Tampilkan postingan dengan label tumor otak 4. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label tumor otak 4. Tampilkan semua postingan

tumor otak 4




 ksi tumor parsial, keadaan 

inoperable atau menolak operasi, dan  yang mengalami rekurensi pascaoperasi. Radiasi 

ulangan pada adenoma hipofisis rekuren dilaporkan mendapatkan perbaikan atau stabilisasi 

gejala visual dengan kontrol lokal yang baik pada follow up jangka panjang.(164, 171) 

Stereotatic radiosurgery (SRS) atau fractionated stereotactic radiotherapy (FSRT) dapat 

diberikan pada adenoma hipofisis. (172, 173)Stereotactic radiosurgery diberikan pada masalah  

dengan diameter tumor terpanjang 3 cm atau kurang dan jarak terdekat tumor dengan organ 

kritis seperti batang otak atau nervus optik diatas 3 mm. Dosis SRS yang dapat diberikan antara 

10-24 Gy dalam 1 fraksi tergantung volume tumor dan posisi tumor, sehingga dosis radiasi pada 

organ normal yang diberikan masih dalam batas toleransi. Fractionated stereotactic 

radiotherapy diberikan pada masalah  lainnya yang tidak memenuhi kriteria untuk SRS. Dosis 

FSRT yang dapat diberikan berkisar 45 – 60 Gy dengan 1,8-2 Gy per fraksi. Radiasi SRT 

hipofraksi juga dapat diberikan apabila tidak memenuhi syarat SRS dengan dosis radiasi antara 

20-50 Gy dalam 3-10 fraksi.(172) 

3.2.3.6.2. Terapi Adenoma Hipofisis Non-fungsional 

3.2.3.6.2.1. Medikamentosa 

Pada pasien dengan adenoma hipofisis non-fungsional pemberian terapi medikamentosa 

tanpa kombinasi tidak memberikan hasil yang menonjol . Nobel dkk melakukan penelitian studi 

prospektif observasional dengan pemberian dopamin agonis tanpa tindakan apapun. sesudah  

diikuti selama 48 bulan, hanya 25% subjek yang terdapat pengecilan ukuran tumor, sisanya 

mengalami perbesaran 10% dari ukuran sebelumnya.(174) Pada penelitian studi kohort 

prospektif, Van Schaardenburg dkk melaporkan efektivitas bromokriptin pada pasien adenoma 

hipofisis non-fungsional, yaitu 20% mengalami pertambahan ukuran tumor dan sebanyak 80% 

tidak terdapat perubahan pada evaluasi serial CT scan serial.(175) 

3.2.3.6.2.2. Pembedahan 

Terapi pada adenoma hipofisis non-fungsional dengan reseksi pembedahan (umumnya 

dengan pendekatan endoskopi trans-sfenoid) diindikasikan untuk pasien dengan pembesaran 

tumor atau perubahan visual. (176, 177) 

3.2.3.6.2.3. Radioterapi  

 

 

79 

 

Radioterapi dianjurkan pada tumor dengan reseksi inkomplit. Dosis radioterapi yang 

diberikan tergantung ukuran residual tumor dapat berkisar 40–50 Gy (5–6 minggu). (178, 179) Bila 

residual tumor cukup kecil, maka dapat dipertimbangkan SRS atau SRT. 

3.2.3.6.3. Terapi Adenoma Hipofisis Fungsional  

3.2.3.6.3.1. Medikamentosa 

Pada pasien dengan dengan prolaktinoma, medikamentosa utama yang diberikan yaitu  

agonis dopamin seperti bromokriptin (1 x 1,25 mg), karbegolin (0,25 mg 2x seminggu). (169, 180-

183) Terapi medikamentosa pada adenoma pensekresi GH-TSH berupa pemberian bromokriptin 

(1x1,25 mg), analog somatostatin (misalnya, octreotide), agonis hormon pertumbuhan, atau 

pembedahan yang didan i radioterapi sesudah  operasi. (184-188) 

 

3.2.3.6.3.2. Pembedahan  

Terapi utama pada adenoma pensekresi GH–TSH yaitu  pembedahan (umumnya 

dengan pendekatan endoskopi trans-sfenoid).(184-188) Terapi utama pada adenoma pensekresi 

ACTH yaitu  endoskopi trans-sfenoid jika pasien memiliki tanda pembesaran tumor atau 

gangguan lapang pandang.(184-188) Terapi pembedahan pada adenoma pensekresi ACTH yang 

berulang maupun radioterapi dengan penghambat steroidogenesis direkomendasikan untuk 

pasien dengan reseksi tidak komplit atau dengan kelainan yang menetap.(162, 171, 189-191) Pada 

pasien dengan prolaktinoma, terapi pembedahan direkomendasikan untuk pasien dengan: (1) 

gejala yang progresif (penurunan visus, penurunan lapang pandang) (2) pada pasien yang tidak 

memberikan respons maupun tidak toleransi terhadap agonis dopamin (3) ukuran tumor >20 

mm; (4) defisit lapang pandang; (5) invasi sinus kavernosus. 

3.2.3.6.3.3. Kemoterapi 

Kemoterapi dengan TMZ dapat diberikan pada pasien dengan prolaktinoma yang 

resisten terhadap terapi medik, pembedahan, maupun dengan radioterapi.(170, 179, 184, 185) masalah  

prolaktinoma invasif yang resisten terhadap agonis dopamin, tetapi cukup responsif terhadap 

pengobatan TMZ, menunjukkan penurunan kadar prolaktin dan penyusutan ukuran tumor pada 

MRI.(192) Pada masalah  adenoma fungsional, prolaktinoma, dan adenoma pensekresi GH yang 

resisten terhadap terapi medis dan tidak membaik dengan prosedur pembedahan, radioterapi 

dan kemoterapi konvensional dipakai  untuk mengendalikan pertumbuhan tumor walaupun 

 

 

80 

 

hasilnya sering tidak memuaskan.(193) Etoposide dan cisplatin juga membantu pada adenoma 

pensekresi ACTH.(194) Adenoma fungsional yang menunjukkan respons pengecilan ukuran 

tumor pada MRI juga cenderung menunjukkan perbaikan fungsi hormonal. Tingkat hormon 

dalam semua subtipe (PRL/Prolactin, GH, dan ACTH) menurun sebesar 53–98%. 

3.2.3.6.3.4. Radioterapi 

Pasien dengan fungsional adenoma memerlukan pemeriksaan MRI ulangan setiap 

tahun. Pilihan utama masalah  rekurensi tumor yaitu  operasi. Radioterapi dipertimbangkan jika 

kekambuhan berulang dan tumor terus tumbuh.(170, 195) Pada pasien dengan prolaktinoma, 

radioterapi dipakai  jika pemberian agonis dopamin maupun pembedahan tidak berhasil, 

gagal, atau menjadi tidak toleransi terhadap agonis dopamin, atau pasien dengan kontraindikasi 

terapi agonis dopamin atau sejenisnya atau pasien inporable atau pasien menolak operasi. (170, 

195) 

Radioterapi biasanya diberikan pada pasien dengan penyakit residual atau berulang 

sesudah  reseksi bedah, pasien yang bukan kandidat operasi, dan adenoma fungsional yang tidak 

berespons terhadap pembedahan atau medikamentosa. Kontrol tumor jangka panjang dengan 

radioterapi sangat baik, yaitu 80–95% pada 10 tahun dengan dosis 45–54 Gy dalam 25-30 

fraksi.(196) Pada masalah  ukuran tumor yang kecil dapat dipertimbangkan pemberian SRT atau 

SRS. (170, 195) 

3.2.3.6.4. Rehabilitasi Medik 

Pengembalian kemampuan fungsional dan aktivitas kehidupan sehari-hari dan  

meningkatkan kualitas hidup pasien dengan cara aman dan efektif merupakan tujuan 

dilakukannya rehabilitasi medik. Sebelum dilakukan tindakan definitif, pendekatan rehabilitasi 

medik dapat diberikan sedini mungkin dan dapat dilakukan pada berbagai tahapan dan 

pengobatan penyakit yang disesuaikan dengan tujuan penanganan rehabilitasi tumor mulai dari 

preventif, restoratif, suportif, ataupun paliatif.  (51, 197, 198) 

Aspek penatalaksanaanya meliputi: (a) gangguan kognitif dan perilaku, perubahan 

kepribadian, dan emosi (b) gangguan fungsi mobilisasi ambulasi akibat gangguan fleksibilitas, 

kekuatan otot, koordinasi dan keseimbangan (sesuai lokasi tumor), visual, kinesia, kelemahan 

umum, dan tirah baring lama.(56) (c) gangguan fungsi otak lainnya sesuai lokasi tumor 

(gangguan: menelan/makan, komunikasi, persepsi, pemrosesan, sensori, dan gangguan saraf 

 

 

81 

 

kranial lainnya) (d) gangguan fungsi kardiorespirasi pasca penanganan pengobatan  sesuai 

gangguan fungsi paru dan jantung.(199) 

3.2.3.6.5. Dukungan Nutrisi 

Status gizi memiliki peranan penting dalam menunjang kualitas hidup pasien kanker. 

Dari berbagai masalah nutrisi yang ada, kaheksia merupakan salah satu yang penting 

diperhatikan pada pasien kanker. Kaheksia memiliki kaitan erat dengan kondisi malnutrisi. (31) 

Malnutrisi yaitu  keadaan dimana asupan suatu komponen nutrisi melebihi atau kurang dari 

jumlah yang dianjurkan.(200) Kondisi malnutrisi ditemukan pada sekitar 85% pasien 

kanker.(201)Terdapat perbedaan definisi malnutrisi antara World Health Organization (WHO) 

dan European Society of Parenteral and Enteral Nutrition (ESPEN).  

Malnutrisi menurut WHO yaitu  keadaan di mana IMT <18,5kg/m2, sedang  

menurut ESPEN diagnosa  malnutrisi dapat ditegakkan berdasar  IMT <18,5kg/m2atau 

berdasar  penurunan berat badan yang tidak direncanakan >10% dalam kurun waktu tertentu 

atau penurunan >5% dalam waktu 3 bulan, didan i salah satu dari: (a) IMT <20 kg/m2 pada 

usia <70 tahun atau IMT <22 kg/m2 pada usia ≥70 tahun, (b) Fat free mass index (FFMI) <15 

kg/m2 untuk perempuan atau FFMI <17 kg/m2 untuk laki-laki.(28) 

 Penanganan yang tidak adekuat akan memicu  malnutrisi berkembang 

menjadi kaheksia. Kaheksia didefinisikan sebagai kehilangan massa otot, dengan ataupun tanpa 

lipolisis, yang tidak dapat dipulihkan dengan nutrisi konvensional. Kaheksia ditandai dengan 

sekumpulan gejala yang terdiri dari tidak nafsu makan (anoreksia), cepat merasa kenyang, dan 

kelemahan tubuh secara umum.(202) 

 Kriteria diagnosa  kaheksia salah satu di antara penurunan berat badan 5% atau 

lebih dalam 12 bulan terakhir atau indeks massa tubuh kurang dari 20 kg/m2 atau tiga dari lima 

kriteria penurunan kekuatan otot, kelelahan (fatigue) atau keterbatasan fisik dan mental sesudah  

aktivitas fisik, atau ketidakmampuan untuk terus melakukan aktivitas fisik dengan intensitas 

sama yang didan i penurunan performa, anoreksia atau keterbatasan asupan makanan sehingga 

asupan kalori <20 kkal/kgBB/hari, atau kurangnya nafsu makan atau indeks massa bebas lemak 

yang rendah (dicirikan dengan lingkar lengan atas kurang dari persentil 10 untuk umur dan jenis 

kelaminnya, indeks otot rangka DEXA <5,45 kg/m2 (perempuan) atau <7,25 kg/m2 (laki-laki) 

atau salah satu parameter laboratorium yang tidak normal:  

 

 

82 

 

1. Peningkatan petanda inflamasi (C-reactive protein/CRP, interleukin/IL-6) 

2. Anemia (Hb < 12 g/dL) 

3. Kadar albumin serum yang rendah (<3,2 g/dL) 

 

3.2.3.7. Komplikasi  

Pembedahan trans-sfenoid memiliki beberapa potensi kebocoran cairan serebrospinal 

(CSS) dengan kemungkinan meningitis, gangguan hormon hipofisis yang terkadang menetap 

(membutuhkan terapi penggantian hormon seumur hidup), cedera nervus optikus dengan 

kehilangan penglihatan, cedera arteri karotis interna dengan kemungkinan perdarahan dan/atau 

stroke. Apopleksi hipofisis-hipopituarisme awitan mendadak merupakan komplikasi dari 

adenoma hipofisis yang dipicu  infark akut kelenjar hipofisis. (136, 147) Komplikasi tindakan 

endoskopi endonasal trans-sfenoid meliputi komplikasi rhinologik (epistaksis atau gangguan 

pembauan), kebocoran cairan serebrospinal postoperatif, infeksi (sinusitis sphenoid atau 

meningitis), ruptur arteri carotis interna, gangguan hormonal, diabetes insipidus dan SIADH.  

(124) 

3.2.3.8. Prognosis  

Jika tidak ada kontraindikasi, pembedahan (biasanya trans-sfenoid) saat ini merupakan 

terapi awal yang terbaik (prognosis yang buruk dengan makroadenoma) yang mampu 

menurunkan kadar GH lebih cepat, dekompresi struktur saraf, dan meningkatkan efikasi analog 

somatostatin berikutnya. (203) Remisi didapatkan hingga 90% pasien dengan mikroadenoma dan 

sekitar 50–60% pada pasien dengan makroadenoma.(136, 147, 180) Rekurensi terjadi lebih banyak 

pada kelompok adenoma fungsional. Normalisasi lapang pandang terjadi pada 40,5% pasien 

yang menjalani operasi transsfenoid. Prognosis paling buruk yaitu  pada pasien dengan 

adenoma hipofisis yang menginvasi sinus kavernosus.(177, 204) 

 

 

 

 

 

 

 

83 

 

 

3.2.3.9. Guidelines(200) 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Pendekatan Evaluasi dan Manajemen Insidentaloma Hipofise 

Bila didapatkan massa 

pada CT Scan,  

lakukan MRI 

Lakukan pemeriksaan fisik, tes laboratorium hormonal 

( prolactin, LH/FSH, TSH/FT4, kortisol, testosterone  

[laki-laki], estradiol [perempuan] ) 

Fungsional 

Tumor Pensekresi GH- 

atau ACTH- 

Prolaktinoma 

Rujuk ke bedah saraf dan 

endokrin 

Terapi dengan 

dopamine agonis 

bila indikasi, rujuk 

ke endokrinologi 

Tangani sebagai 

makroadenoma 

Kurangi interval studi 

follow up 

Nonfungsional 

Makroadenoma (>1cm) Mikroadenoma (<1cm) 

Rujuk untuk 

pemeriksaan lapang 

pandang 

Ada defisit lapang 

pandang atau gejala 

neurologis ? 

Rujuk ke bedah saraf MRI dan cek hormonal 

ulang dalam 1 tahun 

Tidak ada perubahan 

Tangani sebagai adenoma 

fungsional 

Menekan kiasma opticus atau 

ukuran >1cm MRI ulang dalam 2 atau 3 

tahun 

Ya Tidak 

 

 

84 

 

3.2.4. Neuroma akustik  

3.2.4.1. Definisi dan klasifikasi 

Neuroma akustik yaitu  tumor saraf vestibulokohlearis (N.VIII) yang berasal dari 

selubung sel Schwann. Tumor ini merupakan 85% dari tumor pada regio cerebellopontin 

angle dan 6% dari seluruh tumor intrakranial. Tumor ini berasal dari kompleks nervus 

vestibulokohlearis di meatus akustikus internus. Sebagian besar berasal dari nervus 

vestibuler baik superior maupun inferior dan kurang dari 5% berasal dari nervus kohlearis. 

Biasanya schwannoma termasuk tumor jinak dan tumbuh lambat, tetapi dapat 

menimbulkan gejala efek desak ruang dan tekanan pada struktur sekitarnya yang dapat 

mengancam kehidupan. Pola pertumbuhan bervariasi dan sebagian kecil dapat tumbuh 

cepat (2 kali lipat dalam 6 bulan). Dengan mempertimbangkan kemungkinan yang ada, 

dapat dilakukan diagnosa  dini sehingga dapat meningkatkan pilihan terapi dan 

menurunkan angka kematian.(205) 

Kompleks nervus vestibulokoklearis ini terletak di daerah cerebellopontine angle 

(CPA), dan apabila menjadi tumor dapat tumbuh dengan diameter 4 cm dan 

pertumbuhannya relatif lambat, sehingga memungkinkan peregangan tanpa mempengaruhi 

fungsi pada fase awal. Namun seiring dengan bertambah besarnya  tumor yang pada awalnya 

muncul dari dalam kanalis auditoris interna, maka akan menimbulkan gejala-gejala awal 

berupa gangguan fungsi pendengaran (gejala umum yang ditimbulkan) atau gangguan 

vestibularis berupa gangguan keseimbangan yang biasanya memberat seiring dengan 

pertumbuhan tumor ini . Neuroma akustik ditemukan sebanyak 6-10% dari semua 

tumor intrakranial, akan tetapi merupakan tumor terbanyak di daerah CPA.(205, 206) 

berdasar  lokasi pertumbuhan tumor ini dapat diklasifikasikan menjadi (Hannover 

classification) :  

Tabel 3.5. Klasifikasi Tumor berdasar  Lokasi Pertumbuhan (207) 

Klasifikasi  Lokasi tumor  

T1  Tumor intrameatus akustikus internus  

T2  Tumor intrameatus – ekstrameatus akustikus internus  

T3A  Tumor menginvasi kedalam sisterna CPA  

T3B  Tumor menempel pada batang otak tanpa penekanan batang otak 

 

 

85 

 

T4A  Tumor menekan batang otak  

T4B  Tumor menekan, mendorong batang otak dan memicu  obstruksi 

ventrikel empat  

 

3.2.4.2. Anamnesis  

Keluhan yang pertama dirasakan pasien yaitu  gangguan pendengaran yang diakibatkan 

oleh tertekannya nervus koklearis. Gejala ini terjadi pada 95% pasien dengan neuroma akustik 

tetapi hanya 2/3 pasien yang menyadari keluhan penurunan pendengaran ini. Keluhan lainnya 

yaitu  telinga berdenging yang terjadi pada 63% pasien. Bila melibatkan nervus vestibular, 

pasien akan merasakan ketidakseimbangan dalam berjalan. Keluhan ini biasanya dirasakan 

tidak terlalu berat dan hilang timbul. Rasa pusing berputar sangat jarang dirasakan. Hal ini 

terjadi sebab  tumor tumbuh lambat, sehingga tidak terjadi fungsi vestibular asimetris yang 

akut. Keluhan ini terjadi pada 61% masalah .(208) 

Selain kehilangan pendengaran unilateral/tinnitus  dalam  onset  progresif, gejala lain 

yang biasanya dapat muncul yaitu  gangguan sensasi wajah akibat kompresi kearah superior 

yang menekan nervus trigeminus. Gangguan kelumpuhan pada wajah juga sering terjadi akibat 

kompresi nervus fasialis yang berjalan bersamaan dengan kompleks nervus vestibulokohlearis 

dari dalam meatus akustikus internus sampai ke root entry zone nervus fascialis di sisi lateral 

pontomedulari junction(207, 208) 

Bila tumor tumbuh menekan batang otak, biasanya pasien mengeluhkan gangguan 

berjalan, yang diawali dengan nyeri kepala yang tidak dapat sembuh dengan obat-obatan. Hal 

ini kemungkinan tumor sudah ekstensi kearah batang otak, memicu  pergeseran kearah 

kontralateral dan terjadi obstruksi ventrikel 4 sehingga terjadi hidrosefalus obstruktif. (208, 209) 

3.2.4.3. Pemeriksaan Fisik 

Umumnya pasien mengeluhkan gangguan pendengaran. Semua pasien dengan 

kehilangan pendengaran unilateral harus mendapatkan pemeriksaan audiologi untuk 

menentukan kuantitas dan jenis dari gangguan sensorineural. Pemeriksaan Weber dan 

Rinne tes juga dapat dilakukan secara sederhana di poliklinik. Refleks kornea, hipestesi 

wajah unilateral, gangguan keseimbangan dan koordinasi akibat kompresi serebelum. 

 

 

86 

 

Tanda dari peningkatan tekanan intrakranial berupa papilledema dan diplopia. Paresis 

nervus VII, berdasar  klasifikasi dari House and Brackmann yaitu  sebagai berikut.(210) 

3.2.4.4. Pemeriksaan penunjang 

Untuk mengetahui hubungan antara gejala klinis, lokasi dan derajat tumor dan  

kualitas pendengaran maka perlu dilakukan pemeriksaan audiologi dan radiologi baik CT 

maupun MRI, dapat pula ditambahkan pemeriksaan angiografi untuk mengetahui 

keterlibatan struktuk vaskular di daerah CPA.(211) 

Pemeriksaan audiometri perlu untuk mendiagnosa  vestibular schwannoma 

meskipuun 5% pasien dengan neuroma akustik didapatkan masih dalam batas normal. 

Pemeriksaan Pure tone dan speech audiometry harus dilakukan di ruangan yang khusus. 

Tes ini menunjukkan hasil asymmetric sensorineural hearing loss, biasanya lebih jelas 

dengan frekuensi yang lebih tinggi dan tidak berhubungan dengan ukuran tumor. Auditory 

brain stem response (ABR) merupakan pemeriksaan skrining lanjutan untuk mengukur 

fungsi pendengaran pasien apabila hasil audiometri asimetris tidak jelas. Tes ini 

menunjukkan jeda pada waktu konduksi saraf di bagian yang sakit, yang kemungkinan 

disebab kan tekanan oleh tumor.(212) 

Pemeriksaan CT Scan melengkapi pemeriksaan MRl untuk melihat kondisi tulang, 

dan selulae mastoid. Salah satu gambaran khas dari tumor ini yaitu  pelebaran dari osteum 

kanalis akustikus internus (trumpeting). Normal panjang kanalis akustikus internus dari 

fundus ke meatus berkisar antara 5-8 mm.  

MRI merupakan standar untuk mengetahui letak tumor dan hubungannya dengan 

struktur sekitar CPA. Pemeriksaan ini memakai  kontras paramagnetic material yang 

dapat meningkatkan sensitifitas terhadap neuroma akustik, didapatkan gambaran tumor 

berbentuk bulat atau oval yang menyangat kontras yang terletak muncul dari meatus 

akustikus internus. MRI yang dipakai  yaitu  standar pemeriksaan intra auditory canal 

(IAC), yaitu FIESTA (Fast Imaging Employing Steady-state Acquisition) dan CISS 

(Constructive Interference in Steady State).(213) 

3.2.4.5. diagnosa  

 

 

87 

 

Kriteria diagnosa  didasarkan pada keluhan utama, anamnesa, pemeriksaan fisik 

dan  penunjang. sesudah  dilakukan tindakan operasi hasil pemeriksaan patologi anatomi 

akan memperkuat diagnosa  pascaoperasi. Adapun diferensial diagnosa neuroma akustik 

cukup banyak, meskipun neuroma akustik menempati 85% tumor pada CPA. Berikut 

yaitu  diferensial diagnosa pada CPA, meningioma, tumor ektodermal, tumor metastasis 

ke serebelum, neuroma nervus kranialis lain seperti trigeminal neuroma, abduscen 

neuroma, jugular foramen neuroma meskipun presentasenya sangat kecil. Kemungkinan 

lesi lain yang memberikan gejala klinis yang mirip dengan neuroma akustik, seperti, kista 

arachnoid, kista neurenterik, granuloma kolesterol, lipoma, aneurisma, ectasia 

dolikhobasilar, sistiserkosis, perluasan dari glioma batang otak/serebelum, adenoma 

hipofise, kranioparingioma, khordoma, tumor ventrikel IV, khoroid plexus papilloma, 

glomus jugularis. (205) 

Neuroma akustik harus sudah dicurigai pada pasien dengan gejala gangguan 

pendengaran asimetris. Gejala ini harus dipastikan dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik 

yang baik dan ditunjang dengan MRI atau CT Scan. 80-90% pasien neuroma akustik terdeteksi 

dengan cara ini . diagnosa  pasti tetap dengan patologi anatomi, yakni ditemukan daerah 

yang selularitasnya jarang dan padat, yang disebut sebagai Antoni A dan B. pemeriksaan 

IHK(Imunohistokimia) untuk protein S100 biasanya positif pada tumor jinak dan maligna.(205, 

206) 

3.2.4.6. Terapi 

Tiga pilihan terapi utama bagi penderita neuroma akustik, yaitu pembedahan, 

terapi radiasi, dan observasi. Belum ada penelitian yang membandingkan modalitas 

pengobatan yang berbeda. Sangat penting untuk memberikan konseling pada penderita 

mengenai program pengobatan yang akan mereka jalani. Pertimbangan juga perlu 

memperhitungkan kualitas hidup dan perbaikan gejala klinis.(205) 

Perjalanan neuroma akustik tidak sepenuhnya diketahui. Dalam suatu penelitian 

neuroma, yang diamati selama 40 bulan, 66% tidak berkembang, 24% tumbuh lambat, 4% 

tumbuh cepat dan 3% mengalami regresi. Pada penderita neuroma kecil, dengan fungsi 

pendengaran yang baik, tindakan terbaik yaitu  konservatif dengan pemeriksaan scan 

serial untuk memonitor pertumbuhannya. saat  dijumpai pertumbuhan tumor, tindakan 

 

 

88 

 

yang lebih aktif sangat dianjurkan mengingat risiko komplikasi operasi dan kemampuan 

untuk mempertahankan pendengaran sangat berkaitan dengan ukuran tumor.  (214, 215) 

3.2.4.6.1. Medikamentosa 

Pasien yang tidak terindikasi operasi dapat diberikan steroid terutama dengan keluhan 

penurunan fungsi pendengaran. pemakaian  steroid dapat meningkatkan fungsi pendengaran 

bila diberikan segera saat terdeteksi dan pada fase akut. Pemberian steroid yang sudah diteliti 

yaitu  prednison 1mg/kg. peningkatan fungsi pendengaran dapat di evaluasi memakai  

audiometri sebelum dan sesudah terapi.(216) 

3.2.4.6.2. Pembedahan 

Pembedahan merupakan terapi yang dianggap paling memuaskan untuk hasil jangka 

panjang pada neuroma akustik. Terdapat 3 standar operatif pada tumor ini yakni retrosigmoid 

suboksipital, translabirintin, dan fossa media. Pilihan terapi pembedahan tergantung dari faktor 

tumoral termasuk ukuran dan status pendengaran pasien.(217-219) 

Pengangkatan total tumor sangat memungkinkan pada masalah  neuroma akustik dan 

angka kekambuhan pasca operasi sangat jarang terjadi. Risiko pembedahan meliputi kematian, 

kebocoran cairan otak dan meningitis, stroke, cedera serebelum, epilepsi, paralisis fasial, 

kehilangan pendengaran, gangguan keseimbangan, dan nyeri kepala persisten.(220) 

Pengambilan tumor melalui tindakan bedah yaitu  terapi yang disarankan pada 

sebagian besar pasien yang menderita neuroma akustik. pemakaian  monitor saraf fasial 

meningkatkan outcome pasien yang menjalani tindakan bedah akustik neuroma dan 

pemakaian nya dipertimbangkan pada operasi akustik neuroma lainnya. Monitor fungsi 

cochlear (ABR) dapat juga berguna untuk hearing conservation surgery. Monitor lower cranial 

nerve yang lain dapat juga meningkatkan outcome pasien. berdasar  beberapa eksperimen 

dan data klinis IOM telah menjadi standar pelayanan pada tindakan reseksi lesi yang letaknya 

intraparenkim dan ekstraaksial yang sangat dekat dengan struktur vital seperti nervus kranial 

dan pembuluh darah.  Sebagian besar publikasi memakai  sensory evoked potentials (SEPs) 

dan motor evoked potentials (MEPs) pada masalah  lesi supratentorial. sedang  pada masalah  

reseksi lesi infratentorial direkomendasikan memakai  IOM berjenis direct cranial nerve 

stimulation (DCNS). (209, 221) 

 

 

89 

 

3.2.4.6.3. Radioterapi 

Tindakan stereotaktik radiosurgery dapat dilakukan untuk tumor dengan ukuran kecil, 

dengan memakai  linac based stereotactic radiosurgery atau sinar gamma (gamma knife). 

Tindakan stereotaktik sangat dianjurkan oleh beberapa pusat bedah saraf di dunia. Kebanyakan 

tindakan ini bukan untuk menghilangkan neuroma, tetapi untuk mengontrol pertumbuhannya. 

sedang  tindakan radioterapi konvensional dilakukan dengan cara memberikan dosis radiasi 

terfraksinasi. Dalam suatu studi kohort prospektif, suatu tumor berukuran kecil (<3 cm) 

memberikan hasil awal yang baik pada tindakan stereotaktik radiosurgery dibandingkan 

dengan reseksi bedah. Dosis SRS dapat diberikan berkisar 12-13 Gy dalam 1 fraksi.(222) 

Pada tumor diatas 3 cm dapat dipertimbangkan stereotaktik radioterapi (SRT), IMRT 

atau radioterapi konformal 3D. Pengawasan jangka panjang sangat diperlukan untuk 

mengidentifikasi progresifitas tumor. Resiko jangka panjang yang berhubungan dengan 

stereotaktik meliputi nekrosis otak, cedera saraf kranial, dan mutasi sel neuroma akustik 

sehingga memicu  keganasan.(215) 

3.2.4.7. Komplikasi 

Komplikasi yang paling ringan yaitu  sakit kepala pasca operasi akibat sisa akumulasi 

perdarahan di daerah CPA. Namun demikian apabila terjadi perdarahan ulang pasca operasi 

dapat berakibat fatal. Parese nervus fascialis merupakan komplikasi terbanyak apabila tidak 

memakai  intraoperative monitoring disebab kan letak nervus fascialis sangat sulit 

ditemukan. Tuli total juga bisa terjadi apabila nervus cochlearis terputus saat dilalukan reseksi 

tumor. Infark pada batang otak akibat koagulasi dengan memakai  bipolar pada arteri 

perforantes pada batang otak. Perdarahan akibat ruptur pembuluh darah anterior inferior 

cerebellar artery (AICA) dan posterior inferior cerebellar artery (PICA). Komplikasi 

perdarahan dan infark ini dapat memicu  kematian pada pasien.(212)  

3.2.4.8. Prognosis 

Prognosis tergantung dari tipe neuroma akustik berdasar  ekstensi ke arah medial 

yang menekan batang otak dan invasi kearah fundus meatus akustikus internus. Apabila 

neuroma akustik dapat diangkat seluruhnya prognosisnya sangat baik, tapi jika tidak dapat 

diangkat seluruhnya, disebab kan adanya perlengketan pada batang otak, maka risiko 

pertumbuhan kembali tumor dapat dikontrol dengan radioterapi/radiosurgery. (205, 211, 223-225) 

 

 

90 

 

 

3.2.4.9. Guidelines NCCN 2017

 

 

3.2.5. Kraniofaringioma 

3.2.5.1. Definisi dan Klasifikasi 

Kraniofaringioma yaitu  tumor otak yang jarang, berasal dari malformasi embrionik 

kantung Rathke pada regio sella dan parasella. Klasifikasi WHO menggolongkan 

kranifaringioma sebagai tumor jinak dengan derajat histologik rendah (WHO derajat I). Secara 

histopatologi, kraniofaringioma terbagi dari dua subtipe, yaitu adamantinomatosa dan papilar. 

Keduanya memiliki perbedaan yang menonjol  pada gambaran histopatologi dan aspek klinis. 

Tipe adamantinomatosa, yang memiliki komponen kistik dan kalsifikasi, yaitu  tipe paling 

sering dijumpai baik pada anak dan dewasa. Tipe papilar secara histopatologi memiliki 

karakteristik berupa kelompok sel skuamosa yang terletak di dalam jaringan ikat stroma. 

Tumor ini berbentuk padat dan tidak ada kalsifikasi.(226) 

 

 

91 

 

Kraniofaringioma secara khas berasal dari aksis infundibulo-hipofisis pada regio sella 

dan suprasella yang dgapat meluas ke struktur sekitar. Dengan perkembangan MRI, topografi 

kraniofaringioma dapat diklasifikasikan menjadi 4 tipe utama yaitu intrasellar, infundibulum-

tuberian, intraventrikular, dan bentuk dumbel. Klasifikasi ini memakai  khiasma optikum 

sebagai titik acuan. Sekitar sepertiga masalah  yaitu  retrokhiasma, sepertiga lainnya subkhiasma, 

20% prakhiasma,  dan 10-15% yaitu  intrasellar.(227) 

Insidens kraniofaringioma sekitar 0,5–2 masalah  per satu juta populasi per tahun dimana 

30–50% seluruh masalah  ditemukan pada anak-anak dan dewasa muda. Kraniofaringioma 

mewakili 1,2–4% dari keseluruhan tumor intrakranial pada kelompok anak anak. Histopatologi 

yang umum dijumpai pada anak anak dan dewasa muda yaitu  adamantinomatosa dengan lesi 

kistik. Kraniofaringioma dapat dijumpai pada setiap kelompok usia, termasuk periode pranatal 

dan neonatal. Insidens tumor memiliki distribusi bimodal dengan puncak pertama pada anak-

anak usia antara 5 hingga 14 tahun dan dewasa antara 50 hingga 74 tahun. Tidak terdapat 

perbedaan prevalensi jenis kelamin terhadap kejadian kraniofaringioma. (226, 228) 

3.2.5.2. Anamnesis 

diagnosa  kraniofaringioma pada anak sering terlambat hingga beberapa tahun sesudah  

timbul keluhan awal. Manifestasi klinis bersifat non–spesifik akibat peningkatan tekanan 

intrakranial, seperti nyeri kepala dan muntah. Keluhan utama lainnya yaitu  gangguan 

penglihatan terutama defisit lapang pandang berupa hemianopsia bitemporal (62–84%) dan 

gangguan endokrin (52–87%). Keluhan kraniofaringioma pada usia dewasa lebih sering 

dipicu  oleh gangguan hormon. Defisit endokrin umumnya dipicu  oleh gangguan 

aksis hipotalamus–hipofisis yang berdampak pada sekresi GH (75%), gonadotropin (40%), 

ACTH (25%), dan TSH (25%). Penelitian terbaru menyimpulkan bahwa kombinasi gejala 

klinis seperti nyeri kepala, gangguan penglihatan, gangguan pertumbuhan, dan/atau 

polidipsia/poliuria perlu dipertimbangkan kemungkinan kraniofaringioma.(229) 

3.2.5.3. Pemeriksaan Fisik 

Pada pemeriksaan fisik, sering dijumpai tanda peningkatan tekanan intrakranial, seperti 

nyeri kepala, muntah, dan papiledema baik akibat penekanan langsung oleh tumor ataupun 

sekunder akibat hidrosefalus. Defisit lapang pandang umumnya berupa hemianopsia 

bitemporal (sekitar 49% dari seluruh masalah ) yang dapat memburuk hingga memicu  

 

 

92 

 

kebutaan. Kelainan lain yang dapat dijumpai berupa paresis nervus kranialis terutama otot 

ekstraokular dan perubahan status mental. Pemeriksaan fisik menyeluruh diperlukan untuk 

menentukan ada tidaknya gangguan hormonal seperti gangguan pertumbuhan fisik dan seksual, 

metabolisme tubuh, dan diabetes insipidus.(229-231) 

3.2.5.4. Pemeriksaan Penunjang 

Foto radiologi seperti CT Scan dan MRI dan  angiografi serebral bermanfaat untuk 

memberikan gambaran neuroradiologi dari kraniofaringioma termasuk foto polos tengkorak, 

dan terkadang angiografi serebral. Walaupun foto polos tengkorak telah digantikan oleh 

modalitas terbaru, foto polos masih bermanfaat pada masalah  tumor yang mengalami kalsifikasi 

dan pelebaran sela, seperti pelebaran dan ekspansi dasar sela atau erosi dorsum selae. (229, 231) 

Pemeriksaan CT Scan merupakan modalitasi ideal untuk mengevaluasi anatomi tulang 

dan deteksi kalsifikasi. Selain itu, CT Scan juga berguna dalam membedakan komponen kistik 

dan padat tumor. Gambaran kraniofaringioma pada CT Scan tergantung pada proporsi 

komponen padat dan kistik. Komponen kistik memiliki densitas rendah dan pemberian kontras 

memicu  penyangatan pada bagian padat termasuk kapsul kista.(229) 

Pemeriksaan MRI dengan pemberian kontras penting untuk menentukan topografi dan 

struktur tumor. Intensitas kraniofaringioma tergantung pada proporsi komponen padat dan 

kistik, isi kista (kolesterol, keratin, perdarahan), dan komponen kalsifikasi. Massa tumor 

tampak isointens atau relatif hipointens terhadap parenkim otak pada sekuensi T1W yang 

menyangat sesudah  pemberian gadolinium, sedang  pada sekuens T2W biasanya tampak 

campuran hipo- dan hiperintens. Kalsifikasi sulit terlihat pada MRI, tetapi jumlah yang besar 

dapat terlihat sebagai sinyal hipointens pada sekuensi T1W dan T2W. Komponen kistik 

biasanya terlihat hipointens pada sekuens T1W dan hiperintens pada T2W. Edema pada sekitar 

parenkim otak (akibat reaksi gliosis pada kranifaringioma atau gangguan fokal aliran CSS) 

dapat menyebar sepanjang jalur saraf penglihatan, sehingga membantu membedakan 

kraniofaringioma dengan tumor parasella lainnya.(228-230) 

3.2.5.5. diagnosa  

diagnosa  banding ditentukan berdasar  anamnesis, pemeriksaan fisik, dan  

pemeriksaan penunjang. Massa lain yang berada di sella dan suprasellar antara lain adenoma 

hipofisis, glioma kordoid, meningioma diafragma sella, dan aneurisma. diagnosa  pasti 

 

 

93 

 

ditegakkan sesudah  melakukan pemeriksaan histopatologis jaringan tumor yang diperoleh 

melalui tindakan operasi. (230, 231) 

3.2.5.6. pengobatan  

3.2.5.6.1. Medikamentosa 

Terapi farmakologis pada kraniofaringioma sama penanganannya dengan tumor otak 

secara umum, yaitu penanganan edema serebri dan kejang. Obat–obatan yang diberikan 

meliputi steroid, manitol, salin hipertonik, dan antikonvulsan. Beberapa masalah  kranifaringioma 

mengalami disfungsi endokrin, sehingga memerlukan terapi suplementasi hormon. Kelainan 

endokrin yang paling sering dijumpai yaitu  diabetes insipidus yang memerlukan pemberian 

hormon anti-diuretik (desmopressin) baik secara intranasal atau oral.(229)  

3.2.5.6.2. Pembedahan 

Pembedahan yaitu  modalitas terpilih dalam diagnosa  dan terapi kraniofaringioma. 

Beberapa tindakan pembedahan yang dapat dipilih untuk pengangkatan tumor seperti 

pendekatan transkranial dan pendekatan endoskopi trans-sfenoid. Pemilihan pendekatan 

operasi yang optimal harus mempertimbangkan empat hal, yaitu rute terpendek untuk 

mencapai tumor, trauma minimal pada struktur sekitar, keperluan peninjauan, dan fleksibilitas 

metode pendekatan untuk mencapai lokasi yang berbeda.  

Sebagai tambahan, perbedaan pola ekstensi tumor, ukuran, konsistensi, dan faktor lain 

juga berperan dalam memilih pendekatan operasi yang paling tepat. Tumor subdiafragma 

intrasella atau intrasella dan suprasellar (derajat III) dapat dioperasi melalui trans-sfenoid. 

Pendekatan subfrontal merupakan metode pilihan terutama untuk tumor suprasellar (derajat 

III–IV). Kraniofaringioma intraventrikular dapat diangkat dengan pendekatan  transcallosal-

transventrikular. Tumor retrokhiasma kecil dapat dioperasi melalaui jalur subtemporal, 

sedang  tumor besar dengan ekstensi ke fossa posterior hingga daerah clivus dapat dilakukan 

melalui pendekatan transpetrosal-transtentorial. (228, 229, 232) 

Bahkan dengan perkembangan yang pesat dalam bidang bedah saraf, pembedahan 

kraniofaringioma masih menjadi tantangan besar. Ukuran tumor yang besar, batas yang tidak 

teratur dan perlengketan pada struktur mikrovaskular yang penting memicu  batas tumor 

menjadi tidak tegas sehingga reseksi total menjadi sangat sulit dan berpotensi besar 

memicu  cedera pada area otak yang penting. Jika dipaksakan untuk total removal dapat 

memicu  komplikasi yang permanen. Sisa tumor yang ditinggalkan ditangani lalu  

 

 

94 

 

dengan radioterapi yang telah terbukti memiliki efektivitas yang tinggi. Tindakan pembedahan 

lainnya yaitu  pemasangan VP shunt bila pasien juga mengalami hidrosefalus.(233) 

3.2.5.6.3. Kemoterapi 

Terdapat beberapa serial masalah  yang menunjukkan efektivitas pemberian bleomycin 

atau IFN–α intrakistik pada penderita kraniofaringioma. Namun masih diperlukan penelitian 

lebih lanjut untuk penerapan pemakaian  metode ini secara luas. Pemberian bleomycin 

intrakistik perlu dilakukan secara hati-hati sebab  kebocoran obat ke luar memicu  

kebutaan akibat kerusakan nervus optikus.(230) 

3.2.5.6.4. Radioterapi 

Tindakan radioterapi lokal ditujukan untuk menghindari rekurensi dan progresivitas 

tumor dari residu mikroskopik. (230) Penelitian meta-analysis menunjukkan kesintasan yang 

setara antara reseksi total tumor dan reseksi subtotal yang dilanjutkan dengan radioterapi.  

(234)Teknik radiasi yang dapat dipakai  meliputi radiasi FSRT atau SRT dosis hipofraksi atau 

SRS (bila ukuran tumor cukup kecil).(234) Dosis radiasi FSRT berkisar antara 45 – 54 Gy dalam 

25-30 fraksi. Dosis radiasi SRS berkisar 12-24 Gy dalam 1 fraksi tergantung ukuran dan posisi 

tumor.(235) Dapat juga diberikan radiasi SRT dosis hipofraksi  dengan dosis antara 20-50 dalam 

3-10 fraksi bila tidak memenuhi syarat SRS tetapi ukuran tumor relatif tidak terlalu besar. 

3.2.5.7. Komplikasi 

Komplikasi jangka panjang yang umum dijumpai termasuk masalah hormonal, 

penglihatan, neurologis, psikososial, neurokognitif, dan metabolik. Walaupun begitu, 

komplikasi yang paling menonjol  yaitu  berkurangnya kualitas hidup terkait dengan disfungsi 

hipotalamus. Morbiditas yang dijumpai terutama pertambahan berat badan sesudah  operasi dan 

kesadaran somnolen pada siang hari akibat kelelahan. Komplikasi lainnya berhubungan dengan 

pemasangan VP shunt, yaitu malfungsi pirau dan infeksi pirau. (229, 230) 

3.2.5.8. Prognosis 

Pertumbuhan tumor umumnya lambat, tetapi memiliki tingkat rekurensi yang tergolong 

tinggi. Kesintasan dengan kranifaringioma pasca-pembedahan sesudah  diterapi umumnya baik. 

 

 

95 

 

Angka kesintasan hidup lebih dari 5 tahun yaitu  antara 88–94%. Hal ini dipicu  

perkembangan modalitas Diagnosa  dan terapi yang sangat pesat.(229)  

3.2.5.9. Algoritma Terapi 

 

 

3.2.6. Meduloblastoma 

3.2.6.1. Definisi dan Klasifikasi 

Meduloblastoma merupakan tumor embrional yang berasal dari jaringan neuroepitelial 

dan merupakan tumor solid ganas pediatrik yang paling sering ditemukan. Prevalensi 

 

 

96 

 

meduloblastoma yaitu  1-9/100.000 (Eropa) dan lebih sering ditemukan pada laki-laki. Tumor 

ini paling banyak ditemukan pada umur 3-6 tahun dan 25% ditemukan pada usia 15-44 

tahun.(236-239)  

 Pada sekitar 30% pasien pediatrik ditemukan metastasis saat diagnosa . Sebagian besar 

metastasis ditemukan pada sistem saraf pusat akibat penyebaran melalui CSF (kranial atau 

spinal), meskipun pada penelitian terbaru menggambarkan bahwa penyebaran meduloblastoma 

dapat terjadi melalui darah namun metastasis ekstrakranial sangat jarang ditemukan saat 

diagnosa . Pada sebagian pasien, meduloblastoma diasosiasikan dengan sindroma Gorlin, 

familial adenomatous poliposis (FAP), hubungan FAP dan meduloblastoma yaitu  sindroma 

Turcot dengan poliposis) atau dengan sindroma Li-Fraumeni. Apabila ditemukan kecurigaan 

kelainan sindromal, dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan genetik.(236, 238, 240, 241) 

 Etiologi meduloblastoma masih belum dapat dijelaskan, namun ditemukan beberapa 

gen yang berhubungan dengan beberapa subgrup dari meduloblastoma, antara lain inhibitor 

sonic hedgehog pathway SUFU(10q24.32), PTCH1 (9q22.23) dan SMO (7q32.1), RNA 

helicase DDX3X (Xp11.3-p11.23), khromatin regulator KDM6A(Xp11.2), β-catenin CTNNB1 

(3p22.1), gen kompleks N-CoR BCOR (Xp11.4) dan gen Parkinson KMT2D (12q13.12), 

SMARCA4 (19p13.3), MYCN (2p24.3) dan  TP53 (17p13.1) yang dapat ditemukan pada 

pemeriksaan molekuler.(72, 240-245)  

Meduloblastoma bedan  seluruh subgrupnya dikelompokkan ke dalam 4 grade 

berdasar  WHO 2016 dengan keterangan yang lebih terinci dalam tabel di bawah ini(229) 

Tabel 3.7. Meduloblastoma dan Subgrup Meduloblastoma 

WHO 2016  

Meduloblastoma, secara genetik  

      Meduloblastoma, WNT-teraktivasi 9475/3* 

      Meduloblastoma, SHH-teraktivasi dan TP53 mutan 9476/3* 

Meduloblastoma, SHH-teraktivasi dan TP53 wildtype  

      Meduloblastoma, non-WNT/non-SHH 9471/3 

              Meduloblastoma, grup 3 9477/3* 

              Meduloblastoma, grup 4  

 

 

97 

 

WHO 2016  

Meduloblastoma, secara histologis  

      Meduloblastoma, klasik 9470/3 

      Meduloblastoma, desmoplastik/nodular 9471/3 

      Meduloblastoma dengan nodularitas ekstensif 9471/3 

      Meduloblastoma, large cell / anaplastik  9474/3 

Meduloblastoma, NOS 9470/3 

 

berdasar  klasifikasi modifikasi Chang, meduloblastoma dapat dikelompokkan 

sesuai dengan tabel di bawah ini.(241) 

Tabel 3.8. Klasifikasi Meduloblastoma berdasar  Modifikasi Chang.(241) 

M0 Tidak ada bukti metastasis 

M1 Didapatkan sel meduloblastoma pada cairan CSS. Tidak ditemukan bukti metastasis 

pada MRI kontras kraniospinal 

M2 MRI menunjukkan metastasis leptomeningeal pada  pada supratentorial 

M3 MRI menunjukkan etastasis lepromeningeal spinal (baik sendiri atau bersamaan 

dengan metastasis supratentorial) 

M4 Metastasis ekstrakranial 

 

Menurut klasifikasi Chang, pasien dengan average-risk yaitu  pasien dengan usia di 

atas 3 tahun tanpa metastasis dan menjalani reseksi total atau near-total (residual <1.5 cm2 pada 

MRI post operatif). Pada pasien yang tidak memenuhi kriteria ini , dikelompokkan ke 

dalam risiko tinggi. Seiring dengan berkembangnya pemeriksaan molekuler, stratifikasi ini 

berkembang dengan menambahkan faktor pemeriksaan molekuler.(241) 

Saat pasien didiagnosa  dengan meduloblastoma diperlukan staging untuk menentukan 

pasien termasuk risiko tinggi atau risiko standar. Staging ini dilakukan 24-48 jam pasca 

pembedahan tumor dengan melihat MRI kraniospinal kontras dan sitologi CSS. Pasien dengan 

risiko tinggi yaitu  yang memiliki residu tumor pasca operasi lebih dari 1,5cm2 dan positif pada 

sitologi CSF (chang staging M1-M3) sedang  risiko rendah yaitu  sebaliknya. (241) 

 

 

98 

 

 

3.2.6.2. Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik 

Pada anamnesis umumnya didapatkan gejala yang berhubungan dengan massa di fossa 

posterior yang memicu  peningkatan tekanan intrakranial sebab  hidrosefalus akibat 

penekanan ventrikel IV. Gejala peningkatan TIK bisa berupa nyeri kepala, mual, muntah, 

ataksia. Gejala lain yang mungkin timbul yaitu  letargi, gangguan motorik, gangguan nervus 

kranial, gaze palsi, gangguan visus akibat hidrosefalus, vertigo/gangguan pendengaran, 

irritabilitas dan nyeri ekstrakranial berupa nyeri punggung dengan atau tanpa retensi urin dan 

gangguan motorik tungkai bawah (contohnya pada pasien dengan metastasis spinal). Pada bayi 

dengan hidrosefalus dapat ditemukan iritabilitas, pembesaran lingkar kepala, dan letargi.(239) 

Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan edema papil, diplopia, penurunan visus, 

penurunan kesadaran, pembesaran lingkar kepala pada bayi akibat hidrosefalus, nistagmus, 

danataksia.(238, 239) 

Pasien dengan meduloblastoma akan memiliki gejala peningkatan tekanan intrakranial 

dan/atau gejala disfungsi serebelar. Gejala peningkatan tekanan intrakranial termasuk nyeri 

kepala dimalam dan pagi hari yang didan i mual dan muntah dan  dapat terjadi penurunan 

kesadaran. Tumor yang berada pada vermis dapat memicu  ataksia dan instabilitas trunkal, 

sedang  tumor pada lobural serebelum dapat memicu  gangguan koordinasi. Gejala lain 

yang dapat timbul yaitu  pusing dan penglihatan ganda yang dapat dipicu  sebab  

gangguan padasserebelum, batang otak, atau keterlibatan nervus kranialis.(246) 

Pemeriksaan fisik terhadap pasien dengan meduloblastoma akan didapatkan beberapa 

kelainan sesuai posisi lesi pada fossa posterior. Pasien dengan tumor di vermis akan didapatkan 

gaya berjalan wide based gait atau kesulitan dalam melakukan tandem gait. Tremor pada kepala 

dan leher dan  nistagmus juga sering ditemukan. Lesi lobular akan menimbulkan dismetria 

pada test telunjuk hidung, tremor intensitas, dan gangguan dalam tes tumit-lutut. Gangguan 

nervus kranialis juga dapat muncul berhubungan dengan peningkatan tekanan intrakranial, 

seperti gangguan nervus abdusen. Peningkatan tekanan intrakranial kronis juga dapat 

memicu  papiledema dengan gangguan visus. (246) 

 

 

 

99 

 

3.2.6.3. Pemeriksaan Penunjang 

Pada pemeriksaan radiologis umumnya berupa massa solid, menyerap kontras pada 

CT atau MRI, lokasi tersering pada midline dan dapat membesar ke arah ventrikel 4. Lokasi 

lain yang lebih jarang termasuk area nonventrikular vermis superior dan inferior, hemisfer 

serebelum, dan  dapat meluas ke foramen Magendi dan Luscha hingga ke cerebellopontin 

angle (CPA). CT scan kepala nonkontras menunjukkan gambaran lesi hiperdens dan pada 

pemberian kontras tampak gambaran heterogen yang menyangat kontras. Pada 20% masalah  

terdapat kalsifikasi.  

Pada MRI T1WI tampak hipo- hingga isointens sedang dan menyangat saat diberi 

kontras, pada T2WI dapat terlihat gambaran lesi heterogen sebab  kista, pembuluh darah dan 

kalsifikasi. Meduloblastoma sebagian besar berawal pada vermis serebelum dan hanya 20% 

pada hemisfer serebelum. Pada foto spinal, dilakukan MRI dengan injeksi gadolinium atau CT 

mielografi dengan kontras water-soluble untuk melihat adanya “drop mets”.(247-252) 

 Meduloblastoma tipe klasik dan nodular memiliki gambaran yang khas untuk masing-

masingnya. Pada meduloblastoma tipe klasik umumnya akan didapatkan gambaran massa yang 

yang berada pada midline fossa posterior atau sekitar foramen luscha dengan bentuk kista 

(40%) dan kalsifikasi (25%) dan  menunjukkan adanya retriksi pada DWI. Pada tipe lesi 

extensive nodularity lebih sering ditemukan pada paramidline dengan T1 kontras menunjukkan 

massa yang sangat menyangat kontras, heterogen, dan yang menyerupai anggur.(249, 253) 

3.2.6.4. diagnosa  

Pada pemeriksaan histopatologis, ditemukan sel-sel kecil, bulat yang berwarna biru 

pada pewarnaan hematoksilin dan memberikan gambaran nodularitas yang ekstensif hingga 

large cell pada tipe anaplastik. Gambaran ini akan menentukan klasifikasinya sesuai dengan 

WHO 2016. (72, 239, 246, 247) 

berdasar  gambaran histopatologi, terdapat beberapa subtipe meduloblastoma, antara 

lain: 

a. Klasik (90%): bentuk sel kecil, dibedakan sel padat dengan inti hiperkromatik, sitoplasma 

sedikit dan sel klaster tidak konstan di Homer-Wright rosettes (kadang-kadang disebut 

"blue tumor"), penampilan monoton.(72, 236-242) 

 

 

100 

 

b. Desmoplastik (6%): bentuk sel mirip dengan tipe klasik dengan "glomeruli" (kolagen 

bundel dan tersebar pada daerah yang kurang seluler), ditandai dengan kecenderungan 

diferensiasi saraf yang lebih sering terjadi pada orang dewasa. Diperkirakan prognosisnya 

sama atau tidak seagresif meduloblastoma klasik.(242) 

c. Large cell (4%): bentuk sel besar, bulat dan/atau pleomorfik inti, dengan aktivitas mitosis 

yang lebih tinggi. Tipe ini lebih agresif dibanding tipe klasik,  menyerupai tumor 

teratoid/rhabdoid atipikal otak, tetapi memiliki fenotipe yang berbeda.(238) 

 

3.2.6.5. pengobatan  

3.2.6.5.1. Medikamentosa 

  Pemberian medikamentosa pada pasien meduloblastoma bertujuan untuk mengurangi 

tekanan intrakranial yang bersifat sementara sebelum dilakukan terapi definitif yaitu tindakan 

pembedahan. Steroid dapat diberikan apabila diperlukan.(247, 252) 

 

3.2.6.5.2. Pembedahan 

Secara garis besar, terdapat 2 macam pembedahan pada meduloblastoma, yaitu diversi 

CSS apabila ditemukan tanda-tanda hidrosefalus dan tindakan definitif berupa kraniotomi 

removal tumor. (72, 246, 247) 

Diversi CSS dapat dilakukan secara eksternal dengan external ventricular drainage 

apabila diperlukan untuk segera menurunkan tekanan intrakranial atau apabila diperkirakan 

diversi CSS hanya dibutuhkan untuk sementara sebelum dilakukan tindakan definitif. Diversi 

CSS juga dapat dilakukan dengan endoscopic third ventriculostomy (ETV) atau pemasangan 

VP shunt. Komplikasi yang mungkin terjadi yaitu  infeksi, perdarahan atau penutupan stoma 

kembali pada ETV. (254-256) 

  Tindakan definitif yaitu  pembedahan dengan tujuan mengangkat tumor secara 

maksimal. Tindakan ini bertujuan dalam penegakkan Diagnosa , menghilangkan penyumbatan 

aliran CSS, dan juga untuk menghilangkan penekanan langsung tumor terhadap batang otak 

dan jaringan sekitarnya. Pembedahan pada meduloblastoma memiliki banyak tantangan, tumor 

yang memiliki vaskularisasi yang banyak harus diangkat secara cepat untuk menghindari 

 

 

101 

 

perdarahan intralesi. Selain itu meduloblastoma dengan serebelum tidak memiliki batas yang 

jelas.(257)  

  Komplikasi yang sering terjadi (25%) yaitu  mutisme serebelar, ditandai dengan 

iritabilitas, ketidakmampuan membentuk kata, hipotonus dan ataksia yang sering terjadi pada 

24 jam sesudah  operasi. Hal ini dapat terjadi sementara beberapa minggu hingga beberapa bulan, 

atau dapat juga menetap. Komplikasi lain yang mungkin terjadi yaitu  terjadinya infark pada 

daerah sekitarnya, dan perdarahan intra operatif hingga perdarahan post operatif. (254, 256) 

Stratifikasi Risiko 

 Pascareseksi tumor harus dilakukan stratifikasi risiko berdasar  untuk menentukan 

terapi lalu  dan memprediksi outcome.(243, 258) Pada usia > 3 tahun tanpa atau dengan 

residual tumor <1.5 x 1.5 cm2 dan M0 (imaging neuroaksis dan sitologi CSS) diklasifikasikan 

sebagai risiko standar dengan >80% survival dengan terapi standar. Keberadaan 1 atau lebih 

dari gambaran berikut : usia <3 tahun, residual tumor >1.5 x 1.5 cm2 atau metastasis (M1-M4) 

memicu  masalah  ini  menjadi risiko tinggi dengan survival 40-60% bahkan dengan 

terapi yang intensif. Pasien dengan stratifikasi staging neuroaksis yang inkomplit harus 

dimasukkan ke dalam risiko tinggi. Pasien dengan anaplasia difus, gambaran histologi large 

cell/anaplasia dimasukkan ke dalam klasifikasi risiko tinggi.(258-260) 

  

Tabel 3.9. Stratifikasi Risiko berdasar  SIOP (Society Of Pediatric Oncology) 

Europa(261) 

Risiko standar: 

  Usia lebih dari 3 tahun 

  Residu tumor pasca reseksi <1,5cm2 

  Pemeriksaan CSS tidak ditemukan sel tumor 

  MRI tidak menunjukkan penyebaran pada spinal dan leptomeningeal 

  Meduloblastoma tipe klasik atau desmoplatik 

Risiko tinggi: 

  Positif ditemukan metastasis (Chang staging M1,M2,M3,M4) 

  Residu tumor pascareseksi lebih dari 1,5cm2 

 

 

102 

 

  Meduloblastoma large cell/anaplastik 

  Amplifikasi MYC atau MYCN(262) 

 

Pemeriksaan molekular pada meduloblastoma sebaiknya dilakukan agar dapat 

dilakukan penggolongan yang lebih baik dengan juga mempertimbangkan klinis dan radiologis 

pasien untuk menetukan terapi lalu  dan prognosis pasien sebagaimana yang tertera pada 

table 3.9. (243, 247, 261) 

Tabel 3.10. Stratifikasi Risiko 

Kategori 

Risiko 

WNT SHH Grup 3 Grup 4 Lainnya 

Rendah 

(survival 

>90%) 

< 16 tahun     

Standar 

(survival 75-

90%) 

 TP53 wild type 

MYC amplifikasi 

(-) 

Non metastatik 

MYC 

amplifikasi (-) 

dan 

Non 

metastatik 

Non 

metastatik 

dan 

Chr 11 

loss(+) 

 

Tinggi 

(survival 50-

75%) 

 MYC 

amplifikasi(+) 

dan/atau 

Metastasis (+) 

 Non 

metastatik 

dan 

Chr 11 loss(-) 

 

Sangat 

Tinggi 

(survival 

<50%) 

 Mutasi TP53 

Metastasis(+/-) 

Metastasis(+) Metastasis(+)  

Tidak 

diketahui 

Metastasis 

(+) 

 Metastasis (-) 

dengan MYC 

amplifikasi, 

anaplasia, 

isokromosom

e 17q 

Anaplasia Melanotik 

meduloblastoma 

Medullomyoblasto

ma 

Indeterminate 

(grup 3/4) 

 

3.2.6.5.3. Radioterapi 

Panduan radioterapi pada meduloblastoma dewasa yaitu  sebagai berikut : 

 

 

103 

 

a. Risiko standar untuk terjadinya kekambuhan: (dosis konvensional) 30- 36 Gy 

craniospinal irradiation (CSI) dan boosting di area gross tumor atau fosa 

posterior (54-55,8 Gy) dengan atau tanpa kemoterapi tambahan. Dapat 

dipertimbangkan penurunan dosis radiasi bila ditambahkan kemoterapi menjadi: 

23,4 Gy CSI dan bosting area gross tumor atau fosa posterior hingga 54-55,8 

Gy.(260, 261, 263, 264) 

b. Risiko tinggi untuk kekambuhan : 36 Gy CSI dengan boosting area gross tumor 

atau fosa posterior hingga 54-55,8 Gy dengan kemoterapi tambahan.(261, 265-267) 

 

3.2.6.5.4. Kemoterapi 

Panduan pemberian kemoterapi pada meduloblastoma dewasa yaitu  sebagai 

berikut:(266, 268) 

a. Vinkristin mingguan selama terapi radiasi kraniospinal diikuti dengan salah satu 

regimen berikut:  

a) Cisplatin, siklofosfamid, dan vinkristin(263) 

b) Cisplatin, lomustine, dan vincristin(269) 

b. Terapi rekuren  

a) Belum a