Home »
perawatan luka 1
» perawatan luka 1
perawatan luka 1
Juni 21, 2023
perawatan luka 1
Perawatan luka merupakan salah satu keterampilan atau
kompetensi dasar yang harus dimiliki oleh lulusan Program Studi
Diploma III Keperawatan Fakultas Kedokteran Universitas
Mulawarman. Materi perawatan luka terintegrasi didalam mata
kuliah keperawatan dasar, keperawatan medikal bedah maupun
praktik klinik keperawatan home care. Materi perawatan luka ini
diharapkan dapat meningkatkan kemampuan mahasiswa baik
dalam pengetahuan, keterampilan maupun sikap di dalam
memberikan asuhan keperawatan khususnya perawatan luka.
Praktik perawatan luka yang dilakukan mahaiswa bertujuan yang
untuk menerapkan konsep Asuhan Keperawatan individu dan
keluarga dalam rangka meningkatkan, mempertahankan dan
memulihkan kesehatan, mengoptimalkan, tingkat kemandirian
klien dan keluarga serta meminimalkan akibat yang dapat
ditimbulkan dari masalah yang dialami klien dan keluarga.
Modul perawatan luka ini akan berisi tentang anatomi fisiologi
sistem integumen, konsep dasar luka, prosedur perawatan luka,
manajemen perawatan luka akut dan kronis serta pemanfaatan
tanaman untuk perawatan luka.
1. ANFIS KULIT
Kulit merupakan organ yang memiliki permukaan paling luas (+ 2
m2) yang melapisi seluruh bagian luar tubuh sehingga kulit berfungsi
sebagai pelindung tubuh terhadap benda asing, bahan kimia,
cahaya matahari mengandung sinar ultraviolet dan melindungi tubuh
terhadap mikroorganisme serta menjaga keseimbangan tubuh
terhadap perubahan lingkungan. Kulit merupakan indikator pada
seseorang untuk memperoleh kesan umum dengan melihat
perubahan yang terjadi pada kulit. Kulit dapat menjadi pucat,
kekuning-kuningan kemerah-merahan atau suhu kulit meningkat,
memperlihatkan adanya kelainan yang terjadi pada tubuh atau
gangguan kulit karena penyakit tertentu. Gangguan psikis juga dapat
memicu kelainan atau perubahan pada kulit, seperti stres,
ketakutan atau dalam keadaan marah, maka akan terjadi perubahan
kulit pada wajah. Perubahan struktur kulit dapat menentukan apakah
seseorang telah lanjut usia atau masih muda. Wanita atau pria juga
dapat dibedakan melalui penampilan kulit. Warna kulit juga dapat
menentukan ras atau suku bangsa misalnya kulit hitam suku bangsa
negro, kulit kuning bangsa Mongol, kulit putih dari Eropa dan lain
sebagainya.
LAPISAN KULIT
Kulit terdiri dari tiga lapisan utama, yaitu Epidermis (lapisan bagian
luar tipis), Dermis (lapisan tengah), Subkutis (bagian paling dalam).
a. Epidermis (lapisan bagian luar tipis)
Merupakan Lapisan paling luar yang melindungi tubuh dengan
ketebalan yang bervasiasi, dimana telapak tangan dan kaki
memiliki epidermis yang paling tebal. Epidermis terdiri atas
lapisan epitel gepeng yang berisi 4 tipe sel (Gambar 1):
Keratinocytes (90%) yang berfungsi untuk memproduksi keratin
sebagai penahan air, Melanocytes bertugas memproduksi
produksi melanin yang akan memberikan warna pada kulit, sel
Langerhans (macrophages) berfungsi sebagai sistem immune
response dan Merkel cells yang memiliki tugas menangkap
sensasi sentuh pada kulit (touch sense) yang terhubung dengan
ujung syaraf di lapisan dermis.
Gambar 1. Sel penyusun epidermis
Lapisan epidermis tumbuh terus karena lapisan sel induk yang
berada di lapisan bawah bermitosis (membelah) terus menerus,
sedangkan lapisan paling luar epidermis akan terkelupas atau
lepas. Epidermis dibentuk secara kuat oleh 4 sel-sel epidermis
diatas dan diperkuat oleh serat-serat kolagen dan sedikit serat
elastin. Epidermis berfungsi sebagai pelindung dan tidak ada
pembuluh darah, sehingga jika lapisan ini terluka maka tidak akan
terlihat darah yang keluar.
Epidermis terdiri atas beberapa lapisa sel. Sel-sel ini berbeda
dalam beberapa tingkat pembelahan sel secara mitosis. Lapisan
permukaan dianggap sebagai akhir keaktifan sel, lapisan ini
terdiri atas 5 lapis (Gambar 2).
1. Stratum korneum (stratum corneum) : lapisan ini terdiri atas
banyak lapisan sel tanduk (keratinasi), gepeng, kering, dan
tidak berinti. Sitoplasmanya diisi dengan serat keratin yang
berfungsi sebagai penahan air, makin keluar letak sel makin
gepeng seperti sisik lalu terkelupas dari tubuh. Sel keratin
pada stratum ini merupakan sel keratin yang sudah mati (dead
keratinocyte). Sel yang terkelupas akan digantikan oleh sel
yang lain. Stratum korneum sering dikenal di masyarakat
sebagai kotoran kulit atau daki.
2. Stratum lusidum (stratum lucidum) : lapisan ini terdiri atas
beberapa lapis sel yang sangat gepeng dan bening. Membran
yang membatasi sel-sel ini sulit terlihat sehingga
lapisannya secara keseluruhan seperti kesatuan yang bening.
Stratum lucidum mengandung cairan bening yang merupakan
protein yang disebut eleidin, berfungsi sebagai penyaring sinar
ultraviolet yang masuk ke kulit.
3. Stratum granulosum (stratum granulosum) : lapisan ini terdiri
atas 2-3 lapis sel poligonal yang agak gepeng dengan inti di
tengah dan sitoplasmanya berisi butiran (granula) keratohialin
atau gabungan keratin dengan hialin. Lapisan ini menghalangi
masuknya benda asing, kuman, dan bahan kimia masuk
kedalam tubuh
.
4. Stratum spinosum (strarum spinosum) : lapisan ini terdiri atas
banyak lapisan sel berbentuk kubus dan poligonal, inti ada
di tengah dan sitoplasmanya berisi berkas-berkas serat yang
terpaut pada desmosom (jembatan sel). Seluruh sel terikat
rapat lewat serat-serat ini sehingga secara keseluruhan
lapisan sel-selnya berduri. Lapisan ini untuk menahan gesekan
dan tekanan dari luar, tebal dan ada di daerah tubuh yang
banyak bersentuhan atau menahan beban dan tekanan seperti
tumit dan pangkal telapak kaki.
5. Stratum basal (stratum basale) : unsur-unsur lapis taju yang
memiliki susunan kimia yang khas. Inti bagian basal lapis
taju mengandung kolestrol dan asam-asam amino. Stratum
basale yang disebut juga malpighi merupakan lapisan
terdalam dari epdermis yang berbatasan dengan dermis di
bawahnya dan terdiri atas selapis sel berbentuk kubus
(batang).
Lapisan epidermis tidak ditemukan pembuluh darah, sehingga jika
lapisan ini terluka maka tidak terjadi perdarahan.
Gambar 2 Lapisan kulit epidermis
b. Dermis (Lapisan tengah)
Dermis merupakan lapisan kedua dari kulit, batas dengan
epidermis dilapisi oleh membrane basalis dan di sebelah bawah
berbatasan dengan subkutis tapi batas ini tidak jelas hanya
diambil sebagai patokan ialah mulainya ada sel lemak.
Batas dermis yang sukar ditentukan karena menyatu dengan
lapisan subkutis (hipodermis), ketebelannya antara 0,5-3 mm,
beberapa kali lebih tebal dari epidermis, dan dibentuk dari
komponen jaringan pengikat. Derivat dermis terdiri atas rambut,
kelenjar minyak, kalenjar lendir, dan kelenjar keringat yang
membenam jauh kedalam dermis. Dermis terdiri atas serat-serat
kolagen, dan serabut-serabut elastis, dan serabut-serabut
retikulin. Serat-serat ini bersama pembuluh darah dan pembuluh
getah bening membentuk anyaman-anyaman yang memberikan
perdarahan untuk kulit.
Secara umum lapisan dermis dapat dibagi atas 2 lapisan yaitu
papilla dan retikulosa.
Lapisan papilla; mengandung lekuk-lekuk papilla sehingga
stratum malpigi juga ikut melekuk. Lapisan ini mengandung
lapisan pengikat longgar yang membentuk lapisan bunga karang
disebut lapisan stratum spongeosum.
Lapisan papila terdiri atas serat kolagen halus, elastin dan
retikulin yang tesusun membentuk jaringan halus yang ada di
bawah epidermis. Lapisan ini memegang peranan penting dalam
peremajaan dan penggandaan unsur-unsur kulit. Serat retulin
dermis membentuk alas dari serbut yang menyisip ke dalam
membran basal dibaawah epidermis.
Pada umumnya, papil-papil kulit dermis sangat tipis, tetapi pada
telapak kaki dan telapak tangan ada papil tebal, dan banyak
sehingga tampak berhimpitan membentuk rigi-rigi yang menonjol
di permukaan kulit ari, dan membentuk pola sidik jari tangan dan
jari kaki. Setiap papil dibentuk oleh anyaman serabut halus yang
mengandung serabut elastin. Pada bagian ini telihat lengkung-
lengkung kapiler dan ujung-ujung saraf perasa.
Lapisan retikulosa: lapisan retikulosa mengandung jaringan
pengikat rapat dan serat kolagen. Sebagian besar lapisan ini
tersusun bergelombang, mengandung sedikit serat retkulin, dan
banyak serat elastin. Sesuai dengan arah jalan serat-serat
ini terbentuklah garis ketegangan kulit. Terdapat pola
sulkus atau Garis Langer’s (Gambar 3). Insisi pada Garis
Langer’s berpengaruh pada penyembuhan luka. Jika potongan
searah dapat menyebakan penyembuhan lebih cepat
dibandingkan jika tidak searah.
Bahan dasar dermis merupakan bahan matrik amorf yang
memebenam pada serat kolagen dan elastin. Turunan kulit
glikosaminoglikans utama kulit adalah asam hialuronat dan
dermatan sulfat dengan perbandingan yang beragam di berbagai
tempat, bahan dasar ini bersifat sangat hidrofilik. Lapisan ini terdiri
atas anyaman jaringan ikat yang lebih tebal dan di dalamnya
ditemukan sel-sel fibrosa, sel histiosit, pembuluh darah, pembuluh
getah bening, saraf, kandung rambut kelenjar sebasea, kelenjar
keringat, sel lemak, dan kelenjar otot penegak rambu.
Gambar 3. Garis Langers
c. Subkutan /Hipodermis
Hipodermis adalah lapisan bawah kulit (fasia superfisialis) yang
terdiri atas jaringan pengikat longgar, kompenennya serat
longgar, elastis dan sel lemak. Sel-sel lemak membentuk jaringan
lemak pada lapisan adiposa yang ada susunan lapisan
subkutan untuk menentukan mobilitas kulit diatasnya. Bila
ada lobulus lemak yang merata, hipodermis membentuk
bantal lemak disebut pannikulus adiposus. Padaa daerah perut,
lapisan ini dapat mencapai ketebalan tiga cm, sedangkan pada
kelopak mata, penis, dan skrotum, lapisan subkutan tidak
mengandung lemak. Bagian superfisial hipodermis mengandung
kelenjar keringat dan folikel rambut. Dalam lapisan hipodermis
ada anyaman pembuluh arteri, pembuluh vena, dan
anyaman saraf yang berjalan sejajar dengan permukaan kulit di
bawah dermis. Lapisan ini memiliki ketebalan bervariasi dan
mengikat kulit secara longgar terhadap jaringan di bawahnya.
Fungsi kulit
Kulit berfungsi sebagai alat pelindung bagian dalam,
misalnya otot dan tulang; sebagai alat peraba dengan dilengkapi
bermacam reseptor yang peka terhadap berbagai rangsangan;
sebagai alat ekskresi; serta pengatur suhu tubuh.
Sehubungan dengan fungsinya sebagai alat peraba, kulit
dilengkapi dengan reseptor reseptor khusus. Reseptor untuk rasa
sakit ujungnya menjorok masuk ke daerah epidermis. Reseptor
untuk tekanan, ujungnya berada di dermis yang jauh dari
epidermis. Reseptor untuk rangsang sentuhan dan panas, ujung
reseptornya terletak di dekat epidermis.
Kelenjar-kelenjar kulit.
Kelenjar kulit meliputi kelenjar sebasea, kelenjar keringat, dan
kelenjar mamae.
1. Kelenjar sebasea.
Kelenjar ini berhubungan dengan folikel rambut yang bermuara
dalam sebuah folikel rambut. Kelenjar yang tidak berhubungan
dengan folikel rambut bermuara langsung ke permukaan kulit
seperti yang ada pada glans penis, labium minus, dan
kelenjar tarsalia pada kelopak mata.
2. Kelenjar keringat.
Kelenjar keringat adalah kelenjar tubular bergelung yang tidak
bercabang; ada pada seluruh kulit kecuali pada dasar kuku,
batas bibir, glans penis dan gendang telinga. Kelenjar ini paling
banyak ada pada telapak tangan dan kaki. Bagian
sekretorisnya terletak di dalam dermis atau hypodermis dan
bergabung membentuk massa tersendiri.
Duktusnya keluar menuju epidermis dan berjalan berkelok-kelok
menyatu dengan epidermis dan berjalan spiral untuk mencapai
permukaan kulit. Tempat bermuaranya disebut pori keringat.
Terdapat 2 macam kelenjar keringat yaitu kelenjar keringat ekrin
dan apokrin.
a. Kelenjar keringat ekrin.
Tersebar diseluruh kulit tubuh, kecuali kulup penis bagian
dalam dan telinga luar, telapak tangan, telapak kaki dan dahi.
Badan kelenjar ada diantara perbatasan kulit ari
(epidermis) dan kulit dermis. Salurannya berkelok-kelok
keluar dan berada pada lapisan jangat yang berjalan lurus ke
pori-pori keringat.
b. Kelenjar keringat apokrin.
Kelenjar keringat yang besar dan hanya dapat ditemukan
pada ketiak, leher, tempat tumbuhnya janggut pada pria, kulit
putting susu, kulit sekitar alat kelamin dan dubur. Keringat
yang dikeluarkan oleh kelenjar ini berbau diakibatkan letak
kelenjar yang dekat dengan lapisan hipodermis yang berisi
lemak dan bahan lain yang memicu bau.
Saraf kulit.
Kulit juga seperti organ lain ada cabang-cabang saraf spinal
dan permukaan yang terdiri dari saraf-saraf motorik dan saaf
sensorik.
Ujung saraf motorik berguna untuk menggerakkan sel-sel otot yang
ada pada kulit, sedangkan saraf sensorik berguna untuk
menerima rangsangan yang ada dari luar atau kulit. Pada kulit
ujung-ujung, saraf sensorik ini membentuk bermacam-macam
kegiatan untuk menerima rangsangan. Ujung-ujung saraf yang
bebas untuk menerima rangsangan sakit/nyeri banyak ada di
epidermis, disini ujung-ujung sarafnya memiliki bentuk yang khas
yang sudah merupakan suatu organ.
2. ANFIS RAMBUT
Rambut berupa benang keratin elastis yang berkembang dari
epidermis tersebar di seluruh tubuh kecuali telapak kaki dan telapak
tangan, permukaan dorsal falang distal, sekitar lubang dubur, dan
urogenital. Setiap rambut memiliki batang yang bebas dan akar
yang tertanam dalam kulit, akar rambut dibungkus oleh folikel
rambut yang berbentuk tabung terdiri atas bagian yang berasal dari
epidermis (epitel) dan bagian yang berasal dari dermis (jaringan
ikat).
Pada ujung bawah folikel menggembung membentuk bulbus rambut,
beberapa kelenjar sebasea, dan seberkas otot polos (erektor pili).
Kontraksi otot ini memicu tegaknya rambut sebab rambut
terpancang miring berbentuk sudut tumpul.
Struktur rambut
a. Medula: merupakan bagian tengah rambut yang longgar terdiri
atas 2-3 lapis sel kubis mengerut sama lain dipisahkan oleh
ruang berisi udara dan bulu halus pendek jenis bulu roma.
Sebagai rambut kepala dan rambut pirang tidak memiliki
medula, sel-selnya sering mengandung pigmen, keratin sel-sel
medula termasuk keratin lunak.
b. Korteks: merupakan bagian utama rambut yang terdiri atas
beberapa lapis sel gepeng dan panjang berbentuk gelondong
membentuk keratin keras. Fibril keratin tersusun sejajar,
sedangkan granula pigmen ada di dalam dan diantara sel-
selnya. Rambut hitam mengandung pigmen teroksidasi udara
yang terkumpul di dalam ruang antara sel korteks dan mengubah
warna rambut.
c. Kutikula: ada pada permukaan selapis sel tipis dan jernih.
Kutikula tidak berinti kecuali yang ada pada akar rambut, sel-
selnya tersusun seperti genteng atap dengan ujung menghadap
ke atas. Penampang melintang rambut beragam sesuai dengan
ras, rambut lurus bangsa mongol, eskimo, dan indian amerika
tampak bundar pada potongan melintang, rambut berombak pada
beberapa bangsa kaukasia, afrika dan irian penampangnya
lonjong.
Susunan rambut
a. Batang rambut: merupakan bagian rambut yang ada di luar
kulit. Kalau dibuat potongan, sebuah rambut akan terlihat dari luar
ke dalam.
b. Selaput rambut (kutikula): merupakan lapisan yang paling luar,
terdiri atas sel-sel tanduk yang tersusun seperti sisik ikan, dapat
diketahui kalau rambut disasak dengan baik. Rambut yang sering
disasak akan meregangkan hubungan sel-sel selaput rambut
sehingga merusak selaput rambut dan cairan mudah masuk ke
dalam rambut.
c. Kulit rambut : korteks rambut merupakan lapisan kulit yang
paling tebal terdiri atas lapisan tanduk berbentuk kumparan
tersusun memanjang dan mengandung butir-butir mielin. Sel
tanduk terdiri atas serabut keratin, masing-masing sel tanduk
yang disebut fibril diuraikan menjadi satuan serat yang lebih
halus disebut mikrofibril. Rambut memiliki sifat daya
elastisitas akan bertambah bila dibasahkan dan dihangatkan.
d. Sumsum rambut (medula): bagian yang paling dalam dibentuk
oleh sel tanduk, bentuknya seperti anyaman dengan rongga
berisi udara. Bagian ini sangat tipis mengandung medula dan
sum-sum rambut ini hanya ada pada rambut yang tebal
misalkan pada alis, kumis, dan sebagian rambut kepala.
e. Akar rambut: merupakan bagian rambut yang tertanam miring
dalam kulit, terselubung oleh kandung rambut (folikel rambut).
Akar ini tertanam sangat dalam hingga dapat mencapai lapisan
hipodermis
.
Otot penegak rambut:
Muskulus erektor pili adalah otot penegak rambut yang terdiri atas
otot polos yang ada pada kandung rambut dengan perantaraan
serabut elastis. Bila otot ini berkontraksi, rambut akan tegak dan
kelenjar akan mengalami kompresi sehingga isinya di dorong keluar
untuk melumas rambut.
Fungsi rambut:
-- Sebagai pelindung, pada muara lubang telinga/hidung terhadap
benda-benda yang masuk serta melindungi kulit terhadap sinar
ultraviolet dan panas.
-- Mengatur suhu: pengaturan panas dengan cara bulu badan
menyimpan panas.
-- Pembuangan keringat dan air: karena permukaan yang lebih
luas, rambut akan membantu penguapan keringat.
-- Pengaturan emosi: bila mengalami ketakutan bulu tengkuk
berdiri.
-- Sebagai alat perasa: rambut membesar rangsangan sentuhan
terhadap kulit.
3. ANFIS KUKU
Merupakan lempeng yang membentuk pelindung pembungkus
permukaan dorsal falang terakhir jaringan dan jari kaki. Berdasarkan
struktur dan hubungan dengan dermis dan epidermis, pertumbuhan
kuku terjadi sepanjang garis datar lengkung dan sedikit miring
terhadap permukaan pada bagian proksimalnya.
Alat kuku berproliferasi membentuk matriks kuku. Epidermis yang
tepat di bawahya menjadi dasar kuku yang berbentuk U bila dilihat
dari atas, diapit oleh lapisan kulit yang merupakan dinding kuku.
Dasar kuku yang mengandung lapisan-lapisan epidermis dan
dermis, di bawahnya memiliki rabung memanjang. Di sini
ada kelenjar keringat dan folikel. Sel-selnya banyak
mengandung fibril sitoplasma yang hilang pada tahap akhir setelah
menjadi homogen (berstruktur sama) lalu menjadi zat tanduk, dan
menyatu dengan lempeng kuku. Tidak pernah dijumpai granula
keratohialin di dalam sel matriks dan keratin kuku. Pada lapisan
kuku mengandung melanosit sehingga lempeng kuku mungkin
berpigmen pada ras hitam
Lempeng kuku terdiri atas sisik epidermis yang menyatu erat dan
tidak mengelupas, badan kuku berwarna bening sehingga kelihatan
kemerahan karena ada pembuluh kapiler darah di dalam dasar
kuku. Sel-sel stratum korneum meluas dari dinding kuku ke
permukaan lempeng kuku sebagai epikondrium atau kutikula.
Dengan bertambahnya sel-sel baru dalam akar kuku menghasilkan
geseran lambat lempeng kuku di atas dasar kuku. Laju
pertumbuhan kuku rata-rata 0,5 mm per minggu. Pertumbuhan ini
lebih pesat pada jari tangan daripada jari kaki dan bila lempeng kuku
dicabut paksa asalkan matriksnya tidak rusak kuku akan tumbuh
kembali.
Fungsi kuku
Pada pangkal kuku berfungsi melindungi dari kotoran. Fungsi utama
kuku adalah melindungi ujung jari yang lembut dan penuh urat saraf,
serta mempertinggi daya sentuh. Secara kimia, kuku sama dengan
rambut yang antara lain terbentuk dari keratinprotein yang kaya
akan sulfur.
Kuku merupakan lapisan yang keras dan padat yang dibentuk oleh
sel keratis epidermis. Kuku terdiri dari nail body, free edge dan nail
root. Bagian –bagian dari kuku :
a. Lunula: area stratum basale yang menebal
b. Hyponychium (nail bed): area stratum corneum yang menebal
berfungsi untuk melindungi kuku agar tidak menusuk jaringan
dibawahnya
c. Eponychium (cuticle): epitelium yang menduduki perbatasan kuku
Berikut beberapa kejanggalan kuku yang dapat membantu dokter
mendiagnosis suatu penyakit:
• Warna kebiruan pada pangkal kuku menandakan kurang
beresnya sirkulasi darah dan merupakan gejala penyakit jantung.
• Bila separuh bagian dekat ujung kuku berwarna merah muda
atau coklat sementara kulit ari berwarna putih, itu merupakan
gejala penyakit gagal ginjal kronis.
• Bila timbul kerutan horizontal dan kuku tampak kusam, itu
menandakan kurang gizi atau gejala suatu penyakit seperti
campak, cacar air, gondok, jantung serta kondisi seperti sindrom
Reynaud (kejang pada urat jari tangan dan kaki akibat sangat
kedinginan).
• Lapisan merah membujur pada kuku, menandakan perdarahan
pada pembuluh kapiler. Garis-garis ganda merupakan gejala
penyakit darah tinggi (hipertensi).
• Bila pertumbuhan kuku tampak lambat, tebal dan mengeras serta
kekuning-kuningan, menandakan gangguan getah bening atau
penyakit pencernaan kronis.
• Timbulnya bintik-bintik tak beraturan pada kuku, menandakan
adanya penyakit psoriasis (penyakit kulit kronis).
• Bila ada lengkungan berlebihan pada pangkal kuku dan sekitar
ujung kuku, itu menandakan gejala penyakit TBC, emfisema
(gangguan pada paru-paru), penyakit kardiovaskuler atau hati.
Seseorang yang menderita luka akan merasakan adanya
ketidaksempurnaan yang pada akhirnya cenderung untuk mengalami
gangguan fisik dan emosional (Hyland. 1994). Sehingga tidak dapat
dipungkiri bahwa luka akan mempengaruhi kualitas hidup seseorang.
Sebagai contoh, pasien dengan luka kanker dengan eksudat yang
banyak dan sangat berbau tentunya bukan hanya menjadi gangguan
kesehatan bagi klien akan tetapi juga akan mempengaruhi gangguan
interaksi pasien.
Menurut Schipper (1996) ada empat domain kualitas hidup yang bisa
terkena dampak dari luka yaitu: Fungsi fisik dan pekerjaan, fungsi
psikologis, interaksi sosial, sensasi somatik dan dampak finansial. Jadi
kalau kita memakai model berpikir ESQ (berpikir melingkar) maka
perawatan luka butuh pendekatan yang kompleks kita tidak hanya
melihat lokasi luka, mencium bau luka, mengganti balutan luka tapi lebih
dari itu ada faktor-faktor lain yang harus diperhatikan dengan seksama.
Luka dapat diartikan sebagai gangguan atau kerusakan integritas dan
fungsi jaringan pada tubuh
Klasifikas Luka
1. Berdasarkan sifatnya:
a. Luka Akut.
Luka akut adalah luka yang sembuh sesuai dengan periode
waktu yang diharapkan. Luka akut dapat dikategorikan sebagai:
-- Luka akut pembedahan, contoh: insisi, eksisi dan skin graft.
-- Luka akut bukan pembedahan, contoh: Luka bakar.
-- Luka akut akibat faktor lain, contoh:abrasi, laserasi, atau injuri
pada lapisan kulit superfisial.
b. Luka Kronis.
Luka kronis adalah luka yang proses penyembuhannya
mengalami keterlambatan. Contoh: Luka decubitus, luka
diabetes, dan leg ulcer.
2. Berdasarkan Kehilangan Jaringan.
a. Superfisial; luka hanya terbatas pada lapisan epidermis.
b. Parsial (partial-thickness); luka meliputi lapisan epidermis dan
dermis.
c. Penuh (full-thickness); luka meliputi epidermis, dermis dan
jaringan subcutan bahan dapat juga melibatkan otot, tendon,
dan tulang.
3. Berdasarkan Stadium.
a. Stage I.
Lapisan epidermis utuh, namun ada eritema atau
perubahan warna.
b. Stage II.
Kehilangan kulit superfisial dengan kerusakan lapisan
epidermis dan dermis. Eritema di jaringan sekitar yang nyeri,
panasa, dan edema. Exudate sedikit sampai sedang.
c. Stage III.
Kehilangan jaringan sampai dengan jaringan sub cutan,
dengan terbentuknya rongga (cavity), exudate sedang sampai
banyak.
d. Stage IV.
Hilangnya jaringan sub cutan dengan terbentuknya rongga
(cavity) yang melibatkan otot, tendon dan atau tulang. Exudat
sedang sampai banyak.
4. Berdasarkan mekanisme terjadinya.
a. Luka insisi (Incised wounds), terjadi karena teriris oleh
instrumen yang tajam. Misal yang terjadi akibat pembedahan.
Luka bersih (aseptik) biasanya tertutup oleh sutura seterah
seluruh pembuluh darah yang luka diikat (Ligasi)
b. Luka memar (Contusion Wound), terjadi akibat benturan oleh
suatu tekanan dan dikarakteristikkan oleh cedera pada
jaringan lunak, perdarahan dan bengkak.
c. Luka lecet (Abraded Wound), terjadi akibat kulit bergesekan
dengan benda lain yang biasanya dengan benda yang tidak
tajam.
d. Luka tusuk (Punctured Wound), terjadi akibat adanya benda,
seperti peluru atau pisau yang masuk kedalam kulit dengan
diameter yang kecil.
e. Luka gores (Lacerated Wound), terjadi akibat benda yang
tajam seperti oleh kaca atau oleh kawat.
f. Luka tembus (Penetrating Wound), yaitu luka yang menembus
organ tubuh biasanya pada bagian awal luka masuk
diameternya kecil tetapi pada bagian ujung biasanya lukanya
akan melebar.
g. Luka Bakar (Combustio)
5. Berdasarkan Penampilan Klinis.
a. Nekrotik (hitam):
Eschar yang mengeras dan nekrotik, mungkin kering atau
lembab.
b. Sloughy (kuning):
Jaringan mati yang fibrous.
c. Granulasi (merah):
Jaringan granulasi yang sehat.
d. Epitelisasi (pink):
Terjadi epitelisasi.
e. Terinfeksi (kehijauan):
Terdapat tanda-tanda klinis adanya infeksi seperti nyeri, panas,
bengkak, kemerahan dan peningkatan eksudat.
B. PROSES PENYEMBUHAN LUKA
1. tahap Koagulasi dan Inflamasi (0-3 hari).
Koagulasi merupakan respon yang pertama terjadi sesaat setelah
luka terjadi dan melibatkan platelet. Pengeluaran platelet akan
memicu vasokonstriksi. Proses ini bertujuan untuk
homeostatis sehingga mencegah perdarahan lebih lanjut.
tahap inflamasi selanjutnya terjadi beberapa menit setelah luka
terjadi dan berlanjut hingga sekitar 3 hari. tahap inflamasi
memungkinkan pergerakan leukosit (utamanya neutrofil). Neutrofil
selanjutnya memfagosit dan membunuh bakteri dan masuk ke
matriks fibrin dalam persiapan pembentukan jaringan baru.
2. tahap Proliferasi atau Rekonstruksi (2-24 hari).
Apabila tidak ada infeksi atau kontaminasi pada fase inflamasi,
maka proses penyembuhan selanjutnya memasuki tahapan
Proliferasi atau rekonstruksi. Tujuan utama dari fase ini adalah:
-- Proses granulasi (untuk mengisi ruang kosong pada luka).
-- Angiogenesis (pertumbuhan kapiler baru).
Secara klinis akan tampak kemerahan pada luka. Angiogenesis
terjadi bersamaan dengan fibroplasia. Tanpa proses
angiogenesis sel-sel penyembuhan tidak dapat bermigrasi,
replikasi, melawan infeksi dan pembentukan atau deposit
komponen matrik baru.
-- Proses kontraksi (untuk menarik kedua tepi luka agar saling
berdekatan).
Menurut Hunt (2003) kontraksi adalah peristiwa fisiologi yang
memicu terjadinya penutupan pada luka terbuka.
Kontraksi terjadi bersamaan dengan sintesis kolagen. Hasil dari
kontraksi akan tampak dimana ukuran luka akan tampak
semakin mengecil atau menyatu.
3. tahap Remodelling atau Maturasi (24 hari-1tahun).
tahap ini merupakan fase yang terakhir dan terpanjang pada proses
penyembuhan luka. Aktifitas sintesis dan degradasi kolagen berada
dalam keseimbangan. Serabut-serabut kolagen meningkat secara
bertahap dan bertambah tebal kemudian disokong oleh proteinase
untuk perbaikan sepanjang garis luka. Kolagen menjadi unsur yang
utama pada matrks. Serabut kolagen menyebar dengan saling
terikat dan menyatu serta berangsur-angsur menyokong pemulihan
jaringan.
Akhir dari penyembuhan didapatkan parut luka yang matang yang
memiliki kekuatan 80 % dibanding kulit normal.
C. TYPE PENYEMBUHAN LUKA
1. Primary Healing.
Jaringan yang hilang minimal, tepi luka dapat dirapatkan kembali
melalui jahitan, klip atau plester.
2. Delayed Primary Healing.
Terjadi ketika luka terinfeksi atau ada benda asing yang
menghambat penyembuhan.
3. Secondary Healing.
Proses penyembuhan tertunda dan hanya bisa terjadi melalui
proses granulasi, kontraksi dan epitelisasi. Secondary healing
menghasilkan scar.
D. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENYEMBUHAN
LUKA
1. Faktor Umum
a. Usia.
b. Penyakit yang menyertai.
c. Vascularisasi.
d. Kegemukan.
e. Gangguan sensasi dan pergerakan.
f. Status Nutrisi.
g. Status psikologis.
h. Terapi radiasi.
i. Obat-obat.
2. Faktor Lokal
a. Kelembaban luka.
b. Temperatur luka.
c. Managemen luka.
d. Tekanan, gesekan, dan tarikan.
e. Benda asing.
f. Infeksi luka.
Perawatan luka merupakan salah satu tindakan keperawatan yang
dikerjakan oleh perawat dengan sistematis dan komprehensif.
Perawatan luka yang sistematis merupakan urutan langkah perawatan
yang harus dikerjakan oleh profesional di bidang perawatan luka,
sedangkan komprehensif merupakan metode yang dilakukan saat
melakukan perawatan luka dengan mempertimbangkan kondisi bio,
psikologis, sosial dan spiritual secara menyeluruh. Adapun langkah
proses perawatan luka secara umum di bagi menjadi 3 tahapan yaitu
pencucian, pengkajian dan pemilihan balutan.
A. PENCUCIAN LUKA
Langkah pertama pada perawatan luka adalah membuka balutan
luka yang dilanjutkan pencucian luka. Langkah ini mengawali perawatan
luka sebelum dilakukan pengkajian luka. Pencucian luka merupakan
salah satu hal yang sangat penting dalam perawatan luka. Pencucian
luka dibutuhkan untuk membersihkan luka dari mikroorganisme, benda
asing, jaringan mati selain itu pencucian luka dapat memudahkan
perawat dalam melakukan pengkajian luka sehingga perawat dapat
dengan tepat menentukan tujuan perawatan luka dan pemilihan balutan.
Pencucian luka yang baik dan benar akan mengurangi waktu perawatan
luka atau mempercepat proses penyembuhan luka. Begitu pentingnya
pencucian luka ini sehingga harus mendapat perhatian khusus dari
seorang perawat luka. Walaupun demikian, perawat harus berhati-hati
dalam pemilihan cairan pencuci luka karena tidak semua cairan pencuci
luka baik dan tepat untuk setiap luka sama halnya dengan pemilihan
balutan. Pemilihan cairan pencuci luka berdasarkan kondisi luka dan
tujuan pencucian luka ini, jangan sampai pencucian luka yang
dilakukan mengganggu proses penyembuhan luka itu sendiri. Bila
tujuannya untuk mengatasi infeksi maka cairan pencuci dapat
memakai antiseptik, bila untuk menghilangkan benda asing beri
H2O2 dst, dan tidak berlaku untuk luka akut tanpa infeksi, atau luka
granulasi.
Tujuan Pencucian
1. Membersihkan jaringan nekrotik,
2. Membuang dan mengurangi jumlah bakteri,
3. Membuang eksudat purulent,
4. Melembabkan luka,
5. Memelihara kebersihan jaringan kulit sekitar luka
Gambar 4. Pencucian luka
Macam-macam Cairan Pencuci luka
Cairan Pencuci luka apa saja dapat di jadikan cairan pencuci luka, yang
terpenting seorang perawat harus mengetahui apa kandungan cairan itu
dan apakah sesuai dengan tujuan pencucian luka yg dilakukan. Berikut
cairan pencuci luka menurut Carville K
-- Normal Saline
-- Chlorhexidine Gluconate
-- Centrimide (Savlon)
-- Tap water,
-- Larutan ringer lactat,
-- Hypochlorous acid,
-- Polyhexamethylene biguanide (PHMB)
-- Natrium hipoklorit (NaClO),
-- Electrolyzed strong water acid ( ESWA)
-- Hydrogen Peroxide
-- Povidone Iodine
-- Trisdine
-- Varidase Topical
-- Elase
-- Cadexomer Iodine Ointment
Namun di Indonesia sesungguhnya banyak herbal/tanaman yang
memiliki effect yang baik dalam pencucian luka misalnya; air rebusan
daun jambu biji, air rebusan daun sirih dll dipercaya memiliki efek
antiseptik atau memberikan respon pada beberapa jenis bakteri.
Teknik Pencucian Luka
1. Swabing dan Scrubing
Teknik swabing (usap) dan scrubing (gosok) sering dilakukan pada
luka akut atau kronis. Teknik swabing dan scrubing memungkinkan
untuk melepaskan kotoran yang menempel pada luka dengan
mudah. Namun teknik ini tidak di anjurkan pada luka yang granulasi
karena dapat merusak proses proliferasi jaringan.
2. Penyiraman, Irigasi
Teknik penyiraman (showering) adalah teknik pencucian yang paling
sering dipakai . Tekanan yang tepat pada penyiraman, dapat
mengangkat bakteri yang ada pada luka, dapat mengurangi
kejadian trauma, dan dapat juga mencegah terjadinya infeksi silang.
Sedangkan teknik irigasi dilakukan pada luka yang memiliki rongga
atau luka yang ada pada rongga tubuh misalnya, mulut, hidung,
servix dan lain-lain.
3. Rendam
Teknik perendaman biasanya dilakukan pada luka dengan balutan
yang melekat. Teknik ini dapat mengurangi nyeri saat pelepasan
balutan. Teknik ini juga dilakukan pada daerah-daerah yang sukar di
jangkau dengan pinset
Model dan seni perawatan luka sesungguhnya telah lama di
kembangkan yaitu sejak jaman pra sejarah dengan pemanfaatan bahan
alami yang diturunkan dari generasi ke generasi berikutnya, yang
akhirnya perkembangan perawatan luka menjadi modern seiring
ditemukannya ribuan balutan untuk luka. Menurut Carville (1998) tidak
ada satu jenis balutan yang cocok atau sesuai untuk setiap jenis luka.
Pernyataan ini menjadikan kita harus dapat memilih balutan yang tepat
untuk mendukung proses penyembuhan luka. Pemilihan balutan luka
yang baik dan benar selalu berdasarkan pengkajian luka. Sehingga
pengkajian luka hendaknya dilakukan secara komprehensif dan
sistematis.
Tujuan Pengkajian
-- Mendapatkan informasi yang relevan tentang pasien dan luka
-- Memonitor proses penyembuhan luka
-- Menentukan program perawatan luka pada pasien
-- Mengevaluasi keberhasilan perawatan
Pengkajian Riwayat Pasien
Pengkajian luka harusnya dilakukan secara holistic yang bermakna
bahwa pengkajian luka bukan hanya menentukan mengapa luka itu ada
namun juga menemukan berbagai factor yang dapat menghambat
penyembuhan luka. (Carvile K 1998). Faktor –faktor penghambat
penyembuhan luka didapat dari pengkajian riwayat penyakit klien. Faktor
yang perlu diidentifikasi antara lain :
1. Faktor Umum
-- Usia
-- Penyakit Penyerta
-- Vaskularisasi
-- Status Nutrisi
-- Obesitas
-- Gangguan Sensasi atau mobilisasi
-- Status Psikologis
-- Terapi Radiasi
-- Obat-obatan
2. Faktor Lokal
-- Kelembaban luka
-- Penatalaksanaan manajemen luka
-- Suhu Luka
-- Tekanan, Gesekan dan Pergeseran
-- Benda Asing
-- Infeksi Luka
Sedangkan pada penatalaksanaan perawatan luka perawat harus
mengevaluasi setiap pasien dan lukanya melalui pengkajian terhadap :
-- Penyebab luka (trauma, tekanan, diabetes dan insuffisiensi vena)
-- Riwayat penatalaksanaan luka terakhir dan saat ini
-- Usia pasien
-- Durasi luka; akut (<12 minggu) atau kronis (> 12 minggu)
-- Kecukupan saturasi oksigen
-- Identifikasi faktor-faktor sistemik yang mempengaruhi penyembuhan
luka; obat-obatan (seperti prednison, tamoxifen, NSAID) dan data
laboratorium ( kadar albumin, darah lengkap dengan diferensial,
hitung jumlah limposit total)
-- Penyakit akut dan kronis, kegagalan multi sistem: penyakit jantung,
penyakit vaskuler perifer, anemia berat, diabetes, gagal ginjal,
sepsis, dehidrasi, gangguan pernafasan yang membahayakan,
malnutrisi atau cachexia
-- Faktor-faktor lingkungan seperti distribusi tekanan, gesekan dan
shear pada jaringan yang dapat menciptakan lingkungan yang
meningkatkan kelangsungan hidup jaringan dan mempercepat
penyembuhn luka. Observasi dimana pasien menghabiskan harinya;
ditempat tidur,? Dikursi roda?. Apakah terjadi shearing selama
memindahkan pasien dari tempat yang satu ketempat lainnya?
Apakah sepatu pasien terlalu ketat,? Apakah pipa oksigen pasien
diletakkan di atas telinga tanpa diberi alas?
Menurut Carville (1998), Pengkajian luka meliputi :
1. Type/jenis luka
2. Type Penyembuhan
3. Kehilangan jaringan
4. Penampilan klinis
5. Lokasi
6. Ukuran Luka
7. Eksudasi
8. Kulit sekitar luka
9. Nyeri
10. Infeksi luka
11. Implikasi psikososial
1. Jenis Luka
a. Luka akut yaitu berbagai jenis luka bedah yang sembuh melalui
intensi primer atau luka traumatik atau luka bedah yang sembuh
melalui intensi sekunder dan melalui proses perbaikan yang
tepat pada waktu dan mencapai hasil pemulihan integritas
anatomis sesuai dengan proses penyembuhan secara fisiologis.
b. Luka kronik, adalah terjadi bila proses perbaikan jaringan tidak
sesuai dengan waktu yang telah diperkirakan dan
penyembuhannya mengalami komplikasi, terhambat baik oleh
faktor intrinsik maupun ekstrinsik yang berpengaruh kuat pada
individu, luka atau lingkungan. Atau dapat dikatakan bahwa luka
kronis merupakan kegagalan penyembuhan pada luka akut.
2. Type Penyembuhan
a. Primary Intention, Jika ada kehilangan jaringan minimal
dan kedua tepi luka dirapatkan baik dengan suture (jahitan), clips
atau tape (plester). Tipe penyembuhan ini umumnya, jaringan
parut yang dihasilkan minimal.
b. Delayed Primary Intention, Jika luka terinfeksi atau
mengandung benda asing dan membutuhkan pembersihan
intensif, selanjutnya ditutup secara primer pada 3-5 hari
kemudian.
c. Secondary Intention, penyembuhan luka terlambat dan terjadi
melalui proses granulasi, kontraksi dan epithelization. Jaringan
parut cukup luas.
d. Skin Graft, Skin graft tipis dan tebal dipakai untuk
mempercepat proses penyembuhan dan mengurangi resiko
infeksi.
e. Flap, Pembedahan relokasi kulit dan jaringan subcutan pada
luka yang berasal dari jaringan terdekat.
3. Kehilangan jaringan.
Kehilangan jaringan menggambarkan kedalaman kerusakan
jaringan atau berkaitan dengan stadium kerusakan jaringan kulit.
a. Superfisial. Luka sebatas epidermis.
b. Parsial ( Partial thickness ). Luka meliputi epidermis dan dermis.
c. Penuh ( Full thickness ). Luka meliputi epidermis, dermis dan
jaringan subcutan. Mungkin juga melibatkan otot, tendon dan
tulang.
Atau dapat juga digambarkan melalui beberapa stadium luka
(Stadium I – IV ).
a. Stage I : Lapisan epidermis utuh, namun ada erithema atau
perubahan warna.
b. Stage II : Kehilangan kulit superfisial dengan kerusakan lapisan
epidermis dan dermis. Erithema dijaringan sekitar yang nyeri,
panas dan edema. Exudte sedikit sampai sedang mungkin ada.
c. Stage III : Kehilangan sampai dengan jaringan subcutan, dengan
terbentuknya rongga (cavity), ada exudat sedang sampai
banyak.
d. Stage IV : Hilangnya jaringan subcutan dengan terbentuknya
(cavity), yang melibatkan otot, tendon dan/atau tulang.
Terdapat exudate sedang sampai banyak.
4. Penampilan Klinik
Tampilan klinis luka dapat di bagi berdasarkan warna dasar luka
antara lain :
a. Hitam atau Nekrotik yaitu eschar yang mengeras dan nekrotik,
mungkin kering atau lembab.
b. Kuning atau Sloughy yaitu jaringan mati yang fibrous, kuning
dan slough.
c. Merah atau Granulasi yaitu jaringan granulasi sehat.
d. Pink atau Epithellating yaitu terjadi epitelisasi.
e. Kehijauan atau terinfeksi yaitu ada tanda-tanda klinis
infeksi seperti nyeri, panas, bengkak, kemerahan dan
peningkatan exudate.
5. Lokasi
Lokasi atau posisi luka, dihubungkan dengan posisi anatomis tubuh
dan mudah dikenali di dokumentasikan sebagai referensi utama.
Lokasi luka mempengaruhi waktu penyembuhan luka dan jenis
perawatan yang diberikan. Lokasi luka di area persendian
cenderung bergerak dan tergesek, mungkin lebih lambat sembuh
karena regenerasi dan migrasi sel terkena trauma (siku, lutut, kaki).
Area yang rentan oleh tekanan atau gaya lipatan (shear force ) akan
lambat sembuh (pinggul, bokong), sedangkan penyembuhan
meningkat diarea dengan vaskularisasi baik (wajah).
6. Ukuran Luka
Dimensi ukuran meliputi ukuran panjang, lebar, kedalaman atau
diameter ( lingkaran ). Pengkajian dan evaluasi kecepatan
penyembuhan luka dan modalitas terapi adalah komponen penting
dari perawatan luka.
Semua luka memerlukan pengkajian 2 dimensi pada luka terbuka
dan pengkajian 3 dimensi pada luka berrongga atau berterowongan
a. Pengkajian dua dimensi.
Pengukuran superfisial dapat dilakukan dengan alat seperti
penggaris untuk mengukur panjang dan lebar luka. Jiplakan
lingkaran (tracing of circumference) luka direkomendasikan
dalam bentuk plastik transparan atau asetat sheet dan memakai
spidol.
b. Pengkajian tiga dimensi.
Pengkajian kedalaman berbagai sinus tract internal memerlukan
pendekatan tiga dimensi. Metode paling mudah adalah
memakai instrumen berupa aplikator kapas lembab steril
atau kateter/baby feeding tube. Pegang aplikator dengan ibu jari
dan telunjuk pada titik yang berhubungan dengan batas tepi luka.
Hati-hati saat menarik aplikator sambil mempertahankan posisi
ibu jari dan telunjuk yang memegangnya. Ukur dari ujung
aplikator pada posisi sejajar dengan penggaris sentimeter (cm).
Melihat luka ibarat berhadapan dengan jam. Bagian atas luka
(jam 12) adalah titik kearah kepala pasien, sedangkan bagian
bawah luka (jam 6) adalah titik kearah kaki pasien. Panjang dapat
diukur dari ” jam 12 – jam 6 ”. Lebar dapat diukur dari sisi ke sisi
atau dari ” jam 3 – jam 9 ”.
Gambar 5 Contoh Pengukuran dua dimensi dan tiga dimensi
7. Exudate.
Hal yang perlu dicatat tentang exudate adalah jenis, jumlah, warna,
konsistensi dan bau.
a. Jenis Exudate
-- Serous – cairan berwarna jernih.
-- Hemoserous – cairan serous yang mewarna merah terang.
-- Sanguenous - cairan berwarna darah kental/pekat.
-- Purulent – kental mengandung nanah.
b. Jumlah, Kehilangan jumlah exudate luka berlebihan, seperti
tampak pada luka bakar atau fistula dapat mengganggu
keseimbangan cairan dan memicu gangguan elektrolit.
Kulit sekitar luka juga cenderung maserasi jika tidak
menggunkan balutan atau alat pengelolaan luka yang tepat.
c. Warna,Ini berhubungan dengan jenis exudate namun juga
menjadi indikator klinik yang baik dari jenis bakteri yang ada
Pengukuran dua dimensi (tidak ada rongga)
Luas luka 15 cm x 12 cm 12 cm
15 cm
Pengukuran tiga dimensi (ada rongga)
Luas luka 15 cm(P) x 12 cm(L) x 2 cm(T),
dengan goa/undermining pkl. 12 – 05 + 5 cm
pada luka terinfeksi (contoh, pseudomonas aeruginosa yang
berwarna hijau/kebiruan).
d. Konsistensi, Ini berhubungan dengan jenis exudate, sangat
bermakna pada luka yang edema dan fistula.
e. Bau, Ini berhubungan dengan infeksi luka dan kontaminasi luka
oleh cairan tubuh seperti faeces terlihat pada fistula. Bau
mungkin juga berhubungan dengan proses autolisis jaringan
nekrotik pada balutan oklusif (hidrocolloid).
8. Kulit sekitar luka.
Inspeksi dan palpasi kulit sekitar luka akan menentukan apakah ada
sellulitis, edema, benda asing, ekzema, dermatitis kontak atau
maserasi. Vaskularisasi jaringan sekitar dikaji dan batas-batasnya
dicatat. Catat warna, kehangatan dan waktu pengisian kapiler jika
luka mendapatkan penekanan atau kompresi. Nadi dipalpasi
terutama saat mengkaji luka di tungkai bawah. Penting untuk
memeriksa tepi luka terhadap ada tidaknya epithelisasi dan/atau
kontraksi.
9. Nyeri.
Penyebab nyeri pada luka, baik umum maupun lokal harus
dipastikan. Apakah nyeri berhubungan dengan penyakit,
pembedahan, trauma, infeksi atau benda asing. Atau apakah nyeri
berkaitan dengan praktek perawatan luka atau prodak yang dipakai.
Nyeri harus diteliti dan dikelola secara tepat.
10. Infeksi luka
Infeksi klinis dapat didefinisikan sebagai ”pertumbuhan organisme
dalam luka yang berkaitan dengan reaksi jaringan”. (Westaby 1985).
Reaksi jaringan tergantung pada daya tahan tubuh host terhadap
invasi mikroorganisme. Derajat daya tahan tergantung pada faktor-
faktor seperti status kesehatan umum, status nutrisi, pengobatan
dan derajat kerusakan jaringan. Infeksi mempengaruhi
penyembuhan luka dan mungkin memicu dehiscence,
eviserasi, perdarahan dan infeksi sistemik yang mengancam
kehidupan. Secara reguler klien diobservasi terhadap adanya tanda
dan gejala klinis infeksi sistemik atau infeksi luka.
Berdasarkan kondisi infeksi, luka diklasifiksikan atas:
a. Bersih. Tidak ada tanda-tanda infeksi. Luka dibuat dalam
kondisi pembedahan yang aseptik, tidak termasuk pembedahan
pada sistem perkemihan, pernafasan atau pencernaan.
b. Bersih terkontaminasi. Luka pembedahan pada sistem
perkemihan, pernafasan atau pencernaan. Luka terkontaminasi
oleh flora normal jaringan yang bersangkutan namun tidak ada
reaksi host.
c. Kontaminasi. Kontaminasi oleh bakteri diikuti reaksi host namun
tidak terbentuk pus/nanah.
d. Infeksi. Terdapat tanda-tanda klinis infeksi dengan peningkatan
kadar leukosit atau makrophage.
11. Implikasi Psikososial.
Efek psikososial dapat berkembang luas dari pengalaman perlukaan
dan hadirnya luka. Kebijaksanaan dan pertimbangan harus
dipakai dalam pengkajian terhadap masalah potensial atau aktual
yang berpengaruh kuat terhadap pasien dan perawatnya dalam
kaitannya terhadap;
-- Harga diri dan Citra diri.
-- Perubahan fungsi tubuh.
-- Pemulihan dan rehabilitasi.
-- Issue kualitas hidup.
-- Peran keluarga dan sosial.
-- Status finansial.
Luka kronis di abdomen dengan ukuran 26 x 23 cm, dengan goa pkl 01 –
05 + 4 cm, warna dasar luka nekrotik (hitam) 40 %, Slough (kuning) 60
%, exudate sedang purulent ... cc, bau (+), kulit sekitar luka kering, nyeri
dg skala...., terkontaminasi kuman..... (setelah kultur)
Gambar 6 Contoh Pengkajian luka
C. PEMILIHAN BALUTAN
Luka memicu desintegrasi dan discontuinitas dari jaringan
kulit. Sebagai akibatnya fungsi kulit dalam memproteksi jaringan
yang ada di bawahnya menjadi terganggu. Kulit sama seperti baju
yakni memberikan perlindungan bagi jairngan yang ada di bawahnya
dari paparan secara fisik, mekanik, biologis maupun kimiawi dari
lingkungan eksternal.
Oleh karena itu tujuan utama dari balutan luka (wound dresssing)
adalah menciptakan lingkungan yang kondusif dalam mendukung
proses penyembuhan luka. Seperti baju yang memiliki ukuran, corak,
dan warna, balutan luka (wound dressing) bersifat individual
bergantung pada karakteristik dari luka itu sendiri.
Di negara-negara yang sudah maju mereka tidak lagi
memakai dressing seperti rivanol, larutan iodine povidine 10 %
yang diencerkan dan lain sebagainya. Mereka sudah memakai
advanced dressing yang memiliki fungsi mempertahankan
kelembaban pada luka sehingga memicu perbaikan jaringan.
MENGAPA LUKA HARUS DIBALUT
Ada beberapa alasan mengapa luka harus dibalut, diantaranya:
a. Menciptakan lingkungan yang mendukung penyembuhan.
b. Mendukung rasa nyaman bagi pasien.
c. Untuk melindungi luka dan kulit sekitarnya.
d. Untuk mengurangi nyeri.
e. Mempertahankan temperatur luka.
f. Mengontrol dan mencegah perdarahan.
g. Mengontrol dan mencegah bau.
h. Menampung eksudat.
i. Untuk mencegah pergerakan pada bagian tubuh yang
cedera.
j. Memberikan ‘compressi’ pada perdarahan atau statis vena.
k. Mencegah dan mengatasi infeksi pada luka.
l. Mengurangi penderitaan bagi klien.
JENIS-JENIS TOPIKAL TERAPI
a. Hidrofobik.
Pengertian.
Terbuat dari katun yang mengandung bahan aktif
dialcylcarbamoil chloride (DACC) yang bersifat hidrofobik
kuat. Sifat ini sama dengan karakteristik bakteri sehingga
diharapkan dapat terjadi ikatan secara fisika dan dengan
pergantian dressing, bakteri yang ada di permukaan luka
juga terangkat.
Kelebihan:
-- Mengikat mikroorganisme pada luka sehingga
meminimalkan kolonisasi yang pada akhirnya
mencegah/meminimalkan resiko infeksi.
-- Tidak menimbulkan resistensi.
-- Tidak bersifat sitotoksik utamanya bagi jaringan granulasi.
-- Tidak menimbulkan alergi.
Kekurangan:
-- Tidak dapat menyerap eksudat banyak.
-- Biasanya membutuhkan secondary dressing.
Contoh Produk:
-- Cutimed Sorbact Dressing Pad (BSN Medical).
-- Cutimed Sorbact Ribbon Gauze (BSN Medical).
-- Cutimed Sorbact Swab (BSN Medical).
-- Cutimed Sorbact Tupfers (BSN Medical).
b. Natural Fibre Dry Dressing.
Pengertian.
Pembalut luka ini terbuat dari kapas, kasa, atau kombinasi
keduanya. Kasa sudah lama dikenal oleh semua tenaga
kesehatan sebagai balutan sejak lama. ekonomis membuat
kasa menjadi primadona, namun akhir-akhir ini ratingnya
mulai menurun tergantikan oleh modern dressing.
Kelebihan:
-- Mengabsorbsi dan melindungi.
-- Menciptakan lingkungan yang kering pada luka (bila
dibutuhkan).
-- Dapat dipakai untuk mengompres basah luka.
Kekurangan:
-- Sangat jauh dari kriteria balutan ideal.
-- Tidak cocok untuk luka pada dermisd dan sub cutis.
-- Serpihan katun dapat menjadi benda asing yang
menghambat penyembuhan luka.
Contoh Produk:
-- Kapas.
-- Kasa/gauze.
c. Semipermeable Film Dressing.
Pengertian.
Dilapisi dengan bahan perekat, tipis, tranparan, mengandung
polyurethane film. Permeabel terhadap gas, tapi
impermeabel terhadap cairan dan bakteri, mendukung
kelembaban termasuk pada ‘nerve endings’ sehingga
mengurangi nyeri, dan yang paling penting adalah
memudahkan inspeksi pada luka.
Kelebihan:
-- Permeabel terhadap gas.
-- Impermeabel terahdap cairan dan bakteri.
-- Mengurangi nyeri sebab ujung saraf dipertahankan tetap
lembab.
-- Memudahkan inspeksi luka.
Kekurangan:
-- Tidak dapat menyerap eksudat.
-- Tidak cocok untuk luka dengan eksudat sedang hingga
banyak.
-- Bila tidak-hati-hati saat melepaskan dapat merusakn
jaringan.
Contoh Produk:
-- Leukomed T (BSN Medical).
-- Opsite (Smith & Nepehew).
-- EpiVIEW (ConvaTEC).
d. Foam Dressing.
Pengertian.
Mengandung Polyurethane foam, tersedia dalam kemasan
sheets (lembaran) atau ‘cavity filling’. Dressing ini sangat
cocok dipakai pada luka dengan ‘severe’ hingga ‘high
eksudat’.
Kelebihan:
-- Mendukung suasana lembab pada luka.
-- Daya serap tinggi.
-- Dapat mengikuti kontur permukaan kulit.
Kekurangan:
-- Tidak memngkinkan terjadinya autulysis debridement.
Contoh Produk:
-- Allevyn (Smith & Nephew).
-- Hydrasorb (ConvaTEC).
e. Hydrocolloids.
Pengertian.
Balutan ini mengandung partikel hydroactive (hydrophilic)
yang terikat dalam polymer hydrophobic. Partikel
hydrophilic-nya mengabsorbsi kelebihan kelembaban pada
luka dan menkonversikannya ke dalam bentuk gel.
Hydrogel dapat bertahan 5-7 hari bergantung karakter
eksudat.
Kelebihan:
-- Partikel hydroaktifnya dapat menyerap eksudat.
-- Membentuk gel pada permukaan luka sehingga
menciptakan suasana lembab.
-- Mengurangi frekuensi balutan sebab dapat bertahan
5-7 hari.
Kekurangan:
-- Tidak direkomendasikan untuk luka yang terinfeksi
bakteri anerob.
-- Melengket, sehingga harus hati-hati saat dipakai
pada tepi luka yang mudah terkelupas.
-- Kurang cocok untuk luka dengan cavity.
Contoh Produk:
-- DuoDERM (ConvaTec).
-- Aquacell Hydrofiber (ConvaTec).
-- Comfeel (Coloplst).
f. Hydrogels.
Pengertian.
Salah satu contoh colloid yang berbahan dasar gliserin
atau air mengembang dalam air (exudat luka). Mirip
dengan hydrocolloid tapi dalam bentuk gel.
Kelebihan:
-- Bekerja sebagai autolitik debridemen.
-- Menciptakan suasana yang lembab pada luka.
-- Mengabsorbsi eksudat.
Kekurangan:
-- Amphorous gel tidak boleh dipakai pada sinus
yang belum jelas dasarnya.
-- Biasanya membuthkan balutan sekunder.
-- Dapat terjadi maserasi disekitar kulit luka.
Contoh Produk:
-- Cutimed Gel (BSN Medical).
-- Intrasite Gel (Smith & Nephew).
-- DuoDERm Gel (ConvaTEC).
g. Calcium Alginate.
Pengertian.
Terbuat dari polysakarida rumput laut (seawed
polysacharida), dapat menghentikan perdarahan minor
pada luka, tidak lengket, menyerap eksudat dan berubah
menjadi gel bila kontak dengan cairan tubuh.
Kelebihan:
-- Menghentikan perdarahan minor pada luka.
-- Mempertahankan ujung saraf lembab sehinga
mengurangi nyeri.
-- Dapat menyerap eksudat minimal hingga sedang.
Kekurangan:
-- Biasanya membutuhkan secondary dressing.
-- Kadang sulit membedakan antara pus dengan gel
alginate yang terbentuk.
-- Tidak cocok untuk luka kering.
Contoh Produk:
-- Kaltostat (ConvaTEC).
-- Algisite (Smith & Nephew).
-- Comfeel Seasorb (Coloplast).
h. Silver Dressing
a. Pengertian.
Silver dressing cocok dipakai untuk luka kronis yang tak
kunjung sembuh. Memiliki kemampuan dalam
mengendalikan kolonisasi bakteri pada permukaan luka
sehingga mempercepat reephitelisasi hingga 40 %
dibanding penggunaan cairan antibiotik.
b. Kelebihan:
-- Efektif membunuh bakteri termasuk biofilm
-- Memiliki efek sitotoksik yang kuat
c. Kekurangan:
-- Penggunaan yang lama dapat memicu
kerusakan fibroblast
-- Menghambat proses granulasi dan proliferasi sel
d. Contoh Produk:
-- Acticoat (Smith & Nephew).
TOPIKAL TERAPI YANG IDEAL
Bagaimana memilih topikal terapi yang ideal, disinilah dibutuhkan
kecakapan seorang perawat dalam memilih balutan yang ideal.
Bukan hanya gambaran klinis luka yang perlu dipertimbangan tapi
juga aspek lain seperti estetika, kosmetika, kondisi ekonomi klien,
dll. Menurut Keryln Carville dalam bukunya ‘Wound Care Manual’
menetapkan 15 kriteria Balutan luka yang ideal, yaitu:
a. Mengeluarkan kelebihan eksudat.
b. Mempertahankan kelembaban dalam penyembuhan luka.
c. Memungkinkan pertukaran gas.
d. Mendukung isolasi thermal dari luka.
e. Sebagai barrier terhadap kuman patogen.
f. Mencegah infeksi.
g. Tidak meninggalkan serat atau substansi toksis bagi
penyembuhan luka.
h. Tidak menimbulkan sensitifitas atau reaksi alergi.
i. Pelindung dari trauma mekanik seperti tekanan, tarikan atau
gesekan.
j. Mudah dilepaskan tapi tidak menimbulkan trauma jaringan.
k. Mudah di aplikasikan.
l. Nyaman dipakai .
m. Mengikuti contour tubuh.
n. Tidak mengganggu fungsi tubuh.
o. Cost effective.
Luka akut adalah luka yang sembuh sesuai dengan fisiologis proses
penyembuhan luka. Tiap fisiologis proses penyembuhan luka memiliki
waktu penyembuhannya yaitu; tahap inflamasi selama saat cedera
sampai tiga atau lima hari, tahap proliferasi mulai hari pertama sampai
21 hari dan maturasi dari hari ke-21 sampai dua tahun
Waktu fisiologis proses penyembuhan luka ini dilalui oleh luka akut.
Luka akut dapat dibagi berdasarkan penyebabnya yaitu; luka yang
direncanakan dan luka tidak direncanakan. Luka akut yang direncanakan
cenderung dilakukan di ruang yang steril dan sudah dipersiapkan seperti
pada luka paska pembedahan. Luka yang tidak direncanakan terjadi
secara tiba-tiba akibat trauma tumpul atau tajam yang cenderung
terkontaminasi dengan lingkungan luar. Kedua penyebab luka akut
ini memiliki prinsip manajemen yang berbeda Luka
akut ini juga dapat berisiko terjadi infeksi 2%-5% seperti surgical
site infection (SSI) atau infeksi daerah operasi (IDO) jika tidak
mendapatkan perawatan luka yang tepat
Komplikasi lainnya yang dapat terjadi pada luka akut, antara lain;
perdarahan, dehisen, hipertropik scar dan lainnya.
1. Deskripsi Luka Akut
Luka akut sembuh sesuai dengan fisiologis proses penyembuhan
luka. Penyembuhan luka akut paska pembedahan membutuhkan
waktu untuk migrasi sel epitel melewati sisi luka selama 48 jam
(Carvile, 2007). Selama proses penyembuhan luka akut
membutuhkan lingkungan luka yang optimal yaitu lingkungan luka
moist atau lembab. Luka akut dapat sembuh sekitar 4-14 hari dalam
lingkungan luka optimal (Hess, 1999; Gabriel, 2015). Luka akut dapat
sembuh memakai tipe penyembuhan primer atau sekunder
bahkan tersier jika ada infeksi atau benda asing. Tipe penyembuhan
dapat dibagi menjadi tiga, yaitu;
a. Tipe penyembuhan primer; luka akut yang sembuh dibantu
dengan jahitan atau memakai tape (plaster) atau glue (lem)
b. Tipe penyembuhan sekunder; luka akut yang sembuh dengan
mendukung pertumbuhan jaringan granulasi dari dasar luka
c. Tipe penyembuhan tersier; luka akut yang sembuh dengan
menghilangkan benda asing atau infeksi terlebih dahulu sebelum
dilakukan tipe penyembuhan primer atau sekunder.
2. Manajemen Perawatan Luka Akut
Manajemen perawatan luka akut akibat trauma (tidak direncanakan)
dan paska pembedahan (direncanakan) memiliki prinsip yang
berbeda. Fokus manajemen pada luka paska trauma adalah
menstabilisasi keseimbangan tubuh (homeostasis) akibat dari
perdarahan atau kekurangan cairan dan lainnya. Fokus manajemen
pada luka akut akibat pembedahan adalah untuk mencegah infeksi.
Berikut manajemen perawatan luka akut akibat trauma dan paska
pembedahan
a. Manajemen luka akut paska trauma
-- Mengembalikan dan mempertahankan homeostasis tubuh
-- Mengkaji derajat dan tipe jaringan yang mengalami trauma.
-- Melakukan pencucian luka, debridemen dan cegah infeksi
-- memakai teknik aseptik sesuai indikasi
-- Menghindari komplikasi paska trauma seperti perdarahan
dan adanya benda asing
-- Mengembalikan fungsi bagian tubuh yang mengalami trauma
-- Mendukung proses pemulihan dan rehabilitasi kembali ke
aktivitas sehari-hari sesuai kemampuan
b. Manajemen luka akut paska pembedahan
-- Mencegah infeksi
-- memakai teknik aseptik untuk 48 jam pertama sampai
epitelisasi primer muncul
-- Melindungi luka dari trauma dan dukung tipe penyembuhan
primer dengan penggunaan dressing yang tepat
-- Menghindari komplikasi pembedahan seperti infeksi,
hematoma dan dehisense
-- Mendukung proses pemulihan dan rehabilitasi kembali ke
aktivitas sehari-hari sesuai kemampuan
3. Pemilihan Balutan Luka Akut
Balutan dalam perawatan luka akut harus dapat mendukung
fisiologis proses penyembuhan luka. Balutan luka akut harus dapat
melindungi luka atau proses migrasi sel epitel yang berlangsung
selama 48 jam dari trauma fisik, termal ataupun kimiawi. Carvile
(2007) menyatakan pada luka paska pembedahan membutuhkan
balutan ideal yang mendukung proses epitelisasi, seperti melindungi
luka dari invasi patogen dan trauma fisik, menyerap eksudat yang
diantisipasi, mempertahankan suhu dan pH lingkungan luka.
Beberapa balutan yang dapat direkomendasikan pada luka akut
antara lain;
a. Kasa non adeheren
Kasa non adeheren berbeda dengan kasa biasanya karena tidak
melekat pada luka. Bahan polyester film yang menempel pada
dasar luka tidak memicu lengket sehingga mudah dibuka
dan mencegah trauma pada saat mengganti balutan. Beberapa
kasa non adeheren digabung (impregnated) dengan plester atau
transparan film untuk memberikan perlindungan pada luka.
Contoh produk kasa non adeheren; melolin, telfa, interpose dan
lainnya.
b. Tulle grass
Mengandung serabut cotton yang bergabung (impregnated)
dengan paraffin atau antimicrobial seperti neomycin, silver dan
lainnya. Tulle grass hanya dapat dipakai pada stadium luka I
dan II sehingga tidak melekat pada luka. Tulle grass dapat
dipakai pada luka akut paska pembedahan atau trauma
seperti abrasi. Contoh produk; lomatulle, sufratulle, bactigrass,
urgotulle dan lainya.
c. Transparan film
Balutan yang mengandung polyurethane film. Balutan ini tidak
dapat menyerap eksudat akan tetapi mampu untuk mengatasi
tahap inflamasi pada luka akut. Balutan ini dapat berbentuk
lembaran atau spray. Contoh produk; tegaderm, modress
trasnparan film, flexifix, dan lainnya
d. Hidrokoloid
Balutan yang mengandung carboxylmethyl cellulosa (CMC) dan
gelatin atau rumput laut. Balutan ini dipakai untuk mengatasi
inflamasi pada luka akut dan memberikan perlindungan dari
trauma. Contoh balutan ini, yaitu: Hidrokoloid thin
e. Calcium Alginate
Mengandung polisakarida rumput laut yang mampu
mengeluarkan ion kalsium dalam proses menghentikan
perdarahan minor. Alginate berbentuk lembaran atau gel yang
dapat memberikan lingkungan luka lembab dengan menyerap
eksudat dari sedikit ke sedang. Alginate yang berbentuk
lembaran dapat berubah menjadi gel dan berwarna kehijauan.
f. Foam
Mengandung polyurethane foam untuk menyerap eksudat. Foam
dapat menyerap eksudat dari sedang sampai banyak. Balutan
foam juga dipakai untuk mencegah trauma fisik dari benturan
atau gesekan sehingga migrasi sel epitel tidak terganggu. Contoh
produk; allevyn, modress foam, pharmasuper foam, cutimed siltec
dan lainnya.
g. Antimikrobial
Balutan antimikrobial dapat diberikan jika ditemukan luka akut
yang berisiko infeksi. Pemberian balutan antimikrobial bukan
untuk mengatasi infeksi akan tetapi mengontrol dan mencegah
terjadinya infeksi. Antimikrobial yang dapat dipakai antara lain;
cadexomer iodine 0.9%, dialkylcarbamoyl chloride (DACC), silver
dan lainnya.
4. Prosedur Perawatan Luka Akut
Perawatan luka akut dimulai dari mengenal tanda gangguan
keseimbangan tubuh dan infeksi, mencuci luka, mengkaji luka dan
memasang balutan. Luka dengan trauma misalnya luka bakar atau
paska kecelakaan yang memicu kehilangan banyak cairan
perlu diperhatikan kepatenan jalan nafas, pernafasan dan sirkulasi.
Berbeda dengan luka akut paska pembedahan yang perlu
diperhatikan adanya tanda infeksi. Adanya tanda gangguan
keseimbangan cairan dan infeksi dapat membantu perawat
menentukan rencana perawatan luka yang terbaik. Berikut prosedur
perawatan luka akut;
a. Mengenal tanda gangguan keseimbangan tubuh dan infeksi
Carvile (2007) menyatakan prioritas pertama dalam manajemen
luka akut akibat trauma adalah mengembalikan keseimbangan
tubuh. Adanya trauma akibat kecelakaan dan mengenai
pembuluh darah atau tulang besar akan berisiko terjadi
perdarahan yang mana perlu dilakukan bebat tekan dan
resusitasi cairan. Begitu juga luka trauma akibat termal atau luka
bakar juga perlu di kaji adanya trauam inhalasi yang dapat
mengancam sumbatan jalan nafas serta kehilangan cairan yang
harus segera diatasi terlebih dahulu. Berbeda dengan luka paska
pembedahan yang perlu dikaji tanda infeksi yang dapat
mengganggu proses penyembuhan terutama proses migrasi sel
epitel dari tepi luka. Tanda gejala infeksi pada luka dapat dibagi
menjadi dua, yaitu;
-- Tanda gejala klasik infeksi, meliputi; nyeri, eritema, edema,
panas lokal dan eksudat purulen.
-- Tanda gejala spesifik infeksi meliputi; eksudat serous dengan
inflamasi menetap, penyembuhan luka terhambat, perubahan
warna jaringan granulasi, jaringan granulasi fragil atau rapuh,
bau busuk dan tepi luka terpisah
b. Pencucian luka
Mencuci luka memiliki tujuan untuk membersihkan luka dari
kotoran dan bau, mengurangi jumlah bakteri dan mendukung
proses penyembuhan luka. Luka akut akibat trauma perlu
dilakukan pencucian luka yang adekuat disertai debridemen
jaringan mati atau benda asing untuk menurunkan risiko infeksi
Pencucian luka yang paling aman
dapat memakai cairan fisiologis yaitu normal salin (Potter
and Perry, 2006). Jika luka berisiko infeksi maka dapat dicuci
memakai larutan antiseptik gentle yang mengandung
polyhexamethylene biguanide (PHMB) atau yang lainnya. Teknik
pembersihan dapat dilakukan dengan swab atau dengan irigasi.
Baranoski dan Ayello (2012) menyatakan bahwa irigasi
memakai spuit 12 cc dan jarum nomer 22 G dapat
menghasilkan tekanan sebesar 13 psi yang dapat dipakai
untuk mengangkat kotoran atau debris pada pencucian luka.
Teknik swab dan irigasi lebih sering dipakai pada luka akut
akibat trauma. Luka paska pembedahan lebih sering
memakai teknik swab atau gosokan memakai kasa
steril dari daerah yang terkontaminasi sedikit ke terkontaminasi
banyak (Potter dan Perry, 2006). Pada gambar 5 dapat dilihat
teknik swab atau mengusap luka paska pembedahan dan drain.
Pada saat pencucian luka dapat dipertimbangkan untuk
kolaborasi dalam pemberian analgetik karena beberapa kasus
luka akibat trauma cenderung mengalami nyeri hebat.
c. Mengkaji luka
Luka yang sudah dibersihkan akan memudahkan perawat untuk
melakukan pengkajian. Luka yang sudah dicuci akan memberikan
dasar luka yang lebih jelas untuk dapat dievaluasi dimensi luka,
derajat atau stadium luka, warna dasar luka, tipe jaringan, tepi
dan kulit sekitar luka dan tanda infeksi. Adanya warna dasar luka
hitam (nekrotik) atau kuning (slough) menandakan adanya
jaringan yang tidak sehat sehingga perlu direncanakan
debridemen untuk mempersiapkan dasar luka yang mendukung
proses penyembuhan luka. Hasil pengkajian luka yang tepat akan
memberikan rencana perawatan dan pemilihan balutan yang
efektif.
Gambar 7. Teknik Swab pada Luka Paska Pembedahan dan Drain
d. Memasang balutan
Balutan dipilih sesuai dengan hasil kajian luka yang telah
diperoleh. Balutan yang dipakai pada luka akut akibat
trauma lebih banyak memakai alginate untuk
menghentikan perdarahan atau tulle grass pada stadium 1
atau 2 yang mengandung antimikrobial untuk menurunkan
risiko infeksi. Jika ada jaringan mati atau benda asing yang
perlu diatasi maka dapat dipakai hidrogel yang mampu
mengangkat jaringan mati atau melakukan autolisis
debridemen. Pada luka paska pembedahan lebih banyak
dipakai kasa non adeheren atau adesif yang tidak
melekat pada luka dan dikombinasi dengan tulle grass atau
antimikroba serta ditutup memakai transparan film
yang anti air atau tape (plester). Pemilihan balutan
disesuaikan dengan tujuan pemilihan balutan dan
mempertimbangkan cost efektif (biaya) yang disesuaikan
dengan kemampuan pasien atau klien.
5. Komplikasi Luka Akut
Luka akut dapat terjadi komplikasi jika tidak mendapatkan
perawatan yang tepat. Beberapa komplikasi luka akut yang sering
ditemui adalah perdarahan, hematoma, dehisen, eviserasi,
hipersikatrik atau keloid (Carvile, 2007; Baranoski dan Ayello,
2012). Pada luka akut akibat trauma atau paska pembedahan lebih
sering terjadi hematoma atau perdarahan yang terjadi dalam waktu
24 jam (primer) atau lebih (sekunder) (Carvile, 2007). Teknik dan
prosedur perawatan luka serta pemilihan dressing yang tepat akan
membantu proses penyembuhan luka akut optimal dan mencegah
komplikasi.
Rangkuman
Luka akut adalah luka yang sembuh sesuai dengan fisiologis proses
penyembuhan luka. Luka akut dapat sembuh memakai tipe
penyembuhan primer, sekunder atau tersier. Fokus manajemen dalam
perawatan luka akut akibat trauma adalah resusitasi dan stabilisasi
kesembangan homeostasis. Luka paska pembedahan difokuskan pada
pencegahan infeksi. Balutan yang ideal untuk perawatan luka akut
adalah balutan yang dapat melindungi dari trauma, mampu mengontrol
eksudat dan menciptakan lingkungan luka lembab. Prosedur perawatan
luka akut dimulai dari mengkaji tanda gangguan homeostasis dan infeksi,
mencuci luka, mengkaji luka dan memasang balutan luka. Komplikasi
yang dapat terjadi pada luka akut diantaranya perdarahan, hematoma,
dan dehisen.
Latihan Soal LATIHAN
1. Jelaskan karakteristik luka akut
2. Jelaskan manajemen luka akut akibat trauma
3. Jelaskan manajemen luka akut paska pembedahan
4. Jelaskan prosedur perawatan luka akut
5. Jelaskan balutan yang dapat dipakai dalam perawatan luka akut
Tes Formatif
Seorang laki-laki berusia 20 tahun mengalami kecelakaan dan dibawa ke
IGD oleh petugas ambulan dengan keluhan ada luka pada dorsalis
pedis. Hasil pemeriksaan ditemukan adanya luka dengan dimensi 8 cm x
2 cm, permukaan tepi luka tidak rata, perdarahan minor, dan ada
butiran pasir pada dasar luka.
Apakah balutan yang tepat untuk menghentikan perdarahan minor ?
a. Hidrogel
b. Kalsium Alginate
c. Balutan Antimikrobial
d. Foam
e. Transparan film
B. MANAJEMEN LUKA KRONIS
Luka kronis merupakan jenis luka yang dapat dikatakan sebagai luka
yang proses penyembuhannya tidak terjadi secara fisiologis, atau luka
yang tidak sembuh dalam serangkaian tahapan yang teratur dan dalam
jumlah waktu yang dapat diprediksi seperti kebanyakan luka; luka yang
tidak kunjung sembuh dalam waktu tiga bulan seringkali dianggap kronis.
Luka kronis tampaknya tertahan dalam satu atau lebih fase
penyembuhan luka. Jenis luka kronik antara lain luka dekubitus, luka
diabetes, luka abses, luka akut yang gagal sembuh secara fisiologis dan
luka lainnya yang tidak termasuk luka akut. Pada modul ini akan di
bahas 2 macam luka yang sering terjadi di Indonesia yaitu luka dekubitus
dan luka diabetik.
Manajemen Luka Dekubitus
PENDAHULUAN
Luka dekubitus diidentikkan dengan luka tekan, luka gesekan atau luka
pergeseran akibat baring lama. Luka tekan atau luka dekubitus yang
terjadi pada klien selalu menjadi satu kesalahan perawat dalam
pemberian pelayanan keperawatan. Manusia kehilangan sekitar satu
gram sel kulit setiap harinya akibat gesekan kulit pada baju dan aktivitas
higiene yang dilakukan setiap hari seperti mandi, lulur penggunaan lotion
dan lain-lain.
Luka dekubitus juga dihubungkan dengan klien yang terjadi gangguan
neurologi seperti stroke, atau kondisi para plegi atau placid pada
ekstremitas sehingga klien tidak dapat melakukan mobilisasi. Di negara
maju angka dekubitus sudah sangat rendah walaupun jumlah klien
dengan immobilisasi banyak, hal ini di karenakan adanya perubahan
posisi sehingga tekanan pada tubuh pada satu area tubuh dapat
berganti, selain itu kualitas tempat tidur yang baik seperti “Big Cell” yang
didesain khusus untuk klien dekubitus. Dekubitus merupakan suatu hal
yang serius, dengan angka morbiditas dan mortalitas yang tinggi pada
penderita lanjut usia. Di negara-negara maju, prosentase terjadinya
dekubitus mencapai sekitar 11% dan terjadi dalam dua minggu pertama
dalam perawatan. Kejadian luka dekubitus di Indonesia 33,3 % (Suriadi,
2007) sedangkan di ASEAN (Jepang, Korea & Cina) berkisar 2,1 % s.d.
18 % sedangkan studi Internasional menyebutkan angka 1,9 % s.d 63,6
%
Di Negara kita terutama di Rumah sakit pemerintah, kualitas tempat tidur
belum mendukung untuk pencegahan atau terapi pada klien dengan
dekubitus, sehingga perawat dituntut untuk dapat melakukan modifikasi
agar resiko dekubitus dapat di cegah serta penderita dekubitus dapat
teratasi segera. Akhirnya angka kesakitan dan kematian akibat dekubitus
dapat di turunkan atau tidak ada kematian karena luka dekubitus.
Definisi
Luka Dekubitus adalah kerusakan/kematian kulit sampai jaringan
dibawah kulit, bahkan menembus otot sampai mengenai tulang akibat
adanya penekanan pada suatu area secara terus menerus dalam waktu
lama sehingga memicu gangguan sirkulasi darah setempat
(WOCN Society,2003 dalam Bryant, 2007)
Faktor Predisposisi Terjadinya Luka Dekubitus
Faktor Intrinsik
1. Usia
2. Kondisi Kulit
3. Mobilitas
4. Status Nutrisi
5. Perfusi Jaringan
Faktor Intrinsik
1. Tekanan, Geseran dan Gesekan
2. Kelembaban
3. Lokasi Penekanan
Gambar 8. Skema Konseptual Etiologi Dekubitus
Semua bagian tubuh manusia dapat mengalami dekubitus, namun
bagian bawah dari tubuhlah yang terutama beresiko tinggi dan
membutuhkan perhatian khsus.
Area yang biasa terjadi dekubitus adalah tempat diatas tonjolan tulang
dan tidak dilindungi oleh cukup dengan lemak sub kutan, misalnya
daerah sakrum, daerah trokanter mayor dan spina ischiadica superior
anterior, daerah tumit dan siku.
↓ Mobilitas
↓ Aktivitas
↓ Persepsi Sensori
Tekanan ↑
Perkembangan luka tekan Faktor Ekstrinsik
Faktor Intrinsik
↑ Kelembaban
↑ Gesekan
↑Tenaga yang merobek
Usia, kondisi kulit,
nutrisi, mobilitas, perfusi
jaringan
Toleransi jaringan ↓
Usia lanjut memiliki potensi besar untuk terjadi dekubitus karena
perubahan kulit berkaitan dengan bertambahnya usia antara lain:
-- Berkurangnya jaringan lemak subkutan
-- Berkurangnya jaringan kolagen dan elastin
-- Menurunnya efesiensi kolateral kapiler pada kulit sehingga kulit
menjadi lebih tipis dan rapuh.
TIPE ULKUS DEKUBITUS
Berdasarkan waktu yang diperlukan untuk penyembuhan dari suatu
ulkus dekubitus dan perbedaan temperatur dari ulkus dengan kulit
sekitarnya, dekubitus dapat dibagi menjadi tiga;
1. Tipe normal
Mempunyai beda temperatur sampai dibawah lebih kurang 2,5oC
dibandingkan kulit sekitarnya dan akan sembuh dalam perawatan
sekitar 6 minggu. Ulkus ini terjadi karena iskemia jaringan setempat
akibat tekanan, tetapi aliran darah dan pembuluh-pembuluh darah
sebenarnya baik.
2. Tipe arterioskelerosis
Mempunyai beda temperatur kurang dari 1oC antara daerah ulkus
dengan kulit sekitarnya. Keadaan ini menunjukkan gangguan aliran
darah akibat penyakit pada pembuluh darah (arterisklerotik) ikut
perperan untuk terjadinya dekubitus disamping faktor tekanan.
Dengan perawatan, ulkus ini diharapkan sembuh dalam 16 minggu.
3. Tipe terminal
Terjadi pada penderita yang akan meninggal dunia dan tidak akan
sembuh.
PATOFISIOLOGI TERJADINYA DEKUBITUS
Secara normal tekanan kapiler berkisar antara 16 mmHg-33 mmHg. Kulit
akan tetap utuh karena sirkulasi darah terjaga, bila tekanannya masih
berkisar pada batas-batas ini. Tekanan ini akan meningkat
terjadi kondisi tetap tekanan pada kulit, misalnya klien yang berbaring
lama / imobilisasi di atas kasur busa maka tekanan daerah sakrum akan
mencapai 60-70 mmHg dan daerah tumit mencapai 30-45 mmHg.
Tekanan akan menimbulkan daerah iskemik dan bila berlanjut terjadi
nokrosis jaringan kulit. Percobaan pada binatang didapatkan bahwa
sumbatan total pada kapiler masih bersifat reversibel bila kurang dari 2
jam. Seorang yang terpaksa berbaring berminggu-minggu tidak akan
mengalami dakubitus selama dapat mengganti posisi beberapa kali
perjammnya.
Selain faktor tekanan, ada beberapa faktor mekanik tambahan yang
dapat memudahkan terjadinya dekubitus yaitu pergeseran kulit dan
adanya gesekan antara kulit dan tempat tidur.
Sebagai tambahan dari shering forces ini, pergerakan dari tubuh diatas
alas tempatnya berbaring, dengan fiksasi kulit pada permukaan alas
akan memicu terjadinya lipatan-lipatan kulit (skin folding).
Terutama terjadi pada penderita yang kurus dengan kulit yang kendur.
Lipatan-lipatan kulit yang terjadi ini dapat menarik/mengacaukan
(distorsi) dan menutup pembuluh-pembuluh darah.
Sebagai tambahan dari efek iskemia langsung dari faktor-faktor diatas,
masih harus diperhatikan terjadinya kerusakan edotil, penumpukan
trombosit dan edema. Semua inidapat memicu nekrosis jarigan
akibat lebih terganggunya aliran darah kapiler. Bahan bila endotel yang
rusak memicu pembuluh darah mudah rusak bila terkena trauma.
Patofisiologi di tinjau dari respon seluler menurut Barbara Pieper
(2007) adalah ;
Gambar 9 Skema patofisiologi luka dekubitus
Pressure
Tissue Hypoksia
Pallor
Relief of pressure
Reaksi Hiperemia
pressure
Hypoksia Resolves
Resolution
Pressure Ulcer
Persistence Pressure
Tissue Ischemia
Metabolic wastes
accumulate tissue
Ischemia
Perfusion worsens
Edema
tissue
Increased protein
accumulation in
interstitial space
Leak of capillaries
because of
increased
permeability
Stadium Luka Dekubitus (Sanada, NPUAF Japan)
Derajat I Reaksi peradangan masih terbatas pada epidermis,
tampak sebagai daerah kemerahan/eritema indurasi
atau lecet.
Derajat II Reaksi yang lebih dalam lagi sampai mencapai
seluruh dermis hingga lapisan lemah subkutan,
tampak sebagai ulkus yang dangkal, degan tepi yang
jelas dan perubahan warna pigmen kulit.
Derajat III Ulkus menjadi lebih dalam, meliputi jaringan lemak
subkutan dan menggaung, berbatasan dengan fascia
dari otot-otot. Sudah mulai didapat infeksi dengan
jaringan nekrotik yang berbau.
Derajat IV Perluasan ulkus menembus otot, hingga tampak
tulang di dasar ulkus yang dapat memicu
infeksi pada tulang atau sendi.
Pencegahan dan Intervensi Awal Pasien Dengan Luka Dekubitus
1. Kaji Resiko individu / klien terhadap kejadian luka dekubitus
2. Skala yang sering dipakai adalah skala Braden dan Norton. Saat
ini skala ini telah diuji validitasnya di Indonesia, dan memiliki nilai
validitas dan reliabilitasnya tinggi
3. Skala S.S (Suriadi & Sanada)
4. Identifikasi usia diatas 60 tahun, bayi dan neonatal, klien injury tulang
belakang adalah kelompok yang memiliki resiko tinggi terhadap
luka tekan
5. Kaji keadaan kulit secara teratur
a. Minimal setiap hari sekali
b. Kaji kulit di atas tonjolan tulang
c. Kulit yang merah di atas tonjolan tulang tidak di pijat karena
dapat mengganggu perfusi
6. Kaji status mobilitas
7. Gunakan bantal
a. Diantara lutut kanan dan kiri
b. Diantara mata kaki
c. Dibelakang punggung
d. Di bawah kepala
8. Minimalkan terjadinya tekanan
a. Hindari penggunaan donat dari kassa untuk tumit
b. Tentukan jenis matras yang sesuai
9. Kaji dan minimalkan terhadap pergesekan dan pergeseran
10. Bersihkan dan keringkan kulit secepat mungkin setelah episode
incontinence. Posisi 30 derajat untuk mencegah klien merosot yang
dapat memicu terjadinya robekan jaringan.
11. Kaji Inkontinensia
a. Bersihkan setiap kali lembab
b. Hindari menggosok kulit dengan keras
c. Pembersih perianal yang mengandung anti mikroba
d. Gunakanlah air hangat atau sabun yang lembut
e. Beri pelembab setelah dicuci
f. Bila memakai diaper, gunakan yang memiliki daya serap
12. Kaji status nutrisi
a. Serum albumin & Hb biasanya menurun
b. Kaji ; BB, intake makanan, nafsu makan, masalah pencernaan,
ggn pada gigi, riwayat pembedahan
13. Kaji dan monitor jenis balutan yang dipergunakan
14. Deskripsikan luka tekan: lokasi, ukuran, dasar luka, eksudasi, ada
tidaknya infeksi, stadium, kulit sekitar luka, nyeri.
15. Kaji factor yang menghambat penyembuhan
a. Malignansi, diabetes, gagal jantung, gagal ginjal, pneumonia dll
b. Medikasi seperti, steroid, agen imunosupresif atau obat anti
kanker
16. Evaluasi proses penyembuhan luka
17. Kaji komplikasi ; abses, osteomielitis, bakteremia, fistula
18. Edukasi tentang luka dekubitus
19. Ideal support surface / Kasur khusus dekubitus exp. “Big Cell”
a. Kontrol tekanan dalam jaringan
b. Stabilitas
c. Kontrol suhu permukaan tempat tidur
d. Kontrol kelembaban permukaan kulit
e. Cost effective
f. Tahan lama
Bila sudah terjadi dekubitus, tentukan stadium dan tindakan medik
menyesuaikan apa yang dihadapi:
1. Dekubitus derajat I
Dengan reaksi peradangan masih terbatas pada epidermis; kulit
yang kemerahan dibersihkan hati-hati dengan air hangat dan sabun,
diberi lotion, kemudian dimassase 2-3 kali/hari.
2. Dekubitus derajat II
Dimana sudah terjadi ulkus yang dangkal; Perawatan luka harus
memperhatikan syarat-syarat aseptik dan antiseptik. Daerah
bersangkutan digesek dengan es dan dihembus dengan udara
hangat bergantian untuk meransang sirkulasi. Dapat diberikan salep
topikal, mungkin juga untuk meransang tumbuhnya jaringan
muda/granulasi, Penggantian balut dan salep ini jangan terlalu
sering karena malahan dapat merusakkan pertumbuhan jaringan
yang diharapkan.
3. Dekubitus derajat III
Dengan ulkus yang sudah dalam, menggaung sampai pada bungkus
otot dan sering sudah ada infeksi; Usahakan luka selalu bersih dan
eksudat disusahakan dapat mengalir keluar. Balut jangan terlalu
tebal dan sebaliknya transparan sehingga permeabel untuk
masukknya udara/oksigen dan penguapan. Kelembaban luka dijaga
tetap basah, karena akan mempermudah regenarasi sel-sel kulit.
Jika luka kotor dapat dicuci dengan larutan NaCl fisiologis. Antibiotik
sistemik mungkin diperlukan.
4. Dekubitus derajat IV
Dengan perluasan ulkus sampai pada dasar tulang dan sering pula
diserta jaringan nekrotik;
Manajemen Luka Dekubitus
1. Gunakan kasur dekubitus
2. Lakukan jadwal perubahan posisi
3. Gunakan skala resiko
4. Pertahankan kondisi kulit
5. Hindari terjadinya tekanan, gesekan dan pergeseran
6. Perawatan luka yang adekuat
Prinsif Perawatan Luka Dekubitus
1. Pengkajian
2. Pencucian Luka
3. Pengangkatan Jaringan Mati
4. Pemilihan Topikal Terapi
a. Support lingkungan luka : lembab
b. Kurangi resiko infeksi
c. Tidak melukai jaringan baru
d. Mudah dipakai
e. Mengurangi bekas luka
f. Cost effektif
5. Kultur luka
SKALA NORTON UNTUK MENGUKUR RISIKO DEKUBITUS
Uraian Skor
Tanggal
Kondisi fisik umum:
- Baik 4
- Lumayan 3
- Buruk 2
- Sangat buruk 1
Kesadaran:
- Komposmentis 4
- Apatis 3
- Konfius/Soporis 2
- Stupor/Koma 1
Aktivitas :
- Ambulan 4
- Ambulan dengan bantuan 3
- Hanya bisa duduk 2
- Tiduran 1
Mobilitas :
- Bergerak bebas 4
- Sedikit terbatas 3
- Sangat terbatas 2
- Tak bisa bergerak 1
Inkontinensia :
- Tidak 4
- Kadang-kadang 3
- Sering Inkontinentia urin 2
- Sering Inkontinentia alvi dan urin 1
skor total
Risiko dekubitus jika skor total ≤ 14
Manajemen Luka Diabetes / Luka Kaki Diabetes
Luka Kaki diabetik adalah salah satu komplikasi diabetes yang paling
signifikan dan merusak, dan didefinisikan sebagai kaki mengalami luka
yang berhubungan dengan neuropati dan / atau penyakit arteri perifer
ekstremitas bawah. Prevalensi ulserasi kaki diabetik pada populasi
diabetes adalah 4 -10%; kondisi ini lebih sering pada pasien yang lebih
tua.
Mayoritas (60-80%) dari luka kaki akan sembuh, sementara 10-15% dari
mereka akan tetap aktif, dan 5-24% dari mereka akhirnya akan
memicu amputasi anggota tubuh dalam jangka waktu 6-18 bulan
setelah evaluasi pertama.
Luka neuropatik lebih mungkin sembuh dalam waktu 20 minggu,
sementara luka neuroischemik membutuhkan waktu lebih lama dan
lebih sering memicu amputasi anggota gerak. Studi melaporkan
bahwa 40-70% dari semua amputasi nontraumatic pada tungkai bawah
terjadi pada klien dengan diabetes. Selain itu, banyak penelitian telah
melaporkan bahwa luka kaki sekitar 85% dari semua amputasi yang
dilakukan adalah pada klien diabetes.
Risiko luka kaki dan amputasi tungkai meningkat dengan bertambahnya
usia dan lamanya diabetes. Perawatan luka kaki diabteik yang tepat dan
pencegahan kaki diabetik sangat penting, mengingat dampak negatif
pada kualitas hidup klien dan beban ekonomi terkait pada sistem
perawatan kesehatan .
Definisi Luka kaki diabetes / Diabetic Foot Ulcer
Luka yang terjadi akibat dari gangguan neuropati dan atau penyakit arteri
perifer yang sering terjadi pada ekstremitas bawah baik pada lapisan
kulit supferfisial hingga tulang. DFU dapat dikategorikan sebagai murni
neuropatik, murni iskemik atau neuroischemik (campuran). Area yang
paling umum: permukaan plantar kaki (kepala metatarsal dan midfoot),
jari kaki (sendi interphalangeal dorsal atau ujung distal).
Etiologi
Etiologi luka diabetes meliputi neuropati, penyakit arteri, tekanan,
trauma dan kelainan bentuk kaki. Neuropati perifer diabetik, ada
pada 60% orang diabetik dan 80% orang diabetik dengan ulkus kaki,
dapat mengalami risiko terbesar terjadinya perlukaan kaki adalah ;
penyakit mikrovaskular dan kontrol glikemik yang kurang.
Patofisiologi
Penyakit neuropati dan vaskular adalah faktor utama yang
mengkontribusi terjadinya luka. Masalah luka yang terjadi pada klien
dengan diabetik kaitannya adalah dengan adanya pengaruh pada saraf
yang ada pada kaki dan biasanya dikenal sebagai neuropati perifer.
Pada klien dengan diabetik sering kali mengalami gangguan pada
sirkulasi. Gangguan sirkulasi ini adalah yang berhubungan dengan
“peripheral vascular diseases”. Efek sirkulasi inilah memicu
kerusakan pada saraf.
Neuropati perifer adalah penyebab utama pada luka diabetik di kaki.
Neuropati adalah suatu kerusakan saraf yang menghasilkan hilangnya
fungsi dalam jaringan terutama pada serabut saraf. Pada klien dengan
diabetik neuropati dapat dipicu oleh lesi iskemik saraf, hal ini
karena penebalan pembuluh darah yang mensuplai saraf atau
demyelinisasi saraf (destruksi pada sarung proteksi myelin pada
sekeliling saraf), yang memperlambat konduksi impuls. Ataupun adanya
penebalan dan hyalinisasi dinding pembuluh darah kecil akibat
reduplikasi lamina basal di sekitar sel endotel menunjukkan peran
iskemia saraf pada neuropati diabetes.
Polineuropati, atau kerusakan multiple tipe saraf dan bentuk yang paling
umum adalah neuropati pada klien dengan diabetik pada kaki.
Trineuropati yang mencakup:
-- Hilangnya sensasi
-- Hilangnya fungsi gerak
-- Hilangnya fungsi autonomik (sistem saraf autonomik yang
mengkontrol otot halus, kelenjar dan organ viseral)
Kematian dan degenerasi saraf sensori (sensori neuropati) yang dapat
karena iskemik dan demyelinisasi. Klien akan mengalami
ketidakmampuan dalam merasakan nyeri sehingga akan mengkontribusi
terjadinya injuri pada kaki. Kematian dan degenerasi saraf pergerakan
(motor neuropati ), otot pada anggota tubuh khususnya otot instrinsik
pada kaki (pada permukaan plantar) adalah yang dapat memicu
kelainan bentuk struktur dan footdrop. Perubahan degeneratif
meningkatkan risiko klien jatuh dan lebih lanjut injuri pada kaki.
Kematian dan degenerasi saraf autonomik (autonomik neuropati), tidak
berfungsinya kelenjar keringat dan sebasea dan kulit pada kaki klien
akan tampak kering, pecah-pecah atau seperti adanya celah ataupun
kerak kulit. Jika berkembang pada fisura, akan berisiko infeksi. Pada
autonomik neuropati terjadi gangguan pada komponen simpatik yang
mengkontrol vasokonstriksi dalam pembuluh darah perifer. Dampak
ini dapat memicu perubahan pada aliran darah ke tungkai
dan kaki yang menimbulkan osteopenia (reduksi pada volume tulang)
pada kaki dan pergelangan kaki.
Pada penyakit Charcott (neuropati osteoatropati), tulang akan menjadi
lemah oleh osteopenia dan terjadi fraktur bahwa klien tidak dapat
merasakan karena sensori neuroupati. Pada klien akan merasakan rasa
berat dalam berjalan.
1. Neuropati autonomik:
Gangguan pada saraf autonomi, yang mengkontrol fungsi otot-otot
halus, kelenjar dan organ viseral. Dengan adanya gangguan pada saraf
autonomi pengaruhnya adalah terjadi perubahan tonus otot yang
memicu abnormalnya aliran darah. Dengan demikian kebutuhan
akan nutrisi dan oksigen maupun pemberian antibiotik tidak mencukupi
atau tidak dapat mencapai jaringan perifer, dan atau untuk kebutuhan
metabolisme pada lokasi ini. Efek pada autonomi neuropati ini
akan menimbulkan kulit menjadi kering, anhidrosis dampak dari kelenjar
sebasea kurang atau tidak lagi memproduksi keringat; yang
memudahkan kulit menjadi rusak dan luka yang sukar sembuh, dan
dapat menimbulkan infeksi dan mengkontribusi untuk terjadinya gangren.
2. Neuropati sensori
Kondisi dabetik yang memengaruhi pada saraf sensori yang
memicu hilangnya sensasi rasa nyeri, tekanan, temperatur,
maupu gatar.
3. Neuropati motorik
Keadaan diabetik yang mengakibatkab gangguan pada sistem
muskuloskletal yang berdampak pada adanya kelainan bentuk atau
deformitas, bentuk jari claw toe, hammer toe, bunnion atau hallux valgus,
ves cavus, ves planus dan lainnya.
Faktor risiko
Faktor risiko yang diidentifikasi berhubungan dengan terjadinya luka kaki
diabetik dari berbagai penelitian didapatkan antara lain : berat badan
yang berlebih, penggunaan insulin, kadar gula darah sewaktu yang
tinggi, HbA1c yang tidak terkontrol, laju endap darah, kadar kreatinin
serum, tekanan darah pada tungkai bawah, claudikasio, riwayat penyakit
vaskuler perifer, tingginya tekanan darah, neuropati sensorik, motorik
dan otonom, dan ketiadaan reflek tendon akhiles, kebiasaan merokok,
ketidakpatuhan diet DM, kurangnya aktivitas fisik, pengobatan tidak
teratur, dan perawatan kaki tidak teratur.
Trauma
Pada klien luka diabetik dengan etiologi trauma dapat dipicu oleh
faktor gangguan neuropati. Neuropati sensorik biasanya cukup berat
hingga menghilangkan sensasi proteksi yang berakibat rentan terhadap
trauma fisik dan termal, sehingga dapat meningkatkan terjadinya risiko
perlukaan di kaki. Ganguan sensasi propriosepsi yaitu sensasi posisi
kaki juga hilang. Pada neuropati motorik akan mempengaruhi semua
otot, memicu penonjolan abnormal tulang, arsitektur normal kaki
berubah, deformitas khas seperti hammer toe, clow toe dan hallux
rigidus/bunion, pes cavus. pes planus, dan lainya. Pada deformitas kaki
akan menimbulkan terbatasnya mobilitas, sehingga dapat meningkatkan
tekanan plantar kaki dan mudah terjadi perlukaan. Neuropati autonom
ditandai dengan kulit kering karena tidak berkeringat, dan peningkatan
pengisian kapiler sekunder akibat pintasan arteriovenosus kulit. Hal ini
dapat memunculkan fisura, hiperkeratosis, dan memudahkan untuk
tejradi trauma. Hal ini juga dapat karena penimbunan sorbitol dan
fruktosa yang memicu akson menghilang, kecepatan induksi
menurun, parestesia, serta menurunnya refleks otot dan atrofi otot.
Gambar 10 Skema Etiopatofisiologi terjadinya luka pada penderitia diabetes
Tipe luka pada klien dengan diabetik
Tipe luka diabetik dapat digolongkan menjadi dua faktor penyebab;
faktor internal dan eksternal. Faktor internal adalah terkait dengan
adanya gangguan pada vaskular dan neuropati, serta faktor eksternal
karena trauma (tekanan, suhu, benda asing). Faktor trauma dapat
menimbulkan perlukaan dan infeksi dengan pemicu satu atau dari
keduanya yaitu neuropati dan gangguan vaskular. Oleh karenanya
penderita diabetik dapat mengalami luka dengan tipe dan atau etiologi
sebagai berikut.
1. Luka diabetik neuropati
Luka diabetik tipe neuropati adalah perlukaan yang terjadi
dampak dari penekanan yang terlalu lama dan timbul trauma karena
klien tidak merasakan sensasi pada area kaki. Ciri-ciri luka neuropati
pada klien adalah dasar luka umumnya tampak merah dan tepi luka
mengalami hiperkeratosis. dapat terlihat dengan ciri-ciri luka adalah
paling sering terjadi pada plantar
Gambar 11. Luka neuropati pada diabetic
Manajemen perawatan:
a. Perawatan luka dengan agresif debridemang pada tepi luka hingga
tipis. Lakukan debridemang setiap klien visit.
b. Perlakuan pada luka neuropoti harus kering dan atau tidak boleh
dengan dressing yang membuat lembab atau basah: memakai
dressing yang fungsinya menyerap eksudat, dan atau dressing yang
kering yang memiliki fungsi antimikroba. Luka neuropati tidak cocok
dengan memakai seperti salep atau dengan kompres atau
minyak.
2. Luka diabetik tipe iskemik
Luka diabetik tipe iskemik adalah perlukaan yang terjadi karena
terjadinya penyumbatan pembuluh darah arteri. Ciri-ciri luka iskemik,
luka tampak pucat, tidak teraba denyut nadi pada area dorsal pedis,
akral dingin, redahnya nilai Ankle Brachial Index Pressure (ABIP) pada
umumnya dibawah 0.6.
Gambar 12 Luka diabetik tipe iskemik
Manajemen Perawatan:
a. Perlakuanya dengan perawatan luka yang kering, perlakuan moist
bila sudah ada tanda -tanda vaskularisasi yang membaik,
tepi luka tegas dan ada kontraksi luka, denyut nadi jelas dan kuat,
suhu kulit membaik, dan tidak pucat, ABI mulai membaik. Pemilihan
dressing disesuikan dengan wound bed dengan dressing yang tidak
membuat basah.
b. Biasanya luka iskemik bila dilakukan debridemang dapat terjadi
perluasan , oleh karenanya harus teliti dalam melakukan
debridemang terutama memperhatikan vaskularisasi baik atau tidak.
Apabila ada nekrotik dan bau dapat dila