degenerasi lumbal 4


 amstring, rotator hip, dan kuadratus yang kaku. Namun ini 

seringkah tidak spesifik dan dapat ditemukan pada pasien dengan 

penyebab nyeri pinggang bawah lainnya. 

Pemeriksaan kekuatan dan tonus otot, refleks, dan sensoris 

(sentuhan ringan, pinprick dan distribusi dermatome) perlu 

dilakukan pada kasus terjadinya jepitan serat saraf akibat kista 

sinovial atau hipertrofi sendi facet. 

PEMERIKSAAN PENUNJANG 

RADIOLOGI 

PLAIN X-RAY 

Proses degeneratif pada tulang belakang lumbal memiliki 

etiologi yang berbeda dengan proses degeneratif pada tangan, hip, 

ataupun lutut sehingga patofisiologinya pun berbeda di antara 

subtipe OA yang ada di sendi - sendi besar lainnya. Hal ini 

memicu  adanya perbedaan gambaran radiologi pada OA 

lumbal dibanding OA di tempat lain. Klasifikasi grading 

Kellgren-Lawrence (K-L) pada OA lutut akan memberi  grading 

lebih besar pada pasien dengan OA lumbal. 

Perubahan degeneratif pada tulang belakang biasanya 

diidentifikasi sebagai fitur radiografi individu (IRF) seperti 

penyempitan ruang diskus intervertebralis, adanya osteofit vertebral 

dan OA sendi facet (defek tulang rawan pada sendi facet). Prevalensi 

penyempitan ruang diskus intervertebralis berbasis komunitas 

(rata-rata berusia> 65 tahun) diperkirakan terjadi antara 50-64% 

populasi, sedangkan osteofit vertebral memiliki 



perkiraan prevalensi antara 75-94%. Osteoarthritis sendi facet 

yaitu  proses multifaktorial yang dianggap sebagai hasil tidak 

langsung dari penyempitan ruang diskus intervertebralis. 

Radiografi standar, terutama pada oblique view, memiliki nilai 

diagnosis yang terbatas. Sendi facet berada dalam posisi miring dan 

memiliki konfigurasi melengkung. Bahkan pada oblique view, hanya 

bagian sendi yang berorientasi sejajar dengan X-ray yang dapat 

terlihat. Oleh karena itu, radiografi standar dengan X-ray ini hanya 

dapat digunakan untuk skrining OA sendi facet. 

Computed Tomography (CT) 

Dibandingkan dengan radiografi standar, CT dapat 

memperbaiki pencitraan sendi facet karena memiliki kemampuan 

untuk memperlihatkan sendi facet di bidang axial dan gambaran 

kontras yang tinggi antara struktur tulang dan jaringan lunak 

sekitarnya. Kelainan yang terkait dengan OA dapat ditunjukkan dan 

dikategorikan dengan gambaran CT. Empat grading osteoarthritis 

sendi facet didefinisikan dengan kriteria oleh Pathria et al yaitu grade 

0 (normal), grade 1 (penyakit degeneratif ringan), grade 2 (penyakit 

degeneratif sedang) dan grade 3 (penyakit degeneratif berat). 

Kriteria penilaian ini juga berlaku pada pemeriksaan dengan MRI. 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Gambar 4.3. Grading osteoarthritis sendi facet menurut Pathria et al. yaitu 

grade 0 (normal), grade 1 (penyakit degeneratif ringan), grade 2 (penyakit 

degeneratif sedang) dan grade 3 (penyakit degeneratif berat).  


 

nbaran 

Grade Criteria 

CT lebih unggul dari pencitraan MRI dalam penggambaran 

penyempitan ruang sendi dan sklerosis subkondral dan mewakili 

pemeriksaan terpilih dalam diagnosis degenerasi sendi facet. 

Magnetic Resonance Imaging (MRI) 

Magnetic resonance imaging (MRI) yaitu  metode pencitraan 

pilihan untuk penyakit degeneratif diskus, stenosis tulang belakang, 

infeksi, dan neoplasia pada tulang belakang lumbar. Computed 

tomography scan (CT) telah banyak digantikan oleh MRI untuk 

diagnosis penyakit-penyakit ini . Pencitraan MRI secara akurat 

menunjukkan kelainan struktur tulang belakang posterior. Namun, 

untuk penggunaan klinis rutin, pencitraan ini belum ekuivalen 

dengan CT scan untuk evaluasi sendi facet. 

Proses degenerasi yang terjadi ditandai dengan fibrilasi, fisura 

dan ulserasi tulang rawan artikular yang dimulai dari lapisan tulang 

rawan superfisial ke lapisan yang dalam. Proses ini  biasanya 

ditandai respons proliferatif dengan pembentukan osteofit dan 

sklerosis tulang subkondral. Selain daripada itu, kista subkondral 

dan inflamasi sinovial mungkin ada. Pada sendi facet terjadi 

hipertrofi proses artikular yang tidak identik dengan pembentukan 

osteofit. Kelainan yang terkait pada OA dapat ditunjukkan dan 

dikategorikan dengan 

gambaran MRI seperti pada 

gambaran CT. 

0 Normal facet joint space (2-4 mm width) 

1 Narrowing of the facet joint space « 2 mm) and/or small osteophytes and/or mild 

hypertrophy of the articular process 

2 Narrowing of the facet joint space and/or moderate osteophytes and/or moderate 

hypertrophy of the articular process and/or mild subarticular bone erosions 

3 Narrowing of the facet joint space and/or large osteophytes and/or severe hypertrophy 

of the articular process and/or severe subarticular bone erosions and/or subchondral cysts 

Gambar 4.4. Grading osteoarthritis sendi facet pada gambaran MRI seperti 

pada gambaran CT.  


  

 

 

LABORATORIUM 

Pemeriksaan laboratorium secara umum tidak spesifik. Pada 

pemeriksaan laboratorium mungkin didapatkan peningkatan 

marker infeksi yaitu hsCRP dan LED serta peningkatan COMP dan 

rasio kadar IL-6/IL-10 sebagai faktor risiko terjadinya OA lumbal. 

DIAGNOSIS 

DiagnosisOA lumbal didapatkan secara klinis dan radiologis. 

Secara klinis, didapatkan adanya tanda peradangan sendi berupa 

nyeri pada pinggang bawah (tulang belakang lumbal) dengan 

gambaran nyeri yang khas terutama saat posisi ekstensi fleksi 

penuh. Nyeri ini  terlokalisir ataupun menjalar yang disertai 

dengan gambaran radiologis adanya penyempitan ruang diskus 

intervertebralis, adanya vertebral osteofit serta defek tulang rawan 

pada sendi facet pada pemeriksaan plain x-ray lumbosakral AP/lateral 

dan oblique, CT maupun MRI. 

TATALAKSANA Non 

Operatif 

1. Non Medikamentosa: 

a. Edukasi dan modifikasi gaya hidup. 

Pemberian pengetahuan/ penjelasan yang baik dan benar 

tentang penyakit yang dideritanya beserta dengan 

penyebabnya, atau hal yang mendasari penyebabnya 

sehingga dapat dilakukan upaya memperlambat proses 

degenerasi yang terjadi. Olah raga low impact (berjalan 

kaki, bersepeda, berenang) dapat membantu 

meningkatkan kekuatan dan fleksibilitas otot, serta 

membantu menunjang tulang belakang. Program olah 

raga ditingkatkan secara bertahap sesuai yang 

direkomendasikan. Pengendalian terhadap berat badan 

juga perlu dilakukan untuk mengurangi beban axial yang 

dapat memperberat penyakit. 

b. Istirahat yang cukup saat tahap  akut. 


 

 

c. Terapi fisik dengan superficial heat dan cryotherapy dapat 

pula membantu relaksasi otot dan mengurangi nyeri. 

d. Back external support yang adekuat dengan memakai  

korset lumbar atau kursi roda bila diperlukan 

2. Medikamentosa 

a. Analgetik anti-inflamasi nonsteroid untuk penghilang 

rasa sakit (seperti acetaminophen, aspirin, dan obat 

anti-inflamasi nonsteroid lainnya), krim topikal, dan 

opioid (seperti kodein). 

b. Injeksi/suntikan yang menargetkan langsung pada ruang 

epidural (ruang sempit antara selaput yang menutupi 

sumsum tulang belakang dan dinding kanal tulang 

belakang), sendi facet atau blok pada saraf tulang belakang 

tertentu. 

i. Facet Joint Block 

ii. Medial Branch Block 

Hi. Nerve Root Block 

Terapi Operatif 

Pembedahan bukanlah tatalaksana lini pertama pada nyeri 

pinggang bawah yang disebabkan oleh OA lumbal. Beberapa 

keadaan yang mengindikasikan perlunya tindakan operasi dapat 

berupa nyeri yang tidak tertahankan, refrakter dan tidak membaik 

dengan terapi non operatif, adanya gangguan neurologis seperti 

penurunan kekuatan otot atau sensibilitas yang memberat, serta 

adanya tanda cauda equine syndrome seperti hilangnya fungsi usus 

atau kandung kemih atau adanya saddle anesthesia (yaitu, 

berkurangnya sensasi daerah perineum, seperti hilangnya 

kemampuan untuk merasakan kertas toilet yang menyentuh kulit). 

Indikasi lainnya yang mungkin memerlukan evaluasi bedah 

mencakup tanda dan gejala keganasan (misalnya penurunan berat 

badan yang cepat dan tidak diinginkan; riwayat kanker; nyeri saat 

malam hari; temuan radiologis), demam yang 


 

 

tidak dapat dijelaskan, atau defisit neurologis yang 

berkembang dengan cepat. 

Tindakan pembedahan dapat berupa fusi lumbar antara lain 

dengan fusi posterolateral dan fusi anterior interbody. Ada pula 

klinisi yang mengerjakan discectomy, fusi interbody, facetectomy dan 

fusi posterolateral. Prosedur dekompresi diskus saat ini sudah 

dikembangkan dengan memakai  metode perkutaneus laser 

ataupun dengan memakai  prosedur minimal invasif. 


 

 

LUMBAL DISK HERNIATION 

proses degeneratif pada tulang belakang diduga diawali dengan 

adanya degenerasi diskus. Degenerasi diskus ini 

memicu  ketidakstabilan segmental yang meningkatkan 

beban pada sendi facet dan memicu  kerusakan pada tulang 

rawan sendi. Berbagai faktor yang diduga sebagai faktor risiko 

terjadinya herniasi diskus yaitu  merokok, berkendaraan motor 

dalam waktu lama, mengangkat beban berat secara repetitif dan 

sering, serta gerakan twisting. 

Herniasi diskus lumbal merupakan salah satu diagnosis 

paling sering ditemukan pada pasien yang datang ke klinik tulang 

belakang. Angka prevalensi terjadinya herniasi diskus lumbal secara 

tepat sulit ditentukan karena 10 - 81% pasien tidak menunjukkan 

gejala. Sekitar 1% pasien mengalami gejala radikulopati. Meskipun 

semua tempat pada tulang belakang dapat terkena, sekitar 85 - 90% 

kasus herniasi lumbal terjadi pada L4-L5 dan L5-S1. 

Studi kembar monozigotik telah dilakukan untuk mencari 

faktor resiko yang berhubungan dengan penyebab peningkatan 

proses degeneratif. Meskipun ada beberapa faktor yang masih 

meragukan, beberapa menunjukkan peranan yang penting dalam 

mempercepat proses degeneratif pada diskus. Faktor resiko umum 

yaitu  mengangkat beban berat, merokok, dan usia. Faktor genetik 

juga merupakan faktor yang berpengaruh pada degenerasi diskus. 

Faktor genetik berpengaruh sekitar 61% pada level T12-L4 dan 41% 

pada L4-S1.  


  

 

 

Patofisiologi 

Berbagai perubahan biomekanik yang terjadi pada diskus 

sejalan dengan usia memicu  terjadinya degenerasi diskus. 

Keadaan ini dapat disebabkan oleh melemahnya struktur 

penyokong diskus yang berupa hilangnya daya kohesi molekul pada 

nukleus pulposus dan fisura pada annulus fibrosus. Proses ini secara 

lebih lanjut akan memicu  herniasi dari nukleus pulposus yang 

melewati annulus fibrosus dan juga ke dalam kanalis spinalis atau 

ke serat saraf lumbar terdekatnya. 

Diskus intervertebralis membentuk batas anterior dari kanalis 

spinal pada tingkat sendi facet dan foramen intervertebralis. Di atas 

dan posterior dari vertebral body dan diskus posterior margin yaitu  

ligamen longitudinal posterior. Ligamen longitudinal posterior 

memiliki struktur yang relatif tipis, terutama saat melebar ke lateral 

melintasi diskus intervertebralis dan lebih pada regio kaudal 

daripada lumbal. Hal ini memicu  herniasi sering terjadi di 

daerah posterolateral pada level lumbal bawah (yaitu L4-L5 dan 

L5-S1). Anatomi vertebra lumbal dan struktur saraf di dalamnya 

berhubungan dengan level neurologis yang terkena. Herniasi 

posterolateral akan mempengaruhi serat saraf dari segmen vertebra 

bawah (transversing root), sedangkan herniasi diskus foramina! akan 

mempengaruhi serat saraf dari segmen vertebra atas (exiting root). 

Terminologi dan klasifikasi 

Istilah yang digunakan harus mendefinisikan secara jelas 

tentang perubahan patologi anatomi yang muncul yang biasa 

disebut dengan prolaps disk atau herniasi disk. Apakah diskus 

menonjol pada annulus fibrosus yang masih utuh atau apakah 

terjadi prolaps dengan fragmen bebas dari jaringan diskus yang 

terletak di luar ruangan diskus? Berbagai macam keadaan dapat 

muncul, dari displacement intradiscal jaringan sampai pemisahan 

jaringan disk pada kanalis spinalis.  


Konsensus terkini di negara Jerman memakai  istilah 

protrusi dan prolaps, mengikuti rekomendasi dari bagian penyakit 

degeneratif spinal bedah orthopaedi Jerman. 

PROTRUSI 

Protusi diskus merupakan penonjolan diskus dimana seluruh 

bagian annulus fibrosusnya masih intak. Protrusi ini dapat 

digolongkan ke dalam dislokasi grade I dan grade II dimana 

jaringan diskus displaced di dalam diskus tetapi cincin fibrus 

disekelilingnya masih intak. Hal ini juga dapat dikategorikan 

sebagai contained disk. Protrusion dapat terjadi ke arah tengah 

(sentral), medial atau paramedial. 

Penonjolan annulus fibrosus biasanya ditemukan multipel dan 

pada level yang segmental secara simultan, dan akan lebih terlihat 

saat axial loading dan backward bending. Penonjolan ini memegang 

peranan penting pada penyempitan kanalis spinalis pada lumbal 

spinal kanal stenosis.  

 

 

PROLAPS 

Prolaps dari diskus melibatkan perforasi komplit dari annulus 

fibrosus dan membran ventral epidural. Dislokasi jaringan diskus 

dimana fragmen intraspinal masih berhubungan dengan diskus tapi 

masih ditutupi membran ventral epidural merupakan dislokasi 

grade III, sedangkan apabila fragmen intraspinalnya mengalami 

perforasi melewati membrane ventral epidural disebut dislokasi 

grade IV (terletak "sebagian di dalam dan sebagian di luar"). 

Fragmen bebas (dislokasi grade V) terletak bebas di dalam ruangan 

epidural dan tidak memiliki hubungan dengan diskus. 

Bila terjadi perforasi pada batas posterior dari diskus, jaringan 

diskus dapat keluar ke berbagai arah. Pada umumnya, jaringan 

prolaps ke arah lateral dan kaudal sepanjang serabut saraf, menekan 

serabut saraf dari sisi ventral. Serabut saraf ditekan oleh dinding 

posterior dari kanalis spinalis (lamina, ligamentum flavum). 

Jaringan dapat mengalami prolaps ke arah kranial atau kaudal dan 

menekan serabut saraf pada level yang berdekatan. 

Seandainya terjadi prolaps ke arah medial, serabut saraf pada 

sisi yang berlawanan dapat mengalami penekanan, hasilnya 

terjadilah sciatica. Jaringan ini juga dapat bermigrasi di sekitar 

duramater dan menekan serabut saraf dari sisi dorsal. Sangat jarang 

terjadi, fragmen keras seperti intradural atau intratekal dapat 

merobek bagian ventral duramater dari lumbal sac.


 

 

 

PERUBAHAN SPONTAN PADA PROLAPS DISK 

Sekali jaringan diskus keluar dari ruangan intervertebralis dan 

masuk pada ruangan epidural, maka kondisi metabolik akan terjadi. 

Jaringan diskus mendapat nutrisi melalui tekanan difusi secara 

normal pada cairan di dalam diskus, namun sekarang tiba - tiba 

berkurang dan terekspos oleh cairan limfa. 

saat  jaringan diskus tidak lagi mendapat tekanan intradiskal, 

maka jaringan diskus akan mengambil cairan di sekitarnya dan 

terjadilah pembengkakan dan peningkatan dari volume diskus. Ini 

terjadi karena hukum osmolaritas dan tekanan intrinsik pada 

jaringan diskus. Peningkatan penyerapan cairan pada prolaps 

jaringan dapat terlihat pada foto T2 MRI. Prolaps jaringan akan 

memberi  gambaran peningkatan signal dibandingkan diskus 

pada foto ini . 

saat  air dan volume berkurang maka tekanan pada saraf 

berkurang. Polimerisasi dan degradasi enzim pada molekul 

hidrofilik pada fragmen diskus memicu  diskus kehilangan 

turgor.  

Herniation 

subllgamentous 

fragment 

Covered Prolapse communicating Free 

prolapse with the disk sequestrum 

Transllgamentous 

extrusion 

Non contained disc - 

SB 

!f 

Fre* fragment 

Disk prolapse 

Gambar 4.6. Gambaran prolaps diskus (sagittal dan axial I’iew) 



 

Jepitan secara mekanik dan proses biokimia yang terjadi dapat 

mempengaruhi jaringan diskus, struktur saraf epidural dan memicu 

reaksi inflamasi untuk mempercepat degradasi dari jaringan diskus. 

Fragmen kecil diserap oleh proses fagositosis. 

Fragmen diskus yang besar akan mengalami degradasi oleh 

vaskularisasi dan jaringan ikat dari lemak epidural. Jaringan 

nukleus pulposus lebih mudah didegradasi oleh makrofag dan sel T 

daripada jaringan annulus fibrosus. Bagian dari annulus fibrosus 

dan tulang rawan end plate d i resorpsi lebih lambat dari nuklesus 

pulposus. 

MANIFESTASI KLINIS 

Pasien dengan herniasi simptomatik biasanya mencari 

pengobatan akibat dari nyeri yang dirasakan baik pada pinggang 

(back pain) ataupun kaki (leg pain), yang disebut radiculopathy atau 

sciatica. Rasa sakit yang ditimbulkan seringkah dipicu oleh suatu 

aktivitas tertentu seperti jatuh dengan posisi terduduk atau saat 

mengangkat barang dari posisi berdiri. Posisi duduk menghasilkan 

tekanan intradiskal paling tinggi, sehingga nyeri ini muncul 

seringkah saat duduk. Pasien dengan sciatica berat dapat mengeluh 

nyeri kaki saat berjalan. 

Meskipun nyeri pinggang bawah mungkin tidak jelas, tidak 

spesifik, dan sulit diobati, nyeri radikuler bersifat lebih spesifik dan 

lebih mudah diobati. Pasien sering mengeluh dalam distribusi 

dermatome tertentu. Misalnya, pasien dengan herniasi diskus yang 

mengenai akar saraf SI biasanya akan memicu  nyeri pada betis 

posterior dan kaki lateral, sedangkan L5 radiculopathy umumnya 

akan memiliki nyeri di kaki lateral dan dorsum kaki. Tanda - tanda 

kelemahan pada pada kaki dan gait saat berjalan juga perlu 

diperiksa. 

PEMERIKSAAN FISIK 

Pemeriksaan fisik yang dilakukan dimulai dengan melakukan 

evaluasi terhadap gaya jalan pasien (gait). Pasien dengan hernasi 

diskus biasanya akan berusaha memposisikan badan untuk 

fleksi dengan arah menjauhi sisi sakit. Perhatikan pula tahap  swing 

ataupun step-off serta Trendelenburg gait yang mengindikasikan 


 

adanya kelemahan pada otot. Lakukan pula pemeriksaan dengan 

menginstruksikan pasien untuk jalan dengan bertumpu pada jari 

kaki ataupun tumit. 

lalu  lakukanlah pemeriksaan palpasi terhadap area 

midline atau paraspinal, untuk menilai apakah ada  kekakuan 

otot atau nyeri. Pemeriksaan juga dilakukan terhadap kekuatan otot, 

tonus otot dan refleks. Peningkatan tonus menandakan adanya 

kompresi medula spinalis atau kelainan intrakranial, sedangkan 

penurunan tonus menandakan adanya penekanan pada serat saraf. 

Pemeriksaan terhadap sensoris lalu  dilakuan untuk setiap 

dermatome secara bilateral. 

Pemeriksaan khusus dapat dilakukan untuk mengevaluasi 

nyeri radikuler. Straight-leg-raise (SLR) test merupakan pemeriksaan 

terhadap adanya tanda iritasi serat saraf akibat herniasi diskus pada 

level L3/4, L4/5 dan L5/S1. Pemeriksaan dilakukan pada pasien 

dalam posisi terlentang pada meja pemeriksaan, yang dilanjutkan 

dengan fleksi pasif paha dengan lutut yang di ekstensi. Apabila 

ada  nyeri radikuler melewati lutut, maka test dikatakan positif. 

Apabila hanya mengalami nyeri pinggang (back pain), maka 

dikatakan negatif. 

 

 

Pemeriksaan lainnya yaitu  femoral nerve stretch test, yang 

merupakan pemeriksaan terhadap adanya tanda iritasi serat saraf 

akibat hemiasi diskus pada level Ll/2, L2/3. Pemeriksaan dilakukan 

pada posisi pasien lateral dekubitus dan paha secara pasif di 

ekstensi dengan lutut fleksi 90 derajat. Apabila ada  nyeri 

 

Gambar 4.7. Straight-leg-raise (SLR) test 


  

 

 

radikuler sampai paha anterior, maka test dikatakan positif. 

 

 

 

 

IMAGING 

X-Ray 

Foto polos (X-Ray) yaitu  modalitas pencitraan rutin pertama 

yang akan dievaluasi. Meskipun foto polos tidak bisa mendeteksi 

hemiasi diskus, ada berbagai temuan degeneratif pada tulang yang 

secara umum terkait dengan herniasi diskus yang mungkin ada 

yaitu penyempitan ruang diskus, osteofit, hipertrofi dari facet, 

spondylolisthesis, dan listhesis lateral. Foto dinamik fleksi-ekstensi 

mungkin diperlukan untuk mendeteksi ketidakstabilan segmental. 

Magnetic Resonance Imaging 

Magnetic Resonance Imaging (MRI) yaitu  studi pilihan 

pencitraan resonansi magnetik untuk mendeteksi herniasi lumbar, 

dengan sensitivitas dan spesifisitas yang dilaporkan sebesar 92% 

dan 100%. Gambar T2-weighted sagital dan axial biasanya paling 

membantu dalam mengkarakterisasi hemiasi, sedangkan parasagital 

gambar Tl- dan T2-ioeighted dapat berguna dalam mengevaluasi 

status foramina. 

 

Gambar 4.7. Femoral nerve stretch test 

BAB IV PENYAKIT DEGENERATIF LUMBAL 

  

 

 

 

Computed Tomography Myelography 

Computed Tomography Myelography (CTM) yaitu  tes pada 

pasien yang tidak dapat menjalani MRI. Alasan paling umum pasien 

tidak dapat menjalani MRI termasuk klaustrofobia berat, kehadiran 

alat pacu jantung, atau obesitas morbid. 

TATALAKSANA 

Penanganan Non Operatif 

Secara umum, tatalaksana non operatif meliputi beberapa hal 

berikut: 

Merubah gaya hidup dengan menghilangkan semua faktor 

resiko 

Latihan memperkuat otot - otot paravertebra dan dinding 

abdomen 

Obat - Obatan: analgesia dan anti inflamasi 

External support dengan lumbosakral orthosis 

Pasien dengan hemiasi akut mungkin akan mengalami nyeri 

pinggang dan kaki yang signifikan. Dalam keadaan akut ini, tirah 

baring mungkin disarankan tetapi harus dibatasi tidak lebih dari 2 

hingga 3 hari. Obat pilihan oral yang dapat diberikan yaitu  

golongan anti inflamasi non steroid, oral steroid dan diberikan pula 

tambahan terapi fisik bila diperlukan. Injeksi steroid dalam bentuk 

trans-epidural atau blok saraf selektif dapat membantu mengurangi 

nyeri radikuler. Analgetik jenis narkotika juga bisa diberikan tetapi 

tidak boleh dilanjutkan lebih dari beberapa hari. Setelah tahap  akut 

terlewati, pasien harus didorong untuk mulai melakukan kembali 

 

Gambar 4.8. Gambaran MRI Sagital dan Axial Lumbar Disk Herniation 


  

 

 

aktivitas ringan. Penting untuk meyakinkan pasien bahwa 

meskipun mereka mungkin merasa tidak nyaman, tetapi tidak akan 

memicu  kerusakan atau disfungsi. 

Penanganan Operatif 

Pasien yang gagal dengan penanganan konservatif untuk 

setidaknya 6 minggu yaitu  kandidat untuk intervensi operatif. Jika 

operasi dianggap perlu, maka penting bagi pasien untuk memahami 

apa yang dapat mereka harapkan post operasi dan bagaimana hal ini 

dibandingkan dengan penanganan non operatif. Meskipun operasi 

diharapkan dapat memberi  perbaikan yang signifikan di awal 

periode post operasi, namun hasil jangka panjang tidak berbeda 

secara signifikan antara kandidat operatif dan non operatif. 

Pilihan tindakan operatif yang dilakukan berupa dekompresi, 

stabilisasi dan fusi. Dekompresi dapat dilakukan dengan 

laminotomy, laminectomy, flavectomy, facetectomy, foraminotomy, 

discectomy yang diikuti fusi spinal posterior tanpa instrumentasi, 

fusi spinal posterior dengan instrumentasi posterior, dan dengan 

fusi spinal posterior dengan kombinasi instrumentasi posterior dan 

interbody fusion (anterior atau posterior). Fusi lumbal pada disk 

herniation dapat dilakukan dari anterior maupun posterior. Posterior 

interbody fusion (PLIF) merupakan fusi posterior dengan 

memasukkan 2 spinal implant 


 

atau bone graft ke setiap sisi ruang interbody diskus setelah 

sebelumnya dilakukan laminectomy dan bilateral parsial 

facetectomy untuk visualisasi dan discectomy. Sedangkan 

trcmsforaminal interbody fusion (TLIF) merupakan fusi posterior 

dengan memasukkan 1 spinal implant atau bone graft ke tengah 

ruang interbody diskus setelah facetectomy unilateral komplit di satu 

sisi saja untuk visualisasi dan discectomy. Anterior interbody fusion 

(ALIF) mirip dengan PLIF, merupakan fusi dari anterior 

memakai  mini laparotomy dari sisi kiri abdomen. Articulating 

disc replacement juga dapat dilakukan dengan mengganti total diskus 

dengan implant. 

 

Berbagai teknik bedah dijelaskan untuk menghilangkan 

fragmen nukleus dan dekompresi elemen neural. Secara umum, 

sayatan garis tengah 1-2 inchi dilakukan di atas level segmen yang 

dituju, diikuti oleh insisi fascia 1-2 mm lateral dari midline di bagian 

hemiasi untuk memungkinkan reapproximation dari fascia. 

Laminotomy lalu  dilakukan dengan menghilangkan tulang 

dari cephalad dan caudad dari hemilamina. Ligamentum flavum juga 

diidentifikasi dan diangkat untuk visualisasi dura (medial) dan akar 

saraf (lateral). Elemen saraf lalu  diretraksi kembali ke medial 

untuk mendapatkan akses ke ruang diskus dan fragmennya. Jika 

fragmennya contained, maka dilakukan annulotomy sehingga 

fragmen nucleus bisa diambil.

 

Gambar 4.9. Ilustrasi PLIF, TLIF dan ALIF 


PENYAKIT DEGENERATIF LUMBAL 

  

 

 

SPONDYLOLISTHESIS 


kata spondylolisthesis berasal dari bahasa Yunani yang terdiri atas 

kata spondylo yang berarti “tulang belakang (vertebra)", dan listhesis 

yang berarti "bergeser". Maka spondylolisthesis merupakan istilah 

deskriptif untuk pergeseran (biasanya ke anterior) dari vertebra 

secara relatif terhadap vertebra yang di bawahnya. 

Klasifikasi 

Ada lima jenis utama dari spondylolisthesis yang dikategorikan 

oleh sistem klasifikasi Wiltse yaitu: 

1. Displastik. 

Sendi facet memungkinkan pergeseran ke depan. 

Lengkungan neural biasanya masih utuh. 

2. Isthmik 

Lesi dari pars artikularis. 

ada  3 subtipe: stress fraktur, pemanjangan dari pars 

artikularis, dan fraktur pars artikularis. 

3. Degeneratif 

Spondylolisthesis bisa disebabkan oleh proses penuaan, 

dimana terjadi degenerasi dan kelemahan pada tulang, 

jaringan ikat, otot-otot, dan ligamen tulang belakang sehingga 

sering disebut sebagai spondylolisthesis degeneratif. 

4. Trauma 

Terjadi setelah mengalami kecelakaan atau trauma yang 

signifikan yang disebut spondylolisthesis trauma. 


  

 

 

5. Patologis 

Jenis terakhir spondylolisthesis, yang jarang dijumpai, disebut 

spondylolisthesis patologis. Jenis spondylolisthesis ini terjadi 

akibat kerusakan pada elemen posterior tulang belakang 

olehprosesmetastasis(sel-selkankeryangmenyebar ke bagian lain 

dari tubuh dan memicu  tumor) atau penyakit tulang 

metabolik. Jenis ini telah dilaporkan dalam kasus-kasus penyakit 

Paget tulang, tuberkulosis, Giant Cell Tumor, dan metastasis 

tumor. 

Diagnosis yang tepat dan identifikasi jenis atau kategori 

spondylolisthesis yaitu  penting untuk memahami tingkat keparahan 

dari pergeseran yang terjadi sebelum dilakukan penanganan yang 

tepat. 

Epidemiologi 

Insidens spondylolisthesis tipe isthmik berkisar 5% berdasarkan 

studi otopsi. Spondylolisthesis degeneratif memiliki frekuensi 

tersering dan melibatkan level L4-L5 dengan distribusi sekitar 5,8% 

pada pria dan 9,1% pada wanita. 

Patofisiologi 

Proses degeneratif dan inflamasi pada tulang belakang 

melibatkan ruang antar diskus, sendi facet, dan ligamen intraspinal 

dan paraspinal. Perubahan degeneratif dari diskus intervertebral 

biasanya digambarkan oleh satu atau kombinasi dari empat keadaan 

patologi di bawah ini: 

1. Berkurangnya tinggi ruang antar diskus 

2. Pergeseran (slippage) end plate 

3. Sklerosis di end plate 

4. Pembentukan osteofit

  

 

 

PENYAKIT DEGENERATIF LUMBAL 

Degenerative Disc Disease didefinisikan oleh Kramer sebagai kondisi 

biomekanik dan patologis dari segmen intervertebralis yang disebabkan 

oleh karena proses degenerasi, inflamasi, atau infeksi. Perubahan 

degeneratif pada diskus intevertebralis dan sendi facet sering 

dihubungkan dengan peningkatan laxity movement. 

Pathoanatomi Spondylolisthesis 

1. Subluksasi ke depan (instabilitas intersegmental) dari vertebral 

body disebabkan oleh: 

• Degenerasi sendi facet 

• Orientasi sendi facet secara sagital 

• Degenerasi diskus intervertebralis 

• Laxity dari ligamen (mungkin akibat perubahan Hormonal) 

 

2. Kaskade degeneratif 

• Degenerasi diskus memicu  degenerasi kapsul dan 

ketidakstabilan sendi facet 

• Microinstability yang mengarah ke degenerasi lebih lanjut 

dan akhirnya terjadi macroinstability dan anterolisthesis 

• Ketidakstabilan bertambah dengan orientasi/acef sagital 

yang memungkinkan subluksasi ke depan

 

 

Gambar 4.10. Skema terjadinya instabilitas kronik dan nyeri mekanikal. 


 

 

 

 

Gejala neurologis yang muncul pada spondylolisthesis dapat 

disebabkan oleh stenosis recessus sentral dan lateral akibat anterior 

vertebral slippage degeneratif, ekstensi ke kanalis vertebralis oleh 

hipertrofi ligamen flavum dan osteofit dari sendi facet. Stenosis 

foramina juga dapat memicu  gejala neurologis akibat 

terjadinya vertical foraminal stenosis karena berkurangnya tinggi 

diskus dan osteofit pada sudut posterolateral vertebral body yang 

mendorong akar saraf ke arah permukaan inferior dari pedikel. 

Manifestasi klinis 

Manifestasi klinis spondylolisthesis dapat bermacam-macam 

tergantung pada jenis slippage dan usia pasien. Keluhan awal yang 

muncul dapat berupa nyeri pinggang bawah ringan pada pinggang 

dan paha posterior terutama saat beraktivitas. Gejala ini jarang 

berkorelasi dengan tingkat slippage, meskipun disebabkan oleh 

ketidakstabilan segmental. Sedangkan munculnya tanda dan gejala 

neurologis seringkah berkorelasi dengan tingkat slippage dan 

melibatkan motorik, sensorik, dan perubahan refleks yang sesuai 

untuk distribusi akar saraf (biasanya SI).

 

Gambar 4.11. Ilustrasi spondylolisthesis pada L4-L5 (Moore) 

 

Gejala yang paling umum muncul pada sponyilolisthesis 

yaitu : 

1. Nyeri pinggang bawah. 

Keluhan ini sering memberat dengan latihan terutama dengan 

ekstensi tulang belakang lumbal. 

2. Beberapa pasien dapat mengeluhkan nyeri, mati rasa, 

kesemutan, atau kelemahan pada kaki karena kompresi saraf. 

Kompresi berat pada saraf dapat memicu  hilangnya 

kontrol dari usus atau fungsi kandung kemih. 

3. Kekakuan paha bagian posterior dan penurunan range of 

motion pinggang bawah 

Pasien dengan spondylolisthesis degeneratif biasanya 

memiliki umur lebih tua dan datang dengan keluhan nyeri 

pinggang bawah, radikulopati, klaudikasio neurogenik, atau 

kombinasi dari gejala-gejala ini . Slippage yang paling umum 

terjadi pada segmen L4-5. Gejala-gejala radikuler sering muncul 

akibat stenosis dari recessus lateral sendi facet dan hipertrofi 

ligamen dan/ atau herniasi diskus. Akar saraf L5 paling sering 

mengalami gangguan sehingga memicu  kelemahan pada otot 

ekstensor halusis longus. 

Keluhan nyeri ini akan berkurang saat  pasien memfleksikan 

tulang belakang dengan duduk atau bersandar. Fleksi akan 

memperbesar ukuran kanalis vertebralis dan foramen 

intervertebralis. Hal ini dapat mengurangi tekanan pada akar saraf 

keluar sehingga dapat mengurangi myeri. 

Diagnosis 

Pada kebanyakan kasus, jarang ditemukan kelainan pada 

pemeriksaan fisik pasien spondylolisthesis. Pasien biasanya 

mengeluh nyeri di bagian pinggang yang disertai dengan nyeri 

intermitten pada tungkai. Spondylolisthesis sering memicu  

spasme otot, atau kekakuan pada betis. 


  

Spondylolisthesis didiagnosis dengan memakai  foto X- 

ray lateral view di mana ditemukan adanya gambaran anterior 

slippage dari vertebral secara relatif terhadap vertebral yang di 

bawahnya. Pada foto X-ray oblique view, spondylolisthesis dengan 

jelas memberi  gambaran disrupsi pars artikularis (Scotty dog 

appearance). 

 

Menurut Meyerding, spondylolisthesis dibagi berdasarkan 

derajatnya dan persentase pergeseran vertebral dibandingkan 

dengan vertebral di dekatnya, yaitu: 

1. Derajat I: pergeseran kurang dari 25% 

2. Derajat II: 26-50% 

3. Derajat III: 51-75% 

4. Derajat IV: 76-100% 

5. Derajat V atau spondiloptosis terjadi saat  vertebra telah 

terlepas dari tempatnya

 

Gambar 4.12. Ilustrasi dan gambaran X-ray oblique view menunjukkan adanya 

disrupsi pada isthmus (Scotty dog) 


 

Gambar 4.14. Spondylolisthesis Grade I 

 

 

 

 

 

 

 

 

Gambar 4.13. Pengukuran Derajat Spondyilolisthesis (A) Persentase slippage 

(B) Slip Angle 


 

Jika pasien mengeluh nyeri, kesemutan, dan kelemahan pada 

tungkai, maka pemeriksaan penunjang tambahan mungkin 

diperlukan. CT scan atau MRI dapat membantu mengidentifikasi 

kompresi saraf yang berhubungan dengan spondylolisthesis. Pada 

keadaan tertentu, PET scan dapat membantu menentukan adanya 

proses aktif pada tulang yang mengalami kelainan. Pemeriksaan ini 

juga berperan dalam menentukan terapi pilihan untuk 

spondylolisthesis. 

Pemeriksaan Penunjang 

Berikut yaitu  pemeriksaan-pemeriksaan yang diperlukan 

dalam menunjang diagnosis spondylolisthesis: 

a. X-ray 

Pemeriksaan awal untuk spondylolisthesis yaitu foto AP, 

lateral, dan spot view radiografi dari lumbal dan lumbosacral 

junction. Foto oblique dapat memberi  informasi tambahan, 

namun tidak rutin dilakukan. 

b. SPECT bone scintigraphy 

SPECT dapat membantu mendeteksi stress injury pada pars 

interartikularis pada nyeri pinggang bawah akibat 

spondylolisthesis. 

c. Computed tomography (CT) scan 

CT scan dengan potongan 1 mm koronal ataupun sagital, dapat 

memberi  gambaran yang lebih baik dari spondylolisthesis. 

d. Magnetic resonance imaging (MRI) 

MRI dapat memperlihatkan adanya edema pada lesi yang akut. 

MRI juga dapat menentukan adanya kompresi saraf spinal 

akibat stenosis dari kanalis sentralis. 

e. EMG 

EMG dapat mengidentifikasi radikulopati atau 

poliradikulopati (stenosis), yang dapat timbul pada 

spondylolisthesis. 


 

Penatalaksanaan 

Non operatif 

Penanganan untuk spondylolisthesis unuimnya konservatif. 

Penanganan non operatif diindikasikan untuk semua pasien tanpa 

defisit neurologis atau defisit neurologis yang stabil. Penanganan 

konservatif ini dapat dimulai dari modifikasi gaya hidup, 

pengurangan berat badan, terapi fisik dengan stretching exercise dan 

aerobik yang melatih fleksi lumbal, pemakaian brace atau orthosis, 

dan pemakain obat anti inflamasi non steroid. Hal terpenting dalam 

manajemen penanganan spondylolisthesis yaitu  motivasi pasien. 

Operatif 

Pasien dengan defisit neurologis atau nyeri yang mengganggu 

aktivitas, yang gagal dengan manajemen non operatif diindikasikan 

untuk operasi. Pilihan tindakan operatif yang dilakukan berupa 

dekompresi, dekompresi dengan fusi spinal posterior tanpa 

instrumentasi, dekompresi dengan fusi spinal posterior dengan 

instrumentasi posterior, dan dekompresi dengan fusi spinal 

posterior dengan kombinasi instrumentasi posterior dan interbody 

fusion (anterior atau posterior). 

Bila secara radiologis tidak stabil atau didapatkan 

progresivitas slip dengan x-ray serial, disarankan untuk operasi 

stabilisasi. Jika progresivitas slip menjadi lebih 50% atau jika slip 50% 

pada waktu diagnosis, ini yaitu  indikasi untuk fusi. Pada 

spondylolisthesis high grade walaupun tanpa gejala, fusi tetap harus 

dilakukan. 

Bila manajemen operatif dilakukan pada dewasa muda maka 

fusi harus dilakukan karena akan terjadi peningkatan slip yang 

bermakna bila dilakukan operasi tanpa fusi. Jadi indikasi fusi antara 

lain: usia muda, progresivitas slip lebih besar 25%, pekerja yang 

sangat aktif, pergeseran 3 mm pada fleksi/ekstensi lateral x- ray. 

Fusi tidak dilakukan bila ada  multi level disease, motivasi rendah, 

aktivitas rendah, osteoporosis, dan habitual tobacco abuse.


 

 

Pada habitual tobacco abuse angka kesuksesan fusi menurun. Fusi 

insitu dapat dilakukan dengan beberapa pendekatan: 

1.  An terior approach 

2. Posterior approach (yang paling sering dilakukan) 

3. Posterior lateral approach 

Komplikasi 

Pasien yang membutuhkan penanganan bedah untuk 

stabilisasi spondylolisthesis, komplikasi yang dapat terjadi yaitu  

nerve root injury (<1%), kebocoran cairan serebrospinal (2%-10%), 

kegagalan melakukan fusi (5%-25%), infeksi dan perdarahan dari 

prosedur pembedahan (l%-5%). Pada pasien yang perokok, 

kemungkinan untuk terjadinya kegagalan pada saat melakukan fusi 

menjadi lebih dari 50%. Pasien yang berusia lebih muda memiliki 

resiko yang lebih tinggi untuk menderita spondylolisthesis isthmic 

atau kongenital. Radiografi serial dengan posisi lateral harus 

dilakukan setiap 6 bulan untuk mengetahui perkembangan pasien. 

Prognosis 

Pasien dengan fraktur akut dan slippage tulang vertebral yang 

minimal kemungkinan akan kembali normal apabila fraktur ini  

membaik. Pada pasien dengan perubahan vertebral yang progresif 

dan degeneratif, kemungkinan akan mengalami gejala 

yangsifatnyaintermiten.Resikountukterjadinyaspondylolisthesis 

degeneratif meningkat seiring dengan bertambahnya usia, dan 

pergeseran vertebral yang progresif terjadi pada 30% pasien. Bila 

slippage vertebral semakin progresif, maka foramina neural akan 

semakin menyempit dan memicu  penekanan pada saraf (nerve 

compression) atau sciatica, dimana hal ini akan membutuhkan 

pembedahan dekompresi.


 

LUMBAL SPINAL CANAL STENOSIS 


Definisi 

Spinal kanal stenosis yaitu  suatu kondisi penyempitan 

kanalis spinalis atau foramen intervertebralis yang disertai dengan 

penekanan akar saraf yang keluar dari foramen ini . 

Epidemiologi 

Spinal stenosis, salah satu masalah yang sering ditemukan, 

merupakan penyakit degeneratif tulang belakang pada populasi 

usia lanjut. Prevalensinya 5 dari 1000 orang di atas usia 50 tahun di 

Amerika. Merupakan penyakit terbanyak yang memicu  

tindakan pembedahan tulang belakang pada usia lebih dari 60 

tahun. Lebih dari 125.000 prosedur laminektomi dikerjakan untuk 

kasus lumbar spinal stenosis. Pria lebih tinggi insidennya daripada 

wanita. Patofisiologinya tidak berkaitan dengan ras, jenis kelamin, 

tipe tubuh, pekerjaan dan paling banyak mengenai lumbar ke 4-5 

dan lumbar ke 3-4. 

Etiologi 

Struktur anatomi yang bertanggung jawab terhadap 

penyempitan kanal meliputi struktur tulang dan jaringan lunak. 

Struktur tulang meliputi: osteofit sendi facet (merupakan penyebab 

tersering), penebalan lamina, osteofit pada corpus vertebral, 

subluksasi maupun dislokasi sendi facet (spondylolisthesis), 

hipertrofi atau defek spondylolysis, dan anomali sendi facet 

kongenital. Struktur jaringan lunak meliputi: hipertrofi ligamentum 

flavum (penyebab tersering), penonjolan annulus atau fragmen 

nukleus pulposus, penebalan kapsul sendi facet dan sinovitis, dan 


 

ganglion yang berasal dari sendi facet. Kelainan struktur tulang dan 

jaringan lunak ini  dapat memicu  beberapa kondisi yang 

mendasari terjadinya spinal kanal stenosis. 

Faktor Resiko 

Risiko terjadinya stenosis tulang belakang meningkat pada 

orang yang: 

1. Terlahir dengan kanalis spinalis yang sempit 

2. Berjenis kelamin wanita 

3. Berusia 50 tahun atau lebih (osteofit atau tonjolan tulang 

berkaitan dengan pertambahan usia) 

4. Pernah mengalami cedera tulang belakang sebelumnya 

Pathoanatomi 

Struktur anatomi yang bertanggung jawab terhadap 

penyempitan kanal yaitu  struktur tulang dan jaringan lunak. 

Akibat kelainan struktur tulang jaringan lunak ini  dapat 

memicu  beberapa kondisi yang mendasari terjadinya spinal 

kanal stenosis yaitu: 

1. Degenerasi diskus 

Degenerasi diskus merupakan tahap awal yang paling sering 

terjadi pada proses degenerasi spinal, walaupun arthritis pada sendi 

facet juga bisa mencetuskan suatu keadaan patologis pada diskus. 

Pada usia 50 tahun terjadi degenerasi diskus yang paling sering 

terjadi pada L4-L5, dan L5-S1. Perubahan biokimia dan biomekanik 

membuat diskus memendek. Penonjolan annulus, herniasi diskus, 

dan pembentukan dini osteofit dapat diamati. Sequelae dari 

perubahan ini meningkatkan stress biomekanik yang ditransmisikan 

ke posterior yaitu ke sendi facet sehingga terjadi instabilitas pada 

sendi facet. Penyempitan ruang foraminal cephalo-caudal akibat 

proses ini akan memicu  akar saraf


 

Gambar 4.15. Perbandingan gambaran spinal kanal normal dan stenosis 

Normal Stenosis 


terjepit, lalu  menghasilkan stenosis sentral maupun stenosis 

lateral. 

2. Instabilitas Segmental 

Konfigurasi tripod pada spinal dengan diskus, sendi facet dan 

ligamen yang normal membuat segmen dapat melakukan gerakan 

rotasi dan angulasi dengan halus dan simetris tanpa perubahan 

ruang dimensi pada kanal dan foramen. Degenerasi sendifacet bisa 

terjadi sebagai akibat dari instabilitas segmental, biasanya pada 

pergerakan segmental yang abnormal misalnya gerakan translasi 

atau angulasi. Degenerasi diskus akan diikuti oleh kolapsnya ruang 

diskus, karena pembentukan osteofit di sepanjang aspek 

anteromedial prosesus artikularis superior dan inferior yang akan 

memicu  arah sendi facet menjadi lebih sagital. Hal ini 

diperberat oleh penyempitan segmental yang disebabkan oleh 

penonjolan diskus dan melipatnya ligamentum flavum, sehingga 

terjadi penyempitan relatif pada kanalis lumbal, dan penurunan 

volume ruang untuk elemen neurlal yang ada. Pada kaskade 

degeneratif, kanalis sentralis dan neuroforamen menjadi tidak 

terakomodasi saat gerakan rotasi karena perubahan pada diskus 

dan sendi facet, sehingga memicu  penekanan dan inflamasi 

pada elemen saraf yang lalu  akan menghasilkan nyeri.


3. Hiperekstensi segmental 

Gerakan ekstensi normal dibatasi oleh serat anterior annulus 

dan otot-otot abdomen. Perubahan degeneratif pada annulus dan 

kelemahan otot abdominal menghasilkan hiperekstensi lumbar yang 

menetap. Sendi facet posterior merenggang secara kronis lalu  

mengalami subluksasi ke arah posterior sehingga menghasilkan nyeri 

pinggang. 

Patofisiologi 

Berdasarkan pathoanatomi yang telah dijelaskan di atas, 

lumbal spinal canal stenosis dapat timbul akibat berbagai struktur 

patologi yang ada di sekitar elemen neural kanalis spinalis di 

anterior, posterior, ataupun lateral. Penonjolan diskus, herniasi 

nukleus, penebalan ligament flavum, hipertrofi atau subluksasi sendi 

facet, dan osteofit dapat memicu  penurunan volume kanalis 

spinalis sehingga terjadi jepitan elemen saraf di dalamnya dan 

memicu  keluhan nyeri. 

Klasifikasi 

Klasifikasi spinal kanal stenosis dapat dibagi menjadi tipe 

kongenital/developmental and acquired, yaitu: 

2. Congenital-developmental stenosis 

a. Idiopatik 

b. Akondroplastik 

2. Acquired stenosis 

a. Degeneratif (paling sering) 

b. Combined congenital and degenerative stenosis 

c. Spondylitic/spondylolisthetic 

d. Iatrogenik (post laminectomy, post fusion) 

e. Post trauma 

f. Metabolik (Paget's disease, fluorosis) 

Gejala Klinis 

Pada pasien dengan stenosis pada kanalis spinal lumbal, pasien 

sering mengeluh nyeri, kelemahan, kesemutan pada telapak kaki saat 


berjalan, atau kombinasi dari gejala-gejala ini . Onset dari gejala 

selama pergerakan disebabkan oleh peningkatan kerja metabolik dari 

saraf yang terkompresi yang mengalami iskemik karena stenosis. 

Gejala klaudikasio neurogenik seringkah muncul dimana nyeri akan 

berkurang saat  pasien memfleksikan tulang belakangnya. Fleksi 

akan meningkatkan ukuran kanal dengan meregangkan ligamentum 

flavum dan membesarkan diameter dari foramen. Proses ini akan 

menurunkan tekanan pada nerve root dan mengurangi rasa nyeri yang 

ada. Nerve root yang seringkah mengalami proses patologis ini yaitu  

area L5 yang disertai kelemahan pada otot ekstensor hallucis longus. 

Stenosispadakanalisspinallumbalsecaraklasikmenunjukkan 

gejala klaudikasio neurogenik bilateral. Pasien biasanya berusia lebih 

dari 50 tahun, dengan klaudikasio neurogenik yang terjadi tiba-tiba 

dengan gejala keram intermiten, nyeri difus paha atau kaki yang 

bersifat menjalar disertai dengan paresthesia lokal. Nyeri klaudikasio 

neurogenik dipicu oleh posisi tubuh berdiri dan diringankan dengan 

posisi supine, duduk, dan fleksi pada lumbal. 

Diagnosis 

Penegakan diagnosis ini  harus tetap berdasarkan 

anamnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang. 

1. Anamnesis 

Gejala utama lumbal spinal canal stenosis yaitu  "sciatica" (nyeri 

pinggang, nyeri kaki, dan kesemutan) yang terjadi saat berjalan, dan 

gejala klaudikasio intermiten neurogenik. Gejala- gejala ini perlahan 

berkembang seiring waktu, memburuk atau membaik. Dengan kata 

lain, penyakit ini tidak disertai dengan gejala iritasi saraf yang berat 

seperti halnya herniasi diskus atau dengan rasa sakit yang parah saat 

istirahat, seperti halnya kanker metastatik pada vertebral atau 

spondylitis piogenik. 

• Klaudikasio intermiten neurogenik 

Gejala klaudikasio intermiten neurogenik yaitu  nyeri, 

kesemutan, dan kelemahan pada kaki yang terjadi dan semakin 


 

memberat saat berjalan (yang disebabkan oleh berat tubuh pada 

tulang belakang) sehingga tidak mampu melanjutkan jalannya. 

Selanjutnya, gejala-gejala ini membaik dengan cara membungkuk ke 

depan (posisi lordotik), setelah itu pasien dapat berjalan lagi, yang 

merupakan ciri khas dari penyakit ini. Sensory march juga dicatat, di 

mana sensasi abnormal berpindah dari kaki ke bokong atau daerah 

perineum, atau turun dari bokong ke tungkai bawah dengan berjalan 

kaki. Dalam beberapa kasus, gangguan kandung kemih dan rektal, 

seperti peningkatan dorongan untuk buang air kecil, inkontinensia, 

dan ereksi penis, bias terjadi saat berjalan. 

 

2. Pemeriksaan Fisik 

Umumnya, ada beberapa temuan objektif bila dibandingkan 

dengan gejala subjektif. Pada gangguan tipe nerve root, gejala iritasi 

nerve root dan gejala defisiensi saraf, seperti gangguan persepsi, 

melemahnya kekuatan otot, dan penurunan refleks tendon 

ekstremitas bawah, dapat membantu dalam mendiagnosis segmen 


 

yang terlibat. Pada tipe cauda equina, refleks tendon Achilles biasanya 

hilang secara bilateral, bahkan saat istirahat. Pada saat istirahat, 

refleks tendon Achilles akan menghilang secara bilateral dalam tes 

pembebanan. Pemeriksaan fisik lainnya yang dapat dilakukan 

yaitu : 

A. Kemp sign (tes positif jika nyeri di pinggang bawah untuk 

spasme lumbal atau facet capsulitis, nyeri radikuler 

menunjukkan lesi pada diskus. Nyeri radikuler unilateral yang 

berasal dari stenosis foraminal, memburuk saat ekstensi 

pinggang). 

B. Straight leg raising biasanya negatif. 

C. Tes Valsalva (nyeri radikuler tidak memburuk dengan Valsalva) 

D. Pemeriksaan neurologis 

3. Pemeriksaan Penunjang 

A. X-ray 

Pada pemeriksaan X-ray yang sederhana (posisi AP dan lateral), 

observasi harus dilakukan pada alignment lumbal dan perubahan 

destruktif yang terjadi (perubahan hipertrofik pada sendi facet, 

pembentukan spur pada tepi posterior dari vertebral body, 

penyempitan ruang intervertebralis, pemendekan jarak 

interpedikulasi, penyempitan foramen intervertebralis). Pada posisi 

fleksi atau ekstensi dapat ditemukan ketidakstabilan segmental. 

B. Magnetic Resonance Imaging Pada pemeriksaan MRI dengan 

gambar Tl-weighted, kondisi 

ligamen flavum dan jaringan lemak peridural harus diamati, dan 

dengan gambar 12-weighted, tingkat kompresi kanalis duralis dapat 

diamati, karena cairan cerebrospinalis menunjukkan intensitas yang 

tinggi. Namun, jaringan tulang menunjukkan intensitas rendah, 

sehingga CT lebih unggul untuk pengamatan lesi osseous. 

C. Myelografi 

Myelografi yaitu  pemeriksaan yang sedikit invasif, sehingga 

hanya digunakan sebagai sarana penunjang dalam kasus gambaran 

klinis yang sulit dinilai oleh MRI dan CT. Dibandingkan dengan MRI, 

pemeriksaan ini berguna untuk mengamati faktor-faktor dinamis 

yang menekan cauda equina dan nerve root saat  tulang belakang 

lumbal dibengkokkan ke depan dan ke belakang. Pemeriksaan ini 

sangat cocok untuk mengamati gambaran kompresi seperti houglass 

dari kanalis duralis, complete block, gambaran kistik dari defisiensi 

nerve root, nerve redundant, dan arakhnitis. 

D. Blok nerve root selektif 

Blok nerve root selektif berguna untuk menentukan vertebral 

mana yang benar-benar yang menjadi penyebab keluhan, bahkan 

saat  banyak segmen vertebral tampak menyempit. 

Tatalaksana 

Penanganan non operatif. 

1. Pilihan penanganan non operatif difokuskan untuk 

mengembalikan fungsi dan menghilangkan rasa sakit. 

Meskipun metode non-bedah tidak membantu mengurangi 

penyempitan kanalis spinalis, banyak orang melaporkan bahwa 

perawatan ini membantu meringankan gejala. Terapi fisik 

dengan latihan peregangan, latihan penguatan lumbal dan 

perut juga sering membantu mengatasi gejala. 

2. Obat anti-inflamasi. Karena rasa nyeri akibat stenosis 

disebabkan oleh tekanan dan inflamasi pada saraf tulang 

belakang, maka pemberian Non-steroid antiinflammatory drugs 

(NSAID) dapat membantu mengurangi inflamasi 

(pembengkakan) di sekitar saraf dan meredakan nyeri. Obat ini 

awalnya akan memberi  efek penghilang rasa sakit, namun 

saat  digunakan selama 5-10 hari, mereka juga dapat memiliki 

efek anti inflamasi. Efek samping dari NSAID yaitu  gastritis 

atau ulkus lambung. 

3. Injeksi steroid. Kortison yaitu  anti inflamasi kuat. Suntikan 

kortison pada daerah di sekitar akar saraf atau di ruang epidural 

bisa mengurangi pembengkakan dan rasa sakit. Injeksi steroid 

hanya dapat dilakukan kurang dari 3 kali per tahun. Suntikan 

ini cenderung mengurangi rasa sakit dan kesemutan namun 

tidak mengurangi kelemahan yang terjadi pada kaki. 

4. Akupuntur. Akupuntur dapat membantu dalam mengobati rasa 

sakit untuk kasus-kasus yang tidak terlalu parah. Meskipun 

sangat aman, namun kesuksesan penanganan ini secara jangka 

panjang belum terbukti secara ilmiah. 

Penanganan operatif 

1. Pembedahan untuk lumbal spinal canal stenosis umumnya 

ditunda pada pasien yang memiliki kualitas hidup yang buruk 

karena rasa sakit dan kelemahan. Pasien mungkin mengeluhkan 

ketidakmampuan berjalan untuk jangka waktu yang panjang tanpa 

duduk. Ini sering menjadi alasan pasien untuk mempertimbangkan 

operasi. Ada beberapa pilihan operasi utama untuk mengobati lumbal 

spinal canal stenosis, yaitu laminectomy dan fusi, facetectomy dan 

foraminotomy. Opsi-opsi ini dapat menghilangkan rasa sakit dengan 

sangat baik. Keuntungan serta kerugiannya yaitu  sebagai berikut: 

a) Laminectomy. Prosedur ini melibatkan eksisi tulang lamina, osteofit, 

dan ligamen yang menekan saraf. Prosedur ini juga

 

b) 

dapat disebut dekompresi. Laminektomi dapat dilakukan 

dengan operasi terbuka, di mana dilakukan sebuah sayatan 

yang besar untuk mengakses tulang belakang. Prosedur ini 

juga dapat dilakukan dengan memakai  metode minimal 

invasif. 

Spinal fusion. Jika arthritis telah berlanjut terhadap 

ketidakstabilan tulang belakang, kombinasi dekompresi dan 

stabilisasi atau spinal fusion dapat dianjurkan. Pada spinal fusion, 

dua atau lebih vertebra disatukan secara permanen. Bone graft 

diambil dari tulang pinggang atau tulang pinggul yang 

lalu  digunakan untuk fusi tulang belakang. Fusi 

menghilangkan gerakan antar tulang dan mencegah terjadinya 

pergerseran yang akan memburuk setelah operasi. Rod dan 

screw dapat digunakan untuk menahan tulang belakang di 

tempatnya agar tulang menjadi fusi. Penggunaan rod dan screw 

membuat fusi tulang terjadi lebih cepat dan pemulihan berjalan 

lebih cepat. 

Komplikasi 

Komplikasi pada lumbal spinal canal stenosis meningkat seiring 

dengan umur serta fusi level vertebra yang terkena. Komplikasi 

mayor yang sering dialami yaitu: 

1. Infeksi pada luka (10%), infeksi dapat ditangani dengan 

debridemen atau irigasi. 

2. Pneumonia (5%) 

3. Gagal Ginjal (5%) 

4. Defisit neurologis (2%) 

Komplikasi minor meliputi: 

1. Infeksi saluran kemih (34%) 

2. Anemia (27%) 

3. Robekan dural 

4. Gejala yang semakin memburuk


 

 

Prognosis 

Studi yang berkaitan dengan perkembangan alami lumbal spinal 

canal stenosis sangat sedikit, dengan jumlah pasien yang terbatas per 

kelompok. Johnsson dkk. melaporkan bahwa 19 dari 27 pasien (70%) 

dengan lumbal spinal canal stenosis yang moderat dan tidak diobati 

(>11 mm diameter saluran anteroposterior) tetap tidak mengalami 

perubahan setelah 4 tahun observasi; 4 pasien (15%) menunjukkan 

peningkatan, dan 4 pasien (15%) memburuk tanpa gejala sisa yang 

serius. 

Ada lima penelitian yang membandingkan hasil klinis dari 

perawatan bedah dan konservatif untuk lumbal spinal canal stenosis. 

Dalam tindak lanjut jangka pendek 1 hingga 4 tahun, pasien yang 

diobati dengan pembedahan memiliki hasil klinis yang lebih baik 

dengan nyeri radikuler dan nyeri pinggang bawah. Namun, dalam 

follow-up jangka panjang 10 tahun, tidak ada perbedaan signifikan 

dari hasil klinis antara operasi dan manajemen konservatif untuk 

nyeri pinggang bawah. Dalam follow-up jangka panjang 10 tahun, 

pasien yang diobati dengan pembedahan memiliki perbaikan yang 

lebih baik untuk nyeri radikuler. Selama tindak lanjut awal 1-5 tahun 

dalam studi tindak lanjut jangka panjang, intervensi bedah memiliki 

perbaikan yang lebih baik untuk semua pengukuran pada nyeri 

pinggang radikuler. 


 

 

MEDIAL BRANCH BLOCK 

PADA REGIO LUMBAL 

I Gusti Lanang Ngurah Agung Artha Wiguna 

Medial branch block merupakan suatu prosedur yang bertujuan 

untuk diagnosis dan terapi sindrom sendi facet. Sindroma sendi facet 

yaitu  salah satu penyebab tersering dari nyeri pada tulang 

belakang. Sindrom ini tidak dapat didiagnosis secara klinis atau 

radiologis, namun dapat diidentifikasi dengan medial branch block 

atau injeksi sendi facet. 

PERSIAPAN PREOPERATIF 

• Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik 

Tanda dan gejala yang harus dievaluasi pada anamnesis dan 

pemeriksaan fisik meliputi: 

1) Nyeri yang muncul saat hiperekstensi dan rotasi dari 

spine dan berkurang saaf fleksi spine 

2) Nyeri tekan lokal pada sendi facet 

3) Terbatasnya spine range of motion 

4) Nyeri alih (Reffered pain) 

• Radiologis 

Berbagai modalitas radiologis dapat digunakan untuk 

mengidentifikasi sindrom sendi facet yang berindikasi operatif, 

meliputi: 

1) Foto polos (X-Ray) 

2) Bone scanning 

3) Computed Tomography (CT-Scan) 

4) Magnetic Resonance Imaging (MRI)


  

 

 

INDIKASI MEDIAL BRANCH BLOCK 

Indikasi dari medial branch block pada regio lumbal meliputi: 

• Nyeri paravertebral dan nyeri tekan pada sendi facet lumbal 

• Nyeri alih (reffered pain) 

• Berkurangnya atau hilangnya mobilitas pada regio tulang 

belakang yang nyeri 

• Nyeri yang timbul saat hiperekstensi dan rotasi pada saat 

duduk 

• Tidak adanya tanda neurologis yang objektif 

• Adanya tanda radiologis seperti skoliosis berat, osteoporosis, 

fraktur kompresi vertebra, dan osteoarthritis/acef. 

 

 

Gambar 5.1. Hasil bone scan pada osteoarthritis facet. Tingginya uptake 

radiotracer dapat dilihat pada beberapa sendi facet (tanda panah) pada 

foto posterior (kanan), dan uptake yang relatif rendah dapat dilihat 

pada foto 

anterior (kiri) 


 

KONTRAINDIKASI 

Kontraindikasi dari medial branch block meliputi: 

• Pasien menolak untuk dilakukan tindakan 

• Adanya infeksi kulit pada area penusukan jarum atau adanya 

infeksi sistemik 

• Koagulopati dengan nilai INR >1,5, jumlah hitung platelet 

<50.000/mm3, atau pasien yang saat ini dengan terapi 

antikoagulan 

Pasien dengan terapi anti koagulan merupakan kontraindikasi 

relatif, karena jika terapi antikoagulan dapat ditunda sementara 

waktu, pasien harus berhenti memakai  terapi antikoagulan 

selama 3 sampai 7 hari sebelum tindakan dilakukan dan dilanjutkan 

lalu  selama 3-7 hari pasca tindakan. Pada pasien dengan terapi 

 

Gambar 5.2. Gambaran skematis yang menunjukkan pola nyeri 

alih (referred pain) dari sendi facet lumbal 


 

antikoagulan yang tidak dapat ditunda namun tindakan medial 

branch block tetap dilakukan, maka jarum yang digunakan harus 

berukuran G26 dan lalu  diberikan ice pack selama 10 menit 

segera setelah tindakan dilakukan. 

ANATOMI 

Pada setiap levelnya, inervasi dari sendi facet berasal dari medial 

branch dari saraf spinal di sebelahnya, dimana medial branch terletak 

satu level diatasnya atau satu level dibawahnya. 

DAFTAR ALAT DAN BAHAN TINDAKAN 

Beberapa alat dan bahan diperlukan dalam tindakan medial 

branch block, seperti: 

• 26-gauge; jarum 1,5-inch dan 3,5-inch 

• 22-gauge; jarum spinal 3,5-inch 

• Lidocaine 2% atau 0,5% levobupivacaine (chirocaine) 

• Agen kontras terlarut air dengan atau tanpa steroid 

PROSEDUR TINDAKAN 

• Prosedur tindakan dari medial branch block pada level L1-L2 

hingga L4-L5 sendi facet yaitu : 

1. Pasien menandatangani persetujuan tindakan (informed 

consent). 

2. Pasien diposisikan dalam posisi prone. Area kulit tindakan 

dipersiapkan dan dilakukan dropping secara steril. 


 

3. Dengan bantuan C-arm, korpus vertebra dan end plates 

diposisikan secara paralel dengan gambaran AP. 

lalu  C-arm diputar 20 hingga 40 derajat secara 

oblique. 

4. Dengan tuntunan C-arm, lakukan infiltrasi anestesi lokal 

dengan jarum 26-gauge; 1,5-inch dan 3,5-inch pada titik 

target di kulit. 

5. Dengan tuntunan fluoroscopic secara intermiten, 

22-gauge; jarum spinal 3,5-inch dimasukkan secara 

langsung pada titik target hingga terjadi kontak dengan 

tulang. 

6. Dilakukan pengecekan dengan C-arm gambaran AP dan 

Lateral untuk verifikasi posisi akhir dari ujung jarum.

 

Nerve root L2 (NR) 

 

 

Gambar 5.3. Gambaran ilustratif posterior oblique view lumbar spine dari 

L2 ke L5. Masing-masing medial branch dari L1 hingga L4 melewati celah 

pada prosesus artikularis superior (S) dan dasar dari prosesus 

transversus. Dorsal ramus L5 melewati celah dari prosesus artikularis 

superior dan ala dari sacrum. Ramus dorsalis primer L3 (DPR3); Prosesus 

artikularis inferior (I); 


  

 

 

Setelah posisi ujung jarum yang sesuai telah terkonfirmasi dengan 

pemberian agen kontras 0,2 mL, anastesi lokal (lidocaine 2% atau 

0,5% levobupivacaine) sebanyak 0,5mL diinjeksikan dengan atau 

tanpa kortikosteroid. 

Gambar 5.4. Alat yang diperlukan untuk tindakan medial branch block. Agen 

kontras disiapkan dalam syringe 2 mL dengan extension tube. 

Gambar 5.5. Contoh dari medial branch block regio lumbal. A. Arah dari jarum 

dan proyeksi C-arm berbeda berdasarkan tingkatan lordosis lumbal. B. Arah 

yang berbeda-beda dari jarum ditunjukkan dalam gambaran oblique  


 

• Prosedur tindakan dari medial branch block pada sendi facet 

L5-S1 yaitu  : 

1. Pasien menandatangani persetujuan tindakan (informed 

consent). 

2. Pasien diposisikan dalam posisi prone. Area kulit 

tindakan dipersiapkan dan dilakukan dropping secara 

steril. 

3. Dengan bantuan C-arm, korpus vertebra dan end plates 

diposisikan secara paralel dengan gambaran AP. 

4. Dengan tuntunan C-arm, infiltrasi dari anestesi lokal 

dilakukan dengan jarum 26-gauge; 1,5-inch dan3,5-inch 

pada titik target pada kulit, sekitar 5 mm inferior dari 

celah prosesus artikularis superior dan ala dari sacrum. 

5. Dengan tuntunan fluoroscopic secara intermiten, 

22-gauge; jarum spinal 3,5-inch dimasukkan secara 

langsung pada titik target hingga terjadi kontak dengan 

tulang. 

6. Dilakukan pengecekan dengan C-arm gambaran AP dan 

Lateral untuk verifikasi posisi akhir dari ujung jarum. 

7. Setelahposisiujungjarumyangsesuai telah terkonfirmasi 

dengan pemberian agen kontras 0,2 mL, anastesi lokal 

(lidocaine 2% atau 0,5% levobupivacaine) sebanyak 0,5 mL 

diinjeksikan dengan atau tanpa kortikosteroid. 

KOMPLIKASI 

Komplikasi dari medial branch block seringkah berupa 

komplikasi minor dan dapat sembuh sendiri dalam beberapa 

hari. Komplikasi yang dapat muncul meliputi: 

• Nyeri akibat prosedur (saat jarum ditusukkan) 

• Trauma pada spinal cord atau nerve root 

• Infeksi 

• Hematoma 

 

 



 

 

LUMBAR FACET BLOCK 

I Gusti Lanang Ngurah Agung Artha Wiguna, 

I Ketut Suyasa 

Pendahuluan 

yeri pinggang yaitu  gangguan kronis paling umum dari 

semua masalah nyeri tulang belakang. Struktur yang mampu 

mentransmisikan nyeri pada tulang belakang lumbal, termasuk 

sendi facet lumbal, diskus intervertebral lumbal, sacroiliac joint, 

ligamen, fasia, otot, dan nerve root. 

Istilah sendi facet biasa digunakan di Amerika Serikat, 

meskipun beberapa orang percaya struktur ini lebih tepat disebut 

zygapophysial atau zygapophyseal joint, istilah yang berasal dari 

bahasa Yunani zygos, yang artinya yoke atau jembatan, dan physis, 

yang berarti pertumbuhan. Prevalensi nyeri pinggang sekunder 

yang persisten akibat keterlibatan sendi facet lumbosakral bervariasi 

dari 16% sampai 41% tergantung pada jenis populasi dan faktor lain 

yang melatarbelakangi. Saat ini, nyeri sendi facet lumbar telah 

berhasil ditangani dengan memanfaatkan suntikan intra-artikular, 

blok akar saraf dan sendi facet, dan/atau neurotomi radiofrekuensi. 

Diagnosis dari Nyeri Sendi Facet Lumbar • Manifestasi klinis 

konvensional tidak dapat digunakan untuk mendiagnosa nyeri 

sendi facet lumbal: o Gambaran klinis berupa nyeri somatis atau 

nyeri yang menjalar akibat sendi facet atau diskus yang mengalami 

proses patologis sulit dibedakan o Review sistematik oleh Hancock 

et al menyatakan bahwa struktur diskus, sendi sacroiliac, dan sendi 

facet merupakan sumber dari nyeri pinggang


  

 

 

o Beberapa referensi merekomendasikan penggunaan anestesi 

atau injeksi provokatif untuk mendiagnosa nyeri 

pinggang, dimana sumbernya masih curiga dari sendi 

facet, diskus intervertebral atau sendi sacroiliac, 

mengingat tidak adanya gold standard yang universal. 

• Investigasi radiologis menunjukkan tidak adanya korelasi 

antara gejala klinis nyeri pinggang dan perubahan degeneratif 

tulang belakang yang terlihat pada radiologis: 

o X-ray, MRI, CT scan, single photon emission computed 

tomography, dan radionuclide hone scanning tidak dapat 

mengidentifikasi pasien dengan nyeri sendi facet