Tampilkan postingan dengan label neurologi 7. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label neurologi 7. Tampilkan semua postingan

neurologi 7

 












namun tidak menunjukkan perbaikan dalam aktivitas global 


sehari-hari.


• Rivastigmin


Bermanfaat untuk DA dengan 


dosis Iebih tinggi (6-12mg/ 


hari}. Patch rivastigmin 17,4mg 


dan 9,5mg menunjukkan efikasi yang sama dengan kapsul 


(6mg dua kali sehari). ada  


sedildt keuntungan pemakaian  


rivastigmin pada DA sedang-berat, namun tidak ada bukti yang 


mendukung pada DA berat. Bila 


dibandingkan dengan kapsul, 


patch 9,5mg hanya menghasilkan efek samping 2/3 Iebih sedikit, berupa mual dan muntah.


b. Antagonis reseptor NMDA (memantinj


pemakaian  memantin 20mg/hari 


memberikan sedikit perbaikan untuk pasien dengan DA ringan-sedang sesudah  24 minggu. Memantin 


disetujui untuk demensia sedang 


hingga berat dengan memberikan 


manfaat pada fungsi kognisi, mood,


dan perilaku.


c. Kombinasi obat golongan AChE-I 


dengan memantin


Pada penelitian uji klinis terhadap 


404 subyek dengan demensia sedang sampai berat yang sedang 


memakai  donepezil, kemudian 


subyek dibagi menjadi dua kelompok, masing-masing ditambahkan 


memantin atau plasebo. Kelompok 


yang memperoleh donepezil plus 


memantin menunjukkan hasil sedikit Iebih baik pada fungsi global, 


fungsi kognitif, ADL, dan behavioral


and psychological symptoms o f dementia (BPSD).


2. Nonmedikamentosa


Tujuan terapi nonmedikamentosa 


atau intervensi psikososial yaitu  


meningkatkan kualitas hidup orang 


dengan demensia. Apabila pendekatan psikososial tunggal tidak optimal, diperlukan pendekatan multidimensial untuk intervensi yang Iebih 


efektif. Pendekatan sebaiknya terfokus 


pada individu dan disesuaikan dengan 


kebutuhan, kepribadian, kekuatan dan 


preferensi. Beberapa hal penting yang harus diperhatikan, yaitu masalah aktivitas 


sehari-hari agar mandiri, meningkatkan fungsi, beradaptasi dan belajar 


keterampilan, serta meminimalkan 


bantuan. Oleh sebab  itu, intervensi 


dibagi menjadi 3 kelompok:


a. Mempertahankan fungsi


® Mengadopsi strategi untuk 


meningkatkan kemandirian 


® Memelihara fungsi kognitif


b. Manajemen perilaku sulit: agitasi, 


agresi, dan psikosis


c. Mengurangi gangguan emosional 


komorbid


DEMENSIA VASKULAR


A. Patofisiologi


Secara umum patofisiologi terjadinya DVa


melibatkan kelainan pembuluh darah 


dengan manifestasi perdarahan (termasuk perdarahan mikro] ataupun iskemia 


(hipoksemia], Hipoksemia yang terjadi 


dapat bersifat akut dan kronik. Hipoksemia akut dengan lesi lokal, biasanya 


berupa infark, sedangkan hipoksemia 


global berbentuk nekrosis korteks laminer, sklerosis hipokampus, dan infark 


watershed, Pada hipoksemia kronik, 


mani-festasinya berupa lesi pada substansia alba (Gambar 2). Manifestasi Minis tampak lebih jelas


pada keterlibatan pembuluh darah besar, sedangkan pada pembuluh darah 


otak yang lebih kecil (perdarahan mikro 


dan leukoaraiosis], manifestasinya minimal atau bahkan asimtomatik {silent infarct).

 Berikut beberapa jenis demensia vaskular 


beserta pemicu nya (Gambar 3):


X, Demensia Pascastroke


Demensia pascastroke atau post-stroke


dementia (PSD] didefinisikan sebagai 


demensia yang terjadi sesudah  stroke 


dan disebabkan oleh penyakit vaskular, 


degeneratif, atau keduanya, Pasien dengan riwayat stroke akan lebih berisiko 


mengalami demensia 3-5 kali lebih besar dibandingkan dengan pasien tanpa 


riwayat stroke sebelumnya. ada  


sekitar 20% pasien yang kemudian akan


mengalami kejadian DVa dalam 6 bulan 


sesudah  serangan stroke pertama (.singleinfarct dementia). Kejadian timbulnya 


gejala DVa meningkat seiring dengan 


besar lesi yang dihasilkan pascastroke 


dan banyaknya riwayat kejadian stroke 


(stroke berulang) yang memungkinkan 


terjadi lesi yang lebih banyak.


a. Single strategic-infarct dementia


DVa pascastroke dapat terjadi akibat 


lesi pada regio kortikal maupun subkortikal, dan dapat berupa suatu proses iskemik maupun hemoragik Pada lesi di regio kortikal, demensia akan 


terjadi jika daerah fungsi heteromodal 


otak ikut terlilbat, termasuk sistem limbik atau area asosiasi kortikal. Tiga lokasi utama infark terisolasi yang akan 


mengacu pada kejadian DVa, yaitu: girus angularis pada regio arteri serebri 


media, inferomesial lobus temporal 


pada regio arteri serebri posterior, dan 


mesial lobus frontal pada regio arteri 


serebri anterior.


Lesi subkortikal terutama subcorticalcortical loops akan memberikan manifestasi demensia. Tiga lokasi utama 


yang dapat memicu terjadinya 


DVa yaitu  talamus, genu kapsula interna, dan nukleus kaudatus.


b. Demensia multi-infark


Merupakan akumulasi infark berulang 


pada bagian kortikal maupun subkortikal, kejadian demensia meningkat 


seiring dengan kejadian infark berulang yang terlihat dengan j elas.


2. Demensia Terkait Sm all Vessel D isease


a. Subcortical ischemic vascular disease 


(penyakit Binswanger)


Penyakit ini merupakan stadium final 


dari riwayat panjang penyakit arteri 


kecil (.small vessel disease} terkait 


hipertensi. Sejak awal 1990, studi 


longitudinal menunjukkan gambaran 


abnormalitas pada substansia alba 


(white matter) pada 95% subyek berusia di atas 65 tahun, Keadaan ini sangat 


leuat terkait hipertensi dan berkaitan dengan fungsi eksekutif.


b. Cerebral autosomal dominant arteriopathy with subcortical infarcts and


leukoencephalopathy (CADASIL)


CADASIL mulai dikenal pada tahun 1993 


sebagai pemicu  baru DVa murni. Penyakit ini merupakan penyakit bawaan 


langka akibat adanya mutasi NOTCH3 


kromosom 19. Pada pemeriksaan histopatologisnya, didapatkan deposisi mated granular dalam dinding arteri kecil 


dan arteriol, sehingga memicu penyempitan lumen dan destruksi sel otot 


polos dinding pembuluh. Gambaran umumnya berupa infark lakunar multipel 


dan substansia alba pucatyang luas.


3. Demensia Terkait Angiopati Amiloid


Hal ini disebabkan oleh cerebral amyloid angiopathy akibat deposisi amiloid 


di dinding pembuluh darah korteks dan 


leptomeningen. Apolipoprotein alel-E2 


berkontribusi dalam deposisi p-amiloid 


ini yang memicu angiopati amiloid 


dan perdarahan mikro. Lokasi perdarahan serebral akan menentukan terjadinya 


gangguan kognitif.


4. Demensia Terkait Mekanisme Hemodinamik


Terjadi kegagalan hemodinamik pada 


area perbatasan frontal yang diperdarahi oleh cabang distal dan cabang piamater arteri serebri anterior dan media, 


memicu lesi iskemik reversibel 


di lokasi yang berdekatan dengan area 


Sylvii. Proses ini dapat disebabkan oleh 


beberapa keadaan sistemik, seperti henti 


jantung, aritmia, gagal jantung, atau hipotensi. A. Gejala dan Tanda Klinis


1. Demensia Pascastroke


a. Single strategic-infarct dementia


Stroke mendasari terjadinya DVa 


ini. Lesi pada bagian girus angularis hemisfer kiri akan memberikan 


manifestasi klinis berupa sindrom 


afasia, ganggnan fungsi konstrulcsi, 


dan sindrom Gerstmann. Pada infark di girus angularis nondominan 


akan menunjukkan gejala hemineglek spasial dan gangguan visuokonstruktifyang dapatdisertai gangguan 


memori. Infark pada mediotemporal 


lobus temporal alcan menunjuldcan 


gejala amnesia, disertai gangguan 


fungsi bahasa, visuospasial, dan 


apraksia konstruksional sesuai dengan hemisfer yang terlibat


Lesi pada subcortical-cortical loops


yang berperan dalam mempertahankan fungsi kortikal dan status 


kognitif akan memberikan manifestasi demensia. ada  tiga 


lokasi strategis yang dapat menyebabkan terjadinya DVa yaitu  talamus, genu kapsula interna, dan 


nukleus kaudatus.


Infark pada talamus akan bermanifestasi sebagai gangguan memori 


episodik dan sindrom afasia, terutama afasia transkortikal motorik. 


Pada infark talamus paramedian 


dengan keterlibatan jaras mamilotalamik akan menunjukkan 


penurunan kesadaran, gangguan 


neurofisiologi yang dapat disertai 


dengan amnesia dengan konfabulasi yang jelas.


Gangguan kognitif yang lebih berat 


dapat terjadi jika ada  lesi pada 


talamik-subtalamik paramedian 


bilateral, dengan gejala amnesia 


dan gangguan eksekutif seperti 


abulia, inersia, serta menurunnya 


gerakan spontan. Infark pada genu 


kapsula interna hemisfer kiri dapat 


mendeaktivasi daerah kortikal 


terutama korteks frontal dengan 


mengganggu fungsi dari pedunkel 


talamus anterior, sehingga dapat 


memberikan gambaran demensia 


fokal. Infark pada nukleus kaudatus memberikan gambaran klinis 


berupa gangguan fungsi eksekutif 


yang jelas, yaitu infark pada dorsolateral akan menunjukkan menurunnya aktivitas motorik, abulia, 


dan depresi dengan gejala psikotik, 


sedangkan infark pada ventromedial akan menunjuldcan hiperaktif, 


dan gangguan pemusatan perhatian. Demensia dapat ditemukan 


pada infark multipel dan/atau leukoaraiosis, tetapi tidalc ditemukan 


pada infark murni di lentikulostriaturn, serta infark di kaudatus.


b. Demensia multi-infark


Demensia ini terjadi akibat akumulasi infark berulang baik pada 


bagian kortikal maupun sublcortikal. Kejadian demensia meningkat seiring dengan kejadian infark 


berulang. Hal ini disimpulkan dari 


observasi terhadap onset demensia yang mendadak, riwayat stroke 


berulang, dan ditemulcannya gejala fokal dibuktikan dengan lesi 


hipodens pada CT scan. !. Demensia TerkaitSmatf Vessel D isease


a. Subcortical ischemic vascular disease/


penyakit Binswanger


Gejala Minis yang paling menonjol 


yaitu  disfungsi eksekutif (perencanaan, abstraksi, seri konsep, shifting


o f idea), perlambatan proses pikir, 


serta gangguan konsentrasi dan 


working memory. Gangguan memori 


dapat menyertai, namun fungsi rekognisi masih terpelihara dan tidak 


seberat pada AD.


b. Cerebral and autosomal dominant


arteriopathy with subcortical infarcts


and leukoencephalopathy [CADASIL) 


Pada sepertiga pasien CADASIL dengan usia awitan rata-rata 30 tahun, 


penyakit diawali dengan serangan 


mendadak migren dengan aura. Manifestasi Minis yang tersering yaitu  


transient ischemic attack (TIA) subkortikal atau stroke pada usia 40-50 


tahun. Gangguan kognitif merupakan 


gejala kedua terbanyak, berupa gangguan fungsi eksekutif dan kecepatan 


proses pikir.


3. Demensia Terkait Angiopati Amiloid


Angiopati amiloid merupakan satu aspek 


penyaMt serebral dengan deposit amiloid. 


Kebanyakan pasien dengan angiopati 


amiloid biasanya merupakan tipe sporadik dan lebih dari 40% berhubungan 


dengan DA. Lokasi perdarahan serebral 


akibat angiopati amiloid inilah yang 


akan menentukan terjadinya gangguan 


kognitif.


4. Demensia Terkait Mekanisme Hemodinamik


Manifestasi Minis pada demensia tipe ini


berupa afasia, apraksia, atau hemineglek 


tanpa defisitmotorikyangnyata. Adanya 


stenosis berat pada arteri karotis interna 


dapat menimbulkan iskemia berulang 


tanpa disertai terjadinya infark. Dapat 


terjadi manifestasi sindrom demensia 


yang reversibel bila gangguan hemodinamik ini terkoreksi.


B. diagnosa  dan diagnosa  Banding


Gejala dan tanda Minis dari DVa menurut 


DSM-IV didefinisikan sebagai demensia 


yang disertai oleh adanya defisit neurologis fokal dan diperkuat dengan bukti Minis dari pemeriksaan penunjang, 


seperti hasil laboratorium. Kriteria ini 


merupakan kriteria yang peka  namun 


tidak spesifik.


Kriteria lain yang dipakai  sebagai 


definisi dari DVa lainnya yaitu  International Statistical Classification o f Disease


and Related Health Problems 10th revision (ICD-10), Neurological Disorders and


Stroke and The Association Internationale


pour la Recherche et TEnseignement en


Neurosciences (NINDS-AIREN), dan skor 


iskemik Hachinski. ICD-10 memiliki kedekatan definisi dengan Diagnostic and


Statistical Manual for Mental Disorder,


edisi keempat (DSM-IV), pembedanya 


berupa bukti lesi fokal di otak. Adapun 


skor iskemik Hachinski dikembangkan 


untuk membedakan demensia multi infark terkait lesi iskemik dengan DA.


Kriteria diagnosa  dari NINDS-AIREN lebih spesifik dan saat ini banyak digunakan dalam keperluan penelitian. Kriteria 


probable demensia berdasar  kriteria 


NINDS-AIREN mengharuskan adanya:

 1. Gejala dan tanda demensia.


2. Penyakit serebro vaskular, yang terbukti secara pemeriksaan fisik dan 


pencitraan (CT scan dan atau MRI).


3. Adanya hubungan dari kondisi 1 dan


2. (a] onset demensia dalam 3 bulan 


sesudah  diketahui memilild stroke dan 


£b} penurunan fungsi kognitif yang 


drastis atau berfluktuasi.


Vascular cognitive impairment £VCI) 


merupakan terminologi yang menggambarkan gangguan kognisi mulai dari 


gangguan kognisi ringan sampai demensia, yang berkaitan dengan faktor risiko 


vaskular. Keadaan ini biasanya berkaitan 


dengan terjadinya DVa di kemudian hari.


C. T ata L ak san a


1. M ed ik am en tosa


a. inhibitor asetilkolinesterase [AChE-I) 


AChE-I bekerja sebagai penguat kognisi dengan meningkatkan kadar 


asetilkolin di otak untuk mengkompensasi hilangnya fungsi koiinergik 


Secara umum pemakaian  ACHE-I 


(donepezil, galantamin, rivastigmin) 


direkomendasikan untuk demensia 


ringan hingga sedang, tetapi hanya 


donepezil yang disetujui untuk demensia berat


b. Antagonis reseptor NMDA [memantin]


Selain AchE-I, memantin juga disebutkan sebagai salah satu penguat 


kognisi yang direkomendasikan 


untuk DVa. pemakaian  memantin 


20 mg/hari memberikan sedikit 


perbaikan untuk pasien dengan AD 


ringan-sedang sesudah  24 minggu.


Memantin disetujui untuk demensia sedang hingga berat, dengan 


memberikan manfaat pada fungsi 


kognisi, mood dan perilaku.


c. Selain pemakaian  obat-obatan 


penguat kognisi di atas, medikamentosa pengontrol faktor risiko 


vaskular juga harus tetap diberikan. Hal ini diasumsikan dapat 


menurunkan risiko perburukan, 


walaupun belum terbukti memiliki efek langsung terhadap fungsi 


kognitif.


d. Pertimbangan terapi lainnya: propentofilin, nimodipin, dan golongan selective serotonin reuptake inhibitors (SSRI).


e. Kombinasi obat golongan AChE-I 


dengan memantin


Pada penelitian uji Minis terhadap 404 subyek dengan demensia 


sedang sampai berat yang sedang 


memakai  donepezil, kemudian 


subyek dibagi menjadi dua kelompok, masing-masing ditambahkan 


memantin atau plasebo. Kelompok 


yang memperoleh donepezil plus 


memantin menunjukkan hasil sedikit lebih baik pada fungsi global, 


fungsi kognitif, ADL, dan BPSD.


2 . N on m ed ik am en to sa


Seperti halnya DA, tujuan terapi nonmedikamentosa pada DVa yaitu  meningkatkan kualitas hidup orang dengan 


demensia. Apabila pendekatan psikososial tunggal tidak optimal, diperlukan 


pendekatan multidimensial untuk intervensi yang lebih efektif. D EM EN SIA FR O N T O T E M PO R A L


A. P a to fis io lo g i


Proses patologi pada DFT sifatnya heterogen, ditandai dengan gliosis, hilangnya 


neuron, dan degenerasi superfisial spongiform di korteks frontal dan/atau temporal. Neuron yang berbalon {pick cells),


jumlahnya bervariasi dalam semua subtipe. ada  bukti beberapa tipe proteinopati abnormal berupa inklusi protein ubiquitin pada sitoplasma atau inti 


sel glia dan neuronal. Secara garis besar 


neuropatologi DFT dibagi menjadi variasi tau positif dan tau negatif. Sekitar 


80-95% pasien DFT dengan tau negatif 


mengandung inklusi transactive response


(TAR} DNA-binding protein 43 kDa (TDP- 


43}. Menariknya, ada  inklusi TDP-


43 dalam jumlah lebih besar di neuron 


Von Economo terkonsentrasi pada insula 


anterior.


Klasifikasi perubahan patologis pada DFT 


didasari pada pola endapan protein dan 


terlihat sebagai degenerasi lobus frontotemporal (DLFT}, Perubahan patologis 


yang terlihat secara mikroskopik yaitu  


atrofi lobus frontal dan temporal berupa 


hilangnya neuron dengan gambaran mikrovakuolisasi (seperti spons} atau gliosis 


transkortikal. Atrofi biasa terlihat pada 


neokorteks prefrontal dan anterior. Distribusi topografik atrofi yang berbeda 


menentukan sindrom Minis dari DFT, yaitu varian behavioral atau varian frontal 


(bvDFT/fvDFT}, demensia semantik, dan 


primary progressive aphasia (PPA}.

 Secara histologi dan imunohistokimia, 


kelainan ini dikategorikan sebagai gangguan protein spesifik berdasar  inklusi utama yang terkandung di dalamnya 


(Gambar 4), antara lain:


1. Degenerasi lobus frontotemporal-tau 


(DLFT-tau)


ada  inldusi protein tau yang terhiperfosforilasi pada sel neuron dan glia. 


Kelainan ini dihubungkan dengan DFT 


dan Parkinsonisme, sindrom progressive supranuclear palsy (PSP), degenerasi kortiko-basal (corticobasal degeneration/CBD), dan argyrophilic grain


disease (AGD).


2. DLFT-ubiquitin atau DLFT-U


Pada pemeriksaan mikroskopik, lebih 


dari 50% pasien DLFT memperlihatkan adanya inklusi ubiquitin dalam sitoplasma atau nukleus sel neuron dan 


sel glia. Sebanyak 80-95% inklusi yang 


ditemukan terdiri dari TDP-43 (DLFTTDP) atau TDP-43-negatif. Proteinopati 


jenis TDP-43 ditemukan pada pasien 


dengan DLFT tanpa protein tau. Selain 


itu, ada  juga inldusi protein fused


in sarcoma (FUS). masalah  yang memilild 


proteinopati jenis ini disebut sebagai 


DLFT-FUS. Namun, pada jumlah yang 


sedikit, pasien dengan DLFT memiliki 


protein inldusi yang belum diketahui. 


Kelompok ini disebut sebagai DLFTubiquitin pro tea some system (DLFTUPS).


3. Dementia lacking distinctive histopatho-logy (DLDH)


Pada tipe ini ditemukan mikrovakuolisasi tanpa inklusi neuron.


4. Tipe-tipe lain yang jarang


Tipe ini terdiri dari demensia dengan 


badan inklusi basofilik dan penyakit 


neuron inklusi filamen menengah 


[neuronal intermediate filam ent inclusion disease).


B. Gejala dan Tanda IClinis


DFT dapat dibedakan menjadi beberapa


tipe berdasar  gejala awal yang muncul dalam perjalanan penyakitnya, yaitu:


1) Demensia frontotemporal varian behavior (DFTvb): berupa gangguan kepribadian/perilaku secara progresif. 


Tipe ini memiliki karakteristik gejala 


awal berupa perubahan kepribadian, 


tingkah laku, emosi, dan perubahan 


dalam mengambil keputusan.


2) Afasia progresif primer: tipe penurunan bahasa secara progresif, seperti kelancaran berbicara (fluency), 


kemampuan mengerti sesuatu, membaca, dan menulis.


3) Penurunan fungsi motorik secara 


progresif dengan karakteristik kesulitan gerakan fisik, seperti berjabat 


tangan, kesulitan berjalan, sering terjatuh, dan koordinasiyangburuk. 

Namun, sulit untuk membedakan ketiga tipe 


ini , sebab  gejala dapat bervariasi pada 


setiap pasien. Selain itu, gejala yang sama dapat 


timbul pada tipe yang berbeda [Tabel 1}.


Gejala kelainan frontotemporal berbeda 


pada setiap individu, tergantung keparahan 


dan lob us otak yang terkena. Perubahan 


perilaku umumnya berkaitan dengan kerusakan lobus frontal, sedangkan gangguan 


emosi dan bahasa berkaitan dengan lesi di 


lobus temporal


1. Gejala perilaku


Pasien dengan kelainan frontotemporal dapat mengalami gejala gangguan 


perilaku sebagai berikut:


a. Gangguan fungsi eksekutif


Pasien biasanya mengalami kesulitan 


dalam perencanaan, pola pikir, memprioritaskan sesuatu, pengerjaan tugas jamak [multitasking), pemantauan diri, dan perbaikan perilaku.

 

b. Perseverasi


Pasien biasanya memiliki kebiasaan 


mengulang aktivitas atau kata-kata 


yang sama [tidak dapat/kesulitan 


mengubah aktivitas atau kata-kata 


dan yang sebelumnya barn dilakukan).


c. Disinhibisi


Pasien biasanya bertindak impulsif 


tanpa memedulikan bagaimana orang 


lain melihat/menilai tindakannya 


ini  (tidak ada rasa malu sosial).


d. Perubahan perilaku makan


Sering meraih makanan termasuk 


mengambil makanan dari piring milik 


orang lain, terutama makanan yang 


mengandung banyak karbohidrat, 


seperti roti dan kue kering.


e. Perubahan perilaku untuk menggunakan suatu benda


Pasien memiliki kesulitan untuk menahan perasaan untuk menyentuh 


atau memakai  benda yang ia 


dapat gapai atau lihat.


2. Gejalabahasa


Terjadi perburukan kemampuan berbahasa secara kronik progresif setidaknya 


dalam dua tahun sesudah  gejala pertama 


muncul. Kemampuan berpikir dan bersosialisasi biasanya bertahan lebih lama 


sebelum akhirnya berkurang. Pasien 


dengan kelainan frontotemporal dapat 


mengalami gejala gangguan kemampuan 


bahasa sebagai berikut: 


a. Afasia


Afasia merupakan gangguan kemampuan berbahasa dimana pasien tidak


dapat mengerti kata-kata dan/atau 


kemampuan memakai  katakata berkurang, namun gangguan ini 


bersifat kronik-progfesif (awalnya 


pasien masih dapat berbicara seperti 


orang normal).


b. Disartria


Disartria yaitu  ketidakmampuan 


mekanik otot-otot untuk berbicara, 


namun pesan yang ingin disampaikan 


tidak mengalami gangguan (fungsi 


bahasa intak).


3. Gejala emosional


a. Apatis


Perasaan suka atau ketertarikan terhadap sesuatu, nafsu, dan inisiatif 


berkurang. Seringkali gejala ini dianggap sebagai depresi, namun gejala 


apatis ini tidak memiliki perasaan 


sedih. Pasien biasanya mengalami kesulitan untuk memulai suatu aktivitas 


(inisiasi), namun dapat tetap berpartisipasi bila orang lain melakukan 


perencanaan.


b. Perubahan emosional


Emosi menjadi datar, berlebihan, atau 


tidak semestinya. Emosi biasanya tidak sesuai dengan situasi, sehingga 


sering kali diekspresikan pada waktu, 


tempat atau keadaan yang salah (tidak pada tempatnya).


c. Perubahan sosial-interpersonal 


Pasien tidak mampu membaca atau 


memahami sinyal sosial, seperti 


ekspresi wajah dan salah mengerti 


hubungan personal. Pasien terlihat 


egois, tidak peduli sebab  tidak ada 


rasa empati. 

d. Perubahan insight


Pasien tidak mampu mengenal perubahan kondisi dirinya yang dapat 


memengaruhi orang Iain. Hal ini akan 


menyulitkan pengasuh sebab  pasien 


akan menolak bantuan.


4. Gejala motorik


Pasien dengan kelainan frontotemporal 


dapat mengalami gejala gangguan gerak 


sebagai berikut:


a. Distonia


ada  kelainan postur pada tangan atau kaki. Anggota gerak dapat 


dibengkokkan secara kaku atau tidak 


dipakai  saat melakukan aktivitas 


yang secara normal dilakukan dengan 


memakai  dua tangan.


b. Kelainan berjalan


Pasien biasanya berjalan dengan menyeret kaki dan sering terjatuh.


c. Tremor


Gejala tremor biasanya terjadi pada 


tangan. Pasien biasanya sering menjatuhkan benda-benda kecil atau Perubahan perilaku berupa kesulitan 


dalam mengatur perilaku, sehingga 


respons yang diberikan tidak sesuai.


C. diagnosa  dan diagnosa  Banding


diagnosa  definitif kelainan frontotemporal ditegakkan berdasar  pemeriksaan patologi anatomi berupa autopsi 


otak sesudah  pasien meninggal dunia. 


Oleh sebab  itu, pada pasien yang masih 


hidup diagnosa  ditegakkan berdasar  


pemeriksaan neurologis (anamnesis, 


pemeriksaan fisik umum, dan neurologi), uji neuropsikologi, neuropsikiatri, 


dan pencitraan.


Biasanya fungsi memori masih terpelihara 


pada pemeriksaan neuropsikologi. Orientasi dan memori jangka pendek {immediate memory) juga baik, namun uji memori 


anterograd (recent memory) dapat bervariasi. Pasien tidak mampu mengingat kembali hal yang baru saja dilakukan atau diucapkan. Kemampuan berbicara spontan 


berkurang dan kemampuan visuospasial 


masih terpelihara, walaupun aspek organisasional pasien menurun.


Neary dkk mengembangkan kriteria diagnostik dan membagi menjadi tiga sindrom, yaitu frontal atau DFTvb, demensia 


semantik, dan afasia progresif nonfluen. 


Lain halnya dengan Me Khan dick yang 


membagi kriteria diagnosa  DPT sebagai 


berikut:


1. Perubahan perilaku dan berkurangnya kemampuan kognitif dengan 


manifestasi:


a. Perubahan perilaku berupa kesulitan dalam mengatur perilaku, 


sehingga respons yang diberikan 


tidak sesuai.


b. Gangguan fungsi bahasa dengan 


karakteristik kesuliltan mengekspresikan kata-kata, kesulitan menamai obyek, dan gangguan pemahaman kata dan kalimat.


2. Gejala yang terjadi pada poin 1, harus 


dapat memicu kelainan dalam 


bersosialisasi atau mengganggu fungsi okupasi, dan terlihat penurunan 


fungsi dari sebelumnya.


3. Gejala ini  terjadi secara kronik 


progresif.

 

4. Gejala pada poin 1 bukan disebabkan 


oleh kelainan atau penyakit sistem 


saraf maupun sistemik lainnya.


5. Penurunan fungsi tidak terjadi saat 


pasien mengalami delirium.


6. Kelainan ini  bukan disebabkan 


oleh gangguan psikiatri.


Kriteria tambahan dapat membantu dalam 


menegakkan diagnosa  atau mengeliminasi 


kemungkinan penyakit lain:


1. Onset sebelum usia 65 tahun.


2. Memperlihatkan gejala penyakit motor neuron.


3. Gejala dan tanda motorik sama dengan sindrom kortikobasal dan PSP, 


antara lain:


a. Penamaan terganggu


b. Penurunan kemampuan motorik 


berbicara


c. Penurunan kemampuan tata bahasa, seperti berkurangnya kemampuan mendeskripsikan gambar secara lisan maupun tulisan. Pasien 


dapat juga mengalami gangguan 


pemahaman kompleks,


ada  kriteria lain yang dikembangkan 


oleh Rascovsky dkk, yaitu:


1. Possible DFTvb, jika ada  tiga dari 


enam gejala di bawah ini:


® Perilaku sosial tidak sesuai, hilangnya 


aturan, impulsif, tidak ada perhatian


® Apatis/inersia dini 


® Hilangnya rasa simpati dan empati


® Gejala preseverasi, stereotipik, atau 


kompulsif/ritualistik 


® Perubahan perilaku diet dan hiperoral 


® Defisit fungsi eksekutif dan/atau defisit kognitif umum ditambah gangguan 


rnemori episodik dan fungsi visuospasial


2. Probable DFTvb, jika didapatkan lebih 


dari tiga gejala di atas ditambah dengan 


kriteria pencitraan berupa:


• MRI atau CT: gambaran atrofi frontal 


dan atau temporal anterior, atau 


® Positron emission tomography (PET) 


atau single photon emission computed


tomography (SPECT): gambaran hipoperfusi dan atau hipometabolisme 


frontal dan/atau temporal anterior.


3. Definite DFTvb, jika memenuhi kriteria: 


® Possible atau probable DFTvb


® Terbukti pada pemeriksaan histopatologis (biopsi atau post-mortem)


® Diketahui adanya mutasi patogen


PPA sebagai salah satu varian dari DFT, memilild alur diagnosa  berdasar  karakteristik 


fluensi, pemahaman, dan repetisi (Gambar 5). 


ada  tiga tipe PPA, yaitu tipe nonfluen/tidak lancar/agramatik, semantik, dan logopenik. Adanya gangguan pada kelancaran bicara 


atau fluensi (fluency), gangguan pemahaman 


kalimat kompleks sintaksis, dan pengulangan kata dapat digolongkan sebagai PPA tipe 


nonfluen. Jika hanya ada gangguan pada komponen pemahaman, dikatakan PPA tipe semantik. Terakhir, adanya perlambatan bicara 


disertai gangguan pengulangan kalimat, tetapi pemahaman relatif terpelihara, merupakan 


PPA tipe logopenik.

 

D. Tata Laksana


1. Medikamentosa


a. Simtomatik


Neuron kolinergik relatif dipertahankan pada DFT. pemakaian  


inhibitor asetilkolinesterase menimbulkan gangguan perilaku yang 


lebih berat, sehingga tidak direkomendasikan. Beberapa obat dapat 


dipakai  untuk mengurangi masalah perilaku. Obat antidepresi 


golongan SSRI dapat diberikan 


untuk mengatasi masalah kognitif, 


sosial, dan perilaku impulsif. Gejala agresi [sikap menyerang) atau 


waham dapat diberikan antipsikotik dosis rendah.


b. Disease modifying therapy


Sampai saat ini belum ada pengobatan yang dapat memodifikasi 


atau menghambat progresivitas 


degenerasi lobus frontotemporal.


2. Nonmedikamentosa


Bertujuan agar pasien memilliki 


kualitas hidup lebih baik; mencakup 


manajemen masalah perilaku, bahasa, dan gerak.


a. Manajemen masalah perilaku 


Perilaku pasien dengan DFTvb 


dapat berupa sedih yang membuat 


frustrasi keluarganya atau pengasuhnya. Pengertian terhadap 


perubahan kepribadian, perilaku 


dan mengetahui bagaimana cara 

untuk memberikan respons yang 


baik dapat mengurangi rasa frustrasi yang pengasuh alami. Bila 


pengasuh merasa frustrasi dapat 


dianjurkan untuk pengambilan 


napas dalam, menghitung sampai 


10, kemudian menghembuskan 


napas secara perlahan atau keluar dari ruangan untuk beberapa 


menit


Bila pasien apatis, sebaiknya berikan pilihan yang spesifik (berikan pertanyaan tertutup], hindari 


memberikan pilihan. Selain itu 


mempertahankan jadwal yang biasa pasien lakukan dan memodifikasi lingkungan dapat membantu.


Pada pasien dengan gejala perubahan perilaku makan, pengasuh harus 


memperhatikan saat pasien makan, 


kurangi pilihan makanan, mengunci 


tempat penyimpanan makanan dan 


kulkas, serta berikan kegiatan lain 


saat makan.


b. Manajemen masalah bahasa 


Tujuan pengobatan pasien dengan 


PPA, yaitu memelihara kemampuan bahasa serta pemakaian  


cara lain untuk berkomunikasi. 


Pengasuh dapat berbicara dengan perlahan dan jelas, menggunakan kalimat-kali mat sederhana, menunggu respons dari 


pasien, dan mengklarifikasi pasien 


mengerti atau tidak. Ketidakmampuan berkomunikasi secara verbal 


dapat diatasi dengan berkomunikasi melalui bahasa tulisan, gerak 


tubuh, dan gambar. Selain itu,


pemakaian  daftar kata-kata dan 


frase pada komputer atau personal


digital assistant untuk berkomunikasi dapat dilakukan.


c. Manajemen masalah gerak


Terapi fisik dan okupasi dapat 


membantu pasien dengan sindrom kortikobasal bergerak lebih 


mudah. Pada tipe PSP, latihan fisik 


dengan cara berjalan menggunakan karung pasir di atas anak tangga yang lebih rendah, dapat membuat sendi menjadi lebih lentur 


dan memelihara keseimbangan.


Pada tipe FTD-ALS, pergerakan 


akan berkurang sesudah  2-3 tahun 


mengalami penyakit ini. Terapi 


fisik dapat membantu mengurangi 


gejala pada otot, dan pemakaian  


alat bantu berjalan dapat bermanfaat. Perlu penanganan komprehensif melalui tim yang terdiri dari dokter, perawat, pekerja 


sosial, serta terapis fisik, okupasi 


dan bicara yang mengerti kelainan 


frontotemporal, agar pasien memperoleh kualitas hidup yang baik 






 








AFASIA



Bahasa, bersama dengan bicara [speech],


dan pemikiran [thoughts], merupakan komponen utama dalam pembentukan proses 


berkomunikasi. Pemikiran merupakan bagian dari aspek bahasa dan bergantung pada 


fungsi bahasa, namun bahasa dapat berdiri 


sendiri tanpa adanya pemikiran.


Afasia merupakan gangguan fungsi bahasa 


sebab  kerusakan pusat bahasa di otak. 


Kerusakan ini  dapat disebabkan langsung maupun tidak langsung dari penyakit 


otak, ataupun dapat diakibatkan oleh proses degeneratif. Stroke merupakan pemicu  utama terjadinya afasia. Dengan meningkatnya insidens stroke, maka semakin 


tinggi pula penderita afasia di dunia.


Ada berbagai jenis afasia yang dapat menurunkan kualitas hidup pasien, sehingga perlu 


pemeriksaan khusus yangteliti. Perkembangan 


teknologi pencitraan (imaging] otak memang 


akan sangat membantu, namun dibutuhkan 


penilaian ldinis yang lebih spesifik sesuai dengan patologi dan lokasi lesi pemicu  afasia.


EPIDEMIOLOGY


Afasia merupakan defisit neurologis fokal 


yang dapat memengaruhi hidup penderitanya akibat hendaya komunikasi. Insidens 


afasia menurut National Stroke Association


tahun 2008 ada  80.000 masalah  baru pertahunnya di Amerika Serikat. National Institute o f Neurological Disorders and Stroke


(NINDS) menyatakan penderita afasia di 


Amerika Serikat mencapai 1 juta orang, atau 


satu dari 250 warga negara Amerika Serikat 


mengalami afasia. Sebanyak 15% diantaranya berusia <65 tahun dan 43% berusia >85 


tahun. Tidak ada  perbedaan bermakna 


antar jenis kelamin dengan afasia. Walaupun demikian, ada  kecenderungan 


bahwa perempuan lebih banyak mengalami 


afasia Wernicke dan global, sedangkan lakilaki lebih sering mengalami afasia Broca.


Studi kohort oleh Pedersen dkk di Copenhagen 


tahun 2004 melaporkan prevalensi sindrom 


afasia pada stroke akut pertama kali yaitu, 


afasia global 32%, Broca 12%, transkortikal 


motorik 2%, Wernicke 16%, transkortikal 


sensorik 7%, konduksi 5%, dan anomik 25%. 


sesudah  diikuti selama satu tahun, didapatkan 


afasia global 7%, Broca 13%, transkortikal 


motorik 1%, Wernicke 5%, transkortikal 


sensorik 0%, konduksi 6%, dan anomik 29%, 


selebihnya fungsi bahasa kembali sempuma.


PATGFISIOLOGI


Permukaan otak terdiri atas korteks atau grey


matter, yang menjadi pusat sebagian besar 


aktivitas manusia termasuk pengaturan tata 


bahasa yang merepresentasikan pula pengetahuan tentang bahasa. Korteks yaitu  organ tempat pengambilan keputusan, sesudah  


menerima pesan dari seluruh organ sensori 


dan melakukan segala aktivitas volunter.  

Otak juga disusun oleh hemisfer serebri kiri 


dan kanan, serta dihubungkan oleh korpus 


kalosum. Secara umum, hemisfer kiri mengatur bagian tubuh sebelah kanan dan hemisfer kanan mengatur bagian tubuh sebelah kiri, 


Pusat bahasa tradisional yaitu  pusat bahasa 


motorik Broca dan pusat bahasa reseptif 


Wernicke yang biasanya terletak di hemisfer 


dominan (tersering yaitu  hemisfer kiri baik 


pada dominansi tangan kanan maupun kiri], 


Keduanya dihubungkan oleh jaras transkortikal yang disebut fasikulus arkuata.


Komponen neuroanatomi yang berperan 


dalam proses produksi bahasa dan pemahaman sangat rumit Komponen ini meliputi 


masukan (inputj auditori dan pengkodean 


bahasa di lobus temporal superior, analisis 


bahasa di lobus parietal, dan ekspresi di lobus 


frontal, Masukan ini  kemudian nailc ke 


traktus kortikobulbar menuju kapsula interna 


dan batang otak, dengan efek modulator dari 


ganglia basal dan serebelum. Terakhir, masukan dimaknai sebagai bahasa lengkap dengan 


kosakata, makna sintaksis, dan gramatikal di 


interkoneksi antar pusat-pusat bahasa.

 GEJALA DAN TANDA KLINIS


Pengklasifikasian sindrom afasia dapat diawali dan dikerjakan secara bedside dengan 


menilai modalitas dari fungsi bahasa, yaitu: 


® Kelancaran bicara {fluency) (Tabel 2}.


© Pemahaman (pemahaman).


© Kemampuan pengulangan (repetisi).


© Kemampuan menemukan kata yang sesuai 


(word finding) dan atau penamaan {naming). Semua pasien afasia yang juga disertai dengan adanya gangguan kemampuan 


penamaan termasuk dalam parafosia.


Klasiflkasi Afasia


Kemampuan berbahasa merupakan aktivitas 


yang kompleks melibatkan banyak sirkuit, 


sehingga ldasifikasi gangguan fungsi berbahasa sangat bervariasi tergantung pada Minis dan lokasi kerusakan yang terjadi.


Secara umum sindrom afasia terbagi menjadi:


1. Afasia Broca


Area Broca berada di korteks insula media dan mendapat  suplai darah dari 


arteri serebri media segmen M2 divisi 


superior. Sumbatan atau oklusi di arteri 


ini  dapat memicu terjadinya 


afasia Broca.


Area Broca bertetangga dengan area 


Exner yang merupakan pusat menulis 


dan girus presentralis yang merupakan 


pusat motorik primer sehingga umumnya gambaran Minis penderita Afasia 


Broca yaitu  selain adanya afasia juga 


disertai hemiparesis berupa kekuatan 


lengan lebih lemah dibandingkan tungkai, serta adanya gangguan menulis. 


Apraksia wajah dan bicara juga sering dijumpai pada pasien dengan afasia Broca.


Gangguan bahasa yang dijumpai yaitu  


gangguan ekspresi bahasa dan repetisi 


yang buruk (tingkat kata hingga kalimat]. 


Bicara pasien sangat lambat dan penuh 


usaha. Pasien juga mengalami kesulitan 


menamai suatu obyekdan repetisi. Pasien 


dapat mengerti percakapan sehari-hari 


dan instruksi verbal, namun mulai kesulitan pada sintaksis yang kompleks. 


Dalam berbicara pasien terlihat penuh 


usaha untuk mengucapkan setiap kata, 


dengan diiringi jeda dan kata-kata yang 


dihasilkan tidakjelas.


2. Afasia Wernicke


Afasia Wernicke yaitu  sindrom afasia Masik yang berhubungan dengan gangguan 

pada pemahaman berbahasa akibat lesi 


pada korteks temporoparietal posterior 


kiri, yang akan memengaruhi elemen utama sistem fonologi dan semantikyang berperan dalam pemahaman bahasa. Kelainan 


ini  disebabkan sumbatan akibat 


trombosis maupun emboli pada arteri serebri media segmen M2 divisi inferior pada 


sisi hemisfer dominan (umumnya kiri) yang 


memperdarahi lobus superior temporal,


Gangguan pemahaman bahasa pada 


afasia Wernicke dimodulasi oleh derajat 


analisis fonologi. Pemahaman berbahasa 


yang diucapkan, yang membutuhkan 


analisis fonologi derajat tinggi, mengalami kerusakan yang parah pada afasia 


Wernicke. Kemampuan pemahaman menulls kata, yang dimediasi oleh fonologi 


dan proses visual, hanya mengalami sedikit kerusakan dibandingkan pemahaman pengucapan kata.


3. Afasia Global


Afasia tipe ini terjadi sebab  adanya lesi 


luas yang meliputi area Broca maupun 


Wernicke, bisa akibat infark luas daerah 


parenkim otak yang diperdarahi oleh 


arteri serebri media. Gangguan terjadi 


pada seluruh komponen fungsi berbahasa. Terkadang afasia global juga dapat 


disertai dengan apraksia verbal.


Fluensi terganggu dengan produksi kata 


terbatas pada satu-dua kata yang tidak 


memiliki makna, bahkan pasien tidak 


dapat berkata-kata sama sekali. Selain 


itu, gangguan juga nampak pada kemampuan pemahaman baik verbal maupun 


literal, serta kemampuan repetisi, membaca, dan menulis.


4. Afasia Transkortikal (Ekstrasylvian)


Istilah afasia transkortikal pertama kali 


dikenalkan oleh Carl Wernicke, 1881 


dan Lichtein, 1885. Goldstein tahun 


1917 dalam die transkortikalen aphasien


memberi catatan bahwa istilah transkortikal yang disematkan pada afasia itu 


keliru, sebab  dapat dipersepsi sebagai 


afasia yang menghubungkan antara dua 


area kortikal (Broca dan Wernicke). Benson dan Ardila mengusulkan istilah baru 


yaitu ekstrasylvian untuk menggantikan 


transkortikal, Afasia ekstrasylvian ini 


memiliki neuroanatomi di luar area perisylvii. Afasia ekstrasylvian motorik memiliki gangguan klinis berupa kesulitan 


dalam mengekspresikan bahasa, namun 


pemahaman relatif baik, dan repetisi 


yang intak. Menurut Benson dan Ardila 


afasia jenis ini terbagi menjadi dua tipe:


a. Tipe I (afasia dinamik), merupakan 


bentuk evolusi dari afasia Broca. Afasia ekstrasylvian motorik tipe I diperkirakan berada di area Broadmann 45 


hemisfer dominan, lebih anterior dari 


area Broca.


b. Tipe II (afasia supplementary motor


a rea /SMA), berada di supplementary


area hemisfer dominan.


Afasia ekstrasylvian sensorik pada konsep 


Wemicke-Lichtheim merupakan akibat 


putusnya hubungan antara area bahasa 


reseptif/sensorik (Wernicke) dengan 


pusat konsep. Afasia ekstrasylvian menurut Wernicke-Lichteim ini terbagi menjadi 


dua tipe:


a. Tipe i, terkadang disebut afasia amnestik Afasia jenis ini terletak di perbatasan antara lobus temporal, parietal, dan oksipital, terutama di girus angularis inferior dan area Broadmann 37.


b. Tipe II (afasia semantik). Afasia jenis 


ini terletak di korteks bagian posterior, 


termasuk girus temporalis posterior 


superior dan girus temporalis media.


Afasia ekstrasylvian campuran dapat 


terjadi pada gangguan perfusi serebrovaskular akibat hipoksia, keracunan karbonmonoksida, syok hipertensif, dan henti jantung, Infark/iskemik 


akibat gangguan perfusi itu dapat 


melibatkan zona batas otak, yaitu area 


yang berada di antara dua teritori 


pembuluh darah besar, dalam hal ini 


di antara teritori arteri serebri anterior dan serebri media.


5. Afasia Anomik


Semua pasien dengan afasia tipe anomik, 


memiliki masalah dalam mengingat nama 


sebuah benda. Gangguan penamaan ini 


disebabkan oleh gangguan dalam kemampuan berbahasa. Misalnya saat seorang 


pasien diminta untuk menyebutkan 


nama dari gambar pulpen, pasien akan 


menjawab "Benda yang dipakai  untuk 


menulis" pasien tidak bisa menyebutkan 


bahwa benda ini  bernama pulpen.


Afasia anomik yang terjadi pada seseorang dapat diakibatkan oleh adanya 


aneurisma pada pembuluh darah otak, 


sehingga menghambat aliran darah 


menuju area berbahasa. Afasia anomik 


biasanya disebabkan oleh adanya lesi 


pada Iobus temporal kiri inferior, di


dekat batas antara lobus temporal dan 


oksipital. Afasia ini juga dapat merupakan 


evolusi/perbaikan dari afasia global atau 


Wernicke. Kuadranopia kanan atas merupakan gejala lain yang dapat menyertai 


keadaan afasia anomik akut


6. Afasia Konduksi


Afasia konduksi memiliki gejala ketidakmampuan dalam mengulangi bahasa 


yang diucapkan. Afasia ini disebabkan 


adanya diskoneksi antara area Broca dan 


Wernicke, disebabkan oleh rusaknya fasikulus arkuata.


Seperti pasien pada afasia Wernicke, 


pasien afasia konduksi mampu mengucapkan kata dengan lancar namun 


banyak ada  kesalahan parafrase. 


Pemahaman pada pasien afasia konduksi 


masih bagus, namun sebab  adanya kerusakan pada jalur yang menghubungkan 


area Wernicke dan Broca memicu 


gangguan kemampuan repetisi dan naming. Pasien afasia konduksi tidak dapat 


membaca dengan suara keras, tetapi dapat 


membaca dalam hati dengan pemahaman 


yang bagus.


Kemampuan menulis juga kemungkinan 


terganggu, kemampuan mengeja bunik, 


disertai adanya penghilangan dan penggantian huruf. Banyak pasien afasia konduksi 


juga terganggu pergerakan voluntemya.


Secara ringkas gejala klinis sindrom afasia


klasik yang dinilai meliputi empat komponen (Tabel 3 dan Gambar 3] beserta alur 

Menurut Boston dkk, afasia diklasifikasikan 


berdasar :


1. Afasia fluen dan nonfluen


2. Afasia kortikal, subkortikal, atau transkortikal


3. Afasia konduksi (gangguan repetisi 


akibat kerusakan pada lobus parietal 


(insular) kiri)


Adapun berdasar  teori Luria, subtipe 


afasia terbagi menjadi:


1. Afasia motorik-eferen atau kinetik


2. Afasia motor-aferen atau kinestetik


3. Afasia akustik-agnostik


4. Afasia akustik-amnestik


5. Afasia semantik


6. Afasia dinamik


7. Afasia amnestik


Seperti tel ah dijabarkan sebelumnya, bahwa Benson dan Ardilla menolak adanya 


terminologi afasia transkortikal. Keduanya 


mengintegrasikan teori Boston dan Luria 


menjadi klasifikasi baru pada dua kriteria 


anatomi yang berbeda, yaitu (Tabel 4):


1. Afasia pre-Rolandik (anterior, nonfluen) 


atau post-Rolan dik (posterior, fluen)


2. Afasia perisylvian dan ekstrasylvian 

Namun kedua klasifikasi ini  dianggap masih beium memuaskan untuk penggunaan sehari-hari. Kenyataannya, istilah 


"afasia'’ dipakai  pada masalah -masalah  gangguan berbahasa primer/sentral maupun 


sekunder/perifer. Oieh sebab  itu, Ardila 


(2010) mengajukan klasifikasi baru seperti 


pada Tabel 5.

 

diagnosa  DAN diagnosa  BANDING


Menegakkan diagnosa  afasia, sebagaimana 


diagnosa  pada masalah  neurologi pada umumnya, perlu dikaji dari empat aspek, yaitu aspek 


Minis, topis, patologis, dan etiologis. Kajian 


dimulai sejak awal pemeriksaan Minis melalui anamnesis dan pemeriksaan fisik. Kajian 


diagnostik akan berkembang dan semakin 


akurat ditunjang oleh pemeriksaan Minis 


fungsi luhur lanjutan terutama modalitas 


bahasa, radiologis otak, dan penunjang lainnya yang relevan. Dalam Minis, diagnosa  


afasia dapat berubah dan/atau berkembang 


sesuai dengan kelengkapan pemeriksaan 


afasia selama pemantauan.


Sebelum menentukan diagnosa  afasia, 


penting diperhatikan diagnosa  banding 


gangguan bicara atau gangguan komunikasi 


pada pasien. Hal ini untuk memastikan afasia 


atau gangguan Minis lain, yaitu:


X. Disartria Berat


Disartria yang dimaksud tidak hanya paresis saraf XII, tetapi dapat merupakan defisit neurologis berbagai pusat atau jaras 


motorik otot-otot bicara lainnya. Disartria 


dapat disalahartikan sebagai afasia nonfluen. Pada disartria, gangguan terletak 


pada vokalisasi hurufkonsonan. Jika pasien 


mampu menirukan tata urutan hurufvokal 


dari kata atau kalimatyang diberikan, maka 


lebih diduga suatu disartria. Gangguan pada 


afasia nonfluen lebih diaMbatkan pada 


pemrograman kata, sehingga tata urutan 


huruf vokal tidak dapat benar disebutkan 


pasien. Pada tipe yang berat, cenderung 


hanya bicara aaa.. aaa.. saja.


2. Demensia


Afasia dapat merupakan bagian dari sindrom demensia. Namun demikian, jika


ada  ranah (domain) gangguan fungsi 


luhur lain yang nyata sesuai dengan kriteria 


diagnosa  demensia, maka lebih tepat diagnosisnya ditegaMcan sebagai demensia.


3. Psikosis


Gangguan isi pikir atau asosiasi pikir 


pada diagnosa  psikiatri perlu dibedakan 


dari gangguan pemahaman kemampuan 


bahasa. Pasien afasia memiliki tilikan 


yang baik, menyadari ada yang tidak 


beres dengan komunikasinya. Lain halnya dengan skizofrenia, kemampuan 


pemahaman bahasa tidak terganggu, 


tetapi memiliki tilikan yang buruk.


4. Gangguan Pendengaran (Tuli Reseptif maupun Perseptif)


Pasien dengan gangguan pendengaran 


yang didapat sesudah  dewasa, isi bicaranya dapat dimengerti dan terstruktur 


baik, meskipun kadangsalah dengar. Pada 


gangguan pendengaran sebelum kemampuan bahasa matur, ekspresi bicaranya 


dapat terganggu, namun dapat berkomunikasi dengan bahasa isyarat, pertanda ia 


memahami dan mampu mengekspresikan maksudnya dengan baik. Kiinis berbeda yang ditampilkan oleh pasien afasia 


yaitu  adanya gangguan pemahaman 


yang bermasalah dan pemahamannya. 


Kadang juga muncul hal yang tidak dipahami dan pola kalimatnya tidak teratur.


5. Afemia/Mutisme


Pasien afemia atau mutisme bukanlah 


afasia motorik. Afemia didefinisikan 


sebagai hilangnya kemampuan artikulasi kata tanpa kehilangan kemampuan 


untuk menulis dan pemahaman bahasa 


yang diucapkan. Afemia juga mungkin 


berkaitan dengan apraksia bukofasial, 

sehingga memicu kehilangan kemampuan untuk menggerakkan mulut 


dan tidak mampu untuk menghasilkan 


suara, Pada pasien afasia motorik tampak usahanya yang memadai untuk bicara, namun terganggu ekspresi bicaranya, 


sedangkan pada afemia tidak terlihat 


usaha ini  sama sekali,


Afemia biasanya disebabkan lesi fokal 


hemisfer kiri yang memengaruhi bagian 


bawah dari korteks motorik primer (girus presentralis) dan korteks premotorik (area 44), serta diasosiasikan dengan 


penyakit serebral, seperti penyakit Pick, 


Alzheimer, dan Creutzfeldt-Jakob.


Pemeriksaan Penunjang


Metode pencitraan dapat mengkonfirmasi 


lokasi gangguan pusat bahasa. Termasuk 


pencitraan pembuluh untuk sistem karotis, 


vertebralis, dan intrakranial melalui angiografi, CT dan/atau MRI angiografi, USG Doppler arteri karotis dan vertebra, serta Doppler transkranial.


TATA LAKSANA


Proses pemulihan afasia cenderung memakan waktu lama, dari bulan hingga tahunan. Bahkan pada sebagian pasien dengan tingkat keparahan afasia berat, dapat 


menetap sepanjang sisa hidupnya. Maas dkk 


menunjukkan hanya 38% penderita afasia 


yang mengalami resolusi pada 7 hari pertama pascastroke. Lazar dkk mendapat  


bahwa 18 bulan sesudah  onset stroke, resolusi 


afasia komplit hanya didapatkan pada 24%, 


sedangkan 43% pasien masih menderita 


afasia yang signifikan.


Medikamentosa


Hingga saat ini belum ada penatalaksanaan


medikamentosa yang dinilai efektif. Tata 


laksana medikamentosa afasia akut akibat 


stroke terbatas pada kesegeraan pengembalian perfusi otak dalam satu jam pertama 


onset. Walaupun demikian, ada  studi 


terhdap pirasetam, donepezil, dan bromokriptin dapat memberikan luaran yang 


cukup menjanjikan.


Zhang dkk (2016) memaparkan pada ulasan 


sistematisnya bahwa ada  variasi pemberian pirasetam dari 7 studi randomized


controlled trial (RCT) antara 6 minggu sampai 6 bulan. Dosis pemberiannya konsisten 


yaitu 4800mg dan dapat diberikan dalam 


dosis terbagi dua kali perhari. Pirasetam 


merupakan turunan siklik dari asam gamma 


aminobutirat (GABA) serta dianggap dapat 


berperan dalam tahap  akut dan subakut Namun mekanisme pirasetam belum dipahami 


dengan baik. Kasler dkk menduga pirasetam meningkatkan aliran darah otak di daerah bahasa utama yang berkorelasi positif 


dengan pemulihan bahasa. Mekanisme lain 


yaitu  melibatkan modulasi kolinergik, glutamatergik, dan dalam sistem neurotransmiter seperti GABA-ergik.


Donepezil dan agen kolinergik lain, seperti 


galantamin, bifeleman, dan fisostigmin 


menunjukkan beberapa efek terapi positif 


afasia pascastroke. Donepezil merupakan 


penghambat antikolinesterase yang bekerja 


sentral dan selektif. Donepezil diduga memfasilitasi neurotransmisi pada sambungan 


kolinergik otak ke daerah bahasa. Jalur ini 


berperan penting untuk plastisitas potensial jangka panjang meningakatkan atensi, 


pembelajaran dan memori.


Sebuah studi meneliti efek donepezil pada 


11 pasien yang di evaluasi selama 20 minggu 

impat minggu pertama diberikan dosis 5mg, 


iilanjutkan lOmg selama 12 minggu. Selama 


)bservasi empat minggu selanjutnya, ter- 


;atat efek perbaikan fungsi berbahasa pada 


Dasien, yaitu diskriminasi fonemik, repetisi 


sata, mencocokkan gambar, menamai benda 


ian peningkatan skor proses semantik leksi- 


<al, serta luaran fonologi yang signifikan.


Vlemantin merupakan agonis reseptor Nnetil-d-aspartat (NMDA], juga sudah diuji 


iengan RCT pada afasia dengan dosis lOmg 


iua kali sehari dan dilaporkan berhubungm dengan efek jangka panjang perbaikan 


temampuan komunikasi fungsionai.


M o n m e d ik a m e n to sa


Kemajuan teknologi mutakhir dan perkemitangan studi neurosains menghasilkan 


nemahaman lebih mendalam tentang neurorestoratologi, yaitu ilmu yang mempelaari proses reorganisasi otak dan relearning


pemulihan fungsionai suatu keterampilan 


pascacedera otak.


Dleh sebab  itu, penatalaksanaan nonmeditamentosa pada afasia perlu mempertimbangkan dasar serta prinsip neurorestorasi 


ini , terutama mekanisme neuroplastisitas. Untuk tata laksana neurorestorasi bagi 


afasia, selengkapnya dapat dilihat pada bab 


Prinsip Dasar Neurorestorasi Pascacedera 


Saraf.


C O N TO H masalah 


Laki-laki 44 tahun datang dengan keluhan tidak nyambung ketika diajalc bicara sejak 4 bulan sebelum masuk RS. Keluhan ini dirasakan 


oleh istri pasien secara mendadak. Pasien 


tampak tidak memahami pertanyaan, kesulitan mengulang pertanyaan, dan jawaban inkoheren dengan pertanyaan, tetapi pengucapan 


kata-katanya jelas. Kadangkala jawaban juga 


bercampur dengan kata-kata baru yang tidak 


dimengerti. Pasien terkesan sulit mengingat, 


berhitung, dan menjalankan suatu kegiatan. 


Pasien masih dapat melakukan alctivitas dasar 


sehari-hari secara mandiri seperti makan, 


mandi dan berpakaian. Tidak didapatkan keluhan lain ataupun riwayat penyakit


Pada pemeriksaan didapatkan tekanan darah 180/100mmHg, keadaan fisik lain dan 


status neurologis dalam batas normal. Di-

 

lakukan MRI kepala memakai  kontras 


dua minggu kemudian (Gambar 5), 


P ertan y aan :


1. Apakah diagnosa  yang paling mungkin pada pasien di atas?


2. Komponen bahasa apa sajakah yang 


terganggu pada pasien di atas?


3. Jelaskan korelasi Idinis pasien di atas 


dengan penunjang yang diberikan?


4. berdasar  lokasi lesi, vaskularisasi 


manakah yang paling mungkin terganggu?


5. Tata laksana apakah yang dapat direkomendasikan?


Jaw aban:


1. Afasia tipe fluen (afasia Wernicke] 


pada stroke iskemik.


2. Repetisi, pemahaman, penamaan, 


memori, ada  neologisme.


3. Lokasi lesi terletak pada lobus temporal lari, dapat sesuai dengan hemisfer 


dominan sebagai pusat bahasa. Sebagian besar strulctur yang berperan pada 


gangguan dari komponen bahasa poin 


nomor 2 ada  pada lobus ini .


4. Arteri serebri media (MCA) segmen 


M2 ldri.


5. Medikamentosa terapi sesuai etiologi. 


Dapat ditambah neuroprotektor seperti Piracetam, donepezil, atau memantin. Nonmedikamentosa dapat 


dipilih terapi multi mo dalitas bahasa 


dengan variasi sensorik serta rTMS. 







IN FE K SITUBERKULOSIS PADA 


SUSUNAN SARAF PUSAT 



Patologi infeksi tuberkulosis (TB) di sistem 


saraf pusat (SSP) yaitu  meningitis, ensefalitis, massa intrakranial, mielitis, vaskulitis, dan infark. Patologi lain yang juga dijumpai yaitu  hidrosefalus, ventrikulitis, 


araknoiditis, tuberkuloma, dan abses otak. 


Pada tulisan ini istilah meningitis TB akan 


dipakai  sebagai nama umum untuk 


semua bentuk patologi infeksi TB di sistem 


saraf pusat.


Setiap keadaan yang menurunkan imunitas 


akan memudahkan terjadinya reaktivasi 


dan penyebaran infeksi TB. Infeksi human


immunodeficiency virus/acquired immunodeficiency syndrome (HIV/AIDS], diabetes 


melitus, dan pemakaian  obatyang bersifat 


imunosupresif memudahkan terjadinya infeksi TB.


Dalam menghadapi masalah  meningitis TB, 


dokter spesialis saraf tidak hanya bertanggung jawab pada diagnosa  dan kuratif, 


namun juga memiliki tanggung jawab kesehatan masyarakat oleh sebab  TB yaitu  


penyakit menular yang wajib dilaporkan. 


Kecepatan dalam menegakkan diagnosa  


meningitis TB merupakan indikator prognosis yang dapat menurunkan angka kematian dan kecacatan.


EPIDEMIOLOGI


Meningitis TB merupakan manifestasi infeksi 


tuberkulosis yang paling berat dan menimbulkan kematian dan kecatatan pada 50% 


penderitanya. Angka kejadian meningitis 


sekitar 1% dari seluruh masalah  TB. Berdasarkan WHO Global TB Report 2016, estimasi 


insidens TB di negara kita  pada tahun 2015 


yaitu  1.020.000 orang.


Enam negara dengan insidens TB tertinggi 


didunia secara berurutan dari yang paling 


tinggi yaitu  India, negara kita , Cina, Nigeria, 


Pakistan, dan Afrika Selatan yang menyumbang 60% dari total insidens TB secara 


global. Adapun jumlah kematian akibat TB 


di negara kita  diperkirakan berjumlah 61.000 


per tahunnya, diperkirakan sebagian besar 


disebabkan oleh meningitis TB.


TB merupakan infeksi oportunistik tersering 


pada pasien HIV, dan merupakan pemicu  


kematian terbanyak pada pasien dengan 


AIDS. Meningkatnya angka infeksi HIV juga 


memiliki kontribusi terhadap peningkatan 


insidens TB di seluruh dunia. Estimasi jumlah orang dengan HIV/AIDS di negara kita  


sekitar 190.000-400.000, sedangkan estimasi nasional prevalensi HIV pada pasien 


TB baru yaitu  2,8%. Di RSUPN Cipto 


Mangunkusumo pada bulan Januari 2015


hingga April 2016 didapatkan 116 (40,1%] 


masalah  meningitis TB dari total 289 masalah  infeksi otak (Tabel 1].


PATOFISIOLOGI


Bakteri M. tuberculosis bersifat anaerob, tidak membentuk spora, dengan pewarnaan 


Ziehl Neelsen akan menghasilkan basil tahan 


asam (BTA) yang berukuran lebar 0,3-0,6 pm 


dan panjang l-4pm . Bakteri ini tumbuh lambat dan tahan terhadap suhu rendah (4-7°C), 


namun peka terhadap panas, sinar matahari, 


dan sinar ultraviolet


Kuman TB masuk melalui inhalasi bakteri 


yang berlanjut dengan kolonisasi makrofag 


dalam alveolus. Pada infeksi TB paru yang 


aktif, bakteri akan mengalami penyebaran ke 


kelenjar getah bening dan masuk dalam aliran 


darah sistemik, Secara hematogen bakteri TB 


mencapai SSP dan membentuk fokus infeksi


di parenkim otak. Secara patologi, fokus infeksi memperlihatkan gambaran lesi fokal 


berupa peradangan granulomatosa nekrotik. 


Fokus infeksi di parenkim otak dapat menjadi 


infeksi laten atau mengalami aktivasi di kemudian hari. Fokus infeksi di daerah subkortikal 


yang mengalami aktivasi dapat pecah ke dalam 


ruang subaraknoid dan melepaskan bakteri 


TB ke dalam cairan serebrospinal (CSS] dan 


bermanifestasi sebagai meningitis (Gambar 1].


Fokus infeksi di parenkim otak dapat 


berkembang menjadi tuberkuloma atau 


membesar menjadi abses TB. Selain di parenkim otak, fokus infeksi juga terjadi di 


dinding pembuluh darah (vaskulitis] dan 


dapat bermanifestasi sebagai stroke. Cabang perforata arteri serebri media merupakan pembuluh darah yang paling sering 


terlibat dan menimbulkan infark di ganglia 


basal dan kapsula interna. 

Sistem imun di parenkim otak bersifat 


kurang tanggap dibandingkan pada organ 


lain. Hal ini ditandai oleh minimnya ekspresi 


antigen presenting cells (APC), rendahnya keberadaan sel dendrit, dan rendahnya ekspresi moleku! major histocompatibility complex (MHC) kelas II, Diduga sifat ini penting 


untuk membatasi kerusakan akibat reaksi 


infiamasi di otak yang memiliki tingkat regenerasi yang minimal. Pada meningitis TB, 


sasaran utama infeksi M. tuberculosis yaitu  


mikroglia. Mikroglia merupakan makrofag 


utama pada parenkim otak yang memiliki 


kemampuan yang rendah dalam pengenalan 


antigen. Pada aktivasi mikroglia yang terinfeksi terjadi produksi dan pelepasan sitokin 


dan kemokin, hal ini bersifat destruktif terhadap parenkim otak. Kerusakan mikroglia 


juga memicu apoptosis dan gangguan 


regenerasi sel neuron.


Reaktivitas imun yang bersifat selektif menyebabkan reaksi infiamasi di parenldm otak tidak terjadi segera sesudah  diseminasi hematogen bakteri TB ke dalam ruang intrakranial. 


Penelitian Rich dan McCordock memperlihatkan bahwa respons infiamasi pada meningitis 


terjadi beberapa bulan sesudah  proses penyakit menjadi aktif. Studi pada tikus menunjukkan bahwa tidak segera terlihat respons dari 


sel T dan antibodi di parenkim otak sesudah  


penyuntikan Bacillus Calmette-Guerin (BCG) 


secara intrakranial. Respons intrakranial baru 


akan timbul sesudah  terjadi sensitisasi sistem 


imun di perifer. Fenomena lambatnya respons 


imun intrakranial ini dapat dilihat pada masalah  


bertambahnya tuberkuloma mesldpun pengobatan meningitis TB telah diberikan.


GEJALA DAN TANDA KLINIS


diagnosa  dini dan mulainyaobat anti tuberkulosis (OAT) secara cepat sangat menentukan prognosis meningitis TB. Untuk 


membuat diagnosa  dini, dokter tidak perlu 


menunggu gejala klinis meningitis yang klasik menjadi lengkap. Gambaran klinis infeksi TB pada susunan saraf pusat tidak khas, 


terutama pada awal penyakit, bergantung 


pada proses patologi yang terjadi dan perjalanan penyakitnya.


Rerata durasi onset gejala meningitis TB 


yaitu  5-30 hari, tidak ada perbedaan antara 


pasien dengan atau tanpa HIV. Durasi gejala 


lebih dari 6 hari telah dapat membantu memilah etiologi meningitis TB dan bakterialis pada 


pasien anak dan dewasa dengan HIV negatif, 


namun tidak dapat membedakan meningitis 


TB dengan meningitis kriptokokus yang juga 


bermanifestasi sebagai meningitis subakut.


TB milier dengan keterlibatan SSP akanbermanifestasi infeksi sistemik berat dengan demam beserta tanda infeksi lainnya. Manifestasi 


stroke akibat fokus infeksi TB di pembuluh darah dapat saja terjadi tanpa disertai manifestasi meningitis. Demam tidak selalu ditemukan, 


baik dalam anamnesis maupun melalui pengukuran suhu dengan memakai  termometer. 


Infeksi TB pada SSP juga dapat bermanifestasi 


sebagai tuberkuloma, yang dapat terjadi tanpa 


memperlihatkan gejala klinis yang berarti dan 


baru menimbulkan keluhan sesudah  menimbulkan efek massa kejaringan disekitarnya.


Secara umum dapat dikatakan bahwa