tifus (typhoid fever). Tiap ml
mengandung 1 miliar kuman Salmonella typhi
yang telah dimatikan melalui pemanasan.
Suatu vaksin lain mengandung hanya antigen-Vi(= virulensi), yang memberikan perlindungan selama 3 tahun.
Vaksin oral (Vivotif Berna) terdiri dari 3
kapsul enteric coated, yang berisi suatu suku
S. typhi. Suku ini telah diperlemah dan dibuat non-patogen dengan mengubah dinding selnya dengan mempertahankan sifat imunogennya. Daya kerjanya juga bisa
sampai 3 tahun. Dosis: i.m. 1 x 0,5 ml, oral
pada hari ke-1, ke-3 dan ke-5: 1 kapsul 1 jam
a.c. dimulai 3 minggu sebelum berangkat ke
daerah endemik.* Vaksin TIPA dipakai untuk imunisasi
aktif terhadap tifus (typhoid fever), paratifus A,
B dan C. Vaksin ini merupakan suatu vaksin
kombinasi yang terdiri dari suspensi kuman
mati pembangkit tifus (Salmonella typhi)
dan paratifus A/B/C (S. paratyphi A/B/C).
Kekebalannya berlangsung selama beberapa
bulan sampai beberapa tahun.
Dosis: untuk imunisasi dasar diperlukan
2 dosis vaksin, s.k. dengan jarak antara 4-6
minggu. Dosis bagi pasien dewasa 1 ml dan
untuk anak-anak di antara 2-12 tahun 0,5 ml.
Selanjutnya, revaksinasi setelah 12 bulan.
14. Vaksin lainnya
Masih ada sejumlah vaksin lain, yang
di negara Barat sudah banyak dipakai .
Yang terpenting di antaranya yaitu sebagai
berikut.
a. Vaksin Bof (Mumpsvax) dibuat dari virus parotitis (paramyxo virus) hidup yang dilemahkan dan disemaikan dalam embrio
anak ayam (seperti vaksin influenza). Kadar
antibodi optimal baru tercapai sesudah 2-3
minggu dan bertahan minimal 10 tahun. Kini
dipertimbangkan untuk menvaksinasi semua
anak lelaki antara 1 dan 9 tahun (subkutan).
b. Vaksin German measles/‘rode hond‘
(Meruvax) dibuat dari virus rubella hidup
yang dilemahkan. Khusus dipakai untuk
imunisasi aktif dari anak perempuan sebelum
pubertas (di atas 11 tahun) dan wanita takimun segera setelah persalinan atau selama
haid. Seperti diketahui, penyakit “rode hond”
ini (= anjing merah) yang berjangkit selama
kehamilan dapat memicu bayi cacat,
khususnya pada mata. Vaksinasi subkutan
memberikan imunitas selama minimal 3
tahun, mungkin juga seumur hidup.
c. Vaksin cacar air: Varicella, Okavax. Vaksin
terhadap «waterpokken» (chickenpox) ini khusus dikembangkan bagi anak-anak yang
sistem imunnya tidak bekerja lagi, contoh
sebab penyakit ganas, seperti leukemia.
d. Vaksin pneumokok : Pneumo 23, Prevenar 13, Synflorix. Di banyak negara Eropa,
insidensi infeksi pneumokok cukup besar,
contoh di Belanda 50.000 kasus setahun
(termasuk 5.000 kasus pneumonia) dengan
angka kematian tinggi, ±3.000 kasus. Terutama diberikan kepada para penderita penyakit kronis berisiko tinggi, seperti pasien
PJP, paru-paru, hati, diabetes atau AIDS.
Pada tahun 1988, WHO menyarankan untuk
memvaksinasi semua lansia di atas 65 tahun
terhadap pneumokok. Oleh sebab itu, di
sejumlah negara (Inggris, Skandinavia, Jerman dan Belgia) sejak beberapa tahun sudah
dilakukan vaksinasi aktif sebagai tindakan
prevensi.
e. Vaksin meningokok tipe C: Mencevax,
Menveo, Pedvax HIB. dipakai terhadap
radang selaput otak(meningitis) akibat infeksi
meningokok(Neisseria meningitides). Meningitis
berbahaya ini kebanyakan melanda anakanak usia 5-18 tahun dan bercirikan demam,
sakit kepala, termenung-menung, adakalanya
timbul bercak kebiru-biruan di kulit dan
bintik-bintik perdarahan kecil (petachiae).Bila
kuman berproliferasi cepat, maka akan terjadi
sepsis, yang sangat gawat. Pasien menderita
kejang tengkuk (dagu tidak bisa ditundukkan
ke dada) dan dengan sangat mendadak menjadi
sangat nyeri. Tanpa penanganan di ICU rumah sakit, keadaan ini selalu berakhir fatal.
Lihat Seksi II. Kemoterapeutika, Sepsis.
f. Vaksin Haemophilus influenzae (tipe B).
Meningitis juga bisa disebabkan oleh kuman
Haemophilus influenzae (tipe B). Di Belanda
dan banyak negara Barat, vaksin ini sudah
dimuat dalam program vaksinasi anak-anak.
Kuman ini tidak seganas meningokok.
Organisasi Kesehatan Dunia WHO telah
menyusun suatu model pola imunisasi aktif
yang dianjurkan bagi negara-negara berkembang dan dapat disesuaikan dengan
kebutuhan dan tersedianya vaksin.
Di bawah ini disampaikan jadual imunisasi
dasar dari Bio Farma bagi bayi/anak-anak
sebelum usia 1 tahun terhadap 7 penyakit
infeksi yang dapat dicegah dengan imunisasi.
Dari jadual ini dapat dilihat bahwa beberapa jenis vaksin dapat diberikan kepada
bayi langsung setelah dilahirkan, mis. BCG
dan HBV. Lainnya tergantung dari usia bayi,
sebab respons imunitas dari bayi yang
baru lahir pada umumnya belum memadai,
lagipula antibodies sang ibu masih beredar
dalam tubuh bayi.Imunisasi Dasar pada Bayi
Lima Imunisasi Dasar Lengkap untuk bayi
di bawah 1 tahun (L-I-L)
Berikut yaitu lima imunisasi dasar yang
wajib diberikan sejak bayi lahir.
• Imunisasi BCG (Bacillus Calmette-Gué-
rin) sekali untuk mencegah penyakit Tuberkulosis. Diberikan pada umur sebelum
3 bulan. namun dianjurkan pemberian
imunisasi BCG pada umur antara 0-12
bulan.
• Imunisasi Hepatitis B sekali untuk mencegah penyakit Hepatitis B yang ditularkan dari ibu ke bayi saat persalinan.
• Imunisasi hepatitis B-1 diberikan sedini
mungkin (dalam waktu 12 jam) setelah
lahir.
Imunisasi hepatitis B-2 diberikan setelah 1
bulan (4 minggu) dari imunisasi hepatitis B-1
yaitu saat bayi berumur 1 bulan. Imunisasi
hepatitis B-3 diberikan pada umur 3-6 bulan.
• Imunisasi DPT-HB 3 (tiga) kali untuk
mencegah penyakit Difteri, Pertusis (batuk rejan), Tetanus dan Hepatitis B. Imunisasi ini pertama kali diberikan saat
bayi berusia 2 (dua) bulan. Imunisasi
berikutnya berjarak waktu 4 minggu.
• Imunisasi polio diberikan 4 (empat) kali
dengan jelang waktu (jarak) 4 minggu.
• Imunisasi campak diberikan saat bayi
berumur 9 bulan. (IDAI, 2008).
Jadwal Imunisasi
Umur Jenis Imunisasi
0-7 hari HB 0
1 bulan BCG, Polio 1
2 bulan DPT/HB 1, Polio 2
3 bulan DPT/HB 2, Polio 3
4 bulan DPT/HB 3, Polio 4
9 bulan Campak
Di tahun 2012, Bio Farma meluncurkan
produk baru yaitu Vaksin Pentavalen (DPTHB-Hib) yang merupakan gabungan dari
lima antigen, yaitu difteri, pertusis, tetanus,
hepatitis B serta Haemophilus influenza tipe
B atau HiB (vaksin 5 in one).
Vaksin ini merupakan pengembangan dari
vaksin tetravalen (DPT-HB) dengan penambahan Haemophylus Infuenza type B (HiB).
Sebelum penggabungan vaksin DPT, HB
dan HiB masing-masing diberikan 3 kali
sehingga total anak disuntik 9 kali. Dengan
imunisasi pentavalen, anak hanya disuntik
3 kali, sebab setiap kali disuntik sudah
‘kombinasi’ dari ketiga jenis vaksin tersebut.
Vaksin Pentavalen berupa cairan yang
diberikan dalam bentuk suntikan intramuskuler, bagi bayi berusia dua bulan dan
diberikan tiga dosis. Sehingga bayi hanya
disuntik tiga kali dengan waktu minimal satu
bulan.
Dalam pemakaian nya produk ini sangat
efisien sebab satu suntikan berarti untuk
pencegahan 5 penyakit sekaligus, sehingga
mengurangi jumlah suntik dan biaya jasa
dokter.
Dengan dipakai nya vaksin Pentavalen
bersama vaksin campak, polio dan BCG,
maka program imunisasi baru ini bisa mencegah delapan penyakit sekaligus.
Ref. : Kementerian Kesehatan RI
B. VAKSIN TOKSOID
Toksoid atau anatoksin yaitu suatu toksin yang telah diubah strukturnya oleh pe
manasan atau formaldehida, sehingga
tidak toksik lagi. Sifat antigennya tidak
dihilangkan, yakni kemampuannya untuk
menstimulasi pembentukan antibodies. Beberapa jenis bakteri, contoh basil difteri dan
tetanus, dapat mengeluarkan racun kuat,
eksotoksin ( Lat. exo = dari /ke luar), yang
dapat dipisahkan dari perbenihan dengan
cara penyaringan. Toksoid dapat diberikan
sebagai toksoid biasa (plain, crude, atau fluid,
contoh fluid-formol-toksoid) atau sebagai
sediaan long-acting. Ini yaitu toksoid biasa
yang telah diendapkan dengan tawas (aluin,
K-Al-sulfat) atau diadsorpsi pada permukaan
aluminiumhidroksida atau zat koloida lainnya.
Adsorpsi dan sekresi dari sediaan yang
tidak melarut ini berlangsung lebih lambat,
sehingga memberikan kadar (titer imunitas)
yang lebih tinggi pula daripada toksoid biasa.
Begitu juga sifat antigen dan kekebalan yang
dihasilkannya berlangsung lebih lama.15. Vaksin Jerap Difteri(Infanrix)
Vaksin jerap (jerap/serap = diadsorpsi) difteri terdiri atas suspensi steril dari toksoid
difteri yang dimurnikan dan diadsorpsikan
pada permukaan Al-fosfat, Al-hidroksida
atau K-Al-sulfat. Diperoleh dari perbenihan
basil (Corynebacterium diphtheriae). Berhubung
kemungkinan timbulnya reaksi kepekaan
lokal dan umum, maka sebaiknya terlebih
dahulu dilakukan suatu tes intrakutan dengan toksoid yang telah diencerkan sebelumnya. Kekebalannya berlangsung selama
± lima tahun.
Efek samping kadang kala terjadi dengan
reaksi kuat dan demam tinggi, terutama bila
sebelumnya pernah diberikan vaksinasi ini
(hiperimunisasi pada pasien dewasa). Oleh
sebab itu, pasien dewasa divaksinasi dengan
dosis toksoid yang lebih rendah.
Dosis dan cara imunisasi: untuk imunisasi
dasar 3 kali 0,5 ml i.m.; suntikan pertama
dan kedua dengan jarak antara 4-6 minggu,
suntikan ketiga 6 bulan kemudian.
16. Vaksin Jerap Difteri-Pertussis (DP) dipakai untuk imunisasi aktif secara simultan
terhadap difteri dan batuk rejan. Vaksin ini
mengandung toksoid difteria dari kuman B.
pertussis.
Dosis dan cara imunisasi: untuk imunisasi
dasar 3 x 0,5 ml i.m. dengan jarak antara 4-6
minggu. Booster 6 bulan kemudian dengan
dosis 0,5 ml i.m.
17. Vaksin Jerap Tetanus
Vaksin Jerap Tetanus mengandung toksoid tetanus yang telah dimurnikan dan
teradsorpsi pada Al-fosfat. Diperoleh dengan
cara yang sama seperti toksoid difteri dari
perbenihan basil Clostridium tetani. Memberikan kekebalan selama 5-10 tahun. Toksoid
ini tidak efektif mencegah tetanus bila lukanya (infeksi) sudah timbul, sebab bekerja
terlampau lambat. Maka, dalam kasus demikian harus dilakukan imunisasi pasif dengan
tetanus immune globulin dan serentak
diberikan juga injeksi pertama dari vaksin
tetanus untuk imunisasi aktif.
Dosis dan cara imunisasi: untuk imunisasi
dasar 3 x 0,5 ml i.m.; suntikan pertama dan
kedua dengan jarak antara 4-6 minggu,
suntikan ketiga 6 bulan kemudian.
* Vaksin Jerap Difteri-Tetanus (DT): untuk
imunisasi aktif secara simultan terhadap difteri dan tetanus. Mengandung toksoid difteri
dan toksoid tetanus yang telah dimurnikan
dan teradsorpsi pada Al-fosfat. Dosis dan cara
imunisasi: sama dengan Vaksin Jerap Tetanus.
Untuk usia sampai 8 tahun, dosis 0,5 ml i.m.
* Vaksin Jerap Difteri-Tetanus-Pertussis
(DTP) (Tetract-HIB): untuk imunisasi aktif
secara simultan terhadap difteri, tetanus dan
batuk rejan.
Dosis dan cara imunisasi: untuk imunisasi
dasar 3 x 0,5 ml i.m. dengan jarak antara 4-6
minggu. Booster 6 bulan kemudian dengan
dosis 0,5 ml i.m.
*Pediacel: mengandung toksoid difteri, tetanus dan batuk rejan, serta vaksin polio dan
haemophilus B.
*Tetraxim: mengandung toksoid difteri, tetanus dan batuk rejan, serta vaksin polio.
C. IMUNOGLOBULIN
Human serum immune globulin yaitu serum
polyclonal yang dibuat dari plasma darah
donor sehat atau pasien yang baru divaksinasi.
Mengandung terutama ke-empat subklas
dari IgG.
Jarak kerjanya hanya terbatas dan bila diperlukan dapat diperpanjang dengan injeksi ulang. Sediaan ini harus diberikan intramuskuler dan mutlak tidak boleh intra-vena,
sebab gumpalan antibodi dapat mengaktivasi agregasi trombosit.
Efek samping jarang terjadi dan biasanya
hanya peradangan ringan setempat dan nyeri
di tempat injeksi. Imunoglobulin dikeluarkan
melalui ASI dan membantu daya tangkis
imun dari bayi yang baru dilahirkan.
1. Tetanus immune globulin
Basil tetanus (Clostridium Tetani, pertama
kali diisolasi oleh Emil von Behring 1891)
bersifat Gram-positif dan anaerob, artinya
hanya dapat berkembang pada tempat di mana tidak ada oksigen/udara. Membentuk
spora sangat resisten, yang tersebar di
tanah dan juga ada di dalam saluran
cerna manusia dan herbivora (mis.kuda dan
sapi). Spora ini musnah pada pemanasan
selama 20 min pada 120° C. Tetanus, suatu
penyakit akut, dapat timbul bila suatu luka
bersentuhan dengan tanah, debu jalan atau
pupuk kandang (sewaktu berkebun) dan
demikian terinfeksi.Dalam lingkungan anaerob spora ini berkembang dan toksin yang
terbentuk akan menjalar di dalam tubuh.
Vaksin pasif anti-tetanus biasanya dibuat
dari plasma kuda dan mengandung antibodies serta dipakai untuk menetralkan
toksin tersebut, tanpa memengaruhi basil
tetanusnya. dipakai terutama sebagai profilaksis pada luka yang dalam dan
terinfeksi dengan basil tetanus. Lazim-nya
pengobatan dikombinasi dengan kemoterapeutika. Selama pemakaian vaksin pasif ini
harus diwaspadai timbulnya hipersensitivitas
terhadap serum hewan (kuda atau kelinci).
1 ml serum mengandung antitoksin tetanus
1500 U.I. (untuk pencegahan) atau 5000 U.I.
(untuk pengobatan)
Dosis: untuk pencegahan i.m. 1500 U.I.;
untuk pengobatan i.m. atau i.v. 5000–10.000
U.I.
2. Rabies immune globulin
Immunoglobulin ini diperoleh dari serum
kuda yang telah dikebalkan dengan virus
fixe rabies dan dipakai tersendiri atau dikombinasi dengan vaksinnya untuk pengobatan terhadap gila anjing .
Berhubung vaksinasi pasif ini hanya
memberikan perlindungan yang tidak lengkap, maka tidak dapat menggantikan imunisasi aktif dengan vaksin rabies (lihat sub
A9). Tujuan utama dari serum ini yaitu
memperlambat menjalarnya virus dan memperpanjang masa tunas (rata-rata 1-3 bulan),
maka terutama dipakai pada korban yang
telah digigit, contoh pada bagian muka atau
leher dengan masa inkubasi lebih singkat.
Setelah gejala rabies timbul, imunoglobulin
maupun vaksin tidak bermanfaat lagi.
Virus rabies memperbanyak diri di sel-sel
otot yang berdekatan dengan luka gigitan
anjing yang terinfeksi. Kemudian virus menembus ujung-ujung saraf dan menjalar ke
sumsum tulang belakang dan otak. Setelah
berproliferasi lagi di SSP, virus menjalar
ke kelenjar ludah, paru dan ginjal melalui
saraf-saraf otonom. Pada 50% penderita
timbul hydrophobia (takut air) disebabkan
kejang farinx hebat bila berusaha minum
atau makan. Penderita mengalami konvulsi,
kejang alat pernapasan dan aritmia jantung
yang akhirnya berakhir fatal.
Dosis: 0,5 ml (= 50 UI, Bio Farma) per kg
berat badan, sebagian kecil diinfiltrasikan di
sekitar luka gigitan dan selebihnya i.m.
3. Difteri immune globulin
Vaksin pasif ini merupakan fraksi globulin
yang dipekatkan dari serum kuda yang telah dikebalkan secara aktif terhadap (exo)
toksin basil difteri (Corynebacterium diphtheriae). dipakai untuk pencegahan dan
pengobatan difteri.
1 ml mengandung 2.000 U.I. antitoksin
difteri.
Dosis: untuk pencegahan, dewasa i.m.
3.000-5.000 U.I.; untuk pengobatan i.m. atau
i.v. 10.000 U.I. atau lebih.
4. Hepatitis B immune globulin:Engerix-B,
Euvax B, Twinrix
dipakai sebagai pencegahan terhadap
timbulnya Hepatitis B, contoh setelah infeksi dengan darah yang positif terhadap
HBsAg (transfusi darah). Dibuat dari plasma
darah manusia yang mengandung zat antiHBs dengan titer yang tinggi dan terutama
terdiri dari imunoglobulin G (IgG).
5. Imunoglobulin anti-bisa ular polivalen
Vaksin pasif ini dipakai untuk mengobati gigitan ular berbisa, yang berefek neurotoksik dan hemolitik. Serum polivalen ini
yang dimurnikan dan dipekatkan berasal
dari plasma kuda yang dikebalkan terhadap
bisa ular. Ular yang kebanyakan ada di
Indonesia yaitu ular kobra (Naya sputatrix),
ular belang (Bungarus fasciatus) dan ular
tanah (Ankystrodon rhodostoma).
Dosis: i.v. sangat perlahan atau melalui
infus.Perkembangan baru
a. Vaksin AIDS
Merebaknya penyakit AIDS secara drmatis
pada tahun-tahun lalu sangat meresahkan
para ahli di seluruh dunia. Setiap hari
diperkirakan ±10.000 pasien baru terinfeksi
HIV. Di Afrika, HIV mengakibatkan suatu
“pembantaian” massal, dengan 24,5 juta
penderita atau lebih dari 60% penduduk
yang terinfeksi. Kini dikhawatirkan bahwa
Thailand dan Cina akan dilanda epidemi
besar-besaran, sedangkan insidensi di India,
dan negara-negara Eropa Timur juga sangat
meningkat.
Menurut data awal tahun 2011 penderita
HIV/AIDS di Indonesia berjumlah 310.000
pasien dan tertinggi yaitu di Irian Jaya
yakni 1,4 per 10.000 penduduk. (data WHO/
UNICEF, 2013). Lihat selanjutnya Bab 7,
Virustatika.
Peningkatan penyebaran HIV/AIDS terutama, disebabkan oleh maraknya penggunaan bersama jarum suntik oleh para pecandu narkotika (Pengguna Napza Suntik),
disusul oleh hubungan heteroseksual dan
homoseksual.
Daya upaya untuk menemukan vaksin
yang mungkin dapat menolong jiwa berjutajuta pasien diberikan prioritas tinggi oleh
WHO. Namun sampai sekarang semua usaha untuk membuat vaksin AIDS yang efektif
telah gagal, antara lain vaksin selubung protein,
vaksin virus “tak-lengkap” dan vaksin DNA.
Vaksin selubung protein. Vaksin ini telah
dibuat dari satu protein selubung (gp120)
yang ada di bagian luar virus HIV.
Vaksin ini ternyata efektif terhadap hepatitis
B (HVB), lihat di bawah. namun , hasil kajian
menunjukkan bahwa vaksin HIV dengan
gp120 tidak memberikan perlindungan yang
cukup efektif.
Vaksin DNA mengandung sedikit bahan
genetik virus, yang mencetuskan produksi
protein virus dan kemudian antibodies
terhadapnya. Setelah 1 dan 6 bulan diberikan
injeksi booster kedua dan ketiga, sehingga
dapat dicapai imunitas yang baik. Vaksin ini
efektif namun sangat mahal dan tidak praktis
sebab memerlukan tiga penyuntikan.
Berhubung dengan epidemi yang dewasa
ini mengancam Thailand, maka WHO melakukan percobaan klinis massal dengan
vaksin gp120, yang dari ketiga vaksin tersebut di atas perkembangannya paling maju.
Semboyannya yaitu „lebih baik vaksin yang
kurang efektif daripada tiada vaksin sama
sekali.“
* Imunitas alami. Di seluruh dunia ada
beberapa ratus pasien , yang walaupun terinfeksi dengan HIV, ternyata mampu menangkis virus ini dan tidak mengidap
AIDS. Semua pasien ini memperlihatkan
daya tahan yang unik dari sel-sel CD8+nya
terhadap infeksi (T-supressor cells). Berdasarkan penemuan ini, penyelidikan kini ditujukan pada usaha untuk membangkitkan dan
menstimulasi daya tangkis demikian secara
buatan.
b. Vaksin malaria
Sejak tahun 1976, WHO telah melancarkan
penelitian besar-besaran mengenai cara baru untuk memberantas malaria dan yang
terpenting yaitu perkembangan sejenis vaksin untuk mengebalkan populasi.
Sudah diketahui bahwa pada permukaan
eritrosit manusia ada sejenis reseptor
yang merozoit Plasmodium tidak dapat memasukinya (lihat Bab 11, Obat-obat Malaria,
Siklus hidup parasit). Infeksi oleh parasit
menstimulasi sistem imunologi untuk membentuk imunitas seluler dan humoral. Inilah
sebabnya mengapa penduduk di daerah
malaria setelah menderita beberapa kali
infeksi menjadi (agak) imun terhadap suku
Plasmodium yang ada setempat.
Dalam riset terhadap vaksin malaria, diketemukan antara lain suatu protein khusus
dari merozoit P. falciparum yang dapat
melekat pada protein glikoforin yang ada
pada membran eritrosit. Usaha untuk membuat suatu vaksin dengan protein ini sebagai
antigen tidak memberikan hasil yang memuaskan.
Vaksin atas dasar sporozoit. Telah dibuktikan bahwa pada percobaan terhadap manusia, pasien dapat dikebalkan terhadap
jenis Plasmodium khusus dengan jalan sengatan nyamuk yang telah diinfeksikan
dengan parasit tersebut. Nyamuk demikian
telah disinari dengan sinar Röntgen yang
menginaktifkan sporozoit di dalam tubuhnya.
Dari sporozoit ini juga telah diisolasi suatu
protein khusus yang bersifat antigen. Namun
vaksin yang dibuat dengan antigen ini
ternyata juga mengecewakan.
Kini dilakukan penyelidikan dari suatu
antigen khusus yang ada pada permukaan sporozoit, yakni circumsporozoite antigen (CSA). Suatu vaksin dari CSA bersama
antigen HBV (hepatitis-B-surface antigen) yang
dibuat dengan teknik rekombinan, ditambah
dengan dua imunostimulansia ternyata
dapat memberikan perlindungan baik selama
beberapa minggu.
* Vaksin kanker cervix (Gardasil, Cervarix)
yaitu vaksin kanker pertama (2006) terhadap
suatu jenis kanker. Mengandung antibodi
terhadap Human Papillomavirus type 6,11,16
dan 18 yaitu penyebab kanker mulut rahim.
Vaksin ini terutama dianjurkan bagi wanita
dari 16-26 tahun.
Dosis: kur dari 3 injeksi a 0,5 ml sesuai
jadwal 0 - 2 - 6 bulan.
* Vaksin pollinosis (Grazax). Vaksin pertama terhadap pollen rumput ini telah diregistrasi di negeri Belanda (2006). Tidak saja
bekerja simtomatis namun juga kausal. Terapi
terdiri dari tablet sublingual setiap hari
selama 8 minggu, yang dimulai 8 minggu
sebelum tibanya musim demam merang(„hay
fever“) (Ph Wkbl 2006; 141:1516).ANTIHISTAMINIKA
HISTAMIN
Histamin (suatu autacoid atau hormon lokal)
yaitu suatu amin nabati (bioamin) yang
ditemukan oleh dr. Paul Ehrlich (1878) dan
merupakan produk normal dari pertukaran
zat histidin melalui dekarb