penyakit itu sendiri dan didefinisikan
sebagai kombinasi dari bradikinesi (lambat
gerakan), kekakuan dan gemetar (tremor).
Dengan lain kata parkinsonisme atau gejala ekstrapiramidal yaitu istilah yang
dipakai bagi sindrom kekakuan hipokinetik
dengan ciri-ciri penyakit Parkinson, yang
diakibatkan oleh kelainan di sistem ekstrapiramidal. Gejala ini dapat timbul akibat
pemakaian obat (antagonis-DA) yang masuk ke dalam SSP, seperti psikofarmaka
dalam dosis tinggi, terutama fenotiazin,
butirofenon, haloperidol, thorazine, antidepresiva trisiklis, reserpin dan juga obatobat anti-emetik seperti proklorperazin dan
metoklopamida. Sebabnya yaitu blokade
dari dopamin, begitu pula sesudah stroke,
gangguan neurologik serta intoksikasi CO, Hg,
Mn, HCN dan barbital. Parkinsonisme dapat
ditanggulangi secara efektif oleh antikolinergika, namun tidak oleh levodopa atau
amantadin.
Faktor-faktor risiko bagi parkinsonisme
yang dicetuskan oleh efek samping metoklopramida yaitu jenis kelamin (wanita), usia
lanjut, polifarmasi dan diabetes. Oleh sebab
itu alternatif pemakaian metoklopramida
sebagai anti-emetikum bagi pasien yang
menderita mual dan muntah-muntah yaitu
domperidon. Perbedaan antara parkinsonisme yang diinduksi oleh obat sebagai efek
samping dan penyakit Parkinson yaitu antara lain awalnya yang subakut pada parkinsonisme.
Mekanisme kerja dari metoklopramida
yaitu kompleks dan berdasar blokade
dari reseptor dopaminerg D2 yang berada
di pusat muntah (chemoreceptor triggerzone)
dan di lambung-usus. Blokade dari reseptorreseptor ini di bagian lain dari otak, terutama di corpus striatum, dapat mengakibatkan
gangguan gerakan seperti parkinsonisme.
Sebetulnya domperidon juga merupakan
suatu penghambat dopaminerg D2, namun
hanya sedikit sekali yang dapat menembus
barriere darah-otak, sehingga gangguan terhadap gerakan jauh berkurang.
Ref.: De Ronde et al., Ernstig parkinsonisme
door metoklopramide, Ned Tijdschr Geneeskd 2013.
Gejala 29,30,31
Empat gejala utama penyakit Parkinson adalah kakunya anggota gerak (rigor, hipertonia),
mobilitas hilang atau berkurang secara abnormal (bradykinesia), gemetar (tremor) dan
gangguan keseimbangan tubuh. Bradykinesia
yaitu menjadi lambatnya semua gerakan,
sukar bangun dari posisi duduk dan sukar
naik-turun dari pembaringan. Pasien juga berjalan setindak-demi-setindak (shuffle) yang
dapat diperbaiki melalui fisioterapi. Ciriciri lainnya yaitu sikap tubuh bongkok,
kejang otot, tulisan tangan menjadi halus
(micrographia) dan seperti laba-laba (spidery).
Sebagai akibat dari kakunya otot muka, penderita berwajah seperti topeng (mask face).
Bicaranya menjadi monoton dan tidak jelas,
juga sekresi air liur (salivatio) berlebihan
dan muka berlemak. Gejala pada saluran
cerna berupa rasa terbakar dalam lambung
(heartburn), kesulitan menelan (dysphagia),
sembelit dan menurunnya berat badan.
Gejala-gejala ini baru menjadi nyata pada
stadium lanjut, yaitu pada waktu ±80% dari
sel-sel dopaminerg telah dirusak. Sebetulnya
kehilangan neuron dopaminerg yaitu
ge-jala normal dari usia lanjut, namun pada
umumnya kehilangan ini tidak sampai 70-
80%. Tanpa pengobatan sesudah 5-10 tahun
PD memicu penderita tidak berdaya
(akinetic state), pada saat penderita tidak
dapat lagi merawat diri sendiri. Akibat turut
lisutnya pula sel-sel serotoninerg di otak dan
berkurangnya serotonin penyakit ini juga
memengaruhi banyak bagian dari struktur
otak (Braak and Del Tredici, 2008)35, yang
mengakibatkan gejala PD “non-motor”, termasuk depresi, gangguan tidur dan gangguan daya ingat. Gejala “non-motor” ini sukar
diobati dengan antidepresiva sebab dapat
memicu efek samping ekstrapiramidal
dan merupakan penyebab disability penting
dari penderita (Langston, 2006)36
Banyak penderita penyakit Parkinson mengalami rasa kaku berkurang dan juga lebih
mobil sesudah bangun tidur dibandingkan
siang hari. Mekanisme manfaat tidur ini mungkin disebabkan oleh sebab meningkatnya penimbunan dopamin selama tidur
(Ned Tijdschr Geneeskd. 2012;156).
Penggolongan
Obat-obat Parkinson pada garis besarnya
dapat dibagi dalam empat golongan, yaitu
agonis-DA (dopaminergika), yang menstimulasi
pelepasan dopamin dan antikolinergika, yang
memblokir transmisi kolinergik.
1. Agonis-DA (dopaminergika): levodopa,
ropinirol, pramipeksol, bromokriptin, lisurida,
pergolida, apomorfin dan amantadin. Obat-obat
ini meningkatkan kadar DA di otak atau
meningkatkan transmisinya dan dengan demikian berefek meringankan hipokinesia
dan kekakuan, namun jarang sekali mengurangi tremor. Dopaminergika dipakai sebagai monoterapi atau juga terkombinasi
dengan antikolinergika. Cara kerja obat-obat
ini berdasar beberapa mekanisme, yakni:
a. meningkatkan sintesis/kadar DA di SSP ,
misalnya levodopa dan apomorfin;
b. stimulasi reseptor DA secara langsung dan
selektif ropirinol, pramipeksol dan alkaloid
ergot semisintetik bromokriptin, kabergolin,
lisurida, pergolida dan juga apomorfin;
c. menghentikan penguraian DA oleh enzim
monoaminoksidase B (MAO-B): selegelin;
d. stimulasi pelepasan DA di ujung saraf dan
menghambat penarikan kembalinya (reuptake inhibition) di ujung saraf: amantadin.
2. Inhibitor MAO-B: rasagilin, selegilin.
Zat-zat ini menghambat secara selektif enzim MAO-B, sehingga penguraian DA di
otak dihalangi. Biasanya dipakai pada
awal penyakit, sehingga pemakaian dopa
dapat diundur. Ditambahkan pada dopa
memperkuat dan memperpanjang daya kerja
dopa.
3. Penghambat-COMT (catechol-o-methyltransferase): antara lain entakapon (1998)
dan tolkapon. Enzim ini menghambat perombakan levodopa, maka menghasilkan
peningkatan resorpsi dan masa paruhnya.
Sering kali ditambahkan pada kombinasi
dopa dengan karbidopa atau benserazida.
4. Antikolinergika (parasimpatolitika): amin
tersier sintetik triheksifenidil, biperiden,
prosiklidin, deksetimida dan orfenadrin.
Obat-obat pengganti sintetik dari alkaloid
Belladonna ini terutama efektif terhadap
semua bentuk parkinsonisme dengan gejala
tremor, kekakuan ringan dan salivasi (berliur berlebihan), namun terhadap hipokinesia
ku-rang ampuh. Obat ini bekerja langsung di
SSP. Untuk bentuk penyakit yang lebih serius,
perlu dikombinasikan dengan levodopa.
Terapi
Penanganan non-obat ditujukan pada memperbaiki atau memelihara keadaan fisik
agar pasien dapat berfungsi mandiri selama
mungkin. Untuk ini perlu dilakukan latihan
fisioterapi yang berperan penting dalam
mendukung medikasi. Di samping itu, bantuan psikis juga sangat berguna.
Pengobatan hanya bersifat simtomatis, sebab sel-sel otak yang sudah rusak tidak bisa
diperbaiki lagi dan progres penyakit pun tidak bisa dihentikan. Terapi diarahkan pada
pemulihan kembali keseimbangan hormon
yang terganggu. Hal ini dapat dilakukan
dengan cara mengurangi ACh dengan antikolinergika, atau dengan cara meningkatkan jumlah dopamin dengan dopaminergika.
Tujuan akhir dari terapi ini, di samping
memungkinkan penderita berfungsi seoptimal mungkin, yaitu untuk mengurangi
atau memperlambat komplikasi-komplikasi
jangka panjang yang sukar ditanggulangi (a.l.
diskinesia).
Terapi standar bagi Parkinson tidak ada,
pengobatan harus ditentukan secara individual bagi setiap pasien atas dasar gejala
dan faktor lainnya.
Harapan baru bagi penderita penyakit
ini yaitu sedang diselidikinya terapi gen
untuk memacu produksi dari dopamin secara kontinu dalam otak. Obat untuk terapi
dopamin ini yaitu ProSavin yang masih
dalam taraf penelitian mengenai keamanan,
efektivitas dan toleransinya.
1 Agonis dopamin (dopaminergika) merupakan pilihan pertama sebab bekerja lebih
lama (t½ panjang) dan lebih ampuh terhadap
komplikasi jangka panjang. Lazimnya pada pasien di bawah 65 tahun di stadium
dini pengobatan dimulai dengan suatu
agonis-DA (amantadin atau selegelin) sebagai
monoterapi. Bila kurang efektif, obat dapat
diganti atau ditambahkan dengan agonisDA lain, misalnya ropinirol, pramipeksol atau
bromokriptin. Levodopa baru ditambahkan,
bila efek kliniknya belum memuaskan, walaupun pentakaran agonis-DA sudah optimal. Sebabnya ialah pada orang muda ada risiko lebih besar untuk berkembang
komplikasi jangka panjang ini . Pada
penderita di atas 65 tahun umumnya justru
dimulai dengan levodopa tunggal; risiko
mereka akan komplikasi lebih rendah dan
secara teoretis lebih mudah memicu
kekacauan bila fungsi kognitifnya berkurang.
Kombinasi dari dua obat, misalnya kombinasi dari levodopa dengan amantadin, selegelin
atau pergolida menghasilkan efek lebih baik
dan lebih panjang daripada monoterapi, terutama bila ada komplikasi motorik.
* Levodopa merupakan obat yang paling
efektif terhadap gejala Parkinson, terutama terhadap bradykinesia dan rigiditas,
sedangkan agonis-DA lainnya kurang efektif dan efek sampingnya seperti rasa kantuk dan halusinasi lebih sering timbul.
Lama kerjanya dopa dapat diperpanjang
dengan meningkatkan frekuensi pentakarannya, memakai sediaan retard atau
penambahan penghambat-COMT entakapon.
* Apomorfin yaitu obat Parkinson tertua
dan agonis-DA paling kuat. Dapat dipakai pada kasus dengan ‘on-off effect’ yang
resisten terhadap levodopa (infus s.c. atau
rektal) dan pada distonia pagi hari pada waktu
bangun tidur (injeksi s.c.). Apomorfin juga
menstimulasi reseptor DA perifer dan pusat
muntah, maka perlu dikombinasi dengan
domperidon sebagai obat antimual.
Perhatian: Awal 2013 dilaporkan kehebohan
di Prancis dan Belanda mengenai domperidon
sebab menurut sementara penyelidik telah
terjadi sejumlah (sebelas) kematian mendadak
akibat gagal jantung pada penderita jantung,
terutama yang memakai dosis tinggi (30
mg). Efek samping ini telah “didiamkan” oleh
produsen sebab kekhawatiran menurunnya
penjualan.
Berhubung dengan kekhwatiran mengenai
kemungkinan efek samping terhadap jantung
(gangguan ritme jantung) terutama pada pasien dengan QT-interval meningkat atau
bila dipakai bersamaan dengan obat-obat
tertentu, sejak tahun 2014 di negeri Belanda
sediaan-sediaan yang mengandung domperidon hanya dapat diberikan atas resep.
2. Antikolinergika seperti triheksifenidil dan
biperiden atau klozapin dalam dosis rendah
ternyata kurang efektif dan hanya dianjurkan
untuk tremor hebat pada pasien muda.Untuk
tremor ringan dapat ditambahkan suatu betablocker (propranolol).
Penderita lansia atau tanpa gejala tremor
dan pada demensia,sebaiknya jangan diberikan antikolinergika sebab efek-efek pusatnya, seperti memburuknya fungsi kognitif,
kekacauan dan hilang ingatan.
Terapi eksperimental yaitu dengan injeksi
i.v. glutathion (2 dd 600 mg) untuk melindungi neuron di substantia nigra terhadap
kerusakan oksidatif oleh radikal bebas. Glutathion (GSH), suatu tripeptida yang mengandung belerang, yaitu antioksidans alamiah
kuat yang ketersediaannya berkurang pada
pasien Parkinson.
Pentakaran obat. Berhubung dengan efek
sampingnya, obat-obat ini harus ditakarkan
secara berangsur, begitu pula terapi tidak
boleh dihentikan dengan mendadak sebab
dapat memperburuk penyakit (exacerbatio).
Toleransi dapat terjadi pada kebanyakan obat
sesudah beberapa waktu.
Efek samping
Gejala ekstrapiramidal (Parkinsonisme) dapat ditangani sama seperti penyakit Par-
kinson, bila neuron dopamin post-sinaptik
masih utuh. Bila saraf-saraf ini sudah memperlihatkan kerusakan, maka obat-obat Parkinson tidak berkhasiat lagi. Parkinsonisme
sebagai efek samping pada pemakaian
antipsikotika lazimnya dapat ditanggulangi
secara efektif dengan antikolinergika, misalnya triheksifenidil, biperiden dan orfenadrin.
Agonis-dopamin dapat memicu kesulitan tidur akibat eksitasi, sebab naiknya
kadar DA di otak. Untuk meringankan efek ini,
sebaiknya dosis terakhir diminum sebelum
tidur. Efek kejiwaan juga dapat terjadi pada
overdosis, seperti rasa takut, depresi dan
gejala psikosis. Obat-obat ini juga bekerja
terhadap hipotalamus dan hipofisis, oleh
sebab itu menghambat produksi prolaktin.
Risiko akan efek samping ini dapat
dikurangi dengan pentakaran berangsur, artinya dimulai dengan dosis rendah yang
kemudian dinaikkan secara perlahan-lahan.
Antikolinergika. Efek samping terutama
diakibatkan oleh blokade sistem kolinerg
dan berupa efek perifer umum, seperti mulut kering, retensi urin, tachycardia, mual,
muntah dan sembelit. Begitu pula efek sentral
seperti kekacauan, agitasi, halusinasi, gangguan daya ingat dan konsentrasi, terlebihlebih pada manula.
Kehamilan dan laktasi Kebanyakan obat
Parkinson belum memiliki cukup data mengenai keamanannya selama kehamilan dan
laktasi. Diketahui efek buruk amantadin
terhadap janin, di samping dikeluarkannya
melalui air susu ibu. Levodopa juga mencapai
air susu, sedangkan bromokriptin, lisurgida
dan pergolida menghambat laktasi. sebab
penyakit Parkinson kebanyakan dimulai
sesudah usia 45 tahun, maka masalah ini sebetulnya kurang penting.
Interaksi. Obat Parkinson dapat melawan
atau meniadakan efek antipsikotika dan dapat
mencetuskan gejala psikosis pada pasien
yang ditangani dengan kedua jenis obat. Oleh
sebab itu dianjurkan untuk menurunkan
dosis obat Parkinson. Sebaliknya, antipsikotika
dapat memperburuk gejala Parkinson, sedangkan antidepresiva dapat memperkuat
efek kognitif dari antikolinergika.
B. DEMENSIA ALZHEIMER
“Everyone with Alzheimer’s will get dementia;
not everyone with dementia has Alzheimer’s.”
Betty Weiss “Alzheimer’s & Dementia: Through
the Looking Glass.”
Demensia
Demensia yaitu satu gejala, sedangkan
Alzheimer’s yaitu suatu penyakit.
Dewasa ini demensia dianggap sebagai
suatu gangguan terpenting dari manula.
Berkat perbaikan keadaan hidup dan kesehatan populasi sedunia yang semakin menua
(the greying of the world), menurut dugaan
demensia akan meningkat dengan drastis
di masa depan terutama di negara Barat.
Prevalensinya pada orang di atas 65 tahun
yaitu ±5% dan menurut taksiran akan bertambah sekitar 10% setahunnya. Orang yang
lebih muda lebih jarang menderita demensia,
dalam hal ini faktor keturunan sering kali
berperan
Bentuk. Demensia yaitu gangguan neurodegeneratif dari cortex otak yang bercirikan
pemburukan berangsur-angsur dan progresif
dari fungsi kognitifk, seperti pengenalan,
ingatan, disorientasi mengenai lingkungan
dan waktu, menurunnya daya membedakan,
ketidakmampuan mengerjakan tugas rutin
sehari-hari, tidak dapat merawat diri sendiri
dan akhirnya keruntuhan mental total. Penyebab demensia bermacam-macam a.l.
tumor otak, stroke, cedera di kepala, infeksi,
reaksi terhadap obat, kurangnya penyaluran
oksigen ke otak, defisiensi nutrisi, dan lainlain. yaitu penting untuk mencari tau apa
yang penjadi pemicu nya sebab sebagian
dari gejala ini dapat di-balikkan (reversed)
sedangkan penyakit Alzheimer tidak dapat
di-balikkan.
Dikenal beberapa jenis demensia, lebih
dari 50% dari kasus berdasar penyakit
Alzheimer yang belum diketahui penyebabnya, lihat di bawah.
Suatu bentuk penting lain yaitu demensia vaskuler (VD), yang diakibatkan oleh
gangguan sirkulasi darah di otak dengan
musnahnya sel-sel otak, misalnya sesudah
mengidap CVA (cerebrovascular accident =
infark atau perdarahan otak, ‘stroke’). Di
samping bentuk campuran dari kedua jenis
masih ada suatu bentuk langka yang
bercirikan badan-badan berwarna di otak,
yang disebut Lewy bodies. Lewy bodies
disease (LBD) ini sukar diagnosisnya sebab
gejalanya mirip Alzheimer, namun dengan
gangguan kekakuan hebat sejak dini dan
pemburukannya yang cepat. Demensia bisa
juga timbul akibat penyakit lain, antara lain
penyakit Parkinson (demensia Parkinson,
PD), bahkan sebab sebab-sebab di luar otak
seperti AIDS, sifilis, penyalahgunaan alkohol,
depresi, gangguan tiroid dan kekurangan
vitamin B12.
* Bentuk demensia akibat defisiensi vitamin B12. Pada manula sering kali terjadi
kekurangan vitamin B12 sebab konsumsi
pangan yang tidak memadai atau absorpsinya dari usus terganggu. Hal ini dapat
memicu suatu bentuk demensia yang
reversibel. Kadar kobalamin dapat ditentukan
di laboratorium, sebaiknya dengan cara
mikrobiologis. Melalui pengobatan suplesi
dengan hidroksokobalamin per injeksi i.m.
2 x seminggu 1000 mcg selama beberapa
minggu, sindroma defisiensi B12 ini dapat
disembuhkan dengan tuntas.
Defisiensi vitamin B3
dan folat dapat pula
memicu sejenis demensia, namun hanya
lebih jarang terjadi.
Ref.:Werbach MR. Vitamin B-complex en
dementie, Orthomol Koerier 2005;20:3132).
Alzheimer
Penyakit ini dapat menyerang orang pada
usia di antara 30 sampai 50 tahun, namun
kebanyakan penderita berusia di atas 65
tahun.
Pada awal gejalanya berupa apati, hilangnya inisiatif, konsentrasi lemah, kelambatan berpikir dan bergerak. Sering kali juga
dimulai dengan depresi yang berlangsung
lebih dari 2 minggu, juga gejala psikis lain
(psikosis). Ingatan jangka singkat hilang
total dan muncul perubahan perilaku dengan timbulnya perasaan curiga. sesudah
beberapa tahun terjadi defek ingatan lainnya,
desorientasi dan hilangnya daya abstraksi.
Dalam jangka waktu 5-10 tahun, penyakit
memburuk dan berakhir dengan kehilangan
kesopanan (decorum), hipokinesia, kekakuan
motorik, tidak mengenali orang lagi dan
menjadi invalid total.
Pada demensia vaskuler, penyakit memburuk tidak dengan berangsur-angsur, namun
secara melonjak.
pemicu nya . Menurut perkiraan, demensia Alzheimer diakibatkan oleh gangguan
neurotransmisi pada sistem kolinergik di otak
akibat kerusakan saraf. Dengan memburuknya penyakit pada pasien Alzheimer,
kadar asetilkolin (ACh) di otak semakin
menurun. Begitu pula pada pasien ditemukan
kehilangan sel-sel otak dan timbulnya banyak plak(plaque) di sel-sel saraf, yang terdiri
dari endapan zat-zat protein. Amiloid ini
berasal dari perombakan protein dinding sel
otak, berbentuk serat dan sebab struktur
khasnya tidak dapat dilarutkan oleh enzim
(proteolisis). Di samping itu juga ditemukan
suatu zat putih telur Apo-E4(apolipoprotein)
dalam jumlah yang kira-kira 3 kali lebih
banyak daripada orang sehat (lihat juga
Bab 36, Antilipemika). Diperkirakan bahwa
Apo-E4 ini menstimulasi penggumpalan
amiloid yang merusak neuron. Namun sebab-musabab tepat dari proses ini belum
diketahui.
Di samping terganggunya metabolisme
amiloid yang memicu endapan plakplak amiloid di otak, juga faktor-faktor vaskuler memegang peranan pada terjadinya
Alzheimer. Ditemukan bahwa hipertensi,
diabetes, kadar kolesterol dan homosistein
yang tinggi (sama dengan faktor-faktor
risiko untuk PJP) meningkatkan risiko akan
demensia dengan dua kali.33. Terapi hipertensi
dapat mengurangi risiko ini dan pemakaian
atorvastatin secara sekunder (sesudah infark
primer) ternyata juga bermanfaat.34 ada
indikasi bahwa kadar homosistein darah
yang tinggi juga meningkatkan risiko akan
Alzheimer.26 Ada kemungkinan bahwa risiko
ini dapat dihindari dengan asam folat +
vitamin B6. Oleh sebab itu ternyata bahwa
faktor risiko bagi Alzheimer juga sama
dengan faktor risiko untuk PJP.
Teori lain menghubungkannya dengan intoksikasi aluminium, infeksi dengan suatu
‘slow virus’, atau suatu proses autoimun.
Pencegahan. Suatu riset (diss. dr Sandra Kalmijn, Rotterdam, November 1997) menunjukkan
efek pelindung dari diet dengan ikan : lansia
yang 1-2 kali/minggu mengonsumsi ikan
menurunkan risikonya akan demensia vaskuler dengan 70% berkat kandungan minyak
dengan asam lemak omega-3(PUFA). Efek
baik ini berkaitan dengan khasiat antiradang
dari asam lemak itu. Sebaliknya diet dengan
banyak lemak jenuh meningkatkan risiko
dengan 3 kali. Senyawa antiradang NSAIDs,
bila dipakai untuk jangka waktu panjang,
melindungi terhadap Alzheimer.25 Begitupula
pemakaian obat penurun kolesterol senyawa statin ternyata menurunkan risiko dengan ±79% ! (BMJ 2002; 324:926). Dilaporkan
bahwa Curcumin (ekstrak kunir) mampu
melindungi terhadap demensia dan menghambat progresnya, lihat Bab 16.
Penanganan. Demensia akibat gangguan di
luar otak dapat disembuhkan atau dihentikan progresnya, bila ditangani sedini mungkin. namun demensia Alzheimer yaitu penyakit yang pemicu nya dewasa ini belum
diketahui (sebagian sebab keturunan) dan
juga belum dapat ditanggulangi serta pemburukannya juga belum dapat dihentikan.
Catatan: Sejak lama diperkirakan bahwa
pada usia lanjut orang kehilangan neuron
(sel otak) sehingga mengalami kemunduran
fungsi mental dan kognitif. Penelitian baru
mengenai fungsi otak mengungkapkan bahwa kemunduran mental dari lansia bukannya tidak dapat dihindari. Disimpulkan bahwa orang dengan pola hidup aktif kurang
berrisiko menderita Alzheimer pada usia
lanjutnya. Bahkan peneliti dari Universitas
Princeton di US melaporkan bahwa neuron
sebetulnya dapat diregenerasi, bertentangan
dengan pendapat selama seabad yll.
Semboyannya yaitu “Use it, or you will
lose it.” yang merupakan suatu “hukum”
universal. Agar supaya otak tetap aktif dibutuhkan latihan fisik dan mental selama hidup
sehingga penurunan daya ingat dan kognitif
sedapat mungkin diminimalisir. “Brain exercise to maintain brain fitness”.
Obat-obat demensia
Kebanyakan obat yang dipakai pada
demensia termasuk golongan parasimpatikomimetika (kolinergika) yang bekerja melalui perintangan enzim kolinesterase untuk
menghambat degradasi asetilkolin di otak.
Di samping ini tersedia hanya satu obat lain,
yakni memantin.
a. Kolinesterase inhibitor: galantamin, takrin, donepezil dan rivastigmin. berdasar
penemuan bahwa kadar ACh di otak berkurang pada penderita demensia, terapi
ditujukan untuk meningkatkan ACh dengan
cara mencegah penguraiannya. Obat-obat ini
agak terbatas efeknya terhadap pemburukan
penyakit. Obat pertama takrin efeknya hanya lemah dan sangat toksik bagi hati, oleh
sebab itu sekarang jarang dipakai lagi.
Obat lainnya menunjukkan efektivitas yang
juga tidak begitu besar, misalnya donepezil,
sedangkan rivastigmin mampu memperlambat progres penyakit dengan ±6 bulan,
namun hanya pada kasus yang ringan sampai
sedang, dengan efek samping lebih serius
dari pada memantin (The Times, 28 Maret
1997).
Akhir-akhir ini dilaporkan bahwa penggunaan kolinesterase inhibitor (a.l. galantamin) dapat meningkatkan risiko efek samping serius seperti aritmia dan infark jantung.
Oleh sebab ini diperlukan kewaspadaan
bagi penderita yang mulai memakai
obat-obat ini melalui screening terhadap
peningkatan risiko gangguan ritme jantung.
Lagi pula efek terapi dari kelompok obat ini
rendah.
b. NMDA-reseptor antagonis: memantin
merupakan obat satu-satunya yang agak
efektif terhadap bentuk Alzheimer sedang
dan hebat dengan profil efek samping relatif
ringan.32 Khasiatnya berdasar peniadaan
rangsangan berlebihan oleh glutamat dari
reseptor NMDA. (N-metil-D-aspartat). Glutamat yaitu neurotransmitter terpenting di
bagian otak yang berperan pada kognisi dan
ingatan. ada indikasi bahwa gangguangangguan neurodegeneratif mungkin mempunyai penyebab yang sama, yaitu stimulasi
kronis berlebihan dari reseptor NMDA.
Oleh sebab itu pemasukan kalsium ke dalam saraf otak meningkat, yang akhirnya
mengakibatkan matinya neuron ini .
c. Obat-obat alternatif yang menurut laporan
mampu menghambat pemburukan demensia
Alzheimer yaitu asam liponat, vitamin E dan
Gingko biloba.
– Asam liponat (lipoic acid) di kalangan
alternatif dilaporkan dapat menghasilkan
efek baik pada penyakit neurodegeneratif,
a.l. Parkinson dan Alzheimer, juga pada
polineuropati diabetes, lihat Bab 47.
– Vitamin E dalam dosis sangat tinggi (2000
IE/hari) selama dua tahun ternyata dapat
menghambat progres penyakit. Lihat Bab
53.
– Ekstrak Gingko biloba(EGb 761, Tebokan,
Tebonin forte) dilaporkan juga mampu
memperbaiki gejala-gejala kognitif dan
fungsi sosial dari penderita Alzheimer.
Kajian resen memakai 3 x 40 mg EGb
terstandardisasi selama 1 tahun. Lihat
Bab 35.
namun penyelidikan akhir-akhir ini (Lancet
Neurology, September, 2011) melaporkan bahwa ekstrak Ginkgo biloba tidak memiliki
efek protektif terhadap progres penyakit Alzheimer selama 5 tahun pada lansia dengan
keluhan memori. Juga tidak menghindari
demensia pada lansia dengan atau tanpa keluhan memori.
C. MULTIPLE SCLEROSIS
(MS)
MS (Lat. multiple = banyak, sclerosis = pengerasan) yaitu suatu penyakit autoimun
dengan peradangan di jaringan saraf otak dan
sumsum lanjutan. Sistem imun menyerang
dan merusak secara reversibel myelin, yakni
lapisan pelindung dari lipoprotein yang
mengisolasi saraf ini . Kerusakan itu
tampak pada foto scan sebagai daerah yang
penuh dengan parut/bercak (plak) keras. Akibat terjadinya plak ini, transmisi dari impuls
saraf diperlambat atau dihambat, yang mengakibatkan gejala penyakit. pemicu nya
tidak diketahui, mungkin sekali akibat infeksi slow-virus pada usia anak-anak. Dalam
darah ada kadar antibodi (IgG) yang
meningkat, khususnya terhadap campak
(measles, Morbilli). Penyelidik DeJager dan
Hafler (2007)37 telah menyusun suatu ikhtisar
mengenai etiologi, perkembangan dan terapi
dari MS.
Telah diketahui bahwa di negara-negara
Utara prevalensi MS jauh lebih besar dibanding dengan daerah tropik, semakin jauh
dari katulistiwa semakin banyak kasusnya..
Dewasa ini ada sejumlah indikasi, bahwa cahaya matahari dan vitamin D bekerja melindungi terhadap risiko MS dan juga
terhadap penyakit jantung dan pembuluh. Di
kawasan Utara matahari bersinar lebih singkat daripada di negara tropik dan dapat
mengakibatkan kekurangan vitamin D. Defisiensi ini memicu produksi suatu zat yang
meningkatkan tekanan darah serta risiko
PJP.27,28 Penyakit dimulai antara usia 20-40
tahun, sekitar tiga kali lebih sering pada
wanita daripada pria. Faktor keturunan juga
memegang peranan pada MS yang merupakan suatu penyakit genetik kompleks.
Gejalanya beraneka ragam yang tergantung
dari lokalisasi sumber penyakit, antara lain
jalan limbung, berbicara gagap, lesu dan
rasa penat pada kaki-tangan, neuritis dengan
gangguan penglihatan (melihat dobel) dan
nystagmus. Juga kesemutan (paresthesia), hipertonia (kejang di tungkai), gangguan berkemih
dan efek psikis, antara lain euforia. Penyakit
kronis ini berlangsung progresif selama 10
tahun atau lebih dan selalu berakhir dengan
kelumpuhan dan kematian.
Prevensi. Kebanyakan penderita MS tidak
menyukai panas matahari dan menghindari
cahayanya, sehingga memungkinkan kekurangan vit D3
. Menurut perkiraan vitamin
D, selain berefek melindungi terhadap timbulnya MS, juga menghambat memburuknya
penyakit. pemakaian alternatif setiap hari
dari 400-4000 U vit D3
dapat menurunkan
risiko bagi MS dengan 40%.29
Penanganannya berupa menghindari stress
fisik dan psikis, dalam fase akut istirahat
total (bedrest), kemudian fisioterapi. Pengobatan kausal tidak ada, pada saat eksaserbasi
umumnya diberikan prednison (metilprednisolon 1 g sehari secara i.v. selama 3-5 hari),
yang untuk sementara efektif meringankan
gejala. Terhadap bentuk MS tertentu (RR dan
SP) dapat diberikan terapi imunomoduler
dengan ß-1 interferon (Betaferon) yang berkhasiat mengurangi frekwensi dan hebatnya
serangan. Obat-obat yang ternyata juga memberikan efek positif yaitu copolymer-1
dan imunoglobulin (Lancet 1997; 349: 586,
589-93), begitupula imunosupresiva seperti mitoksantron, azatioprin dan siklofosfamida.
Terapi imunomoduler lainnya yang dipakai terhadap MS yaitu :
* Glatiramer asetat (copolymer 1, Copaxone)
yaitu polipeptida sintetik dari 4 asam amino (alanin, glutamat, lysin dan tyrosin) yang
bekerja imunosupresif. Zat ini a.l. memblokir
secara spesifik sifat merusak dari limfo-T terhadap protein myelin. Oleh sebab itu efek
sampingnya ringan. Mekanisme kerjanya
yang tepat tidak diketahui. Dosis: 1 dd 20 mg
s.c. sebagai asetat.
* Mitoxantron (Novantrone) yaitu sitostatikum yang dipakai off-label pada MS berat. Berkhasiat memperlambat progres invaliditas dengan nyata dan mengurangi frekuensi
eksaserbasi. Efek sampingnya neutropeni,
kecenderungan infeksi dan alopecia.
pemakaian obat-obat ini dibatasi
oleh efek sampingnya, a.l. bila ada infeksi
(glukokortikoid), penyakit jantung (mitoxantron), hipersensitivitas dan kehamilan. Untuk
meningkatkan efektivitas dari obat-obat ini
terhadap kambuhnya penyakit, dianjurkan
untuk memakai nya sedini mungkin.
D. PENYAKIT PRION
P r i o n
Prion (proteinaceous infectious particle) yaitu
partikel protein abnormal (prion protein)
tanpa DNA/RNA yang dibentuk oleh setiap
hewan menyusui di berbagai jaringannya,
terutama dalam otak dan sumsum belakang.
Penemu dari unsur infeksi yang sama sekali
baru ini yaitu dr. Stanley Prusiner (Science,
1982), seorang biolog Amerika. Fungsi fisiologinya belum jelas, mungkin turut berperan
pada komunikasi antar-sel. Prion bersifat
menular dan resisten terhadap penyinaran
sinar-X dan UV, juga tahan terhadap suhu
100° C dan desinfektansia, oleh sebab itu
sangat sukar dimusnahkan.
Bentuk prion. Molekul prion ada dalam
2 bentuk ruang, yaitu bentuk prion-baik dan
bentuk prion-salah, yang dapat saling berubah
secara spontan.
Pada otak sehat, protein prion hanya berada dalam satu bentuk (baik), struktural sebagai alfa-helix. Akibat mutasi pada suatu
gen tertentu timbul perubahan dalam urutan asam aminonya dan terjadi struktur ruang berlainan (bentuk abnormal betahelix).
Bila diinfeksi oleh suatu prion-salah, ber angsur-angsur prion-baik ditransformasi
menjadi bentuk prion-salah.
Penyakit-penyakit prion ditimbulkan oleh
prion-prion yang berbentuk salah demikian. Pada manusia dan hewan tampak
gangguan-gangguan di otak, demensia dengankontraksi otot hebat (myoclonus). Pada hewan sapi timbul gangguan koordinasi dan
penurunan berat badannya.
Penyakit prion (spongiform encefalopathy). Prion memicu sejumlah penyakit neurodegeneratif otak fatal pada ternak maupun
manusia yang bersifat menular, yaitu scrapie,
BSE, kuru dan CJD. Penyakit-penyakit ini
semuanya ditandai oleh penimbunan protein
prion yang mengakibatkan matinya neuronneuron otak dan terjadinya banyak ruang
kosong (vakuolisasi,lubang) antara sel-sel
otak, mirip bunga karang (sponge, spongiform),
yang dapat ditentukan pada otopsi. Hingga
kini belum tersedia obat untuk mengobati
atau menghambat progres penyakit ini.
* Scrapie sudah dikenal sejak abad ke-18
dan khusus menyerang domba yang sesudah
infeksi menderita gatal-gatal hebat, gangguan gerakan dan akhirnya mati. Dapat
ditularkan pada binatang lain (tikus, kera,
babi dan mungkin juga sapi), namun tidak
kepada manusia.
* Penyakit sapi gila (Bovine Spongiform Encefalopathy, BSE) khusus ada pada sapi.
Pertama kali terdeteksi di Inggris pada
tahun 1986 dan terjadi epidemi di tahun
1992, yang menurut perkiraan disebabkan
oleh makanan yang mengandung sisa-sisa
pembantaian dari domba yang terinfeksi
dengan scrapie. Penyakit ini dapat ditularkan
pada hewan lain dan semula dikira tidak bisa
ditularkan kepada manusia. Kini diketahui
bahwa manusia juga dapat terinfeksi dengan
memakan daging yang tercemar.
* Kuru (bah. Papua = mati tertawa) yaitu
penyakit prion pada manusia, yang khusus
ada pada suku Fore di Irian Jaya. Penyakit ini bercirikan gangguan keseimbangan,
kaki-tangan gemetar dan serangan tertawa
tak terkontrol. Penyakit disebarkan oleh
ritual kanibalisme, di mana otak orang mati
dimakan oleh sanak-saudaranya. Kuru kemudian ternyata identik dengan penyakit
Creutzfeldt-Jakob.
* Creutzfeldt-Jakob Disease (CJD) diuraikan
di tahun 1920 oleh dua neurolog Creutzfeldt
dan Jacobs. CJD muncul untuk pertama
kalinya di Eropa pada awal tahun 1980-an,
terutama pada orang berusia di atas 60 tahun
yang umumnya meninggal dalam waktu
8 bulan. sebab diduga ada hubungannya
dengan BSE, ±160.000 ekor sapi yang dicurigai terinfeksi telah dimusnahkan dan
penjualan otak serta sumsum sapi dilarang.
Namun, pada tahun 1996, di Inggris terjadi
lagi lebih dari 20 kematian akibat CJD, juga
pada orang muda yang sejak 1985 makan
secara vegetaris. Hal ini memberikan indikasi
kuat bahwa BSE dapat ditularkan pada
manusia dengan mengonsumsi daging, otak,
sumsum (dan mungkin organ lainnya) dari
sapi yang sudah terinfeksi BSE, namun belum
memperlihatkan gejala penyakit. Untuk mencegah penyebaran infeksi BSE, lebih dari 1
juta sapi dimusnahkan, termasuk di Belanda,
Belgia, dan Prancis.
Di bulan Oktober 2006 dilaporkan korban
BSE kedua (16 tahun) di negeri.Belanda, 4
bulan sesudah didiagnosis melalui scan otak.
Sampai sekarang jumlah korban sedunia
berjumlah 170 orang dan kebanyakan orang
muda sekitar 30 tahun, yang kerap kali
meninggal dalam 2 tahun sesudah diagnosis.
Masa tunas CJD panjang sekali, antara 10 - 20
tahun.
Varian baru vCJD. Jenis semula yang disebut bentuk sporadis (sCJD) hanya dapat
ditularkan pada hewan percobaan dan khususnya oleh sel-sel otak atau sumsum belakang yang disuntikkan langsung ke dalam otak. Varian baru (vCJD) dapat ditularkan melalui darah, sehingga organ-organ
lainnya (antara lain tonsil) juga mudah
terinfeksi. Varian ini yang ditemukan pada
tahun 1996 memliki gejala klinik dan neuropatologi berbeda dengan sCJD, namun ternyata berkaitan dengan BSE dan dapat ditulari kepada manusia melalui transmisi
daging sapi yang tercemar BSE. Penyakit ini dapat menyerang orang lebih muda (±30
tahun) dan jangka waktu penyakit lebih
lama, rata-rata 14 bulan.
Gejala vCJD mirip demensia Alzheimer
(lihat di atas), namun berlangsung lebih cepat
akibat pemusnahan neuron di otak yang juga
relatif cepat. Pada awalnya terjadi gangguan
ingatan dan perilaku (fungsi kognitif mundur), gangguan pusat (rasa takut, halusinasi), lalu kesulitan koordinasi (sukar jalan
dan berbicara) dan akhirnya kejang-kejang
hebat dan invaliditas. Umumnya pasien meninggal dalam waktu 8 bulan.
Diagnosisnya dipersulit oleh masa inkubasi
yang panjang sekali, 10-20 tahun. Infeksi
mungkin sekali terjadi sebab makan daging
sapi yang sudah terinfeksi, namun belum
memperlihatkan gejala penyakit. Variant baru
dapat didiagnosis dengan pemeriksaan tonsil
(amandel), di mana ada penumpukan prion, juga melalui scan otak. Dalam otak dapat
dilihat penumpukan protein-prion yang terlihat seperti bunga karang (sponge).
Pengobatan. Pada saat ini belum tersedia
obat terhadap vCJD. Obat demikian mutlak
harus dapat melintasi CCS untuk masuk ke
otak, oleh sebab itu harus bersifat lipofil.
Sampai sekarang telah diselidiki hanya tiga
obat, yaitu obat malaria mepakrin, pentosanpolisulfat dan flupirtin, suatu analgetikum eksperimental.
Ref.: Weissman C et al. Approaches to therapy
of prion diseases. Ann Rev Med 2005;56:321-
44.
Dari ketiga obat ini hanya mepakrin yang
memberikan harapan terbaik. Pada percobaan
dengan tikus ternyata mepakrin mampu
menghindari perubahan prion sehat menjadi
prion cacat. Penelitian masih berlangsung
dan belum lengkap. Suatu penelitian lain
akan dilakukan dengan kombinasi mepakrin
dan flupirtin.
MONOGRAFI
A. OBAT PARKINSON
A1. Levo-dopa28: l-dopa, Larodopa, *Madopar,
*Sinemet, *Stalevo
Zat pelopor (precursor) dari dopamin ini
(1969) bersama dengan suatu zat penghalang
dekarboksilase ekstra-serebral selektif (karbidopa atau benserazida) merupakan terapi
paling efektif bagi kebanyakan penderita
penyakit Parkinson. Bila levodopa dipakai
sebagai obat tunggal, sebagian besar dari
obat ini diuraikan oleh enzim dekarboksilase,
sehingga hanya sebagian kecil obat utuh
dapat memasuki sirkulasi otak dan kurang
dari 1% menembus susunan saraf sentral.
Penghambatan oleh enzim ini meningkatkan
jumlah levodopa yang tidak terurai dan
dapat menembus barrier darah-otak. Lihat
selanjutnya di bawah.
Levodopa terutama berkhasiat meningkatkan kadar DA di otak, dengan efek mengurangi gejala kekakuan dan hipokinesia.
Kurang atau tidak efektif terhadap tremor
dibandingkan dengan antikolinergika, yang
dapat dikombinasi dengannya (efek aditif).
Efek terapi baru nyata sesudah 6-8 minggu.
Levodopa yaitu obat Parkinson yang paling
efektif, namun tidak berkhasiat terhadap gangguan ekstra-piramidal yang disebabkan oleh
obat.
Penghambat-COMT entakapon, yang sendirinya tidak memiliki khasiat anti-Parkinson,
memperlambat eliminasi levodopa dan dengan demikian memperpanjang dan memperkuat daya kerjanya. Juga mengurangi
waktu “off” pada taraf lanjut dari penyakit.
Resorpsi di usus kurang teratur dan dikurangi oleh makanan, terutama oleh asamasam amino (persaingan absorpsi dari saluran cerna). Masa paruhnya singkat ±30
menit, dan lama kerjanya hanya 2-4 jam,
sehingga perlu diberikan 5 kali sehari atau
lebih. Ekskresi terutama berlangsung lewat
urin dalam bentuk metabolitnya.
Kombinasi dengan dekarboksilase-blocker menghambat perombakan-DA perifer.
Terapi sulih ganti (replacement therapy) dengan dopamin pada penyakit Parkinson tidak mungkin, sebab zat ini tidak dapat menembus rintangan darah otak. Berbeda dengan dopamin, levo-dopa mudah menembus
rintangan CCS dan memasuki SSP. Di otak
dopa didekarboksilasi oleh enzim-enzim dan
menjadi dopamin aktif; dengan demikian seolah-olah menggantikan dopamin yang
hilang.
Dari suatu dosis oral hanya 5% tiba di otak
sebab di saluran cerna dan darah sudah
diubah oleh enzim dekarboksilase menjadi
dopamin yang tidak bisa memasuki otak.
Guna mencegah pengubahan ini di luar
otak, maka ditambahkan suatu penghambatdekarboksilase perifer, yang sendirinya tidak memasuki SSP. Dengan demikian, lebih
banyak levodopa mencapai otak sehingga
dosisnya dapat dikurangi sampai 25%, sedangkan efek sampingnya juga berkurang.
Dekarboksilase-blockers yang dipakai untuk maksud itu yaitu benserazida dan karbidopa.
Kombinasi dengan selegilin, yang merintangi perombakan dopamin oleh MAO-B di
otak (lihat di bawah) memperkuat efeknya,
begitu pula kombinasi dengan lisurgida atau
pergolida. Efek samping perifernya (mual)
dikurangi.
Toleransi. sesudah 3-5 tahun, efek pengobatan
dengan levo-dopa akan menurun, sebab penyakit bertambah buruk dan reseptor dopamin berkurang kepekaannya, atau sebab
adanya fluktuasi kuat dari kadar levodopa di
otak.
Efek samping yang paling sering terjadi
yaitu mual, muntah dan anoreksia, yang
disebabkan oleh dopamin yang sudah terbentuk di lambung-usus (15% dari pasien).
Pada permulaan terapi juga dapat timbul
hipotensi ortostatik dan gangguan pusat ringan, seperti gelisah, rasa takut, bingung,
halusinasi dan pikiran kacau. Pada dosis
tinggi gejala pusat ini meningkat, di samping
mendadak timbul rasa kantuk..Efek samping
psikis ini merupakan faktor terutama yang
membatasi terapi dengan levodopa. Mual dan
muntah, sebagai akibat rangsangan terhadap CTZ yang memiliki reseptor-reseptor DA,
dapat efektif diatasi dengan domperidon,
yaitu antagonis dopamin yang memiliki khasiat antiemetik dan secara selektif menduduki
reseptor dopamin di saluran cerna. Efek
samping ini juga dapat dikurangi dengan
mempersingkat interval pemberian levodopa
dan penurunan dosisnya.
‘On-off effect’. Pada pemakaian lama
timbul diskinesia dengan gerakan abnormal
tidak teratur. Sindrom levodopa ini juga
ditandai efek pengobatan yang sangat tidak
menentu, turun-naik, bahkan adakalanya
dalam waktu beberapa menit, oleh sebab itu
disebut efek ‘on-off’.
Interaksi. Piridoksin, sebagai ko-enzim,
walaupun dalam dosis kecil mempercepat
perombakan perifer levodopa (di luar otak)
melalui peningkatan daya kerja dekarboksilase. Oleh sebab itu, levodopa tidak boleh dikombinasi dengan multivitamin, buah
avokad, ubi rambat dan hati, yang semuanya mengandung banyak vitamin B6. Antagonis dopamin mengurangi efek levodopa,
misalnya antipsikotika (fenotiazin, butirofenon), fenitoin, papaverin, reserpin, metoklopramida dan senyawa benzodiazepin.
Dosis: oral semula 2-3 dd 125 mg d.c. dan
dinaikkan setiap 2-4 hari dengan 125-250
mg sampai tercapai dosis pemeliharaan dari
2,5-7 g sehari. Untuk mengurangi kemungkinan fluktuasi ‘on-off’ dianjurkan obat diminum sebelum makan (Contin M. Eur J Clin
Pharmacol 1998; 54:303-8).
* Madopar = levodopa 200 mg + benserazida
50 mg;
* Sinemet = levodopa 250 mg + karbidopa
25 mg.
* S talevo = levodopa 100 + karbidopa 25 +
entakapon 200 mg
A2 Apomorfin: Uprima, Apokyn
Derivat morfin ini bekerja sentral, namun
tidak memiliki sifat opiat (misalnya analgetik, obstipasi, depresi pernapasan, adiksi).
Berkhasiat emetik (memicu mual) dan
dopaminerg. Oleh sebab itu senyawa ini
efektif terhadap Parkinson yang tidak mempan terhadap obat-obat lain atau dengan
fluktuasi ‘on-off’. Apomorfin dapat dikombinasi dengan dopa, yang dosisnya dapat dikurangi. pemakaian nya perlu diawali dengan pemberian antagonis-DA domperidon
sebagai antiemetikum dengan dosis 3 dd 20
mg (Editorial. BMJ 1998; 316: 641).
Resorpsi dari usus rendah disebabkan FPE
yang besar. Melalui injeksi subkutan efeknya
tampak sesudah ±10 menit dan rektal sesudah
20 menit. Efeknya bertahan 20-40 menit dan
secara nasal lebih lama 0,5 –1 jam. Plasma-t½
rata-rata 25 menit.
Efek samping berupa mual, muntah, hipotensi, bradycardi dan mengantuk, adakalanya
gangguan psikis (halusinasi, agitasi dan perasaan kacau).
Dosis: s.c.(infus) 25-40 mg sehari atau 6 dd
1-7 mg, disusul pemberian nasal spray (semprotan hidung) 2-4 dd 1-10 mg (HCl). Lihat
juga Bab 43, hormon pria, boks Disfungsi
ereksi.
A3. Pramipeksol: Sifrol, Mirapexin
D2
-dopamin-agonis ini 1997 absorpsinya
cepat serta tuntas dan mencapai kadar maksimalnya dalam waktu 3 jam. Ekskresi utuh
dengan urin, t½ 8 jam pada orang muda dan
12 jam pada orang lebih tua. Sebagai monoterapi pada awal penyakit Parkinson atau
bersamaan dengan dopa pada taraf lebih
lanjut. Juga dipakai terhadap Restless Leg
Syndrome (RLS) dengan mekanisme kerja
yang tidak diketahui (lihat boks dibawah)
Efek samping tersering nausea, muntah dan
hipotensi ortostatik, juga sering kali obstipasi,
rasa kantuk, lelah, gatal dan ruam. Wanita
hamil dan yang menyusui tidak dianjurkan
minum obat ini
Interaksi dengan obat yang menghambat
atau diekskresi melalui sistem ini dapat memengaruhi efek pramipeksol, misalnya amantadin, verapamil, ranitidin, digoksin dan trimetoprim. Alkohol dan sedativa lain meningkatkan terjadinya serangan kantuk mendadak.
Dosis: minggu pertama 3 dd 0,125 mg dc,
minggu ke-2 3 dd 0.25mg, minggu ke-3 3 dd
0,5 mg dari garam diHCl-monohidrat. Bila
perlu ditingkatkan dengan 0,75 mg sampai
maks. 4,5 mg , namun risiko mengantuk akan
meningkat. Dosis pemeliharaan : 0,375 – 4,5
mg sehari.
RLS: 1 dd 0,125 mg 2-3 jam sebelum tidur, bila
perlu ditingkatkan dengan 0.125mg setiap 4-7
hari.
A4. Selegilin: Deprenaline, Eldepryl
Derivat fenetilamin ini (1989) yaitu penghambat-MAO-B selektif di otak sehingga perombakan dopamin dihalangi. Kadar dopamin di otak meningkat, khasiat levodopa
diperpanjang dan diperkuat sehingga dosisnya dapat diturunkan dengan sepertiganya,
begitu pula dengan efek sampingnya. Pada
dosis tinggi juga merintangi penguraian
serotonin dengan efek antidepresi. namun
selegilin tidak dipakai sebagai antidepresivum berhubung risiko akan efek sampingnya. Senyawa ini dipakai sebagai
monoterapi pada awal penyakit Parkinson.
Kombinasi obat ini dengan levodopa menjadi kurang efektif. Selegilin berkhasiat
menghambat progres demensia Alzheimer
berdasar sifat antioksidansnya, Lihat di
atas.
Resorpsi berlangsung cepat dan sempurna
dengan PP 94% dan plasma-t½ 39 jam. Senyawa ini mengalami FPE (first pass effect)
besar dan diuraikan menjadi amfetamin, metamfetamin dan N-desmetilselegilin. Ekskresi
melalui urin.
Efek samping berupa kesulitan tidur (akibat
efek amfetamin), mulut kering dan pusing.
Kombinasi dengan levodopa memicu
beberapa gejala, seperti sakit kepala, pusing,
perasaan cemas, diskinesia, hipotoni, udema
dan sembelit. Kombinasi dengan meperidin
dapat memicu reaksi fatal.
Dosis: sebagai monoterapi 1-2 dd 5 mg
(HCl); bila dikombinasi dengan levodopa 1-2
dd 5-10 mg p.c.
* Rasagilin (Azilect) juga suatu inhibitor
MAO-B dan derivat fenil, seperti selegilin
menghambat penguraian dari dopamin di
otak berdasar penghambatan enzim monoaminoksidase-B. Dapat dipakai sebagai
monoterapi pada stadium awal dengan efek
terbatas atau bersamaan dengan levodopa
meningkatkan khasiatnya. Hasil penguraian
dalam hati sebagai metabolit aktif diekskresi
via urin 63% dan via feses 22%. T1/2 0,6-2 jam.
Efek samping sering kali sakit kepala (>10%)
pada monoterapi. Juga rhinitis, conjunctivitis,
demam, malaise, sakit otot dan artritis, alergi,
kanker kulit, depresi dan halusinasi. Efek
samping levodopa diperkuat oleh rasagilin
dan sangat sering (>10%) juga gangguan
gerakan (diskinesia), gangguan saluran cerna
dan keseimbangan.
Tidak boleh dipakai oleh pasien dengan gangguan hati, sebab rasagilin dimetabolisasi di dalam hati oleh enzim CYP 1A2
(cytochrom P 450). Daya kerja enzim ini juga
dihambat oleh antara lain siprofloksasin, simetidin atau fluvoksamin. Oleh sebab itu
obat-obat ini tidak boleh dipakai bersamaan dengan rasagilin. Dosis: 1 mg sehari,
bersama atau tanpa levodopa.
A5. Bromokriptin: Parlodel
Alkaloid ergot semi-sintetik dari kelompok
ergotoksin ini (1975) memiliki khasiat stimulasi langsung terhadap reseptor dopamin di otak. Peningkatan sekresi dopamin,
yang identik dengan hormon PIF (Prolactin
Inhibiting Factor), memicu berkurangnya sekresi prolaktin. Oleh sebab itu bromokriptin dipakai untuk mencegah laktasi secara primer (pada abortus) dan pada
galaktorroea (keluar air susu berlebihan setelah persalinan). Pada akromegalia (ujungujung anggota badan membesar), zat ini dipakai untuk menghambat sekresi hormon
pertumbuhan somatropin.
Sebagai agonis-DA2
kuat (dan agonis-DA1
lemah), obat ini pada awalnya diberikan pada pasien Parkinson yang sesudah beberapa
tahun menjadi semakin kurang peka terhadap dopa, sedangkan efek sampingnya meningkat (diskinesia). namun sejak beberapa tahun obat ini juga dipakai sebagai monoterapi pada pasien ‘baru’. Bila dalam waktu
3-6 bulan efeknya belum memuaskan, barulah diberi tambahan dopa yang dosisnya
berangsur-angsur dinaikkan. Keuntungan
terapi kombinasi ini ialah bahwa dosis dari
masing-masing obat dapat lebih rendah, sehingga efek sampingnya berkurang.
Resorpsi dari usus ±28%; plasma-t½ singkat,
hanya ±3 jam; PP 90-96%. sebab mengalami
FPE besar, maka BA rendah: hanya 6% mencapai sirkulasi dalam keadaan utuh. Efeknya
lebih konstan daripada levodopa. Di dalam
hati, senyawa ini mengalami biotransformasi.
Ekskresi terutama melalui empedu dan hanya
±7% melalui urin.
Efek samping yang sering terjadi yaitu
gangguan saluran cerna, namun hanya pada
permulaan terapi. Efek lainnya terjadi hipotensi ortostatik, udema pergelangan kaki dan
pigmentasi jari-jari tangan. Pada dosis yang
lebih tinggi dapat timbul gangguan pusat
berupa psikosis, halusinasi, bicara tanpa arah
dan diskinesia. Antipsikotika dan metoklopramida sebagai antagonis dopamin dapat
mengurangi efeknya, sedangkan alkohol dapat memicu efek disulfiram.
Dosis: permulaan oral 1-2 dd 1,25 mg
(mesilat) d.c., berangsur-angsur dinaikkan
sampai 20-40 mg sehari. Untuk menekan
laktasi 2 dd 2,5 mg selama 2-3 minggu.
*Kabergolin (Dostinex) yaitu juga derivat
ergot dengan khasiat dan pemakaian sama
dengan bromokriptin, yaitu menekan atau
menghindari laktasi post partum atau sesudah
keguguran. Juga pada penyakit Parkinson
dikombinasi dengan levodopa untuk memperbaiki mobilitas dalam dosis 1 dd 1 mg,
yang berangsur ditingkatkan sampai 1 dd 2-6
mg.
A6. Lisurida: Dopergin
Derivat ergolin ini (1979) memiliki struktur
inti alkaloid ergot (lihat Bab 52, Obat migrain) dan sifatnya mirip bromokriptin. Lisurida bekerja langsung terhadap reseptor
dopamin (DA2
) dan sebagai agonis-DA2
kuat
dapat menghambat sekresi prolaktin. Penggunaannya juga mirip dengan bromokriptin,
yaitu sebagai obat Parkinson dan pada galak-
torroea dan akromegali. Adakalanya obat ini
juga dipakai sebagai profilaktik migrain,
berdasar efek antihistamin mau-pun antiserotoninnya.
Resorpsi cepat dan sempurna. Sesuai dengan bromokriptin, zat ini juga mengalami
FPE besar sehingga BA-nya hanya 10-20%.
Plasma-t½ 3-4 jam.
Efek samping pada awal pengobatan berupa pusing, rasa letih, sakit kepala, mual dan
sembelit, jarang timbul muntah atau hipotensi ortostatik. Pada dosis tinggi obat ini
dapat memicu gangguan pusat, seperti
halusinasi, diskinesia, mulut kering, kejang
otot kaki dan tampilan jari-jari tangan/kaki
menjadi pucat.
Dosis: minggu pertama malam hari 0,1 mg,
kemudian tiap minggu dosis dinaikkan 0,1
mg sampai tercapai dosis optimal 0,6-2 mg
seharinya. Untuk menekan laktasi 2-3 dd 0,2
mg selama 14 hari.
* Pergolida (Permax) yaitu juga derivat
ergolin dengan khasiat agonis-dopamin kuat
(1991). Pergolida dipakai dalam kombinasi dengan levodopa pada penyakit Parkinson. Obat ini berkhasiat menurunkan
kadar prolaktin dalam darah dan meningkatkan kadar somatropin (GH). Resorpsi
praktis sempurna dengan PP sebesar 90%.
Ekskresi dalam bentuk metabolitnya melalui
urin (55%) d