sebabkan oleh trauma,
misalnya jatuh atau komplikasi pascaoperasi.
8. Amiotrofi Diabetik
Amiotrofi diabetik dikenal juga dengan
nama neuropati diabetik proksimal,
sindrom Bruns-Garland, mononeuritis multipleks diabetik, poliradikulopati
diabetik, atau neuropati radikulopleksus lumbosakral diabetik Kelainan ini
biasanya mengenai pleksus dan radiks
lumbal. Patofisiologinya berupa vaskulitis yang akhirnya memicu iskemia,
dapat terjadi pada penyandang diabetes
(umumnya tipe II) lama. Manifestasinya
berupa nyeri dalam yang berat di pelvis
atau proksimal tungkai atas yang berlangsung selama beberapa minggu ( sekitar 6
minggu). Saat nyeri mereda perlahan tampak kelemahan yang signifikan.
Amiotrofi diabetik biasanya melibatkan N.
Femoralis dan N. Obturator, serta N. Peroneal. Pada banyak kasus amiotrofi ini terjadi
unilateral bersamaan dengan penurunan
berat badan. Sisi kontralateral dapat terkena
setelah beberapa minggu atau bulan sejak
gejala awal. Pemulihan seringkali baik,
namun berjalan lama dalam hitungan beberapa bulan hingga 1-2 tahun.
9. Pleksopati Radiasi
Terjadi akibat paparan radiasi yang didapat bertahun-tahun sebelumnya. Kelainan ini bersifat progresiflambat, disertai
nyeri minimal. Temuan karakteristik pada
pemeriksaan elektromiografi (EMG) yaitu
fasikulasi dan miokimia. Miokimia tidak
didapatkan pada pleksopati akibat invasi
langsung.
10.Pleksitis Lumbosakral Idiopatik
Patologi yang mendasari belum sepenuhnya diketahui, diperkirakan berupa inflamasi yang terjadi beberapa minggu
setelah kejadian imunologis yang memicu, misalnya infeksi saluran nafas atas
atau- imunisasi. Manifestasi klinisnya
berupa nyeri dalam yang berat di pelvis
atau tungkai atas selama 1-2 minggu
hingga berbulan-bulan, lalu defisit neurologis timbul setelah nyeri mereda.
Perjalanan penyakit ini monofasik namun
dapat juga menjadi progresif. Tata laksananya berupa pemberian steroid atau
agen imunosupresan.
11.Vaskulitis
Manifestasi klinisnya berupa nyeri hebat,
kelemahan, dan defisit sensorik yang
melibatkan satu atau lebih regia ekstremitas bawah. Pemeriksaan penunjang
yang mendukung berupa laju endap
darah, antibodi antinuklear, faktor reumatoid, kadar komplemen, antibodi sitoplasmik antineutrofil, hitung eosinofil,
dan biopsi saraf. Biopsi saraf menunjukkan inflamasi transmural, nekrosis dinding
vaskular, dan degenerasi akson.
12.Infeksi atau Parainfeksi
Infeksi langsung atau secara tidak langsung melalui mekanisme autoimun
dapat memicu pleksopati lumbosakral. ada kasus pleksopati lumbosakral setelah infeksi Epstein-Barr
virus (EBV) klinis disertai bukti serologis
dengan peningkatan limfosit dan protein
pada cairan serebrospinal. Infeksi lainnya yaitu infeksi Lyme, Borellia burgdorferi, West Nile, dan herpes zoster.
13. Terkait Heroin
Patofisiologi yang mendasarinya kemungkinan yaitu efek toksik langsung
heroin yang memicu pleksopati
lumbosakral dan brakialis. Onset gejala
terjadi sekitar 36 jam setelah injeksi
heroin dengan gejala nyeri he bat disertai
kelemahan atau defisit sensorik ringan.
Nyeri mereda dalam beberapa minggu
dengan onset pemulihan defisit motorik
yang lebih lama.
Pleksopati
PATOFISIOLOGI
Mekanisme yang memicu pleksopati
cukup beragam, terdiri dari: 1) proses regangan (stretch), 2) laserasi, dan 3) kompresi. Setiap trauma yang meningkatkan
jarak antara titik yang relatif terfiksasi pada
fasia prevertebral dengan pertengahan
lengan atas atau ekstremitas bawah akan
memicu traksi. Traksi yang melebihi
kapasitas regangan saraf yang dikontribusi
oleh jaringan kolagen pada selubung saraf
memicu cedera regangan dan bahkan memicu hilangnya kontinuitas
total pada saraf (avulsi). Traksi juga dapat
memicu iskemia pada jaringan saraf.
Laserasi atau robekan saraf ini dapat terjadi misalnya pada kasus trauma benda
tajam. Pada kompresi terjadi gangguan
fungsional akibat kompresi mekanik pada
saraf dan iskemia. Kompresi yang berat
dapat memicu hematom intraneural, dan kemudian akan menjepit jaringan
saraf sekitarnya.
Derajat Kerusakan
Derajat kerusakan pada lesi saraf perifer
dapat dibagi berdasar klasifikasi Sheddon (1943) dan Sunderland (1951).
Klasifikasi Sheddon yaitu sebagai berikut:
1. Neuropraksia
Pada tipe ini terjadi kerusakan mielin,
namun akson tetap intak. Dengan adanya
kerusakan mielin dapat memicu
hambatan konduksi saraf. Pada tipe
cedera seperti ini tidak terjadi kerusakan
struktur terminal, sehingga proses penyembuhan lebih cepat dan merupakan
derajat kerusakan paling ringan.
2. Aksonotmesis
Terjadi kerusakan akson namun semua
struktur selubung saraf termasuk endoneural masih tetap intak Terjadi degenerasi aksonal segmen saraf distal dari
lesi (degenerasi Wallerian). Regenerasi
saraf tergantung dari jarak lesi mencapai serabut otot yang denervasi ini .
Pemulihan sensorik cukup baik bila
dibandingkan motorik
3. Neurotmesis
Merupakan derajat kerusakan paling
berat, berupa ruptur saraf yang memicu proses pemulihan sangat sulit
terjadi meskipun dengan penanganan
bedah. Dibutuhkan waktu yang lama dan
biasanya pemulihan yang terjadi tidak
sempurna.
Klasifikasi Sunderland lebih merinci kerusakan saraf yang terjadi dan membaginya
dalam 5 tingkat (Tabell dan Gambar 7).
Pleksopati diabetik diperkirakan akibat
mikrovaskulitis inflamasi yang memicu cedera saraf iskemik Pada biopsi saraf
tampak tanda vaskulitis, inflamasi, nekrosis vaskular, serta infiltrasi limfosit B dan
T, makrofag, sel polimorfonuklear, dan deposisi komplemen, hilangnya serabut saraf fokal
dan multifikal, serta penebalan perineural
dan neovaskularisasi perineural. Diabetes
memicu abnormalitas sawar darahsaraf, sehingga rentan terjadi vaskulitis. Deposisi kompleks imun akan semakin merusak
sawar darah saraf ini dan meningkatkan vaskulitis, sehingga terjadi oklusi pembuluh darah epineural dan perineural dengan
hasil akhir iskemia dan infark
Terjadinya pleksopati radiasi tergantung
pada dosis total, dosis fraksi, teknik radiasi,
kemoterapi yang menyertai radiasi, dan
pemakaian brakiterapi intrakavitas. Radiasi
dapat memicu defisiensi mikrosirkulasi yang memicu iskemia lokal dan fibrosis jaringan lunak, serta perubahan pada
sel Schwann, fibroblas endoneural, sel dinding pembuluh darah, dan sel perineural.
GEJALA DAN TAN,DA KLINIS
Gejala yang timbul umumnya unilateral
berupa kelainan motorik, sensorik dan autonom pada ekstremitas. Gambaran klinis
yang ditemukan dapat menunjukkan letak
dan keparahan lesi.
Pleksopati Brakialis
Lesi pleksus brakialis dapat mengenai mulai
dari otot bahu sampai tangan, atau hanya sebagian, yang dibagi atas pleksopati supraklavikular dan pleksopati infraklavikular.
1. Pleksopati Supraklavikular
Pada pleksopati supraklavikular lesi terjadi di tingkat radiks atau trunkus saraf,
atau kombinasinya. Lesi ditingkat ini
dua hingga tujuh kali lebih sering terjadi
dibanding lesi infraklavikular. Pleksopati
supraklavikular sering disebabkan oleh
karena trauma, yaitu terjadi fleksi dari
leher terhadap bahu, sehingga radiks
mengalami tarikan antara leher dan
Pleksopati
Erb's point. Jenis lesi ini memberikan
gambaran yang khas disebut deformitas
waiters yang ditandai dengan kelemahan
pada otot-otot rotatoar bahu, otot-otot
fleksor lengan, dan otot-otot ekstensor
tangan.
a. Lesi tingkat radiks
Pada lesi pleksus brakialis ini berkaitan dengan avulsi radiks. Gambaran
klinis sesuai dengan dermatom dan
miotomnya. Lesi di tingkat ini dapat
terjadi paralisis parsial dan hilangnya
sensorik inkomplit, karena otot-otot
tangan dan lengan biasanya dipersarafi oleh beberapa radiks.
b. Sindroni Erb-Duchenne
Lesi di radiks servikal atas (CS dan C6)
atau trunkus superior dan biasanya
terjadi akibat trauma. Pada bayi terjadi
karena penarikan kepala saat proses
kelahiran dengan penyulit distonia
bahu, sedangkan pada orang dewasa
terjadi karena jatuh pada bahu dengan
kepala terlampau menekuk ke sam ping.
Presentasi klinis pasien berupa waiter's
tip position, yaitu lengan berada dalam
posisi aduksi (kelemahan otot deltoid
dan supraspinatus), rotasi internal pada
bahu (kelemahan otot teres minor dan
infraspinatus), pronasi (kelemahan
otot supinator dan brakioradialis ), dan
pergelangan tangan fleksi (kelemahan
otot ekstensor karpi radialis longus
dan brevis). Selain itu ada pula
kelemahan pada otot biseps brakialis,
brakialis, pektoralis mayor; subskapularis, romboid, levator skapula, dan
teres mayor. Refleks biseps biasanya
menghilang, sedangkan hipestesi ter
jadi pada bagian luar Oateral) dari lengan atas dan tangan.
c. Sindrom paralisis Klumpke
Lesi di radiks servikal bawah (C8, Tl)
atau trunkus inferior akibat penarikan
bahu, sehingga terjadi tarikan pada
bahu. Keadaan ini sering terjadi pada
bayi saat dalam proses kelahiran atau
pada orang dewasa yang akan terjatuh
dan berpegangan pada pada llengan.
Presentasi klinis berupa kelemahan
pada otot-otot di lengan bawah, otototot tangan yang khas disebut dengan
deformitas clawhand, sedangkan fungsi
otot gelang bahu baik Selain itu juga
ada kelumpuhan pada otot fleksor karpi ulnaris, fleksor digitorum,
interosei, tenar, dan hipotenar sehingga
tangan terlihat atrofi. Disabilitas motorik sama dengan kombinasi lesi N.
Medianus dan N. Ulnaris. Kelainan
sensorik berupa hipestesi pada bagian
dalam atau sisi ulnar dari lengan dan
tangan.
d. Lesi di trunkus superior
Gejala klinisnya sama dengan sindrom
Erb di tingkat radiks dan sulit dibedakan. Namun pada lesi di trunkus superior tidak didapatkan kelumpuhan
otot romboid, seratus anterior, levator skapula, dan saraf supraspinatus
serta infraspinatus. ada gangguan sensorik di lateral deltoid, aspek
laterallengan atas, dan lengan bawah,
hingga ibu jari tangan.
e. Lesi di trunkus media
Sangat jarang terjadi dan biasanya
melibatkan daerah pleksus lainnya
(trunkus superior danjo.tau trunkus
inferior). Gejala klinis berupa kelemahan otot triseps dan otot-otot yang dipersarafi N. Radialis (ekstensor tangao), serta kelainan sensorik biasanya
terjadi pada dorsallengan dan tangan.
f. Lesi di trunkus inferior
Gejala klinisnya yang hampir sama
dengan sindrom Klumpke di tingkat
radiks. ada kelemahan pada otototot tangan dan jari-jari terutama untuk
gerakan fleksi, serta kelemahan otototot spinal intrinsik tangan. Gangguan
sensorik terjadi pada aspek medial
dari lengan dan tangan.
2. Lesi Pan-supraklavikular (radiks CST1 atau semua trunkus)
Pada lesi ini terjadi kelemahan seluruh
otot ekstremitas atas, defisit sensorik
yang jelas pada seluruh ekstremitas atas,
dan mungkin ada nyeri. Otot romboid, seratus anterior, dan otot-otot spinal mungkin tidak lemah tergantung dari
letak lesi proksimal (radiks) atau lebih
ke distal (trunkus).
3. Pleksopati Infraklavikular
Terjadi lesi di tingkat fasikulus dan/
atau saraf terminal. Lesi ini jarang terjadi dibanding supraklavikular, namun
umumnya mempunyai prognosis lebih
baik pemicu utama pleksopati infraklavikular biasanya yaitu trauma tertutup (kecelakaan lalu lintasjsepeda motor)
maupun terbuka Ouka tembak). Mayoritas disertai oleh kerusakan struktur
didekatnya ( dislokasi kaput humerus,
fraktur klavikula, skapula, atau humerus).
Gambaran klinis sesuai denganletaklesi,
yaitu:
a. Lesi di fasikulus lateral
Dapat terjadi akibat dislokasi tulang
humerus. Lesi disini akan mengenai daerah yang dipersarafi oleh N.
Muskulokutaneus dan sebagian dari
N. Medianus. Gejala klinisnya yaitu
kelemahan otot fleksor lengan bawah
dan pronator lengan bawah, sedangkan otot-otot intrinsik tangan tidak
terkena. Kelainan sensorik terjadi di laterallengan bawah dan jari tangan 1-111.
b. Lesi di fasikulus medial
Disebabkan oleh dislokasi bursa subkorakoid dari humerus. Kelemahan
c; · gejala sensorik terjadi di daerah
motorik dan sensorik N. Ulnaris. Lesi
disini akan mengenai seluruh fungsi
otot intrinsik tangan, seperti fleksor,
ekstensor, abduktor jari-jari tangan,
dan fleksor ulnar pergelangan tangan.
Secara keseluruhan kelainannya
hampir menyerupai lesi di trunkus
inferior. Kelainan sensorikterasa pada
lengan atas dan bawah medial, tangan,
dan 2 jari tangan bagian medial.
c. Lesi di fasikulus posterior
Lesi ini jarang terjadi, gejala klinis
berupa kelemahan dan defisit sensorik di area inervasi N. Radialis. Otot
deltoid (abduksi dan fleksi bahu),
otot-otot ekstensor lengan, tangan, dan
jari-jari tangan mengalami kelemahan.
Defisit sensorik terjadi pada daerah
posterior dan lateral deltoid, aspek
dorsal lengan, tangan, dan jari-jari
tangan.
Pleksopati Lumbosakral
Nyeri merupakan manifestasi yang paling
Pleksopati
umum ditemukan pada pleksopati lumbosakral dan merupakan keluhan yang paling
sering mengganggu. Nyeri dapat terlokalisir
di daerah panggul, bokong, dan paha proksimal dengan penjalaran ke daerah tungkai.
Pada pemeriksaan fisik beberapa gerakan
dapat menimbulkan nyeri. Straight leg test
atau tes Laseque dapat menimbulkan nyeri
pada pleksopati sakral, sementara reversed
straight leg test dapat menimbulkan nyeri
pada pleksopati lumbal. Berbeda dengan
lesi radiks, nyeri pada pleksopati tidak bertambah dengan batuk atau mengedan. Nyeri
pinggang dapat muncul namun minimal.
Manifestasi klinis pleksopati lumbosakral
tergantung dari struktur yang terkena dan
secara umum dibagi menjadi:
1. Pleksopati Lumbal
Pleksopati lumbal memicu defisit
neurologis pada teritori N. Iliohipogastrik, N. Genitofemoral, N. Ilionguinal, N.
Femoral, dan N. Obturator. Gambaran
klinis berupa kelemahan pada fleksi panggul, ekstensi lutut, dan aduksi tungkai atas.
Gangguan sensorik dapat terjadi di abdomen bagian bawah, inguinal, tungkai atas
sisi medial, lateral, dan anterior serta
tungkai bawah sisi medial. Refleks patela
menurun atau menghilang.
2. Pleksopati Sakral
Pada pleksopati sakral tampak defisit
neurologis pada teritori N. Gluteus, N.
Skiatik, N. Tibial, dan N. Peroneus sehingga ada defisit motorik pada ekstensor panggul, abduktor panggul, fleksor
lutut, fleksor plantar kaki, dan dorsofleksor kaki. Defisit sensorik meliputi tungkai atas sisi posterior, tungkai bawah sisi
anterolateral dan posterior, serta hampir
seluruh kaki. Refleks patela normal, sedangkan refleks Achilles menurun atau
menghilang.
Diagnosa
Diagnosa pleksopati ditegakkan berdasar
anamnesis yang mencak:up waktu onset, waktu
timbulnya gejala. Pemeriksaan fisik umum
seperti posisi leher, bahu lengan, panggul,
tungkai, tanda-tanda fraktur, serta pemeriksaan neurologi yang teliti meliputi penilaian
kekuatan motorik pada tiap segmen miotom
dan sensorik pada setiap segmen dermatom.
Pemilihan jenis pemeriksaan penunjang dilakukan berdasar klinis yang di dapatkan, seperti:
1. Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium perlu disesuaikan dengan etiologi yang diperkirakan, antara lain laju endap darah, glukosa, HbAlc,
dan penanda infeksi.
2. Radiologi
a. Rontgen sendi bahu, servikal, pelvis,
untuk melihat struktur tulang dan
sendi.
b. MRI bahu, leher, pelvis, dan pleksus.
3. ElektroDiagnosa
Pemeriksaan elektroDiagnosa merupakan
pemeriksaan yang sangat berperan dalam
menentukan letak lesi, derajat keparahan,
dan prognostik. Pemeriksaan berupa: kecepatan hantar saraf motorik dan sensorik, gelombang F, serta EMG jarum.
PENGOBATAN
PENGOBATAN lesi pleksus sangat bervariasi,
beberapa faktor yang mempengaruhi keberhasilan terapi yaitu onset, derajat kerusakan, jenis lesi, dan pemicu nya.
1. FaseAkut
a. lstirahat, pada cedera pleksus brakialis
yang berat dapat dilakukann fiksasi
lengan yang mengalami kelumpuhan.
b. Kompres dingin, untuk mengurani
rasa nyeri dan edema yang mungkin
dapat terjadi.
c. Penekanan atau kompresi bila ada
edema.
d Elevasi ekstremitas yang terkena Oengan
atau kaki), akan mengurangi edema yang
terjadi pada ekstremitas yang terkena
e. Medikamentosa, berupa steroid, obat
anti inflamasi non steroid, dan analgetik. Obat-obatan untuk nyeri neuropatik, misalnya antidepresan trisiklik, gabapentin, atau pregabalin dapat
membantu.
2. Fase Subakut atau Kronik
a. Mengatasi rasa nyeri
b. Fisioterapi:
• Latihan memelihara lingkup gerak
sendi untuk mencegah kekakuan
pada sendi dan atrofi otot.
• Ultrasound atau diatermi untuk
me-ngurangi rasa nyeri dengan
menimbulkan vasodilatasi pembuluh darah dan menurunkan
spasme otot.
• Transcutaneous electrical nerve
stimulation (TENS), memberikan
stimulasi listrik pada saraf, sehingga akan meng-aktivasi serabut
A-beta yang akan menginhibisi interneuron di medula spinalis. Selain
itu juga akan menginhibisi serabut
A-delta dan serabut C-delta.
• Neuromuscular electrical stimulation
(NMES), dengan cara memberikan
stimulasi listrik pada otot, sehingga
menambah kekuatan dan memelihara massa ototyang lumpuh.
• pemakaian ortosis pada lengan
yang lumpuh total bertujuan
untuk mempertahankan posisi,
mencegah subluksasi bahu, mengurangi kekakuan sendi, dan
sebagai kosmetik.
3. Pembedahan
Operasi dilakukan dengan tujuan untuk
mengembalikan anatomi dan fungsi dari
pleksus, pada beberapa kasus yang berat,
operasi dilakukan dengan tujuan utama
untuk mengembalikan fungsi fleksi atau
ekstensi sendi. Operasi biasanya dilakukan pada cedera pleksus yang berat dan
dilakukan 3-4 bulan setelah trauma.
Operasi tidak di anjurkan jika dilakukan
setelah 6 bulan karena umumnya tidak
memberikan hasil yang optimal. Jenisjenis operasi yang dilakukan:
a. Pembedahan primer
Bertujuan untuk memperbaiki saraf
yang cedera pada pleksus dan mempercepat proses reinervasi. Teknik
yang dipakai tergantung dari derajat keparahan lesi, ada beberapa
teknik yang biasa dilakukan, yaitu:
• Neurolisis, membebaskan jaringan parut yang terjadi di sekitar
saraf.
Neuroma eksisi, dilakukan eksisi
pada saraf, kemudian saraf dilekatkan kembali atau dengan nerve
graft.
• Nerve grafting
• Neurotization, biasanya dilakukan
pada avulsi radiks, dilakukan penggantian saicU yang rusak dengan
memakai saicU lain. Saraf donor yang dapat dipakai yaitu
N. hiogosal, N. asesori spinalis, dan
saraf interkostal. Dapat juga dilakukan intraplexual neuro~ation, yaitu
donor diambil dari radiks yang rnasib melekat pada medula spinalis
sebagai penggati saraf yang rusak
b. Pembedahan sekunder
Bertujuan untuk memperbaiki fungsi
agar optimal. Teknik yang dipakai ,
yaitu: tendon transfer; free muscle
transfers, serta joint fusions and rotational. ·
4. PENGOBATAN Lainnya Sesuai dengan
Etiologi Pleksopati
a. Pleksopati akibat perdarahan: koreksi
abnormalitas hemostasis dan drainase
hematom perkutan.
b. Pleksopati neoplastik: radioterapi,
kemoterapi, dan pembedahan.
c. Pleksopati akibat abses: drainase abses dan antibiotik.
d. Pleksopati diabetik: perbaikan kontrol
glikemik, intravenous immunoglobulin
(lVI G).
Pleksopati
e. Pleksopati radiasi: antikoagulan untuk
memperbaiki aliran darah akibat kerusakan endotel yang diinduksi radiasi
namun terapi ini belum memiliki
bukti ilmiah yang kuat
f. Pleksitis idiopatik: steroid, IVIG.
g. Pleksopati vaskulitis: obat imunosupresan.
PROGNOSIS
Prognosis sangat tergantung dari letak dan
jenis lesi. Pemulihan pada avulsi dan ruptur
radiks yang dioperasi, kadang tidak dapat
sempurna dan membutuhkan waktu yang
lama. Pada cedera ringan yang menimbulkan
jaringan sikatrik dan terjadi neuropraksia,
dapat terjadi pemulihan spontan, sekitar
90-100% akan kembali normal.
PENDEKATAN Diagnosa MIOPATI
pemicu miopati sangat bervariasi mulai
dari kelainan kongenital dalam aspek kanal,
struktur, ataupun metabolisme otot, maupun akibat kelainan yang didapat (inflamasi,
autoimun, dan toksik). Setiap miopati memerlukan manajemen dan prognosis yang
berbeda, sehingga sangat penting ditegakkan Diagnosa yang spesifik Sebagian kasus
miopati yang memiliki pengobatan kausatif memiiki prognosis baik jika dikenali,
sebaliknya pada kasus lainnya yang tidak
berespons terhadap pengobatan, maka tata
laksana lebih ditekankan secara simtomatik
untuk meningkatkan kualitas hid up (paliatif).
EPIDEMIOLOGI
Angka pasti prevalensi miopati sulit diperkirakan, oleh karena masih jarangnya studi
epidemiologi berskala besar terhadap kelompok penyakit ini. Di Jepang ada
11,521 kasus dari 127 juta penduduk
sepanjang 2008-2013 yang mengalami
immune mediated myopathy.
berdasar laporan oleh Lefter (2016),
di Irlandia ada distrofi miotonik tipe I
sebanyak 6,75/100.000 penduduk; distrofi
muskular Duchenne (DMD) 3,0/100.000 penduduk; distrofi muskular Becker 2,2/100.000
penduduk; distrofi fasioskapulohumeral
2,59/100.000 penduduk; distrofi muskular
limb-girdle 2,88/100.000 penduduk; parali-
sis periodik 1,72/100.000 penduduk; miotonia kongenital 0,32/100.000 penduduk;
paramiotonia kongenital 0,15/100.000
penduduk; dan sporadic inclusion body myositis sebanyak 11,7/100.000 penduduk Di
Indonesia kasusnya juga tidak sedikit, namun
minimnya ketertarikan para klinisi maupun
akademisi untuk memperdalam ilmu ini, memicu laporan kasusnya sulit didapatkan.
PATOFISIOLOGI
Untuk menegakkan Diagnosa dan menentukan PENGOBATAN yang tepat dibutuhkan pengetahuan patofisiologi kerusakan otot yang
terjadi. Dalam bab ini akan dibahas dua patofisiologi tersering, yaitu inflamasi dan distrofi.
Miopati yang disebabkan oleh inflamasi sering
dikelompokkan ke dalam miositis, seperti polimiositis (PM), dermatomiositis (DM), dan
inclusion body myositis (IBM). Miopati yang
disebabkan oleh distrofi biasanya disebabkan
oleh kelainan genetik yang diturunkan.
1. lnflamasi
pemicu inflamasi pada PM dan DM
yaitu autoimun (Gambar 1). Pada DM
target utama antigen yaitu endotel
pembuluh darah pada kapiler-kapiler
endomisial. Rantai imunopatologi ini diawali saat komplemen antibodi bekerja
terhadap sel endotel. Antibodi ini
akan mengaktivasi komplemen C3 yang
membentuk C3b dan C4b, kemudian ter
bentuklah CSb-9 membrane attack complex (MAC), suatu komponen litik dari jalur
komplemen. Kemudian secara berurutan
terjadilah pembengkakan sel endotel diikuti vakuolisasi, nekrosis pembuluh darah
kapiler, inflamasi perivaskular, iskemia,
dan kerusakan serabut otot. Pada akhirnya ada penurunan jumlah kapiler
perserabut otot diikuti kompensasi dilatasi kapiler-kapiler yang tersisa.
2. Distrofi
Selain itu, sel B, sel T (CD4+ ), dan makrofag juga berperan dalam patofisiologi
ini. Mereka masuk ke dalam otot. Migrasi
sel-sel ini difasilitasi oleh vascular
cell adhesion molecule (VCAM) dan intercellular adhesion molecule (ICAM). Ekspresi
VCAM dan ICAM ini diregulasi oleh sitokin
yang dilepaskan oleh rantai komplemen.
Sel T dan makrofag diperantarai oleh integrin very late activation antigen (VLA)-4
dan leucocyte function-associated antigen
(LFA)-1 yang kemudian berikatan dengan
VCAM dan ICAM, lalu masuk ke dalam otot
melalui dinding sel endotel.
Distrofi atau distrofinopati diawali oleh
mutasi gen distrofin Xp21.2 yang mengkode protein distrofin. Contoh klasik
kelainan ini yaitu penyakit distrofi
muskular Duchene (DMD) dan distrofi
muskular Becker (Becker muscular dystrophyfBMD). Protein distrofin memiliki em pat ranah (domain) dan merupakan protein kompleks. Mutasi pada protein ini memicu kerusakan
(breakdown) pada keseluruhan struktur yang
kompleks dan penting. Kerusakan ini memicu sarkolema, yang berfungsi sebagai
sawar antara sel otot dengan dunia luar layaknya membran sel, menjadi rapuh. Kontraksi
otot yang intensif atau bahkan yang biasa saja
untuk ukuran orang normal dapat memicu kerapuhan sarkolema bertambah parah.
Kerapuhan ini memicu influks kalsium
yang berlebihan dan mempercepat kerusakan
sera but otot (Gam bar 2).
Otot yang rusak memiliki kapasitas regenerasi yang terbatas. Sel-sel otot yang rusak
ini digantikan oleh sel-sel satelit yang terletak di antara lamina basal dan membran serabut otot. Sel-sel satelit ini berperan seperti
"stem-cell" yang dapat menumbuhkan sel-sel
otot dan meregenerasi serabut otot yang rusak. Seiring berjalannya waktu sel satelit ini
tidak dapat mengejar kerusakan yang terjadi
sehingga serabut-serabut otot yang rusak digantikan oleh jaringan ikat dan lemak.
Diagnosa DAN Diagnosa BANDING
Langkah penegakan Diagnosa miopati meliputi evaluasi klinis, pemeriksaan laboratorium dan elektrofisiologi, histopatologi,
dan pemeriksaan yang spesifik pada entitas
miopati tertentu. Untuk penentuan peme
riksaan spesifik yang bersifat konfirmasi
diperlukan penetapan Diagnosa kerja da~ Diagnosa banding melalui evaluasi klinis.
Pada prinsipnya miopati dibagi menjadi
miopati herediter dan miopati yang didapat.
Miopati yang herediter meliputi channelopathy, miopati kongenital, miopati metabolik,
miopati mitokondrial, distrofi muskular
dan miotonia. Miopati yang didapat berup~ miopati yang diinduksi obat, miopati endokrin, miopati inflamasi, miopati terkait
penyakit sistemik, dan miopati toksik.
Secara umum miopati memberikan keluhan
berupa kelemahan otot, atrofi atau hipotrofi
otot, refleks regang otot menurun sedikit
atau menghilang pada derajat miopati yang
berat dengan pemeriksaan sensorik normal, ke-cuali ada komorbiditas neuropati. Untuk menegakkan Diagnosa spesifik miopati ada beberapa aspek yang perlu
diketahui, yaitu gejala negatif atau positif,
evolusi temporal penyakit, riwayat keluarga,
kondisi pencetus, gejala dan tanda lain yang
menyertai, serta distribusi otot yang terlibat. Sintesis semua aspek ini akan
membantu mempersempit kemungkinan entitas miopati, sehingga dapat dipilih pemeriksaan penunjang yang tepat
1. Keluhan
Keluhan miopati dapat berupa gejala negatif
dan positif, yaitu kelemahan, mudah Ielah ' intoleransi terhadap aktivitas, atrofi otot,
kram, kontraktur, hipertrofi otot, mialgia,
atau kekakuan (Tabell ). Miopati yang berhubungan dengan metabolisme dan mitokondria abnormal dapat menimbulkan
keluhan kelelahanjfatig setelah aktivitas.
Mialgia dapat muncul episodik pada
miopati metabolik atau muncul konstan misalnya pada miopati inflamasi.
Kelemahan atau mialgia episodik setelah
aktivitas dapat berkaitan dengan kejadian
mioglobinuria, sehingga perlu ditanyakan
ten tang warna urin pada anamnesis.
Kram otot dapat diprovokasi oleh aktivitas
pada miopati akibat defek enzim glikolitik
Miotonia biasanya diprovokasi oleh aktivitas atau paparan dingin misalnya pada
paramiotonia kongenital. Peningkatan konsistensi massa otot dapat disebabkan oleh
fibrosis pada miopati kronik atau deposit
amiloid. Abnormalitas lainnya yang dapat
ditemui yaitu mioedema setelah perkusi
otot, yaitu berupa pembengkakan ototyang
berlangsung selama beberapa detik Mioedema ini dapat di-temukan pada miopati
akibat hipotiroid.
Hipertrofi otot dapat terjadi pada miotonia
kongenital, miopati akibat amiloidosis, sarkoidosis, dan hipotiroid. Pseudohipertrofi
otot (akibat penggantian massa otot dengan
jaringan ikat dan lemak) terlihat pada
distrofi muskular Duchenne dan Becker,
distrofi. muskular limb-gridle (LGMD 2C-F f
sarkoglikanopati), miopati Miyoshi, anoctamin-5 defect, LGMD 21 (fit.kutin-related protein), dan LGMD 2G (teletoninopati).
2. Disbibusi Otot yang Terlibat
Distribusi keterlibatan otot dapat dinilai
dengan pemeriksaan kekuatan otot persegmen, identifi.kasi aktivitas fungsional
yang terganggu yang terutama penting
pada anak, dan atrofi otot. Penilaian
kekuatan otot harus meliputi otot yang
berfungsi pada gerakan ekstensi, fleksi,
abduksi, aduksi, rotasi internal, dan rotasi
eksternal. Otot fleksor leher dinilai pada
keadaan supinasi, sedangkan ekstensor
leher dinilai pada posisi pronasi. Otot
yang diinervasi oleh nervus kranial juga
penting diperiksa. Kelemahan otot pada
miop~ti umumnya lebih terlihat pada
otot-otot proksimal, namun ada juga
yang melibatkan kelumpuhan otot-otot
distal dan wajah, yang dapat memberi petunjuk entitas miopati tertentu (Tabel 2).
Kelemahan pada otot pelvis memicu
kesulitan dalam menaiki tangga, bangkit
dari lantai, atau bangkit dari posisi duduk.
Kesulitan bangkit dari posisi duduk atau
berbaring tanpa bantuan eksremitas atas
menunjukkan kelemahan otot ekstensor
panggul. Tanda Gowers merupakan karakteristik yang terlihat pada kelemahan otot
proksimal, yaitu saatpasien berusaha bangkitdari posisi berbaring, awalnya bertumpu
pada tangan dan lutut, kemudian meluruskan ekstremitas bawah, melengkungkan
badan ke belakang, diikuti dengan menumpukan tangan pada lutut lalu paha sehingga dapat mengekstensikan trunkus
(Gambar 3). Kelemahan otot kuadriseps
memicu kesulitan saat menurun
tangga dibandingkan menaiki tangga.
Pasien dengan kelemahan ekstremitas atas bagian proksimal mengalami kesulitan melakukan aktivitas yang memerlukan elevasi lengan
di atas level mata.
3. Onset dan Evolusi Gejala
Onset penyakit penting untuk mempersempitDiagnosa bandingmiopati (Tabel3).
Dermatomiositis dapat terjadi pada anakanak dan dewasa, sedangkan polimiositis
dan IBM banyak pada usia tua. DMD biasanya terdeteksi pada usia 3 tahun, sedangkan
FSH dan LGMD mulai terjadi gejala klinis
pada usia remaja atau lebih tua
Kelemahan pada miopati dapat bersifat
konstan (misalnya pada miopati inflamasi
Pendekatan Diagnosa Miopati
dan distrofi muskular) atau episodik yang
biasanya disebabkan oleh miopati metabolik,
misalnya akibat gangguan jalur metabolisme
glikolisis. Kelemahan otot yang bersifat
konstan dapat terjadi pada onset .akut atau
subakut (misalnya pada miopati inflamasi),
kronik progresifyang berlangsung bertahuntahun (distrofi muskular), atau nonprogresif
dengan sedikit perubahan selama dekade
(misalnya miopati kongenital). ·
Selain itu, perjalanan penyakit dapat monofasik atau relaps-remisi. Miopati dengan
perjalanan monofasik, misalnya pada rabdomiolisis akibatintoksikasi kokain. Perjalanan
penyakit paralisis periodik dan miopati metabolik biasanya bersifat relaps-remisi.
4. Faktor Pencetus Keluhan
Hanya sebagian miopati yang memilild faktor pencetus yang dapat mengeksaserbasi
keluhan, sehingga faktor pencetus perlu
diidentifikasi (Tabel4). Miotonia dapat dicetuskan dengan menginstruksikan pasien
untuk menggenggam jari secara maksimal
selama 15 detik kemudian melepaskannya
dengan segera. Pada miotonia, relaksasi terjadi lambat dan tampak gerakan otot yang
tidak lancar saat melepas genggaman.
5. Gejala atau Tanda Sistemik Lainnya
Diagnosa miopati dapat berdiri sendiri atau
disertai komorbiditas lainnya yang dapat
memberikan petunjuk mengenai pemicu
miopati ini , sehingga sangat penting
untuk mengeksplorasi keterlibatan sistem
organ lainnya (TabelS).
6. pemakaian Obat
Obat-obatyangdapatmenyebabkanmiopati
toksik cukup banyak dan pemakaian nya
cukup luas pada berbagai penyakit yang
prevalensinya tinggi. Oleh karena itu perlu
diidentifikasi riwayat konsumsi obat untuk
mencegah kerusakan otot lebih lanjut dapat
dicegah (Tabel6).
7. Riwayat Penyakit Keluarga
Sebagian miopati disebabkan kelainan genetik yang dapat diwariskan dengan pola
pewarisan autosomal maupun terkait
kromosom X (Tabel 7). Untuk mendapatkan pola pewarisan, perlu dibuat pedigree
minimal 3 level. Riwayat keluarga yang
berkaitan dengan kelainan yang mungkin
berkaitan dengan miopati juga perlu di
gali, misalnya riwayat penyakit autoimun
dan reumatologis.
berdasar tujuh hal di atas maka dapat
dikenali 10 pola miopati yang dapat membantu menentukan kemungkinan Diagnosa
miopati (Tabel8).
Diagnosa BANDING
Diagnosa banding miopati yaitu penyakit motor neuron, gangguan taut saraf otot,
neuropati motorik, dan lesi sistem saraf
pusat.
Kelainan yang menyerupai miopati:
1. Penyakit Motor Neuron (Motor Neuron Disease)
a. Atrofi spinal muskular onset lambat
b. Atrofi muskular bulbospinal terkait
kromosom X (Penyakit Kennedy)
c. Atrofi muskular progresif (varian
sclerosis lateral amiotropik)
2. Gangguan Taut Saraf Otot
a. Sindrom miastenik Lambert-Eaton
b. Miastenia gravis dengan hanya keterlibatan limb-girdle
3. Neuropati Motorik
a. N europati perifer demielinasi (varian
motorik dari chronic inflammatory
demyelinating polyneuropathy), multifocal motor neuropathy dengan blok
konduksi
b. Neuropati porfiria yang melibatkan
sera but motorik proksimal
c. Amiotrofi diabetik
4. Lesi sistem saraf pusat
Stroke pada area watershed arteri serebri media-anterior bilateral.
Pemeriksaan Laboratorium
Konsentrasi kreatinin kinase (creatinine
kinasefCKJ terbesar ada di otot skeletal dan otot jantung (berada dalam jumlah kecil di otak, usus dan paru-paru), serta
merupa-kan tes laboratorium rutin yang
bermanfaat untuk evaluasi kelemahan
pada penyakit neuromuskular. CK merupakan enzim sarkolema, sehingga kerusakan sarkomer akan meningkatkan permeabilitas membran dan terjadi kebocoran
enzim. Kadar CK biasanya meningkat ketika terjadi nekrosis serabut otot aktif, misalnya pada miopati inflamasi dan distrofi.
Peningkatan kadar CK pada penyakit
neuromuskular berkorelasi dengan massa otot yang mengalami kerusakan dan
mengeluarkan enzim ini (Tabel 9).
Namun kadarnya perlu diinterpretasi secara hati-hati dan mempertimbangkan
beberapa aspek, yaitu jenis kelamin, ras,
massa otot, status fisiologis, dan abnormalitas metabolik lainnya. Secara fisiologis kadar CK lebih tinggi pada laki-laki,
ras Afrika, neonatus, anak, peningkatan
massa otot, dan latihan fisik yang teratur
berkepanjangan.
Derajat peningkatan CK dipengaruhi oleh
beberapa faktor, yaitu:
1. Tingkat Keparahan Penyakit
Penyakit dengan destruksi otot menyebakan peningkatan kadar CK yang besar,
misalnya pada DMD dan rabdomiolisis
terjadi peningkatan CK hingga >100 kali
nilai normal.
2. Perjalanan Penyakit
Miopati progresif lebih cepat meningkatkan kadar CK, misalnya kadar CK jauh lebih tinggi pada polimiositis dibandingkan
FSHD atau IBM yang progresiflambat.
3. Massa Otot Absolut
Kadar CK pada miopati tahap lanjut akan
menurun, misalnya kadar CK pada awal
onset DMD akan tinggi dan kemudian
menurun hingga ke kadar normal pada
tahap lanjut saat jaringan otot diganti
oleh jaringan fibrosis.
4. Nekrosis Serabut Otot
Miopati dengan sarkolema yang intak atau
tidak berkaitan dengan destruksi serabut
otot tidak memicu peningkatan CK
Pemeriksaan enzim CK sebaiknya tidak dilakukan segera setelah pemeriksaan EMG,
karena pemeriksaan EMG dapat memicu peningkatan ringan kadar CK (biasanya
1,5 kali nilai normal).
Pemeriksaan ElektroDiagnosa
Walaupun Diagnosa spesifik miopati memerlukan pemeriksaan histopatologi dan genetik,
pemeriksaan studi konduksi saraf, dan elektromiografi masih berperan penting. Pemeriksaan
studi konduksi saraf dan elektromiografi berperan dalam mengeksklusi kelainan lain yang
klinisnya menyerupai miopati, misalnya penyakit motor neuron, gangguan taut saraf otot,
dan neuropati yang mumi melibatkan serabut
motorik Gambaran elektromiografi ( distribusi
keterlibatan otot, aktivitas spontan) juga dapat
mempersempit Diagnosa banding miopati.
1. Pemeriksaan Kecepatan Han tar Saraf
(KHS)
Pada miopati pemeriksaan KHS sensorik
normal, kecuali bila terjadi koeksistensi
neuropati. Pemeriksaan KHS motorik biasanya normal karena KHS motorik umumnya dilakukan pada otot distal, sedangkan sebagian besar miopati mengenai otot
proksimal pada tahap awal. Pada keadaan
miopati tahap lanjut saat telah terjadi hipotrofi atau atrofi otot, amplituda CMAP
dapat menurun. Latensi distal dan KHS motorik dalam batas normal.
2. Elektromiografi (EMG)
Pemeriksaan EMG akan menhasilkan Analisa motor unit action potential (MUAP) yang
dapat membedakan lesi neurogenik dan
miogenik (Gambar 4). Gambaran MUAP
pada lesi miogenik yaitu MUAP berdurasi
pendek, amplituda rendah, dan polifasik
Pada miopati kronik dapat diperoleh gambaran MUAP berdurasi panjang dan memiliki
potensial satelit yang biasanya didapatkan
pada lesi neurogenik Pada keadaan miopati
tahap lanjut gambaran MUAP neurogenik
dan miogenik mungkin sulit dibedakan. Pola
rekruitmen MUAP pada miopati yaitu early
recruitment, yaitu untuk menghasilkan
kontraksi otot yang minimal diperlukan banyak MUAP. Pada miopati tahap lanjut dapat
terjadi penurunan rekrutmen MUAP. Pada
miopati tertentu, misalnya miopati akibat
steroid, perubahan miogenik pada MUAP
dapat sangat minimal atau bahkan normal.
Pemeriksaan EMG juga bermanfaat untuk
membantu pemilihan otot untuk sampel
histopatologi. Otot yang baik untuk pemeriksaan histopatologi yaitu otot yang terlibat dan tidak dalam keadaan kerusakan
tahap akhir.
Pemeriksaan Histopatologi
Pada sebagian besar miopati, pemeriksaan histopatologi memberikan informasi diagnostik
yang penting. Jika hasil EMG tidak dapat langsung memberikan Diagnosa akhir miopati spesifik, maka pemeriksaan histopatologi dapat
memberikan araban pemeriksaan lanjutan
yang spesifik Analisa histopatologi dapat
mengelompokkan miopati menjadi miopati inflamasi, miopati nekrosis, dan miopati distrofi.
Apabila gambaran histopatologi menunjukkan
miopati inflamasi, maka dapat dipertimbang- ·
kan Diagnosa dermatomiositis, polimiositis,
atau inclusion body myositiS. Ketiganya dapat
dibedakan dengan teknik pewarnaan histokimia dan imunologi tertentu (Gambar 5).
Beberapa miopati distrofi dapat menunjukkan gambaran inflamasi pada histopatologi.
Miopati dengan gambaran nekrosis biasanya
didapatkan pada miopati toksik walaupun
dapat juga ditemukan pada miopati akibat
autoimun. Sampel histopatologi sebaiknya
diambil dari otot kontralateral yang dilakukan pemeriksaan EMG dan skor kekuatan
otot 4. Pemeriksaan EMG dapat memicu inflamasi transien yang dapat mengacaukan hasil pemeriksaan histopatologi.
Pemeriksaan Spesifik Lainnya
Apabila pemeriksaan histopatologi menunjukkan inflamasi maka dapat diperiksa panel-panel antibodi atau penanda inflamasi (TabellO).
Adanya panel antibodi atau inflamasi terkait
yang positif dapat menunjang Diagnosa (spesifisitas cukup tinggi).
Pemeriksaan Genetik
Jika pada pemeriksaan histopatologi didapatkan gambaran miopati distrofi, maka
pemeriksaan genetik spesifik dapat ditentukan berdasar korelasi klinis atau fenotip.
Pada miopati distrofi dengan tampilan klinis
yang khas (misalnya OPMD, DM1, atau FSH),
pemeriksaan genetik dapat ditentukan bahkan sebelum dilakukan pemeriksaan EMG
atau biopsi. Miopati limb-girdle sangat heragam dan sulit untuk menentukan Diagnosa
yang spesifik hanya berdasar fenotip.
CONTOH KASUS
1. Seorang wanita usia 39 tahun datang
dengan keluhan kelemahan pada otototot paha. Kelemahan ini mulai dirasakan saat naik tangga sekitar 3 minggu
yang lalu. Kelemahan tidak dicetuskan
oleh sesuatu namun bersifat konstan
yang disertai nyeri pada otot, terutama di
lengan dan paha. Tidak ada riwayat
pemakaian obat atau penyakit keluarga
yang signifikan. Pasien memiliki riwayat
atopi dan alergi terhadap penisilin dan
udang. Pada pemeriksaan fisik kekuatan
motorik keempat ekstremitas menurun
walaupun asimetris, kekuatan otot lainnya baik. ada warna kemerahan
pada kulit di sekitar otot yang nyeri. Ditemukan Gottron's papules. Diagnosa yang
paling mungkin pada kasus ini yaitu :
a. Facioscapulohumeral dystrophy (FSH)
b. Periodik paralisis hiperkalemia (PPH)
c. Myotonic dystrophy
d. Immune mediated myopathy (IMM)
e. Duchene atau Becker muscular dystrophy
Jawaban yang paling tepat yaitu D (Immune mediated myopathy).
IMM termasuk dermatomiositis (DM)
memiliki keterlibatan sistemik yaitu pada
kulit. FSH memiliki distribusi pada otototot wajah, skapula, dan lengan atas. PPH
dan myotonic dystrophy dicetuskan oleh
aktivitas. PPH biasanya aktivitas yang
belebihan, sedangkan myotonic dystrophy pada awal aktivitas dan dapat disertai pseudohipertrofi. DMD dan BMD
merupakan penyakit kongenital dan
biasanya pada laki-laki disertai keterlambatan fungsi motorik sejak usia dini.
Pada keduanya ditemukan tanda Gowers
yaitu membutuhkan bantuan tangan
saat akan berdiri dari jongkok.
2. Seorang laki-laki usia 26 tahun datang
dengan kaku otot-otot tangan. Kekakuan
dirasakan terutama pada pagi hari. Kadang
siang hari juga muncul namun lama kelamaan menghilang. Tidak ada pemakaian obat-obat yang signifikan ataupun
penyakit lainnya. ada keluarga yang
memiliki keluhan yang serupa. Dari pemeriksaan fisik tidak ditemukan kelemahan,
hipertrofi, maupun atrofi, namun ada
relaksasi tangan yang melambat saat diminta melepas genggaman tangan. Dari
ilustrasi ini , Diagnosa banding yang
paling mungkin yaitu ;
a. LGMD tipe I
b. Miotonia
c. OPMD
d. Polimiositis
e. DMD
Jawaban yang paling tepat yaitu 8
(miotonia).
Miotonia yaitu penyakit yang berkaitan
dengan genetik, dapat berupa autosomal
dominan maupun resesif. Ditandai dengan kram atau kaku yang dicetuskan dengan aktivitas. Distribusinya tidak spesifik.
LGMD memiliki distribusi yang khas di
otot-otot antara tubuh dan ekstremitas
(skapula, pelvis). OPMD memiliki distribusi pada otot-otot okular dan faringeal. Polimiositis merupakan penyakit
otot inflamasi, dapat disertai inflamasi
sistemik. DMD merupakan penyakit kongenital dengan gejala klinis dapat diketahui
sejak masa pertumbuhan.
MIASTENIA GRAVIS
Miastenia gravis (MG) yaitu penyakit
autoimun yang ditandai dengan kelemahan
fluktuatif pada otot-otot ekstra okular; bulbar,
dan otot-otot proksimal. Kelemahan otot yang
terjadi akan memburuk saat beraktivitas
dan membaik setelah beristirahat. MG
disebabkan oleh adanya autoantibodi pada
membran pascasinaps pada taut saraf otot
(neuromuscular-junction). Autoantibodi yang
banyak ditemukan pada serum pasien MG
yaitu antibodi terhadap reseptor asetilkolin.
Saat ini diketahui antibodi lain yang ada
pada pasien MG, yakni muscle-specific kinase
(MuSK) dan low-density lipoprotein receptorrelated protein (LRP4). Walaupun mekanisme
timbulnya autoimun pada MG masih belum
diketahui secara pasti, diduga beberapa faktor
berperan dalam terjadinya reaksi autoimun
ini , yaitu jenis kelamin, hormon, dan
kelenjar timus yang abnormal pada hampir
80% penderita MG.
EPIDEMIOLOGI
MG termasuk penyakit yang jarang.
Insidensnya hanya sekitar 1, 7-21,3 per
1.000.000, dapat terjadi di semua usia dan
jenis kelamin. Dari beberapa penelitian
diketahui gambaran bimodal berdasar
jenis kelamin dan usia. Pada usia di bawah
atau sampai usia 50 tahun, lebih banyak
perempuan dengan rasio 7:3, sedangkan
pada usia di atas 50 tahun ditemukan lakilaki dengan rasio 3:2. revalensi paling
tinggi pada -perempuan usia 20-30 tahun,
sedangkan laki-laki pada usia 60 tahun.
Dengan semakin meningkatnya kemampuan
Diagnosa , terapi, dan umur harapan hidup,
prevalensi MG semakin meningkat, yaitu
15-179:1.000.000 dengan sekitar 10%-nya
yaitu usia anak-anak dan remaja. Risiko
ini akan meningkat sekitar 4,5% hila dalam
keluarga, saudara kandung, atau orang tua
memiliki riwayat menderita MG a tau penyakit autoimun lainnya.
ANATOMI DAN FISIOLOGI TAUT SARAF
OTOT
Akson sel neuron akan berakhir sebagai
akson terminal pada otot dan membentuk
motor end plate yang terdiri dari terminal
saraf a tau membran presinaps, celah sinaps,
dan membran pascasinaps. Pada membran
pascasinaps ada beberapa macam protein, yaitu: reseptor asetilkolin, RATL, MusK,
Agrin, MA3C, dan Rapsyn yang bekerja satu
sama lain melancarkaiLtransmisi sinyal ke
reseptor asetilkolin (Gambar 1).
Saat potensial aksi yang dihantar oleh saraf
motorik mencapai terminal saraf akan timbul
depolarisasi yang membuka kana! kalsium di
membran presinaps. Terbukanya kana! kalsium akan mencetuskan pelepasan asetilkolin
(acetylcholinj ACh) ke celah sinaps dan selanjutnya berikatan dengan reseptor asetilkolin
( acetylcholin receptor j AChR). di membran
pascasinaps. lkatan antara ACh dan AChR
akan memicu terbukanya gerbang
natrium pada sel otot, terjadi influks Na+. Influks Na• ini akan memicu terjadinya
depolarisasi pada membran pascasinaps.
Jika depolarisasi ini mencapai nilai ambang
tertentu (firing level), maka akan terjadi potensial aksi pada sel otot ini . Potensial
aksi ini akan dipropagasikan (dirambatkan)
ke segala arah sesuai dengan karakteristik
sel eksitabel dan akhirnya akan memicu kontraksi. ACh yang masih tertempel pada AChR kemudian dihidrolisis oleh enzim asetilkolinesterase (AChE) yang ada dalam
jumlah yang cukup banyak pada membran
pascasinaps. ACh akan dipecah menjadi kolin dan_asam laktat. Kolin kemudian masuk
ke dalam membran presinaps untuk membentuk A.Ch kembali. Proses hidrolisis ini
dilakukan untuk dapat mencegah terjadinya potensiaJ aksi tents menerus yang akan
memicu kontraksi terusmenems.
Keberhasilan transmisi impuls pada taut
saraf otot tergantung dari:
• Kepadatan reseptor asetilkolin pada
permukaan membran pascasinaps
• Aktivitas asetilkolinesterase
• Struktur dan jumlah lekukan pada
membran pascasinaps
Kelemahan otot yang terjadi pada MG disebabkan oleh proses autoimun pada taut
saraf otot. Faktor utama dan paling penting
dalam patofisiologi MG yaitu terbentuknya
autoantibodi terhadap reseptor asetilkolin
(AChR) pada membran pascasinaps. Tedapat
tiga proses yang memicu gagalnya kontraksi otot akibat proses autoantibodi ini
(Gambar 2).
AntibodLyang melekat pada AChR akan mengaktifkan kaskade ompJemen yang membentuk membrane attack compleks (MAC) yang kemudian menghancurkan AChR serta merusak
struktur.lipatan-lipatan membran pascasinaps,
sehingga mengurangi luas permukaannya.
Akibatnya asetilkolin yang dapat berikatan dengan AChR pada membran pascasinaps menjadi jauh lebih sedikit (Gam bar 2).
Antibodi yang berikatan pada dua AChR
akan mengaktifkan proses endositosis AChR,
Miastenia Gravis
sehingga terjadi degradasi AChR pada membran pascasinaps. Degradasi ini lebih cepat
daripada pembentukan AChR baru, sehingga
semakin menurunkan jumlah ACh yang berikatan dengan AChR.
Antibodi yang melekat pacta AChR akan
memblok ACh, sehingga tidak dapat berikatan dengan AChR. Kompetisi antara autoantibodi dan ACh untuk dapat berikatan dengan
AChR akan semakin menurunkan jumlah
ACh yang berikatan dengan AChR.
Pada 85% pasien MG dapat ditemukao antibodi terhadap resepto- asetilkolin ( antiAChRJ
dalam darah. Namun ternyata tidak hanya
reseptor asetilkolin yang dapat menjadi antigen target proses autoantibodi pada MG.
ada struktur protein lain pada permukaan membran pascasinaps yang dapat
menjadi target antigen, seperti pada Gambar 1. Perkembangan terbaru menunjukkan sebagian pasien MG yang tidak mempunyai antibodi terhadap reseptor asetilkolin
ternyata memiliki antibodi terhadap MuSK
atau antibodi LRP4 yang merupakan bagian
dari struktur protein agrin.
GEJALA DAN TANDA KLINIS
Pada MG, kelemahan dan kelelahan terjadi berfluktuasi, tergantung pada aktivitas
pasien, sehingga dapat berbeda-beda setiap
waktu. Kelemahan memberat setelah aktivitas fisik yang berat, kenaikan suhu tubuh,
dan lingkungan sekitar, serta akan berkurang
bahkan menghilang setelah istirahat. Pada
sekitar 70% penderita MG, gejala awal yang
dialami yaitu keluhan pada mata yangasimetris, yang mengenai otot-otot ekstraokular,
berupa turunnya kelopak atas (ptosis) dan
penglihatan ganda (diplopia). Dari seluruh
tipe okular, sekitar 50% berkembang menjadi tipe generalisata, yaitu kelemahan terjadi pada
otot-otot bulbar dan otot-otot proksimal, sedangkan sekitar 15% tetap sebagai tipe okula1~
Gejala klinis yang be rat sering ditemukan pada
tahun pertama sampai tahun ketiga, jarang
sekali ditemui perbaikan klinis yang sempurna
dan permanen.
Gejala klinis MG dapat berupa:
1. Gejala Okular
Ptosis dan diplopia yang asimetris merupakan gejala okular yang paling sering
ditemukan. Gejala okular akan menetap
pada 10-16% pasien MG dalam masa
3 tahun pertama dan menjadi sekitar
3-10% setelah 3 tahun. Bila gejala okular
menetap sampai lebih dari 3 tahun, maka
sekitar 84% tidak mengalami perubahan
menjadi tipe general ataupun bulbar.
2. Gejala Bulbar
a. Disfoni dan disartria yang muncul
setelah berbicara beberapa lama,
sering terjadi pad a onset pertama kali.
b. Disfagia (gangguan menelan) muncul
setelah penderita memakan mal<anan
padat. Penderita dapat mengalami kesulitan menggerakan rahang bawah saat
mengunyah makanan, sehingga harus
dibantu oleh tangan (tripod position).
c. Kelumpuhan otot-otot wajah sering tidak disadari oleh penderita, baru diketahui setelah orang lain melihat menurunnya ekspresi wajah atau senyumannya
tampak datar (myasthenic snarl).
3. Leber dan Ekstremitas
MAC
a. Leher terasa kaku, nyeri, dan sulit
untuk menegakkan kepala (dropped
head) akibat kelemahan pada otototot ekstensor leher.
b. Pada ekstremitas, kelemahan lebih
sering terjadi pada ektremitas atas
dan mengenai otot-otot proksimal
(deltoid dan triseps ). Pad a keadaan
yang berat, kelemahan dapat terjadi
juga pada otot-otot distal.
4. Gangguan Pernapasan, sering terjadi
pada MG tipe general. Penderita merasakan kesulitan menarik napas akibat
kelemahan otot-otot bulbar an pernapasan.
Klasifikasi MG sangat penting untuk keberhasilan PENGOBATAN dan terapi. ada
beberapa klasifikasi MG yang banyak diguMiastenia Gravis
nakan, pada umumnya dibagi berdasar
gejala klinis, otot yang terkena, usia saat onset, abnormalitas dari timus, dawjenis antibodi yang ditemukan (Tabell).
Pembagian subtipe lain yang lebih lengkap
berdasar epidemiologi, imunologi, genetik, kelainan pada timus, serta respons terhadap imunoterapi telah banyak di gunakan
untuk penelitian dan praktik klinis (Tabel 2).
ada juga klasifikasi oleh Task Force of the
Medical Scientific Advisory Board of the Myasthenia Gravis Foundation of America (Tabel 3)
berdasar manifestasi klinis dan derajat
kelemahan motorik yang sering dipakai untuk evaluasi pasien dalam praktik sehari hari.
Penilaian derajat gejala klinis sangat penting dilakukan saat melakukan pemeriksaan
fisik pasien MG dan memberikan skala yang
terukur (Tabel 4).
Diagnosa DAN Diagnosa BANDING
Diagnosa MG ditegakkan berdasar anamnesis, pemeriksaan neurologis, elektrodiagnostik, serologi unh1k antibodi AChR dan MuSK,
serta CT scan torak untuk melihat adanya
timoma.
1. Anamnesis
Adanya kelemahanjkelumpuhan otot
yang berulang setelah aktivitas dan
membaik setelah istirahat. Tersering menyerang otot-otot mata (dengan manifestasi diplopia tau ptosis), dapat disertai
kelumpuhan anggota badan Cterutama
Miastenia Gravis
otot deltoid, triseps, dan ekstensor jarijari), kelemahanjkelumpuhan otot-otot
yang dipersarafi oleh nervus kranialis.
2. Pemeriksaan Fisik; dilakukan pemeriksaan fisik umum dan neurologis secara menyeluruh untuk menilai kekuatan
motorik dan derajat kelemahan otot-otot
yang terkena (Tabel4 dan Tabel 5).
3. Tes Klinis Sederhana
a. Tes Wartenberg: penderita diminta
untuk melihat ke atas bidang datar dengan sudut kurang lebih 30 derajat selama 60 detik, positifbilaterjadi ptosis.
b. Tes hitung, penderita diminta untuk
menghitung 1-100, positif bila suara
menjadi sengau (suara nasal) atau suara menghilang.
c. Ice pack eye test; celah antara kedua
kelopak mata yang mengalami ptosis
akan diukur terlebih dahulu kemudian
dengan es yang terbalut kain akan ditempelkan ke kelopak mata penderita.
Celah antara keduakelopak mata yang
bertambah Iebar setelah penempelan
es selama 2 menit dianggap positif.
4. Uji Tensilon, bermanfaat untuk konfirmasi Diagnosa dan respons terhadap
pengobatan. Hasil positif bila ditemukan
perbaikan gejala kelemahan motorik secara cepat, namun dalam waktu singkat.
Apabila pemeriksaan ini tidak tersedia,
pemberian obat penghambat AChE oral
seperti piridostigmin dapat diberikan,
namun perbaikan gejala lebfh lambat,
baru terlihat setelah 1-2 jam.
5. Uji rostigmin (Neostigmin), pada tes
ini disuntikkan 1,5mg atau 3cc prostigmin metilsulfat secara intramuskular
(diberikan pula atropin O,Bmg bila perllb). Jika kelemahan itu benar disebabkan oleh MG, maka gejala-gejala seperti
ptosis, strabismus, atau kelemahan lain
tidak lama kemudian akan lenyap.
6. Serologi
a. Antibodi reseptor anti-asetilkolin,
postitif pada 70-95% penderita MG
generalisata dan 50-75% penderita
miastenia okular murni. Pada pasien
timoma tanpa MG sering kali terjadi
false positive antibodi antiAChR.
b. Anti-Muscle-specific Kinase (MuSK)
antibodies, hampir 50% penderita
MG yang menunjukkan hasil antiAChR
Ab egatif (MG seronegatif), menunjukkan basil yang positif untuk antiMuSKAb.
7. Elektrodiagnostik
a. Repetitive nerve stimulation (RNS),
untuk mendeplesi vesikel ACh sehingga terjadi penurunan compound motor action potential
(CMAP) progresif dan menilai adanya blok Hasil yang diharapkan
pada penderita MG yaitu penurunan minimal lebih dari 10%.
Nilai sensitivitas dan spesifisitas
bervariasi bergantung dari teknik
peme-riksaan.
b. Single fiber electromyography
(SFEMG); mencatat instabilitas
sebelum adanya blok
neuromuskular. SFEMG memiliki
nilai spesifisitas yang sangat
tinggi, namun sensitivitasnya tidak
mencapai 100%.
8. Radiologi, pemeriksaan CT scan,
atau MRI torak dilakukan untuk melihat ada atau tidaknyatimoma.
Diagnosa Banding
Beberapa Diagnosa banding untuk menegakkan Diagnosa MG antara lain:
1. Adanya ptosis atau strabismus dapat
juga disebabkan oleh lesi nervus III pada
beberapa penyakit selain MG, an tara lain:
a. Meningitis basalis (tuberkulosis atau
luetika)
b. Infiltrasi karsinoma anaplastik dari
nasofaring
c. Aneurisma di sirkulus arteriosus Willisi
d. Paralisis pascadifteri
e. Pseudoptosis pada trakoma
2. Apabila ada suatu diplopia yang
transient maka kemungkinan adanya
suatu sklerosis multipleks.
3. Sindrom Lambert-Eaton (Lambert-Eaton
Mya·sthenic Syndrome)
Penyakit ini dikarakteristikkan dengan
adanya kelemahan dan kelelahan pada
otot anggota tubuh bagian proksimal
dan disertai dengan kelemahan relatif
pada otot-otot ekstraokular dan bulbar.
Pada LEMS, terjadi peningkatan tenaga
pada detik-detik awal suatu kontraksi
volunter, terjadi hiporefleksia, mulut
kering, dan sering kali dihubungkan dengan suatu karsinoma terutama oat cell
carcinoma pada paru.
PENGOBATAN
Tujuan PENGOBATAN yaitu untuk mengendalikan gejala (simtomatik), me_ncegah progresifisitas, dan mencegah komplikasi. Terapi farmakologi mencakup (Tabel6):
1. Acethylcholinesterase Inhibitor (Penghambat AChE)
Penghambat AChE memperlambat degradasi asetilkolin yang memungkinkan
berada pada taut saraf otot lebih lama.
Dapat diberikan pirjdostigmin bromida
(Mestinon®) 30-120mg/ 3-4 jamjoral.
Umumnya regimen ini diberikan pada
awal penyakit dan penatalaksanaan MG
ringan (MG klas IIA dan liB).
Efek samping pemberian antikolinesterase disebabkanoleh stimulasi parasimpatis, termasuk konstriksi pupil, kolik, diare,
salivasi berlebihan, berkeringat, lakrimasi, dan sekresi bronkial berlebihan. Efek
Miastenia Gravis
sam ping gastrointestinal ( efek sam ping
muskarinik) berupa kram atau diare.
2. Kortikosteroid
Prednison dimulai dengan dosis awal
10-20mg, dinaikkan bertahap (5-lOmg/
minggu) lx sehari selang sehari, maksimal 120mg/6 jamjoral, kemudian diturunkan sampai dosis minimal efektif.
3. Azatioprin
Merupakan suatu obat imunosupresif,
dosis 2-3mgj kg88 j harijoral selama 8
minggu pertama. Setiap minggu harus
dilakukan pemeriksaan darah lengkap
dan fungsi hati. Sesudah itu pemeriksaan laboratorium dikerjakan setiap bulan sekali. Direkomendasikan pemberian
prednisolon bersama-sama dengan azatioprin.
4. Plasma Exchange
Bertujuan untuk menghilangkan antibodi reseptor dari sirkulasi, sering dipakai pada krisis miastenia dan sebelum dilakukan operasi timektomi
5. Intravenous Immunoglobulin (IVIG)
Oasis 400mg/ KgBB/ hari selama 5 hari
berturut-turut.
6. Timektomi
Pengangkatan kelenjar timus dapat
mengurangi gejala pada 70% penderita
dengan timoma atau displasia kelenjar
tim us. Manfaat pembedahan pad a MG seronegatif, MG nontimoma yang terbatas
okular, MG seronegatif dengan antiboai
MuSK positif sangat. minimal sehingga
tidak direkmnendasikan.
CONTOH KASUS
Seorang laki-laki berusia 43 tahun datang
dengan keluhan kesulitan menelan dan
mengunyah yang hilang timbul sejak 3 bulan yang lalu. Pasien merasa bila pagi hari
sehabis bangun tidur gejala-gejala ini
berkurang, namun bila siang dan sore pasien
harus hati-hati menelan makanan atau
minuman karena sering tersedak. Pasien
juga merasa Ielah bila mengunyah makanan
yang konsistensinya padat, bahkan hingga
sulit menutup rahang bawah akibat kelemahan. Dalam 1 bulan ini kelemahan bertambah menjadi kesulitan untuk membuka
kelopak mata dan pandangan ganda bila kecapaian atau saat siang hingga malam hari
yang membaik dengan beristirahat. Pasien
tidak merasakan kelemahan pada otot-otot
ekstremitasnya dan tidak merasakan sesak
napas. Tidak dirasa juga adanya penurunan
berat badan dan tidak ada riwayat keganasan. Pada pemeriksaan fisik didapatkan oftalmoplegia, ptosis bilateral, disfagia,
Miastenia Gravis
disfonia, dan jaw dFop. Pemeriksaan tes
repetitive nerve stimulation menunjukan
penurunan amplituda CMAP >10% pada
stimulasi di otot orbikularis okuli dengan
frekuensi stimulasi 3Hz (Gambar 3).
Pasien diDiagnosa sebagai miastenia gravis
late onsetdengan kategori MGFA derajat II!b,
karena kelemahan yang timbullebih banyak
melibatkan otot-otot bulbar dibandingkan
ekstremitas. Pasien menjalani pemeriksaan
CT toraks untuk menyingkirkan kemungkinan timoma. Hasil CT scan tidak menunjukkan adanya timoma, hiperplasia timus,
maupun masa mediastinum lainnya. Pasien
diberikan pengobatan simptomatik berupa piridostigmin dengan dosis 2x60mg.
Imunosupresan steroid dimulai pada awal
terapi disertai steroid sparring effect immunosuppressant (SSE!) lainnya, karena efek
terapi go Iongan SSE! ini memerlukan jangka
waktu lama hingga diharapkan efek terapinya sudah muncul pada saat dosis steroid
diturunkan
MOTOR NEURON DISEASE
Motor neuron diseases (MND) yaitu penyakit yang disebabkan oleh degenerasi badan
sel neuron motorik. Salah satu tipe MND yang
paling sering terjadi yaitu amyotrophic
lateral sclerosis (ALS), sehingga istilah MND
dan ALS sering kali dipakai jika membicarakan penyakit ini. Sampai saat ini MND
termasuk dalam penyakit yang bel urn dapat
disembuhkan dan mempunyai prognosis
buruk. Belum ditemukan suatu pengobatan
yang bersifat kuratif hingga saat ini.
EPIDEMIOLOGI
MND relatif sangat jarang terjadi namun insidens MND di Inggris semakin meningkat
sejak tahun 1998 hingga 2011 yaitu sekitar
1,76-4,3 per 100.000 penduduk. Mortalitas
akibat MND di Inggris sekitar 1 tiap 350-450
penduduk. Demikian juga halnya di Australia,
insidens dan mortalitas akibat MND semakin
meningkat. Pada tahun 2001 didapatkan 592
pasien meninggal dan 787 pasien meninggal
pada tahun 2013 akibat MND. Angka di
Indonesia sendiri sampai saat ini belum ada.
Di antara negara-negara Asia, insidens MND
di Jepang tercatat sangat tinggi yaitu sekitar
11,3 per 100.000 penduduk, sedangkan di
negara Asia lainnya seperti Cina dan Iran
sekitar 1-3 per 100.000 penduduk. PATOFISIOLOGI
berdasar anatomi dan fisiologi, ada
dua motor neuron yaitu lower motor neuron
(LMN) dan upper motor neuron (UMN). LMN
terletak di kornu anterior medula spinalis
dan di batang otak (nukleus motorik saraf
kranialis) serta menginervasi otot-otot secara langsung. UMN terletak di korteks motorik dan memberikan jaras ke kortikospinal
dan kortikobulbar (Gambar 1).
MND dapat bersifat didapat (acquired) atau
diturunkan (herediter). Neuron motorik
mengalami apoptosis sehingga terjadi degenerasi akson nervus motorik dan pada
akhirnya taut saraf-otot juga ikut mengalami
kerusakan (lihat bab Neuropati, Gambar 1
mengenai Neuronopati). Serabut-serabut
otot yang dipersarafi oleh akson yang berdegenerasi akan mengalami atrofi.
Apoptosis di atas terjadi diperkirakan paling
mungkin karena faktor genetik. Hal ini diperkuat dengan laporan-laporan ilmiah tentang
riwayat keluarga pada penderita yang bersifat
autosomal dominan. Faktor lain yang mungkin
memicu adanya apoptosis yaitu defisit
primer transpor akson. Lambatnya transpor
akson memicu pembengkakan akson
kemudian berujung pada atrofi akson. Selain
dua teori di atas, banyak teori yang diperkirakan berkaitan dengan apoptosis neuron
motorik, yaitu metabolisme karbohidrat
yang abnormal, neoplasma, deposisi kompleks imun, defek DNA repair enzyme, dan
lain-lain.
Secara elektrofisiologi, masing-masing serabut otot akan menunjukkan fibrilasi dan
gelombang positif (positive waves) akibat
tidak stabilnya membran otot. Jika serabut-
serabut otot ini berkontraksi secara
bersamaan, maka motor unit yang terkait
akan mengalami fasikulasi. Pada MND yang
didapat (acquired), akson saraf motorik
terkait akan memeberikan reinervasi terhadap serabut otot sehingga pada gambaran
pemeriksaan elektromiografi (EMG) akan
terlihat gambaran reinervasi.
Pada ALS yang bersifat familial, beberapa gen
ternyata berhubungan denganALS, khususnya
gen superoxide dismutase 1 (SOD1 ), TAR DNAbinding protein 43 (TARDBP), dan fused in
sarcoma (FUS).
GEJALA DAN TANDA KLINIS
Gejala klinis ALS meliputi gejala UMN dan
LMN, namun pada sebagian besar kasus
dapat menunjukkan hanya gejala LMN. Tidak
ada gejala atau gangguan sensorik pada ALS,
karena murni hanya mengenai nukleus motorik.
Gejala klinis LMN pada ALS:
• Kelemahan dan atrofi otot-otot ekstremitas bagian distal yang asimetri
• Fasikulasi
• Flaksid atau tonus otot dapat normal
• Penurunan refleks fisiologis
Gejala klinis UMN pada ALS:
• Atrofi tidak terlalu jelas terlihat
• Spastis
• Peningkatan refleks fisiologis pada otot
yang mengalami atrofi
• ada refleks patologis (refleks
Babinski, refleks Hoffmann Tromner)
Sindrom klinis MND beserta gejala klinisnya
dapat dilihat pada Tabel1.
Pacta saat awitan, biasanya kelemahan dan
atrofi otot hanya mengenai sekelompok otot
tertentu. Dapat dimulai dari otot ekstremitas,
bulbar, dan otot pernapasan. Kelemahan otot
ekstremitas bagian distal yaitu bentukyang
paling sering dijumpai. Kelemahan bersifat
asimetris, pasien dapat menunjukkan gejala
seperti drop foot, atrofi otot instrinsik tangan,
gangguan menulis, atau gerakan membuka
botol. Pacta pemeriksaan fisik, sering sekali
dijumpai atrofi yang jelas pacta otot tibialis
anterior.
Pada bentuk bulbar, gejala yang paling
sering dialami saat awitan yaitu gangguan
berbicara (pelo, slurred). Pada pemeriksaan
fisik tampak jelas lidah mengalami fasikulasi dan atrofi (Gambar 2). Disfagia dan
kelemahan otot pernapasan biasanya muncul belakangan.
Diagnosa DAN Diagnosa BANDING
Diagnosa
ALS ditegakkan murni secara klinis berdasar anamnesis dan pemeriksaan fisik
Pemeriksaan penunjang dilakukan untuk
menyingkirkan penyakit lainnya yang dapat
disebabkan kelainan struktural.
Tanda klinis yang khas yaitu pasien dengan
tanda klinis atrofi beberapa kelompok otot di
beberapa bagian tubuh, fasikulasi di otot-otot
rangka dan lidah, peningkatan refleks fisiologis, dan perjalanan penyakit berjalan secara
progresif. Pemeriksaan pencitraan dilakukan
untuk menyingkirkan adanya kelainan struktural lain yang dapat menerangkan manifestasi klinis pasien. Pada pasien yang dicurigaiALS, sangatpenting dilakukan pemeriksaan
elektrofisiologi [kecepatan hantar saraf (KHS)
dan elektromiografi (EM G)] untuk membantu
menegakkan Diagnosa . Pemeriksaan EMG
dapat mengkonfirmasi adanya kelainan LMN
pada pasien dengan klinis UMN.
Pasien yang memenuhi kriteria revised
El Escorial sebaiknya segera dilakukan
pemeriksaan KHS dan EMG. Kriteria revised El Escorial yaitu sebuah panduan
untuk membantu menegakkan Diagnosa
ALS (Tabel 2).
Diagnosa Banding
Penyakit gangguan motor neuron (motor
neuron disorder) yang sering terjadi dan
mirip dengan MND antara lain:
• Multifocal motor neuropathy
• Spinal muscular atrophy
• Spinal bulbar muscular atrophyjpenyakit
Kennedy
• Poliomielitis
• Wes Nile virus
• Paraneoplastic motor neuron disease
PENGOBATAN
PENGOBATAN hanya bersifat simtomatik dan
bukan bersifat kuratif. Riluzole yaitu suatu
agen penghambat glutamat yang terbukti
dapat memperpanjang angka harapan hidup
pasien ALS. pemakaian Riluzole telah disetujui di Amerika Serikat, Eropa dan Australia. pemakaian Riluzole 100mgjhari dapat
memperpanjang survival sekitar 15 bulan.
Namun sayangnya Riluzole sampai saat ini
belum tersedia di Indonesia.
pemakaian antioksidan seperti vitamin
C dan vitamin E banyak dipakai pada
pasien ALS. Namun efektivitas pemakaian
antioksidan ini pada ALS belum terbukti.
Terapi exercisejlatihan direkomendasikan
agar dapat mempertahankan tonus otot.
Pasien ALS dapat mengalami nyeri dan
spastis. Obat antiinflamasi nonsteroid dan
golongan opioid dapat dipakai untuk
mengatasi nyeri. Sedangkan spastisitas