ACTH DAN KORTIKOSTEROIDA
ANAK-GINJAL DAN
HORMON-HORMONNYA
Anak ginjal atau kelenjar adrenal yaitu
organ kecil yang letaknya berdampingan dengan ginjal pada bagian atas-dalamnya (Lat.
ad = dekat, ren = ginjal). Organ ini terdiri dari
bagian sumsum dan bagian kulit.
1. Medulla (= sumsum) yaitu bagian dalam
yang membentuk neurohormon adrenalin;
2. Cortex (= kulit) yaitu bagian luar yang
menghasilkan tiga jenis hormon steroid, yaitu:
a. glukokortikoida: kortisol (hidrokortison),
yang terutama berkhasiat bagi metabolisme
karbohidrat, juga memengaruhi banyak
efek lain, termasuk pertukaran zat protein, pembagian lemak dan reaksi peradangan. Sekresi ACTH (dan kortisol),
yang memperlihatkan ritme siang-malam
(circadian) fisiologis, naik di waktu pagi
disusul oleh memuncaknya sekresi kortisol, yang sepanjang hari menurun lagi.
Produksi kortisol total berjumlah 20-30
mg sehari. Pada situasi stres produksinya meningkat sampai 100-200 mg! Efek
mineralokortikoidnya jauh lebih ringan daripada aldosteron (lihat di bawah);
b. mineralokortikoida: aldosteron serta
dua precursornya, yaitu kortikosteron dan
desoksikorton. Hormon-hormon ini terutama memengaruhi metabolisme garam
dan air. Kedua precursor hanya ringan
daya kerjanya, masing-masing 0,5 dan
3% dari efek aldosteron. Aldosteron dan
kortikosteron juga memiliki efek glukokortikoida, lebih kurang 30% dibandingkan dengan kortisol. Pada penggunaan 5-10 g garam sehari, produksi hormon ini berjumlah 0,1-0,2 mg sehari.
c. hormon kelamin: produksi rendah dari
testosteron dan DHEA (= dehidro-epi-androsteron), juga estrogen dan progesteron.
Sintesis dari semua hormon ini berlangsung dalam anak-ginjal melalui kolesterol, seperti juga sintesis hormon-hormon
kelamin dalam testes dan ovaria. Garis besar
reaksi sintetik ini tertera dalam gambar di
bawah ini, lihat juga Gambar 43-1 Bab 43, Zatzat Androgen.*ACTH (kortikotropin) dari hipofisis menstimulasi produksi kortisol yang dikendalikan oleh hormon hipotalamus CRH (Corticotrophin Releasing Hormone), lihat Bab 42,
Hormon-hormon Hipofisis. Sebagaimana
telah diketahui produksi ACTH dihambat
oleh kortisol melalui mekanisme feedback
negatif, juga bila diberikan dari ‘luar’. Sistem
ini untuk mudahnya disingkat sistem poros
(axis) atau sistem HHA(Hipotalamus - Hipofisis
- Adrenal).
Aldosteron. Hormon pria ini berperan penting pada metabolisme elektrolit. Produksinya tidak tergantung dari ACTH, namun dari sistem renin-angiotensin-aldosteron (RAAS),
khususnya dari angiotensin-II, kadar natrium
dan kalium, serta volume plasma yang mengalir melalui ginjal. Selama berlangsung
diet garam dengan ketat (contoh pada
hipertensi) kedua nilai akan turun. Untuk
mencegah terlalu menurunnya tensi, ginjal
meningkatkan pelepasan enzim renin dengan
akibat terbentuknya angiotensin. Peptida ini
selain meningkatkan tekanan darah, juga
menstimulasi produksi aldosteron oleh anakginjal, lihat Bab 35, Antihipertensiva, RAAS.
*DHEA (dehidro-epi-androsteron, prasteron)
berfungsi sebagai bahan pangkal untuk pembentukan hormon-hormon kelamin. Di samping itu DHEA berperan penting dalam
metabolisme, sistem imun dan sistem saraf
pusat. Produksinya 10-20 kali lebih banyak
dibandingkan dengan kortisol dan mencapai puncaknya sekitar usia 30 tahun untuk
kemudian berangsur-angsur menurun sampai 10-20% pada usia 80 tahun. Hanya dalam keadaan stres kronis produksi kortisol melebihi DHEA; pria lebih banyak
membentuknya daripada wanita. Hewan
menyusui tidak membentuk DHEA, kecuali
pasien utan (monyet).
Sejak awal tahun 1990-an, DHEA dianjurkan sebagai smart drug (obat pinter) untuk menghambat proses menua dan memperpanjang harapan hidup (life extension).
Di Prancis penelitian mengenai penggunaannya sebagai obat dipimpin oleh Prof E.
Baulieu. Lihat selanjutnya Bab 43, Zat-zat
Androgen.
Khasiat fisiologi kortisol
Kortisol memegang peranan penting pada
proses metabolisme hidratarang, protein
dan lemak, serta pada pemeliharaan keseimbangan elektrolit dan air. Kortisol turut mengatur fungsi sistem kardiovaskuler, sistem saraf, otot, ginjal dan organ lain. Selain
itu, kortisol mendukung sistem tangkis,
sehingga tubuh menjadi lebih kebal terhadap
rangsangan buruk yang tercakup dalam
pengertian “stres”, seperti yang timbul pada
pembedahan, infeksi, luka berat, juga trauma
psikis, lihat di bawah.
Reaksi stres
Stress (tekanan) yaitu reaksi non-spesifik
dari tubuh terhadap setiap rangsangan dalam bentuk apapun (dr H. Selye, 1947). Perangsang atau stressor yang memicu
tres dapat berbeda-beda dan menghasilkan
beberapa bentuk stres , yaitu:
– stres fisik seperti kecelakaan, luka berat
atau perdarahan, pembedahan, hawa dingin atau panas, juga olahraga;.
– stres psikis berupa emosi negatif seperti
perasaan marah, jengkel, dendam dan
kebencian, perasaan tidak senang atau
tidak puas dengan sesuatu, perasaan salah, kerinduan dan perasaan duka yang
berlarut-larut;
– stres akibat infeksi dan zat-zat kimiawi
(anestesia, kemoterapi).
* Hormon stres. Sebagai reaksi terhadap
stres, anak-ginjal didorong untuk mensekresi
berlebihan hormon-hormonnya adrenalin/
NA dan kortisol melalui masing-masing SSP
dan hipofisis; kedua sistem ini bekerjasama
dengan erat. Sekresi kortisol dapat meningkat
sampai 300 mg untuk mengatasi efek-efek
stres , seperti antara lain radang, nyeri dan
demam. Kortisol sebagai zat antiradang berfungsi menghambat reaksi sistem tangkis
tubuh, sehingga respons terhadap stres jangan sampai terlampau kuat.
Adrenalin. Sebagaimana telah diuraikan
di Bab 31, Adrenergika dan Adrenolitika,
adrenalin dan NA berfungsi mempersiapkan organisme untuk aksi (fi ght or fl ight) dengan
mengaktifkan berbagai proses fi siologi. Yang
terpenting di antaranya yaitu stimulasi
SSP dengan efek antara lain meningkatnya
tekanan darah dan peningkatan alirannya
ke otak, paru-paru dan otot perifer. Sintesis
protein dikurangi dan produksi glukosa ditingkatkan melalui mobilisasi glikogen depot,
begitu pula pelepasan asam lemak ke dalam
darah. Asam lemak merupakan sumber
energi yang bisa langsung dipakai . Oleh
sebab itu, profi l lipida memburuk dengan
meningkatnya kadar triglise rida dan LDLkolesterol serta menurunnya HDL. Dengan
peruba han-perubahan ini, tubuh dapat menyesuaikan diri(adaptasi) pada tekanan yang
mengancamnya.
Reaksi normal. Sebetulnya secara alamiah
reaksi stres merupa kan suatu reaksi emosi
yang bermanfaat bagi tubuh dalam penghidupan sehari-hari dan setiap pasien pernah
mengalami suatu ketegangan (tension), misalnya bila menghadapi ujian atau sebelum
pemeriksaan oleh dokter. stres normal memungkinkan kita untuk menjadi lebih waspada (alert) dan bereaksi lebih cepat terhadap
situasi sulit atau darurat. namun , terlampau
banyak tension dapat merugikan kesehatan dan memicu atau memperburuk
keluhan. Penelitian WHO telah menunjukkan adanya hubungan positif antara banyaknya pengalaman hidup dan keluhan kesehatan. Dengan demikian ternyata tubuh
dapat belajar hidup dengan stres. Sekarang
ini masyarakat mendapat tekanan berat
dengan syarat-syarat ketat yang diharapkan
dari masing-masing pasien , contoh untuk
membangun karier, membina kehidupan keluarga di samping kesibukan pekerjaan dan
juga keinginan berpenampilan sempurna.
Oleh sebab itu wajarlah bila banyak pasien
merasa tertekan dan tegang.
Ketegangan yang tidak nyaman itu baru
menjadi stres yang merugikan bila berlangsung terlampau lama. Tubuh mencoba menyesuaikan diri dengan keadaan ini, namun
serentak daya tahan terhadap bentuk-bentuk
lain dari stres menurun. Dalam periode ini
contoh , pasien menjadi lebih peka terhadap
alergi. Lambat laun tubuh menjadi sangat
letih dan tidak mampu menyesuaikan diri
lagi untuk menyalurkan ketegangan ini
dengan layak dan mengatasinya.
Bila keadaan stres berlangsung berlarutlarut dengan reaksi dari hormon stres yang
terlampau hebat, maka proses adaptasi tersebut tidak berhasil lagi. Proses fisiologi
mulai terganggu dan timbullah bermacammacam keluhan, seperti sakit kepala, sakit
punggung dan perut, hilangnya nafsu makan,
sukar bernapas, hiperventilasi dan berkeringat
berlebihan. Akhirnya dapat terjadi perubahan
patologis pada organ-organ, sehingga dapat
sangat merugikan.
Penanganannya terdiri dari usaha mengubah pola hidup, antara lain dengan gerak
badan secara teratur untuk memperbaiki
kondisi tubuh, contoh dengan berjalan
kaki, bersepeda atau olahraga lainnya. Juga berekreasi dengan cukup hiburan, yang
memengaruhi secara baik daya tahan tubuh. Selain itu teknik-teknik pernapasan
seperti yoga, tai chi dan chi kung sangat
berguna untuk mengatasi stres . Di samping
itu suasana hidup harus tenang dengan
menjauhi kesibukan, kegelisahan dan faktorfaktor stres lainnya sebanyak mungkin, serta
memperhatikan cukup istirahat dan hiburan.
Sejak lama telah diketahui bahwa stres emosional membuat penyakit tukak lambung
bertambah parah, sedangkan pada waktu
serangan akut biasanya timbul kegelisahan
dan kecemasan pada penderita.
*Kortisol berlebihan selama waktu lama
akibat stres menahun dapat mengacaukan
regulasi sistem imun yang sangat rumit.
contoh , ratio jumlah sel T-helper dan
T-supresor bisa berubah, yang dapat mencetuskan suatu penyakit auto-imun. Bila
masalah tidak terpecahkan akhirnya akan
terjadi kerusakan pada jaringan otot, saraf
dan penurunan fungsi sistem imun, di
samping kadar glukosa dan tekanan darah
meningkat. Sel-sel otak bereaksi kuat terhadap
kortisol, khususnya bagian otak di mana
terletak fungsi ingatan (hippocampus), di
mana ada banyak reseptor kortisol dan
dapat dianggap sebagai termostat untuk
kortisol. Kelebihan kortisol mengakibatkan
perubahan ekspresi dari gen-gen tertentu
yang penting bagi sistem ketahanan. Oleh
sebab itu pasien lebih mudah menderita
berbagai infeksi serius (tbc, dan lain-lain) atau
mendapat suatu gangguan psikosomatis.
contoh hipertensi, infark jantung, tukak
lambung, asma, eksem, colitis atau kanker.Bila
masalah tidak terpecahkan dan tekanan
berlanjut, maka tubuh tidak berenergi lagi
dan akan runtuh.
Khasiat farmakologi
Kortisol memiliki banyak fungsi farmakologi,
yang baru menjadi nyata pada dosis besar
dan dapat dibagi dalam dua kelompok,
yaitu khasiat glukokortikoid dan khasiat
mineralokortikoid.
1. Khasiat glukokortikoid meliputi antara
lain:
a. efek antiradang (anti-inflammatoir), misalnya akibat trauma, alergi dan infeksi, yang
berdasar efek vasokonstriksi. Juga
berkhasiat merintangi atau mengurangi terbentuknya cairan peradangan dan
udema setempat, contoh sewaktu radiasi sinar-X di bagian kepala dan tulang
punggung;
b. daya imunosupresif dan anti alergi,
yang mungkin ada hubungannya dengan
khasiat antiradangnya. Reaksi imun dihambat, sedangkan migrasi dan aktivitas
limfosit T/B dan makrofag menurun;
c. peningkatan gluko-neogenesis, artinya
pembentukan hidratarang dari protein
dinaikkan dengan kehilangan nitrogen.
Pembentukan glukosa distimulasi, utilisasinya di jaringan perifer dikurangi dan
penyimpanannya sebagai glikogen ditingkatkan;
d. efek katabol, yaitu merintangi pembentukan protein dari asam amino, sedangkan pengubahannya ke glukosa dipercepat. Sebagai akibat dapat terjadi osteoporosis (tulang menjadi rapuh sebab
massa dan kepadatannya berkurang),
atrofia otot dan kulit dengan terjadinya
striae (garis-garis). Anak-anak dihambat
pertumbuhannya, sedangkan penyembuhan borok (lambung) dipersulit;
e. pengubahan pembagian lemak. Yang terkenal yaitu penumpukkan lemak di atas
tulang selangka dan muka, yang menjadi
bundar (“moon face”), juga di bagian perut
dan di belakang tengkuk (“buffalo hump”).
Gejala ini mirip Sindroma Cushing, yang
disebabkan oleh hiperfungsi hipofisis
atau adrenal, atau juga sebab penggunaan kortikosteroid terlampau lama.
2. Khasiat mineralokortikoid terdiri dari
retensi natrium dan air oleh tubuli ginjal, sedangkan kalium justru ditingkatkan ekskresinya.
Derivat kortisol sintetik
pemakaian hidrokortison dengan dosis
tinggi yang sering kali diperlukan dalam
terapi, kerapkali terganggu oleh efek-efek
sampingnya, seperti retensi garam/air, udema dan hipertensi. Oleh sebab itu telah
disintesis banyak derivat dengan maksud
memperkuat efek glukokortikoid dan anti radangnya dengan menghilangkan sebanyak mungkin
efek mineralokortikoidnya. Zat-zat ini sering kali
dipakai pada dermato-farmakoterapi.
Derivat-derivat yang kini tersedia secara
kimiawi dapat dibagi dalam dua kelompok,
yaitu deltakortikoida dan fluorkortikoida.
a. Deltakortikoida: predniso(lo)n, metilprednisolon, budesonida, desonida dan prednikarbat.
Zat-zat ini berbeda dari kortisol dengan
adanya ikatan ganda pada C1-2 (delta 1-2),
sebab itu namanya demikian. Efek glukokortikoidnya ±5 x lebih kuat dan daya mineralonya lebih ringan dibandingkan dengan
kortisol, sedangkan lama kerjanya ±2x lebih
panjang.
b. Fluorkortikoida: betametason, deksametason,
triamsinolon, dan lain-lain (lihat di bawah)
merupakan turunan fluor dari prednisolon
dengan 1 atau 2 atom fluor pada C6 atau/dan
C9 dalam posisi -alfa. Khasiat glukokortikoid dan anti radangnya 10-30 x lebih kuat
daripada kortisol, daya mineralonya praktis
hilang sama sekali. Plasma-t½-nya lebih panjang (3-5 jam) sebab perombakannya dalam
hati dipersulit oleh adanya substituen fluor,
oleh sebab itu efeknya juga bertahan 3-5x
lebih lama.
pemakaian sistemiknya tidak menguntungkan dibandingkan prednisolon, sebab
efek sampingnya pada umumnya juga sebanding lebih kuat. Maka zat ini hanya dipakai bila predniso(lo)n diperlukan dalam dosis yang terlampau tinggi. Khususnya
ketiga zat yang ini di atas banyak dipakai per oral dan parenteral.
pemakaian dermal dalam salep/krem sering sekali, begitu pula penyalahgunaannya,
sebab lebih manjur daripada hidrokortison.
namun sering kali penyakit lebih cepat kambuh, sedangkan efek sampingnya pada
pemakaian tanpa aturan menjadi parah,
seperti kulit menjadi tipis dan mudah terluka,
dan lain-lain, lihat di bawah.
Penggolongan. berdasar posisi dari
atom fluor dalam rumus steroid, derivat- derivat fluor dapat dibagi sebagai berikut:
* 6-alfa-fluor : fluokortolon, flunisolida
* 9-alfa-fluor: betametason, deksametason, triamsinolon, desoksimetason, fluormetolon dan
flupredniden
* 6,9-alfa-difluor: flumetason, fluosinolon, diflukortolon
* 9-alfa-fluor 21-klor : klobetasol, klobetason
* 6-alfa-fluor 9,11-diklor : fluklorolon
* 6,9-alfa-difluor 2-klor: halometason
Tabel berikut ini memperlihatkan aktivitas
biologik relatif dari sejumlah kortikoida alamiah dan sintetik dengan masa paruhnya.Kinetik
Semua kortikoida secara oral diserap baik,
efeknya baru nampak setelah 4-6 jam, maka
untuk efek cepat hendaknya dipakai
parenteral dari derivat yang mudah larut.
Masa paruh berkisar antara 1,5 dan 5 jam,
namun bertahan jauh lebih lama. (t½biologiknya lebih panjang). contoh hidrokortison dan kortison 8-12 jam, prednisolon
dan triamsinolon 12-36 jam, deksa- dan betametason (36-72 jam).
Secara intramuskuler kecepatan absorpsi tergantung dari zat yang dipakai , senyawaNa dari suksinat dan fosfat yang dapat larut
cepat diserapnya, sedangkan suspensi dari
asetat dan asetonida yang sukar larut lambat
absorpsinya sehingga bekerja panjang. Oleh
sebab itu untuk pemakaian intra-artikuler
dan intrabursal dipakai terutama senyawa
asetat dan senyawa asetonida. contoh injeksi asetat memberikan efek antiradang dan
analgetik yang dapat bertahan 2 hari sampai
2 bulan (asetonida), rata-rata 10 hari.
Absorpsinya per rektal sangat berbedabeda, pada umumnya senyawa dinatrium
dari fosfat paling baik penyerapannya, maka
banyak dipakai sebagai klisma pada colitis dan radang rektum (proctitis). Biasanya
dipakai beklometasondipropionat dengan
efek lokal sangat kuat dan efek sistemik agak
ringan.
Kortikoida diikat pada protein plasma
transkortin dan albumin. Pengikatannya pada
protein (PP) berkisar antara 90-95% untuk
hidrokortison dan 60-70% untuk derivat sintetiknya. Prednison inaktif diubah menjadi
prednisolon aktif selama first pass melalui
hati, begitu pula kortison melalui proses sama
menjadi hidrokortison aktif. Pengubahan ini
tidak terjadi di kulit, mata, sendi dan rektum,
maka sediaan-sediaan lokal untuk lokasi
tersebut, perlu dipakai senyawa hidronya.
Setelah dirombak dalam hati metabolitnya
dikeluarkan melalui urin dan feses.
pemakaian . Glukokortikoida terutama dipakai berdasar berbagai khasiatnya
sebagai berikut.
1. Terapi substitusi dilakukan pada insufisiensi adrenal, seperti pada penyakit Addison
yang bercirikan perasaan letih, kurang tenaga
dan otot lemah akibat kekurangan kortisol.
Dalam hal ini diberikan hidrokortison sebab
efek mineralnya paling kuat.
2. Terapi non-spesifik dengan dosis lebih
tinggi berdasar khasiat anti radang dan
khasiat imunosupresifnya pada banyak jenis penyakit. Juga berefek menghilangkan
perasaan malaise serta memberikan perasaan
nyaman dan segar pada pasien (sense of wellbeing). Untuk ini pada umumnya dipakai
predniso(lo)n, triamsinolon, deksametason
dan betametason dengan kerja mineralokortikoid yang dapat diabaikan.*Indikasi terpenting di mana glukokortikoida
telah membuktikan keampuhannya yaitu
pada gangguan-gangguan berikut:
a. asma hebat akut atau kronis, contoh
status asthmaticus, namun efeknya lebih
lambat daripada ß2
-mimetika. Inhalasi
(spray, aerosol) merupakan terapi baku
pada asma kronis, umumnya bersama
suatu ß2
-mimetikum
b. radang usus akut (colitis ulcerosa, penyakit
Crohn)
c. penyakit auto imun, pada mana sistem
imun terganggu dan menyerang jaringan tubuh sendiri. Kortikoida menekan
reaksi imun dan meredakan gejala penyakit, contoh pada rema, MS (multiple sclerosis), SLE (systemic lupus erythematosus), scleroderma, anemia hemolitis, p.
Crohn dan colitis.
d. sesudah transplantasi organ, bersama
siklosporin atau azatioprin untuk mencegah
penolakannya oleh sistem imun tubuh
e. kanker, bersama onkolitika dan setelah
radiasi X-ray, untuk mencegah pembengkakan dan udema (khususnya deksametason). Juga sebagai anti emetikum,
bersama obat-obat lain untuk prevensi
mual dan muntah akibat pemakaian
sitostatika.
* Waktu minum. Glukokortikoida sebaiknya
diminum dalam satu dosis pagi hari, sebab
kadar kortisol alamiah maksimal antara
pukul 8 - 9 dan terendah tengah malam (ritme circadian, ritme siang malam, lihat Bab 42,
Melatonin). Dengan demikian risiko akan
supresi sistem-HHA lebih kecil.
* ACTH dewasa ini khusus dipakai sebagai obat diagnostik fungsi anak-ginjal.
pemakaian lokal
Di samping secara oral dan parenteral, kortikoida juga banyak dipakai secara lokal,
yakni:
a. pada mata, terutama pada proses peradangan, seperti radang selaput mata, selaput bening dan pinggir kelopak mata (conjunctivitis, keratitis, blepharitis). Obat yang
lazim dipakai untuk terapi singkat adalah hidrokortison, prednisolon, deksametason,
betametason dan fluormetolon. Obat-obat ini
memiliki aktivitas relatif lemah dan tidak atau
sedikit diserap ke dalam darah. Mengingat
risiko akan efek sampingnya (katarak dan
glaukoma), maka tidak boleh dipakai
pada gangguan mata lain (gatal-gatal, mata
merah).
b. pada telinga pada radang rongga gendang
(otitis media) dan otitis externa kronis, ada
kalanya terkombinasi dengan antibiotika.
c. di hidung (intranasal). dipakai sebagai spray hidung pada rhinitis (radang mukosa hidung, pilek) dan pada polip untuk
menghambat atau mencegah pertumbuhannya.
d. mulut (tracheal) khusus pada asma dan
umumnya bersama ß2
-mimetika. Ternyata
efektif untuk mencegah serangan, pengembangan dan udema bronchi, dengan risiko
ringan bagi supresi sistem-HHA. Untuk
ini tersedia spray (dosis aerosol) dengan
beklometason, budisonida dan flutikason, yang
disemprotkan ke dalam tenggorok dan
berkhasiat lokal di bronchi. Resorpsinya ke
dalam darah hanya ringan sekali.
e. rektal. Kadang kala dipakai sebagai
suppositoria terhadap wasir yang meradang,
biasanya hidrokortison atau triamsinolon, dikombinasi dengan suatu anestetikum lokal,
umumnya lidokain. Sebagai lavemen/klisma,
zat ini juga dipakai pada radang usus
besar (colitis ulcerosa) untuk meringankan
gejalanya (betametason, prednisolon).
f. intra-artikuler. Pada radang sendi, seperti
bursitis (“tennis elbow”, radang kandung sega)
dan synovitis (radang selaput synovium) dapat
disuntikkan hidrokortison atau triamsinolon
di antara sendi-sendi untuk mencapai efek
lokal.
g. dermal, lihat di bawah.
* Kortison dan prednison baru menjadi
aktif sesudah diubah dalam hati menjadi
derivat hidronya, yakni hidrokortison dan
prednisolon, maka bila peroral diperlukan
efek cepat sebaiknya dipakai derivat
hidro aktif ini. Di kulit dan sendi pengubahan
ini tidak terjadi, maka untuk salep/
krem dan injeksi intra artikuler selalu harus
dipakai hidrokortison dan prednisolon.
Efek samping
Efek samping kortisol terutama nampak pada
pemakaian lama dengan dosis tinggi, yaitu
melampaui 50 mg sehari atau dosis setaraf
dengan derivat sintetiknya. Efek ini mirip
gejala dari suatu gangguan yang disebabkan
oleh produksi kortisol faal berlebihan, yaitu
sindroma Cushing.
* Sindroma Cushing sering kali disebabkan
oleh tumor di hipofisis dan hiperproduksi
ACTH. Gejala utamanya yaitu retensi cairan
di jaringan-jaringan yang memicu
naiknya berat badan dengan pesat, muka
menjadi tembam dan bundar (“muka bulan”),
adakalanya kaki-tangan gemuk (bagian atas).
Selain itu terjadi penumpukan lemak di bahu
dan tengkuk. Kulit menjadi tipis, mudah
terluka dan timbul garis kebiru-biruan
(striae).
Ada tiga kelompok efek samping berdasarkan khasiat faali pokoknya, yaitu efek
glukokortikoid, mineralokortikoid dan efek
umum.
1. Efek glukokortikoid dapat memicu
efek samping sebagai berikut:
a. imunosupresi, yaitu menekan daya tahan tubuh, seperti yang terjadi pada
transplantasi organ. Jumlah dan aktivitas
limfosit-T/B beserta makrofag dikurangi dan
pada dosis sangat tinggi juga produksi
antibodies. Akibatnya yaitu turunnya
daya tahan dan tubuh menjadi lebih
peka bagi infeksi oleh jasad-jasad renik.
Lagi pula gejala klinis dari infeksi dan
peradangan menjadi saru. TBC dan
infeksi parasiter dapat direaktifkan, begitu pula tukak lambung-usus dengan
risiko meningkatnya perdarahan dan
perforasi.
b. atrofia dan kelemahan otot (myopati steroid), khusus dari anggota badan dan bahu.
Lebih sering terjadi pada hidrokortison
daripada derivat sintetiknya.
c. osteoporosis (rapuh tulang) sebab menyusutnya tulang mengakibatkan risiko besar fraktur bila terjatuh. Efek ini
terutama pada pemakaian lama dari
dosis di atas 7,5 mg prednison sehari
(atau dosis ekivalen dari glukokortikoid
lain), seperti pada rema dan asma hebat.
Prevensi dapat dilakukan efektif dengan
vitamin D3
+ kalsium, masing-masing
500 UI dan 1.000 mg sehari. Senyawa
bisfosfonat (alendronat, risedronat) kini juga
sering dipakai . Lihat juga Bab 44, Zatzat Estrogen, osteoporosis (boks).
d. merintangi pertumbuhan pada anakanak, akibat dipercepatnya penutupan
epifisis tulang pipa;
e. atrofia kulit dengan striae, yaitu garis
kebiru-biruan akibat perdarahan di bawah kulit, juga luka/borok sukar sembuh
sebab penghambatan pembentukan jaringan granulasi (efek katabol);
f. diabetogen. Penurunan toleransi glukosa
dapat memicu hiperglikemia dengan
efek menjadi manifest atau memperparah
diabetes. Penyebabnya yaitu stimulasi
pembentukan glukose berlebihan dalam
hati.
g. gejala Cushing, seperti tertera di atas;
h. anti mitotis, yaitu menghambat pembelahan sel (mitose), terutama kortikoidafluor berefek kuat, yang hanya dipakai
secara dermal pada penyakit psoriasis
(penyakit sisik), lihat di bawah.
2. Efek mineralokortikoid dapat menyebabkan efek samping sebagai berikut:
a. hipokaliemia akibat kehilangan kalium melalui urin;
b. udema dan berat badan meningkat akibat
retensi garam dan air, juga risiko hipertensi
dan gagal jantung.
3. Efek-efek umum:
a. efek sentral (atas SSP) berupa gelisah,
perasaan takut, sukar tidur, depresi dan
psikosis. Perasaan euforia dengan ketergantungan fisik dapat pula terjadi.
b. efek androgen, seperti acne, hirsutisme dan
gangguan haid;
c. katarak (bular mata) dan naiknya tekanan
intra okuler (glaukoma), juga bila dipakai sebagai tetes mata. Risiko glaukoma
meningkat.
d. bertambahnya sel-sel darah: eritrositosis dan
granulositosis;
e. bertambahnya nafsu makan dan berat badan;
f. reaksi hipersensitivitas;
g. pada pemakaian intra-artikuler (dalam
sendi): iritasi dan sakit di tempat injeksi,
abses steril, parestesia (kesemutan) dan
khusus setelah injeksi berulangkali, destruksi dari sendi.
Interaksi. Efek samping ulcerogen dari
NSAIDs dapat diperkuat. Risiko borok lambung-usus pada dosis lebih tinggi, penggunaan lebih lama dan pada lansia meningkat.
Zat-zat induktor enzim seperti fenobarb,
fenitoin, karbamazepin dan rifampisin dapat
menurunkan efek glukokortikoida. Estrogen
justru memperkuat daya kerjanya. Efek dari
antikoagulantia dapat diperkuat dengan peningkatan risiko perdarahan.
Wanita hamil harus berhati-hati bila diberikan kortikoida, sebab pada hewan
percobaan dilaporkan efek-efek teratogen.
(Metil)prednisolon mencapai ASI dalam
jumlah kecil yang pada bayi tidak
memicu efek buruk. Dari kortikoida
lain belum tersedia cukup data.
KORTIKOSTEROID
DERMAL
Kortikoid merupakan obat paling ampuh
dalam pengobatan gangguan kulit dan dipakai secara luas. Berkat efek anti radang dan anti mitotiknya zat-zat ini dapat
menyembuhkan dengan efektif berbagai
bentuk eksem dan dermatitis, psoriasis (penyakit sisik) dan prurigo (bintil-bintil gatal).
namun tidak jarang gangguan (khususnya
eksem) segera kambuh lagi, terutama bila
dipakai fluorkortikoid dengan khasiat kuat.
Tingkat daya kerja. berdasar aktivitasnya
kortikoida lokal dapat dibagi dalam 4 tingkat
dengan urutan potensi yang meningkat. Di
Tabel 46-2. sediaan digolongkan atas dasar
kadar standarnya; pada kadar yang lebih rendah, daya kerjanya juga menurun ke tingkat
lebih rendah. contoh triamsinolon 0,1%
termasuk tingkat II, namun triamsinolon 0,05%
menurun ke tingkat I.
Pembagian potensi. Tabel 46-2 hendaknya
dianggap sebagai penuntun saja, sebab
aktivitas sekian banyaknya sediaan sangat
sukar untuk diperbandingkan. Lagi pula
aktivitasnya tidak hanya tergantung dari
tingkatan khasiatnya, namun juga dari daya
penetrasinya ke dalam kulit dan basis salep/krem
yang dipakai . contoh obat dalam bentuk
salep lebih baik penetrasinya daripada krem,
sebab bertahan lebih lama di atas kulit.
Penetrasi dapat pula ditingkatkan (lebih dari
10 kali) melalui oklusi, yaitu menutup bagian
kulit dengan sehelai plastik. Atau dengan
memberikan zat-zat tambahan seperti urea
(10%), asam salisilat (3%), asam laktat (2%)
dan propilenglikol (10%). Keratolitika ini
melepaskan atau menghidratasi selaput tanduk kulit dengan efek meningkatnya penetrasi, resorpsi dan efeknya.
Resorpsi obat juga tergantung dari lokasi pada
tubuh di mana salep diolesi, seperti dapat
dilihat dari Tabel 46-3. Di tabel ini resorpsi
hidrokortison pada lengan bawah (sekitar 1%
dari dosis yang dipakai ) dibandingkan
dengan resorpsinya pada bagian-bagian tubuh lain.
Pilihan obat
Pada dasarnya terapi gangguan kulit dimulai
dengan obat-obat klasik, seperti mentol, ZnO,
titanoksid, resorsin, ichtiol dan ter. Bila obatobat ini kurang efektif, barulah dipakai
suatu kortikoid lemah (tingkat I), yaitu hidrokortison 1%. contoh pada berbagai
bentuk eksem, prurigo, gatal-gatal dan dermatitis
popok, juga pada sengatan tawon, untuk mengurangi reaksi radang dan alergi. Bila efeknya kurang memuaskan dapat beralih ke
obat tingkat II, contoh triamsinolon 0,1%
pada eksem kontak/alergik dan eksem konstitusional (atopik).
Zat-zat tingkat III dan IV berkhasiat anti
mitotik, artinya menghambat pembelahan
sel (mitosis). Oleh sebab itu obat-obat ini
lebih ampuh untuk gangguan yang berkaitan
dengan pertumbuhan sel berlebihan, seperti
psoriasis (penyakit kulit menahun dengan
pembentukan sisik), begitu pula pada eksem
dengan timbulnya lichen (bintil-bintil tertentu) dan lupus discoid (borok berbentuk cakram). Zat-zat tingkat IV hanya dipakai
bila obat-obat tingkat III tidak efektif (lagi).
Risiko akan efek samping lokal atau sistemik
menjadi lebih besar. Maka pada dasarnya
pengobatan hendaknya dilakukan sesingkat
mungkin.Berhubung dengan adanya perbedaan resorpsi yang substansial pada berbagai bagian tubuh, maka bila dipakai pada kulit
tipis risiko efek sampingnya lebih besar dan
sebaiknya dipakai suatu sediaan dengan
tingkat lebih rendah. contoh di muka, lipatan kulit, daerah anogenital, bagian dalam
paha dan pada permukaan luas.
*Kombinasi dengan zat antimikotik atau
antibiotik dapat dipakai pada mycosis
kulit atau infeksi kuman, pada mana ada
gejala-gejala radang yang nyata.
Terapi intermitten. Kortikoid ditimbun di
lapisan tanduk dari epidermis (kulit ari) dan
dari depot ini dilepaskan ke lapisan dalam
selama 24-36 jam. berdasar ini telah
dikembangkan kebijakan terapi dalam dua
fase sebagai berikut:
a. penyembuhan: salep diolesi 2-3 kali sehari
selama 1-2 minggu. dengan sediaan tingkat
I-III, untuk secepat mungkin mengendalikan
penyakit. Sebaiknya salep diolesi secukupnya
secara kontinu, tanpa interupsi.
b. pemeliharaan untuk menghindari kambuhnya gangguan:
– selama 1-2 minggu 1 kali setiap hari salep
tingkat I- III.
– selama 1-2 minggu 1 kali setiap hari kedua, untuk masing-masing tingkat III dan
IV.
– selama 1-3 bulan 1 dd pada 2 hari seminggu.
Pada hari-hari ‘istirahat’ perlu dipakai
suatu salep/krem netral, yang hanya mengandung basisnya tanpa kortikoid.
Bila pemakaian obat yang berkhasiat
kuat dihentikan, hendaknya jangan secara
mendadak, terutama setelah pengobatan
lama. Sebaiknya diakhiri dengan salep berkhasiat lemah (hidrokortison) atau salep
netral.
Efek samping
Khusus dapat terjadi pada bagian kulit
yang peka dan berupa atrofia dan striae,
peradangan sekitar mulut dan benjolan akibat pembuluh menggelembung (teleangiectasia). Penambahan tretinoin pada kortikoid
dapat mencegah timbulnya striae, namun
membawa efek samping lain. Penyembuhan
luka dihambat, akne dan rosacea (eritema di
muka) dapat diperhebat, sedangkan infeksi
mikroorganisme dapat tersamar (berlangsung tanpa gejala). Pada pemakaian terlalu
lama di kelopak mata atau sekitarnya, kortikoid dapat mengakibatkan glaukoma dan
keratitis herpetica.
*Efek samping sistemik jarang terjadi bila petunjuk di atas diperhatikan. Risiko
meningkat bila sediaan dipakai dalam
jumlah besar, lebih dari 30-50 g seminggu,
pada permukaan luas selama jangka waktu
lama dan khususnya pada obat-obat yang
bekerja kuat. Begitu pula bila obat dipakai
di bawah tutup plastik (oklusi) atau dikombinasi dengan keratolitika atau zat-zat hidratasi,
terutama di bagian kulit dengan resorpsi
baik.
Kontraindikasi. Sediaan kortikoid lokal tidak
boleh dipakai pada gangguan kulit akibat
infeksi kuman, virus, jamur atau parasit, juga
tidak pada akne dan borok.
MONOGRAFI
1.KORTISON
1. Hidrokortison: HC, kortisol, 17-alfa-kortikosteron, Solu-Cortef
Hormon adrenal utama ini (1952) terutama berkhasiat terhadap metabolisme
karbohidrat, protein dan lemak, serta relatif
ringan terhadap metabolisme mineral dan
air. Hormon ini terutama dipakai pada
terapi substitusi, contoh pada penyakit
Addison. Topikal banyak dipakai dalam salep/krem 1-2% (asetat) atau 0,1% butirat,
juga dalam tetes mata dan telinga (1% asetat).
Pada dosis biasa tidak memicu efek
samping. Tersedia banyak sediaan kombinasi
dengan kemoterapeutika. Di banyak negara
salep/krem dengan maksimal 1% HC dapat
dibeli tanpa resep, antara lain di Inggris dan
SkandinaviaResorpsi dari usus buruk, oleh sebab itu tidak
dipakai per oral namun sebagai injeksi (i.m.
atau intra-artikuler). Dalam darah terikat
95% pada globulin pengangkut transkortin.
Plasma-t½ 1,5-2 jam, namun efek maksimalnya
baru tercapai sesudah 6-8 jam. Keganjilan
ini juga timbul pada prednison dan derivat
lainnya. Ekskresi berlangsung lewat urin
sebagai metabolit 17-keto yang mudah larut.
Dosis: i.m./i.v. semula 100-500 mg larutan
Na-suksinat, bila perlu diulang setiap 2-10
jam, maksimal 8 g sehari. Rektal pada wasir:
suppos./salep 1-2 dd 5 mg, pada colitis:
klisma 100 mg.
*Kortison (F.I.) yaitu derivat keto sintetik
dari hidrokortison yang resorpsinya dari
usus lebih baik dan cepat. Tidak aktif, namun
dalam hati diubah menjadi kortisol. Pemberian i.m. ±20% lebih efektif, walaupun penyerapan ke dalam darah agak lambat (bahaya
kumulasi!). Tidak dapat dipakai lokal
atau intra-artikuler, sebab di kulit dan sendi
tidak terjadi perubahan enzimatik menjadi
kortisol. Penderita gangguan hati sebaiknya
jangan diberikan kortison oral.
Dosis: pada insufisiensi oral 3 dd 25-50
mg (asetat). Perbandingan efeknya: 25 mg
kortisonasetat = 20 mg hidrokortison.
2. PREDNISON
2. Prednison:Hostacortin
Derivat keto ini (1954) baru aktif setelah
dalam hati diubah menjadi derivat hidronya
prednisolon. Khasiat dan pemakaian nya
sama, hanya tidak dipakai secara lokal
dan intra artikuler sebab tidak dihidrogenasi
di kulit, mukosa mata dan sendi. Tidak dianjurkan bagi pasien hati.
Dosis: oral semula 1 dd 5-60 mg pagi hari,
pemeliharaan 5 mg sehari.
*Prednisolon (delta-hidrokortison, Di-Adreson-F aquosum)
Delta-steroid sintetik ini (1955) dengan
ikatan ganda pada C1-2 berkhasiat ±5 x lebih
kuat dari pada kortisol dengan efek mineralokortikoid yang lebih ringan. Daya kerjanya
juga lebih panjang (t½ = 3 jam). Berhubung
dengan sifat-sifatnya, obat ini banyak dipakai untuk terapi sistemik, begitu pula
prednison. Kadar puncaknya dalam darah
baru tercapai setelah 6-8 jam (per oral). Sifat
merangsangnya ringan, maka sering kali
dipakai untuk injeksi intra artikuler dan
tetes mata (0,25-5%), juga dalam klisma
pada colitis. Dosis: oral semula 1 dd 5-60 mg
pagi hari, berangsur-angsur dalam waktu 4
minggu diturunkan sampai 5 mg sehari atau
10 mg setiap 2 hari; i.m./i.v. 25-75 mg sebagai
diNa-fosfat atau Na-suksinat.
Perbandingan efek: 5 mg prednisolon = 20
mg hidrokortison.
*Metilprednisolon (Depo-Medrol, Solu-Medrol, Urbason) berkhasiat ±20% lebih kuat dari
pada prednisolon (1956) dengan berbagai
cara pemakaian oral dan parenteral.
Dosis: oral semula 2-60 mg/ hari, pemeliharaan 4 mg sehari. Pada rema, MS dan LE
1 g sehari selama 3-10 hari atau lebih lama.
Advantan: krem/salep 0.1%.
*Budesonida (Pulmicort, Rhinocort, *Symbicort) yaitu derivat (1980) yang khusus
dipakai topikal sebagai salep/krem. Juga
sebagai spray inhalasi (bersama suatu ß2
-
mimetikum) pada asma untuk mencegah
serangan dan meniadakan pengembangan
dan udema dari mukosa bronchi. Efeknya
kuat dan cepat; bahaya efek sistemik ringan
sebab cepat dan tuntas diinaktifkan oleh
hati. Plasma- t½ ±3 jam. Dosis: tracheal 2-4 dd
1 puff dari 200 mcg, begitupula intranasal
pada rhinitis.
*Symbicort turbuhaler: 80/160 + formoterol
fumarat 4,5/4,5 mcg per dosis. Salep/krem:
0,025% (Preferid)
3. DERIVAT 9-ALFA-FLUOR
Senyawa-senyawa ini pada pemakaian oral
sering kali mengakibatkan myopathy (otot
menyusut dan nyeri), terutama bila dipakai untuk jangka waktu lama dengan dosis
tinggi, juga menekan adrenal agak kuat.
Zat-zat ini praktis tidak memiliki efek mineralokortikoid dan yang terpenting yaitu sebagai
berikut.
3a. Triamsinolon(Kenacort) banyak dipakai oral, intra artikuler, i.m./i.v., rektal dan dermal (1956). Secara dermal hanya aktif sebagai asetonidanya: salep/krem 0.05-0,1%.
Perbandingan efek: 4 mg triamsinolon = 20
mg hidrokortison.
Dosis: oral semula 8-32 mg sehari sesudah
makan pagi, pemeliharaan 4-8 mg sehari.
*Halsinonida (Halog, Halciderm) yaitu triamsinolon tanpa ikatan ganda antara C1 dan
C2, maka dapat dianggap sebagai derivat
kortisol. dipakai dalam krem 0,1%.
3b. Deksametason (Oradexon, Fortecortin, *Dexatopic) ±6x lebih kuat dari kortisol (1958). Zat
ini menekan adrenal relatif kuat, maka risiko
insufisiensi juga agak besar. Deksametason
sering kali dipakai sebagai zat diagnostik
untuk menentukan hiperfungsi adrenal (tes
supresi deksametason). Topikal dipakai
sebagai tetes mata/telinga (fosfat 0,1%), juga
dikombinasi dengan antibiotika, contoh
dengan soframisin (*Sofradex).
Perbandingan efeknya: 0,65 mg deksametason = 20 mg hidrokortison.
Dosis: oral semula 0,5-9 mg sehari sesudah
makan pagi, pemeliharaan 0,5-1 mg sehari.
Pada syok i.v. 100-300 mg larutan Na-fosfat.
*Desoksimetason (Esperson, Topicorte, *Denomix) yaitu deksametason tanpa gugus-OH
pada C17 (1965). Efek lokalnya ±2x lebih
lemah. dipakai dalam krem 0,25%, juga
dikombinasi dengan antibiotik. *Denomix: desoksimetason 0,05 % + neomisin sulfat 0,5%.
3c. Betametason (Celestone, Celestoderm, *Diprogenta) yaitu stereoisomer dari deksametason (1961), pada mana gugus metil pada
C16 berada dalam posisi-beta. Khasiat antiradangnya pada pemakaian lokal lebih
ringan. Zat ini dipakai dalam tetes mata
sebagai diNa-fosfat 0,1% dan dalam salep
sebagai valerat 0,1% atau dipropionat yang
2x lebih kuat: 0,05 % (Diprosone).
Dosis: oral 0,5-8 mg sehari sesudah makan
pagi.
* Diprogenta: betametason diprop. 0.05% +
gentamisin sulfat 0,1%
3d. Fluormetolon : Flumetolon, FML liquifilm
Derivat 9-alfa-fluor ini (1959) khusus dipakai dalam tetes mata dengan kadar 0,1%.
4. DERIVAT 6-ALFA-FLUOR
Senyawa-senyawa ini memiliki atom fluor
pada C6 dalam posisi alfa.
4a. Fluokortolon (Ultralan) rumusnya mirip
dengan deksametason, hanya posisi atom
fluor tidak pada C9 namun pada C6 dan tanpa
gugus-OH pada C17 (1976). Zat ini khusus
dipakai dalam salep sebagai kapronat
atau trimetilasetat 0,5%.
*Flunisolida (Syntaris) yaitu derivat fluokortolon (1978) yang khusus dipakai dalam spray hidung 0,025%.
5. DERIVAT DIFLUOR
Dengan ditambahkannya atom fluor kedua,
zat-zat ini diperkuat khasiat antiradangnya
dan pada pemakaian dermal termasuk
tingkat kerja III.
5a. Fluosinonida (fluosinolon-asetonida, Synalar, Topsyne) memiliki rumus triamsinolon
dengan atom fluor ekstra pada C6, dengan
khasiat 5 x lebih kuat (1961). Khusus dipakai dalam salep/krem 0,025%.
5b. Flumetason (Locacorten) yaitu deksametason dengan atom fluor kedua pada C6
(1963). Efek lokalnya juga ±5x lebih kuat.
dipakai khusus dalam salep/krem/pasta
0,02% pivalat, juga dalam kombinasi dengan
asam salisilat 3% (Locasalen) atau vioform.
Begitu juga dalam tetes telinga.
*Diflukortolon (Nerisona) yaitu flukortolon
dengan atom fluor kedua pada C9 dan efek
lokal yang 5x lebih kuat. dipakai dalam
salep/krem 0,1%, juga terkombinasi dengan
zat antiseptik klorkinaldol 1%.
5c. Flutikason (Cutivate, Flixotide, *Seretide)
yaitu derivat trifluor dengan belerang pada
C20 (-CO-S-CH2-F) yang termasuk dalam
tingkat III (1990). dipakai sebagai krem
0,05% (propionat) dan salep 0,005%, juga
sebagai inhalasi (Flixotide) dan spray hidung
dengan 50 mcg/dosis (Flixonase).
Seretide: futikason prop 50 + salmeterol 25
mcg per 50 dosis inhaler.
6. DERIVAT KLOR
6a. Beklometason (Cleniderm, Becotide, Beconase) memiliki struktur betametason, pada
mana atom F pada C9 diganti dengan atom
Cl (1967). Ester dipropionatnya (C17 dan
C21) berkhasiat ±300 kali lebih kuat daripada
kortisol. Plasma-t½ singkat sekali, hanya 9
menit, secara lokal ±2 menit. Di samping
sebagai krem 0,025%, terutama dipakai
sebagai inhalasi pada asma (bersama ß2
-
mimetika) berkat efek lokalnya di bronchi. Zat
ini dapat diresorpsi dari saluran pernapasan
(dan usus) ke dalam darah, namun sebab
dalam hati FPE besar dengan cepat dirombak
menjadi beklometason inaktif. Oleh sebab
itu pada dosis biasa tidak menekan sistem
HHA.
Dosis: inhalasi 3-4 dd 2 puffs à 50 mcg
(dipropionat), intranasal pada rhinitis 2-4 dd
50 mcg di setiap lubang hidung.
*Alklometason (Perderm, Alclosone) yaitu
isomer dengan atom klor pada C6 sebagai
ganti C8. Khasiatnya juga (agak) kuat. dipakai sebagai salep/krem 0,5 mg/g (dipropionat) selama 3-5 hari, kemudian 1 x
sehari dan setelah terjadi perbaikan 2-3 x
seminggu.
6b. Mometason (Elocon, *Elosalic) yaitu
derivat diklor (C9, C21) tingkat III (1987),
yang khusus dipakai sebagai salep 0,1%
(furoat). Risiko alergi kontak pada obat ini
kecil, seperti juga pada flutikason.
*Elosalic salep: mometason furoat 0,1% +
salisilat 5%.
7. DERIVAT KLOR-FLUOR
Kombinasi dari dua atom halogen di dalam
molekul memperkuat khasiat anti radangnya,
oleh sebab itu zat-zat ini terhitung glukokortikoida yang terkuat (tingkat III dan IV).
pemakaian nya di bagian kulit yang sensitif
harus dengan sangat berhati-hati, contoh di
muka, ketiak, bagian paha dan alat kelamin.
7a. Klobetasol (Dermovate) yaitu betametason, di mana gugusan OH pada C21 diganti
dengan klor (1973). Penetrasinya ke dalam
kulit baik sekali, juga pada penyakit psoriasis.
Klobetasol berkhasiat anti radang, vasokonstriksi
dan antimitotik yang paling kuat dari semua
fluorkortikoida (tingkat IV). Oleh sebab itu
zat ini hanya dicadangkan untuk gangguan
parah yang kurang bereaksi terhadap obatobat tingkat III, seperti psoriasis, lupus discoid
dan hipertrofi parut. Tersedia salep/krem
dengan 0,05% propionat.
*Klobetason (Emovate) yaitu derivat 17-keto
dari klobetasol (1975) dengan khasiat lebih
ringan (tingkat II), penetrasinya ke dalam
kulit juga kurang. dipakai dalam salep/
krem 0,05% (butirat).
7b. Fluklorolon (*Topilar-N) yaitu derivat
difluorklor yang khasiat lokalnya kuat (tingkat
III) dan dipakai sebagai krem 0,025 %
(asetonida).
*Halometason (Sicorten) yaitu juga derivat
difluorklor, yang khasiat lokalnya mendekati
klobetasol, daya kerjanya pun panjang (1983).
Berkhasiat antimitotik kuat dengan efek atrofia ringan (tingkat III). dipakai sebagai
salep/krem 0,05%.
INSULIN DAN ANTIDIABETIKA
ORAL
A. DIABETES dan INSULIN
Diabetes mellitus, penyakit gula atau kencing
manis yaitu gangguan kronis yang disebabkan oleh kekurangan relatif atau absolut dari
hormon insulin yang dihasilkan oleh selsel beta dari kelenjar pankreas. Gangguan
ini bercirikan hiperglikemia (glukosa-darah
terlampau meningkat) dan khususnya menyangkut metabolisme hidratarang (glukosa) di dalam tubuh. namun metabolisme
lemak dan protein juga terganggu (Lat.
diabetes = penerusan, mellitus = manis madu).
Kadar glukosa-darah ditentukan oleh keseimbangan antara insulin dan zat-zat tubuh
yang bekerja antagonis terhadap insulin,
seperti glukagon, katecholamin, hormon
pertumbuhan dan glukokortikoid. Keseimbangan inilah yang pada penyakit diabetes
terganggu.
Harapan hidup penderita diabetes ratarata 5-10 tahun lebih rendah dan risikonya
untuk PJP yaitu 2-4 kali lebih besar.
Penyebabnya yaitu kekurangan hormon
insulin, yang berfungsi memungkinkan
glukosa masuk ke dalam sel untuk dimetabolisasi (dibakar) dan dimanfaatkan sebagai
sumber energi. Akibatnya glukosa bertumpuk di dalam darah (hiperglikemia) dan
akhirnya diekskresi lewat urin tanpa dipakai (glycosuria). Oleh sebab itu produksi
urin sangat meningkat dan penderita sering
berkemih, merasa amat haus, berat badan
menurun dan merasa lelah. Penyebab lain
yaitu menurunnya kepekaan reseptor sel
bagi insulin (resistensi insulin) yang diakibatkan oleh makan terlalu banyak dan
kegemukan (overweight). Rata-rata 1,5-2% dari
seluruh penduduk dunia menderita diabediabetes yang bersifat menurun (familial). Di
Indonesia penderita diabetes diperkirakan 3
juta pasien atau 1,5% dari 200 juta penduduk,
sedangkan di Eropa mencapai angka 3-5%!
Pada lima tahun terakhir jumlah ini telah
meningkat secara eksplosif, yang disebabkan
oleh meningkatnya overweight dan obesitas
terutama di dunia Barat. Diperkirakan bahwa
di tahun 2030 jumlah penderita diabetes akan
meningkat sampai 366 juta jiwa, berarti ±2
kali dari sekarang.27
Insulin
Pankreas yaitu suatu organ lonjong dari
kira-kira 15 cm, yang terletak di belakang
lambung dan sebagian di belakang hati.
Organ ini terdiri dari 98% sel-sel dengan
sekresi ekstern, yang memproduksi enzimenzim cerna yang disalurkan ke duodenum
(lihat Seksi III, Obat Saluran Cerna). Sisanya
terdiri dari kelompok sel (pulau Langerhans)
dengan sekresi intern, yaitu hormon-hormon
endokrin yang disalurkan langsung ke aliran
darah. Dalam pankreas ada empat jenis
sel endokrin, yakni:
a. sel-alfa, yang memprodusir hormon glukagon;
b. sel-beta dengan banyak granula berdekatan membran selnya, dalam mana
ada insulin (Lat. insula= pulau).
Setiap hari disekresi ±2 mg (= 50 UI)
insulin, yang dengan aliran darah diangkut ke hati. Kira-kira 50% dari hormon ini
dirombak di sini dan sisanya diuraikan
dalam ginjal
c. sel-D memprodusir somatostatin (antagonis somatropin, lihat Bab 42, Hormon
hipofisis)
d. sel-PP memprodusir PP (pancreatic polypeptide), yang mungkin berperan pada
penghambatan sekresi endokrin dan
empedu
* Gluconeogenesis (pembentukan baru glukosa). Hati merupakan organ utama yang
menstabilkan keseimbangan glukosa (homeostasis) antara absorpsi dan penimbunannya
sebagai glikogen (pati hewan). Glikogen
ini sesudah makan dilepaskan ke dalam
sirkulasi untuk menyesuaikan kecepatan
pembakaran glukosa oleh jaringan perifer.
Hati juga mampu mensintesis glukosa dari
molekul-molekul beratom-3C yang berasal
dari perombakan lemak dan protein (proses
gluconeogenesis; Lat. neo = baru, genesis =
terbentuk, jadi, tumbuh). Setiap hari «dibakar» ±200 g glukosa, yang ±25% berasal dari
gluconeogenesis.
* Metabolisme glukosa. Setelah karbohidrat
dari makanan didegradasi dalam usus, glukosa lalu diserap ke dalam darah dan diangkut
ke sel-sel tubuh. Untuk penyerapannya ke
dalam sel-sel ini dibutuhkan insulin, yang
dapat di-ibaratkan sebagai «kunci untuk pintu
sel». Sesudah masuk ke dalam sel, glukosa
segera diubah di mitochondria (‘pabrik
energi’) menjadi energi atau ditimbun sebagai
glikogen. Cadangan ini dipakai bila tubuh
kekurangan energi sebab contoh berpuasa
beberapa waktu.
Setiap kali kita makan hidratarang (gula),
maka kadar glukosa darah akan naik. Sebagai reaksi pankreas memproduksi dan
melepaskan insulin untuk memungkinkan
absorpsi glukosa oleh sel, sehingga kadar
glukosa darah turun lagi dan pankreas menurunkan produksi insulinnya. Dengan
demikian kadar glukosa dapat bervariasi
antara batas-batas normal dari 4-8 mmol/liter
(1 mmol/l = 180 mg glukosa/l darah).
* pemakaian glukosa. Yang paling banyak
memakai glukosa yaitu saraf dan otak,
pemasukannya mutlak (obligat) dan tidak
tergantung dari insulin. Di dalam sel, glukosa
dioksidasi menjadi karbondioksida dan air
dengan menghasilkan energi.
glukosa + O2
––––––> CO2
+ Energi
Jaringan otot dan lemak menyerap glukosa
hanya bila diperlukan, sebab kebutuhan
energi dapat pula dicapai melalui oksidasi
asam lemak. Glukosa yang diserap di otot
ditimbun sebagai glikogen atau dirombak
menjadi asam laktat, yang dengan darah
diangkut ke hati dan menjadi bahan pangkal
untuk gluconeogenesis. Jaringan lemak menggunakan glukosa sebagai sumber energi
dan sebagai substrat untuk sintesis trigliserida. Zat-zat ini mengalami lipolysis dengan menghasilkan asam lemak dan gliserol,
yang juga merupakan bahan pangkal untuk
gluconeogenesis.
* Regulasi hormonal. Bila kadar insulin
rendah, produksi glukosa maksimal dan
utilisasinya minimal. Pada kadar insulin tinggi terjadi kebalikannya. Molekul-molekul
insulin mengikat diri pada reseptor insulin
di membran sel dari sel tujuan (otot dan
lemak). Pada reaksi ini terbentuk suatu kompleks, yang melalui impuls listrik mempercepat pelintasan membran sel dan masuknya glukosa ke dalam sel. Kompleks ini diinkorporasi di dalam sel, lalu insulin dirombak,
reseptor dikembalikan ke membran yang
dapat diduduki lagi oleh molekul insulin
baru, dan seterusnya.
Resistensi insulin(RI)
Merupakan keadaan pada mana sel-sel menjadi kurang peka bagi insulin dengan akibat berkurangnya penyerapan glukosa dari
darah. Lagi pula sel beta di pankreas distimulasi agar produksinya ditingkatkan.
Akhirnya sel beta tidak mampu mempertahankan peningkatan insulin dan terlalu sedikit glukosa memasuki sel. Akibatnya kadar
glukosa darah meningkat dan lambat laun
terjadilah diabetes tipe-2 (DM2).
Penyebab lain yaitu berkurangnya jumlah
reseptor untuk mengikat insulin atau reseptor
tidak bekerja (lagi) semestinya.
Di dalam sel, glukosa dibakar untuk menghasilkan kalori dan kelebihannya ditimbun terutama sebagai glikogen dalam sel
otot atau sebagai lemak dalam sel lemak,
yang oleh sebab itu sangat membesar. Bila
pemasukan glukosa berlangsung terus-mene-
rus akibat makan terlalu banyak, maka tumbuhnya sel-sel lemak akhirnya mengakibatkan overweight dan obesitas. Efek lainnya
yaitu reseptor insulin berkurang jumlahnya
atau menurun fungsinya dan pengikatan insulin
dipersulit. Jumlah glukosa yang memasuki sel
berkurang, sedangkan banyak glukosa dan
insulin beredar dalam darah