neurologi 24












 kena, usia saat onset, abnormalitas dari timus, dan jenis antibodi yang ditemukan (Tabel 1).

Pembagian subtipe lain yang lebih lengkap 

berdasarkan epidemiologi, imunologi, genetik, kelainan pada timus, serta respons terhadap imunoterapi telah banyak di gunakan 

untuk penelitian dan praktik ldinis (Tabel 2) 

ada  juga klasifikasi oleh Task Force o f the berdasarkan manifestasi Minis dan derajat

Medical Scientific Advisory Board o f the Myas- kelemahan motorik yang sering dipakai  unthenia Gravis Foundation o f America [Tabel 3} tuk evaluasi pasien dalam praktik sehari had.

 

Penilaian derajat gejala klinis sangat penting dilakukan saat melakukan pemeriksaan 

fisik pasien MG dan memberikan skala yang 

terukur (label 4).

diagnosa  DAN diagnosa  BANDING

diagnosa  MG ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan neurologis, elektrodiagnostik, serologi untuk antibodi AChR dan MuSK, 

serta CT scan torak untuk melihat adanya 

timoma.

1. Anamnesis

Adanya kelemahan/kelumpuhan otot 

yang berulang setelah aktivitas dan 

membaik setelah istirahat. Tersering menyerang otot-otot mata (dengan manifestasi diplopi atau ptosis), dapat disertai 

kelumpuhan anggota badan (terutama

otot deltoid, triseps, dan ekstensor jarijari), kelemahan/kelumpuhan otot-otot 

yang dipersarafi oleh nervus kranialis.

2. Pemeriksaan Fisik; dilakukan pemeriksaan fisik umum dan neurologis secara menyeluruh untuk menilai kekuatan 

motorik dan derajat kelemahan otot-otot 

yang terkena (Tab el 4 dan Tab el 5).

3. Tes Klinis Sederhana

a. Tes Wartenberg: penderita diminta 

untuk melihat ke atas bidang datar dengan sudut kurang lebih 30 derajat selama 60 detik, positif bila terjadi ptosis.

b. Tes hitung, penderita diminta untuk 

menghitung 1-100, positif bila suara 

menjadi sengau (suara nasal) atau suara menghilang 

c. Ice pack eye test; celah antara kedua 


kelopak mata yang mengalami ptosis 


akan diukurterlebih dahulu kemudian 


dengan es yang terbalut kain akan ditempelkan ke kelopak mata penderita. 


Celah antara kedua kelopak mata yang 


bertambah lebar setelah penempelan 


es selama 2 menit dianggap positif.


4. Uji Tensilon, bermanfaat untuk konfirmasi diagnosa  dan respons terhadap 


pengobatan. Hasil positif bila ditemukan 


perbaikan gejala kelemahan motorik secara cep at, tetapi dalam waktu singkat. 


bila  pemeriksaan ini tidak tersedia, 


pemberian obat penghambat AChE oral 


seperti piridostigmin dapat diberikan, 


namun perbaikan gejala lebih lambat, 


baru terlihat setelah 1-2 jam.


5. Uji Prostigmin (Neostigmin), pada tes 


ini disuntikkan l,5mg atau 3cc prostigmin metilsulfat secara intramuskular 


(diberikan pula atropin 0,8mg bila perlu}. Jika kelemahan itu benar dipicu  oleh MG, maka gejala-gejala seperti 


ptosis, strabismus, atau kelemahan lain 


tidak lama kemudian akan lenyap.


6. Serologi


a. Antibodi reseptor anti-asetilkolin, 


postitif pada 70-95% penderita MG 


generalisata dan 50-75% penderita 


miastenia okular murni. Pada pasien 


timoma tanpa MG sering kali terjadi 


false posztiVe antibodi antiAChR.


b. Anti-Muscle-specific Kinase (MuSK) 


antibodies, hampir 50% penderita 


MG yang menunjukkan hasil antiAChR 


Ab negatif (MG seronegatif), menunjukkan hasil yang positif untuk antiMuSK Ab.


7. Elektrodiagnostik


a. Repetitive nerve stimulation (RNS), 


untuk mendeplesi vesikel ACh sehingga terjadi penurunan compound motor action potential


(CMAP] progresif dan menilai adanya blok. Hasil yang diharapkan 


pada penderita MG yaitu  penurunan minimal lebih dari 10%. 


Nilai sensitivitas dan spesifisitas 


bervariasi bergantung dari teknik 


peme-riksaan.


b. Single fiber electromyography


(SFEMG}; mencatat instabilitas 


sebelum adanya blok 


neuromuskular. SFEMG memiliki 


nilai spesifisitas yang sangat 


tinggi, tetapi sensitivitasnya tidak 


mencapai 100%.


8. Radiologi, pemeriksaan CT scan, 


atau MRI torak dilakukan untuk melihat ada atau tidaknya timoma.


diagnosa  Banding


Beberapa diagnosa  banding untuk menegakkan diagnosa  MG antara lain:


1. Adanya ptosis atau strabismus dapat


juga dipicu  oleh lesi nervus III pada


beberapa penyakitselain MG, antara lain:


a. Meningitis basalis (tuberkulosis atau 


luetika]


b. Infiltrasi karsinoma anaplastik dari 


nasofaring


c. Aneurisma di sirkulus arteriosus Willisi


d. Paralisis pascadifteri


e. Pseudoptosis pada trakoma


2. bila  ada  suatu diplopia yang transient maka kemungkinan adanya 


suatu sklerosis multipleks,


3. Sindrom Lambert-Eaton [Lambert-Eaton


Myasthenic Syndrome)


Penyakit ini dikarakteristikkan dengan 


adanya kelemahan dan keleiahan pada 


otot anggota tubuh bagian proksimal 


dan disertai dengan kelemahan relatif 


pada otot-otot ekstraokular dan bulbar. 


Pada LEMS, terjadi peningkatan tenaga 


pada detik-detik awal suatu kontraksi 


volunter, terjadi hiporefleksia, mulut 


kering, dan sering kali dihubungkan dengan suatu karsinoma terutama oat cell


carcinoma pada paru.


pengobatan 


Tujuan pengobatan  yaitu  untuk mengendalikan gejala (simtomatik], mencegah progresifisitas, dan mencegah komplikasi. Terapi farmakologi mencakup (Tabel 6]:


1. A cethylcholinesterase Inhibitor (PenghambatAChE)


Penghambat AChE memperlambat degradasi asetilkolin yang memungkinkan 


berada pada taut saraf otot lebih lama. 


Dapat diberikan piridostigmin bromida 


(Mestinon  ) 30-120mg/3-4 jam/oral. 


Umumnya regimen ini diberikan pada 


awal penyakit dan penatalaksanaan MG 


ringan (MG klas IIA dan IIB).


Efek samping pemberian antikolinesterase dipicu  oleh stimulasi parasimpatis, termasuk konstriksi pupil, kolik, diare, 


salivasi berlebihan, berkeringat, lakrimasi, dan sekresi bronkial berlebihan. Efek


samping gastrointestinal (efek samping 


muskarinik) berupa kram atau diare.


2. Kortikosteroid


Prednison dimulai dengan dosis awal 


10-20mg, dinaikkan bertahap (5-10mg/ 


minggu] lx sehari selang sehari, maksimal 120mg/6 jam/oral, kemudian diturunkan sampai dosis minimal efektif.


3. Azatioprin


Merupakan suatu obat imunosupresif, 


dosis 2-3mg/kgBB/hari/oral selama 8 


minggu pertama. Setiap minggu harus 


dilakukan pemeriksaan darah lengkap 


dan fungsi hati. Sesudah itu pemeriksaan laboratorium dikerjakan setiap bulan sekali. disarankan pemberian 


prednisolon bersama-sama dengan azatioprin.


4. Plasm a Exchange


Bertujuan untuk menghilangkan antibodi reseptor dari sirkulasi, sering digunakan pada krisis miastenia dan sebelum dilakukan operasi timektomi


5. Intravenous Im m unoglobulin (IVIG)


Dosis 400mg/KgBB/hari selama 5 hari 


berturut-turut.


6. Timektomi


Pengangkatan kelenjar timus dapat 


mengurangi gejala pada 70% penderita 


dengan timoma atau displasia kelenjar 


timus. Manfaat pembedahan pada MG seronegatif, MG nontimoma yang terbatas 


okular, MG seronegatif dengan antibodi 


MuSK positif sangat minimal sehingga 


tidak disarankan. 

CONTOH KASUS


Seorang laki-laki berusia 43 tahun datang 


dengan keluhan kesulitan menelan dan 


mengunyah yang hilang timbul sejak 3 bulan yang lalu. Pasien merasa bila pagi hari 


sehabis bangun tidur gejala-gejala ini 


berkurang, namun bila siang dan sore pasien 


harus hati-hati menelan makanan atau 


minuman karena sering tersedak. Pasien 


juga merasa lelah bila mengunyah makanan 


yang konsistensinya padat, bahkan hingga 


sulit menutup rahang bawah akibat kelemahan. Dalam 1 bulan ini kelemahan bertambah menjadi kesulitan untuk membuka 


kelopak mata dan pandangan ganda bila kecapaian atau saat siang hingga malam hari 


yang membaik dengan beristirahat. Pasien 


tidak merasakan kelemahan pada otot-otot 


ekstremitasnya dan tidak merasakan sesak 


napas. Tidak dirasa juga adanya penurunan 


berat badan dan tidak ada  riwayat keganasan. Pada pemeriksaan fisik didapatkan oftalmoplegia, ptosis bilateral, disfagia,


disfonia, dan jaw drop. Pemeriksaan tes 


repetitive nerve stimulation menunjukan 


penurunan amplitudo CMAP >10% pada 


stimulasi di otot orbikularis okuli dengan 


frekuensi stimulasi 3Hz (Gambar 3).


Pasien didiagnosa  sebagai miastenia gravis 


late onset dengan kategori MGFA derajat Mb, 


karena kelemahan yang timbul lebih banyak 


melibatkan otot-otot bulbar dibandingkan 


ekstremitas. Pasien menjalani pemeriksaan 


CT toraks untuk menyingkirkan kemungkinan timoma. Hasil CT scan tidak menunjukkan adanya timoma, hiperplasia timus, 


maupun masa mediastinum lainnya. Pasien 


diberikan pengobatan simptomatik berupa piridostigmin dengan dosis 2x60mg. 


Imunosupresan steroid dimulai pada awal 


terapi disertai steroid sparring effect immunosuppressant (SSEI) lainnya, karena efek 


terapi golongan SSEI ini memerlukan jangka 


waktu lama hingga diharapkan efek terapinya sudah muncul pada saat dosis steroid 


diturunkan 

Respons terapi piridostigmin pada pasien 


cukup adekuat, namun ketika dosis obat 


dinaikkan menjadi lebih dari 2x60mg muncul efek samping muskarinik yang mengganggu berupa hipersalivasi dan diare yang 


tidak dapat ditoleransi pasien. Pasien usia 


>40 tahun dengan gejala otot-otot bulbar 


yang dominan disertai intoleransi terhadap 


piridostigmin pada dosis yang tidak terlalu 


tinggi dapat sesuai dengan gambaran MG 


dengan antiMuSK positif. Pemeriksaan serologi antiAChR, anti MuSK harus dilakukan 


untuk mengkonfirmasi diagnosa  ini. Pada 


MG dengan antiMuSK positif timektomi tidak memberikan hasil yang baik, namun 


respons terhadap imunosupresan sama 


baiknya dengan MG dengan antireseptor 


asetiikolin positif.

 







MOTOR NEURON DISEASE


Fitri Octaviana, Ahmad YanuarSafin' Luh Ari Indrawati


Winnugroho Wiratman, Manfaluthy Hakim


PENDAHULUAN


Motor neuron diseases (MND) yaitu  penyakit yang dipicu  oleh degenerasi badan 


sel neuron motorik. Salah satu tipe MND yang 


paling sering terjadi yaitu  amyotrophic


lateral sclerosis (ALS), sehingga istilah MND 


dan ALS sering kali dipakai  jika membicarakan penyakit ini. Sampai saat ini MND 


termasuk dalam penyakit yang belum dapat 


disembuhkan dan mempunyai prognosis 


buruk. Belum ditemukan suatu pengobatan 


yang bersifat kuratif hingga saat ini.


EPIDEMIOLOGI


MND relatif sangat jarang terjadi namun


insidens MND di Inggris semakin meningkat 


sejak tahun 1998 hingga 2011 yaitu sekitar


I, 76-4,3 per 100.000 penduduk. Mortalitas 


akibat MND di Inggris sekitar 1 tiap 350-450 


penduduk. Demikian juga halnya di Australia, 


insidens dan mortalitas aldbat MND semakin 


meningkat. Pada tahun 2001 didapatkan 592 


pasien meninggal dan 787 pasien meninggal 


pada tahun 2013 akibat MND. Angka di 


negara kita  sendiri sampai saat ini belum ada. 


Di antara negara-negara Asia, insidens MND 


di Jepang tercatat sangat tinggi yaitu sekitar


I I , 3 per 100.000 penduduk, sedangkan di 


negara Asia lainnya seperti Cina dan Iran 


sekitar 1-3 per 100.000 penduduk. 

PATOFISIOLOGI


Berdasarkan anatomi dan fisiologi, ada  


dua motor neuron yaitu lower motor neuron


(LMN) dan upper motor neuron (UMN). LMN 


terletak di kornu anterior medula spinalis 


dan di batang otak (nukieus motorik saraf 


kranialis} serta menginervasi otot-otot secara langsung. UMN terletak di korteks motorik dan memberikan jaras ke kortikospinal 


dan kortikobulbar (Gambar 1).


MND dapat bersifat didapat (acquired} atau 


diturunkan (herediter). Neuron motorik 


mengalami apoptosis sehingga terjadi degenerasi akson nervus motorik dan pada 


akhirnya taut saraf-otot juga ikut mengalami 


kerusakan (lihat bab Neuropati, Gambar 1 


mengenai Neuronopati}. Serabut-serabut 


otot yang dipersarafi oleh akson yang berdegenerasi akan mengalami atrofi.


Apoptosis di atas terjadi diperkirakan paling 


mungkin karena faktor genetik, Hal ini diperkuat dengan laporan-laporan ilmiah tentang 


riwayat keluarga pada penderita yang bersifat 


autosomal dominan. Faktor lain yang mungkin 


memicu  adanya apoptosis yaitu  defisit 


primer transpor akson. Lambatnya transpor 


akson memicu  pembengkakan akson 


kemudian berujung pada atrofi akson. Selain 


dua teori di atas, banyak teori yang diperkirakan berkaitan dengan apoptosis neuron 


motorik, yaitu metabolisme karbohidrat 


yang abnormal, neoplasma, deposisi kompleks imun, defek DNA repair enzyme, dan 


lain-lain.


Secara elektrofisiologi, masing-masing serabut otot akan menunjukkan fibrilasi dan 


gelombang positif {positive waves] akibat 


tidak stabilnya membran otot. Jika serabutserabut otot ini berkontraksi secara 


bersamaan, maka motor unit yang terkait 


akan mengalami fasikulasi. Pada MND yang 


didapat {acquired], akson saraf motorik 


terkait akan memeberikan reinervasi terhadap serabut otot sehingga pada gambaran 


pemeriksaan elektromiografi (EMG] akan 


terlihat gambaran reinervasi.


Pada ALS yang bersifat familial, beberapa gen 


ternyata berhubungan dengan ALS, khususnya 


gen superoxide dismutase 1 (SOD1), TAR DNAbinding protein 43 (TARDBP), dan fused in


sarcoma (FUS].


GEJALA DAN TANDA KLINIS


Gejala klinis ALS meliputi gejala UMN dan 


LMN, namun pada sebagian besar kasus 


dapat menunjukkan hanya gejala LMN. Tidak 


ada gejala atau gangguan sensorik pada ALS, 


karena murni hanya mengenai nukieus motorik.


Gejala klinis LMN pada ALS:


   Kelemahan dan atrofi otot-otot ekstremitas bagian distal yang asimetri


• Fasikulasi


   Flaksid atau tonus otot dapat normal


• Penurunan refleks fisiologis


Gejala klinis UMN pada ALS:


   Atrofi tidak terlalu jelas terlihat


   Spastis


   Peningkatan refleks fisiologis pada otot 


yang mengalami atrofi 


   ada  refleks patologis (refleks 


Babinski, refleks Hoffmann Tromner]


Sindrom klinis MND beserta gejala klinisnya 


dapat dilihat pada Tabel 1.

 

Pada saat awitan, biasanya kelemahan dan 


atrofi otot hanya mengenai sekelompok otot 


tertentu. Dapat dimulai dari otot ekstremitas, 


bulbar, dan otot pernapasan. Kelemahan otot 


ekstremitas bagian distal yaitu  bentukyang 


paling serlng dijumpai. Kelemahan bersifat


asimetris, pasien dapat menunjukkan gejala 


seperti drop foot, atrofi ototinstrinsiktangan, 


gangguan menulis, atau gerakan membuka 


botol. Pada pemeriksaan fisik, sering sekali 


dijumpai atrofi yang jelas pada otot tibialis 


anterior. 

Pada bentuk bulbar, gejala yang paling 


sering dialami saat awitan yaitu  gangguan 


berbicara (pelo, slurred]. Pada pemeriksaan 


fisik tampak jelas lidah mengalami fasikulasi dan atrofi [Gambar 2). Disfagia dan 


kelemahan otot pernapasan biasanya muncul belakangan.


diagnosa  DAN diagnosa  BANDING


diagnosa 


ALS ditegakkan murni secara klinis berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik. 


Pemeriksaan penunjang dilakukan untuk 


menyingkirkan penyakit lainnya yang dapat 


dipicu  kelainan struktural.


Tanda klinis yang khas yaitu  pasien dengan 


tanda klinis atrofi beberapa kelompok otot di 


beberapa bagian tubuh, fasikulasi di otot-otot


rangka dan lidah, peningkatan refleks fisiologis, dan perjalanan penyakit berjalan secara 


progresif. Pemeriksaan pencitraan dilakukan 


untuk menyingkirkan adanya kelainan struktural lain yang dapat menerangkan manifestasi Idinis pasien. Pada pasien yang dicurigai ALS, sangat penting dilakukan pemeriksaan 


elektrofisiologi [kecepatan hantar saraf (KHS} 


dan elektromiografi (EMG}] untuk membantu 


menegakkan diagnosa . Pemeriksaan EMG 


dapat mengkonfirmasi adanya kelainan LMN 


pada pasien dengan klinis UMN.


Pasien yang memenuhi kriteria revised


El Escorial sebaiknya segera dilakukan 


pemeriksaan KHS dan EMG. Kriteria revised El Escorial yaitu  sebuah panduan 


untuk membantu menegakkan diagnosa  


ALS (Tabel 2).

 diagnosa  Banding


Penyakit gangguan motor neuron (motor


neuron disorder) yang sering terjadi dan 


mirip dengan MND antara lain:


   Multifocal motor neuropathy


   Spinal muscular atrophy


   Spinal bulbar muscular atrophy/penyakit


Kennedy 


   Poliomielitis 


   Wes Nile virus


   Paraneoplastic motor neuron disease


pengobatan 


pengobatan  hanya bersifat simtomatik dan 


bukan bersifat kuratif. Riluzole yaitu  suatu 


agen penghambat glutamat yang terbukti 


dapat memperpanjang angka harapan hidup 


pasien ALS. pemakaian  Riluzole telah disetujui di Amerika Serikat, Eropa dan Australia. pemakaian  Riluzole lOOmg/hari dapat 


memperpanjang survival sekitar 15 bulan. 


Namun sayangnya Riluzole sampai saat ini 


belum tersedia di negara kita .


pemakaian  antioksidan seperti vitamin 


C dan vitamin E banyak dipakai  pada 


pasien ALS. Namun efektivitas pemakaian  


antioksidan ini pada ALS belum terbukti. 


Terapi exerase/latihan disarankan 


agar dapat mempertahankan tonus otot.


Pasien ALS dapat mengalami nyeri dan 


spastis. Obat antiinflamasi nonsteroid dan 


golongan opioid dapat dipakai  untuk 


mengatasi nyeri. Sedangkan spastisitas


dapat dikurangi dengan pemberian baklofen, 


fisioterapi, atau terapi neurolisis.