neurologi 37

 















sebabkan oleh trauma, 

misalnya jatuh atau komplikasi pascaoperasi. 

8. Amiotrofi Diabetik 

Amiotrofi diabetik dikenal juga dengan 

nama neuropati diabetik proksimal, 

sindrom Bruns-Garland, mononeuritis multipleks diabetik, poliradikulopati 

diabetik, atau neuropati radikulopleksus lumbosakral diabetik Kelainan ini 

biasanya mengenai pleksus dan radiks 

lumbal. Patofisiologinya berupa vaskulitis yang akhirnya memicu iskemia, 

dapat terjadi pada penyandang diabetes 

(umumnya tipe II) lama. Manifestasinya 

berupa nyeri dalam yang berat di pelvis 

atau proksimal tungkai atas yang berlangsung selama beberapa minggu ( sekitar 6 

minggu). Saat nyeri mereda perlahan tampak kelemahan yang signifikan.  

Amiotrofi diabetik biasanya melibatkan N. 

Femoralis dan N. Obturator, serta N. Peroneal. Pada banyak kasus amiotrofi ini terjadi 

unilateral bersamaan dengan penurunan 

berat badan. Sisi kontralateral dapat terkena 

setelah beberapa minggu atau bulan sejak 

gejala awal. Pemulihan seringkali baik, 

namun  berjalan lama dalam hitungan beberapa bulan hingga 1-2 tahun. 

9. Pleksopati Radiasi 

Terjadi akibat paparan radiasi yang didapat bertahun-tahun sebelumnya. Kelainan ini bersifat progresiflambat, disertai 

nyeri minimal. Temuan karakteristik pada 

pemeriksaan elektromiografi (EMG) yaitu  

fasikulasi dan miokimia. Miokimia tidak 

didapatkan pada pleksopati akibat invasi 

langsung. 

10.Pleksitis Lumbosakral Idiopatik 

Patologi yang mendasari belum sepenuhnya diketahui, diperkirakan berupa inflamasi yang terjadi beberapa minggu 

setelah kejadian imunologis yang memicu, misalnya infeksi saluran nafas atas 

atau- imunisasi. Manifestasi klinisnya 

berupa nyeri dalam yang berat di pelvis 

atau tungkai atas selama 1-2 minggu 

hingga berbulan-bulan, lalu defisit neurologis timbul setelah nyeri mereda. 

Perjalanan penyakit ini monofasik namun  

dapat juga menjadi progresif. Tata laksananya berupa pemberian steroid atau 

agen imunosupresan. 

11.Vaskulitis 

Manifestasi klinisnya berupa nyeri hebat, 

kelemahan, dan defisit sensorik yang 

melibatkan satu atau lebih regia ekstremitas bawah. Pemeriksaan penunjang 

yang mendukung berupa laju endap  

darah, antibodi antinuklear, faktor reumatoid, kadar komplemen, antibodi sitoplasmik antineutrofil, hitung eosinofil, 

dan biopsi saraf. Biopsi saraf menunjukkan inflamasi transmural, nekrosis dinding 

vaskular, dan degenerasi akson. 

12.Infeksi atau Parainfeksi 

Infeksi langsung atau secara tidak langsung melalui mekanisme autoimun 

dapat memicu pleksopati lumbosakral. ada kasus pleksopati lumbosakral setelah infeksi Epstein-Barr 

virus (EBV) klinis disertai bukti serologis 

dengan peningkatan limfosit dan protein 

pada cairan serebrospinal. Infeksi lainnya yaitu  infeksi Lyme, Borellia burgdorferi, West Nile, dan herpes zoster. 

13. Terkait Heroin 

Patofisiologi yang mendasarinya kemungkinan yaitu  efek toksik langsung 

heroin yang memicu pleksopati 

lumbosakral dan brakialis. Onset gejala 

terjadi sekitar 36 jam setelah injeksi 

heroin dengan gejala nyeri he bat disertai 

kelemahan atau defisit sensorik ringan. 

Nyeri mereda dalam beberapa minggu 

dengan onset pemulihan defisit motorik 

yang lebih lama. 

Pleksopati 

PATOFISIOLOGI 

Mekanisme yang memicu pleksopati 

cukup beragam, terdiri dari: 1) proses regangan (stretch), 2) laserasi, dan 3) kompresi. Setiap trauma yang meningkatkan 

jarak antara titik yang relatif terfiksasi pada 

fasia prevertebral dengan pertengahan 

lengan atas atau ekstremitas bawah akan 

memicu traksi. Traksi yang melebihi 

kapasitas regangan saraf yang dikontribusi 

oleh jaringan kolagen pada selubung saraf 

memicu cedera regangan dan bahkan memicu hilangnya kontinuitas 

total pada saraf (avulsi). Traksi juga dapat 

memicu iskemia pada jaringan saraf. 

Laserasi atau robekan saraf ini dapat terjadi misalnya pada kasus trauma benda 

tajam. Pada kompresi terjadi gangguan 

fungsional akibat kompresi mekanik pada 

saraf dan iskemia. Kompresi yang berat 

dapat memicu hematom intraneural, dan kemudian akan menjepit jaringan 

saraf sekitarnya. 

Derajat Kerusakan 

Derajat kerusakan pada lesi saraf perifer 

dapat dibagi berdasar  klasifikasi Sheddon (1943) dan Sunderland (1951).  

Klasifikasi Sheddon yaitu  sebagai berikut: 

1. Neuropraksia 

Pada tipe ini terjadi kerusakan mielin, 

namun akson tetap intak. Dengan adanya 

kerusakan mielin dapat memicu 

hambatan konduksi saraf. Pada tipe 

cedera seperti ini tidak terjadi kerusakan 

struktur terminal, sehingga proses penyembuhan lebih cepat dan merupakan 

derajat kerusakan paling ringan. 

2. Aksonotmesis 

Terjadi kerusakan akson namun semua 

struktur selubung saraf termasuk endoneural masih tetap intak Terjadi degenerasi aksonal segmen saraf distal dari 

lesi (degenerasi Wallerian). Regenerasi 

saraf tergantung dari jarak lesi mencapai serabut otot yang denervasi ini . 

Pemulihan sensorik cukup baik bila 

dibandingkan motorik  

3. Neurotmesis 

Merupakan derajat kerusakan paling 

berat, berupa ruptur saraf yang memicu proses pemulihan sangat sulit 

terjadi meskipun dengan penanganan 

bedah. Dibutuhkan waktu yang lama dan 

biasanya pemulihan yang terjadi tidak 

sempurna. 

Klasifikasi Sunderland lebih merinci kerusakan saraf yang terjadi dan membaginya 

dalam 5 tingkat (Tabell dan Gambar 7). 

Pleksopati diabetik diperkirakan akibat 

mikrovaskulitis inflamasi yang memicu cedera saraf iskemik Pada biopsi saraf 

tampak tanda vaskulitis, inflamasi, nekrosis vaskular, serta infiltrasi limfosit B dan 

T, makrofag, sel polimorfonuklear, dan deposisi komplemen, hilangnya serabut saraf fokal 

dan multifikal, serta penebalan perineural  

dan neovaskularisasi perineural. Diabetes 

memicu abnormalitas sawar darahsaraf, sehingga rentan terjadi vaskulitis. Deposisi kompleks imun akan semakin merusak 

sawar darah saraf ini  dan meningkatkan vaskulitis, sehingga terjadi oklusi pembuluh darah epineural dan perineural dengan 

hasil akhir iskemia dan infark 

Terjadinya pleksopati radiasi tergantung 

pada dosis total, dosis fraksi, teknik radiasi, 

kemoterapi yang menyertai radiasi, dan 

pemakaian  brakiterapi intrakavitas. Radiasi 

dapat memicu defisiensi mikrosirkulasi yang memicu iskemia lokal dan fibrosis jaringan lunak, serta perubahan pada 

sel Schwann, fibroblas endoneural, sel dinding pembuluh darah, dan sel perineural. 

GEJALA DAN TAN,DA KLINIS 

Gejala yang timbul umumnya unilateral 

berupa kelainan motorik, sensorik dan autonom pada ekstremitas. Gambaran klinis 

yang ditemukan dapat menunjukkan letak 

dan keparahan lesi. 

Pleksopati Brakialis 

Lesi pleksus brakialis dapat mengenai mulai 

dari otot bahu sampai tangan, atau hanya sebagian, yang dibagi atas pleksopati supraklavikular dan pleksopati infraklavikular. 

1. Pleksopati Supraklavikular 

Pada pleksopati supraklavikular lesi terjadi di tingkat radiks atau trunkus saraf, 

atau kombinasinya. Lesi ditingkat ini 

dua hingga tujuh kali lebih sering terjadi 

dibanding lesi infraklavikular. Pleksopati 

supraklavikular sering disebabkan oleh 

karena trauma, yaitu terjadi fleksi dari 

leher terhadap bahu, sehingga radiks 

mengalami tarikan antara leher dan  

Pleksopati 

Erb's point. Jenis lesi ini memberikan 

gambaran yang khas disebut deformitas 

waiters yang ditandai dengan kelemahan 

pada otot-otot rotatoar bahu, otot-otot 

fleksor lengan, dan otot-otot ekstensor 

tangan. 

a. Lesi tingkat radiks 

Pada lesi pleksus brakialis ini berkaitan dengan avulsi radiks. Gambaran 

klinis sesuai dengan dermatom dan 

miotomnya. Lesi di tingkat ini dapat 

terjadi paralisis parsial dan hilangnya 

sensorik inkomplit, karena otot-otot 

tangan dan lengan biasanya dipersarafi oleh beberapa radiks. 

b. Sindroni Erb-Duchenne 

Lesi di radiks servikal atas (CS dan C6) 

atau trunkus superior dan biasanya 

terjadi akibat trauma. Pada bayi terjadi 

karena penarikan kepala saat proses 

kelahiran dengan penyulit distonia 

bahu, sedangkan pada orang dewasa 

terjadi karena jatuh pada bahu dengan 

kepala terlampau menekuk ke sam ping. 

Presentasi klinis pasien berupa waiter's 

tip position, yaitu lengan berada dalam 

posisi aduksi (kelemahan otot deltoid 

dan supraspinatus), rotasi internal pada 

bahu (kelemahan otot teres minor dan 

infraspinatus), pronasi (kelemahan 

otot supinator dan brakioradialis ), dan 

pergelangan tangan fleksi (kelemahan 

otot ekstensor karpi radialis longus 

dan brevis). Selain itu ada pula 

kelemahan pada otot biseps brakialis, 

brakialis, pektoralis mayor; subskapularis, romboid, levator skapula, dan 

teres mayor. Refleks biseps biasanya 

menghilang, sedangkan hipestesi ter 

jadi pada bagian luar Oateral) dari lengan atas dan tangan. 

c. Sindrom paralisis Klumpke 

Lesi di radiks servikal bawah (C8, Tl) 

atau trunkus inferior akibat penarikan 

bahu, sehingga terjadi tarikan pada 

bahu. Keadaan ini sering terjadi pada 

bayi saat dalam proses kelahiran atau 

pada orang dewasa yang akan terjatuh 

dan berpegangan pada pada llengan. 

Presentasi klinis berupa kelemahan 

pada otot-otot di lengan bawah, otototot tangan yang khas disebut dengan 

deformitas clawhand, sedangkan fungsi 

otot gelang bahu baik Selain itu juga 

ada kelumpuhan pada otot fleksor karpi ulnaris, fleksor digitorum, 

interosei, tenar, dan hipotenar sehingga 

tangan terlihat atrofi. Disabilitas motorik sama dengan kombinasi lesi N. 

Medianus dan N. Ulnaris. Kelainan 

sensorik berupa hipestesi pada bagian 

dalam atau sisi ulnar dari lengan dan 

tangan. 

d. Lesi di trunkus superior 

Gejala klinisnya sama dengan sindrom 

Erb di tingkat radiks dan sulit dibedakan. Namun pada lesi di trunkus superior tidak didapatkan kelumpuhan 

otot romboid, seratus anterior, levator skapula, dan saraf supraspinatus 

serta infraspinatus. ada gangguan sensorik di lateral deltoid, aspek 

laterallengan atas, dan lengan bawah, 

hingga ibu jari tangan. 

e. Lesi di trunkus media 

Sangat jarang terjadi dan biasanya 

melibatkan daerah pleksus lainnya 

(trunkus superior danjo.tau trunkus  

inferior). Gejala klinis berupa kelemahan otot triseps dan otot-otot yang dipersarafi N. Radialis (ekstensor tangao), serta kelainan sensorik biasanya 

terjadi pada dorsallengan dan tangan. 

f. Lesi di trunkus inferior 

Gejala klinisnya yang hampir sama 

dengan sindrom Klumpke di tingkat 

radiks. ada kelemahan pada otototot tangan dan jari-jari terutama untuk 

gerakan fleksi, serta kelemahan otototot spinal intrinsik tangan. Gangguan 

sensorik terjadi pada aspek medial 

dari lengan dan tangan. 

2. Lesi Pan-supraklavikular (radiks CST1 atau semua trunkus) 

Pada lesi ini terjadi kelemahan seluruh 

otot ekstremitas atas, defisit sensorik 

yang jelas pada seluruh ekstremitas atas, 

dan mungkin ada nyeri. Otot romboid, seratus anterior, dan otot-otot spinal mungkin tidak lemah tergantung dari 

letak lesi proksimal (radiks) atau lebih 

ke distal (trunkus). 

3. Pleksopati Infraklavikular 

Terjadi lesi di tingkat fasikulus dan/ 

atau saraf terminal. Lesi ini jarang terjadi dibanding supraklavikular, namun 

umumnya mempunyai prognosis lebih 

baik pemicu  utama pleksopati infraklavikular biasanya yaitu  trauma tertutup (kecelakaan lalu lintasjsepeda motor) 

maupun terbuka Ouka tembak). Mayoritas disertai oleh kerusakan struktur 

didekatnya ( dislokasi kaput humerus, 

fraktur klavikula, skapula, atau humerus). 

Gambaran klinis sesuai denganletaklesi, 

yaitu:  

a. Lesi di fasikulus lateral 

Dapat terjadi akibat dislokasi tulang 

humerus. Lesi disini akan mengenai daerah yang dipersarafi oleh N. 

Muskulokutaneus dan sebagian dari 

N. Medianus. Gejala klinisnya yaitu 

kelemahan otot fleksor lengan bawah 

dan pronator lengan bawah, sedangkan otot-otot intrinsik tangan tidak 

terkena. Kelainan sensorik terjadi di laterallengan bawah dan jari tangan 1-111. 

b. Lesi di fasikulus medial 

Disebabkan oleh dislokasi bursa subkorakoid dari humerus. Kelemahan 

c; · gejala sensorik terjadi di daerah 

motorik dan sensorik N. Ulnaris. Lesi 

disini akan mengenai seluruh fungsi 

otot intrinsik tangan, seperti fleksor, 

ekstensor, abduktor jari-jari tangan, 

dan fleksor ulnar pergelangan tangan. 

Secara keseluruhan kelainannya 

hampir menyerupai lesi di trunkus 

inferior. Kelainan sensorikterasa pada 

lengan atas dan bawah medial, tangan, 

dan 2 jari tangan bagian medial. 

c. Lesi di fasikulus posterior 

Lesi ini jarang terjadi, gejala klinis 

berupa kelemahan dan defisit sensorik di area inervasi N. Radialis. Otot 

deltoid (abduksi dan fleksi bahu), 

otot-otot ekstensor lengan, tangan, dan 

jari-jari tangan mengalami kelemahan. 

Defisit sensorik terjadi pada daerah 

posterior dan lateral deltoid, aspek 

dorsal lengan, tangan, dan jari-jari 

tangan. 

Pleksopati Lumbosakral 

Nyeri merupakan manifestasi yang paling  

Pleksopati 

umum ditemukan pada pleksopati lumbosakral dan merupakan keluhan yang paling 

sering mengganggu. Nyeri dapat terlokalisir 

di daerah panggul, bokong, dan paha proksimal dengan penjalaran ke daerah tungkai. 

Pada pemeriksaan fisik beberapa gerakan 

dapat menimbulkan nyeri. Straight leg test 

atau tes Laseque dapat menimbulkan nyeri 

pada pleksopati sakral, sementara reversed 

straight leg test dapat menimbulkan nyeri 

pada pleksopati lumbal. Berbeda dengan 

lesi radiks, nyeri pada pleksopati tidak bertambah dengan batuk atau mengedan. Nyeri 

pinggang dapat muncul namun minimal. 

Manifestasi klinis pleksopati lumbosakral 

tergantung dari struktur yang terkena dan 

secara umum dibagi menjadi: 

1. Pleksopati Lumbal 

Pleksopati lumbal memicu defisit 

neurologis pada teritori N. Iliohipogastrik, N. Genitofemoral, N. Ilionguinal, N. 

Femoral, dan N. Obturator. Gambaran 

klinis berupa kelemahan pada fleksi panggul, ekstensi lutut, dan aduksi tungkai atas. 

Gangguan sensorik dapat terjadi di abdomen bagian bawah, inguinal, tungkai atas 

sisi medial, lateral, dan anterior serta 

tungkai bawah sisi medial. Refleks patela 

menurun atau menghilang. 

2. Pleksopati Sakral 

Pada pleksopati sakral tampak defisit 

neurologis pada teritori N. Gluteus, N. 

Skiatik, N. Tibial, dan N. Peroneus sehingga ada defisit motorik pada ekstensor panggul, abduktor panggul, fleksor 

lutut, fleksor plantar kaki, dan dorsofleksor kaki. Defisit sensorik meliputi tungkai atas sisi posterior, tungkai bawah sisi 

anterolateral dan posterior, serta hampir  

seluruh kaki. Refleks patela normal, sedangkan refleks Achilles menurun atau 

menghilang. 

Diagnosa  

Diagnosa  pleksopati ditegakkan berdasar  

anamnesis yang mencak:up waktu onset, waktu 

timbulnya gejala. Pemeriksaan fisik umum 

seperti posisi leher, bahu lengan, panggul, 

tungkai, tanda-tanda fraktur, serta pemeriksaan neurologi yang teliti meliputi penilaian 

kekuatan motorik pada tiap segmen miotom 

dan sensorik pada setiap segmen dermatom. 

Pemilihan jenis pemeriksaan penunjang dilakukan berdasar  klinis yang di dapatkan, seperti: 

1. Laboratorium 

Pemeriksaan laboratorium perlu disesuaikan dengan etiologi yang diperkirakan, antara lain laju endap darah, glukosa, HbAlc, 

dan penanda infeksi. 

2. Radiologi 

a. Rontgen sendi bahu, servikal, pelvis, 

untuk melihat struktur tulang dan 

sendi. 

b. MRI bahu, leher, pelvis, dan pleksus. 

3. ElektroDiagnosa  

Pemeriksaan elektroDiagnosa  merupakan 

pemeriksaan yang sangat berperan dalam 

menentukan letak lesi, derajat keparahan, 

dan prognostik. Pemeriksaan berupa: kecepatan hantar saraf motorik dan sensorik, gelombang F, serta EMG jarum.  

PENGOBATAN 

PENGOBATAN lesi pleksus sangat bervariasi, 

beberapa faktor yang mempengaruhi keberhasilan terapi yaitu  onset, derajat kerusakan, jenis lesi, dan pemicu nya. 

1. FaseAkut 

a. lstirahat, pada cedera pleksus brakialis 

yang berat dapat dilakukann fiksasi 

lengan yang mengalami kelumpuhan. 

b. Kompres dingin, untuk mengurani 

rasa nyeri dan edema yang mungkin 

dapat terjadi. 

c. Penekanan atau kompresi bila ada 

edema. 

d Elevasi ekstremitas yang terkena Oengan 

atau kaki), akan mengurangi edema yang 

terjadi pada ekstremitas yang terkena 

e. Medikamentosa, berupa steroid, obat 

anti inflamasi non steroid, dan analgetik. Obat-obatan untuk nyeri neuropatik, misalnya antidepresan trisiklik, gabapentin, atau pregabalin dapat 

membantu. 

2. Fase Subakut atau Kronik 

a. Mengatasi rasa nyeri 

b. Fisioterapi: 

• Latihan memelihara lingkup gerak 

sendi untuk mencegah kekakuan 

pada sendi dan atrofi otot. 

• Ultrasound atau diatermi untuk 

me-ngurangi rasa nyeri dengan 

menimbulkan vasodilatasi pembuluh darah dan menurunkan 

spasme otot. 

• Transcutaneous electrical nerve 

stimulation (TENS), memberikan 

stimulasi listrik pada saraf, sehingga akan meng-aktivasi serabut  

A-beta yang akan menginhibisi interneuron di medula spinalis. Selain 

itu juga akan menginhibisi serabut 

A-delta dan serabut C-delta. 

• Neuromuscular electrical stimulation 

(NMES), dengan cara memberikan 

stimulasi listrik pada otot, sehingga 

menambah kekuatan dan memelihara massa ototyang lumpuh. 

• pemakaian  ortosis pada lengan 

yang lumpuh total bertujuan 

untuk mempertahankan posisi, 

mencegah subluksasi bahu, mengurangi kekakuan sendi, dan 

sebagai kosmetik. 

3. Pembedahan 

Operasi dilakukan dengan tujuan untuk 

mengembalikan anatomi dan fungsi dari 

pleksus, pada beberapa kasus yang berat, 

operasi dilakukan dengan tujuan utama 

untuk mengembalikan fungsi fleksi atau 

ekstensi sendi. Operasi biasanya dilakukan pada cedera pleksus yang berat dan 

dilakukan 3-4 bulan setelah trauma. 

Operasi tidak di anjurkan jika dilakukan 

setelah 6 bulan karena umumnya tidak 

memberikan hasil yang optimal. Jenisjenis operasi yang dilakukan: 

a. Pembedahan primer 

Bertujuan untuk memperbaiki saraf 

yang cedera pada pleksus dan mempercepat proses reinervasi. Teknik 

yang dipakai  tergantung dari derajat keparahan lesi, ada beberapa 

teknik yang biasa dilakukan, yaitu: 

• Neurolisis, membebaskan jaringan parut yang terjadi di sekitar 

saraf.  

Neuroma eksisi, dilakukan eksisi 

pada saraf, kemudian saraf dilekatkan kembali atau dengan nerve 

graft. 

• Nerve grafting 

• Neurotization, biasanya dilakukan 

pada avulsi radiks, dilakukan penggantian saicU yang rusak dengan 

memakai  saicU lain. Saraf donor yang dapat dipakai  yaitu  

N. hiogosal, N. asesori spinalis, dan 

saraf interkostal. Dapat juga dilakukan intraplexual neuro~ation, yaitu 

donor diambil dari radiks yang rnasib melekat pada medula spinalis 

sebagai penggati saraf yang rusak 

b. Pembedahan sekunder 

Bertujuan untuk memperbaiki fungsi 

agar optimal. Teknik yang dipakai , 

yaitu: tendon transfer; free muscle 

transfers, serta joint fusions and rotational. · 

4. PENGOBATAN Lainnya Sesuai dengan 

Etiologi Pleksopati 

a. Pleksopati akibat perdarahan: koreksi 

abnormalitas hemostasis dan drainase 

hematom perkutan. 

b. Pleksopati neoplastik: radioterapi, 

kemoterapi, dan pembedahan. 

c. Pleksopati akibat abses: drainase abses dan antibiotik. 

d. Pleksopati diabetik: perbaikan kontrol 

glikemik, intravenous immunoglobulin 

(lVI G).  

Pleksopati 

e. Pleksopati radiasi: antikoagulan untuk 

memperbaiki aliran darah akibat kerusakan endotel yang diinduksi radiasi 

namun terapi ini  belum memiliki 

bukti ilmiah yang kuat 

f. Pleksitis idiopatik: steroid, IVIG. 

g. Pleksopati vaskulitis: obat imunosupresan. 

PROGNOSIS 

Prognosis sangat tergantung dari letak dan 

jenis lesi. Pemulihan pada avulsi dan ruptur 

radiks yang dioperasi, kadang tidak dapat 

sempurna dan membutuhkan waktu yang 

lama. Pada cedera ringan yang menimbulkan 

jaringan sikatrik dan terjadi neuropraksia, 

dapat terjadi pemulihan spontan, sekitar 

90-100% akan kembali normal.  







PENDEKATAN Diagnosa  MIOPATI 


pemicu  miopati sangat bervariasi mulai 

dari kelainan kongenital dalam aspek kanal, 

struktur, ataupun metabolisme otot, maupun akibat kelainan yang didapat (inflamasi, 

autoimun, dan toksik). Setiap miopati memerlukan manajemen dan prognosis yang 

berbeda, sehingga sangat penting ditegakkan Diagnosa  yang spesifik Sebagian kasus 

miopati yang memiliki pengobatan kausatif memiiki prognosis baik jika dikenali, 

sebaliknya pada kasus lainnya yang tidak 

berespons terhadap pengobatan, maka tata 

laksana lebih ditekankan secara simtomatik 

untuk meningkatkan kualitas hid up (paliatif). 

EPIDEMIOLOGI 

Angka pasti prevalensi miopati sulit diperkirakan, oleh karena masih jarangnya studi 

epidemiologi berskala besar terhadap kelompok penyakit ini. Di Jepang ada 

11,521 kasus dari 127 juta penduduk 

sepanjang 2008-2013 yang mengalami 

immune mediated myopathy. 

berdasar  laporan oleh Lefter (2016), 

di Irlandia ada distrofi miotonik tipe I 

sebanyak 6,75/100.000 penduduk; distrofi 

muskular Duchenne (DMD) 3,0/100.000 penduduk; distrofi muskular Becker 2,2/100.000 

penduduk; distrofi fasioskapulohumeral 

2,59/100.000 penduduk; distrofi muskular 

limb-girdle 2,88/100.000 penduduk; parali- 

sis periodik 1,72/100.000 penduduk; miotonia kongenital 0,32/100.000 penduduk; 

paramiotonia kongenital 0,15/100.000 

penduduk; dan sporadic inclusion body myositis sebanyak 11,7/100.000 penduduk Di 

Indonesia kasusnya juga tidak sedikit, namun 

minimnya ketertarikan para klinisi maupun 

akademisi untuk memperdalam ilmu ini, memicu laporan kasusnya sulit didapatkan. 

PATOFISIOLOGI 

Untuk menegakkan Diagnosa  dan menentukan PENGOBATAN yang tepat dibutuhkan pengetahuan patofisiologi kerusakan otot yang 

terjadi. Dalam bab ini akan dibahas dua patofisiologi tersering, yaitu inflamasi dan distrofi. 

Miopati yang disebabkan oleh inflamasi sering 

dikelompokkan ke dalam miositis, seperti polimiositis (PM), dermatomiositis (DM), dan 

inclusion body myositis (IBM). Miopati yang 

disebabkan oleh distrofi biasanya disebabkan 

oleh kelainan genetik yang diturunkan. 

1. lnflamasi 

pemicu  inflamasi pada PM dan DM 

yaitu  autoimun (Gambar 1). Pada DM 

target utama antigen yaitu  endotel 

pembuluh darah pada kapiler-kapiler 

endomisial. Rantai imunopatologi ini diawali saat komplemen antibodi bekerja 

terhadap sel endotel. Antibodi ini  

akan mengaktivasi komplemen C3 yang 

membentuk C3b dan C4b, kemudian ter  

bentuklah CSb-9 membrane attack complex (MAC), suatu komponen litik dari jalur 

komplemen. Kemudian secara berurutan 

terjadilah pembengkakan sel endotel diikuti vakuolisasi, nekrosis pembuluh darah 

kapiler, inflamasi perivaskular, iskemia, 

dan kerusakan serabut otot. Pada akhirnya ada penurunan jumlah kapiler 

perserabut otot diikuti kompensasi dilatasi kapiler-kapiler yang tersisa. 

2. Distrofi 

Selain itu, sel B, sel T (CD4+ ), dan makrofag juga berperan dalam patofisiologi 

ini. Mereka masuk ke dalam otot. Migrasi 

sel-sel ini  difasilitasi oleh vascular 

cell adhesion molecule (VCAM) dan intercellular adhesion molecule (ICAM). Ekspresi  

VCAM dan ICAM ini diregulasi oleh sitokin 

yang dilepaskan oleh rantai komplemen. 

Sel T dan makrofag diperantarai oleh integrin very late activation antigen (VLA)-4 

dan leucocyte function-associated antigen 

(LFA)-1 yang kemudian berikatan dengan 

VCAM dan ICAM, lalu masuk ke dalam otot 

melalui dinding sel endotel.  

Distrofi atau distrofinopati diawali oleh 

mutasi gen distrofin Xp21.2 yang mengkode protein distrofin. Contoh klasik 

kelainan ini yaitu  penyakit distrofi 

muskular Duchene (DMD) dan distrofi 

muskular Becker (Becker muscular dystrophyfBMD).  Protein distrofin memiliki em pat ranah (domain) dan merupakan protein kompleks. Mutasi pada protein ini memicu kerusakan 

(breakdown) pada keseluruhan struktur yang 

kompleks dan penting. Kerusakan ini memicu sarkolema, yang berfungsi sebagai 

sawar antara sel otot dengan dunia luar layaknya membran sel, menjadi rapuh. Kontraksi 

otot yang intensif atau bahkan yang biasa saja 

untuk ukuran orang normal dapat memicu kerapuhan sarkolema bertambah parah. 

Kerapuhan ini memicu influks kalsium 

yang berlebihan dan mempercepat kerusakan 

sera but otot (Gam bar 2). 

Otot yang rusak memiliki kapasitas regenerasi yang terbatas. Sel-sel otot yang rusak  

ini digantikan oleh sel-sel satelit yang terletak di antara lamina basal dan membran serabut otot. Sel-sel satelit ini berperan seperti 

"stem-cell" yang dapat menumbuhkan sel-sel 

otot dan meregenerasi serabut otot yang rusak. Seiring berjalannya waktu sel satelit ini 

tidak dapat mengejar kerusakan yang terjadi 

sehingga serabut-serabut otot yang rusak digantikan oleh jaringan ikat dan lemak. 

Diagnosa  DAN Diagnosa  BANDING 

Langkah penegakan Diagnosa  miopati meliputi evaluasi klinis, pemeriksaan laboratorium dan elektrofisiologi, histopatologi, 

dan pemeriksaan yang spesifik pada entitas 

miopati tertentu. Untuk penentuan peme 

riksaan spesifik yang bersifat konfirmasi 

diperlukan penetapan Diagnosa  kerja da~ Diagnosa  banding melalui evaluasi klinis. 

Pada prinsipnya miopati dibagi menjadi 

miopati herediter dan miopati yang didapat. 

Miopati yang herediter meliputi channelopathy, miopati kongenital, miopati metabolik, 

miopati mitokondrial, distrofi muskular 

dan miotonia. Miopati yang didapat berup~ miopati yang diinduksi obat, miopati endokrin, miopati inflamasi, miopati terkait 

penyakit sistemik, dan miopati toksik. 

Secara umum miopati memberikan keluhan 

berupa kelemahan otot, atrofi atau hipotrofi 

otot, refleks regang otot menurun sedikit 

atau menghilang pada derajat miopati yang 

berat dengan pemeriksaan sensorik normal, ke-cuali ada komorbiditas neuropati. Untuk menegakkan Diagnosa  spesifik miopati ada beberapa aspek yang perlu 

diketahui, yaitu gejala negatif atau positif, 

evolusi temporal penyakit, riwayat keluarga, 

kondisi pencetus, gejala dan tanda lain yang 

menyertai, serta distribusi otot yang terlibat. Sintesis semua aspek ini  akan 

membantu mempersempit kemungkinan entitas miopati, sehingga dapat dipilih pemeriksaan penunjang yang tepat 

1. Keluhan 

Keluhan miopati dapat berupa gejala negatif 

dan positif, yaitu kelemahan, mudah Ielah ' intoleransi terhadap aktivitas, atrofi otot, 

kram, kontraktur, hipertrofi otot, mialgia, 

atau kekakuan (Tabell ). Miopati yang berhubungan dengan metabolisme dan mitokondria abnormal dapat menimbulkan 

keluhan kelelahanjfatig setelah aktivitas. 

Mialgia dapat muncul episodik pada 

miopati metabolik atau muncul konstan misalnya pada miopati inflamasi. 

Kelemahan atau mialgia episodik setelah 

aktivitas dapat berkaitan dengan kejadian 

mioglobinuria, sehingga perlu ditanyakan 

ten tang warna urin pada anamnesis. 

Kram otot dapat diprovokasi oleh aktivitas 

pada miopati akibat defek enzim glikolitik 

Miotonia biasanya diprovokasi oleh aktivitas atau paparan dingin misalnya pada 

paramiotonia kongenital. Peningkatan konsistensi massa otot dapat disebabkan oleh 

fibrosis pada miopati kronik atau deposit 

amiloid. Abnormalitas lainnya yang dapat 

ditemui yaitu  mioedema setelah perkusi 

otot, yaitu berupa pembengkakan ototyang 

berlangsung selama beberapa detik Mioedema ini dapat di-temukan pada miopati 

akibat hipotiroid.  

Hipertrofi otot dapat terjadi pada miotonia 

kongenital, miopati akibat amiloidosis, sarkoidosis, dan hipotiroid. Pseudohipertrofi 

otot (akibat penggantian massa otot dengan 

jaringan ikat dan lemak) terlihat pada 

distrofi muskular Duchenne dan Becker, 

distrofi. muskular limb-gridle (LGMD 2C-F f 

sarkoglikanopati), miopati Miyoshi, anoctamin-5 defect, LGMD 21 (fit.kutin-related protein), dan LGMD 2G (teletoninopati). 

2. Disbibusi Otot yang Terlibat 

Distribusi keterlibatan otot dapat dinilai 

dengan pemeriksaan kekuatan otot persegmen, identifi.kasi aktivitas fungsional 

yang terganggu yang terutama penting 

pada anak, dan atrofi otot. Penilaian 

kekuatan otot harus meliputi otot yang 

berfungsi pada gerakan ekstensi, fleksi, 

abduksi, aduksi, rotasi internal, dan rotasi 

eksternal. Otot fleksor leher dinilai pada 

keadaan supinasi, sedangkan ekstensor 

leher dinilai pada posisi pronasi. Otot 

yang diinervasi oleh nervus kranial juga  

penting diperiksa. Kelemahan otot pada 

miop~ti umumnya lebih terlihat pada 

otot-otot proksimal, namun ada juga 

yang melibatkan kelumpuhan otot-otot 

distal dan wajah, yang dapat memberi petunjuk entitas miopati tertentu (Tabel 2). 

Kelemahan pada otot pelvis memicu 

kesulitan dalam menaiki tangga, bangkit 

dari lantai, atau bangkit dari posisi duduk. 

Kesulitan bangkit dari posisi duduk atau 

berbaring tanpa bantuan eksremitas atas 

menunjukkan kelemahan otot ekstensor 

panggul. Tanda Gowers merupakan karakteristik yang terlihat pada kelemahan otot 

proksimal, yaitu saatpasien berusaha bangkitdari posisi berbaring, awalnya bertumpu 

pada tangan dan lutut, kemudian meluruskan ekstremitas bawah, melengkungkan 

badan ke belakang, diikuti dengan menumpukan tangan pada lutut lalu paha sehingga dapat mengekstensikan trunkus 

(Gambar 3). Kelemahan otot kuadriseps 

memicu kesulitan saat menurun 

tangga dibandingkan menaiki tangga.  

Pasien dengan kelemahan ekstremitas atas bagian proksimal mengalami kesulitan melakukan aktivitas yang memerlukan elevasi lengan 

di atas level mata. 

3. Onset dan Evolusi Gejala 

Onset penyakit penting untuk mempersempitDiagnosa  bandingmiopati (Tabel3). 

Dermatomiositis dapat terjadi pada anakanak dan dewasa, sedangkan polimiositis 

dan IBM banyak pada usia tua. DMD biasanya terdeteksi pada usia 3 tahun, sedangkan 

FSH dan LGMD mulai terjadi gejala klinis 

pada usia remaja atau lebih tua 

Kelemahan pada miopati dapat bersifat 

konstan (misalnya pada miopati inflamasi  

Pendekatan Diagnosa  Miopati 

dan distrofi muskular) atau episodik yang 

biasanya disebabkan oleh miopati metabolik, 

misalnya akibat gangguan jalur metabolisme 

glikolisis. Kelemahan otot yang bersifat 

konstan dapat terjadi pada onset .akut atau 

subakut (misalnya pada miopati inflamasi), 

kronik progresifyang berlangsung bertahuntahun (distrofi muskular), atau nonprogresif 

dengan sedikit perubahan selama dekade 

(misalnya miopati kongenital). · 

Selain itu, perjalanan penyakit dapat monofasik atau relaps-remisi. Miopati dengan 

perjalanan monofasik, misalnya pada rabdomiolisis akibatintoksikasi kokain. Perjalanan 

penyakit paralisis periodik dan miopati metabolik biasanya bersifat relaps-remisi. 

4. Faktor Pencetus Keluhan 

Hanya sebagian miopati yang memilild faktor pencetus yang dapat mengeksaserbasi 

keluhan, sehingga faktor pencetus perlu 

diidentifikasi (Tabel4). Miotonia dapat dicetuskan dengan menginstruksikan pasien 

untuk menggenggam jari secara maksimal 

selama 15 detik kemudian melepaskannya 

dengan segera. Pada miotonia, relaksasi terjadi lambat dan tampak gerakan otot yang 

tidak lancar saat melepas genggaman. 

5. Gejala atau Tanda Sistemik Lainnya 

Diagnosa  miopati dapat berdiri sendiri atau 

disertai komorbiditas lainnya yang dapat 

memberikan petunjuk mengenai pemicu  

miopati ini , sehingga sangat penting 

untuk mengeksplorasi keterlibatan sistem 

organ lainnya (TabelS). 

6. pemakaian  Obat 

Obat-obatyangdapatmenyebabkanmiopati 

toksik cukup banyak dan pemakaian nya 

cukup luas pada berbagai penyakit yang 

prevalensinya tinggi. Oleh karena itu perlu 

diidentifikasi riwayat konsumsi obat untuk 

mencegah kerusakan otot lebih lanjut dapat 

dicegah (Tabel6). 

7. Riwayat Penyakit Keluarga 

Sebagian miopati disebabkan kelainan genetik yang dapat diwariskan dengan pola 

pewarisan autosomal maupun terkait 

kromosom X (Tabel 7). Untuk mendapatkan pola pewarisan, perlu dibuat pedigree 

minimal 3 level. Riwayat keluarga yang 

berkaitan dengan kelainan yang mungkin 

berkaitan dengan miopati juga perlu di 

gali, misalnya riwayat penyakit autoimun 

dan reumatologis. 

berdasar  tujuh hal di atas maka dapat 

dikenali 10 pola miopati yang dapat membantu menentukan kemungkinan Diagnosa  

miopati (Tabel8).  

Diagnosa  BANDING 

Diagnosa  banding miopati yaitu  penyakit motor neuron, gangguan taut saraf otot, 

neuropati motorik, dan lesi sistem saraf 

pusat. 

Kelainan yang menyerupai miopati: 

1. Penyakit Motor Neuron (Motor Neuron Disease) 

a. Atrofi spinal muskular onset lambat 

b. Atrofi muskular bulbospinal terkait 

kromosom X (Penyakit Kennedy) 

c. Atrofi muskular progresif (varian 

sclerosis lateral amiotropik) 

2. Gangguan Taut Saraf Otot 

a. Sindrom miastenik Lambert-Eaton  

b. Miastenia gravis dengan hanya keterlibatan limb-girdle 

3. Neuropati Motorik 

a. N europati perifer demielinasi (varian 

motorik dari chronic inflammatory 

demyelinating polyneuropathy), multifocal motor neuropathy dengan blok 

konduksi 

b. Neuropati porfiria yang melibatkan 

sera but motorik proksimal 

c. Amiotrofi diabetik 

4. Lesi sistem saraf pusat 

Stroke pada area watershed arteri serebri media-anterior bilateral. 

Pemeriksaan Laboratorium 

Konsentrasi kreatinin kinase (creatinine 

kinasefCKJ terbesar ada di otot skeletal dan otot jantung (berada dalam jumlah kecil di otak, usus dan paru-paru), serta 

merupa-kan tes laboratorium rutin yang 

bermanfaat untuk evaluasi kelemahan 

pada penyakit neuromuskular. CK merupakan enzim sarkolema, sehingga kerusakan sarkomer akan meningkatkan permeabilitas membran dan terjadi kebocoran 

enzim. Kadar CK biasanya meningkat ketika terjadi nekrosis serabut otot aktif, misalnya pada miopati inflamasi dan distrofi. 

Peningkatan kadar CK pada penyakit 

neuromuskular berkorelasi dengan massa otot yang mengalami kerusakan dan 

mengeluarkan enzim ini  (Tabel 9). 

Namun kadarnya perlu diinterpretasi secara hati-hati dan mempertimbangkan 

beberapa aspek, yaitu jenis kelamin, ras, 

massa otot, status fisiologis, dan abnormalitas metabolik lainnya. Secara fisiologis kadar CK lebih tinggi pada laki-laki, 

ras Afrika, neonatus, anak, peningkatan 

massa otot, dan latihan fisik yang teratur 

berkepanjangan. 

Derajat peningkatan CK dipengaruhi oleh  

beberapa faktor, yaitu: 

1. Tingkat Keparahan Penyakit 

Penyakit dengan destruksi otot menyebakan peningkatan kadar CK yang besar, 

misalnya pada DMD dan rabdomiolisis 

terjadi peningkatan CK hingga >100 kali 

nilai normal. 

2. Perjalanan Penyakit 

Miopati progresif lebih cepat meningkatkan kadar CK, misalnya kadar CK jauh lebih tinggi pada polimiositis dibandingkan 

FSHD atau IBM yang progresiflambat. 

3. Massa Otot Absolut 

Kadar CK pada miopati tahap lanjut akan 

menurun, misalnya kadar CK pada awal 

onset DMD akan tinggi dan kemudian 

menurun hingga ke kadar normal pada 

tahap lanjut saat jaringan otot diganti 

oleh jaringan fibrosis. 

4. Nekrosis Serabut Otot 

Miopati dengan sarkolema yang intak atau 

tidak berkaitan dengan destruksi serabut 

otot tidak memicu peningkatan CK 

Pemeriksaan enzim CK sebaiknya tidak dilakukan segera setelah pemeriksaan EMG, 

karena pemeriksaan EMG dapat memicu peningkatan ringan kadar CK (biasanya 

1,5 kali nilai normal).  

Pemeriksaan ElektroDiagnosa  

Walaupun Diagnosa  spesifik miopati memerlukan pemeriksaan histopatologi dan genetik, 

pemeriksaan studi konduksi saraf, dan elektromiografi masih berperan penting. Pemeriksaan 

studi konduksi saraf dan elektromiografi berperan dalam mengeksklusi kelainan lain yang 

klinisnya menyerupai miopati, misalnya penyakit motor neuron, gangguan taut saraf otot, 

dan neuropati yang mumi melibatkan serabut 

motorik Gambaran elektromiografi ( distribusi 

keterlibatan otot, aktivitas spontan) juga dapat 

mempersempit Diagnosa  banding miopati. 

1. Pemeriksaan Kecepatan Han tar Saraf 

(KHS) 

Pada miopati pemeriksaan KHS sensorik 

normal, kecuali bila terjadi koeksistensi 

neuropati. Pemeriksaan KHS motorik biasanya normal karena KHS motorik umumnya dilakukan pada otot distal, sedangkan sebagian besar miopati mengenai otot 

proksimal pada tahap awal. Pada keadaan 

miopati tahap lanjut saat telah terjadi hipotrofi atau atrofi otot, amplituda CMAP 

dapat menurun. Latensi distal dan KHS motorik dalam batas normal. 

2. Elektromiografi (EMG) 

Pemeriksaan EMG akan menhasilkan Analisa  motor unit action potential (MUAP) yang 

dapat membedakan lesi neurogenik dan 

miogenik (Gambar 4). Gambaran MUAP 

pada lesi miogenik yaitu  MUAP berdurasi 

pendek, amplituda rendah, dan polifasik 

Pada miopati kronik dapat diperoleh gambaran MUAP berdurasi panjang dan memiliki 

potensial satelit yang biasanya didapatkan 

pada lesi neurogenik Pada keadaan miopati 

tahap lanjut gambaran MUAP neurogenik 

dan miogenik mungkin sulit dibedakan. Pola 

rekruitmen MUAP pada miopati yaitu  early  

recruitment, yaitu untuk menghasilkan 

kontraksi otot yang minimal diperlukan banyak MUAP. Pada miopati tahap lanjut dapat 

terjadi penurunan rekrutmen MUAP. Pada 

miopati tertentu, misalnya miopati akibat 

steroid, perubahan miogenik pada MUAP 

dapat sangat minimal atau bahkan normal. 

Pemeriksaan EMG juga bermanfaat untuk 

membantu pemilihan otot untuk sampel 

histopatologi. Otot yang baik untuk pemeriksaan histopatologi yaitu  otot yang terlibat dan tidak dalam keadaan kerusakan 

tahap akhir. 

Pemeriksaan Histopatologi 

Pada sebagian besar miopati, pemeriksaan histopatologi memberikan informasi diagnostik 

yang penting. Jika hasil EMG tidak dapat langsung memberikan Diagnosa  akhir miopati spesifik, maka pemeriksaan histopatologi dapat 

memberikan araban pemeriksaan lanjutan 

yang spesifik Analisa  histopatologi dapat 

mengelompokkan miopati menjadi miopati inflamasi, miopati nekrosis, dan miopati distrofi. 

Apabila gambaran histopatologi menunjukkan 

miopati inflamasi, maka dapat dipertimbang- · 

kan Diagnosa  dermatomiositis, polimiositis, 

atau inclusion body myositiS. Ketiganya dapat 

dibedakan dengan teknik pewarnaan histokimia dan imunologi tertentu (Gambar 5). 

Beberapa miopati distrofi dapat menunjukkan gambaran inflamasi pada histopatologi. 

Miopati dengan gambaran nekrosis biasanya 

didapatkan pada miopati toksik walaupun 

dapat juga ditemukan pada miopati akibat 

autoimun. Sampel histopatologi sebaiknya 

diambil dari otot kontralateral yang dilakukan pemeriksaan EMG dan skor kekuatan 

otot 4. Pemeriksaan EMG dapat memicu inflamasi transien yang dapat mengacaukan hasil pemeriksaan histopatologi.  

Pemeriksaan Spesifik Lainnya 

Apabila pemeriksaan histopatologi menunjukkan inflamasi maka dapat diperiksa panel-panel antibodi atau penanda inflamasi (TabellO). 

Adanya panel antibodi atau inflamasi terkait 

yang positif dapat menunjang Diagnosa  (spesifisitas cukup tinggi). 


Pemeriksaan Genetik 

Jika pada pemeriksaan histopatologi didapatkan gambaran miopati distrofi, maka 

pemeriksaan genetik spesifik dapat ditentukan berdasar  korelasi klinis atau fenotip. 

Pada miopati distrofi dengan tampilan klinis 

yang khas (misalnya OPMD, DM1, atau FSH), 

pemeriksaan genetik dapat ditentukan bahkan sebelum dilakukan pemeriksaan EMG 

atau biopsi. Miopati limb-girdle sangat heragam dan sulit untuk menentukan Diagnosa  

yang spesifik hanya berdasar  fenotip. 

CONTOH KASUS 

1. Seorang wanita usia 39 tahun datang 

dengan keluhan kelemahan pada otototot paha. Kelemahan ini mulai dirasakan saat naik tangga sekitar 3 minggu 

yang lalu. Kelemahan tidak dicetuskan 

oleh sesuatu namun bersifat konstan 

yang disertai nyeri pada otot, terutama di 

lengan dan paha. Tidak ada riwayat 

pemakaian  obat atau penyakit keluarga 

yang signifikan. Pasien memiliki riwayat 

atopi dan alergi terhadap penisilin dan 

udang. Pada pemeriksaan fisik kekuatan 

motorik keempat ekstremitas menurun 

walaupun asimetris, kekuatan otot lainnya baik. ada warna kemerahan 

pada kulit di sekitar otot yang nyeri. Ditemukan Gottron's papules. Diagnosa  yang 

paling mungkin pada kasus ini yaitu : 

a. Facioscapulohumeral dystrophy (FSH) 

b. Periodik paralisis hiperkalemia (PPH) 

c. Myotonic dystrophy 

d. Immune mediated myopathy (IMM) 

e. Duchene atau Becker muscular dystrophy 

Jawaban yang paling tepat yaitu  D (Immune mediated myopathy).  

IMM termasuk dermatomiositis (DM) 

memiliki keterlibatan sistemik yaitu pada 

kulit. FSH memiliki distribusi pada otototot wajah, skapula, dan lengan atas. PPH 

dan myotonic dystrophy dicetuskan oleh 

aktivitas. PPH biasanya aktivitas yang 

belebihan, sedangkan myotonic dystrophy pada awal aktivitas dan dapat disertai pseudohipertrofi. DMD dan BMD 

merupakan penyakit kongenital dan 

biasanya pada laki-laki disertai keterlambatan fungsi motorik sejak usia dini. 

Pada keduanya ditemukan tanda Gowers 

yaitu membutuhkan bantuan tangan 

saat akan berdiri dari jongkok. 

2. Seorang laki-laki usia 26 tahun datang 

dengan kaku otot-otot tangan. Kekakuan 

dirasakan terutama pada pagi hari. Kadang 

siang hari juga muncul namun lama kelamaan menghilang. Tidak ada pemakaian  obat-obat yang signifikan ataupun 

penyakit lainnya. ada keluarga yang 

memiliki keluhan yang serupa. Dari pemeriksaan fisik tidak ditemukan kelemahan, 

hipertrofi, maupun atrofi, namun ada 

relaksasi tangan yang melambat saat diminta melepas genggaman tangan. Dari 

ilustrasi ini , Diagnosa  banding yang 

paling mungkin yaitu ; 

a. LGMD tipe I 

b. Miotonia 

c. OPMD 

d. Polimiositis 

e. DMD 

Jawaban yang paling tepat yaitu  8 

(miotonia). 

Miotonia yaitu  penyakit yang berkaitan 

dengan genetik, dapat berupa autosomal  

dominan maupun resesif. Ditandai dengan kram atau kaku yang dicetuskan dengan aktivitas. Distribusinya tidak spesifik. 

LGMD memiliki distribusi yang khas di 

otot-otot antara tubuh dan ekstremitas 

(skapula, pelvis). OPMD memiliki distribusi pada otot-otot okular dan faringeal. Polimiositis merupakan penyakit 

otot inflamasi, dapat disertai inflamasi 

sistemik. DMD merupakan penyakit kongenital dengan gejala klinis dapat diketahui 

sejak masa pertumbuhan.  






MIASTENIA GRAVIS 


Miastenia gravis (MG) yaitu  penyakit 

autoimun yang ditandai dengan kelemahan 

fluktuatif pada otot-otot ekstra okular; bulbar, 

dan otot-otot proksimal. Kelemahan otot yang 

terjadi akan memburuk saat beraktivitas 

dan membaik setelah beristirahat. MG 

disebabkan oleh adanya autoantibodi pada 

membran pascasinaps pada taut saraf otot 

(neuromuscular-junction). Autoantibodi yang 

banyak ditemukan pada serum pasien MG 

yaitu  antibodi terhadap reseptor asetilkolin. 

Saat ini diketahui antibodi lain yang ada 

pada pasien MG, yakni muscle-specific kinase 

(MuSK) dan low-density lipoprotein receptorrelated protein (LRP4). Walaupun mekanisme 

timbulnya autoimun pada MG masih belum 

diketahui secara pasti, diduga beberapa faktor 

berperan dalam terjadinya reaksi autoimun 

ini , yaitu jenis kelamin, hormon, dan 

kelenjar timus yang abnormal pada hampir 

80% penderita MG. 

EPIDEMIOLOGI 

MG termasuk penyakit yang jarang. 

Insidensnya hanya sekitar 1, 7-21,3 per 

1.000.000, dapat terjadi di semua usia dan 

jenis kelamin. Dari beberapa penelitian 

diketahui gambaran bimodal berdasar  

jenis kelamin dan usia. Pada usia di bawah 

atau sampai usia 50 tahun, lebih banyak 

perempuan dengan rasio 7:3, sedangkan 

pada usia di atas 50 tahun ditemukan lakilaki dengan rasio 3:2. revalensi paling 

tinggi pada -perempuan usia 20-30 tahun, 

sedangkan laki-laki pada usia 60 tahun. 

Dengan semakin meningkatnya kemampuan 

Diagnosa , terapi, dan umur harapan hidup, 

prevalensi MG semakin meningkat, yaitu 

15-179:1.000.000 dengan sekitar 10%-nya 

yaitu  usia anak-anak dan remaja. Risiko 

ini akan meningkat sekitar 4,5% hila dalam 

keluarga, saudara kandung, atau orang tua 

memiliki riwayat menderita MG a tau penyakit autoimun lainnya. 

ANATOMI DAN FISIOLOGI TAUT SARAF 

OTOT 

Akson sel neuron akan berakhir sebagai 

akson terminal pada otot dan membentuk 

motor end plate yang terdiri dari terminal 

saraf a tau membran presinaps, celah sinaps, 

dan membran pascasinaps. Pada membran 

pascasinaps ada beberapa macam protein, yaitu: reseptor asetilkolin, RATL, MusK, 

Agrin, MA3C, dan Rapsyn yang bekerja satu 

sama lain melancarkaiLtransmisi sinyal ke 

reseptor asetilkolin (Gambar 1).   

Saat potensial aksi yang dihantar oleh saraf 

motorik mencapai terminal saraf akan timbul 

depolarisasi yang membuka kana! kalsium di 

membran presinaps. Terbukanya kana! kalsium akan mencetuskan pelepasan asetilkolin 

(acetylcholinj ACh) ke celah sinaps dan selanjutnya berikatan dengan reseptor asetilkolin 

( acetylcholin receptor j AChR). di membran 

pascasinaps. lkatan antara ACh dan AChR 

akan memicu  terbukanya gerbang  

natrium pada sel otot, terjadi influks Na+. Influks Na• ini akan memicu terjadinya 

depolarisasi pada membran pascasinaps. 

Jika depolarisasi ini mencapai nilai ambang 

tertentu (firing level), maka akan terjadi potensial aksi pada sel otot ini . Potensial 

aksi ini akan dipropagasikan (dirambatkan) 

ke segala arah sesuai dengan karakteristik 

sel eksitabel dan akhirnya akan memicu  kontraksi. ACh yang masih tertempel pada AChR kemudian dihidrolisis oleh enzim asetilkolinesterase (AChE) yang ada dalam 

jumlah yang cukup banyak pada membran 

pascasinaps. ACh akan dipecah menjadi kolin dan_asam laktat. Kolin kemudian masuk 

ke dalam membran presinaps untuk membentuk A.Ch kembali. Proses hidrolisis ini 

dilakukan untuk dapat mencegah terjadinya potensiaJ aksi tents menerus yang akan 

memicu  kontraksi terusmenems. 

Keberhasilan transmisi impuls pada taut 

saraf otot tergantung dari: 

• Kepadatan reseptor asetilkolin pada 

permukaan membran pascasinaps 

• Aktivitas asetilkolinesterase 

• Struktur dan jumlah lekukan pada 

membran pascasinaps 

Kelemahan otot yang terjadi pada MG disebabkan oleh proses autoimun pada taut 

saraf otot. Faktor utama dan paling penting 

dalam patofisiologi MG yaitu  terbentuknya 

autoantibodi terhadap reseptor asetilkolin 

(AChR) pada membran pascasinaps. Tedapat 

tiga proses yang memicu gagalnya kontraksi otot akibat proses autoantibodi ini 

(Gambar 2). 

AntibodLyang melekat pada AChR akan mengaktifkan kaskade ompJemen yang membentuk membrane attack compleks (MAC) yang kemudian menghancurkan AChR serta merusak 

struktur.lipatan-lipatan membran pascasinaps, 

sehingga mengurangi luas permukaannya. 

Akibatnya asetilkolin yang dapat berikatan dengan AChR pada membran pascasinaps menjadi jauh lebih sedikit (Gam bar 2). 

Antibodi yang berikatan pada dua AChR 

akan mengaktifkan proses endositosis AChR,  

Miastenia Gravis 

sehingga terjadi degradasi AChR pada membran pascasinaps. Degradasi ini lebih cepat 

daripada pembentukan AChR baru, sehingga 

semakin menurunkan jumlah ACh yang berikatan dengan AChR. 

Antibodi yang melekat pacta AChR akan 

memblok ACh, sehingga tidak dapat berikatan dengan AChR. Kompetisi antara autoantibodi dan ACh untuk dapat berikatan dengan 

AChR akan semakin menurunkan jumlah 

ACh yang berikatan dengan AChR. 

Pada 85% pasien MG dapat ditemukao antibodi terhadap resepto- asetilkolin ( antiAChRJ 

dalam darah. Namun ternyata tidak hanya 

reseptor asetilkolin yang dapat menjadi antigen target proses autoantibodi pada MG. 

ada struktur protein lain pada permukaan membran pascasinaps yang dapat 

menjadi target antigen, seperti pada Gambar 1. Perkembangan terbaru menunjukkan sebagian pasien MG yang tidak mempunyai antibodi terhadap reseptor asetilkolin 

ternyata memiliki antibodi terhadap MuSK 

atau antibodi LRP4 yang merupakan bagian 

dari struktur protein agrin. 

GEJALA DAN TANDA KLINIS 

Pada MG, kelemahan dan kelelahan terjadi berfluktuasi, tergantung pada aktivitas 

pasien, sehingga dapat berbeda-beda setiap 

waktu. Kelemahan memberat setelah aktivitas fisik yang berat, kenaikan suhu tubuh, 

dan lingkungan sekitar, serta akan berkurang 

bahkan menghilang setelah istirahat. Pada 

sekitar 70% penderita MG, gejala awal yang 

dialami yaitu  keluhan pada mata yangasimetris, yang mengenai otot-otot ekstraokular, 

berupa turunnya kelopak atas (ptosis) dan 

penglihatan ganda (diplopia). Dari seluruh 

tipe okular, sekitar 50% berkembang menjadi  tipe generalisata, yaitu kelemahan terjadi pada 

otot-otot bulbar dan otot-otot proksimal, sedangkan sekitar 15% tetap sebagai tipe okula1~ 

Gejala klinis yang be rat sering ditemukan pada 

tahun pertama sampai tahun ketiga, jarang 

sekali ditemui perbaikan klinis yang sempurna 

dan permanen. 

Gejala klinis MG dapat berupa: 

1. Gejala Okular 

Ptosis dan diplopia yang asimetris merupakan gejala okular yang paling sering 

ditemukan. Gejala okular akan menetap 

pada 10-16% pasien MG dalam masa 

3 tahun pertama dan menjadi sekitar 

3-10% setelah 3 tahun. Bila gejala okular 

menetap sampai lebih dari 3 tahun, maka 

sekitar 84% tidak mengalami perubahan 

menjadi tipe general ataupun bulbar. 

2. Gejala Bulbar 

a. Disfoni dan disartria yang muncul 

setelah berbicara beberapa lama, 

sering terjadi pad a onset pertama kali. 

b. Disfagia (gangguan menelan) muncul 

setelah penderita memakan mal<anan 

padat. Penderita dapat mengalami kesulitan menggerakan rahang bawah saat 

mengunyah makanan, sehingga harus 

dibantu oleh tangan (tripod position). 

c. Kelumpuhan otot-otot wajah sering tidak disadari oleh penderita, baru diketahui setelah orang lain melihat menurunnya ekspresi wajah atau senyumannya 

tampak datar (myasthenic snarl). 

3. Leber dan Ekstremitas 

MAC 

a. Leher terasa kaku, nyeri, dan sulit 

untuk menegakkan kepala (dropped 

head) akibat kelemahan pada otototot ekstensor leher. 

b. Pada ekstremitas, kelemahan lebih 

sering terjadi pada ektremitas atas 

dan mengenai otot-otot proksimal 

(deltoid dan triseps ). Pad a keadaan 

yang berat, kelemahan dapat terjadi 

juga pada otot-otot distal. 

 

4. Gangguan Pernapasan, sering terjadi 

pada MG tipe general. Penderita merasakan kesulitan menarik napas akibat 

kelemahan otot-otot bulbar an pernapasan. 

Klasifikasi MG sangat penting untuk keberhasilan PENGOBATAN dan terapi. ada 

beberapa klasifikasi MG yang banyak diguMiastenia Gravis 

nakan, pada umumnya dibagi berdasar  

gejala klinis, otot yang terkena, usia saat onset, abnormalitas dari timus, dawjenis antibodi yang ditemukan (Tabell). 

Pembagian subtipe lain yang lebih lengkap 

berdasar  epidemiologi, imunologi, genetik, kelainan pada timus, serta respons terhadap imunoterapi telah banyak di gunakan 

untuk penelitian dan praktik klinis (Tabel 2).  


ada juga klasifikasi oleh Task Force of the 

Medical Scientific Advisory Board of the Myasthenia Gravis Foundation of America (Tabel 3) 

berdasar  manifestasi klinis dan derajat 

kelemahan motorik yang sering dipakai  untuk evaluasi pasien dalam praktik sehari hari.  

Penilaian derajat gejala klinis sangat penting dilakukan saat melakukan pemeriksaan 

fisik pasien MG dan memberikan skala yang 

terukur (Tabel 4). 

Diagnosa  DAN Diagnosa  BANDING 

Diagnosa  MG ditegakkan berdasar  anamnesis, pemeriksaan neurologis, elektrodiagnostik, serologi unh1k antibodi AChR dan MuSK, 

serta CT scan torak untuk melihat adanya 

timoma. 

1. Anamnesis 

Adanya kelemahanjkelumpuhan otot 

yang berulang setelah aktivitas dan 

membaik setelah istirahat. Tersering menyerang otot-otot mata (dengan manifestasi diplopia tau ptosis), dapat disertai 

kelumpuhan anggota badan Cterutama 

Miastenia Gravis 

otot deltoid, triseps, dan ekstensor jarijari), kelemahanjkelumpuhan otot-otot 

yang dipersarafi oleh nervus kranialis. 

2. Pemeriksaan Fisik; dilakukan pemeriksaan fisik umum dan neurologis secara menyeluruh untuk menilai kekuatan 

motorik dan derajat kelemahan otot-otot 

yang terkena (Tabel4 dan Tabel 5). 

3. Tes Klinis Sederhana 

a. Tes Wartenberg: penderita diminta 

untuk melihat ke atas bidang datar dengan sudut kurang lebih 30 derajat selama 60 detik, positifbilaterjadi ptosis. 

b. Tes hitung, penderita diminta untuk 

menghitung 1-100, positif bila suara 

menjadi sengau (suara nasal) atau suara menghilang.  

c. Ice pack eye test; celah antara kedua 

kelopak mata yang mengalami ptosis 

akan diukur terlebih dahulu kemudian 

dengan es yang terbalut kain akan ditempelkan ke kelopak mata penderita. 

Celah antara keduakelopak mata yang 

bertambah Iebar setelah penempelan 

es selama 2 menit dianggap positif. 

4. Uji Tensilon, bermanfaat untuk konfirmasi Diagnosa  dan respons terhadap 

pengobatan. Hasil positif bila ditemukan 

perbaikan gejala kelemahan motorik secara cepat, namun  dalam waktu singkat. 

Apabila pemeriksaan ini tidak tersedia, 

pemberian obat penghambat AChE oral 

seperti piridostigmin dapat diberikan, 

namun perbaikan gejala lebfh lambat, 

baru terlihat setelah 1-2 jam. 

5. Uji rostigmin (Neostigmin), pada tes 

ini disuntikkan 1,5mg atau 3cc prostigmin metilsulfat secara intramuskular 

(diberikan pula atropin O,Bmg bila perllb). Jika kelemahan itu benar disebabkan oleh MG, maka gejala-gejala seperti 

ptosis, strabismus, atau kelemahan lain 

tidak lama kemudian akan lenyap. 

6. Serologi 

a. Antibodi reseptor anti-asetilkolin, 

postitif pada 70-95% penderita MG 

generalisata dan 50-75% penderita 

miastenia okular murni. Pada pasien 

timoma tanpa MG sering kali terjadi 

false positive antibodi antiAChR. 

b. Anti-Muscle-specific Kinase (MuSK) 

antibodies, hampir 50% penderita 

MG yang menunjukkan hasil antiAChR 

Ab egatif (MG seronegatif), menunjukkan basil yang positif untuk antiMuSKAb.  

7. Elektrodiagnostik 

a. Repetitive nerve stimulation (RNS), 

untuk mendeplesi vesikel ACh sehingga terjadi penurunan compound motor action potential 

(CMAP) progresif dan menilai adanya blok Hasil yang diharapkan 

pada penderita MG yaitu  penurunan minimal lebih dari 10%. 

Nilai sensitivitas dan spesifisitas 

bervariasi bergantung dari teknik 

peme-riksaan. 

b. Single fiber electromyography 

(SFEMG); mencatat instabilitas 

sebelum adanya blok 

neuromuskular. SFEMG memiliki 

nilai spesifisitas yang sangat 

tinggi, namun  sensitivitasnya tidak 

mencapai 100%. 

8. Radiologi, pemeriksaan CT scan, 

atau MRI torak dilakukan untuk melihat ada atau tidaknyatimoma. 

Diagnosa  Banding 

Beberapa Diagnosa  banding untuk menegakkan Diagnosa  MG antara lain: 

1. Adanya ptosis atau strabismus dapat 

juga disebabkan oleh lesi nervus III pada 

beberapa penyakit selain MG, an tara lain: 

a. Meningitis basalis (tuberkulosis atau 

luetika) 

b. Infiltrasi karsinoma anaplastik dari 

nasofaring 

c. Aneurisma di sirkulus arteriosus Willisi 

d. Paralisis pascadifteri 

e. Pseudoptosis pada trakoma 

2. Apabila ada suatu diplopia yang  

transient maka kemungkinan adanya 

suatu sklerosis multipleks. 

3. Sindrom Lambert-Eaton (Lambert-Eaton 

Mya·sthenic Syndrome) 

Penyakit ini dikarakteristikkan dengan 

adanya kelemahan dan kelelahan pada 

otot anggota tubuh bagian proksimal 

dan disertai dengan kelemahan relatif 

pada otot-otot ekstraokular dan bulbar. 

Pada LEMS, terjadi peningkatan tenaga 

pada detik-detik awal suatu kontraksi 

volunter, terjadi hiporefleksia, mulut 

kering, dan sering kali dihubungkan dengan suatu karsinoma terutama oat cell 

carcinoma pada paru. 

PENGOBATAN 

Tujuan PENGOBATAN yaitu  untuk mengendalikan gejala (simtomatik), me_ncegah progresifisitas, dan mencegah komplikasi. Terapi farmakologi mencakup (Tabel6): 

1. Acethylcholinesterase Inhibitor (Penghambat AChE) 

Penghambat AChE memperlambat degradasi asetilkolin yang memungkinkan 

berada pada taut saraf otot lebih lama. 

Dapat diberikan pirjdostigmin bromida 

(Mestinon®) 30-120mg/ 3-4 jamjoral. 

Umumnya regimen ini diberikan pada 

awal penyakit dan penatalaksanaan MG 

ringan (MG klas IIA dan liB). 

Efek samping pemberian antikolinesterase disebabkanoleh stimulasi parasimpatis, termasuk konstriksi pupil, kolik, diare, 

salivasi berlebihan, berkeringat, lakrimasi, dan sekresi bronkial berlebihan. Efek  

Miastenia Gravis 

sam ping gastrointestinal ( efek sam ping 

muskarinik) berupa kram atau diare. 

2. Kortikosteroid 

Prednison dimulai dengan dosis awal 

10-20mg, dinaikkan bertahap (5-lOmg/ 

minggu) lx sehari selang sehari, maksimal 120mg/6 jamjoral, kemudian diturunkan sampai dosis minimal efektif. 

3. Azatioprin 

Merupakan suatu obat imunosupresif, 

dosis 2-3mgj kg88 j harijoral selama 8 

minggu pertama. Setiap minggu harus 

dilakukan pemeriksaan darah lengkap 

dan fungsi hati. Sesudah itu pemeriksaan laboratorium dikerjakan setiap bulan sekali. Direkomendasikan pemberian 

prednisolon bersama-sama dengan azatioprin. 

4. Plasma Exchange 

Bertujuan untuk menghilangkan antibodi reseptor dari sirkulasi, sering dipakai  pada krisis miastenia dan sebelum dilakukan operasi timektomi 

5. Intravenous Immunoglobulin (IVIG) 

Oasis 400mg/ KgBB/ hari selama 5 hari 

berturut-turut. 

6. Timektomi 

Pengangkatan kelenjar timus dapat 

mengurangi gejala pada 70% penderita 

dengan timoma atau displasia kelenjar 

tim us. Manfaat pembedahan pad a MG seronegatif, MG nontimoma yang terbatas 

okular, MG seronegatif dengan antiboai 

MuSK positif sangat. minimal sehingga 

tidak direkmnendasikan.  

CONTOH KASUS 

Seorang laki-laki berusia 43 tahun datang 

dengan keluhan kesulitan menelan dan 

mengunyah yang hilang timbul sejak 3 bulan yang lalu. Pasien merasa bila pagi hari 

sehabis bangun tidur gejala-gejala ini  

berkurang, namun bila siang dan sore pasien 

harus hati-hati menelan makanan atau 

minuman karena sering tersedak. Pasien 

juga merasa Ielah bila mengunyah makanan 

yang konsistensinya padat, bahkan hingga 

sulit menutup rahang bawah akibat kelemahan. Dalam 1 bulan ini kelemahan bertambah menjadi kesulitan untuk membuka 

kelopak mata dan pandangan ganda bila kecapaian atau saat siang hingga malam hari 

yang membaik dengan beristirahat. Pasien 

tidak merasakan kelemahan pada otot-otot 

ekstremitasnya dan tidak merasakan sesak 

napas. Tidak dirasa juga adanya penurunan 

berat badan dan tidak ada riwayat keganasan. Pada pemeriksaan fisik didapatkan oftalmoplegia, ptosis bilateral, disfagia, 

Miastenia Gravis 

disfonia, dan jaw dFop. Pemeriksaan tes 

repetitive nerve stimulation menunjukan 

penurunan amplituda CMAP >10% pada 

stimulasi di otot orbikularis okuli dengan 

frekuensi stimulasi 3Hz (Gambar 3). 

Pasien diDiagnosa  sebagai miastenia gravis 

late onsetdengan kategori MGFA derajat II!b, 

karena kelemahan yang timbullebih banyak 

melibatkan otot-otot bulbar dibandingkan 

ekstremitas. Pasien menjalani pemeriksaan 

CT toraks untuk menyingkirkan kemungkinan timoma. Hasil CT scan tidak menunjukkan adanya timoma, hiperplasia timus, 

maupun masa mediastinum lainnya. Pasien 

diberikan pengobatan simptomatik berupa piridostigmin dengan dosis 2x60mg. 

Imunosupresan steroid dimulai pada awal 

terapi disertai steroid sparring effect immunosuppressant (SSE!) lainnya, karena efek 

terapi go Iongan SSE! ini memerlukan jangka 

waktu lama hingga diharapkan efek terapinya sudah muncul pada saat dosis steroid 

diturunkan 








MOTOR NEURON DISEASE 


Motor neuron diseases (MND) yaitu  penyakit yang disebabkan oleh degenerasi badan 

sel neuron motorik. Salah satu tipe MND yang 

paling sering terjadi yaitu  amyotrophic 

lateral sclerosis (ALS), sehingga istilah MND 

dan ALS sering kali dipakai  jika membicarakan penyakit ini. Sampai saat ini MND 

termasuk dalam penyakit yang bel urn dapat 

disembuhkan dan mempunyai prognosis 

buruk. Belum ditemukan suatu pengobatan 

yang bersifat kuratif hingga saat ini. 

EPIDEMIOLOGI 

MND relatif sangat jarang terjadi namun  insidens MND di Inggris semakin meningkat 

sejak tahun 1998 hingga 2011 yaitu sekitar 

1,76-4,3 per 100.000 penduduk. Mortalitas 

akibat MND di Inggris sekitar 1 tiap 350-450 

penduduk. Demikian juga halnya di Australia, 

insidens dan mortalitas akibat MND semakin 

meningkat. Pada tahun 2001 didapatkan 592 

pasien meninggal dan 787 pasien meninggal 

pada tahun 2013 akibat MND. Angka di 

Indonesia sendiri sampai saat ini belum ada. 

Di antara negara-negara Asia, insidens MND 

di Jepang tercatat sangat tinggi yaitu sekitar 

11,3 per 100.000 penduduk, sedangkan di 

negara Asia lainnya seperti Cina dan Iran 

sekitar 1-3 per 100.000 penduduk.  PATOFISIOLOGI 

berdasar  anatomi dan fisiologi, ada 

dua motor neuron yaitu lower motor neuron 

(LMN) dan upper motor neuron (UMN). LMN 

terletak di kornu anterior medula spinalis 

dan di batang otak (nukleus motorik saraf 

kranialis) serta menginervasi otot-otot secara langsung. UMN terletak di korteks motorik dan memberikan jaras ke kortikospinal 

dan kortikobulbar (Gambar 1). 

MND dapat bersifat didapat (acquired) atau 

diturunkan (herediter). Neuron motorik 

mengalami apoptosis sehingga terjadi degenerasi akson nervus motorik dan pada 

akhirnya taut saraf-otot juga ikut mengalami 

kerusakan (lihat bab Neuropati, Gambar 1 

mengenai Neuronopati). Serabut-serabut 

otot yang dipersarafi oleh akson yang berdegenerasi akan mengalami atrofi. 

Apoptosis di atas terjadi diperkirakan paling 

mungkin karena faktor genetik. Hal ini diperkuat dengan laporan-laporan ilmiah tentang 

riwayat keluarga pada penderita yang bersifat 

autosomal dominan. Faktor lain yang mungkin 

memicu adanya apoptosis yaitu  defisit 

primer transpor akson. Lambatnya transpor 

akson memicu pembengkakan akson 

kemudian berujung pada atrofi akson. Selain 

dua teori di atas, banyak teori yang diperkirakan berkaitan dengan apoptosis neuron 

motorik, yaitu metabolisme karbohidrat 

yang abnormal, neoplasma, deposisi kompleks imun, defek DNA repair enzyme, dan 

lain-lain. 

Secara elektrofisiologi, masing-masing serabut otot akan menunjukkan fibrilasi dan 

gelombang positif (positive waves) akibat 

tidak stabilnya membran otot. Jika serabut- 

serabut otot ini  berkontraksi secara 

bersamaan, maka motor unit yang terkait 

akan mengalami fasikulasi. Pada MND yang 

didapat (acquired), akson saraf motorik 

terkait akan memeberikan reinervasi terhadap serabut otot sehingga pada gambaran 

pemeriksaan elektromiografi (EMG) akan 

terlihat gambaran reinervasi. 

Pada ALS yang bersifat familial, beberapa gen 

ternyata berhubungan denganALS, khususnya 

gen superoxide dismutase 1 (SOD1 ), TAR DNAbinding protein 43 (TARDBP), dan fused in 

sarcoma (FUS). 

GEJALA DAN TANDA KLINIS 

Gejala klinis ALS meliputi gejala UMN dan 

LMN, namun pada sebagian besar kasus 

dapat menunjukkan hanya gejala LMN. Tidak 

ada gejala atau gangguan sensorik pada ALS, 

karena murni hanya mengenai nukleus motorik. 

Gejala klinis LMN pada ALS: 

• Kelemahan dan atrofi otot-otot ekstremitas bagian distal yang asimetri 

• Fasikulasi 

• Flaksid atau tonus otot dapat normal 

• Penurunan refleks fisiologis 

Gejala klinis UMN pada ALS: 

• Atrofi tidak terlalu jelas terlihat 

• Spastis 

• Peningkatan refleks fisiologis pada otot 

yang mengalami atrofi 

• ada refleks patologis (refleks 

Babinski, refleks Hoffmann Tromner) 

Sindrom klinis MND beserta gejala klinisnya 

dapat dilihat pada Tabel1.  

Pacta saat awitan, biasanya kelemahan dan 

atrofi otot hanya mengenai sekelompok otot 

tertentu. Dapat dimulai dari otot ekstremitas, 

bulbar, dan otot pernapasan. Kelemahan otot 

ekstremitas bagian distal yaitu  bentukyang 

paling sering dijumpai. Kelemahan bersifat 

asimetris, pasien dapat menunjukkan gejala 

seperti drop foot, atrofi otot instrinsik tangan, 

gangguan menulis, atau gerakan membuka 

botol. Pacta pemeriksaan fisik, sering sekali 

dijumpai atrofi yang jelas pacta otot tibialis 

anterior. 

Pada bentuk bulbar, gejala yang paling 

sering dialami saat awitan yaitu  gangguan 

berbicara (pelo, slurred). Pada pemeriksaan 

fisik tampak jelas lidah mengalami fasikulasi dan atrofi (Gambar 2). Disfagia dan 

kelemahan otot pernapasan biasanya muncul belakangan. 

Diagnosa  DAN Diagnosa  BANDING 

Diagnosa  

ALS ditegakkan murni secara klinis berdasar  anamnesis dan pemeriksaan fisik 

Pemeriksaan penunjang dilakukan untuk 

menyingkirkan penyakit lainnya yang dapat 

disebabkan kelainan struktural. 

Tanda klinis yang khas yaitu  pasien dengan 

tanda klinis atrofi beberapa kelompok otot di 

beberapa bagian tubuh, fasikulasi di otot-otot 

rangka dan lidah, peningkatan refleks fisiologis, dan perjalanan penyakit berjalan secara 

progresif. Pemeriksaan pencitraan dilakukan 

untuk menyingkirkan adanya kelainan struktural lain yang dapat menerangkan manifestasi klinis pasien. Pada pasien yang dicurigaiALS, sangatpenting dilakukan pemeriksaan 

elektrofisiologi [kecepatan hantar saraf (KHS) 

dan elektromiografi (EM G)] untuk membantu 

menegakkan Diagnosa . Pemeriksaan EMG 

dapat mengkonfirmasi adanya kelainan LMN 

pada pasien dengan klinis UMN. 

Pasien yang memenuhi kriteria revised 

El Escorial sebaiknya segera dilakukan 

pemeriksaan KHS dan EMG. Kriteria revised El Escorial yaitu  sebuah panduan 

untuk membantu menegakkan Diagnosa  

ALS (Tabel 2).  

Diagnosa  Banding 

Penyakit gangguan motor neuron (motor 

neuron disorder) yang sering terjadi dan 

mirip dengan MND antara lain: 

• Multifocal motor neuropathy 

• Spinal muscular atrophy 

• Spinal bulbar muscular atrophyjpenyakit 

Kennedy 

• Poliomielitis 

• Wes Nile virus 

• Paraneoplastic motor neuron disease 

PENGOBATAN 

PENGOBATAN hanya bersifat simtomatik dan 

bukan bersifat kuratif. Riluzole yaitu  suatu 

agen penghambat glutamat yang terbukti 

dapat memperpanjang angka harapan hidup 

pasien ALS. pemakaian  Riluzole telah disetujui di Amerika Serikat, Eropa dan Australia. pemakaian  Riluzole 100mgjhari dapat 

memperpanjang survival sekitar 15 bulan. 

Namun sayangnya Riluzole sampai saat ini 

belum tersedia di Indonesia. 

pemakaian  antioksidan seperti vitamin 

C dan vitamin E banyak dipakai  pada 

pasien ALS. Namun efektivitas pemakaian  

antioksidan ini pada ALS belum terbukti. 

Terapi exercisejlatihan direkomendasikan 

agar dapat mempertahankan tonus otot. 

Pasien ALS dapat mengalami nyeri dan 

spastis. Obat antiinflamasi nonsteroid dan 

golongan opioid dapat dipakai  untuk 

mengatasi nyeri. Sedangkan spastisitas