ada pergerakan bola
mata yang horizontal pada pasien penurunan kesadaran, kemungkinan pemicu nya bukan akibat lesi struktural di
batang otak, namun kelainan nonstruktural (seperti gangguan metabolik) atau
lesi bilateral pada hemisfer.
Pergerakan bola mata dikatakan tidak normal
jikaiPada tes kalori dengan air dingin, jika
bola mata ipsilateral tidak bisa melakukan
gerakan aduksi, sementara bola mata kontralateral dapat melakukan gerakan abduksi
dengan normal, perlu dicurigai adanya lesi
yang mengenai nervus okulomotor (nervus III). Lesi ini bisa dalam bentuk
lesi hemisfer yang mengaldbatkan herniasi
transtentorium.
• Jika bola mata tidak berespons terhadap tes kalori dengan air dingin,
perlu dicurigai adanya lesi struktural
di pons atau kelainan metabolik yang
mengenai batang otak, seperti intoksikasi obat sedatif.
® Deviasi bola mata ke bawah pada
salah satu atau kedua mata pada tes
kalori dengan air dingin, umumnya
ditemukan pada masalah intoksikasi
obat sedatif.
5. Pemeriksaan Respons Motorik fcerhadap Nyeri
Pemeriksaan respons motorik terhadap
nyeri dilakukan dengan cara memberikan tekanan pada supraorbita, sternum,
atau kuku, Respons terhadap stimulus
ini dapat mengindikasikan pemicu
penurunan kesadaran di hemisfer secara
simetris (gangguan metabolik atau lesi
difus) atau asimetris (lesi struktural unilateral), serta membantu lokalisasi letak
disfungsi serebral.
Pada disfungsi serebral derajat sedang,
respons pasien terhadap nyeri yaitu
dengan cara melokalisasi ke arah datangnya stimulus. Jika lesi mengenai talamus,
maka respons akan berupa dekortikasi,
yaitu fleksi lengan, aduksi bahu, dan ekstensi tungkai serta kaki yang terjadi secara simultan (Gambar 5). Pada disfungsi
otak yang lebih berat, rangsang nyeri
akan direspons dalam bentuk deserebrasi,
yaitu ekstensi lengan, rotasi internal
bahu dan lengan, serta ekstensi tungkai
yang terjadi secara simultan (Gambar 5).
Respons postur yang bilateral dan simetris
akan ditemukan pada lesi hemisfer bilateral
dan metabolik. Postur yang unilateral dan
asimetris umumnya mengindikasikan lesi
struktural pada 1 hemisfer atau batang otak
sisi kontralateral tubuh yang mengalami defisit neurologis. Pada pasien dengan lesi di
pons bawah dan medula, umumnya tidak
ada respons terhadap rangsang nyeri, hanya
akan ada refleks spinal dalam bentuk fleksi
tungkai di lutut Pada penurunan kesadaran
akibat gangguan metabolik atau intoksikasi,
refleks tendon umumnya akan tetap dapat
ditemukan, kecuali pada kondisi koma dalam.
Satu hemisfer luas, respons abnormal pada
ekstremitas kontralateral berupa dekortikasi (atas); lesi di mesensefalon, berupa
dekortikasi (tengah); dan di pons atas berupa deserebrasi (bawah)
6. Funduskopi
Pemeriksaan funduskopi dapat memberikan gambaran papiledema atau perdarahan retina yang dapat terjadi pada masalah
hipertensi akut atau kronik, atau peningkatan tekanan intrakranial. Sementara itu,
perdarahan subhialoid (superficial retina)
merupaican suatu tanda kuat perdarahan
subaralmoid.
Umumnya sebagian besar diagnosa penurunan kesadaran dapat dibuat segera berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik
yangteliti. Pemeriksaan penunjang dibutuhkan untuk mencari etiologinya. Pada pasien
dengan tanda dan gejala lesi struktural atau
peningkatan tekanan intrakranial, memerlukan pemeriksaan CT scan atau MRI kepala. Pungsi lumbal dilakukan jika ada
kecurigaan infeksi intrakranial, asal berhatihati dengan risiko herniasi.
Jika penurunan kesadaran dicurigai akibat
intoksikasi zat tertentu, dapat dilakukan aspirasi dan analisis isi lambung, juga analisis
kromatografi darah dan urin untuk mengetahui konsentrasi opiat, benzodiazepin, barbiturat, alkohol, dan substansi toksik lainnya. Spesimen urin dikumpulkan dengan
kateter guna menentukan kadar glukosa,
keton, dan protein urin. Proteinuria dapat
ditemukan 2-3 hari pasca perdarahan subaraknoid. Urin dengan kadar glukosa dan
keton tinggi ditemukan pada pasien koma di-
abetikum, sedangkan urin dengan glikosuria
transien dan hiperglikemia dapat ditemukan pada pasien dengan lesi serebral.
Pemeriksaan darah terhadap konsentrasi
glukosa, ureum, kreatinin, amonia, elektrolit/
SGOT, dan SGPT perlu dilakukan pada evaluasi awal pasien untuk mengeksklusi kemungkinan penurunan kesadaran akibatgangguan
metabolik. Begitu juga dengan analisis gas
darah, hanya jika pasien menunjukkan tanda dan gejala insufisiensi pernapasan atau
gangguan asam-basa. Hitung jenis dan apus
darah tebal-tipis dilakukan pada pasien dengan riwayat berpergian ke daerah endemik
malaria. Leukositosis neutrofilik ditemukan
pada masalah infeksi bakteri dan perdarahan
serta infark otak. EEG juga dapat dilakukan
jika pada pemeriksaan awal tidak ditemukan
bukti yang adekuat, untuk menegakkan status epileptikus nonkonvulsif yang dapat menyebabkan penurunan kesadaran.
Klasifikasi
1. Penyakit yang memicu penurunan
kesadaran tanpa adanya tanda defisit
neurologis fokal atau lateralisasi, umumnya dengan fungsi batang otak normal.
Pemeriksaan CT scan atau MRI dan analisis cairan serebrospinal (CSS) umumnya
normal.
a. Intoksikasi: alkohol, barbiturat, opiat,
dan obat sedatif lainnya.
b. Gangguan metabolik: anoksia, asidosis metabolik, uremia, gagal hati, hiperosmolar hiperglikemia nonketotik,
hipo- dan hipernatremia, hipoglikemia, krisis adrenal, defisiensi nutrisi,
intoksikasi karbon monoksida, dan
ensefalopati Hashimoto.
c. Infeksi sistemik yang parah: pneumonia, peritonitis, demam tifoid, malaria,
septikemia, dan sindrom WaterhouseFriderichsen.
d. Kegagalan sirkulasi (syok).
e. Post-seizure state, status epileptikus
konvuisif dan nonkonvulsif.
f. Ensefalopati hipertensi dan eklampsia.
g. Hipertermia dan hipotermia.
h. Concussion.
i. Hidrosefalus akut.
j. Penyakit degeneratif stadium akhir
dan Creutzfeldt-Jakob disease.
2. Penyakit yang dapat memicu
penurunan kesadaran disertai dengan
iritasi selaput meningen dengan atau
tanpa demam. Analisis CSS ditemukan
peningkatan sel darah putih, umumnya
tanpa tanda lateralisasi atau lesi fokal di
serebral atau batang otak, gambaran CT
scan atau MRI abnormal.
a. Perdarahan subaraknoid yang berasal
dari ruptur aneurisma, malformasi
arteri-vena, atau trauma.
b. Meningitis bakterial akut, ensefalitis
virus, parasit.
3. Penyakit yang dapat memicu penurunan kesadaran disertai dengan lateralisasi atau tanda fokal batang otak atau
serebral dengan atau tanpa abnormalitas hasil analisis CSS. Hasil pemeriksaan
CT scan dan MRI memberikan gambaran
abnormal.
a. Perdarahan hemisfer atau infark masif.
b. infark batang otak akibat trombosis
arteri basilar atau emboli.
c. Abses otak, empiema subdural, ensefalitis herpes.
d. Perdarahan epidural dan subdural;
kontusio otak.
e. Tumor otak.
f. Perdarahan serebelar dan pontin.
g. Lain-lain: trombosis vena korteks,
ensefalitis virus (herpes), infark emboli fokal akibat endokarditis bakterial, leukoensefalitis perdarahan akut,
ensefalomielitis diseminata, lirhfoma
intravaskuiar, trombositopenia purpura, emboli lipid difus, dan lainnya.
diagnosa BANDING
1. Psychogenic unresponsiveness
diagnosa ini merupakan suatu diagnosis eksklusi dan ditegakkan hanya jika
tidak ada bukti yang kuat untuk
menegakkan diagnosa penyakit lainnya.
Psychogenic unresponsiveness merupakan
manifestasi Minis dari skizofrenia (tipe
katatonik), kelainan somatoform, atau
malingering. Pa da pemeriksaan fisik
umum tidak ditemukan adanya kelainan
dan pada pemeriksaan fisik neurologis
ada penurunan tonus otot simetris,
refleks yang normal, dan respons yang
normal terhadap stimulasi plantar. Pada
pemeriksaan tes kalori dengan air dingin
ditemukan adanya nistagmus tahap cepat
yang tidak akan ditemukan pada pasien
dengan penurunan kesadaran. Selain itu,
pemeriksaan dengan EEG akan memberikan gambaran gelombang normal
pada pasien sadar.
2. Persistent vegetative state
Beberapa pasien dengan penurunan kesadaran akibat hipoksia serebral, iskemia serebral global, trauma kepala, atau
stroke yang mengenai kedua hemisfer
dapat kembali sadar sesudah mengalami
penurunan kesadaran, namun kembalinya tingkat kesadaran ini tidak
diikuti dengan kembalinya kewaspadaan
(awareness). Jika kondisi ini ter us berlangsung selama >1 bulan, pasien ini dikatakan berada dalam kondisi vegetatif
(persistent vegetative state). Pasien yang
berada dalam kondisi vegetatif memiliki kemampuan membuka mata secara
spontan, siklus bangun-tidur yang normal,
dan fungsi batang otak serta otonom
yang intak.
3. Locked-in syndrome
Transeksi fungsional pada batang otak di
bawah pons tengah, dapat mengganggu
jalur descending formation retikularis
(yang bertanggung jawab mengatur kesadaran). Transeksi ini dapat diakibatkan
oleh infark pons, perdarahan, mielinolisis
pontin sentral, tumor, atau ensefalitis. Transeksi ini akan memicu kondisi
akinetik dan mute state, namun dengan
derajat kesadaran penuh. Pasien yang
mengalami kondisi ini akan terlihat berada dalam kondisi stupor-koma, tetapi
sebenarnya sadar penuh walaupun mengalami kuadriplegia dan mutisme. Pada
pemeriksaan fisik akan ditemukan gambaran pergerakan volunter yang dikendalikan oleh midbrain, seperti kemampuan
membuka mata spontan, pergerakan vertikal bola mata, dan gerakan konvergen
bola mata. Hasil pemeriksaan EEG akan
menunjukkan gambaran normal.
4. Brain death
diagnosa brain death ditegakkan jika:
1) fungsi respirasi dan sirkulasi berhenti
secara ireversibel atau 2) seluruh fungsi
otak terhenti secara ireversibel. Pada
pemeriksaan fisik didapatkan semua refleks batang otak negatif.
TATA LAKSANA
Pada prinsipnya, setiap gangguan di intrakranial yang mendesak ARAS, maupun
gangguan sistemik tubuh yang mengganggu
neuron secara difus dapat memicu
penurunan kesadaran. Maka pada setiap
pasien dengan penurunan kesadaran,
yang pertama dicari yaitu adanya gangguan
intrakranial, oleh sebab harus diatasi
segera untuk mencegah kerusakan lebih
lanjut. Jika ternyata pemicu nya yaitu kelainan sistemik, maka penanganannya pun
perlu dipertimbangkan dari sudut pandang
neurologi agar otak tetap terjaga dan terhindar dari komplikasi ensefalopati yang dapat
bersifat ireversibel di kemudian hark
Jadi tata laksana akan sangat bergantung
pada etiologinya. Namun kadang etiologi
tidak dapat langsung ditemukan, sehingga
pengobatan nya belum bisa spesifik. Oleh
sebab pada penurunan kesadaran terjadi
penurunan refleks-refleks dasar termasuk
menelan dan bisa terjadi gangguan napas,
maka diperlukan tata laksana awal yang
bersifat suportif, untuk memperbaiki kondisi akutyang mengancam nyawa seperti:
a. Bebaskan jalan napas dengan suction jika
ada lendir di jalan napas atau posisikan pasien sehingga menghadap ke lateral.
b. Berikan oksigen dengan nasal kanul
atau sungkup dan lakukan pemeriksaan
analisis gas darah jika dibutuhkan. Jika
pasien diketahui ada hipoksia atau
hipoventilasi dan tidak memiliki kemampuan mencegah aspirasi, maka dapat dipertimbangkan intubasi endotrakeal
c. Untuk mencegah kegagalan sirkulasi, pasang jalur intravena dan lakukan pemeriksaan darah untuk mengetahui kadar
glukosa, elektrolit, fungsi hati, fungsi ginjal, atau kadar obat-obatan tertentu yang
dicurigai memicu terjadinya penurunan kesadaran.
d. Jika ada tanda dan gejala peningkatan tekanan intrakranial akibat stroke
atau perdarahan, dapat diberikan manitol
25-50mg dalam solusio 20% intravena
selama 10-20 menit, atau deksametason
loading lOmg IV jika diperkirakan akibat
massa atau infeksi intrakranial.
e. Antibiotik spektrum luas diberikan pada
pasien dengan gejala dan tanda yang
mengarah pada meningitis atau ensefalitis bakterialis, jika pungsi lumbal tidak
dapat dilakukan segera.
f. Jika pasien kejang, berikan diazepam intravena perlahan.
g. Jika ada tanda dan gejala intoksikasi
zat atau substansi tertentu, perlu dilakukan bilasan lambung untuk diagnosa dan
terapi. Namun, perlu diperhatikan ada
beberapa obat (salisilat, opiat, dan obatantikolinergik) yang dapat memicu atonia gaster sehingga bilasan lambung tidak
dapat dilakukan sebab dapat mengakibatkan perforasi. Pada masalah seperti ini, pasien
dapat diberikan activated charcoal
h. Jika pasien mengalami gangguan pengaturan suhu tubuh, perlu dilakukan koreksi
guna mencegah hipo- atau hipertermia.
i. Pemasangan kateter urin guna mencegah
peningkatan intra-abdomen yang berbahaya pada masalah penurunan kesadaran
dengan peningkatan tekanan intrakranial, juga berfungsi untuk memonitor balans cairan pasien.
j. Pemasangan pipa nasogastrik untuk
memudahkan pemberian nutrisi dan
mencegah aspirasi.
k. Mobilisasi pasif dengan cara merubah
posisi pasien miring ke kiri dan kanan secara teratur tiap 2 jam untuk mencegah
uikus dekubitus.
L Jaga kebersihan konjungtiva dan mulut
pasien untuk mencegah pertumbuhan
bakteri.
Pada dasarnya, prognosis pasien dipengaruhi
oleh penyakit dasar yang memicu penurunan kesadaran. Pemulihan akibat gangguan
metabolik memiliki prognosis yang lebih baik
dibandingkan dengan penurunan kesadaran
aldbat anoksia. Jika dalam pemeriksaan fisik
tidak ditemukan adanya respons pupil, kornea, atau okulovestibular dalam beberapa jam
sesudah onset koma, maka sangat kecil kesempatan untuk perbaikan kembali. Hal itu terutama jika tidak terjadi pemulihan dalam 1-3
hari sesudah onset penurunan kesadaran.
CONTOH masalah
Wanita, 65 tahun, tiba-tiba tidak sadarkan diri saat bangun tidur di pagi hari. Sebelumnya ia merasa lemas seluruh badan
dan sakit kepala, tak lama kemudian suami
pasien menemukannya terjatuh dan tidak
memberikan respons. Pasien pernah terjatuh hingga kepala terbentur tiga hari yang
lalu. Pasien memiliki riwayat mengonsumsi
obat-obatan untuk hipertensi dan diabetes.
Riwayat penyakit keluarga pasien meliputi
stroke pada ibu pasien dan tumor telinga
tengah pada saudara laki-lakinya.
P ertan y aan :
1. Apakah kemungkinan diagnosa pada
pasien?
2. Apakah intervensi awal yang dibutuhkan pasien ketika pasien sampai di IGD?
3. Apakah pemeriksaan yang dibutuhkan pada pasien?
4. Apakah pemeriksaan penunjang yang
dibutuhkan pada pasien dalam waktu
24 jam?
jaw ab an :
1. diagnosa banding etiologi penurunan
kesadaran pada pasien yaitu sebagai
berikut:
a. Hipoglikemia sebab pasien memiliki
riwayat mengonsumsi obat-obat untuk
hiperglikemia
b. Trauma kepala sebab pasien memiliki riwayat trauma kepala tiga hari
yang lalu
c. Stroke sebab pasien memiliki riwayat
hipertensi dan memiliki riwayat penyakit keluarga stroke
d. Massa intrakranial sebab pasien memiliki riwayat penyakit keluarga tumor
pada telinga
2. Tata laksana awal pada pasien dengan
penurunan kesadaran, meliputi:
a. Bebaskan jalan napas dengan suction
(jika ada cairan di jalan napas)
atau posisikan pasien sehingga menghadap ke lateral.
b. Berikan pasien oksigen dengan nasal
kanul atau sungkup dan lakukan pemeriksaan analisis gas darah jika dibutuhkan.
c. Untuk menghadapi kemungkinan
adanya kegagalan sirkulasi, pasang
jalur intravena dan lakukan pemeriksaan darah untuk me-ngetahui kadar
glukosa, elektrolit, fungsi hati, fungsi
ginjal, atau kadar obat-obatan tertentu yang dicurigai memicu
terjadinya penurunan kesadaran.
d. Jika ada tanda dan gejala peningkatan tekanan intrakranial akibat
perdarahan intrakranial akibat stroke
atau trauma, diberikan manitol 25-
50mg dalam solusio 20% secara intravena dalam waktu 10-20 menit Jika
disebabkan oleh lesi desak ruang aidbat inflamasi atau neoplasma, diberikan deksamethason bolus lOmg IV.
e. Jika pasien kejang, berikan antikonvulsan.
f. Lakukan pemasangan kateter urin.
g. Pertimbangkan pemasangan pipa nasogastrik untuk memudahkan pemberian
nutrisi dan mencegah aspirasi.
h. Lakukan imobilisasi dengan cara
merubah posisi pasien miring ke ldri
dan kanan secara teratur tiap 2 jam untuk mencegah ulkus dekubitus.
i. Jaga kebersihan konjungtiva dan mulut
pasien untuk mencegah pertumbuhan
bakteri.
3. Pemeriksaan fisik:
a. Primary survey: airway, breathing, circulation.
b. Pemeriksaan umum, meliputi tanda
vital, tanda trauma, tanda pada kulit,
funduskopi.
c. Pemeriksaan neurologis, meliputi
pemeriksaan derajat kesadaran,
tanda rangsang meningeal, pemeriksaan pupil, pemeriksaan gerakan bola
mata, dan pemeriksaan respons motorik terhadap nyeri.
4. Pemeriksaan penunjang yang dibutuhkan, meliputi:
a. CT scan atau MRI kepala mutlak pada
penurunan kesadaran akut dengan
defisit fokal atau gejala peningkatan
tekanan intrakranial.
b. Spesimen urin dikumpulkan dengan
kateter untuk pemeriksaan urinalisis guna menentukan kadar glukosa,
aseton, dan protein.
c. Pemeriksaan darah guna mengetahui
konsentrasi glukosa, ureum, kreatinin,
amonia, elektrolit, SCOT, dan SGPT perlu
dilakukan secara rutin untuk mengeksklusi kemungkinan penurunan kesadaran akibat gangguan metabolik. Begitu
juga dengan analisis gas darah, dilakukan hanya jika pasien menunjukkan tanda dan gejala insufisiensi pernapasan
atau gangguan asam-basa.
PENINGKATAN TEKANAN INTRAKRANIAL
Tempurung kepala manusia dewasa merupakan rongga yang berisi tiga komponen, yaitu jaringan otak (serebral serebelum, batang
otak, dan medula spinalis], darah di dalam
pembuluh darah, dan cairan serebrospinal
(CSS). Ketiganya terselubungi oleh struktur
jaringan yang kuat dan inelastis, yakni duramater. Dengan struktur ini , tempurung
kepala manusia dewasa merupakan rongga
yang tertutup dengan volume yang tetap dan
dalam keadaan yang seimbang, yang dikenal
sebagai doktrin Monro-Kellie.
Adanya peningkatan salah satu dari komponen akan dikompensasi dengan penurunan
volume komponen yang lain, sehingga
tekanan intrakranial (TIK) akan dipertahankan konstan. Contohnya penambahan
volume otak oleh massa intrakranial, akan
memicu kompensasi berupa pemindahan CSS ke rongga spinal, deformasi otak
melalui peregangan otak, serta pengurangan produksi CSS, Proses ini dinamakan
daya akomodasi tekanan volume otak atau
intracranial compliance.
Jika kompensasi ini gagal, maka akan
terjadi peningkatan TIK yang memicu
gangguan perfusi atau herniasi otak, sehingga berujung pada kematian. Sementara
berbagai keadaan patologis di otak, seperti
iskemia, perdarahan, inflamasi, neoplasma,
dan sebagainya dapat memicu peningkatan TIK yang dapat berlangsung cepat
jika tidak segera diatasi .
Oleh sebab itu, semua tindakan neuroemergency pada prinsipnya yaitu mengatasi peningkatan TIK untuk mencegah kecacatan
dan kematian. Hal ini hanya akan dapat berhasil
dengan memahami gejala dan mekanisme perubahan TIK, serta tata laksana peningkatan
TIK berdasar patofisiologinya.
EPIDEMIOLOGI
pemicu tersering peningkatan TIK pada
masalah neurologi yaitu trauma otak, stroke,
neoplasma, hidrosefalus, ensefalopati hepatikum, trombosis vena, ensefalitis, dan abses. Peningkatan TIK merupakan prediktor
perburukan keluaran pada banyak masalah
neurologi. Pada suatu studi trauma otak,
pada TIK kurang dari 20mmHg perburukan
keluaran terjadi pada 18,4% masalah . Pada
TIK lebih dari 40mmHg, keluaran memburuk hingga 3 kali lipatnya.
PATOFISIOLOGI
TIK pada orang dewasa normal yaitu sekitar 100-180mmH20 (8-14mmHg) pada posisi dekubitus lateral, tenang, dan tungkai
lurus. Rentang nilai normal TIK ini berubah
sesuai dengan keadaan dan posisi tubuh.
TIK juga berubah seiring mengikuti satu
siklus ritme pernapasan. Pada keadaan se-
seorang mengedan dan batuk, TIK akan meningkat sementara imtuk kemudian kembali normal.
Sebagaimana dijelaskan pada pendahuluan,
ada mekanisme kompensasi terhadap perubahan volume intrakranial untuk
menjaga TIK dalam rentang fisiologis. Kompensasi pertama yakni melalui sistem vena
yang dapat dengan mudah untuk kolaps
mengeluarkan darah melalui vena jugularis,
vena emisari, dan vena daerah kulit kepala
[scalp). Kompensasi kedua melalui peningkatan pemindahan aliran CSS dari foramen
magnum ke ruang subaraknoid.
Oleh sebab itu, penambahan volume intrakranial sampai batas tertentu tidak akan segera
meningkatkan TIK. Namun jika volume terus
bertambah sementara mekanisme kompensasi
sudah bekerja maksimal, maka akan terjadi
peningkatan TIK [intracranial pressure/ICP)
(Gambar 1) yang akan memicu kematian
melalui gangguan perfusi dan hemiasi otak
Peningkatan TIK akan menurunkan tekanan perfusi serebral [cerebral perfusion pressure/CPP), yang selanjutnya memicu
penurunan aliran darah serebral atau cerebral blood flow (CBF) dan memicu iskemik
global yang berakhir pada kematian. Jantung
dan sistem pembuluh darah juga berusaha
mengkompensasi dengan meningkatkan
rerata tekanan darah arteri [mean arterial
pressure/MA?) agar pada saat peningkatan
ICP tidak segera menurunkan CPP. Hal ini
sesuai dengan formula; CPP= MAP-ICP
Mekanisme kedua, peningkatan TIK yang tinggi
aldbat penambahan massa fokal di otak dapat
mendorong sebagian parenkim otak ke daerah
yang lemah yang tidak dibatasi oleh duramater,
seperti folks atau tentorium, yang disebut herniasi otak Pada akhirnya, dorongan parenldm
itu akan masuk ke satu-satunya daerah kosong
di intrakranial, yaitu foramen magnum, yang
menuju area batang otak yang sangat vital
fungsinya, Inilah yang paling ditakutkan dari
peningkatan TIK, yaitu kematian aldbat herniasi ke batang otak sebagai pusat kesadaran,
respirasi, dan kardiovaskular.
berdasar lokasinya herniasi otak dapat
dibagi menjadi empat, yaitu [Gambar 2):
1. H ern iasi C ingulata
Terjadi akibat penambahan massa intrakranial di daerah supratentorial.
Penambahan ini mendorong girus cinguli yang terletak di dekat falks serebri
(lapisan meningen yang memisahkan
kedua hemisfer), sehingga bergeser ke
hemisfer kontralateral.
2. H ern iasi S en tral
Terjadi akibat penambahan massa intrakranial yang jauh dari daerah tentorium, seperti pada lobus frontal, parietal,
dan atau oksipital. Sebagai contoh penambahan massa akibat perdarahan subdural
di lobus parietal dari kedua belah hemisfer akan mendorong diensefalon dan midbrain ke bawah melalui insisura tentorium.
3. H ern iasi T en torial (H ern iasi U nkal}
Merupakan herniasi yang sering terjadi,
terutama pada perdarahan epidural lobus temporal. Berbeda dengan herniasi
sentral, herniasi unkal terjadi akibat adanya penambahan massa intrakranial di
daerah temporal. Penambahan massa
ini , menekan massa otak di daerah
inferomedial (unkus) sehingga terdorong
kebawah melalui celah antara tentorium
dengan batang otak. Gejala khas herniasi
unkal yaitu penurunan kesadaran yang
semakin memberat, dilatasi pupil ipsilateral, dan hemiplegia kontralateral
4, H ern iasi T o n silar
Penambahan massa intrakranial di daerah
fossa posterior atau infratentorial dapat
memicu herniasi tonsilar. Sebagai
contoh perdarahan di daerah serebelum
yang masif dapat menekan serebelum
dan selanjutnya menekan batang otak, sehingga keluar melalui foramen magnum.
g e ja l a d a n t a n d a k l in is
Efek yang ditimbulkan akibat peningkatan
TIK tergantung pada patologi dan anatomi
yang menjadi pemicu nya. Pada masalah tumor intrakranial yang patologinya terjadi
secara gradual, gejala utama yang dikeluhkan berupa sakit kepala, sedangkan pada
masalah perdarahan intraserebral masif akibat
stroke akut dapat terjadi gejala yang sangat
berat, yaitu penurunan kesadaran. Adakalanya peningkatan massa intrakranial tidak
bergejala sampai terjadi kegagalan kompensasi untuk menurunkan TIK. Lesi desak ruang di serebelum tidak selalu menimbulkan
gejala, namun pasien dapat datang dengan
peningkatan TIK akibat hidrosefalus dari
obstruksi di ventrikel keempatyang menyebabkan kegagalan kompensasi.
Gejala dan tanda klasik peningkatan tekanan intrakranial yaitu adanya salat kepala, muntah,
dan papiledema. Sakit kepala dialdbatkan oleh
peregangan struktur peka nyeri di meningen
pada peningkatan TIK. Muntah biasanya menyertai saldt kepala tanpa didahului oleh mual,
sebab perangsangan pusat muntah di area
postrema (di sekitar ventrikel 4, dorsal dan
medula oblongata). Papiledema dapat menjadi tanda patognomonik adanya peningkatan
TIK dengan spesifisitas yang tinggi. Namun peningkatan TIK tanpa adanya papilledema juga
dapat terjadi pada lesi daerah oksipital.
Paresis nervus kranialis juga dapat terjadi
pada keadaan peningkatan TIK yang telah
menekan nukleus di batang otak Tanda yang
khas pada herniasi unkal yaitu dilatasi pupil
ipsilateral akibat penekanan nukleus EdingerWestphal di mesensefalon, sehingga tampak
pupil anisokor. Adapun nervus kranialis yang
paling sering terkena yaitu nervus abdusens,
yang merupakan nervus terpanjang yang berjalan di daerah subaraknoid, sesudah keluar
dari batang otak melintas di atas klivus. Maka
hal ini dapat dicari pada pemeriksaan fisik
atau ditanyakan Idiusus ada tidaknya diplopia
bersamaan dengan gejala saldt kepala.
Peningkatan TIK dapat memicu perubahan tanda vital. Pada tahap awal keadaan tersebut akan terjadi aktivasi sistem simpatis sebagai usaha tubuh untuk meningkatkan suplai
darah ke otak, sehingga terjadi peningkatan
tekanan darah dan takikardi. Jika peningkatan TIK terus berlanjut hingga memicu
penekanan batang otak, maka akan terjadi
Trias Cushing, yaitu peningkatan tekanan
darah, bradikardia, dan pola napas ireguler.
Trias ini merupakan gejala khas yang terjadi
pada keadaan iskemia general ataupun iskemia lokal akibat penekanan pada batang otak
Pola napas akan berbeda sesuai dengan
level batang otak yang mengalami kerusakan (Gambar 3). Lesi di daerah diensefalon dapat memicu pola napas
Cheyne-Stokes. Pernapasan hiperventilasi
aldbat kerusakan di midbrain dan pons bagian atas. Lesi di pons bagian tengah dapat
terjadi napas apneustik. Pola napas klaster
terjadi pada kerusakan terjadi pada bagian
bawah pons, sedangkan tipe ataksik pada
kerusakan di daerah medula oblongata.
diagnosa DAN diagnosa BANDING
Keadaan intrakranial dapat ditegakkan
dengan melihat gejala yang timbul pada
pasien. Diperlukan anamnesis yang detail
mengenai patofisiologi pemicu terjadinya
peningkatan TIK untuk memastikan patologi
pemicu . Hal ini bermanfaat dalam memilih
modalitas tata laksana penurunan TIK.
Tiga gejala kardinal keadaan peningkatan
TIK yang sebelumnya disebutkan yaitu
sakit kepala, muntah, dan papiledema. Selain gejala ini penting mengetahui
kumpulan gejala yang menunjukkan tingkat
herniasi dan lokasi kerusakan yang terjadi
akibat herniasi ini . Kumpulan gejala
perubahan pola napas, refleks pupil, refleks
okulosefaiik dan okulovestibular, serta respons motorik dapat membantu menentukan
topis kerusakan akibat herniasi (Gambar 4).
TATA LAKSANA
Tata laksana terbaik untuk menurunkan TIK
yaitu mengatasi pemicu nya. Namun bila
hal ini tidak dapat dilakukan, maka
dilakukan pendekatan lain baik secara medikamentosa maupun mekanik. Pada prinsipnya, tidak ada satu modalitas yang sangat
sesuai untuk mengatasi peningkatan TIK,
sebab perubahan TIK yang sangat dinamik.
Target akhirnya yaitu menjaga TIK di
bawah 20mmHg dan CPP diatas 60mmHg.
Pada pasien dengan peningkatan TIK yang
memerlukan pengawasan ketat, dapat
memakai kateter intrakranial untuk
memantau besarnya TIK sekaligus menguranginya bila terfadi peningkatan.
Tata laksana umum peningkatan TIK yaitu
menjaga oksigenasi dengan target saturasi
>94% atau Pa02 >80mmHg serta mempertahankan CBF tetap optimal dengan
menjaga tekanan darah sistolik >90mmHg
dan CPP >60mmHg. Selain itu diperlukan
pemantauan keseimbangan cairan dengan
target mempertahankan status cairan euvolemi serta menurunkan kebutuhan metabolisme dengan mencegah rasa nyeri, demam, dan agitasi.
Rumus berikut menggambarkan komponen/faktor yang memengaruhi perubahan
TIK untuk pertimbangan tata laksana khusus pada peningkatan TIK:
VCSS + V d a ra h + V o ta k + V m a ssa lain =
V ru a n g in tra k ra n ia l
K eteran gan :
VCSS: volume cairan serebrospinal; V darah: volume darah dalam pembuluh darah; V otak: volume
otak; massa lain: volume massa tambahan; V ruang
intrakranial: volume ruang intrakranial.
Volum e CSS
Pada peningkatan TIK akibat hidrosefalus,
tata laksana bisa dilakukan secara mekanik,
yaitu melakukan diversi aliran CSS. Diversi
ini dapat dilakukan secara permanen dengan pemasangan pirau ventrikel peritoneal (VP shunt) ataupun tindakan sementara
seperti drainase eksternal. Hal ini untuk
mengalihkan aliran CSS dari sistem ventrikel ke ekstrakranial ataupun peritoneum.
Bila tindakan diversi ini tidak dapat
dilakukan sebab faktor dari pasien ataupun patologinya, dapat diberikan medikamentosa untuk mengurangi produksi CSS,
seperti asetazolamid, furosemid, dan kortikosteroid. Asetazolamid merupakan suatu
agen karbonik anhidrase yang dapat mengurangi produksi CSS bervariasi hingga 66%.
Namun, asetazolamid juga memiliki efek
vasodilator yang dapat juga memperburuk
peningkatan TIK, sehingga harus hati-hati
pada cedera kepala tertutup.
Volum e D arah
Peningkatan CBF dapat meningkatkan cerebral blood volume (CBV) yang dapat berkontribusi meningkatkan TIK. Peningkatan CBV
atau keadaan hiperemia dapat menurunkan
compliance pembuluh darah dan peningkatan TIK. Hiperemia dapat terjadi pada
trauma kepala sebagai prediktor buruknya
keluaran pasien.
Tata laksana peningkatan TIK akibat hiperemia harus secara hati-hati dan dipastikan
diketahui proses patologi pemicu nya.
Beberapa tata laksana yang dianggap efektif untuk menurunkan CBV, di antaranya
yaitu dengan hiperventilasi dan elevasi
kepala 30°. Elevasi kepala akan memperlancar drainase vena dan aliran CSS yang di ke-
luarkan melalui sistim vena. Dengan tingkat
elevasi kepala hingga 60° tidak mengganggu
perubahan CPP.
Hiperventilasi dapat memicu vasokonstriksi pembuluh darah daerah pial dengan menahan responsivitas C02 pembuluh
darah. Responsivitas ini masih terjaga walaupun terjadi gangguan pada mekanisme
autoregulasi pembuluh darah akibat trauma
pada otak. Pada dewasa perubahan ltorr
PaC02 menurunkan 3% CBF. Dengan mekanisme vasokonstriksi ini, CBV akan turun,
diikuti penurunan TIK. Hiperventilasi dapat
memicu terjadinya alkalosis pada jaringan,
sehingga dapat menjadi buffer asidosis intraseluler dan CSS, yang sering terjadi pada
cedera kepala berat. Namun efek ini
tidak dapat berlangsung lama. Apabila dilakukan hiperventilasi berlebihan, maka
akan memicu iskemia yang berujung
pada kematian sel. Hiperventilasi dengan
target PaC02 32-35Torr dianggap cukup
menghindari risiko terjadinya iskemia.
Volum e O tak
Faktor ketiga dari volume intrakranial
yaitu penambahan massa otak, Hal ini terjadi sebab edema otak yang dapat disebabkan oleh berbagai patologi, yaitu:
° Edema interstisial
Edema akibat peningkatan tekanan CSS,
seperti pada keadaan hidrosefalus atau
gangguan penyerapan CSS akibat perdarahan intraventrikel
• Edema sitotoksik
Merupakan edema neuronal yang terjadi sekunder dari kerusakan sel akibat
gangguan pompa ATPase, seperti pada
keadaan diffuse axonal injury (DAI) atau
hipoksia pascastroke.
© Edema vasogenik
Akibat peningkatan permeabilitas endotel kapiler otak oleh pelepasan sitokin
proinflamasi pada tumor, abses, ensefalitis, dan meningitis.
Perbedaan mekanisme edema ini
akan memengaruhi tata laksana penurunan TIK. Pemberian cairan hiperosmolar
seperti manitol dan salin hipertonik akan
bekerja optimal bila sawar darah otak masih baik pada edema sitotoksik dan jangan
diberikan pada edema vasogenik. Beberapa
studi telah melaporkan efikasi pemberian
cairan ini pada cedera kepala, perdarahan
intraserebral, dan perdarahan subaraknoid.
Dosis manitol yang disarankan berkisar
0,18 hingga 2,5g/kg, sedangkan dosis salin
hipertonik belum ada pedoman yang
jelas. Salah satu rekomendasinya yaitu
salin hipertonik 3% secara infus intravena
perifer dengan kecepatan 30cc per jam dan
target konsentrasi sodium 145-155mmol/L
dicapai dalam 6 jam.
Pemberian steroid seperti deksametason
dianjurkan diberikan pada edema vasogenik akibat tumor intrakranial yang
memicu kerusakan pada sawar darah
otak, namun harus dihindari pemberiannya
pada keadaan patologi edema sitotoksik
sebab tidak terbukti bermanfaat.
V olum e M assa Lain
Peningkatan volume akibat massa lain, seperti perdarahan, abses, ataupun tumor
diatasi dengan evakuasi massa tersebut.
Semua tindakan tata laksana ini merupakan keadaan neuroemergency yang harus
dilakukan sesegera mungkin dengan mempertimbangkan prinsip-prinsip ABC (air
way, breathing, circulation) seperti halnya
pada kegawatdaruratan lain dengan pemantauan ketat Adapun tata laksana spesifik
masing-masing dapat dilihat di topik selanjutnya sesuai pemicu (Cedera Kepala,
Stroke, Tumor Otak, dan sebagainya)
BANGKITAN DAN EPILEPSI
Bangkitan epileptik dan epilepsi yaitu dua
terminologi yang berbeda, namun saling
berkaitan, sehingga harus dipahami dalam
praktik sehari-hari. Bangkitan epileptik
yaitu tanda dan/atau gejala yang timbul
sepintas akibat aktivitas neuron di otak yang
berlebihan dan abnormal serta sinkron. Epilepsi yaitu gangguan otak yang ditandai
oleh adanya faktor predisposisi sec ara terus
menerus untuk terjadinya suatu bangkitan
epileptik, dan juga ditandai oleh adanya faktor neurobiologis, kognitif, psikologis, dan
konsekuensi sosial akibat kondisi ini .
EPIDEMIOLOGI
Menurut WHO, diperldrakan ada 50
juta orang di seluruh dunia yang menderita
epilepsi. Populasi yang menderita epilepsi
aktif (terjadi bangkitan terus menerus dan
memerlukan pengobatan) diperkirakan
antara 4-10 per 1000 penduduk. Namun,
angka ini jauh lebih tinggi di negera dengan
pendapatan perkapita menengah dan rendah yaitu antara 7-14 per 1000 penduduk.
Secara umum diperkirakan ada 2,4
juta pasien yang didiagnosa epilepsi setiap
tahunnya.
Angka prevalensi dan insidens epilepsi di
negara kita belum diketahui secara pasti. Hasil penelitian Kelompok Studi Epilepsi Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf negara kita
(Pokdi Epilepsi PERDOSSI) di beberapa RS di
5 pulau besar di negara kita [2013) mendapat 2.288 penyandang epilepsi dengan 21,3%
merupakan pasien baru. Rerata usia pasien
yaitu usia produktif dengan etiologi epilepsi tersering yaitu cedera kepala, infeksi
susunan saraf pusat (SSP), stroke, dan tumor
otak. Riwayatkejang demam didapatkan pada
29% pasien. Sebagian besar (83,17%) yaitu
epilepsi parsial dengan aura yang tersering
yaitu sensasi epigastrium dan gejala autonom (60,1%).
Di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo (RSCM),
jumiah penyandang epilepsi yang rutin kontrol tiap bulan berkisar 30-40 orang; pasien
epilepsi yang baru berobat ke RSCM seldtar
5-6 orang tiap bulannya; rerata usia pasien
yaitu usia produktif yaitu 35,2 (16-76)
tahun. Riwayat kejang demam pada 37,9%,
gangguan perilaku didapatkan pada 29,1%.
Sebagian besar penyandang mengalami bangkitan fokal (64,15%) dan sebanyak 15,5%
mengalami bebas bangkitan.
PATOFISIOLOGI BANGKITAN EPILEPTIK
Secara normal aktivitas otak terjadi oleh
sebab perpindahan sinyal dari satu neuron ke neuron yang lain. Perpindahan ini
terjadi antara akson terminal suatu neuron
dengan dendrit neuron yang lain melalui
sinaps (Gambar 1). Sinaps merupakan area
yang penting untuk perpindahan elektrolit
dan sekresi neurotransmiter yang berada
di dalam vesikel presinaps. Komposisi elektrolit dan neurotransmiter saling mempengaruhi satu sama lain untuk menfaga keseimbangan gradien ion di dalam dan luar
sel melalui ikatan antara neurotransmiter
dengan reseptornya serta keluar masuknya
elektrolit melalui kanalnya masing-masing.
Aktivitas ini akan memicu terjadinya depolarisasi, hiperpolarisasi, dan
repolarisasi, sehingga terjadi potensial eksitasi dan inhibisi pada sel neuron. Potensial
eksitasi diproyeksikan oleh sel-sel neuron
yang berada di korteks yang kemudian
diteruskan oleh akson, sementara sel interneuron berfungsi sebagai inhibisi.
Elektrolit yang berperan penting dalam aktivitas otak yaitu natrium (Na+), kalsium
(Ca2+), kalium (IC), magnesium (Mg2+), dan
klorida (Cl'). N euro transmiter utama pada
proses eksitasi yaitu glutamat yang akan
berikatan dengan reseptornya, yaitu Nmetil-D-aspartat (NMDA) dan non-NMDA
(.amino-3-hydroxy-5- methyl-isoxasole propionic a c id /k W k dan kainat). Sementara
pada proses inhibisi, neurotransmiter utama
yaitu HS-asam aminobutirik (GABA) yang
akan berikatan dengan reseptornya GABAa
dan GABAb (Gambar 2b). GABA merupakan
neurotransmiter yang disintesis dari glutamat oleh enzim glutamic acid decarboxylase
(GAD) dengan bantuan piridoksin (vitamin
B6) di terminal presinaps.
Saat potensial eksitasi dihantarkan oleh akson menuju celah sinaps, akan terjadi sekresi glutamat ke celah sinaps. Glutamat akan
berikatan dengan reseptor non-NMDA, dan
Na* akan masuk ke dalam sel memicu
terjadinya depolarisasi cepat [Gambar 2a).
Apabila depolarisasi mencapai ambang potensial 10-20mV, maka Mg2+yang menduduki reseptor NMDA yang sudah berikatan
dengan glutamat dan ko-agonisnya (glisin)
dikeluarkan ke celah sinaps (Gambar 2a),
sehingga Na+akan masuk ke dalam sel diikuti
oleh Ca2+. Masuknya Na+ dan Ca2+akan memperpanjang potensial eksitasi, disebut sebagai depolarisasi lambat sesudah Na+ mencapai
ambang batas depolarisasi, K+ akan keluar
dari dalam sel, yang disebut sebagai repolarisasi (Gambar 2a).
Sementara itu, Ca2+ yang masuk ke dalam
sel juga akan mendorong pelepasan neurotrasmiter GABA ke celah sinaps (Gambar
2b). Saat GABA berikatan dengan reseptor
GABAa pascasinaps dan mencetuskan potensial inhibisi, Cl' akan masuk ke dalam
sel dan menurunkan ambang potensial
membran sel sampai kembali ke ambang
istirahat pada -70pV yang disebut sebagai
hiperpolarisasi. Reseptor GABAe di presinaps berperan memperpanjang potensial
inhibisi. Hasil akhir aksi potensial yang dihasilkan merupakan sumasi dari potensial
eksitasi dan inhibisi yang dipengaruhi oleh
jarak dan waktu.
sesudah hiperpolarisasi, selama beberapa saat
membran sel terhiperpolarisasi dibawah
ambang istirahatnya, disebut sebagai after
hyperpolaritation (AHP). AHP terjadi sebagai hasil dari keseimbangan antara Ca2+
di dalam sel dan I<+ di luar sel. Pada masa
ini sel neuron mengalami tahap refrakter dan
tidak dapat terstimuli, sampai terjadi pertukaran Ca2+ke luar sel dan K+ ke dalam sel
melalui kanal yang tidak dipengaruhi oleh
gradien voltase. Keseimbangan ion di dalam
dan luar sel dikembalikan oleh pompa Na+-I<+
dengan bantuan adenosin triphosphate (ATP}.
Sel giia turut berperan dalam menjaga keseimbangan eksitasi dan inhibisi dengan berperan sebagai spons yang berfungsi untuk
'menghisap1 IC dan glutamat yang berlebihan
di celah sinaps untuk kemudian disintesis
dan dikembalikan lagi ke neuron presinaps.
Adanya ketidakseimbangan antara eksitasi dan
inhibisi akan memicu hipereksitabilitas
yang pada akhimya akan memicu bangIdtan epileptik. Ketidak seimbangan ini
dapat disebabkan oleh faktor internal dan
elcstemal. pemicu internal antara lain berupa mutasi atau kelainan pada kanal-kanal
elektrolit sel neuron. Beberapa mutasi yang
sudah diketahui yaitu mutasi kanal Nak Ca2+,
dan K+, Mutasi ini memicu masuknya Na+
dan Ca2* ke dalam sel secara terus menerus
sehingga terjadi paroxymal depolaritation shift
(PDS). PDS diinisiasi oleh reseptor non-NMDA,
aldbat peningkatan jumlah Na+ yang masuk ke
dalam sel, pada mutasi kanal Na+, dan dapat
diperlama saat reseptor NMDA terbuka diikuti
masuknya Na+ sehingga semaldn banyak Na+
di dalam sel. Pada mutasi kanal Ca2+, PDS terjadi sebab depolarisasi lambat semaldn lama
aldbat peningkatan Ca2+ di dalam sel. Sementara mutasi pada kanal K+ akan menghambat
keluamya K+ ke ekstrasel yang justru akan
menghambat terjadinya repolarisasi, memperpanjang depolarisasi, dan akhimya menyebabkan PDS.
Pada hipereksitabilitas akan terjadi peningkatan sekresi glutamat ke celah sinaps,
sehingga terjadi peningkatan jumlah Ca2+ di
dalam sel. Jumlah Ca2+yang berlebihan ini
akan mengaktifkan enzim intrasel yang menyebabkan kematian sel. Hal ini merangsang
keluarnya berbagai faktor inflamasi yang
akan meningkatkan permeabilitas sel, gangguan keseimbangan elektrolit, edema otak,
kerusakan sawar darah otak (SDO) atau blood
brain barrier (BBB}, dan sebagainya.
Faktor eksternal terjadi aldbat berbagai penyakit, baik penyakit otak maupun sistemik.
Penyakit-penyakit ini dapat menyebabkan kerusakan sel neuron, glia, dan SDO
(Gambar 3). Kerusakan sel glia akan menyebabkan kelebihan K+ dan glutamat di celah
sinaps sebab tidak 'terhisap', sehingga sel
neuron akan mudah tereksitasi. Keadaan
ini juga akan mengaktivasi faktorfaktor inflamasi, kemudian merangsang peningkatan eksitasi dan akhirnya membentuk
lingkaran yang berkepanjangan. Kerusakan
yang terjadi secara terus menerus dalam
jangka waktu yang lama akan memicu
perubahan aktivitas otak, struktur neuron,
dan ekspresi gen.
Hipereksitabilitas satu sel neuron akan
memengaruhi sel neuron di sekitamya. Sekelompok neuron yang mencetuskan aktivitas
abnomal secara bersamaan disebut sebagai
hipersinkroni. Pada saat satu sel neuron teraktivasi maka sel-sel neuron di sekitarnya
juga akan ikut teraktivasi. Jika sel-sel neuron sekitarnya teraktivasi pada waktu yang
hampir bersamaan, maka akan terbentuk
suatu potensial eksitasi yang besar dan menimbulkan gejala klinis. Penyebaran PDS
hipersinkroni ke seluruh hemisfer saat iktal
maupun interiktal tergantung pada aktivitas
interneuron di talamus yang sebagian besar
bersifat inhibisi.
Status epileptikus terjadi sebab kegagalan
proses inhibisi di otak. Salah satunya disebabkan oleh sifat reseptor glutamat dan
GABA dalam merespons jumlah neurotransmiter di celah sinaps. Reseptor glutamat
merupakan reseptor yang peka terhadap
perubahan jumlah glutamat. Pada keadaan
eksitasi berlebihan maka reseptor akan
meningkatkan kepekaan atau jumlah reseptor. Sebaliknya dengan respons reseptor
GABA terhadap peningkatan aktivitas GABA,
reseptor-reseptor ini justru akan tersublimasi dan menjadi bentuk yang tidak peka terhadap neurotransmiternya. Ini yang
memicu pada status epileptikus yang
berkepanjangan, reseptor glutamat akan semakin meningkat dan reseptor GABA akan
semakin berkurang (Gambar 4).
KLASIFIKASI EPILEPSI
Epilepsi dapat diklasifikasikan menurut tipe
bangkitan (sesuai International League Against
Epilepsi/1 LAE tahun 1981] dan menurut sindrom epilepsi [ldasifikasi ILAE 1989]. Secara
garis besar menurut klasifikasi ILAE tahun
1981, bangkitan epileptik dibagi menjadi:
1. Bangkitan parsial (fokal atau lokal]
2. Bangkitan umum (tonik, klonik atau tonikklonik, mioklonik, dan absans tipikal atau
atipikal]
3. Bangkitan epileptik tidak terklasifikasi
4. Bangkitan berkepanjangan atau berulang (status epileptikus]
Klasifikasi bangkitan dapat dilihat pada Tabel 1 untuk bangkitan parsial danTabel 2 untuk bangkitan umum.
Klasifikasi sindrom epilepsi (ILAE 1989]
dibuat berdasar tipe bangkitan dan etiologi epilepsi. Penegakan diagnosa berdasar
sindrom dapat mengarahkan ke tata laksana
yang lebih spesifik dan dapat menentukan
prognosis pasien. Klasifikasi sindrom epilepsi dapat dilihat pada Tabel 3.
Klasifikasi sindrom secara garis besar dibagi
menjadi 4, yaitu:
1. Epilepsi dan sindrom localization-related (fokal, lokal, dan parsial)
2. Epilepsi dan sindrom generalized atau
umum
3. Epilepsi dan sindrom yang tidak dapat
ditentukan apakah fokal atau umum
4. Sindrom spesial
GEJALA DAN TANDA KLINIS
1. Bangldtan Umum Tonik-klonik
Bangkitan ini secara etiologi dapat berupa
idiopatik, kriptogenik, atau simtomatik.
Tipe bangkitan ini dapat terjadi pada
semua usia kecuali neonatus. Manifestasi
klinis: hilang kesadaran sejak awal bangkitan hingga akhir bangkitan, bangkitan
tonik-klonik umum, dapat disertai gejala
autonom seperti mengompol dan mulut
berbusa. Gambaran iktal: tiba-tiba mata
meiotot dan tertarik ke atas, seluruh tubuh kontraksi tonik, dapat disertai suara
teriakan dan nyaring, selanjutnya diikuti
gerakan Idonik berulang simetris di seluruh tubuh, lidah dapat tergigit dan mulut
berbusa serta diikuti mengompol. sesudah
iktal, tubuh pasien menjadi hipotonus,
pasien dapat tertidur dan terasa lemah.
Pada pemeriksaan elektroensefalografi
(EEG) saat inter iktal didapatkan aktivitas epileptiform umum berupa kompleks
gelombang paku-ombak [spike wave) terutama pada saat tidur stadium non-REM.
2. Bangldtan Tonik
Bangkitan tonik ditandai oleh kontraksi seluruh otot yang berlangsung terus menerus,
berlangsung selama 2-10 detik namun
dapat hingga beberapa menit, di-sertai hilangnya kesadaran. Dapat disertai gejala
autonom seperti apnea. Gambaran EEG interiktal menunjukkan irama cepat dan gelombang paltu atau kompleks paku-ombak
frekuensi lambat yang bersifat umum.
3. Bangkitan Klonik
Bangkitan ini ditandai oleh gerakan kontraksi klonik yang ritmik (1-5 Hz) di seluruh
tubuh disertai hilangnya kesadaran sejak
awal bangldtan. Pada EEG iktal didapatkan
aktivitas epileptiform umum berupa gelombang paku, paku multipel, atau kombinasi
gelombang irama cepat dan lambat.
4. Bangkitan Mioldonik
Mioklonik yaitu gerakan kontraksi involunter mendadak dan berlangsung sangat
singkat (jerk) tanpa disertai hilangnya kesadaran. Biasanya berlangsung 10-50milidetik, durasi dapat mencapai lebih dari
lOOmilidetik. Otot yang berkontraksi
dapat tunggal atau multipel atau berupa
sekumpulan otot yang agonis dari berbagai
topografi, Mioklonik dapat berlangsung
fokal, segmental, multifokal, atau umum.
Gambaran EEG berupa gelombang polyspikes yang bersifat umum dan singkat.
5. Bangkitan Atonik
Bangkitan ditandai oleh hilangnya tonus
otot secara mendadak. Bangkitan atonik
dapat didahului oleh bangkitan mioklonik atau tonik. Bentuk bangkitan bisa
berupa "jatuh" atau "kepala menunduk".
Pemulihan pascaiktal cepat, sekitar 1-2
detik. Gambaran EEG dapat berupa gelombang paku [spikes) atau polyspikes
yang bersifat umum dengan frekuensi
2-3Hz dan gelombang lambat.
6. Bangkitan Absans Tipikal
Bangkitan absans [petit mal) berlangsung sangat singkat (dalam hitungan
detik) dengan onset mendadak dan berhenti mendadak, Bentuk bangkitan berupa hilang kesadaran atau "pandangan
kosong". Dapat pula disertai komponen
motorik yang minimal (dapat berupa
mioklonik, atonik, tonik, automatisme).
Pada pemeriksaan EEG didapatkan aktifitas epileptiform umum berupa kompleks paku-ombak 3Hz (>2,5Hz).
7. B angkitan A b sans Atipikal
Bangkitan berupa gangguan kesadaran
disertai perubahan tonus otot [hipotonia atau atonia], tonik, atau automatisme.
Pasien dengan bangkitan absans atipikal
sering mengalami kesulitan belajar akibat
seringnya disertai terjadinya bangkitan
tipe lain seperti atonik, tonik, dan mioldonik. Pada absans atipikal, onset dan
berhentinya bangkitan tidak semendadak
bangkitan absans tipikal, dan perubahan tonus otot lebih sering terjadi pada
bangkitan tipe absans atipikal. Pada EEG
didapatkan gambaran kompleks pakuombak frekuensi lambat [1-2,5Hz atau
<2,5Hz) yang iregular dan heterogen dan
dapat bercampur dengan irama cepat.
8. B an gk itan F o k a l/P a rsia l
Bentuk bangkitan yang terjadi tergantung dari letak fokus epileptik di otak.
Fokus epileptik berasal dari area tertentu yang kemudian mengalami propagasi
dan menyebar ke bagian otak yang lain,
Bentuk bangkitan dapat berupa gejala
motorik, sensorik (kesemutan, baal),
sensorik spesial [halusinasi visual, halusinasi auditorik), emosi [rasa takut, marah),
autonom [kulit pucat, merinding, rasa
mual). Bangkitan parsial sederhana yang
diikuti dengan bangkitan parsial kompleks atau bangkitan umum sekunder
disebut sebagai aura.
diagnosa DAN diagnosa BANDING
Epilepsi yaitu suatu penyakit atau gangguan di otak yang ditegakkan jika ada :
1. Paling sedikit 2 kali bangkitan tanpa provokasi [atau refleks) dengan jarak antar
2 bangkitan ini >24 jam.
2. Satu kali bangkitan tanpa provokasi
[atau refleks] dan kemungkinan terjadinya bangkitan berikutnya hampir
sama dengan risiko timbulnya bangkitan [paling sedikit 60% ) sesudah terjadi
2 kali bangkitan tanpa provokasi, dalam
10 tahun ke depan.
3. diagnosa sindrom epilepsi,
Penegakkan diagnosa pada epilepsi dilakukan secara bertahap dan sedapat mungldn
ditegakkan sindrom epilepsi yang dialami
oleh pasien, sebab tiap sindrom epilepsi
tertentu memiliki tata laksana dan prognosis yang berbeda-beda.
Langkah-langkah menegakkan diagnosa :
1. Apakah gejala paroksismal ini
merupakan bangkitan epileptik?
2. Apakah tipe bangkitan epileptik yang dialami pasien?
3. Apakah etiologinya?
4. Apakah sindrom epilepsi yang dialami
oleh pasien?
Identifik asi B an gk itan Epilep tik
Anamnesis memegang peranan terbesar
dalam mengidentifikasi bangkitan epileptik.
Anamnesis dimulai dengan menggali semiologi bangkitan epileptik, yang paling utama
yaitu semiologi iktal.
Semiologi iktal antara lain yaitu aura, lateralisasi, kesadaran, dan perkembangan bangkitan menjadi umum. Aura, yaitu gejala yang
dirasakan pasien saat masih sadar dan terjadi dalam hitungan detik sebelum pasien
kehilangan kesadarannya, merupakan petunjuk fokus bangkitan. Aura sensorik
menunjukkan fokus pada korteks sensorik
sesuai homenkulus di lobus parietal, aura
auditorik pada Iobus temporal lateral, aura
visual pada jaras visual tergantung pada
kompleksitasnya dapat berasal dari lobus
temporal atau oksipital, dan lain sebagainya. Kemudian lateralisasi, beberapa bentuk bangkitan seperti arah gerakan mata,
mulut, wajah, kepala, postur distonik dapat
menunjukkan hemisfer yang terlibat.
Lirikan mata saat pasien mulai kehilangan kesadaran akan menunjukkan keterlibatan hemisfer kontralateral dari arah
mata, sementara arah kepala tertarik saat
pasien masih sadar biasanya menunjukkan
hemisfer ipsilateral. Kesadaran dan perkembangan bangkitan menjadi umum biasanya
sejalan, kesadaran akan menghilang dengan
berkembangnya bangkitan menjadi umum,
apabila kesadaran masih intak saat bangkitan
menjadi umum, maka perlu dipikirkan diagnosis banding bangkitan non-epileptik.
Semiologi pascaiktal terutama kesadaran
sesudah bangkitan selesai juga dapat menjadi petunjuk etiologi dan topis. Kesadaran
yang langsung kembali intak dapat terjadi
pada epilepsi idiopatik dan lobus frontal, sementara kebingungan yang terjadi sebagai
gejala pascaiktal merupakan patognomonik
epilepsi lobus temporal.
Pada bangkitan fokal/parsial, durasi bangkitan dapat terjadi sampai dengan 5 menit,
sementara pada bangkitan umum tonik
klonik berkisar antara 1-2 menit. Apabila
terjadi lebih lama pikirkan kemungkinan
status epileptikus. Namun apabila dipadukan dengan semiologi bangkitan tidak didapatkan kesesuaian, maka pertimbangkan
diagnosa banding bangkitan non-epileptik.
Kesesuaian antara runutan semiologi bangkitan dengan asal fokus merupakan kunci
utama. Bila ada lebih dari satu kali,
maka bentuk bangkitan akan selalu sama.
Frekuensi bangkitan, durasi antar bangkitan dan waktu terjadi bangkitan mempunyai
kekhasan pada tiap lobus.
P en eg ak an Sindrom Epilepsi
Sindrom epilepsi ditegakkan selain berdasarkan semiologi bangkitan dan EEG, juga
pemeriksaan fisik, topis, pemeriksaan penunjang lainnya serta usia. Pemeriksaan EEG dilakukan untuk memastikan adanya aktivitas
epileptiform yang bersifat fokal atau umum.
Pada EEG juga perlu diperhatikan latar belakang serta ada tidaknya perlambatan fokal
monomorfik atau polimorfik.
Pemeriksaan fisik dilakukan untuk mengetahui adanya defisit neurologis fokal maupun
global. Bila didapatkan defisit neurologis
maka ditegakkan diagnosa epilepsi simtomatik, bahkan pada bangkitan epileptik pertama kali. Pada epilepsi simtomatik
pencarian etiologi merupakan keharusan,
Pemeriksaan penunjang seperti pemeriksaan laboratorium, pencitraan otak, dan
pungsi lumbal sangat membantu dalam
menemukan etiologi.
Bila pada pemeriksaan fisik dan penunjang
tidak ditemukan kelainan maka kemungkinan
diagnosa yaitu epilepsi kriptogenik atau
idiopatik. Pada bayi, anak-anak, dan remaja,
idiopatik dipikirkan apabila ada riwayat
keluarga terutama pada orangtua dan saudara kandung.
pengobatan
M ed ik am en tosa
Titik berat tata laksana epilepsi yaitu pencegahan bangkitan berulang dan pencarian etiologi. Bangkitan epileptik dapat merupakan
gejala dari suatu penyakit sistemik maupun
akibat kelainan intrakranial. Bangkitan epileptik pertama yang terjadi pada tahap akut
akibat penyakit yang mendasarinya, biasanya tidak memerlukan terapi jangka panjang.
Sementara bangkitan epileptik yang terjadi
akibat suatu kelainan intrakranial yang kronis diperlukan terapi jangka panjang.
Pada bangkitan epileptik pertama, terapi obat
anti epilepsi [OAE) dapat langsung diberikan
bila ada risiko yang tinggi untuk terjadinya bangkitan berulang. Misalnya pada status
epileptikus sebagai bangkitan epileptik pertama, ditemukannya lesi intrakranial sebagai
pemicu bangkitan, riwayat keluarga epilepsi dan beberapa indikasi lainnya,
OAE diberikan berdasar tipe bangkitan.
OAE pilihan pada kejang tipe parsial berdasarkan pedoman ILAE 2013 antara lain yaitu
karbamazepin, levetirasetam, zonisamid, dan
fenitoin. Pilihan OAE pada anak yaitu okskarbazepin dan pada lanjut usia yaitu lamotrigin
dan gabapentin. Sementara pada bangkitan
pertama umum tonik klonik pada dewasa dan
anak yaitu karbamazepin, okskarbazepin,
fenitoin, dan lamotrigin (Tabel 4).
Dosis obat dimulai dari dosis kecil dan dinaikkan secara bertahap sampai mencapai dosis
terapi. Pantau efek samping jangka pendek,
seperti mengantuk, gangguan emosi dan
perilaku, gangguan hematologi, fungsi hepar,
atau alergi. Jika tidak ditemukan efek samping dan pasien merasa nyaman dengan obat
ini , dosis obat dapat dinaikkan bertahap
sampai tercapai bebas bangkitan atau terjadi
intoksikasi. Gejala dan tanda intoksikasi dapat
muncul ringan sampai berat. Bila muncul gejala dan tanda intoksikasi ringan, serperti dizziness dan nistagmus pada intoksikasi fenitoin, dosis dapat diturunkan ke dosis sebelum
tanda intoksikasi ini muncul. Namun
apabila terjadi intoksikasi berat seperti penurunan kesadaran pada intoksikasi valproat
maka obat harus langsung dihentikan dan diganti dengan obat yang tidak mempunyai profil efek samping yang sama serta waktu steady
state cepat untuk mencegah status epileptikus
akibat efek withdrawal
Selain tipe bangkitan, pemilihan OAE perlu
memperhatikan faktor-faktor individual seperti komorbiditas, usia, ekonomi, interaksi
obat, ketersediaan, dan lain sebagainya. Komunikasi, edukasi, dan informasi merupakan salah satu falctor penting untuk meningkatkan kemungkinan bebas serangan.
Prinsip pengobatan epilepsi yaitu monoterapi dengan target pengobatan 3 tahun bebas
bangkitan. Bila pemberian monoterapi tidak
dapat mencegah bangkitan berulang, politerapi dapat diberikan dengan pertimbangan
profil obat yang akan dikombinasikan. Apabila masih tidak dapat diatasi, maka perlu dipertimbangkan tindakan pembedahan untuk
menghilangkan fokus epileptik.
N o n m ed ik am en to sa
Tata laksana nonmedikamentosa pada epilepsi antara lain:
1. Pembedahan epilepsi
2. Stimulasi nervus vagus
3. Diet ketogenik
Pembedahan epilepsi yaitu salah satu tata
laksana nonmedikamentosa yang efektif pada
pasien epilepsi fokal resisten obat. Angka keberhasilan pembedahan epilepsi antara lain
66% pasien bebas bangkitan pada epilepsi
lobus temporal, 46% pada epilepsi lobus oksipital dan parietal, serta 27% pada epilepsi
lobus frontal
Stimulasi nervus vagus [SNV) merupakan
metode invasif pada terapi pasien epilepsi
yang resisten obat. Metode ini memakai
suatu elektroda yang ditanam di bawah kulit
pada dada kiri dan berhubungan dengan
elektroda stimulator yang diletakkan pada
nervus vagus kiri. Stimulator ini mengeluarkan impuls dengan berbagai frekuensi
sesuai dengan kebutuhan pasien. Frekuensi
bangkitan sangat menurun sesudah penggunaan stimulasi nervus vagus ini. Penurunan
frekuensi bangkitan sekitar 35-75% sesudah
10 tahun pemakaian SNV.
Diet ketogenik sampai saat ini terbukti
efektif pada pasien epilepsi anak-anak. Diet
ketogenik yaitu diet dengan tinggi lemak,
rendah protein, dan rendah karbohidrat.
Angka bebas bangkitan pada anak-anak
mencapai 16%, penurunan >90% frekuensi
bangkitan sebesar 32%, penurunan >50%
frekuensi bangkitan sebesar 56%. Namun
diet ketogenik ini belum terbukti efektif
pada pasien dewasa.
SIN D RO M E P IL E P S I
Berikut yaitu sindrom yang tersering dijumpai pada klinis:
1 . Benign Focal Epilepsy with Centrotemporal Spikes (B E C T S )
BECTS merupakan sindroma epilepsi fokal
yang paling sering didapatkan pada anakanak. Insidens pada anak di bawah 16 tahun sekitar 21 per 100.000. Sedikit lebih
sering terjadi pada laki-laki dengan perbandingan 3:2. Sebagian kecil pasien memilild faktor predisposisi kejang demam
[16%) dan bangkitan pada saat infant
( 1-8% ).
a. Gambaran klinis dan semiologi
Onset terjadinya BECTS rerata 8 tahun
[3-13 tahun) dan akan remisi pada hampir
semua pasien menjelang usia 16 tahun. Serangan paling sering terjadi pada malam
hari, dan dikatakan terjadi saat peralihan
dari kondisi sadar menuju tidur dan dari
tidur ke kondisi sadar. Durasi serangan
berkisar antara beberapa detik sampai
menit. Status epileptikus dilaporkan
pada beberapa pasien [17% ).
Aura sensori hemifasial sering mengawali
serangan. Aura ini digambarkan seperti
sensasi parastesi [kesemutan) atau baal
pada perioral maupun intraoral, rahang dan
lidah kaku, dan kadang sensasi terceldk. Namun aura ini mungkin sulit untuk didapatkan dalam anamnesis sebab keterbatasan
kemampuan anak untuk mendeskripsikannya tergantung usia mereka.
Sebagian pasien mengalami serangan motorik berupa klonik, tonik, maupun tonik
klonik pada ekstremitas maupun daerah
kepala unilateral yaitu pada bibir, wajah,
dan lidah. Sebagian pasien mengalami serangan yang melibatkan orofaring, laring,
dan orofaringeal. Keterlibatan bagian ini
ditandai dengan guttural noises, gargling,
grunting, maupun "death rattle" Speech
arrest atau ketidakmampuan berbicara
merupakan gejala yang dapat muncul
pada serangan laring dan orofaringeal,
namun komprehensi dan kemampuan
memahami sign language pada pasien
masih baik, Gambaran klinis lainnya
yang sering dianggap penting oleh orang
tua yaitu adanya liur yang keluar dari
mulut pasien, dan sering terjadi muntah
pascaiktal.
Pasien sadar saat tahap awal serangan kecuali bila serangan dengan cepat berubah
menjadi umum-sekunder. Sebanyak 54%
pasien mengalami evolusi serangan menjadi tonik-klonik. Manifestasi fungsi luhur
dapat terjadi pada pasien BECTS diantaranya gangguan memori auditori-verbal
dan visospasial, fungsi eksekutif, bahasa,
dan atensi.
b. Pemeriksaan penunjang
Pencitraan tidak rutin dilakukan pada
pasien ini kecuali jika ada gejala-gejala
yang atipilcal atau dicurigai sebab keterlibatan atau etiologi lain. Namun, bila fasilitas
dan kondisi memungldnkan pemeriksaan
pencitraan dapat dilakukan