kena, usia saat onset, abnormalitas dari timus, dan jenis antibodi yang ditemukan (Tabel 1).
Pembagian subtipe lain yang lebih lengkap
berdasarkan epidemiologi, imunologi, genetik, kelainan pada timus, serta respons terhadap imunoterapi telah banyak di gunakan
untuk penelitian dan praktik ldinis (Tabel 2)
ada juga klasifikasi oleh Task Force o f the berdasarkan manifestasi Minis dan derajat
Medical Scientific Advisory Board o f the Myas- kelemahan motorik yang sering dipakai unthenia Gravis Foundation o f America [Tabel 3} tuk evaluasi pasien dalam praktik sehari had.
Penilaian derajat gejala klinis sangat penting dilakukan saat melakukan pemeriksaan
fisik pasien MG dan memberikan skala yang
terukur (label 4).
diagnosa DAN diagnosa BANDING
diagnosa MG ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan neurologis, elektrodiagnostik, serologi untuk antibodi AChR dan MuSK,
serta CT scan torak untuk melihat adanya
timoma.
1. Anamnesis
Adanya kelemahan/kelumpuhan otot
yang berulang setelah aktivitas dan
membaik setelah istirahat. Tersering menyerang otot-otot mata (dengan manifestasi diplopi atau ptosis), dapat disertai
kelumpuhan anggota badan (terutama
otot deltoid, triseps, dan ekstensor jarijari), kelemahan/kelumpuhan otot-otot
yang dipersarafi oleh nervus kranialis.
2. Pemeriksaan Fisik; dilakukan pemeriksaan fisik umum dan neurologis secara menyeluruh untuk menilai kekuatan
motorik dan derajat kelemahan otot-otot
yang terkena (Tab el 4 dan Tab el 5).
3. Tes Klinis Sederhana
a. Tes Wartenberg: penderita diminta
untuk melihat ke atas bidang datar dengan sudut kurang lebih 30 derajat selama 60 detik, positif bila terjadi ptosis.
b. Tes hitung, penderita diminta untuk
menghitung 1-100, positif bila suara
menjadi sengau (suara nasal) atau suara menghilang
c. Ice pack eye test; celah antara kedua
kelopak mata yang mengalami ptosis
akan diukurterlebih dahulu kemudian
dengan es yang terbalut kain akan ditempelkan ke kelopak mata penderita.
Celah antara kedua kelopak mata yang
bertambah lebar setelah penempelan
es selama 2 menit dianggap positif.
4. Uji Tensilon, bermanfaat untuk konfirmasi diagnosa dan respons terhadap
pengobatan. Hasil positif bila ditemukan
perbaikan gejala kelemahan motorik secara cep at, tetapi dalam waktu singkat.
bila pemeriksaan ini tidak tersedia,
pemberian obat penghambat AChE oral
seperti piridostigmin dapat diberikan,
namun perbaikan gejala lebih lambat,
baru terlihat setelah 1-2 jam.
5. Uji Prostigmin (Neostigmin), pada tes
ini disuntikkan l,5mg atau 3cc prostigmin metilsulfat secara intramuskular
(diberikan pula atropin 0,8mg bila perlu}. Jika kelemahan itu benar dipicu oleh MG, maka gejala-gejala seperti
ptosis, strabismus, atau kelemahan lain
tidak lama kemudian akan lenyap.
6. Serologi
a. Antibodi reseptor anti-asetilkolin,
postitif pada 70-95% penderita MG
generalisata dan 50-75% penderita
miastenia okular murni. Pada pasien
timoma tanpa MG sering kali terjadi
false posztiVe antibodi antiAChR.
b. Anti-Muscle-specific Kinase (MuSK)
antibodies, hampir 50% penderita
MG yang menunjukkan hasil antiAChR
Ab negatif (MG seronegatif), menunjukkan hasil yang positif untuk antiMuSK Ab.
7. Elektrodiagnostik
a. Repetitive nerve stimulation (RNS),
untuk mendeplesi vesikel ACh sehingga terjadi penurunan compound motor action potential
(CMAP] progresif dan menilai adanya blok. Hasil yang diharapkan
pada penderita MG yaitu penurunan minimal lebih dari 10%.
Nilai sensitivitas dan spesifisitas
bervariasi bergantung dari teknik
peme-riksaan.
b. Single fiber electromyography
(SFEMG}; mencatat instabilitas
sebelum adanya blok
neuromuskular. SFEMG memiliki
nilai spesifisitas yang sangat
tinggi, tetapi sensitivitasnya tidak
mencapai 100%.
8. Radiologi, pemeriksaan CT scan,
atau MRI torak dilakukan untuk melihat ada atau tidaknya timoma.
diagnosa Banding
Beberapa diagnosa banding untuk menegakkan diagnosa MG antara lain:
1. Adanya ptosis atau strabismus dapat
juga dipicu oleh lesi nervus III pada
beberapa penyakitselain MG, antara lain:
a. Meningitis basalis (tuberkulosis atau
luetika]
b. Infiltrasi karsinoma anaplastik dari
nasofaring
c. Aneurisma di sirkulus arteriosus Willisi
d. Paralisis pascadifteri
e. Pseudoptosis pada trakoma
2. bila ada suatu diplopia yang transient maka kemungkinan adanya
suatu sklerosis multipleks,
3. Sindrom Lambert-Eaton [Lambert-Eaton
Myasthenic Syndrome)
Penyakit ini dikarakteristikkan dengan
adanya kelemahan dan keleiahan pada
otot anggota tubuh bagian proksimal
dan disertai dengan kelemahan relatif
pada otot-otot ekstraokular dan bulbar.
Pada LEMS, terjadi peningkatan tenaga
pada detik-detik awal suatu kontraksi
volunter, terjadi hiporefleksia, mulut
kering, dan sering kali dihubungkan dengan suatu karsinoma terutama oat cell
carcinoma pada paru.
pengobatan
Tujuan pengobatan yaitu untuk mengendalikan gejala (simtomatik], mencegah progresifisitas, dan mencegah komplikasi. Terapi farmakologi mencakup (Tabel 6]:
1. A cethylcholinesterase Inhibitor (PenghambatAChE)
Penghambat AChE memperlambat degradasi asetilkolin yang memungkinkan
berada pada taut saraf otot lebih lama.
Dapat diberikan piridostigmin bromida
(Mestinon ) 30-120mg/3-4 jam/oral.
Umumnya regimen ini diberikan pada
awal penyakit dan penatalaksanaan MG
ringan (MG klas IIA dan IIB).
Efek samping pemberian antikolinesterase dipicu oleh stimulasi parasimpatis, termasuk konstriksi pupil, kolik, diare,
salivasi berlebihan, berkeringat, lakrimasi, dan sekresi bronkial berlebihan. Efek
samping gastrointestinal (efek samping
muskarinik) berupa kram atau diare.
2. Kortikosteroid
Prednison dimulai dengan dosis awal
10-20mg, dinaikkan bertahap (5-10mg/
minggu] lx sehari selang sehari, maksimal 120mg/6 jam/oral, kemudian diturunkan sampai dosis minimal efektif.
3. Azatioprin
Merupakan suatu obat imunosupresif,
dosis 2-3mg/kgBB/hari/oral selama 8
minggu pertama. Setiap minggu harus
dilakukan pemeriksaan darah lengkap
dan fungsi hati. Sesudah itu pemeriksaan laboratorium dikerjakan setiap bulan sekali. disarankan pemberian
prednisolon bersama-sama dengan azatioprin.
4. Plasm a Exchange
Bertujuan untuk menghilangkan antibodi reseptor dari sirkulasi, sering digunakan pada krisis miastenia dan sebelum dilakukan operasi timektomi
5. Intravenous Im m unoglobulin (IVIG)
Dosis 400mg/KgBB/hari selama 5 hari
berturut-turut.
6. Timektomi
Pengangkatan kelenjar timus dapat
mengurangi gejala pada 70% penderita
dengan timoma atau displasia kelenjar
timus. Manfaat pembedahan pada MG seronegatif, MG nontimoma yang terbatas
okular, MG seronegatif dengan antibodi
MuSK positif sangat minimal sehingga
tidak disarankan.
CONTOH KASUS
Seorang laki-laki berusia 43 tahun datang
dengan keluhan kesulitan menelan dan
mengunyah yang hilang timbul sejak 3 bulan yang lalu. Pasien merasa bila pagi hari
sehabis bangun tidur gejala-gejala ini
berkurang, namun bila siang dan sore pasien
harus hati-hati menelan makanan atau
minuman karena sering tersedak. Pasien
juga merasa lelah bila mengunyah makanan
yang konsistensinya padat, bahkan hingga
sulit menutup rahang bawah akibat kelemahan. Dalam 1 bulan ini kelemahan bertambah menjadi kesulitan untuk membuka
kelopak mata dan pandangan ganda bila kecapaian atau saat siang hingga malam hari
yang membaik dengan beristirahat. Pasien
tidak merasakan kelemahan pada otot-otot
ekstremitasnya dan tidak merasakan sesak
napas. Tidak dirasa juga adanya penurunan
berat badan dan tidak ada riwayat keganasan. Pada pemeriksaan fisik didapatkan oftalmoplegia, ptosis bilateral, disfagia,
disfonia, dan jaw drop. Pemeriksaan tes
repetitive nerve stimulation menunjukan
penurunan amplitudo CMAP >10% pada
stimulasi di otot orbikularis okuli dengan
frekuensi stimulasi 3Hz (Gambar 3).
Pasien didiagnosa sebagai miastenia gravis
late onset dengan kategori MGFA derajat Mb,
karena kelemahan yang timbul lebih banyak
melibatkan otot-otot bulbar dibandingkan
ekstremitas. Pasien menjalani pemeriksaan
CT toraks untuk menyingkirkan kemungkinan timoma. Hasil CT scan tidak menunjukkan adanya timoma, hiperplasia timus,
maupun masa mediastinum lainnya. Pasien
diberikan pengobatan simptomatik berupa piridostigmin dengan dosis 2x60mg.
Imunosupresan steroid dimulai pada awal
terapi disertai steroid sparring effect immunosuppressant (SSEI) lainnya, karena efek
terapi golongan SSEI ini memerlukan jangka
waktu lama hingga diharapkan efek terapinya sudah muncul pada saat dosis steroid
diturunkan
Respons terapi piridostigmin pada pasien
cukup adekuat, namun ketika dosis obat
dinaikkan menjadi lebih dari 2x60mg muncul efek samping muskarinik yang mengganggu berupa hipersalivasi dan diare yang
tidak dapat ditoleransi pasien. Pasien usia
>40 tahun dengan gejala otot-otot bulbar
yang dominan disertai intoleransi terhadap
piridostigmin pada dosis yang tidak terlalu
tinggi dapat sesuai dengan gambaran MG
dengan antiMuSK positif. Pemeriksaan serologi antiAChR, anti MuSK harus dilakukan
untuk mengkonfirmasi diagnosa ini. Pada
MG dengan antiMuSK positif timektomi tidak memberikan hasil yang baik, namun
respons terhadap imunosupresan sama
baiknya dengan MG dengan antireseptor
asetiikolin positif.
MOTOR NEURON DISEASE
Fitri Octaviana, Ahmad YanuarSafin' Luh Ari Indrawati
Winnugroho Wiratman, Manfaluthy Hakim
PENDAHULUAN
Motor neuron diseases (MND) yaitu penyakit yang dipicu oleh degenerasi badan
sel neuron motorik. Salah satu tipe MND yang
paling sering terjadi yaitu amyotrophic
lateral sclerosis (ALS), sehingga istilah MND
dan ALS sering kali dipakai jika membicarakan penyakit ini. Sampai saat ini MND
termasuk dalam penyakit yang belum dapat
disembuhkan dan mempunyai prognosis
buruk. Belum ditemukan suatu pengobatan
yang bersifat kuratif hingga saat ini.
EPIDEMIOLOGI
MND relatif sangat jarang terjadi namun
insidens MND di Inggris semakin meningkat
sejak tahun 1998 hingga 2011 yaitu sekitar
I, 76-4,3 per 100.000 penduduk. Mortalitas
akibat MND di Inggris sekitar 1 tiap 350-450
penduduk. Demikian juga halnya di Australia,
insidens dan mortalitas aldbat MND semakin
meningkat. Pada tahun 2001 didapatkan 592
pasien meninggal dan 787 pasien meninggal
pada tahun 2013 akibat MND. Angka di
negara kita sendiri sampai saat ini belum ada.
Di antara negara-negara Asia, insidens MND
di Jepang tercatat sangat tinggi yaitu sekitar
I I , 3 per 100.000 penduduk, sedangkan di
negara Asia lainnya seperti Cina dan Iran
sekitar 1-3 per 100.000 penduduk.
PATOFISIOLOGI
Berdasarkan anatomi dan fisiologi, ada
dua motor neuron yaitu lower motor neuron
(LMN) dan upper motor neuron (UMN). LMN
terletak di kornu anterior medula spinalis
dan di batang otak (nukieus motorik saraf
kranialis} serta menginervasi otot-otot secara langsung. UMN terletak di korteks motorik dan memberikan jaras ke kortikospinal
dan kortikobulbar (Gambar 1).
MND dapat bersifat didapat (acquired} atau
diturunkan (herediter). Neuron motorik
mengalami apoptosis sehingga terjadi degenerasi akson nervus motorik dan pada
akhirnya taut saraf-otot juga ikut mengalami
kerusakan (lihat bab Neuropati, Gambar 1
mengenai Neuronopati}. Serabut-serabut
otot yang dipersarafi oleh akson yang berdegenerasi akan mengalami atrofi.
Apoptosis di atas terjadi diperkirakan paling
mungkin karena faktor genetik, Hal ini diperkuat dengan laporan-laporan ilmiah tentang
riwayat keluarga pada penderita yang bersifat
autosomal dominan. Faktor lain yang mungkin
memicu adanya apoptosis yaitu defisit
primer transpor akson. Lambatnya transpor
akson memicu pembengkakan akson
kemudian berujung pada atrofi akson. Selain
dua teori di atas, banyak teori yang diperkirakan berkaitan dengan apoptosis neuron
motorik, yaitu metabolisme karbohidrat
yang abnormal, neoplasma, deposisi kompleks imun, defek DNA repair enzyme, dan
lain-lain.
Secara elektrofisiologi, masing-masing serabut otot akan menunjukkan fibrilasi dan
gelombang positif {positive waves] akibat
tidak stabilnya membran otot. Jika serabutserabut otot ini berkontraksi secara
bersamaan, maka motor unit yang terkait
akan mengalami fasikulasi. Pada MND yang
didapat {acquired], akson saraf motorik
terkait akan memeberikan reinervasi terhadap serabut otot sehingga pada gambaran
pemeriksaan elektromiografi (EMG] akan
terlihat gambaran reinervasi.
Pada ALS yang bersifat familial, beberapa gen
ternyata berhubungan dengan ALS, khususnya
gen superoxide dismutase 1 (SOD1), TAR DNAbinding protein 43 (TARDBP), dan fused in
sarcoma (FUS].
GEJALA DAN TANDA KLINIS
Gejala klinis ALS meliputi gejala UMN dan
LMN, namun pada sebagian besar kasus
dapat menunjukkan hanya gejala LMN. Tidak
ada gejala atau gangguan sensorik pada ALS,
karena murni hanya mengenai nukieus motorik.
Gejala klinis LMN pada ALS:
Kelemahan dan atrofi otot-otot ekstremitas bagian distal yang asimetri
• Fasikulasi
Flaksid atau tonus otot dapat normal
• Penurunan refleks fisiologis
Gejala klinis UMN pada ALS:
Atrofi tidak terlalu jelas terlihat
Spastis
Peningkatan refleks fisiologis pada otot
yang mengalami atrofi
ada refleks patologis (refleks
Babinski, refleks Hoffmann Tromner]
Sindrom klinis MND beserta gejala klinisnya
dapat dilihat pada Tabel 1.
Pada saat awitan, biasanya kelemahan dan
atrofi otot hanya mengenai sekelompok otot
tertentu. Dapat dimulai dari otot ekstremitas,
bulbar, dan otot pernapasan. Kelemahan otot
ekstremitas bagian distal yaitu bentukyang
paling serlng dijumpai. Kelemahan bersifat
asimetris, pasien dapat menunjukkan gejala
seperti drop foot, atrofi ototinstrinsiktangan,
gangguan menulis, atau gerakan membuka
botol. Pada pemeriksaan fisik, sering sekali
dijumpai atrofi yang jelas pada otot tibialis
anterior.
Pada bentuk bulbar, gejala yang paling
sering dialami saat awitan yaitu gangguan
berbicara (pelo, slurred]. Pada pemeriksaan
fisik tampak jelas lidah mengalami fasikulasi dan atrofi [Gambar 2). Disfagia dan
kelemahan otot pernapasan biasanya muncul belakangan.
diagnosa DAN diagnosa BANDING
diagnosa
ALS ditegakkan murni secara klinis berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik.
Pemeriksaan penunjang dilakukan untuk
menyingkirkan penyakit lainnya yang dapat
dipicu kelainan struktural.
Tanda klinis yang khas yaitu pasien dengan
tanda klinis atrofi beberapa kelompok otot di
beberapa bagian tubuh, fasikulasi di otot-otot
rangka dan lidah, peningkatan refleks fisiologis, dan perjalanan penyakit berjalan secara
progresif. Pemeriksaan pencitraan dilakukan
untuk menyingkirkan adanya kelainan struktural lain yang dapat menerangkan manifestasi Idinis pasien. Pada pasien yang dicurigai ALS, sangat penting dilakukan pemeriksaan
elektrofisiologi [kecepatan hantar saraf (KHS}
dan elektromiografi (EMG}] untuk membantu
menegakkan diagnosa . Pemeriksaan EMG
dapat mengkonfirmasi adanya kelainan LMN
pada pasien dengan klinis UMN.
Pasien yang memenuhi kriteria revised
El Escorial sebaiknya segera dilakukan
pemeriksaan KHS dan EMG. Kriteria revised El Escorial yaitu sebuah panduan
untuk membantu menegakkan diagnosa
ALS (Tabel 2).
diagnosa Banding
Penyakit gangguan motor neuron (motor
neuron disorder) yang sering terjadi dan
mirip dengan MND antara lain:
Multifocal motor neuropathy
Spinal muscular atrophy
Spinal bulbar muscular atrophy/penyakit
Kennedy
Poliomielitis
Wes Nile virus
Paraneoplastic motor neuron disease
pengobatan
pengobatan hanya bersifat simtomatik dan
bukan bersifat kuratif. Riluzole yaitu suatu
agen penghambat glutamat yang terbukti
dapat memperpanjang angka harapan hidup
pasien ALS. pemakaian Riluzole telah disetujui di Amerika Serikat, Eropa dan Australia. pemakaian Riluzole lOOmg/hari dapat
memperpanjang survival sekitar 15 bulan.
Namun sayangnya Riluzole sampai saat ini
belum tersedia di negara kita .
pemakaian antioksidan seperti vitamin
C dan vitamin E banyak dipakai pada
pasien ALS. Namun efektivitas pemakaian
antioksidan ini pada ALS belum terbukti.
Terapi exerase/latihan disarankan
agar dapat mempertahankan tonus otot.
Pasien ALS dapat mengalami nyeri dan
spastis. Obat antiinflamasi nonsteroid dan
golongan opioid dapat dipakai untuk
mengatasi nyeri. Sedangkan spastisitas
dapat dikurangi dengan pemberian baklofen,
fisioterapi, atau terapi neurolisis.