tumor otak 5





 da riwayat kemoterapi sebelumnya 

(1) siklofosfamid dosis tinggi ± etoposide 

(2) Carboplatin, etoposide, dan siklofosfamid 

(3) Cisplatin, etoposide, dan siklofosfamid 

(4) Pertimbangkan kemoterapi dosis tinggi dengan reinfusi stem cell 

autolog pada pasien yang mencapai CR dengan dosis kemoterapi 

konvensional atau tidak memiliki penyakit residual sesudah  re-

reseksi (269, 270) 

b) Riwayat kemoterapi sebelumnya 

(1) siklofosfamid dosis tinggi ± etoposide 

(2) Etoposide oral(270-272) 

(3) Temozolomide(273, 274) 

 

 

104 

 

(4) Pertimbangkan kemoterapi dosis tinggi dengan reinfusi stem cell 

autolog pada pasien yang mencapau CR dengan dosis kemoterapi 

konvensional atau tidak memiliki penyakit residual sesudah  re-

reseksi 

Pilihan regimen kemoterapi pada meduloblastoma dianjurkan untuk usia di atas 3 tahun 

yaitu  sebagai berikut: 

Regimen I (kemoterapi Packer) 

Regimen Packer terdiri dari 8 siklus kemoterapi ajuvanpada interval 6 minggu dengan 

profilaksis anti emetik dan hidrasi yang baik. Meskipun regimen ini telah dipakai  secara 

luas, risiko ototoksisitas memicu  perlu diturunkannya dosis cisplatin dan/atau 

digantikan dengan carboplatin. Pemilihan regimen ini membutuhkan pemeriksaan fungsi 

pendengaran berkala yang dianjurkan pada setiap pergantian siklus. (238, 239, 268) 

Salah satu kesulitan pemilihan regimen ini yaitu  bergantung pada ketersediaan 

lomustine pada rumah sakit ini . 

Regimen II 

Salah satu regimen alternatif yang banyak dipakai  yaitu  dengan cisplatin, 

cyclophosphamide dan vinkristin secara intravena dengan interval 3-4 minggu pada total 6-8 

siklus. Regimen ini juga memiliki risiko ototoksisitas sehingga dibutuhkan pemeriksaan fungsi 

pendengaran secara berkala.(243) 

Regimen III 

Modifikasi regimen dapat dilakukan untuk menurunkan risiko ototoksisitas dan 

memiliki toleransi yang cukup baik dengan memberikan cyclophosphamide dan vinkristin 

intravena pada setiap siklus namun cisplatin diberikan berselang 1 siklus untuk total 6 siklus 

kemoterapi dalam interval waktu 3 minggu.(268) 

Kemoterapi dosis tinggi 

Meskipun telah terbukti efektifitas yang menonjol  pada pemberian kemoterapi dosis 

tinggi didan i dengan stem cell autologous, namun hal ini tidak dianjurkan untuk rutin 

dilakukan pada tempat-tempat dengan fasilitas yang terbatas.(268) 

 

 

105 

 

Kemoterapi pada usia kurang dari 3 tahun 

Regimen kemoterapi meliputi carboplatin/cisplatin, etoposide, cyclophosphamide, 

vinkristin dengan atau tanpa metotreksat dosis tinggi dan/atau metotreksat intratekal. 

Meduloblastoma pada anak berusia kurang dari 3 tahun dapat dibagi menjadi 2 grup yaitu 

nodular desmoplastik dan anaplastik atau klasik meduloblastoma. Pada grup pertama, 

berdasar  keberhasilan kemoterapi, dianjurkan untuk memberikan kemoterapi saja, 

sementara pada grup kedua strategi ini kurang efektif. Pemberian conformal radioterapi saja 

pada tumor bed tanpa kemoterapi juga kurang memberikan hasil yang baik.(265, 268) 

berdasar  data yang ada, dianjurkan pemberian ajuvankemoterapi sistemik saat 

diagnosa  dilanjutkan dengan pembedahan sesudah  12 bulan atau saat mencapai usia 3 tahun 

(yang paling cepat ditemukan di antara keduanya). Radioterapi kraniospinal dengan booster 

pada tumor bed dan tempat metastasis baru dapat diberikan saat pasien mencapai usia lebih dari 

3 tahun. Pada meduloblastoma risiko tinggi (baik berdasar  histologi anaplastik atau 

pemeriksaan molekular), fokal konformal radioterapi pada daerah primer dapat didiskusikan 

pada pertemuan multidiscipline tumor board. Rejimen kemoterapi dianjurkan untuk diberikan 

dengan interval maksimum 12 siklus.(268) 

Kemoradiasi konkuren 

Pada meduloblastoma dengan risiko standar, dianjurkan mengikuti rejimen Packer 

original dengan dosis reduksi pada radiasi kraniospinal. Pada meduloblastoma dengan risiko 

tinggi, dianjurkan pemakaian  carboplatin (35mg/m2) diinfuskan intravena secara cepat setiap 

hari selama radioterapi.(268, 275) 

Protokol modifikasi dosis kemoterapi 

a. Toksisitas hematologi 

Apabila jumlah leukosit <1x(10)4g/L dan/atau platelet count <100 x (10) 3g/L pada hari 

ke 21 sesudah  siklus terakhir dari kemoterapi, dosis carboplatin, etoposide, atau siklofosfamid 

harus diturunkan sekitar 25%. Apabila pasien mengalami demam neutropenia dan 

membutuhkan perawatan, dosis carboplatin, etoposide, atau siklofosfamid harus diturunkan 

minimal 25%.(260, 264, 275) 

b. Ototoksisitas 

 

 

106 

 

Pemeriksaan fungsi pendengaran harus dilakukan sebelum kemoterapi sebagai baseline 

dan setiap 2 siklus cisplatin. Apabila ditemukan gangguan pendengaran 15-30 desibel pada 

frekuensi rendah (1-1 KHz) atau >40 desibel pada 4-8KHz, cisplatin harus diganti dengan 

carboplatin. Apabila ditemukan penurunan fungsi pendengaran >30 desibel pada 1-2 KHz, 

semua bentuk platinum harus dihentikan.(260, 264, 275) 

c. Nefrotoksisitas 

Pemeriksaan fungsi ginjal harus dilakukan sebelum setiap siklus cisplatin dengan 

menghitung creatinine clearance. Apabila creatinine clearance <80ml/min/1.73m2, cisplatin 

harus diganti dengan carboplatin untuk siklus ini  dilanjutkan dengan pemeriksaan ulang 

fungsi ginjal pada siklus cisplatin berikutnya. Jika sewaktu-waktu ditemukan creatinine 

clearance <60ml/min/1.73m2, cisplatin harus diganti dengan karboplatin pada siklus ini . 

Jika creatinine clearance <50ml/min/1.73m2, platinum harus dihentikan seterusnya.(238-240, 242) 

3.2.6.6. Follow up 

Pada saat terapi selesai, follow up dianjurkan untuk dilakukan secara periodik (3 bulan 

pada 2 tahun pertama, 6 bulan hingga tahun kelima, dan per tahun sesudah nya) untuk menilai 

penyakit dan toksisitas terapi. Pemeriksaan pada follow up meliputi pemeriksaan fisik, status 

neurologis, dan pemeriksaan ada tidaknya toksisitas lambat dari terapi. Pemeriksaan MRI 

kontras otak dan spinal dianjurkan pada 6-12 minggu sesudah  terapi selesai dan dipakai  

sebagai baseline pada follow up lalu . 

Apabila ditemukan adanya relaps atau perkembangan tumor pada follow up, 

prognosisnya yaitu  buruk tanpa ada peluang sembuh dan dapat diberikan terapi salvage.(268, 

276) 

 

Lampiran 1 : Prinsip MRI Meduloblastoma 

Akuisisi yang 

diperlukan minimal 

(wajib) 

 

1. Gambaran otak axial T1, T2 dan FLAIR 

2. Potongan otak T2 axial, coronal dan sagittal 

memakai  using potongan tipis (3mm dengan 

jarak 0.5-1mm) dengan lapang pandang sempit dan 

matriks tinggi. (13,14,15,26) 

3. Gambaran otak dengan fat-suppressed T1 spin-echo 

dalam paling sedikit satu bidang diikuti dengan 3D-

FSPGR dengan kontras. Rekonstruksi gambaran 

 

 

107 

 

3D harus dikerjakan memakai  potongan 3 

mmdengan jarak 0.5-1 mm untuk mencocokkan 

dengan potongan tipis prekontras (13,14,26) 

4. Gambaran otak axial diffusion-weighted  

5. Skrining sagittal T1 post kontras untuk seluruh spine  

 

Akuisisi yang 

Disarankan (meskipun 

opsional)(33) 

 

1. Gambaran otak fat-suppressed T1 spin-echo pada 

tiga bidang 

2. MR spectroscopy multi-voxel tumor primer di fossa 

posterior 

3. Rekonstruksi map ADC melalui regio yang diminati 

di fossa posterior 

4. Gambaran otak perfusi MRI axial gradient-echo 

selama injeksi kontras 

5. Gambaran otak axial 3D susceptibility-weighted  

6. Gambaran otak pseudo-continuous 3D-ASL 

dengan labeling post-delay yang tepat 

7. Gambaran fat-suppressed sagittal T1 spin-echo 

untuk seluruh spina di tiga akuisisi, dengan T2-

weighted yang detail dan gambaran axial pada 

enhancement kontras apapun untuk karakterisasi 

lanjut pada kecurigaan metastasis leptomeningeal 

spinal (14,15,26). 

FLAIR = Fluid-attenuated inversion recovery; 3D = Three-dimensional; FSPGR = Fast-

spoiled gradient; ADC = Apparent diffusion co-efficient; ASL = Arterial spin labeling 

 

 

108 

 

Lampiran 2 : Rekomendasi Pemeriksaan Histopatologi Untuk Meduloblastoma253,260 

Tes yang 

diperlukan minimal 

(wajib) 

Tes opsional namun lebih baik 

Pewarnaan untuk 

diagnosa  

histopatologi 

Imunohistokimia pendukung (IHC) 

Pewarnaan 

Hematoksilin dan 

Eosin (H dan E) 

Synaptophysin, neuron specific enolase (NSE) dan neuronal nuclei – Marker 

IHC yang disarankan 

Microtubule-associated protein 2(MAP2) DAN Class III β-tubulin – jarang 

dipakai  

Aktivitas proliferasi 

untuk IHC 

IHC untuk differential diagnosa  (tumor yang mirip secara morfologi 

yang berlokasi di fossa posterior) 

 Differential 

diagnosa  

Profil IHC 

MIB-1 labelling 

index (memakai  

Ki-67) 

High grade glioma 

dengan small cells 

Glial fibrillary acidic protein (GFAP) positive (+ve) 

Isocitrate dehydrogenase (IDH) positive (+ve) 

Alpha thalassemia/ mental retardation syndrome X-

linked (ATRX) +ve 

Trimethylated histone (H3K27me3) loss (pada GBM 

pediatrik) 

Ependymoma 

anaplastic 

Epithelial membrane antigen (EMA) +ve 

Ezrin-radixin-moesin-binding phosphoprotein (EBP) 

50 +ve 

RELA proto-oncogene NF-KB subunit (RELA) +ve 

Atypical 

teratiod/rhabdoid 

tumor (AT/RT) 

Positivity untuk marker multilineage 

Loss of SWI/SNF related, matrix associated, actin 

dependent reglulator of chromatin, subfamily b, 

member 1 (SMARCB1) atau INI1 

Hilangnya brahma related gene (BRG) 1 

Embryonal tumor 

dengan 

multilayered 

rosettes (ETMR) 

Protein Iin-28 homolog A (LIN28A) +ve 

 

 

 

 

109 

 

 

Lampiran 3 : Panduan Radiasi Meduloblastoma Anak (260, 268) 

REKOMENDASI UMUM  

- Radioterapi dilakukan dalam 6 minggu pasca operasi  

- Total waktu untuk radioterapi tidak boleh melebihi 50 hari tanpa interupsi (5 hari/ minggu) 

- Apabila didapatkan tanda-tanda toksisitas, beralih ke Radiasi Booster dan kembali ke 

radiasi awal sesudah  perbaikan 

- Pemberian ondansentron (0,2mg/kg) 45-50 menit sebelum radiasi efektif sebagai 

antiemetik 

- Hitung jenis sel dilakukan berkala selama periode radiasi 

- Pemberian growth factor di indikasikan untuk neutrofilia berat 

- Transfusi trombosit diindikasikan untuk trombositopenia berat (Grade III) 

 

REKOMENDASI DOSIS 

  Radioterapi pada pasien dengan risiko standar yaitu  35-36Gy dengan radioterapi 

kraniospinal dan diikuti booster radiasi fossa posterior hingga total dosis 54-55,8Gy. (277) 

  Dosis reduksi (apabila dengan kemoterapi selama periode radiasi) (23,4 Gy dalam 13 

fraksi) + Dosis Booster (30,6 Gy dalam 17 fraksi), hingga dosis total pada tumor bed atau 

gross tumor 50 Gy dalam 30 fraksi selama 6 minggu.  Pada pemberian kemoterapi, dosis 

radiasi dapat dikurangi menjadi 23,4 Gy untuk radiasi kraniospinal yang dibagi menjadi 13 

fraksi diikuti booster fossa posterior dengan total dosis 55,8Gy dengan fraksi 1,8 Gy per 

kali. Radiasi diberikan bersamaan dengan vinkristin dan diikuti 8 siklus cisplatin, CCNU, 

dan vinkristin (263) 

  Dosis radiasi penuh (tanpa kemoterapi) (35-36 Gy dalam 21 Fraksi) + Booster ke fosa 

posterior (18-19,8 Gy dalam 10-11 fraksi), hingga dosis total 54-55 Gy dalam 30-32 fraksi 

selama 6-6,5 minggu. Dosis tambahan untuk pasien dengan penyebaran leptomeningeal 

difus (39,6-40 Gy dalam 22-24 fraksi) + booster ke fosa posterior (14,4 Gy dalam 8 fraksi). 

Pasien dengan risiko tinggi, direkomendasikan pemberian radiasi kraniospinal dengan 

 

 

110 

 

dosis 39,5Gy dengan booster pada area risiko tinggi penyebaran tumor hingga 45Gy. (277, 

278) 

 

Lampiran 4: Panduan Kemoterapi Meduloblastoma Anak(275) 

Obat Dosis Jadwal hari dan rute 

administrasi 

Regimen kemoterapi ajuvanuntuk 

meduloblastoma > 3 thn. (Level 

Evidence 2A, rekomendasi kelas 1) 

  

Regimen I (Regimen Packer) 

Cisplatin 

Lomustine 

Vincristine 

 

75 mg/m2 

75 mg/m2 

1.5 mg/m2 

 

Hanya hari ke-1 (iv) 

Hanya hari ke-1 (po) 

Hari ke-1,8, dan 15 (iv) 

Regimen II 

Cisplatin 

Cyclophosphamide 

Vincristine 

 

75 mg/m2 

1000 

mg/m2 

1.5 mg/m2 

 

Hanya hari ke-1 (iv) 

Hari ke-1 dan 2 (iv) 

Hari ke-1,8, dan 15 (iv) 

Regimen III 

Cisplatin 

Cyclophosphamide 

 

Vincristine 

 

75 mg/m2 

1000 

mg/m2 

 

1.5 mg/m2 

 

Hanya hari ke-1 (iv) pada siklus 

ke-2,4, dan 6 

Hari ke-1 dan 2 (iv) pada siklus ke-

1,3, dan 5 

Hari ke-2 dan 3 (iv) pada siklus ke-

2,4,dan 6 

Hari ke-1 dan 8 (iv) di seluruh 6 

siklus 

Regimen kemoterapi ajuvanuntuk 

meduloblastoma < 3 thn. (Level 

Evidence 2A, rekomendasi kelas 1) 

Carboplatin 

 

600 mg/m2 

 

Hanya hari ke-1 (iv) 

Hanya hari ke-1 (iv) 

 

 

111 

 

Cyclophosphamide 

Etoposide 

1000 

mg/m2 

100 mg/m2 

Hari ke-1,2 dan 3 (iv) 

 

3.2.7. Ependimoma 

3.2.7.1. Definisi dan Klasifikasi 

Ependimoma Intrakranial merupakan tumor yang jarang terjadi pada orang dewasa, 

sekitar 4% dari semua jenis neoplasma intrakranial, dan tidak ada perbedaan antara pria dan 

wanita, puncaknya terjadi pada umur 35-45 tahun. Ependimoma supratentorial merupakan lesi 

yang paling banyak terjadi pada orang dewasa, sedang  lesi infratentorial lebih sering terjadi 

pada anak. Penyebaran melalui aliran CSF lebih banyak dijumpai pada anak dibandingkan pada 

orang dewasa.(279, 280)Tumor ependimoma merupakan bagian dari sel neuroektodermal dan 

berkembang menjadi sel ependimal yang melingkupi plexus koroideus dan white matter yang 

melingkupi ventrikel terutama pada ventrikel lateral dan foramen Luscha, dan  kanalis sentralis 

pada medula spinalis. Sel ependymal ini yang mengalami transformasi neoplastik menjadi 

tumor ependimoma. 50% dari supratentorial ependimoma berasal dari parenkim otak dan 

sisanya berasal dari sel ependymal ventrikel lateral tetapi jarang dari ventrikel ketiga.  (268, 280, 

281)  berdasar  Klasifikasi WHO tahun 2016, Ependimoma dibagi menjadi:(72) 

1. Subependimoma 

2. Myxopapilary ependymoma 

3. Ependymoma 

a. Papillary ependymoma 

b. Clear cell ependymoma 

c. Tanycytic ependymoma  

4. Ependymoma, RELA fusion-positive 

5. Anaplastic Ependymoma 

Ependimoma juga dapat dibagi menjadi: 

 Grade 1 : subependimoma, banyak didapatkan di intrakranial, di fossa posterior dan 

ventrikel lateral, dan myxopapillary ependimoma sering ditemukan di medula 

spinalis, conus, cauda dan fillum terminale) 

 Grade 2 (ependimoma)  

 

 

112 

 

 Grade 3 (anaplastic ependymoma) 

Ependimoma grade I relatif lebih mudah dibedakan, sering terjadi pada dewasa dan 

berhubungan dengan prognosis baik. Ependimoma grade II dan II menunjukkan peningkatan 

aktivitas mitosis, proliferasi vascular dan nekrosis tumor. 

Gambaran histopatologi dari tumor ependimal yaitu ada true rosettes (cincin di sekitar 

sel tumor secara radial di sekitar lumen sentral) dan/atau pseudorosettes perivaskular cincin 

dari sel tumor secara radial di sekitar pembuluh darah dengan zone free dari inti sel tumor di 

sekitar pembuluh darah. Secara Immunohistokimia, ependimoma menunjukkan ekspresi dari 

glial fibrillary acidic protein (GFAP), menguatkan asal sel tumor dari glia. Pada “true 

rossetes”, bagian apikal sel menunjukkan pengecatan untuk epithelial membrane antigen 

(EMA).(281)  

3.2.7.2. Gejala Klinis 

Pasien dengan ependimoma memilik gejala tergantung ukuran, lokasi, dan status 

keganasan terhadap tumor. Ependimoma biasanya tumbuh lambat, dan akan mencapai ukuran 

besar sebelum terdeteksi. sedang  anaplastik ependimoma memiliki sifat pertumbuhan yang 

lebih cepat sehingga tanda dan gejala lebih cepat diketahui. Walaupun infratentorial sering 

terjadi pada anak, namun dapat pula terjadi pada orang dewasa. Subtentorial ependimoma  

terdapat di ventrikel 4, memicu  obstruksi aliran cairan serebrospinal (CSS), menunjukkan 

gejala peningkatan tekanan intrakranial lebih awal, seperti nyeri kepala, didan i dizziness, mual 

dan muntah, diplopia dan kejang.  

Jika tumor tumbuh dan menekan vermis dan hemisfer serebelum, maka gejalanya 

seperti jalan geloyoran, gangguan keseimbangan dan ataksia. Jika tumor menekan batang otak 

atau nervus kranialis, maka akan menunjukkan parese nervus kranialis seperti gangguan 

pendengaran, disfagia dan suara parau. Manifestasi klinis pada ependimoma medula spinalis 

menunjukkan gejala gangguan sensoris anggota gerak, nyeri, kelemahan ekstremitas, disfungsi 

kandung kemih.(281) Walaupun jarang, supratentorial intrakorteks ependimoma dilaporkan pada 

3 pasien dewasa, didan i gejala kejang. Sindroma Parinaud dapat ditemui pada pasien dengan 

ependimoma ventrikel III.(280) 

 

 

 

113 

 

3.2.7.3. Pemeriksaan Penunjang  

3.2.7.3.1. MRI 

MRI merupakan pilihan Diagnosa  utama sebab  dapat memberikan gambaran anatomi 

yang lebih jelas. Pada T1-weighted menunjukkan tumor hipointense sampai isointense relatif 

terhadap white matter, dan hiperintense pada T2-weighted. Pada pemberian kontras, lesi tumor 

akan menyerap kontras secara homogen atau heterogen. MRI juga dapat membantu dalam 

mengetahui  metastatic seeding tumor. Ependimoma dapat berupa gambaran kistik, padat, atau 

campuran.(273) Edema peritumoral nampak minimal atau tanpa didan i adanya edema. (273, 280, 

282, 283) 

3.2.7.3.2. CT Scan 

CT Scan juga dapat membantu mengidentifikasi tumor. Ependimoma pada CT Scan 

dapat berupa masa kistik, kalsifikasi, dan lesi yang berbatas tegas dengan gambaran isodens 

atau hiperdens. Dengan pemberian kontras, lesi tumor akan menyerap kontras secara homogen 

atau heterogen.(273, 280, 281, 283) 

3.2.7.4. diagnosa  

Kecurigaan diagnosa  ependimoma pada CT Scan atau MRI harus dikonfirmasi melalui 

biopsi atau patologi anatomi pada saat operasi. MRI whole spine dapat dipakai  untuk 

mengetahui penyebaran (seeding) tumor melalui CSS. Penyebaran tumor sering didapatkan 

pada ependimoma grade III, tumor yang berlokasi di fossa posterior dan pada tumor yang tidak 

dapat dieksisi total. Penyebaran tumor ini lebih jarang didapatkan pada pasien dewasa. (279) 

Diferensial diagnosa penyakit ini yaitu  arteriovenous malformations, astrocytoma, 

choroid plexus papilloma, glioblastoma multiforme, tumor pada conus dan kauda ekuina, 

memiliki gejala serupa dengan ependimoma.(283, 284) 

3.2.7.5. Terapi 

3.2.7.5.1. Pembedahan Tumor 

Reseksi tumor merupakan pilihan utama pada manajemen ependimoma. Semakin luas 

eksisi berhubungan dengan prognosa yang makin baik. Saat ini reseksi tumor total atau near 

total yang diikuti komplikasi yang rendah dimungkinkan dengan semakin berkembangnya 

teknik pembedahan mikro, fasilitas neuronavigasi intraoperative, ultrasound intraoperative, dan 

 

 

114 

 

intraoperative neurophysiologic monitoring. Reseksi total lebih mudah dicapai pada 

ependimoma yang lokasinya supratentorial dibandingkan  infratentorial yang sering pada dasar 

ventrikel IV. (274, 279, 280, 282, 285) 

3.2.7.5.2. Penanganan Hidrosefalus 

Pilihan tindakan :(279) 

a. Endoscopic Third Ventriculostomy (ETV) yaitu  pilihan utama kecuali didapatkan obliterasi 

sisterna interpendicular oleh sebab  pendesakan batang otak atau penyebaran/seeding tumor 

ke sisterna. 

b. Insersi EVD ataupun VP Shunt dapat dilakukan, walaupun dapat membawa risiko infeksi, 

peritoneal seeding tumor, over drainage, dan pembentukan subdural hematoma. Preoperatif 

VP shunt dapat memicu  ketergantungan shunt seumur hidup. 

 

3.2.7.5.3. Radioterapi 

Radioterapi mempunyai peran penting dalam manajemen ependimoma terutama untuk 

pada anaplastic ependymoma WHO grade III, walaupun penelitian pemberian radioterapi pada 

orang dewasa masih terbatas.1 Pemberian radioterapi pada manajemen ependimoma WHO 

grade I sesudah  dilakukan reseksi total tidak diperlukan, kecuali didapatkan bukti adanya 

penyebaran tumor melalui CSF. Rekomendasi pemberian radiasi pada gross tumor dengan dosis 

berkisar antara 54-60 Gy untuk mengontrol pertumbuhan tumor agar tidak kambuh kembali dan 

untuk meningkatkan kemungkinan harapan hidup(273, 279, 286) 

Dosis radioterapi menurut London Cancer Brain and Spine Board Neuro-Oncology 

Guidelines 2014 sebagai berikut: (280) 

 Tumor intrakranial: 55-60 Gy terbagi menjadi 30 fraksi dalam 6 minggu 

 Tumor spinal: 50,4-54 Gy terbagi menjadi 28-30 fraksi selama 5-6 minggu 

 Cauda equina: 54-60 Gy terbagi menjadi 30 fraksi selama 6 minggu 

Stereotactic radiosurgery (SRS) atau stereotactic radiotherapy (SRT) dapat 

dipertimbangkan dalam penanganan residual anaplastik ependymoma dan rekurensi 

ependimoma sesudah  dilakukan standar terapi (operasi dan atau radioterapi). (279) 

Cakupan área radiasi untuk menentukan volume tumor intrakranial sangat baik 

 

 

115 

 

ditentukan memakai  gambaran MRI pre dan post operatif, biasanya T1 dengan kontras 

dan/atau FLAIR/T2. Area anatomis volume tumor preoperatif ditambah abnormalitas sinyal 

pada MRI post operatif untuk GTV; CTV (GTV ditambah ekspansi 1-2cm) dosis radiasinya 54-

59.4 Gy dalam fraksi 1.8-2.0 Gy. Pada radiasi craniospinal untuk mengurangi toksisitas dari 

irradiasi kraniospinal pada orang dewasa, dapat dipertimbangkan pemakaian  intensity-

modulated radiotherapy atau proton jika tersedia. Seluruh otak dan spina (hingga thecal sac) 

menerima 36 Gy dalam fraksi 1.8 Gy, untuk area lesi spina dibatasi dosisnya hingga maksimum 

45 Gy (Tetapi khusus lesi metastasis besar dibawah consus dapat menerima dosis yang lebih 

tinggi hingga 54-60 Gy). Lesi intrakranial primer harus menerima dosis total 54-59.4 Gy dalam 

fraksi 1.8-2.0 Gy. Pertimbangkan boosting pada area metastasis besar intrakranial dengan 

memakai  dosis yang lebih besar sambil tetap memperhatikan toleransi jaringan normal. 

3.2.7.6. Kemoterapi 

Kemoterapi bukan merupakan salah satu pilihan terapi untuk ependimoma pada orang 

dewasa sebab  ependimoma tidak sensitif terhadap kemoterapi. Indikasi utama kemoterapi 

untuk pasien yang tidak bisa operasi, rekuren atau matastasis ependimoma yang tidak menerima 

radioterapi, yaitu  senyawa platinum dengan etoposide. Pada anak dengan ependimoma, 

regimen basis carboplatin sama dengan cisplatin. berdasar  pengalaman klinis kombinasi 

keduanya denga etoposide dapat diterima. Toksisitas regimen ini dapat diperkirakan dan diatasi, 

dan sudah dicobakan pada berbagai tumor. Alternatif lain pada pasien dengan ependimoa 

medulla spinalis yang rekuren, dapat dipertimbangkan etoposide oral. Etoposide oral dapat 

dipertimbangkan pada pasien dengan KPS yang lebih rendah.(280) 

Ditambah dengan sedikitnya penelitian mengenai manfaat kemoterapi pada masalah  

ependimoma memicu  modalitas ini belum dijadikan standar terapi.(279) Untuk masalah  

rekuren rejimen berbasis platinum: single agent atau kombinasi Etoposide, Lomustine atau 

Carmustine,, Bevacizumab dan  Temozolomide. 

3.2.7.7. Prognosis 

Pasien dewasa menunjukkan prognosis lebih baik dibandingkan  pasien anak 5 years survival 

rate dewasa 55-90% dibandingkan pada anak 40-65%. Faktor yang mempengaruhi prognosa 

yaitu  : umur dewasa, total eksisi dan lokasi supratentorial. sedang  hasil patologi anatomi 

 

 

116 

 

masih merupakan kontroversi dipakai  sebagai salah satu faktor yang mempengaruhi 

prognosa. (27, 279, 283) 

3.2.7.8. Komplikasi 

Hidrosefalus merupakan komplikasi yang sering terjadi akibat ependimoma, hal ini 

terjadi sebab  tumor mengisi rongga ventrikel lateral, ventrikel III maupun ventriel IV. 

Penyebaran tumor ke myelum (seeding dan drop mets) yang dapat memicu  kelemahan 

anggota badan, gangguan sensorik dan  gangguan buang air besar dan kecil.(279) 

3.2.7.9. Guidelines NCCN 2018 

Panduan NCCN Versi 1.2018 

Ependimoma Intrakranial dan Spinal Dewasa (Tidak termasuk Subependimoma) 

 

 

 

 

 

 

 

117 

 

 

 

 

 

 

 

  

 

 

118 

 

3.2.8. Primary CNS Lymphoma (PCNSL) 

3.2.8.1. Definisi dan Epidemiologi 

Limfoma susunan saraf pusat (SSP) primer (Primary Central Nervous System 

Lymphoma/ PCNSL), merupakan bentuk ekstra nodal dari Limfoma Non Hodgkin (LNH) yang 

dapat timbul pada jaringan otak, mata, selaput otak maupun medula spinalis tanpa adanya 

limfoma sistemik lainnya.(287)  

PCNSL dapat terjadi pada penderita dengan penekanan sistem imunitas atau 

imunosupresi (HIV/AIDS, pasien transplantasi organ atau pasien yang mendapat obat-obat 

penekan sistem imunitas) maupun pada penderita tanpa gangguan pada sistem imunitasnya atau 

imunokompeten. (287) 

Kejadian  PCNSL pada imunokompeten pasien jarang, yaitu hanya ditemukan sebesar 

4% dari keseluruhan tumor intrakranial dan 4-6% dari limfoma ekstranodal.(27, 287) Diperkirakan 

1500 pasien baru didiagnosa  setiap tahunnya di Amerika Serikat. (27, 287) Dalam beberapa tahun 

terakhir ini terjadi peningkatan angka kejadian PCNSL pada pasien dengan usia di atas 60 

tahun, dengan angka tertinggi terjadi pada usia 70 -79 tahun (4.3 per 100.000 pertahun). Tidak 

ada perbedaan  antara laki-laki dan perempuan.(27, 287) masalah  langka PCNSL telah dilaporkan 

pada anak-anak dengan usia rata-rata 14 tahun.(287) 

3.2.8.2. Anamnesis 

Gejala yang muncul pada penderita PCNSL sering kali berupa gejala neurologis yang 

tidak khas dan ringan, sehingga butuhkan waktu yang lama untuk mendiagnosa nya. Gangguan 

fungsi kognitif merupakan gejala yang paling sering timbul (>60%), diikuti gejala peningkatan 

tekanan intrakranial  berupa sakit kepala, mual, muntah, dan edema papil, dan  kejang (11-

20%).(288, 289)  

3.2.8.3. Pemeriksaan Fisik 

Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan fokal, seperti hemiparesis, afasia, gangguan 

saraf kranialis atau lapangan pandang, dan  temuan umum, seperti papiledema. Diperlukan juga 

pemeriksaan Mini-Mental Status Examination (MMSE) untuk memonitor dan mengevaluasi 

gangguan fungsi kognitif.(290).(291, 292) 

 

 

 

 

119 

 

3.2.8.4. Pemeriksaan Penunjang 

3.2.8.4.1. CT Scan/MRI 

Pada CT Scan nonkontras, dapat ditemukan gambaran hiperdens maupun isodens yang 

menyangat pada pemberian kontras, didan i gambaran hipodens di sekitar lesi yang 

menunjukkan peritumoral edema. (291-293) 

MRI otak dengan fluid-attenuated inversion recovery (FLAIR) dan  T1 pre dan 

pascakontras merupakan metode pilihan utama untuk mendiagnosa  dan mengikuti 

perkembangan (follow up) PCNSL. (288, 289, 294) Pada 95% PCNSL terdapat gambaran   kontras 

patologis yang homogen pada masa tumor dengan batas yang jelas. Lesi  tumor yang tidak 

menyangat kontras dan gambaran nekrosis jarang dijumpai. Edema vasogenik di sekitar tumor 

(peritumoral) merupakan gambaran MRI yang sering ditemukan. (288, 289, 294) Gambaran lesi 

tumor tunggal (soliter) ditemukan pada 65%-66% masalah  PCNSL. (289) Pada penderita PCNSL 

dengan imunosupresi, lebih sering dijumpai adanya gambaran MRI otak berupa lesi multipel 

dengan penyangatan pada daerah tepi (perifer)  dibandingkan penyangatan yang 

homogen.(295)Meskipun jarang, PCNSL dapat timbul sebagai lesi abnormal yang menyangat 

kontras pada saraf kranial dan saraf radikular atau penyangatan pada leptomeningeal di 

gambaran MRI.(295) 

Karakteristik gambaran MRI lainnya berupa sinyal yang rendah pada T2 weighted MRI 

dan difusi terbatas pada Diffusion-weighted imaging (DWI). Gambaran ini dipicu  oleh 

seluleritas tinggi dengan sel yang padat dan rasio antara nuklear dengan sitoplasma yang 

tinggi.(295) Seluruh fitur radiologi ini dapat membantu membedakan PCNSL dari kondisi lain, 

seperti infeksi, lesi demielinasi tumefaktif atau glioma. (295, 296) Secara anatomi supratentorial 

merupakan lokasi tersering  PCNSL (87 %), diikuti oleh lobus fronto parietal (39 %) dan lokasi 

yang lebih jarang di mata ( 15 % - 25 %), CSS (7 % - 42 %) dan yang paling jarang yaitu  

lokasi di medula spinalis. (289) 

 

3.2.8.4.2. Cairan Serebrospinal (CSS) 

Keterlibatan CSS dan mata berupa intra okular limfoma (IOL) pada pasien dengan 

PCNSL tipe diffuse large B cell lymphoma (DLBCL) terjadi pada 15-20%.(295) Oleh sebab  itu 

pungsi lumbal harus dikerjakan bila tidak ada kontra indikasi berupa gejala peningkatan tekanan 

 

 

120 

 

intrakranial. Penegakkan diagnosa  melalui pemeriksaan sitologi CSS hanya 10-20% positif, 

namun akan meningkat dengan teknik flow cytometry berupa immunophenotyping. (287, 293, 295) 

atau polymerase chain reaction (PCR). Metode PCR ini merupakan jenis pemeriksaan yang 

efisien dan sensitif hingga 60% dengan mendeteksi mutasi imunoglobulin rantai panjang 

(mutated immunoglobulin heavy chain/IgH).  

Ditemukannya sel limfoma dalam CSS atau di cairan vitreous didan i gambaran klinis 

dan radiologi yang mengarah kepada diagnosa  PCNSL dapat saja meniadakan kebutuhan akan 

tindakan biopsi stereotaktik otak untuk memastikan diagnosa .(293) Meskipun demikian biopsi 

stereotaktik tetap direkomendasikan pada hampir seluruh masalah  PCNSL yang layak operasi  

tanpa harus menunggu hasil dari pemeriksaan CSS.(287, 295) 

3.2.8.4.3. Serum darah (serologi) 

sebab  tingginya angka PCNSL pada pasien dengan imunosupresi maka pemeriksaan 

serologi HIV harus dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan adanya infeksi HIV. Pada 

pasien yang akan direncanakan pengobatan dengan kemoterapi maupun imunoterapi maka 

harus dilakukan pemeriksaan serologi lain yaitu pemeriksaan darah lengkap, koagulasi, fungsi 

ginjal dan hati dan  serologi hepatitis B dan C. (296) Pemeriksaan serologi rutin lain yang dapat 

dilakukan yaitu  pemeriksaan lactate dehydrogenase (LDH).(288, 290, 296) 

3.2.8.4.4. Penilaian Oftalmologi 

Keluhan pandangan kabur, floaters dan penurunan tajam penglihatan merupakan gejala 

dari  IOL yang cukup sering  ditemukan pada pasien PCNSL, sehingga dibutuhkan pemeriksaan 

oftalmologi yang detail. Pemeriksaan oftalmologi dengan memakai  funduskopi dan slit 

lamp harus dikerjakan pada semua pasien PCNSL untuk menyingkirkan adanya IOL.(293, 296) 

3.2.8.4.5. Histopatologi 

Pemeriksaan histopatologi dengan IHK dari biopsi jaringan otak  merupakan metode 

pilihan untuk mendiagnosa  PCNSL. Klasifikasi berdasar  World Health Organization 

(WHO) dipakai  sebagai dasar untuk mendiagnosa  PCNSL dan pemeriksaan IHK harus 

dikerjakan. Pemeriksaan IHK yang dikerjakan yaitu  penanda sel pan-B, (CD19, CD20, 

PAX5), BCL6, MUM1/IRF4 dan CD 10. (287, 293) 

 

 

 

121 

 

 

3.2.8.5. diagnosa  

diagnosa  limfoma sistem saraf pusat ditegakkan berdasar , anamnesis, pemeriksaan 

klinis, dan  pemeriksaan penunjang (laboratorium dan radiologis). diagnosa  dapat berupa 

Limfoma SSP primer maupun sekunder. (297) International Primary CNS Lymphoma 

Collaborative Group (IPCG) telah membuat panduan dasar Diagnosa  pasien PCNSL untuk 

memahami perluasan penyakit dan mengkonfirmasi limfoma hanya terdapat di SSP.  (288, 290) 

 

3.2.8.6. Terapi 

3.2.8.6.1. Medikamentosa 

Kortikosteroid dapat menimbulkan regresi limfoma pada 40% masalah  secara radiologis. 

sebab  alasan ini, terapi kortikosteroid sebaiknya tidak diberikan sampai dengan dilakukan 

tindakan biopsi. Respons terhadap kortikosteroid merupakan positif prognosa marker (dengan 

rerata survival 117 bulan) dibanding dengan pasien yang tidak respons dengan kortikosteroid 

(rerata survival 5,5 bulan).(297-300) 

 

3.2.8.6.2. Pembedahan 

Pembedahan dekompresi dengan reseksi sebagian ataupun total dari tumor tidak 

mempengaruhi prognosa pasien. Tujuan utama dari pembedahan pada masalah  limfoma sistem 

saraf pusat yaitu  biopsi. Disarankan untuk memakai  teknik stereotaktik. (300) 

 

3.2.8.6.3. Kemoterapi 

1. Methotrexate-based regimen 

Regimen kemoterapi yang dinilai efektif pada PCNSL yaitu  metotreksat. Metotreksat 

merupakan anti metabolit anti folat, yang dapat menghambat sintesis DNA dan RNA, sehingga 

memiliki sifat sitotoksik. Penetrasi metotreksat ke sawar darah otak bergantung pada dosis total 

dan kecepatan/laju infus. Kisaran dosis metotreksat yang dapat mencapai sawar darah otak 

mulai dari 1-8g/m2. (294, 295) Pemberian metotreksat intravena dosis 3g/m2 merupakan dosis 

minimal untuk mencapai kadar terapeutik pada cairan serebrospinal.(287, 289) Pada suatu studi 

menyebutkan bahwa pada pasien yang mendapat metotreksat sistemik memiliki median overall 

 

 

122 

 

survival sekitar 3,1 tahun.291 Studi lain melaporkan bahwa tanpa lanjutan pengobatan  lain, 

seperti radioterapi dan kemoterapi konsolidasi, median overall survival pasien mencapai 23-63 

bulan pada pemberian metotreksat.(296)    

2. Regimen tanpa metotreksat 

Beberapa regimen polikemoterapi tanpa metotreksat dapat dipakai  pada pengobatan  

PCNSL, di antaranya regimen CHOP (cyclophosphamide, doxorubicin, vinkristin, prednisolon) 

yang dipakai  untuk pengobatan  limfoma non Hodgkin. (294, 296) Regimen CHOP dinilai tidak 

memperbaiki survival pada pasien PCNSL. Kemungkinan dipicu  bahwa regimen ini tidak 

mampu melewati sawar darah otak. Beberapa laporan masalah  memakai  Temozolomide 

sebagai alternatif pengobatan  pada PCNSL dengan dosis 150-200 mg/m2/hari yang 

menunjukkan respons komplit sesudah  pemberian siklus kedua. 

3. Kombinasi radiasi dan kemoterapi 

Pada suatu penelitian fase 3 mengenai pemberian WBRT pasca metotreksat dosis tinggi 

melaporkan bahwa WBRT memperpanjang progression-free survival.(301) Kombinasi 

metotreksat dan WBRT dapat menghasilkan respons radiologis pada lebih dari 50% pasien dan 

2-years survival berkisar 43-73%. 

4. Kemoterapi intratekal 

Kemoterapi intratekal dapat diberikan melalui pungsi lumbal atau reservoir Ommaya. 

Beberapa studi prospektif menunjukkan bahwa kemoterapi intratekal memberikan manfaat. 

Namun, data penelitian mengenai efikasi kemoterapi intratekal belum banyak.  (301) Kemoterapi 

intratekal bukan terapi lini pertama pada PCNSL. Pemberian kemoterapi intratekal dapat 

dipertimbangkan pada pasien dengan sitologi cairan serebrospinal positif yang menetap walau 

telah diberikan metotreksat dosis tinggi.(237) 

Keterbatasan kemoterapi intratekal yaitu  tidak dapat diberikan pada pasien dengan 

peningkatan tekanan intrakranial. Perlu diingat bahwa kemoterapi intratekal dapat 

meningkatkan neurotoksisitas pada pasien yang telah diberikan metotreksat dosis tinggi atau 

WBRT.(287) 

5. Rituximab 

Rituximab merupakan antibodi monoklonal yang berlawanan dengan B-cell-spesific 

CD20 antigen, yang secara substansial akan bekerja pada keganasan sistemik sel B, termasuk 

 

 

123 

 

DLBCL. Agen ini merupakan pilihan kemoterapi pada PNCSL yang mengalami kekambuhan 

atau refrakter. Sebuah studi skala kecil memakai  rituximab intravena dosis 375mg/m2 

setiap minggu selama 8 minggu. Pada studi ini  sekitar sepertiga pasien mencapai respons 

radiologis baik parsial maupun komplit.(287) 

6. High Dose Chemotherapy And Autologous Stem Cell transplantation (HDC/SCT) 

pemakaian  high-dose chemotherapy yang dilanjutkan dengan autologous stem cell 

transplant bertolak pada efikasinya terhadap limfoma sistemik yang mengalami kekambuhan. 

Sebuah studi prospektif fase II dengan jumlah besar menunjukkan bahwa HDT/SCT mencapai 

angka remisi yang tinggi dengan gejala toksik yang masih terkendali.(287, 296) 

3.2.8.6.4. Radioterapi 

Whole brain radiation therapy (WBRT) merupakan pengobatan  yang efektif pada 

PCNSL.  Hal ini dipicu  PCNSL dapat berupa lesi yang mikroskopik dan bersifat difus. 

Dosis radiasi yang disarankan oleh Radiation Therapy Oncology Group (RTOG) berkisar 23-

54 Gy, dengan atau tanpa booster pada lesi. Protokol yang paling sering dipakai  yaitu  40-

45 Gy tanpa booster (1,8-2 Gy per fraksi). Total dosis lebih tinggi dan hiperfraksinasi tidak 

memberikan manfaat. Total dosis yang lebih rendah mengurangi efek neurotoksisitas namun 

angka kekambuhan bertambah. (294)  

WBRT saja memberikan response rate yang baik (50%), namun tidak memperbaiki 

survival rate. Pasien yang hanya mendapat pengobatan  WBRT saja, menunjukkan median 

survival 12 – 18 bulan, dengan angka kesintasan (survival) 5 tahun bervariasi dari 18-35%.(288) 

Selain itu, angka kekambuhan juga cukup tinggi pada pasien yang mendapat WBRT saja.(237) 

Pascapemberian WBRT dapat dipertimbangkan booster SRT atau SRS pada lesi residual 

pascaWBRT. 

 

3.2.8.6.5. Prognosis 

Tanpa terapi, rerata survival 1,8 sampai 3,3 bulan sesudah  diagnosa . Dengan terapi 

radiasi, rata– rata survival 10 bulan,1 year survival 47%. Dengan MTX intraventrikular, waktu 

rata- rata sebelum kekambuhan 41 bulan. Pada pasien dengan AIDS, prognosis tampak lebih 

 

 

124 

 

buruk. Walaupun dapat terjadi remisi komplit, angka median survival hanya 3 sampai 5 bulan, 

tetapi fungsi neurologis dan kualitas hidup pasien meningkat pada 75% masalah . (302) 

Untuk PCNSL, terdapat dua skor prognostik yang dipakai , yaitu: (295) 

1. The Memorial Sloan-Kettering Cancer Center prognostic model  

Skor ini membagi prognosis PCNSL menjadi 3 kategori. Kelompok pertama, pasien 

dengan usia kurang dari 50 tahun memiliki prognosis yang paling baik, dengan median survival 

8,5 tahun. Kelompok kedua, pasien dengan usia >50 tahun dengan KPS baik (>70), dengan 

median survival sekitar 3,2 tahun. Sementara kelompok ketiga, pasien dengan usia lebih dari 

50 tahun dengan KPS <70 memiliki median survival yang paling pendek yaitu 1,1 tahun. 

2. The International Extranodal Lymphoma Study Group (IELSG) 

Skor prognostik ini menentukan bahwa terdapat 5 faktor yang berkaitan dengan prognosis 

jelek pada pasien dengan PCNSL, yaitu usia di atas 60 tahun, peningkatan kadar LDH serum, 

peningkatan konsentrasi protein cairan serebrospinal, dan keterlibatan struktur dalam di otak. 

(295, 296) Angka kesintasan 2 tahun (2-years survival rate) pada skor 0-1 yaitu  80%, skor 2-3 

sekitar 48%, dan skor 4-5 sekitar 15%. 

Selain itu, studi ini juga mendapatkan pasien dengan limfopenia saat awal terdiagnosa  

PCNSL (dengan hitung limfosit absolut kurang dari 875x106/l) memiliki angka kesintasan 5 

tahun (5-years survival rate) yang lebih pendek dibanding pasien yang tidak mengalami 

limfopenia (22,3% vs 59,5%). Studi ini juga melaporkan bahwa limfopenia merupakan faktor 

prognosis yang menonjol  pada progression-free survival dan overall survival.  

 

3.2.9. Tumor Pineal 

3.2.9.1. Definisi dan Epidemiologi 

Tumor pineal yaitu  tumor yang ditemukan di daerah pineal. Tumor pineal dapat berupa 

tumor primer yang berasal dari germ cell dan sel pineal. Sementara tumor sekunder pada pineal 

dapat berupa astrositoma, meningioma, ependimoma, maupun metastasis.(303)Secara umum, 

klasifikasi tumor pineal tergantung dari jenis patologi yang bervariasi, didapatkan 4 tipe 

histologis pada tumor pineal, yaitu tumor sel germinal (germinoma dan non-germinoma), tumor 

sel glial (astrositoma, glioma), tumor kelenjar pineal (pineositoma, pineoblastoma), dan tumor 

 

 

125 

 

lainnya (meningioma, ganglioma, ependimoma, lipoma, metastasis, dan lainnya). Terdapat juga 

lesi non-neoplasma berupa malformasi vaskular (malformasi vena Galen), kista araknoid, kista 

pineal, dan infeksi.(304) 

Tumor pineal paling sering terjadi pada anak-anak (3-8% tumor otak pada anak-anak) 

dibandingkan pada orang dewasa (≤1%). Pada pasien tumor sel germinal, germinoma 

merupakan yang tersering pada usia 10-19 tahun, dan beberapa pada usia >30 tahun. 

Khoriokarsinoma, karsinoma embrional, dan tumor yolk sac jarang ditemukan pada usia >30 

tahun. Pineoblastoma paling sering ditemukan pada usia <5 tahun, sementara pineositoma 

ditemukan pada sebaran usia 10-60 tahun. Astrositoma cenderung terjadi pada dua kelompok 

usia berbeda, yaitu 2-6 tahun dan 12-18 tahun.(305) 

3.2.9.2. Anamnesis 

Secara garis besar, manifestasi klinis yang muncul pada pasien dengan tumor pineal 

dapat dipicu  tiga mekanisme, yaitu: 

1. Peningkatan tekanan intrakranial yang dipicu  oleh hidrosefalus obstruktif; dan/ atau 

2. Penekanan langsung pada batang otak dan serebelum; dan/ atau 

3. Disfungsi endokrin 

Penekanan langsung pada midbrain, terutama pada kolikulus superior dapat menganggu 

pergerakan bola mata yang dikenal dengan sindroma Parinaud. Hampir 75% pasien tumor 

pineal mengalami sindroma Parinaud. Sindroma Parinaud terdiri dari gangguan pergerakan bola 

mata ke atas (paralysis of upgaze), convergence or retraction nystagmus, dan papillary light-

near dissociation. (306)Gejala sindroma Parinaud juga dapat tumpang tindih dengan gejala yang 

diakibatkan penekanan midbrain yang lebih luas, yang dikenal dengan sindroma Sylvian 

Aqueduct, yang dapat menimbulkan gangguan gaze horizontal dan downgaze.(303) 

Penekanan pada midbrain dorsal dapat memicu  lid retraction, yang dikenal 

sebagai Collier’s sign atau ptosis. Keterlibatan pedunkulus serebri dan serebelum dapat 

memicu  ataksia dan dismetria. Pada sebagian kecil masalah , gangguan pendengaran dapat 

terjadi sebab  keterlibatan kolikulus inferior.(303) 

Gangguan endokrin merupakan efek sekunder hidrosefalus atau penyebaran tumor ke 

hipotalamus, di antaranya diabetes insipidus dapat terjadi jika germinoma menyebar sepanjang 

 

 

126 

 

lantai ventrikel III dan pubertas prekoks.(304) Pubertas prekoks dipicu  imaturitas aksis 

hipotalamus-putuitary-gonad pada pasien dengan choriocarcinoma atau germinoma yang 

mengandung sel yang memproduksi β-human chorionic gonadotropin  (β-HCG). (303) 

3.2.9.3. Pemeriksaan Fisik 

Ditemukan tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial akibat hidrosefalus berupa 

papiledema, gangguan berjalan, gangguan keseimbangan, dan tremor. Sindroma Parinaud 

berupa paralisis upward gaze bola mata, pupil pseudo-Argyll Robertson, nistagmus konvergen, 

dan retraksi kelopak mata. Gejala pubertas prekoks berupa pertumbuhan cepat, perubahan pada 

ukuran dan bentuk tubuh, tumbuhnya bulu pubis dan ketiak, jerawat, dan perubahan bau 

badan.(306) 

3.2.9.4. Pemeriksaan Penunjang 

Pemeriksaan penunjang yang dikerjakan pada tumor pineal meliputi pemeriksaan 

penanda tumor dan radiologis. Pemeriksaan penanda tumor bertujuan untuk membedakan 

tumor yang berasal dari sel germinal atau bukan dan juga untuk membedakan di antara tumor 

sel germinal sendiri.(307) 

3.2.9.4.1. Penanda Tumor 

Pemeriksaan penanda tumor berupa β-hCG, alpha fetoprotein (AFP), dan placental 

alkaline phosphatase (PALP). Peningkatan β-hCG biasanya berhubungan dengan 

khoriokarsinoma, sementara penurunan β-hCG berhubungan dengan beberapa tumor, tidak 

semuanya karsinoma embrional dan germinoma. Sampel diambil dari CSS dan darah. Kadar 

tumor marker pada cairan serebrospinal dinilai lebih sensitif dibandingkan dengan serum. 

Peningkatan AFP terjadi pada tumor endodermal, karsinoma embrional, dan kadang pada 

teratoma. Peningkatan PALP didapatkan pada germinoma. Selain menunjang diagnosa , 

penanda tumor (Tabel 3.10) juga bermanfaat dalam monitoring respons pengobatan dan sebagai 

penanda awal kekambuhan.(303) 

  Tabel 3.10 Penanda tumor pada tumor pineal(308)  

Jenis Tumor -hCG AFP PLAP 

Germinoma murni  – – +/– 

Germinoma (sinsitiotrofoblastik) + – +/– 

 

 

127 

 

Tumor yolk sac  – + +/– 

Koriokarsinoma + – +/– 

Karsinoma embrional – – + 

Tumor germinal campuran +/– +/– +/– 

Teratoma matur – – – 

Teratoma imatur +/– +/– – 

 AFP: alfa-fetoprotein; β-HCG: β-human chorionic gonadotropin; PLAP: placental alkaline phosphatase. 

 

3.2.9.4.2. Radiologis 

Pemeriksaan radiologis yang dikerjakan antara lain CT Scan, MRI scan, dan FDG-PET 

scan. MRI merupakan pemeriksaan awal yang sangat membantu untuk mengidentifikasi tumor 

dan menggambarkan hubungan dengan struktur-struktur di sekitarnya. Pada beberapa masalah , 

gambaran MRI menunjukkan beberapa jenis tumor tertentu. Tumor germinal dan glioma 

maligna memiliki karakteristik menginvasi dinding ventrikel ketiga. Kompresi ekspansif lebih 

sering ditemukan pada tumor kelenjar pineal, astrositoma low grade, dan meningioma.  

Kalsifikasi lokal sering ditemukan pada 70% tumor sel germinoma, sementara 

kalsifikasi yang menyebar sering ditemukan pada lebih dari 50% tumor kelenjar pineal. 

Komponen kistik paling sering ditemukan pada sel tumor germinal non-germinoma. Lesi 

multipel merupakan ciri tumor germinal. Edema peritumoral yang berat lebih sering ditemukan 

pada germinoma. Ekstensi hingga ke talamus didapatkan hingga 80% pada germinoma.(212, 309, 

310) 

3.2.9.4.3. diagnosa  Banding 

Berikut yaitu  diagnosa  banding yang baru dipastikan sesudah  mendapatkan jenis 

histopatologis melalui biopsi atau pembedahan terbuka:(305, 306) 

A. Neoplasma 

1. Germinal 

a) Germinoma 

b) Non–germinoma 

i. Karsinoma embrional 

ii. Tumor yolk sac 

 

 

128 

 

iii. Koriokarsinoma 

iv. Teratoma: matur dan imatur 

v. Teratoma dengan malformasi maligna 

vi. Tumor sel germinal campuran 

2. Non–germinal 

a) Parenkim pineal: pinealoblastoma, pineositoma 

b) Glial: astrositoma, glioma 

c) Lainnya: Meningioma, lipoma 

B. Non–neoplasma 

1. Malformasi arteriovenosus 

2. Malformasi vena Galen 

3. Kista araknoid 

4. Infeksi 

 

3.2.9.5. pengobatan  

 

Gambar 1. Pendekatan Pengobatan  tumor pineal 

CSS, cairan serebrospinal; MRI, Magnetic Resonance Imaging. 

 

 

129 

 

3.2.9.5.1. Medikamentosa 

Pemberian obat-obatan pada tumor pineal sama halnya dengan pasien tumor secara 

umum terkait dengan edema serebri hingga terjadinya kejang. Obat-obatan yang diberikan 

meliputi steroid, manitol, salin hipertonik, dan anti kejang. Untuk dosis dan tata cara pemberian 

dapat dilihat lebih rinci pada bagian prinsip pemberian terapi medikamentosa pada tumor 

otak.(223, 311, 312) 

3.2.9.5.2. Pembedahan 

Tujuan pembedahan yaitu  mendapatkan sampel jaringan untuk menentukan jenis 

tumor secara histopatologis dan melakukan debulking massa tumor sebanyak mungkin untuk 

menurunkan peningkatan tekanan intrakranial. (224, 312) 

Beberapa teknik dapat dilakukan untuk memperoleh sampel jaringan tumor baik itu 

secara stereotaktik maupun pembedahan terbuka memakai  endoskopi atau mikroskop. 

pemakaian  stereotaktik masih menjadi perdebatan sehubungan dengan cedera yang dapat 

terjadi pada vena-vena serebri., namun akses melalui frontal inferior di bawah level vena serebri 

interna diharapkan akan aman. Jika hasil dari biopsi meragukan atau didapatkan suatu tumor 

jinak seperti teratoma matur atau meningioma, maka diperlukan tindakan lebih lanjut dengan 

pembedahan terbuka. (212, 309, 310) 

Pembedahan terbuka memberikan visualisasi langsung terhadap tumor dan struktur di 

sekitarnya. Di samping mendapatkan sampel jaringan lebih representatif dan debulking tumor, 

prosedur ini juga memberikan akses untuk mengambil sampel CSS. Gross total resection tidak 

menjadi pertimbangan utama sebab  hanya pada teratoma matur dengan kapsul dan beberapa 

tumor lainnya yang memiliki batas tegas hal ini dapat dikerjakan, selebihnya sebagian besar 

tumor akan memiliki ekstensi baik lokal maupun regional sehingga memiliki risiko lebih tinggi 

untuk terjadinya morbiditas (3-10%) hingga mortalitas (4-10)%. Pertimbangan berikutnya 

sebagian besar tumor memerlukan terapi multimodalitas selain pembedahan, seperti halnya 

tumor sel germinal memperoleh respons terapi sangat baik terhadap radioterapi dan kemoterapi. 

(224, 313-315) 

Tingkat morbiditas dan mortalitas pada tumor pineal dengan pembedahan terbuka dapat 

ditekan dengan pemakaian  beberapa alat pendukung seperti pemakaian  USG doppler yang 

 

 

130 

 

berguna untuk mengevaluasi terjadinya emboli udara pada sitting position, dan  pemakaian  

intra operative monitoring (IOM) untuk memproteksi struktur vital di sekitar tumor pineal 

seperti nervus kranialis dan pembuluh darah.(224) Tindakan pembedahan lainnya yaitu  

pemasangan ventriculoperitoneal (VP) shunt) pada komplikasi hidrosefalus. (224, 312) 

3.2.9.5.3. Kemoterapi 

Kemoterapi telah berkembang menjadi pilihan utama untuk meminimalkan jumlah 

radiasi yang dibutuhkan dalam mengobati pasien (terutama anak-anak) dengan tumor pineal 

secara efektif. Seperti halnya radioterapi, respons terhadap kemoterapi pada pasien dengan 

tumor pineal bervariasi menurut jenis histolopatologis. Tumor sel germinal lebih sensitif 

terhadap kemoterapi dibandingkan tumor kelenjar pineal dengan tingkat respons 80-100%.(305) 

Tingkat keberhasilan yang sangat tinggi dari radioterapi untuk germinoma 

memicu  pemakaian  kemoterapi sebagai pengobatan lini pertama pada anak-anak yang 

lebih tua lebih tidak dipertimbangkan. Kemoterapi dipertimbangkan sebagai pengobatan lini 

pertama hanya pada anak-anak yang sangat muda, mengingat pemberian radioterapi pada usia 

ini akan memberikan tingkat morbiditas yang tinggi. (305, 307, 315) 

Pada tumor sel germinal non-germinoma disarankan untuk memberikan kombinasi 

radioterapi dan kemoterapi sebab  tingkat keberhasilan hidup selama 5 tahun hanya 30-65% 

dengan radioterapi. Rejimen dari Einhorn meliputi cisplatin, vinblastine, dan bleomisin. 

lalu  dipakai  VP-16 untuk menggantikan vinblastine dan bleomisin. (316) 

Efektivitas kemoterapi untuk tumor kelenjar pineal hanya terbatas pada laporan masalah  

dan beberapa penelitian yang melibatkan sejumlah kecil pasien. Tidak ada agen dominan 

sebagai obat pilihan, dan rejimen yang dipakai  antara lain kombinasi antara vinkristin, 

lomustine, cisplatin, etoposide, siklofosfamid, aktinomisin D, dan metotreksat. Sementara 

siklofosfamid dosis tinggi dianjurkan sebagai agen tunggal dalam pengobatan pineoblastoma. 

Anak-anak yang diobati dengan siklofosfamid dosis tinggi memiliki kondisi tumor yang stabil 

atau mengalami perbaikan saat diterapi. Gangguan fungsi paru dan trombositopenia merupakan 

efek samping yang ditemukan. (305, 307, 317) 

3.2.9.5.4. Radioterapi 

 

 

131 

 

Radioterapi diperlukan pada pasien dengan sel germinal maligna/non germinoma / sel 

pineal. Radioterapi dapat diberikan tanpa adanya biopsi pada lesi apabila gambaran lesi khas 

untuk germinoma dan tumor marker AFP dan β-HCG tidak terlalu menigkat tinggi. Dosis yang 

direkomendasikan yaitu  55 Gy hingga 60 Gy pada gross tumor, dengan dosis per fraksi 1,8 

Gy. Radiasi dibagi dalam 3 fase yaitu fase pertama 36 Gy radiasi kraniospinal lalu dilanjutkan 

hingga 45 Gy pada sistem ventrikel, dan tambahan hingga 60Gy pada tumor bed atau gross 

tumor. (303)  

Radioterapi merupakan pilihan utama untuk jenis germinoma sebab  sangat 

radiosensitif, di mana tingkat harapan hidup long term tumor-free mencapai lebih dari 90%. 

Pada tumor non-germinoma tidak terlalu sensitif dengan radioterapi, angka harapan hidup 

selama 5 tahun hanya 30-40%.(317) Pada jenis tumor yang kurang sensitif terhadap radiasi, dapat 

dipertimbangkan radiasi SRT atau SRS bila ukuran tumor tidak terlalu besar. 

Selain germinoma, radioterapi juga dapat diberikan pada tumor kelenjar pineal seperti 

pineositoma, terutama jika dilakukan pembedahan parsial. Pada pembedahan total radioterapi 

dapat ditunda dan dilakukan obervasi.(314) 

Radioterapi juga dapat diberikan sebagai ajuvan pada jenis tumor maligna lainnya 

sesudah  dilakukan pembedahan. Jika didapatkan seeding pada aksis spinal, dapat diberikan 

radioterapi kraniospinal sebagai booster.(317) Dosis radioterapi pada spinal