Tampilkan postingan dengan label obat 50. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label obat 50. Tampilkan semua postingan

obat 50

 


ACTH DAN KORTIKOSTEROIDA

ANAK-GINJAL DAN 

HORMON-HORMONNYA

Anak ginjal atau kelenjar adrenal yaitu  

organ kecil yang letaknya berdampingan dengan ginjal pada bagian atas-dalamnya (Lat.

ad = dekat, ren = ginjal). Organ ini terdiri dari 

bagian sumsum dan bagian kulit.

1. Medulla (= sumsum) yaitu  bagian dalam 

yang membentuk neurohormon adrenalin; 

2. Cortex (= kulit) yaitu  bagian luar yang 

menghasilkan tiga jenis hormon steroid, yaitu:

a. glukokortikoida: kortisol (hidrokortison), 

yang terutama berkhasiat bagi metabolisme 

karbohidrat, juga memengaruhi banyak 

efek lain, termasuk pertukaran zat protein, pembagian lemak dan reaksi peradangan. Sekresi ACTH (dan kortisol), 

yang memperlihatkan ritme siang-malam 

(circadian) fisiologis, naik di waktu pagi 

disusul oleh memuncaknya sekresi kortisol, yang sepanjang hari menurun lagi. 

Produksi kortisol total berjumlah 20-30 

mg sehari. Pada situasi stres produksinya meningkat sampai 100-200 mg! Efek 

mineralokortikoidnya jauh lebih ringan daripada aldosteron (lihat di bawah);

b. mineralokortikoida: aldosteron serta 

dua precursornya, yaitu kortikosteron dan 

desoksikorton. Hormon-hormon ini terutama memengaruhi metabolisme garam 

dan air. Kedua precursor hanya ringan 

daya kerjanya, masing-masing 0,5 dan 

3% dari efek aldosteron. Aldosteron dan 

kortikosteron juga memiliki efek glukokortikoida, lebih kurang 30% dibandingkan dengan kortisol. Pada penggunaan 5-10 g garam sehari, produksi hormon ini berjumlah 0,1-0,2 mg sehari.

c. hormon kelamin: produksi rendah dari 

testosteron dan DHEA (= dehidro-epi-androsteron), juga estrogen dan progesteron.

Sintesis dari semua hormon ini berlangsung dalam anak-ginjal melalui kolesterol, seperti juga sintesis hormon-hormon 

kelamin dalam testes dan ovaria. Garis besar 

reaksi sintetik ini tertera dalam gambar di 

bawah ini, lihat juga Gambar 43-1 Bab 43, Zatzat Androgen.*ACTH (kortikotropin) dari hipofisis menstimulasi produksi kortisol yang dikendalikan oleh hormon hipotalamus CRH (Corticotrophin Releasing Hormone), lihat Bab 42, 

Hormon-hormon Hipofisis. Sebagaimana 

telah diketahui produksi ACTH dihambat 

oleh kortisol melalui mekanisme feedback 

negatif, juga bila diberikan dari ‘luar’. Sistem 

ini untuk mudahnya disingkat sistem poros

(axis) atau sistem HHA(Hipotalamus - Hipofisis

- Adrenal).

Aldosteron. Hormon pria ini berperan penting pada metabolisme elektrolit. Produksinya tidak tergantung dari ACTH, namun  dari sistem renin-angiotensin-aldosteron (RAAS),

khususnya dari angiotensin-II, kadar natrium 

dan kalium, serta volume plasma yang mengalir melalui ginjal. Selama berlangsung 

diet garam dengan ketat (contoh  pada 

hipertensi) kedua nilai akan turun. Untuk 

mencegah terlalu menurunnya tensi, ginjal 

meningkatkan pelepasan enzim renin dengan 

akibat terbentuknya angiotensin. Peptida ini 

selain meningkatkan tekanan darah, juga 

menstimulasi produksi aldosteron oleh anakginjal, lihat Bab 35, Antihipertensiva, RAAS.

*DHEA (dehidro-epi-androsteron, prasteron)

berfungsi sebagai bahan pangkal untuk pembentukan hormon-hormon kelamin. Di samping itu DHEA berperan penting dalam 

metabolisme, sistem imun dan sistem saraf 

pusat. Produksinya 10-20 kali lebih banyak 

dibandingkan dengan kortisol dan mencapai puncaknya sekitar usia 30 tahun untuk 

kemudian berangsur-angsur menurun sampai 10-20% pada usia 80 tahun. Hanya dalam keadaan stres kronis produksi kortisol melebihi DHEA; pria lebih banyak 

membentuknya daripada wanita. Hewan 

menyusui tidak membentuk DHEA, kecuali 

pasien  utan (monyet). 

Sejak awal tahun 1990-an, DHEA dianjurkan sebagai smart drug (obat pinter) untuk menghambat proses menua dan memperpanjang harapan hidup (life extension).

Di Prancis penelitian mengenai penggunaannya sebagai obat dipimpin oleh Prof E. 

Baulieu. Lihat selanjutnya Bab 43, Zat-zat 

Androgen. 

Khasiat fisiologi kortisol

Kortisol memegang peranan penting pada 

proses metabolisme hidratarang, protein 

dan lemak, serta pada pemeliharaan keseimbangan elektrolit dan air. Kortisol turut mengatur fungsi sistem kardiovaskuler, sistem saraf, otot, ginjal dan organ lain. Selain 

itu, kortisol mendukung sistem tangkis, 

sehingga tubuh menjadi lebih kebal terhadap 

rangsangan buruk yang tercakup dalam 

pengertian “stres”, seperti yang timbul pada 

pembedahan, infeksi, luka berat, juga trauma 

psikis, lihat di bawah.

Reaksi stres 

Stress (tekanan) yaitu  reaksi non-spesifik 

dari tubuh terhadap setiap rangsangan dalam bentuk apapun (dr H. Selye, 1947). Perangsang atau stressor yang memicu  

tres dapat berbeda-beda dan menghasilkan 

beberapa bentuk stres , yaitu:

– stres fisik seperti kecelakaan, luka berat 

atau perdarahan, pembedahan, hawa dingin atau panas, juga olahraga;.

– stres psikis berupa emosi negatif seperti 

perasaan marah, jengkel, dendam dan 

kebencian, perasaan tidak senang atau 

tidak puas dengan sesuatu, perasaan salah, kerinduan dan perasaan duka yang 

berlarut-larut;

– stres akibat infeksi dan zat-zat kimiawi

(anestesia, kemoterapi).

* Hormon stres. Sebagai reaksi terhadap 

stres, anak-ginjal didorong untuk mensekresi 

berlebihan hormon-hormonnya adrenalin/

NA dan kortisol melalui masing-masing SSP 

dan hipofisis; kedua sistem ini bekerjasama 

dengan erat. Sekresi kortisol dapat meningkat 

sampai 300 mg untuk mengatasi efek-efek 

stres , seperti antara lain radang, nyeri dan 

demam. Kortisol sebagai zat antiradang berfungsi menghambat reaksi sistem tangkis 

tubuh, sehingga respons terhadap stres jangan sampai terlampau kuat.

Adrenalin. Sebagaimana telah diuraikan 

di Bab 31, Adrenergika dan Adrenolitika, 

adrenalin dan NA berfungsi mempersiapkan organisme untuk aksi (fi ght or fl ight) dengan 

mengaktifkan berbagai proses fi siologi. Yang 

terpenting di antaranya yaitu  stimulasi 

SSP dengan efek antara lain meningkatnya 

tekanan darah dan peningkatan alirannya 

ke otak, paru-paru dan otot perifer. Sintesis 

protein dikurangi dan produksi glukosa ditingkatkan melalui mobilisasi glikogen depot, 

begitu pula pelepasan asam lemak ke dalam 

darah. Asam lemak merupakan sumber 

energi yang bisa langsung dipakai . Oleh 

sebab  itu, profi l lipida memburuk dengan 

meningkatnya kadar triglise rida dan LDLkolesterol serta menurunnya HDL. Dengan 

peruba han-perubahan ini, tubuh dapat menyesuaikan diri(adaptasi) pada tekanan yang 

mengancamnya.

Reaksi normal. Sebetulnya secara alamiah 

reaksi stres merupa kan suatu reaksi emosi

yang bermanfaat bagi tubuh dalam penghidupan sehari-hari dan setiap pasien  pernah 

mengalami suatu ketegangan (tension), misalnya bila menghadapi ujian atau sebelum 

pemeriksaan oleh dokter. stres normal memungkinkan kita untuk menjadi lebih waspada (alert) dan bereaksi lebih cepat terhadap 

situasi sulit atau darurat. namun , terlampau 

banyak tension dapat merugikan kesehatan dan memicu  atau memperburuk 

keluhan. Penelitian WHO telah menunjukkan adanya hubungan positif antara banyaknya pengalaman hidup dan keluhan kesehatan. Dengan demikian ternyata tubuh 

dapat belajar hidup dengan stres. Sekarang 

ini masyarakat mendapat tekanan berat 

dengan syarat-syarat ketat yang diharapkan 

dari masing-masing pasien , contoh  untuk 

membangun karier, membina kehidupan keluarga di samping kesibukan pekerjaan dan 

juga keinginan berpenampilan sempurna. 

Oleh sebab  itu wajarlah bila banyak pasien  

merasa tertekan dan tegang. 

Ketegangan yang tidak nyaman itu baru 

menjadi stres yang merugikan bila berlangsung terlampau lama. Tubuh mencoba menyesuaikan diri dengan keadaan ini, namun  

serentak daya tahan terhadap bentuk-bentuk 

lain dari stres menurun. Dalam periode ini 

contoh , pasien  menjadi lebih peka terhadap 

alergi. Lambat laun tubuh menjadi sangat 

letih dan tidak mampu menyesuaikan diri 

lagi untuk menyalurkan ketegangan ini 

dengan layak dan mengatasinya.

Bila keadaan stres berlangsung berlarutlarut dengan reaksi dari hormon stres yang 

terlampau hebat, maka proses adaptasi tersebut tidak berhasil lagi. Proses fisiologi 

mulai terganggu dan timbullah bermacammacam keluhan, seperti sakit kepala, sakit 

punggung dan perut, hilangnya nafsu makan, 

sukar bernapas, hiperventilasi dan berkeringat 

berlebihan. Akhirnya dapat terjadi perubahan 

patologis pada organ-organ, sehingga dapat 

sangat merugikan.

Penanganannya terdiri dari usaha mengubah pola hidup, antara lain dengan gerak 

badan secara teratur untuk memperbaiki 

kondisi tubuh, contoh  dengan berjalan 

kaki, bersepeda atau olahraga lainnya. Juga berekreasi dengan cukup hiburan, yang 

memengaruhi secara baik daya tahan tubuh. Selain itu teknik-teknik pernapasan 

seperti yoga, tai chi dan chi kung sangat 

berguna untuk mengatasi stres . Di samping 

itu suasana hidup harus tenang dengan 

menjauhi kesibukan, kegelisahan dan faktorfaktor stres lainnya sebanyak mungkin, serta 

memperhatikan cukup istirahat dan hiburan. 

Sejak lama telah diketahui bahwa stres emosional membuat penyakit tukak lambung 

bertambah parah, sedangkan pada waktu 

serangan akut biasanya timbul kegelisahan 

dan kecemasan pada penderita. 

*Kortisol berlebihan selama waktu lama 

akibat stres menahun dapat mengacaukan 

regulasi sistem imun yang sangat rumit. 

contoh , ratio jumlah sel T-helper dan 

T-supresor bisa berubah, yang dapat mencetuskan suatu penyakit auto-imun. Bila 

masalah tidak terpecahkan akhirnya akan 

terjadi kerusakan pada jaringan otot, saraf 

dan penurunan fungsi sistem imun, di 

samping kadar glukosa dan tekanan darah 

meningkat. Sel-sel otak bereaksi kuat terhadap 

kortisol, khususnya bagian otak di mana 

terletak fungsi ingatan (hippocampus), di 

mana ada  banyak reseptor kortisol dan 

dapat dianggap sebagai termostat untuk 

kortisol. Kelebihan kortisol mengakibatkan 

perubahan ekspresi dari gen-gen tertentu 

yang penting bagi sistem ketahanan. Oleh 

sebab  itu pasien lebih mudah menderita 

berbagai infeksi serius (tbc, dan lain-lain) atau 

mendapat  suatu gangguan psikosomatis.

contoh  hipertensi, infark jantung, tukak 

lambung, asma, eksem, colitis atau kanker.Bila 

masalah tidak terpecahkan dan tekanan 

berlanjut, maka tubuh tidak berenergi lagi 

dan akan runtuh.

Khasiat farmakologi 

Kortisol memiliki banyak fungsi farmakologi, 

yang baru menjadi nyata pada dosis besar 

dan dapat dibagi dalam dua kelompok, 

yaitu khasiat glukokortikoid dan khasiat 

mineralokortikoid.

1. Khasiat glukokortikoid meliputi antara

lain:

a. efek antiradang (anti-inflammatoir), misalnya akibat trauma, alergi dan infeksi, yang 

berdasar  efek vasokonstriksi. Juga 

berkhasiat merintangi atau mengurangi terbentuknya cairan peradangan dan 

udema setempat, contoh  sewaktu radiasi sinar-X di bagian kepala dan tulang 

punggung;

b. daya imunosupresif dan anti alergi, 

yang mungkin ada hubungannya dengan 

khasiat antiradangnya. Reaksi imun dihambat, sedangkan migrasi dan aktivitas 

limfosit T/B dan makrofag menurun;

c. peningkatan gluko-neogenesis, artinya 

pembentukan hidratarang dari protein 

dinaikkan dengan kehilangan nitrogen. 

Pembentukan glukosa distimulasi, utilisasinya di jaringan perifer dikurangi dan 

penyimpanannya sebagai glikogen ditingkatkan;

d. efek katabol, yaitu merintangi pembentukan protein dari asam amino, sedangkan pengubahannya ke glukosa dipercepat. Sebagai akibat dapat terjadi osteoporosis (tulang menjadi rapuh sebab  

massa dan kepadatannya berkurang), 

atrofia otot dan kulit dengan terjadinya 

striae (garis-garis). Anak-anak dihambat 

pertumbuhannya, sedangkan penyembuhan borok (lambung) dipersulit;

e. pengubahan pembagian lemak. Yang terkenal yaitu  penumpukkan lemak di atas 

tulang selangka dan muka, yang menjadi 

bundar (“moon face”), juga di bagian perut 

dan di belakang tengkuk (“buffalo hump”). 

Gejala ini mirip Sindroma Cushing, yang 

disebabkan oleh hiperfungsi hipofisis 

atau adrenal, atau juga sebab  penggunaan kortikosteroid terlampau lama.

2. Khasiat mineralokortikoid terdiri dari 

retensi natrium dan air oleh tubuli ginjal, sedangkan kalium justru ditingkatkan ekskresinya.

Derivat kortisol sintetik

pemakaian  hidrokortison dengan dosis 

tinggi yang sering kali diperlukan dalam 

terapi, kerapkali terganggu oleh efek-efek 

sampingnya, seperti retensi garam/air, udema dan hipertensi. Oleh sebab  itu telah 

disintesis banyak derivat dengan maksud 

memperkuat efek glukokortikoid dan anti radangnya dengan menghilangkan sebanyak mungkin 

efek mineralokortikoidnya. Zat-zat ini sering kali 

dipakai pada dermato-farmakoterapi. 

Derivat-derivat yang kini tersedia secara 

kimiawi dapat dibagi dalam dua kelompok, 

yaitu deltakortikoida dan fluorkortikoida.

a. Deltakortikoida: predniso(lo)n, metilprednisolon, budesonida, desonida dan prednikarbat. 

Zat-zat ini berbeda dari kortisol dengan 

adanya ikatan ganda pada C1-2 (delta 1-2), 

sebab  itu namanya demikian. Efek glukokortikoidnya ±5 x lebih kuat dan daya mineralonya lebih ringan dibandingkan dengan 

kortisol, sedangkan lama kerjanya ±2x lebih 

panjang.

b. Fluorkortikoida: betametason, deksametason, 

triamsinolon, dan lain-lain (lihat di bawah) 

merupakan turunan fluor dari prednisolon 

dengan 1 atau 2 atom fluor pada C6 atau/dan 

C9 dalam posisi -alfa. Khasiat glukokortikoid dan anti radangnya 10-30 x lebih kuat 

daripada kortisol, daya mineralonya praktis 

hilang sama sekali. Plasma-t½-nya lebih panjang (3-5 jam) sebab  perombakannya dalam 

hati dipersulit oleh adanya substituen fluor, 

oleh sebab  itu efeknya juga bertahan 3-5x 

lebih lama. 

pemakaian  sistemiknya tidak menguntungkan dibandingkan prednisolon, sebab  

efek sampingnya pada umumnya juga sebanding lebih kuat. Maka zat ini hanya dipakai  bila predniso(lo)n diperlukan dalam dosis yang terlampau tinggi. Khususnya 

ketiga zat yang ini di atas banyak dipakai  per oral dan parenteral. 

pemakaian  dermal dalam salep/krem sering sekali, begitu pula penyalahgunaannya, 

sebab  lebih manjur daripada hidrokortison. 

namun  sering kali penyakit lebih cepat kambuh, sedangkan efek sampingnya pada 

pemakaian  tanpa aturan menjadi parah, 

seperti kulit menjadi tipis dan mudah terluka, 

dan lain-lain, lihat di bawah.

Penggolongan. berdasar  posisi dari 

atom fluor dalam rumus steroid, derivat- derivat fluor dapat dibagi sebagai berikut: 

* 6-alfa-fluor : fluokortolon, flunisolida

* 9-alfa-fluor: betametason, deksametason, triamsinolon, desoksimetason, fluormetolon dan

flupredniden

* 6,9-alfa-difluor: flumetason, fluosinolon, diflukortolon

* 9-alfa-fluor 21-klor : klobetasol, klobetason

* 6-alfa-fluor 9,11-diklor : fluklorolon

* 6,9-alfa-difluor 2-klor: halometason

Tabel berikut ini memperlihatkan aktivitas 

biologik relatif dari sejumlah kortikoida alamiah dan sintetik dengan masa paruhnya.Kinetik

Semua kortikoida secara oral diserap baik, 

efeknya baru nampak setelah 4-6 jam, maka 

untuk efek cepat hendaknya dipakai 

parenteral dari derivat yang mudah larut. 

Masa paruh berkisar antara 1,5 dan 5 jam, 

namun  bertahan jauh lebih lama. (t½biologiknya lebih panjang). contoh  hidrokortison dan kortison 8-12 jam, prednisolon 

dan triamsinolon 12-36 jam, deksa- dan betametason (36-72 jam).

Secara intramuskuler kecepatan absorpsi tergantung dari zat yang dipakai , senyawaNa dari suksinat dan fosfat yang dapat larut 

cepat diserapnya, sedangkan suspensi dari 

asetat dan asetonida yang sukar larut lambat 

absorpsinya sehingga bekerja panjang. Oleh 

sebab  itu untuk pemakaian  intra-artikuler 

dan intrabursal dipakai terutama senyawa 

asetat dan senyawa asetonida. contoh  injeksi asetat memberikan efek antiradang dan 

analgetik yang dapat bertahan 2 hari sampai 

2 bulan (asetonida), rata-rata 10 hari.

Absorpsinya per rektal sangat berbedabeda, pada umumnya senyawa dinatrium 

dari fosfat paling baik penyerapannya, maka 

banyak dipakai sebagai klisma pada colitis dan radang rektum (proctitis). Biasanya 

dipakai beklometasondipropionat dengan 

efek lokal sangat kuat dan efek sistemik agak 

ringan. 

Kortikoida diikat pada protein plasma 

transkortin dan albumin. Pengikatannya pada 

protein (PP) berkisar antara 90-95% untuk 

hidrokortison dan 60-70% untuk derivat sintetiknya. Prednison inaktif diubah menjadi 

prednisolon aktif selama first pass melalui 

hati, begitu pula kortison melalui proses sama 

menjadi hidrokortison aktif. Pengubahan ini 

tidak terjadi di kulit, mata, sendi dan rektum, 

maka sediaan-sediaan lokal untuk lokasi 

tersebut, perlu dipakai senyawa hidronya. 

Setelah dirombak dalam hati metabolitnya 

dikeluarkan melalui urin dan feses.

pemakaian . Glukokortikoida terutama dipakai  berdasar  berbagai khasiatnya 

sebagai berikut. 

1. Terapi substitusi dilakukan pada insufisiensi adrenal, seperti pada penyakit Addison

yang bercirikan perasaan letih, kurang tenaga 

dan otot lemah akibat kekurangan kortisol. 

Dalam hal ini diberikan hidrokortison sebab  

efek mineralnya paling kuat.

2. Terapi non-spesifik dengan dosis lebih 

tinggi berdasar  khasiat anti radang dan 

khasiat imunosupresifnya pada banyak jenis penyakit. Juga berefek menghilangkan 

perasaan malaise serta memberikan perasaan 

nyaman dan segar pada pasien (sense of wellbeing). Untuk ini pada umumnya dipakai 

predniso(lo)n, triamsinolon, deksametason

dan betametason dengan kerja mineralokortikoid yang dapat diabaikan.*Indikasi terpenting di mana glukokortikoida 

telah membuktikan keampuhannya yaitu  

pada gangguan-gangguan berikut:

a. asma hebat akut atau kronis, contoh  

status asthmaticus, namun  efeknya lebih 

lambat daripada ß2

-mimetika. Inhalasi 

(spray, aerosol) merupakan terapi baku 

pada asma kronis, umumnya bersama 

suatu ß2

-mimetikum

b. radang usus akut (colitis ulcerosa, penyakit 

Crohn)

c. penyakit auto imun, pada mana sistem 

imun terganggu dan menyerang jaringan tubuh sendiri. Kortikoida menekan 

reaksi imun dan meredakan gejala penyakit, contoh  pada rema, MS (multiple sclerosis), SLE (systemic lupus erythematosus), scleroderma, anemia hemolitis, p. 

Crohn dan colitis.

d. sesudah transplantasi organ, bersama

siklosporin atau azatioprin untuk mencegah 

penolakannya oleh sistem imun tubuh

e. kanker, bersama onkolitika dan setelah 

radiasi X-ray, untuk mencegah pembengkakan dan udema (khususnya deksametason). Juga sebagai anti emetikum, 

bersama obat-obat lain untuk prevensi 

mual dan muntah akibat pemakaian  

sitostatika.

* Waktu minum. Glukokortikoida sebaiknya 

diminum dalam satu dosis pagi hari, sebab  

kadar kortisol alamiah maksimal antara 

pukul 8 - 9 dan terendah tengah malam (ritme circadian, ritme siang malam, lihat Bab 42, 

Melatonin). Dengan demikian risiko akan 

supresi sistem-HHA lebih kecil.

* ACTH dewasa ini khusus dipakai sebagai obat diagnostik fungsi anak-ginjal.

pemakaian  lokal

Di samping secara oral dan parenteral, kortikoida juga banyak dipakai secara lokal, 

yakni:

a. pada mata, terutama pada proses peradangan, seperti radang selaput mata, selaput bening dan pinggir kelopak mata (conjunctivitis, keratitis, blepharitis). Obat yang 

lazim dipakai untuk terapi singkat adalah hidrokortison, prednisolon, deksametason, 

betametason dan fluormetolon. Obat-obat ini 

memiliki aktivitas relatif lemah dan tidak atau

sedikit diserap ke dalam darah. Mengingat 

risiko akan efek sampingnya (katarak dan 

glaukoma), maka tidak boleh dipakai 

pada gangguan mata lain (gatal-gatal, mata 

merah). 

b. pada telinga pada radang rongga gendang 

(otitis media) dan otitis externa kronis, ada 

kalanya terkombinasi dengan antibiotika. 

c. di hidung (intranasal). dipakai sebagai spray hidung pada rhinitis (radang mukosa hidung, pilek) dan pada polip untuk 

menghambat atau mencegah pertumbuhannya.

d. mulut (tracheal) khusus pada asma dan 

umumnya bersama ß2

-mimetika. Ternyata 

efektif untuk mencegah serangan, pengembangan dan udema bronchi, dengan risiko 

ringan bagi supresi sistem-HHA. Untuk 

ini tersedia spray (dosis aerosol) dengan 

beklometason, budisonida dan flutikason, yang 

disemprotkan ke dalam tenggorok dan 

berkhasiat lokal di bronchi. Resorpsinya ke 

dalam darah hanya ringan sekali.

e. rektal. Kadang kala dipakai sebagai 

suppositoria terhadap wasir yang meradang, 

biasanya hidrokortison atau triamsinolon, dikombinasi dengan suatu anestetikum lokal, 

umumnya lidokain. Sebagai lavemen/klisma, 

zat ini juga dipakai pada radang usus 

besar (colitis ulcerosa) untuk meringankan 

gejalanya (betametason, prednisolon).

f. intra-artikuler. Pada radang sendi, seperti 

bursitis (“tennis elbow”, radang kandung sega)

dan synovitis (radang selaput synovium) dapat 

disuntikkan hidrokortison atau triamsinolon

di antara sendi-sendi untuk mencapai efek 

lokal. 

g. dermal, lihat di bawah.

* Kortison dan prednison baru menjadi 

aktif sesudah diubah dalam hati menjadi 

derivat hidronya, yakni hidrokortison dan

prednisolon, maka bila peroral diperlukan 

efek cepat sebaiknya dipakai derivat 

hidro aktif ini. Di kulit dan sendi pengubahan 

ini tidak terjadi, maka untuk salep/

krem dan injeksi intra artikuler selalu harus 

dipakai hidrokortison dan prednisolon.

Efek samping

Efek samping kortisol terutama nampak pada 

pemakaian  lama dengan dosis tinggi, yaitu 

melampaui 50 mg sehari atau dosis setaraf 

dengan derivat sintetiknya. Efek ini mirip 

gejala dari suatu gangguan yang disebabkan 

oleh produksi kortisol faal berlebihan, yaitu 

sindroma Cushing.

* Sindroma Cushing sering kali disebabkan 

oleh tumor di hipofisis dan hiperproduksi 

ACTH. Gejala utamanya yaitu  retensi cairan 

di jaringan-jaringan yang memicu  

naiknya berat badan dengan pesat, muka 

menjadi tembam dan bundar (“muka bulan”), 

adakalanya kaki-tangan gemuk (bagian atas). 

Selain itu terjadi penumpukan lemak di bahu 

dan tengkuk. Kulit menjadi tipis, mudah 

terluka dan timbul garis kebiru-biruan 

(striae).

Ada tiga kelompok efek samping berdasarkan khasiat faali pokoknya, yaitu efek 

glukokortikoid, mineralokortikoid dan efek 

umum.

1. Efek glukokortikoid dapat memicu  

efek samping sebagai berikut:

a. imunosupresi, yaitu menekan daya tahan tubuh, seperti yang terjadi pada 

transplantasi organ. Jumlah dan aktivitas 

limfosit-T/B beserta makrofag dikurangi dan 

pada dosis sangat tinggi juga produksi 

antibodies. Akibatnya yaitu  turunnya 

daya tahan dan tubuh menjadi lebih 

peka bagi infeksi oleh jasad-jasad renik. 

Lagi pula gejala klinis dari infeksi dan 

peradangan menjadi saru. TBC dan 

infeksi parasiter dapat direaktifkan, begitu pula tukak lambung-usus dengan 

risiko meningkatnya perdarahan dan 

perforasi. 

b. atrofia dan kelemahan otot (myopati steroid), khusus dari anggota badan dan bahu. 

Lebih sering terjadi pada hidrokortison 

daripada derivat sintetiknya. 

c. osteoporosis (rapuh tulang) sebab  menyusutnya tulang mengakibatkan risiko besar fraktur bila terjatuh. Efek ini 

terutama pada pemakaian  lama dari 

dosis di atas 7,5 mg prednison sehari 

(atau dosis ekivalen dari glukokortikoid 

lain), seperti pada rema dan asma hebat. 

Prevensi dapat dilakukan efektif dengan

vitamin D3

 + kalsium, masing-masing 

500 UI dan 1.000 mg sehari. Senyawa 

bisfosfonat (alendronat, risedronat) kini juga 

sering dipakai . Lihat juga Bab 44, Zatzat Estrogen, osteoporosis (boks).

d. merintangi pertumbuhan pada anakanak, akibat dipercepatnya penutupan 

epifisis tulang pipa; 

e. atrofia kulit dengan striae, yaitu garis 

kebiru-biruan akibat perdarahan di bawah kulit, juga luka/borok sukar sembuh

sebab  penghambatan pembentukan jaringan granulasi (efek katabol);

f. diabetogen. Penurunan toleransi glukosa 

dapat memicu  hiperglikemia dengan 

efek menjadi manifest atau memperparah 

diabetes. Penyebabnya yaitu  stimulasi 

pembentukan glukose berlebihan dalam 

hati.

g. gejala Cushing, seperti tertera di atas; 

h. anti mitotis, yaitu menghambat pembelahan sel (mitose), terutama kortikoidafluor berefek kuat, yang hanya dipakai 

secara dermal pada penyakit psoriasis

(penyakit sisik), lihat di bawah.

2. Efek mineralokortikoid dapat menyebabkan efek samping sebagai berikut:

a. hipokaliemia akibat kehilangan kalium melalui urin; 

b. udema dan berat badan meningkat akibat 

retensi garam dan air, juga risiko hipertensi 

dan gagal jantung.

3. Efek-efek umum:

a. efek sentral (atas SSP) berupa gelisah, 

perasaan takut, sukar tidur, depresi dan 

psikosis. Perasaan euforia dengan ketergantungan fisik dapat pula terjadi.

b. efek androgen, seperti acne, hirsutisme dan 

gangguan haid;

c. katarak (bular mata) dan naiknya tekanan 

intra okuler (glaukoma), juga bila dipakai  sebagai tetes mata. Risiko glaukoma

meningkat.

d. bertambahnya sel-sel darah: eritrositosis dan 

granulositosis;

e. bertambahnya nafsu makan dan berat badan;

f. reaksi hipersensitivitas;

g. pada pemakaian  intra-artikuler (dalam 

sendi): iritasi dan sakit di tempat injeksi, 

abses steril, parestesia (kesemutan) dan 

khusus setelah injeksi berulangkali, destruksi dari sendi.

Interaksi. Efek samping ulcerogen dari 

NSAIDs dapat diperkuat. Risiko borok lambung-usus pada dosis lebih tinggi, penggunaan lebih lama dan pada lansia meningkat.

Zat-zat induktor enzim seperti fenobarb, 

fenitoin, karbamazepin dan rifampisin dapat 

menurunkan efek glukokortikoida. Estrogen 

justru memperkuat daya kerjanya. Efek dari 

antikoagulantia dapat diperkuat dengan peningkatan risiko perdarahan.

Wanita hamil harus berhati-hati bila diberikan kortikoida, sebab  pada hewan 

percobaan dilaporkan efek-efek teratogen. 

(Metil)prednisolon mencapai ASI dalam 

jumlah kecil yang pada bayi tidak 

memicu  efek buruk. Dari kortikoida 

lain belum tersedia cukup data.

KORTIKOSTEROID 

DERMAL

Kortikoid merupakan obat paling ampuh 

dalam pengobatan gangguan kulit dan dipakai  secara luas. Berkat efek anti radang dan anti mitotiknya zat-zat ini dapat 

menyembuhkan dengan efektif berbagai 

bentuk eksem dan dermatitis, psoriasis (penyakit sisik) dan prurigo (bintil-bintil gatal). 

namun  tidak jarang gangguan (khususnya 

eksem) segera kambuh lagi, terutama bila 

dipakai fluorkortikoid dengan khasiat kuat.

Tingkat daya kerja. berdasar  aktivitasnya 

kortikoida lokal dapat dibagi dalam 4 tingkat 

dengan urutan potensi yang meningkat. Di 

Tabel 46-2. sediaan digolongkan atas dasar 

kadar standarnya; pada kadar yang lebih rendah, daya kerjanya juga menurun ke tingkat 

lebih rendah. contoh  triamsinolon 0,1%

termasuk tingkat II, namun  triamsinolon 0,05%

menurun ke tingkat I.

Pembagian potensi. Tabel 46-2 hendaknya 

dianggap sebagai penuntun saja, sebab  

aktivitas sekian banyaknya sediaan sangat 

sukar untuk diperbandingkan. Lagi pula 

aktivitasnya tidak hanya tergantung dari 

tingkatan khasiatnya, namun  juga dari daya 

penetrasinya ke dalam kulit dan basis salep/krem

yang dipakai . contoh  obat dalam bentuk 

salep lebih baik penetrasinya daripada krem, 

sebab  bertahan lebih lama di atas kulit. 

Penetrasi dapat pula ditingkatkan (lebih dari 

10 kali) melalui oklusi, yaitu menutup bagian 

kulit dengan sehelai plastik. Atau dengan 

memberikan zat-zat tambahan seperti urea 

(10%), asam salisilat (3%), asam laktat (2%) 

dan propilenglikol (10%). Keratolitika ini 

melepaskan atau menghidratasi selaput tanduk kulit dengan efek meningkatnya penetrasi, resorpsi dan efeknya.

Resorpsi obat juga tergantung dari lokasi pada 

tubuh di mana salep diolesi, seperti dapat 

dilihat dari Tabel 46-3. Di tabel ini resorpsi 

hidrokortison pada lengan bawah (sekitar 1% 

dari dosis yang dipakai ) dibandingkan 

dengan resorpsinya pada bagian-bagian tubuh lain. 

Pilihan obat

Pada dasarnya terapi gangguan kulit dimulai 

dengan obat-obat klasik, seperti mentol, ZnO, 

titanoksid, resorsin, ichtiol dan ter. Bila obatobat ini kurang efektif, barulah dipakai 

suatu kortikoid lemah (tingkat I), yaitu hidrokortison 1%. contoh  pada berbagai 

bentuk eksem, prurigo, gatal-gatal dan dermatitis 

popok, juga pada sengatan tawon, untuk mengurangi reaksi radang dan alergi. Bila efeknya kurang memuaskan dapat beralih ke 

obat tingkat II, contoh  triamsinolon 0,1%

pada eksem kontak/alergik dan eksem konstitusional (atopik).

Zat-zat tingkat III dan IV berkhasiat anti 

mitotik, artinya menghambat pembelahan 

sel (mitosis). Oleh sebab  itu obat-obat ini 

lebih ampuh untuk gangguan yang berkaitan 

dengan pertumbuhan sel berlebihan, seperti 

psoriasis (penyakit kulit menahun dengan 

pembentukan sisik), begitu pula pada eksem 

dengan timbulnya lichen (bintil-bintil tertentu) dan lupus discoid (borok berbentuk cakram). Zat-zat tingkat IV hanya dipakai 

bila obat-obat tingkat III tidak efektif (lagi). 

Risiko akan efek samping lokal atau sistemik 

menjadi lebih besar. Maka pada dasarnya 

pengobatan hendaknya dilakukan sesingkat 

mungkin.Berhubung dengan adanya perbedaan resorpsi yang substansial pada berbagai bagian tubuh, maka bila dipakai pada kulit 

tipis risiko efek sampingnya lebih besar dan 

sebaiknya dipakai suatu sediaan dengan 

tingkat lebih rendah. contoh  di muka, lipatan kulit, daerah anogenital, bagian dalam 

paha dan pada permukaan luas.

*Kombinasi dengan zat antimikotik atau 

antibiotik dapat dipakai pada mycosis

kulit atau infeksi kuman, pada mana ada  

gejala-gejala radang yang nyata.

Terapi intermitten. Kortikoid ditimbun di 

lapisan tanduk dari epidermis (kulit ari) dan 

dari depot ini dilepaskan ke lapisan dalam 

selama 24-36 jam. berdasar  ini telah 

dikembangkan kebijakan terapi dalam dua 

fase sebagai berikut: 

a. penyembuhan: salep diolesi 2-3 kali sehari 

selama 1-2 minggu. dengan sediaan tingkat 

I-III, untuk secepat mungkin mengendalikan 

penyakit. Sebaiknya salep diolesi secukupnya 

secara kontinu, tanpa interupsi.

b. pemeliharaan untuk menghindari kambuhnya gangguan: 

– selama 1-2 minggu 1 kali setiap hari salep 

tingkat I- III. 

– selama 1-2 minggu 1 kali setiap hari kedua, untuk masing-masing tingkat III dan 

IV. 

– selama 1-3 bulan 1 dd pada 2 hari seminggu.

Pada hari-hari ‘istirahat’ perlu dipakai 

suatu salep/krem netral, yang hanya mengandung basisnya tanpa kortikoid.

Bila pemakaian  obat yang berkhasiat 

kuat dihentikan, hendaknya jangan secara 

mendadak, terutama setelah pengobatan 

lama. Sebaiknya diakhiri dengan salep berkhasiat lemah (hidrokortison) atau salep 

netral.

Efek samping

Khusus dapat terjadi pada bagian kulit 

yang peka dan berupa atrofia dan striae,

peradangan sekitar mulut dan benjolan akibat pembuluh menggelembung (teleangiectasia). Penambahan tretinoin pada kortikoid 

dapat mencegah timbulnya striae, namun  

membawa efek samping lain. Penyembuhan 

luka dihambat, akne dan rosacea (eritema di 

muka) dapat diperhebat, sedangkan infeksi 

mikroorganisme dapat tersamar (berlangsung tanpa gejala). Pada pemakaian  terlalu 

lama di kelopak mata atau sekitarnya, kortikoid dapat mengakibatkan glaukoma dan 

keratitis herpetica.

*Efek samping sistemik jarang terjadi bila petunjuk di atas diperhatikan. Risiko 

meningkat bila sediaan dipakai dalam 

jumlah besar, lebih dari 30-50 g seminggu, 

pada permukaan luas selama jangka waktu 

lama dan khususnya pada obat-obat yang 

bekerja kuat. Begitu pula bila obat dipakai 

di bawah tutup plastik (oklusi) atau dikombinasi dengan keratolitika atau zat-zat hidratasi,

terutama di bagian kulit dengan resorpsi 

baik.

Kontraindikasi. Sediaan kortikoid lokal tidak 

boleh dipakai pada gangguan kulit akibat 

infeksi kuman, virus, jamur atau parasit, juga 

tidak pada akne dan borok.

MONOGRAFI

1.KORTISON

1. Hidrokortison: HC, kortisol, 17-alfa-kortikosteron, Solu-Cortef

Hormon adrenal utama ini (1952) terutama berkhasiat terhadap metabolisme 

karbohidrat, protein dan lemak, serta relatif 

ringan terhadap metabolisme mineral dan 

air. Hormon ini terutama dipakai pada

terapi substitusi, contoh  pada penyakit 

Addison. Topikal banyak dipakai dalam salep/krem 1-2% (asetat) atau 0,1% butirat, 

juga dalam tetes mata dan telinga (1% asetat). 

Pada dosis biasa tidak memicu  efek 

samping. Tersedia banyak sediaan kombinasi 

dengan kemoterapeutika. Di banyak negara 

salep/krem dengan maksimal 1% HC dapat 

dibeli tanpa resep, antara lain di Inggris dan 

SkandinaviaResorpsi dari usus buruk, oleh sebab  itu tidak 

dipakai per oral namun  sebagai injeksi (i.m. 

atau intra-artikuler). Dalam darah terikat 

95% pada globulin pengangkut transkortin. 

Plasma-t½ 1,5-2 jam, namun  efek maksimalnya 

baru tercapai sesudah 6-8 jam. Keganjilan 

ini juga timbul pada prednison dan derivat 

lainnya. Ekskresi berlangsung lewat urin 

sebagai metabolit 17-keto yang mudah larut.

Dosis: i.m./i.v. semula 100-500 mg larutan 

Na-suksinat, bila perlu diulang setiap 2-10 

jam, maksimal 8 g sehari. Rektal pada wasir: 

suppos./salep 1-2 dd 5 mg, pada colitis: 

klisma 100 mg. 

*Kortison (F.I.) yaitu  derivat keto sintetik 

dari hidrokortison yang resorpsinya dari 

usus lebih baik dan cepat. Tidak aktif, namun  

dalam hati diubah menjadi kortisol. Pemberian i.m. ±20% lebih efektif, walaupun penyerapan ke dalam darah agak lambat (bahaya 

kumulasi!). Tidak dapat dipakai lokal 

atau intra-artikuler, sebab  di kulit dan sendi 

tidak terjadi perubahan enzimatik menjadi 

kortisol. Penderita gangguan hati sebaiknya 

jangan diberikan kortison oral.

Dosis: pada insufisiensi oral 3 dd 25-50 

mg (asetat). Perbandingan efeknya: 25 mg 

kortisonasetat = 20 mg hidrokortison.

2. PREDNISON

2. Prednison:Hostacortin

Derivat keto ini (1954) baru aktif setelah 

dalam hati diubah menjadi derivat hidronya 

prednisolon. Khasiat dan pemakaian nya 

sama, hanya tidak dipakai secara lokal 

dan intra artikuler sebab  tidak dihidrogenasi 

di kulit, mukosa mata dan sendi. Tidak dianjurkan bagi pasien hati.

Dosis: oral semula 1 dd 5-60 mg pagi hari, 

pemeliharaan 5 mg sehari.

*Prednisolon (delta-hidrokortison, Di-Adreson-F aquosum) 

Delta-steroid sintetik ini (1955) dengan 

ikatan ganda pada C1-2 berkhasiat ±5 x lebih 

kuat dari pada kortisol dengan efek mineralokortikoid yang lebih ringan. Daya kerjanya 

juga lebih panjang (t½ = 3 jam). Berhubung 

dengan sifat-sifatnya, obat ini banyak dipakai  untuk terapi sistemik, begitu pula 

prednison. Kadar puncaknya dalam darah 

baru tercapai setelah 6-8 jam (per oral). Sifat 

merangsangnya ringan, maka sering kali 

dipakai untuk injeksi intra artikuler dan 

tetes mata (0,25-5%), juga dalam klisma 

pada colitis. Dosis: oral semula 1 dd 5-60 mg 

pagi hari, berangsur-angsur dalam waktu 4 

minggu diturunkan sampai 5 mg sehari atau 

10 mg setiap 2 hari; i.m./i.v. 25-75 mg sebagai 

diNa-fosfat atau Na-suksinat. 

Perbandingan efek: 5 mg prednisolon = 20 

mg hidrokortison.

*Metilprednisolon (Depo-Medrol, Solu-Medrol, Urbason) berkhasiat ±20% lebih kuat dari 

pada prednisolon (1956) dengan berbagai 

cara pemakaian  oral dan parenteral.

Dosis: oral semula 2-60 mg/ hari, pemeliharaan 4 mg sehari. Pada rema, MS dan LE 

1 g sehari selama 3-10 hari atau lebih lama.

Advantan: krem/salep 0.1%.

*Budesonida (Pulmicort, Rhinocort, *Symbicort) yaitu  derivat (1980) yang khusus 

dipakai topikal sebagai salep/krem. Juga 

sebagai spray inhalasi (bersama suatu ß2

-

mimetikum) pada asma untuk mencegah 

serangan dan meniadakan pengembangan 

dan udema dari mukosa bronchi. Efeknya 

kuat dan cepat; bahaya efek sistemik ringan 

sebab  cepat dan tuntas diinaktifkan oleh 

hati. Plasma- t½ ±3 jam. Dosis: tracheal 2-4 dd 

1 puff dari 200 mcg, begitupula intranasal 

pada rhinitis.

*Symbicort turbuhaler: 80/160 + formoterol 

fumarat 4,5/4,5 mcg per dosis. Salep/krem: 

0,025% (Preferid)

3. DERIVAT 9-ALFA-FLUOR

Senyawa-senyawa ini pada pemakaian  oral 

sering kali mengakibatkan myopathy (otot 

menyusut dan nyeri), terutama bila dipakai  untuk jangka waktu lama dengan dosis 

tinggi, juga menekan adrenal agak kuat. 

Zat-zat ini praktis tidak memiliki efek mineralokortikoid dan yang terpenting yaitu  sebagai 

berikut.

3a. Triamsinolon(Kenacort) banyak dipakai  oral, intra artikuler, i.m./i.v., rektal dan dermal (1956). Secara dermal hanya aktif sebagai asetonidanya: salep/krem 0.05-0,1%. 

Perbandingan efek: 4 mg triamsinolon = 20 

mg hidrokortison.

Dosis: oral semula 8-32 mg sehari sesudah 

makan pagi, pemeliharaan 4-8 mg sehari. 

*Halsinonida (Halog, Halciderm) yaitu  triamsinolon tanpa ikatan ganda antara C1 dan 

C2, maka dapat dianggap sebagai derivat 

kortisol. dipakai dalam krem 0,1%.

3b. Deksametason (Oradexon, Fortecortin, *Dexatopic) ±6x lebih kuat dari kortisol (1958). Zat 

ini menekan adrenal relatif kuat, maka risiko 

insufisiensi juga agak besar. Deksametason 

sering kali dipakai sebagai zat diagnostik

untuk menentukan hiperfungsi adrenal (tes 

supresi deksametason). Topikal dipakai 

sebagai tetes mata/telinga (fosfat 0,1%), juga 

dikombinasi dengan antibiotika, contoh  

dengan soframisin (*Sofradex). 

Perbandingan efeknya: 0,65 mg deksametason = 20 mg hidrokortison.

Dosis: oral semula 0,5-9 mg sehari sesudah 

makan pagi, pemeliharaan 0,5-1 mg sehari. 

Pada syok i.v. 100-300 mg larutan Na-fosfat.

*Desoksimetason (Esperson, Topicorte, *Denomix) yaitu  deksametason tanpa gugus-OH 

pada C17 (1965). Efek lokalnya ±2x lebih 

lemah. dipakai dalam krem 0,25%, juga 

dikombinasi dengan antibiotik. *Denomix: desoksimetason 0,05 % + neomisin sulfat 0,5%.

3c. Betametason (Celestone, Celestoderm, *Diprogenta) yaitu  stereoisomer dari deksametason (1961), pada mana gugus metil pada 

C16 berada dalam posisi-beta. Khasiat antiradangnya pada pemakaian  lokal lebih 

ringan. Zat ini dipakai dalam tetes mata 

sebagai diNa-fosfat 0,1% dan dalam salep 

sebagai valerat 0,1% atau dipropionat yang 

2x lebih kuat: 0,05 % (Diprosone).

Dosis: oral 0,5-8 mg sehari sesudah makan 

pagi.

* Diprogenta: betametason diprop. 0.05% + 

gentamisin sulfat 0,1%

3d. Fluormetolon : Flumetolon, FML liquifilm

Derivat 9-alfa-fluor ini (1959) khusus dipakai  dalam tetes mata dengan kadar 0,1%.

4. DERIVAT 6-ALFA-FLUOR

Senyawa-senyawa ini memiliki atom fluor 

pada C6 dalam posisi alfa.

4a. Fluokortolon (Ultralan) rumusnya mirip 

dengan deksametason, hanya posisi atom 

fluor tidak pada C9 namun  pada C6 dan tanpa 

gugus-OH pada C17 (1976). Zat ini khusus 

dipakai dalam salep sebagai kapronat 

atau trimetilasetat 0,5%.

*Flunisolida (Syntaris) yaitu  derivat fluokortolon (1978) yang khusus dipakai dalam spray hidung 0,025%. 

5. DERIVAT DIFLUOR

Dengan ditambahkannya atom fluor kedua, 

zat-zat ini diperkuat khasiat antiradangnya 

dan pada pemakaian  dermal termasuk 

tingkat kerja III.

5a. Fluosinonida (fluosinolon-asetonida, Synalar, Topsyne) memiliki rumus triamsinolon 

dengan atom fluor ekstra pada C6, dengan 

khasiat 5 x lebih kuat (1961). Khusus dipakai  dalam salep/krem 0,025%. 

5b. Flumetason (Locacorten) yaitu  deksametason dengan atom fluor kedua pada C6 

(1963). Efek lokalnya juga ±5x lebih kuat. 

dipakai khusus dalam salep/krem/pasta 

0,02% pivalat, juga dalam kombinasi dengan 

asam salisilat 3% (Locasalen) atau vioform. 

Begitu juga dalam tetes telinga.

*Diflukortolon (Nerisona) yaitu  flukortolon 

dengan atom fluor kedua pada C9 dan efek 

lokal yang 5x lebih kuat. dipakai dalam 

salep/krem 0,1%, juga terkombinasi dengan 

zat antiseptik klorkinaldol 1%. 

5c. Flutikason (Cutivate, Flixotide, *Seretide)

yaitu  derivat trifluor dengan belerang pada 

C20 (-CO-S-CH2-F) yang termasuk dalam 

tingkat III (1990). dipakai sebagai krem 

0,05% (propionat) dan salep 0,005%, juga 

sebagai inhalasi (Flixotide) dan spray hidung 

dengan 50 mcg/dosis (Flixonase).

Seretide: futikason prop 50 + salmeterol 25 

mcg per 50 dosis inhaler.

6. DERIVAT KLOR

6a. Beklometason (Cleniderm, Becotide, Beconase) memiliki struktur betametason, pada

mana atom F pada C9 diganti dengan atom 

Cl (1967). Ester dipropionatnya (C17 dan 

C21) berkhasiat ±300 kali lebih kuat daripada 

kortisol. Plasma-t½ singkat sekali, hanya 9 

menit, secara lokal ±2 menit. Di samping 

sebagai krem 0,025%, terutama dipakai 

sebagai inhalasi pada asma (bersama ß2

-

mimetika) berkat efek lokalnya di bronchi. Zat 

ini dapat diresorpsi dari saluran pernapasan 

(dan usus) ke dalam darah, namun  sebab  

dalam hati FPE besar dengan cepat dirombak 

menjadi beklometason inaktif. Oleh sebab  

itu pada dosis biasa tidak menekan sistem 

HHA.

Dosis: inhalasi 3-4 dd 2 puffs à 50 mcg 

(dipropionat), intranasal pada rhinitis 2-4 dd 

50 mcg di setiap lubang hidung.

*Alklometason (Perderm, Alclosone) yaitu  

isomer dengan atom klor pada C6 sebagai 

ganti C8. Khasiatnya juga (agak) kuat. dipakai  sebagai salep/krem 0,5 mg/g (dipropionat) selama 3-5 hari, kemudian 1 x 

sehari dan setelah terjadi perbaikan 2-3 x 

seminggu.

6b. Mometason (Elocon, *Elosalic) yaitu  

derivat diklor (C9, C21) tingkat III (1987), 

yang khusus dipakai sebagai salep 0,1% 

(furoat). Risiko alergi kontak pada obat ini 

kecil, seperti juga pada flutikason.

*Elosalic salep: mometason furoat 0,1% + 

salisilat 5%.

7. DERIVAT KLOR-FLUOR

Kombinasi dari dua atom halogen di dalam 

molekul memperkuat khasiat anti radangnya, 

oleh sebab  itu zat-zat ini terhitung glukokortikoida yang terkuat (tingkat III dan IV). 

pemakaian nya di bagian kulit yang sensitif 

harus dengan sangat berhati-hati, contoh  di 

muka, ketiak, bagian paha dan alat kelamin.

7a. Klobetasol (Dermovate) yaitu  betametason, di mana gugusan OH pada C21 diganti 

dengan klor (1973). Penetrasinya ke dalam 

kulit baik sekali, juga pada penyakit psoriasis. 

Klobetasol berkhasiat anti radang, vasokonstriksi 

dan antimitotik yang paling kuat dari semua 

fluorkortikoida (tingkat IV). Oleh sebab  itu 

zat ini hanya dicadangkan untuk gangguan 

parah yang kurang bereaksi terhadap obatobat tingkat III, seperti psoriasis, lupus discoid 

dan hipertrofi parut. Tersedia salep/krem 

dengan 0,05% propionat.

*Klobetason (Emovate) yaitu  derivat 17-keto 

dari klobetasol (1975) dengan khasiat lebih 

ringan (tingkat II), penetrasinya ke dalam 

kulit juga kurang. dipakai dalam salep/

krem 0,05% (butirat).

7b. Fluklorolon (*Topilar-N) yaitu  derivat 

difluorklor yang khasiat lokalnya kuat (tingkat 

III) dan dipakai sebagai krem 0,025 % 

(asetonida).

*Halometason (Sicorten) yaitu  juga derivat 

difluorklor, yang khasiat lokalnya mendekati 

klobetasol, daya kerjanya pun panjang (1983). 

Berkhasiat antimitotik kuat dengan efek atrofia ringan (tingkat III). dipakai sebagai 

salep/krem 0,05%.

INSULIN DAN ANTIDIABETIKA 

ORAL

A. DIABETES dan INSULIN

Diabetes mellitus, penyakit gula atau kencing 

manis yaitu  gangguan kronis yang disebabkan oleh kekurangan relatif atau absolut dari 

hormon insulin yang dihasilkan oleh selsel beta dari kelenjar pankreas. Gangguan 

ini bercirikan hiperglikemia (glukosa-darah 

terlampau meningkat) dan khususnya menyangkut metabolisme hidratarang (glukosa) di dalam tubuh. namun  metabolisme 

lemak dan protein juga terganggu (Lat. 

diabetes = penerusan, mellitus = manis madu).

Kadar glukosa-darah ditentukan oleh keseimbangan antara insulin dan zat-zat tubuh 

yang bekerja antagonis terhadap insulin, 

seperti glukagon, katecholamin, hormon 

pertumbuhan dan glukokortikoid. Keseimbangan inilah yang pada penyakit diabetes 

terganggu.

Harapan hidup penderita diabetes ratarata 5-10 tahun lebih rendah dan risikonya 

untuk PJP yaitu  2-4 kali lebih besar.

Penyebabnya yaitu  kekurangan hormon 

insulin, yang berfungsi memungkinkan 

glukosa masuk ke dalam sel untuk dimetabolisasi (dibakar) dan dimanfaatkan sebagai 

sumber energi. Akibatnya glukosa bertumpuk di dalam darah (hiperglikemia) dan 

akhirnya diekskresi lewat urin tanpa dipakai  (glycosuria). Oleh sebab  itu produksi 

urin sangat meningkat dan penderita sering 

berkemih, merasa amat haus, berat badan 

menurun dan merasa lelah. Penyebab lain 

yaitu  menurunnya kepekaan reseptor sel 

bagi insulin (resistensi insulin) yang diakibatkan oleh makan terlalu banyak dan 

kegemukan (overweight). Rata-rata 1,5-2% dari 

seluruh penduduk dunia menderita diabediabetes yang bersifat menurun (familial). Di 

Indonesia penderita diabetes diperkirakan 3 

juta pasien  atau 1,5% dari 200 juta penduduk, 

sedangkan di Eropa mencapai angka 3-5%! 

Pada lima tahun terakhir jumlah ini telah 

meningkat secara eksplosif, yang disebabkan 

oleh meningkatnya overweight dan obesitas 

terutama di dunia Barat. Diperkirakan bahwa 

di tahun 2030 jumlah penderita diabetes akan 

meningkat sampai 366 juta jiwa, berarti ±2 

kali dari sekarang.27

Insulin

Pankreas yaitu  suatu organ lonjong dari 

kira-kira 15 cm, yang terletak di belakang 

lambung dan sebagian di belakang hati. 

Organ ini terdiri dari 98% sel-sel dengan 

sekresi ekstern, yang memproduksi enzimenzim cerna yang disalurkan ke duodenum 

(lihat Seksi III, Obat Saluran Cerna). Sisanya 

terdiri dari kelompok sel (pulau Langerhans)

dengan sekresi intern, yaitu hormon-hormon 

endokrin yang disalurkan langsung ke aliran 

darah. Dalam pankreas ada  empat jenis 

sel endokrin, yakni: 

a. sel-alfa, yang memprodusir hormon glukagon;

b. sel-beta dengan banyak granula berdekatan membran selnya, dalam mana 

ada  insulin (Lat. insula= pulau). 

Setiap hari disekresi ±2 mg (= 50 UI) 

insulin, yang dengan aliran darah diangkut ke hati. Kira-kira 50% dari hormon ini 

dirombak di sini dan sisanya diuraikan 

dalam ginjal

c. sel-D memprodusir somatostatin (antagonis somatropin, lihat Bab 42, Hormon 

hipofisis)

d. sel-PP memprodusir PP (pancreatic polypeptide), yang mungkin berperan pada

penghambatan sekresi endokrin dan 

empedu

* Gluconeogenesis (pembentukan baru glukosa). Hati merupakan organ utama yang 

menstabilkan keseimbangan glukosa (homeostasis) antara absorpsi dan penimbunannya 

sebagai glikogen (pati hewan). Glikogen 

ini sesudah makan dilepaskan ke dalam 

sirkulasi untuk menyesuaikan kecepatan 

pembakaran glukosa oleh jaringan perifer. 

Hati juga mampu mensintesis glukosa dari 

molekul-molekul beratom-3C yang berasal 

dari perombakan lemak dan protein (proses 

gluconeogenesis; Lat. neo = baru, genesis =

terbentuk, jadi, tumbuh). Setiap hari «dibakar» ±200 g glukosa, yang ±25% berasal dari 

gluconeogenesis.

* Metabolisme glukosa. Setelah karbohidrat 

dari makanan didegradasi dalam usus, glukosa lalu diserap ke dalam darah dan diangkut 

ke sel-sel tubuh. Untuk penyerapannya ke 

dalam sel-sel ini dibutuhkan insulin, yang 

dapat di-ibaratkan sebagai «kunci untuk pintu 

sel». Sesudah masuk ke dalam sel, glukosa 

segera diubah di mitochondria (‘pabrik 

energi’) menjadi energi atau ditimbun sebagai 

glikogen. Cadangan ini dipakai bila tubuh 

kekurangan energi sebab  contoh  berpuasa 

beberapa waktu.

Setiap kali kita makan hidratarang (gula), 

maka kadar glukosa darah akan naik. Sebagai reaksi pankreas memproduksi dan 

melepaskan insulin untuk memungkinkan 

absorpsi glukosa oleh sel, sehingga kadar 

glukosa darah turun lagi dan pankreas menurunkan produksi insulinnya. Dengan 

demikian kadar glukosa dapat bervariasi 

antara batas-batas normal dari 4-8 mmol/liter

(1 mmol/l = 180 mg glukosa/l darah).

* pemakaian  glukosa. Yang paling banyak 

memakai  glukosa yaitu  saraf dan otak, 

pemasukannya mutlak (obligat) dan tidak 

tergantung dari insulin. Di dalam sel, glukosa 

dioksidasi menjadi karbondioksida dan air 

dengan menghasilkan energi.

glukosa + O2

 ––––––> CO2

 + Energi

Jaringan otot dan lemak menyerap glukosa 

hanya bila diperlukan, sebab  kebutuhan 

energi dapat pula dicapai melalui oksidasi 

asam lemak. Glukosa yang diserap di otot 

ditimbun sebagai glikogen atau dirombak 

menjadi asam laktat, yang dengan darah 

diangkut ke hati dan menjadi bahan pangkal 

untuk gluconeogenesis. Jaringan lemak menggunakan glukosa sebagai sumber energi 

dan sebagai substrat untuk sintesis trigliserida. Zat-zat ini mengalami lipolysis dengan menghasilkan asam lemak dan gliserol, 

yang juga merupakan bahan pangkal untuk 

gluconeogenesis.

* Regulasi hormonal. Bila kadar insulin 

rendah, produksi glukosa maksimal dan 

utilisasinya minimal. Pada kadar insulin tinggi terjadi kebalikannya. Molekul-molekul 

insulin mengikat diri pada reseptor insulin

di membran sel dari sel tujuan (otot dan 

lemak). Pada reaksi ini terbentuk suatu kompleks, yang melalui impuls listrik mempercepat pelintasan membran sel dan masuknya glukosa ke dalam sel. Kompleks ini diinkorporasi di dalam sel, lalu insulin dirombak, 

reseptor dikembalikan ke membran yang 

dapat diduduki lagi oleh molekul insulin 

baru, dan seterusnya.

Resistensi insulin(RI)

Merupakan keadaan pada mana sel-sel menjadi kurang peka bagi insulin dengan akibat berkurangnya penyerapan glukosa dari 

darah. Lagi pula sel beta di pankreas distimulasi agar produksinya ditingkatkan. 

Akhirnya sel beta tidak mampu mempertahankan peningkatan insulin dan terlalu sedikit glukosa memasuki sel. Akibatnya kadar 

glukosa darah meningkat dan lambat laun 

terjadilah diabetes tipe-2 (DM2). 

Penyebab lain yaitu  berkurangnya jumlah 

reseptor untuk mengikat insulin atau reseptor 

tidak bekerja (lagi) semestinya. 

Di dalam sel, glukosa dibakar untuk menghasilkan kalori dan kelebihannya ditimbun terutama sebagai glikogen dalam sel 

otot atau sebagai lemak dalam sel lemak, 

yang oleh sebab  itu sangat membesar. Bila 

pemasukan glukosa berlangsung terus-mene-

rus akibat makan terlalu banyak, maka tumbuhnya sel-sel lemak akhirnya mengakibatkan overweight dan obesitas. Efek lainnya 

yaitu  reseptor insulin berkurang jumlahnya

atau menurun fungsinya dan pengikatan insulin 

dipersulit. Jumlah glukosa yang memasuki sel 

berkurang, sedangkan banyak glukosa dan 

insulin beredar dalam darah