kan ritmis dari kakitangan secara tak sadar, sering kali dengan
jeritan, mulut berbusa, mata membelalak dan
gejala lainnya. Lamanya serangan berkisar
antara 1 dan 2 menit yang disusul dengan
keadaan pingsan selama beberapa menit dan
kemudian sadar kembali dengan perasaan
kacau serta depresi.
* Serangan myoclonis (Yun. myo = otot)yaitu
bentuk grand mal lainnya dan bercirikan
kontraksi otot-otot simetris dan sinkron yang
tidak ritmis dari terutama bahu dan tangan
(tidak dari muka). Adakalanya berlangsung
berurutan dengan jangka waktu singkat
sekali, kurang dari 1 detik.
* Status epilepticus yaitu serangan yang
bertahan lebih dari 30 menit dan berlangsung
beruntun dengan cepat tanpa diselingi keadaan sadar. Sesudah 30 menit mulai terjadi
kerusakan pada SSP. Situasi gawat ini bisa
fatal (mortalitas 10-15%), sebab kesulitan
pernapasan dan kekurangan oksigen di otak.
Pada umumnya dapat disebabkan oleh ketidakpatuhan penderita minum obat, menghentikan pengobatan secara tiba-tiba atau
timbulnya demam.
2. Petit mal (Prancis = penyakit kecil) atau
abscencea (Prancis = tak hadir). Bercirikan
serangan yang hanya singkat sekali, antara
beberapa detik sampai setengah menit dengan penurunan kesadaran ringan tanpa
kejang-kejang. Seperti grand mal, petit mal
juga bersifat serangan luas di seluruh otak.
Gejalanya berupa keadaan termangu-mangu
(pikiran kosong; kehilangan respons sesaat),
muka pucat, pembicaraan terpotong-potong
atau mendadak berhenti bergerak, terutama
anak-anak. sesudah serangan, anak kemudian
melanjutkan aktivitasnya seolah-olah tidak
terjadi apa-apa. Bila serangan singkat tersebut berlangsung berturut-turut dengan cepat, maka dapat pula timbul suatu status
epilepticus. Serangan petit mal pada anak-anak
dapat berkembang menjadi grand mal pada
usia pubertas.
3. Parsial (epilepsi psikomotor). Bentuk serangan parsial umumnya berlangsung dengan kesadaran hanya menurun untuk sebagian tanpa hilangnya ingatan. Penderita
memperlihatkan kelakuan otomatis tertentu
seperti gerakan mengunyam dan/atau menelan atau berjalan dalam lingkaran.
Diagnosis
Elektroencefalogram (EEG). Tes paling terpercaya untuk mendiagnosis jenis epilepsi
yaitu melalui pemeriksaan EEG. Kegiatan
listrik dari otak pertama kali dikemukakan
pada abad ke-19, namun baru dianalisis secara
saksama oleh seorang ilmuwan Jerman (Dr
Hans Berger). Psikiater ini memperkenalkan
istilah elektroencefalogram, yang dapat mencatat variasi-variasi potensial dari ak-tivitas
listrik di otak. Pencatatan ini berguna untuk
antara lain melokalisasi dan mendiagnosis
proses-proses patologis di otak. Misalnya
luka di cortex memicu gelombang khusus yang dapat dideteksi melalui EEG.
Serangan grand mal yang diawali oleh
aura dan kemudian disusul oleh konvulsi
umum dengan kontraksi otot dan gerakan
klonis, memiliki pola EEG yang khusus.
Serangan petit mal juga memiliki EEG yang
khas. Dengan demikian EEG memungkinkan
penentuan jenis epilepsi yang diderita pasien,
yang ditunjang oleh gejala klinik khusus.
berdasar analisis ini dapat dipilih obat
antikonvulsi yang tepat bagi penderita. Penentuan jenis epilepsi dan pilihan obat adalah penting sekali, sebab obat yang efektif
terhadap petit mal bisa bekerja berlawanan
pada grand mal dan sebaliknya.
Penanganan
Tindakan utama. Selalu diusahakan untuk
meniadakan penyebab penyakit (misalnya
tumor otak) dan menjauhkan faktor yang
dapat memicu serangan (alkohol, stres, keletihan, demam, imunisasi, gejolak emosi).
Tindakan darurat. Pada waktu serangan
hendaknya diusahakan jangan sampai penderita melukai dirinya sendiri, misalnya
menggigit lidah. Perlu diperhatikan pula
bahwa saluran pernapasannya bebas dan
tidak tersumbat. Bila ada kecurigaan mengenai hipoglikemia, yang juga dapat memicu
konvulsi, kadar gula darahnya harus ditentukan dan bila perlu harus diberikan glukosa
secara intravena.
Tujuannya. Serangan epilepsi dapat merusak sel-sel otak, terutama serangan grand mal
dan menjadi suatu beban sosial dan psikologis bagi penderita. Oleh sebab itu perlu
sekali terapi yang bertujuan utama mencegah
timbulnya kejang atau mengurangi sebanyak mungkin jumlah serangan tanpa mengganggu fungsi normal tubuh. Ini berarti
bahwa antiepileptika harus dipakai terus menerus. Dengan pengobatan dan dosis
yang tepat serangan epilepsi dapat ditekan,
yaitu frekuensinya dikurangi pada 70-80%
penderita. Syukurlah bahwa bentuk epilepsi
tertentu kadangkala hilang secara spontan,
sehingga pasien menjadi bebas serangan
untuk rentang waktu panjang, bahkan adakalanya permanen. Namun pada umumnya
penyembuhan tuntas sukar dicapai.
Terapi serangan16
Lamanya serangan pada umumnya kurang
dari 5 menit dan berhenti dengan sendirinya
tanpa pengobatan. Bila berlangsung lebih
lama, barulah harus diberi obat sebagai
berikut.
a. diazepam rektal, sebagai larutan dalam
rectiole. Jika belum menghasilkan efek
sesudah 5 – 10 menit, pemberian dapat
diulang atau diberi midazolam/klonazepam secara oromucosal. Lihat selanjutnya dibawah pemakaian .
b. diazepam intravena untuk efek cepat
atau klonazepam i.v atau midazolam i.m.
Umumnya serangan berhenti dalam 5 –
15 menit Dosis tidak boleh terlalu tinggi
sebab risiko depresi pernapasan! Bila
penanganan ini belum berhasil juga dan
terjadi status epilepticus, terapi mutlak
harus segera dilanjutkan di rumah sakit
untuk penanganan berikutnya, yaitu:
c. benzodiazepin atau fenitoin sebagai
infus kontinu dengan monitoring pernapasan dan sirkulasi. Pasien biasanya
diberi di-azepam 10 mg i.v., disusul dengan infus i.v. dari 200 mg per liter selama
24 jam. .
Terapi pemeliharaan16
Pada dasarnya monoterapi (dengan satu
obat) yaitu efektif pada kebanyakan penderita epilepsi, misalnya karbamazepin atau
valproat.
Pentakarannya harus dimulai dengan dosis
rendah yang lambat laun ditingkatkan sampai
dosis pemeliharaan yang serendah mungkin.
Juga penghentian tidak boleh dengan tibatiba. Bila ternyata obat ini tidak ampuh untuk
mengurangi serangan, maka dapat dicoba
obat lain. Baru sesudah 2-3 jenis obat dicoba
tanpa hasil memuaskan, dapat ditambahkan
obat lain sebagai politerapi. Obat dinyatakan
efektif bila dapat menurunkan frekuensi serangan dengan ±50%.
a. Epilepsi luas (‘generalized’) Pilihan pertama pada grand mal yaitu valproat. Pada
grandmal dengan serangan myoclonis dapat
dipakai kombinasi dengan klonazepam.
Karbamazepin, fenitoin dan vigabatrin tidak
cocok, sebab justru dapat meningkatkan
frekuensi serangan. Etosuksimida dan valproat sama efektifnya pada absence luas.
Kombinasi dari klonazepam + klobazam,
karbamazepin + valproat dan lamotrigin +
valproat juga sering kali efektif. Pada bentuk
tonis-klonis, karbamazepin, valproat atau
fenitoin memberikan efek baik. Fenobarbital
juga banyak dipakai , namun efek sampingnya (sedasi, kantuk) membatasi penggunaannya.
b. Epilepsi parsial biasanya ditanggulangi
dengan pilihan pertama karbamazepin, valproat atau fenitoin. Obat-obat lainnya yang
juga efektif yaitu benzodiazepin, lamotrigin, topiramat dan vigabatrin Pada umumnya efektivitas obat-obat ini tidak sempurna
sehingga sering kali diperlukan kombinasi
dari 2 jenis obat.
c. Kortikosteroida yang diberikan secara
berangsur-angsur sangat efektif, maka terutama dipakai bila penyakit menjadi
parah (exacerbatio). Misalnya pada penderita
lansia, exacerbasi dapat diatasi dengan dosis
rendah prednison (10 mg), yang sepanjang
tahun dapat dikurangi sampai dosis pemeliharaan. namun pada pasien yang lebih
muda diperlukan dosis (jauh) lebih tinggi
untuk waktu yang lama dengan risiko efek
samping besar. Pada tahun-tahun terakhir
telah dilaporkan lebih sedikit kerusakan
sendi dengan pemakaian 5 mg prednison
sehari secara dini (Arch Int Med 2002; 136:1-
12). Suatu penelitian muktahir menunjukkan bahwa dosis awal tinggi dari kortikosteroid (metilprednisolon 1000 mg i.v.) berselang 3 hari menghasilkan kerusakan tulang
yang lebih ringan daripada pemakaian
metilprednisolon 16 mg peroral setiap hari
(NTvG 2004;148: 261-2). Melalui injeksi intraartikuler kortikosteroida dipakai pada
keadaan kaku dan nyeri hebat di sendi.
Penderita epilepsi anak-anak
Separuh dari semua kasus epilepsi dimulai
sebelum usia 20 tahun; risiko untuk epilepsi
pada anak-anak yaitu ± 1 : 400. Khususnya
pada mereka penanganan tidak terbatas pada
terapi dengan obat-obat saja, namun yang
penting manajemen secara keseluruhan. Hal
ini menyangkut seluruh keluarga, terutama
orang tua, sekolah dan lingkungannya.
Kerjasama dengan orang tua yaitu mutlak, terutama pada awal terapi sehingga
dapat memberikan informasi untuk menentukan obat dan dosisnya yang paling tepat
bagi anak untuk kelak melaporkan efek
sampingnya. Perlu pula ditekankan kepada
pasien dan orang tua bahwa obat harus
diminum secara teratur setiap hari, sebaiknya pada saat yang sama, mis. pada waktu
makan atau sesudahnya.
Penyuluhan bagi orang tua dan guru mengenai sifat penyakit ini dapat membantu
untuk bisa lebih baik menerima penderita
anak ini di rumah, di sekolah maupun di
masyarakat. Tujuannya yaitu menciptakan
suatu suasana di mana anak dapat menjalani
hidupnya senormal mungkin dan juga dapat mengembangkan potensinya semaksimal
mungkin. Dalam hal ini perlu diperhatikan
beberapa pedoman untuk menjamin keselamatan anak, misalnya menghindari berenang
sendiri atau melakukan olahraga berbahaya,
seperti panjat tebing. Yang juga sangat penting
dan mempunyai dampak sosial dan hukum
yaitu kapan seorang penderita epilepsi diperbolehkan mengemudikan kendaraan bermotor.
Konvulsi demam pada anak-anak kecil
(‘stuip’, ‘febrile seizures’) yang bertahan lama
dapat diatasi dengan diazepam 5-10 mg
rektal (larutan dalam rektiole). Demamnya
harus dikendalikan dengan parasetamol. Penanganan profilaktik tidak dianjurkan lagi.
Obat-obat epilepsi
Pada hakikatnya obat-obat ini bertujuan melawan gejala epilepsi, dengan menghindari
pelepasan mendadak (hipersinkron) dari sejumlah (jaringan) neuron atau minimal menghindari penyebaran dari aktivitas berlebihan
ke bagian-bagian lain dari otak.
Obat anti-epilepsi pertama yaitu bromida
yang dipakai pada akhir abad ke 19. Obat
sintetik pertama yang memiliki sifat antikejang yaitu fenobarbital, namun terbatas
pada kejang tonik-klonik umum, tanpa efek
terhadap kejang absence.
Obat anti-kejang ideal yaitu yang dapat
mengendalikan segala jenis kejang tanpa efek
samping yang tidak diinginkan. Sayangnya
obat-obat yang sekarang dipakai adakalanya tidak memberikan respons baik pada
sebagian penderita dan sering kali juga
mengakibatkan efek samping terhadap SSP
yang bersifat ringan sampai kematian akibat anemia aplastik atau gagal ginjal. Juga
kecenderungan bunuh diri dapat meningkat.
Antiepileptika yaitu obat yang dapat menanggulangi serangan epilepsi berkat khasiat antikonvulsinya, yaitu meredakan konvulsi (kejang klonus hebat). Semua obat antikonvulsi memiliki masa paruh panjang,
dieliminasi dengan lambat dan berkumulasi
dalam tubuh pada pemakaian kronis.
Penggolongan. Obat-obat ini dapat dibagi
dalam beberapa kelompok kimiawi, yaitu:1. Obat generasi pertama.
– Barbital: fenobarbital dan mefobarbital memiliki sifat antikonvulsif khusus yang
terlepas dari sifat hipnotiknya. Yang
dipakai terutama senyawa kerja-panjang untuk memberikan jaminan yang
lebih kontinu terhadap serangan grand
mal. Lihat juga Bab 24, Sedativa dan
Hipnotika.
– Fenitoin. Struktur kimia obat ini mirip
barbital, namun dengan cincin lima hidantoin (lihat rumus bangun di bawah
ini). Senyawa hidantoin ini terutama
dipakai pada grand mal.
– Suksinimida: etosuksimida dan mesuksimida. Senyawa ini memiliki kesamaan
dalam susunan gugus cincinnya dengan
fenitoin. Terutama dipakai pada petit
mal.
– Lainnya: asam valproat, diazepam dan
klonazepam, karbamazepin dan okskarbazepin.
2. Obat generasi ke-2: vigabatrin, lamotrigin
dan gabapentin (Neurontin), juga felbamat,
topiramat dan pregabaline. Obat-obat ini
umumnya tidak diberikan tunggal sebagai
monoterapi, namun sebagai tambahan dalam
kombinasi dengan obat-obat klasik (generasi
ke-1). Keberatan obat-obat yang agak baru
ini yaitu pengalaman pemakaian nya yang
masih relatif singkat dibandingkan dengan
obat-obat generasi pertama, yang sudah
membuktikan keampuhan dan keamanannya. Lagi pula harganya jauh lebih tinggi.
Mekanisme kerja
Mekanisme kerja anti-epileptika dapat dijelaskan berdasar dua prinsip. Pertama
berdasar pemblokiran terhadap transpor
elektrokimia oleh saluran-saluran ion natrium
atau kalsium. Kedua yaitu peningkatan
penghambatan dari neurotransmitter GABA,
atau penurunan transmisi glutamat.
GABA (gamma-aminobutiric acid). Di otak
ada dua kelompok neurotransmitter,
yaitu zat-zat seperti noradrenalin dan serotonin
yang memperlancar transmisi rangsangan
listrik di sinaps sel-sel saraf. Selain itu juga
ada zat-zat yang menghambat neurotransmisi, antara lain GABA dan glisin.
Lihat juga Bab 54, Dasar-dasar diet sehat. Asam amino GABA memiliki efek
dopamin(= PIF, prolactin inhibiting factor)
lemah, yang berefek menghambat produksi prolaktin oleh hipofisis. GABA ada di praktis seluruh otak dalam dua
bentuk, GABA-A dan GABA-B yang mekanisme kerjanya berhubungan erat dengan reseptor benzodiazepin. Ternyata pula
bahwa ada hubungan langsung antara
serangan kejang dan GABA. Zat-zat yang
memicu timbulnya konvulsi diketahui bersifat mengurangi aktivitas GABA. Di lain
pihak zat-zat yang memperkuat sistem
penghambatan yang diatur oleh GABA
berdaya antikonvulsi, antara lain benzodiazepin (diazepam, klonazepam). Ini merupakan
salah satu mekanisme kerja dari obat-obat
epilepsi, lihat di bawah.
Cara kerja antiepileptika belum semuanya
jelas. Namun dari sejumlah obat ada
indikasi mengenai mekanisme kerjanya,
yaitu:
a. memperkuat efek GABA: valproat dan vigabatrin bersifat menghambat perombakan GABA oleh transaminase, sehingga
kadarnya di sinaps meningkat dan neurotransmisi lebih diperlambat. Juga topiramat bekerja menurut prinsip memperkuat GABA, sedangkan lamotrigin
meningkatkan kadar GABA. Fenobarbital
juga menstimulasi pelepasannya.
b. menghambat kerjanya aspartat dan glutamat. Kedua asam amino ini yaitu neurotransmitter yang merangsang neuron
dan memicu serangan epilepsi.
Pembebasannya dapat dihambat oleh lamotrigin, juga oleh valproat, karbamazepin dan fenitoin (NTvG 2006;150:977-9);
c. memblokir saluran-saluran (channels) Na,
K dan Ca yang berperan penting pada
timbul dan perbanyakan muatan listrik.
Contohnya yaitu etosuksimida, valproat, karbamazepin, okskarbazepin, fenitoin, lamotrigin, pregabalin dan topiramat;
d. meningkatkan ambang-serangan dengan jalan menstabilkan membran sel, antara
lain felbamat; e. mencegah timbulnya pelepasan muatan listrik
abnormal di pangkalnya (focus) dalam SSP,
yaitu fenobarbital dan klonazepam;
f. menghindari menjalarnya hiperaktivitas (muatan listrik) ini pada neuron otak
lainnya, seperti klonazepam dan fenitoin.
pemakaian
Pada pemakaian awal dari suatu antiepileptikum harus diperhitungkan pengaruh
pemakaian bersamaan dari anti-epileptikum
lain (co-medikasi). Kombinasi demikian dapat
memicu induksi enzim (karbamazepin,
fenobarbital, fenitoin) atau inhibisi enzim
oleh obatnya sendiri (felbamat, topiramat,
valproat). berdasar hal ini adakalanya
dosis haru dinaikkan untuk memberikan
perlindungan secukupnya, atau penurunan
dosis untuk mengurangi efek samping.
Pada terapi kombinasi sebagian pasien
hanya membutuhkan dosis lebih rendah dari
masing-masing anti-epileptikum.
Antiepileptika sering kali memiliki indeks terapi yang sempit, seperti fenitoin,
maka untuk efek optimal perlu ditentukan
pentakaran yang saksama agar kadar darah
terpelihara pada rentang kadar terapi yang
sekonstan mungkin. Banyak obat (primidon,
karbamazepin, klonazepam dan valproat)
memicu mual dan pusing. Untuk
menghindari gejala ini, pada permulaan
obat diberikan tunggal dalam dosis rendah
yang berangsur-angsur dinaikkan sehingga
efek maksimal tercapai dan kadar plasma
menjadi tetap (‘steady state’). Bila terjadi
kegagalan harus diganti dengan obat lain
dan penting sekali untuk selalu menurunkan
dosis obat pertama dengan perlahan-lahan
sambil berangsur-angsur menaikkan dosis
obat baru untuk mencegah timbulnya status
epilepticus. Pengecualian yaitu fenitoin dan
etosuksimida yang dapat langsung diberikan
dalam dosis pemeliharaannya. Akan namun
sering kali juga terapi dilanjutkan dengan
kedua obat bersama, bahkan ditambah lagi
dengan obat ketiga bila belum tercapai hasil
yang diinginkan.
Pada usia lanjut CVA merupakan sebab
penting pada timbulnya epilepsi . Serangan
parsial paling sering terjadi. Pada tahun
pertama serangan kedua lebih sering (80%)
timbul dibandingkan dengan orang muda.
Oleh sebab itu penanganan pada lansia agar
lebih cepat dimulai sesudah serangan pertama
dan tidak menunggu-nunggu lagi.
* Kombinasi. Bagi orang yang resisten terhadap monoterapi (±30% dari pasien) diperlukan kombinasi dari 2 atau 3 jenis obat
sekaligus. Terapi kombinasi ini sebetulnya
tidak dianjurkan sebab kemungkinan timbulnya interaksi dan bertambahnya efek
samping. Namun ketidakpatuhan pasien
dalam minum obat akan berkurang, yang
merupakan penyebab utama kegagalan terapi (85%). Penelitian dengan fenitoin, karbamazepin dan valproat menunjukkan bahwa pada kebanyakan pasien serangan dapat
dikendalikan dengan hanya satu jenis obat
bila diberikan dalam dosis yang cukup tinggi.
Dalam hal ini terapi perlu dipantau melalui
penentuan kadar obat dalam darah.
Pada kasus resisten baru dapat dipakai
kombinasi dengan antiepileptika generasi
ke-2 felbamat, vigabatrin,lamotrigin, dalam
doses serendah mungkin, yang berangsurangsur dinaikkan. pemakaian sediaan kombinasi tetap harus dihindari, kecuali pada kasus
resistensi ini di atas.
* pemakaian lain.
Selain untuk epilepsi obat-obat ini juga
sering kali dipakai off label (artinya di luar
indikasi resmi) pada antara lain keadaankeadaan sebagai berikut.
– gangguan bipoler: karbamazepin, valproat, lamotrigin
– trigeminus neuralgie: karbamazepin
– nyeri neuropatis perifer: gabapentin, pregabalin
– nyeri neuropati sentral: pregabalin
– perasaan ketakutan: pregabalin
– gejala akibat penghentian minum alkohol:
karbamazepin
– aritmia: fenitoin
– profilaksis migren: topiramat, valproat
– diabetes insipidus: karbamazepin (meregulasi cairan tubuh dengan cepat mengurangi jumlah urin dan perasaan dahaga). * Pentakaran. Kebanyakan obat epilepsi
memiliki plasma-t½ yang agak panjang (10-
50 jam lebih) sehingga seyogyanya dosis
dapat diberikan 1 kali sehari. Namun pada
umumnya obat diberikan 2 atau 3 kali sehari
untuk meniadakan kemungkinan terjadinya
serangan akibat terlupanya satu dosis.
* Jangka waktu terapi. Lamanya pengobatan
sukar untuk dapat ditentukan terlebih dahulu. Hal ini tergantung antara lain dari usia,
frekuensi serangan dan faktor yang dapat
memicu serangan. Pada umumnya terapi
diberikan selama bertahun-tahun dan dalam
kebanyakan kasus malahan seumur hidup.
Di lain pihak bila dalam kurun waktu 5
tahun tidak terjadi lagi serangan (pada hanya
±25% pasien), dosis dapat berangsur-angsur
diturunkan. Bila serangan tidak terjadi lagi,
akhirnya terapi dapat dihentikan sama sekali.
Pada bayi pengobatan pada umumnya sudah
bisa dihentikan beberapa minggu sampai
beberapa bulan sesudah serangan terakhir,
pada anak-anak sampai 6 tahun kebanyakan
sesudah 1 tahun. Risiko kambuh pada anakanak sampai ±16 tahun hanya ±25%.
Perlu pula diperhatikan sekali lagi bahwa
penghentian terapi tidak boleh secara tibatiba, sebab dapat memicu serangan. Pengecualian yaitu bila timbul efek-efek samping
serius seperti toksisitas hati dan sindrom
Stevens-Johnson.
Sekitar 30% dari penderita epilepsi yang
menjalani pengobatan tetap tidak terlepas
dari serangan-serangan. Epilepsi yang sukar
ditangani demikian disebut epilepsi “refractair.” Pengobatan mutakhir untuk menghentikan serangan yaitu dengan cara pembedahan (epilepsie chirurgie).17
Efek samping
Efek samping yang paling sering timbul
berupa gangguan saluran pencernaan (nausea, muntah, obstipasi, diare dan hilang cita
rasa). Begitu pula efek SSP (rasa kantuk,
pusing, ataxia, nystagmus, mudah tersinggung) sering kali terjadi. Selain itu juga reaksi
hipersensitivitas (dermatitis, ruam, urticaria,
sindrom Stevens-Johnson, hepatitis), rontok
rambut, hirsutisme, kelainan psikis, gangguan
darah dan hati, serta perubahan berat badan. Valproat, gabapentin, pregabalin dan
adakalanya vigabatrin meningkatkan berat
badan, sedangkan topiramat justru menurunkannya.
Okskarbazepin, gabapentin dan lamotrigin
memperbaiki suasana jiwa, sedangkan vigabatrin dan topiramat memperbesar risiko akan
psikosis. Juga kemungkinan meningkatnya
kecenderungan bunuh diri (0,43%), terutama
pada pemakaian gabapentin, klonazepam
dan levetirasetam.
Kebanyakan antiepileptika memengaruhi
sistem endokrin, misalnya metabolisme vitamin D, dengan akibat penurunan kadar kalsium dan fosfat dalam darah. Oleh sebab itu
penderita yang memakai antiepileptika
untuk jangka waktu lama, perlu periodik
diperiksa kadar kalsium dan fosfatnya.
Kehamilan
Efek teratogen. Antiepileptika dapat menyebabkan gangguan kongenital yang ±2-3 kali lebih besar daripada keadaan normal,
khususnya asam valproat dan karbamazepin. Efek teratogen ini - terutama spina
bifida - ditimbulkan oleh toksisitas langsung
terhadap sel-sel janin dan juga sebab defisiensi asam folat. pemicu nya yaitu
sebab di satu pihak obat-obat ini (valproat
dan karbamazepin) menghambat dengan
kuat resorpsi asam folat dan di lain pihak
meningkatkan ekskresinya sebab induksi
enzim di hati. Penurunan kadar asam folat juga
dapat memicu anemi makrositer, maka
dianjurkan pemberian suplesi dari vitamin
ini (1 dd 0,5 mg). Fenobarbital, fenitoin dan
valproat a.l. juga dapat memicu kelainan jantung dan bibir sumbing.
Untuk mengurangi risiko serangan pada
wanita hamil dan memperkecil risiko cacat
pada janin, dianjurkan pemberian obat
dengan dosis yang serendah mungkin (diss
B. Samren, Univ Rotterdam, April 1998).
*Penghentian pengobatan epilepsi dapat
memicu serangan pada sang ibu dengan
akibat dapat memicu penyimpangan
pada janin akibat hipoksia atau perdarahan
intrakranial.* pemakaian kombinasi sebaiknya diganti dengan obat tunggal, sebab risiko
penyimpangan pada janin lebih kecil pada
monoterapi dibandingkan dengan politerapi.
pemakaian asam valproat supaya dihindari.
Interaksi
Beberapa antiepileptika memicu (auto)
induksi enzim hati (sistem-oksidasi P450),
seperti karbamazepin, fenitoin, fenobarbital dan primidon. Oleh sebab itu obatobat ini dapat saling menurunkan kadarnya dalam darah dengan peningkatan ekskresinya. Kadar dari antikoagulansia, zat-zat
anti-HIV dan steroida (antikonseptiva) diturunkan. Akibatnya induksi enzim ini telah
memicu kehamilan pada wanita yang
memakai pil antihamil. `
Sebaliknya beberapa obat memicu
penghambatan enzim melalui kompetisi untuk titik pengikatan yang sama. Misalnya valproat mampu meningkatkan kadar fenobarb
dengan kuat, sedangkan efek valproat dikurangi oleh fenitoin.
Interaksi ini hampir tidak terjadi pada vigabatrin dan gabapentin sebab zatzat ini praktis tidak dimetabolisasi dan pada
okskarbazepin sebab dipecah oleh enzimenzim jenis lain di hati. namun dapat memicu
perombakan pil antihamil yang mengandung
kurang dari 50 mcg estrogen dengan risiko
perdarahan-antara dan kehamilan.
Pada lansia induksi enzim dapat meningkatkan kecenderungan osteoporosis (fenitoin
dan fenobarbital).
MONOGRAFI
1. GENERASI PERTAMA
1a. Asam valproat: asam dipropilasetat, DPA,
Depakene, Leptilan (Na-).
Khasiat antikonvulsi dari derivat asam
valerian ini diketemukan secara kebetulan
(Meunier, 1963) dan dianggap sebagai obat
pilihan pertama pada absences. Dalam kombinasi dengan obat-obat lain juga efektif
pada grand mal dan serangan psikomotor.
Mekanisme kerjanya diperkirakan berdasar hambatan enzim yang menguraikan
GABA, sehingga kadar neurotransmitter ini
di otak meningkat.
Resorpsinya di usus cepat, sesudah 15 menit
sudah tercapai kadar plasma maksimal. PP
lebih kurang 90%, plasma-t½ ±10 jam dan
diekskresi sebagai glukuronida, terutama
melalui urin. Resorpsi dari suppositoria juga
baik, namun bersifat merangsang bagi selaput
lendir, juga pada pemakaian sebagai injeksi.
Efek rangsangan lokal ini dapat banyak dikurangi dengan memakai tablet entericcoated dan tablet slow-release. Yang terakhir
juga menguntungkan sebab memberikan
kadar plasma yang lebih merata. Antara
kadar plasma dan efek terapi (terhindarnya
serangan) tidak ada hubungan langsung,
berbeda dengan antiepileptika lainnya. Ada
indikasi bahwa pentakaran 1 kali sehari sama
efektifnya dengan 2 atau 3 kali sehari.
Efek samping yang sering terjadi yaitu
gangguan saluran cerna yang bersifat sementara, adakalanya juga sedasi, ataksia,
udema pergelangan kaki dan rambut rontok
(reversibel). Efek lainnya yaitu kenaikan
berat badan, terutama pada remaja puteri.
Kehamilan. Senyawa ini bersifat teratogen
pada hewan, maka tidak boleh diberikan
pada wanita hamil.
Interaksi. sebab DPA dapat meningkatkan
kadar fenobarbital dan fenitoin, maka
berdasar penelitian kadarnya di dalam
darah, dosisnya harus dikurangi (sampai 30-
50%) untuk menghindari sedasi berlebihan.
Sebaliknya, khasiat DPA juga diperkuat oleh
antiepileptika lainnya.
Dosis: oral semula 3-4 dd 100-150 mg d.c.
dari garam natriumnya (tablet e.c.) untuk
kemudian berangsur-angsur dalam waktu
2 minggu dinaikkan sampai 2-3 dd 300-500
mg, maksimal 3 g sehari. Anak-anak 20-30
mg/kg/sehari. Asam bebasnya memberikan
kadar plasma yang 15% lebih tinggi (lebih
kurang sama dengan persentase natrium
dalam Na-valproat), namun lain daripada itu
tidak lebih menguntungkan.
1b. Karbamazepin: Tegretol
Senyawa trisiklis (1964) yang mirip imipramin ini (lihat Bab 30, Antidepresiva) selain bekerja antikonvulsi, juga berkhasiat
antidepresif dan antidiuretik, mungkin berdasar peningkatan sekresi di hipofisis
atau penghambatan perombakannya.
pemakaian nya di berbagai bidang, yaitu:
– epilepsi grand mal dan bentuk parsial sama
efektifnya dengan fenitoin, namun efek
sampingnya lebih sedikit. Fenobarbital
dan valproat memperkuat efeknya. Tidak
efektif pada absences.
– neuralgia trigeminus: merupakan obat
yang paling efektif terhadap nyeri urat
saraf hebat di bagian muka, juga terhadap
nyeri sinannaga(Herpes zoster)
– depresi manis: efektivitasnya dapat disamakan dengan litium, lihat Bab 30 Antidepresiva.
– diabetes insipidus (polyuria akibat kekurangan ADH): khusus terhadap bentuk
sentral dari gangguan ini. Lihat Bab 47,
Antidiabetika.
Resorpsi lambat dan kadar maksimal dalam plasma dapat tercapai sesudah 4-24 jam.
Pengikatan proteinnya tinggi, ±80%, sedangkan plasma-t½ sangat variabel (7-30 jam). Di
dalam hati karbamazepin dioksidasi menjadi metabolit epoksida yang juga berefek
antikonvulsi.
Efek samping yang paling sering terjadi
berupa sedasi, sakit kepala, pusing, mual,
muntah dan ataxia, yang umumnya bersifat
sementara (±2 minggu). Sekitar 40% dari
pengguna masih mengalami rasa kantuk
sesudah 1 tahun. Reaksi kulit (rashes) juga agak
sering terjadi. Efek lainnya yaitu anoreksia,
mengantuk, radang kulit dan gangguan psikis. sebab dapat terjadi gangguan darah,
hepatitis dan lupus erythematodes, harus dilakukan pemeriksaan darah setiap minggu/
bulan. Kombinasi dengan antara lain fenobarbital dan fenitoin dapat menyulitkan
terapi. Selama pemakaian karbamazepin
tidak boleh minum alkohol dan pengendara
bermotor harus waspada.
Kehamilan dan laktasi. Zat ini dapat menembus plasenta, berkumulasi di jaringan
janin dan dapat mengganggu pertumbuhan
janin. Oleh sebab itu tidak dianjurkan penggunaannya selama kehamilan. Dalam keadaan utuh maupun metabolitnya dapat
masuk ke dalam air susu ibu, walaupun tidak
banyak.
Dosis: permulaan sehari 200-400 mg di bagi
dalam beberapa dosis yang berangsur-angsur
dapat dinaikkan sampai 800-1200 mg dibagi
dalam 2-4 dosis. Pada manula setengah dari
dosis ini. Dosis awal bagi anak-anak sampai
usia 1 tahun 100 mg sehari, 1-5 tahun 100-
200 mg sehari, 5-10 tahun 200-300 mg sehari
dengan dosis pemeliharaan 10-20 mg/kg
berat badan sehari dibagi dalam beberapa
dosis.
* Okskarbazepin (Trileptal) yaitu derivat
(1991) yang sama efektifnya dengan karbamazepin pada dosis yang 50% lebih tinggi.
Kedua obat ini tidak bersifat induktor enzim, maka pada pemakaian lama tidak
memicu auto-induksi (= stimulasi dari
metabolisme sendiri). Efek sampingnya lebih
ringan, khususnya rash. Okskarbazepin terutama dipakai pada serangan tonisklonis ‘generalized’ dan pada epilepsi parsial.
Resorpsi cepat dan hampir sempurna (95%)
untuk kemudian diubah menjadi dihidroksikarbamazepin aktif dengan plasma-t½ 10-25
jam. Lebih dari 95% diekskresi melalui urin
sebagai konyugat dan 0,3% dalam bentuk
utuh. Efek sampingnya berupa perasaan letih,
pusing dan ataksia, hiponatriemia, gangguan
tidur, tremor dan radang kulit.
Kehamilan dan laktasi. Data untuk ini belum
cukup, namun zat ini masuk ke dalam air susu
ibu dan dapat mencapai kadar sampai 50%
dari kadar plasma sang ibu.
Dosis: monoterapi 1 dd 300 mg d.c. atau
p.c., lambat laun dinaikkan sampai dosis
pemeliharaan 2-3 dd 200-400 mg; politerapi
pada epilepsi gawat dan yang resisten: 1 dd
300 mg dan lambat laun ditingkatkan sampai
dosis pemeliharaan 2-3 dd 300-1000 mg.
1c. Fenobarbital: fenobarbiton, Luminal.
Senyawa hipnotik ini (1912) terutama dipakai pada serangan grand mal dan status
epilepticus berdasar sifatnya yang dapat
memblokir pelepasan muatan listrik di otak.
Untuk mengatasi efek hipnotiknya, obat ini
dapat dikombinasi dengan kofein. Tidak bo- leh diberikan pada absences sebab justru
dapat memperburuknya.
Resorpsi di usus baik (70-90%) dan ±50%
terikat pada protein; plasma-t½ panjang, ±3-4
hari, maka dosisnya dapat diberikan sehari
sekaligus. Sekitar 50% dipecah menjadi p-hidroksifenobarbital yang diekskresi lewat urin
dan hanya 10-30% dalam keadaan utuh.
Efek samping berkaitan dengan efek sedasinya (lihat Bab 24, Sedativa dan Hipnotika),
yaitu pusing, mengantuk, ataksia dan pada
anak-anak mudah terangsang. Efek samping
ini dapat dikurangi dengan penambahan
obat-obat lain.
Interaksi. Bersifat menginduksi enzim dan
antara lain mempercepat penguraian kalsiferol
(vitamin D2
) dengan kemungkinan timbulnya
rachitis (penyakit Inggris) pada anak kecil.
pemakaian bersama valproat harus hatihati, sebab kadar darah fenobarbital dapat
ditingkatkan. Di lain pihak kadar darah fenitoin dan karbamazepin serta efeknya dapat diturunkan oleh fenobarbital.
Dosis: 1-2 dd 30-125 mg, maksimal 400 mg
(dalam 2 kali); pada anak-anak 2-12 bulan
4 mg/kg berat badan sehari; pada status
epilepticus dewasa 200-300 mg.
* Metilfenobarbital (mefobarbital, Prominal)
juga dipakai pada petit mal (1932). Dibandingkan dengan fenobarbital, resorpsi di
usus kurang baik (50%). Di dalam hati zat
ini dengan cepat diubah seluruhnya menjadi
fenobarbital. Efek sedasi dan hipnotiknya
lebih ringan, begitu pula khasiat antiepilepsinya, maka tidak banyak dipakai
lagi. Dosis: 2 dd 100-200 mg.
1d. Primidon: Mysoline
Struktur kimia obat ini (1952) sangat mirip
fenobarbital, namun bersifat kurang sedatif.
Sangat efektif terhadap serangan grand
mal dan psikomotor. Di dalam hati terjadi
biotransformasi menjadi fenobarbital dan feniletilmalonamida (PEMA), yang juga bersifat
anti-konvulsi. pemakaian lainnya yaitu
pada neuralgia trigeminus, lihat di atas (1b).
Efek samping pusing, mengantuk, ataksia
dan anoreksia (sementara), juga anemia tertentu yang dapat diatasi dengan asam folat.
Pada anak-anak: mudah terangsang.
Dosis: dimulai dengan 4 dd 500 mg (= 2
tablet), pada hari ke-4 dikurangi sampai 4
dd 250 mg dan pada hari ke-11 125 mg dan
seterusnya.
1e. Fenitoin: difenilhidantoin, Diphantoin, Dilantin
Senyawa imidazolidin ini (1938) tidak
bersifat hipnotik seperti senyawa barbital dan
suksinimida. Fenitoin terutama efektif pada
grand mal dan serangan psikomotor, namun
tidak boleh diberikan pada petit mal, sebab
dapat memprovokasi absences. Sediaan tablet
dari dua pabrik yang berlainan dapat sangat
berbeda kesetaraan biologis (BA) dan kadar
darahnya, maka selama terapi sebaiknya
jangan mengganti pabrik.
Fenitoin merupakan anti-epileptikum dengan indeks terapi yang sangat sempit. Efek
terapi yang optimal terletak pada kadar
serum total antara 8-20 mg/L. Di dalam
tubuh 90% dari zat ini terikat pada protein
plasma. Kadar albumin dalam serum yang
rendah (hipoalbuminemia) mengakibatkan peningkatan kadar fenitoin bebas melampaui
kadar terapi (0,5-2 mg/L) dan dapat menyebabkan intoksikasi. Keseimbangan antara
fraksi fenitoin total dan fraksi fenitoin bebas
juga dapat terganggu oleh penyakit fungsi
hati atau ginjal, usia lanjut dan juga oleh
obat-obat seperti digoksin, aspirin, derivat
kumarin, antidiabetika oral dan asam valproat.
Kemper E.M. et al., Ernstige fenytoïneintoxicatie bij patiënten met hypoalbuminemie. Ned Tijdschr Geneesk. 2007;151:138-
41
Pentakaran obat ini agak sulit sebab
perubahan sedikit dalam dosis harian dapat
mengakibatkan perubahan kuat dalam plasma darah, oleh sebab pada kadar terapeutik
farmakokinetiknya tidak lineair.
Resorpsi di usus cukup baik, persentase
pengikatan pada protein tinggi, ±90%. sesudah
mengalami siklus enterohepatik, akhirnya
fenitoin diekskresi melalui ginjal dalam bentuk glukuronida (60-75%). Plasma-t½ ratarata 22 jam (sangat variabel).
Efek samping yang sering kali timbul adalah hiperplasia gusi (tumbuh berlebihan) dan obstipasi. Efek lainnya a.l. pusing, mual
dan bertambahnya rambut/bulu badan (hipertrichosis). Wanita hamil tidak boleh memakai fenitoin sebab bersifat teratogen.
Dosis: permulaan sehari 2-5 mg/kg berat
badan dibagi dalam 2 dosis dan dosis pemeliharaan 2 dd 100-300 mg (garam Na) pada
waktu makan dengan minum banyak air
(alkalis!). Pada anak-anak 2-16 tahun, permulaan sehari 4-7 mg/berat badan dibagi
dalam 2 dosis dan dosis pemeliharaan sehari
4-11 mg/berat badan. Bila dikombinasi dengan fenobarbital, dosisnya dapat diperkecil.
* Fosfenitoin (Cerebyx) yaitu ester fosfat
dari pro-drug fenitoin yang cepat dan lengkap diuraikan menjadi fenitoin, formaldehida dan fosfat. dipakai sebagai injeksi
i.m./infus.
1f. Diazepam: Valium, Stesolid, Mentalium
Di samping khasiat anksiolitik, relaksasi
otot dan hipnotiknya (lihat juga Bab 24,
Sedativa dan Hipnotika), senyawa benzodiazepin ini (1961) juga berkhasiat antikonvulsi.
berdasar khasiat ini. diazepam dipakai pada epilepsi dan dalam bentuk injeksi
i.v. terhadap status epilepticus. Pada penggunaan oral dan dalam klisma (rectiole), resorpsinya baik dan cepat namun dalam bentuk
suppositoria lambat dan tidak sempurna.
Sekitar 97-99% diikat pada protein plasma.
Di dalam hati diazepam dibiotransformasi
menjadi antara lain N-desmetildiazepam yang
juga aktif dengan plasma-t½ panjang, antara
42-120 jam. Plasma-t½ diazepam sendiri berkisar antara 20-54 jam. Toleransi dapat terjadi
terhadap efek antikonvulsinya, sama seperti
terhadap efek hipnotiknya.
Efek sampingnya lazim bagi kelompok
benzodiazepin, yaitu mengantuk, termenungmenung, pusing dan kelemahan otot.
Dosis: 2-4 dd 2-10 mg dan i.v. 5-10 mg
dengan perlahan-lahan (1-2 menit), bila perlu
diulang sesudah 30 menit; pada anak-anak 2-5
mg. Pada status epilepticus dewasa dan anak
di atas usia 5 tahun 10 mg (rectiole); pada
anak-anak di bawah usia 5 tahun sekali 5 mg.
Pada konvulsi demam: anak-anak 0,25-0,5
mg/kg berat badan (rectiole), bayi dan anakanak di bawah 5 tahun 5 mg, sesudah 5 tahun
10 mg, juga preventf pada demam(tinggi).
* Klonazepam (Rivotril) yaitu derivat
klor (1973) dari nitrazepam dengan kerja
antikonvulsif yang lebih kuat. Khasiatnya
diperkirakan berdasar perintangan langsung dari pusat epilepsi di otak dan juga
merintangi penyebaran aktivitas listrik berlebihan pada neuron lain. Klonazepam terutama dipakai pada absences anak-anak
dan merupakan obat pilihan utama (i.v.) pada
status epilepticus sebab khasiatnya lebih kuat
dan 2-3 kali lebih cepat daripada diazepam.
Kinetik. Sekitar 87% zat ini diikat pada protein plasma dan dimetabolisasi dalam hati
menjadi senyawa metabolit tidak aktif. Plasma-t½ 18-50 jam, peroral kadar darah maksimalnya dicapai sesudah 1-3 jam, melalui i.v.
sesudah 1 menit. Toleransi juga dapat terjadi
sesudah beberapa minggu sampai beberapa
bulan.
Efek samping yang agak sering terjadi berupa sedasi, mengantuk, pusing dan cupetnya pikiran, juga kelemahan otot dan sekresi
ludah berlebihan (hipersalivasi), yang dapat
membahayakan pernapasan terutama pada
anak-anak. Selama pemakaian klonazepam dilarang minum alkohol, sebab memengaruhi efek obat. Dosis: oral anak-anak
3 dd 0,5-2 mg; dewasa permulaan 0,5 mg
sehari, lambat laun dinaikkan sampai 3 dd
1-5 mg (maksimal 20 mg sehari); dosis harus
dinaikkan dengan berangsur-angsur. Pada
status epilepticus i.v. 1 mg (perlahan-lahan),
sesudah 30 menit diulang 1 mg; anak-anak 1
dd 0,5 mg.
*Klobazam (Frisium) yaitu derivat 1,5-benzodiazepin (1982) yang dipasarkan sebagai
tranquillizer, namun memiliki khasiat antikonvulsi yang sama kuatnya dengan diazepam. Klobazam dipakai sebagai obat tambahan pada absences yang resisten terhadap
klonazepam. Tidak dapat dikombinasi dengan valproat. Lihat selanjutnya Bab 24,
Sedativa dan Hipnotika. sesudah pemakaian
oral minimal 87% diresorpsi dan ±85% diikat
pada protein plasma. Metabolit utamanya yaitu N-desmetilklobazam yang memiliki
sifat antikonvulsi lemah. Plasma-t½ 18-30
jam dan diekskresi (81-97%) melalui urin.
Dosis: oral sehari 5-15 mg, dapat lambat laun
ditingkatkan sampai maksimal 80 mg sehari.
1g. Etosuksimida: etilmetilsuksinimida, Zarontin
Derivat pirolidin ini (1958) sangat efektif
terhadap serangan absence. Efeknya panjang
dengan plasma-t½ 2-4 hari. Praktis tidak
terikat pada protein, ekskresi melalui ginjal,
yaitu 50% sebagai metabolit dan 20% dalam
keadaan utuh.
Efek samping berupa sedasi, antara lain
mengantuk dan termenung-menung, sakit
kepala, anoreksia dan mual, juga bersendawa.
Leukopenia jarang terjadi namun di samping
pemeriksaan hematologi, fungsi hati dan urin
perlu dimonitor secara teratur.
Dosis: 1-2 dd 250-500 mg sebagai tablet
e.c.(enteric-coated) sebab rasanya tidak enak
dan bersifat merangsang.
* Mesuksimida (Celontin) yaitu derivat
metil (1954) dengan sifat dan pemakaian
yang kurang lebih sama. Dosis: 1 dd 300 mg,
maks. 1,2 g sehari.
2. GENERASI KEDUA
2a. Felbamat: Taloxa, Felbatol
Analogon meprobamat ini (1993) dipakai sebagai obat tambahan, bila karbamazepin atau fenitoin tunggal kurang berkhasiat.
Resorpsi cepat dengan kadar plasma maksimal tercapai dalam 1-4 jam, plasma-t½
12-16 jam. Sekitar 15-30% dari suatu dosis
diekskresikan melalui urin dalam keadaan
utuh. Diperkirakan bahwa mekanisme khasiatnya berdasar peningkatan ambang
serangan.
Efek samping serius berupa anemia aplastis
dan gangguan fungsi hati. Juga mual, muntah, gangguan penglihatan, pusing dan reaksi
alergi pada kulit (Eke T et al. BMJ 1997; 314:
180-1).
Dosis: permulaan 0,6-1,2 g dibagi dalam 3-4
dosis, berangsur-angsur dinaikkan sampai
maksimal 3,6 g sehari.
2b. Gabapentin: Neurontin, Alpentin, Gabexal
Senyawa sikloheksilasetat ini (1999) memiliki struktur kimiawi yang berkaitan dengan GABA, namun mekanisme kerjanya
berlainan. Obat ini dipakai sebagai obat
tambahan pada epilepsi parsial dan untuk
penderita pada siapa antiepileptika biasa
kurang memberikan efek. Di samping itu
juga dipakai pada depresi manis bersama
litium dan pada nyeri neuropati dengan efek
sesudah 1-3 minggu
Resorpsi: peroral dalam waktu 2-3 jam sudah tercapai kadar plasma maksimal. BA
±60%, PP ringan sekali dan dapat diabaikan,
masa paruhnya 5-7 jam. Diekskresi lengkap
melalui urin dalam bentuk utuh.
Efek samping mengantuk, pusing, ataksia,
perasaan letih dan meningkatnya berat badan.
Dosis: permulaan 1-3 dd 100-200 mg dan
lambat laun ditingkatkan sampai 3 dd 300-
400 mg. Pada nyeri neuropati: 3 dd 600 mg.
2c. Lamotrigine: Lamictal
Senyawa triazin ini (1991) berkhasiat antikonvulsi berdasar stabilisasi membran
sel saraf, sehingga menghambat pembebasan
neurotransmitter glutamat, yang berperan
penting pada timbulnya serangan epilepsi.
Obat ini dipakai antara lain pada epilepsi
grand mal dan parsial. ada indikasi
bahwa juga efektif pada depresi manis.
Resorpsi cepat dan sempurna dengan kadar
plasma maksimal tercapai dalam waktu 2,5
jam dan plasma-t½ sekitar 29 jam. Zat ini diuraikan dalam hati menjadi dua metabolit
N-glukuronida yang tidak aktif dan seluruhnya
diekskresi melalui urin, 8% dalam keadaan
utuh.
Efek samping berupa radang kulit (2-3%)
yang biasanya timbul dalam waktu 3 minggu
sesudah terapi dimulai dan hilang sendirinya
sesudah pengobatan dihentikan.
Dosis: 2 dd 100 mg dan dapat berangsurangsur ditingkatkan sampai 400 mg sehari,
pemeliharaan 1-2 dd 100 mg.
2d. Pregabalin (Lyrica)
Obat ini (2004) yaitu analogon dari GABA
dan diindikasikan pada terapi tambahan epi-
lepsi parsial dan untuk penanganan nyeri
neuropatis perifer.
Bekerja dengan memengaruhi secara langsung saluran kalsium (Ca channel) dari sel.
Efek samping terpenting yaitu rasa kantuk
dan vertigo reversibel (± 25%), yang hilang
sesudah pemakaian selama 3-4 minggu. Selain itu juga gangguan ingatan dan konsentrasi, mudah tersinggung, tremor dan gangguan lambung usus. Berat badan meningkat.
Dosis: 2-3 dd 75 – 200 mg .
2e. Topiramat: Topamax
Monosakarida (fructopyranose) ini (1995)
terutama dipakai sebagai adjuvans pada
epilepsi parsial dan/atau epilepsi luas tonisklonis. Diserap baik dalam usus (> 80%)
dengan BA ±50%.
Dalam hati sebagian (20%) dirombak menjadi beberapa metabolit inaktif, PP ±15%
dengan masa-paruh di atas 20 jam. Eliminasi
melalui urin untuk 65% dalam bentuk utuh.
Efek samping mirip pregabalin, kecuali menurunkan berat badan.
Dosis: permulaan 1 dd 25 mg a.n. selama
1 minggu, lalu dinaikkan dengan 25 mg/
minggu sampai 1 dd 200 mg (= dosis efektif
minimal). Kemudian bila perlu berangsurangsur dinaikkan sampai maksimal 2 dd 500
mg a.n. Pemeliharaan 2 dd 100-200 mg a.n.
2f. Vigabatrin: Sabril
Senyawa heksen ini (1989) juga termasuk
generasi kedua dan merupakan derivat sintetik dari GABA. Berkhasiat menghambat secara spesifik enzim GABA-transaminase yang
berfungsi menguraikan GABA. Dengan demikian kadar neurotransmitter ini meningkat dengan efek antikonvulsi. Obat ini dipakai sebagai obat tambahan pada pengobatan epilepsi yang kurang responsnya terhadap antiepileptika lain.
Resorpsi cepat (minimal 70%), kadar plasma
maksimal tercapai dalam 1-2 jam, t½ 5-8 jam.
Tidak terikat pada protein plasma, praktis
tidak dimetabolisasi dan diekskresi dalam
keadaan utuh melalui urin (70% dalam 24
jam).
Efek samping mengantuk, letih, pusing dan
sakit kepala, juga gangguan psikis. Sepertiga
dari pengguna mengalami gangguan penglihatan serius dan irreversibel sesudah dipakai lama (1-3 tahun), maka perlu untuk
menjalani pemeriksaan mata selama pengobatan.
Kehamilan & laktasi. Pada hewan percobaan
terjadi kelainan pada janin. Obat ini masuk ke
dalam air susu ibu
Dosis: permulaan 1 dd 1 g, lambat-laun dinaikkan sampai dosis pemeliharaan dari 2 dd
1 g – 2 dd 2 g. Anak-anak sehari 40-80 mg/
kg berat badan.
2g. Zonisamida18: Zonegran
yaitu suatu derivat dari benzisoksazolsulfonamida yang termasuk dalam kelompok
anti-epileptika baru. Mekanisme kerjanya
yaitu memblokir pencetusan reaksi saraf
via saluran (channel) Na serta Ca dan dengan
demikian mengurangi menjalarnya serangan
epilepsi. dipakai sebagai obat tambahan
pada epilepsi parsial.
Efek samping berupa reaksi terhadap SSP,
hipersensitivitas dan pembentukan batu ginjal.
Dosis: sebagai monoterapi pada minggu
pertama dan kedua 1 dd 100 mg dan selanjutya sampai maksimal 1 dd 500 mg. Dosis
pemeliharaan 1 dd 300 mg.
Obat-obat baru
1. Levetirasetam: Keppra
yaitu suatu senyawa pirolidin yang
dipakai sebagai terapi pembantu terhadap
kejang-kejang myoklonik dan kejang-kejang
tonik-klonik pada orang dewasa dan anakanak semuda 4 tahun.
Ref. Andermann E. et al., Seizure control
with levetiracetam in juvenile myoclonic
epilepsies. Epilepsia, 2005, 46(suppl 8):205
Mekanisme kerja anti-kejangnya tidak diketahui. sesudah pemakaian oral hampir seluruhnya diabsorpsi dengan cepat dan tidak
terikat pada protein plasma. Ekskresi melalui
urin 65% dalam bentuk utuh dan 24% sebagai
metabolit yang tidak aktif.
Efek samping berupa somnolensi (kantuk),
astenia (tidak bertenaga) dan pusing.
Dosis: sebagai monoterapi oral dan i.v.
permulaan 2 dd 250 mg sampai maksimal 2
dd 1500 mg.
2.Tiagabin: Gabitril
Derivat dari asam nipekotin ini dipakai
sebagai obat tambahan pada kejang-kejang
parsial orang dewasa. Dapat melintasi barriere otak-darah.
Mekanisme kerjanya berdasar penghambatan transpor GABA dan dengan demikian mengurangi uptakenya pada neuron
dan glia.
Pada pemberian oral diabsorpsi dengan
cepat dan terikat pada protein serum atau
plasma dan dimetabolisasi terutama di hati.
Efek samping timbul cepat pada awal terapi
dan berupa pusing-pusing, somnolensi dan
gemetar.
3.Lakosamida: Vimpat
Asam amino ini dipakai sebagai obat
pembantu (2008) terhadap serangan parsial
orang dewasa. Juga dapat diberikan dalam
bentuk injeksi.
Dosis: oral dan i.v. permulaan 2 dd 50 mg
sampai maksimal 2 dd 200 mg.
4.Rufinamida: Banzelm Inoveron
Senyawa triazol ini juga dipakai terhadap serangan parsial (2008) sebagai obat
pembantu.
Dosis: permulaan 2 dd 100 mg pc; maks. 2
dd 500 mg
OBAT-OBAT PARKINSON
DAN DEMENSIA
Dengan meningkatnya populasi manusia
lanjut usia (the greying of the world) beberapa
dari penyakit neurodegeneratif, seperti Parkinson dan Alzheimer, merupakan masalah global yang semakin meningkat. Namun
sampai sekarang tidak tersedia obat-obat
ampuh yang dapat menghindari, menghentikan atau membalik keadaan ini dan hanya
gejala-gejalanya saja yang dapat ditangani.
Dikenal sejumlah penyakit otak (neurodegenerative disorders) yang disebabkan fungsi
saraf otak terganggu dan berangsur dirusak,
yang umumnya berakhir fatal. Di bawah
ini akan dibicarakan tiga penyakit penting
yaitu penyakit Parkinson, multiple sclerosis
(MS), dan demensia Alzheimer berikut
pengobatannya. Dibahas pula secara ringkas
penyakit prion (penyakit sapi gila, BSE)
dan penyakit Creutzfeldt-Jakob—meskipun
belum ada obatnya—sebab merupakan isu
hangat.
A. PENYAKIT PARKINSON
Penyakit Parkinson (PD) yaitu suatu penyakit neurodegeneratif progresif yang memengaruhi kemampuan motorik dan nonmotorik.
Penyakit gemetar (‘palsy’) ini merupakan
suatu sindrom penyakit yang disebabkan
terganggunya keseimbangan neurohormon
di sistem ekstrapiramidal otak.Sistem ini mengendalikan dua sistem berseimbang yang
bekerja dengan masing-masing neurohormon asetilkolin (ACh) dan dopamin (DA),
suatu zat-antara pada sintesis noradrenalin
(NA). Pada penyakit ini ada kekurangan
do-pamin (dan glutathion = GSH) di ganglia
otak, terutama di ‘sel-sel hitam’ (substantia
nigra). Diagnosis dapat dipastikan dengan
mendeteksi secara mikroskopis unsur-unsur
tertentu dalam sel-sel inti hitam, yaitu badan
dari Lewy, yang merupakan ciri khas pula
dari suatu bentuk demensia.
Penyakit Parkinson (dari nama seorang
dokter Inggris James Parkinson, 1817) merupakan suatu penyakit yang umum dan
ada di seluruh dunia. Jumlah penderitanya meningkat dengan drastis sesuai
usia sampai kira-kira 1 per 200 pada usia
di atas 70 tahun. Pada umumnya, penyakit
berlangsung progresif (memburuk) secara
berangsur selama bertahun-tahun dan pada
40-70% dari penderita disusul dengan keruntuhan mental dan suatu bentuk demensia yang agak berlainan dengan Alzheimer,
lihat di bawah. sesudah rata-rata 10-15 tahun,
penyakit selalu berakhir dengan kematian.
pemicu nya yaitu degenerasi progresif
dari sel-sel saraf dopaminerg di otak, sehingga produksi DA berkurang dan keseimbangan dalam ganglia basal terganggu sebab
sistem ACh berkuasa. Peningkatan aktivitas kolinergik ini memperkuat rangsangan
berlebihan pada SSP yang memicu
gerakan-gerakan yang tidak terkendali (tremor). Di samping itu, terjadi pula kelisutan
sel-sel yang membentuk neurohormon lain,
sehingga berkurangnya noradrenalin dan
serotonin (5HT). Apa yang memicu
kerusakan sel-sel saraf ini sampai kini
belum diketahui.
Diperkirakan bahwa faktor keturunan memegang peranan penting pada terjadinya
penyakit Parkinson. Risikonya 3 kali lebih
besar bila salah satu orang tua atau saudara
menderita penyakit ini.
* Parkinsonisme yaitu semua keadaan
yang menyerupai penyakit Parkinson termasuk