amstring, rotator hip, dan kuadratus yang kaku. Namun ini
seringkah tidak spesifik dan dapat ditemukan pada pasien dengan
penyebab nyeri pinggang bawah lainnya.
Pemeriksaan kekuatan dan tonus otot, refleks, dan sensoris
(sentuhan ringan, pinprick dan distribusi dermatome) perlu
dilakukan pada kasus terjadinya jepitan serat saraf akibat kista
sinovial atau hipertrofi sendi facet.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
RADIOLOGI
PLAIN X-RAY
Proses degeneratif pada tulang belakang lumbal memiliki
etiologi yang berbeda dengan proses degeneratif pada tangan, hip,
ataupun lutut sehingga patofisiologinya pun berbeda di antara
subtipe OA yang ada di sendi - sendi besar lainnya. Hal ini
memicu adanya perbedaan gambaran radiologi pada OA
lumbal dibanding OA di tempat lain. Klasifikasi grading
Kellgren-Lawrence (K-L) pada OA lutut akan memberi grading
lebih besar pada pasien dengan OA lumbal.
Perubahan degeneratif pada tulang belakang biasanya
diidentifikasi sebagai fitur radiografi individu (IRF) seperti
penyempitan ruang diskus intervertebralis, adanya osteofit vertebral
dan OA sendi facet (defek tulang rawan pada sendi facet). Prevalensi
penyempitan ruang diskus intervertebralis berbasis komunitas
(rata-rata berusia> 65 tahun) diperkirakan terjadi antara 50-64%
populasi, sedangkan osteofit vertebral memiliki
perkiraan prevalensi antara 75-94%. Osteoarthritis sendi facet
yaitu proses multifaktorial yang dianggap sebagai hasil tidak
langsung dari penyempitan ruang diskus intervertebralis.
Radiografi standar, terutama pada oblique view, memiliki nilai
diagnosis yang terbatas. Sendi facet berada dalam posisi miring dan
memiliki konfigurasi melengkung. Bahkan pada oblique view, hanya
bagian sendi yang berorientasi sejajar dengan X-ray yang dapat
terlihat. Oleh karena itu, radiografi standar dengan X-ray ini hanya
dapat digunakan untuk skrining OA sendi facet.
Computed Tomography (CT)
Dibandingkan dengan radiografi standar, CT dapat
memperbaiki pencitraan sendi facet karena memiliki kemampuan
untuk memperlihatkan sendi facet di bidang axial dan gambaran
kontras yang tinggi antara struktur tulang dan jaringan lunak
sekitarnya. Kelainan yang terkait dengan OA dapat ditunjukkan dan
dikategorikan dengan gambaran CT. Empat grading osteoarthritis
sendi facet didefinisikan dengan kriteria oleh Pathria et al yaitu grade
0 (normal), grade 1 (penyakit degeneratif ringan), grade 2 (penyakit
degeneratif sedang) dan grade 3 (penyakit degeneratif berat).
Kriteria penilaian ini juga berlaku pada pemeriksaan dengan MRI.
Gambar 4.3. Grading osteoarthritis sendi facet menurut Pathria et al. yaitu
grade 0 (normal), grade 1 (penyakit degeneratif ringan), grade 2 (penyakit
degeneratif sedang) dan grade 3 (penyakit degeneratif berat).
nbaran
Grade Criteria
CT lebih unggul dari pencitraan MRI dalam penggambaran
penyempitan ruang sendi dan sklerosis subkondral dan mewakili
pemeriksaan terpilih dalam diagnosis degenerasi sendi facet.
Magnetic Resonance Imaging (MRI)
Magnetic resonance imaging (MRI) yaitu metode pencitraan
pilihan untuk penyakit degeneratif diskus, stenosis tulang belakang,
infeksi, dan neoplasia pada tulang belakang lumbar. Computed
tomography scan (CT) telah banyak digantikan oleh MRI untuk
diagnosis penyakit-penyakit ini . Pencitraan MRI secara akurat
menunjukkan kelainan struktur tulang belakang posterior. Namun,
untuk penggunaan klinis rutin, pencitraan ini belum ekuivalen
dengan CT scan untuk evaluasi sendi facet.
Proses degenerasi yang terjadi ditandai dengan fibrilasi, fisura
dan ulserasi tulang rawan artikular yang dimulai dari lapisan tulang
rawan superfisial ke lapisan yang dalam. Proses ini biasanya
ditandai respons proliferatif dengan pembentukan osteofit dan
sklerosis tulang subkondral. Selain daripada itu, kista subkondral
dan inflamasi sinovial mungkin ada. Pada sendi facet terjadi
hipertrofi proses artikular yang tidak identik dengan pembentukan
osteofit. Kelainan yang terkait pada OA dapat ditunjukkan dan
dikategorikan dengan
gambaran MRI seperti pada
gambaran CT.
0 Normal facet joint space (2-4 mm width)
1 Narrowing of the facet joint space « 2 mm) and/or small osteophytes and/or mild
hypertrophy of the articular process
2 Narrowing of the facet joint space and/or moderate osteophytes and/or moderate
hypertrophy of the articular process and/or mild subarticular bone erosions
3 Narrowing of the facet joint space and/or large osteophytes and/or severe hypertrophy
of the articular process and/or severe subarticular bone erosions and/or subchondral cysts
Gambar 4.4. Grading osteoarthritis sendi facet pada gambaran MRI seperti
pada gambaran CT.
LABORATORIUM
Pemeriksaan laboratorium secara umum tidak spesifik. Pada
pemeriksaan laboratorium mungkin didapatkan peningkatan
marker infeksi yaitu hsCRP dan LED serta peningkatan COMP dan
rasio kadar IL-6/IL-10 sebagai faktor risiko terjadinya OA lumbal.
DIAGNOSIS
DiagnosisOA lumbal didapatkan secara klinis dan radiologis.
Secara klinis, didapatkan adanya tanda peradangan sendi berupa
nyeri pada pinggang bawah (tulang belakang lumbal) dengan
gambaran nyeri yang khas terutama saat posisi ekstensi fleksi
penuh. Nyeri ini terlokalisir ataupun menjalar yang disertai
dengan gambaran radiologis adanya penyempitan ruang diskus
intervertebralis, adanya vertebral osteofit serta defek tulang rawan
pada sendi facet pada pemeriksaan plain x-ray lumbosakral AP/lateral
dan oblique, CT maupun MRI.
TATALAKSANA Non
Operatif
1. Non Medikamentosa:
a. Edukasi dan modifikasi gaya hidup.
Pemberian pengetahuan/ penjelasan yang baik dan benar
tentang penyakit yang dideritanya beserta dengan
penyebabnya, atau hal yang mendasari penyebabnya
sehingga dapat dilakukan upaya memperlambat proses
degenerasi yang terjadi. Olah raga low impact (berjalan
kaki, bersepeda, berenang) dapat membantu
meningkatkan kekuatan dan fleksibilitas otot, serta
membantu menunjang tulang belakang. Program olah
raga ditingkatkan secara bertahap sesuai yang
direkomendasikan. Pengendalian terhadap berat badan
juga perlu dilakukan untuk mengurangi beban axial yang
dapat memperberat penyakit.
b. Istirahat yang cukup saat tahap akut.
c. Terapi fisik dengan superficial heat dan cryotherapy dapat
pula membantu relaksasi otot dan mengurangi nyeri.
d. Back external support yang adekuat dengan memakai
korset lumbar atau kursi roda bila diperlukan
2. Medikamentosa
a. Analgetik anti-inflamasi nonsteroid untuk penghilang
rasa sakit (seperti acetaminophen, aspirin, dan obat
anti-inflamasi nonsteroid lainnya), krim topikal, dan
opioid (seperti kodein).
b. Injeksi/suntikan yang menargetkan langsung pada ruang
epidural (ruang sempit antara selaput yang menutupi
sumsum tulang belakang dan dinding kanal tulang
belakang), sendi facet atau blok pada saraf tulang belakang
tertentu.
i. Facet Joint Block
ii. Medial Branch Block
Hi. Nerve Root Block
Terapi Operatif
Pembedahan bukanlah tatalaksana lini pertama pada nyeri
pinggang bawah yang disebabkan oleh OA lumbal. Beberapa
keadaan yang mengindikasikan perlunya tindakan operasi dapat
berupa nyeri yang tidak tertahankan, refrakter dan tidak membaik
dengan terapi non operatif, adanya gangguan neurologis seperti
penurunan kekuatan otot atau sensibilitas yang memberat, serta
adanya tanda cauda equine syndrome seperti hilangnya fungsi usus
atau kandung kemih atau adanya saddle anesthesia (yaitu,
berkurangnya sensasi daerah perineum, seperti hilangnya
kemampuan untuk merasakan kertas toilet yang menyentuh kulit).
Indikasi lainnya yang mungkin memerlukan evaluasi bedah
mencakup tanda dan gejala keganasan (misalnya penurunan berat
badan yang cepat dan tidak diinginkan; riwayat kanker; nyeri saat
malam hari; temuan radiologis), demam yang
tidak dapat dijelaskan, atau defisit neurologis yang
berkembang dengan cepat.
Tindakan pembedahan dapat berupa fusi lumbar antara lain
dengan fusi posterolateral dan fusi anterior interbody. Ada pula
klinisi yang mengerjakan discectomy, fusi interbody, facetectomy dan
fusi posterolateral. Prosedur dekompresi diskus saat ini sudah
dikembangkan dengan memakai metode perkutaneus laser
ataupun dengan memakai prosedur minimal invasif.
LUMBAL DISK HERNIATION
proses degeneratif pada tulang belakang diduga diawali dengan
adanya degenerasi diskus. Degenerasi diskus ini
memicu ketidakstabilan segmental yang meningkatkan
beban pada sendi facet dan memicu kerusakan pada tulang
rawan sendi. Berbagai faktor yang diduga sebagai faktor risiko
terjadinya herniasi diskus yaitu merokok, berkendaraan motor
dalam waktu lama, mengangkat beban berat secara repetitif dan
sering, serta gerakan twisting.
Herniasi diskus lumbal merupakan salah satu diagnosis
paling sering ditemukan pada pasien yang datang ke klinik tulang
belakang. Angka prevalensi terjadinya herniasi diskus lumbal secara
tepat sulit ditentukan karena 10 - 81% pasien tidak menunjukkan
gejala. Sekitar 1% pasien mengalami gejala radikulopati. Meskipun
semua tempat pada tulang belakang dapat terkena, sekitar 85 - 90%
kasus herniasi lumbal terjadi pada L4-L5 dan L5-S1.
Studi kembar monozigotik telah dilakukan untuk mencari
faktor resiko yang berhubungan dengan penyebab peningkatan
proses degeneratif. Meskipun ada beberapa faktor yang masih
meragukan, beberapa menunjukkan peranan yang penting dalam
mempercepat proses degeneratif pada diskus. Faktor resiko umum
yaitu mengangkat beban berat, merokok, dan usia. Faktor genetik
juga merupakan faktor yang berpengaruh pada degenerasi diskus.
Faktor genetik berpengaruh sekitar 61% pada level T12-L4 dan 41%
pada L4-S1.
P
Patofisiologi
Berbagai perubahan biomekanik yang terjadi pada diskus
sejalan dengan usia memicu terjadinya degenerasi diskus.
Keadaan ini dapat disebabkan oleh melemahnya struktur
penyokong diskus yang berupa hilangnya daya kohesi molekul pada
nukleus pulposus dan fisura pada annulus fibrosus. Proses ini secara
lebih lanjut akan memicu herniasi dari nukleus pulposus yang
melewati annulus fibrosus dan juga ke dalam kanalis spinalis atau
ke serat saraf lumbar terdekatnya.
Diskus intervertebralis membentuk batas anterior dari kanalis
spinal pada tingkat sendi facet dan foramen intervertebralis. Di atas
dan posterior dari vertebral body dan diskus posterior margin yaitu
ligamen longitudinal posterior. Ligamen longitudinal posterior
memiliki struktur yang relatif tipis, terutama saat melebar ke lateral
melintasi diskus intervertebralis dan lebih pada regio kaudal
daripada lumbal. Hal ini memicu herniasi sering terjadi di
daerah posterolateral pada level lumbal bawah (yaitu L4-L5 dan
L5-S1). Anatomi vertebra lumbal dan struktur saraf di dalamnya
berhubungan dengan level neurologis yang terkena. Herniasi
posterolateral akan mempengaruhi serat saraf dari segmen vertebra
bawah (transversing root), sedangkan herniasi diskus foramina! akan
mempengaruhi serat saraf dari segmen vertebra atas (exiting root).
Terminologi dan klasifikasi
Istilah yang digunakan harus mendefinisikan secara jelas
tentang perubahan patologi anatomi yang muncul yang biasa
disebut dengan prolaps disk atau herniasi disk. Apakah diskus
menonjol pada annulus fibrosus yang masih utuh atau apakah
terjadi prolaps dengan fragmen bebas dari jaringan diskus yang
terletak di luar ruangan diskus? Berbagai macam keadaan dapat
muncul, dari displacement intradiscal jaringan sampai pemisahan
jaringan disk pada kanalis spinalis.
Konsensus terkini di negara Jerman memakai istilah
protrusi dan prolaps, mengikuti rekomendasi dari bagian penyakit
degeneratif spinal bedah orthopaedi Jerman.
PROTRUSI
Protusi diskus merupakan penonjolan diskus dimana seluruh
bagian annulus fibrosusnya masih intak. Protrusi ini dapat
digolongkan ke dalam dislokasi grade I dan grade II dimana
jaringan diskus displaced di dalam diskus tetapi cincin fibrus
disekelilingnya masih intak. Hal ini juga dapat dikategorikan
sebagai contained disk. Protrusion dapat terjadi ke arah tengah
(sentral), medial atau paramedial.
Penonjolan annulus fibrosus biasanya ditemukan multipel dan
pada level yang segmental secara simultan, dan akan lebih terlihat
saat axial loading dan backward bending. Penonjolan ini memegang
peranan penting pada penyempitan kanalis spinalis pada lumbal
spinal kanal stenosis.
PROLAPS
Prolaps dari diskus melibatkan perforasi komplit dari annulus
fibrosus dan membran ventral epidural. Dislokasi jaringan diskus
dimana fragmen intraspinal masih berhubungan dengan diskus tapi
masih ditutupi membran ventral epidural merupakan dislokasi
grade III, sedangkan apabila fragmen intraspinalnya mengalami
perforasi melewati membrane ventral epidural disebut dislokasi
grade IV (terletak "sebagian di dalam dan sebagian di luar").
Fragmen bebas (dislokasi grade V) terletak bebas di dalam ruangan
epidural dan tidak memiliki hubungan dengan diskus.
Bila terjadi perforasi pada batas posterior dari diskus, jaringan
diskus dapat keluar ke berbagai arah. Pada umumnya, jaringan
prolaps ke arah lateral dan kaudal sepanjang serabut saraf, menekan
serabut saraf dari sisi ventral. Serabut saraf ditekan oleh dinding
posterior dari kanalis spinalis (lamina, ligamentum flavum).
Jaringan dapat mengalami prolaps ke arah kranial atau kaudal dan
menekan serabut saraf pada level yang berdekatan.
Seandainya terjadi prolaps ke arah medial, serabut saraf pada
sisi yang berlawanan dapat mengalami penekanan, hasilnya
terjadilah sciatica. Jaringan ini juga dapat bermigrasi di sekitar
duramater dan menekan serabut saraf dari sisi dorsal. Sangat jarang
terjadi, fragmen keras seperti intradural atau intratekal dapat
merobek bagian ventral duramater dari lumbal sac.
PERUBAHAN SPONTAN PADA PROLAPS DISK
Sekali jaringan diskus keluar dari ruangan intervertebralis dan
masuk pada ruangan epidural, maka kondisi metabolik akan terjadi.
Jaringan diskus mendapat nutrisi melalui tekanan difusi secara
normal pada cairan di dalam diskus, namun sekarang tiba - tiba
berkurang dan terekspos oleh cairan limfa.
saat jaringan diskus tidak lagi mendapat tekanan intradiskal,
maka jaringan diskus akan mengambil cairan di sekitarnya dan
terjadilah pembengkakan dan peningkatan dari volume diskus. Ini
terjadi karena hukum osmolaritas dan tekanan intrinsik pada
jaringan diskus. Peningkatan penyerapan cairan pada prolaps
jaringan dapat terlihat pada foto T2 MRI. Prolaps jaringan akan
memberi gambaran peningkatan signal dibandingkan diskus
pada foto ini .
saat air dan volume berkurang maka tekanan pada saraf
berkurang. Polimerisasi dan degradasi enzim pada molekul
hidrofilik pada fragmen diskus memicu diskus kehilangan
turgor.
Herniation
subllgamentous
fragment
Covered Prolapse communicating Free
prolapse with the disk sequestrum
Transllgamentous
extrusion
Non contained disc -
SB
!f
Fre* fragment
Disk prolapse
Gambar 4.6. Gambaran prolaps diskus (sagittal dan axial I’iew)
Jepitan secara mekanik dan proses biokimia yang terjadi dapat
mempengaruhi jaringan diskus, struktur saraf epidural dan memicu
reaksi inflamasi untuk mempercepat degradasi dari jaringan diskus.
Fragmen kecil diserap oleh proses fagositosis.
Fragmen diskus yang besar akan mengalami degradasi oleh
vaskularisasi dan jaringan ikat dari lemak epidural. Jaringan
nukleus pulposus lebih mudah didegradasi oleh makrofag dan sel T
daripada jaringan annulus fibrosus. Bagian dari annulus fibrosus
dan tulang rawan end plate d i resorpsi lebih lambat dari nuklesus
pulposus.
MANIFESTASI KLINIS
Pasien dengan herniasi simptomatik biasanya mencari
pengobatan akibat dari nyeri yang dirasakan baik pada pinggang
(back pain) ataupun kaki (leg pain), yang disebut radiculopathy atau
sciatica. Rasa sakit yang ditimbulkan seringkah dipicu oleh suatu
aktivitas tertentu seperti jatuh dengan posisi terduduk atau saat
mengangkat barang dari posisi berdiri. Posisi duduk menghasilkan
tekanan intradiskal paling tinggi, sehingga nyeri ini muncul
seringkah saat duduk. Pasien dengan sciatica berat dapat mengeluh
nyeri kaki saat berjalan.
Meskipun nyeri pinggang bawah mungkin tidak jelas, tidak
spesifik, dan sulit diobati, nyeri radikuler bersifat lebih spesifik dan
lebih mudah diobati. Pasien sering mengeluh dalam distribusi
dermatome tertentu. Misalnya, pasien dengan herniasi diskus yang
mengenai akar saraf SI biasanya akan memicu nyeri pada betis
posterior dan kaki lateral, sedangkan L5 radiculopathy umumnya
akan memiliki nyeri di kaki lateral dan dorsum kaki. Tanda - tanda
kelemahan pada pada kaki dan gait saat berjalan juga perlu
diperiksa.
PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan fisik yang dilakukan dimulai dengan melakukan
evaluasi terhadap gaya jalan pasien (gait). Pasien dengan hernasi
diskus biasanya akan berusaha memposisikan badan untuk
fleksi dengan arah menjauhi sisi sakit. Perhatikan pula tahap swing
ataupun step-off serta Trendelenburg gait yang mengindikasikan
adanya kelemahan pada otot. Lakukan pula pemeriksaan dengan
menginstruksikan pasien untuk jalan dengan bertumpu pada jari
kaki ataupun tumit.
lalu lakukanlah pemeriksaan palpasi terhadap area
midline atau paraspinal, untuk menilai apakah ada kekakuan
otot atau nyeri. Pemeriksaan juga dilakukan terhadap kekuatan otot,
tonus otot dan refleks. Peningkatan tonus menandakan adanya
kompresi medula spinalis atau kelainan intrakranial, sedangkan
penurunan tonus menandakan adanya penekanan pada serat saraf.
Pemeriksaan terhadap sensoris lalu dilakuan untuk setiap
dermatome secara bilateral.
Pemeriksaan khusus dapat dilakukan untuk mengevaluasi
nyeri radikuler. Straight-leg-raise (SLR) test merupakan pemeriksaan
terhadap adanya tanda iritasi serat saraf akibat herniasi diskus pada
level L3/4, L4/5 dan L5/S1. Pemeriksaan dilakukan pada pasien
dalam posisi terlentang pada meja pemeriksaan, yang dilanjutkan
dengan fleksi pasif paha dengan lutut yang di ekstensi. Apabila
ada nyeri radikuler melewati lutut, maka test dikatakan positif.
Apabila hanya mengalami nyeri pinggang (back pain), maka
dikatakan negatif.
Pemeriksaan lainnya yaitu femoral nerve stretch test, yang
merupakan pemeriksaan terhadap adanya tanda iritasi serat saraf
akibat hemiasi diskus pada level Ll/2, L2/3. Pemeriksaan dilakukan
pada posisi pasien lateral dekubitus dan paha secara pasif di
ekstensi dengan lutut fleksi 90 derajat. Apabila ada nyeri
Gambar 4.7. Straight-leg-raise (SLR) test
radikuler sampai paha anterior, maka test dikatakan positif.
IMAGING
X-Ray
Foto polos (X-Ray) yaitu modalitas pencitraan rutin pertama
yang akan dievaluasi. Meskipun foto polos tidak bisa mendeteksi
hemiasi diskus, ada berbagai temuan degeneratif pada tulang yang
secara umum terkait dengan herniasi diskus yang mungkin ada
yaitu penyempitan ruang diskus, osteofit, hipertrofi dari facet,
spondylolisthesis, dan listhesis lateral. Foto dinamik fleksi-ekstensi
mungkin diperlukan untuk mendeteksi ketidakstabilan segmental.
Magnetic Resonance Imaging
Magnetic Resonance Imaging (MRI) yaitu studi pilihan
pencitraan resonansi magnetik untuk mendeteksi herniasi lumbar,
dengan sensitivitas dan spesifisitas yang dilaporkan sebesar 92%
dan 100%. Gambar T2-weighted sagital dan axial biasanya paling
membantu dalam mengkarakterisasi hemiasi, sedangkan parasagital
gambar Tl- dan T2-ioeighted dapat berguna dalam mengevaluasi
status foramina.
Gambar 4.7. Femoral nerve stretch test
BAB IV PENYAKIT DEGENERATIF LUMBAL
Computed Tomography Myelography
Computed Tomography Myelography (CTM) yaitu tes pada
pasien yang tidak dapat menjalani MRI. Alasan paling umum pasien
tidak dapat menjalani MRI termasuk klaustrofobia berat, kehadiran
alat pacu jantung, atau obesitas morbid.
TATALAKSANA
Penanganan Non Operatif
Secara umum, tatalaksana non operatif meliputi beberapa hal
berikut:
Merubah gaya hidup dengan menghilangkan semua faktor
resiko
Latihan memperkuat otot - otot paravertebra dan dinding
abdomen
Obat - Obatan: analgesia dan anti inflamasi
External support dengan lumbosakral orthosis
Pasien dengan hemiasi akut mungkin akan mengalami nyeri
pinggang dan kaki yang signifikan. Dalam keadaan akut ini, tirah
baring mungkin disarankan tetapi harus dibatasi tidak lebih dari 2
hingga 3 hari. Obat pilihan oral yang dapat diberikan yaitu
golongan anti inflamasi non steroid, oral steroid dan diberikan pula
tambahan terapi fisik bila diperlukan. Injeksi steroid dalam bentuk
trans-epidural atau blok saraf selektif dapat membantu mengurangi
nyeri radikuler. Analgetik jenis narkotika juga bisa diberikan tetapi
tidak boleh dilanjutkan lebih dari beberapa hari. Setelah tahap akut
terlewati, pasien harus didorong untuk mulai melakukan kembali
Gambar 4.8. Gambaran MRI Sagital dan Axial Lumbar Disk Herniation
aktivitas ringan. Penting untuk meyakinkan pasien bahwa
meskipun mereka mungkin merasa tidak nyaman, tetapi tidak akan
memicu kerusakan atau disfungsi.
Penanganan Operatif
Pasien yang gagal dengan penanganan konservatif untuk
setidaknya 6 minggu yaitu kandidat untuk intervensi operatif. Jika
operasi dianggap perlu, maka penting bagi pasien untuk memahami
apa yang dapat mereka harapkan post operasi dan bagaimana hal ini
dibandingkan dengan penanganan non operatif. Meskipun operasi
diharapkan dapat memberi perbaikan yang signifikan di awal
periode post operasi, namun hasil jangka panjang tidak berbeda
secara signifikan antara kandidat operatif dan non operatif.
Pilihan tindakan operatif yang dilakukan berupa dekompresi,
stabilisasi dan fusi. Dekompresi dapat dilakukan dengan
laminotomy, laminectomy, flavectomy, facetectomy, foraminotomy,
discectomy yang diikuti fusi spinal posterior tanpa instrumentasi,
fusi spinal posterior dengan instrumentasi posterior, dan dengan
fusi spinal posterior dengan kombinasi instrumentasi posterior dan
interbody fusion (anterior atau posterior). Fusi lumbal pada disk
herniation dapat dilakukan dari anterior maupun posterior. Posterior
interbody fusion (PLIF) merupakan fusi posterior dengan
memasukkan 2 spinal implant
atau bone graft ke setiap sisi ruang interbody diskus setelah
sebelumnya dilakukan laminectomy dan bilateral parsial
facetectomy untuk visualisasi dan discectomy. Sedangkan
trcmsforaminal interbody fusion (TLIF) merupakan fusi posterior
dengan memasukkan 1 spinal implant atau bone graft ke tengah
ruang interbody diskus setelah facetectomy unilateral komplit di satu
sisi saja untuk visualisasi dan discectomy. Anterior interbody fusion
(ALIF) mirip dengan PLIF, merupakan fusi dari anterior
memakai mini laparotomy dari sisi kiri abdomen. Articulating
disc replacement juga dapat dilakukan dengan mengganti total diskus
dengan implant.
Berbagai teknik bedah dijelaskan untuk menghilangkan
fragmen nukleus dan dekompresi elemen neural. Secara umum,
sayatan garis tengah 1-2 inchi dilakukan di atas level segmen yang
dituju, diikuti oleh insisi fascia 1-2 mm lateral dari midline di bagian
hemiasi untuk memungkinkan reapproximation dari fascia.
Laminotomy lalu dilakukan dengan menghilangkan tulang
dari cephalad dan caudad dari hemilamina. Ligamentum flavum juga
diidentifikasi dan diangkat untuk visualisasi dura (medial) dan akar
saraf (lateral). Elemen saraf lalu diretraksi kembali ke medial
untuk mendapatkan akses ke ruang diskus dan fragmennya. Jika
fragmennya contained, maka dilakukan annulotomy sehingga
fragmen nucleus bisa diambil.
Gambar 4.9. Ilustrasi PLIF, TLIF dan ALIF
PENYAKIT DEGENERATIF LUMBAL
SPONDYLOLISTHESIS
kata spondylolisthesis berasal dari bahasa Yunani yang terdiri atas
kata spondylo yang berarti “tulang belakang (vertebra)", dan listhesis
yang berarti "bergeser". Maka spondylolisthesis merupakan istilah
deskriptif untuk pergeseran (biasanya ke anterior) dari vertebra
secara relatif terhadap vertebra yang di bawahnya.
Klasifikasi
Ada lima jenis utama dari spondylolisthesis yang dikategorikan
oleh sistem klasifikasi Wiltse yaitu:
1. Displastik.
Sendi facet memungkinkan pergeseran ke depan.
Lengkungan neural biasanya masih utuh.
2. Isthmik
Lesi dari pars artikularis.
ada 3 subtipe: stress fraktur, pemanjangan dari pars
artikularis, dan fraktur pars artikularis.
3. Degeneratif
Spondylolisthesis bisa disebabkan oleh proses penuaan,
dimana terjadi degenerasi dan kelemahan pada tulang,
jaringan ikat, otot-otot, dan ligamen tulang belakang sehingga
sering disebut sebagai spondylolisthesis degeneratif.
4. Trauma
Terjadi setelah mengalami kecelakaan atau trauma yang
signifikan yang disebut spondylolisthesis trauma.
K
5. Patologis
Jenis terakhir spondylolisthesis, yang jarang dijumpai, disebut
spondylolisthesis patologis. Jenis spondylolisthesis ini terjadi
akibat kerusakan pada elemen posterior tulang belakang
olehprosesmetastasis(sel-selkankeryangmenyebar ke bagian lain
dari tubuh dan memicu tumor) atau penyakit tulang
metabolik. Jenis ini telah dilaporkan dalam kasus-kasus penyakit
Paget tulang, tuberkulosis, Giant Cell Tumor, dan metastasis
tumor.
Diagnosis yang tepat dan identifikasi jenis atau kategori
spondylolisthesis yaitu penting untuk memahami tingkat keparahan
dari pergeseran yang terjadi sebelum dilakukan penanganan yang
tepat.
Epidemiologi
Insidens spondylolisthesis tipe isthmik berkisar 5% berdasarkan
studi otopsi. Spondylolisthesis degeneratif memiliki frekuensi
tersering dan melibatkan level L4-L5 dengan distribusi sekitar 5,8%
pada pria dan 9,1% pada wanita.
Patofisiologi
Proses degeneratif dan inflamasi pada tulang belakang
melibatkan ruang antar diskus, sendi facet, dan ligamen intraspinal
dan paraspinal. Perubahan degeneratif dari diskus intervertebral
biasanya digambarkan oleh satu atau kombinasi dari empat keadaan
patologi di bawah ini:
1. Berkurangnya tinggi ruang antar diskus
2. Pergeseran (slippage) end plate
3. Sklerosis di end plate
4. Pembentukan osteofit
PENYAKIT DEGENERATIF LUMBAL
Degenerative Disc Disease didefinisikan oleh Kramer sebagai kondisi
biomekanik dan patologis dari segmen intervertebralis yang disebabkan
oleh karena proses degenerasi, inflamasi, atau infeksi. Perubahan
degeneratif pada diskus intevertebralis dan sendi facet sering
dihubungkan dengan peningkatan laxity movement.
Pathoanatomi Spondylolisthesis
1. Subluksasi ke depan (instabilitas intersegmental) dari vertebral
body disebabkan oleh:
• Degenerasi sendi facet
• Orientasi sendi facet secara sagital
• Degenerasi diskus intervertebralis
• Laxity dari ligamen (mungkin akibat perubahan Hormonal)
2. Kaskade degeneratif
• Degenerasi diskus memicu degenerasi kapsul dan
ketidakstabilan sendi facet
• Microinstability yang mengarah ke degenerasi lebih lanjut
dan akhirnya terjadi macroinstability dan anterolisthesis
• Ketidakstabilan bertambah dengan orientasi/acef sagital
yang memungkinkan subluksasi ke depan
Gambar 4.10. Skema terjadinya instabilitas kronik dan nyeri mekanikal.
Gejala neurologis yang muncul pada spondylolisthesis dapat
disebabkan oleh stenosis recessus sentral dan lateral akibat anterior
vertebral slippage degeneratif, ekstensi ke kanalis vertebralis oleh
hipertrofi ligamen flavum dan osteofit dari sendi facet. Stenosis
foramina juga dapat memicu gejala neurologis akibat
terjadinya vertical foraminal stenosis karena berkurangnya tinggi
diskus dan osteofit pada sudut posterolateral vertebral body yang
mendorong akar saraf ke arah permukaan inferior dari pedikel.
Manifestasi klinis
Manifestasi klinis spondylolisthesis dapat bermacam-macam
tergantung pada jenis slippage dan usia pasien. Keluhan awal yang
muncul dapat berupa nyeri pinggang bawah ringan pada pinggang
dan paha posterior terutama saat beraktivitas. Gejala ini jarang
berkorelasi dengan tingkat slippage, meskipun disebabkan oleh
ketidakstabilan segmental. Sedangkan munculnya tanda dan gejala
neurologis seringkah berkorelasi dengan tingkat slippage dan
melibatkan motorik, sensorik, dan perubahan refleks yang sesuai
untuk distribusi akar saraf (biasanya SI).
Gambar 4.11. Ilustrasi spondylolisthesis pada L4-L5 (Moore)
Gejala yang paling umum muncul pada sponyilolisthesis
yaitu :
1. Nyeri pinggang bawah.
Keluhan ini sering memberat dengan latihan terutama dengan
ekstensi tulang belakang lumbal.
2. Beberapa pasien dapat mengeluhkan nyeri, mati rasa,
kesemutan, atau kelemahan pada kaki karena kompresi saraf.
Kompresi berat pada saraf dapat memicu hilangnya
kontrol dari usus atau fungsi kandung kemih.
3. Kekakuan paha bagian posterior dan penurunan range of
motion pinggang bawah
Pasien dengan spondylolisthesis degeneratif biasanya
memiliki umur lebih tua dan datang dengan keluhan nyeri
pinggang bawah, radikulopati, klaudikasio neurogenik, atau
kombinasi dari gejala-gejala ini . Slippage yang paling umum
terjadi pada segmen L4-5. Gejala-gejala radikuler sering muncul
akibat stenosis dari recessus lateral sendi facet dan hipertrofi
ligamen dan/ atau herniasi diskus. Akar saraf L5 paling sering
mengalami gangguan sehingga memicu kelemahan pada otot
ekstensor halusis longus.
Keluhan nyeri ini akan berkurang saat pasien memfleksikan
tulang belakang dengan duduk atau bersandar. Fleksi akan
memperbesar ukuran kanalis vertebralis dan foramen
intervertebralis. Hal ini dapat mengurangi tekanan pada akar saraf
keluar sehingga dapat mengurangi myeri.
Diagnosis
Pada kebanyakan kasus, jarang ditemukan kelainan pada
pemeriksaan fisik pasien spondylolisthesis. Pasien biasanya
mengeluh nyeri di bagian pinggang yang disertai dengan nyeri
intermitten pada tungkai. Spondylolisthesis sering memicu
spasme otot, atau kekakuan pada betis.
Spondylolisthesis didiagnosis dengan memakai foto X-
ray lateral view di mana ditemukan adanya gambaran anterior
slippage dari vertebral secara relatif terhadap vertebral yang di
bawahnya. Pada foto X-ray oblique view, spondylolisthesis dengan
jelas memberi gambaran disrupsi pars artikularis (Scotty dog
appearance).
Menurut Meyerding, spondylolisthesis dibagi berdasarkan
derajatnya dan persentase pergeseran vertebral dibandingkan
dengan vertebral di dekatnya, yaitu:
1. Derajat I: pergeseran kurang dari 25%
2. Derajat II: 26-50%
3. Derajat III: 51-75%
4. Derajat IV: 76-100%
5. Derajat V atau spondiloptosis terjadi saat vertebra telah
terlepas dari tempatnya
Gambar 4.12. Ilustrasi dan gambaran X-ray oblique view menunjukkan adanya
disrupsi pada isthmus (Scotty dog)
Gambar 4.14. Spondylolisthesis Grade I
Gambar 4.13. Pengukuran Derajat Spondyilolisthesis (A) Persentase slippage
(B) Slip Angle
Jika pasien mengeluh nyeri, kesemutan, dan kelemahan pada
tungkai, maka pemeriksaan penunjang tambahan mungkin
diperlukan. CT scan atau MRI dapat membantu mengidentifikasi
kompresi saraf yang berhubungan dengan spondylolisthesis. Pada
keadaan tertentu, PET scan dapat membantu menentukan adanya
proses aktif pada tulang yang mengalami kelainan. Pemeriksaan ini
juga berperan dalam menentukan terapi pilihan untuk
spondylolisthesis.
Pemeriksaan Penunjang
Berikut yaitu pemeriksaan-pemeriksaan yang diperlukan
dalam menunjang diagnosis spondylolisthesis:
a. X-ray
Pemeriksaan awal untuk spondylolisthesis yaitu foto AP,
lateral, dan spot view radiografi dari lumbal dan lumbosacral
junction. Foto oblique dapat memberi informasi tambahan,
namun tidak rutin dilakukan.
b. SPECT bone scintigraphy
SPECT dapat membantu mendeteksi stress injury pada pars
interartikularis pada nyeri pinggang bawah akibat
spondylolisthesis.
c. Computed tomography (CT) scan
CT scan dengan potongan 1 mm koronal ataupun sagital, dapat
memberi gambaran yang lebih baik dari spondylolisthesis.
d. Magnetic resonance imaging (MRI)
MRI dapat memperlihatkan adanya edema pada lesi yang akut.
MRI juga dapat menentukan adanya kompresi saraf spinal
akibat stenosis dari kanalis sentralis.
e. EMG
EMG dapat mengidentifikasi radikulopati atau
poliradikulopati (stenosis), yang dapat timbul pada
spondylolisthesis.
Penatalaksanaan
Non operatif
Penanganan untuk spondylolisthesis unuimnya konservatif.
Penanganan non operatif diindikasikan untuk semua pasien tanpa
defisit neurologis atau defisit neurologis yang stabil. Penanganan
konservatif ini dapat dimulai dari modifikasi gaya hidup,
pengurangan berat badan, terapi fisik dengan stretching exercise dan
aerobik yang melatih fleksi lumbal, pemakaian brace atau orthosis,
dan pemakain obat anti inflamasi non steroid. Hal terpenting dalam
manajemen penanganan spondylolisthesis yaitu motivasi pasien.
Operatif
Pasien dengan defisit neurologis atau nyeri yang mengganggu
aktivitas, yang gagal dengan manajemen non operatif diindikasikan
untuk operasi. Pilihan tindakan operatif yang dilakukan berupa
dekompresi, dekompresi dengan fusi spinal posterior tanpa
instrumentasi, dekompresi dengan fusi spinal posterior dengan
instrumentasi posterior, dan dekompresi dengan fusi spinal
posterior dengan kombinasi instrumentasi posterior dan interbody
fusion (anterior atau posterior).
Bila secara radiologis tidak stabil atau didapatkan
progresivitas slip dengan x-ray serial, disarankan untuk operasi
stabilisasi. Jika progresivitas slip menjadi lebih 50% atau jika slip 50%
pada waktu diagnosis, ini yaitu indikasi untuk fusi. Pada
spondylolisthesis high grade walaupun tanpa gejala, fusi tetap harus
dilakukan.
Bila manajemen operatif dilakukan pada dewasa muda maka
fusi harus dilakukan karena akan terjadi peningkatan slip yang
bermakna bila dilakukan operasi tanpa fusi. Jadi indikasi fusi antara
lain: usia muda, progresivitas slip lebih besar 25%, pekerja yang
sangat aktif, pergeseran 3 mm pada fleksi/ekstensi lateral x- ray.
Fusi tidak dilakukan bila ada multi level disease, motivasi rendah,
aktivitas rendah, osteoporosis, dan habitual tobacco abuse.
Pada habitual tobacco abuse angka kesuksesan fusi menurun. Fusi
insitu dapat dilakukan dengan beberapa pendekatan:
1. An terior approach
2. Posterior approach (yang paling sering dilakukan)
3. Posterior lateral approach
Komplikasi
Pasien yang membutuhkan penanganan bedah untuk
stabilisasi spondylolisthesis, komplikasi yang dapat terjadi yaitu
nerve root injury (<1%), kebocoran cairan serebrospinal (2%-10%),
kegagalan melakukan fusi (5%-25%), infeksi dan perdarahan dari
prosedur pembedahan (l%-5%). Pada pasien yang perokok,
kemungkinan untuk terjadinya kegagalan pada saat melakukan fusi
menjadi lebih dari 50%. Pasien yang berusia lebih muda memiliki
resiko yang lebih tinggi untuk menderita spondylolisthesis isthmic
atau kongenital. Radiografi serial dengan posisi lateral harus
dilakukan setiap 6 bulan untuk mengetahui perkembangan pasien.
Prognosis
Pasien dengan fraktur akut dan slippage tulang vertebral yang
minimal kemungkinan akan kembali normal apabila fraktur ini
membaik. Pada pasien dengan perubahan vertebral yang progresif
dan degeneratif, kemungkinan akan mengalami gejala
yangsifatnyaintermiten.Resikountukterjadinyaspondylolisthesis
degeneratif meningkat seiring dengan bertambahnya usia, dan
pergeseran vertebral yang progresif terjadi pada 30% pasien. Bila
slippage vertebral semakin progresif, maka foramina neural akan
semakin menyempit dan memicu penekanan pada saraf (nerve
compression) atau sciatica, dimana hal ini akan membutuhkan
pembedahan dekompresi.
LUMBAL SPINAL CANAL STENOSIS
Definisi
Spinal kanal stenosis yaitu suatu kondisi penyempitan
kanalis spinalis atau foramen intervertebralis yang disertai dengan
penekanan akar saraf yang keluar dari foramen ini .
Epidemiologi
Spinal stenosis, salah satu masalah yang sering ditemukan,
merupakan penyakit degeneratif tulang belakang pada populasi
usia lanjut. Prevalensinya 5 dari 1000 orang di atas usia 50 tahun di
Amerika. Merupakan penyakit terbanyak yang memicu
tindakan pembedahan tulang belakang pada usia lebih dari 60
tahun. Lebih dari 125.000 prosedur laminektomi dikerjakan untuk
kasus lumbar spinal stenosis. Pria lebih tinggi insidennya daripada
wanita. Patofisiologinya tidak berkaitan dengan ras, jenis kelamin,
tipe tubuh, pekerjaan dan paling banyak mengenai lumbar ke 4-5
dan lumbar ke 3-4.
Etiologi
Struktur anatomi yang bertanggung jawab terhadap
penyempitan kanal meliputi struktur tulang dan jaringan lunak.
Struktur tulang meliputi: osteofit sendi facet (merupakan penyebab
tersering), penebalan lamina, osteofit pada corpus vertebral,
subluksasi maupun dislokasi sendi facet (spondylolisthesis),
hipertrofi atau defek spondylolysis, dan anomali sendi facet
kongenital. Struktur jaringan lunak meliputi: hipertrofi ligamentum
flavum (penyebab tersering), penonjolan annulus atau fragmen
nukleus pulposus, penebalan kapsul sendi facet dan sinovitis, dan
ganglion yang berasal dari sendi facet. Kelainan struktur tulang dan
jaringan lunak ini dapat memicu beberapa kondisi yang
mendasari terjadinya spinal kanal stenosis.
Faktor Resiko
Risiko terjadinya stenosis tulang belakang meningkat pada
orang yang:
1. Terlahir dengan kanalis spinalis yang sempit
2. Berjenis kelamin wanita
3. Berusia 50 tahun atau lebih (osteofit atau tonjolan tulang
berkaitan dengan pertambahan usia)
4. Pernah mengalami cedera tulang belakang sebelumnya
Pathoanatomi
Struktur anatomi yang bertanggung jawab terhadap
penyempitan kanal yaitu struktur tulang dan jaringan lunak.
Akibat kelainan struktur tulang jaringan lunak ini dapat
memicu beberapa kondisi yang mendasari terjadinya spinal
kanal stenosis yaitu:
1. Degenerasi diskus
Degenerasi diskus merupakan tahap awal yang paling sering
terjadi pada proses degenerasi spinal, walaupun arthritis pada sendi
facet juga bisa mencetuskan suatu keadaan patologis pada diskus.
Pada usia 50 tahun terjadi degenerasi diskus yang paling sering
terjadi pada L4-L5, dan L5-S1. Perubahan biokimia dan biomekanik
membuat diskus memendek. Penonjolan annulus, herniasi diskus,
dan pembentukan dini osteofit dapat diamati. Sequelae dari
perubahan ini meningkatkan stress biomekanik yang ditransmisikan
ke posterior yaitu ke sendi facet sehingga terjadi instabilitas pada
sendi facet. Penyempitan ruang foraminal cephalo-caudal akibat
proses ini akan memicu akar saraf
Gambar 4.15. Perbandingan gambaran spinal kanal normal dan stenosis
Normal Stenosis
terjepit, lalu menghasilkan stenosis sentral maupun stenosis
lateral.
2. Instabilitas Segmental
Konfigurasi tripod pada spinal dengan diskus, sendi facet dan
ligamen yang normal membuat segmen dapat melakukan gerakan
rotasi dan angulasi dengan halus dan simetris tanpa perubahan
ruang dimensi pada kanal dan foramen. Degenerasi sendifacet bisa
terjadi sebagai akibat dari instabilitas segmental, biasanya pada
pergerakan segmental yang abnormal misalnya gerakan translasi
atau angulasi. Degenerasi diskus akan diikuti oleh kolapsnya ruang
diskus, karena pembentukan osteofit di sepanjang aspek
anteromedial prosesus artikularis superior dan inferior yang akan
memicu arah sendi facet menjadi lebih sagital. Hal ini
diperberat oleh penyempitan segmental yang disebabkan oleh
penonjolan diskus dan melipatnya ligamentum flavum, sehingga
terjadi penyempitan relatif pada kanalis lumbal, dan penurunan
volume ruang untuk elemen neurlal yang ada. Pada kaskade
degeneratif, kanalis sentralis dan neuroforamen menjadi tidak
terakomodasi saat gerakan rotasi karena perubahan pada diskus
dan sendi facet, sehingga memicu penekanan dan inflamasi
pada elemen saraf yang lalu akan menghasilkan nyeri.
3. Hiperekstensi segmental
Gerakan ekstensi normal dibatasi oleh serat anterior annulus
dan otot-otot abdomen. Perubahan degeneratif pada annulus dan
kelemahan otot abdominal menghasilkan hiperekstensi lumbar yang
menetap. Sendi facet posterior merenggang secara kronis lalu
mengalami subluksasi ke arah posterior sehingga menghasilkan nyeri
pinggang.
Patofisiologi
Berdasarkan pathoanatomi yang telah dijelaskan di atas,
lumbal spinal canal stenosis dapat timbul akibat berbagai struktur
patologi yang ada di sekitar elemen neural kanalis spinalis di
anterior, posterior, ataupun lateral. Penonjolan diskus, herniasi
nukleus, penebalan ligament flavum, hipertrofi atau subluksasi sendi
facet, dan osteofit dapat memicu penurunan volume kanalis
spinalis sehingga terjadi jepitan elemen saraf di dalamnya dan
memicu keluhan nyeri.
Klasifikasi
Klasifikasi spinal kanal stenosis dapat dibagi menjadi tipe
kongenital/developmental and acquired, yaitu:
2. Congenital-developmental stenosis
a. Idiopatik
b. Akondroplastik
2. Acquired stenosis
a. Degeneratif (paling sering)
b. Combined congenital and degenerative stenosis
c. Spondylitic/spondylolisthetic
d. Iatrogenik (post laminectomy, post fusion)
e. Post trauma
f. Metabolik (Paget's disease, fluorosis)
Gejala Klinis
Pada pasien dengan stenosis pada kanalis spinal lumbal, pasien
sering mengeluh nyeri, kelemahan, kesemutan pada telapak kaki saat
berjalan, atau kombinasi dari gejala-gejala ini . Onset dari gejala
selama pergerakan disebabkan oleh peningkatan kerja metabolik dari
saraf yang terkompresi yang mengalami iskemik karena stenosis.
Gejala klaudikasio neurogenik seringkah muncul dimana nyeri akan
berkurang saat pasien memfleksikan tulang belakangnya. Fleksi
akan meningkatkan ukuran kanal dengan meregangkan ligamentum
flavum dan membesarkan diameter dari foramen. Proses ini akan
menurunkan tekanan pada nerve root dan mengurangi rasa nyeri yang
ada. Nerve root yang seringkah mengalami proses patologis ini yaitu
area L5 yang disertai kelemahan pada otot ekstensor hallucis longus.
Stenosispadakanalisspinallumbalsecaraklasikmenunjukkan
gejala klaudikasio neurogenik bilateral. Pasien biasanya berusia lebih
dari 50 tahun, dengan klaudikasio neurogenik yang terjadi tiba-tiba
dengan gejala keram intermiten, nyeri difus paha atau kaki yang
bersifat menjalar disertai dengan paresthesia lokal. Nyeri klaudikasio
neurogenik dipicu oleh posisi tubuh berdiri dan diringankan dengan
posisi supine, duduk, dan fleksi pada lumbal.
Diagnosis
Penegakan diagnosis ini harus tetap berdasarkan
anamnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang.
1. Anamnesis
Gejala utama lumbal spinal canal stenosis yaitu "sciatica" (nyeri
pinggang, nyeri kaki, dan kesemutan) yang terjadi saat berjalan, dan
gejala klaudikasio intermiten neurogenik. Gejala- gejala ini perlahan
berkembang seiring waktu, memburuk atau membaik. Dengan kata
lain, penyakit ini tidak disertai dengan gejala iritasi saraf yang berat
seperti halnya herniasi diskus atau dengan rasa sakit yang parah saat
istirahat, seperti halnya kanker metastatik pada vertebral atau
spondylitis piogenik.
• Klaudikasio intermiten neurogenik
Gejala klaudikasio intermiten neurogenik yaitu nyeri,
kesemutan, dan kelemahan pada kaki yang terjadi dan semakin
memberat saat berjalan (yang disebabkan oleh berat tubuh pada
tulang belakang) sehingga tidak mampu melanjutkan jalannya.
Selanjutnya, gejala-gejala ini membaik dengan cara membungkuk ke
depan (posisi lordotik), setelah itu pasien dapat berjalan lagi, yang
merupakan ciri khas dari penyakit ini. Sensory march juga dicatat, di
mana sensasi abnormal berpindah dari kaki ke bokong atau daerah
perineum, atau turun dari bokong ke tungkai bawah dengan berjalan
kaki. Dalam beberapa kasus, gangguan kandung kemih dan rektal,
seperti peningkatan dorongan untuk buang air kecil, inkontinensia,
dan ereksi penis, bias terjadi saat berjalan.
2. Pemeriksaan Fisik
Umumnya, ada beberapa temuan objektif bila dibandingkan
dengan gejala subjektif. Pada gangguan tipe nerve root, gejala iritasi
nerve root dan gejala defisiensi saraf, seperti gangguan persepsi,
melemahnya kekuatan otot, dan penurunan refleks tendon
ekstremitas bawah, dapat membantu dalam mendiagnosis segmen
yang terlibat. Pada tipe cauda equina, refleks tendon Achilles biasanya
hilang secara bilateral, bahkan saat istirahat. Pada saat istirahat,
refleks tendon Achilles akan menghilang secara bilateral dalam tes
pembebanan. Pemeriksaan fisik lainnya yang dapat dilakukan
yaitu :
A. Kemp sign (tes positif jika nyeri di pinggang bawah untuk
spasme lumbal atau facet capsulitis, nyeri radikuler
menunjukkan lesi pada diskus. Nyeri radikuler unilateral yang
berasal dari stenosis foraminal, memburuk saat ekstensi
pinggang).
B. Straight leg raising biasanya negatif.
C. Tes Valsalva (nyeri radikuler tidak memburuk dengan Valsalva)
D. Pemeriksaan neurologis
3. Pemeriksaan Penunjang
A. X-ray
Pada pemeriksaan X-ray yang sederhana (posisi AP dan lateral),
observasi harus dilakukan pada alignment lumbal dan perubahan
destruktif yang terjadi (perubahan hipertrofik pada sendi facet,
pembentukan spur pada tepi posterior dari vertebral body,
penyempitan ruang intervertebralis, pemendekan jarak
interpedikulasi, penyempitan foramen intervertebralis). Pada posisi
fleksi atau ekstensi dapat ditemukan ketidakstabilan segmental.
B. Magnetic Resonance Imaging Pada pemeriksaan MRI dengan
gambar Tl-weighted, kondisi
ligamen flavum dan jaringan lemak peridural harus diamati, dan
dengan gambar 12-weighted, tingkat kompresi kanalis duralis dapat
diamati, karena cairan cerebrospinalis menunjukkan intensitas yang
tinggi. Namun, jaringan tulang menunjukkan intensitas rendah,
sehingga CT lebih unggul untuk pengamatan lesi osseous.
C. Myelografi
Myelografi yaitu pemeriksaan yang sedikit invasif, sehingga
hanya digunakan sebagai sarana penunjang dalam kasus gambaran
klinis yang sulit dinilai oleh MRI dan CT. Dibandingkan dengan MRI,
pemeriksaan ini berguna untuk mengamati faktor-faktor dinamis
yang menekan cauda equina dan nerve root saat tulang belakang
lumbal dibengkokkan ke depan dan ke belakang. Pemeriksaan ini
sangat cocok untuk mengamati gambaran kompresi seperti houglass
dari kanalis duralis, complete block, gambaran kistik dari defisiensi
nerve root, nerve redundant, dan arakhnitis.
D. Blok nerve root selektif
Blok nerve root selektif berguna untuk menentukan vertebral
mana yang benar-benar yang menjadi penyebab keluhan, bahkan
saat banyak segmen vertebral tampak menyempit.
Tatalaksana
Penanganan non operatif.
1. Pilihan penanganan non operatif difokuskan untuk
mengembalikan fungsi dan menghilangkan rasa sakit.
Meskipun metode non-bedah tidak membantu mengurangi
penyempitan kanalis spinalis, banyak orang melaporkan bahwa
perawatan ini membantu meringankan gejala. Terapi fisik
dengan latihan peregangan, latihan penguatan lumbal dan
perut juga sering membantu mengatasi gejala.
2. Obat anti-inflamasi. Karena rasa nyeri akibat stenosis
disebabkan oleh tekanan dan inflamasi pada saraf tulang
belakang, maka pemberian Non-steroid antiinflammatory drugs
(NSAID) dapat membantu mengurangi inflamasi
(pembengkakan) di sekitar saraf dan meredakan nyeri. Obat ini
awalnya akan memberi efek penghilang rasa sakit, namun
saat digunakan selama 5-10 hari, mereka juga dapat memiliki
efek anti inflamasi. Efek samping dari NSAID yaitu gastritis
atau ulkus lambung.
3. Injeksi steroid. Kortison yaitu anti inflamasi kuat. Suntikan
kortison pada daerah di sekitar akar saraf atau di ruang epidural
bisa mengurangi pembengkakan dan rasa sakit. Injeksi steroid
hanya dapat dilakukan kurang dari 3 kali per tahun. Suntikan
ini cenderung mengurangi rasa sakit dan kesemutan namun
tidak mengurangi kelemahan yang terjadi pada kaki.
4. Akupuntur. Akupuntur dapat membantu dalam mengobati rasa
sakit untuk kasus-kasus yang tidak terlalu parah. Meskipun
sangat aman, namun kesuksesan penanganan ini secara jangka
panjang belum terbukti secara ilmiah.
Penanganan operatif
1. Pembedahan untuk lumbal spinal canal stenosis umumnya
ditunda pada pasien yang memiliki kualitas hidup yang buruk
karena rasa sakit dan kelemahan. Pasien mungkin mengeluhkan
ketidakmampuan berjalan untuk jangka waktu yang panjang tanpa
duduk. Ini sering menjadi alasan pasien untuk mempertimbangkan
operasi. Ada beberapa pilihan operasi utama untuk mengobati lumbal
spinal canal stenosis, yaitu laminectomy dan fusi, facetectomy dan
foraminotomy. Opsi-opsi ini dapat menghilangkan rasa sakit dengan
sangat baik. Keuntungan serta kerugiannya yaitu sebagai berikut:
a) Laminectomy. Prosedur ini melibatkan eksisi tulang lamina, osteofit,
dan ligamen yang menekan saraf. Prosedur ini juga
b)
dapat disebut dekompresi. Laminektomi dapat dilakukan
dengan operasi terbuka, di mana dilakukan sebuah sayatan
yang besar untuk mengakses tulang belakang. Prosedur ini
juga dapat dilakukan dengan memakai metode minimal
invasif.
Spinal fusion. Jika arthritis telah berlanjut terhadap
ketidakstabilan tulang belakang, kombinasi dekompresi dan
stabilisasi atau spinal fusion dapat dianjurkan. Pada spinal fusion,
dua atau lebih vertebra disatukan secara permanen. Bone graft
diambil dari tulang pinggang atau tulang pinggul yang
lalu digunakan untuk fusi tulang belakang. Fusi
menghilangkan gerakan antar tulang dan mencegah terjadinya
pergerseran yang akan memburuk setelah operasi. Rod dan
screw dapat digunakan untuk menahan tulang belakang di
tempatnya agar tulang menjadi fusi. Penggunaan rod dan screw
membuat fusi tulang terjadi lebih cepat dan pemulihan berjalan
lebih cepat.
Komplikasi
Komplikasi pada lumbal spinal canal stenosis meningkat seiring
dengan umur serta fusi level vertebra yang terkena. Komplikasi
mayor yang sering dialami yaitu:
1. Infeksi pada luka (10%), infeksi dapat ditangani dengan
debridemen atau irigasi.
2. Pneumonia (5%)
3. Gagal Ginjal (5%)
4. Defisit neurologis (2%)
Komplikasi minor meliputi:
1. Infeksi saluran kemih (34%)
2. Anemia (27%)
3. Robekan dural
4. Gejala yang semakin memburuk
Prognosis
Studi yang berkaitan dengan perkembangan alami lumbal spinal
canal stenosis sangat sedikit, dengan jumlah pasien yang terbatas per
kelompok. Johnsson dkk. melaporkan bahwa 19 dari 27 pasien (70%)
dengan lumbal spinal canal stenosis yang moderat dan tidak diobati
(>11 mm diameter saluran anteroposterior) tetap tidak mengalami
perubahan setelah 4 tahun observasi; 4 pasien (15%) menunjukkan
peningkatan, dan 4 pasien (15%) memburuk tanpa gejala sisa yang
serius.
Ada lima penelitian yang membandingkan hasil klinis dari
perawatan bedah dan konservatif untuk lumbal spinal canal stenosis.
Dalam tindak lanjut jangka pendek 1 hingga 4 tahun, pasien yang
diobati dengan pembedahan memiliki hasil klinis yang lebih baik
dengan nyeri radikuler dan nyeri pinggang bawah. Namun, dalam
follow-up jangka panjang 10 tahun, tidak ada perbedaan signifikan
dari hasil klinis antara operasi dan manajemen konservatif untuk
nyeri pinggang bawah. Dalam follow-up jangka panjang 10 tahun,
pasien yang diobati dengan pembedahan memiliki perbaikan yang
lebih baik untuk nyeri radikuler. Selama tindak lanjut awal 1-5 tahun
dalam studi tindak lanjut jangka panjang, intervensi bedah memiliki
perbaikan yang lebih baik untuk semua pengukuran pada nyeri
pinggang radikuler.
MEDIAL BRANCH BLOCK
PADA REGIO LUMBAL
I Gusti Lanang Ngurah Agung Artha Wiguna
Medial branch block merupakan suatu prosedur yang bertujuan
untuk diagnosis dan terapi sindrom sendi facet. Sindroma sendi facet
yaitu salah satu penyebab tersering dari nyeri pada tulang
belakang. Sindrom ini tidak dapat didiagnosis secara klinis atau
radiologis, namun dapat diidentifikasi dengan medial branch block
atau injeksi sendi facet.
PERSIAPAN PREOPERATIF
• Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik
Tanda dan gejala yang harus dievaluasi pada anamnesis dan
pemeriksaan fisik meliputi:
1) Nyeri yang muncul saat hiperekstensi dan rotasi dari
spine dan berkurang saaf fleksi spine
2) Nyeri tekan lokal pada sendi facet
3) Terbatasnya spine range of motion
4) Nyeri alih (Reffered pain)
• Radiologis
Berbagai modalitas radiologis dapat digunakan untuk
mengidentifikasi sindrom sendi facet yang berindikasi operatif,
meliputi:
1) Foto polos (X-Ray)
2) Bone scanning
3) Computed Tomography (CT-Scan)
4) Magnetic Resonance Imaging (MRI)
INDIKASI MEDIAL BRANCH BLOCK
Indikasi dari medial branch block pada regio lumbal meliputi:
• Nyeri paravertebral dan nyeri tekan pada sendi facet lumbal
• Nyeri alih (reffered pain)
• Berkurangnya atau hilangnya mobilitas pada regio tulang
belakang yang nyeri
• Nyeri yang timbul saat hiperekstensi dan rotasi pada saat
duduk
• Tidak adanya tanda neurologis yang objektif
• Adanya tanda radiologis seperti skoliosis berat, osteoporosis,
fraktur kompresi vertebra, dan osteoarthritis/acef.
Gambar 5.1. Hasil bone scan pada osteoarthritis facet. Tingginya uptake
radiotracer dapat dilihat pada beberapa sendi facet (tanda panah) pada
foto posterior (kanan), dan uptake yang relatif rendah dapat dilihat
pada foto
anterior (kiri)
KONTRAINDIKASI
Kontraindikasi dari medial branch block meliputi:
• Pasien menolak untuk dilakukan tindakan
• Adanya infeksi kulit pada area penusukan jarum atau adanya
infeksi sistemik
• Koagulopati dengan nilai INR >1,5, jumlah hitung platelet
<50.000/mm3, atau pasien yang saat ini dengan terapi
antikoagulan
Pasien dengan terapi anti koagulan merupakan kontraindikasi
relatif, karena jika terapi antikoagulan dapat ditunda sementara
waktu, pasien harus berhenti memakai terapi antikoagulan
selama 3 sampai 7 hari sebelum tindakan dilakukan dan dilanjutkan
lalu selama 3-7 hari pasca tindakan. Pada pasien dengan terapi
Gambar 5.2. Gambaran skematis yang menunjukkan pola nyeri
alih (referred pain) dari sendi facet lumbal
antikoagulan yang tidak dapat ditunda namun tindakan medial
branch block tetap dilakukan, maka jarum yang digunakan harus
berukuran G26 dan lalu diberikan ice pack selama 10 menit
segera setelah tindakan dilakukan.
ANATOMI
Pada setiap levelnya, inervasi dari sendi facet berasal dari medial
branch dari saraf spinal di sebelahnya, dimana medial branch terletak
satu level diatasnya atau satu level dibawahnya.
DAFTAR ALAT DAN BAHAN TINDAKAN
Beberapa alat dan bahan diperlukan dalam tindakan medial
branch block, seperti:
• 26-gauge; jarum 1,5-inch dan 3,5-inch
• 22-gauge; jarum spinal 3,5-inch
• Lidocaine 2% atau 0,5% levobupivacaine (chirocaine)
• Agen kontras terlarut air dengan atau tanpa steroid
PROSEDUR TINDAKAN
• Prosedur tindakan dari medial branch block pada level L1-L2
hingga L4-L5 sendi facet yaitu :
1. Pasien menandatangani persetujuan tindakan (informed
consent).
2. Pasien diposisikan dalam posisi prone. Area kulit tindakan
dipersiapkan dan dilakukan dropping secara steril.
3. Dengan bantuan C-arm, korpus vertebra dan end plates
diposisikan secara paralel dengan gambaran AP.
lalu C-arm diputar 20 hingga 40 derajat secara
oblique.
4. Dengan tuntunan C-arm, lakukan infiltrasi anestesi lokal
dengan jarum 26-gauge; 1,5-inch dan 3,5-inch pada titik
target di kulit.
5. Dengan tuntunan fluoroscopic secara intermiten,
22-gauge; jarum spinal 3,5-inch dimasukkan secara
langsung pada titik target hingga terjadi kontak dengan
tulang.
6. Dilakukan pengecekan dengan C-arm gambaran AP dan
Lateral untuk verifikasi posisi akhir dari ujung jarum.
Nerve root L2 (NR)
Gambar 5.3. Gambaran ilustratif posterior oblique view lumbar spine dari
L2 ke L5. Masing-masing medial branch dari L1 hingga L4 melewati celah
pada prosesus artikularis superior (S) dan dasar dari prosesus
transversus. Dorsal ramus L5 melewati celah dari prosesus artikularis
superior dan ala dari sacrum. Ramus dorsalis primer L3 (DPR3); Prosesus
artikularis inferior (I);
Setelah posisi ujung jarum yang sesuai telah terkonfirmasi dengan
pemberian agen kontras 0,2 mL, anastesi lokal (lidocaine 2% atau
0,5% levobupivacaine) sebanyak 0,5mL diinjeksikan dengan atau
tanpa kortikosteroid.
Gambar 5.4. Alat yang diperlukan untuk tindakan medial branch block. Agen
kontras disiapkan dalam syringe 2 mL dengan extension tube.
Gambar 5.5. Contoh dari medial branch block regio lumbal. A. Arah dari jarum
dan proyeksi C-arm berbeda berdasarkan tingkatan lordosis lumbal. B. Arah
yang berbeda-beda dari jarum ditunjukkan dalam gambaran oblique
• Prosedur tindakan dari medial branch block pada sendi facet
L5-S1 yaitu :
1. Pasien menandatangani persetujuan tindakan (informed
consent).
2. Pasien diposisikan dalam posisi prone. Area kulit
tindakan dipersiapkan dan dilakukan dropping secara
steril.
3. Dengan bantuan C-arm, korpus vertebra dan end plates
diposisikan secara paralel dengan gambaran AP.
4. Dengan tuntunan C-arm, infiltrasi dari anestesi lokal
dilakukan dengan jarum 26-gauge; 1,5-inch dan3,5-inch
pada titik target pada kulit, sekitar 5 mm inferior dari
celah prosesus artikularis superior dan ala dari sacrum.
5. Dengan tuntunan fluoroscopic secara intermiten,
22-gauge; jarum spinal 3,5-inch dimasukkan secara
langsung pada titik target hingga terjadi kontak dengan
tulang.
6. Dilakukan pengecekan dengan C-arm gambaran AP dan
Lateral untuk verifikasi posisi akhir dari ujung jarum.
7. Setelahposisiujungjarumyangsesuai telah terkonfirmasi
dengan pemberian agen kontras 0,2 mL, anastesi lokal
(lidocaine 2% atau 0,5% levobupivacaine) sebanyak 0,5 mL
diinjeksikan dengan atau tanpa kortikosteroid.
KOMPLIKASI
Komplikasi dari medial branch block seringkah berupa
komplikasi minor dan dapat sembuh sendiri dalam beberapa
hari. Komplikasi yang dapat muncul meliputi:
• Nyeri akibat prosedur (saat jarum ditusukkan)
• Trauma pada spinal cord atau nerve root
• Infeksi
• Hematoma
LUMBAR FACET BLOCK
I Gusti Lanang Ngurah Agung Artha Wiguna,
I Ketut Suyasa
Pendahuluan
yeri pinggang yaitu gangguan kronis paling umum dari
semua masalah nyeri tulang belakang. Struktur yang mampu
mentransmisikan nyeri pada tulang belakang lumbal, termasuk
sendi facet lumbal, diskus intervertebral lumbal, sacroiliac joint,
ligamen, fasia, otot, dan nerve root.
Istilah sendi facet biasa digunakan di Amerika Serikat,
meskipun beberapa orang percaya struktur ini lebih tepat disebut
zygapophysial atau zygapophyseal joint, istilah yang berasal dari
bahasa Yunani zygos, yang artinya yoke atau jembatan, dan physis,
yang berarti pertumbuhan. Prevalensi nyeri pinggang sekunder
yang persisten akibat keterlibatan sendi facet lumbosakral bervariasi
dari 16% sampai 41% tergantung pada jenis populasi dan faktor lain
yang melatarbelakangi. Saat ini, nyeri sendi facet lumbar telah
berhasil ditangani dengan memanfaatkan suntikan intra-artikular,
blok akar saraf dan sendi facet, dan/atau neurotomi radiofrekuensi.
Diagnosis dari Nyeri Sendi Facet Lumbar • Manifestasi klinis
konvensional tidak dapat digunakan untuk mendiagnosa nyeri
sendi facet lumbal: o Gambaran klinis berupa nyeri somatis atau
nyeri yang menjalar akibat sendi facet atau diskus yang mengalami
proses patologis sulit dibedakan o Review sistematik oleh Hancock
et al menyatakan bahwa struktur diskus, sendi sacroiliac, dan sendi
facet merupakan sumber dari nyeri pinggang
N
o Beberapa referensi merekomendasikan penggunaan anestesi
atau injeksi provokatif untuk mendiagnosa nyeri
pinggang, dimana sumbernya masih curiga dari sendi
facet, diskus intervertebral atau sendi sacroiliac,
mengingat tidak adanya gold standard yang universal.
• Investigasi radiologis menunjukkan tidak adanya korelasi
antara gejala klinis nyeri pinggang dan perubahan degeneratif
tulang belakang yang terlihat pada radiologis:
o X-ray, MRI, CT scan, single photon emission computed
tomography, dan radionuclide hone scanning tidak dapat
mengidentifikasi pasien dengan nyeri sendi facet