Tampilkan postingan dengan label obat 30. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label obat 30. Tampilkan semua postingan

obat 30




 penyakit itu sendiri dan didefinisikan 

sebagai kombinasi dari bradikinesi (lambat 

gerakan), kekakuan dan gemetar (tremor). 

Dengan lain kata parkinsonisme atau gejala ekstrapiramidal yaitu  istilah yang 

dipakai  bagi sindrom kekakuan hipokinetik

dengan ciri-ciri penyakit Parkinson, yang 

diakibatkan oleh kelainan di sistem ekstrapiramidal. Gejala ini dapat timbul akibat 

pemakaian  obat (antagonis-DA) yang masuk ke dalam SSP, seperti psikofarmaka

dalam dosis tinggi, terutama fenotiazin, 

butirofenon, haloperidol, thorazine, antidepresiva trisiklis, reserpin dan juga obatobat anti-emetik seperti proklorperazin dan 

metoklopamida. Sebabnya yaitu  blokade 

dari dopamin, begitu pula sesudah  stroke, 

gangguan neurologik serta intoksikasi CO, Hg, 

Mn, HCN dan barbital. Parkinsonisme dapat 

ditanggulangi secara efektif oleh antikolinergika, namun  tidak oleh levodopa atau 

amantadin. 

Faktor-faktor risiko bagi parkinsonisme 

yang dicetuskan oleh efek samping metoklopramida yaitu  jenis kelamin (wanita), usia 

lanjut, polifarmasi dan diabetes. Oleh sebab  

itu alternatif pemakaian  metoklopramida 

sebagai anti-emetikum bagi pasien yang 

menderita mual dan muntah-muntah yaitu  

domperidon. Perbedaan antara parkinsonisme yang diinduksi oleh obat sebagai efek 

samping dan penyakit Parkinson yaitu  antara lain awalnya yang subakut pada parkinsonisme.

Mekanisme kerja dari metoklopramida 

yaitu  kompleks dan berdasar  blokade 

dari reseptor dopaminerg D2 yang berada 

di pusat muntah (chemoreceptor triggerzone) 

dan di lambung-usus. Blokade dari reseptorreseptor ini di bagian lain dari otak, terutama di corpus striatum, dapat mengakibatkan 

gangguan gerakan seperti parkinsonisme.

Sebetulnya domperidon juga merupakan 

suatu penghambat dopaminerg D2, namun  

hanya sedikit sekali yang dapat menembus 

barriere darah-otak, sehingga gangguan terhadap gerakan jauh berkurang.

Ref.: De Ronde et al., Ernstig parkinsonisme 

door metoklopramide, Ned Tijdschr Geneeskd 2013.

Gejala 29,30,31

Empat gejala utama penyakit Parkinson adalah kakunya anggota gerak (rigor, hipertonia),

mobilitas hilang atau berkurang secara abnormal (bradykinesia), gemetar (tremor) dan

gangguan keseimbangan tubuh. Bradykinesia 

yaitu  menjadi lambatnya semua gerakan, 

sukar bangun dari posisi duduk dan sukar 

naik-turun dari pembaringan. Pasien juga berjalan setindak-demi-setindak (shuffle) yang 

dapat diperbaiki melalui fisioterapi. Ciriciri lainnya yaitu  sikap tubuh bongkok, 

kejang otot, tulisan tangan menjadi halus 

(micrographia) dan seperti laba-laba (spidery).

Sebagai akibat dari kakunya otot muka, penderita berwajah seperti topeng (mask face).

Bicaranya menjadi monoton dan tidak jelas, 

juga sekresi air liur (salivatio) berlebihan 

dan muka berlemak. Gejala pada saluran 

cerna berupa rasa terbakar dalam lambung 

(heartburn), kesulitan menelan (dysphagia),

sembelit dan menurunnya berat badan. 

Gejala-gejala ini baru menjadi nyata pada 

stadium lanjut, yaitu pada waktu ±80% dari 

sel-sel dopaminerg telah dirusak. Sebetulnya 

kehilangan neuron dopaminerg yaitu  

ge-jala normal dari usia lanjut, namun  pada 

umumnya kehilangan ini tidak sampai 70-

80%. Tanpa pengobatan sesudah  5-10 tahun 

PD memicu  penderita tidak berdaya 

(akinetic state), pada saat penderita tidak 

dapat lagi merawat diri sendiri. Akibat turut 

lisutnya pula sel-sel serotoninerg di otak dan 

berkurangnya serotonin penyakit ini juga 

memengaruhi banyak bagian dari struktur 

otak (Braak and Del Tredici, 2008)35, yang 

mengakibatkan gejala PD “non-motor”, termasuk depresi, gangguan tidur dan gangguan daya ingat. Gejala “non-motor” ini sukar 

diobati dengan antidepresiva sebab  dapat 

memicu  efek samping ekstrapiramidal 

dan merupakan penyebab disability penting 

dari penderita (Langston, 2006)36

Banyak penderita penyakit Parkinson mengalami rasa kaku berkurang dan juga lebih 

mobil sesudah  bangun tidur dibandingkan 

siang hari. Mekanisme manfaat tidur ini mungkin disebabkan oleh sebab  meningkatnya penimbunan dopamin selama tidur 

(Ned Tijdschr Geneeskd. 2012;156). 

Penggolongan

Obat-obat Parkinson pada garis besarnya 

dapat dibagi dalam empat golongan, yaitu 

agonis-DA (dopaminergika), yang menstimulasi 

pelepasan dopamin dan antikolinergika, yang 

memblokir transmisi kolinergik. 

1. Agonis-DA (dopaminergika): levodopa, 

ropinirol, pramipeksol, bromokriptin, lisurida, 

pergolida, apomorfin dan amantadin. Obat-obat 

ini meningkatkan kadar DA di otak atau 

meningkatkan transmisinya dan dengan demikian berefek meringankan hipokinesia 

dan kekakuan, namun  jarang sekali mengurangi tremor. Dopaminergika dipakai  sebagai monoterapi atau juga terkombinasi 

dengan antikolinergika. Cara kerja obat-obat 

ini berdasar  beberapa mekanisme, yakni:

a. meningkatkan sintesis/kadar DA di SSP , 

misalnya levodopa dan apomorfin;

b. stimulasi reseptor DA secara langsung dan 

selektif ropirinol, pramipeksol dan alkaloid 

ergot semisintetik bromokriptin, kabergolin, 

lisurida, pergolida dan juga apomorfin;

c. menghentikan penguraian DA oleh enzim 

monoaminoksidase B (MAO-B): selegelin;

d. stimulasi pelepasan DA di ujung saraf dan 

menghambat penarikan kembalinya (reuptake inhibition) di ujung saraf: amantadin.

2. Inhibitor MAO-B: rasagilin, selegilin. 

Zat-zat ini menghambat secara selektif enzim MAO-B, sehingga penguraian DA di 

otak dihalangi. Biasanya dipakai  pada 

awal penyakit, sehingga pemakaian  dopa 

dapat diundur. Ditambahkan pada dopa 

memperkuat dan memperpanjang daya kerja 

dopa.

3. Penghambat-COMT (catechol-o-methyltransferase): antara lain entakapon (1998) 

dan tolkapon. Enzim ini menghambat perombakan levodopa, maka menghasilkan 

peningkatan resorpsi dan masa paruhnya. 

Sering kali ditambahkan pada kombinasi 

dopa dengan karbidopa atau benserazida.

4. Antikolinergika (parasimpatolitika): amin 

tersier sintetik triheksifenidil, biperiden, 

prosiklidin, deksetimida dan orfenadrin.

Obat-obat pengganti sintetik dari alkaloid 

Belladonna ini terutama efektif terhadap 

semua bentuk parkinsonisme dengan gejala 

tremor, kekakuan ringan dan salivasi (berliur berlebihan), namun  terhadap hipokinesia 

ku-rang ampuh. Obat ini bekerja langsung di 

SSP. Untuk bentuk penyakit yang lebih serius, 

perlu dikombinasikan dengan levodopa.

Terapi

Penanganan non-obat ditujukan pada memperbaiki atau memelihara keadaan fisik 

agar pasien dapat berfungsi mandiri selama 

mungkin. Untuk ini perlu dilakukan latihan 

fisioterapi yang berperan penting dalam 

mendukung medikasi. Di samping itu, bantuan psikis juga sangat berguna.

Pengobatan hanya bersifat simtomatis, sebab  sel-sel otak yang sudah rusak tidak bisa 

diperbaiki lagi dan progres penyakit pun tidak bisa dihentikan. Terapi diarahkan pada 

pemulihan kembali keseimbangan hormon 

yang terganggu. Hal ini dapat dilakukan 

dengan cara mengurangi ACh dengan antikolinergika, atau dengan cara meningkatkan jumlah dopamin dengan dopaminergika. 

Tujuan akhir dari terapi ini, di samping 

memungkinkan penderita berfungsi seoptimal mungkin, yaitu  untuk mengurangi 

atau memperlambat komplikasi-komplikasi 

jangka panjang yang sukar ditanggulangi (a.l. 

diskinesia).

Terapi standar bagi Parkinson tidak ada, 

pengobatan harus ditentukan secara individual bagi setiap pasien atas dasar gejala 

dan faktor lainnya. 

Harapan baru bagi penderita penyakit 

ini yaitu  sedang diselidikinya terapi gen

untuk memacu produksi dari dopamin secara kontinu dalam otak. Obat untuk terapi 

dopamin ini yaitu  ProSavin yang masih 

dalam taraf penelitian mengenai keamanan, 

efektivitas dan toleransinya.  

1 Agonis dopamin (dopaminergika) merupakan pilihan pertama sebab  bekerja lebih 

lama (t½ panjang) dan lebih ampuh terhadap 

komplikasi jangka panjang. Lazimnya pada pasien di bawah 65 tahun di stadium 

dini pengobatan dimulai dengan suatu 

agonis-DA (amantadin atau selegelin) sebagai

monoterapi. Bila kurang efektif, obat dapat 

diganti atau ditambahkan dengan agonisDA lain, misalnya ropinirol, pramipeksol atau 

bromokriptin. Levodopa baru ditambahkan, 

bila efek kliniknya belum memuaskan, walaupun pentakaran agonis-DA sudah optimal. Sebabnya ialah pada orang muda ada  risiko lebih besar untuk berkembang 

komplikasi jangka panjang ini . Pada 

penderita di atas 65 tahun umumnya justru 

dimulai dengan levodopa tunggal; risiko 

mereka akan komplikasi lebih rendah dan 

secara teoretis lebih mudah memicu  

kekacauan bila fungsi kognitifnya berkurang. 

Kombinasi dari dua obat, misalnya kombinasi dari levodopa dengan amantadin, selegelin 

atau pergolida menghasilkan efek lebih baik 

dan lebih panjang daripada monoterapi, terutama bila ada komplikasi motorik.

* Levodopa merupakan obat yang paling 

efektif terhadap gejala Parkinson, terutama terhadap bradykinesia dan rigiditas, 

sedangkan agonis-DA lainnya kurang efektif dan efek sampingnya seperti rasa kantuk dan halusinasi lebih sering timbul. 

Lama kerjanya dopa dapat diperpanjang 

dengan meningkatkan frekuensi pentakarannya, memakai  sediaan retard atau 

penambahan penghambat-COMT entakapon.

* Apomorfin yaitu  obat Parkinson tertua 

dan agonis-DA paling kuat. Dapat dipakai  pada kasus dengan ‘on-off effect’ yang

resisten terhadap levodopa (infus s.c. atau 

rektal) dan pada distonia pagi hari pada waktu 

bangun tidur (injeksi s.c.). Apomorfin juga 

menstimulasi reseptor DA perifer dan pusat 

muntah, maka perlu dikombinasi dengan 

domperidon sebagai obat antimual. 

Perhatian: Awal 2013 dilaporkan kehebohan 

di Prancis dan Belanda mengenai domperidon 

sebab  menurut sementara penyelidik telah 

terjadi sejumlah (sebelas) kematian mendadak 

akibat gagal jantung pada penderita jantung, 

terutama yang memakai  dosis tinggi (30 

mg). Efek samping ini telah “didiamkan” oleh 

produsen sebab  kekhawatiran menurunnya 

penjualan.

Berhubung dengan kekhwatiran mengenai 

kemungkinan efek samping terhadap jantung 

(gangguan ritme jantung) terutama pada pasien dengan QT-interval meningkat atau 

bila dipakai  bersamaan dengan obat-obat 

tertentu, sejak tahun 2014 di negeri Belanda 

sediaan-sediaan yang mengandung domperidon hanya dapat diberikan atas resep.

2. Antikolinergika seperti triheksifenidil dan 

biperiden atau klozapin dalam dosis rendah 

ternyata kurang efektif dan hanya dianjurkan 

untuk tremor hebat pada pasien muda.Untuk 

tremor ringan dapat ditambahkan suatu betablocker (propranolol).

Penderita lansia atau tanpa gejala tremor 

dan pada demensia,sebaiknya jangan diberikan antikolinergika sebab  efek-efek pusatnya, seperti memburuknya fungsi kognitif, 

kekacauan dan hilang ingatan.

Terapi eksperimental yaitu  dengan injeksi 

i.v. glutathion (2 dd 600 mg) untuk melindungi neuron di substantia nigra terhadap 

kerusakan oksidatif oleh radikal bebas. Glutathion (GSH), suatu tripeptida yang mengandung belerang, yaitu  antioksidans alamiah 

kuat yang ketersediaannya berkurang pada 

pasien Parkinson. 

Pentakaran obat. Berhubung dengan efek 

sampingnya, obat-obat ini harus ditakarkan 

secara berangsur, begitu pula terapi tidak 

boleh dihentikan dengan mendadak sebab  

dapat memperburuk penyakit (exacerbatio).

Toleransi dapat terjadi pada kebanyakan obat 

sesudah beberapa waktu.

Efek samping

Gejala ekstrapiramidal (Parkinsonisme) dapat ditangani sama seperti penyakit Par-

kinson, bila neuron dopamin post-sinaptik 

masih utuh. Bila saraf-saraf ini sudah memperlihatkan kerusakan, maka obat-obat Parkinson tidak berkhasiat lagi. Parkinsonisme 

sebagai efek samping pada pemakaian  

antipsikotika lazimnya dapat ditanggulangi 

secara efektif dengan antikolinergika, misalnya triheksifenidil, biperiden dan orfenadrin.

Agonis-dopamin dapat memicu  kesulitan tidur akibat eksitasi, sebab  naiknya 

kadar DA di otak. Untuk meringankan efek ini, 

sebaiknya dosis terakhir diminum sebelum 

tidur. Efek kejiwaan juga dapat terjadi pada 

overdosis, seperti rasa takut, depresi dan 

gejala psikosis. Obat-obat ini juga bekerja 

terhadap hipotalamus dan hipofisis, oleh 

sebab  itu menghambat produksi prolaktin. 

Risiko akan efek samping ini  dapat 

dikurangi dengan pentakaran berangsur, artinya dimulai dengan dosis rendah yang 

kemudian dinaikkan secara perlahan-lahan.

Antikolinergika. Efek samping terutama 

diakibatkan oleh blokade sistem kolinerg 

dan berupa efek perifer umum, seperti mulut kering, retensi urin, tachycardia, mual, 

muntah dan sembelit. Begitu pula efek sentral 

seperti kekacauan, agitasi, halusinasi, gangguan daya ingat dan konsentrasi, terlebihlebih pada manula.

Kehamilan dan laktasi Kebanyakan obat 

Parkinson belum memiliki cukup data mengenai keamanannya selama kehamilan dan 

laktasi. Diketahui efek buruk amantadin

terhadap janin, di samping dikeluarkannya 

melalui air susu ibu. Levodopa juga mencapai 

air susu, sedangkan bromokriptin, lisurgida

dan pergolida menghambat laktasi. sebab  

penyakit Parkinson kebanyakan dimulai 

sesudah  usia 45 tahun, maka masalah ini sebetulnya kurang penting.

Interaksi. Obat Parkinson dapat melawan 

atau meniadakan efek antipsikotika dan dapat 

mencetuskan gejala psikosis pada pasien 

yang ditangani dengan kedua jenis obat. Oleh 

sebab  itu dianjurkan untuk menurunkan 

dosis obat Parkinson. Sebaliknya, antipsikotika

dapat memperburuk gejala Parkinson, sedangkan antidepresiva dapat memperkuat 

efek kognitif dari antikolinergika.

B. DEMENSIA ALZHEIMER

“Everyone with Alzheimer’s will get dementia; 

not everyone with dementia has Alzheimer’s.” 

Betty Weiss “Alzheimer’s & Dementia: Through 

the Looking Glass.”



Demensia

Demensia yaitu  satu gejala, sedangkan 

Alzheimer’s yaitu  suatu penyakit. 

Dewasa ini demensia dianggap sebagai 

suatu gangguan terpenting dari manula. 

Berkat perbaikan keadaan hidup dan kesehatan populasi sedunia yang semakin menua 

(the greying of the world), menurut dugaan 

demensia akan meningkat dengan drastis 

di masa depan terutama di negara Barat. 

Prevalensinya pada orang di atas 65 tahun 

yaitu  ±5% dan menurut taksiran akan bertambah sekitar 10% setahunnya. Orang yang 

lebih muda lebih jarang menderita demensia, 

dalam hal ini faktor keturunan sering kali 

berperan 


Bentuk. Demensia yaitu  gangguan neurodegeneratif dari cortex otak yang bercirikan 

pemburukan berangsur-angsur dan progresif 

dari fungsi kognitifk, seperti pengenalan, 

ingatan, disorientasi mengenai lingkungan 

dan waktu, menurunnya daya membedakan, 

ketidakmampuan mengerjakan tugas rutin 

sehari-hari, tidak dapat merawat diri sendiri 

dan akhirnya keruntuhan mental total. Penyebab demensia bermacam-macam a.l. 

tumor otak, stroke, cedera di kepala, infeksi, 

reaksi terhadap obat, kurangnya penyaluran 

oksigen ke otak, defisiensi nutrisi, dan lainlain. yaitu  penting untuk mencari tau apa 

yang penjadi pemicu nya  sebab  sebagian 

dari gejala ini dapat di-balikkan (reversed)

sedangkan penyakit Alzheimer tidak dapat 

di-balikkan. 

Dikenal beberapa jenis demensia, lebih 

dari 50% dari kasus berdasar  penyakit 

Alzheimer yang belum diketahui penyebabnya, lihat di bawah. 

Suatu bentuk penting lain yaitu  demensia vaskuler (VD), yang diakibatkan oleh 

gangguan sirkulasi darah di otak dengan 

musnahnya sel-sel otak, misalnya sesudah  

mengidap CVA (cerebrovascular accident = 

infark atau perdarahan otak, ‘stroke’). Di 

samping bentuk campuran dari kedua jenis 

masih ada  suatu bentuk langka yang 

bercirikan badan-badan berwarna di otak, 

yang disebut Lewy bodies. Lewy bodies 

disease (LBD) ini sukar diagnosisnya sebab  

gejalanya mirip Alzheimer, namun  dengan 

gangguan kekakuan hebat sejak dini dan 

pemburukannya yang cepat. Demensia bisa 

juga timbul akibat penyakit lain, antara lain 

penyakit Parkinson (demensia Parkinson, 

PD), bahkan sebab  sebab-sebab di luar otak 

seperti AIDS, sifilis, penyalahgunaan alkohol, 

depresi, gangguan tiroid dan kekurangan 

vitamin B12. 

* Bentuk demensia akibat defisiensi vitamin B12. Pada manula sering kali terjadi 

kekurangan vitamin B12 sebab  konsumsi 

pangan yang tidak memadai atau absorpsinya dari usus terganggu. Hal ini dapat 

memicu  suatu bentuk demensia yang 

reversibel. Kadar kobalamin dapat ditentukan 

di laboratorium, sebaiknya dengan cara 

mikrobiologis. Melalui pengobatan suplesi 

dengan hidroksokobalamin per injeksi i.m. 

2 x seminggu 1000 mcg selama beberapa 

minggu, sindroma defisiensi B12 ini dapat 

disembuhkan dengan tuntas. 

Defisiensi vitamin B3

 dan folat dapat pula 

memicu  sejenis demensia, namun  hanya 

lebih jarang terjadi. 

Ref.:Werbach MR. Vitamin B-complex en 

dementie, Orthomol Koerier 2005;20:3132).

Alzheimer

Penyakit ini dapat menyerang orang pada 

usia di antara 30 sampai 50 tahun, namun  

kebanyakan penderita berusia di atas 65 

tahun.

Pada awal gejalanya berupa apati, hilangnya inisiatif, konsentrasi lemah, kelambatan berpikir dan bergerak. Sering kali juga 

dimulai dengan depresi yang berlangsung 

lebih dari 2 minggu, juga gejala psikis lain 

(psikosis). Ingatan jangka singkat hilang 

total dan muncul perubahan perilaku dengan timbulnya perasaan curiga. sesudah  

beberapa tahun terjadi defek ingatan lainnya, 

desorientasi dan hilangnya daya abstraksi. 

Dalam jangka waktu 5-10 tahun, penyakit 

memburuk dan berakhir dengan kehilangan 

kesopanan (decorum), hipokinesia, kekakuan 

motorik, tidak mengenali orang lagi dan 

menjadi invalid total. 

Pada demensia vaskuler, penyakit memburuk tidak dengan berangsur-angsur, namun  

secara melonjak.

pemicu nya . Menurut perkiraan, demensia Alzheimer diakibatkan oleh gangguan 

neurotransmisi pada sistem kolinergik di otak 

akibat kerusakan saraf. Dengan memburuknya penyakit pada pasien Alzheimer, 

kadar asetilkolin (ACh) di otak semakin 

menurun. Begitu pula pada pasien ditemukan 

kehilangan sel-sel otak dan timbulnya banyak plak(plaque) di sel-sel saraf, yang terdiri 

dari endapan zat-zat protein. Amiloid ini 

berasal dari perombakan protein dinding sel 

otak, berbentuk serat dan sebab  struktur 

khasnya tidak dapat dilarutkan oleh enzim 

(proteolisis). Di samping itu juga ditemukan

suatu zat putih telur Apo-E4(apolipoprotein)

dalam jumlah yang kira-kira 3 kali lebih 

banyak daripada orang sehat (lihat juga 

Bab 36, Antilipemika). Diperkirakan bahwa 

Apo-E4 ini menstimulasi penggumpalan 

amiloid yang merusak neuron. Namun sebab-musabab tepat dari proses ini belum 

diketahui.

Di samping terganggunya metabolisme 

amiloid yang memicu  endapan plakplak amiloid di otak, juga faktor-faktor vaskuler memegang peranan pada terjadinya 

Alzheimer. Ditemukan bahwa hipertensi, 

diabetes, kadar kolesterol dan homosistein 

yang tinggi (sama dengan faktor-faktor 

risiko untuk PJP) meningkatkan risiko akan 

demensia dengan dua kali.33. Terapi hipertensi 

dapat mengurangi risiko ini dan pemakaian  

atorvastatin secara sekunder (sesudah  infark 

primer) ternyata juga bermanfaat.34 ada  

indikasi bahwa kadar homosistein darah 

yang tinggi juga meningkatkan risiko akan 

Alzheimer.26 Ada kemungkinan bahwa risiko 

ini dapat dihindari dengan asam folat + 

vitamin B6. Oleh sebab  itu ternyata bahwa 

faktor risiko bagi Alzheimer juga sama 

dengan faktor risiko untuk PJP.

Teori lain menghubungkannya dengan intoksikasi aluminium, infeksi dengan suatu 

‘slow virus’, atau suatu proses autoimun. 

Pencegahan. Suatu riset (diss. dr Sandra Kalmijn, Rotterdam, November 1997) menunjukkan 

efek pelindung dari diet dengan ikan : lansia 

yang 1-2 kali/minggu mengonsumsi ikan 

menurunkan risikonya akan demensia vaskuler dengan 70% berkat kandungan minyak 

dengan asam lemak omega-3(PUFA). Efek 

baik ini berkaitan dengan khasiat antiradang 

dari asam lemak itu. Sebaliknya diet dengan 

banyak lemak jenuh meningkatkan risiko 

dengan 3 kali. Senyawa antiradang NSAIDs,

bila dipakai  untuk jangka waktu panjang, 

melindungi terhadap Alzheimer.25 Begitupula 

pemakaian  obat penurun kolesterol senyawa statin ternyata menurunkan risiko dengan ±79% ! (BMJ 2002; 324:926). Dilaporkan 

bahwa Curcumin (ekstrak kunir) mampu 

melindungi terhadap demensia dan menghambat progresnya, lihat Bab 16.

Penanganan. Demensia akibat gangguan di 

luar otak dapat disembuhkan atau dihentikan progresnya, bila ditangani sedini mungkin. namun  demensia Alzheimer yaitu  penyakit yang pemicu nya  dewasa ini belum 

diketahui (sebagian sebab  keturunan) dan 

juga belum dapat ditanggulangi serta pemburukannya juga belum dapat dihentikan.

Catatan: Sejak lama diperkirakan bahwa 

pada usia lanjut orang kehilangan neuron 

(sel otak) sehingga mengalami kemunduran 

fungsi mental dan kognitif. Penelitian baru 

mengenai fungsi otak mengungkapkan bahwa kemunduran mental dari lansia bukannya tidak dapat dihindari. Disimpulkan bahwa orang dengan pola hidup aktif kurang 

berrisiko menderita Alzheimer pada usia 

lanjutnya. Bahkan peneliti dari Universitas 

Princeton di US melaporkan bahwa neuron 

sebetulnya dapat diregenerasi, bertentangan 

dengan pendapat selama seabad yll.

Semboyannya yaitu  “Use it, or you will 

lose it.” yang merupakan suatu “hukum” 

universal. Agar supaya otak tetap aktif dibutuhkan latihan fisik dan mental selama hidup 

sehingga penurunan daya ingat dan kognitif 

sedapat mungkin diminimalisir. “Brain exercise to maintain brain fitness”.

Obat-obat demensia

Kebanyakan obat yang dipakai  pada 

demensia termasuk golongan parasimpatikomimetika (kolinergika) yang bekerja melalui perintangan enzim kolinesterase untuk 

menghambat degradasi asetilkolin di otak. 

Di samping ini tersedia hanya satu obat lain, 

yakni memantin.

a. Kolinesterase inhibitor: galantamin, takrin, donepezil dan rivastigmin. berdasar  

penemuan bahwa kadar ACh di otak berkurang pada penderita demensia, terapi 

ditujukan untuk meningkatkan ACh dengan 

cara mencegah penguraiannya. Obat-obat ini 

agak terbatas efeknya terhadap pemburukan 

penyakit. Obat pertama takrin efeknya hanya lemah dan sangat toksik bagi hati, oleh 

sebab  itu sekarang jarang dipakai  lagi. 

Obat lainnya menunjukkan efektivitas yang 

juga tidak begitu besar, misalnya donepezil,


sedangkan rivastigmin mampu memperlambat progres penyakit dengan ±6 bulan, 

namun  hanya pada kasus yang ringan sampai 

sedang, dengan efek samping lebih serius 

dari pada memantin (The Times, 28 Maret 

1997). 

Akhir-akhir ini dilaporkan bahwa penggunaan kolinesterase inhibitor (a.l. galantamin) dapat meningkatkan risiko efek samping serius seperti aritmia dan infark jantung. 

Oleh sebab  ini diperlukan kewaspadaan 

bagi penderita yang mulai memakai  

obat-obat ini melalui screening terhadap 

peningkatan risiko gangguan ritme jantung. 

Lagi pula efek terapi dari kelompok obat ini 

rendah.

b. NMDA-reseptor antagonis: memantin 

merupakan obat satu-satunya yang agak 

efektif terhadap bentuk Alzheimer sedang 

dan hebat dengan profil efek samping relatif 

ringan.32 Khasiatnya berdasar  peniadaan 

rangsangan berlebihan oleh glutamat dari 

reseptor NMDA. (N-metil-D-aspartat). Glutamat yaitu  neurotransmitter terpenting di 

bagian otak yang berperan pada kognisi dan 

ingatan. ada  indikasi bahwa gangguangangguan neurodegeneratif mungkin mempunyai penyebab yang sama, yaitu stimulasi 

kronis berlebihan dari reseptor NMDA.

Oleh sebab  itu pemasukan kalsium ke dalam saraf otak meningkat, yang akhirnya 

mengakibatkan matinya neuron ini .

c. Obat-obat alternatif yang menurut laporan 

mampu menghambat pemburukan demensia 

Alzheimer yaitu  asam liponat, vitamin E dan

Gingko biloba. 

– Asam liponat (lipoic acid) di kalangan 

alternatif dilaporkan dapat menghasilkan 

efek baik pada penyakit neurodegeneratif, 

a.l. Parkinson dan Alzheimer, juga pada 

polineuropati diabetes, lihat Bab 47.

– Vitamin E dalam dosis sangat tinggi (2000 

IE/hari) selama dua tahun ternyata dapat 

menghambat progres penyakit. Lihat Bab 

53. 

– Ekstrak Gingko biloba(EGb 761, Tebokan, 

Tebonin forte) dilaporkan juga mampu 

memperbaiki gejala-gejala kognitif dan 

fungsi sosial dari penderita Alzheimer. 

Kajian resen memakai  3 x 40 mg EGb 

terstandardisasi selama 1 tahun. Lihat 

Bab 35.

namun  penyelidikan akhir-akhir ini (Lancet 

Neurology, September, 2011) melaporkan bahwa ekstrak Ginkgo biloba tidak memiliki 

efek protektif terhadap progres penyakit Alzheimer selama 5 tahun pada lansia dengan 

keluhan memori. Juga tidak menghindari 

demensia pada lansia dengan atau tanpa keluhan memori. 

 C. MULTIPLE SCLEROSIS 

(MS)

MS (Lat. multiple = banyak, sclerosis = pengerasan) yaitu  suatu penyakit autoimun 

dengan peradangan di jaringan saraf otak dan 

sumsum lanjutan. Sistem imun menyerang 

dan merusak secara reversibel myelin, yakni 

lapisan pelindung dari lipoprotein yang 

mengisolasi saraf ini . Kerusakan itu 

tampak pada foto scan sebagai daerah yang 

penuh dengan parut/bercak (plak) keras. Akibat terjadinya plak ini, transmisi dari impuls 

saraf diperlambat atau dihambat, yang mengakibatkan gejala penyakit. pemicu nya  

tidak diketahui, mungkin sekali akibat infeksi slow-virus pada usia anak-anak. Dalam 

darah ada  kadar antibodi (IgG) yang 

meningkat, khususnya terhadap campak 

(measles, Morbilli). Penyelidik DeJager dan 

Hafler (2007)37 telah menyusun suatu ikhtisar 

mengenai etiologi, perkembangan dan terapi 

dari MS.

Telah diketahui bahwa di negara-negara 

Utara prevalensi MS jauh lebih besar dibanding dengan daerah tropik, semakin jauh 

dari katulistiwa semakin banyak kasusnya..

Dewasa ini ada  sejumlah indikasi, bahwa cahaya matahari dan vitamin D bekerja melindungi terhadap risiko MS dan juga 

terhadap penyakit jantung dan pembuluh. Di

kawasan Utara matahari bersinar lebih singkat daripada di negara tropik dan dapat 

mengakibatkan kekurangan vitamin D. Defisiensi ini memicu produksi suatu zat yang

meningkatkan tekanan darah serta risiko 

PJP.27,28 Penyakit dimulai antara usia 20-40 

tahun, sekitar tiga kali lebih sering pada 

wanita daripada pria. Faktor keturunan juga 

memegang peranan pada MS yang merupakan suatu penyakit genetik kompleks.

Gejalanya beraneka ragam yang tergantung 

dari lokalisasi sumber penyakit, antara lain 

jalan limbung, berbicara gagap, lesu dan 

rasa penat pada kaki-tangan, neuritis dengan 

gangguan penglihatan (melihat dobel) dan 

nystagmus. Juga kesemutan (paresthesia), hipertonia (kejang di tungkai), gangguan berkemih 

dan efek psikis, antara lain euforia. Penyakit 

kronis ini berlangsung progresif selama 10 

tahun atau lebih dan selalu berakhir dengan 

kelumpuhan dan kematian.

Prevensi. Kebanyakan penderita MS tidak 

menyukai panas matahari dan menghindari

cahayanya, sehingga memungkinkan kekurangan vit D3

. Menurut perkiraan vitamin 

D, selain berefek melindungi terhadap timbulnya MS, juga menghambat memburuknya 

penyakit. pemakaian  alternatif setiap hari 

dari 400-4000 U vit D3

 dapat menurunkan 

risiko bagi MS dengan 40%.29

Penanganannya berupa menghindari stress 

fisik dan psikis, dalam fase akut istirahat 

total (bedrest), kemudian fisioterapi. Pengobatan kausal tidak ada, pada saat eksaserbasi 

umumnya diberikan prednison (metilprednisolon 1 g sehari secara i.v. selama 3-5 hari),

yang untuk sementara efektif meringankan 

gejala. Terhadap bentuk MS tertentu (RR dan 

SP) dapat diberikan terapi imunomoduler 

dengan ß-1 interferon (Betaferon) yang berkhasiat mengurangi frekwensi dan hebatnya 

serangan. Obat-obat yang ternyata juga memberikan efek positif yaitu  copolymer-1

dan imunoglobulin (Lancet 1997; 349: 586, 

589-93), begitupula imunosupresiva seperti mitoksantron, azatioprin dan siklofosfamida.

Terapi imunomoduler lainnya yang dipakai  terhadap MS yaitu :

* Glatiramer asetat (copolymer 1, Copaxone) 

yaitu  polipeptida sintetik dari 4 asam amino (alanin, glutamat, lysin dan tyrosin) yang 

bekerja imunosupresif. Zat ini a.l. memblokir 

secara spesifik sifat merusak dari limfo-T terhadap protein myelin. Oleh sebab  itu efek 

sampingnya ringan. Mekanisme kerjanya 

yang tepat tidak diketahui. Dosis: 1 dd 20 mg 

s.c. sebagai asetat.

* Mitoxantron (Novantrone) yaitu  sitostatikum yang dipakai  off-label pada MS berat. Berkhasiat memperlambat progres invaliditas dengan nyata dan mengurangi frekuensi 

eksaserbasi. Efek sampingnya neutropeni, 

kecenderungan infeksi dan alopecia.

pemakaian  obat-obat ini  dibatasi 

oleh efek sampingnya, a.l. bila ada infeksi 

(glukokortikoid), penyakit jantung (mitoxantron), hipersensitivitas dan kehamilan. Untuk 

meningkatkan efektivitas dari obat-obat ini 

terhadap kambuhnya penyakit, dianjurkan 

untuk memakai nya sedini mungkin.

D. PENYAKIT PRION 

P r i o n

Prion (proteinaceous infectious particle) yaitu  

partikel protein abnormal (prion protein) 

tanpa DNA/RNA yang dibentuk oleh setiap 

hewan menyusui di berbagai jaringannya, 

terutama dalam otak dan sumsum belakang. 

Penemu dari unsur infeksi yang sama sekali 

baru ini yaitu  dr. Stanley Prusiner (Science, 

1982), seorang biolog Amerika. Fungsi fisiologinya belum jelas, mungkin turut berperan 

pada komunikasi antar-sel. Prion bersifat 

menular dan resisten terhadap penyinaran 

sinar-X dan UV, juga tahan terhadap suhu 

100° C dan desinfektansia, oleh sebab  itu 

sangat sukar dimusnahkan.

Bentuk prion. Molekul prion ada  dalam 

2 bentuk ruang, yaitu bentuk prion-baik dan 

bentuk prion-salah, yang dapat saling berubah 

secara spontan.

Pada otak sehat, protein prion hanya berada dalam satu bentuk (baik), struktural sebagai alfa-helix. Akibat mutasi pada suatu 

gen tertentu timbul perubahan dalam urutan asam aminonya dan terjadi struktur ruang berlainan (bentuk abnormal betahelix).

Bila diinfeksi oleh suatu prion-salah, ber angsur-angsur prion-baik ditransformasi 

menjadi bentuk prion-salah. 

Penyakit-penyakit prion ditimbulkan oleh 

prion-prion yang berbentuk salah demikian. Pada manusia dan hewan tampak 

gangguan-gangguan di otak, demensia dengankontraksi otot hebat (myoclonus). Pada hewan sapi timbul gangguan koordinasi dan 

penurunan berat badannya. 

Penyakit prion (spongiform encefalopathy). Prion memicu  sejumlah penyakit neurodegeneratif otak fatal pada ternak maupun 

manusia yang bersifat menular, yaitu scrapie, 

BSE, kuru dan CJD. Penyakit-penyakit ini 

semuanya ditandai oleh penimbunan protein 

prion yang mengakibatkan matinya neuronneuron otak dan terjadinya banyak ruang 

kosong (vakuolisasi,lubang) antara sel-sel 

otak, mirip bunga karang (sponge, spongiform),

yang dapat ditentukan pada otopsi. Hingga 

kini belum tersedia obat untuk mengobati 

atau menghambat progres penyakit ini. 

* Scrapie sudah dikenal sejak abad ke-18 

dan khusus menyerang domba yang sesudah  

infeksi menderita gatal-gatal hebat, gangguan gerakan dan akhirnya mati. Dapat 

ditularkan pada binatang lain (tikus, kera, 

babi dan mungkin juga sapi), namun  tidak 

kepada manusia. 

* Penyakit sapi gila (Bovine Spongiform Encefalopathy, BSE) khusus ada  pada sapi. 

Pertama kali terdeteksi di Inggris pada 

tahun 1986 dan terjadi epidemi di tahun 

1992, yang menurut perkiraan disebabkan 

oleh makanan yang mengandung sisa-sisa 

pembantaian dari domba yang terinfeksi 

dengan scrapie. Penyakit ini dapat ditularkan 

pada hewan lain dan semula dikira tidak bisa 

ditularkan kepada manusia. Kini diketahui 

bahwa manusia juga dapat terinfeksi dengan 

memakan daging yang tercemar.

* Kuru (bah. Papua = mati tertawa) yaitu  

penyakit prion pada manusia, yang khusus 

ada  pada suku Fore di Irian Jaya. Penyakit ini bercirikan gangguan keseimbangan, 

kaki-tangan gemetar dan serangan tertawa 

tak terkontrol. Penyakit disebarkan oleh 

ritual kanibalisme, di mana otak orang mati 

dimakan oleh sanak-saudaranya. Kuru kemudian ternyata identik dengan penyakit 

Creutzfeldt-Jakob.

* Creutzfeldt-Jakob Disease (CJD) diuraikan 

di tahun 1920 oleh dua neurolog Creutzfeldt 

dan Jacobs. CJD muncul untuk pertama 

kalinya di Eropa pada awal tahun 1980-an, 

terutama pada orang berusia di atas 60 tahun 

yang umumnya meninggal dalam waktu 

8 bulan. sebab  diduga ada hubungannya 

dengan BSE, ±160.000 ekor sapi yang dicurigai terinfeksi telah dimusnahkan dan 

penjualan otak serta sumsum sapi dilarang. 

Namun, pada tahun 1996, di Inggris terjadi 

lagi lebih dari 20 kematian akibat CJD, juga 

pada orang muda yang sejak 1985 makan 

secara vegetaris. Hal ini memberikan indikasi 

kuat bahwa BSE dapat ditularkan pada 

manusia dengan mengonsumsi daging, otak, 

sumsum (dan mungkin organ lainnya) dari 

sapi yang sudah terinfeksi BSE, namun  belum 

memperlihatkan gejala penyakit. Untuk mencegah penyebaran infeksi BSE, lebih dari 1 

juta sapi dimusnahkan, termasuk di Belanda, 

Belgia, dan Prancis.

Di bulan Oktober 2006 dilaporkan korban 

BSE kedua (16 tahun) di negeri.Belanda, 4 

bulan sesudah  didiagnosis melalui scan otak. 

Sampai sekarang jumlah korban sedunia 

berjumlah 170 orang dan kebanyakan orang 

muda sekitar 30 tahun, yang kerap kali 

meninggal dalam 2 tahun sesudah  diagnosis. 

Masa tunas CJD panjang sekali, antara 10 - 20 

tahun. 

Varian baru vCJD. Jenis semula yang disebut bentuk sporadis (sCJD) hanya dapat 

ditularkan pada hewan percobaan dan khususnya oleh sel-sel otak atau sumsum belakang yang disuntikkan langsung ke dalam otak. Varian baru (vCJD) dapat ditularkan melalui darah, sehingga organ-organ 

lainnya (antara lain tonsil) juga mudah 

terinfeksi. Varian ini yang ditemukan pada 

tahun 1996 memliki gejala klinik dan neuropatologi berbeda dengan sCJD, namun  ternyata berkaitan dengan BSE dan dapat ditulari kepada manusia melalui transmisi 

daging sapi yang tercemar BSE. Penyakit ini dapat menyerang orang lebih muda (±30 

tahun) dan jangka waktu penyakit lebih 

lama, rata-rata 14 bulan. 

Gejala vCJD mirip demensia Alzheimer 

(lihat di atas), namun  berlangsung lebih cepat 

akibat pemusnahan neuron di otak yang juga 

relatif cepat. Pada awalnya terjadi gangguan 

ingatan dan perilaku (fungsi kognitif mundur), gangguan pusat (rasa takut, halusinasi), lalu kesulitan koordinasi (sukar jalan 

dan berbicara) dan akhirnya kejang-kejang 

hebat dan invaliditas. Umumnya pasien meninggal dalam waktu 8 bulan. 

Diagnosisnya dipersulit oleh masa inkubasi 

yang panjang sekali, 10-20 tahun. Infeksi 

mungkin sekali terjadi sebab  makan daging 

sapi yang sudah terinfeksi, namun  belum 

memperlihatkan gejala penyakit. Variant baru 

dapat didiagnosis dengan pemeriksaan tonsil 

(amandel), di mana ada  penumpukan prion, juga melalui scan otak. Dalam otak dapat 

dilihat penumpukan protein-prion yang terlihat seperti bunga karang (sponge). 

Pengobatan. Pada saat ini belum tersedia 

obat terhadap vCJD. Obat demikian mutlak 

harus dapat melintasi CCS untuk masuk ke 

otak, oleh sebab  itu harus bersifat lipofil. 

Sampai sekarang telah diselidiki hanya tiga 

obat, yaitu obat malaria mepakrin, pentosanpolisulfat dan flupirtin, suatu analgetikum eksperimental. 

Ref.: Weissman C et al. Approaches to therapy 

of prion diseases. Ann Rev Med 2005;56:321-

44.

Dari ketiga obat ini hanya mepakrin yang 

memberikan harapan terbaik. Pada percobaan 

dengan tikus ternyata mepakrin mampu 

menghindari perubahan prion sehat menjadi 

prion cacat. Penelitian masih berlangsung 

dan belum lengkap. Suatu penelitian lain 

akan dilakukan dengan kombinasi mepakrin 

dan flupirtin.

MONOGRAFI

A. OBAT PARKINSON

A1. Levo-dopa28: l-dopa, Larodopa, *Madopar, 

*Sinemet, *Stalevo

Zat pelopor (precursor) dari dopamin ini 

(1969) bersama dengan suatu zat penghalang 

dekarboksilase ekstra-serebral selektif (karbidopa atau benserazida) merupakan terapi 

paling efektif bagi kebanyakan penderita 

penyakit Parkinson. Bila levodopa dipakai  

sebagai obat tunggal, sebagian besar dari 

obat ini diuraikan oleh enzim dekarboksilase, 

sehingga hanya sebagian kecil obat utuh 

dapat memasuki sirkulasi otak dan kurang 

dari 1% menembus susunan saraf sentral. 

Penghambatan oleh enzim ini meningkatkan 

jumlah levodopa yang tidak terurai dan 

dapat menembus barrier darah-otak. Lihat 

selanjutnya di bawah.

Levodopa terutama berkhasiat meningkatkan kadar DA di otak, dengan efek mengurangi gejala kekakuan dan hipokinesia. 

Kurang atau tidak efektif terhadap tremor 

dibandingkan dengan antikolinergika, yang 

dapat dikombinasi dengannya (efek aditif). 

Efek terapi baru nyata sesudah 6-8 minggu. 

Levodopa yaitu  obat Parkinson yang paling 

efektif, namun  tidak berkhasiat terhadap gangguan ekstra-piramidal yang disebabkan oleh 

obat.

Penghambat-COMT entakapon, yang sendirinya tidak memiliki khasiat anti-Parkinson, 

memperlambat eliminasi levodopa dan dengan demikian memperpanjang dan memperkuat daya kerjanya. Juga mengurangi 

waktu “off” pada taraf lanjut dari penyakit.

Resorpsi di usus kurang teratur dan dikurangi oleh makanan, terutama oleh asamasam amino (persaingan absorpsi dari saluran cerna). Masa paruhnya singkat ±30 

menit, dan lama kerjanya hanya 2-4 jam, 

sehingga perlu diberikan 5 kali sehari atau 

lebih. Ekskresi terutama berlangsung lewat 

urin dalam bentuk metabolitnya. 

Kombinasi dengan dekarboksilase-blocker menghambat perombakan-DA perifer. 

Terapi sulih ganti (replacement therapy) dengan dopamin pada penyakit Parkinson tidak mungkin, sebab zat ini tidak dapat menembus rintangan darah otak. Berbeda dengan dopamin, levo-dopa mudah menembus 

rintangan CCS dan memasuki SSP. Di otak 

dopa didekarboksilasi oleh enzim-enzim dan 

menjadi dopamin aktif; dengan demikian seolah-olah menggantikan dopamin yang 

hilang. 

Dari suatu dosis oral hanya 5% tiba di otak 

sebab  di saluran cerna dan darah sudah 

diubah oleh enzim dekarboksilase menjadi 

dopamin yang tidak bisa memasuki otak. 

Guna mencegah pengubahan ini  di luar 

otak, maka ditambahkan suatu penghambatdekarboksilase perifer, yang sendirinya tidak memasuki SSP. Dengan demikian, lebih 

banyak levodopa mencapai otak sehingga 

dosisnya dapat dikurangi sampai 25%, sedangkan efek sampingnya juga berkurang. 

Dekarboksilase-blockers yang dipakai  untuk maksud itu yaitu  benserazida dan karbidopa.

Kombinasi dengan selegilin, yang merintangi perombakan dopamin oleh MAO-B di 

otak (lihat di bawah) memperkuat efeknya, 

begitu pula kombinasi dengan lisurgida atau 

pergolida. Efek samping perifernya (mual) 

dikurangi. 

Toleransi. sesudah  3-5 tahun, efek pengobatan 

dengan levo-dopa akan menurun, sebab  penyakit bertambah buruk dan reseptor dopamin berkurang kepekaannya, atau sebab  

adanya fluktuasi kuat dari kadar levodopa di 

otak.

Efek samping yang paling sering terjadi 

yaitu  mual, muntah dan anoreksia, yang 

disebabkan oleh dopamin yang sudah terbentuk di lambung-usus (15% dari pasien). 

Pada permulaan terapi juga dapat timbul 

hipotensi ortostatik dan gangguan pusat ringan, seperti gelisah, rasa takut, bingung, 

halusinasi dan pikiran kacau. Pada dosis 

tinggi gejala pusat ini meningkat, di samping 

mendadak timbul rasa kantuk..Efek samping 

psikis ini merupakan faktor terutama yang 

membatasi terapi dengan levodopa. Mual dan 

muntah, sebagai akibat rangsangan terhadap CTZ yang memiliki reseptor-reseptor DA, 

dapat efektif diatasi dengan domperidon, 

yaitu antagonis dopamin yang memiliki khasiat antiemetik dan secara selektif menduduki 

reseptor dopamin di saluran cerna. Efek 

samping ini juga dapat dikurangi dengan 

mempersingkat interval pemberian levodopa 

dan penurunan dosisnya. 

‘On-off effect’. Pada pemakaian  lama 

timbul diskinesia dengan gerakan abnormal 

tidak teratur. Sindrom levodopa ini juga 

ditandai efek pengobatan yang sangat tidak 

menentu, turun-naik, bahkan adakalanya 

dalam waktu beberapa menit, oleh sebab  itu 

disebut efek ‘on-off’. 

Interaksi. Piridoksin, sebagai ko-enzim, 

walaupun dalam dosis kecil mempercepat 

perombakan perifer levodopa (di luar otak) 

melalui peningkatan daya kerja dekarboksilase. Oleh sebab  itu, levodopa tidak boleh dikombinasi dengan multivitamin, buah 

avokad, ubi rambat dan hati, yang semuanya mengandung banyak vitamin B6. Antagonis dopamin mengurangi efek levodopa, 

misalnya antipsikotika (fenotiazin, butirofenon), fenitoin, papaverin, reserpin, metoklopramida dan senyawa benzodiazepin.

Dosis: oral semula 2-3 dd 125 mg d.c. dan 

dinaikkan setiap 2-4 hari dengan 125-250 

mg sampai tercapai dosis pemeliharaan dari 

2,5-7 g sehari. Untuk mengurangi kemungkinan fluktuasi ‘on-off’ dianjurkan obat diminum sebelum makan (Contin M. Eur J Clin 

Pharmacol 1998; 54:303-8).

* Madopar = levodopa 200 mg + benserazida 

50 mg; 

* Sinemet = levodopa 250 mg + karbidopa 

25 mg.

* S talevo = levodopa 100 + karbidopa 25 + 

entakapon 200 mg


A2 Apomorfin: Uprima, Apokyn

Derivat morfin ini bekerja sentral, namun  

tidak memiliki sifat opiat (misalnya analgetik, obstipasi, depresi pernapasan, adiksi). 

Berkhasiat emetik (memicu  mual) dan 

dopaminerg. Oleh sebab  itu senyawa ini 

efektif terhadap Parkinson yang tidak mempan terhadap obat-obat lain atau dengan 

fluktuasi ‘on-off’. Apomorfin dapat dikombinasi dengan dopa, yang dosisnya dapat dikurangi. pemakaian nya perlu diawali dengan pemberian antagonis-DA domperidon

sebagai antiemetikum dengan dosis 3 dd 20 

mg (Editorial. BMJ 1998; 316: 641). 

Resorpsi dari usus rendah disebabkan FPE 

yang besar. Melalui injeksi subkutan efeknya 

tampak sesudah  ±10 menit dan rektal sesudah  

20 menit. Efeknya bertahan 20-40 menit dan 

secara nasal lebih lama 0,5 –1 jam. Plasma-t½ 

rata-rata 25 menit.

Efek samping berupa mual, muntah, hipotensi, bradycardi dan mengantuk, adakalanya 

gangguan psikis (halusinasi, agitasi dan perasaan kacau). 

Dosis: s.c.(infus) 25-40 mg sehari atau 6 dd 

1-7 mg, disusul pemberian nasal spray (semprotan hidung) 2-4 dd 1-10 mg (HCl). Lihat 

juga Bab 43, hormon pria, boks Disfungsi 

ereksi.

A3. Pramipeksol: Sifrol, Mirapexin

D2

-dopamin-agonis ini 1997 absorpsinya 

cepat serta tuntas dan mencapai kadar maksimalnya dalam waktu 3 jam. Ekskresi utuh 

dengan urin, t½ 8 jam pada orang muda dan 

12 jam pada orang lebih tua. Sebagai monoterapi pada awal penyakit Parkinson atau 

bersamaan dengan dopa pada taraf lebih 

lanjut. Juga dipakai  terhadap Restless Leg 

Syndrome (RLS) dengan mekanisme kerja 

yang tidak diketahui (lihat boks dibawah)

Efek samping tersering nausea, muntah dan 

hipotensi ortostatik, juga sering kali obstipasi, 

rasa kantuk, lelah, gatal dan ruam. Wanita 

hamil dan yang menyusui tidak dianjurkan 

minum obat ini

Interaksi dengan obat yang menghambat 

atau diekskresi melalui sistem ini dapat memengaruhi efek pramipeksol, misalnya amantadin, verapamil, ranitidin, digoksin dan trimetoprim. Alkohol dan sedativa lain meningkatkan terjadinya serangan kantuk mendadak.

Dosis: minggu pertama 3 dd 0,125 mg dc, 

minggu ke-2 3 dd 0.25mg, minggu ke-3 3 dd 

0,5 mg dari garam diHCl-monohidrat. Bila 

perlu ditingkatkan dengan 0,75 mg sampai 

maks. 4,5 mg , namun  risiko mengantuk akan 

meningkat. Dosis pemeliharaan : 0,375 – 4,5 

mg sehari. 

RLS: 1 dd 0,125 mg 2-3 jam sebelum tidur, bila 

perlu ditingkatkan dengan 0.125mg setiap 4-7 

hari.

A4. Selegilin: Deprenaline, Eldepryl

Derivat fenetilamin ini (1989) yaitu  penghambat-MAO-B selektif di otak sehingga perombakan dopamin dihalangi. Kadar dopamin di otak meningkat, khasiat levodopa 

diperpanjang dan diperkuat sehingga dosisnya dapat diturunkan dengan sepertiganya, 

begitu pula dengan efek sampingnya. Pada 

dosis tinggi juga merintangi penguraian 

serotonin dengan efek antidepresi. namun  

selegilin tidak dipakai  sebagai antidepresivum berhubung risiko akan efek sampingnya. Senyawa ini dipakai  sebagai 

monoterapi pada awal penyakit Parkinson. 

Kombinasi obat ini dengan levodopa menjadi kurang efektif. Selegilin berkhasiat 

menghambat progres demensia Alzheimer 

berdasar  sifat antioksidansnya, Lihat di 

atas.

Resorpsi berlangsung cepat dan sempurna 

dengan PP 94% dan plasma-t½ 39 jam. Senyawa ini mengalami FPE (first pass effect) 

besar dan diuraikan menjadi amfetamin, metamfetamin dan N-desmetilselegilin. Ekskresi

melalui urin.

Efek samping berupa kesulitan tidur (akibat 

efek amfetamin), mulut kering dan pusing. 

Kombinasi dengan levodopa memicu  

beberapa gejala, seperti sakit kepala, pusing, 

perasaan cemas, diskinesia, hipotoni, udema 

dan sembelit. Kombinasi dengan meperidin

dapat memicu  reaksi fatal.

Dosis: sebagai monoterapi 1-2 dd 5 mg 

(HCl); bila dikombinasi dengan levodopa 1-2 

dd 5-10 mg p.c.

* Rasagilin (Azilect) juga suatu inhibitor 

MAO-B dan derivat fenil, seperti selegilin 

menghambat penguraian dari dopamin di 

otak berdasar  penghambatan enzim monoaminoksidase-B. Dapat dipakai  sebagai 

monoterapi pada stadium awal dengan efek 

terbatas atau bersamaan dengan levodopa 

meningkatkan khasiatnya. Hasil penguraian 

dalam hati sebagai metabolit aktif diekskresi 

via urin 63% dan via feses 22%. T1/2 0,6-2 jam.

Efek samping sering kali sakit kepala (>10%) 

pada monoterapi. Juga rhinitis, conjunctivitis, 

demam, malaise, sakit otot dan artritis, alergi, 

kanker kulit, depresi dan halusinasi. Efek 

samping levodopa diperkuat oleh rasagilin 

dan sangat sering (>10%) juga gangguan 

gerakan (diskinesia), gangguan saluran cerna 

dan keseimbangan.

Tidak boleh dipakai  oleh pasien dengan gangguan hati, sebab  rasagilin dimetabolisasi di dalam hati oleh enzim CYP 1A2 

(cytochrom P 450). Daya kerja enzim ini juga 

dihambat oleh antara lain siprofloksasin, simetidin atau fluvoksamin. Oleh sebab  itu 

obat-obat ini tidak boleh dipakai  bersamaan dengan rasagilin. Dosis: 1 mg sehari, 

bersama atau tanpa levodopa.

A5. Bromokriptin: Parlodel

Alkaloid ergot semi-sintetik dari kelompok 

ergotoksin ini (1975) memiliki khasiat stimulasi langsung terhadap reseptor dopamin di otak. Peningkatan sekresi dopamin, 

yang identik dengan hormon PIF (Prolactin 

Inhibiting Factor), memicu  berkurangnya sekresi prolaktin. Oleh sebab  itu bromokriptin dipakai  untuk mencegah laktasi secara primer (pada abortus) dan pada 

galaktorroea (keluar air susu berlebihan setelah persalinan). Pada akromegalia (ujungujung anggota badan membesar), zat ini dipakai  untuk menghambat sekresi hormon 

pertumbuhan somatropin. 

Sebagai agonis-DA2

 kuat (dan agonis-DA1

lemah), obat ini pada awalnya diberikan pada pasien Parkinson yang sesudah  beberapa 

tahun menjadi semakin kurang peka terhadap dopa, sedangkan efek sampingnya meningkat (diskinesia). namun  sejak beberapa tahun obat ini juga dipakai  sebagai monoterapi pada pasien ‘baru’. Bila dalam waktu 

3-6 bulan efeknya belum memuaskan, barulah diberi tambahan dopa yang dosisnya 

berangsur-angsur dinaikkan. Keuntungan 

terapi kombinasi ini ialah bahwa dosis dari 

masing-masing obat dapat lebih rendah, sehingga efek sampingnya berkurang.

Resorpsi dari usus ±28%; plasma-t½ singkat, 

hanya ±3 jam; PP 90-96%. sebab  mengalami 

FPE besar, maka BA rendah: hanya 6% mencapai sirkulasi dalam keadaan utuh. Efeknya 

lebih konstan daripada levodopa. Di dalam 

hati, senyawa ini mengalami biotransformasi. 

Ekskresi terutama melalui empedu dan hanya 

±7% melalui urin. 

Efek samping yang sering terjadi yaitu  

gangguan saluran cerna, namun  hanya pada 

permulaan terapi. Efek lainnya terjadi hipotensi ortostatik, udema pergelangan kaki dan 

pigmentasi jari-jari tangan. Pada dosis yang 

lebih tinggi dapat timbul gangguan pusat 

berupa psikosis, halusinasi, bicara tanpa arah 

dan diskinesia. Antipsikotika dan metoklopramida sebagai antagonis dopamin dapat 

mengurangi efeknya, sedangkan alkohol dapat memicu  efek disulfiram.

Dosis: permulaan oral 1-2 dd 1,25 mg 

(mesilat) d.c., berangsur-angsur dinaikkan 

sampai 20-40 mg sehari. Untuk menekan 

laktasi 2 dd 2,5 mg selama 2-3 minggu. 

*Kabergolin (Dostinex) yaitu  juga derivat 

ergot dengan khasiat dan pemakaian  sama 

dengan bromokriptin, yaitu menekan atau 

menghindari laktasi post partum atau sesudah  

keguguran. Juga pada penyakit Parkinson 

dikombinasi dengan levodopa untuk memperbaiki mobilitas dalam dosis 1 dd 1 mg, 

yang berangsur ditingkatkan sampai 1 dd 2-6 

mg.

A6. Lisurida: Dopergin

Derivat ergolin ini (1979) memiliki struktur 

inti alkaloid ergot (lihat Bab 52, Obat migrain) dan sifatnya mirip bromokriptin. Lisurida bekerja langsung terhadap reseptor 

dopamin (DA2

) dan sebagai agonis-DA2

 kuat 

dapat menghambat sekresi prolaktin. Penggunaannya juga mirip dengan bromokriptin, 

yaitu sebagai obat Parkinson dan pada galak-

torroea dan akromegali. Adakalanya obat ini 

juga dipakai  sebagai profilaktik migrain, 

berdasar  efek antihistamin mau-pun antiserotoninnya.

Resorpsi cepat dan sempurna. Sesuai dengan bromokriptin, zat ini juga mengalami 

FPE besar sehingga BA-nya hanya 10-20%. 

Plasma-t½ 3-4 jam.

Efek samping pada awal pengobatan berupa pusing, rasa letih, sakit kepala, mual dan 

sembelit, jarang timbul muntah atau hipotensi ortostatik. Pada dosis tinggi obat ini 

dapat memicu  gangguan pusat, seperti 

halusinasi, diskinesia, mulut kering, kejang 

otot kaki dan tampilan jari-jari tangan/kaki 

menjadi pucat.

Dosis: minggu pertama malam hari 0,1 mg, 

kemudian tiap minggu dosis dinaikkan 0,1 

mg sampai tercapai dosis optimal 0,6-2 mg 

seharinya. Untuk menekan laktasi 2-3 dd 0,2 

mg selama 14 hari.

* Pergolida (Permax) yaitu  juga derivat 

ergolin dengan khasiat agonis-dopamin kuat 

(1991). Pergolida dipakai  dalam kombinasi dengan levodopa pada penyakit Parkinson. Obat ini berkhasiat menurunkan 

kadar prolaktin dalam darah dan meningkatkan kadar somatropin (GH). Resorpsi

praktis sempurna dengan PP sebesar 90%. 

Ekskresi dalam bentuk metabolitnya melalui 

urin (55%) d