bank darah 4

 


sehingga hasil produk metabolisme dan penghancuran sel darah 

merah terakumulasi pada larutan di dalam kantong darah. Beberapa perubahan ini  

dapat mempengaruhi fungsi sel darah yang ditransfusikan. 

Sel darah merah pada komponen darah simpan dapat lisis, kondisi ini biasanya 

ditunjukkan oleh Hb bebas di dalam plasma/medium komponen darah.  Lisis sel darah merah 

pada komponen darah sebelum ditransfusikan disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya 

: (i) stress mekanik pada sel yang terjadi selama proses pengolahan darah, seperti sentrifugasi, 

homogenisasi, (ii) kontaminasi bakteri, (iii) variasi sel darah merah donor seperti donor 

dengan sferositosis herediter, donor dengan defisiensi glukosa 6 phosphat dehydrogenase. 

Kondisi lisis sel darah merah memicu  komponen darah ini  tidak memiliki  efek 

terapi yang diinginkan, bahkan pada kadar tertentu adanya Hb bebas di dalam darah pasien 

dapat meningkatkan kadar bilirubin dalam darah. 

Bertambahnya waktu penyimpanan komponen darah, memicu  terjadinya 

beberapa reaksi oksidatif yang dapat memicu  sel darah merah dilisiskan oleh sistem 

imun pasien. Penghancuran sel darah merah yang ditransfusikan di sirkulasi mengurangi efek 

terapi dari transfusi, mengaktifkan sistem retikuloendotelial sistem (RES) pasien dan 

terakumulasinya Fe di dalam tubuh pasien. 

 Berkurang/hilangnya fungsi pompa kation dalam sel darah merah pada komponen 

darah simpan menghasilkan ketidakseimbangan kadar natrium (Na) dan kalium (K). Kalium 

yang berada di dalam sel darah akan keluar ke plasma, sedangkan Na yang berada di luar sel 

akan masuk ke dalam sel darah. Pompa Na+/K+ inaktif pada suhu 40 C. Hal ini memicu  

peningkatan konsentrasi kalium darah (hiperkalemia) pada pasien paska transfusi. Penurunan 

konsentrasi kalium di dalam sel dan peningkatan kalium di luar sel sekitar 1 mEq/L/hari. 

Peningkatan kalium dalam plasma dapat memicu  komplikasi jantung dan bisa berakhir 

dengan kematian pasien. Biasanya komplikasi hiperkalemia karena transfusi terjadi pada bayi 

baru lahir, pasien gagal ginjal, pasien dengan kondisi hipotermia dan asidosis. 

Mikroagregat yang terdiri atas sel lekosit, trombosit dan benang fibrin yang terbentuk 

selama penyimpanan komponen darah dapat memicu  reaksi transfusi. Beberapa studi 

menunjukkan bahwa mikroagregat dapat menimbulkan komplikasi di organ paru-paru. 

B.3. Efek transfusi dalam jumlah dan volume besar 

Jika transfusi dilakukan pada pasien yang mengalami perdarahan parah dan harus 

ditransfusi dengan jumlah darah yang cukup banyak (6 unit kantong darah dewasa) dalam 

waktu kurang dari 24 jam, maka berbagai macam reaksi transfusi non imun dapat terjadi.    

Reaksi hipotermi dapat terjadi paska transfusi, yaitu pasien yang ditransfusi secara cepat 

dengan komponen darah yang disimpan pada suhu 4±2O C. Kondisi ini dapat menurunkan suhu 

di dalam tubuh, yang dapat mempengaruhi hemostasis tubuh pasien. Kondisi hipotermia 

menurunkan metabolisme sitrat dan laktat serta meningkatkan derajat hipokalsemia, dan 

menurunkan tingkat pelepasan Hb ke jaringan. Efek samping lainnya berupa penurunan fungsi 

trombosit dan faktor koagulasi, sehingga akan lebih meningkatkan resiko perdarahan. 

Keracunan sitrat juga dapat terjadi ketika sejumlah besar volume komponen plasma 

yang mengandung antikoagulan sitrat ditransfusikan ke pasien. Transfusi komponen plasma 

dalam jumlah besar dapat mengakibatkan ketidakseimbangan elektrolit tubuh pasien, yaitu 

menurunnya kalsium darah (hipokalsemia),  menurunnya kadar magnesium darah 

(hipomagnesemia), dan jenis elektrolit lainnya.  

Hipokalsemia merupakan ciri utama dari keracunan sitrat. Hal ini dikarenakan, ketika 

antikoagulan sitrat yang berasal dari komponen darah ditransfusikan, maka sitrat akan 

mengikat ion kalsium. Jenis kation lainnya, seperti magnesium dan zinc juga dapat diikat oleh 

sitrat jika jumlah sitrat yang masuk ke dalam tubuh pasien berasal dari 6 atau lebih kantong 

darah donor.  Pada saat sitrat masuk ke dalam tubuh pasien, biasanya langsung dimetabolisme 

menjadi bikarbonat di jaringan yang kaya akan mitokondria, seperti : organ hati, otot rangka 

dan ginjal. Oleh karena itu, pasien dengan kelainan organ hati, gagal ginjal, disfungsi paratiroid 

merupakan pasien dengan resiko tinggi terjadi keracunan sitrat pada transfusi komponen 

darah yang mengandung plasma atau komponen plasma. Jumlah sitrat pada satu kantong 

darah tidak akan mempengaruhi konsentrasi kalsium darah. 

Gejala klinis yang terjadi pada pasien dengan keracunan sitrat adalah : kejang otot, kram, 

mual, muntah, detak jantung yang tidak teratur dan lebih lambat dari normal,  hipotensi, jika 

kondisi pasien makin parah, maka dapat terjadi  tetani. 

Pada transfusi dalam jumlah besar, ada kemungkinan terjadinya mikroagregat 

trombosit, fibrin dan lekosit. Mikroagregat ini  tidak bisa disingkirkan dengan filter darah 

biasa dengan ukuran 170 µm. 

Kalium (K) merupakan jenis elektrolit utama yang memiliki  fungsi pada otot. 

Transfusi dalam jumlah besar dapat memicu  peningkatan kalium (hiperkalemia) 

maupun penurunan kalium (hipokalemia).  

Hiperkalemia terjadi karena efek darah simpan yang memicu  kalium dapat ke luar 

sel darah merah. Hiperkalemia terjadi jika pasien mendapat transfusi dengan 6 atau lebih 

kantong darah dewasa.  

Penurunan konsentrasi kalium darah (hipokalemia) juga dapat terjadi pada pasien yang 

mendapat transfusi darah dalam jumlah banyak. Komponen darah simpan merupakan sel 

darah merah dengan konsentrasi kalium di dalam sel yang berkurang pada proses 

penyimpanan. Pada saat ditransfusikan, kalium yang berada pada plasma pasien akan pindah 

secara osmosis ke dalam sel darah merah untuk memenuhi kebutuhan kalium di dalam sel 

darah yang ditransfusikan. 

 Reaksi transfusi berikutnya adalah oversirkulasi yang terjadi jika volume darah pasien 

meningkat di atas kapasitas sistem kardiopulmonari tubuh pasien. Hal ini terjadi ketika terlalu 

banyak volume darah yang ditransfusikan tidak sebanding dengan volume darah yang hilang. 

Biasanya, kondisi ini terjadi pada pasien bayi atau anak kecil, jika komponen darah yang 

ditransfusikan tidak seimbang dengan berat badan dan total volume darah pasien.  Selain itu, 

pasien lansia maupun penderita anemia berat dengan kadar hemoglobin < 5 g/dL juga bisa 

menderita oversirkulasi paska transfusi. 

Gejala klinis yang terjadi berupa : susah napas, denyut jantung yang lebih dari normal 

(takikardia), hipotensi dan kondisi menjadi parah jika terjadi pembengkakan paru-paru. 

Gejala, biasanya terjadi pada kisaran 6 jam pada saat transfusi. 


C. REAKSI TRANSFUSI NON IMUN TUNDA 

C.1. Akumulasi Fe 

Akumulasi/penumpukan Fe merupakan reaksi transfusi pada pasien dengan terapi 

transfusi rutin, seperti : pasien thalasemia, sickle cell dan penyakit anemia kronis lainnya. 

Akumulasi Fe berasal dari molekul hemoglobin sel darah merah yang dihancurkan. Satu unit 

komponen PRC mengandung 250 mg Fe. Pada saat sejumlah sel darah merah ditransfusikan 

dan kemudian dihancurkan, maka tubuh tidak bisa mengeluarkan Fe dalam jumlah besar, 

sehingga Fe disimpan di dalam tubuh sebagai hemosiderin dan feritin. Akumulasi Fe pada RES, 

organ hati, jantung, limpa dan organ endokrin akan menimbulkan kerusakan organ lebih 

lanjut.  

 Gejala klinis yang timbul pada pasien adalah : kelemahan otot, kelelahan, penurunan 

berat badan, ikterus, anemia, denyut jantung yang tidak teratur. 

 

D. PENCEGAHAN REAKSI TRANSFUSI NON IMUN 

Reaksi transfusi non imun lebih banyak disebabkan karena menurunnya kualitas 

komponen darah yang ditransfusikan. Sebagai contoh, adanya peningkatan hemolisis (sel 

darah merah rusak dan lisis) selama penyimpanan, sehingga menimbulkan 

ketidakseimbangan elektrolit. Selain itu, kemungkinan adanya kontaminasi bakteri pada 

komponen darah selama penyimpanan. Oleh karena itu, perlu diperhatikan proses kontrol 

kualitas (quality control/QC) mulai dari seleksi donor, pengambilan darah donor, pembuatan 

komponen darah sampai dengan distribusi komponen darah ke pasien. Setiap langkah 

kegiatan yang dilakukan harus sesuai dengan standar yang dimiliki oleh unit transfusi darah 

yang melakukan kegiatan ini . 

Pada saat seleksi donor, harus diperhatikan riwayat donor, pemeriksaan fisik dan 

pemeriksaan terhadap infeksi menular lewat transfusi darah. Proses ini  berguna untuk 

mencegah donor yang terindikasi memiliki  infeksi kronis yang dapat menular lewat 

transfusi darah dan kemungkinan adanya infeksi bakteri yang dapat mengontaminasi 

komponen darah.  

Proses berikutnya, yaitu antisepsis lengan donor pada saat pengambilan darah donor. 

Beberapa studi di dalam maupun luar negeri menunjukkan, jika antisepsis lengan donor tidak 

dilakukan dengan benar, maka komponen darah beresiko besar terkontaminasi oleh bakteri 

normal yang berasal dari lengan donor. Pada saat pengambilan darah donor, ada baiknya 

menggunakan kantong darah khusus yang dapat memisahkan 42 mL aliran darah pertama, 

sehingga bakteri yang kemungkinan berasal dari lengan donor dapat disingkirkan.  

Selain pada proses pengambilan darah donor, steriltas komponen darah harus dijaga 

selama proses persiapan dan pengolahan komponen darah serta proses pencairan plasma 

darah yang beku (fresh frozen plasma / FFP, cryopreciptate) di waterbath. Waterbath harus 

dibersihkan dengan menguras air di dalamnya dan didesinfeksi setiap minggu untuk 

mencegah pertumbuhan bakteri P.aeruginosa dan B.cepacia yang biasa mengontaminasi 

waterbath. Selain itu. Komponen plasma juga harus dijaga supaya tetap kering selama proses 

pencairan plasma di waterbath dengan bungkus plastik. 

Berdasarkan studi, diketahui bahwa penggunaan komponen darah apheresis dapat 

mengurangi tingkat  kontaminasi bakteri dibandingkan pengolahan pada komponen darah 

yang dikumpulkan (pooling) , seperti pada komponen trombosit. 

Patuh terhadap SOP dan bekerja dengan memperhatikan aspek sterilitas komponen 

darah dapat mencegah terjadinya kontaminasi bakteri pada komponen darah. Langkah 

pencegahan lainnya, yaitu melakukan pengamatan visual terhadap kemungkinan adanya 

perubahan warna komponen darah menjadi merah keunguan atau coklat, adanya bekuan, 

maupun hemolisis. Hal ini juga dapat membantu mencegah kemungkinan adanya kontaminasi 

bakteri maupun kerusakan komponen darah.   

Bakteri akan mudah untuk memperbanyak diri selama proses penyimpanan komponen 

darah, mengingat darah merupakan medium yang baik untuk hidup dan berkembangnya 

bakteri. Ada tidaknya bakteri yang tumbuh di komponen darah dapat dideteksi dengan 

pemeriksaan kultur bakteri, yang dapat dilakukan untuk pemeriksaan QC rutin maupun 

pemeriksaan skrining sebelum transfusi. 

Pencegahan lainnya terhadap efek komponen darah simpan, yaitu melakukan 

pemeriksaan terhadap lisis sel darah merah terkait lamanya masa simpan yang juga dapat 

merupakan petanda adanya kontaminasi bakteri. Pemeriksaan terhadap penurunan derajat 

keasaman (pH) komponen trombosit juga dapat merupakan indikator adanya kontaminasi 

bakteri. Masa simpan komponen darah juga berpengaruh terhadap kualitas komponen darah 

yang dihasilkan. Semakin lama masa simpan darah, maka kualitas komponen darah akan 

menurun.   

Penggunaan alat juga harus divalidasi, seperti : validasi suhu pada tempat penyimpanan 

komponen darah. Jika suhu tempat pengolahan dan penyimpanan komponen darah tidak 

dicek dan divalidasi setiap hari, maka komponen darah akan beresiko besar terjadi kerusakan 

selama penyimpanan.  

Pada saat akan didistribusikan untuk transfusi, harus diperhatikan makroskopis / 

penampakan komponen darah, seperti : komponen trombosit yang beragregasi / mengumpul, 

warna sel darah merah yang terlalu pekat, cek ada tidaknya kebocoran pada kantong darah. 

Indikasi pemberian komponen darah dan volume yang ditransfusikan untuk mencegah 

terjadinya oversirkulasi. Pada pasien oversirkulasi, transfusi tidak bisa dilakukan secara cepat 

dalam periode 4 jam pertama sesuai standar, melainkan transfusi harus dilakukan perlahan 

dan bisa saja satu komponen darah dibagi dalam beberapa kantong. Riwayat klinis terkait 

penyakit dan reaksi transfusi sebelumnya juga dapat mencegah reaksi oversirkulasi pada 

transfusi berikutnya. 

Maksimal waktu yang dipakai  dari distribusi komponen darah sampai dengan 

ditransfusikan ke pasien harus memenuhi ketentuan prosedur pendistribusian darah.  Hal ini 

dilakukan untuk mencegah penurunan kualitas komponen darah. 

Untuk mencegah reaksi transfusi berupa hipotermia, maka  pasien yang harus transfusi 

darah dalam jumlah banyak dan cepat bisa menggunakan alat penghangat darah (blood 

warmer) yang sesuai. 

Pada pasien yang harus menjalani terapi rutin transfusi darah, untuk mencegah 

terjadinya reaksi akumulasi Fe di dalam tubuh, dapat dilakukan pengobatan berupa 

pemberian chelating agent yang dapat mengikat Fe dan mengeluarkan dari dalam tubuh.  

 

 

 

Glosarium 

 

--  Transfusi  : proses menyalurkan darah atau produk-nya dari satu orang ke sistem 

peredaran darah orang lain. 

 

--  Sitokin  : molekul protein yang dikeluarkan oleh sel ketika diaktifkan oleh antigen untuk 

meningkatkan respon imun. 

 

--  Hemolisis  : pecahnya membran sel darah merah sehingga hemoglobin keluar dari dalam 

sel ke medium sekelilingnya, yaitu plasma.  

 

--  Fagositosis : suatu proses sel fagosit menelan sel-sel asing. 

 

--  Sferosit  : jenis kelainan sel darah merah dengan bentuk kecil dan padat. 

  

--  Ikterus  : kondisi adanya penumpukan bilirubin sehingga kulit dan bagian sklera mata 

menjadi kuning. 

 

--  Hepatosit  : sel parenkimal pada hati. 

 

--  Sistem gastrointestinal : sistem pencernaan untuk menerima makanan, mencerna, 

menyerap zat gizi dan energi dan membuang bagian makanan yang tidak dapat dicerna. 

 

--  Hemoglobinemia : Adanya Hb bebas di dalam plasma darah karena reaksi hemolisis. 

 

--  Hipotalamus : pusat pengendali fungsi tubuh dan sistem syaraf untuk menjaga agar kondisi 

tubuh selalu konstan dan stabil. 

 

--  Alergen : suatu substansi yang dapat menginduksi pembentukan IgE dan menghasilkan 

reaksi alergi. 

 

--  Hipotensi : tekanan darah kurang dari nilai normal. 

 

 

 


Bab 5 

INFEKSI MENULAR LEWAT TRANSFUSI 

DARAH 

 


sampai saat ini telah dikenal 4 kelompok mikro organisme penyebab infeksi, yaitu : virus, 

bakteri, protozoa dan jamur. Dari ke-4 jenis mikro organisme ini , diantaranya 

telah terbukti dapat ditularkan melalui pelayanan transfusi darah yaitu virus, bakteri 

dan protozoa. Infeksi jamur serius biasanya membuat orang menjadi terlapau sakit dan ditolak 

menjadi donor.  

Pada Bab ini akan membahas beberapa agen penyakit yang dapat ditularkan lewat 

transfusi darah serta pemeriksaan uji saring yang dilakukan untuk mencegah penularan agen 

penyakit lewat transfusi darah ini . Virus merupakan penyebab yang paling umum 

ditularkan melalui transfusi darah, dimana virus merupakan bentuk kehidupan yang paling 

sederhana dan dapat menginfeksi semua bentuk kehidupan. Virus tidak bersifat seluler, 

karena tidak memiliki komponen yang diperlukan untuk hidup dan tumbuh sendiri. Untuk 

memperoleh komponen-komponen yang hilang ini, virus tergantung pada sel penjamu (host) 

yang mereka infeksi. 

Setelah menginfeksi sel penjamu yang sesuai, virus ini  mempengaruhi fungsi-

fungsi normal dari sel host. Asam nukleat virus memicu  sel ini  membuat partikel 

virus baru yang disebut virion, yang akan di lepaskan datri sel host dan menginfeksi sel-sel 

lainnya. Protein yang ada  dalam lapisan virus dan inti virus dikenali melalui respon 

kekebalan dari organisme ini . Beberapa contoh virus yang umum, antara lain : virus 

hepatitis A, virus hepatitis B dan Human Immunodeficiency Virus (HIV). 

Beberapa virus memiliki sifat kelatenan (latency), yaitu kemampuan suatu virus untuk 

menggabungkan asam nukleatnya dengan asam nukleat dari sel host. Para agen mikroba 

menular melalui transfusi darah dapat memicu  kecacatan dan kematian pada resipien. 

Untuk  menular melalui darah, agen infeksi biasanya memiliki karaktristik sebagai berikut: 

--  Kehadiran dalam darah untuk waktu yang lama, kadang-kadang  dengan  titer tinggi 

--  Stabil dalam darah jika disimpan pada 4°C atau lebih rendah 


--  Masa inkubasi lama sebelum munculnya tanda-tanda klinis 

--  Fase asimtomatik atau gejala hanya ringan dalam donor darah, maka tidak dapat 

diidentifikasi selama proses seleksi donor darah . 

Volume darah atau komponen darah yang besar diberikan kepada pasien selama terapi 

transfusi dengan jumlah virus yang rendah dapat memicu  infeksi di penerima. Sangat 

penting bahwa layanan transfusi darah sudah memiliki sistem  penyaringan efektif untuk 

mendeteksi, memisahkan dan menghapus donor darah reaktif dan semua komponen yang 

berasal dari sumbangan ini  dari bagian karantina sehingga tidak dipakai  sebagai 

persediaan. Hanya darah dan komponen darah yang non-reaktif dapat diberikan untuk 

penggunaan klinis atau manufaktur. 

Berbagai penanda infeksi muncul pada waktu yang berbeda setelah infeksi. Setiap 

infeksi menular lewat transfusi darah memiliki satu atau lebih periode jendela, mulai dari 

beberapa hari sampai bulan, tergantung pada agen infeksi, skrining penanda yang dipakai  

dan teknologi penyaringan dipakai. Selama periode ini, penanda skrining tertentu belum 

terdeteksi pada pasien yang baru terinfeksi, meskipun pasien itu mungkin menularkan. 

Asam nukleat dari bagian agen infeksi itu sendiri adalah yang pertama terdeteksi sebagai 

target, diikuti dalam beberapa hari oleh antigen, dan kemudian oleh terbentuknya antibodi 

sebagai perkembangan respon imun. Satu atau kombinasi dari penanda infeksi dapat 

dipakai  untuk mendeteksi infeksi tertentu selama proses uji saring. Berbagai sistem uji 

dikembangkan untuk skrining darah dalam mendeteksi: 

--  Antibodi yang menunjukkan respon imun terhadap agen infeksi 

--  Antigen yang dihasilkan oleh agen infeksi dan menunjukkan 

--  Kehadiran agen melalui asam nukleat (RNA / DNA) dari agen infeksi. 

Setiap kantong darah yang disumbangkan harus diuji saring terhadap IMLTD dan hanya 

dikeluarkan jika hasilnya non reaktif. Uji saring harus secara formal disetujui untuk dipakai  

dan paling sedikit untuk mendeteksi petanda infeksi, antara lain : Hepatitis B surface antigen 

(HBsAg),  antibodi HIV 1/HIV 2 (anti-HIV1/HIV2), antibodi Hepatitis C (anti-HCV) dan Sifilis. 

Di negara-negara non-endemik, di mana populasi donor darah termasuk wisatawan atau 

pendatang dari daerah endemis, strategi alteRNAtif mungkin diperlukan berdasarkan pada 

penangguhan selektif donor darah atau dengan tes skrining yang sesuai jika tersedia. 

Beberapa infeksi, seperti Cytomegalovirus (CMV) pada manusia  dapat menimbulkan risiko 

untuk kelompok penerima tertentu saja. Dalam situasi ini, skrining selektif donor penerima 

tertentu biasanya diadopsi. 

Untuk meminimalkan risiko penularan infeksi melalui transfusi, dilakukan strategi 

sebagai berikut: 


1) Semua darah dan sumbangan apheresis seluruhnya harus diskrining untuk bukti adanya 

infeksi sebelum darah dan komponen darah diberikan untuk penggunaan klinis atau 

manufaktur. 

2) Semua darah sumbangan harus wajib untuk melakukan skrining sebagai berikut: 

--  HIV-1 dan HIV-2: skrining baik untuk kombinasi antigen-antibodi HIV atau antibodi 

HIV 

--  Hepatitis B: skrining untuk antigen permukaan hepatitis B (HBsAg) 

--  Hepatitis C: skrining baik untuk kombinasi antigen-antibodi HCV atau antibodi HCV 

--   Sifilis (Treponema pallidum): skrining untuk antibodi Treponema tertentu. 

3) Skrining penyumbangan untuk infeksi lain, seperti yang memicu  malaria atau 

penyakit Chagas, harus didasarkan pada bukti epidemiologi lokal. 

4) Skrining harus dilakukan dengan menggunakan tes yang sangat sensitif dan spesifik yang 

telah secara khusus dievaluasi dan divalidasi untuk skrining darah. 

5) Kualitas skrining harus menjamin semua sumbangan menggunakan dengan metode 

serologi sebelum menggunakan teknologi tambahan seperti pengujian asam nukleat. 

6) Hanya darah dan komponen darah yang reaktif di semua tes skrining untuk semua 

penanda harus dihilangkan agar tidak dipakai untuk penggunaan klinis atau manufaktur. 

7) Semua unit reaktif harus ditandai jelas (dilabel) dan dihilangkan dari stok karantina dan 

disimpan secara terpisah dengan aman sampai unit dibuang atau disimpan untuk tujuan 

jaminan kualitas atau penelitian sesuai dengan kebijakan nasional. 

Pengujian konfirmasi darah yang reaktif harus dilakukan untuk pemberitahuan donor, 

konseling dan rujukan untuk pengobatan, penangguhan atau recall untuk sumbangan masa 

depan, dan melihat kembali donasi.  

Alat tes yang paling umum dipakai  dirancang untuk mendeteksi antibodi, antigen 

atau asam nukleat dari agen infeksi. Namun, tidak semua tes cocok dalam segala situasi dan 

setiap pemeriksaan memiliki keterbatasan yang perlu dipahami dan dipertimbangkan ketika 

memilih pemeriksaan ini . 

Jenis utama dari uji yang dipakai  untuk skrining darah adalah: 

1) Immunoassays (IAS): 

- Enzim immunoassay (EIAs) 

- Chemiluminescent immunoassays (CLIAs) 

- Hemaglutinasi (HA) / Tes partikel aglutinasi (PA)  

- Tes cepat / sederhana sekali pakai (Rapid Test) 

2) Tes teknologi amplifikasi asam nukleat (NAT). 

   

  

 

Dalam konteks skrining darah, evaluasi yang tepat diperlukan dalam memilih jenis tes 

untuk setiap infeksi menular lewat transfusi darah, berdasarkan pentingnya karakteristik 

pemeriksaan, seperti sensitivitas dan spesifisitas, serta biaya dan kemudahan penggunaan. 

--  Immunoassays (IAS) 

Immunoassays adalah sistem uji yang tersedia dalam beberapa format yang dapat 

dipakai  untuk mendeteksi antibodi, antigen atau kombinasi dari keduanya. Umumnya, tes 

yang paling sederhana untuk deteksi antibodi didasarkan pada penggunaan antigen amobil 

(fase diam) yang menangkap setiap antibodi spesifik yang ada dalam sampel uji (IA tidak 

langsung/indirect). Umumnya tes deteksi antigen dipakai  didasarkan pada penggunaan 

antibodi bergerak ke menangkap antigen patogen spesifik hadir dalam sampel. 

Immunoassays dapat dipakai  dalam situasi yang berbeda dari laboratorium dengan 

otomatisasi penuh  atau untuk laboratorium menengah dengan semi-otomasi, dan juga 

laboratorium kecil, seperti di daerah-daerah terpencil yang melakukan sejumlah tes secara 

manual. 

2.3.2 Enzim immunoassay (EIAs) dan Immunoassays Chemiluminescent (CLIAs) 

Enzim immunoassay (EIAs) dan Immunoassays Chemiluminescent (CLIAs) adalah tes 

yang paling umum dipakai  untuk skrining IMLTD darah donor . Desain EIAs dan CLIAs mirip 

dan mereka hanya berbeda dalam cara deteksi kompleks imun dalam pembentukan 

kompleks warna dalam EIAs  dan pengukuran cahaya yang dihasilkan oleh reaksi bahan kimia 

di CLIAs. Salah satu jenis dari pemeriksaan imunoserologi (Immunoassay/IA) dengan 

sensitivitas tinggi, pada biasanya  diperlukan mendeteksi penanda target infeksi dan harus  

dievaluasi dengan benar untuk skrining darah serta menjaga kualitas mutu hasil pemeriksaan. 

EIAs dan CLIAs cocok untuk jumlah besar sampel dan membutuhkan berbagai peralatan 

khusus. Tes ini dapat dilakukan baik non manual atau sistem pengolahan uji otomatis (sistem 

terbuka) dan sistem otomatis (sistem tertutup). EIAs dan CLIAs memiliki fase padat yang 

berbeda untuk menangkap  antigen atau antibodi. Paling umum, fase padat yang dipakai  

adalah: 

1) Dasar dan sisi dari microwell polystyrene 

2) Permukaan polystyrene atau bahan lainnya 

3) Micro-partikel 

4) Permukaan perangkat pakai tertentu yang dipakai  dalam sistem otomatis biasanya 

polystyrene 

5) Strips dari nilon atau membran nitro-selulosa, khusus dipakai  di Western Blot dan line 

assay. 


Gambar Prinsip Kerja CLIA 

 

Pada gambar  prinsip kerja CLIA  ke dalam well dimasukkan antibodi yang dicoated 

dengan partikel magnetic, kemudian ditambahkan sampel yang mengandung target antigen 

dan ditambahkan juga antibodi yang dilabel ALP. Inkubasi untuk terjadi reaksi imulogi. 

Kemudian dipisahkan komponen yang tidak dibutuhkan dengan teknologi magnetisasi dan 

kemudian ditambahkan substrat akridium ester yang mengakibatkan reaksi enzimatis dan 

kemudian pendaran di deteksi dengan luminometer dengan panjang gelombang 461 nm.  

 

Gambar. Prinsip Kerja ELISA/EIA 

menunjukkan ke dalam well dilekatkan (coated) antibodi spesifik, kemudian 

ditambahkan sampel yang mengandung target antigen dan dilakukan pencucian untuk 

menghilangkan analit yang tidak bereaksi. Ditambahkan juga antibodi kedua yang dilabel 

enzim dan kemudian ditambahkan substrat dan stop solution, maka akan terjadi perubahan 

   

  

 

warna. Perubahan warna yang terbentuk diukur dengan fotometer dengan panjang 

gelombang tertentu. Hasil reaktif jika nilai absorban > dari nilai cut off. 

Berikut ini adalah perbedaan EIA dan CLIA berdasarkan tabel 18 di bawah ini. 

Tabel  17. Perbedaan EIA dan CLIA 

Perbedaan  EIA CLIA 

Pembawa 

antigen/antibodi 

Berupa permukaan well Mikropartikel 

Substrat yang dipakai  Enzim (TMB) Zat kimia (akridium ester) 

Reaksi Tergantung suhu dan pH stabil 

Deteksi hasil reaksi fotometer luminometer 

Target molekul yang 

ditangkap 

Lebih sedikit sesuai 

permukaan well 

Lebih banyak, permukaan 

pembawa antibodi/antigen 

lebih luas dan berbentuk bulat  

Sumber cahaya Panjang gelombang 

tertentu 

stabil 

 

2.3.3 Tes aglutinasi partikel  

Tes aglutinasi partikel mendeteksi keberadaan antibodi spesifik atau antigen di sampel 

uji melalui aglutinasi partikel dilapisi dengan komplemen antigen tertentu atau antibodi 

masing-masing. Tes aglutinasi, terutama tes antibodi menggunakan berbagai partikel 

termasuk sel darah merah (haemagglutination) dan partikel inert seperti gelatin dan lateks. 

Penggunaan partikel ini memiliki keuntungan mengurangi reaktivitas non-spesifik terhadap 

reaksi silang antigen sel darah merah. Prinsip-prinsip dasar haemagglutination dan tes 

partikel aglutinasi adalah sama, terlepas dari jenis partikel bebas. Tes  aglutinasi partikel 

masih dipakai  secara luas untuk mendeteksi antibodi sifilis. aglutinasi partikel tidak 

melibatkan beberapa langkah atau pencucian peralatan.  


Gambar Prinsip Tes Partikel Aglutinasi 

Pada gambar 5.3 menunjukkan antibodi spesifik dilapisi dengan partikel lateks, kemudian 

ditambahkan serum atau plasma yang mengandung antigen maka akan terbentuk aglutinasi 

yang dapat diamati langsung dengan bantuan partikel lateks ini . Hasil reaktif jika terjadi 

aglutinasi. 

 

2.3.4 Rapid Test 

Rapid Test dipakai  sekali dan dibuang. Banyak tes cepat didasarkan pada bentuk 

imunokromatografi dimana sampel ditambahkan mengalir turun strip inert dan bereaksi 

dengan sebelumnya reagen dengan fase gerak. Sampel bisa serum, plasma atau bahkan darah 

lengkap dalam beberapa kasus. Reaksi positif divisualisasikan sebagai titik atau garis / band 

yang muncul di strip. Sebagian besar tes juga mengharuskan timbulnya garis / band pada 

daerah kontrol yang dipakai  untuk memvalidasi hasil masing-masing perangkat. 

   

 

Gambar . Prinsip Kerja Rapid Test 

Gambar  menggambarkan antibodi spesifik yang dicoated konjugat emas dilapiskan 

pada membran selulosa, kemudian ditambahkan serum atau plasma yang mengandung 

antigen maka akan terjadi ikatan antigen-antibodi+konjugat emas yang akan bergerak ke 

daerah tes yang telah dilekatkan antibody spesifik kedua dan akan terbentu warna di bagian 

test. Sisa antibodi spesifik yang dicoated konjugat emas akan terus bererak ke bagian kontrol 

dan akan ditangkap oleh anti IgG sehingga terbentuk pita di bagian Kontrol. 

  

Di bawah ini pada tabel 5.2 menjelaskan perbedaan EIA dan Rapid Tes, yaitu  

Tabel 5.2. Perbedaan EIA dan Rapid Test 

Perbedaan EIA Rapid Tes 

Penggunaan Lebih banyak langkah Mudah 

Waktu Lama Cepat 

Spesifisitas Bisa terjadi false positif Lebih tinggi dari EIA 

Sensitivitas Tinggi Lebih rendah dari EIA 

Cara deteksi Menggunakan fotometer Pengamatan langsung 

 

--  Tes Teknologi Amplifikasi Asam Nukleat 

Teknologi amplifikasi asam nukleat (NAT), seperti yang diterapkan untuk skrining darah, 

mendeteksi keberadaan asam nukleat virus berbentuk DNA atau RNA dalam darah donor. 

Dalam teknologi ini, segmen RNA / DNA spesifik virus ditargetkan dan diperkuat secara in-

vitro. Langkah amplifikasi memungkinkan dapat mendeteksi titer virus yang rendah dalam 

sampel asli dengan meningkatkan jumlah yang target yang hadir spesifik untuk titer yang 

mudah dideteksi. Kehadiran asam nukleat spesifik menunjukkan kehadiran virus itu sendiri 

dan bahwa sumbangan ini  mungkin menular. 

 

Pada gambar menunjukkan pada prinsip kerja NAT RNA atau DNA virus di amplifikasi 

dengan bantuan enzim reverse trankriptase untuk mendapatkan DNA virus atau agen infeksi 

murni. Tes NAT baik dapat dilakukan pada donor pasien (ID) atau mini-pool (MP) untuk 

mendeteksi asam nukleat dari agen infeksi. Selain tes NAT yang menargetkan asam nukleat 

virus, multipleks tes skrining NAT yang dikembangkan dapat mendeteksi DNA atau RNA dari 

beberapa virus secara bersamaan. 

 

 


  

Topik 1 

HEPATITIS B 

 

A. STRUKTUR DAN MORFOLOGI  

Hepatitis B merupakan suatu penyakit hati yang disebabkan oleh virus Hepatitis B, yaitu 

salah satu virus termasuk anggota famili hepadnavirus yang dapat memicu  peradangan 

hati akut atau kronis yang dapat berlanjut menjadi sirosis hati atau kanker hati. Hepatitis B 

akut jika perjalanan penyakit kurang dari 6 bulan sedangkan Hepatitis B kronis bila penyakit 

menetap, tidak menyembuh secara klinis atau laboratorium atau pada gambaran patologi 

anatomi selama 6 bulan. 

 

Gambar  Struktur virus Hepatitis B  

Virus Hepatitis B (VHB) adalah virus (Deoxyribo Nucleic Acid) DNA terkecil berasal dari 

genus Orthohepadnavirus famili Hepadnaviridae berdiameter 40-42 nm. Masa inkubasi 

berkisar antara 15-180 hari dengan rata-rata inkubasi 60-90 hari. Bagian luar dari virus ini 

adalah protein envelope lipoprotein, sedangkan bagian dalam berupa nukleokapsid atau core. 

Genom virus hepatitis B merupakan molekul DNA sirkular untai-ganda parsial dengan 3200 

nukleotida . Genom berbentuk sirkuler dan memiliki empat Open Reading Frame (ORF) yang 

saling tumpang tindih secara parsial protein envelope yang dikenal sebagai selubung HBsAg 

seperti large HBs (LHBs), medium HBs (MHBs), dan small HBs (SHBs) disebut gen S, yang 

merupakan target utama respon imun host, dengan lokasi utama pada asam amino 100-160. 

HBsAg dapat mengandung satu dari sejumlah subtipe antigen spesifik, disebut d atau y, w atau 

r. Subtipe HbsAg ini menyediakan penanda epidemiologik tambahan. Gen C yang mengkode 

protein inti (HBcAg) dan HBeAg, gen P yang mengkode enzim polimerase yang dipakai  

untuk replikasi virus, dan terakhir gen X yang mengkode protein X (HBx), yang memodulasi 

sinyal sel host secara langsung dan tidak langsung mempengaruhi ekspresi gen virus ataupun 

host, dan belakangan ini diketahui berkaitan dengan terjadinya kanker hati. 

   

 

Gambar . Genom virus Hepatitis B  

Infeksi VHB merupakan penyebab utama hepatitis akut, hepatitis kronis, sirosis, dan 

kanker hati di dunia. Infeksi ini endemis di daerah Timur Jauh, sebagian besar kepulaan Pasifik, 

banyak negara di Afrika, sebagian Timur Tengah, dan di lembah Amazon. Center for Disease 

Control and Prevention (CDC) memperkirakan bahwa sejumlah 200.000 hingga 300.000 orang 

(terutama dewasa muda) terinfeksi oleh VHB setiap tahunnya. Hanya 25% dari mereka yang 

mengalami ikterus, 10.000 kasus memerlukan perawatan di rumah sakit, dan sekitar 1-2% 

meninggal. 

Sepertiga penduduk dunia diperkirakan telah terinfeksi oleh VHB dan sekitar 400 juta 

orang merupakan pengidap kronik Hepatitis B, sedangkan prevalensi di Indonesia dilaporkan 

berkisar antara 3-17%. Virus Hepatitis B diperkirakan telah menginfeksi lebih dari 2 milyar 

orang yang hidup saat ini selama kehidupan mereka. Tujuh puluh lima persen dari semua 

pembawa kronis hidup di Asia dan pesisir Pasifik Barat. Prevalensi pengidap VHB tertinggi ada 

di Afrika dan Asia. Hasil Riset Kesehatan Dasar tahun 2007 menunjukkan bahwa Hepatitis klinis 

terdeteksi di seluruh provinsi di Indonesia dengan prevalensi sebesar 0,6% (rentang: 0,2%-

1,9%). Hasil Riskesdas Biomedis tahun 2007 dengan jumlah sampel 10.391 orang 

menunjukkan bahwa persentase HBsAg positif 9,4%. Persentase Hepatitis B tertinggi pada 

kelompok umur 45- 49 tahun (11,92%), umur >60 tahun (10.57%) dan umur 10-14 tahun 

(10,02%), selanjutnya HBsAg positif pada kelompok laki-laki dan perempuan hampir sama 

(9,7% dan 9,3%). Hal ini menunjukkan bahwa 1 dari 10 penduduk Indonesia telah terinfeksi 

virus Hepatitis B. 

B. CARA PENULARAN 

Penularan virus hepatitis B (VHB) adalah melalui parenteral dan menembus membran 

mukosa, terutama berhubungan seksual. Penanda HBsAg telah diidentifikasi pada hampir 

setiap cairan tubuh dari orang yang terinfeksi yaitu saliva, air mata, cairan seminal, cairan 

serebrospinal, asites, dan air susu ibu. Beberapa cairan tubuh ini (terutama semen dan saliva) 

telah diketahui infeksius dan dapat menularkan virus VHB. 

Jalur penularan infeksi VHB yang terbanyak di Indonesia adalah secara parenteral yaitu 

secara vertikal (transmisi) mateRNAl-neonatal atau horisontal (kontak antar pasien yang 

sangat erat dan lama, seksual, infeksi nosokomial akibat prosedur diagnostik (iatrogenik), 

penggunaan jarum suntik bersama). Virus Hepatitis B dapat dideteksi pada semua sekret dan 

cairan tubuh manusia, dengan konsentrasi tertinggi pada serum. 

Infeksi VHB berlangsung dalam dua fase. Selama fase proliferatif, DNA VHB ada  

dalam bentuk episomal, dengan pembentukan virion lengkap dan semua antigen terkait. 

Ekspresi gen HBsAg dan HBcAg di permukaan sel disertai dengan molekul MHC kelas I 

memicu  pengaktifan limfosit T sitotoksik (CD8+). Selama fase integratif, DNA virus 

meyatu kedalam genom pejamu. Seiring dengan berhentinya replikasi virus dan munculnya 

antibodi virus, infektivitas berhenti dan kerusakan hati mereda. Namun risiko terjadinya 

karsinoma hepatoselular menetap. Hal ini sebagian disebabkan oleh disregulasi pertumbuhan 

yang diperantarai protein X VHB. Kerusakan hepatosit terjadi akibat kerusakan sel yang 

terinfeksi virus oleh sel sitotoksik (CD8+). 

 

Gambar . Patogenesis imun pada virus hepatitis B 

 

Proses replikasi VHB berlangsung cepat, sekitar 1010-1012 virion dihasilkan setiap hari. 

Siklus hidup VHB dimulai dengan menempelnya virion pada reseptor di permukaan sel hati 

   

  

 

). Setelah terjadi fusi membran, partikel core kemudian ditransfer ke sitosol dan 

selanjutnya dilepaskan ke dalam nucleus (genom release), selanjutnya DNA VHB yang masuk 

ke dalam nukleus mula-mula berupa untai DNA yang tidak sama panjang yang kemudian akan 

terjadi proses DNA repair berupa memanjangnya rantai DNA yang pendek sehingga menjadi 

dua untai DNA yang sama panjang atau covalently closed circle DNA (cccDNA). 

 

Gambar  Siklus replikasi virus hepatitis B (

 

Proses selanjutnya adalah transkripsi cccDNA menjadi pre-genom RNA dan beberapa 

messenger RNA (mRNA) yaitu mRNA, LHBs, MHBs, dan mRNA SHBs. Semua RNA VHB 

kemudian ditransfer ke sitoplasma dimana proses translasi menghasilkan protein envelope, 

core, polimerase, polipeptida X dan pre-C, sedangkan translasi mRNA LHBs, MHBs, dan mRNA 

SHBs akan menghasilkan protein LHBs, MHBs, dan SHBs. Proses selanjutnya adalah 

pembuatan nukleokapsid di sitosol yang melibatkan proses encapsidation yaitu 

penggabungan molekul RNA ke dalam HBsAg. Proses reverse transcription dimulai, DNA virus 

dibentuk kembali dari molekul RNA. Beberapa core yang mengandung genom matang 

ditransfer kembali ke nukleus yang dapat dikonversi kembali menjadi cccDNA untuk 

mempertahankan cadangan template transkripsi intranukleus. Akan tetapi, sebagian dari 

protein core ini bergabung ke kompleks golgi yang membawa protein envelope virus. Protein 

core memperoleh envelope lipoprotein yang mengandung antigen surface L, M, dan S, yang 

selanjutnya ditransfer ke luar sel. 

Sel hati manusia merupakan target organ bagi virus Hepatitis B. Virus Hepatitis B mula-

mula melekat pada reseptor spesifik di membran sel hepar kemudian mengalami penetrasi ke 

dalam sitoplasma sel hepar. Virus melepaskan mantelnya di sitoplasma, sehingga melepaskan 

nukleokapsid. Selanjutnya nukleokapsid akan menembus sel dinding hati. Asam nukleat VHB 

akan keluar dari nukleokapsid dan akan menempel pada DNA hospes dan berintegrasi pada 

DNA ini . Proses selanjutnya adalah 17 DNA VHB memerintahkan sel hati untuk 

membentuk protein bagi virus baru.  Virus Hepatitis B dilepaskan ke peredaran darah, terjadi 

mekanisme kerusakan hati yang kronis disebabkan karena respon imunologik penderita 

terhadap infeksi. 

Proses replikasi virus tidak secara langsung bersifat toksik terhadap sel, terbukti banyak 

carrier VHB asimtomatik dan hanya memicu  kerusakan hati ringan. Respon imun host 

terhadap antigen virus merupakan faktor penting terhadap kerusakan hepatoseluler dan 

proses klirens virus, makin lengkap respon imun, makin besar klirens virus dan semakin berat 

kerusakan sel hati. Respon imun host dimediasi oleh respon seluler terhadap epitop protein 

VHB, terutama HBsAg yang ditransfer ke permukaan sel hati. Human Leukocyte Antigen (HLA) 

class I-restricted CD8+ cell yang mengenali fragmen peptida VHB setelah mengalami proses 

intrasel dan dipresentasikan ke permukaan sel hati oleh molekul Major Histocompability 

Complex (MHC) kelas I. Proses berakhir dengan penghancuran sel secara langsung oleh 

Limfosit T sitotoksik (CD8+). 

 

C. GEJALA KLINIS 

Manifestasi klinis infeksi VHB pada pasien hepatitis akut cenderung ringan. Hepatitis B 

sulit dikenali karena gejala-gejalanya tidak langsung terasa dan bahkan ada yang sama sekali 

tidak muncul. sebab  itulah, banyak orang yang tidak menyadari bahwa dirinya telah 

terinfeksi. Virus ini biasanya berkembang selama 1-5 bulan sejak terjadi pajanan terhadap 

virus sampai kemunculan gejala pertama.  Kondisi asimtomatis ini terbukti dari tingginya 

angka pengidap tanpa adanya riwayat hepatitis akut. Apabila menimbulkan gejala hepatitis, 

gejalanya menyerupai hepatitis virus yang lain tetapi dengan intensitas yang lebih berat. 

Beberapa gejala umum hepatitis B antara lain  :  

− Kehilangan nafsu makan. 

− Mual dan muntah. 

− Nyeri di perut bagian bawah. 

− Sakit kuning (dilihat dari kulit dan bagian putih mata yang menguning). 

   

  

 

− Gejala yang mirip pilek, misalnya lelah, nyeri pada tubuh, dan sakit kepala. 

Gejala hepatitis akut terbagi dalam 4 tahap, yaitu: 

1) Fase Inkubasi 

Merupakan waktu antara masuknya virus dan timbulnya gejala atau ikterus. Fase inkubasi 

Hepatitis B berkisar antara 15-180 hari dengan rata-rata INKUBASI 60-90 hari. 

2) Fase prodromal (pra ikterik) 

Fase diantara timbulnya keluhan-keluhan pertama dan timbulnya gejala ikterus. 

Awitannya singkat atau insidous ditandai dengan malaise umum, mialgia, artalgia, mudah 

lelah, gejala saluran napas atas dan anoreksia. Diare atau konstipasi dapat terjadi. Nyeri 

abdomen biasanya ringan dan menetap di kuadran kanan atas atau epigastrum, kadang 

diperberat dengan aktivitas akan tetapi jarang menimbulkan kolestitis. 

3) Fase ikterus 

Ikterus muncul setelah 5-10 hari, tetapi dapat juga muncul bersamaan dengan munculnya 

gejala. Banyak kasus pada fase ikterus tidak terdeteksi. Setelah timbul ikterus jarang 

terjadi perburukan gejala prodromal, tetapi justru akan terjadi perbaikan klinis yang 

nyata. 

4) Fase konvalesen (penyembuhan) 

Diawali dengan menghilangnya ikterus dan keluhan lain, tetapi hepatomegali dan 

abnormalitas fungsi hati tetap ada. Muncul perasaan sudah lebih sehat dan kembalinya 

nafsu makan. Sekitar 5-10% kasus perjalanan klinisnya mungkin lebih sulit ditangani, 

hanya <1% yang menjadi fulminan ,

Hepatitis B kronis didefinisikan sebagai peradangan hati yang berlanjut lebih dari enam 

bulan sejak timbul keluhan dan gejala penyakit. Perjalanan hepatitis B kronik dibagi menjadi 

tiga fase penting yaitu : 

1) Fase Imunotoleransi 

Sistem imun tubuh toleren terhadap VHB sehingga konsentrasi virus tinggi dalam darah, 

tetapi tidak terjadi peradangan hati yang berarti. Virus Hepatitis B berada dalam fase 

replikatif dengan titer HBsAg yang sangat tinggi. 

2) Fase Imunoaktif (Clearance) 

Sekitar 30% pasien persisten dengan VHB akibat terjadinya replikasi virus yang 

berkepanjangan, terjadi proses nekroinflamasi yang tampak dari kenaikan konsentrasi 

ALT. Fase clearance menandakan pasien sudah mulai kehilangan toleransi imun terhadap 

VHB. 

3) Fase Residual 

Tubuh berusaha menghancurkan virus dan menimbulkan pecahnya sel-sel hati yang 

terinfeksi VHB. Sekitar 70% dari pasien ini  akhirnya dapat menghilangkan sebagian 

besar partikel virus tanpa ada kerusakan sel hati yang berarti. Fase residual ditandai 

dengan titer HBsAg rendah, HBeAg yang menjadi negatif dan anti-HBe yang menjadi 

positif, serta konsentrasi ALT normal. 

 

D. METODE PEMERIKSAAN 

Virus Hepatitis B ada  dalam aliran darah dengan titer virus itu sendiri bervariasi. 

Dalam orang yang baru terinfeksi, DNA virus biasanya terdeteksi meskipun tidak selalu pada 

titer tinggi. Pada pasien kronis, bila ditemukan DNA virus hepatitis B maka darah donor 

ini  infeksius atau jika tidak ditemukan DNA virus dan viremia dengan titer sangat rendah 

atau tidak ada sama sekali, maka darah donor ini  tidak infeksius.  

Skrining untuk antigen permukaan hepatitis B (HBsAg) menunjukkan infeksi dengan 

VHB, tetapi tidak dengan sendirinya membedakan antara infeksi baru dan kronis. Perbedaan 

antara infeksi akut dan kronis tidak relevan dengan penyaringan darah, semua sumbangan 

HBsAg positif harus dianggap berisiko tinggi transmisi VHB dan tidak akan dikeluarkan untuk 

transfusi. Beberapa penelitian menunjukkan ketika HBsAg negatif pada beberapa pasien 

dengan titer DNA virus rendah yang terdeteksi oleh Nucleic Acid Test (NAT), maka darah 

ini  dapat memicu  infeksi pada resipien / penerima. Infeksi kemudian memiliki 

probabilitas yang lebih tinggi untuk maju ke sirosis dan karsinoma hepatoseluler. 

Serologi virus hepatitis B adalah kompleks. Sejumlah tanda serologi yang berbeda 

mengembangkan selama infeksi, termasuk antigen permukaan hepatitis B (HBsAg) dan 

antibodi hepatitis B inti (anti-HBc).  Metode yang dipakai  untuk mengidentifikasi 

keberadaan VHB menggunakan target skrining berikut: 

--  Metode serologis: 

− Antigen permukaan Hepatitis B (HBsAg) : 3 minggu setelah infeksi.  

− Hepatitis B inti (Hbc) antibodi ( anti-HBs dengan titer ≥ 100 mIU/mL, maka dianggap 

aman) 


--  Asam nukleat virus: HBV DNA. 

Untuk meminimalkan risiko infeksi penularan virus hepatitis B melalui transfusi, maka 

direkomendasikan oleh WHO sebagai berikut : 

1) Skrining harus dilakukan dengan menggunakan sangat sensitif dan spesifik yaitu HBsAg 

immunoassay (EIA / CLIA). 

2) Skrining menggunakan HBsAg rapid test yang sangat sensitif dan spesifik atau 

pemeriksaan partikel aglutinasi dapat dilakukan di laboratorium yang kecil, di daerah 

terpencil atau dalam situasi darurat. 

3) Skrining untuk anti-HBc tidak dianjurkan sebagai rutinitas. Negara harus menentukan 

kebutuhan untuk skrining anti-HBc berdasarkan prevalensi dan kejadian infeksi HBV. 

4) Skrining untuk ALT tidak dianjurkan. 

 

 Pemeriksaaan HBsAg metode rapid Test 

Prinsip pemeriksaan :  

HBsAg  dalam sampel akan berikatan dengan anti-HBs colloidal 

gold konjugat membentuk komplek yang akan bergerak melalui membran area tes 

yang telah dilapisi oleh anti-HBsAg. Kemudian terjadi reaksi  membentuk garis berwarna 

merah muda keunguan  yang menunjukkan hasil positif pada area tes. Apabila dalam 

sampel tidak ada  HBsAg maka tidak akan menimbulkan garis merah pada area tes. 

Kelebihan anti-HBs colloidal gold konjugat akan terus bergerak menuju area kontrol (C) 

yang telah dilapisi anti IgG tikus dari serum kambing (anti-mouse IgG antibody), sehingga 

berikatan dan membentuk garis merah pada area kontrol yang menunjukkan hasil 

pemeriksaan valid. 

 

Cara kerja :  

1) Disiapkan alat dan bahan yang akan dipakai . 

2) Dilakukan pengambilan sampel. 

3) Dimasukan darah kedalam tabung reaksi, diamkan selama 30 menit, kemudian di 

sentrifus selama 15 menit dengan kecepatan 3000 rpm. 

4) Serum/plasma terbentuk kemudian dipindahkan ke tabung kosong lainnya 

5) Celupkan reagen strip kedalam tabung yg telah di isi sampel tadi sampai tanda batas 

pada strip,biarkan selama 15 menit. 

6) Pengamatan hasil tidak boleh dibaca lebih dari 20 menit. 

 interpretasi Hasil : 

− Positif (+) 

Selain timbul garis merah pada daerah control (C), akan muncul 1 (satu) garis merah 

yang nyata di daerah test (T), hasil positif menyatakan adanya HBsAg. 

− Negatif (-) 

Timbul 1 (satu) garis merah pada bagian kontrol (C), dan tidak ada garis merah di 

daerah test (T). 

− Invalid 

Sama sekali tidak muncul warna merah baik pada daerah test (T), maupun kontrol 

(C), merupakan adanya indikasi adanya kesalahan prosedur atau reagen test yang 

rusak. 

 



 Pemeriksaaan HBsAg metode ELISA / CHLIA 

 

Gambar  Prinsip Pemeriksaan HBsAg Metode ELISA 

Prinsip pemeriksaan :  Antibodi  ganda “sandwich” imunosai   yang  menggunakan  

antibodi anti-HBsAg spesifik: antibodi monklonal HBsAg yang berada di dasar sumur 

mikrotiter dan antibodi poliklonal HBsAg ditambahkan dengan Horseradish Peroxidase 

(HRP) sebagai larutan konjugat. Selama pemeriksaan, adanya HBsAg dalam spesimen 

akan bereaksi dengan antibodi-antibodi   ini    untuk   membentuk   kompleks   imun 

“antibodi-HBsAg-antibodi- HRP”. Setelah materi yang tidak terikat tercuci selama 

pemeriksaan, substrat ditambahkan untuk menunjukkan hasil tes. Munculnya waRNA 

biru di sumur mikrotiter mengindikasikan HBsAg reaktif. Tidak adanya waRNA 

menunjukkan hasil non reaktif di spesimen 

 

Alat dan Bahan : 

- Alat  

1. Mikrotiter well 

2. Mikropipet 

3. Tip Kuning dan Tip Biru 

4. Inkubator 

5. ELISA Reader 

6. ELISA Washer 

- Reagen 

1. Enzim Konjugat 

2. Kontrol Positif 

3. Kontrol Negatif 

4. Sampel diluent 

5. Color A dan B 

6. Stop Solution 

7. Wash Buffer 

- Sampel serum pasien  

1   

  

  

Cara Kerja : 

a. Pembuatan Wash Buffer 

1. Wash buffer pekat dicampurkan dengan aquadest perbandingan (1:19) 

2. Campuran yang sudah jadi disimpan pada suhu ruang selama seminggu 

b. Prosedur Pemeriksaan  

1) Semua reagen dan specimen dikondisikan pada suhu ruang. 

2) Siapkan nomor yang dibutuhkan untuk sumur, yang terdiri dari 1 sumur blanko, 2 

sumur control positif, 2 sumur untuk control negatif dan 1 sumur untuk setiap 

specimen. Tulis nomor seri untuk control dan specimen pada kolom. 

3) Spesimen diluents ditambahkan sebanyak 20µl pada masing-masing sumur. 

4) Spesimen, control negative, control positif ditambahkan sebanyak 100µl sesuai 

dengan kolom data. (sediakan 1 sumur untuk blanko) 

5) Kemudian dihomogenkan 

6) Plate diinkubasi pada incubator suhu 37°C ± 1 jam  

7) Enzyme conjugate ditambahkan pada setiap sumur ± 50µl. 

8) Plate diinkubasi pada incubator suhu 37°C ± 30 menit. 

9) Setiap sumur dicuci dengan wash buffer dengan prosedur : 

--  Pencucian   yang   dilakukan   harus   sesuai   dengan   petunjuk   apabila   ada 

pencucian yang tidak sempuRNA maka akan mempengaruhi hasil. 

--  Semua isi sumur dimasukkan pada labu cuci. Kemudian ditambahkan wash buffer 

350/lebih. 

--   Pastikan tidak ada cairan di dalam tip dan setelah pemipetan terakhir. 

10) Color A & B dimasukkan pada setiap sumur sebanyak 50µl 

11) Plate diinkubasi pada waterbath/inkubator 37° C± 30 menit 

12) Hentikan reaksi dengan penambahan 50µl stopping solotion disetiap sumur 

13) Absorbansi setiap sumur dibaca pada   450nm &   630nm λ λ 

14) Perhitungan  

- Single wave length (λ=450nm) 

OD = OD450 ±ODBC450 

      = sampel – control  

   

  

 

- Dual wave length (λ=630nm)  

 

Hasil pemeriksaan valid jika : 

1) Nilai   OD   blanko   kurang   dari   0.100  (   sumur   dari  kontrol   blanko   hanya   berisi 

kromogen dan stop solution) 

2) Nilai OD kontro negatif harus sama atau kurang dari () 0.100. Dieliminasi kontrol negatif 

dengan nilai OD lebih besar dari () 0.100. Jika 2 nilai keluar dari batas, pemeriksaan 

invalid dan harus di ulangi. 

3) Nilai OD kontrol positif sama atau lebih besar () 0.500. Jika nilai OD kurang dari 0.500, 

pemeriksaan invalid dan harus di ulangi 

Perhitungan kontrol : 

Nilai cut-off (CO) = NCx . 2,1 

NCx : nilai absorbansi rata-rata kontrol negative (jika NCx  0.05 , NCx harus dihitung 0.05) 

Interpretasi hasil : 

1) Spesimen dengan absorbansi kurang dari (<) nilai cut-off dinyatakan negatif. 

2) Spesimen dengan nilai absorbansi lebih besar atau sama dengan () nilai cut-off 

dinyatakan positif. 

 

Topik 2 

Human Immunodeficiency Virus (HIV) 

 

A. STRUKTUR DAN MORFOLOGI 

Sejarah HIV dimulai pada tahun 1981 di Amerika Serikat melaporkan kasus Gay Related 

Immune Deficiency (GRID), yaitu penurunan kekebalan tubuh yang dihubungkan dengan kaum 

gay/homoseksual. Pada tahun 1982 , CD–USA (Centers for Disease Control) Amerika Serikat 

untuk pertama kali membuat definisi AIDS dan juga ditemukan penyebab kelainan ini adalah 

LAV (Lymphadenophaty Associated Virus) oleh Luc Montagnier dari Pasteur Institut Paris. 

Tahun 1983, Jean Claude Chermann dan Françoise Barré-Sinnousi melakukan isolasi dari 

penderita sindrom limfadenopati.  Tahun 1984, Robert Gallo dari Amerika Serikat, meneliti 

virus penyebab AIDS yaitu HTLV-III. Tahun 1986, InteRNAtional Committe on Taxonomi of 

Viruses, memutuskan nama penyebab penyakit AIDS adalah Human Immunodeficiency Virus 

(HIV) yang mengganti nama LAV dan HTLV III. Pada tanggal 15 April 1987,  pertama kali AIDS 

di Indonesia yaitu pasien beRNAma Edward Hop berumur 44 tahun dari Belanda, meninggal 

di Rumah Sakit Sanglah Bali dan pada akhir tahun 1987 ada   6 orang yang didiagnosis HIV 

positif, dua di antara mereka mengidap AIDS. 

HIV (Human Immunodeficiency Virus) merupakan suatu retrovirus dengan materi 

genetik (RNA) yang dapat mentransfer informasi genetik RNA ke DNA dengan menggunakan 

enzim yang disebut reverse transcriptase. HIV menginfeksi berbagai sel sistem imun antara 

lain : Sel T helper (CD4+), Makrofag dan sel dendritik. Infeksi HIV memicu  penurunan 

kekebalan tubuh yang berhubungan dengan infeksi oportunistik dan tumor  ganas disebut 

AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome). Virus HIV dibagi dua tipe, yaitu : HIV-1 dan HIV-

2. HIV-1 lebih cepat memicu  AIDS  dan bersifat akut, sedangkan HIV-2  memicu  

AIDS lebih lambat dan bersifat kronik. Menurut data WHO 2010, angka kejadian HIV dari 119 

negara secara global menurut mencapai 35.000.000 orang terinfeksi HIV (sekitar 33.200.000-

37.200.000 orang) dan 15.000.000 0rang meninggal .  

Struktur HIV-1 (gambar 5.6.), diameter virion mencapai 100 nm, tersusun dari dua strand 

RNA yang identik (viral genom) dengan panjang 9749 nukleotida yang mengkode  bermacam-

macam enzim diantaranya enzim reverse transcriptase, integrase, protease yang dibungkus 

dalam cone shapped core (lapisan berbantuk kerucut) yang tersusun dari protein capsid p24 

dan bagian dalam protein matrix p17 yang berasal dari membran fosfolipid host yang 

memeiliki protein membran gp 41 dan gp 120 yang akan berikatan dengan CD4 dan Reseptor 

kemokin.  

   

  

 

 

 

Gambar 5.13 Struktur Human Immunodeficiency Virus (HIV I) 

Sumber : Cellular and Molecular Immunology.7th ed. 2012 

Ekspresi gen HIV dibagi menjadi 2 tahap ekspresi gen,yaitu: 

1) Early gen , mengekspresikan gen rev, tat, nef  yang akan memproduksi protein yang 

dikode gen ini  segera setelah virus menginfeksi sel. 

2) Late gen, mengekspresikan gen env, gag, dan pol, yang mengkode komponen struktural 

HIV.  

 

 

Gambar  Genom Human Immunodeficiency Virus (HIV I) 


Secara morfologi HIV-2 sama dengan HIV-1, tetapi kurang patogenik. Kedua tipe tesebut 

dapat dibedakan melalui adanya atau tidak adanya antibodi yang spesifik pada HIV-2. 

Meskipun reaktivitas (cross reactivity) terjadi antara protein inti kedua virus, tetapi protein 

pembungkus (envelope) mereka berbeda.  

B. CARA PENULARAN 

 

Gambar 5.15 Cara Penularan HIV 

Cara penularan HIV saat ini semakin jelas, meskipun virus dapat disiolasi dari banyak 

hasil sekresi tubuh, infeksi ditularkan dari satu pasien ke pasien lain melalui tiga jalur 

utama, yaitu : 

1) Kontak seksual (hubungan seks), merupakan cara penularan paling besar terutama pada 

kelompok  heteroseksual dan homoseksual (laki-laki). 

2) Penularan dari ibu ke anak, terjadi selama kehamilan melalui saluran plasenta dan setelah 

melahirkan dari asi. 

3) Inokulasi pasien oleh darah penderita HIV atau produk darah transfusi dari donor pemakai 

obat/ narkoba melalui jarum suntik dan transfusi darah yang terinfeksi HIV 

Penularan HIV melalui hubungan seksual merupakan jalur yang sangat penting. Di Afrika 

dampak penularan secara heteroseksual, menunjukkan peningkatan jumlah wanita yang 

terinfeksi dan menularkan infeksinya ke anak mereka. Dengan demikian peningkatan populasi 

   

  

 

yang terinfeksi terjadi dari dua sisi, yaitu : pada orang dewasa (penularan secara horizontal) 

dan pada bayi (penularan secara vertikal).  

HIV ditularkan melalui kontak seksual, paparan darah yang terinfeksi atau sekret dari 

kulit yang terluka, dan oleh ibu yang terinfeki ke janinnya atau melalui laktasi. Siklus replikasi 

HIV dimulai dari ikatan antara HIV’s gp120 binding protein yang terletak di permukaan virus 

dengan reseptor CD4+. Molekul gp 41 akan menetrasi membrane plasma sel target kemudian 

membawa virion masuk kedalam sel target. 

Sebuah kompleks preintegrasi virus yang terdiri dari RNA dan enzim virus dilepaskan ke 

dalam sitoplasma sel target. Kompleks ini  akan mencapai nukleus dan mempromosikan 

transkripsi dari genom RNA menjadi DNA oleh enzim reverse transcriptase. Kompleks protein 

coat akan menghasilkan double stranded DNA. Pada proses ini, genom viral rentan terhadap 

faktor imunitas seluler yang menghambat progresifitas infeksi. DNA virus akan terintegrasi ke 

dalam kromosom host oleh enzim integrase. 

Telah diketahui bahwa sejumlah mekanisme untuk menurunkan CD4+ dapat diinduksi 

oleh infeksi langsung dan destruksi oleh HIV. Kombinasi dari patogenitas virus dan respon 

kekebalan tubuh yang terjadi selama infeksi mempengaruhi perkembangan stadium lanjut 

penyakit yang merupakan suatu kompleks dan bervariasi. 

Transfusi darah juga dapat menjadi jalur penularan HIV yang penting dan efisiensi 

penularan HIV diperkirakan lebih dari 90%. Satu transfusi positif HIV rata-rata dapat 

memicu  kematian setelah jangka waktu dua tahun pada anak-anak dan lima tahun pada 

orang dewasa. meskipun demikian, sejauh mana transfusi darah menjadi jalur penularan 

utama tergantung pada prevalensi dari inidividu yang terinfeksi dala suatu populasi dan 

efektivitas dari program uji saring yang dipakai . Jika dalam suatu populasi dimana 

prevalensi pasien yang terinfeksi rendah dan program uji saring baik, maka penularan 

melalui transfusi darah menjadi jarang dan dapat disimpulkan transfusi darah bukan 

merupakan penularan HIV yang utama.  Sebaliknya jika dalam suatu populasi ada  

prevalensi pasien yang terinfeksi tinggi dan program uji saring jelek atau bahkan tidak ada, 

maka penularan HIV lewat transfusi darah sangat mungkin terjadi dan merupakan jalur 

penularan utama dalam populasi ini . 

Langkah pertama untuk mencegah penularan melalui transfusi darah adalah dengan 

menyeleksi donor, sehingga mendapat donor yang memiliki resiko rendah terhadap infeksi 

yang ditularkan. Darah dari seorang donor yang aman akan memberikan darah donasi yang 

aman untuk resipien. Meskipun demikian, tetap harus dilakukan atau melaksanakan program 

uji saring antibodi HIV agar darah yang terinfeksi dapat diidentifikasi dan dibuang. 

  

C. GEJALA KLINIS  

Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS)  merupakan kumpulan gejala atau 

penyakit yang disebabkan oleh menurunnya kekebalan tubuh akibat infeksi oleh virus HIV. 

AIDS merupakan stadium ketika sistem imun penderita jelek dan penderita menjadi rentan 

terhadap infeksi yang dinamakan infeksi oportunistik. Pada pasien yang terinfeksi HIV 

dengan jumlah CD4 < 200μL juga merupakan definisi AIDS meskipun tanpa adanya gejala yang 

terlihat atau infeksi oportunistik. Infeksi oportunistik merupakan infeksi yang tidak terkontrol 

dari penyebab infeksi yang ada dan tidak dapat dikendalikan. Infeksi-infeksi umum ini 

mencakup : 

1) Pnemonia yang disebabkan oleh Pneumocytis carinii. 

2) Tuberkulosis yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis atau Mycobacterium 

avium / intracellularis. 

3) Kriptosporidiosis kronis 

4) Toxoplasmosis 

5) Infeksi-infeksi virus lain, seperti Cytomegalovirus. 

Kanker sekunder diantaranya sarkoma kaposi dan limfoma non-Hodgkins merupakan 

kondisi lain yang kadangkala ditemukan pada pasien-pasien AIDS. Kanker ini biasanya ganas 

dan tidak merespon secara baik pemberian kemoterapi standar. Beberapa negara di dunia, 

ada  pasien yang mengidap ARC (AIDS Related Complex) atau AIDS dengan diare berat. 

Adanya infeksi oportunistik atau kanker-kanker  sekunder hanya dapat ditentukan setelah 

penelitian klinis dan hasil laboratorium.  

Ada 2 klasifikasi yang sampai sekarang sering dipakai  untuk remaja dan dewasa yaitu 

klasifikasi menurut WHO dan Centers for Disease Control and Preventoin (CDC) Amerika 

Serikat. Di negara-negara berkembang menggunakan sistem klasifikasi WHO dengan memakai 

data klinis dan laboratorium, sementara di negara-negara maju dipakai  sistem klasifikasi 

CDC. Klasifikasi menurut WHO dipakai  pada beberapa Negara yang pemeriksaan limfosit 

CD4+ tidak tersedia. Klasifikasi stadium klinis HIV/AIDS WHO dibedakan menjadi 4 stadium, 

yaitu :  

Tabel  18. Stadium HIV menurut WHO 

STADIUM GEJALA KLINIS 

I --  Tidak ada penurunan berat badan  

--  Tanpa gejala atau hanya Limfadenopati Generalisata Persisten  

II --  Penurunan berat badan <10%  

--  ISPA berulang: sinusitis, otitis media, tonsilitis, dan faringitis  

   

  

 

STADIUM GEJALA KLINIS 

--  Herpes zooster dalam 5 tahun terakhir  

--  Luka di sekitar bibir (Kelitis Angularis)  

--  Ulkus mulut berulang  

--  Ruam kulit yang gatal (seboroik atau prurigo)  

--  Dermatitis Seboroik  

--  Infeksi jamur pada kuku  

III --  Penurunan berat badan >10%  

--  Diare, demam yang tidak diketahui penyebabnya >1 bulan  

--  Kandidiasis oral atau Oral Hairy Leukoplakia  

--  TB Paru dalam 1 tahun terakhir  

--  Limfadenitis TB  

--  Infeksi bakterial yang berat: Pneumonia, Piomiosis  

--  Anemia (<8 gr/dl), Trombositopeni Kronik (<50109 per liter)  

IV --  Sindroma Wasting (HIV)  

--  Pneumoni Pneumocystis  

--  Pneumonia Bakterial yang berat berulang dalam 6 bulan  

--  Kandidiasis esofagus  

--  Herpes Simpleks Ulseratif >1 bulan  

--  Limfoma  

--  Sarkoma Kaposi  

--  Kanker Serviks yang invasif  

--  Retinitis CMV  

--  TB Ekstra paru  

--  Toksoplasmosis  

--  Ensefalopati HIV  

--  Meningitis Kriptokokus  

--  Infeksi mikobakteria non-TB meluas  

--  Lekoensefalopati multifokal progresif  

--  Kriptosporidiosis kronis, mikosis meluas  

Di Indonesia, pada tahun 2007 oleh KPA (Komisi Penanggulangan AIDS) diagnosis AIDS 

dengan kriteria WHO dipakai  untuk keperluan surveilans epidemiologi. Dalam hal ini 

seseorang dapat didiagnosis berdasarkan gejala klinis, yang terdiri dari gejala mayor dan 

minor. Pasien yang dikatakan AIDS jika menunjukan hasil tes HIV positif disertai minimal 

ada  2 gejala mayor atau ada  2 (dua) gejala minor dan 1 (satu) gejala mayor. Tabel 

5.2 menunjukkan Gejala mayor dan gejala minor infeksi HIV / AIDS 


  

  

Tabel  19. Gejala mayor dan minor infeksi HIV/AIDS 

GEJALA MAYOR GEJALA MINOR 

--  Berat badan turun >10% dalam 1 bulan  

--  Diare kronik, berlangsung > 1 bulan  

--  Demam berkepanjangan > 1 bulan  

--  Penurunan Kesadaran  

--  Demensia/HIV ensefalopati  

--  Batuk menetap > 1 bulan  

--  Dermatitis generalisata  

--  Herpes Zooster multisegmental dan 

berulang  

--  Kandidiasis orofaringeal  

--  Herpes simpleks kronis progresif  

--  Limfadenopati generalisata  

--  Infeksi jamur berulang pada alat 

kelamin wanita  

--  Retinitis Cytomegalovirus  

 

D. METODE PEMERIKSAAN 

Secara umum diagnosis HIV dibagi menjadi dua prinsip pendeteksian, 

Related Posts:

  • bank darah 4 sehingga hasil produk metabolisme dan penghancuran sel darah merah terakumulasi pada larutan di dalam kantong darah. Beberapa perubahan ini  dapat mempengaruhi fungsi sel darah yang ditransfusikan. S… Read More
  • bank darah 4 Read More