imunohematologi merupakan ilmu yang mempelajari reaksi antigen (Ag) dan antibodi (Ab)
pada sel darah, khususnya sel darah merah. Ilmu ini tidak hanya mencakup imunologi dan
hematologi saja, melainkan ada juga ilmu lain seperti, genetika, biokimia dan
biomolekuler. Pada prakteknya, imunohematologi diaplikasikan pada bidang pelayanan
transfusi darah.
Konsep imunohematologi yang dipakai dalam bidang pelayanan transfusi darah
adalah pemeriksaan sebelum transfusi (pre-transfusi test) dan mendeteksi adanya reaksi
transfusi yang ditandai adanya Ab terhadap sel darah. Selain pada proses transfusi, kondisi
lain yang dapat mencetus Ab terhadap sel darah adalah proses kehamilan.
Konsep dasar imunologi diperlukan untuk memahami reaksi Ag dan Ab. Reaksi Ag dan
Ab wajib dipahami terlebih dahulu, karena prinsip dasar metode pemeriksaan untuk transfusi
darah , pada biasanya , saat ini masih menggunakan reaksi Ag dan Ab. Selain itu, konsep dasar
Antigen dan Antibodi
A. ANTIGEN
Imunohematologi yang diaplikasikan pada transfusi darah lebih mengutamakan reaksi
antara antigen (Ag) pada sel darah merah dengan antibodi (Ab) pada serum/plasma. Istilah Ag
selalu dipakai pada ruang lingkup analisis laboratorium, namun demikian ketika kita
berbicara mengenai respon imun tubuh, maka Ab distimulus oleh substan asing yang dapat
merangsang respon imun tubuh yang disebut dengan imunogen. Istilah imunogen dan
antigen, secara teori sedikit berbeda, akan tetapi karena istilah Ag sudah dipakai secara
luas, maka Ag dianggap sama dengan imunogen. Hal ini berarti, Ag yang dimaksud pada modul
ini yaitu Ag yang bersifat imunogenik yang dapat merangsang respon imun untuk
memproduksi Ab.
Sebagai contoh, sel netrofil akan teraktivasi jika ada bakteri masuk ke dalam tubuh dan
dapat menghasilkan Ab. Dalam hal ini, unsur bakteri merupakan Ag yang merangsang respon
imun.
Ag merupakan unsur biologis yang memiliki bentuk dengan struktur kimia yang
kompleks dan memiliki berat molekul cukup besar untuk menstimulus Ab. Oleh karena itu,
biasanya jenis Ag berasal dari molekul protein. Epitop (antigen determinan) merupakan
bagian dari Ag yang bereaksi dengan Ab atau dengan reseptor spesifik pada limfosit T. Bentuk
epitop biasanya kecil dengan berat molekul ± 10.000 Da. Epitop ini berada pada molekul
pembawa sel darah merah, sehingga pada permukaan membran sel darah merah, ada
banyak epitop yang menentukan spesifisitas dan kekuatan reaksi Ag dan Ab,
Suatu substan dengan berat molekul < 10.000 Da, seperti obat antibiotik biasanya
tidak imunogenik, tetapi bila diikat pada protein pembawa yang cukup besar, maka akan
membentuk suatu kompleks yang dapat merangsang respon imun untuk memproduksi Ab
terhadap molekul ini . Substan ini adalah hapten, yang bentuk kompleksnya dapat
bereaksi dengan Ab, tetapi ia sendiri tidak imunogenik.
A.1. Human Leucocyte Antigen (HLA) dan Human Neutrofil Antigen (HNA)
Sistem HLA diketahui juga sebagai Major HIstocompatibility Complex (MHC). HLA
merupakan produk dari ekspresi gen HLA-A, -B, -C, -DR, -DQ, dan gen –DP di kromosom 6.
HLA diekspresikan di membran sel berinti, yaitu sel limfosit, granulosit, monosit, trombosit,
dan beberapa organ, walaupun diketahui trombosit tidak memiliki inti sel. Berdasarkan
struktur biokimianya, HLA dikategorikan menjadi HLA kelas I dan II. HLA kelas I terdiri atas :
HLA-A, -B, -C. HLA jenis ini berada di sel darah berinti di peredaran darah tepi dan trombosit.
HLA kelas II terdiri atas : HLA-DR, -DQ dan HLA-DP. HLA kelas II ada di monosit dan
limfosit B.
HLA bersifat sangat imunogenik. Pada proses transfusi, kehamilan dan transplantasi
organ, pasien normal dapat membentuk Ab terhadap HLA.
Oleh karena itu, pada transplantasi organ, untuk menghindari proses penolakan organ
di tubuh pasien, dilakukan terlebih dulu pemeriksaan HLA typing, untuk menentukan
kecocokan donor dan pasien.
Pada proses transfusi, untuk menghindari reaksi transfusi karena ketidakcocokan HLA
donor dan pasien, maka komponen darah yang ditransfusikan dihilangkan sel lekositnya
dengan cara disaring menggunakan filter khusus lekosit. Komponen darah ini disebut dengan
leukoreduction atau leucopoor.
Reaksi ketidakcocokan HLA dapat menghasilkan Ab terhadap HLA. Ab HLA biasanya
ada pada wanita yang memiliki riwayat sering melahirkan. Jenis Ab ini dapat
ditemukan pada reaksi transfusi yang diberi nama : transfusion related acute lung injury
(TRALI) yang akan dibahas di Bab 4. Selain HLA, ada juga jenis Ag lekosit yaitu Human
Netrofil Antigen / HNA di sel netrofil. Reaksi Ag dan Ab netrofil dapat memicu kondisi
penurunan sel netrofil (neutropenia) pada bayi baru lahir dan penyakit TRALI.
A.2 Human Platelet Antigen (HPA)
Pada membran trombosit juga ada Ag khusus yang diberi nama Human Platelet
Antigen (HPA). Sebanyak 33 jenis HPA yang terletak di glikoprotein membran trombosit telah
diidentifikasi. Adanya ketidakcocokan HPA menimbulkan Ab terhadap HPA. Antibodi (Ab)
terhadap HPA memicu penurunan jumlah trombosit (trombositopenia).
Penurunan jumlah trombosit karena Ab terhadap HPA dapat terjadi pada janin ataupun
pada bayi baru lahir. Kondisi ini disebut dengan Fetomaternal/neonatal alloimune
thrombocytopenia (FNAIT/NAIT). Selain itu, anti HPA juga dapat memicu reaksi transfusi
yang ditandai dengan kegagalan untuk meningkatkan jumlah trombosit setelah transfusi
darah dan dapat disertai dengan perdarahan dan timbulnya bintik/bercak merah (purpura).
B. ANTIBODI
Antibodi merupakan jenis protein yang dihasilkan oleh sel limfosit karena adanya
paparan terhadap Ag yang spesifik. Struktur dasar Ab terdiri atas 2 rantai berat (Heavy-chain)
dan 2 rantai ringan (Light-chain) yang identik. Setiap rantai ringan terikat pada rantai berat
melalui ikatan disulfida (S-S), seperti terlihat pada gambar berikut ini.
Antigen pada sel darah merah diklasifikasikan di sistem golongan darah
(ABO, Rh Lewis, Kell, Kid, Duffy, dsb). Antigen pada sel lekosit diklasifikasikan pada sistem HLA,
HNA. Antigen pada trombosit diklasifikasikan ke dalam sistem HPA. Jenis Ag ini tidak murni
hanya berada di satu jenis sel darah saja, terkadang ada beberapa jenis Ag sel darah
merah yang ada di sel darah lain seperti trombosit, contoh: ABO atau HLA yang juga
ada di trombosit.
Fragmen Fab dengan antigen binding site, berfungsi mengikat Ag, oleh karena itu
susunan asam amino di area ini berbeda antar molekul Ab yang disesuaikan dengan
variabilitas Ag yang merangsang pembentukannya. Fragmen FC merupakan fragmen yang
konstan, yang tidak memiliki kemampuan mengikat Ag, tetapi dapat bersifat sebagai Ag.
Fragmen ini memiliki fungsi sebagai efektor sekunder dan menentukan sifat biologik Ab,
misalnya kemampuan untuk melekat pada sel, fiksasi komplemen, kemampuan menembus
plasenta, dsbnya.
Jenis Ab terbagi ke dalam lima kelas, yaitu : IgG, IgM, IgA, IgE, IgD. IgG merupakan
satu-satunya immunoglobulin yang mampu melewati plasenta, sedangkan IgM tidak dapat
melalui plasenta dan disintesis pertama kali sebagai stimulus terhadap Ag. Pada topik ini akan
lebih banyak dibahas IgG dan IgM, karena yang banyak terlibat dalam reaksi transfusi dan
terkait dengan pemeriksaan sebelum transfusi (pre-transfusi tes) adalah jenis immunoglobulin
ini . Adapun jenis immunoglobulin lainnya , seperti IgE, berperan dalam reaksi alergi yang
disebabkan oleh transfusi (akan dibahas pada bab 4). IgE berperan dalam reaksi alergi yang
mengakibatkan sel melepaskan histamin. IgA ditemukan dalam sekresi eksternal, sebagai
contoh pada mukosa saluran nafas, intestinal, urin, saliva, air mata, dsb. Fungsi dari IgA adalah
dapat menetralisir virus dan menghalangi penempelan bakteri pada sel epitelium. IgD
merupakan penanda permukaan sel B yang matang dengan jumlah yang sedikit di dalam
serum.
B.1 Antibodi jenis IgG
Ab IgG merupakan jenis Ab yang berperan pada imunitas jangka panjang. Reaksi
transfusi, biasanya menghasilkan Ab IgG. Ab jenis ini dapat menghasilkan reaksi hemolisis di
dalam pembuluh darah dengan cara Ab mensensitisasi sel darah merah dan mengaktifkan
komplemen pada kondisi optimal. Ab IgG tidak dapat beraglutinasi membentuk gumpalan
darah secara langsung, hal ini dikarenakan bentuk IgG yang cukup kecil, yang terdiri hanya
satu sub unit immunoglobulin (monomer) dengan 2 area pengikatan Ag (antigen binding site).
sebab bentuknya yang kecil, maka hanya IgG yang dapat menembus plasenta. Kondisi inilah
yang dapat memicu reaksi pada janin (dijelaskan lebih detail pada bab 2). Ab IgG
bereaksi optimal pada suhu 37o C, oleh karena itu seringkali disebut dengan ‘warm antibody’.
B.2 Antibodi jenis IgM
Ab jenis IgM merupakan jenis Ab yang pertama dibentuk karena adanya paparan
terhadap Ag dan respon IgM biasanya pendek yaitu hanya beberapa hari yang kemudian
konsentrasinya menurun. Molekul IgM lebih besar dibandingkan IgG, dengan bentuk
pentamer yang terdiri atas 5 sub unit immunoglobulin dengan 10 tempat pengikatan Ag
(antigen binding site). Ab IgM bereaksi optimal pada suhu 4OC atau di bawah 30OC, dan
seringkali disebut dengan ‘cold antibody’. Ab IgM dapat mengikat komplemen dan
menghasilkan reaksi lisis. Berikut adalah gambaran antara molekul Ab IgG dan IgM.
Perbandingan struktur antara molekul IgG dan IgM
Jenis antibodi yang dibahas pada modul ini adalah antibodi sistem golongan darah.
Umumnya, manusia memiliki anti A, anti B yang terbentuk secara alami di dalam tubuh.
Jenis Ab ini, terbentuk berlawanan dengan jenis Ag yang sudah ada, sebagai contoh, pasien
yang memiliki Ag A, akan memiliki anti B.
Jenis Ab pada sistem golongan darah biasanya adalah jenis IgM atau IgG, dan sejumlah
kecil IgA. Ab yang terbentuk secara alamiah, seperti anti A, anti B biasanya adalah jenis IgM.
Ab IgM merupakan jenis Ab yang bereaksi optimal di suhu 40 C (seringkali disebut dengan Ab
jenis cold), dan Ab jenis IgM dapat bereaksi langsung mengikat Ag yang sesuai di medium NaCl
0,9% (medium saline).
Ab jenis IgG pada sistem golongan darah biasanya merupakan jenis Ab imun, yaitu Ab
yang terbentuk karena ada paparan sebelumnya dengan Ag yang sesuai, seperti Ab –Rh, Ab –
Kell, Ab –Kidd, dsb. Tidak seperti Ab jenis IgM yang dapat langsung bereaksi pada medium
saline, Ab jenis IgG membutuhkan reagensia tambahan seperti anti human globulin (AHG)
untuk memperlihatkan aglutinasi terhadap Ag yang sesuai.
C. JENIS REAKSI Ag DAN Ab
Reaksi Ag dan Ab yang akan dibahas di modul ini adalah reaksi Ab dan Ag pada sel darah
merah. Reaksi Ag dan Ab dipelajari untuk mengetahui cara deteksi Ag dan Ab yang dipakai
pada pemeriksaan transfusi darah.
Reaksi Ab dan Ag pada sel darah merah dimulai ketika Ab dan Ag berada pada suatu
medium. Ketika Ab dan Ag pada medium ini sesuai, maka Ag mendekat di fragment
antigen binding site (Fab) Ab dan Ab mulai tersensitisasi. Tahapan ini tidak dapat diamati.
Reaksi ini berlangsung cukup cepat dan dipengaruhi oleh beberapa faktor yang akan dibahas
selanjutnya.
Tahap berikutnya adalah, perlekatan Ag dan Ab sehingga membentuk ikatan yang stabil
yang terlihat sebagai aglutinasi. Tahapan ini membutuhkan waktu cukup lama untuk dapat
diamati secara visual jika dibandingkan tahapan pertama. Untuk memperkuat reaksi Ag dan
Ab yaitu aglutinasi, maka dapat dilakukan sentifugasi. Jika Ag dan Ab tidak sesuai, maka
setelah perlakuan, tidak akan terjadi reaksi , seperti aglutinasi.
ada beberapa jenis reaksi Ag dan Ab yang dipakai pada pemeriksaan
imunohematologi. Reaksi yang dihasilkan tergantung jenis Ag dan Ab, pereaksi serta jenis
medium yang dipakai . Berikut adalah jenis reaksi yang dipakai pada pemeriksaan
imunohematologi.
C.1. Reaksi hemaglutinasi
Reaksi hemaglutinasi yaitu reaki aglutinasi yang terjadi pada sel darah merah. Contoh
reaksi hemaglutinasi adalah reaksi pada sistem golongan darah ABO. Adanya Ab pada
serum/plasma (contoh : anti A) yang direaksikan dengan sel darah merah yang sesuai (yaitu
Ag A) akan membentuk aglutinasi/gumpalan pada sel darah merah, seperti terlihat pada
Gambar 1.9. Gumpalan ini dapat berupa gumpalan besar sampai dengan kecil. Reaksi
ini dapat dilakukan dan diamati di tabung reaksi, mikroplate, mikrowell.
C.2. Hemolisis
Reaksi Ag dan Ab dapat menghasilkan hemolisis. Hemolisis adalah kondisi pecahnya
membran eritrosit, sehingga melepaskan molekul hemoglobin (Hb). Reaksi ini dapat terjadi
karena adanya pengaktifan komplemen. Komplemen adalah suatu jenis protein serum yang
dapat teraktifkan jika suatu jenis Ab yang sesuai melekat ke Ag atau mensensitisasi sel darah
merah. Kondisi ini dapat memunculkan reaksi berantai pengaktifan komplemen dengan
titik akhirnya adalah hemolisis sel darah merah. Sebagai contoh, pada Gambar 1.10. dapat
dilihat Ag A pada donor akan bereaksi dengan anti A pada pasien, memicu sel darah
aglutinasi (menggumpal), kemudian mengaktifkan komplemen dan hasil akhir adalah lisis sel
darah merah.
C.3. Netralisasi (Inhibisi aglutinasi)
Reaksi netralisasi biasanya diaplikasikan pada Ag terlarut di cairan tubuh seperti saliva.
Saliva yang mengandung Ag A terlarut direaksikan dengan reagensia anti A akan mengalami
reaksi netralisasi, yaitu anti A tidak dapat bereaksi dengan Ag A pada sel darah merah yang
ditambah sesudahnya, karena Fab pada anti A diinhibisi oleh Ag A terlarut.
D. FAKTOR YANG MEMPENGARUHI REAKSI Ag DAN Ab
Sebelumnya, telah dibahas mengenai sifat dan jenis reaksi Ag dan Ab. Berikut, akan
dijelaskan mengenai faktor yang mempengaruhi reaksi Ag dan Ab. Dengan mengetahui sifat
dan jenis reaksi Ag dan Ab serta faktor yang mempengaruhi reaksi, maka dapat dipakai
untuk mengetahui metode dan optimasi deteksi Ag dan Ab. Berikut adalah faktor yang dapat
mempengaruhi reaksi Ag dan Ab :
aglutinasi
Sel darah merah Anti A Ag A terlarut Ag A terlarut terikat dengan anti A
D.1. Letak dan jumlah Ag
Letak Ag pada membran sel darah merah dapat mempengaruhi reaksi Ag dan Ab. Letak
Ag yang menjorok ke luar membran seperti Ag A, B lebih cepat membentuk reaksi aglutinasi
dengan Ab jika dibandingkan dengan jenis Ag yang letaknya tidak terlalu menonjol dari
membran sel darah merah
Jumlah Ag juga dapat mempengaruhi reaksi Ag dan Ab. Sebagai contoh, Ag A, B pada
sistem golongan darah ABO memiliki jumlah sekitar 1 juta dengan letak Ag yang
menghadap ke luar membran, sehingga Ag lebih mudah terikat dengan Ab yang sesuai.
Sedangkan Ag Rh memiliki jumlah Ag per eritrosit yang lebih sedikit, yaitu sekitar 10.000 –
30.000 Ag. Selain itu, jenis Ag Rh yang merupakan protein intra membran, dengan letak Ag
tidak terlalu menjorok ke luar membran sel, dapat berpengaruh terhadap lamanya reaksi
aglutinasi yang tidak secepat Ag A, B.
D.2. Jumlah epitop Ag di membran sel darah
Jika sel darah merah memiliki epitop Ag (tempat pengikatan Ag) dalam jumlah
banyak, maka Ab akan lebih mudah bereaksi dibandingkan dengan sel darah merah yang
jumlah epitopnya sedikit di membran. Hal ini berkaitan dengan sifat homozigot atau
heterozigot suatu genotip. Jika Ag dengan genotip homozygot (contoh: AA) diekspresikan di
sel eritrosit, maka sel ini memiliki lebih banyak epitop (tempat pengikatan Ag)
dibandingkan Ag dengan genotip heterozygot (contoh : Aa). Jenis genotip berkaitan dengan
dosis Ag (dosage effect), genotip homozigot biasanya disebut dengan ‘double dose’, dan
heterozigot ‘single dose’.
D.3. Tempat pengikatan Ag (Fragmen antigen binding sites/Fab) di antibodi
Ag IgM memiliki 10 Fab, sedangkan Ab IgG hanya memiliki dua Fab. Untuk reaksi
aglutinasi dua sel darah merah, maka satu molekul Ab IgM dapat mengikat beberapa Ag di
satu sel darah merah dan beberapa di sel darah merah lainnya. Ikatan yang dihasilkan cukup
kuat. Pada molekul Ab IgG, hanya dapat mengikat satu Ag di satu sel darah merah dan satu Ag
di sel darah merah lain, atau dapat juga Ab IgG hanya mensensitisasi sel darah merah, artinya
hanya mengikat di satu sel darah merah dan tidak mengikat sel darah merah lainnya, sehingga
ikatan yang dihasilkan lebih lemah dibandingkan Ab IgM,
D.4. Jarak Ag dan Ab
Semakin dekat jarak antara Ag dan Ab, maka reaksi ikatan Ag dan Ab akan lebih cepat
terjadi. Sebagai contoh, Ab IgM akan lebih cepat mengikat Ag dibandingkan dengan jenis Ab
IgG. Molekul Ab IgM memiliki panjang 300 Å dan Ab IgG memiliki panjang 120 Å.
Semakin besar bentuk molekul, maka akan memperkecil jarak Ag dan Ab.
D.5. Afinitas Ab dan Ag
Reaksi Ag dan Ab bekerja seperti kunci dan gembok. Ketika Ag dan Ab cocok satu sama
lain, maka reaksi yang dihasilkan kuat, namun jika afinitas Ag dan Ab tidak terlalu kuat, maka
menghasilkan reaksi yang lemah.
D.6. Konsentrasi Ag dan Ab
Reaksi Ag dan Ab yang terbaik, dihasilkan dari Ab dan Ag dalam jumlah seimbang.
Kondisi Ag berlebihan (postzone effect) akan mengakibatkan melarutnya kembali kompleks
yang terbentuk dan Ab berlebihan (prozone effect) memicu kompleks Ag dan Ab tetap
ada dalam larutan.
D.7. Ion negatif antar sel darah merah Zeta potensial
Setiap sel darah merah memiliki ion negatif di sekitar area membran yang berfungsi
untuk menjaga jarak antar sel darah merah dan mencegah Ab yang mensensitisasi atau
melekat pada sel darah merah untuk beraglutinasi. Zeta potensial harus dikurangi jika ingin
memperkecil jarak Ab yang mensensitisasi sel darah merah sehingga reaksi aglutinasi dapat
dipercepat.
Zeta potensial sangat bermakna pada tahapan pemeriksaan imunohematologi. Pada
pemeriksaan tertentu, zeta potensial biasanya dikurangi dengan penambahan
reagensia bovine albumin 22%, ataupun penambahan enzim tertentu.
Zeta potensial
D.8. Suhu
Reaksi Ag dan Ab dipengaruhi oleh suhu. Hal ini berkaitan dengan jenis ikatan kimia
dan jenis Ag, Ab. Pada ikatan hidrogen, reaksi optimal terjadi pada suhu rendah. Jenis reaksi
ini ada pada jenis Ag karbohidrat.
Molekul non polar membentuk ikatan hidrofobik, reaksi optimal terjadi pada suhu
yang lebih tinggi. Jenis reaksi ini ada pada Ag jenis protein.
Suhu reaksi Ag dan Ab juga merupakan indikasi makna klinis jenis Ag dan Ab ini .
Sebagai contoh, jenis Ab IgG dengan suhu reaksi optimal 370 C (warm Ab) dapat dilemahkan
reaksinya dengan menurunkan suhu, sehingga terjadi penurunan reaksi ikatan Ag dan Ab.
Jenis Ab cold, akan bereaksi dengan baik untuk aglutinasi maupun sensitisasi sel darah merah
pada suhu +20 C s/d +100 C. Jika suhu dinaikkan, maka reaksi Ag dan Ab perlahan akan
terdisosiasi atau terlepas.
D.9. Waktu
Reaksi Ag dan Ab membutuhkan waktu optimum untuk inkubasi. Jika waktu inkubasi
terlalu cepat, maka Ag dan Ab tidak memiliki cukup waktu untuk menghasilkan reaksi yang
baik. Jika waktu inkubasi terlalu lama, maka ikatan Ag dan Ab yang sudah terjadi, dapat terurai
kembali. Pada saat melakukan tahapan inkubasi untuk suatu pemeriksaan, maka waktu
optimum inkubasi harus sesuai dan ditepati.
D.10. Konsentrasi ion
Untuk mempercepat reaksi Ag dan Ab, maka konsentrasi ion di suatu larutan harus
diperkecil. Hal ini dikarenakan ion yang ada di dalam larutan dapat menetralisir muatan
molekul Ag dan Ab, sehingga reaksi antar keduanya terganggu. Maka dari itu, pada reaksi Ag
dan Ab di imunohematologi disarankan untuk menggunakan larutan dengan kandungan ion
rendah, yaitu larutan Low Ionic Strengh Saline (LISS).
D.11. pH
Pengukuran pH dilakukan untuk mengetahui derajat basa atau asam suatu larutan.
Kisaran pH optimal untuk reaksi Ag dan Ab adalah pH 6,5 – 7,5. Pada kisaran pH ini ,
muatan Ag dan Ab berlawanan, sehingga reaksi Ag dan Ab optimal. Sebagai contoh, anti M
bereaksi optimal pada pH di bawah 7. Namun demikian, jika pH terlalu rendah, maka akan
meningkatkan reaksi pelepasan ikatan Ag dan Ab.
Topik 2
Mekanisme Respon Imun
A. SISTEM DAN MEKANISME IMUN
Sistem imun dirancang sedemikian rupa untuk melindungi tubuh dari substan asing.
Substan asing bisa dalam bentuk bakteri, virus, parasit, termasuk juga sel darah. Seperti
dijelaskan di topik 1, bahwa membran sel darah terdiri atas unsur protein, karbohidrat dan
lipid. Komponen ini dapat memicu respon imun jika terjadi ketidakcocokan Ag sel darah pada
proses transfusi, maupun kehamilan.
Komponen utama sistem imun berada di : sumsum tulang, organ hati, kelenjar thymus,
kelenjar limfe, limpa dan jaringan limfoid lain yang tersebar dalam jaringan submukosa saluran
nafas, saluran cerna.
Sistem imun tubuh bekerja dengan cara : mendeteksi adanya substan asing / Ag,
prosesing Ag dan menyingkirkan Ag. ada dua jenis sistem imun yang bekerja di dalam
tubuh kita, yaitu : imunitas alami dan imunitas didapat.
Sumsum tulang
Orga
n hati
Thymus
Kelenjar limfe
Limpa
A.1. Imunitas alami
Imunitas alami merupakan kemampuan tubuh yang sudah ada semenjak lahir untuk
mempertahankan diri dari unsur patogen yang berasal dari lingkungan. Respon imunitas alami
adalah sama, yaitu tergantung kepada sifat Ag yang memicu dan tidak ada sistem memori
yang terlibat yang dapat mengkhususkan suatu jenis Ag.ada tiga macam reaksi imun
pada imunitas alami, yaitu:
A.1.1. Reaksi inflamasi
Reaksi inflamasi yaitu pemusatan sel-sel sistem imun pada suatu lokasi infeksi, sehingga
mikroorganisme atau unsur asing dapat dihancurkan dan tidak menyebar ke bagian tubuh
lainnya. Proses yang terjadi pada reaksi inflamasi adalah :
-- Peningkatan aliran darah di area infeksi memicu rasa panas di area infeksi.
-- Peningkatan permeabilitas kapiler akibat retraksi sel-sel endotel sehingga molekul-
molekul besar dapat menembus dinding vaskular memicu area menjadi
kemerahan.
-- Penarikan lekosit ke area infeksi bukti adanya aktivitas fagositosis dapat berupa
adanya pus/nanah.
A.1.2. Fagositosis oleh sel lekosit
Jenis sel darah putih atau lekosit yang berfungsi pada reaksi fagositosis, yaitu :
monosit, polymorphonuclear cells/PMN (netrofil, eosinofil, basofil). Pada reaksi fagositosis,
harus ada mediator atau perantara supaya Ag dapat melekat pada sel lekosit. Sitokin
merupakan mediator respon imun yang mampu berinteraksi dengan reseptor pada
permukaan sel. Selain itu, Ag harus dilapisi oleh Ab atau komplemen (C3b), supaya lebih
mudah ditangkap sel fagosit.
A.1.3. Pengaktifan komplemen
Komplemen merupakan jenis protein yang ada di dalam serum dalam bentuk tidak
aktif. Aktivasi komplemen dapat terjadi melalui tiga jalur, yaitu : jalur klasik, alternatif dan jalur
lectin. Pada jalur klasik, komplemen diaktifkan karena adanya reaksi Ag dan Ab. Jalur alternatif
dan lektin dipicu oleh adanya substan yang bukan Ab, melainkan polisakarida dan
lipopolisakarida yang berasal dari permukaan mikroorganisme (bakteri, virus) dan sel tumor,
enzim serta endotoksin. Pada modul ini hanya akan dibahas lebih detail mengenai pengaktifan
komplemen jalur klasik yang melibatkan Ag dan Ab.
Untuk mengaktifkan komplemen, diperlukan setidaknya satu molekul Ab IgM yang
diilustrasikan pada Gambar 1.19 atau dua molekul IgG dengan posisi dekat Ag.
Ketika komplemen teraktifkan, maka akan terbentuk reaksi berantai. Reaksi ini dimulai
dengan pengaktifan C1 C4 C2. Kompleks ini akan merombak C3, sehingga menghasilkan
C3a dan C3b yang melekat pada permukaan sel darah merah. Pada beberapa kondisi, reaksi
dapat berhenti pada tahapan ini. Jika tahapan dilanjutkan, maka C3b mengikat C5, yang diikuti
dengan C6, C7, C8 dan C9. Kumpulan protein C5 sampai dengan C9 memicu
terbentuknya membrane attachment complex (MAC) yang memicu lisis sel darah
merah. Jalur alternatif langsung mengaktifkan C3
sedangkan jalur lektin memiliki pengaktifan melalui protein jenis lain yang ekuivalen
dengan C1. Ketiga jalur ini memiliki proses yang sama pada tahapan aktivasi C3.
Membrane attachment complex (MAC) merupakan hasil akhir dari pengaktifan C1
sampai dengan C9. Seperti telah dijelaskan sebelumnya, bahwa jenis komplemen yang
membentuk MAC adalah C5b6789. Kompleks ini menembus membran sel darah merah
dan merusak lapisan lipid dan fosfolipid yang ada pada membran sekitar kompleks dan
menimbulkan lubang sehingga sel tidak dapat mempertahankan integritas bentuknya dan
terjadilah lisis sel darah merah, yang diilustrasikan pada Gambar
Reaksi lisis sel darah merah yang disebabkan komplemen merupakan reaksi hemolisis
intravaskular yang berada di dalam sirkulasi darah. Akan tetapi, jika komplemen hanya
bereaksi sampai dengan C3b yang melekat pada sel darah merah/Ag, maka kompleks ini
akan disingkirkan dari sirkulasi darah dengan fagositosis oleh makrofag ataupun netrofil untuk
selanjutnya dihancurkan. Reaksi hemolisis ini disebut dengan hemolisis ekstravaskular. Reaksi
hemolisis intravaskular dan ekstravaskular akan dibahas pada bagian reaksi transfusi di Bab 4.
Reaksi imun yang melibatkan komplemen memiliki 2 jenis hasil akhir :
1. Komplemen dapat berada pada kompleks Ag dan Ab tanpa melisiskan sel darah merah
sehingga memicu reaksi fagositosis hemolisis ekstravaskular.
2. komplemen teraktifkan sampai dengan C9, sehingga sel darah merah lisis hemolisis
intravaskular.
A.2. Imunitas didapat
Imunitas didapat, merupakan kekebalan tubuh yang didapat dari paparan terhadap Ag
sebelumnya. Respon imunitas didapat, menghasilkan sel memori yang berfungsi untuk
mengenal jenis Ag yang sama pada paparan Ag berikutnya. Mekanisme imun didapat, bekerja
dengan cara : interaksi antara Ag presenting cells, limfosit T dan limfosit B serta pembentukan
Ab.
Imunitas didapat, bereaksi lebih spesifik dibandingkan imunitas alami. Respon
imunitas didapat, dimulai dengan aktivitas makrofag atau antigen presenting cells (APC) yang
dapat mengenali Ag dan memproses sedemikian rupa sehingga dapat mengaktifkan sel-sel
sistem imun lainnya. Sel-sel sistem imun yang teraktifkan adalah :
A.2.1. Limfosit T
Limfosit T akan mengenali Ag yang ada pada permukaan sel makrofag. Sel T yang
teraktifkan ini akan bereaksi terhadap Ag yang dipresentasikan dan menghasilkan
substan terlarut yang diberi nama limfokin, yang dapat membantu makrofag menghancurkan
Ag. Jenis limfosit T yang bereaksi terhadap Ag yang dipresentasikan oleh MHC adalah sel T-
helper / sel T penolong ataupun sel T-sitotoksik.
Sel T-helper akan mengenali Ag melalui MHC (major histocompatibility complex) kelas
II yang ada pada permukaan sel makrofag. Sel T-sitotoksik berfungsi menghancurkan
mikroorganisme secara langsung yang disajikan melalui MHC kelas I.
A.2.2. Limfosit B
Peran limfosit B pada respon imun didapat, terjadi ketika Ag pada makrofag,
mengaktivasi sel T-helper. Aktivasi sel T-helper akan menstimulasi limfosit B menjadi sel
plasma dan mengeksresikan Ab. Supaya limfosit B berdiferensiasi dan membentuk Ab,
diperlukan bantuan limfosit T-helper yang teraktivasi karena sinyal tertentu, baik melalui MHC
maupun sinyal yang dilepaskan makrofag. Selain oleh sel T-helper, produksi Ab juga diatur
oleh sel T-supresor/sel T-penekan, sehingga produksi Ab seimbang dan sesuai dengan yang
dibutuhkan.
Jika interaksi ini merupakan kontak pertama yang merupakan respon imun
primer, maka akan terbentuk klon limfosit atau kelompok sel memori yang dapat mengenali
APC merupakan jenis sel makrofag yang mempresentasikan Ag, sedangkan MHC
merupakan bagian dari permukaan sel makrofag, tempat presentasi Ag. MHC dapat
disebut juga sebagai HLA.
Ag bersangkutan. Apabila Ag yang sama di kemudian hari masuk ke dalam tubuh, maka klon
limfosit ini akan berproliferasi dan menimbulkan respon imun sekunder spesifik yang
berlangsung lebih cepat dan intensif dibandingkan respon imun primer.
B. RESPON IMUN
B.1. Respon imun primer
Respon imun primer merupakan respon imun yang pertama kali didapat pada suatu
pasien. Respon imun ini akan menghasilkan Ab yang dapat dideteksi pada plasma
antara 5 dan 180 hari sesudah paparan dengan Ag. Ab yang terbentuk akan meningkat dan
stabil pada satu waktu yang kemudian berangsur-angsur menurun. Jenis Ab yang dihasilkan
biasanya adalah IgM.
B.2. Respon imun sekunder
Pada saat Ag masuk ke dalam tubuh untuk yang kedua kali, maka respon imun yang
terjadi lebih cepat. Hal ini disebabkan karena adanya sel B memori, sehingga Ab yang
dihasilkan lebih banyak dan reaksi lebih efisien dan efektif. Jenis Ab pada respon imun
sekunder, biasanya adalah Ab IgG.
Secara umum, jenis Ab yang dihasilkan pada respon imun primer adalah IgM, namun
tidak semua respon imun primer menghasilkan Ab jenis IgM. Sebagai contoh, pembentukan
anti Rh pertama kali dapat berupa Ab IgG dan IgM, begitu juga pada sistem golongan darah P,
anti P yang terbentuk tetap sebagai IgM, walaupun terjadi pada paparan kedua.
C. REAKSI ALLOIMUNISASI TERHADAP ANTIGEN SEL DARAH
Reaksi alloimunisasi merupakan reaksi imun terhadap paparan Ag asing, dalam hal ini
adalah Ag sel darah merah asing (berasal dari pasien lain) yang masuk berbeda dengan Ag
sel darah merah yang dipunya oleh tubuh. Allo Ab merupakan Ab yang terbentuk dari reaksi
alloimunisasi. Ab ini terbentuk melalui sistem imun didapat, yaitu melibatkan sel B sehingga
menghasilkan Ab yang spesifik. Berikut adalah mekanisme reaksinya.
Koordinasi antara sel T dan sel B berjalan sinergis. Sel T teraktifkan karena adanya Ag
yang dipresentasikan MHC, dan sel B terstimulus untuk berdiferensiasi dan menghasilkan
Ab.
C.1 Reaksi T-independen
Pembentukan allo Ab terhadap sel darah merah dimulai dari pengenalan sistem imun
tubuh terhadap partikel Ag. Produksi Ab IgM tertentu, seperti anti A, anti B dan anti M
merupakan hasil dari reaksi T-independen. Reaksi ini tidak melibatkan sel T, melainkan
langsung merangsang limfosit B untuk memproduksi Ab.
Ag akan langsung bereaksi dengan reseptor sel B (sIg), hal ini dikarenakan adanya reaksi
silang pada reseptor sel B sehingga dapat mengenali struktur karbohidrat Ag sel darah merah
sebagai substan asing. Sel B yang teraktifkan berdiferensiasi menjadi sel yang menghasilkan
Ab IgM. Respon imun tidak menghasilkan sel B memori, dan tidak ada perubahan kelas Ab IgM
menjadi IgG.
C.2 Reaksi T-dependen
Reaksi inkompatibilitas/ketidakcocokan berikutnya adalah pada sel lekosit, yaitu reaksi
yang disebabkan karena ketidakcocokan jenis HLA (Human Leucoyte Antigen). Mekanisme
reaksi imun T-dependen untuk reaksi aloimunisasi terjadi melalui presentasi Ag oleh APC
kepada sel T melalui sel T reseptor (TCR). Presentasi Ag terjadi melalui dua jalur yaitu langsung
dan tidak langsung.
Pada jalur langsung, sebagai contoh seperti yang tertera pada Gambar 1.23, pada saat
lekosit ditransfusikan ke darah pasien, maka Ag donor yaitu MHC kelas II pada sel makrofag
donor / APC secara langsung dikenali oleh sel T helper pasien. Kemudian, sel T mengaktifkan
sel B pasien yang juga terikat oleh fragmen Ag MHC kelas I donor, sehingga sel B berproliferasi
dan menghasilkan Ab terhadap Ag HLA ini . Reaksi ini dikatakan langsung karena APC
berasal dari sel donor. Mekanisme ini terjadi hanya pada sel darah yang memiliki HLA
(komponen darah lekosit dan trombosit).
Pada jalur tidak langsung, sistem imun yang bekerja terhadap Ag donor, yaitu APC, sel T
dan sel B semua berasal dari pasien. Untuk mencegah reaksi aloimunisasi karena adanya HLA,
maka komponen darah untuk transfusi dipilih yang miskin lekosit melalui proses penyaringan.
C.3. Lisis sel darah merah yang diperantarai oleh Ab
Lisis sel darah merah karena reaksi aloimunisasi disebabkan karena aktivasi komplemen
dan atau adanya IgG pada permukaan sel darah merah . Jika lisis sel darah merah terjadi
karena aktivasi komplemen sehingga membentuk MAC disebut dengan lisis intravaskular,
sedangkan jika lisis sel darah merah karena aglutinasi dengan Ab yang mengaktifkan makrofag
untuk fagositosis disebut dengan lisis ekstravaskular.
Komplemen yang menempel pada sel darah merah (C3b) dapat terhenti reaksinya
sehingga tidak menghasilkan MAC, melainkan hanya tersensitisasi pada sel darah merah. Sel
darah merah yang telah tersensitisasi komplemen, tidak efektif untuk memicu reaksi
fagositosis, melainkan enzim dapat memecah sel yang tersensitisasi komplemen menjadi
fragmen kecil (C3dg) yang ada pada permukaan membran sel. Komplemen jenis ini dapat
bersirkulasi normal di darah dan tidak akan dikenali oleh sistem imun, karena sel fagosit tidak
memiliki reseptor untuk jenis komplemen ini.
Untuk mencegah reaksi alloimunisasi yang melibatkan sistem imun pada proses
transfusi darah, maka darah donor dan pasien harus memiliki golongan darah yang
sama. Selain itu, minimalisir paparan terhadap Ag lekosit maupun trombosit dari pasien
lain, dengan menggunakan komponen sel darah merah yang miskin lekosit.
D. REAKSI AUTOIMUN
Autoimun merupakan suatu kelainan sistem imun tubuh yang tidak dapat membedakan
sel atau jaringan tubuh sendiri (self) dengan sel atau jaringan tubuh asing (non self). Akibatnya
timbul respon imun, seperti kerusakan jaringan tubuh oleh limfosit T atau makrofag, maupun
pembentukan Ab yang ditujukan terhadap sel atau jaringan tubuh sendiri, yang disebut
dengan autoantibodi (auto Ab). Jika reaksi ini menimbulkan gejala klinis yang menggangu
kesehatan tubuh, maka disebut dengan penyakit autoimun.
Jenis penyakit autoimun, diantaranya adalah :
1. Sistemic lupus erythematosus (SLE), adanya reaksi inflamasi sehingga menghasilkan
kerusakan jaringan tubuh. Kondisi ini tidak spesifik pada suatu bagian tubuh tertentu,
melainkan tersebar di seluruh tubuh.
2. Purpura trombositopenia autoimun, yaitu reaksi auto Ab terhadap trombosit sendiri,
sehingga memicu penurunan jumlah trombosit (trombositopenia).
3. Autoimune hemolytic anemia (AIHA) merupakan reaksi adanya Ab terhadap sel darah
merah sendiri, sehingga terjadi lisis sel darah merah dan memicu anemia. Reaksi
AIHA dibedakan menjadi 2 tipe, yaitu : AIHA tipe warm yaitu autoantibodi yang dapat
menghancurkan sel darah merah sendiri pada suhu ≥ 370 C dan AIHA tipe cold yaitu
autoantibodi yang dapat menghancurkan sel darah merah sendiri di bawah suhu normal
tubuh yaitu < 370 C.
Glosarium
-- Alloantibodi : Antibodi yang dihasilkan karena adanya paparan Ag dari pasien lain.
-- Antibodi : Protein yang diproduksi karena adanya paparan antigen terhadap
limfosit.
-- Antigen : Suatu substan yang mampu bereaksi dengan antibodi, yang diproduksi
atas rangsangan imunogen.
-- Fagositosis : Aktivitas sel fagosit untuk menelan atau memasukkan sel-sel asing.
-- Imunogen : Molekul atau gabungan molekul yang dapat merangsang timbulnya
respon imun.
-- Imunitas : Kekebalan tubuh terhadap pengaruh biologis/mikroorganisme dari
lingkungan.
-- Membrane attachment complex : kumpulan komplemen yang teraktifkan yang berada di
membran sel target.
pernahkah Anda mengisi formulir yang menanyakan jenis golongan darah? Golongan
darah merupakan identitas tiap pasien. Pada kartu identitas seperti KTP, golongan
darah menjadi identitas penyerta selain data pribadi lainnya.Sesungguhnya apa yang
dimaksud dengan golongan darah? Apa fungsi golongan darah, dan apa hubungannya dengan
donor dan transfusi darah? Kita akan membahasnya pada bab ini.
Jenis golongan darah yang utama adalah golongan darah ABO & Rh. Sebelum ditemukan
jenis golongan darah ini, dokter dan ilmuwan mencari cara untuk dapat menyelamatkan
pasien transfusi darah. Sampai pada tahun 1901, ilmuwan asal Austria, Karl Laindstainer
menemukan golongan darah ABO, yang membuat teknik transfusi darah menjadi lebih aman.
Tidak hanya itu saja, ternyata ada jenis antigen darah lainnya yang dapat merangsang respon
imun pada proses transfusi atau jika seseorang terekspos oleh sel darah dari pasien lain
seperti pada proses kehamilan. Jenis golongan darah ini , yaitu golongan darah Rh, Duffy,
Kidd, Lutheran, Lewis, dan sebagainya. Saat ini, International Society of Blood Transfusion
(ISBT) telah mengklasifikasikan 33 sistem golongan darah.
Pengetahuan mengenai jenis golongan darah bermanfaat untuk memahami prinsip
pemeriksaan pre-transfusi dan reaksi karena transfusi. Untuk itu, anda harus memahami
terlebih dahulu fenotip dan genotip golongan darah serta makna klinis tiap golongan darah.
Sebelum tahun 1901, diperkirakan semua golongan darah adalah sama. Kondisi ini
mendorong terjadinya reaksi transfusi yang fatal sampai memicu kematian. Sampai
pada tahun 1901, ditemukannya sistem golongan darah ABO oleh Karl Landstainer, seorang
ilmuwan berkebangsaan Austria yang menyatakan bahwa setiap pasien memiliki
karakteristik golongan darah yang dibedakan menjadi golongan darah grup A,B, dan O.
Selanjutnya, pada tahun 1902, Alfred Decastello dan Adriana Sturli menemukan golongan
darah AB, yang melengkapi sistem golongan darah ABO. Penemuan ini menunjukkan
bahwa transfusi darah tidak boleh dilakukan pada dua orang dengan golongan darah berbeda.
Istilah sistem golongan darah mengacu pada jenis antigen (Ag) yang ada pada sel
darah merah yang spesifisitasnya ditentukan dari gen yang berada pada kromosom.
Sedangkan Istilah jenis golongan darah mengacu pada spesifisitas hasil reaksi sel darah merah
terhadap jenis antisera tertentu.
B. ANTIGEN ABH PADA SISTEM GOLONGAN DARAH ABO
Sistem golongan darah ABO ditentukan oleh ada atau tidak adanya Ag A dan atau Ag B
yang terekspresikan pada sel darah merah serta ada tidaknya antibodi (Ab) A dan atau B yang
ada di dalam serum/plasma. Sistem golongan darah ABO terdiri atas 4 golongan darah
yaitu golongan darah A, B, AB dan O. Individu dengan golongan darah A, pada sel darah
merahnya ada Ag A dan di plasmanya ada Ab B. Golongan darah B ada Ag B
dan Ab A. Golongan darah AB, ada Ag AB dan tidak ada Ab A maupun B. Golongan
darah O tidak memiliki Ag A dan B, melainkan memiliki Ab A dan B. Secara lengkap,
penjabaran jenis golongan darah pada sistem ABO, dapat dilihat pada Tabel 2 berikut :
Tabel 1. Sistem golongan darah ABO
No Jenis golongan darah Jenis Ag Jenis Ab Genotip
1 A A Anti-B AA / AO
2 B B Anti-A BB / BO
No Jenis golongan darah Jenis Ag Jenis Ab Genotip
3 AB A dan B Tidak ada AB
4 O Tidak ada Anti-A dan anti-B OO
Antigen (Ag) pada sistem golongan darah ABO merupakan jenis Ag oligosakarida. Jenis
Ag ini tidak hanya berada pada sel darah merah saja melainkan juga ada pada sel dan
jaringan lain , seperti pada sel epitel paru serta cairan tubuh dalam bentuk Ag terlarut.
Ag pada sistem ABO merupakan produk dari ekspresi gen H, gen ABO dan gen Se. Ketiga
gen ini menentukan jenis , sifat dan letak Ag sistem ABO yang terekspresikan.
Gen H berada di lokus H (FUT 1) pada kromosom 19. Gen ini mengkode fukosil
transferase yang memproduksi Ag H pada sel darah merah. Ag H (Gambar 2.3) merupakan
prekursor / cikal bakal terbentuknya golongan darah ABO. Individu dengan antigen H
memiliki genotip HH dan Hh. Individu dengan genotip hh tidak mengkode fukosil
transferase sehingga tidak memproduksi Ag H dan tidak bisa mengekspresikan Ag A dan B.
Individu ini akan teridentifikasi sebagai golongan darah ‘O’ Bombay (akan dijelaskan
berikutnya). Banyaknya Ag H pada sel darah merah yang diubah menjadi Ag A dan Ag B ,
tergantung pada enzim glikosil transferase yang disintesis dari gen ABO.
Gen ABO berada pada lokus di kromosom 9. Pada lokus ini ada alel A, B dan
O. Alel A mengkode enzim N-acetyl-galactosaminyltrans-ferase yang menambahkan gugus
gula N-acetyl-D-galactosamine (GalNac) pada Ag H sehingga terbentuk Ag A (Gambar 2.4). Alel
B mengkode galactosyl transferase yang menambahkan gugus gula D-galactose (Gal) pada Ag
H sehingga terbentuk Ag B ,Pada pasien dengan golongan darah AB, maka
enzim transferase yang diekspresikan menambah dua gugus gula yaitu GalNac dan Galaktosa
(Gambar 2.5-kanan). Alel O tidak mengkode enzim fungsional ini , sehingga Ag H
(Gambar 2.3) tidak berubah bentuk seperti pada pasien golongan darah A, B dan AB.
Golongan darah O pada pasien dengan genotip HH dan Hh memiliki Ag H dalam jumlah
banyak dibandingkan pada pasien golongan darah A, B dan AB.
Gambar 2.5: Ag B (kiri) dan Ag AB (kanan)
Sumber : https://www.slideshare.net
Individu dengan genotip hh tidak memproduksi antigen H, sehingga tidak dapat
memproduksi antigen A ataupun B. Individu dengan genotip hh disebut dengan golongan
darah ‘O Bombay’. Jenis golongan darah ini memiliki sifat seperti golongan darah O, karena
memiliki anti A dan B, akan tetapi golongan darah ini juga memiliki anti H, yang tidak
dipunya oleh pasien dengan golongan darah O biasa. Individu dengan golongan darah O
Bombay tidak menunjukkan gejala penyakit, namun ketika harus transfusi darah, maka
pasien ini harus mendapatkan darah dari golongan O Bombay juga. Jika pasien
ini mendapat darah dari golongan darah O biasa, maka akan terjadi reaksi transfusi
hemolitik akut. Golongan darah O Bombay, seringkali dianggap sebagai golongan darah O
biasa. Golongan darah O Bombay dapat diketahui dengan cara mereaksikan serum/plasma
dengan tes sel O.
Sistem golongan darah ABO terdiri atas Ag yang utama ada di membran sel darah
merah dan Ab yang secara alamiah terbentuk semenjak lahir. Hal ini yang
membedakan jenis golongan darah ABO dengan golongan darah lainnya.
Individu dengan golongan darah A, B, O dan AB harus memiliki Ag H walaupun
dalam jumlah bervariasi. Ag H paling banyak ada pada gol darah O.
Jika tidak memiliki Ag H, maka pasien ini adalah golongan darah O Bombay.
C. ABH SEKRETOR
Telah diuraikan sebelumnya, bahwa Ag pada sistem golongan darah ABO tidak hanya
ada pada sel darah merah, melainkan juga bisa ada pada cairan tubuh dalam bentuk
Ag terlarut. Gen yang mengkode jenis Ag ini adalah gen Se yang berada pada locus Se (FUT2)
di kromosom 19. Gen Se mengkode fukosil transferase yang berperan pada produksi Ag H di
cairan tubuh, seperti pada saliva / air liur. Ekspresi Ag A dan B tergantung pada genotip A dan
B. Individu dengan genotip Se/Se atau Se/se, disebut dengan sekretor, sedangkan pasien
dengan genotip se/se disebut dengan non sekretor dan tidak membentuk Ag A, B terlarut.
D. SUB GRUP ABO
Pada pemeriksaan golongan darah ABO, terkadang dapat ditemui hasil aglutinasi
lemah antara sel darah merah yang direaksikan dengan reagen antisera (forward grouping)
atau plasma yang direaksikan dengan reagen tes sel (reverse grouping). Hal ini dapat
disebabkan karena Ag A dan B pada membran sel darah merah memiliki jumlah sedikit.
Berdasarkan reaksi serologi yang dihasilkan pada pemeriksaan golongan darah ABO,ada
sub grup A dan sub grup B. Pada biasanya , sub grup diketahui dari adanya ketidaksesuaian
hasil pemeriksaan golongan darah antara forward grouping dan reverse grouping.
Pada sub grup A, urutan jumlah Ag A yang terbanyak adalah : A1> A2> A3> AX>Aend> Am>
Ael.Pada sub grup A3 , AX ,Aend dapat beraglutinasi dengan anti A, sedangkan sub grup Am Ael
tidak dapat aglutinasi dengan anti A.
Populasi golongan darah dengan subgrup A1 dan A2, keduanya memiliki Ag A, hanya
saja pasien dengan golongan darah A1, memiliki jenis Ag A1 yang tidak dipunya oleh
pasien dengan A2. pasien dengan golongan darah A1 lebih banyak dibandingkan golongan
darah A2. Golongan darah A2 dan A2B dapat menghasilkan anti A1 yang dapat bereaksi dengan
sel eritrosit A1 dan A1B.
Seperti sub grup A, sub grup B juga memiliki jumlah Ag yang lebih sedikit, sehingga
sulit dideteksi. Pada sub grup B, urutan jumlah Ag B yang terbanyak adalah : B > B3> Bx> Bm>
Bel.
Golongan darah AB diklasifikasikan menjadi 9 sub tipe berdasarkan jumlah Ag A atau
B. Sub tipenya adalah : AxB, A1Bx, AmB, A1Bm, AelB, A1Bel, cisA2B3, cisA2B, cisA1B3.
Individu golongan darah A sekretor, yang juga ada Ag A pada cairan tubuhnya,
harus memiliki gen ABO, gen H dan gen Se. Hal yang sama berlaku pada pasien
golongan darah B , AB dan O sekretor. Ekspresi Ag H di cairan tubuh, tergantung pada
status sekretor suatu pasien.
Identifikasi sub grup AB menjadi penting, karena kadangkala dapat ditemui pasien
yang salah interpretasi golongan darah O, sehingga dapat berakibat fatal jika pasien ini
ditransfusi dengan darah golongan O. Selain itu, pada golongan darah sub grup A2 dan A2B
dapat terbentuk anti A1, sehingga dapat mengakibatkan ketidaksesuaian hasil pemeriksaan
golongan darah antara forward grouping dan reverse grouping. Jenis sub grup lainnya, yang
dapat memiliki antibodi A1 pada serumnya adalah : AX, A3, Aend ,Ael.
E. ANTI A, B dan H
Anti A dan B merupakan jenis antibodi yang terbentuk secara alamiah dan dapat
dideteksi di dalam serum setelah bayi berusia sekitar 3-6 bulan. Sistem imun tubuh akan
membentuk antibodi terhadap antigen yang berlawanan atau yang tidak dipunyai oleh tubuh
dan timbul karena adanya paparan terhadap lingkungan (Ab alamiah). Sebagai contoh :
golongan darah A akan membentuk antibodi B, dan seterusnya(Tabel 2.1). Jenis Ab A dan B
biasanya adalah Imunoglobulin M (IgM). IgM memiliki sifat dapat mengaktifkan
komplemen dan bereaksi optimum pada suhu 20 - 240 C. Ab jenis ini dapat memicu
reaksi transfusi yang berbahaya, jika terjadi inkompatibilitas / ketidakcocokan golongan darah
ABO.
Anti A dan B juga memiliki jenis IgG, yang dapat memicu reaksi
inkompatibilitas pada ibu golongan darah O yang mengandung anak dengan golongan darah
selain O. Reaksi ini memicu lisis sel darah merah (hemolitik) pada bayi baru lahir, namun
tidak terlalu berbahaya seperti inkompatibilitas golongan darah Rh.
Anti H, bersama dengan anti A dan anti B dapat ditemukan pada pasien dengan
genotip hh (golongan darah O Bombay). Anti H dapat beraglutinasi dengan Ag H yang banyak
ada pada golongan darah O. Hal ini dapat memicu reaksi inkompatibilitas pada
pasien golongan darah O Bombay yang ditransfusi dengan donor golongan darah O.
Indikasi golongan darah sub grup penting untuk kebutuhan transfusi. Sebagai contoh,
Pada pasien dengan sub grup A2 atau A2B, maka dia akan membentuk anti-A1 yang
akan beraglutinasi dengan sel A1, sehingga tidak bisa dilakukan transfusi dengan
sembarang golongan darah A.
Ab pada sistem golongan darah ABO, biasanya adalah jenis IgM (cold antibody), yang
sangat cepat beraglutinasi jika Ag dan Ab yang jenisnya sama direaksikan, seperti Ag A
dan anti-A. Jika transfusi harus dilakukan, maka donor dan pasien harus memiliki
golongan darah ABO yang sesuai.
Pada transfusi, darah pasien dan donor harus memiliki jenis golongan darah ABO
yang sama. Lengkapi tabel kesesuaian golongan darah donor dan pasien berikut ini (golongan
darah pasien O dengan golongan darah donor O dan A dikerjakan sebagai contoh):
F. POLA PEWARISAN
Seperti diketahui, bahwa golongan darah ABO diturunkan dari orang tua. Jenis
golongan darah ditentukan dari gen yang berasal dari kedua orang tua kita. Setiap anak
memiliki kombinasi gen dalam bentuk dua alel, yang berasal dari ayah dan ibu. ada
tiga jenis alel golongan darah ABO, yaitu : alel A, B dan O. Kombinasi dari tiga alel ini
adalah : OO; AO; BO; AB; AA; BB, seperti terlihat pada Tabel
Pada Tabel 4 dapat dilihat bahwa anak golongan darah A, yang memiliki genotip
AA dan AO, memiliki alel A yang diturunkan dari ayah atau ibu dan alel O yang diturunkan
dari ayah atau ibu. Golongan darah B memiliki genotip BB dan BO, yang memiliki alel B
yang berasal dari ayah / ibu dan alel O yang berasal dari ayah / ibu. Golongan darah AB yang
memiliki genotip AB, memiliki alel A yang diturunkan dari ayah / ibu dan alel B yang
diturunkan dari ayah / ibu. Jenis alel A dan B merupakan tipe kodominan, yaitu alel yang tidak
mempengaruhi satu sama lain, sehingga diekspresikan secara bersamaan. Hal ini
berbeda dengan alel O, jika alel O diekspresikan bersama dengan A atau B (heterozygot), maka
alel O tidak terekspresikan, melainkan hanya alel A dan B saja. Alel O akan terekspresikan jika
dalam bentuk homozygot, seperti pada golongan darah O, yang memiliki genotip OO.
Sebagai contoh, jika ayah memiliki golongan darah A (genotip AO) dan ibu
memiliki golongan darah B (genotip BO), maka kemungkinan golongan darah anaknya
adalah : A, B, O dan AB,
Berdasarkan pola pewarisan golongan darah ABO yang telah dipelajari, lengkapi tabel
berikut. Pada tabel tertera golongan darah bapak dan ibu beserta genotipnya. Pada bagian
tabel yang kosong, merupakan kemungkinan golongan darah anak. Lengkapi tabel di bagian
yang kosong dengan mengacu pada golongan darah dan genotip bapak dan ibunya. Sebagai
contoh ,
Sistem golongan darah Rh merupakan golongan darah utama selain ABO. Jenis golongan
darah ini wajib diperiksa pada pemeriksaan pre-transfusi. Golongan darah Rh pertama kali
ditemukan karena adanya reaksi transfusi pada seorang ibu yang melahirkan. Anak yang
dilahirkan mengalami eritroblastosis fetalis (kelainan sel darah sehingga terjadi lisis eritrosit
berlebih). Serum ibu ini mengaglutinasi sel darah yang ditransfusikan yang berasal dari
suaminya, walaupun keduanya memiliki golongan darah ABO yang sama. Ternyata,
kematian bayi ini dan reaksi transfusi yang terjadi pada ibu, berhubungan. Selama
kehamilan, ibu ini telah terekspos sel darah merah dari janin yang dikandungnya, dan
sistem imun ibu membuat Ab terhadap Ag dari sel darah merah bayi yang memiliki Ag yang
sama dengan ayah.
Pada tahun berikutnya, Landsteiner dan Wiener menemukan bahwa serum kelinci yang
telah diimunisasi dengan sel darah merah dari kera Macacus rhesus dapat mengaglutinasi sel
darah merah manusia. Ag dan Ab ini diberi nama Rhesus. Akan tetapi, jenis Ag dan Ab
ini berbeda dengan yang ditemukan pada kasus awal yaitu ibu yang melahirkan bayi
eritroblastosis fetalis, walaupun pada awalnya jenis Ag dan Ab ini dianggap sama.
Ab yang dihasilkan oleh ibu ini berbeda dengan Ab Rhesus. sebab sebutan Rhesus
sudah dipakai luas, daripada mengganti nama, maka dipilihlah nama Rh untuk jenis Ab yang
terbentuk di dalam darah Ibu ini .
B. POLA PEWARISAN
ada tiga teori yang melatarbelakangi pola pewarisan Ag Rh yaitu teori Wiener,
Fisher Race dan Tippett. Gen Rh berada pada kromosom 1 dan diwariskan secara kodominan.
Pola pewarisan berdasarkan teori Wiener yaitu satu gen dapat memproduksi lebih dari 1 jenis
Ag dengan spesifisitas yang hampir sama, yaitu Rh0, Rh1, Rh2 dan Rhz.
Pola pewarisan berdasarkan teori Fisher-Race, menyatakan bahwa ada 3 gen yang
berdekatan. Tiap gen masing-masing mengekspresikan satu Ag. Jenis Agnya adalah : D, C atau
c, E atau e, dan tidak ada Ag d. Istilah Ag d dipakai untuk menyatakan tidak adanya Ag D.
Teori Tippett menyatakan bahwa Ag Rh diturunkan dari 2 gen. Gen RHD memproduksi
Ag D dan gen RHCE memproduksi Ag kombinasi C/E.Pendekatan teori Tippett menggunakan
teknik biomolekular.
Berikut adalah gambar susunan gen pada kromosom berdasarkan ketiga teori ini .
Setiap pasien mendapatkan satu copy kromosom dari bapak dan ibu. Pada contoh
berikut digambarkan bahwa anak ini menerima R1 dari ibu dan R2 dari ayah. Jenis Ag
Rh yang diekspresikan adalah kombinasi gen yang ia terima dari kedua orangtuanya,
Seperti dijelaskan sebelumnya, bahwa alel Rh bersifat kodominan. Pada contoh ini
(Gambar 2.8), anak yang memiliki alel RHCe dan RHcE, maka keempat alel ini
diekspresikan.
Ilustrasi pola pewarisan Rh juga dapat digambarkan berdasarkan ada tidaknya Ag D.
Individu Rh positif memiliki genotip DD dan Dd. Individu Rh negatif memiliki genotip dd.
Jika Ibu bergolongan darah Rh positif (heterozygot) dan ayah Rh positif (heterozygot), maka
salah satu anaknya bergolongan darah Rh positif (homozygot / DD). Berikut adalah gambar
pola pewarisan Rh yang lebih sederhana.
Berdasarkan Tabel 6, dapat dilihat bahwa ayah dengan golongan darah Rh positif
(heterozygot/Dd) dan ibu Rh positif (heterozygot/Dd), maka 75% kemungkinan anak
bergolongan darah Rh positif dan 25% kemungkinan golongan darah Rh negatif.
Ayah
Ibu
Golongan darah Rh positif berbeda dengan Rhesus. Individu dengan Rh positif adalah
pasien dengan Ag D. Penulisannya adalah : Rh positif/Rh negatif, D+/D- , RhD
Positif/RhD negatif.
C. ANTIGEN RH
Sistem golongan darah Rh merupakan jenis golongan darah dengan jumlah Ag yang
cukup banyak. Lima jenis Ag yang utama adalah Ag D, C, E, c dan e. Ag Rh dibawa oleh protein
Rh (Rh-associated glycoprotein/RHAG), sehingga Ag dapat terekspresikan pada permukaan
membrane eritrosit. Protein RhD mengekspresikan Ag D,
sedangkan protein RhCcEe membawa Ag C/c
atau E/e.
Ag Rh merupakan jenis protein integral transmembran yang hanya ada di sel darah
merah saja. Salah satu jenis Ag Rh , yaitu Ag D bersifat sangat imunogenik (memacu
pembentukan Ab). Ag Rh ternyata memiliki fungsi mempertahankan integritas membran
sel darah merah.
Individu dengan Rh positif memiliki gen RHD dan RHCE, yang diturunkan dari kedua
orangtua. Ag yang diekspresikan adalah Ag D dan salah satu kombinasi alel dari RHCE.
Individu dengan Rh negatif hanya memiliki gen RHCE. Pada Tabel 7, dapat dilihat kombinasi
ekspresi dari gen Rh.
Tabel 6. PENULISAN AG RH
Gen Rh Kompleks gen /
haplotype
Fisher-Race
Nomenklatur
Wiener
Keterangan
Gen RHD Gen RHCE
D Ce DCe R1 Rh positif
D cE DcE R2 Rh positif
D ce Dce R0 Rh positif
D CE DCE Rz Rh positif
1
D Ce dCe rI Rh negatif
D cE dcE rII Rh negatif
D ce dce r Rh negatif
D CE dCE ry Rh negatif
Pada Tabel 7. dapat dilihat jika ada Ag D (Rh positif), maka penulisan nomenklatur
Wiener adalah R yang diikuti dengan angka atau simbol, seperti R1, R2 dan RO. Jika ada Ag
C, maka penulisan nomenklaturnya adalah dengan 1 atau I. Sebagai contoh, DCe = R1 dan dCe
= rI. Jika ada Ag E, maka penulisan nomenklaturnya adalah 2 atau II, contohnya : DcE = R2
dan dcE = rII. Bila hanya ada Ag D, tanpa Ag C dan E, maka penulisan nomenklaturnya adalah
RO. Fenotip dCE dan DCE sangat jarang, sehingga penulisan nomenklaturnya menggunakan y
dan z (ry dan Rz).
Berdasarkan jumlah Ag dan reaksi yang dihasilkan, maka ada variasi dari Ag D.
C.1. Weak ‘D’
Sesuai dengan namanya, variasi golongan darah ini terjadi karena jumlah Ag D yang
terekspresikan tidak banyak, sehingga menghasilkan reaksi aglutinasi yang lemah dengan
reagen anti-D. Weak ‘D’ disebabkan karena terjadi pergantian asam amino yang berada di area
transmembran pada protein RhD. Hal ini menghalangi protein RhD (pembawa Ag)
masuk ke area membran sel darah merah, sehingga mengurangi Ag Rh yang terekspresikan di
membran sel darah merah. Weak ‘D’ biasanya dihubungkan dengan pola pewarisan RO.
Individu ini tidak bisa membentuk anti-D. Pada donor,golongan darah ini, digolongkan ke
dalam Rh positif. Pada eritrosit dengan Ag D normal, ada 15.000 – 30.000 tempat Ag/sel
sedangkan eritrosit dengan weak D hanya memiliki 70 – 5200 tempat Ag/sel.
Individu dengan Rh positif , memiliki Ag D, penulisan menggunakan huruf kapital D.
Huruf d menandakan tidak memiliki Ag D.
C.2. Partial D
Protein RhD merupakan jenis protein yang melintasi membran eritrosit, sehingga
ada bagian protein di luar dan di bagian dalam membran. Jika terjadi reaksi pergantian
asam amino di protein bagian luar membran sel darah merah, maka epitop dari Ag D bisa
berubah atau dapat juga ada bentuk Ag baru. Individu ini dapat membentuk anti-D
terhadap bagian Ag yang hilang.
Selain weak D dan partial D, ada juga jenis Ag Rh varian lainnya, seperti Rhnull, yang
terjadi karena delesi Rh protein, sehingga Ag Rh tidak terekspresikan. Variasi Ag Rh dapat
Donor dengan weak D, dianggap sebagai Rh positif, sedangkan pasien weak D dianggap
sebagai Rh negatif dan lebih baik ditransfusi dengan Rh negatif.
Pada pasien dengan partial D, dapat membentuk alloantibodi terhadap bagian Ag yang
hilang, jika ditransfusikan dengan darah Rh positif.
terjadi karena ; mutasi titik, nonsense mutasi, delesi nukleotida yang dapat memicu
perubahan asam amino yang terekspresi.
D. ANTI-RH
Berbeda dengan anti A dan B yang terbentuk secara alami di dalam tubuh, Ab Rh
terbentuk kalau ada paparan dengan Ag Rh, baik pada proses transfusi maupun kehamilan.
Seperti telah dijelaskan sebelumnya, Ag Rh memiliki sifat imunogenik dan dapat
merangsang respon imun pada 80% pasien Rh negatif pada saat ditransfusi dengan 200 mL
darah Rh positif sehingga memicu reaksi hemolitik.
Ab Rh juga bisa didapat melalui proses kehamilan dari perkawinan ibu Rh negatif dengan
ayah Rh positif, sehingga Ibu mengandung bayi Rh positif. Pada kehamilan pertama, eritrosit
janin dapat masuk ke peredaran darah ibu pada saat pelepasan plasenta dari dinding rahim
pada proses kelahiran, dan ibu Rh negatif membentuk Ab dari bayi Rh positif. Pada kehamilan
berikutnya, anti D yang terbentuk dari kehamilan pertama, dapat melewati plasenta masuk ke
dalam sirkulasi darah janin. Hal ini mengakibatkan sel darah merah janin diselimuti
dengan Ab Rh sehingga sel darah merah bayi hemolisis. Kondisi ini disebut dengan Hemolytic
Disease of Newborn (HDN). Skema terjadinya HDN karena inkompatibilitas Rh dapat dilihat
pada Gambar 2.12.
Gambar 2.12. Proses terjadinya HDN karena inkompatibilitas Rh
Sumber. https://www.quora.com
Umumnya, jenis anti D yang terbentuk adalah jenis IgG dan sebagian IgM. Ab Rh tidak
mengaktifkan komplemen. Reaksi optimal pada suhu 370 C. Reaktivitas untuk pengujian Ab
dapat ditingkatkan dengan penambahan enzim.
Selain anti D, anti c juga dapat memicu reaksi HDN yang cukup parah. Anti C, anti
E dan anti e jarang memicu HDN, kalaupun terjadi, reaksinya tidak terlalu parah.
Pada pasien dengan weak D, tidak bisa membuat anti D, sedangkan pasien dengan
partial D, dapat terbentuk anti-D. Deteksi weak D dan partial D penting pada proses transfusi
darah. Jika donor memiliki golongan darah weak D atau partial D, maka harus dianggap
Kehamilan
pertama Kehamilan
kedua
sebagai Rh positif. Hal ini dilakukan untuk menghindari transfusi ke pasien dengan Rh
negatif. Sebaliknya, jika pasien memiliki golongan darah weak D atau partial D, maka harus
dianggap sebagai Rh negatif, supaya tidak terjadi reaksi aloimunisasi pada pasien.
Selain golongan darah ABO dan Rh, masih ada beberapa jenis golongan darah
lainnya yang penting untuk dipelajari terkait dengan reaksi yang dihasilkan karena transfusi
darah ataupun kehamilan. Seperti diketahui, bahwa membran sel darah terdiri atas berbagai
macam molekul protein, karbohidrat maupun lemak. Molekul permukaan sel ini dapat
berperan sebagai Ag dengan merangsang respon imun jika ditransfer ke pasien lain. Protein
/ Ag membran sel darah diturunkan secara genetik, dan ada yang memberikan fungsi spesifik
pada sel darah, seperti : Ag Rh yang berfungsi untuk mempertahankan integritas sel darah
merah.
Melalui berbagai penelitian dan studi kasus, kelompok Ag pada membran sel darah
merah yang dapat merangsang respon imun dan membentuk Ab dikelompokkan menjadi
berbagai sistem golongan darah. International Society Blood Transfussion (ISBT), saat ini telah
mengidentifikasi 33 sistem golongan darah dengan lebih dari 300 jenis Ag. Penamaan sistem
golongan darah bervariasi, ada yang dituliskan dengan huruf kapital, seperti A, B; M, N, ada
yang menggunakan huruf besar dan huruf kecil, seperti : S,s, ; K,k , untuk menunjukkan variasi
Ag. ISBT telah menginventaris dan memberikan nomor sebagai identitas golongan darah,yang
dapat dilihat di Tabel 8
Sumber. Essential guide to blood groups
Pada modul ini, hanya akan dibahas Ag pada sistem golongan darah dengan kasus reaksi
transfusi yang cukup banyak. Berdasarkan jenis reaksi Ab nya, maka bahasan modul untuk
kelompok sistem golongan darah lain, akan dibagi menjadi Warm Ab dan Cold Ab. Warm Ab
adalah jenis antibodi yang dihasilkan, yang bereaksi optimal mengikat Ag pada suhu 370 C dan
co