Home »
profesi dokter 1
» profesi dokter 1
profesi dokter 1
Juni 21, 2023
profesi dokter 1
tentang Kesehatan yaitu keadaan sehat, baik secara fisik, mental,
spiritual maupun sosial yang memungkinkan setiap orang untuk
hidup produktif secara sosial dan ekonomis. UU ini
mengamanahkan bahwa “Pembangunan kesehatan bertujuan untuk
meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat
bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang
setinggi-tingginya, sebagai investasi bagi pembangunan sumber daya
manusia yang produktif secara sosial dan ekonomis”. Selanjutnya
pada Bab VI tentang usahaKesehatan Pasal 46 dinyatakan sebagai
berikut: “Untuk mewujudkan derajat kesehatan yang setinggitingginya bagi masyarakat, diselenggarakan usahakesehatan yang
terpadu dan menyeluruh dalam bentuk usahakesehatan
perseorangan dan usahakesehatan masyarakat”. Selanjutnya Pasal 52
menyatakan: “(1) Pelayanan kesehatan terdiri atas: a. pelayanan
kesehatan perseorangan; dan b. pelayanan kesehatan masyarakat. (2)
Pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi
kegiatan dengan pendekatan promotif, preventif, kuratif, dan
rehabilitatif”. Adapun Pasal 53 menyatakan: “(1) Pelayanan kesehatan
perseorangan ditujukan untuk menyembuhkan penyakit dan
memulihkan kesehatan perseorangan dan keluarga, (2) Pelayanan
kesehatan masyarakat ditujukan untuk memelihara dan
meningkatkan kesehatan serta mencegah penyakit suatu kelompok
dan masyarakat”.
Pembangunan kesehatan seperti yang dinyatakan di dalam
Peraturan Presiden Nomor 72 Tahun 2012 tentang Sistem Kesehatan
Nasional yaitu usahayang dilaksanakan oleh semua komponen
Bangsa negara kita yang bertujuan untuk meningkatkan kesadaran,
kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya,
sebagai investasi bagi pembangunan sumber daya manusia yang
produktif secara sosial dan ekonomis. Hal ini sesuai dengan visi dan
misi Rencana Pembangunan Jangka Panjang Bidang Kesehatan Tahun
2005-2025 (RPJP-K), memantapkan kemitraan dan kepemimpinan
yang transformatif, melaksanakan pemerataan usahakesehatan yang
terjangkau dan bermutu, meningkatkan investasi kesehatan untuk
keberhasilan pembangunan nasional. Selain itu, pembangunan
kesehatan diselenggarakan berlandaskan pada kemitraan atau
sinergisme yang dinamis dan tata penyelenggaraan yang baik,
sehingga berhasil guna dan bertahap dapat memberi manfaat yang
sebesar-besarnya bagi peningkatan derajat kesehatan masyarakat,
beserta lingkungannya.
Lebih lanjut Sistem Kesehatan Nasional seperti tertuang pada
Perpres Nomor 72/2012 mengamanatkan bahwa dokter harus mampu
melakukan usahakesehatan perseorangan (UKP) dan usaha
kesehatan masyarakat (UKM) dengan ciri berbudi luhur, memegang
teguh etika profesi, dan selalu menerapkan prinsip perikemanusiaan
dalam penyelenggaraan pembangunan kesehatan serta memiliki
kepedulian sosial terhadap lingkungan sekitar. usahakesehatan yang
bermutu diselenggarakan dengan memanfaatkan perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi serta harus lebih mengutamakan
pendekatan peningkatan kesehatan dan pencegahan penyakit.
Sistem Kesehatan Nasional dielaborasi lebih lanjut ke dalam
Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 75 Tahun 2014 tentang Pusat
Kesehatan Masyarakat. Menurut peraturan ini, Pusat Kesehatan
Masyarakat yang selanjutnya disebut Puskesmas yaitu fasilitas
pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan usahakesehatan
masyarakat dan usahakesehatan perseorangan tingkat pertama,
dengan lebih mengutamakan usahapromotif dan preventif, untuk
mencapai derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya di
wilayah kerjanya. usahaKesehatan Masyarakat (UKM) yaitu setiap
kegiatan untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan serta
mencegah dan menanggulangi timbulnya masalah kesehatan dengan
sasaran keluarga, kelompok, dan masyarakat. Sedangkan, usaha
Kesehatan Perseorangan (UKP) yaitu suatu kegiatan dan/atau
serangkaian kegiatan pelayanan kesehatan yang ditujukan untuk
peningkatan, pencegahan, penyembuhan penyakit, pengurangan
penderitaan akibat penyakit dan memulihkan kesehatan perseorangan.
Tenaga kesehatan yang akan melakukan kedua usahaini perlu
memiliki karakteristik sebagai berikut: harus bekerja sesuai dengan
standar profesi, standar pelayanan, standar prosedur operasional,
etika profesi, menghormati hak pasien, serta mengutamakan
kepentingan dan keselamatan pasien dengan memperhatikan
keselamatan dan kesehatan dirinya dalam bekerja.
Dokter sebagai salah satu tenaga kesehatan yang disebutkan
didalam Pasal 11 UU Tenaga Kesehatan Nomor 36 Tahun 2014 akan
bekerja di fasilitas pelayanan kesehatan tingkat pertama (Pasal 30 UU
Kesehatan Nomor 36 Tahun 2009). Dokter akan bekerja sebagai pelaku
awal (gatekeeper) pada layanan kesehatan tingkat pertama,
melakukan penapisan rujukan tingkat pertama ke tingkat kedua, dan
melakukan kendali mutu dan kendali biaya sesuai dengan standar
kompetensi dokter dalam sistem Jaminan Kesehatan Nasional.
Dokter yang bekerja di Puskesmas akan menjalankan fungsi
usahakesehatan masyarakat sebagai berikut:
1. Melaksanakan perencanaan berdasarkan analisa masalah
kesehatan masyarakat dan analisa kebutuhan pelayanan
yang diperlukan;
2. Melaksanakan advokasi dan sosialisasi kebijakan kesehatan;
3. Melaksanakan komunikasi, informasi, edukasi, dan
pemberdayaan masyarakat dalam bidang kesehatan;
4. Menggerakkan masyarakat untuk mengidentifikasi dan
menyelesaikan masalah kesehatan pada setiap tingkat
perkembangan masyarakat yang bekerjasama dengan sektor
lain terkait;
5. Melaksanakan pembinaan teknis terhadap jaringan pelayanan
dan usahakesehatan berbasis masyarakat;
6. Melaksanakan peningkatan kompetensi sumber daya
manusia Puskesmas;
7. Memantau pelaksanaan pembangunan agar berwawasan
kesehatan;
8. Melaksanakan pencatatan, pelaporan, dan evaluasi terhadap
akses, mutu, dan cakupan Pelayanan Kesehatan;
9. Memberikan rekomendasi terkait masalah kesehatan
masyarakat, termasuk dukungan terhadap sistem
kewaspadaan dini dan respon penanggulangan penyakit.
Sedangkan yang terkait dengan wewenang Puskesmas atas usaha
kesehatan perorangan, Dokter akan menjalankan fungsi usaha
kesehatan individu dan keluarga sebagai berikut:
1. Menyelenggarakan Pelayanan Kesehatan dasar secara
komprehensif, berkesinambungan dan bermutu;
2. Menyelenggarakan Pelayanan Kesehatan yang mengutamakan
usahapromotif dan preventif;
3. Menyelenggarakan Pelayanan Kesehatan yang berorientasi
pada individu, keluarga, kelompok dan masyarakat;
4. Menyelenggarakan Pelayanan Kesehatan yang mengutamakan
keamanan dan keselamatan pasien, petugas dan pengunjung;
5. Menyelenggarakan Pelayanan Kesehatan dengan prinsip
koordinatif dan kerja sama inter dan antar profesi;
6. Melaksanakan rekam medis;
7. Melaksanakan pencatatan, pelaporan, dan evaluasi terhadap
mutu dan akses Pelayanan Kesehatan;
8. Melaksanakan peningkatan kompetensi Tenaga Kesehatan;
9. Mengoordinasikan dan melaksanakan pembinaan fasilitas
pelayanan kesehatan tingkat pertama di wilayah kerjanya;
10. Melaksanakan penapisan rujukan sesuai dengan indikasi
medis dan Sistem Rujukan.
Pasal 35 Permenkes RI Nomor 75 Tahun 2014 menyebutkan
bahwa Puskesmas menyelenggarakan usahakesehatan masyarakat
tingkat pertama dan usahakesehatan perseorangan tingkat pertama,
serta dilaksanakan secara terintegrasi dan berkesinambungan.
Pasal 36 Permenkes RI Nomor 75 Tahun 2014 menjelaskan bahwa
usahakesehatan masyarakat tingkat pertama meliputi usaha
kesehatan masyarakat esensial dan usahakesehatan masyarakat
pengembangan. usahakesehatan masyarakat esensial yang harus
diselenggarakan oleh setiap Puskesmas untuk mendukung
pencapaian standar pelayanan minimal kabupaten/kota bidang
kesehatan meliputi:
1. Pelayanan promosi kesehatan;
2. Pelayanan kesehatan lingkungan;
3. Pelayanan kesehatan ibu, anak, dan keluarga berencana;
4. Pelayanan gizi; dan
5. Pelayanan pencegahan dan pengendalian penyakit.
Adapun usahakesehatan masyarakat pengembangan merupakan
usahakesehatan masyarakat yang kegiatannya memerlukan usaha
yang sifatnya inovatif dan/atau bersifat ekstensifikasi dan intensifikasi
pelayanan, disesuaikan dengan prioritas masalah kesehatan,
kekhususan wilayah kerja dan potensi sumber daya yang tersedia di
masing-masing Puskesmas. Lampiran Permenkes RI Nomor 75 Tahun
2014 telah menjelaskan secara lebih rinci mengenai jenis-jenis
kegiatan pada usahakesehatan masyarakat dan usahakesehatan
primer.
Selain Puskesmas, Dokter dapat juga bekerja pada fasilitas
pelayanan kesehatan tingkat pertama lainnya yang diselenggarakan
oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah dan/ atau masyarakat, seperti:
1. Rumah sakit
2. Klinik
3. Tempat praktik mandiri
4. Laboratorium kesehatan
5. Unit transfusi darah, dan
6. Fasilitas pelayanan kesehatan lainnya
Pembangunan kesehatan yang dilaksanakan selama 10 tahun
terakhir secara berkesinambungan dan terjadinya peningkatan kinerja
sistem kesehatan telah berhasil meningkatkan status kesehatan
masyarakat antara lain:
1. Penurunan Angka Kematian Bayi (AKB) dari 46 per 1.000
kelahiran hidup pada tahun 1997 menjadi 34 per 1.000
kelahiran hidup pada tahun 2007 dan menjadi 24 per 1.000
kelahiran hidup pada tahun 2017;
2. Penurunan Angka Kematian Ibu (AKI) dari 318 per 100.000
kelahiran hidup pada tahun 1997 menjadi 228 per 100.000
kelahiran hidup pada tahun 2007 dan menjadi 305 per
100.000 pada tahun 2015;
3. Peningkatan Umur Harapan Hidup (UHH) dari 68,6 tahun
pada tahun 2004 menjadi 70,5 tahun pada tahun 2007.
Berdasarkan studi Global Burden of disease, usia harapan
hidup untuk laki-laki yang lahir di tahun 2016 yaitu 69,8
tahun sedangkan untuk perempuan 73,6 tahun, meningkat
2,4 dan 3,4 tahun dibandingkan satu dekade sebelumnya;
4. Penurunan prevalensi kekurangan gizi pada balita dari 29,5%
pada akhir tahun 1997 menjadi sebesar 18,4% pada tahun
2007 (Riskesdas, 2007) dan 17,9 % (Riskesdas, 2010) dan
mengalami peningkatan kembali menjadi 19.6% pada tahun
2013 (Riskesdas, 2013);
5. Terjadinya peningkatan Contraceptive Prevalence Rate (CPR)
dari 60,4% (SDKI, 2003) menjadi 61,4% (SDKI, 2007) sehingga
Total Fertility Rate (TFR) stagnan dalam posisi 2,6 (SDKI 2007).
Derajat kesehatan masyarakat dipengaruhi oleh usahakesehatan
yang meliputi sub-sistem fasilitas pelayanan kesehatan. usaha
pemberdayaan masyarakat dipengaruhi oleh sub-sistem penelitian
dan pengembangan kesehatan yang dipengaruhi oleh lingkungan ilmu
dan teknologi, sub-sistem sumber daya kesehatan yang dipengaruhi
oleh lingkungan ekonomi, dan subsistem lingkungan sehat yang
dipengaruhi oleh lingkungan fisik dan biologi. Ketiga sub-sistem ini
secara bersama mempengaruhi sub-sistem usahapemberdayaan
massyarakat yang juga dipengaruhi oleh perubahan sosial budaya.
Sub-sistem manajemen kesehatan mempengaruhi lingkungan sehat
dan usahakesehatan dan derajat kesehatan masyarakat.
Derajat kesehatan masyarakat secara langsung dipengaruhi oleh
usahakesehatan, manajemen kesehatan dan pemberdayaan
masyarakat. Dengan demikian peran dokter di pelayanan kesehatan
tingkat primer sangat signifikan dalam memperkuat manajemen
pelayanan kesehatan dan pemberdayaan masyarakat.
A.2. Tantangan dan Peluang
A.2.1. Di Tingkat Nasional
Meskipun perkembangan usahakesehatan telah mengalami
peningkatan sebagaimana dimaksud di atas, namun masih terdapat
beberapa permasalahan, antara lain:
1. Masih terdapat disparitas geografi; kapasitas fiskal; belanja
daerah; pendidikan; infrastruktur; akses dan fasilitas
pelayanan kesehatan; tumpang tindih sasaran
penanggulangan kemiskinan dan akses fasilitas publik
(sumber Riset Fasilitas Kesehatan 2011 dan sumber lainnya);
2. Akses rumah tangga yang dapat menjangkau fasilitas
pelayanan kesehatan dan jumlah fasilitas pelayanan
kesehatan pada daerah terpencil, tertinggal, perbatasan, dan
pulau-pulau kecil terdepan dan terluar masih rendah. Jarak
fasilitas pelayanan kesehatan yang jauh disertai distribusi
tenaga kesehatan yang tidak merata antara lain ketersediaan
dokter di puskesmas tertinggi di Provinsi DI Yogyakarta 100%
dan terendah di Provinsi Papua 68%;
3. Masih terdapat disparitas sumber daya antara lain:
ketersediaan listrik 24 jam di puskesmas tertinggi di Provinsi
Jawa Tengah 99,8%, terendah di Provinsi Papua Barat 35,6%,
ketersediaan air bersih sepanjang tahun di puskesmas
tertinggi di Provinsi Jawa Timur 89%, terendah Provinsi Papua
39,5%;
4. Masih terdapat disparitas kependudukan antara lain:
Contraceptive Prevalence Rate (CPR) antar provinsi, CPR
terendah Provinsi Maluku 34,1% dan tertinggi Provinsi
Bengkulu 74%, Nasional 61,4%; disparitas Total Fertility Rate
(TFR) antar provinsi, TFR tertinggi Maluku 3,7 dan terendah
DIY 1,5 dan nasional 2,3; tingginya angka unmet-need 9,1%
(SDKI tahun 2007).
5. Hasil Riset Kesehatan Daerah Tahun 2018 masih ditemui
disparitas Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) dan cakupan
imunisasi antar wilayah masih tinggi, yaitu: 1) cakupan
pemeriksaan kehamilan tertinggi 99,0% dan terendah 66,8 % ;
2) cakupan imunisasi lengkap tertinggi sebesar 92,1 % dan
cakupan terendah sebesar 19,5 %; 3) rata-rata cakupan
pemeriksaan kehamilan sebesar 96,1 % ; 4) rata-rata cakupan
imunisasi dasar lengkap sebesar 57,9 % (Riskesdas 2018).
6. Penyakit infeksi menular masih merupakan masalah
kesehatan masyarakat yang menonjol, terutama: TB paru,
malaria, HIV/AIDS, DBD, Pneumonia, Filariasis, Diare
(Rifaskes 2018) dan penyakit-penyakit terabaikan yang belum
tereliminasi. Sedangkan untuk penyakit tidak menular
tekanan darah tinggi, obesitas dan prevalensi merokok yang
meningkat menjadi masalah kesehatan.
7. Penyakit yang kurang mendapat perhatian (neglected
diseases), antara lain filariasis, kusta, dan frambusia
cenderung meningkat, juga penyakit skabies di tempat
berisiko tinggi masih menjadi beban nasional serta penyakit
pes dst. Penyakit skabies termasuk kelompok penyakit yang
kurang mendapat perhatian dan negara kita masih menjadi
negara dengan beban kasus tertinggi di dunia (Global Burden
Study, 2015).
8. Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2018
menunjukkan adanya peningkatan kasus penyakit tidak
menular, antara lain penyakit kardiovaskuler (Hipertensi,
Jantung, stroke), Diabetes Militus, Penyakit Ginjal Kronis dan
kanker secara cukup bermakna, menjadikan negara kita
mempunyai beban ganda (double burden).
9. Angka kematian bayi telah mengalami penurunan dari 32 per
1000 kelahiran hidup menurut SKDI 2012 menjadi 24 per
1000 kelahiran hidup pada SKDI 2017. Sedangkan, angka
kematian ibu per 100.000 kelahiran hidup telah mengalami
penurunan dari 346 menurut SP 2010 menjadi 305 menurut
SUPAS 2015. Walaupun demikian, angka kematian bayi dan
angka kematian ibu masih tergolong tinggi.
10. Stunting telah mengalami penurunan dari 37,3 persen
menurut Riskesdas 2013 menjadi 30,8 persen menurut
Riskesdas 2018.
Di bidang pengembangan ilmu dan teknologi kesehatan, masih
dijumpai masalah sebagai berikut menurut Perpres Nomor 72 Tahun
2012:
1. Masih rendahnya penguasaan dan penerapan teknologi
kesehatan oleh sumber daya manusia negara kita khususnya
oleh tenaga kesehatan;
2. Masih rendahnya sumbangan hasil penelitian, pengembangan,
dan penapisan teknologi dan produk teknologi kesehatan bagi
pembangunan kesehatan;
3. Masih lemahnya sinergi kebijakan pemanfaatan hasil
penelitian, pengembangan, dan penapisan teknologi dan
produk teknologi kesehatan bagi pembangunan kesehatan;
4. Terbatasnya sumber daya manusia yang mempunyai
kompetensi dalam menjalankan profesi peneliti kesehatan;
5. Terbatasnya kemampuan adopsi dan adaptasi teknologi dan
produk teknologi kesehatan;
6. Masih rendahnya kemampuan masyarakat untuk
memanfaatkan hasil penelitian dan mengembangkan
teknologi dan produk teknologi kesehatan;
7. Masih lemahnya dukungan penyelenggaraan penelitian,
pengembangan, dan penapisan teknologi dan produk
teknologi kesehatan;
8. Hasil penelitian, pengembangan, dan penapisan teknologi dan
produk teknologi kesehatan termasuk hasil penelitian
kebijakan dan hukum kesehatan belum banyak dimanfaatkan
sebagai dasar perumusan kebijakan dan perencanaan
program dalam pengelolaan kesehatan.
Masalah strategis sumber daya manusia kesehatan yang dihadapi
dewasa ini dan di masa depan menurut Perpres Nomor 72 Tahun 2012
yaitu:
1. Pengembangan dan pemberdayaan sumber daya manusia
kesehatan belum dapat memenuhi kebutuhan sumber daya
manusia untuk pembangunan kesehatan terutama di daerah
terpencil, perbatasan, dan kepulauan serta daerah
bermasalah kesehatan;
2. Perencanaan kebijakan dan program sumber daya manusia
kesehatan masih lemah dan belum didukung dengan
tersedianya sistem informasi terkait sumber daya manusia
kesehatan yang memadai;
3. Masih kurang serasinya antara kebutuhan dan pengadaan
berbagai jenis sumber daya manusia kesehatan, kualitas hasil
pendidikan sumber daya manusia kesehatan dan pelatihan
kesehatan pada umumnya masih belum merata;
4. Dalam pendayagunaan sumber daya manusia kesehatan,
pemerataan sumber daya manusia kesehatan berkualitas
masih kurang, pengembangan karier, sistem penghargaan,
dan sanksi belum sebagaimana mestinya, regulasi untuk
mendukung sumber daya manusia kesehatan masih terbatas;
dan
5. Pembinaan dan pengawasan mutu sumber daya manusia
kesehatan masih kurang, dan dukungan sumber daya
kesehatan pendukung masih kurang.
Di bidang pembiayaan, telah diberlakukan Jaminan Kesehatan
yang merupakan bagian dari Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN)
yang diselenggarakan dengan memakai mekanisme asuransi
kesehatan sosial yang bersifat wajib (mandatory) berdasarkan UndangUndang Nomor 40 Tahun 2004 tentang SJSN dengan tujuan untuk
memenuhi kebutuhan dasar kesehatan yang diberikan kepada setiap
orang yang telah membayar iuran atau iurannya dibayar oleh
Pemerintah. JKN mulai berlaku sejak tanggal 1 Januari 2014.
Semua penduduk negara kita wajib menjadi peserta Jaminan
Kesehatan yang dikelola oleh BPJS Kesehatan termasuk orang asing
yang telah bekerja paling singkat enam bulan di negara kita, yang telah
membayar Iuran Jaminan Kesehatan. Peserta BPJS Kesehatan ada 2
kelompok yaitu: 1). Penerima Bantuan Iuran (PBI) Jaminan Kesehatan
dan 2). Bukan Penerima Bantuan Iuran (bukan PBI) Jaminan
Kesehatan. Peserta Penerima Bantuan Iuran Jaminan Kesehatan
yaitu fakir miskin dan orang tidak mampu sebagai Peserta program
Jaminan Kesehatan yang ditetapkan oleh menteri yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang sosial. Peserta
Bukan Penerima Bantuan Iuran Jaminan Kesehatan meliputi Pekerja
Penerima Upah (PPU) dan anggota keluarganya; Peserta Bukan
Penerima Upah (PBPU) dan anggota keluarganya; dan Bukan Pekerja
(BP) dan anggota keluarganya.
Dengan diberlakukannya Jaminan Kesehatan ini sebagai amanah
dari UU SJSN, maka telah terjadi peningkatan demand terhadap
pelayanan kesehatan. Akses masyarakat yang memanfaatkan
pelayanan kesehatan di Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP)
dan fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat lanjutan (FKRTL) semakin
baik. Sistem rujukan berjenjang berbasis kompotensi Fasilitas
pelayanan Kesehatan telah diterapkan, mulai fasilitas kseehatan
tingkat pertama, fasilitas kesehatan tingkat kedua/ sekunder dan
fasilitas kesehatan tingkat ketiga/tersier. Hal ini berimplikasi pada
semakin tertatanya sistem pelayanan kesehatan berbasis kompetensi
fasilitas pelayanan kesehatan dimana kasus penyakit yang menjadi
kompetensi di FKTP akan ditangani di FKTP demikian pula untuk
penanganan kasus penyakit di faskes tingkat kedua dan ketiga sesuai
kompotensinya. Dengan penataan sistem rujukan, penyelenggaraan
rotasi klinik diarahkan ke FKTP wahana pendidikan pendidikan
kedokteran.
Secara ringkas, arah kebijakan pembangunan kesehatan ke
depan yaitu penguatan usahapromotif dan preventif secara progresif
melalui gerakan kesehatan masyarakat, pemerataan pelayanan
kesehatan yang berkualitas, pengembangan dan peningkatan
efektivitas pembiayaan kesehatan, dan penguatan tata kelola
pelayanan kesehatan. Penurunan stunting dan pencegahan dan
pengendalian penyakit menular dan tidak menular tetap menjadi
prioritas.
A.2.2. Di Tingkat Regional dan Global
Perkembangan global, regional, nasional, dan lokal yang dinamis
akan mempengaruhi pembangunan suatu negara, termasuk
pembangunan kesehatannya. Hal ini merupakan faktor eksternal
utama yang mempengaruhi proses pembangunan kesehatan,
termasuk diantaranya kesehatan sebagai ketahanan nasional.
1. Masyarakat Ekonomi ASEAN
Dalam rangka pelaksanaan integrasi ASEAN, khususnya integrasi
ekonomi, untuk bidang kesehatan pada bulan Januari 2010 telah
ditandatangani Mutual Recognition Agreement (MRA). Dengan demikian
era keterbukaan untuk perdagangan jasa telah dimulai, termasuk juga
untuk pendidikan dan kesehatan. Tujuan diselenggarakannya
kerjasama dalam bidang jasa kesehatan yaitu: 1) Memfasilitasi
mobilitas praktisi medis ASEAN; 2) Pertukaran informasi dan
meningkatkan kerjasama, saling pengakuan para praktisi medis; 3)
Mempromosi dan mengadopsi praktik-praktik terbaik standardisasi
praktik medis. dan kualifikasi profesi. 4. Memberi kesempatan dalam
pembangunan kapasitas dan pelatihan praktisi medis.
Untuk menunjang ini, telah dilakukan pembentukan ASEAN Joint
Coordinating Committee on Medical Practitioners (AJCCM) dengan setiap
negara diwakili tidak lebih dari dua PMRA (Professional Medical
Regulatory Authority). Strategi dalam pelaksanaan MRA yaitu sebagai
berikut:
1. Mendorong negara-negara anggota ASEAN untuk melakukan
standarisasi, mengadopsi mekanisme dan prosedur dalam
pelaksanaan MRA.
2. Mendorong dan melakukan harmonisasi pertukaran informasi
tentang hukum, praktik kedokteran dan pengembangan di
kawasan ASEAN.
3. Mengembangkan mekanisme pertukaran informasi yang
berkesinambungan.
4. Meninjau pelaksanaan MRA setiap lima (5) tahun atau jika
perlu dapat lebih awal.
5. Melakukan hal lainnya yang berhubungan dengan MRA.
6. Komite harus merumuskan mekanisme untuk melaksanakan
mandatnya
Dalam usahaterbentuknya pasar tunggal di ASEAN, pada bulan
Maret 2014 di Yangoon telah disepakati pembentukan ASEAN
Qualication Reference Framework (AQRF), yang bertujuan:
1. Mendukung rekognisi kualifikasi antar negara ASEAN
2. Mendorong pegembangan kerangka kualifikasi yang
memfasilitasi belajar sepanjang hayat
3. Mendorong pengembangan pendekatan nasional untuk
memvalidasi pembelajaran yang dilakukan di luar pendidikan
formal (rekognisi pembelajaran lampau)
4. Mempromosikan dan mendorong mobilitas pendidikan dan
pembelajar
5. Mempromosikan mobilitas pekerja
6. Mengarahkan pada pemahaman yang lebih baik terhadap
sistem kualifikasi
7. Mempromosikan sistem kualifikasi pendidikan yang lebih
bermutu
2. Sustinable Development Goals
Sejak tahun 2015, Millenium Development Goals (MDGs)
ditetapkan. Dan, negara-negara di dunia pun mulai merumuskan
sebuah platform berkelanjutan untuk dapat mencapai cita-cita mulia
dari MDGs ini. Untuk itu, pada tanggal 25-27 September 2015
terjadi pertemuan akbar di Markas PBB di New York, dengan dihadiri
perwakilan dari 193 negara. Pertemuan Sustainable Development
Summit ini berhasil mengesahkan dokumen yang disebut Sustainable
Development Goals (SDGs)
Pertemuan ini sendiri merupakan tindak lanjut dari kesepakatan
pada pertemuan di tempat yang sama tanggal 2 Agustus 2015. Saat
itu sebanyak 193 negara anggota PBB mengadopsi secara aklamasi
dokumen berjudul Transforming Our World: The 2030 Agenda for
Sustainable Development (Mengalihrupakan Dunia Kita: Agenda
Tahun 2030 untuk Pembangunan Berkelanjutan).
Jadi, negara-negara di dunia sekarang menyepakati
sebuah platform baru dengan terminologi baru, yakni SDGs. Baik
SDGs maupun MDGs pada dasarnya memiliki persamaan cita-cita.
Salah satunya untuk mengentaskan kemiskinan di dunia. Namun, ada
hal yang lebih progresif yang dicantumkan di dalam SDGs yang ingin
dicapai pada tahun 2030 mendatang. Ada 17 sasaran yang disepakati
sebagai berikut, yaitu terciptanya dunia:
1. Tanpa kemiskinan;
2. Tanpa kelaparan;
3. Kesehatan yang baik dan kesejahteraan;
4. Pendidikan berkualitas;
5. Kesetaraan gender;
6. Air bersih dan sanitasi;
7. Energi bersih dan terjangkau;
8. Pertumbuhan ekonomi dan pekerjaan yang layak;
9. Industri, inovasi, dan infrastruktur;
10. Pengurangan kesenjangan;
11. Keberlanjutan kota dan komunitas;
12. Konsumsi dan produksi yang bertanggung jawab;
13. Aksi terhadap iklim;
14. Kehidupan bawah laut;
15. Kehidupan di darat;
16. Institusi peradilan yang kuat dan kedamaian; dan
17. Kemitraan untuk mencapai tujuan.
3. Era Disrupsi Teknologi dan Industri 4.0
Saat ini telah terjadi ‘era disrupsi teknologi’ yang dicirikan dengan
lima hal berikut ini. Pertama, disruption berakibat penghematan
banyak biaya melalui proses bisnis yang menjadi lebih simpel. Kedua,
ia membuat kualitas apapun yang dihasilkannya lebih baik ketimbang
yang sebelumnya. Ketiga, disruption berpotensi menciptakan pasar
baru, atau membuat mereka yang selama ini ter-eksklusi menjadi terinklusi. Membuat pasar yang selama ini tertutup menjadi terbuka.
Keempat, produk/jasa hasil disruption ini harus lebih mudah diakses
atau dijangkau oleh para penggunanya. Seperti juga layanan ojek atau
taksi online, atau layanan perbankan dan termasuk financial
technology, semua kini tersedia di dalam genggaman, dalam
smartphone kita. Kelima, disruption membuat segala sesuatu kini
menjadi serba smart. Lebih pintar, lebih menghemat waktu dan lebih
akurat. Keenam, terjadi pergeseran dari monodisiplin menuju ke
interdisiplin, multidisiplin dan transdisiplin. Dunia pelayanan
kesehatan akan banyak terpengaruh dengan kondisi ini, karena
teknologi digital telah banyak diadopsi dan diterapkan di berbagai
subsistem pelayanan kesehatan.
Para pelaku industri kesehatan memperkirakan sektor kesehatan
akan sangat mendapat manfaat yang besar dari fusi antara sistem fisik,
digital, dan biologis di era Industri 4.0. Saat ini sudah banyak teknologi
sehari-hari yang mampu mengumpulkan data tentang kesehatan dan
kebugaran yang memiliki potensi untuk mentransformasi riset dan
pelayanan medis. Untuk mengantisipasi pengaruh Industri 4.0
terhadap pelayanan kesehatan dibutuhkan kemampuan di bidang
artificial intelligent, machine learning, robotika, nanotechnology, 3-D
printing, genetika, bioteknologi, dan big data analytics.
A.3. Kompetensi Dokter
Menurut UU Nomor 29 Tahun 2004 tentang praktik kedokteran,
profesi kedokteran atau kedokteran gigi yaitu suatu pekerjaan
kedokteran atau kedokteran gigi yang dilaksanakan berdasarkan
suatu keilmuan, kompetensi yang diperoleh melalui pendidikan yang
berjenjang, dan kode etik yang bersifat melayani masyarakat.
Penyelenggaraan praktik kedokteran yang merupakan inti dari
berbagai kegiatan dalam penyelenggaraan usahakesehatan harus
dilakukan oleh dokter dan dokter gigi yang memiliki etik dan moral
yang tinggi, keahlian dan kewenangan yang secara terus-menerus
harus ditingkatkan mutunya melalui pendidikan dan pelatihan
berkelanjutan, sertifikasi, registrasi, lisensi, serta pembinaan,
pengawasan, dan pemantauan agar penyelenggaraan praktik
kedokteran sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi.
Pasal 35 Permenkes RI Nomor 75 Tahun 2014 menyebutkan
bahwa Puskesmas menyelenggarakan usahakesehatan masyarakat
tingkat pertama dan usahakesehatan perseorangan tingkat pertama,
serta dilaksanakan secara terintegrasi dan berkesinambungan.
Dengan demikian diperlukan kompetensi dokter yang dapat
mendukung usahadan kewenangan Puskesmas dalam
menyelenggarakan usahakesehatan perseorangan (UKP) tingkat
pertama dan usahaKesehatan Masyarakat (UKM) Tingkat Pertama
seperti yang dijabarkan di dalam perundangan dan peraturan di atas.
A.4. Gambaran Dokter di Masa Depan
Pada Bagian A dan B di atas telah dijelaskan berbagai kondisi saat
ini dan di masa depan yang terjadi di tingkat nasional, regional
maupun internasional. Secara skematis ‘driving forces’
Di dalam Gambar 2 di atas, tampak bahwa tujuan pembangunan
kesehatan yaitu pencapaian derajat kesehatan masyarakat yang
setinggi-tinggi yang diperlukan agar bangsa negara kita memiliki mutu
sumber daya manusia yang tinggi sehingga dapat produktif untuk
mencapai tujuan nasional. Padahal kondisi saat ini, derajat kesehatan
masyarakat masih rendah. Masalah mendasar pembangunan
kesehatan yaitu ketidakpastian hukum, perilaku masyarakat yang
buruk, lingkungan yang buruk, kondisi rawan pangan dan rawan gizi,
serta akses pelayanan publik yang buruk dan sumber daya kesehatan
terbatas.
Dengan diberlakukannya UU Nomor 24 Tahun 2011 tentang
Sistem Jaminan Sosial Nasional terjadi perubahan yang mendasar
terkait sistem pelayanan kesehatan, antara lain terbentuknya Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan, diberlakukannya
sistem rujukan berjenjang, sistem pembayaran kapitasi di FKTP,
sistem pembiayaan berbasis INA CBG di fasilitas kesehatan tingkat
pertama dan tingkat lanjut, serta pelaksanaan pelayanan ksehatan
bagi peserta BPJS.
Dengan demikian, lulusan pendidikan dokter harus mampu
memenuhi kebutuhan kesehatan nasional pada fasilitas kesehatan
tingkat primer dalam konteks kesehatan global. Lulusan dokter
yaitu dokter yang memiliki beragam kemampuan yang
diperlukan untuk memperkuat Sistem Kesehatan Nasional dalam
kerangka Sistem Jaminan Sosial Nasional. Secara skematis, Gambar
3 berikut ini menunjukkan alur pendidikan dokter dan pengembangan
karir dokter yang sesuai dengan kebutuhan Sistem Kesehatan
Nasional
Pendidikan dokter terdiri atas tahap akademik dan tahap profesi.
Tahap profesi merupakan lanjutan yang tidak terpisahkan dari
pendidikan dokter. Setelah selesai tahap akademik, mahasiswa
memperoleh ijazah dengan gelar Sarjana Kedokteran (SKed). Tahap
akademik setara dengan KKNI level 6 karena telah memenuhi jumlah
persyaratan pada tingkat sarjana (minimal 144 SKS). Setelah
menyelesaikan tahap akademik, dilanjutkan ke tahap profesi yang
setara dengan KKNI level 8 (minimal 48 SKS). Setelah menyelesaikan
tahap profesi dan memenuhi semua persyaratan yang ditentukan oleh
perguruan tinggi masing-masing, lulusan mendapatkan ijazah dengan
gelar Dokter.
Permenristekdikti Nomor 44 Tahun 2015 tentang Standar
Nasional Pendidikan Tinggi, menyatakan bahwa jumlah SKS total yang
diperlukan untuk lulus program studi sarjana setara level KKNI 6
yaitu 144 dan untuk menyelesaikan program profesi setara level
KKNI 7 yaitu 24 SKS. Untuk program magister, program magister
terapan, beban belajar mahasiswa paling sedikit 36 (tiga puluh enam)
sks setara KKNI level 8. Sesuai dengan Peraturan Presiden Nomor 8
Tahun 2012 tentang Kerangka Kualifikasi Nasional negara kita, lulusan
program profesi setara dengan jenjang 8.
Bagi lulusan yang berminat melakukan praktik kedokteran,
harus mengikuti uji kompetensi secara nasional yang diselenggarakan
oleh Organisasi Profesi bekerjasama dengan Asosiasi Institusi
Pendidikan Kedokteran negara kita untuk memperoleh Sertifikat Profesi
dan Sertifikat Kompetensi Internsip yang akan digunakan sebagai
syarat untuk memperoleh Surat Ijin Praktik (SIP) internsip setelah
mengangkat Sumpah Dokter.
Bagi yang telah menyelesaikan intership mendapatkan Surat
Tanda Registrasi dari Konsil Kedokteran negara kita sebanyak tiga
salinan yang digunakan untuk mendapatkan Surat Ijin Praktik (SIP)
sebagai Dokter di fasilitas kesehatan tingkat primer atau melanjutkan
ke Program Pendidikan Dokter Spesialis.
Dengan demikian, Dokter yang dihasilkan program pendidikan
profesi memiliki beragam pilihan karir. Bagi Dokter yang akan
melakukan praktik di fasilitas kesehatan tingkat pertama harus
memiliki pengakuan terhadap kompetensi yang dimiliki untuk
melakukan pelayanan kedokteran dan kesehatan yang diperoleh
setelah lulus uji kompetensi. Setelah menyelesaikan pendidikan
profesi atau internsip, memiliki kewenangan dan izin untuk melakukan
pelayanan kedokteran dan kesehatan secara mandiri dan dilakukan
menurut hukum dalam pelayanan kesehatan di tatanan pelayanan
kesehatan primer. Dokter dapat bekerja di fasilitas pelayanan
kesehatan lanjut sesuai kewenangan yang diberikan oleh institusi.
Bagi Dokter yang memilih karir di bidang selain praktik dapat
melanjutkan pendidikan akademik dan atau profesi lanjut yang sesuai
minat dan potensi masing-masing, peneliti, pendidik, atau bidang
pekerjaan lainnya yang tidak memerlukan Surat Izin Praktik (SIP).
Dengan demikian, lulusan program studi dokter bersifat multipotent,
yang berarti seorang dokter yang lulus memiliki beberapa pilihan karir
yang masih terbuka. Keseluruhan kompetensi yang dikuasai ketika
lulus diharapkan dapat menunjang untuk memilih karir yang sesuai.
B. SEJARAH
Standar Pendidikan Profesi Dokter negara kita (SPPDI) dan Standar
Kompetensi Dokter negara kita (SKDI) merupakan standar yang
diamanahkan berdasarkan UU No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik
Kedokteran. SPPDI yaitu standar minimal bagi institusi pendidikan
kedokteran di negara kita untuk melaksanakan pendidikan kedokteran,
sedangkan SKDI yaitu standar minimal kompetensi lulusan
pendidikan kedokteran.
SPPDI dan SKDI pertama kali disahkan oleh Konsil Kedokteran
negara kita (KKI) pada tahun 2006 dan telah digunakan sebagai acuan
untuk pengembangan kurikulum berbasis kompetensi (KBK).
Selanjutnya pada tahun 2012, disahkan kembali dari revisi SPPDI dan
SKDI berdasarkan hasil evaluasi implementasi SPPDI dan SKDI 2006.
Evaluasi SPPDI dan SKDI tahun 2012 telah dimulai sejak tahun 2017.
Sementara itu, penyusunan turunan peraturan dari UU No. 12 Tahun
2013 tentang Pendidikan Kedokteran juga berjalan. Pada tahun 2018,
telah disahkan Permenristekdikti No. 18 Tahun 2018 tentang Standar
Nasional Pendidikan Kedokteran (SNPK). Berdasarkan
Permenristekdikti ini, penyusunan SPPDI dan SKDI yang
dievaluasi setiap 5 tahunan harus menyesuaikan dengan sistematika
penyusunan SNPK.
SPPDI dan SKDI yang tengah berproses mengalami beberapa kali
perubahan penyusunan sistematika penulisannya. Namun proses
perubahan yang cukup panjang pada akhirnya menemui satu
ketetapan bahwa standar yang disusun disebut dengan Standar
Nasional Pendidikan Profesi Dokter negara kita (SNPPDI). Standar ini
mencakup SPPDI dan SKDI dengan sistematika sesuai dengan SNPK.
SNPPDI ini akan disahkan oleh KKI dan tetap sehingga tetap akan
dilakukan revisi secara berkala mengikuti perkembangan dunia
pendidikan kedokteran terkait sinergisme sistem pelayanan kesehatan
dengan sistem pendidikan dokter, perkembangan yang terjadi di
masyarakat serta perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
kedokteran.
C. ANALISIS SITUASI
Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang
Praktik Kedokteran, profesi kedokteran atau kedokteran gigi yaitu
suatu pekerjaan kedokteran atau kedokteran gigi yang dilaksanakan
berdasarkan suatu keilmuan, kompetensi yang diperoleh melalui
pendidikan yang berjenjang, dan kode etik yang bersifat melayani
masyarakat. Dokter/dokter gigi merupakan salah satu komponen
utama pemberi pelayanan kesehatan kepada masyarakat dengan
peranan yang sangat penting karena terkait langsung dengan
pemberian pelayanan kesehatan dan mutu pelayanan yang diberikan.
Dalam rangka memenuhi hak pelayanan kesehatan, Pemerintah
telah melakukan berbagai usahakesehatan, antara lain melalui
penerbitan berbagai regulasi terkait pelayanan kesehatan. Sejak
Undang-Undang Sistem Jaminan Sosial Nasional Nomor 40 Tahun
2004, Undang-Undang Kesehatan Nomor 36 Tahun 2009, UndangUndang Rumah Sakit Nomor 44 Tahun 2009, serta berbagai
turunannya, PP Nomor 93 Tahun 2015 tentang Rumah Sakit
Pendidikan, Peraturan Presiden Nomor 72 Tahun 2012 tentang Sistem
Kesehatan Nasional. Berbagai peraturan perundangan ditujukan
untuk terlaksananya peningkatan pelayanan kesehatan. Terkait
akses, dengan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 28 Tahun 2014
tentang Pedoman Pelaksanaan Program JKN, setiap warga negara
berhak memperoleh jaminan kesehatan. Terkait mutu pelayanan
kesehatan, akreditasi terhadap berbagai jenis rumah sakit dan
puskesmas telah dilakukan, bahkan beberapa RS Pendidikan Utama
telah memperoleh akreditasi internasional. Dengan meningkatnya
pelayanan kesehatan, berbagai indikator kesehatan juga telah
membaik.
Di bidang pendidikan tinggi dan pendidikan kedokteran, telah
ditetapkan berbagai peraturan dan perundangan sebagai berikut:
1. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan
Tinggi.
2. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2013 tentang Pendidikan
Kedokteran.
3. Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2014 tentang
Penyelenggaraan Pendidikan Tinggi dan Pengelolaan Program
Pendidikan.
4. Peraturan Presiden Nomor 8 Tahun 2012 tentang Kerangka
Kualifikasi Nasional negara kita.
5. Peraturan Menteri Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi
Nomor 44 Tahun 2015 tentang Standar Nasional Pendidikan
Tinggi.
6. Peraturan Menteri Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi
Nomor 18 Tahun 2018 tentang Standar Nasional Pendidikan
Kedokteran.
Dampak globalisasi yang terjadi di negara kita merupakan hasil
dari kesepakatan-kesepakatan internasional yang dilakukan negara kita
sebagai bagian dari negara-negara di dunia. Kesepakatan internasional
yang memiliki dampak besar bagi negara kita antara lain yaitu
negara kita sebagai bagian dari Organisasi Perdagangan Dunia. Pada
Doha Mandate pada tahun 2000 mengenai pembahasan liberalisasi
perdagangan dunia, terlahir kesepakatan yang dikenal dengan GATS
(General Agreement on Trade in Services). GATS mencakup 12 sektor
jasa yang salah satunya sektor jasa pelayanan kesehatan dan
pendidikan. Pada Desember 2005, negara kita menyetujui liberalisasi 12
sektor jasa, termasuk jasa pelayanan kesehatan dan pendidikan
dengan meratifikasi GATS. Sejak saat itu, sektor jasa pelayanan
kesehatan dan pendidikan dimasukkan sebagai komoditas
perdagangan.
Kesepakatan selanjutnya yang diikuti negara kita terkait dengan
pelayanan kesehatan yang pada dasarnya berbeda dengan konsep
GATS yaitu kesepakatan negara kita dalam Perserikatan BangsaBangsa (PBB) pada tahun 2012 di Brazil mengenai 17 langkah inisiatif
untuk mengubah dunia pada tahun 2030 yang disebut dengan
Sustainable Development Goals (SDGs). Salah satu langkah inisiatif
yaitu Universal Health Coverage (UHC). Perwujudan UHC dalam
sistem pelayanan kesehatan dilakukan melalui sistem Jaminan
Kesehatan Nasional (JKN) yang mulai dilaksanakan pada tahun 2014
melalui Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem
Jaminan Sosial Nasional. Program JKN yang dilaksanakan oleh
negara kita menetapkan target capaian 95% cakupan penduduk
negara kita yang mengikuti program JKN pada tahun 2019.
Dalam pelaksanaannya, JKN menimbulkan berbagai persoalan
baru, terutama dalam masa-masa transisi. Persoalan ini antara
lain yaitu fokus pelayanan terutama berpusat pada usahaKesehatan
Perseorangan (UKP). Pengelolaan pelayanan kesehatan saat ini lebih
berorientasi pada paradigma sakit atau pelayanan kuratif,
dibandingkan dengan paradigma sehat atau usahapromotif dan
preventif. Hal ini dapat dilihat dari tingginya biaya kesehatan yang
dikeluarkan pemerintah untuk pelayanan kesehatan yang diterima
masyarakat di Rumah Sakit. Di fasilitas kesehatan tingkat pertama
belum banyak bergeser secara optimal ke arah pelayanan promotif dan
preventif dengan memakai kekuatan pemberdayaan masyarakat
melalui usahaKesehatan Masyarakat (UKM). Pengelolaan JKN oleh
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) yang berkoordinasi
dengan Kementerian Kesehatan masih belum mengakomodasi bentukbentuk kegiatan pelayanan UKM.
Memasuki abad 21 telah terjadi peningkatan jumlah Fakultas
Kedokteran yang cukup tajam. Pada awal tahun 2000, negara kita
memiliki 33 Fakultas Kedokteran. Tahun 2007, telah bertambah
menjadi 45 Fakultas Kedokteran. Pada tahun 2009, naik secara
signifikan hingga menjadi 71 Fakultas Kedokteran dan menjadi 72
Fakultas Kedokteran pada tahun 2010 yang terdiri atas 31 Fakultas
Kedokteran Negeri dan 41 Fakultas Kedokteran Swasta yang tersebar
di seluruh negara kita. Pada pertengahan tahun 2016, jumlah Fakultas
Kedokteran sudah mencapai 75. Jumlah ini masih terus bertambah
dengan dibukanya ijin pendirian bagi 8 Fakultas Kedokteran baru
pada tahun 2017, sehingga pada tahun 2018, terdapat 83 Fakultas
Kedokteran di negara kita.
Dengan jumlah Fakultas Kedokteran yang bertambah dan
tersebar di seluruh provinsi di negara kita, seharusnya terjadi
peningkatan derajat kesehatan masyarakat yang signifikan di setiap
Provinsi di negara kita. Pembukaan Fakultas Kedokteran baru di
berbagai daerah didorong oleh adanya kebutuhan akan tenaga dokter
dalam rangka pemerataan kesempatan belajar dan pemerataan
distribusi dokter. Menurut Kementerian Kesehatan (2014), arah
pengembangan SDM bidang kesehatan difokuskan pada pemenuhan
kebutuhan tenaga kesehatan dalam rangka Universal Health Coverage
(UHC). Jumlah Pusat Kesehatan Masyarakat pada tahun 2014 sebesar
17,643; ada kekurangan tenaga dokter di 2,514 puskesmas dan pada
saat yang sama ada kelebihan tenaga dokter di 4.671 puskesmas.
Pertambahan jumlah Fakultas Kedokteran perlu diikuti dengan
penetapan instrumen kebijakan yang mendorong pemerataan tenaga
kesehatan khususnya dokter, salah satunya melalui Sistem Kesehatan
Daerah.
Dalam konteks sistem kesehatan, pembangunan kesehatan di
negara kita diatur di dalam Peraturan Presiden Nomor 72 Tahun 2012
tentang Sistem Kesehatan Nasional. Pasal 2 Ayat 2 Peraturan Presiden
ini mengamanahkan bahwa pembangunan kesehatan harus dilakukan
secara berjenjang, baik di pusat maupun di daerah, dengan
mempertimbangkan otonomi daerah dan otonomi fungsional di bidang
kesehatan. Dengan demikian Daerah perlu memiliki acuan dan
pedoman dalam pembangunan kesehatan daerah yang sesuai dengan
kondisi spesifik, kebutuhan, dan permasalahan kesehatan di daerah
masing-masing. Sistem Kesehatan Daerah (SKD) yaitu pengelolaan
kesehatan yang diselenggarakan oleh semua komponen di daerah
secara terpadu dan saling mendukung guna mencapai derajat
kesehatan setinggi-tingginya.
Kesepakatan regional terbaru yang sudah diimplementasikan
negara kita mulai tahun 2018 ini yaitu Masyarakat Ekonomi ASEAN
(MEA) sebagai bagian dari globalisasi masyarakat dunia. Untuk bidang
kesehatan, sejak bulan Januari 2010 telah disepakati mengenai
Mutual Recognition Agreement (MRA). Era keterbukaan bagi
perdagangan sektor jasa kesehatan dan pendidikan telah dimulai.
Kerjasama antar negara ASEAN dalam bidang kesehatan antara lain
yaitu memfasilitasi mobilitas praktisi medis di ASEAN, saling
pengakuan antar praktisi medis, bertukar informasi dan kerjasama
baik untuk praktik-praktik terbaik standardisasi praktik medis
maupun dalam peningkatan kapasitas dan pelatihan praktisi medis.
Pelaksanaan MEA dalam bidang kesehatan ini akan sangat
mempengaruhi sistem pelayanan kesehatan dan sistem pendidikan
kedokteran di negara kita. Dalam bidang pelayanan kesehatan, kualitas
mutu dokter negara kita harus mampu bersaing dengan dokter dari
negara ASEAN lainnya. Bagi sistem pendidikan kedokteran pun perlu
siap untuk menghasilkan lulusan yang dapat direkognisi
kualifikasinya dengan lulusan dari negara ASEAN lainnya.
WHO telah mengeluarkan Policy Brief on Accreditation of
Institutions for Health Professional Education pada tahun 2013. Di
dalam Policy Brief ini, WHO menekankan pentingnya akreditasi untuk
menjamin mutu pendidikan profesi kesehatan. Salah satu komponen
terpenting dari sistem akreditasi nasional yaitu diberlakukannya
standar yang bersifat nasional (World Health Organization, 2013).
Dengan meningkatnya mobilisasi jasa antar negara, diperlukan
standar global yang dapat digunakan sebagai rujukan bersama oleh
semua negara. Setiap negara dihimbau untuk mengikuti standar
global. Untuk itu merealisasikan usahaini, WHO bekerjasama dengan
World Federation of Medical Education (WFME). WFME telah
menghasilkan Trilogy Global Standards for Quality Improvement, for
Basic Medical Education, for Postgraduate Medical Education and for
Continuing Medical Education. Global standar ini telah diacu oleh
hampir semua negara di dunia, termasuk negara kita. Pada trilogi di
atas edisi 2015, dinyatakan bahwa internsip termasuk ke dalam
pendidikan lanjut sesudah program studi dokter atau postgraduate
training.
Dengan semakin majunya teknologi dalam era revolusi industri
ke-4 seperti teknologi yang dapat memeriksakan kondisi tubuh melalui
telepon genggam hanya dengan pindai retina atau sidik jari, dan
sebagainya (Schwab, 2016), serta semakin cepatnya informasi dan
mobilisasi masyarakat dunia, maka peran dan fungsi dokter di
pelayanan kesehatan akan mengalami perubahan di masa depan yang
harus diantisipasi oleh Kementerian Kesehatan. Era revolusi industri
4.0 telah mempengaruhi penyelenggaraan pendidikan tinggi, sehingga
Fakultas Kedokteran sebagai subsistem dari pendidikan tinggi perlu
menyesuaikan penyelenggaraan pendidikan kedokterannya sesuai
dengan prinsip-prinsip pendidikan tinggi di era revolusi industri 4.0.
Memperhatikan analisa situasi di atas, maka Standar
Kompetensi Dokter negara kita disusun berdasarkan pemikiran bahwa
lulusan pendidikan dokter dasar yaitu dokter yang memiliki potensi
untuk:
1. Melaksanakan program internsip Dokter untuk selanjutnya
berkarir sebagai dokter praktik umum di pelayanan kesehatan
tingkat pertama, atau
2. Melaksanakan program internsip Dokter dan melanjutkan ke
program pendidikan spesialis, atau
3. Melakukan pekerjaan di berbagai bidang non klinik, seperti
manajemen pelayanan kesehatan, bidang farmasi, riset
kesehatan, wirausaha, organisasi nasional dan internasional
bidang kesehatan, instansi pemerintah, militer, atau
4. Melanjutkan pendidikan pascasarjana dalam berbagai bidang.
Berdasarkan analisa situasi di atas untuk menghasilkan lulusan
dokter yang profesional, kompeten, beretika, berkemampuan
manajerial kesehatan serta mempunyai sikap kepemimpinan yang
diharapkan, agar dapat memberi kepastian dan pelayanan yang
standar dalam bidang kedokteran, perlu dibuat buku standar
pendidikan profesi dokter negara kita, sehingga disusunlah Standar
Pendidikan Profesi Dokter negara kita. Standar Pendidikan Profesi
Dokter negara kita (SPPDI) Edisi Pertama disahkan oleh Konsil
Kedokteran negara kita (KKI) pada tahun 2006. Penyusunan SPPDI saat
itu telah memperhatikan Global Standard for Medical Education yang
disusun oleh World Federation for Medical Education (WFME). SPPDI
ini telah digunakan oleh seluruh Fakultas kedokteran untuk
melakukan evaluasi diri dan mengembangkan sistem penjaminan
mutu internal. KKI bersama-sama dengan BAN PT telah membentuk
Komite Bersama Akreditasi yang mengembangkan instrumen
akreditasi dengan mengacu pada SPPDI ini.
Sesuai dengan ketentuan yang berlaku berdasarkan
Keputusan KKI Nomor 10/KKI/KEP/IX/2012 setiap 5 tahun perlu
dilakukan pengkajian ulang dan revisi SPPDI disesuaikan dengan
perkembangan situasi. Berikut ini tahapan penyusunan revisi SPPDI
Edisi Ketiga:
1. Penyusunan SPPDI ini berdasarkan hasil evaluasi secara
kualitatif terhadap implementasi SPPDI Edisi Kedua di
fakultas kedokteran.
2. Penyusunan SPPDI ini memperhatikan beberapa peraturan
perundangan terkini yang terkait.
3. SPPDI juga tetap mengacu kepada Global Standard for Medical
Education dari WFME yang mensyaratkan peningkatan
kualitas yang berkelanjutan. Beberapa prinsip dan indikator
yang dikembangkan pada SPPDI ini telah ditingkatkan dari
basic standard menjadi quality improvement.
4. SPPDI ini merupakan standar minimal yang harus dicapai
oleh Fakultas kedokteran. Dalam usahapencapaian standar
minimal ini maka institusi pendidikan kedokteran didorong
untuk mengembangkan kerjasama antar institusi.
5. SPPDI menjadi acuan bagi fakultas kedokteran dalam
mengembangkan sistem penjaminan mutu. SPPDI telah dikaji
ulang dan direvisi dengan memperhatikan perkembangan
yang ada dan disesuaikan dengan kebutuhan nasional,
regional dan global. Monitoring dan evaluasi serta penjaminan
mutu eksternal melalui akreditasi harus dikembangkan
sesuai dengan SPPDI ini.
6. Apabila semua pihak pengampu kepentingan dalam
pendidikan kedokteran konsisten dengan implementasi
SPPDI, maka kualitas fakultas kedokteran dan kualitas dokter
di negara kita di masa yang akan datang dapat
dipertanggungjawabkan dan mampu bersaing secara regional
dan global. Peningkatan kualitas pendidikan dokter akan ikut
mendorong pembangunan kesehatan nasional yang lebih baik
lagi di masa yang akan datang.
Penyusunan revisi SPPDI Edisi Tiga dilakukan oleh Kelompok
Kerja yang dibentuk oleh Asosiasi Fakultas kedokteran negara kita
(AIPKI) dan Kolegium Dokter negara kita (KDI) dengan mengacu pada
WFME Global Standards for Basic Medical Education, Standar Nasional
Pendidikan Kedokteran, Standar Nasional Pendidikan Tinggi.
D. MANFAAT STANDAR NASIONAL PENDIDIKAN PROFESI
DOKTER INDONESIA
Bagi dokter
Memberikan batasan kompetensi yang dapat dipertanggungjawabkan
oleh dokter saat melakukan praktik kedokteran.
Bagi institusi pendidikan
Memberikan batasan bagi proses pendidikan baik pengetahuan,
keterampilan dan perilaku yang wajib diberikan kepada peserta didik
di institusi pendidikan kedokteran.
Bagi pemerintah
Memberikan kepastian pelayanan kedokteran yang berkualitas di
fasilitas pelayanan kesehatan di negara kita sehingga dapat dan mampu
mendorong pembangunan kesehatan nasional serta persaingan
regional dan global.
Bagi masyarakat
Memberikan jaminan pelayanan kedokteran dengan kualitas dokter
yang terstandar di berbagai fasilitas pelayanan kesehatan.
Standar Kompetensi Dokter negara kita (SKDI) telah digunakan
sebagai standar minimal kompetensi pendidikan kedokteran dan
profesi dokter sejak pertama kali disahkan oleh Konsil Kedokteran
negara kita (KKI) tahun 2006 dan direvisi tahun 2012. Hal ini sesuai
dengan amanah UU Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran.
Kompetensi lulusan yang dirumuskan tahun 2012, sampai saat ini
masih relevan dengan kebutuhan nasional untuk meningkatkan
kualitas pelayanan kesehatan, dan perkembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi kedokteran, serta perkembangan yang terjadi di
masyarakat saat ini. Hasil evaluasi secara kualitatif terhadap
implementasi SKDI 2012 berdasarkan masukan berbagai fakultas
kedokteran seperti pada Lampiran 1.
Secara garis besar, diharapkan bahwa pada revisi SKDI ini, daftar
masalah dan daftar penyakit lebih realistis dan autentik sesuai dengan
kondisi di lapangan. Namun demikian berbagai perkembangan yang
terjadi memerlukan perhatian penyelenggaraan pendidikan dokter
untuk mempersiapkan dokter di masa yang akan datang sesuai
dengan tuntutan jaman seperti telah dijelaskan pada Bagian A dan B
di atas.
Sesuai dengan Peraturan Presiden Nomor 8 Tahun 2012 tentang
Kerangka Kualifikasi Nasional negara kita, maka lulusan Dokter
memiliki kualifikasi tingkat 8 dengan deskripsi generik sebagai berikut:
1. Mampu mengembangkan pengetahuan, teknologi, dan/atau
seni di dalam bidang keilmuannya atau praktik profesionalnya
melalui riset, hingga menghasilkan karya inovatif dan teruji.
2. Mampu memecahkan permasalahan ilmu pengetahuan,
teknologi, dan/atau seni di dalam bidang keilmuannya melalui
pendekatan inter atau multidisipliner.
3. Mampu mengelola riset dan pengembangan yang bermanfaat
bagi masyarakat dan keilmuan, serta mampu mendapat
pengakuan nasional dan internasional.
Sesuai dengan Peraturan Konsil Kedokteran Nomor 12 Tahun
2013 tentang Penerapan Kerangka Kualifikasi Nasional negara kita
untuk Pendidikan Kedokteran dan, maka Dokter berada pada tingkat
8 KKNI. Berikut ini deskripsi kompetensi menurut Perkonsil Nomor 12
Tahun 2013:
1. Mampu mencermati dan memanfaatkan perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi terkini dalam meningkatkan
keterampilan klinis praktis dalam bidang kedokteran.
2. Mampu mengembangkan profesi melalui kegiatan penelitian
dan pengetahuan terkini dalam bidang kedokteran.
Hal ini diperkuat oleh kompetensi tingkat 3 dan 4 yang harus
dikuasai oleh Dokter melalui SKDI 2012 sebanyak 405 penyakit bagi
Dokter yang akan bekerja di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Tingkat
Pertama
Pada September 2017 telah dibentuk Kelompok Kerja oleh
Asosiasi Fakultas kedokteran negara kita (AIPKI) dan Kolegium Dokter
negara kita (KDI) dengan difasilitasi oleh Direktorat Jenderal
Pembelajaran dan Kemahasiswaan Kementerian Riset Teknologi dan
Pendidikan Tinggi untuk melakukan revisi terhadap SKDI 2012.
Kelompok Kerja ini telah bekerja sesuai dengan Standar
Pengembangan Standar yang ada pada Keputusan Badan Standar
Nasional Pendidikan (BSNP). Langkah-langkah baku yang diharuskan
telah dilalui, secara garis besar
Sesuai dengan definisi Standar pada UU Nomor 20 Tahun 2014
tentang Standarisasi dan Penilaian Kesesuaian, Standar yaitu:
“Persyaratan teknis atau sesuatu yang dibakukan, termasuk tata cara
dan metode yang disusun berdasarkan konsensus semua
pihak/Pemerintah/ keputusan internasional yang terkait dengan
memperhatikan syarat keselamatan, keamanan, kesehatan, lingkungan
hidup, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, pengalaman,
serta perkembangan masa kini dan masa depan untuk memperoleh
manfaat yang sebesar-besarnya”.
Penyusunan revisi SKDI 2012 telah melibatkan berbagai
pemangku kepentingan.
Daftar Pemangku Kepentingan yang terlibat dalam perumusan SKDI
2019 yaitu:
1. Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi,
2. Kementerian Kesehatan,
3. Konsil Kedokteran negara kita,
4. Ikatan Dokter negara kita,
6. Majelis Kolegium Kedokteran negara kita beserta kolegiumkolegiumnya,
7. Asosiasi Rumah Sakit Pendidikan di negara kita,
8. Fakultas Kedokteran di negara kita,
9. Perhimpunan Dokter Umum negara kita,
10. Perhimpunan Dokter Kedokteran Komunitas dan Kesehatan
Masyarakat negara kita,
11. Jaringan Bioetik dan Humaniora Kedokteran negara kita,
12. Perhimpunan profesi dokter terkait.
Penyusunan SKDI 2019 juga telah mengikuti asas penyusunan
standar, yaitu asas manfaat, asas konsensus, asas keterbukaan, asas
tertelusur, dan asas pengembangan. Asas manfaat yaitu standar
yang dikembangkan harus bisa memberi manfaat yang sebesarbesarnya untuk pembangunan kesehatan di negara kita sesuai dengan
peraturan dan perundangan yang ada. Asas konsensus yaitu bahwa
standar ini disusun melalui proses dialog, diskusi dan komunikasi
dengan berbagai pemangku kepentingan sehingga dicapai
kesepakatan. Asas keterbukaan bermakna bahwa penyusunan
standar ini terbuka, dapat diikuti prosesnya. Asas tertelusur berarti
setiap kesepakatan di dalam standar ini memiliki dasar yang kuat,
dapat ditelusuri argumentasinya. Asas pengembangan menunjukkan
bahwa standar disusun untuk masa depan, sehingga mendorong
fakultas kedokteran untuk selalu melakukan pengembangan dan
peningkatan.
B. Sistematika Standar Kompetensi Dokter negara kita
B.1. Standar Kompetensi
Berdasarkan Peraturan Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan
Tinggi Republik negara kita Nomor 44 Tahun 2015 tentang Standar
Nasional Pendidikan Tinggi, Standar Kompetensi merupakan kriteria
minimal tentang kualifikasi kemampuan lulusan yang mencakup
sikap, pengetahuan, dan keterampilan yang dinyatakan dalam
rumusan capaian pembelajaran lulusan dan dari Undang-Undang
Republik negara kita Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik
Kedokteran. Standar kompetensi disahkan oleh Konsil Kedokteran
negara kita dan disusun oleh Asosiasi Institusi Pendidikan negara kita
bersama Kolegium Dokter negara kita.
B.1.1. Kompetensi
Kompetensi berdasarkan Kerangka Kualifikasi Nasional negara kita
(KKNI) yaitu akumulasi kemampuan seseorang dalam melaksanakan
suatu deskripsi kerja secara terukur melalui penilaian yang
terstruktur, mencakup aspek kemandirian dan tanggung jawab
individu pada bidang kerjanya. Kompetensi seorang dokter
didefinisikan sebagai totalitas pengetahuan, keterampilan, dan
perilaku serta kualitas personal yang esensial untuk seseorang dapat
melakukan praktik kedokteran. Lebih lanjut kompetensi juga
digambarkan sebagai pemanfaatan dan penerapan melalui
pembiasaan secara tepat terkait kemampuan komunikasi,
pengetahuan, keterampilan teknis, penalaran klinis, emosi, nilai-nilai
dan refleksi dalam praktik sehari-hari untuk kepentingan individu,
keluarga, komunitas dan masyarakat yang dilayani. Kompetensi
merupakan prasyarat untuk seorang dokter agar dapat melaksanakan
tugas dan tanggungjawab. Selain itu, kompetensi merupakan
kemampuan dokter yang dapat diobservasi, serta mengintegrasikan
berbagai aspek potensi kemampuan secara tepat sesuai dengan situasi
dan kondisi.
Capaian pembelajaran menggambarkan berbagai kemampuan
yang perlu dicapai oleh peserta didik di akhir suatu program
pendidikan dan merefleksikan pengetahuan, keterampilan dan nilai
secara utuh dan terintegrasi. Rumusan capaian pembelajaran yang
eksplisit akan memfasilitasi keselarasan proses pembelajaran dan
penilaian dalam kurikulum berbasis kompetensi atau kurikulum
berbasis outcome. Capaian pembelajaran perlu memerhatikan perilaku
dan kinerja yang diharapkan dari peserta didik, serta berisikan
rumusan aktivitas yang jelas dari peserta didik. Capaian pembelajaran
dapat digunakan untuk memfasilitasi identifikasi metode penilaian
yang sesuai dan kriteria kinerja yang diharapkan. Pada dasarnya
capaian pembelajaran ini tidak semata-mata berisi uraian
pengetahuan, keterampilan dan perilaku peserta didik secara terpisah,
melainkan gabungan dari berbagai area kompetensi yang relevan.
Rumusan capaian pembelajaran menggambarkan komitmen program
pendidikan yang berpusat pada peserta didik.
Makna literasi terkini telah berkembang luas dari makna awalnya
dan dikaitkan dengan berbagai fungsi dan keterampilan hidup
individu. Dengan demikian, literasi yaitu kemampuan individu untuk
memakai segenap potensi dan keterampilan yang dimiliki untuk
bisa memecahkan masalah, berinteraksi dan berkontribusi untuk
lingkungan keluarga, sosial dan masyarakat, dalam berbagai ranah
kemampuan dan dalam berbagai dimensi konteks.
Literasi revolusi industri 4.0 mencakup:
1. Literasi data, yaitu pemahaman untuk membaca,
menganalisa , memakai data dan informasi (big data) di
dunia digital.
2. Literasi teknologi, yaitu memahami cara kerja mesin, dan
aplikasi teknologi (koding, artificial intelligence, dan
engineering principle).
3. Literasi manusia, yaitu pemahaman tentang humanities,
komunikasi dan design.
B.2.1. Profil Lulusan
Profil lulusan dokter yaitu sebagai berikut:
1. Praktisi/Klinisi: Dokter yang mampu memberi pelayanan
kesehatan yang holistik dan komprehensif berdasarkan bukti
terbaik secara profesional, disertai keimanan dan ketakwaan
pada Tuhan YME, pribadi berkarakter, akhlak mulia, beretika,
berbudi pekerti, dan menjunjung tinggi moralitas, sebagai
pembelajar sepanjang hayat, bertanggungjawab sosial, cinta
tanah air, dan berkomitmen untuk menyehatkan kehidupan
masyarakat.
2. Pendidik/Peneliti: Dokter yang berpikir kritis dan kreatif dan
memiliki kemampuan literasi di bidang sains, finansial, sosial
dan budaya, serta teknologi informasi dalam menghadapi
permasalahan kesehatan yang kompleks dan dapat bersaing
di era global dan mampu terlibat dalam penyelenggaraan
pendidikan.
3. Agen Perubahan dan Pembangunan Sosial: Dokter sebagai
agen perubah dan penggerak masyarakat berdasarkan etika
kedokteran dengan berperan sebagai profesional,
komunikator, kolaborator, advokator, manajer, pemimpin,
untuk mewujudkan pelayanan kesehatan paripurna berpusat
pada individu, keluarga, komunitas dan masyarakat.
B.2.2. Area Kompetensi
Area kompetensi yang terkait dengan profil lulusan yang
diharapkan di atas dalam SKDI 2019 ini yaitu:
1. Area kompetensi profesionalitas yang luhur,
2. Area kompetensi mawas diri dan pengembangan diri,
3. Area kompetensi komunikasi efektif,
4. Area kompetensi literasi teknologi informasi dan komunikasi,
5. Area kompetensi literasi sains,
6. Area kompetensi keterampilan klinis,
7. Area kompetensi pengelolaan masalah kesehatan dan
manajemen sumber daya,
8. Area kompetensi kolaborasi dan kerjasama,
9. Area kompetensi keselamatan pasien dan mutu pelayanan
kesehatan.
Berbagai area kompetensi ini dikelompokkan dalam 3 aspek yaitu:
1. Area kompetensi teknis (doing the right thing),
2. Area kompetensi intelektual, analitis, dan kreatif (doing the
thing right),
3. Area kompetensi terkait kemampuan personal dan
profesionalitas (the right person doing it).
Seluruh kelompok area kompetensi dan area kompetensi
merupakan suatu kesatuan kemampuan yang perlu diterapkan secara
kontekstual dalam penatalaksanaan masalah kesehatan secara
holistik dan komprehensif dalam tatanan pelayanan kesehatan.
Gambar 7 merumuskan hubungan berbagai kelompok area
kompetensi ini. Kelompok area kompetensi teknis
memungkinkan dokter mampu menatalaksana masalah kesehatan
individu, keluarga, komunitas atau masyarakat. Kelompok area
kompetensi intelektual, analitis dan kreatif mendukung kemampuan
teknis dengan landasan ilmiah yang dimiliki, dan kemampuan
pemanfaatan teknologi informasi. Kelompok kemampuan personal dan
profesional melingkupi kedua kelompok area kompetensi yang lain
melalui profesionalitas luhur, mawas diri dan pengembangan diri,
kolaborasi dan kerjasama, serta penerapan prinsip keselamatan
pasien dan mutu pelayanan kesehatan.
Di dalam SKDI 2012 telah dirumuskan berbagai area kompetensi,
kompetensi inti, komponen kompetensi dan enabling outcome (capaian
pembelajaran) secara lengkap dan sistematis. Dalam proses
penyusunan SKDI 2019, sistematika ini lebih disederhanakan
sesuai dengan Panduan Penyusunan Kurikulum Pendidikan Tinggi
2016 dan 2018 yang dikeluarkan oleh Direktorat Jendral Pembelajaran
dan Kemahasiswaan Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan
Tinggi untuk memudahkan program studi mengembangkan
kurikulum. Di dalam SKDI ini diuraikan capaian pembelajaran pada
setiap area kompetensi dengan memerhatikan target untuk pendidikan
akademik dan pendidikan profesi selama proses pendidikan dan
mengaitkannya dengan profil lulusan dokter yang diharapkan.
Untuk memberi informasi lebih lengkap pada seluruh
pemangku kepentingan, pada dokumen SKDI 2012 dilengkapi dengan
pedoman penggunaan SKDI yang merangkum daftar masalah
kesehatan, daftar topik bahasan, daftar kasus dan tingkat pencapaian
kompetensi yang diharapkan, dan daftar keterampilan klinis. Pada
penyusunan SKDI 2019 saat ini, beberapa lampiran ini tetap
dipertahankan, akan tetapi untuk “daftar topik bahasan” akan
dimasukkan ke dalam Standar Isi pada Standar Pendidikan Profesi
Dokter (SPPDI) 2019.
Gambar 7 di bawah ini memberi gambaran secara skematis
bagaimana keseluruhan area kompetensi dan lampiran dipergunakan
oleh seorang dokter dalam menghadapi pasien. Lingkaran terdalam
yaitu kesehatan individu, diikuti dengan kesehatan keluarga dan
kesehatan masyarakat dan komunitas. Di ketiga tingkat inilah,
seorang Dokter akan bekerja melalui usahaKesehatan Perorangan
(UKP) dan usahaKesehatan Masyarakat (UKM). Ketiga tingkat
kesehatan ini saling terkait dan saling mempengaruhi. Untuk dapat
melaksanakan UKP dan UKM Dokter memerlukan kemampuan
personal dan profesional, serta kemampuan intelektual, analitik dan
kreatif serta kemampuan teknis.
Daftar lampiran dalam SKDI 2019 bertujuan untuk melengkapi
dan memberi konteks yang sesuai untuk penerapan berbagai
enabling outcome (capaian pembelajaran) dari seluruh area kompetensi.
Dengan kata lain, perlu dipahami bahwa seluruh atau sebagian
capaian pembelajaran diterapkan secara terintegrasi dalam bentuk
kompetensi sesuai konteks kasus yang dihadapi.
Beberapa definisi penting yang digunakan dalam SKDI 2019 yang
perlu dipahami oleh seluruh pemangku kepentingan yaitu sebagai
berikut
B.2.3. Capaian Pembelajaran
B.2.3.1. Kelompok Area Kompetensi Personal dan Profesional
1) Area Kompetensi Profesionalitas yang Luhur
a. Definisi Area Kompetensi:
Kemampuan melaksanakan praktik kedokteran yang
profesional sesuai dengan nilai dan prinsip ke-Tuhan-an, moral
luhur, etika, disiplin, hukum, sosial budaya dan agama dalam
konteks lokal, regional dan global dalam mengelola masalah
kesehatan individu, keluarga, komunitas dan masyarakat.
2) Area Kompetensi Mawas Diri dan Pengembangan Diri
a. Definisi Area Kompetensi:
Kemampuan melakukan praktik kedokteran dengan
melakukan refleksi diri, menyadari keterbatasan, mengatasi
masalah personal, dan meningkatkan pengetahuan secara
berkesinambungan, serta menghasilkan karya inovatif dalam
rangka menyelesaikan masalah kesehatan individu, keluarga,
komunitas dan masyarakat demi keselamatan pasien.
3) Area Kompetensi Kolaborasi dan kerjasama
a. Definisi Area Kompetensi:
Kemampuan berkolaborasi dan bekerja sama dengan sejawat
seprofesi, interprofesi kesehatan dan profesi lain dalam
pengelolaan masalah kesehatan dengan menerapkan nilai, etika,
peran dan tanggung jawab, pengelolaan masalah secara efektif
dan kemampuan mengembangkan pengelolaan kesehatan
berdasarkan berbagai kajian pengembangan kerjasama dan
kolaborasi.
4) Area Kompetensi Keselamatan Pasien dan Mutu Pelayanan
a. Definisi Area Kompetensi:
Mampu mengaplikasikan prinsip keselamatan pasien dan
prinsip usahapeningkatan kualitas pelayanan kesehatan pada
individu, keluarga, komunitas dan masyarakat.
Kelompok Area Kompetensi Intelektual, Analitis dan
Kreatif
1) Area Kompetensi Literasi Sains
a. Definisi Area Kompetensi:
Kapasitas untuk memanfaatkan pengetahuan ilmiah dalam
rangka melakukan perubahan terhadap fenomena kedokteran
dan kesehatan melalui tindakan kedokteran dan intervensi
kesehatan pada individu, keluarga, komunitas dan masyarakat
untuk kesejahteraan dan keselamatan manusia, serta kemajuan
ilmu dalam bidang kedokteran dan kesehatan yang
memperhatikan kajian inter/multidisiplin, inovatif dan teruji.
2) Area Kompetensi Literasi Teknologi Informasi dan
Komunikasi
a. Definisi Area Kompetensi:
Kemampuan untuk menemukan, mengevaluasi,
menggunakan, mendiseminasikan dan menghasilkan materi
memakai teknologi informasi dan komunikasi secara efektif
untuk pengembangan profesi, keilmuan serta dan peningkatan
mutu pelayanan kesehatan.
B.2.3.3. Kelompok Area Kompetensi Teknis
1) Area Kompetensi Pengelolaan Masalah Kesehatan dan Sumber
Daya
a. Definisi Area Kompetensi:
Kemampuan mengelola masalah kesehatan individu, keluarga,
komunitas dan masyarakat secara komprehensif, holistik,
terpadu dan berkesinambungan memakai sumber daya
secara efektif dalam konteks pelayanan kesehatan primer.
b. Capaian Pembelajaran:
2) Area Kompetensi Keterampilan Klinis
a. Definisi Area Kompetensi:
Kemampuan melakukan prosedur klinis yang berkaitan
dengan masalah kesehatan dengan menerapkan prinsip
keselamatan pasien, keselamatan diri sendiri, dan keselamatan
orang lain.
3) Area Kompetensi Komunikasi efektif
a. Definisi Area Kompetensi:
Kemampuan membangun hubungan, menggali informasi,
menerima dan bertukar informasi, bernegosiasi serta persuasi
secara verbal dan non-verbal; menunjukkan empati kepada
pasien, anggota keluarga, masyarakat dan sejawat, dalam tatanan
keragaman budaya lokal dan regional.
Ruang Lingkup
Pada ruang lingkup kompetensi dokter yang terbagi menjadi enam
aspek, yaitu masalah kesehatan, penyakit, keterampilan klinis,
masalah kesehatan masyarakat/kedokteran komunitas/kedokteran
pencegahan, keetrampilan kesehatan masyarakat/kedokteran
komunitas/kedokteran pencegahan, serta masalah terkait profesi
dokter. Daftar ruang lingkup kompetensi dokter disajikan dalam
bentuk tabel.
2.4.1.Masalah Kesehatan
a. Pendahuluan
Dalam melaksanakan praktik kedokteran, dokter bekerja
berdasarkan keluhan atau masalah pasien/ klien, kemudian
dilanjutkan dengan penelusuran riwayat penyakit, pemeriksaan fisik,
dan pemeriksaan penunjang. Dalam melaksanakan semua kegiatan
ini, dokter harus memperhatikan kondisi pasien secara holistik
dan komprehensif, juga menjunjung tinggi profesionalisme serta etika
profesi di atas kepentingan/ keuntungan pribadi.
Selama pendidikan, mahasiswa perlu dipaparkan pada berbagai
masalah, keluhan/gejala ini, serta dilatih cara menanganinya.
Daftar Masalah ini bersumber dari lampiran Daftar Masalah SKDI
2012 yang kemudian direvisi berdasarkan data hasil kajian dan
masukan pemangku kepentingan. Draf revisi Daftar Masalah
kemudian divalidasi oleh perwakilan kolegium terkait.
b. Tujuan
Daftar Masalah ini disusun dengan tujuan untuk menjadi acuan
bagi institusi pendidikan dokter dalam menyiapkan sumber daya yang
berkaitan dengan kasus dan permasalahan kesehatan sebagai sumber
pembelajaran mahasiswa. Pada tabel Daftar Masalah memuat daftar
masalah kesehatan individu. Daftar Masalah individu berisi daftar
masalah/ gejala/ keluhan yang banyak dijumpai dan merupakan
alasan utama yang sering menyebabkan pasien/ klien datang
menemui dokter di tingkat pelayanan kesehatan primer. Susunan
masalah kesehatan pada Daftar Masalah ini tidak menunjukkan
urutan prioritas masalah.
2.4.2.Daftar Penyakit
a. Pendahuluan
Setelah memahami berbagai masalah kesehatan di tingkat
individu yang mencakup tanda (signs) dan gejala (symptoms), maka
seorang dokter perlu menyusun diagnosis berdasarkan penyakit.
Daftar penyakit yaitu kemungkinan penyakit yang dijumpai di
negara kita sesuai dengan daftar masalah.
Daftar Penyakit ini disusun bersumber dari lampiran Daftar
Penyakit SKDI 2012, yang kemudian direvisi berdasarkan masukan
dari para pemangku kepentingan. Data yang terkumpul kemudian
dianalisa dan divalidasi oleh kolegium terkait. Daftar Penyakit ini
penting sebagai acuan bagi institusi pendidikan dokter dalam
menyusun materi pembelajaran serta menyediakan sumber dan
wahana pembelajaran.
b. Tujuan
Daftar penyakit ini disusun dengan tujuan untuk menjadi acuan
bagi institusi pendidikan dokter agar dokter yang dihasilkan memiliki
kompetensi yang memadai untuk membuat diagnosis yang tepat,
memberi penanganan awal atau tuntas, dan melakukan rujukan
secara tepat dalam rangka penatalaksanaan pasien. Tingkat
kompetensi setiap penyakit merupakan kemampuan yang harus
dicapai pada akhir pendidikan dokter.
c. Sistematika
Penyakit di dalam daftar ini dikelompokkan menurut sistem
tubuh manusia disertai tingkat kemampuan yang harus dicapai pada
akhir masa pendidikan.
Tingkat kemampuan yang harus dicapai:
1) Tingkat Kemampuan 1: mengenali dan menjelaskan.
Lulusan dokter mampu mengenali dan menjelaskan gambaran
klinik penyakit, dan mengetahui cara yang paling tepat untuk
mendapatkan informasi lebih lanjut mengenai penyakit ini,
selanjutnya menentukan rujukan yang paling tepat bagi pasien.
Lulusan dokter juga mampu menindaklanjuti sesudah kembali
dari rujukan.
2) Tingkat Kemampuan 2: mendiagnosis dan merujuk
Lulusan dokter mampu membuat diagnosis klinik terhadap
penyakit ini berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik
dan menentukan rujukan yang paling tepat bagi penanganan
pasien selanjutnya. Lulusan dokter juga mampu menindaklanjuti
sesudah kembali dari rujukan.
3) Tingkat Kemampuan 3: mendiagnosis, melakukan
penatalaksanaan awal, dan merujuk
3A. Bukan gawat darurat
Lulusan dokter mampu membuat diagnosis klinik berdasarkan
anamnesis, pemeriksaan fisik dan hasil pemeriksaan penunjang
dan memberi usulan terapi pendahuluan pada keadaan yang
bukan gawat darurat. Lulusan dokter mampu menentukan
rujukan yang paling tepat bagi penanganan pasien selanjutnya
dalam konteks penilaian kemampuan.
3B. Gawat darurat
Lulusan dokter mampu membuat diagnosis klinik berdasarkan
anamnesis, pemeriksaan fisik, dan hasil pemeriksaan penunjang
dan memberi terapi pendahuluan pada keadaan gawat
darurat demi menyelamatkan nyawa atau mencegah keparahan
dan/ atau kecacatan pada pasien dalam konteks penilaian
mahasiswa. Lulusan dokter mampu menentukan usulan rujukan
yang paling tepat bagi penanganan pasien selanjutnya.
4) Tingkat Kemampuan 4: mendiagnosis, melakukan
penatalaksanaan secara mandiri dan tuntas
Lulusan dokter mampu membuat diagnosis klinik dan
penatalaksanaan penyakit ini secara mandiri dan tuntas.
Kompetensi yang dicapai pada saat lulus dokter
Lulusan dokter mampu membuat diagnosis klinik berdasarkan
anamnesis, pemeriksaan fisik dan hasil pemeriksaan penunjang,
serta mengusulkan penatalaksanaan penyakit atau melakukan
penatalaksanaan penyakit secara mandiri sesuai tugas klinik
yang dipercayakan (entrustable professional activity) pada saat
pendidikan dan pada saat penilaian kemampuan.
Keterampilan klinis perlu dilatihkan sejak awal hingga akhir
pendidikan dokter secara berkesinambungan. Dalam melaksanakan
praktik, lulusan dokter harus menguasai keterampilan klinis untuk
mendiagnosis maupun melakukan penatalaksanaan masalah
kesehatan. Daftar Keterampilan Klinis ini disusun dari lampiran Daftar
Keterampilan Klinis SKDI 2012 yang kemudian direvisi pada SKDI
2019 berdasarkan hasil survei dan masukan dari pemangku
kepentingan. Data yang terkumpul kemudian dianalisa dan divalidasi
oleh kolegium terkait.
Kemampuan klinis di dalam standar kompetensi ini dapat
ditingkatkan melalui pendidikan dan pelatihan berkelanjutan dalam
rangka menyerap perkembangan ilmu dan teknologi kedokteran yang
diselenggarakan oleh organisasi profesi atau lembaga lain yang
diakreditasi oleh organisasi profesi, demikian pula untuk kemampuan
klinis lain di luar standar kompetensi dokter yang telah ditetapkan.
Pengaturan pendidikan dan pelatihan kedua hal ini dibuat
oleh organisasi profesi, dalam rangka memenuhi kebutuhan pelayanan
kesehatan yang terjangkau dan berkeadilan (Pasal 28 UU Praktik
Kedokteran Nomor 29 Tahun 2004).
b. Tujuan
Daftar Keterampilan Klinis ini disusun dengan tujuan untuk
menjadi acuan bagi institusi pendidikan dokter dalam menyiapkan
sumber daya yang berkaitan dengan keterampilan minimal yang harus
dikuasai oleh lulusan dokter.
c. Sistematika
Daftar Keterampilan Klinis dikelompokkan menurut sistem tubuh
manusia untuk menghindari pengulangan. Pada setiap keterampilan
klinis ditetapkan tingkat kemampuan yang harus dicapai di akhir
pendidikan dokter dengan memakai Piramid Miller (knows, knows
how, shows, does). Di bawah ini menunjukkan pembagian tingkat
kemampuan menurut Piramida Miller dan alternatif cara mengujinya
pada mahasiswa.
1) Tingkat kemampuan 1 (Knows): Mengetahui dan menjelaskan
Lulusan dokter mampu menguasai pengetahuan teoritis
termasuk aspek biomedik dan psikososial keterampilan
ini sehingga dapat menjelaskan kepada pasien/ klien dan
keluarganya, teman sejawat, serta profesi lainnya tentang prinsip,
indikasi, dan komplikasi yang mungkin timbul. Keterampilan ini
dapat dicapai mahasiswa melalui perkuliahan, diskusi,
penugasan, dan belajar mandiri, sedangkan penilaiannya dapat
memakai ujian tulis.
2) Tingkat kemampuan 2 (Knows How): Pernah melihat atau
didemonstrasikan
Lulusan dokter menguasai pengetahuan teoritis dari
keterampilan ini dengan penekanan pada clinical reasoning dan
problem solving serta berkesempatan untuk melihat dan
mengamati keterampilan ini dalam bentuk demonstrasi
atau pelaksanaan langsung pada pasien/ masyarakat. Pengujian
keterampilan tingkat kemampuan 2 dengan memakai ujian
tulis pilihan berganda atau penyelesaian kasus secara tertulis
dan/ atau lisan (oral test).
3) Tingkat kemampuan 3 (Shows): Pernah melakukan atau
pernah menerapkan di bawah supervisi
Lulusan dokter menguasai pengetahuan teori keterampilan ini
termasuk latar belakang biomedik dan dampak psikososial
keterampilan ini, berkesempatan untuk melihat dan
mengamati keterampilan ini dalam bentuk demonstrasi
atau pelaksanaan langsung pada pasien/ masyarakat, serta
berlatih keterampilan ini pada alat peraga dan/atau
standardized patient. Pengujian keterampilan tingkat
kemampuan 3 dengan memakai Objective Structured Clinical
Examination (OSCE) atau Objective Structured Assessment of
Technical Skills (OSATS).
4) Tingkat kemampuan 4 (Does): Mampu melakukan secara
mandiri
Keterampilan yang dicapai pada saat lulus dokter
Lulusan dokter dapat memperlihatkan keterampilannya ini
dengan menguasai seluruh teori, prinsip, indikasi, langkahlangkah cara melakukan, komplikasi, dan pengendalian
komplikasi. Selain pernah melakukannya di bawah supervisi
sesuai dengan keterampilan klinik yang dipercayakan (entrustable
professional activity), dinyatakan lulus pada pengujian
keterampilan tingkat kemampuan 4 dengan memakai Workbased Assessment misalnya mini-CEX, portofolio, buku log, dan
sebagainya.
Masalah Kesehatan Masyarakat/ Kedokteran Komunitas/
Kedokteran Pencegahan
Sesuai dengan salah satu tugas pokok dan fungsi dokter umum
pada fasilitas kesehatan tingkat primer pada Peraturan Menteri
Kesehatan Nomor 75 Tahun 2014 yang berupa usahakesehatan
masyarakat, maka berikut ini yaitu masalah-masalah kesehatan
masyarakat yang dijumpai. Daftar masalah kesehatan masyarakat ini
disusun oleh Badan Kerjasama Pendidikan Kesehatan Masyarakat
negara kita.
2.4.5. Keterampilan Kesehatan Masyarakat/ Kedokteran
Komunitas/ Kedokteran Pencegahan
Selain masalah kesehatan masyarakat di atas, dokter perlu
memiliki kemampuan untuk melaksanakan keterampilan pada usaha
kesehatan masyarakat. Berikut ini daftar keterampilan kesehatan
masyarakat yang disusun oleh Badan Kerjasama Pendidikan
Kesehatan Masyarakat negara kita.
2.4.6. Masalah Terikat dengan Profesi Dokter
Yang dimaksud dengan permasalahan terkait dengan profesi
yaitu segala masalah yang muncul dan berhubungan dengan
penyelenggaraan praktik kedokteran. Permasalahan ini dapat
berasal dari pribadi dokter, institusi kesehatan tempat dia bekerja,
profesi kesehatan yang lain, atau pihak-pihak lain yang terkait dengan
pelayanan kesehatan. Bagian ini memberi gambaran umum
mengenai berbagai permasalahan ini sehingga memungkinkan
bagi para penyelenggara pendidikan kedokteran dapat
mendiskusikannya dari berbagai sudut pandang, baik dari segi
profesionalisme, etika, disiplin, dan hukum.
1. Ilmu Biomedik Dasar
a. Kriteria minimal
Fakultas kedokteran harus merumuskan dan memasukkan
kontribusi ilmu biomedik dasar untuk penguasaan terhadap
dasar-dasar pengetahuan ilmiah untuk pemenuhan area
kompetensi literasi sain yang dibutuhkan untuk memperoleh
dan menerapkan ilmu-ilmu klinik.
b. Kriteria Pengembangan
Fakultas kedokteran di dalam kurik