TUMOR OTAK PRIMER
Insidens tumor di susunan saraf pusat tidaklah setinggi tumor-tumor sistemik lainnya,
namun merupakan 10 terbesar pemicu
kematian akibat keganasan sistemik Pasien
sering datang dalam keadaan tumor yang
sudah sangat besar, padahal tumor yang
ideal yaitu pada ukuran yang seminimal
mungkin sehingga akan memberikan luaran
yangbaik.
Tumor otak mempunyai beberapa keunikan sehingga memerlukan pendekatan yang
berbed,a dibanding keganasan di tempat
lain. Dengan lokasinya yang berada di rongga yang tertutup, maka semua jenis tumor
yang memicu lesi desak ruang akan
memicu defisit neurologis. Massa tumor juga dapat tumbuh di mana saja, sehingga walaupun ukurannya kecil, namun
jika berada di lokasi yang fungsional harus
segera ditatalaksana tanpa memperhatikan
derajat keganasannya. Selain itu, massa tumor juga memicu edema di sekitarnya
serta dapat menekan sistem ventrikel sehingga terjadi hidrosefalus, yang kesemuanya akan meningkatkan tekanan intrakranial
(TIK) dan mengancam nyawa.
Prinsip utama tumor secara umum yaitu
reseksi semaksimal mungkin, bahkan sampai tepi sayatan bebas tumor. Namun pada
tumor otak, hal ini tidak selalu dapat di-
lakukan, terutama jika tumor berada di area
yang fungsional, ukurannya terlalu besar,
atau sulit dijangkau. Adanya sawar darah
otak juga membatasi pilihan kemoterapi,
tidak seperti pada keganasan lain yang bisa
diberikan secara sistemik. Sementara otak
dan vertebra merupakan organ yang sering
menjadi target metastasis dari tumor lain.
Hal-hal ini mendasari pentingnya deteksi dini klinis kecurigaan adanya tumor
di SSP, baik primer maupun sekunder, oleh
karena PENGOBATAN pada massa yang berukuran kecil akan memberi prognosis yang
jauh lebih baik dibandingkan saat tumor sudah menimbulkan berbagai defisit neurologis.
EPIDEMIOLOGI
Secara umum berdasar data Central Brain
Tumor Registry of the United States (CBTRUS)
tahun 2007-2011, meningioma merupakan
tumor tersering, hingga lebih dari 35% dari
seluruh tumor otak primer usia dewasa,
diikuti glioblastoma (16%). Di Amerika
Serikat, tumor otak termasuk dalam 10 pemicu kematian tersering, yaitu 1,4% dari
seluruh keganasan dan 2,4% dari seluruh kematian akibat keganasan. Data Riset Kesehatan
Dasar (Riskesdas) 2013 tidak memberikan
keterangan spesifik mengenai angka kejadian
tumor otak di Indonesia. Namun, di Departemen Neurologi RSUPN Cipto Mangunkusumo,
selama tahun 2011-2015 didapatkan rerata
usia pasien 48 (18-74) tahun dengan proporsi
perempuan sedikit lebih banyak dibandingkan
laki-laki (55,6% vs 44,4%). Mayoritas tumor
primer yaitu astrositoma (47%) diikuti meningioma (26%). Data di RS Kanker Dharmais
pada tahun 1993-2012 menunjukkan insidens
tumor otak sebesar 1% dari seluruh keganasan, juga terutama golongan glioma (67,4%)
dan meningioma (16,3%).
· PATOFISIOLOGI
Pada prinsipnya tumor otak merupakan basil akhir dari onkogenesis, yaitu suatu proses
transformasi sel normal menjadi kanker. Hal
ini diakibatkan oleb ketidakseimbangan antara pembuatan sel-sel baru pada siklus sel
dengan bilangnya sel-sellama akibat kematian terprogram (apoptosis). Ketidakseimbangan ini merupakan basil dari mutasi
genetik pada 3 kelompok protein, yaitu 1)
protoonkogen, yang berperan pada pencetus
pertumbuban dan diferensiasi sel normal,
2) tumor suppressor genes, pengbambat pertumbuban dan pengatur apoptosis, serta 3)
kelompok gen perbaikan DNA. Mutasi protoonkogen disebut sebagai onkogen, mengbasilkan protein yang jumlahnya dalam batas
normal namun molekulnya mengalami mutasi
sehingga efek biologiknya tidak sama dengan
yang normal, atau dapat fungsinya normal
namun jumlahnya berlebihan.
Pertumbuhan sel yang abnormal secara
terus menerus akan memicu vaskularisasi dari pembuluh darah host tidak
mencukupi, sehingga terjadi hipoksia. Hal
ini memicu sel tumor mensekresi vascular endothelial growth factor (VEGF) untuk
merangsang pembentukan pembuluh darah
baru atau angiogenesis (Gambar 1). Selain
itu sel tumor memnsekresi sitokin proin-
flamasi yang memicu kerusakan pada
okludin, suatu protein tight junction antar
endotel. Hal ini memicu pembuluh darah yang terbentuk tidak sama morfologinya
dengan yang normal, antara lain hilangnya
tight junction an tar endotel dan tidak utuhnya membran basalis, yang disebut sebagai
keadaan rusaknya sawar darah otak (SDO)
atau blood brain barrier (BBB). Pada keadaan ini , terjadi ekstravasasi cairan
ke sekitar jaringan tumor (edema peri tumoral), sebagai suatu edema vasogenik. Hal
inilah yang memicu lesi desak ruang
menjadi peningkatan tekanan intrakranial,
adanya edema seiring dengan penambahan
ukuran massa tumornya.
Tumor glia atau glioma merupakan tumor
dari jaringan penunjang, seperti astrositoma berasal dari sel astrosit, oligodendroglioma dari oligodendrosit, dan ependimoma
dari sel ependim. Adapun meningioma berasal dari sel meningotel araknoid. Derajat
keganasan masing-masing tumor dinilai
menurut kriteria WHO berdasar tingkat
proliferasi dan keaktifan bermitosis, mulai
dari derajat I yang tingkat proliferasinya
paling rendah hingga derajat IV yang paling
aktifbermitosis dan dianggap ganas.
GEJALA DAN TANDA KLINIS
Gambaran klinis memang sangat bervariasi
tergantung pada letak tumor. Namun berdasar prinsip adanya efek desak ruang
dari massa yang tumbuh progresif di rongga
kompartemen tertutup, maka sebenarnya
anamnesis dan pemeriksaan fisik yang teliti
dapat menjadi alat deteksi dini yang efektif.
Alarm utama sistem saraf kita yaitu nyeri.
Dengan bertambahnya tekanan di intrakranial akibat massa di manapun letaknya, akan
terjadi peregangan meningen yang merangsang reseptor nyeri di sekitarnya dan memicu nyeri kepala. Gejala ini merupakan
gejala utama (90%) pada tumor intrakranial.
Semua gejala klinis tumor otak yaitu berlandaskan pada efek desak ruang. Tekanan
di intrakranial dipertahankan konstan sesuai dengan hukum Monroe Kelly dengan
memodifikasi aliran darah dan cairan serebrospinal. Oleh karena itu, penambahan
massa yang minimal masih dapat ditoleransi oleh otak dan belum memicu gejala.
Jika massa terus membesar, meningen akan
meregang sehingga merangsang reseptor
nyeri. Efek desak ruang bukan hanya ditimbulkan oleh massa, namun juga oleh edema
di sekitarnya, sehingga lebih mudah memicu peningkatan tekanan intrakranial
(Gambar 2). Selain itu, nyeri juga dapat memicu regangan pada pembuluh darah
dan sinus, sehingga bisa jadi nyeri hebat tidak sesuai dengan efek desak yang minimal.
Nyeri kepala akibat tumor intrakranial harus
bisa dibedakan dengan nyeri kepala primer.
Sesuai dengan pertumbuhan massa, maka
nyeri akan terasa makin lama makin berat,
terutama jika ada penambahan volume ke
intrakranial seperti setelah aktivitas fisik,
malam atau pagi hari, dan saat batuk atau
mengedan. Pada awal nyeri kepala masih hi- }
lang timbul, kemudian nyeri akan lebih sering,
terlokalisir pada satu area tertentu. Saat nyeri
menetap dan memberat berarti daya kompensasi otak sudah berkurang, biasanya mulai muncul defisit neurologis. Jika hal ini masih belum terdeteksi, maka bisa jadi pasien
datang dengan gejala peningkatan tekanan intrakranial, nyeri kepala hebat disertai muntah
serta penurunan kesadaran yang merupakan
tanda-tanda herniasi serebi (Gambar 2).
Pacta peningkatan volume intrakranial, di
manapun massanya, tekanan akan diteruskan ke segala arah, sehingga meregangkan meningen, termasuk saraf kranial yang
melintasinya. Nervus abdusens merupakan
saraf yang terpanjang melewati area subaraknoid di antara saraf kranial lainnya. Maka
pacta pasien-pasien dengan keluhan nyeri
kepala berulang bisa ditanyakan adanya keluhan pandangan ganda atau diplopia terutama saat melihat jauh, dilanjutkan dengan
pemeriksaan nervus VI yang teliti untuk
mencari adanya paresis secara minimal.
Demikian pula dengan nasib nervus optikus
yang begitu keluar dari rongga orbita langsung diselimuti oleh meningen. Tekanan
yang mulai meningkat secara progresif akan
memicu jeratan pacta nervus ini
sehingga terjadi papiledema.
Penilaian jaras visual dapat menjadi salah
satu alat penapis klinis oleh karena letaknya
yang membentang mulai dari bola mata di
bagian anterior hingga lobus oksipital di daerah posterior sebagai area persepsi visual.
Selain itu, ada pula radiasio optika yang
'mengisi' parenkim dari bagian tengah ke belakang, ke arah superior dan inferior. Maka
keluhan pandangan buram, pemeriksaan
visual, fundus, dan lapang pandang merupakan paket yang wajib dinilai untuk mendeteksi
adanya massa kecil di intrakranial.
Fungsi otak utama yaitu fungsi kognitif
yang bisa terlihat pada hampir semua area
di setiap lobus baik depan belakang, kanan
dan kiri mempunyai peran dalam fungsi
ini . Oleh karena itu, perubahan fungsi
kognitif sebenarnya dapat menjadi penapis
yang sering terlupakan oleh defisit neurologis lain yang terlihat secara kasat mata.
Gangguan kognitif sebagai awal gejala muncul hingga 30%, setara dengan sakit kepala,
lebih tinggi dibanding kelemahan motorik.
Pada pasien yang berpendidikan tinggi atau
masih aktif bekerja dapat ditanyakan kapan
mulai merasa aktivitasnya 'terganggu' atau
keluarga melihat adanya 'perbedaan' dalam
kegiatan sehari-hari, yang seminimal mungkin seperti gangguan atensi, perubahan
emosi, dan sebagainya. Hal ini dapat ditindaklanjuti minimal dengan pemeriksaan
Mini Mental Status Examination (MMSE),
Montreal Cognitive Assessment (MoCA) versi
Indonesia (MoCA-Ina) atau pemeriksaan
fungsi kognitif lengkap untuk memastikan
gangguannya.
Area otak yang juga cukup luas untuk dicari adanya efek desak ruang yaitu korteks
yang melapisi seluruh parenkim. Sesuai
dengan patofisiologinya, adanya lesi di
korteks dapat menimbulkan kejang. Keluhan ini bisa tidak disadari oleh pasien atau
keluarga karena bentuk kejang yang bisa
berbeda-beda sesuai dengan area yang terganggu sehingga perlu anamnesis tersendiri. Oleh karena itu, kejang pertama kali pada
usia dewasa atau tua tanpa demam harus
dicurigai adanya tumor di intrakranial yang
Tumor Otak Primer
membutuhkan pemeriksaan pencitraan lebih lanjut dengan pemberian kontras. Hal
ini biasanya terjadi pada tumor jenis oligodendroglioma atau astrositoma derajat rendah.
Diagnosa DAN Diagnosa BANDING
Diagnosa pasti tumor otak yaitu dengan
biopsi. Namun diperlukan anamnesis dan
pemeriksaan fisik untuk dapat membuat
dugaan tumor otak agar sebelumnya dapat
dilakukan pemeriksaan pencitraan baik CT
scan maupun MRI dengan pemberian zat kontras. Sesuai dengan patofisiologi terjadinya
kerusakan sawar darah otak oleh sel tumor,
maka zat kontras akan keluar dari pembuluh darah dan menunjukkan gambaran penyangatail. pada pencitraan. Oleh karena itu,
jika pencitraan dilakukan tanpa pemberian
zat kontras, maka gambaran lesinya menjadi
kurang jelas karakteristiknya untuk menentukan dugaan tumor atau bahkan lesinya menjadi
tidak terlihat
Anamnesis yang khas pada dugaan tumor
otak yaitu adanya gejala yang kronik progresif. berdasar patofisiologinya juga,
ada perbedaan gejala klinis pada tumor yang memicu efek desak ruang
dengan tumor yang terutama memicu
gangguan fungsional. Pada tumor yang memicu efek desak ruang, seperti meningioma atau astrositoma derajat tinggi,
gejala klinis biasanya dimulai dengan sakit
kepala dan diikuti defisit neurologis lainnya. Namun pada tumor yang terutama
memicu gangguan fungsional seperti
astrositoma derajat rendah, gejala biasanya
berupa kejang atau gangguan fungsi luhur
setelah beberapa lama, baru diikuti dengan
sakit kepala atau defisit neurologis lainnya.
Pemeriksaan fisik perlu dimulai dari tanda
vital untuk menentukan ada tidaknya tanda
peningkatan tekanan intrakranial. Pemeriksaan neurologis juga harus disertai funduskopi untuk menilai papiledema. Pada
tumor-tumor daerah khusus, seperti tumor
hipofisis, pineal atau serebelum, diperlukan
pemeriksaan neurooftalmologi untuk menilai adanya gangguan visus dan lapangan
pandang, deviasi konjugat, atau nistagmus.
Sistem lainnya yang juga penting mencakup
hampir seluruh area otak yaitu gangguan
fungsi luhur yang biasanya sering tidak terdeteksi. Pada meningioma lobus frontal yang
tumbuh perlahan-lahan, gangguan fungsi
luhur merupakan gejala utama sebelum
munculnya defisit neurologis klasik lainnya.
Pemeriksaan pencitraan merupakan pemeriksaan penunjang yang paling penting untuk
mempertajam dugaan Diagnosa . MRI dengan
segala fiturnya dapat membantu memberikan gambaran tumor dengan kecurigaan ganas berdasar kuatnya penyangatan kontras, densitas yang inhomogen, serta luasnya
edema peritumoral di sekitarnya. Demikian
pula berdasar letaknya di intraparenkim
(intra-aksial) dapat ditentukan kemungkinan suatu astrositoma atau di luar parenkim ( ekstra-aksial) sebagai meningioma,
schwannoma, dan metastasis leptomeningeal.
MRI lebih unggul dalam menggambarkan
kelainan struktural secara detil terutama
untuk lesi yang kecil, bukan hanya untuk
Diagnosa , namun juga penilaian pascaradioterapi dan adanya rekurensi. Walaupun
demikian, pada tumor-tumor yang menunjukkan gambaran kalsifikasi, seperti pada
oligodendroglioma, akan terlihat lebih jelas
pada CT scan dibanding MRI.
berdasar efek desak ruangnya, maka diagnosis banding tumor otak tersering yaitu
lesi lain yang memicu proses peningkatan tekanan intrakranial secara progresif,
seperti tuberkuloma, abses intrakranial, atau
toksoplasma ensefalitis. Oleh karena itu perlu dicari adanya tanda-tanda infeksi sistemik,
seperti tuberkulosis, human immunodeficiency virus (HIV), atau sumber infeksi lainnya dari telinga, hidung, gigi, dan sebagainya.
Selain anamnesis dan pemeriksaan fisik yang
teliti, dapat dilakukan pemeriksaan magnetic
resonance spectroscopy (MRS) bersamaan
dengan MRI untuk menilai metabolit infeksi
dan neoplasma berdasar rasio cholin dan
N-asetil-aspartat (NAA) di area lesi.
Pada tumor juga dapat terjadi perdarahan
akibat hipervaskularisasi yang rentan, sehingga memicu gejala klinis dan gambaran CT scan seperti stroke hemoragik Namun hal ini dapat dikenali jika didapatkan
anamnesis adanya sakit kepala sebelumnya,
sehingga dilakukan CT scan kepala dengan
kontras. Demikian pula adanya hiperkoagulasi pada keganasan dapat memicu
gejala akut seperti stroke (stroke-like syndrome). Adanya hiperkoagulasi semacam itu
biasanya ditemukan pada tumor metastasis
yang juga ada tumor primer di organ
lain, sehingga dapat dideteksi dari anamnesis dan pemeriksaan fisik yang teliti. Gejala
akut pada tumor otak primer juga dapat ditemukan pada pasien pascakejang yang mengalami edema peritumoral, sehingga didapatkan
defisit neurologis seolah-olah mendadak Namun hal ini juga dapat ditelaah dari anamnesis dengan menanyakan gejala soft sign yang
mungkin sudah ada sebelum kejang, seperti
gangguan fungsi luhur.
Kesemua Analisa terse but penting dilakukan
untuk mendapat dugaan yang lebih jelas, bukan hanya tumor otak secara umum, namun
termasuk kemungkinan jenisnya walaupun
belum dipastikan dengan biopsi. Hal itu terutama untuk edukasi terhadap pasien agar
mau dilakukan tindakan operatif. Dugaan ini
juga diperlukan termasuk untuk mempersiapkan pasien jika harus dirujuk ke kota besar yang membutuhkan dana dan dukungan
dari keluarga.
Tumor Otak Primer
KLASIFIKASI
berdasar kla~ifikasi WHO tahun 2007,
tumor otak digolongkan menurut temuan
histopatologis (Tabel 1). Namun saat ini klasifikasi WHO tahun 2016 dibedakan secara
biomolekular untuk kepentingan PENGOBATAN
dan prognosis, seperti adanya mutasi isocitrate dehydrogenase (IDH)-1 dan 2, serta p53.
Pada oligodendroglioma anaplastik dengan
delesi kromosom 1p mempunyai prognosis
yang lebih baik terhadap terapi dibandingkan
yang kromosom 1pnya intak (Tabel2).
berdasar epidemiologinya, tumor tersertng yaitu astrositoma dan meningioma.
Golongan astrositoma tersering yaitu derajat tinggi (high grade), terutama glioblastoma, sekitar 38% dari tumor otak keseluruhan. Tumor ini termasuk ganas, sehingga
gejala klinis biasanya dalam waktu hitungan
bulan dengan defisit neurologis yang berat,
serta gambaran MRI yang khas bisa berupa
kistik, nekrosis, atau perdarahan, dan edema yang luas. Prognosis biasanya buruk,
kecuali jika dapat dideteksi dini dan ditata
laksana segera dikatakan dapat memperpanjang kesintasan.
Meningioma merupakan tumor kedua tersertng, terutama pada perempuan, dikatakan
berkaitan dengan hormon estrogen dan progesteron. Mayorttas (90%) tumor ini jinak
( derajat I) dan mempunyai prognosis yang
baik jika dapat direseksi total. Mengingat letaknya yang dapat jauh di dalam, seperti daerah basis kranii a tau klivus, maka kadang terjadi residu tumor yang dapat memicu
rekurensi. Sejauh ini belum ada kemoterapi
yang tepat dan tumor juga tidak terlalu berespons terhadap radioterapi. laju tumbuhnya
yang sangat lambat, maka kadang pasien
dapat bertahan cukup lama dengan gejala
sisa yang minimal.
PENGOBATAN
Pada prinsipnya pada tumor otak terbagi
atas terapi simtomatik, definitif, dan paliatif.
Hal ini dilakukan secara bersama dalam tim
yang multidisiplin disertai pembicaraan untuk menentukan kesepakatan bersama. Untuk menjalani itu semua, pasien harus kuat
secara mental dengan dukungan penuh dart
keluarga. Pasien dengan tumor otak dapat
mengalami gangguan psikiatri hingga 78%,
baik bersifat organik akibat tumornya atau
fungsional yang berupa gangguan penyesuaian, depresi, dan ansietas. Hal ini dapat
menghambat proses terhadap pasien.
Oleh karena itu, diperlukan pendampingan
bersama dengan sejawat Psikiatri mulai
dari menyampaikan informasi tentang diagnosis dan keadaan pasien (breaking the bad
news) melalui pertemuan keluarga ffamily
meeting) dan pada tahap-tahap pengobatan
selanjutnya. Perlu juga dilakukan penilaian
fungsional memakai Karnofsky performance score (Tabel 3), saat awal masuk dan
keluar dart perawatan, untuk menentukan
prioritas terapi yang akan diberikan.
Terapi Simtomatik
Pasien dengan tumor otak bisa datang
dalam keadaan peningkatan TIK, sehingga
harus ditatalaksana segera. Perlu dilakukan
Analisa pemicu peningkatan tekanannya
segera berdasar gambaran klinis dan
imajing, karena berbeda tatalaksananya.
Gejala peningkatan TIK akibat ukuran masa
tumor yang besar biasanya berlangsung
secara perlahan dalam durasi yang lama
dalam hitungan minggu atau bulan, memerlukan tindakan operatif segera. Namun jika
gejala berlangsung singkat dalam hitungan
jam atau hari, maka peningkatan TIK biasanya disebabkan oleh edema peritumoral
atau hidrosefalus akibat sumbatan sistem
ventrikel. Bahkan peningkatannya juga bisa
berlangsung mendadak menyerupai gejala
stroke, yang ditemukan pada tumor berdarah seperti apopleksia hipofisis, astrositoma derajat tinggi yang kaya akan pembuluh
darah yang rapuh, atau tumor metastasis.
pemicu peningkatan TIK tersering yaitu
edema vasogenik, sesuai dengan patofisiologi
tumor untuk cenderung memicu edema di sekitarnya. Obat pilihan utama yaitu
kortikosteroid golongan deksametason dosis
tinggi, loading 10mg IV dilanjutkan dosis rumatan 16-20mgjhari dan dapat dinaikkan
dosisnya. Secara teori dosis maksimal bisa
hingga 96mgjhari, namun kenyataannya dosis 30mgjhari juga sudah berefek bermakna.
Pemberian antiedema ini sebenarnya bersifat
sementara sambil mempersiapkan pasien
untuk tindakan operatif. Namun kenyataannya persiapannya sering cukup lama.
Pacta pemberian lebih lebih dari 5-7 hari,
steroid tidak boleh dihentikan tiba-tiba
karena dapat memicu rebound phe-
Tumor Otuk Primer
nomenon, sehingga dilakukan penurunan
secara bertahap (tapering off). Penurunan
dilakukan sebanyak 20% dari dosis harian
setiap 3-5 hari tergantung keadaan klinis.
Sebaliknya dosis juga dapat dinaikkan jika
dianggap terjadi perburukan klinis akibat
edemanya. Manitol tidak dianjurkan diberikan karena dapat memperburuk edema,
kecuali bersamaan dengan deksametason
pada situasi yang berat atau pascaoperasi.
Hidrosefalus biasanya ditemukan akibat
penekanan ventrikel oleh tumor di daerah
sella, pineal, serebelum, atau intraventrikel
itu sendiri. Dapat dilakukan pemasangan
pirau ventrikuloperitoneal (ventricu/operitonealjVP shunt) segera untuk menurunkan TIK sebelum kemudian dilakukan reseksi
tumor pemicu nya. Pacta tumor berdarah,
dapat terjadi edema sitotoksik bercampur
dengan edema vasogenik, sehingga jika belum
terjadi perbaikan klinis yang signifikan setelah
pemberian deksametason dapat dilanjutkan
dengan pemberian manitol 25-SOmg dalam
solusio 20% intravena selama 10-20 menit.
Efek sam ping pemberian steroid yakni gangguan toleransi glukosa, stress-ulcer, miopati,
perubahan mood, peningkatan nafsu makan,
Cushingoid, dan sebagainya. Sebagian besar
dari efek samping ini bersifat reversibel apabila steroid dihentikan. Selain efek
samping, hal-hal yang perlu diperhatikan
dalam pemberian steroid yakni interaksi
obat. Kadar antikonvulsan serum, seperti
fenitoin dan karbamazepin dapat dipengaruhi oleh deksametason, sehingga membutuhkan pemantauan.
Epilepsi merupakan kelainan yang sering
ditemukan, 30% sebagai manifestasi awal
dengan bentuk bangkitan tersering yaitu
bangkitan fokal dengan atau tanpa perubahan menjadi umum sekunder. Oleh karena
tingginya tingkat rekurensi bangkitan, maka
harus diberikan obat antiepilepsi (OAE)
yang ditentukan berdasar pertimbangan
profil efek samping, interaksi obat, dan biaya. OAE golongan lama seperti fenitoin dan
karbamazepin kurang dianjurkan karena
dapat berinteraksi dengan deksametason
dan kemoterapi. Alternatif lain mencakup
levetirasetam, asam valproat, lamotrigin,
klobazam, topiramat, atau okskarbazepin.
Levetirasetam lebih dianjurkan (Level A)
dan memiliki profil efek sam ping yang lebih
baik dengan dosis antara 20-40mgjkgBB,
serta dapat dipakai pascakraniotomi.
Terapi Definitif
Tumor otak yaitu biopsi dan reseksi tumor.
Terutama pada tumor-tumor di ekstraaksial
seperti meningioma, PENGOBATAN utamanya
hanya reseksi luas beserta kapsulnya. Untuk
lokasi yang lebih dalam, dapat dilakukan
biopsi stereotaktik Semakin banyak tumor
yang dapat direseksi maka keluarannya
akan lebih baik Selain efek desak ruangnya
teratasi, kemungkinan untuk rekuren juga
lebih kecil. Oleh karena itu lebih disukai jika
tumor dapat diDiagnosa dalam ukuran kecil
berdasar deteksi dini.
Pada golongan astrositoma biasanya agak
sulit untuk menentukan batas tumor dengan
jaringan yang sehat, selalu ada sisa tumor
yang perlu ditidaklanjuti dengan radioterapi
atau kemoterapi, terutama pada astrositoma
derajat tinggi. Saat ini dengan perkembangan teknik operasi, pengambilan massa tumor bisa memakai neuronavigasi atau
zat fluoresens agar lebih akurat. Radioterapi
terutama dilakukan pada tumor-tumor yang
sensitif seperti tumor pineal, germ cell, astrositoma derajat tinggi, dan metastasis
otak Pada tumor yang letak dalam dilakukan
steretotactic radiotherapy atau radiosurgery.
Kemoterapi untuk tumor otak lebih terbatas
pilihannya, karena harus dapat menembus
sawar darah otak Tujuannya untuk menghambat pertumbuhan tumor dan meningkatkan kualitas hidup (quality of life) pasien
semaksimal mungkin. Sejauh ini yang menjadi pilihan yaitu temozolamid, untuk
glioblastoma dan metastasis. Kemoterapi
jenis alkylating agent ini dapat diberikan
tunggal sebagai kemoterapi dengan dosis
200mgjm2 /hari selama 5 hari yang dapat
diulang setiap 28 hari selama 6 siklus. Cara
pemberian dapat juga bersamaan dengan
radioterapi, yang berfungsi sebagai radiosensitizer dengan dosis 75mgjm2/hari selama 6 minggu. Selanjutnya dosis meningkat kenjadi 150-200mg/m2 /hari setiap 28
hari selama 6 siklus. Namun temozolamide
ini hanya akan berespons baik jika jaringan
tumor termasuk metilasi (bertambahnya
gugus metil) pada promotor 0-6-methylguanine-methyltransferase (MGMT), yang harus
dibuktikan dulu pada pemeriksaan jaringan
sebelum diberikan agen yang terse but.
Selain kemoterapi, ada beberapa agen
golongan targeted therapy yang bekerja
spesifik menghambat reseptor vascular endothelial growth factor (VEGF), yaitu bevacizumab, dan epidermal growth factor receptor (EGFR), yaitu nimotuzumab. Terapi ini
juga baru dapat diberikan pada astrositoma
derajat tinggi dengan mutasi EGFR yang
signifikan. Oleh karena cara kerjanya yang
spesifik, maka efek sampingnya juga lebih
minimal dibandingkan kemoterapi. Terapi Paliatif
Kata paliatif berasal dari bahasa Yunani
'pallium' yang berarti 'cloak' dalam bahasa
Inggris atau 'mantel' yang dimaksudkan untuk menutupi hal-hal yang tidak nyaman. Biasanya dilakukan setelah pasien menjalani
terapi definitif namun masih ada keluhan akibat gP.jala sisa tumornya. Terapi ini
juga diindikasikan jika pasien tidak dapat
dilakukan terapi definitif oleh karena ukuran tumor yang terlalu besar, kondisi buruk,
dan terlalu berisiko untuk dilakukan terapi
definitif. Penetapan terapi ini perlu disepakati
oleh semua tim secara multidisiplin bersama
dokter penanggung jawab utama, serta dokter gizi, rehabilitasi medik, psikiatri, dan
ahli terapi paliatif.
Pasien perlu penyesuaian terhadap gejala
sisanya untuk bisa kembali minimal beraktivitas mandiri. Biasanya gangguan berupa
kejang, nyeri, atau gangguan fungsi luhur
yang dapat diberikan terapi yang sesuai.
Dapat diberikan juga diberikan psikoterapi
suportif dan relaksasi yang akan membantu
pasien dan keluarga.
CONTOH KASUS
Laki-laki, usia 59 tahun mengeluh sakit
kepala dan kesulitan berkonsentrasi sejak
enam minggu sebelumnya. Sakit kepala dirasakan pada bagian kanan, terutama saat
malam hari setelah beraktivitas. Pasien juga
mengeluh sulit berkonsentrasi dan menurut istrinya, pasien menjadi lebih mudah
tersinggung dan terlihat bingung sejak sebulan terakhir ini. Tidak ada riwayat mengonsumsi minuman beralkohol atau riwayat terpapar dengan toksin sebelumnya.
Pada pemeriksaan fisik dan neurologis
Tumor Otak Primer
umum dalam batas normal, namun funduskepi didapatkan kesan early papiledema bilateral dan nilai MMSE=24.
Pertanyaan:
1. Apa kemungkinan Diagnosa pada pasien
di atas?
2. Apa pemeriksaan yang selanjutnya dibutuhkan pada pasien?
3. PENGOBATAN apa yang dibutuhkan pada
pasien?
Jawaban:
1. Tumor intrakranial jika tidak ada
keluhan sistemik dan dipikirkan topis lesi soliter, maka dapat dianggap
suatu tumor primer. Secara epidemiologi tumor primer tersering yaitu
astrositoma dan meningioma. Namun
mengingat onsetnya yang cepat, biasanya bukan meningioma, melainkan
astrositoma yang maligna, seperti derajat III atau IV (glioblastoma).
2. Pemeriksaan MRI kepala dengan kontras dan foto polos dada unutk menyingkirkan kemungkinan metastasis,
walaupun tetap bisa normal. Jika foto
polos ada kelainan, dilanjutkan dengan CT thoraks.
3. Kortikosteroid sesegera mungkin,
sementara menunggu biopsi dan reseksi massa tumor. Penilaian neurooftalmologi dan fungsi luhur sambil menunggu jadwal operasi, sebagai
data dasar sebelum dilakukan terapi.
TUMOR SPINAL
Tumor spinal dapat diklasifikasikan ke
dalam beberapa kelompok. Tumor spinal
dapat merupakan tumor primer atau metastasis. Tumor primer di spinal bisa berasal
dari jaringan tulang atau medula spinalis,
sedangkan metastasis berasal dari lokasi
di luar spinal, seperti payudara, paru, dan
pro stat.
Secara anatomi, tumor spinal dapat diklasifikasikan ke dalam tiga kelompok, yaitu
tumor ekstradural, ekstramedula, dan in- ·
tramedula. Adanya klasifikasi tumor spinal secara anatomi harus dipahami oleh
setiap klinisi karena sangat berguna dalam
melakukan pemeriksaan klinis, memilih
pemeriksaan penunjang yang tepat, menyusun rencana terapi, dan menentukan prognosis pasien.
Bab ini akan membahas tumor spinal secara
rinci, mulai dari klasifikasi tumor spinal,
jenis-jenis tumor beserta karakteristiknya,
pendekatan klinis yang harus dilakukan bila
bertemu pasien dengan Diagnosa klinis tumor spinal, dan tata laksananya.
EPIDEMIOLOGI
Tumor, primer medula spinalis tergolong
jarang ditemukan. Prevalensinya sekitar
4-8% dari total semua tumor di susunan
saraf pusat: Insidens tumor ini menurut
Central Brain Tumor Registry of the United
States (CBTRUS) antara tahun 1998-2002
yaitu 0,74/100.000 penduduk pertahun.
Studi ini juga menunjukkan bahwa sebesar
69% tumor primer medula spinalis bersifat jinak (nonmalignant). Distribusi tiga
besar gambaran histologi dari tumor primer
medula spinalis yaitu meningioma (29%),
tumor selubung saraf (24%), dan ependimoma (23%). Astrositoma hanya memiliki
frekuensi 6% pada studi ini. Selain itu, studi
ini juga menunjukkan bahwa menurut jenis
kelamin dan lokasi tumornya, insidens tumor
intradural ekstramedula lebih besar pada
perempuan (0,29/100.000) daripada lakilaki (0,09/100.000). Keadaan ini sebaliknya
ditemukan pada tumor intramedula, yaitu
insid(ms laki-laki (0,57 /100.000) lebih besar
daripada perempuan (0,45/100.000).
Studi epidemiologi lain di Jepang yang mengambil data pasien antara tahun 2000-2009
menunjukkan basil yang berbeda dengan
studi CBTRUS di atas. Pada studi ini, tiga besar
gambaran histologi yang paling sering ditemukan yaitu schwannoma (57,2%), meningioma
(11,6%), dan ependimoma (8%). Frekuensi
astrositoma hanya 1,3%. berdasar lokasinya, frekuensi tumor intradural ekstramedula (54,7%) lebih besar daripada tumor ·
intramedula (18,1 o/o).
Selain tumor primer, ada pula tumor
metastasis di spinal. Spinal merupakan
tempat sasaran paling sering perihal metastasis tumor primer. Sebanyak 95% dari
total keseluruhan pasien dengan tumor spinal yaitu tergolong metastasis. Sebanyak
500.000 pasien diperkirakan mengalami
metastasis tumor di spinal tiap tahunnya.
Sayangnya, hanya 64% pasien. metastasis
tumor spinal yang simptomatik, sedangkan
sisanya tidak memiliki keluhan dan ditemukan secara insidental.
KLASIFIKASI TUMOR SPINAL
Tumor spinal dapat diklasifikasikan menjadi tiga kategori menurut letak lesinya,
yaitu ekstradural, intradural ekstramedula,
dan intramedula (Gambar 1 dan 2). Masingmasing kategori dapat berupa tumor primer
atau metastasis. Namun, oleh karena tumor
metastasis spinal paling sering tergolong
ekstradural, maka tumor metastasis spinal
dimasukkan dalam kategori tumor ekstradural pada pembahasan selanjutnya.
Pemahaman mengenai anatomi meningen
medula spinalis, terutama dura mater (Gambar 3), sangat penting dalam kaitannya dengan klasifikasi tumor spinal berdasar
letak lesinya. Dura mater spinalis berasal
dari dua lapisan dura mater yang menyatu
pada rongga kranium, namun terpisah saat
memasuki kanalis spinalis.
Pada kanalis spinalis, dura mater terluar
menjadi periosteium kanalis spinalis. Adapun lapisan dalamnya membentuk sakus
duralis yang menyelubungi medula spinalis. Kedua lapisan dura mater ini kembali
menyatu di tempat keluarnya radiks nervi
spinalis dari kanalis spinalis. Ujung bawah
sakus duralis mengelilingi kauda ekuina
dan berakhir pada level S2. Selanjutnya,
sakus duralis membentuk filum terminal
dura mater (Gambar 4).
Tumor Ekstradural
1. Tumor Primer
Tumor primer ekstradural termasuk
dalam kumpulan tumor tulang. Tumor
primer tulang di spinal ini dapat bersifat jinak (hemangioma, osteoma osteoid,
dan kista tulang aneurisma) atau ganas
(plasmasitoma, kordoma, sarkoma
Ewing, osteosarkoma, dan kondrosar-
kama. Sebagian lain memiliki karakteristik jinak, namun bisa berkembang
menjadi ganas, misalnya osteoblastoma,
osteokondroma, dan giant cell tumor.
Lokasi tumor juga merupakan petunjuk
untuk lebih mengarahkan jenis tumor,
mengingat tumor primer ini dapat berlokasi di segmen anterior, eksentrik, atau
segmen posterior (Tabell).
Tumor-tumor primer ini pada umumnya
akan mendestruksi tulang vertebra . dan
memicu deformitas pada tulang
belakang (Gambar 2A). Selain deformitas, tumor primer ini juga menimbulkan
nyeri di tulang belakang. Nyeri ini biasa
dirasakan di malam hari dan tidak dipengaruhi perubahan posisi dan tetap
dirasakan saat pasien beristirahat. Defisit neurologis baru terjadi hila terjadi
ekstensi tumor yang mengkompresi medula spinalis atau radiks. Pada tumortumor yang tergolong jinak, perjalanan
penyakitnya relatif lebih lama daripada
tumor yang ganas. Hal ini memicu
pasien jarang datang menemui dokter di
awal perjalanan penyakit.
2. Metastasis
Sebagian besar pasien dengan tumor spinal merupakan metastasis. Oleh sebab
itu, klinisi harus memikirkan metastasis
dahulu ketimbang tumor primer pada
pasien tumor spinal. Metastasis tidak
hanya berlokasi di ekstradural, namun
juga di intradural ekstramedula dan intramedula dalam persentase yang kecil.
Oleh karena lokasi yang paling sering
menjadi tujuan metastasis yaitu ekstradural, maka tumor metastasis dimasukkan dalam kelompok tumor ekstradural.
Tumor primer yang sering bermetastasis
ke spinal antara lain, payudara (21%),
paru-paru (14%), prostat (7,5%), ginjal
(5,5%), gastrointestinal (5%), dan tiroid
(2,5%). Namun, ada pula basil penelitian
lain dengan komposisi urutan yang berbeda, namun kanker payudara dan paru
yang selalu mendominasi dari setiap
studi epidemiologi (Tabel 2).
Tumor Spinal
Lokasi metastasis tumor di spinal dapat
ditemukan di korpus vertebra (85%),
ruang paravertebra (10-15%), dan ruang epidural ( <5%). Oleh sebab itu, metastasis tumor di spinal secara anatomis
tergolong tumor ekstradural. Sepanjang
vertebra, metastasis tumor di spinal paling sering ditemukan di segmen torakal
(70%), kemudian diikuti lumbosakral
(20%), dan servikal (10%).
Tumor Intradural Ekstramedula
Kategori tumor ini berlokasi di dalam (intra) dura mater, namun di luar (ekstra) medula spinalis (Gambar 2B). Tumor intradural ekstramedula memiliki kekerapan
sekitar dua pertiga kasus tumor intradural.
Dari keseluruhan kategori tumor spinal ini,
sekitar 95% memiliki jenis schwannoma,
neurofibroma, meningioma, dan ependimoma filum terminal. Sisanya bisa berupa
metastasis, kista, dan paraganglioma.
1. Tumor Selubung Saraf (Nerve Sheath
Tumor)
Neurofibroma dan schwannoma terma
suk dalam jenis tumor selubung saraf
yang berlokasi di dalam dura mater, namun
di luar medula spinalis. Neurofibroma
biasa terjadi pada pasien dengan neurofibromatosis tipe 1. Tumor ini membentuk
massa fusiformis yang bercampur dengan
serabut saraf yang sehat, sehingga sulit
untuk melakukan diseksi tumor ini dari
jaringan saraf. Bila neurofibroma ditemukan multi pel, maka Diagnosa neurofibromatosis dapat ditegakkan. Berbeda dengan neurofibroma, tumor schwannoma
lebih sering ditemukan pada pasien dengan neurofibromatosis tipe 2.
2. Meningioma
Meningioma spinal biasanya tumbuh di
lateral kanalis spinalis, terutama daerah
dekat radiks dan ganglion radiks dorsalis.
Sekitar 40% tumor ekstramedula merupakan meningioma. Sepanjang vertebra,
tumor ini paling sering terjadi di segmen
torakal (sekitar 80%), kemudian diikuti
segmen servikal, dan lumbosakral. Tumor
ini biasanya tumbuh membentuk konfigurasi seperti bola yang memiliki perlekatan
dura mater. Oleh karena sifatnya yang cenderung tidak menginvasi pia mater, maka
tumor ini dapat direseksi dengan aman.
3. Ependimoma Filum Terminal
Selain tumor selubung saraf dan meningioma, sekitar 15% tumor ekstramedula
dapat berupa ependimoma miksopapilar.
Jenis tumor ini merupakan tumor yang paling sering tumbuh di daerah filum terminal.
Sesuai dengan namamnya, tumor ini memiliki tampilan susunan papilar dari sel epitel
kubus atau batang dengan kandungan kaya
musin. Walaupun tumor ini berasal dari
filum terminal, pertumbuhan tumor ini
dapat melibatkan radiks dari kauda ekuina.
Karakteristik lain dari tumor ini yaitu sifatnya yang bisa menyebarkan sel tumor ke
dalam ruang cairan spinal.
4. Tumor Ekstramedula Lainnya
Kondisi patologis lain yang bisa terjadi
di ruang intradural ekstramedula yaitu
kista (epidermoid, dermoid, dan lipoma),
paraganglioma, malformasi vaskular,
dan metastasis. Penelusuran ke arah metastasis leptomeningeal perlu dilakukan
hila ada pasien dengan Diagnosa kanker
sebelumnya dan ada massa di ruang
intradural ekstramedula.
Tumor Intramedula
Tumor intramedula merupakan tumor yang
berasal dari medula spinalis (Gambar 2C).
Sekitar 80% tumor intramedula tergolong
dalam tumor glial (astrositoma, ependimoma, ganglioma, dan oligodendroglioma).
Tumor intramedula yang paling sering ditemukan yaitu astrositoma, kemudian diikuti ependimoma, dan hemangioblastoma.
1. Astrositoma
Angka kejadian astrositoma di spinal
tergolong jarang, yaitu sekitar 3% dari
seluruh kasus astrositoma susunan saraf
pusat. Tumor ini dapat terjadi di segala
usia, namun paling sering terjadi pada
anak dan usia kurang dari 30 tahun.
Sepanjang tulang vertebra, tumor intramedula ini memiliki predileksi di segmen servikal atau servikotorakal.
2. Ependimoma
Berbeda dengan astrositoma yang merupakan tumor intramedula tersering di
anak, ependimoma yaitu tumor intral
medula yang sering ditemukan pada
orang dewasa. Hampir semua ependimoma termasuk tumor jinak, dengan
karakteristik berbatas tegas dan tidak
menginfiltrasi area sekitar.
3. Hemangioblastoma
Sekitar 3-8% tumor intramedula merupakan hemangioblastoma. Tumor ini berasal dari pembuluh darah yang berbatas
tegas, namun tidak berkapsul. Sebanyak
15-25% kasus berhubungan dengan penyakit von Hippel-Lindau yang diturunkan secara autosom dominan.
4. Tumor Intramedula Lainnya
Selain dari ketiga jenis tumor yang sering
ditemukan di atas, kelainan patologis
lain yang bisa terjadi yaitu metastasis,
kista, dan malformasi vaskular. Metastasis tumor paru dan payudara yaitu
yang paling sering ditemukan di medula
spinalis, dengan kekerapan kurang dari
5% dari total tumor intramedula.
PATOFISIOLOGI
Tumor Metastasis
Tumor metastasis di spinal sebagian besar
terletak di ekstradural. Oleh sebab itu, pembahasan kali ini menjelaskan bagaimana
tumor metastasis spinal ekstradural dapat
memicu keadaan patologis yang bermanifestasi klinis.
Sel tumor primer paling sering menyebar ke
spinal melalui sistem vena. Untuk dapat mencapai spinal, sel tumor sebelumnya melalui
sirkulasi di hati dan paru. Pada kondisi normal,
5-10% darah yang berada dalam sistem vena
porta dan vena kava mengalir ke sistem vena
Tumor Spinal
vertebra, yang berhubungan dengan pleksus
vena epidural. Pleksus vena epidural ini berada
di dalam kanalis spinalis dan tidak memiliki
katup. Batson pertama kali mengemukakan
bahwa pleksus vena epidural merupakan jalur
potensial penyebaran metastasis tumor primer
di spinal. Oleh sebab itu, Pleksus ini disebutjuga
pleksus Batson. Pleksus vena epidural (Batson)
ini terletak di ruang epidural, di antara kolumna spinalis dan dura mater medula spinalis. Aliran dari pleksus vena ini berhubungan dengan
vena kava superior dan inferior yang kemudian
membawa darah menuju jantung. Oleh karena
tidak ada katup di pleksus vena epidural, maka
setiap peningkatan tekanan di sistem vena
kava dapat memicu aliran balik ke pleksus vena epidural.
Selain metastasis melalui sistem vena, sel
tumor bisa juga menyebar ke spinal melalui sistem arteri dan limfatik. Penyebaran
melalui arteri dapat terjadi melalui arteriarteri yang memperdarahi korpus vertebra.
Contoh kasus pada tumor di paru yang bisa
menyebar ke spinal melalui arteri-arteri segmental. Berbeda dengan sistem arteri, penyebaran metastasis tumor melalui sistem
limfatik terjadi karena adanya saluran limfe
di dalam tulang vertebra. Sayangnya, penyebaran tumor melalui sistem ini masih perlu
diteliti lagi kepentingan klinisnya.
Selain cara-cara di atas, penyebaran langsung
tumor primer ke spinal sering juga ditemukan,
terutama untuk kasus tumor prostat. Tumor
yang berada di bagian retroperitoneal atau mediastinum dapat mengerosi korpus vertebra
secara langsung, atau masuk ke kanalis spinalis
melalui foramen neuralis.
Terjadinya metastasis ini tidak lepas dari struktur sumsum tulang yang berada di dalam korpus vertebra. Sumsum tulang memiliki sistem
pembuluh darah sinusoid yang biasanya memiliki tekanan rendah, sehingga darah cenderung
mengumpul (pooling) di daerah ini. Kondisi ini,
disertai adanya penumpukan fibrin dan proses
trombosis, sangat mendukung secara biokimia
dan hemodinamik bagi implantasi dan proliferasi sel-sel tumor. Selanjutnya, sel-sel tumor
menjadi mudah untuk keluar dari pembuluh
darah dan menginvasi jaringan tulang trabekular. Selain beberapa kondisi ini , ada
faktor intrinsik dari sel tumor primer yang
mendukung keberhasilan pertumbuhan sel tumor di dalam jaringan tulang, misalnya prostaglandin dan stimulasi faktor aktivasi osteoklas
pada metastasis sel kanker payudara yang memicu lesi litik pada tulang.
Sel~sel tumor metastasis yang telah menginvasi jaringan tulang trabekular kemudian
akan menghasilkan beberapa substansi yang
memicu resorpsi tulang secara langsung ataupun tidak langsung, antara lain hor-.
mon paratiroid, faktor aktivasi osteoklas, faktor pertumbuhan, dan prostaglandin. Dengan
adanya sekresi beberapa substansi ini oleh sel
tumor, maka terjadi peningkatan stimulasi osteoklas di jaringan tulang trabekular.
Setelah sel-sel tumor menginvasi jaringan
tulang trabekular, proses selanjutnya yaitu
invasi sel-sel tumor terhadap korteks tulang.
Hal ini bermanifestasi dengan adanya keterlibatan pedikel vertebra pada metastasis tumor
spinal. Adanya keterlibatan pedikel ini biasanya tidak bersifat primer, namun merupakan
akibat sekunder dari penyebaran langsung
dari korpus vertebra atau struktur tulang
lainnya (Gambar 5). Walaupun gambaran
awal metastasis pada radiografi foto polos
berupa kerusakan pedikel, sebenarnya korpus vertebra merupakan struktur pertama
yang biasa-nya lebih awal rusak. Hal ini didukung oleh fakta bahwa sekitar 30-50% korpus
vertebra telah mengalami kerusakan sebelum
kelainan ini dapatterdeteksi melalui radiografi
fotopolos.
Proses metastasis tumor spinal berlanjut dengan menginvasi ruang epidural. lnvasi ruang
epidural dapat terjadi melalui ligamen longitudinal posterior (Gambar 6). Ligamen ini
yaitu struktur yang paling lemah terhadap
penyebaran sel-sel tumor di tulang vertebra.
Sel-sel tumor metastasis di ruang epidural
menimbulkan efek desak massa yang dapat
mengkompresi medula spinalis beserta struktur pembuluh darahnya. Efek massa desak
pada medula spinalis ini m'enimbulkan demielinisasi atau degenerasi aksonal. Adapun
komponen vaskular yang turut terkompresi
memicu kongesti vena dan edema vasogenik medula spinalis. Adanya demielinisasi, degenerasi aksonal, dan edema vasogenik
pada medula spinalis inilah yang kemudian
bermanifestasi klinis sebagai defisit neurologis akibat metastasis tumor spinal.
Metastasis tumor juga dapat terjadi pada
daerah leptomeningeal, terutama pada keganasan hematopoietik, seperti limfoma
dan leukemia. Penyebaran ini biasanya terjadi secara hematogen atau infiltrasi langsung ke meningen (Gam bar 7), sehingga berada di ruang epidural/subdural (Gambar 6
(3) & (4)) dan menimbulkan gejala seperti
pada tumor intradural ekstramedula.
Tumor Primer
Tidak jauh berbeda dengan tumor metastasis
ekstradural, tumor primer spinal yang terletak intradural ekstramedula dan intramedula
memiliki efek desak massa jaringan sehat di
sekitarnya. Pada medula spinalis, invasi jaringan sehat oleh sel-sel tumor memicu efek desak massa medula spinalis. Efek
desak massa dari sel-sel tumor ini memicu demielinisasi dan degenerasi akson di
medula spinalis. Selain itu, terjadi pula stasis
aliran vena dan arteri di medula spinalis akibat efek desak massa ini. Kondisi ini selanjutnya menjadi edema vasogenik dan infark di
medula spinalis. Adanya edema vasogenik ini
tentunya akan menambah progresivitas efek
desak massa, sehingga kerusakan medula spinalis yang ditimbulkan menjadi semakin luas
dan ekstensif.
Mengingat setiap area di medula spina-
lis memiliki fungsi aferen dan eferen yang
menghubungkan antara otak dengan saraf
perifer, maka setiap lesi di medula spinalis
akan menimbulkan gangguan fungsi ini . Gangguan fungsi aferen dan eferen inilah yang bermanifestasi klinis sebagai defisit neurologis. Misalnya, efek desak massa
oleh sel-sel tumor di daerah jaras kortikospinal lateralis akan menimbulkan manifestasi kelemahan motorik.
GEJALA DAN TANDA KLINIS
Tumor Ekstradural
Perjalanan penyakit tumor ekstradural
seringkali progresif berkembang cepat. Gejala dan tanda klinis muncul akibat dari
kompresi medula spinalis. Karena letaknya
ekstradural (Gambar 8), maka jaringan tumor akan mengkompresi dura mater dari
arah luar ke dalam. Selain itu, fraktur patolo
gis juga sering ditemukan pacta tumor ekstradural yang membuat gejala awal berupa
nyeri yang disebut sebagai nyeri aksial vertebra. Nyeri ini terasa di sepanjang sumbu vertebra yang bersifat gradual, progresif, terusmenerus, tidak bersifat mekanik, dan sering
terjadi di malam hari. Nyeri biasanya bertambah parah saat pasien berbaring telentang, apalagi dalam durasi beberapa jam, kemudian membaik saat pasien berdiri. Seiring
progresi perkembangan tumor ekstradural,
efek desak massa selanjutnya akan mengenai
struktur radiks dan medula spinalis. Struktur
radiks yang terkena efek massa tumor menimbulkan gejala klinis nyeri radikular.
Selain nyeri, pasien dapat mengalami tandatanda kompresi lainnya, yaitu kelemahan ekstremitas, gangguan sensorik, dan disfungsi
otonom. Kelemahan ekstremitas umumnya
bersifat UMN pacta bagian tubuh yang dipersarafi oleh medula spinalis pacta level di
bawah lesi. Gangguan sensasi posisi, rasa
getar, gangguan diskriminasi dua titik dapat
terjadi bila kompresinya berasal dari arah
dorsal. Disfungsi miksi dan defekasi lebih
sering terjadi kemudian setelah kelemahan
Medula
:
Vertebra
Tumor Spinal
ekstremitas, namun bisa juga terjadi secara
bersamaan.
Tumor Intradural Ekstramedula
Lokasi tumor ini paling sering di sekitar radiks posterior, kemudian diikuti di sekitar radiks anterior. Oleh sebab lokasinya di sekitar
radiks, maka gejala awal yang sering ditemukan yaitu nyeri radikular. Sesuai namanya,
nyeri ini memiliki karakteristik penjalaran
nyeri sesuai distribusi radiks sensorik. Nyeri
ini bertambah parah dengan batuk, bersin,
atau mengedan. Seiring pertumbuhan tumor
yang membesar; kompresi akan semakin hertam bah pacta radiks dan medula spinalis.
Bila letak tumor lebih ke arah posterior; maka
proses kompresi akan mengenai kolumna posterior dan jaras piramidalis. Dengan demikian,
gejala berikutnya setelah nyeri radikular
yaitu gangguan propioseptif dan kelemahan
ekstremitas. Kelemahan ini bersifat asimetris antara lengan dan tungkai (lesi servikal)
dan antara kedua tungkai (lesi torakolumbal).
Gangguan sensorik juga dapat terjadi awalnya
ipsilateral, kemudian bilateral, dan berjalan
dari kaudal ke kranial hingga setinggi lesi.
Bila letak tumor lebih ke arah anterior, maka
kompresi dapat mengenai radiks anterior
pacta satu sisi atau kedua sisi. Hal ini dapat
memicu kelemahan ekstremitas tipe
LMN. Namun, kelemahan tipe UMN bisa saja
dijumpai apabila kompresinya sudah mengenai jaras piramidalis. Biasanya, kelemahan ekstremitas terjadi pacta ipsilateral lesi,
kemudian bilateral. Gangguan sensasi raba
kasar dapat muncul bila ada kompresi pacta
jaras spinotalamikus anterior. Bila tumornya terletak anterolateral, maka jaras spinotalamikus lateral dapat terkompresi dan
memicu gangguan sensasi nyeri dan
suhu pacta kontralateral lesi. Bila tumornya
terletak di filum terminal dan kauda ekuina,
maka gejala yang sering ditimbulkan yaitu
nyeri punggung yang memberat saat posisi telentang, kemudian disertai kelemahan
ekstremitas tungkai dan gangguan otonom
buang air besar dan berkemih. Baik lesi intradural ekstramedula di daerah anterior maupun posterior, disfungsi miksi dan defekasi
biasanya muncul belakangan saat kompresi
medula spinalis sudah lanjut dan progresif.
Tumor Intramedula
Lokasi tumor spinal di intramedula memiliki gambaran yang unik dan berbeda
dengan kedua kategori tumor sebelumnya
(Gam bar 9). Tumor intramedula jarang menimbulkan nyeri. Kalaupun ada, nyeri bersifat atipikal dengan lokalisasi difus. Gejala
awal yang sering ditemukan yaitu defisit
sensorik terdisosiasi. Gambaran unik lainnya yaitu pertumbuhan tumor intramedula sering bersifat longitudinal, sedangkan
tumor ekstramedula bersifat transversal.
Hal ini memicu gangguan sensorik
pacta tumor intramedula dapat mengalami
perubahan level (batas atas defisit sensorik), sedangkan level ini pacta tumor ekstramedula tetap konstan.
Selain itu, disfungsi miksi dan defekasi
dapat timbul di awal perjalanan penyakit.
Atrofi otot dapat ditemukan sebagai akibat
dari keterlibatan dari kornu anterior substansia grisea medula spinalis. Spastisitas
pacta ekstremitas dapat terjadi, walaupun
tidak seberat tumor ekstramedula.
Tumor Spinal di BeberapaLokasi Khusus
Selain ketiga kategori di atas, ada beberapa lokasi tumor spinal yang memiliki
gejala khusus, yaitu di servikal atas, foramen
magnum, dan lurnbal. Tumor spinal servikal
atas dapat memiliki gejala bulbar dan fasikulasi pada ekstremitas. Tumor spinal setinggi
foramen magnum dapat memiliki hipestesia setinggi dermatom C2 dan paresis N. XI
(nervus aksesorius). Tumor spinal di lumbal
dapat menimbulkan gejala dan tanda seperti
sindrom kauda ekuina atau konus medularis.
Pada tumor spinal, sindrom kauda ekuina
dapat terjadi karena keterlibatan radiks
nervi lumbalis dan sakralis di bawah konus
medularis. Pasien awalnya mengeluh nyeri
radikular sesuai distribusi nervus iskhiadikus dan nyeri pada kandung kemih. Setelah
nyeri, manifestasi klinis berikutnya yaitu
defisit semua modalitas sensorik pada tungkai, terutama pada perineum (saddle anaesthesia). Selain itu, kelemahan tungkai tipe
LMN dengan disertai inkontinensia urin dan
alvi dapat terjadi pada sindrom ini.
Konus medularis yaitu batas bawah dari
medula spinalis dan terletak setinggi kaTumor Spinal
nalis spinalis Ll. Lesi konus medularis
terisolasi menimbulkan beberapa defisit
neurologis1 antara lain, arefleksia detrusor
dengan retensi urin dan overflow incontinence, inkontinensia alvi, gangguan fungsi
seksual, saddle anaesthesia, dan biasanya
tanpa kelemahan motorik.
Diagnosa DAN Diagnosa BANDING
Diagnosa tumor spinal secara umum
ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan klinis, dan pemeriksaan penunjang,
sekaligus untuk mendapat tanda dan gejala klinis sesuai letak lesi (Tabel 3). Adapun
pemeriksaan penunjang berguna untuk
lebih memastikan Diagnosa dan menyingkirkan Diagnosa banding. Adapun diagnosis banding dari tumor spinal, antara
lain spondilitis, mielitis, multipel sklerosis, neuromielitis optik, mielopati akibat
proses autoimun, trauma medula spinalis,
dan proses degeneratif tulang, Pemeriksaan penunjang yang rutin dikerjakan pada
pasien tumor spinal yaitu pencitraan dan
pemeriksaan laboratorium, termasuk Analisa cairan otak.
Pencitraan
Foto polos dapat dikerjakan sebagai pemeriksaan awal pada pasien yang dicurigai tumor spinal. Gambaran tumor jinak atau ganas dapat dilihat dari pola destruksi tulang.
Pola geografis cenderung mengarah kepada
tumor jinak, sedangkan gambaran yang permeasi (moth-eaten appearance) mengarah
ke tumor ganas. Kelainan radiologis berupa
destruksi tulang tidak akan terdeteksi hingga kerusakan mineral tulang sudah menca-
pai 30-50%. Gambaran klasik dari adanya
tumor spinal yaitu hilangnya pedikel yang
dapat dilihat pacta proyeksi foto anteroposterior (AP), atau disebut juga winking owl
sign (Gambar 10). Bila erosi tulang sudah
berlanjut, maka dapat ditemukan gambaran
fraktur kompresi vertebra.
Pemeriksaan bone scan sering dilakukan
untuk mendeteksi keganasan di sistem
muskuloskeletal (Gambar 11). Pemeriksaan ini cocok untuk kasus pasien dengan
tumor primer dan pasien dengan gejala tumor spinal, namun belum diketahui tumor
primernya. Oleh sebab itu, pemeriksaan ini
lebih diutamakan untuk skrining karena nilai spesifisitas yang rendah. Jika bone scan
menunjukkan area terdispersi yang tersebar di beberapa tulang, maka Diagnosa nya
mengarah ke metastasis tumor. Jika bone
scan hanya menunjukkan sedikit tulang
yang terlibat, maka klinisi dapat memastikan kelainan ini dengan pemeriksaan
CT atau MRI.
Pemeriksaan CT scan sangat sensitif pada
perubahan mineral tulang dan dapat
menunjukkan proses destruksi tulang dengan resolusi lebih tinggi daripada foto po-
•
Tumor Spinal
los. Dengan demikian, pemeriksaan ini bisa
lebih dini menemukan kelainan destruksi
tulang akibat tumor. Namun, pemeriksaan
foto palos atau bone scan tetap perlu dilakukan sebelum CT scan untuk meningkatkan nilai diagnostik. Terapat dua peran
yang dimiliki CT scan dalam proses skrining
pasien dengan dugaan tumor spinal, yaitu
untuk menentukan lokasi, perluasan, dan
karakteristik lesi spinal serta menentukan apakah tumor telah menyebar ke paru
atau hati. Adanya lesi desak ruang di paru
atau parenkim hati, pembesaran kelenjar
getah bening, dan infiltrat atau efusi yang
tidak dapat dijelaskan, menunjukkan ke arah
ada-nya tumor primer yang bermetastasis ke
spinal.
Pemeriksaan MRI dapat menunjukkan gambaran struktur saraf dengan jelas, sehingga
dapat ditentukan lokasi lesi ekstradural,
intradural ekstramedula, dan intradural intramedula. Selain itu, pemeriksaan ini dapat
menunjukkan besarnya kompresi medula
spinalis dan perluasan tumor ke jaringan
lunak di sekitar tulang vertebra. MRI dapat
mendeteksi tumor berukuran kecil di dalam
kanalis spinalis karena adanya peningkatan
konten cairan intrasel dan ekstrasel akibat
tumor. Dengan pemeriksaan MRI, klinisi
dapat membedakan pemicu fraktur pato-logis akibat fraktur osteoporosis atau
proses keganasan. Karakteristik sel tumor
pada MRI yaitu hipointens pada T1 dan
hiperintensi pada T2. Pemberian kontras
gadolinium intravena akan memberi penyangatan yang kemudian akan membedakan jaringan normal dengan tumor. Pada
pemeriksaan MRI, lesi keganasan biasanya
melibatkan struktur pedikel, penyangatan
yang kuat, dan keterlibatan jaringan lunak
paravertebral. Di lain pihak, kompresi vertebra akibat osteoporosis tidak melibatkan
struktur pedikel dan jaringan lunak paravertebral.
Pemeriksaan Serologi dan Analisa Caii·an
Otak
Pemeriksaan serologi yang dapat dilakukan
pada metastasis tumor spinal antara lain
serum penanda tumor untuk skrining tumor
primer, yaitu PSA (prostat), CEA (kolorektal),
CA 125 (ovarium), CA 15-3 (payudara), dan
CYFRA 21-1 (paru). Pemeriksaan darah
lengkap, albumin, ureum, kreatinin, dan tes
fungsi liver dapat dikerjakan untuk evaluasi
kondisi sistemik pasien. Selain itu, protein
urin Bence-Jones untuk mendeteksi mieloma.
Peme-riksaan Analisa cairan otak dapat
352
dipakai untuk menyingkirkan Diagnosa
banding se-perti mielitis dan ensefalomielitis.
Pada kasus limfoma dengan keterlibatan
susunan saraf pusat, pungsi lumbal dilakukan
untuk peme-riksaan Analisa rutin dan sitologi
cairanotak
PENGOBATAN
Penanganan Gawat Darurat Kompresi
Medula Spinalis
Kompresi medula spinalis oleh proses keganasan merupakan keadaan emergensi
yang membutuhkan pertolongan segera
untuk mengatasi nyeri dan mencegah progresivitas defisit neurologis pasien. Tata laksananya meliputi pemberian kortikosteroid,
radioterapi, dan operasi.
Kortikosteroid masih banyak diberikan pada
pasien dengan kompresi medula spinalis
akibat keganasan, walaupun dosis idealnya
masih diperdebatkan. Pada prinsipnya, kortikosteroid dapat mengurangi edema vasogenik yang terjadi akibat kompresi medula
spinalis. Adapun dosis deksametason yang
sering diberikan yaitu 10-16mg IV bolus, ·
kemudian dilanjutkan 4-6mg tiap 4 jam. Dosis ini kemudian diturunkan selama radioterapi atau secepatnya pascaradioterapi.
Radioterapi diberikan pada kasus ini dengan kombinasi dengan kortikosteroid
seperti alinea di atas. Dosis yang diberikan
sebesar 30Gy dalam 10 fraksi. Radioterapi
dilakukan pada lesi utama dan diperluas
hingga 1 atau 2 korpus vertebra di atas dan
bawah dari lesi utama. Radiasi yang diberikan lebih dari 30Gy tidak menunjukkan luaran yang semakin baik
Operasi diindikasikan hila ada instabilitas spinal. Faktor-faktor yang mengarah ke
instabilitas spinal antara lain lokasi di persambungan (oksiput-C2, C7-Th2, Th11-L1,
LS-Sl), ada lesi litik, adanya subluksasi/
listesis, kolaps korpus vertebra >50%, dan
destruksi pedikel bilateral. Beberapa hal perlu
dipertimbangkan sebelum menjalani operasi
pada pasien kompresi medula spinalis akibat
keganasan, antara lain kondisi medis lain secara umum dan prognosis secara keseluruhan. Misalnya, pasien dengan tumor metastasis
spinal yang radiosensitif, metastasis sudah
menyebar ke beberapa tempat, harapan hid up
yang pendek, dan kondisi medis yang berat,
lebih dianjurkan untuk radioterapi dan pemberian steroid daripada operasi.
Penanganan Nyeri
Nyeri pada tumor spinal merupakan salah
satu jenis nyeri kanker yang ditandai dengan
kombinasi nyeri nosiseptif dan neuropatik.
Nyeri pada tumor spinal berhubungan dengan beberapa hal, yaitu proses sekunder
dari keterlibatan tumor di korpus vertebra,
fraktur kompresi, kompresi medula spinalis, atau infiltrasi radiks. PENGOBATAN farmakologi nyeri pada tumor spinal ini sama
dengan nyeri kanker pada umumnya, yang
pembahasannya dapat dilihat pada topik
nyeri kanker atciu nyeri neuropatik.
Radioterapi
Tumor spinal yang tergolong radiosensitif
antara lain, plasmasitoma, mieloma multipel,
dan metastasis tumor spinal dari payudara,
prostat, dan small cell lung cancer. Pada sebagian besar kasus lain, rekomendasinya yaitu
radioterapi eksternal pascaoperasi reseksi tumor. Radioterapi praoperasi dapat dilakukan
bertujuan untuk mengecilkan massa tumor.
Namun, radioterapi praoperasiharus diperhatikan karena dapat meningkatkan risiko infeksi dan masalah penyembuhan luka.
Tumor Spinal
Kemoterapi
Kemoterapi dapat diberikan sebelum atau
setelah operasi. Pada keterlibatan sarkomatosa di spinal, kemoterapi praoperasi
dapat memfasilitasi tindakan reseksi tumor. Pada sebagian besar kasus lain, kemoterapi kombinasi pascaoperasi diberikan pada tumor ganas spinal.
Rehabilitasi
Selain PENGOBATAN di atas, aspek rehabilitasi juga perlu diperhatikan demi kualitas
_ hidup pasien yang baik. Salah satu bentuk rehabilitasi yang dapat diberikan pada
pasien kanker yaitu korset spinal. Korset
memberikan dukungan eksternal tambahan
pada segmen spinal yang fungsinya terganggu karena tumor. Tujuan pemakaian korset
spinal antara lain restriksi gerakan, penyejajaran (alignment) spinal, dan dukungan
aksial badan. Namun, pemakaian korset
bukannya tanpa kontroversi. Kegunaan korset dalam mencapai tujuannya dipengaruhi
oleh ketebalan jaringan lunak yang be