Tampilkan postingan dengan label neurologi 32. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label neurologi 32. Tampilkan semua postingan

neurologi 32












  kita harus mengetahui struktur 

anatominya, mulai dari reseptor tempat 

awal penghantaran noxious stimulus hingga 

korteks serebri. Jika seseorang mengeluhkan nyeri, maka hal itu diawali dengan aktivasi reseptor nyeri nosiseptif (nosiseptor) 

oleh noxious stimulus. Reseptor nosiseptif 

ini dapat diketemukan di kulit, jaringan 

penunjang, pembuluh darah, periosteum, 

dan organ-organ viseral. Reseptor nosiseptif merupakan bagian ujung dari serabut 

saraf aferen primer, atau disebut juga neuron ordo I, yang memiliki beberapa bentuk 

morfologi dan karakteristik (Tabel 2).  

Serabut saraf aferen primer yang menghantarkan informasi nosiseptif yaitu  serabut 

saraf A-delta (A-6) dan C. Stimulasi beberapa 

sera but saraf A-6 memicu sensasi nyeri 

tajam dan terlokalisasi dengan baik, sedangkan aktivasi sera but saraf C akan memicu sensasi nyeri tumpul, panas, pegal, dan 

tidak terlokalisasi dengan jelas. 

Serabut saraf aferen primer ini mempunyai 

badan sel pada ganglion radiks dorsalis, yang 

aksonnya akan mengirimkan sinyal ke lapisan 

tertentu di kornu dorsalis medula spinalis 

(Gambar 1). Sinyal dari serabut saraf A-6 akan 

sebagian besar menuju lapisan superfisial 

(lamina 1). Sementara itu, sinyal dari serabut 

saraf C menuju lapisan profunda (lamina II). 

Setiap unit sensorik yang terdiri dari sel-sel 

saraf sensorik di ganglion radiks dorsalis dengan struktur perpanjangannya ke arah sentral (medula spinalis) dan perifer (reseptor) 

memiliki distribusi segmental untuk setiap 

area di tubuh manusia. Bila segmen-segmen 

ini disusun dari mulai area kepala hingga kaki, 

maka akan membentuk suatu peta topografi 

yang disebut dermatom. Sebagai contoh, area 

wajah dan kepala bagian anterior memiliki 

topografi sesuai persarafan saraf trigeminalis, sedangkan area deltoid memiliki topografi 

sesuai persarafan saraf spinalis CS. 

Pada kornu dorsalis medula spinalis, neuron 

ordo I akan bersinaps dengan neuron ordo II. 

Neurotransmiter yang terlibat dalam konduksi nyeri pada sinaps ini, antara lain kelompok 

asam amino eksitatorik (glutamat, aspartat), 

adenosine SF!l-triphosphate (ATP), dan neuropeptida (substansi P). Neuron ordo II terdiri 

dari neuron spesifik stimulasi nosiseptif dan 

neuron nonspesifik stimulasi nosiseptif dengan rentang stimulus yang Iebar dan dinamis 

550 

(wide dynamic range neurons). Akson neuron 

ordo II ini akan menyeberang ke sisi kontralateral melalui komisura anterior medula 

spinalis, kemudian membentuk traktus spinotalamikus lateral yang akan naik ke otak. Traktus ini memiliki pembagian berdasar  level 

vertebra, dengan bagian sakral terletak pada 

posterolateral dan bagian servikal berada 

pada anteromedial. Selain rasa nyeri, traktus 

spinotalamikus lateral juga menghantarkan 

sensasi suhu panas atau dingin. Oleh sebab 

itu, lesi pada traktus spinotalamikus lateral tidak hanya berakibat gangguan penghantaran 

nyeri, namun  juga sensasi suhu. 

Selain traktus spinotalamikus lateral, ada pula beberapa traktus lain yang berperan menghantarkan nyeri. Salah satu contohnya, traktus spinoretikularis bermula 

dari medula spinalis hingga neuron di formasio retikularis, dan selanjutnya ke nukleus intralaminar. Traktus ini terlibat dalam 

aktivitas saraf dan kesadaran yang mendasari aspek afektif dari suatu nyeri. 

Contoh lainnya yaitu  traktus spinomesensefalika dari medula spinalis, melewati medula oblongata dan pons bersama 

dengan traktus spinotalamikus lateral dan 

spinoretikularis, dan berhenti di mesensefalon 

dan periaqueductal gray (PAG). Traktus ini berperan mengintegrasikan sensasi nyeri somatik 

dengan informasi visual dan auditorik. 

Adapun traktus spinotalamikus lateral sendiri terdiri dari dua komponen, yaitu serabut 

cepat (traktus neospinotalamikus) dan lambat (traktus paleospinotalamikus ). Traktus 

neospinotalamikus berasosiasi dengan nyeri 

terlokalisasi dengan baik, atau disebut juga 

aspek diskriminatif. Traktus ini berakhir di 

talamus bagian nukleus ventral posterolate 

ral (VPL). Sementara itu, traktus paleospinotalamikus berasosiasi dengan nyeri tak terlokalisasi dengan baik serta respon emosional 

terhadap nyeri, atau disebut juga aspek afektif. Traktus ini berakhir di nukleus intralaminar nonspesifik di thalamus dan formasio 

retikularis di batang otak. 

Neuron ordo II yang berakhir di talamus akan 

bersinaps dengan neuron ordo ketiga (III) untuk selanjutnya diproyeksikan ke korteks sensorik primer. Selain itu, neuron ordo III juga 

berpoyeksi ke korteks sensori sekunder dan insula dalam hal yang berhubungan dengan persepsi fungsi luhur dari nyeri. Ada pun persepsi emosional dari nyeri melibatkan struktur 

korteks cingulata anterior, insula posterior 

dan operkulum parietal. 

551 

Pada dasarnya jalur nyeri mengikuti dari 4 

proses utama (Gambar 2), yaitu: 

1. Proses Transduksi 

Perubahan stimulus tanda bahaya pada 

jaringan yang dirubah menja!ii ani's de" 

polarisasi dengan bantuan re~ept<)r no- siseptif (mekanik dengan ambang batas 

tinggi, mekanotermal dan polimod~l} 

2. Proses Transmisi 

Transmisi arus depolarisasi mulai dari 

neuron ordo kesatu, neuron ordo kedua, 

neuron ordo ketiga hingga ke korteks 

cerebri. 

3. Proses Modulasi 

Adanya perubahan respons inhibisi atau 

fasilitasi terhadap nyeri. Modulasi ini 

bisa asenden atau desenden.  

4. Proses Persepsi 

Korteks serebri melakukan diskriminasi 

terhadap nyeri. Struktur subkortikal seperti korteks cingulata anterior melakukan persepsi emosi dari suatu nyeri. 

Adanya kerusakan jaringan akan memicu stimulus nyeri (noxious stimulus) yang 

kemudian ditransduksi dari reseptor nyeri 

menjadi arus depolarisasi. Arus ini akan 

terhantar mengikuti alur traktus transmisi 

nyeri yang berakhir di korteks serebri dan 

struktur pusat lain, sehingga timbul proses 

persepsi nyeri. Arus depolarisasi yang timbul bisa mengalami mekanisme inhibisi 

atau mekanisme.: fa~Hitasi sesuai dengan 

proses modulasi baik secara asenden atau 

desenden. 

Stimulus selain nyeri di lokasi terjadinya 

kerusakan jaringan dapat menurunkan 

transmisi stimulus nyeri (noxious stimulus) 

di kornu dorsalis. Hal ini disebut dengan 

gate control theory yang dikemukakan oleh 

Wall dan Melzack (Gambar 3). Menurutteori 

ini, modulasi transmisi nyeri dapat terjadi di 

kornu dorsalis dengan melibatkan serabut 

saraf aferen primer, interneuron, serabut 

saraf aferen selain nyeri, dan neuron ordo II 

yang akan mentransmisikan sinyal nyeri ke 

otak. Serabut saraf aferen primer akan bersifat 

membuka pintu (opening the gate) transmisi 

nyeri, sedangkan serabut saraf aferen selain 

nyeri bersifat sebaliknya dengan menutup 

pintu (closing the gate) melalui aktivasi interneuron inhibisi nyeri. Mekanisme buka 

tutup pintu ini juga melibatkan neuron desenden dari otak. Pada akhirnya, transmisi 

nyeri dapat berkurang dengan pemberian 

552 

stimulus selain nyeri, misalnya usapan, belaian, garukan, dan kehangatan. 

Serabut saraf nosiseptif mengeksitasi neuron 

ordo II untuk menghantarkan sinyal nyeri. Serabut saraf non-nosiseptif dapat menurunkan 

transmisi sinyal nyeri dengan mengeksitasi 

interneuron inhibitor nosiseptif dan neuron 

ordo II. Hasilnya, terjadi penurunan transminsi sinyal nyeri yang diteruskan ke traktus 

spinotalamikus. (-): inhibisi; ( +): eksitasi. 

Sistem inhibisi desenden mempunyai tiga 

mekanisme relasi fungsional dari neurotransmiter, yaitu sistem opioid, noradrenergik, dan serotonergik. Prekursor opioid 

endogen (beta-endorfin, metionin-enkefalin,leusin-enkefalin, dan dinorfin) terletak 

di amigdala, hipotalamus, PAG, rafe magnus, 

dan kornu dorsalis. Neuron noradrenergik 

diproyeksikan dari lokus seruleus dan sel 

noradrenergik lainnya di medula serta pons, 

juga di funikulus dorsolateral yang menginduksi proses analgesia. Sistem serotonergik 

ditemukan pada rafe magnus. 

EVALUASI NYERI 

Nyeri merupakan tanda vital kelima, selain 

dari tekanan darah, nadi, pernapasan, dan 

suhu. Berbeda dengan lainnya, nyeri lebih 

bersifat subyektif dan harus selalu ditanyakan ke pasien adakah nyeri atau tidak. 

Kesalahan klinisi yang tidak mengevaluasi nyeri dengan benar memicu kegagalan PENGOBATAN nyeri. Oleh karena itu, 

evaluasi sangatlah penting untuk dilakukan 

setiap saat memeriksa pasien. Langkahlangkah evaluasi nyeri meliputi anamnesis, 

pemeriksaan fisik, uji diagnostik.  

1. Anamnesis 

Anamnesis secara terarah dan teliti merupakan ha1 pertama yang harus dilakukan 

untuk membedakan pasien nyeri atau 

tidak Informasi yang harus dieksplorasi 

dari pasien nyeri tidak hanya mengenai 

karakteristik nyeri, namun  juga target dan 

harapan pasien (Tabel3). Dengan demikian, klinisi mendapatkan gambaran awal 

pasien yang akan dikelola. 

Karakteristik nyeri merupakan bagian 

terpenting da1am langkah-langkah evaluasi nyeri. Hal ini mencakup awitan, durasi, 

kualitas, lokasi dan distribusi, intensitas, 

geja1a penyerta, serta faktor yang memperberatfmeringankan. 

berdasar  awitannya, klinisi dapatmenilai sejak kapan nyeri ini  muncul 

dan apakah muncul mendadak atau perlaban-laban. Menurut durasinya, nyeri 

dapat bersifat terus-menerus, intermiten, pulsatil, atau menyerupai gelom-

554 

bang (wavelike) dengan peri ode naik dan 

turun. Untuk lebih memudahkan dalam 

penilaian durasi, klinisi dapat menggambarkan grafik nyeri yang menandakan 

awal mula nyeri dan progresivitas naik/ 

turun seiring waktu (Gambar 4). 

Nyeri akibat tertusuk jarum biasanya 

berlangsung singkat, sedangkan migren 

memiliki karakteristik pulsatil. Bila pulsatilitas memiliki durasi lebih lama, maka ha1 

ini seperti nyeri kolik usus. Adapula nyeri 

pada angina pektoris yang dirasakan meningkat secara gradua1 hingga mencapai titik tertentu dan bertahan untuk beberapa 

waktu. Nyeri muskuloskeleta1 cenderung 

bersifat fluktuatif dan kontinu. 

Kualitas nyeri dievaluasi dengan menanyakan ke pasien seperti apa rasa nyeri 

yang dirasakan. Nyeri somatik yang profunda dirasakan tumpul dan sulit dilokalisasi, sedangkan yang superfisial bersi 

fat tajam dan berbatas jelas. Sementara 

itu, nyeri neuropatH< yang kadang sulit 

dideskripsikan oleh pasien memiliki 

kualitas seperti terbakar, diiris-iris, ditusuk-tusuk, atau kesetrum listrik. 

Nyeri berdasar  lokasi dan distribusinya dapat dikelompokkan menjadi nyeri 

lokal, nyeri rujuk, nyeri proyeksi, dan 

nyeri non-dermatomal. Lesi pada kulit 

dan muskuloskeletal, seperti artritis, 

tendinitis, dan luka bekas operasi, biasanya dirasakan lokal tidak menjalar ke 

daerah lain. Proses patologis dari organ 

dalam dapat menimbulkan nyeri rujuk 

ke daerah lain sesuai inervasi saraf yang 

555 

berasal dari satu segmen. Contohnya, 

antara lain nyeri diafragma yang dapat 

muncul sebagai nyeri bahu, atau nyeri 

pada apendisitis yang awalnya bergejala 

seperti nyeri ulu hati. 

Nyeri proyeksi dirasakan oleh pasien 

sepanjang distribusi sarafnya, misalnya 

nyeri radikular akibat hernia nukleus 

pulposus. Selain itu, nyeri proyeksi dengan distribusi perifer juga dijumpai 

pada neuralgia trigeminal dan meralgia 

parestetika. 

Ada pula nyeri yang tidak memenuhi 

distribusi saraf perifer, segmen tertentu, atau pola yang mudah dikenali. Hal  

ini disebut nyeri nondermatomal ·yang 

sering dijumpai pada nyeri neuropatik 

sentral, fibromialgia, dan sindrom nyeri 

regional kompleks (complex regional 

pain syndromefCRPS). 

Setelah lokasi dan distribusi, nyeri juga 

harus diketahui intensitasnya, misalnya 

ringan, sedang, atau berat. Untuk mengetahuinya, klinisi dapat memakai  

alat penilaian nyeri (assessment tools) 

yang akan dibahas selanjutnya di topik 

ini. Selain dari alat penilaian nyeri, intensitas nyeri juga dapat tergambarkan melalui keseharian pasien. Pasien dengan 

nyeri intensitas berat lebih cenderung 

untuk diam di tempat tidur dan tidak beraktivitas. Sementara itu, pasien yang intensitasnya lebih ringan mungkin masih 

bisa kegiatan ke luar rumah. Penilaian 

intensitas sangat penting untuk menentukan terapi nyeri yang akan diberikan 

dan memantau keberhasilan terapi. 

Setiap nyeri dapat memiliki faktor yang 

memperberat dan meringkankan keluhan. Aspek mekanik, seperti pengaturan 

posisi tubuhjpostur, sikap berdiri, duduk, 

berjalan, membungkuk, dan mengangkat 

barang, dapat mempengaruhi intensitas 

nyeri. Aspek psikologis, mi-salnya depresi, ansietas, masalah emosional, dan stres 

psikis turut dapat memperberat keluhan 

nyeri pasien. Selain itu, pengaruh hormonal, lingkungan cuaca, dan diet pasien 

juga harus dievaluasi oleh klinisi. Pengetahuan akan hal-hal ini sangat penting 

dalam menyusun rencana PENGOBATAN 

dan edukasi kepada pasien nyeri. 

2. Pemeriksaan Fisik 

Pemeriksaan fisik pada pasien nyeri her-

556 

tujuan mengetahui pemicu  nyeri dan 

sebagai bentuk perhatian dari klinisi 

yang serius menangani keluhannya. Selain pemeriksaan fisik umum, pasien 

nyeri harus diperiksa terutama di daerah 

yang dikeluhkan nyeri, melalui inspeksi, 

palpasi, dan perkusi. 

Saatinspeksi daerah nyeri, klinisi memperhatikan tampilan dan warna kulit di daerah ini . Segala bentuk abnormalitas 

harus didokumentasikan, mi-salnya trofi, 

warna kebiruan ( sianosis ), kemerahan 

(flushing), atau hipertrikosis. Adanya kutis 

anserina mengindikasikan ada disfungsi 

otonom karena radikulopati, sedangkan 

sianosis menandakan perfusi jaringan 

yang buruk dan iskemia saraf. 

Palpasi dengan memakai  jari dapat 

memunculkan nyeri dan mengetahui 

penjalarannya hila ada, sehingga klinisi 

mengetahui luasnya daerah nyeri. Saat 

melakukan palpasi, klinisi harus memperhatikan tanda subjektif ( meringis, menyeringai, ekspresi verbal dan nonverbal) 

serta tanda obyektif (takikardia, berkeringat, dan kaku otot) sebagai manifestasi 

nyeri. Adanya ketidaksesuaian antara 

tanda subjektif dan obyektif harus didokumentasikan oleh klinisi. 

Bentuk ekspresi terhadap nyeri dipengaruhi oleh sensitivitas dasar yang dimiliki oleh seseorang. Oleh karena itu, 

palpasi dilakukan tidak hanya pada daerah nyeri, namun  juga pada sisi kontralateral yang tidak nyeri. Dengan demikian, 

klinisi mengetahui sensitivitas dasar dan 

memahami respons pasien terhadap 

stimulus yang bersifat noxious dan nonnoxious.  

Beberapa tes dengan memakai  

kapas, cubitan, garukan, dan peniti dapat 

menentukan nyeri diprovokasi oleh 

tindakan palpasi pada kulit atau lesi di 

struktur yang lebih dalam. Bila pasien 

mengeluh nyeri saat digoreskan dengan 

kapas di kulit, maka hal ini mengindikasikan alodinia yang diduga akibat disfungsi medula spinalis. Pemeriksaan dengan 

cubitan, peniti, atau garukan dilakukan 

mulai dari daerah yang tidak nyeri, bertahap ke daerah nyeri hingga melewatinya, dan ke daerah yang tidak nyeri. 

Hal ini bertujuan mengetahui sensasi 

pasien terhadap nyeri superfisial. Klinisi 

sebaiknya melakukan hal serup~ pada 

sisi kontralateral yang tidak nyeri untuk 

mendapatkan respons dasar pasien dan 

membandingkan responsnya dengan sisi 

yang nyeri. 

Selain pemeriksaan di daerah yang dikeluhkan nyeri, klinisi sebaiknya mengevaluasi sistem muskuloskeletal pasien 

secara umum. Evaluasi dimulai dengan 

inspeksi pasien secara umum, dari sisi 

depan, belakang, dan sam ping. Perhatian 

terutama pada postur dan kesimetrisan 

sisi kanan dan kiri di lengan, panggul, 

dan tungkai. Adanya asimetri atau deviasi dari kesejajaran dapat memicu 

kesalahan postur yang bergejala nyeri. 

Setelah inspeksi secara umum, selanjutnya pasien dilakukan pemeriksaan gait. 

Klinisi memperhatikan ayunan lengan, 

langkah-langkah proses berjalan (push 

off and heel strike), dan gerakan abnormal pada sisi tubuh pasien saat berjalan. 

Pasien juga diminta untuk berjalan dengan bertumpu pada jari-jari kaki untuk 

557 

Pengantar Nyeri 

menilai radiks nervus Sl dan pada tumit 

untuk menilai radiks nervus LS. 

Struktur tulang, jaringan lunak, dan sendi dipalpasi untuk menilai perbedaan 

suhu, edema, krepitus, atau deformitas. 

Hal ini dilakukan pada sisi kanan dan kiri 

untuk mengetahui adanya perbedaan 

kiri dan kanan dan membandingkan antara daerah patologis dan yang sehat. 

Leber dievaluasi dengan menilai lingkup 

gerak sendi yang meliputi fleksi dan ekstensi, fleksi lateral, serta rotasional. Pada 

keadaan normal, dagu dapat menyentuh 

dada saat fleksi penuh dan jari telunjuk 

serta jari tengah pemeriksa terletak di 

antara oksiput dan prosesus spinosis C7 

saat ekstensi penuh. Saat rotasi kepala, 

pasien normalnya bisa menoleh lebih 

dari 70° dari potongan sagital. Fleksi 

lateral dapat mencapai 45° ke kedua sisi 

dari posisi netral. 

Penilaian ekstrimitas atas dilakukan dengan menilai genggaman tangan pasien 

(hand grip test); abduksi dan aduksi jarijari; jari kelingking yang menyentuh ibu 

jari; fleksi dan ekstensi pergelangan tangan; fleksi, ekstensi, supinasi, dan pronasi lengan bawah; abduksi lengan atas; 

dan mengangkat bahu. Khusus untuk 

daerah bahu, abduksi hingga 90, adduksi, 

serta rotasi internal dan eksternal dapat 

dilakukan untuk menilai lingkup gerak 

sendi dan keterlibatan otot pada nyeri 

bahu. Rotasi internal dan eksternal bahu 

dilakukan bersamaan dengan fiksasi tulang skapulanya, sehingga dapat menilai 

gerakan glenohumeral.  

Pemeriksaan ekstrimitas bawah dimulai 

dengan meminta pasien berdiri, mengangkat tungkai, bangkit dari posisi jongkok, 

serta fleksi dan ekstensi pada tungkai, kaki, 

dan jari-jari. Dengan melihat cara pasien 

duduk dan berdiri, klinis mendapatkan 

kesan fungsi otot secara keseluruhan. 

Pada sendi panggul, pasien dapat melakukan gerakan rotasi internal dan eksternal, fleksi dan ekstensi, serta abduksi dan 

aduksi. Sendi lutut dapat digerakkan fleksi 

dan ekstensi, sedangkan pergelangan kaki 

dapat bergerak fleksi dan ekstensi serta 

eversi internal dan eksternal. 

Pemeriksaan fisik neurologis juga perlu 

dilakukan untuk setiap pasien nyeri, 

terutama pasien baru. Hal ini untuk 

mengetahui adanya lesi struktural pada 

susunan saraf pusat atau perifer yang 

bermanifestasi nyeri. 

3. Pemeriksaan Penunjang 

Pemeriksaan penunjang diperlukan untuk lebih memastikan Diagnosa  dan 

meningkatkan luaran pasien. Pemilihan 

uji diagnostik dilakukan berdasar  

karakteristik nyeri dan kecurigaan pemicu nya. Oleh karena itu, hal ini tidak 

dapat menggantikan peranan anamnesis 

dan pemeriksaan fisik, melainkan hanya 

menjadi tambahan dalam alur Diagnosa . 

Walaupun ada banyak jenis pemeriksaan laboratorium, klinisi harus teliti 

dalam memilihnya. Pemeriksaan darah 

lengkap bisa menjadi gambaran awal 

kesehatan pasien. Kadar Hb yang rendah pada penyakit sickle cell anemia 

bisa bergejala nyeri. Adanya leukositosis 

bisa mengarah kepada etiologi suatu infeksi atau keganasan hematologi. Jumlah 

558 

trombosit dan profil hemostasis nantinya bisa diperlukan sebagai pertimbangan bila ingin tindakan intervensi nyeri. 

Protein fase akut (C-reactive protein/ 

CRP) menunjukkan adanya inflamasi, 

misalnya pada kondisi infeksi, trauma, 

luka bakar, dan kanker. Pemeriksaan 

kimia darah lainnya, meliputi natrium, 

ureum, kreatinin, dan glukosa. Hiponatremia dapat memicu nyeri seluruh tubuh. Peningkatan basil ureum 

dan kreatinin menunjukkan insufisiensi 

renal dan meningkatkan kemungkinan 

munculnya efek samping opioid, sehingga klinisi harus menyesuaikan dosis obat 

nyeri pada pasien. Pemantauan glukosa, 

terutama pada pasien diabetes mellitus, 

sangat diperlukan karena pasiennya bisa 

bergejala nyeri neuropatik. 

Penyakit seperti lupus eritematosus 

sistemik dan artritis reumatoid ditandai dengan inflamasi di beberapa sendi, 

otot, atau kulit, sehingga dapat menimbulkan nyeri yang difus di seluruh tubuh. 

Pemeriksaan autoantibodi, antinuclear 

antibodies (ANA), anti-Ro, anti-SM, antineutrophil cytoplasmic antibody (ANCA), 

dan faktor reumatoid dapat diperiksa 

bila dicurigai etiologi nyeri ke arab kelainan autoimun atau reumatologi. 

Beberapa modalitas pencitraan, antara 

lain Rontgen, CT scan, MRI, dan ultrasonografi (USG), dapat dikerjakan untuk 

mengetahui etiologi nyeri. Pemeriksaan 

Rontgen bisa dilakukan untuk mengevaluasi kelainan tulang (fraktur, osteofit), 

ligamentum, dan degenerasi sendi. 

Pemeriksaan CT scan bisa menunjukkan 

dengan lebih jelas abnormalitas tulang  

dan send1, misalnya fraktur baru, subluksasi, lesi kistik pada tulang. Selain itu, CT 

scan juga dapat menilai densitas mineral 

tulang. MRI dapat dilakukan terutama 

untuk melihat struktur jaringan lunak 

tendon dan ligamentum, medula spinalis, dan otak dengan lebih jelas daripada 

CT scan. USG memiliki keunggulan tidak 

memiliki radiasi dan menyajikan hasil 

berupa kondisi saat itu juga (real-time assessment). Struktur saraf, pembuluh darah di dalam jaringan lunak, otot, tendon, 

dan beberapa organ visera dapat dinilai 

dengan USG. Sayangnya, USG memiliki 

penetrasi tulang yang kurang bagus dan 

kapasitas resolusinya tidak sebaik MRI, 

sehingga tidak dianjurkan untuk melihat 

kelainan pada medula spinalis. 

Pemeriksaan elektromiografi dan kecepatan hantar saraf diindikasikan pada 

nyeri yang disebabkan oleh kelainan 

susunan saraf perifer, mulai dari kornu 

anterior medula spinalis, radiks, pleksus, saraf perifer, hingga otot. berdasar  kedua pemeriksaan ini, klinisi dapat 

melokalisasi lesi dan menentukan proses 

patologis yang terjadi ( demielinisasi, degenerasi aksonal, miopati, pleksopati, radikulopati). 

4. Alat Penilaian Nyeri 

Selain pemeriksaan klinis dan penun-

559 

Pengantar Nyeri 

jang, ada beberapa alat (tools) yang 

telah dikembangkan untuk menilai intensitas nyeri. Pada praktiknya, alat ini 

dipakai  pada awal bertemu pasien 

nyeri dan selanjutnya saat tindak lanjut, 

sehingga alat ini juga berfungsi untuk 

memantau keluhan dan keberhasilan 

terapi. 

Secara umum, alat penilaian nyeri (pain 

assessment tools) dikategorikan menjadi 

unidimensi dan multidimensi. Kedua 

kategori ini memiliki karakteristik yang 

khas, sehingga setiap alat penilaian memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Klinisi harus mengetahui 

hal ini agar dapat memilih alat penilaian 

yang tepat dan akurat untuk pasien. 

Alat unidimensi menilai intensitas nyeri 

hanya dengan skala untuk satu ukuran 

saja, misalnya skala dengan nilai 0 (tidak 

nyeri) sampai 10 (sangat nyeri sekali). 

Alat ini mudah diaplikasikan dan lebih 

melibatkan dokter dalam pengisian 

datanya, sehingga cocok untuk pasien 

dengan nyeri akut dan tidak menimbulkan dampak psikososial. Contoh dari alat 

unidimensi antara lain, numeric rating 

scale (NRS), visual analog scale (VAS), 

faces pain scale (FPS), dan Wong-Baker 

Faces Rating Scale (Tabel4).  

NRS yaitu  alat penilaian nyeri yang paling 

umum dipakai. Pasien memberikan nilai 

dengan skala 0-10 atau 0-5, dengan nilai 0 

merepresentasikan tidak nyeri sama sekali 

dan 5 atau 10 berarti sangat nyeri sekali 

(Gambar 5). Penilaian ini dilakukan pada 

pertemuan pertama, kemudian saat tindak 

lanjut secara periodik sesuai kondisi klinis. 

Berbeda dengan NRS, penilaian nyeri dengan VAS memakai  garis lurus sepanj~mg 10cm (Gambar 6). Kedua ujung dari 

garis diberi tanda, yaitu salah satu ujung 

diberi tanda tidak nyeri (tanda "Ocm") dan 

ujung lainnya diberi tanda sangat nyeri 

560 

(tanda "10cm"). Pasien lalu memberi tanda 

di sepanjang garis itu, di antara kedua ujung 

ini  untuk merepresentasikan intensitas nyerinya. Klinisi kemudian mengukur 

tanda itu memakai  penggaris., 

Alat penilaian FPS untuk anak dan dewasa 

serta Wong-Baker Faces Rating Scale (Gambar 

7) untuk anak merupakan skala kategori yang 

memakai  penjelasan visual. FPS terdiri 

dari delapan gambar wajah dengan ekspresi 

berbeda-beda, antara lain senyum, sedih, dan 

meringis. Pasien memilih gambar wajah yang 

sesuai dengan intensitas nyerinya. 

 

Sementara itu, alat multidimensi menilai intensitas nyeri dari beberapa skala dan parameter; antara lain skala intensitas nyeri, kualitas hidup, derajat disabilitas, dan diagram 

lokasi nyeri. Alat ini lebih cocok diaplikasikan untuk pasien nyeri kronik yang memiliki 

dampak psikososial. Pada alat multidimensi, 

pasien seringkali diminta untuk menuliskan 

laporan (self-report) sehari-hari terkait nyeri, 

sehingga lebih banyak terlibat dalam pengisian data. Contoh dari alat multidimensi an tara lain, Initial Pain Assessment Tool, Brief Pain 

Inventory, McGill Pain Questionnaire (Tabel 5). 

Initial Pain Assessment Tool dikembangkan 

untuk evaluasi awal nyeri pada pasien. Beberapa hal yang dinilai dalam alat ini yaitu  

karakteristik nyeri, perilaku pasien dalam 

mengekspresikan nyeri, dan dampak nyeri 

terhadap kehidupan pasien (tidur, aktivitas 

561 

harian, makan, emosi, hubungan interpersonal). Selain itu, ada diagram yang 

menunjukkan lokasi nyeri, skala intensitas 

nyeri, dan kolom untuk pencacatan komentar pasien serta rencana pengobatan. 

BPI merupakan alat multidimensi yang 

mudah dipakai  untuk mengukur tingkat 

keparahan nyeri dan disabilitas terkait. Secara umum, alat ini menggambarkan nyeri 

yang dirasakan oleh pasien selama 24 jam 

terakhir. ada empat pertanyaan untuk 

menilai tingkat keparahan nyeri dan tujuh 

pertanyaan untuk menilai disabilitas, masing-masing berskala 0 (tidak nyeri) sampai 

10 (nyeri sekali). Selain itu, ada pula 

diagram lokasi nyeri dan pertanyaan mengenai jenis terapi nyeri yang saat ini didapat 

oleh pasien. Lama pengisian data pada alat 

ini sekitar 5-15 menit  

MPQ yaitu  salah satu alat multidimensi 

yang paling sering dipakai . Alat ini menilai nyeri pada tiga dimensi, yaitu sensorik, 

afektif, dan evaluatif, berdasar  deskripsi 

pasien mengenai nyerinya. Setiap dimensi 

memiliki aspek masing-masing. Dimensi 

sensorik memiliki aspek temporal, spasial, 

tekanan, suhu, dan sensorik lainnya. Pada 

aspek afektif, aspeknya meliputi ketegangan, 

rasa takut, dan autonom. Sementara itu, dimensi evaluatif menjelaskan intensitas nyeri 

secara keseluruhan yang dialami pasien. 

Setiap aspek memiliki beberapa pilihan kosakata yang menjelaskan karateristik nyeri. 

pun intensitas nyeri pada alat ini diukur dalam 

beberapa skala, yaitu mild, discomforting, distressing, horrible, dan excruciating. Selmn itu, 

pasien juga diminta untuk menyatakan perubahan nyeri terhadap waktu, misalnya transien, ritmik, atau kontinu konstan. 

Pada penilman nyeri dengan memakai  

MPQ. pasien diminta untuk memilih kosakata dalam setiap aspek dimensi yang sesuai 

menggambarkan karaktersitik nyerinya. Ada-

562 

Beberapa tantangan dalam menilai nyeri 

dapat ditemukan pada kelompok usia Ianjut, anak-anak, atau pasien yang berbeda 

budaya dan bahasa, sehingga membutuhkan pendekatan khusus. Pasien usia lanjut 

seringkali tidak melaporkan keluhan nyeri 

karena rasa takut dan merasa akan merepotkan orang lain. Selain itu, adanya gangguan 

pendengaran dan penglihatan membuat 

kesulitan dalam pengerjaan alat penilaian. 

Dengan demikian, klinisi jangan terburuburu dalam melakukan penilaian dan meng 

gunakan alat penilaian yang mudah dipakai, 

misalnya FPS. Klinisi juga harus memperhatikan perubahan parameter pasien usia tua 

(aktivitas harian, fungsi sosial, berjalan) 

yang bisa mengindikasikan nyeri yang tidak 

teratasi. 

Pada pasien anak-anak, tantangan yang dihadapi berupa kesulitan berkomunikasi dan 

sulit membedakan antara ansietas dengan 

nyeri. Klinisi harus memilih pendekatan yang 

konsisten dengan tahapan perkembangan 

anak Khusus untuk bayi dan balita, penilaian 

nyeri dapat melihat respons menangis serta perilaku defensif, misalnya menggigit, 

memukul, menendang, dan berlari kabur. 

Pasien yang berbeda bahasa dan budaya 

dapat memiliki perbedaan respons perilaku 

terhadap nyeri dan preferensi terapi. Oleh 

karena itu, klinisi sebaiknya memakai  

alat penilaian dengan bahasa yang sesuai 

dan menyediakan materi edukasi pasien 

sesuai bahasa pasien, jika memungkinkan. 

Bila diperhatikan secara seksama, alat-alat pe nilaian nyeri yang telah dibahas sebelumnya 

hanya dapat diaplikasikan pada pasien sadar 

yang dapat melaporkan keluhan nyerinya (self 

report). Oleh sebab itu, ada beberapa alat 

lain yang dikembangkan untuk pasien yang tidak dapat melaporkan sendiri keluhan nyerinya, seperti di ruang perawatan intensif, antara lain behavioral pain scale (BPS), behavioral 

pain scale-nonintubated (BPS-Nl), dan critical 

care pain observational tools (CPOT). 

BPS terdiri dari tiga indikator, yaitu ekspresi 

wajah, gerakan ekstrimitas atas, dan toleransi 

terhadap ventilasi mekanik Setiap indikator 

berskala 1 sampai 4, sehingga total skornya 

berkisar 3 hingga 12. Perbedaannya dengan 

BPS-NI ada pada indikator "toleransi 

dengan ventilator yang diganti dengan vokalisasi (Tabel 6). Sementara itu, CPOT terdiri dari empat aspek, yaitu ekspresi wajah, 

pergerakan badan, ketegangan otot, dan 

"toleransi dengan ventilator ( untuk pasien 

terintubasi) a tau vokalisasi ( untuk pasien 

tidak terintubasi. Setiap aspek bernilai 0-2, 

dengan total nilai mulai dari 0 sampai 8.  

PRINSIP MANAJEMEN NYERI 

Pasien dengan keluhan nyeri membutuhkan pertolongan segera. Nyeri yang awalnya dirasakan akut dapat berlanjut menjadi 

kronik bila tidak diPENGOBATAN secara baik. 

Pada keadaan akut, nyeri disebabkan oleh 

kerusakan jaringan dan adanya aktivasi nosiseptor di lokasi ini . Tujuan tata laksana nyeri akut yaitu  eliminasi nyeri dan 

merestorasi kondisi pasien sesegera mungkin melalui terapi yang agresif, sehingga tidak berlanjut menjadi nyeri kronik. 

Sementara itu, nyeri kronik ditandai dengan 

kerusakan patologis dengan tingkat keparahan yang tidak sesuai dengan besarnya 

nyeri yang dirasakan oleh pasien. Nyeri kronik membuat pasien bolak-balik mengunjungi dokter spesialis dan jarang yang tertangani secara efektif di pelayanan primer. 

Sekitar setengah hingga dua pertiga pasien 

nyeri kronik mengalami disabilitas total 

atau parsial yang sering bersifat permanen. 

Oleh karena itu, eliminasi nyeri kronik sangat sulit dan membutuhkan pendekatan 

multidisiplin, antara lain neurologi, bedah 

saraf, anestesi, rehabilitasi medik, ortopedi, 

penyakit dalam, dan psikiatri. 

Dengan adanya beberapa disiplin ilmu yang 

terlibat dapat manajemen nyeri, maka modalitas terapi yang diberikan kepada pasien pun 

beragam, mulai dari terapi farmakologis hingga 

invasif. Terapi farmakologis merupakan modalitas yang paling sering dilakukan untuk mengontrol nyeri. Jenis obat-obatan yang dapat 

diberikan, antara lain asetaminofen, obat antiinflamasi nonsteroid (OAINS), antikonvulsan, 

antidepresan, pelemas otot, anestetik lokal, 

dan opioid. Semua jenis obat ini  mempunyai tempat kerja tersendiri serta memiliki 

keunggulan dan efek samping masing-masing, 

sehingga dapat dipilih kombinasi obat yang 

efektif dengan efek sam ping yang lebih ringan 

(Gambar8).  

Dengan memperhatikan modulasi inhibisi 

desenden di kornu dorsalis, maka beberapa 

golongan obat dapat diberikan untuk mengurangi nyeri. Sinyal nyeri yang masuk ke 

kornu dorsalis menglepaskan neurotransmiter eksitatorik glutamat. Di samping itu, 

modulasi inhibisi desenden yang melibatkan 

neuron inhibitor menglepaskan neurotransmiter inhibitorik, seperti GABA. Selain GABA, 

inhibisi sinyal nyeri juga dihasilkan dari peningkatan jumlah serotonin dan norepinefrin 

di celah sinaps dan penghambatan kanal kalsium prasinaps. Oleh sebab itu, pemberian 

obat antikonvulsan (gabapentin, pregabalin ), 

selective serotonin reuptake inhibitor (fluoksetin, sertralin), serotonin norepinephrine 

reuptake inhibitor (duloksetin), dan tricyclic 

antidepressant ( amitriptilin) dapat diberikan 

untuk meningkatkan sinyal inhibisi nyeri di 

kornu dorsalis (Gam bar 9). 

Dengan demikian, banyaknya sinyal nyeri 

yang ditransmisi ke otak bergantung kepada dominansi inhibisi atau eksitasi yang terjadi. Jika neurotransmiter inhibitorik yang 

mendominasi, maka terjadi penurunan 

transmisi sinyal nyeri. Sementara itu, jika 

neurotransmiter eksitatorik yang mendominasi, maka sinyal nyeri akan ditransmisi 

tanpa ada hambatan. 

Modulasi jalur desenden di kornu dorsalis 

terjadi melalui adanya interneuron inhibisi 

dari otak yang menglepaskan serotonin dan 

norepifeprin. Stimulus nyeri dapat diinhibisi oleh golongan obat yang menghambat 

kanal kalsium dan beberapa obat antikonvulsan. Obat-obatan yang menghambat pengambilan kembali (reuptake) serotonin dan 

565 

Pengantar Nyeri 

norepiefrin juga turut dapat menginhibisi 

stimulus nyeri. 

Selain keluhan nyeri itu sendiri, pasien dapat 

disertai keluhan psikiatri, an tara lain depresi, ansietas, insomnia, dan gangguan kepribadian. Hal ini membutuhkan pendekatan 

psikoterapi, seperti terapi perilaku (behavioral therapy), terapi perilaku kognitif (cognitive behavioral therapy /CBT), dan terapi 

okupasi. Psikoterapi bertujuan tidak secara 

langsung mengurangi intensitas nyeri, namun  lebih membantu pasien untuk belajar 

memahami keadaan dan menikmati kehidupannya, walaupun ada nyeri. 

Modalitas terapi fisik yang dapat diberikan pada pasien nyeri meliputi pemanasan 

dan terapi dingin (therapeutic heat and 

cold modalities). Pemanasan memiliki efek 

fisiologis, antara lain analgesia, meningkatkan aliran darah ke jaringan, meningkatkan 

ekstensibilitas jaringan ikat, menurunkan 

spasme otot dan kekakuan sendi, serta 

mengurangi edema. Pemberian terapi pemanasan ini dapat melalui kantong panas 

(hot packs), bantalan panas (heating pads), 

hidroterapi, ultrasound (US) dan diatermi. 

Jenis terapi ini sering diberikan pada beberapa kondisi, misalnya spasme otot, bursitis, 

tenosynovitis, kontraktur, dan fibromialgia. 

Adapun terapi dingin memiliki efek vasokonstriksi, menurunkan aktivitas metabolik 

pada daerah yang diterapi, dan menurunkan tonus otot. Seiring terapi ini berjalan, 

spastisitas juga dapat berkurang. Efek analgesia timbul karena suhu dingin memperlambat 

konduksi saraf. Terapi ini terutama dipakai  

pada kondisi cedera muskuloskeletal akut.  

Manajemen nyeri tidak terbatas hanya pacta 

farmakoterapi terhadap pasien, namun mempunyai makna yang lebih luas dan komprehensif pacta penetapan Diagnosa  yang akurat, 

membuat rencana terapetik yang optimal 

dan pacta suatu saat akan menentukan pendekatan terapi intervensi. Sejak kelahiran WHO 

step-ladder of pain (1986), banyak usulan 

modifikasi dan adaptasi, termasuk tindakan 

manajemen intervensi nyeri, baik secara minimal invasifhingga terapi bedah (Gambar 10). 

Anak tangga keempat ini direkomendasikan 

kepada grup nyeri kronik yang mengalami 

krisis nyeri, walau tidak tertutup kemungkinan dapat diaplikasikan pacta keadaan 

nyeri akut gawat darurat seperti kasus 

nyeri pediatrik atau situasi pascaoperasi. 

Secara umum, adaptasi terbaru ini memiliki dua kaidah. Pacta keadaan nyeri kronik 

akibat kanker dan nonkanker, manajemen 

nyeri dapat dilakukan perlahan bertahap 

dari bawah ke atas (step up). Sementara itu, 

NSAID 

Analgesik non opioid 

± adjuvan 

Opioid lemah 

NSAID 

± adjuvan 

Ill 

Pengantar Nyeri 

pasien dengan nyeri akut dengan intensitas 

berat, nyeri kronik yang tidak terkontrol, 

dan nyeri sontak, dapat ditangani dengan 

tahapan dari atas ke bawah (step down) 

dengan pertimbangan kegawatannya. 

Pacta beberapa literatur, gambar adaptasi 

ini  ini tidak dikatakan berupa anak 

tangga lagi, namun sebuah PENGOBATAN 

nyeri yang kontinu. Pacta PENGOBATAN intervensi nyeri kronik, ada beberapa prosedur 

yang dapat dilakukan dan tergolong cukup 

mumpuni, seperti injeksi trigger point, sindram terowongan karpal, epidural, dan injeksi sendi. Ruang lingkup manajemen intervensi nyeri akan terus berkembang dengan 

beberapa modifikasi atau temuan terbaru. 

Adanya teknik ataupun pendekatan baru 

yang lebih efektif dan optimal menangani 

berbagai keluhan nyeri sangat diharapkan 

oleh klinisi dalam menata laksana pasien 

nyeri. Modalitas lain sesuai pemicu  dapat 

dibaca pacta topik selanjutnya dari bab ini.  









NYERIKEPALA 



Hampir setiap orang di seluruh dunia pernab mengalami nyeri kepala, setidaknya 

sekali dalam hidupnya. Nyeri kepala termasuk ke dalam sembilan kasus yang memicu pasien datang menemui dokter. 

Setidaknya 40% pada konsultasi neurologi 

yaitu  akibat nyeri kepala. 

Secara definisi, nyeri kepala yaitu  sensasi tidak nyaman yang dirasakan di daerah kepala akibat segala hal yang merusak 

atau berpotensi memicu  kerusakan 

struktural. Areanya mencakup intrakranial 

dan ekstranial (termasuk wajah) yang memang banyak memiliki struktur peka nyeri. 

Nyeri kepala sebenarnya yaitu  alarm untuk melindungi bagian kepala yang terdiri 

dari organ-organ vital seperti otak dan panca indera. Oleh karena itu, pasien dengan 

nyeri kepala harus diperiksa dengan teliti 

dan cermat. 

Diagnosa  utama nyeri kepala yaitu  berdasar  gejala klinis. Anamnesis yang tepat akan sangat mengarahkan tipe nyeri 

kepala beserta pilihan dan besarnya terapi 

yang harus diberikan. Walaupun sebagian 

besar nyeri kepala di komunitas biasanya 

yaitu  nyeri kepala primer ataupun akibat 

infeksi sistemik yang ringan, namun seorang 

dokter harus tetap waspada terhadap nyeri 

kepala sekunder. 

569 

Nyeri kepala primer yaitu  nyeri kepala 

yang bukan diakibatkan oleh adanya kelainan struktural di intrakranial, sebaliknya 

pada nyeri kepala sekunder. Nyeri kepala 

sekunder perlu disingkirkan lebih dahulu 

karena memerlukan PENGOBATAN khusus 

untuk mengatasi kelainan struktural yang 

ada. Bahkan pada nyeri sekunder yang akut 

dapat bersifat emergency, seperti halnya 

pada stroke hemoragik. 

Pada nyeri kepala primer, biasanya nyeri 

berulang dengan pola tertentu dan ada pemicunya. Yang khas juga pada nyeri kepala 

primer secara umum yaitu  di antara serangan biasanya tidak ada gejala sama 

sekali. Nyeri kepala akan dianggap sekunder 

terutama jika nyeri itu muncul pada waktu 

yang sangat berdekatan dengan gejala atau 

pemicu  lain sebelumnya. 

Selain itu, nyeri kepala yang harus diwaspadai sebagai nyeri sekunder yaitu  nyeri 

kepala yang pertama kali, belum pernah dirasakan oleh pasien sebelumnya, atau baru 

muncul secara berulang saat pasien berusia lebih dari 40 tahun. Kalaupun pasien 

pernah mengalami nyeri kepala berulang, 

perlu perhatian khusus jika nyeri yang saat 

ini muncul berbeda pola dengan yang biasa 

dialami, misalnya menjadi lebih lama, lebih 

sering, atau lebih mengganggu aktivitas. 

Apalagi jika nyeri kepala ini  sangat 

terlokalisir pada satu area tertentu saja, 

atau memburuk pada keadaan tertentu, seperti bersin, batuk, mengedan, berhubungan 

seksual, atau posisi ortostatik 

Terakhir, nyeri kepala akan sangat dicurigai 

sebagai sekunder jika mengidap human immunodeficiency virus (HIV) atau ada 

riwayat trauma kepala, stroke, kejang, atau 

keganasan sebelumnya. Pemeriksaan fisik 

pada nyeri kepala primer biasanya dalam 

batas normal. Nyeri kepala yang disertai 

keluhan demam, kaku kuduk, dan kulit kemerahan (rash) harus dianggap sebagai 

sekunder terlebih dahulu, apalagi jika ada penurunan kesadaran dan defisit 

neurologis yang lain. 

Oleh karena pada dasarnya nyeri kepala 

yaitu  alarm, maka perlu dicari defisit neurologis seminimal mungkin, seperti papiledema atau gangguan fungsi kognitif yang 

ringan. Pemeriksaan imajing dilakukan jika 

ditemukan defisit neurologis atau jika nyeri 

kepala dicurigai. sekunder. Pada pasien dengan nyeri kepala primer juga dapat dilakukan imajing jika polanya berubah, memberat, atau disertai gejala lain, bahkan gejala · 

psikiatri. 

Klasifikasi International Headache Society 

(IHS) 2013 membagi nyeri kepala menjadi 

nyeri kepala primer, sekunder, dan neuralgia kranial (Tabel 1). Nyeri kepala primer 

utama yang akan dibahas yaitu  migren, 

nyeri kepala tipe tegang atau tension-type 

headache (TTH), dan trigeminal autonomic 

cephalalgia, serta neuralgia trigeminal. 

570 

MIGREN 

Migren merupakan nyeri kepala yang paling 

mengganggu, hingga memengaruhi sosio-ekonomi dan kehidupan pribadi penderitanya. 

World Health Organization (WHO) menempatkan migren pada peringkat ke-19 sebagai 

penyakit yang menimbulkan kecacatan di seluruh dunia. Kasus migren di negara maju seperti lnggris mencapai 18% pada perempuan 

dan 6% pada lelaki. Semen tara itu, di Am erika 

diketahui 75% orang yang mengalami migren berjenis kelamin perempuan. Sebelum 

pubertas, insidens migren lebih tinggi pada 

lelaki dibanding perempuan. Setelah pubertas, insidensnya lebih tinggi pada perempuan. 

Serangan umumnya akan berkurang setelah 

berusia 40 tahun. Angka kejadian migren 

pada bangsa Afrika-Amerika (16,2% perempuan) serta Asia-Amerika (9,2% perempuan) 

lebih rendah dibanding bangsa berkulit putih 

(20,4% perempuan). 

Saat ini WHO memperkirakan prevalensi migren di dunia telah mencapai 10%, tertinggi 

di Amerika Utara diikuti Amerika Selatan ' Amerika, Eropa, Asia, dan Afrika. Di Indonesia, didapatkan prevalensi migren sebanyak 

24% dari 1014 subyek mahasiswa dan 54% 

dari semua remaja yang pernah mengalami 

nyeri kepala, terutama perempuan (70%). 

Beberapa faktor risiko yang meningkatkan 

risiko migren yaitu  berat badan berlebih, 

tekanan darah tinggi, hiperkolesterolemia, 

gangguan sensitivitas insulin, kadar homosistein tinggi, stroke, dan riwayat penyakit 

jan tung koroner.  

Klasifikasi 

Klasifikasi migren berdasar  konsensus 

PERDOSSI tahun 2013 (adaptasi dari kriteria IHS) yaitu : 

a) Migren tanpa aura atau common migraine 

b) Migren dengan aura atau classic migraine 

c) Sindrom periodik pada anak yang dapat 

menjadi prekursor migren, yaitu cyclic 

vomiting, migren abdominal, vertigo 

paroksismal benigna pada anak. 

d) Migren retinal 

e) Komplikasi migren: 

• Migren kronis 

• Status migrenosus ( serangan migren 

>72 jam) 

• Aura persisten tanpa infark 

• Migrainous infarct 

• Migrain-triggered seizure 

f) Probable migrain 

571 

Patofisiologi 

Mekanisme munculnya nyeri pada migren 

belum sepenuhnya dimengerti, ada beberapa teori, yaitu: 

1. Teori Vaskular 

berdasar  teori ini, aura pada migren diperkirakan akibat vasokonstriksi pembuluh darah intrakranial yang menginduksi 

iskemia jaringan. Selanjutnya, terjadi rebound vasodilatasi dan mengaktitkan saraf 

nosiseptif perivaskular yang akhirnya memicu nyeri kepala. Namun teori ini 

memiliki kelemahan, sehingga digantikan 

oleh teori neurovaskular. 

2. Teori Neurovaskular 

Menurut teori ini, migren pada awalnya 

merupakan proses neurogenik yang kemudian diikuti dengan perubahan perfusi 

serebral (neuro ke vaskular). Pada teori ini, 

dikatakan orang dengan migren memiliki 

saraf yang gam pang dieksitasi pada korteks 

serebral, terutama pada daerah oksipital.  

3. Cortical Spreading Depression (CSD) 

CSD merupakan teori yang menjelaskan 

mekanisme migren dengan aura. CSD 

merupakan gelombang eksitasi neuronal 

pada substansia grisea yang menyebar 

dari satu sisi ke sisi lain otak dengan kecepatan 2-6mmjmenit. 

Depolarisasi seluler ini memicu 

fenomena korteks primer atau biasa 

disebut dengan aura. Selanjutnya, proses 

depolarisasi akan menstimulasi aktivasi 

neuron nosiseptif pada pembuluh darah 

dura yang kemudian mengaktivasi saraf 

trigeminus dan pacta akhirnya menghasilkan nyeri kepala. Aktivasi neuron 

nosiseptif dilakukan melalui pelepasan 

berbagai protein plasma dan substansi 

yang menstimulus inflamasi, seperti calcitonin gene-related peptide (CGRP), substansi P, peptida intestinal vasoaktif, dan 

neurokinin A. Proses inflamasi ini kemudian merangsang vasodilatasi dan akan 

572 

diteruskan ke korteks sensorik sebagai 

rasa nyeri yang berdenyut (Gambar 1). 

Sementara itu, selama proses depolarisasi 

dilepaskan beberapa neurontransmiter, 

seperti kalium danjatau asam amino glutamat dari jaringan saraf. Substansi ini  kemudian mendepolarisasikan jaringan sekitarnya. Kondisi ini akan semakin 

merangsang pelepasan berbagai neurotransmiter ini  dan memicu 

semakin luasnya depolarisasi yang terjadi. 

Selama penjalaran jaras nyeri dari tri· 

geminovaskular ke korteks sensorik, 

terjadi sinaps di nukleus salivatorius superior daerah batang otak, sehingga memicu gejala mual dan muntah. ada 

pula sinaps di daerah nukleus rafe dorsalis yang jika distimulus berulang akan 

memicu penurunan serotonin dan 

norepinefrin, sehingga menimbulkan 

gangguan konsentrasi, kognitif, depresi, 

dan ansietas (Gambar 2).  

Serangan migren yang berlangsung berulang-ulang juga akan memicu kerusakan pad a periaquaductal greymatter (PAG), 

sehingga terjadi sensitisasi sentral dan memicu ambang nyeri menurun. Pasien 

jadi lebih mudah mengalami migren pada 

stimulus yang lebih ringan. Gejala lain, seperti menguap, iritabel, hipotensi, dan hiperaktivitas merupakan gejala penyerta migren 

yang muncul melalui jaras dopamin yang 

dipercaya mengalami hiperaktivasi sehingga 

merangsang munculnya gejala terse but. 

Gejala dan Tanda Klinis 

ada em pat stadium migren sederhana, 

yaitu: 

1. Prodromal 

Gejala ini dapat berlangsung selama beberapa jam hingga hari sebelum terjadi 

nyeri, yaitu berupa perubahan mental 

dan mood (depresi, marah, euforia), 

Nyeri Kepa/a 

Ieher kaku, fatig, menguap,food cravings, 

retensi cairan, dan sering berkemih. 

2. Aura 

Aura yaitu  gejala disfungsi serebral fokal yang dapat membaik dalam waktu 

<60 menit. Aura dapat berbentuk gangguan visual homonim, parestesia unilateral, kesemutan, kelelahan, atau disfasia. 

Aura visual merupakan aura yang paling 

sering terjadi dan umumnya berbentuk 

fotofobia atau fotopsia (kilatan cahaya), 

bentuk geometrik, atau skotoma. Aura 

visual umumnya bilateral dan bergerak 

perlahan di dalam area lapang pandang. 

Metamorfopsia yaitu  suatu abnormalitas pada persepsi visual yaitu ketika gambaran suatu obyek terdistorsi. 

Pasien dengan gangguan ini akan mengatakan suatu benda terlihat lebih kecil 

(mikropsia) atau lebih besar (makropsia) dari ukuran sebenarnya.  

3. Nyeri Kepala 

Nyeri kepala memiliki karakteristik 

berdenyut unilateral (terutama pada 

daerah fronto-temporal). Umumnya terjadi dalam durasi jam hingga hari. Nyeri 

bersifat progresif dan memburuk pada 

malam hari. Dapat diikuti dengan gejala penyerta, seperti mual atau muntah, 

fotofobia atau fonofobia, dan aura. 

4. Postdromal 

Gejala prodromal atau postdromal dapat 

berbentuk perubahan nafsu makan, gejala otonom, perubahan mood, serta agitasi, atau retardasi psikomotor. 

Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan 

tanda-tanda sebagai berikut: 

• Takikardi atau bradikardi 

• Hipertensi atau hipotensi 

• Injeksi konjungtiva 

• Reaksi pupil yang kurang baik terhadap cahaya 

• Defisit hemisensorik atau hemiparesis (ditemukan pada migren kompleks) 

Diagnosa  dan Diagnosa  Banding 

ada beberapa instrumen yang dapat 

dipakai  untuk sebagai penyaring adanya 

migren pada pasien dengan nyeri kepala, 

termasuk juga untuk menilai derajat keparahan dan disabilitas yang ditimbulkannya. 

lnstrumen /D-MigraineTM dan Migraine 

Screen Questionnaire (MS-Q) telah terbukti memiliki sensitivitas dan spesifisitas 

yang baik, bahkan MS-Q sudah divalidasi 

ke dalam bahasa Indonesia. Migren pada 

anak juga cukup sering dan lebih sulit dide-

574 

teksi, oleh karena itu dapat memakai  

Pediatric migraine disability assessment 

(PedMIDAS). Penegakan Diagnosa  migren 

ditegakkan terutama melalui anamnesis 

berdasar  kriteria Diagnosa  IHS yang 

dibagi menjadi migren tanpa aura dan migren dengan aura. 

1. Migren tanpa Aura 

Kriteria diagnostik berdasar  IHS: 

a. Nyeri kepala minimal berlangsung 

selama 4-72 jam (baik dalam kondisi 

belum diobati atau sudah diobati namun belum berhasil). 

b. Nyeri kepala memiliki minimal dua di 

an tara karakteristik berikut: 

1) Unilateral 

2) Kualitas berdenyut 

3) Intensitasnya nyeri sedang sampai 

be rat 

4) Diperberat dengan aktivitas fisik rutin maupun tidak rutin (seperti: berjalan jauh, naik tangga) 

c. ada salah satu gejala penyerta di 

bawah ini: 

1) Mual danfatau muntah 

2) Fotofobia dan fonofobia 

d. Nyeri kepala tidak berkaitan dengan 

penyakit lain (nyeri kepala sekunder). 

2. Migren dengan Aura 

Migren dengan aura yaitu  serangan 

nyeri kepala berulang yang didahului 

dengan gejala neurologis fokal yang reversibel secara bertahap dalam waktu 

5-20 menit. Gejala neurologis fokal ini 

dikenal dengan aura dan berlangsung 

dalam waktu kurang dari 60 menit.  

Kriteria diagnostik berdasar  IHS: 

a. Sekurang-kurangnya telah terjadi 2 

serangan nyeri kepala yang memenuhi 

kriteria migren tanpa aura. 

b. ada aura tipikal yang dapat 

berupa aura visual dan atau sensoris 

dan atau gangguan berbahasa. 

c. Nyeri kepala tidak berkaitan dengan 

penyakit lain ( nyeri kepala sekunder). 

Diagnosa  Banding 

Diagnosa  banding migren yaitu  TTH, 

nyeri kepala klaster, sindrom diseksi, atau 

aneurisma serebral. 

PENGOBATAN 

Tujuan terapi migren yaitu  mengurangi 

serangan, atau kalaupun muncul, serangannya tidak terlalu berat dan tidak menggartggu kehidupan sehari-hari. Hal ini terutama dapat dicapai dengan menghindari 

pencetus dan pemakaian  terapi yang sesuai. Perlu edukasi yang jelas kepada pasien, 

karena serangan yang berulang atau terapi 

yang tidak adekuat akan membuat ambang 

nyeri menurun dan lebih susah diatasi. Oleh 

karena itu, secara umum terapi migren 

dapat dibagi menjadi 3 kategori, yaitu terapi 

abortif, nonmedikamentosa, dan profilaksis. 

Terapi Abortif 

Terapi abortif yaitu  terapi yang dibutuhkan saat pasien sedang dalam serangan akut 

dan berfungsi untuk menghentikan progresi 

nyeri. Pengobatan harus diberikan sesegera 

mungkin dengan obat yang bekerja cepat. 

Pemilihan jenis obat didasarkan pada durasi 

dan intensitas nyeri, gejala penyerta, derajat 

disabilitas, respons terhadap pengobatan, 

dan penyakit komorbid. Jika pasien mengalami gejala penyerta berupa mual dan atau 

575 

Nyeri Kepala 

muntah, obat harus diberikan melalui rektal, nasal, subkutan, atau intravena. 

Terapi abortif dapat dibedakan menjadi 2, 

yaitu: terapi abortif nonspesifik dan terapi 

abortif spesifik. 

1. Terapi AbortifNonspesifik: 

Terapi ini diperuntukkan bagi pasien 

dengan serangan migren ringan sampai 

sedang atau serangan berat yang berespons baik terhadap obat yang sama. 

Obat yang dipakai  pada terapi abortif 

nonspesifik yaitu  obat dari golongan 

obat antiinflamasi nonsteroid (OAINS) 

atau obat nyeri over the counter (OTC). 

Berikut ini yaitu  beberapa obat yang 

menjadi pilihan: 

a. Parasetamol 500-1000mg tiap 6-8 

jam, dosis maksimal 4gfhari 

b. Ibuprofen 400-SOOmg tiap 6 jam, dosis maksimal 2,4gfhari 

c. Natrium naproksen 275-550mg tiap 

2-6jam, dosis maksimal1,5gfhari 

d. Kalium diklofenak (powder) 50-100mg/ 

hari dosis tunggal 

e. Metoklopramid 10 mg IV atau oral 

20-30 menit sebelum atau bersamaan 

dengan pemberian analgetik, OAINS 

atau derivat ergotamin. Obat ini efektif menghilangkan nyeri yang disertai 

mual dan muntah, serta memperbaiki 

motilitas lambung, mempertinggi absorpsi obat dalam usus dan efektif jika 

dikombinasikan dengan dihidroergotamin intravena 

f. Ketorolak 60mg IM per 15-30 menit. 

Dosis maksimal 12mgfhari dan diberikan tidak lebih dari 5 hari 

g. Butorfanol spray 1mg dalam sediaan 

nostril yang dapat diberikan dan di 

ulang tiap 1 jam. Maksimal 4 spray I 

hari dan pemakaian nya terbatas 2 

kali dalam seminggu 

h. Proklorperazin 25mg oral atau suppositoria. Dosis maksimal 75mg 

dalam 24jam 

i. Steroid seperti deksametason atau 

metilprednisolon merupakan obat 

pilihan untuk status migrenosus. 

2. Terapi Abortif Spesifik 

a Obatgolonganagonis SHT18/10 (triptans) 

seperti sumatriptan 6mg subkutan atau 

sumatriptan 50-100mg peroral. 

b. Derivat ergot seperti ergotamin 1-2mg 

yang dapat diberikan secara oral, subkutan, maupun per rektal. 

Terapi abortif dikatakan berhasil jika: 

a. Pasien bebas nyeri sesudah 2 jam 

pengobatan 

b. ada perbaikan nyeri kepala dari 

skala 2 (sedang) atau 3 (berat) menjadi skala 1 (ringan) atau 0 (tidak ada 

nyeri kepala) sesudah 2 jam 

c. Efikasi pengobatan konsisten pada 

2-3 kali serangan 

d. Tidak ada nyeri kepala rekuren atau 

tidak ada pemakaian obat kembali 

dalam waktu 24 jam sesudah pengobatan terakhir berhasil. 

3. Terapi Nonmedikamentosa 

Pasien harus menghindari faktor pencetus munculnya migren, seperti: perubahan pola tidur, makananfminuman (keju, 

cokelat, monosodium glutamatfMSG, 

alkohol), stres, cahaya terang, cahaya 

kelap-kelip, perubahan cuaca, tempat 

yang tinggi (seperti: gunung atau pesawat udara), dan rutinita:> sehari-hari 

576 

yang dapat memicu serangan migren. 

4. Terapi Profilaksis 

Sebelum memberikan obat sebagai terapi preventif migren, harus diperhatikan 

perubahan pola hidup untuk mendukung kerja obat profilaksis yang meliputi 

SEEDS, yaitu: 

• Sleep hygiene (tidur cukup dengan 

jadwal teratur) 

• Eating schedules (makan bergizi dan 

teratur) 

• Exercise regimen (olahraga teratur) 

• Drinking water (minum cukup air) 

• Stress reduction (kurangi stres) 

Pada prinsipnya pemberian obat profilaksis 

dilakukan dengan cara memberikan dosis 

rendah pada awalnya, kemudian dosis dinaikkan perlahan. Peningkatan dosis dihentikan jika dosis dosis yang efektif sudah 

didapatkan, dosis maksimal sudah tercapai, 

atau muncul efek samping yang tidak bisa 

ditoleransi. Efek klinis akan terlihat setelah 

2-3 bulan pengobatan, asal teratur dan rasional agar dapat meminimalisir efek samping obat. Jika setelah 6-12 bulan migren 

mulai terkontrol, dosis pengobatan profilaksis dapat diturunkan perlahan hingga 

selanjutnya dihentikan. 

lndikasi terapi profilaksis, yaitu: 

1. Terganggunya aktivitas sehari-hari akibat serangan migren walaupun pasien 

telah mendapat pengobatan nonmedikamentosa maupun abortif 

2. Frekuensi serangan migren terlalu sering 

sehingga pasien berisiko mengalami 

ketergantungan terhadap obat abortif 

migren (medication overuse)  

3. Pasien mengalami serangan nyeri kepala 

migren sedang sampai berat lebih dari 3 

hari dalam 1 bulan dan sudah tidak responsif dengan pemberian pengobatan abortif 

4. Pasien mengalami serangan nyeri kepala 

migren lebih dari 8 kali sehari walaupun 

pengobatan abortifnya efektif 

5. Pasien mengalami serangan nyeri kepala 

migren yang berula:ng >2xjminggu dan 

mengganggu aktiv1tas, walaupun telah diberikan pengobatan abortif yang adekuat 

6. Nyeri kepala migren yang berlangsung 

sering dan >48 jam 

7. Pengohatan abortif gaga! atau tidak efektif 

8. Munculnya gejala-gejala dan kondisi 

yang luar biasa, misalnya migren basiler 

hemiplegik, aura yang memanjang 

9. Pasien menginginkan obat profilaksis. 

Tujuan terapi profilaksis yaitu : 

1. Menurunkan frekuensi serangan hingga 

50% atau lebih 

2. Menurunkan intensitas dan durasi serangan 

3. Meningkatkan respons terapi abortif 

4. Meningkatkan kemampuan fungsional 

pasien dan menurunkan disabilitas 

5. Mencegah transformasi migren episodik 

menjadi migren kronik 

6. Mencegah pemakaian obat secara berlebihan (medication overuse) 

7. Mencegah terjadinya rebound headache 

ketika obat abortif dihentikan pemakaiannya. 

Berikut golongan obat pilihan: 

1. Antidepresan Trisiklik 

Obat ini bekerja dengan cara menginhibisi norepinefrin dan ambilan serotonin 

577 

Nyeri Kepala 

(serotonin uptake), serta menurunkan 

regulasi reseptor beta-adrenergik dan 

eksitasi. Obat golongan ini juga meningkatkan regulasi reseptor gamma amino 

butyric acid-B (GABA-B) dan menginhibisi ambilan kembali (reuptake) adenasin oleh neuron. Golongan antidepresan 

trisiklik yang banyak dipakai  yaitu  

amitriptilin 30-lSOmgjhari, nortriptilin 25-lOOmgjhari, dan doksepin 30-

lSOmgjhari. Obat golongan ini sangat tepat diberikan pada pasien migren dengan 

komorbid depresi, ansietas, atau gangguan tidur. Efek samping yang sering 

muncul yaitu  sedasi, penambahan berat badan, konstipasi, mulut kering, dan 

pandangan kabur. 

2. Serotonin Reuptake Inhibitors 

Bekerja dengan cara menginhibisi ambilan kembali (reuptake) serotonin, obat 

ini baik untuk terapi profilaksis pada 

pasien dengan komorbid depresi. Obat 

ini juga memiliki toleransi yang lebih 

baik dibanding obat golongan antidepresan trisiklik. Efek samping yang sering 

muncul yaitu  ansietas, mual, muntah, 

mudah Ielah, anoreksia, penambahan berat badan, pusing, dan disfungsi seksual. 

Obat dari golongan ini yang sering dipakai  yaitu  fluoksetin 10-80mgjhari. 

Namun, pada guideline terbaru disebutkan bahwa level of evidence fluoksetin 

berada pada level U, yang berarti tidak 

cukup bukti untuk membuktikan efikasi 

obat ini sebagai terapi profilaksis. 

3. Serotonin Norepinephrine Reuptake 

Inhibitor 

Obat dari golongan ini yang sering dipakai  untuk terapi profilaksis yaitu   venlafaxine dengan dosis efektif 150mg/ 

hari. Umumnya dimulai dengan obat extended release 37,5mg di minggu pertama, 

75mg di minggu kedua, dan 150mg pada 

minggu-minggu berikutnya. Efek samping 

yang sering muncul yaitu  insomnia, ansietas, gugup, dan disfungsi seksual. 

4. Penghambat Beta (Beta Blocker) 

Obat golongan ini bekerja dengan cara 

menurunkan fungsi adrenergik serta 

menghalangi kerja reseptor presinaps 

noradrenergik dan enzim tirosin hidroksilase. Penghambat beta baik dipakai  pada pasien dengan komorbid 

hipertensi, namun tidak pada diabetes 

melitus, asma, depresi, dan pasien dengan 

tekanan darah rendah. Obat ini berpotensi 

memicu disfungsi ereksi dan kondisi 

mudah Ielah, sehingga sebaiknya tidak 

diberikan pada pasien yang berprofesi 

sebagai atlet. Pilihannya yaitu  timolol 

20-30mgfhari, propanolol 120-140mg/ 

hari, nadolol 40-240 mgfhari, atenolol 

50-lOOmgfhari, dan metoprolol 100-

200mgfhari. 

5. Penghambat Kanal Kalsium (Calcium 

Channel Blocker) 

Obat golongan ini bekerja dengan mereduksi pelepasan glutamat dan menginhibisi pelepasan serotonin, pada migren 

dengan aura atau migrainous infarction. 

Selain itu, obat ini baik diberikan pada 

pasien dengan komorbid hipertensi, 

asma, dan penyakit Raynaud. Efek samping yang sering muncul yaitu  konstipasi, hipotensi, dan edema perifer. Obat 

yang sering dipakai  yaitu  diltiazem 

60-90mg sebanyak 4 kali sehari. Sementara itu nikardipin, nifedipin, nimodipin, 

578 

dan verapamil memiliki level of evidance 

u. 

6. Angiotensin-converting Enzyme Inhibitor (ACE-I) 

berdasar  hasil penelitian, lisinopril 

20mgfhari berhasil menurunkan frekuensi migren hingga 50% pada 30% pasien 

jika dibandingkan dengan plasebo. Efek 

sampingnya berupa batuk, cepat Ielah, 

sakit kepala, dan diare, serta dikontraindikasikan pada pasien dengan angioedema dan kehamilan. 

7. Angiotensin-11 Receptor Antagonist 

(ARB) 

berdasar  hasil penelitian, candesartan 16mgfhari memiliki efek menurunkan frekuensi migren dibandingkan 

plasebo. Efek samping yang sering muncul yaitu  sakit kepala, mual, nyeri perut, mialgia, dan atralgia, serta dikontraindikasikan pada kehamilan. 

8. Sodium Valproat 

Merupakan golongan obat yang bekerja 

dengan cara meningkatkan kadar gamma amino butirat (GABA) di otak, meningkatkan sintesis GABA, menginhibisi 

degradasinya, dan menghiperpolarisasi 

membran pascasinaps dengan cara meningkatkan konduksi potasium. Golongan ini juga menurunkan respons glutamat. Sodium valproat 500-1500mg/ 

hari terbukti dapat menurunkan frekuensi serangan migren. Efek sam ping yang 

sering muncul yaitu  mual, dispepsia, cepat Ielah, dan peningkatan berat 

badan. Obat golongan ini bersifat teratogenik, sehingga sebaiknya tidak diberikan pada perempuan usia reproduksi. 

 Topiramat 

Cara kerja obat ini sebag