namun tidak menunjukkan perbaikan dalam aktivitas global
sehari-hari.
• Rivastigmin
Bermanfaat untuk DA dengan
dosis Iebih tinggi (6-12mg/
hari}. Patch rivastigmin 17,4mg
dan 9,5mg menunjukkan efikasi yang sama dengan kapsul
(6mg dua kali sehari). ada
sedildt keuntungan pemakaian
rivastigmin pada DA sedang-berat, namun tidak ada bukti yang
mendukung pada DA berat. Bila
dibandingkan dengan kapsul,
patch 9,5mg hanya menghasilkan efek samping 2/3 Iebih sedikit, berupa mual dan muntah.
b. Antagonis reseptor NMDA (memantinj
pemakaian memantin 20mg/hari
memberikan sedikit perbaikan untuk pasien dengan DA ringan-sedang sesudah 24 minggu. Memantin
disetujui untuk demensia sedang
hingga berat dengan memberikan
manfaat pada fungsi kognisi, mood,
dan perilaku.
c. Kombinasi obat golongan AChE-I
dengan memantin
Pada penelitian uji klinis terhadap
404 subyek dengan demensia sedang sampai berat yang sedang
memakai donepezil, kemudian
subyek dibagi menjadi dua kelompok, masing-masing ditambahkan
memantin atau plasebo. Kelompok
yang memperoleh donepezil plus
memantin menunjukkan hasil sedikit Iebih baik pada fungsi global,
fungsi kognitif, ADL, dan behavioral
and psychological symptoms o f dementia (BPSD).
2. Nonmedikamentosa
Tujuan terapi nonmedikamentosa
atau intervensi psikososial yaitu
meningkatkan kualitas hidup orang
dengan demensia. Apabila pendekatan psikososial tunggal tidak optimal, diperlukan pendekatan multidimensial untuk intervensi yang Iebih
efektif. Pendekatan sebaiknya terfokus
pada individu dan disesuaikan dengan
kebutuhan, kepribadian, kekuatan dan
preferensi. Beberapa hal penting yang harus diperhatikan, yaitu masalah aktivitas
sehari-hari agar mandiri, meningkatkan fungsi, beradaptasi dan belajar
keterampilan, serta meminimalkan
bantuan. Oleh sebab itu, intervensi
dibagi menjadi 3 kelompok:
a. Mempertahankan fungsi
® Mengadopsi strategi untuk
meningkatkan kemandirian
® Memelihara fungsi kognitif
b. Manajemen perilaku sulit: agitasi,
agresi, dan psikosis
c. Mengurangi gangguan emosional
komorbid
DEMENSIA VASKULAR
A. Patofisiologi
Secara umum patofisiologi terjadinya DVa
melibatkan kelainan pembuluh darah
dengan manifestasi perdarahan (termasuk perdarahan mikro] ataupun iskemia
(hipoksemia], Hipoksemia yang terjadi
dapat bersifat akut dan kronik. Hipoksemia akut dengan lesi lokal, biasanya
berupa infark, sedangkan hipoksemia
global berbentuk nekrosis korteks laminer, sklerosis hipokampus, dan infark
watershed, Pada hipoksemia kronik,
mani-festasinya berupa lesi pada substansia alba (Gambar 2). Manifestasi Minis tampak lebih jelas
pada keterlibatan pembuluh darah besar, sedangkan pada pembuluh darah
otak yang lebih kecil (perdarahan mikro
dan leukoaraiosis], manifestasinya minimal atau bahkan asimtomatik {silent infarct).
Berikut beberapa jenis demensia vaskular
beserta pemicu nya (Gambar 3):
X, Demensia Pascastroke
Demensia pascastroke atau post-stroke
dementia (PSD] didefinisikan sebagai
demensia yang terjadi sesudah stroke
dan disebabkan oleh penyakit vaskular,
degeneratif, atau keduanya, Pasien dengan riwayat stroke akan lebih berisiko
mengalami demensia 3-5 kali lebih besar dibandingkan dengan pasien tanpa
riwayat stroke sebelumnya. ada
sekitar 20% pasien yang kemudian akan
mengalami kejadian DVa dalam 6 bulan
sesudah serangan stroke pertama (.singleinfarct dementia). Kejadian timbulnya
gejala DVa meningkat seiring dengan
besar lesi yang dihasilkan pascastroke
dan banyaknya riwayat kejadian stroke
(stroke berulang) yang memungkinkan
terjadi lesi yang lebih banyak.
a. Single strategic-infarct dementia
DVa pascastroke dapat terjadi akibat
lesi pada regio kortikal maupun subkortikal, dan dapat berupa suatu proses iskemik maupun hemoragik Pada lesi di regio kortikal, demensia akan
terjadi jika daerah fungsi heteromodal
otak ikut terlilbat, termasuk sistem limbik atau area asosiasi kortikal. Tiga lokasi utama infark terisolasi yang akan
mengacu pada kejadian DVa, yaitu: girus angularis pada regio arteri serebri
media, inferomesial lobus temporal
pada regio arteri serebri posterior, dan
mesial lobus frontal pada regio arteri
serebri anterior.
Lesi subkortikal terutama subcorticalcortical loops akan memberikan manifestasi demensia. Tiga lokasi utama
yang dapat memicu terjadinya
DVa yaitu talamus, genu kapsula interna, dan nukleus kaudatus.
b. Demensia multi-infark
Merupakan akumulasi infark berulang
pada bagian kortikal maupun subkortikal, kejadian demensia meningkat
seiring dengan kejadian infark berulang yang terlihat dengan j elas.
2. Demensia Terkait Sm all Vessel D isease
a. Subcortical ischemic vascular disease
(penyakit Binswanger)
Penyakit ini merupakan stadium final
dari riwayat panjang penyakit arteri
kecil (.small vessel disease} terkait
hipertensi. Sejak awal 1990, studi
longitudinal menunjukkan gambaran
abnormalitas pada substansia alba
(white matter) pada 95% subyek berusia di atas 65 tahun, Keadaan ini sangat
leuat terkait hipertensi dan berkaitan dengan fungsi eksekutif.
b. Cerebral autosomal dominant arteriopathy with subcortical infarcts and
leukoencephalopathy (CADASIL)
CADASIL mulai dikenal pada tahun 1993
sebagai pemicu baru DVa murni. Penyakit ini merupakan penyakit bawaan
langka akibat adanya mutasi NOTCH3
kromosom 19. Pada pemeriksaan histopatologisnya, didapatkan deposisi mated granular dalam dinding arteri kecil
dan arteriol, sehingga memicu penyempitan lumen dan destruksi sel otot
polos dinding pembuluh. Gambaran umumnya berupa infark lakunar multipel
dan substansia alba pucatyang luas.
3. Demensia Terkait Angiopati Amiloid
Hal ini disebabkan oleh cerebral amyloid angiopathy akibat deposisi amiloid
di dinding pembuluh darah korteks dan
leptomeningen. Apolipoprotein alel-E2
berkontribusi dalam deposisi p-amiloid
ini yang memicu angiopati amiloid
dan perdarahan mikro. Lokasi perdarahan serebral akan menentukan terjadinya
gangguan kognitif.
4. Demensia Terkait Mekanisme Hemodinamik
Terjadi kegagalan hemodinamik pada
area perbatasan frontal yang diperdarahi oleh cabang distal dan cabang piamater arteri serebri anterior dan media,
memicu lesi iskemik reversibel
di lokasi yang berdekatan dengan area
Sylvii. Proses ini dapat disebabkan oleh
beberapa keadaan sistemik, seperti henti
jantung, aritmia, gagal jantung, atau hipotensi. A. Gejala dan Tanda Klinis
1. Demensia Pascastroke
a. Single strategic-infarct dementia
Stroke mendasari terjadinya DVa
ini. Lesi pada bagian girus angularis hemisfer kiri akan memberikan
manifestasi klinis berupa sindrom
afasia, ganggnan fungsi konstrulcsi,
dan sindrom Gerstmann. Pada infark di girus angularis nondominan
akan menunjukkan gejala hemineglek spasial dan gangguan visuokonstruktifyang dapatdisertai gangguan
memori. Infark pada mediotemporal
lobus temporal alcan menunjuldcan
gejala amnesia, disertai gangguan
fungsi bahasa, visuospasial, dan
apraksia konstruksional sesuai dengan hemisfer yang terlibat
Lesi pada subcortical-cortical loops
yang berperan dalam mempertahankan fungsi kortikal dan status
kognitif akan memberikan manifestasi demensia. ada tiga
lokasi strategis yang dapat menyebabkan terjadinya DVa yaitu talamus, genu kapsula interna, dan
nukleus kaudatus.
Infark pada talamus akan bermanifestasi sebagai gangguan memori
episodik dan sindrom afasia, terutama afasia transkortikal motorik.
Pada infark talamus paramedian
dengan keterlibatan jaras mamilotalamik akan menunjukkan
penurunan kesadaran, gangguan
neurofisiologi yang dapat disertai
dengan amnesia dengan konfabulasi yang jelas.
Gangguan kognitif yang lebih berat
dapat terjadi jika ada lesi pada
talamik-subtalamik paramedian
bilateral, dengan gejala amnesia
dan gangguan eksekutif seperti
abulia, inersia, serta menurunnya
gerakan spontan. Infark pada genu
kapsula interna hemisfer kiri dapat
mendeaktivasi daerah kortikal
terutama korteks frontal dengan
mengganggu fungsi dari pedunkel
talamus anterior, sehingga dapat
memberikan gambaran demensia
fokal. Infark pada nukleus kaudatus memberikan gambaran klinis
berupa gangguan fungsi eksekutif
yang jelas, yaitu infark pada dorsolateral akan menunjukkan menurunnya aktivitas motorik, abulia,
dan depresi dengan gejala psikotik,
sedangkan infark pada ventromedial akan menunjuldcan hiperaktif,
dan gangguan pemusatan perhatian. Demensia dapat ditemukan
pada infark multipel dan/atau leukoaraiosis, tetapi tidalc ditemukan
pada infark murni di lentikulostriaturn, serta infark di kaudatus.
b. Demensia multi-infark
Demensia ini terjadi akibat akumulasi infark berulang baik pada
bagian kortikal maupun sublcortikal. Kejadian demensia meningkat seiring dengan kejadian infark
berulang. Hal ini disimpulkan dari
observasi terhadap onset demensia yang mendadak, riwayat stroke
berulang, dan ditemulcannya gejala fokal dibuktikan dengan lesi
hipodens pada CT scan. !. Demensia TerkaitSmatf Vessel D isease
a. Subcortical ischemic vascular disease/
penyakit Binswanger
Gejala Minis yang paling menonjol
yaitu disfungsi eksekutif (perencanaan, abstraksi, seri konsep, shifting
o f idea), perlambatan proses pikir,
serta gangguan konsentrasi dan
working memory. Gangguan memori
dapat menyertai, namun fungsi rekognisi masih terpelihara dan tidak
seberat pada AD.
b. Cerebral and autosomal dominant
arteriopathy with subcortical infarcts
and leukoencephalopathy [CADASIL)
Pada sepertiga pasien CADASIL dengan usia awitan rata-rata 30 tahun,
penyakit diawali dengan serangan
mendadak migren dengan aura. Manifestasi Minis yang tersering yaitu
transient ischemic attack (TIA) subkortikal atau stroke pada usia 40-50
tahun. Gangguan kognitif merupakan
gejala kedua terbanyak, berupa gangguan fungsi eksekutif dan kecepatan
proses pikir.
3. Demensia Terkait Angiopati Amiloid
Angiopati amiloid merupakan satu aspek
penyaMt serebral dengan deposit amiloid.
Kebanyakan pasien dengan angiopati
amiloid biasanya merupakan tipe sporadik dan lebih dari 40% berhubungan
dengan DA. Lokasi perdarahan serebral
akibat angiopati amiloid inilah yang
akan menentukan terjadinya gangguan
kognitif.
4. Demensia Terkait Mekanisme Hemodinamik
Manifestasi Minis pada demensia tipe ini
berupa afasia, apraksia, atau hemineglek
tanpa defisitmotorikyangnyata. Adanya
stenosis berat pada arteri karotis interna
dapat menimbulkan iskemia berulang
tanpa disertai terjadinya infark. Dapat
terjadi manifestasi sindrom demensia
yang reversibel bila gangguan hemodinamik ini terkoreksi.
B. diagnosa dan diagnosa Banding
Gejala dan tanda Minis dari DVa menurut
DSM-IV didefinisikan sebagai demensia
yang disertai oleh adanya defisit neurologis fokal dan diperkuat dengan bukti Minis dari pemeriksaan penunjang,
seperti hasil laboratorium. Kriteria ini
merupakan kriteria yang peka namun
tidak spesifik.
Kriteria lain yang dipakai sebagai
definisi dari DVa lainnya yaitu International Statistical Classification o f Disease
and Related Health Problems 10th revision (ICD-10), Neurological Disorders and
Stroke and The Association Internationale
pour la Recherche et TEnseignement en
Neurosciences (NINDS-AIREN), dan skor
iskemik Hachinski. ICD-10 memiliki kedekatan definisi dengan Diagnostic and
Statistical Manual for Mental Disorder,
edisi keempat (DSM-IV), pembedanya
berupa bukti lesi fokal di otak. Adapun
skor iskemik Hachinski dikembangkan
untuk membedakan demensia multi infark terkait lesi iskemik dengan DA.
Kriteria diagnosa dari NINDS-AIREN lebih spesifik dan saat ini banyak digunakan dalam keperluan penelitian. Kriteria
probable demensia berdasar kriteria
NINDS-AIREN mengharuskan adanya:
1. Gejala dan tanda demensia.
2. Penyakit serebro vaskular, yang terbukti secara pemeriksaan fisik dan
pencitraan (CT scan dan atau MRI).
3. Adanya hubungan dari kondisi 1 dan
2. (a] onset demensia dalam 3 bulan
sesudah diketahui memilild stroke dan
£b} penurunan fungsi kognitif yang
drastis atau berfluktuasi.
Vascular cognitive impairment £VCI)
merupakan terminologi yang menggambarkan gangguan kognisi mulai dari
gangguan kognisi ringan sampai demensia, yang berkaitan dengan faktor risiko
vaskular. Keadaan ini biasanya berkaitan
dengan terjadinya DVa di kemudian hari.
C. T ata L ak san a
1. M ed ik am en tosa
a. inhibitor asetilkolinesterase [AChE-I)
AChE-I bekerja sebagai penguat kognisi dengan meningkatkan kadar
asetilkolin di otak untuk mengkompensasi hilangnya fungsi koiinergik
Secara umum pemakaian ACHE-I
(donepezil, galantamin, rivastigmin)
direkomendasikan untuk demensia
ringan hingga sedang, tetapi hanya
donepezil yang disetujui untuk demensia berat
b. Antagonis reseptor NMDA [memantin]
Selain AchE-I, memantin juga disebutkan sebagai salah satu penguat
kognisi yang direkomendasikan
untuk DVa. pemakaian memantin
20 mg/hari memberikan sedikit
perbaikan untuk pasien dengan AD
ringan-sedang sesudah 24 minggu.
Memantin disetujui untuk demensia sedang hingga berat, dengan
memberikan manfaat pada fungsi
kognisi, mood dan perilaku.
c. Selain pemakaian obat-obatan
penguat kognisi di atas, medikamentosa pengontrol faktor risiko
vaskular juga harus tetap diberikan. Hal ini diasumsikan dapat
menurunkan risiko perburukan,
walaupun belum terbukti memiliki efek langsung terhadap fungsi
kognitif.
d. Pertimbangan terapi lainnya: propentofilin, nimodipin, dan golongan selective serotonin reuptake inhibitors (SSRI).
e. Kombinasi obat golongan AChE-I
dengan memantin
Pada penelitian uji Minis terhadap 404 subyek dengan demensia
sedang sampai berat yang sedang
memakai donepezil, kemudian
subyek dibagi menjadi dua kelompok, masing-masing ditambahkan
memantin atau plasebo. Kelompok
yang memperoleh donepezil plus
memantin menunjukkan hasil sedikit lebih baik pada fungsi global,
fungsi kognitif, ADL, dan BPSD.
2 . N on m ed ik am en to sa
Seperti halnya DA, tujuan terapi nonmedikamentosa pada DVa yaitu meningkatkan kualitas hidup orang dengan
demensia. Apabila pendekatan psikososial tunggal tidak optimal, diperlukan
pendekatan multidimensial untuk intervensi yang lebih efektif. D EM EN SIA FR O N T O T E M PO R A L
A. P a to fis io lo g i
Proses patologi pada DFT sifatnya heterogen, ditandai dengan gliosis, hilangnya
neuron, dan degenerasi superfisial spongiform di korteks frontal dan/atau temporal. Neuron yang berbalon {pick cells),
jumlahnya bervariasi dalam semua subtipe. ada bukti beberapa tipe proteinopati abnormal berupa inklusi protein ubiquitin pada sitoplasma atau inti
sel glia dan neuronal. Secara garis besar
neuropatologi DFT dibagi menjadi variasi tau positif dan tau negatif. Sekitar
80-95% pasien DFT dengan tau negatif
mengandung inklusi transactive response
(TAR} DNA-binding protein 43 kDa (TDP-
43}. Menariknya, ada inklusi TDP-
43 dalam jumlah lebih besar di neuron
Von Economo terkonsentrasi pada insula
anterior.
Klasifikasi perubahan patologis pada DFT
didasari pada pola endapan protein dan
terlihat sebagai degenerasi lobus frontotemporal (DLFT}, Perubahan patologis
yang terlihat secara mikroskopik yaitu
atrofi lobus frontal dan temporal berupa
hilangnya neuron dengan gambaran mikrovakuolisasi (seperti spons} atau gliosis
transkortikal. Atrofi biasa terlihat pada
neokorteks prefrontal dan anterior. Distribusi topografik atrofi yang berbeda
menentukan sindrom Minis dari DFT, yaitu varian behavioral atau varian frontal
(bvDFT/fvDFT}, demensia semantik, dan
primary progressive aphasia (PPA}.
Secara histologi dan imunohistokimia,
kelainan ini dikategorikan sebagai gangguan protein spesifik berdasar inklusi utama yang terkandung di dalamnya
(Gambar 4), antara lain:
1. Degenerasi lobus frontotemporal-tau
(DLFT-tau)
ada inldusi protein tau yang terhiperfosforilasi pada sel neuron dan glia.
Kelainan ini dihubungkan dengan DFT
dan Parkinsonisme, sindrom progressive supranuclear palsy (PSP), degenerasi kortiko-basal (corticobasal degeneration/CBD), dan argyrophilic grain
disease (AGD).
2. DLFT-ubiquitin atau DLFT-U
Pada pemeriksaan mikroskopik, lebih
dari 50% pasien DLFT memperlihatkan adanya inklusi ubiquitin dalam sitoplasma atau nukleus sel neuron dan
sel glia. Sebanyak 80-95% inklusi yang
ditemukan terdiri dari TDP-43 (DLFTTDP) atau TDP-43-negatif. Proteinopati
jenis TDP-43 ditemukan pada pasien
dengan DLFT tanpa protein tau. Selain
itu, ada juga inldusi protein fused
in sarcoma (FUS). masalah yang memilild
proteinopati jenis ini disebut sebagai
DLFT-FUS. Namun, pada jumlah yang
sedikit, pasien dengan DLFT memiliki
protein inldusi yang belum diketahui.
Kelompok ini disebut sebagai DLFTubiquitin pro tea some system (DLFTUPS).
3. Dementia lacking distinctive histopatho-logy (DLDH)
Pada tipe ini ditemukan mikrovakuolisasi tanpa inklusi neuron.
4. Tipe-tipe lain yang jarang
Tipe ini terdiri dari demensia dengan
badan inklusi basofilik dan penyakit
neuron inklusi filamen menengah
[neuronal intermediate filam ent inclusion disease).
B. Gejala dan Tanda IClinis
DFT dapat dibedakan menjadi beberapa
tipe berdasar gejala awal yang muncul dalam perjalanan penyakitnya, yaitu:
1) Demensia frontotemporal varian behavior (DFTvb): berupa gangguan kepribadian/perilaku secara progresif.
Tipe ini memiliki karakteristik gejala
awal berupa perubahan kepribadian,
tingkah laku, emosi, dan perubahan
dalam mengambil keputusan.
2) Afasia progresif primer: tipe penurunan bahasa secara progresif, seperti kelancaran berbicara (fluency),
kemampuan mengerti sesuatu, membaca, dan menulis.
3) Penurunan fungsi motorik secara
progresif dengan karakteristik kesulitan gerakan fisik, seperti berjabat
tangan, kesulitan berjalan, sering terjatuh, dan koordinasiyangburuk.
Namun, sulit untuk membedakan ketiga tipe
ini , sebab gejala dapat bervariasi pada
setiap pasien. Selain itu, gejala yang sama dapat
timbul pada tipe yang berbeda [Tabel 1}.
Gejala kelainan frontotemporal berbeda
pada setiap individu, tergantung keparahan
dan lob us otak yang terkena. Perubahan
perilaku umumnya berkaitan dengan kerusakan lobus frontal, sedangkan gangguan
emosi dan bahasa berkaitan dengan lesi di
lobus temporal
1. Gejala perilaku
Pasien dengan kelainan frontotemporal dapat mengalami gejala gangguan
perilaku sebagai berikut:
a. Gangguan fungsi eksekutif
Pasien biasanya mengalami kesulitan
dalam perencanaan, pola pikir, memprioritaskan sesuatu, pengerjaan tugas jamak [multitasking), pemantauan diri, dan perbaikan perilaku.
b. Perseverasi
Pasien biasanya memiliki kebiasaan
mengulang aktivitas atau kata-kata
yang sama [tidak dapat/kesulitan
mengubah aktivitas atau kata-kata
dan yang sebelumnya barn dilakukan).
c. Disinhibisi
Pasien biasanya bertindak impulsif
tanpa memedulikan bagaimana orang
lain melihat/menilai tindakannya
ini (tidak ada rasa malu sosial).
d. Perubahan perilaku makan
Sering meraih makanan termasuk
mengambil makanan dari piring milik
orang lain, terutama makanan yang
mengandung banyak karbohidrat,
seperti roti dan kue kering.
e. Perubahan perilaku untuk menggunakan suatu benda
Pasien memiliki kesulitan untuk menahan perasaan untuk menyentuh
atau memakai benda yang ia
dapat gapai atau lihat.
2. Gejalabahasa
Terjadi perburukan kemampuan berbahasa secara kronik progresif setidaknya
dalam dua tahun sesudah gejala pertama
muncul. Kemampuan berpikir dan bersosialisasi biasanya bertahan lebih lama
sebelum akhirnya berkurang. Pasien
dengan kelainan frontotemporal dapat
mengalami gejala gangguan kemampuan
bahasa sebagai berikut:
a. Afasia
Afasia merupakan gangguan kemampuan berbahasa dimana pasien tidak
dapat mengerti kata-kata dan/atau
kemampuan memakai katakata berkurang, namun gangguan ini
bersifat kronik-progfesif (awalnya
pasien masih dapat berbicara seperti
orang normal).
b. Disartria
Disartria yaitu ketidakmampuan
mekanik otot-otot untuk berbicara,
namun pesan yang ingin disampaikan
tidak mengalami gangguan (fungsi
bahasa intak).
3. Gejala emosional
a. Apatis
Perasaan suka atau ketertarikan terhadap sesuatu, nafsu, dan inisiatif
berkurang. Seringkali gejala ini dianggap sebagai depresi, namun gejala
apatis ini tidak memiliki perasaan
sedih. Pasien biasanya mengalami kesulitan untuk memulai suatu aktivitas
(inisiasi), namun dapat tetap berpartisipasi bila orang lain melakukan
perencanaan.
b. Perubahan emosional
Emosi menjadi datar, berlebihan, atau
tidak semestinya. Emosi biasanya tidak sesuai dengan situasi, sehingga
sering kali diekspresikan pada waktu,
tempat atau keadaan yang salah (tidak pada tempatnya).
c. Perubahan sosial-interpersonal
Pasien tidak mampu membaca atau
memahami sinyal sosial, seperti
ekspresi wajah dan salah mengerti
hubungan personal. Pasien terlihat
egois, tidak peduli sebab tidak ada
rasa empati.
d. Perubahan insight
Pasien tidak mampu mengenal perubahan kondisi dirinya yang dapat
memengaruhi orang Iain. Hal ini akan
menyulitkan pengasuh sebab pasien
akan menolak bantuan.
4. Gejala motorik
Pasien dengan kelainan frontotemporal
dapat mengalami gejala gangguan gerak
sebagai berikut:
a. Distonia
ada kelainan postur pada tangan atau kaki. Anggota gerak dapat
dibengkokkan secara kaku atau tidak
dipakai saat melakukan aktivitas
yang secara normal dilakukan dengan
memakai dua tangan.
b. Kelainan berjalan
Pasien biasanya berjalan dengan menyeret kaki dan sering terjatuh.
c. Tremor
Gejala tremor biasanya terjadi pada
tangan. Pasien biasanya sering menjatuhkan benda-benda kecil atau Perubahan perilaku berupa kesulitan
dalam mengatur perilaku, sehingga
respons yang diberikan tidak sesuai.
C. diagnosa dan diagnosa Banding
diagnosa definitif kelainan frontotemporal ditegakkan berdasar pemeriksaan patologi anatomi berupa autopsi
otak sesudah pasien meninggal dunia.
Oleh sebab itu, pada pasien yang masih
hidup diagnosa ditegakkan berdasar
pemeriksaan neurologis (anamnesis,
pemeriksaan fisik umum, dan neurologi), uji neuropsikologi, neuropsikiatri,
dan pencitraan.
Biasanya fungsi memori masih terpelihara
pada pemeriksaan neuropsikologi. Orientasi dan memori jangka pendek {immediate memory) juga baik, namun uji memori
anterograd (recent memory) dapat bervariasi. Pasien tidak mampu mengingat kembali hal yang baru saja dilakukan atau diucapkan. Kemampuan berbicara spontan
berkurang dan kemampuan visuospasial
masih terpelihara, walaupun aspek organisasional pasien menurun.
Neary dkk mengembangkan kriteria diagnostik dan membagi menjadi tiga sindrom, yaitu frontal atau DFTvb, demensia
semantik, dan afasia progresif nonfluen.
Lain halnya dengan Me Khan dick yang
membagi kriteria diagnosa DPT sebagai
berikut:
1. Perubahan perilaku dan berkurangnya kemampuan kognitif dengan
manifestasi:
a. Perubahan perilaku berupa kesulitan dalam mengatur perilaku,
sehingga respons yang diberikan
tidak sesuai.
b. Gangguan fungsi bahasa dengan
karakteristik kesuliltan mengekspresikan kata-kata, kesulitan menamai obyek, dan gangguan pemahaman kata dan kalimat.
2. Gejala yang terjadi pada poin 1, harus
dapat memicu kelainan dalam
bersosialisasi atau mengganggu fungsi okupasi, dan terlihat penurunan
fungsi dari sebelumnya.
3. Gejala ini terjadi secara kronik
progresif.
4. Gejala pada poin 1 bukan disebabkan
oleh kelainan atau penyakit sistem
saraf maupun sistemik lainnya.
5. Penurunan fungsi tidak terjadi saat
pasien mengalami delirium.
6. Kelainan ini bukan disebabkan
oleh gangguan psikiatri.
Kriteria tambahan dapat membantu dalam
menegakkan diagnosa atau mengeliminasi
kemungkinan penyakit lain:
1. Onset sebelum usia 65 tahun.
2. Memperlihatkan gejala penyakit motor neuron.
3. Gejala dan tanda motorik sama dengan sindrom kortikobasal dan PSP,
antara lain:
a. Penamaan terganggu
b. Penurunan kemampuan motorik
berbicara
c. Penurunan kemampuan tata bahasa, seperti berkurangnya kemampuan mendeskripsikan gambar secara lisan maupun tulisan. Pasien
dapat juga mengalami gangguan
pemahaman kompleks,
ada kriteria lain yang dikembangkan
oleh Rascovsky dkk, yaitu:
1. Possible DFTvb, jika ada tiga dari
enam gejala di bawah ini:
® Perilaku sosial tidak sesuai, hilangnya
aturan, impulsif, tidak ada perhatian
® Apatis/inersia dini
® Hilangnya rasa simpati dan empati
® Gejala preseverasi, stereotipik, atau
kompulsif/ritualistik
® Perubahan perilaku diet dan hiperoral
® Defisit fungsi eksekutif dan/atau defisit kognitif umum ditambah gangguan
rnemori episodik dan fungsi visuospasial
2. Probable DFTvb, jika didapatkan lebih
dari tiga gejala di atas ditambah dengan
kriteria pencitraan berupa:
• MRI atau CT: gambaran atrofi frontal
dan atau temporal anterior, atau
® Positron emission tomography (PET)
atau single photon emission computed
tomography (SPECT): gambaran hipoperfusi dan atau hipometabolisme
frontal dan/atau temporal anterior.
3. Definite DFTvb, jika memenuhi kriteria:
® Possible atau probable DFTvb
® Terbukti pada pemeriksaan histopatologis (biopsi atau post-mortem)
® Diketahui adanya mutasi patogen
PPA sebagai salah satu varian dari DFT, memilild alur diagnosa berdasar karakteristik
fluensi, pemahaman, dan repetisi (Gambar 5).
ada tiga tipe PPA, yaitu tipe nonfluen/tidak lancar/agramatik, semantik, dan logopenik. Adanya gangguan pada kelancaran bicara
atau fluensi (fluency), gangguan pemahaman
kalimat kompleks sintaksis, dan pengulangan kata dapat digolongkan sebagai PPA tipe
nonfluen. Jika hanya ada gangguan pada komponen pemahaman, dikatakan PPA tipe semantik. Terakhir, adanya perlambatan bicara
disertai gangguan pengulangan kalimat, tetapi pemahaman relatif terpelihara, merupakan
PPA tipe logopenik.
D. Tata Laksana
1. Medikamentosa
a. Simtomatik
Neuron kolinergik relatif dipertahankan pada DFT. pemakaian
inhibitor asetilkolinesterase menimbulkan gangguan perilaku yang
lebih berat, sehingga tidak direkomendasikan. Beberapa obat dapat
dipakai untuk mengurangi masalah perilaku. Obat antidepresi
golongan SSRI dapat diberikan
untuk mengatasi masalah kognitif,
sosial, dan perilaku impulsif. Gejala agresi [sikap menyerang) atau
waham dapat diberikan antipsikotik dosis rendah.
b. Disease modifying therapy
Sampai saat ini belum ada pengobatan yang dapat memodifikasi
atau menghambat progresivitas
degenerasi lobus frontotemporal.
2. Nonmedikamentosa
Bertujuan agar pasien memilliki
kualitas hidup lebih baik; mencakup
manajemen masalah perilaku, bahasa, dan gerak.
a. Manajemen masalah perilaku
Perilaku pasien dengan DFTvb
dapat berupa sedih yang membuat
frustrasi keluarganya atau pengasuhnya. Pengertian terhadap
perubahan kepribadian, perilaku
dan mengetahui bagaimana cara
untuk memberikan respons yang
baik dapat mengurangi rasa frustrasi yang pengasuh alami. Bila
pengasuh merasa frustrasi dapat
dianjurkan untuk pengambilan
napas dalam, menghitung sampai
10, kemudian menghembuskan
napas secara perlahan atau keluar dari ruangan untuk beberapa
menit
Bila pasien apatis, sebaiknya berikan pilihan yang spesifik (berikan pertanyaan tertutup], hindari
memberikan pilihan. Selain itu
mempertahankan jadwal yang biasa pasien lakukan dan memodifikasi lingkungan dapat membantu.
Pada pasien dengan gejala perubahan perilaku makan, pengasuh harus
memperhatikan saat pasien makan,
kurangi pilihan makanan, mengunci
tempat penyimpanan makanan dan
kulkas, serta berikan kegiatan lain
saat makan.
b. Manajemen masalah bahasa
Tujuan pengobatan pasien dengan
PPA, yaitu memelihara kemampuan bahasa serta pemakaian
cara lain untuk berkomunikasi.
Pengasuh dapat berbicara dengan perlahan dan jelas, menggunakan kalimat-kali mat sederhana, menunggu respons dari
pasien, dan mengklarifikasi pasien
mengerti atau tidak. Ketidakmampuan berkomunikasi secara verbal
dapat diatasi dengan berkomunikasi melalui bahasa tulisan, gerak
tubuh, dan gambar. Selain itu,
pemakaian daftar kata-kata dan
frase pada komputer atau personal
digital assistant untuk berkomunikasi dapat dilakukan.
c. Manajemen masalah gerak
Terapi fisik dan okupasi dapat
membantu pasien dengan sindrom kortikobasal bergerak lebih
mudah. Pada tipe PSP, latihan fisik
dengan cara berjalan menggunakan karung pasir di atas anak tangga yang lebih rendah, dapat membuat sendi menjadi lebih lentur
dan memelihara keseimbangan.
Pada tipe FTD-ALS, pergerakan
akan berkurang sesudah 2-3 tahun
mengalami penyakit ini. Terapi
fisik dapat membantu mengurangi
gejala pada otot, dan pemakaian
alat bantu berjalan dapat bermanfaat. Perlu penanganan komprehensif melalui tim yang terdiri dari dokter, perawat, pekerja
sosial, serta terapis fisik, okupasi
dan bicara yang mengerti kelainan
frontotemporal, agar pasien memperoleh kualitas hidup yang baik
AFASIA
Bahasa, bersama dengan bicara [speech],
dan pemikiran [thoughts], merupakan komponen utama dalam pembentukan proses
berkomunikasi. Pemikiran merupakan bagian dari aspek bahasa dan bergantung pada
fungsi bahasa, namun bahasa dapat berdiri
sendiri tanpa adanya pemikiran.
Afasia merupakan gangguan fungsi bahasa
sebab kerusakan pusat bahasa di otak.
Kerusakan ini dapat disebabkan langsung maupun tidak langsung dari penyakit
otak, ataupun dapat diakibatkan oleh proses degeneratif. Stroke merupakan pemicu utama terjadinya afasia. Dengan meningkatnya insidens stroke, maka semakin
tinggi pula penderita afasia di dunia.
Ada berbagai jenis afasia yang dapat menurunkan kualitas hidup pasien, sehingga perlu
pemeriksaan khusus yangteliti. Perkembangan
teknologi pencitraan (imaging] otak memang
akan sangat membantu, namun dibutuhkan
penilaian ldinis yang lebih spesifik sesuai dengan patologi dan lokasi lesi pemicu afasia.
EPIDEMIOLOGY
Afasia merupakan defisit neurologis fokal
yang dapat memengaruhi hidup penderitanya akibat hendaya komunikasi. Insidens
afasia menurut National Stroke Association
tahun 2008 ada 80.000 masalah baru pertahunnya di Amerika Serikat. National Institute o f Neurological Disorders and Stroke
(NINDS) menyatakan penderita afasia di
Amerika Serikat mencapai 1 juta orang, atau
satu dari 250 warga negara Amerika Serikat
mengalami afasia. Sebanyak 15% diantaranya berusia <65 tahun dan 43% berusia >85
tahun. Tidak ada perbedaan bermakna
antar jenis kelamin dengan afasia. Walaupun demikian, ada kecenderungan
bahwa perempuan lebih banyak mengalami
afasia Wernicke dan global, sedangkan lakilaki lebih sering mengalami afasia Broca.
Studi kohort oleh Pedersen dkk di Copenhagen
tahun 2004 melaporkan prevalensi sindrom
afasia pada stroke akut pertama kali yaitu,
afasia global 32%, Broca 12%, transkortikal
motorik 2%, Wernicke 16%, transkortikal
sensorik 7%, konduksi 5%, dan anomik 25%.
sesudah diikuti selama satu tahun, didapatkan
afasia global 7%, Broca 13%, transkortikal
motorik 1%, Wernicke 5%, transkortikal
sensorik 0%, konduksi 6%, dan anomik 29%,
selebihnya fungsi bahasa kembali sempuma.
PATGFISIOLOGI
Permukaan otak terdiri atas korteks atau grey
matter, yang menjadi pusat sebagian besar
aktivitas manusia termasuk pengaturan tata
bahasa yang merepresentasikan pula pengetahuan tentang bahasa. Korteks yaitu organ tempat pengambilan keputusan, sesudah
menerima pesan dari seluruh organ sensori
dan melakukan segala aktivitas volunter.
Otak juga disusun oleh hemisfer serebri kiri
dan kanan, serta dihubungkan oleh korpus
kalosum. Secara umum, hemisfer kiri mengatur bagian tubuh sebelah kanan dan hemisfer kanan mengatur bagian tubuh sebelah kiri,
Pusat bahasa tradisional yaitu pusat bahasa
motorik Broca dan pusat bahasa reseptif
Wernicke yang biasanya terletak di hemisfer
dominan (tersering yaitu hemisfer kiri baik
pada dominansi tangan kanan maupun kiri],
Keduanya dihubungkan oleh jaras transkortikal yang disebut fasikulus arkuata.
Komponen neuroanatomi yang berperan
dalam proses produksi bahasa dan pemahaman sangat rumit Komponen ini meliputi
masukan (inputj auditori dan pengkodean
bahasa di lobus temporal superior, analisis
bahasa di lobus parietal, dan ekspresi di lobus
frontal, Masukan ini kemudian nailc ke
traktus kortikobulbar menuju kapsula interna
dan batang otak, dengan efek modulator dari
ganglia basal dan serebelum. Terakhir, masukan dimaknai sebagai bahasa lengkap dengan
kosakata, makna sintaksis, dan gramatikal di
interkoneksi antar pusat-pusat bahasa.
GEJALA DAN TANDA KLINIS
Pengklasifikasian sindrom afasia dapat diawali dan dikerjakan secara bedside dengan
menilai modalitas dari fungsi bahasa, yaitu:
® Kelancaran bicara {fluency) (Tabel 2}.
© Pemahaman (pemahaman).
© Kemampuan pengulangan (repetisi).
© Kemampuan menemukan kata yang sesuai
(word finding) dan atau penamaan {naming). Semua pasien afasia yang juga disertai dengan adanya gangguan kemampuan
penamaan termasuk dalam parafosia.
Klasiflkasi Afasia
Kemampuan berbahasa merupakan aktivitas
yang kompleks melibatkan banyak sirkuit,
sehingga ldasifikasi gangguan fungsi berbahasa sangat bervariasi tergantung pada Minis dan lokasi kerusakan yang terjadi.
Secara umum sindrom afasia terbagi menjadi:
1. Afasia Broca
Area Broca berada di korteks insula media dan mendapat suplai darah dari
arteri serebri media segmen M2 divisi
superior. Sumbatan atau oklusi di arteri
ini dapat memicu terjadinya
afasia Broca.
Area Broca bertetangga dengan area
Exner yang merupakan pusat menulis
dan girus presentralis yang merupakan
pusat motorik primer sehingga umumnya gambaran Minis penderita Afasia
Broca yaitu selain adanya afasia juga
disertai hemiparesis berupa kekuatan
lengan lebih lemah dibandingkan tungkai, serta adanya gangguan menulis.
Apraksia wajah dan bicara juga sering dijumpai pada pasien dengan afasia Broca.
Gangguan bahasa yang dijumpai yaitu
gangguan ekspresi bahasa dan repetisi
yang buruk (tingkat kata hingga kalimat].
Bicara pasien sangat lambat dan penuh
usaha. Pasien juga mengalami kesulitan
menamai suatu obyekdan repetisi. Pasien
dapat mengerti percakapan sehari-hari
dan instruksi verbal, namun mulai kesulitan pada sintaksis yang kompleks.
Dalam berbicara pasien terlihat penuh
usaha untuk mengucapkan setiap kata,
dengan diiringi jeda dan kata-kata yang
dihasilkan tidakjelas.
2. Afasia Wernicke
Afasia Wernicke yaitu sindrom afasia Masik yang berhubungan dengan gangguan
pada pemahaman berbahasa akibat lesi
pada korteks temporoparietal posterior
kiri, yang akan memengaruhi elemen utama sistem fonologi dan semantikyang berperan dalam pemahaman bahasa. Kelainan
ini disebabkan sumbatan akibat
trombosis maupun emboli pada arteri serebri media segmen M2 divisi inferior pada
sisi hemisfer dominan (umumnya kiri) yang
memperdarahi lobus superior temporal,
Gangguan pemahaman bahasa pada
afasia Wernicke dimodulasi oleh derajat
analisis fonologi. Pemahaman berbahasa
yang diucapkan, yang membutuhkan
analisis fonologi derajat tinggi, mengalami kerusakan yang parah pada afasia
Wernicke. Kemampuan pemahaman menulls kata, yang dimediasi oleh fonologi
dan proses visual, hanya mengalami sedikit kerusakan dibandingkan pemahaman pengucapan kata.
3. Afasia Global
Afasia tipe ini terjadi sebab adanya lesi
luas yang meliputi area Broca maupun
Wernicke, bisa akibat infark luas daerah
parenkim otak yang diperdarahi oleh
arteri serebri media. Gangguan terjadi
pada seluruh komponen fungsi berbahasa. Terkadang afasia global juga dapat
disertai dengan apraksia verbal.
Fluensi terganggu dengan produksi kata
terbatas pada satu-dua kata yang tidak
memiliki makna, bahkan pasien tidak
dapat berkata-kata sama sekali. Selain
itu, gangguan juga nampak pada kemampuan pemahaman baik verbal maupun
literal, serta kemampuan repetisi, membaca, dan menulis.
4. Afasia Transkortikal (Ekstrasylvian)
Istilah afasia transkortikal pertama kali
dikenalkan oleh Carl Wernicke, 1881
dan Lichtein, 1885. Goldstein tahun
1917 dalam die transkortikalen aphasien
memberi catatan bahwa istilah transkortikal yang disematkan pada afasia itu
keliru, sebab dapat dipersepsi sebagai
afasia yang menghubungkan antara dua
area kortikal (Broca dan Wernicke). Benson dan Ardila mengusulkan istilah baru
yaitu ekstrasylvian untuk menggantikan
transkortikal, Afasia ekstrasylvian ini
memiliki neuroanatomi di luar area perisylvii. Afasia ekstrasylvian motorik memiliki gangguan klinis berupa kesulitan
dalam mengekspresikan bahasa, namun
pemahaman relatif baik, dan repetisi
yang intak. Menurut Benson dan Ardila
afasia jenis ini terbagi menjadi dua tipe:
a. Tipe I (afasia dinamik), merupakan
bentuk evolusi dari afasia Broca. Afasia ekstrasylvian motorik tipe I diperkirakan berada di area Broadmann 45
hemisfer dominan, lebih anterior dari
area Broca.
b. Tipe II (afasia supplementary motor
a rea /SMA), berada di supplementary
area hemisfer dominan.
Afasia ekstrasylvian sensorik pada konsep
Wemicke-Lichtheim merupakan akibat
putusnya hubungan antara area bahasa
reseptif/sensorik (Wernicke) dengan
pusat konsep. Afasia ekstrasylvian menurut Wernicke-Lichteim ini terbagi menjadi
dua tipe:
a. Tipe i, terkadang disebut afasia amnestik Afasia jenis ini terletak di perbatasan antara lobus temporal, parietal, dan oksipital, terutama di girus angularis inferior dan area Broadmann 37.
b. Tipe II (afasia semantik). Afasia jenis
ini terletak di korteks bagian posterior,
termasuk girus temporalis posterior
superior dan girus temporalis media.
Afasia ekstrasylvian campuran dapat
terjadi pada gangguan perfusi serebrovaskular akibat hipoksia, keracunan karbonmonoksida, syok hipertensif, dan henti jantung, Infark/iskemik
akibat gangguan perfusi itu dapat
melibatkan zona batas otak, yaitu area
yang berada di antara dua teritori
pembuluh darah besar, dalam hal ini
di antara teritori arteri serebri anterior dan serebri media.
5. Afasia Anomik
Semua pasien dengan afasia tipe anomik,
memiliki masalah dalam mengingat nama
sebuah benda. Gangguan penamaan ini
disebabkan oleh gangguan dalam kemampuan berbahasa. Misalnya saat seorang
pasien diminta untuk menyebutkan
nama dari gambar pulpen, pasien akan
menjawab "Benda yang dipakai untuk
menulis" pasien tidak bisa menyebutkan
bahwa benda ini bernama pulpen.
Afasia anomik yang terjadi pada seseorang dapat diakibatkan oleh adanya
aneurisma pada pembuluh darah otak,
sehingga menghambat aliran darah
menuju area berbahasa. Afasia anomik
biasanya disebabkan oleh adanya lesi
pada Iobus temporal kiri inferior, di
dekat batas antara lobus temporal dan
oksipital. Afasia ini juga dapat merupakan
evolusi/perbaikan dari afasia global atau
Wernicke. Kuadranopia kanan atas merupakan gejala lain yang dapat menyertai
keadaan afasia anomik akut
6. Afasia Konduksi
Afasia konduksi memiliki gejala ketidakmampuan dalam mengulangi bahasa
yang diucapkan. Afasia ini disebabkan
adanya diskoneksi antara area Broca dan
Wernicke, disebabkan oleh rusaknya fasikulus arkuata.
Seperti pasien pada afasia Wernicke,
pasien afasia konduksi mampu mengucapkan kata dengan lancar namun
banyak ada kesalahan parafrase.
Pemahaman pada pasien afasia konduksi
masih bagus, namun sebab adanya kerusakan pada jalur yang menghubungkan
area Wernicke dan Broca memicu
gangguan kemampuan repetisi dan naming. Pasien afasia konduksi tidak dapat
membaca dengan suara keras, tetapi dapat
membaca dalam hati dengan pemahaman
yang bagus.
Kemampuan menulis juga kemungkinan
terganggu, kemampuan mengeja bunik,
disertai adanya penghilangan dan penggantian huruf. Banyak pasien afasia konduksi
juga terganggu pergerakan voluntemya.
Secara ringkas gejala klinis sindrom afasia
klasik yang dinilai meliputi empat komponen (Tabel 3 dan Gambar 3] beserta alur
Menurut Boston dkk, afasia diklasifikasikan
berdasar :
1. Afasia fluen dan nonfluen
2. Afasia kortikal, subkortikal, atau transkortikal
3. Afasia konduksi (gangguan repetisi
akibat kerusakan pada lobus parietal
(insular) kiri)
Adapun berdasar teori Luria, subtipe
afasia terbagi menjadi:
1. Afasia motorik-eferen atau kinetik
2. Afasia motor-aferen atau kinestetik
3. Afasia akustik-agnostik
4. Afasia akustik-amnestik
5. Afasia semantik
6. Afasia dinamik
7. Afasia amnestik
Seperti tel ah dijabarkan sebelumnya, bahwa Benson dan Ardilla menolak adanya
terminologi afasia transkortikal. Keduanya
mengintegrasikan teori Boston dan Luria
menjadi klasifikasi baru pada dua kriteria
anatomi yang berbeda, yaitu (Tabel 4):
1. Afasia pre-Rolandik (anterior, nonfluen)
atau post-Rolan dik (posterior, fluen)
2. Afasia perisylvian dan ekstrasylvian
Namun kedua klasifikasi ini dianggap masih beium memuaskan untuk penggunaan sehari-hari. Kenyataannya, istilah
"afasia'’ dipakai pada masalah -masalah gangguan berbahasa primer/sentral maupun
sekunder/perifer. Oieh sebab itu, Ardila
(2010) mengajukan klasifikasi baru seperti
pada Tabel 5.
diagnosa DAN diagnosa BANDING
Menegakkan diagnosa afasia, sebagaimana
diagnosa pada masalah neurologi pada umumnya, perlu dikaji dari empat aspek, yaitu aspek
Minis, topis, patologis, dan etiologis. Kajian
dimulai sejak awal pemeriksaan Minis melalui anamnesis dan pemeriksaan fisik. Kajian
diagnostik akan berkembang dan semakin
akurat ditunjang oleh pemeriksaan Minis
fungsi luhur lanjutan terutama modalitas
bahasa, radiologis otak, dan penunjang lainnya yang relevan. Dalam Minis, diagnosa
afasia dapat berubah dan/atau berkembang
sesuai dengan kelengkapan pemeriksaan
afasia selama pemantauan.
Sebelum menentukan diagnosa afasia,
penting diperhatikan diagnosa banding
gangguan bicara atau gangguan komunikasi
pada pasien. Hal ini untuk memastikan afasia
atau gangguan Minis lain, yaitu:
X. Disartria Berat
Disartria yang dimaksud tidak hanya paresis saraf XII, tetapi dapat merupakan defisit neurologis berbagai pusat atau jaras
motorik otot-otot bicara lainnya. Disartria
dapat disalahartikan sebagai afasia nonfluen. Pada disartria, gangguan terletak
pada vokalisasi hurufkonsonan. Jika pasien
mampu menirukan tata urutan hurufvokal
dari kata atau kalimatyang diberikan, maka
lebih diduga suatu disartria. Gangguan pada
afasia nonfluen lebih diaMbatkan pada
pemrograman kata, sehingga tata urutan
huruf vokal tidak dapat benar disebutkan
pasien. Pada tipe yang berat, cenderung
hanya bicara aaa.. aaa.. saja.
2. Demensia
Afasia dapat merupakan bagian dari sindrom demensia. Namun demikian, jika
ada ranah (domain) gangguan fungsi
luhur lain yang nyata sesuai dengan kriteria
diagnosa demensia, maka lebih tepat diagnosisnya ditegaMcan sebagai demensia.
3. Psikosis
Gangguan isi pikir atau asosiasi pikir
pada diagnosa psikiatri perlu dibedakan
dari gangguan pemahaman kemampuan
bahasa. Pasien afasia memiliki tilikan
yang baik, menyadari ada yang tidak
beres dengan komunikasinya. Lain halnya dengan skizofrenia, kemampuan
pemahaman bahasa tidak terganggu,
tetapi memiliki tilikan yang buruk.
4. Gangguan Pendengaran (Tuli Reseptif maupun Perseptif)
Pasien dengan gangguan pendengaran
yang didapat sesudah dewasa, isi bicaranya dapat dimengerti dan terstruktur
baik, meskipun kadangsalah dengar. Pada
gangguan pendengaran sebelum kemampuan bahasa matur, ekspresi bicaranya
dapat terganggu, namun dapat berkomunikasi dengan bahasa isyarat, pertanda ia
memahami dan mampu mengekspresikan maksudnya dengan baik. Kiinis berbeda yang ditampilkan oleh pasien afasia
yaitu adanya gangguan pemahaman
yang bermasalah dan pemahamannya.
Kadang juga muncul hal yang tidak dipahami dan pola kalimatnya tidak teratur.
5. Afemia/Mutisme
Pasien afemia atau mutisme bukanlah
afasia motorik. Afemia didefinisikan
sebagai hilangnya kemampuan artikulasi kata tanpa kehilangan kemampuan
untuk menulis dan pemahaman bahasa
yang diucapkan. Afemia juga mungkin
berkaitan dengan apraksia bukofasial,
sehingga memicu kehilangan kemampuan untuk menggerakkan mulut
dan tidak mampu untuk menghasilkan
suara, Pada pasien afasia motorik tampak usahanya yang memadai untuk bicara, namun terganggu ekspresi bicaranya,
sedangkan pada afemia tidak terlihat
usaha ini sama sekali,
Afemia biasanya disebabkan lesi fokal
hemisfer kiri yang memengaruhi bagian
bawah dari korteks motorik primer (girus presentralis) dan korteks premotorik (area 44), serta diasosiasikan dengan
penyakit serebral, seperti penyakit Pick,
Alzheimer, dan Creutzfeldt-Jakob.
Pemeriksaan Penunjang
Metode pencitraan dapat mengkonfirmasi
lokasi gangguan pusat bahasa. Termasuk
pencitraan pembuluh untuk sistem karotis,
vertebralis, dan intrakranial melalui angiografi, CT dan/atau MRI angiografi, USG Doppler arteri karotis dan vertebra, serta Doppler transkranial.
TATA LAKSANA
Proses pemulihan afasia cenderung memakan waktu lama, dari bulan hingga tahunan. Bahkan pada sebagian pasien dengan tingkat keparahan afasia berat, dapat
menetap sepanjang sisa hidupnya. Maas dkk
menunjukkan hanya 38% penderita afasia
yang mengalami resolusi pada 7 hari pertama pascastroke. Lazar dkk mendapat
bahwa 18 bulan sesudah onset stroke, resolusi
afasia komplit hanya didapatkan pada 24%,
sedangkan 43% pasien masih menderita
afasia yang signifikan.
Medikamentosa
Hingga saat ini belum ada penatalaksanaan
medikamentosa yang dinilai efektif. Tata
laksana medikamentosa afasia akut akibat
stroke terbatas pada kesegeraan pengembalian perfusi otak dalam satu jam pertama
onset. Walaupun demikian, ada studi
terhdap pirasetam, donepezil, dan bromokriptin dapat memberikan luaran yang
cukup menjanjikan.
Zhang dkk (2016) memaparkan pada ulasan
sistematisnya bahwa ada variasi pemberian pirasetam dari 7 studi randomized
controlled trial (RCT) antara 6 minggu sampai 6 bulan. Dosis pemberiannya konsisten
yaitu 4800mg dan dapat diberikan dalam
dosis terbagi dua kali perhari. Pirasetam
merupakan turunan siklik dari asam gamma
aminobutirat (GABA) serta dianggap dapat
berperan dalam tahap akut dan subakut Namun mekanisme pirasetam belum dipahami
dengan baik. Kasler dkk menduga pirasetam meningkatkan aliran darah otak di daerah bahasa utama yang berkorelasi positif
dengan pemulihan bahasa. Mekanisme lain
yaitu melibatkan modulasi kolinergik, glutamatergik, dan dalam sistem neurotransmiter seperti GABA-ergik.
Donepezil dan agen kolinergik lain, seperti
galantamin, bifeleman, dan fisostigmin
menunjukkan beberapa efek terapi positif
afasia pascastroke. Donepezil merupakan
penghambat antikolinesterase yang bekerja
sentral dan selektif. Donepezil diduga memfasilitasi neurotransmisi pada sambungan
kolinergik otak ke daerah bahasa. Jalur ini
berperan penting untuk plastisitas potensial jangka panjang meningakatkan atensi,
pembelajaran dan memori.
Sebuah studi meneliti efek donepezil pada
11 pasien yang di evaluasi selama 20 minggu
impat minggu pertama diberikan dosis 5mg,
iilanjutkan lOmg selama 12 minggu. Selama
)bservasi empat minggu selanjutnya, ter-
;atat efek perbaikan fungsi berbahasa pada
Dasien, yaitu diskriminasi fonemik, repetisi
sata, mencocokkan gambar, menamai benda
ian peningkatan skor proses semantik leksi-
<al, serta luaran fonologi yang signifikan.
Vlemantin merupakan agonis reseptor Nnetil-d-aspartat (NMDA], juga sudah diuji
iengan RCT pada afasia dengan dosis lOmg
iua kali sehari dan dilaporkan berhubungm dengan efek jangka panjang perbaikan
temampuan komunikasi fungsionai.
M o n m e d ik a m e n to sa
Kemajuan teknologi mutakhir dan perkemitangan studi neurosains menghasilkan
nemahaman lebih mendalam tentang neurorestoratologi, yaitu ilmu yang mempelaari proses reorganisasi otak dan relearning
pemulihan fungsionai suatu keterampilan
pascacedera otak.
Dleh sebab itu, penatalaksanaan nonmeditamentosa pada afasia perlu mempertimbangkan dasar serta prinsip neurorestorasi
ini , terutama mekanisme neuroplastisitas. Untuk tata laksana neurorestorasi bagi
afasia, selengkapnya dapat dilihat pada bab
Prinsip Dasar Neurorestorasi Pascacedera
Saraf.
C O N TO H masalah
Laki-laki 44 tahun datang dengan keluhan tidak nyambung ketika diajalc bicara sejak 4 bulan sebelum masuk RS. Keluhan ini dirasakan
oleh istri pasien secara mendadak. Pasien
tampak tidak memahami pertanyaan, kesulitan mengulang pertanyaan, dan jawaban inkoheren dengan pertanyaan, tetapi pengucapan
kata-katanya jelas. Kadangkala jawaban juga
bercampur dengan kata-kata baru yang tidak
dimengerti. Pasien terkesan sulit mengingat,
berhitung, dan menjalankan suatu kegiatan.
Pasien masih dapat melakukan alctivitas dasar
sehari-hari secara mandiri seperti makan,
mandi dan berpakaian. Tidak didapatkan keluhan lain ataupun riwayat penyakit
Pada pemeriksaan didapatkan tekanan darah 180/100mmHg, keadaan fisik lain dan
status neurologis dalam batas normal. Di-
lakukan MRI kepala memakai kontras
dua minggu kemudian (Gambar 5),
P ertan y aan :
1. Apakah diagnosa yang paling mungkin pada pasien di atas?
2. Komponen bahasa apa sajakah yang
terganggu pada pasien di atas?
3. Jelaskan korelasi Idinis pasien di atas
dengan penunjang yang diberikan?
4. berdasar lokasi lesi, vaskularisasi
manakah yang paling mungkin terganggu?
5. Tata laksana apakah yang dapat direkomendasikan?
Jaw aban:
1. Afasia tipe fluen (afasia Wernicke]
pada stroke iskemik.
2. Repetisi, pemahaman, penamaan,
memori, ada neologisme.
3. Lokasi lesi terletak pada lobus temporal lari, dapat sesuai dengan hemisfer
dominan sebagai pusat bahasa. Sebagian besar strulctur yang berperan pada
gangguan dari komponen bahasa poin
nomor 2 ada pada lobus ini .
4. Arteri serebri media (MCA) segmen
M2 ldri.
5. Medikamentosa terapi sesuai etiologi.
Dapat ditambah neuroprotektor seperti Piracetam, donepezil, atau memantin. Nonmedikamentosa dapat
dipilih terapi multi mo dalitas bahasa
dengan variasi sensorik serta rTMS.
IN FE K SITUBERKULOSIS PADA
SUSUNAN SARAF PUSAT
Patologi infeksi tuberkulosis (TB) di sistem
saraf pusat (SSP) yaitu meningitis, ensefalitis, massa intrakranial, mielitis, vaskulitis, dan infark. Patologi lain yang juga dijumpai yaitu hidrosefalus, ventrikulitis,
araknoiditis, tuberkuloma, dan abses otak.
Pada tulisan ini istilah meningitis TB akan
dipakai sebagai nama umum untuk
semua bentuk patologi infeksi TB di sistem
saraf pusat.
Setiap keadaan yang menurunkan imunitas
akan memudahkan terjadinya reaktivasi
dan penyebaran infeksi TB. Infeksi human
immunodeficiency virus/acquired immunodeficiency syndrome (HIV/AIDS], diabetes
melitus, dan pemakaian obatyang bersifat
imunosupresif memudahkan terjadinya infeksi TB.
Dalam menghadapi masalah meningitis TB,
dokter spesialis saraf tidak hanya bertanggung jawab pada diagnosa dan kuratif,
namun juga memiliki tanggung jawab kesehatan masyarakat oleh sebab TB yaitu
penyakit menular yang wajib dilaporkan.
Kecepatan dalam menegakkan diagnosa
meningitis TB merupakan indikator prognosis yang dapat menurunkan angka kematian dan kecacatan.
EPIDEMIOLOGI
Meningitis TB merupakan manifestasi infeksi
tuberkulosis yang paling berat dan menimbulkan kematian dan kecatatan pada 50%
penderitanya. Angka kejadian meningitis
sekitar 1% dari seluruh masalah TB. Berdasarkan WHO Global TB Report 2016, estimasi
insidens TB di negara kita pada tahun 2015
yaitu 1.020.000 orang.
Enam negara dengan insidens TB tertinggi
didunia secara berurutan dari yang paling
tinggi yaitu India, negara kita , Cina, Nigeria,
Pakistan, dan Afrika Selatan yang menyumbang 60% dari total insidens TB secara
global. Adapun jumlah kematian akibat TB
di negara kita diperkirakan berjumlah 61.000
per tahunnya, diperkirakan sebagian besar
disebabkan oleh meningitis TB.
TB merupakan infeksi oportunistik tersering
pada pasien HIV, dan merupakan pemicu
kematian terbanyak pada pasien dengan
AIDS. Meningkatnya angka infeksi HIV juga
memiliki kontribusi terhadap peningkatan
insidens TB di seluruh dunia. Estimasi jumlah orang dengan HIV/AIDS di negara kita
sekitar 190.000-400.000, sedangkan estimasi nasional prevalensi HIV pada pasien
TB baru yaitu 2,8%. Di RSUPN Cipto
Mangunkusumo pada bulan Januari 2015
hingga April 2016 didapatkan 116 (40,1%]
masalah meningitis TB dari total 289 masalah infeksi otak (Tabel 1].
PATOFISIOLOGI
Bakteri M. tuberculosis bersifat anaerob, tidak membentuk spora, dengan pewarnaan
Ziehl Neelsen akan menghasilkan basil tahan
asam (BTA) yang berukuran lebar 0,3-0,6 pm
dan panjang l-4pm . Bakteri ini tumbuh lambat dan tahan terhadap suhu rendah (4-7°C),
namun peka terhadap panas, sinar matahari,
dan sinar ultraviolet
Kuman TB masuk melalui inhalasi bakteri
yang berlanjut dengan kolonisasi makrofag
dalam alveolus. Pada infeksi TB paru yang
aktif, bakteri akan mengalami penyebaran ke
kelenjar getah bening dan masuk dalam aliran
darah sistemik, Secara hematogen bakteri TB
mencapai SSP dan membentuk fokus infeksi
di parenkim otak. Secara patologi, fokus infeksi memperlihatkan gambaran lesi fokal
berupa peradangan granulomatosa nekrotik.
Fokus infeksi di parenkim otak dapat menjadi
infeksi laten atau mengalami aktivasi di kemudian hari. Fokus infeksi di daerah subkortikal
yang mengalami aktivasi dapat pecah ke dalam
ruang subaraknoid dan melepaskan bakteri
TB ke dalam cairan serebrospinal (CSS] dan
bermanifestasi sebagai meningitis (Gambar 1].
Fokus infeksi di parenkim otak dapat
berkembang menjadi tuberkuloma atau
membesar menjadi abses TB. Selain di parenkim otak, fokus infeksi juga terjadi di
dinding pembuluh darah (vaskulitis] dan
dapat bermanifestasi sebagai stroke. Cabang perforata arteri serebri media merupakan pembuluh darah yang paling sering
terlibat dan menimbulkan infark di ganglia
basal dan kapsula interna.
Sistem imun di parenkim otak bersifat
kurang tanggap dibandingkan pada organ
lain. Hal ini ditandai oleh minimnya ekspresi
antigen presenting cells (APC), rendahnya keberadaan sel dendrit, dan rendahnya ekspresi moleku! major histocompatibility complex (MHC) kelas II, Diduga sifat ini penting
untuk membatasi kerusakan akibat reaksi
infiamasi di otak yang memiliki tingkat regenerasi yang minimal. Pada meningitis TB,
sasaran utama infeksi M. tuberculosis yaitu
mikroglia. Mikroglia merupakan makrofag
utama pada parenkim otak yang memiliki
kemampuan yang rendah dalam pengenalan
antigen. Pada aktivasi mikroglia yang terinfeksi terjadi produksi dan pelepasan sitokin
dan kemokin, hal ini bersifat destruktif terhadap parenkim otak. Kerusakan mikroglia
juga memicu apoptosis dan gangguan
regenerasi sel neuron.
Reaktivitas imun yang bersifat selektif menyebabkan reaksi infiamasi di parenldm otak tidak terjadi segera sesudah diseminasi hematogen bakteri TB ke dalam ruang intrakranial.
Penelitian Rich dan McCordock memperlihatkan bahwa respons infiamasi pada meningitis
terjadi beberapa bulan sesudah proses penyakit menjadi aktif. Studi pada tikus menunjukkan bahwa tidak segera terlihat respons dari
sel T dan antibodi di parenkim otak sesudah
penyuntikan Bacillus Calmette-Guerin (BCG)
secara intrakranial. Respons intrakranial baru
akan timbul sesudah terjadi sensitisasi sistem
imun di perifer. Fenomena lambatnya respons
imun intrakranial ini dapat dilihat pada masalah
bertambahnya tuberkuloma mesldpun pengobatan meningitis TB telah diberikan.
GEJALA DAN TANDA KLINIS
diagnosa dini dan mulainyaobat anti tuberkulosis (OAT) secara cepat sangat menentukan prognosis meningitis TB. Untuk
membuat diagnosa dini, dokter tidak perlu
menunggu gejala klinis meningitis yang klasik menjadi lengkap. Gambaran klinis infeksi TB pada susunan saraf pusat tidak khas,
terutama pada awal penyakit, bergantung
pada proses patologi yang terjadi dan perjalanan penyakitnya.
Rerata durasi onset gejala meningitis TB
yaitu 5-30 hari, tidak ada perbedaan antara
pasien dengan atau tanpa HIV. Durasi gejala
lebih dari 6 hari telah dapat membantu memilah etiologi meningitis TB dan bakterialis pada
pasien anak dan dewasa dengan HIV negatif,
namun tidak dapat membedakan meningitis
TB dengan meningitis kriptokokus yang juga
bermanifestasi sebagai meningitis subakut.
TB milier dengan keterlibatan SSP akanbermanifestasi infeksi sistemik berat dengan demam beserta tanda infeksi lainnya. Manifestasi
stroke akibat fokus infeksi TB di pembuluh darah dapat saja terjadi tanpa disertai manifestasi meningitis. Demam tidak selalu ditemukan,
baik dalam anamnesis maupun melalui pengukuran suhu dengan memakai termometer.
Infeksi TB pada SSP juga dapat bermanifestasi
sebagai tuberkuloma, yang dapat terjadi tanpa
memperlihatkan gejala klinis yang berarti dan
baru menimbulkan keluhan sesudah menimbulkan efek massa kejaringan disekitarnya.
Secara umum dapat dikatakan bahwa