Tampilkan postingan dengan label obat 2. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label obat 2. Tampilkan semua postingan

obat 2




 pembuatan foto 

lambung-usus.

A2. Sublingual

sesudah  obat dikunyah halus (bila perlu) 

lalu diletakkan di bawah lidah (sublingual), 

yaitu tempat berlangsungnya resorpsi oleh 

selaput lendir setempat ke dalam vena lidah 

yang sangat banyak ada  di lokasi ini. 

Keuntungan cara ini ialah obat langsung 

masuk ke peredaran darah besar tanpa 

melalui hati. Oleh karena itu cara ini digunakan bila diinginkan efek yang pesat dan 

lengkap, misalnya pada serangan angina 

(suatu penyakit jantung), asma atau migrain 

(nitrogliserin, isoprenalin, ergotamin, metiltestosteron). Keberatannya yaitu  kurang 

praktis untuk dipakai  terus-menerus dan 

dapat merangsang mukosa mulut. Hanya 

obat yang bersifat lipofil saja yang dapat 

diberikan dengan cara ini.

A3. Injeksi

Pemberian obat secara parenteral (berarti 

“di luar usus”) lazimnya dipilih bila diinginkan efek yang cepat, kuat dan lengkap 

atau untuk obat yang merangsang atau 

dirusak oleh getah lambung (hormon), atau 

tidak diresorpsi usus (streptomisin). Begitu 

pula pada pasien yang tidak sadar atau tidak 

mau bekerja sama. Keberatannya yaitu  

cara ini relatif lebih mahal dan nyeri serta 

pada umumnya sukar dilakukan oleh pasien 

sendiri. Selain itu, ada pula bahaya infeksi 

kuman (bila tidak steril) dan bahaya merusak 

pembuluh atau saraf bila tempat suntikan 

tidak dipilih dengan tepat.

3a. Subkutan (hipodermal). Injeksi di bawah 

kulit dapat dilakukan hanya dengan obat 

yang tidak merangsang dan melarut baik 

dalam air atau minyak. Efeknya tidak 

secepat injeksi intramuskuler atau intravena. Mudah dilakukan sendiri, misalnya 

insulin pada pasien penyakit gula.

3b. Intrakutan (= di dalam kulit): absorpsinya 

sangat lambat, misalnya injeksi tuberkulin

dari Mantoux (lihat Bab 8).

3c.Intramuskuler (i.m.) Melalui injeksi 

di dalam otot, obat yang terlarut bekerja dalam waktu 10-30 menit. Untuk 

memperlambat resorpsi dengan maksud 

memperpanjang kerja obat, sering kali 

dipakai  larutan atau suspensi dalam 

minyak, misalnya suspensi penisilin dan 

hormon kelamin. Pada umumnya tempat 

injeksi dipilih pada otot bokong yang 

tidak memiliki banyak pembuluh dan 

saraf.

3d. Intravena (i.v.) Injeksi ke dalam pembuluh darah menghasilkan efek tercepat: 

dalam waktu 18 detik, yaitu waktu satu 

peredaran darah, obat sudah tersebar 

ke seluruh jaringan. Tetapi lama kerja 

obat biasanya hanya singkat. Cara ini 

dipakai  untuk mencapai pentakaran 

yang tepat, atau untuk efek yang sangat 

cepat dan kuat. Tidak berlaku untuk 

obat yang tidak larut dalam air atau 

menimbulkan endapan dengan protein 

atau butiran darah. 

Bahaya injeksi i.v. yaitu  dapat mengakibatkan terganggunya zat-zat koloida 

darah dengan reaksi hebat, karena dengan cara ini ‘benda asing’ langsung 

dimasukkan ke dalam sirkulasi, misalnya 

tekanan darah mendadak turun dan timbulnya shock. Bahaya ini lebih besar bila 

injeksi dilakukan terlalu cepat, sehingga 

kadar obat setempat dalam darah meningkat terlalu cepat. Oleh karena itu, 

setiap injeksi i.v. sebaiknya dilakukan 

dengan sangat perlahan, antara 50 dan 70 

detik.

Infus tetes intravena sering kali dilakukan 

di rumah sakit pada keadaan darurat 

atau dengan obat yang cepat metabolisme 

dan ekskresinya untuk mencapai kadar 

plasma yang tetap tinggi. Bahaya trombosis 

timbul bila infus dilakukan terlampau 

sering pada satu tempat tertentu.

3e. Intra-arteri. Injeksi ke pembuluh nadi 

adakalanya dilakukan untuk “membanjiri” suatu organ, misalnya hati, dengan 

obat yang sangat cepat diinaktifkan atau

terikat pada jaringan, misalnya obat kanker nitrogenmustard.

3f. Intralumbal (antara ruas tulang belakang), intraperitoneal (ke dalam ruang 

selaput perut), intrapleural (ke dalam 

selaput paru-paru), intrakardial (jantung) 

dan intra-artikuler (ke celah-celah sendi) 

yaitu  beberapa cara injeksi lainnya 

untuk memasukkan obat langsung ke 

tempat yang diinginkan.

A4. Implantasi subkutan

Caranya yaitu  memasukkan obat yang 

berbentuk pellet steril (tablet silindris kecil) ke 

bawah kulit dengan menggunakan suatu alat 

khusus (trocar).Terutama dipakai  untuk 

obat dengan efek sistemik lama, misalnya 

hormon kelamin (estradiol dan testosteron). 

Karena resorpsinya yang lambat, satu pellet 

dapat melepaskan zat aktifnya secara teratur 

selama 3-5 bulan. Bahkan tersedia implantasi 

obat antihamil dengan lama kerja 3 tahun 

(Implanon, Norplant).

A5. Rektal

Rektal yaitu  cara pemberian obat melalui rektum (dubur) yang cocok untuk obat 

yang merangsang atau yang diuraikan oleh 

asam lambung, lazimnya dalam bentuk 

suppositoria, kadang-kadang juga sebagai 

cairan (klisma: 2-10 ml, lavemen: 10-500 ml). 

Obat ini terutama bagi pasien yang mual atau 

muntah-muntah (mabuk jalan, migrain) atau 

yang terlampau sakit untuk menelan tablet. 

Adakalanya juga untuk efek lokal yang 

cepat, misalnya obat pencahar (suppositoria 

bisakodil/gliserin) dan klisma (prednison

atau neomisin).

Sebagai bahan dasar suppositoria digunakan lemak yang meleleh pada suhu tubuh 

(±36,8° C), yaitu oleum cacao dan gliserida 

sintetik (Estarin, Wittepsol). Demikian pula 

zat-zat hidrofil yang melarut dalam getah 

rektum, misalnya campuran carbowax dan 

gelatin + gliserin.

Banyak obat tidak diresorpsi secara teratur 

dan lengkap dari rektum, misalnya tetrasiklin, 

kloramfenikol dan sulfonamida (hanya 20%). 

Karena itu sebaiknya diberikan dosis yang 

melebihi dosis oral dan diberikan pada 

rektum kosong (tanpa tinja). sesudah  obat 

diresorpsi efek sistemiknya lebih cepat dan 

lebih kuat dibandingkan dengan pemberian 

per oral. Hal ini dikarenakan vena-vena 

bawah dan tengah dari rektum tidak tersambung pada sistem porta dan obat tidak 

melalui hati pada peredaran darah pertama, 

sehingga tidak mengalami perombakan FPE 

(First pass effect). Pengecualian yaitu  bila 

obat diserap di bagian atas dari rektum dan 

oleh vena rectalis superior disalurkan ke vena 

portae dan lalu ke hati, misalnya thiazinamium.

Dengan demikian, penyebaran obat dari 

rektum (tergantung dari basis suppositoria 

yang dipakai ), dapat menentukan rutenya 

ke sirkulasi darah besar. Suppositoria dan 

salep juga sering kali dipakai  untuk efek 

lokal pada gangguan poros usus, misalnya 

wasir. Tetapi bila dipakai  terus-menerus 

dapat menimbulkan peradangan. 

5B. Efek lokal

B1. Intranasal

Mukosa lambung-usus dan rektum, juga 

selaput lendir lainnya dari tubuh, dapat 

menyerap obat dengan baik dan menghasilkan terutama efek setempat. Intranasal (melalui hidung) dipakai  tetes hidung pada 

se-lesma untuk menciutkan mukosa yang 

bengkak (efedrin, ksilometazolin). Kadangkadang obat juga diberikan intranasal dengan 

tujuan efek sistemik, misalnya vasopresin dan 

kortikosteroida (beklometason, flunisolida).

B2. Intra-okuler dan intra-aurikuler (dalam 

mata dan telinga) 

Berbentuk tetes atau salep yang dipakai  

untuk penyakit mata atau telinga. Pada 

pemakaian nya harus diwaspadai, bahwa 

obat dapat diresorpsi ke darah dan menimbulkan efek toksik, misalnya atropin.

B3. Inhalasi (intrapulmonal)

Gas, zat yang mudah menguap, atau larutan 

sering kali diberikan sebagai inhalasi (aerosol), 

yaitu obat yang disemprotkan ke dalam 

mulut melalui suatu alat khusus. Semprotan 

obat dihirup dan resorpsi berlangsung melalui mukosa mulut, tenggorok dan saluran

napas. Karena tidak melalui hati obat dengan 

cepat memasuki peredaran darah dan 

memberikan efeknya. Yang dipakai  sebagai inhalasi yaitu  anestetika umum (eter, 

halotan) dan obat-obat asma (adrenalin, 

isoprenalin, budesonida dan beklometason) 

dengan tujuan mencapai kadar setempat 

(bronchia) yang tinggi. Untuk maksud ini 

selain larutan obat, juga dapat dipakai  

serbuk padat (turbuhaler) dalam keadaan 

sangat halus (microfine: 1-5 mikron), misalnya 

natrium-kromoglikat, beklometason dan 

budesonida.

B4. Intravaginal

Terhadap gangguan vaginal tersedia lokal 

salep, tablet, atau sejenis suppositoria vaginal (ovula) yang dimasukkan ke dalam 

vagina dan melarut di tempat ini. Misalnya 

metronidazol pada vaginitis (radang vagina) 

akibat parasit trichomonas dan candida. Obat 

juga dapat dipakai  dalam bentuk cairan 

bilasan. pemakaian  lain yaitu  dalam rangka pencegahan kehamilan padamana zat 

spermicid dimasukkan dalam bentuk tablet 

busa, krem, atau busa.

B5. Kulit (topikal)

Pada penyakit kulit, obat yang dipakai  

berupa salep, krem, atau losion. Kulit yang 

sehat dan utuh sukar sekali ditembus obat, 

tetapi resorpsi berlangsung lebih mudah 

bila ada kerusakan. Juga dapat timbul efek 

sistemik yang kadang-kadang berbahaya, 

seperti pada kortikosteroida (kortison, betametason, dll), terutama bila dipakai  dengan cara occlusi, artinya ditutup dengan 

lembaran plastik. Resorpsi dapat diperbaiki 

dengan penambahan zat-zat keratolitik 

yang dapat melarutkan lapisan tanduk 

dari kulit, misalnya asam salisilat, urea dan 

resorsin (3%).

Salep dan linimen (obat gosok) juga banyak dipakai  untuk meringankan rasa 

nyeri atau kaku otot akibat rematik atau 

cedera. Obat demikian biasanya mengandung analgetika (metilsalisilat, diklofenak, 

benzidamin, fenilbutazon) dan zat terbang 

(mentol, kamfer, minyak permen, minyak 

kayuputih). Cara lain yaitu  plester transdermal yang dilekatkan pada kulit, misalnya 

pada bagian dalam pergelangan tangan, 

di belakang telinga, atau di bagian kulit 

(tipis) di mana ada  banyak pembuluh. 

Yang sering kali dipakai  yaitu  TTS 

(Transdermal Therapeutic System), yaitu plester yang secara berangsur dan teratur melepaskan obat selama beberapa waktu dan 

langsung memasuki peredaran darah. Contoh terkenal yaitu  plester nikotin, obat 

mabuk jalan skopolamin (Scopoderm), obat 

angina nitrogliserin (Nitroderm TTS) dan 

estradiol (Estraderm TTS). 

6. PROSES PENEMUAN 

OBAT BARU, 

PERKEMBANGAN, TRIAL 

KLINIK DAN PERSETUJUAN 

pemakaian 

Penelitian klinik obat terdiri dari 4 fase, 

sebagai berikut.

Fase I: verifikasi keamanan, toleransi dan 

efek-efek dasar dari obat yang diselidiki 

dalam tubuh sejumlah terbatas sukarelawan 

(pilot study).

Fase II: menentukan khasiat dan keamanan 

pengobatan dan juga mempelajari dosis dan 

formulasi yang cocok. Merekrut beberapa 

ratus sukarelawan yang menderita gangguan 

yang menjadi tujuan pengobatan tersebut. 

Kebanyakan clinical trial dari Fase II yaitu  

secara acak dan “double-blinded”, termasuk 

“controls” yang diberikan plasebo atau pengobatan standar terbaik yang tersedia.

Dengan double blind clinical trial dimaksudkan bahwa pasien maupun peneliti tidak 

mengetahui siapa yang diberikan plasebo.

Fase III: perluasan dan penelitian dengan 

jangka waktu lebih lama dari Fase II terhadap keamanan dan khasiat bagi kelompok 

pasien yang lebih besar. Kebanyakan merupakan mega-trial yang menyangkut jutaan 

dolar.

Pada akhir Fase III kepada otoritas yang 

berwenang diajukan permohonan Final approval untuk pemasaran

Fase IV atau fase “post approval”: memonitor 

dalam jangka waktu singkat maupun panjang 

terhadap masalah-masalah yang tidak terduga, efek samping atau reaksi obat yang 

tidak diinginkan (pharmacovigilence) dan juga 

menelitinya bagi usia dan kelompok berbeda. 

Seluruh proses dari penemuan obat baru, 

perkembangan dan clinical trial sampai persetujuan pemakaian  secara umum memakan waktu sekitar 10-15 tahun dengan biaya 

rata-rata Euro 1-2 juta.

Pengecualian: fast tracked system (sistem 

yang dipercepat) diberlakukan bagi obat-obat 

yang sangat efektif untuk keadaan-keadaan 

yang mengancam jiwa (lifethreatening), misalnya obat AZT (azidothymidine) terhadap HIV 

(Maret 1987) yang memerlukan waktu 25 

bulan dan yaitu  perkembangan obat 

tersingkat dalam sejarah akhir-akhir ini.

Dalam keadaan yang sangat darurat, 

misalnya dalam epidemi Ebola di Afrika 

Barat pada pertengahan tahun 2014, suatu 

obat (ZMapp) yang masih dalam penelitian 

(investigational drug) dapat dipakai  berdasarkan “compassionate regulation” dari FDA.

Perkembangan dari banyak obat baru 

yang potensial, sering kali harus dihentikan 

karena ternyata tidak efektif atau efek 

sampingnya yang serius. Oleh karena ini 

penting sekali untuk pada waktu dini sudah 

dapat diramalkan bahwa suatu obat akan 

berhasil menjalani seluruh fase tersebut di 

atas. berdasar  hal ini sekarang telah diintroduksi fase-0 melalui penelitian dengan 

positron-emisi tomografi (PET) terhadap obat 

yang diberi label radio-aktif.

Melalui fase-0 dimungkinkan untuk:

1. penelitian mekanisme farmakologi suatu 

obat;

2. menyeleksi pasien yang cocok melalui 

biomarker di tubuhnya; 

Lihat Bab 14, Sitostatika, biomarker.

3. penentuan dosis terapi;

4. distribusi obat dalam jaringan dan organ.

PET yaitu  suatu “imaging tool” yang 

paling efektif untuk melakukan penelitian 

fase-0, yang akan mengurangi biaya dan 

waktu penelitian obat baru dengan sangat 

drastis.




Farmakokinetika dapat didefinisikan sebagai setiap proses yang dilakukan tubuh 

terhadap obat, yaitu absorpsi, distribusi, 

metabolisme dan ekskresi/eliminasi. Kadar 

obat dalam plasma ditentukan oleh 4 proses 

ini. Metabolisme dibagi pula dalam biotransformasi (fase I) dan konyugasi (fase II). Dalam 

arti sempit farmakokinetika khususnya 

mempelajari perubahan-perubahan konsentrasi obat dan metabolitnya di dalam darah 

dan jaringan sebagai fungsi dari waktu.

Farmakogenetika1

Salah satu disiplin dari farmakokinetika adalah yang disebut farmakogenetika berdasarkan variasi pada profil genetik (DNA) berbagai manusia. Oleh karena ini reaksi terhadap obat pun dapat sangat berbeda pada 

berbagai pasien, antara lain mengenai efektivitas dan efek-efek sampingnya. Penelitian 

dari farmakogenetika bertujuan untuk menghasilkan suatu terapi yang optimal bagi 

pasien secara individual (“tailor made”), 

khusus mengenai dosis, interaksi dan penentuan efek sampingnya.

DNA yaitu  suatu rangkaian nukleotida 

dan perubahan-perubahan dalam susunannya yaitu  variasi genetik. Singkatnya 

DNA yaitu  pembawa utama informasi 

genetik, pada mana juga berperan enzimenzim replikasi DNA polimerase, primase 

dan helikase.

Kompartimen. Tubuh kita dapat dianggap 

sebagai suatu ruang besar yang terdiri dari

beberapa kompartimen (bagian) berisi cairan 

dan antar-kompartimen dipisahkan oleh 

membran sel. Kompartimen yang terpenting 

antara lain saluran lambung-usus, sistem 

peredaran darah, ruang ekstrasel (di luar sel, 

antarjaringan), ruang intrasel (di dalam sel) 

dan ruang cerebrospinal(sekitar otak dan 

sumsum tulang belakang). Resorpsi, distribusi 

dan ekskresi obat di dalam tubuh pada hakikatnya berlangsung dengan mekanisme 

yang sama, karena semua proses tergantung 

dari lintasan obat melalui serangkaian membran sel tersebut.

Membran sel terdiri dari lapisan lipoprotein 

(lemak dan protein) yang mengandung banyak pori-pori kecil yang berisi air. Lubanglubang ini sedemikian kecilnya sehingga 

tidak dapat dilihat, walaupun dengan mikroskop elektron dengan perbesaran 50.000 

kali. Membran dapat dilintasi dengan 

mudah oleh zat-zat tertentu tetapi sukar 

dilalui zat-zat lainnya, sehingga disebut semipermeabel (semi = setengah, permeabel

= dapat ditembus). Zat-zat lipofil (= suka 

lemak) yang mudah larut dalam lemak dan 

tidak bermuatan listrik umumnya lebih 

mudah melintasi dibandingkan dengan zatzat hidrofil yang bermuatan listrik (ion). 

Tujuan biotransformasi obat yaitu  untuk 

mengubah sedemikian rupa sehingga mudah 

diekskresi ginjal, dengan lain kata dibuat 

lebih hidrofil. 

Pada skema berikut ini digambarkan proses-proses farmakokinetik yang dapat dialami obat selama perjalanannya di dalam 

tubuh, lihat Gambar 3-1. 

pemakaian  obat secara lokal 

maupun sistemik

Bentuk sediaan suatu obat yaitu  alat 

untuk menempatkan obat pada lokasi tepat 

di tubuh. Bila lokasi tersebut relatif mudah 

dicapai dari luar tubuh, maka diusahakan 

untuk menempatkan obat secara lokal dan 

sedekat mungkin pada tempat (reseptor) 

di mana efek obat diinginkan. Contohnya 

yaitu  obat-obat luar seperti salep, krem, 

obat tetes mata, telinga dan hidung, obat 

inhalasi/aerosol dan sediaan-sediaan untuk 

efek lokal di usus (klisma, supositoria) dan 

injeksi untuk penghilang rasa setempat.

Bila usaha tersebut tidak mungkin, maka 

akan dimanfaatkan proses sirkulasi sebagai 

alat transpor yang dinamakan pemberian 

sistemik. Contohnya yaitu  obat-obat oral 

seperti tablet, kapsul, obat minum, obat parenteral (i.v., i.m., s.k.) dan obat sublingual (di 

bawah lidah).

Reseptor yaitu  protein yang dapat mengikat molekul obat yang kemudian dapat 

memicu suatu reaksi (aktivasi reseptor) atau 

memblokir suatu reaksi (blokade reseptor).

 

1. Sistem transpor 

Untuk mentranspor obat ke tempat yang 

tepat di dalam tubuh, zat aktif diolah menjadi 

suatu bentuk khusus. Seperti yang telah 

dibicarakan pada Bab 2, ada dua bentuk 

transpor utama, yakni cara lokal dan cara 

sistemik. 

Transpor obat. Molekul zat kimia dapat melintasi membran semipermeabel berdasar  

adanya perbedaan konsentrasi, antara lain 

melintasi dinding pembuluh ke ruang antarjaringan (interstitium). Pada proses ini beberapa mekanisme transpor yang memegang 

peranan, yaitu cara pasif atau cara aktif.

a. Transpor pasif: tidak menggunakan energi. 

Misalnya perjalanan molekul-molekul suatu 

obat melintasi dinding pembuluh ke ruangruang antarjaringan (interstitial), berlangsung 

dengan dua cara, yakni:

* filtrasi melalui pori-pori kecil dari membran, misalnya dinding kapiler. Yang 

difiltrasi yaitu  air dan zat-zat hidrofil 

yang molekulnya lebih kecil dibandingkan dengan pori, seperti alkohol dan urea

(BM < 200);

* difusi, zat melarut dalam lapisan lemak 

dari membran sel. Dengan sendirinya zat 

lipofil lebih lancar penerusannya daripada 

zat hidrofil yang tidak dapat larut dalam 

lemak, seperti ion anorganik. Kecuali ion 

natrium dan ion klorida, yang sangat mudah melintasi membran. Difusi yaitu 

cara transpor pasif yang paling lazim berdasarkan perbedaan kadar (konsentrasi) 

tanpa membutuhkan energi.

b. Transpor aktif: memerlukan energi. Pengangkutan dilakukan dengan mengikat zat 

hidrofil(makromolekul atau ion) pada suatu 

protein pengangkut spesifik yang umumnya 

berada di membran sel (carrier). sesudah  melintasi membran, dari ekstraselular ke intraselular, obat dibebaskan kembali. Kebanyakan zat alamiah diresorpsi dengan proses 

aktif ini, misalnya glukosa, asam amino, 

asam lemak dan zat gizi lainnya. Begitu pula 

obat-obat seperti garam besi dan empedu, 

metildopa, vitamin B1, B2 dan B12, mungkin 

juga basa kuat seperti basa amonium kwaterner. 

Berbeda dengan difusi, kecepatan penerusan 

pada transpor aktif tidak tergantung dari 

konsentrasi obat.

2. Resorpsi

Umumnya penyerapan obat dari usus ke 

dalam sirkulasi (resorpsi) berlangsung melalui filtrasi, difusi atau transpor aktif, seperti telah diuraikan di atas. Molekul besar, 

terutama zat lemak, diangkut dengan sistem 

limfe ke darah. Zat hidrofil yang melarut 

dalam cairan ekstra-sel diserap dengan mudah, sedangkan zat-zat yang sukar melarut 

lebih lambat diresorpsi, misalnya kompleks 

prokain-penisilin dan protamin-zinc-insulin.

Kecepatan resorpsi terutama tergantung 

dari bentuk sediaan, cara pemberian dan sifat 

fisiko-kimiawi dari zat aktifnya. Resorpsi dari 

usus ke dalam sirkulasi berlangsung cepat 

bila obat diberikan dalam bentuk terlarut 

(obat cairan, sirop atau obat tetes). Obat padat

(tablet, kapsul atau serbuk) lebih lambat, 

karena harus dipecah dahulu dan zat aktifnya 

perlu dilarutkan dalam cairan lambungusus. Di sini kecepatan larut partikel obat 

(dissolution rate) berperan penting; semakin 

halus semakin cepat larut dan penyerapan 

obat. Hal ini antara lain sangat penting bagi 

asetosal, sulfonamida, griseofulvin, kloramfenikol 

dan teofilin.

Pemberian melalui injeksi intravena (i.v.) 

menghasilkan efek sistemik tercepat,karena 

obat langsung masuk ke dalam sirkulasi. 

Cara ini hanya dilakukan bila diinginkan 

efek cepat dan tidak tersedia jalan lain.

Efek lebih lambat diperoleh dengan injeksi 

intramuskuler (i.m.) dan efek lebih lambat 

lagi via injeksi subkutan (s.c.), karena obat 

harus melintasi banyak membran sel sebelum 

tiba di peredaran darah besar.

Lambung-usus. Obat yang diberikan per 

oral akan diserap dalam saluran lambungusus. Obat harus melintasi membran sel 

dari mukosa dinding organ-organ ini. Kebanyakan obat bersifat asam atau basa 

organik lemah yang dalam larutan mengalami disosiasi menjadi ion. Besarnya ionisasi 

untuk setiap zat berlainan dan tergantung 

dari Konstan disosiasinya (Ka)* dan Derajat 

asam (pH)** lingkungan sekitarnya. 

Molekul yang tak terionisasi serta utuh ber -

sifat lipofil dan lebih mudah diresorpsi 

daripada ion-ion hidrofil. Lebih sedikit obat 

terdisosiasi, semakin lancar pula penyerapannya.

Oleh karena itu untuk resorpsi cepat dan 

optimal dari saluran gastro-intestinal dibutuhkan suatu sifat lipofilitas (larut dalam 

lemak).

Lambung. Obat seperti asetosal dan barbital,

yang bersifat asam lemah, hanya sedikit 

sekali terurai menjadi ion dalam lingkungan 

asam kuat di dalam lambung, sehingga 

resorpsinya baik sekali di dalam organ ini. 

Sebaliknya, basa lemah terionisasi baik pada 

pH lambung dan hanya sedikit diresorpsi, 

misalnya amfetamin dan alkaloida.

Usus halus. Dalam usus halus berlaku kebalikannya, yakni basa lemah yang diserap 

paling mudah, misalnya alkaloida. Beberapa 

obat yang bersifat asam atau basa kuat dengan derajat ionisasi tinggi dengan sendirinya 

diresorpsi sangat lambat. Zat lipofil yang 

mudah larut dalam cairan usus lebih cepat 

diresorpsi daripada zat yang sukar larut. 

Terutama bila penguraiannya cepat, hingga 

perbedaan konsentrasi di kedua belah sisi 

membran tetap tinggi, misalnya asetosal (t½ = 

20 menit; lihat pada Konsentrasi Plasma).

Usus besar mengandung terlalu sedikit air 

untuk melarutkan obat yang belum terlarut 

di dalam usus halus. Selain itu organ ini juga 

tidak memiliki jonjot mukosa (villi) yang 

dapat memperbesar permukaan resorpsi 

dan juga tidak memiliki mekanisme transpor 

aktif. Villi pada usus halus menperbesar 

permukaan resorpsi menjadi 10-15 kali lebih 

luas. Difusi obat dari isi usus besar yang 

telah mengental juga sangat dipersulit. Inilah 

sebabnya mengapa obat yang aktif diserap 

tidak cocok diberikan secara rektal dan mengapa suppositoria sebaiknya dipakai  

pada saat rektum kosong.

3. Biotransformasi

Dewasa ini manusia mengonsumsi lebih 

banyak zat asing dibandingkan dengan seabad yang lalu, misalnya pemakaian  zatzat kimia dalam makanan, seperti pengawet 

dan berbagai zat warna, di samping banyak 

ragamnya obat-obat sintetik mengakibatkan 

meningkatnya risiko baru terhadap kesehatan. Oleh karena itu penting sekali penelitian 

mengenai cara-cara zat asing diuraikan di 

dalam tubuh (biotransformasi), terutama 

pemahaman mengenai daya kerja sistemsistem enzim yang memegang peranan 

sangat besar dalam metabolisme makanan, 

zat pengawet dan obat-obat. 

Pada dasarnya setiap obat yaitu  

zat asing yang tidak diinginkan bagi tubuh, 

karena obat dapat merusak sel dan mengganggu fungsinya. Oleh karena itu, tubuh 

akan berupaya merombak zat asing ini 

menjadi metabolit yang tidak aktif lagi dan 

sekaligus bersifat lebih hidrofil agar memudahkan proses ekskresinya oleh ginjal.

Obat yang telah diserap usus akan dibawa 

ke hati melalui vena porta yang yaitu  

penyuplai aliran darah dari daerah lambungusus ke hati. Dengan pemberian sublingual, 

intrapulmonal, transkutan, parenteral atau rektal (sebagian) sistem porta dan hati dapat 

dihindari. Dalam hati —dan sebelumnya 

juga di saluran lambung-usus— seluruh atau 

sebagian obat mengalami perubahan kimiawi 

secara enzimatik dan pada umumnya hasil 

perubahannya (metabolit) menjadi tidak 

atau kurang aktif. Oleh karena itu proses 

ini juga disebut proses detoksifikasi atau 

bio-inaktivasi (pada obat disebut first pass 

effect, lihat Gambar 3 - 2). Ada pula obat yang 

khasiat farmakologinya justru diperkuat 

(bio-aktivasi), oleh karena itu reaksi-reaksi 

metabolisme dalam hati dan beberapa organ 

lain lebih tepat disebut biotransformasi.

Contoh-contoh dari obat yang menjadi 

lebih aktif karena proses biotransformasi 

yaitu  kortison dan prednison (menjadi kortisol 

dan prednisolon), fenasetin dan kloralhidrat

(menjadi parasetamol dan trikloretanol), primidon dan levodopa (menjadi fenobarbital dan

dopamin), imipramin menjadi desipramin. Ada 

pula obat yang menghasilkan metabolit dengan aktivitas sama, misalnya klorpromazin, 

efedrin dan banyak senyawa benzodiazepin.

Proses biotransformasi 

tergantung dari banyak faktor

Berbagai jenis zat di resorpsi dalam saluran 

gastro-intestinal yang masing-masing mengalami “nasib” berlainan, ada yang diekskresi

dalam bentuk asal (kebanyakan kation dan 

anion anorganik), di samping juga banyak 

zat-zat organik mengalami perubahan kimiawi dalam tubuh. 

Proses biotransformasi tergantung dari 

susunan kimia, juga dari struktur ruangnya, 

misalnya biotransformasi senyawa rasemis

dapat berlainan untuk masing-masing bentuk 

levo- dan dekstronya.

Kecepatan biotransformasi dalam plasma 

darah sangat beragam dan dinyatakan dalam persentase zat yang diuraikan dalam 

satuan waktu. Inilah yang disebut biological 

halftime (t½), yaitu waktu yang dibutuhkan 

sampai kadar senyawa tertentu menurun 

sampai setengahnya. Perubahan-perubahan 

kimiawi in vitro sering kali berlangsung 

dengan kecepatan sangat berbeda dengan 

yang berlangsung secara enzimatik in vivo. 

Sangat menarik bahwa banyak perubahan 

in vivo (enzimatik) demikian tidak dapat 

di”tiru” in vitro.

Sering kali hasil dari biotransformasi hanya 

dapat dikenali secara kwalitatif, tetapi tidak/

sukar sekali secara kwantitatif karena kadar 

hasil biotransformasi demikian sangat kecil, 

misalnya berbagai hasil biotransformasi yang 

diekskresi ke dalam urin sehingga tidak 

semua hasil penguraian dapat dideteksi secara kwantitatif. 

Kecepatan biotransformasi tergantung juga dari misalnya jenis kelamin, usia, diet, 

kesehatan dan aktivitas enzim-enzim hati.

Di samping hati sebagai organ biotransformasi utama, obat dapat ditransformasi 

pula di beberapa organ lain, seperti di 

paru-paru, ginjal, dinding usus (asetosal, 

salisilamid, lidokain) dan juga di dalam darah 

(succinylcholine) serta di dalam jaringan 

(catecholamin), karena enzim untuk proses 

ini juga ada  di dinding usus, kulit, 

ginjal dan paru.

Perlu diperhatikan bahwa beberapa enzim pada neonati tidak dapat dideteksi atau 

berfungsi lemah dan baru sesudah  ±8 minggu 

bekerja penuh. Inilah salah satu sebab mengapa banyak jenis obat bekerja lebih kuat 

pada anak-anak yang sangat muda dibanding 

dengan orang dewasa.

Bioformasi terpenting yang dikatalisasi 

oleh enzim-enzim hati terdiri dari proses 

oksidasi (misalnya senyawa alkohol), reduksi (mis. senyawa nitro atau azo) dan 

hidrolisa yang kemudian diekskresi melalui urin atau empedu, atau dibiotransformasi lagi, atau dikonyugasi (terutama 

hasil reduksi atau oksidasi). Konyugasi

yaitu  “memasukkan” gugusan organik 

fungsional (asam glukuron menjadi glukuronida; asam amino glutamin) pada 

molekul dari senyawa bersangkutan. Dalam konyugasi termasuk antara lain proses 

metilasi (amina, senyawa dengan gugusan 

fenol) dan asetilasi. 

Bio-availability (BA, kesetaraan biologis) suatu 

sediaan obat yaitu  persentase obat utuh 

yang mencapai sirkulasi sistemik. Persentase 

obat yang diberikan dengan cara disuntikkan 

melalui vena yaitu  100%. Selama proses 

resorpsi dapat terjadi kehilangan zat aktif 

akibat misalnya tidak dibebaskan dari 

sediaannya. Atau sesudah  pemberian per 

oral sebagian dari obat yang diresorpsi di 

metabolisasi oleh enzim-enzim, di sel-sel 

dinding usus, oleh kuman-kuman usus 

atau dalam hati selama peredaran pertama 

di sistem porta, sebelum tiba di peredaran 

umum. Karena first-pass-effect (FPE) ini, 

maka bio-availability obat menjadi lebih 

rendah daripada persentase yang sebenarnya 

diserap. FPE juga sering menyebabkan perbedaan BA individual yang besar, sehingga 

bisa berbeda sampai empat kali. 

Obat-obat yang memperlihatkan FPE 

besar yaitu  antara lain efedrin, isoprenalin, thiazinamium, lidokain, nortriptilin dan

klorpromazin, beta-blockers (propranolol, alprenolol, oksprenolol, metoprolol) reserpin dan

guanetidin, morfin, pentazosin dan d-propoksifen, 

asetosal, parasetamol dan fenilbutazon.

Skematis efek FPE atas BA obat dan peredaran umum dapat digambarkan sebagai 

berikut: lihat Gambar 3-2.

Reaksi transformasi. Perombakan-perombakan kimiawi pada molekul-molekul suatu senyawa di dalam hati atau di saluran 

pencernaan oleh enzim-enzim mikrosomal1[1]

dan meliputi sejumlah reaksi biokimiawi,

a. reaksi perombakan, yaitu:

– oksidasi: alkohol, aldehida, asam dan zat 

hidratarang dioksidasi menjadi CO2 dan 

air. Sistem enzim oksidatif terpenting di 

saluran lambung-usus dan dalam hati 

yaitu  cytochrom P450 (CYP450), yang 

bertanggung-jawab atas banyak reaksi 

perombakan oksidatif. Sistem ini terbagi 

dalam beberapa bagian dengan kode 

CYP yang terdiri dari beberapa subfamili 

(CYP2C9, CYP2C19, CYP2D6) dan enzim-enzim individual, antara lain yang 

terpenting yaitu  CYP3A4. 

– reduksi: misalnya kloralhidrat direduksi 

menjadi trikloretanol, vitamin C menjadi 

dehidroaskorbat.

– hidrolisa: molekul obat mengikat 1 molekul 

air dan pecah menjadi dua bagian, misalnya penyabunan ester oleh esterase, gula 

oleh karbohidrase (maltase dan lain-lain) 

dan asam karbonamida oleh amidase.

Reaksi perombakan tersebut juga disebut 

reaksi tipe-1 dan menghasilkan produkproduk (metabolit) yang klinis tidak aktif 

atau memiliki efek/efek samping yang 

menyimpang dari zat aslinya.

b. reaksi penggabungan (konyugasi). Di sini molekul obat bergabung dengan suatu 

molekul yang ada  di dalam tubuh 

sambil mengeluarkan air, misalnya dengan 

zat-zat alamiah berikut:

– asetilasi; asam cuka mengikat gugus-amino 

yang tak dapat dioksidasi, misalnya 

asetilasi dari sulfonamida dan piramidon

– sulfatasi; asam sulfat mengikat gugus-OH 

fenolis menjadi ester, misalnya estron 

(sulfat)

– glukuronidasi; asam glukuronat membentuk 

glukuronida dengan mengikat gugus-OH 

(fenolis) (morfin, kamfer dan sebagainya) 

dan trikloretanol

– metilasi; molekul obat bergabung dengan 

gugus-CH3, misalnya nikotinamid dan 

adrenalin menjadi derivat metilnya.

Reaksi konyugasi tersebut juga disebut 

reaksi tipe-2 dan menghasilkan produkproduk yang pada umumnya farmakologis 

tidak aktif.

Kecepatan biotransformasi umumnya bertambah bila konsentrasi obat meningkat. Hal 

ini berlaku sampai titik di mana konsentrasi 

obat menjadi demikian tinggi hingga seluruh 

molekul enzim yang melakukan pengubahan 

ditempati terus-menerus oleh molekul obat 

dan tercapainya kecepatan biotransformasi 

yang konstan. Sebagai contoh dapat disebut 

natriumsalisilat dan etanol bila diberikan 

dengan dosis yang melebihi 500 mg dan 20 

g. Pada grafik konsentrasi-waktu dari etanol 

(lihat Gambar 3-2) kecepatan biotransformasi 

konstan ini terlihat dari turunnya secara 

konstan konsentrasinya dalam darah.

Faktor-faktor lain. Di samping konsentrasi 

ada  pula beberapa faktor lain yang dapat 

memengaruhi kecepatan biotransformasi, 

antara lain:

a. fungsi hati. Pada gangguan fungsi hati, 

metabolisme dapat berlangsung lebih 

cepat atau lebih lambat, sehingga efek 

obat menjadi lebih lemah atau lebih kuat 

dari yang diharapkan.

b. usia. Pada bayi yang baru dilahirkan 

(neonati) semua enzim hati belum terbentuk lengkap, sehingga reaksi-reaksi 

metabolismenya lebih lambat (terutama 

pembentukan glukuronid), antara lain 

pada kloramfenikol, sulfonamida, diazepam, barbital, asetosal dan petidin. 

Untuk menghindari overdosis dan keracunan, obat-obat ini perlu diturunkan 

dosisnya. Sebaliknya dikenal obat-obat 

yang metabolismenya pada anak-anak 

berlangsung lebih cepat dibandingkan 

pada orang dewasa, misalnya anti-epileptika fenitoin, fenobarbital, karbamazepin, valproat dan etosuksimida. Dosis 

obat ini harus dinaikkan seperlunya berdasarkan hasil monitoring kadar plasma. 

*Manula mengalami kemunduran pada banyak proses fisiologinya, antara 

lain fungsi ginjal dan filtrasi glomeruli, 

sedangkan jumlah total air-tubuh dan 

albumin-serum berkurang, begitu pula 

enzim-enzim hatinya. Semua ini pada 

umumnya menyebabkan terhambatnya 

biotransformasi, yang sering kali berefek 

kumulasi dan keracunan. Yang terkenal 

dalam hal ini yaitu  obat jantung digoksin, propranolol dan fenilbutazon. 

Pengecualian yaitu  fenitoin yang justru 

dirombak lebih cepat dengan efek yang 

lebih singkat, lih. juga Bab 4, sub 8b.

c. faktor genetik. Ada orang yang tidak 

memiliki faktor genetik tertentu, misalnya 

enzim untuk asetilasi sulfadiazin atau 

INH. Akibatnya perombakan obat-obat 

ini lambat sekali.

d. pemakaian  obat lain. Banyak obat, 

terutama yang bersifat lipofil dapat menstimulasi pembentukan dan aktivitas 

enzim-enzim hati. Hal ini disebut induksi enzim. Sebaliknya dikenal pula banyak 

obat yang menghambat atau menginaktifkan enzim tersebut (inhibisi enzim),

misalnya antikoagulansia, antidiabetika 

oral, sulfonamida, antidepresiva trisiklis, 

metronidazol, alopurinol dan disulfiram.

Induksi enzim. Bila obat yang dapat menstimulasi aktivitas enzim hati sering kali 

dipakai , maka biotransformasinya dipercepat dan juga ekskresinya, sehingga 

jangka waktu kerjanya diperpendek. Dengan 

demikian pada analgetika dan barbiturat 

tertentu terjadi toleransi (lihat Bab 4, sub 6). 

Karena enzim-enzim ini kerjanya tidak selektif, artinya tidak bekerja terhadap hanya 

satu obat, maka metabolisme obat-obat 

lain yang dipakai  bersamaan juga dapat 

dipercepat sehingga aktivitas dan lama kerjanya berkurang. Hal ini menjelaskan beberapa interaksi obat, antara lain obat TBC 

rifampisin yang mengurangi efek pil antihamil, sedangkan fenobarbital menurunkan 

efek antikoagulansia, lihat juga Bab 4, Sub 12.

Obat yang terkenal mengakibatkan induksi 

enzim yaitu  barbiturat, anti-epileptika 

(fenitoin, primidon, karbamazepin), klofibrat, alkohol (pada pemakaian  kronis), 

fenilbutazon, griseofulvin dan spironolakton. 

Bahan penyegar dan makanan juga dapat 

mengandung induktor enzim, misalnya 

minum kopi (kofein), merokok atau makan 

sate yang dibakar di atas arang. Asap rokok 

dan arang sudah diketahui mengandung

antara lain benzopiren, yaitu suatu zat karsinogen bersifat induksi enzim. Oleh karena 

itu pada perokok berat khasiat sejumlah obat 

dapat sangat berkurang, misalnya analgetika

(fenasetin, pentazosin dan d-propoksifen) 

dan benzodiazepin (diazepam, nitrazepam, 

dan lain-lain). Induksi enzim pada kuman 

ditimbulkan oleh penisilin, yang menstimulasi terbentuknya penisilinase pada stafilokoki.

Variasi individual. Selain faktor-faktor luar 

tersebut, aktivitas enzim hati tergantung 

pula pada faktor keturunan (genetika). Aktivitas ini dapat berbeda secara individual, 

misalnya enzim asetilase lazimnya lebih aktif 

pada orang kulit hitam dan Asia daripada 

pada orang kulit putih. Kadang-kadang 

asetilasi cepat juga dapat mengakibatkan 

peningkatan dengan cepat metabolit toksik, 

sehingga terjadi efek samping buruk. 

Umpamanya obat TBC INH, yang dapat 

menimbulkan hepatitis pada penderita 

tbc, membutuhkan dosis yang 50% lebih 

tinggi (libat Bab 9, Tuberkulostatika). Pada 

fenitoin dan antidepresiva trisiklis, variasi 

individual dapat sangat besar dan tidak 

jarang menyebabkan efek terapi yang tidak 

menentu sampai gagalnya pengobatan.

4. Distribusi

Obat yang telah melalui hati bersamaan dengan metabolitnya disebarkan secara merata 

ke seluruh jaringan tubuh, khususnya melalui peredaran darah. Lewat kapiler dan 

cairan ekstra-sel (yang mengelilingi jaringan) obat diangkut ke tempat kerjanya di 

dalam sel (cairan intra-sel) organ atau otot 

yang sakit. Tempat kerja ini hendaknya memiliki penyaluran darah yang baik, karena 

obat hanya dapat melakukan aktivitasnya 

bila konsentrasi setempatnya cukup tinggi 

selama waktu yang cukup lama.

Sering kali distribusi obat tidak merata 

akibat beberapa gangguan, yaitu adanya 

rintangan, misalnya sawar darah-otak (cerebro-spinal barrier) dan terikatnya obat pada 

protein darah atau jaringan dan lemak. 

Cairan cerebro-spinalis (CCS, cairan otak)

mengelilingi otak dan sumsum belakang, 

dan terpisah dari darah oleh suatu membran 

semipermeabel, yaitu dinding kapiler otak. 

Obat yang terutama memberikan efeknya di 

sistem saraf pusat perlu ditranspor ke tempat 

ini (biofase), misalnya untuk beberapa penyakit seperti tbc, Parkinson, demensia dan 

meningitis (radang otak). Ternyata bahwa 

rintangan darah-otak ini (membran) tidak 

dapat ditembus oleh banyak zat hidrofil 

(misalnya streptomisin), tetapi mudah sekali 

dilalui oleh zat-zat lipofil seperti sulfonamid, 

minosiklin dan levodopa. Antibiotika lain 

seperti penisilin, kloramfenikol dan tetrasiklin, dapat melintasi membran rintangan 

ini hanya pada dosis besar, bahkan bila perlu 

harus diberikan melalui injeksi intravena.

Sawar darah otak (blood-brain barrier) 

juga berperan pada timbulnya kerja samping 

sentral dari berbagai obat lipofil.

Pengikatan protein-darah. Sebagian obat 

di dalam darah diikat secara reversibel (= 

dapat dibalik) pada protein plasma. Zat yang 

bersifat asam terikat terutama pada albumin

yang jumlahnya jauh lebih besar daripada 

protein lainnya. Zat basa mengikat diri pada 

glikoprotein asam, seperti globulin, misalnya doksisiklin dan hormon-hormon kortisol 

dan tiroksin, atau juga pada sel darah merah, 

misalnya klorpromazin. Bagian obat yang 

terikat akan hilang aktivitas farmakologinya 

dan menjadi inaktif, tetapi tidak mengalami 

biotransformasi dan ekskresi.

Albumin memiliki afinitas terkuat bagi 

obat-obat anionik (asam-asam lemah) dan 

obat hidrofob. Kebanyakan obat hidrofil dan 

obat netral tidak diikat oleh albumin.

Persentase pengikatan (PP) tergantung pada 

konsentrasi obat di dalam darah dan dapat 

diukur in vitro. Antara jumlah molekul yang 

terikat dan yang bebas ada  perbandingan 

tetap: konstan asosiasi ini yaitu  spesifik 

bagi tiap obat. Sebagai ilustrasi, berikut ini 

diberikan PP rata-rata dari beberapa obat 

pada dosis lazimnya: lihat Tabel 3-1.

Zat lipofil pada umumnya lebih banyak 

terikat pada albumin daripada zat hidrofil, 

misalnya salisilat (asetosal) lebih banyak

daripada antipirin yang mudah larut dalam 

air. Zat lain yang memiliki daya larut baik 

dalam air praktis tidak terikat, misalnya 

etanol, urea dan kofein. Begitu pula zat-zat 

asam lebih banyak terikat pada protein dibandingkan dengan zat yang bersifat basa. 

Kompetisi pengikatan untuk tempat pengikatan pada molekul protein adakalanya 

terjadi, karena kapasitas pengikatan ada 

batasnya. Hal ini terutama penting sekali 

pada obat dengan pentakaran tinggi (500 

mg atau lebih) dan PP besar. Misalnya 

asetosal bila diberikan bersamaan dengan 

fenprokumon (Marcoumar) akan mendesak 

antikoagulan ini dari ikatan proteinnya, 

hingga PP-nya menurun. Penurunan dari 

99% ke 98% sudah berarti kadar obat bebas 

(yang aktif) meningkat 2 kali lipat (dari 1% 

menjadi 2%) dan dapat mengakibatkan perdarahan yang tak diinginkan. Lihat selanjutnya Bab 4, Interaksi obat.

* Efek depot. Pengikatan protein dapat 

dianggap sebagai suatu cara untuk menyimpan obat, karena bagian yang terikat tidak dirombak atau diekskresi. Pada 

umumnya, ikatan protein bersifat agak 

lemah (kecuali pada kliokinol dan obat 

diagnostik iod), segera bila kadar obat bebas menurun, kompleks obat-protein terurai dan obat terlepas kembali, hingga 

kadar obat bebas hampir tidak berubah.

* Distribusi obat ke berbagai kompartimen 

cairan dan jaringan terhambat oleh pengikatan 

protein, karena molekul besar seperti kompleks protein sukar sekali melintasi membran 

sel. Sebaliknya obat bebas dan aktif mudah 

melintasi membran, misalnya antipirin dengan PP hanya 10%. Semakin besar PP, 

semakin rendah kadar obat bebas. Namun, 

jika PP melebihi 80% pengurangan distribusi 

menjadi sangat nyata. Bila kadar obat 

bebas dalam semua kompartimen cairan 

sudah sama rata, distribusi obat terikat juga 

mencapai posisi keseimbangan. CCS hanya 

mengandung sedikit protein. Oleh karena 

itu, obat dengan PP tinggi walaupun kadar 

totalnya di dalam darah besar, kadarnya 

dalam CCS jauh lebih rendah dan hampir 

sama dengan kadar obat bebas dalam plasma, 

misalnya sulfadimetoksin.

* Ekskresi dari obat yang dikeluarkan dengan 

jalan filtrasi glomeruli sangat diperlambat, 

karena hanya obat bebas mengalami filtrasi. 

Obat yang diekskresi secara aktif tidak terpengaruh oleh pengikatan, misalnya benzilpenisilin (PP ±50%) hampir diekskresi seluruhnya dengan cepat.

* Kumulasi yaitu  penumpukan suatu zat/

obat dalam tubuh karena per satuan waktu 

suplainya lebih besar daripada eliminasinya. 

Beberapa obat memperlihatkan afinitas (gaya 

tarik) terhadap jaringan-jaringan tertentu 

dan ditimbun di jaringan tersebut. Karena 

konsentrasi obat di jaringan atau organ tersebut menjadi sangat tinggi, sifat kumulasi 

menjadi bermanfaat sekali untuk mengobati 

penyakit organ bersangkutan. Yang terkenal

yaitu  glikosid digitalis yang dikumulasi 

secara selektif dalam otot jantung (sebagian 

kecil juga dalam hati dan ginjal). Begitu pula 

vitamin B12, obat-obat malaria dan obatobat disentri amuba (mepakrin dan klorokuin) 

ditimbun dalam hati. Contoh lain yaitu  fungistatik griseofulvin yang dikumulasi dalam 

kuku dan rambut serta klorpromazin dengan 

afinitas kuat terhadap otak. lod radio-aktif 

dipakai  untuk mengobati hiperfungsi kelenjar tiroid, karena secara selektif dikumulasi 

di organ itu.

Diketahuinya lokasi kumulasi berbagai obat 

bermanfaat pula untuk menilai efek samping 

dan efek toksiknya. Misalnya logam dan 

tetrasiklin dikumulasi pada tulang dan gigi 

(menjadi kuning). Oleh sebab itu, antibiotika 

ini jangan diberikan pada anak-anak kecil 

yang giginya masih dibentuk. Begitu pula kalsium ditimbun dalam kolagen (sejenis jaringan 

pengikat) dan arsen dikumulasi dalam keratin (rambut, kuku).

* Kumulasi dalam lemak terjadi dengan 

beberapa obat lipofil, misalnya DDT, barbital 

kerja singkat (thiopental), anestetika halogen 

(kloroform, halothan) dan zat-zat estrogen

tertentu. Sebagaimana PP (pengikatan protein plasma), terjadinya kumulasi obat di 

organ atau jaringan tertentu yaitu  

suatu cara penimbunan, dari mana obat berangsur-angsur dilepaskan kembali ke dalam 

peredaran bila konsentrasinya di lokasi tersebut menurun. Dengan demikian daya kerja obat diperpanjang pula. Pada penilaian 

aktivitas obat-obat yang bersifat kumulasi 

perlu diperhatikan bahwa antara konsentrasi 

plasma dan efek terapeutiknya tidak ada  hubungan langsung.

5. Ekskresi

Pengeluaran obat atau metabolitnya dari 

tubuh terutama dilakukan oleh ginjal melalui 

urin dan disebut ekskresi. Selain itu ada pula 

beberapa cara lain, yaitu melalui:

– kulit, bersama keringat, misalnya paraldehida dan bromida (sebagian);

– paru-paru, melalui pernapasan, biasanya 

hanya zat-zat terbang, seperti alkohol, 

paraldehida dan anestetika (kloroform, 

halotan, siklopropan);

– empedu. Ada obat yang dikeluarkan 

dengan empedu secara aktif oleh hati, 

misalnya fenolftalein (pencahar). sesudah  

tiba kembali dalam usus obat diresorpsi 

lagi. Peristiwa inilah yang dinamakan 

siklus enterohepatik yang memperpanjang eksistensi obat dalam tubuh dan 

pada umumnya juga memperpanjang 

efeknya, tetapi akhirnya dengan induksi 

enzim diubah menjadi metabolit yang 

mudah diekskresi ginjal. Adakalanya 

obat di dalam usus diionisasi hingga tidak diresorpsi kembali dan dikeluarkan 

dengan tinja. Contoh lain yaitu  zat-zat 

asam (asam empedu, asam organik iod, 

yang dipakai  sebagai obat diagnostik 

saluran empedu) dan antibiotika penisilin, eritromisin serta rifampisin, yang melarut baik di dalam empedu dan digunakan pada penyakit infeksi saluran empedu. Pada umumnya obat dengan berat 

molekul di atas 600 Dalton cenderung 

dikeluarkan oleh tubuh melalui empedu. 

* Air susu ibu. Cara ekskresi ini hanya 

penting diperhatikan untuk bayi, karena 

dapat menimbulkan keracunan. Misalnya 

alkohol, obat-obat tidur, nikotin (rokok!) dan 

alkaloida (karena pH air susu ±6,7 dan lebih 

rendah dari pH darah). Yang sangat berbahaya yaitu  obat yang diekskresi dalam 

jumlah agak besar melalui air susu, seperti 

penisilin (sensitasi!), kloramfenikol, INH, ergotamin, antikoagulansia dan antitiroida, karena sistem enzim hati pada neonati belum 

berkembang dengan sempurna.

* Usus. Zat-zat yang tidak atau tidak lengkap 

diresorpsi usus dikeluarkan dengan tinja, misalnya sulfasuksidin, neomisin dan sediaansediaan besi.

Ginjal. Kebanyakan obat dikeluarkan melalui air seni dan lazimnya setiap obat yang 

diekskresi sebagai metabolitnya dan hanya 

sebagian kecil dalam keadaan asli/ utuh misalnya penisilin, tetrasiklin, digoksin dan 

salisilat. Zat-zat dalam bentuk ion yang mudah larut di air seni diekskresi dengan mudah. 

Zat-zat lipofil dan zat-zat tak terionisasi lebih 

lambat ekskresinya; untuk meningkatkan

sifat hidrofilnya, pada biotransformasi dimasukkan gugus -OH dan atau -COOH ke 

dalam molekulnya. Dengan jalan oksidasi

rantai samping dan konyugasi, keasaman 

asam-asam lemak dinaikkan agar disosiasi 

dan demikian pula ekskresinya diperkuat. 

Ginjal memiliki beberapa mekanisme ekskresi obat, yang pada hakikatnya tidak berbeda dengan mekanisme transpor umum 

yang berlaku bagi membran-membran lain, 

yakni transpor secara pasif atau aktif.

a. Filtrasi glomeruli (pasif). Obat dan metabolitnya yang terlarut dalam plasma melintasi dinding glomeruli dengan ultrafiltrat secara pasif (lihat Bab 33, Diuretika, 

fisiologi ginjal). Selama filtrat ini dipekatkan dalam tubuli, zat-zat lipofil berdifusi 

kembali secara pasif melalui membran

selnya ke dalam darah dan dengan demikian menghindari ekskresi. Zat-zat hidrofil hampir tidak didifusi kembali dan 

langsung dikeluarkan lewat urin. Ekskresi 

dapat diperlancar dengan memperkuat 

disosiasi obat yang kebanyakan bersifat 

asam atau basa lemah dengan derajat 

ionisasi agak ringan. Misalnya untuk asam 

seperti barbital dapat diberikan natriumbikarbonat hingga air seni bereaksi basa. 

Untuk alkaloida pemberian amoniumklorida akan meningkatkan keasaman air 

seni, sehingga obat tersebut lebih banyak 

terionisasi.

b. Transpor aktif. Tubuli dapat mensekresi 

secara aktif zat-zat tertentu, misalnya ion 

asam organik seperti penisilin, vitamin 

C, asam salisilat, juga probenesid. Sekresi 

berlangsung dengan bantuan enzim pengangkut dan kadang-kadang terjadi persaingan antara beberapa ion untuk enzim 

ini. Misalnya probenesid menyaingi penisilin untuk enzim pengangkutnya, sehingga ekskresi antibiotikum ini diperlambat dan efek kerjanya lebih panjang.

6. Konsentrasi plasma

Untuk dapat menilai suatu obat (baru) 

secara klinis, menetapkan dosis dan skema 

pentakarannya yang tepat, perlu adanya 

sejumlah data farmakokinetika. Khususnya 

mengenai kadar obat di tempat tujuan 

(target site) dan dalam darah, serta perubahan kadar ini dalam waktu tertentu. Pada 

umumnya pengaruh efek obat tergantung 

pada konsentrasinya di organ target dan 

berhubungan erat pula dengan konsentrasi 

plasma. Pada obat yang resorpsinya baik, 

kadar plasma meningkat bila dosisnya diperbesar. Kadar obat dalam plasma, yang 

nilainya kurang lebih sama dengan konsentrasinya dalam darah, dapat diukur melalui 

alat-alat khusus dengan keseksamaan dari 

satu per seribu mg (0,001 mg). Untuk obatobat yang diberikan terus-menerus sebaiknya dipakai  yang absorpsi/resorpsinyalambat, sehingga fluktuasi dari konsentrasi 

plasmanya kecil. 

Dengan mengambil contoh darah seorang 

pasien yang telah diberikan suatu dosis 

obat tertentu pada beberapa titik waktu dan 

mengukur kadarnya dalam sampel darah 

tersebut, dapat digambarkan nilai kadarnya sebagai fungsi dari waktu (grafik konsentrasi-waktu).

Gambar 3-3 memperlihatkan grafik lengkung yang lazim pada kebanyakan obat. Di 

sini dapat dilihat bahwa obat A mencapai 

konsentrasi puncak dalam waktu 1 jam, lalu 

menurun. Penurunan ini pada awalnya agak 

cepat dan kemudian dengan berkurangnya 

konsentrasi akan berlangsung secara berangsur-angsur, yaitu secara eksponensiil. Hal 

ini disebabkan eliminasi obat setiap menit 

menjadi semakin kecil. Obat B menunjukkan penurunan kadar plasma yang lebih 

berangsur-angsur.

Ada pula obat yang pada dosis besar 

menghasilkan grafik lurus yang menurun 

secara linier, misalnya natriumsalisilat lebih 

dari 500 mg dan alkohol lebih dan 20 g. 

Lihat Gambar 3-4. Pada grafik ini turunnya 

kadar plasma etanol sesudah  diberikan per 

oral sebanyak 25 ml, berbanding langsung 

dengan waktu, artinya jumlah etanol yang 

mengalami biotransformasi dan ekskresinya 

setiap menit yaitu  sama.

Kurve konsentrasi-waktu terutama berguna 

pada pemberian obat yang dosis terapinya 

dekat sekali dengan dosis toksiknya, seperti 

pada digoksin dan obat depresi litiumkarbonat. Begitu pula bila fungsi ginjal atau hati 

terganggu hingga eliminasi obat diperlambat, 

atau pada peristiwa keracunan, misalnya 

barbital atau salisilat.

Dengan luas terapi dimaksudkan selisih 

antara jumlah obat yang diperlukan untuk 

efek terapi dan dosis toksiknya. Efek toksik 

akan cepat timbul pada overdosis kecil atau 

kumulasi dari obat yang memiliki luas terapi