neurologi 6












 lobus 


frontal (kemampuan motorik menulis). 


Pusat ingatan terhadap benda terletak di 


lobus parietal yang berbatasan dengan lobus oksipital meluas hingga perbatasan 


oksipital dengan lobus temporal. Jika terdapat lesi pada daerah ini manifestasinya berupa anomia atau afasia nominal.


2. Hemisfer Dekstra


Hemisfer dekstra berperan dalam fungsi 


bahasa, walaupun tidak dominan. Hemisfer ini bertanggung jawab dalam pemahaman kata-kata sederhana terutama kata 


benda, tetapi tidak disertai dengan kemampuan motorik bahasa. Individu dengan kerusakan hemisfer ldri tanpa disertai kerusakan hemisfer kanan akan dapat 


memahami kata-kata sederhana, namun 


tidak dapat membalas kata-kata ini  


Fungsi prosodi juga terletak di sini, tepatnya di lobus temporal dan frontal.


B. Gangguan Fungsi Berbahasa


Gangguan fungsi berbahasa disebut afasia, Kemampuan berbahasa merupakan 


aktivitas yang kompleks melibatkan 


banyak sirkuit-sirkuit, sehingga gangguan fungsi berbahasa yang disebut afasia, sangat bervariasi tergantung lokasi 


kerusakan yang didapat. Namun secara 


umum gangguan ini  akan berhubungan dengan kelancaran bicara/ 


fluensi (fluency), repetisi/pengulangan, 


pemahaman, dan penamaan, yang selanjutnya dibahas lebih lanjut pada Bab 


Afasia.


C. Pemeriksaan


Secara Umum


Secara garis besar, penilaian gangguan 


berbahasa dilihat dari:


a. Artikulasi/pengucapan


Pasien menjadi sulit mengeluarkan 


kata-kata atau terpatah-patah dengan 


ucapan yang tidak jelas. Gangguan ini 


terjadi pada lesi yang letaknya anterior atau hemisfer ldri dalam.


b. Fluensi


Pada keadaan normal seharusnya 


pseseorang dapat berbicara dua atau 


lebih frasa dengan panjang normal 


di antara jeda. Pasien dengan bicara yang kurang lancar mempunyai 


tingkat produksi istilah kata-kata 


yang selalu rendah per menitnya, dan 


hanya menghasilkan frasa pendek. 


Panjang frasa seharusnya, dinilai hanya sesudah  mendengar pembicaraan 


selama beberapa menit.


Gangguan ringan dapat dideteksi 


dengan pemeriksaan verbal fluency 

test. Cara pemeriksaan yaitu  dengan 


meminta pasien untuk menyebutkan 


nama binatang sebanyak-banyaknya 


dalam 1 menit. Catat jumlah binatang 


yang disebutkan berupa jawaban 


benar dan jawaban parafasik. Individu normal dapat menyebutkan nama 


18-22 nama binatang dalam 1 menit 


dengan standar deviasi 5-7. Untuk 


usia <69 tahun menyebutkan 20±4,5 


nama, usia 7 0-79 tahun dapat menyebutkan 17±2,8 nama, dan usia >80 


tahun dapat menyebutkan 15,5±4,8 


nama binatang.


c. Bentuk sintaktik (gramatikal)


Saat pasien berbicara, perlu diperhatikan kesesuaian dengan tata bahasa 


aslinya. Pembicaraan tanpa memerhatikan tata bahasa (agrammatis) yaitu  


pembicaraan yang disederhanakan, 


sebab  kekurangan kata-kata grammatis 


(pelafalan, preposisi, dan lain-lain) dan 


mengandung kesalahan tensis. Agrammatisme berkaitan erat dengan bahasa 


nonfluen.


d. Kesalahan parafasik


Pasien dapat mengalami kesalahan penggantian kata {word subtitution). Kesalahan ini  dapat berasal dari bunyi 


(parafasia fonemik) seperti "kursi" disebutkan "kudri" atau "fena" pada "pena". 


Atau kesalahannya bisa berupa makna 


(parafasia verbal), yaitu mengganti arti 


sebuah kata dengan kata yang mempunyai konotasi sama, misalnya "bangku" 


disebutkan "meja", atau "garpu” disebutkan "sendok".


e. Penemuan kata {word finding)


Pada gangguan ini, pembicaraan pasien


ada  jeda {pause) yang mengikuti 


pembicaraan yang bertele-tele. Misal: 


"hal yang anda tubs di kertas dengan_".


f. Garis melodik (prosodi)


Gangguan pada prosodi sering mengiringi artikulasi pengucapan yang 


buruk dan menurunnya kelancaran 


bicara. Pasien berbicara dengan memaksa, canggung, dan tidak mampu 


menjaga bentuk melodisnya. Gangguan 


prosodi emosional (misal, modulasi suara, nada, dan titinada yang dipakai  


untuk mengekspresikan kondisi emosional) dapat terjadi pada kerusakan 


hemisfer kanan.


Secara Khusus


Gangguan berbahasa secara khusus berkaitan dengan kerusakan pada struktur otak 


tertentu dan diagnostik gangguan yang didapat sesuai dengan:


a. Fluensi


Hal ini menunjukkan kerusakan berada 


pada anterior atau posterior dari fisura 


sylvii. Ketidakfasihan bahasa yang dimaksudkan yaitu  bicara menjadi lambat, 


nada bicara menjadi tidak normal, dan 


artikulasi menjadi tidak jelas. Gangguan 


jenis ini berkaitan dengan kerusakan pada 


fisura sylvii anterior.


b. Repetisi


Gangguan ini disebabkan oleh kerusakan 


daerah perisilvian atau disebut sebagai 


'zona bahasa'. Gangguan lanjut terjadi 


jika kerusakan mengenai arteri serebri 


media, dan menyertakan bagian sekitar 


dari fisura sylvii yang mencakup area 


Broca pada sisi anterior, Wernicke pada 


sisi posterior, dan fasikulus arkuatus diantaranya. Ketika pasien tidak menga-

 

lami gangguan pada fungsi repetisinya, 


tetapi mengalami gangguan pada fungsi 


bicara spontan, dap at dikatakan bahwa 


kerusakan tidak mengenai bagian-bagian bahasa ini , dan diperkirakan 


berada di luar area perisylvian.


Repetisi harus diuji dengan serangkaian 


kata dan kalimat dengan kompleksitas 


yang semakin meningkat. Paling baik 


dimulai dengan kata-kata tunggal pendek. 


kemudian dilanjutkan ke kata-kata dengan banyak suku kata, lalu akhirnya ke 


kalimat-kalimat.


c. Pemahaman/komprehensi {comprehension)


Secara Minis dapat dilihat pasien dengan gangguan pada tingkat pemahaman 


kata dan kalimat, dengan yang tidak terdapat gangguan. Pasien dengan gangguan tingkat pemahaman, berkaitan 


dengan kerusakan pada lobus temporal, 


tepatnya pada area Wernicke. Gangguan 


pemahaman bahasa sering mempengaruhi pasien dalam bertatabahasa atau 


sintaks. Hal ini teridentifikasi pertama 


kali pada saat pasien melakukan sebuah 


instruksi yang rumit dan saat berusaha 


mengikuti percakapan dalam kelompok.


Umumnya kemampuan pemahaman 


pada pasien afasia terutama didasari 


pemahaman mereka terhadap percakapan yang tidak berstruktur. Percakapan 


bebas biasa disertai dengan isyarat 


gerak tubuh, mimik wajah, dan prosodik [nada suara], Penderita afasia yang 


lancar seringkali merespons sesuai awal 


pembicaraan pembuka ('Apa kabar hari 


ini?'], walaupun memiliki masalah pemahaman yang berat


Pasien dengan gangguan pemahaman 


umumnya masih dapat melakukan perintah sederhana, seperti 'tutup mata anda',' 


buka mulut anda', dan 'berdiri'. Belum 


diketahui dengan jelas penjelasan terhadap respons yang masih bagus ini .


Pemeriksaan lain yang lebih kompleks 


yaitu  menguji tiga bagian yang sulit, 


contohnya, "(1] Sentuh telinga kiri anda 


dengan (2) jari telunjuk kanan anda, lalu 


(3] sentuh tangan saya". Pasien dengan 


gangguan pemahaman ringan masih 


dapat melakukan instruksi yang sederhana, namun tidak dapat mengikuti instruksi yang lebih kompleks. Sementara 


pasien dengan gangguan pemahaman 


yang lebih berat tidak dapat mengikuti 


instruksi yang sederhana.


® Pemahaman terhadap kata tunggal 


Dengan memakai  benda-benda 


yang ditemui sehari-hari yang biasa 


dimasukkan ke dalam saku (contoh, 


koin, pena, jam, kunci, dan lain-lain] 


dan benda-benda di bangsal atau klinik 


(ranjang, kursi, meja, bunga, dan lainlain], pasien diminta untuk menunjukkannya satu per satu secara bergiliran. 


Jangan lupa untuk memakai  spektrum dari benda-benda ini  yang 


berbeda familiaritasnya dan bagianbagian dari benda, sebab  kemampuan memahami selalu terpengaruh 


oleh variabel ini. Penderita afasik berat 


mungkin mampu menunjukkan benda 


yang umum namun tidak mampu pada 


benda yang tidak umum.


© Pemahaman terhadap kalimat [sintaktik]


Tes ini dapat dengan mudah dilakukan 


dengan memakai  sekelompok tiga buah benda yang umum ada di 


saku. sesudah  dipastikan bahwa pasien 


dapat memahami nama benda-benda 


ini , tes pemahaman dimulai 


memakai  kisaran sebuah struktur sintaktik, seperti:


- "Letakkan pena di atas jam!”


- "Sentuh jam dengan pena!”


- "Sentuh kunci dan kemudian pena!"


- "Sentuhlah pena sebelum menyentuh kunci!"


- "Sentuh pena, namun jangan sentuh 


kunci!"


- "Letakkan pena diantara jam dan 


kunci!"


- "Ambil jam dan berikan saya 


pena!"


- "Sentuhlah tidak hanya pena, na^ 


mun juga kunci!" dan sebagainya.


® Pemahaman konseptual


Ini dapat diuji dengan menggunakan sekelompok benda di saku yang 


sama dengan uji sebelumnya, dengan 


menanyakan pertanyaan-pertanyaan 


berikut:


- "Tunjuk ke arah benda yang 


menunjukkan berjalannya waktu!"


- "Sentuh benda yang dipakai  


untukmenulis!"


Atau pertanyaan-pertanyaan lain 


yang serupa berdasar  konsep, 


yaitu:


- "Apa yang Anda sebut debu abuabu yang tersisa sesudah  menghisap rokok?"


- "Apa nama burung yang terbang 


pada malam hari dan memekik?"


- “Apa nama lapisan keras yang melin-dungi hewan seperti siput dan 


kura-kura?"


Tes formal yang dapat dilakukan diantaranya uji token, yaitu pasien harus mengikuti perintah yang kerumitan sintaktiknya 


semakin meningkat Selain itu juga ada uji 


Peabody picture vocabulary, suatu uji pencocokan gambar-kata pada pemahaman 


kata tunggal.


d. Penamaan


Kemampuan untuk menyebutkan nama 


obyek dengan benar atau menggambarkan obyek yang disebutkan akan 


terganggu pada hampir seluruh pasien 


dengan afasia dalam tingkatan yang berbeda-beda. Benda-benda yang memiliki 


kemiripan yang beragam harus dipakai  


sebab  afasik yaitu  hal umum terjadi dan 


menunjukkan efek frekuensi yang jelas.


Pasien cenderung menunjukkan kesalahan 


menamai/menyebut benda-benda berfrekuensi rendah (kurang familiar]. Hal 


ini dapat dinilai memakai  bendabenda yang umum ditemui sehari-hari.


Harus diingat bahwa identifikasi akurat 


benda-benda yang nampak secara visual 


juga tergantung pada proses persepsial 


yang utuh. ada  sejumlah tes formal 


yang mudah dilakukan dalam mengukur 


kemampuan penamaan, termasuk Graded


Naming Test dan Boston Naming Test


e. Membaca


Berkurangnya minat baca di waktu senggang dapat mengindikasikan adanya 


disleksia ringan, tetapi gangguan memori 


tetap harus dipikirkan. Gangguan membaca dapat terjadi paralel dengan gang- guan berbicara, pada cedera hemisfer 


dominan. Beberapa masalah  dapat disertai aleksia murni. Manifestasi gangguan 


membaca sangat jelas dan hampir selalu 


disertai sindrom lokal berupa hemianopia dekstra, gangguan persepsi warna, 


dan gangguan memori verbal.


Kebanyakan contoh menyebutkan kemampuan membaca sejalan dengan kemampuan bahasa dalam berucap, namun 


terkadang aleksia dapat terjadi bersama 


dengan agrafia, tanpa defisit afasik lainnya. 


Lebih jarang, dapat terjadi aleksia tanpa


agrafia atau aleksia murni. Membaca 


dengan keras maupun membaca dengan 


memahami isi bacaan sama-sama penting, 


namun harus hati-hati dalam membedakannya. Gagal memahami biasanya diiringi 


dengan pembacaan keras (reading aloud) 


yang kurang benar. Walaupun demikian, 


banyak pasien yang tidak dapat membaca 


lantang dengan benar, tetapi mengerti isi 


bacaan dengan baik.


Pasien yang berhasil membaca kata 


dan lcalimat, juga harus dinilai kapasitas membaca dan memahami paragraf 


pendeknya. Membaca seksama yang 


simpel dapat diuji dengan menuliskan 


sebuah perintah, seperti "tutup mata 


Anda” atau "letakkan tangan di atas kepala Anda jika Anda berusia di atas enam 


puluh tahun.” Memahami bacaan dalam 


bentuk yang lebih rumit dapat diuji dengan meminta pasien untuk membaca 


sebuah paragraf di koran, kemudian ditanyakan tentang isi paragraf ini .


sesudah  ditemukan permasalahan dalam 


membaca, selanjutnya ditentukan aspek 


yang telah terganggu pada proses membaca normal. Berbagai jenis disleksia 


telah dikenal, terdiri dari aleksia murni 


[membaca huruf demi huruf), neglect


dyslexia, dan disleksia sentral.


® Identifikasi huruf


Kesalahan-kesalahan dalam membaca huruf tunggal dan strategi dalam 


kesusahan menyebut huruf dengan 


benar (membaca huruf demi huruf), 


terkadang terbantu dengan melacak 


sketsa huruf dengan jari, menunjukkan aleksia murni.


® Jenis kesalahan membaca


Kesalahan-kesalahan yang terbatas 


pada bagian awal kata terjadi pada 


neglect dyslexia (tidak membaca atau 


salah membaca 1-2 huruf pertama 


sebuah kata, misal: 'dan' dibaca 'ban', 


'malam' menjadi 'alam', 'mulut' menjadi 


'lutut') akibat sekunder dari kerusakan 


hemisfer kanan. Membaca sebuah kata 


sebagai sesuatu yang lain terkait konseptual, namun bukan merupakan kata 


yang bunyinya tidak berkaitan (misal, 


aksi dan kerja, kakak dan paman, saat 


dan kesem-patan). Untuk disleksia 


dalam, kesalah-an penglihatan sangat sering terjadi (misal, 'stock' pada 


‘shock1, ‘crowd'pada ‘crown', dll).


® Membaca kata umum/lazim/reguler 


versus eksepsional/tidak lazim/tidak 


umum


Kesulitan membaca kata-kata tertentu yang tidak mematuhi aturan bunyi bentuk huruf dalam bahasa Inggris 


disebut 'kata talc lazim'. Adanya kecenderungan kesalahan kebiasaan kata 


(misal, pint bersajak mint) merupakan 


tanda past! disleksia permukaan.

 

 Membaca nonkata


Pasien dengan disleksia, mengalami 


gangguan pada rute membaca yang 


berakar dari bunyi, tidak mampu 


membaca non-kata yang masih terbaca (misal: nek, glem, minth, deak, dan 


lain-lain). ada  defisit lain pada 


disleksia dalam, tetapi pada disleksia 


fonologis, satu-satunya permasalahan 


utama yaitu  dengan membaca katakata yang tidak mempunyai arti ini.


f. Menulis


Jika ada  gangguan dalam menulis, 


perlu digali apakah kesulitan pada kern ampu an mengeja kata-kata atau pada 


kemampuan pengendalian motorik ketika menulis. Gangguan pada kemampuan membaca dan menulis tidak selalu 


menunjukkan adanya gangguan pada 


hemisfer dominan. Gangguan lain seperti disleksia abai, perlu dipikirkan jika 


tidak ditemukan gangguan pada aspek 


bahasa lain.


Kemampuan menulis dapat dianalisis 


melalui manual menulis, mengingat kata-kata dan huruf individu, serta komposisi kalimat. ada  tiga jenis disgrafia 


utama yang telah dikenal, yaitu disgrafia 


disfraksis, disgrafia spasial atau neglect/


acuh (acuh terhadap kata dan baris], dan 


disgrafia sentral (linguistik): permukaan 


(leksikal), fonologis, dan dalam. Jenis 


gangguan menulis biasanya dapat diketahui dengan menulis spontan, mengikuti dikte, dan pengejaan lisan.


Menulis spontan. Untuk mendeteksi 


disgrafia, pasien diminta menyusun beberapa kalimat mengenai sesuatu yang 


mereka suka atau sarankan tentang perjalanan yang ditempuh atau deskripsi 


tentang rumah mereka. Gangguan dalam 


merangkai huruf, mengeja, dan komposisi gramatikalnya harusnya sudah 


tampak. Jika kesalahan terjadi, maka 


diperlukan analisis terhadap adanya 


kemungkinan defisit yang lebih spesifik. Di sisi lain banyak pasien disgrafia 


berat yang masih memiliki kemampuan 


untuk menuliskan nama mereka sendiri, 


sebab  dapat dianggap hampir sebagai 


sebuah aktivitas refleks otomatis.


Menulis mengikuti dikte. Untuk nienganalisis jenis defisit linguistik dalam 


menulis, sebaiknya dibuatkan daftar katakata dengan penyesuaian bunyi, pengejaan 


yang biasa, dan kata-kata dengan pengejaan yang tidak biasa.


Rengejaan_lisaiL Jika gangguan dalam 


menulis tampaknya bersifat motorik, 


(huruf tidak terbaca jelas), hendaknya 


memeriksa pengejaan secara lisan, Hal 


ini dapat terjadi pada disfraksia dan 


agrafia abai (neglect agraphia}.^


g. Berbicara spontan


Analisis bicara spontan merupakan aspek yang paling penting dalam pemeriksaan bahasa untuk pengelompokkan 


afasia. Penilaian dilakukan sesudah  mendengar selamabeberapa menit percakapan 


spontan dan sesudah  meminta pasien untuk 


menggambarkan sebuah pemandangan 


yang rumit. Harus diingat bahwa analisis ini 


jauh lebih siap diterapkan pada afasia yang 


dialdbatkan stroke dan lesi-lesi fokal lainnya dibandingkan dengan afasia yang 


terlihat pada pasien dengan penyakit 


otak degeneratif. 

FUNGSI EKSEKUTIF


Fungsi eksekutif berkaitan dengan kemampuan kognitif yang lebih kompleks. Secara 


sederhana, Funahashi menyimpulkan bahwa fungsi eksekutif merupakan gabungan 


berbagai proses perilaku yang memiliki tujuanyang jelas.


Fungsi eksekutif yaitu  sistem yang diregulasi dan dikontroi oleh dirinya sendiri dalam 


mengatur perilaku seseorang dan terdiri 


atas kemampuan perencanaan, pengambilan keputusan, menentukan tujuan utama, 


penahanan diri, pengawasan diri, evaluasi diri, penyelesaian masalah serta inisiasi, 


dan kesadaran diri. Manifestasi gangguan 


eksekutif terlihat berupa kesulitan dalam 


menjalankan hal-hal yang berkaitan dengan 


komponen-komponen ini .


A, Neuroanatomi


Fungsi eksekutif diketahui memiliki 


hubungan dengan struktur korteks prefrontal. Hal ini tampak pada pasien dengan gangguan pada struktur korteks


prefrontal akan mengalami gangguan 


dalam hal pengambilan keputusan, membedakan benar dan salah, pengorganisasian, dan perencanaan. Dampaknya lebih 


lanjut ada  pada gangguan perilaku 


yang tidak dapat dikendalikan dan penurunan tingkat intelektualitas. Selain 


korteks prefrontal, ada  struktur lain 


yang membentang dari korteks frontal 


hingga struktur striatal melewati talamus 


dan globus palidus yang disebut sebagai 


sirkuit kortikostriatal. Bagian otak yang 


berperan dalam proses inisiasi yaitu  bagian mediosagital dari frontal, terutama 


pada girus singulata dan area motorik, sedangkan pusat pengendali insiasi berada


pada lobus frontal bagian medial.


B. Gangguan Fungsi Eksekutif dan


Pemeriksaannya


1. Inisiasi


Kemampuan inisiasi yang dimaksud 


mencakup inisiatif untuk memulai percakapan, kegiatan, atau pun melakukan 


tugas yang diembannya.


a. Observasi klinis dan analisis aktivitas pasien


Secara umum pemeriksaan ini dilakukan dengan melihat performa 


pasien dalam melakukan kegiatankegiatan yang berbeda. Beberapa 


hal penting yang perlu diingat 


dalam observasi pasien dengan 


gangguan fungsi inisiasi, antara lain:


® Apakah ada  gangguan kepribadian: pasien cenderung tampak datar atau sering melamun, atau pasien 


cenderung meledak-ledak?


• Apakah pasien cenderung pasif baik 


terhadap aktivitas-aktivitas di sekitarnya maupun dalam merespons 


pertanyaan atau masukan dari luar?


® Apakah pasien masih dapat melakukan kegiatan sehari-hari?


® Aktivitas seperti apa yang dapat 


pasien lakukan sendiri tanpa bantuan 


supervisi baik tertulis maupun lisan?


• Apakah pasien menyadari bahwa ia 


memiliki gangguan inisiasi? Bagaimana respons pasien ketika informasi 


ini sampai padanya?


® Apakah ada  gangguan atensi 


atau memori pada pasien saat ini?


b. Pemeriksaan khusus gangguan 


inisiasi 

® Kelancaran huruf (F, A, S)


Pasien akan diminta untuk untuk 


menghasilkan sebanyak mungkin 


kata, kecuali nama orang atau tempat 


dalam satu menit. Huruf awal yang 


paling sering dipakai  yaitu  F, A, 


dan S. Pasien muda yang normal harus menghasilkan sekurangnya 15 


kata untuk setiap hurufnya. Jumlah 


total pada F, A, S yang kurang dari 30 


kata dianggap tidak normal, namun 


sejumlah keringanan bisa dipertimbangkan mengenai usia dan latar belakang intelektualitas.


• Kelancaran menyebutkan nama hewan, buah-buahan, dan sayur-sayuran 


Pasien akan diminta untuk menyebutkan sebanyak mungkin contoh 


dari kategori semantik seperti hewan, buah-buahan, sayur-sayuran, 


dan lain-lain. Untuk kategori hewan, 


dewasa muda normalnya menghasilkan lebih dari 20 item dalam satu menit, 15 yaitu  batas bawah rata-rata, 


dan 10 sudah pasti ada gangguan. 


Kemampuan menurun sesuai dengan 


pertambahan usia dan untuk lansia 


yang sangat tua, angka 10 mungkin 


masih bisa dimaklumi.


2. Set-shifting


Merupakan kemampuan untuk beralih 


dari satu modalitas kognitif ke yang lain 


dan mencegah respons yang tidak sesuai, 


Pemeriksaan tidak mudah diuji bedside.


Berikut ini yaitu  beberapa instrumen 


untuk pemeriksaan set-shifting:


a. Wisconsin card sorting test


Pemeriksaan ini juga melibatkan penye-lesaian-masalah [problem-solving]


dan uji hipotesis. Pasien diminta memilih kartu yang berisi bentuk geometris yang berbeda jumlah, bentuk, dan 


warnanya. sesudah  menarik kesimpulan 


dimensi pilihan yang benar, pasien kemudian diminta untuk beralih ke dimensi 


lain (contoh, dari warna ke bentuk) pada 


beberapa kesempatan. Pasien dengan lesi 


frontal tidak mampu untuk beralih dari 


satu kriteria penyeleksian ke kriteria lainnya, dan membuat kesalahan-kesalahan 


perseveratif (sering dan banyak),


b. Membuat j ejak/jalur/tra/7 [trail making test)


Pengukuran kuantitatif terhadap peralihan perhatian [attention-shifting] dan 


respons-cegah [response-inhibition]. Terdapat dua bagian, A dan B, Bagian A mengharuskan pasien menggambar garis yang 


menghubungkan angka secara berurutan 


(1-2-3, dan seterusnya) dari sejumlah 


angka yang tersebar secara acak. Hampir 


sama dengan bagian A, bagian B merupakan subtes yang mengharuskan pasien 


menghubungkan angka dan huruf secara 


berurutan (1-A -2-B, dan seterusnya) 


dari sejumlah angka dan huruf yang terletak secara acak. Kemampuan ini dipengaruhi oleh kecerdasan dan usia.


3. Kalkulasi


Kesulitan dalam menulis, membaca, dan 


memahami angka, disebut akalkulia. 


Gangguan ini harus dibedakan dari anaritmetria yaitu, pasien tidak mampu 


melakukan perhitungan aritmatika, namun penomoran dasar masih baik. Anaritmetria paling sering terjadi terkait 


afasia, keduanya bisa saja berkaitan. 

Penilaian komponen-komponen afasik 


pada akalkulia dimulai dengan menanyakan 


pasien pertanyaan-pertanyaan berikut:


® Menuliskan serangkaian angka sederhana (7, 2, 9, dan lain-lain) dan kompleks (27, 93, 107, 1226, dan lainlain] yang didiktekan 


o Menyebutkan angka dengan keras 


® Mengingat angka


® Menunjukkan angka berdasar  


perintah


® Meminta pasien untuk melakukan 


penghitungan aritmatika dasar secara 


oral berupa penambahan, pengurangan, pembagian, perkalian, Hasil perhitungan kemudian diuji 


® Memeriksa penalaran aritmatik, seperti ''Jika dibutuhkan dua orang selama tiga had untuk menyelesaikan 


sebuah pekerjaan, berapa lama waktu 


yang dibutuhkan untuk empat orang 


untuk menyelesaikan pekerjaan yang 


sama?"


4. Perencanaan dan Organisasi {Sequencing)


Kemampuan mempelajari dan mencapai tujuan dalam perencanaan dan 


organisasi. Selain perencanaan, setiap 


individu harus dapat membuat konsep 


perubahan dari situasi saat ini. Obyek 


yang berhubungan dengan lingkungan, 


penyusunan alternatif, pertimbangan 


alternatif dan membuat pilihan, dan 


menyusun struktur untuk memberikan 


arahan dalam melakukan perencanaan, 


Kelainan dalam perencanaan dan organisasi pada umumnya berhubungan 


dengan disfungsi lobus frontal dan dapat


dibedakan dari memori, atensi dan defisit fleksibilitas mental.


Pemeriksaan dilakukan dengan melakukan observasi klinis dan analisis aktivitas. 


Secara umum evaluasi dapat dilakukan 


dengan mengamati jumlah pengaturan 


dan aktivitas pasien dalam sehari penuh, 


dapatkah pasien merencanakan aktivitas yang memerlukan operasi sebanyak


dua langkah? Cara lain dengan meminta 


pasien untuk mengambil kertas di atas 


meja dengan tangan kanannya, lalu kertas ini  di lipat menjadi dua, kemudian di taruh di bawah kursi.


Selanjutnya pemeriksaan dilakukan 


dengan memberikan perintah kompleks 


tanpa instruksi. Jika pasien memulai perintah tanpa suatu perencanaan, minta 


pasien untuk menciptakan suatu tugas 


dan mulai mengerjakan tugas ini  


Rencana pasien dapat dievaluasi untuk 


organisasi dan penyelesaiannya.


Fungsi perencanaan yang lebih kompleks dapat diperilcsa dengan melakukan 


pengukuran berbasis fungsional. Menentukan durasi dan frekuensi suatu masalah. 


Memilih tugas fungsional yang relevan 


sebagai dasar evaluasi dan pengkajian. 


Apakah pasien memunculkan kerangka 


pemikiran untuk suatu rencana atau arah 


demonstrasi untuk penyelesaian tugas?


Observasi dan pertanyaan-pertanyaan 


di atas dapat diaplikasikan dalam tugas 


persepsi motorik fungsional dan kognitif. Pertanyaan-pertanyaan yang familiar 


dapat dikorelasikan ke dalam checklist


atau dipakai  dalam konjungsi dengan 


skala rating frekuensi (seperti selalu, 


kadang-kadang, jarang, dan tidak per-

 

nah). Pemeriksaan ini hingga saat ini belum ada standardisasinya.


5. Fleksibilitas Mental dan Abstraksi


Pasien dengan gangguan fleksibilitas 


mental akan mengalami kesulitan dalam 


mengkonsep dan merespons perubahan 


situasi. Ketika ada perubahan keadaan 


atau adanya suatu kesalahan, pasien kesulitan mengubah strategi atau detail 


dari suatu pelaksanaan tugas. Pasien juga 


kesulitan dalam membebaskan stimulus 


tertentu dari perhatiannya. Berikut ini 


ada beberapa pemeriksaan yang dapat 


dikerfakan untuk menilai fleksibilitas 


mental dan abstraksi:


a. Odd-even cross out


Tes ini mencari tahu apakah pasien 


dapat berpindah dari satu tugas ke 


tugas lainnya. Pasien diberikan lembar kerja pencarian visual dengan 


nomor serinya, Pasien kemudian diminta mencoret semua nomor genap 


dan untuk mencoret sebagian hanya 


nomor ganjil. Instruksi ini kemudian 


dibalikkan kembali ke nomor genap 


dan kembali ke nomor ganjil, dan seterusnya. Penilaian belum memiliki 


standar khusus.


b. Konsep formasi dan abstraksi 


Konsep formasi meliputi kemampuan mendefinisikan, membandingkan, dan membedakan obyek, meliputi hubungan logis dan kategorisasi. 


Berikut ini merupakan contoh pertanyaan untuk mengevaluasi beberapa komponen konsep formasi dan 


abstraksi.


° Definisi abstraksi. Pasien diminta 


mendefinisikan kata-kata spesifik 


seperti apel, bangku.


• Komparasi-perbedaan. Pasien diminta menghubungkan sepasang 


ide, meliputi:


- Dasar umum seperti, kulkas dan 


kompor gas, mesin jahit dan sofa


- Perbedaan, seperti perbedaan antara anjing dan rubah.


® Hubungan logis. Pasien diminta 


menghubungkan kata yang diberikan, seperti anjing yaitu  


seekor_____, pisau yaitu  seta uah___ .


® Lawan kata. Pasien diminta menyebutkan lawan kata seperti 


tinggi-rendah, besar-kecil.


® Kategori. Pasien diminta menyebutkan kata yang tidak termasuk 


dalam kategori suatu seri, seperti 


ayah, ibu, saudara laki-laki, saudara perempuan, teman.


Untuk memperbaiki validitas pemeriksaan, singkirkan penurunan atensi, 


memori, dan afasia (khususnya komparasi) sebagai kausa performa yang 


buruk.


c. Abstraksi


® Peribahasa/pepatah


Sejumlah kesan konseptualisasi abstrak dapat diperoleh dari interpretasi peribahasa dan uji serupa. 


Interpretasi konkret, dengan ketidakmampuan untuk membuat analogi, 


menandakan pasien memiliki keru-

 sakan di lobus frontal. Interpretasi 


pepatah sangat bergantung pada 


tingkat pendidikan dan latar belakang budaya.


© Similarity test


Tes persamaan termasuk dengan mena-nyakan pada pasien dengan cara 


apa dua item berkaitan secara konseptual terlihat serupa. Dimulai dengan yang sederhana antara pasangan 


seperti 'pisang dan apel' dan ‘kursi 


dan meja' dan berlanjut ke pasangan 


yang lebih abstrak seperti 'puisi dan 


patung' dan 'pujian dan hukuman'. 


Respons normal yaitu  dengan membentuk sebuah kategori abstrak, contoh buah, perabot, karya seni. Pasien 


dengan gangguan frontal dan demensia bisa membuat interpretasi yang 


sangat konkret (sebagai contoh, kursi 


dan meja, "anda duduk di salah satunya, dan makan di yang satunya lagi", 


atau "keduanya mempunyai kaki”) 


dan seringkali monoton meskipun 


di-minta untuk memildrkan cara lain 


atau item lain yang serupa,


Selain itu ada  Cognitive Estimates Test merupakan uji formal 


yang dapat dilakukan untuk pemeriksaan abstraksi. Pasien ditanyakan 


pertanyaan mengenai yang memerlukan penilaian wajar untuk menjawabnya. Contohnya, "Seberapa cepat kaki 


kuda berderap?" "Seberapa berat 


menara kantor pos?”


CONTOH masalah 


Pasien, 65 tahun, pensiunan, datang ke IGD


dengan bicara tidak nyambung, tetapi tidak


tampak ada gangguan memori persisten 


atau gangguan perilaku. Pasien mengatakan 


masih aktif dalam pelayanan di angkatan 


Iaut, dan saat ini memiliki tempat tinggal di 


pinggir pantai.


Enam bulan sebelumnya, pasien ditemukan tidak sadarkan diri di atas tempat tidur. 


Pasien sadar kembali, namun tampak bingung, bicara meracau berat dan persisten. 


Pasien percaya bahwa sekarang ini sedang 


masa perang dan masih menjadi anggota 


aktif. Tidak ada gangguan memori terhadap 


kejadian 50 tahun yang lalu. Tidak mampu 


mengingat hal baru. Pasien kurang motivasi 


dan dorongan, sebelumnya pasien sangat aktif, sekarang hanya menonton TV setiap hari.


Riwayat penyakit dahulu: hipertensi dan 


merokok ada. Tidak ada penyakit serebrovaskuler sebelumnya. Konsumsi alkohol ada.


Pem eriksaan fisik: ada  gangguan gerak bola mata ke atas (vertical gaze palsy).


Penilaian kognitif:


1. Penilaian umum: apatis dan tidak fokus. 


Tidak ada insight, perhatian penuh


2. Orientasi: disorientasi berat: mengatakan 


saat ini yaitu  tahun 1945, gagal mengingat waktu lain


3. Atensi: normal; menghitung bulan ke belakang: cepat dan akurat; Rentang digit 


ke depan: 7; Rentang digit ke belakang: 5


4. Fungsi eksekutif frontal: ada  gangguan yang ringan


Kelancaran bicara: berkurang, dengan 


beberapa perseverasi: F, A, S: 10 kata per 


huruf; hewan 12; abstraksi: interpretasi 


normal pada proverb dan persamaan; 


respons inhibisi: normal 5. Memori: ada  defelc yang buruk; Anterograd: registrasi alamat dan nama: 


normal: 6/7 pada percobaan pertama; 


Incidental recall pada percakapan: sangat 


buruk; Retro grad: recall mengalami defisit berat pada riwayat pribadi dan kejadian pada tahun 1940


5. Bahasa: bicara spontan normal, fasih, 


dengan fonologi dan sintaks yang normal; 


tidak ada parafasia; Pemahaman: normal; 


Penamaan: normal: 10/10; Pengulangan: 


normal; Membaca: normal; Menulis: normal


7. Kalkulasi: normal


8. Praksia: tidak ada apraksia orobukal dan 


ekstremitas


9. Fungsi hemisfer kanan: normal; Neglect


phenomena: tidak ada; Visuokonstruksi: 


normal dalam meniru figur 3 dimensi 


dan ROFCT; Visuo-persepsi: tidak ada 


defisit


Skoruji Mental


MMSE: 21/30: berkurang pada poin orientasi dan recall 3 benda


Investigasi


® CT scam normal


® MRI: infark talamus bilateral dan simetris dengan keikutsertaan grup nuclear.


diagnosa : amnestic stroke: bilateral


thalamic infarction (memori)


diagnosa  banding: onset akut dari sindrom amnestik:


® Stroke talamus bilateral atau temporal 


bagian medial


• Sindrom Wernicke-Korsakoff (defisiensi 


vitamin b l), biasanya berkaitan dengan 


alkoholisme


• Kerusakan hipokampus anoksik diikuti 


dengan henti jantung, dll


® Ensefalitis virus herpes simpleks 


® Cedera kepala tertutup


Kesimpulan


Adanya manifestasi Minis koma, yang 


berkembang menjadi amnestic state dengan 


defisit memori anterograd dan retrograd. 


Merupakan Minis khas untuk infark talamus 


bilateral. CT scan pada pascastroke biasanya 


normal, tetapi didapatkan lesi yang klasik 


pada MRI. Semua struktur memori vital diperdarahi oleh A. Serebri posterior. Normalnya, kedua area talamus medial diperdarahi 


oleh arteri yang menembus ke daerah tersebut. Perlu penilaian neuropsikologis pada 


masalah  ini.


Catatan:


® Memori jangka pendek baik


® ada  disfungsi frontal sebab  ada 


gangguan aferenisasi frontal sekunder


• Kelainan pergerakan mata khas untuk 


sindrom ini 




MILD COGNITIVE IMPAIRMENT


l

Keberhasilan pencapaian pembangunan kesehatan akan meningkatkan usia harapan 


hidup. Di negara kita  angka harapan hidup 


meningkat dari 68,6 tahun menjadi 70,8 tahun periode 2004-2015 dan diperkirakan 


akan semakin meningkat pada tahun 2030- 


2035 menjadi 72,2 tahun. Peningkatan usia 


harapan hidup tentu akan menimbulkan 


masalah kesehatan, termasuk penyakit degeneratif yang berdampak terhadap penurunan fungsi kognitif. Adanya penurunan 


fungsi kognitif akan mengganggu aktivitas 


sehari-hari bila sudah berlanjut menjadi demensia. Perawatan demensia sendiri merupakan beban berat yang berdampak sosial 


dan ekonomi bagi keluarga.


Gangguan kognitif seringkali dildasifikasikan sebagai gangguan kognitif demensia dan 


gangguan kognitif nondemensia [mild cognitive impairment/MCI). MCI didefinisikan sebagai penurunan fungsi dari satu atau lebih 


ranah (domain) kognitif sebanyak 1-1,5 standar deviasi di bawah usianya tanpa adanya 


gangguan pada aktivitas sehari-hari. Kondisi 


ini merupakan transisi antara kondisi normal dengan patologis (stadium simptomatik 


predemensia). Demensia diartikan sebagai 


penurunan fungsi dari satu atau lebih ranah 


kognitif dan disertai adanya gangguan fungsi 


sosial dan kehidupan sehari-hari.


EPIDEMIOLOGI


MCI merupakan kondisi yang sering terjadi 


pada usia 65 tahun ke atas dengan prevalensi sekitar 10-20% pada orang tanpa demensia. Prevalensinya meningkat seiring 


pertambahan usia. Beberapa penelitian menyebutkan bahwa MCI dapat menjadi salah 


satu bagian dari stadium prodromal demensia Alzheimer (DA). berdasar  hasil penelitian yang ad a, MCI berisiko berkembang 


menjadi demensia sebanyak 10-15% pertahun dan 80% sesudah  6 tahun.


Insidens terjadinya MCI berkisar antara 


1-6% per tahunnya, sementara prevalensinya diperkirakan antara 3-22% pertahun. 


Secara umum, prevalensi MCI menurut 


Cardiovascular Health Study yaitu  22%. 


Sebanyak 6% diantaranya merupakan MCI 


tipe amnestik dan 16% lainnya mengalami 


MCI ranah jamak, Prevalensi lebih kecil ditemukan oleh grup peneliti dari Australia. Hal 


ini diduga berkaitan dengan adanya bias 


taksiran usia yang lebih rendah dari prevalensi MCI yang sebenarnya.


ETIOLOGI, PATOFISIOLGGI, DAN FAKTOR


RISIKO


Kelainan patologis pada MCI menyerupai perubahan yang didapat pada demensia dan lansia dengan kognitif yang masih baik. Penelitian 


oleh Sidhi (2006) menemukan 89,6% masalah 


MCI pada lansia >60 tahun di dua puskesmas 


Jakarta yang memiliki faktor risiko terbanyak 


berupa diabetes melitus dan tingkat pendidikan rendah. Oleh sebab  itu, pengendalian 


fal<tor risiko merupakan upaya yang harus 


dilakukan dalam mencegah tidak terjadinya 


penurunan fungsi kognitif abnormal.


Secara garis besar faktor risiko pada MCI 


terbagi menjadi faktor risiko demografis 


dan biologis, yaitu:


1. Faktor Risiko Demografis


a. Usia


Merupakan salah satu faktor risiko 


utama penurunan fungsi kognitif. 


Secara umum, semakin tua usia seseorang, maka semakin tinggi kemungkinan untuk mengalami gangguan kognitif. Berbagai studi tentang 


proses penuaan otak menyebutkan 


proses degenerasi otak dimulai 


pada usia 50 tahun dan meningkat 


seiring pertambahan usia. Shankar 


mendapat  bahwa volume dan 


berat otak berkurang sekitar 5% di 


usia 40 tahun dan pengurangan semakin besar sesudah  usia 70 tahun. 


Penurunan ini sejalan dengan penurunan fungsi kognitif. Penurunan 


terjadi terutama pada korteks prefrontal, sehingga dapat mengganggu 


fungsi kognitif, khususnya fungsi 


eksekutif.


b. Jenis kelamin


Secara umum, tidak ada perbedaan 


bermakna antara gangguan kognitif 


pada perempuan dan pria. Walaupun 


demikian, Artero melaporkan terdapat faktor risiko bermakna pada 


pria untuk mengalami perburukan


MCI menjadi demensia. Faktor tersebut mencakup mutasi gen Apolipoprotein alel-E4 (ApoE4), stroke, 


obesitas, diabetes melitus, tingkat 


pendidikan yang rendah, penurunan 


kemampuan instrumental activities


o f daily living (IADL), dan usia. Pada 


wanita, penurunan ini lebih berkaitan dengan penurunan kemampuan 


IADL, ApoE4, tingkat pendidikan 


yang rendah, adanya depresi subklinis, pemberian obat antikolinergik, 


dan pertambahan usia. Selain itu, 


keterbatasan lingkungan pergaulan 


dan insomnia juga dapat memperburuk fungsi kognitif pada wanita.


c. Pendidikan


Pendidikan rendah dinilai berhubungan dengan peningkatan prevalensi demensia, sedangkan pendidikan tinggi 


akan memperlambat timbulnya onset 


demensia. Graves dkk mendapat  


orang yang berpendidikan tinggi mempunyai kapasitas otak yang jauh lebih 


besar dengan jumlah sinaps yang lebih 


banyak jika dibandingkan dengan yang 


berpendidikan rendah.


2. Faktor Risiko Biologis


Faktor biologis dan riwayat penyakit keluarga juga berperan dalam meningkatkan risiko demensia. Beberapa di antaranya yaitu :


a. Penyakit dan faktor risiko kardiovaskular


Baik penyakit maupun faktor risiko 


kardiovaskular telah banyak disebutkan berperan penting pada patogenesis terjadinya penurunan fungsi 


kognitif, terutama demensia. Waldenstein meneliti mengenai peripheral arterial disease (PAD} dan mendapat  bahwa fungsi kognitif pada 


pasien ini lebih buruk dibandingkan 


pasien normotensi dan hipotensi. 


Meski demikian, fungsi kognitif pada 


penyakit stroke masih lebih buruk 


bila dibandingkan dengan PAD.


Telah banyak penelitian yang menyimpulkan bahwa gangguan regulasi tekanan 


darah, khususnya hipertensi, memiliki 


hubungan positif terhadap penurunan 


fungsi kognitif. Mekanisme utamanya 


dipengaruhi oleh tekanan darah sistolik Keadaan ini memicu adanya 


gangguan mikrosirkulasi dan disfungsi 


endotel. Studi dari Fakhrunnisa dkk 


mendapat  prevalensi gangguan 


kognitif pada pasien hipertensi derajat II lebih tinggi (62,5%) daripada 


derajat I (35,1%). Namun, hipotensi 


bukanlah merupakan faktor protektif. Tekanan darah rendah kronis juga 


akan mengiringi penurunan performa 


kognitif, terutama atensi dan memori.


Hubungan antara hiperkolesterolemia dengan gangguan fungsi kognitif 


masih kontroversi. Dikatakan hiperkolesterolemia memiliki hubungan 


yang kuat sebagai faktor risiko terjadinya DA dan demensia vaskular 


(DVa). Sementara itu, pada studi lain 


justru menyebutkan hiperkolesterolemia merupakan faktor protektif terhadap kejadian DA. Meski demikian, 


dari beberapa studi eksperimental 


menyebutkan bahwa metabolisme 


lipid berasosiasi dengan patogenesis 


terjadinya DA dan DVa.


b. Cedera kepala


ada  korelasi antara kerusakan 


otak kronik akibat trauma dengan 


terjadinya DA. Sebanyak 60% masalah  


DA memiliki riwayat pernah mengalami cedera kepala di masa lampau. 


Studi oleh DeKosky mendapat  


bahwa 20-30% kelompok dengan Alzheimer dan Parkinson memiliki riwayat cedera kepala, hanya ada  


8-10% riwayat cedera kepala saja 


pada kelompok kontrol.


Selain DA, dikenal pula demensia pUgilistik atau sindrom punch-drunk yang 


sering terjadi pada mantan petinju, 


pemain bola, dan pegulat. Kedua jenis 


demensia ini berkaitan dengan adanya 


disposisi sel (3-amiloid dan plak senilis. Perbedaan keduanya, yaitu pada 


demensia pugilistik peningkatan disposisi sel p-amiloid tidaklah sebanyak 


pada DA, selain itu, distribusinya lebih 


difus dibandingkan pada Alzheimer.


c. Penyakit endokrin dan metabolik 


Fellgiebel dkk mendapat  bahwa 


gangguan metabolik berperan dalam 


percepatan terjadinya aterosklerosis 


dan penurunan perfusi darah ke otak 


yang berimbas terhadap terjadinya 


neurodegenerasi. Gangguan metabolik yang dapat memicu penurunan fungsi kognitif terutama dikaitkan dengan gangguan kadar glukosa 


darah. berupa hiperglikemia maupun 


hipoglikemia.


Sejumlah bukti menunjukkan bahwa 


peningkatan kadar glukosa darah kronik dan buruknya kendali glikemik 

berkaitan dengan rendahnya performs 


tes memori dan kognitif. Kurniawan 


dkk menyebutkan bahwa kejadian 


MCI berhubungan erat de-ngan kendali glikemik. Semakin buruk kendali 


glikemik, semakin besar kemungkinan terjadinya gangguan kognitif. Hal 


ini diduga berkaitan dengan adanya 


penurunan sintesis dan pelepasan 


asetilkolin serta neurotransmiter lain 


dalam otak.


Kelainan pada hormon tiroid disinyalir 


menjadi salah satu faktor pemicu  


gangguan fungsi kognitif. ada  


dua hipotesis besar yang diterima 


dalam menjelaskan hubungan antar 


keduanya, Hipotesis pertama dan paling diterima yaitu  efek toksik hormon tiroid di SSP. Stres oksidatif otak 


akibat hormon tiroid berlebih atau 


adanya tromboemboli dari jantung 


akibat hipertiroidisme ringan menjadi 


mekanisme yang mendasari terjadinya gangguan fungsi kognitif.


Mekanisme kedua terkait adanya perubahan neurodegeneratif di otak Turunnya kadar thyroid releasing hormone


(TRH) akan memicu penurunan 


kadar thyroid stimulating hormone


(TSH). TRH disekresi tidak hanya oleh 


hipotalamus, tetapi juga bagian lain 


dari otak dan berperan dalam produksi 


neurotransmiter sistem saraf pusat. 


Penurunan TRH ini dikaitkan dengan 


fosforilase dari protein Tau yang berperan dalam patogenesis DA. Selain 


itu, penurunan TRH juga diasosiasikan 


dengan penurunan sintesis asetilkolin 


yang juga terjadi pada DA.


Beberapa studi melaporkan bahwa 


estrogen merupakan neuroprotektor 


yang dapat memperlambat manifestasi 


DA. Defisiensi hormon ini mengakibatkan beberapa gangguan fungsi otak termasuk gangguan transportasi glukosa 


ke hipokampus. Defisiensi juga akan 


berdampak pada gangguan pengambiian kolin sebagai bahan dasar asetilkolin di presinaptik serta merusak reseptor di postsinaptik.


Menurunnya kadar estrogen di hipotalamus memicu  gangguan 


vasomotor perubahan selera makan, 


dan perubahan tekanan darah. Selain itu dapat muncul tanda-tanda 


gangguan perilaku, seperti depresi, 


ansietas, stres, dan demensia. Gangguan tidak hanya terjadi pada wanita 


menopause, tetapi juga lansia pria 


pada umumnya.


Beberapa penelitian mendapat  


peningkatan kadar testosteron bebas 


berkorelasi dengan fungsi kognitif 


secara global. Penelitian oleh Moffat 


dkk dan Cherrier dkk menemukan 


bahwa peningkatan kadar testosteron 


bebas pada usia lanjut berdampak 


pada perbaikan perilaku yang nyata 


serta perbaikan memori visual dan 


verbal, atensi, serta kemampuan visuospasial. Sebaliknya, kadar testosteron rendah berasosiasi dengan peningkatan faktor risiko DA yang tidak 


berkaitan dengan kondisi kesehatan, 


umur, ataupun pendidikan.


d. Faktor genetik


Seperti disebutkan sebelumnya, MCI 


disinyalir merupakan stadium pro­

 

dromal dari terjadinya DA. ApoE4 


disebut berperan secara genetik 


terhadap terjadinya MCI. ApoE4 


berperan sebagai mediator deposisi amiloid dan peningkatan deposisi ini ditemukan pada stadium dini 


DA. Sekitar 70% autosomal dominan 


dari DA presenilis memiliki kesalahan pada kromosom 14, 21, dan 1, 


sedang-kan pada DA senilis terletak 


pada kromosom 19 dari gen ApoE4.


e. Faktor neuropsikiatrik


Canadian Study o f Health dan Aging


(CSHA) mendapat  bahwa gangguan psikiatrik berisiko meningkatkan angka demensia yaitu  depresi, 


kehilangan minat, perubahan kepribadian, dan mood. Gangguan ini berisiko 


berkembang menjadi demensia dalam 


5 tahun. Stres berlebih dan berkelanjutan akan memperburuk fungsi hipokampus. Ini terjadi akibat intoksikasi kortisol langsung di hipokampus 


dapat memicu gangguan metabolisme ataupun kematian neuron, 


berupa gangguan pembelajaran dan 


memori bailt pada hewan percobaan 


maupun pada manusia.


f. Proses autoimun dan inflamasi 


Proses penuaan dan kerusakan sel 


otak dapat dipercepat dengan adanya 


proses autoimun maupun inflamasi. 


Autoantibodi yang bereaksi dengan 


sel-sel saraf dapat ditemukan pada 


plasma hewan percobaan dan juga 


usia lanjut. Pada serum pasien DA 


sering ditemukan antigen terhadap


neurofilamen. Penanda imun seperti 


human leukocyte antigen (HLA-B7, 


BW15, dan CW3) juga ditemukan meningkat sebagaimana pada penyakit 


autoimun lainnya. Proses inflamasi 


dapat memicu  kerusakan 


neuron pada patofisiologi DA dengan 


cara peningkatan IL-1 dan penurunan 


CD8. Berbeda dengan penyakit Parkinson dan DVa, ditemukan penumpukan sitokin IL-ip, IL-2, dan IL-3 


pada jaringan hipokampus pasien DA.


g. Radikal bebas


Radikal bebas dapat memicu 


perubahan ldmiawi yang berimplikasi 


terhadap kerusakan berbagai komponen jaringan tubuh seperti protein, lipid, karbohidrat, dan nukleotida. Proses peroksidasi lipid pada membran sel 


kemudian berlanjut menjadi proses 


autokatalisis pada neuron menjadi 


pemicu  DA. Proses ini secara langsung memicu kematian neuron 


yang dapat berdampak pada aktivasi 


neurotransmiter lainnya, seperti asam 


amino eksitatorik yang bersifat toksik 


dan mengganggu produksi ATP.


GEJALA DAN TANDA KLINIS


MCI pertama kali diperkenalkan oleh Petersen pada tahun 1999, Istilah ini dipakai  


untuk menggambarkan suatu keadaan transisi antara stadium normal dan stadium 


ringan DA, yaitu adanya gangguan kognitif 


awal berupa gangguan fungsi memori, namun aktivitas sehari-hari masih dalam batas 


normal. 

Dalam berbagai penelitian, Petersen menemukan subyek dengan MCI dapat memiliki gangguan pada satu atau beberapa 


ranah lainnya selain memori. Keadaan ini 


terutama pada kelompok lanjut usia yang 


sudah memiliki faktor risiko vaskular, seperti hipertensi dan diabetes melitus. Petersen kemudian membagi MCI menjadi 


empat subgrup, yaitu (Tabel 1):


1. MCI amnestik (MCIa) ranah tunggal 


MCIa ialah tipe MCI dengan gangguan 


memori saja tanpa disertai gangguan fungsi kognitif lain. Etiologi tipe ini ialah faktor 


degeneratif. Jenis ini diasumsikan sebagai 


subkelas MCI yang akan berkembang menjadi DA. Menurut Petersen RC, 10-15% 


subyek dengan MCIa akan berkonversi 


menjadi DA dalam waktu 3-6 tahun.


2. MCI amnestik ranah jamak (memori disertai gangguan kognitif lain]


MCI tipe Ini merupakan MCI dengan gangguan memori sebagai gangguan utama 


dan disertai gangguan fungsi kognitif 


lainnya. MCI tipe amnestik, baik ranah 


tunggal maupun jamak, berpotensi menjadi DA ke depannya.


3. MCI non-amnestik ranah tunggal (MCI 


non-amnestic single domain/ MCI-NASD)


MCI non-amnestik ranah tunggal yaitu  


MCI dengan gangguan pada satu ranah 


fungsi kognitif selain memori. Etiologi 


tipe ini yaitu  faktor degeneratif, tetapi 


dapat pula vaskular. Mayoritas pasien, 


akan berkembang menjadi demensia 


lain selain DA.


4. MCI non-amnestik ranah jamak (satu 


atau lebih ranah nonmemori)


MCI tipe ini merupakan MCI dengan 


gangguan pada lebih dari satu ranah 


kognitif. Etiologinya yaitu  campuran 


antara faktor degeneratif dan vaskular. 


jenis ini diasumsikan akan berkembang 


menjadi DVa atau demensia badan Lewy.


diagnosa  DAN diagnosa  BANDING


Penegakan diagnosa  MCI dilakukan berdasarkan anamnesis lengkap, pemeriksaan 


status neurologi termasuk pemeriksaan 


status mental dan neurobehaviour lengkap. 


Berikut ini yaitu  kriteria yang dibutuhkan 


dalam penegakan MCI:

 

1. Keluhan penurunan fungsi memori dari 


pasien dan informan


2. Gangguan memori sesuai dengan usia 


dan pendidikan.


3. Fungsi kognitifsecara umum masih baik


4. Fungsi aktivitas sehari-hari masih baik


5. Tidak demensia


Secara umum, penegakan diagnosa  pada 


MCI, dimuiai dengan ditentukan dari ada/tidaknya gangguan memori. Jika hanya ranah 


memori saja yang terganggu, termasuk MCI 


tipe amnestik, namun jika disertai ranah 


yang lain terganggu, maka termasuk MCI 


tipe amnestik ranah jamak. Apabila keluhan 


awal bukan memori, ini merupakan MCI 


tipe non-amnestik (Gambar 2].


Selain anamnesis yang didapat dari pasien 


dan informan, penegakan diagnosa  MCI juga 


ditunjang dengan pemeriksaan lanjutan. 


Pemeriksaannya mencakup pemeriksaan 


laboratorium dan pencitraan untuk mencari etiologi. Sindrom MCI akibat degeneratif 


akan memberikan gejala klinis yang sifatnya 


bertahap dan progresif, sedangkan apabila 


etiologi akibat gangguan pembuluh darah 


akan bersifat akut, memiliki faktor risiko 


vaskular, riwayat stroke, dan serangan iskemik sepintas/transient ischemic attack (TIA].


Pada akhirnya gejala dan tanda klinis MCI 


dapat berakhir menjadi penyakit degeneratif yang lebih berat. Tabel 2 merupakan bentuk lanjut dari MCI sesuai dengan riwayat, 


gejala, ataupun tanda ldinisnya. 

TATA LAKSANA


Tidak ada bukti ilmiah obat-obatan yang 


dapat mencegah MCI menjadi demensia secara efektif. Strategi utama tata laksana pencegahan terjadinya demensia lebih ditekankan 


pada pengendalian faktor risiko vaskular dan 


prevensi stroke primer maupun sekunder. 


Strategi ini mencakup kontrol tekanan darah, 


berhenti merokok, pemakaian  statin, terapi 


antiplatelet, dan antikoagulan.


Meski demikian, selain strategi di atas, beberapa kepustakaan masih tetap memberikan 


terapi medikamentosa pada pasien-pasien 


dengan gangguan kognitif, pemakaian  


penghambat kolinesterase [memantin] direkomendasikan untuk mengatasi gejala 


apati, dan pemberian golongan SSRI untuk 


mengatasi gejala depresi serta ansietas.


Beberapa penelitian menyebutkan ada  


hubungan plastisitas otak dengan fungsi kognitif. Melalui mekanisme ketahanan faktor 


neurotropik pada otak terutama brain-derived


neurotrophic factor (BDNF). BDNF akan berperan sebagai mediator utama dari efikasi 


sinaptik, penghubungan sel saraf dan plastisitas sel saraf. Aktivitas fisik dan mental/ 


kognitif yang rutin dilakukan setiap hari akan 


meningkatkan sirkulasi dan oksigenasi otak, 


sehingga dapat meningkatkan kemampuan 


berpikir. Aktivitas fisik dapat berupa olahraga 


rutin, kendali stres, interaksi sosial yang baik 


dengan lingkungan, dan stimulasi kognitif.


Wreksoatmodjo memperlihatkan bahwa 


pasien lanjut usia yang melakukan aktivitas 


kognitif secara rutin akan mempunyai fungsi 


kognitif yang lebih baik dibandingkan yang 


tidak memakai  penilaian indeks social


disengagement Aktivitas kognitif ini  


meliputi, kegiatan berupa permainan halma/catur/teka teki silang/kartu/sudoku 


secara teratur, kegiatan memasak mandiri, 


mengerjakan hobi, membaca buku/majalah/koran, menonton siaran berita, ataupun menonton siaran televisi/bioskop.


CONTOH masalah 


Pasien laki-laki-laki 56 tahun berobat ke 


poli fungsi luhur dengan keluhan mulai 


sering lupa dalam aktivitas sehari-hari. 


Pasien diketahui menderita hipertensi semenjak 5 tahun yang tidak kontrol rutin 


makan obat. Tidak ada riwayat diabetes, 


stroke, penyakit jantung, dan pasien tidak 


merokok. Pasien tidak pernah olahraga rutin sejak pensiun dan lebih banyak diam 


di rumah. Pemeriksaan fisik didapatkan 


tekanan darah 180/90mmHg, nadi 88x/ 


menit, suhu 36,5°C respirasi 18x/menit. 


status neurologi tidak ada defisit neurologis saraf kranial funduskopi ditemukan 


fundus hipertensi derajat II, motorik, sensorik, dan otonom. Pemeriksaan tes MoCA 


didapatkan skor 25/30.


Pertanyaan


1. Anamnesis dan pemeriksaan apa yang 


perlu ditambahkan?


2. Apa diagnosa  gangguan kognitif pada 


pasien ini?


3. Bagaimana tata laksana pada pasien ini?


Pembahasan masalah 


X. Anamnesis yang perlu ditanyakan:


® Pendidikan terakhir pasien


• Riwayat penyakit dan obat-obatan 


yang dapat menggangu fungsi kognitif


® Riwayat penyakit lain seperti trauma 


kepala, infeksi otak, tumor otak, epilepsi, dan lain-lain 

Riwayat keluarga dengan penurunan 


kognitif seperti DA, vaskular, dan lain-lain


© Riwayat aktivitas sehari-hari dan 


hobi yang masih disenangi, interaksi 


aktivitas sosial


Pemeriksaan yang perlu ditambahkan:


® Pemeriksaan fisik


® Status emosional


® Pemeriksaan laboratorium: laboratorium darah tepi, hiperlipidemia, hiperurisemia, gangguan tiroid, fungsi ginjal


® Pemeriksaan imaging MRI |ika dicurigai gangguan akibat hipertensi small


vesel disease


2. MCI tipe amnestik


3. pengobatan 


® Pengendalian faktor risiko yang di 


dapatkan dan terapi nonmedikamentosa aktivitas fisik dan mental dengan 


stimulasi kognitif


® Edukasi


© Penjelasan tentang perjalanan penyakit dan pentingnya pengendalian faktor risiko hipertensi dengan kognitif 




DEMENSIA




Peningkatan pelayanan kesehatan yang disertai dengan peningkatan kualitas hidup, 


akan meningkatkan usia harapan hidup di 


negara maju dan berkembang. Hal ini meningkatkan populasi usia lanjut, sehingga 


akan terjadi peningkatan jumlah orang dengan demensia.


Demensia merupakan sindrom penurunan 


fungsi intelektuai yang cukup berat dibandingkan sebelumnya, sehingga mengganggu 


aktivitas sosial dan profesional dalam aktivitas hidup keseharian (actvity o f daily living),


biasanya disertai perubahan perilaku yang 


bukan disebabkan oleh delirium maupun 


gangguan psikiatri mayor. Penyakit ini terutama terjadi pada usia lanjut dan bukan 


merupakan kondisi normal sebab  berkaitan dengan penyakit neurodegeneratif.


Demensia yang paling banyak terjadi yaitu  


demensia Alzheimer [DA), mencapai lebih 


dari setengah masalah  demensia. Demensia 


lainnya yang juga umum terjadi yaitu  demensia vaskular (DVa), demensia badan 


Lewy/Lewy bodies [DLB], demensia penyakit Parkinson (DPP), demensia frontotemporal (DFT), dan demensia campuran. Sifatnya yang kronik progresif memengaruhi 


kapasitas dan kualitas hidup pasien, sehingga diagnosa  demensia penting ditegakkan sejak dini agar dapat dilakukan penatalaksanaan yang komprehensif baik dari segi 


medis maupun sosial ekonomi.


EPIDEMIOLOGI


Data World Health Organization (WHO) 


menunjukan hampir 48 juta orang di dunia 


hidup dengan demensia. ada  7,7 juta masalah  baru tiap tahun dan lebih dari setengahnya (63%) hidup di negara-negara kelas 


menengah ke bawah. Prince dkk (2010) 


mendapat  58% orang dengan demensia hidup di negara kelas menengah ke 


bawah yang diramalkan meningkat hingga 


63% di tahun 2030 dan 71% di tahun 2050. 


Sayangnya angka ini tidak mencakup studi 


dari negara kita .


Data statistik mengenai DA secara global 


diperkirakan mencapai 24 juta masalah , yaitu 


60% dari keseluruhan demensia, sedangkan 


DVa merupakan tipe demensia terbanyak 


kedua sesudah  DA (20% ). Hal ini tampaknya berkaitan sebab  kedua tipe demensia 


ini memiliki faktor risiko yang sama. Prevalensi DLB maupun DFT belum diketahui 


secara pasti. Prevalensi DLB ditaksir antara 


satu masalah  per 25 masalah  demensia di komunitas dan satu per 13 masalah  di fasilitas 


kesehatan sekunder. Angka ini  diperkirakan dapat lebih tinggi, namun terkendala penegakan diagnosa nya. DFT merupakan bentuk demensia onset dini tersering 

kedua sesudah  DA, dengan prevalensi antara 


2,7-15,1 per 100.000 usia dewasa. Prevalensi tertinggi DFT dilaporkan dari studi 


di Inggris dan Italia, yaitu 15-22 masalah  per


100,000 penduduk berusia 45-65 tahun,


DEMENSIA ALZHEIMER


A. Patofisiologi


Neuropatologinya terutama berhubungan 


dengan peptida beta-amiloid (A(3), serta 


neurofibrillary tangles (NFTsj yang berasal 


dari hiperfosforilasi protein tau, Karakteristik neuropatologi DA yaitu  berupa 


hilangnya neuronal selektif dan sinaps, 


adanya plak neuritik yang mengandung 


peptida beta-amiloid (Ap), serta neurofibrillary tangles (NFTsj yang berasal dari 


hiperfosforilasi protein tau (Gambar 1). 


Plak neuritik yang terjadi merupakan 


lesi ekstraseluler yang tersusun atas inti 


sentral dari agregasi Ap peptida yang 


dikelilingi oleh distrofi neuritik, aktivasi mikroglial, dan astrosit reaktif. NFTs 


sendiri merupakan buntalan filamen 


dalam sitoplasma sel saraf yang mengelilingi sel saraf.


Deposisi Ap pada otak merupakan salah 


satu implikasi dari patogenesis DA. Pada 


proses neurodegenerasi demensia, akumulasi Ap (khususnya Ap42 peptida) pada 


otak merupakan inisiasi terjadinya disfungsi neuron. Adanya mutasi gen amyloid precursor protein (APP) padakromosom 21, presenilin (PS)1 pada kromosom 


14, dan PS2 pada kromosom 1 mengarah 


pada early-onset DA tipe familial. Pada tipe 


ini terjadi produksi berlebihan dan/atau 


peningkatan agregasi Ap. Beta-amiloid


merupakan produk fisiologi normal dari 


APP dan merupakan komponen solubel 


dari plasma dan cairan serebrospinal.


ada  dua varian terminal karboksil 


dari Ap, yaitu AP40 yang merupakan sekret 


spesies utama dari sel kultur dan ada  


pada cairan serebrospinal. Varian kedua 


yaitu  Ap42 yang merupakan komponen 


utama amiloid yang berdeposit di otak 


pada DA. Peningkatan Ap42 lebih sering 


mengalami agregasi dan membentuk 


fibril. Neurotoksin yang dihasilkan oleh 


agregasi Ap akan memicu beberapa 


mekanisme, seperti akumulasi radikal 


bebas, disregulasi dari homeostasis kalsium, respons inflamasi, dan adanya aktivasi dari beberapa signaling pathway


Dapat disimpulkan bahwa neuropatologi 


DA kompleks, multifaktorial, dan melibatkan berbagai mediator kimiawi yang 


berkaitan dengan proses degeneratif di 


otak (Gambar 1).


B. Gejala dan Tanda Klinis


DA ditandai dengan penurunan fungsi 


kognitif yang didahului oleh penurunan 


daya ingat dan pada akhirnya akan mengenai seluruh intelektualitas pasien 


dan memicu beban dalam menjalani aktivitas sehari-hari ringan sekalipun. Ranah kognitif yang paling terganggu yaitu  memori dengan kemampuan 


rekognisi terganggu. Gejala ini muncul 


perlahan-lahan dan bertambah berat, sehingga ranah kognitif lain, seperti visuospasial, fungsi eksekutif, memori, atensi, 


dan bahasa dapat terganggu.

 C. diagnosa  dan diagnosa  Banding


diagnosa  demensia harus dilakukan 


melalui evaluasi komprehensif dengan 


tujuan untuk diagnosa  dini, penilaian 


komplikasi, dan penegakan pemicu  


demensia. Pedoman DSM-IV sering digunakan sebagai baku emas, yaitu mengharuskan adanya gangguan memori


ditambah satu dari afasia, apraksia, agnosia, atau disfungsi eksekutif.


D. Tata Laksana


1. Medikamentosa


a. Inhibitor asetilkolinesterase 


[acetylcholinesterase inhibitor j


AChE-I) AChE-I bekerja sebagai penguat 


kognisi dengan meningkatkan kadar asetilkolin di otak untuk mengkompensasi hilangnya fungsi kolinergik. Ada beberapa pilihan, yaitu:


® Donepezil


Donepezil efektif dalam terapi 


penurunan kognisi DA ringansedang dan DA sedang-berat. 


Dosis lOmg/hari memberikan 


manfaat iebih besar dibandingkan 5mg/hari. Insidens 


efek samping donepezil dibandingkan dengan plasebo tidak 


jauh berbeda, efek itupun hanya 


bersifat sementara, dengan derajat ringan atau sedang.


® Galantamin


Galantamin memberi manfaat, 


namun hanya sedildt perbaikan 


pada DA ringan-sedang, demikian pula pada DA sedang-berat 


Meskipun galantamin dapat 


memperbaiki fungsi kognitif,