Tampilkan postingan dengan label obat 29. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label obat 29. Tampilkan semua postingan

obat 29



 kan ritmis dari kakitangan secara tak sadar, sering kali dengan 

jeritan, mulut berbusa, mata membelalak dan 

gejala lainnya. Lamanya serangan berkisar 

antara 1 dan 2 menit yang disusul dengan 

keadaan pingsan selama beberapa menit dan 

kemudian sadar kembali dengan perasaan 

kacau serta depresi.

* Serangan myoclonis (Yun. myo = otot)yaitu  

bentuk grand mal lainnya dan bercirikan 

kontraksi otot-otot simetris dan sinkron yang 

tidak ritmis dari terutama bahu dan tangan 

(tidak dari muka). Adakalanya berlangsung 

berurutan dengan jangka waktu singkat 

sekali, kurang dari 1 detik.

* Status epilepticus yaitu  serangan yang 

bertahan lebih dari 30 menit dan berlangsung 

beruntun dengan cepat tanpa diselingi keadaan sadar. Sesudah 30 menit mulai terjadi 

kerusakan pada SSP. Situasi gawat ini bisa 

fatal (mortalitas 10-15%), sebab  kesulitan 

pernapasan dan kekurangan oksigen di otak. 

Pada umumnya dapat disebabkan oleh ketidakpatuhan penderita minum obat, menghentikan pengobatan secara tiba-tiba atau 

timbulnya demam. 

2. Petit mal (Prancis = penyakit kecil) atau 

abscencea (Prancis = tak hadir). Bercirikan 

serangan yang hanya singkat sekali, antara 

beberapa detik sampai setengah menit dengan penurunan kesadaran ringan tanpa 

kejang-kejang. Seperti grand mal, petit mal 

juga bersifat serangan luas di seluruh otak. 

Gejalanya berupa keadaan termangu-mangu 

(pikiran kosong; kehilangan respons sesaat), 

muka pucat, pembicaraan terpotong-potong 

atau mendadak berhenti bergerak, terutama 

anak-anak. sesudah  serangan, anak kemudian 

melanjutkan aktivitasnya seolah-olah tidak 

terjadi apa-apa. Bila serangan singkat tersebut berlangsung berturut-turut dengan cepat, maka dapat pula timbul suatu status 

epilepticus. Serangan petit mal pada anak-anak 

dapat berkembang menjadi grand mal pada 

usia pubertas.

3. Parsial (epilepsi psikomotor). Bentuk serangan parsial umumnya berlangsung dengan kesadaran hanya menurun untuk sebagian tanpa hilangnya ingatan. Penderita 

memperlihatkan kelakuan otomatis tertentu 

seperti gerakan mengunyam dan/atau menelan atau berjalan dalam lingkaran.

Diagnosis

Elektroencefalogram (EEG). Tes paling terpercaya untuk mendiagnosis jenis epilepsi 

yaitu  melalui pemeriksaan EEG. Kegiatan 

listrik dari otak pertama kali dikemukakan 

pada abad ke-19, namun  baru dianalisis secara 

saksama oleh seorang ilmuwan Jerman (Dr 

Hans Berger). Psikiater ini memperkenalkan 

istilah elektroencefalogram, yang dapat mencatat variasi-variasi potensial dari ak-tivitas 

listrik di otak. Pencatatan ini berguna untuk 

antara lain melokalisasi dan mendiagnosis 

proses-proses patologis di otak. Misalnya 

luka di cortex memicu  gelombang khusus yang dapat dideteksi melalui EEG. 

Serangan grand mal yang diawali oleh 

aura dan kemudian disusul oleh konvulsi 

umum dengan kontraksi otot dan gerakan 

klonis, memiliki pola EEG yang khusus. 

Serangan petit mal juga memiliki EEG yang 

khas. Dengan demikian EEG memungkinkan 

penentuan jenis epilepsi yang diderita pasien, 

yang ditunjang oleh gejala klinik khusus. 

berdasar  analisis ini dapat dipilih obat 

antikonvulsi yang tepat bagi penderita. Penentuan jenis epilepsi dan pilihan obat adalah penting sekali, sebab  obat yang efektif 

terhadap petit mal bisa bekerja berlawanan 

pada grand mal dan sebaliknya.

Penanganan 

Tindakan utama. Selalu diusahakan untuk 

meniadakan penyebab penyakit (misalnya

tumor otak) dan menjauhkan faktor yang 

dapat memicu serangan (alkohol, stres, keletihan, demam, imunisasi, gejolak emosi). 

Tindakan darurat. Pada waktu serangan 

hendaknya diusahakan jangan sampai penderita melukai dirinya sendiri, misalnya 

menggigit lidah. Perlu diperhatikan pula 

bahwa saluran pernapasannya bebas dan 

tidak tersumbat. Bila ada kecurigaan mengenai hipoglikemia, yang juga dapat memicu 

konvulsi, kadar gula darahnya harus ditentukan dan bila perlu harus diberikan glukosa 

secara intravena.

Tujuannya. Serangan epilepsi dapat merusak sel-sel otak, terutama serangan grand mal 

dan menjadi suatu beban sosial dan psikologis bagi penderita. Oleh sebab  itu perlu 

sekali terapi yang bertujuan utama mencegah 

timbulnya kejang atau mengurangi sebanyak mungkin jumlah serangan tanpa mengganggu fungsi normal tubuh. Ini berarti 

bahwa antiepileptika harus dipakai  terus menerus. Dengan pengobatan dan dosis 

yang tepat serangan epilepsi dapat ditekan, 

yaitu frekuensinya dikurangi pada 70-80% 

penderita. Syukurlah bahwa bentuk epilepsi 

tertentu kadangkala hilang secara spontan, 

sehingga pasien menjadi bebas serangan 

untuk rentang waktu panjang, bahkan adakalanya permanen. Namun pada umumnya 

penyembuhan tuntas sukar dicapai.

Terapi serangan16

Lamanya serangan pada umumnya kurang 

dari 5 menit dan berhenti dengan sendirinya 

tanpa pengobatan. Bila berlangsung lebih 

lama, barulah harus diberi obat sebagai 

berikut.

a. diazepam rektal, sebagai larutan dalam 

rectiole. Jika belum menghasilkan efek 

sesudah 5 – 10 menit, pemberian dapat 

diulang atau diberi midazolam/klonazepam secara oromucosal. Lihat selanjutnya dibawah pemakaian .

b. diazepam intravena untuk efek cepat 

atau klonazepam i.v atau midazolam i.m. 

Umumnya serangan berhenti dalam 5 – 

15 menit Dosis tidak boleh terlalu tinggi 

sebab  risiko depresi pernapasan! Bila 

penanganan ini belum berhasil juga dan 

terjadi status epilepticus, terapi mutlak 

harus segera dilanjutkan di rumah sakit 

untuk penanganan berikutnya, yaitu:

c. benzodiazepin atau fenitoin sebagai

infus kontinu dengan monitoring pernapasan dan sirkulasi. Pasien biasanya 

diberi di-azepam 10 mg i.v., disusul dengan infus i.v. dari 200 mg per liter selama 

24 jam. . 

Terapi pemeliharaan16

Pada dasarnya monoterapi (dengan satu 

obat) yaitu  efektif pada kebanyakan penderita epilepsi, misalnya karbamazepin atau 

valproat.

Pentakarannya harus dimulai dengan dosis 

rendah yang lambat laun ditingkatkan sampai 

dosis pemeliharaan yang serendah mungkin. 

Juga penghentian tidak boleh dengan tibatiba. Bila ternyata obat ini tidak ampuh untuk 

mengurangi serangan, maka dapat dicoba 

obat lain. Baru sesudah  2-3 jenis obat dicoba 

tanpa hasil memuaskan, dapat ditambahkan 

obat lain sebagai politerapi. Obat dinyatakan 

efektif bila dapat menurunkan frekuensi serangan dengan ±50%.

a. Epilepsi luas (‘generalized’) Pilihan pertama pada grand mal yaitu  valproat. Pada 

grandmal dengan serangan myoclonis dapat 

dipakai  kombinasi dengan klonazepam.

Karbamazepin, fenitoin dan vigabatrin tidak 

cocok, sebab  justru dapat meningkatkan 

frekuensi serangan. Etosuksimida dan valproat sama efektifnya pada absence luas. 

Kombinasi dari klonazepam + klobazam, 

karbamazepin + valproat dan lamotrigin + 

valproat juga sering kali efektif. Pada bentuk 

tonis-klonis, karbamazepin, valproat atau 

fenitoin memberikan efek baik. Fenobarbital 

juga banyak dipakai , namun  efek sampingnya (sedasi, kantuk) membatasi penggunaannya.

b. Epilepsi parsial biasanya ditanggulangi 

dengan pilihan pertama karbamazepin, valproat atau fenitoin. Obat-obat lainnya yang 

juga efektif yaitu  benzodiazepin, lamotrigin, topiramat dan vigabatrin Pada umumnya efektivitas obat-obat ini tidak sempurna 

sehingga sering kali diperlukan kombinasi 

dari 2 jenis obat.

c. Kortikosteroida yang diberikan secara 

berangsur-angsur sangat efektif, maka terutama dipakai  bila penyakit menjadi 

parah (exacerbatio). Misalnya pada penderita 

lansia, exacerbasi dapat diatasi dengan dosis 

rendah prednison (10 mg), yang sepanjang 

tahun dapat dikurangi sampai dosis pemeliharaan. namun  pada pasien yang lebih 

muda diperlukan dosis (jauh) lebih tinggi 

untuk waktu yang lama dengan risiko efek 

samping besar. Pada tahun-tahun terakhir 

telah dilaporkan lebih sedikit kerusakan 

sendi dengan pemakaian  5 mg prednison 

sehari secara dini (Arch Int Med 2002; 136:1-

12). Suatu penelitian muktahir menunjukkan bahwa dosis awal tinggi dari kortikosteroid (metilprednisolon 1000 mg i.v.) berselang 3 hari menghasilkan kerusakan tulang 

yang lebih ringan daripada pemakaian  

metilprednisolon 16 mg peroral setiap hari 

(NTvG 2004;148: 261-2). Melalui injeksi intraartikuler kortikosteroida dipakai  pada 

keadaan kaku dan nyeri hebat di sendi.

Penderita epilepsi anak-anak

Separuh dari semua kasus epilepsi dimulai 

sebelum usia 20 tahun; risiko untuk epilepsi 

pada anak-anak yaitu  ± 1 : 400. Khususnya 

pada mereka penanganan tidak terbatas pada 

terapi dengan obat-obat saja, namun  yang 

penting manajemen secara keseluruhan. Hal 

ini menyangkut seluruh keluarga, terutama 

orang tua, sekolah dan lingkungannya. 

Kerjasama dengan orang tua yaitu  mutlak, terutama pada awal terapi sehingga 

dapat memberikan informasi untuk menentukan obat dan dosisnya yang paling tepat 

bagi anak untuk kelak melaporkan efek 

sampingnya. Perlu pula ditekankan kepada 

pasien dan orang tua bahwa obat harus 

diminum secara teratur setiap hari, sebaiknya pada saat yang sama, mis. pada waktu 

makan atau sesudahnya.

Penyuluhan bagi orang tua dan guru mengenai sifat penyakit ini dapat membantu 

untuk bisa lebih baik menerima penderita 

anak ini di rumah, di sekolah maupun di 

masyarakat. Tujuannya yaitu  menciptakan 

suatu suasana di mana anak dapat menjalani 

hidupnya senormal mungkin dan juga dapat mengembangkan potensinya semaksimal 

mungkin. Dalam hal ini perlu diperhatikan 

beberapa pedoman untuk menjamin keselamatan anak, misalnya menghindari berenang 

sendiri atau melakukan olahraga berbahaya, 

seperti panjat tebing. Yang juga sangat penting 

dan mempunyai dampak sosial dan hukum 

yaitu  kapan seorang penderita epilepsi diperbolehkan mengemudikan kendaraan bermotor.

Konvulsi demam pada anak-anak kecil 

(‘stuip’, ‘febrile seizures’) yang bertahan lama 

dapat diatasi dengan diazepam 5-10 mg 

rektal (larutan dalam rektiole). Demamnya 

harus dikendalikan dengan parasetamol. Penanganan profilaktik tidak dianjurkan lagi.

Obat-obat epilepsi 

Pada hakikatnya obat-obat ini bertujuan melawan gejala epilepsi, dengan menghindari 

pelepasan mendadak (hipersinkron) dari sejumlah (jaringan) neuron atau minimal menghindari penyebaran dari aktivitas berlebihan 

ke bagian-bagian lain dari otak.

Obat anti-epilepsi pertama yaitu  bromida 

yang dipakai  pada akhir abad ke 19. Obat 

sintetik pertama yang memiliki sifat antikejang yaitu  fenobarbital, namun  terbatas 

pada kejang tonik-klonik umum, tanpa efek 

terhadap kejang absence.

Obat anti-kejang ideal yaitu  yang dapat 

mengendalikan segala jenis kejang tanpa efek 

samping yang tidak diinginkan. Sayangnya 

obat-obat yang sekarang dipakai  adakalanya tidak memberikan respons baik pada 

sebagian penderita dan sering kali juga 

mengakibatkan efek samping terhadap SSP 

yang bersifat ringan sampai kematian akibat anemia aplastik atau gagal ginjal. Juga 

kecenderungan bunuh diri dapat meningkat.

Antiepileptika yaitu  obat yang dapat menanggulangi serangan epilepsi berkat khasiat antikonvulsinya, yaitu meredakan konvulsi (kejang klonus hebat). Semua obat antikonvulsi memiliki masa paruh panjang, 

dieliminasi dengan lambat dan berkumulasi 

dalam tubuh pada pemakaian  kronis. 

Penggolongan. Obat-obat ini dapat dibagi 

dalam beberapa kelompok kimiawi, yaitu:1. Obat generasi pertama.

– Barbital: fenobarbital dan mefobarbital memiliki sifat antikonvulsif khusus yang 

terlepas dari sifat hipnotiknya. Yang 

dipakai  terutama senyawa kerja-panjang untuk memberikan jaminan yang 

lebih kontinu terhadap serangan grand 

mal. Lihat juga Bab 24, Sedativa dan 

Hipnotika.

– Fenitoin. Struktur kimia obat ini mirip 

barbital, namun  dengan cincin lima hidantoin (lihat rumus bangun di bawah 

ini). Senyawa hidantoin ini terutama 

dipakai  pada grand mal.

– Suksinimida: etosuksimida dan mesuksimida. Senyawa ini memiliki kesamaan 

dalam susunan gugus cincinnya dengan 

fenitoin. Terutama dipakai  pada petit 

mal.

– Lainnya: asam valproat, diazepam dan 

klonazepam, karbamazepin dan okskarbazepin.

2. Obat generasi ke-2: vigabatrin, lamotrigin

dan gabapentin (Neurontin), juga felbamat, 

topiramat dan pregabaline. Obat-obat ini 

umumnya tidak diberikan tunggal sebagai 

monoterapi, namun  sebagai tambahan dalam 

kombinasi dengan obat-obat klasik (generasi 

ke-1). Keberatan obat-obat yang agak baru 

ini yaitu  pengalaman pemakaian nya yang 

masih relatif singkat dibandingkan dengan 

obat-obat generasi pertama, yang sudah 

membuktikan keampuhan dan keamanannya. Lagi pula harganya jauh lebih tinggi.

Mekanisme kerja

Mekanisme kerja anti-epileptika dapat dijelaskan berdasar  dua prinsip. Pertama 

berdasar  pemblokiran terhadap transpor 

elektrokimia oleh saluran-saluran ion natrium 

atau kalsium. Kedua yaitu  peningkatan 

penghambatan dari neurotransmitter GABA, 

atau penurunan transmisi glutamat.

GABA (gamma-aminobutiric acid). Di otak 

ada  dua kelompok neurotransmitter, 

yaitu zat-zat seperti noradrenalin dan serotonin

yang memperlancar transmisi rangsangan 

listrik di sinaps sel-sel saraf. Selain itu juga 

ada  zat-zat yang menghambat neurotransmisi, antara lain GABA dan glisin. 

Lihat juga Bab 54, Dasar-dasar diet sehat. Asam amino GABA memiliki efek 

dopamin(= PIF, prolactin inhibiting factor) 

lemah, yang berefek menghambat produksi prolaktin oleh hipofisis. GABA ada  di praktis seluruh otak dalam dua 

bentuk, GABA-A dan GABA-B yang mekanisme kerjanya berhubungan erat dengan reseptor benzodiazepin. Ternyata pula 

bahwa ada  hubungan langsung antara 

serangan kejang dan GABA. Zat-zat yang 

memicu timbulnya konvulsi diketahui bersifat mengurangi aktivitas GABA. Di lain 

pihak zat-zat yang memperkuat sistem 

penghambatan yang diatur oleh GABA

berdaya antikonvulsi, antara lain benzodiazepin (diazepam, klonazepam). Ini merupakan 

salah satu mekanisme kerja dari obat-obat 

epilepsi, lihat di bawah. 

Cara kerja antiepileptika belum semuanya 

jelas. Namun dari sejumlah obat ada  

indikasi mengenai mekanisme kerjanya, 

yaitu: 

a. memperkuat efek GABA: valproat dan vigabatrin bersifat menghambat perombakan GABA oleh transaminase, sehingga 

kadarnya di sinaps meningkat dan neurotransmisi lebih diperlambat. Juga topiramat bekerja menurut prinsip memperkuat GABA, sedangkan lamotrigin

meningkatkan kadar GABA. Fenobarbital 

juga menstimulasi pelepasannya.

b. menghambat kerjanya aspartat dan glutamat. Kedua asam amino ini yaitu  neurotransmitter yang merangsang neuron 

dan memicu  serangan epilepsi. 

Pembebasannya dapat dihambat oleh lamotrigin, juga oleh valproat, karbamazepin dan fenitoin (NTvG 2006;150:977-9);

c. memblokir saluran-saluran (channels) Na, 

K dan Ca yang berperan penting pada 

timbul dan perbanyakan muatan listrik. 

Contohnya yaitu  etosuksimida, valproat, karbamazepin, okskarbazepin, fenitoin, lamotrigin, pregabalin dan topiramat; 

d. meningkatkan ambang-serangan dengan jalan menstabilkan membran sel, antara 

lain felbamat; e. mencegah timbulnya pelepasan muatan listrik 

abnormal di pangkalnya (focus) dalam SSP, 

yaitu fenobarbital dan klonazepam; 

f. menghindari menjalarnya hiperaktivitas (muatan listrik) ini  pada neuron otak 

lainnya, seperti klonazepam dan fenitoin.

pemakaian 

Pada pemakaian  awal dari suatu antiepileptikum harus diperhitungkan pengaruh 

pemakaian  bersamaan dari anti-epileptikum 

lain (co-medikasi). Kombinasi demikian dapat 

memicu  induksi enzim (karbamazepin, 

fenobarbital, fenitoin) atau inhibisi enzim

oleh obatnya sendiri (felbamat, topiramat, 

valproat). berdasar  hal ini adakalanya 

dosis haru dinaikkan untuk memberikan 

perlindungan secukupnya, atau penurunan 

dosis untuk mengurangi efek samping.

Pada terapi kombinasi sebagian pasien 

hanya membutuhkan dosis lebih rendah dari 

masing-masing anti-epileptikum.

Antiepileptika sering kali memiliki indeks terapi yang sempit, seperti fenitoin, 

maka untuk efek optimal perlu ditentukan 

pentakaran yang saksama agar kadar darah 

terpelihara pada rentang kadar terapi yang 

sekonstan mungkin. Banyak obat (primidon, 

karbamazepin, klonazepam dan valproat) 

memicu  mual dan pusing. Untuk 

menghindari gejala ini, pada permulaan 

obat diberikan tunggal dalam dosis rendah 

yang berangsur-angsur dinaikkan sehingga 

efek maksimal tercapai dan kadar plasma 

menjadi tetap (‘steady state’). Bila terjadi 

kegagalan harus diganti dengan obat lain 

dan penting sekali untuk selalu menurunkan 

dosis obat pertama dengan perlahan-lahan 

sambil berangsur-angsur menaikkan dosis 

obat baru untuk mencegah timbulnya status 

epilepticus. Pengecualian yaitu  fenitoin dan 

etosuksimida yang dapat langsung diberikan 

dalam dosis pemeliharaannya. Akan namun  

sering kali juga terapi dilanjutkan dengan 

kedua obat bersama, bahkan ditambah lagi 

dengan obat ketiga bila belum tercapai hasil 

yang diinginkan.

Pada usia lanjut CVA merupakan sebab 

penting pada timbulnya epilepsi . Serangan 

parsial paling sering terjadi. Pada tahun 

pertama serangan kedua lebih sering (80%) 

timbul dibandingkan dengan orang muda. 

Oleh sebab  itu penanganan pada lansia agar 

lebih cepat dimulai sesudah  serangan pertama 

dan tidak menunggu-nunggu lagi.

* Kombinasi. Bagi orang yang resisten terhadap monoterapi (±30% dari pasien) diperlukan kombinasi dari 2 atau 3 jenis obat 

sekaligus. Terapi kombinasi ini sebetulnya 

tidak dianjurkan sebab  kemungkinan timbulnya interaksi dan bertambahnya efek 

samping. Namun ketidakpatuhan pasien 

dalam minum obat akan berkurang, yang 

merupakan penyebab utama kegagalan terapi (85%). Penelitian dengan fenitoin, karbamazepin dan valproat menunjukkan bahwa pada kebanyakan pasien serangan dapat 

dikendalikan dengan hanya satu jenis obat 

bila diberikan dalam dosis yang cukup tinggi. 

Dalam hal ini terapi perlu dipantau melalui 

penentuan kadar obat dalam darah. 

Pada kasus resisten baru dapat dipakai  

kombinasi dengan antiepileptika generasi 

ke-2 felbamat, vigabatrin,lamotrigin, dalam 

doses serendah mungkin, yang berangsurangsur dinaikkan. pemakaian  sediaan kombinasi tetap harus dihindari, kecuali pada kasus 

resistensi ini  di atas.

* pemakaian  lain.

Selain untuk epilepsi obat-obat ini juga 

sering kali dipakai  off label (artinya di luar 

indikasi resmi) pada antara lain keadaankeadaan sebagai berikut.

– gangguan bipoler: karbamazepin, valproat, lamotrigin

– trigeminus neuralgie: karbamazepin

– nyeri neuropatis perifer: gabapentin, pregabalin

– nyeri neuropati sentral: pregabalin

– perasaan ketakutan: pregabalin

– gejala akibat penghentian minum alkohol: 

karbamazepin

– aritmia: fenitoin

– profilaksis migren: topiramat, valproat

– diabetes insipidus: karbamazepin (meregulasi cairan tubuh dengan cepat mengurangi jumlah urin dan perasaan dahaga). * Pentakaran. Kebanyakan obat epilepsi 

memiliki plasma-t½ yang agak panjang (10-

50 jam lebih) sehingga seyogyanya dosis 

dapat diberikan 1 kali sehari. Namun pada 

umumnya obat diberikan 2 atau 3 kali sehari 

untuk meniadakan kemungkinan terjadinya 

serangan akibat terlupanya satu dosis.

* Jangka waktu terapi. Lamanya pengobatan 

sukar untuk dapat ditentukan terlebih dahulu. Hal ini tergantung antara lain dari usia, 

frekuensi serangan dan faktor yang dapat 

memicu serangan. Pada umumnya terapi 

diberikan selama bertahun-tahun dan dalam 

kebanyakan kasus malahan seumur hidup. 

Di lain pihak bila dalam kurun waktu 5 

tahun tidak terjadi lagi serangan (pada hanya 

±25% pasien), dosis dapat berangsur-angsur 

diturunkan. Bila serangan tidak terjadi lagi, 

akhirnya terapi dapat dihentikan sama sekali. 

Pada bayi pengobatan pada umumnya sudah 

bisa dihentikan beberapa minggu sampai 

beberapa bulan sesudah serangan terakhir, 

pada anak-anak sampai 6 tahun kebanyakan 

sesudah  1 tahun. Risiko kambuh pada anakanak sampai ±16 tahun hanya ±25%.

Perlu pula diperhatikan sekali lagi bahwa 

penghentian terapi tidak boleh secara tibatiba, sebab  dapat memicu serangan. Pengecualian yaitu  bila timbul efek-efek samping 

serius seperti toksisitas hati dan sindrom 

Stevens-Johnson.

Sekitar 30% dari penderita epilepsi yang 

menjalani pengobatan tetap tidak terlepas 

dari serangan-serangan. Epilepsi yang sukar 

ditangani demikian disebut epilepsi “refractair.” Pengobatan mutakhir untuk menghentikan serangan yaitu  dengan cara pembedahan (epilepsie chirurgie).17

Efek samping

Efek samping yang paling sering timbul 

berupa gangguan saluran pencernaan (nausea, muntah, obstipasi, diare dan hilang cita 

rasa). Begitu pula efek SSP (rasa kantuk, 

pusing, ataxia, nystagmus, mudah tersinggung) sering kali terjadi. Selain itu juga reaksi 

hipersensitivitas (dermatitis, ruam, urticaria, 

sindrom Stevens-Johnson, hepatitis), rontok 

rambut, hirsutisme, kelainan psikis, gangguan 

darah dan hati, serta perubahan berat badan. Valproat, gabapentin, pregabalin dan 

adakalanya vigabatrin meningkatkan berat 

badan, sedangkan topiramat justru menurunkannya.

Okskarbazepin, gabapentin dan lamotrigin 

memperbaiki suasana jiwa, sedangkan vigabatrin dan topiramat memperbesar risiko akan 

psikosis. Juga kemungkinan meningkatnya 

kecenderungan bunuh diri (0,43%), terutama 

pada pemakaian  gabapentin, klonazepam 

dan levetirasetam.

Kebanyakan antiepileptika memengaruhi 

sistem endokrin, misalnya metabolisme vitamin D, dengan akibat penurunan kadar kalsium dan fosfat dalam darah. Oleh sebab  itu 

penderita yang memakai  antiepileptika 

untuk jangka waktu lama, perlu periodik 

diperiksa kadar kalsium dan fosfatnya.

Kehamilan

Efek teratogen. Antiepileptika dapat menyebabkan gangguan kongenital yang ±2-3 kali lebih besar daripada keadaan normal, 

khususnya asam valproat dan karbamazepin. Efek teratogen ini - terutama spina 

bifida - ditimbulkan oleh toksisitas langsung 

terhadap sel-sel janin dan juga sebab  defisiensi asam folat. pemicu nya  yaitu  

sebab  di satu pihak obat-obat ini (valproat

dan karbamazepin) menghambat dengan 

kuat resorpsi asam folat dan di lain pihak 

meningkatkan ekskresinya sebab  induksi 

enzim di hati. Penurunan kadar asam folat juga 

dapat memicu  anemi makrositer, maka 

dianjurkan pemberian suplesi dari vitamin 

ini (1 dd 0,5 mg). Fenobarbital, fenitoin dan

valproat a.l. juga dapat memicu  kelainan jantung dan bibir sumbing.

Untuk mengurangi risiko serangan pada 

wanita hamil dan memperkecil risiko cacat 

pada janin, dianjurkan pemberian obat 

dengan dosis yang serendah mungkin (diss 

B. Samren, Univ Rotterdam, April 1998).

*Penghentian pengobatan epilepsi dapat 

memicu  serangan pada sang ibu dengan 

akibat dapat memicu  penyimpangan 

pada janin akibat hipoksia atau perdarahan 

intrakranial.* pemakaian  kombinasi sebaiknya diganti dengan obat tunggal, sebab  risiko 

penyimpangan pada janin lebih kecil pada 

monoterapi dibandingkan dengan politerapi. 

pemakaian  asam valproat supaya dihindari.

Interaksi

Beberapa antiepileptika memicu  (auto) 

induksi enzim hati (sistem-oksidasi P450), 

seperti karbamazepin, fenitoin, fenobarbital dan primidon. Oleh sebab  itu obatobat ini dapat saling menurunkan kadarnya dalam darah dengan peningkatan ekskresinya. Kadar dari antikoagulansia, zat-zat 

anti-HIV dan steroida (antikonseptiva) diturunkan. Akibatnya induksi enzim ini telah 

memicu  kehamilan pada wanita yang 

memakai  pil antihamil. `

Sebaliknya beberapa obat memicu 

penghambatan enzim melalui kompetisi untuk titik pengikatan yang sama. Misalnya valproat mampu meningkatkan kadar fenobarb 

dengan kuat, sedangkan efek valproat dikurangi oleh fenitoin.

Interaksi ini  hampir tidak terjadi pada vigabatrin dan gabapentin sebab  zatzat ini praktis tidak dimetabolisasi dan pada 

okskarbazepin sebab  dipecah oleh enzimenzim jenis lain di hati. namun  dapat memicu 

perombakan pil antihamil yang mengandung 

kurang dari 50 mcg estrogen dengan risiko 

perdarahan-antara dan kehamilan.

Pada lansia induksi enzim dapat meningkatkan kecenderungan osteoporosis (fenitoin 

dan fenobarbital).

MONOGRAFI

1. GENERASI PERTAMA

1a. Asam valproat: asam dipropilasetat, DPA, 

Depakene, Leptilan (Na-).

Khasiat antikonvulsi dari derivat asam 

valerian ini diketemukan secara kebetulan 

(Meunier, 1963) dan dianggap sebagai obat 

pilihan pertama pada absences. Dalam kombinasi dengan obat-obat lain juga efektif 

pada grand mal dan serangan psikomotor. 

Mekanisme kerjanya diperkirakan berdasar  hambatan enzim yang menguraikan 

GABA, sehingga kadar neurotransmitter ini 

di otak meningkat. 

Resorpsinya di usus cepat, sesudah  15 menit 

sudah tercapai kadar plasma maksimal. PP 

lebih kurang 90%, plasma-t½ ±10 jam dan 

diekskresi sebagai glukuronida, terutama 

melalui urin. Resorpsi dari suppositoria juga 

baik, namun  bersifat merangsang bagi selaput 

lendir, juga pada pemakaian  sebagai injeksi. 

Efek rangsangan lokal ini dapat banyak dikurangi dengan memakai  tablet entericcoated dan tablet slow-release. Yang terakhir 

juga menguntungkan sebab  memberikan 

kadar plasma yang lebih merata. Antara 

kadar plasma dan efek terapi (terhindarnya 

serangan) tidak ada  hubungan langsung, 

berbeda dengan antiepileptika lainnya. Ada 

indikasi bahwa pentakaran 1 kali sehari sama 

efektifnya dengan 2 atau 3 kali sehari.

Efek samping yang sering terjadi yaitu  

gangguan saluran cerna yang bersifat sementara, adakalanya juga sedasi, ataksia, 

udema pergelangan kaki dan rambut rontok 

(reversibel). Efek lainnya yaitu  kenaikan 

berat badan, terutama pada remaja puteri. 

Kehamilan. Senyawa ini bersifat teratogen 

pada hewan, maka tidak boleh diberikan 

pada wanita hamil.

Interaksi. sebab  DPA dapat meningkatkan 

kadar fenobarbital dan fenitoin, maka 

berdasar  penelitian kadarnya di dalam 

darah, dosisnya harus dikurangi (sampai 30-

50%) untuk menghindari sedasi berlebihan. 

Sebaliknya, khasiat DPA juga diperkuat oleh 

antiepileptika lainnya.

Dosis: oral semula 3-4 dd 100-150 mg d.c. 

dari garam natriumnya (tablet e.c.) untuk 

kemudian berangsur-angsur dalam waktu 

2 minggu dinaikkan sampai 2-3 dd 300-500 

mg, maksimal 3 g sehari. Anak-anak 20-30 

mg/kg/sehari. Asam bebasnya memberikan 

kadar plasma yang 15% lebih tinggi (lebih 

kurang sama dengan persentase natrium 

dalam Na-valproat), namun  lain daripada itu 

tidak lebih menguntungkan.

1b. Karbamazepin: Tegretol

Senyawa trisiklis (1964) yang mirip imipramin ini (lihat Bab 30, Antidepresiva) selain bekerja antikonvulsi, juga berkhasiat 

antidepresif dan antidiuretik, mungkin berdasar  peningkatan sekresi di hipofisis 

atau penghambatan perombakannya.

pemakaian nya di berbagai bidang, yaitu: 

– epilepsi grand mal dan bentuk parsial sama 

efektifnya dengan fenitoin, namun  efek 

sampingnya lebih sedikit. Fenobarbital 

dan valproat memperkuat efeknya. Tidak 

efektif pada absences.

– neuralgia trigeminus: merupakan obat 

yang paling efektif terhadap nyeri urat 

saraf hebat di bagian muka, juga terhadap 

nyeri sinannaga(Herpes zoster)

– depresi manis: efektivitasnya dapat disamakan dengan litium, lihat Bab 30 Antidepresiva.

– diabetes insipidus (polyuria akibat kekurangan ADH): khusus terhadap bentuk 

sentral dari gangguan ini. Lihat Bab 47, 

Antidiabetika.

Resorpsi lambat dan kadar maksimal dalam plasma dapat tercapai sesudah  4-24 jam. 

Pengikatan proteinnya tinggi, ±80%, sedangkan plasma-t½ sangat variabel (7-30 jam). Di 

dalam hati karbamazepin dioksidasi menjadi metabolit epoksida yang juga berefek 

antikonvulsi.

Efek samping yang paling sering terjadi 

berupa sedasi, sakit kepala, pusing, mual, 

muntah dan ataxia, yang umumnya bersifat 

sementara (±2 minggu). Sekitar 40% dari 

pengguna masih mengalami rasa kantuk 

sesudah  1 tahun. Reaksi kulit (rashes) juga agak 

sering terjadi. Efek lainnya yaitu  anoreksia, 

mengantuk, radang kulit dan gangguan psikis. sebab  dapat terjadi gangguan darah, 

hepatitis dan lupus erythematodes, harus dilakukan pemeriksaan darah setiap minggu/

bulan. Kombinasi dengan antara lain fenobarbital dan fenitoin dapat menyulitkan 

terapi. Selama pemakaian  karbamazepin 

tidak boleh minum alkohol dan pengendara 

bermotor harus waspada.

Kehamilan dan laktasi. Zat ini dapat menembus plasenta, berkumulasi di jaringan 

janin dan dapat mengganggu pertumbuhan 

janin. Oleh sebab itu tidak dianjurkan penggunaannya selama kehamilan. Dalam keadaan utuh maupun metabolitnya dapat 

masuk ke dalam air susu ibu, walaupun tidak 

banyak.

Dosis: permulaan sehari 200-400 mg di bagi 

dalam beberapa dosis yang berangsur-angsur 

dapat dinaikkan sampai 800-1200 mg dibagi 

dalam 2-4 dosis. Pada manula setengah dari 

dosis ini. Dosis awal bagi anak-anak sampai 

usia 1 tahun 100 mg sehari, 1-5 tahun 100-

200 mg sehari, 5-10 tahun 200-300 mg sehari 

dengan dosis pemeliharaan 10-20 mg/kg 

berat badan sehari dibagi dalam beberapa 

dosis.

* Okskarbazepin (Trileptal) yaitu  derivat 

(1991) yang sama efektifnya dengan karbamazepin pada dosis yang 50% lebih tinggi. 

Kedua obat ini tidak bersifat induktor enzim, maka pada pemakaian  lama tidak 

memicu  auto-induksi (= stimulasi dari 

metabolisme sendiri). Efek sampingnya lebih 

ringan, khususnya rash. Okskarbazepin terutama dipakai  pada serangan tonisklonis ‘generalized’ dan pada epilepsi parsial. 

Resorpsi cepat dan hampir sempurna (95%) 

untuk kemudian diubah menjadi dihidroksikarbamazepin aktif dengan plasma-t½ 10-25 

jam. Lebih dari 95% diekskresi melalui urin 

sebagai konyugat dan 0,3% dalam bentuk 

utuh. Efek sampingnya berupa perasaan letih, 

pusing dan ataksia, hiponatriemia, gangguan 

tidur, tremor dan radang kulit. 

Kehamilan dan laktasi. Data untuk ini belum 

cukup, namun  zat ini masuk ke dalam air susu 

ibu dan dapat mencapai kadar sampai 50% 

dari kadar plasma sang ibu.

Dosis: monoterapi 1 dd 300 mg d.c. atau 

p.c., lambat laun dinaikkan sampai dosis 

pemeliharaan 2-3 dd 200-400 mg; politerapi 

pada epilepsi gawat dan yang resisten: 1 dd 

300 mg dan lambat laun ditingkatkan sampai 

dosis pemeliharaan 2-3 dd 300-1000 mg.

1c. Fenobarbital: fenobarbiton, Luminal.

Senyawa hipnotik ini (1912) terutama dipakai  pada serangan grand mal dan status 

epilepticus berdasar  sifatnya yang dapat 

memblokir pelepasan muatan listrik di otak. 

Untuk mengatasi efek hipnotiknya, obat ini 

dapat dikombinasi dengan kofein. Tidak bo- leh diberikan pada absences sebab  justru 

dapat memperburuknya.

Resorpsi di usus baik (70-90%) dan ±50% 

terikat pada protein; plasma-t½ panjang, ±3-4 

hari, maka dosisnya dapat diberikan sehari 

sekaligus. Sekitar 50% dipecah menjadi p-hidroksifenobarbital yang diekskresi lewat urin 

dan hanya 10-30% dalam keadaan utuh. 

Efek samping berkaitan dengan efek sedasinya (lihat Bab 24, Sedativa dan Hipnotika), 

yaitu pusing, mengantuk, ataksia dan pada 

anak-anak mudah terangsang. Efek samping 

ini dapat dikurangi dengan penambahan 

obat-obat lain. 

Interaksi. Bersifat menginduksi enzim dan 

antara lain mempercepat penguraian kalsiferol 

(vitamin D2

) dengan kemungkinan timbulnya 

rachitis (penyakit Inggris) pada anak kecil.

pemakaian  bersama valproat harus hatihati, sebab  kadar darah fenobarbital dapat 

ditingkatkan. Di lain pihak kadar darah fenitoin dan karbamazepin serta efeknya dapat diturunkan oleh fenobarbital.

Dosis: 1-2 dd 30-125 mg, maksimal 400 mg 

(dalam 2 kali); pada anak-anak 2-12 bulan 

4 mg/kg berat badan sehari; pada status 

epilepticus dewasa 200-300 mg.

* Metilfenobarbital (mefobarbital, Prominal)

juga dipakai  pada petit mal (1932). Dibandingkan dengan fenobarbital, resorpsi di 

usus kurang baik (50%). Di dalam hati zat 

ini dengan cepat diubah seluruhnya menjadi 

fenobarbital. Efek sedasi dan hipnotiknya 

lebih ringan, begitu pula khasiat antiepilepsinya, maka tidak banyak dipakai  

lagi. Dosis: 2 dd 100-200 mg.

1d. Primidon: Mysoline

Struktur kimia obat ini (1952) sangat mirip 

fenobarbital, namun  bersifat kurang sedatif. 

Sangat efektif terhadap serangan grand 

mal dan psikomotor. Di dalam hati terjadi 

biotransformasi menjadi fenobarbital dan feniletilmalonamida (PEMA), yang juga bersifat 

anti-konvulsi. pemakaian  lainnya yaitu  

pada neuralgia trigeminus, lihat di atas (1b).

Efek samping pusing, mengantuk, ataksia 

dan anoreksia (sementara), juga anemia tertentu yang dapat diatasi dengan asam folat. 

Pada anak-anak: mudah terangsang.

Dosis: dimulai dengan 4 dd 500 mg (= 2 

tablet), pada hari ke-4 dikurangi sampai 4 

dd 250 mg dan pada hari ke-11 125 mg dan 

seterusnya.

1e. Fenitoin: difenilhidantoin, Diphantoin, Dilantin

Senyawa imidazolidin ini (1938) tidak 

bersifat hipnotik seperti senyawa barbital dan 

suksinimida. Fenitoin terutama efektif pada 

grand mal dan serangan psikomotor, namun  

tidak boleh diberikan pada petit mal, sebab  

dapat memprovokasi absences. Sediaan tablet 

dari dua pabrik yang berlainan dapat sangat 

berbeda kesetaraan biologis (BA) dan kadar 

darahnya, maka selama terapi sebaiknya 

jangan mengganti pabrik.

Fenitoin merupakan anti-epileptikum dengan indeks terapi yang sangat sempit. Efek 

terapi yang optimal terletak pada kadar 

serum total antara 8-20 mg/L. Di dalam 

tubuh 90% dari zat ini terikat pada protein 

plasma. Kadar albumin dalam serum yang 

rendah (hipoalbuminemia) mengakibatkan peningkatan kadar fenitoin bebas melampaui 

kadar terapi (0,5-2 mg/L) dan dapat menyebabkan intoksikasi. Keseimbangan antara 

fraksi fenitoin total dan fraksi fenitoin bebas 

juga dapat terganggu oleh penyakit fungsi 

hati atau ginjal, usia lanjut dan juga oleh 

obat-obat seperti digoksin, aspirin, derivat 

kumarin, antidiabetika oral dan asam valproat.

Kemper E.M. et al., Ernstige fenytoïneintoxicatie bij patiënten met hypoalbuminemie. Ned Tijdschr Geneesk. 2007;151:138-

41

Pentakaran obat ini agak sulit sebab  

perubahan sedikit dalam dosis harian dapat 

mengakibatkan perubahan kuat dalam plasma darah, oleh sebab  pada kadar terapeutik 

farmakokinetiknya tidak lineair.

Resorpsi di usus cukup baik, persentase 

pengikatan pada protein tinggi, ±90%. sesudah  

mengalami siklus enterohepatik, akhirnya 

fenitoin diekskresi melalui ginjal dalam bentuk glukuronida (60-75%). Plasma-t½ ratarata 22 jam (sangat variabel).

Efek samping yang sering kali timbul adalah hiperplasia gusi (tumbuh berlebihan) dan  obstipasi. Efek lainnya a.l. pusing, mual 

dan bertambahnya rambut/bulu badan (hipertrichosis). Wanita hamil tidak boleh memakai  fenitoin sebab  bersifat teratogen.

Dosis: permulaan sehari 2-5 mg/kg berat 

badan dibagi dalam 2 dosis dan dosis pemeliharaan 2 dd 100-300 mg (garam Na) pada 

waktu makan dengan minum banyak air 

(alkalis!). Pada anak-anak 2-16 tahun, permulaan sehari 4-7 mg/berat badan dibagi 

dalam 2 dosis dan dosis pemeliharaan sehari 

4-11 mg/berat badan. Bila dikombinasi dengan fenobarbital, dosisnya dapat diperkecil.

* Fosfenitoin (Cerebyx) yaitu  ester fosfat 

dari pro-drug fenitoin yang cepat dan lengkap diuraikan menjadi fenitoin, formaldehida dan fosfat. dipakai  sebagai injeksi 

i.m./infus. 

1f. Diazepam: Valium, Stesolid, Mentalium

Di samping khasiat anksiolitik, relaksasi 

otot dan hipnotiknya (lihat juga Bab 24, 

Sedativa dan Hipnotika), senyawa benzodiazepin ini (1961) juga berkhasiat antikonvulsi. 

berdasar  khasiat ini. diazepam dipakai  pada epilepsi dan dalam bentuk injeksi 

i.v. terhadap status epilepticus. Pada penggunaan oral dan dalam klisma (rectiole), resorpsinya baik dan cepat namun  dalam bentuk 

suppositoria lambat dan tidak sempurna. 

Sekitar 97-99% diikat pada protein plasma. 

Di dalam hati diazepam dibiotransformasi 

menjadi antara lain N-desmetildiazepam yang 

juga aktif dengan plasma-t½ panjang, antara 

42-120 jam. Plasma-t½ diazepam sendiri berkisar antara 20-54 jam. Toleransi dapat terjadi 

terhadap efek antikonvulsinya, sama seperti 

terhadap efek hipnotiknya. 

Efek sampingnya lazim bagi kelompok 

benzodiazepin, yaitu mengantuk, termenungmenung, pusing dan kelemahan otot.

Dosis: 2-4 dd 2-10 mg dan i.v. 5-10 mg 

dengan perlahan-lahan (1-2 menit), bila perlu 

diulang sesudah  30 menit; pada anak-anak 2-5 

mg. Pada status epilepticus dewasa dan anak 

di atas usia 5 tahun 10 mg (rectiole); pada 

anak-anak di bawah usia 5 tahun sekali 5 mg. 

Pada konvulsi demam: anak-anak 0,25-0,5 

mg/kg berat badan (rectiole), bayi dan anakanak di bawah 5 tahun 5 mg, sesudah  5 tahun 

10 mg, juga preventf pada demam(tinggi).

* Klonazepam (Rivotril) yaitu  derivat 

klor (1973) dari nitrazepam dengan kerja 

antikonvulsif yang lebih kuat. Khasiatnya 

diperkirakan berdasar  perintangan langsung dari pusat epilepsi di otak dan juga 

merintangi penyebaran aktivitas listrik berlebihan pada neuron lain. Klonazepam terutama dipakai  pada absences anak-anak 

dan merupakan obat pilihan utama (i.v.) pada 

status epilepticus sebab  khasiatnya lebih kuat 

dan 2-3 kali lebih cepat daripada diazepam.

Kinetik. Sekitar 87% zat ini diikat pada protein plasma dan dimetabolisasi dalam hati 

menjadi senyawa metabolit tidak aktif. Plasma-t½ 18-50 jam, peroral kadar darah maksimalnya dicapai sesudah 1-3 jam, melalui i.v. 

sesudah  1 menit. Toleransi juga dapat terjadi 

sesudah beberapa minggu sampai beberapa 

bulan.

Efek samping yang agak sering terjadi berupa sedasi, mengantuk, pusing dan cupetnya pikiran, juga kelemahan otot dan sekresi 

ludah berlebihan (hipersalivasi), yang dapat 

membahayakan pernapasan terutama pada 

anak-anak. Selama pemakaian  klonazepam dilarang minum alkohol, sebab  memengaruhi efek obat. Dosis: oral anak-anak 

3 dd 0,5-2 mg; dewasa permulaan 0,5 mg 

sehari, lambat laun dinaikkan sampai 3 dd 

1-5 mg (maksimal 20 mg sehari); dosis harus 

dinaikkan dengan berangsur-angsur. Pada 

status epilepticus i.v. 1 mg (perlahan-lahan), 

sesudah 30 menit diulang 1 mg; anak-anak 1 

dd 0,5 mg.

*Klobazam (Frisium) yaitu  derivat 1,5-benzodiazepin (1982) yang dipasarkan sebagai 

tranquillizer, namun  memiliki khasiat antikonvulsi yang sama kuatnya dengan diazepam. Klobazam dipakai  sebagai obat tambahan pada absences yang resisten terhadap 

klonazepam. Tidak dapat dikombinasi dengan valproat. Lihat selanjutnya Bab 24, 

Sedativa dan Hipnotika. sesudah  pemakaian  

oral minimal 87% diresorpsi dan ±85% diikat 

pada protein plasma. Metabolit utamanya yaitu  N-desmetilklobazam yang memiliki 

sifat antikonvulsi lemah. Plasma-t½ 18-30 

jam dan diekskresi (81-97%) melalui urin. 

Dosis: oral sehari 5-15 mg, dapat lambat laun 

ditingkatkan sampai maksimal 80 mg sehari.

1g. Etosuksimida: etilmetilsuksinimida, Zarontin

Derivat pirolidin ini (1958) sangat efektif 

terhadap serangan absence. Efeknya panjang 

dengan plasma-t½ 2-4 hari. Praktis tidak 

terikat pada protein, ekskresi melalui ginjal, 

yaitu 50% sebagai metabolit dan 20% dalam 

keadaan utuh. 

Efek samping berupa sedasi, antara lain 

mengantuk dan termenung-menung, sakit 

kepala, anoreksia dan mual, juga bersendawa. 

Leukopenia jarang terjadi namun  di samping 

pemeriksaan hematologi, fungsi hati dan urin 

perlu dimonitor secara teratur.

Dosis: 1-2 dd 250-500 mg sebagai tablet 

e.c.(enteric-coated) sebab  rasanya tidak enak 

dan bersifat merangsang.

* Mesuksimida (Celontin) yaitu  derivat 

metil (1954) dengan sifat dan pemakaian  

yang kurang lebih sama. Dosis: 1 dd 300 mg, 

maks. 1,2 g sehari.

2. GENERASI KEDUA

2a. Felbamat: Taloxa, Felbatol

Analogon meprobamat ini (1993) dipakai  sebagai obat tambahan, bila karbamazepin atau fenitoin tunggal kurang berkhasiat. 

Resorpsi cepat dengan kadar plasma maksimal tercapai dalam 1-4 jam, plasma-t½ 

12-16 jam. Sekitar 15-30% dari suatu dosis 

diekskresikan melalui urin dalam keadaan 

utuh. Diperkirakan bahwa mekanisme khasiatnya berdasar  peningkatan ambang 

serangan.

Efek samping serius berupa anemia aplastis

dan gangguan fungsi hati. Juga mual, muntah, gangguan penglihatan, pusing dan reaksi 

alergi pada kulit (Eke T et al. BMJ 1997; 314: 

180-1).

Dosis: permulaan 0,6-1,2 g dibagi dalam 3-4 

dosis, berangsur-angsur dinaikkan sampai 

maksimal 3,6 g sehari.

2b. Gabapentin: Neurontin, Alpentin, Gabexal

Senyawa sikloheksilasetat ini (1999) memiliki struktur kimiawi yang berkaitan dengan GABA, namun  mekanisme kerjanya 

berlainan. Obat ini dipakai  sebagai obat 

tambahan pada epilepsi parsial dan untuk 

penderita pada siapa antiepileptika biasa 

kurang memberikan efek. Di samping itu 

juga dipakai  pada depresi manis bersama 

litium dan pada nyeri neuropati dengan efek 

sesudah  1-3 minggu

Resorpsi: peroral dalam waktu 2-3 jam sudah tercapai kadar plasma maksimal. BA 

±60%, PP ringan sekali dan dapat diabaikan, 

masa paruhnya 5-7 jam. Diekskresi lengkap 

melalui urin dalam bentuk utuh. 

Efek samping mengantuk, pusing, ataksia, 

perasaan letih dan meningkatnya berat badan.

Dosis: permulaan 1-3 dd 100-200 mg dan 

lambat laun ditingkatkan sampai 3 dd 300-

400 mg. Pada nyeri neuropati: 3 dd 600 mg.

2c. Lamotrigine: Lamictal

Senyawa triazin ini (1991) berkhasiat antikonvulsi berdasar  stabilisasi membran 

sel saraf, sehingga menghambat pembebasan 

neurotransmitter glutamat, yang berperan 

penting pada timbulnya serangan epilepsi. 

Obat ini dipakai  antara lain pada epilepsi 

grand mal dan parsial. ada  indikasi 

bahwa juga efektif pada depresi manis.

Resorpsi cepat dan sempurna dengan kadar 

plasma maksimal tercapai dalam waktu 2,5 

jam dan plasma-t½ sekitar 29 jam. Zat ini diuraikan dalam hati menjadi dua metabolit 

N-glukuronida yang tidak aktif dan seluruhnya 

diekskresi melalui urin, 8% dalam keadaan 

utuh.

Efek samping berupa radang kulit (2-3%) 

yang biasanya timbul dalam waktu 3 minggu 

sesudah  terapi dimulai dan hilang sendirinya 

sesudah  pengobatan dihentikan.

Dosis: 2 dd 100 mg dan dapat berangsurangsur ditingkatkan sampai 400 mg sehari, 

pemeliharaan 1-2 dd 100 mg.

2d. Pregabalin (Lyrica)

Obat ini (2004) yaitu  analogon dari GABA 

dan diindikasikan pada terapi tambahan epi-

lepsi parsial dan untuk penanganan nyeri 

neuropatis perifer. 

Bekerja dengan memengaruhi secara langsung saluran kalsium (Ca channel) dari sel.

Efek samping terpenting yaitu  rasa kantuk 

dan vertigo reversibel (± 25%), yang hilang 

sesudah  pemakaian  selama 3-4 minggu. Selain itu juga gangguan ingatan dan konsentrasi, mudah tersinggung, tremor dan gangguan lambung usus. Berat badan meningkat.

Dosis: 2-3 dd 75 – 200 mg .

2e. Topiramat: Topamax

Monosakarida (fructopyranose) ini (1995) 

terutama dipakai  sebagai adjuvans pada 

epilepsi parsial dan/atau epilepsi luas tonisklonis. Diserap baik dalam usus (> 80%) 

dengan BA ±50%.

Dalam hati sebagian (20%) dirombak menjadi beberapa metabolit inaktif, PP ±15% 

dengan masa-paruh di atas 20 jam. Eliminasi 

melalui urin untuk 65% dalam bentuk utuh.

Efek samping mirip pregabalin, kecuali menurunkan berat badan.

Dosis: permulaan 1 dd 25 mg a.n. selama 

1 minggu, lalu dinaikkan dengan 25 mg/

minggu sampai 1 dd 200 mg (= dosis efektif 

minimal). Kemudian bila perlu berangsurangsur dinaikkan sampai maksimal 2 dd 500 

mg a.n. Pemeliharaan 2 dd 100-200 mg a.n.

2f. Vigabatrin: Sabril

Senyawa heksen ini (1989) juga termasuk 

generasi kedua dan merupakan derivat sintetik dari GABA. Berkhasiat menghambat secara spesifik enzim GABA-transaminase yang 

berfungsi menguraikan GABA. Dengan demikian kadar neurotransmitter ini meningkat dengan efek antikonvulsi. Obat ini dipakai  sebagai obat tambahan pada pengobatan epilepsi yang kurang responsnya terhadap antiepileptika lain. 

Resorpsi cepat (minimal 70%), kadar plasma 

maksimal tercapai dalam 1-2 jam, t½ 5-8 jam. 

Tidak terikat pada protein plasma, praktis 

tidak dimetabolisasi dan diekskresi dalam 

keadaan utuh melalui urin (70% dalam 24 

jam).

Efek samping mengantuk, letih, pusing dan 

sakit kepala, juga gangguan psikis. Sepertiga 

dari pengguna mengalami gangguan penglihatan serius dan irreversibel sesudah  dipakai  lama (1-3 tahun), maka perlu untuk 

menjalani pemeriksaan mata selama pengobatan. 

Kehamilan & laktasi. Pada hewan percobaan 

terjadi kelainan pada janin. Obat ini masuk ke 

dalam air susu ibu 

Dosis: permulaan 1 dd 1 g, lambat-laun dinaikkan sampai dosis pemeliharaan dari 2 dd 

1 g – 2 dd 2 g. Anak-anak sehari 40-80 mg/

kg berat badan.

2g. Zonisamida18: Zonegran

yaitu  suatu derivat dari benzisoksazolsulfonamida yang termasuk dalam kelompok 

anti-epileptika baru. Mekanisme kerjanya 

yaitu  memblokir pencetusan reaksi saraf 

via saluran (channel) Na serta Ca dan dengan 

demikian mengurangi menjalarnya serangan 

epilepsi. dipakai  sebagai obat tambahan 

pada epilepsi parsial.

Efek samping berupa reaksi terhadap SSP, 

hipersensitivitas dan pembentukan batu ginjal.

Dosis: sebagai monoterapi pada minggu 

pertama dan kedua 1 dd 100 mg dan selanjutya sampai maksimal 1 dd 500 mg. Dosis 

pemeliharaan 1 dd 300 mg.

Obat-obat baru

1. Levetirasetam: Keppra

yaitu  suatu senyawa pirolidin yang 

dipakai  sebagai terapi pembantu terhadap 

kejang-kejang myoklonik dan kejang-kejang 

tonik-klonik pada orang dewasa dan anakanak semuda 4 tahun.

Ref. Andermann E. et al., Seizure control 

with levetiracetam in juvenile myoclonic 

epilepsies. Epilepsia, 2005, 46(suppl 8):205

Mekanisme kerja anti-kejangnya tidak diketahui. sesudah  pemakaian  oral hampir seluruhnya diabsorpsi dengan cepat dan tidak 

terikat pada protein plasma. Ekskresi melalui 

urin 65% dalam bentuk utuh dan 24% sebagai 

metabolit yang tidak aktif.

Efek samping berupa somnolensi (kantuk), 

astenia (tidak bertenaga) dan pusing.

Dosis: sebagai monoterapi oral dan i.v. 

permulaan 2 dd 250 mg sampai maksimal 2 

dd 1500 mg.

2.Tiagabin: Gabitril

Derivat dari asam nipekotin ini dipakai  

sebagai obat tambahan pada kejang-kejang 

parsial orang dewasa. Dapat melintasi barriere otak-darah.

Mekanisme kerjanya berdasar  penghambatan transpor GABA dan dengan demikian mengurangi uptakenya pada neuron 

dan glia.

Pada pemberian oral diabsorpsi dengan 

cepat dan terikat pada protein serum atau 

plasma dan dimetabolisasi terutama di hati.

Efek samping timbul cepat pada awal terapi 

dan berupa pusing-pusing, somnolensi dan 

gemetar.

3.Lakosamida: Vimpat

Asam amino ini dipakai  sebagai obat 

pembantu (2008) terhadap serangan parsial 

orang dewasa. Juga dapat diberikan dalam 

bentuk injeksi.

Dosis: oral dan i.v. permulaan 2 dd 50 mg 

sampai maksimal 2 dd 200 mg.

4.Rufinamida: Banzelm Inoveron

Senyawa triazol ini juga dipakai  terhadap serangan parsial (2008) sebagai obat 

pembantu.

Dosis: permulaan 2 dd 100 mg pc; maks. 2 

dd 500 mg



OBAT-OBAT PARKINSON 

DAN DEMENSIA

Dengan meningkatnya populasi manusia 

lanjut usia (the greying of the world) beberapa 

dari penyakit neurodegeneratif, seperti Parkinson dan Alzheimer, merupakan masalah global yang semakin meningkat. Namun 

sampai sekarang tidak tersedia obat-obat 

ampuh yang dapat menghindari, menghentikan atau membalik keadaan ini dan hanya 

gejala-gejalanya saja yang dapat ditangani.

Dikenal sejumlah penyakit otak (neurodegenerative disorders) yang disebabkan fungsi 

saraf otak terganggu dan berangsur dirusak, 

yang umumnya berakhir fatal. Di bawah 

ini akan dibicarakan tiga penyakit penting 

yaitu penyakit Parkinson, multiple sclerosis 

(MS), dan demensia Alzheimer berikut 

pengobatannya. Dibahas pula secara ringkas 

penyakit prion (penyakit sapi gila, BSE)

dan penyakit Creutzfeldt-Jakob—meskipun 

belum ada obatnya—sebab  merupakan isu 

hangat. 

 A. PENYAKIT PARKINSON

Penyakit Parkinson (PD) yaitu  suatu penyakit neurodegeneratif progresif yang memengaruhi kemampuan motorik dan nonmotorik.

Penyakit gemetar (‘palsy’) ini merupakan 

suatu sindrom penyakit yang disebabkan 

terganggunya keseimbangan neurohormon 

di sistem ekstrapiramidal otak.Sistem ini mengendalikan dua sistem berseimbang yang 

bekerja dengan masing-masing neurohormon asetilkolin (ACh) dan dopamin (DA),

suatu zat-antara pada sintesis noradrenalin 

(NA). Pada penyakit ini ada  kekurangan 

do-pamin (dan glutathion = GSH) di ganglia 

otak, terutama di ‘sel-sel hitam’ (substantia 

nigra). Diagnosis dapat dipastikan dengan 

mendeteksi secara mikroskopis unsur-unsur 

tertentu dalam sel-sel inti hitam, yaitu badan 

dari Lewy, yang merupakan ciri khas pula 

dari suatu bentuk demensia.

Penyakit Parkinson (dari nama seorang 

dokter Inggris James Parkinson, 1817) merupakan suatu penyakit yang umum dan 

ada  di seluruh dunia. Jumlah penderitanya meningkat dengan drastis sesuai 

usia sampai kira-kira 1 per 200 pada usia 

di atas 70 tahun. Pada umumnya, penyakit 

berlangsung progresif (memburuk) secara 

berangsur selama bertahun-tahun dan pada 

40-70% dari penderita disusul dengan keruntuhan mental dan suatu bentuk demensia yang agak berlainan dengan Alzheimer,

lihat di bawah. sesudah  rata-rata 10-15 tahun, 

penyakit selalu berakhir dengan kematian. 

pemicu nya  yaitu  degenerasi progresif 

dari sel-sel saraf dopaminerg di otak, sehingga produksi DA berkurang dan keseimbangan dalam ganglia basal terganggu sebab  

sistem ACh berkuasa. Peningkatan aktivitas kolinergik ini memperkuat rangsangan 

berlebihan pada SSP yang memicu  

gerakan-gerakan yang tidak terkendali (tremor). Di samping itu, terjadi pula kelisutan 

sel-sel yang membentuk neurohormon lain, 

sehingga berkurangnya noradrenalin dan 

serotonin (5HT). Apa yang memicu  

kerusakan sel-sel saraf ini  sampai kini 

belum diketahui.

Diperkirakan bahwa faktor keturunan memegang peranan penting pada terjadinya 

penyakit Parkinson. Risikonya 3 kali lebih 

besar bila salah satu orang tua atau saudara 

menderita penyakit ini. 

* Parkinsonisme yaitu  semua keadaan 

yang menyerupai penyakit Parkinson termasuk