lobus
frontal (kemampuan motorik menulis).
Pusat ingatan terhadap benda terletak di
lobus parietal yang berbatasan dengan lobus oksipital meluas hingga perbatasan
oksipital dengan lobus temporal. Jika terdapat lesi pada daerah ini manifestasinya berupa anomia atau afasia nominal.
2. Hemisfer Dekstra
Hemisfer dekstra berperan dalam fungsi
bahasa, walaupun tidak dominan. Hemisfer ini bertanggung jawab dalam pemahaman kata-kata sederhana terutama kata
benda, tetapi tidak disertai dengan kemampuan motorik bahasa. Individu dengan kerusakan hemisfer ldri tanpa disertai kerusakan hemisfer kanan akan dapat
memahami kata-kata sederhana, namun
tidak dapat membalas kata-kata ini
Fungsi prosodi juga terletak di sini, tepatnya di lobus temporal dan frontal.
B. Gangguan Fungsi Berbahasa
Gangguan fungsi berbahasa disebut afasia, Kemampuan berbahasa merupakan
aktivitas yang kompleks melibatkan
banyak sirkuit-sirkuit, sehingga gangguan fungsi berbahasa yang disebut afasia, sangat bervariasi tergantung lokasi
kerusakan yang didapat. Namun secara
umum gangguan ini akan berhubungan dengan kelancaran bicara/
fluensi (fluency), repetisi/pengulangan,
pemahaman, dan penamaan, yang selanjutnya dibahas lebih lanjut pada Bab
Afasia.
C. Pemeriksaan
Secara Umum
Secara garis besar, penilaian gangguan
berbahasa dilihat dari:
a. Artikulasi/pengucapan
Pasien menjadi sulit mengeluarkan
kata-kata atau terpatah-patah dengan
ucapan yang tidak jelas. Gangguan ini
terjadi pada lesi yang letaknya anterior atau hemisfer ldri dalam.
b. Fluensi
Pada keadaan normal seharusnya
pseseorang dapat berbicara dua atau
lebih frasa dengan panjang normal
di antara jeda. Pasien dengan bicara yang kurang lancar mempunyai
tingkat produksi istilah kata-kata
yang selalu rendah per menitnya, dan
hanya menghasilkan frasa pendek.
Panjang frasa seharusnya, dinilai hanya sesudah mendengar pembicaraan
selama beberapa menit.
Gangguan ringan dapat dideteksi
dengan pemeriksaan verbal fluency
test. Cara pemeriksaan yaitu dengan
meminta pasien untuk menyebutkan
nama binatang sebanyak-banyaknya
dalam 1 menit. Catat jumlah binatang
yang disebutkan berupa jawaban
benar dan jawaban parafasik. Individu normal dapat menyebutkan nama
18-22 nama binatang dalam 1 menit
dengan standar deviasi 5-7. Untuk
usia <69 tahun menyebutkan 20±4,5
nama, usia 7 0-79 tahun dapat menyebutkan 17±2,8 nama, dan usia >80
tahun dapat menyebutkan 15,5±4,8
nama binatang.
c. Bentuk sintaktik (gramatikal)
Saat pasien berbicara, perlu diperhatikan kesesuaian dengan tata bahasa
aslinya. Pembicaraan tanpa memerhatikan tata bahasa (agrammatis) yaitu
pembicaraan yang disederhanakan,
sebab kekurangan kata-kata grammatis
(pelafalan, preposisi, dan lain-lain) dan
mengandung kesalahan tensis. Agrammatisme berkaitan erat dengan bahasa
nonfluen.
d. Kesalahan parafasik
Pasien dapat mengalami kesalahan penggantian kata {word subtitution). Kesalahan ini dapat berasal dari bunyi
(parafasia fonemik) seperti "kursi" disebutkan "kudri" atau "fena" pada "pena".
Atau kesalahannya bisa berupa makna
(parafasia verbal), yaitu mengganti arti
sebuah kata dengan kata yang mempunyai konotasi sama, misalnya "bangku"
disebutkan "meja", atau "garpu” disebutkan "sendok".
e. Penemuan kata {word finding)
Pada gangguan ini, pembicaraan pasien
ada jeda {pause) yang mengikuti
pembicaraan yang bertele-tele. Misal:
"hal yang anda tubs di kertas dengan_".
f. Garis melodik (prosodi)
Gangguan pada prosodi sering mengiringi artikulasi pengucapan yang
buruk dan menurunnya kelancaran
bicara. Pasien berbicara dengan memaksa, canggung, dan tidak mampu
menjaga bentuk melodisnya. Gangguan
prosodi emosional (misal, modulasi suara, nada, dan titinada yang dipakai
untuk mengekspresikan kondisi emosional) dapat terjadi pada kerusakan
hemisfer kanan.
Secara Khusus
Gangguan berbahasa secara khusus berkaitan dengan kerusakan pada struktur otak
tertentu dan diagnostik gangguan yang didapat sesuai dengan:
a. Fluensi
Hal ini menunjukkan kerusakan berada
pada anterior atau posterior dari fisura
sylvii. Ketidakfasihan bahasa yang dimaksudkan yaitu bicara menjadi lambat,
nada bicara menjadi tidak normal, dan
artikulasi menjadi tidak jelas. Gangguan
jenis ini berkaitan dengan kerusakan pada
fisura sylvii anterior.
b. Repetisi
Gangguan ini disebabkan oleh kerusakan
daerah perisilvian atau disebut sebagai
'zona bahasa'. Gangguan lanjut terjadi
jika kerusakan mengenai arteri serebri
media, dan menyertakan bagian sekitar
dari fisura sylvii yang mencakup area
Broca pada sisi anterior, Wernicke pada
sisi posterior, dan fasikulus arkuatus diantaranya. Ketika pasien tidak menga-
lami gangguan pada fungsi repetisinya,
tetapi mengalami gangguan pada fungsi
bicara spontan, dap at dikatakan bahwa
kerusakan tidak mengenai bagian-bagian bahasa ini , dan diperkirakan
berada di luar area perisylvian.
Repetisi harus diuji dengan serangkaian
kata dan kalimat dengan kompleksitas
yang semakin meningkat. Paling baik
dimulai dengan kata-kata tunggal pendek.
kemudian dilanjutkan ke kata-kata dengan banyak suku kata, lalu akhirnya ke
kalimat-kalimat.
c. Pemahaman/komprehensi {comprehension)
Secara Minis dapat dilihat pasien dengan gangguan pada tingkat pemahaman
kata dan kalimat, dengan yang tidak terdapat gangguan. Pasien dengan gangguan tingkat pemahaman, berkaitan
dengan kerusakan pada lobus temporal,
tepatnya pada area Wernicke. Gangguan
pemahaman bahasa sering mempengaruhi pasien dalam bertatabahasa atau
sintaks. Hal ini teridentifikasi pertama
kali pada saat pasien melakukan sebuah
instruksi yang rumit dan saat berusaha
mengikuti percakapan dalam kelompok.
Umumnya kemampuan pemahaman
pada pasien afasia terutama didasari
pemahaman mereka terhadap percakapan yang tidak berstruktur. Percakapan
bebas biasa disertai dengan isyarat
gerak tubuh, mimik wajah, dan prosodik [nada suara], Penderita afasia yang
lancar seringkali merespons sesuai awal
pembicaraan pembuka ('Apa kabar hari
ini?'], walaupun memiliki masalah pemahaman yang berat
Pasien dengan gangguan pemahaman
umumnya masih dapat melakukan perintah sederhana, seperti 'tutup mata anda','
buka mulut anda', dan 'berdiri'. Belum
diketahui dengan jelas penjelasan terhadap respons yang masih bagus ini .
Pemeriksaan lain yang lebih kompleks
yaitu menguji tiga bagian yang sulit,
contohnya, "(1] Sentuh telinga kiri anda
dengan (2) jari telunjuk kanan anda, lalu
(3] sentuh tangan saya". Pasien dengan
gangguan pemahaman ringan masih
dapat melakukan instruksi yang sederhana, namun tidak dapat mengikuti instruksi yang lebih kompleks. Sementara
pasien dengan gangguan pemahaman
yang lebih berat tidak dapat mengikuti
instruksi yang sederhana.
® Pemahaman terhadap kata tunggal
Dengan memakai benda-benda
yang ditemui sehari-hari yang biasa
dimasukkan ke dalam saku (contoh,
koin, pena, jam, kunci, dan lain-lain]
dan benda-benda di bangsal atau klinik
(ranjang, kursi, meja, bunga, dan lainlain], pasien diminta untuk menunjukkannya satu per satu secara bergiliran.
Jangan lupa untuk memakai spektrum dari benda-benda ini yang
berbeda familiaritasnya dan bagianbagian dari benda, sebab kemampuan memahami selalu terpengaruh
oleh variabel ini. Penderita afasik berat
mungkin mampu menunjukkan benda
yang umum namun tidak mampu pada
benda yang tidak umum.
© Pemahaman terhadap kalimat [sintaktik]
Tes ini dapat dengan mudah dilakukan
dengan memakai sekelompok tiga buah benda yang umum ada di
saku. sesudah dipastikan bahwa pasien
dapat memahami nama benda-benda
ini , tes pemahaman dimulai
memakai kisaran sebuah struktur sintaktik, seperti:
- "Letakkan pena di atas jam!”
- "Sentuh jam dengan pena!”
- "Sentuh kunci dan kemudian pena!"
- "Sentuhlah pena sebelum menyentuh kunci!"
- "Sentuh pena, namun jangan sentuh
kunci!"
- "Letakkan pena diantara jam dan
kunci!"
- "Ambil jam dan berikan saya
pena!"
- "Sentuhlah tidak hanya pena, na^
mun juga kunci!" dan sebagainya.
® Pemahaman konseptual
Ini dapat diuji dengan menggunakan sekelompok benda di saku yang
sama dengan uji sebelumnya, dengan
menanyakan pertanyaan-pertanyaan
berikut:
- "Tunjuk ke arah benda yang
menunjukkan berjalannya waktu!"
- "Sentuh benda yang dipakai
untukmenulis!"
Atau pertanyaan-pertanyaan lain
yang serupa berdasar konsep,
yaitu:
- "Apa yang Anda sebut debu abuabu yang tersisa sesudah menghisap rokok?"
- "Apa nama burung yang terbang
pada malam hari dan memekik?"
- “Apa nama lapisan keras yang melin-dungi hewan seperti siput dan
kura-kura?"
Tes formal yang dapat dilakukan diantaranya uji token, yaitu pasien harus mengikuti perintah yang kerumitan sintaktiknya
semakin meningkat Selain itu juga ada uji
Peabody picture vocabulary, suatu uji pencocokan gambar-kata pada pemahaman
kata tunggal.
d. Penamaan
Kemampuan untuk menyebutkan nama
obyek dengan benar atau menggambarkan obyek yang disebutkan akan
terganggu pada hampir seluruh pasien
dengan afasia dalam tingkatan yang berbeda-beda. Benda-benda yang memiliki
kemiripan yang beragam harus dipakai
sebab afasik yaitu hal umum terjadi dan
menunjukkan efek frekuensi yang jelas.
Pasien cenderung menunjukkan kesalahan
menamai/menyebut benda-benda berfrekuensi rendah (kurang familiar]. Hal
ini dapat dinilai memakai bendabenda yang umum ditemui sehari-hari.
Harus diingat bahwa identifikasi akurat
benda-benda yang nampak secara visual
juga tergantung pada proses persepsial
yang utuh. ada sejumlah tes formal
yang mudah dilakukan dalam mengukur
kemampuan penamaan, termasuk Graded
Naming Test dan Boston Naming Test
e. Membaca
Berkurangnya minat baca di waktu senggang dapat mengindikasikan adanya
disleksia ringan, tetapi gangguan memori
tetap harus dipikirkan. Gangguan membaca dapat terjadi paralel dengan gang- guan berbicara, pada cedera hemisfer
dominan. Beberapa masalah dapat disertai aleksia murni. Manifestasi gangguan
membaca sangat jelas dan hampir selalu
disertai sindrom lokal berupa hemianopia dekstra, gangguan persepsi warna,
dan gangguan memori verbal.
Kebanyakan contoh menyebutkan kemampuan membaca sejalan dengan kemampuan bahasa dalam berucap, namun
terkadang aleksia dapat terjadi bersama
dengan agrafia, tanpa defisit afasik lainnya.
Lebih jarang, dapat terjadi aleksia tanpa
agrafia atau aleksia murni. Membaca
dengan keras maupun membaca dengan
memahami isi bacaan sama-sama penting,
namun harus hati-hati dalam membedakannya. Gagal memahami biasanya diiringi
dengan pembacaan keras (reading aloud)
yang kurang benar. Walaupun demikian,
banyak pasien yang tidak dapat membaca
lantang dengan benar, tetapi mengerti isi
bacaan dengan baik.
Pasien yang berhasil membaca kata
dan lcalimat, juga harus dinilai kapasitas membaca dan memahami paragraf
pendeknya. Membaca seksama yang
simpel dapat diuji dengan menuliskan
sebuah perintah, seperti "tutup mata
Anda” atau "letakkan tangan di atas kepala Anda jika Anda berusia di atas enam
puluh tahun.” Memahami bacaan dalam
bentuk yang lebih rumit dapat diuji dengan meminta pasien untuk membaca
sebuah paragraf di koran, kemudian ditanyakan tentang isi paragraf ini .
sesudah ditemukan permasalahan dalam
membaca, selanjutnya ditentukan aspek
yang telah terganggu pada proses membaca normal. Berbagai jenis disleksia
telah dikenal, terdiri dari aleksia murni
[membaca huruf demi huruf), neglect
dyslexia, dan disleksia sentral.
® Identifikasi huruf
Kesalahan-kesalahan dalam membaca huruf tunggal dan strategi dalam
kesusahan menyebut huruf dengan
benar (membaca huruf demi huruf),
terkadang terbantu dengan melacak
sketsa huruf dengan jari, menunjukkan aleksia murni.
® Jenis kesalahan membaca
Kesalahan-kesalahan yang terbatas
pada bagian awal kata terjadi pada
neglect dyslexia (tidak membaca atau
salah membaca 1-2 huruf pertama
sebuah kata, misal: 'dan' dibaca 'ban',
'malam' menjadi 'alam', 'mulut' menjadi
'lutut') akibat sekunder dari kerusakan
hemisfer kanan. Membaca sebuah kata
sebagai sesuatu yang lain terkait konseptual, namun bukan merupakan kata
yang bunyinya tidak berkaitan (misal,
aksi dan kerja, kakak dan paman, saat
dan kesem-patan). Untuk disleksia
dalam, kesalah-an penglihatan sangat sering terjadi (misal, 'stock' pada
‘shock1, ‘crowd'pada ‘crown', dll).
® Membaca kata umum/lazim/reguler
versus eksepsional/tidak lazim/tidak
umum
Kesulitan membaca kata-kata tertentu yang tidak mematuhi aturan bunyi bentuk huruf dalam bahasa Inggris
disebut 'kata talc lazim'. Adanya kecenderungan kesalahan kebiasaan kata
(misal, pint bersajak mint) merupakan
tanda past! disleksia permukaan.
Membaca nonkata
Pasien dengan disleksia, mengalami
gangguan pada rute membaca yang
berakar dari bunyi, tidak mampu
membaca non-kata yang masih terbaca (misal: nek, glem, minth, deak, dan
lain-lain). ada defisit lain pada
disleksia dalam, tetapi pada disleksia
fonologis, satu-satunya permasalahan
utama yaitu dengan membaca katakata yang tidak mempunyai arti ini.
f. Menulis
Jika ada gangguan dalam menulis,
perlu digali apakah kesulitan pada kern ampu an mengeja kata-kata atau pada
kemampuan pengendalian motorik ketika menulis. Gangguan pada kemampuan membaca dan menulis tidak selalu
menunjukkan adanya gangguan pada
hemisfer dominan. Gangguan lain seperti disleksia abai, perlu dipikirkan jika
tidak ditemukan gangguan pada aspek
bahasa lain.
Kemampuan menulis dapat dianalisis
melalui manual menulis, mengingat kata-kata dan huruf individu, serta komposisi kalimat. ada tiga jenis disgrafia
utama yang telah dikenal, yaitu disgrafia
disfraksis, disgrafia spasial atau neglect/
acuh (acuh terhadap kata dan baris], dan
disgrafia sentral (linguistik): permukaan
(leksikal), fonologis, dan dalam. Jenis
gangguan menulis biasanya dapat diketahui dengan menulis spontan, mengikuti dikte, dan pengejaan lisan.
Menulis spontan. Untuk mendeteksi
disgrafia, pasien diminta menyusun beberapa kalimat mengenai sesuatu yang
mereka suka atau sarankan tentang perjalanan yang ditempuh atau deskripsi
tentang rumah mereka. Gangguan dalam
merangkai huruf, mengeja, dan komposisi gramatikalnya harusnya sudah
tampak. Jika kesalahan terjadi, maka
diperlukan analisis terhadap adanya
kemungkinan defisit yang lebih spesifik. Di sisi lain banyak pasien disgrafia
berat yang masih memiliki kemampuan
untuk menuliskan nama mereka sendiri,
sebab dapat dianggap hampir sebagai
sebuah aktivitas refleks otomatis.
Menulis mengikuti dikte. Untuk nienganalisis jenis defisit linguistik dalam
menulis, sebaiknya dibuatkan daftar katakata dengan penyesuaian bunyi, pengejaan
yang biasa, dan kata-kata dengan pengejaan yang tidak biasa.
Rengejaan_lisaiL Jika gangguan dalam
menulis tampaknya bersifat motorik,
(huruf tidak terbaca jelas), hendaknya
memeriksa pengejaan secara lisan, Hal
ini dapat terjadi pada disfraksia dan
agrafia abai (neglect agraphia}.^
g. Berbicara spontan
Analisis bicara spontan merupakan aspek yang paling penting dalam pemeriksaan bahasa untuk pengelompokkan
afasia. Penilaian dilakukan sesudah mendengar selamabeberapa menit percakapan
spontan dan sesudah meminta pasien untuk
menggambarkan sebuah pemandangan
yang rumit. Harus diingat bahwa analisis ini
jauh lebih siap diterapkan pada afasia yang
dialdbatkan stroke dan lesi-lesi fokal lainnya dibandingkan dengan afasia yang
terlihat pada pasien dengan penyakit
otak degeneratif.
FUNGSI EKSEKUTIF
Fungsi eksekutif berkaitan dengan kemampuan kognitif yang lebih kompleks. Secara
sederhana, Funahashi menyimpulkan bahwa fungsi eksekutif merupakan gabungan
berbagai proses perilaku yang memiliki tujuanyang jelas.
Fungsi eksekutif yaitu sistem yang diregulasi dan dikontroi oleh dirinya sendiri dalam
mengatur perilaku seseorang dan terdiri
atas kemampuan perencanaan, pengambilan keputusan, menentukan tujuan utama,
penahanan diri, pengawasan diri, evaluasi diri, penyelesaian masalah serta inisiasi,
dan kesadaran diri. Manifestasi gangguan
eksekutif terlihat berupa kesulitan dalam
menjalankan hal-hal yang berkaitan dengan
komponen-komponen ini .
A, Neuroanatomi
Fungsi eksekutif diketahui memiliki
hubungan dengan struktur korteks prefrontal. Hal ini tampak pada pasien dengan gangguan pada struktur korteks
prefrontal akan mengalami gangguan
dalam hal pengambilan keputusan, membedakan benar dan salah, pengorganisasian, dan perencanaan. Dampaknya lebih
lanjut ada pada gangguan perilaku
yang tidak dapat dikendalikan dan penurunan tingkat intelektualitas. Selain
korteks prefrontal, ada struktur lain
yang membentang dari korteks frontal
hingga struktur striatal melewati talamus
dan globus palidus yang disebut sebagai
sirkuit kortikostriatal. Bagian otak yang
berperan dalam proses inisiasi yaitu bagian mediosagital dari frontal, terutama
pada girus singulata dan area motorik, sedangkan pusat pengendali insiasi berada
pada lobus frontal bagian medial.
B. Gangguan Fungsi Eksekutif dan
Pemeriksaannya
1. Inisiasi
Kemampuan inisiasi yang dimaksud
mencakup inisiatif untuk memulai percakapan, kegiatan, atau pun melakukan
tugas yang diembannya.
a. Observasi klinis dan analisis aktivitas pasien
Secara umum pemeriksaan ini dilakukan dengan melihat performa
pasien dalam melakukan kegiatankegiatan yang berbeda. Beberapa
hal penting yang perlu diingat
dalam observasi pasien dengan
gangguan fungsi inisiasi, antara lain:
® Apakah ada gangguan kepribadian: pasien cenderung tampak datar atau sering melamun, atau pasien
cenderung meledak-ledak?
• Apakah pasien cenderung pasif baik
terhadap aktivitas-aktivitas di sekitarnya maupun dalam merespons
pertanyaan atau masukan dari luar?
® Apakah pasien masih dapat melakukan kegiatan sehari-hari?
® Aktivitas seperti apa yang dapat
pasien lakukan sendiri tanpa bantuan
supervisi baik tertulis maupun lisan?
• Apakah pasien menyadari bahwa ia
memiliki gangguan inisiasi? Bagaimana respons pasien ketika informasi
ini sampai padanya?
® Apakah ada gangguan atensi
atau memori pada pasien saat ini?
b. Pemeriksaan khusus gangguan
inisiasi
® Kelancaran huruf (F, A, S)
Pasien akan diminta untuk untuk
menghasilkan sebanyak mungkin
kata, kecuali nama orang atau tempat
dalam satu menit. Huruf awal yang
paling sering dipakai yaitu F, A,
dan S. Pasien muda yang normal harus menghasilkan sekurangnya 15
kata untuk setiap hurufnya. Jumlah
total pada F, A, S yang kurang dari 30
kata dianggap tidak normal, namun
sejumlah keringanan bisa dipertimbangkan mengenai usia dan latar belakang intelektualitas.
• Kelancaran menyebutkan nama hewan, buah-buahan, dan sayur-sayuran
Pasien akan diminta untuk menyebutkan sebanyak mungkin contoh
dari kategori semantik seperti hewan, buah-buahan, sayur-sayuran,
dan lain-lain. Untuk kategori hewan,
dewasa muda normalnya menghasilkan lebih dari 20 item dalam satu menit, 15 yaitu batas bawah rata-rata,
dan 10 sudah pasti ada gangguan.
Kemampuan menurun sesuai dengan
pertambahan usia dan untuk lansia
yang sangat tua, angka 10 mungkin
masih bisa dimaklumi.
2. Set-shifting
Merupakan kemampuan untuk beralih
dari satu modalitas kognitif ke yang lain
dan mencegah respons yang tidak sesuai,
Pemeriksaan tidak mudah diuji bedside.
Berikut ini yaitu beberapa instrumen
untuk pemeriksaan set-shifting:
a. Wisconsin card sorting test
Pemeriksaan ini juga melibatkan penye-lesaian-masalah [problem-solving]
dan uji hipotesis. Pasien diminta memilih kartu yang berisi bentuk geometris yang berbeda jumlah, bentuk, dan
warnanya. sesudah menarik kesimpulan
dimensi pilihan yang benar, pasien kemudian diminta untuk beralih ke dimensi
lain (contoh, dari warna ke bentuk) pada
beberapa kesempatan. Pasien dengan lesi
frontal tidak mampu untuk beralih dari
satu kriteria penyeleksian ke kriteria lainnya, dan membuat kesalahan-kesalahan
perseveratif (sering dan banyak),
b. Membuat j ejak/jalur/tra/7 [trail making test)
Pengukuran kuantitatif terhadap peralihan perhatian [attention-shifting] dan
respons-cegah [response-inhibition]. Terdapat dua bagian, A dan B, Bagian A mengharuskan pasien menggambar garis yang
menghubungkan angka secara berurutan
(1-2-3, dan seterusnya) dari sejumlah
angka yang tersebar secara acak. Hampir
sama dengan bagian A, bagian B merupakan subtes yang mengharuskan pasien
menghubungkan angka dan huruf secara
berurutan (1-A -2-B, dan seterusnya)
dari sejumlah angka dan huruf yang terletak secara acak. Kemampuan ini dipengaruhi oleh kecerdasan dan usia.
3. Kalkulasi
Kesulitan dalam menulis, membaca, dan
memahami angka, disebut akalkulia.
Gangguan ini harus dibedakan dari anaritmetria yaitu, pasien tidak mampu
melakukan perhitungan aritmatika, namun penomoran dasar masih baik. Anaritmetria paling sering terjadi terkait
afasia, keduanya bisa saja berkaitan.
Penilaian komponen-komponen afasik
pada akalkulia dimulai dengan menanyakan
pasien pertanyaan-pertanyaan berikut:
® Menuliskan serangkaian angka sederhana (7, 2, 9, dan lain-lain) dan kompleks (27, 93, 107, 1226, dan lainlain] yang didiktekan
o Menyebutkan angka dengan keras
® Mengingat angka
® Menunjukkan angka berdasar
perintah
® Meminta pasien untuk melakukan
penghitungan aritmatika dasar secara
oral berupa penambahan, pengurangan, pembagian, perkalian, Hasil perhitungan kemudian diuji
® Memeriksa penalaran aritmatik, seperti ''Jika dibutuhkan dua orang selama tiga had untuk menyelesaikan
sebuah pekerjaan, berapa lama waktu
yang dibutuhkan untuk empat orang
untuk menyelesaikan pekerjaan yang
sama?"
4. Perencanaan dan Organisasi {Sequencing)
Kemampuan mempelajari dan mencapai tujuan dalam perencanaan dan
organisasi. Selain perencanaan, setiap
individu harus dapat membuat konsep
perubahan dari situasi saat ini. Obyek
yang berhubungan dengan lingkungan,
penyusunan alternatif, pertimbangan
alternatif dan membuat pilihan, dan
menyusun struktur untuk memberikan
arahan dalam melakukan perencanaan,
Kelainan dalam perencanaan dan organisasi pada umumnya berhubungan
dengan disfungsi lobus frontal dan dapat
dibedakan dari memori, atensi dan defisit fleksibilitas mental.
Pemeriksaan dilakukan dengan melakukan observasi klinis dan analisis aktivitas.
Secara umum evaluasi dapat dilakukan
dengan mengamati jumlah pengaturan
dan aktivitas pasien dalam sehari penuh,
dapatkah pasien merencanakan aktivitas yang memerlukan operasi sebanyak
dua langkah? Cara lain dengan meminta
pasien untuk mengambil kertas di atas
meja dengan tangan kanannya, lalu kertas ini di lipat menjadi dua, kemudian di taruh di bawah kursi.
Selanjutnya pemeriksaan dilakukan
dengan memberikan perintah kompleks
tanpa instruksi. Jika pasien memulai perintah tanpa suatu perencanaan, minta
pasien untuk menciptakan suatu tugas
dan mulai mengerjakan tugas ini
Rencana pasien dapat dievaluasi untuk
organisasi dan penyelesaiannya.
Fungsi perencanaan yang lebih kompleks dapat diperilcsa dengan melakukan
pengukuran berbasis fungsional. Menentukan durasi dan frekuensi suatu masalah.
Memilih tugas fungsional yang relevan
sebagai dasar evaluasi dan pengkajian.
Apakah pasien memunculkan kerangka
pemikiran untuk suatu rencana atau arah
demonstrasi untuk penyelesaian tugas?
Observasi dan pertanyaan-pertanyaan
di atas dapat diaplikasikan dalam tugas
persepsi motorik fungsional dan kognitif. Pertanyaan-pertanyaan yang familiar
dapat dikorelasikan ke dalam checklist
atau dipakai dalam konjungsi dengan
skala rating frekuensi (seperti selalu,
kadang-kadang, jarang, dan tidak per-
nah). Pemeriksaan ini hingga saat ini belum ada standardisasinya.
5. Fleksibilitas Mental dan Abstraksi
Pasien dengan gangguan fleksibilitas
mental akan mengalami kesulitan dalam
mengkonsep dan merespons perubahan
situasi. Ketika ada perubahan keadaan
atau adanya suatu kesalahan, pasien kesulitan mengubah strategi atau detail
dari suatu pelaksanaan tugas. Pasien juga
kesulitan dalam membebaskan stimulus
tertentu dari perhatiannya. Berikut ini
ada beberapa pemeriksaan yang dapat
dikerfakan untuk menilai fleksibilitas
mental dan abstraksi:
a. Odd-even cross out
Tes ini mencari tahu apakah pasien
dapat berpindah dari satu tugas ke
tugas lainnya. Pasien diberikan lembar kerja pencarian visual dengan
nomor serinya, Pasien kemudian diminta mencoret semua nomor genap
dan untuk mencoret sebagian hanya
nomor ganjil. Instruksi ini kemudian
dibalikkan kembali ke nomor genap
dan kembali ke nomor ganjil, dan seterusnya. Penilaian belum memiliki
standar khusus.
b. Konsep formasi dan abstraksi
Konsep formasi meliputi kemampuan mendefinisikan, membandingkan, dan membedakan obyek, meliputi hubungan logis dan kategorisasi.
Berikut ini merupakan contoh pertanyaan untuk mengevaluasi beberapa komponen konsep formasi dan
abstraksi.
° Definisi abstraksi. Pasien diminta
mendefinisikan kata-kata spesifik
seperti apel, bangku.
• Komparasi-perbedaan. Pasien diminta menghubungkan sepasang
ide, meliputi:
- Dasar umum seperti, kulkas dan
kompor gas, mesin jahit dan sofa
- Perbedaan, seperti perbedaan antara anjing dan rubah.
® Hubungan logis. Pasien diminta
menghubungkan kata yang diberikan, seperti anjing yaitu
seekor_____, pisau yaitu seta uah___ .
® Lawan kata. Pasien diminta menyebutkan lawan kata seperti
tinggi-rendah, besar-kecil.
® Kategori. Pasien diminta menyebutkan kata yang tidak termasuk
dalam kategori suatu seri, seperti
ayah, ibu, saudara laki-laki, saudara perempuan, teman.
Untuk memperbaiki validitas pemeriksaan, singkirkan penurunan atensi,
memori, dan afasia (khususnya komparasi) sebagai kausa performa yang
buruk.
c. Abstraksi
® Peribahasa/pepatah
Sejumlah kesan konseptualisasi abstrak dapat diperoleh dari interpretasi peribahasa dan uji serupa.
Interpretasi konkret, dengan ketidakmampuan untuk membuat analogi,
menandakan pasien memiliki keru-
sakan di lobus frontal. Interpretasi
pepatah sangat bergantung pada
tingkat pendidikan dan latar belakang budaya.
© Similarity test
Tes persamaan termasuk dengan mena-nyakan pada pasien dengan cara
apa dua item berkaitan secara konseptual terlihat serupa. Dimulai dengan yang sederhana antara pasangan
seperti 'pisang dan apel' dan ‘kursi
dan meja' dan berlanjut ke pasangan
yang lebih abstrak seperti 'puisi dan
patung' dan 'pujian dan hukuman'.
Respons normal yaitu dengan membentuk sebuah kategori abstrak, contoh buah, perabot, karya seni. Pasien
dengan gangguan frontal dan demensia bisa membuat interpretasi yang
sangat konkret (sebagai contoh, kursi
dan meja, "anda duduk di salah satunya, dan makan di yang satunya lagi",
atau "keduanya mempunyai kaki”)
dan seringkali monoton meskipun
di-minta untuk memildrkan cara lain
atau item lain yang serupa,
Selain itu ada Cognitive Estimates Test merupakan uji formal
yang dapat dilakukan untuk pemeriksaan abstraksi. Pasien ditanyakan
pertanyaan mengenai yang memerlukan penilaian wajar untuk menjawabnya. Contohnya, "Seberapa cepat kaki
kuda berderap?" "Seberapa berat
menara kantor pos?”
CONTOH masalah
Pasien, 65 tahun, pensiunan, datang ke IGD
dengan bicara tidak nyambung, tetapi tidak
tampak ada gangguan memori persisten
atau gangguan perilaku. Pasien mengatakan
masih aktif dalam pelayanan di angkatan
Iaut, dan saat ini memiliki tempat tinggal di
pinggir pantai.
Enam bulan sebelumnya, pasien ditemukan tidak sadarkan diri di atas tempat tidur.
Pasien sadar kembali, namun tampak bingung, bicara meracau berat dan persisten.
Pasien percaya bahwa sekarang ini sedang
masa perang dan masih menjadi anggota
aktif. Tidak ada gangguan memori terhadap
kejadian 50 tahun yang lalu. Tidak mampu
mengingat hal baru. Pasien kurang motivasi
dan dorongan, sebelumnya pasien sangat aktif, sekarang hanya menonton TV setiap hari.
Riwayat penyakit dahulu: hipertensi dan
merokok ada. Tidak ada penyakit serebrovaskuler sebelumnya. Konsumsi alkohol ada.
Pem eriksaan fisik: ada gangguan gerak bola mata ke atas (vertical gaze palsy).
Penilaian kognitif:
1. Penilaian umum: apatis dan tidak fokus.
Tidak ada insight, perhatian penuh
2. Orientasi: disorientasi berat: mengatakan
saat ini yaitu tahun 1945, gagal mengingat waktu lain
3. Atensi: normal; menghitung bulan ke belakang: cepat dan akurat; Rentang digit
ke depan: 7; Rentang digit ke belakang: 5
4. Fungsi eksekutif frontal: ada gangguan yang ringan
Kelancaran bicara: berkurang, dengan
beberapa perseverasi: F, A, S: 10 kata per
huruf; hewan 12; abstraksi: interpretasi
normal pada proverb dan persamaan;
respons inhibisi: normal 5. Memori: ada defelc yang buruk; Anterograd: registrasi alamat dan nama:
normal: 6/7 pada percobaan pertama;
Incidental recall pada percakapan: sangat
buruk; Retro grad: recall mengalami defisit berat pada riwayat pribadi dan kejadian pada tahun 1940
5. Bahasa: bicara spontan normal, fasih,
dengan fonologi dan sintaks yang normal;
tidak ada parafasia; Pemahaman: normal;
Penamaan: normal: 10/10; Pengulangan:
normal; Membaca: normal; Menulis: normal
7. Kalkulasi: normal
8. Praksia: tidak ada apraksia orobukal dan
ekstremitas
9. Fungsi hemisfer kanan: normal; Neglect
phenomena: tidak ada; Visuokonstruksi:
normal dalam meniru figur 3 dimensi
dan ROFCT; Visuo-persepsi: tidak ada
defisit
Skoruji Mental
MMSE: 21/30: berkurang pada poin orientasi dan recall 3 benda
Investigasi
® CT scam normal
® MRI: infark talamus bilateral dan simetris dengan keikutsertaan grup nuclear.
diagnosa : amnestic stroke: bilateral
thalamic infarction (memori)
diagnosa banding: onset akut dari sindrom amnestik:
® Stroke talamus bilateral atau temporal
bagian medial
• Sindrom Wernicke-Korsakoff (defisiensi
vitamin b l), biasanya berkaitan dengan
alkoholisme
• Kerusakan hipokampus anoksik diikuti
dengan henti jantung, dll
® Ensefalitis virus herpes simpleks
® Cedera kepala tertutup
Kesimpulan
Adanya manifestasi Minis koma, yang
berkembang menjadi amnestic state dengan
defisit memori anterograd dan retrograd.
Merupakan Minis khas untuk infark talamus
bilateral. CT scan pada pascastroke biasanya
normal, tetapi didapatkan lesi yang klasik
pada MRI. Semua struktur memori vital diperdarahi oleh A. Serebri posterior. Normalnya, kedua area talamus medial diperdarahi
oleh arteri yang menembus ke daerah tersebut. Perlu penilaian neuropsikologis pada
masalah ini.
Catatan:
® Memori jangka pendek baik
® ada disfungsi frontal sebab ada
gangguan aferenisasi frontal sekunder
• Kelainan pergerakan mata khas untuk
sindrom ini
MILD COGNITIVE IMPAIRMENT
l
Keberhasilan pencapaian pembangunan kesehatan akan meningkatkan usia harapan
hidup. Di negara kita angka harapan hidup
meningkat dari 68,6 tahun menjadi 70,8 tahun periode 2004-2015 dan diperkirakan
akan semakin meningkat pada tahun 2030-
2035 menjadi 72,2 tahun. Peningkatan usia
harapan hidup tentu akan menimbulkan
masalah kesehatan, termasuk penyakit degeneratif yang berdampak terhadap penurunan fungsi kognitif. Adanya penurunan
fungsi kognitif akan mengganggu aktivitas
sehari-hari bila sudah berlanjut menjadi demensia. Perawatan demensia sendiri merupakan beban berat yang berdampak sosial
dan ekonomi bagi keluarga.
Gangguan kognitif seringkali dildasifikasikan sebagai gangguan kognitif demensia dan
gangguan kognitif nondemensia [mild cognitive impairment/MCI). MCI didefinisikan sebagai penurunan fungsi dari satu atau lebih
ranah (domain) kognitif sebanyak 1-1,5 standar deviasi di bawah usianya tanpa adanya
gangguan pada aktivitas sehari-hari. Kondisi
ini merupakan transisi antara kondisi normal dengan patologis (stadium simptomatik
predemensia). Demensia diartikan sebagai
penurunan fungsi dari satu atau lebih ranah
kognitif dan disertai adanya gangguan fungsi
sosial dan kehidupan sehari-hari.
EPIDEMIOLOGI
MCI merupakan kondisi yang sering terjadi
pada usia 65 tahun ke atas dengan prevalensi sekitar 10-20% pada orang tanpa demensia. Prevalensinya meningkat seiring
pertambahan usia. Beberapa penelitian menyebutkan bahwa MCI dapat menjadi salah
satu bagian dari stadium prodromal demensia Alzheimer (DA). berdasar hasil penelitian yang ad a, MCI berisiko berkembang
menjadi demensia sebanyak 10-15% pertahun dan 80% sesudah 6 tahun.
Insidens terjadinya MCI berkisar antara
1-6% per tahunnya, sementara prevalensinya diperkirakan antara 3-22% pertahun.
Secara umum, prevalensi MCI menurut
Cardiovascular Health Study yaitu 22%.
Sebanyak 6% diantaranya merupakan MCI
tipe amnestik dan 16% lainnya mengalami
MCI ranah jamak, Prevalensi lebih kecil ditemukan oleh grup peneliti dari Australia. Hal
ini diduga berkaitan dengan adanya bias
taksiran usia yang lebih rendah dari prevalensi MCI yang sebenarnya.
ETIOLOGI, PATOFISIOLGGI, DAN FAKTOR
RISIKO
Kelainan patologis pada MCI menyerupai perubahan yang didapat pada demensia dan lansia dengan kognitif yang masih baik. Penelitian
oleh Sidhi (2006) menemukan 89,6% masalah
MCI pada lansia >60 tahun di dua puskesmas
Jakarta yang memiliki faktor risiko terbanyak
berupa diabetes melitus dan tingkat pendidikan rendah. Oleh sebab itu, pengendalian
fal<tor risiko merupakan upaya yang harus
dilakukan dalam mencegah tidak terjadinya
penurunan fungsi kognitif abnormal.
Secara garis besar faktor risiko pada MCI
terbagi menjadi faktor risiko demografis
dan biologis, yaitu:
1. Faktor Risiko Demografis
a. Usia
Merupakan salah satu faktor risiko
utama penurunan fungsi kognitif.
Secara umum, semakin tua usia seseorang, maka semakin tinggi kemungkinan untuk mengalami gangguan kognitif. Berbagai studi tentang
proses penuaan otak menyebutkan
proses degenerasi otak dimulai
pada usia 50 tahun dan meningkat
seiring pertambahan usia. Shankar
mendapat bahwa volume dan
berat otak berkurang sekitar 5% di
usia 40 tahun dan pengurangan semakin besar sesudah usia 70 tahun.
Penurunan ini sejalan dengan penurunan fungsi kognitif. Penurunan
terjadi terutama pada korteks prefrontal, sehingga dapat mengganggu
fungsi kognitif, khususnya fungsi
eksekutif.
b. Jenis kelamin
Secara umum, tidak ada perbedaan
bermakna antara gangguan kognitif
pada perempuan dan pria. Walaupun
demikian, Artero melaporkan terdapat faktor risiko bermakna pada
pria untuk mengalami perburukan
MCI menjadi demensia. Faktor tersebut mencakup mutasi gen Apolipoprotein alel-E4 (ApoE4), stroke,
obesitas, diabetes melitus, tingkat
pendidikan yang rendah, penurunan
kemampuan instrumental activities
o f daily living (IADL), dan usia. Pada
wanita, penurunan ini lebih berkaitan dengan penurunan kemampuan
IADL, ApoE4, tingkat pendidikan
yang rendah, adanya depresi subklinis, pemberian obat antikolinergik,
dan pertambahan usia. Selain itu,
keterbatasan lingkungan pergaulan
dan insomnia juga dapat memperburuk fungsi kognitif pada wanita.
c. Pendidikan
Pendidikan rendah dinilai berhubungan dengan peningkatan prevalensi demensia, sedangkan pendidikan tinggi
akan memperlambat timbulnya onset
demensia. Graves dkk mendapat
orang yang berpendidikan tinggi mempunyai kapasitas otak yang jauh lebih
besar dengan jumlah sinaps yang lebih
banyak jika dibandingkan dengan yang
berpendidikan rendah.
2. Faktor Risiko Biologis
Faktor biologis dan riwayat penyakit keluarga juga berperan dalam meningkatkan risiko demensia. Beberapa di antaranya yaitu :
a. Penyakit dan faktor risiko kardiovaskular
Baik penyakit maupun faktor risiko
kardiovaskular telah banyak disebutkan berperan penting pada patogenesis terjadinya penurunan fungsi
kognitif, terutama demensia. Waldenstein meneliti mengenai peripheral arterial disease (PAD} dan mendapat bahwa fungsi kognitif pada
pasien ini lebih buruk dibandingkan
pasien normotensi dan hipotensi.
Meski demikian, fungsi kognitif pada
penyakit stroke masih lebih buruk
bila dibandingkan dengan PAD.
Telah banyak penelitian yang menyimpulkan bahwa gangguan regulasi tekanan
darah, khususnya hipertensi, memiliki
hubungan positif terhadap penurunan
fungsi kognitif. Mekanisme utamanya
dipengaruhi oleh tekanan darah sistolik Keadaan ini memicu adanya
gangguan mikrosirkulasi dan disfungsi
endotel. Studi dari Fakhrunnisa dkk
mendapat prevalensi gangguan
kognitif pada pasien hipertensi derajat II lebih tinggi (62,5%) daripada
derajat I (35,1%). Namun, hipotensi
bukanlah merupakan faktor protektif. Tekanan darah rendah kronis juga
akan mengiringi penurunan performa
kognitif, terutama atensi dan memori.
Hubungan antara hiperkolesterolemia dengan gangguan fungsi kognitif
masih kontroversi. Dikatakan hiperkolesterolemia memiliki hubungan
yang kuat sebagai faktor risiko terjadinya DA dan demensia vaskular
(DVa). Sementara itu, pada studi lain
justru menyebutkan hiperkolesterolemia merupakan faktor protektif terhadap kejadian DA. Meski demikian,
dari beberapa studi eksperimental
menyebutkan bahwa metabolisme
lipid berasosiasi dengan patogenesis
terjadinya DA dan DVa.
b. Cedera kepala
ada korelasi antara kerusakan
otak kronik akibat trauma dengan
terjadinya DA. Sebanyak 60% masalah
DA memiliki riwayat pernah mengalami cedera kepala di masa lampau.
Studi oleh DeKosky mendapat
bahwa 20-30% kelompok dengan Alzheimer dan Parkinson memiliki riwayat cedera kepala, hanya ada
8-10% riwayat cedera kepala saja
pada kelompok kontrol.
Selain DA, dikenal pula demensia pUgilistik atau sindrom punch-drunk yang
sering terjadi pada mantan petinju,
pemain bola, dan pegulat. Kedua jenis
demensia ini berkaitan dengan adanya
disposisi sel (3-amiloid dan plak senilis. Perbedaan keduanya, yaitu pada
demensia pugilistik peningkatan disposisi sel p-amiloid tidaklah sebanyak
pada DA, selain itu, distribusinya lebih
difus dibandingkan pada Alzheimer.
c. Penyakit endokrin dan metabolik
Fellgiebel dkk mendapat bahwa
gangguan metabolik berperan dalam
percepatan terjadinya aterosklerosis
dan penurunan perfusi darah ke otak
yang berimbas terhadap terjadinya
neurodegenerasi. Gangguan metabolik yang dapat memicu penurunan fungsi kognitif terutama dikaitkan dengan gangguan kadar glukosa
darah. berupa hiperglikemia maupun
hipoglikemia.
Sejumlah bukti menunjukkan bahwa
peningkatan kadar glukosa darah kronik dan buruknya kendali glikemik
berkaitan dengan rendahnya performs
tes memori dan kognitif. Kurniawan
dkk menyebutkan bahwa kejadian
MCI berhubungan erat de-ngan kendali glikemik. Semakin buruk kendali
glikemik, semakin besar kemungkinan terjadinya gangguan kognitif. Hal
ini diduga berkaitan dengan adanya
penurunan sintesis dan pelepasan
asetilkolin serta neurotransmiter lain
dalam otak.
Kelainan pada hormon tiroid disinyalir
menjadi salah satu faktor pemicu
gangguan fungsi kognitif. ada
dua hipotesis besar yang diterima
dalam menjelaskan hubungan antar
keduanya, Hipotesis pertama dan paling diterima yaitu efek toksik hormon tiroid di SSP. Stres oksidatif otak
akibat hormon tiroid berlebih atau
adanya tromboemboli dari jantung
akibat hipertiroidisme ringan menjadi
mekanisme yang mendasari terjadinya gangguan fungsi kognitif.
Mekanisme kedua terkait adanya perubahan neurodegeneratif di otak Turunnya kadar thyroid releasing hormone
(TRH) akan memicu penurunan
kadar thyroid stimulating hormone
(TSH). TRH disekresi tidak hanya oleh
hipotalamus, tetapi juga bagian lain
dari otak dan berperan dalam produksi
neurotransmiter sistem saraf pusat.
Penurunan TRH ini dikaitkan dengan
fosforilase dari protein Tau yang berperan dalam patogenesis DA. Selain
itu, penurunan TRH juga diasosiasikan
dengan penurunan sintesis asetilkolin
yang juga terjadi pada DA.
Beberapa studi melaporkan bahwa
estrogen merupakan neuroprotektor
yang dapat memperlambat manifestasi
DA. Defisiensi hormon ini mengakibatkan beberapa gangguan fungsi otak termasuk gangguan transportasi glukosa
ke hipokampus. Defisiensi juga akan
berdampak pada gangguan pengambiian kolin sebagai bahan dasar asetilkolin di presinaptik serta merusak reseptor di postsinaptik.
Menurunnya kadar estrogen di hipotalamus memicu gangguan
vasomotor perubahan selera makan,
dan perubahan tekanan darah. Selain itu dapat muncul tanda-tanda
gangguan perilaku, seperti depresi,
ansietas, stres, dan demensia. Gangguan tidak hanya terjadi pada wanita
menopause, tetapi juga lansia pria
pada umumnya.
Beberapa penelitian mendapat
peningkatan kadar testosteron bebas
berkorelasi dengan fungsi kognitif
secara global. Penelitian oleh Moffat
dkk dan Cherrier dkk menemukan
bahwa peningkatan kadar testosteron
bebas pada usia lanjut berdampak
pada perbaikan perilaku yang nyata
serta perbaikan memori visual dan
verbal, atensi, serta kemampuan visuospasial. Sebaliknya, kadar testosteron rendah berasosiasi dengan peningkatan faktor risiko DA yang tidak
berkaitan dengan kondisi kesehatan,
umur, ataupun pendidikan.
d. Faktor genetik
Seperti disebutkan sebelumnya, MCI
disinyalir merupakan stadium pro
dromal dari terjadinya DA. ApoE4
disebut berperan secara genetik
terhadap terjadinya MCI. ApoE4
berperan sebagai mediator deposisi amiloid dan peningkatan deposisi ini ditemukan pada stadium dini
DA. Sekitar 70% autosomal dominan
dari DA presenilis memiliki kesalahan pada kromosom 14, 21, dan 1,
sedang-kan pada DA senilis terletak
pada kromosom 19 dari gen ApoE4.
e. Faktor neuropsikiatrik
Canadian Study o f Health dan Aging
(CSHA) mendapat bahwa gangguan psikiatrik berisiko meningkatkan angka demensia yaitu depresi,
kehilangan minat, perubahan kepribadian, dan mood. Gangguan ini berisiko
berkembang menjadi demensia dalam
5 tahun. Stres berlebih dan berkelanjutan akan memperburuk fungsi hipokampus. Ini terjadi akibat intoksikasi kortisol langsung di hipokampus
dapat memicu gangguan metabolisme ataupun kematian neuron,
berupa gangguan pembelajaran dan
memori bailt pada hewan percobaan
maupun pada manusia.
f. Proses autoimun dan inflamasi
Proses penuaan dan kerusakan sel
otak dapat dipercepat dengan adanya
proses autoimun maupun inflamasi.
Autoantibodi yang bereaksi dengan
sel-sel saraf dapat ditemukan pada
plasma hewan percobaan dan juga
usia lanjut. Pada serum pasien DA
sering ditemukan antigen terhadap
neurofilamen. Penanda imun seperti
human leukocyte antigen (HLA-B7,
BW15, dan CW3) juga ditemukan meningkat sebagaimana pada penyakit
autoimun lainnya. Proses inflamasi
dapat memicu kerusakan
neuron pada patofisiologi DA dengan
cara peningkatan IL-1 dan penurunan
CD8. Berbeda dengan penyakit Parkinson dan DVa, ditemukan penumpukan sitokin IL-ip, IL-2, dan IL-3
pada jaringan hipokampus pasien DA.
g. Radikal bebas
Radikal bebas dapat memicu
perubahan ldmiawi yang berimplikasi
terhadap kerusakan berbagai komponen jaringan tubuh seperti protein, lipid, karbohidrat, dan nukleotida. Proses peroksidasi lipid pada membran sel
kemudian berlanjut menjadi proses
autokatalisis pada neuron menjadi
pemicu DA. Proses ini secara langsung memicu kematian neuron
yang dapat berdampak pada aktivasi
neurotransmiter lainnya, seperti asam
amino eksitatorik yang bersifat toksik
dan mengganggu produksi ATP.
GEJALA DAN TANDA KLINIS
MCI pertama kali diperkenalkan oleh Petersen pada tahun 1999, Istilah ini dipakai
untuk menggambarkan suatu keadaan transisi antara stadium normal dan stadium
ringan DA, yaitu adanya gangguan kognitif
awal berupa gangguan fungsi memori, namun aktivitas sehari-hari masih dalam batas
normal.
Dalam berbagai penelitian, Petersen menemukan subyek dengan MCI dapat memiliki gangguan pada satu atau beberapa
ranah lainnya selain memori. Keadaan ini
terutama pada kelompok lanjut usia yang
sudah memiliki faktor risiko vaskular, seperti hipertensi dan diabetes melitus. Petersen kemudian membagi MCI menjadi
empat subgrup, yaitu (Tabel 1):
1. MCI amnestik (MCIa) ranah tunggal
MCIa ialah tipe MCI dengan gangguan
memori saja tanpa disertai gangguan fungsi kognitif lain. Etiologi tipe ini ialah faktor
degeneratif. Jenis ini diasumsikan sebagai
subkelas MCI yang akan berkembang menjadi DA. Menurut Petersen RC, 10-15%
subyek dengan MCIa akan berkonversi
menjadi DA dalam waktu 3-6 tahun.
2. MCI amnestik ranah jamak (memori disertai gangguan kognitif lain]
MCI tipe Ini merupakan MCI dengan gangguan memori sebagai gangguan utama
dan disertai gangguan fungsi kognitif
lainnya. MCI tipe amnestik, baik ranah
tunggal maupun jamak, berpotensi menjadi DA ke depannya.
3. MCI non-amnestik ranah tunggal (MCI
non-amnestic single domain/ MCI-NASD)
MCI non-amnestik ranah tunggal yaitu
MCI dengan gangguan pada satu ranah
fungsi kognitif selain memori. Etiologi
tipe ini yaitu faktor degeneratif, tetapi
dapat pula vaskular. Mayoritas pasien,
akan berkembang menjadi demensia
lain selain DA.
4. MCI non-amnestik ranah jamak (satu
atau lebih ranah nonmemori)
MCI tipe ini merupakan MCI dengan
gangguan pada lebih dari satu ranah
kognitif. Etiologinya yaitu campuran
antara faktor degeneratif dan vaskular.
jenis ini diasumsikan akan berkembang
menjadi DVa atau demensia badan Lewy.
diagnosa DAN diagnosa BANDING
Penegakan diagnosa MCI dilakukan berdasarkan anamnesis lengkap, pemeriksaan
status neurologi termasuk pemeriksaan
status mental dan neurobehaviour lengkap.
Berikut ini yaitu kriteria yang dibutuhkan
dalam penegakan MCI:
1. Keluhan penurunan fungsi memori dari
pasien dan informan
2. Gangguan memori sesuai dengan usia
dan pendidikan.
3. Fungsi kognitifsecara umum masih baik
4. Fungsi aktivitas sehari-hari masih baik
5. Tidak demensia
Secara umum, penegakan diagnosa pada
MCI, dimuiai dengan ditentukan dari ada/tidaknya gangguan memori. Jika hanya ranah
memori saja yang terganggu, termasuk MCI
tipe amnestik, namun jika disertai ranah
yang lain terganggu, maka termasuk MCI
tipe amnestik ranah jamak. Apabila keluhan
awal bukan memori, ini merupakan MCI
tipe non-amnestik (Gambar 2].
Selain anamnesis yang didapat dari pasien
dan informan, penegakan diagnosa MCI juga
ditunjang dengan pemeriksaan lanjutan.
Pemeriksaannya mencakup pemeriksaan
laboratorium dan pencitraan untuk mencari etiologi. Sindrom MCI akibat degeneratif
akan memberikan gejala klinis yang sifatnya
bertahap dan progresif, sedangkan apabila
etiologi akibat gangguan pembuluh darah
akan bersifat akut, memiliki faktor risiko
vaskular, riwayat stroke, dan serangan iskemik sepintas/transient ischemic attack (TIA].
Pada akhirnya gejala dan tanda klinis MCI
dapat berakhir menjadi penyakit degeneratif yang lebih berat. Tabel 2 merupakan bentuk lanjut dari MCI sesuai dengan riwayat,
gejala, ataupun tanda ldinisnya.
TATA LAKSANA
Tidak ada bukti ilmiah obat-obatan yang
dapat mencegah MCI menjadi demensia secara efektif. Strategi utama tata laksana pencegahan terjadinya demensia lebih ditekankan
pada pengendalian faktor risiko vaskular dan
prevensi stroke primer maupun sekunder.
Strategi ini mencakup kontrol tekanan darah,
berhenti merokok, pemakaian statin, terapi
antiplatelet, dan antikoagulan.
Meski demikian, selain strategi di atas, beberapa kepustakaan masih tetap memberikan
terapi medikamentosa pada pasien-pasien
dengan gangguan kognitif, pemakaian
penghambat kolinesterase [memantin] direkomendasikan untuk mengatasi gejala
apati, dan pemberian golongan SSRI untuk
mengatasi gejala depresi serta ansietas.
Beberapa penelitian menyebutkan ada
hubungan plastisitas otak dengan fungsi kognitif. Melalui mekanisme ketahanan faktor
neurotropik pada otak terutama brain-derived
neurotrophic factor (BDNF). BDNF akan berperan sebagai mediator utama dari efikasi
sinaptik, penghubungan sel saraf dan plastisitas sel saraf. Aktivitas fisik dan mental/
kognitif yang rutin dilakukan setiap hari akan
meningkatkan sirkulasi dan oksigenasi otak,
sehingga dapat meningkatkan kemampuan
berpikir. Aktivitas fisik dapat berupa olahraga
rutin, kendali stres, interaksi sosial yang baik
dengan lingkungan, dan stimulasi kognitif.
Wreksoatmodjo memperlihatkan bahwa
pasien lanjut usia yang melakukan aktivitas
kognitif secara rutin akan mempunyai fungsi
kognitif yang lebih baik dibandingkan yang
tidak memakai penilaian indeks social
disengagement Aktivitas kognitif ini
meliputi, kegiatan berupa permainan halma/catur/teka teki silang/kartu/sudoku
secara teratur, kegiatan memasak mandiri,
mengerjakan hobi, membaca buku/majalah/koran, menonton siaran berita, ataupun menonton siaran televisi/bioskop.
CONTOH masalah
Pasien laki-laki-laki 56 tahun berobat ke
poli fungsi luhur dengan keluhan mulai
sering lupa dalam aktivitas sehari-hari.
Pasien diketahui menderita hipertensi semenjak 5 tahun yang tidak kontrol rutin
makan obat. Tidak ada riwayat diabetes,
stroke, penyakit jantung, dan pasien tidak
merokok. Pasien tidak pernah olahraga rutin sejak pensiun dan lebih banyak diam
di rumah. Pemeriksaan fisik didapatkan
tekanan darah 180/90mmHg, nadi 88x/
menit, suhu 36,5°C respirasi 18x/menit.
status neurologi tidak ada defisit neurologis saraf kranial funduskopi ditemukan
fundus hipertensi derajat II, motorik, sensorik, dan otonom. Pemeriksaan tes MoCA
didapatkan skor 25/30.
Pertanyaan
1. Anamnesis dan pemeriksaan apa yang
perlu ditambahkan?
2. Apa diagnosa gangguan kognitif pada
pasien ini?
3. Bagaimana tata laksana pada pasien ini?
Pembahasan masalah
X. Anamnesis yang perlu ditanyakan:
® Pendidikan terakhir pasien
• Riwayat penyakit dan obat-obatan
yang dapat menggangu fungsi kognitif
® Riwayat penyakit lain seperti trauma
kepala, infeksi otak, tumor otak, epilepsi, dan lain-lain
Riwayat keluarga dengan penurunan
kognitif seperti DA, vaskular, dan lain-lain
© Riwayat aktivitas sehari-hari dan
hobi yang masih disenangi, interaksi
aktivitas sosial
Pemeriksaan yang perlu ditambahkan:
® Pemeriksaan fisik
® Status emosional
® Pemeriksaan laboratorium: laboratorium darah tepi, hiperlipidemia, hiperurisemia, gangguan tiroid, fungsi ginjal
® Pemeriksaan imaging MRI |ika dicurigai gangguan akibat hipertensi small
vesel disease
2. MCI tipe amnestik
3. pengobatan
® Pengendalian faktor risiko yang di
dapatkan dan terapi nonmedikamentosa aktivitas fisik dan mental dengan
stimulasi kognitif
® Edukasi
© Penjelasan tentang perjalanan penyakit dan pentingnya pengendalian faktor risiko hipertensi dengan kognitif
DEMENSIA
Peningkatan pelayanan kesehatan yang disertai dengan peningkatan kualitas hidup,
akan meningkatkan usia harapan hidup di
negara maju dan berkembang. Hal ini meningkatkan populasi usia lanjut, sehingga
akan terjadi peningkatan jumlah orang dengan demensia.
Demensia merupakan sindrom penurunan
fungsi intelektuai yang cukup berat dibandingkan sebelumnya, sehingga mengganggu
aktivitas sosial dan profesional dalam aktivitas hidup keseharian (actvity o f daily living),
biasanya disertai perubahan perilaku yang
bukan disebabkan oleh delirium maupun
gangguan psikiatri mayor. Penyakit ini terutama terjadi pada usia lanjut dan bukan
merupakan kondisi normal sebab berkaitan dengan penyakit neurodegeneratif.
Demensia yang paling banyak terjadi yaitu
demensia Alzheimer [DA), mencapai lebih
dari setengah masalah demensia. Demensia
lainnya yang juga umum terjadi yaitu demensia vaskular (DVa), demensia badan
Lewy/Lewy bodies [DLB], demensia penyakit Parkinson (DPP), demensia frontotemporal (DFT), dan demensia campuran. Sifatnya yang kronik progresif memengaruhi
kapasitas dan kualitas hidup pasien, sehingga diagnosa demensia penting ditegakkan sejak dini agar dapat dilakukan penatalaksanaan yang komprehensif baik dari segi
medis maupun sosial ekonomi.
EPIDEMIOLOGI
Data World Health Organization (WHO)
menunjukan hampir 48 juta orang di dunia
hidup dengan demensia. ada 7,7 juta masalah baru tiap tahun dan lebih dari setengahnya (63%) hidup di negara-negara kelas
menengah ke bawah. Prince dkk (2010)
mendapat 58% orang dengan demensia hidup di negara kelas menengah ke
bawah yang diramalkan meningkat hingga
63% di tahun 2030 dan 71% di tahun 2050.
Sayangnya angka ini tidak mencakup studi
dari negara kita .
Data statistik mengenai DA secara global
diperkirakan mencapai 24 juta masalah , yaitu
60% dari keseluruhan demensia, sedangkan
DVa merupakan tipe demensia terbanyak
kedua sesudah DA (20% ). Hal ini tampaknya berkaitan sebab kedua tipe demensia
ini memiliki faktor risiko yang sama. Prevalensi DLB maupun DFT belum diketahui
secara pasti. Prevalensi DLB ditaksir antara
satu masalah per 25 masalah demensia di komunitas dan satu per 13 masalah di fasilitas
kesehatan sekunder. Angka ini diperkirakan dapat lebih tinggi, namun terkendala penegakan diagnosa nya. DFT merupakan bentuk demensia onset dini tersering
kedua sesudah DA, dengan prevalensi antara
2,7-15,1 per 100.000 usia dewasa. Prevalensi tertinggi DFT dilaporkan dari studi
di Inggris dan Italia, yaitu 15-22 masalah per
100,000 penduduk berusia 45-65 tahun,
DEMENSIA ALZHEIMER
A. Patofisiologi
Neuropatologinya terutama berhubungan
dengan peptida beta-amiloid (A(3), serta
neurofibrillary tangles (NFTsj yang berasal
dari hiperfosforilasi protein tau, Karakteristik neuropatologi DA yaitu berupa
hilangnya neuronal selektif dan sinaps,
adanya plak neuritik yang mengandung
peptida beta-amiloid (Ap), serta neurofibrillary tangles (NFTsj yang berasal dari
hiperfosforilasi protein tau (Gambar 1).
Plak neuritik yang terjadi merupakan
lesi ekstraseluler yang tersusun atas inti
sentral dari agregasi Ap peptida yang
dikelilingi oleh distrofi neuritik, aktivasi mikroglial, dan astrosit reaktif. NFTs
sendiri merupakan buntalan filamen
dalam sitoplasma sel saraf yang mengelilingi sel saraf.
Deposisi Ap pada otak merupakan salah
satu implikasi dari patogenesis DA. Pada
proses neurodegenerasi demensia, akumulasi Ap (khususnya Ap42 peptida) pada
otak merupakan inisiasi terjadinya disfungsi neuron. Adanya mutasi gen amyloid precursor protein (APP) padakromosom 21, presenilin (PS)1 pada kromosom
14, dan PS2 pada kromosom 1 mengarah
pada early-onset DA tipe familial. Pada tipe
ini terjadi produksi berlebihan dan/atau
peningkatan agregasi Ap. Beta-amiloid
merupakan produk fisiologi normal dari
APP dan merupakan komponen solubel
dari plasma dan cairan serebrospinal.
ada dua varian terminal karboksil
dari Ap, yaitu AP40 yang merupakan sekret
spesies utama dari sel kultur dan ada
pada cairan serebrospinal. Varian kedua
yaitu Ap42 yang merupakan komponen
utama amiloid yang berdeposit di otak
pada DA. Peningkatan Ap42 lebih sering
mengalami agregasi dan membentuk
fibril. Neurotoksin yang dihasilkan oleh
agregasi Ap akan memicu beberapa
mekanisme, seperti akumulasi radikal
bebas, disregulasi dari homeostasis kalsium, respons inflamasi, dan adanya aktivasi dari beberapa signaling pathway
Dapat disimpulkan bahwa neuropatologi
DA kompleks, multifaktorial, dan melibatkan berbagai mediator kimiawi yang
berkaitan dengan proses degeneratif di
otak (Gambar 1).
B. Gejala dan Tanda Klinis
DA ditandai dengan penurunan fungsi
kognitif yang didahului oleh penurunan
daya ingat dan pada akhirnya akan mengenai seluruh intelektualitas pasien
dan memicu beban dalam menjalani aktivitas sehari-hari ringan sekalipun. Ranah kognitif yang paling terganggu yaitu memori dengan kemampuan
rekognisi terganggu. Gejala ini muncul
perlahan-lahan dan bertambah berat, sehingga ranah kognitif lain, seperti visuospasial, fungsi eksekutif, memori, atensi,
dan bahasa dapat terganggu.
C. diagnosa dan diagnosa Banding
diagnosa demensia harus dilakukan
melalui evaluasi komprehensif dengan
tujuan untuk diagnosa dini, penilaian
komplikasi, dan penegakan pemicu
demensia. Pedoman DSM-IV sering digunakan sebagai baku emas, yaitu mengharuskan adanya gangguan memori
ditambah satu dari afasia, apraksia, agnosia, atau disfungsi eksekutif.
D. Tata Laksana
1. Medikamentosa
a. Inhibitor asetilkolinesterase
[acetylcholinesterase inhibitor j
AChE-I) AChE-I bekerja sebagai penguat
kognisi dengan meningkatkan kadar asetilkolin di otak untuk mengkompensasi hilangnya fungsi kolinergik. Ada beberapa pilihan, yaitu:
® Donepezil
Donepezil efektif dalam terapi
penurunan kognisi DA ringansedang dan DA sedang-berat.
Dosis lOmg/hari memberikan
manfaat iebih besar dibandingkan 5mg/hari. Insidens
efek samping donepezil dibandingkan dengan plasebo tidak
jauh berbeda, efek itupun hanya
bersifat sementara, dengan derajat ringan atau sedang.
® Galantamin
Galantamin memberi manfaat,
namun hanya sedildt perbaikan
pada DA ringan-sedang, demikian pula pada DA sedang-berat
Meskipun galantamin dapat
memperbaiki fungsi kognitif,