i aiel APO-E £2 terhadap
terjadinya nekrosis fibrinoid, yang merupakan dasar neuropatologis perrdarahan intraserebral terkait CAA (Gambar 5).
PIS terkait CAA berkontribusi sebesar
5-20% dari perdarahan intraserebral spon-
tan (nontraumatik) pada usia lanjut. Smith
dkk menunjukkan PIS terkait CAA dan PIS
terkait hipertensi dapat ditemukan bersamaan (25%). PIS terkait CAA seringkali
berlokasi di lobar, karena keterlibatan pembuluh darah kortikal dan leptomeningeal
superfisial. Sebaliknya PIS terkait hipertensi
jarang ditemukan di lobar. PIS terkait CAA
ini seringkali multipel dan berulang. Selain
tiga hal ini , tidak ada ciri khas yang
patognomonik U:ntuk perdarahan ini. Gejala
seperti nyeri kepala, defisit neurologis fokal,
kejang dan penurunan kesadaran sama seperti
yang ditemukan pada PIS dengan kausa lainnya. Namun, hal yang perlu ditekankan, bahwa
perdarahan intraserebral terkait CAA dapat
asimtomatis, yakni pada microbleeds.
PIS terkait CAA penting untuk diperhatikan,
karena sering dihubungkan dengan risiko
perdarahan terkait trombolisis. Keduanya
memiliki manifestasi serupa, berupa predisposisi daerah lobar dan superfisial otak,
multipel, peningkatan frekuensi dengan bertambahnya usia, dan berhubungan dengan
demensia. Penelitian in vitro menunjukkan
deposit A~ memicu degenerasi sel
pada dinding pembuluh darah, memengaruhi
vasoaktivitas, dan meningkatkan mekanisme
proteolitik, seperti fibrinolisis, antikoagulasi
dan degradasi matriks ekstraselular.
PIS terkait CAA juga dikaitkan dengan stroke
hemoragik akibat warfarin dan microbleeds
dihubungkan dengan risiko rebleeding oleh
karena terapi antiplatelet. Hal ini dibuktikan oleh Biffi dkk (2010), namun belum
ada modalitas yang dapat dipakai untuk
memprediksi risiko perdarahan terkait terapi pada kasus ini .
Diagnosa definitif CAA yaitu berdasar
histologi jaringan otak berupa gambaran
green birefringent di bawah cahaya terpolarisasi dengan pewarnaan Congo red dan
gambaran floresen di bawah sinar ultravio-
let dengan pewarnaan thioflavin S. Tanda
khas lainnya yaitu gambaran "double barrel" yang disebabkan pemisahan lamina
elastika interna akibat pengendapan materi
hialin pada dinding pembuluh darah. Oleh
karena memerlukan histologi jaringan untuk Diagnosa definitif, maka seringkali diagnosis CAA didapatkan pada postmortem.
Saat ini telah dideklarasikan kriteria Kriteria
Boston, yang meliputi gejala klinis dan pencitraan, selain komponen histologi yang diperoleh secara invasif. berdasar kriteria
ini, Diagnosa CAA dibedakan menjadi 4, yakni definite CAA, probable CAA dengan gambaran patologi atau MRI/CT scan mendukung,
dan possible CAA (Tabel 3). ada heber
apa kriteria tambahan yang sedang diajukan,
berupa ditemukannya siderosis superfisial
pada penanda pencitraan CAA. Modalitas
diagnostik non-invasif lain yaitu pemeriksaan positron emission tomography (PET)
scan dengan beta-amyloid-binding compound
Pittsburgh Compound B yang dapat memvisualisasi ~-amiloid fibriler pada otak, yang dilaporkan berkaitan dengan risiko perdarahan intraparenkim akibat recombinant tissue
plasminogen activator (r-TPA).
PENGOBATAN CAA atau PIS terkait CAA,
baik pencegahan maupun terapi secara
evidence based belum ada. Kortikosteroid
dalam beberapa laporan kasus menunjukkan perbaikan gejala yang berkaitan dengan
CAA-related inflammation. Hal ini dipikirkan dengan mengurangi edema vasogenik.
Terapi imunosupresan lain juga dilaporkan
memengaruhi proses inflamasi CAA, namun
masih ada sedikit bukti. Laporan dari
studi perindopril protection against recurrent stroke study (PROGRESS) menunjukkan
bahwa pengendalian tekanan darah (TD)
dapat menurunkan risiko PIS terkait CAA.
Cerebra! 4utosomal Dominant Arterlopathy with Subcortical Infarcts and Leukoencephalopathy (CADASIL)
CADASIL merupakan pemicu penting dari
stroke dan demensia vaskular usia muda.
Lebih dari 10% pasien berusia kurang dari
50 tahun dengan stroke dan penyakit white
matter ditemukan mutasi CADASIL. Mutasi
ini diturunkan secara monogenik mengikuti hukum Mendell pada gen NOTCH3. Gen
terse but diekspresikan secara eksklusif oleh
sel otot polos pembuluh darah, terutama arteri berkaliber kecil serta sel perisit. Pada
pasien CADASIL ada akumulasi ranah
ekstraselular NOTCH3 pada membran sitoplasma otot polos pembuluh darah.
CADASIL dapat bermanifestasi klinis maupun tidak. Manifestasi klinisnya sangat
bervariasi, seperti migren, stroke lakunar,
stroke lakunar berulang, leukoaraiosis, gangguan mood, apatis, dan demensia yang tidak
harus ditemukan secara bersamaan. Gambaran otak pasien dapat berupa infark lakunar,
demielinisasi white matter yang difus dan
hilangnya akson yang tidak melibatkan sub-
Cerebral Small Vessel Disease
cortical U-fibres, microhemorrhages terutama
pada gray matter, dan laminar cortical neuronal apoptosis. Hal itu berdasar perubahan
morfologis dan fungsional pembuluh darah
otak yang juga terlihat pada pembuluh darah sistemik.
Karakteristik histopatologis pada CADASIL
yaitu vaskulopati, yang terutama melibatkan pembuluh darah pial dan arteri perforator yang berdiameter kecil ( <SOOJ.I.m)
serta arteriol, dan tidak disebabkan oleh
hipertensi, aterosklerosis, atau degenerasi
amiloid. Gambaran patognomonik CADASIL berupa akumulasi granular osmiophillic
material (GOM) di tunika media tepat di
permukaan membran sel otot polos, diikuti
degenerasi dan berkurangnya sel otot polos, fibrosis adventisia dan penebalan mural
pembuluh darah, serta pelebaran rongga
perivaskular (rongga Virchow-Robin). Proses patologi ini memicu stenosis luminal long penetrating arteries yang
memperdarahi white matter subkortikal.
Semua kelainan ini menimbulkan perubahan fisiologis, yaitu penurunan (cerebral blood flow fCBF) dalam kondisi basal
atau istirahat, penurunan volume dan dilatory reserve, serta peningkatan oxygen extraction fraction yang berkaitan dengan
usia. ada pula hipoperfusi terbatas
pada regio white matter, yang memberikan
gambaran leukoaraiosis serupa denganleukoaraiosis dengan kausa lain.
White Matter Lesion (WML)
Prevalensi WML pada populasi kulit putih
sekitar 80% pada <!:60 tahun dan lebih banyak pada perempuan. WML dihubungkan
dengan faktor genetik dan ada hubungan yang kuat dengan usia dan tekanan da
rah. WML dapat memberikan manifestasi
klinis yang bervariasi ataupun hanya ditemukan pada pencitraan tanpa gejala klinis.
Sebelum adanya MRI, white matter lesion
(WML) terlihat sebagai suatu x-ray attenuation di area white matter pada gambaran
CT scan. Hachinski dkk menyatakan lesi itu
disebut sebagai leukoaraiosis. Pada pemeriksaan MRI, WML berupa gambaran hiperintens didaerah white matter pada sekuens
T2 weighted dan FLAIR di periventrikel dan
daerah immediate subcortical white matter.
Fazekas memberikan gambaran histopatologis yang sering ditemukan pada WML
yaitu perubahan perivaskular ringan
hingga melibatkan area yang luas dengan
kehilangan jumlah serat yang bervariasi,
kavitas kecil multipel, serta arteriosklerosis nyata. Hal ini berkaitan dengan berbagai
proses patologis, bergantung pada kerusakan jaringan iskemik dapat berupa myelin
pallor, gliosis, kehilangan akson, destruksi
serat saraf komplet, hingga pada kasus berat dapat menimbulkan gangguan sawar
darah otak dan endotel. Selain itu ada
patologis lain terjadi juga venous collagenosis, yaitu penumpukan kolagen pada dinding venula di pembuluh darah vena kecil
periventrikular. Namun proses ini kurang
mendapatkan perhatian jika dibandingkan
dengan kaitan arteriosklerosis terhadap
small vessel disease.
Proses pembentukan WML serta kompleksitas fenotipnya dipikirkan ada kontribusi
faktor genetik, antara lain perubahan transkrip RNA pada berbagai gen yang melibatkan
siklus sel, proteolisis, dan apoptosis pada
WML. Hasil studi Genome Wide Association
Study (GWAS) telah diidentifikasi adanya gen
yang berhubungan dengan sifat-sifat multifaktoral kompleks seperti WML, yaitu 6 novel
single nucleotide polymorphisme (SNP) pada
satu lokus kromosom 17q25.
WML berkaitan dengan beberapa penyakit,
diantaranya penyakit Binswanger. Penyakit ini secara patologis tampak sebagai area
konfluens atau pengelompokan jaringan
halus yang berkerut dan berglanulasi pada
white matter di otak, meliputi lobus oksipital, periventrikel terutama bagian anterior,
dan serebelum. Volume white matter menjadi berkurang dan dapat disertai pembesaran ventrikel serta mengecilnya korpus
kalosum. Selain lesi white matter, dapat pula
ditemukan lacunae, kavitas berbentuk bulat
. atau lonjong berisi cairan pada daerah subkortikal, berdiameter 3-20mm, yang ditemukan pada CT atau MRI. Terkadang pasien
dengan perubahan white matter Binswanger
juga mengalami amyloid angiopthy dan CADASIL, yaitu arteri yang berada di subkortikal dan leptomeningen mengalami penebalan dan mengandung substansi congophilic
yang mewarnai amiloid.
Studi mikroskopik menunjukan adanya
myelin pallor, suatu area dengan penurunan
mielinisasi yang dikelilingi oleh jaringan
normal. Pada abnormalitas white matter
yang berat dapat ditemukan nekrosis dan
terbentuk kavitas. Selain itu dapat terjadi
gliosis, terutama di area yang mengalami
myelin pallor. Dinding dari penetrating arteries menebal dan mengalami hialinisasi,
namun oklusi dari arteri kecil sangat jarang
ditemukan.
Gambaran klinik penyakit Binswanger sangat bervariasi, umumnya berupa gangguan
kognitif berupa perlambatan psikomotor,
gangguan memori, bahasa, dan visuospasial, serta abulia. Selain itu dapat ditemukan
gejala pseudobulbar, gangguan piramidal,
dan gait. Manifestasi ini umumnya bertahap
dan memburuk dalam periode hari hingga
minggu, kemudian menetap. Adapula yang
bermanifestasi sebagai stroke lakunar akut.
PATOGENESIS KERUSAKAN SEREBRAL
Mekanisme CSVD memicu kerusakan
parenkim otak bermacam-macam dan belum
sepenuhnya diketahui, namun pada prinsipnya CSVD memicu perubahan patologis pada pembuluh darah otak. Pada arterial,
perubahan meliputi disfungsi otot pembuluh
darah, lipohialinosis, vascular remodelling,
dan penumpukan materi fibrotik Terjadi juga
penebalan membran basal, pelebaran ruang
perivaskular (rongga Virchow-Robin), serta
gangguan sistem sawar darah otak (SDO) yang
dapat memicu edema. Hal ini memicu hipoperfusi kronik akibat penurunan
aliran darah otak dan hilangnya respons
adaptif seperti autoregulasi dan neurovascular coupling, sehingga terjadi gangguan suplai
nutrisi ke otak secara adekuat yang berlanjut
pada kerusakan jaringan (Gambar 6). Adapun
perubahan pada sistem vena dapat berupa venous collagenosis.
Perubahan patologis pada pembuluh darah
kecil dapat memberikan dampak iskemik
maupun hemoragik. Bentuk iskemik CSVD
antara lain lesi white matter dan infark
Cerebral Small Vessel Disease
lakunar. Kerusakan white matter dipikirkan merupakan bentuk infark yang tidak
lengkap atau nekrosis yang selektif. Mekanisme yang mendasarinya dipikirkan
akibat restriksi lumen yang memicu
hipoperfusi kronik white matter, sehingga
memicu degenerasi serabut mielin
akibat kematian oligodendrosit selektif dan
berulang. Bentuk iskemik lain yaitu infark
lakunar akibat penyumbatan dan oklusi
pembuluh darah kecil yang bersifat akut.
Hal ini memicu iskemik yang bersifat
fokal dan akut serta nekrosis jaringan komplet (pannecrosis). Dapat terlibat juga mekanisme lain seperti kerusakan sawar darah
otak, inflamasi subklinik lokal dan apoptosis
oligodendrosit yang berkontribusi terhadap
gambaran patologis akhir dari penyakit ini.
Selain lesi iskemik, CSVD juga dapat memicu perdarahan. Perdarahan pada
CSVD dapat berupa perdarahan masif maupun perdarahan kecil (microhaemorrhage).
Alasan mengapa beberapa pembuluh darah
yang mengalami ruptur dapat memicu perdarahan masif, sedangkan pembuluh
darah lain hanya memicu perdarahan
kecil tidak diketahui. Perbedaan ketebalan
dinding pembuluh darah pada kasus cerebral
amyloid angiopathy (CAA) sebelumnya dipikirkan menjelaskan hal ini , yakni semakin tebal dinding pembuluh darah dikaitkan dengan lebih banyak perdarahan kecil.
GEJALA DAN TANDA KLINIS
Infark komplet (lacunar syndrome) atau
infark inkomplet (WML) struktur subkortikal pada CSVD menimbulkan manifestasi
klinis. Infark lakunar multipel dapat bermanifestasi sebagai gangguan fungsi kognitif, gangguan gait, gangguan mood, maupun
gangguan motorik. ada bukti adanya
peningkatan risiko penurunan fungsi kognitif, demensia, gangguan gait, gangguan
keseimbangan, serta parkinsonisme pada
individu dengan CSVD, walaupun studi
prospektifnya masih sedikit.
WML juga memberikan gambaran klinis yang
bervariasi, mulai dari tidak adanya keluhan,
hingga ada gangguan fungsi kognitif dan
gangguan motorik, termasuk parkinsonisme.
Variasi ini berhubungan dengan luasnya lesi
serta perbedaan mekanisme kompensasi untuk mencegah penurunan fungsi kognitif dan
motorik. Gambaran MRI pada sekuens fluid
attenuated inversion recovery (FLAIR) juga
tidak khas, karena WML dapat atau tanpa
disertai bentuk CSVD lain pada MRI, seperti
infark lakunar dan cerebral microbleed.
Diagnosa DAN Diagnosa BANDING
Kerusakan parenkim otak pada CSVD hanya
dapat diidentifikasi dengan CT scan atau
MRI, sehingga Diagnosa nya sangat bergantung pada temuan pencitraan (Tabel 4 dan
Gambar 7). Wardlaw dkk mengidentifikasi
beberapa temuan, seperti infark lakunar,
white matter hyperintensities (WMH) atau
white matter lesions (WML), dilatasi ruang
(A) (B)
perivascular (Virchow Robbin space), deep
hemorrhage (large subcortical hemorrhages
dan microbleeds), dan atrofi otak. Lesi subkortikal seperti infark lakunar, WMH, dan deep
hemorrhage (large subcortical hemorrhages
dan microbleeds) juga merupakan penanda
CSVD, namun tidak spesifik. WMH tidak hanya ditemukan pada CSVD, infark lakunar
juga dapat menggambarkan embolisme.
Hal yang penting diperhatikan yaitu CSVD tidak hanya memiliki gambaran iskemik, namun
juga dapat memberikan gambaran perdarahan
berupa macrolesions (large sub-cortical hemorrhages) dan microlesions (microbleeds). Sebagian besar perdarahan dapat dideteksi dengan
pencitraan konvensional termasuk CT scan, microbleeds membutuhkan MRI dengan sekuens
khusus yakni gradient echo atau susceptibilityweighted imaging (SWI).
ada klasifikasi yang dipakai secara
luas untuk mendeskripsikan beratnya WML,
yaitu Fazekas Scale yang pertama kali dikemukakan oleh Fazekas dkk (1987). Skor ini
menilai secara kuantitatifjumlah white matter hyperintense lesions pada MRI sekuens
T2/FLAIR yang timbul akibat iskemia kronik
terutama oleh gangguan pembuluh darah ke
cil. Namun dalam praktek sehari-hari hanya
dipakai klasifikasi ringan (mild), sedang
(moderate), dan berat (severe). Skala Fazekas
membagi white matter menjadi 2 regio, yaitu
periventrikular dan deep white matter, dan
tiap regio dibagi menjadi beberapa kelas berdasar ukuran dan confluence (penggabungan) dari lesi (Tabel 5 dan Gam bar 8).
PENGOBATAN
Manifestasi CSVD sangat spesifik berhubungan pembuluh darah kecil yang ada di otak,
sehingga memungkinkan pencegahan faktor
risiko untuk menekan disabilitas dan mortalitas di kemudian hari.
Trombolisis
Tissue plasminogen activator (t-PA) intravena (IV) telah menjadi standar terapi pada
stroke iskemik akut dengan time window
0-3 jam (Amerika dan Eropa) dan 0-6 jam
(Asia). Namun hal ini bukan merupakan
pi-lihan utama pada infark lakunar dan
hingga kini efikasi maupun keamanannya
masih dalam perdebatan. berdasar National Institute of Neurological Disorders and
Stroke (NINDS) dan penelitan lainnya, luaran terapi t-PA pada stroke lakunar tidak lebih buruk dibandingkan dengan stroke nonlakunar. Akan namun penelitian Shoba dkk
terhadap 195 pasien dengan infark lakunar,
diperoleh luaran trombolisis yang lebih baik
diban-dingkan plasebo (modified Rankin
Scale 0-2; RR 1,84; IK95%, 1,59-2,13). Oleh
sebab itu, beberapa pedoman terbaru tidak membedakan efikasi t-PA menurut tipe
stroke. Terkait keamanan, studi bleeding
risk analysis in stroke imaging before thrombolysis (BRASIL) melakukan Analisa pencitraan pada 570 pasien stroke iskemik akut
onset 6 jam yang memperoleh t-PA IV memakai MRI sekuens T2. Tidak didapatkan
peningkatan risiko perdarahan intrakranial
terkait CMB yang bermakna, namun risiko
ini tidak melebihi manfaat yang diterima.
Pengendalian faktor risiko
Hipertensi merupakan faktor risiko stroke
terpenting sehingga penurunan tekanan darah (TO) bermanfaat untuk prevensi stroke
sekunder. Kumpulan data Analisa menunjukkan bahwa penurunan TD jangka panjang menurunkan kejadian stroke hingga
28%. Uji klinis multisenter Secondary Prevention of Small Subcortical Strokes (SPS3)
menunjukkan pada kelompok dengan TD
sistolik <130mmHg, ada penurunan
stroke berulang sebanyak 19% dan penurunan kejadian perdarahan intrakranial
sebesar 63%. Studi Perindopril Protection
against Reccurent Stroke Study (PROGRESS)
juga menunjukkan bahwa penurunan TD
yang intensif dapat menunda progresivitas WML pada pasien stroke. Oleh karena
itu, perlu dilakukan penurunan TD sistolik kurang dari 130mmHg. Namun belum
diketahui efek jangka panjang penurunan
tekanan darah, terutama pada pasien usia
Ian jut dengan CSVD luas.
Studi kohort oleh Muller dkk menunjukkan
penurunan TD diastolik berkaitan dengan
penurunan volume gray matter dan gangguan kognitifpada subjek usia lanjut dengan
riwayat hipertensi dibandingkan subjek
dengan usia pertengahan. Hal ini dikaitkan
dengan kegagalan perfusi serebral akibat
penurunan mekanisme autoregulasi pada
pasien dengan hipertensi jangka panjang.
Dengan demikian, meskipun pada pedoman
yang ada direkomendasikan penurunan TD
sistolik hingga <130mmHg. namun manajemen TD harus lebih diperhatikan pada
pasien usia lanjut, riwayat hipertensi lama,
WML luas, dan gangguan fungsi kognitif.
Dislipidemia, terutama peningkatan kadar
low-density lipoprotein (LDL), memegang peranan penting dalam pembentukan aterosklerosis. Studi Stroke Prevention by Aggressive
Reduction in Cholesterol Levels (SPARCL)
menunjukkan bahwa pasien yang mendapat
atorvastatin mengalami penurunan kejadian
stroke dan penyakit jantung koroner secara
signifikan, namun peningkatan sedikit namun
signifikan memicu stroke hemoragik
Oleh karena pasien CSVD lebih jarang disertai
aterosklerosis pembuluh darah besar, namun
lebih berisiko tinggi mengalami perdarahan,
sehingga pemberian statin pada infark lakunar masih dipertanyakan. Analisa post-hoc
studi SPARCL pada 1409 pasien infarklakunar
menunjukkan efikasi yang sama pada grup
dengan infark lakunar dibandingkan grup
yang lain. Studi Regression of Cerebral Artery
Stenosis (ROCAS) menunjukkan bahwa pemakaian statin berhubungan dengan penurunan progresivitas WML.
Pada sub-studi Vitamins to Prevent Stroke
(VITATOPS)-MRI, penurunan kadar homosistein dengan vitamin B dikaitkan dengan
penurunan peningkatan volume WMH pada
pasien dengan CSVD yang berat. Sebagai
tambahan, vitamin E tocotrienols diketahui dapat menghambat progresifitas WMH
pada subjek sehat dengan WMH.
Antiplatelet
Antiplatelet secara umum dipakai pada
stroke nonkardioembolik Walaupun studi
yang berfokus pada infark lakunar sangat jarang, manfaat dari beberapa antiplatelet dipertimbangkan serupa antara infark lakunar
dengan yang nonlakunar. Satu-satunya studi
yang berfokus pada infark lakunar, yakni studi Secondary Prevention of Small Subcortical
Strokes (SPS3) yang melibatkan 3020 pasien
dari Amerika Utara, Amerika Selatan, dan
Spanyol. Pada studi ini disimpulkan bahwa
pada infark lakunar, klopidogrel, dan aspirin
tidak menurunkan risiko stroke secara sig-
Cerebral Small Vessel Disease
nifikan, bahkan meningkatkan risiko perdarahan dan kematian. Oleh karena itu, kombinasi klopidogrel dan aspirin tidak boleh
diberikan, kecuali dengan indikasi spesifik
lainnya, sehingga perhatian selanjutnya ditujukan pada cilostazol dan trifusal.
Dari hasil studi pada hewan coba dan manusia, didapatkan bahwa cilostazol memicu komplikasi perdarahan yang lebih
rendah dibandingkan aspirin, ditandai dengao pemanjangan bleeding time pada aspirin atau klopidogrel. Sebagai tambahan,
pemanjangan bleeding time juga tidak terjadi meskipun cilostazol diberikan bersamaan dengan aspirin atau klopidogrel pada
pasien dengan penyakit arteri perifer. Cilostazol juga memiliki efek protektif terhadap
endotel dan mencegah gangguan SDO pada
pasien stroke iskemik. Studi terhadap murin menunjukkan bahwa cilostazol melindungi mikrovaskulatur otak yang iskemia
dengan menurunkan aktivitas matrix metalloprotease-9 (MMP-9). Analisa subgroup
studi Cilostazol for Prevention of Secondary
Stroke juga menunjukkan bahwa ciloztazol
lebih aman secara bermakna dibandingkan
aspirin terkait risiko stroke hemoragik pada
pasien hipertensi dengan stroke lakunar. Cilostazol dilaporkan dapat menurunkan high
pulsatile pressure pada pembuluh darah kecil akibat kekakukan arteri, yang berkontribusi dalam patogenesis WMH.
Trifusal memiliki efek yang sama dengan aspirin namun dengan komplikasi perdarahan
lebih kecil, sehingga dapat dipakai pada
pasien dengan risiko perdarahan seperti
CMB multipel pada CSVD. Hingga kini masih
diperlukan studi lebih lanjut untuk menemukan anti platelet yang sesuai pada CSVD
TROMBOSIS VENA SEREBRAL
Trombosis vena serebral merupakan salah
satu bentuk penyakit serebrovaskular yang
jarang terjadi, namun memiliki potensi morbiditas yang tinggi. Trombosis ini dapat terjadi pada vena dan sinus dura utama di otak.
Insidensnya yaitu 0,5-3% dari seluruh kasus
stroke dan dapat terjadi pada seluruh kelompok usia, termasuk neonatus.
Observasi dan deskripsi kasus trombosis
vena serebral pertama kali dilaporkan
oleh MF Ribes pada tahun 1825. Ribes
mengemukakan kasus seorang laki-laki
berusia 45 tahun dengan keluhan nyeri
kepala yang berkepanjangan, sehingga
memicu kesedihan dan melankolia. Keluhan ini diikuti dengan munculnya
bangkitan kejang berulang yang semakin
sering, kemudian pasien mengalami delirum sebelum akhirnya meninggal dunia.
Hasil otopsi postmortem menunjukkan
adanya gumpalan darah di sinus sagitalis
superior dan sinus lateralis kiri, serta infark di hemisfer kanan.
Hingga awal 1980-an, trombosis vena serebral digambarkan sebagai suatu kondisi
yang langka. Kondisi ini biasanya terjadi
akibat trombosis septik di sinus sagitalis
superior dengan gejala klinis stereotipik
berupa nyeri kepala, defisit fokal neurologis, kejang, penurunan kesadaran, hingga
dapat memicu koma dan kematian.
Angka kematian pada tahun ini dapat
mencapai 60%.
Diagnosa trombosis vena serebral biasanya
ditegakkan saat otopsi dengan adanya gambaran infark hemoragik Perdarahan ini memicu kontraindikasi pemberian heparin
pada masa ini . Pada 1967, Hugo Krayenbuhl, seorang profesor bedah saraf di University of Zurich, Swiss, yaitu orang pertama
yang memakai antikoagulan heparin
dalam PENGOBATAN trombosis vena serebral.
Dalam publikasinya dia mengemukakan bahwa kombinasi antibiotik dan antikoagulan
dapat memberikan basil optimal. Tidak ada
bukti bahwa perdarahan serebrallebih sering
dan lebih berat pada kasus yang mendapatkan
antikoagulan.
Dengan perkembangan ilmu dan teknologi
medis yang pesat, saat ini berbagai pemicu
trombosis vena serebral lainnya dapat
diketahui. Mekanisme trombosis di vena
dan sistem sinus telah dapat dideskripsikan
lebih jelas melalui teknik angiografi serebral,
CT scan, dan MRI, sehingga Diagnosa dapat
ditegakkan lebih cepat tanpa perlu menunggu
otopsi. Penelitian dalam manajemen terapi
juga menunjukkan hasH yang positif yang
kesemuanya memicu penurunan angka
kematian secara drastis, hingga mencapai
<5% setelah tahun 2000.
EPIDEMIOLOGI
Insidens trombosis vena serebral tidak diketahui dengan pasti. Secara umum, trombosis vena serebral dianggap sebagai salah
satu pemicu stroke yang jarang terjadi,
dengan perbandingan 1:62,5 dibandingkan stroke arteri. Pacta studi single center
di Indonesia (2015) ditemukan prevalensi
sebesar 1,28%.
Daif di Saudi Arabia (1995) melaporkan
frekuensi trombosis vena serebral sebesar
7 kasus per 100,000 pasien di RS. Coutinho
dkk dalam studi potong lintang Dutch series (2012) mendapatkan insidens 1,32 per
100.000 penduduk, sedangkan di Australia
sebesar 1,57 per 100.000 penduduk. Pacta
anak, insidens trombosis vena serebri sebesar
0,67 per 100.000 penduduk, sementara pacta
neonatus 1,4-12 per 100.000 penduduk.
Pacta penelitian multisenter, International
Study on Cerebral Venous Trombosis (ISCVT)
pacta 1998-2001, didapatkan rerata usia
penderita trombosis vena serebri 39,1 tahun, yang mayoritas (74%) perempuan,
yaitu 17% pacta masa kehamilan dan nifas,
serta 4 7% berhubungan dengan pemakaian kontrasepsi.
PATOFISIOLOGI
Dalam memahami patofisiologi trombosis
vena serebral, penting untuk lebih dulu memahami anatomi sistem sinus duramater
dan vena di otak. Pembuluh darah vena di
otak terdiri atas vena superfisial dan profunda (deep veins). ada 10-20 vena
superfisial yang mengumpulkan darah dari
vena-vena pial yang menutupi permukaan
hemisfer serebri dan saling beranastomosis
satu sama lain. Dian tara vena superfisial, yang
terbesar yaitu vena Rolandik atau vena sentralis yang berlokasi di dekat sulkus sentralis,
vena Trolard (greater anastomotic vein), dan
superficial middle cerebral vein. Vena superfisial memiliki anastomosis yang amat banyak,
sehingga oklusi seringkali sulit didiagnosis. Sistem vena superfisial akan mengalami
drainase ke sinus sagitalis superior dan sinus
lateral (Gambar 1).
Vena profunda mengalirkan darah dari struktur subkortikal telensefalon dan diensefalon.
Vena profunda utama di otak, antara lain
yaitu vena insula dan vena striata, vena
subependim, vena medularis, dan vena basal
Rosenthal. Seluruh vena profunda ini akan didrainase menuju vena serebri magna Galen.
Sinus dura (sinus serebri atau sinus kranialis) yaitu struktur berupa saluran di antara
lapisan duramater dalam otak. Dinding dari
sinus dura dibentuk dari duramater yang
memiliki endotel seperti pembuluh darah.
Namun berbeda dengan struktur pembuluh
darah, sinus dura tidak memiliki tunika media dan tidak memiliki katup seperti halnya
pembuluh vena. Di dalam sinus dura ada granulasio araknoid Pacchioni yang
berperan dalam fisiologi cairan serebrospinal, sehingga sinus dura juga berperan dalam
drainase cairan serebrospinal.
Secara klasik, sinus dura dibagi menjadi 2
kelompok, yakni sinus posterior superior
(P-S) dan sinus anterior inferior (A-1). Sinus
P-S mencakup sinus sagitalis superior (SSS),
sinus sagitalis inferior (SSI), sinus lateral/
transversus (SL), straight sinus, dan sinus
oksipital. Kelompok A-I mencakup sinus petrosalis superior dan inferior serta sinus kavernous. SSS menjadi drainase bagi seluruh
korteks serebri. Sinus transversus dan sinus
menjadi drainase bagi serebelum, batang
otak dan bagian posterior hemisfer otak
(Gambar 2 dan Tabel1).
Vena dan sinus di otak dapat mengalami kelainan akibat trauma kepala maupun pada
kasus yang lebih jarang, akibat trombosis.
Pada penelitian kohort International Study
on Cerebral Vein and Dural Sinus Trombosis
(ISCVT), pemicu trombosis pada pasien
sebagian besar yaitu kondisi trombofilia
(34%), seperti defisiensi antitrombin, sindrom antifosfolipid dan hiperhomosisteinemia. Faktor risiko lainnya dapat berupa
kehamilan dan nifas, kontrasepsi hormonal,
infeksi lokal (otitis, mastoiditis, sinusitis,
dan meningitis) maupun infeksi sistemik,
penyakit inflamasi kronik seperti vaskulitis, keganasan, dan gangguan darah ( seperti
polisitemia). Meskipun jarang, trombosis
vena serebral dapat pula disebabkan oleh
kanulasi vena jugularis, prosedur bedah
saraf, maupun lumbal pungsi. Pada >85%
kasus trombosis vena otak, dapat ditemukan salah satu dari faktor risiko di atas.
Sumbatan pada sinus dan vena di otak akan
memicu gejala klinis melalui beberapa mekanisme (Gambar 3). Terjadinya
sumbatan atau oklusi pada vena akan memicu peningkatan tekanan vena dan
kapiler. Peningkatan tekanan vena yang rnakin bertambah akan menurunkan perfusi
serebral, sehingga terjadi iskemia dan edema
sitotoksik. Selain itu, terjadi kerusakan sawar
darah otak yang memicu edema vasogenik. Akibattekanan yangmakin meningkat,
akhirnya terjadi ruptur vena dan kapiler, memicu perdarahan petekial yang dapat
Trombosis Vena Serebral
berakumulasi menjadi perdarahan besar di
parenkim.
Mekanisme kedua terjadi akibat obstruksi
pada sinus serebri yang memicu
berkurangnya absorpsi cairan serebrospinal.
Pada kondisi normal cairan serebrospinal
akan diabsorpsi oleh granulasio araknoid dan
mengalami drainase menuju sinus sagitalis
superior sebelum akhirnya dialirkan ke vena
jugularis interna. Trombosis vena akan memicu peningkatan tekanan vena dan
gangguan absorpsi cairan serebrospinal sehingga terjadi peninggian tekanan intrakranial. Peningkatan ini akan makin memperburuk
tingginya tekanan di vena, venula, dan kapiler,
sehingga terjadi perdarahan parenkim, edema
vasogenik, dan edema sitotoksik.
Dalam hal lokasi trombosis, studi ISCVT
mendapatkan bahwa sinus transversus
yang tersering (86%) diikuti sinus sagitalis
superior (62%), straight sinus (18%), vena
kortikal (superfisial) sebesar 17%, vena
jugularis (12%), vena serebri magna Galen
dan vena internal (profunda) sebesar 11%.
GEJALA DAN TANDA KLINIS
Gejala klinis trombosis vena serebri amat bervariasi, dengan onset yang dapat bersifat akut,
subakut, atau kronik Pada 30% kasus, gejala
bersifat akut dan umumnya hilang dalam 48
jam. Pada 50% kasus, gejala bersifat subakut
( dapat muncul dalam 30 hari) dan sisanya
pada 20% kasus gejala bersifat kronik ( dirasakan antara 30 hari hingga 6 bulan).
berdasar lokasi dan luas trombosis yang
terjadi, ada 4 gejala utama yang dapat sating tum pang tindih atau berdiri sendiri-sendiri,
yaitu: gejala hipertensi intrakranial, defisit fokal
neurologis, kejang, dan ensefalopati (Gambar4).
Gejala dan tanda hipertensi intrakranial dapat
berupa nyeri kepala, papiledema, dan gangguan penglihatan. Nyeri kepala merupakan
gejala trombosis vena serebri yang paling
sering dikeluhkan. Hal ini berbeda dengan
stroke arterial yang umumnya tidak disertai
nyeri kepala. Lebih dari 90% pasien trombosis
vena serebral memiliki keluhan nyeri kepala,
dan lebih dari 60% kasus bersifat subakut.
Nyeri kepala dapat merupakan satu-satunya
gejala pada pasien, tanpa disertai defisit fokal
neurologis maupun papilledema. Hal ini terjadi pada 25%-40% pasien. Nyeri ini terjadi
akibat distensi dinding vena, inflamasi lokal
atau akibat leakage darah pada permukaan
otak yang mengiritasi area sensitif nyeri di duramater. Karakteristik nyeri umumnya bersifat difus, namun dapat juga bersifat unilateral
atau terlokalisir. Nyeri kepala dapat diperberat
dengan manuver Valsalva atau perubahan po-
sisi. Meskipun amat jarang, dapat dijumpai
gejala nyeri kepala thunderclap, seperti pada
perdarahan subaraknoid. Nyeri kepala yang
disebabkan trombosis vena serebri seringkali
keliru diDiagnosa sebagai migren.
Gejala neurologis fokal yang paling sering
muncul yaitu defisit motorik (>40%) dan
kejang, termasuk kejang fokal dan kejang
umum (30-40%). Kejang umumnya dijumpai
pada trombosis di sinus sagitalis dan vena
kortikal. Frekuensi kejang pada trombosis
vena jauh lebih sering dibandingkan pada
stroke arterial. Oleh karena itu, adanya defisit neurologis akut disertai kejang, harus
dipikirkan sebagai trombosis vena serebri.
Gejala ensefalopati seringkali terjadi pada
pasien usia lanjut, trombosis di straight sinus, serta pada trombosis berat yang disertai edema serebri, infark luas, dan perdarahan parenkim.
Diagnosa DAN Diagnosa BANDING
Mengingat gejala klinis yang amat bervariasi,
Diagnosa banding trombosis vena serebri cukup banyak, antara lain stroke iskemik dan
hemoragik, pseudotumor serebri, tumor intrakranial, status epileptikus, dan abses intrakranial. Untuk mencari etiologi, menyingkirkan Diagnosa banding, dan memastikan
Diagnosa trombosis vena serebral, diperlukan
pemeriksaan penunjang berupa pemeriksaan
laboratorium dan pencitraan.
Pemeriksaan Laboratorium
Kadar D-dimer dalam darah merupakan penanda terjadinya proses trombosis. Meskipun demikian, hasil D-dimer yang normal
tidak dapat dipakai untuk mengeksklusi
kemungkinan Diagnosa trombosis vena serebral. Dalam beberapa studi D-dimer pada
kasus trombosis vena serebral, didapatkan
bahwa pemeriksaan D-dimer memiliki angka positif palsu sebesar 9% dan angka negatif palsu 24%.
Mengingat tingginya insidens trombofilia
pada pasien trombosis vena serebral, maka
kondisi ini harus diDiagnosa awal. Trombofilia yaitu kondisi dimana ada kecenderungan untuk terjadi trombosis. Kelainan
ini ditandai oleh abnormalitas molekular
atau hemostasis yang menjadi predisposisi
terjadinya tromboemboli. Trombofilia dapat
bersifat herediter akibat defisiensi antitrombin, atau defisiensi protein C atau S. Trombofilia yang didapat (acquired thrombophilia)
umumnya berhubungan dengan sindrom antifosfolipid dan adanya antikoagulan lupus.
Pada beberapa kasus, tidak ditemukan adanya kelainan molekular maupun hemostasis,
namun sering terjadi episode trombosis bernlang, yang disebut sebagai trombofilia klinis.
Pemeriksaan skrining kondisi trombofilia
mencakup evaluasi mutasi faktor V Leiden,
mutasi gen protrombin 20210, antikoagulan lupus, antibodi antikardiolipin, hiperhomosisteinemia, serta defisiensi protein
C, protein S, dan antitrombin. Kadar Protein C, protein S, dan antitrombin yang
abnormal juga dapat dijumpai pada trombosis akut, pemakaian antikoagulan, kontrasepsi oral maupun kehamilan.
Pemeriksaan Pencitraan
Pencitraan yang menjadi pilihan pada
pasien kecurigaan trombosis vena serebra} yaitu computed tomography (CT)
scan, magnetic resonance imaging (MRI),
CT venografi, dan magnetic resonance (MR)
venografi. Selain itu, saat ini tengah berkembang pemeriksaan non-invasif memakai
ultrasonografi. Prosedur digital subtraction
angiography (DSA) merupakan pemeriksaan baku emas, namun bersifat invasif,
sehingga baru dikerjakan bila hasil pemeriksaan MR venografi atau CT venografi
belum konklusif, atau jika tindakan endovaskular dipertimbangkan untuk dikerjakan.
1. CT Scan
Pemeriksaan CT scan dengan atau tanpa
kontras merupakan pencitraan yang paling banyak tersedia di fasilitas kesehatan dan paling banyak dikerjakan pada
kasus neurologi akut, termasuk pasien
yang dicurigai trombosis vena serebri.
Pemeriksaan CT scan dapat membantu
untuk menyingkirkan beberapa kondisi
yang menyerupai trombosis vena serebri.
Gambaran CT scan trombosis vena serebri yang paling banyak dijumpai yaitu
area hiperdens umum atau terlokalisir di
sekitar dalam area hi pod ens yang menunjukkan gambaran infark hemoragik di
area otak yang tidak khas untuk stroke
arterial. Selain itu dapat dijumpai pula
gambaran akibat adanya ektravasasi atau ruptur darah
dari vena •:1enuju ruang subaraknoid.
Sensitivitas CT scan tanpa kontras dalam
menDiagnosa trombosis vena serebri cukup rendah, sekitar 25-56%. Meskipun
demikian, ditemukannya gambaran direct
sign (visualisasi trombus dalam pembuluh
darah) atau indirect sign (kerusakan parenV : otak akibat iskemia atau gangguan
aliran vena) akan membantu meningkatkan spesifisitas Diagnosa .
a. Direct sign
ada 3 direct sign trombosis vena
serebri pacta CT scan yakni string sign,
dense triangle sign, dan empty delta sign.
String sign atau cord sign (Gambar 5)
merupakari gambaran hiperdens memanjang pacta CT scan tanpa kontras,
ditemukan pacta 25% kasus. Gambaran ini terjadi akibat adanya trombosis
pacta vena kortikal. Namun dapat ditemukan pacta kondisi slow flow, sehingga
tanda ini merupakan tanda yang nonspesifik
Dense triangle sign (Gambar 6) ditemukan pacta 2% dari seluruh kasus trombosis vena serebral, dan 60% ditemukan pacta 2 minggu pertama. Tanda ini
terjadi akibat opasifikasi spontan pacta
SSS akibat proses koagulasi darah yang
baru terjadi.
Empty delta atau empty triangle sign
(Gambar 7}, dapat dijumpai pacta CT scan
dengan kontras, sebanyak 10-35% kasus.
Gejala ini terjadi akibat adanya defek
pengisian kontras intraluminal di bagian
posterior SSS. Pacta CT scan, tampak penyangatan dinding sinus yang mengelilingi area hipodens (gambaran clot)
dalam lumen.
b. Indirect sign
Tanda ini lebih sering ditemukan pacta CT
scan dibandingkan direct sign. Meskipun
tidak spesifik, jika dijumpai adanya indirect
sign maka pemeriksaan venografi perlu dipertimbangkan untuk memastikan diagnosis. Gambarannya an tara lain berupa edema
serebri, ukuran ventrikel yang mengecil,
hidrosefalus, penyangatan pacta falks atau
tentorium (Gambar 8), serta infark vena
dengan atau tanpa perdarahan. Selain itu,
508
dapat pula dijumpai erosi struktur telinga
tengah dan perubahan regio mastoid pacta
trombosis septik sinus lateralis (Gam bar 9).
2. MRI, MR Venografi, dan CT Venografi
Gambaran MRI trombosis vena serebri juga
bervariasi, bergantung pacta usia trombus,
bisa normal pacta lebih dari 30% pasien.
Sekuens T2 merupakan sekuens terpenting pacta trombosis fase akut, karena gambaran pacta sekuens lain kurang jelas. Pacta
fase akut, sekuens Tl menunjukkan gambaran isointens, dan gambaran hipointens
pacta sekuens T2. Pacta fase subakut, trambus akan terlihat hiperintens pacta sekuens
Tl dan T2. Pacta tahap kronik, trombus
kurang jelas terlihat, namun dapat tervisualisasi sebagai gambaran heterogen dengan intensitas yang bervariasi tergantung
jaringan otak sekitarnya.
Pada sekuens T2, dapat ditemukan edema di talamus pada kasus oklusi vena
profunda. Tanda ini merupakan merupakan tanda bahaya, mengingat pasien
dapat memburuk hingga koma. Sekuens
T2 juga sensitif untuk menentukan karakteristik perdarahan parenkimal.
Pada trombosis SSS dapat dijumpai perdarahan lobar berbentuk flame-shaped, irreguler, di daerah frontal parasagital dan
lobus parietal. Pada trombosis sinus transversus lesi hemoragik dapat ditemukan di
lobus temporal atau oksipital. Adanya gambaran ini dapat mengarahkan perlunya pemeriksaan MR atau CT venografi,
mengingat keduanya memiliki kemampuan untuk menggambarkan pembuluh
darah secara detail. Dibandingkan dengan
pemeriksaan DSA sebagai baku emas, kedua pemeriksaan ini juga memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi ( mencapai
100%) dalam penegakan Diagnosa trombosis vena serebral.
MR venografi. menjadi pilih;m utama mengingat keterbatasan CT venografi yang membutuhkan waktu pengerjaan lebih lama,
bergantung pada kemampuan operator
dalam hal editing tulang untuk visualisasi
pembuluh darah intrakranial, paparan radiasi, dan masalah pemakaian kontras
pada pasien gagal ginjal atau alergi kontras. American Heart Association (AHA)/
American Stroke Association (ASA) Scientific Statement 2011 merekomendasikan
pemeriksaan MRI dengan sekuens T2 dan
MR venografi sebagai tes diagnostik pilihan
dalam kasus trombosis vena serebral.
3. Ultrasonograft
Ultrasonografi. vena dan sinus serebral
dapat membantu menegakkan Diagnosa
dan membantu follow-up pasien dengan
trombosis vena serebral. Namun demikian,
pemeriksaan ini relatif baru dengan sensitivitas dan spesifi.sitas yang tidak terlalu
tinggi. Pada f'ase akut, oklusi pada sinus
dapat diDiagnosa dengan memakai
transcranial color-coded duplex sonography
(TCCD). Selain itu, TCCD dan juga Doppler
transkranial/transcranial Doppler (TCD)
dapat membantu mengevaluasi sistem dan
aliran kolateral vena otak.
PENGOBATAN
Manajemen trombosis vena serebri secara
umum dibagi menjadi 2 macam, yakni terapi
umum simtomatik dan terapi pragmatis,
seperti terapi medikamentosa dan neurointervensi.
PENGOBATAN Umum dan Simptomatik
PENGOBATAN umum terdiri atas elevasi kepala 30°, oksigenasi, dan proteksi jalan
napas terhadap risiko pneumonia aspirasi.
Terapi simtomatik mencakup pemberian
obat antikonvulsan, PENGOBATAN peningkatan intrakranial, kontrol gejala psikosis dan
agitasi psikomotor, terapi analgetik serta
pemberian antibiotik jika trombosis vena
serebri disebabkan karena infeksi (septik).
Kejang dapat terjadi pada lebih dari 30%
pasien dan berisiko berulang selama perawatan. Kejang juga meningkatkan risiko
kerusakan anoksik Oleh karena itu, pada
pasien dengan klinis kejang, ada perdarahan, atau trombosis pada vena kortikal
atau supratentorial, menjadi kandidat untuk pemberian antikonvulsan.
Peningkatan tekanan atau hipertensi intrakranial dapat terjadi pada 50% pasien trombosis
vena serebri. Namun demikian, hanya 20%
pasien yang biasanya memerlukan terapi antiedema dengan elevasi kepala 30°, dan pemberian diuretik osmotik Mannitol dapat diberikan selama 4-72 jam dengan dosis 4-6x125mL
intravena. Jika tekanan intrakranial tidak terkontrol dan pasien mengalami herniasi serebri, dapat dilakukan hiperventilasi atau tata
laksana bedah dekompresi intrakranial.
Pada sebagian besar kasus, hipertensi intrakranial bersifat lokal dengan gejala terisolasi seperti gangguan visual. Pada kasus seperti ini dapat dilakukan pungsi lumbal untuk
mengeluarkan cairan serebrospinal dikombinasi dengan pemberian asetazolamid. Jika
tidak berespons sehingga gangguan visus
disertai dengan papiledema semakin berat,
dapat dipertimbangkan tindakan pirau ventrikuloperitoneal (ventriculoperitoneal shunt).
Pada kasus dengan gejala psikosis dan agitasi psikomotor, dapat diberikan haloperidol 5-20mg intravena (IV) atau oral. Terapi
ini dapat diberikan sesuai evaluasi klinis.
Alternatiflain yaitu pemberian midazolam
10-20mg IV, suatu obat sedasi yang bersifat
short-acting. Obat ini dapat diberikan bila
pasien akan menjalani tindakan atau prosedur diagnostik maupun terapeutik.
Manajemen nyeri kepala dilakukan dengan
pemberian asetaminofen (500-lOOOmg 3
kali sehari) pada nyeri ringan atau tramadol
5-lOOmg 3x sehari pada nyeri kepala berat
Jika ada mual dapat diberikan antiemetik. Pada kasus trombosis vena serebri septik
direkomendasikan pemberian antibiotik dan
drainase fokus infeksi. pemakaian steroid tidak dianjurkan, karena berisiko memicu
kondisi hiperkoagulasi lebih lanjut dan berhubungan dengan risiko prognosis yang buruk.
Trombosis Vena Serebral
Terapi Pragmatis
1. Antikoagulan
Terapi pragmatis medikamentosa dilakukan dengan pemberian antikoagulan untuk
mencegah propagasi trombus, membuat
rekanalisasi sinus dan vena yang mengalami oklusi, serta mencegah komplikasi trombosis vena dalam dan emboli paru.
Meskipun memiliki rekomendasi yang
kuat, pemberian antikoagulan cukup
kontroversial pada kasus trombosis yang
disertai perdarahan intrakranial. Dalam
meta-Analisa oleh Coutinho dkk, pemberian heparin mengurangi risiko kematian
absolut sebesar 13% tanpa meningkatkan
angka perdarahan baru, disertai angka kejadian emboli paru yang lebih rendah.
Heparin aman untuk diberikan pada pasien
trombosis vena serebri dengan perdarahan intrakranial. Pada studi kohort Ferro dkk,
83% pasien trombosis vena serebri dengan
perdarahan intrakranial tidak mengalami
perburukan klinis dengan pemberian heparin. Studi ini membuktikan hipotesis bahwa
perbaikan aliran vena dengan pemberian
antikoagulan akan mengurangi tekanan
dalam vena dan kapiler sehingga mengurangi risiko perdarahan lebih lanjut berdasar berbagai studi ini , dapat
disimpulkan bahwa antikoagulan aman untuk diberikan pada trombosis vena serebri
dengan atau tanpa perdarahan intrakranial.
Antikoagulan diberikan segera di fase akut
baik dengan unfractionated heparin intravena atau low-molecular weight heparin
(LMWH) subkutan, sebelum dilanjutkan
dengan antikoagulan oral warfarin. Pemberian warfarin dilakukan dengan target
international normalized ratio (INR) 2,0-
3,0 selama 3-6 bulan pada pasien dengan
faktor risiko yang jelas atau 6-12 bulan
pada pasien tanpa faktor risiko yang sudah
terdeteksi. Pada pasien dengan trombosis vena serebri berulang, pasien dengan
trombosis vena dalam atau emboli paru
yang mengalami trombosis vena serebri,
atau pasien trombosis vena serebri dengan trombofilia berat harus mendapatkan antikoagulan seumur hidup.
2. Manajemen Neurointervensi
Manajemen neurointervensi pada kasus
trombosis vena serebri antara lain yaitu
pemberian trombolisis lokal melalui teknik
endovaskular melalui akses jugular dan
femoral. Teknik ini pertama kali dikerjakan
pada tahun 1971. Trombolisis endovaskular umumnya dilakukan pada kasus yang
berat ada penelitian yang menunjukkan bahwa pemberian trombolisis endovaskular dapat merestorasi aliran darah
vena pada 71,4% kasus lebih cepat dan
lebih efisien dari pemberian heparin intravena. Namun teknik ini memiliki risiko
perdarahan yang lebih tinggi. Trombektomi mekanik memakai stent retriever
maupun Penumbra System mengurangi
dosis trombolisis yang dipakai , sehingga
mengurangi risiko perdarahan intrakranial.
Hingga saat ini, belum ada uji klinis dalam
skala besar tentang manajemen neurointervensi (trombolisis endovaskular maupun trombektomi mekanik). Tindakan ini
hanya dikerjakan hila terjadi perburukan klinis pasca pemberian antikoagulan
atau jika ada perburukan perdarahan intrakranial meskipun pasien telah
mendapatkan modalitas terapi lain.
STROKE HEMORAGIK
Stroke merupakan penyakit neurologis utama
di usia dewasa, berdasar tingginya angka
kejadian, kegawatdaruratan, pemicu utama
kecacatan, dan kematian. Stroke menggambarkan suatu kejadian yang terjadi secara akut
atau tiba-tiba. berdasar patologinya, stroke
dibedakan menjadi stroke iskemik (sumbatan)
dan stroke hemoragik (perdarahan).
Stroke hemoragik, atau yang dikenal juga
sebagai perdarahq.n intraserebral (PIS)
spontan merupakan salah satu jenis patoiogi stroke akibat pecahnya pembulUh darah
intraserebral. Kondisi ini menimbulkan gejala neurologis yang terjadi secara
tiba-tiba dan seringkali diikuti gejala akibat
efek desak ruang atau peningkatan tekanan
intrakranial (TIK). Itu sebabnya angka kematian pada stroke hemoragik menjadi lebih tinggi dibandingkan stroke iskemik.
berdasar data American Heart Assocation
(AHA)/ American Stroke Association (ASA) tahun 2009, angka kematian stroke hemoragik
mencapai 49,2%, hampir dua kali lipat stroke
iskemik (25,9%). Broderick dkk melaporkan
angka kematian stroke hemoragik dalam waktu 30 hari berkisar 35-52%, dan hanya 20%
pasien yang mengalami pemulihan fungsional
dalam waktu 6 bulan. berdasar penelitian Elliott, setengah kasus stroke hemoragik
mengalami kematian dalam 24 jam pertama,
menekankan pentingnya tatalaksana yang tepat pada unit gawat darurat (UGD).
Stroke hemoragik memiliki faktor risiko pemicu yang hampir sama dengan keadaan stroke
iskemik, namun penanganannya sangat berbeda dan bahkan berlawanan. Pada stroke
iskemik dilakukan terapi trombolisis dan
antiplatelet yang justru tidak boleh dilakukan pada kasus stroke hemoragik, sementara stroke hemoragik lebih didominasi oleh
gejala peningl<atan TIK yang membutuhkan
penanganan segera sebagai tindakan life saving. Oleh karena itu, penegakan Diagnosa
patologi stroke sangat penting untuk memberikan PENGOBATAN yang tepat, sehingga
didapat keluaran yang lebih baik.
EPIDEMIOLOGI
Secara umum, angka kejadian stroke semakin meningkat. berdasar data Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia ada
peningkatan prevalensi stroke dari 8,3 (tahun 2007) menjadi 12,2 (tahun 2013) per
1000 penduduk.
Angka kejadian stroke hemoragik di Asia lebih
tinggi di bandingkan di negara barat. Hal ini
dapat disebabkan tingginya angka kejadian
hipertensi pada populasi Asia. berdasar
data Stroke registry di Indonesia, yang dimulai sejak tahun 2012 sebagai kerjasama an tara
Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia (PERDOSSI) dengan Badan Penelitian Dan
Pengembangan Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, tahun 2014 didapatkan 5411
kasus stroke akut dari 18 RS dengan angka kejadian stroke hemoragik sebesar 33%.
PATOFISIOLOGI
Patofisiologi stroke hemoragik umumnya
didahului oleh kerusakan dinding pembuluh darah kecil di otak akibat hipertensi.
Penelitian membuktikan bahwa hipertensi
kronik dapat memicu terbentuknya
aneurisma pacta pembuluh darah kecil di
otak. Proses turbulensi aliran darah memicu terbentuknya nekrosis fibrinoid,
yaitu nekrosis seljjaringan dengan akumulasi matriks fibrin. Terjadi pula herniasi
dinding arteriol dan ruptur tunika intima,
sehingga terbentuk mikroaneurisma yang
disebut Charcot-Bouchard (Gambar 1). Mikroaneurisma ini dapat pecah seketika saat
tekanan darah arteri meningkat mendadak. Pacta beberapa kasus, pecahnya pembuluh
darah tidak didahului oleh terbentuknya
aneurisma, namun semata-mata karena peningkatan tekanan darah yang mendadak.
Pacta kondisi normal, otak mempunyai sistem
autoregulasi pembuluh darah serebral untuk
mempertahankan aliran darah ke otak. Jika
tekanan darah sistemik meningkat, sistem ini
bekerja melakukan vasokonstriksi pembuluh
darah sere bra!. Sebaliknya, hila tekanan darah
sist~mik menurun, akan terjadi vasodilatasi
pembuluh darah serebral. Pacta kasus hipertensi, tekanan darah meningkat cukup tinggi
selama berbulan-bulan atau bertahun-tahun.
Hal ini dapat memicu terjadinya proses hialinisasi pacta dinding pembuluh darah,
sehingga pembuluh darah akan kehilangan
elastisitasnya. Kondisi ini berbahaya karena
pembuluh darah serebral tidak lagi bisa menyesuaikan diri dengan fluktuasi tekanan darah sistemik, kenaikan tekanan darah secara
mendadak akan dapat memicu pecahnya pembuluh darah. Darah yang keluar akan terakumulasi dan
membentuk bekuan darah (hematom) di
parenkim otak. Volume hematom ini
akan bertambah, sehingga memberikan efek
desak ruang, menekan parenkim otak, serta
memicu peningkatan TIK. Hal ini akan
memperburuk kondisi klinis pasien, yang
umumnya berlangsung dalam 24-48 jam
onset, akibat perdarahan yang terus berlangsung dengan edema disekitarnya, serta
efek desak ruang hematom yang mengganggu metabolisme dan aliran darah.
Pacta hematom yang besar; efek desak ruang
memicu pergeseran garis tengah (midline shift) dan herniasi otak yang pacta akhimya memicu iskemia dan perdarahan sekunder. Pergeseran ini juga dapat
menekan sistem venb·ikel otak dan memicu hidrosefalus sekunder. Kondisi seperti
ini sering terjadi pacta kasus stroke hemoragik
akibat pecahnya pembuluh darah arteri serebri
posterior dan anterior. Keadaan ini akan
semakin meningkatkan TIK dan meningkatkan
tekanan vena di sinus-sinus duramater.
Sebagai kompensasi untuk mempertahankan
perfusi otak, tekanan arteri juga akan meningkat. Dengan demikian, akan didapatkan peningkatan tekanan darah sistemik pascastroke.
Prinsip ini harus menjadi pertimbangan penting dalam memberikan terapi yang bertujuan menurunkan tekanan darah pascastroke,
karena penurunan secara drastis akan menurunkan perfusi darah ke otak dan akan membahayakan bagian otak yang masih sehat.
Hematom yang sudah terbentuk dapat me nyusut sendiri jika terjadi absorbsi. Darah akan
kembali ke peredaran sistemik melalui sistem
ventrikel otak. Selain hipertensi, hematom
int:raserebral dapat disebabkan oleh trauma,
obat-obatan, gangguan pembekuan darah, dan
proses degeneratifpada pembuluh darah otak.
Stroke hemoragik dapat terjadi melalui berbagai macam mekanisme. Stroke hemoragik
yang dikaitkan dengan hipertensi biasanya
terjadi pacta struktur otak bagian dalam
yang diperdarahi oleh penetrating artery
seperti pada area alamus, putamen, pons,
dan serebelum. Stroke hemoragik lobaris
pada usia lanjut dihubungkan dengan cerebral amylo1a angiopathy, sedangkan pacta
usia muda seringkali disebabkan oleh malformasi pembuluh darah.
Stroke hemoragik juga dapat disebabkan
etiologi lain seperti tumor intrakranial, penyakit Moyamoya, penyalahgunaan alkohol
dan kokain, pemakaian obat antiplatelet
dan antikoagulan, serta gangguan pembekuan darah, seperti trombositopenia, hemofilia, dan leukemia.
GEJALA DAN TANDA KLINIS
Perjalanan klinis pasien stroke hemoragik
dapat berkembang dari defisit neurologis
fokal hingga gejala peniogkatan TIK berupa
nyeri kepala, penurunan kesadaran, dan
muntah, serta perburukan klinis defisit neurologis seiring dengan perluasan lesi perdarahan yang memberikan efek desak ruang.
Perkembangan ini dapat berlangsung dalam
periode menit, jam, dan bahkan hari.
Computed tomography (CT) scan menunjukkan hematom akan membesar dalam enam
jam pertama. Keadaan klinis kemudian akan
menetap apabila terjadi keseimbangan antara TIK, luasnya hematom, efek desak ruang pacta jaringan otak, dan berhentinya
perdarahan. TIK dapat berkurang seiring
dengan berkurangnya volume hematom akibat perdarahan yang telah berhenti atau
hematom masuk ke ruang ventrikel.
Selain itu, efek desak ruang juga disebabkan
oleh edema di sekitar hematom (perihematomal). Pada beberapa kasus yang mengalami perburukan setelah kondisi klinis stabil
dalam 24-48 jam pertama, diduga mengalami perluasan edema perihematomal.
Beberapa gejala klinis stroke hemoragik antara lain nyeri kepala, penurunan kesadaran,
muntah, kejang, kaku kuduk, serta gejala lain
seperti aritmia jantung dan edema paru. Nyeri
kepala merupakan gejala yang paling sering
dikeluhkan, berkaitan dengan lokasi dan luasnya lesi perdarahan, yaitu pada stroke hemoragik di daerah lobaris, serebelum, dan lokasi
yang berdekatan dengan struktur permukaan
meningen. Pada perdarahan kecil di parenkim
otak yang tidak memiliki serabut nyeri, tidak
ada nyeri kepala saat fase awal perdarahan. Namun seiring perluasan hematom yang
memicu peningkatan TIK dan efek desak
ruang, keluhan nyeri baru muncul yang biasanya disertai muntah dan penurunan kesadaran.
Penurunan kesadaran terjadi pada stroke
hemoragik yang besar atau berlokasi di batang
otak. Hal ini disebabkan efek desak ruang dan
peningkatan TIK, serta keterlibatan struktur
reticulating activating system (RAS) di batang
otak Muntah juga akibat peningkatan TIK atau
kerusakan lokal di ventrikel keempat, biasanya
pada perdarahan sirkulasi posterior. Kejang
merupakan gejala yang dikaitkan dengan lokasi
perdarahan. Lokasi yang bersifat epileptogenik
antara lain perdarahan lobar,graywhite.matter
junction di korteks serebri, dan putamen.
Gejala lain yang dapat terjadi yaitu kaku
kuduk, aritmia jantung, dan edema paru.
Stroke Hemoragik
Kaku kuduk dapat terjadi pada perdarahan
di talamus, kaudatus, dan serebelum. Aritmia jantung dan edema paru biasanya berhubungan dengan peningkatan TIK dan
pelepasan katekolamin.
Diagnosa DAN Diagnosa BANDING
Penegakan Diagnosa stroke dilakukan berdasar anamnesis, pemeriksaan fisik
umum dan neurologis, serta pemeriksaan
penunjang. Hal terpenting yaitu menentukan tipe stroke; stroke iskemik atau perdarahan. Hal ini berkaitan dengan PENGOBATAN
yang sangat berbeda antara keduanya, sehingga kesalahan akan memicu morbiditas bahkan mortalitas.
Dalam anamnesis, hal yang perlu ditanyakan
meliputi identitas, kronologis terjadinya keluhan, faktor risiko pad a pasien maupun keluarga, dan kondisi sosial ekonomi pasien. Dari
anamnesis seharusnya didapatkan informasi
apakah keluhan terjadi secara tiba-tiba, saat
pasien beraktivitas, atau saat pasien baru
bangun tidur. Pada stroke hemoragik, pasien
umumnya berada dalam kondisi sedang beraktivitas atau emosi yang tidak terkontrol.
Durasi sejak serangan hingga dibawa ke
pusat kesehatan juga merupakan hal penting
yang turut menentukan prognosis.
Keluhan yang dialami pasien juga dapat
menuntun proses penegakan Diagnosa .
Pasien dengan keluhan sakit kepala disertai muntah (tanpa mual) dan penurunan kesadaran, umumnya mengarahkan kecurigaan
kepada stroke hemoragik dengan peningkatan TIK akibat efek desak ruang. Meskipun
demikian, pada stroke hemoragik dengan volume perdarahan kecil, gejala dapat menyerupai stroke iskemik tanpa ditemukan tanda
tanda peningkatan TIK. Perlu ditanyakan juga
faktor risiko stroke yang ada pacta pasien dan
keluarganya, seperti diabetes melitus, hipertensi, dislipidemia, obesitas, penyakit jantung, riwayat trauma kepala, serta pola hid up
(merokok, alkohol, obat-obatan tertentu).
Pemeriksaan fisik dimulai dengan keadaan
umum, kesadaran, dan tanda vital. Pacta
stroke hemoragik, keadaan umum pasien
bisa lebih buruk dibandingkan dengan kasus stroke iskemik. Selanjutnya, dilakukan
pemeriksaan kepala, mata, telinga, hidung
dan tenggorokan (THT), dada (terutamajantung), abdomen, dan ekstremitas. Pemeriksaan ekstremitas bertujuan terutama untuk
mencari edema tungkai akibat trombosis
vena dalam atau gaga! jantung.
Pacta pemeriksaan tekanan darah, perlu
dibandingkan tekanan darah di ekstremitas kiri dan kanan, serta bagian tubuh atas
dan bawah dengan cara menghitung rerata
tekanan darah arteri (mean arterial blood
pressurejMABP), karena akan mempengaruhi PENGOBATAN stroke. Pola pernapasan
merupakan hal penting yang harus diperhatikan, karena dapat menjadi penunjuk lokasi perdarahan, misalnya: pola pernapasan
Cheyne Stokes, hiperventilasi neurogenik,
klaster, apneustik, atau ataksik (Baca bab
Peningkatan Tekanan Intrakranial).
Pemeriksaan neurologis awal yaitu penilaian tingkat kesadaran dengan skala kama
Glasgow (SKG), yang selanjutnya dipantau secara berkala. Kemudian diikuti pemeriksaan
refleks batang otak yang meliputi reaksi pupil
terhadap cahaya (paling sering dilakukan), refleks kornea, dan refleks okulo sefalik Setelah
itu dilakukan pemeriksaan nervus kranialis
satu persatu serta motorik untuk menilai trofi,
tonus, dan kekuatan otot, dilanjutkan refleks
fisiologis dan refleks patologis. Hasil pemeriksaan motorik dibandingkan kanan dan kiri,
serta atas dan bawah guna menentukan luas
dan lokasi lesi. Selanjutnya, pemeriksaan sensorik dan pemeriksaan otonom (terutama yang
berkaitan dengan inkontinensia atau retensio
urin dan alvi).
pemakaian sistem skor dapat bermanfaat bila tidak ada fasilitas pencitraan
otak yang dapat membedakan secara jelas
patologi pemicu stroke. Namun sistem
skor tidak dapat dipastikan pacta patologi stroke yang terjadi. Hal ini disebabkan
karena manifestasi klinis pacta stroke
hemoragik dengan volume perdarahan
kecil dapat menyerupai stroke iskemik.
Demikian pula manifestasi klinis stroke
iskemik luas dengan peningkatan TIK mirip dengan stroke hemoragik.
Sistem penskoran yang dapat dipakai
yaitu algoritma stroke Gajah Mada, skor
stroke Djunaedi, dan skor stroke Siriraj. Skor
stroke Siriraj merupakan sistem penskoran
yang sering dipakai untuk membedakan
stroke iskemik atau perdarahan (Tabel1).
Pemeriksaan Penunjang
Pencitraan otak memakai CT scan me_rupakan baku emas dalam Diagnosa stroke
hemoragik. CT scan lebih unggul dalam mendeteksi perdarahan langsung