perawatan luka 1

Perawatan luka merupakan salah satu keterampilan atau 
kompetensi dasar yang harus dimiliki oleh lulusan Program Studi 
Diploma III Keperawatan Fakultas Kedokteran Universitas 
Mulawarman. Materi perawatan luka terintegrasi didalam mata 
kuliah keperawatan dasar, keperawatan medikal bedah maupun 
praktik klinik keperawatan home care. Materi perawatan luka ini 
diharapkan dapat meningkatkan kemampuan mahasiswa baik 
dalam pengetahuan, keterampilan maupun sikap di dalam 
memberikan asuhan keperawatan khususnya perawatan luka. 
Praktik perawatan luka yang dilakukan mahaiswa bertujuan yang 
untuk menerapkan konsep Asuhan Keperawatan individu dan 
keluarga dalam rangka meningkatkan, mempertahankan dan 
memulihkan kesehatan, mengoptimalkan,  tingkat  kemandirian  
klien  dan  keluarga  serta meminimalkan akibat yang dapat 
ditimbulkan dari masalah yang dialami klien dan keluarga. 
Modul perawatan luka ini akan berisi tentang anatomi fisiologi 
sistem integumen, konsep dasar luka, prosedur perawatan luka, 
manajemen perawatan luka akut dan kronis serta pemanfaatan 
tanaman untuk perawatan luka. 
 
1. ANFIS KULIT  
Kulit merupakan organ yang memiliki permukaan paling luas (+ 2 
m2) yang melapisi seluruh bagian luar tubuh sehingga kulit berfungsi 
sebagai pelindung tubuh terhadap benda asing, bahan kimia, 
cahaya matahari mengandung sinar ultraviolet dan melindungi tubuh 
terhadap mikroorganisme serta menjaga keseimbangan tubuh 
terhadap perubahan lingkungan. Kulit merupakan indikator pada 
seseorang untuk memperoleh kesan umum dengan melihat 
perubahan yang terjadi pada kulit. Kulit dapat menjadi pucat, 
kekuning-kuningan kemerah-merahan atau suhu kulit meningkat, 
memperlihatkan adanya kelainan yang terjadi pada tubuh atau 
gangguan kulit karena penyakit tertentu. Gangguan psikis juga dapat 
memicu  kelainan atau perubahan pada kulit, seperti stres, 
ketakutan atau dalam keadaan marah, maka akan terjadi perubahan 
kulit pada wajah. Perubahan struktur kulit dapat menentukan apakah 
seseorang telah lanjut usia atau masih muda. Wanita atau pria juga 
dapat dibedakan melalui penampilan kulit. Warna kulit juga dapat 
menentukan ras atau suku bangsa misalnya kulit hitam suku bangsa 
negro, kulit kuning bangsa Mongol, kulit putih dari Eropa dan lain 
sebagainya. 
LAPISAN KULIT 
Kulit terdiri dari tiga lapisan utama, yaitu Epidermis (lapisan bagian 
luar tipis), Dermis (lapisan tengah), Subkutis (bagian paling dalam). 
a. Epidermis (lapisan bagian luar tipis) 
Merupakan Lapisan paling luar yang melindungi tubuh dengan 
ketebalan yang bervasiasi, dimana telapak tangan dan kaki 
memiliki epidermis yang paling tebal. Epidermis terdiri atas 
lapisan epitel gepeng yang berisi 4 tipe sel (Gambar 1): 
Keratinocytes (90%) yang berfungsi untuk memproduksi keratin 
sebagai penahan air, Melanocytes  bertugas memproduksi 
produksi melanin yang akan memberikan warna pada kulit, sel 
Langerhans (macrophages) berfungsi sebagai sistem immune 
response dan Merkel cells yang memiliki tugas menangkap 
sensasi sentuh pada kulit (touch sense) yang terhubung dengan 
ujung syaraf di lapisan dermis. 
 

Gambar 1. Sel penyusun epidermis 
                    
 
Lapisan epidermis tumbuh terus karena lapisan sel induk yang 
berada di lapisan bawah bermitosis (membelah) terus menerus, 
sedangkan lapisan paling luar epidermis akan terkelupas atau 
lepas. Epidermis dibentuk secara kuat oleh 4 sel-sel epidermis 
diatas dan diperkuat oleh serat-serat kolagen dan sedikit serat 
elastin. Epidermis berfungsi sebagai pelindung dan tidak ada  
pembuluh darah, sehingga jika lapisan ini terluka maka tidak akan 
terlihat darah yang keluar.  
Epidermis terdiri atas beberapa lapisa sel. Sel-sel ini berbeda 
dalam beberapa tingkat pembelahan sel secara mitosis. Lapisan 
permukaan dianggap sebagai akhir keaktifan sel, lapisan ini 
terdiri atas 5 lapis (Gambar 2).  
 
1. Stratum korneum (stratum corneum) : lapisan ini terdiri atas 
banyak lapisan sel tanduk (keratinasi), gepeng, kering, dan 
tidak berinti. Sitoplasmanya diisi dengan serat keratin yang 
berfungsi sebagai penahan air,  makin keluar letak sel makin 
gepeng seperti sisik lalu terkelupas dari tubuh. Sel keratin 
pada stratum ini merupakan sel keratin yang sudah mati (dead 
keratinocyte). Sel yang terkelupas akan digantikan oleh sel 
yang lain. Stratum korneum sering dikenal di masyarakat 
sebagai kotoran kulit atau daki. 
 
2. Stratum lusidum (stratum lucidum) : lapisan ini terdiri atas 
beberapa lapis sel yang sangat gepeng dan bening. Membran 
yang membatasi sel-sel ini sulit terlihat sehingga 
lapisannya secara keseluruhan seperti kesatuan yang bening. 
Stratum lucidum mengandung cairan bening yang merupakan 
protein yang disebut eleidin, berfungsi sebagai penyaring sinar 
ultraviolet yang masuk ke kulit. 

3. Stratum granulosum (stratum granulosum) : lapisan ini terdiri 
atas 2-3 lapis sel poligonal  yang agak gepeng dengan inti di 
tengah dan sitoplasmanya berisi butiran (granula) keratohialin 
atau gabungan keratin dengan hialin. Lapisan ini menghalangi 
masuknya benda asing, kuman, dan bahan kimia masuk 
kedalam tubuh 
4. Stratum spinosum (strarum spinosum) : lapisan ini terdiri atas 
banyak lapisan sel berbentuk kubus dan poligonal, inti ada  
di tengah dan sitoplasmanya berisi berkas-berkas serat yang 
terpaut pada desmosom (jembatan sel). Seluruh sel terikat 
rapat lewat serat-serat ini sehingga secara keseluruhan 
lapisan sel-selnya berduri. Lapisan ini untuk menahan gesekan 
dan tekanan dari luar, tebal dan ada  di daerah tubuh yang 
banyak bersentuhan atau menahan beban dan tekanan seperti 
tumit dan pangkal telapak kaki. 
 
5. Stratum basal (stratum basale) : unsur-unsur lapis taju yang 
memiliki  susunan kimia yang khas. Inti bagian basal lapis 
taju mengandung kolestrol dan asam-asam amino. Stratum 
basale yang disebut juga malpighi merupakan lapisan 
terdalam dari epdermis yang berbatasan dengan dermis di 
bawahnya dan terdiri atas selapis sel berbentuk kubus 
(batang).  
Lapisan epidermis tidak ditemukan pembuluh darah, sehingga jika 
lapisan ini terluka maka tidak terjadi perdarahan. 
 
 
Gambar 2 Lapisan kulit epidermis 
 
b. Dermis (Lapisan tengah) 
Dermis merupakan lapisan kedua dari kulit, batas dengan 
epidermis dilapisi oleh membrane basalis dan di sebelah bawah 
berbatasan dengan subkutis tapi batas ini tidak jelas hanya 
diambil sebagai patokan ialah mulainya ada  sel lemak. 
Batas dermis yang sukar ditentukan karena menyatu dengan 
lapisan subkutis (hipodermis), ketebelannya antara 0,5-3 mm, 
beberapa kali lebih tebal dari epidermis, dan dibentuk dari 
komponen jaringan pengikat. Derivat dermis terdiri atas rambut, 
kelenjar minyak, kalenjar lendir, dan kelenjar keringat yang 
membenam jauh kedalam dermis. Dermis terdiri  atas serat-serat 
kolagen, dan serabut-serabut elastis, dan serabut-serabut 

 
retikulin. Serat-serat ini bersama pembuluh darah dan pembuluh 
getah bening membentuk anyaman-anyaman yang memberikan 
perdarahan untuk kulit. 
Secara umum lapisan dermis dapat dibagi atas 2 lapisan yaitu 
papilla dan retikulosa. 
 
Lapisan papilla; mengandung lekuk-lekuk papilla sehingga 
stratum malpigi  juga ikut melekuk. Lapisan ini mengandung 
lapisan pengikat longgar yang membentuk lapisan bunga karang 
disebut lapisan stratum spongeosum. 
Lapisan papila terdiri atas serat kolagen halus, elastin dan 
retikulin yang tesusun membentuk jaringan halus yang ada  di 
bawah epidermis. Lapisan ini memegang peranan penting dalam 
peremajaan dan penggandaan unsur-unsur kulit. Serat retulin 
dermis membentuk alas dari serbut yang menyisip ke dalam 
membran basal dibaawah epidermis. 
Pada umumnya, papil-papil kulit dermis sangat tipis, tetapi pada 
telapak kaki dan telapak tangan ada  papil tebal, dan banyak 
sehingga tampak berhimpitan membentuk rigi-rigi yang menonjol 
di permukaan kulit ari, dan membentuk pola sidik jari tangan dan 
jari kaki. Setiap papil dibentuk oleh anyaman serabut halus yang 
mengandung serabut elastin. Pada bagian ini telihat lengkung-
lengkung kapiler dan ujung-ujung saraf perasa. 
 
Lapisan retikulosa: lapisan retikulosa mengandung jaringan 
pengikat rapat dan serat kolagen. Sebagian besar lapisan ini 
tersusun bergelombang,  mengandung sedikit serat retkulin, dan 
banyak serat elastin. Sesuai dengan arah jalan serat-serat 
ini terbentuklah garis ketegangan kulit. Terdapat pola 
sulkus atau Garis Langer’s (Gambar 3). Insisi pada Garis  
Langer’s  berpengaruh pada penyembuhan luka. Jika potongan 
searah dapat menyebakan penyembuhan lebih cepat 
dibandingkan jika tidak searah. 
Bahan dasar dermis merupakan bahan matrik amorf yang 
memebenam pada serat kolagen dan elastin. Turunan kulit 
glikosaminoglikans utama kulit adalah asam hialuronat  dan 
dermatan sulfat dengan perbandingan yang beragam di berbagai 
tempat, bahan dasar ini bersifat sangat hidrofilik. Lapisan ini terdiri 
atas anyaman jaringan ikat yang lebih tebal dan di dalamnya 
ditemukan sel-sel fibrosa, sel histiosit, pembuluh darah, pembuluh 
getah bening, saraf, kandung rambut kelenjar sebasea, kelenjar 
keringat, sel lemak, dan kelenjar otot penegak rambu. 

 
Gambar 3. Garis Langers 
 
c.  Subkutan /Hipodermis 
Hipodermis adalah lapisan bawah kulit (fasia superfisialis) yang 
terdiri atas jaringan pengikat longgar, kompenennya serat 
longgar, elastis dan sel lemak. Sel-sel lemak membentuk jaringan 
lemak pada lapisan adiposa yang ada  susunan lapisan 
subkutan untuk menentukan mobilitas kulit diatasnya. Bila 
ada  lobulus lemak yang merata, hipodermis membentuk 
bantal lemak disebut pannikulus adiposus. Padaa daerah perut, 
lapisan ini dapat mencapai ketebalan tiga cm, sedangkan pada 
kelopak mata, penis, dan skrotum, lapisan subkutan tidak 
mengandung lemak. Bagian superfisial hipodermis mengandung 
kelenjar keringat dan folikel rambut. Dalam lapisan hipodermis 
ada  anyaman pembuluh arteri, pembuluh vena, dan 
anyaman saraf yang berjalan sejajar dengan permukaan kulit di 
bawah dermis. Lapisan ini memiliki  ketebalan bervariasi dan 
mengikat kulit secara longgar terhadap jaringan di bawahnya. 
   
Fungsi kulit 
Kulit berfungsi sebagai alat pelindung bagian dalam, 
misalnya otot dan tulang; sebagai alat peraba dengan dilengkapi 
bermacam reseptor yang peka terhadap berbagai rangsangan; 
sebagai alat ekskresi; serta pengatur suhu tubuh. 
Sehubungan dengan fungsinya sebagai alat peraba, kulit 
dilengkapi dengan reseptor reseptor khusus. Reseptor untuk rasa 
sakit ujungnya menjorok masuk ke daerah epidermis. Reseptor 
untuk tekanan, ujungnya berada di dermis yang jauh dari 
epidermis. Reseptor untuk rangsang sentuhan dan panas, ujung 
reseptornya terletak di dekat epidermis. 
 
Kelenjar-kelenjar kulit. 
Kelenjar kulit meliputi kelenjar sebasea, kelenjar keringat, dan 
kelenjar mamae. 
1. Kelenjar sebasea. 
Kelenjar ini berhubungan dengan folikel rambut yang bermuara 
dalam sebuah folikel rambut. Kelenjar yang tidak berhubungan 
dengan folikel rambut bermuara langsung ke permukaan kulit 

seperti yang ada  pada glans penis, labium minus, dan 
kelenjar tarsalia pada kelopak mata. 
2. Kelenjar keringat. 
Kelenjar keringat adalah kelenjar tubular bergelung yang tidak 
bercabang; ada  pada seluruh kulit kecuali pada dasar kuku, 
batas bibir, glans penis dan gendang telinga. Kelenjar ini paling 
banyak ada  pada telapak tangan dan kaki. Bagian 
sekretorisnya terletak di dalam dermis atau hypodermis dan 
bergabung membentuk massa tersendiri. 
Duktusnya keluar menuju epidermis dan berjalan berkelok-kelok 
menyatu dengan epidermis dan berjalan spiral untuk mencapai 
permukaan kulit. Tempat bermuaranya disebut pori keringat. 
Terdapat 2 macam kelenjar keringat yaitu kelenjar keringat ekrin 
dan apokrin. 
a. Kelenjar keringat ekrin. 
Tersebar diseluruh kulit tubuh, kecuali kulup penis bagian 
dalam dan telinga luar, telapak tangan, telapak kaki dan dahi. 
Badan kelenjar ada  diantara perbatasan kulit ari 
(epidermis) dan kulit dermis. Salurannya berkelok-kelok 
keluar dan berada pada lapisan jangat yang berjalan lurus ke 
pori-pori keringat. 
b. Kelenjar keringat apokrin. 
Kelenjar keringat yang besar dan hanya dapat ditemukan 
pada ketiak, leher, tempat tumbuhnya janggut pada pria, kulit 
putting susu, kulit sekitar alat kelamin dan dubur. Keringat 
yang dikeluarkan oleh kelenjar ini berbau diakibatkan letak 
kelenjar yang dekat dengan lapisan hipodermis yang berisi 
lemak dan bahan lain yang memicu  bau. 
 
Saraf kulit. 
Kulit juga seperti organ lain ada  cabang-cabang saraf spinal 
dan permukaan yang terdiri dari saraf-saraf motorik dan saaf 
sensorik. 
Ujung saraf motorik berguna untuk menggerakkan sel-sel otot yang 
ada  pada kulit, sedangkan saraf sensorik berguna untuk 
menerima rangsangan yang ada  dari luar atau kulit. Pada kulit 
ujung-ujung, saraf sensorik ini membentuk bermacam-macam 
kegiatan untuk menerima rangsangan. Ujung-ujung saraf yang 
bebas untuk menerima rangsangan sakit/nyeri banyak ada  di 
epidermis, disini ujung-ujung sarafnya memiliki  bentuk yang khas 
yang sudah merupakan suatu organ. 
 
2. ANFIS RAMBUT 
Rambut berupa benang keratin elastis yang berkembang dari 
epidermis tersebar di seluruh tubuh kecuali telapak kaki dan telapak 
tangan, permukaan dorsal falang distal, sekitar lubang dubur, dan 
urogenital. Setiap rambut memiliki  batang yang bebas dan akar 
yang tertanam dalam kulit, akar rambut dibungkus oleh folikel 
rambut yang berbentuk tabung terdiri atas bagian yang berasal dari 
epidermis (epitel) dan bagian yang berasal dari dermis (jaringan 
ikat).  
Pada ujung bawah folikel menggembung membentuk bulbus rambut, 
beberapa kelenjar sebasea, dan seberkas otot polos (erektor pili). 
Kontraksi otot ini memicu  tegaknya rambut sebab rambut 
terpancang miring berbentuk sudut tumpul.  
Struktur rambut  
a. Medula: merupakan bagian tengah rambut yang longgar terdiri  
atas 2-3 lapis sel kubis mengerut sama lain dipisahkan oleh 
ruang berisi udara dan bulu halus pendek jenis bulu roma. 
Sebagai rambut kepala dan rambut pirang tidak memiliki  

medula, sel-selnya sering mengandung pigmen, keratin sel-sel 
medula termasuk keratin lunak. 
b. Korteks: merupakan bagian utama rambut yang terdiri atas 
beberapa lapis sel gepeng dan panjang berbentuk gelondong 
membentuk keratin keras. Fibril keratin tersusun sejajar, 
sedangkan granula pigmen ada  di dalam dan diantara sel-
selnya. Rambut hitam mengandung pigmen teroksidasi udara 
yang terkumpul di dalam ruang antara sel korteks dan mengubah 
warna rambut.  
c. Kutikula: ada  pada permukaan selapis sel tipis dan jernih. 
Kutikula tidak berinti kecuali yang ada  pada akar rambut, sel-
selnya tersusun seperti genteng atap dengan ujung menghadap 
ke atas. Penampang melintang rambut beragam sesuai dengan 
ras, rambut lurus bangsa mongol, eskimo, dan indian amerika 
tampak bundar pada potongan melintang, rambut berombak pada 
beberapa bangsa kaukasia, afrika dan irian penampangnya 
lonjong.  
 
Susunan rambut 
a. Batang rambut: merupakan bagian rambut yang ada  di luar 
kulit. Kalau dibuat potongan, sebuah rambut akan terlihat dari luar 
ke dalam. 
b. Selaput rambut (kutikula): merupakan lapisan yang paling luar, 
terdiri atas sel-sel tanduk yang tersusun seperti sisik ikan, dapat 
diketahui kalau rambut disasak dengan baik. Rambut yang sering 
disasak akan meregangkan hubungan sel-sel selaput rambut 
sehingga merusak selaput rambut dan cairan mudah masuk ke 
dalam rambut. 
c. Kulit rambut : korteks rambut merupakan lapisan kulit yang 
paling tebal terdiri atas lapisan tanduk berbentuk kumparan 
tersusun memanjang dan mengandung butir-butir mielin. Sel  
tanduk terdiri atas serabut keratin, masing-masing sel tanduk 
yang disebut fibril diuraikan menjadi satuan serat yang lebih 
halus disebut mikrofibril. Rambut memiliki  sifat daya 
elastisitas akan bertambah bila  dibasahkan dan dihangatkan.  
d. Sumsum rambut (medula): bagian yang paling dalam dibentuk 
oleh sel tanduk, bentuknya seperti anyaman dengan rongga 
berisi udara. Bagian ini sangat tipis mengandung medula dan 
sum-sum rambut ini hanya ada  pada rambut yang tebal 
misalkan pada alis, kumis, dan sebagian rambut kepala.  
e. Akar rambut: merupakan bagian rambut yang tertanam miring 
dalam kulit, terselubung oleh kandung rambut (folikel rambut). 
Akar ini tertanam sangat dalam hingga dapat mencapai lapisan 
hipodermis 
Otot penegak rambut:  
Muskulus erektor pili adalah otot penegak rambut yang terdiri atas 
otot polos yang ada  pada kandung rambut dengan perantaraan 
serabut elastis. Bila otot ini berkontraksi, rambut akan tegak dan 
kelenjar akan mengalami kompresi sehingga isinya di dorong keluar 
untuk melumas rambut.  
 
Fungsi rambut: 
--  Sebagai pelindung, pada muara lubang telinga/hidung terhadap 
benda-benda yang masuk serta melindungi kulit terhadap sinar 
ultraviolet dan panas. 
--  Mengatur suhu: pengaturan panas dengan cara bulu badan 
menyimpan panas.  
--  Pembuangan keringat dan air: karena permukaan yang lebih 
luas, rambut akan membantu penguapan keringat. 
--  Pengaturan emosi: bila  mengalami ketakutan bulu tengkuk 
berdiri. 
--  Sebagai alat perasa: rambut membesar rangsangan sentuhan 
terhadap kulit. 
 
3. ANFIS KUKU 
Merupakan lempeng yang membentuk pelindung pembungkus 
permukaan dorsal falang terakhir jaringan dan jari kaki. Berdasarkan 
struktur dan hubungan dengan dermis dan epidermis, pertumbuhan 
kuku terjadi sepanjang garis datar lengkung dan sedikit miring 
terhadap permukaan  pada bagian proksimalnya. 
Alat kuku berproliferasi membentuk matriks kuku. Epidermis yang 
tepat di bawahya menjadi dasar kuku yang berbentuk U bila dilihat 
dari atas, diapit oleh lapisan kulit yang merupakan dinding kuku. 
Dasar kuku yang mengandung lapisan-lapisan  epidermis dan 
dermis, di bawahnya memiliki  rabung memanjang. Di sini 
ada  kelenjar keringat dan folikel. Sel-selnya banyak 
mengandung fibril sitoplasma yang  hilang pada tahap akhir setelah 
menjadi homogen (berstruktur sama) lalu menjadi zat tanduk, dan 
menyatu dengan lempeng kuku. Tidak pernah dijumpai granula 
keratohialin di dalam sel matriks dan keratin kuku. Pada lapisan 
kuku mengandung melanosit sehingga lempeng kuku mungkin 
berpigmen pada ras hitam 
Lempeng kuku terdiri atas sisik epidermis yang menyatu erat dan 
tidak mengelupas, badan kuku berwarna bening sehingga kelihatan 
kemerahan karena ada pembuluh kapiler darah di dalam dasar 
kuku. Sel-sel stratum korneum meluas dari dinding kuku ke 
permukaan lempeng kuku sebagai epikondrium atau kutikula.  
Dengan bertambahnya sel-sel baru dalam akar kuku menghasilkan 
geseran lambat lempeng kuku di atas dasar  kuku. Laju 
pertumbuhan kuku rata-rata 0,5 mm per minggu. Pertumbuhan ini  
lebih pesat pada jari tangan daripada jari kaki dan bila lempeng kuku 
dicabut paksa asalkan matriksnya tidak rusak kuku akan tumbuh 
kembali. 
 
Fungsi kuku 
Pada pangkal kuku berfungsi melindungi dari kotoran. Fungsi utama 
kuku adalah melindungi ujung jari yang lembut dan penuh urat saraf, 
serta mempertinggi daya sentuh. Secara kimia, kuku sama dengan 
rambut yang antara lain terbentuk dari keratinprotein yang kaya 
akan sulfur. 
Kuku merupakan lapisan yang keras dan padat yang dibentuk oleh 
sel keratis epidermis. Kuku terdiri dari nail body, free edge dan nail 
root. Bagian –bagian dari kuku : 
a. Lunula: area stratum basale yang menebal 
b. Hyponychium (nail bed): area stratum corneum yang menebal 
berfungsi untuk melindungi kuku agar tidak menusuk jaringan 
dibawahnya 
c. Eponychium (cuticle): epitelium yang menduduki perbatasan kuku  
 
Berikut beberapa kejanggalan kuku yang dapat membantu dokter 
mendiagnosis suatu penyakit: 
• Warna kebiruan pada pangkal kuku menandakan kurang 
beresnya sirkulasi darah dan merupakan gejala penyakit jantung. 
• Bila separuh bagian dekat ujung kuku berwarna merah muda 
atau coklat sementara kulit ari berwarna putih, itu merupakan 
gejala penyakit gagal ginjal kronis. 
• Bila timbul kerutan horizontal dan kuku tampak kusam, itu 
menandakan kurang gizi atau gejala suatu penyakit seperti 
campak, cacar air, gondok, jantung serta kondisi seperti sindrom 
Reynaud (kejang pada urat jari tangan dan kaki akibat sangat 
kedinginan). 
• Lapisan merah membujur pada kuku, menandakan perdarahan 
pada pembuluh kapiler. Garis-garis ganda merupakan gejala 
penyakit darah tinggi (hipertensi). 
• Bila pertumbuhan kuku tampak lambat, tebal dan mengeras serta 
kekuning-kuningan, menandakan gangguan getah bening atau 
penyakit pencernaan kronis. 
• Timbulnya bintik-bintik tak beraturan pada kuku, menandakan 
adanya penyakit psoriasis (penyakit kulit kronis). 
• Bila ada lengkungan berlebihan pada pangkal kuku dan sekitar 
ujung kuku, itu menandakan gejala penyakit TBC, emfisema 
(gangguan pada paru-paru), penyakit kardiovaskuler atau hati. 
 

Seseorang yang menderita luka akan merasakan adanya 
ketidaksempurnaan yang pada akhirnya cenderung untuk mengalami 
gangguan fisik dan emosional (Hyland. 1994). Sehingga tidak dapat 
dipungkiri bahwa luka akan mempengaruhi kualitas hidup seseorang. 
Sebagai contoh, pasien dengan luka kanker dengan eksudat yang 
banyak dan sangat berbau tentunya bukan hanya menjadi gangguan 
kesehatan bagi klien akan tetapi juga akan mempengaruhi gangguan 
interaksi pasien. 
Menurut Schipper (1996) ada empat domain kualitas hidup yang bisa 
terkena dampak dari luka yaitu: Fungsi fisik dan pekerjaan, fungsi 
psikologis, interaksi sosial, sensasi somatik dan dampak finansial. Jadi 
kalau kita memakai  model berpikir ESQ (berpikir melingkar) maka 
perawatan luka butuh pendekatan yang kompleks kita tidak hanya 
melihat lokasi luka, mencium bau luka, mengganti balutan luka tapi lebih 
dari itu ada faktor-faktor lain yang harus diperhatikan dengan seksama. 

Luka dapat diartikan sebagai gangguan atau kerusakan integritas dan 
fungsi jaringan pada tubuh 
Klasifikas Luka 
1. Berdasarkan sifatnya: 
a. Luka Akut. 
Luka akut adalah luka yang sembuh sesuai dengan periode 
waktu yang diharapkan. Luka akut dapat dikategorikan sebagai: 
--  Luka akut pembedahan, contoh: insisi, eksisi dan skin graft. 
--  Luka akut bukan pembedahan, contoh: Luka bakar. 
--  Luka akut akibat faktor lain, contoh:abrasi, laserasi, atau injuri 
pada lapisan kulit superfisial. 
b. Luka Kronis. 
Luka kronis adalah luka yang proses penyembuhannya 
mengalami keterlambatan. Contoh: Luka decubitus, luka 
diabetes, dan leg ulcer. 
2. Berdasarkan Kehilangan Jaringan. 
a. Superfisial; luka hanya terbatas pada lapisan epidermis. 
b. Parsial (partial-thickness); luka meliputi lapisan epidermis dan 
dermis. 
c. Penuh (full-thickness); luka meliputi epidermis, dermis dan 
jaringan subcutan bahan dapat juga melibatkan otot, tendon, 
dan tulang. 
3. Berdasarkan Stadium. 
a. Stage I. 
Lapisan epidermis utuh, namun ada  eritema atau 
perubahan warna. 
b. Stage II. 
Kehilangan kulit superfisial dengan kerusakan lapisan 
epidermis dan dermis. Eritema di jaringan sekitar yang nyeri, 
panasa, dan edema. Exudate sedikit sampai sedang. 
c. Stage III. 
Kehilangan jaringan sampai dengan jaringan sub cutan, 
dengan terbentuknya rongga (cavity), exudate sedang sampai 
banyak. 
d. Stage IV. 
Hilangnya jaringan sub cutan dengan terbentuknya rongga 
(cavity) yang melibatkan otot, tendon dan atau tulang. Exudat 
sedang sampai banyak. 
4. Berdasarkan mekanisme terjadinya. 
a. Luka insisi (Incised wounds), terjadi karena teriris oleh 
instrumen yang tajam. Misal yang terjadi akibat pembedahan. 
Luka bersih (aseptik) biasanya tertutup oleh sutura seterah 
seluruh pembuluh darah yang luka diikat (Ligasi) 
b. Luka memar (Contusion Wound), terjadi akibat benturan oleh 
suatu tekanan dan dikarakteristikkan oleh cedera pada 
jaringan lunak, perdarahan dan bengkak. 
c. Luka lecet (Abraded Wound), terjadi akibat kulit bergesekan 
dengan benda lain yang biasanya dengan benda yang tidak 
tajam.  
d. Luka tusuk (Punctured Wound), terjadi akibat adanya benda, 
seperti peluru atau pisau yang masuk kedalam kulit dengan 
diameter yang kecil. 
e. Luka gores (Lacerated Wound), terjadi akibat benda yang 
tajam seperti oleh kaca atau oleh kawat. 
f.   Luka tembus (Penetrating Wound), yaitu luka yang menembus 
organ tubuh biasanya pada bagian awal luka masuk 
diameternya kecil tetapi pada bagian ujung biasanya lukanya 
akan melebar. 
g. Luka Bakar (Combustio) 
5. Berdasarkan Penampilan Klinis. 
a. Nekrotik (hitam): 
Eschar yang mengeras  dan nekrotik, mungkin kering atau 
lembab. 
b. Sloughy (kuning): 
Jaringan mati yang fibrous. 
c. Granulasi (merah): 
Jaringan granulasi yang sehat. 
d. Epitelisasi (pink): 
Terjadi epitelisasi. 
e. Terinfeksi (kehijauan): 
Terdapat tanda-tanda klinis adanya infeksi seperti nyeri, panas, 
bengkak, kemerahan dan peningkatan eksudat. 
 
B. PROSES PENYEMBUHAN LUKA 
1. tahap Koagulasi dan Inflamasi (0-3 hari). 
Koagulasi merupakan respon yang pertama terjadi sesaat setelah 
luka terjadi dan melibatkan platelet. Pengeluaran platelet akan 
memicu  vasokonstriksi. Proses ini bertujuan untuk 
homeostatis sehingga mencegah perdarahan lebih lanjut.  

tahap inflamasi selanjutnya terjadi beberapa menit setelah luka 
terjadi dan berlanjut hingga sekitar 3 hari. tahap inflamasi 
memungkinkan pergerakan leukosit (utamanya neutrofil). Neutrofil 
selanjutnya  memfagosit dan membunuh bakteri dan masuk ke 
matriks fibrin dalam persiapan pembentukan jaringan baru. 
2. tahap Proliferasi atau Rekonstruksi (2-24 hari). 
Apabila tidak ada infeksi atau kontaminasi pada fase inflamasi, 
maka proses penyembuhan selanjutnya memasuki tahapan 
Proliferasi atau rekonstruksi. Tujuan utama dari fase ini adalah: 
--  Proses granulasi (untuk mengisi ruang kosong pada luka). 
--  Angiogenesis (pertumbuhan kapiler baru). 
Secara klinis akan tampak kemerahan pada luka. Angiogenesis 
terjadi bersamaan dengan fibroplasia. Tanpa proses 
angiogenesis sel-sel penyembuhan tidak dapat bermigrasi, 
replikasi, melawan infeksi dan pembentukan atau deposit 
komponen matrik baru. 
--  Proses kontraksi (untuk menarik kedua tepi luka agar saling 
berdekatan). 
Menurut Hunt (2003) kontraksi adalah peristiwa fisiologi yang 
memicu  terjadinya penutupan pada luka terbuka. 
Kontraksi terjadi bersamaan dengan sintesis kolagen. Hasil dari 
kontraksi akan tampak dimana ukuran luka akan tampak 
semakin mengecil atau menyatu.  
 
3. tahap Remodelling atau Maturasi (24 hari-1tahun). 
tahap ini merupakan fase yang terakhir dan terpanjang pada proses 
penyembuhan luka. Aktifitas sintesis dan degradasi kolagen berada 
dalam keseimbangan. Serabut-serabut kolagen meningkat secara 
bertahap dan bertambah tebal kemudian disokong oleh proteinase 
untuk perbaikan sepanjang garis luka. Kolagen menjadi unsur yang 
utama pada matrks. Serabut kolagen menyebar dengan saling 
terikat dan menyatu serta berangsur-angsur menyokong pemulihan 
jaringan. 
Akhir dari penyembuhan didapatkan parut luka yang matang yang 
memiliki  kekuatan 80 % dibanding kulit normal. 
 
C. TYPE PENYEMBUHAN LUKA 
1. Primary Healing. 
Jaringan yang hilang minimal, tepi luka dapat dirapatkan kembali 
melalui jahitan, klip atau plester. 
2. Delayed Primary Healing. 
Terjadi ketika luka terinfeksi atau ada  benda asing yang 
menghambat penyembuhan. 
3. Secondary Healing. 
Proses penyembuhan tertunda dan hanya bisa terjadi melalui 
proses granulasi, kontraksi dan epitelisasi. Secondary healing 
menghasilkan scar. 
 
D. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENYEMBUHAN 
LUKA 
1. Faktor Umum 
a. Usia. 
b. Penyakit yang menyertai. 
c. Vascularisasi. 
d. Kegemukan. 
e. Gangguan sensasi dan pergerakan. 
f. Status Nutrisi. 
g. Status psikologis. 
h. Terapi radiasi. 
i. Obat-obat. 
2. Faktor Lokal  
a. Kelembaban luka. 
b. Temperatur luka. 
c. Managemen luka. 
d. Tekanan, gesekan, dan tarikan. 
e. Benda asing. 
f. Infeksi luka. 
 

Perawatan luka merupakan salah satu tindakan keperawatan yang 
dikerjakan oleh perawat dengan sistematis dan komprehensif. 
Perawatan luka yang sistematis merupakan urutan langkah perawatan 
yang harus dikerjakan oleh profesional di bidang perawatan luka, 
sedangkan komprehensif merupakan metode yang dilakukan saat 
melakukan perawatan luka dengan mempertimbangkan kondisi bio, 
psikologis, sosial dan spiritual secara menyeluruh. Adapun langkah 
proses perawatan luka secara umum di bagi menjadi 3 tahapan yaitu 
pencucian, pengkajian dan pemilihan balutan. 
 
A. PENCUCIAN LUKA 
Langkah pertama pada perawatan luka adalah membuka balutan 
luka yang dilanjutkan pencucian luka. Langkah ini mengawali perawatan 
luka sebelum dilakukan pengkajian luka. Pencucian luka merupakan 
salah satu hal yang sangat penting dalam perawatan luka. Pencucian 
luka dibutuhkan untuk membersihkan luka dari mikroorganisme, benda 
asing, jaringan mati selain itu pencucian luka dapat memudahkan 
perawat dalam melakukan pengkajian luka sehingga perawat dapat 
dengan tepat menentukan tujuan perawatan luka dan pemilihan balutan. 
Pencucian luka yang baik dan benar akan mengurangi waktu perawatan 
luka atau mempercepat proses penyembuhan luka. Begitu pentingnya 
pencucian luka ini sehingga harus mendapat perhatian khusus dari 
seorang perawat luka. Walaupun demikian, perawat harus berhati-hati 
dalam pemilihan cairan pencuci luka karena tidak semua cairan pencuci 
luka baik dan tepat untuk setiap luka sama halnya dengan pemilihan 
balutan. Pemilihan cairan pencuci luka berdasarkan kondisi luka dan 
tujuan pencucian luka ini, jangan sampai pencucian luka yang 
dilakukan mengganggu proses penyembuhan luka itu sendiri. Bila 
tujuannya untuk mengatasi infeksi maka cairan pencuci dapat 
memakai  antiseptik, bila untuk menghilangkan benda asing beri 
H2O2 dst, dan tidak berlaku untuk luka akut tanpa infeksi, atau luka 
granulasi. 
Tujuan Pencucian  
1. Membersihkan jaringan nekrotik,  
2. Membuang dan mengurangi jumlah bakteri,  
3. Membuang eksudat purulent,  
4. Melembabkan luka, 
5. Memelihara kebersihan jaringan kulit sekitar luka 
 
Gambar 4. Pencucian luka 
 
Macam-macam Cairan Pencuci luka 
Cairan Pencuci luka apa saja dapat di jadikan cairan pencuci luka, yang 
terpenting seorang perawat harus mengetahui apa kandungan cairan itu 
dan apakah sesuai dengan tujuan pencucian luka yg dilakukan. Berikut 
cairan pencuci luka menurut Carville K 
--  Normal Saline 
--  Chlorhexidine Gluconate 
--  Centrimide (Savlon) 
--  Tap water,  
--  Larutan ringer lactat,  
--  Hypochlorous acid, 
--  Polyhexamethylene biguanide (PHMB)  
--  Natrium hipoklorit (NaClO),  
--  Electrolyzed strong water acid ( ESWA)  
--  Hydrogen Peroxide 
--  Povidone Iodine 
--  Trisdine 
--  Varidase Topical 
--  Elase 
--  Cadexomer Iodine Ointment 
Namun di Indonesia sesungguhnya banyak herbal/tanaman yang 
memiliki effect yang baik dalam pencucian luka misalnya; air rebusan 
daun jambu biji, air rebusan daun sirih dll dipercaya memiliki  efek 
antiseptik atau memberikan respon pada beberapa jenis bakteri. 
Teknik Pencucian Luka 
1. Swabing dan Scrubing 
Teknik swabing (usap) dan scrubing (gosok) sering dilakukan pada 
luka akut atau kronis. Teknik swabing dan scrubing memungkinkan 
untuk melepaskan kotoran yang menempel pada luka dengan 
mudah. Namun teknik ini tidak di anjurkan pada luka yang granulasi 
karena dapat merusak proses proliferasi jaringan.  
2. Penyiraman, Irigasi 
Teknik penyiraman (showering) adalah teknik pencucian yang paling 
sering dipakai . Tekanan yang tepat pada penyiraman, dapat 
mengangkat bakteri yang ada  pada luka, dapat mengurangi 
kejadian trauma, dan dapat juga mencegah terjadinya infeksi silang. 
Sedangkan teknik irigasi dilakukan pada luka yang memiliki rongga 
atau luka yang ada  pada rongga tubuh misalnya, mulut, hidung, 
servix dan lain-lain. 
3. Rendam 
Teknik perendaman biasanya dilakukan pada luka dengan balutan 
yang melekat. Teknik ini dapat mengurangi nyeri saat pelepasan 
balutan. Teknik ini juga dilakukan pada daerah-daerah yang sukar di 
jangkau dengan pinset 
 
Model dan seni perawatan luka sesungguhnya telah lama di 
kembangkan yaitu sejak jaman pra sejarah dengan pemanfaatan bahan 
alami yang diturunkan dari generasi ke generasi berikutnya, yang 
akhirnya perkembangan perawatan luka menjadi modern seiring 
ditemukannya ribuan balutan untuk luka. Menurut Carville (1998) tidak 
ada satu jenis balutan yang cocok atau sesuai untuk setiap jenis luka. 
Pernyataan ini menjadikan kita harus dapat memilih balutan yang tepat 
untuk mendukung proses penyembuhan luka. Pemilihan balutan luka 
yang baik dan benar selalu berdasarkan pengkajian luka. Sehingga 
pengkajian luka hendaknya dilakukan secara komprehensif dan 
sistematis. 
Tujuan Pengkajian 
--  Mendapatkan informasi yang relevan tentang pasien dan luka 
--  Memonitor proses penyembuhan luka 
--  Menentukan program perawatan luka pada pasien 
--  Mengevaluasi keberhasilan perawatan 
Pengkajian Riwayat Pasien 
Pengkajian luka harusnya dilakukan secara holistic yang bermakna 
bahwa pengkajian luka bukan hanya menentukan mengapa luka itu ada 
namun juga menemukan berbagai factor yang dapat menghambat 
penyembuhan luka. (Carvile K 1998). Faktor –faktor penghambat 
penyembuhan luka didapat dari pengkajian riwayat penyakit klien. Faktor 
yang perlu diidentifikasi antara lain : 
1. Faktor Umum 
--  Usia 
--  Penyakit Penyerta 
--  Vaskularisasi 
--  Status Nutrisi 
--  Obesitas 
--  Gangguan Sensasi atau mobilisasi 
--  Status Psikologis 
--  Terapi Radiasi 
--  Obat-obatan 
2. Faktor Lokal 
--  Kelembaban luka 
--  Penatalaksanaan manajemen luka 
--  Suhu Luka 
--  Tekanan, Gesekan dan Pergeseran 
--  Benda Asing 
--  Infeksi Luka 
 
Sedangkan pada penatalaksanaan perawatan luka perawat harus 
mengevaluasi setiap pasien dan lukanya melalui pengkajian terhadap : 
--  Penyebab luka (trauma, tekanan, diabetes dan insuffisiensi vena) 
--  Riwayat penatalaksanaan luka terakhir dan saat ini 
--  Usia pasien 
--  Durasi luka; akut (<12 minggu) atau kronis (> 12 minggu) 
--  Kecukupan saturasi oksigen 
--  Identifikasi faktor-faktor sistemik yang mempengaruhi penyembuhan 
luka; obat-obatan (seperti prednison, tamoxifen, NSAID) dan data 
laboratorium ( kadar albumin, darah lengkap dengan diferensial, 
hitung jumlah limposit total) 
--  Penyakit akut dan kronis, kegagalan multi sistem: penyakit jantung, 
penyakit vaskuler perifer, anemia berat, diabetes, gagal ginjal, 
sepsis, dehidrasi, gangguan pernafasan yang membahayakan, 
malnutrisi atau cachexia 
--  Faktor-faktor lingkungan seperti distribusi tekanan, gesekan dan 
shear pada jaringan yang dapat menciptakan lingkungan yang 
meningkatkan kelangsungan hidup jaringan dan mempercepat 
penyembuhn luka. Observasi dimana pasien menghabiskan harinya; 
ditempat tidur,? Dikursi roda?. Apakah terjadi shearing selama 
memindahkan pasien dari tempat yang satu ketempat lainnya? 
Apakah sepatu pasien terlalu ketat,? Apakah pipa oksigen pasien 
diletakkan di atas telinga tanpa diberi alas? 
 
Menurut Carville (1998), Pengkajian luka meliputi : 
1. Type/jenis luka 
2. Type Penyembuhan 
3. Kehilangan jaringan 
4. Penampilan klinis 
5. Lokasi 
6. Ukuran Luka 
7. Eksudasi 
8. Kulit sekitar luka 
9. Nyeri 
10. Infeksi luka 
11. Implikasi psikososial 
 
1. Jenis Luka 
a. Luka akut yaitu berbagai jenis luka bedah yang sembuh melalui 
intensi primer atau luka traumatik atau luka bedah yang sembuh 
melalui intensi sekunder dan melalui proses perbaikan yang 
tepat pada waktu dan mencapai hasil pemulihan integritas 
anatomis sesuai dengan proses penyembuhan secara fisiologis. 
b. Luka kronik, adalah terjadi bila proses perbaikan jaringan tidak 
sesuai dengan waktu yang telah diperkirakan dan 
penyembuhannya mengalami komplikasi, terhambat baik oleh 
faktor intrinsik maupun ekstrinsik yang berpengaruh kuat pada 
individu, luka atau lingkungan. Atau dapat dikatakan bahwa luka 
kronis merupakan kegagalan penyembuhan pada luka akut. 
2. Type Penyembuhan 
a. Primary Intention, Jika ada  kehilangan jaringan minimal 
dan kedua tepi luka dirapatkan baik dengan suture (jahitan), clips 
atau tape (plester). Tipe penyembuhan ini umumnya, jaringan 
parut  yang dihasilkan minimal. 
b. Delayed Primary Intention, Jika luka terinfeksi atau 
mengandung benda asing dan membutuhkan pembersihan 
intensif, selanjutnya ditutup secara primer pada 3-5 hari 
kemudian. 
c. Secondary Intention, penyembuhan luka terlambat dan terjadi 
melalui proses granulasi, kontraksi dan epithelization. Jaringan 
parut cukup luas. 
d. Skin Graft, Skin graft tipis dan tebal dipakai  untuk 
mempercepat proses penyembuhan dan mengurangi resiko 
infeksi. 
e. Flap, Pembedahan relokasi kulit dan jaringan subcutan  pada 
luka yang berasal dari jaringan terdekat. 
 
3. Kehilangan jaringan. 
Kehilangan jaringan menggambarkan kedalaman kerusakan 
jaringan atau berkaitan dengan stadium kerusakan jaringan kulit. 
a. Superfisial. Luka sebatas epidermis. 
b. Parsial ( Partial thickness ). Luka meliputi epidermis dan dermis. 
c. Penuh ( Full thickness ). Luka meliputi epidermis, dermis dan 
jaringan subcutan. Mungkin juga melibatkan otot, tendon dan 
tulang. 
Atau dapat juga digambarkan melalui beberapa stadium luka 
(Stadium I – IV ). 
a. Stage I :  Lapisan epidermis utuh, namun ada  erithema atau  
perubahan warna.  
b. Stage II :  Kehilangan kulit superfisial dengan kerusakan lapisan  
epidermis dan   dermis. Erithema dijaringan sekitar yang  nyeri, 
panas dan edema. Exudte sedikit sampai sedang  mungkin ada. 
c. Stage III : Kehilangan sampai dengan jaringan subcutan, dengan  
terbentuknya rongga (cavity), ada  exudat sedang sampai 
banyak. 
d. Stage IV :  Hilangnya jaringan subcutan dengan terbentuknya 
(cavity), yang   melibatkan otot, tendon dan/atau tulang.  
Terdapat exudate sedang sampai banyak. 
 
4. Penampilan Klinik 
Tampilan klinis luka dapat di bagi berdasarkan warna dasar luka 
antara lain : 
a. Hitam atau Nekrotik yaitu eschar yang mengeras dan nekrotik, 
mungkin kering atau lembab. 
b. Kuning atau Sloughy yaitu jaringan mati yang fibrous, kuning 
dan slough. 
c. Merah atau Granulasi yaitu jaringan granulasi sehat. 
d. Pink atau Epithellating yaitu terjadi epitelisasi. 
e. Kehijauan atau terinfeksi yaitu ada  tanda-tanda klinis 
infeksi seperti  nyeri, panas,  bengkak, kemerahan dan 
peningkatan exudate. 
 
5. Lokasi 
Lokasi atau posisi luka, dihubungkan dengan posisi anatomis tubuh 
dan mudah dikenali di dokumentasikan sebagai referensi utama. 
Lokasi luka mempengaruhi waktu penyembuhan luka dan jenis 
perawatan yang diberikan. Lokasi luka di area persendian 
cenderung bergerak dan tergesek, mungkin lebih lambat sembuh 
karena regenerasi dan migrasi sel terkena trauma (siku, lutut, kaki). 
Area yang rentan oleh tekanan atau gaya lipatan (shear force ) akan 

lambat sembuh (pinggul, bokong), sedangkan penyembuhan 
meningkat diarea dengan vaskularisasi baik (wajah). 
 
6. Ukuran Luka 
Dimensi ukuran meliputi ukuran panjang, lebar, kedalaman atau 
diameter ( lingkaran ). Pengkajian dan evaluasi kecepatan 
penyembuhan luka dan modalitas terapi adalah komponen penting 
dari perawatan luka. 
Semua luka memerlukan pengkajian 2 dimensi pada luka terbuka 
dan pengkajian 3 dimensi  pada luka berrongga atau berterowongan 
a. Pengkajian dua dimensi. 
Pengukuran superfisial dapat dilakukan dengan alat seperti 
penggaris untuk mengukur panjang dan lebar luka. Jiplakan 
lingkaran (tracing of circumference) luka direkomendasikan 
dalam bentuk plastik transparan atau asetat sheet dan memakai 
spidol. 
b. Pengkajian tiga dimensi. 
Pengkajian kedalaman berbagai sinus tract internal memerlukan 
pendekatan tiga dimensi. Metode paling mudah adalah 
memakai  instrumen berupa aplikator kapas lembab steril 
atau kateter/baby feeding tube. Pegang aplikator dengan ibu jari 
dan telunjuk pada titik yang berhubungan dengan batas tepi luka. 
Hati-hati saat menarik aplikator sambil mempertahankan posisi 
ibu jari dan telunjuk yang memegangnya. Ukur dari ujung 
aplikator pada posisi sejajar dengan penggaris sentimeter (cm). 
Melihat luka ibarat berhadapan dengan jam. Bagian atas luka 
(jam 12) adalah titik kearah kepala pasien, sedangkan bagian 
bawah luka (jam 6) adalah titik kearah kaki pasien. Panjang dapat 
diukur dari ” jam 12 – jam 6 ”. Lebar dapat diukur dari sisi ke sisi 
atau dari ” jam 3 – jam 9 ”. 
 

Gambar 5 Contoh Pengukuran dua dimensi dan tiga dimensi 
7. Exudate. 
Hal yang perlu dicatat tentang exudate adalah jenis, jumlah, warna, 
konsistensi dan bau. 
a. Jenis Exudate 
--  Serous – cairan berwarna jernih. 
--  Hemoserous – cairan serous yang mewarna merah terang. 
--  Sanguenous - cairan berwarna darah kental/pekat. 
--  Purulent – kental mengandung nanah. 
b. Jumlah, Kehilangan jumlah exudate luka berlebihan, seperti 
tampak pada luka bakar atau fistula dapat mengganggu 
keseimbangan cairan dan  memicu  gangguan elektrolit. 
Kulit sekitar luka juga  cenderung maserasi jika tidak 
menggunkan balutan atau alat pengelolaan luka yang tepat. 
c. Warna,Ini berhubungan dengan jenis exudate namun juga 
menjadi indikator klinik yang baik dari jenis bakteri yang ada 
Pengukuran dua dimensi (tidak ada rongga) 
Luas luka 15 cm x 12 cm 12 cm 
15 cm 

  
Pengukuran tiga dimensi (ada rongga) 
Luas luka 15 cm(P) x 12 cm(L) x 2 cm(T), 
dengan goa/undermining pkl. 12 – 05 + 5 cm 
pada luka terinfeksi (contoh, pseudomonas aeruginosa yang 
berwarna hijau/kebiruan). 
d. Konsistensi, Ini berhubungan dengan jenis exudate, sangat 
bermakna pada luka yang edema dan fistula. 
e. Bau, Ini berhubungan dengan infeksi luka dan kontaminasi luka 
oleh cairan tubuh seperti faeces terlihat pada fistula. Bau 
mungkin juga berhubungan dengan proses autolisis jaringan 
nekrotik pada balutan oklusif (hidrocolloid). 
 
8. Kulit sekitar luka. 
Inspeksi dan palpasi kulit sekitar luka akan menentukan apakah ada 
sellulitis, edema, benda asing, ekzema, dermatitis kontak atau 
maserasi. Vaskularisasi jaringan sekitar dikaji dan batas-batasnya 
dicatat. Catat warna, kehangatan dan waktu pengisian kapiler jika 
luka mendapatkan penekanan atau kompresi. Nadi dipalpasi 
terutama saat mengkaji luka di tungkai bawah. Penting untuk 
memeriksa tepi luka terhadap ada tidaknya epithelisasi dan/atau 
kontraksi. 
 
9. Nyeri. 
Penyebab nyeri pada luka, baik umum maupun lokal harus 
dipastikan. Apakah nyeri berhubungan dengan penyakit, 
pembedahan, trauma, infeksi atau benda asing. Atau apakah nyeri 
berkaitan dengan praktek perawatan luka atau prodak yang dipakai. 
Nyeri harus diteliti dan dikelola secara tepat. 
 
10. Infeksi luka 
Infeksi klinis dapat didefinisikan sebagai ”pertumbuhan organisme 
dalam luka yang berkaitan dengan reaksi jaringan”. (Westaby 1985). 
Reaksi jaringan tergantung pada daya tahan tubuh host terhadap 
invasi mikroorganisme. Derajat daya tahan tergantung pada faktor-
faktor seperti status kesehatan umum, status nutrisi, pengobatan 
dan derajat kerusakan jaringan. Infeksi mempengaruhi 
penyembuhan luka dan mungkin memicu  dehiscence, 
eviserasi, perdarahan dan infeksi sistemik yang mengancam 
kehidupan. Secara reguler klien diobservasi terhadap adanya tanda 
dan gejala klinis infeksi sistemik atau infeksi luka. 
 
Berdasarkan kondisi infeksi, luka diklasifiksikan atas: 
a. Bersih. Tidak ada tanda-tanda infeksi. Luka dibuat dalam 
kondisi pembedahan yang aseptik, tidak termasuk pembedahan 
pada sistem perkemihan, pernafasan atau pencernaan. 
b. Bersih terkontaminasi. Luka pembedahan pada sistem 
perkemihan, pernafasan atau pencernaan. Luka terkontaminasi 
oleh flora normal jaringan yang bersangkutan namun tidak ada 
reaksi host. 
c. Kontaminasi. Kontaminasi oleh bakteri diikuti reaksi host namun 
tidak terbentuk pus/nanah. 
d. Infeksi. Terdapat tanda-tanda klinis infeksi dengan peningkatan 
kadar leukosit atau makrophage. 
 
11. Implikasi Psikososial. 
Efek psikososial dapat berkembang luas dari pengalaman perlukaan 
dan hadirnya luka. Kebijaksanaan dan pertimbangan harus 
dipakai  dalam pengkajian terhadap masalah potensial atau aktual 
yang berpengaruh kuat terhadap pasien dan perawatnya dalam 
kaitannya terhadap; 
--  Harga diri dan Citra diri. 
--  Perubahan fungsi tubuh. 
--  Pemulihan dan rehabilitasi. 
--  Issue kualitas hidup. 
--  Peran keluarga dan sosial.  
--  Status finansial.  
  
Luka kronis di abdomen dengan ukuran 26 x 23 cm, dengan goa pkl 01 – 
05 + 4 cm, warna dasar luka nekrotik (hitam) 40 %, Slough (kuning) 60 
%, exudate sedang purulent ... cc, bau (+), kulit sekitar luka kering, nyeri 
dg skala....,  terkontaminasi kuman..... (setelah kultur) 
 
Gambar 6 Contoh Pengkajian luka 
 
C. PEMILIHAN BALUTAN 
Luka memicu  desintegrasi dan discontuinitas dari jaringan 
kulit. Sebagai akibatnya fungsi kulit dalam memproteksi jaringan 
yang ada di bawahnya menjadi terganggu. Kulit sama seperti baju 
yakni memberikan perlindungan bagi jairngan yang ada di bawahnya 
dari paparan secara fisik, mekanik, biologis maupun kimiawi dari 
lingkungan eksternal. 
Oleh karena itu tujuan utama dari balutan luka (wound dresssing) 
adalah menciptakan lingkungan yang kondusif dalam mendukung 
proses penyembuhan luka. Seperti baju yang memiliki ukuran, corak, 
dan warna, balutan luka (wound dressing) bersifat individual 
bergantung pada karakteristik dari luka itu sendiri. 

Di negara-negara yang sudah maju mereka tidak lagi 
memakai  dressing seperti rivanol, larutan iodine povidine 10 % 
yang diencerkan dan lain sebagainya. Mereka sudah memakai  
advanced dressing yang memiliki  fungsi mempertahankan 
kelembaban pada luka sehingga memicu perbaikan jaringan. 
 
MENGAPA LUKA HARUS DIBALUT 
Ada beberapa alasan mengapa luka harus dibalut, diantaranya: 
a. Menciptakan lingkungan yang mendukung penyembuhan. 
b. Mendukung rasa nyaman bagi pasien. 
c. Untuk melindungi luka dan kulit sekitarnya. 
d. Untuk mengurangi nyeri. 
e. Mempertahankan temperatur luka. 
f. Mengontrol dan mencegah perdarahan. 
g. Mengontrol dan mencegah bau. 
h. Menampung eksudat. 
i. Untuk mencegah pergerakan pada bagian tubuh yang 
cedera. 
j. Memberikan ‘compressi’ pada perdarahan atau statis vena. 
k. Mencegah dan mengatasi infeksi pada luka. 
l. Mengurangi penderitaan bagi klien. 
 
JENIS-JENIS TOPIKAL TERAPI 
a. Hidrofobik. 
Pengertian. 
Terbuat dari katun yang mengandung bahan aktif 
dialcylcarbamoil chloride (DACC) yang bersifat hidrofobik 
kuat. Sifat ini sama dengan karakteristik bakteri sehingga 
diharapkan dapat terjadi ikatan secara fisika dan dengan 
pergantian dressing, bakteri yang ada di permukaan luka 
juga terangkat.  
Kelebihan: 
--  Mengikat mikroorganisme pada luka sehingga 
meminimalkan kolonisasi yang pada akhirnya 
mencegah/meminimalkan resiko infeksi. 
--  Tidak menimbulkan resistensi. 
--  Tidak bersifat sitotoksik utamanya bagi jaringan granulasi. 
--  Tidak menimbulkan alergi. 
Kekurangan: 
--  Tidak dapat menyerap eksudat banyak. 
--  Biasanya membutuhkan secondary dressing. 
Contoh Produk: 
--  Cutimed Sorbact  Dressing Pad (BSN Medical). 
--  Cutimed Sorbact  Ribbon Gauze (BSN Medical). 
--  Cutimed Sorbact  Swab (BSN Medical). 
--  Cutimed Sorbact  Tupfers (BSN Medical). 
b. Natural Fibre Dry Dressing. 
Pengertian. 
Pembalut luka ini terbuat dari kapas, kasa, atau kombinasi 
keduanya. Kasa sudah lama dikenal oleh semua tenaga 
kesehatan sebagai balutan sejak lama. ekonomis membuat 
kasa menjadi primadona, namun akhir-akhir ini ratingnya 
mulai menurun tergantikan oleh modern dressing. 
Kelebihan: 
--  Mengabsorbsi dan melindungi. 
--  Menciptakan lingkungan yang kering pada luka (bila 
dibutuhkan). 
--  Dapat dipakai  untuk mengompres basah luka. 
Kekurangan: 
--  Sangat jauh dari kriteria balutan ideal. 
--  Tidak cocok untuk luka pada dermisd dan sub cutis.  
--  Serpihan katun dapat menjadi benda asing yang 
menghambat penyembuhan luka. 
Contoh Produk: 
--  Kapas. 
--  Kasa/gauze. 
 
c. Semipermeable Film Dressing. 
Pengertian. 
Dilapisi dengan bahan perekat, tipis, tranparan, mengandung 
polyurethane film. Permeabel terhadap gas, tapi 
impermeabel terhadap cairan dan bakteri, mendukung 
kelembaban termasuk pada ‘nerve endings’ sehingga 
mengurangi nyeri, dan yang paling penting adalah 
memudahkan inspeksi pada luka. 
Kelebihan: 
--  Permeabel terhadap gas. 
--  Impermeabel terahdap cairan dan bakteri. 
--  Mengurangi nyeri sebab ujung saraf dipertahankan tetap 
lembab. 
--  Memudahkan inspeksi luka. 
Kekurangan: 
--  Tidak dapat menyerap eksudat. 
--  Tidak cocok untuk luka dengan eksudat sedang hingga 
banyak. 
--  Bila tidak-hati-hati saat melepaskan dapat merusakn 
jaringan. 
Contoh Produk: 
--  Leukomed T (BSN Medical). 
--  Opsite (Smith & Nepehew). 
--  EpiVIEW (ConvaTEC). 
 d. Foam Dressing. 
Pengertian. 
Mengandung Polyurethane foam, tersedia dalam kemasan 
sheets (lembaran) atau ‘cavity filling’. Dressing ini sangat 
cocok dipakai  pada luka dengan ‘severe’ hingga ‘high 
eksudat’. 
Kelebihan: 
--  Mendukung suasana lembab pada luka. 
--  Daya serap tinggi. 
--  Dapat mengikuti kontur permukaan kulit. 
Kekurangan: 
--  Tidak memngkinkan terjadinya autulysis debridement. 
Contoh Produk: 
--  Allevyn (Smith & Nephew). 
--  Hydrasorb (ConvaTEC). 
e. Hydrocolloids. 
Pengertian. 
Balutan ini mengandung partikel hydroactive (hydrophilic) 
yang terikat dalam polymer hydrophobic. Partikel 
hydrophilic-nya mengabsorbsi kelebihan kelembaban pada 
luka dan menkonversikannya ke dalam bentuk gel. 
Hydrogel dapat bertahan 5-7 hari bergantung karakter 
eksudat. 
Kelebihan: 
--  Partikel hydroaktifnya dapat menyerap eksudat. 
--  Membentuk gel pada permukaan luka sehingga 
menciptakan suasana lembab. 
--  Mengurangi frekuensi balutan sebab dapat bertahan 
5-7 hari. 
Kekurangan: 
--  Tidak direkomendasikan untuk luka yang terinfeksi 
bakteri anerob. 
--  Melengket, sehingga harus hati-hati saat dipakai  
pada tepi luka yang mudah terkelupas. 
--  Kurang cocok untuk luka dengan cavity. 
Contoh Produk: 
--  DuoDERM (ConvaTec). 
--  Aquacell Hydrofiber (ConvaTec). 
--  Comfeel (Coloplst). 
f. Hydrogels. 
Pengertian. 
Salah satu contoh colloid yang berbahan dasar gliserin 
atau air mengembang dalam air (exudat luka). Mirip 
dengan hydrocolloid tapi dalam bentuk gel. 
Kelebihan: 
--  Bekerja sebagai autolitik debridemen. 
--  Menciptakan suasana yang lembab pada luka. 
--  Mengabsorbsi eksudat. 
Kekurangan: 
--  Amphorous gel  tidak boleh dipakai  pada sinus 
yang belum jelas dasarnya. 
--  Biasanya membuthkan balutan sekunder. 
--  Dapat terjadi maserasi disekitar kulit luka. 
Contoh Produk: 
--  Cutimed Gel (BSN Medical). 
--  Intrasite Gel (Smith & Nephew). 
--  DuoDERm Gel (ConvaTEC). 
  
g. Calcium Alginate. 
Pengertian. 
Terbuat dari polysakarida rumput laut (seawed 
polysacharida), dapat menghentikan perdarahan minor 
pada luka, tidak lengket, menyerap eksudat dan berubah 
menjadi gel bila kontak dengan cairan tubuh. 
Kelebihan: 
--  Menghentikan perdarahan minor pada luka. 
--  Mempertahankan ujung saraf lembab sehinga 
mengurangi nyeri. 
--  Dapat menyerap eksudat minimal hingga sedang. 
Kekurangan: 
--  Biasanya membutuhkan secondary dressing. 
--  Kadang sulit membedakan antara pus dengan gel 
alginate yang terbentuk. 
--  Tidak cocok untuk luka kering. 
Contoh Produk: 
--  Kaltostat (ConvaTEC). 
--  Algisite (Smith & Nephew). 
--  Comfeel Seasorb (Coloplast). 
h. Silver Dressing 
a. Pengertian. 
Silver dressing cocok dipakai  untuk luka kronis yang tak 
kunjung sembuh. Memiliki kemampuan dalam 
mengendalikan kolonisasi bakteri pada permukaan luka 
sehingga mempercepat reephitelisasi hingga 40 % 
dibanding penggunaan cairan antibiotik. 
b. Kelebihan: 
--  Efektif membunuh bakteri termasuk biofilm 
--  Memiliki efek sitotoksik yang kuat  
c. Kekurangan: 
--  Penggunaan yang lama dapat memicu  
kerusakan fibroblast 
--  Menghambat proses granulasi dan proliferasi sel  
 
d. Contoh Produk: 
--  Acticoat (Smith & Nephew). 
 
TOPIKAL TERAPI YANG IDEAL 
Bagaimana memilih topikal terapi yang ideal, disinilah dibutuhkan 
kecakapan seorang perawat dalam memilih balutan yang ideal. 
Bukan hanya gambaran klinis luka yang perlu dipertimbangan tapi 
juga aspek lain seperti estetika, kosmetika, kondisi ekonomi klien, 
dll. Menurut Keryln Carville dalam bukunya ‘Wound Care Manual’ 
menetapkan 15 kriteria Balutan luka yang ideal, yaitu: 
a. Mengeluarkan kelebihan eksudat. 
b. Mempertahankan kelembaban dalam penyembuhan luka. 
c. Memungkinkan pertukaran gas. 
d. Mendukung isolasi thermal dari luka. 
e. Sebagai barrier terhadap kuman patogen. 
f. Mencegah infeksi. 
g. Tidak meninggalkan serat atau substansi toksis bagi 
penyembuhan luka. 
h. Tidak menimbulkan sensitifitas atau reaksi alergi. 
i. Pelindung dari trauma mekanik seperti tekanan, tarikan atau 
gesekan. 
j. Mudah dilepaskan tapi tidak menimbulkan trauma jaringan. 
k. Mudah di aplikasikan. 
l. Nyaman dipakai . 
m. Mengikuti contour tubuh. 
n. Tidak mengganggu fungsi tubuh.  
o. Cost effective. 
 

Luka akut adalah luka yang sembuh sesuai dengan fisiologis proses 
penyembuhan luka. Tiap fisiologis proses penyembuhan luka memiliki 
waktu penyembuhannya yaitu; tahap inflamasi selama saat cedera 
sampai tiga atau lima hari, tahap proliferasi mulai hari pertama sampai 
21 hari dan  maturasi dari hari ke-21 sampai dua tahun 
Waktu fisiologis proses penyembuhan luka ini dilalui oleh luka akut.  
Luka akut dapat dibagi berdasarkan penyebabnya yaitu; luka yang 
direncanakan dan luka tidak direncanakan. Luka akut yang direncanakan 
cenderung dilakukan di ruang yang steril dan sudah dipersiapkan seperti 
pada luka paska pembedahan. Luka yang tidak direncanakan terjadi 
secara tiba-tiba akibat trauma tumpul atau tajam yang cenderung 
terkontaminasi dengan lingkungan luar. Kedua penyebab luka akut 
ini memiliki prinsip manajemen yang berbeda Luka 
akut ini juga dapat berisiko terjadi infeksi 2%-5% seperti surgical 
site infection (SSI) atau infeksi daerah operasi (IDO) jika tidak 
mendapatkan perawatan luka yang tepat 
Komplikasi lainnya yang dapat terjadi pada luka akut, antara lain; 
perdarahan, dehisen, hipertropik scar dan lainnya. 
1. Deskripsi Luka Akut 
Luka akut sembuh sesuai dengan fisiologis proses penyembuhan 
luka. Penyembuhan luka akut paska pembedahan membutuhkan 
waktu untuk migrasi sel epitel melewati sisi luka selama 48 jam 
(Carvile, 2007). Selama proses penyembuhan luka akut 
membutuhkan lingkungan luka yang optimal yaitu lingkungan luka 
moist atau lembab. Luka akut dapat sembuh sekitar 4-14 hari dalam 
lingkungan luka optimal (Hess, 1999; Gabriel, 2015). Luka akut dapat 
sembuh memakai  tipe penyembuhan primer atau sekunder 
bahkan tersier jika ada infeksi atau benda asing. Tipe penyembuhan 
dapat dibagi menjadi tiga, yaitu; 
a. Tipe penyembuhan primer; luka akut yang sembuh dibantu 
dengan jahitan atau memakai  tape (plaster) atau glue (lem) 
b. Tipe penyembuhan sekunder; luka akut yang sembuh dengan 
mendukung pertumbuhan jaringan granulasi dari dasar luka  
c. Tipe penyembuhan tersier; luka akut yang sembuh dengan 
menghilangkan benda asing atau infeksi terlebih dahulu sebelum 
dilakukan tipe penyembuhan primer atau sekunder. 
 
2. Manajemen Perawatan Luka Akut 
Manajemen perawatan luka akut akibat trauma (tidak direncanakan) 
dan paska pembedahan (direncanakan) memiliki prinsip yang 
berbeda. Fokus manajemen pada luka paska trauma adalah 
menstabilisasi keseimbangan tubuh (homeostasis) akibat dari 
perdarahan atau kekurangan cairan dan lainnya. Fokus manajemen 
pada luka akut akibat pembedahan adalah untuk mencegah infeksi. 
Berikut manajemen perawatan luka akut akibat trauma dan paska 
pembedahan 
a. Manajemen luka akut paska trauma 
--  Mengembalikan dan mempertahankan homeostasis tubuh 
--  Mengkaji derajat dan tipe jaringan yang mengalami trauma.  
--  Melakukan pencucian luka, debridemen dan cegah infeksi 
--  memakai  teknik aseptik sesuai indikasi 
--  Menghindari komplikasi paska trauma seperti perdarahan 
dan adanya benda asing 
--  Mengembalikan fungsi bagian tubuh yang mengalami trauma 
--  Mendukung proses pemulihan dan rehabilitasi kembali ke 
aktivitas sehari-hari sesuai kemampuan 
b. Manajemen luka akut paska pembedahan 
--  Mencegah infeksi 
--  memakai  teknik aseptik untuk 48 jam pertama sampai 
epitelisasi primer muncul 
--  Melindungi luka dari trauma dan dukung tipe penyembuhan 
primer dengan penggunaan dressing yang tepat 
--  Menghindari komplikasi pembedahan seperti infeksi, 
hematoma dan dehisense 
--  Mendukung proses pemulihan dan rehabilitasi kembali ke 
aktivitas sehari-hari sesuai kemampuan 
 
3. Pemilihan Balutan Luka Akut 
Balutan dalam perawatan luka akut harus dapat mendukung 
fisiologis proses penyembuhan luka. Balutan luka akut harus dapat 
melindungi luka atau proses migrasi sel epitel yang berlangsung 
selama 48 jam dari trauma fisik, termal ataupun kimiawi. Carvile 
(2007) menyatakan pada luka paska pembedahan membutuhkan 
balutan ideal yang mendukung proses epitelisasi, seperti melindungi 
luka dari invasi patogen dan trauma fisik, menyerap eksudat yang 
diantisipasi, mempertahankan suhu dan pH lingkungan luka. 
Beberapa balutan yang dapat direkomendasikan pada luka akut 
antara lain; 
a. Kasa non adeheren 
Kasa non adeheren berbeda dengan kasa biasanya karena tidak 
melekat pada luka. Bahan polyester film yang menempel pada 
dasar luka tidak memicu  lengket sehingga mudah dibuka 
dan mencegah trauma pada saat mengganti balutan. Beberapa 
kasa non adeheren digabung (impregnated) dengan plester atau 
transparan film untuk memberikan perlindungan pada luka. 
Contoh produk kasa non adeheren; melolin, telfa, interpose dan 
lainnya.  
 
 
b. Tulle grass 
Mengandung serabut cotton yang bergabung (impregnated) 
dengan paraffin atau antimicrobial seperti neomycin, silver dan 
lainnya. Tulle grass hanya dapat dipakai  pada stadium luka I 
dan II sehingga tidak melekat pada luka. Tulle grass dapat 
dipakai  pada luka akut paska pembedahan atau trauma 
seperti abrasi. Contoh produk; lomatulle, sufratulle, bactigrass, 
urgotulle dan lainya. 
c. Transparan film 
Balutan yang mengandung polyurethane film. Balutan ini tidak 
dapat menyerap eksudat akan tetapi mampu untuk mengatasi 
tahap inflamasi pada luka akut. Balutan ini dapat berbentuk 
lembaran atau spray. Contoh produk; tegaderm, modress 
trasnparan film, flexifix, dan lainnya 
d. Hidrokoloid 
Balutan yang mengandung carboxylmethyl cellulosa (CMC) dan 
gelatin atau rumput laut. Balutan ini dipakai  untuk mengatasi 
inflamasi pada luka akut dan memberikan perlindungan dari 
trauma. Contoh balutan ini, yaitu: Hidrokoloid thin 
e. Calcium Alginate  
Mengandung polisakarida rumput laut yang mampu 
mengeluarkan ion kalsium dalam proses menghentikan 
perdarahan minor. Alginate berbentuk lembaran atau gel yang 
dapat memberikan lingkungan luka lembab dengan menyerap 
eksudat dari sedikit ke sedang. Alginate yang berbentuk 
lembaran dapat berubah menjadi gel dan berwarna kehijauan. 
f. Foam 
Mengandung polyurethane foam untuk menyerap eksudat. Foam 
dapat menyerap eksudat dari sedang sampai banyak. Balutan 
foam juga dipakai  untuk mencegah trauma fisik dari benturan 
atau gesekan sehingga migrasi sel epitel tidak terganggu. Contoh 
produk; allevyn, modress foam, pharmasuper foam, cutimed siltec 
dan lainnya. 
g. Antimikrobial 
Balutan antimikrobial dapat diberikan jika ditemukan luka akut 
yang berisiko infeksi. Pemberian balutan antimikrobial bukan 
untuk mengatasi infeksi akan tetapi mengontrol dan mencegah 
terjadinya infeksi. Antimikrobial yang dapat dipakai  antara lain; 
cadexomer iodine 0.9%, dialkylcarbamoyl chloride (DACC), silver 
dan lainnya. 
 
4. Prosedur Perawatan Luka Akut 
Perawatan luka akut dimulai dari mengenal tanda gangguan 
keseimbangan tubuh dan infeksi, mencuci luka, mengkaji luka dan 
memasang balutan. Luka dengan trauma misalnya luka bakar atau 
paska kecelakaan yang memicu  kehilangan banyak cairan 
perlu diperhatikan kepatenan jalan nafas, pernafasan dan sirkulasi. 
Berbeda dengan luka akut paska pembedahan yang perlu 
diperhatikan adanya tanda infeksi. Adanya tanda gangguan 
keseimbangan cairan dan infeksi dapat membantu perawat 
menentukan rencana perawatan luka yang terbaik. Berikut prosedur 
perawatan luka akut; 
a. Mengenal tanda gangguan keseimbangan tubuh dan infeksi 
Carvile (2007) menyatakan prioritas pertama dalam manajemen 
luka akut akibat trauma adalah mengembalikan keseimbangan 
tubuh. Adanya trauma akibat kecelakaan dan mengenai 
pembuluh darah atau tulang besar akan berisiko terjadi 
perdarahan yang mana perlu dilakukan bebat tekan dan 
resusitasi cairan. Begitu juga luka trauma akibat termal atau luka 
bakar juga perlu di kaji adanya trauam inhalasi yang dapat 
mengancam sumbatan jalan nafas serta kehilangan cairan yang 
harus segera diatasi terlebih dahulu. Berbeda dengan luka paska 
pembedahan yang perlu dikaji tanda infeksi yang dapat 
mengganggu proses penyembuhan terutama proses migrasi sel 
epitel dari tepi luka. Tanda gejala infeksi pada luka dapat dibagi 
menjadi dua, yaitu; 
--  Tanda gejala klasik infeksi, meliputi; nyeri, eritema, edema, 
panas lokal dan eksudat purulen. 
--  Tanda gejala spesifik infeksi meliputi; eksudat serous dengan 
inflamasi menetap, penyembuhan luka terhambat, perubahan 
warna jaringan granulasi, jaringan granulasi fragil atau rapuh, 
bau busuk dan tepi luka terpisah 
b. Pencucian luka 
Mencuci luka memiliki tujuan untuk membersihkan luka dari 
kotoran dan bau, mengurangi jumlah bakteri dan mendukung 
proses penyembuhan luka. Luka akut akibat trauma perlu 
dilakukan pencucian luka yang adekuat disertai debridemen 
jaringan mati atau benda asing untuk menurunkan risiko infeksi 
 Pencucian luka yang paling aman 
dapat memakai  cairan fisiologis yaitu normal salin (Potter 
and Perry, 2006). Jika luka berisiko infeksi maka dapat dicuci 
memakai  larutan antiseptik gentle yang mengandung 
polyhexamethylene biguanide (PHMB) atau yang lainnya. Teknik 
pembersihan dapat dilakukan dengan swab atau dengan irigasi. 
Baranoski dan Ayello (2012) menyatakan bahwa irigasi 
memakai  spuit 12 cc dan jarum nomer 22 G dapat 
menghasilkan tekanan sebesar 13 psi yang dapat dipakai  
untuk mengangkat kotoran atau debris pada pencucian luka. 
Teknik swab dan irigasi lebih sering dipakai  pada luka akut 
akibat trauma. Luka paska pembedahan lebih sering 
memakai  teknik swab atau gosokan memakai  kasa 
steril dari daerah yang terkontaminasi sedikit ke terkontaminasi 
banyak (Potter dan Perry, 2006). Pada gambar 5 dapat dilihat 
teknik swab atau mengusap luka paska pembedahan dan drain. 
Pada saat pencucian luka dapat dipertimbangkan untuk 
kolaborasi dalam pemberian analgetik karena beberapa kasus 
luka akibat trauma cenderung mengalami nyeri hebat. 
 
 
c. Mengkaji luka 
Luka yang sudah dibersihkan akan memudahkan perawat untuk 
melakukan pengkajian. Luka yang sudah dicuci akan memberikan 
dasar luka yang lebih jelas untuk dapat dievaluasi dimensi luka, 
derajat atau stadium luka, warna dasar luka, tipe jaringan, tepi 
dan kulit sekitar luka dan tanda infeksi. Adanya warna dasar luka 
hitam (nekrotik) atau kuning (slough) menandakan adanya 
jaringan yang tidak sehat sehingga perlu direncanakan 
debridemen untuk mempersiapkan dasar luka yang mendukung 
proses penyembuhan luka. Hasil pengkajian luka yang tepat akan 
memberikan rencana perawatan dan pemilihan balutan yang 
efektif. 

 
Gambar 7. Teknik Swab pada Luka Paska Pembedahan dan Drain 
d. Memasang balutan  
Balutan dipilih sesuai dengan hasil kajian luka yang telah 
diperoleh. Balutan yang dipakai  pada luka akut akibat 
 
trauma lebih banyak memakai  alginate untuk 
menghentikan perdarahan atau tulle grass pada stadium 1 
atau 2 yang mengandung antimikrobial untuk menurunkan 
risiko infeksi. Jika ada jaringan mati atau benda asing yang 
perlu diatasi maka dapat dipakai  hidrogel yang mampu 
mengangkat jaringan mati atau melakukan autolisis 
debridemen. Pada luka paska pembedahan lebih banyak 
dipakai  kasa non adeheren atau adesif yang tidak 
melekat pada luka dan dikombinasi dengan tulle grass atau 
antimikroba serta ditutup memakai  transparan film 
yang anti air atau tape (plester). Pemilihan balutan 
disesuaikan dengan tujuan pemilihan balutan dan 
mempertimbangkan cost efektif (biaya) yang disesuaikan 
dengan kemampuan pasien atau klien. 
 
5. Komplikasi Luka Akut 
Luka akut  dapat terjadi komplikasi jika tidak mendapatkan 
perawatan yang tepat. Beberapa komplikasi luka akut yang sering 
ditemui adalah perdarahan, hematoma, dehisen, eviserasi, 
hipersikatrik atau keloid (Carvile, 2007; Baranoski dan Ayello, 
2012). Pada luka akut akibat trauma atau paska pembedahan lebih 
sering terjadi hematoma atau perdarahan yang terjadi dalam waktu 
24 jam (primer) atau lebih (sekunder) (Carvile, 2007). Teknik dan 
prosedur perawatan luka serta pemilihan dressing yang tepat akan 
membantu proses penyembuhan luka akut optimal dan mencegah 
komplikasi. 
 
Rangkuman 
Luka akut adalah luka yang sembuh sesuai dengan fisiologis proses 
penyembuhan luka. Luka akut dapat sembuh memakai  tipe 
penyembuhan primer, sekunder atau tersier. Fokus manajemen dalam 
perawatan luka akut akibat trauma adalah resusitasi dan stabilisasi 
kesembangan homeostasis. Luka paska pembedahan difokuskan pada 
pencegahan infeksi. Balutan yang ideal untuk perawatan luka akut 
adalah balutan yang dapat melindungi dari trauma, mampu mengontrol 
eksudat dan menciptakan lingkungan luka lembab. Prosedur perawatan 
luka akut dimulai dari mengkaji tanda gangguan homeostasis dan infeksi, 
mencuci luka, mengkaji luka dan memasang balutan luka. Komplikasi 
yang dapat terjadi pada luka akut diantaranya perdarahan, hematoma, 
dan dehisen. 
 
Latihan Soal                               LATIHAN     
1. Jelaskan karakteristik luka akut 
2. Jelaskan manajemen luka akut akibat trauma 
3. Jelaskan manajemen luka akut paska pembedahan 
4. Jelaskan prosedur perawatan luka akut 
5. Jelaskan balutan yang dapat dipakai  dalam perawatan luka akut 
 
Tes Formatif 
Seorang laki-laki berusia 20 tahun mengalami kecelakaan dan dibawa ke 
IGD oleh petugas ambulan dengan keluhan ada luka pada dorsalis 
pedis. Hasil pemeriksaan ditemukan adanya luka dengan dimensi 8 cm x 
2 cm, permukaan tepi luka tidak rata,  perdarahan minor, dan ada  
butiran pasir pada dasar luka. 
 
Apakah balutan yang tepat untuk menghentikan perdarahan minor ? 
a. Hidrogel  
b. Kalsium Alginate 
c. Balutan Antimikrobial  
d. Foam 
e. Transparan film 
 
B. MANAJEMEN LUKA KRONIS  
Luka kronis merupakan jenis luka yang dapat dikatakan sebagai luka 
yang proses penyembuhannya tidak terjadi secara fisiologis, atau luka 
yang tidak sembuh dalam serangkaian tahapan yang teratur dan dalam 
jumlah waktu yang dapat diprediksi seperti kebanyakan luka; luka yang 
tidak kunjung sembuh dalam waktu tiga bulan seringkali dianggap kronis. 
Luka kronis tampaknya tertahan dalam satu atau lebih fase 
penyembuhan luka. Jenis luka kronik antara lain luka dekubitus, luka 
diabetes, luka abses, luka akut yang gagal sembuh secara fisiologis dan 
luka lainnya yang tidak termasuk luka akut. Pada modul ini akan di 
bahas 2 macam luka yang sering terjadi di Indonesia yaitu luka dekubitus 
dan luka diabetik. 
 
Manajemen Luka Dekubitus 
PENDAHULUAN 
Luka dekubitus diidentikkan dengan luka tekan, luka gesekan atau luka 
pergeseran akibat baring lama. Luka tekan atau luka dekubitus yang 
terjadi pada klien selalu menjadi satu kesalahan perawat dalam 
pemberian pelayanan keperawatan. Manusia kehilangan sekitar satu 
gram sel kulit setiap harinya akibat gesekan kulit pada baju dan aktivitas 
higiene yang dilakukan setiap hari seperti mandi, lulur penggunaan lotion 
dan lain-lain.  
Luka dekubitus juga dihubungkan dengan klien yang terjadi gangguan 
neurologi seperti stroke, atau kondisi para plegi atau placid pada 
ekstremitas sehingga klien tidak dapat melakukan mobilisasi. Di negara 
maju angka dekubitus sudah sangat rendah walaupun jumlah klien 
dengan immobilisasi banyak, hal ini di karenakan adanya perubahan 
posisi sehingga tekanan pada tubuh pada satu area tubuh dapat 
berganti, selain itu kualitas tempat tidur yang baik seperti “Big Cell” yang 
didesain khusus untuk klien dekubitus. Dekubitus merupakan suatu hal 
yang serius, dengan angka morbiditas dan mortalitas yang tinggi pada 
penderita lanjut usia. Di negara-negara maju, prosentase terjadinya 
dekubitus mencapai sekitar 11% dan terjadi dalam dua minggu pertama 
dalam perawatan. Kejadian luka dekubitus di Indonesia 33,3 % (Suriadi, 
2007) sedangkan di ASEAN (Jepang, Korea & Cina) berkisar 2,1 % s.d. 
18 % sedangkan studi Internasional menyebutkan angka 1,9 % s.d 63,6 
Di Negara kita terutama di Rumah sakit pemerintah, kualitas tempat tidur 
belum mendukung untuk pencegahan atau terapi pada klien dengan 
dekubitus, sehingga perawat dituntut untuk dapat melakukan modifikasi 
agar resiko dekubitus dapat di cegah serta penderita dekubitus dapat 
teratasi segera. Akhirnya angka kesakitan dan kematian akibat dekubitus 
dapat di turunkan atau tidak ada kematian karena luka dekubitus. 
Definisi 
Luka Dekubitus adalah kerusakan/kematian kulit sampai jaringan 
dibawah kulit, bahkan menembus otot sampai mengenai tulang akibat 
adanya penekanan pada suatu area secara terus menerus dalam waktu 
lama sehingga memicu gangguan sirkulasi darah setempat 
(WOCN Society,2003 dalam Bryant, 2007) 
 
Faktor Predisposisi Terjadinya Luka Dekubitus 
Faktor Intrinsik 
1. Usia 
2. Kondisi Kulit 
3. Mobilitas 
4. Status Nutrisi 
5. Perfusi Jaringan 
 
 
Faktor Intrinsik 
1. Tekanan, Geseran dan Gesekan 
2. Kelembaban 
3. Lokasi Penekanan  
 
  
 
 
 
Gambar 8. Skema Konseptual Etiologi Dekubitus 
 
Semua bagian tubuh manusia dapat mengalami dekubitus, namun 
bagian bawah dari tubuhlah yang terutama beresiko tinggi dan 
membutuhkan perhatian khsus. 
Area yang biasa terjadi dekubitus adalah tempat diatas tonjolan tulang 
dan tidak dilindungi oleh cukup dengan lemak sub kutan, misalnya 
daerah sakrum, daerah trokanter mayor dan spina ischiadica superior 
anterior, daerah tumit dan siku. 
↓ Mobilitas 
↓ Aktivitas 
↓ Persepsi Sensori 
Tekanan ↑ 
Perkembangan luka tekan Faktor Ekstrinsik 
Faktor Intrinsik 
↑ Kelembaban 
↑ Gesekan 
↑Tenaga yang merobek 
Usia, kondisi kulit, 
nutrisi, mobilitas, perfusi 
jaringan 
Toleransi jaringan ↓ 

Usia lanjut memiliki  potensi besar untuk terjadi dekubitus karena 
perubahan kulit berkaitan dengan bertambahnya usia antara lain: 
--  Berkurangnya jaringan lemak subkutan 
--  Berkurangnya jaringan kolagen dan elastin 
--  Menurunnya efesiensi kolateral kapiler pada kulit sehingga kulit 
menjadi lebih tipis dan rapuh. 
 
TIPE ULKUS DEKUBITUS 
Berdasarkan waktu yang diperlukan untuk penyembuhan dari suatu 
ulkus dekubitus dan perbedaan temperatur dari ulkus dengan kulit 
sekitarnya, dekubitus dapat dibagi menjadi tiga; 
1. Tipe normal 
Mempunyai beda temperatur sampai dibawah lebih kurang 2,5oC 
dibandingkan kulit sekitarnya dan akan sembuh dalam perawatan 
sekitar 6 minggu. Ulkus ini terjadi karena iskemia jaringan setempat 
akibat tekanan, tetapi aliran darah dan pembuluh-pembuluh darah 
sebenarnya baik. 
2. Tipe arterioskelerosis 
Mempunyai beda temperatur kurang dari 1oC antara daerah ulkus 
dengan kulit sekitarnya. Keadaan ini menunjukkan gangguan aliran 
darah akibat penyakit pada pembuluh darah (arterisklerotik) ikut 
perperan untuk terjadinya dekubitus disamping faktor tekanan. 
Dengan perawatan, ulkus ini diharapkan sembuh dalam 16 minggu. 
3. Tipe terminal 
Terjadi pada penderita yang akan meninggal dunia dan tidak akan 
sembuh. 
 
PATOFISIOLOGI TERJADINYA DEKUBITUS 
Secara normal tekanan kapiler berkisar antara 16 mmHg-33 mmHg. Kulit 
akan tetap utuh karena sirkulasi darah terjaga, bila tekanannya masih 
berkisar pada batas-batas ini. Tekanan ini akan meningkat 
terjadi kondisi tetap tekanan pada kulit, misalnya klien yang berbaring 
lama / imobilisasi di atas kasur busa maka tekanan daerah sakrum akan 
mencapai 60-70 mmHg dan daerah tumit mencapai 30-45 mmHg. 
Tekanan akan menimbulkan daerah iskemik dan bila berlanjut terjadi 
nokrosis jaringan kulit. Percobaan pada binatang didapatkan bahwa 
sumbatan total pada kapiler masih bersifat reversibel bila kurang dari 2 
jam. Seorang yang terpaksa berbaring berminggu-minggu tidak akan 
mengalami dakubitus selama dapat mengganti posisi beberapa kali 
perjammnya. 
Selain faktor tekanan, ada beberapa faktor mekanik tambahan yang 
dapat memudahkan terjadinya dekubitus yaitu pergeseran kulit dan 
adanya gesekan antara kulit dan tempat tidur. 
Sebagai tambahan dari shering forces ini, pergerakan dari tubuh diatas 
alas tempatnya berbaring, dengan fiksasi kulit pada permukaan alas 
akan memicu  terjadinya lipatan-lipatan kulit (skin folding). 
Terutama terjadi pada penderita yang kurus dengan kulit yang kendur. 
Lipatan-lipatan kulit yang terjadi ini dapat menarik/mengacaukan 
(distorsi) dan menutup pembuluh-pembuluh darah. 
Sebagai tambahan dari efek iskemia langsung dari faktor-faktor diatas, 
masih harus diperhatikan terjadinya kerusakan edotil, penumpukan 
trombosit dan edema. Semua inidapat memicu  nekrosis jarigan 
akibat lebih terganggunya aliran darah kapiler. Bahan bila endotel yang 
rusak memicu  pembuluh darah mudah rusak bila terkena trauma. 
 
Patofisiologi di tinjau dari respon seluler menurut Barbara Pieper 
(2007) adalah ; 
 
 
Gambar 9 Skema patofisiologi luka dekubitus 
 
Pressure 
Tissue Hypoksia 
Pallor 
Relief of pressure 
Reaksi Hiperemia 
pressure 
Hypoksia Resolves 
Resolution 
Pressure Ulcer 
Persistence Pressure 
Tissue Ischemia 
Metabolic wastes 
accumulate tissue 
Ischemia 
Perfusion worsens 
Edema 
tissue 
Increased protein 
accumulation in 
interstitial space 
Leak of capillaries 
because of 
increased 
permeability 

 
Stadium Luka Dekubitus (Sanada, NPUAF Japan) 
Derajat I Reaksi peradangan masih terbatas pada epidermis, 
tampak sebagai daerah kemerahan/eritema indurasi 
atau lecet. 
Derajat II Reaksi yang lebih dalam lagi sampai mencapai 
seluruh dermis hingga lapisan lemah subkutan, 
tampak sebagai ulkus yang dangkal, degan tepi yang 
jelas dan perubahan warna pigmen kulit. 
Derajat III Ulkus menjadi lebih dalam, meliputi jaringan lemak 
subkutan dan menggaung, berbatasan dengan fascia 
dari otot-otot. Sudah mulai didapat infeksi dengan 
jaringan nekrotik yang berbau. 
Derajat IV Perluasan ulkus menembus otot, hingga tampak 
tulang di dasar ulkus yang dapat memicu 
infeksi pada tulang atau sendi. 
Pencegahan dan Intervensi Awal Pasien Dengan Luka Dekubitus 
1. Kaji Resiko individu / klien terhadap kejadian luka dekubitus 
2. Skala yang sering dipakai  adalah skala Braden dan Norton. Saat 
ini skala ini telah diuji validitasnya di Indonesia, dan memiliki nilai 
validitas dan reliabilitasnya tinggi 
3. Skala S.S (Suriadi & Sanada)  
4. Identifikasi usia diatas 60 tahun, bayi dan neonatal, klien injury tulang 
belakang adalah kelompok yang memiliki  resiko tinggi terhadap 
luka tekan 
5. Kaji keadaan kulit secara teratur 
a. Minimal setiap hari sekali 
b. Kaji kulit di atas tonjolan tulang 
c. Kulit yang merah di atas tonjolan tulang tidak di pijat karena 
dapat mengganggu perfusi 
6. Kaji status mobilitas 
7. Gunakan bantal  
a. Diantara lutut kanan dan kiri 
b. Diantara mata kaki 
c. Dibelakang punggung 
d. Di bawah kepala 
8. Minimalkan terjadinya tekanan  
a. Hindari penggunaan donat dari kassa untuk tumit 
b. Tentukan jenis matras yang sesuai 
9. Kaji dan minimalkan terhadap pergesekan dan pergeseran 
10. Bersihkan dan keringkan kulit secepat mungkin setelah episode 
incontinence. Posisi 30 derajat untuk mencegah klien merosot yang 
dapat memicu terjadinya robekan jaringan. 
11. Kaji Inkontinensia 
a. Bersihkan setiap kali lembab 
b. Hindari menggosok kulit dengan keras 
c. Pembersih perianal yang mengandung anti mikroba  
d. Gunakanlah air hangat atau sabun yang lembut  
e. Beri pelembab setelah dicuci 
f. Bila memakai  diaper, gunakan yang memiliki daya serap 
12. Kaji status nutrisi 
a. Serum albumin & Hb biasanya menurun 
b. Kaji ; BB, intake makanan, nafsu makan, masalah pencernaan, 
ggn pada gigi, riwayat pembedahan 
13. Kaji dan monitor jenis balutan yang dipergunakan 
14. Deskripsikan luka tekan: lokasi, ukuran, dasar luka, eksudasi, ada 
tidaknya infeksi, stadium, kulit sekitar luka, nyeri. 
15. Kaji factor yang menghambat penyembuhan 
a. Malignansi, diabetes, gagal jantung, gagal ginjal, pneumonia dll 
b. Medikasi seperti, steroid, agen imunosupresif atau obat anti 
kanker 
16. Evaluasi proses penyembuhan luka 
17. Kaji komplikasi ; abses, osteomielitis, bakteremia, fistula 
18. Edukasi tentang luka dekubitus 
19. Ideal support surface / Kasur khusus dekubitus exp. “Big Cell” 
a. Kontrol tekanan dalam jaringan 
b. Stabilitas 
c. Kontrol suhu permukaan tempat tidur 
d. Kontrol kelembaban permukaan kulit 
e. Cost effective 
f. Tahan lama 
Bila sudah terjadi dekubitus, tentukan stadium dan tindakan medik 
menyesuaikan apa yang dihadapi: 
1. Dekubitus derajat I 
Dengan reaksi peradangan masih terbatas pada epidermis; kulit 
yang kemerahan dibersihkan hati-hati dengan air hangat dan sabun, 
diberi lotion, kemudian dimassase 2-3 kali/hari. 
2. Dekubitus derajat II 
Dimana sudah terjadi ulkus yang dangkal; Perawatan luka harus 
memperhatikan syarat-syarat aseptik dan antiseptik. Daerah 
bersangkutan digesek dengan es dan dihembus dengan udara  
hangat bergantian untuk meransang sirkulasi. Dapat diberikan salep 
topikal, mungkin juga untuk meransang tumbuhnya jaringan 
muda/granulasi, Penggantian balut dan salep ini jangan terlalu 
sering  karena malahan dapat merusakkan pertumbuhan jaringan 
yang diharapkan. 
3. Dekubitus derajat III 
Dengan ulkus yang sudah dalam, menggaung sampai pada bungkus 
otot dan sering sudah ada infeksi; Usahakan luka selalu bersih dan 
eksudat disusahakan dapat mengalir keluar. Balut jangan terlalu 
tebal dan sebaliknya transparan sehingga permeabel untuk 
masukknya udara/oksigen dan penguapan.  Kelembaban luka dijaga 
tetap basah, karena akan mempermudah regenarasi sel-sel kulit. 
Jika luka kotor dapat dicuci dengan larutan NaCl fisiologis. Antibiotik 
sistemik mungkin diperlukan. 
4. Dekubitus derajat IV 
Dengan perluasan ulkus sampai pada dasar tulang dan sering pula 
diserta jaringan nekrotik; 
 
Manajemen Luka Dekubitus 
1. Gunakan kasur dekubitus 
2. Lakukan jadwal perubahan posisi 
3. Gunakan skala resiko 
4. Pertahankan kondisi kulit 
5. Hindari terjadinya tekanan, gesekan dan pergeseran 
6. Perawatan luka yang adekuat 
Prinsif Perawatan Luka Dekubitus 
1. Pengkajian 
2. Pencucian Luka  
3. Pengangkatan Jaringan Mati 
4. Pemilihan Topikal Terapi 
a. Support lingkungan luka : lembab 
b. Kurangi resiko infeksi 
c. Tidak melukai jaringan baru 
d. Mudah dipakai  
e. Mengurangi bekas luka 
f. Cost effektif 
5. Kultur luka 
 
 
 
 

 
SKALA NORTON UNTUK MENGUKUR RISIKO DEKUBITUS 
Uraian  Skor 
Tanggal 
      
Kondisi fisik umum:         
- Baik 4       
- Lumayan 3       
- Buruk 2       
- Sangat buruk 1       
Kesadaran:         
- Komposmentis 4       
- Apatis 3       
- Konfius/Soporis 2       
- Stupor/Koma 1       
Aktivitas :         
- Ambulan 4       
- Ambulan dengan bantuan 3       
- Hanya bisa duduk 2       
- Tiduran 1       
Mobilitas :         
- Bergerak bebas 4       
- Sedikit terbatas 3       
- Sangat terbatas 2       
- Tak bisa bergerak 1       
Inkontinensia :         
- Tidak 4       
- Kadang-kadang 3       
- Sering Inkontinentia urin 2       
- Sering Inkontinentia alvi dan urin 1       
skor total         
Risiko dekubitus jika skor total ≤ 14 
  
 
Manajemen Luka Diabetes / Luka Kaki Diabetes 
Luka Kaki diabetik adalah salah satu komplikasi diabetes yang paling 
signifikan dan merusak, dan didefinisikan sebagai kaki mengalami luka 
yang berhubungan dengan neuropati dan / atau penyakit arteri perifer 
ekstremitas bawah. Prevalensi ulserasi kaki diabetik pada populasi 
diabetes adalah 4 -10%; kondisi ini lebih sering pada pasien yang lebih 
tua.   
Mayoritas (60-80%) dari luka kaki akan sembuh, sementara 10-15% dari 
mereka akan tetap aktif, dan 5-24% dari mereka akhirnya akan 
memicu  amputasi anggota tubuh dalam jangka waktu 6-18 bulan 
setelah evaluasi pertama.  
Luka neuropatik lebih mungkin sembuh dalam waktu 20 minggu, 
sementara luka  neuroischemik membutuhkan waktu lebih lama dan 
lebih sering memicu  amputasi anggota gerak. Studi melaporkan  
bahwa 40-70% dari semua amputasi nontraumatic pada tungkai bawah 
terjadi pada klien  dengan diabetes. Selain itu, banyak penelitian telah 
melaporkan bahwa luka  kaki sekitar 85% dari semua amputasi yang 
dilakukan adalah  pada klien  diabetes. 
Risiko luka  kaki dan amputasi tungkai meningkat dengan bertambahnya 
usia dan lamanya diabetes. Perawatan luka kaki diabteik yang tepat dan 
pencegahan kaki diabetik sangat penting, mengingat dampak negatif 
pada kualitas hidup klien  dan beban ekonomi terkait pada sistem 
perawatan kesehatan . 
 
Definisi Luka kaki diabetes / Diabetic Foot Ulcer  
Luka yang terjadi akibat dari gangguan neuropati dan atau penyakit arteri 
perifer yang sering terjadi pada ekstremitas bawah baik pada lapisan 
kulit supferfisial hingga tulang.  DFU dapat dikategorikan sebagai murni 
neuropatik, murni iskemik atau neuroischemik (campuran). Area  yang 
paling umum: permukaan plantar kaki (kepala metatarsal dan midfoot), 
jari kaki (sendi interphalangeal dorsal atau ujung distal). 
 
Etiologi  
Etiologi luka  diabetes meliputi neuropati,  penyakit arteri,  tekanan, 
trauma   dan kelainan bentuk kaki.  Neuropati perifer diabetik, ada  
pada 60% orang diabetik dan 80% orang diabetik dengan ulkus kaki, 
dapat mengalami  risiko terbesar terjadinya perlukaan  kaki adalah ; 
penyakit mikrovaskular dan kontrol glikemik yang kurang. 
 
Patofisiologi 
Penyakit neuropati dan vaskular adalah faktor utama yang 
mengkontribusi terjadinya luka. Masalah luka yang terjadi pada klien  
dengan diabetik kaitannya adalah dengan  adanya pengaruh pada saraf 
yang ada  pada kaki dan biasanya dikenal sebagai neuropati perifer. 
Pada klien  dengan diabetik sering kali mengalami gangguan pada 
sirkulasi. Gangguan sirkulasi ini adalah yang berhubungan dengan 
“peripheral vascular diseases”. Efek sirkulasi inilah memicu  
kerusakan pada saraf.  
Neuropati perifer adalah penyebab utama pada luka diabetik di kaki. 
Neuropati adalah suatu kerusakan  saraf yang menghasilkan hilangnya 
fungsi dalam jaringan terutama pada serabut saraf. Pada klien  dengan 
diabetik neuropati dapat dipicu  oleh lesi iskemik  saraf, hal ini 
karena  penebalan pembuluh darah yang mensuplai saraf atau 
demyelinisasi saraf (destruksi pada sarung proteksi myelin pada 
sekeliling saraf), yang memperlambat konduksi impuls. Ataupun adanya 
penebalan dan hyalinisasi dinding pembuluh darah kecil akibat 
reduplikasi lamina basal di sekitar sel endotel menunjukkan peran 
iskemia saraf pada neuropati diabetes. 
Polineuropati, atau kerusakan multiple tipe saraf dan bentuk yang paling 
umum adalah neuropati pada klien  dengan diabetik pada kaki. 
Trineuropati yang mencakup: 
--  Hilangnya sensasi 
--  Hilangnya fungsi gerak 
--  Hilangnya fungsi autonomik (sistem saraf autonomik yang 
mengkontrol otot halus, kelenjar dan organ viseral) 
 
Kematian dan degenerasi saraf sensori (sensori neuropati) yang dapat 
karena iskemik dan demyelinisasi. Klien  akan mengalami 
ketidakmampuan dalam merasakan nyeri sehingga akan mengkontribusi 
terjadinya injuri pada kaki. Kematian dan degenerasi saraf pergerakan 
(motor neuropati ), otot pada anggota tubuh khususnya otot instrinsik 
pada kaki (pada permukaan plantar) adalah yang dapat memicu  
kelainan bentuk struktur dan footdrop. Perubahan degeneratif 
meningkatkan risiko klien  jatuh dan lebih lanjut injuri pada kaki. 
Kematian dan degenerasi saraf autonomik (autonomik neuropati), tidak 
berfungsinya kelenjar keringat dan sebasea dan kulit pada kaki klien  
akan tampak kering, pecah-pecah atau seperti adanya celah ataupun 
kerak kulit. Jika berkembang pada fisura, akan berisiko infeksi. Pada 
autonomik neuropati terjadi gangguan pada komponen simpatik yang 
mengkontrol vasokonstriksi dalam pembuluh darah perifer. Dampak 
ini dapat memicu  perubahan pada aliran darah ke tungkai 
dan kaki yang menimbulkan osteopenia (reduksi pada volume tulang) 
pada kaki dan pergelangan kaki.  
Pada penyakit Charcott (neuropati osteoatropati), tulang akan menjadi 
lemah oleh osteopenia dan terjadi fraktur bahwa klien  tidak dapat 
merasakan karena sensori neuroupati. Pada klien  akan merasakan rasa 
berat dalam berjalan. 
 
1. Neuropati autonomik:  
Gangguan pada saraf  autonomi, yang mengkontrol fungsi otot-otot 
halus, kelenjar dan organ viseral. Dengan adanya gangguan pada saraf 
autonomi pengaruhnya adalah terjadi perubahan tonus otot yang 
memicu  abnormalnya aliran darah. Dengan demikian kebutuhan 
akan nutrisi dan oksigen maupun pemberian antibiotik tidak mencukupi  
atau tidak dapat mencapai jaringan perifer, dan atau untuk kebutuhan 
metabolisme pada lokasi ini. Efek pada autonomi neuropati ini 
akan menimbulkan kulit menjadi kering, anhidrosis dampak dari kelenjar 
sebasea kurang atau tidak lagi memproduksi keringat; yang 
memudahkan kulit menjadi rusak dan luka yang sukar sembuh, dan 
dapat menimbulkan infeksi dan mengkontribusi untuk terjadinya gangren.  
2. Neuropati sensori 
Kondisi dabetik yang memengaruhi pada saraf sensori  yang 
memicu hilangnya sensasi rasa nyeri, tekanan, temperatur, 
maupu  gatar.   
3. Neuropati motorik  
Keadaan diabetik yang mengakibatkab gangguan pada sistem 
muskuloskletal yang berdampak pada  adanya kelainan bentuk atau 
deformitas, bentuk jari claw toe, hammer toe, bunnion atau hallux valgus, 
ves cavus, ves planus dan lainnya.  
 
Faktor risiko 
Faktor risiko yang diidentifikasi berhubungan dengan terjadinya luka kaki 
diabetik dari berbagai penelitian didapatkan antara lain : berat badan 
yang berlebih, penggunaan insulin, kadar gula darah sewaktu yang 
tinggi, HbA1c yang tidak terkontrol, laju endap darah, kadar kreatinin 
serum, tekanan darah pada tungkai bawah, claudikasio, riwayat penyakit 
vaskuler perifer, tingginya tekanan darah, neuropati sensorik, motorik 
dan otonom, dan ketiadaan reflek tendon akhiles, kebiasaan merokok, 
ketidakpatuhan diet DM, kurangnya aktivitas fisik, pengobatan tidak 
teratur, dan perawatan kaki tidak teratur. 
Trauma  
Pada klien luka diabetik dengan etiologi trauma dapat dipicu  oleh 
faktor gangguan neuropati.  Neuropati sensorik biasanya cukup berat 
hingga menghilangkan sensasi proteksi yang berakibat rentan terhadap 
trauma fisik dan termal, sehingga dapat  meningkatkan terjadinya risiko 
perlukaan di kaki. Ganguan sensasi propriosepsi yaitu sensasi posisi 
kaki juga hilang.  Pada neuropati motorik akan mempengaruhi semua 
otot, memicu penonjolan abnormal tulang, arsitektur normal kaki 
berubah, deformitas khas seperti hammer toe, clow toe dan hallux 
rigidus/bunion, pes cavus. pes planus, dan lainya. Pada deformitas kaki 
akan menimbulkan terbatasnya mobilitas, sehingga dapat meningkatkan 
tekanan plantar kaki dan mudah terjadi perlukaan. Neuropati autonom 
ditandai dengan kulit kering karena tidak berkeringat, dan peningkatan 
pengisian kapiler sekunder akibat pintasan arteriovenosus kulit. Hal ini 
dapat memunculkan fisura, hiperkeratosis, dan memudahkan untuk 
tejradi trauma. Hal ini juga dapat karena penimbunan sorbitol dan 
fruktosa yang memicu akson menghilang, kecepatan induksi 
menurun, parestesia, serta menurunnya refleks otot dan atrofi otot. 
 
 
Gambar 10 Skema Etiopatofisiologi terjadinya luka pada penderitia diabetes 
 
Tipe luka pada klien dengan diabetik 
Tipe luka diabetik dapat digolongkan menjadi dua faktor penyebab; 
faktor internal dan eksternal. Faktor internal adalah terkait dengan 
adanya gangguan pada vaskular dan  neuropati, serta faktor  eksternal 
karena trauma (tekanan, suhu, benda asing). Faktor trauma dapat 
menimbulkan perlukaan dan infeksi dengan pemicu satu atau dari 
keduanya yaitu neuropati dan gangguan vaskular. Oleh karenanya 
penderita diabetik dapat mengalami luka dengan tipe dan atau etiologi 
sebagai berikut.      
 
 
1. Luka diabetik neuropati  
Luka diabetik tipe neuropati adalah perlukaan yang terjadi 
dampak dari penekanan yang terlalu lama dan timbul trauma karena 
klien tidak merasakan sensasi pada area kaki. Ciri-ciri luka neuropati 
pada klien adalah dasar luka umumnya tampak merah dan tepi luka 
mengalami hiperkeratosis. dapat terlihat dengan ciri-ciri luka adalah 
paling sering terjadi pada plantar    
 
Gambar 11. Luka neuropati pada diabetic 
Manajemen perawatan:  
a. Perawatan luka dengan agresif debridemang pada tepi luka hingga 
tipis. Lakukan debridemang setiap klien visit.   
b. Perlakuan pada luka neuropoti harus kering dan atau tidak boleh 
dengan dressing yang membuat lembab atau basah: memakai  
dressing yang fungsinya menyerap eksudat, dan atau dressing yang 
kering yang memiliki fungsi antimikroba. Luka neuropati tidak cocok 
dengan memakai  seperti salep atau dengan kompres atau 
minyak.  
 
2. Luka diabetik tipe iskemik  
Luka diabetik tipe iskemik adalah perlukaan yang terjadi karena 
terjadinya penyumbatan pembuluh  darah arteri. Ciri-ciri luka iskemik,  
luka tampak pucat, tidak teraba denyut nadi pada area dorsal pedis, 
akral dingin, redahnya nilai Ankle Brachial Index Pressure (ABIP) pada 
umumnya  dibawah 0.6.             
Gambar 12 Luka diabetik tipe iskemik 
 
Manajemen Perawatan: 
a. Perlakuanya dengan perawatan luka yang kering, perlakuan moist 
bila  sudah ada  tanda -tanda vaskularisasi yang membaik, 
tepi luka tegas dan ada kontraksi luka, denyut nadi jelas dan kuat, 
suhu kulit membaik, dan tidak pucat, ABI mulai membaik. Pemilihan 
dressing disesuikan dengan wound bed dengan dressing yang tidak 
membuat basah.   
b. Biasanya luka iskemik bila  dilakukan debridemang dapat terjadi 
perluasan , oleh karenanya harus teliti dalam melakukan 
debridemang terutama memperhatikan vaskularisasi baik atau tidak. 
Apabila ada nekrotik dan bau dapat dila