Tampilkan postingan dengan label neurologi 25. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label neurologi 25. Tampilkan semua postingan

neurologi 25

 













TUMOR OTAK PRIMER 


Insidens tumor di susunan saraf pusat tidaklah setinggi tumor-tumor sistemik lainnya, 

namun  merupakan 10 terbesar pemicu  

kematian akibat keganasan sistemik Pasien 

sering datang dalam keadaan tumor yang 

sudah sangat besar, padahal tumor yang 

ideal yaitu  pada ukuran yang seminimal 

mungkin sehingga akan memberikan luaran 

yangbaik. 

Tumor otak mempunyai beberapa keunikan sehingga memerlukan pendekatan yang 

berbed,a dibanding keganasan di tempat 

lain. Dengan lokasinya yang berada di rongga yang tertutup, maka semua jenis tumor 

yang memicu lesi desak ruang akan 

memicu defisit neurologis. Massa tumor juga dapat tumbuh di mana saja, sehingga walaupun ukurannya kecil, namun  

jika berada di lokasi yang fungsional harus 

segera ditatalaksana tanpa memperhatikan 

derajat keganasannya. Selain itu, massa tumor juga memicu edema di sekitarnya 

serta dapat menekan sistem ventrikel sehingga terjadi hidrosefalus, yang kesemuanya akan meningkatkan tekanan intrakranial 

(TIK) dan mengancam nyawa. 

Prinsip utama tumor secara umum yaitu  

reseksi semaksimal mungkin, bahkan sampai tepi sayatan bebas tumor. Namun pada 

tumor otak, hal ini tidak selalu dapat di-

 

lakukan, terutama jika tumor berada di area 

yang fungsional, ukurannya terlalu besar, 

atau sulit dijangkau. Adanya sawar darah 

otak juga membatasi pilihan kemoterapi, 

tidak seperti pada keganasan lain yang bisa 

diberikan secara sistemik. Sementara otak 

dan vertebra merupakan organ yang sering 

menjadi target metastasis dari tumor lain. 

Hal-hal ini  mendasari pentingnya deteksi dini klinis kecurigaan adanya tumor 

di SSP, baik primer maupun sekunder, oleh 

karena PENGOBATAN pada massa yang berukuran kecil akan memberi prognosis yang 

jauh lebih baik dibandingkan saat tumor sudah menimbulkan berbagai defisit neurologis. 

EPIDEMIOLOGI 

Secara umum berdasar  data Central Brain 

Tumor Registry of the United States (CBTRUS) 

tahun 2007-2011, meningioma merupakan 

tumor tersering, hingga lebih dari 35% dari 

seluruh tumor otak primer usia dewasa, 

diikuti glioblastoma (16%). Di Amerika 

Serikat, tumor otak termasuk dalam 10 pemicu  kematian tersering, yaitu 1,4% dari 

seluruh keganasan dan 2,4% dari seluruh kematian akibat keganasan. Data Riset Kesehatan 

Dasar (Riskesdas) 2013 tidak memberikan 

keterangan spesifik mengenai angka kejadian 

tumor otak di Indonesia. Namun, di Departemen Neurologi RSUPN Cipto Mangunkusumo, 

selama tahun 2011-2015 didapatkan rerata  

usia pasien 48 (18-74) tahun dengan proporsi 

perempuan sedikit lebih banyak dibandingkan 

laki-laki (55,6% vs 44,4%). Mayoritas tumor 

primer yaitu  astrositoma (47%) diikuti meningioma (26%). Data di RS Kanker Dharmais 

pada tahun 1993-2012 menunjukkan insidens 

tumor otak sebesar 1% dari seluruh keganasan, juga terutama golongan glioma (67,4%) 

dan meningioma (16,3%). 

· PATOFISIOLOGI 

Pada prinsipnya tumor otak merupakan basil akhir dari onkogenesis, yaitu suatu proses 

transformasi sel normal menjadi kanker. Hal 

ini diakibatkan oleb ketidakseimbangan antara pembuatan sel-sel baru pada siklus sel 

dengan bilangnya sel-sellama akibat kematian terprogram (apoptosis). Ketidakseimbangan ini merupakan basil dari mutasi 

genetik pada 3 kelompok protein, yaitu 1) 

protoonkogen, yang berperan pada pencetus 

pertumbuban dan diferensiasi sel normal, 

2) tumor suppressor genes, pengbambat pertumbuban dan pengatur apoptosis, serta 3) 

kelompok gen perbaikan DNA. Mutasi protoonkogen disebut sebagai onkogen, mengbasilkan protein yang jumlahnya dalam batas 

normal namun  molekulnya mengalami mutasi 

sehingga efek biologiknya tidak sama dengan 

yang normal, atau dapat fungsinya normal 

namun  jumlahnya berlebihan. 

Pertumbuhan sel yang abnormal secara 

terus menerus akan memicu vaskularisasi dari pembuluh darah host tidak 

mencukupi, sehingga terjadi hipoksia. Hal 

ini memicu sel tumor mensekresi vascular endothelial growth factor (VEGF) untuk 

merangsang pembentukan pembuluh darah 

baru atau angiogenesis (Gambar 1). Selain 

itu sel tumor memnsekresi sitokin proin-

 

flamasi yang memicu kerusakan pada 

okludin, suatu protein tight junction antar 

endotel. Hal ini memicu pembuluh darah yang terbentuk tidak sama morfologinya 

dengan yang normal, antara lain hilangnya 

tight junction an tar endotel dan tidak utuhnya membran basalis, yang disebut sebagai 

keadaan rusaknya sawar darah otak (SDO) 

atau blood brain barrier (BBB). Pada keadaan ini , terjadi ekstravasasi cairan 

ke sekitar jaringan tumor (edema peri tumoral), sebagai suatu edema vasogenik. Hal 

inilah yang memicu lesi desak ruang 

menjadi peningkatan tekanan intrakranial, 

adanya edema seiring dengan penambahan 

ukuran massa tumornya. 

Tumor glia atau glioma merupakan tumor 

dari jaringan penunjang, seperti astrositoma berasal dari sel astrosit, oligodendroglioma dari oligodendrosit, dan ependimoma 

dari sel ependim. Adapun meningioma berasal dari sel meningotel araknoid. Derajat 

keganasan masing-masing tumor dinilai 

menurut kriteria WHO berdasar  tingkat 

proliferasi dan keaktifan bermitosis, mulai 

dari derajat I yang tingkat proliferasinya 

paling rendah hingga derajat IV yang paling 

aktifbermitosis dan dianggap ganas. 

GEJALA DAN TANDA KLINIS 

Gambaran klinis memang sangat bervariasi 

tergantung pada letak tumor. Namun berdasar  prinsip adanya efek desak ruang 

dari massa yang tumbuh progresif di rongga 

kompartemen tertutup, maka sebenarnya 

anamnesis dan pemeriksaan fisik yang teliti 

dapat menjadi alat deteksi dini yang efektif. 

Alarm utama sistem saraf kita yaitu  nyeri. 

Dengan bertambahnya tekanan di intrakranial akibat massa di manapun letaknya, akan  

terjadi peregangan meningen yang merangsang reseptor nyeri di sekitarnya dan memicu nyeri kepala. Gejala ini merupakan 

gejala utama (90%) pada tumor intrakranial. 

Semua gejala klinis tumor otak yaitu  berlandaskan pada efek desak ruang. Tekanan 

di intrakranial dipertahankan konstan sesuai dengan hukum Monroe Kelly dengan 

memodifikasi aliran darah dan cairan serebrospinal. Oleh karena itu, penambahan 

massa yang minimal masih dapat ditoleransi oleh otak dan belum memicu gejala. 

Jika massa terus membesar, meningen akan 

meregang sehingga merangsang reseptor 

nyeri. Efek desak ruang bukan hanya ditimbulkan oleh massa, namun juga oleh edema 

di sekitarnya, sehingga lebih mudah memicu peningkatan tekanan intrakranial 

(Gambar 2). Selain itu, nyeri juga dapat memicu regangan pada pembuluh darah 

 

dan sinus, sehingga bisa jadi nyeri hebat tidak sesuai dengan efek desak yang minimal. 

Nyeri kepala akibat tumor intrakranial harus 

bisa dibedakan dengan nyeri kepala primer. 

Sesuai dengan pertumbuhan massa, maka 

nyeri akan terasa makin lama makin berat, 

terutama jika ada penambahan volume ke 

intrakranial seperti setelah aktivitas fisik, 

malam atau pagi hari, dan saat batuk atau 

mengedan. Pada awal nyeri kepala masih hi- } 

lang timbul, kemudian nyeri akan lebih sering, 

terlokalisir pada satu area tertentu. Saat nyeri 

menetap dan memberat berarti daya kompensasi otak sudah berkurang, biasanya mulai muncul defisit neurologis. Jika hal ini masih belum terdeteksi, maka bisa jadi pasien 

datang dengan gejala peningkatan tekanan intrakranial, nyeri kepala hebat disertai muntah 

serta penurunan kesadaran yang merupakan 

tanda-tanda herniasi serebi (Gambar 2).  

Pacta peningkatan volume intrakranial, di 

manapun massanya, tekanan akan diteruskan ke segala arah, sehingga meregangkan meningen, termasuk saraf kranial yang 

melintasinya. Nervus abdusens merupakan 

saraf yang terpanjang melewati area subaraknoid di antara saraf kranial lainnya. Maka 

pacta pasien-pasien dengan keluhan nyeri 

kepala berulang bisa ditanyakan adanya keluhan pandangan ganda atau diplopia terutama saat melihat jauh, dilanjutkan dengan 

pemeriksaan nervus VI yang teliti untuk 

mencari adanya paresis secara minimal. 

Demikian pula dengan nasib nervus optikus 

 

yang begitu keluar dari rongga orbita langsung diselimuti oleh meningen. Tekanan 

yang mulai meningkat secara progresif akan 

memicu jeratan pacta nervus ini  

sehingga terjadi papiledema. 

Penilaian jaras visual dapat menjadi salah 

satu alat penapis klinis oleh karena letaknya 

yang membentang mulai dari bola mata di 

bagian anterior hingga lobus oksipital di daerah posterior sebagai area persepsi visual. 

Selain itu, ada pula radiasio optika yang 

'mengisi' parenkim dari bagian tengah ke belakang, ke arah superior dan inferior. Maka 

keluhan pandangan buram, pemeriksaan 

 visual, fundus, dan lapang pandang merupakan paket yang wajib dinilai untuk mendeteksi 

adanya massa kecil di intrakranial. 

Fungsi otak utama yaitu  fungsi kognitif 

yang bisa terlihat pada hampir semua area 

di setiap lobus baik depan belakang, kanan 

dan kiri mempunyai peran dalam fungsi 

ini . Oleh karena itu, perubahan fungsi 

kognitif sebenarnya dapat menjadi penapis 

yang sering terlupakan oleh defisit neurologis lain yang terlihat secara kasat mata. 

Gangguan kognitif sebagai awal gejala muncul hingga 30%, setara dengan sakit kepala, 

lebih tinggi dibanding kelemahan motorik. 

Pada pasien yang berpendidikan tinggi atau 

masih aktif bekerja dapat ditanyakan kapan 

mulai merasa aktivitasnya 'terganggu' atau 

keluarga melihat adanya 'perbedaan' dalam 

kegiatan sehari-hari, yang seminimal mungkin seperti gangguan atensi, perubahan 

emosi, dan sebagainya. Hal ini dapat ditindaklanjuti minimal dengan pemeriksaan 

Mini Mental Status Examination (MMSE), 

Montreal Cognitive Assessment (MoCA) versi 

Indonesia (MoCA-Ina) atau pemeriksaan 

fungsi kognitif lengkap untuk memastikan 

gangguannya. 

Area otak yang juga cukup luas untuk dicari adanya efek desak ruang yaitu  korteks 

yang melapisi seluruh parenkim. Sesuai 

dengan patofisiologinya, adanya lesi di 

korteks dapat menimbulkan kejang. Keluhan ini bisa tidak disadari oleh pasien atau 

keluarga karena bentuk kejang yang bisa 

berbeda-beda sesuai dengan area yang terganggu sehingga perlu anamnesis tersendiri. Oleh karena itu, kejang pertama kali pada 

usia dewasa atau tua tanpa demam harus 

dicurigai adanya tumor di intrakranial yang 

 

Tumor Otak Primer 

membutuhkan pemeriksaan pencitraan lebih lanjut dengan pemberian kontras. Hal 

ini biasanya terjadi pada tumor jenis oligodendroglioma atau astrositoma derajat rendah. 

Diagnosa  DAN Diagnosa  BANDING 

Diagnosa  pasti tumor otak yaitu  dengan 

biopsi. Namun diperlukan anamnesis dan 

pemeriksaan fisik untuk dapat membuat 

dugaan tumor otak agar sebelumnya dapat 

dilakukan pemeriksaan pencitraan baik CT 

scan maupun MRI dengan pemberian zat kontras. Sesuai dengan patofisiologi terjadinya 

kerusakan sawar darah otak oleh sel tumor, 

maka zat kontras akan keluar dari pembuluh darah dan menunjukkan gambaran penyangatail. pada pencitraan. Oleh karena itu, 

jika pencitraan dilakukan tanpa pemberian 

zat kontras, maka gambaran lesinya menjadi 

kurang jelas karakteristiknya untuk menentukan dugaan tumor atau bahkan lesinya menjadi 

tidak terlihat 

Anamnesis yang khas pada dugaan tumor 

otak yaitu  adanya gejala yang kronik progresif. berdasar  patofisiologinya juga, 

ada perbedaan gejala klinis pada tumor yang memicu efek desak ruang 

dengan tumor yang terutama memicu 

gangguan fungsional. Pada tumor yang memicu efek desak ruang, seperti meningioma atau astrositoma derajat tinggi, 

gejala klinis biasanya dimulai dengan sakit 

kepala dan diikuti defisit neurologis lainnya. Namun pada tumor yang terutama 

memicu gangguan fungsional seperti 

astrositoma derajat rendah, gejala biasanya 

berupa kejang atau gangguan fungsi luhur 

setelah beberapa lama, baru diikuti dengan 

sakit kepala atau defisit neurologis lainnya.  

Pemeriksaan fisik perlu dimulai dari tanda 

vital untuk menentukan ada tidaknya tanda 

peningkatan tekanan intrakranial. Pemeriksaan neurologis juga harus disertai funduskopi untuk menilai papiledema. Pada 

tumor-tumor daerah khusus, seperti tumor 

hipofisis, pineal atau serebelum, diperlukan 

pemeriksaan neurooftalmologi untuk menilai adanya gangguan visus dan lapangan 

pandang, deviasi konjugat, atau nistagmus. 

Sistem lainnya yang juga penting mencakup 

hampir seluruh area otak yaitu  gangguan 

fungsi luhur yang biasanya sering tidak terdeteksi. Pada meningioma lobus frontal yang 

tumbuh perlahan-lahan, gangguan fungsi 

luhur merupakan gejala utama sebelum 

munculnya defisit neurologis klasik lainnya. 

Pemeriksaan pencitraan merupakan pemeriksaan penunjang yang paling penting untuk 

mempertajam dugaan Diagnosa . MRI dengan 

segala fiturnya dapat membantu memberikan gambaran tumor dengan kecurigaan ganas berdasar  kuatnya penyangatan kontras, densitas yang inhomogen, serta luasnya 

edema peritumoral di sekitarnya. Demikian 

pula berdasar  letaknya di intraparenkim 

(intra-aksial) dapat ditentukan kemungkinan suatu astrositoma atau di luar parenkim ( ekstra-aksial) sebagai meningioma, 

schwannoma, dan metastasis leptomeningeal. 

MRI lebih unggul dalam menggambarkan 

kelainan struktural secara detil terutama 

untuk lesi yang kecil, bukan hanya untuk 

Diagnosa , namun juga penilaian pascaradioterapi dan adanya rekurensi. Walaupun 

demikian, pada tumor-tumor yang menunjukkan gambaran kalsifikasi, seperti pada 

oligodendroglioma, akan terlihat lebih jelas 

pada CT scan dibanding MRI. 

 

berdasar  efek desak ruangnya, maka diagnosis banding tumor otak tersering yaitu  

lesi lain yang memicu proses peningkatan tekanan intrakranial secara progresif, 

seperti tuberkuloma, abses intrakranial, atau 

toksoplasma ensefalitis. Oleh karena itu perlu dicari adanya tanda-tanda infeksi sistemik, 

seperti tuberkulosis, human immunodeficiency virus (HIV), atau sumber infeksi lainnya dari telinga, hidung, gigi, dan sebagainya. 

Selain anamnesis dan pemeriksaan fisik yang 

teliti, dapat dilakukan pemeriksaan magnetic 

resonance spectroscopy (MRS) bersamaan 

dengan MRI untuk menilai metabolit infeksi 

dan neoplasma berdasar  rasio cholin dan 

N-asetil-aspartat (NAA) di area lesi. 

Pada tumor juga dapat terjadi perdarahan 

akibat hipervaskularisasi yang rentan, sehingga memicu gejala klinis dan gambaran CT scan seperti stroke hemoragik Namun hal ini dapat dikenali jika didapatkan 

anamnesis adanya sakit kepala sebelumnya, 

sehingga dilakukan CT scan kepala dengan 

kontras. Demikian pula adanya hiperkoagulasi pada keganasan dapat memicu 

gejala akut seperti stroke (stroke-like syndrome). Adanya hiperkoagulasi semacam itu 

biasanya ditemukan pada tumor metastasis 

yang juga ada tumor primer di organ 

lain, sehingga dapat dideteksi dari anamnesis dan pemeriksaan fisik yang teliti. Gejala 

akut pada tumor otak primer juga dapat ditemukan pada pasien pascakejang yang mengalami edema peritumoral, sehingga didapatkan 

defisit neurologis seolah-olah mendadak Namun hal ini juga dapat ditelaah dari anamnesis dengan menanyakan gejala soft sign yang 

mungkin sudah ada sebelum kejang, seperti 

gangguan fungsi luhur.  

Kesemua Analisa  terse but penting dilakukan 

untuk mendapat dugaan yang lebih jelas, bukan hanya tumor otak secara umum, namun 

termasuk kemungkinan jenisnya walaupun 

belum dipastikan dengan biopsi. Hal itu terutama untuk edukasi terhadap pasien agar 

mau dilakukan tindakan operatif. Dugaan ini 

juga diperlukan termasuk untuk mempersiapkan pasien jika harus dirujuk ke kota besar yang membutuhkan dana dan dukungan 

dari keluarga. 

Tumor Otak Primer 

KLASIFIKASI 

berdasar  kla~ifikasi WHO tahun 2007, 

tumor otak digolongkan menurut temuan 

histopatologis (Tabel 1). Namun saat ini klasifikasi WHO tahun 2016 dibedakan secara 

biomolekular untuk kepentingan PENGOBATAN 

dan prognosis, seperti adanya mutasi isocitrate dehydrogenase (IDH)-1 dan 2, serta p53. 

Pada oligodendroglioma anaplastik dengan 

delesi kromosom 1p mempunyai prognosis 

yang lebih baik terhadap terapi dibandingkan 

yang kromosom 1pnya intak (Tabel2). 

berdasar  epidemiologinya, tumor tersertng yaitu  astrositoma dan meningioma. 

Golongan astrositoma tersering yaitu  derajat tinggi (high grade), terutama glioblastoma, sekitar 38% dari tumor otak keseluruhan. Tumor ini termasuk ganas, sehingga 

gejala klinis biasanya dalam waktu hitungan 

bulan dengan defisit neurologis yang berat, 

serta gambaran MRI yang khas bisa berupa 

kistik, nekrosis, atau perdarahan, dan edema yang luas. Prognosis biasanya buruk, 

kecuali jika dapat dideteksi dini dan ditata 

laksana segera dikatakan dapat memperpanjang kesintasan. 

Meningioma merupakan tumor kedua tersertng, terutama pada perempuan, dikatakan 

berkaitan dengan hormon estrogen dan progesteron. Mayorttas (90%) tumor ini jinak 

( derajat I) dan mempunyai prognosis yang 

baik jika dapat direseksi total. Mengingat letaknya yang dapat jauh di dalam, seperti daerah basis kranii a tau klivus, maka kadang terjadi residu tumor yang dapat memicu 

rekurensi. Sejauh ini belum ada kemoterapi 

yang tepat dan tumor juga tidak terlalu berespons terhadap radioterapi. laju tumbuhnya 

yang sangat lambat, maka kadang pasien 

dapat bertahan cukup lama dengan gejala 

sisa yang minimal. 

PENGOBATAN 

Pada prinsipnya pada tumor otak terbagi 

atas terapi simtomatik, definitif, dan paliatif. 

Hal ini dilakukan secara bersama dalam tim 

yang multidisiplin disertai pembicaraan untuk menentukan kesepakatan bersama. Untuk menjalani itu semua, pasien harus kuat 

secara mental dengan dukungan penuh dart 

keluarga. Pasien dengan tumor otak dapat 

mengalami gangguan psikiatri hingga 78%, 

baik bersifat organik akibat tumornya atau 

fungsional yang berupa gangguan penyesuaian, depresi, dan ansietas. Hal ini dapat 

menghambat proses terhadap pasien. 

Oleh karena itu, diperlukan pendampingan 

bersama dengan sejawat Psikiatri mulai 

dari menyampaikan informasi tentang diagnosis dan keadaan pasien (breaking the bad 

news) melalui pertemuan keluarga ffamily 

meeting) dan pada tahap-tahap pengobatan 

selanjutnya. Perlu juga dilakukan penilaian 

fungsional memakai  Karnofsky performance score (Tabel 3), saat awal masuk dan 

keluar dart perawatan, untuk menentukan 

prioritas terapi yang akan diberikan.  

Terapi Simtomatik 

Pasien dengan tumor otak bisa datang 

dalam keadaan peningkatan TIK, sehingga 

harus ditatalaksana segera. Perlu dilakukan 

Analisa  pemicu  peningkatan tekanannya 

segera berdasar  gambaran klinis dan 

imajing, karena berbeda tatalaksananya. 

Gejala peningkatan TIK akibat ukuran masa 

tumor yang besar biasanya berlangsung 

secara perlahan dalam durasi yang lama 

dalam hitungan minggu atau bulan, memerlukan tindakan operatif segera. Namun jika 

gejala berlangsung singkat dalam hitungan 

jam atau hari, maka peningkatan TIK biasanya disebabkan oleh edema peritumoral 

atau hidrosefalus akibat sumbatan sistem 

ventrikel. Bahkan peningkatannya juga bisa 

berlangsung mendadak menyerupai gejala 

stroke, yang ditemukan pada tumor berdarah seperti apopleksia hipofisis, astrositoma derajat tinggi yang kaya akan pembuluh 

darah yang rapuh, atau tumor metastasis. 

pemicu  peningkatan TIK tersering yaitu  

edema vasogenik, sesuai dengan patofisiologi 

tumor untuk cenderung memicu edema di sekitarnya. Obat pilihan utama yaitu  

kortikosteroid golongan deksametason dosis 

tinggi, loading 10mg IV dilanjutkan dosis rumatan 16-20mgjhari dan dapat dinaikkan 

dosisnya. Secara teori dosis maksimal bisa 

hingga 96mgjhari, namun kenyataannya dosis 30mgjhari juga sudah berefek bermakna. 

Pemberian antiedema ini sebenarnya bersifat 

sementara sambil mempersiapkan pasien 

untuk tindakan operatif. Namun kenyataannya persiapannya sering cukup lama. 

Pacta pemberian lebih lebih dari 5-7 hari, 

steroid tidak boleh dihentikan tiba-tiba 

karena dapat memicu rebound phe-


Tumor Otuk Primer 

nomenon, sehingga dilakukan penurunan 

secara bertahap (tapering off). Penurunan 

dilakukan sebanyak 20% dari dosis harian 

setiap 3-5 hari tergantung keadaan klinis. 

Sebaliknya dosis juga dapat dinaikkan jika 

dianggap terjadi perburukan klinis akibat 

edemanya. Manitol tidak dianjurkan diberikan karena dapat memperburuk edema, 

kecuali bersamaan dengan deksametason 

pada situasi yang berat atau pascaoperasi. 

Hidrosefalus biasanya ditemukan akibat 

penekanan ventrikel oleh tumor di daerah 

sella, pineal, serebelum, atau intraventrikel 

itu sendiri. Dapat dilakukan pemasangan 

pirau ventrikuloperitoneal (ventricu/operitonealjVP shunt) segera untuk menurunkan TIK sebelum kemudian dilakukan reseksi 

tumor pemicu nya. Pacta tumor berdarah, 

dapat terjadi edema sitotoksik bercampur 

dengan edema vasogenik, sehingga jika belum 

terjadi perbaikan klinis yang signifikan setelah 

pemberian deksametason dapat dilanjutkan 

dengan pemberian manitol 25-SOmg dalam 

solusio 20% intravena selama 10-20 menit. 

Efek sam ping pemberian steroid yakni gangguan toleransi glukosa, stress-ulcer, miopati, 

perubahan mood, peningkatan nafsu makan, 

Cushingoid, dan sebagainya. Sebagian besar 

dari efek samping ini  bersifat reversibel apabila steroid dihentikan. Selain efek 

samping, hal-hal yang perlu diperhatikan 

dalam pemberian steroid yakni interaksi 

obat. Kadar antikonvulsan serum, seperti 

fenitoin dan karbamazepin dapat dipengaruhi oleh deksametason, sehingga membutuhkan pemantauan. 

Epilepsi merupakan kelainan yang sering 

ditemukan, 30% sebagai manifestasi awal 

dengan bentuk bangkitan tersering yaitu   

bangkitan fokal dengan atau tanpa perubahan menjadi umum sekunder. Oleh karena 

tingginya tingkat rekurensi bangkitan, maka 

harus diberikan obat antiepilepsi (OAE) 

yang ditentukan berdasar  pertimbangan 

profil efek samping, interaksi obat, dan biaya. OAE golongan lama seperti fenitoin dan 

karbamazepin kurang dianjurkan karena 

dapat berinteraksi dengan deksametason 

dan kemoterapi. Alternatif lain mencakup 

levetirasetam, asam valproat, lamotrigin, 

klobazam, topiramat, atau okskarbazepin. 

Levetirasetam lebih dianjurkan (Level A) 

dan memiliki profil efek sam ping yang lebih 

baik dengan dosis antara 20-40mgjkgBB, 

serta dapat dipakai  pascakraniotomi. 

Terapi Definitif 

Tumor otak yaitu  biopsi dan reseksi tumor. 

Terutama pada tumor-tumor di ekstraaksial 

seperti meningioma, PENGOBATAN utamanya 

hanya reseksi luas beserta kapsulnya. Untuk 

lokasi yang lebih dalam, dapat dilakukan 

biopsi stereotaktik Semakin banyak tumor 

yang dapat direseksi maka keluarannya 

akan lebih baik Selain efek desak ruangnya 

teratasi, kemungkinan untuk rekuren juga 

lebih kecil. Oleh karena itu lebih disukai jika 

tumor dapat diDiagnosa  dalam ukuran kecil 

berdasar  deteksi dini. 

Pada golongan astrositoma biasanya agak 

sulit untuk menentukan batas tumor dengan 

jaringan yang sehat, selalu ada sisa tumor 

yang perlu ditidaklanjuti dengan radioterapi 

atau kemoterapi, terutama pada astrositoma 

derajat tinggi. Saat ini dengan perkembangan teknik operasi, pengambilan massa tumor bisa memakai  neuronavigasi atau 

zat fluoresens agar lebih akurat. Radioterapi 

terutama dilakukan pada tumor-tumor yang  

sensitif seperti tumor pineal, germ cell, astrositoma derajat tinggi, dan metastasis 

otak Pada tumor yang letak dalam dilakukan 

steretotactic radiotherapy atau radiosurgery. 

Kemoterapi untuk tumor otak lebih terbatas 

pilihannya, karena harus dapat menembus 

sawar darah otak Tujuannya untuk menghambat pertumbuhan tumor dan meningkatkan kualitas hidup (quality of life) pasien 

semaksimal mungkin. Sejauh ini yang menjadi pilihan yaitu  temozolamid, untuk 

glioblastoma dan metastasis. Kemoterapi 

jenis alkylating agent ini dapat diberikan 

tunggal sebagai kemoterapi dengan dosis 

200mgjm2 /hari selama 5 hari yang dapat 

diulang setiap 28 hari selama 6 siklus. Cara 

pemberian dapat juga bersamaan dengan 

radioterapi, yang berfungsi sebagai radiosensitizer dengan dosis 75mgjm2/hari selama 6 minggu. Selanjutnya dosis meningkat kenjadi 150-200mg/m2 /hari setiap 28 

hari selama 6 siklus. Namun temozolamide 

ini hanya akan berespons baik jika jaringan 

tumor termasuk metilasi (bertambahnya 

gugus metil) pada promotor 0-6-methylguanine-methyltransferase (MGMT), yang harus 

dibuktikan dulu pada pemeriksaan jaringan 

sebelum diberikan agen yang terse but. 

Selain kemoterapi, ada beberapa agen 

golongan targeted therapy yang bekerja 

spesifik menghambat reseptor vascular endothelial growth factor (VEGF), yaitu bevacizumab, dan epidermal growth factor receptor (EGFR), yaitu nimotuzumab. Terapi ini 

juga baru dapat diberikan pada astrositoma 

derajat tinggi dengan mutasi EGFR yang 

signifikan. Oleh karena cara kerjanya yang 

spesifik, maka efek sampingnya juga lebih 

minimal dibandingkan kemoterapi.  Terapi Paliatif 

Kata paliatif berasal dari bahasa Yunani 

'pallium' yang berarti 'cloak' dalam bahasa 

Inggris atau 'mantel' yang dimaksudkan untuk menutupi hal-hal yang tidak nyaman. Biasanya dilakukan setelah pasien menjalani 

terapi definitif namun masih ada keluhan akibat gP.jala sisa tumornya. Terapi ini 

juga diindikasikan jika pasien tidak dapat 

dilakukan terapi definitif oleh karena ukuran tumor yang terlalu besar, kondisi buruk, 

dan terlalu berisiko untuk dilakukan terapi 

definitif. Penetapan terapi ini perlu disepakati 

oleh semua tim secara multidisiplin bersama 

dokter penanggung jawab utama, serta dokter gizi, rehabilitasi medik, psikiatri, dan 

ahli terapi paliatif. 

Pasien perlu penyesuaian terhadap gejala 

sisanya untuk bisa kembali minimal beraktivitas mandiri. Biasanya gangguan berupa 

kejang, nyeri, atau gangguan fungsi luhur 

yang dapat diberikan terapi yang sesuai. 

Dapat diberikan juga diberikan psikoterapi 

suportif dan relaksasi yang akan membantu 

pasien dan keluarga. 

CONTOH KASUS 

Laki-laki, usia 59 tahun mengeluh sakit 

kepala dan kesulitan berkonsentrasi sejak 

enam minggu sebelumnya. Sakit kepala dirasakan pada bagian kanan, terutama saat 

malam hari setelah beraktivitas. Pasien juga 

mengeluh sulit berkonsentrasi dan menurut istrinya, pasien menjadi lebih mudah 

tersinggung dan terlihat bingung sejak sebulan terakhir ini. Tidak ada riwayat mengonsumsi minuman beralkohol atau riwayat terpapar dengan toksin sebelumnya. 

Pada pemeriksaan fisik dan neurologis  

Tumor Otak Primer 

umum dalam batas normal, namun funduskepi didapatkan kesan early papiledema bilateral dan nilai MMSE=24. 

Pertanyaan: 

1. Apa kemungkinan Diagnosa  pada pasien 

di atas? 

2. Apa pemeriksaan yang selanjutnya dibutuhkan pada pasien? 

3. PENGOBATAN apa yang dibutuhkan pada 

pasien? 

Jawaban: 

1. Tumor intrakranial jika tidak ada 

keluhan sistemik dan dipikirkan topis lesi soliter, maka dapat dianggap 

suatu tumor primer. Secara epidemiologi tumor primer tersering yaitu  

astrositoma dan meningioma. Namun 

mengingat onsetnya yang cepat, biasanya bukan meningioma, melainkan 

astrositoma yang maligna, seperti derajat III atau IV (glioblastoma). 

2. Pemeriksaan MRI kepala dengan kontras dan foto polos dada unutk menyingkirkan kemungkinan metastasis, 

walaupun tetap bisa normal. Jika foto 

polos ada kelainan, dilanjutkan dengan CT thoraks. 

3. Kortikosteroid sesegera mungkin, 

sementara menunggu biopsi dan reseksi massa tumor. Penilaian neurooftalmologi dan fungsi luhur sambil menunggu jadwal operasi, sebagai 

data dasar sebelum dilakukan terapi.  








TUMOR SPINAL 


Tumor spinal dapat diklasifikasikan ke 

dalam beberapa kelompok. Tumor spinal 

dapat merupakan tumor primer atau metastasis. Tumor primer di spinal bisa berasal 

dari jaringan tulang atau medula spinalis, 

sedangkan metastasis berasal dari lokasi 

di luar spinal, seperti payudara, paru, dan 

pro stat. 

Secara anatomi, tumor spinal dapat diklasifikasikan ke dalam tiga kelompok, yaitu 

tumor ekstradural, ekstramedula, dan in- · 

tramedula. Adanya klasifikasi tumor spinal secara anatomi harus dipahami oleh 

setiap klinisi karena sangat berguna dalam 

melakukan pemeriksaan klinis, memilih 

pemeriksaan penunjang yang tepat, menyusun rencana terapi, dan menentukan prognosis pasien. 

Bab ini akan membahas tumor spinal secara 

rinci, mulai dari klasifikasi tumor spinal, 

jenis-jenis tumor beserta karakteristiknya, 

pendekatan klinis yang harus dilakukan bila 

bertemu pasien dengan Diagnosa  klinis tumor spinal, dan tata laksananya. 

EPIDEMIOLOGI 

Tumor, primer medula spinalis tergolong 

jarang ditemukan. Prevalensinya sekitar 

4-8% dari total semua tumor di susunan  

saraf pusat: Insidens tumor ini menurut 

Central Brain Tumor Registry of the United 

States (CBTRUS) antara tahun 1998-2002 

yaitu  0,74/100.000 penduduk pertahun. 

Studi ini juga menunjukkan bahwa sebesar 

69% tumor primer medula spinalis bersifat jinak (nonmalignant). Distribusi tiga 

besar gambaran histologi dari tumor primer 

medula spinalis yaitu  meningioma (29%), 

tumor selubung saraf (24%), dan ependimoma (23%). Astrositoma hanya memiliki 

frekuensi 6% pada studi ini. Selain itu, studi 

ini juga menunjukkan bahwa menurut jenis 

kelamin dan lokasi tumornya, insidens tumor 

intradural ekstramedula lebih besar pada 

perempuan (0,29/100.000) daripada lakilaki (0,09/100.000). Keadaan ini sebaliknya 

ditemukan pada tumor intramedula, yaitu 

insid(ms laki-laki (0,57 /100.000) lebih besar 

daripada perempuan (0,45/100.000). 

Studi epidemiologi lain di Jepang yang mengambil data pasien antara tahun 2000-2009 

menunjukkan basil yang berbeda dengan 

studi CBTRUS di atas. Pada studi ini, tiga besar 

gambaran histologi yang paling sering ditemukan yaitu schwannoma (57,2%), meningioma 

(11,6%), dan ependimoma (8%). Frekuensi 

astrositoma hanya 1,3%. berdasar  lokasinya, frekuensi tumor intradural ekstramedula (54,7%) lebih besar daripada tumor · 

intramedula (18,1 o/o).  

Selain tumor primer, ada pula tumor 

metastasis di spinal. Spinal merupakan 

tempat sasaran paling sering perihal metastasis tumor primer. Sebanyak 95% dari 

total keseluruhan pasien dengan tumor spinal yaitu  tergolong metastasis. Sebanyak 

500.000 pasien diperkirakan mengalami 

metastasis tumor di spinal tiap tahunnya. 

Sayangnya, hanya 64% pasien. metastasis 

tumor spinal yang simptomatik, sedangkan 

sisanya tidak memiliki keluhan dan ditemukan secara insidental. 

KLASIFIKASI TUMOR SPINAL 

Tumor spinal dapat diklasifikasikan menjadi tiga kategori menurut letak lesinya, 

yaitu ekstradural, intradural ekstramedula, 

dan intramedula (Gambar 1 dan 2). Masingmasing kategori dapat berupa tumor primer 

atau metastasis. Namun, oleh karena tumor 

metastasis spinal paling sering tergolong 

ekstradural, maka tumor metastasis spinal 

dimasukkan dalam kategori tumor ekstradural pada pembahasan selanjutnya. 

Pemahaman mengenai anatomi meningen 

medula spinalis, terutama dura mater (Gambar 3), sangat penting dalam kaitannya dengan klasifikasi tumor spinal berdasar  

letak lesinya. Dura mater spinalis berasal 

dari dua lapisan dura mater yang menyatu 

pada rongga kranium, namun  terpisah saat 

memasuki kanalis spinalis. 

Pada kanalis spinalis, dura mater terluar 

menjadi periosteium kanalis spinalis. Adapun lapisan dalamnya membentuk sakus 

duralis yang menyelubungi medula spinalis. Kedua lapisan dura mater ini kembali 

menyatu di tempat keluarnya radiks nervi 

spinalis dari kanalis spinalis. Ujung bawah 

sakus duralis mengelilingi kauda ekuina 

dan berakhir pada level S2. Selanjutnya, 

sakus duralis membentuk filum terminal 

dura mater (Gambar 4).  

Tumor Ekstradural 

1. Tumor Primer 

Tumor primer ekstradural termasuk 

dalam kumpulan tumor tulang. Tumor 

primer tulang di spinal ini dapat bersifat jinak (hemangioma, osteoma osteoid, 

dan kista tulang aneurisma) atau ganas 

(plasmasitoma, kordoma, sarkoma 

Ewing, osteosarkoma, dan kondrosar-

 

kama. Sebagian lain memiliki karakteristik jinak, namun  bisa berkembang 

menjadi ganas, misalnya osteoblastoma, 

osteokondroma, dan giant cell tumor. 

Lokasi tumor juga merupakan petunjuk 

untuk lebih mengarahkan jenis tumor, 

mengingat tumor primer ini dapat berlokasi di segmen anterior, eksentrik, atau 

segmen posterior (Tabell).  

Tumor-tumor primer ini pada umumnya 

akan mendestruksi tulang vertebra . dan 

memicu deformitas pada tulang 

belakang (Gambar 2A). Selain deformitas, tumor primer ini juga menimbulkan 

nyeri di tulang belakang. Nyeri ini biasa 

dirasakan di malam hari dan tidak dipengaruhi perubahan posisi dan tetap 

dirasakan saat pasien beristirahat. Defisit neurologis baru terjadi hila terjadi 

ekstensi tumor yang mengkompresi medula spinalis atau radiks. Pada tumortumor yang tergolong jinak, perjalanan 

penyakitnya relatif lebih lama daripada 

tumor yang ganas. Hal ini memicu 

pasien jarang datang menemui dokter di 

awal perjalanan penyakit. 

2. Metastasis 

Sebagian besar pasien dengan tumor spinal merupakan metastasis. Oleh sebab 

itu, klinisi harus memikirkan metastasis 

dahulu ketimbang tumor primer pada 

pasien tumor spinal. Metastasis tidak 

hanya berlokasi di ekstradural, namun  

juga di intradural ekstramedula dan intramedula dalam persentase yang kecil. 

Oleh karena lokasi yang paling sering 

menjadi tujuan metastasis yaitu  ekstradural, maka tumor metastasis dimasukkan dalam kelompok tumor ekstradural. 

Tumor primer yang sering bermetastasis 

ke spinal antara lain, payudara (21%), 

paru-paru (14%), prostat (7,5%), ginjal 

(5,5%), gastrointestinal (5%), dan tiroid 

(2,5%). Namun, ada pula basil penelitian 

lain dengan komposisi urutan yang berbeda, namun  kanker payudara dan paru 

yang selalu mendominasi dari setiap 

studi epidemiologi (Tabel 2).  

Tumor Spinal 

Lokasi metastasis tumor di spinal dapat 

ditemukan di korpus vertebra (85%), 

ruang paravertebra (10-15%), dan ruang epidural ( <5%). Oleh sebab itu, metastasis tumor di spinal secara anatomis 

tergolong tumor ekstradural. Sepanjang 

vertebra, metastasis tumor di spinal paling sering ditemukan di segmen torakal 

(70%), kemudian diikuti lumbosakral 

(20%), dan servikal (10%).  

Tumor Intradural Ekstramedula 

Kategori tumor ini berlokasi di dalam (intra) dura mater, namun  di luar (ekstra) medula spinalis (Gambar 2B). Tumor intradural ekstramedula memiliki kekerapan 

sekitar dua pertiga kasus tumor intradural. 

Dari keseluruhan kategori tumor spinal ini, 

sekitar 95% memiliki jenis schwannoma, 

neurofibroma, meningioma, dan ependimoma filum terminal. Sisanya bisa berupa 

metastasis, kista, dan paraganglioma. 

1. Tumor Selubung Saraf (Nerve Sheath 

Tumor) 

Neurofibroma dan schwannoma terma 

suk dalam jenis tumor selubung saraf 

yang berlokasi di dalam dura mater, namun  

di luar medula spinalis. Neurofibroma 

biasa terjadi pada pasien dengan neurofibromatosis tipe 1. Tumor ini membentuk 

massa fusiformis yang bercampur dengan 

serabut saraf yang sehat, sehingga sulit 

untuk melakukan diseksi tumor ini dari 

jaringan saraf. Bila neurofibroma ditemukan multi pel, maka Diagnosa  neurofibromatosis dapat ditegakkan. Berbeda dengan neurofibroma, tumor schwannoma 

lebih sering ditemukan pada pasien dengan neurofibromatosis tipe 2. 

2. Meningioma 

Meningioma spinal biasanya tumbuh di 

lateral kanalis spinalis, terutama daerah 

dekat radiks dan ganglion radiks dorsalis. 

Sekitar 40% tumor ekstramedula merupakan meningioma. Sepanjang vertebra, 

tumor ini paling sering terjadi di segmen 

torakal (sekitar 80%), kemudian diikuti 

segmen servikal, dan lumbosakral. Tumor 

ini biasanya tumbuh membentuk konfigurasi seperti bola yang memiliki perlekatan 

dura mater. Oleh karena sifatnya yang cenderung tidak menginvasi pia mater, maka 

tumor ini dapat direseksi dengan aman. 

3. Ependimoma Filum Terminal 

Selain tumor selubung saraf dan meningioma, sekitar 15% tumor ekstramedula 

dapat berupa ependimoma miksopapilar. 

Jenis tumor ini merupakan tumor yang paling sering tumbuh di daerah filum terminal. 

Sesuai dengan namamnya, tumor ini memiliki tampilan susunan papilar dari sel epitel 

kubus atau batang dengan kandungan kaya 

musin. Walaupun tumor ini berasal dari  

filum terminal, pertumbuhan tumor ini 

dapat melibatkan radiks dari kauda ekuina. 

Karakteristik lain dari tumor ini yaitu  sifatnya yang bisa menyebarkan sel tumor ke 

dalam ruang cairan spinal. 

4. Tumor Ekstramedula Lainnya 

Kondisi patologis lain yang bisa terjadi 

di ruang intradural ekstramedula yaitu  

kista (epidermoid, dermoid, dan lipoma), 

paraganglioma, malformasi vaskular, 

dan metastasis. Penelusuran ke arah metastasis leptomeningeal perlu dilakukan 

hila ada pasien dengan Diagnosa  kanker 

sebelumnya dan ada massa di ruang 

intradural ekstramedula. 

Tumor Intramedula 

Tumor intramedula merupakan tumor yang 

berasal dari medula spinalis (Gambar 2C). 

Sekitar 80% tumor intramedula tergolong 

dalam tumor glial (astrositoma, ependimoma, ganglioma, dan oligodendroglioma). 

Tumor intramedula yang paling sering ditemukan yaitu  astrositoma, kemudian diikuti ependimoma, dan hemangioblastoma. 

1. Astrositoma 

Angka kejadian astrositoma di spinal 

tergolong jarang, yaitu sekitar 3% dari 

seluruh kasus astrositoma susunan saraf 

pusat. Tumor ini dapat terjadi di segala 

usia, namun  paling sering terjadi pada 

anak dan usia kurang dari 30 tahun. 

Sepanjang tulang vertebra, tumor intramedula ini memiliki predileksi di segmen servikal atau servikotorakal. 

2. Ependimoma 

Berbeda dengan astrositoma yang merupakan tumor intramedula tersering di 

anak, ependimoma yaitu  tumor intral

medula yang sering ditemukan pada 

orang dewasa. Hampir semua ependimoma termasuk tumor jinak, dengan 

karakteristik berbatas tegas dan tidak 

menginfiltrasi area sekitar. 

3. Hemangioblastoma 

Sekitar 3-8% tumor intramedula merupakan hemangioblastoma. Tumor ini berasal dari pembuluh darah yang berbatas 

tegas, namun  tidak berkapsul. Sebanyak 

15-25% kasus berhubungan dengan penyakit von Hippel-Lindau yang diturunkan secara autosom dominan. 

4. Tumor Intramedula Lainnya 

Selain dari ketiga jenis tumor yang sering 

ditemukan di atas, kelainan patologis 

lain yang bisa terjadi yaitu  metastasis, 

kista, dan malformasi vaskular. Metastasis tumor paru dan payudara yaitu  

yang paling sering ditemukan di medula 

spinalis, dengan kekerapan kurang dari 

5% dari total tumor intramedula. 

PATOFISIOLOGI 

Tumor Metastasis 

Tumor metastasis di spinal sebagian besar 

terletak di ekstradural. Oleh sebab itu, pembahasan kali ini menjelaskan bagaimana 

tumor metastasis spinal ekstradural dapat 

memicu keadaan patologis yang bermanifestasi klinis. 

Sel tumor primer paling sering menyebar ke 

spinal melalui sistem vena. Untuk dapat mencapai spinal, sel tumor sebelumnya melalui 

sirkulasi di hati dan paru. Pada kondisi normal, 

5-10% darah yang berada dalam sistem vena 

porta dan vena kava mengalir ke sistem vena  

Tumor Spinal 

vertebra, yang berhubungan dengan pleksus 

vena epidural. Pleksus vena epidural ini berada 

di dalam kanalis spinalis dan tidak memiliki 

katup. Batson pertama kali mengemukakan 

bahwa pleksus vena epidural merupakan jalur 

potensial penyebaran metastasis tumor primer 

di spinal. Oleh sebab itu, Pleksus ini disebutjuga 

pleksus Batson. Pleksus vena epidural (Batson) 

ini terletak di ruang epidural, di antara kolumna spinalis dan dura mater medula spinalis. Aliran dari pleksus vena ini berhubungan dengan 

vena kava superior dan inferior yang kemudian 

membawa darah menuju jantung. Oleh karena 

tidak ada katup di pleksus vena epidural, maka 

setiap peningkatan tekanan di sistem vena 

kava dapat memicu aliran balik ke pleksus vena epidural. 

Selain metastasis melalui sistem vena, sel 

tumor bisa juga menyebar ke spinal melalui sistem arteri dan limfatik. Penyebaran 

melalui arteri dapat terjadi melalui arteriarteri yang memperdarahi korpus vertebra. 

Contoh kasus pada tumor di paru yang bisa 

menyebar ke spinal melalui arteri-arteri segmental. Berbeda dengan sistem arteri, penyebaran metastasis tumor melalui sistem 

limfatik terjadi karena adanya saluran limfe 

di dalam tulang vertebra. Sayangnya, penyebaran tumor melalui sistem ini masih perlu 

diteliti lagi kepentingan klinisnya. 

Selain cara-cara di atas, penyebaran langsung 

tumor primer ke spinal sering juga ditemukan, 

terutama untuk kasus tumor prostat. Tumor 

yang berada di bagian retroperitoneal atau mediastinum dapat mengerosi korpus vertebra 

secara langsung, atau masuk ke kanalis spinalis 

melalui foramen neuralis.  

Terjadinya metastasis ini tidak lepas dari struktur sumsum tulang yang berada di dalam korpus vertebra. Sumsum tulang memiliki sistem 

pembuluh darah sinusoid yang biasanya memiliki tekanan rendah, sehingga darah cenderung 

mengumpul (pooling) di daerah ini. Kondisi ini, 

disertai adanya penumpukan fibrin dan proses 

trombosis, sangat mendukung secara biokimia 

dan hemodinamik bagi implantasi dan proliferasi sel-sel tumor. Selanjutnya, sel-sel tumor 

menjadi mudah untuk keluar dari pembuluh 

darah dan menginvasi jaringan tulang trabekular. Selain beberapa kondisi ini , ada 

faktor intrinsik dari sel tumor primer yang 

mendukung keberhasilan pertumbuhan sel tumor di dalam jaringan tulang, misalnya prostaglandin dan stimulasi faktor aktivasi osteoklas 

pada metastasis sel kanker payudara yang memicu lesi litik pada tulang. 

Sel~sel tumor metastasis yang telah menginvasi jaringan tulang trabekular kemudian 

akan menghasilkan beberapa substansi yang 

memicu resorpsi tulang secara langsung ataupun tidak langsung, antara lain hor-. 

mon paratiroid, faktor aktivasi osteoklas, faktor pertumbuhan, dan prostaglandin. Dengan 

adanya sekresi beberapa substansi ini oleh sel 

tumor, maka terjadi peningkatan stimulasi osteoklas di jaringan tulang trabekular. 

Setelah sel-sel tumor menginvasi jaringan 

tulang trabekular, proses selanjutnya yaitu  

invasi sel-sel tumor terhadap korteks tulang. 

Hal ini bermanifestasi dengan adanya keterlibatan pedikel vertebra pada metastasis tumor 

spinal. Adanya keterlibatan pedikel ini biasanya tidak bersifat primer, namun  merupakan 

akibat sekunder dari penyebaran langsung 

dari korpus vertebra atau struktur tulang  

lainnya (Gambar 5). Walaupun gambaran 

awal metastasis pada radiografi foto polos 

berupa kerusakan pedikel, sebenarnya korpus vertebra merupakan struktur pertama 

yang biasa-nya lebih awal rusak. Hal ini didukung oleh fakta bahwa sekitar 30-50% korpus 

vertebra telah mengalami kerusakan sebelum 

kelainan ini dapatterdeteksi melalui radiografi 

fotopolos. 

Proses metastasis tumor spinal berlanjut dengan menginvasi ruang epidural. lnvasi ruang 

epidural dapat terjadi melalui ligamen longitudinal posterior (Gambar 6). Ligamen ini 

yaitu  struktur yang paling lemah terhadap 

penyebaran sel-sel tumor di tulang vertebra. 

Sel-sel tumor metastasis di ruang epidural 

menimbulkan efek desak massa yang dapat 

mengkompresi medula spinalis beserta struktur pembuluh darahnya. Efek massa desak 

pada medula spinalis ini m'enimbulkan demielinisasi atau degenerasi aksonal. Adapun 

komponen vaskular yang turut terkompresi 

memicu kongesti vena dan edema vasogenik medula spinalis. Adanya demielinisasi, degenerasi aksonal, dan edema vasogenik 

pada medula spinalis inilah yang kemudian 

bermanifestasi klinis sebagai defisit neurologis akibat metastasis tumor spinal. 

Metastasis tumor juga dapat terjadi pada 

daerah leptomeningeal, terutama pada keganasan hematopoietik, seperti limfoma 

dan leukemia. Penyebaran ini biasanya terjadi secara hematogen atau infiltrasi langsung ke meningen (Gam bar 7), sehingga berada di ruang epidural/subdural (Gambar 6 

(3) & (4)) dan menimbulkan gejala seperti 

pada tumor intradural ekstramedula.  

Tumor Primer 

Tidak jauh berbeda dengan tumor metastasis 

ekstradural, tumor primer spinal yang terletak intradural ekstramedula dan intramedula 

memiliki efek desak massa jaringan sehat di 

sekitarnya. Pada medula spinalis, invasi jaringan sehat oleh sel-sel tumor memicu  efek desak massa medula spinalis. Efek 

desak massa dari sel-sel tumor ini memicu  demielinisasi dan degenerasi akson di 

medula spinalis. Selain itu, terjadi pula stasis 

aliran vena dan arteri di medula spinalis akibat efek desak massa ini. Kondisi ini selanjutnya menjadi edema vasogenik dan infark di 

medula spinalis. Adanya edema vasogenik ini 

tentunya akan menambah progresivitas efek 

desak massa, sehingga kerusakan medula spinalis yang ditimbulkan menjadi semakin luas 

dan ekstensif. 

Mengingat setiap area di medula spina- 

lis memiliki fungsi aferen dan eferen yang 

menghubungkan antara otak dengan saraf 

perifer, maka setiap lesi di medula spinalis 

akan menimbulkan gangguan fungsi ini . Gangguan fungsi aferen dan eferen inilah yang bermanifestasi klinis sebagai defisit neurologis. Misalnya, efek desak massa 

oleh sel-sel tumor di daerah jaras kortikospinal lateralis akan menimbulkan manifestasi kelemahan motorik. 

GEJALA DAN TANDA KLINIS 

Tumor Ekstradural 

Perjalanan penyakit tumor ekstradural 

seringkali progresif berkembang cepat. Gejala dan tanda klinis muncul akibat dari 

kompresi medula spinalis. Karena letaknya 

ekstradural (Gambar 8), maka jaringan tumor akan mengkompresi dura mater dari 

arah luar ke dalam. Selain itu, fraktur patolo 

gis juga sering ditemukan pacta tumor ekstradural yang membuat gejala awal berupa 

nyeri yang disebut sebagai nyeri aksial vertebra. Nyeri ini terasa di sepanjang sumbu vertebra yang bersifat gradual, progresif, terusmenerus, tidak bersifat mekanik, dan sering 

terjadi di malam hari. Nyeri biasanya bertambah parah saat pasien berbaring telentang, apalagi dalam durasi beberapa jam, kemudian membaik saat pasien berdiri. Seiring 

progresi perkembangan tumor ekstradural, 

efek desak massa selanjutnya akan mengenai 

struktur radiks dan medula spinalis. Struktur 

radiks yang terkena efek massa tumor menimbulkan gejala klinis nyeri radikular. 

Selain nyeri, pasien dapat mengalami tandatanda kompresi lainnya, yaitu kelemahan ekstremitas, gangguan sensorik, dan disfungsi 

otonom. Kelemahan ekstremitas umumnya 

bersifat UMN pacta bagian tubuh yang dipersarafi oleh medula spinalis pacta level di 

bawah lesi. Gangguan sensasi posisi, rasa 

getar, gangguan diskriminasi dua titik dapat 

terjadi bila kompresinya berasal dari arah 

dorsal. Disfungsi miksi dan defekasi lebih 

sering terjadi kemudian setelah kelemahan 

Medula 

Vertebra 

Tumor Spinal 

ekstremitas, namun  bisa juga terjadi secara 

bersamaan. 

Tumor Intradural Ekstramedula 

Lokasi tumor ini paling sering di sekitar radiks posterior, kemudian diikuti di sekitar radiks anterior. Oleh sebab lokasinya di sekitar 

radiks, maka gejala awal yang sering ditemukan yaitu  nyeri radikular. Sesuai namanya, 

nyeri ini memiliki karakteristik penjalaran 

nyeri sesuai distribusi radiks sensorik. Nyeri 

ini bertambah parah dengan batuk, bersin, 

atau mengedan. Seiring pertumbuhan tumor 

yang membesar; kompresi akan semakin hertam bah pacta radiks dan medula spinalis. 

Bila letak tumor lebih ke arah posterior; maka 

proses kompresi akan mengenai kolumna posterior dan jaras piramidalis. Dengan demikian, 

gejala berikutnya setelah nyeri radikular 

yaitu  gangguan propioseptif dan kelemahan 

ekstremitas. Kelemahan ini bersifat asimetris antara lengan dan tungkai (lesi servikal) 

dan antara kedua tungkai (lesi torakolumbal). 

Gangguan sensorik juga dapat terjadi awalnya 

ipsilateral, kemudian bilateral, dan berjalan 

dari kaudal ke kranial hingga setinggi lesi.  

Bila letak tumor lebih ke arah anterior, maka 

kompresi dapat mengenai radiks anterior 

pacta satu sisi atau kedua sisi. Hal ini dapat 

memicu  kelemahan ekstremitas tipe 

LMN. Namun, kelemahan tipe UMN bisa saja 

dijumpai apabila kompresinya sudah mengenai jaras piramidalis. Biasanya, kelemahan ekstremitas terjadi pacta ipsilateral lesi, 

kemudian bilateral. Gangguan sensasi raba 

kasar dapat muncul bila ada kompresi pacta 

jaras spinotalamikus anterior. Bila tumornya terletak anterolateral, maka jaras spinotalamikus lateral dapat terkompresi dan 

memicu  gangguan sensasi nyeri dan 

suhu pacta kontralateral lesi. Bila tumornya 

terletak di filum terminal dan kauda ekuina, 

maka gejala yang sering ditimbulkan yaitu  

nyeri punggung yang memberat saat posisi telentang, kemudian disertai kelemahan 

ekstremitas tungkai dan gangguan otonom 

buang air besar dan berkemih. Baik lesi intradural ekstramedula di daerah anterior maupun posterior, disfungsi miksi dan defekasi 

biasanya muncul belakangan saat kompresi 

medula spinalis sudah lanjut dan progresif.  

Tumor Intramedula 

Lokasi tumor spinal di intramedula memiliki gambaran yang unik dan berbeda 

dengan kedua kategori tumor sebelumnya 

(Gam bar 9). Tumor intramedula jarang menimbulkan nyeri. Kalaupun ada, nyeri bersifat atipikal dengan lokalisasi difus. Gejala 

awal yang sering ditemukan yaitu  defisit 

sensorik terdisosiasi. Gambaran unik lainnya yaitu  pertumbuhan tumor intramedula sering bersifat longitudinal, sedangkan 

tumor ekstramedula bersifat transversal. 

Hal ini memicu  gangguan sensorik 

pacta tumor intramedula dapat mengalami 

perubahan level (batas atas defisit sensorik), sedangkan level ini pacta tumor ekstramedula tetap konstan. 

Selain itu, disfungsi miksi dan defekasi 

dapat timbul di awal perjalanan penyakit. 

Atrofi otot dapat ditemukan sebagai akibat 

dari keterlibatan dari kornu anterior substansia grisea medula spinalis. Spastisitas 

pacta ekstremitas dapat terjadi, walaupun 

tidak seberat tumor ekstramedula.  

Tumor Spinal di BeberapaLokasi Khusus 

Selain ketiga kategori di atas, ada beberapa lokasi tumor spinal yang memiliki 

gejala khusus, yaitu di servikal atas, foramen 

magnum, dan lurnbal. Tumor spinal servikal 

atas dapat memiliki gejala bulbar dan fasikulasi pada ekstremitas. Tumor spinal setinggi 

foramen magnum dapat memiliki hipestesia setinggi dermatom C2 dan paresis N. XI 

(nervus aksesorius). Tumor spinal di lumbal 

dapat menimbulkan gejala dan tanda seperti 

sindrom kauda ekuina atau konus medularis. 

Pada tumor spinal, sindrom kauda ekuina 

dapat terjadi karena keterlibatan radiks 

nervi lumbalis dan sakralis di bawah konus 

medularis. Pasien awalnya mengeluh nyeri 

radikular sesuai distribusi nervus iskhiadikus dan nyeri pada kandung kemih. Setelah 

nyeri, manifestasi klinis berikutnya yaitu  

defisit semua modalitas sensorik pada tungkai, terutama pada perineum (saddle anaesthesia). Selain itu, kelemahan tungkai tipe 

LMN dengan disertai inkontinensia urin dan 

alvi dapat terjadi pada sindrom ini. 

Konus medularis yaitu  batas bawah dari 

medula spinalis dan terletak setinggi kaTumor Spinal 

nalis spinalis Ll. Lesi konus medularis 

terisolasi menimbulkan beberapa defisit 

neurologis1 antara lain, arefleksia detrusor 

dengan retensi urin dan overflow incontinence, inkontinensia alvi, gangguan fungsi 

seksual, saddle anaesthesia, dan biasanya 

tanpa kelemahan motorik. 

Diagnosa  DAN Diagnosa  BANDING 

Diagnosa  tumor spinal secara umum 

ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan klinis, dan pemeriksaan penunjang, 

sekaligus untuk mendapat tanda dan gejala klinis sesuai letak lesi (Tabel 3). Adapun 

pemeriksaan penunjang berguna untuk 

lebih memastikan Diagnosa  dan menyingkirkan Diagnosa  banding. Adapun diagnosis banding dari tumor spinal, antara 

lain spondilitis, mielitis, multipel sklerosis, neuromielitis optik, mielopati akibat 

proses autoimun, trauma medula spinalis, 

dan proses degeneratif tulang, Pemeriksaan penunjang yang rutin dikerjakan pada 

pasien tumor spinal yaitu  pencitraan dan 

pemeriksaan laboratorium, termasuk Analisa  cairan otak.  

Pencitraan 

Foto polos dapat dikerjakan sebagai pemeriksaan awal pada pasien yang dicurigai tumor spinal. Gambaran tumor jinak atau ganas dapat dilihat dari pola destruksi tulang. 

Pola geografis cenderung mengarah kepada 

tumor jinak, sedangkan gambaran yang permeasi (moth-eaten appearance) mengarah 

ke tumor ganas. Kelainan radiologis berupa 

destruksi tulang tidak akan terdeteksi hingga kerusakan mineral tulang sudah menca-

 

pai 30-50%. Gambaran klasik dari adanya 

tumor spinal yaitu  hilangnya pedikel yang 

dapat dilihat pacta proyeksi foto anteroposterior (AP), atau disebut juga winking owl 

sign (Gambar 10). Bila erosi tulang sudah 

berlanjut, maka dapat ditemukan gambaran 

fraktur kompresi vertebra. 

Pemeriksaan bone scan sering dilakukan 

untuk mendeteksi keganasan di sistem 

muskuloskeletal (Gambar 11). Pemeriksaan ini cocok untuk kasus pasien dengan  

tumor primer dan pasien dengan gejala tumor spinal, namun  belum diketahui tumor 

primernya. Oleh sebab itu, pemeriksaan ini 

lebih diutamakan untuk skrining karena nilai spesifisitas yang rendah. Jika bone scan 

menunjukkan area terdispersi yang tersebar di beberapa tulang, maka Diagnosa nya 

mengarah ke metastasis tumor. Jika bone 

scan hanya menunjukkan sedikit tulang 

yang terlibat, maka klinisi dapat memastikan kelainan ini  dengan pemeriksaan 

CT atau MRI. 

Pemeriksaan CT scan sangat sensitif pada 

perubahan mineral tulang dan dapat 

menunjukkan proses destruksi tulang dengan resolusi lebih tinggi daripada foto po-

• 

Tumor Spinal 

los. Dengan demikian, pemeriksaan ini bisa 

lebih dini menemukan kelainan destruksi 

tulang akibat tumor. Namun, pemeriksaan 

foto palos atau bone scan tetap perlu dilakukan sebelum CT scan untuk meningkatkan nilai diagnostik. Terapat dua peran 

yang dimiliki CT scan dalam proses skrining 

pasien dengan dugaan tumor spinal, yaitu 

untuk menentukan lokasi, perluasan, dan 

karakteristik lesi spinal serta menentukan apakah tumor telah menyebar ke paru 

atau hati. Adanya lesi desak ruang di paru 

atau parenkim hati, pembesaran kelenjar 

getah bening, dan infiltrat atau efusi yang 

tidak dapat dijelaskan, menunjukkan ke arah 

ada-nya tumor primer yang bermetastasis ke 

spinal. 

Pemeriksaan MRI dapat menunjukkan gambaran struktur saraf dengan jelas, sehingga 

dapat ditentukan lokasi lesi ekstradural, 

intradural ekstramedula, dan intradural intramedula. Selain itu, pemeriksaan ini dapat 

menunjukkan besarnya kompresi medula 

spinalis dan perluasan tumor ke jaringan 

lunak di sekitar tulang vertebra. MRI dapat 

mendeteksi tumor berukuran kecil di dalam 

kanalis spinalis karena adanya peningkatan 

konten cairan intrasel dan ekstrasel akibat 

tumor. Dengan pemeriksaan MRI, klinisi 

dapat membedakan pemicu  fraktur pato-logis akibat fraktur osteoporosis atau 

proses keganasan. Karakteristik sel tumor 

pada MRI yaitu  hipointens pada T1 dan 

hiperintensi pada T2. Pemberian kontras 

gadolinium intravena akan memberi penyangatan yang kemudian akan membedakan jaringan normal dengan tumor. Pada 

pemeriksaan MRI, lesi keganasan biasanya 

melibatkan struktur pedikel, penyangatan 

yang kuat, dan keterlibatan jaringan lunak 

paravertebral. Di lain pihak, kompresi vertebra akibat osteoporosis tidak melibatkan 

struktur pedikel dan jaringan lunak paravertebral. 

Pemeriksaan Serologi dan Analisa  Caii·an 

Otak 

Pemeriksaan serologi yang dapat dilakukan 

pada metastasis tumor spinal antara lain 

serum penanda tumor untuk skrining tumor 

primer, yaitu PSA (prostat), CEA (kolorektal), 

CA 125 (ovarium), CA 15-3 (payudara), dan 

CYFRA 21-1 (paru). Pemeriksaan darah 

lengkap, albumin, ureum, kreatinin, dan tes 

fungsi liver dapat dikerjakan untuk evaluasi 

kondisi sistemik pasien. Selain itu, protein 

urin Bence-Jones untuk mendeteksi mieloma. 

Peme-riksaan Analisa  cairan otak dapat 

352 

dipakai  untuk menyingkirkan Diagnosa  

banding se-perti mielitis dan ensefalomielitis. 

Pada kasus limfoma dengan keterlibatan 

susunan saraf pusat, pungsi lumbal dilakukan 

untuk peme-riksaan Analisa  rutin dan sitologi 

cairanotak 

PENGOBATAN 

Penanganan Gawat Darurat Kompresi 

Medula Spinalis 

Kompresi medula spinalis oleh proses keganasan merupakan keadaan emergensi 

yang membutuhkan pertolongan segera 

untuk mengatasi nyeri dan mencegah progresivitas defisit neurologis pasien. Tata laksananya meliputi pemberian kortikosteroid, 

radioterapi, dan operasi. 

Kortikosteroid masih banyak diberikan pada 

pasien dengan kompresi medula spinalis 

akibat keganasan, walaupun dosis idealnya 

masih diperdebatkan. Pada prinsipnya, kortikosteroid dapat mengurangi edema vasogenik yang terjadi akibat kompresi medula 

spinalis. Adapun dosis deksametason yang 

sering diberikan yaitu  10-16mg IV bolus, · 

kemudian dilanjutkan 4-6mg tiap 4 jam. Dosis ini kemudian diturunkan selama radioterapi atau secepatnya pascaradioterapi. 

Radioterapi diberikan pada kasus ini dengan kombinasi dengan kortikosteroid 

seperti alinea di atas. Dosis yang diberikan 

sebesar 30Gy dalam 10 fraksi. Radioterapi 

dilakukan pada lesi utama dan diperluas 

hingga 1 atau 2 korpus vertebra di atas dan 

bawah dari lesi utama. Radiasi yang diberikan lebih dari 30Gy tidak menunjukkan luaran yang semakin baik 

Operasi diindikasikan hila ada instabilitas spinal. Faktor-faktor yang mengarah ke  

instabilitas spinal antara lain lokasi di persambungan (oksiput-C2, C7-Th2, Th11-L1, 

LS-Sl), ada lesi litik, adanya subluksasi/ 

listesis, kolaps korpus vertebra >50%, dan 

destruksi pedikel bilateral. Beberapa hal perlu 

dipertimbangkan sebelum menjalani operasi 

pada pasien kompresi medula spinalis akibat 

keganasan, antara lain kondisi medis lain secara umum dan prognosis secara keseluruhan. Misalnya, pasien dengan tumor metastasis 

spinal yang radiosensitif, metastasis sudah 

menyebar ke beberapa tempat, harapan hid up 

yang pendek, dan kondisi medis yang berat, 

lebih dianjurkan untuk radioterapi dan pemberian steroid daripada operasi. 

Penanganan Nyeri 

Nyeri pada tumor spinal merupakan salah 

satu jenis nyeri kanker yang ditandai dengan 

kombinasi nyeri nosiseptif dan neuropatik. 

Nyeri pada tumor spinal berhubungan dengan beberapa hal, yaitu proses sekunder 

dari keterlibatan tumor di korpus vertebra, 

fraktur kompresi, kompresi medula spinalis, atau infiltrasi radiks. PENGOBATAN farmakologi nyeri pada tumor spinal ini sama 

dengan nyeri kanker pada umumnya, yang 

pembahasannya dapat dilihat pada topik 

nyeri kanker atciu nyeri neuropatik. 

Radioterapi 

Tumor spinal yang tergolong radiosensitif 

antara lain, plasmasitoma, mieloma multipel, 

dan metastasis tumor spinal dari payudara, 

prostat, dan small cell lung cancer. Pada sebagian besar kasus lain, rekomendasinya yaitu  

radioterapi eksternal pascaoperasi reseksi tumor. Radioterapi praoperasi dapat dilakukan 

bertujuan untuk mengecilkan massa tumor. 

Namun, radioterapi praoperasiharus diperhatikan karena dapat meningkatkan risiko infeksi dan masalah penyembuhan luka. 

Tumor Spinal 

Kemoterapi 

Kemoterapi dapat diberikan sebelum atau 

setelah operasi. Pada keterlibatan sarkomatosa di spinal, kemoterapi praoperasi 

dapat memfasilitasi tindakan reseksi tumor. Pada sebagian besar kasus lain, kemoterapi kombinasi pascaoperasi diberikan pada tumor ganas spinal. 

Rehabilitasi 

Selain PENGOBATAN di atas, aspek rehabilitasi juga perlu diperhatikan demi kualitas 

_ hidup pasien yang baik. Salah satu bentuk rehabilitasi yang dapat diberikan pada 

pasien kanker yaitu  korset spinal. Korset 

memberikan dukungan eksternal tambahan 

pada segmen spinal yang fungsinya terganggu karena tumor. Tujuan pemakaian korset 

spinal antara lain restriksi gerakan, penyejajaran (alignment) spinal, dan dukungan 

aksial badan. Namun, pemakaian korset 

bukannya tanpa kontroversi. Kegunaan korset dalam mencapai tujuannya dipengaruhi 

oleh ketebalan jaringan lunak yang be