Tampilkan postingan dengan label neurologi 36. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label neurologi 36. Tampilkan semua postingan

neurologi 36












 ktu 72 jam 

sejak onset Untuk mencegah keratitis paparan 

akibat lagoftalmus dapat diberikan air mata 

buatan, pelindung mata, dan penutupan mata 

secara mekanik saat tidur. 

Pada kasus degenerasi aksonal berat, dapat 

terjadi inervasi aberan sehingga menimbulkan komplikasi sinkinesis. Sinkinesis yaitu  

reinervasi serabut saraf pada organ efektor yang bukan organ efektor sebenarnya. 

ada fenomena air mata buaya, yaitu 

terjadinya lakrimasi ipsilateral pada saat 

mengunyah. Sindrom Marin-Amat, yaitu penutupan kelopak mata ipsilateral saat membuka rahang. Sekitar 70% pasien mengalami 

perbaikan dalam 1-2 bulan dan 85% di antaranya mengalami perbaikan penuh. Munculnya perbaikan motorik pada hari ke-5 atau 

7 menunjukkan prognosis baik, sementara 

adanya tanda denervasi pada pemeriksaan 

elektrofisiologi setelah hari ke-10 menunjukkan prognosis buruk 

CONTOH KASUS 

1. Wanita 49 tahun datang dengan keluhan 

baal pada tangan dan kaki. Pemeriksaan 

klinis menunjukkan hipestesi dengan 

distribusi stocking and gloves. Diagnosa  

diferensial yang paling mungkin pada 

pasien ini yaitu  

A. Neuropati diabetes, SGB, defisiensi 

vitamin 812 

B. Charcot-Marie Tooth, Bell's palsy, SGB. 

C. Defisiensi Vitamin 812, Bell's palsy, 

cubital tunnel syndrome 

D. Defisiensi Vitamin 812, neuropati diabetes, cubital tunnel syndrome 

674 

E. Bell's palsy, neuropati diabetes, Charcat-Marie-Tooth 

Jawaban:A. 

Neuropati diabetes dan defisiensi vitamin 812 merupakan neuropati yang 

disebabkan oleh kondisi metabolik, sehingga kerusakan saraf akan memiliki 

distribusi bergantung pada jarak (length 

dependent). Demikian pula pada SGB pola 

ini disebabkan karena kegagalan konduksi pada saraf bagian perifer ke distal 

Charco-Marie-Tooth juga memiliki distribusi pada saraf-saraf di distal, namun 

sangat jarang disertai gangguan sensorik 

2. Dari soal no. 1 diketahui keadaan ini 

dikeluhkan perlahan namun bertambah 

baal sejak 3 tahun sebelumnya. Tidak 

ada riwayat demam, diare atau flu-like 

syndrome 5 hari sampai 2 minggu sebelumnya, sehingga SGB dapat disingkirkan. 

Pemeriksaan laboratorium tambahan yang 

dapat dilakukan pada pasien ini yaitu  

A. Kadar gula darah HbA1c 

B. Kadar vitamin 812 

C. Serologi HSV-1 

D. A dan B benar 

E. Semua benar 

Jawaban paling tepat yaitu  D (A dan B 

benar). 

Pemeriksaan kadar gula darah HbA1c dan 

kadar vitamin 812 untuk menyingkirkan 

Diagnosa  diferensial neuropati diabetes 

dan defisiensi vitamin 812. Walaupun 

defisiensi ini  dapat mudah diatasi 

dengan suplemen vitamin 812, namun 

pemberian terapi tanpa alasan yang kuat 

tidaklah tepat. Pemeriksaan serologi 

 

HSV-1 dapat dilakukan bila dicurigai 

Bell's palsy. 

3. Laki-laki usia 39 tahun datang dengan 

keluhan bicara pelo, wajah tertarik ke 

sisi kanan jika senyum atau tertawa, 

kelopak mata kiri tidak dapat menutup, 

dan sering keluar air dari sudut mulut 

saat miuum. Tidak ada kelemahan 

ektremitas. Kemungkinan besar pasien 

ini mengalami gangguan pada: 

A. Ganglia basal kanan 

B. Korteks motorik wajah kanan 

C. N. V perifer kiri 

D. N. VII perifer kiri 

E. N. XI sentral kanan 

Jawaban: D. 

Keluhan bicara pelo dapat disebabkan oleh 

paresis N. VII akibat gangguan transmisi di 

sentral maupun perifer. Wajah tertarik ke 

kanan dan keluar air dari sudut mulut di 

sebelah kiri menunjukkan adanya paresis 

di sisi kiri. Kelopak mata sebelah kiri yang 

tidak dapat menutup menunjukkan bahwa 

ada lesi di N. VII di perifer; bukan 

sentral. 

4. Dari soal no. 3 diketahui keluhan ini 

dimulai sejak 3 hari yang lalu, dengan 

sedikit demam disertai nyeri di belakang 

telinga kiri. ada juga rasa baal di 

wajah sisi kiri dan kering pada mata kiri. 

Diagnosa  banding yang paling mungkin 

untuk kasus ini yaitu : 

A. Bell's palsy 

B. Sindrom Guillain Barre 

C. Multipel sklerosis (MS) 

D. Stroke 

675 

E. Semua benar 

Jawaban: A. Bell's palsy 

Neuropati 

Paresis N. VII perifer masih dapat disebabkan oleh semua pilihan ini , namun 

pada kasus ini yang paling tepat yaitu  

Bell's palsy, yaitu didahului oleh gejala inflamasi dan bersifat akut SGB dapat didahului oleh gejala inflamasi, namun jika terkena saraf kranial sering kali bilateral. MS 

biasanya terjadi berulang dan gangguan 

di sentral. Adapun stroke terjadi hiperakut dan tidak berkaitan dengan inflamasi, 

serta proses yang terjadi berupa gangguan 

sentral, sehingga bukan memicu 

paresis N. VII perifer, melainkan sentral. 

5. Dari soal nomor 3 dan 4, pemeriksaan 

penunjang yang dapat dilakukan sehingga 

dapat menunjukkan prognosis pasien ini 

yaitu  

A. Serologi darah 

B. Serologi cairan serebrospinal 

C. Elektroneurofisiologi 

D. MRI 

E. House-Brackmann 

Jawaban: C. 

Pemeriksaan elektroneurofisiologi (blink 

reflex) dapat dilakukan mulai hari 10-14 

pascaonset untuk menentukan lokasi 

dan prognosis pasien Bell's palsy. 










SINDROM GUILLAIN-BARRE 



Sindrom Guillain-Barre (SGB) merupakan 

polineuropati akut yang disebabkan oleh 

reaksi autoimun terhadap saraf perifer. SGB 

ditandai dengan gejala dan tanda paralisis 

lower motor neuron (LMN) akut disertai 

disosiasi sitoalbumin pada cairan serebrospinal (CSS). Kecuali pada varian tertentu, 

perjalanan penyakit SGB bersifat monofasik. 

Pada perjalanan penyakit SGB, perburukan 

klinis hingga mencapai titik nadir biasanya 

tidak lebih dari 28 hari. SGB merupakan 

pemicu  kelumpuhan LMN akut utama di 

dunia setelah era eradikasi polio. 

EPIDEMIOLOGI 

Insidens SGB berkisar antara 0,81-1,89 kasus 

per 100.000 penduduk per tahun. SGB lebih 

jarang ditemukan pada anak dibandingkan 

dewasa dan insidens SGB meningkat seiring 

bertambahnya usia, proporsi laki-laki lebih 

besar dibandingkan perempuan. Karakteristik serta variasi klinis SGB beragam di berbagai tempat. Acute inflammatory demyelinating polyneuropathy (AIDP) lebih sering terjadi 

di Amerika Utara, Arab, dan Eropa. Sementara 

acute motor axonal neuropathy (AMAN) lebih 

sering terjadi di wilayah Amerika Tengah, 

Amerika Selatan, Banglades, Jepang, dan 

Meksiko. Di Indonesia, penelitian di RSUPN 

Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta menunjukkan jumlah kasus baru SGB yang dirawat di 

677 

RSCM sekitar 7,6 kasusftahun. Penderita SGB 

di RSCM terutama dewasa muda dengan rerata 

usia 40 tahun dan rasio laki-laki : perempuan 

yaitu  1,2:1. 

PATOFISIOLOGI 

Pada SGB, dua pertiga kasus didahului infeksi (antecendent infection) pada saluran 

pernapasan atas atau gastrointestinal dengan 

keluhan umum berupa demam (52%), batuk 

(48%), nyeri tenggorokan (39%), pilek 

(30%), dan diare (27%). Pada 31% kasus 

SGB dapat ditemukan Campylobacter jejuni 

(C. jejuni ) pada Analisa  fesesnya. Adanya 

infeksi anteseden ini menjadi dasar patofisiologi SGB berupa proses antibodi mimikri. 

Pada proses antibodi mimikri terjadi kemiripan struktur antigen patogen dengan struktur 

yang ada pada dinding sel tubuh, sehingga antibodi yang dibentuk tubuh untuk melemahkan patogen terse but dapat berikatan 

dengan jaringan tubuh itu sendiri. 

Teori ini didukung oleh beberapa penelitian, 

yaitu: 

• Ditemukannya struktur lipooligosakarida 

(LOS) pada dinding sel C. jejuni yang memiliki kemiripan dengan struktur karbohidrat penyusun membran sel sarafyang 

disebut gangliosida. 

• Pada serum pasien SGB ditemukan antibodi terhadap gangliosida.   

• Penyuntikan antibodi gangliosida pada 

hewan percobaan memicu  gejala 

yang mirip dengan SGB. 

Paparan terhadap C. jejuni dapat membuat 

sel-sel imunitas tubuh menghasilkan antibodi 

yang juga dapat berikatan dengan struktur 

gangliosida pada membran sel saraf. Antibodi yang berikatan dengan gangliosida ini 

akan memicu proses autoimun melalui mekanisme pengaktifan komplemen dan membentuk membrane attack complex (MAC) 

pada membran sel Schwann pada AIDP atau 

pada akson pada AMAN, sehingga menimbulkan efek neurotoksik (Gambar 1). Hal 

ini dibuktikan dengan ditemukannya sel-sel 

makrofag pada jaringan saraf pasien SGB 

pada pemeriksaan histopatologi. Makrofag 

berperan dalam reabsorbsi debris pada kedua 

tipe SGB ( demielinisasi dan degenerasi aksonal), namun serbukan sel limfosit hanya 

ditemukan pada SGB tipe demielinisasi. 

Patofisiologi sindrom Miller Fischer (SMF) 

yang merupakan varian SGB sampai saat ini 

masih belum jelas. Pasien SMF pada perjalanan klinisnya mengalami pemulihan sempurna dan jarang ditemukan kasus yang fatal. 

Hal ini menunjukkan proses yang terjadi pada 

SMF yaitu  suatu proses demielinisasi dan 

bukan merupakan proses degenerasi aksonal. 

Patogen-patogen lain yang mampu menimbulkan reaksi-silang antibodi terhadap 

gangliosida yaitu  Haemophilus influenzae, 

Mycoplasma pneumonia, Cytomegalovirus 

(CMV), Epstein- Barr virus (EBV), dan Varicella Zoster Virus (VZV). Selain dari antecedent infection, risiko kejadian SGB juga meningkat pacta adanya transfe r gangliosida 

parenteral, pascavaksinasi influenza HlNl, 

adanya kelainan autoimun lain yang diderita 

sebelumnya, pemakaian  obat-obatan imunosupresan, dan pascapembedahan.  

Sampai saat ini sudah ditemukan beberapa 

antibodi gangliosida dalam serum pasien SGB, 

yaitu antibodi LMl, GMl, GMlb, GM2, GDla, 

GalNAc-GDla, GDlb, GD2, GD3, GTla, dan 

GQlb (Tabell). 

Adanya perbedaan jenis antibodi pada berbagai tipe SGB menunjukan distribusi gangliosida berbeda· beda pada jaringan saraf perifer. 

Jenis antibodi yang terbentuk dan distribusi 

gangliosida menentukan tanda dan gejala 

klinis yang terjadi pada SGB. Sebagai contoh, 

pada GBS tipe AMAN, ditemukan antibodi terhadap GMl, GMlb, GDla, dan GalNAc-GDla 

pada serum pasien. Gangliosida-gangliosida 

ini terdistribusi lebih banyak ditemukan pada 

aksolema nodus Ranvier serabut saraf motorik dibandingkan sensorik Proses autoimun 

lebih banyak terjadi pada serabut saraf moSindrom Guillain Barre 

torik dan menimbulkan gejala motorik yang 

lebih dominan dibandingkan sensorik 

Pada serum pasien SMF ditemukan antibodi 

terhadap gangliosida GD3, GTla, dan GQlb. 

Gangliosida GQlb banyak terdistribusi pada 

aksolema neiVUs okulomotor, troklearis, abdusens, serta muscle spindle, sehingga jika terjadi 

reaksi autoimun terhadap gangliosida GQlb 

muncul gejala klinis SMF berupa oftalmoplegia, ataksia, dan aretleksia Gangliosida GTla 

dan GQlb diekspresikan pada aksolema neiVUS 

glosofaringeus dan vagus, sehingga dihubungkan dengan gejala disfagia ditemukan pada sebagian kasus SMR Pada SGB tipe demielinisasi, 

antibodi spesifikyang memicu kerusakan 

membran sel Schwann pada selubung mielin masih belum diketahui hingga saat ini dan 

membutuhkan penelitian lebih lanjut  GEJALA DAN TANDA KLINIS 

Pola perjalanan penyakit SGB bersifat 

monofasik (Gambar 2). Pada sebagian besar 

SGB ada infeksi anteseden sebelum 

munculnya defisit neurologis. Waktu antara 

infeksi anteseden dan munculnya defisit 

neurologis bervariasi antara 4 minggu 

sampai 6 bulan. Defisit neurologis ini akan 

mengalami perburukan hingga mencapai titik 

nadir dalam waktu tidak lebih dari 28 hari 

(4 minggu). Antibodi antigangliosida dapat 

dideteksi dalam serum pasien selama proses ini dan kadarnya akan menurun seiring 

dengan berjalannya waktu. 

Pada SGB dapat terjadi fluktuasi defisit 

neurologis dalam waktu 8 minggu sejak diberikannya imunoterapi. Hal ini masih dianggap sebagai suatu pola monofasik SGB. 

Fluktuasi ini disebut sebagai fluktuasi terkait pengobatan (Guillain-Barre syndrome 

with treatment-related jluctuationjGBS-TRF). 

Perjalanan GBS-TRF mirip dengan chronic 

injlamatory demyielinating polineuropathy 

(CIDP) onset akut. hanya saja progresifitas 

defisit neurologis CIDP berlangsung hingga 

lebih dari 8 minggu atau fluktuasi defisit 

neurologis terjadi tiga kali atau lebih sedangkan fluktuasi GBS-TRF terjadi tidak 

lebih dari 8 minggu sejak onset dan jarang 

terjadi fluktuasi lebih dari 2 kali. Dalam 

perjalanannya, fluktuasi defisit neurologis pada CIDP lebih ringan dibandingkan 

GBS-TRF. Defisit neurologis pada CIDP tidak 

sampai membutuhkan ventilasi mekanik, 

jarang melibatkan gangguan saraf kranial, 

dan gambaran pemeriksaan elektrofisiologi 

proses demielinisasi, sedangkan pada GBS-

680 

TRF defisit neurologis yang terjadi lebih 

berat hingga sampai memerlukan ventilasi 

mekanik 

Defisit neurologis SGB pada ekstremitas 

dapat berupa kelemahan motorik tipe LMN, 

gangguan sensorik berupa parastesia, hipestesia atau gangguan propioseptif, serta hiporefleksia maupun arefleksia Defisit neurologis 

ini dapat melibatkan nervus kranialis, terutama nervus Fasialis pada AlDP. Varian 

klinis SGB lain yang melibatkan nervus kranialis yaitu  SMF dengan trias gejala berupa 

arefleksia, ataksia, dan oftalmoplegia. 

Fase pemulihan dapat berlangsung beberapa minggu, bulan, bahkan tahun tergantung 

proses patologi yang terjadi. Lesi demielinisasi 

(AlDP) mempunyai prognosis yang lebih baik 

dibandingkan degenerasi aksonal (AMAN). 

Pemulihan pada SGB tipe demieliniasasi dan 

degenerasi aksonal akan terjadi secara berangsur-angsur sesuai dengan perawatan dan 

terapi yang adekuat 

ada beberapa variasi gambaran klinis 

SGB berdasar  penelitian dan laporan kasus yang ada, yaitu: 

1. SGB hiperrefleks 

SGB umumnya menunjukkan tanda hiporefleksia atau arefleksia, namun pada 

10% kasus dapat ditemukan refleks tendon dalam yang normal atau bahkan meningkat dengan tonus otot yang normal. 

Pemeriksaan imunohistokimia pada serum pasien SGB hiperrefleks menunjukkan 

adanya antibodi antiGM1 dan antiGDla, 

dengan gambaran neurofisiologi sesuai 

dengan SGB tipe aksonal.  

2. Pharyngeal-cervical-brachial weakness 

Penegakan Diagnosa  SGB tipe ini didapat 

dengan ditemukannya kelemahan pada 

otot orofaring, leher, dan ekstremitas atas 

akut yang disertai arefleksia. Kelemahan 

motorik pada ekstemitas bawah dapat 

juga ditemukan namun lebih ringan. 

3. SGB paraparesis 

Pada SGB paraparesis kelemahan motorik 

dengan hiporefleksia atau arefleksia akut 

hanya terjadi pada ekstremitas bawah 

saja, sementara ekstremitas atas normal. 

Berbeda dengan lesi medula spinalis, 

pada SGB paraparesis level gangguan sensorik memiliki batas yang tidak tegas dan 

fungsi berkemih masih normal. Analisa   

pungsi lumbal serta pemeriksaan MRI 

menunjukkan kesesuaian dengan SGB, sedangkan gambaran neurofisiologi sesuai 

dengan SGB tipe degenerasi aksonal. 

4. Kelemahan bifasial dengan parestesia 

Gejala dan tanda ldinis SGB tipe ini berupa 

kelemahan nervus fasialis bilateral akut 

tanpa disertai oftalmoplegia dan kelemahan ekstremitas. Pada tipe ini dapat juga 

ditemukan parestesia dari ujung-ujung 

jari. Pemeriksaan neurofisiologi lebih ianjut dapat sesuai dengan gambaran lesi 

demielinisasi. 

5. Oftalmoplegiajptosisjmidriasis akut 

Variasi klinis sindrom SGB ini merupa 

kan bentuk manifestasi SMF inkomplet 

berupa oftalmoplegia, ptosis, atau midriasis akut tanpa adanya ataksia. Pemeriksaan imunohistokimia pada serum 

pasien ini menunjukkan adanya antibodi 

terhadap gangliosida GQ1b. 

6. Neuropati ataksia akut 

Bentuk SMF inkomplet lainnya yaitu  

ataksia akut tanpa oftalmoplegia. ada dua bentuk manifestasi klinis tipe 

ini, yaitu ataksia dengan atau tanpa tanda 

Rombergpositif. Pada ataksia tanpa tanda 

Romberg ditemukan antibodi anti-GQ1b 

serum, sedangkan pada ataksia dengan 

tanda Romberg ditemukan antibodi antiGD1b serum. Manifestasi klinis ataksia 

ini diduga akibat antibodi yang terbentuk 

menyerang struktur muscle spindle. 

7. Bickerstaff's brainstem encephalitis (BBE) 

Diagnosa  BBE ditemukan bila ditemukan trias gejala SMF disertai gangguan 

kesadaran atau hipersomnolen. BBE 

merupakan variasi SMF dengan keterlibatan sistem saraf pusat (SSP), terutama 

pada struktur formasio retikularis. Hal 

ini didasarkan pemeriksaan MRI kepala 

yaitu ditemukannya penyangatan pada 

11% kasus BBE dan gambaran abnormalitas perekaman EEG pada 57% kasus. 

Varian lain dari BBE dengan manifestasi 

inkomplet dapat berupa acute ataxic hypersomnolence. 

Diagnosa  DAN Diagnosa  BANDING 

Diagnosa  

Diagnosa  SGB ditegakkan berdasar  gejala 

dan tanda kelemahan akut progresif pada 

ekstremitas bawah dan atas disertai arefleksia atau hiporefleksia. Belum ada uji 

diagnostik yang spesifik untuk SGB, namun  

dapat memakai  kriteria diagnostik 

menurut National Institute of Neurological 

and Communicative Disorders and Stroke 

(NINCDS) sebagai berikut: 

Tanda minimum untuk penegakan Diagnosa  

1. Kelemahan progresif pada kedua lengan 

dan tungkai ( dapat dimulai dari ekstremitas bawah) 

2. Hiporefleksia atau arefleksia 

Tanda yang memperkuat Diagnosa  

1. Perburukan gejala yang mencapai titik 

nadir kurang atau sama dengan 28 hari 

(4 minggu) 

2. Pola distribusi defisit neurologis yang 

simetris 

3. Gangguan sensorik minimal 

4. Gangguan nervus kranial, terutama 

kelemahan otot fasialis bilateral 

5. Disfungsi saraf autonom 

6. Nyeri 

7. Peningkatan protein pada CSS 

8. Gambaran elektrodiagnostik khas yang 

sesuai dengan kriteria SGB 

Tanda yang meragukan Diagnosa  

1. Disfungsi pernapasan berat lebih dominan daripada kelemahan ekstremitas 

pada awal onset 

2. Gangguan sensorik lebih dominan daripada kelemahan ekstremitas pada awal 

onset 

3. Gangguan BAK atau BAB pada awal onset 

4. Demam pada awal onset 

5. Defisit sensorik berbatas tegas 

6. Progresivitas lambat dengan gangguan 

motorik minimal tanpa keterlibatan  

sistem pernapasan (lebih sesuai dengan 

subacute atau chronic inflammatory demyelinating polyneuropathy) 

1. Kecepatan hantar saraf (KHS) 

7. Kelemahan asimetris persisten 

8. Gangguan BAK atau BAB persisten 

9. Peningkatan jumlah sel mononuklear pada 

cairanserebrospinal (CSS) (>50x106/L) 

10. Peningkatan sel polimorfonuklear pada CSS 

Disfungsi saraf otonom sering ditemukan 

hingga dua pertiga kasus SGB dengan manifestasi berupa aritmia, fluktuasi tekanan 

darah, respons hemodinamik yang abnormal terhadap pengobatan, serta gangguan 

miksi, defekasi dan berkeringat 

Berikut pemeriksaan penunjang untuk 

membantu menegakkan Diagnosa  SGB:  

Kriteria elektroDiagnosa  yang dipakai  secara luas ialah kriteria dari Ho 

dkk dari Hadden dkk (Tabel2). Gambaran 

dispersi temporal lebih ditekankan oleh 

Ho dkk, sedangkan konsep blok konduksi 

dikenalkan kembali oleh Hadden dkk 

sebagai kriteria diagnostik SGB tipe 

demielinisasi. Yang dimaksud dispersi 

temporal di sini yaitu  terdapatnya pemanjangan durasi compund muscle action 

potential (CMAP) proksimal lebih dari 

30% dibandingkan CMAP distal. Batasan 

ini dinilai cukup sensitif dan spesifik 

dalam membedakan an tara dispersi temporal akibat demielinisasi dan dispersi 

temporal yang terjadi secara fisiologis 

pada stimulasi proksimal.  

Pemeriksaan KHS yang dilakukan pada 

minggu p_ertama onset sering menunjukan 

hasil yang normal atau tidak memenuhi kriteria SGB menurut Ho dkk maupun Hadden 

dkk. Oleh karena itu, temuan KHS minggu 

pertama ini tidak dapat dijadikan landasan 

untuk menunda pemberian imunoterapi 

jika sudah ada gambaran klinis yang khas 

SGB. Pemeriksaan KHS pada minggu pertama 

ini lebih berguna untuk menyingkirkan diagnosis banding neuropati perifer lainnya. 

Pada sebagian awal perjalanan penyakit SGB 

tipe AMAN dapat ditemukan gambaran blok 

konduksi pada pemeri.l:{saan KHS. Gambaran 

blok ini akan mengalami perbaikan atau menghilang dalam hitungan hari disertai peningkatan amplituda CMAP distal dan pemendekan 

latensi motor distal kembali ke nilai normal. 

Pada kasus ini tidak lazim ditemukan dispersi temporal dan gelombang CMAP polifasik. Fenomena ini dikenal sebagai AMAN with 

reversible conduction failure (AMAN RCF) 

dan sering diDiagnosa  secara keliru sebagai 

AIDP atau AMAN. Untuk mengurangi kesalahan interpretasi dan klasifikasi tipe SGB, maka 

pemeriksaan KHS harus dilakukan secara serial minimal dua kali pada 3 saraf motorik d~ 

3 saraf sensorik dalam 4-6 minggu pertama. 

2. Pungsi lumbal 

Tindakan pungsi lumbal rutin dilakukan 

pada pasien yang diduga menderita SGB 

untuk menyingkirkan Diagnosa  banding, 

dan bukan merupaka.n kriteria utama 

penegakan Diagnosa  SGB. Pada Analisa  

CSS dapat ditemukan disosiasi sitoalbumin, yaitu terdapatnya peningkatan 

kadar protein CSS tanpa disertai peningkatan jumlah sel. Disosiasi sitoalbumin yaitu  temuan khas untuk SGB dan 

dapat ditemukan pada 50% kasus pada  

minggu pertama dan meningkat menjadi 

75% kasus pada minggil ketiga. Apabila 

analisa CSS normal pada SGB dengan onset kurang dari 2 minggu, maka hal ini 

tidak mempengaruhi penegakan diagnosis SGB selama ditemukan tanda dan 

gejala klinis yang sesuai dan tidak perlu 

dilakukan pungsi lumbal ulangan. 

Peningkatan jumlah sel dan protein CSS 

dapat ditemukan pascaterapi imunoglobulin intravena dosis tinggi (intravenous immunoglobulinfiVIG) yang diduga akibat mekanisme transudasi atau 

meningitis aseptik. Apabila ditemukan 

peningkatan jumlah sel CSS pada minggu 

pertama onset gejala, maka kemungkinan 

Diagnosa  banding lain harus lebih dipertimbangkan, seperti infeksi, neuropati 

akibat human immunodeficiency virus 

(HIV), limfoma, dan keganasan. 

3. Radiologi 

Pemeriksaan radiologi dilakukan jika 

ditemukan tanda dan gejala klinis SGB 

yang meragukan. Hal ini untuk menyingkirkan lesi struktural sebagai pemicu  

defisit neurologis yang ada. Hasil pemeriksaan MRI pada kasus SGB yaitu  murni 

normal baik pada otak dan medula spinalis, walau dapat dijumpai penyangatan 

pada radiks proksimal. Pada 11% kasus 

BBE, dapat ditemukan adanya lesi fokal 

pada T2W MRI di mesensefalon, thalamus, 

serebelum, dan batang otak. 

4. Antibodi antigangliosida 

Walaupun berbagai studi mengaitkan kejadian SGB dengan antibodi seperti yang 

tercantum pada Tabel 1, nilai diagnostiknya belum dapat dipastikan. Pemeriksaan ini bermanfaat, namun  hasil negatif  

tidak menggugurkan Diagnosa  SGB dan 

pemeriksaan ini belum tersedia di sarana 

pemeriksaan laboratorium sehari-hari. 

Diagnosa  Banding 

Telah disebutkan bahwa pada 10% kasus 

SGB dapat ditemukan refleks tendon dalam 

yang normal bahkan meningkat, oleh karena 

itu pada keadaan ini  adanya lesi SSP 

harus disingkirkan. Gejala klinis SGB dapat 

menyerupai gejala lesi medula spinalis akut 

seperti mielitis tranversa, namun pada lesi medula spinalis gangguan berkemih muncullebih 

awal dan defisit sensorik yang ada mempunyai batas yang tegas. 

Jika pada pasien tidak ditemukan adanya defisit sensorik, maka pertimbangkan Diagnosa  

banding yang mungkin ialah miastenia gravis, 

periodik palalisis hipokalemia, botulisme, 

poliomielitis, dan mielopati akut. Diagnosa  

banding untuk SMF dan kelemahan faringservikal-brakialis yaitu  stroke batang otak, 

miastenia gravis, dan botulisme. 

Sindrom Cui/lain Barre 

PENGOBATAN 

Prinsip PENGOBATAN SGB yaitu  Diagnosa  

dini dan PENGOBATAN multidisiplin yang tepat. 

Risiko kematian SGB mencapai 5% sebagian 

besar disebabkan komplikasi SGB berupa 

sepsis, emboli paru, dan disautonomia. 

Cui/lain-Barre Syndrome Disability Score 

(GBS Disability Score) atau Hughes score 

yaitu  sistem penilaian status fungsional untuk evaluasi dan pemantauan derajat keparahan penyakit dapat dilihat pada Boks 1. 

lmunoterapi dapat diberikan sejak onset 

gejala neuropati pertama kali muncul. Manfaat terbaik muncul pada pemberian imunoterapi dalam 2 minggu pertama onset 

pada pasien dengan GBS Disability Score ~3. 

Baik plasmafaresis dan imunoglobulin intravena (IV) memiliki efektifitas yang sama 

dalam perbaikan kekuatan motorik pasien, 

peningkatan GBS disability score, dan penurunan kebutuhan pemakaian  ventilator pad a 

pasien dengan gaga! napas.  

Plasmaferesis dilakukan lima kali dalam 

waktu 2 minggu dengan jumlah maksimum 

pertukaran plasma sebanyak lima kali dari 

volume plasma (200-250mL/ kgBB). Dosis 

total imunoglobulin IV yaitu  2g/kg 88 diberikan dalam 5 hari. Pemberian imunoterapi pada pasien dengan gejala ringan (GBS 

disability score <3) tetap dapat memberikan 

manfaat namun perlu memperhitungkan 

efisiensi pengobatan. Penelitian menunjukan 

pemberian plasmaferesis diikuti pemberian 

imunoglobulin IV memberikan hasil yang 

sama dengan pemberian terapi plasmaferesis saja atau imunoglobulin saja oleh karena 

itu tidak dianjurkan untuk melakukan kedua 

terapi namun dipilih satu modalitas saja 

plasmaferesis atau IVIG. Pemberian kortikosteroid oral maupun IV tidak memberikan manfaat pada kasus SGB. 

Pemantauan fungsi paru dapat dilakukan 

setiap 1-4 jam untuk meminimalkan risiko 

gaga! napas berupa evaluasi frekuensi serta 

kedalaman napas, kapasitas vital paru-paru, 

dan kemampuan refleks batuk. Indikasi 

pemasangan alat bantu napas pada SGB  

dapat dilihat pada Boks 2. 

Pemasangan monitor kardiovaskular diperlukan dalam identifikasi dan antisipasi disfungsi autonom. Disfungsi autonom dapat 

berupa bradiaritmia berat atau ada 

variasi tekanan sistolik lebih dari 85mmHg. 

Pada pasien ini  dapat dipasang alat 

pacu jantung sementara atau diberikan atropin. Gangguan miksi dapat ditatalaksana 

dengan pemasangan kateter, sementara 

gangguan defekasi dapat diatasi dengan 

pemberian laksatif. 

Nyeri merupakan manifestasi klinis yang 

banyak ditemukan pada pasien sejak awal 

onset sampai dengan masa pemulihan. Lokasi nyeri yaitu punggung dan ekstremitas 

sesuai dengan distribusi kelemahan otot 

motoriknya. Nyeri menunjukan adanya keterlibatan serabut saraf berdiameter kecil 

dan saraf otonom sedangkan disestesia melibatkan sera but saraf berdiameter Iebar. Tata 

laksana nyeri yang dapat diberikan berupa 

pemakaian  obat anti nyeri neuropatik berupa 

gabapentin atau karbamazepin.  

PROGNOSIS 

Prognosis SGB dapat ditentukan berdasar  Erasmus CBS Outcome Score (EGOS), 

dapat dilihat pada Boks 3. 

EGOS ini dapat dipakai  untuk menentukan probabilitas pasien SGB dapat berjalan 

686 

mandiri enam bulan setelah onset. Semakin 

besar nilai EGOS yang didapat, maka semakin 

kecil kemungkinan pasien SGB dapat berjalan setelah 6 bulan dari onset. Penelitian 

di RSCM Jakarta pada 24 subjek pasien SGB 

yang dirawat periode Januari 2012-Desember  

2014 menunjukan sebagian besar pasien 

mengalami perbaikan klinis pada akhir 

perawatan. Kekuatan motorik (MRC sum 

score) saat masuk berada pada skor s30 

(50%) dan meningkat menjadi 50-41 pada 

akhir perawatan (29,2%). GBS disability 

score saat masuk 4 (aktivitas terbatas pada 

tern pat tidur atau kursi) 54,2% dan menjadi 

skor 3 (jalan dengan bantuan) pada akhir 

perawatan (37,5%).  CONTOH KASUS 

Seorang anak laki-laki 11 tahun mengalami 

kelemahan pada kedua tungkai disertai rasa 

baal dan sulit berjalan sejak 3 minggu yang 

lalu. Dua minggu sebelum mengalami kelemahan ini  pasien menderita demam dan 

mual selama dua hari yang membaik dengan 

pemberian obat-obatan simptomatik Pasien 

tidak mengalami gangguan dalam berkemih. 

Pada pemeriksaan fisik tanda-tanda vital 

dalam batas normal, pemeriksaan neurologis 

nervus kranialis dalam batas normal.  

Pada pemeriksaan motorik ditemukan adanya paraparesis dengan kelemahan otototot distallebib berat dari proksimal dengan 

pola distribusi yang bampir simetris disertai 

arefleksia pada ekstremitas atas dan bawab 

bilateral. Pada pemeriksaan sensorik ditemukan tanda gangguan propioseptif pada 

kedua kaki pasien, sedangkan pemeriksaan 

sensorik lainnya dalam batas normal. Pada 

pemeriksaan KHS ditemukan gambaran pemanjangan latensi, penurunan KHS motorik, 

blok konduksi, dispersi temporal pada N. 

Ulnaris kiri (Gambar 3), dan pemanjangan 

latensi serta penurunan KHS motorik pada 

N. Tibialis (Gambar 4 

Gambaran klinis pasien diatas dikaitkan dengan ditemukannya gambaran dispersi temporal, blok konduksi, pemanjangan latensi, 

dan penurunan KHS pada 2 saraf memenuhi 

kriteria AIDP. Pasien mendapat terapi MG dengan dosis total2gjkgBB dalam 5 bari. Pasien 

mengalami perbaikan klinis kekuatan motorik 

terutama pada kedua tungkai. Pasien dapat 

berjalan tanpa bantuan satu minggu setelah 

pemberian MG, namun basil pemeriksaan 

KHS ulang belum menunjukan perubahan 

yang berarti. Hal ini dapat dijumpai sebari-bari 

di mana perbaikan klinis mendahului perbaikan basil pemeriksaan kecepatan bantar 

saraf . 









RADIKUL~PATI 



Radikulopati atau gangguan pada radiks 

merupakan salah satu pemicu  nyeri Ieber 

dan punggung bawah dan merupakan rujukan terbanyak ke laboratorium elektrodiagnosis. Nyeri leher dan punggung bawah sendiri merupakan salah satu keluhan yang sering 

ditemui dalam praktek klinik sehari-hari. 

ANATOMI 

Radiks merupakan salah satu bagian dari 

saraf tepi yang sering mengalami gangguan 

karena letak anatomisnya yang dikelilingi 

struktur yang kompleks. Radiks merupakan 

bagian dari sistem saraf tepi yang keluar dari 

kornu anterior dan posterior medula spinalis .. 

Radil<S yang keluar dari kornu anterior disebut 

radiks anterior /ventral yang terdiri dari serabut motorik sedangkan radiks yang keluar dari 

kornu posterior disebut radiks posterior/dorsal yang terdiri dari serabut sensorik. Radiks 

dorsal memiliki badan sel yaitu ganglion radiks 

dorsalis yang terletak di luar medula spinalis. 

Badan sel radiks anterior ada di kornu anterior medula spinalis.   

Radiks yang keluar dari medula spinalis pertama kali masih berada di dalam kanalis spinalis lalu setelahnya akan melalui foramen 

neural yang terbentuk di an tara dua vertebra 

yang berdekatan. Kanalis spinalis merupakan kana! yang terbentuk di antara vertebra 

yang berdekatan. Kanalis spinalis dibatasi 

oleh ligamentum flavum dan lamina pada sisi 

posterior; diskus intervertebralis, dan korpus 

vertebra pada sisi anterior, dan pedikel pada 

sisi anterolateral (Gambar 1). 

Foramen neural dibatasi oleh pedikel pada sisi 

anterior; diskus intervertebral dan korpus vertebra pada sisi anterior dan sendi faset pada 

sisi posterior. Di dalam foramen neural melintas radiks, nervus meningeal rekuren, dan 

pembuluh darah radikular. 

Radiks berjumlah 31 pasang yang terdiri 

dari 8 radiks servikal, 12 radiks torakal, 5 

radiks lumbal, 5 radiks sakral, dan 1 radiks 

koksigis. Radiks servikal 1 hingga 7 keluar 

di atas vertebra servikal yang bersesuaian 

sedangkan radiks servikal 8 keluar di an tara 

vertebra servikal 7 dan vertebra torakal 1. 

Hal ini  disebabkan jumlah vertebra 

servikal yaitu  7 sedangkan jumlah radiks 

servikal yaitu  8. Selanjutnya radiks keluar 

di bawah vertebra yang bersesuaian. Pada 

manusia dewasa, medula spinalis berakhir 

pada batas bawah vertebra L1 dan membentuk konus medularis. Kauda ekuina keluar 

dari bagian konus medularis. Kauda ekuina 

kemudian secara gradual terpisah menjadi 

radiks lumbosakral (Gambar 2).  

Radiks bercabang menjadi ramus dorsalis dan 

ventralis. Ramus dorsalis menginervasi otot 

paraspinal dan kulit di area paraspinal. Ramus 

ventralis radiks CS-C8 membentuk pleksus 

brakialis yang menginervasi ekstremitas atas. 

Ramus ventral radiks Thl sebagian membentuk pleksus brakialis bersama-sama dengan 

ramus ventralis radiks CS-C8 dan sebagian 

membentuk nervus interkostalis 1. Ramus 

ventralis radiks Th2-Th6 membentuk nervus 

interkostalis dan ramus ventralis radiks Th7-

12 membentuk nervus torakoabdominal. Nervus interkostalis berjalan mengitari lengkung 

dada di antara otot interkosta dan bercabang 

menjadi cabang kutaneus lateral dan medial. 

Nervus torakoabdominal bercabang menjadi 

cabang kutaneus lateral dan medial serta menginervasi otot dinding abdominal (Gambar 3). 

Radiks lumbosakral membentuk kauda ekuina  

Kauda ekuina berjalan di dalam kanal spinal 

dalam ruang subaraknoid sebelum akhimya 

keluar dari foramen neural di bawah vertebra 

yang bersesuaian. Kanal spinal lebih panjang 

dari medula spinalis sehingga ada perbedaan level medula spinalis dan vertebra 

sekitar 2 segmen pada level torakal dan 3 

segmen pada levellumbosakral. 

Secara mikroskopik, radiks memiliki perbedaan dengan saraf perifer lainnya. Radiks tidak 

memiliki epineurium, perineurium, dan lebih 

sedikit kolagen pada endoneuriumnya. Hal 

ini  memicu kekuatan tensil radiks 

jauh lebih rendah dibandingkan bagian saraf 

tepi lainnya dan mudah mengalami avulsi. 

Tidak adanya perineurium yang berfungsi 

sebagai sawar memicu radiks rentan 

mengalami serangan infeksi dan inflamasi. 

Dalam pembahasan mengenai radikulopati  

perlu dipahami istilah miotom dan dermatom. Miotom yaitu  otot-otot yang diinervasi oleh satu segmen spinal. Dermatom 

yaitu  area kulit yang diinervasi oleh satu 

segmen spinal (Gambar 4). Setiap otot di- 

inervasi oleh beberapa segmen spinal yang 

berdekatan dan setiap dermatom mengalami tumpang tindih dengan dermatom yang 

berdekatan (Tabell).  

EPIDEMIOLOGI 

Radikulopati servikal lebih banyak terjadi 

pada perempuan dengan rasio perempuan 

dan lald-lald yaitu  7:1. Rochester menyebutkan angka kejadian tahunan berkisar 83,2 per 

100,000 penduduk dan puncaknya pada usia 

50-54 tahun dengan angka kejadian 202,9 per 

100.000 penduduk. Studi klinis dan radiologi 

menunjukkan keterlibatan mayoritas pada 

radiks C7 (70%), diikuti C6 (19-25%), C8 (4-

10%), dan C5 (2%) kasus. Radikulopati lumbosakral aldbat hemiasi diskus melibatkan 

terutama radiks L4-5 (55%), L5-S1 (43%), 

dan L3-4 pada 2% kasus.  

Etiologi 

Radikulopati dapat disebabkan oleb lesi 

traumatik dan nontraumatik (Tabel 2). Lesi 

traumatik dapat bersifat langsung pada 

radiks (direct) maupun tidak langsung (indirect) akibat trauma pada struktur di sekitarnya, sebingga · terjadi disrupsi mekanik 

baik berupa regangan atau kompresi radiks. 

Lesi nontraumatik dapat berupa lesi struktural yang memicu kompresi dan lesi 

inflamasi atau infiltratif, sebingga terjadi 

kerusakan radiks melalui mekanisme iskemik, perubaban metabolik, dan sebagainya. 

Contobnya adalab lesi degeneratif, infeksi, 

neoplasma, metabolik, dan vaskular. 

Etiologi radikulopati servikal terutama meliputi protrusi diskus (22%) dan 68% akibat 

spondilosis, abnormalitas diskus, atau keduanya. Berbagai etiologi radikulopati ini  

pada akhirnya akan memicu demielinasi 

dan atau degenerasi aksonal yang gambarannya akan tampak pada pemeriksaan elektroDiagnosa . 

PATOFISIOLOGI 

Radikulopati dapat disebabkan oleb proses 

penjepitan (entrapment), kompresi, transeksi, infiltrasi, dan iskemia. Kompresi 

merupakan mekanisme radikulopati yang 

paling sering. Secara struktural, radiks memiliki lebib sedikit kolagen endoneurium, 

tidak memiliki epineurium, dan aksonnya 

dilindungi lebib sedikit jaringan lemak serta 

jaringan penyambung, sebingga kemampuan tensilnya menurun dan rentan terbadap kompresi serta regangan. Tidak adanya 

perineurium pada radiks sebagai sawar 

darab-saraf memicu radiks rentan terbadap invasi mediator inflamasi dan agen 

infeksi. 

697 

Radikulopati 

Kerusakan saraf yang terjadi dapat berupa 

demielinasi atau degenerasi aksonal (pada 

derajat kerusakan yang lebib berat). Klasifikasi derajat kerusakan saraf berdasar  

klasifikasi Sbeddon .dan Sunderland serta 

kemungkinan pemulibannya dibabas lebib 

Ian jut pada bab pleksopati. 

Diagnosa  DAN Diagnosa  BANDING 

Diagnosa  radikulopati ditegakkan berdasar  anamnesis, pemeriksaan fisik, dan 

pemeriksaan penunjang (pencitraan dan elektroDiagnosa ). Penilaian gejala klinis berupa 

adanya nyeri, distribusi gangguan sensorik, 

kelemab-an otot, serta penurunan refleks fisiologis (Tabel 3). 

Radikulopati ditandai dengan nyeri radikular 

atau parestesi yang menjalar sesuai dengan 

distribusi dermatomalnya. Nyeri daerab servikal terasa dari Ieber atau punggung atas 

ke babu atau lengan bingga tangan. Pada 

level torakal nyeri radikular menjalar dari 

dinding posterior dada dan punggung ke 

arab anterior, terasa seperti terikat. Nyeri 

radikulopati lumbosakral biasanya menjalar bingga area di bawab lutut. 

Distribusi area yang mengalami abnormalitas sensorik sesuai dengan dermatom radiks 

yang terlibat, namun  batasnya tidak jelas dan 

biasanya tidak berat karena area sensorik 

an tar radiks yang berdekatan saling tumpang 

tindib. Hal ini  berbeda dengan lesi 

saraf terminal yang abnormalitas sensoriknya 

berat dan dapat dilokalisasi dengan tepat. 

Demikian pula keterlibatan motorik terbatas pada otot-otot yang diinervasi. oleb 

radiks yang terlibat (miotom yang sama). 

Radikulopati torakal dapat diidentifikasi 

dengan menginstruksikan pasien untuk  

melakukan gerakan sit-up sehingga otot 

abdomen atau interkostal yang lemah akan 

tampak menonjol. Kelemahan pada radikulopati biasanya juga tidak berat, karena satu 

otot diinervasi oleh 2-3 radiks. Otot triseps 

tidak mengalami paralisis akibat radikulopati C7, karena masih mendapat inervasi 

dari radiks C6 dan CB. Refleks tendon dalam 

akan menurun pada radikulopati sesuai 

dengan inervasi radiks pada tendon yang 

diperiksa. Tabel 3 membantu untuk mengidentifikasi radiks yang terlibat 

Sumber: Misulis KE, dkk. Bradley's neurology in clinical practice. 2016. h. 332-41. 

Berikut beberapa manuver pemeriksaan 

fisik dapat membantu menDiagnosa  radikulopati: 

1. Manuver Valsava 

Manuver valsava dapat mengeksaserbasi 

nyeri radikular dan parestesia yang menjalar. Manuver valsava memicu 

peregangan pada duramater pada titik 

kompresi intraspinal. 

2. Tes Lhermitte 

Dilakukan dengan cara melakukan fleksi 

pada leher (Gambar 5). Respons positif 

berupa parestesia yang menjalar sepanjang vertebra servikal atau menjalar ke 

ekstremitas atas yang simtomatik. Hal 

ini mengindikasikan disfungsi kolumna 

posterior medula spinalis yang dapat 

(a) 

Radikulopati 

disebabkan oleh kompresi karena spondilosis, massa dalam kana! spinal, atau 

proses intramedular. 

3. Tes Spurling (Manuver Kompresi 

Leber atau tes Kompresi Foramen) 

Dilakukan dengan cara mengeskstensi 

leher, merotasi leher ke arah yang simtomatik, dan melakukan penekanan ke 

bawah pada kepala. Gerakan ekstensi 

akan memicu penonjolan (bulging) 

diskus ke arah posterior, sedangkan gerakan fleksi lateral dan rotasi memicu penyempitan foramen neural (Gambar 6). Respons positifberupa nyeri atau 

parestesi yang menjalar ke ekstremitas 

atas, namun jika muncul responsnya, 

segera hentikan manuver ini . Tes 

ini bersifat spesifik namun  tidak sensitif.  

4. Upper Limb Tension Test 

Tes ini didesain untuk meregangkan 

radiks yang terlibat sehingga mengeksaserbasi gejala radikular. 

5. Shoulder Abduction Relief Sign (Tes 

Abduksi Bahu) 

Dilakukan dengan cara mengangkat 

lengan yang simtomatik ke atas lalu meletakkannya di atas kepala. Manuver ini 

bersifat terapeutik dan diagnostik untuk 

radikulopati servikal segmen bawah, 

oleh karena memicu pembukaan 

foramen yang terlibat dan mendekompresi radiks sehingga meredakan gejala 

radikular pasien.  

6. Tes Distraksi Leber 

Tes ini dilakukan dengan cara memosisikan pasien dalam posisi supinasi, lalu 

melakukan traksi perlahan pacta vertebra 

servikal (dengan kekuatan hingga 30pon). 

7. Tes Laseque (Straight Leg Raising 

TestjSLR) 

Dilakukan ekstensi pacta sendi panggul 

dalam keadaan ekstensi lutut, sehingga 

terjadi regangan radiks (Gambar 7a). 

Hasil tes dikatakan positif jika ada 

nyeri pacta ekstremitas bawah saat ekstensi <70° menunjukkan etiologi nonorganik. ada beberapa derajat hasil 

positifpada tes ini, yaitu s€nsasi kencang  

pada otot ekstremitas bawah ipsilateral 

(signifikansi terendah), nyeri di punggung 

bawah (signifikansi moderate), nyeri radikular ( signifikansi tinggi), dan bahkan 

gangguan sensorik pada distribusi radiks 

yang terlibat. 

ada beberapa modifikasi tes SLR, 

yaitu: 

• Fenomena Bonnet; dilakukan dengan 

tambahan gerakan aduksi dan rotasi 

internal tungkai atas dan bawah. 

• Bragard's sign; modifikasi dengan 

menambahkan gerakan dorsofleksi 

kaki (Gambar 7b). 

• Sicard's sign dengan menambahkan 

gerakan dorsofleksi ibu jari kaki. 

• Hyndman's sign, yaitu timbul nyeri 

saat manuver SLR kemudian dilakukan fleksi panggul dan fleksi Ieber. 

Radikulopati 

8. Reversed SLR Test atau Ely's Test atau 

Tes Tegangan Femoral 

Dilakukan dengan acara memosisikan 

pasien dalam posisi pronasi, lalu pemeriksa 

mengangkat ekstremitas bawah dalam keadaan lutut ekstensi, untuk meregangkan 

radiks lumbal atas. Hasil dikatakan positif 

jika timbul nyeri pada punggung bawah 

atau nyeri radikular. 

9. Crossed Straight Leg Raising Test 

(Tanda Fajersztajn) 

Tes ini dikatakan positifjika saat melakukan manuver Laseque timbul nyeri pada 

ekstremitas kontralateral. 

lO.Tanda Kernig 

Tes ini dilakukan dengan cara memfleksikan sendi panggul pada posisi 

90° lalu mengekstensikan sendi lutut 

hingga 135°.  

Pemeriksaan fisik lainnya yang diperlukan 

yaitu  observasi posisi tubuh pasien, deformitas pacta vertebra, spasme otot paraspinal, dan nyeri tekan area vertebra-paravertebra. 

Radikulopati memerlukan evaluasi lebih 

lanjut segera jika ditemukan tanda bahaya, 

yaitu ada riwayat keganasan, ada 

penurunan berat badan yang tidak dapat 

dijelaskan, keadaan imunosupresi kronik, 

infeksi saluran kemih, atau lainnya, riwayat 

penyalahgunaan obat-obat intravena, usia 

di atas SO tahun, demam, nyeri yang tidak 

membaik dengan istirahat, riwayat trauma  

yang signifikan, pemakaian  steroid jangka 

panjang, retensi urin akut atau inkontinensia urin overflow akut, inkontinensia fekal, 

penurunan tonus sfingter anal, saddle anesthesia, dan kelemahan pacta ekstremitas. 

Pemeriksaan penunjang yang diperlukim meliputi Rontgen, CT scan, atau MRI vertebra, 

dan kecepatan hantar saraf-elektromiografi 

(Tabel4). Rontgen vertebra dilakukan anteroposterior dan lateral untuk mengevaluasi 

keseluruhan alignment vertebra dan adanya 

perubahan ( spondilosis ). Rontgen vertebra 

pada posisi fleksi lateral dan ekstensi dapat 

mengevaluasi instabilitas vertebra.  

Diagnosa  Banding 

Diagnosa  banding radikulopati meliputi 

lesi pleksus, saraf terminal (misalnya entrapment neuropathy), dan medula spinalis. Pada entrapment neuropathy pada 

bagian distal saraf terminal, kadang dapat 

memberikan gejala yang menjalar hingga ke 

bagian proksimal menyerupai radikulopati, 

namun tanpa nyeri di bahu atau punggung. 

Pada carpal tunnel syndrome, nyeri bermula 

dari pergelangan tangan hingga ke lengan 

bawah, lengan, dan bahu (jarang). 

PENGOBATAN 

Invasif 

dan manipulasi spinal tidak direkomendasikan apabila ada tanda kompresi 

medula spinalis atau herniasi diskus 

yang berat. Traksi servikal dapat dilakukan pada radikulopati akibat stenosis 

foramen neuronal oleh patologi faset a tau 

osteofit uncovertebral. Pada radikulopati 

akut akibat protrusi diskus atau spondilosis dapat diberikan kortikosteroid 

dosis tinggi dengan penurunan cepat, 

misalnya prednison 60-80mg per hari 

selama 5-7 hari. Radikulopati akut dengan 

defisit neurologis selain gangguan sensorik berpotensi memicu disabilitas yang berat, sehingga perlu dilakukan 

eksplorasi etiologi segera pada fase awal 

dengan MRI. 

PENGOBATAN radikulopati meliputi PENGOBATAN 

simtomatik berupa pemakaian  analgetik nonnarkotik, hindari aktivitas provokatif, dan atasi 

kausatif sesuai sesuai etiologinya, antara lain: 

1. Radikulopati Servikal Akut 

2. Radikulopati Servikal Kronik dan 

Nyeri Leber Kronik 

PENGOBATAN meliputi menghindari aktivitas proaktif, pemakaian  · analgesik 

nonnarkotik lnaktivitas berkepanjangan  

Jika gejala radikulopati >4 minggu disertai dengan defisit neurologis yang 

me-netap atau progresif maka perlu dilakukan evaluasi ulang dan tata laksana.  

Modalitas PENGOBATAN yang dapat dilakukan meliputi: 

- Terapi fisik untuk memperbaiki posturtubuh 

- Transcutaneus electrical nerve stimulation (TENS) 

- Traksi servikal 

- Injeksi kortikosteroid atau kombinasi 

kortikosteroid dan agen anestesi epidural 

- Blok radiks selektif untuk diagnostik 

dan terapeutik pada level servikal 

dan lumbosakral 

- Injeksi kortikosteroid intraartikular 

pada sendi faset 

- Neurotomi radiofrekuensi perkutaneus cabang ·medial ramus dorsalis 

servikal yang menginervasi sendi faset 

3. Manajemen Bedah pada Gangguan 

Spinal Servikal 

Intervensi bedah kemungkinan besar 

dilakukan pada kasus-kasus dengan defisit neurologis yang jelas atau progresif, 

nyeri refrakter, adanya lesi struktural 

sesuai dengan gejala klinis, dan tanda 

mielopati. Manajemen bedah yang dilakukan tergantung pada patologi pemicu , 

antara lain disektomi, laminektomi, dan 

foraminotomi. 

4. Hemiasi Diskus Lumbosakral 

Secara umum pada 4-6 minggu awal dilakukan PENGOBATAN konservatif kemudian dipertimbangkan PENGOBATAN bedah 

jika tetap simtomatik setelah 6 minggu. 

PENGOBATAN konservatif meliputi medikamentosa, terapi fisik, biofeedback, pemasangan korsetlumbal, TENS dan akupuntur. 

Pilihan medikamentosa dapat berupa obat  

anti inflamasi nonsteroid (OAINS), pelemas 

otot, atau analgetik opioid. Obat-obatan 

untuk nyeri neuropatik meliputi golongan 

antikonvulsan (gabapentin, pregabalin), serotonin-specific reuptake inhibitors (SSRI), 

atau antidepresan tris~ik Qebih lengkap 

di bab Nyeri Neuropatik). 

Injeksi steroid dan obat anestesi epidural 

dapat diberikan jika medikamentosa oral 

tidak efektif. Kortikosteroid sistemik 

secara umum tidak direkomendasikan untuk meredakan nyeri. Tata laksana bedah perlu dilakukan segera jika 

ada defisit motorik progresif dan 

sindrom kauda ekuina akut Demikian 

juga indikasi relatif pada nyeri yang tidak 

terkontrol dengan medikamentosa Intervensi bedah dapat berupa laminektomi, 

disektomi, eksisi diskus artroskopik, dan 

fusi spinal. 

5. Stenosis Lumbalis 

Manajemen konservatif stenosis lumbal secara umum sama dengan herniasi 

diskus. Intervensi bedah yang dapat dilakukan meliputi laminektomi, fasetektomi, foraminotomi, dan laminotomi. Pada 

dekompresi yang luas, adanya skoliosis 

degeneratif, kifosis, atau spondilolistesis 

memerlukan tambahan stabilisasi spinal. 

6. Hemiasi Diskus Torakal 

PENGOBATAN konservatif secara umum 

sama dengan herniasi diskus. Dekompresi bedah diperlukan jika ada tanda kompresi medula spinalis atau terapi 

konservatif tidak efektif. 

7. Spondilosis Torakal 

PENGOBATAN bedah diindikasikan apabila ada stenosis kanalis yang menye 

babkan mielopati, keterlibatan radiks Tl 

yang memicu kelemahan motorik 

tangan atau tidak efektifnya PENGOBATAN 

konservatif.  










PLEKSOPATI 



Pleksopati yaitu  suatu kelainan akibat 

gangguan pacta jaringan saraf secara langsung mulai dari ra iks saraf hingga saraf 

terminal, atau secara tidak langsung akibat 

kelainan pacta jaringan sekitarnya, seperti 

pembuluh darah, pembuluh limfe, otot, 

dan tulang. Kelainan ini dapat terjadi pacta 

pleksus brakialis dan pleksus lumbosakral, 

sehingga disebut sebagai pleksopati brakialis dan pleksopati lumbosakral. Gejala klinis utama yang muncul yaitu  rasa nyeri, 

kelemahan motorik, serta gangguan sensorik 

dan autonom. 

Otot yang mengalami kelemahan dan distribusi daerah kesemutan tergantung bagian 

pleksus yang terlibat. Pemulihan pacta lesi 

ini bervariasi, lesi ringan dapat terjadi pemulihan spontan atau memicu gangguan 

fungsional yang ringan, namun pacta lesi berat 

dapat memicu kecacatan. 

EPIDEMIOLOGI 

Lesi pleksus brakialis meliputi 10% dari lesi 

saraf perifer dan kira-kira 14% lesi neurologis di anggota gerak atas yaitu  akibat lesi 

pleksus brakialis. pemicu nya beragam 

dan trauma merupakan pemicu  tersering 

karena letaknya di daerah leher dan bahu 

yang sering bergerak.  

ANATOMI 

Anatomi Pleksus Brakialis 

Pleksus saraf tepi berawal dari radiks ventralis dan dorsalis yang berasal dari medula spinalis. Radiks dorsalis memiliki ganglion yang 

ada neuron sensorik di dalamnya. Ke 

arah perifer kedua radiks ini menyatu menjadi 

N. Spinalis yang akan menjadi cabang ramus 

dorsalis dan ramus ventralis yang kemudian 

beranyam membentuk pleksus (Gam bar 1). 

Pleksus brakialis merupakan serabut saraf 

yang berasal dari ramus radiks ventralis 

saraf CS-T1. Radiks CS dan C6 bergabung 

membentuk trunkus superior; C7 mejadi 

trunkus medial, serta C8 dan T1 bergabung 

membentuk trunkus inferior. Trunkus berjalan melewati klavikula dan membentuk divisi anterior dan posterior. 

Divisi posterior dari masing-masing trunkus 

tadi akan membentuk fasikulus posterior. Divisi anterior dari trunkus superior dan media 

membentuk fasikulus lateral. Divisi anterior 

dari trunkus inferior membentuk fasikulus 

medial. Kemudian fasikulus posterior membentuk N. Radialis dan N. Aksilaris. Fasikulus 

lateral terbagi dua yaitu cabang yang satu 

membentuk N. Muskulokutaneus dan cabang 

lainnya bergabung dengan fasikulus media 

untuk membentuk N. Medianus. Fasikulus 

media terbagi dua yaitu cabang pertama 

yang membentuk N. Medianus dan cabang 

lainnya menjadi N. Ulnaris. (Gambar 2).  

Pleksus brakialis terdiri dari: 

1. Lima radiks 

2. Tiga trunkus: superior; medial, dan inferior 

3. Enam divisi: yang terbagi berdasar  

posisi dari klavikula menjadi anterior 

dan posterior, masing-masing 3 divisi 

4. Tiga fasikulusfkorda: lateral, posterior, 

dan medial 

5. Lima cabang terminal sebagai saraf: N. 

Muskulokutaneus, N. Radialis, N. Medianus, N. Aksilaris, dan N. Ulnaris 

Ramus dan trunkus terletak di supraklavikular; ada 2 saraf berasal dari ramus 

(N. Frenikus dan N. Dorsoskapularis) dan 

2 saraf dari trunkus superior (N. Supraskapularis dan N. Subklavius). Divisi terletak  

posterior terhadap klavikula. Divisi anterior 

memberi inervasi pacta otot fleksor; dan divisi posterior memberikan inervasi pacta 

otot ekstensor. Korda dan cabangnya terletak 

infraklavikular. Penamaan pacta korda berdasar  letaknya terhadap arteri aksilaris. 

Menurut letaknya terhadap klavikula, percabangan pleksus brakialis dibagi menjadi 

pars supraklavikularis dan pars infraklavikularis. Yang termasuk percabangan pars 

supraklavikularis yaitu  N. Torakalis posterior, N. Subklavius, dan N. Supraklavikularis. 

Pars infraklavikularis mempercabangkan: 

Nn. Torakalis anterior, Nn. Subskapularis, N. 

Torakodorsalis, N. Aksilaris (disebut N. Sirkumpleksus), N. Kutaneus brakii medialis 

dan N. Kutaneus antebrakii medialis.  

Fasikulus lateralis mempercabangkan: N. 

Muskulokutaneus dan radiks superior N. 

Medianus. Fasikulus medialis mempercabangkan: N. Ulnaris, N. Kutaneus brakii medialis, N. Kutaneus antebrakii medialis, dan 

radiks inferior N. Medianus. Fasikulus posterior mempercabangkan: N. Aksilaris dan 

N. Radialis (Gambar 2). 

Anatomi Pleksus Lumbosakral 

Pleksus lumbal terbentuk dari radiks Ll-L4 

dan terletak di retroperitoneum di posterior 

M. Psoas (Gambar 3). Pleksus lumbal membentuk beberapa nervus terminal, yaitu: 

1. N. Iliohipogastrik dan N. Ilioinguinal 

Kedua nervus terse but terbentuk dari radiks Ll dan berjalan melalui celah pelvis 

untuk menginervasi M. Oblikus internal 

dan M. Transversal. Nervus Iliohipogastrik menginervasi sensorik di abdomen 

anterior bawah, sedangkan N. Ilioinguinal menginervasi sensorik area kulit di 

atas ligamentum inguinal, tungkai atas 

medial rostral, dan bagian atas skrotum (pada laki-laki) atau labia (pada 

perempuan). 

2. N. Femoralis 

Nervus ini berasal dari ramus radiks 

dorsalis L2-L4, berjalan melalui pelvis 

dan keluar di bawah ligamentum inguinal. 

Nervus Femoralis menginervasi M. Iliopsoas, M. Pektineus, M. Sartorius, dan M. 

Kuadriseps femoris. Cabang sensoriknya  

menginervasi tungkai bawah sisi medial 

(N. Safena) dan tungkai atas sisi anteromedial (N. Kutaneus medial dan intermediate). 

3. N. Obturator 

Nervus ini terbentuk dari rami radiks 

ventralis L2-L4. Nervus ini  turun 

melalui pelvis dan keluar melalui foramen obturator untuk menginervasi M. 

Aduktor longus, M. Aduktor brevis, M. 

Aduktor magnus, dan grasilis serta sensorik area tungkai atas medial. 

4. N. Genitofemoralis 

Nervus ini berasal dari radiks Ll-L2, turun melalui pelvis kemudian pada ligamentum inguinal medial bercabang menjadi cabang genital dan femoral. Cabang 

genital menginervasi M. Kremaster dan 

sensorik di skrotum bagian bawah atau 

labia. Cabang femoral menyuplai sensorik di trigonum femoral. 

5. N. Kutaneus Femoralis Lateral 

Nervus yang murni hanya serabut sensorik ini berasal dari radiks L2-L3 yang 

keluar di lateral M. Psoas kemudian menyilang secara oblik melalui ligamentum 

inguinal menuju spina iliaka superior 

anterior. Nervus ini  kemudian bercabang menjadi cabang anterior dan posterior untuk menyuplai sensorik pada 

tungkai atas bagian anterior dan medial.  

Pleksus lumbosakral bagian bawah mayoritas terbentuk dari radiks LS-S3 dan tambahan 

komponen dari L4. Komponen L4 bergabung 

dengan radiks LS untukmembentuktrunkus 

lumbosakral yang kemudian berjalan turun 

di bawah pelvic outlet untuk bergabung dengan pleksus sakral. 

Pleksus lumbosakral bagian bawah akan 

membentuk saraf-saraf terminal, yaitu 

(Gambar 5): 

1. N. Skiatik 

Nervus ini berasal dari radiks L4-S3 dan 

keluar dari pelvis melaluigreater sciatic 

foramen. Nervus ini menginervasi otot 

hamstring, semimembranosus, semi- 

tendinosus, biseps femoris, aduktor 

magnus divisi lateral, dan seluruh otot 

yang diinervasi oleh nervus peroneus 

dan tibialis. Area sensorik yang diinervasi yaitu  seluruh area tungkai bawah, 

kecuali bagian medial yang sensoriknya 

diperantarai oleh N. Safena. 

2. N. Gluteus Superior 

Nervus ini berasal dari radiks L4-S1 

dan menginervasi M. Tensor fasia latae, 

M. Gluteus medius, dan M. Gluteus minimus. 

3. N. Gluteus Inferior 

Nervus ini berasal dari radiks LS-S2 dan 

menginervasi M. Gluteus maksimus.  

4. N. Kutaneus Posterior Tungkai Atas 

Nervus ini berasal dari radiks S1-S3 

(terutama S2) dan memperantarai 

sensorik area bokong bagian bawah 

dan tungkai atas sisi posterior. Trauma 

pada N. Skiatika biasanya juga mencederai nervus ini. 

ETIOLOGI 

Lesi pada pleksus brakialis dapat disebabkan antara lain: 

1. Trauma 

Merupakan pemicu  terbanyak lesi 

pleksus brakialis, dapat terjadi pada segala usia baik dewasa maupun neonatus, 

dapat berupa cedera tertutup, cedera terbuka, ataupun cedera iatrogenik. 

2. Tumor 

Dapat berupa tumor neural sheath (neuroblastoma, schwannoma, malignant 

peripheral nerve sheath tumor, dan meningioma) atau tumor nonneural yang 

jii1ak (desmoid, lipoma) maupun maligna 

(kan-ker payudara dan kanker paru). 

3. Cedera radiasi 

Frekuensi cedera pleksus brakialis yang 

dipicu oleh radiasi diperkirakan sebanyak 

1,8- 4,9% dari lesi dan paling sering ditemukan pada pasien kanker payudara dan 

paru yang mendapatkan terapai radiasi.  

4. Penjepitan (Entrapment) 

Cedera pleksus brakialis karena penjepitan dapat terjadi karena adanya abnormalitas pada struktur pleksus dan 

jaringan sekitarnya, seperti pada thoracic 

outlet syndrome. Postur tubuh dengan 

bahu yang lunglai dan dada yang kolaps 

memicu thoracic outlet menyempit 

sehingga menekan struktur neurovaskular. Adanya iga aksesori atau jaringan fibrosa juga berperan menyempitkan thoracic outlet Faktor lain yaitu payudara 

berukuran besar yang dapat menarik 

din ding dada ke depan (anterior dan inferior). Teori ini didukung dengan hilangnya 

gejala setelah operasi mamoplasti reduksi. Implantasi payudara juga dikatakan 

dapat memicu cedera pleksus brakialis karena dapat meningkatkan tegangan di bawah otot dinding dada dan mengiritasi jaringan neurovaskular. 

5. ldiopatik 

Pada parsonage turner syndrome terjadi 

pleksitis tanpa d.iketahui pemicu  yang 

jelas namun diduga ada infeksi virus 

yang mendahului Manifestasi klasik yaitu  

nyeri dengan onset akut yang berlangsung 

selama 1-2 minggu dan diikuti dengan 

kelemahan oto.t Nyeri biasanya hilang secara spontan dan pemulihan komplit terjadi sekitar 2 tahun. Jarang terjadi kelumpuhan yang menetap. 

Lesi pleksus lumbosakral dapat disebabkan 

oleh lesi kompresif dan nonkompresif. Lesi 

kompresif meliputi perdarahan, neoplasma, endometriosis, kehamilan, traumatik, 

pascaoperasi, aneurisma, dan sindrom kompartemen gluteal. Adapun lesi nonkompresif 

meliputi amiotrofi diabetik (neuropati diabetik  

proksimal), pleksopati radiasi, pleksitis lumbosakral idiopatik, vaskulitis, infeksi atau parainfeksi, dan terkait heroin. 

1. Perdarahan 

Perdarahan akibat pemakaian  antikoagulan, ruptur aneurisma, maupun 

hemofilia, yang terjadi diM. Psoas dapat 

mengkompresi pleksus lumbal. Manifestasi 

klinis terutama meliputi N. Femoralis dan 

dapat juga meluas hingga N. Obturator dan 

N. Kutaneus femoralis lateral. 

2. Neoplasma 

Pleksopati lumbosakral dapat disebabkan oleh invasi tumor dari vesika urinaria, serviks, uterus, ovarium, prostat, 

kolon, dan rektum. Implantasi jaringan 

abnormal endometriosis pada pleksus 

menimbulkan pleksopati dengan gejala 

intermiten dan mengenai pleksus lumbosakral bagian bawah. Limfoma dan 

leukimia dapat secara langsung menginfiltrasi serabut saraf tanpa adanya massa 

di sekitarnya. 

3. Kehamilan dan Persalinan 

Pleksopati lumbosakral pascapartus 

disebut juga maternal peroneal palsy, 

maternal birth palsy, neuritis puerperalis, atau maternal obstetric paralysis. 

Pleksopati ini terjadi akibat penekanan 

kepala bayi pada tulang pelvis dan pleksus lumbosakral, serta biasanya mengenai trunkus lumbosakral yang terbentuk 

dari radiks L4-LS (Gambar 5). Trunkus 

lumbosakral tidak terproteksi lagi oleh 

M. Psoas saat melintasi pelvic outlet dan 

terletak di sakrum dekat sendi sakroiliaka, 

sehingga rentan terkompresi pada titik 

ini .  

Pleksus yang akan bercabang menjadi N. 

Gluteus superior juga dapat terkompresi. 

Nervus Skiatik pars peroneal terletak di 

posterior dan berdekatan dengan tulang, 

sehingga juga rentan mengalami kompresi. Manifestasi klinis biasanya terjadi 

dalam beberapa hari pascapartus. Faktor risiko meliputi kehamilan pertama, 

disproporsi sepalopelvik, ukuran fisik 

ibu kecil (tinggi badan kurang dari 5 

kaki atau sekitar kurang dari 150cm), 

dan proses persalinan yang lama. Prognosis pada sebagian besar kasus baik. 

Mekanisme yang mendasari kerusakan 

saraf yaitu  iskemia akibat kompresi 

dan deformitas mekanik saraf yang memicu demielinasi dan degenerasi 

aksonal. 

Pleksopati 

4. Trauma dan Pascaoperasi 

Trauma pleksus lumbosakral umumnya 

terjadi pada kasus kecelakaan yang melibatkan fraktur pelvis a tau sakrum. Selain 

itu, perdarahan dan avulsi radiks dapat 

pula terjadi. Mayoritas kasus mengenai 

pleksus bagian lumbal dan sakral walaupun dapat terjadi keterlibatan bagian 

sakral saja. Distribusi kelemahan biasanya 

lebih berat pada otot yang di-inervasi N. 

Peroneus komunis dan N. Gluteus dibandingkan distribusi tibial dan N. Femoralis. 

Pleksopati lumbosakral dapat pula terjadi 

pascaoperasi, seperti operasi penggantian 

panggul, koreksi fraktur femur atau asetabulum, operasi pelvis radikal, operasi 

vaskular aorta, dan pemasangan alat pacu 

jantung melalui vena femoralis.  

5. Aneurisma dan Penyakit Pembuluh 

DarahBesar 

Ekspansi aneurisma arteri iliaka komunis, 

iliaka internal, atau hipogastrik dapat secara 

langsung mengkompresi pleksus lumbosakral. Hematom retroperitoneal dari kebocoran aneurisma juga dapat memicu 

pleksopati. Etiologi ini dicurigai apabila ada nyeri punggung atau tungkai disertai 

massa pulsatil pada pemeriksaan fisik. 

6. Abses 

Abses psoas atau paraspinal umumnya 

disebabkan oleh infeksi tuberkulosis, jarang 

disebabkan oleh bakteri nonspesifik Abses 

perirektalyangterjadi pascaoperasi rektum 

atau pada individu imunokompromi, dapat 

memicu pleksopati sakral bilateral. 

7. Sindrom Kompartemen Gluteal 

Sindrom ini di