sehingga hasil produk metabolisme dan penghancuran sel darah
merah terakumulasi pada larutan di dalam kantong darah. Beberapa perubahan ini
dapat mempengaruhi fungsi sel darah yang ditransfusikan.
Sel darah merah pada komponen darah simpan dapat lisis, kondisi ini biasanya
ditunjukkan oleh Hb bebas di dalam plasma/medium komponen darah. Lisis sel darah merah
pada komponen darah sebelum ditransfusikan disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya
: (i) stress mekanik pada sel yang terjadi selama proses pengolahan darah, seperti sentrifugasi,
homogenisasi, (ii) kontaminasi bakteri, (iii) variasi sel darah merah donor seperti donor
dengan sferositosis herediter, donor dengan defisiensi glukosa 6 phosphat dehydrogenase.
Kondisi lisis sel darah merah memicu komponen darah ini tidak memiliki efek
terapi yang diinginkan, bahkan pada kadar tertentu adanya Hb bebas di dalam darah pasien
dapat meningkatkan kadar bilirubin dalam darah.
Bertambahnya waktu penyimpanan komponen darah, memicu terjadinya
beberapa reaksi oksidatif yang dapat memicu sel darah merah dilisiskan oleh sistem
imun pasien. Penghancuran sel darah merah yang ditransfusikan di sirkulasi mengurangi efek
terapi dari transfusi, mengaktifkan sistem retikuloendotelial sistem (RES) pasien dan
terakumulasinya Fe di dalam tubuh pasien.
Berkurang/hilangnya fungsi pompa kation dalam sel darah merah pada komponen
darah simpan menghasilkan ketidakseimbangan kadar natrium (Na) dan kalium (K). Kalium
yang berada di dalam sel darah akan keluar ke plasma, sedangkan Na yang berada di luar sel
akan masuk ke dalam sel darah. Pompa Na+/K+ inaktif pada suhu 40 C. Hal ini memicu
peningkatan konsentrasi kalium darah (hiperkalemia) pada pasien paska transfusi. Penurunan
konsentrasi kalium di dalam sel dan peningkatan kalium di luar sel sekitar 1 mEq/L/hari.
Peningkatan kalium dalam plasma dapat memicu komplikasi jantung dan bisa berakhir
dengan kematian pasien. Biasanya komplikasi hiperkalemia karena transfusi terjadi pada bayi
baru lahir, pasien gagal ginjal, pasien dengan kondisi hipotermia dan asidosis.
Mikroagregat yang terdiri atas sel lekosit, trombosit dan benang fibrin yang terbentuk
selama penyimpanan komponen darah dapat memicu reaksi transfusi. Beberapa studi
menunjukkan bahwa mikroagregat dapat menimbulkan komplikasi di organ paru-paru.
B.3. Efek transfusi dalam jumlah dan volume besar
Jika transfusi dilakukan pada pasien yang mengalami perdarahan parah dan harus
ditransfusi dengan jumlah darah yang cukup banyak (6 unit kantong darah dewasa) dalam
waktu kurang dari 24 jam, maka berbagai macam reaksi transfusi non imun dapat terjadi.
Reaksi hipotermi dapat terjadi paska transfusi, yaitu pasien yang ditransfusi secara cepat
dengan komponen darah yang disimpan pada suhu 4±2O C. Kondisi ini dapat menurunkan suhu
di dalam tubuh, yang dapat mempengaruhi hemostasis tubuh pasien. Kondisi hipotermia
menurunkan metabolisme sitrat dan laktat serta meningkatkan derajat hipokalsemia, dan
menurunkan tingkat pelepasan Hb ke jaringan. Efek samping lainnya berupa penurunan fungsi
trombosit dan faktor koagulasi, sehingga akan lebih meningkatkan resiko perdarahan.
Keracunan sitrat juga dapat terjadi ketika sejumlah besar volume komponen plasma
yang mengandung antikoagulan sitrat ditransfusikan ke pasien. Transfusi komponen plasma
dalam jumlah besar dapat mengakibatkan ketidakseimbangan elektrolit tubuh pasien, yaitu
menurunnya kalsium darah (hipokalsemia), menurunnya kadar magnesium darah
(hipomagnesemia), dan jenis elektrolit lainnya.
Hipokalsemia merupakan ciri utama dari keracunan sitrat. Hal ini dikarenakan, ketika
antikoagulan sitrat yang berasal dari komponen darah ditransfusikan, maka sitrat akan
mengikat ion kalsium. Jenis kation lainnya, seperti magnesium dan zinc juga dapat diikat oleh
sitrat jika jumlah sitrat yang masuk ke dalam tubuh pasien berasal dari 6 atau lebih kantong
darah donor. Pada saat sitrat masuk ke dalam tubuh pasien, biasanya langsung dimetabolisme
menjadi bikarbonat di jaringan yang kaya akan mitokondria, seperti : organ hati, otot rangka
dan ginjal. Oleh karena itu, pasien dengan kelainan organ hati, gagal ginjal, disfungsi paratiroid
merupakan pasien dengan resiko tinggi terjadi keracunan sitrat pada transfusi komponen
darah yang mengandung plasma atau komponen plasma. Jumlah sitrat pada satu kantong
darah tidak akan mempengaruhi konsentrasi kalsium darah.
Gejala klinis yang terjadi pada pasien dengan keracunan sitrat adalah : kejang otot, kram,
mual, muntah, detak jantung yang tidak teratur dan lebih lambat dari normal, hipotensi, jika
kondisi pasien makin parah, maka dapat terjadi tetani.
Pada transfusi dalam jumlah besar, ada kemungkinan terjadinya mikroagregat
trombosit, fibrin dan lekosit. Mikroagregat ini tidak bisa disingkirkan dengan filter darah
biasa dengan ukuran 170 µm.
Kalium (K) merupakan jenis elektrolit utama yang memiliki fungsi pada otot.
Transfusi dalam jumlah besar dapat memicu peningkatan kalium (hiperkalemia)
maupun penurunan kalium (hipokalemia).
Hiperkalemia terjadi karena efek darah simpan yang memicu kalium dapat ke luar
sel darah merah. Hiperkalemia terjadi jika pasien mendapat transfusi dengan 6 atau lebih
kantong darah dewasa.
Penurunan konsentrasi kalium darah (hipokalemia) juga dapat terjadi pada pasien yang
mendapat transfusi darah dalam jumlah banyak. Komponen darah simpan merupakan sel
darah merah dengan konsentrasi kalium di dalam sel yang berkurang pada proses
penyimpanan. Pada saat ditransfusikan, kalium yang berada pada plasma pasien akan pindah
secara osmosis ke dalam sel darah merah untuk memenuhi kebutuhan kalium di dalam sel
darah yang ditransfusikan.
Reaksi transfusi berikutnya adalah oversirkulasi yang terjadi jika volume darah pasien
meningkat di atas kapasitas sistem kardiopulmonari tubuh pasien. Hal ini terjadi ketika terlalu
banyak volume darah yang ditransfusikan tidak sebanding dengan volume darah yang hilang.
Biasanya, kondisi ini terjadi pada pasien bayi atau anak kecil, jika komponen darah yang
ditransfusikan tidak seimbang dengan berat badan dan total volume darah pasien. Selain itu,
pasien lansia maupun penderita anemia berat dengan kadar hemoglobin < 5 g/dL juga bisa
menderita oversirkulasi paska transfusi.
Gejala klinis yang terjadi berupa : susah napas, denyut jantung yang lebih dari normal
(takikardia), hipotensi dan kondisi menjadi parah jika terjadi pembengkakan paru-paru.
Gejala, biasanya terjadi pada kisaran 6 jam pada saat transfusi.
C. REAKSI TRANSFUSI NON IMUN TUNDA
C.1. Akumulasi Fe
Akumulasi/penumpukan Fe merupakan reaksi transfusi pada pasien dengan terapi
transfusi rutin, seperti : pasien thalasemia, sickle cell dan penyakit anemia kronis lainnya.
Akumulasi Fe berasal dari molekul hemoglobin sel darah merah yang dihancurkan. Satu unit
komponen PRC mengandung 250 mg Fe. Pada saat sejumlah sel darah merah ditransfusikan
dan kemudian dihancurkan, maka tubuh tidak bisa mengeluarkan Fe dalam jumlah besar,
sehingga Fe disimpan di dalam tubuh sebagai hemosiderin dan feritin. Akumulasi Fe pada RES,
organ hati, jantung, limpa dan organ endokrin akan menimbulkan kerusakan organ lebih
lanjut.
Gejala klinis yang timbul pada pasien adalah : kelemahan otot, kelelahan, penurunan
berat badan, ikterus, anemia, denyut jantung yang tidak teratur.
D. PENCEGAHAN REAKSI TRANSFUSI NON IMUN
Reaksi transfusi non imun lebih banyak disebabkan karena menurunnya kualitas
komponen darah yang ditransfusikan. Sebagai contoh, adanya peningkatan hemolisis (sel
darah merah rusak dan lisis) selama penyimpanan, sehingga menimbulkan
ketidakseimbangan elektrolit. Selain itu, kemungkinan adanya kontaminasi bakteri pada
komponen darah selama penyimpanan. Oleh karena itu, perlu diperhatikan proses kontrol
kualitas (quality control/QC) mulai dari seleksi donor, pengambilan darah donor, pembuatan
komponen darah sampai dengan distribusi komponen darah ke pasien. Setiap langkah
kegiatan yang dilakukan harus sesuai dengan standar yang dimiliki oleh unit transfusi darah
yang melakukan kegiatan ini .
Pada saat seleksi donor, harus diperhatikan riwayat donor, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan terhadap infeksi menular lewat transfusi darah. Proses ini berguna untuk
mencegah donor yang terindikasi memiliki infeksi kronis yang dapat menular lewat
transfusi darah dan kemungkinan adanya infeksi bakteri yang dapat mengontaminasi
komponen darah.
Proses berikutnya, yaitu antisepsis lengan donor pada saat pengambilan darah donor.
Beberapa studi di dalam maupun luar negeri menunjukkan, jika antisepsis lengan donor tidak
dilakukan dengan benar, maka komponen darah beresiko besar terkontaminasi oleh bakteri
normal yang berasal dari lengan donor. Pada saat pengambilan darah donor, ada baiknya
menggunakan kantong darah khusus yang dapat memisahkan 42 mL aliran darah pertama,
sehingga bakteri yang kemungkinan berasal dari lengan donor dapat disingkirkan.
Selain pada proses pengambilan darah donor, steriltas komponen darah harus dijaga
selama proses persiapan dan pengolahan komponen darah serta proses pencairan plasma
darah yang beku (fresh frozen plasma / FFP, cryopreciptate) di waterbath. Waterbath harus
dibersihkan dengan menguras air di dalamnya dan didesinfeksi setiap minggu untuk
mencegah pertumbuhan bakteri P.aeruginosa dan B.cepacia yang biasa mengontaminasi
waterbath. Selain itu. Komponen plasma juga harus dijaga supaya tetap kering selama proses
pencairan plasma di waterbath dengan bungkus plastik.
Berdasarkan studi, diketahui bahwa penggunaan komponen darah apheresis dapat
mengurangi tingkat kontaminasi bakteri dibandingkan pengolahan pada komponen darah
yang dikumpulkan (pooling) , seperti pada komponen trombosit.
Patuh terhadap SOP dan bekerja dengan memperhatikan aspek sterilitas komponen
darah dapat mencegah terjadinya kontaminasi bakteri pada komponen darah. Langkah
pencegahan lainnya, yaitu melakukan pengamatan visual terhadap kemungkinan adanya
perubahan warna komponen darah menjadi merah keunguan atau coklat, adanya bekuan,
maupun hemolisis. Hal ini juga dapat membantu mencegah kemungkinan adanya kontaminasi
bakteri maupun kerusakan komponen darah.
Bakteri akan mudah untuk memperbanyak diri selama proses penyimpanan komponen
darah, mengingat darah merupakan medium yang baik untuk hidup dan berkembangnya
bakteri. Ada tidaknya bakteri yang tumbuh di komponen darah dapat dideteksi dengan
pemeriksaan kultur bakteri, yang dapat dilakukan untuk pemeriksaan QC rutin maupun
pemeriksaan skrining sebelum transfusi.
Pencegahan lainnya terhadap efek komponen darah simpan, yaitu melakukan
pemeriksaan terhadap lisis sel darah merah terkait lamanya masa simpan yang juga dapat
merupakan petanda adanya kontaminasi bakteri. Pemeriksaan terhadap penurunan derajat
keasaman (pH) komponen trombosit juga dapat merupakan indikator adanya kontaminasi
bakteri. Masa simpan komponen darah juga berpengaruh terhadap kualitas komponen darah
yang dihasilkan. Semakin lama masa simpan darah, maka kualitas komponen darah akan
menurun.
Penggunaan alat juga harus divalidasi, seperti : validasi suhu pada tempat penyimpanan
komponen darah. Jika suhu tempat pengolahan dan penyimpanan komponen darah tidak
dicek dan divalidasi setiap hari, maka komponen darah akan beresiko besar terjadi kerusakan
selama penyimpanan.
Pada saat akan didistribusikan untuk transfusi, harus diperhatikan makroskopis /
penampakan komponen darah, seperti : komponen trombosit yang beragregasi / mengumpul,
warna sel darah merah yang terlalu pekat, cek ada tidaknya kebocoran pada kantong darah.
Indikasi pemberian komponen darah dan volume yang ditransfusikan untuk mencegah
terjadinya oversirkulasi. Pada pasien oversirkulasi, transfusi tidak bisa dilakukan secara cepat
dalam periode 4 jam pertama sesuai standar, melainkan transfusi harus dilakukan perlahan
dan bisa saja satu komponen darah dibagi dalam beberapa kantong. Riwayat klinis terkait
penyakit dan reaksi transfusi sebelumnya juga dapat mencegah reaksi oversirkulasi pada
transfusi berikutnya.
Maksimal waktu yang dipakai dari distribusi komponen darah sampai dengan
ditransfusikan ke pasien harus memenuhi ketentuan prosedur pendistribusian darah. Hal ini
dilakukan untuk mencegah penurunan kualitas komponen darah.
Untuk mencegah reaksi transfusi berupa hipotermia, maka pasien yang harus transfusi
darah dalam jumlah banyak dan cepat bisa menggunakan alat penghangat darah (blood
warmer) yang sesuai.
Pada pasien yang harus menjalani terapi rutin transfusi darah, untuk mencegah
terjadinya reaksi akumulasi Fe di dalam tubuh, dapat dilakukan pengobatan berupa
pemberian chelating agent yang dapat mengikat Fe dan mengeluarkan dari dalam tubuh.
Glosarium
-- Transfusi : proses menyalurkan darah atau produk-nya dari satu orang ke sistem
peredaran darah orang lain.
-- Sitokin : molekul protein yang dikeluarkan oleh sel ketika diaktifkan oleh antigen untuk
meningkatkan respon imun.
-- Hemolisis : pecahnya membran sel darah merah sehingga hemoglobin keluar dari dalam
sel ke medium sekelilingnya, yaitu plasma.
-- Fagositosis : suatu proses sel fagosit menelan sel-sel asing.
-- Sferosit : jenis kelainan sel darah merah dengan bentuk kecil dan padat.
-- Ikterus : kondisi adanya penumpukan bilirubin sehingga kulit dan bagian sklera mata
menjadi kuning.
-- Hepatosit : sel parenkimal pada hati.
-- Sistem gastrointestinal : sistem pencernaan untuk menerima makanan, mencerna,
menyerap zat gizi dan energi dan membuang bagian makanan yang tidak dapat dicerna.
-- Hemoglobinemia : Adanya Hb bebas di dalam plasma darah karena reaksi hemolisis.
-- Hipotalamus : pusat pengendali fungsi tubuh dan sistem syaraf untuk menjaga agar kondisi
tubuh selalu konstan dan stabil.
-- Alergen : suatu substansi yang dapat menginduksi pembentukan IgE dan menghasilkan
reaksi alergi.
-- Hipotensi : tekanan darah kurang dari nilai normal.
Bab 5
INFEKSI MENULAR LEWAT TRANSFUSI
DARAH
sampai saat ini telah dikenal 4 kelompok mikro organisme penyebab infeksi, yaitu : virus,
bakteri, protozoa dan jamur. Dari ke-4 jenis mikro organisme ini , diantaranya
telah terbukti dapat ditularkan melalui pelayanan transfusi darah yaitu virus, bakteri
dan protozoa. Infeksi jamur serius biasanya membuat orang menjadi terlapau sakit dan ditolak
menjadi donor.
Pada Bab ini akan membahas beberapa agen penyakit yang dapat ditularkan lewat
transfusi darah serta pemeriksaan uji saring yang dilakukan untuk mencegah penularan agen
penyakit lewat transfusi darah ini . Virus merupakan penyebab yang paling umum
ditularkan melalui transfusi darah, dimana virus merupakan bentuk kehidupan yang paling
sederhana dan dapat menginfeksi semua bentuk kehidupan. Virus tidak bersifat seluler,
karena tidak memiliki komponen yang diperlukan untuk hidup dan tumbuh sendiri. Untuk
memperoleh komponen-komponen yang hilang ini, virus tergantung pada sel penjamu (host)
yang mereka infeksi.
Setelah menginfeksi sel penjamu yang sesuai, virus ini mempengaruhi fungsi-
fungsi normal dari sel host. Asam nukleat virus memicu sel ini membuat partikel
virus baru yang disebut virion, yang akan di lepaskan datri sel host dan menginfeksi sel-sel
lainnya. Protein yang ada dalam lapisan virus dan inti virus dikenali melalui respon
kekebalan dari organisme ini . Beberapa contoh virus yang umum, antara lain : virus
hepatitis A, virus hepatitis B dan Human Immunodeficiency Virus (HIV).
Beberapa virus memiliki sifat kelatenan (latency), yaitu kemampuan suatu virus untuk
menggabungkan asam nukleatnya dengan asam nukleat dari sel host. Para agen mikroba
menular melalui transfusi darah dapat memicu kecacatan dan kematian pada resipien.
Untuk menular melalui darah, agen infeksi biasanya memiliki karaktristik sebagai berikut:
-- Kehadiran dalam darah untuk waktu yang lama, kadang-kadang dengan titer tinggi
-- Stabil dalam darah jika disimpan pada 4°C atau lebih rendah
-- Masa inkubasi lama sebelum munculnya tanda-tanda klinis
-- Fase asimtomatik atau gejala hanya ringan dalam donor darah, maka tidak dapat
diidentifikasi selama proses seleksi donor darah .
Volume darah atau komponen darah yang besar diberikan kepada pasien selama terapi
transfusi dengan jumlah virus yang rendah dapat memicu infeksi di penerima. Sangat
penting bahwa layanan transfusi darah sudah memiliki sistem penyaringan efektif untuk
mendeteksi, memisahkan dan menghapus donor darah reaktif dan semua komponen yang
berasal dari sumbangan ini dari bagian karantina sehingga tidak dipakai sebagai
persediaan. Hanya darah dan komponen darah yang non-reaktif dapat diberikan untuk
penggunaan klinis atau manufaktur.
Berbagai penanda infeksi muncul pada waktu yang berbeda setelah infeksi. Setiap
infeksi menular lewat transfusi darah memiliki satu atau lebih periode jendela, mulai dari
beberapa hari sampai bulan, tergantung pada agen infeksi, skrining penanda yang dipakai
dan teknologi penyaringan dipakai. Selama periode ini, penanda skrining tertentu belum
terdeteksi pada pasien yang baru terinfeksi, meskipun pasien itu mungkin menularkan.
Asam nukleat dari bagian agen infeksi itu sendiri adalah yang pertama terdeteksi sebagai
target, diikuti dalam beberapa hari oleh antigen, dan kemudian oleh terbentuknya antibodi
sebagai perkembangan respon imun. Satu atau kombinasi dari penanda infeksi dapat
dipakai untuk mendeteksi infeksi tertentu selama proses uji saring. Berbagai sistem uji
dikembangkan untuk skrining darah dalam mendeteksi:
-- Antibodi yang menunjukkan respon imun terhadap agen infeksi
-- Antigen yang dihasilkan oleh agen infeksi dan menunjukkan
-- Kehadiran agen melalui asam nukleat (RNA / DNA) dari agen infeksi.
Setiap kantong darah yang disumbangkan harus diuji saring terhadap IMLTD dan hanya
dikeluarkan jika hasilnya non reaktif. Uji saring harus secara formal disetujui untuk dipakai
dan paling sedikit untuk mendeteksi petanda infeksi, antara lain : Hepatitis B surface antigen
(HBsAg), antibodi HIV 1/HIV 2 (anti-HIV1/HIV2), antibodi Hepatitis C (anti-HCV) dan Sifilis.
Di negara-negara non-endemik, di mana populasi donor darah termasuk wisatawan atau
pendatang dari daerah endemis, strategi alteRNAtif mungkin diperlukan berdasarkan pada
penangguhan selektif donor darah atau dengan tes skrining yang sesuai jika tersedia.
Beberapa infeksi, seperti Cytomegalovirus (CMV) pada manusia dapat menimbulkan risiko
untuk kelompok penerima tertentu saja. Dalam situasi ini, skrining selektif donor penerima
tertentu biasanya diadopsi.
Untuk meminimalkan risiko penularan infeksi melalui transfusi, dilakukan strategi
sebagai berikut:
1) Semua darah dan sumbangan apheresis seluruhnya harus diskrining untuk bukti adanya
infeksi sebelum darah dan komponen darah diberikan untuk penggunaan klinis atau
manufaktur.
2) Semua darah sumbangan harus wajib untuk melakukan skrining sebagai berikut:
-- HIV-1 dan HIV-2: skrining baik untuk kombinasi antigen-antibodi HIV atau antibodi
HIV
-- Hepatitis B: skrining untuk antigen permukaan hepatitis B (HBsAg)
-- Hepatitis C: skrining baik untuk kombinasi antigen-antibodi HCV atau antibodi HCV
-- Sifilis (Treponema pallidum): skrining untuk antibodi Treponema tertentu.
3) Skrining penyumbangan untuk infeksi lain, seperti yang memicu malaria atau
penyakit Chagas, harus didasarkan pada bukti epidemiologi lokal.
4) Skrining harus dilakukan dengan menggunakan tes yang sangat sensitif dan spesifik yang
telah secara khusus dievaluasi dan divalidasi untuk skrining darah.
5) Kualitas skrining harus menjamin semua sumbangan menggunakan dengan metode
serologi sebelum menggunakan teknologi tambahan seperti pengujian asam nukleat.
6) Hanya darah dan komponen darah yang reaktif di semua tes skrining untuk semua
penanda harus dihilangkan agar tidak dipakai untuk penggunaan klinis atau manufaktur.
7) Semua unit reaktif harus ditandai jelas (dilabel) dan dihilangkan dari stok karantina dan
disimpan secara terpisah dengan aman sampai unit dibuang atau disimpan untuk tujuan
jaminan kualitas atau penelitian sesuai dengan kebijakan nasional.
Pengujian konfirmasi darah yang reaktif harus dilakukan untuk pemberitahuan donor,
konseling dan rujukan untuk pengobatan, penangguhan atau recall untuk sumbangan masa
depan, dan melihat kembali donasi.
Alat tes yang paling umum dipakai dirancang untuk mendeteksi antibodi, antigen
atau asam nukleat dari agen infeksi. Namun, tidak semua tes cocok dalam segala situasi dan
setiap pemeriksaan memiliki keterbatasan yang perlu dipahami dan dipertimbangkan ketika
memilih pemeriksaan ini .
Jenis utama dari uji yang dipakai untuk skrining darah adalah:
1) Immunoassays (IAS):
- Enzim immunoassay (EIAs)
- Chemiluminescent immunoassays (CLIAs)
- Hemaglutinasi (HA) / Tes partikel aglutinasi (PA)
- Tes cepat / sederhana sekali pakai (Rapid Test)
2) Tes teknologi amplifikasi asam nukleat (NAT).
Dalam konteks skrining darah, evaluasi yang tepat diperlukan dalam memilih jenis tes
untuk setiap infeksi menular lewat transfusi darah, berdasarkan pentingnya karakteristik
pemeriksaan, seperti sensitivitas dan spesifisitas, serta biaya dan kemudahan penggunaan.
-- Immunoassays (IAS)
Immunoassays adalah sistem uji yang tersedia dalam beberapa format yang dapat
dipakai untuk mendeteksi antibodi, antigen atau kombinasi dari keduanya. Umumnya, tes
yang paling sederhana untuk deteksi antibodi didasarkan pada penggunaan antigen amobil
(fase diam) yang menangkap setiap antibodi spesifik yang ada dalam sampel uji (IA tidak
langsung/indirect). Umumnya tes deteksi antigen dipakai didasarkan pada penggunaan
antibodi bergerak ke menangkap antigen patogen spesifik hadir dalam sampel.
Immunoassays dapat dipakai dalam situasi yang berbeda dari laboratorium dengan
otomatisasi penuh atau untuk laboratorium menengah dengan semi-otomasi, dan juga
laboratorium kecil, seperti di daerah-daerah terpencil yang melakukan sejumlah tes secara
manual.
2.3.2 Enzim immunoassay (EIAs) dan Immunoassays Chemiluminescent (CLIAs)
Enzim immunoassay (EIAs) dan Immunoassays Chemiluminescent (CLIAs) adalah tes
yang paling umum dipakai untuk skrining IMLTD darah donor . Desain EIAs dan CLIAs mirip
dan mereka hanya berbeda dalam cara deteksi kompleks imun dalam pembentukan
kompleks warna dalam EIAs dan pengukuran cahaya yang dihasilkan oleh reaksi bahan kimia
di CLIAs. Salah satu jenis dari pemeriksaan imunoserologi (Immunoassay/IA) dengan
sensitivitas tinggi, pada biasanya diperlukan mendeteksi penanda target infeksi dan harus
dievaluasi dengan benar untuk skrining darah serta menjaga kualitas mutu hasil pemeriksaan.
EIAs dan CLIAs cocok untuk jumlah besar sampel dan membutuhkan berbagai peralatan
khusus. Tes ini dapat dilakukan baik non manual atau sistem pengolahan uji otomatis (sistem
terbuka) dan sistem otomatis (sistem tertutup). EIAs dan CLIAs memiliki fase padat yang
berbeda untuk menangkap antigen atau antibodi. Paling umum, fase padat yang dipakai
adalah:
1) Dasar dan sisi dari microwell polystyrene
2) Permukaan polystyrene atau bahan lainnya
3) Micro-partikel
4) Permukaan perangkat pakai tertentu yang dipakai dalam sistem otomatis biasanya
polystyrene
5) Strips dari nilon atau membran nitro-selulosa, khusus dipakai di Western Blot dan line
assay.
Gambar Prinsip Kerja CLIA
Pada gambar prinsip kerja CLIA ke dalam well dimasukkan antibodi yang dicoated
dengan partikel magnetic, kemudian ditambahkan sampel yang mengandung target antigen
dan ditambahkan juga antibodi yang dilabel ALP. Inkubasi untuk terjadi reaksi imulogi.
Kemudian dipisahkan komponen yang tidak dibutuhkan dengan teknologi magnetisasi dan
kemudian ditambahkan substrat akridium ester yang mengakibatkan reaksi enzimatis dan
kemudian pendaran di deteksi dengan luminometer dengan panjang gelombang 461 nm.
Gambar. Prinsip Kerja ELISA/EIA
menunjukkan ke dalam well dilekatkan (coated) antibodi spesifik, kemudian
ditambahkan sampel yang mengandung target antigen dan dilakukan pencucian untuk
menghilangkan analit yang tidak bereaksi. Ditambahkan juga antibodi kedua yang dilabel
enzim dan kemudian ditambahkan substrat dan stop solution, maka akan terjadi perubahan
warna. Perubahan warna yang terbentuk diukur dengan fotometer dengan panjang
gelombang tertentu. Hasil reaktif jika nilai absorban > dari nilai cut off.
Berikut ini adalah perbedaan EIA dan CLIA berdasarkan tabel 18 di bawah ini.
Tabel 17. Perbedaan EIA dan CLIA
Perbedaan EIA CLIA
Pembawa
antigen/antibodi
Berupa permukaan well Mikropartikel
Substrat yang dipakai Enzim (TMB) Zat kimia (akridium ester)
Reaksi Tergantung suhu dan pH stabil
Deteksi hasil reaksi fotometer luminometer
Target molekul yang
ditangkap
Lebih sedikit sesuai
permukaan well
Lebih banyak, permukaan
pembawa antibodi/antigen
lebih luas dan berbentuk bulat
Sumber cahaya Panjang gelombang
tertentu
stabil
2.3.3 Tes aglutinasi partikel
Tes aglutinasi partikel mendeteksi keberadaan antibodi spesifik atau antigen di sampel
uji melalui aglutinasi partikel dilapisi dengan komplemen antigen tertentu atau antibodi
masing-masing. Tes aglutinasi, terutama tes antibodi menggunakan berbagai partikel
termasuk sel darah merah (haemagglutination) dan partikel inert seperti gelatin dan lateks.
Penggunaan partikel ini memiliki keuntungan mengurangi reaktivitas non-spesifik terhadap
reaksi silang antigen sel darah merah. Prinsip-prinsip dasar haemagglutination dan tes
partikel aglutinasi adalah sama, terlepas dari jenis partikel bebas. Tes aglutinasi partikel
masih dipakai secara luas untuk mendeteksi antibodi sifilis. aglutinasi partikel tidak
melibatkan beberapa langkah atau pencucian peralatan.
Gambar Prinsip Tes Partikel Aglutinasi
Pada gambar 5.3 menunjukkan antibodi spesifik dilapisi dengan partikel lateks, kemudian
ditambahkan serum atau plasma yang mengandung antigen maka akan terbentuk aglutinasi
yang dapat diamati langsung dengan bantuan partikel lateks ini . Hasil reaktif jika terjadi
aglutinasi.
2.3.4 Rapid Test
Rapid Test dipakai sekali dan dibuang. Banyak tes cepat didasarkan pada bentuk
imunokromatografi dimana sampel ditambahkan mengalir turun strip inert dan bereaksi
dengan sebelumnya reagen dengan fase gerak. Sampel bisa serum, plasma atau bahkan darah
lengkap dalam beberapa kasus. Reaksi positif divisualisasikan sebagai titik atau garis / band
yang muncul di strip. Sebagian besar tes juga mengharuskan timbulnya garis / band pada
daerah kontrol yang dipakai untuk memvalidasi hasil masing-masing perangkat.
Gambar . Prinsip Kerja Rapid Test
Gambar menggambarkan antibodi spesifik yang dicoated konjugat emas dilapiskan
pada membran selulosa, kemudian ditambahkan serum atau plasma yang mengandung
antigen maka akan terjadi ikatan antigen-antibodi+konjugat emas yang akan bergerak ke
daerah tes yang telah dilekatkan antibody spesifik kedua dan akan terbentu warna di bagian
test. Sisa antibodi spesifik yang dicoated konjugat emas akan terus bererak ke bagian kontrol
dan akan ditangkap oleh anti IgG sehingga terbentuk pita di bagian Kontrol.
Di bawah ini pada tabel 5.2 menjelaskan perbedaan EIA dan Rapid Tes, yaitu
Tabel 5.2. Perbedaan EIA dan Rapid Test
Perbedaan EIA Rapid Tes
Penggunaan Lebih banyak langkah Mudah
Waktu Lama Cepat
Spesifisitas Bisa terjadi false positif Lebih tinggi dari EIA
Sensitivitas Tinggi Lebih rendah dari EIA
Cara deteksi Menggunakan fotometer Pengamatan langsung
-- Tes Teknologi Amplifikasi Asam Nukleat
Teknologi amplifikasi asam nukleat (NAT), seperti yang diterapkan untuk skrining darah,
mendeteksi keberadaan asam nukleat virus berbentuk DNA atau RNA dalam darah donor.
Dalam teknologi ini, segmen RNA / DNA spesifik virus ditargetkan dan diperkuat secara in-
vitro. Langkah amplifikasi memungkinkan dapat mendeteksi titer virus yang rendah dalam
sampel asli dengan meningkatkan jumlah yang target yang hadir spesifik untuk titer yang
mudah dideteksi. Kehadiran asam nukleat spesifik menunjukkan kehadiran virus itu sendiri
dan bahwa sumbangan ini mungkin menular.
Pada gambar menunjukkan pada prinsip kerja NAT RNA atau DNA virus di amplifikasi
dengan bantuan enzim reverse trankriptase untuk mendapatkan DNA virus atau agen infeksi
murni. Tes NAT baik dapat dilakukan pada donor pasien (ID) atau mini-pool (MP) untuk
mendeteksi asam nukleat dari agen infeksi. Selain tes NAT yang menargetkan asam nukleat
virus, multipleks tes skrining NAT yang dikembangkan dapat mendeteksi DNA atau RNA dari
beberapa virus secara bersamaan.
Topik 1
HEPATITIS B
A. STRUKTUR DAN MORFOLOGI
Hepatitis B merupakan suatu penyakit hati yang disebabkan oleh virus Hepatitis B, yaitu
salah satu virus termasuk anggota famili hepadnavirus yang dapat memicu peradangan
hati akut atau kronis yang dapat berlanjut menjadi sirosis hati atau kanker hati. Hepatitis B
akut jika perjalanan penyakit kurang dari 6 bulan sedangkan Hepatitis B kronis bila penyakit
menetap, tidak menyembuh secara klinis atau laboratorium atau pada gambaran patologi
anatomi selama 6 bulan.
Gambar Struktur virus Hepatitis B
Virus Hepatitis B (VHB) adalah virus (Deoxyribo Nucleic Acid) DNA terkecil berasal dari
genus Orthohepadnavirus famili Hepadnaviridae berdiameter 40-42 nm. Masa inkubasi
berkisar antara 15-180 hari dengan rata-rata inkubasi 60-90 hari. Bagian luar dari virus ini
adalah protein envelope lipoprotein, sedangkan bagian dalam berupa nukleokapsid atau core.
Genom virus hepatitis B merupakan molekul DNA sirkular untai-ganda parsial dengan 3200
nukleotida . Genom berbentuk sirkuler dan memiliki empat Open Reading Frame (ORF) yang
saling tumpang tindih secara parsial protein envelope yang dikenal sebagai selubung HBsAg
seperti large HBs (LHBs), medium HBs (MHBs), dan small HBs (SHBs) disebut gen S, yang
merupakan target utama respon imun host, dengan lokasi utama pada asam amino 100-160.
HBsAg dapat mengandung satu dari sejumlah subtipe antigen spesifik, disebut d atau y, w atau
r. Subtipe HbsAg ini menyediakan penanda epidemiologik tambahan. Gen C yang mengkode
protein inti (HBcAg) dan HBeAg, gen P yang mengkode enzim polimerase yang dipakai
untuk replikasi virus, dan terakhir gen X yang mengkode protein X (HBx), yang memodulasi
sinyal sel host secara langsung dan tidak langsung mempengaruhi ekspresi gen virus ataupun
host, dan belakangan ini diketahui berkaitan dengan terjadinya kanker hati.
Gambar . Genom virus Hepatitis B
Infeksi VHB merupakan penyebab utama hepatitis akut, hepatitis kronis, sirosis, dan
kanker hati di dunia. Infeksi ini endemis di daerah Timur Jauh, sebagian besar kepulaan Pasifik,
banyak negara di Afrika, sebagian Timur Tengah, dan di lembah Amazon. Center for Disease
Control and Prevention (CDC) memperkirakan bahwa sejumlah 200.000 hingga 300.000 orang
(terutama dewasa muda) terinfeksi oleh VHB setiap tahunnya. Hanya 25% dari mereka yang
mengalami ikterus, 10.000 kasus memerlukan perawatan di rumah sakit, dan sekitar 1-2%
meninggal.
Sepertiga penduduk dunia diperkirakan telah terinfeksi oleh VHB dan sekitar 400 juta
orang merupakan pengidap kronik Hepatitis B, sedangkan prevalensi di Indonesia dilaporkan
berkisar antara 3-17%. Virus Hepatitis B diperkirakan telah menginfeksi lebih dari 2 milyar
orang yang hidup saat ini selama kehidupan mereka. Tujuh puluh lima persen dari semua
pembawa kronis hidup di Asia dan pesisir Pasifik Barat. Prevalensi pengidap VHB tertinggi ada
di Afrika dan Asia. Hasil Riset Kesehatan Dasar tahun 2007 menunjukkan bahwa Hepatitis klinis
terdeteksi di seluruh provinsi di Indonesia dengan prevalensi sebesar 0,6% (rentang: 0,2%-
1,9%). Hasil Riskesdas Biomedis tahun 2007 dengan jumlah sampel 10.391 orang
menunjukkan bahwa persentase HBsAg positif 9,4%. Persentase Hepatitis B tertinggi pada
kelompok umur 45- 49 tahun (11,92%), umur >60 tahun (10.57%) dan umur 10-14 tahun
(10,02%), selanjutnya HBsAg positif pada kelompok laki-laki dan perempuan hampir sama
(9,7% dan 9,3%). Hal ini menunjukkan bahwa 1 dari 10 penduduk Indonesia telah terinfeksi
virus Hepatitis B.
B. CARA PENULARAN
Penularan virus hepatitis B (VHB) adalah melalui parenteral dan menembus membran
mukosa, terutama berhubungan seksual. Penanda HBsAg telah diidentifikasi pada hampir
setiap cairan tubuh dari orang yang terinfeksi yaitu saliva, air mata, cairan seminal, cairan
serebrospinal, asites, dan air susu ibu. Beberapa cairan tubuh ini (terutama semen dan saliva)
telah diketahui infeksius dan dapat menularkan virus VHB.
Jalur penularan infeksi VHB yang terbanyak di Indonesia adalah secara parenteral yaitu
secara vertikal (transmisi) mateRNAl-neonatal atau horisontal (kontak antar pasien yang
sangat erat dan lama, seksual, infeksi nosokomial akibat prosedur diagnostik (iatrogenik),
penggunaan jarum suntik bersama). Virus Hepatitis B dapat dideteksi pada semua sekret dan
cairan tubuh manusia, dengan konsentrasi tertinggi pada serum.
Infeksi VHB berlangsung dalam dua fase. Selama fase proliferatif, DNA VHB ada
dalam bentuk episomal, dengan pembentukan virion lengkap dan semua antigen terkait.
Ekspresi gen HBsAg dan HBcAg di permukaan sel disertai dengan molekul MHC kelas I
memicu pengaktifan limfosit T sitotoksik (CD8+). Selama fase integratif, DNA virus
meyatu kedalam genom pejamu. Seiring dengan berhentinya replikasi virus dan munculnya
antibodi virus, infektivitas berhenti dan kerusakan hati mereda. Namun risiko terjadinya
karsinoma hepatoselular menetap. Hal ini sebagian disebabkan oleh disregulasi pertumbuhan
yang diperantarai protein X VHB. Kerusakan hepatosit terjadi akibat kerusakan sel yang
terinfeksi virus oleh sel sitotoksik (CD8+).
Gambar . Patogenesis imun pada virus hepatitis B
Proses replikasi VHB berlangsung cepat, sekitar 1010-1012 virion dihasilkan setiap hari.
Siklus hidup VHB dimulai dengan menempelnya virion pada reseptor di permukaan sel hati
). Setelah terjadi fusi membran, partikel core kemudian ditransfer ke sitosol dan
selanjutnya dilepaskan ke dalam nucleus (genom release), selanjutnya DNA VHB yang masuk
ke dalam nukleus mula-mula berupa untai DNA yang tidak sama panjang yang kemudian akan
terjadi proses DNA repair berupa memanjangnya rantai DNA yang pendek sehingga menjadi
dua untai DNA yang sama panjang atau covalently closed circle DNA (cccDNA).
Gambar Siklus replikasi virus hepatitis B (
Proses selanjutnya adalah transkripsi cccDNA menjadi pre-genom RNA dan beberapa
messenger RNA (mRNA) yaitu mRNA, LHBs, MHBs, dan mRNA SHBs. Semua RNA VHB
kemudian ditransfer ke sitoplasma dimana proses translasi menghasilkan protein envelope,
core, polimerase, polipeptida X dan pre-C, sedangkan translasi mRNA LHBs, MHBs, dan mRNA
SHBs akan menghasilkan protein LHBs, MHBs, dan SHBs. Proses selanjutnya adalah
pembuatan nukleokapsid di sitosol yang melibatkan proses encapsidation yaitu
penggabungan molekul RNA ke dalam HBsAg. Proses reverse transcription dimulai, DNA virus
dibentuk kembali dari molekul RNA. Beberapa core yang mengandung genom matang
ditransfer kembali ke nukleus yang dapat dikonversi kembali menjadi cccDNA untuk
mempertahankan cadangan template transkripsi intranukleus. Akan tetapi, sebagian dari
protein core ini bergabung ke kompleks golgi yang membawa protein envelope virus. Protein
core memperoleh envelope lipoprotein yang mengandung antigen surface L, M, dan S, yang
selanjutnya ditransfer ke luar sel.
Sel hati manusia merupakan target organ bagi virus Hepatitis B. Virus Hepatitis B mula-
mula melekat pada reseptor spesifik di membran sel hepar kemudian mengalami penetrasi ke
dalam sitoplasma sel hepar. Virus melepaskan mantelnya di sitoplasma, sehingga melepaskan
nukleokapsid. Selanjutnya nukleokapsid akan menembus sel dinding hati. Asam nukleat VHB
akan keluar dari nukleokapsid dan akan menempel pada DNA hospes dan berintegrasi pada
DNA ini . Proses selanjutnya adalah 17 DNA VHB memerintahkan sel hati untuk
membentuk protein bagi virus baru. Virus Hepatitis B dilepaskan ke peredaran darah, terjadi
mekanisme kerusakan hati yang kronis disebabkan karena respon imunologik penderita
terhadap infeksi.
Proses replikasi virus tidak secara langsung bersifat toksik terhadap sel, terbukti banyak
carrier VHB asimtomatik dan hanya memicu kerusakan hati ringan. Respon imun host
terhadap antigen virus merupakan faktor penting terhadap kerusakan hepatoseluler dan
proses klirens virus, makin lengkap respon imun, makin besar klirens virus dan semakin berat
kerusakan sel hati. Respon imun host dimediasi oleh respon seluler terhadap epitop protein
VHB, terutama HBsAg yang ditransfer ke permukaan sel hati. Human Leukocyte Antigen (HLA)
class I-restricted CD8+ cell yang mengenali fragmen peptida VHB setelah mengalami proses
intrasel dan dipresentasikan ke permukaan sel hati oleh molekul Major Histocompability
Complex (MHC) kelas I. Proses berakhir dengan penghancuran sel secara langsung oleh
Limfosit T sitotoksik (CD8+).
C. GEJALA KLINIS
Manifestasi klinis infeksi VHB pada pasien hepatitis akut cenderung ringan. Hepatitis B
sulit dikenali karena gejala-gejalanya tidak langsung terasa dan bahkan ada yang sama sekali
tidak muncul. sebab itulah, banyak orang yang tidak menyadari bahwa dirinya telah
terinfeksi. Virus ini biasanya berkembang selama 1-5 bulan sejak terjadi pajanan terhadap
virus sampai kemunculan gejala pertama. Kondisi asimtomatis ini terbukti dari tingginya
angka pengidap tanpa adanya riwayat hepatitis akut. Apabila menimbulkan gejala hepatitis,
gejalanya menyerupai hepatitis virus yang lain tetapi dengan intensitas yang lebih berat.
Beberapa gejala umum hepatitis B antara lain :
− Kehilangan nafsu makan.
− Mual dan muntah.
− Nyeri di perut bagian bawah.
− Sakit kuning (dilihat dari kulit dan bagian putih mata yang menguning).
− Gejala yang mirip pilek, misalnya lelah, nyeri pada tubuh, dan sakit kepala.
Gejala hepatitis akut terbagi dalam 4 tahap, yaitu:
1) Fase Inkubasi
Merupakan waktu antara masuknya virus dan timbulnya gejala atau ikterus. Fase inkubasi
Hepatitis B berkisar antara 15-180 hari dengan rata-rata INKUBASI 60-90 hari.
2) Fase prodromal (pra ikterik)
Fase diantara timbulnya keluhan-keluhan pertama dan timbulnya gejala ikterus.
Awitannya singkat atau insidous ditandai dengan malaise umum, mialgia, artalgia, mudah
lelah, gejala saluran napas atas dan anoreksia. Diare atau konstipasi dapat terjadi. Nyeri
abdomen biasanya ringan dan menetap di kuadran kanan atas atau epigastrum, kadang
diperberat dengan aktivitas akan tetapi jarang menimbulkan kolestitis.
3) Fase ikterus
Ikterus muncul setelah 5-10 hari, tetapi dapat juga muncul bersamaan dengan munculnya
gejala. Banyak kasus pada fase ikterus tidak terdeteksi. Setelah timbul ikterus jarang
terjadi perburukan gejala prodromal, tetapi justru akan terjadi perbaikan klinis yang
nyata.
4) Fase konvalesen (penyembuhan)
Diawali dengan menghilangnya ikterus dan keluhan lain, tetapi hepatomegali dan
abnormalitas fungsi hati tetap ada. Muncul perasaan sudah lebih sehat dan kembalinya
nafsu makan. Sekitar 5-10% kasus perjalanan klinisnya mungkin lebih sulit ditangani,
hanya <1% yang menjadi fulminan ,
Hepatitis B kronis didefinisikan sebagai peradangan hati yang berlanjut lebih dari enam
bulan sejak timbul keluhan dan gejala penyakit. Perjalanan hepatitis B kronik dibagi menjadi
tiga fase penting yaitu :
1) Fase Imunotoleransi
Sistem imun tubuh toleren terhadap VHB sehingga konsentrasi virus tinggi dalam darah,
tetapi tidak terjadi peradangan hati yang berarti. Virus Hepatitis B berada dalam fase
replikatif dengan titer HBsAg yang sangat tinggi.
2) Fase Imunoaktif (Clearance)
Sekitar 30% pasien persisten dengan VHB akibat terjadinya replikasi virus yang
berkepanjangan, terjadi proses nekroinflamasi yang tampak dari kenaikan konsentrasi
ALT. Fase clearance menandakan pasien sudah mulai kehilangan toleransi imun terhadap
VHB.
3) Fase Residual
Tubuh berusaha menghancurkan virus dan menimbulkan pecahnya sel-sel hati yang
terinfeksi VHB. Sekitar 70% dari pasien ini akhirnya dapat menghilangkan sebagian
besar partikel virus tanpa ada kerusakan sel hati yang berarti. Fase residual ditandai
dengan titer HBsAg rendah, HBeAg yang menjadi negatif dan anti-HBe yang menjadi
positif, serta konsentrasi ALT normal.
D. METODE PEMERIKSAAN
Virus Hepatitis B ada dalam aliran darah dengan titer virus itu sendiri bervariasi.
Dalam orang yang baru terinfeksi, DNA virus biasanya terdeteksi meskipun tidak selalu pada
titer tinggi. Pada pasien kronis, bila ditemukan DNA virus hepatitis B maka darah donor
ini infeksius atau jika tidak ditemukan DNA virus dan viremia dengan titer sangat rendah
atau tidak ada sama sekali, maka darah donor ini tidak infeksius.
Skrining untuk antigen permukaan hepatitis B (HBsAg) menunjukkan infeksi dengan
VHB, tetapi tidak dengan sendirinya membedakan antara infeksi baru dan kronis. Perbedaan
antara infeksi akut dan kronis tidak relevan dengan penyaringan darah, semua sumbangan
HBsAg positif harus dianggap berisiko tinggi transmisi VHB dan tidak akan dikeluarkan untuk
transfusi. Beberapa penelitian menunjukkan ketika HBsAg negatif pada beberapa pasien
dengan titer DNA virus rendah yang terdeteksi oleh Nucleic Acid Test (NAT), maka darah
ini dapat memicu infeksi pada resipien / penerima. Infeksi kemudian memiliki
probabilitas yang lebih tinggi untuk maju ke sirosis dan karsinoma hepatoseluler.
Serologi virus hepatitis B adalah kompleks. Sejumlah tanda serologi yang berbeda
mengembangkan selama infeksi, termasuk antigen permukaan hepatitis B (HBsAg) dan
antibodi hepatitis B inti (anti-HBc). Metode yang dipakai untuk mengidentifikasi
keberadaan VHB menggunakan target skrining berikut:
-- Metode serologis:
− Antigen permukaan Hepatitis B (HBsAg) : 3 minggu setelah infeksi.
− Hepatitis B inti (Hbc) antibodi ( anti-HBs dengan titer ≥ 100 mIU/mL, maka dianggap
aman)
-- Asam nukleat virus: HBV DNA.
Untuk meminimalkan risiko infeksi penularan virus hepatitis B melalui transfusi, maka
direkomendasikan oleh WHO sebagai berikut :
1) Skrining harus dilakukan dengan menggunakan sangat sensitif dan spesifik yaitu HBsAg
immunoassay (EIA / CLIA).
2) Skrining menggunakan HBsAg rapid test yang sangat sensitif dan spesifik atau
pemeriksaan partikel aglutinasi dapat dilakukan di laboratorium yang kecil, di daerah
terpencil atau dalam situasi darurat.
3) Skrining untuk anti-HBc tidak dianjurkan sebagai rutinitas. Negara harus menentukan
kebutuhan untuk skrining anti-HBc berdasarkan prevalensi dan kejadian infeksi HBV.
4) Skrining untuk ALT tidak dianjurkan.
Pemeriksaaan HBsAg metode rapid Test
Prinsip pemeriksaan :
HBsAg dalam sampel akan berikatan dengan anti-HBs colloidal
gold konjugat membentuk komplek yang akan bergerak melalui membran area tes
yang telah dilapisi oleh anti-HBsAg. Kemudian terjadi reaksi membentuk garis berwarna
merah muda keunguan yang menunjukkan hasil positif pada area tes. Apabila dalam
sampel tidak ada HBsAg maka tidak akan menimbulkan garis merah pada area tes.
Kelebihan anti-HBs colloidal gold konjugat akan terus bergerak menuju area kontrol (C)
yang telah dilapisi anti IgG tikus dari serum kambing (anti-mouse IgG antibody), sehingga
berikatan dan membentuk garis merah pada area kontrol yang menunjukkan hasil
pemeriksaan valid.
Cara kerja :
1) Disiapkan alat dan bahan yang akan dipakai .
2) Dilakukan pengambilan sampel.
3) Dimasukan darah kedalam tabung reaksi, diamkan selama 30 menit, kemudian di
sentrifus selama 15 menit dengan kecepatan 3000 rpm.
4) Serum/plasma terbentuk kemudian dipindahkan ke tabung kosong lainnya
5) Celupkan reagen strip kedalam tabung yg telah di isi sampel tadi sampai tanda batas
pada strip,biarkan selama 15 menit.
6) Pengamatan hasil tidak boleh dibaca lebih dari 20 menit.
interpretasi Hasil :
− Positif (+)
Selain timbul garis merah pada daerah control (C), akan muncul 1 (satu) garis merah
yang nyata di daerah test (T), hasil positif menyatakan adanya HBsAg.
− Negatif (-)
Timbul 1 (satu) garis merah pada bagian kontrol (C), dan tidak ada garis merah di
daerah test (T).
− Invalid
Sama sekali tidak muncul warna merah baik pada daerah test (T), maupun kontrol
(C), merupakan adanya indikasi adanya kesalahan prosedur atau reagen test yang
rusak.
Pemeriksaaan HBsAg metode ELISA / CHLIA
Gambar Prinsip Pemeriksaan HBsAg Metode ELISA
Prinsip pemeriksaan : Antibodi ganda “sandwich” imunosai yang menggunakan
antibodi anti-HBsAg spesifik: antibodi monklonal HBsAg yang berada di dasar sumur
mikrotiter dan antibodi poliklonal HBsAg ditambahkan dengan Horseradish Peroxidase
(HRP) sebagai larutan konjugat. Selama pemeriksaan, adanya HBsAg dalam spesimen
akan bereaksi dengan antibodi-antibodi ini untuk membentuk kompleks imun
“antibodi-HBsAg-antibodi- HRP”. Setelah materi yang tidak terikat tercuci selama
pemeriksaan, substrat ditambahkan untuk menunjukkan hasil tes. Munculnya waRNA
biru di sumur mikrotiter mengindikasikan HBsAg reaktif. Tidak adanya waRNA
menunjukkan hasil non reaktif di spesimen
Alat dan Bahan :
- Alat
1. Mikrotiter well
2. Mikropipet
3. Tip Kuning dan Tip Biru
4. Inkubator
5. ELISA Reader
6. ELISA Washer
- Reagen
1. Enzim Konjugat
2. Kontrol Positif
3. Kontrol Negatif
4. Sampel diluent
5. Color A dan B
6. Stop Solution
7. Wash Buffer
- Sampel serum pasien
1
Cara Kerja :
a. Pembuatan Wash Buffer
1. Wash buffer pekat dicampurkan dengan aquadest perbandingan (1:19)
2. Campuran yang sudah jadi disimpan pada suhu ruang selama seminggu
b. Prosedur Pemeriksaan
1) Semua reagen dan specimen dikondisikan pada suhu ruang.
2) Siapkan nomor yang dibutuhkan untuk sumur, yang terdiri dari 1 sumur blanko, 2
sumur control positif, 2 sumur untuk control negatif dan 1 sumur untuk setiap
specimen. Tulis nomor seri untuk control dan specimen pada kolom.
3) Spesimen diluents ditambahkan sebanyak 20µl pada masing-masing sumur.
4) Spesimen, control negative, control positif ditambahkan sebanyak 100µl sesuai
dengan kolom data. (sediakan 1 sumur untuk blanko)
5) Kemudian dihomogenkan
6) Plate diinkubasi pada incubator suhu 37°C ± 1 jam
7) Enzyme conjugate ditambahkan pada setiap sumur ± 50µl.
8) Plate diinkubasi pada incubator suhu 37°C ± 30 menit.
9) Setiap sumur dicuci dengan wash buffer dengan prosedur :
-- Pencucian yang dilakukan harus sesuai dengan petunjuk apabila ada
pencucian yang tidak sempuRNA maka akan mempengaruhi hasil.
-- Semua isi sumur dimasukkan pada labu cuci. Kemudian ditambahkan wash buffer
350/lebih.
-- Pastikan tidak ada cairan di dalam tip dan setelah pemipetan terakhir.
10) Color A & B dimasukkan pada setiap sumur sebanyak 50µl
11) Plate diinkubasi pada waterbath/inkubator 37° C± 30 menit
12) Hentikan reaksi dengan penambahan 50µl stopping solotion disetiap sumur
13) Absorbansi setiap sumur dibaca pada 450nm & 630nm λ λ
14) Perhitungan
- Single wave length (λ=450nm)
OD = OD450 ±ODBC450
= sampel – control
- Dual wave length (λ=630nm)
Hasil pemeriksaan valid jika :
1) Nilai OD blanko kurang dari 0.100 ( sumur dari kontrol blanko hanya berisi
kromogen dan stop solution)
2) Nilai OD kontro negatif harus sama atau kurang dari () 0.100. Dieliminasi kontrol negatif
dengan nilai OD lebih besar dari () 0.100. Jika 2 nilai keluar dari batas, pemeriksaan
invalid dan harus di ulangi.
3) Nilai OD kontrol positif sama atau lebih besar () 0.500. Jika nilai OD kurang dari 0.500,
pemeriksaan invalid dan harus di ulangi
Perhitungan kontrol :
Nilai cut-off (CO) = NCx . 2,1
NCx : nilai absorbansi rata-rata kontrol negative (jika NCx 0.05 , NCx harus dihitung 0.05)
Interpretasi hasil :
1) Spesimen dengan absorbansi kurang dari (<) nilai cut-off dinyatakan negatif.
2) Spesimen dengan nilai absorbansi lebih besar atau sama dengan () nilai cut-off
dinyatakan positif.
Topik 2
Human Immunodeficiency Virus (HIV)
A. STRUKTUR DAN MORFOLOGI
Sejarah HIV dimulai pada tahun 1981 di Amerika Serikat melaporkan kasus Gay Related
Immune Deficiency (GRID), yaitu penurunan kekebalan tubuh yang dihubungkan dengan kaum
gay/homoseksual. Pada tahun 1982 , CD–USA (Centers for Disease Control) Amerika Serikat
untuk pertama kali membuat definisi AIDS dan juga ditemukan penyebab kelainan ini adalah
LAV (Lymphadenophaty Associated Virus) oleh Luc Montagnier dari Pasteur Institut Paris.
Tahun 1983, Jean Claude Chermann dan Françoise Barré-Sinnousi melakukan isolasi dari
penderita sindrom limfadenopati. Tahun 1984, Robert Gallo dari Amerika Serikat, meneliti
virus penyebab AIDS yaitu HTLV-III. Tahun 1986, InteRNAtional Committe on Taxonomi of
Viruses, memutuskan nama penyebab penyakit AIDS adalah Human Immunodeficiency Virus
(HIV) yang mengganti nama LAV dan HTLV III. Pada tanggal 15 April 1987, pertama kali AIDS
di Indonesia yaitu pasien beRNAma Edward Hop berumur 44 tahun dari Belanda, meninggal
di Rumah Sakit Sanglah Bali dan pada akhir tahun 1987 ada 6 orang yang didiagnosis HIV
positif, dua di antara mereka mengidap AIDS.
HIV (Human Immunodeficiency Virus) merupakan suatu retrovirus dengan materi
genetik (RNA) yang dapat mentransfer informasi genetik RNA ke DNA dengan menggunakan
enzim yang disebut reverse transcriptase. HIV menginfeksi berbagai sel sistem imun antara
lain : Sel T helper (CD4+), Makrofag dan sel dendritik. Infeksi HIV memicu penurunan
kekebalan tubuh yang berhubungan dengan infeksi oportunistik dan tumor ganas disebut
AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome). Virus HIV dibagi dua tipe, yaitu : HIV-1 dan HIV-
2. HIV-1 lebih cepat memicu AIDS dan bersifat akut, sedangkan HIV-2 memicu
AIDS lebih lambat dan bersifat kronik. Menurut data WHO 2010, angka kejadian HIV dari 119
negara secara global menurut mencapai 35.000.000 orang terinfeksi HIV (sekitar 33.200.000-
37.200.000 orang) dan 15.000.000 0rang meninggal .
Struktur HIV-1 (gambar 5.6.), diameter virion mencapai 100 nm, tersusun dari dua strand
RNA yang identik (viral genom) dengan panjang 9749 nukleotida yang mengkode bermacam-
macam enzim diantaranya enzim reverse transcriptase, integrase, protease yang dibungkus
dalam cone shapped core (lapisan berbantuk kerucut) yang tersusun dari protein capsid p24
dan bagian dalam protein matrix p17 yang berasal dari membran fosfolipid host yang
memeiliki protein membran gp 41 dan gp 120 yang akan berikatan dengan CD4 dan Reseptor
kemokin.
Gambar 5.13 Struktur Human Immunodeficiency Virus (HIV I)
Sumber : Cellular and Molecular Immunology.7th ed. 2012
Ekspresi gen HIV dibagi menjadi 2 tahap ekspresi gen,yaitu:
1) Early gen , mengekspresikan gen rev, tat, nef yang akan memproduksi protein yang
dikode gen ini segera setelah virus menginfeksi sel.
2) Late gen, mengekspresikan gen env, gag, dan pol, yang mengkode komponen struktural
HIV.
Gambar Genom Human Immunodeficiency Virus (HIV I)
Secara morfologi HIV-2 sama dengan HIV-1, tetapi kurang patogenik. Kedua tipe tesebut
dapat dibedakan melalui adanya atau tidak adanya antibodi yang spesifik pada HIV-2.
Meskipun reaktivitas (cross reactivity) terjadi antara protein inti kedua virus, tetapi protein
pembungkus (envelope) mereka berbeda.
B. CARA PENULARAN
Gambar 5.15 Cara Penularan HIV
Cara penularan HIV saat ini semakin jelas, meskipun virus dapat disiolasi dari banyak
hasil sekresi tubuh, infeksi ditularkan dari satu pasien ke pasien lain melalui tiga jalur
utama, yaitu :
1) Kontak seksual (hubungan seks), merupakan cara penularan paling besar terutama pada
kelompok heteroseksual dan homoseksual (laki-laki).
2) Penularan dari ibu ke anak, terjadi selama kehamilan melalui saluran plasenta dan setelah
melahirkan dari asi.
3) Inokulasi pasien oleh darah penderita HIV atau produk darah transfusi dari donor pemakai
obat/ narkoba melalui jarum suntik dan transfusi darah yang terinfeksi HIV
Penularan HIV melalui hubungan seksual merupakan jalur yang sangat penting. Di Afrika
dampak penularan secara heteroseksual, menunjukkan peningkatan jumlah wanita yang
terinfeksi dan menularkan infeksinya ke anak mereka. Dengan demikian peningkatan populasi
yang terinfeksi terjadi dari dua sisi, yaitu : pada orang dewasa (penularan secara horizontal)
dan pada bayi (penularan secara vertikal).
HIV ditularkan melalui kontak seksual, paparan darah yang terinfeksi atau sekret dari
kulit yang terluka, dan oleh ibu yang terinfeki ke janinnya atau melalui laktasi. Siklus replikasi
HIV dimulai dari ikatan antara HIV’s gp120 binding protein yang terletak di permukaan virus
dengan reseptor CD4+. Molekul gp 41 akan menetrasi membrane plasma sel target kemudian
membawa virion masuk kedalam sel target.
Sebuah kompleks preintegrasi virus yang terdiri dari RNA dan enzim virus dilepaskan ke
dalam sitoplasma sel target. Kompleks ini akan mencapai nukleus dan mempromosikan
transkripsi dari genom RNA menjadi DNA oleh enzim reverse transcriptase. Kompleks protein
coat akan menghasilkan double stranded DNA. Pada proses ini, genom viral rentan terhadap
faktor imunitas seluler yang menghambat progresifitas infeksi. DNA virus akan terintegrasi ke
dalam kromosom host oleh enzim integrase.
Telah diketahui bahwa sejumlah mekanisme untuk menurunkan CD4+ dapat diinduksi
oleh infeksi langsung dan destruksi oleh HIV. Kombinasi dari patogenitas virus dan respon
kekebalan tubuh yang terjadi selama infeksi mempengaruhi perkembangan stadium lanjut
penyakit yang merupakan suatu kompleks dan bervariasi.
Transfusi darah juga dapat menjadi jalur penularan HIV yang penting dan efisiensi
penularan HIV diperkirakan lebih dari 90%. Satu transfusi positif HIV rata-rata dapat
memicu kematian setelah jangka waktu dua tahun pada anak-anak dan lima tahun pada
orang dewasa. meskipun demikian, sejauh mana transfusi darah menjadi jalur penularan
utama tergantung pada prevalensi dari inidividu yang terinfeksi dala suatu populasi dan
efektivitas dari program uji saring yang dipakai . Jika dalam suatu populasi dimana
prevalensi pasien yang terinfeksi rendah dan program uji saring baik, maka penularan
melalui transfusi darah menjadi jarang dan dapat disimpulkan transfusi darah bukan
merupakan penularan HIV yang utama. Sebaliknya jika dalam suatu populasi ada
prevalensi pasien yang terinfeksi tinggi dan program uji saring jelek atau bahkan tidak ada,
maka penularan HIV lewat transfusi darah sangat mungkin terjadi dan merupakan jalur
penularan utama dalam populasi ini .
Langkah pertama untuk mencegah penularan melalui transfusi darah adalah dengan
menyeleksi donor, sehingga mendapat donor yang memiliki resiko rendah terhadap infeksi
yang ditularkan. Darah dari seorang donor yang aman akan memberikan darah donasi yang
aman untuk resipien. Meskipun demikian, tetap harus dilakukan atau melaksanakan program
uji saring antibodi HIV agar darah yang terinfeksi dapat diidentifikasi dan dibuang.
C. GEJALA KLINIS
Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS) merupakan kumpulan gejala atau
penyakit yang disebabkan oleh menurunnya kekebalan tubuh akibat infeksi oleh virus HIV.
AIDS merupakan stadium ketika sistem imun penderita jelek dan penderita menjadi rentan
terhadap infeksi yang dinamakan infeksi oportunistik. Pada pasien yang terinfeksi HIV
dengan jumlah CD4 < 200μL juga merupakan definisi AIDS meskipun tanpa adanya gejala yang
terlihat atau infeksi oportunistik. Infeksi oportunistik merupakan infeksi yang tidak terkontrol
dari penyebab infeksi yang ada dan tidak dapat dikendalikan. Infeksi-infeksi umum ini
mencakup :
1) Pnemonia yang disebabkan oleh Pneumocytis carinii.
2) Tuberkulosis yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis atau Mycobacterium
avium / intracellularis.
3) Kriptosporidiosis kronis
4) Toxoplasmosis
5) Infeksi-infeksi virus lain, seperti Cytomegalovirus.
Kanker sekunder diantaranya sarkoma kaposi dan limfoma non-Hodgkins merupakan
kondisi lain yang kadangkala ditemukan pada pasien-pasien AIDS. Kanker ini biasanya ganas
dan tidak merespon secara baik pemberian kemoterapi standar. Beberapa negara di dunia,
ada pasien yang mengidap ARC (AIDS Related Complex) atau AIDS dengan diare berat.
Adanya infeksi oportunistik atau kanker-kanker sekunder hanya dapat ditentukan setelah
penelitian klinis dan hasil laboratorium.
Ada 2 klasifikasi yang sampai sekarang sering dipakai untuk remaja dan dewasa yaitu
klasifikasi menurut WHO dan Centers for Disease Control and Preventoin (CDC) Amerika
Serikat. Di negara-negara berkembang menggunakan sistem klasifikasi WHO dengan memakai
data klinis dan laboratorium, sementara di negara-negara maju dipakai sistem klasifikasi
CDC. Klasifikasi menurut WHO dipakai pada beberapa Negara yang pemeriksaan limfosit
CD4+ tidak tersedia. Klasifikasi stadium klinis HIV/AIDS WHO dibedakan menjadi 4 stadium,
yaitu :
Tabel 18. Stadium HIV menurut WHO
STADIUM GEJALA KLINIS
I -- Tidak ada penurunan berat badan
-- Tanpa gejala atau hanya Limfadenopati Generalisata Persisten
II -- Penurunan berat badan <10%
-- ISPA berulang: sinusitis, otitis media, tonsilitis, dan faringitis
STADIUM GEJALA KLINIS
-- Herpes zooster dalam 5 tahun terakhir
-- Luka di sekitar bibir (Kelitis Angularis)
-- Ulkus mulut berulang
-- Ruam kulit yang gatal (seboroik atau prurigo)
-- Dermatitis Seboroik
-- Infeksi jamur pada kuku
III -- Penurunan berat badan >10%
-- Diare, demam yang tidak diketahui penyebabnya >1 bulan
-- Kandidiasis oral atau Oral Hairy Leukoplakia
-- TB Paru dalam 1 tahun terakhir
-- Limfadenitis TB
-- Infeksi bakterial yang berat: Pneumonia, Piomiosis
-- Anemia (<8 gr/dl), Trombositopeni Kronik (<50109 per liter)
IV -- Sindroma Wasting (HIV)
-- Pneumoni Pneumocystis
-- Pneumonia Bakterial yang berat berulang dalam 6 bulan
-- Kandidiasis esofagus
-- Herpes Simpleks Ulseratif >1 bulan
-- Limfoma
-- Sarkoma Kaposi
-- Kanker Serviks yang invasif
-- Retinitis CMV
-- TB Ekstra paru
-- Toksoplasmosis
-- Ensefalopati HIV
-- Meningitis Kriptokokus
-- Infeksi mikobakteria non-TB meluas
-- Lekoensefalopati multifokal progresif
-- Kriptosporidiosis kronis, mikosis meluas
Di Indonesia, pada tahun 2007 oleh KPA (Komisi Penanggulangan AIDS) diagnosis AIDS
dengan kriteria WHO dipakai untuk keperluan surveilans epidemiologi. Dalam hal ini
seseorang dapat didiagnosis berdasarkan gejala klinis, yang terdiri dari gejala mayor dan
minor. Pasien yang dikatakan AIDS jika menunjukan hasil tes HIV positif disertai minimal
ada 2 gejala mayor atau ada 2 (dua) gejala minor dan 1 (satu) gejala mayor. Tabel
5.2 menunjukkan Gejala mayor dan gejala minor infeksi HIV / AIDS
Tabel 19. Gejala mayor dan minor infeksi HIV/AIDS
GEJALA MAYOR GEJALA MINOR
-- Berat badan turun >10% dalam 1 bulan
-- Diare kronik, berlangsung > 1 bulan
-- Demam berkepanjangan > 1 bulan
-- Penurunan Kesadaran
-- Demensia/HIV ensefalopati
-- Batuk menetap > 1 bulan
-- Dermatitis generalisata
-- Herpes Zooster multisegmental dan
berulang
-- Kandidiasis orofaringeal
-- Herpes simpleks kronis progresif
-- Limfadenopati generalisata
-- Infeksi jamur berulang pada alat
kelamin wanita
-- Retinitis Cytomegalovirus
D. METODE PEMERIKSAAN
Secara umum diagnosis HIV dibagi menjadi dua prinsip pendeteksian,