neurologi 3












 ada  pergerakan bola 

mata yang horizontal pada pasien penurunan kesadaran, kemungkinan pemicu nya bukan akibat lesi struktural di 

batang otak, namun kelainan nonstruktural (seperti gangguan metabolik) atau 

lesi bilateral pada hemisfer.

Pergerakan bola mata dikatakan tidak normal 

jikaiPada tes kalori dengan air dingin, jika 

bola mata ipsilateral tidak bisa melakukan 

gerakan aduksi, sementara bola mata kontralateral dapat melakukan gerakan abduksi 

dengan normal, perlu dicurigai adanya lesi 

yang mengenai nervus okulomotor (nervus III). Lesi ini  bisa dalam bentuk 

lesi hemisfer yang mengaldbatkan herniasi 

transtentorium.

• Jika bola mata tidak berespons terhadap tes kalori dengan air dingin, 

perlu dicurigai adanya lesi struktural 

di pons atau kelainan metabolik yang 

mengenai batang otak, seperti intoksikasi obat sedatif.

® Deviasi bola mata ke bawah pada 

salah satu atau kedua mata pada tes 

kalori dengan air dingin, umumnya 

ditemukan pada masalah  intoksikasi 

obat sedatif.

5. Pemeriksaan Respons Motorik fcerhadap Nyeri

 

Pemeriksaan respons motorik terhadap 

nyeri dilakukan dengan cara memberikan tekanan pada supraorbita, sternum, 

atau kuku, Respons terhadap stimulus 

ini dapat mengindikasikan pemicu  

penurunan kesadaran di hemisfer secara 

simetris (gangguan metabolik atau lesi 

difus) atau asimetris (lesi struktural unilateral), serta membantu lokalisasi letak 

disfungsi serebral.

Pada disfungsi serebral derajat sedang, 

respons pasien terhadap nyeri yaitu  

dengan cara melokalisasi ke arah datangnya stimulus. Jika lesi mengenai talamus, 

maka respons akan berupa dekortikasi, 

yaitu fleksi lengan, aduksi bahu, dan ekstensi tungkai serta kaki yang terjadi secara simultan (Gambar 5). Pada disfungsi 

otak yang lebih berat, rangsang nyeri 

akan direspons dalam bentuk deserebrasi, 

yaitu ekstensi lengan, rotasi internal 

bahu dan lengan, serta ekstensi tungkai 

yang terjadi secara simultan (Gambar 5).

Respons postur yang bilateral dan simetris 

akan ditemukan pada lesi hemisfer bilateral 

dan metabolik. Postur yang unilateral dan

asimetris umumnya mengindikasikan lesi 

struktural pada 1 hemisfer atau batang otak 

sisi kontralateral tubuh yang mengalami defisit neurologis. Pada pasien dengan lesi di 

pons bawah dan medula, umumnya tidak 

ada respons terhadap rangsang nyeri, hanya 

akan ada refleks spinal dalam bentuk fleksi 

tungkai di lutut Pada penurunan kesadaran 

akibat gangguan metabolik atau intoksikasi, 

refleks tendon umumnya akan tetap dapat 

ditemukan, kecuali pada kondisi koma dalam.

Satu hemisfer luas, respons abnormal pada 

ekstremitas kontralateral berupa dekortikasi (atas); lesi di mesensefalon, berupa 

dekortikasi (tengah); dan di pons atas berupa deserebrasi (bawah)

6. Funduskopi

Pemeriksaan funduskopi dapat memberikan gambaran papiledema atau perdarahan retina yang dapat terjadi pada masalah  

hipertensi akut atau kronik, atau peningkatan tekanan intrakranial. Sementara itu, 

perdarahan subhialoid (superficial retina) 

merupaican suatu tanda kuat perdarahan 

subaralmoid. 

Umumnya sebagian besar diagnosa  penurunan kesadaran dapat dibuat segera berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik 

yangteliti. Pemeriksaan penunjang dibutuhkan untuk mencari etiologinya. Pada pasien 

dengan tanda dan gejala lesi struktural atau 

peningkatan tekanan intrakranial, memerlukan pemeriksaan CT scan atau MRI kepala. Pungsi lumbal dilakukan jika ada  

kecurigaan infeksi intrakranial, asal berhatihati dengan risiko herniasi.

Jika penurunan kesadaran dicurigai akibat 

intoksikasi zat tertentu, dapat dilakukan aspirasi dan analisis isi lambung, juga analisis 

kromatografi darah dan urin untuk mengetahui konsentrasi opiat, benzodiazepin, barbiturat, alkohol, dan substansi toksik lainnya. Spesimen urin dikumpulkan dengan 

kateter guna menentukan kadar glukosa, 

keton, dan protein urin. Proteinuria dapat 

ditemukan 2-3 hari pasca perdarahan subaraknoid. Urin dengan kadar glukosa dan 

keton tinggi ditemukan pada pasien koma di- 

abetikum, sedangkan urin dengan glikosuria 

transien dan hiperglikemia dapat ditemukan pada pasien dengan lesi serebral.

Pemeriksaan darah terhadap konsentrasi 

glukosa, ureum, kreatinin, amonia, elektrolit/ 

SGOT, dan SGPT perlu dilakukan pada evaluasi awal pasien untuk mengeksklusi kemungkinan penurunan kesadaran akibatgangguan 

metabolik. Begitu juga dengan analisis gas 

darah, hanya jika pasien menunjukkan tanda dan gejala insufisiensi pernapasan atau 

gangguan asam-basa. Hitung jenis dan apus 

darah tebal-tipis dilakukan pada pasien dengan riwayat berpergian ke daerah endemik 

malaria. Leukositosis neutrofilik ditemukan 

pada masalah  infeksi bakteri dan perdarahan 

serta infark otak. EEG juga dapat dilakukan 

jika pada pemeriksaan awal tidak ditemukan 

bukti yang adekuat, untuk menegakkan status epileptikus nonkonvulsif yang dapat menyebabkan penurunan kesadaran.

Klasifikasi

1. Penyakit yang memicu penurunan 

kesadaran tanpa adanya tanda defisit 

neurologis fokal atau lateralisasi, umumnya dengan fungsi batang otak normal. 

Pemeriksaan CT scan atau MRI dan analisis cairan serebrospinal (CSS) umumnya 

normal.

a. Intoksikasi: alkohol, barbiturat, opiat, 

dan obat sedatif lainnya.

b. Gangguan metabolik: anoksia, asidosis metabolik, uremia, gagal hati, hiperosmolar hiperglikemia nonketotik, 

hipo- dan hipernatremia, hipoglikemia, krisis adrenal, defisiensi nutrisi, 

intoksikasi karbon monoksida, dan 

ensefalopati Hashimoto.

c. Infeksi sistemik yang parah: pneumonia, peritonitis, demam tifoid, malaria, 

septikemia, dan sindrom WaterhouseFriderichsen.

d. Kegagalan sirkulasi (syok).

e. Post-seizure state, status epileptikus 

konvuisif dan nonkonvulsif.

f. Ensefalopati hipertensi dan eklampsia.

g. Hipertermia dan hipotermia.

h. Concussion.

i. Hidrosefalus akut.

j. Penyakit degeneratif stadium akhir 

dan Creutzfeldt-Jakob disease.

2. Penyakit yang dapat memicu 

penurunan kesadaran disertai dengan 

iritasi selaput meningen dengan atau 

tanpa demam. Analisis CSS ditemukan 

peningkatan sel darah putih, umumnya 

tanpa tanda lateralisasi atau lesi fokal di 

serebral atau batang otak, gambaran CT 

scan atau MRI abnormal.

a. Perdarahan subaraknoid yang berasal 

dari ruptur aneurisma, malformasi 

arteri-vena, atau trauma.

b. Meningitis bakterial akut, ensefalitis 

virus, parasit.

3. Penyakit yang dapat memicu penurunan kesadaran disertai dengan lateralisasi atau tanda fokal batang otak atau 

serebral dengan atau tanpa abnormalitas hasil analisis CSS. Hasil pemeriksaan 

CT scan dan MRI memberikan gambaran 

abnormal.

a. Perdarahan hemisfer atau infark masif.

b. infark batang otak akibat trombosis 

arteri basilar atau emboli.

c. Abses otak, empiema subdural, ensefalitis herpes. 

d. Perdarahan epidural dan subdural; 

kontusio otak.

e. Tumor otak.

f. Perdarahan serebelar dan pontin.

g. Lain-lain: trombosis vena korteks, 

ensefalitis virus (herpes), infark emboli fokal akibat endokarditis bakterial, leukoensefalitis perdarahan akut, 

ensefalomielitis diseminata, lirhfoma 

intravaskuiar, trombositopenia purpura, emboli lipid difus, dan lainnya.

diagnosa  BANDING

1. Psychogenic unresponsiveness

diagnosa  ini merupakan suatu diagnosis eksklusi dan ditegakkan hanya jika 

tidak ada  bukti yang kuat untuk 

menegakkan diagnosa  penyakit lainnya. 

Psychogenic unresponsiveness merupakan 

manifestasi Minis dari skizofrenia (tipe 

katatonik), kelainan somatoform, atau 

malingering. Pa da pemeriksaan fisik 

umum tidak ditemukan adanya kelainan 

dan pada pemeriksaan fisik neurologis 

ada  penurunan tonus otot simetris, 

refleks yang normal, dan respons yang 

normal terhadap stimulasi plantar. Pada 

pemeriksaan tes kalori dengan air dingin 

ditemukan adanya nistagmus tahap  cepat 

yang tidak akan ditemukan pada pasien 

dengan penurunan kesadaran. Selain itu, 

pemeriksaan dengan EEG akan memberikan gambaran gelombang normal 

pada pasien sadar.

2. Persistent vegetative state

Beberapa pasien dengan penurunan kesadaran akibat hipoksia serebral, iskemia serebral global, trauma kepala, atau 

stroke yang mengenai kedua hemisfer

dapat kembali sadar sesudah  mengalami 

penurunan kesadaran, namun kembalinya tingkat kesadaran ini  tidak 

diikuti dengan kembalinya kewaspadaan 

(awareness). Jika kondisi ini ter us berlangsung selama >1 bulan, pasien ini dikatakan berada dalam kondisi vegetatif 

(persistent vegetative state). Pasien yang 

berada dalam kondisi vegetatif memiliki kemampuan membuka mata secara 

spontan, siklus bangun-tidur yang normal, 

dan fungsi batang otak serta otonom 

yang intak.

3. Locked-in syndrome

Transeksi fungsional pada batang otak di 

bawah pons tengah, dapat mengganggu 

jalur descending formation retikularis

(yang bertanggung jawab mengatur kesadaran). Transeksi ini dapat diakibatkan 

oleh infark pons, perdarahan, mielinolisis 

pontin sentral, tumor, atau ensefalitis. Transeksi ini akan memicu  kondisi 

akinetik dan mute state, namun dengan 

derajat kesadaran penuh. Pasien yang 

mengalami kondisi ini akan terlihat berada dalam kondisi stupor-koma, tetapi 

sebenarnya sadar penuh walaupun mengalami kuadriplegia dan mutisme. Pada 

pemeriksaan fisik akan ditemukan gambaran pergerakan volunter yang dikendalikan oleh midbrain, seperti kemampuan 

membuka mata spontan, pergerakan vertikal bola mata, dan gerakan konvergen 

bola mata. Hasil pemeriksaan EEG akan 

menunjukkan gambaran normal.

4. Brain death

diagnosa  brain death ditegakkan jika: 

1) fungsi respirasi dan sirkulasi berhenti 

secara ireversibel atau 2) seluruh fungsi 

otak terhenti secara ireversibel. Pada 

pemeriksaan fisik didapatkan semua refleks batang otak negatif.

TATA LAKSANA

Pada prinsipnya, setiap gangguan di intrakranial yang mendesak ARAS, maupun 

gangguan sistemik tubuh yang mengganggu 

neuron secara difus dapat memicu 

penurunan kesadaran. Maka pada setiap 

pasien dengan penurunan kesadaran, 

yang pertama dicari yaitu  adanya gangguan 

intrakranial, oleh sebab  harus diatasi   

segera untuk mencegah kerusakan lebih 

lanjut. Jika ternyata pemicu nya yaitu  kelainan sistemik, maka penanganannya pun 

perlu dipertimbangkan dari sudut pandang 

neurologi agar otak tetap terjaga dan terhindar dari komplikasi ensefalopati yang dapat 

bersifat ireversibel di kemudian hark

Jadi tata laksana akan sangat bergantung 

pada etiologinya. Namun kadang etiologi 

tidak dapat langsung ditemukan, sehingga 

pengobatan nya belum bisa spesifik. Oleh 

sebab  pada penurunan kesadaran terjadi 

penurunan refleks-refleks dasar termasuk 

menelan dan bisa terjadi gangguan napas, 

maka diperlukan tata laksana awal yang 

bersifat suportif, untuk memperbaiki kondisi akutyang mengancam nyawa seperti:

a. Bebaskan jalan napas dengan suction jika 

ada  lendir di jalan napas atau posisikan pasien sehingga menghadap ke lateral.

b. Berikan oksigen dengan nasal kanul 

atau sungkup dan lakukan pemeriksaan 

analisis gas darah jika dibutuhkan. Jika 

pasien diketahui ada  hipoksia atau 

hipoventilasi dan tidak memiliki kemampuan mencegah aspirasi, maka dapat dipertimbangkan intubasi endotrakeal

c. Untuk mencegah kegagalan sirkulasi, pasang jalur intravena dan lakukan pemeriksaan darah untuk mengetahui kadar 

glukosa, elektrolit, fungsi hati, fungsi ginjal, atau kadar obat-obatan tertentu yang 

dicurigai memicu terjadinya penurunan kesadaran.

d. Jika ada  tanda dan gejala peningkatan tekanan intrakranial akibat stroke 

atau perdarahan, dapat diberikan manitol 

25-50mg dalam solusio 20% intravena 

selama 10-20 menit, atau deksametason 

loading lOmg IV jika diperkirakan akibat 

massa atau infeksi intrakranial.

e. Antibiotik spektrum luas diberikan pada 

pasien dengan gejala dan tanda yang 

mengarah pada meningitis atau ensefalitis bakterialis, jika pungsi lumbal tidak 

dapat dilakukan segera.

f. Jika pasien kejang, berikan diazepam intravena perlahan.

g. Jika ada  tanda dan gejala intoksikasi 

zat atau substansi tertentu, perlu dilakukan bilasan lambung untuk diagnosa  dan 

terapi. Namun, perlu diperhatikan ada  

beberapa obat (salisilat, opiat, dan obatantikolinergik) yang dapat memicu atonia gaster sehingga bilasan lambung tidak 

dapat dilakukan sebab  dapat mengakibatkan perforasi. Pada masalah  seperti ini, pasien 

dapat diberikan activated charcoal

h. Jika pasien mengalami gangguan pengaturan suhu tubuh, perlu dilakukan koreksi 

guna mencegah hipo- atau hipertermia.

i. Pemasangan kateter urin guna mencegah 

peningkatan intra-abdomen yang berbahaya pada masalah  penurunan kesadaran 

dengan peningkatan tekanan intrakranial, juga berfungsi untuk memonitor balans cairan pasien. 

j. Pemasangan pipa nasogastrik untuk 

memudahkan pemberian nutrisi dan 

mencegah aspirasi.

k. Mobilisasi pasif dengan cara merubah 

posisi pasien miring ke kiri dan kanan secara teratur tiap 2 jam untuk mencegah 

uikus dekubitus.

L Jaga kebersihan konjungtiva dan mulut 

pasien untuk mencegah pertumbuhan 

bakteri.

Pada dasarnya, prognosis pasien dipengaruhi 

oleh penyakit dasar yang memicu penurunan kesadaran. Pemulihan akibat gangguan 

metabolik memiliki prognosis yang lebih baik 

dibandingkan dengan penurunan kesadaran 

aldbat anoksia. Jika dalam pemeriksaan fisik 

tidak ditemukan adanya respons pupil, kornea, atau okulovestibular dalam beberapa jam 

sesudah  onset koma, maka sangat kecil kesempatan untuk perbaikan kembali. Hal itu terutama jika tidak terjadi pemulihan dalam 1-3 

hari sesudah  onset penurunan kesadaran.

CONTOH masalah 

Wanita, 65 tahun, tiba-tiba tidak sadarkan diri saat bangun tidur di pagi hari. Sebelumnya ia merasa lemas seluruh badan 

dan sakit kepala, tak lama kemudian suami 

pasien menemukannya terjatuh dan tidak 

memberikan respons. Pasien pernah terjatuh hingga kepala terbentur tiga hari yang 

lalu. Pasien memiliki riwayat mengonsumsi 

obat-obatan untuk hipertensi dan diabetes. 

Riwayat penyakit keluarga pasien meliputi 

stroke pada ibu pasien dan tumor telinga 

tengah pada saudara laki-lakinya.

P ertan y aan :

1. Apakah kemungkinan diagnosa  pada 

pasien?

2. Apakah intervensi awal yang dibutuhkan pasien ketika pasien sampai di IGD?

3. Apakah pemeriksaan yang dibutuhkan pada pasien?

4. Apakah pemeriksaan penunjang yang 

dibutuhkan pada pasien dalam waktu 

24 jam?

jaw ab an :

1. diagnosa  banding etiologi penurunan

kesadaran pada pasien yaitu  sebagai

berikut:

a. Hipoglikemia sebab  pasien memiliki 

riwayat mengonsumsi obat-obat untuk 

hiperglikemia

b. Trauma kepala sebab  pasien memiliki riwayat trauma kepala tiga hari 

yang lalu

c. Stroke sebab  pasien memiliki riwayat 

hipertensi dan memiliki riwayat penyakit keluarga stroke

d. Massa intrakranial sebab  pasien memiliki riwayat penyakit keluarga tumor 

pada telinga

2. Tata laksana awal pada pasien dengan

penurunan kesadaran, meliputi:

a. Bebaskan jalan napas dengan suction

(jika ada  cairan di jalan napas) 

atau posisikan pasien sehingga menghadap ke lateral.

b. Berikan pasien oksigen dengan nasal 

kanul atau sungkup dan lakukan pemeriksaan analisis gas darah jika dibutuhkan.

c. Untuk menghadapi kemungkinan 

adanya kegagalan sirkulasi, pasang 

jalur intravena dan lakukan pemeriksaan darah untuk me-ngetahui kadar 

glukosa, elektrolit, fungsi hati, fungsi

 

ginjal, atau kadar obat-obatan tertentu yang dicurigai memicu 

terjadinya penurunan kesadaran.

d. Jika ada  tanda dan gejala peningkatan tekanan intrakranial akibat 

perdarahan intrakranial akibat stroke 

atau trauma, diberikan manitol 25- 

50mg dalam solusio 20% secara intravena dalam waktu 10-20 menit Jika 

disebabkan oleh lesi desak ruang aidbat inflamasi atau neoplasma, diberikan deksamethason bolus lOmg IV.

e. Jika pasien kejang, berikan antikonvulsan.

f. Lakukan pemasangan kateter urin.

g. Pertimbangkan pemasangan pipa nasogastrik untuk memudahkan pemberian 

nutrisi dan mencegah aspirasi.

h. Lakukan imobilisasi dengan cara 

merubah posisi pasien miring ke ldri 

dan kanan secara teratur tiap 2 jam untuk mencegah ulkus dekubitus.

i. Jaga kebersihan konjungtiva dan mulut 

pasien untuk mencegah pertumbuhan 

bakteri.

3. Pemeriksaan fisik:

a. Primary survey: airway, breathing, circulation.

b. Pemeriksaan umum, meliputi tanda 

vital, tanda trauma, tanda pada kulit, 

funduskopi.

c. Pemeriksaan neurologis, meliputi 

pemeriksaan derajat kesadaran, 

tanda rangsang meningeal, pemeriksaan pupil, pemeriksaan gerakan bola 

mata, dan pemeriksaan respons motorik terhadap nyeri.

4. Pemeriksaan penunjang yang dibutuhkan, meliputi:

a. CT scan atau MRI kepala mutlak pada 

penurunan kesadaran akut dengan 

defisit fokal atau gejala peningkatan 

tekanan intrakranial.

b. Spesimen urin dikumpulkan dengan 

kateter untuk pemeriksaan urinalisis guna menentukan kadar glukosa, 

aseton, dan protein.

c. Pemeriksaan darah guna mengetahui 

konsentrasi glukosa, ureum, kreatinin, 

amonia, elektrolit, SCOT, dan SGPT perlu 

dilakukan secara rutin untuk mengeksklusi kemungkinan penurunan kesadaran akibat gangguan metabolik. Begitu 

juga dengan analisis gas darah, dilakukan hanya jika pasien menunjukkan tanda dan gejala insufisiensi pernapasan 

atau gangguan asam-basa.

 





PENINGKATAN TEKANAN INTRAKRANIAL


Tempurung kepala manusia dewasa merupakan rongga yang berisi tiga komponen, yaitu jaringan otak (serebral serebelum, batang 

otak, dan medula spinalis], darah di dalam 

pembuluh darah, dan cairan serebrospinal 

(CSS). Ketiganya terselubungi oleh struktur 

jaringan yang kuat dan inelastis, yakni duramater. Dengan struktur ini , tempurung 

kepala manusia dewasa merupakan rongga 

yang tertutup dengan volume yang tetap dan 

dalam keadaan yang seimbang, yang dikenal 

sebagai doktrin Monro-Kellie.

Adanya peningkatan salah satu dari komponen akan dikompensasi dengan penurunan 

volume komponen yang lain, sehingga 

tekanan intrakranial (TIK) akan dipertahankan konstan. Contohnya penambahan 

volume otak oleh massa intrakranial, akan 

memicu kompensasi berupa pemindahan CSS ke rongga spinal, deformasi otak 

melalui peregangan otak, serta pengurangan produksi CSS, Proses ini dinamakan 

daya akomodasi tekanan volume otak atau 

intracranial compliance.

Jika kompensasi ini  gagal, maka akan 

terjadi peningkatan TIK yang memicu 

gangguan perfusi atau herniasi otak, sehingga berujung pada kematian. Sementara 

berbagai keadaan patologis di otak, seperti 

iskemia, perdarahan, inflamasi, neoplasma,

dan sebagainya dapat memicu peningkatan TIK yang dapat berlangsung cepat 

jika tidak segera diatasi  .

Oleh sebab  itu, semua tindakan neuroemergency pada prinsipnya yaitu  mengatasi peningkatan TIK untuk mencegah kecacatan 

dan kematian. Hal ini hanya akan dapat berhasil 

dengan memahami gejala dan mekanisme perubahan TIK, serta tata laksana peningkatan 

TIK berdasar  patofisiologinya.

EPIDEMIOLOGI

pemicu  tersering peningkatan TIK pada 

masalah  neurologi yaitu  trauma otak, stroke, 

neoplasma, hidrosefalus, ensefalopati hepatikum, trombosis vena, ensefalitis, dan abses. Peningkatan TIK merupakan prediktor 

perburukan keluaran pada banyak masalah  

neurologi. Pada suatu studi trauma otak, 

pada TIK kurang dari 20mmHg perburukan 

keluaran terjadi pada 18,4% masalah . Pada 

TIK lebih dari 40mmHg, keluaran memburuk hingga 3 kali lipatnya.

PATOFISIOLOGI

TIK pada orang dewasa normal yaitu  sekitar 100-180mmH20 (8-14mmHg) pada posisi dekubitus lateral, tenang, dan tungkai 

lurus. Rentang nilai normal TIK ini berubah 

sesuai dengan keadaan dan posisi tubuh. 

TIK juga berubah seiring mengikuti satu 

siklus ritme pernapasan. Pada keadaan se-

seorang mengedan dan batuk, TIK akan meningkat sementara imtuk kemudian kembali normal.

Sebagaimana dijelaskan pada pendahuluan, 

ada  mekanisme kompensasi terhadap perubahan volume intrakranial untuk 

menjaga TIK dalam rentang fisiologis. Kompensasi pertama yakni melalui sistem vena 

yang dapat dengan mudah untuk kolaps 

mengeluarkan darah melalui vena jugularis, 

vena emisari, dan vena daerah kulit kepala 

[scalp). Kompensasi kedua melalui peningkatan pemindahan aliran CSS dari foramen 

magnum ke ruang subaraknoid.

Oleh sebab  itu, penambahan volume intrakranial sampai batas tertentu tidak akan segera 

meningkatkan TIK. Namun jika volume terus 

bertambah sementara mekanisme kompensasi 

sudah bekerja maksimal, maka akan terjadi 

peningkatan TIK [intracranial pressure/ICP) 

(Gambar 1) yang akan memicu kematian 

melalui gangguan perfusi dan hemiasi otak

Peningkatan TIK akan menurunkan tekanan perfusi serebral [cerebral perfusion pressure/CPP), yang selanjutnya memicu 

penurunan aliran darah serebral atau cerebral blood flow (CBF) dan memicu iskemik 

global yang berakhir pada kematian. Jantung 

dan sistem pembuluh darah juga berusaha 

mengkompensasi dengan meningkatkan 

rerata tekanan darah arteri [mean arterial

pressure/MA?) agar pada saat peningkatan 

ICP tidak segera menurunkan CPP. Hal ini 

sesuai dengan formula; CPP= MAP-ICP

Mekanisme kedua, peningkatan TIK yang tinggi 

aldbat penambahan massa fokal di otak dapat 

mendorong sebagian parenkim otak ke daerah 

yang lemah yang tidak dibatasi oleh duramater, 

seperti folks atau tentorium, yang disebut herniasi otak Pada akhirnya, dorongan parenldm 

itu akan masuk ke satu-satunya daerah kosong 

di intrakranial, yaitu foramen magnum, yang 

menuju area batang otak yang sangat vital 

fungsinya, Inilah yang paling ditakutkan dari 

peningkatan TIK, yaitu kematian aldbat herniasi ke batang otak sebagai pusat kesadaran, 

respirasi, dan kardiovaskular. 

berdasar  lokasinya herniasi otak dapat 

dibagi menjadi empat, yaitu [Gambar 2):

1. H ern iasi C ingulata

Terjadi akibat penambahan massa intrakranial di daerah supratentorial. 

Penambahan ini mendorong girus cinguli yang terletak di dekat falks serebri 

(lapisan meningen yang memisahkan 

kedua hemisfer), sehingga bergeser ke 

hemisfer kontralateral.

2. H ern iasi S en tral

Terjadi akibat penambahan massa intrakranial yang jauh dari daerah tentorium, seperti pada lobus frontal, parietal, 

dan atau oksipital. Sebagai contoh penambahan massa akibat perdarahan subdural

di lobus parietal dari kedua belah hemisfer akan mendorong diensefalon dan midbrain ke bawah melalui insisura tentorium.

3. H ern iasi T en torial (H ern iasi U nkal}

Merupakan herniasi yang sering terjadi, 

terutama pada perdarahan epidural lobus temporal. Berbeda dengan herniasi 

sentral, herniasi unkal terjadi akibat adanya penambahan massa intrakranial di 

daerah temporal. Penambahan massa 

ini , menekan massa otak di daerah 

inferomedial (unkus) sehingga terdorong 

kebawah melalui celah antara tentorium 

dengan batang otak. Gejala khas herniasi 

unkal yaitu  penurunan kesadaran yang 

semakin memberat, dilatasi pupil ipsilateral, dan hemiplegia kontralateral 

4, H ern iasi T o n silar

Penambahan massa intrakranial di daerah 

fossa posterior atau infratentorial dapat 

memicu  herniasi tonsilar. Sebagai 

contoh perdarahan di daerah serebelum 

yang masif dapat menekan serebelum 

dan selanjutnya menekan batang otak, sehingga keluar melalui foramen magnum.

g e ja l a d a n t a n d a k l in is

Efek yang ditimbulkan akibat peningkatan 

TIK tergantung pada patologi dan anatomi 

yang menjadi pemicu nya. Pada masalah  tumor intrakranial yang patologinya terjadi 

secara gradual, gejala utama yang dikeluhkan berupa sakit kepala, sedangkan pada 

masalah  perdarahan intraserebral masif akibat 

stroke akut dapat terjadi gejala yang sangat 

berat, yaitu penurunan kesadaran. Adakalanya peningkatan massa intrakranial tidak 

bergejala sampai terjadi kegagalan kompensasi untuk menurunkan TIK. Lesi desak ruang di serebelum tidak selalu menimbulkan 

gejala, namun pasien dapat datang dengan 

peningkatan TIK akibat hidrosefalus dari 

obstruksi di ventrikel keempatyang menyebabkan kegagalan kompensasi.

Gejala dan tanda klasik peningkatan tekanan intrakranial yaitu  adanya salat kepala, muntah, 

dan papiledema. Sakit kepala dialdbatkan oleh 

peregangan struktur peka nyeri di meningen 

pada peningkatan TIK. Muntah biasanya menyertai saldt kepala tanpa didahului oleh mual, 

sebab  perangsangan pusat muntah di area 

postrema (di sekitar ventrikel 4, dorsal dan 

medula oblongata). Papiledema dapat menjadi tanda patognomonik adanya peningkatan 

TIK dengan spesifisitas yang tinggi. Namun peningkatan TIK tanpa adanya papilledema juga 

dapat terjadi pada lesi daerah oksipital.

Paresis nervus kranialis juga dapat terjadi 

pada keadaan peningkatan TIK yang telah 

menekan nukleus di batang otak Tanda yang 

khas pada herniasi unkal yaitu dilatasi pupil 

ipsilateral akibat penekanan nukleus EdingerWestphal di mesensefalon, sehingga tampak 

pupil anisokor. Adapun nervus kranialis yang 

paling sering terkena yaitu  nervus abdusens, 

yang merupakan nervus terpanjang yang berjalan di daerah subaraknoid, sesudah  keluar 

dari batang otak melintas di atas klivus. Maka 

hal ini dapat dicari pada pemeriksaan fisik 

atau ditanyakan Idiusus ada tidaknya diplopia 

bersamaan dengan gejala saldt kepala.

Peningkatan TIK dapat memicu perubahan tanda vital. Pada tahap  awal keadaan tersebut akan terjadi aktivasi sistem simpatis sebagai usaha tubuh untuk meningkatkan suplai 

darah ke otak, sehingga terjadi peningkatan 

tekanan darah dan takikardi. Jika peningkatan TIK terus berlanjut hingga memicu 

penekanan batang otak, maka akan terjadi 

Trias Cushing, yaitu peningkatan tekanan 

darah, bradikardia, dan pola napas ireguler. 

Trias ini merupakan gejala khas yang terjadi 

pada keadaan iskemia general ataupun iskemia lokal akibat penekanan pada batang otak

Pola napas akan berbeda sesuai dengan 

level batang otak yang mengalami kerusakan (Gambar 3). Lesi di daerah diensefalon dapat memicu pola napas 

Cheyne-Stokes. Pernapasan hiperventilasi 

aldbat kerusakan di midbrain dan pons bagian atas. Lesi di pons bagian tengah dapat 

terjadi napas apneustik. Pola napas klaster 

terjadi pada kerusakan terjadi pada bagian 

bawah pons, sedangkan tipe ataksik pada 

kerusakan di daerah medula oblongata. 

diagnosa  DAN diagnosa  BANDING

Keadaan intrakranial dapat ditegakkan 

dengan melihat gejala yang timbul pada 

pasien. Diperlukan anamnesis yang detail 

mengenai patofisiologi pemicu  terjadinya 

peningkatan TIK untuk memastikan patologi 

pemicu . Hal ini bermanfaat dalam memilih 

modalitas tata laksana penurunan TIK.

Tiga gejala kardinal keadaan peningkatan 

TIK yang sebelumnya disebutkan yaitu 

sakit kepala, muntah, dan papiledema. Selain gejala ini  penting mengetahui 

kumpulan gejala yang menunjukkan tingkat 

herniasi dan lokasi kerusakan yang terjadi 

akibat herniasi ini . Kumpulan gejala 

perubahan pola napas, refleks pupil, refleks 

okulosefaiik dan okulovestibular, serta respons motorik dapat membantu menentukan 

topis kerusakan akibat herniasi (Gambar 4). 

TATA LAKSANA

Tata laksana terbaik untuk menurunkan TIK 

yaitu  mengatasi pemicu nya. Namun bila 

hal ini  tidak dapat dilakukan, maka 

dilakukan pendekatan lain baik secara medikamentosa maupun mekanik. Pada prinsipnya, tidak ada satu modalitas yang sangat 

sesuai untuk mengatasi peningkatan TIK, 

sebab  perubahan TIK yang sangat dinamik. 

Target akhirnya yaitu  menjaga TIK di 

bawah 20mmHg dan CPP diatas 60mmHg. 

Pada pasien dengan peningkatan TIK yang 

memerlukan pengawasan ketat, dapat 

memakai  kateter intrakranial untuk 

memantau besarnya TIK sekaligus menguranginya bila terfadi peningkatan.

Tata laksana umum peningkatan TIK yaitu  

menjaga oksigenasi dengan target saturasi 

>94% atau Pa02 >80mmHg serta mempertahankan CBF tetap optimal dengan 

menjaga tekanan darah sistolik >90mmHg 

dan CPP >60mmHg. Selain itu diperlukan 

pemantauan keseimbangan cairan dengan 

target mempertahankan status cairan euvolemi serta menurunkan kebutuhan metabolisme dengan mencegah rasa nyeri, demam, dan agitasi.

Rumus berikut menggambarkan komponen/faktor yang memengaruhi perubahan 

TIK untuk pertimbangan tata laksana khusus pada peningkatan TIK:

VCSS + V d a ra h + V o ta k + V m a ssa lain =

V ru a n g in tra k ra n ia l

K eteran gan :

VCSS: volume cairan serebrospinal; V darah: volume darah dalam pembuluh darah; V otak: volume 

otak; massa lain: volume massa tambahan; V ruang 

intrakranial: volume ruang intrakranial.

Volum e CSS

Pada peningkatan TIK akibat hidrosefalus, 

tata laksana bisa dilakukan secara mekanik, 

yaitu melakukan diversi aliran CSS. Diversi 

ini dapat dilakukan secara permanen dengan pemasangan pirau ventrikel peritoneal (VP shunt) ataupun tindakan sementara 

seperti drainase eksternal. Hal ini untuk 

mengalihkan aliran CSS dari sistem ventrikel ke ekstrakranial ataupun peritoneum.

Bila tindakan diversi ini  tidak dapat 

dilakukan sebab  faktor dari pasien ataupun patologinya, dapat diberikan medikamentosa untuk mengurangi produksi CSS, 

seperti asetazolamid, furosemid, dan kortikosteroid. Asetazolamid merupakan suatu 

agen karbonik anhidrase yang dapat mengurangi produksi CSS bervariasi hingga 66%. 

Namun, asetazolamid juga memiliki efek 

vasodilator yang dapat juga memperburuk 

peningkatan TIK, sehingga harus hati-hati 

pada cedera kepala tertutup.

Volum e D arah

Peningkatan CBF dapat meningkatkan cerebral blood volume (CBV) yang dapat berkontribusi meningkatkan TIK. Peningkatan CBV 

atau keadaan hiperemia dapat menurunkan 

compliance pembuluh darah dan peningkatan TIK. Hiperemia dapat terjadi pada 

trauma kepala sebagai prediktor buruknya 

keluaran pasien.

Tata laksana peningkatan TIK akibat hiperemia harus secara hati-hati dan dipastikan 

diketahui proses patologi pemicu nya. 

Beberapa tata laksana yang dianggap efektif untuk menurunkan CBV, di antaranya 

yaitu  dengan hiperventilasi dan elevasi 

kepala 30°. Elevasi kepala akan memperlancar drainase vena dan aliran CSS yang di ke-

 

luarkan melalui sistim vena. Dengan tingkat 

elevasi kepala hingga 60° tidak mengganggu 

perubahan CPP.

Hiperventilasi dapat memicu vasokonstriksi pembuluh darah daerah pial dengan menahan responsivitas C02 pembuluh 

darah. Responsivitas ini masih terjaga walaupun terjadi gangguan pada mekanisme 

autoregulasi pembuluh darah akibat trauma 

pada otak. Pada dewasa perubahan ltorr 

PaC02 menurunkan 3% CBF. Dengan mekanisme vasokonstriksi ini, CBV akan turun, 

diikuti penurunan TIK. Hiperventilasi dapat 

memicu terjadinya alkalosis pada jaringan, 

sehingga dapat menjadi buffer asidosis intraseluler dan CSS, yang sering terjadi pada 

cedera kepala berat. Namun efek ini  

tidak dapat berlangsung lama. Apabila dilakukan hiperventilasi berlebihan, maka 

akan memicu iskemia yang berujung 

pada kematian sel. Hiperventilasi dengan 

target PaC02 32-35Torr dianggap cukup 

menghindari risiko terjadinya iskemia.

Volum e O tak

Faktor ketiga dari volume intrakranial 

yaitu  penambahan massa otak, Hal ini terjadi sebab  edema otak yang dapat disebabkan oleh berbagai patologi, yaitu:

° Edema interstisial

Edema akibat peningkatan tekanan CSS, 

seperti pada keadaan hidrosefalus atau 

gangguan penyerapan CSS akibat perdarahan intraventrikel

• Edema sitotoksik

Merupakan edema neuronal yang terjadi sekunder dari kerusakan sel akibat 

gangguan pompa ATPase, seperti pada 

keadaan diffuse axonal injury (DAI) atau 

hipoksia pascastroke.

© Edema vasogenik

Akibat peningkatan permeabilitas endotel kapiler otak oleh pelepasan sitokin 

proinflamasi pada tumor, abses, ensefalitis, dan meningitis.

Perbedaan mekanisme edema ini  

akan memengaruhi tata laksana penurunan TIK. Pemberian cairan hiperosmolar 

seperti manitol dan salin hipertonik akan 

bekerja optimal bila sawar darah otak masih baik pada edema sitotoksik dan jangan 

diberikan pada edema vasogenik. Beberapa 

studi telah melaporkan efikasi pemberian 

cairan ini pada cedera kepala, perdarahan 

intraserebral, dan perdarahan subaraknoid. 

Dosis manitol yang disarankan berkisar 

0,18 hingga 2,5g/kg, sedangkan dosis salin 

hipertonik belum ada  pedoman yang 

jelas. Salah satu rekomendasinya yaitu  

salin hipertonik 3% secara infus intravena 

perifer dengan kecepatan 30cc per jam dan 

target konsentrasi sodium 145-155mmol/L 

dicapai dalam 6 jam.

Pemberian steroid seperti deksametason 

dianjurkan diberikan pada edema vasogenik akibat tumor intrakranial yang 

memicu kerusakan pada sawar darah 

otak, namun harus dihindari pemberiannya 

pada keadaan patologi edema sitotoksik 

sebab  tidak terbukti bermanfaat.

V olum e M assa Lain

Peningkatan volume akibat massa lain, seperti perdarahan, abses, ataupun tumor 

diatasi   dengan evakuasi massa tersebut.

Semua tindakan tata laksana ini  merupakan keadaan neuroemergency yang harus 

dilakukan sesegera mungkin dengan mempertimbangkan prinsip-prinsip ABC (air­

 way, breathing, circulation) seperti halnya 

pada kegawatdaruratan lain dengan pemantauan ketat Adapun tata laksana spesifik 

masing-masing dapat dilihat di topik selanjutnya sesuai pemicu  (Cedera Kepala, 

Stroke, Tumor Otak, dan sebagainya) 

 





BANGKITAN DAN EPILEPSI


Bangkitan epileptik dan epilepsi yaitu  dua 

terminologi yang berbeda, namun saling 

berkaitan, sehingga harus dipahami dalam 

praktik sehari-hari. Bangkitan epileptik 

yaitu  tanda dan/atau gejala yang timbul 

sepintas akibat aktivitas neuron di otak yang 

berlebihan dan abnormal serta sinkron. Epilepsi yaitu  gangguan otak yang ditandai 

oleh adanya faktor predisposisi sec ara terus 

menerus untuk terjadinya suatu bangkitan 

epileptik, dan juga ditandai oleh adanya faktor neurobiologis, kognitif, psikologis, dan 

konsekuensi sosial akibat kondisi ini .

EPIDEMIOLOGI

Menurut WHO, diperldrakan ada  50 

juta orang di seluruh dunia yang menderita 

epilepsi. Populasi yang menderita epilepsi 

aktif (terjadi bangkitan terus menerus dan 

memerlukan pengobatan) diperkirakan 

antara 4-10 per 1000 penduduk. Namun, 

angka ini jauh lebih tinggi di negera dengan 

pendapatan perkapita menengah dan rendah yaitu antara 7-14 per 1000 penduduk. 

Secara umum diperkirakan ada  2,4 

juta pasien yang didiagnosa  epilepsi setiap 

tahunnya.

Angka prevalensi dan insidens epilepsi di 

negara kita  belum diketahui secara pasti. Hasil penelitian Kelompok Studi Epilepsi Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf negara kita 

(Pokdi Epilepsi PERDOSSI) di beberapa RS di 

5 pulau besar di negara kita  [2013) mendapat  2.288 penyandang epilepsi dengan 21,3% 

merupakan pasien baru. Rerata usia pasien 

yaitu  usia produktif dengan etiologi epilepsi tersering yaitu  cedera kepala, infeksi 

susunan saraf pusat (SSP), stroke, dan tumor 

otak. Riwayatkejang demam didapatkan pada 

29% pasien. Sebagian besar (83,17%) yaitu  

epilepsi parsial dengan aura yang tersering 

yaitu  sensasi epigastrium dan gejala autonom (60,1%).

Di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo (RSCM), 

jumiah penyandang epilepsi yang rutin kontrol tiap bulan berkisar 30-40 orang; pasien 

epilepsi yang baru berobat ke RSCM seldtar 

5-6 orang tiap bulannya; rerata usia pasien 

yaitu  usia produktif yaitu 35,2 (16-76) 

tahun. Riwayat kejang demam pada 37,9%, 

gangguan perilaku didapatkan pada 29,1%. 

Sebagian besar penyandang mengalami bangkitan fokal (64,15%) dan sebanyak 15,5% 

mengalami bebas bangkitan.

PATOFISIOLOGI BANGKITAN EPILEPTIK

Secara normal aktivitas otak terjadi oleh 

sebab  perpindahan sinyal dari satu neuron ke neuron yang lain. Perpindahan ini 

terjadi antara akson terminal suatu neuron 

dengan dendrit neuron yang lain melalui 

sinaps (Gambar 1). Sinaps merupakan area 

yang penting untuk perpindahan elektrolit

dan sekresi neurotransmiter yang berada 

di dalam vesikel presinaps. Komposisi elektrolit dan neurotransmiter saling mempengaruhi satu sama lain untuk menfaga keseimbangan gradien ion di dalam dan luar 

sel melalui ikatan antara neurotransmiter 

dengan reseptornya serta keluar masuknya 

elektrolit melalui kanalnya masing-masing. 

Aktivitas ini  akan memicu terjadinya depolarisasi, hiperpolarisasi, dan 

repolarisasi, sehingga terjadi potensial eksitasi dan inhibisi pada sel neuron. Potensial 

eksitasi diproyeksikan oleh sel-sel neuron 

yang berada di korteks yang kemudian 

diteruskan oleh akson, sementara sel interneuron berfungsi sebagai inhibisi.

Elektrolit yang berperan penting dalam aktivitas otak yaitu  natrium (Na+), kalsium 

(Ca2+), kalium (IC), magnesium (Mg2+), dan 

klorida (Cl'). N euro transmiter utama pada 

proses eksitasi yaitu  glutamat yang akan 

berikatan dengan reseptornya, yaitu Nmetil-D-aspartat (NMDA) dan non-NMDA 

(.amino-3-hydroxy-5- methyl-isoxasole propionic a c id /k W k dan kainat). Sementara 

pada proses inhibisi, neurotransmiter utama 

yaitu  HS-asam aminobutirik (GABA) yang 

akan berikatan dengan reseptornya GABAa

dan GABAb (Gambar 2b). GABA merupakan 

neurotransmiter yang disintesis dari glutamat oleh enzim glutamic acid decarboxylase

(GAD) dengan bantuan piridoksin (vitamin 

B6) di terminal presinaps. 

Saat potensial eksitasi dihantarkan oleh akson menuju celah sinaps, akan terjadi sekresi glutamat ke celah sinaps. Glutamat akan 

berikatan dengan reseptor non-NMDA, dan 

Na* akan masuk ke dalam sel memicu 

terjadinya depolarisasi cepat [Gambar 2a). 

Apabila depolarisasi mencapai ambang potensial 10-20mV, maka Mg2+yang menduduki reseptor NMDA yang sudah berikatan 

dengan glutamat dan ko-agonisnya (glisin) 

dikeluarkan ke celah sinaps (Gambar 2a), 

sehingga Na+akan masuk ke dalam sel diikuti 

oleh Ca2+. Masuknya Na+ dan Ca2+akan memperpanjang potensial eksitasi, disebut sebagai depolarisasi lambat sesudah  Na+ mencapai 

ambang batas depolarisasi, K+ akan keluar 

dari dalam sel, yang disebut sebagai repolarisasi (Gambar 2a).

Sementara itu, Ca2+ yang masuk ke dalam 

sel juga akan mendorong pelepasan neurotrasmiter GABA ke celah sinaps (Gambar 

2b). Saat GABA berikatan dengan reseptor

GABAa pascasinaps dan mencetuskan potensial inhibisi, Cl' akan masuk ke dalam 

sel dan menurunkan ambang potensial 

membran sel sampai kembali ke ambang 

istirahat pada -70pV yang disebut sebagai 

hiperpolarisasi. Reseptor GABAe di presinaps berperan memperpanjang potensial 

inhibisi. Hasil akhir aksi potensial yang dihasilkan merupakan sumasi dari potensial 

eksitasi dan inhibisi yang dipengaruhi oleh 

jarak dan waktu.

sesudah  hiperpolarisasi, selama beberapa saat 

membran sel terhiperpolarisasi dibawah 

ambang istirahatnya, disebut sebagai after

hyperpolaritation (AHP). AHP terjadi sebagai hasil dari keseimbangan antara Ca2+ 

di dalam sel dan I<+ di luar sel. Pada masa 

ini sel neuron mengalami tahap  refrakter dan 

tidak dapat terstimuli, sampai terjadi pertukaran Ca2+ke luar sel dan K+ ke dalam sel 

melalui kanal yang tidak dipengaruhi oleh 

gradien voltase. Keseimbangan ion di dalam

 dan luar sel dikembalikan oleh pompa Na+-I<+ 

dengan bantuan adenosin triphosphate (ATP}.

Sel giia turut berperan dalam menjaga keseimbangan eksitasi dan inhibisi dengan berperan sebagai spons yang berfungsi untuk 

'menghisap1 IC dan glutamat yang berlebihan 

di celah sinaps untuk kemudian disintesis 

dan dikembalikan lagi ke neuron presinaps.

Adanya ketidakseimbangan antara eksitasi dan 

inhibisi akan memicu hipereksitabilitas 

yang pada akhimya akan memicu bangIdtan epileptik. Ketidak seimbangan ini  

dapat disebabkan oleh faktor internal dan 

elcstemal. pemicu  internal antara lain berupa mutasi atau kelainan pada kanal-kanal 

elektrolit sel neuron. Beberapa mutasi yang 

sudah diketahui yaitu  mutasi kanal Nak Ca2+, 

dan K+, Mutasi ini memicu masuknya Na+ 

dan Ca2* ke dalam sel secara terus menerus 

sehingga terjadi paroxymal depolaritation shift

(PDS). PDS diinisiasi oleh reseptor non-NMDA, 

aldbat peningkatan jumlah Na+ yang masuk ke 

dalam sel, pada mutasi kanal Na+, dan dapat 

diperlama saat reseptor NMDA terbuka diikuti 

masuknya Na+ sehingga semaldn banyak Na+ 

di dalam sel. Pada mutasi kanal Ca2+, PDS terjadi sebab  depolarisasi lambat semaldn lama 

aldbat peningkatan Ca2+ di dalam sel. Sementara mutasi pada kanal K+ akan menghambat 

keluamya K+ ke ekstrasel yang justru akan 

menghambat terjadinya repolarisasi, memperpanjang depolarisasi, dan akhimya menyebabkan PDS.

Pada hipereksitabilitas akan terjadi peningkatan sekresi glutamat ke celah sinaps, 

sehingga terjadi peningkatan jumlah Ca2+ di 

dalam sel. Jumlah Ca2+yang berlebihan ini 

akan mengaktifkan enzim intrasel yang menyebabkan kematian sel. Hal ini merangsang 

keluarnya berbagai faktor inflamasi yang 

akan meningkatkan permeabilitas sel, gangguan keseimbangan elektrolit, edema otak, 

kerusakan sawar darah otak (SDO) atau blood

brain barrier (BBB}, dan sebagainya.

Faktor eksternal terjadi aldbat berbagai penyakit, baik penyakit otak maupun sistemik. 

Penyakit-penyakit ini  dapat menyebabkan kerusakan sel neuron, glia, dan SDO 

(Gambar 3). Kerusakan sel glia akan menyebabkan kelebihan K+ dan glutamat di celah 

sinaps sebab  tidak 'terhisap', sehingga sel 

neuron akan mudah tereksitasi. Keadaan 

ini  juga akan mengaktivasi faktorfaktor inflamasi, kemudian merangsang peningkatan eksitasi dan akhirnya membentuk 

lingkaran yang berkepanjangan. Kerusakan 

yang terjadi secara terus menerus dalam 

jangka waktu yang lama akan memicu 

perubahan aktivitas otak, struktur neuron, 

dan ekspresi gen.

Hipereksitabilitas satu sel neuron akan 

memengaruhi sel neuron di sekitamya. Sekelompok neuron yang mencetuskan aktivitas 

abnomal secara bersamaan disebut sebagai 

hipersinkroni. Pada saat satu sel neuron teraktivasi maka sel-sel neuron di sekitarnya 

juga akan ikut teraktivasi. Jika sel-sel neuron sekitarnya teraktivasi pada waktu yang 

hampir bersamaan, maka akan terbentuk 

suatu potensial eksitasi yang besar dan menimbulkan gejala klinis. Penyebaran PDS 

hipersinkroni ke seluruh hemisfer saat iktal 

maupun interiktal tergantung pada aktivitas 

interneuron di talamus yang sebagian besar 

bersifat inhibisi.

Status epileptikus terjadi sebab  kegagalan 

proses inhibisi di otak. Salah satunya disebabkan oleh sifat reseptor glutamat dan 

GABA dalam merespons jumlah neurotransmiter di celah sinaps. Reseptor glutamat 

merupakan reseptor yang peka terhadap 

perubahan jumlah glutamat. Pada keadaan 

eksitasi berlebihan maka reseptor akan 

meningkatkan kepekaan atau jumlah reseptor. Sebaliknya dengan respons reseptor

GABA terhadap peningkatan aktivitas GABA, 

reseptor-reseptor ini  justru akan tersublimasi dan menjadi bentuk yang tidak peka  terhadap neurotransmiternya. Ini yang 

memicu pada status epileptikus yang 

berkepanjangan, reseptor glutamat akan semakin meningkat dan reseptor GABA akan 

semakin berkurang (Gambar 4).

 

KLASIFIKASI EPILEPSI

Epilepsi dapat diklasifikasikan menurut tipe 

bangkitan (sesuai International League Against

Epilepsi/1 LAE tahun 1981] dan menurut sindrom epilepsi [ldasifikasi ILAE 1989]. Secara 

garis besar menurut klasifikasi ILAE tahun 

1981, bangkitan epileptik dibagi menjadi:

1. Bangkitan parsial (fokal atau lokal]

2. Bangkitan umum (tonik, klonik atau tonikklonik, mioklonik, dan absans tipikal atau 

atipikal]

3. Bangkitan epileptik tidak terklasifikasi

4. Bangkitan berkepanjangan atau berulang (status epileptikus]

Klasifikasi bangkitan dapat dilihat pada Tabel 1 untuk bangkitan parsial danTabel 2 untuk bangkitan umum. 

Klasifikasi sindrom epilepsi (ILAE 1989] 

dibuat berdasar  tipe bangkitan dan etiologi epilepsi. Penegakan diagnosa  berdasar  

sindrom dapat mengarahkan ke tata laksana 

yang lebih spesifik dan dapat menentukan 

prognosis pasien. Klasifikasi sindrom epilepsi dapat dilihat pada Tabel 3.

Klasifikasi sindrom secara garis besar dibagi

menjadi 4, yaitu:

1. Epilepsi dan sindrom localization-related (fokal, lokal, dan parsial)

2. Epilepsi dan sindrom generalized atau 

umum

3. Epilepsi dan sindrom yang tidak dapat 

ditentukan apakah fokal atau umum

4. Sindrom spesial 

GEJALA DAN TANDA KLINIS

1. Bangldtan Umum Tonik-klonik

Bangkitan ini secara etiologi dapat berupa 

idiopatik, kriptogenik, atau simtomatik. 

Tipe bangkitan ini dapat terjadi pada 

semua usia kecuali neonatus. Manifestasi 

klinis: hilang kesadaran sejak awal bangkitan hingga akhir bangkitan, bangkitan 

tonik-klonik umum, dapat disertai gejala 

autonom seperti mengompol dan mulut 

berbusa. Gambaran iktal: tiba-tiba mata 

meiotot dan tertarik ke atas, seluruh tubuh kontraksi tonik, dapat disertai suara 

teriakan dan nyaring, selanjutnya diikuti 

gerakan Idonik berulang simetris di seluruh tubuh, lidah dapat tergigit dan mulut 

berbusa serta diikuti mengompol. sesudah  

iktal, tubuh pasien menjadi hipotonus, 

pasien dapat tertidur dan terasa lemah.

Pada pemeriksaan elektroensefalografi 

(EEG) saat inter iktal didapatkan aktivitas epileptiform umum berupa kompleks 

gelombang paku-ombak [spike wave) terutama pada saat tidur stadium non-REM.

2. Bangldtan Tonik

Bangkitan tonik ditandai oleh kontraksi seluruh otot yang berlangsung terus menerus, 

berlangsung selama 2-10 detik namun 

dapat hingga beberapa menit, di-sertai hilangnya kesadaran. Dapat disertai gejala 

autonom seperti apnea. Gambaran EEG interiktal menunjukkan irama cepat dan gelombang paltu atau kompleks paku-ombak 

frekuensi lambat yang bersifat umum.

3. Bangkitan Klonik

Bangkitan ini ditandai oleh gerakan kontraksi klonik yang ritmik (1-5 Hz) di seluruh 

tubuh disertai hilangnya kesadaran sejak 

awal bangldtan. Pada EEG iktal didapatkan

aktivitas epileptiform umum berupa gelombang paku, paku multipel, atau kombinasi 

gelombang irama cepat dan lambat.

4. Bangkitan Mioldonik

Mioklonik yaitu  gerakan kontraksi involunter mendadak dan berlangsung sangat 

singkat (jerk) tanpa disertai hilangnya kesadaran. Biasanya berlangsung 10-50milidetik, durasi dapat mencapai lebih dari 

lOOmilidetik. Otot yang berkontraksi 

dapat tunggal atau multipel atau berupa 

sekumpulan otot yang agonis dari berbagai 

topografi, Mioklonik dapat berlangsung 

fokal, segmental, multifokal, atau umum. 

Gambaran EEG berupa gelombang polyspikes yang bersifat umum dan singkat.

5. Bangkitan Atonik

Bangkitan ditandai oleh hilangnya tonus 

otot secara mendadak. Bangkitan atonik 

dapat didahului oleh bangkitan mioklonik atau tonik. Bentuk bangkitan bisa 

berupa "jatuh" atau "kepala menunduk". 

Pemulihan pascaiktal cepat, sekitar 1-2 

detik. Gambaran EEG dapat berupa gelombang paku [spikes) atau polyspikes

yang bersifat umum dengan frekuensi 

2-3Hz dan gelombang lambat.

6. Bangkitan Absans Tipikal

Bangkitan absans [petit mal) berlangsung sangat singkat (dalam hitungan 

detik) dengan onset mendadak dan berhenti mendadak, Bentuk bangkitan berupa hilang kesadaran atau "pandangan 

kosong". Dapat pula disertai komponen 

motorik yang minimal (dapat berupa 

mioklonik, atonik, tonik, automatisme). 

Pada pemeriksaan EEG didapatkan aktifitas epileptiform umum berupa kompleks paku-ombak 3Hz (>2,5Hz). 

7. B angkitan A b sans Atipikal

Bangkitan berupa gangguan kesadaran 

disertai perubahan tonus otot [hipotonia atau atonia], tonik, atau automatisme. 

Pasien dengan bangkitan absans atipikal 

sering mengalami kesulitan belajar akibat 

seringnya disertai terjadinya bangkitan 

tipe lain seperti atonik, tonik, dan mioldonik. Pada absans atipikal, onset dan 

berhentinya bangkitan tidak semendadak 

bangkitan absans tipikal, dan perubahan tonus otot lebih sering terjadi pada 

bangkitan tipe absans atipikal. Pada EEG 

didapatkan gambaran kompleks pakuombak frekuensi lambat [1-2,5Hz atau 

<2,5Hz) yang iregular dan heterogen dan 

dapat bercampur dengan irama cepat.

8. B an gk itan F o k a l/P a rsia l

Bentuk bangkitan yang terjadi tergantung dari letak fokus epileptik di otak. 

Fokus epileptik berasal dari area tertentu yang kemudian mengalami propagasi 

dan menyebar ke bagian otak yang lain,

Bentuk bangkitan dapat berupa gejala 

motorik, sensorik (kesemutan, baal), 

sensorik spesial [halusinasi visual, halusinasi auditorik), emosi [rasa takut, marah), 

autonom [kulit pucat, merinding, rasa 

mual). Bangkitan parsial sederhana yang 

diikuti dengan bangkitan parsial kompleks atau bangkitan umum sekunder 

disebut sebagai aura.

diagnosa  DAN diagnosa  BANDING

Epilepsi yaitu  suatu penyakit atau gangguan di otak yang ditegakkan jika ada :

1. Paling sedikit 2 kali bangkitan tanpa provokasi [atau refleks) dengan jarak antar 

2 bangkitan ini  >24 jam.

2. Satu kali bangkitan tanpa provokasi 

[atau refleks] dan kemungkinan terjadinya bangkitan berikutnya hampir 

sama dengan risiko timbulnya bangkitan [paling sedikit 60% ) sesudah  terjadi 

2 kali bangkitan tanpa provokasi, dalam 

10 tahun ke depan.

3. diagnosa  sindrom epilepsi,

Penegakkan diagnosa  pada epilepsi dilakukan secara bertahap dan sedapat mungldn 

ditegakkan sindrom epilepsi yang dialami 

oleh pasien, sebab  tiap sindrom epilepsi 

tertentu memiliki tata laksana dan prognosis yang berbeda-beda.

Langkah-langkah menegakkan diagnosa :

1. Apakah gejala paroksismal ini  

merupakan bangkitan epileptik?

2. Apakah tipe bangkitan epileptik yang dialami pasien?

3. Apakah etiologinya?

4. Apakah sindrom epilepsi yang dialami 

oleh pasien?

Identifik asi B an gk itan Epilep tik

Anamnesis memegang peranan terbesar 

dalam mengidentifikasi bangkitan epileptik. 

Anamnesis dimulai dengan menggali semiologi bangkitan epileptik, yang paling utama 

yaitu  semiologi iktal.

Semiologi iktal antara lain yaitu  aura, lateralisasi, kesadaran, dan perkembangan bangkitan menjadi umum. Aura, yaitu gejala yang 

dirasakan pasien saat masih sadar dan terjadi dalam hitungan detik sebelum pasien 

kehilangan kesadarannya, merupakan petunjuk fokus bangkitan. Aura sensorik 

menunjukkan fokus pada korteks sensorik 

sesuai homenkulus di lobus parietal, aura 

auditorik pada Iobus temporal lateral, aura 

visual pada jaras visual tergantung pada 

kompleksitasnya dapat berasal dari lobus 

temporal atau oksipital, dan lain sebagainya. Kemudian lateralisasi, beberapa bentuk bangkitan seperti arah gerakan mata, 

mulut, wajah, kepala, postur distonik dapat 

menunjukkan hemisfer yang terlibat.

Lirikan mata saat pasien mulai kehilangan kesadaran akan menunjukkan keterlibatan hemisfer kontralateral dari arah 

mata, sementara arah kepala tertarik saat 

pasien masih sadar biasanya menunjukkan 

hemisfer ipsilateral. Kesadaran dan perkembangan bangkitan menjadi umum biasanya 

sejalan, kesadaran akan menghilang dengan 

berkembangnya bangkitan menjadi umum, 

apabila kesadaran masih intak saat bangkitan 

menjadi umum, maka perlu dipikirkan diagnosis banding bangkitan non-epileptik.

Semiologi pascaiktal terutama kesadaran 

sesudah  bangkitan selesai juga dapat menjadi petunjuk etiologi dan topis. Kesadaran 

yang langsung kembali intak dapat terjadi 

pada epilepsi idiopatik dan lobus frontal, sementara kebingungan yang terjadi sebagai 

gejala pascaiktal merupakan patognomonik 

epilepsi lobus temporal.

Pada bangkitan fokal/parsial, durasi bangkitan dapat terjadi sampai dengan 5 menit, 

sementara pada bangkitan umum tonik 

klonik berkisar antara 1-2 menit. Apabila 

terjadi lebih lama pikirkan kemungkinan 

status epileptikus. Namun apabila dipadukan dengan semiologi bangkitan tidak didapatkan kesesuaian, maka pertimbangkan 

diagnosa  banding bangkitan non-epileptik.

Kesesuaian antara runutan semiologi bangkitan dengan asal fokus merupakan kunci

utama. Bila ada  lebih dari satu kali, 

maka bentuk bangkitan akan selalu sama. 

Frekuensi bangkitan, durasi antar bangkitan dan waktu terjadi bangkitan mempunyai 

kekhasan pada tiap lobus.

P en eg ak an Sindrom Epilepsi

Sindrom epilepsi ditegakkan selain berdasarkan semiologi bangkitan dan EEG, juga 

pemeriksaan fisik, topis, pemeriksaan penunjang lainnya serta usia. Pemeriksaan EEG dilakukan untuk memastikan adanya aktivitas 

epileptiform yang bersifat fokal atau umum. 

Pada EEG juga perlu diperhatikan latar belakang serta ada tidaknya perlambatan fokal 

monomorfik atau polimorfik.

Pemeriksaan fisik dilakukan untuk mengetahui adanya defisit neurologis fokal maupun 

global. Bila didapatkan defisit neurologis 

maka ditegakkan diagnosa  epilepsi simtomatik, bahkan pada bangkitan epileptik pertama kali. Pada epilepsi simtomatik 

pencarian etiologi merupakan keharusan, 

Pemeriksaan penunjang seperti pemeriksaan laboratorium, pencitraan otak, dan 

pungsi lumbal sangat membantu dalam 

menemukan etiologi.

Bila pada pemeriksaan fisik dan penunjang 

tidak ditemukan kelainan maka kemungkinan 

diagnosa  yaitu  epilepsi kriptogenik atau 

idiopatik. Pada bayi, anak-anak, dan remaja, 

idiopatik dipikirkan apabila ada  riwayat 

keluarga terutama pada orangtua dan saudara kandung.

pengobatan 

M ed ik am en tosa

Titik berat tata laksana epilepsi yaitu  pencegahan bangkitan berulang dan pencarian etiologi. Bangkitan epileptik dapat merupakan 

gejala dari suatu penyakit sistemik maupun

 akibat kelainan intrakranial. Bangkitan epileptik pertama yang terjadi pada tahap  akut 

akibat penyakit yang mendasarinya, biasanya tidak memerlukan terapi jangka panjang. 

Sementara bangkitan epileptik yang terjadi 

akibat suatu kelainan intrakranial yang kronis diperlukan terapi jangka panjang.

Pada bangkitan epileptik pertama, terapi obat 

anti epilepsi [OAE) dapat langsung diberikan 

bila ada  risiko yang tinggi untuk terjadinya bangkitan berulang. Misalnya pada status 

epileptikus sebagai bangkitan epileptik pertama, ditemukannya lesi intrakranial sebagai 

pemicu  bangkitan, riwayat keluarga epilepsi dan beberapa indikasi lainnya,

OAE diberikan berdasar  tipe bangkitan. 

OAE pilihan pada kejang tipe parsial berdasarkan pedoman ILAE 2013 antara lain yaitu  

karbamazepin, levetirasetam, zonisamid, dan 

fenitoin. Pilihan OAE pada anak yaitu  okskarbazepin dan pada lanjut usia yaitu  lamotrigin 

dan gabapentin. Sementara pada bangkitan 

pertama umum tonik klonik pada dewasa dan 

anak yaitu  karbamazepin, okskarbazepin, 

fenitoin, dan lamotrigin (Tabel 4).

Dosis obat dimulai dari dosis kecil dan dinaikkan secara bertahap sampai mencapai dosis 

terapi. Pantau efek samping jangka pendek, 

seperti mengantuk, gangguan emosi dan 

perilaku, gangguan hematologi, fungsi hepar, 

atau alergi. Jika tidak ditemukan efek samping dan pasien merasa nyaman dengan obat 

ini , dosis obat dapat dinaikkan bertahap 

sampai tercapai bebas bangkitan atau terjadi 

intoksikasi. Gejala dan tanda intoksikasi dapat 

muncul ringan sampai berat. Bila muncul gejala dan tanda intoksikasi ringan, serperti dizziness dan nistagmus pada intoksikasi fenitoin, dosis dapat diturunkan ke dosis sebelum

tanda intoksikasi ini  muncul. Namun 

apabila terjadi intoksikasi berat seperti penurunan kesadaran pada intoksikasi valproat 

maka obat harus langsung dihentikan dan diganti dengan obat yang tidak mempunyai profil efek samping yang sama serta waktu steady

state cepat untuk mencegah status epileptikus 

akibat efek withdrawal

Selain tipe bangkitan, pemilihan OAE perlu 

memperhatikan faktor-faktor individual seperti komorbiditas, usia, ekonomi, interaksi 

obat, ketersediaan, dan lain sebagainya. Komunikasi, edukasi, dan informasi merupakan salah satu falctor penting untuk meningkatkan kemungkinan bebas serangan.

Prinsip pengobatan epilepsi yaitu  monoterapi dengan target pengobatan 3 tahun bebas 

bangkitan. Bila pemberian monoterapi tidak 

dapat mencegah bangkitan berulang, politerapi dapat diberikan dengan pertimbangan 

profil obat yang akan dikombinasikan. Apabila masih tidak dapat diatasi, maka perlu dipertimbangkan tindakan pembedahan untuk 

menghilangkan fokus epileptik.

N o n m ed ik am en to sa

Tata laksana nonmedikamentosa pada epilepsi antara lain:

1. Pembedahan epilepsi

2. Stimulasi nervus vagus

3. Diet ketogenik

Pembedahan epilepsi yaitu  salah satu tata 

laksana nonmedikamentosa yang efektif pada 

pasien epilepsi fokal resisten obat. Angka keberhasilan pembedahan epilepsi antara lain 

66% pasien bebas bangkitan pada epilepsi 

lobus temporal, 46% pada epilepsi lobus oksipital dan parietal, serta 27% pada epilepsi 

lobus frontal 

Stimulasi nervus vagus [SNV) merupakan 

metode invasif pada terapi pasien epilepsi 

yang resisten obat. Metode ini memakai  

suatu elektroda yang ditanam di bawah kulit 

pada dada kiri dan berhubungan dengan 

elektroda stimulator yang diletakkan pada 

nervus vagus kiri. Stimulator ini mengeluarkan impuls dengan berbagai frekuensi 

sesuai dengan kebutuhan pasien. Frekuensi 

bangkitan sangat menurun sesudah  penggunaan stimulasi nervus vagus ini. Penurunan 

frekuensi bangkitan sekitar 35-75% sesudah  

10 tahun pemakaian  SNV.

Diet ketogenik sampai saat ini terbukti 

efektif pada pasien epilepsi anak-anak. Diet 

ketogenik yaitu  diet dengan tinggi lemak, 

rendah protein, dan rendah karbohidrat. 

Angka bebas bangkitan pada anak-anak 

mencapai 16%, penurunan >90% frekuensi 

bangkitan sebesar 32%, penurunan >50% 

frekuensi bangkitan sebesar 56%. Namun 

diet ketogenik ini belum terbukti efektif 

pada pasien dewasa.

SIN D RO M E P IL E P S I

Berikut yaitu  sindrom yang tersering dijumpai pada klinis:

1 . Benign Focal Epilepsy with Centrotemporal Spikes (B E C T S )

BECTS merupakan sindroma epilepsi fokal 

yang paling sering didapatkan pada anakanak. Insidens pada anak di bawah 16 tahun sekitar 21 per 100.000. Sedikit lebih 

sering terjadi pada laki-laki dengan perbandingan 3:2. Sebagian kecil pasien memilild faktor predisposisi kejang demam 

[16%) dan bangkitan pada saat infant

( 1-8% ).

a. Gambaran klinis dan semiologi

Onset terjadinya BECTS rerata 8 tahun 

[3-13 tahun) dan akan remisi pada hampir 

semua pasien menjelang usia 16 tahun. Serangan paling sering terjadi pada malam 

hari, dan dikatakan terjadi saat peralihan 

dari kondisi sadar menuju tidur dan dari 

tidur ke kondisi sadar. Durasi serangan 

berkisar antara beberapa detik sampai 

menit. Status epileptikus dilaporkan 

pada beberapa pasien [17% ).

Aura sensori hemifasial sering mengawali 

serangan. Aura ini digambarkan seperti 

sensasi parastesi [kesemutan) atau baal 

pada perioral maupun intraoral, rahang dan 

lidah kaku, dan kadang sensasi terceldk. Namun aura ini mungkin sulit untuk didapatkan dalam anamnesis sebab  keterbatasan 

kemampuan anak untuk mendeskripsikannya tergantung usia mereka.

Sebagian pasien mengalami serangan motorik berupa klonik, tonik, maupun tonik 

klonik pada ekstremitas maupun daerah 

kepala unilateral yaitu pada bibir, wajah, 

dan lidah. Sebagian pasien mengalami serangan yang melibatkan orofaring, laring, 

dan orofaringeal. Keterlibatan bagian ini 

ditandai dengan guttural noises, gargling,

grunting, maupun "death rattle" Speech

arrest atau ketidakmampuan berbicara 

merupakan gejala yang dapat muncul 

pada serangan laring dan orofaringeal, 

namun komprehensi dan kemampuan 

memahami sign language pada pasien 

masih baik, Gambaran klinis lainnya 

yang sering dianggap penting oleh orang 

tua yaitu  adanya liur yang keluar dari 

mulut pasien, dan sering terjadi muntah 

pascaiktal.

 

Pasien sadar saat tahap  awal serangan kecuali bila serangan dengan cepat berubah 

menjadi umum-sekunder. Sebanyak 54% 

pasien mengalami evolusi serangan menjadi tonik-klonik. Manifestasi fungsi luhur 

dapat terjadi pada pasien BECTS diantaranya gangguan memori auditori-verbal 

dan visospasial, fungsi eksekutif, bahasa, 

dan atensi.

b. Pemeriksaan penunjang

Pencitraan tidak rutin dilakukan pada 

pasien ini kecuali jika ada  gejala-gejala 

yang atipilcal atau dicurigai sebab  keterlibatan atau etiologi lain. Namun, bila fasilitas 

dan kondisi memungldnkan pemeriksaan 

pencitraan dapat dilakukan