neurologi 30












 i aiel APO-E £2 terhadap 

terjadinya nekrosis fibrinoid, yang merupakan dasar neuropatologis perrdarahan intraserebral terkait CAA (Gambar 5). 

PIS terkait CAA berkontribusi sebesar 

5-20% dari perdarahan intraserebral spon- 

tan (nontraumatik) pada usia lanjut. Smith 

dkk menunjukkan PIS terkait CAA dan PIS 

terkait hipertensi dapat ditemukan bersamaan (25%). PIS terkait CAA seringkali 

berlokasi di lobar, karena keterlibatan pembuluh darah kortikal dan leptomeningeal 

superfisial. Sebaliknya PIS terkait hipertensi 

jarang ditemukan di lobar. PIS terkait CAA 

ini seringkali multipel dan berulang. Selain 

tiga hal ini , tidak ada ciri khas yang 

patognomonik U:ntuk perdarahan ini. Gejala 

seperti nyeri kepala, defisit neurologis fokal, 

kejang dan penurunan kesadaran sama seperti 

yang ditemukan pada PIS dengan kausa lainnya. Namun, hal yang perlu ditekankan, bahwa 

perdarahan intraserebral terkait CAA dapat 

asimtomatis, yakni pada microbleeds. 

PIS terkait CAA penting untuk diperhatikan, 

karena sering dihubungkan dengan risiko 

perdarahan terkait trombolisis. Keduanya 

memiliki manifestasi serupa, berupa predisposisi daerah lobar dan superfisial otak, 

multipel, peningkatan frekuensi dengan bertambahnya usia, dan berhubungan dengan 

demensia. Penelitian in vitro menunjukkan 

deposit A~ memicu degenerasi sel 

pada dinding pembuluh darah, memengaruhi 

vasoaktivitas, dan meningkatkan mekanisme 

proteolitik, seperti fibrinolisis, antikoagulasi 

dan degradasi matriks ekstraselular. 

PIS terkait CAA juga dikaitkan dengan stroke 

hemoragik akibat warfarin dan microbleeds 

dihubungkan dengan risiko rebleeding oleh 

karena terapi antiplatelet. Hal ini dibuktikan oleh Biffi dkk (2010), namun belum 

ada modalitas yang dapat dipakai  untuk 

memprediksi risiko perdarahan terkait terapi pada kasus ini .

Diagnosa  definitif CAA yaitu  berdasar  

histologi jaringan otak berupa gambaran 

green birefringent di bawah cahaya terpolarisasi dengan pewarnaan Congo red dan 

gambaran floresen di bawah sinar ultravio- 

let dengan pewarnaan thioflavin S. Tanda 

khas lainnya yaitu  gambaran "double barrel" yang disebabkan pemisahan lamina 

elastika interna akibat pengendapan materi 

hialin pada dinding pembuluh darah. Oleh  

karena memerlukan histologi jaringan untuk Diagnosa  definitif, maka seringkali diagnosis CAA didapatkan pada postmortem. 

Saat ini telah dideklarasikan kriteria Kriteria 

Boston, yang meliputi gejala klinis dan pencitraan, selain komponen histologi yang diperoleh secara invasif. berdasar  kriteria 

ini, Diagnosa  CAA dibedakan menjadi 4, yakni definite CAA, probable CAA dengan gambaran patologi atau MRI/CT scan mendukung, 

dan possible CAA (Tabel 3). ada heber 

apa kriteria tambahan yang sedang diajukan, 

berupa ditemukannya siderosis superfisial 

pada penanda pencitraan CAA. Modalitas 

diagnostik non-invasif lain yaitu  pemeriksaan positron emission tomography (PET) 

scan dengan beta-amyloid-binding compound 

Pittsburgh Compound B yang dapat memvisualisasi ~-amiloid fibriler pada otak, yang dilaporkan berkaitan dengan risiko perdarahan intraparenkim akibat recombinant tissue 

plasminogen activator (r-TPA).  


PENGOBATAN CAA atau PIS terkait CAA, 

baik pencegahan maupun terapi secara 

evidence based belum ada. Kortikosteroid 

dalam beberapa laporan kasus menunjukkan perbaikan gejala yang berkaitan dengan 

CAA-related inflammation. Hal ini dipikirkan dengan mengurangi edema vasogenik. 

Terapi imunosupresan lain juga dilaporkan 

memengaruhi proses inflamasi CAA, namun 

masih ada sedikit bukti. Laporan dari 

studi perindopril protection against recurrent stroke study (PROGRESS) menunjukkan 

bahwa pengendalian tekanan darah (TD) 

dapat menurunkan risiko PIS terkait CAA. 

Cerebra! 4utosomal Dominant Arterlopathy with Subcortical Infarcts and Leukoencephalopathy (CADASIL) 

CADASIL merupakan pemicu  penting dari 

stroke dan demensia vaskular usia muda. 

Lebih dari 10% pasien berusia kurang dari 

50 tahun dengan stroke dan penyakit white 

matter ditemukan mutasi CADASIL. Mutasi 

ini diturunkan secara monogenik mengikuti hukum Mendell pada gen NOTCH3. Gen 

terse but diekspresikan secara eksklusif oleh 

sel otot polos pembuluh darah, terutama arteri berkaliber kecil serta sel perisit. Pada 

pasien CADASIL ada akumulasi ranah 

ekstraselular NOTCH3 pada membran sitoplasma otot polos pembuluh darah. 

CADASIL dapat bermanifestasi klinis maupun tidak. Manifestasi klinisnya sangat 

bervariasi, seperti migren, stroke lakunar, 

stroke lakunar berulang, leukoaraiosis, gangguan mood, apatis, dan demensia yang tidak 

harus ditemukan secara bersamaan. Gambaran otak pasien dapat berupa infark lakunar, 

demielinisasi white matter yang difus dan 

hilangnya akson yang tidak melibatkan sub- 

Cerebral Small Vessel Disease 

cortical U-fibres, microhemorrhages terutama 

pada gray matter, dan laminar cortical neuronal apoptosis. Hal itu berdasar  perubahan 

morfologis dan fungsional pembuluh darah 

otak yang juga terlihat pada pembuluh darah sistemik. 

Karakteristik histopatologis pada CADASIL 

yaitu  vaskulopati, yang terutama melibatkan pembuluh darah pial dan arteri perforator yang berdiameter kecil ( <SOOJ.I.m) 

serta arteriol, dan tidak disebabkan oleh 

hipertensi, aterosklerosis, atau degenerasi 

amiloid. Gambaran patognomonik CADASIL berupa akumulasi granular osmiophillic 

material (GOM) di tunika media tepat di 

permukaan membran sel otot polos, diikuti 

degenerasi dan berkurangnya sel otot polos, fibrosis adventisia dan penebalan mural 

pembuluh darah, serta pelebaran rongga 

perivaskular (rongga Virchow-Robin). Proses patologi ini  memicu  stenosis luminal long penetrating arteries yang 

memperdarahi white matter subkortikal. 

Semua kelainan ini  menimbulkan perubahan fisiologis, yaitu penurunan (cerebral blood flow fCBF) dalam kondisi basal 

atau istirahat, penurunan volume dan dilatory reserve, serta peningkatan oxygen extraction fraction yang berkaitan dengan 

usia. ada pula hipoperfusi terbatas 

pada regio white matter, yang memberikan 

gambaran leukoaraiosis serupa denganleukoaraiosis dengan kausa lain. 

White Matter Lesion (WML) 

Prevalensi WML pada populasi kulit putih 

sekitar 80% pada <!:60 tahun dan lebih banyak pada perempuan. WML dihubungkan 

dengan faktor genetik dan ada hubungan yang kuat dengan usia dan tekanan da

rah. WML dapat memberikan manifestasi 

klinis yang bervariasi ataupun hanya ditemukan pada pencitraan tanpa gejala klinis. 

Sebelum adanya MRI, white matter lesion 

(WML) terlihat sebagai suatu x-ray attenuation di area white matter pada gambaran 

CT scan. Hachinski dkk menyatakan lesi itu 

disebut sebagai leukoaraiosis. Pada pemeriksaan MRI, WML berupa gambaran hiperintens didaerah white matter pada sekuens 

T2 weighted dan FLAIR di periventrikel dan 

daerah immediate subcortical white matter. 

Fazekas memberikan gambaran histopatologis yang sering ditemukan pada WML 

yaitu  perubahan perivaskular ringan 

hingga melibatkan area yang luas dengan 

kehilangan jumlah serat yang bervariasi, 

kavitas kecil multipel, serta arteriosklerosis nyata. Hal ini berkaitan dengan berbagai 

proses patologis, bergantung pada kerusakan jaringan iskemik dapat berupa myelin 

pallor, gliosis, kehilangan akson, destruksi 

serat saraf komplet, hingga pada kasus berat dapat menimbulkan gangguan sawar 

darah otak dan endotel. Selain itu ada 

patologis lain terjadi juga venous collagenosis, yaitu penumpukan kolagen pada dinding venula di pembuluh darah vena kecil 

periventrikular. Namun proses ini kurang 

mendapatkan perhatian jika dibandingkan 

dengan kaitan arteriosklerosis terhadap 

small vessel disease. 

Proses pembentukan WML serta kompleksitas fenotipnya dipikirkan ada kontribusi 

faktor genetik, antara lain perubahan transkrip RNA pada berbagai gen yang melibatkan 

siklus sel, proteolisis, dan apoptosis pada 

WML. Hasil studi Genome Wide Association 

Study (GWAS) telah diidentifikasi adanya gen  

yang berhubungan dengan sifat-sifat multifaktoral kompleks seperti WML, yaitu 6 novel 

single nucleotide polymorphisme (SNP) pada 

satu lokus kromosom 17q25. 

WML berkaitan dengan beberapa penyakit, 

diantaranya penyakit Binswanger. Penyakit ini secara patologis tampak sebagai area 

konfluens atau pengelompokan jaringan 

halus yang berkerut dan berglanulasi pada 

white matter di otak, meliputi lobus oksipital, periventrikel terutama bagian anterior, 

dan serebelum. Volume white matter menjadi berkurang dan dapat disertai pembesaran ventrikel serta mengecilnya korpus 

kalosum. Selain lesi white matter, dapat pula 

ditemukan lacunae, kavitas berbentuk bulat 

. atau lonjong berisi cairan pada daerah subkortikal, berdiameter 3-20mm, yang ditemukan pada CT atau MRI. Terkadang pasien 

dengan perubahan white matter Binswanger 

juga mengalami amyloid angiopthy dan CADASIL, yaitu arteri yang berada di subkortikal dan leptomeningen mengalami penebalan dan mengandung substansi congophilic 

yang mewarnai amiloid. 

Studi mikroskopik menunjukan adanya 

myelin pallor, suatu area dengan penurunan 

mielinisasi yang dikelilingi oleh jaringan 

normal. Pada abnormalitas white matter 

yang berat dapat ditemukan nekrosis dan 

terbentuk kavitas. Selain itu dapat terjadi 

gliosis, terutama di area yang mengalami 

myelin pallor. Dinding dari penetrating arteries menebal dan mengalami hialinisasi, 

namun oklusi dari arteri kecil sangat jarang 

ditemukan. 

Gambaran klinik penyakit Binswanger sangat bervariasi, umumnya berupa gangguan 

kognitif berupa perlambatan psikomotor,  

gangguan memori, bahasa, dan visuospasial, serta abulia. Selain itu dapat ditemukan 

gejala pseudobulbar, gangguan piramidal, 

dan gait. Manifestasi ini umumnya bertahap 

dan memburuk dalam periode hari hingga 

minggu, kemudian menetap. Adapula yang 

bermanifestasi sebagai stroke lakunar akut. 

PATOGENESIS KERUSAKAN SEREBRAL 

Mekanisme CSVD memicu kerusakan 

parenkim otak bermacam-macam dan belum 

sepenuhnya diketahui, namun pada prinsipnya CSVD memicu perubahan patologis pada pembuluh darah otak. Pada arterial, 

perubahan meliputi disfungsi otot pembuluh 

darah, lipohialinosis, vascular remodelling, 

dan penumpukan materi fibrotik Terjadi juga 

penebalan membran basal, pelebaran ruang 

perivaskular (rongga Virchow-Robin), serta 

gangguan sistem sawar darah otak (SDO) yang 

dapat memicu edema. Hal ini memicu hipoperfusi kronik akibat penurunan 

aliran darah otak dan hilangnya respons 

adaptif seperti autoregulasi dan neurovascular coupling, sehingga terjadi gangguan suplai 

nutrisi ke otak secara adekuat yang berlanjut 

pada kerusakan jaringan (Gambar 6). Adapun 

perubahan pada sistem vena dapat berupa venous collagenosis. 

Perubahan patologis pada pembuluh darah 

kecil dapat memberikan dampak iskemik 

maupun hemoragik. Bentuk iskemik CSVD 

antara lain lesi white matter dan infark  

Cerebral Small Vessel Disease 

lakunar. Kerusakan white matter dipikirkan merupakan bentuk infark yang tidak 

lengkap atau nekrosis yang selektif. Mekanisme yang mendasarinya dipikirkan 

akibat restriksi lumen yang memicu 

hipoperfusi kronik white matter, sehingga 

memicu degenerasi serabut mielin 

akibat kematian oligodendrosit selektif dan 

berulang. Bentuk iskemik lain yaitu  infark 

lakunar akibat penyumbatan dan oklusi 

pembuluh darah kecil yang bersifat akut. 

Hal ini memicu iskemik yang bersifat 

fokal dan akut serta nekrosis jaringan komplet (pannecrosis). Dapat terlibat juga mekanisme lain seperti kerusakan sawar darah 

otak, inflamasi subklinik lokal dan apoptosis 

oligodendrosit yang berkontribusi terhadap 

gambaran patologis akhir dari penyakit ini. 

Selain lesi iskemik, CSVD juga dapat memicu perdarahan. Perdarahan pada 

CSVD dapat berupa perdarahan masif maupun perdarahan kecil (microhaemorrhage). 

Alasan mengapa beberapa pembuluh darah 

yang mengalami ruptur dapat memicu perdarahan masif, sedangkan pembuluh 

darah lain hanya memicu perdarahan 

kecil tidak diketahui. Perbedaan ketebalan 

dinding pembuluh darah pada kasus cerebral 

amyloid angiopathy (CAA) sebelumnya dipikirkan menjelaskan hal ini , yakni semakin tebal dinding pembuluh darah dikaitkan dengan lebih banyak perdarahan kecil.  

GEJALA DAN TANDA KLINIS 

Infark komplet (lacunar syndrome) atau 

infark inkomplet (WML) struktur subkortikal pada CSVD menimbulkan manifestasi 

klinis. Infark lakunar multipel dapat bermanifestasi sebagai gangguan fungsi kognitif, gangguan gait, gangguan mood, maupun 

gangguan motorik. ada bukti adanya  

peningkatan risiko penurunan fungsi kognitif, demensia, gangguan gait, gangguan 

keseimbangan, serta parkinsonisme pada 

individu dengan CSVD, walaupun studi 

prospektifnya masih sedikit. 

WML juga memberikan gambaran klinis yang 

bervariasi, mulai dari tidak adanya keluhan,  

hingga ada gangguan fungsi kognitif dan 

gangguan motorik, termasuk parkinsonisme. 

Variasi ini berhubungan dengan luasnya lesi 

serta perbedaan mekanisme kompensasi untuk mencegah penurunan fungsi kognitif dan 

motorik. Gambaran MRI pada sekuens fluid 

attenuated inversion recovery (FLAIR) juga 

tidak khas, karena WML dapat atau tanpa 

disertai bentuk CSVD lain pada MRI, seperti 

infark lakunar dan cerebral microbleed. 

Diagnosa  DAN Diagnosa  BANDING 

Kerusakan parenkim otak pada CSVD hanya 

dapat diidentifikasi dengan CT scan atau 

MRI, sehingga Diagnosa nya sangat bergantung pada temuan pencitraan (Tabel 4 dan 

Gambar 7). Wardlaw dkk mengidentifikasi 

beberapa temuan, seperti infark lakunar, 

white matter hyperintensities (WMH) atau 

white matter lesions (WML), dilatasi ruang 

(A) (B) 

perivascular (Virchow Robbin space), deep 

hemorrhage (large subcortical hemorrhages 

dan microbleeds), dan atrofi otak. Lesi subkortikal seperti infark lakunar, WMH, dan deep 

hemorrhage (large subcortical hemorrhages 

dan microbleeds) juga merupakan penanda 

CSVD, namun tidak spesifik. WMH tidak hanya ditemukan pada CSVD, infark lakunar 

juga dapat menggambarkan embolisme. 

Hal yang penting diperhatikan yaitu  CSVD tidak hanya memiliki gambaran iskemik, namun 

juga dapat memberikan gambaran perdarahan 

berupa macrolesions (large sub-cortical hemorrhages) dan microlesions (microbleeds). Sebagian besar perdarahan dapat dideteksi dengan 

pencitraan konvensional termasuk CT scan, microbleeds membutuhkan MRI dengan sekuens 

khusus yakni gradient echo atau susceptibilityweighted imaging (SWI).  


ada klasifikasi yang dipakai  secara 

luas untuk mendeskripsikan beratnya WML, 

yaitu Fazekas Scale yang pertama kali dikemukakan oleh Fazekas dkk (1987). Skor ini 

menilai secara kuantitatifjumlah white matter hyperintense lesions pada MRI sekuens 

T2/FLAIR yang timbul akibat iskemia kronik 

terutama oleh gangguan pembuluh darah ke 

cil. Namun dalam praktek sehari-hari hanya 

dipakai  klasifikasi ringan (mild), sedang 

(moderate), dan berat (severe). Skala Fazekas 

membagi white matter menjadi 2 regio, yaitu 

periventrikular dan deep white matter, dan 

tiap regio dibagi menjadi beberapa kelas berdasar  ukuran dan confluence (penggabungan) dari lesi (Tabel 5 dan Gam bar 8). 


PENGOBATAN 

Manifestasi CSVD sangat spesifik berhubungan pembuluh darah kecil yang ada di otak, 

sehingga memungkinkan pencegahan faktor 

risiko untuk menekan disabilitas dan mortalitas di kemudian hari. 

Trombolisis 

Tissue plasminogen activator (t-PA) intravena (IV) telah menjadi standar terapi pada 

stroke iskemik akut dengan time window 

0-3 jam (Amerika dan Eropa) dan 0-6 jam 

(Asia). Namun hal ini bukan merupakan 

pi-lihan utama pada infark lakunar dan 

hingga kini efikasi maupun keamanannya 

masih dalam perdebatan. berdasar  National Institute of Neurological Disorders and 

Stroke (NINDS) dan penelitan lainnya, luaran terapi t-PA pada stroke lakunar tidak lebih buruk dibandingkan dengan stroke nonlakunar. Akan namun  penelitian Shoba dkk 

terhadap 195 pasien dengan infark lakunar, 

diperoleh luaran trombolisis yang lebih baik 

diban-dingkan plasebo (modified Rankin 

Scale 0-2; RR 1,84; IK95%, 1,59-2,13). Oleh 

sebab itu, beberapa pedoman terbaru tidak membedakan efikasi t-PA menurut tipe 

stroke. Terkait keamanan, studi bleeding 

risk analysis in stroke imaging before thrombolysis (BRASIL) melakukan Analisa  pencitraan pada 570 pasien stroke iskemik akut 

onset 6 jam yang memperoleh t-PA IV memakai  MRI sekuens T2. Tidak didapatkan 

peningkatan risiko perdarahan intrakranial 

terkait CMB yang bermakna, namun risiko 

ini tidak melebihi manfaat yang diterima. 

Pengendalian faktor risiko 

Hipertensi merupakan faktor risiko stroke 

terpenting sehingga penurunan tekanan darah (TO) bermanfaat untuk prevensi stroke  

sekunder. Kumpulan data Analisa  menunjukkan bahwa penurunan TD jangka panjang menurunkan kejadian stroke hingga 

28%. Uji klinis multisenter Secondary Prevention of Small Subcortical Strokes (SPS3) 

menunjukkan pada kelompok dengan TD 

sistolik <130mmHg, ada penurunan 

stroke berulang sebanyak 19% dan penurunan kejadian perdarahan intrakranial 

sebesar 63%. Studi Perindopril Protection 

against Reccurent Stroke Study (PROGRESS) 

juga menunjukkan bahwa penurunan TD 

yang intensif dapat menunda progresivitas WML pada pasien stroke. Oleh karena 

itu, perlu dilakukan penurunan TD sistolik kurang dari 130mmHg. Namun belum 

diketahui efek jangka panjang penurunan 

tekanan darah, terutama pada pasien usia 

Ian jut dengan CSVD luas. 

Studi kohort oleh Muller dkk menunjukkan 

penurunan TD diastolik berkaitan dengan 

penurunan volume gray matter dan gangguan kognitifpada subjek usia lanjut dengan 

riwayat hipertensi dibandingkan subjek 

dengan usia pertengahan. Hal ini dikaitkan 

dengan kegagalan perfusi serebral akibat 

penurunan mekanisme autoregulasi pada 

pasien dengan hipertensi jangka panjang. 

Dengan demikian, meskipun pada pedoman 

yang ada direkomendasikan penurunan TD 

sistolik hingga <130mmHg. namun manajemen TD harus lebih diperhatikan pada 

pasien usia lanjut, riwayat hipertensi lama, 

WML luas, dan gangguan fungsi kognitif. 

Dislipidemia, terutama peningkatan kadar 

low-density lipoprotein (LDL), memegang peranan penting dalam pembentukan aterosklerosis. Studi Stroke Prevention by Aggressive 

Reduction in Cholesterol Levels (SPARCL) 

 

menunjukkan bahwa pasien yang mendapat 

atorvastatin mengalami penurunan kejadian 

stroke dan penyakit jantung koroner secara 

signifikan, namun peningkatan sedikit namun  

signifikan memicu stroke hemoragik 

Oleh karena pasien CSVD lebih jarang disertai 

aterosklerosis pembuluh darah besar, namun 

lebih berisiko tinggi mengalami perdarahan, 

sehingga pemberian statin pada infark lakunar masih dipertanyakan. Analisa  post-hoc 

studi SPARCL pada 1409 pasien infarklakunar 

menunjukkan efikasi yang sama pada grup 

dengan infark lakunar dibandingkan grup 

yang lain. Studi Regression of Cerebral Artery 

Stenosis (ROCAS) menunjukkan bahwa pemakaian  statin berhubungan dengan penurunan progresivitas WML. 

Pada sub-studi Vitamins to Prevent Stroke 

(VITATOPS)-MRI, penurunan kadar homosistein dengan vitamin B dikaitkan dengan 

penurunan peningkatan volume WMH pada 

pasien dengan CSVD yang berat. Sebagai 

tambahan, vitamin E tocotrienols diketahui dapat menghambat progresifitas WMH 

pada subjek sehat dengan WMH. 

Antiplatelet 

Antiplatelet secara umum dipakai  pada 

stroke nonkardioembolik Walaupun studi 

yang berfokus pada infark lakunar sangat jarang, manfaat dari beberapa antiplatelet dipertimbangkan serupa antara infark lakunar 

dengan yang nonlakunar. Satu-satunya studi 

yang berfokus pada infark lakunar, yakni studi Secondary Prevention of Small Subcortical 

Strokes (SPS3) yang melibatkan 3020 pasien 

dari Amerika Utara, Amerika Selatan, dan 

Spanyol. Pada studi ini disimpulkan bahwa 

pada infark lakunar, klopidogrel, dan aspirin 

tidak menurunkan risiko stroke secara sig- 

Cerebral Small Vessel Disease 

nifikan, bahkan meningkatkan risiko perdarahan dan kematian. Oleh karena itu, kombinasi klopidogrel dan aspirin tidak boleh 

diberikan, kecuali dengan indikasi spesifik 

lainnya, sehingga perhatian selanjutnya ditujukan pada cilostazol dan trifusal. 

Dari hasil studi pada hewan coba dan manusia, didapatkan bahwa cilostazol memicu komplikasi perdarahan yang lebih 

rendah dibandingkan aspirin, ditandai dengao pemanjangan bleeding time pada aspirin atau klopidogrel. Sebagai tambahan, 

pemanjangan bleeding time juga tidak terjadi meskipun cilostazol diberikan bersamaan dengan aspirin atau klopidogrel pada 

pasien dengan penyakit arteri perifer. Cilostazol juga memiliki efek protektif terhadap 

endotel dan mencegah gangguan SDO pada 

pasien stroke iskemik. Studi terhadap murin menunjukkan bahwa cilostazol melindungi mikrovaskulatur otak yang iskemia 

dengan menurunkan aktivitas matrix metalloprotease-9 (MMP-9). Analisa  subgroup 

studi Cilostazol for Prevention of Secondary 

Stroke juga menunjukkan bahwa ciloztazol 

lebih aman secara bermakna dibandingkan 

aspirin terkait risiko stroke hemoragik pada 

pasien hipertensi dengan stroke lakunar. Cilostazol dilaporkan dapat menurunkan high 

pulsatile pressure pada pembuluh darah kecil akibat kekakukan arteri, yang berkontribusi dalam patogenesis WMH. 

Trifusal memiliki efek yang sama dengan aspirin namun dengan komplikasi perdarahan 

lebih kecil, sehingga dapat dipakai  pada 

pasien dengan risiko perdarahan seperti 

CMB multipel pada CSVD. Hingga kini masih 

diperlukan studi lebih lanjut untuk menemukan anti platelet yang sesuai pada CSVD 








TROMBOSIS VENA SEREBRAL 


Trombosis vena serebral merupakan salah 

satu bentuk penyakit serebrovaskular yang 

jarang terjadi, namun memiliki potensi morbiditas yang tinggi. Trombosis ini dapat terjadi pada vena dan sinus dura utama di otak. 

Insidensnya yaitu  0,5-3% dari seluruh kasus 

stroke dan dapat terjadi pada seluruh kelompok usia, termasuk neonatus. 

Observasi dan deskripsi kasus trombosis 

vena serebral pertama kali dilaporkan 

oleh MF Ribes pada tahun 1825. Ribes 

mengemukakan kasus seorang laki-laki 

berusia 45 tahun dengan keluhan nyeri 

kepala yang berkepanjangan, sehingga 

memicu  kesedihan dan melankolia. Keluhan ini diikuti dengan munculnya 

bangkitan kejang berulang yang semakin 

sering, kemudian pasien mengalami delirum sebelum akhirnya meninggal dunia. 

Hasil otopsi postmortem menunjukkan 

adanya gumpalan darah di sinus sagitalis 

superior dan sinus lateralis kiri, serta infark di hemisfer kanan. 

Hingga awal 1980-an, trombosis vena serebral digambarkan sebagai suatu kondisi 

yang langka. Kondisi ini biasanya terjadi 

akibat trombosis septik di sinus sagitalis 

superior dengan gejala klinis stereotipik 

berupa nyeri kepala, defisit fokal neurologis, kejang, penurunan kesadaran, hingga  

dapat memicu  koma dan kematian. 

Angka kematian pada tahun ini  dapat 

mencapai 60%. 

Diagnosa  trombosis vena serebral biasanya 

ditegakkan saat otopsi dengan adanya gambaran infark hemoragik Perdarahan ini memicu  kontraindikasi pemberian heparin 

pada masa ini . Pada 1967, Hugo Krayenbuhl, seorang profesor bedah saraf di University of Zurich, Swiss, yaitu  orang pertama 

yang memakai  antikoagulan heparin 

dalam PENGOBATAN trombosis vena serebral. 

Dalam publikasinya dia mengemukakan bahwa kombinasi antibiotik dan antikoagulan 

dapat memberikan basil optimal. Tidak ada 

bukti bahwa perdarahan serebrallebih sering 

dan lebih berat pada kasus yang mendapatkan 

antikoagulan. 

Dengan perkembangan ilmu dan teknologi 

medis yang pesat, saat ini berbagai pemicu  

trombosis vena serebral lainnya dapat 

diketahui. Mekanisme trombosis di vena 

dan sistem sinus telah dapat dideskripsikan 

lebih jelas melalui teknik angiografi serebral, 

CT scan, dan MRI, sehingga Diagnosa  dapat 

ditegakkan lebih cepat tanpa perlu menunggu 

otopsi. Penelitian dalam manajemen terapi 

juga menunjukkan hasH yang positif yang 

kesemuanya memicu penurunan angka 

kematian secara drastis, hingga mencapai 

<5% setelah tahun 2000. 

EPIDEMIOLOGI 

Insidens trombosis vena serebral tidak diketahui dengan pasti. Secara umum, trombosis vena serebral dianggap sebagai salah 

satu pemicu  stroke yang jarang terjadi, 

dengan perbandingan 1:62,5 dibandingkan stroke arteri. Pacta studi single center 

di Indonesia (2015) ditemukan prevalensi 

sebesar 1,28%. 

Daif di Saudi Arabia (1995) melaporkan 

frekuensi trombosis vena serebral sebesar 

7 kasus per 100,000 pasien di RS. Coutinho 

dkk dalam studi potong lintang Dutch series (2012) mendapatkan insidens 1,32 per  

100.000 penduduk, sedangkan di Australia 

sebesar 1,57 per 100.000 penduduk. Pacta 

anak, insidens trombosis vena serebri sebesar 

0,67 per 100.000 penduduk, sementara pacta 

neonatus 1,4-12 per 100.000 penduduk. 

Pacta penelitian multisenter, International 

Study on Cerebral Venous Trombosis (ISCVT) 

pacta 1998-2001, didapatkan rerata usia 

penderita trombosis vena serebri 39,1 tahun, yang mayoritas (74%) perempuan, 

yaitu 17% pacta masa kehamilan dan nifas, 

serta 4 7% berhubungan dengan pemakaian  kontrasepsi.  

PATOFISIOLOGI 

Dalam memahami patofisiologi trombosis 

vena serebral, penting untuk lebih dulu memahami anatomi sistem sinus duramater 

dan vena di otak. Pembuluh darah vena di 

otak terdiri atas vena superfisial dan profunda (deep veins). ada 10-20 vena 

superfisial yang mengumpulkan darah dari 

vena-vena pial yang menutupi permukaan 

hemisfer serebri dan saling beranastomosis 

satu sama lain. Dian tara vena superfisial, yang 

terbesar yaitu  vena Rolandik atau vena sentralis yang berlokasi di dekat sulkus sentralis, 

vena Trolard (greater anastomotic vein), dan 

superficial middle cerebral vein. Vena superfisial memiliki anastomosis yang amat banyak, 

sehingga oklusi seringkali sulit didiagnosis. Sistem vena superfisial akan mengalami 

drainase ke sinus sagitalis superior dan sinus 

lateral (Gambar 1). 

Vena profunda mengalirkan darah dari struktur subkortikal telensefalon dan diensefalon. 

Vena profunda utama di otak, antara lain 

yaitu  vena insula dan vena striata, vena 

subependim, vena medularis, dan vena basal 

Rosenthal. Seluruh vena profunda ini akan didrainase menuju vena serebri magna Galen. 

Sinus dura (sinus serebri atau sinus kranialis) yaitu  struktur berupa saluran di antara 

lapisan duramater dalam otak. Dinding dari 

sinus dura dibentuk dari duramater yang 

memiliki endotel seperti pembuluh darah. 

Namun berbeda dengan struktur pembuluh 

darah, sinus dura tidak memiliki tunika media dan tidak memiliki katup seperti halnya 

pembuluh vena. Di dalam sinus dura ada granulasio araknoid Pacchioni yang  

berperan dalam fisiologi cairan serebrospinal, sehingga sinus dura juga berperan dalam 

drainase cairan serebrospinal. 

Secara klasik, sinus dura dibagi menjadi 2 

kelompok, yakni sinus posterior superior 

(P-S) dan sinus anterior inferior (A-1). Sinus 

P-S mencakup sinus sagitalis superior (SSS), 

sinus sagitalis inferior (SSI), sinus lateral/ 

transversus (SL), straight sinus, dan sinus 

oksipital. Kelompok A-I mencakup sinus petrosalis superior dan inferior serta sinus kavernous. SSS menjadi drainase bagi seluruh 

korteks serebri. Sinus transversus dan sinus 

menjadi drainase bagi serebelum, batang 

otak dan bagian posterior hemisfer otak 

(Gambar 2 dan Tabel1). 

Vena dan sinus di otak dapat mengalami kelainan akibat trauma kepala maupun pada 

kasus yang lebih jarang, akibat trombosis. 

Pada penelitian kohort International Study 

on Cerebral Vein and Dural Sinus Trombosis 

(ISCVT), pemicu  trombosis pada pasien 

sebagian besar yaitu  kondisi trombofilia 

(34%), seperti defisiensi antitrombin, sindrom antifosfolipid dan hiperhomosisteinemia. Faktor risiko lainnya dapat berupa 

kehamilan dan nifas, kontrasepsi hormonal, 

infeksi lokal (otitis, mastoiditis, sinusitis, 

dan meningitis) maupun infeksi sistemik, 

penyakit inflamasi kronik seperti vaskulitis, keganasan, dan gangguan darah ( seperti 

polisitemia). Meskipun jarang, trombosis 

vena serebral dapat pula disebabkan oleh 

kanulasi vena jugularis, prosedur bedah 

saraf, maupun lumbal pungsi. Pada >85% 

kasus trombosis vena otak, dapat ditemukan salah satu dari faktor risiko di atas.  

Sumbatan pada sinus dan vena di otak akan 

memicu  gejala klinis melalui beberapa mekanisme (Gambar 3). Terjadinya 

sumbatan atau oklusi pada vena akan memicu  peningkatan tekanan vena dan 

kapiler. Peningkatan tekanan vena yang rnakin bertambah akan menurunkan perfusi 

serebral, sehingga terjadi iskemia dan edema 

sitotoksik. Selain itu, terjadi kerusakan sawar 

darah otak yang memicu  edema vasogenik. Akibattekanan yangmakin meningkat, 

akhirnya terjadi ruptur vena dan kapiler, memicu perdarahan petekial yang dapat  

Trombosis Vena Serebral 

berakumulasi menjadi perdarahan besar di 

parenkim. 

Mekanisme kedua terjadi akibat obstruksi 

pada sinus serebri yang memicu  

berkurangnya absorpsi cairan serebrospinal. 

Pada kondisi normal cairan serebrospinal 

akan diabsorpsi oleh granulasio araknoid dan 

mengalami drainase menuju sinus sagitalis 

superior sebelum akhirnya dialirkan ke vena 

jugularis interna. Trombosis vena akan memicu  peningkatan tekanan vena dan 

gangguan absorpsi cairan serebrospinal sehingga terjadi peninggian tekanan intrakranial. Peningkatan ini akan makin memperburuk 

tingginya tekanan di vena, venula, dan kapiler, 

sehingga terjadi perdarahan parenkim, edema 

vasogenik, dan edema sitotoksik. 

Dalam hal lokasi trombosis, studi ISCVT 

mendapatkan bahwa sinus transversus 

yang tersering (86%) diikuti sinus sagitalis 

superior (62%), straight sinus (18%), vena 

kortikal (superfisial) sebesar 17%, vena 

jugularis (12%), vena serebri magna Galen 

dan vena internal (profunda) sebesar 11%. 

GEJALA DAN TANDA KLINIS 

Gejala klinis trombosis vena serebri amat bervariasi, dengan onset yang dapat bersifat akut, 

subakut, atau kronik Pada 30% kasus, gejala 

bersifat akut dan umumnya hilang dalam 48 

jam. Pada 50% kasus, gejala bersifat subakut 

( dapat muncul dalam 30 hari) dan sisanya 

pada 20% kasus gejala bersifat kronik ( dirasakan antara 30 hari hingga 6 bulan). 

berdasar  lokasi dan luas trombosis yang 

terjadi, ada 4 gejala utama yang dapat sating tum pang tindih atau berdiri sendiri-sendiri, 

yaitu: gejala hipertensi intrakranial, defisit fokal 

neurologis, kejang, dan ensefalopati (Gambar4).  

Gejala dan tanda hipertensi intrakranial dapat 

berupa nyeri kepala, papiledema, dan gangguan penglihatan. Nyeri kepala merupakan 

gejala trombosis vena serebri yang paling 

sering dikeluhkan. Hal ini berbeda dengan 

stroke arterial yang umumnya tidak disertai 

nyeri kepala. Lebih dari 90% pasien trombosis 

vena serebral memiliki keluhan nyeri kepala, 

dan lebih dari 60% kasus bersifat subakut. 

Nyeri kepala dapat merupakan satu-satunya 

gejala pada pasien, tanpa disertai defisit fokal 

neurologis maupun papilledema. Hal ini terjadi pada 25%-40% pasien. Nyeri ini terjadi 

akibat distensi dinding vena, inflamasi lokal 

atau akibat leakage darah pada permukaan 

otak yang mengiritasi area sensitif nyeri di duramater. Karakteristik nyeri umumnya bersifat difus, namun dapat juga bersifat unilateral 

atau terlokalisir. Nyeri kepala dapat diperberat 

dengan manuver Valsalva atau perubahan po- 

sisi. Meskipun amat jarang, dapat dijumpai 

gejala nyeri kepala thunderclap, seperti pada 

perdarahan subaraknoid. Nyeri kepala yang 

disebabkan trombosis vena serebri seringkali 

keliru diDiagnosa  sebagai migren. 

Gejala neurologis fokal yang paling sering 

muncul yaitu  defisit motorik (>40%) dan 

kejang, termasuk kejang fokal dan kejang 

umum (30-40%). Kejang umumnya dijumpai 

pada trombosis di sinus sagitalis dan vena 

kortikal. Frekuensi kejang pada trombosis 

vena jauh lebih sering dibandingkan pada 

stroke arterial. Oleh karena itu, adanya defisit neurologis akut disertai kejang, harus 

dipikirkan sebagai trombosis vena serebri. 

Gejala ensefalopati seringkali terjadi pada 

pasien usia lanjut, trombosis di straight sinus, serta pada trombosis berat yang disertai edema serebri, infark luas, dan perdarahan parenkim.  

Diagnosa  DAN Diagnosa  BANDING 

Mengingat gejala klinis yang amat bervariasi, 

Diagnosa  banding trombosis vena serebri cukup banyak, antara lain stroke iskemik dan 

hemoragik, pseudotumor serebri, tumor intrakranial, status epileptikus, dan abses intrakranial. Untuk mencari etiologi, menyingkirkan Diagnosa  banding, dan memastikan 

Diagnosa  trombosis vena serebral, diperlukan 

pemeriksaan penunjang berupa pemeriksaan 

laboratorium dan pencitraan. 

Pemeriksaan Laboratorium 

Kadar D-dimer dalam darah merupakan penanda terjadinya proses trombosis. Meskipun demikian, hasil D-dimer yang normal 

tidak dapat dipakai  untuk mengeksklusi 

kemungkinan Diagnosa  trombosis vena serebral. Dalam beberapa studi D-dimer pada 

kasus trombosis vena serebral, didapatkan 

bahwa pemeriksaan D-dimer memiliki angka positif palsu sebesar 9% dan angka negatif palsu 24%. 

Mengingat tingginya insidens trombofilia 

pada pasien trombosis vena serebral, maka 

kondisi ini harus diDiagnosa  awal. Trombofilia yaitu  kondisi dimana ada kecenderungan untuk terjadi trombosis. Kelainan 

ini ditandai oleh abnormalitas molekular 

atau hemostasis yang menjadi predisposisi 

terjadinya tromboemboli. Trombofilia dapat 

bersifat herediter akibat defisiensi antitrombin, atau defisiensi protein C atau S. Trombofilia yang didapat (acquired thrombophilia) 

umumnya berhubungan dengan sindrom antifosfolipid dan adanya antikoagulan lupus. 

Pada beberapa kasus, tidak ditemukan adanya kelainan molekular maupun hemostasis, 

namun sering terjadi episode trombosis bernlang, yang disebut sebagai trombofilia klinis.  

Pemeriksaan skrining kondisi trombofilia 

mencakup evaluasi mutasi faktor V Leiden, 

mutasi gen protrombin 20210, antikoagulan lupus, antibodi antikardiolipin, hiperhomosisteinemia, serta defisiensi protein 

C, protein S, dan antitrombin. Kadar Protein C, protein S, dan antitrombin yang 

abnormal juga dapat dijumpai pada trombosis akut, pemakaian  antikoagulan, kontrasepsi oral maupun kehamilan. 

Pemeriksaan Pencitraan 

Pencitraan yang menjadi pilihan pada 

pasien kecurigaan trombosis vena serebra} yaitu  computed tomography (CT) 

scan, magnetic resonance imaging (MRI), 

CT venografi, dan magnetic resonance (MR) 

venografi. Selain itu, saat ini tengah berkembang pemeriksaan non-invasif memakai  

ultrasonografi. Prosedur digital subtraction 

angiography (DSA) merupakan pemeriksaan baku emas, namun bersifat invasif, 

sehingga baru dikerjakan bila hasil pemeriksaan MR venografi atau CT venografi 

belum konklusif, atau jika tindakan endovaskular dipertimbangkan untuk dikerjakan. 

1. CT Scan 

Pemeriksaan CT scan dengan atau tanpa 

kontras merupakan pencitraan yang paling banyak tersedia di fasilitas kesehatan dan paling banyak dikerjakan pada 

kasus neurologi akut, termasuk pasien 

yang dicurigai trombosis vena serebri. 

Pemeriksaan CT scan dapat membantu 

untuk menyingkirkan beberapa kondisi 

yang menyerupai trombosis vena serebri. 

Gambaran CT scan trombosis vena serebri yang paling banyak dijumpai yaitu  

area hiperdens umum atau terlokalisir di 

sekitar dalam area hi pod ens yang menunjukkan gambaran infark hemoragik di 

area otak yang tidak khas untuk stroke 

arterial. Selain itu dapat dijumpai pula 

gambaran akibat adanya ektravasasi atau ruptur darah 

dari vena •:1enuju ruang subaraknoid. 

Sensitivitas CT scan tanpa kontras dalam 

menDiagnosa  trombosis vena serebri cukup rendah, sekitar 25-56%. Meskipun 

demikian, ditemukannya gambaran direct 

sign (visualisasi trombus dalam pembuluh 

darah) atau indirect sign (kerusakan parenV : otak akibat iskemia atau gangguan 

aliran vena) akan membantu meningkatkan spesifisitas Diagnosa . 

a. Direct sign 

ada 3 direct sign trombosis vena 

serebri pacta CT scan yakni string sign, 

dense triangle sign, dan empty delta sign. 

String sign atau cord sign (Gambar 5) 

merupakari gambaran hiperdens memanjang pacta CT scan tanpa kontras, 

ditemukan pacta 25% kasus. Gambaran ini terjadi akibat adanya trombosis 

pacta vena kortikal. Namun dapat ditemukan pacta kondisi slow flow, sehingga 

tanda ini merupakan tanda yang nonspesifik 

Dense triangle sign (Gambar 6) ditemukan pacta 2% dari seluruh kasus trombosis vena serebral, dan 60% ditemukan pacta 2 minggu pertama. Tanda ini 

terjadi akibat opasifikasi spontan pacta 

SSS akibat proses koagulasi darah yang 

baru terjadi.  

Empty delta atau empty triangle sign 

(Gambar 7}, dapat dijumpai pacta CT scan 

dengan kontras, sebanyak 10-35% kasus. 

Gejala ini terjadi akibat adanya defek 

pengisian kontras intraluminal di bagian 

posterior SSS. Pacta CT scan, tampak penyangatan dinding sinus yang mengelilingi area hipodens (gambaran clot) 

dalam lumen. 

b. Indirect sign 

Tanda ini lebih sering ditemukan pacta CT 

scan dibandingkan direct sign. Meskipun 

tidak spesifik, jika dijumpai adanya indirect 

sign maka pemeriksaan venografi perlu dipertimbangkan untuk memastikan diagnosis. Gambarannya an tara lain berupa edema 

serebri, ukuran ventrikel yang mengecil, 

hidrosefalus, penyangatan pacta falks atau 

tentorium (Gambar 8), serta infark vena 

dengan atau tanpa perdarahan. Selain itu, 

508 

dapat pula dijumpai erosi struktur telinga 

tengah dan perubahan regio mastoid pacta 

trombosis septik sinus lateralis (Gam bar 9). 

2. MRI, MR Venografi, dan CT Venografi 

Gambaran MRI trombosis vena serebri juga 

bervariasi, bergantung pacta usia trombus, 

bisa normal pacta lebih dari 30% pasien. 

Sekuens T2 merupakan sekuens terpenting pacta trombosis fase akut, karena gambaran pacta sekuens lain kurang jelas. Pacta 

fase akut, sekuens Tl menunjukkan gambaran isointens, dan gambaran hipointens 

pacta sekuens T2. Pacta fase subakut, trambus akan terlihat hiperintens pacta sekuens 

Tl dan T2. Pacta tahap kronik, trombus 

kurang jelas terlihat, namun dapat tervisualisasi sebagai gambaran heterogen dengan intensitas yang bervariasi tergantung 

jaringan otak sekitarnya.  

Pada sekuens T2, dapat ditemukan edema di talamus pada kasus oklusi vena 

profunda. Tanda ini merupakan merupakan tanda bahaya, mengingat pasien 

dapat memburuk hingga koma. Sekuens 

T2 juga sensitif untuk menentukan karakteristik perdarahan parenkimal. 

Pada trombosis SSS dapat dijumpai perdarahan lobar berbentuk flame-shaped, irreguler, di daerah frontal parasagital dan 

lobus parietal. Pada trombosis sinus transversus lesi hemoragik dapat ditemukan di 

lobus temporal atau oksipital. Adanya gambaran ini  dapat mengarahkan perlunya pemeriksaan MR atau CT venografi, 

mengingat keduanya memiliki kemampuan untuk menggambarkan pembuluh 

darah secara detail. Dibandingkan dengan 

pemeriksaan DSA sebagai baku emas, kedua pemeriksaan ini juga memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi ( mencapai 

100%) dalam penegakan Diagnosa  trombosis vena serebral. 

MR venografi. menjadi pilih;m utama mengingat keterbatasan CT venografi yang membutuhkan waktu pengerjaan lebih lama, 

bergantung pada kemampuan operator 

dalam hal editing tulang untuk visualisasi 

pembuluh darah intrakranial, paparan radiasi, dan masalah pemakaian  kontras 

pada pasien gagal ginjal atau alergi kontras. American Heart Association (AHA)/ 

American Stroke Association (ASA) Scientific Statement 2011 merekomendasikan 

pemeriksaan MRI dengan sekuens T2 dan 

MR venografi sebagai tes diagnostik pilihan 

dalam kasus trombosis vena serebral. 

3. Ultrasonograft 

Ultrasonografi. vena dan sinus serebral  

dapat membantu menegakkan Diagnosa  

dan membantu follow-up pasien dengan 

trombosis vena serebral. Namun demikian, 

pemeriksaan ini relatif baru dengan sensitivitas dan spesifi.sitas yang tidak terlalu 

tinggi. Pada f'ase akut, oklusi pada sinus 

dapat diDiagnosa  dengan memakai  

transcranial color-coded duplex sonography 

(TCCD). Selain itu, TCCD dan juga Doppler 

transkranial/transcranial Doppler (TCD) 

dapat membantu mengevaluasi sistem dan 

aliran kolateral vena otak. 

PENGOBATAN 

Manajemen trombosis vena serebri secara 

umum dibagi menjadi 2 macam, yakni terapi 

umum simtomatik dan terapi pragmatis, 

seperti terapi medikamentosa dan neurointervensi. 

PENGOBATAN Umum dan Simptomatik 

PENGOBATAN umum terdiri atas elevasi kepala 30°, oksigenasi, dan proteksi jalan 

napas terhadap risiko pneumonia aspirasi. 

Terapi simtomatik mencakup pemberian 

obat antikonvulsan, PENGOBATAN peningkatan intrakranial, kontrol gejala psikosis dan 

agitasi psikomotor, terapi analgetik serta 

pemberian antibiotik jika trombosis vena 

serebri disebabkan karena infeksi (septik). 

Kejang dapat terjadi pada lebih dari 30% 

pasien dan berisiko berulang selama perawatan. Kejang juga meningkatkan risiko 

kerusakan anoksik Oleh karena itu, pada 

pasien dengan klinis kejang, ada perdarahan, atau trombosis pada vena kortikal 

atau supratentorial, menjadi kandidat untuk pemberian antikonvulsan. 

Peningkatan tekanan atau hipertensi intrakranial dapat terjadi pada 50% pasien trombosis  

vena serebri. Namun demikian, hanya 20% 

pasien yang biasanya memerlukan terapi antiedema dengan elevasi kepala 30°, dan pemberian diuretik osmotik Mannitol dapat diberikan selama 4-72 jam dengan dosis 4-6x125mL 

intravena. Jika tekanan intrakranial tidak terkontrol dan pasien mengalami herniasi serebri, dapat dilakukan hiperventilasi atau tata 

laksana bedah dekompresi intrakranial. 

Pada sebagian besar kasus, hipertensi intrakranial bersifat lokal dengan gejala terisolasi seperti gangguan visual. Pada kasus seperti ini dapat dilakukan pungsi lumbal untuk 

mengeluarkan cairan serebrospinal dikombinasi dengan pemberian asetazolamid. Jika 

tidak berespons sehingga gangguan visus 

disertai dengan papiledema semakin berat, 

dapat dipertimbangkan tindakan pirau ventrikuloperitoneal (ventriculoperitoneal shunt). 

Pada kasus dengan gejala psikosis dan agitasi psikomotor, dapat diberikan haloperidol 5-20mg intravena (IV) atau oral. Terapi 

ini dapat diberikan sesuai evaluasi klinis. 

Alternatiflain yaitu  pemberian midazolam 

10-20mg IV, suatu obat sedasi yang bersifat 

short-acting. Obat ini dapat diberikan bila 

pasien akan menjalani tindakan atau prosedur diagnostik maupun terapeutik. 

Manajemen nyeri kepala dilakukan dengan 

pemberian asetaminofen (500-lOOOmg 3 

kali sehari) pada nyeri ringan atau tramadol 

5-lOOmg 3x sehari pada nyeri kepala berat 

Jika ada mual dapat diberikan antiemetik. Pada kasus trombosis vena serebri septik 

direkomendasikan pemberian antibiotik dan 

drainase fokus infeksi. pemakaian  steroid tidak dianjurkan, karena berisiko memicu 

kondisi hiperkoagulasi lebih lanjut dan berhubungan dengan risiko prognosis yang buruk.  

Trombosis Vena Serebral 

Terapi Pragmatis 

1. Antikoagulan 

Terapi pragmatis medikamentosa dilakukan dengan pemberian antikoagulan untuk 

mencegah propagasi trombus, membuat 

rekanalisasi sinus dan vena yang mengalami oklusi, serta mencegah komplikasi trombosis vena dalam dan emboli paru. 

Meskipun memiliki rekomendasi yang 

kuat, pemberian antikoagulan cukup 

kontroversial pada kasus trombosis yang 

disertai perdarahan intrakranial. Dalam 

meta-Analisa  oleh Coutinho dkk, pemberian heparin mengurangi risiko kematian 

absolut sebesar 13% tanpa meningkatkan 

angka perdarahan baru, disertai angka kejadian emboli paru yang lebih rendah. 

Heparin aman untuk diberikan pada pasien 

trombosis vena serebri dengan perdarahan intrakranial. Pada studi kohort Ferro dkk, 

83% pasien trombosis vena serebri dengan 

perdarahan intrakranial tidak mengalami 

perburukan klinis dengan pemberian heparin. Studi ini membuktikan hipotesis bahwa 

perbaikan aliran vena dengan pemberian 

antikoagulan akan mengurangi tekanan 

dalam vena dan kapiler sehingga mengurangi risiko perdarahan lebih lanjut berdasar  berbagai studi ini , dapat 

disimpulkan bahwa antikoagulan aman untuk diberikan pada trombosis vena serebri 

dengan atau tanpa perdarahan intrakranial. 

Antikoagulan diberikan segera di fase akut 

baik dengan unfractionated heparin intravena atau low-molecular weight heparin 

(LMWH) subkutan, sebelum dilanjutkan 

dengan antikoagulan oral warfarin. Pemberian warfarin dilakukan dengan target 

international normalized ratio (INR) 2,0- 

3,0 selama 3-6 bulan pada pasien dengan 

faktor risiko yang jelas atau 6-12 bulan 

pada pasien tanpa faktor risiko yang sudah 

terdeteksi. Pada pasien dengan trombosis vena serebri berulang, pasien dengan 

trombosis vena dalam atau emboli paru 

yang mengalami trombosis vena serebri, 

atau pasien trombosis vena serebri dengan trombofilia berat harus mendapatkan antikoagulan seumur hidup. 

2. Manajemen Neurointervensi 

Manajemen neurointervensi pada kasus 

trombosis vena serebri antara lain yaitu  

pemberian trombolisis lokal melalui teknik 

endovaskular melalui akses jugular dan 

femoral. Teknik ini pertama kali dikerjakan 

pada tahun 1971. Trombolisis endovaskular umumnya dilakukan pada kasus yang 

berat ada penelitian yang menunjukkan bahwa pemberian trombolisis endovaskular dapat merestorasi aliran darah 

vena pada 71,4% kasus lebih cepat dan 

lebih efisien dari pemberian heparin intravena. Namun teknik ini memiliki risiko 

perdarahan yang lebih tinggi. Trombektomi mekanik memakai  stent retriever 

maupun Penumbra System mengurangi 

dosis trombolisis yang dipakai , sehingga 

mengurangi risiko perdarahan intrakranial. 

Hingga saat ini, belum ada uji klinis dalam 

skala besar tentang manajemen neurointervensi (trombolisis endovaskular maupun trombektomi mekanik). Tindakan ini 

hanya dikerjakan hila terjadi perburukan klinis pasca pemberian antikoagulan 

atau jika ada perburukan perdarahan intrakranial meskipun pasien telah 

mendapatkan modalitas terapi lain.  








STROKE HEMORAGIK 


Stroke merupakan penyakit neurologis utama 

di usia dewasa, berdasar  tingginya angka 

kejadian, kegawatdaruratan, pemicu  utama 

kecacatan, dan kematian. Stroke menggambarkan suatu kejadian yang terjadi secara akut 

atau tiba-tiba. berdasar  patologinya, stroke 

dibedakan menjadi stroke iskemik (sumbatan) 

dan stroke hemoragik (perdarahan). 

Stroke hemoragik, atau yang dikenal juga 

sebagai perdarahq.n intraserebral (PIS) 

spontan merupakan salah satu jenis patoiogi stroke akibat pecahnya pembulUh darah 

intraserebral. Kondisi ini  menimbulkan gejala neurologis yang terjadi secara 

tiba-tiba dan seringkali diikuti gejala akibat 

efek desak ruang atau peningkatan tekanan 

intrakranial (TIK). Itu sebabnya angka kematian pada stroke hemoragik menjadi lebih tinggi dibandingkan stroke iskemik. 

berdasar  data American Heart Assocation 

(AHA)/ American Stroke Association (ASA) tahun 2009, angka kematian stroke hemoragik 

mencapai 49,2%, hampir dua kali lipat stroke 

iskemik (25,9%). Broderick dkk melaporkan 

angka kematian stroke hemoragik dalam waktu 30 hari berkisar 35-52%, dan hanya 20% 

pasien yang mengalami pemulihan fungsional 

dalam waktu 6 bulan. berdasar  penelitian Elliott, setengah kasus stroke hemoragik 

mengalami kematian dalam 24 jam pertama,  

menekankan pentingnya tatalaksana yang tepat pada unit gawat darurat (UGD). 

Stroke hemoragik memiliki faktor risiko pemicu  yang hampir sama dengan keadaan stroke 

iskemik, namun penanganannya sangat berbeda dan bahkan berlawanan. Pada stroke 

iskemik dilakukan terapi trombolisis dan 

antiplatelet yang justru tidak boleh dilakukan pada kasus stroke hemoragik, sementara stroke hemoragik lebih didominasi oleh 

gejala peningl<atan TIK yang membutuhkan 

penanganan segera sebagai tindakan life saving. Oleh karena itu, penegakan Diagnosa  

patologi stroke sangat penting untuk memberikan PENGOBATAN yang tepat, sehingga 

didapat keluaran yang lebih baik. 

EPIDEMIOLOGI 

Secara umum, angka kejadian stroke semakin meningkat. berdasar  data Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) Kementerian 

Kesehatan Republik Indonesia ada 

peningkatan prevalensi stroke dari 8,3 (tahun 2007) menjadi 12,2 (tahun 2013) per 

1000 penduduk. 

Angka kejadian stroke hemoragik di Asia lebih 

tinggi di bandingkan di negara barat. Hal ini 

dapat disebabkan tingginya angka kejadian 

hipertensi pada populasi Asia. berdasar  

data Stroke registry di Indonesia, yang dimulai sejak tahun 2012 sebagai kerjasama an tara 

 Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia (PERDOSSI) dengan Badan Penelitian Dan 

Pengembangan Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, tahun 2014 didapatkan 5411 

kasus stroke akut dari 18 RS dengan angka kejadian stroke hemoragik sebesar 33%. 

PATOFISIOLOGI 

Patofisiologi stroke hemoragik umumnya 

didahului oleh kerusakan dinding pembuluh darah kecil di otak akibat hipertensi. 

Penelitian membuktikan bahwa hipertensi 

kronik dapat memicu terbentuknya 

aneurisma pacta pembuluh darah kecil di 

otak. Proses turbulensi aliran darah memicu  terbentuknya nekrosis fibrinoid, 

yaitu nekrosis seljjaringan dengan akumulasi matriks fibrin. Terjadi pula herniasi 

dinding arteriol dan ruptur tunika intima, 

sehingga terbentuk mikroaneurisma yang 

disebut Charcot-Bouchard (Gambar 1). Mikroaneurisma ini dapat pecah seketika saat 

tekanan darah arteri meningkat mendadak.  Pacta beberapa kasus, pecahnya pembuluh 

darah tidak didahului oleh terbentuknya 

aneurisma, namun semata-mata karena peningkatan tekanan darah yang mendadak. 

Pacta kondisi normal, otak mempunyai sistem 

autoregulasi pembuluh darah serebral untuk 

mempertahankan aliran darah ke otak. Jika 

tekanan darah sistemik meningkat, sistem ini 

bekerja melakukan vasokonstriksi pembuluh 

darah sere bra!. Sebaliknya, hila tekanan darah 

sist~mik menurun, akan terjadi vasodilatasi 

pembuluh darah serebral. Pacta kasus hipertensi, tekanan darah meningkat cukup tinggi 

selama berbulan-bulan atau bertahun-tahun. 

Hal ini dapat memicu  terjadinya proses hialinisasi pacta dinding pembuluh darah, 

sehingga pembuluh darah akan kehilangan 

elastisitasnya. Kondisi ini berbahaya karena 

pembuluh darah serebral tidak lagi bisa menyesuaikan diri dengan fluktuasi tekanan darah sistemik, kenaikan tekanan darah secara 

mendadak akan dapat memicu pecahnya pembuluh darah.  Darah yang keluar akan terakumulasi dan 

membentuk bekuan darah (hematom) di 

parenkim otak. Volume hematom ini  

akan bertambah, sehingga memberikan efek 

desak ruang, menekan parenkim otak, serta 

memicu peningkatan TIK. Hal ini akan 

memperburuk kondisi klinis pasien, yang 

umumnya berlangsung dalam 24-48 jam 

onset, akibat perdarahan yang terus berlangsung dengan edema disekitarnya, serta 

efek desak ruang hematom yang mengganggu metabolisme dan aliran darah. 

Pacta hematom yang besar; efek desak ruang 

memicu pergeseran garis tengah (midline shift) dan herniasi otak yang pacta akhimya memicu  iskemia dan perdarahan sekunder. Pergeseran ini  juga dapat 

menekan sistem venb·ikel otak dan memicu  hidrosefalus sekunder. Kondisi seperti 

ini sering terjadi pacta kasus stroke hemoragik 

akibat pecahnya pembuluh darah arteri serebri 

posterior dan anterior. Keadaan ini  akan 

semakin meningkatkan TIK dan meningkatkan 

tekanan vena di sinus-sinus duramater. 

Sebagai kompensasi untuk mempertahankan 

perfusi otak, tekanan arteri juga akan meningkat. Dengan demikian, akan didapatkan peningkatan tekanan darah sistemik pascastroke. 

Prinsip ini harus menjadi pertimbangan penting dalam memberikan terapi yang bertujuan menurunkan tekanan darah pascastroke, 

karena penurunan secara drastis akan menurunkan perfusi darah ke otak dan akan membahayakan bagian otak yang masih sehat. 

Hematom yang sudah terbentuk dapat me nyusut sendiri jika terjadi absorbsi. Darah akan 

kembali ke peredaran sistemik melalui sistem 

ventrikel otak. Selain hipertensi, hematom 

int:raserebral dapat disebabkan oleh trauma,  

obat-obatan, gangguan pembekuan darah, dan 

proses degeneratifpada pembuluh darah otak. 

Stroke hemoragik dapat terjadi melalui berbagai macam mekanisme. Stroke hemoragik 

yang dikaitkan dengan hipertensi biasanya 

terjadi pacta struktur otak bagian dalam 

yang diperdarahi oleh penetrating artery 

seperti pada area alamus, putamen, pons, 

dan serebelum. Stroke hemoragik lobaris 

pada usia lanjut dihubungkan dengan cerebral amylo1a angiopathy, sedangkan pacta 

usia muda seringkali disebabkan oleh malformasi pembuluh darah. 

Stroke hemoragik juga dapat disebabkan 

etiologi lain seperti tumor intrakranial, penyakit Moyamoya, penyalahgunaan alkohol 

dan kokain, pemakaian  obat antiplatelet 

dan antikoagulan, serta gangguan pembekuan darah, seperti trombositopenia, hemofilia, dan leukemia. 

GEJALA DAN TANDA KLINIS 

Perjalanan klinis pasien stroke hemoragik 

dapat berkembang dari defisit neurologis 

fokal hingga gejala peniogkatan TIK berupa 

nyeri kepala, penurunan kesadaran, dan 

muntah, serta perburukan klinis defisit neurologis seiring dengan perluasan lesi perdarahan yang memberikan efek desak ruang. 

Perkembangan ini dapat berlangsung dalam 

periode menit, jam, dan bahkan hari. 

Computed tomography (CT) scan menunjukkan hematom akan membesar dalam enam 

jam pertama. Keadaan klinis kemudian akan 

menetap apabila terjadi keseimbangan antara TIK, luasnya hematom, efek desak ruang pacta jaringan otak, dan berhentinya 

perdarahan. TIK dapat berkurang seiring 

dengan berkurangnya volume hematom  akibat perdarahan yang telah berhenti atau 

hematom masuk ke ruang ventrikel. 

Selain itu, efek desak ruang juga disebabkan 

oleh edema di sekitar hematom (perihematomal). Pada beberapa kasus yang mengalami perburukan setelah kondisi klinis stabil 

dalam 24-48 jam pertama, diduga mengalami perluasan edema perihematomal. 

Beberapa gejala klinis stroke hemoragik antara lain nyeri kepala, penurunan kesadaran, 

muntah, kejang, kaku kuduk, serta gejala lain 

seperti aritmia jantung dan edema paru. Nyeri 

kepala merupakan gejala yang paling sering 

dikeluhkan, berkaitan dengan lokasi dan luasnya lesi perdarahan, yaitu pada stroke hemoragik di daerah lobaris, serebelum, dan lokasi 

yang berdekatan dengan struktur permukaan 

meningen. Pada perdarahan kecil di parenkim 

otak yang tidak memiliki serabut nyeri, tidak 

ada nyeri kepala saat fase awal perdarahan. Namun seiring perluasan hematom yang 

memicu peningkatan TIK dan efek desak 

ruang, keluhan nyeri baru muncul yang biasanya disertai muntah dan penurunan kesadaran. 

Penurunan kesadaran terjadi pada stroke 

hemoragik yang besar atau berlokasi di batang 

otak. Hal ini disebabkan efek desak ruang dan 

peningkatan TIK, serta keterlibatan struktur 

reticulating activating system (RAS) di batang 

otak Muntah juga akibat peningkatan TIK atau 

kerusakan lokal di ventrikel keempat, biasanya 

pada perdarahan sirkulasi posterior. Kejang 

merupakan gejala yang dikaitkan dengan lokasi 

perdarahan. Lokasi yang bersifat epileptogenik 

antara lain perdarahan lobar,graywhite.matter 

junction di korteks serebri, dan putamen. 

Gejala lain yang dapat terjadi yaitu  kaku 

kuduk, aritmia jantung, dan edema paru.  

Stroke Hemoragik 

Kaku kuduk dapat terjadi pada perdarahan 

di talamus, kaudatus, dan serebelum. Aritmia jantung dan edema paru biasanya berhubungan dengan peningkatan TIK dan 

pelepasan katekolamin. 

Diagnosa  DAN Diagnosa  BANDING 

Penegakan Diagnosa  stroke dilakukan berdasar  anamnesis, pemeriksaan fisik 

umum dan neurologis, serta pemeriksaan 

penunjang. Hal terpenting yaitu  menentukan tipe stroke; stroke iskemik atau perdarahan. Hal ini berkaitan dengan PENGOBATAN 

yang sangat berbeda antara keduanya, sehingga kesalahan akan memicu  morbiditas bahkan mortalitas. 

Dalam anamnesis, hal yang perlu ditanyakan 

meliputi identitas, kronologis terjadinya keluhan, faktor risiko pad a pasien maupun keluarga, dan kondisi sosial ekonomi pasien. Dari 

anamnesis seharusnya didapatkan informasi 

apakah keluhan terjadi secara tiba-tiba, saat 

pasien beraktivitas, atau saat pasien baru 

bangun tidur. Pada stroke hemoragik, pasien 

umumnya berada dalam kondisi sedang beraktivitas atau emosi yang tidak terkontrol. 

Durasi sejak serangan hingga dibawa ke 

pusat kesehatan juga merupakan hal penting 

yang turut menentukan prognosis. 

Keluhan yang dialami pasien juga dapat 

menuntun proses penegakan Diagnosa . 

Pasien dengan keluhan sakit kepala disertai muntah (tanpa mual) dan penurunan kesadaran, umumnya mengarahkan kecurigaan 

kepada stroke hemoragik dengan peningkatan TIK akibat efek desak ruang. Meskipun 

demikian, pada stroke hemoragik dengan volume perdarahan kecil, gejala dapat menyerupai stroke iskemik tanpa ditemukan tanda 

tanda peningkatan TIK. Perlu ditanyakan juga 

faktor risiko stroke yang ada pacta pasien dan 

keluarganya, seperti diabetes melitus, hipertensi, dislipidemia, obesitas, penyakit jantung, riwayat trauma kepala, serta pola hid up 

(merokok, alkohol, obat-obatan tertentu). 

Pemeriksaan fisik dimulai dengan keadaan 

umum, kesadaran, dan tanda vital. Pacta 

stroke hemoragik, keadaan umum pasien 

bisa lebih buruk dibandingkan dengan kasus stroke iskemik. Selanjutnya, dilakukan 

pemeriksaan kepala, mata, telinga, hidung 

dan tenggorokan (THT), dada (terutamajantung), abdomen, dan ekstremitas. Pemeriksaan ekstremitas bertujuan terutama untuk 

mencari edema tungkai akibat trombosis 

vena dalam atau gaga! jantung. 

Pacta pemeriksaan tekanan darah, perlu 

dibandingkan tekanan darah di ekstremitas kiri dan kanan, serta bagian tubuh atas 

dan bawah dengan cara menghitung rerata 

tekanan darah arteri (mean arterial blood 

pressurejMABP), karena akan mempengaruhi PENGOBATAN stroke. Pola pernapasan 

merupakan hal penting yang harus diperhatikan, karena dapat menjadi penunjuk lokasi perdarahan, misalnya: pola pernapasan 

Cheyne Stokes, hiperventilasi neurogenik, 

klaster, apneustik, atau ataksik (Baca bab 

Peningkatan Tekanan Intrakranial). 

Pemeriksaan neurologis awal yaitu  penilaian tingkat kesadaran dengan skala kama 

Glasgow (SKG), yang selanjutnya dipantau secara berkala. Kemudian diikuti pemeriksaan 

refleks batang otak yang meliputi reaksi pupil 

terhadap cahaya (paling sering dilakukan), refleks kornea, dan refleks okulo sefalik Setelah  

itu dilakukan pemeriksaan nervus kranialis 

satu persatu serta motorik untuk menilai trofi, 

tonus, dan kekuatan otot, dilanjutkan refleks 

fisiologis dan refleks patologis. Hasil pemeriksaan motorik dibandingkan kanan dan kiri, 

serta atas dan bawah guna menentukan luas 

dan lokasi lesi. Selanjutnya, pemeriksaan sensorik dan pemeriksaan otonom (terutama yang 

berkaitan dengan inkontinensia atau retensio 

urin dan alvi). 

pemakaian  sistem skor dapat bermanfaat bila tidak ada fasilitas pencitraan 

otak yang dapat membedakan secara jelas 

patologi pemicu  stroke. Namun sistem 

skor tidak dapat dipastikan pacta patologi stroke yang terjadi. Hal ini disebabkan 

karena manifestasi klinis pacta stroke 

hemoragik dengan volume perdarahan 

kecil dapat menyerupai stroke iskemik. 

Demikian pula manifestasi klinis stroke 

iskemik luas dengan peningkatan TIK mirip dengan stroke hemoragik. 

Sistem penskoran yang dapat dipakai  

yaitu  algoritma stroke Gajah Mada, skor 

stroke Djunaedi, dan skor stroke Siriraj. Skor 

stroke Siriraj merupakan sistem penskoran 

yang sering dipakai  untuk membedakan 

stroke iskemik atau perdarahan (Tabel1).  

Pemeriksaan Penunjang 

Pencitraan otak memakai  CT scan me_rupakan baku emas dalam Diagnosa  stroke 

hemoragik. CT scan lebih unggul dalam mendeteksi perdarahan langsung