ktu 72 jam
sejak onset Untuk mencegah keratitis paparan
akibat lagoftalmus dapat diberikan air mata
buatan, pelindung mata, dan penutupan mata
secara mekanik saat tidur.
Pada kasus degenerasi aksonal berat, dapat
terjadi inervasi aberan sehingga menimbulkan komplikasi sinkinesis. Sinkinesis yaitu
reinervasi serabut saraf pada organ efektor yang bukan organ efektor sebenarnya.
ada fenomena air mata buaya, yaitu
terjadinya lakrimasi ipsilateral pada saat
mengunyah. Sindrom Marin-Amat, yaitu penutupan kelopak mata ipsilateral saat membuka rahang. Sekitar 70% pasien mengalami
perbaikan dalam 1-2 bulan dan 85% di antaranya mengalami perbaikan penuh. Munculnya perbaikan motorik pada hari ke-5 atau
7 menunjukkan prognosis baik, sementara
adanya tanda denervasi pada pemeriksaan
elektrofisiologi setelah hari ke-10 menunjukkan prognosis buruk
CONTOH KASUS
1. Wanita 49 tahun datang dengan keluhan
baal pada tangan dan kaki. Pemeriksaan
klinis menunjukkan hipestesi dengan
distribusi stocking and gloves. Diagnosa
diferensial yang paling mungkin pada
pasien ini yaitu
A. Neuropati diabetes, SGB, defisiensi
vitamin 812
B. Charcot-Marie Tooth, Bell's palsy, SGB.
C. Defisiensi Vitamin 812, Bell's palsy,
cubital tunnel syndrome
D. Defisiensi Vitamin 812, neuropati diabetes, cubital tunnel syndrome
674
E. Bell's palsy, neuropati diabetes, Charcat-Marie-Tooth
Jawaban:A.
Neuropati diabetes dan defisiensi vitamin 812 merupakan neuropati yang
disebabkan oleh kondisi metabolik, sehingga kerusakan saraf akan memiliki
distribusi bergantung pada jarak (length
dependent). Demikian pula pada SGB pola
ini disebabkan karena kegagalan konduksi pada saraf bagian perifer ke distal
Charco-Marie-Tooth juga memiliki distribusi pada saraf-saraf di distal, namun
sangat jarang disertai gangguan sensorik
2. Dari soal no. 1 diketahui keadaan ini
dikeluhkan perlahan namun bertambah
baal sejak 3 tahun sebelumnya. Tidak
ada riwayat demam, diare atau flu-like
syndrome 5 hari sampai 2 minggu sebelumnya, sehingga SGB dapat disingkirkan.
Pemeriksaan laboratorium tambahan yang
dapat dilakukan pada pasien ini yaitu
A. Kadar gula darah HbA1c
B. Kadar vitamin 812
C. Serologi HSV-1
D. A dan B benar
E. Semua benar
Jawaban paling tepat yaitu D (A dan B
benar).
Pemeriksaan kadar gula darah HbA1c dan
kadar vitamin 812 untuk menyingkirkan
Diagnosa diferensial neuropati diabetes
dan defisiensi vitamin 812. Walaupun
defisiensi ini dapat mudah diatasi
dengan suplemen vitamin 812, namun
pemberian terapi tanpa alasan yang kuat
tidaklah tepat. Pemeriksaan serologi
HSV-1 dapat dilakukan bila dicurigai
Bell's palsy.
3. Laki-laki usia 39 tahun datang dengan
keluhan bicara pelo, wajah tertarik ke
sisi kanan jika senyum atau tertawa,
kelopak mata kiri tidak dapat menutup,
dan sering keluar air dari sudut mulut
saat miuum. Tidak ada kelemahan
ektremitas. Kemungkinan besar pasien
ini mengalami gangguan pada:
A. Ganglia basal kanan
B. Korteks motorik wajah kanan
C. N. V perifer kiri
D. N. VII perifer kiri
E. N. XI sentral kanan
Jawaban: D.
Keluhan bicara pelo dapat disebabkan oleh
paresis N. VII akibat gangguan transmisi di
sentral maupun perifer. Wajah tertarik ke
kanan dan keluar air dari sudut mulut di
sebelah kiri menunjukkan adanya paresis
di sisi kiri. Kelopak mata sebelah kiri yang
tidak dapat menutup menunjukkan bahwa
ada lesi di N. VII di perifer; bukan
sentral.
4. Dari soal no. 3 diketahui keluhan ini
dimulai sejak 3 hari yang lalu, dengan
sedikit demam disertai nyeri di belakang
telinga kiri. ada juga rasa baal di
wajah sisi kiri dan kering pada mata kiri.
Diagnosa banding yang paling mungkin
untuk kasus ini yaitu :
A. Bell's palsy
B. Sindrom Guillain Barre
C. Multipel sklerosis (MS)
D. Stroke
675
E. Semua benar
Jawaban: A. Bell's palsy
Neuropati
Paresis N. VII perifer masih dapat disebabkan oleh semua pilihan ini , namun
pada kasus ini yang paling tepat yaitu
Bell's palsy, yaitu didahului oleh gejala inflamasi dan bersifat akut SGB dapat didahului oleh gejala inflamasi, namun jika terkena saraf kranial sering kali bilateral. MS
biasanya terjadi berulang dan gangguan
di sentral. Adapun stroke terjadi hiperakut dan tidak berkaitan dengan inflamasi,
serta proses yang terjadi berupa gangguan
sentral, sehingga bukan memicu
paresis N. VII perifer, melainkan sentral.
5. Dari soal nomor 3 dan 4, pemeriksaan
penunjang yang dapat dilakukan sehingga
dapat menunjukkan prognosis pasien ini
yaitu
A. Serologi darah
B. Serologi cairan serebrospinal
C. Elektroneurofisiologi
D. MRI
E. House-Brackmann
Jawaban: C.
Pemeriksaan elektroneurofisiologi (blink
reflex) dapat dilakukan mulai hari 10-14
pascaonset untuk menentukan lokasi
dan prognosis pasien Bell's palsy.
SINDROM GUILLAIN-BARRE
Sindrom Guillain-Barre (SGB) merupakan
polineuropati akut yang disebabkan oleh
reaksi autoimun terhadap saraf perifer. SGB
ditandai dengan gejala dan tanda paralisis
lower motor neuron (LMN) akut disertai
disosiasi sitoalbumin pada cairan serebrospinal (CSS). Kecuali pada varian tertentu,
perjalanan penyakit SGB bersifat monofasik.
Pada perjalanan penyakit SGB, perburukan
klinis hingga mencapai titik nadir biasanya
tidak lebih dari 28 hari. SGB merupakan
pemicu kelumpuhan LMN akut utama di
dunia setelah era eradikasi polio.
EPIDEMIOLOGI
Insidens SGB berkisar antara 0,81-1,89 kasus
per 100.000 penduduk per tahun. SGB lebih
jarang ditemukan pada anak dibandingkan
dewasa dan insidens SGB meningkat seiring
bertambahnya usia, proporsi laki-laki lebih
besar dibandingkan perempuan. Karakteristik serta variasi klinis SGB beragam di berbagai tempat. Acute inflammatory demyelinating polyneuropathy (AIDP) lebih sering terjadi
di Amerika Utara, Arab, dan Eropa. Sementara
acute motor axonal neuropathy (AMAN) lebih
sering terjadi di wilayah Amerika Tengah,
Amerika Selatan, Banglades, Jepang, dan
Meksiko. Di Indonesia, penelitian di RSUPN
Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta menunjukkan jumlah kasus baru SGB yang dirawat di
677
RSCM sekitar 7,6 kasusftahun. Penderita SGB
di RSCM terutama dewasa muda dengan rerata
usia 40 tahun dan rasio laki-laki : perempuan
yaitu 1,2:1.
PATOFISIOLOGI
Pada SGB, dua pertiga kasus didahului infeksi (antecendent infection) pada saluran
pernapasan atas atau gastrointestinal dengan
keluhan umum berupa demam (52%), batuk
(48%), nyeri tenggorokan (39%), pilek
(30%), dan diare (27%). Pada 31% kasus
SGB dapat ditemukan Campylobacter jejuni
(C. jejuni ) pada Analisa fesesnya. Adanya
infeksi anteseden ini menjadi dasar patofisiologi SGB berupa proses antibodi mimikri.
Pada proses antibodi mimikri terjadi kemiripan struktur antigen patogen dengan struktur
yang ada pada dinding sel tubuh, sehingga antibodi yang dibentuk tubuh untuk melemahkan patogen terse but dapat berikatan
dengan jaringan tubuh itu sendiri.
Teori ini didukung oleh beberapa penelitian,
yaitu:
• Ditemukannya struktur lipooligosakarida
(LOS) pada dinding sel C. jejuni yang memiliki kemiripan dengan struktur karbohidrat penyusun membran sel sarafyang
disebut gangliosida.
• Pada serum pasien SGB ditemukan antibodi terhadap gangliosida.
• Penyuntikan antibodi gangliosida pada
hewan percobaan memicu gejala
yang mirip dengan SGB.
Paparan terhadap C. jejuni dapat membuat
sel-sel imunitas tubuh menghasilkan antibodi
yang juga dapat berikatan dengan struktur
gangliosida pada membran sel saraf. Antibodi yang berikatan dengan gangliosida ini
akan memicu proses autoimun melalui mekanisme pengaktifan komplemen dan membentuk membrane attack complex (MAC)
pada membran sel Schwann pada AIDP atau
pada akson pada AMAN, sehingga menimbulkan efek neurotoksik (Gambar 1). Hal
ini dibuktikan dengan ditemukannya sel-sel
makrofag pada jaringan saraf pasien SGB
pada pemeriksaan histopatologi. Makrofag
berperan dalam reabsorbsi debris pada kedua
tipe SGB ( demielinisasi dan degenerasi aksonal), namun serbukan sel limfosit hanya
ditemukan pada SGB tipe demielinisasi.
Patofisiologi sindrom Miller Fischer (SMF)
yang merupakan varian SGB sampai saat ini
masih belum jelas. Pasien SMF pada perjalanan klinisnya mengalami pemulihan sempurna dan jarang ditemukan kasus yang fatal.
Hal ini menunjukkan proses yang terjadi pada
SMF yaitu suatu proses demielinisasi dan
bukan merupakan proses degenerasi aksonal.
Patogen-patogen lain yang mampu menimbulkan reaksi-silang antibodi terhadap
gangliosida yaitu Haemophilus influenzae,
Mycoplasma pneumonia, Cytomegalovirus
(CMV), Epstein- Barr virus (EBV), dan Varicella Zoster Virus (VZV). Selain dari antecedent infection, risiko kejadian SGB juga meningkat pacta adanya transfe r gangliosida
parenteral, pascavaksinasi influenza HlNl,
adanya kelainan autoimun lain yang diderita
sebelumnya, pemakaian obat-obatan imunosupresan, dan pascapembedahan.
Sampai saat ini sudah ditemukan beberapa
antibodi gangliosida dalam serum pasien SGB,
yaitu antibodi LMl, GMl, GMlb, GM2, GDla,
GalNAc-GDla, GDlb, GD2, GD3, GTla, dan
GQlb (Tabell).
Adanya perbedaan jenis antibodi pada berbagai tipe SGB menunjukan distribusi gangliosida berbeda· beda pada jaringan saraf perifer.
Jenis antibodi yang terbentuk dan distribusi
gangliosida menentukan tanda dan gejala
klinis yang terjadi pada SGB. Sebagai contoh,
pada GBS tipe AMAN, ditemukan antibodi terhadap GMl, GMlb, GDla, dan GalNAc-GDla
pada serum pasien. Gangliosida-gangliosida
ini terdistribusi lebih banyak ditemukan pada
aksolema nodus Ranvier serabut saraf motorik dibandingkan sensorik Proses autoimun
lebih banyak terjadi pada serabut saraf moSindrom Guillain Barre
torik dan menimbulkan gejala motorik yang
lebih dominan dibandingkan sensorik
Pada serum pasien SMF ditemukan antibodi
terhadap gangliosida GD3, GTla, dan GQlb.
Gangliosida GQlb banyak terdistribusi pada
aksolema neiVUs okulomotor, troklearis, abdusens, serta muscle spindle, sehingga jika terjadi
reaksi autoimun terhadap gangliosida GQlb
muncul gejala klinis SMF berupa oftalmoplegia, ataksia, dan aretleksia Gangliosida GTla
dan GQlb diekspresikan pada aksolema neiVUS
glosofaringeus dan vagus, sehingga dihubungkan dengan gejala disfagia ditemukan pada sebagian kasus SMR Pada SGB tipe demielinisasi,
antibodi spesifikyang memicu kerusakan
membran sel Schwann pada selubung mielin masih belum diketahui hingga saat ini dan
membutuhkan penelitian lebih lanjut GEJALA DAN TANDA KLINIS
Pola perjalanan penyakit SGB bersifat
monofasik (Gambar 2). Pada sebagian besar
SGB ada infeksi anteseden sebelum
munculnya defisit neurologis. Waktu antara
infeksi anteseden dan munculnya defisit
neurologis bervariasi antara 4 minggu
sampai 6 bulan. Defisit neurologis ini akan
mengalami perburukan hingga mencapai titik
nadir dalam waktu tidak lebih dari 28 hari
(4 minggu). Antibodi antigangliosida dapat
dideteksi dalam serum pasien selama proses ini dan kadarnya akan menurun seiring
dengan berjalannya waktu.
Pada SGB dapat terjadi fluktuasi defisit
neurologis dalam waktu 8 minggu sejak diberikannya imunoterapi. Hal ini masih dianggap sebagai suatu pola monofasik SGB.
Fluktuasi ini disebut sebagai fluktuasi terkait pengobatan (Guillain-Barre syndrome
with treatment-related jluctuationjGBS-TRF).
Perjalanan GBS-TRF mirip dengan chronic
injlamatory demyielinating polineuropathy
(CIDP) onset akut. hanya saja progresifitas
defisit neurologis CIDP berlangsung hingga
lebih dari 8 minggu atau fluktuasi defisit
neurologis terjadi tiga kali atau lebih sedangkan fluktuasi GBS-TRF terjadi tidak
lebih dari 8 minggu sejak onset dan jarang
terjadi fluktuasi lebih dari 2 kali. Dalam
perjalanannya, fluktuasi defisit neurologis pada CIDP lebih ringan dibandingkan
GBS-TRF. Defisit neurologis pada CIDP tidak
sampai membutuhkan ventilasi mekanik,
jarang melibatkan gangguan saraf kranial,
dan gambaran pemeriksaan elektrofisiologi
proses demielinisasi, sedangkan pada GBS-
680
TRF defisit neurologis yang terjadi lebih
berat hingga sampai memerlukan ventilasi
mekanik
Defisit neurologis SGB pada ekstremitas
dapat berupa kelemahan motorik tipe LMN,
gangguan sensorik berupa parastesia, hipestesia atau gangguan propioseptif, serta hiporefleksia maupun arefleksia Defisit neurologis
ini dapat melibatkan nervus kranialis, terutama nervus Fasialis pada AlDP. Varian
klinis SGB lain yang melibatkan nervus kranialis yaitu SMF dengan trias gejala berupa
arefleksia, ataksia, dan oftalmoplegia.
Fase pemulihan dapat berlangsung beberapa minggu, bulan, bahkan tahun tergantung
proses patologi yang terjadi. Lesi demielinisasi
(AlDP) mempunyai prognosis yang lebih baik
dibandingkan degenerasi aksonal (AMAN).
Pemulihan pada SGB tipe demieliniasasi dan
degenerasi aksonal akan terjadi secara berangsur-angsur sesuai dengan perawatan dan
terapi yang adekuat
ada beberapa variasi gambaran klinis
SGB berdasar penelitian dan laporan kasus yang ada, yaitu:
1. SGB hiperrefleks
SGB umumnya menunjukkan tanda hiporefleksia atau arefleksia, namun pada
10% kasus dapat ditemukan refleks tendon dalam yang normal atau bahkan meningkat dengan tonus otot yang normal.
Pemeriksaan imunohistokimia pada serum pasien SGB hiperrefleks menunjukkan
adanya antibodi antiGM1 dan antiGDla,
dengan gambaran neurofisiologi sesuai
dengan SGB tipe aksonal.
2. Pharyngeal-cervical-brachial weakness
Penegakan Diagnosa SGB tipe ini didapat
dengan ditemukannya kelemahan pada
otot orofaring, leher, dan ekstremitas atas
akut yang disertai arefleksia. Kelemahan
motorik pada ekstemitas bawah dapat
juga ditemukan namun lebih ringan.
3. SGB paraparesis
Pada SGB paraparesis kelemahan motorik
dengan hiporefleksia atau arefleksia akut
hanya terjadi pada ekstremitas bawah
saja, sementara ekstremitas atas normal.
Berbeda dengan lesi medula spinalis,
pada SGB paraparesis level gangguan sensorik memiliki batas yang tidak tegas dan
fungsi berkemih masih normal. Analisa
pungsi lumbal serta pemeriksaan MRI
menunjukkan kesesuaian dengan SGB, sedangkan gambaran neurofisiologi sesuai
dengan SGB tipe degenerasi aksonal.
4. Kelemahan bifasial dengan parestesia
Gejala dan tanda ldinis SGB tipe ini berupa
kelemahan nervus fasialis bilateral akut
tanpa disertai oftalmoplegia dan kelemahan ekstremitas. Pada tipe ini dapat juga
ditemukan parestesia dari ujung-ujung
jari. Pemeriksaan neurofisiologi lebih ianjut dapat sesuai dengan gambaran lesi
demielinisasi.
5. Oftalmoplegiajptosisjmidriasis akut
Variasi klinis sindrom SGB ini merupa
kan bentuk manifestasi SMF inkomplet
berupa oftalmoplegia, ptosis, atau midriasis akut tanpa adanya ataksia. Pemeriksaan imunohistokimia pada serum
pasien ini menunjukkan adanya antibodi
terhadap gangliosida GQ1b.
6. Neuropati ataksia akut
Bentuk SMF inkomplet lainnya yaitu
ataksia akut tanpa oftalmoplegia. ada dua bentuk manifestasi klinis tipe
ini, yaitu ataksia dengan atau tanpa tanda
Rombergpositif. Pada ataksia tanpa tanda
Romberg ditemukan antibodi anti-GQ1b
serum, sedangkan pada ataksia dengan
tanda Romberg ditemukan antibodi antiGD1b serum. Manifestasi klinis ataksia
ini diduga akibat antibodi yang terbentuk
menyerang struktur muscle spindle.
7. Bickerstaff's brainstem encephalitis (BBE)
Diagnosa BBE ditemukan bila ditemukan trias gejala SMF disertai gangguan
kesadaran atau hipersomnolen. BBE
merupakan variasi SMF dengan keterlibatan sistem saraf pusat (SSP), terutama
pada struktur formasio retikularis. Hal
ini didasarkan pemeriksaan MRI kepala
yaitu ditemukannya penyangatan pada
11% kasus BBE dan gambaran abnormalitas perekaman EEG pada 57% kasus.
Varian lain dari BBE dengan manifestasi
inkomplet dapat berupa acute ataxic hypersomnolence.
Diagnosa DAN Diagnosa BANDING
Diagnosa
Diagnosa SGB ditegakkan berdasar gejala
dan tanda kelemahan akut progresif pada
ekstremitas bawah dan atas disertai arefleksia atau hiporefleksia. Belum ada uji
diagnostik yang spesifik untuk SGB, namun
dapat memakai kriteria diagnostik
menurut National Institute of Neurological
and Communicative Disorders and Stroke
(NINCDS) sebagai berikut:
Tanda minimum untuk penegakan Diagnosa
1. Kelemahan progresif pada kedua lengan
dan tungkai ( dapat dimulai dari ekstremitas bawah)
2. Hiporefleksia atau arefleksia
Tanda yang memperkuat Diagnosa
1. Perburukan gejala yang mencapai titik
nadir kurang atau sama dengan 28 hari
(4 minggu)
2. Pola distribusi defisit neurologis yang
simetris
3. Gangguan sensorik minimal
4. Gangguan nervus kranial, terutama
kelemahan otot fasialis bilateral
5. Disfungsi saraf autonom
6. Nyeri
7. Peningkatan protein pada CSS
8. Gambaran elektrodiagnostik khas yang
sesuai dengan kriteria SGB
Tanda yang meragukan Diagnosa
1. Disfungsi pernapasan berat lebih dominan daripada kelemahan ekstremitas
pada awal onset
2. Gangguan sensorik lebih dominan daripada kelemahan ekstremitas pada awal
onset
3. Gangguan BAK atau BAB pada awal onset
4. Demam pada awal onset
5. Defisit sensorik berbatas tegas
6. Progresivitas lambat dengan gangguan
motorik minimal tanpa keterlibatan
sistem pernapasan (lebih sesuai dengan
subacute atau chronic inflammatory demyelinating polyneuropathy)
1. Kecepatan hantar saraf (KHS)
7. Kelemahan asimetris persisten
8. Gangguan BAK atau BAB persisten
9. Peningkatan jumlah sel mononuklear pada
cairanserebrospinal (CSS) (>50x106/L)
10. Peningkatan sel polimorfonuklear pada CSS
Disfungsi saraf otonom sering ditemukan
hingga dua pertiga kasus SGB dengan manifestasi berupa aritmia, fluktuasi tekanan
darah, respons hemodinamik yang abnormal terhadap pengobatan, serta gangguan
miksi, defekasi dan berkeringat
Berikut pemeriksaan penunjang untuk
membantu menegakkan Diagnosa SGB:
Kriteria elektroDiagnosa yang dipakai secara luas ialah kriteria dari Ho
dkk dari Hadden dkk (Tabel2). Gambaran
dispersi temporal lebih ditekankan oleh
Ho dkk, sedangkan konsep blok konduksi
dikenalkan kembali oleh Hadden dkk
sebagai kriteria diagnostik SGB tipe
demielinisasi. Yang dimaksud dispersi
temporal di sini yaitu terdapatnya pemanjangan durasi compund muscle action
potential (CMAP) proksimal lebih dari
30% dibandingkan CMAP distal. Batasan
ini dinilai cukup sensitif dan spesifik
dalam membedakan an tara dispersi temporal akibat demielinisasi dan dispersi
temporal yang terjadi secara fisiologis
pada stimulasi proksimal.
Pemeriksaan KHS yang dilakukan pada
minggu p_ertama onset sering menunjukan
hasil yang normal atau tidak memenuhi kriteria SGB menurut Ho dkk maupun Hadden
dkk. Oleh karena itu, temuan KHS minggu
pertama ini tidak dapat dijadikan landasan
untuk menunda pemberian imunoterapi
jika sudah ada gambaran klinis yang khas
SGB. Pemeriksaan KHS pada minggu pertama
ini lebih berguna untuk menyingkirkan diagnosis banding neuropati perifer lainnya.
Pada sebagian awal perjalanan penyakit SGB
tipe AMAN dapat ditemukan gambaran blok
konduksi pada pemeri.l:{saan KHS. Gambaran
blok ini akan mengalami perbaikan atau menghilang dalam hitungan hari disertai peningkatan amplituda CMAP distal dan pemendekan
latensi motor distal kembali ke nilai normal.
Pada kasus ini tidak lazim ditemukan dispersi temporal dan gelombang CMAP polifasik. Fenomena ini dikenal sebagai AMAN with
reversible conduction failure (AMAN RCF)
dan sering diDiagnosa secara keliru sebagai
AIDP atau AMAN. Untuk mengurangi kesalahan interpretasi dan klasifikasi tipe SGB, maka
pemeriksaan KHS harus dilakukan secara serial minimal dua kali pada 3 saraf motorik d~
3 saraf sensorik dalam 4-6 minggu pertama.
2. Pungsi lumbal
Tindakan pungsi lumbal rutin dilakukan
pada pasien yang diduga menderita SGB
untuk menyingkirkan Diagnosa banding,
dan bukan merupaka.n kriteria utama
penegakan Diagnosa SGB. Pada Analisa
CSS dapat ditemukan disosiasi sitoalbumin, yaitu terdapatnya peningkatan
kadar protein CSS tanpa disertai peningkatan jumlah sel. Disosiasi sitoalbumin yaitu temuan khas untuk SGB dan
dapat ditemukan pada 50% kasus pada
minggu pertama dan meningkat menjadi
75% kasus pada minggil ketiga. Apabila
analisa CSS normal pada SGB dengan onset kurang dari 2 minggu, maka hal ini
tidak mempengaruhi penegakan diagnosis SGB selama ditemukan tanda dan
gejala klinis yang sesuai dan tidak perlu
dilakukan pungsi lumbal ulangan.
Peningkatan jumlah sel dan protein CSS
dapat ditemukan pascaterapi imunoglobulin intravena dosis tinggi (intravenous immunoglobulinfiVIG) yang diduga akibat mekanisme transudasi atau
meningitis aseptik. Apabila ditemukan
peningkatan jumlah sel CSS pada minggu
pertama onset gejala, maka kemungkinan
Diagnosa banding lain harus lebih dipertimbangkan, seperti infeksi, neuropati
akibat human immunodeficiency virus
(HIV), limfoma, dan keganasan.
3. Radiologi
Pemeriksaan radiologi dilakukan jika
ditemukan tanda dan gejala klinis SGB
yang meragukan. Hal ini untuk menyingkirkan lesi struktural sebagai pemicu
defisit neurologis yang ada. Hasil pemeriksaan MRI pada kasus SGB yaitu murni
normal baik pada otak dan medula spinalis, walau dapat dijumpai penyangatan
pada radiks proksimal. Pada 11% kasus
BBE, dapat ditemukan adanya lesi fokal
pada T2W MRI di mesensefalon, thalamus,
serebelum, dan batang otak.
4. Antibodi antigangliosida
Walaupun berbagai studi mengaitkan kejadian SGB dengan antibodi seperti yang
tercantum pada Tabel 1, nilai diagnostiknya belum dapat dipastikan. Pemeriksaan ini bermanfaat, namun hasil negatif
tidak menggugurkan Diagnosa SGB dan
pemeriksaan ini belum tersedia di sarana
pemeriksaan laboratorium sehari-hari.
Diagnosa Banding
Telah disebutkan bahwa pada 10% kasus
SGB dapat ditemukan refleks tendon dalam
yang normal bahkan meningkat, oleh karena
itu pada keadaan ini adanya lesi SSP
harus disingkirkan. Gejala klinis SGB dapat
menyerupai gejala lesi medula spinalis akut
seperti mielitis tranversa, namun pada lesi medula spinalis gangguan berkemih muncullebih
awal dan defisit sensorik yang ada mempunyai batas yang tegas.
Jika pada pasien tidak ditemukan adanya defisit sensorik, maka pertimbangkan Diagnosa
banding yang mungkin ialah miastenia gravis,
periodik palalisis hipokalemia, botulisme,
poliomielitis, dan mielopati akut. Diagnosa
banding untuk SMF dan kelemahan faringservikal-brakialis yaitu stroke batang otak,
miastenia gravis, dan botulisme.
Sindrom Cui/lain Barre
PENGOBATAN
Prinsip PENGOBATAN SGB yaitu Diagnosa
dini dan PENGOBATAN multidisiplin yang tepat.
Risiko kematian SGB mencapai 5% sebagian
besar disebabkan komplikasi SGB berupa
sepsis, emboli paru, dan disautonomia.
Cui/lain-Barre Syndrome Disability Score
(GBS Disability Score) atau Hughes score
yaitu sistem penilaian status fungsional untuk evaluasi dan pemantauan derajat keparahan penyakit dapat dilihat pada Boks 1.
lmunoterapi dapat diberikan sejak onset
gejala neuropati pertama kali muncul. Manfaat terbaik muncul pada pemberian imunoterapi dalam 2 minggu pertama onset
pada pasien dengan GBS Disability Score ~3.
Baik plasmafaresis dan imunoglobulin intravena (IV) memiliki efektifitas yang sama
dalam perbaikan kekuatan motorik pasien,
peningkatan GBS disability score, dan penurunan kebutuhan pemakaian ventilator pad a
pasien dengan gaga! napas.
Plasmaferesis dilakukan lima kali dalam
waktu 2 minggu dengan jumlah maksimum
pertukaran plasma sebanyak lima kali dari
volume plasma (200-250mL/ kgBB). Dosis
total imunoglobulin IV yaitu 2g/kg 88 diberikan dalam 5 hari. Pemberian imunoterapi pada pasien dengan gejala ringan (GBS
disability score <3) tetap dapat memberikan
manfaat namun perlu memperhitungkan
efisiensi pengobatan. Penelitian menunjukan
pemberian plasmaferesis diikuti pemberian
imunoglobulin IV memberikan hasil yang
sama dengan pemberian terapi plasmaferesis saja atau imunoglobulin saja oleh karena
itu tidak dianjurkan untuk melakukan kedua
terapi namun dipilih satu modalitas saja
plasmaferesis atau IVIG. Pemberian kortikosteroid oral maupun IV tidak memberikan manfaat pada kasus SGB.
Pemantauan fungsi paru dapat dilakukan
setiap 1-4 jam untuk meminimalkan risiko
gaga! napas berupa evaluasi frekuensi serta
kedalaman napas, kapasitas vital paru-paru,
dan kemampuan refleks batuk. Indikasi
pemasangan alat bantu napas pada SGB
dapat dilihat pada Boks 2.
Pemasangan monitor kardiovaskular diperlukan dalam identifikasi dan antisipasi disfungsi autonom. Disfungsi autonom dapat
berupa bradiaritmia berat atau ada
variasi tekanan sistolik lebih dari 85mmHg.
Pada pasien ini dapat dipasang alat
pacu jantung sementara atau diberikan atropin. Gangguan miksi dapat ditatalaksana
dengan pemasangan kateter, sementara
gangguan defekasi dapat diatasi dengan
pemberian laksatif.
Nyeri merupakan manifestasi klinis yang
banyak ditemukan pada pasien sejak awal
onset sampai dengan masa pemulihan. Lokasi nyeri yaitu punggung dan ekstremitas
sesuai dengan distribusi kelemahan otot
motoriknya. Nyeri menunjukan adanya keterlibatan serabut saraf berdiameter kecil
dan saraf otonom sedangkan disestesia melibatkan sera but saraf berdiameter Iebar. Tata
laksana nyeri yang dapat diberikan berupa
pemakaian obat anti nyeri neuropatik berupa
gabapentin atau karbamazepin.
PROGNOSIS
Prognosis SGB dapat ditentukan berdasar Erasmus CBS Outcome Score (EGOS),
dapat dilihat pada Boks 3.
EGOS ini dapat dipakai untuk menentukan probabilitas pasien SGB dapat berjalan
686
mandiri enam bulan setelah onset. Semakin
besar nilai EGOS yang didapat, maka semakin
kecil kemungkinan pasien SGB dapat berjalan setelah 6 bulan dari onset. Penelitian
di RSCM Jakarta pada 24 subjek pasien SGB
yang dirawat periode Januari 2012-Desember
2014 menunjukan sebagian besar pasien
mengalami perbaikan klinis pada akhir
perawatan. Kekuatan motorik (MRC sum
score) saat masuk berada pada skor s30
(50%) dan meningkat menjadi 50-41 pada
akhir perawatan (29,2%). GBS disability
score saat masuk 4 (aktivitas terbatas pada
tern pat tidur atau kursi) 54,2% dan menjadi
skor 3 (jalan dengan bantuan) pada akhir
perawatan (37,5%). CONTOH KASUS
Seorang anak laki-laki 11 tahun mengalami
kelemahan pada kedua tungkai disertai rasa
baal dan sulit berjalan sejak 3 minggu yang
lalu. Dua minggu sebelum mengalami kelemahan ini pasien menderita demam dan
mual selama dua hari yang membaik dengan
pemberian obat-obatan simptomatik Pasien
tidak mengalami gangguan dalam berkemih.
Pada pemeriksaan fisik tanda-tanda vital
dalam batas normal, pemeriksaan neurologis
nervus kranialis dalam batas normal.
Pada pemeriksaan motorik ditemukan adanya paraparesis dengan kelemahan otototot distallebib berat dari proksimal dengan
pola distribusi yang bampir simetris disertai
arefleksia pada ekstremitas atas dan bawab
bilateral. Pada pemeriksaan sensorik ditemukan tanda gangguan propioseptif pada
kedua kaki pasien, sedangkan pemeriksaan
sensorik lainnya dalam batas normal. Pada
pemeriksaan KHS ditemukan gambaran pemanjangan latensi, penurunan KHS motorik,
blok konduksi, dispersi temporal pada N.
Ulnaris kiri (Gambar 3), dan pemanjangan
latensi serta penurunan KHS motorik pada
N. Tibialis (Gambar 4
Gambaran klinis pasien diatas dikaitkan dengan ditemukannya gambaran dispersi temporal, blok konduksi, pemanjangan latensi,
dan penurunan KHS pada 2 saraf memenuhi
kriteria AIDP. Pasien mendapat terapi MG dengan dosis total2gjkgBB dalam 5 bari. Pasien
mengalami perbaikan klinis kekuatan motorik
terutama pada kedua tungkai. Pasien dapat
berjalan tanpa bantuan satu minggu setelah
pemberian MG, namun basil pemeriksaan
KHS ulang belum menunjukan perubahan
yang berarti. Hal ini dapat dijumpai sebari-bari
di mana perbaikan klinis mendahului perbaikan basil pemeriksaan kecepatan bantar
saraf .
RADIKUL~PATI
Radikulopati atau gangguan pada radiks
merupakan salah satu pemicu nyeri Ieber
dan punggung bawah dan merupakan rujukan terbanyak ke laboratorium elektrodiagnosis. Nyeri leher dan punggung bawah sendiri merupakan salah satu keluhan yang sering
ditemui dalam praktek klinik sehari-hari.
ANATOMI
Radiks merupakan salah satu bagian dari
saraf tepi yang sering mengalami gangguan
karena letak anatomisnya yang dikelilingi
struktur yang kompleks. Radiks merupakan
bagian dari sistem saraf tepi yang keluar dari
kornu anterior dan posterior medula spinalis ..
Radil<S yang keluar dari kornu anterior disebut
radiks anterior /ventral yang terdiri dari serabut motorik sedangkan radiks yang keluar dari
kornu posterior disebut radiks posterior/dorsal yang terdiri dari serabut sensorik. Radiks
dorsal memiliki badan sel yaitu ganglion radiks
dorsalis yang terletak di luar medula spinalis.
Badan sel radiks anterior ada di kornu anterior medula spinalis.
Radiks yang keluar dari medula spinalis pertama kali masih berada di dalam kanalis spinalis lalu setelahnya akan melalui foramen
neural yang terbentuk di an tara dua vertebra
yang berdekatan. Kanalis spinalis merupakan kana! yang terbentuk di antara vertebra
yang berdekatan. Kanalis spinalis dibatasi
oleh ligamentum flavum dan lamina pada sisi
posterior; diskus intervertebralis, dan korpus
vertebra pada sisi anterior, dan pedikel pada
sisi anterolateral (Gambar 1).
Foramen neural dibatasi oleh pedikel pada sisi
anterior; diskus intervertebral dan korpus vertebra pada sisi anterior dan sendi faset pada
sisi posterior. Di dalam foramen neural melintas radiks, nervus meningeal rekuren, dan
pembuluh darah radikular.
Radiks berjumlah 31 pasang yang terdiri
dari 8 radiks servikal, 12 radiks torakal, 5
radiks lumbal, 5 radiks sakral, dan 1 radiks
koksigis. Radiks servikal 1 hingga 7 keluar
di atas vertebra servikal yang bersesuaian
sedangkan radiks servikal 8 keluar di an tara
vertebra servikal 7 dan vertebra torakal 1.
Hal ini disebabkan jumlah vertebra
servikal yaitu 7 sedangkan jumlah radiks
servikal yaitu 8. Selanjutnya radiks keluar
di bawah vertebra yang bersesuaian. Pada
manusia dewasa, medula spinalis berakhir
pada batas bawah vertebra L1 dan membentuk konus medularis. Kauda ekuina keluar
dari bagian konus medularis. Kauda ekuina
kemudian secara gradual terpisah menjadi
radiks lumbosakral (Gambar 2).
Radiks bercabang menjadi ramus dorsalis dan
ventralis. Ramus dorsalis menginervasi otot
paraspinal dan kulit di area paraspinal. Ramus
ventralis radiks CS-C8 membentuk pleksus
brakialis yang menginervasi ekstremitas atas.
Ramus ventral radiks Thl sebagian membentuk pleksus brakialis bersama-sama dengan
ramus ventralis radiks CS-C8 dan sebagian
membentuk nervus interkostalis 1. Ramus
ventralis radiks Th2-Th6 membentuk nervus
interkostalis dan ramus ventralis radiks Th7-
12 membentuk nervus torakoabdominal. Nervus interkostalis berjalan mengitari lengkung
dada di antara otot interkosta dan bercabang
menjadi cabang kutaneus lateral dan medial.
Nervus torakoabdominal bercabang menjadi
cabang kutaneus lateral dan medial serta menginervasi otot dinding abdominal (Gambar 3).
Radiks lumbosakral membentuk kauda ekuina
Kauda ekuina berjalan di dalam kanal spinal
dalam ruang subaraknoid sebelum akhimya
keluar dari foramen neural di bawah vertebra
yang bersesuaian. Kanal spinal lebih panjang
dari medula spinalis sehingga ada perbedaan level medula spinalis dan vertebra
sekitar 2 segmen pada level torakal dan 3
segmen pada levellumbosakral.
Secara mikroskopik, radiks memiliki perbedaan dengan saraf perifer lainnya. Radiks tidak
memiliki epineurium, perineurium, dan lebih
sedikit kolagen pada endoneuriumnya. Hal
ini memicu kekuatan tensil radiks
jauh lebih rendah dibandingkan bagian saraf
tepi lainnya dan mudah mengalami avulsi.
Tidak adanya perineurium yang berfungsi
sebagai sawar memicu radiks rentan
mengalami serangan infeksi dan inflamasi.
Dalam pembahasan mengenai radikulopati
perlu dipahami istilah miotom dan dermatom. Miotom yaitu otot-otot yang diinervasi oleh satu segmen spinal. Dermatom
yaitu area kulit yang diinervasi oleh satu
segmen spinal (Gambar 4). Setiap otot di-
inervasi oleh beberapa segmen spinal yang
berdekatan dan setiap dermatom mengalami tumpang tindih dengan dermatom yang
berdekatan (Tabell).
EPIDEMIOLOGI
Radikulopati servikal lebih banyak terjadi
pada perempuan dengan rasio perempuan
dan lald-lald yaitu 7:1. Rochester menyebutkan angka kejadian tahunan berkisar 83,2 per
100,000 penduduk dan puncaknya pada usia
50-54 tahun dengan angka kejadian 202,9 per
100.000 penduduk. Studi klinis dan radiologi
menunjukkan keterlibatan mayoritas pada
radiks C7 (70%), diikuti C6 (19-25%), C8 (4-
10%), dan C5 (2%) kasus. Radikulopati lumbosakral aldbat hemiasi diskus melibatkan
terutama radiks L4-5 (55%), L5-S1 (43%),
dan L3-4 pada 2% kasus.
Etiologi
Radikulopati dapat disebabkan oleb lesi
traumatik dan nontraumatik (Tabel 2). Lesi
traumatik dapat bersifat langsung pada
radiks (direct) maupun tidak langsung (indirect) akibat trauma pada struktur di sekitarnya, sebingga · terjadi disrupsi mekanik
baik berupa regangan atau kompresi radiks.
Lesi nontraumatik dapat berupa lesi struktural yang memicu kompresi dan lesi
inflamasi atau infiltratif, sebingga terjadi
kerusakan radiks melalui mekanisme iskemik, perubaban metabolik, dan sebagainya.
Contobnya adalab lesi degeneratif, infeksi,
neoplasma, metabolik, dan vaskular.
Etiologi radikulopati servikal terutama meliputi protrusi diskus (22%) dan 68% akibat
spondilosis, abnormalitas diskus, atau keduanya. Berbagai etiologi radikulopati ini
pada akhirnya akan memicu demielinasi
dan atau degenerasi aksonal yang gambarannya akan tampak pada pemeriksaan elektroDiagnosa .
PATOFISIOLOGI
Radikulopati dapat disebabkan oleb proses
penjepitan (entrapment), kompresi, transeksi, infiltrasi, dan iskemia. Kompresi
merupakan mekanisme radikulopati yang
paling sering. Secara struktural, radiks memiliki lebib sedikit kolagen endoneurium,
tidak memiliki epineurium, dan aksonnya
dilindungi lebib sedikit jaringan lemak serta
jaringan penyambung, sebingga kemampuan tensilnya menurun dan rentan terbadap kompresi serta regangan. Tidak adanya
perineurium pada radiks sebagai sawar
darab-saraf memicu radiks rentan terbadap invasi mediator inflamasi dan agen
infeksi.
697
Radikulopati
Kerusakan saraf yang terjadi dapat berupa
demielinasi atau degenerasi aksonal (pada
derajat kerusakan yang lebib berat). Klasifikasi derajat kerusakan saraf berdasar
klasifikasi Sbeddon .dan Sunderland serta
kemungkinan pemulibannya dibabas lebib
Ian jut pada bab pleksopati.
Diagnosa DAN Diagnosa BANDING
Diagnosa radikulopati ditegakkan berdasar anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang (pencitraan dan elektroDiagnosa ). Penilaian gejala klinis berupa
adanya nyeri, distribusi gangguan sensorik,
kelemab-an otot, serta penurunan refleks fisiologis (Tabel 3).
Radikulopati ditandai dengan nyeri radikular
atau parestesi yang menjalar sesuai dengan
distribusi dermatomalnya. Nyeri daerab servikal terasa dari Ieber atau punggung atas
ke babu atau lengan bingga tangan. Pada
level torakal nyeri radikular menjalar dari
dinding posterior dada dan punggung ke
arab anterior, terasa seperti terikat. Nyeri
radikulopati lumbosakral biasanya menjalar bingga area di bawab lutut.
Distribusi area yang mengalami abnormalitas sensorik sesuai dengan dermatom radiks
yang terlibat, namun batasnya tidak jelas dan
biasanya tidak berat karena area sensorik
an tar radiks yang berdekatan saling tumpang
tindib. Hal ini berbeda dengan lesi
saraf terminal yang abnormalitas sensoriknya
berat dan dapat dilokalisasi dengan tepat.
Demikian pula keterlibatan motorik terbatas pada otot-otot yang diinervasi. oleb
radiks yang terlibat (miotom yang sama).
Radikulopati torakal dapat diidentifikasi
dengan menginstruksikan pasien untuk
melakukan gerakan sit-up sehingga otot
abdomen atau interkostal yang lemah akan
tampak menonjol. Kelemahan pada radikulopati biasanya juga tidak berat, karena satu
otot diinervasi oleh 2-3 radiks. Otot triseps
tidak mengalami paralisis akibat radikulopati C7, karena masih mendapat inervasi
dari radiks C6 dan CB. Refleks tendon dalam
akan menurun pada radikulopati sesuai
dengan inervasi radiks pada tendon yang
diperiksa. Tabel 3 membantu untuk mengidentifikasi radiks yang terlibat
Sumber: Misulis KE, dkk. Bradley's neurology in clinical practice. 2016. h. 332-41.
Berikut beberapa manuver pemeriksaan
fisik dapat membantu menDiagnosa radikulopati:
1. Manuver Valsava
Manuver valsava dapat mengeksaserbasi
nyeri radikular dan parestesia yang menjalar. Manuver valsava memicu
peregangan pada duramater pada titik
kompresi intraspinal.
2. Tes Lhermitte
Dilakukan dengan cara melakukan fleksi
pada leher (Gambar 5). Respons positif
berupa parestesia yang menjalar sepanjang vertebra servikal atau menjalar ke
ekstremitas atas yang simtomatik. Hal
ini mengindikasikan disfungsi kolumna
posterior medula spinalis yang dapat
(a)
Radikulopati
disebabkan oleh kompresi karena spondilosis, massa dalam kana! spinal, atau
proses intramedular.
3. Tes Spurling (Manuver Kompresi
Leber atau tes Kompresi Foramen)
Dilakukan dengan cara mengeskstensi
leher, merotasi leher ke arah yang simtomatik, dan melakukan penekanan ke
bawah pada kepala. Gerakan ekstensi
akan memicu penonjolan (bulging)
diskus ke arah posterior, sedangkan gerakan fleksi lateral dan rotasi memicu penyempitan foramen neural (Gambar 6). Respons positifberupa nyeri atau
parestesi yang menjalar ke ekstremitas
atas, namun jika muncul responsnya,
segera hentikan manuver ini . Tes
ini bersifat spesifik namun tidak sensitif.
4. Upper Limb Tension Test
Tes ini didesain untuk meregangkan
radiks yang terlibat sehingga mengeksaserbasi gejala radikular.
5. Shoulder Abduction Relief Sign (Tes
Abduksi Bahu)
Dilakukan dengan cara mengangkat
lengan yang simtomatik ke atas lalu meletakkannya di atas kepala. Manuver ini
bersifat terapeutik dan diagnostik untuk
radikulopati servikal segmen bawah,
oleh karena memicu pembukaan
foramen yang terlibat dan mendekompresi radiks sehingga meredakan gejala
radikular pasien.
6. Tes Distraksi Leber
Tes ini dilakukan dengan cara memosisikan pasien dalam posisi supinasi, lalu
melakukan traksi perlahan pacta vertebra
servikal (dengan kekuatan hingga 30pon).
7. Tes Laseque (Straight Leg Raising
TestjSLR)
Dilakukan ekstensi pacta sendi panggul
dalam keadaan ekstensi lutut, sehingga
terjadi regangan radiks (Gambar 7a).
Hasil tes dikatakan positif jika ada
nyeri pacta ekstremitas bawah saat ekstensi <70° menunjukkan etiologi nonorganik. ada beberapa derajat hasil
positifpada tes ini, yaitu s€nsasi kencang
pada otot ekstremitas bawah ipsilateral
(signifikansi terendah), nyeri di punggung
bawah (signifikansi moderate), nyeri radikular ( signifikansi tinggi), dan bahkan
gangguan sensorik pada distribusi radiks
yang terlibat.
ada beberapa modifikasi tes SLR,
yaitu:
• Fenomena Bonnet; dilakukan dengan
tambahan gerakan aduksi dan rotasi
internal tungkai atas dan bawah.
• Bragard's sign; modifikasi dengan
menambahkan gerakan dorsofleksi
kaki (Gambar 7b).
• Sicard's sign dengan menambahkan
gerakan dorsofleksi ibu jari kaki.
• Hyndman's sign, yaitu timbul nyeri
saat manuver SLR kemudian dilakukan fleksi panggul dan fleksi Ieber.
Radikulopati
8. Reversed SLR Test atau Ely's Test atau
Tes Tegangan Femoral
Dilakukan dengan acara memosisikan
pasien dalam posisi pronasi, lalu pemeriksa
mengangkat ekstremitas bawah dalam keadaan lutut ekstensi, untuk meregangkan
radiks lumbal atas. Hasil dikatakan positif
jika timbul nyeri pada punggung bawah
atau nyeri radikular.
9. Crossed Straight Leg Raising Test
(Tanda Fajersztajn)
Tes ini dikatakan positifjika saat melakukan manuver Laseque timbul nyeri pada
ekstremitas kontralateral.
lO.Tanda Kernig
Tes ini dilakukan dengan cara memfleksikan sendi panggul pada posisi
90° lalu mengekstensikan sendi lutut
hingga 135°.
Pemeriksaan fisik lainnya yang diperlukan
yaitu observasi posisi tubuh pasien, deformitas pacta vertebra, spasme otot paraspinal, dan nyeri tekan area vertebra-paravertebra.
Radikulopati memerlukan evaluasi lebih
lanjut segera jika ditemukan tanda bahaya,
yaitu ada riwayat keganasan, ada
penurunan berat badan yang tidak dapat
dijelaskan, keadaan imunosupresi kronik,
infeksi saluran kemih, atau lainnya, riwayat
penyalahgunaan obat-obat intravena, usia
di atas SO tahun, demam, nyeri yang tidak
membaik dengan istirahat, riwayat trauma
yang signifikan, pemakaian steroid jangka
panjang, retensi urin akut atau inkontinensia urin overflow akut, inkontinensia fekal,
penurunan tonus sfingter anal, saddle anesthesia, dan kelemahan pacta ekstremitas.
Pemeriksaan penunjang yang diperlukim meliputi Rontgen, CT scan, atau MRI vertebra,
dan kecepatan hantar saraf-elektromiografi
(Tabel4). Rontgen vertebra dilakukan anteroposterior dan lateral untuk mengevaluasi
keseluruhan alignment vertebra dan adanya
perubahan ( spondilosis ). Rontgen vertebra
pada posisi fleksi lateral dan ekstensi dapat
mengevaluasi instabilitas vertebra.
Diagnosa Banding
Diagnosa banding radikulopati meliputi
lesi pleksus, saraf terminal (misalnya entrapment neuropathy), dan medula spinalis. Pada entrapment neuropathy pada
bagian distal saraf terminal, kadang dapat
memberikan gejala yang menjalar hingga ke
bagian proksimal menyerupai radikulopati,
namun tanpa nyeri di bahu atau punggung.
Pada carpal tunnel syndrome, nyeri bermula
dari pergelangan tangan hingga ke lengan
bawah, lengan, dan bahu (jarang).
PENGOBATAN
Invasif
dan manipulasi spinal tidak direkomendasikan apabila ada tanda kompresi
medula spinalis atau herniasi diskus
yang berat. Traksi servikal dapat dilakukan pada radikulopati akibat stenosis
foramen neuronal oleh patologi faset a tau
osteofit uncovertebral. Pada radikulopati
akut akibat protrusi diskus atau spondilosis dapat diberikan kortikosteroid
dosis tinggi dengan penurunan cepat,
misalnya prednison 60-80mg per hari
selama 5-7 hari. Radikulopati akut dengan
defisit neurologis selain gangguan sensorik berpotensi memicu disabilitas yang berat, sehingga perlu dilakukan
eksplorasi etiologi segera pada fase awal
dengan MRI.
PENGOBATAN radikulopati meliputi PENGOBATAN
simtomatik berupa pemakaian analgetik nonnarkotik, hindari aktivitas provokatif, dan atasi
kausatif sesuai sesuai etiologinya, antara lain:
1. Radikulopati Servikal Akut
2. Radikulopati Servikal Kronik dan
Nyeri Leber Kronik
PENGOBATAN meliputi menghindari aktivitas proaktif, pemakaian · analgesik
nonnarkotik lnaktivitas berkepanjangan
Jika gejala radikulopati >4 minggu disertai dengan defisit neurologis yang
me-netap atau progresif maka perlu dilakukan evaluasi ulang dan tata laksana.
Modalitas PENGOBATAN yang dapat dilakukan meliputi:
- Terapi fisik untuk memperbaiki posturtubuh
- Transcutaneus electrical nerve stimulation (TENS)
- Traksi servikal
- Injeksi kortikosteroid atau kombinasi
kortikosteroid dan agen anestesi epidural
- Blok radiks selektif untuk diagnostik
dan terapeutik pada level servikal
dan lumbosakral
- Injeksi kortikosteroid intraartikular
pada sendi faset
- Neurotomi radiofrekuensi perkutaneus cabang ·medial ramus dorsalis
servikal yang menginervasi sendi faset
3. Manajemen Bedah pada Gangguan
Spinal Servikal
Intervensi bedah kemungkinan besar
dilakukan pada kasus-kasus dengan defisit neurologis yang jelas atau progresif,
nyeri refrakter, adanya lesi struktural
sesuai dengan gejala klinis, dan tanda
mielopati. Manajemen bedah yang dilakukan tergantung pada patologi pemicu ,
antara lain disektomi, laminektomi, dan
foraminotomi.
4. Hemiasi Diskus Lumbosakral
Secara umum pada 4-6 minggu awal dilakukan PENGOBATAN konservatif kemudian dipertimbangkan PENGOBATAN bedah
jika tetap simtomatik setelah 6 minggu.
PENGOBATAN konservatif meliputi medikamentosa, terapi fisik, biofeedback, pemasangan korsetlumbal, TENS dan akupuntur.
Pilihan medikamentosa dapat berupa obat
anti inflamasi nonsteroid (OAINS), pelemas
otot, atau analgetik opioid. Obat-obatan
untuk nyeri neuropatik meliputi golongan
antikonvulsan (gabapentin, pregabalin), serotonin-specific reuptake inhibitors (SSRI),
atau antidepresan tris~ik Qebih lengkap
di bab Nyeri Neuropatik).
Injeksi steroid dan obat anestesi epidural
dapat diberikan jika medikamentosa oral
tidak efektif. Kortikosteroid sistemik
secara umum tidak direkomendasikan untuk meredakan nyeri. Tata laksana bedah perlu dilakukan segera jika
ada defisit motorik progresif dan
sindrom kauda ekuina akut Demikian
juga indikasi relatif pada nyeri yang tidak
terkontrol dengan medikamentosa Intervensi bedah dapat berupa laminektomi,
disektomi, eksisi diskus artroskopik, dan
fusi spinal.
5. Stenosis Lumbalis
Manajemen konservatif stenosis lumbal secara umum sama dengan herniasi
diskus. Intervensi bedah yang dapat dilakukan meliputi laminektomi, fasetektomi, foraminotomi, dan laminotomi. Pada
dekompresi yang luas, adanya skoliosis
degeneratif, kifosis, atau spondilolistesis
memerlukan tambahan stabilisasi spinal.
6. Hemiasi Diskus Torakal
PENGOBATAN konservatif secara umum
sama dengan herniasi diskus. Dekompresi bedah diperlukan jika ada tanda kompresi medula spinalis atau terapi
konservatif tidak efektif.
7. Spondilosis Torakal
PENGOBATAN bedah diindikasikan apabila ada stenosis kanalis yang menye
babkan mielopati, keterlibatan radiks Tl
yang memicu kelemahan motorik
tangan atau tidak efektifnya PENGOBATAN
konservatif.
PLEKSOPATI
Pleksopati yaitu suatu kelainan akibat
gangguan pacta jaringan saraf secara langsung mulai dari ra iks saraf hingga saraf
terminal, atau secara tidak langsung akibat
kelainan pacta jaringan sekitarnya, seperti
pembuluh darah, pembuluh limfe, otot,
dan tulang. Kelainan ini dapat terjadi pacta
pleksus brakialis dan pleksus lumbosakral,
sehingga disebut sebagai pleksopati brakialis dan pleksopati lumbosakral. Gejala klinis utama yang muncul yaitu rasa nyeri,
kelemahan motorik, serta gangguan sensorik
dan autonom.
Otot yang mengalami kelemahan dan distribusi daerah kesemutan tergantung bagian
pleksus yang terlibat. Pemulihan pacta lesi
ini bervariasi, lesi ringan dapat terjadi pemulihan spontan atau memicu gangguan
fungsional yang ringan, namun pacta lesi berat
dapat memicu kecacatan.
EPIDEMIOLOGI
Lesi pleksus brakialis meliputi 10% dari lesi
saraf perifer dan kira-kira 14% lesi neurologis di anggota gerak atas yaitu akibat lesi
pleksus brakialis. pemicu nya beragam
dan trauma merupakan pemicu tersering
karena letaknya di daerah leher dan bahu
yang sering bergerak.
ANATOMI
Anatomi Pleksus Brakialis
Pleksus saraf tepi berawal dari radiks ventralis dan dorsalis yang berasal dari medula spinalis. Radiks dorsalis memiliki ganglion yang
ada neuron sensorik di dalamnya. Ke
arah perifer kedua radiks ini menyatu menjadi
N. Spinalis yang akan menjadi cabang ramus
dorsalis dan ramus ventralis yang kemudian
beranyam membentuk pleksus (Gam bar 1).
Pleksus brakialis merupakan serabut saraf
yang berasal dari ramus radiks ventralis
saraf CS-T1. Radiks CS dan C6 bergabung
membentuk trunkus superior; C7 mejadi
trunkus medial, serta C8 dan T1 bergabung
membentuk trunkus inferior. Trunkus berjalan melewati klavikula dan membentuk divisi anterior dan posterior.
Divisi posterior dari masing-masing trunkus
tadi akan membentuk fasikulus posterior. Divisi anterior dari trunkus superior dan media
membentuk fasikulus lateral. Divisi anterior
dari trunkus inferior membentuk fasikulus
medial. Kemudian fasikulus posterior membentuk N. Radialis dan N. Aksilaris. Fasikulus
lateral terbagi dua yaitu cabang yang satu
membentuk N. Muskulokutaneus dan cabang
lainnya bergabung dengan fasikulus media
untuk membentuk N. Medianus. Fasikulus
media terbagi dua yaitu cabang pertama
yang membentuk N. Medianus dan cabang
lainnya menjadi N. Ulnaris. (Gambar 2).
Pleksus brakialis terdiri dari:
1. Lima radiks
2. Tiga trunkus: superior; medial, dan inferior
3. Enam divisi: yang terbagi berdasar
posisi dari klavikula menjadi anterior
dan posterior, masing-masing 3 divisi
4. Tiga fasikulusfkorda: lateral, posterior,
dan medial
5. Lima cabang terminal sebagai saraf: N.
Muskulokutaneus, N. Radialis, N. Medianus, N. Aksilaris, dan N. Ulnaris
Ramus dan trunkus terletak di supraklavikular; ada 2 saraf berasal dari ramus
(N. Frenikus dan N. Dorsoskapularis) dan
2 saraf dari trunkus superior (N. Supraskapularis dan N. Subklavius). Divisi terletak
posterior terhadap klavikula. Divisi anterior
memberi inervasi pacta otot fleksor; dan divisi posterior memberikan inervasi pacta
otot ekstensor. Korda dan cabangnya terletak
infraklavikular. Penamaan pacta korda berdasar letaknya terhadap arteri aksilaris.
Menurut letaknya terhadap klavikula, percabangan pleksus brakialis dibagi menjadi
pars supraklavikularis dan pars infraklavikularis. Yang termasuk percabangan pars
supraklavikularis yaitu N. Torakalis posterior, N. Subklavius, dan N. Supraklavikularis.
Pars infraklavikularis mempercabangkan:
Nn. Torakalis anterior, Nn. Subskapularis, N.
Torakodorsalis, N. Aksilaris (disebut N. Sirkumpleksus), N. Kutaneus brakii medialis
dan N. Kutaneus antebrakii medialis.
Fasikulus lateralis mempercabangkan: N.
Muskulokutaneus dan radiks superior N.
Medianus. Fasikulus medialis mempercabangkan: N. Ulnaris, N. Kutaneus brakii medialis, N. Kutaneus antebrakii medialis, dan
radiks inferior N. Medianus. Fasikulus posterior mempercabangkan: N. Aksilaris dan
N. Radialis (Gambar 2).
Anatomi Pleksus Lumbosakral
Pleksus lumbal terbentuk dari radiks Ll-L4
dan terletak di retroperitoneum di posterior
M. Psoas (Gambar 3). Pleksus lumbal membentuk beberapa nervus terminal, yaitu:
1. N. Iliohipogastrik dan N. Ilioinguinal
Kedua nervus terse but terbentuk dari radiks Ll dan berjalan melalui celah pelvis
untuk menginervasi M. Oblikus internal
dan M. Transversal. Nervus Iliohipogastrik menginervasi sensorik di abdomen
anterior bawah, sedangkan N. Ilioinguinal menginervasi sensorik area kulit di
atas ligamentum inguinal, tungkai atas
medial rostral, dan bagian atas skrotum (pada laki-laki) atau labia (pada
perempuan).
2. N. Femoralis
Nervus ini berasal dari ramus radiks
dorsalis L2-L4, berjalan melalui pelvis
dan keluar di bawah ligamentum inguinal.
Nervus Femoralis menginervasi M. Iliopsoas, M. Pektineus, M. Sartorius, dan M.
Kuadriseps femoris. Cabang sensoriknya
menginervasi tungkai bawah sisi medial
(N. Safena) dan tungkai atas sisi anteromedial (N. Kutaneus medial dan intermediate).
3. N. Obturator
Nervus ini terbentuk dari rami radiks
ventralis L2-L4. Nervus ini turun
melalui pelvis dan keluar melalui foramen obturator untuk menginervasi M.
Aduktor longus, M. Aduktor brevis, M.
Aduktor magnus, dan grasilis serta sensorik area tungkai atas medial.
4. N. Genitofemoralis
Nervus ini berasal dari radiks Ll-L2, turun melalui pelvis kemudian pada ligamentum inguinal medial bercabang menjadi cabang genital dan femoral. Cabang
genital menginervasi M. Kremaster dan
sensorik di skrotum bagian bawah atau
labia. Cabang femoral menyuplai sensorik di trigonum femoral.
5. N. Kutaneus Femoralis Lateral
Nervus yang murni hanya serabut sensorik ini berasal dari radiks L2-L3 yang
keluar di lateral M. Psoas kemudian menyilang secara oblik melalui ligamentum
inguinal menuju spina iliaka superior
anterior. Nervus ini kemudian bercabang menjadi cabang anterior dan posterior untuk menyuplai sensorik pada
tungkai atas bagian anterior dan medial.
Pleksus lumbosakral bagian bawah mayoritas terbentuk dari radiks LS-S3 dan tambahan
komponen dari L4. Komponen L4 bergabung
dengan radiks LS untukmembentuktrunkus
lumbosakral yang kemudian berjalan turun
di bawah pelvic outlet untuk bergabung dengan pleksus sakral.
Pleksus lumbosakral bagian bawah akan
membentuk saraf-saraf terminal, yaitu
(Gambar 5):
1. N. Skiatik
Nervus ini berasal dari radiks L4-S3 dan
keluar dari pelvis melaluigreater sciatic
foramen. Nervus ini menginervasi otot
hamstring, semimembranosus, semi-
tendinosus, biseps femoris, aduktor
magnus divisi lateral, dan seluruh otot
yang diinervasi oleh nervus peroneus
dan tibialis. Area sensorik yang diinervasi yaitu seluruh area tungkai bawah,
kecuali bagian medial yang sensoriknya
diperantarai oleh N. Safena.
2. N. Gluteus Superior
Nervus ini berasal dari radiks L4-S1
dan menginervasi M. Tensor fasia latae,
M. Gluteus medius, dan M. Gluteus minimus.
3. N. Gluteus Inferior
Nervus ini berasal dari radiks LS-S2 dan
menginervasi M. Gluteus maksimus.
4. N. Kutaneus Posterior Tungkai Atas
Nervus ini berasal dari radiks S1-S3
(terutama S2) dan memperantarai
sensorik area bokong bagian bawah
dan tungkai atas sisi posterior. Trauma
pada N. Skiatika biasanya juga mencederai nervus ini.
ETIOLOGI
Lesi pada pleksus brakialis dapat disebabkan antara lain:
1. Trauma
Merupakan pemicu terbanyak lesi
pleksus brakialis, dapat terjadi pada segala usia baik dewasa maupun neonatus,
dapat berupa cedera tertutup, cedera terbuka, ataupun cedera iatrogenik.
2. Tumor
Dapat berupa tumor neural sheath (neuroblastoma, schwannoma, malignant
peripheral nerve sheath tumor, dan meningioma) atau tumor nonneural yang
jii1ak (desmoid, lipoma) maupun maligna
(kan-ker payudara dan kanker paru).
3. Cedera radiasi
Frekuensi cedera pleksus brakialis yang
dipicu oleh radiasi diperkirakan sebanyak
1,8- 4,9% dari lesi dan paling sering ditemukan pada pasien kanker payudara dan
paru yang mendapatkan terapai radiasi.
4. Penjepitan (Entrapment)
Cedera pleksus brakialis karena penjepitan dapat terjadi karena adanya abnormalitas pada struktur pleksus dan
jaringan sekitarnya, seperti pada thoracic
outlet syndrome. Postur tubuh dengan
bahu yang lunglai dan dada yang kolaps
memicu thoracic outlet menyempit
sehingga menekan struktur neurovaskular. Adanya iga aksesori atau jaringan fibrosa juga berperan menyempitkan thoracic outlet Faktor lain yaitu payudara
berukuran besar yang dapat menarik
din ding dada ke depan (anterior dan inferior). Teori ini didukung dengan hilangnya
gejala setelah operasi mamoplasti reduksi. Implantasi payudara juga dikatakan
dapat memicu cedera pleksus brakialis karena dapat meningkatkan tegangan di bawah otot dinding dada dan mengiritasi jaringan neurovaskular.
5. ldiopatik
Pada parsonage turner syndrome terjadi
pleksitis tanpa d.iketahui pemicu yang
jelas namun diduga ada infeksi virus
yang mendahului Manifestasi klasik yaitu
nyeri dengan onset akut yang berlangsung
selama 1-2 minggu dan diikuti dengan
kelemahan oto.t Nyeri biasanya hilang secara spontan dan pemulihan komplit terjadi sekitar 2 tahun. Jarang terjadi kelumpuhan yang menetap.
Lesi pleksus lumbosakral dapat disebabkan
oleh lesi kompresif dan nonkompresif. Lesi
kompresif meliputi perdarahan, neoplasma, endometriosis, kehamilan, traumatik,
pascaoperasi, aneurisma, dan sindrom kompartemen gluteal. Adapun lesi nonkompresif
meliputi amiotrofi diabetik (neuropati diabetik
proksimal), pleksopati radiasi, pleksitis lumbosakral idiopatik, vaskulitis, infeksi atau parainfeksi, dan terkait heroin.
1. Perdarahan
Perdarahan akibat pemakaian antikoagulan, ruptur aneurisma, maupun
hemofilia, yang terjadi diM. Psoas dapat
mengkompresi pleksus lumbal. Manifestasi
klinis terutama meliputi N. Femoralis dan
dapat juga meluas hingga N. Obturator dan
N. Kutaneus femoralis lateral.
2. Neoplasma
Pleksopati lumbosakral dapat disebabkan oleh invasi tumor dari vesika urinaria, serviks, uterus, ovarium, prostat,
kolon, dan rektum. Implantasi jaringan
abnormal endometriosis pada pleksus
menimbulkan pleksopati dengan gejala
intermiten dan mengenai pleksus lumbosakral bagian bawah. Limfoma dan
leukimia dapat secara langsung menginfiltrasi serabut saraf tanpa adanya massa
di sekitarnya.
3. Kehamilan dan Persalinan
Pleksopati lumbosakral pascapartus
disebut juga maternal peroneal palsy,
maternal birth palsy, neuritis puerperalis, atau maternal obstetric paralysis.
Pleksopati ini terjadi akibat penekanan
kepala bayi pada tulang pelvis dan pleksus lumbosakral, serta biasanya mengenai trunkus lumbosakral yang terbentuk
dari radiks L4-LS (Gambar 5). Trunkus
lumbosakral tidak terproteksi lagi oleh
M. Psoas saat melintasi pelvic outlet dan
terletak di sakrum dekat sendi sakroiliaka,
sehingga rentan terkompresi pada titik
ini .
Pleksus yang akan bercabang menjadi N.
Gluteus superior juga dapat terkompresi.
Nervus Skiatik pars peroneal terletak di
posterior dan berdekatan dengan tulang,
sehingga juga rentan mengalami kompresi. Manifestasi klinis biasanya terjadi
dalam beberapa hari pascapartus. Faktor risiko meliputi kehamilan pertama,
disproporsi sepalopelvik, ukuran fisik
ibu kecil (tinggi badan kurang dari 5
kaki atau sekitar kurang dari 150cm),
dan proses persalinan yang lama. Prognosis pada sebagian besar kasus baik.
Mekanisme yang mendasari kerusakan
saraf yaitu iskemia akibat kompresi
dan deformitas mekanik saraf yang memicu demielinasi dan degenerasi
aksonal.
Pleksopati
4. Trauma dan Pascaoperasi
Trauma pleksus lumbosakral umumnya
terjadi pada kasus kecelakaan yang melibatkan fraktur pelvis a tau sakrum. Selain
itu, perdarahan dan avulsi radiks dapat
pula terjadi. Mayoritas kasus mengenai
pleksus bagian lumbal dan sakral walaupun dapat terjadi keterlibatan bagian
sakral saja. Distribusi kelemahan biasanya
lebih berat pada otot yang di-inervasi N.
Peroneus komunis dan N. Gluteus dibandingkan distribusi tibial dan N. Femoralis.
Pleksopati lumbosakral dapat pula terjadi
pascaoperasi, seperti operasi penggantian
panggul, koreksi fraktur femur atau asetabulum, operasi pelvis radikal, operasi
vaskular aorta, dan pemasangan alat pacu
jantung melalui vena femoralis.
5. Aneurisma dan Penyakit Pembuluh
DarahBesar
Ekspansi aneurisma arteri iliaka komunis,
iliaka internal, atau hipogastrik dapat secara
langsung mengkompresi pleksus lumbosakral. Hematom retroperitoneal dari kebocoran aneurisma juga dapat memicu
pleksopati. Etiologi ini dicurigai apabila ada nyeri punggung atau tungkai disertai
massa pulsatil pada pemeriksaan fisik.
6. Abses
Abses psoas atau paraspinal umumnya
disebabkan oleh infeksi tuberkulosis, jarang
disebabkan oleh bakteri nonspesifik Abses
perirektalyangterjadi pascaoperasi rektum
atau pada individu imunokompromi, dapat
memicu pleksopati sakral bilateral.
7. Sindrom Kompartemen Gluteal
Sindrom ini di