Tampilkan postingan dengan label bank darah 3. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label bank darah 3. Tampilkan semua postingan

bank darah 3,




 okteran militer karena sel darah merah 

yang disimpan dengan cara ini memiliki waktu simpan yang lama. Penyimpanan ini juga 

mempermudah penyimpanan darah dari golongan-golongan darah yang jarang diperlukan 

oleh pasien dengan masalah antibodi yang sulit. Banyak unit transfusi darah yang mendorong 

pasien dengan antibodi kompleks terhadap antigen tertentu untuk menyimpan sel darah 

merah sendiri jika diperlukan di masa mendatang. 

3) Sel darah merah Cuci (Washed Red Cell) 

Washed red cell diperoleh dengan mencuci packed red cell 2-3 kali dengan saline (Nacl 

0,9%), dan kemudian sisa plasma terbuang habis. sebab  proses pencucian berlangsung 

dengan sistem terbuka, produk harus dipakai  dalam waktu 24 jam. Mencuci sel darah 

merah menghilangkan protein plasma, beberapa leukosit,dan sisa trombosit. Produk ini 

ditunjukkanuntuk pasien yang telah mengalami alergiberat akibat transfusi berulang dan 

reaksi yang tidak bisa dicegah oleh antihistamin. Berguna untuk penderita yang tidak bisa 

diberi komponen plasma, diantaranya dipakai dalam pengobatan aquired hemolytic anemia 

dan exchange transfusion. Kelemahan washed red cell yaitu bahaya infeksi sekunder yang 

terjadi selama proses serta masa simpan yang pendek (4-6 jam). 

   

  

 

 

Gambar  Kantong pencucian sel darah Merah (washing bag PRC) 

Pencucian PRC dibagi dua cara , yaitu :  

a) Cara manual :  

- Menggunakan kantong cuci ( washingbag ) 

- Tambahkan NaCl 0.9 % ke dalam kantong darah yang  akan dicuci sampai penuh , 

melalui slang 1 

- Putar 1500 xG 30 menit atau 4850 xG  4°C 3 menit 

- Buang supernatan melalui slang 2 

- Ulangi prosedur sampai 3 kali melalui slang 3 , 4, dst 

- Tinggalkan supernatan sampaiHt 70 %  

b) Dengan mesin : 

- masukkan PRC kedalam mangkok khusus 

- putar 

- alirkan NaCl 0.9 % secara terus menerus. 

- supernatan dibuang secara kontinyu. 

- PRC yang telah dicuci dipindahkan ke dalam kantong darah dengan Ht 70 %. 

 

4) Leukosit Pekat (Buffy Coat) 

Isi utama leukosit pekat (Buffy Coat)adalah granulosit. Leukosit pekat disiapkan dalam 

bentuk buffy coatdengan volume berkisar antara 50-80 mL. Temperature simpan berkisar 

antara 20±2o C, sedangkan lama simpan harus segera ditransfusikan dalam 24 jam. Leukosit 

pekat berguna untuk meningkatkan jumlah granulosit. Pelayanan pre transfusi adalah 

melalui uji cocok serasi darah donor dan pasien. Efek samping yang ditimbulkan urtikaria, 

mengigil, demam.  

 

 

Gambar . leukosit pekat(buffy coat) 

Saat ini leukosit pekat(buffy coat) jarang dipakai , data yang menunjukkan pemakaian 

transfusi leukosit pekatpada pasien dewasa septic granulositopenik kurang memuaskan, 

tetapi granulosit buffy coat yang dikumpulkan dari satu atau dua unit darah segar mungkin 

bermanfaat dalam penatalaksanaan sepsis pada bayi baru lahir. Cairan granulosit buffy 

coatini adalah suspensi granulosit dalam plasma yang dibuat dengan sitaferesis, yang lebih 

tepat disebut granulosit feresis (granulositoferesis). Komponen ini, sebaiknya mengndung 

minimal 1x1010 granulosit. Granulositoferesis menghasilkan sekitar 1x1010 granulosit dalam 

300 mL sampai 500 mL plasma, sekitar 25 mL sel darah merah pasti akan mencemari produk 

granulosit dan juga ada  trombosit dalam jumlah yang bermakna. Transfusi granulosit 

jarang menjadi regimen pengobatan untuk leukemia, tetapi pemakaian optimal masih 

diperdebatkan dan transfusi komponen darah ini seharusnya diberikan hanya dengan 

protokol yang sesuai. 

5) Konsentrat Trombosit  (Thrombocyte Concentrate) 

Isi utama trombosit pekat adalah trombosit dengan volume sekitar 50 mL, temperatur 

simpan berkisar antara 20±2 oC dan lama simpan 3 hari tanpa goyangan dan 5 hari dengan 

goyangan. Trombosit pekat berguna untuk meningkatkan jumlah trombosit pasien. 

Peningkatan post transfusi pada dewasa, rata-rata 5000-10000/ µL. Efek samping yang 

mungkin timbul setelah transfusi trombosit pekat: urtikaria, menggigil, demam, aloimunisasi 

antigen trombosit donor. 

Saat ini tersedia dua jenis konsentrat trombosit donor yaitu:  

1. Konsentrat trombosit unit tunggal yang disebut trombosit dari darah lengkap yang 

mengandung trombosit lebih dari 5,5x1010 yang tersuspensikan dalam sejumlah kecil 

plasma. 

2. Konsentrat tromboferesis (platelet pheresis consentrates) disisapkan dari sitaferesis, 

mengandung minimal 3x1011 Trombosit (trombosit, feresis). Konsentrat tromboferesis 

   

  

 

dari satu donor darah mengandung eqivalen 6-8 unit trombosit yang berasal dari 6-8 

donor acak darah lengkap. Prosedur hemaferesis memungkinkan kita memproses 

sejumlah besar darah dari satu donor darah karena sel darah merah dan elemen lain 

segera dikembalikan ke donor. Sejumlah besar plasma, trombosit atau sel darah putih 

juga dapat diolah dengan teknik ini. Konsentrasi tromboferesis berasal dari satu donor 

sehingga mengurangi pajanan donor dibandingkan dengan konsentrat yang dikumpulkan 

secara acak dan berasal dari darah lengkap. Akibatnya, risiko imunisasi atau infeksi tekait 

transfusi berkurang. 

 

Gambar (a) Konsentrat trombosit secara manual , (b) Konsentrat trombosit  secara 

aferesis (tromboferesis) 

Trombosit dapat disimpan sampai 5 hari pada temperatur 22± 2oC pada agitator 

trombosit untuk mencegah penggumpalan tombosit. Masa hidup trombosit yang lebih 

singkat daripada sel darah merah, dimana trombosit bertahan hidup hanya 8 sampai 10 hari 

secara invivo, sedangkan eritrositmasa hidupnya sampai 120 hari. Kelangsungan hidup 

trombosit secara in vitro bahkan lebih singkat. Trombosit memiliki waktu simpan maksimum 

5 hari, tetapi kelangsungan hidup dan efektifitas pascatransfusi sangat menurun selama 

penyimpanan.  

Efek terapeutik konsentrat trombosit, rata-rata satu unit konsentrasi trombosit 

mengandung 5,5 x 1010 trombosit. Walaupun angka spesifik sangat bervariasi, halini 

merupakan angka rata-rata realistik yang dipengaruhi  oleh teknik pemilihan donor, 

flebotomi, persiapan, penyimpanan, dan pengangkutan yang benar. Pada pasien yang stabil 

secara hematologis, transfusi satu unit trombosit meningkatkan jumlah trombosit sekitar 

5000-10000 permikroliter per meter persegi luas permukaantubuh. Peningkatan pasca 

transfusi biasanya diukur pada satu jam dan 24 jam setelah transfusi. Indikasi utama terapi 

trombosit adalah untuk pasien dengan trombositopenia simptomatik. Trombositopenia 

memiliki banyak mekanisme, dan transfusi trombosit paling efektif jika terjadi gangguan 

pembentukan trombosit, seperti yang terjadi pada aplasia sumsum tulang (misalnya  

pascakemoterapi, atau pada kegagalan sumsum tulang). Selain itu trans fusi trombosit 

diberikan pada pasien trombositopenia yang berkaitan dengan destruksi sekunder atau 

sekuestrasi perifer. Apabila trombosit diberikan kepada pasien yang sedang mengalami 

pendarahan dan rendahnya jumlah trombosit, trombosit yang ditransfusikan akan 

mengalami destruksi serupa dengan yang dialami trombosit pasien. Pada kasus-kasus ini, 

transfusi trombosit hanya memicu  sedikit perbaikan klinis. Pasien dengan limpa yang 

besar atau dengan destruksi trombosit akibat autoimun tidak banyak memperoleh manfaat 

dari transfusi trombosit. Infeksi atau demam tinggioleh sebab apapun juga mempercepat 

kelangsungan hidup trombosit yang ditransfusikan. Bagaimanapun, evaluasi peningkatan 

trombosit setelah transfusi, terutama 1 jam dan 24 jam, sangat bermanfaat dalam 

menentukan kelangsungan hidup trombosit in vivo. Hal ini penting secara klinis dalam 

penilaian apakan orang yang mendapat transfusi trombosit mengalami aloimunisasi 

terhadap trombosit ini  dan juga dalam menentukan dan mendefinisikan terapi 

trombosit yang paling efektif. 

6) Liquid Plasma (LP) 

Isi utama liquid plasma adalah plasma yang mengandung faktor pembekuan stabil dan 

protein plasma, volume pada kantong darah 150 – 220 ml . Suhu simpan pada 4°±2° C sampai 

dengan 5 hari setelah tanggal  kadaluarsa darah lengkap asal. Penggunaan liquid plasma 

bertujuan untuk : 

a) Meningkatkan volume plasma , tetapi  pemakaian cairan pengganti lebih dianjurkan. 

b) Meningkatkan faktor pembekuan stabil [ Faktor II , VII , IX , X , XI ] 

 

Gambar . Liquid Plasma (LP) 

Pelayanan  liquid plasma dengan cara mencocokan ABO dan Rhesus donor  dengan 

eritrosit pasien. Efek samping yang ditimbulkan, antara lain : urtikaria , menggigil , demam , 

hipervolemia. Waktu pemisahan dari darah lengkap kapan saja sampai 5 hari setelah tanggal 

kadaluarsa darah lengkap asal. Metoda pemisahan bisa dialkukan dengan metode 

plasmaferesis dan juga pemutaran darah lengkap/ whole blood. 

   

  

 

7) Plasma Segar Beku (Fresh Frozen Plasma) 

Isi utama FFP adalah plasma dan faktor pembekuan labil. Volume FFP berkisar antara 

150 sampai 220 mL. Temperatur simpan FFP adalah -18 oC atau lebih rendah. Lama simpan 

satu tahun. FFP berguna untuk meningkatkan faktor pembekuan labil apabila faktor 

pembekuan pekat/kriopresipitat tidak ada. Pelayanan untuk FFP adalah cocok untuk golongan 

darah ABO dengan erirosit pasien. Ditransfusikan dalam waktu 6 jam setelah dicairkan. Ffp 

berguna untuk meningkatkan faktor pembekuan. Efek samping pemberian FFP adalah 

urtikaria, mengigil, demam, hipervolemia. FFP merupakan bagian cair dari unit darah lengkap 

yang diambil dan dibekukan dalam 6 sampai 8 jam dan disimpan pada temperature -18oC. 

sebab  diproses sedemikian cepat, plasma beku segar juga mengandung faktor koagulasi labil 

(VIII,V), semua faktor pembekuan lainnya, dan protein plasma. 

 

 

Gambar . Fresh Frozen Plasma (FFP) 

Indikasi utama pemakaian plasma beku segar adalah pada defisiensi faktor pembekuan 

dengan gangguan hemostatik di mana masih belum diketahui faktor pembekuan apa yang 

menjadi penyebab atau terjadi defisiensi multiple. Plasma beku segar seyogyanya jarang, 

kalaupun pernah, diberikan untuk ekspansi volume. Namun, larutan ini dapat secara 

memuaskan dipakai  untuk rekonstruksi sel darah merah untuk transfusi tukar pada bayi 

baru lahir.  

Plasma yang dibekukan dalam 24 jam setelah pengmbilan dan plasma yang kurang 

mengandung kriopresipitat adalah produk sampingan persiapan komponen dan sering lebih 

murah daripada FFP. Kadar faktor-faktor koagulasi yang labil lebih bervariasi daripada FFP, 

tetapi produk ini memiliki kadar faktor koagulasi stabil, albumin, zat bakterisidal, opsonin dan 

konstituen lain yang sama dengan FFP. FFP yang kurang mengandung kriopresipitat 

merupakan komponen pilihan yang dipakai  untuk pengobatan Purpura Trombositopenik 

Trombotik (PTT) karena tidak mengandung multimer faktor willebrand yang diperkirakan 

penting dalam pathogenesis PTT dan berisi aktivitas protease pemecah vWF.3 

8) Kriopresipitat (Cryoprecipitate) 

Isi utama kripresipitat adalah faktor pembekuan VIII, faktor pembekuan XIII, faktor von 

willebrand dan fibrinogen. Temperature simpan -18oC atau lebih rendah dan lama simpan 

selama 1 tahun. Kriopresipitat berguna untuk meningkatkan faktor pembekuan VIII, faktor 

pembekuan XIII, faktor von Willebrand (vWF) dan fibrinogen. Pelayanan kriopresipitat dengan 

mencocokkan golongan ABO dengan eritrosit pasien dan harus ditansfusikan dalam waktu 6 

jam setelah dicairkan. Efek samping setelah pemberian kriopresipitat adalah demam dan 

alergi. Kriopresipitat merupakan bagian plasma yang dingin dan tidak larut yang diproses dari 

FFP. Kriopresipitat adalah residu gelatinosa yang diperoleh dengan membekukan dan 

mencairkan secara lambat plasma yang baru diambil. Kriopresipitat mengandung 80 sampai 

100 IU faktor VII, vWF dan sekitar 250 mg fibrinogen (minimum 150 mg) dalam volume 10-15 

mL/unit.3 

 

Gambar   Kriopresipitat 

Kriopresipitat bermanfaat untuk mengobati pendarahan ringan sampai sedang pada 

pasien dengan penyakit von wiillebrand. Apabila diperlukan konsentrasi vWF yang sangat 

tinggi, seperti pada perdarahan yang mengancam nyawa atau untuk prosedur bedah, lebih 

baik dipakai  beberapa konsentrat komersial yang mengandung vWF.  Plasma beku segar 

dan kriopresipitat juga merupakan sumber terbaik untuk vWF, yang tinggi ada  di banyak 

konsentrat faktor VIII komersial. Kriopresipitat juga bermanfaat dalam manajemen keadaan 

hipofibrinogemia dan pada koagulasi intravascular diseminat dengan konsumsi fibrinogen. 

Kriopresipitat juga dapat dikenai prosedur-prosedur inaktivasi virus seperti pemanasan dan 

pemberian pelarut deterjen. Kecenderungan yang sekarang meningkat adalah pemakaian 

   

  

 

kriopresipitat untuk menyediakan fibrinogen, yang kemudian dapat diaktifkan menjadi fibrin 

oleh thrombin di tempat pendarahan selama pembedahan. “Lem Fibrin” ini sekarang menjadi 

praktek standar di banyak prosedur bedah vascular.3 

 

9) Konsentrat faktor VIII 

Komponen ini adalah suatu konsentrat liofilisasi plasma yang berasal dari 30000 donor, 

yang terutama mengandung faktor VIII, tetapi juga sejumlah kecil fibrinogen dan protein lain. 

Tersedia preparat dengan kemurnian sedang, kemurnian tinggi dan kemurnian sangat tinggi 

yang sesuai dengan metode pemurniannya. Sebagian besar prosedur pemurnian antibody 

monoclonal (afinitas) menghasilkan konsentrasi yang kemurniannya sangat tinggi dengan 

hanya sedikit protein pencemar. Kandungan faktor VIII spesifik (unit aktifitas faktor VIII per 

mg protein berbeda-beda dan hal ini dicantumkan di setiap vialnya. Rentang aktifitas faktor 

VIII total biasanya adalah 800 sampai 1600 IU/mg. Molekul faktor VIII telah berhasil diklon dan 

juga tersedia sebagai protein rekombinan. Preparat ini lebih mahal daripada konsentrat yang 

berasal dari plasma, tetapi memiliki keunggulan karena tidak menularkan penyakit infeksi 

terkait plasma. Namun peparat ini masih mungkin bersifat imunogenik dan memicu respon 

imun,  termasuk aloimunisasi (inhibitor faktor VIII). 

10) Konsentrat Faktor IX 

Komponen ini mengandung konsentrat faktor-faktor dependen vitamin K, yaitu faktor 

II,VII, IX dan X yang berasal dari kumpulan ribuan donor. Dengan demikian, komponen ini 

memiliki faktor resiko serupa dengan konsentrat faktor VIII, namun konsentrat ini dibuat 

dengan fraksionisasi plasma bukan kriopresipitasi. Produk-produk ini merupakan terapi 

pilihan untuk perdarahan atau profilaxispada pasien penyakit Critsmas (defisiensi faktor IX). 

Indikasi lain adalah defisiensi congenital faktor protrombin, VII dan X. Pengolahan komponen 

ini juga dilakukan dengan pemanasan dan atau pelarut detergen, seperti faktor VIII. Beberapa 

konsentrat faktor IX juga mengandung sejumlah kecil faktor koagulasi aktif sehingga dapat 

berguna dalam penanganan pasien hemophilia dengan inhibitor terhadap faktor VIII. Sekarang 

juga tersedia konsentrat faktor IX rekombinan.3 

 

11) Preparat Globulin serum dan Inhibitor Protease Plasma 

 Fraksionase plasma komersial juga dapat memekatkan gamaglobulin untuk diberikan 

kepada pasien dengan defisiensi antibody humoral yang parah. Kumpulan plasma yang 

mengandung gamaglobulin spesifik dengan titer tinggi dapat dipakai  sebagai preparat 

serum gamaglobulin hiperimun untuk penanganan pasien yang pernah terpajan ke globulin 

imun-varisela-zoster (VZIG) atau serum imun hepatitis B. Plasma normal juga mengandung 

inhibitor-inhibitor alamiah terhadap protein yang diaktifkan selama proses fisiologik, seperti 


thrombin pada koagulasi, tripsin pada pencernaan protein, atau C1 esterase pada pengaktifan 

komplemen. Beberapa inhibitor alamiah ini juga dipekatkan selama fraksionasi plasma untuk 

dipakai  dalam terapi keadaan-keadaan defisiensi  congenital dan didapat (misalnya, 

trombofolia defisien-antitrombin, defisiensi alfa 1-antitripsin (enfisema) dan defisiensi C1-

esterase (edema angio-neurotik). 

 

 

 


Penyimpanan Komponen Darah 

 

A.   

Penyimpanan darah secara invitro merupakan upaya untuk mengurangi perubahan-

perubahan yang terjadi selama darah disimpan. Untuk dapat mempertahankan kualitas darah 

donor harus, maka harus memperhatikan syarat – syarat dalam penyimpanan darah invitro. 

Pada keadaan invivo ada keseimbangan antara produksi dan destruksi, sintesa dan 

pemecahan protein dan lain-lain. Sel darah memerlukan energi untuk  mempertahankan 

bentuk sel dan melakukan fungsi sel. Untuk mendapatkan energi ini  sel perlu 

metabolisme yang memerlukan bahan serta memerlukan oksigen  terutama untuk trombosit 

dan leukosit. 

Metabolisme eritrosit merupakan proses glikolitik atau pemecahan glukosa, pada proses 

ini memerlukan hampir 20 macam enzim, memerlukan 2 mol ATP, memproduksi 4 mol ATP 

dengan hasil akhir 2 mol ATP. ATP yang dihasilkan ini merupakan sumber energi dan hasil akhir 

proses glikolitik adalah asam laktat. 

Pada penyimpanan darah invitro seperti dalam kantong darah tidak ada keseimbangan 

antara produksi dan destruksi ataupun sintesa dan pemecahan protein, hanya ada destruksi 

tanpa produksi. Sehinggga sel darah memerlukan energi untuk metabolisme dan itu 

memerlukan bahan-bahan serta oksigen. Cara yang paling efektif yaitu disimpan pada 

temperatur rendah 2°- 6°C, sehingga metabolismenya diperlambat dan pemberian cadangan 

kalori yaitu dekstrosa.  

 

B. SYARAT –SYARAT PENYIMPANAN DARAH SECARA INVITRO 

Cara penyimpanan darah secara invitro harus dapat memenuhi syarat-syarat, berikut  : 

1) Harus mempertahankan sel darah tetap hidup. 

2) Harus mempertahankan sel darah tetap berfungsi  

Ada 2 faktor penting yang harus diperhatikan dalam penyimpanan darah secara invitro, 

yaitu temperatur simpan dan pengawet / pelindung. Dalam perkembangannya pengawety 

darah dipakai untuk menyimpan darah dalam bentuk cair, semakin lama semakin dilengkapi 

komposisinya dengan tujuan agar masa simpan darah invitro dapat diperpanjang. 

Antikoagulan adalah zat untuk mencegah terjadinya darah membeku, yang dipakai  

dalam kepentingan transfusi adalah sitrat.  dipakai  karena dapat mempertahankan darah 

teatp cair dengan cara mengikat kalsium (Ca2+) dalam darah, aman bagi manusia, efek samping 

keracunan terjadi apabila dipakai  dengan konsentrasi tinggi berupa gejala kesemutan 

1   

  

  

sekitar mulut, rasa tertekan pada diafragma akibat turunnya kadar kalsium (Ca2+) dalam darah. 

Netralisasi sitrat dengan memberikan kalsium glukonas 10% sebanyak 10 mL untuk dewasa  

dan 4-6 mL untuk bayi. Keracunan dapat terjadi pada transfusi masif dan cepat, transfusi pada 

pasein gangguan hati, transfusi tukar pada bayi 5 mL/unit.  Sedangkan bahan pengawet yaitu 

bahan-bahan yang diperlukan untuk metabolisme sel. Berikut ini adalah jenis antikoagulan 

dan pengawet darah dalam penyimpanan bentuk cair, antara lain :  

1) Natrium sitrat konsentrasi 3,4 – 3,8 %, dapat mengawetkan darah selama 2-3 hari pada 

suhu 4°C. 

2) ACD = Acid – Citric – Dextrose, dengan penambahan dektrosa masa simpan dapat 

diperpanjang menjadi 3 minggu (21 hari). 

3) CPD = Citric – Phosphate – Dextrose, dengan penambahan senyawa phospat, maka sel 

darah mendapat tambahn sumber energi. Larutan CPD lebih baik jika dibandingkan 

larutan ACD, yaitu hemolisis lebih kecil dan viabilitas sel post transfusi juga lebih baik, dan 

fungsi transpot oksigen lebih baik. Masa simpan darah dalam larutan CPD adalah 28 hari. 

4) CPD-A = Citric – Phosphate – Dextrose – Adenine, dengan penambahan 17 mg adenin ke 

komposisi CPD dapat memperpanjang masa simpan menjadi 35 hari (5 minggu). 

5) Larutan aditif, terdiri AS-1 (Adsol), AS-3 (Nutricel) dan AS-5 (Optisol) dapat 

memperpanjang masa simpan menjasi 42 hari. 

Berikut ini adalah isi dari larutan pengawet yang dipakai  dalam kantong darah donor:  

Tabel  11. Komposisi antikoagulan dan pengawet dalam kantong darah 450 mL (mg/63 mL) 

 

 

Tabel  12. Komposisi larutan aditif (mg / 100 mL) 

   

  

 

  

 

Pada kantong darah 450 ml ada  pengawet dan antikoagulan sebanyak 63 ml dan 

pada kantong darah 500 ml ada  pengawet dan antikoagulan sebanyak 70 ml. Jika volume 

darah kurang dari 300 ml, maka ratio volume antikoagulan-pengawet dengan darah adalah 

1,4 : 10.  

 

C. PENYIMPANAN DARAH DONOR 

Penyimpanan darah donor secara invitro , dibagi menjadi dua yaitu penyimpanan dalam 

bentuk cair dan enyimpanan dalam bentuk beku.  

2) Penyimpanan dalam bentuk cair. 

 Temperatur Simpan 

− Setiap komponen darah memiliki  temperatur simpan optimal yang berbeda-

beda. 

− Eritrosit dalam bentuk cair, temperatur optimal 4 ± 2 °C dan metabolisme 1/40 

pada suhu 37 °C. Temperatur maksimum dalam penyimpanan darah adalah 10 °C, 

jika di atas temperatur ini  perusakan eritrosit berlangsung cepat. 

Temperetur 0°C dapat merusak eritrosit, karena terjadi pembekuan air yang dapat 

merusak membran sel kecuali dengan proses tertentu.   

 Temperatur simpan komponen darah dalam bentuk cair : 

Tabel  13. Temperatur simpan komponen darah dalam bentuk cair 

Temperatur Jenis Komponen 

4 °C ± 2 °C - Darah Lengkap (whole blood) 

- Darah Merah Pekat (PRC) 

- Plasma 

22 °C ± 2 °C - Trombosit Konsentrat 

- Leukosit pekat (Buffy Coat) 

1   

  

  

 

3) Penyimpanan dalam bentuk beku. 

Tujuan penyimoanan darah dalam bentuk beku adalah untuk memperpanjang masa 

simpan darah invitro. Komponen darah yang bisa disimpan dalam bentuk beku diantaranya : 

erirosit, trombosit, sel induk darah (stem sel). Disamping itu kriopresipitat, dan FFP juga 

disimpan dalam bentuk beku. Penyimpanan beku trombosit dinilai kurang efisien karena 

kerusakan trombosit pada penyimpanan beku lebih dari 5%.  

Untuk menyimpan beku eritrosit, dipakai pelindung gliserol dalam kadar yang kecil 

gliserol tidak toksik bagi tubuh. Untuk menyimpan beku sel induk darah (stem sel) dan 

trombosit dipakai Dimetil Sulfoksida (DMSO).  

Tabel  14. Temperatur simpan komponen darah dalam bentuk beku 

Temperatur Jenis Komponen 

-18 °C ± -30 °C - Plasma Segar Beku (FFP) 

- Kriopresipitat 

-85 °C - Sel darah merah pekat (PRC) 

- Sel Induk Darah (Stem Sel) 

-196 °C - Sel Induk Darah (Stem Sel) 

3) Masa simpan komponen darah  

Tabel di bawah ini menggambarkan lama simpan masing-masing komponen darah.  

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

   

  

 

Tabel  15. Lama Simpan Komponen Darah 

 

 

4) Alat-alat penyimpanan darah secara invitro 

Berikut ini adalah alat-alat yang dipakai  untuk penyimpanan komponen darah. 

 

(A) UPRIGHT REFRIGERATOR 

 

 

 

(B) CEST REFRERIGERATOR 

 

1   

  

  

 

(C) AGITATOR 

 

 

(D) Ice-lined blood bank refrigerators 

 

(E) COLD ROOM 

Gambar 3.33. alat penyimpanan darah secara invitro 

 

D. EFEK PENYIMPANAN DARAH INVITRO 

1) Perubahan bentuk dan daya hidup sel  

− Daya hidup eritrosit akan menurun sebanding dengan masa simpan. Pada saat 

penyadapan hancur 1-5%, apabila disimpan 2 minggu dalam ACD sel erirosit hancur 

sekitar 10%, dan  4 minggu dalam ACD sel eritrosit musnah mencapai 25%. 

− Daya hidup trombosit menurun sebanding dengan masa simpan dan temperatur 

simpan. Daya hidup trombosit pada suhu 2-6°C lebih buruk dibandingkan pada suhu 18-

22°C. 

− Daya hidup leukosit menurun dengan cepat sebanding dengan masa simpan. Masa 

simpan 48 jam terjadi perubahan bentuk, sedangkan masa simpan 72 jam fungsi leukosit 

hilang. 

 

   

  

 

2) Perubahan kadar ATP  

Akibat penurunan kadar ATP, maka terjadi hilangnya  lipid membran sel, perubahan 

bentuk sel dari bentuk bikonkaf menjadi bulat, berkurangnya elastisitas sel sehingga 

menjadi kaku.   

3) Perubahan kadar 2,3 DPG  

Akibat penurunan kadar 2,3 DPG, maka daya ikat oksigen pada molekul hemoglobin 

menjadi kuat, pelepasan oksigen ke jaringan menjadi berkurang. Darah dengan 2,3 DPG 

rendah tidak menambah oksigenisasi jaringan walaupun kadar hemoglobin naik. Darah 

dengan 2,3 DPG rendah tidak tepat untuk pasien yang memerlukan oksigenisasi cepat / 

resusitasi.  

4) Perubahan elektrolit 

Peningkatan Kalium (K+) plasma, disebabkan karena sel tidak mampu mempertahankan 

Kalium (K+) dalam sel, akibatnya masuknya natrium (Na+) beserta air ke dalam sel. Darah 

dengan kalium plasma yang tinggi kurang tepat untuk penderita penyakit ginjal.  

5) Perubahan asam laktat dan pH 

Perubahan pH disebsbkan penumpukan asam laktat sebagai hasil akhir proses glikolitik 

oleh sel eritrosit. Dengan bertambahnya asam laktat akan memicu  penurunan pH 

(asam)  

6) Perubahan amonia  

Disebabkan penghancuran / destruksi protein. Darah dengan amoniak plasma yang tinggi 

kurang tepat untuk penderita penyakit hati.  

7) Peningkatan Hb plasma  

Peningkatan Hb plasma dikarenakan banyaknya eritrosit yang lisis.  

8) Perubahan faktor pembekuan 

Diantara faktor pembekuan F I sampai dengan F XIII,  F V dan F VIII merupakan faktor 

pembekuan labil secara invitro. Faktor ini hanya bertahan selama 4-6 jam dalam keadaan 

invitro, sehingga darah simpan tidak mengandung F V dan F VIII (labile factor). 

9) Perubahan metabolisme sel  

Perubahan pH menjadi asam memicu  terganggunya fungsi enzim-enzim untuk 

metabolisme sel, sehingga mmetabolisme sel terganggu dan sel akan lisis. 

Tabel di bawah ini menggambarkan perubahan biokima sel darah putih dan sel darah 

merah selama penyimpanan secara invitro. 

 

 

 

Tabel  Perubahan biokima sel darah putih dan sel darah merah 

 

 


Glosarium 

 

Unit Transfusi Darah : fasilitas pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan donor darah, 

penyediaan darah, dan pendistribusian darah. 

 

Voluntery Blood Donors  : donor sukarela yang memberikan darah, plasma atau komponen 

darah lainnya atas kehendaknya dan tidak menerima pembayaran, baik dalam bentuk tunai 

atau hal lainnya sebagai pengganti uang.  

 

Transfer bag : merupakan kantung darah yang terbuat Polivinil Klorida (PVC ) dan telah di 

sterilkan dengan berbagai ukuran 150 mL, 250 mL, 350 mL, 450 mL yang dipakai  untuk 

pemisahan dan penyimpanan komponen darah. 

 

Faksionasi : proses pemisahan sejumlah plasma yang dipisahkan selama transisi fasa menjadi 

sejumlah kecil bagian (fraksi-fraksi), yang mana komposisinya bervariasi sesuai gradiennya. 

 

Demam anafilaktoid : sindrom klinis akibat reaksi analogis (reaksi alergi) yang bersifat 

sistemik serta cepat dan memicu  gangguan respirasi, sirkulasi, pencernaan dan kulit. 

 

 

  

Bab 4 

REAKSI TRANSFUSI 

 


  

 

ransfusi merupakan pengobatan yang dipakai  untuk menyembuhkan pasien dari 

kondisi yang dapat mengancam jiwa atau dapat juga sebagai terapi jangka panjang 

terhadap suatu penyakit tertentu. Mengingat fungsinya yang sangat vital, oleh karena 

itu, proses transfusi harus dilakukan sebaik dan se-aman mungkin, sehingga pasien mendapat 

manfaat dari proses transfusi ini . 

 Proses transfusi tidak lepas dari resiko komplikasi atau reaksi yang menimbulkan gejala 

klinis pada pasien. Gejala klinis yang timbul pada pasien bervariasi, dari yang ringan sampai 

dengan berat, yang bisa saja membahayakan kondisi pasien. Gejala klinis yang timbul karena 

reaksi transfusi bervariasi, bisa berupa demam, mual, ada  bercak merah di kulit, sesak 

napas hingga dapat mengakibatkan kematian pasien. Umumnya reaksi ini , terjadi 

karena ketidakcocokan (inkompatibilitas) antara darah donor dan pasien. Selain itu, reaksi 

transfusi, juga dapat terjadi pada komponen darah dengan kualitas yang kurang baik. 

 Setiap reaksi yang terjadi, dapat memberikan gejala klinis yang khusus maupun umum. 

Gejala klinis yang timbul pada pasien transfusi, dapat terjadi pada kisaran 24 jam semenjak 

proses transfusi (reaksi transfusi akut) atau  setelah 24 jam paska transfusi (reaksi transfusi 

tunda). Reaksi ini  dapat melibatkan sistem imun (reaksi Ag dan Ab) ataupun tidak (non 

imun).   

 Pada bab ini, pembahasan mengenai reaksi transfusi, terdiri atas dua topik, yaitu : topik 

1 membahas reaksi transfusi imun yang terdiri atas reaksi transfusi imun akut dan tunda 

beserta cara pencegahannya dan topik 2 membahas reaksi transfusi non imun akut dan tunda 

serta cara pencegahannya. Penatalaksanaan dan pengobatan karena reaksi transfusi tidak 

dibahas pada modul ini, mengingat ruang lingkup pekerjaan teknologi laboratorium medik 

tidak ke ranah klinis atau tidak melakukan penanganan terhadap pasien. 

 Setelah mempelajari bab ini, anda diharapkan dapat : 

1. Menguraikan konsep dasar reaksi transfusi. 

2. Mendeskripsikan jenis reaksi transfusi imun (akut dan tunda), non imun (akut dan tunda).  

   

  

 

3. Mendeskripsikan gejala klinis yang ditimbulkan karena reaksi transfusi.  

4. Menguraikan cara pencegahan reaksi transfusi.  

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

1   

  

  

Topik 1 

Reaksi Transfusi Imun 

 

A. KONSEP DASAR 

Reaksi transfusi imun yang dimaksud adalah semua jenis reaksi yang terjadi pada pasien 

saat proses transfusi dan setelah transfusi. Reaksi ini , terjadi melalui mekanisme imun 

tubuh, melibatkan antigen (Ag) dan antibodi (Ab). Reaksi imun yang terjadi, mengakibatkan 

timbulnya gejala klinis pada pasien. Gejala klinis yang timbul  bervariasi, mulai dari gejala 

ringan sampai berat dan bersifat akut atau tunda.  

Seperti dijelaskan di paragraf awal, bahwa reaksi transfusi imun terjadi karena reaksi Ag 

dan Ab. Ag yang dimaksud di sini adalah Ag sel darah dan Ab yang berasal dari plasma. Seperti 

sudah dijelaskan di Bab 1, bahwa membran sel darah kita terdiri atas unsur protein, 

karbohidrat dan lipid. Molekul ini  dapat menjadi Ag dan memicu respon imun jika 

dipaparkan ke pasien lain. 

Jenis Ag yang ada  pada sel darah merah, lekosit dan trombosit serta Ab yang 

terbentuk karena paparan terhadap Ag ini  dikategorikan ke dalam suatu sistem. Ag dan 

Ab pada sel darah merah dikelompokkan ke dalam sistem golongan darah. Ag dan Ab pada 

lekosit dikelompokkan ke dalam sistem human leucoyte antigen (HLA) dan human neutrofil 

antigen (HNA). Ag dan Ab pada trombosit dikelompokkan ke dalam sistem human platelet 

antigen (HPA). Adanya ketidakcocokan antara darah donor dengan pasien yang melibatkan Ag 

dan Ab pada darah dapat memicu  reaksi transfusi imun.  

Jenis Ab pada sistem golongan darah dapat mempengaruhi berat atau tidaknya reaksi 

transfusi. Untuk meminimalisir dan mencegah reaksi transfusi, maka sebelum dilakukan 

transfusi darah, dilakukan pemeriksaan terlebih dahulu yang mencakup kecocokan jenis 

golongan darah dan reaksi antara darah donor dan pasien secara in vitro/di luar tubuh. 

Pemeriksaan ini disebut dengan pemeriksaan pre-transfusi (akan dibahas pada bab 6). 

Jenis reaksi imun yang akan dibahas pada topik ini, yaitu : reaksi transfusi imun akut 

(hemolitik, febrile non hemolytic transfusion reaction (FNHTR), alergi, reaksi anafilaktik dan 

anaphylactoid, transfusion related acute lung injury / TRALI). Reaksi transfusi imun tunda 

(hemolitik, aloimunisasi,  post transfusion purpura (PTP), transfusion associated graft versus 

host disease / TA-GVHD).  

 

 

 

 

 

   

  

 

B. REAKSI IMUN AKUT 

B.1 Reaksi hemolitik akut 

Reaksi hemolitik akut merupakan jenis reaksi transfusi yang berbahaya dan dapat 

memicu  kematian. Reaksi hemolitik merupakan reaksi lisis sel darah merah dari darah 

donor ataupun darah pasien karena adanya ketidakcocokan jenis golongan darah antara 

donor dan pasien.   

Hemolisis dapat terjadi karena interaksi Ab pada plasma pasien dan Ag sel darah merah 

donor yang disebut dengan inkompatibilitas  mayor atau dapat juga karena interaksi  plasma 

donor dengan Ag sel darah merah pasien yang disebut dengan inkompatibilitas minor. Selain 

itu, ada  juga inkompatibilitas inter donor yaitu reaksi Ab pada plasma donor dengan Ag 

sel darah merah donor lainnya jika pasien mendapat transfusi darah lebih dari satu donor  

yang bereaksi pada darah pasien. Reaksi hemolitik akut terjadi sesaat setelah transfusi dan 

berlangsung cepat. Jenis Ab pada sistem golongan darah merah yang lebih sering 

memicu  reaksi imun hemolitik akut adalah : anti-A, anti-Kell, anti-Jka dan anti-Fya.   

Mekanisme lisis sel darah merah karena reaksi transfusi dapat terjadi melalui 

mekanisme hemolisis ekstravaskular maupun intravaskular. 

 

B.1.1. Hemolisis ekstravaskular 

Hemolisis ekstravaskular merupakan lisis sel darah merah yang terjadi karena reaksi Ag 

donor yang disensitisasi/dilekati oleh Ab dan atau komplemen pasien. Kompleks Ag, Ab dan 

atau komplemen ini  dikenali dan disingkirkan ke luar pembuluh darah oleh sel makrofag  

menuju ke hati atau limpa untuk dihancurkan. Pada saat makrofag menempel dan terikat pada 

sel darah merah, maka proses fagositosis dapat terjadi melalui tiga cara, yaitu :(i) sel darah 

merah difagositosis dan dihancurkan di dalam makrofag, (ii) sel darah merah difagositosis dan 

dihancurkan sebagian, sedangkan sisanya dapat tidak terfagositosis dan beredar di sirkulasi 

sebagai sel sferosit yang memiliki  masa hidup pendek, (iii) sel darah merah berada di luar 

makrofag dan dilisiskan melalui mekanisme antibody-dependent cell-mediated cytotoxicity 

(ADCC), yaitu makrofag mengeluarkan substan yang bersifat toksik, sehingga sel darah merah 

yang menempel pada makrofag dapat lisis, tanpa melisiskan makrofag. Mekanisme fagositosis 

dapat dilihat pada Gambar 4.1 berikut ini. 

 

1   

  

  

 

 

Gambar 4.1. Mekanisme fagositosis 

Sumber. Transfussion journal 

 

Pada saat sel darah merah dihancurkan di dalam makrofag (Gambar 4.2), maka akan 

melepaskan molekul Hb dari sel darah merah yang kemudian dipecah menjadi bagian heme 

dan globin. Protein globin akan dimanfaatkan kembali oleh tubuh, sedangkan molekul heme 

diubah menjadi biliverdin yang pada proses berikutnya akan diubah menjadi bilirubin indirek. 

Bilirubin indirek akan dibawa ke hepatosit untuk dirubah menjadi bilirubin direk (larut dalam 

air). Pada hemolisis ekstravaskular, biasanya  konsentrasi bilirubin indirek meningkat, karena 

terlalu banyak molekul heme yang diubah menjadi bilirubin, sampai hepatosit tidak mampu 

memproses kelebihan bilirubin. 

Bilirubin direk kemudian dieksresikan ke dalam sistem gastrointestinal yang kemudian 

diubah menjadi urobilinogen dan dieksresikan melalui feses dalam bentuk sterkobilinogen. 

 Jenis Ab yang bereaksi dengan Ag pada reaksi hemolisis ekstravaskular adalah jenis Ab 

yang tidak mengaktifkan komplemen, seperti : Rh, Duffy, Kell. Mekanisme lisis ekstravaskular 

dapat dilihat pada Gambar 4.2. 

 

 

   

  

 

 

 

Gambar 4.2. Mekanisme hemolisis ekstravaskular 

Sumber. http://pedsinreview.aappublications.org 

 

B.1.2. Hemolisis intravaskular 

Hemolisis intravaskular merupakan lisis sel darah merah yang terjadi di pembuluh darah. 

Reaksi terjadi jika Ab pasien bereaksi dengan Ag yang berasal dari donor. Ikatan Ag dan Ab 

ini  mengaktifkan komplemen dan membentuk membrane attachment complex (MAC) 

dan sel darah merah lisis/pecah . Molekul Hb yang keluar dari sel darah merah yang telah lisis 

akan diikat oleh haptoglobin. Kompleks Hb-haptoglobin akan disingkirkan dari plasma oleh sel 

retikuloendotelial hati. Jika jumlah haptoglobin berkurang atau bahkan habis, maka molekul 

Hb akan berada bebas di dalam darah (hemoglobinemia), sehingga ikut tersaring di ginjal dan 

Hb dapat berada di urin (hemoglobinuria), sehingga mengakibatkan warna urin menjadi 

merah/gelap. 

Sebagai contoh, pasien golongan darah O ditransfusi dengan darah golongan A, maka 

anti A pasien akan bereaksi dengan Ag A dari darah donor. Komplemen akan teraktifkan dan 

mengakibatkan sel darah merah lisis. Jenis Ab yang dapat memicu  reaksi hemolisis 

intravaskular selain anti A dan anti B adalah anti-Jka, -Jkb, Vel, -PP1PPk, -Lea. Mekanisme 

hemolisis intravaskular dapat dilihat pada Gambar 4.3 berikut ini.  

 

1   

  

  

 

 

Gambar 4.3. Mekanisme hemolisis intravaskular 

Sumber. http://pedsinreview.aappublications.org 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Perbedaan klinis antar kedua jenis hemolisis, yaitu intravaskular dan ekstravaskular, 

melibatkan banyaknya sel darah merah yang dihancurkan. Hemolisis ekstravaskular terbatas 

pada kapasitas sistem retikuloendotelial (RES) dalam menghancurkan sel darah merah. 

Sebagai contoh, pada pasien dengan berat badan 70 Kg, RES dapat menghancurkan sel darah 

merah sebanyak 18 mL pada komponen Packed Red Cells dalam waktu 1 jam, dan lebih dari 

400 mL selama 24 jam. Sementara, hemolisis intravaskular dapat menghancurkan 200 mL sel 

darah merah atau lebih, dalam waktu 1 jam. Kondisi ini dapat menurunkan kadar Hb sebanyak 

5 g/dL dalam waktu 1 jam, yang dapat berakibat fatal jika tidak segera ditransfusikan dengan 

darah yang sesuai. 

Hemolisis ekstravaskular terjadi karena adanya aktivasi makrofag yang akan 

memfagositosis ikatan Ag, Ab dan atau komplemen yang tidak membentuk MAC, proses 

lisis lebih banyak terjadi di luar pembuluh darah, sedangkan hemolisis intravaskular 

terjadi karena adanya aktivasi komplemen sampai membentuk MAC sehingga sel darah 

merah lisis di dalam pembuluh darah.  

 

   

  

 

 

Setelah membaca penjelasan mengenai hemolisis intravaskular dan ekstravaskular, jawablah 

pertanyaan berikut : 

 

Sebutkan minimal tiga perbedaan antara lisis ekstravaskular dan intravaskular. 

 

No. Perbedaan Hemolisis ekstravaskular Hemolisis intravaskular 

 

 

 

 

 

 

 

  

 

 

 

 

 

 

 

 

 

  

 

 

 

 

 

 

 

 

 

  

 

 

Reaksi hemolitik akut dapat terjadi melalui mekanisme lisis intravaskular maupun 

ekstravaskular. Penyebab reaksi hemolitik akut, yang paling utama adalah inkompatibilitas 

golongan darah ABO. Jenis inkompatibilitas ini, seringkali disebabkan karena kesalahan 

interpretasi golongan darah atau adanya kesalahan penulisan label antara komponen darah 

donor dan pasien.  

Pada awalnya, gejala klinis hemolitik akut seringkali tidak spesifik. Jika reaksi terjadi pada 

pasien dengan kondisi sadar, maka tubuh pasien menggigil, pasien akan merasakan panas di 

area infus, nyeri di bagian dada, perut atau punggung, kepala pusing, mual dan muntah. Gejala 

lainnya yang dapat terjadi pada pasien yang tidak sadarkan diri, seperti, demam (peningkatan 

suhu tubuh > 10 C), perubahan kondisi kulit (seperti pembengkakan/oedem, pucat),  takikardia 

(detak jantung di atas normal), tekanan darah di bawah nilai normal (hipotensi), dan 

perubahan warna urin menjadi kemerahan karena adanya Hemoglobin (Hb) pada urin. Pasien 

dapat mengalami reaksi koagulasi intravaskular diseminata (disseminated intravascular 

1   

  

  

coagulation/DIC) karena adanya perdarahan cukup luas yang dapat memicu faktor koagulasi 

pasien bekerja ekstra sehingga terbentuk bekuan dan menutup pembuluh darah. Selain itu 

pasien dapat mengalami anuria karena ginjal tidak dapat memproduksi urin (gagal ginjal).  

Kondisi ini dapat memicu  kematian pasien. 

Gejala klinis reaksi hemolitik akut intravaskular lebih berat dibandingkan hemolisis 

ekstravaskular. 

  

B.2. Febrile non hemolytic transfusion reaction (FNHTR) 

FNHTR merupakan reaksi transfusi dengan gejala klinis yang ditimbulkan berupa demam 

dan tidak diikuti dengan reaksi hemolisis sel darah merah. Reaksi FNHTR terjadi karena 

dilepaskannya sitokin dari sel lekosit. Pelepasan sitokin dari sel lekosit dapat terjadi melalui 

tiga mekanisme yang dapat dilihat pada Gambar 4.4, yaitu : (A) Sel lekosit donor yang dapat 

mengaktivasi sistem imun pasien, sehingga lekosit pasien menghasilkan dan melepaskan 

sitokin. (B) Reaksi antara Ab lekosit pada plasma pasien dengan komponen darah donor yang 

mengandung Ag lekosit (HLA/HNA) yang sesuai. Ab akan bereaksi dengan lekosit membentuk 

kompleks Ag – Ab dan memicu  dilepaskannya sitokin. Mekanisme ketiga (C) yaitu sitokin 

dilepaskan oleh sel lekosit selama proses penyimpanan komponen darah.  

Sitokin yang dilepaskan melalui berbagai mekanisme ini  akan merangsang 

hipotalamus sehingga pasien merasakan demam. Mekanisme pelepasan sitokin dapat dilihat 

pada Gambar 4.4. 

 

 

Gambar 4.4. Mekanisme pelepasan sitokin pada reaksi FNHTR 

Sumber. https://www.researchgate.net 

   

  

 

FNHTR terjadi jika ada  kenaikan suhu tubuh > 1O C pada saat  atau selama 24 jam 

paska transfusi yang disertai dengan gejala menggigil, demam, sakit kepala, nyeri otot. Selain 

itu, pasien dapat menderita hipotensi, muntah dan pernapasan terganggu. 

 

B.3. Alergi 

Reaksi alergi merupakan jenis reaksi transfusi yang cukup sering terjadi. Reaksi ini terjadi 

karena berbagai unsur yang bertindak sebagai alergen yang dapat mengaktifkan sel mast 

maupun basofil. Mekanisme terjadinya reaksi alergi terbagi melalui tiga jalur, yaitu :  

1. Allergen dependent pathway (yang ditunjukkan dengan warna pink pada Gambar 4.5.) 

memiliki  mekanisme yaitu alergen yang dapat berupa protein plasma, protein 

makanan ataupun zat kimia seperti methylen blue akan terikat pada Ab (IgE/IgG) yang 

kemudian akan menempel dan terikat pada reseptor (FcRs) sel mast maupun basofil. Sel 

yang teraktivasi mengeluarkan substan kimia, seperti histamin maupun platelet activating 

factor (PAF). Pada reaksi alergi yang melibatkan sel mast, (allergen-dependent-mast cell 

mediated sub-pathway), unsur lain yang terlibat adalah IgE dan FcƐRs, sehingga sel mast 

teraktifkan dan menghasilkan substan histamin  . Pada reaksi alergi yang melibatkan sel 

basofil (allergen-dependent-basophil mediated sub-pathway) , unsur lain yang terlibat 

adalah IgG dan FcƳRs sehingga sel basofil teraktifkan dan melepaskan substan PAF. 

2. Allergen independent pathway (yang ditunjukkan dengan warna biru muda pada Gambar 

4.5. memiliki  mekanisme alergen yang disebut dengan biological response modifiers 

(BRMs) berupa sitokin yang dihasilkan selama proses penyimpanan komponen darah. 

BRMs dapat terikat langsung ke reseptor (FcRs) sel mast maupun basofil, sehingga sel 

teraktivasi. Mekanisme reaksi alergi dapat dilihat pada Gambar 4.5. 

 

1   

  

  

 

 

Gambar 4.5. Mekanisme reaksi alergi 

Sumber. British Journal of Haematology 

 

 

 

 

 

 

 

Pelepasan substan karena adanya aktivasi sel mast, yaitu histamin akan memicu  

vasodilatasi (pelebaran pembuluh darah) yang ditandai dengan warna kulit kemerahan. Gejala 

klinis lainnya yang dapat dirasakan pasien adalah gatal,  pembengkakan pada area wajah, 

termasuk bibir atau mulut. Jika kondisi semakin parah, pasien dapat kesulitan bernapas. 

Reaksi alergi biasanya terjadi pada saat transfusi atau satu jam setelahnya.  

 

B.4. Reaksi anafilaktik dan anaphylactoid 

Reaksi anafilaktik dan anaphylactoid merupakan reaksi hipersensitivitas pada respon 

sistem imun yang merupakan bagian dari reaksi alergi. Komplikasi ini jarang terjadi, namun 

dapat membahayakan jiwa pasien.  Reaksi dapat terjadi pada pasien dengan 

defisiensi/kekurangan terhadap jenis Ab / immunoglobulin / protein tertentu, dalam hal ini 

adalah defisiensi terhadap immunoglobulin A (IgA), sehingga ada  Ab terhadap IgA karena 

adanya riwayat paparan dengan IgA sebelumnya. Gejala klinis pasien akan terjadi setelah 

Alergen yang dapat memicu reaksi alergi, bisa berasal dari darah donor ataupun 

pasien yang akan bereaksi dengan Ab yang berasal dari darah pasien maupun 

komponen darah donor.  

 

   

  

 

transfusi beberapa mL plasma atau transfusi komponen darah yang ada  plasma di 

dalamnya. 

Reaksi anafilaktik dan anaphylactoid dibedakan dari jenis IgA yang lebih spesifik dan 

gejala klinisnya. Reaksi anafilaktik, yaitu reaksi terhadap pasien dengan defisiensi IgA, 

sehingga memiliki  anti-IgA dari paparan sebelumnya. Gejala klinis reaksi anafilaktik berupa 

: batuk, sesak napas, mual, muntah, sakit di bagian dada, hipotensi, diare, bisa memicu  

shock, hilang kesadaran yang dapat berujung pada kematian. Reaksi anaphylactoid terjadi 

pada pasien dengan konsentrasi IgA normal, tetapi memiliki  beberapa jenis IgA yang dapat 

bereaksi dengan bagian rantai ringan (light chain) IgA donor. Reaksi anaphylactoid, biasanya 

tidak separah reaksi anafilaktik, dengan gejala klinis berupa : urtikaria, sesak napas. 

 

B.5. Transfusion related acute lung injury (TRALI) 

TRALI merupakan reaksi transfusi yang dapat membahayakan jiwa pasien, hal ini 

disebabkan karena organ yang diserang adalah paru-paru, sehingga pasien mengalami sulit 

napas. Gejala klinis, biasanya terjadi pada kisaran 6 jam selama proses transfusi. 

TRALI disebabkan oleh Ab terhadap lekosit (anti-HLA) atau Ab terhadap sel netrofil (anti-

HNA) pada plasma donor. Ab yang berasal dari donor diperoleh dari riwayat paparan Ag 

sebelumnya pada donor, yang disebabkan, donor pernah transfusi darah sebelumnya atau 

donor memiliki  riwayat melahirkan beberapa kali (wanita multipara). 

Ab yang ada  di plasma dapat mengaktivasi netrofil pasien pada saat ditransfusikan. 

Sel netrofil bermigrasi ke paru-paru dan menempel pada bagian kapiler paru,  serta 

melepaskan berbagai macam substan, seperti enzim proteolitik, oksigen yang bersifat radikal 

bebas. Pelepasan berbagai macam substan ini  akan merusak sel endotel kapiler paru, 

yang berakibat pada kebocoran kapiler, sehingga cairan dan protein akan keluar menuju 

alveoli dan berakibat pembengkakan pada paru-paru. Mekanisme reaksi TRALI dapat dilihat 

pada Gambar 4.6. berikut. Gejala klinis yang timbul pada pasien berupa demam, hipotensi, 

sesak napas, penurunan tekanan oksigen di dalam tubuh. Pada kondisi ini, pasien 

membutuhkan suplai oksigen.  


Gambar Mekanisme reaksi TRALI 

Ket. gambar : Anti-HNA / anti-MHC kelas I / anti-HLA yang berasal dari komponen darah yang ditransfusikan 

dapat mengaktivasi netrofil yang ada  pada pembuluh darah kapiler. Anti MHC kelas I juga dapat langsung 

mengenali dan menempel pada MHC kelas I di endotel pembuluh darah. Selain itu, kompleks imun antara anti 

HNA / anti MHC kelas I dan HNA / MHC kelas I terlarut juga dapat mengaktifasi netrofil. Aktivasi netrofil pada 

pembuluh darah kapiler memicu  kerusakan sel endotel kapiler.  

 


 

C. REAKSI IMUN TUNDA 

C.1. Reaksi hemolitik tunda 

Reaksi hemolitik tunda disebabkan karena respon imun sekunder terhadap Ag pada sel 

darah merah donor. Hal ini terjadi karena pasien sudah pernah terpapar dengan jenis Ag yang 

sama sebelumnya sehingga pasien sudah memiliki  Ab terhadap Ag ini . Jenis Ab pada 

respon imun sekunder, biasanya adalah jenis IgG yang berada pada jumlah maksimal selama 

3 – 7 hari setelah paparan dengan Ag yang sesuai. Pada kisaran hari ini , sel darah merah 

donor masih berada di aliran darah pasien, dan dapat dihancurkan secara cepat karena 

bereaksi dengan Ab yang sesuai.  

Ab yang dapat memicu  reaksi hemolitik tunda , adalah Ab yang berasal dari sistem 

Rh, Kidd, Duffy, Kell dan MNSs. Jenis Ab ini  adalah anti-c, anti-E, anti-Jka, anti-K, anti-Fya, 

anti-Jkb, anti-M, anti-s, anti-Fyb, anti-Fy3, anti-Kpa, anti-N dan anti-U. 

Gejala klinis pada pasien dengan reaksi transfusi tunda lebih ringan dibandingkan reaksi 

transfusi akut. Gejalanya antara lain : demam dan gejala anemia. Adanya penurunan Hb dan 

ikterus dapat terjadi 1 minggu setelah transfusi, terkadang dapat terjadi hemoglobinuria, 

namun tidak sampai terjadi gagal ginjal.  

 

C.2. Aloimunisasi 

Reaksi komplikasi jangka panjang karena transfusi, salah satunya adalah reaksi 

aloimunisasi yaitu terbentuknya Ab terhadap paparan dengan Ag sel darah merah, lekosit 

maupun trombosit sebelumnya. Reaksi aloimunisasi biasanya terjadi pada pasien yang 

mendapat beberapa kali transfusi darah.  

Gejala klinis yang timbul, biasanya  tidak terlalu parah, seperti demam dan penurunan 

konsentrasi Hb. Namun demikian, reaksi aloimunisasi dapat memiliki  gejala klinis yang 

berat jika terjadi perdarahan, sebagai contoh : pada transfusi trombosit terjadi reaksi antara 

Ab trombosit pada pasien dengan trombosit yang ditransfusikan, sehingga terjadi penurunan 

trombosit yang signifikan (trombositopenia), jika reaksi berlanjut dapat memicu  

perdarahan. Jika allo Ab yang terbentuk memiliki  reaksi yang kuat, efeknya dapat sulit 

untuk menemukan komponen darah yang sesuai pada transfusi berikutnya. 

Untuk deteksi ada tidaknya reaksi aloimunisasi, dapat dilakukan pemeriksaan Coomb’s 

test maupun skrining dan identifikasi Ab. 

 

C.3. Post transfusion purpura (PTP) 

PTP merupakan reaksi transfusi yang melibatkan komponen trombosit. Kondisi ini 

terjadi karena reaksi allo Ab terhadap trombosit yang ditransfusikan. Allo Ab trombosit 

melekat pada permukaan trombosit yang memicu dekstruksi ekstravaskular oleh 

retikuloendotelial sistem (RES), sehingga terjadi penurunan jumlah trombosit 

(trombositopenia).  

Gejala klinis pada pasien seperti demam, hipotensi berasal dari aktivitas sitokin yang 

dilepaskan sel lekosit yang distimulus pada reaksi hemolisis intravaskular maupun 

ekstravaskular.  


Gejala klinis yang terjadi berupa purpura (kulit kemerahan)  dan trombositopenia  

sekitar 1 – 2 minggu setelah transfusi. Trombositopenia berat dapat terjadi dengan penurunan 

jumlah trombosit sampai 10.000/µL darah. Reaksi ini  dapat mendorong terjadinya 

hematuria, perdarahan pada saluran pencernaan sehingga terjadi kondisi melena. 

 

C.4. Transfusion-associated graft vs host disease (TA-GVHD) 

Reaksi ini cukup jarang terjadi pada transfusi, namun dapat bersifat fatal. Reaksi yang 

terjadi adalah limfosit T donor yang memicu sistem imun pasien. Sel limfosit  donor dikenali 

sebagai substan asing oleh sistem imun pasien, sehingga sel limfosit yang ditransfusikan 

dihancurkan di dalam tubuh pasien.ada  tiga faktor yang dapat mempengaruhi reaksi ini, 

yaitu; status imun pasien, kecocokan HLA antara donor dan pasien, dan berapa banyak sel T 

yang teraktifkan karena proses transfusi. 

Jika darah yang mengandung limfosit ditransfusikan pada pasien dengan gangguan 

sistem imun, seperti pasien AIDS atau pada pasien yang sedang terapi penyakit kanker, maka 

reaksi TA-GVHD tidak terjadi. Namun demikian, pada kondisi ini , sel limfosit dapat 

berproliferasi dan menimbulkan penyakit yang lebih serius.  Sel limfosit donor juga tidak 

dihancurkan di tubuh pasien, jika HLA donor dan pasien memiliki  haplotype yang sama.  

Reaksi TA-GVHD seringkali tidak dikenali dan salah diagnosis dengan reaksi sepsis atau 

reaksi pengobatan. Gejala klinis terjadi 1 – 6 minggu setelah transfusi, yaitu berupa : diare, 

sakit pada bagian perut, mual dan muntah.  Jika organ hati terkena, maka terjadi peningkatan 

konsentrasi bilirubin. Warna kulit kemerahan jika reaksi mempengaruhi kulit. Reaksi yang 

paling fatal terjadi, jika melibatkan sumsum tulang. 


D. PENCEGAHAN REAKSI TRANSFUSI IMUN 

Terapi transfusi darah memiliki  manfaat untuk menyembuhkan pasien bahkan dapat 

menyelamatkan jiwa pasien, akan tetapi, proses transfusi memiliki  resiko atau efek 

samping. Upaya pencegahan-pun dilakukan untuk meminimalisir dan mencegah reaksi 

ini .  

Upaya yang dilakukan untuk pencegahan reaksi transfusi dimulai dari pengambilan 

darah donor, kontrol kualitas komponen darah yang akan diberikan ke pasien sampai dengan 

proses distribusi darah ke pasien. Setiap proses yang dilakukan harus terstandar dengan baik 

dan dikontrol. Sebagai contoh, penentuan dan penulisan jenis golongan darah donor dan 

pasien tidak boleh ada kesalahan, baik pada proses pemeriksaannya, maupun pelaporan dan 

penulisan hasil, karena jika terjadi kesalahan dapat fatal akibatnya. Validasi pemeriksaan dan 

crosscheck terhadap hasil golongan darah ABO pasien dan donor dapat mencegah kesalahan 

penentuan golongan darah donor yang dapat memicu  reaksi transfusi hemolitik akut. 

Reaksi transfusi hemolitik tunda maupun reaksi aloimunisasi dapat dicegah dengan 

melakukan pemeriksaan pre-transfusi yang disertai dengan pemeriksaan khusus skrining dan 

identifikasi Ab sebelum proses transfusi dilakukan. Pemeriksaan ini dilakukan untuk 

mengetahui ada tidaknya allo Ab yang terbentuk karena riwayat paparan dengan Ag sel darah 

merah sebelumnya. Pemeriksaan harus dilakukan pada pasien yang memiliki  riwayat 

transfusi sebelumnya, terlebih pada pasien yang menjalani terapi transfusi rutin, seperti : 

penderita thalasemia. Selain itu, baik dilakukan juga pada pasien yang beresiko terpapar oleh 

Ag sel darah merah lain, yaitu pada pasien yang memiliki  riwayat pernah melahirkan 

beberapa kali (multipara). Pada pencegahan reaksi TRALI yang banyak disebabkan oleh anti-

HNA dapat dilakukan dengan meminimalisir wanita dengan riwayat multipara untuk donor 

plasma.  

Pembuatan dan pengolahan komponen darah untuk transfusi juga memegang peranan 

penting untuk mencegah reaksi transfusi. Reaksi FNHTR,  TRALI, PTP dapat dicegah dengan 

memberikan komponen darah ‘miskin’ lekosit (leukopoor / leukoreduced), yaitu darah yang 

diproses tertentu sehingga lekosit dapat berkurang secara efektif. Proses pengurangan atau 

penyingkiran lekosit dapat dilakukan dengan proses penyaringan menggunakan filter khusus 

yang ada  pada bagian selang kantong darah (

 

Gambar  proses filtrasi lekosit pada sel darah merah 

 

Selain pembuatan komponen darah ‘miskin’ lekosit, cara lainnya untuk menyingkirkan 

lekosit maupun trombosit, dapat dilakukan dengan pembuatan komponen ‘washed 

erythrocyte’ (WE), yaitu sel darah merah yang dibuang bagian plasmanya dan dicuci dengan 

larutan NaCl 0.9%. Komponen WE juga dapat diberikan untuk mencegah reaksi alergi setelah 

transfusi. Pada pasien transfusi dengan indikasi alergi, dapat dilakukan tahapan pencegahan, 

yaitu : penulisan / dokumentasi riwayat alergi sebelumnya, diberikan obat pencegah alergi, 

sebelum transfusi dilakukan dan tranfusi dengan komponen darah yang leukopoor ataupun 

komponen darah dengan pengurangan bagian plasma. Komponen darah miskin plasma , juga 

baik dipakai  untuk mencegah reaksi anafilaktik dan anaphylactoid.  

Pasien dengan indikasi klinis ke arah gangguan sistem imun yang dapat mengalami 

reaksi transfusi TA-GVHD dapat diberikan komponen darah yang diberi perlakuan radiasi sinar 

gamma.  

Proses penyimpanan komponen darah juga memberikan efek terhadap reaksi transfusi 

darah. Hal ini berkaitan dengan proses metabolisme darah selama proses penyimpanan. 

Tempat penyimpanan harus disesuaikan dengan suhu, kapasitas penampungan, supaya 

mencegah atau meminimalisir kerusakan komponen darah dan teraktivasinya berbagai 

substan sel darah selama penyimpanan.   Penggunaan komponen darah PRC dengan masa 

simpan < 14 hari dan trombosit < 2 hari dapat mengurangi efek aktivitas Ab, protein dan unsur 

biologis lainnya yang ada  di dalam plasma. 

Dokumentasi terhadap reaksi transfusi baik dipakai  untuk mencegah reaksi transfusi 

pada pasien dengan kondisi khusus, yaitu : alergi pada protein plasma, reaksi aloimunisasi, 

dan sebagainya. Dokumentasi ini  dapat dipakai  untuk rekomendasi terhadap 

pemeriksaan pre-transfusi khusus seperti pemeriksaan skirining dan identifikasi Ab pada 

reaksi aloimunisasi, pemeriksaan terhadap Ab HLA untuk mencegah reaksi PTP atau 

pemberian komponen darah khusus, seperti komponen darah yang diberikan sinar radiasi 

untuk mencegah reaksi TA-GVHD. Pengetahuan dan latihan untuk mengenali gejala klinis 

terhadap reaksi transfusi juga dapat dipakai  untuk mencegah kemungkinan reaksi transfusi 

pada pasien. 


Topik 2 

Reaksi Transfusi Non Imun 

 

A. KONSEP DASAR 

Reaksi transfusi non imun yang dimaksud di sini adalah reaksi yang tidak melibatkan 

sistem imun (reaksi Ag dan Ab) secara langsung. Reaksi transfusi non imun lebih banyak 

disebabkan oleh efek pemberian komponen darah yang berpengaruh terhadap metabolisme 

tubuh, seperti penumpukan zat besi (Fe) di dalam tubuh pasien, maupun efek karena 

penyimpanan komponen darah yang menghasilkan berbagai macam substan yang 

mempengaruhi metabolisme tubuh. Berdasarkan waktu munculnya gejala klinis pada pasien, 

reaksi transfusi non imun dapat bersifat akut maupun tunda. Reaksi transfusi  non imun yang 

bersifat akut termasuk kontaminasi bakteri, oversirkulasi darah, dan reaksi fisik serta kimia 

terkait penyimpanan komponen darah. Reaksi non imun yang bersifat tunda , yaitu adanya 

infeksi menular lewat transfusi darah seperti infeksi virus dan parasit (akan dibahas tersendiri 

di bab 5) serta akumulasi Fe di dalam darah.   

 

B. REAKSI TRANSFUSI NON IMUN AKUT 

B.1 Sepsis karena kontaminasi bakteri di dalam kantong darah 

Sepsis merupakan reaksi tubuh terhadap infeksi yang cukup berat, jika tidak tertangani 

dengan baik, maka dapat terjadi kerusakan organ. Kontaminasi bakteri merupakan penyebab 

utama terjadinya infeksi pada pasien paska transfusi. Berdasarkan beberapa studi, diketahui 

bahwa resiko kontaminasi bakteri pada komponen darah lebih besar dibandingkan infeksi 

menular lewat transfusi darah, seperti : HIV, hepatitis C (HCV), hepatitis B (HBV). Jenis 

komponen darah yang sering terkontaminasi bakteri adalah komponen trombosit. 

Kontaminasi biasanya  berasal dari bakteri kontaminan yang berasal dari kulit lengan 

donor pada saat pengambilan darah. Proses antisepsis kulit donor yang kurang baik 

memicu  bakteri yang normal ada  di kulit donor dapat ikut bersama dengan aliran 

darah ke dalam kantong darah.  

Proses pengolahan komponen darah, juga rentan terhadap kontaminasi bakteri dalam 

kantong darah donor. Pembuatan komponen darah yang tidak aseptik memungkinkan bakteri 

dapat tumbuh dan memperbanyak diri di dalam kantong komponen darah. Pada pembuatan 

komponen wash erythrocyte (WE) kemungkinan darah di dalam kantong dapat kontak dengan 

udara luar dan memperbesar resiko kontaminasi bakteri. Oleh karena itu, masa simpan 

komponen darah ini pendek.  

Kontaminasi juga bisa terjadi pada proses penyimpanan komponen darah. Seperti 

diketahui, komponen darah untuk transfusi disimpan dalam kisaran suhu yang beragam, 

sebagai contoh : komponen trombosit yang disimpan pada suhu 22±20 C. Kondisi ini  

memungkinkan bakteri dapat tumbuh dan memperbanyak diri. Selain itu, jenis kantong 

komponen trombosit yang berpori, dapat meningkatkan kemungkinan kontaminasi bakteri 

dari lingkungan sekitar. Oleh karena itu, masa penyimpanan trombosit maksimal adalah lima 

hari. Selain itu, jika komponen darah yang disimpan pada suhu dingin, kemudian ditaruh di 

suhu ruang lebih dari 30 menit, maka dapat meningkatkan reaksi kontaminasi bakteri.   

Komponen sel darah merah juga dapat terkontaminasi oleh bakteri yang berasal dari 

donor, akan tetapi tidak menimbulkan gejala klinis pada donor, sehingga tidak terdeteksi pada 

saat seleksi donor. Sebagai contoh, bakteri Yersinia enterolitica yang tidak terlalu 

menampakkan gejala klinis, yaitu donor hanya menderita diare ringan. Yersinia enterolitica, 

diketahui juga dapat memproduksi toksin pada suhu rendah.  

Beberapa jenis bakteri dapat tumbuh dan berkembang pada suhu dingin, sehingga 

memungkinkan komponen sel darah merah, dengan suhu simpan 4±2O C dapat 

terkontaminasi bakteri. Jenis bakteri yang dapat mengontaminasi yaitu : Bakteri batang Gram 

negatif (Yersinia enterocolitica, E.coli, Enterobacter/Pantoea sp, Serratia marcescens dan 

S.liquifaciens, Pseudomonas sp) dan bakteri kokus Gram positif (Staph. Epidermidis, 

Propionibacteria,  Staph aureus).  Kontaminasi bakteri juga dapat mencetus sel lekosit yang 

ada di dalam kantong darah untuk memproduksi sitokin yang dapat memicu efek demam pada 

pasien. 

Gejala klinis pasien yang diakibatkan karena kontaminasi bakteri, yaitu : demam 

(kenaikan suhu dapat > 20 C), menggigil, mual, muntah, hipotensi dan dapat terjadi shock. 

Gejala ini dapat terjadi beberapa menit pada saat transfusi. Jika reaksi sepsis terjadi pada 

pasien  transfusi, dengan gejala kenaikan suhu tubuh > 20 C dan hipotensi, maka komponen 

darah yang ditransfusikan perlu diperiksa dengan pewarnaan Gram dan kultur bakteri. Sampel 

pasien setelah transfusi juga dikultur, untuk mengetahui kesamaan dari jenis bakteri yang 

ada  pada masing-masing sampel. 

 

 


  

B.2. Efek transfusi terhadap komponen darah simpan      

Komponen darah yang disimpan dalam jangka waktu tertentu, akan memberikan reaksi 

transfusi terhadap pasien. Faktor fisik sel darah maupun faktor kimia dari komponen darah 

dapat mempengaruhi kualitas komponen darah simpan. Faktor fisik diantaranya adalah : 

kerusakan sel darah terutama sel darah merah (hemolisis) pada proses pengolahan komponen 

darah dan penyimpanan. Faktor kimia terkait dengan unsur kimia yang teraktivasi pada proses 

pengolahan maupun komponen darah, sebagai contoh, kalium yang keluar dari dalam sel 

darah ke plasma selama proses penyimpanan darah.  

 Selama penyimpanan komponen darah, perubahan-perubahan metabolik terjadi baik 

di dalam sel darah maupun di plasma. Perubahan yang terjadi dapat mempengaruhi efek 

terapi dan pengobatan yang diberikan. Pada proses penyimpanan komponen darah tidak ada 

keseimbangan antara produksi dan destruksi, sintesis dan pemecahan protein, hanya ada 

destruksi tanpa ada produksi s

bank darah 3

penanda harus dihilangkan agar tidak dipakai untuk penggunaan klinis atau manufaktur. 
7) Semua unit reaktif harus ditandai jelas (dilabel) dan dihilangkan dari stok karantina dan 
disimpan secara terpisah dengan aman sampai unit dibuang atau disimpan untuk tujuan 
jaminan kualitas atau penelitian sesuai dengan kebijakan nasional. 
Pengujian konfirmasi darah yang reaktif harus dilakukan untuk pemberitahuan donor, 
konseling dan rujukan untuk pengobatan, penangguhan atau recall untuk sumbangan masa 
depan, dan melihat kembali donasi.  
Alat tes yang paling umum dipakai  dirancang untuk mendeteksi antibodi, antigen 
atau asam nukleat dari agen infeksi. Namun, tidak semua tes cocok dalam segala situasi dan 
setiap pemeriksaan memiliki keterbatasan yang perlu dipahami dan dipertimbangkan ketika 
memilih pemeriksaan ini . 
Jenis utama dari uji yang dipakai  untuk skrining darah adalah: 
1) Immunoassays (IAS): 
- Enzim immunoassay (EIAs) 
- Chemiluminescent immunoassays (CLIAs) 
- Hemaglutinasi (HA) / Tes partikel aglutinasi (PA)  
- Tes cepat / sederhana sekali pakai (Rapid Test) 
2) Tes teknologi amplifikasi asam nukleat (NAT). 
   
  
 
Dalam konteks skrining darah, evaluasi yang tepat diperlukan dalam memilih jenis tes 
untuk setiap infeksi menular lewat transfusi darah, berdasarkan pentingnya karakteristik 
pemeriksaan, seperti sensitivitas dan spesifisitas, serta biaya dan kemudahan penggunaan. 
--  Immunoassays (IAS) 
Immunoassays adalah sistem uji yang tersedia dalam beberapa format yang dapat 
dipakai  untuk mendeteksi antibodi, antigen atau kombinasi dari keduanya. Umumnya, tes 
yang paling sederhana untuk deteksi antibodi didasarkan pada penggunaan antigen amobil 
(fase diam) yang menangkap setiap antibodi spesifik yang ada dalam sampel uji (IA tidak 
langsung/indirect). Umumnya tes deteksi antigen dipakai  didasarkan pada penggunaan 
antibodi bergerak ke menangkap antigen patogen spesifik hadir dalam sampel. 
Immunoassays dapat dipakai  dalam situasi yang berbeda dari laboratorium dengan 
otomatisasi penuh  atau untuk laboratorium menengah dengan semi-otomasi, dan juga 
laboratorium kecil, seperti di daerah-daerah terpencil yang melakukan sejumlah tes secara 
manual. 
2.3.2 Enzim immunoassay (EIAs) dan Immunoassays Chemiluminescent (CLIAs) 
Enzim immunoassay (EIAs) dan Immunoassays Chemiluminescent (CLIAs) adalah tes 
yang paling umum dipakai  untuk skrining IMLTD darah donor . Desain EIAs dan CLIAs mirip 
dan mereka hanya berbeda dalam cara deteksi kompleks imun dalam pembentukan 
kompleks warna dalam EIAs  dan pengukuran cahaya yang dihasilkan oleh reaksi bahan kimia 
di CLIAs. Salah satu jenis dari pemeriksaan imunoserologi (Immunoassay/IA) dengan 
sensitivitas tinggi, pada biasanya  diperlukan mendeteksi penanda target infeksi dan harus  
dievaluasi dengan benar untuk skrining darah serta menjaga kualitas mutu hasil pemeriksaan. 
EIAs dan CLIAs cocok untuk jumlah besar sampel dan membutuhkan berbagai peralatan 
khusus. Tes ini dapat dilakukan baik non manual atau sistem pengolahan uji otomatis (sistem 
terbuka) dan sistem otomatis (sistem tertutup). EIAs dan CLIAs memiliki fase padat yang 
berbeda untuk menangkap  antigen atau antibodi. Paling umum, fase padat yang dipakai  
adalah: 
1) Dasar dan sisi dari microwell polystyrene 
2) Permukaan polystyrene atau bahan lainnya 
3) Micro-partikel 
4) Permukaan perangkat pakai tertentu yang dipakai  dalam sistem otomatis biasanya 
polystyrene 
5) Strips dari nilon atau membran nitro-selulosa, khusus dipakai  di Western Blot dan line 
assay. 

Gambar Prinsip Kerja CLIA 
 
Pada gambar  prinsip kerja CLIA  ke dalam well dimasukkan antibodi yang dicoated 
dengan partikel magnetic, kemudian ditambahkan sampel yang mengandung target antigen 
dan ditambahkan juga antibodi yang dilabel ALP. Inkubasi untuk terjadi reaksi imulogi. 
Kemudian dipisahkan komponen yang tidak dibutuhkan dengan teknologi magnetisasi dan 
kemudian ditambahkan substrat akridium ester yang mengakibatkan reaksi enzimatis dan 
kemudian pendaran di deteksi dengan luminometer dengan panjang gelombang 461 nm.  
 
Gambar. Prinsip Kerja ELISA/EIA 
menunjukkan ke dalam well dilekatkan (coated) antibodi spesifik, kemudian 
ditambahkan sampel yang mengandung target antigen dan dilakukan pencucian untuk 
menghilangkan analit yang tidak bereaksi. Ditambahkan juga antibodi kedua yang dilabel 
enzim dan kemudian ditambahkan substrat dan stop solution, maka akan terjadi perubahan 
   
  
 
warna. Perubahan warna yang terbentuk diukur dengan fotometer dengan panjang 
gelombang tertentu. Hasil reaktif jika nilai absorban > dari nilai cut off. 
Berikut ini adalah perbedaan EIA dan CLIA berdasarkan tabel 18 di bawah ini. 
Tabel  17. Perbedaan EIA dan CLIA 
Perbedaan  EIA CLIA 
Pembawa 
antigen/antibodi 
Berupa permukaan well Mikropartikel 
Substrat yang dipakai  Enzim (TMB) Zat kimia (akridium ester) 
Reaksi Tergantung suhu dan pH stabil 
Deteksi hasil reaksi fotometer luminometer 
Target molekul yang 
ditangkap 
Lebih sedikit sesuai 
permukaan well 
Lebih banyak, permukaan 
pembawa antibodi/antigen 
lebih luas dan berbentuk bulat  
Sumber cahaya Panjang gelombang 
tertentu 
stabil 
 
2.3.3 Tes aglutinasi partikel  
Tes aglutinasi partikel mendeteksi keberadaan antibodi spesifik atau antigen di sampel 
uji melalui aglutinasi partikel dilapisi dengan komplemen antigen tertentu atau antibodi 
masing-masing. Tes aglutinasi, terutama tes antibodi menggunakan berbagai partikel 
termasuk sel darah merah (haemagglutination) dan partikel inert seperti gelatin dan lateks. 
Penggunaan partikel ini memiliki keuntungan mengurangi reaktivitas non-spesifik terhadap 
reaksi silang antigen sel darah merah. Prinsip-prinsip dasar haemagglutination dan tes 
partikel aglutinasi adalah sama, terlepas dari jenis partikel bebas. Tes  aglutinasi partikel 
masih dipakai  secara luas untuk mendeteksi antibodi sifilis. aglutinasi partikel tidak 
melibatkan beberapa langkah atau pencucian peralatan.  

Gambar Prinsip Tes Partikel Aglutinasi 
Pada gambar 5.3 menunjukkan antibodi spesifik dilapisi dengan partikel lateks, kemudian 
ditambahkan serum atau plasma yang mengandung antigen maka akan terbentuk aglutinasi 
yang dapat diamati langsung dengan bantuan partikel lateks ini . Hasil reaktif jika terjadi 
aglutinasi. 
 
2.3.4 Rapid Test 
Rapid Test dipakai  sekali dan dibuang. Banyak tes cepat didasarkan pada bentuk 
imunokromatografi dimana sampel ditambahkan mengalir turun strip inert dan bereaksi 
dengan sebelumnya reagen dengan fase gerak. Sampel bisa serum, plasma atau bahkan darah 
lengkap dalam beberapa kasus. Reaksi positif divisualisasikan sebagai titik atau garis / band 
yang muncul di strip. Sebagian besar tes juga mengharuskan timbulnya garis / band pada 
daerah kontrol yang dipakai  untuk memvalidasi hasil masing-masing perangkat. 
   
 
Gambar . Prinsip Kerja Rapid Test 
Gambar  menggambarkan antibodi spesifik yang dicoated konjugat emas dilapiskan 
pada membran selulosa, kemudian ditambahkan serum atau plasma yang mengandung 
antigen maka akan terjadi ikatan antigen-antibodi+konjugat emas yang akan bergerak ke 
daerah tes yang telah dilekatkan antibody spesifik kedua dan akan terbentu warna di bagian 
test. Sisa antibodi spesifik yang dicoated konjugat emas akan terus bererak ke bagian kontrol 
dan akan ditangkap oleh anti IgG sehingga terbentuk pita di bagian Kontrol. 
  
Di bawah ini pada tabel 5.2 menjelaskan perbedaan EIA dan Rapid Tes, yaitu  
Tabel 5.2. Perbedaan EIA dan Rapid Test 
Perbedaan EIA Rapid Tes 
Penggunaan Lebih banyak langkah Mudah 
Waktu Lama Cepat 
Spesifisitas Bisa terjadi false positif Lebih tinggi dari EIA 
Sensitivitas Tinggi Lebih rendah dari EIA 
Cara deteksi Menggunakan fotometer Pengamatan langsung 
 
--  Tes Teknologi Amplifikasi Asam Nukleat 
Teknologi amplifikasi asam nukleat (NAT), seperti yang diterapkan untuk skrining darah, 
mendeteksi keberadaan asam nukleat virus berbentuk DNA atau RNA dalam darah donor. 
Dalam teknologi ini, segmen RNA / DNA spesifik virus ditargetkan dan diperkuat secara in-
vitro. Langkah amplifikasi memungkinkan dapat mendeteksi titer virus yang rendah dalam 
sampel asli dengan meningkatkan jumlah yang target yang hadir spesifik untuk titer yang 
mudah dideteksi. Kehadiran asam nukleat spesifik menunjukkan kehadiran virus itu sendiri 
dan bahwa sumbangan ini  mungkin menular. 
 
Pada gambar menunjukkan pada prinsip kerja NAT RNA atau DNA virus di amplifikasi 
dengan bantuan enzim reverse trankriptase untuk mendapatkan DNA virus atau agen infeksi 
murni. Tes NAT baik dapat dilakukan pada donor pasien (ID) atau mini-pool (MP) untuk 
mendeteksi asam nukleat dari agen infeksi. Selain tes NAT yang menargetkan asam nukleat 
virus, multipleks tes skrining NAT yang dikembangkan dapat mendeteksi DNA atau RNA dari 
beberapa virus secara bersamaan. 
 
 

  
Topik 1 
HEPATITIS B 
 
A. STRUKTUR DAN MORFOLOGI  
Hepatitis B merupakan suatu penyakit hati yang disebabkan oleh virus Hepatitis B, yaitu 
salah satu virus termasuk anggota famili hepadnavirus yang dapat memicu  peradangan 
hati akut atau kronis yang dapat berlanjut menjadi sirosis hati atau kanker hati. Hepatitis B 
akut jika perjalanan penyakit kurang dari 6 bulan sedangkan Hepatitis B kronis bila penyakit 
menetap, tidak menyembuh secara klinis atau laboratorium atau pada gambaran patologi 
anatomi selama 6 bulan. 
 
Gambar  Struktur virus Hepatitis B  
Virus Hepatitis B (VHB) adalah virus (Deoxyribo Nucleic Acid) DNA terkecil berasal dari 
genus Orthohepadnavirus famili Hepadnaviridae berdiameter 40-42 nm. Masa inkubasi 
berkisar antara 15-180 hari dengan rata-rata inkubasi 60-90 hari. Bagian luar dari virus ini 
adalah protein envelope lipoprotein, sedangkan bagian dalam berupa nukleokapsid atau core. 
Genom virus hepatitis B merupakan molekul DNA sirkular untai-ganda parsial dengan 3200 
nukleotida . Genom berbentuk sirkuler dan memiliki empat Open Reading Frame (ORF) yang 
saling tumpang tindih secara parsial protein envelope yang dikenal sebagai selubung HBsAg 
seperti large HBs (LHBs), medium HBs (MHBs), dan small HBs (SHBs) disebut gen S, yang 
merupakan target utama respon imun host, dengan lokasi utama pada asam amino 100-160. 
HBsAg dapat mengandung satu dari sejumlah subtipe antigen spesifik, disebut d atau y, w atau 
r. Subtipe HbsAg ini menyediakan penanda epidemiologik tambahan. Gen C yang mengkode 
protein inti (HBcAg) dan HBeAg, gen P yang mengkode enzim polimerase yang dipakai  
untuk replikasi virus, dan terakhir gen X yang mengkode protein X (HBx), yang memodulasi 
sinyal sel host secara langsung dan tidak langsung mempengaruhi ekspresi gen virus ataupun 
host, dan belakangan ini diketahui berkaitan dengan terjadinya kanker hati. 
   
 
Gambar . Genom virus Hepatitis B  
Infeksi VHB merupakan penyebab utama hepatitis akut, hepatitis kronis, sirosis, dan 
kanker hati di dunia. Infeksi ini endemis di daerah Timur Jauh, sebagian besar kepulaan Pasifik, 
banyak negara di Afrika, sebagian Timur Tengah, dan di lembah Amazon. Center for Disease 
Control and Prevention (CDC) memperkirakan bahwa sejumlah 200.000 hingga 300.000 orang 
(terutama dewasa muda) terinfeksi oleh VHB setiap tahunnya. Hanya 25% dari mereka yang 
mengalami ikterus, 10.000 kasus memerlukan perawatan di rumah sakit, dan sekitar 1-2% 
meninggal. 
Sepertiga penduduk dunia diperkirakan telah terinfeksi oleh VHB dan sekitar 400 juta 
orang merupakan pengidap kronik Hepatitis B, sedangkan prevalensi di Indonesia dilaporkan 
berkisar antara 3-17%. Virus Hepatitis B diperkirakan telah menginfeksi lebih dari 2 milyar 
orang yang hidup saat ini selama kehidupan mereka. Tujuh puluh lima persen dari semua 
pembawa kronis hidup di Asia dan pesisir Pasifik Barat. Prevalensi pengidap VHB tertinggi ada 
di Afrika dan Asia. Hasil Riset Kesehatan Dasar tahun 2007 menunjukkan bahwa Hepatitis klinis 
terdeteksi di seluruh provinsi di Indonesia dengan prevalensi sebesar 0,6% (rentang: 0,2%-
1,9%). Hasil Riskesdas Biomedis tahun 2007 dengan jumlah sampel 10.391 orang 
menunjukkan bahwa persentase HBsAg positif 9,4%. Persentase Hepatitis B tertinggi pada 
kelompok umur 45- 49 tahun (11,92%), umur >60 tahun (10.57%) dan umur 10-14 tahun 
(10,02%), selanjutnya HBsAg positif pada kelompok laki-laki dan perempuan hampir sama 
(9,7% dan 9,3%). Hal ini menunjukkan bahwa 1 dari 10 penduduk Indonesia telah terinfeksi 
virus Hepatitis B. 
B. CARA PENULARAN 
Penularan virus hepatitis B (VHB) adalah melalui parenteral dan menembus membran 
mukosa, terutama berhubungan seksual. Penanda HBsAg telah diidentifikasi pada hampir 
setiap cairan tubuh dari orang yang terinfeksi yaitu saliva, air mata, cairan seminal, cairan 
serebrospinal, asites, dan air susu ibu. Beberapa cairan tubuh ini (terutama semen dan saliva) 
telah diketahui infeksius dan dapat menularkan virus VHB. 
Jalur penularan infeksi VHB yang terbanyak di Indonesia adalah secara parenteral yaitu 
secara vertikal (transmisi) mateRNAl-neonatal atau horisontal (kontak antar pasien yang 
sangat erat dan lama, seksual, infeksi nosokomial akibat prosedur diagnostik (iatrogenik), 
penggunaan jarum suntik bersama). Virus Hepatitis B dapat dideteksi pada semua sekret dan 
cairan tubuh manusia, dengan konsentrasi tertinggi pada serum. 
Infeksi VHB berlangsung dalam dua fase. Selama fase proliferatif, DNA VHB ada  
dalam bentuk episomal, dengan pembentukan virion lengkap dan semua antigen terkait. 
Ekspresi gen HBsAg dan HBcAg di permukaan sel disertai dengan molekul MHC kelas I 
memicu  pengaktifan limfosit T sitotoksik (CD8+). Selama fase integratif, DNA virus 
meyatu kedalam genom pejamu. Seiring dengan berhentinya replikasi virus dan munculnya 
antibodi virus, infektivitas berhenti dan kerusakan hati mereda. Namun risiko terjadinya 
karsinoma hepatoselular menetap. Hal ini sebagian disebabkan oleh disregulasi pertumbuhan 
yang diperantarai protein X VHB. Kerusakan hepatosit terjadi akibat kerusakan sel yang 
terinfeksi virus oleh sel sitotoksik (CD8+). 
 
Gambar . Patogenesis imun pada virus hepatitis B 
 
Proses replikasi VHB berlangsung cepat, sekitar 1010-1012 virion dihasilkan setiap hari. 
Siklus hidup VHB dimulai dengan menempelnya virion pada reseptor di permukaan sel hati 
   
  
 
). Setelah terjadi fusi membran, partikel core kemudian ditransfer ke sitosol dan 
selanjutnya dilepaskan ke dalam nucleus (genom release), selanjutnya DNA VHB yang masuk 
ke dalam nukleus mula-mula berupa untai DNA yang tidak sama panjang yang kemudian akan 
terjadi proses DNA repair berupa memanjangnya rantai DNA yang pendek sehingga menjadi 
dua untai DNA yang sama panjang atau covalently closed circle DNA (cccDNA). 
 
Gambar  Siklus replikasi virus hepatitis B (
 
Proses selanjutnya adalah transkripsi cccDNA menjadi pre-genom RNA dan beberapa 
messenger RNA (mRNA) yaitu mRNA, LHBs, MHBs, dan mRNA SHBs. Semua RNA VHB 
kemudian ditransfer ke sitoplasma dimana proses translasi menghasilkan protein envelope, 
core, polimerase, polipeptida X dan pre-C, sedangkan translasi mRNA LHBs, MHBs, dan mRNA 
SHBs akan menghasilkan protein LHBs, MHBs, dan SHBs. Proses selanjutnya adalah 
pembuatan nukleokapsid di sitosol yang melibatkan proses encapsidation yaitu 
penggabungan molekul RNA ke dalam HBsAg. Proses reverse transcription dimulai, DNA virus 
dibentuk kembali dari molekul RNA. Beberapa core yang mengandung genom matang 
ditransfer kembali ke nukleus yang dapat dikonversi kembali menjadi cccDNA untuk 
mempertahankan cadangan template transkripsi intranukleus. Akan tetapi, sebagian dari 
protein core ini bergabung ke kompleks golgi yang membawa protein envelope virus. Protein 
core memperoleh envelope lipoprotein yang mengandung antigen surface L, M, dan S, yang 
selanjutnya ditransfer ke luar sel. 
Sel hati manusia merupakan target organ bagi virus Hepatitis B. Virus Hepatitis B mula-
mula melekat pada reseptor spesifik di membran sel hepar kemudian mengalami penetrasi ke 
dalam sitoplasma sel hepar. Virus melepaskan mantelnya di sitoplasma, sehingga melepaskan 
nukleokapsid. Selanjutnya nukleokapsid akan menembus sel dinding hati. Asam nukleat VHB 
akan keluar dari nukleokapsid dan akan menempel pada DNA hospes dan berintegrasi pada 
DNA ini . Proses selanjutnya adalah 17 DNA VHB memerintahkan sel hati untuk 
membentuk protein bagi virus baru.  Virus Hepatitis B dilepaskan ke peredaran darah, terjadi 
mekanisme kerusakan hati yang kronis disebabkan karena respon imunologik penderita 
terhadap infeksi. 
Proses replikasi virus tidak secara langsung bersifat toksik terhadap sel, terbukti banyak 
carrier VHB asimtomatik dan hanya memicu  kerusakan hati ringan. Respon imun host 
terhadap antigen virus merupakan faktor penting terhadap kerusakan hepatoseluler dan 
proses klirens virus, makin lengkap respon imun, makin besar klirens virus dan semakin berat 
kerusakan sel hati. Respon imun host dimediasi oleh respon seluler terhadap epitop protein 
VHB, terutama HBsAg yang ditransfer ke permukaan sel hati. Human Leukocyte Antigen (HLA) 
class I-restricted CD8+ cell yang mengenali fragmen peptida VHB setelah mengalami proses 
intrasel dan dipresentasikan ke permukaan sel hati oleh molekul Major Histocompability 
Complex (MHC) kelas I. Proses berakhir dengan penghancuran sel secara langsung oleh 
Limfosit T sitotoksik (CD8+). 
 
C. GEJALA KLINIS 
Manifestasi klinis infeksi VHB pada pasien hepatitis akut cenderung ringan. Hepatitis B 
sulit dikenali karena gejala-gejalanya tidak langsung terasa dan bahkan ada yang sama sekali 
tidak muncul. sebab  itulah, banyak orang yang tidak menyadari bahwa dirinya telah 
terinfeksi. Virus ini biasanya berkembang selama 1-5 bulan sejak terjadi pajanan terhadap 
virus sampai kemunculan gejala pertama.  Kondisi asimtomatis ini terbukti dari tingginya 
angka pengidap tanpa adanya riwayat hepatitis akut. Apabila menimbulkan gejala hepatitis, 
gejalanya menyerupai hepatitis virus yang lain tetapi dengan intensitas yang lebih berat. 
Beberapa gejala umum hepatitis B antara lain  :  
− Kehilangan nafsu makan. 
− Mual dan muntah. 
− Nyeri di perut bagian bawah. 
− Sakit kuning (dilihat dari kulit dan bagian putih mata yang menguning). 
   
  
 
− Gejala yang mirip pilek, misalnya lelah, nyeri pada tubuh, dan sakit kepala. 
Gejala hepatitis akut terbagi dalam 4 tahap, yaitu: 
1) Fase Inkubasi 
Merupakan waktu antara masuknya virus dan timbulnya gejala atau ikterus. Fase inkubasi 
Hepatitis B berkisar antara 15-180 hari dengan rata-rata INKUBASI 60-90 hari. 
2) Fase prodromal (pra ikterik) 
Fase diantara timbulnya keluhan-keluhan pertama dan timbulnya gejala ikterus. 
Awitannya singkat atau insidous ditandai dengan malaise umum, mialgia, artalgia, mudah 
lelah, gejala saluran napas atas dan anoreksia. Diare atau konstipasi dapat terjadi. Nyeri 
abdomen biasanya ringan dan menetap di kuadran kanan atas atau epigastrum, kadang 
diperberat dengan aktivitas akan tetapi jarang menimbulkan kolestitis. 
3) Fase ikterus 
Ikterus muncul setelah 5-10 hari, tetapi dapat juga muncul bersamaan dengan munculnya 
gejala. Banyak kasus pada fase ikterus tidak terdeteksi. Setelah timbul ikterus jarang 
terjadi perburukan gejala prodromal, tetapi justru akan terjadi perbaikan klinis yang 
nyata. 
4) Fase konvalesen (penyembuhan) 
Diawali dengan menghilangnya ikterus dan keluhan lain, tetapi hepatomegali dan 
abnormalitas fungsi hati tetap ada. Muncul perasaan sudah lebih sehat dan kembalinya 
nafsu makan. Sekitar 5-10% kasus perjalanan klinisnya mungkin lebih sulit ditangani, 
hanya <1% yang menjadi fulminan ,
Hepatitis B kronis didefinisikan sebagai peradangan hati yang berlanjut lebih dari enam 
bulan sejak timbul keluhan dan gejala penyakit. Perjalanan hepatitis B kronik dibagi menjadi 
tiga fase penting yaitu : 
1) Fase Imunotoleransi 
Sistem imun tubuh toleren terhadap VHB sehingga konsentrasi virus tinggi dalam darah, 
tetapi tidak terjadi peradangan hati yang berarti. Virus Hepatitis B berada dalam fase 
replikatif dengan titer HBsAg yang sangat tinggi. 
2) Fase Imunoaktif (Clearance) 
Sekitar 30% pasien persisten dengan VHB akibat terjadinya replikasi virus yang 
berkepanjangan, terjadi proses nekroinflamasi yang tampak dari kenaikan konsentrasi 
ALT. Fase clearance menandakan pasien sudah mulai kehilangan toleransi imun terhadap 
VHB. 
3) Fase Residual 
Tubuh berusaha menghancurkan virus dan menimbulkan pecahnya sel-sel hati yang 
terinfeksi VHB. Sekitar 70% dari pasien ini  akhirnya dapat menghilangkan sebagian 
besar partikel virus tanpa ada kerusakan sel hati yang berarti. Fase residual ditandai 
dengan titer HBsAg rendah, HBeAg yang menjadi negatif dan anti-HBe yang menjadi 
positif, serta konsentrasi ALT normal. 
 
D. METODE PEMERIKSAAN 
Virus Hepatitis B ada  dalam aliran darah dengan titer virus itu sendiri bervariasi. 
Dalam orang yang baru terinfeksi, DNA virus biasanya terdeteksi meskipun tidak selalu pada 
titer tinggi. Pada pasien kronis, bila ditemukan DNA virus hepatitis B maka darah donor 
ini  infeksius atau jika tidak ditemukan DNA virus dan viremia dengan titer sangat rendah 
atau tidak ada sama sekali, maka darah donor ini  tidak infeksius.  
Skrining untuk antigen permukaan hepatitis B (HBsAg) menunjukkan infeksi dengan 
VHB, tetapi tidak dengan sendirinya membedakan antara infeksi baru dan kronis. Perbedaan 
antara infeksi akut dan kronis tidak relevan dengan penyaringan darah, semua sumbangan 
HBsAg positif harus dianggap berisiko tinggi transmisi VHB dan tidak akan dikeluarkan untuk 
transfusi. Beberapa penelitian menunjukkan ketika HBsAg negatif pada beberapa pasien 
dengan titer DNA virus rendah yang terdeteksi oleh Nucleic Acid Test (NAT), maka darah 
ini  dapat memicu  infeksi pada resipien / penerima. Infeksi kemudian memiliki 
probabilitas yang lebih tinggi untuk maju ke sirosis dan karsinoma hepatoseluler. 
Serologi virus hepatitis B adalah kompleks. Sejumlah tanda serologi yang berbeda 
mengembangkan selama infeksi, termasuk antigen permukaan hepatitis B (HBsAg) dan 
antibodi hepatitis B inti (anti-HBc).  Metode yang dipakai  untuk mengidentifikasi 
keberadaan VHB menggunakan target skrining berikut: 
--  Metode serologis: 
− Antigen permukaan Hepatitis B (HBsAg) : 3 minggu setelah infeksi.  
− Hepatitis B inti (Hbc) antibodi ( anti-HBs dengan titer ≥ 100 mIU/mL, maka dianggap 
aman) 

--  Asam nukleat virus: HBV DNA. 
Untuk meminimalkan risiko infeksi penularan virus hepatitis B melalui transfusi, maka 
direkomendasikan oleh WHO sebagai berikut : 
1) Skrining harus dilakukan dengan menggunakan sangat sensitif dan spesifik yaitu HBsAg 
immunoassay (EIA / CLIA). 
2) Skrining menggunakan HBsAg rapid test yang sangat sensitif dan spesifik atau 
pemeriksaan partikel aglutinasi dapat dilakukan di laboratorium yang kecil, di daerah 
terpencil atau dalam situasi darurat. 
3) Skrining untuk anti-HBc tidak dianjurkan sebagai rutinitas. Negara harus menentukan 
kebutuhan untuk skrining anti-HBc berdasarkan prevalensi dan kejadian infeksi HBV. 
4) Skrining untuk ALT tidak dianjurkan. 
 
 Pemeriksaaan HBsAg metode rapid Test 
Prinsip pemeriksaan :  
HBsAg  dalam sampel akan berikatan dengan anti-HBs colloidal 
gold konjugat membentuk komplek yang akan bergerak melalui membran area tes 
yang telah dilapisi oleh anti-HBsAg. Kemudian terjadi reaksi  membentuk garis berwarna 
merah muda keunguan  yang menunjukkan hasil positif pada area tes. Apabila dalam 
sampel tidak ada  HBsAg maka tidak akan menimbulkan garis merah pada area tes. 
Kelebihan anti-HBs colloidal gold konjugat akan terus bergerak menuju area kontrol (C) 
yang telah dilapisi anti IgG tikus dari serum kambing (anti-mouse IgG antibody), sehingga 
berikatan dan membentuk garis merah pada area kontrol yang menunjukkan hasil 
pemeriksaan valid. 
 
Cara kerja :  
1) Disiapkan alat dan bahan yang akan dipakai . 
2) Dilakukan pengambilan sampel. 
3) Dimasukan darah kedalam tabung reaksi, diamkan selama 30 menit, kemudian di 
sentrifus selama 15 menit dengan kecepatan 3000 rpm. 
4) Serum/plasma terbentuk kemudian dipindahkan ke tabung kosong lainnya 
5) Celupkan reagen strip kedalam tabung yg telah di isi sampel tadi sampai tanda batas 
pada strip,biarkan selama 15 menit. 
6) Pengamatan hasil tidak boleh dibaca lebih dari 20 menit. 
 interpretasi Hasil : 
− Positif (+) 
Selain timbul garis merah pada daerah control (C), akan muncul 1 (satu) garis merah 
yang nyata di daerah test (T), hasil positif menyatakan adanya HBsAg. 
− Negatif (-) 
Timbul 1 (satu) garis merah pada bagian kontrol (C), dan tidak ada garis merah di 
daerah test (T). 
− Invalid 
Sama sekali tidak muncul warna merah baik pada daerah test (T), maupun kontrol 
(C), merupakan adanya indikasi adanya kesalahan prosedur atau reagen test yang 
rusak. 
 


 Pemeriksaaan HBsAg metode ELISA / CHLIA 
 
Gambar  Prinsip Pemeriksaan HBsAg Metode ELISA 
Prinsip pemeriksaan :  Antibodi  ganda “sandwich” imunosai   yang  menggunakan  
antibodi anti-HBsAg spesifik: antibodi monklonal HBsAg yang berada di dasar sumur 
mikrotiter dan antibodi poliklonal HBsAg ditambahkan dengan Horseradish Peroxidase 
(HRP) sebagai larutan konjugat. Selama pemeriksaan, adanya HBsAg dalam spesimen 
akan bereaksi dengan antibodi-antibodi   ini    untuk   membentuk   kompleks   imun 
“antibodi-HBsAg-antibodi- HRP”. Setelah materi yang tidak terikat tercuci selama 
pemeriksaan, substrat ditambahkan untuk menunjukkan hasil tes. Munculnya waRNA 
biru di sumur mikrotiter mengindikasikan HBsAg reaktif. Tidak adanya waRNA 
menunjukkan hasil non reaktif di spesimen 
 
Alat dan Bahan : 
- Alat  
1. Mikrotiter well 
2. Mikropipet 
3. Tip Kuning dan Tip Biru 
4. Inkubator 
5. ELISA Reader 
6. ELISA Washer 
- Reagen 
1. Enzim Konjugat 
2. Kontrol Positif 
3. Kontrol Negatif 
4. Sampel diluent 
5. Color A dan B 
6. Stop Solution 
7. Wash Buffer 
- Sampel serum pasien  
1   
  
  
Cara Kerja : 
a. Pembuatan Wash Buffer 
1. Wash buffer pekat dicampurkan dengan aquadest perbandingan (1:19) 
2. Campuran yang sudah jadi disimpan pada suhu ruang selama seminggu 
b. Prosedur Pemeriksaan  
1) Semua reagen dan specimen dikondisikan pada suhu ruang. 
2) Siapkan nomor yang dibutuhkan untuk sumur, yang terdiri dari 1 sumur blanko, 2 
sumur control positif, 2 sumur untuk control negatif dan 1 sumur untuk setiap 
specimen. Tulis nomor seri untuk control dan specimen pada kolom. 
3) Spesimen diluents ditambahkan sebanyak 20µl pada masing-masing sumur. 
4) Spesimen, control negative, control positif ditambahkan sebanyak 100µl sesuai 
dengan kolom data. (sediakan 1 sumur untuk blanko) 
5) Kemudian dihomogenkan 
6) Plate diinkubasi pada incubator suhu 37°C ± 1 jam  
7) Enzyme conjugate ditambahkan pada setiap sumur ± 50µl. 
8) Plate diinkubasi pada incubator suhu 37°C ± 30 menit. 
9) Setiap sumur dicuci dengan wash buffer dengan prosedur : 
--  Pencucian   yang   dilakukan   harus   sesuai   dengan   petunjuk   apabila   ada 
pencucian yang tidak sempuRNA maka akan mempengaruhi hasil. 
--  Semua isi sumur dimasukkan pada labu cuci. Kemudian ditambahkan wash buffer 
350/lebih. 
--   Pastikan tidak ada cairan di dalam tip dan setelah pemipetan terakhir. 
10) Color A & B dimasukkan pada setiap sumur sebanyak 50µl 
11) Plate diinkubasi pada waterbath/inkubator 37° C± 30 menit 
12) Hentikan reaksi dengan penambahan 50µl stopping solotion disetiap sumur 
13) Absorbansi setiap sumur dibaca pada   450nm &   630nm λ λ 
14) Perhitungan  
- Single wave length (λ=450nm) 
OD = OD450 ±ODBC450 
      = sampel – control  
   
  
 
- Dual wave length (λ=630nm)  
 
Hasil pemeriksaan valid jika : 
1) Nilai   OD   blanko   kurang   dari   0.100  (   sumur   dari  kontrol   blanko   hanya   berisi 
kromogen dan stop solution) 
2) Nilai OD kontro negatif harus sama atau kurang dari () 0.100. Dieliminasi kontrol negatif 
dengan nilai OD lebih besar dari () 0.100. Jika 2 nilai keluar dari batas, pemeriksaan 
invalid dan harus di ulangi. 
3) Nilai OD kontrol positif sama atau lebih besar () 0.500. Jika nilai OD kurang dari 0.500, 
pemeriksaan invalid dan harus di ulangi 
Perhitungan kontrol : 
Nilai cut-off (CO) = NCx . 2,1 
NCx : nilai absorbansi rata-rata kontrol negative (jika NCx  0.05 , NCx harus dihitung 0.05) 
Interpretasi hasil : 
1) Spesimen dengan absorbansi kurang dari (<) nilai cut-off dinyatakan negatif. 
2) Spesimen dengan nilai absorbansi lebih besar atau sama dengan () nilai cut-off 
dinyatakan positif. 
 
Topik 2 
Human Immunodeficiency Virus (HIV) 
 
A. STRUKTUR DAN MORFOLOGI 
Sejarah HIV dimulai pada tahun 1981 di Amerika Serikat melaporkan kasus Gay Related 
Immune Deficiency (GRID), yaitu penurunan kekebalan tubuh yang dihubungkan dengan kaum 
gay/homoseksual. Pada tahun 1982 , CD–USA (Centers for Disease Control) Amerika Serikat 
untuk pertama kali membuat definisi AIDS dan juga ditemukan penyebab kelainan ini adalah 
LAV (Lymphadenophaty Associated Virus) oleh Luc Montagnier dari Pasteur Institut Paris. 
Tahun 1983, Jean Claude Chermann dan Françoise Barré-Sinnousi melakukan isolasi dari 
penderita sindrom limfadenopati.  Tahun 1984, Robert Gallo dari Amerika Serikat, meneliti 
virus penyebab AIDS yaitu HTLV-III. Tahun 1986, InteRNAtional Committe on Taxonomi of 
Viruses, memutuskan nama penyebab penyakit AIDS adalah Human Immunodeficiency Virus 
(HIV) yang mengganti nama LAV dan HTLV III. Pada tanggal 15 April 1987,  pertama kali AIDS 
di Indonesia yaitu pasien beRNAma Edward Hop berumur 44 tahun dari Belanda, meninggal 
di Rumah Sakit Sanglah Bali dan pada akhir tahun 1987 ada   6 orang yang didiagnosis HIV 
positif, dua di antara mereka mengidap AIDS. 
HIV (Human Immunodeficiency Virus) merupakan suatu retrovirus dengan materi 
genetik (RNA) yang dapat mentransfer informasi genetik RNA ke DNA dengan menggunakan 
enzim yang disebut reverse transcriptase. HIV menginfeksi berbagai sel sistem imun antara 
lain : Sel T helper (CD4+), Makrofag dan sel dendritik. Infeksi HIV memicu  penurunan 
kekebalan tubuh yang berhubungan dengan infeksi oportunistik dan tumor  ganas disebut 
AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome). Virus HIV dibagi dua tipe, yaitu : HIV-1 dan HIV-
2. HIV-1 lebih cepat memicu  AIDS  dan bersifat akut, sedangkan HIV-2  memicu  
AIDS lebih lambat dan bersifat kronik. Menurut data WHO 2010, angka kejadian HIV dari 119 
negara secara global menurut mencapai 35.000.000 orang terinfeksi HIV (sekitar 33.200.000-
37.200.000 orang) dan 15.000.000 0rang meninggal .  
Struktur HIV-1 (gambar 5.6.), diameter virion mencapai 100 nm, tersusun dari dua strand 
RNA yang identik (viral genom) dengan panjang 9749 nukleotida yang mengkode  bermacam-
macam enzim diantaranya enzim reverse transcriptase, integrase, protease yang dibungkus 
dalam cone shapped core (lapisan berbantuk kerucut) yang tersusun dari protein capsid p24 
dan bagian dalam protein matrix p17 yang berasal dari membran fosfolipid host yang 
memeiliki protein membran gp 41 dan gp 120 yang akan berikatan dengan CD4 dan Reseptor 
kemokin.  
   
  
 
 
 
Gambar 5.13 Struktur Human Immunodeficiency Virus (HIV I) 
Sumber : Cellular and Molecular Immunology.7th ed. 2012 
Ekspresi gen HIV dibagi menjadi 2 tahap ekspresi gen,yaitu: 
1) Early gen , mengekspresikan gen rev, tat, nef  yang akan memproduksi protein yang 
dikode gen ini  segera setelah virus menginfeksi sel. 
2) Late gen, mengekspresikan gen env, gag, dan pol, yang mengkode komponen struktural 
HIV.  
 
 
Gambar  Genom Human Immunodeficiency Virus (HIV I) 

Secara morfologi HIV-2 sama dengan HIV-1, tetapi kurang patogenik. Kedua tipe tesebut 
dapat dibedakan melalui adanya atau tidak adanya antibodi yang spesifik pada HIV-2. 
Meskipun reaktivitas (cross reactivity) terjadi antara protein inti kedua virus, tetapi protein 
pembungkus (envelope) mereka berbeda.  
B. CARA PENULARAN 
 
Gambar 5.15 Cara Penularan HIV 
Cara penularan HIV saat ini semakin jelas, meskipun virus dapat disiolasi dari banyak 
hasil sekresi tubuh, infeksi ditularkan dari satu pasien ke pasien lain melalui tiga jalur 
utama, yaitu : 
1) Kontak seksual (hubungan seks), merupakan cara penularan paling besar terutama pada 
kelompok  heteroseksual dan homoseksual (laki-laki). 
2) Penularan dari ibu ke anak, terjadi selama kehamilan melalui saluran plasenta dan setelah 
melahirkan dari asi. 
3) Inokulasi pasien oleh darah penderita HIV atau produk darah transfusi dari donor pemakai 
obat/ narkoba melalui jarum suntik dan transfusi darah yang terinfeksi HIV 
Penularan HIV melalui hubungan seksual merupakan jalur yang sangat penting. Di Afrika 
dampak penularan secara heteroseksual, menunjukkan peningkatan jumlah wanita yang 
terinfeksi dan menularkan infeksinya ke anak mereka. Dengan demikian peningkatan populasi 
   
  
 
yang terinfeksi terjadi dari dua sisi, yaitu : pada orang dewasa (penularan secara horizontal) 
dan pada bayi (penularan secara vertikal).  
HIV ditularkan melalui kontak seksual, paparan darah yang terinfeksi atau sekret dari 
kulit yang terluka, dan oleh ibu yang terinfeki ke janinnya atau melalui laktasi. Siklus replikasi 
HIV dimulai dari ikatan antara HIV’s gp120 binding protein yang terletak di permukaan virus 
dengan reseptor CD4+. Molekul gp 41 akan menetrasi membrane plasma sel target kemudian 
membawa virion masuk kedalam sel target. 
Sebuah kompleks preintegrasi virus yang terdiri dari RNA dan enzim virus dilepaskan ke 
dalam sitoplasma sel target. Kompleks ini  akan mencapai nukleus dan mempromosikan 
transkripsi dari genom RNA menjadi DNA oleh enzim reverse transcriptase. Kompleks protein 
coat akan menghasilkan double stranded DNA. Pada proses ini, genom viral rentan terhadap 
faktor imunitas seluler yang menghambat progresifitas infeksi. DNA virus akan terintegrasi ke 
dalam kromosom host oleh enzim integrase. 
Telah diketahui bahwa sejumlah mekanisme untuk menurunkan CD4+ dapat diinduksi 
oleh infeksi langsung dan destruksi oleh HIV. Kombinasi dari patogenitas virus dan respon 
kekebalan tubuh yang terjadi selama infeksi mempengaruhi perkembangan stadium lanjut 
penyakit yang merupakan suatu kompleks dan bervariasi. 
Transfusi darah juga dapat menjadi jalur penularan HIV yang penting dan efisiensi 
penularan HIV diperkirakan lebih dari 90%. Satu transfusi positif HIV rata-rata dapat 
memicu  kematian setelah jangka waktu dua tahun pada anak-anak dan lima tahun pada 
orang dewasa. meskipun demikian, sejauh mana transfusi darah menjadi jalur penularan 
utama tergantung pada prevalensi dari inidividu yang terinfeksi dala suatu populasi dan 
efektivitas dari program uji saring yang dipakai . Jika dalam suatu populasi dimana 
prevalensi pasien yang terinfeksi rendah dan program uji saring baik, maka penularan 
melalui transfusi darah menjadi jarang dan dapat disimpulkan transfusi darah bukan 
merupakan penularan HIV yang utama.  Sebaliknya jika dalam suatu populasi ada  
prevalensi pasien yang terinfeksi tinggi dan program uji saring jelek atau bahkan tidak ada, 
maka penularan HIV lewat transfusi darah sangat mungkin terjadi dan merupakan jalur 
penularan utama dalam populasi ini . 
Langkah pertama untuk mencegah penularan melalui transfusi darah adalah dengan 
menyeleksi donor, sehingga mendapat donor yang memiliki resiko rendah terhadap infeksi 
yang ditularkan. Darah dari seorang donor yang aman akan memberikan darah donasi yang 
aman untuk resipien. Meskipun demikian, tetap harus dilakukan atau melaksanakan program 
uji saring antibodi HIV agar darah yang terinfeksi dapat diidentifikasi dan dibuang. 
  
C. GEJALA KLINIS  
Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS)  merupakan kumpulan gejala atau 
penyakit yang disebabkan oleh menurunnya kekebalan tubuh akibat infeksi oleh virus HIV. 
AIDS merupakan stadium ketika sistem imun penderita jelek dan penderita menjadi rentan 
terhadap infeksi yang dinamakan infeksi oportunistik. Pada pasien yang terinfeksi HIV 
dengan jumlah CD4 < 200μL juga merupakan definisi AIDS meskipun tanpa adanya gejala yang 
terlihat atau infeksi oportunistik. Infeksi oportunistik merupakan infeksi yang tidak terkontrol 
dari penyebab infeksi yang ada dan tidak dapat dikendalikan. Infeksi-infeksi umum ini 
mencakup : 
1) Pnemonia yang disebabkan oleh Pneumocytis carinii. 
2) Tuberkulosis yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis atau Mycobacterium 
avium / intracellularis. 
3) Kriptosporidiosis kronis 
4) Toxoplasmosis 
5) Infeksi-infeksi virus lain, seperti Cytomegalovirus. 
Kanker sekunder diantaranya sarkoma kaposi dan limfoma non-Hodgkins merupakan 
kondisi lain yang kadangkala ditemukan pada pasien-pasien AIDS. Kanker ini biasanya ganas 
dan tidak merespon secara baik pemberian kemoterapi standar. Beberapa negara di dunia, 
ada  pasien yang mengidap ARC (AIDS Related Complex) atau AIDS dengan diare berat. 
Adanya infeksi oportunistik atau kanker-kanker  sekunder hanya dapat ditentukan setelah 
penelitian klinis dan hasil laboratorium.  
Ada 2 klasifikasi yang sampai sekarang sering dipakai  untuk remaja dan dewasa yaitu 
klasifikasi menurut WHO dan Centers for Disease Control and Preventoin (CDC) Amerika 
Serikat. Di negara-negara berkembang menggunakan sistem klasifikasi WHO dengan memakai 
data klinis dan laboratorium, sementara di negara-negara maju dipakai  sistem klasifikasi 
CDC. Klasifikasi menurut WHO dipakai  pada beberapa Negara yang pemeriksaan limfosit 
CD4+ tidak tersedia. Klasifikasi stadium klinis HIV/AIDS WHO dibedakan menjadi 4 stadium, 
yaitu :  
Tabel  18. Stadium HIV menurut WHO 
STADIUM GEJALA KLINIS 
I --  Tidak ada penurunan berat badan  
--  Tanpa gejala atau hanya Limfadenopati Generalisata Persisten  
II --  Penurunan berat badan <10%  
--  ISPA berulang: sinusitis, otitis media, tonsilitis, dan faringitis  
   
  
 
STADIUM GEJALA KLINIS 
--  Herpes zooster dalam 5 tahun terakhir  
--  Luka di sekitar bibir (Kelitis Angularis)  
--  Ulkus mulut berulang  
--  Ruam kulit yang gatal (seboroik atau prurigo)  
--  Dermatitis Seboroik  
--  Infeksi jamur pada kuku  
III --  Penurunan berat badan >10%  
--  Diare, demam yang tidak diketahui penyebabnya >1 bulan  
--  Kandidiasis oral atau Oral Hairy Leukoplakia  
--  TB Paru dalam 1 tahun terakhir  
--  Limfadenitis TB  
--  Infeksi bakterial yang berat: Pneumonia, Piomiosis  
--  Anemia (<8 gr/dl), Trombositopeni Kronik (<50109 per liter)  
IV --  Sindroma Wasting (HIV)  
--  Pneumoni Pneumocystis  
--  Pneumonia Bakterial yang berat berulang dalam 6 bulan  
--  Kandidiasis esofagus  
--  Herpes Simpleks Ulseratif >1 bulan  
--  Limfoma  
--  Sarkoma Kaposi  
--  Kanker Serviks yang invasif  
--  Retinitis CMV  
--  TB Ekstra paru  
--  Toksoplasmosis  
--  Ensefalopati HIV  
--  Meningitis Kriptokokus  
--  Infeksi mikobakteria non-TB meluas  
--  Lekoensefalopati multifokal progresif  
--  Kriptosporidiosis kronis, mikosis meluas  
Di Indonesia, pada tahun 2007 oleh KPA (Komisi Penanggulangan AIDS) diagnosis AIDS 
dengan kriteria WHO dipakai  untuk keperluan surveilans epidemiologi. Dalam hal ini 
seseorang dapat didiagnosis berdasarkan gejala klinis, yang terdiri dari gejala mayor dan 
minor. Pasien yang dikatakan AIDS jika menunjukan hasil tes HIV positif disertai minimal 
ada  2 gejala mayor atau ada  2 (dua) gejala minor dan 1 (satu) gejala mayor. Tabel 
5.2 menunjukkan Gejala mayor dan gejala minor infeksi HIV / AIDS 

  
  
Tabel  19. Gejala mayor dan minor infeksi HIV/AIDS 
GEJALA MAYOR GEJALA MINOR 
--  Berat badan turun >10% dalam 1 bulan  
--  Diare kronik, berlangsung > 1 bulan  
--  Demam berkepanjangan > 1 bulan  
--  Penurunan Kesadaran  
--  Demensia/HIV ensefalopati  
--  Batuk menetap > 1 bulan  
--  Dermatitis generalisata  
--  Herpes Zooster multisegmental dan 
berulang  
--  Kandidiasis orofaringeal  
--  Herpes simpleks kronis progresif  
--  Limfadenopati generalisata  
--  Infeksi jamur berulang pada alat 
kelamin wanita  
--  Retinitis Cytomegalovirus  
 
D. METODE PEMERIKSAAN 
Secara umum diagnosis HIV dibagi menjadi dua prinsip pendeteksian, yaitu deteksi 
antibodi dan deteksi virus . RNA virus HIV dapat di deteksi menggunakan Nucleic Acid Test  
(NAT) sekitar 11 hari setelah terinfeksi. Pemeriksaan skrining antibodi HIV dipakai  untuk 
diagnosis primer yang diikuti dengan tes konfirmasi jika hasil positif/reaktif pada hal hasil 
pemeriksaan skrining. Selain metode ELISA (enzyme linked immunosorbent assay) dan juga 
dipakai  pemeriksaan partikel aglutinasi. Tes ELISA yang disetujui mengandung antigen HIV-
1 kelompok M, khususnya HIV-1 M: B, kelompok O dan HIV-2. Tergantung pada pabrikan, 
antigen yang diturunkan dari reverse transcriptase dan protein p24 ditambahan dalam sistem 
pemeriksaan. Selain itu, pemeriksaan bergantung pada respon imun dan titer antibodi. Infeksi 
dapat dideteksi secara serologis setelah 3 minggu tapi biasanya setelah 4-5 minggu. Dalam 
kasus yang jarang terjadi, orang yang terinfeksi HIV dengan imunosupresi lengkap 
kemungkinan antibodi HIV-negatif, tetapi mereka memiliki gejala klinis khas HIV dan titer virus 
yang terukur dalam darah. 
Langkah pertama untuk mendiagnosis HIV/AIDS adalah anamnesis secara keseluruhan 
kemudian ditemukan adanya faktor resiko dan menemukan temuan klinis pada pemeriksaan 
fisik. Tes diagnostik untuk HIV yang sampai sekarang masih dipakai  adalah ELISA (enzyme-
linked immunoabsorbent assay), rapid test, Western Blot, dan PCR (Polymerase chain 
reaction) dengan sampel whole blood, dried bloodspots, saliva dan urin. 
   
  
 
Rapid test disarankan untuk kasus kecelakaan kerja bagi petugas yang terpapar darah 
penderita HIV/AIDS atau pada penderita yang kemungkinan tidak mau datang kembali untuk 
menyampaikan hasil tes HIV. Tes ELISA merupakan pemeriksaan yang umum dilakukan karena 
praktis dan sensitifitasnya tinggi. Rekomendasi WHO jika tes ELISA dengan 3 reagen yang 
berbeda hasilnya postif semua atau rapid test dengan 3 reagen hasilnya positif semua maka 
tidak dianjurkan tes Western Blot (WB). Berikut ini adalah algoritma untuk pemeriksaan HIV 
pada donor
 

 Pemeriksaan HIV 1/2  Metode Rapid Tet 
Prinsip : 
Pemeriksaan rapid tes ini merupakan uji kualitatif untuk mendeteksi antibodi spesifik 
untuk HIV 1 (IgG, IgM, IgA) termasuk subtipe O dan atibodi HIV-2 dalam serum, plasma 
atau darah lengkap.   Pada bagian tes (T) membaran strip dilekatkan antigen 
recombinant HIV-1 capture antigen (gp41, p24) pada daerah garis tes 1 dan antigen  
recombinant HIV-2 capture antigen (gp36) pada daerah garis tes 2. Antigen 
recombinan HIV-1/2 (gp41, p24 and gp36) dan colloid gold conjugate di bagian well 
sampel akan berikatan dengan antibodi HIV1/2 pada sampel dan bergerak pada 
membran kromatografi menuju daerah tes (T), sehingga apa bila ada  antibodi HIV 
1/2  akan membentuk garis nyata berwarna ungu pada daerah tes (T) yang merupakan 
ikatan komplek antigen – antibodi – antigen gold partikel dengan spesisfisistas dan 
sensitivitas yang tinggi . Kelebihan Antigen recombinan HIV-1/2 (gp41, p24 and gp36) 
dan colloid gold conjugate akan terus bergerak menuju area kontrol (C) yang telah 
dilapisi antibodi HIV1/2 rekombinan, sehingga berikatan dan membentuk garis merah 
pada area kontrol yang menunjukkan hasil pemeriksaan valid. Hasil reaktif harus 
dikonfirmasi menggunakan pemeriksaan HIV metode ELISA atau Western Blot. 
Alat dan Bahan : 
4) HIV 1/2 Rapid test ( test strip , diluent dan pipet kapiler) 
5) Mikropipet (10 µL, 20 µL) 
6) Tip kuning  
7) Timer 
8) Sampel pasien (serum atau plasma atau darah lengkap) 
Cara kerja : 
1) Siapakan alat dan bahan yang diperlukan,kemudian simpan pada suhu kamar.   
2) Buka kemasan kit pemeriksaan pada permukaan yang datar dan kering. 
3) Untuk sampel menggunakan pipet kapiler, dipipet 20µL sampel darah dan 
masukkan ke dalam sampel well (S). Untuk sampel yang menggunakan mikropipet, 
dipipet 10 µL untuk serum atau plasma dan jika menggunakan sampel darah 
dipipet 20 µL , kemudian masukkan kedalam sampel well (S)  
4) Tambahkan 4 tetes larutan diluent secara vertikal ke dalam sampel well (S).  
   
  
 
Perhatian: jika meneteskan tidak vertikal maka akan mempengaruhi keakuratan 
hasil, dianjurkan hanya 4 tetes, apabila berlebih (5-6 tetes) akan mempengaruhi 
terbentuknya garis menjadi tidak jelas.   .  
5) Baca hasil pengamatan 10-20 menit. Peringatan : jangan membaca hasil lebih dari 
20 menit 
 
Interpretasi Hasil  
- Negatif : hanya terbentuk satu garis pada daerah kontrol (C). 
 
- Positif : 
b) Positif HIV-1  : Terbentuk dua garis ungu, satu garis di daerah tes 1 (T1) 
dan satu garis di daerah kontrol (C). 
 
c) Positif HIV-2 : Terbentuk dua garis ungu, satu garis di daerah tes 2 (T2) 
dan satu garis di daerah kontrol (C). 
 
  
  
- Invalid  : Tidak terbentuk garis pada daerah kontrol (C). 
 
 
Catatan : apabila terbentuk 3 garis yaitu di daerah Tes 1 (T1), Tes 2 (T2) dan kontrol 
(C), maka harus dikonfirmasi dengan western Blot untuk penentuan jenis virus.  
 Pemeriksaan HIV 1/2  Metode ELISA 
Prinsip :  
 
Gambar  Prinsip pemeriksaan HIV 1/2 metode ELISA 
Test Microlisa HIV merupakan test berbasis Indirect ELISA. Protein HIV envelope gp41, 
gp 120 untuk HIV-1, dan gp 36 untuk  HIV-2 yanga merupakan epitop imunodominan 
dilekatkan pada sumur mikrotiter. Sampel dan kontrol ditambahkan ke dalam sumur 
dan di inkubasi. Apabila pada sampel ada  antibodi HIV-1 dan HIV 2 maka akan 
berikatan dengan antigen spesifik yang telah dilekatkan pada permukaan sumur. Plate 
kemudian dicuciuntuk menghilangkan komponen yang tidak berikatan. Horseradish 
peroxidase (HRP) konjugat dan antihuman IgG ditambahkan ke dalam setiap well. 
Konjugat akan berikatan dengan  komplek HIV antigen-antibody yang terbentuk. 
Selanjutnya larutan substrat yang mengandung kromogen dan hidrogen peroksida 
ditambahkan pada setiap sumur dan diinkubasi. Warna biru yang terbentuk sebanding 
dengan jumlah antibodi HIV-1 dan atau antibodi HIV-2 yang ada  pada sampel.  
Kemudian perubahan warna yang terbentuk dihentikan oleh stop solution. Warna yang 
terbentuk dibaca pada ELISA reader dengan panjang gelombang 450 nm. Apabila 
sampel tidak mengandung antibodi HIV-1 dan atau antibodi HIV-2, maka tidak akan 
terbentuk warna biru pada sumur. 
 
 
 
   
  
 
 Alat dan bahan : 
1) ELISA Kit untuk deteksi antibodi HIV-1/2 
2) Mikropipet  
3) Timer Elisa  
4) reader Elisa 
5) Washer ELISA  
6) Inkubator370C  
7) Vortex  
8) Sarung tangan  
9) Tisu atau kertas saring 
10) Sampel (serum atau plasma) 
 
 
Cara kerja 
1) Dipipet 100 µl sample diluent dan masukkan ke sumur A-1 well sebagai blank. 
2) Dipipet 100 µl  kontrol negatif dan masukkan ke setiap sumur dengan nomor B-1 dan 
C-1. Perhatian : negatif kontrol siap dipakai  tidak perlu diencerkan. 
3)  Dipipet 100 µl  Positif kontrol dan masukkan pada sumur D-1, E-1 & F-1. Perhatian : 
negatif kontrol siap dipakai  tidak perlu diencerkan. 
4) Dipipet 100 µl sample diluent dan masukkan ke setiap sumur dimulai dari G-1 diikuti 
dengan penambahan sampel sebanyak 10µl.  
5) Tutup plate. 
6) Inkubasi pada 37°C ± 2°C selama 30 menit ± 2 menit.  
7) Selama inkubasi siapkan larutan pencuci (wash buffer) dan larutan kerja konjugat 
spesifik. 
8) Keluarkan plate dari inkubator dan cuci 5 kali dengan larutan pencuci (wash buffer)  
9) Tambahkan 100 µl larutan HRP konjugat pada setiap sumur dari mulai A-1.  
10) Tutup plate 
11) Inkubasi pada 37°C ± 2°C selama 30 menit ± 2 menit  
1   
  
  
12) Buang dan cuci seperti prosedur no 8  
13) Tambahkan 100 µl TMB substrat pada setiap sumur dari mulai A-1 
14) Inkubasi pada suhu ruang (20 - 30ºC) selama 30 menit pada keadaan gelap 
15)  Tambahkan 100 µl of larutan stop pada setiap sumur. 
16) Baca absorban pada panjang gelombang 450 nm dalam waktu 30 menit pada ELISA 
READER setelah blanking sumur A-1. 
Tes validitas : 
1) Nilai absorban Blanko harus lebih kecil dari 0,100  
2) Nilai absorban Negatif kontrol harus < 0,150 
3) Nilai absorban Positif kontrol ha> 0,50 
Interpretasi Hasil  
1) Spesimen dengan absorbansi kurang dari (<) nilai cut-off dinyatakan negatif. 
2) Spesimen dengan nilai absorbansi lebih besar atau sama dengan () nilai cut-off 
dinyatakan positif. 
 

 
Topik 3 
Hepatitis C 
 
A. STRUKTUR DAN MORFOLOGI 
Hepatitis C adalah jenis yang paling berbahaya dari semua jenis virus hepatitis, karena 
infeksi ini biasanya tidak menimbulkan gejala sampai di tahapan akhir infeksi kronis. 
Kebanyakan orang tidak menyadari bahwa mereka terinfeksi hepatitis sampai akhirnya 
menderita kerusakan hati permanen beberapa tahun kemudian, saat dilakukan tes medis 
rutin. 
Pada tahun 1980-an timbul sejumlah kasus hepatitis yang menyebar melalui transmisi 
parenteral. Virus ini tidak dapat dikatagorikan dalam kelompok atau tipe virus hepatitis yang 
ada saat itu, yaitu virus hepatitis A, B dan Delta. Seiring dengan perkembangan teknologi, 
ditemukanlah metode isolasi dan karakterisasi RNA virus. Virus ini kemudian dikenal dengan 
virus hepatitis C dan merupakan penyebab dominan kasus infeksi akibat virus hepatitis non A 
dan non B (NANBH). Hepatitis C adalah peradangan hati yang disebabkan oleh virus hepatitis 
C (hepatitis C virus/HCV), yaitu virus yang bergenom RNA untai tunggal dan dikatagorikan ke 
dalam kelompok Flaviviridae . Dalam perjalanan penyakitnya hepatitis C dapat menjadi infeksi 
akut dan infeksi kronis, dimana dari infeksi kronis ini  dapat berkembang menjadi fibrosis 
dan kanker hati . Hepatitis C juga berpotensi menjadi kejadian luar biasa (KLB). Oleh sebab itu 
penyakit hepatitis C masih termasuk dalam masalah kesehatan utama di indonesia.  
Patogenesis infeksi HCV hingga memicu  hepatitis C tidak lepas dari peran struktur 
genom yang dimilikinya. Sekitar 9600 nukleotida menyusun sebuah Untranslated Region dan 
Open Reading Frame (ORF). Open Reading Frame akan mengkode sejumlah protein fungsional 
yang berperan dalam membentuk struktur virus serta berperan dalam patogenesis infeksi, 
terutama dalam hal mekanisme replikasi virus dalam sel inang. Struktur genom virus hepatitis 
C,  partikel HCV (virion) terdiri berukuran 40-70 nm. Virion terdiri dari bagian inti (core) yang 
mengandung materi genetik berupa satu untai RNA yang dikelilingi oleh lapisan protein 
pelindung dengan struktur ikosahedral yang disebut nukleokapsid. Pada bagian luar 
nukleokapsid ada  lapisan lipid dan glikoprotein yang membentuk struktur envelop. Open 
Reading Frame mengkodekan sekitar 3000 asam amino, poliprotein ini kemudian menjadi 10 
protein fungsional pascatranslasi melalui proses yang melibatkan sejumlah proteinase milik 
sel inang dan virus. 
 
Gambar 5.18 Genom Virus Hepatitis C 
Pada bagian ujung terminal 5’ dan 3’ ada  daerah yang disebut Untraslated Region 
(UTR). Daerah ini tidak mengkodekan protein apapun, namun berperan penting dalam inisiasi 
traskripsi dan translasi. Bagian yang terletak di ujung 5’ disebut daerah 5’UTR, sedangkan yang 
terletak di ujung 3’ disebut 3’UTR. poliprotein post tranlasi terdiri dari protein struktural 
(terletak di dekat ujung amino) dan protein non struktural (terletak di dekat ujung karboksil). 
protein struktural adalah protein yang berperan dalam pembentukan struktur virus, yaitu 
protein core, E1, E2 dan P7. protein non struktural terdiri dari NS2, NS3, NS4 dan NS5. 
   
  
 
Beberapa dari protein ini akan dipotong menjadi protein berukuran kecil yang berperan dalam 
replikasi virus. rantai poliprotein yang terbentuk akan dipotong melalui mekanisme yang 
disebut chopping. pemotongan ini dilakukan oleh sejumlah protease. 
B. CARA PENULARAN 
Pada biasanya  cara penularan HCV adalah parental. Semula penularan HCV 
dihubungkan dengan transfusi darah atau produk darah, melalui jarum suntik. Tetapi setelah 
ditemukan bentuk virus dari hepatitis, makin banyak laporan mengenai cara penularan 
lainnya, yang biasanya  mirip dengan cara penularan HBV, yaitu: 
1) Penularan horizontal  
Penularan HCV terjadi terutama melalui cara parental, yaitu tranfusi darah atau 
komponen produk darah, hemodialisa, dan  penyuntikan obat secara intravena. 
2) Penularan vertikal  
Penularan vertikal adalah penularan dari seseorang ibu  pengidap atau penderita 
Hepatitis C kepada bayinya sebelum  persalinan, pada saat persalinan atau beberapa saat 
persalinan. 
Jika masuk ke dalam darah maka HCV akan segera menuju hepatosit (sel hati) dan dan 
juga sel limfosit B. Hanya dalam sel hati HCV bisa berkembang biak. sebab  sulitnya 
membiakkan HCV pada kultur, juga tidak adanya model binatang non-primata telah 
memperlambat lajunya riset HCV. Berikut ini adalah daur hidup HCV (Gambar 5.11). 
 
Gambar 5.19. Siklus hidup virus hepatitis C 
Melalui gambar skematis di atas, proses siklus kehidupan HCV digambarkan secara alur 
skematis.  
1   
  
  
1) HCV masuk ke dalam hepatosit dengan mengikat suatu reseptor permukaan sel yang 
spesifik. Reseptor ini belum teridentifikasi secara jelas, namun protein permukaan CD8+ 
adalah suatu HCV binding protein yang memainkan peranan dalam masuknya virus. Salah 
satu protein khusus virus yang dikenal sebagai protein E2 menempel pada reseptor site di 
bagian luar hepatosit. 
2) Kemudian protein inti dari virus menembus dinding sel dengan suatu proses kimiawi 
dimana selaput lemak bergabung dengan dinding sel dan selanjutnya dinding sel akan 
melingkupi dan menelan virus serta membawanya ke dalam hepatosit. Di dalam 
hepatosit, selaput virus (nukleokapsid) melarut dalam sitoplasma dan keluarlah RNA virus 
(virus uncoating) yang selanjutnya mengambil alih peran bagian dari ribosom hepatosit 
dalam membuat bahan-bahan untuk proses reproduksi. 
3) Virus dapat membuat sel hati memperlakukan RNA virus seperti miliknya sendiri. Selama 
proses ini virus menutup fungsi normal hepatosit atau membuat lebih banyak lagi 
hepatosit yang terinfeksi kemudian menbajak mekanisme sintesis protein hepatosit 
dalam memproduksi protein yang dibutuhkannya untuk berfungsi dan berkembang biak. 
4) RNA virus dipergunakan sebagai cetakan (template) untuk memproduksi masal 
poliprotein (proses translasi). 
5) Poliprotein dipecah dalam unit-unit protein yang lebih kecil. Protein ini ada 2 jenis yaitu 
protein struktural dan regulatori. Protein regulatori memulai sintesis kopi virus RNA asli. 
6) Sekarang RNA virus mengopi dirinya sendiri dalam jumlah besar (miliaran kali) untuk 
menghasilkan bahan dalam membentuk virus baru. Hasil kopi ini adalah bayangan cermin 
RNA orisinil dan dinamai RNA negatif. RNA negatif lalu bertindak sebagai cetakan 
(template) untuk memproduksi serta RNA positif yang sangat banyak yang merupakan 
kopi identik materi genetik virus. 
7) Proses ini berlangsung terus dan memberikan kesempatan untuk terjadinya mutasi 
genetik yang menghasilkan RNA untuk strain baru virus dan subtipe virus hepatitis C. 
Setiap kopi virus baru akan berinteraksi dengan protein struktural, yang kemudian akan 
membentuk nukleokapsid dan kemudian inti virus baru. Amplop protein kemudian akan 
melapisi inti virus baru. 
8) Virus dewasa kemudian dikeluarkan dari dalam hepatosit menuju ke pembuluh darah 
menembus membran sel. 
Keluaran dan derajat keparahan dari infeksi virus hepatitis bergantung pada jenis virus, 
jumlah virus dan faktor dari host.  
 
 
 
 
   
  
 
C. GEJALA KLINIS 
Manifestasi klinis hepatitis virus C dikenal mulai dari hepatitis akut, fulminan, kronis, 
yang dapat berkembang menjadi sirosis atau kanker hati. 
1) Infeksi Akut 
Umumnya infeksi akut HCV tidak memberi gejala atau hanya bergejala minimal. Hanya 
20-30% kasus yang menunjukkan tanda-tanda hepatitis akut 7 – 8 minggu (berkisar 2 – 26 
minggu) setelah terjadinya paparan. 
Infeksi virus hepatitis terbagi 3 fase, yaitu fase prodormal, fase ikterik, dan fase 
convalescent.  Pada fase prodormal, onset terjadi pada hari 1-14, namun rata-rata timbul pada 
hari 5-7 setelah paparan.  Keluhan yang sering yaitu malaise, fatique, mual dan muntah, 
kehilangan selera makan, demam , gejala flu , dan kebanyakan pasien mengeluh adanya nyeri 
pada perut kanan atas.  
Pada fase ikterik, gejala yang sering ditimbulkan yaitu warna kuning pada mukosa sklera 
pada awalnya dan berlanjut pada perubahan warna pada kulit. Durasi ikterik bervariasi, 
biasanya antara 4 hari sampai beberapa bulan, namun rata-rata 2-3 minggu. Urin menjadi 
gelap, feses berwarna seperti dempol (pucat). Selama fase ini, setengah penderita 
menunjukkan gejala gatal-gatal.  
Pada fase convalescent, kebanyakan gejala di atas menghilang (resolve).  Ikterik tidak 
ditemukan, warna pada kulit, urin dan feses kembali ke warna yang semula. Kembalinya nafsu 
makan dan adanya peningkatan berat badan menunjukkan sudah adanya tahap 
penyembuhan.  
 Umumnya secara klinik gejala HCV akut lebih ringan daripada hepatitis virus akut 
lainnya. Masa inkubasi HCV terletak antara HAV dengan HBV, yaitu sekitar 2 – 26 minggu, 
dengan rata-rata 8 minggu. Pada penderita hepatitis akut ditemukan Anti HCV positif pada 
75,5% HNANB pasca-tranfusi, 35% pada HNANB sporadik dan hanya 2,4 pada HBV. Sebagian 
besar penderita yang terserang HCV akut akan menjurus menjadi kronis. 
RNA virus hepatitis C dapat terdeteksi sebelum gejala muncul, namun level dari viremia 
pada 6 bulan pertama dapat dorman dan tidak terdeksi walaupun orang ini  sedang 
dalam infeksi yang persisten.  Gejala awal yang ditunjukkan tergantung dari usia saat 
terjadinya paparan, sistem imun penderita, adanya penyakit hati sebelumnya dan tingkat 
inokulasi virus. 
Level serum dari enzim hati seperti alanin aminotransferase (ALT) meningkat 10 kali 
lebih tinggi dari pada normal, kemudian menurun, dan untuk orang dengan infeksi yang 
persisten didapatkan kadar ALT naik turun (fluktuatif). Serum bilirubin juga dapat meningkat 
setelah beberapa minggu gejala pertama muncul, namun akhirnya kembali ke level yang 
normal. Secara garis besar, angka mortalitas pada infeksi akut tergolong rendah.  

  
  
2)  Infeksi Kronis 
Infeksi akan menjadi kronik pada 70 – 90% kasus dan sering kali tidak menimbulkan 
gejala apapun walaupun proses kerusakan hati berjalan terus. Adapun kriteria dari hepatitis 
kronis adalah naiknya kadar transaminase serum lebih dari 2 kali nilai normal, yang 
berlangsung lebih dari 6 bulan. Hilangnya HCV setelah terjadinya hepatitis kronis sangat jarang 
terjadi.  Jangka waktu dimana berbagai tahap penyakit hati berkembang sangat bervariasi. 
Diperlukan waktu 20 – 30 tahun untuk terjadinya sirosis hati yang sering tejadi pada 15 – 20% 
pasien hepatitis C kronis. Progresivitas hepatitis kronik menjadi sirosis hati tergantung 
beberapa faktor resiko yaitu: asupan alkohol, ko-infeksi dengan virus hepatitis B atau Human 
Immunodeficiency Virus (HIV), jenis kelamin laki-laki, usia tua saat terjadinya infeksi dan kadar 
CD4+ yang sangat rendah. Bila telah terjadinya sirosis, maka risiko terjadinya karsinoma 
hepatoselular adalah sekitar 1-4% pertahun. Karsinoma hepatoseluler dapat terjadi tanpa 
diawali dengan sirosis, namun hal ini jarang terjadi. 
3) Hepatitis C Fulminan 
Hepatitis fulminan jarang terjadi. ALT (alanine amino-transferase) meninggi sampai 
beberapa kali diatas batas atas normal tetapi biasanya  tidak sampai lebih dari 1000 U/L. 
Selain memiliki manifestasi hepatik, ada beberapa manifestasi ektrahepatik HCV yang penting 
a)  Mixed Cryoglobulinaemic vasculitis 
 Pada 50% pasien HCV biasanya  terdeteksi cryoglobulin pada serum darah, dan 
Kriopresipitat  biasanya mengandung sejumlah besar antigen dan antibodi HCV, namun 
hanya sebagian kecil pasien (10-15%) yang memiliki gejala. Gejala-gejala biasanya terkait 
dengan vaskulitis, yaitu lemah, atralgia dan purpura. 
b) Membranoproliferative glomerulonephritis 
 Pada kasus ini, telah terjadi peranan dari persarafan dan otak sehingga gejala yang 
timbul lebih berat. 
c) Poliarteritis Nodosa 
d) Papular Acrodermatitis (Gianotti syndrome) 
 
D. METODE PEMERIKSAAN 
Penegakan diagnosis pada hepatitis virus C berdasarkan uji serologi untuk memeriksa 
antibodi dan Uji HCV RNA. 
 
 
 
1)  Uji serologi 
Uji serologi yang berdasarkan pada deteksi antibodi telah membantu mengurangi risiko 
infeksi terkait transfusi. Sekali pasien pernah mengalami serokonversi, biasanya hasil 
pemeriksaan serologi akan tetap positif, namun kadar antibodi anti-HCV akan menurun 
secara gradual sejalan dengan waktu pada sebagian pasien yang infeksinya mengalami reaksi 
spontan. 
Antibodi terhadap HCV biasanya dideteksi dengan metode enzyme immunoassay yang 
sangat sensitif dan spesifik. Enzyme immunoassay generasi k-3 yang banyak dipergunakan 
saat ini mengandung protein core dan protein struktural-struktural yang dapat mendeteksi 
keberadaan antibodi dalam waktu 4-10 minggu infeksi. Antibodi anti-HCV masih tetap dapat 
terdeteksi selama terapi maupun setelahnya tanpa memandang respon terapi yang telah 
dialami, sehingga pemeriksaan anti-HCV tidak perlu dilakukan kembali apabila sudah pernah 
dilakukan sebelumnya. Uji immunoblot rekombinan (recombinant immunoblot assay, RIBA) 
dapat dipakai  untuk mengkonfirmasi hasil uji enzyme immunoassay yang 
positif. Penggunaan RIBA untuk mengkonfirmasi hasil hanya direkomendasikan untuk setting 
populasi resiko rendah seperti pada bank darah. Namun dengan tersedianya metode enzyme 
immunoassay yang sudah diperbaiki dan uji deteksi RNA yang lebih baik saat ini, maka 
konfirmasi denga RIBA telah menjadi kurang diperlukan.  
2) Uji HCV RNA 
HCV RNA dapat terdeteksi dan diukur dengan teknik amplifikasi termasuk reverse 
transcription polymerase chain reation (RT-PCR). Genotip HCV dapat dinilai dengan analisis 
phylogenetic dari rantai nukleotida atau deteksi mutasi point spesifik subtipe pada RT-PCR 
amplifikasi RNA. HCV RNA dideteksi dalam waktu 2 minggu infeksi dan juga dipakai  untuk 
konfirmasi terjadinya infeksi akut. Bagaimanapun uji HCV RNA yang rutin tidak dianjurkan 
secara langsung karena standarisasi uji ini  yang masih rendah.  
3) Biopsi Hati 
Biopsi hati secara umum direkomendasikan untuk penilaian awal seorang pasien dengan 
infeksi HCV kronis. Biopsi berguna untuk menentukan derajat beratnya penyakit (tingkat 
fibrosis) dan menentukan derajat nekrosis dan inflamasi.1 Pemeriksaan ini juga bermanfaat 
untuk menyingkirkan kemungkinan adanya penyebab hati yang lain, seperti fitur 
alkoholik, non-alcoholic steatohepatits (NASH), hepatitis autoimun, penyakit hati drug-
induced atau overload besi. 
 
 Pemeriksaan HIV 1/2  Metode Rapid Tet 
  
  
Prinsip : Pemeriksaan rapid tes ini merupakan uji kualitatif untuk mendeteksi antibodi 
spesifik untuk HCV dalam serum atau plasma. Pada bagian sampel (S) membran strip 
dilekatkan antigen recombinant HCV  dan colloid gold conjugate yang berikatan dengan 
antibodi HCV pada sampel, kemudian bergerak pada membran kromatografi menuju 
daerah tes (T) yang telah dilekatkan antigen  rekombinan HCV(antigen HCV Core, NS3, NS4, 
NS5), sehingga apabila ada  antibodi HCV pada sampel akan membentuk garis nyata 
berwarna ungu pada daerah tes (T) yang merupakan ikatan komplek antigen – antibodi – 
antigen gold partikel dengan spesisfisistas dan sensitivitas yang tinggi . Kelebihan Antigen 
recombinan HCV dan colloid gold conjugate akan terus bergerak menuju area kontrol (C) 
yang telah dilapisi antibodi HCV rekombinan, sehingga berikatan dan membentuk garis 
merah pada area kontrol yang menunjukkan hasil pemeriksaan valid.  
Alat dan Bahan : 
 HCV Rapid test ( test strip , diluent dan pipet kapiler) 
 Mikropipet (10 µL) 
 Tip kuning  
 Timer 
 Sampel pasien (serum atau plasma) 
Cara kerja : 
1) Siapakan alat dan bahan yang diperlukan,kemudian simpan pada suhu kamar.   
2) Buka kemasan kit pemeriksaan pada permukaan yang datar dan kering. 
3) Untuk sampel menggunakan pipet kapiler atau mikropipet, dipipet 10µL sampel 
darah dan masukkan ke dalam sampel well (S).  
4) Tambahkan 3 tetes larutan diluent secara vertikal ke dalam sampel well (S).  
5) Baca hasil pengamatan 5-20 menit. Peringatan : jangan membaca hasil lebih dari 20 
menit 
Interpretasi Hasil  
- Negatif : hanya terbentuk satu garis pada daerah kontrol (C). 
 
- Positif : Terbentuk dua garis ungu, satu garis di daerah tes (T) dan satu garis di 
daerah kontrol (C). 
   
  
 
 
Derajat warna yang terbentuk pada hasil positif 
 
- Invalid  : Tidak terbentuk garis pada daerah kontrol (C). 
 
 
 Pemeriksaan HCV Metode ELISA 
Prinsip :  
Test Microlisa HIV merupakan test berbasis Indirect ELISA. Protein recombinant HCV 
Core, protein NS3 dan sintetis peptida yang memiliki segmen antigenik, NS4 and NS5 
regions dari virus hepatitis C dilekatkan pada sumur mikrotiter. Sampel dan kontrol 
ditambahkan ke dalam sumur dan di inkubasi. Apabila pada sampel ada  antibodi 
HCV maka akan berikatan dengan antigen spesifik yang telah dilekatkan pada 
permukaan sumur. Plate kemudian dicuciu ntuk menghilangkan komponen yang tidak 
berikatan. Horseradish peroxidase (HRP) konjugat dan antihuman IgG ditambahkan ke 
dalam setiap well. Konjugat akan berikatan dengan  komplek HCV antigen-antibodi 
yang terbentuk. Selanjutnya larutan substrat yang mengandung kromogen dan 
hidrogen peroksida ditambahkan pada setiap sumur dan diinkubasi. Warna biru yang 
terbentuk sebanding dengan jumlah antibodi HCV yang ada  pada sampel.  
Kemudian perubahan warna yang terbentuk dihentikan oleh stop solution. Warna yang 
terbentuk dibaca pada ELISA reader dengan panjang gelombang 450nm / 630 nm. 
Apabila sampel tidak mengandung antibodi HCV, maka tidak akan terbentuk warna 
biru pada sumur. 
 Alat dan bahan : 
a. Reagen ELISA untuk deteksi antibodi HCV 
1   
  
  
b. Mikropipet  
c. Timer Elisa  
d. reader Elisa 
e. Washer ELISA  
f. Inkubator370C  
g. Vortex  
h. Sarung tangan  
i. Tisu atau kertas saring 
j. Sampel (serum atau plasma) 
Cara Kerja : 
1) Siapkan alat dan bahan yang dibutuhkan. Simpan pada suhu kamar sebelum 
dipakai . 
2) Beri label setiap well. Label diberikan pada satu sumur (A1) sebagai blanko dan 
dua sumur (B1 & C1) sebagai negatif kontrol dan tiga sumur (D1, E1 & F1) sebagai 
positif kontrol  
3) Tambahkan 100µl positif dan negatif kontrol (langsung dipakai )sesuai label 
pada sumur. 
4) Tambahkan 100 µl larutan pengencer pada setiap sumur untuk sampel 
5) Tambahkan 10µl sampel pada sumur yang ada larutan pengencer tadi dan 
homogenkan 
6) Tutup mikroplate dan inkubasi pada suhu kamar (25-30°C) selama 30 menit  
7) Cuci mikroplate sebanyak 5 kali dengan penambahan 300µl setiap sumur dengan 
larutan buffer pencuci. Hati-hati jangan sampai kontaminasi 
8) Tambahkan 100µl larutan HRP konjugat pada setiap sumur. 
9) Tutup mikroplate dan inkubasi pada suhu kamar (25-30°C) selama 30 menit  
10) Cuci mikroplate sebanyak 5 kali dengan penambahan 300µl setiap sumur dengan 
larutan buffer pencuci. Hati-hati jangan sampai kontaminasi. 
11) Tambahkan 100µl larutan TMB substrat pada setiap sumur.  
12) Tutup mikroplate dan inkubasi pada suhu kamar (25-30°C) selama 30 menit 
(keadaan gelap) 
   
  
 
13) Hentikan reaksi dengan penambahan 100ul of the stop solution pada setiap 
sumur. 
14) Baca absorban pada panjang gelombang 450nm/630nm dalam waktu 30 menit 
pada ELISA READER Dipipet 100 µl sample diluent dan masukkan ke sumur A-1 well 
sebagai blank. 
Tes validitas : 
4) Nilai absorban Blanko harus lebih kecil dari 0,150  
5) Nilai absorban Negatif kontrol harus < 0,250 
6) Nilai absorban Positif kontrol harus > 0,60 
Interpretasi Hasil  
1) Spesimen dengan absorbansi kurang dari (<) nilai cut-off dinyatakan negatif. 
2) Spesimen dengan nilai absorbansi lebih besar atau sama dengan () nilai cut-off 
dinyatakan positif. 
 

Topik 4 
Sifilis 
 
A. STRUKTUR DAN MORFOLOGI 
Sifilis merupakan penyakit kronis dan bersifat sistemik yang disebabkan oleh treponema 
palidum. Angka kejadian sifilis mencapai 90% dinegara-negara berkembang. World Health 
Organization (WHO) memperkirakan sebesar 12 juta kasus baru terjadi di afrika, Asia Selatan, 
Asia Tenggara, Amerika Latin dan Caribbean. Angka kejadian Sifilis di Indonesia berdasarkan 
laporan Survey Terpadu dan Biologis Perilaku (STBP) tahun 2011 Kementrian Kesehatan RI 
terjadi peningkatan angka kejadian Sifilis di tahun 2011 dibandingkan tahun 2007.  
Treponema pallidum merupakan spesies treponema dari famili Spirochaeta, ordo 
Spirochaetales, taksonomi dapat dilihat pada tabel 21.  
Tabel  20. Taksonomi Treponema pallidum 
TINGKATAN NAMA 
Kingdom   Bacteria  
Phylum Spirochaetes 
Ordo Spirochaetales 
Family Spirochaetaceae 
Genus Treponema 
Species T. Pallidum 
Subspecies Pallidum 
 
Treponema pallidum berbentuk spiral, gram negatif dengan panjang kisaran 11 µm 
dengan diameter antara 0,09 – 0,18 µm. ada  dua lapisan, sitoplasma merupakan lapisan 
dalam mengandung mesosom, vakuol ribosom dan bahan nukleoid, lapisan luar yaitu bahan 
mukoid. 
   
  
 
 
Gambar  Struktur Treponema pallidum 
 
B. CARA PENULARAN  
Treponema palidum masuk melalui selaput lendir yang utuh, atau kulit yang mengalami 
abrasi, menuju kelenjar limfe, kemudian masuk ke dalam pembuluh darah, dan diedarkan ke 
seluruh tubuh.  Biasanya dapat ditularkan melalui hubungan sekseual (membran mukosa atau 
uretra), kontak langsung dengan lesi atau luka yang terinfeksi, transfusi darah dan juga dari 
ibu yang menderita sifilis ke janin yang dikandung melalui plasenta pada stadium akhir 
kehamilan. 
Setelah beredar beberapa jam, infeksi menjadi sistemik walaupun tanda-tanda klinis dan 
serolois belum jelas. Sekitar satu minggu setelah terinfeksi Treponema palidum, ditempat 
masuknya akan  timbul lesi primer berupa ulkus. Ulkus akan muncul selama satu hingga lima 
minggu dan  kemudian menghilang. Uji serologis masih akan negatif ketika ulkus pertama kali 
muncul dan baru akan reaktif setelah satu sampai empat minggu berikutnya. Enam minggu 
kemudian, timbul erupsi seluruh tubuh pada sebagian kasus sifilis sekunder dan ruam ini akan 
hilang kisaran dua sampai enam minggu, karena terjadi penyembuhan spontan. Perjalanan 
penyakit menuju ke tingkat laten, dimana tidak ditemukan tanda-tanda klinis, kecuali hasil 
pemeriksaan serologis yang reaktif. Masa laten dapat berlangsung bertahun-tahun atau 
seumur hidup.  
 
C. GEJALA KLINIS 
Stadium sifilis  dalam perjalanannya dibagi menjadi tiga stadium yaitu sifilis stadium 
primer, sekunder dan tersier yang terpisah oleh fase laten dimana waktu bervariasi, tanpa 
tanda klinis infeksi. Interval antara stadium primer dan sekunder berkisar dari beberapa 
minggu sampai beberapa bulan. Interval antara stadium sekunder dan tersier biasanya lebih 
dari satu tahun.  
 Sifilis Primer 
Lesi awal sifilis berupa papul yang muncul di daerah genitalia kisaran tiga minggu setelah 
kontak seksual. Papul membesar dengan ukuran 0,5 – 1,5 cm kemudian mengalami ulserasi, 
membentuk ulkus. Ulkus sifilis yang khas berupa bulat, diameter 1-2 cm , tidak nyeri, dasar 
ulkus bersih tidak ada eksudat, teraba indurasi, soliter tetapi dapat juga multipel. Hampir 
sebagian besar disertai pembesaran kelenjar getah bening inguinal medial unilateral atau 
bilateral. Gambaran chancre sifilis primer dapat dilihat pada gambar . 
 
 
Gambar  chancre sífilis primer pada penis 
Chancre sífilis primer sering terjadi pada genitalia, perineal, atau anus dikarenakan 
penularan paling sering melalui hubungan seksual, tetapi bagian tubuh yang lain dapat juga 
terkena. Ulkus jarang terlihat pada genitalia eksterna wanita, karena lesi sering pada vagina 
atau serviks. Dengan menggunakan spekulum, akan terlihat lesi di serviks berupa erosi atau 
ulserasi yang dalam. Tanpa pengobatan lesi primer akan sembuh spontan dalam waktu 3 
sampai 6 pekan. Diagnosis banding sifilis primer yaitu ulkus mole yang disebabkan 
Haemophilus ducreyi, limfogranuloma venereum, trauma pada penis, fixed drug eruption, 
herpes genitalis. 
   
  
 
 Sifilis Sekunder 
Manifestasi akan timbul pada beberapa minggu atau bulan, muncul gejala sistemik 
berupa demam yang tidak terlalu tinggi, malaise, sakit kepala, adenopati, dan lesi kulit atau 
mukosa. Lesi sekunder yang terjadi merupakan manifestasi penyebaran Treponema pallidum 
secara hematogen dan limfogen. Manifestasi klinis sifilis sekunder dapat berupa berbagai 
ruam pada kulit, selaput lendir, dan organ tubuh. Lesi kulit biasanya simetris, dapat berupa 
makula, papula, folikulitis, papuloskuamosa, dan pustul, jarang disertai keluhan gatal. Lesi 
dapat ditemukan di trunkus dan ekstermitas, termasuk telapak tangan dan kaki. Papul 
biasanya merah atau coklat kemerahan, diskret, diameter 0,5 – 2 cm, biasanya  berskuama 
tetapi kadang licin. Lesi vesikobulosa dapat ditemukan pada sifilis kongenital.  
Kondiloma lata merupakan istilah untuk lesi meninggi (papul), luas, putih atau abu-abu 
di daerah yang hangat dan lembab. Lesi  sifilis sekunder dapat muncul pada waktu lesi sifilis 
primer masih ada. Diagnosis sifilis sekunder ditegakkan berdasarkan hasil pemeriksaan 
serologis yang reaktif dan pemeriksaan lapangan gelap positif. Treponema pallidum banyak 
ditemukan pada lesi selaput lendir atau basah seperti kondiloma lata. 
Ruam kulit pada sifilis sekunder sukar dibedakan dengan pitiriasis rosea, psoriasis, 
terutama jika berskuama, eritema multiforme dan erupsi obat. Diagnosis sifilis sekunder 
cukup sulit. Pada biasanya  diagnosis ditegakkan berdasarkan kelainan khas lesi kulit sifilis 
sekunder ditunjang dengan pemeriksaan serologis. 
 Sifilis Laten 
Sifilis laten yaitu apabila pasien dengan riwayat sifilis dan pemeriksaan serologis reaktif 
yang belum mendapat terapi sifilis dan tanpa gejala atau tanda klinis. Sifilis laten terbagi 
menjadi dini dan lanjut, dengan batasan waktu kisaran satu tahun. Dalam perjalanan penyakit 
sifilis akan melalui tingkat laten, selama bertahun-tahun atau seumur hidup. Tetapi 
bukan bearti penyakit akan berhenti pada tingkat ini, sebab dapat berjalan menjadi sifilis 
tersier. 
 Sifilis Tersier 
Sifilis tersier terdiri dari tiga grup sindrom yang utama yaitu neurosifilis, sifilis 
kardiovaskular, dan sifilis benigna lanjut. Pada perjalanan penyakit neurosifilis dapat 
asimptomatik dan sangat jarang terjadi dalam bentuk murni. Pada semua jenis neurosifilis, 
terjadi perubahan berupa endarteritis obliterans pada ujung pembuluh darah disertai 
degenerasi parenkimatosa yang mungkin sudah atau belum menunjukkan gejala saat 
pemeriksaan.  
1   
  
  
Sifilis kardiovaskular disebabkan terutama karena nekrosis aorta yang berlanjut ke 
katup. Tanda-tanda sifilis kardiovaskuler adalah insufisiensi aorta atau aneurisma, berbentuk 
kantong pada aorta torakal. Bila komplikasi ini telah lanjut, akan sangat mudah dikenal.  
Sifilis benigna lanjut atau gumma merupakan proses inflamasi proliferasi granulomatosa 
yang dapat memicu  destruksi pada jaringan yang terkena. Disebut benigna sebab jarang 
memicu  kematian kecuali bila menyerang jaringan otak. Gumma mungkin terjadi akibat 
reaksi hipersensitivitas infeksi Treponema palidum. Lesi sebagian besar terjadi di kulit dan 
tulang. Lesi pada kulit biasanya soliter atau multipel, membentuk lingkaran atau setengah 
lingkaran, destruktif dan bersifat kronis, penyembuhan di bagian sentral dan meluas ke 
perifer. Lesi pada tulang biasanya berupa periostitis disertai pembentukan tulang atau osteitis 
gummatosa disertai kerusakan tulang. Gejala khas ialah pembengkakan dan sakit. Lokasi 
terutama pada tulang kepala, tibia, dan klavikula. Pemeriksaan serologis biasanya reaktif 
dengan titer yang tinggi. 
 Sifilis Kongenital 
Penyakit yang ditularkan kepada janin dalam uterus dari ibu yang positif menderita 
sifilis. Infeksi sifilis terhadap janin dapat terjadi pada setiap stadium sifilis dan setiap masa 
kehamilan. Dahulu beberapa pendapat menyatakan infeksi tidak dapat terjadi sebelum janin 
berusia 18 minggu, karena lapisan Langhans yang merupakan pertahanan janin terhadap 
infeksi sebelum atrofi. Tetapi kenyataannya dengan pengamatan menggunakan mikroskop 
elektron dapat ditemukan Treponema pallidum pada janin berusia 9-10 minggu. 
 
D. METODE PEMERIKSAAN 
ada  dua jenis uji serologi untuk diagnosis Treponema pallidum, yaitu :  
6) Uji non-treponemal, merupakan uji yang paling sering dilakukan adalah sebagai 
berikut  
- Uji Venereal Disease Research Laboratory (VDRL) 
- Uji Rapid Plasma Reagin. 
Kedua pemeriksaan ini dipakai  untuk mendeteksi antobodi terhadap antigen yang 
terdiri dari kardioplin, kolesterol dan lesitin yang sudah terstandarisasi. 
7) Uji treponemal, terdiri dari : 
- Treponema pallidum Haem Aglutination (TPHA) 
- Treponema pallidum Particle Agglutination (TP-PA) 
   
  
 
- Flouresencent Treponemal Antibody Absorption (FTA-ABS) 
- Micro Hemagglutination Assay for antibodies to Treponema pallidum (MHA-TP) 
- Treponemal Enzyme Immuno Assay (EIA) untuk deteksi imunoglobulin G (IgG), 
imunoglobulin G dan M (IgG dan IgM) atau imunoglobulin M (IgM) 
Pemeriksaan ini mendeteksi antibodi terhadap antigen treponemal dan memilki 
sensitivitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan uji nontreponemal terutama sifilis 
lanjut.  
 Pemeriksan VDRL / RPR 
Pemeriksaan Venereal Disease Research Laboratory (VDRL) / Serum atau 
Cerebrospinal Fluid (RPR) merupakan satu-satunya pemeriksaan laboratorium untuk 
neunurosipilis yang disetujui oleh Centers for Disease Control. Pemeriksaan VDRL serum 
bisa memberikan hasil negatif palsu pada tahap late sipilis dan kurang sensitif dari RPR. 
Pemeriksaan VDRL merupakan pemeriksaan penyaring atau Skrining Test, dimana apabila 
VDRL positif maka akan dilanjutkan dengan pemeriksaan TPHA (Trophonema  Phalidum 
Heamaglutinasi). Hasil uji serologi tergantung pada stadium penyakit misalnya pada infeksi 
primer hasil pemeriksaan serologi biasanya menunjukkan hasil non reaktif. Troponema 
palidum dapan ditemukan pada chancre. Hasil serologi akan menunjukan positif 1-4 
minggu setelah timbulnya chancre. Dan pada infeksi sekunder hasil serelogi akan selalu 
pisitif dengan titer yang terus meningkat. Pasien yang terinfeksi bakteri treponema akan 
membentuk antibody yang terjadi sebagai reaksi bahan-bahan yang dilepaskan karena 
kerusakan sel-sel. Andibody ini  disebut reagin. 
a. Tujuan  :  Untuk mendeteksi adanya antibody nontreponema atau Reagin. 
b. Metode Pemeriksaan : Slide 
c. Prinsip Pemeriksaan : Adanya antibody pada serum pasien akan bereaksi dengan 
antigen yang terdiri dari kardioplin, kolesterol dan lesitin yang sudah terstandarisasi 
membentuk flokulasi ( gumpalan) atau aglutinasi.  
d. Spesimen Pemeriksaan : Serum atau cairanotak 
e. Alat  dan Bahan Pemeriksaan 
1. Slide pemeriksaan berlatar belakan putih 
2. Mikroskop 
3. Mikropipet 
4. Tip kuning 
5. Rotator 
6. Timer 
7. Batang pengaduk 
1   
  
  
f. Cara Kerja 
a) Kualitatif 
o Siapkan alat dan bahan yad dibutuhkan. 
o Ke dalam lingkaran slide dipipet 50 ul serum. 
o Tambahkan 50 ul atau 1 tetes antigen (reagen VDRL ). 
o Homogenkan dengan batang pengaduk. 
− Putar pada rotator kecepatan 100 rpm selama 4-8 menit. 
− Amati ada tidaknya flokulasi. 
 
b) Kuantitatif 
o Siapkan alat dan bahan yang dibutuhkan.  
o Lakukan pengenceran berseri pada slide dengan cara 50 ul serum + 50 ul saline 
dihomogenkan kemudian hari campuran ini  dipipet 50 ul dan diletakkan 
pada lingkaran ke dua pada slide yang sama kemudian tambahkan 50 ul salin dan 
homogenkan kembali lalu lakukan hal yang sam seperti pada lingkaran pertama 
sampai lingkaran terakhir dima pada pengenceran terakhir hasil pengenceran 
dibuang sebanyak 50 ul. Maka hasil pengenceran adalah 1/2 , 1/4 , 1/8, 1/16, 
1/32, 1/64, 1/128. 
o Kepada masing-masing pengenceran tambahkan 1 tetes ( 50 ul ) antigen VDRL ( 
reagen). 
o Kemudian dihomogenkan dan diputar dengan rotator kecepatan 100 rpm selam 
5-8 menit. 
o Amati ada tidaknya  flokulasi  setiap pengenceran dan tentukan titer 
pemeriksaannya ( yaitu pengenceran trerakhir yang masih menunjukkan 
flokulasi ) 
g.  Interpretasi Hasil 
c) Kualitatif 
Hasil pengamatan cukup menyebutkan non-reaktif, reaktif lemah atau reaktif
 
Gambar . Interpretasi hasil Pemeriksaan VDRL 
 
   
  
 
 
Keterangan :  
REAKTIF              :  Bila tampak gumpalan sedang atau besar 
REAKTIF LEMAH:   Bila tampak gumpalan kecil-kecil 
NON REAKTIF     :  Bila tidak tampak flokulasi/gumpalan 
 
d) Kuantitatif 
Tentukan titernya (amati pngenceran trakhir yang masih menunjukkan flokulasi),  
misalnya  1/64. 
 Pemeriksaan TPHA 
1) Tujuan  :  Untuk mendeteksi adanya antibody terhadap Treponema palidum dalam 
serum dan plasma pasien secara kualitatif dan semi-kuantitatif 
2) Metode Pemeriksaan : Hemaaglutinasi tidak langsung (indirek hemaaglutinasi) 
3) Prinsip Pemeriksaan : adanya antibodi Treponema palidum akan bereaksi dengan 
antigen treponemal yang menempel pada eritrosit ayam kalkun/ domba sehingga 
terbentuk aglutinasi dari eritrosit-eritrosit ini .  
 
 
Gambar .Prinsip Uji TPHA 
 
4) Spesimen Pemeriksaan : Serum  
5) Alat  dan Bahan Pemeriksaan 
1) Mikroplate tipe U 
2) Mikropipet (25µL , 75µl dan 100µL) 
3) Automati vibrator 

  
  
4) Reagen kit TPHA (R1 : Test sel - R2 : Control sel - R3 : Diluent - R4 : Control positif 
- R5 : Control negatif) 
6)  Cara Kerja 
 
e) Kualitatif 
a) Alat dan bahan disiapkan 
b) Setiap komponen kit dan sampel dikondisikan pada suhu kamar.  
c) Semua reagen dihomogenkan perlahan. 
d) Diluents ditambahkan sebanyak 190 µl dan sampel ditambahkan sebanyak 10µl 
pada sumur 1 lalu dihomogenkan 
e) Campuran pada sumur 1 dipipet sebanyak 25 µl dan ditambahkan pada sumur 2 
dan 3 
f) Control sel sebanyak 75 µl ditambahkan pada sumur 2 lalu dihomogenkan. 
g) Test sel sebanyak 75 µl ditambahkan pada sumur 3 lalu dihomogenkan 
h) Sumur diinkubasi pada suhu ruang selama 45 – 60 menit. 
i) Aglutinasi yang terjadi diamati. 
j) Sampel yang menunjukan hasil aglutinasi positif dilanjutkan ke uji semi kuantitatif. 
Catatan : control positif dan negatif selalu disertakan dalam setiap uji tanpa perlu 
diencerkan. 
 
f)  Kuantitatif 
o Alat dan bahan disiapkan. 
o Setiap komponen kit dan sampel dikondisikan pada suhu kamar. 
o Semua reagen dihomogenkan perlahan. 
o Sumur mikrotitrasi disiapkan dan diberi label no. 1 sampai 8. 
o Pengenceran sampel dibuat pada sumur yang berbeda dengan sumur mikrotitrasi 
dengan mencampur 190 µl diluents dan 10 µl sampel 
o Sumur mikrotitrasi no. 1 dikosongkan 
o Sumur mikrotitrasi no. 2 – 8 ditambahkan 25µl diluent 
o Pada sumur mikrotitrasi no. 1 dan 2 ditambahkan 25 µl sampel yang telah 
diencerkan.  
   
  
 
o Campuran pada sumur 2 dipipet 25 µl dan ditambahkan pada sumur 3, lalu 
dihomogenkan. Begitu seterusnya sampai sumur 8. 
o Campuran pada sumur 8 dipipet 25 µl dan dibuang 
o Control sel sebanyak 75 µl ditambahkan pada sumur mikrotitrasi no. 1 lalu 
dihomogenkan. 
o Tes sel sebanyak 75 µl ditambahkan pada sumur mikrotitrasi no. 2-8 lalu 
dihomogenkan.  
o Sumur diinkubasi pada suhu ruang selama 45 – 60 menit. 
o Aglutinasi yang terjadi dibaca, dan ditentukan titernya  
 
7) Interpretasi Hasil 
 
g) Kualitatif 
Hemaglutinasi positif ditandai dengan adanya bulatan berwarna merah dipermukaan 
sumur, hasil negatif terlihat seperti titik berwarna merah di tengah dasar sumur. 
Derajat hemaglutinasi : 
+4 : bulatan merah merata pada seluruh permukaan sumur  
+3 : bulatan merah ada  di sebagian besar permukaan sumur  
+2 : bulatan merah yang terbentuk tidak besar dan tampak seperti cincin 
+1 : bulatan merah kecil dan tampak cincin terang 
 +/- : tampak cincin dengan warna bulatan merah yang samar 
- : Tampak titik berwarna merah didasar sumur 
 

  
  
Gambar 5.24 Derajat Hemaglutinasi pemeriksaan TPHA 
 
h) Kuantitatif 
Titer : pengenceran tertinggi yang masih menunjukkan aglutinasi 
Sumur 1 2 3 4 5 6 7 8 
Titer Control 
cell 
1/80 1/160 1/320 1/640 1/1280 1/2560 1/5120 
 

  
Glosarium 
 
Open Reading Frame (ORF) : bagian dari susunan DNA yang siap ditranslasikan tanpa kodon 
stop, sehingga protein yang dihasilkan dalam jumlah besar (overexpression. 
 
Nucleid Acid Test (NAT) : teknik molekuler yang dipakai  untuk menyaring darah donor 
dengan tujuan mengurangi infeksi yang ditularkan lewat transfusi darah pada pasien. 
 
Colodial gold conjugate : merupakan molekul yang tersusun dari beberapa partikel koloid 
emas yang bermuatan negatif dan memiliki afinitas kuat untuk beberapa protein yang 
cenderung bermuatan positif, pH netral atau fisiologis. 

 
Bab 6 
PEMERIKSAAN IMUNOHEMATOLOGI 
(PEMERIKSAAN PRE TRANSFUSI) 
 
Transfusi darah merupakan ilmu tentang golongan darah manusia dalam hubungannya 
dengan proses pemindahan darah / komponen-komponen darah dari donor kepada resipien. 
Dalam bab ini akan dibahas tentang pemeriksaan Imunohematologi atau yang lebih dikenal 
sebagai pemeriksaan pre-transfusi, diantaranya pemeriksaan golongan darah ABO & Rhesus, 
Crossmatch, Coomb’s Test, skrining dan identifikasi antibodi. Tujuan pemeriksaan pre-
transfusi adalah memilih darah atau komponen darah yang kompatibel, sehingga dapat 
menyelamatkan jiwa seseorang dengan tidak merusak darah pasien atau merugikan pasien.1 
Selama pemeriksaan ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam pemeriksaan 
pretransfusi, antara lain : 
A. Sampel darah pasien. 
Apabila pasien memerlukan transfusi darah, maka pasein harus diambil darah sekitar 
5-10 mL yang dimasukkan ke dalam tabung kering untuk mendapatkan serum / plasma 
yang cukup banyak sebagai bahan pemeriksaan pre-transfusi. Selain itu sampel harus 
diberi pengenal yang jelas, meliputi nama pasien, tanggal lahir pasien  dan nomor 
registrasi/barcode pasien. Kemudian dikirim secepatnya ke laboratorium bersamaan 
dengan formulir permintaan darah. 
Pengambilan sampel darah pasien dengan pemberian label yang benar merupakan hal 
kritis yang perlu diperhatikan. Apabila ada  contoh darah pasien yang tidak memiliki 
identitas yang jelas, maka harus mengambil contoh darah pasien baru untuk 
mengabsahkan identitas pasien. Selain itu sampel darah pasien tidak boleh hemolisis, 
karena dapat mengganggu pemeriksaan pre transfusi. 

  
B. Formulir permintaan darah 
Formulir permintaan darah harus ditandatangani oleh dokter yang merawt pasien. 
Formulir permintaan darah berisikan informasi sebagai berikut : 
 
1) Tanggal permintaan 
2) Nama lengkap pasien  
3) Tanggal lahir atau usia 
4) Jenis kelamin 
5) Nomor registrasi rumah sakit 
6) Ruang rawat / bangsal 
7) Alamat pasien 
8) Diagnosis pasien 
9) Golongan darah apabila sudah diketahui. 
10) Keberadaan setiap antibodi, apabilah telah diketahui 
11) Riwayat transfusi sebelumnya 
12) Riwayat reaksi transfusi. 
13) Jumlah dan jenia darah atau produk darah yang dibutuhkan. 
14) Tanggal dan waktu dibutuhkan. 
15) Tanda tangan dokter yang meminta darah. 
Catatan : Lakukan konfirmasi identitas sampel darah pasien di bank darah. 
C. Penyimpanan sampel darah  
Sampel darah pasien dan donor harus ditutp dan disimpan dengan baikpada suhu 2-6°C 
minimal 7 hari setelah transfusi, tujuannya untuk pemeriksaan ulang apabila ada laporan 
terjadinya reaksi transfusi. 
D. Pendataan  
Setiap permintaan darah dan pemeriksaan darah harus ada pendataan yang lengkap, agar 
dapat dilakukan penelusuran kembali bila dibutuhkan sewaktu-waktu.  
E. Pemeriksaan pre transfusi 
   
  
 
pemeriksaan pre-transfusi pada sampel darah donor dan pasien yang meliputi  
pemeriksaan golongan darah ABO & Rhesus, Crossmatch, Coomb’s Test, skrining dan 
identifikasi antibodi 
Pada Bab ini mahasiswa akan melalukan praktikum Imunohematologi, untuk itu 
mahasiswa diwajibkan mematuhi tata tertib Praktikum di laboratorium, sebagai berikut 
:Larangan : 
a) Dilarang makan, minum, dan merokok selama praktikum di laboratorium. 
b) Dilarang membuang sampah ke dalam wastafel / meja kerja dan di dalam ruangan 
laboratorium. 
c) Dilarang membawa telepon genggam / handphone selama praktikum, kecuali memakai  
cover / plastik disposible. 
 
Kewajiban : 
a) Praktikan harus menggunakan alat pelindung diri (APD) selama praktikum di 
laboratorium. 
b) Praktikan harus mengisi daftar hadir dan melaporkan hasil pengamatan kepada dosen / 
asisten pengawas praktikum. 
c) Praktikan harus melaporkan setiap kerusakan alat yang dipakai  dan menggantinya 
dengan spesifikasi yang sesuai.  
d) Bersihkan sisa praktikum pada setiap meja / wastafel tempat Anda bekerja. 
e) Peralatan yang telah selesai dipakai dikembalikan pada dosen pengawas dalam keadaan 
bersih dan kering.  
f) Setiap kelompok praktikum diwajibkan membawa kain lap bersih / tisu, kertas label, dan 
spidol permanen. 
g) Untuk persiapan sebelum praktikum dan pengawasan alat setelah praktikum, dosen 
pengawas akan dibantu oleh kelompok piket yang bertugas secara bergantian setiap 
minggunya. 
 
 
  
Topik 1 
Persiapan Alat, Reagensia dan Sampel 
 
A. PERSIAPAN ALAT 
Peralatan yang diperlukan untuk pemeriksaan imunohematologi / pretransfusi, 
diantaranya : 
1. Sentrifuse untuk pemisahan darah menggunakan tabung reaksi (table top centrifuge). 
2. Sentrifuse untuk pemeriksaan golongan darah metode tabung  (serological centrifuge). 
3. Sentrifuse untuk pemeriksaan metode gel tes (gel test centrifuge). 
4. Inkubator 37°C (waterbath atau dry incubator) 
5. Inkubator 37° untuk pemeriksaan gel tes 
6. Lemari es (refrigerator) 
7. Tabung reaksi ukuran 12 x 7,5 mm 
8. Rak tabung reaksi  
9. Pipet pasteur plastik 
10. Blood Grouping Plate (BGP) 
11. Coomb gel tes 
12. Pipet adjustable ukuran 200 – 1000 µL 
13. Pipet adjustable ukuran 5 – 50 µL 
14. Tissue 
15. Objek glass 
16. Mikrokop 
17. Tips kuning 
18. Tip Biru 
19. Label 
20. Spidol permanen 
21. Kontainer / wadah penampung 
22. Sarung tangan  
23. Masker 
24. Jas laboratorium 
25. Gunting 
   
  
 
26. Kantung plastik limbah. 
 
B. PERSIAPAN REAGENSIA 
Bahan dan Reagen yang diperlukan untuk pemeriksaan imunohematologi / pretransfusi, 
diantaranya : 
a. Sampel darah pasien  
b. Sampel darah donor 
c. Anti-A 
d. Anti-B 
e. Anti-D IgM 
f. Anti-D IgG 
g. Bovine albumin 22% dan 6% 
h. Anti Human Globulin / Serum Coombs 
i. Larutan saline (0,9%) 
j. Aquadest 
k. Larutan alseiver 
l. Low Ionic Strenght Saline (LISS) : Larutan garam faali 0,2% dan larutan sukrosa 7% 
m. Desinfektan (hipochlorit 0,5%) 
n. Detergen 
 
C. PERSIAPAN SAMPEL 
Preparasi contoh darah harus dilakukan sebelum melakukan pemeriksaan lebih lanjut 
untuk mendapatkan hasil pemeriksaan yang optimal. Ada beberapa hal yang harus 
diperhatikan dalam hal ini, diantaranya : 
1) Pemisahan serum / plasma dari sel darah 
1) Prinsip : Darah sitrat / darah EDTA dengan pemutaran akan terjadi pemisahan 
antara plasma dan sel-sel darah. 
2) Tujuan : Memisahkan plasma dari sel-sel darah 
3) Kegunaan :  
1) Persiapan pembuatan suspensi darah  
2) Persiapan penentuan antigen golongan darah 
4) Cara Kerja :  
1   
  
  
--  Siapkan contoh darah dengan antikoagulan EDTA dalam tabung. 
--  Sentrifugasi darah dalam tabung dengan kecepatan 3000 rpm selama 2 menit. 
--  Siapkan 1 tabung yang bersih untuk menampung plasma. 
--  Pisahkan plasma sebanyak-banyaknya dari sel darah merah pekat dan masukan 
ke dalam tabung yang sudah disiapkan. 
--  Beri identitas pada masing-masing tabung sel darah merah pekat dan plasma 
 
Gambar 6.1 Skema pemisahan serum/plasma daeri sel darah merah 
 
2) Pencucian sel darah merah 
5) Prinsip : Dengan penambahan larutan saline (NaCl 0,9%) dan pemutaran maka 
antibodi di sekitar sel darah merah akan hilang.. 
6) Tujuan :  
1. Menghilangkan sisa protein pada sel darah merah  
2. Menghilangkan sel-sel darah yang rapuh 
3. Menghilangkan auto cold antibody 
4. Menghilangkan formasi Rouleaux  
7) Kegunaan :  
1. Persiapan pembuatan suspensi darah  
2. Persiapan penentuan antigen golongan darah 
8) Cara Kerja :  
a) Lakukan pencucian sel darah merah  pekat dengan mengambil ± 8 tetes dan 
masukan kedalam tabung reaksi 12 x 75 mm. 
b) Tambahkan NaCl 0,9% (saline) sebanyak ± 4,5ml  atau sampai ¾ tabung kedalam 
sel darah merah  pekat tadi. 
   
  
 
c) Tutup tabung dengan parafilm, kocok dengan perlahan agar larutan menjadi 
homogen. 
d) Sentrifugasi dengan kecepatan 3000 rpm selama 2 menit. 
e) Buka penutup parafilm dan buang supernatan dengan menggunakan pipet 
(pencucian ke 1). 
f) Lakukan pencucian sebanyak 3 kali dengan mengulangi langkah ke b hingga ke e 
sesuai kebutuhan. 
g) Sel darah merah yang sudah dicuci merupakan suspensi 100 %. 
 
Gambar 6.2 Skema pencucian sel darah merah 
 
3) Pembuatan suspensi sel darah merah 
Sel darah merah  yang sudah dicuci kemudian dibuat suspensi yang sesuai kebutuhan, 
yaitu :  
Tabel  21. Pembuatan Suspensi Sel Darah Merah 
% Suspensi 
Suspensi  
SEL DARAH 
MERAH  
100% 
Medium  
(Larutan Saline) 
Penggunaan 
5% 
(1/20) 
1 bagian a) bagian a) Pemeriksaan golongan darah (tube 
test) 
b) Pemeriksaan silang serasi 
(crossmatching) 
1   
  
  
10% 
(1/10) 
1 bagian 9 bagian Pemeriksaan golongan darah ABO (slide 
test/bioplate) 
40% 
(2/5) 
1 bagian 3 bagian Pemeriksaan golongan darah rhesus 
(slide test/ bioplate) 
 
 
4) Untuk pembuatan Test Sel Golongan darah A,B,O untuk pemeriksaan antibodi pada serum, 
dilakukan pooling dari darah donor suspensi 100% yang telah diketahui golongan darahnya : 
1 Test Sel A => Dibuat dari 3 golongan darah A yang di pooling sama banyak (A1, A2, A3), 
kemudian dibuat suspensi 5% dan 10% .    
2 Test Sel B => Dibuat dari 3 golongan darah B yang di pooling sama banyak (B1, B2, B3), 
kemudian dibuat suspensi 5% dan 10%. 
3 Test Sel O => Dibuat dari 3 golongan darah O yang di pooling sama banyak (O1, O2, O3), 
kemudian dibuat suspensi 5% dan 10%. 
 
 
Tabel  22. Cek List Perawatan Contoh Darah  
Memisahkan  serum/plasma dengan sel darah merah 
 
Contoh darah dalam tabung  
↓ 
Putar 3000 rpm selama 2 menit  
↓ 
Hasil → supernatan dan sedimen sel  
↓ 
Siapkan 2 tabung beri label   
↓ 
Pisahkan supernatan (plasma/serum) kedalam tabung  
↓ 
Serum jernih dan sek darah merah pekat  
↓ 
Sel darah merah pekat  
 
Pencucian sel darah merah pekat dengan saline 
   
  
 
Sel darah merah  pekat dengan ambil ± 8 tetes  
↓ 
Tambahkan NaCl 0,9% (saline) sebanyak ± 4,5mL  atau sampai ¾ tabung  
↓ 
Tutup tabung dengan parafilm  
↓ 
kocok perlahan agar larutan homogeny (bolak balik tabung)  
↓ 
Putar 3000 rpm selama 2 menit  
↓ 
Buka penutup →buang supernatan saline (pencucian I)  
↓ 
Lakukan pencucian sebanyak 3 kali dengan mengulangi point  2-6  
↓ 
Hasil →sel darah merah pekat 100% yang bebas protein/globulin (WPRC)  
 
5) PembuatanCOOMB’S CONTROL CELLS (CCC) 
COOMB’S CONTROL CELLS (CCC) adalah suspensi sel darah merah golongan O Rhesus 
positif yang sudah disensitasi (dicoated) oleh anti –D IgG ( inkomplit). 
1. Tujuan : 
a) Dapat menguji reagen Coomb’s Serum, masih valid/ invalid 
b) Dapat menguji hasil negative dari pemeriksaan uji silang, Direct Coomb’s Test dan 
indirect Comb’s Test, hasil negative ini  valid/invalid. 
2. Prinsip : Antigen + antibodi D IgG (inkomplit)→ Antigen sensitasi ( coated ) antibodi D 
inkomplit 
3. Metoda: Tube test   
4. Pembuatan Coomb’s Control Cells : 
--  Nyalakan dan atur suhu inkubator pada 37⁰C. 
--  Siapkan reagensia pada suhu kamar sebelum dipakai  dan disimpan kembali pada 
suhu 2⁰C - 8⁰C setelah dipakai . 
--  Siapkan contoh darah yang memakai antikoagulan golongan O Rhesus positif. 
--  Pembuatan suspensi sel 5%, 40% dari darah golongan O Rhesus positif 
--  Pemeriksaan titer anti-D IgG ( inkomplit ) 
a) Siapkan 10 tabung reaksi masing-masing tabung beri indentitas : ½, ¼,  1/8, 1/16, 
1/32, 1/64, 1/128, 1/256, 1/512, 1/1024 
b) Tabung 1 s/d 10 teteskan saline sebanyak 2 tetes. 
c) Isi tabung no.1 teteskan anti-D IgG sebanyak 2 tetes. 
d) Kocok perlahan dengan menggunakan pipet, ambil 2 tetes campuran masukan 
kedalam tabung no.2 
e) Lakukan pemindahan enceran berkala sampai tabung no.10, pada tabung no. 10 
buang 2 tetes  enceran anti-D tsb. 
f) Kocok semua tabung hingga cairan tercampur 
g) Inkubasi pada suhu 37⁰C selama 15 menit semua tabung 
h) Angkat semua tabung, putar 3000rpm selama 15”, baca hasil reaksi. 
i) Tabung yang hasilnya negative dicuci sebanyak 3x dengan saline 
j) Pada pencucian terakhir buang supernatant sebanyak banyaknya. 
k) Tambahkan 2 tetes comb’s serum (AHG). 
l) Kocok perlahan hingga cairan tercampur 
m) Putar 3000rpm  Selama 15”, baca hasil reaksi 
 
Tabel  23. Lembar hasil titer anti – D IgG ( inkomplit ). 
 
Tabung 
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 
½ ¼ 1/8 1/16 1/32 1/64 1/128 1/256 1/512 1/1024 
37⁰C  
selama 15 
menit 
neg Neg Neg Neg Neg Neg Neg Neg Neg Neg 
Hasil 
(contoh) 
4+ 4+ 3+ 3+ 2+ + + Neg Neg Neg 
 
a) Membuat enceran anti –D IgG yang dipakai adalah dengan hasil kekuatan titer : 2. Yaitu 
pada titer 32. 
b) Suspensi yang dipakai  adalah suspensi 40% agar tidak telalu banyak dalam 
penetesan. 
 
Tabel  24. Modifikasi Suspensi Sel Darah Merah Untuk Pembuatan CCC 
Suspensi sel darah merah  
 ( modifikasi ) 
Enceran anti-D IgG dengan saline 
5% 32 → 1 tetes anti-D IgG + 31 saline 
10 % 16 → 1 tetes anti-D IgG + 15  saline 
   
  
 
40% f)   → 1 tetes anti-D IgG + 7  saline 
 
− Buatlah suspensi sel O Rh positif (yang sudah dicuci 1 kali) menjadi 40% dalam saline 
− Buat pengenceran anti –D (IgG) dengan titer 1:7 dalam saline. 
− Kedalam enceran anti –D, tambahkan suspensi sel O Rh positif 40% sebanyak 4 tetes. 
− Kocok perlahan hingga tercampur, inkubasi 37⁰C selama 15 menit (coated/sensitasi). 
− Putar 2 menit 3000rpm kemudian supernatant dibuang. 
− Cuci selnya dengan saline sebanyak 3x . 
− Endapan sel darah merah dibuat suspensi 5% → Coomb’s Control Cells (CCC) akan 
diperoleh 32 tetes CCC dengan perhitungan sebagai berikut : 
P1        .        V1  =  P 2   . V 2 
40% . 4 tetes  =  5% .  V 2 
 V 2  = 32 tetes 
− Jika saline yang tersisa di tabung sekitar 3 tetes, maka saline yang ditambahkan 
sebanyak 29 tetes. 
 
- VALIDASI REAGEN 
Pereaksi atau sering disebut juga reagensia (inggris : reagent) adalah suatu  zat 
yangberperan dalam  suatu  reaksi kimia atau diterapkan untuk tujuan analisis. Istilah reagen 
jugadipakai  untuk menunjuk pada zat kimia dengan kemurnian yang cukup untuk sebuah 
analisisatau percobaan. Sebelum dipakai  untuk analisis, suatu reagen harus melalui proses 
validasi dahulu untuk mengetahui kualitas dari reagen ini . Validasi reagen adalah suatu  
tindakanyang dilakukan untuk   menunjukan tingkat kevalidan atau kesahihan suatu reagen. 
Validasi reagen merupakan salah satu pemantapan mutu internal. Pemantapan mutu internal 
adalah kegiatan pencegahan dan pengawasan yang dilaksanakan oleh setiap laboratorium 
secara terus-menerus agar diperoleh hasil pemeriksaan yang tepat. 
Uji validitas reagen adalah suatu langkah pengujian yang dilakukan terhadap isi 
(content)dari suatu reagen, dengan tujuan untuk mengukur ketepatan reagen yang dipakai  
dalam suatu pemeriksaan. Untuk mengetahui apakah tes itu valid atau tidak harus dilakukan 
melalui pengujian dari reagen itu sendiri agar hasil dari pemeriksaan dapat berlangsung 
dengan baik dan benar. Dengan melakukan uji validitas reagen juga bermanfaat untuk 
mengetahui kondisi reagen. 
Jadi, tujuan validasi reagen adalah untuk menguji validitas suatu reagen sehingga dapat 
diketahui kualitas dari reagen sebelum dipakai  untuk pemeriksaan  dan juga untuk 
menetapkan reagen yang dipakai  valid atau invalid  sehingga diperoleh hasil pemeriksaan 
yang akurat. Oleh karena itu, validitas reagen penting dilakukan sebelum melakukan 
pemeriksaan menggunakan reagen ini . 
Dalam praktikum ini, dilakukan uji validitas reagen, khususnya reagen yang dipakai  
pada pemeriksaan golongan darah untuk tujuan transfusi darah. Uji kualitas reagen harus 
dilakukan pada:  
a) Setiap kali batch larutan kerja (working solution) dibuat. 
b) Setiap minggu 
c) Bila sudah mendekati masa kadaluarsa 
d) Bila ditemukan/terlihat tanda tanda kerusakan ( timbul kekeruhan, perubahan warna, 
timbul endapan) 
e) Bila ada  kecurigaan hasil pemeriksaan 
Reagen yang akan divalidasi dalam praktikum ini adalah 
1. antisera A,B dan D 
2. test sel ABO 
3. Bovine Albumin 22% 
4. Comb’s Serum 
5. CCC ( Comb’s Control Cell) 
Sebelum memulai proses validasi, masing-masing reagen