Tampilkan postingan dengan label neurologi 35. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label neurologi 35. Tampilkan semua postingan

neurologi 35













NYERIKANKER 



Nyeri kanker merupakan komplikasi 

kanker yang paling sering ditemui pada 

pasien kanker. Frekuensinya sekitar 30-

50% pada pasien yang sedang menjalani 

terapi dan meningkat hingga 70-90% pada 

kanker tahap lanjut. Oleh karena sifat 

nyerinya yang bisa memberat secara terus 

menerus dalam jangka waktu yang lama, 

maka pasien dapat mengalami gangguan 

tidur dan nafsu makan hingga depresi. Tak 

heran bahwa nyeri kanker menjadi sangat 

ditakuti oleh penderitanya dan merupakan 

salah satu target pada terapi kanker secara 

keseluruhan. National Comprehensive 

Cancer Network (NCCN) dalam Panduan 

Nyeri Kanker 2016 menyatakan bahwa 

kesintasan penderita berhubungan erat 

dengan manajemen gejala kanker yang baik, 

termasuk manajemen nyeri kanker, dalam 

meningkatkan kualitas hidup. 

Keluhan nyeri ini dapat dirasakan dalam 

setiap fase perkembangan kanker (Gambar 

1), mulai dari fase penegakan Diagnosa  

ataupun staging, fase kemoterapi, fase 

pembedahan, fase remisi, fase relaps, 

ataupun fase kesintasan (survivorship). 

Sindrom nyeri kanker dapat dibagi secara 

luas menjadi tipe akut dan kronik. Sindrom 

nyeri kanker akut biasanya ditemukan 

dalam proses diagnostik atau terapi  

intervensi, sedangkan pada yang kronik 

berhubungan langsung dengan kanker itu 

sendiri atau terapi antineoplastik. 

EPIDEMIOLOGI 

WHO World Cancer Report 2014 

menunjukkan angka insidens kejadian 

Diagnosa  kanker baru dan angka kematian 

akibat kanker yang tinggi dan diperkirakan 

meningkat sebanyak 70% dalam dua dekade 

ke depan. Sebanyak 70% pasien kanker 

dapat mengeluhkan keluhan nyeri, yaitu 30-

50% pada suatu saat dalam terapi hingga 

90% pada stadium kanker lanjut. 

PATOFISIOLOGI 

Pada awalnya, nyeri kanker dapat berhubungan dengan terapi kanker itu sendiri, misalnya 

prosedur bedah terkait biopsi diagnostik 

atau terapi, efek samping obat kemoterapi, 

dan terapi radiasi. Seiring perjalanan penyakit, nyeri kanker akan semakin intens. Hal ini 

disebabkan oleh kerusakan nosiseptor akibat 

pertumbuhan tumor. Selain itu, nosiseptor 

juga menjadi tersensitisasi oleh penglepasan 

faktor-faktor dari sel kanker dan sel stromal, 

misalnya nerve growth factor. Bila perjalanan 

penyakit kanker terus berlanjut, maka terjadi 

proses pembentukan nerve sprouting ektopik 

dan neuroma. Hal ini yaitu  salah satu faktor 

yang mendasari terjadinya nyeri sontak pada 

pasien kanker (Gambar 1). 

 Evolusi nyeri kanker semng perjalanan 

penyakitnya ini tidak lepas dari patofisiologi 

dari nyeri kanker. Ada pun patofisiologi nyeri 

kanker terdiri dari beberapa proses, yaitu: 

1. Faktor-faktor Sel Tumor 

Sel tumor mensekresi berbagai faktor yang 

diperlukan untuk pertumbuhannya, seperti bradikinin, kanabinoid, endotelin, interleukin-6 (IL-6), granulocyte-macrophage 

colony-stimulating factor (GM-CSF), nerve 

growth factors (NGF), protease, dan tumor 

necrosis factor-a (TNF-a), yang merangsang reseptor nyeri (Gambar 2). 

2. Asidosis Jaringan Terinduksi Sel Tumor 

Sel kanker secara umum mempunyai 

pH yang rendah (6,8) jika dibandingkan 

dengan sel normal (pH 7,2) akibat sekresi 

asam laktat hasil glikolisis anaerob. 

Jaringan sekitar tumor dengan pH rendah 

ini akan mengaktifkan ujung serabut 

saraf sensori bebas dan mengaktifkan 

transient receptor potential vanilloid 1 

(TRPVl) atau reseptor kapsaisin. Sensasi 

sensorik yang ditimbulkan yaitu  rasa 

panas di daerah jaringan tumor. 

Massa kanker memiliki komposisi sel-sel 

inflamasi dan pembuluh darah yang sering 

berdekatan dengan nosiseptor. Sel kanker 

dan sel inflamasi ini  melepaskan 

berbagai sitokin, seperti adenosine 

SI?J-triphosphate (ATP), bradikinin, W, nerve 

growth factor (NGF), prostaglandin, dan 

vascular endothelial growth factor (VEGF) 

yang bisa mengeksitasi atau sensitisasi 

nosiseptor. Stimulus nyeri ini  

dihantarkan oleh saraf perifer melalui 

ganglion radiks dorsalis menuju medula 

spinalis dan pusat yang lebih tinggi di 

otak. Aktivasi nosiseptor memicu  

penglepasan neurotransmiter, antara lain 

calcitonin gene-related peptide (CRGP), 

endotelin, histamin, glutamat, dan substansi  

. Selain itu, terjadi juga penglepasan 

prostaglandin dari ujung terminal saraf 

sensorik, sehingga dapat menginduksi 

ekstravasasi plasma, aktivasi sel-sel imun, 

dan vasodilatasi. 

3. Instabilitas Mekanik Skeletal 

Terinduksi Sel Tumor 

Tulang merupakan daerah yang sering 

mengalami metastasis. Untuk menyiapkan tempat tumbuhnya, sel kanker merangsang osteoblas mengekspresikan activator 

of nuclear factor kappa-B (RANK) dan osteoprotegerin (OPG). RANKL kemudian 

berikatan dengan ligannya (RANKL), 

sehingga terjadi pematangan osteoklas. 

Interaksi OPG dengan RANKL akan me-

643 

ningkatkan resoprsi tulang. Peningkatan 

osteoklas yang matang juga memicu tulang melepaskan insulin growth 

factor (IGF)-1 dan tumor growth factor 

(TGF)-~ yang akan mengaktifkan jalur 

kaskade seperti sebelumnya, sehingga 

terjadi proses resorpsi tulang terusmenerus (Gambar 3). 

Sel kanker juga menghasilkan sitokin, 

seperti IL-6, IL-11, prostaglandin 

E2, dan tumor necrosis factor alpha 

(TNF-a), yang berperan menginduksi 

pembentukan osteoklas dan supresi 

osteoblas. Sementara prostaglandin E2 

meningkatkan pembentukan osteoklas 

dengan menambah . jumlah produksi  

RANKL. Aktivasi osteoklas ini  

memicu destruksi tulang, sehingga 

mengaktifkan sera but saraf be bas dalam 

tulang dan terjadi penekanan serta 

edema pada jaringan sekitarnya yang 

menimbulkan nyeri hebat saat bergerak 

atau menyangga beban dan instabilitas 

mekanik tulang.  

4. Kerusakan Sel Saraf Akibat Tumor 

dan Nyeri Neuropatik 

Sel tumor dan sel stromal dapat menginfiltrasi jaringan ikat di sekitarnya yang 

mengandung serabut saraf bebas. Sel 

abnormal ini akan menhancurkan bagian distal dari serabut saraf sensoris 

bebas, dan sejalan dengan waktu akan 

memicu diskontinuitas dan frag-

644 

mentasi sel saraf. Selain itu, sel saraf ini 

juga dapat mengalami kerusakan akibat 

kemoterapi, pembedahan, atau radiasi. 

Pad a metastasis ke tulang vertebra dapat 

terjadi fraktur kompresi yang memicu  kerusakan pedikel dan menekan 

radiks, sehingga menimbulkan nyeri radikular.  

5. Formasi Neuroma dan Pertumbuhan 

Saraf Terinduksi Sel Tumor 

Sel tumor dan sel stromal dapat 

menginduksi pertumbuhan abnormal 

serabutsarafbebas dan formasi neuroma. 

Hal ini menimbulkan perubahan fenotip 

sensoris dan serabut saraf simpatis, 

termasuk ketidakseimbangan saluran 

ion Natrium, sehingga memicu 

eksitasi spontan dan cetusan ektopik 

terkait pergerakan, yang dirasakan 

sebagai rasa nyeri. 

6. Proses Sensitisasi Sentral 

Pada nyeri kanker terjadi reorganisasi 

struktur yang signifikan di susunan 

saraf tepi dan pusat akibat perubahan 

komunikasi dari struktur saraf itu 

sendiri. Sebagai contoh, mediator kimia 

yang dilepas oleh sel glia- teraktifasi 

nyeri terus menerus dapat mengontrol 

amplituda respons sinaptik dengan 

mengubah tingkat ekspresi reseptor 

N-methyl-D-aspartate (NMDA) dan 

alpha-amino-3-hydroxy-5-methyl-4-

isoxazolepropionic acid (AMPA), serta 

fosforilasi keduanya. 

GEJALA KLINIS 

Gejala nyeri yang dialami oleh pasien harus 

dipahami berdasar  karakteristik nyeri, 

seperti intensitas, kualitas, distribusi, dan 

hubungan waktu antar kejadian nyeri 

(temporal relationship). Evaluasi intensitas 

nyeri merupakan hal penting karena 

menentukan jenis terapi. 

Kualitas nyeri menyiratkan patofisiologi 

yang mendasarinya (Tabel 1). Nyeri 

nosiseptif somatik biasanya dapat 

dilokalisasi, terasa tajam, seperti ditusukNyeri Kanker 

tusuk, atau tertekan (pressure-like). Nyeri 

nosiseptif viseral bersifat difus dan sulit 

dilokalisasi. Bila nyeri ini terjadi karena 

obstruksi suatu rongga tubuh, maka 

keluhannya dapat berupa kram atau kolik. 

Nyeri neuropatik dideskripsikan sebagai 

rasa terbakar, kesemutan, atau seperti 

kesetrum listrik (shock-like). 

Distribusi nyeri kanker biasanya lebih dari 

satu tempat, sehingga perlu ditentukan 

antara fokal, multifokal, dan generalisata. 

Hal ini berhubungan dengan terapi yang 

diambil, yaitu blok saraf, radioterapi, atau 

operasi bedah. Nyeri terdistribusi fokal hila 

terjadi hanya pada satu tempat, biasanya di 

tempat lesi. Nyeri fokal ini perlu dibedakan 

dengan nyeri rujuk, yaitu sumber nyeri 

- berasal dari tempat yang berbeda dengan lesi 

patologisnya, seperti nyeri daerah nasofaring 

yang dapat terasa di puncak kepala. 

645 

Evaluasi waktu kejadian nyeri dapat 

menunjukkan nyeri tergolong akut atau 

kronik. Pasien dengan nyeri akut biasanya 

disertai perilaku nyeri yang nyata, seperti 

mengerang, meringis, dan cenderung 

tidak mau bergerak. Selain itu, ada 

rasa cemas, berkeringat ( diaforesis ), dan 

berdebar-debar. Berbeda dengan nyeri akut, 

pasien dengan nyeri kanker kronik biasanya 

mengalami gangguan afektif, misalnya 

depresi. Selain itu, pasien terlihat kurus, 

nafsu makan menurun, dan gangguan tidur. 

Selain nyeri akut dan kronik ada pula 

nyeri sontak. Nyeri ini dirasa tajam dan 

hebat, dengan pola eksaserbasi transien 

di antara nyeri dasar yang terkontrol, baik 

pada nyeri kanker akut maupun kronik. 

Nyeri sontak dapat ditimbulkan pada 

keadaan gerak disadari pasien (seperti pada  

pergerakan, batuk, berkemih, dan defekasi) 

maupun pada gerak yang tidak disadari 

(gerakan motilitas usus). Nyeri sontak 

ini dapat berdurasi dalam hitungan detik 

ataupunjam (1-240 menit). 

Pada nyeri akibatmetastasis tulangvertebra, 

nyeri biasanya dimulai dengan nyeri lokal 

yang dikatakan pasien sebagai 'pegal' atau 

rasa tidak nyaman di daerah lesi. Selanjutnya 

jika terjadi penekanan pada radiks akan 

muncul nyeri radikular yang menjalar dari 

punggung sesuai dengan daerah radiks yang 

terkena. Pada nyeri di daerah torakal, nyeri 

seperti terikat atau keram ke perut yang 

sering disalah artikan oleh pasien ataupun 

klinisi lain sebagai nyeri abdomen. Pada 

pemeriksaan fisik biasanya akan ditemukan 

nyeri tekan yang menunjukkan adanya 

komponen nyeri nosiseptif bersamaan 

dengan nyeri neuropatik. 

Nyeri sontak harus dapat dibedakan dengan 

eksaserbasi rasa nyeri sebagai akibat dari 

kegagalan dosis terapi analgesia sesuai 

dengan waktu paruh obat ini  dalam 

tubuh. Untuk membedakannya, dapat 

dilakukan pencatatan rasa nyeri (buku harlan 

nyeri) untuk menentukan bahwa pola yang 

terjadi yaitu  akibat kegagalan dosis terapi 

analgesia terkait jadwal pemberian, sehingga 

diperlukan modifikasi pemberian jadwal.  

Diagnosa  

Seperti halnya penyakit lain, Diagnosa  

nyeri kanker ditegakkan melalui anamnesis, 

pemeriksaan fisik, dan penunjang untuk 

mendapatkan karakteristik nyeri dan 

konfirmasi Diagnosa  nyeri kanker. Untuk 

lebih memudahkan tata laksana, data 

karakteristik nyeri dan temuan fisik 

yang merupakan konsekuensi spesifik 

dari penyakit kanker atau terapinya 

dikumpulkan ke dalam suatu sindrom, yaitu 

sindrom nyeri kanker. 

Sindrom nyeri kanker dapat digolongkan ke 

dalam akut dan kronik (Tabel 2). Sindrom 

nyeri kanker akut biasanya berhubungan 

dengan intervensi diagnostik atau terapeutik, 

sedangkan kronik biasanya disebabkan oleh 

perkembangan tumor secara langsung 

Menurut International Association for the 

Study of Pain (IASP), suatu nyeri dapat 

dikatakan nyeri kronik jika dirasakan ada 

nyeri yang melewati batas waktu normal 

dari fase penyembuhan jaringan, bisa lebih 

dari 3 atau 6 bulan. Pada nyeri kanker, 

lebih dari 3 bulan ditentukan sebagai 

nyeri kronik. Pada kenyataannya, banyak 

sindrom nyeri kanker dikategorikan sebagai 

kronik walaupun belum melewati fase 

penyembuhan jaringan. 

PENGOBATAN 

PENGOBATAN nyeri kanker berdasar  WHO 

diawali dengan penilaian aspek penyakit 

kanker itu sendiri dan aspek nyeri yang 

dirasakan oleh pasien. Dengan kedua jenis 

penilaianini, dapatdiidentifikasi karakteristik 

dan etiologi nyeri yang dihubungkan dengan 

kondisi penyakit kankernya. Proses ini 

berlanjut dengan penentuan target yang 

realistis dan modalitas terapi nyeri yang 

akan diimplementasikan pada pasien, yaitu: 

1. Terapi simtomatis dan suportif: berupa analgesik beserta adjuvannya, terapi nonfarmakologis (psikososial dan spiritual) atau 

radioterapi. 

2. Terapi definitif, dengan menghilangkan 

dan mengecilkan ukuran massa tumor 

sebagai sumber nyeri; terutama berupa 

reseksi tumor, atau memakai  

kemoterapi dan radioterapi. 

Pada prinsipnya, proses PENGOBATAN nyeri 

secara umum terdiri dari 5 tahapan utama, 

yaitu penilaian (assessment), Analisa  karakteristik nyeri, terapi, evaluasi terapi, dan 

dokumentasi. Setiap tahapan dibuat berkesinambungan dan berulang-ulang sesuai 

kondisi pasien. Dengan demikian, bila se-

648 

tiap kali pasien mengeluhkan nyeri, maka 

kelima proses ini harus dijalankan secara 

berurutan. 

1. Penilaian Nyeri 

Walaupun prevalensinya tinggi, tidak 

semua pasien· mengakui dalam keadaan 

nyeri. Hal ini dapat disebabkan oleh karena 

pasien merasa wajar penderita kanker 

mengalami nyeri, atau karena pasien 

takut mendapat penambahan obat-obatan 

disamping obat-obat utama yang sudah 

diterimanya. Jadi nyeri harus ditanyakan 

secara khusus atau diperkirakan dari 

besarnya massa, adanya daerah yang 

ulkus, atau pada pemeriksaan penunjang 

tampak gambaran kerusakan tulang atau 

jaringan saraf di sekitarnya. Demikian pula 

pada pasien dengan penurunan kesadaran, 

nyeri dapat berupa menyeringai di wajah 

atau gelisah. 

2. Analisa  Nyeri 

a. Derajat beratnya nyeri: ditentukan 

termasuk nyeri ringan, sedang, 

atau berat Skala yang paling umum 

dipakai  yaitu  Visual Analog Scale 

(VAS) atau Numeric Rating Scale 

(NRS) untuk pasien yang sadar dan 

kooperatif. Secara kuantitatif, skala 

nyeri berdasar  NRS dari 0 (tidak 

nyeri) hingga 10 (sangat nyeri). Nyeri 

dinyatakan sebagai nyeri ringan jika 

memiliki nilai NRS 1-3, nyeri sedang 

(NRS 4-6), dan nyeri berat (7-10). 

Pada pasien yang tidak kooperatif atau 

tidak sadar dapat dipakai  Face, Legs 

Activity, Cry, Conso/abi/ity (FLACC) Scale. 

b. Tipe nyeri: nyeri neuropatik, nosiseptif, 

atau nyeri campuran (mixed pain). 

c. Durasi: akut, kroninyek, atau nyeri  

sontak 

d. Lokasi: lokal, atau radikular (jika 

menjalar sesuai dengan persarafan dari 

sumber nyeri ke area lain) 

3. Evaluasi 

Pasien yangtelah ditentukan targetterapi 

dan mendapatkan terapi nyeri harus 

dievaluasi dan dipantau keberhasilannya. 

Evaluasi ini tergantung derajat nyerinya; 

pada nyeri ringan dipantau setiap 8 jam, 

nyeri sedang setiap 2 jam, dan nyeri 

berat setiap 1 jam. Targetnya yaitu  

pengurangan nyeri hingga 30% dan 

perbaikan fungsional. Jika nyeri belum 

berkurang atau muncul nyeri baru, maka 

harus dilakukan penilaian ulang dengan 

proses yang sama seperti sebelumnya. 

4. Terapi 

Pemberian terapi simptomatis nyeri 

dengan memakai  WHO stepladder 

(Gambar 4) mengacu kepada skala nyeri: 

nyeri ringan pada anak tangga pertama, 

nyeri sedang merupakan anak tangga 

kedua, dan nyeri berat menempati anak 

tangga ketiga. Setiap anaktangga memiliki 

golongan obat simptomatis nyeri masingmasing. Contoh penerapannya, hila 

pasien tergolong nyeri ringan, maka 

golongan obat nyeri yang diberikan 

yaitu  analgesik non-opioid dengan 

atau tanpa adjuvan. Jika pasien masih 

mengeluh nyeri walaupun telah diberikan 

golongan obat pada anak tangga ketiga 

maka pasien direncanakan mendapat tata 

laksana intervensi nyeri, antara lain blok 

saraf (somatik, simpatetik), medikasi dan 

stimulator spinal, serta pembedahan. 

Studi menunjukkan terapi farmakologis 

dengan kerangka kerja seperti ini relatif 

649 

Nyeri Kanker 

tidak mahal dan 70-90% efektif. 

5. Dokumentasi 

Kesemua proses harus didokumentasikan agar memudahkan proses evaluasi, 

terutama jika nyeri sulit ditangani atau 

adanya nyeri sontak yang dosis obatnya 

dihitung berdasar  dosis harlan, serta 

pada titrasi opioid dari parenteral ke oral. 

PENGOBATAN ini  juga harus masuk 

dalam 5 prinsip PENGOBATAN nyeri WHO, 

yaitu: 

1. Sesuai jalur mulut 

Administrasi obat secara oral nyaman, 

non-invasif, dan dapat ditoleransi dengan baik 

2. Sesuai jam pemberian obat 

Analgesik yang diperlukan ditaruh 

berdasar  waktu paruh obat, diperlukan untuk menjaga kadar terapeutik 

obat tetap konstan dalam darah. 

3. Sesuai WHO stepladder 

4. Sesuai individu 

Dikhususkan dengan karakteristik masing-masing pasien, indikasi, kontraindikasi, alergi, dosis koreksi gagal ginjal, 

dan sebagainya. 

5. Sesuai perhatian terhadap detil 

Dokumentasi nilai skala nyeri yang 

tercatat baik, total obat harus dijumlahkan dalam 24 jam, memperhatikan 

keluhan nyeri dasar, nyeri dasar terkontrol dan nyeri sontak 

Konsep PENGOBATAN nyeri kanker berdasar  

WHO stepladder memiliki beberapa prinsip, 

yaitu: 

• Analgesik harus diberikan secara teratur 

dengan dosis adekuat untuk menjaga  

level terapeutik obat dalam darah. 

• Analgesik dapat dieskalasi secara berurutan 

sesuai tingkatan tangga WHO stepladder. 

• Di samping pemberian obat regular, 

pasien harus mendapat pengobatan 

untuk nyeri sontak. 

• Efek samping anagesik, terutama 

konstipasi dan mual, harus diantisipasi 

dan diberikan pencegahan pacta pasien. 

• Pemantauan secara teratur dan cermat 

penting dilakukan pacta pasien yang 

mendapat analgesik 

• Pasien harus mendapat akses yang mudah 

untuk memperoleh analgesik saat kapanpun mengalami nyeri. 

berdasar  WHO stepladder, ada dua 

jenis analgesik, yaitu opioid dan non-opioid. 

Pemberian jenis analgesik ini tergantung 

intensitas nyeri pasien. Nyeri dengan intensitas ringan dapat diberikan analgesik 

non-opioid, misalnya golongan obat antiinflamasi nonsteroid (OAINS), dengan dosis 

sesuai Tabel 3. 

Ada pun nyeri dengan intensitas sedangjberat 

diberikan analgesik opioid (Tabel 4). Pacta 

pasien dengan intensitas ini, pemakaian  

OAINS intravena tetap ada indikasinya, 

misalnya pacta kondisi akut/ emergensi dalam 

jangka waktu pendek atau nyeri nosiseptif 

dengan keterlibatan muskuloskeletal dan 

jaringan lunak. Oleh sebab itu, pemberian 

analgesik pacta nyeri kanker tidak bersifat 

kaku, melainkan individual sesuai kondisi 

patologis yang terjadi 

NCCN 2016 membedakan pasien pengguna 

opioid baru ( opioid-naive) dan pasien 

pengguna opioid rutin (opioid-tolerant). 

Definisi pengguna opioid baru yaitu  

pasien yang tak pernah memakai  

opioid secara kronik atau pengguna opioid 

dengan jumlah dosis opioid harian kurang 

dari ambang batas dosis opioid pengguna 

opioid rutin dan pemakaian  dosis ini  

kqrang dari 1 minggu. 

Adapun pengguna opioid rutin yaitu  pasien 

yang rutin memakai  opiod dalam 

semingguataulebihdengan jumlahdosisharian 

melebihi atau sesuai dengan dosis ambang 

batas, antara lain morfin 60mgfhari oral, 

fentanil transdermal 251lg/jam, hidromorfon 

651. 

8mg/hari oral, oksimorfon 25mgfhari oral, 

atau opioid lain yang setara (TabelS). 

Sebagai contoh, pasien yang telah mendapat 

dosis morfin 70mgfhari dengan pemakaian  

lebih dari 1 minggu dapat dikatakan sebagai 

pengguna opioid rutin. Pasien dengan 

dosis morfin 40 mg/hari selama kurang 

dari 1 minggu disebut pengguna opioid 

baru. Sementara itu pada kasus lain, pasien 

pengguna morfin 40mg/hari lebih dari 1 

minggu dapat termasuk pengguna opioid 

rutin menurut panduan NCCN 2010. · 

PENGOBATAN nyeri kanker pada pasien 

pengguna opioid baru selanjutnya dibagi 

berdasar  intensitas nyeri. Semakin tinggi 

skala nyeri, semakin dianjurkan untuk segera 

titrasi opioid. Namun, ada beberapa hal yang 

harus diperhatikan secara umum untuk 

semua tingkat intensitas nyeri, antara lain: 

• pemakaian  opioid sesuai prinsip, 

dengan titrasi, dan kontinu 

• Antisipasi efek sam ping analgesik 

• Pemberian dukungan psikososial 

• Edukasi pasien dan keluargafperawat 

• Optimatisasi intervensi yang bersifat 

integratif 

• Pertimbangan pemakaian  NSAID atau 

asetaminofen 

• Untuk nyeri yang akut dan intensitas 

berat, segera datang ke RS 

Berbeda dengan pengguna opioid baru, tata 

laksana nyeri kanker untuk pengguna opioid 

rutin dapat memakai  opioid oral atau 

intravena. Pemberian opioid oral memiliki 

efek puncak dalam 60 menit. Di lain pihak, 

pemberian opioid intravena memiliki efek 

puncak dalam 15 menit. Dosis opioid yang 

diberikan, baik oral maupun intravena, 

sebesar 10-20% dari total dosis opioid yang 

diterima selama 24 jam terakhir. 

Selanjutnya pasien dievaluasi efikasi dan efek 

sampingyang dirasakan sesuai efekpuncaknya, 

yaitu 15 menit (intravena) dan 60 menit (oral). 

Bila nyeri tidak berkurang atau bertambah 

berat, maka dosis opioid dinaikkan 50-100%. 

Bila nyeri berkurang namun  belum sepenuhnya 

terkontrol, maka opioid dapat diberikan ulang 

dengan dosis yang sama dengan sebelumnya. 

Kedua hal ini harus dievaluasi lagi dan dapat 

diulang hingga 2-3 siklus. Bila kemudian 

nyerinya belum terkontrol, maka klinisi harus 

evaluasi ulang dari awal mengenai nyeri 

(reassessment) secara komprehensif dan 

melakukan penanganan secara integratif. Bila 

nyerinya sudah terkontrol, maka dosis opioid 

terkini dilanjutkan sebagai dosis efektif untuk 

652 

pasien ini  

Pemberian opioid pada pasien nyeri kanker 

harus memperhatikan efek sampingnya 

juga, karena sering terjadi dan harus dapat 

diantisipasi serta ditangani secara agresif 

(Tabel 6). Mengingat banyaknya pengobatan 

yang didapat oleh pasien kanker, maka setiap 

efek samping opioid yang terjadi harus pula 

dipikirkan pemicu  selain opioid. Oleh 

sebab itu, perlu penilaian secara multisistem. 

Penggantian Opioid ( Opioid Switching) 

Adakalanya terdapatkondisi perlu dilakukan 

penggantian opioid (opioid switching), yaitu 

proses penggantian suatu opioid ke opioid 

lain untuk mendapatkan efek antinyeri 

lebih baik dengan efek samping seminimal 

mungkin. Proses penggantian ini bersifat 

individual bergantung respons pasien 

dengan penilaian yang komprehensif. 

Parameter keberhasilannya yaitu  jika 

terjadi penurunan intensitas nyeri <::33% 

danfatau berkurangnya efek samping 

terkait opioid. 

Indikasi penggantian opioid antara lain 

nyeri yang terkontrol namun  muncul efek 

samping serius, nyeri belum terkontrol 

adekuat namun tidak bisa ekskalasi dosis 

opioid karena efek sam ping, atau nyeri yang 

belum terkontrol dengan opioid walaupun 

tanpa efek sam ping. 

Langkah-langkah penggantian opioid yaitu  

sebagai berikut: 

1. Hitungtotal dosis harlan opioid pasien terkini. 

2. Estimasi total dosis opioid yang ingin 

dipakai dengan konversi opioid memakai  tabel ekuivalensi (Tabel 7 dan 

8). Tabel ini memakai morfin oral sebagai 

acuan, sehingga konversi dosis opioid 

lainnya harus diubah ke morfin dahulu, 

kemudian baru ke jenis opioid yang dikehendaki. Misalnya, penggantian kodein ke 

oksikodon dilakukan dengan cara mengkonversi kodein ke morfin, kemudian marfin ke oksikodon.   

3. Turunkan total dosis estimasi ini  

sebesar 50% (jika pasien dalam dosis 

tinggi opioid) atau 25-40% (jika pasien 

dalam dosis opioid rendahjsedang). 

4. Sesuaikan dosis tergantung kondisi 

individual pasien, misalnya: 

• Tipe nyeri akut atau kronik; dosis 

lebih tinggi pada nyeri akut. 

• Disfungsi hepar jhati; penyesuaian 

dosis diperlukan pada gangguan 

kedua organ ini . 

• Usia; mulai dengan dosis rendah pada 

pasien usia lanjut karena lebih rentan 

mengalami efek sam ping. 

• Medikasi; pasien dengan polifarmasi 

mungkin perlu penyesuaian dosis 

untuk mencegah efek sam ping akibat 

interaksi obat. 

5. Dosis estimasi yang telah disesuaikan 

ini  kemudian diberikan secara 

titrasi naik, hingga dapat mengontrol 

nyeri. Opioid lepas cepat (immediate 

release) bisa diberikan untuk nyeri 

sontak, terutama saat masa titrasi 

dengan dosis sebesar 10-15% dari total 

dosis harian. 

6. Anjurkan kepada pasienfpengasuhnya 

untuk mencatat tanda dan gejala nyeri 

yang belum terkontrol, termasuk jumlah 

dosis untuk nyeri sontak. Selain itu, efek 

samping sedasi juga perlu didokumentasikan. 

7. Pantau ulang pasien untuk menilai 

kontrol nyeri dan efek samping obat. 

Hal ini dapat dilakukan 3 hari setelah 

memulai opioid baru, atau waktu lain 

sesuai kondisi pasien. 

8. Perubahan opioid dari rute intravenake oral 

harus dalam pemantauan dokter, pasien 

harus berada dalam perawatan setidaknya 

pada 24 jam pertama perubahan. 

Kombinasi Obat 

Di sam ping opioid, PENGOBATAN nyeri kanker 

juga melibatkan adjuvan analgesik yang 

bertujuan untuk menurunkan kebutuhan opioid, sehingga efek sampingnya dapat 

berkurang. Antidepresan dan antikonvulsan 

yaitu  lini pertama adjuvan analgesik 

(Tabel 9). Obat-obatan ini dapat membantu 

pasien nyeri kanker yang belum sepenuhnya 

terkontrol dengan opioid. Oleh karena 

respons yang bervariasi, maka pemilihan 

jenis obatnya dapat mempertimbangkan 

kondisi dan komorbiditas pasien. Misalnya 

adjuvan analgesik yang berefek sedasi bisa 

bermanfaat untuk pasien yang insomnia, 

atau yang mengalami kecemasan dapat 

diberikan amitriptilin. Amitriptilin juga 

berguna pada nyeri kronik yang dapat 

merupakan kelanjutan dari nyeri kanker jika 

lama belum mendapatkan terapi definitif. 

Pada pasien dengan nyeri kanker biasanya 

akan ada komponen nyeri kanker 

akibat infiltrasi sel tumor ke sera but saraf di 

sekitarnya. Namun hal ini sering terabaikan 

oleh klinisi, padahal terapi yang tepat akan 

sangat membantu pasien. Oleh karena itu 

diperlukan adjuvan golongan antikonvulsan 

yang dosis antikonvulsan selengkapnya 

dapat dilihat pada bab Nyeri Neuropatik.  

Darl kesemua antikonvulsan, kombinasi 

gabapentin dan opioid menunjukkan 

adanya penambahan kekuatan dan kerja 

sinergis, sehingga efektif dalam dosis 

opioid yang lebih kecil secara signifikan 

dibandingkan opioid saja. Hal ini terutama 

pada karakteristik nyeri panas atau seperti 

ditusuk-tusuk yang tidak terlalu berkurang 

dengan hanya opioid. Demikian pula 

kombinasi ini  dapat mengurangi efek 

sam ping opioid, seperti konstipasi dan mual 

secara bermakna. Dosis gabapentin dapat 

dimulai dari 300mgfhari naik perlahan 

hingga maksimal 3600mg. 

Opioid juga dapat dikombinasi dengan OAINS, 

terutama jika komponen nyerl nosiseptif yang 

dominan, yang ditandai dengan pembesaran 

massa tumor hingga memicu kerusakan 

jarlngan. Parasetamol paling serlng dikombinasi, baik dengan hidrokodon (kodein sintetik), oksikodon, maupun tramadol. Kombinasi 

paracetamol dengan hidrokodon dapat menurunkan nyerl lebih dari 50% dengan dosis awal 

2500mg-25mg/24 jam. Dosis dapat ditingkatkan hingga dosis maksimal4000mg-50mg/24 

jam. Kombinasi parasetamol-tramadol dapat 

dilakukan sebagai salah satu pemberian terapi nyerl sontak sebagai adjuvan dengan dosis 

awal 325mg-37,5mg perkali jika pemakaian  

dosis harlan tramadol s400mg atau dosis harlan kodein s300mg atau dosis harlan morfin 

<60mg. Jika dosis harlan morfin 60-120mgf24 

jam maka pemberian dapat diberikan 2 tablet 

kombinasi parasetamol-tramadol. Tramadol 

sendirl dapat sebagai terapi ajuvan pemberlan pada dosis awal tramadol 200mgfhari 

dapat menghilangkan keluhan nyerl sebanyak 

60% dan dapat diberlkan hingga dosis maksimal400mgfharl. 

656 

Adjuvan analgesik nyeri kanker dapat 

berupa obat topikal (lidokain patch 5%) 

dan kortikosteroid. Deksametason lebih 

dipilih karena efek mineralokortikoid yang 

lebih minimal. pemakaian  kortikosteroid 

ini terutama bermanfaat pada nyeri akut 

yang melibatkan struktur saraf dan tulang. 

Hindari kombinasi tramadol dengan amitriptilin atau karbamazepin dapat memicu kondisi renjatan (shock) akibat sindrom serotonin. 

Nyeri kanker dapat dikatakan telah 

terkontrol jika setelah mendapat tata 

laksana, nyeri dirasakan hilang atau 

berkurang 50%, dan dapat ditoleransi pada 

keadaan tertentu. Konsep nyeri terkontrol 

ini disampaikan dengan pengertian yang 

sesuai dengan harapan dan pendidikan 

pasien. 

Patokan kesuksesan terapi yang sesuai dan 

secara bertahap yaitu : 

• Rasa nyeri terkontrol pada saat tidur 

malam 

• Rasa nyeri terkontrol pada saat istirahat 

dalam sehari penuh 

• Rasa nyeri terkontrol pada saat mobilitas 

terbatas 

• Rasa nyeri terkontrol pada saat mobilitas 

penuh 

Terapi Definitif dan Suportif 

Pada nyeri yang diakibatkan oleh ukuran 

massa yang besar, perlu dilakukan reseksi 

atau pengurangan volume tumor untuk 

mengurangi nyeri dengan tindakan operatif, 

kemoterapi, atau radioterapi. Radioterapi 

juga berperan pada nyeri akibat metastasis 

ke tulang vertebra, dengan menginaktivasi 

sel tumor mencegah proses kerusakan lebih  

lanjut. Demikian pula pemberian bifosfonat, 

suatu agen penghambat osteoklas akan 

berperan menurunkan resorpsi tulang yang 

memicu nyeri. Kesemua hal ini  

akan sangat membantu mengurangi dosis 

obat-obatan terutama opioid, sehingga 

pasien juga bisa terhindar dari efek sam ping 

yang berlebihan. 

CONTOH KASUS 

Seorang laki-laki 52 tahun datang dengan 

keluhan utama nyeri leher yang menjalar 

Nyeri Kanker 

ke belakang kepala sejak 3 hari lalu. Keluhan dimulai sejak 5 bulan sebelumnya, 

ada benjolan di leher kiri. Benjolan ini  disertai nyeri yang semakin 

memberat, hingga sebulan yang lalu dibiopsi dengan hasil karsinoma nasofaring 

(KNF). Lalu pasien menjalani kemoterapi. 

Nyeri dirasakan menjalar dari daerah 

benjolan ke leher belakang yang semakin memberat (NRS=7 -8) dan membuat 

pasien sulit tidur.  

Pemeriksaan fisik neurologis tidak didapatkan defisit. Status lokalis di regio colli dekstra teraba massa ukuran Sx4x2 em dengan 

nyeri tekan, konsistensi keras, tidak dapat 

digerakkan (Gambar 5). 

Hasil CT scan nasofaring menunjukkan massa di nasofaring sisi kiri yang mengobliterasi fossa Rossenmuller dan torus tubarius 

kiri, mengisi koana kiri, orofaring, spasium 

parafaring kiri, mengobliterasi M. Pterigoid 

medialis kiri, disertai limfadenopati multipel regio colli bilateral (Gambar 6). 

Pertanyaan 

1. Bagaimana karakteristik nyeri pasien? 

a. Nyeri nosiseptif · 

b. Campuran nyeri· neuropatik dan 

nosiseptif 

c. Akut 

d. Bersifat radikular 

e. Intensitas ringan sedang 

Jawaban: (B) ada lesi benjolan 

dengan tanda inflamasi dan adanya 

nyeri tekan yang menunjukkan nyeri 

nosiseptif, disertai rasa nyeri menjalar 

yang berarti nyeri neuropatik. 

2. Apakah pemicu  nyeri pada keluhan 

utama pasien? 

a. Peradangan lokal 

b. Kerusakan jaringan pada kanker 

, c. Psikogenik 

d: Infiltrasi sel tumor ke serabut saraf 

, e. ,_spasme otot 

•.. Jawaban: TD); wa,Iauptin memang ada 

kerusakan jaringan yang memicu 

658 

nyeri, namun keluhan utama pasien 

ini yaitu  nyeri yang menjalar yang 

menunjukkan adanya infiltrasi sel tumor 

ke serabut saraf, dalam hal ini radiks 

daerah servikal. 

3. Apakah analgesik adjuvan pilihan utama 

yang sebaiknya diberikan pada pasien? 

a. Diazepam 

b. Pregabalin 

c. Amitriptilin 

d. Asam valproat 

e. Gabapentin 

Jawaban: (E); pemilihan adjuvan disesuaikan dengan kondisi pasien. Adanya nyeri 

neuropatik memicu adjuvan diprioritaskan golongan antikonvulsan. Dari 

semua golongan antikonvulsan, yang 

dapat meningkatkan potensiasi analgesik 

dari opioid yaitu  gabapentin. Jika pasien 

ada kecemasan dapat diberikan 

amitriptilin, namun obat ini tidak dapat 

dikombinasi dengan tramadol, jika memang direncanakan pemberian tramadol 

selanjutnya pada pasien. 

4. Bagaimana PENGOBATAN etiologi nyeri 

pada pasien ini? 

a. Antiinflamasi nonsteroid 

b. Akuptintur 

c. Kemoradiasi 

d. Radioterapi 

e. Hipnosis . . 

Jawaban: (C); nyeri akibat perluasan 

massa tumor harus dikecilkan ukurannya 

sesuai dengan jenis tUmor. ·Pada KNF 

terapi utama yaitu  kemoterapi dan/ 

atau radioterapi. 

5. Apakah PENGOBATAN awal untuk 

mengatasi nyeri pasien ini? 

a. Ketorolak 30mg IV 

b. Parasetamol 500mg PO 

c. Midazolam 5mg IV 

d. Kodein 20mg PO 

e. Gabapentin 100mg PO 

Jawaban: (A); pasien ini mengalami nyeri 

derajat sedang berat yang mengganggu, 

sehingga perlu pemberian anti nyeri 

dengan jalur intravena. Adanya tandatanda kerusakan jaringan menunjukkan 

nyeri nosiseptif, sehingga dapat diberikan go Iongan OAINS seperti ketorolak IV. 

Lanjutan Kasus 

Pasien mendapat PENGOBATAN awal ketorolak 30 mg/8 jam IV karena dianggap nyeri 

akut yang sudah mengganggu aktivitas, NRS 

turun menjadi 4-5. Nyeri masih terasa terutama menjalar, maka dianggap sebagai nyeri 

neuropatik, sehingga diberikan gabapentin 

600mgjhari. Oleh karena ketorolak tidak 

boleh diberikan lebih dari 5 hari, maka diganti menjadi tramadol dosis awal 100mg/ 

hari, titrasi naik NRS pasien turun menjadi 

2-3. Pasien lalu menjalani kemoradiasi untuk 

mengatasi etiologi nyerinya, dan NRS turun 

lagi menjadi 1-2. Tramadol turun bertahap 

diganti paracetamol2000mgjhari, gabapentin dosis 300mgjhari. Selanjutnya bisa dipakai  kombinasi paracetamol dan tramadol 

dosis rendah sebagai rumatan, beserta gabapentin jika nyeri masih terasa menjalar.  









NEUROPATI 

 

Sistem saraf perifer terdiri dari saraf-saraf 

kranial (kecuali nervus olfaktorius dan 

optikus), saraf-sarafyang berasal dari medula 

spinalis (radiks, rami, trunkus, pleksus, 

maupun saraf perifer itu sendiri, seperti 

saraf medianus dan tibialis), dan komponenkomponen dari sistem saraf otonom di perifer. 

Bah ini akan menjelaskan tentang gangguan 

pada sistem saraf perifer atau yang secara 

umum dapat dikelompokkan dalam satu 

entitas, yaitu neuropati. 

EPIDEMIOLOGI 

Prevalensi neuropati bervariasi an tara 2-85%, 

tergantung dari prevalensi etiologi pemicu nya. Di RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta 

tahun 2012-2014, angka kejadian neuropati 

yang diinduksi kemoterapi pada pasien 

karsinoma nasofaring sebesar 76%, sedangkan sindrom terowongan karpal diperkirakan 

terjadi pada 3,8% dari populasi umum, dengan 

insidens 276 per 100.000 populasi. 

663 

PATOFISIOLOGI 

Patofisiologi neuropati beragam tergantung 

dari etiologinya, yaitu genetik, metabolik, dimediasi imunitas, infeksi, toksik, traumatik, 

dan lain-lain. Namun hal ini akan lebih mudah 

dipahami secara umum dengan mengetahui 

kerusakan sera but sarafberdasar  anatomihistologinya. 

Neuropati dapat terjadi karena lesi di badan 

sel saraf ( neuronopati) maupun pada akson 

di serabut saraf perifer (neuropati perifer). 

Neuronopati dapat terjadi karena kerusakan 

pada badan sel saraf di kornu anterior, atau 

sering dikenal dengan motor neuron disease. 

Neuronopati juga dapat terjadi karena 

kerusakan pada ganglion radiks dorsalis 

tern pat badan sel saraf sensorik orde I, yang 

dikenal sebagai neuronopati sensorik atau 

ganglionopati. Adapun neuropati perifer 

terjadi karena kerusakan pada akson atau 

mielin di serabut saraf perifer. Oleh karen a itu 

neuropati perifer dapat dibagi menjadi dua 

kategori, yaitu aksonopati dan mielinopati 

(Gambar 1) 

Apabila terjadi kerusakan akson, secara 

teori akan terjadi hambatan hantaran 

impuls saraf baik eferen maupun aferen. 

Kerusakan pada selubung mielin juga dapat 

memicu hambatan impuls saraf. Impuls 

saraf yang dihantarkan akson bermielin 

akan dikonduksikan lebih cepat dengan cara 

saltatory conduction (konduksi lompatan). 

Hal ini terjadi karena selubung mielin akson 

bertindak sebagai isolator; sehingga konduksi 

listrik melompat dari satu nodus Ranvier ke 

nodus berikutnya. Apabila terjadi kerusakan 

selubung mielin saraf, maka kecepatan 

koduksi impuls saraf akan jauh menurun 

atau bahkan terhenti. Patofisiologi kerusakan 

ini dapat di-nilai secara klinis dengan bantuan 

pemeriksaan kecepatan hantar saraf (KHS), 

seperti pada Tabell. Pemeriksaan konduksi 

han tar saraf akan menilai amplituda, termasuk 

dispersi temporal (lihat Bab Sindrom GuillainBarre tentang KHS), yang menggambarkan 

seberapa banyak serabut saraf teraktifasi dan 

kecepatan hantar saraf (velocity) mulai dari 

titik stimulasi sampai tern pat perekaman. 

Lesi di badan sel saraf dan akson akan diikuti oleh proses degenerasi serabut akson 

yang berada di distal dari lesi, yang disebut 

sebagai degenerasi Wallerian. Degenerasi ini 

terjadi karena pengaturan metabolisme sel 

saraf berada di badan sel. Pengaturan metabolisme terse but diteruskan ke akson yang 

lebih distal melalui suatu mekanisme yang 

disebut sebagai axonal transport dan terjadi 

secara anterograd dan retrograd. Apabila 

hubungan antara badan sel dengan akson 

distal terputus akibat kerusakan akson di 

antara keduanya maka axonal transporttidak 

dapat terjadi, sehingga akson bagian distal 

tidak dapat mempertahankan metabolismenya dan mengalami degenerasi. 

665 

Neuropati 

Neuropati juga dapat dibagi berdasar  

diameter akson yang mengalami kerusakan, 

yaitu: 

a. Akson berdiameter besar-bermielin; 

di antaranya akson untuk serabut motorik (alpha motor neuron) dan sensorik 

untuk menghantarkan stimulus propioseptif, vibrasi, dan sentuhan ringan. 

b. Akson berdiameter kecil-bermielin; 

termasuk serabut sensorik yang menghantarkan stimulus sentuhan ringan, 

nyeri, suhu, dan serabut saraf otonom 

preganglion. 

c. Akson berdiameter kecil-tidak bermielin; membawa stimulus nyeri, suhu, 

dan sera but saraf otonom pascaganglion. 

GEJALA DAN TANDA KLINIS 

Gejala neuropati cukup beragam, mulai dari 

gejala motorik, sensorik, maupun otonom. 

Gejala ini  dapat sama, walaupun akibat etiolologi yang berbeda. Untuk mempermudah menegakkan Diagnosa , gejala klinis 

ini dibagi menjadi gejala positif dan negatif, 

baik motorik maupun sensorik Gejala positif motorik dapat berupa aktivitas abnormal 

berlebih dari neuron, di antaranya kekakuan, 

twitching, dan miokimia. Gejala positif sensorik diantaranya rasa terbakar, tersayat, 

alodinia atau hiperalgesia, dan parastesia. 

Adapun gejala negatif motorik mencerminkan berkurangnya aktivitas neuron, misalnya 

berkurangnya kekuatan motorik, kelelahan, 

atrofi otot. Gejala negatif sensorik biasanya 

hipestesia serta gangguan input informasi 

dari luar tubuh lainnya, seperti gangguan 

input posisi tubuh, sehingga terjadi ataksia 

dan gangguan keseimbangan.  

Gejala otonom dapat berupa konstipasi, diare, impotensi, inkontinesia uri, gangguan 

berkeringat karena gangguan vasomotor, 

dan pusing yang berkaitan dengan perubahan posisi ( ortostasis ). Pasien yang mengalami 

gangguan vasomotor biasanya mengeluhkan 

telapak tangan atau kaki dingin disertai perubahan warna kulit. Gangguan vasomotor ini 

disebabkan karena pembuluh darah di kulit 

mengalami gangguan refleks untuk vasokonstriksi dan vasodilatasi yang diatur oleh saraf 

otonom dalam menghadapi perubahan suhu 

tubuh. 

Anamnesis aktivitas sehari-hari seperti perubahan tulisan tangan, kesulitan mengancingkan baju, kesulitan memakai sendal 

jepit karena sering terlepas sangat berguna 

dalam menegakkan Diagnosa . Pertanyaan 

terperinci tentang onset, durasi, dan progresifitas defisit neurologis yang ada juga 

sangat penting untuk membedakan jenis 

neuropati. Perlu ditanyakan juga kepada 

pasien ten tang keasimetrisan dan distribusi 

gejala klinis saat onset, keterlibatan batang 

tubuh atau nervus kranial, dan laju progresifitasnya secara spesifik (monofasik, berfluktuasi, atau berjenjang). Selanjutnya anamnesis 

ini  dikonfirmasi dengan pemeriksaan 

fisik untuk mencari distribusi defisit neurologis, yang dibagi menjadi defisit fokal, multifokal, ataupun distal simetrik. 

Pemeriksaan fisik sensorik dapat dibagi dua 

berdasar  jenis serabut saraf sensorik 

yang dinilai. Pemeriksaan untuk serabut 

saraf besar yaitu  tes vibrasi, posisi sendi 

(propioseptif), dan raba hal us, termasuk tes 

Romberg, sedangkan untuk serabut saraf 

kecil dilakukan pemeriksaan tes cukit kulit 

dan suhu. Sesungguhnya pemeriksaan raba 

666 

hal us yaitu  memeriksa batas bawah reseptor mekanik (mechanoreceptor low threshold) yang dihantarkan oleh kedua serabut 

saraf baik besar dan kecil. Pemeriksaan 

fungsi serabut saraf kecil yang menghantarkan rasa nyeri dapat dilakukan dengan menyentuhkan benda berujung tajam seperti 

tusuk gigi tanpa tekanan yang signifikan. 

Saat melakukan pemeriksaan fungsi saraf 

sensorik, harus sudah dipikirkan pola 

parastesifanestesi berdasar  sebaran 

anatominya, lebih sesuai untuk mononeuropati, polineuropati distal simetrik, lengthdependent polineuropathy, polineuropati 

mutifokal, radikulopati, pleksopati, atau 

kemungkinan adanya keterlibatan sistem 

saraf pusat (SSP). 

Pemeriksaan motorik dimulai dari inspeksi 

ada tidaknya atrofi maupun fasikulasi. Palpasi dilakukan untuk menilai tonus dan 

rigiditas otot untuk menyingkirkan diagnosis banding gangguan SSP. Pemeriksaan 

kekuatan motorik pada neuropati perlu 

dilakukan secara spesifik, terperinci sesuai 

dengan otot dan saraf perifer yang terganggu. 

Misalkan pada neuropati nervus medianus 

di pergelangan tangan, otot-otot intrinsik 

tangan yang dipersarafi oleh N. Medianus 

(M. Aduktor Polis is Brevis) harus diperiksa 

kekuatannya. Namun otot-otot intrinsik 

tangan lain yang tidak dipersarafi oleh N. 

Median us, seperti M. Interosesus Digiti I dan 

M. Abduktor Digiti Minimi oleh N. Ulnaris 

perlu juga diperiksa untuk menyingkirkan 

Diagnosa  banding neuropati pada N. Ulnaris. Pemeriksaan ini perlu dilakukan pada 

seluruh ekstremitas, khususnya bila neuropati yang dicurigai yaitu  polineuropati. 

Pemeriksaan saraf otonom harus dilaku 

kan, karena akan memberi informasi lebih 

banyak mengenai Diagnosa  banding, etiologi, 

maupun sindrom pada pasien. Gangguan ortostatik dapat memberi petunjuk bahwa 

sudah terjadi gangguan otonom karena 

gangguan saraf otonom dapat memicu gangguan vasokonstriksi dan vasodilatasi pada pembuluh darah. Pemeriksaan 

saraf otonom juga dapat dilakukan dengan 

memeriksa kulit dan membran mukosa 

karena gangguan saraf otonom dapat memicu gangguan vasomotor pada kulit. 

Di sisi lain, pemeriksaan kulit yang terkait 

mapupun yang tidak terkait otonom dapat 

membantu menyingkirkan Diagnosa  banding. 

Gambaran ruam vaskulitis (purpura, livedo 

retikularis ), hiperpigmentasi bila disertai 

dengan polineuropati, organomegali, endokrinopati dapat membantu menegakan 

Diagnosa  sindrom (POEM) polineuropati, 

pulmonary disease, organomegali, edema, 

endokrinopati, monoklonal paraprotein. Jika 

ada ulkus pada rongga mulut maka dapat 

dipikirkan adanya neuropati pada penyakit 

Behcet atau HIV. Mata dan mulut kering, pembengkakan kelenjar saliva dapat ditemui pada 

sarkoidosis atau sindrom Sjogren. 

Diagnosa  KLINIS DAN Diagnosa  

BANDING 

Neuropati secara klinis dapat dibagi menjadi polineuropati, neuropati fokal, dan multifokal. Polineuropati disebabkan oleh agenagen yang bekerja secara difus terhadap 

sistem saraf perifer seperti bahan beracun 

(toksik), defisiensi zat-zat yang diperlukan 

dalam metabolisme saraf perifer, gangguan 

metabolik, dan beberapa reaksi imun. Adapun lesi fokal (mononeuropati) dan lesi 

multifokal yang terisolasi (multipel mono-

667 

Neuropati 

neuropati atau mononeuropati multipleks) 

disebabkan oleh kerusakan lokal di antaranya penjepitan saraf seperti carpal tunnel 

syndrome (CTS), cedera mekanik (karena 

tekanan, traksi, ledakan, dan penetrasi), 

suhu ekstrim (panas maupun dingin), elektrik, radiasi, lesi vaskuler, granulomatosa, keganasan atau proses infiltratif lainnya, dan 

tumor primer saraf perifer. 

Di Indonesia, salah satu pemicu  tersering 

mononeuropati multipleks yaitu  kusta. 

Gejala yang sering muncul pada neuropati 

kusta yaitu  gangguan sensorik berupa 

anestesi atau gangguan peraba terutama di 

distal jari-jari termasuk ibu jari dan gangguan vibrasi yang paling banyak terjadi di 

telapak kaki. Selain itu secara elektroneurofisiologis ternyata neuropati kusta dapat 

terjadi di ekstremitas maupun di wajah. 

Di ektremitas saraf yang sering mengalami 

gangguan yaitu  N. Peroneus Superfisialis, 

dan N. Suralis, sedangkan pada wajah yaitu  

N. Trigeminal dan N. Fasialis. 

Beberapa polineuropati dapat menjadi tidak 

jelas polanya karena superimposed dengan 

mononeuropati atau mononeuropati multipleks, contoh yang paling sering yaitu  

sindrom terowongan karpal pada polineuropati diabetes. Neuropati dapat juga dibagi 

berdasar  distribusinya, yaitu: polineuropati simetrik distal, polineuropati simetrik 

proksimal, polineuropati dengan predominasi · 

ekstremitas atas, distribusi kompleks, keterlibatan saraf kranial, serta neuropati fokal 

dan multifokal. 

Polineuropati dengan distribusi gangguan 

motor dan sensorik distal simetrik merupakan pola paling umum dan banyak ditemui. 

Gejala motor ditandai dengan kelemahan  

dan atrofi yang dimulai dari ekstremitas 

bagian distal kemudian menyebar ke proksimal. Gejala sensorik ditandai dengan adanya 

pola distribusi "stocking-and-glove': yaitu seolah-olah membentuk sarungtangan dan kaos 

kaki, sehingga pasien merasa perabaannya 

berkurang di daerah yang tertutupi "sarung 

tangan" dan "kaoskaki"yangtaknampakmata 

ini  Pola distribusi ini disebabkan karena 

saraf yang paling panjang akan mengalami 

gangguan terlebih dahulu (length-dependent 

polyneuropathy). Pada ekstremitas bawah N. 

Tibialis Anterior dan M. Peroneus biasanya 

akan terganggu terlebih dahulu dibandingkan bagian posterior betis karena panjang 

saraf yang mensarafi bagian anterior betis 

lebih panjang dibandingkan bagian posterim: Pola distribusi seperti ini dapat ditemukan pada Charcot-Marie-toothfhereditary 

motor and sensory neuropathy (HMSN) tipe 

I. Polineuropati simetrik distal yang hanya 

mempengaruhi komponen sensorik juga 

sering ditemukan pada polineuropati dia-

. betik tahap awal. 

Contoh polineuropati simetrik proksimal 

yang paling umum yaitu  sindrom Guillain-Barre (SGB) dan chronic inflammatory 

demyelinating polyneuropathy (CIDP) yang 

dibahas dalam bab tersendiri. Diagnosa  

lain yang perlu dipikirkan dengan distribusi 

seperti ini yaitu  porfiria, spina muskular 

atrofi, dan penyakit Tangier. 

Polineuropati dengan predominasi ektremitas atas dengan gejala sensorik banyak terjadi pada tahap awal kekurangan vitamin 

812. Distribusi ini dengan gejala motorik 

kadang juga terjadi pada beberapa SGB, 

porfiria, dan HMSN. Neuropati dengan keterlibatan saraf kranial dapat disebabkan 

668 

oleh sarkoidosis, diabetes melitus, dan yang 

paling sering yaitu  neuropati pada saraf 

fasialis yang dikenal dengan Bell's palsy. 

Bell's palsy dapat disebabkan berbagai faktor seperti imunologi, infeksi, vaskuler, dan 

paling banyak yaitu  idiopatik. 

PENGOBATAN 

PENGOBATAN neuropati sesuai dengan etiologinya. Pemeriksaan penunjang dibutuhkan sebelum memulai terapi definitif. 

1. Pemeriksaan Elektrodiagnostik 

Pemeriksaan elektrodiagnostik terdiri 

dari KHS dan elektromiografi (EMG), 

yang standar untuk pemeriksaan neuropati akibat kerusakan serabut sarafbesar. 

EMG dapat membedakan antara polineuropati dengan miopati, neuronopati, 

pleksopati, ataupun poliradikulopati. 

Sebagai kepanjangan pemeriksaan fisik, 

pemeriksaan elektrodiagnostik meningkatkan ketajaman distribusi disfungsi saraf, 

membedakan keterlibatan motor dan sensorik, tingkat keparahan. Lebih dalam lagi, 

elektrodiagnostik dapat menilai gangguan sarafberdasar  aksonopati maupun mielinopati. Elektrodiagnostik juga 

dapat dilakukan berulang untuk tujuan 

evaluasi atau menilai progresifitas penyakit. 

2. Biopsi Saraf dan Biopsi Kulit 

Biopsi saraf dilakukan untuk mencari 

etiologi, lokasi patologi, dan tingkat kerusakan saraf. Dalam beberapa dekade 

belakang, biopsi saraf sudah jarang dilakukan karena perkembangan elektrodiagnostik, laboratorium, dan tes genetik. 

Saat ini pemeriksaan biopsi saraf dilakukan hila etiologi tidak dapat ditemukan  

setelah berbagai pemeriksaan tambahan 

dilakukan. 

Lain halnya dengan biopsi saraf, biopsi 

kulit meningkat secara dramatis dalam 

dua dekade belakangan. Biopsi ini menjadi 

pemeriksaan baku emas untuk menilai 

inervasi serabut saraf kecil intraepidermal tidak bermielin yang menghantarkan 

sensasi nyeri dan suhu dari kulit serta berperan dalam regulasi fungsi otonom. Neuropati serabut saraf kecil ini dapat hanya 

mempunyai gejala klinis minimal dan 

mungkin saja terlewatkan pada pemeriksaan klinis, oleh karena pemeriksaan elektrodiagnostik konvensional hanya dapat 

menilai serabut sarafbesar. 

3. Pemeriksaan Laboratorium dan Genetik 

Pemilihan pemeriksaan laboratorium dan 

genetik memberi tantangan tersendiri. 

Banyak sekali pemeriksaan yang dapat 

dilakukan, namun karena mahal, perlu 

Analisa  mendalam berdasar  anamnesis 

dan pemeriksaan fisik sebelum menentukan pilihan yang tepat. Pemeriksaan standar yang disarankan American Academy of 

Neurology (AAN) di antaranya gula darah 

puasa, elektrolit, pemeriksaan fungsi ginjal, 

fungsi hepar, darah lengkap, hitung jenis, 

kadarvitamin B12, laju endap darah, fungsi 

tiroid, dan jika memungkinkan immunofixation electrophoresis (IFE). 

Pemeriksaan . toleransi gula 2 jam 

pascapuasa lebih sensitif dibandingkan 

dengan pemeriksaan hemoglobin Ale 

(HbAlc) dan gula darah puasa Oleh karena 

itu pemeriksaan ini perlu dipikirkan jika 

pemeriksaan awal normal. Defisiensi vitamin B12 merupakan pemicu  neuropati 

yang mudah diterapi. Di Indonesia karena 

669 

Neuropati 

pemeriksaan ini lebih mahal dibandingkan 

obatnya, maka pemeriksaan ini jarang dilakukan. 

Jika dicurigai suatu neuropati demielinisasi, pertimbangkan untuk memeriksa 

anti-myelin-associated glycoprotein (antiMAG). Jika dicurigai suatu multifocal motor neuropathy (MMN) pertimbangkan 

pemeriksaan anti-GM1. Pada varian SGB 

diperiksakan antiGQlb, antiGM1, dan 

antiGD-la. Untuk kecurigaan etiologi infeksi sistemikjgangguan imunitas, perlu 

dilakukan pemeriksaan cairan serebrospinal. Pasien perokok rentan terhadap 

keganasan. Jika didapatkan neuropati 

sensorik pada perokok, pertimbangkan 

pemeriksaan antibodi antiHu, yang berhubungan dengan neuropati paraneoplastik. 

Pemeriksaan genetik merupakan pemeriksaan lanjutan jika dicurigai neuropati 

herediter secara klinis ditunjang dengan 

klasifikasi menurut elektrodiagnostik. 

Pemeriksaan ini dapat dilakukan dengan 

lebih efisien secara bertahap dimulai 

dari kecurigaan klinis paling besar dan 

paling sering terjadi. 

CONTOH-CONTOH NEUROPATI 

1. Inherited Peripheral Neuropathy I 

Charcot-Marie-Tooth 

Salah satu etiologi neuropati perifer 

yaitu  mutasi genetik yang diturunkan 

dari orang tua ke anaknya. Neuropati 

herediter (inherited neuropathy) sering 

disebut dengan penyakit Charcot-MarieTooth (CMT). Nama ini diberikan sebagai 

penghormatan tiga orang yang pertama 

kali mendeskripsikan penyakit ini pada 

tahun 1886. Sebagian besar CMT meru

pakan neuropati motorik dan sensorik, 

oleh karena itu sering juga disebut 

dengan hereditary motor and sensory 

neuropathy (HMSN). 

CMT dibagi menjadi dua: CMT 1 yang memiliki patologi hypertrophic demyelinating neuropathy dan ada perlambatan 

KHS ( <38m/s pada ekstremitas atas); dan 

CMT 2 yang memiliki patologi degenerasi 

aksonal dengan KHS yang relatif normal. 

Untuk menDiagnosa  pasien neuropati 

herediter kadang cukup mudah. Jika pasien 

memiliki kelemahan ektremitas bagian 

distal disertai hilangnya fungsi sensorik, 

pes cavus, pemeriksaan KHS dengan 

hasil melambat, dan riwayat keluarga 

yang cukup kuat, maka pasien ini  

kemungkinan dapat menderita CMT. Di 

sisi lain, mungkin saja neuropati herediter 

mwicul sebagai de novo atau baru muncul 

ketika dewasa 

Pada CMT ada 44 lokus di 50 gen 

yang dapat bermutasi yang memicu kelainan ini, sehingga gejala klinisnya cukup kompleks dengan pola yang 

bervariasi membuat tes genetik menjadi mahal. Pemeriksaan genetik yang 

efisien dapat dilakukan dengan memilah 

kemungkinan jenis CMT berdasar  

pemeriksaan elektrodiagnostik. 

2. Neuropati Diabetes 

Diabetes melitus (DM) merupakan salah 

satu pemicu  terbanyak neuropati perifer di dunia. Lebih dari setengah pasien 

diabetes mengalami neuropati, dan 

setengah orang yang memiliki neuropati 

yaitu  pasien diabetes. 

Perubahan patologi sarafyang paling be-

670 

sar pada neuropati diabetes terjadi pada 

serabut saraf perifer di distal, namun 

kerusakan ini  dapat juga terjadi 

pada proksimal, baik di ganglion radiks 

dorsalis ataupun di kornu anterior. ada beberapa teori mekanisme pemicu  neuropati diabetes, antara lain 

gangguan vaskular, hipotesis metabolik, 

perubahan sintesis protein dan transpor 

aksonal, serta mekanisme imunologi. 

Berbagai mekanisme ini memicu 

bentuk-bentuk neuropati yang beragam 

pula, baik neuropati sensorik, otonom, 

fokal, multifokal, simetrik, maupun polineuropati. 

Gangguan vaskular diprediksi dapat memicu penebalan dinding pembuluh 

darah mikro dan memicu iskemia 

pada vasa neuron urn. Berbagai penelitian 

telah mendukung teori ini, mulai dari studi 

in vitro, in vivo pada tikus, serta otopsi 

dan biopsi pada N. Suralis. Studi pada 

tikus STZ-diabetes menunjukkan penurunan oksigenasi jaringan dan peningkatan 

resistensi vaskular. Lesi multifokal pada 

jaringan biopsi dan otopsi manusia juga 

konsisten dengan teori bahwa diabetes 

memicu iskemik pada jaringan 

saraf perifer. 

Hipotesis metabolik tentang hiperglikemia berdasar  studi retrospektif yang 

menyatakan bahwa komplikasi neuropati pada diabetes yang lebih dini dan 

lebih berat berhubungan dengan kontrol glikemik yang buruk. Di sisi lain, 

acute painful diabetic neuropathy juga 

membaik dengan penurunan berat badan 

dan kontrol glikemik yang baik. Hal ini  sangat mungkin terjadi karena pada  

kondisi hiperglikemia, perubahan sintesis 

protein dan transpor aksonal akan mengganggu transpor makromolekul dari akson 

di distal kembali ke zona perinuklear 

untuk didaur ulang. Gangguan ini memicu degenerasi aksonal di distal. 

PENGOBATAN neuropati diabetik sangat 

beragam. Oleh karena sifatnya yang 

sistemik, maka PENGOBATAN yang dilakukan harus menyeluruh tidak berhenti 

sampai pengobatan saja, namun juga 

evaluasi sepanjang perjalanan penyakit. Pasien diabetes perlu dinilai sensibilitas daerah distal. Pasien yang tidak 

dapat merasakan tes monofilamen lOg 

kemungkinan memiliki Diagnosa  polineuropati distal simetrik dan cenderung 

akan mengalami ulserasi pada telapak 

kakinya. Oleh karena itu pasien perlu dilakukan tindakan pencegahan dengan edukasi serta pemakaian  alas kaki yang sesuai, 

atau dirujuk ke ahli kaki (podiatrist). 

Pasien diabetes juga rentan terhadap 

gangguan saraf otonom. Jika ada 

riwayat hipotensi ortostatik, presinkop, 

dan basil pemeriksaan EKG-treadmill 

menunjukkan gambaran intoleran, kemungkinan pasien mengalami cardiac 

dysautonomia. Keadaan ini dapat meningkatkan risiko kematian menjadi 

2 sampai 5 kali lipat, antara lain akibat 

painless myocardial infarct jika pasien 

mengalami kelelahan yang hebat dan 

tiba-tiba disertai kulit yang pucat, mual, 

kebingungan, sesak napas, atau batuk. 

Disfungsi ereksi sebagai salah satu 

gangguan otonom dapat terjadi pada 

pasien DM. Jika didapatkan disfungsi 

671 

Neuropati 

ereksi maka tidakmenutup kemungkinan 

ada penyakit kardiovaskular lainnya 

yang terkait dengan gangguan otonom. 

Oleh karena itu perlu dilakukan evaluasi 

jantung menyeluruh pada pasien DM 

dengan gangguan disfungsi ereksi. 

Diabetes juga meningkatkan risiko berbagai jenis neuropati lainnya. Diabetes 

meningkatkan risiko reaktivasi herpes 

zoster dan painful thoracic radiculopathy. 

Baal kedua tangan pada pasien diabetes 

juga masih sangat mungkin karena CTS 

atau carpal tunnel syndrome bilateral. 

PENGOBATAN neuropati diabetes yaitu  

dengan kontrol gula darah yang baik 

mendekati normoglikemia atau kadar 

HbAlc dipertahankan di bawah 7%. Bila 

ada nyeri, maka obat simptomatik 

pilihan diantaranya yaitu  gabapentin, 

pregabalin, karbamazepin, maupun okskarbazepin. Obat-obat antinyeri neuropatik ini  dapat dikombinasikan dengan 

obat anti inflamasi nonsteroid (OAINS), 

analgesik lainnya, ataupun antidepresan. 

Namun perlu diingat karena OM yaitu  

penyakit sistemik, interaksi obat dan 

fungsi ginjal perlu diperhatikan sebelum 

terapi diberikan. 

3. Bell's Palsy 

Merupakan kelainan saraf fasialis tipe 

perifer idiopatik dan pemicu  terbanyak 

lesi nervus fasial unilateral yang dapat 

mengenai semua jenis kelamin dan usia. 

Prevalensinya sekitar 23 per 100.000 

penduduk dan diperkirakan meningkat 

pada pasien DM, hipertensi, serta ibu 

hamil masa perinatal.  

Walaupun Bell's palsy diperkirakan 

idio-atik, namun sebenarnya kurang 

tepat karena studi mengaitkannya dengan 

infeksi herpes simplex virus (HSV)-1. Pacta 

autopsi kasus ini, HSV-1 dapat diisolasi 

dari ganglion genikulatum serta terdeteksi 

pacta cairan endoneurium sebagian besar pasien dibandingkan dengan kontrol 

sehat. Pacta sindrom Ramsay-Hunt dapat 

diisolasi virus varicella zoster. 

Pacta Bell's palsy terjadi inflamasi yang memicu demielinisasi segmental, bahkan dapat terjadi kerusakan aksonal, sehingga terjadi kelainan nervus fasialis tipe 

perifer yang mencapai maksimal dalam 

48-72 jam pascaonset. Abnormalitas dapat 

terjadi pacta lokasi sepanjang perjalanan 

nervus fasialis sejak keluar dari inti nervus 

fasialis di pons hingga serabut terminalnya 

yang menginervasi efektor. Lokasi lesi terbanyak di bagian proksimal kanalis fasialis 

yang merupa-kan tempat tersempit. 

Nyeri pacta area belakang aurikular 

dapat muncul 1-2 hari sebelum onset. 

Level kerusakan nervus fasialis menentukan manifestasi klinis yang muncul. Nervus fasialis memiliki bagian motorik dan 

sensorik (Gambar 2), maka gangguannya 

dapat berupa kelumpuhan otot fasialis 

ipsilateral (muskulus frontalis, orbikularis okuli, bucinator; orbikularis oris, dan 

platisma), penurunan lakrimasi ipsilateral, hiperakusis (muskulus stapedius) 

ipsilateral, penurunan sali-vasi ipsilateral, 

dan penurunan indera pengecap ipsilateral pacta duapertiga anterior lidah (rasa 

manis, asam, dan asin). Pacta beberapa 

kasus juga dapat disertai hipestesi pacta 

satu atau lebih cabang nervus trigeminal. 

Derajat kelumpuhan nervus fasialis dinilai memakai  sistem grading HouseBrackmann yang membagi manifestasi 

klinis menjadi 6 derajat (Tabel 2) 

Diagnosa  Bell's palsy ditegakkan secara 

klinis. Pada pemeriksaan MRI dengan kontras, didapatkan penyangatan nervus fasialis 

yang merepresentasikan inflamasi. Cairan 

serebrospinal menunjukkan peningkatan 

ringan limfosit dan monosit. Pemeriksaan 

elektrofisiologi, yaitu refleks kedip (blink 

reflex) dapat menentukan topis kerusakan 

nervus fasialis. Pemeriksaan ini dilakukan 

setelah onset 14 hari, karena pada <14 hari 

pascaonset masih terjadi kerusakan nervus 

673 

fasialis, sehingga belum dapat diperkirakan derajat kerusakan akhirnya. Diagnosa  

banding kasus ini yaitu  penyakit Lyme, 

otitis media, sindrom Ramsay-Hunt, sarkoidosis, SGB, tumor kelenjar parotis, multipel 

sklerosis, stroke, dan tumor. 

lnflamasi pada nervus fasialis dapat diatasi 

dengan pemberian glukokortikoid oral, 

yaitu prednison 40-60mg perhari selama 10 

hari dengan penurunan dosis bertahap. Jika 

diduga infeksi virus sebagai etiologinya, dapat 

ditambahkan antiviral, yaitu asiklovir 400mg 5 

kali sehari selama 7 hari atau valasiklovir 1g 3 

kali sehari selama 7 hari dalam wa