Tampilkan postingan dengan label neurologi 2. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label neurologi 2. Tampilkan semua postingan

neurologi 2












 otak. 

Transplantasi ginjal dapat menimbulkan komplikasi neurologis sekitar 6-21%, terutama 

stroke (8%), disusul neuropati akut (umumnya 

neuropati N. Femoralis) akibat kompresi saraf 

oleh retraktor saat tindakan operasi, dan polineuropati. Prognosis komplikasi ini umumnya 

baik dengan kemungkinan pulih yang besar.

Komplikasi neurologis merupakan komplikasi yang paling sering terjadi pada pascatransplantasi hati, yaitu mencapai 70%. 

Hal ini disebabkan oleh rumitnya prosedur 

transplantasi dan buruknya kondisi pasien, 

sehingga terutama memicu ensefalopati, disusul kejang dan stroke.

EVALUASI NEUROLOGIS

Evaluasi neurologis mencakup anamnesis 

detail mengenai keluhan dan riwayat penyakit pasien, pemeriksaan fisik umum dan 

neurologis, serta pemeriksaan penunjang 

jika diperlukan.

1. Anamnesis

Dalam anamnesis sebaiknya ditanyakan 

keluhan neurologis, riwayat penyakit nonneurologis (seperti diabetes, hipertensi, 

penyaldt jantung, dan gangguan darah) 

dan penyaldt neurologis (seperti stroke, 

epilepsi, atau penyakit Parkinson}. Hal 

ini penting untuk mengidentifikasi pasien 

dengan risiko tinggi mengalami komplikasi 

preoperatif. Selain itu, riwayat pengobatan 

juga perlu ditanyakan untuk dilakukan 

evaluasi terhadap pemberiannya.

Pasien diabetes, terlebih yang kontrol

glikemiknya kurang baik, berisiko 

komplikasi infeksi perioperatif dan komplikasi neurologis yang tinggi. Pasien 

hipertensi berisiko perdarahan 

pascaoperasi lebih tinggi serta kemungkinan terjadinya hipoperfusi serebral 

pascaanestesi akibat terganggunya mekanisme autoregulasi serebral. Riwayat 

penyakit jantung dan aritmia juga meningkatkan risiko terjadinya hypoxic ischemic injury serta kejadian emboli serebral.

Adanya riwayat gangguan darah penting untuk dideteksi sebelum operasi 

sebab  dapat memicu komplikasi 

perdarahan atau sumbatan pascaoperasi. 

Demikian pula ada tidaknya gangguan 

fungsi hati yang mengganggu fungsi koagulasi penting untuk diketahui, mengingat akan mempengaruhi pemilihan obat 

sedasi, anestesi, dan antibiotik serta kemungkinan komplikasi perdarahan pascaoperasi

Riwayat gangguan neurologis termasuk 

stroke dan TIA, epilepsi, serta penyaldt 

Parldnson akan memengaruhi kemungkinan komplikasi neurologis preoperatif 

pada jenis operasi tertentu serta pemilihan obat-obat sedasi dan jenis anestesi. 

Riwayat pengobatan pasien juga menjadi 

hal yang penting untuk dievaluasi (Tabel 

5). Termasuk penilaian riwayat diet dan 

perubahan berat badan pasien dapat menggambarkan status nutrisi pasien, sebab  

kondisi malnutrisi dapat meningkatkan 

risiko komplikasi neurologis preoperatif. 

2. Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik umum terutama penilaian sistem kardiovaskular dan pernapasan pending untuk dikerjakan pada 

evaluasi preoperatif. Pada pasien dengan 

riwayat trauma kepala perlu dipastikan 

bahwa tulang servikal stabil dan tidak terdapat gejala kompresi medula spinalis. 

Oleh sebab  adanya kelainan ini  akan 

mengubah manajemen operasi dan sistem 

pemapasan, seperti kebutuhan tindakan 

intubasi khusus dengan serat optik serta 

pengawasan pemapasan yang lebih ketat

Pemeriksaan status neurologis lengkap 

amat penting untuk mengetahui kondisi 

klinis terkini pasien, perlu tidaknya tindakan operasi segera, dan menentukan prognosis pascaoperasi. Sebagai 

contoh, pasien dengan skor SKG <9 

sebelum operasi berisiko tinggi 

untuk mengalami hipoksia dan hiperkarbia yang akan meningkatkan tekanan intrakranial. Pasien dengan kesadaran menurun seperti ini harus segera 

dilakukan ventilasi mekanik dan stabilisasi sebelum prosedur operasi.

3. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan laboratorium rutin seperti 

darah perifer, hemostasis, fungsi ginjal, 

fungsi hati, elektrolit, dan gula darah 

penting untuk dievaluasi. Pemeriksaan 

laboratorium lain dilakukan atas indikasi 

berdasar  anamenesis, pemeriksaan 

fisik ataupun dari jenis operasi yang 

akan dilakukan. Misal, pemeriksaan 

albumin perlu dilakukan jika pasien 

dicurigai malnutrisi dan urinalisis jika 

dicurigai ada  infeksi saluran kemih 

(ISK) atau risiko tinggi ISK (pada pasien

cedera medula spinalis), dan pada 

operasi urologi.

Pemeriksaan elektrokardiogram (EKG) 

preoperatif diperlukan pada riwayat penyakit kardioserebrovaskular dan pulmonar, pasien lald-laki usia >40 tahun atau 

wanita >50 tahun, dan pasien dengan faktor 

risiko multipelyang akan menjalani operasi 

kardiovaskular. Pemeriksaan Rontgen 

toraks diperlukan pada pasien dengan 

riwayat merokok, infeksi saluran pernapasan, obstruksi saluran napas kronik, 

dan riwayat penyakit kardioserebrovaskular.

Pemeriksaan penunjang lain yang 

spesifik dengan kondisi klinis pasien 

serta jenis tindakan operasi akan dibahas 

lebih detail berikut ini.

EVALUASI PREOPERATIF PADA PASIEN

DENGAN PENYAKIT NEUROLOGIS SPESIFIK

1. Penyakit Neuromuskular

Pasien dengan penyakit neuromuskular 

seperti distrofi muskular, miotonia, 

amyotrophic lateral sclerosis (ALS), dan 

miastenia gravis (MG) berisiko 

komplikasi jantung dan paru yang tinggi 

bila akan dilakukan tindakan operasi.

Risiko komplikasi jantung dapat mengancam nyawa berupa disritmia dan 

depresi kontraktilitas otot miokard, sehingga pemeriksaan fungsi jantung preoperatif seperti EKG dan ekokardiografi 

harus dilakukan. Bila ditemukan adanya 

gangguan konduksi jantung, maka obatobatan yang dapat memperlambat 

konduksi jantung (seperti halotan atau 

atropin) serta memiliki efek disritmia 

jantung (seperti suksinilkolin) harus dihindari. Anestesi umum dengan propofol dan short-acting opioid lebih dianjurkan pada pasien seperti ini.

Faktoryangmeningkatkan risiko komplikasi 

paru yaitu  beratnya penyakit sebelum 

operasi, riwayat krisis miastenia, gejala 

bulbar yang berat, durasi MG >6 tahun, 

riwayat penyakit saluran napas obstruktif 

kronik, dosis piridostigmin >750mg/hari, 

dan kapasitas vital paru preoperative <3L. 

Risiko pneumonia juga meningkat, sehingga 

penting untuk dievaluasi riwayat penyakit 

saluran napas dan pemeriksaan fungsi 

respirasi sebelum operasi. Pada pasien MG, 

risiko komplikasi paru pada tahap  preoperatif 

amat besar aldbat kelemahan otot orofaring 

dan otot pernapasan, serta prosedur 

operasi itu sendiri yang merupakan salah 

satu pencetus krisis miastenia.

Pada tahap  preoperatif, harus dipastikan 

status respirasi dalam kondisi optimal 

untuk mencegah krisis pascaoperasi, antara lain dengan penghentian rokok, suction agresif, fisioterapi dada, pemakaian  

bronkodilator, ventilasi tekanan positif 

non-invasif, dan terapi infeksi pernapasan. Obat-obatan yang dapat menyebabkan kelemahan otot juga sedapat mungkin dihindari, seperti agen anestesi yang 

bersifat memblok neuromuskular, anestesi lokal (seperti prokain dan silokain}, antibiotik (terutama golongan aminoglikosida, 

beta-laktamase, florokuinolon, makrolid, 

sulfonamid, tetrasiklin, ldindamisin, polimiksin B, dan vankomisin), antikonvulsan (seperti barbiturat, benzodiazepin, 

gabapentin, fenitoin, dan trimetadion), 

antireumatik (seperti penisilamin dan 

klorokuin), obat kardiovaskular (golongan 

anti aritmia, penyekat beta, penyekat

kanal kalsium, dan diuretik), obat saluran 

cerna (seperti antasida, laksatif, dan tokolitik intravena), obat psikiatri golongan 

litium, obat yang mempengaruhi hormon 

(seperti kortikosteroid, estrogen, dan hormon tiroid) serta obat-obat lain seperti interferon, agen kontras iodin, kuinin, opiat/ 

narkotika, timolol oftalmik, dan triheksifenidil.

Operasi sebaiknya ditunda pada kondisi miastenia yang belum stabil. Untuk 

mengoptimalkan status respirasi, meminimalisir kelemahan otot, dan mengurangi 

risiko krisis pascaoperasi, dapat dipertimbangkan pemberian imunoglobulin intravena (IVIG) atau plasmafaresis preoperatif. 

Demildan pula terapi ini  dapat diberikan segera jika teijadi krisis pascaoperasi.

Manajemen anestesi dan obat antikolinesterase sangat penting diperhatikan. 

Obat antikolinesterase harus dihentikan 

sehari sebelum atau jika memungkinkan 

pada hari operasi dengan komunikasi ke 

dokter anestesi apabila memakai  

neuromuscular blocking agent untuk 

anestesi. Pasien MG sangat peka  terhadap agen anestesi nondepolarisasi. 

Oleh sebab  itu, dianjurkan menggunakan agen nondepolarisasi yang bersifat kerja cepat (seperti mivakurium atau 

atrakurium), menghindari pemakaian  

suksinilkolin, dan menurunkan dosis 

agen anestesi, yaitu 20-50% dari dosis 

pasien non-MG untuk mencegah kelemahan otot yang signifikan. Apabila memungkinkan, sebaiknya memakai  

anestesi inhalasi, anestesi regional, dan 

blok spinal yang dapat mengurangi kebutuhan blok neuromuskular. Blok saraf 

tepi dan/atau blok spinal dapat diper-

 timbangkan untuk diperpanjang hingga 

periode preoperatif untuk mencapai 

manaj emen nyeri yang optimal, mengingat 

stres akibat nyeri dapat mempresipitasi 

krisis miastenia.

Kebutuhan pasien akan antikolinesterase 

biasanya berkurang dalam 48 jam pertama 

pascaoperasi, sehingga obat ini harus diberikan kembali dengan titrasi bertahap 

untuk mencegah krisis kolinergik. Pernberian dimulai dari setengah dosis preoperatif pada 12 jam pascaprosedur dan 

dititrasi hingga dosis penuh dalam 48 jam. 

Jika kondisi pasien cukup berat sehingga 

diperlukan antikolinesterase intravena, 

maka pasien sebenarnya dalam kondisi 

krisis terindikasi pemberian IVIG atau 

plasmafaresis.

2. Penyakit Parkinson dan Parkinsonism

Penyakit Parkinson dan parldnsonisme 

seperti multiple system atrophy (MSA] 

dan progressive supranuclear palsy (PSP) 

berisiko infeksi saluran kemih 

(ISK], pneumonia aspirasi, delirium, 

jatuh, serta komplikasi akibat imobilisasi, 

seperti ulkus dekubitus, dan trombosis 

vena dalam pascaoperasi.

Pneumonia akibat aspirasi yang sering 

terjadi preoperatif terutama saat obat 

golongan dopaminergik dihentikan, menjadi pemicu  utama kematian. Selain itu, 

berkurangnya kapasitas pernapasan juga 

dapat meningkatkan risiko pneumonia, 

dan atelektasis pasca operasi. Oleh sebab  

itu, pada pasien penyakit Parkinson pemeriksaan fungsi paru preoperatif harus menjadi perhatian ldiusus, dilanjutkan latihan 

pernapasan pascaoperasi.

Manajemen antiparkinson juga penting diperhatikan; golongan penghambat monoamin oksidase (MAO) sebaiknya dihentikan untuk mencegah sindrom serotonin, 

golongan dopaminergik dianjurkan untuk 

dilanjutkan (Tabel 5). Oleh sebab  penghentian obat dopaminergik meskipun 

singkat, 6-12 jam, juga meningkatkan 

risiko terjadinya parkinsonism-hyperpirexia syndrome (PHS).

PHS memiliki gejala menyerupai neuroleptic malignant syndrome (NMS), yakni 

hiperpireksia, disautonomia, rigiditas, 

penurunan kesadaran, dan peningkatan 

kadar kreatinin-kinase. Rigiditas pada 

PHS dapat amat berat, sehingga mengganggu ventilasi dan memicu  komplikasi lanjutan seperti disseminated intravascular coagulation (DIG), tromboemboli 

vena, pneumonia aspirasi, dan acute kidney injury. Apabila dicurigai terjadi PHS, 

dianjurkan pemberian obat dopaminergik 

segera serta terapi suportif berupa resusitasi cairan, antipiretik, bantuan ventilasi, 

dan hemodialisis jika diperlukan.

Seperti halnya epilepsi, jangka waktu 

penghentian obat dianjurkan untuk diminimalisir. Operasi sebaiknya dilakukan 

pada pagi hari dan obat-obat dilanjutkan 

sampai menjelang operasi dan dilanjutkan kembali segera sesudah nya, melalui 

jalur nasogastrilc jika pasien tidak dapat 

menelan atau jalur alternatif levodopa 

parenteral/topikal,

3. Demensia

Pada pasien demensia atau gangguan 

fungsi kognitif, harus dilakukan evaluasi 

diagnostik untuk menentukan pemicu  

dan reversibilitas demensianya. Jika pe-

 

nyebabnya reversibel dianjurkan dikoreksi 

sebelum tindakan. Namun jika ireversibel, 

maka perlu edukasi pasien dan keluarga 

bahwa pemulihan fungsi kognitif pascaoperasi akan lama atau bahkan tidak pulih 

total, serta akan ada kemungkinan terjadi 

delirium. Oleh sebab  itu setidaknya diperlukan evaluasi diagnostik, seperti pemeriksaan fungsi tiroid, kadar vitamin B, penanda 

infeksi, penanda toksisitas obat, serta pencitraan untuk menemukan ada tidaknya 

hematoma subdural, normal pressure hydrocephalus (NPH), dan tumor intrakranial.

Manajemen pengobatan demensia dengan 

penghambat kolineseterase penting diperhatikan, sebab  berpotensi mengalami 

gangguan fungsi hati. Oleh sebab  itu, 

sebaiknya berhati-hati memakai  

anestesi uap yang mengandung halogen, 

dianjurkan pemeriksaan fungsi hati sebelum tindakan, dan hindari pemakaian  

antikolinergik Namun jika tetap diperlukan antikolinergik, gunakan glikopirolat 

ketimbang tropin atau skopolamin. Penggunaan obat anestesi seperti propofol atau 

sevofluran dapat mempercepat pemulihan 

status mental pascaanestesi.

4. Multipel Sklerosis

Beberapa studi mengindikasikan bahwa 

anestesi, terutama anestesi regional dapat 

memperburuk kondisi klinis pasien multipel sklerosis (MS). sebab  itu, penting untuk mengedukasi pasien sebelum tindakan 

bahwa tindakan bedah dan anestesi dapat 

memicu  relaps meskipun telah dilakukan manajemen preoperatifyangbaik.

Manajemen pengobatan penting diperhatikan. Pemberian antikolinergik

seperti atropin pada pasien MS yang 

memakai  kateter intermiten atau 

telah menkonsumsi antikolinergik, membutuhkan kehati-hatian. Pasien MS yang 

mendapat  kortikosteroid mungkin 

memerlukan suplementasi steroid selama periode preoperatif. Pasien MS yang 

mendapat  baklofen dan asupan oralnya 

terhenti selama periode preoperatif, dapat 

diganti sementara dengan diazepam secara bertahap. Baklofen tidak tersedia 

dalam bentuk injeksi, sehingga penghentian secara tiba-tiba dapat mengakibatkan kejang atau halusinasi. Terakhir, 

pemberian interferon dan glatiramer 

asetat dapat dilanjutkan selama periode 

preoperatif.

5. Stroke dan Transient Isch em ic Attack (TIA)

Pasien dengan riwayat stroke dan TIA 

berisiko tinggi untuk mengalami 

stroke pada periode preoperatif khususnya pada prosedur operasi jantung dan 

pembuluh darah besar. Pada prosedur 

operasi nonkardiak, pasien dengan faktor risiko kardiovaskular yang minimal 

biasanya tidak memerlukan evaluasi preoperatif yang khusus. Namun pada pasien 

dengan riwayat stroke atau TIA dan akan 

dikerjakan operasi kardiovaskular, maka 

evaluasi preoperatif harus dilakukan secara detail, yakni mencakup pemeriksaan 

transesophageal echocardiography (TEE), 

serta Doppler karotis dan transkranial.

Stroke preoperatif biasanya disebabkan 

kardioemboli, sehingga perlu dilakukan 

evaluasi fibrilasi atrial. Pemberian amiodaron atau penyekat beta dapat menurunkan insidens AF dan stroke pascaoperasi. 

6. Epilepsi

Pasien epilepsi berisiko tinggi untuk 

mengalami kejang preoperatif yang kemudian meningkatkan risiko hipoksia, 

menunda perbaikan kesadaran pascaanestesi, memperpanjang ventilasi mekanik, 

dan bahkan meningkatkan kematian 

akibat instabilitas otonom. Risiko ini terutama pada pasien yang kejangnya belum terkontrol baik Untuk itu, meskipun 

tidak direkomendasikan secara rutin, 

penting memastikan OAE berada dalam 

kadar terapeutik selama periode preoperatif. OAE harus harus terus diberikan sampai pagi liari menjelang operasi 

dan jika diperlukan berikan secara intravena sampai asupan oral dapat diberikan 

kembali. Selain itu, interaksi OAE dengan 

agen anestesi juga penting diperhatikan, 

misal: fenobarbital dapat mempercepat 

dan meningkatkan biotransformasi obat 

anestesi. Obat anestesi juga dapat meningkatkan kerentanan terhadap kejang, 

maka pertimbangkan pemakaian  obat 

anestesi seperti barbiturat, benzodiazepin, propofol, halotan, atau isofluran.

Selain mengatasi kejang, tata laksana 

pascaoperasi juga penting untuk mengidentifikasi dan mengatasi pemicu kejang 

secara cepat, dapat berupa gangguan 

metabolik, efek obat, atau adanya injury

intrakranial. Pada pasien yang tidak perbaikan kesadaran pascakejang meskipun 

telah diberikan OAE, harus dipertimbangkan kemungkinan nonconvulsive status

epilepticus (NCSE). Oleh sebab  itu diperlukan pemeriksaan EEC dan EEC monitoring. Jika disertai defisit neurologis fokal, 

dianjurkan pemeriksaan pencitraan otak 

untuk memastikan pemicu  kejang atau

kelainan struktural otak yang mungkin 

terjadi.

Pasien epilepsi juga berisiko mengalami 

bangkitan nonkonvulsif psikogenik (psychogenic nonepiieptic convulsions') pada 

periode preoperatif. Komplikasi pascaoperasi lain yaitu  pneumonia, sepsis, 

perdarahan, gagal ginjal akut, dan infeksi. 

Pasien epilepsi umumnya memiliki komorbiditas preoperatif dibandingkan pasien 

nonepilepsi.

 







PUNGSI LUMBAL DAN 

ANALISIS CAIMAN SEREBROSPINAL


Analisis cairan serebrospinal (CSS) merupakan salah satu pemeriksaan penunjang 

di bidang neurologi, di samping pemeriksaan neurofisiologi (elektroensefalografi/ 

EEG, elektromiografi/EMG, evoked potential} dan pencitraan (CT scan, MRI, ultrasonografi/USG Doppler). Pemeriksaan ini 

bertujuan untuk mendiagnosa  beberapa 

penyakit, antara lain meningitis, ensefalitis, 

perdarahan subaraknoid, sindrom GuillainBarre, dan sindrom paraneoplastik. Analisis 

cairan serebrospinal juga dilakukan untuk 

menyingkirkan diagnosa  banding. Untuk 

dapat melakukan analisis cairan serebrospinal, klinisi perlu melakukan tindakan 

pungsi lumbal dan selanjutnya dianalisis di 

laboratorium. Bab ini menjelaskan fisiologi 

cairan serebrospinal, prosedur pungsi lumbal, 

dan pemeriksaan cairan serebrospinal.

CAIRAN SEREBROSPINAL

Cairan serebrospinal merupakan filtrat 

jernih dari plasma yang diproduksi oleh 

sel-sel pleksus koroid, yang berada di ventrikel lateral, ventrikel ketiga, dan ventrikel 

keempat (Gambar 1). Sekitar dua pertiga 

volume CSS diproduksi di ventrikel lateral 

dan ventrikel keempat, sedangkan sumber

produksi sepertiga lainnya belum jelas. 

CSS yang diproduksi di ventrikel lateral 

akan mengalir ke ventrikel ketiga, melewati 

akuaduktus sylvii, dan mencapai ventrikel 

keempat. Selanjutnya, CSS mengalir melalui 

foramen Luschka dan Magendie untuk dapat 

keluar dari serebelum dan masuk ke ruang 

subaraknoid. Di dalam ruang subaraknoid, 

CSS beredar ke atas melalui tentorium serebral dan mencapai ke seluruh konveksitas 

serebrum, hingga akhirnya menemui struktur vili araknoid. Melalui vili araknoid, CSS 

kemudian keluar dari ruang subaraknoid 

menuju sistem sinus serebral untuk diabsorpsi, dan bergabung dengan aliran vena. 

Dengan demikian, CSS berasal dari dan 

kembali ke sirkulasi darah.

Orang dewasa memiliki volume CSS sekitar 

140mL, dengan sebaran 25mL di ventrikel, 

30mL di ruang subaraknoid medula spinalis, dan sisanya 85mL di ruang subaraknoid 

otak. Laju produksi CSS berkisar antara 20- 

25mL/jam atau 500-600mL/hari. Dengan 

demikian, CSS mengalami pergantian sebanyak empat kali sehari, Produksi CSS ini 

tidak bergantung kepada tekanan CSS, kecuali pada kondisi tekanan CSS >45cmH20, 

sedangkan absorpsi CSS berbanding lurus 

dengan tekanan CSS.

 PUNGSI LUMBAL

Secara umum, pungsi lumbal bertujuan untuk 

diagnostikdan terapeutik. Pada aspek diagnostic tindalcan ini dilakukan untuk mendapat  sampel CSS dan pengukuran tekanan 

pembukaan {opening pressure). Selain itu, 

pungsi lumbal juga dilakukan untuk injeksi 

zat kontras pada pemeriksaan mielografi dan 

agen radioaktif untuk sistemografi radionuklida. Pada aspek terapi, pungsi lumbal dapat 

menurunlcan tekanan intrakranial serta untuk 

memberikan antibiotik, kemoterapi, dan obat 

anestesi intratekal.

Namun pungsi lumbal juga memiliki kontraindikasi, baik absolut maupun relatif. Kontraindikasi absolut pungsi lumbal yaitu  

kondisi kardiopulmonal yang tidak stabil 

dan adanya infeksi kulit di lokasi tindakan. 

Sementara kontraindikasi relatif ialah koagulopati, jumlah trombosit <50,000/mm3, dan 

peningkatan tekanan intrakranial dengan 

ancaman herniasi,

Beberapa komplikasi dapat terjadi pascatindakan pungsi lumbal, antara lain nyeri 

lokal, nyeri kepala pascapungsi (post lumbar 

puncture headache/PLPH], infeksi, perdarahan, nyeri radikular, hingga herniasi serebral. Nyeri kepala merupakan komplikasi 

pascatindakan pungsi lumbal yang cukup 

sering ditemukan, yaitu sekitar 25% dan berlangsung hingga 2-8 hari. Hal ini akibat kebocoran CSS melalui lubang bekas pungsi 

lumbal yang memicu penurunan 

tekanan CSS, sehingga dapat dicegah dengan 

memakai  jarum berdiameter kecil dan 

sebisa mungkin tidak melakukan pungsi 

berulang-ulang dalam satu kesempatan. Selain itu, perlu diatur kemiringan needle bevel

saat insersi, sehingga paralel dengan sumbu 

longitudinal. Anjuran untuk berbaring posisi 

horizontal pascatindakan dan hidrasi yang 

cukup tidak terbukti bermanfaat.

Ulasan Cochrane terkini menyebutkan pernberian kafein cukup efektif untuk mengurangi nyeri pada PLPH bila dibandingkan 

dengan plasebo, demikian pula gabapentin, 

hidrokortison, dan teofilin. Jika penanganan 

konservatif tidak berhasil, dapat diberikan 

blood patch untuk mengatasi tekanan CSS 

yang rendah.

Perdarahan lokal tempat insersi jarum atau 

perdarahan di ruang epidural spinal juga 

merupakan komplikasi yang dapat terjadi pascatindakan. Pencegahannya yaitu  

dengan pemeriksaan hemostasis sebelum 

pungsi lumbal serta memerhatikan penggunaan obat antikoagulan/antiplatelet. Perdarahan akibat koagulopati harus dikoreksi, 

bila perlu tindakan operasi untuk evakuasi 

bekuan darah.

Herniasi serebral pada kondisi peningkatan 

tekanan intrakranial ialah komplikasi yang 

paling dikhawatirkan pada tindakan pungsi 

lumbal. Pada penilaian klinis awal, dapat dideteksi gejala dan tanda peningkatan tekanan 

intrakranial yang sebaiknya dikonfirmasi melalui pemeriksaan CT scan/MRl. Oleh sebab  

itu, pasien dengan kecurigaan lesi desak ruang 

dan ancaman herniasi perlu dilakukan pemeriksaan CT sran/MRl sebelum tindakan untuk 

meminimalisasi komplikasi ini dengan melihat 

seberapa besar edema atau potensi herniasi 

serebral yang bisa terjadi.

Beberapa gambaran CT scan yang dapat 

menjadi petunjuk tingginya risiko herniasi 

pada pasien pascadekompresi kompartemen 

spinal ialah: 1) pergeseran garis tengah (midline shift), 2) hilangnya sisterna suprasela 

dan sisterna basalis, 3] obliterasi ventrikel 

keempat, dan 4) obliterasi sisterna serebelar 

superior dan sisterna kuadrigerminalis. Adapun pasien dengan lesi intrakranial difus dan 

tidak dijumpai ancaman herniasi, tidak rutin 

diperiksakan CT scem/MRI sebelum pungsi 

lumbal, contohnya pada kondisi ensefalopati metabolik. Pada prinsipnya, klinisi sebaiknya tidak ragu untuk tetap melakukan 

tindakan pungsi lumbal demi kepentingan 

pasien.

Tindakan pungsi lumbal ini harus dilakukan 

secara steril dan sebab  berkaitan dengan 

cairan tubuh pasien, maka operator harus 

memakai alat pelindung diri serta mempersiapkan alat dan bahan secara seksama sebelumnya (Tabel 1). 

sesudah  alat dan bahan siap, maka prosedur 

pungsi lumbal dapat dimulai. Awalnya, pasien 

diposisikan lateral dekubitus atau duduk di 

tempat tidur. Dianjurkan posisi lateral dekubitus dengan punggung di pinggir tempat tidur 

dan garis vertebra lurus untuk kemudahan 

prosedur. Bahu dan pinggul pasien diposisikan tegak lurus terhadap bidang datar sumbu 

vertebra, panggul dan lutut difleksikan. 

Bantal dapat diletakkan di bawah telinga. 

Kemudian lokasi insersi jarum ditentukan 

dengan mengambil perpotongan garis imajiner antara kedua krista iliaka dengan sumbu 

vertebra. Perpotongan ini biasanya jatuh 

pada celah intervertebralis L3-L4 (Gambar

2). Insersi jarum spinal dapat dilakukan 

pada celah ini  dan dapat bergeser 

satu celah ke arah kaudal atau kranial. Pada 

anak/bayi, lokasi insersi dapat lebih ke arah 

kaudal, mengingat medula spinalisnya masih 

ditemukan sampai tingkat celah intervertebralis L3-L4. Sedasi dengan midazolam

dilakukan jika pasien gelisah dan inkooperatif.

Selanjutnya, langkah-langkah tindakan pungsi

lumbal, sebagai berikut:

1. Gunakan alat pelindung diri (baju dan sarung tangan steril serta masker dan topi).

2. Lakukan antisepsis pada lokasi pungsi 

dengan povidone iodin dan alkohol 70%.

3. Pasang duk steril pada lokasi pungsi.

4. Lakukan anestesi lokal dengan lidokain 

1% pada kulit dan subkutis lokasi pungsi.

5. Dengan memakai  jarum spinal beserta stilet, lakukan pungsi pada titik tengah 

celah intervertebralis. Jaga posisi jarum 

tetap sejajar permukaan tempat tidur dan 

mengarah agak ke umbilikus atau kranial. 

Pastikan needle bevel tetap menghadap ke 

wajah pemeriksa (atas langit-langit).

6. Dorong jarum spinal secara perlahan 

hingga menembus ligamentum flavum 

dan menimbulkan sensasi seperti menembus kertas. Cabut perlahan-Iahan 

stilet untuk mengetahui adanya aliran 

CSS. Jika belum ada aliran CSS, maka 

stilet kembali dipasang dan secara perlahan dorong lagi jarum spinal hingga 

ada aliran CSS. Jika jarum tidak dapat 

didorong lagi, maka kemungkinan jarum 

mengenai tulang. Tarik kembali jarum 

perlahan-lahan dan dorong kembali dengan 

sudut insersi yang sedikit berbeda.

7. sesudah  ada aliran CSS, masukkan kembali stilet dan siapkan manometer untuk 

mengukur tekanan pembukaan. Pasang 

three way stopcock, lalu sambungkan 

salah satu jalur ke manometer dan tutup 

jalurlainnya. CSS akan mengalir ke dalam 

manometer hingga tidak ada perubahan, dan didapatkan nilai tekanan awal 

CSS. Nilai normal tekanan awal CSS pada 

orang dewasa yaitu  10-18cmHzO, sedangkan pada anak yaitu  28cmH20.

Tekanan ini akan sedikit meningkat bila 

pungsi lumbal dilakukan dalam posisi 

duduk. Beberapa kondisi yang dapat 

meningkatkan nilai ini yaitu  obesitas, 

agitasi, peningkatan tekanan intraabdominal (lutut dan perut difleksikan), 

dan tingginya tekanan intrakranial.

8. Jika tekanan CSS sudah didapatkan, tutup 

jalur ke arah manometer dan buka jalur 

lainnya untuk mengalirkan CSS ke dalam 

kontainer. Tampung CSS hingga diperoleh volume yang dibutuhkan.

9. Tutup jalur ke arah kontainer dan buka 

kembali jalur ke arah manometer untuk 

mengukur tekanan penutupan (closing

pressure).

10.sesudah  selesai mengukur tekanan akhir 

CSS, lepaskan three way stopcock dari 

jarum spinal.

11, Masukkan kembali stilet ke dalam jarum 

spinal. Tarik secara perlahan jarum spinal. 

Tutup lokasi pungsi dengan kassa steril. 

12. Ambil darah sebanyak 5cc untuk pemeriksaan gula darah sewaktu, untuk menentukan rasio glukosa CSS/darah.

13. Kirim sampel CSS dan darah yang telah 

diambil ke laboratorium.

ANALISIS CAIRAN SEREBROSPINAL

Analisis CSS meliputi aspek makroskopik dan 

mikroskopik. Analisis aspek makroskopik 

CSS meliputi warna dan kejernihan, sebab  

CSS yang normal jernih dan tidak berwarna. 

Perubahan warna dapat dideteksi dengan 

membandingkan warna CSS pada kontainer 

dengan air pada latar belakang dinding atau 

kertas putih dan pencahayaan matahari 

siang [daylight). Kelainan warna CSS dapat 

menjadi merah muda akibat hemoglobin, 

loaning akibat bilirubin, atau bahkan hitam 

akibat melanin. CSS yang tidak jernih bisa 

disebabkan oleh jumlah leukosit >200/gL.

Jika CSS berwarna merah umumnya akibat 

perdarahan subaraknoid atau kesalahan saat 

pungsi [traumatic tap). Kesalahan traumatic

tap dapat terjadi sebab  jarum spinal mengenai venula di pleksus Batson, sehingga darah 

ikut keluar mengalir bersama CSS. Kedua pemicu  ini harus dibedakan mengingat konsekuensi tata laksana yang sangat berbeda 

satu sama lain. Cara membedakannya dengan 

mengambil dua atau tiga serial sampel CSS 

pada satu waktu yang sama. Pada traumatic

tap, terjadi tren penurunan jumlah eritrosit 

pada sampel CSS kedua dan ketiga. Pada 

perdarahan subaraknoid, tren penurunan 

ini tidak terjadi, oleh adanya hemolisis dan 

dilusi darah dengan CSS. Proses sentrifugasi 

CSS juga dapat membedakan CSS berwarna 

merah akibat traumatic tap atau perdarahan 

subaraknoid. Pada traumatic tap, supernatan 

yang dihasilkan tidak berwarna, sementara 

perdarahan subaraknoid menunjukkan warna merah muda (awitan beberapa jam] atau 

santrokrom (beberapa hari).

Aspek mikroskopik yang dinilai meliputi 

analisis rutin, kultur, polymerase chain reaction (PCR), dan beberapa pemeriksaan spesifik lain (pita oligoklonal, venereal disease

research laboratory/VDRL, sitologi), dengan 

nilai normal seperti pada Tabel 2.

 

Analisis rutin umumnya terdiri dari hitung 

jenis sel, glukosa dan rasio glukosa CSS/ 

darah, serta protein. Pada orang dewasa, 

leukosit pada CSS normal ialah <10sel/mm3 

dengan predominan mononuklear atau limfosit Peningkatan leukosit ditemukan pada 

kondisi infeksi terutama bakteri, keganasan, 

atau perdarahan intraserebral, termasuk 

pada keadaan traumatic tap.

Kadar glukosa pada CSS lebih rendah daripada darah. Namun rasio glukosa CSS/darah 

lebih memiliki makna Minis, sehingga sangat 

penting untuk melengkapi pemeriksaan 

glukosa darah sewaktu sesudah  melakukan 

pungsi lumbal. Dalam keadaan normal, rasio 

glukosa CSS yaitu sekitar 60% glukosa darah, 

sebab  adanya penetrasi selektif dari sawar 

darah otak [SDO] atau blood brain barrier

(BBB). Turunnya rasio glukosa ditemukan 

pada kondisi patologis, seperti infeksi bakteri, tuberkulosis, dan jamur, sebab  bersifat 

glikolisis sehingga terjadi peningkatan konsumsi glukosa. Namun, rasio glukosa yang 

normal tidak dapat menyingkirkan infeksi. 

Adapun peningkatan rasio glukosa umumnya terjadi pada keadaan hiperglikemia.

Protein pada CSS didominasi oleh albumin, 

sedangkan globulin didapatkan dalam jumlah 

kecil. Nilai normal protein pada CSS ialah 

15-45mg/dL, kadar di CSS ventrikel lebih 

rendah daripada CSS sisterna. Peningkatan 

protein disebabkan oleh kerusakan SDO 

pada keadaan inflamasi dan infeksi, namun 

dapat juga akibat obstruksi aliran CSS baik 

oleh tumor atau kondisi lain. Pada keadaan

obstruksi, peningkatan ini sebab  terjadi 

kebocoran albumin plasma. Pada penyakit 

kronik seperti multipel sklerosis, juga terjadi peningkatan protein berupa y-globulin 

di CSS. Peningkatan protein umumnya disertai dengan peningkatan sel sebagai respons 

tubuh akibat proses inflamasi dan infeksi. 

Namun dapat juga terjadi disproporsi peningkatan protein yang tidak sebanding 

dengan peningkatan sel, contohnya pada 

tumor spinal, infark serebral, dan sindrom 

Guillain-Barre.

Saat ini analisis protein kebanyakan dikerjakan secara kuantitatif. Pada keterbatasan 

fasilitas, pemeriksaan protein kualitatif juga 

dapat membantu mengetahui adanya peningkatan protein, yaitu dengan tes Pandy 

dan tes Nonne-Apelt. Tes Pandy dilakukan 

dengan memberikan 1 tetes CSS pada reagen 

Pandy, dinyatakan positif bila cairan menjadi keruh akibat peningkatan globulin. Tes 

Nonne-Apelt dilakukan dengan pemberian 

ImL CSS pada lm L larutan amonium sulfat dan memberikan hasil positif jika terdapat cincin putih pada batas cairan, yang 

juga mengindikasikan adanya peningkatan 

globulin.

Bila hasil analisis CSS tidak sesuai dengan 

nilai normal, maka dapat menunjang ke 

arah suatu diagnosa . ada  beberapa diagnosis yang memiliki karakteristik tertentu 

pada analisis CSS, antara lain perdarahan 

subaraknoid, multipel sklerosis, metastasis 

leptomeningeal, serta infeksi bakteri, TB, 

dan virus [Tabel 3).

 






PEMURUNAM KESADARAN

 

Kesadaran merupakan manifestasi dari normainya aktivitas otak. Kesadaran ditandai 

dengan adanya awareness (sadar) terhadap 

diri sendiri dan lingkungan, serta memiliki 

kemampuan untuk merespons stimulus internal maupun eksternal. Menurut Plum dan 

Posner, kesadaran memiliki dua aspek, yaitu: 

derajat dan kualitas., sehingga berhubungan 

dengan tingkatkewaspadaan (alertness) atau 

tingkat keterjagaan [wakefulness].

Sementara itu, kualitas kesadaran menggambarkan fungsi kognitif dan afektif mental 

seseorang. Kualitas kesadaran bergantung 

pada cara pengelolaan impuls aferen oleh 

korteks serebri yang kemudian akan menghasilkan isi pikir, Jika derajat kesadaran terganggu, secara otomatis kualitas kesadaran 

juga akan terganggu. Namun, terganggunya 

kualitas kesadaran tidak selalu diikuti oleh 

terganggunya derajat kesadaran.

PATOFISIOLOGI

ada  dua struktur anatomi yang mempengaruhi derajat kesadaran, yaitu kedua 

hemisfer otak dan brainstem reticular activating system [RAS). Kedua struktur ini 

berperan dalam proyeksi dan penerimaan 

impuls aferen. Ada dua lintasan yang digunakan untuk menyampaikan impuls aferen 

ke korteks serebri, yaitu:

1. Lintasan sensorik spesifik, menghantarkan impuls dari reseptor ke satu titik 

di korteks sensorik primer. Lintasan ini 

melalui traktus spinotalamikus, lemniskus 

medialis, lemniskus lateralis, atau radiasio optika.

2. Lintasan sensorik nonspesifik, terdiri 

atas serabut-serabut yang ada pada formasio retikularis. Serabut-serabut ini 

memanjang di sepanjang batang otak. Formasio retikularis menerima serabut aferen, lalu memproyeksikan serabut eferen 

dari dan ke korda spinalis, nukleus saraf 

kranial, serebelum, dan hemisfer serebri. 

Beberapa nukleus yang ada di formasio 

retikularis; khususnya yang ada di midbrain, diproyeksikan ke pusat yang lebih 

tinggi (kedua hemisfer otak) dan menerima input kolateral dari berbagai serabut 

asending (seperti traktus spinotalamikus, 

traktus spinalis nervus trigeminal, traktus solitarius, dan serabut dari nukleus 

vestibular serta koklear). berdasar  

beberapa studi diketahui bahwa sistem 

ini memiliki peran meng-atur derajat kesadaran pada manusia dan menjaga siklus 

tidur-bangun [sleep-wake cycle]. Selanjutnya sistem ini  dikenal dengan nama 

ascending reticular activa-ting system

(ARAS) (Gambar 1).

 Penurunan kesadaran dapat dibagi berdasarkan etiologi, lokasi, dan karakteristik 

lesx. berdasar  etiologi, penurunan kesadaran dapat disebabkan oleh kelainan 

struktural (lesi diskret pada bagian atas 

batang otak dan bagian bawah diensefalon 

atau lesi yang mengenai kedua hemisfer) 

dan kelainan metabolik (yang mengakibatkan gangguan aktivitas neuron). Berdasarkan lokasi lesi, penurunan kesadaran dapat 

terjadi akibat: a) lesi difus kedua hemisfer; 

b) yang bisa diakibatkan oleh kelainan metabolik; c) lesi di diensefalon atau hipotalamus di mesensefaion (midbrain) atas; d) 

pons atas seperti pada emboli diarteri basilar; dan e) pons (Gambar 2).

Penurunan kesadaran juga dapat disebabkan oleh lesi kompresi dan lesi destruksi. 

Penurunan kesadaran akibat lesi kompresi, 

yaitu: 1) lesi secara langsungmemicu  

distorsi ARAS; 2} lesi memicu peningkatan tekanan intrakranial secara difus sehingga memicu  terganggunya aliran 

darah ke otak; 3) lesi memicu iskemia 

lokal; 4) lesi memicu edema otak; dan 

5) lesi memicu herniasi. Contoh lesi 

kompresi yaitu  tumor, hematoma, dan 

abses. Lesi kompresi umumnya hanya mengenai satu bagian korteks atau substansia 

alba, namun seringkali memicu kerusakan struktur yang lebih dalam. Kerusakan 

struktural ini umumnya diakibatkan oleh 

pergeseran salah satu atau beberapa bagian 

otak akibat efek desak ruang. Pergesaran ini 

memicu  hernias! dan kompresi pada 

mesensefaion dan RAS.

Sementara itu, penurunan kesadaran pada 

lesi destruksi disebabkan oleh kerusakan 

langsung struktur RAS, seperti lesi pada diensefalon atau batang otak yang bilateral, atau 

dapat juga fokal namun mengenai mesensefaion atau kaudal diensefalon. Lesi destruksi 

kortikal dan subkortikal harus bersifat bilateral dan difus untuk dapat memicu  

penurunan kesadaran, misalnya lesi akibat

gangguan metabolik, infeksi, dan trauma.

Ketidakseimbangan alttivitas metabolik pada 

neuron di korteks serebral dan nukleus sentral di otak merupakan salah satu jenis gangguan yang dapat memicu  penurunan 

kesadaran. Etiologinya dapat berupa hipoksia, iskemia global, hipoglikemia, kondisi hiper- dan hipo-osmolar, asidosis, alkalosis, hipokalemia, hiperamonemia, hiperkalsemia, 

hiperkarbia, intoksikasi obat, dan defisiensi 

vitamin. Penurunan kesadaran ini  disebabkan oleh reduksi metabolisme akibat 

menurunnya aliran darah ke otak.

 

Sebagai contoh, dalam masalah  iskemia, penurunan akut aliran darah ke otak hingga 

25mL/menit/100g jaringan otak (nilai 

normal: 55mL/menit/100g jaringan otak] 

akan memicu  perlambatan gelombang elelctroensefalografi (EEG), sinkop, 

atau penurunan kesadaran. Sementara itu, 

penurunan aliran darah hingga 12-15mL/ 

menit/lOOg jaringan otak dapat mengakibatkan electrocerebral silence, koma, dan 

perlambatan proses metabolik neuron serta 

fungsi sinaps. Neuron tidak akan bertahan 

jika aliran darah otak berkurang di bawah

8-10mL/menit/100g, Berkurangnya aliran 

darah ke otak sebanding dengan penurunan 

kecepatan metabolik sel-sel otak.

Pada masalah  koma, pemicu  koma seperti 

toksin metabolik endogen tidak selalu dapat 

teridentifikasi. Pada pasien dengan diabetes, 

badan keton (asam asetoasetat, asam betahidroksibutirat, dan aseton) dapat terdeteksi dalam konsentrasi yang tinggi. Pada 

pasien dengan uremia dapat ditemukan 

akumulasi molekul toksin yang terdialisasi, 

seperti derivat fenol yang merupakan bagian 

dari asam amino aromatik. Pada pasien 

dengan koma hepatik, peningkatan lcadar 

amonia lima sampai 6 kali di atas normal 

berhubungan dengan peningkatan risiko 

mengalami koma. Pasien dengan asidosis 

laktat juga berisiko mengalami penurunan 

kesadaran jika pH darah arteri kurang dari

7. Sementara itu, penurunan kesadaran 

pada pasien dengan insufisiensi pulmoner 

dihubungkan dengan kondisi hiperkapnia.

Pada pasien dengan hiponatremia (kadar 

Na<120 meq/L] akibat pemicu  apapun, 

terjadi penurunan kesadaran akibat perpindahan molekul air yang menyebabkan

edema neuron dan hilangnya kalium klorida 

intrasel. Beberapa jenis obat seperti sebagian 

besar obat anestesi, alkohol, opiat, barbiturat, 

fenitoin, antidepresan, dan benzodiazepin 

dapat menginduksi koma sebab  obat-obat 

ini  berkerja langsung pada membran 

neuron serebrum, RAS, atau neurotransmiter 

dan reseptornya.

Sebagian besar koma akibat toksin dan penyakit metabolik umumnya akan melewati 

beberapa tahapan penurunan kesadaran 

yang dimulai dari drowsiness, confusion, dan 

stupor, namun tiap penyakit memiliki manifestasi klinis yang khas. Perbedaan manifestasi klinis ini diduga berhubungan dengan 

mekanisme dan lokus yang terkena efek 

gangguan metabolik.

Pada pasien dengan epilepsi dengan bangkitan fokal, umumnya tidak akan menyebabkan hilangnya kesadaran, kecuali bangkitan kejang menyebar dari satu hemisfer ke 

hemisfer lainnya. Sementara itu, pada bangkitan umum (kesadaran menurun sejak awal 

kejang], sumber bangkitan diduga berasal 

dari diensefalon. Penurunan kesadaran pada 

masalah  infeksi intrakranial terjadi sebab  lesi 

yang difus pada seluruh hemisfer baik akibat inflamasi maupun edema yang disebabkannya. Pada cedera kepala tumpul, getaran 

yang terjadi akibat benturan pada tengkorak 

akan ditransmisikan ke otak sehingga mengakibatkan kerusakan jaringan otak Beberapa 

benturan bahkan memicu  gerakan rotasi pada hemisfer di sekitar medula oblongata 

bagian atas, sehingga dapat memicu 

hilangnya kesadaran. Sementara itu cedera 

kepala tajam dapat memicu  hilangnya 

kesadaran jika mengenai diensefalon dan 

medula oblongata bagian atas.

 

Secara umum teori ARAS masih berlaku 

untuk kesadaran secara umum. Namun 

dengan semakin detilnya topografi sistem 

saraf sebab  teknologi pencitraan otak mutakhir, kini dikenal teori neural correlates

o f consciousness (NCC) sebagai susunan 

sistem saraf yang bertanggungjawab pada 

kesadaran. Pada teori NCC dianut bahwa 

kesadaran yaitu  suatu kondisi seseorang 

mampu menanggapi stimulus yang adekuat. 

Stimulus dari lingkungan yang bervariasi 

ini memiliki sirkuit yang menerima sampai 

menanggapinya sendiri, sehingga mampu 

menjelaskan pasien penurunan kesadaran 

hingga tingkat koma menurut pemeriksaan 

CCS sama sekali tidak menanggapi stimulus 

tertentu namun masih mampu merespons 

stimulus lainnya. Koch dan Tononi menyebutkan hal ini sebagai content-specific NCC.

Teori ini menjelaskan bahwa kesadaran 

bukanlah semata-mata berkaitan dengan 

ARAS dan korteks hemisfer bilateral namun 

jauh lebih kompleks dari itu. ada  relasi antara batang otak, struktur subkortikal 

dan kortikal tertentu pada spesifik konten 

kesadaran, terutama berbagai struktur jejaring pusat di frontoparietal bilateral.

Dalam pembahasan content-specific NCC, 

dijelaskan bahwa sekelompok neuron dimungldnkan memiliki perbedaan daya resistensi terhadap suatu pajanan zat yang 

neurotoksik atau mempengaruhi kesadaran 

secara umum. Teori ini ke depannya menjadi landasan untuk membantu memahami 

fenomena yang dijumpai pada beberapa 

pasien yang dalam pengaruh anestesi umum 

masih dapat menanggapi stimulus spesifik 

tertentu. Termasuk menjelaskan kemungkinan perbedaan klinis respons stimulus 

spesifik pada suatu ensefalopati metabolik,

contohnya pasien dengan intoksikasi/overdosis zat A dengan zat B dapat berbeda profil klinis kesadarannya dalam hal menanggapi ragam stimulus yang spesifik. Walau 

demikian, penelitian yang dilakukan Koch 

dan Tononi belum sampai pada evaluasi 

pasien koma sebab  berbagai keterbatasan 

teknis penelitian.

GEJALA DAN TANDA KLINIS

Anamnesis merupakan hal terpenting yang 

harus dilakukan terhadap semua riwayat 

penurunan kesadaran. Secara klinis, kesadaran dapat dinilai berdasar  respons 

pasien terhadap pemeriksanya di sisi tempat 

tidur. Namun pada pasien dengan penurunan kesadaran, anamnesis hanya dapat 

dilakukan pada orang lain yang mengetahui gejala dan riwayat penyakit pasien. 

Jika tanpa riwayat penyakit sebelumnya, 

penurunan kesadaran tiba-tiba umumnya 

disebabkan oleh keracunan obat, perdarahan subaraknoid, atau trauma kepala. Pada 

pasien lansia, penurunan kesadaran yang 

tiba-tiba seringkali terjadi akibat perdarahan serebral atau infark. Lesi kompresi pada 

masalah  penurunan kesadaran seringkali berhubungan dengan trauma (perdarahan epidural). Gejala yang sering dikeluhkan pasien 

yaitu  nyeri kepala yang semakin lama semakin memberat.

Onset penurunan kesadaran yang gradual 

merupakan ciri khas masalah  penurunan kesadaran yang diakibatkan oleh gangguan 

metabolik. Jika ada  riwayat depresi atau 

kelainan psikiatri lainnya bisa diakibatkan 

oleh intoksikasi obat. Pasien dengan riwayat 

penyakit diabetes melitus, gagal ginjal, penyakit jantung, atau penyakit kronik lainnya 

seringkali mengalami penurunan kesada-

 

ran akibat gangguan metabolik atau infark 

batang otak. Riwayat gejala kelemahan tubuh 

atau gangguan sensoris unilateral atau diplopia umumnya mengarahkan lesi pada serebral atau batang otak.

K em ungkinan pen yeb ab p e n u ru n an k e ­

sa d a ra n b e rd a sa rk a n a n a m n e sis

1. Penurunan kesadaran yang tiba-tiba 

disertai defisit neurologis yaitu  khas 

akibat gangguan vaskular, seperti stroke 

atau perdarahan subaraknoid. Jika terdapat riwayat trauma dapat dicurigai 

perdarahan intrase rebral.

2. Penurunan kesadaran yang gradual 

(dalam hitungan beberapa hari hingga 

beberapa minggu atau lebih) seringkali disebabkan oleh tumor, abses, atau 

perdarahan subdural kronik.

3. Penurunan kesadaran yang didahului 

oleh acute confusional state atau delirium, 

tanpa tanda dan gejala lateralisasi, kemungkinan besar disebabkan oleh kelainan metabolik atau infeksi (meningitis 

atau ensefalitis).

Pemeriksaan ini harus dilakukan pertama 

kali sebelum melakukan pemeriksaan lainnya. Pemeriksaan airway berfungsi untuk 

memastikan jalan napas pasien terbuka, 

sedangkan breathing untuk menilai pernapasan spontan dan pola pernapasan 

pasien, Pola pernapasan dapat menjadi 

petunjuk etiologi atau topis yang menyebabkan pernapasan abnormal, seperti: a] 

Cheyne-Stokes, pada ensefalopati metabolik atau pada lesi yang mengganggu fungsi 

otak depan atau diensefalon; b) hiperventilasi neurogenik sentral, pada ensefalopati 

metabolik; c) apneusis, pada pasien lesi di

pons bilateral; d) Master dan ataxic, pada 

pasien lesi di pontomedullary junction; dan 

e) apneu, pada lesi di medula sisi ventrolateral bilateral.

Pemeriksaan circulation berfungsi untuk 

memastikan ada atau tidaknya hubungan 

penurunan kesadaran pada pasien dengan 

perfusi darah ke jaringan. Pemeriksaan ini 

dilakukan dengan melihat warna kulit pasien; 

sianosis merupakan tanda kekurangan oksigen, kemerahan (cherry red color) merupakan indikasi adanya intoksikasi gas karbon 

monoksida, dan sebagainya. Pemeriksaan 

oksigenasi yang lebih akurat dapat dilakukan dengan memakai  pulse oximetry di 

ujungjari pasien.

Pemeriksaan fisik umum dilakukan sesudah  

yakin pasien telah dalam kondisi stabil (dari 

segi airway, breathing, dan circulation), untuk 

mencari tanda dan gejala kemungkinan pemicu  terjadinya penurunan kesadaran.

1. T ek an an D arah

Tekanan darah yang tinggi pada penurunan kesadaran umumnya berhubungan 

dengan peningkatan tekanan intrakranial, 

seperti perdarahan intraserebral atau lesi 

desak ruang. Namun, peningkatan ini bisa 

jadi merupakan suatu konsekuensi dari 

proses lain yang menjadi pemicu  penurunan kesadaran.

2. Suhu

Hipotermia dapat ditemukan pada penurunan kesadaran akibat intoksikasi obat 

sedatif atau etanol, hipoglikemia, ensefalopati Wernicke, atau ensefalopati 

hepatikum. Hipertermia umumnya akibat 

stroke, status epileptikus, intoksikasi obat 

anestesi, intoksikasi obat antikolinergik, 

perdarahan pontin, atau lesi pada hipotalamus.

3. P e rn a p a sa n

Bertujuan untuk memastikan pernapasan 

pasien adekuat untuk memasok oksigen 

jaringan, terutama otak. Hal ini dapat 

diketahui dengan cara menilai frekuensi dan 

kedalaman pernapasan pasien. Frekuensi 

pernapasan normal yaitu  14-20 kali 

permenit.

4. T an d a T rau m a:

a. Raccoon eyes, suatu ekimosis periorbital.

b. Tanda Battle, suatu pembengkakan 

dan perubahan warna pada jaringan 

yang melapisi tulang mastoid di belakang telinga.

c. Rinorea atau otorea, merupakan suatu 

kondisi ketika cairan serebrospinal 

mengalir keluar melalui hidung atau 

telinga. Rinorea cairan serebrospinal 

harus dibedakan dari rinorea aldbat 

penyakit lain seperti rinitis alergi.

d. Pada palpasi dapat ditemukan tanda 

fraktur tulang tengkorak, fraktur tulang 

belakang, atau edema jaringan lunak 

pada sisi yang mengalami trauma.

5. T anda p ad a Kulit

Pada inspeksi kulit dapat ditemukan 

beberapa tanda yang dapat membantu 

mencari pemicu  turunnya derajat kesadaran. Selain warna kulit seperti pada 

pemeriksaan circulation, adanya memar 

multipel pada skalp termasuk tanda 

fraktur intrakranial, telangiekstasis dan 

hiperemia pada wajah dan konjungtiva 

dapat menjadi tanda keracunan alkohol. 

Adanya jejak bekas suntikan pada kulit 

dapat ditemukan pada pasien yang memiliki riwayat penyalahgunaan obat, 

keringat yang berlebihan dapat menjadi 

tanda hipoglikemia atau sy ok, serta kulit 

yang sangat kering dapat menjadi tanda 

asidosis diabetik atau uremia. Turgor 

kulit akan menurun pada dehidrasi. Sementara itu, luka akibat tekanan atau 

bula dapat menjadi tanda pasien telah 

berbaring pada satu posisi dalam waktu 

yang cukup lama.

P em erik saan N eurologis

Pemeriksaan neurologis merupakan pemeriksaan utama untuk menegakkan etiologi 

penurunan kesadaran. Yang penting dicari 

yaitu  ada tidaknya tanda-tanda herniasi 

sebagai keadaan gawat darurat, serta defisit 

neurologis untuk menentukan lesi pemicu nya, yaitu fokal atau difus, dan merupakan 

lesi intrakranial atau sistemik, Pemeriksaan 

yang perlu dilakukan yaitu  pemeriksaan 

derajat kesadaran, ukuran dan reaktivitas 

pupil, pergerakan bola mata, dan kekuatan 

motorik,

1. P e m e rik sa a n D erajat K esad aran

Dapat dilakukan secara kualitatif maupun kuantitatif, berdasar  dua hal, 

yaitu: 1) besarnya stimulus yang dibutuhkan untuk membangunkan pasien hingga 

memberikan respons dan 2} kualitas respons pasien saat terbangun.

Jika pasien tidak berespons terhadap stimulus suara atau guncangan yang keras, 

selanjutnya diberikan rangsang nyeri. 

Nyeri pertama dicoba pada permukaan 

kuku atau supraorbita atau sendi temporomandibular, pada satu sisi dahulu 

disusul pada sisi lainnya. Hal ini dilakukan 

untuk menilai kemungkinan lateralisasi 

respons motorik. Jika tidak berespons, 

rangsang nyeri diberikan di sternum. 

Pada penurunan kesadaran ringan, rangsang nyeri berupa gesekan pada sternum 

seharusnya bisa membangunkan pasien.

Pasien yang dapat dibangunkan dengan 

stimulus panggilan nama atau guncangan 

ringan pada tubuh, dikatakan berada 

dalam kondisi somnolen. Pasien yang 

berespons dengan stimulus guncangan 

kuat, dikatakan dalam kondisi letargi. 

Pasien yang baru berespons dengan 

rangsang nyeri pada sternum, kemudian 

berespons dengan cara melokalisir ke 

arah datangnya rangsang, dikatakan berada dalam kondisi stupor. Sementara 

itu, jika pasien tidak melokalisir arah 

datangnya rangsang dan hanya memberikan respons motorik yang nonspesifik, pasien dikatakan dalam kondisi semikoma. Pasien yang sama sekali tidak 

memberikan respons terhadap rangsang 

nyeri, dikatakan berada dalam kondisi 

koma. Penentuan ini  merupakan 

cara penentuan kasar atau hanya bersifat 

kualitatif.

Penentuan derajat kesadaran secara 

kuantitatif dilakukan dengan menggunakan skala koma, yang dapat dipakai  

sebagai prognosis. ada  beberapa 

macam skala koma, yaitu skala koma 

Glasgow (SKG), alert; confused, drowsy,

unresponsive (ACDU), alert, response

to voice, response to pain, unresponsive

(AVPU), dan full outline o f unresponsive

(FOUR). Skala koma Glasgow merupakan 

skala koma yang lebih sering dipakai  

pada cedera kepala. ACDU dan AVPU 

merupakan skala koma yang hampir 

sama akuratnya dengan SKG, namun

lebih mudah untuk dipakai . ACDU 

diketahui lebih baik dalam mengidentifikasi tanda awal penurunan kesadaran 

dibandingkan AVPU. FOUR menyediakan 

status neurologis pasien dengan lebih 

detil, sehingga pemeriksaannya juga lebih 

rumit

Skala koma yang paling sering digunakan yaitu  skala koma Glasgow/SKG 

[Tabel 1], Hal ini disebabkan sebab  

dapat mendeskripsikan dan menilai 

derajat penurunan kesadaran, dapat 

dipakai  untuk memonitor derajat 

penurunan kesadaran, dan dapat menjadi indikator tingkat keparahan suatu 

penyakit Pasien dengan skor SKG <15 

dikatakan mengalami penurunan kesadaran, lebih khusus lagi jika skor SKG 

<8 berarti pasien berada dalam keadaan 

koma.

Berikut ini yaitu  definisi derajat kesadaran dimulai dari yang tertinggi hingga terendah:

a. Kompos mentis, merupakan suatu kondisi sadar penuh terhadap isi pikir atau 

persepsi dari diri sendiri dan lingkungan 

yang dibuktikan dengan respons berupa 

sikap dan kemampuan berbahasa yang 

sesuai dan sama dengan pemeriksa.

b. Kesadaran berkabut, merupakan suatu 

kondisi penurunan kesadaran dalam 

bentuk hipereksitabilitas dan iritabilitas 

yang berselang-seling dengan kondisi 

mengantuk, Pasien dengan kesadaran 

berkabut umumnya mengalami disorientasi ringan terhadap waktu dan tempat, 

serta cenderung sulit memusatkan perhatian. Pasien akan mengalami kesulitan 

jika diminta menghitung mundur angka 

serta cenderung mengantuk di siang hari 

dan agitasi di malam hari.

c. Delirium, berdasar  Diagnostic and

Statistical Manual o f Mental Disorder

4tbed (DSM-lVj, didefinisikan sebagai: 

1) gangguan kesadaran yang ditandai oleh 

menurunnya kemampuan memusatkan 

perhatian; 2) perubahan kemampuan kognitif (seperti: defisit memori, disorientasi, 

dan gangguan berbahasa) atau gangguan 

perpsepsi yang tidak didahului oleh demensia; 3) dalam satu hari, gangguan 

ke-sadaran bersifat fluktuatif. Pasien 

delirium akan mengalami disorientasi 

waktu, tempat, dan orang. Pasien juga 

cen-derung memberikan respons berlebihan atau mudah marah terhadap halhal atau tindakan yang sepele. Seringkali 

ditemukan delusi dan halusinasi dalam 

peme-riksaan. Kondisi delirium umumnya berlangsung 4-7 hari.

d. Letargi, merupakan suatu kondisi ketika 

pasien masih bisa dibangunkan oleh 

stimulus sedang, namun ingin kembali 

tidur saat stimulus hilang.

e. Obtundation, merupakan suatu kondisi 

mirip letargi, namun respons terhadap 

stimulus lebih lambat, lebih banyak tertidur serta cenderung mengantuk saat 

dibangunkan.

f. Stupor, merupakan suatu kondisi tidur 

dalam (deep sleep), sehingga dibutuhkan 

stimulus yang kuat dan berulang-ulang 

untuk membangunkan pasien.

g. Koma, merupakan suatu kondisi ketika 

pasien tidak bisa dibangunkan atau tidak 

berespons terhadap stimulus yang kuat dan 

berulang-ulang. Kadang dapat ditemukan 

respons wajah meringis dan gerakan tungkai 

serta lengan yang stereotipik, namun tidak 

melolcalisir atau menghalangi arah stimulus. 

Adapun aspek yang dinilai pada skor 

FOUR tidak hanya respons mata dan motor ik, tetapi juga refleks batang otak dan 

respirasi (Tab el 2}. Berbeda dengan SI<G 

yang setiap aspek memiliki rentang nilai 

berbeda, FOUR terdiri dari empat aspek 

dengan rentang nilai yang sama, antara 0 

hingga 4. Dalam praktiknya, skor FOUR 

ditulis nilai tiap aspeknya, misalnya 

E4M4B4R4=16.

Skor FOUR memiliki beberapa keunggulan daripada SKG, di antaranya lebih dapat 

menjelaskan keadaan pasien dengan nilai 

SKG yang rendah, bisa mengenali sindrom 

locked-in, lebih peka  dalam menunjukkan perubahan kesadaran pasien, dan lebih 

menggambarkan tahapan herniasi otak 

saat perburukan derajat kesadaran pasien.

Selain itu, skor FOUR juga tidak menilai 

aspek respons verbal yang kadang sulit 

dievaluasi pada pasien terintubasi. Oleh 

sebab itu, skor FOUR lebih dianjurkan 

aplikasinya pada pasien penurunan kesadaran dengan bantuan ventilator di 

ruang rawat intensif.

Baik SKG maupun Skor FOUR, keduanya 

memiliki prinsip yang sama saat menilai 

derakat kesadaran, yaitu pemeriksa harus 

memperhatikan intensitas rangsangan 

yang diberikan dan respons yang ditimbulkan oleh pasien. Jika pasien tidak memberikan respons terhadap suara, maka 

selanjutnya pemeriksa memberikan rangsangan nyeri yang dilakukan di lekukan 

supraorbital, bantalan kuku jari tangan, 

sternum, atau sendi temporomandibular. 

Pemberian rangsangan nyeri pada lekukan supraorbital pada pasien penurunan 

kesadaran dapat memberikan respons 

buka mata dan verbal, serta gerakan 

ekstrimitas atas untuk melokalisasi 

nyeri, Bila tangan dapat melewati mandibula, maka respons tergolong dapat 

melokalisasi rangsangan nyeri (SKG motorik 5], Respons motorik yang ditimbulkan juga tidak keliru dengan fleksi terhadap rangsangan nyeri (SKG motorik 3). 

Selain kekeliruan ini , pemberian 

rangsangan sebaiknya dilakukan pada 

kedua supraorbital untuk memastikan 

respons motorik yang berbeda antara 

sisi kanan dan kiri tubuh aldbat lateralisasi. Oleh sebab  itu, lekukan supraorbital lebih dianjurkan sebagai daerah 

rangsangan nyeri daripada sternum atau 

pilihan lainnya.

2. T an d a R an gsang M eningeal

Tanda rangsang meningeal akan positif 

jika terjadi iritasi pada meningen, berupa 

kaku kuduk dan Brudzinski. Adanya tanda rangsang ini  bisa menjadi tanda 

bahwa penurunan kesadaran berhubungan dengan iritasi selaput meningen, 

seperti meningitis atau perdarahan 

subaraknoid. Tanda ini umumnya muncul dalam waktu 12-24 jam sejak onset 

penurunan kesadaran dan menghilang 

pada keadaan koma dalam.

3. P em e rik sa a n Pupil

Pemeriksaan pupil dapat membantu 

menentukan letak dan pemicu  lesi 

(Gambar 3), yaitu:

a. Pupil normal

Diameter pupil normal berldsar antara

3-4mm (pada anak-anak sedikit lebih

besar dan lebih kecil pada lansia], Kedua 

pupil berukuran sama dan berkonstriksi secara cepat dan simetris saat diberikan rangsang cahaya. Jika pemeriksaan 

pupil normal dan reaktif, pemicu  

turunnya kesadaran umumnya berhubungan dengan gangguan metabolik.

b. Thalamic pupils

Pupil yang berukuran lebih kecil 

(<2mm), namun masih reaktif terhadap cahaya, dapat ditemui pada kompresi talamus.

c. Fixed, dilated pupils

Pupil berukuran lebih dari 7mm dan 

terfiksasi (tidak reaktif terhadap cahaya} dapat ditemukan pada kompresi 

saraf kranial III (nervus okulomotor) 

atau intoksikasi obat antikolinergik 

atau simpatomimetik. Namun pemicu  tersering pada penurunan kesadaran yaitu  akibat herniasi transtentorium oleh massa supratentorial.

d. Fixed, midsized pupil

Pupil yang terfiksasi dan berukuran 

sekitar 5mm umumnya ditemukan 

pada pasien dengan kerusakan batang 

otak di level midbrain. Kerusakan pada 

regio ini  akan mengganggu fungsi 

simpatis, pupilodilator, dan parasimpatis, serta serat saraf pupilokonstriktor.

1) Pinpoint pupils

Pinpoint pupils (berukuran diameter 1-1,5mm) pada pasien dengan 

penurunan kesadaran, umumnya 

merupakan tanda overdosis opiat 

atau lesi struktural fokal pada 

pons. Lesi struktural fokal pada 

pons umumnya disertai gangguan 

pergerakan bola mata. Pemberian nalokson dapat membedakan 

kedua pemicu  ini , yaitu 

memberi perbaikan pada overdosis 

opiat, tidak pada lesi di pons.

2) Asymmetric pupils

Perbedaan ukuran pupil <lmm masih dapat dianggap fisiologis asalkan 

refleks-nya normal dan simetris ketika mendapat rangsang cahaya, tanpa adanya gangguan pergerakan 

ekstraokular. Namun jika ukuran 

pupil berbeda >lmm malm disebut 

pupil anisokor. Apabila konstriksinya tidak simetris dan tidak 

sama cepat, umumnya disebabkan

oleh kelainan struktural pada midbraili, nervus okulomotor, atau intraorbital.

4. Pem eriksaan Pergerakan Bola Mata 

Pada pasien dengan penurunan kesadaran, pergerakan bola mata tetap harus 

dilakukan sebab  bernilai penting unutk 

mengetahui lesi di batang otak. Hal ini 

dilakukan dengan menstimulasi sistem 

vestibular [kanalis semisirkular pada 

telinga tengah), yaitu merotasi kepala secara pasif (refleks okulosefalik atau doll'shead maneuver) atau memberikan stimulasi 

yang kuat berupa irigasi air dingin pada 

membran timpani (refleks okuloVestibular 

atau tes kalori air dingin) 

Doll's-head maneuver dilakukan dengan 

cara merotasi kepala secara horizontal untuk menimbulkan gerakan horizontal, kemudian dilakukan juga rotasi vertikal untuk menimbulkan gerakan vertikal. Bola 

mata akan bergerak ke arah yang berlawanan dengan arah rotasi [Gambar4),

Tes kalori air dingin atau cold-water

caloric [okulovestibular], merupakan 

stimulus yang lebih poten dan dilakukan dengan cara mengirigasi membran 

timpani oleh air dingin. Sebelum tes ini 

dilakukan, membran timpani harus dipastikan intak sebab  tes ini dikontraindikasikan pada perforasi membran 

timpani. Pada pasien yang sadar, irigasi 

membran timpani unilateral dengan air 

dingin akan memunculkan nistagmus 

tahap  cepat dengan arah yang menjauh 

dari sisi yang diirigasi. Pada pasien penurunan kesadaran dengan fungsi batang 

otak yang intak, irigasi unilateral membran timpani akan menghasilkan deviasi 

tonik searah dengan sisi yang diirigasi. 

Irigasi bilateral dengan air dingin akan 

memunculkan deviasi bola mata ke arah 

bawah, sedangkan irigasi bilateral dengan 

air hangat (44°C) akan menginduksi deviasi bola mata ke atas. Jika respons bola 

mata tidak adekuat atau tidak muncul 

sesudah  diberikan stimulasi berupa irigasi 

dengan air dingin (sebanyak 50mL) maka 

perlu dicurigai adanya lesi struktural 

pada fosa posterior (serebelum atau 

batang otak), penyakit vestibular perifer, 

atau intolcsikasi obat sedatif.

Pasien penurunan kesadaran dengan 

fungsi batang otak yang intak akan memiliki pergerakan horizontal bola mata 

yang terkonjugasi. Gerakan ini dapat 

muncul secara spontan atau melalui induksi dengan doli’s-head maneuver. Selain itu, deviasi bola mata yang terkonjugasi ke sisi irigasi [pada tes kalori) juga 

merupakan tanda fungsi batang otak 

yang intak. Jika