bank darah 1

 



imunohematologi merupakan ilmu yang mempelajari reaksi antigen (Ag) dan antibodi (Ab) 

pada sel darah, khususnya sel darah merah. Ilmu ini tidak hanya mencakup imunologi dan 

hematologi saja, melainkan ada  juga ilmu lain seperti, genetika, biokimia dan 

biomolekuler. Pada prakteknya, imunohematologi diaplikasikan pada bidang pelayanan 

transfusi darah. 

 Konsep imunohematologi yang dipakai  dalam bidang pelayanan transfusi darah 

adalah pemeriksaan sebelum transfusi (pre-transfusi test) dan mendeteksi adanya reaksi 

transfusi yang ditandai adanya Ab terhadap sel darah. Selain pada proses transfusi, kondisi 

lain yang dapat mencetus Ab terhadap sel darah adalah proses kehamilan. 

 Konsep dasar imunologi diperlukan untuk memahami reaksi Ag dan Ab. Reaksi Ag dan 

Ab wajib dipahami terlebih dahulu, karena prinsip dasar metode pemeriksaan untuk transfusi 

darah , pada biasanya , saat ini masih menggunakan reaksi Ag dan Ab. Selain itu, konsep dasar 


Antigen dan Antibodi 


A. ANTIGEN 

Imunohematologi yang diaplikasikan pada transfusi darah lebih mengutamakan reaksi 

antara antigen (Ag) pada sel darah merah dengan antibodi (Ab) pada serum/plasma. Istilah Ag 

selalu dipakai  pada ruang lingkup analisis laboratorium, namun demikian ketika kita 

berbicara mengenai respon imun tubuh, maka Ab distimulus oleh substan asing yang dapat 

merangsang respon imun tubuh yang disebut dengan imunogen. Istilah imunogen dan 

antigen, secara teori sedikit berbeda, akan tetapi karena istilah Ag sudah dipakai  secara 

luas, maka Ag  dianggap sama dengan imunogen. Hal ini berarti, Ag yang dimaksud pada modul 

ini yaitu Ag yang bersifat imunogenik yang dapat merangsang respon imun untuk 

memproduksi Ab.  

Sebagai contoh, sel netrofil akan teraktivasi jika ada bakteri masuk ke dalam tubuh dan 

dapat menghasilkan Ab. Dalam hal ini, unsur bakteri merupakan Ag yang merangsang respon 

imun. 

Ag merupakan unsur biologis yang memiliki  bentuk dengan struktur kimia yang 

kompleks dan memiliki  berat molekul cukup besar untuk menstimulus Ab. Oleh karena itu, 

biasanya  jenis Ag berasal dari molekul protein. Epitop (antigen determinan) merupakan  

bagian dari Ag yang bereaksi dengan Ab atau dengan reseptor spesifik pada limfosit T. Bentuk 

epitop biasanya kecil dengan berat molekul ± 10.000 Da. Epitop ini berada pada molekul 

pembawa sel darah merah, sehingga pada permukaan membran sel darah merah, ada  

banyak epitop yang menentukan spesifisitas dan kekuatan reaksi Ag dan Ab, 

Suatu substan dengan berat molekul < 10.000 Da, seperti obat antibiotik biasanya  

tidak imunogenik, tetapi bila diikat pada protein pembawa  yang cukup besar, maka akan 

membentuk suatu kompleks yang dapat merangsang respon imun untuk memproduksi Ab 

terhadap molekul ini . Substan ini  adalah hapten, yang bentuk kompleksnya dapat 

bereaksi dengan Ab, tetapi ia sendiri tidak imunogenik. 

A.1. Human Leucocyte Antigen (HLA) dan Human Neutrofil Antigen (HNA) 

Sistem HLA diketahui juga sebagai Major HIstocompatibility Complex (MHC). HLA 

merupakan produk dari ekspresi gen HLA-A, -B, -C, -DR, -DQ, dan gen –DP di kromosom 6. 

HLA diekspresikan di membran sel berinti, yaitu sel limfosit, granulosit, monosit, trombosit, 

dan beberapa organ,  walaupun diketahui trombosit tidak memiliki  inti sel. Berdasarkan 

struktur biokimianya, HLA dikategorikan menjadi HLA kelas I dan II. HLA kelas I terdiri atas : 

HLA-A, -B, -C. HLA jenis ini berada di sel darah berinti di peredaran darah tepi dan trombosit. 

HLA kelas II terdiri atas : HLA-DR, -DQ dan HLA-DP. HLA kelas II ada  di monosit dan 

limfosit B. 

HLA bersifat sangat imunogenik. Pada proses transfusi, kehamilan dan transplantasi 

organ,   pasien normal dapat membentuk Ab terhadap HLA.  

Oleh karena itu, pada transplantasi organ, untuk menghindari proses penolakan organ 

di tubuh pasien, dilakukan terlebih dulu pemeriksaan HLA typing, untuk menentukan 

kecocokan donor dan pasien. 

Pada proses transfusi, untuk menghindari reaksi transfusi karena ketidakcocokan HLA 

donor dan pasien, maka komponen darah yang ditransfusikan dihilangkan sel lekositnya 

dengan cara disaring menggunakan filter khusus lekosit. Komponen darah ini disebut dengan 

leukoreduction atau leucopoor. 

Reaksi ketidakcocokan HLA dapat menghasilkan Ab terhadap HLA. Ab HLA biasanya 

ada  pada wanita yang memiliki  riwayat sering melahirkan. Jenis Ab ini dapat 

ditemukan pada reaksi transfusi yang diberi nama : transfusion related acute lung injury 

(TRALI) yang akan dibahas di Bab 4. Selain HLA, ada  juga jenis Ag lekosit yaitu Human 

Netrofil Antigen / HNA di sel netrofil. Reaksi Ag dan Ab netrofil dapat memicu  kondisi 

penurunan sel netrofil (neutropenia) pada bayi baru lahir dan penyakit TRALI. 

 

A.2 Human Platelet Antigen (HPA) 

Pada membran trombosit juga ada  Ag khusus yang diberi nama Human Platelet 

Antigen (HPA). Sebanyak 33 jenis HPA yang terletak di glikoprotein membran trombosit telah 

diidentifikasi. Adanya ketidakcocokan HPA menimbulkan Ab terhadap HPA. Antibodi (Ab) 

terhadap HPA memicu  penurunan jumlah trombosit (trombositopenia). 

Penurunan jumlah trombosit karena Ab terhadap HPA dapat terjadi pada janin ataupun 

pada bayi baru lahir. Kondisi ini disebut dengan Fetomaternal/neonatal alloimune 

thrombocytopenia (FNAIT/NAIT). Selain itu, anti HPA juga dapat memicu  reaksi transfusi 

yang ditandai dengan kegagalan untuk meningkatkan jumlah trombosit setelah transfusi 

darah dan dapat disertai dengan perdarahan dan timbulnya bintik/bercak merah (purpura). 

 

B. ANTIBODI 

Antibodi merupakan jenis protein yang dihasilkan oleh sel limfosit karena adanya 

paparan terhadap Ag yang spesifik. Struktur dasar Ab terdiri atas 2 rantai berat (Heavy-chain) 

dan 2 rantai ringan (Light-chain) yang identik. Setiap rantai ringan terikat pada rantai berat 

melalui ikatan disulfida (S-S), seperti terlihat pada gambar berikut ini. 

 

 

Antigen pada sel darah merah diklasifikasikan di sistem golongan darah  

(ABO, Rh Lewis, Kell, Kid, Duffy, dsb). Antigen pada sel lekosit diklasifikasikan pada sistem HLA, 

HNA. Antigen pada trombosit diklasifikasikan ke dalam sistem HPA. Jenis Ag ini tidak murni 

hanya berada di satu jenis sel darah saja, terkadang ada  beberapa jenis Ag sel darah 

merah yang ada  di sel darah lain seperti trombosit, contoh:  ABO atau HLA yang juga 

ada  di trombosit. 

  

Fragmen Fab dengan antigen binding site, berfungsi mengikat Ag, oleh karena itu 

susunan asam amino di area ini berbeda antar molekul Ab yang disesuaikan dengan 

variabilitas Ag yang merangsang pembentukannya. Fragmen FC merupakan fragmen yang 

konstan, yang tidak memiliki  kemampuan mengikat Ag, tetapi dapat bersifat sebagai Ag. 

Fragmen ini memiliki  fungsi sebagai efektor sekunder dan menentukan sifat biologik Ab, 

misalnya kemampuan untuk melekat pada sel, fiksasi komplemen, kemampuan menembus 

plasenta, dsbnya. 

Jenis Ab terbagi ke dalam lima kelas, yaitu : IgG, IgM, IgA, IgE, IgD.  IgG merupakan 

satu-satunya immunoglobulin yang mampu melewati plasenta, sedangkan IgM tidak dapat 

melalui plasenta dan disintesis pertama kali sebagai stimulus terhadap Ag. Pada topik ini akan 

lebih banyak dibahas IgG dan IgM, karena yang banyak terlibat dalam reaksi transfusi dan 

terkait dengan pemeriksaan sebelum transfusi (pre-transfusi tes) adalah jenis immunoglobulin 

ini . Adapun jenis immunoglobulin lainnya , seperti IgE, berperan dalam reaksi alergi yang 

disebabkan oleh transfusi (akan dibahas pada bab 4). IgE berperan dalam reaksi alergi yang 

mengakibatkan sel melepaskan histamin. IgA ditemukan dalam sekresi eksternal, sebagai 

contoh pada mukosa saluran nafas, intestinal, urin, saliva, air mata, dsb. Fungsi dari IgA adalah 

dapat menetralisir virus dan menghalangi penempelan bakteri pada sel epitelium. IgD 

merupakan penanda permukaan sel B yang matang dengan jumlah yang sedikit di dalam 

serum. 

 

B.1 Antibodi jenis IgG  

Ab IgG merupakan jenis Ab yang berperan pada imunitas jangka panjang. Reaksi 

transfusi, biasanya  menghasilkan Ab IgG. Ab jenis ini dapat menghasilkan reaksi hemolisis di 

dalam pembuluh darah dengan cara Ab mensensitisasi sel darah merah dan mengaktifkan 

komplemen pada kondisi optimal. Ab IgG tidak dapat beraglutinasi membentuk gumpalan 

darah secara langsung, hal ini dikarenakan bentuk IgG yang cukup kecil, yang terdiri hanya 

satu sub unit immunoglobulin (monomer) dengan 2 area pengikatan Ag (antigen binding site). 

sebab  bentuknya yang kecil, maka hanya IgG yang dapat menembus plasenta. Kondisi inilah 

yang dapat memicu  reaksi pada janin (dijelaskan lebih detail pada bab 2). Ab IgG 

bereaksi optimal pada suhu 37o C, oleh karena itu seringkali disebut dengan ‘warm antibody’. 

 

B.2 Antibodi jenis IgM 

Ab jenis IgM merupakan jenis Ab yang pertama dibentuk karena adanya paparan 

terhadap Ag dan respon IgM biasanya pendek yaitu hanya beberapa hari yang kemudian 

konsentrasinya menurun. Molekul IgM lebih besar dibandingkan IgG, dengan bentuk 

pentamer yang terdiri atas 5 sub unit immunoglobulin dengan 10 tempat pengikatan Ag 

(antigen binding site). Ab IgM bereaksi optimal pada suhu 4OC atau di bawah 30OC, dan 

seringkali disebut dengan ‘cold antibody’. Ab IgM dapat mengikat komplemen dan 

menghasilkan reaksi lisis. Berikut adalah gambaran antara molekul Ab IgG dan IgM. 

Perbandingan struktur antara molekul IgG dan IgM 


Jenis antibodi yang dibahas pada modul ini adalah antibodi sistem golongan darah. 

Umumnya, manusia memiliki  anti A, anti B yang terbentuk secara alami di dalam tubuh. 

Jenis Ab ini, terbentuk berlawanan dengan jenis Ag yang sudah ada, sebagai contoh, pasien 

yang memiliki  Ag A, akan memiliki  anti B. 

Jenis Ab pada sistem golongan darah biasanya adalah jenis IgM atau IgG, dan sejumlah 

kecil IgA. Ab yang terbentuk secara alamiah, seperti anti A, anti B biasanya  adalah jenis IgM. 

Ab IgM merupakan jenis Ab yang bereaksi optimal di suhu 40 C (seringkali disebut dengan Ab 

 

jenis cold), dan Ab jenis IgM dapat bereaksi langsung mengikat Ag yang sesuai di medium NaCl 

0,9% (medium saline). 

Ab jenis IgG pada sistem golongan darah biasanya  merupakan jenis Ab imun, yaitu Ab 

yang terbentuk karena ada paparan sebelumnya dengan Ag yang sesuai, seperti Ab –Rh, Ab –

Kell, Ab –Kidd, dsb. Tidak seperti Ab jenis IgM yang dapat langsung bereaksi pada medium 

saline, Ab jenis IgG membutuhkan reagensia tambahan seperti anti human globulin (AHG) 

untuk memperlihatkan aglutinasi terhadap Ag yang sesuai. 

 

C. JENIS REAKSI Ag DAN Ab 

Reaksi Ag dan Ab yang akan dibahas di modul ini adalah reaksi Ab dan Ag pada sel darah 

merah. Reaksi Ag dan Ab dipelajari untuk mengetahui cara deteksi Ag dan Ab yang dipakai  

pada pemeriksaan transfusi darah. 

Reaksi Ab dan Ag pada sel darah merah dimulai ketika Ab dan Ag berada pada suatu 

medium. Ketika Ab dan Ag pada medium ini  sesuai, maka Ag mendekat  di fragment 

antigen binding site (Fab) Ab dan Ab mulai tersensitisasi. Tahapan ini tidak dapat diamati. 

Reaksi ini berlangsung cukup cepat dan dipengaruhi oleh beberapa faktor yang akan dibahas 

selanjutnya.  

Tahap berikutnya adalah, perlekatan Ag dan Ab sehingga membentuk ikatan yang stabil 

yang terlihat sebagai aglutinasi. Tahapan ini membutuhkan waktu cukup lama untuk dapat 

diamati secara visual jika dibandingkan tahapan pertama. Untuk memperkuat reaksi Ag dan 

Ab yaitu aglutinasi, maka dapat dilakukan sentifugasi. Jika Ag dan Ab tidak sesuai, maka 

setelah perlakuan, tidak akan terjadi reaksi , seperti aglutinasi. 

ada  beberapa jenis reaksi Ag dan Ab yang dipakai  pada pemeriksaan 

imunohematologi. Reaksi yang dihasilkan tergantung jenis Ag dan Ab, pereaksi serta jenis 

medium yang dipakai . Berikut adalah jenis reaksi yang dipakai  pada pemeriksaan 

imunohematologi.  

 

C.1.  Reaksi hemaglutinasi 

Reaksi hemaglutinasi yaitu reaki aglutinasi yang terjadi pada sel darah merah. Contoh 

reaksi hemaglutinasi adalah reaksi pada sistem golongan darah ABO. Adanya Ab pada 

serum/plasma (contoh : anti A) yang direaksikan dengan sel darah merah yang sesuai (yaitu 

Ag A) akan membentuk aglutinasi/gumpalan pada sel darah merah, seperti terlihat pada 

Gambar 1.9. Gumpalan ini  dapat berupa gumpalan besar sampai dengan kecil. Reaksi 

ini dapat dilakukan dan diamati di tabung reaksi, mikroplate, mikrowell. 

 

C.2. Hemolisis 

Reaksi Ag dan Ab dapat menghasilkan hemolisis. Hemolisis adalah kondisi pecahnya 

membran eritrosit, sehingga melepaskan molekul hemoglobin (Hb). Reaksi ini dapat terjadi 

karena adanya pengaktifan komplemen. Komplemen adalah suatu jenis protein serum yang 

dapat teraktifkan jika suatu jenis Ab yang sesuai melekat ke Ag atau mensensitisasi sel darah 

merah. Kondisi ini  dapat memunculkan reaksi berantai pengaktifan komplemen dengan 

titik akhirnya adalah hemolisis sel darah merah. Sebagai contoh, pada Gambar 1.10. dapat 

dilihat Ag A pada donor akan bereaksi dengan anti A pada pasien, memicu  sel darah 

aglutinasi (menggumpal), kemudian mengaktifkan komplemen dan hasil akhir adalah lisis sel 

darah merah. 

 

 

C.3. Netralisasi (Inhibisi aglutinasi) 

Reaksi netralisasi biasanya diaplikasikan pada Ag terlarut di cairan tubuh seperti saliva. 

Saliva yang mengandung Ag A terlarut direaksikan dengan reagensia anti A akan mengalami 

reaksi netralisasi, yaitu anti A tidak dapat bereaksi dengan Ag A pada sel darah merah yang 

ditambah sesudahnya, karena Fab pada anti A diinhibisi oleh Ag A terlarut. 

 

D. FAKTOR YANG MEMPENGARUHI REAKSI Ag DAN Ab 

Sebelumnya, telah dibahas mengenai sifat dan jenis reaksi Ag dan Ab. Berikut, akan 

dijelaskan mengenai faktor yang mempengaruhi reaksi Ag dan Ab. Dengan mengetahui sifat 

dan jenis reaksi Ag dan Ab serta faktor yang mempengaruhi reaksi, maka dapat dipakai  

untuk mengetahui metode dan optimasi deteksi Ag dan Ab. Berikut adalah faktor yang dapat 

mempengaruhi reaksi Ag dan Ab : 

 

 

aglutinasi 

Sel darah merah  Anti  A                    Ag A terlarut   Ag A terlarut terikat dengan anti A 

   

  

 

D.1. Letak dan jumlah Ag 

Letak Ag pada membran sel darah merah dapat mempengaruhi reaksi Ag dan Ab. Letak 

Ag yang menjorok ke luar membran seperti Ag A, B lebih cepat membentuk reaksi aglutinasi 

dengan Ab jika dibandingkan dengan jenis Ag yang  letaknya tidak terlalu menonjol dari 

membran sel darah merah 

Jumlah Ag juga dapat mempengaruhi reaksi Ag dan Ab. Sebagai contoh, Ag  A, B pada 

sistem golongan darah ABO memiliki  jumlah sekitar 1 juta dengan letak Ag yang 

menghadap ke luar membran, sehingga Ag lebih mudah terikat dengan Ab yang sesuai. 

Sedangkan Ag Rh memiliki  jumlah Ag per eritrosit yang lebih sedikit, yaitu sekitar 10.000 – 

30.000 Ag. Selain itu, jenis Ag Rh yang merupakan protein intra membran, dengan letak Ag 

tidak terlalu menjorok  ke luar membran sel, dapat berpengaruh terhadap lamanya reaksi  

aglutinasi yang tidak secepat Ag A, B. 

 

D.2. Jumlah epitop Ag di membran sel darah 

Jika sel darah merah memiliki  epitop Ag (tempat pengikatan Ag) dalam jumlah 

banyak, maka Ab akan lebih mudah bereaksi dibandingkan dengan sel darah merah  yang  

jumlah epitopnya sedikit di membran. Hal ini berkaitan dengan sifat homozigot atau 

heterozigot suatu genotip. Jika Ag dengan genotip homozygot (contoh: AA) diekspresikan di 

sel eritrosit, maka sel ini  memiliki  lebih banyak epitop (tempat pengikatan Ag) 

dibandingkan Ag dengan genotip heterozygot (contoh : Aa). Jenis genotip berkaitan dengan 

dosis Ag (dosage effect), genotip homozigot biasanya  disebut dengan ‘double dose’, dan 

heterozigot ‘single dose’. 

 

D.3. Tempat pengikatan Ag (Fragmen antigen binding sites/Fab) di antibodi 

Ag IgM memiliki  10 Fab, sedangkan Ab IgG hanya memiliki  dua Fab. Untuk reaksi 

aglutinasi dua sel darah merah, maka satu molekul Ab IgM dapat mengikat beberapa Ag di 

satu sel darah merah dan beberapa di sel darah merah lainnya. Ikatan yang dihasilkan cukup 

kuat. Pada molekul Ab IgG, hanya dapat mengikat satu Ag di satu sel darah merah dan satu Ag 

di sel darah merah lain, atau dapat juga Ab IgG hanya mensensitisasi sel darah merah, artinya 

hanya mengikat di satu sel darah merah dan tidak mengikat sel darah merah lainnya, sehingga 

ikatan yang dihasilkan lebih lemah dibandingkan Ab IgM, 

D.4. Jarak Ag dan Ab 

Semakin dekat jarak antara Ag dan Ab, maka reaksi ikatan Ag dan Ab akan lebih cepat 

terjadi. Sebagai contoh, Ab IgM akan lebih cepat mengikat Ag dibandingkan dengan jenis Ab 

IgG. Molekul Ab IgM memiliki  panjang 300 Å dan Ab IgG memiliki  panjang 120 Å. 

Semakin besar bentuk molekul, maka akan memperkecil jarak Ag dan Ab. 

 

D.5. Afinitas Ab dan Ag 

Reaksi Ag dan Ab bekerja seperti kunci dan gembok. Ketika Ag dan Ab cocok satu sama 

lain, maka reaksi yang dihasilkan kuat, namun jika afinitas Ag dan Ab tidak terlalu kuat, maka 

menghasilkan reaksi yang lemah. 

 

D.6. Konsentrasi Ag dan Ab 

Reaksi Ag dan Ab yang terbaik, dihasilkan dari Ab dan Ag dalam jumlah seimbang. 

Kondisi Ag berlebihan (postzone effect) akan mengakibatkan melarutnya kembali kompleks 

yang terbentuk dan Ab berlebihan (prozone effect) memicu  kompleks Ag dan Ab tetap 

ada dalam larutan.    

 

D.7. Ion negatif antar sel darah merah  Zeta potensial 

Setiap sel darah merah memiliki  ion negatif di sekitar area membran yang berfungsi 

untuk menjaga jarak antar sel darah merah dan mencegah Ab yang mensensitisasi atau 

melekat pada sel darah merah untuk beraglutinasi. Zeta potensial harus dikurangi jika ingin 

memperkecil jarak Ab yang mensensitisasi sel darah merah sehingga reaksi aglutinasi dapat 

dipercepat.   

 

Zeta potensial sangat bermakna pada tahapan pemeriksaan imunohematologi. Pada 

pemeriksaan tertentu, zeta potensial biasanya dikurangi dengan penambahan 

reagensia bovine albumin 22%, ataupun penambahan enzim tertentu. 

Zeta potensial 

   

D.8. Suhu 

Reaksi Ag dan Ab dipengaruhi oleh suhu. Hal ini berkaitan dengan jenis ikatan kimia 

dan jenis Ag, Ab. Pada ikatan hidrogen, reaksi optimal terjadi pada suhu rendah. Jenis reaksi 

ini ada  pada jenis Ag karbohidrat.  

Molekul non polar membentuk ikatan hidrofobik, reaksi optimal terjadi pada suhu 

yang lebih tinggi. Jenis reaksi ini ada  pada Ag jenis protein. 

Suhu reaksi Ag dan Ab juga merupakan indikasi makna klinis jenis Ag dan Ab ini . 

Sebagai contoh, jenis Ab IgG dengan suhu reaksi optimal 370 C (warm Ab) dapat dilemahkan 

reaksinya dengan menurunkan suhu, sehingga terjadi penurunan reaksi ikatan Ag dan Ab. 

Jenis Ab cold, akan bereaksi dengan baik untuk aglutinasi maupun sensitisasi sel darah merah 

pada suhu +20 C s/d +100 C. Jika suhu dinaikkan, maka reaksi Ag dan Ab perlahan akan 

terdisosiasi atau terlepas. 

 

D.9. Waktu 

Reaksi Ag dan Ab membutuhkan waktu optimum untuk inkubasi. Jika waktu inkubasi 

terlalu cepat, maka Ag dan Ab tidak memiliki  cukup waktu untuk menghasilkan reaksi yang 

baik. Jika waktu inkubasi terlalu lama, maka ikatan Ag dan Ab yang sudah terjadi, dapat terurai 

kembali. Pada saat melakukan tahapan inkubasi untuk suatu pemeriksaan, maka waktu 

optimum inkubasi harus sesuai dan ditepati.   

D.10. Konsentrasi ion   

Untuk mempercepat reaksi Ag dan Ab, maka konsentrasi ion di suatu larutan harus 

diperkecil. Hal ini dikarenakan ion yang ada  di dalam larutan dapat menetralisir muatan 

molekul Ag dan Ab, sehingga reaksi antar keduanya terganggu. Maka dari itu, pada reaksi Ag 

dan Ab di imunohematologi  disarankan untuk menggunakan larutan dengan kandungan ion 

rendah, yaitu larutan Low Ionic Strengh Saline (LISS). 

 

D.11. pH 

Pengukuran pH dilakukan untuk mengetahui derajat basa atau asam suatu larutan. 

Kisaran pH optimal untuk reaksi Ag dan Ab adalah pH 6,5 – 7,5. Pada kisaran pH ini , 

muatan Ag dan Ab berlawanan, sehingga reaksi Ag dan Ab optimal. Sebagai contoh, anti M 

bereaksi optimal pada pH di bawah 7. Namun demikian, jika pH terlalu rendah, maka akan 

meningkatkan reaksi pelepasan ikatan Ag dan Ab. 

 

Topik 2 

Mekanisme Respon Imun 

 

A. SISTEM DAN MEKANISME IMUN 

Sistem imun dirancang sedemikian rupa untuk melindungi tubuh dari substan asing. 

Substan asing bisa dalam bentuk bakteri, virus, parasit, termasuk juga sel darah. Seperti 

dijelaskan di topik 1, bahwa membran sel darah terdiri atas unsur protein, karbohidrat dan 

lipid. Komponen ini dapat memicu respon imun jika terjadi ketidakcocokan Ag sel darah pada 

proses transfusi, maupun kehamilan. 

Komponen utama sistem imun berada di : sumsum tulang, organ hati, kelenjar thymus, 

kelenjar limfe, limpa dan jaringan limfoid lain yang tersebar dalam jaringan submukosa saluran 

nafas, saluran cerna. 

 

Sistem imun tubuh bekerja dengan cara : mendeteksi adanya substan asing / Ag, 

prosesing Ag dan menyingkirkan Ag. ada  dua jenis sistem imun yang bekerja di dalam 

tubuh kita, yaitu : imunitas alami dan imunitas didapat. 

 

Sumsum tulang 

Orga

n hati 

Thymus 

Kelenjar  limfe 

 Limpa 

   

  

  

  A.1. Imunitas alami 

Imunitas alami merupakan kemampuan tubuh yang sudah ada semenjak lahir untuk 

mempertahankan diri dari unsur patogen yang berasal dari lingkungan. Respon imunitas alami 

adalah sama, yaitu tergantung kepada sifat Ag yang memicu dan tidak ada sistem memori 

yang terlibat yang dapat mengkhususkan suatu jenis Ag.ada  tiga macam reaksi imun 

pada imunitas alami, yaitu: 

 

A.1.1. Reaksi inflamasi 

 Reaksi inflamasi yaitu pemusatan sel-sel sistem imun pada suatu lokasi infeksi, sehingga 

mikroorganisme atau unsur asing dapat dihancurkan dan tidak menyebar ke bagian tubuh 

lainnya. Proses yang terjadi pada reaksi inflamasi adalah : 

--  Peningkatan aliran darah di area infeksi memicu  rasa panas di area infeksi. 

--  Peningkatan permeabilitas kapiler akibat retraksi sel-sel endotel sehingga molekul-

molekul besar dapat menembus dinding vaskular  memicu  area menjadi 

kemerahan. 

--  Penarikan lekosit ke area infeksi bukti adanya aktivitas fagositosis dapat berupa 

adanya pus/nanah. 

 

A.1.2. Fagositosis oleh sel lekosit 

Jenis sel darah putih atau lekosit yang berfungsi pada reaksi fagositosis, yaitu : 

monosit, polymorphonuclear cells/PMN (netrofil, eosinofil, basofil). Pada reaksi fagositosis, 

harus ada  mediator atau perantara supaya Ag dapat melekat pada sel lekosit. Sitokin 

merupakan mediator respon imun yang mampu berinteraksi dengan reseptor pada 

permukaan sel. Selain itu, Ag harus dilapisi oleh Ab atau komplemen (C3b), supaya lebih 

mudah ditangkap sel fagosit. 

 

A.1.3. Pengaktifan komplemen 

Komplemen merupakan jenis protein yang ada  di dalam serum dalam bentuk tidak 

aktif. Aktivasi komplemen dapat terjadi melalui tiga jalur, yaitu : jalur klasik, alternatif dan jalur 

lectin. Pada jalur klasik, komplemen diaktifkan karena adanya reaksi Ag dan Ab. Jalur alternatif 

dan lektin dipicu oleh adanya substan yang bukan Ab, melainkan polisakarida dan 

lipopolisakarida yang berasal dari permukaan mikroorganisme (bakteri, virus) dan sel tumor, 

enzim serta endotoksin. Pada modul ini hanya akan dibahas lebih detail mengenai pengaktifan 

komplemen jalur klasik yang melibatkan Ag dan Ab.  

 

Untuk mengaktifkan komplemen, diperlukan setidaknya satu molekul Ab IgM yang 

diilustrasikan pada Gambar 1.19 atau dua molekul IgG dengan posisi dekat Ag. 

Ketika komplemen teraktifkan, maka akan terbentuk reaksi berantai. Reaksi ini dimulai 

dengan pengaktifan C1  C4  C2. Kompleks ini akan merombak C3, sehingga menghasilkan 

C3a dan C3b yang melekat pada permukaan sel darah merah. Pada beberapa kondisi, reaksi 

dapat berhenti pada tahapan ini. Jika tahapan dilanjutkan, maka C3b mengikat C5, yang diikuti 

dengan C6, C7, C8 dan C9. Kumpulan protein C5 sampai dengan C9 memicu  

terbentuknya membrane attachment complex (MAC) yang memicu  lisis sel darah 

merah. Jalur alternatif langsung mengaktifkan C3 

sedangkan jalur lektin memiliki  pengaktifan melalui protein jenis lain yang ekuivalen 

dengan C1. Ketiga jalur ini memiliki  proses yang sama pada tahapan aktivasi C3. 


 

Membrane attachment complex (MAC) merupakan hasil akhir dari pengaktifan C1 

sampai dengan C9. Seperti telah dijelaskan sebelumnya, bahwa jenis komplemen yang 

membentuk MAC adalah C5b6789. Kompleks ini  menembus membran sel darah merah 

dan merusak lapisan lipid dan fosfolipid yang ada  pada membran sekitar kompleks dan 

menimbulkan lubang sehingga sel tidak dapat mempertahankan integritas bentuknya dan 

terjadilah lisis sel darah merah, yang diilustrasikan pada Gambar 

Reaksi lisis sel darah merah yang disebabkan komplemen merupakan reaksi hemolisis 

intravaskular yang berada di dalam sirkulasi darah. Akan tetapi, jika komplemen hanya 

bereaksi sampai dengan C3b yang melekat pada sel darah merah/Ag, maka kompleks ini  

akan disingkirkan dari sirkulasi darah dengan fagositosis oleh makrofag ataupun netrofil untuk 

selanjutnya dihancurkan. Reaksi hemolisis ini disebut dengan hemolisis ekstravaskular. Reaksi 

hemolisis intravaskular dan ekstravaskular akan dibahas pada bagian reaksi transfusi di Bab 4. 

  

Reaksi imun yang melibatkan komplemen memiliki  2 jenis hasil akhir : 

1. Komplemen dapat berada pada kompleks Ag dan Ab tanpa melisiskan sel darah merah 

sehingga memicu reaksi fagositosis  hemolisis ekstravaskular. 

2. komplemen teraktifkan sampai dengan C9, sehingga sel darah merah lisis  hemolisis 

intravaskular. 

A.2. Imunitas didapat 

Imunitas didapat, merupakan kekebalan tubuh yang didapat dari paparan terhadap Ag 

sebelumnya. Respon imunitas didapat, menghasilkan sel memori yang berfungsi untuk 

mengenal jenis Ag yang sama pada paparan Ag berikutnya. Mekanisme imun didapat, bekerja 

dengan cara : interaksi antara Ag presenting cells, limfosit T dan limfosit B serta pembentukan 

Ab.  

 Imunitas didapat, bereaksi lebih spesifik dibandingkan imunitas alami. Respon 

imunitas didapat, dimulai dengan aktivitas makrofag atau antigen presenting cells (APC) yang 

dapat mengenali Ag dan memproses sedemikian rupa sehingga dapat mengaktifkan sel-sel 

sistem imun lainnya. Sel-sel sistem imun yang teraktifkan adalah : 

 

A.2.1. Limfosit T 

Limfosit T akan mengenali Ag yang ada  pada permukaan sel makrofag. Sel T yang 

teraktifkan ini  akan bereaksi terhadap Ag yang dipresentasikan dan menghasilkan 

substan terlarut yang diberi nama limfokin, yang dapat membantu makrofag menghancurkan 

Ag. Jenis limfosit T yang bereaksi terhadap Ag yang dipresentasikan oleh MHC adalah sel T-

helper / sel T penolong ataupun sel T-sitotoksik. 

Sel T-helper akan mengenali Ag melalui MHC (major histocompatibility complex) kelas 

II yang ada  pada permukaan sel makrofag. Sel T-sitotoksik berfungsi menghancurkan 

mikroorganisme secara langsung yang disajikan melalui MHC kelas I. 

 

A.2.2. Limfosit B 

Peran limfosit B pada respon imun didapat, terjadi ketika Ag pada makrofag, 

mengaktivasi sel T-helper. Aktivasi sel T-helper akan menstimulasi limfosit B menjadi sel 

plasma dan mengeksresikan Ab. Supaya limfosit B berdiferensiasi dan membentuk Ab, 

diperlukan bantuan limfosit T-helper yang teraktivasi karena sinyal tertentu, baik melalui MHC 

maupun sinyal yang dilepaskan makrofag. Selain oleh sel T-helper, produksi Ab juga diatur 

oleh sel T-supresor/sel T-penekan, sehingga produksi Ab seimbang dan sesuai dengan yang 

dibutuhkan. 

Jika interaksi ini  merupakan kontak pertama yang merupakan respon imun 

primer, maka akan terbentuk klon limfosit atau kelompok sel memori yang dapat mengenali 

APC merupakan jenis sel makrofag yang mempresentasikan Ag, sedangkan MHC 

merupakan bagian dari permukaan sel makrofag, tempat presentasi Ag.  MHC dapat 

disebut juga sebagai HLA.  

   

Ag bersangkutan. Apabila Ag yang sama di kemudian hari masuk ke dalam tubuh, maka klon 

limfosit ini  akan berproliferasi dan menimbulkan respon imun sekunder spesifik yang 

berlangsung lebih cepat dan intensif dibandingkan respon imun primer. 

  

B. RESPON IMUN 

B.1. Respon imun primer 

Respon imun primer merupakan respon imun yang pertama kali didapat pada suatu 

pasien. Respon imun ini  akan menghasilkan Ab yang dapat dideteksi pada plasma 

antara 5 dan 180 hari sesudah paparan dengan Ag. Ab yang terbentuk akan meningkat dan 

stabil pada satu waktu yang kemudian berangsur-angsur menurun. Jenis Ab yang dihasilkan 

biasanya adalah IgM. 

 

B.2. Respon imun sekunder 

Pada saat Ag masuk ke dalam tubuh untuk yang kedua kali, maka respon imun yang 

terjadi lebih cepat. Hal ini disebabkan karena adanya sel B memori, sehingga Ab yang 

dihasilkan lebih banyak dan reaksi lebih efisien dan efektif. Jenis Ab pada respon imun 

sekunder, biasanya  adalah Ab IgG. 

Secara umum, jenis Ab yang dihasilkan pada respon imun primer adalah IgM, namun 

tidak semua respon imun primer menghasilkan Ab jenis IgM. Sebagai contoh, pembentukan 

anti Rh pertama kali dapat berupa Ab IgG dan IgM, begitu juga pada sistem golongan darah P, 

anti P yang terbentuk tetap sebagai IgM, walaupun terjadi pada paparan kedua. 

C. REAKSI ALLOIMUNISASI TERHADAP ANTIGEN SEL DARAH  

Reaksi alloimunisasi merupakan reaksi imun terhadap paparan Ag asing, dalam hal ini 

adalah Ag sel darah merah asing (berasal dari pasien lain) yang masuk berbeda dengan Ag 

sel darah merah yang dipunya oleh tubuh. Allo Ab merupakan Ab yang terbentuk dari reaksi 

alloimunisasi. Ab ini terbentuk melalui sistem imun didapat, yaitu melibatkan sel B sehingga 

menghasilkan Ab yang spesifik. Berikut adalah mekanisme reaksinya. 

 

 

 

Koordinasi antara sel T dan sel B berjalan sinergis. Sel T teraktifkan karena adanya Ag 

yang dipresentasikan MHC, dan sel B terstimulus untuk berdiferensiasi dan menghasilkan 

Ab. 


  

  

C.1 Reaksi T-independen  

Pembentukan allo Ab terhadap sel darah merah dimulai dari pengenalan sistem imun 

tubuh terhadap partikel Ag. Produksi Ab IgM tertentu, seperti anti A, anti B dan anti M 

merupakan hasil dari reaksi T-independen. Reaksi ini tidak melibatkan sel T, melainkan 

langsung merangsang limfosit B untuk memproduksi Ab. 

Ag akan langsung bereaksi dengan reseptor sel B (sIg), hal ini dikarenakan adanya reaksi 

silang pada reseptor sel B sehingga dapat mengenali struktur karbohidrat Ag sel darah merah 

sebagai substan asing. Sel B yang teraktifkan berdiferensiasi menjadi sel yang menghasilkan 

Ab IgM. Respon imun tidak menghasilkan sel B memori, dan tidak ada perubahan kelas Ab IgM 

menjadi IgG. 

 

C.2 Reaksi T-dependen 

Reaksi inkompatibilitas/ketidakcocokan berikutnya adalah pada sel lekosit, yaitu reaksi 

yang disebabkan karena ketidakcocokan jenis HLA (Human Leucoyte Antigen). Mekanisme 

reaksi imun T-dependen untuk reaksi aloimunisasi terjadi melalui presentasi Ag oleh APC 

kepada sel T melalui sel T reseptor (TCR). Presentasi Ag terjadi melalui dua jalur yaitu langsung 

dan tidak langsung. 

Pada jalur langsung, sebagai contoh seperti yang tertera pada Gambar 1.23, pada saat 

lekosit ditransfusikan ke darah pasien, maka Ag donor  yaitu MHC kelas II pada sel makrofag 

donor / APC secara langsung dikenali oleh sel T helper pasien. Kemudian, sel T mengaktifkan 

sel B pasien yang juga terikat oleh fragmen Ag MHC kelas I donor, sehingga sel B berproliferasi 

dan menghasilkan Ab terhadap Ag HLA ini . Reaksi ini dikatakan langsung karena APC 

berasal dari sel donor. Mekanisme ini terjadi hanya pada sel darah yang memiliki  HLA 

(komponen darah lekosit dan trombosit). 

Pada jalur tidak langsung, sistem imun yang bekerja terhadap Ag donor, yaitu APC, sel T 

dan sel B semua berasal dari pasien. Untuk mencegah reaksi aloimunisasi karena adanya HLA, 

maka komponen darah untuk transfusi dipilih yang miskin lekosit melalui proses penyaringan. 

   

C.3. Lisis sel darah merah yang diperantarai oleh Ab 

Lisis sel darah merah karena reaksi aloimunisasi disebabkan karena aktivasi komplemen 

dan atau adanya IgG pada permukaan sel darah merah . Jika lisis sel darah merah terjadi 

karena aktivasi komplemen sehingga membentuk MAC disebut dengan lisis intravaskular, 

sedangkan jika lisis sel darah merah karena aglutinasi dengan Ab yang mengaktifkan makrofag 

untuk fagositosis disebut dengan lisis ekstravaskular. 

Komplemen yang menempel pada sel darah merah (C3b) dapat terhenti reaksinya 

sehingga tidak menghasilkan MAC, melainkan hanya tersensitisasi pada sel darah merah. Sel 

darah merah yang telah tersensitisasi komplemen, tidak efektif untuk memicu reaksi 

fagositosis, melainkan enzim dapat memecah sel yang tersensitisasi komplemen menjadi 

fragmen kecil (C3dg) yang ada  pada permukaan membran sel. Komplemen jenis ini dapat 

bersirkulasi normal di darah dan tidak akan dikenali oleh sistem imun, karena sel fagosit tidak 

memiliki  reseptor untuk jenis komplemen ini. 

Untuk mencegah reaksi alloimunisasi yang melibatkan sistem imun pada proses 

transfusi darah, maka darah donor dan pasien harus memiliki  golongan darah yang 

sama. Selain itu, minimalisir paparan terhadap Ag lekosit maupun trombosit dari pasien 

lain, dengan menggunakan komponen sel darah merah yang miskin lekosit.  

 

D. REAKSI AUTOIMUN 

Autoimun merupakan suatu kelainan sistem imun tubuh yang tidak dapat membedakan 

sel atau jaringan tubuh sendiri (self) dengan sel atau jaringan tubuh asing (non self). Akibatnya 

timbul respon imun, seperti kerusakan jaringan tubuh oleh limfosit T atau makrofag, maupun 

pembentukan Ab yang ditujukan terhadap sel atau jaringan tubuh sendiri, yang disebut 

dengan autoantibodi (auto Ab). Jika reaksi ini menimbulkan gejala klinis yang menggangu 

kesehatan tubuh, maka disebut dengan penyakit autoimun. 

Jenis penyakit autoimun, diantaranya adalah : 

1. Sistemic lupus erythematosus (SLE), adanya reaksi inflamasi sehingga menghasilkan 

kerusakan jaringan tubuh. Kondisi ini tidak spesifik pada suatu bagian tubuh tertentu, 

melainkan tersebar di seluruh tubuh. 

2. Purpura trombositopenia autoimun, yaitu reaksi auto Ab terhadap trombosit sendiri, 

sehingga memicu  penurunan jumlah trombosit (trombositopenia). 

3. Autoimune hemolytic anemia (AIHA) merupakan reaksi adanya Ab terhadap sel darah 

merah sendiri, sehingga terjadi lisis sel darah merah dan memicu  anemia. Reaksi 

AIHA dibedakan menjadi 2 tipe, yaitu : AIHA tipe warm yaitu autoantibodi yang dapat 

menghancurkan sel darah merah sendiri pada suhu ≥ 370 C dan AIHA tipe cold yaitu 

autoantibodi yang dapat menghancurkan sel darah merah sendiri di bawah suhu normal 

tubuh yaitu < 370 C.  

 

Glosarium 

 

--  Alloantibodi  :  Antibodi yang dihasilkan karena adanya paparan Ag dari pasien lain. 

--  Antibodi  :  Protein yang diproduksi karena adanya paparan antigen terhadap 

limfosit. 

--  Antigen  :  Suatu substan yang mampu bereaksi dengan antibodi, yang diproduksi 

atas rangsangan imunogen. 

--  Fagositosis   : Aktivitas sel fagosit untuk menelan atau memasukkan sel-sel asing. 

--  Imunogen :  Molekul atau gabungan molekul yang dapat merangsang timbulnya 

respon imun. 

--  Imunitas  :  Kekebalan tubuh terhadap pengaruh biologis/mikroorganisme dari 

lingkungan.  

--  Membrane attachment complex : kumpulan komplemen yang teraktifkan yang berada di 

membran sel target. 

 

 

 

pernahkah Anda mengisi formulir yang menanyakan jenis golongan darah? Golongan 

darah merupakan identitas tiap pasien. Pada kartu identitas seperti KTP, golongan 

darah menjadi identitas penyerta selain data pribadi lainnya.Sesungguhnya apa yang 

dimaksud dengan golongan darah? Apa fungsi golongan darah, dan apa hubungannya dengan 

donor dan transfusi darah? Kita akan membahasnya pada bab ini. 

Jenis golongan darah yang utama adalah golongan darah ABO & Rh. Sebelum ditemukan 

jenis golongan darah ini, dokter dan ilmuwan mencari cara untuk dapat menyelamatkan 

pasien transfusi darah. Sampai pada tahun 1901, ilmuwan asal Austria, Karl Laindstainer 

menemukan golongan darah ABO, yang membuat teknik transfusi darah menjadi lebih aman. 

Tidak hanya itu saja, ternyata ada jenis antigen darah lainnya yang dapat merangsang respon 

imun pada proses transfusi atau jika seseorang terekspos oleh sel darah dari pasien lain 

seperti pada proses kehamilan. Jenis golongan darah ini , yaitu golongan darah Rh, Duffy, 

Kidd, Lutheran, Lewis, dan sebagainya. Saat ini, International Society of Blood Transfusion 

(ISBT) telah mengklasifikasikan 33 sistem golongan darah. 

Pengetahuan mengenai jenis golongan darah bermanfaat untuk memahami prinsip 

pemeriksaan pre-transfusi dan reaksi karena transfusi. Untuk itu, anda harus memahami 

terlebih dahulu fenotip dan genotip golongan darah serta makna klinis tiap golongan darah. 


Sebelum tahun 1901, diperkirakan semua golongan darah adalah sama. Kondisi ini  

mendorong terjadinya reaksi transfusi yang fatal sampai memicu  kematian. Sampai 

pada tahun 1901, ditemukannya sistem golongan darah ABO oleh Karl Landstainer, seorang 

ilmuwan berkebangsaan Austria yang menyatakan bahwa setiap pasien memiliki  

karakteristik golongan darah yang dibedakan menjadi golongan darah grup A,B, dan O. 

Selanjutnya, pada tahun 1902, Alfred Decastello dan Adriana Sturli menemukan golongan 

darah AB, yang melengkapi sistem golongan darah ABO. Penemuan ini  menunjukkan 

bahwa transfusi darah tidak boleh dilakukan pada dua orang dengan golongan darah berbeda.

      

Istilah sistem golongan darah mengacu pada jenis antigen (Ag) yang ada  pada sel 

darah merah yang spesifisitasnya ditentukan dari gen yang berada pada kromosom. 

Sedangkan Istilah jenis golongan darah mengacu pada spesifisitas hasil reaksi sel darah merah 

terhadap jenis antisera tertentu. 

 

B. ANTIGEN ABH PADA SISTEM GOLONGAN DARAH ABO 

Sistem golongan darah ABO ditentukan oleh ada atau tidak adanya Ag A dan atau Ag B 

yang terekspresikan pada sel darah merah serta ada tidaknya antibodi (Ab) A dan atau B yang 

ada  di dalam serum/plasma. Sistem golongan darah ABO terdiri atas 4 golongan darah 

   

yaitu golongan darah A, B, AB dan O.  Individu dengan golongan darah A, pada sel darah 

merahnya ada  Ag A dan di plasmanya ada  Ab B. Golongan darah B ada  Ag B 

dan Ab A. Golongan darah AB, ada  Ag AB dan tidak ada  Ab A maupun B. Golongan 

darah O tidak memiliki  Ag A dan B, melainkan memiliki  Ab A dan B. Secara lengkap, 

penjabaran jenis golongan darah pada sistem ABO, dapat dilihat pada Tabel 2 berikut : 

 

Tabel  1. Sistem golongan darah ABO 

No Jenis golongan darah Jenis Ag Jenis Ab Genotip 

1 A A Anti-B AA / AO 

2 B B Anti-A BB / BO 

No Jenis golongan darah Jenis Ag Jenis Ab Genotip 

3 AB A dan B Tidak ada AB 

4 O Tidak ada Anti-A dan anti-B OO 

 

Antigen (Ag) pada sistem golongan darah ABO merupakan jenis Ag oligosakarida. Jenis 

Ag ini tidak hanya berada pada sel darah merah saja melainkan juga ada  pada sel dan 

jaringan lain , seperti pada sel epitel paru serta cairan tubuh dalam bentuk Ag terlarut. 

Ag pada sistem ABO merupakan produk dari ekspresi gen H, gen ABO dan gen Se. Ketiga 

gen ini  menentukan jenis , sifat dan letak Ag sistem ABO yang terekspresikan. 


Gen H berada di lokus H (FUT 1) pada kromosom 19. Gen ini  mengkode fukosil 

transferase yang memproduksi Ag H pada sel darah merah. Ag H (Gambar 2.3) merupakan 

prekursor / cikal bakal terbentuknya golongan darah ABO. Individu dengan antigen H 

memiliki  genotip HH dan Hh. Individu dengan genotip hh tidak mengkode fukosil 

transferase sehingga tidak memproduksi Ag H dan tidak bisa mengekspresikan Ag A dan B. 

Individu ini  akan teridentifikasi sebagai golongan darah ‘O’ Bombay (akan dijelaskan 

berikutnya). Banyaknya Ag H pada sel darah merah yang diubah menjadi Ag A dan Ag B , 

tergantung pada enzim glikosil transferase yang disintesis dari gen ABO. 


Gen ABO berada pada lokus di kromosom 9. Pada lokus ini  ada  alel A, B dan 

O. Alel A mengkode enzim N-acetyl-galactosaminyltrans-ferase yang menambahkan gugus 

gula N-acetyl-D-galactosamine (GalNac) pada Ag H sehingga terbentuk Ag A (Gambar 2.4). Alel 

B mengkode galactosyl transferase yang menambahkan gugus gula D-galactose (Gal) pada Ag 

   

H sehingga terbentuk Ag B ,Pada pasien dengan golongan darah AB, maka 

enzim transferase yang diekspresikan menambah dua gugus gula yaitu GalNac dan Galaktosa 

(Gambar 2.5-kanan). Alel O tidak mengkode enzim fungsional ini , sehingga Ag H 

(Gambar 2.3) tidak berubah bentuk seperti pada pasien golongan darah A, B dan AB. 

Golongan darah O pada pasien dengan genotip HH dan Hh memiliki  Ag H dalam jumlah 

banyak dibandingkan pada pasien golongan darah A, B dan AB. 

 

Gambar 2.5: Ag B (kiri) dan Ag AB (kanan) 

Sumber : https://www.slideshare.net 

Individu dengan genotip hh tidak memproduksi antigen H, sehingga tidak dapat 

memproduksi antigen A ataupun B. Individu dengan genotip hh disebut dengan golongan 

darah ‘O Bombay’. Jenis golongan darah ini memiliki  sifat seperti golongan darah O, karena 

memiliki  anti A dan B, akan tetapi golongan darah ini juga memiliki  anti H, yang tidak 

dipunya oleh pasien dengan golongan darah O biasa. Individu dengan golongan darah O 

Bombay tidak menunjukkan gejala penyakit, namun ketika harus transfusi darah, maka 

pasien ini  harus mendapatkan darah dari golongan O Bombay juga. Jika pasien 

ini  mendapat darah dari golongan darah O biasa, maka akan terjadi reaksi transfusi 

hemolitik akut. Golongan darah O Bombay, seringkali dianggap sebagai golongan darah O 

biasa. Golongan darah O Bombay dapat diketahui dengan cara mereaksikan serum/plasma 

dengan tes sel O. 

 

 

Sistem golongan darah ABO terdiri atas Ag yang utama ada  di membran sel darah 

merah dan Ab yang secara alamiah terbentuk semenjak lahir. Hal ini  yang 

membedakan jenis golongan darah ABO dengan golongan darah lainnya.  

Individu dengan golongan darah A, B, O dan AB harus memiliki  Ag H walaupun  

dalam jumlah bervariasi. Ag H paling banyak ada  pada gol darah O. 

Jika tidak memiliki  Ag H, maka pasien ini  adalah golongan darah O Bombay. 

 

  

C. ABH SEKRETOR 

Telah diuraikan sebelumnya, bahwa Ag pada sistem golongan darah ABO tidak hanya 

ada  pada sel darah merah, melainkan juga bisa ada  pada cairan tubuh dalam bentuk 

Ag terlarut. Gen yang mengkode jenis Ag ini adalah gen Se yang berada pada locus Se (FUT2) 

di kromosom 19. Gen Se mengkode fukosil transferase yang berperan pada produksi Ag H di 

cairan tubuh, seperti pada saliva / air liur. Ekspresi Ag A dan B tergantung pada genotip A dan 

B. Individu dengan genotip Se/Se atau Se/se, disebut dengan sekretor, sedangkan pasien 

dengan genotip se/se disebut dengan non sekretor dan tidak membentuk Ag A, B terlarut. 

 

D. SUB GRUP ABO 

Pada pemeriksaan golongan darah ABO, terkadang dapat ditemui hasil aglutinasi 

lemah antara sel darah merah yang direaksikan dengan reagen antisera (forward grouping) 

atau  plasma yang direaksikan dengan reagen tes sel (reverse grouping). Hal ini dapat 

disebabkan karena Ag A dan B pada membran sel darah merah memiliki  jumlah sedikit. 

Berdasarkan reaksi serologi yang dihasilkan pada pemeriksaan golongan darah ABO,ada  

sub grup A dan sub grup B. Pada biasanya , sub grup diketahui dari adanya ketidaksesuaian 

hasil pemeriksaan golongan darah antara forward grouping dan reverse grouping. 

Pada sub grup A, urutan jumlah Ag A yang terbanyak adalah : A1> A2> A3> AX>Aend> Am> 

Ael.Pada sub grup A3 , AX ,Aend dapat beraglutinasi dengan anti A, sedangkan sub grup Am  Ael 

tidak dapat aglutinasi dengan anti A. 

Populasi golongan darah dengan subgrup A1 dan A2, keduanya memiliki  Ag A, hanya 

saja pasien dengan golongan darah A1, memiliki  jenis Ag A1 yang tidak dipunya oleh 

pasien dengan A2.  pasien dengan golongan darah A1 lebih banyak dibandingkan golongan 

darah A2. Golongan darah A2 dan A2B dapat menghasilkan anti A1 yang dapat bereaksi dengan 

sel eritrosit A1 dan A1B.   

Seperti sub grup A, sub grup B juga memiliki  jumlah Ag yang lebih sedikit, sehingga 

sulit dideteksi. Pada sub grup B, urutan jumlah Ag B yang terbanyak adalah : B > B3> Bx> Bm> 

Bel. 

Golongan darah AB diklasifikasikan menjadi 9 sub tipe berdasarkan jumlah Ag A atau 

B. Sub tipenya adalah : AxB, A1Bx, AmB, A1Bm, AelB, A1Bel, cisA2B3, cisA2B, cisA1B3. 

Individu golongan darah A sekretor, yang juga ada  Ag A pada cairan tubuhnya, 

harus memiliki  gen ABO, gen H dan gen Se. Hal yang sama berlaku pada pasien 

golongan darah B , AB  dan O sekretor. Ekspresi Ag H di cairan tubuh, tergantung pada 

status sekretor suatu pasien.   

  

Identifikasi sub grup AB menjadi penting, karena kadangkala dapat ditemui pasien 

yang salah interpretasi golongan darah O, sehingga dapat berakibat fatal jika pasien ini  

ditransfusi dengan darah golongan O. Selain itu, pada golongan darah sub grup A2 dan A2B 

dapat terbentuk anti A1, sehingga dapat mengakibatkan ketidaksesuaian hasil pemeriksaan 

golongan darah antara forward grouping dan reverse grouping. Jenis sub grup lainnya, yang 

dapat memiliki  antibodi A1 pada serumnya adalah : AX, A3, Aend ,Ael. 

 

E. ANTI A, B dan H 

Anti A dan B merupakan jenis antibodi yang terbentuk secara alamiah dan dapat 

dideteksi di dalam serum setelah bayi berusia sekitar 3-6 bulan. Sistem imun tubuh akan 

membentuk antibodi terhadap antigen yang berlawanan atau yang tidak dipunyai oleh tubuh 

dan timbul karena adanya paparan terhadap lingkungan (Ab alamiah). Sebagai contoh : 

golongan darah A akan membentuk antibodi B, dan seterusnya(Tabel 2.1). Jenis Ab A dan B 

biasanya  adalah Imunoglobulin M (IgM). IgM memiliki  sifat dapat mengaktifkan 

komplemen dan bereaksi optimum pada suhu 20 - 240 C. Ab jenis ini dapat memicu  

reaksi transfusi yang berbahaya, jika terjadi inkompatibilitas / ketidakcocokan golongan darah 

ABO. 

Anti A dan B juga memiliki  jenis IgG, yang dapat memicu  reaksi 

inkompatibilitas pada ibu golongan darah O yang mengandung anak dengan golongan darah 

selain O. Reaksi ini memicu  lisis sel darah merah (hemolitik) pada bayi baru lahir, namun 

tidak terlalu berbahaya seperti inkompatibilitas golongan darah Rh. 

Anti H, bersama dengan anti A dan anti B dapat ditemukan pada pasien dengan 

genotip hh (golongan darah O Bombay). Anti H dapat beraglutinasi  dengan Ag H yang banyak 

ada  pada golongan darah O. Hal ini dapat memicu  reaksi inkompatibilitas pada 

pasien golongan darah O Bombay yang ditransfusi dengan donor golongan darah O. 

 

Indikasi golongan darah sub grup penting untuk kebutuhan transfusi. Sebagai contoh, 

Pada pasien dengan sub grup A2 atau A2B, maka dia akan membentuk anti-A1 yang 

akan beraglutinasi dengan sel A1, sehingga tidak bisa dilakukan transfusi dengan 

sembarang golongan darah A.       

Ab pada sistem golongan darah ABO, biasanya  adalah jenis IgM (cold antibody), yang 

sangat cepat beraglutinasi jika Ag dan Ab yang jenisnya sama direaksikan, seperti Ag A 

dan anti-A.  Jika transfusi harus dilakukan, maka donor dan pasien harus memiliki  

golongan darah ABO yang sesuai.         


 Pada transfusi, darah pasien dan donor harus memiliki  jenis golongan darah ABO 

yang sama. Lengkapi tabel kesesuaian golongan darah donor dan pasien berikut ini (golongan 

darah pasien O dengan golongan darah donor O dan A dikerjakan sebagai contoh):  


 

F. POLA PEWARISAN 

Seperti diketahui, bahwa golongan darah ABO diturunkan dari orang tua. Jenis 

golongan darah ditentukan dari gen yang berasal dari kedua orang tua kita. Setiap anak 

memiliki  kombinasi gen dalam bentuk dua alel, yang berasal dari ayah dan ibu. ada  

tiga jenis alel golongan darah ABO, yaitu : alel A, B dan O. Kombinasi dari tiga alel ini  

adalah : OO; AO; BO; AB; AA; BB, seperti terlihat pada Tabel 

 

Pada Tabel 4 dapat dilihat bahwa  anak golongan darah A, yang memiliki  genotip 

AA dan AO, memiliki  alel A yang diturunkan dari ayah atau ibu dan alel O yang diturunkan 

dari ayah atau ibu. Golongan darah B memiliki  genotip BB dan BO, yang memiliki  alel B 

yang berasal dari ayah / ibu dan alel O yang berasal dari ayah / ibu. Golongan darah AB yang 

memiliki  genotip AB, memiliki  alel A yang diturunkan dari ayah / ibu dan alel B yang 

diturunkan dari ayah / ibu. Jenis alel A dan B merupakan tipe kodominan, yaitu alel yang tidak 

mempengaruhi satu sama lain, sehingga diekspresikan secara bersamaan. Hal ini  

berbeda dengan alel O, jika alel O diekspresikan bersama dengan A atau B (heterozygot), maka 

alel O tidak terekspresikan, melainkan hanya alel A dan B saja. Alel O akan terekspresikan jika 

dalam bentuk homozygot, seperti pada golongan darah O, yang memiliki  genotip OO. 

Sebagai contoh, jika ayah memiliki  golongan darah A (genotip AO) dan ibu 

memiliki  golongan darah B (genotip BO), maka kemungkinan golongan darah anaknya 

adalah : A, B, O dan AB, 

Berdasarkan pola pewarisan golongan darah ABO yang telah dipelajari, lengkapi tabel 

berikut. Pada tabel tertera golongan darah bapak dan ibu beserta genotipnya. Pada bagian 

tabel yang kosong, merupakan kemungkinan golongan darah anak. Lengkapi tabel di bagian 

yang kosong dengan mengacu pada golongan darah dan genotip bapak dan ibunya. Sebagai 

contoh , 

 

 

Sistem golongan darah Rh merupakan golongan darah utama selain ABO. Jenis golongan 

darah ini wajib diperiksa pada pemeriksaan pre-transfusi. Golongan darah Rh pertama kali 

ditemukan karena adanya reaksi transfusi pada seorang ibu yang melahirkan. Anak yang 

dilahirkan mengalami eritroblastosis fetalis (kelainan sel darah sehingga terjadi lisis eritrosit 

berlebih). Serum ibu ini  mengaglutinasi sel darah yang ditransfusikan yang berasal dari 

suaminya, walaupun keduanya memiliki  golongan darah ABO yang sama. Ternyata, 

kematian bayi ini  dan reaksi transfusi yang terjadi pada ibu, berhubungan. Selama 

kehamilan, ibu ini  telah terekspos sel darah merah dari janin yang dikandungnya, dan 

sistem imun ibu membuat Ab terhadap Ag dari sel darah merah bayi yang memiliki  Ag yang 

sama dengan ayah. 

Pada tahun berikutnya, Landsteiner dan Wiener  menemukan bahwa serum kelinci yang 

telah diimunisasi dengan sel darah merah dari kera Macacus rhesus dapat mengaglutinasi  sel 

darah merah manusia. Ag dan Ab ini  diberi nama Rhesus. Akan tetapi, jenis Ag dan Ab 

ini  berbeda dengan yang ditemukan pada kasus awal yaitu ibu yang melahirkan bayi 

eritroblastosis fetalis, walaupun pada awalnya jenis Ag dan Ab ini  dianggap sama. 

Ab yang dihasilkan oleh ibu ini  berbeda dengan Ab Rhesus. sebab  sebutan Rhesus 

sudah dipakai  luas, daripada mengganti nama, maka dipilihlah nama Rh untuk jenis Ab yang 

terbentuk di dalam darah Ibu ini . 

 

B. POLA PEWARISAN 

ada  tiga teori yang melatarbelakangi pola pewarisan Ag Rh yaitu teori Wiener, 

Fisher Race dan Tippett. Gen Rh berada pada kromosom 1 dan diwariskan secara kodominan. 

Pola pewarisan berdasarkan teori Wiener yaitu satu gen dapat memproduksi lebih dari 1 jenis 

Ag dengan spesifisitas yang hampir sama, yaitu Rh0, Rh1, Rh2 dan Rhz.  

Pola pewarisan berdasarkan teori Fisher-Race, menyatakan bahwa ada  3 gen yang 

berdekatan. Tiap gen masing-masing mengekspresikan satu Ag. Jenis Agnya adalah : D, C atau 

c, E atau e, dan tidak ada Ag d. Istilah Ag d dipakai  untuk menyatakan tidak adanya Ag D. 

Teori Tippett menyatakan bahwa Ag Rh diturunkan dari 2 gen. Gen RHD memproduksi 

Ag D dan gen RHCE memproduksi Ag kombinasi C/E.Pendekatan teori Tippett menggunakan 

teknik biomolekular. 

Berikut adalah gambar susunan gen pada kromosom berdasarkan ketiga teori ini . 

 

   

 Setiap pasien mendapatkan satu copy kromosom dari bapak dan ibu. Pada contoh 

berikut digambarkan bahwa anak ini  menerima R1 dari ibu dan R2 dari ayah. Jenis Ag 

Rh yang diekspresikan adalah kombinasi gen yang ia terima dari kedua orangtuanya, 

  

Seperti dijelaskan sebelumnya, bahwa alel Rh bersifat kodominan. Pada contoh ini 

(Gambar 2.8), anak yang memiliki   alel RHCe dan RHcE, maka keempat alel ini  

diekspresikan.  

Ilustrasi pola pewarisan Rh juga dapat digambarkan berdasarkan ada tidaknya Ag D. 

Individu Rh positif memiliki  genotip DD dan Dd. Individu Rh negatif memiliki  genotip dd. 

Jika Ibu bergolongan darah Rh positif (heterozygot) dan ayah Rh positif (heterozygot), maka 

salah satu anaknya bergolongan darah Rh positif (homozygot / DD). Berikut adalah gambar 

pola pewarisan Rh yang lebih sederhana.  

 

Berdasarkan Tabel 6, dapat dilihat bahwa ayah dengan golongan darah Rh positif 

(heterozygot/Dd) dan ibu Rh positif (heterozygot/Dd), maka 75% kemungkinan anak 

bergolongan darah Rh positif dan 25% kemungkinan golongan darah Rh negatif. 

 

 

Ayah 

Ibu 

Golongan darah Rh positif berbeda dengan Rhesus. Individu dengan Rh positif adalah 

pasien dengan Ag D. Penulisannya adalah : Rh positif/Rh negatif, D+/D- , RhD 

Positif/RhD negatif.       

   

 

C. ANTIGEN RH 

Sistem golongan darah Rh merupakan jenis golongan darah dengan jumlah Ag yang 

cukup banyak. Lima jenis Ag yang utama adalah Ag D, C, E, c dan e. Ag Rh dibawa oleh protein 

Rh (Rh-associated  glycoprotein/RHAG), sehingga Ag dapat terekspresikan pada permukaan 

membrane eritrosit. Protein RhD mengekspresikan Ag D, 

 sedangkan protein RhCcEe membawa Ag C/c 

 atau E/e. 

 

Ag Rh merupakan jenis protein integral transmembran yang hanya ada  di sel darah 

merah saja. Salah satu jenis Ag Rh , yaitu Ag D bersifat sangat imunogenik (memacu 

pembentukan Ab). Ag Rh ternyata memiliki  fungsi mempertahankan integritas membran 

sel darah merah. 

Individu dengan Rh positif memiliki  gen RHD dan RHCE, yang diturunkan dari kedua 

orangtua. Ag yang diekspresikan adalah Ag D dan salah satu kombinasi alel dari RHCE. 

Individu dengan Rh negatif hanya memiliki  gen RHCE. Pada Tabel 7, dapat dilihat kombinasi 

ekspresi dari gen Rh. 

 

 

 

Tabel  6. PENULISAN AG RH  

Gen Rh  Kompleks gen / 

haplotype  

Fisher-Race 

Nomenklatur 

Wiener 

Keterangan 

Gen RHD Gen RHCE 

D Ce DCe R1 Rh positif 

D cE DcE R2 Rh positif 

D ce Dce R0 Rh positif 

D CE DCE Rz Rh positif 

1   

  

  

D Ce dCe rI Rh negatif 

D cE dcE rII Rh negatif 

D ce dce r Rh negatif 

D CE dCE ry Rh negatif 

 

Pada Tabel 7. dapat dilihat jika ada  Ag D (Rh positif), maka penulisan nomenklatur 

Wiener adalah R yang diikuti dengan angka atau simbol, seperti R1, R2 dan RO. Jika ada  Ag 

C, maka penulisan nomenklaturnya adalah dengan 1 atau I. Sebagai contoh, DCe = R1 dan dCe 

= rI. Jika ada  Ag E, maka penulisan nomenklaturnya adalah 2 atau II, contohnya : DcE = R2 

dan dcE = rII. Bila hanya ada Ag D, tanpa Ag C dan E, maka penulisan nomenklaturnya adalah 

RO. Fenotip dCE dan DCE sangat jarang, sehingga penulisan nomenklaturnya menggunakan y 

dan z (ry dan Rz).  

 

Berdasarkan jumlah Ag dan reaksi yang dihasilkan, maka ada  variasi dari Ag D. 

 

C.1. Weak ‘D’ 

Sesuai dengan namanya, variasi golongan darah ini terjadi karena jumlah Ag D yang 

terekspresikan tidak banyak, sehingga menghasilkan reaksi aglutinasi yang lemah dengan 

reagen anti-D. Weak ‘D’ disebabkan karena terjadi pergantian asam amino yang berada di area 

transmembran pada protein RhD. Hal ini  menghalangi protein RhD (pembawa Ag) 

masuk ke area membran sel darah merah, sehingga mengurangi Ag Rh yang terekspresikan di 

membran sel darah merah. Weak ‘D’ biasanya dihubungkan dengan pola pewarisan RO. 

Individu ini tidak bisa membentuk anti-D. Pada donor,golongan darah ini,  digolongkan ke 

dalam Rh positif. Pada eritrosit dengan Ag D normal, ada  15.000 – 30.000 tempat Ag/sel 

sedangkan eritrosit dengan weak D hanya memiliki  70 – 5200 tempat Ag/sel. 

 


 

Individu dengan Rh positif , memiliki  Ag D, penulisan menggunakan huruf kapital D. 

Huruf d menandakan tidak memiliki  Ag D.       

   

  

 

C.2. Partial D 

Protein RhD merupakan jenis protein yang melintasi membran eritrosit, sehingga 

ada  bagian protein di luar dan di bagian dalam membran. Jika terjadi reaksi pergantian 

asam amino di protein bagian luar membran sel darah merah, maka epitop dari Ag D bisa 

berubah atau dapat juga ada  bentuk Ag baru. Individu ini dapat membentuk anti-D 

terhadap bagian Ag yang hilang. 

 

 

 


 

Selain weak D dan partial D, ada  juga jenis Ag Rh varian lainnya, seperti Rhnull, yang 

terjadi karena delesi Rh protein, sehingga Ag Rh tidak terekspresikan. Variasi Ag Rh dapat 

Donor dengan weak D, dianggap sebagai Rh positif, sedangkan pasien weak D dianggap 

sebagai Rh negatif dan lebih baik ditransfusi dengan Rh negatif. 

Pada pasien dengan partial D, dapat membentuk alloantibodi terhadap bagian Ag yang 

hilang, jika ditransfusikan dengan darah Rh positif. 

 

terjadi karena ; mutasi titik, nonsense mutasi, delesi nukleotida yang dapat memicu  

perubahan asam amino yang terekspresi. 

 

D. ANTI-RH 

 Berbeda dengan anti A dan B yang terbentuk secara alami di dalam tubuh, Ab Rh 

terbentuk kalau ada paparan dengan Ag Rh, baik pada proses transfusi maupun kehamilan.  

Seperti telah dijelaskan sebelumnya, Ag Rh memiliki  sifat imunogenik dan dapat 

merangsang respon imun pada 80% pasien Rh negatif pada saat ditransfusi dengan 200 mL 

darah Rh positif sehingga memicu  reaksi hemolitik. 

Ab Rh juga bisa didapat melalui proses kehamilan dari perkawinan ibu Rh negatif dengan 

ayah Rh positif, sehingga  Ibu mengandung bayi Rh positif. Pada kehamilan pertama, eritrosit 

janin dapat masuk ke peredaran darah ibu pada saat pelepasan plasenta dari dinding rahim 

pada proses kelahiran, dan ibu Rh negatif membentuk Ab dari bayi Rh positif. Pada kehamilan 

berikutnya, anti D yang terbentuk dari kehamilan pertama, dapat melewati plasenta masuk ke 

dalam sirkulasi darah janin. Hal ini  mengakibatkan sel darah merah janin diselimuti 

dengan Ab Rh sehingga sel darah merah bayi hemolisis. Kondisi ini disebut dengan Hemolytic 

Disease of Newborn (HDN). Skema terjadinya HDN karena inkompatibilitas Rh dapat dilihat 

pada Gambar 2.12. 

 

Gambar 2.12. Proses terjadinya HDN karena inkompatibilitas Rh 

Sumber. https://www.quora.com 

Umumnya, jenis anti D yang terbentuk adalah jenis IgG dan sebagian IgM. Ab Rh tidak 

mengaktifkan komplemen. Reaksi optimal pada suhu 370 C. Reaktivitas untuk pengujian Ab 

dapat ditingkatkan dengan penambahan enzim. 

Selain anti D, anti c juga dapat memicu  reaksi HDN yang cukup parah. Anti C, anti 

E dan anti e jarang memicu  HDN, kalaupun terjadi, reaksinya tidak terlalu parah. 

Pada pasien dengan weak D, tidak bisa membuat anti D, sedangkan pasien dengan 

partial D, dapat terbentuk anti-D. Deteksi weak D dan partial D penting pada proses transfusi 

darah. Jika donor memiliki  golongan darah weak D atau partial D, maka harus dianggap 

Kehamilan 

pertama Kehamilan 

kedua 

   

  

 

sebagai Rh positif. Hal ini  dilakukan untuk menghindari transfusi ke pasien dengan Rh 

negatif. Sebaliknya, jika pasien memiliki  golongan darah weak D atau partial D, maka harus 

dianggap sebagai Rh negatif, supaya tidak terjadi reaksi aloimunisasi pada pasien. 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


 

Selain golongan darah ABO dan Rh, masih ada  beberapa jenis golongan darah 

lainnya yang penting untuk dipelajari terkait dengan reaksi yang dihasilkan karena transfusi 

darah ataupun kehamilan. Seperti diketahui, bahwa membran sel darah terdiri atas berbagai 

macam molekul protein, karbohidrat maupun lemak. Molekul permukaan sel ini dapat 

berperan sebagai Ag dengan merangsang respon imun jika ditransfer ke pasien lain. Protein 

/ Ag membran sel darah diturunkan secara genetik, dan ada yang memberikan fungsi spesifik 

pada sel darah, seperti : Ag Rh yang berfungsi untuk mempertahankan integritas sel darah 

merah. 

Melalui berbagai penelitian dan studi kasus, kelompok Ag pada membran sel darah 

merah yang dapat merangsang respon imun dan membentuk Ab dikelompokkan menjadi 

berbagai sistem golongan darah. International Society Blood Transfussion (ISBT), saat ini telah 

mengidentifikasi 33 sistem golongan darah dengan lebih dari 300 jenis Ag. Penamaan sistem 

golongan darah bervariasi, ada yang dituliskan dengan huruf kapital, seperti A, B; M, N, ada 

yang menggunakan huruf besar dan huruf kecil, seperti : S,s, ; K,k , untuk menunjukkan variasi 

Ag. ISBT telah menginventaris dan memberikan nomor sebagai identitas golongan darah,yang 

dapat dilihat di Tabel 8 

Sumber. Essential guide to blood groups 

Pada modul ini, hanya akan dibahas Ag pada sistem golongan darah dengan kasus reaksi 

transfusi yang cukup banyak. Berdasarkan jenis reaksi Ab nya, maka bahasan modul untuk 

kelompok sistem golongan darah lain, akan dibagi menjadi Warm Ab dan Cold Ab. Warm Ab 

adalah jenis antibodi yang dihasilkan, yang bereaksi optimal mengikat Ag pada suhu 370 C dan 

co

Related Posts:

  • bank darah 1 imunohematologi merupakan ilmu yang mempelajari reaksi antigen (Ag) dan antibodi (Ab) pada sel darah, khususnya sel darah merah. Ilmu ini tidak hanya mencakup imunologi dan hematologi saja, melainkan ada … Read More
  • bank darah 1 Read More