bank darah 3,




 okteran militer karena sel darah merah 

yang disimpan dengan cara ini memiliki waktu simpan yang lama. Penyimpanan ini juga 

mempermudah penyimpanan darah dari golongan-golongan darah yang jarang diperlukan 

oleh pasien dengan masalah antibodi yang sulit. Banyak unit transfusi darah yang mendorong 

pasien dengan antibodi kompleks terhadap antigen tertentu untuk menyimpan sel darah 

merah sendiri jika diperlukan di masa mendatang. 

3) Sel darah merah Cuci (Washed Red Cell) 

Washed red cell diperoleh dengan mencuci packed red cell 2-3 kali dengan saline (Nacl 

0,9%), dan kemudian sisa plasma terbuang habis. sebab  proses pencucian berlangsung 

dengan sistem terbuka, produk harus dipakai  dalam waktu 24 jam. Mencuci sel darah 

merah menghilangkan protein plasma, beberapa leukosit,dan sisa trombosit. Produk ini 

ditunjukkanuntuk pasien yang telah mengalami alergiberat akibat transfusi berulang dan 

reaksi yang tidak bisa dicegah oleh antihistamin. Berguna untuk penderita yang tidak bisa 

diberi komponen plasma, diantaranya dipakai dalam pengobatan aquired hemolytic anemia 

dan exchange transfusion. Kelemahan washed red cell yaitu bahaya infeksi sekunder yang 

terjadi selama proses serta masa simpan yang pendek (4-6 jam). 

   

  

 

 

Gambar  Kantong pencucian sel darah Merah (washing bag PRC) 

Pencucian PRC dibagi dua cara , yaitu :  

a) Cara manual :  

- Menggunakan kantong cuci ( washingbag ) 

- Tambahkan NaCl 0.9 % ke dalam kantong darah yang  akan dicuci sampai penuh , 

melalui slang 1 

- Putar 1500 xG 30 menit atau 4850 xG  4°C 3 menit 

- Buang supernatan melalui slang 2 

- Ulangi prosedur sampai 3 kali melalui slang 3 , 4, dst 

- Tinggalkan supernatan sampaiHt 70 %  

b) Dengan mesin : 

- masukkan PRC kedalam mangkok khusus 

- putar 

- alirkan NaCl 0.9 % secara terus menerus. 

- supernatan dibuang secara kontinyu. 

- PRC yang telah dicuci dipindahkan ke dalam kantong darah dengan Ht 70 %. 

 

4) Leukosit Pekat (Buffy Coat) 

Isi utama leukosit pekat (Buffy Coat)adalah granulosit. Leukosit pekat disiapkan dalam 

bentuk buffy coatdengan volume berkisar antara 50-80 mL. Temperature simpan berkisar 

antara 20±2o C, sedangkan lama simpan harus segera ditransfusikan dalam 24 jam. Leukosit 

pekat berguna untuk meningkatkan jumlah granulosit. Pelayanan pre transfusi adalah 

melalui uji cocok serasi darah donor dan pasien. Efek samping yang ditimbulkan urtikaria, 

mengigil, demam.  

 

 

Gambar . leukosit pekat(buffy coat) 

Saat ini leukosit pekat(buffy coat) jarang dipakai , data yang menunjukkan pemakaian 

transfusi leukosit pekatpada pasien dewasa septic granulositopenik kurang memuaskan, 

tetapi granulosit buffy coat yang dikumpulkan dari satu atau dua unit darah segar mungkin 

bermanfaat dalam penatalaksanaan sepsis pada bayi baru lahir. Cairan granulosit buffy 

coatini adalah suspensi granulosit dalam plasma yang dibuat dengan sitaferesis, yang lebih 

tepat disebut granulosit feresis (granulositoferesis). Komponen ini, sebaiknya mengndung 

minimal 1x1010 granulosit. Granulositoferesis menghasilkan sekitar 1x1010 granulosit dalam 

300 mL sampai 500 mL plasma, sekitar 25 mL sel darah merah pasti akan mencemari produk 

granulosit dan juga ada  trombosit dalam jumlah yang bermakna. Transfusi granulosit 

jarang menjadi regimen pengobatan untuk leukemia, tetapi pemakaian optimal masih 

diperdebatkan dan transfusi komponen darah ini seharusnya diberikan hanya dengan 

protokol yang sesuai. 

5) Konsentrat Trombosit  (Thrombocyte Concentrate) 

Isi utama trombosit pekat adalah trombosit dengan volume sekitar 50 mL, temperatur 

simpan berkisar antara 20±2 oC dan lama simpan 3 hari tanpa goyangan dan 5 hari dengan 

goyangan. Trombosit pekat berguna untuk meningkatkan jumlah trombosit pasien. 

Peningkatan post transfusi pada dewasa, rata-rata 5000-10000/ µL. Efek samping yang 

mungkin timbul setelah transfusi trombosit pekat: urtikaria, menggigil, demam, aloimunisasi 

antigen trombosit donor. 

Saat ini tersedia dua jenis konsentrat trombosit donor yaitu:  

1. Konsentrat trombosit unit tunggal yang disebut trombosit dari darah lengkap yang 

mengandung trombosit lebih dari 5,5x1010 yang tersuspensikan dalam sejumlah kecil 

plasma. 

2. Konsentrat tromboferesis (platelet pheresis consentrates) disisapkan dari sitaferesis, 

mengandung minimal 3x1011 Trombosit (trombosit, feresis). Konsentrat tromboferesis 

   

  

 

dari satu donor darah mengandung eqivalen 6-8 unit trombosit yang berasal dari 6-8 

donor acak darah lengkap. Prosedur hemaferesis memungkinkan kita memproses 

sejumlah besar darah dari satu donor darah karena sel darah merah dan elemen lain 

segera dikembalikan ke donor. Sejumlah besar plasma, trombosit atau sel darah putih 

juga dapat diolah dengan teknik ini. Konsentrasi tromboferesis berasal dari satu donor 

sehingga mengurangi pajanan donor dibandingkan dengan konsentrat yang dikumpulkan 

secara acak dan berasal dari darah lengkap. Akibatnya, risiko imunisasi atau infeksi tekait 

transfusi berkurang. 

 

Gambar (a) Konsentrat trombosit secara manual , (b) Konsentrat trombosit  secara 

aferesis (tromboferesis) 

Trombosit dapat disimpan sampai 5 hari pada temperatur 22± 2oC pada agitator 

trombosit untuk mencegah penggumpalan tombosit. Masa hidup trombosit yang lebih 

singkat daripada sel darah merah, dimana trombosit bertahan hidup hanya 8 sampai 10 hari 

secara invivo, sedangkan eritrositmasa hidupnya sampai 120 hari. Kelangsungan hidup 

trombosit secara in vitro bahkan lebih singkat. Trombosit memiliki waktu simpan maksimum 

5 hari, tetapi kelangsungan hidup dan efektifitas pascatransfusi sangat menurun selama 

penyimpanan.  

Efek terapeutik konsentrat trombosit, rata-rata satu unit konsentrasi trombosit 

mengandung 5,5 x 1010 trombosit. Walaupun angka spesifik sangat bervariasi, halini 

merupakan angka rata-rata realistik yang dipengaruhi  oleh teknik pemilihan donor, 

flebotomi, persiapan, penyimpanan, dan pengangkutan yang benar. Pada pasien yang stabil 

secara hematologis, transfusi satu unit trombosit meningkatkan jumlah trombosit sekitar 

5000-10000 permikroliter per meter persegi luas permukaantubuh. Peningkatan pasca 

transfusi biasanya diukur pada satu jam dan 24 jam setelah transfusi. Indikasi utama terapi 

trombosit adalah untuk pasien dengan trombositopenia simptomatik. Trombositopenia 

memiliki banyak mekanisme, dan transfusi trombosit paling efektif jika terjadi gangguan 

pembentukan trombosit, seperti yang terjadi pada aplasia sumsum tulang (misalnya  

pascakemoterapi, atau pada kegagalan sumsum tulang). Selain itu trans fusi trombosit 

diberikan pada pasien trombositopenia yang berkaitan dengan destruksi sekunder atau 

sekuestrasi perifer. Apabila trombosit diberikan kepada pasien yang sedang mengalami 

pendarahan dan rendahnya jumlah trombosit, trombosit yang ditransfusikan akan 

mengalami destruksi serupa dengan yang dialami trombosit pasien. Pada kasus-kasus ini, 

transfusi trombosit hanya memicu  sedikit perbaikan klinis. Pasien dengan limpa yang 

besar atau dengan destruksi trombosit akibat autoimun tidak banyak memperoleh manfaat 

dari transfusi trombosit. Infeksi atau demam tinggioleh sebab apapun juga mempercepat 

kelangsungan hidup trombosit yang ditransfusikan. Bagaimanapun, evaluasi peningkatan 

trombosit setelah transfusi, terutama 1 jam dan 24 jam, sangat bermanfaat dalam 

menentukan kelangsungan hidup trombosit in vivo. Hal ini penting secara klinis dalam 

penilaian apakan orang yang mendapat transfusi trombosit mengalami aloimunisasi 

terhadap trombosit ini  dan juga dalam menentukan dan mendefinisikan terapi 

trombosit yang paling efektif. 

6) Liquid Plasma (LP) 

Isi utama liquid plasma adalah plasma yang mengandung faktor pembekuan stabil dan 

protein plasma, volume pada kantong darah 150 – 220 ml . Suhu simpan pada 4°±2° C sampai 

dengan 5 hari setelah tanggal  kadaluarsa darah lengkap asal. Penggunaan liquid plasma 

bertujuan untuk : 

a) Meningkatkan volume plasma , tetapi  pemakaian cairan pengganti lebih dianjurkan. 

b) Meningkatkan faktor pembekuan stabil [ Faktor II , VII , IX , X , XI ] 

 

Gambar . Liquid Plasma (LP) 

Pelayanan  liquid plasma dengan cara mencocokan ABO dan Rhesus donor  dengan 

eritrosit pasien. Efek samping yang ditimbulkan, antara lain : urtikaria , menggigil , demam , 

hipervolemia. Waktu pemisahan dari darah lengkap kapan saja sampai 5 hari setelah tanggal 

kadaluarsa darah lengkap asal. Metoda pemisahan bisa dialkukan dengan metode 

plasmaferesis dan juga pemutaran darah lengkap/ whole blood. 

   

  

 

7) Plasma Segar Beku (Fresh Frozen Plasma) 

Isi utama FFP adalah plasma dan faktor pembekuan labil. Volume FFP berkisar antara 

150 sampai 220 mL. Temperatur simpan FFP adalah -18 oC atau lebih rendah. Lama simpan 

satu tahun. FFP berguna untuk meningkatkan faktor pembekuan labil apabila faktor 

pembekuan pekat/kriopresipitat tidak ada. Pelayanan untuk FFP adalah cocok untuk golongan 

darah ABO dengan erirosit pasien. Ditransfusikan dalam waktu 6 jam setelah dicairkan. Ffp 

berguna untuk meningkatkan faktor pembekuan. Efek samping pemberian FFP adalah 

urtikaria, mengigil, demam, hipervolemia. FFP merupakan bagian cair dari unit darah lengkap 

yang diambil dan dibekukan dalam 6 sampai 8 jam dan disimpan pada temperature -18oC. 

sebab  diproses sedemikian cepat, plasma beku segar juga mengandung faktor koagulasi labil 

(VIII,V), semua faktor pembekuan lainnya, dan protein plasma. 

 

 

Gambar . Fresh Frozen Plasma (FFP) 

Indikasi utama pemakaian plasma beku segar adalah pada defisiensi faktor pembekuan 

dengan gangguan hemostatik di mana masih belum diketahui faktor pembekuan apa yang 

menjadi penyebab atau terjadi defisiensi multiple. Plasma beku segar seyogyanya jarang, 

kalaupun pernah, diberikan untuk ekspansi volume. Namun, larutan ini dapat secara 

memuaskan dipakai  untuk rekonstruksi sel darah merah untuk transfusi tukar pada bayi 

baru lahir.  

Plasma yang dibekukan dalam 24 jam setelah pengmbilan dan plasma yang kurang 

mengandung kriopresipitat adalah produk sampingan persiapan komponen dan sering lebih 

murah daripada FFP. Kadar faktor-faktor koagulasi yang labil lebih bervariasi daripada FFP, 

tetapi produk ini memiliki kadar faktor koagulasi stabil, albumin, zat bakterisidal, opsonin dan 

konstituen lain yang sama dengan FFP. FFP yang kurang mengandung kriopresipitat 

merupakan komponen pilihan yang dipakai  untuk pengobatan Purpura Trombositopenik 

Trombotik (PTT) karena tidak mengandung multimer faktor willebrand yang diperkirakan 

penting dalam pathogenesis PTT dan berisi aktivitas protease pemecah vWF.3 

8) Kriopresipitat (Cryoprecipitate) 

Isi utama kripresipitat adalah faktor pembekuan VIII, faktor pembekuan XIII, faktor von 

willebrand dan fibrinogen. Temperature simpan -18oC atau lebih rendah dan lama simpan 

selama 1 tahun. Kriopresipitat berguna untuk meningkatkan faktor pembekuan VIII, faktor 

pembekuan XIII, faktor von Willebrand (vWF) dan fibrinogen. Pelayanan kriopresipitat dengan 

mencocokkan golongan ABO dengan eritrosit pasien dan harus ditansfusikan dalam waktu 6 

jam setelah dicairkan. Efek samping setelah pemberian kriopresipitat adalah demam dan 

alergi. Kriopresipitat merupakan bagian plasma yang dingin dan tidak larut yang diproses dari 

FFP. Kriopresipitat adalah residu gelatinosa yang diperoleh dengan membekukan dan 

mencairkan secara lambat plasma yang baru diambil. Kriopresipitat mengandung 80 sampai 

100 IU faktor VII, vWF dan sekitar 250 mg fibrinogen (minimum 150 mg) dalam volume 10-15 

mL/unit.3 

 

Gambar   Kriopresipitat 

Kriopresipitat bermanfaat untuk mengobati pendarahan ringan sampai sedang pada 

pasien dengan penyakit von wiillebrand. Apabila diperlukan konsentrasi vWF yang sangat 

tinggi, seperti pada perdarahan yang mengancam nyawa atau untuk prosedur bedah, lebih 

baik dipakai  beberapa konsentrat komersial yang mengandung vWF.  Plasma beku segar 

dan kriopresipitat juga merupakan sumber terbaik untuk vWF, yang tinggi ada  di banyak 

konsentrat faktor VIII komersial. Kriopresipitat juga bermanfaat dalam manajemen keadaan 

hipofibrinogemia dan pada koagulasi intravascular diseminat dengan konsumsi fibrinogen. 

Kriopresipitat juga dapat dikenai prosedur-prosedur inaktivasi virus seperti pemanasan dan 

pemberian pelarut deterjen. Kecenderungan yang sekarang meningkat adalah pemakaian 

   

  

 

kriopresipitat untuk menyediakan fibrinogen, yang kemudian dapat diaktifkan menjadi fibrin 

oleh thrombin di tempat pendarahan selama pembedahan. “Lem Fibrin” ini sekarang menjadi 

praktek standar di banyak prosedur bedah vascular.3 

 

9) Konsentrat faktor VIII 

Komponen ini adalah suatu konsentrat liofilisasi plasma yang berasal dari 30000 donor, 

yang terutama mengandung faktor VIII, tetapi juga sejumlah kecil fibrinogen dan protein lain. 

Tersedia preparat dengan kemurnian sedang, kemurnian tinggi dan kemurnian sangat tinggi 

yang sesuai dengan metode pemurniannya. Sebagian besar prosedur pemurnian antibody 

monoclonal (afinitas) menghasilkan konsentrasi yang kemurniannya sangat tinggi dengan 

hanya sedikit protein pencemar. Kandungan faktor VIII spesifik (unit aktifitas faktor VIII per 

mg protein berbeda-beda dan hal ini dicantumkan di setiap vialnya. Rentang aktifitas faktor 

VIII total biasanya adalah 800 sampai 1600 IU/mg. Molekul faktor VIII telah berhasil diklon dan 

juga tersedia sebagai protein rekombinan. Preparat ini lebih mahal daripada konsentrat yang 

berasal dari plasma, tetapi memiliki keunggulan karena tidak menularkan penyakit infeksi 

terkait plasma. Namun peparat ini masih mungkin bersifat imunogenik dan memicu respon 

imun,  termasuk aloimunisasi (inhibitor faktor VIII). 

10) Konsentrat Faktor IX 

Komponen ini mengandung konsentrat faktor-faktor dependen vitamin K, yaitu faktor 

II,VII, IX dan X yang berasal dari kumpulan ribuan donor. Dengan demikian, komponen ini 

memiliki faktor resiko serupa dengan konsentrat faktor VIII, namun konsentrat ini dibuat 

dengan fraksionisasi plasma bukan kriopresipitasi. Produk-produk ini merupakan terapi 

pilihan untuk perdarahan atau profilaxispada pasien penyakit Critsmas (defisiensi faktor IX). 

Indikasi lain adalah defisiensi congenital faktor protrombin, VII dan X. Pengolahan komponen 

ini juga dilakukan dengan pemanasan dan atau pelarut detergen, seperti faktor VIII. Beberapa 

konsentrat faktor IX juga mengandung sejumlah kecil faktor koagulasi aktif sehingga dapat 

berguna dalam penanganan pasien hemophilia dengan inhibitor terhadap faktor VIII. Sekarang 

juga tersedia konsentrat faktor IX rekombinan.3 

 

11) Preparat Globulin serum dan Inhibitor Protease Plasma 

 Fraksionase plasma komersial juga dapat memekatkan gamaglobulin untuk diberikan 

kepada pasien dengan defisiensi antibody humoral yang parah. Kumpulan plasma yang 

mengandung gamaglobulin spesifik dengan titer tinggi dapat dipakai  sebagai preparat 

serum gamaglobulin hiperimun untuk penanganan pasien yang pernah terpajan ke globulin 

imun-varisela-zoster (VZIG) atau serum imun hepatitis B. Plasma normal juga mengandung 

inhibitor-inhibitor alamiah terhadap protein yang diaktifkan selama proses fisiologik, seperti 


thrombin pada koagulasi, tripsin pada pencernaan protein, atau C1 esterase pada pengaktifan 

komplemen. Beberapa inhibitor alamiah ini juga dipekatkan selama fraksionasi plasma untuk 

dipakai  dalam terapi keadaan-keadaan defisiensi  congenital dan didapat (misalnya, 

trombofolia defisien-antitrombin, defisiensi alfa 1-antitripsin (enfisema) dan defisiensi C1-

esterase (edema angio-neurotik). 

 

 

 


Penyimpanan Komponen Darah 

 

A.   

Penyimpanan darah secara invitro merupakan upaya untuk mengurangi perubahan-

perubahan yang terjadi selama darah disimpan. Untuk dapat mempertahankan kualitas darah 

donor harus, maka harus memperhatikan syarat – syarat dalam penyimpanan darah invitro. 

Pada keadaan invivo ada keseimbangan antara produksi dan destruksi, sintesa dan 

pemecahan protein dan lain-lain. Sel darah memerlukan energi untuk  mempertahankan 

bentuk sel dan melakukan fungsi sel. Untuk mendapatkan energi ini  sel perlu 

metabolisme yang memerlukan bahan serta memerlukan oksigen  terutama untuk trombosit 

dan leukosit. 

Metabolisme eritrosit merupakan proses glikolitik atau pemecahan glukosa, pada proses 

ini memerlukan hampir 20 macam enzim, memerlukan 2 mol ATP, memproduksi 4 mol ATP 

dengan hasil akhir 2 mol ATP. ATP yang dihasilkan ini merupakan sumber energi dan hasil akhir 

proses glikolitik adalah asam laktat. 

Pada penyimpanan darah invitro seperti dalam kantong darah tidak ada keseimbangan 

antara produksi dan destruksi ataupun sintesa dan pemecahan protein, hanya ada destruksi 

tanpa produksi. Sehinggga sel darah memerlukan energi untuk metabolisme dan itu 

memerlukan bahan-bahan serta oksigen. Cara yang paling efektif yaitu disimpan pada 

temperatur rendah 2°- 6°C, sehingga metabolismenya diperlambat dan pemberian cadangan 

kalori yaitu dekstrosa.  

 

B. SYARAT –SYARAT PENYIMPANAN DARAH SECARA INVITRO 

Cara penyimpanan darah secara invitro harus dapat memenuhi syarat-syarat, berikut  : 

1) Harus mempertahankan sel darah tetap hidup. 

2) Harus mempertahankan sel darah tetap berfungsi  

Ada 2 faktor penting yang harus diperhatikan dalam penyimpanan darah secara invitro, 

yaitu temperatur simpan dan pengawet / pelindung. Dalam perkembangannya pengawety 

darah dipakai untuk menyimpan darah dalam bentuk cair, semakin lama semakin dilengkapi 

komposisinya dengan tujuan agar masa simpan darah invitro dapat diperpanjang. 

Antikoagulan adalah zat untuk mencegah terjadinya darah membeku, yang dipakai  

dalam kepentingan transfusi adalah sitrat.  dipakai  karena dapat mempertahankan darah 

teatp cair dengan cara mengikat kalsium (Ca2+) dalam darah, aman bagi manusia, efek samping 

keracunan terjadi apabila dipakai  dengan konsentrasi tinggi berupa gejala kesemutan 

1   

  

  

sekitar mulut, rasa tertekan pada diafragma akibat turunnya kadar kalsium (Ca2+) dalam darah. 

Netralisasi sitrat dengan memberikan kalsium glukonas 10% sebanyak 10 mL untuk dewasa  

dan 4-6 mL untuk bayi. Keracunan dapat terjadi pada transfusi masif dan cepat, transfusi pada 

pasein gangguan hati, transfusi tukar pada bayi 5 mL/unit.  Sedangkan bahan pengawet yaitu 

bahan-bahan yang diperlukan untuk metabolisme sel. Berikut ini adalah jenis antikoagulan 

dan pengawet darah dalam penyimpanan bentuk cair, antara lain :  

1) Natrium sitrat konsentrasi 3,4 – 3,8 %, dapat mengawetkan darah selama 2-3 hari pada 

suhu 4°C. 

2) ACD = Acid – Citric – Dextrose, dengan penambahan dektrosa masa simpan dapat 

diperpanjang menjadi 3 minggu (21 hari). 

3) CPD = Citric – Phosphate – Dextrose, dengan penambahan senyawa phospat, maka sel 

darah mendapat tambahn sumber energi. Larutan CPD lebih baik jika dibandingkan 

larutan ACD, yaitu hemolisis lebih kecil dan viabilitas sel post transfusi juga lebih baik, dan 

fungsi transpot oksigen lebih baik. Masa simpan darah dalam larutan CPD adalah 28 hari. 

4) CPD-A = Citric – Phosphate – Dextrose – Adenine, dengan penambahan 17 mg adenin ke 

komposisi CPD dapat memperpanjang masa simpan menjadi 35 hari (5 minggu). 

5) Larutan aditif, terdiri AS-1 (Adsol), AS-3 (Nutricel) dan AS-5 (Optisol) dapat 

memperpanjang masa simpan menjasi 42 hari. 

Berikut ini adalah isi dari larutan pengawet yang dipakai  dalam kantong darah donor:  

Tabel  11. Komposisi antikoagulan dan pengawet dalam kantong darah 450 mL (mg/63 mL) 

 

 

Tabel  12. Komposisi larutan aditif (mg / 100 mL) 

   

  

 

  

 

Pada kantong darah 450 ml ada  pengawet dan antikoagulan sebanyak 63 ml dan 

pada kantong darah 500 ml ada  pengawet dan antikoagulan sebanyak 70 ml. Jika volume 

darah kurang dari 300 ml, maka ratio volume antikoagulan-pengawet dengan darah adalah 

1,4 : 10.  

 

C. PENYIMPANAN DARAH DONOR 

Penyimpanan darah donor secara invitro , dibagi menjadi dua yaitu penyimpanan dalam 

bentuk cair dan enyimpanan dalam bentuk beku.  

2) Penyimpanan dalam bentuk cair. 

 Temperatur Simpan 

− Setiap komponen darah memiliki  temperatur simpan optimal yang berbeda-

beda. 

− Eritrosit dalam bentuk cair, temperatur optimal 4 ± 2 °C dan metabolisme 1/40 

pada suhu 37 °C. Temperatur maksimum dalam penyimpanan darah adalah 10 °C, 

jika di atas temperatur ini  perusakan eritrosit berlangsung cepat. 

Temperetur 0°C dapat merusak eritrosit, karena terjadi pembekuan air yang dapat 

merusak membran sel kecuali dengan proses tertentu.   

 Temperatur simpan komponen darah dalam bentuk cair : 

Tabel  13. Temperatur simpan komponen darah dalam bentuk cair 

Temperatur Jenis Komponen 

4 °C ± 2 °C - Darah Lengkap (whole blood) 

- Darah Merah Pekat (PRC) 

- Plasma 

22 °C ± 2 °C - Trombosit Konsentrat 

- Leukosit pekat (Buffy Coat) 

1   

  

  

 

3) Penyimpanan dalam bentuk beku. 

Tujuan penyimoanan darah dalam bentuk beku adalah untuk memperpanjang masa 

simpan darah invitro. Komponen darah yang bisa disimpan dalam bentuk beku diantaranya : 

erirosit, trombosit, sel induk darah (stem sel). Disamping itu kriopresipitat, dan FFP juga 

disimpan dalam bentuk beku. Penyimpanan beku trombosit dinilai kurang efisien karena 

kerusakan trombosit pada penyimpanan beku lebih dari 5%.  

Untuk menyimpan beku eritrosit, dipakai pelindung gliserol dalam kadar yang kecil 

gliserol tidak toksik bagi tubuh. Untuk menyimpan beku sel induk darah (stem sel) dan 

trombosit dipakai Dimetil Sulfoksida (DMSO).  

Tabel  14. Temperatur simpan komponen darah dalam bentuk beku 

Temperatur Jenis Komponen 

-18 °C ± -30 °C - Plasma Segar Beku (FFP) 

- Kriopresipitat 

-85 °C - Sel darah merah pekat (PRC) 

- Sel Induk Darah (Stem Sel) 

-196 °C - Sel Induk Darah (Stem Sel) 

3) Masa simpan komponen darah  

Tabel di bawah ini menggambarkan lama simpan masing-masing komponen darah.  

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

   

  

 

Tabel  15. Lama Simpan Komponen Darah 

 

 

4) Alat-alat penyimpanan darah secara invitro 

Berikut ini adalah alat-alat yang dipakai  untuk penyimpanan komponen darah. 

 

(A) UPRIGHT REFRIGERATOR 

 

 

 

(B) CEST REFRERIGERATOR 

 

1   

  

  

 

(C) AGITATOR 

 

 

(D) Ice-lined blood bank refrigerators 

 

(E) COLD ROOM 

Gambar 3.33. alat penyimpanan darah secara invitro 

 

D. EFEK PENYIMPANAN DARAH INVITRO 

1) Perubahan bentuk dan daya hidup sel  

− Daya hidup eritrosit akan menurun sebanding dengan masa simpan. Pada saat 

penyadapan hancur 1-5%, apabila disimpan 2 minggu dalam ACD sel erirosit hancur 

sekitar 10%, dan  4 minggu dalam ACD sel eritrosit musnah mencapai 25%. 

− Daya hidup trombosit menurun sebanding dengan masa simpan dan temperatur 

simpan. Daya hidup trombosit pada suhu 2-6°C lebih buruk dibandingkan pada suhu 18-

22°C. 

− Daya hidup leukosit menurun dengan cepat sebanding dengan masa simpan. Masa 

simpan 48 jam terjadi perubahan bentuk, sedangkan masa simpan 72 jam fungsi leukosit 

hilang. 

 

   

  

 

2) Perubahan kadar ATP  

Akibat penurunan kadar ATP, maka terjadi hilangnya  lipid membran sel, perubahan 

bentuk sel dari bentuk bikonkaf menjadi bulat, berkurangnya elastisitas sel sehingga 

menjadi kaku.   

3) Perubahan kadar 2,3 DPG  

Akibat penurunan kadar 2,3 DPG, maka daya ikat oksigen pada molekul hemoglobin 

menjadi kuat, pelepasan oksigen ke jaringan menjadi berkurang. Darah dengan 2,3 DPG 

rendah tidak menambah oksigenisasi jaringan walaupun kadar hemoglobin naik. Darah 

dengan 2,3 DPG rendah tidak tepat untuk pasien yang memerlukan oksigenisasi cepat / 

resusitasi.  

4) Perubahan elektrolit 

Peningkatan Kalium (K+) plasma, disebabkan karena sel tidak mampu mempertahankan 

Kalium (K+) dalam sel, akibatnya masuknya natrium (Na+) beserta air ke dalam sel. Darah 

dengan kalium plasma yang tinggi kurang tepat untuk penderita penyakit ginjal.  

5) Perubahan asam laktat dan pH 

Perubahan pH disebsbkan penumpukan asam laktat sebagai hasil akhir proses glikolitik 

oleh sel eritrosit. Dengan bertambahnya asam laktat akan memicu  penurunan pH 

(asam)  

6) Perubahan amonia  

Disebabkan penghancuran / destruksi protein. Darah dengan amoniak plasma yang tinggi 

kurang tepat untuk penderita penyakit hati.  

7) Peningkatan Hb plasma  

Peningkatan Hb plasma dikarenakan banyaknya eritrosit yang lisis.  

8) Perubahan faktor pembekuan 

Diantara faktor pembekuan F I sampai dengan F XIII,  F V dan F VIII merupakan faktor 

pembekuan labil secara invitro. Faktor ini hanya bertahan selama 4-6 jam dalam keadaan 

invitro, sehingga darah simpan tidak mengandung F V dan F VIII (labile factor). 

9) Perubahan metabolisme sel  

Perubahan pH menjadi asam memicu  terganggunya fungsi enzim-enzim untuk 

metabolisme sel, sehingga mmetabolisme sel terganggu dan sel akan lisis. 

Tabel di bawah ini menggambarkan perubahan biokima sel darah putih dan sel darah 

merah selama penyimpanan secara invitro. 

 

 

 

Tabel  Perubahan biokima sel darah putih dan sel darah merah 

 

 


Glosarium 

 

Unit Transfusi Darah : fasilitas pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan donor darah, 

penyediaan darah, dan pendistribusian darah. 

 

Voluntery Blood Donors  : donor sukarela yang memberikan darah, plasma atau komponen 

darah lainnya atas kehendaknya dan tidak menerima pembayaran, baik dalam bentuk tunai 

atau hal lainnya sebagai pengganti uang.  

 

Transfer bag : merupakan kantung darah yang terbuat Polivinil Klorida (PVC ) dan telah di 

sterilkan dengan berbagai ukuran 150 mL, 250 mL, 350 mL, 450 mL yang dipakai  untuk 

pemisahan dan penyimpanan komponen darah. 

 

Faksionasi : proses pemisahan sejumlah plasma yang dipisahkan selama transisi fasa menjadi 

sejumlah kecil bagian (fraksi-fraksi), yang mana komposisinya bervariasi sesuai gradiennya. 

 

Demam anafilaktoid : sindrom klinis akibat reaksi analogis (reaksi alergi) yang bersifat 

sistemik serta cepat dan memicu  gangguan respirasi, sirkulasi, pencernaan dan kulit. 

 

 

  

Bab 4 

REAKSI TRANSFUSI 

 


  

 

ransfusi merupakan pengobatan yang dipakai  untuk menyembuhkan pasien dari 

kondisi yang dapat mengancam jiwa atau dapat juga sebagai terapi jangka panjang 

terhadap suatu penyakit tertentu. Mengingat fungsinya yang sangat vital, oleh karena 

itu, proses transfusi harus dilakukan sebaik dan se-aman mungkin, sehingga pasien mendapat 

manfaat dari proses transfusi ini . 

 Proses transfusi tidak lepas dari resiko komplikasi atau reaksi yang menimbulkan gejala 

klinis pada pasien. Gejala klinis yang timbul pada pasien bervariasi, dari yang ringan sampai 

dengan berat, yang bisa saja membahayakan kondisi pasien. Gejala klinis yang timbul karena 

reaksi transfusi bervariasi, bisa berupa demam, mual, ada  bercak merah di kulit, sesak 

napas hingga dapat mengakibatkan kematian pasien. Umumnya reaksi ini , terjadi 

karena ketidakcocokan (inkompatibilitas) antara darah donor dan pasien. Selain itu, reaksi 

transfusi, juga dapat terjadi pada komponen darah dengan kualitas yang kurang baik. 

 Setiap reaksi yang terjadi, dapat memberikan gejala klinis yang khusus maupun umum. 

Gejala klinis yang timbul pada pasien transfusi, dapat terjadi pada kisaran 24 jam semenjak 

proses transfusi (reaksi transfusi akut) atau  setelah 24 jam paska transfusi (reaksi transfusi 

tunda). Reaksi ini  dapat melibatkan sistem imun (reaksi Ag dan Ab) ataupun tidak (non 

imun).   

 Pada bab ini, pembahasan mengenai reaksi transfusi, terdiri atas dua topik, yaitu : topik 

1 membahas reaksi transfusi imun yang terdiri atas reaksi transfusi imun akut dan tunda 

beserta cara pencegahannya dan topik 2 membahas reaksi transfusi non imun akut dan tunda 

serta cara pencegahannya. Penatalaksanaan dan pengobatan karena reaksi transfusi tidak 

dibahas pada modul ini, mengingat ruang lingkup pekerjaan teknologi laboratorium medik 

tidak ke ranah klinis atau tidak melakukan penanganan terhadap pasien. 

 Setelah mempelajari bab ini, anda diharapkan dapat : 

1. Menguraikan konsep dasar reaksi transfusi. 

2. Mendeskripsikan jenis reaksi transfusi imun (akut dan tunda), non imun (akut dan tunda).  

   

  

 

3. Mendeskripsikan gejala klinis yang ditimbulkan karena reaksi transfusi.  

4. Menguraikan cara pencegahan reaksi transfusi.  

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

1   

  

  

Topik 1 

Reaksi Transfusi Imun 

 

A. KONSEP DASAR 

Reaksi transfusi imun yang dimaksud adalah semua jenis reaksi yang terjadi pada pasien 

saat proses transfusi dan setelah transfusi. Reaksi ini , terjadi melalui mekanisme imun 

tubuh, melibatkan antigen (Ag) dan antibodi (Ab). Reaksi imun yang terjadi, mengakibatkan 

timbulnya gejala klinis pada pasien. Gejala klinis yang timbul  bervariasi, mulai dari gejala 

ringan sampai berat dan bersifat akut atau tunda.  

Seperti dijelaskan di paragraf awal, bahwa reaksi transfusi imun terjadi karena reaksi Ag 

dan Ab. Ag yang dimaksud di sini adalah Ag sel darah dan Ab yang berasal dari plasma. Seperti 

sudah dijelaskan di Bab 1, bahwa membran sel darah kita terdiri atas unsur protein, 

karbohidrat dan lipid. Molekul ini  dapat menjadi Ag dan memicu respon imun jika 

dipaparkan ke pasien lain. 

Jenis Ag yang ada  pada sel darah merah, lekosit dan trombosit serta Ab yang 

terbentuk karena paparan terhadap Ag ini  dikategorikan ke dalam suatu sistem. Ag dan 

Ab pada sel darah merah dikelompokkan ke dalam sistem golongan darah. Ag dan Ab pada 

lekosit dikelompokkan ke dalam sistem human leucoyte antigen (HLA) dan human neutrofil 

antigen (HNA). Ag dan Ab pada trombosit dikelompokkan ke dalam sistem human platelet 

antigen (HPA). Adanya ketidakcocokan antara darah donor dengan pasien yang melibatkan Ag 

dan Ab pada darah dapat memicu  reaksi transfusi imun.  

Jenis Ab pada sistem golongan darah dapat mempengaruhi berat atau tidaknya reaksi 

transfusi. Untuk meminimalisir dan mencegah reaksi transfusi, maka sebelum dilakukan 

transfusi darah, dilakukan pemeriksaan terlebih dahulu yang mencakup kecocokan jenis 

golongan darah dan reaksi antara darah donor dan pasien secara in vitro/di luar tubuh. 

Pemeriksaan ini disebut dengan pemeriksaan pre-transfusi (akan dibahas pada bab 6). 

Jenis reaksi imun yang akan dibahas pada topik ini, yaitu : reaksi transfusi imun akut 

(hemolitik, febrile non hemolytic transfusion reaction (FNHTR), alergi, reaksi anafilaktik dan 

anaphylactoid, transfusion related acute lung injury / TRALI). Reaksi transfusi imun tunda 

(hemolitik, aloimunisasi,  post transfusion purpura (PTP), transfusion associated graft versus 

host disease / TA-GVHD).  

 

 

 

 

 

   

  

 

B. REAKSI IMUN AKUT 

B.1 Reaksi hemolitik akut 

Reaksi hemolitik akut merupakan jenis reaksi transfusi yang berbahaya dan dapat 

memicu  kematian. Reaksi hemolitik merupakan reaksi lisis sel darah merah dari darah 

donor ataupun darah pasien karena adanya ketidakcocokan jenis golongan darah antara 

donor dan pasien.   

Hemolisis dapat terjadi karena interaksi Ab pada plasma pasien dan Ag sel darah merah 

donor yang disebut dengan inkompatibilitas  mayor atau dapat juga karena interaksi  plasma 

donor dengan Ag sel darah merah pasien yang disebut dengan inkompatibilitas minor. Selain 

itu, ada  juga inkompatibilitas inter donor yaitu reaksi Ab pada plasma donor dengan Ag 

sel darah merah donor lainnya jika pasien mendapat transfusi darah lebih dari satu donor  

yang bereaksi pada darah pasien. Reaksi hemolitik akut terjadi sesaat setelah transfusi dan 

berlangsung cepat. Jenis Ab pada sistem golongan darah merah yang lebih sering 

memicu  reaksi imun hemolitik akut adalah : anti-A, anti-Kell, anti-Jka dan anti-Fya.   

Mekanisme lisis sel darah merah karena reaksi transfusi dapat terjadi melalui 

mekanisme hemolisis ekstravaskular maupun intravaskular. 

 

B.1.1. Hemolisis ekstravaskular 

Hemolisis ekstravaskular merupakan lisis sel darah merah yang terjadi karena reaksi Ag 

donor yang disensitisasi/dilekati oleh Ab dan atau komplemen pasien. Kompleks Ag, Ab dan 

atau komplemen ini  dikenali dan disingkirkan ke luar pembuluh darah oleh sel makrofag  

menuju ke hati atau limpa untuk dihancurkan. Pada saat makrofag menempel dan terikat pada 

sel darah merah, maka proses fagositosis dapat terjadi melalui tiga cara, yaitu :(i) sel darah 

merah difagositosis dan dihancurkan di dalam makrofag, (ii) sel darah merah difagositosis dan 

dihancurkan sebagian, sedangkan sisanya dapat tidak terfagositosis dan beredar di sirkulasi 

sebagai sel sferosit yang memiliki  masa hidup pendek, (iii) sel darah merah berada di luar 

makrofag dan dilisiskan melalui mekanisme antibody-dependent cell-mediated cytotoxicity 

(ADCC), yaitu makrofag mengeluarkan substan yang bersifat toksik, sehingga sel darah merah 

yang menempel pada makrofag dapat lisis, tanpa melisiskan makrofag. Mekanisme fagositosis 

dapat dilihat pada Gambar 4.1 berikut ini. 

 

1   

  

  

 

 

Gambar 4.1. Mekanisme fagositosis 

Sumber. Transfussion journal 

 

Pada saat sel darah merah dihancurkan di dalam makrofag (Gambar 4.2), maka akan 

melepaskan molekul Hb dari sel darah merah yang kemudian dipecah menjadi bagian heme 

dan globin. Protein globin akan dimanfaatkan kembali oleh tubuh, sedangkan molekul heme 

diubah menjadi biliverdin yang pada proses berikutnya akan diubah menjadi bilirubin indirek. 

Bilirubin indirek akan dibawa ke hepatosit untuk dirubah menjadi bilirubin direk (larut dalam 

air). Pada hemolisis ekstravaskular, biasanya  konsentrasi bilirubin indirek meningkat, karena 

terlalu banyak molekul heme yang diubah menjadi bilirubin, sampai hepatosit tidak mampu 

memproses kelebihan bilirubin. 

Bilirubin direk kemudian dieksresikan ke dalam sistem gastrointestinal yang kemudian 

diubah menjadi urobilinogen dan dieksresikan melalui feses dalam bentuk sterkobilinogen. 

 Jenis Ab yang bereaksi dengan Ag pada reaksi hemolisis ekstravaskular adalah jenis Ab 

yang tidak mengaktifkan komplemen, seperti : Rh, Duffy, Kell. Mekanisme lisis ekstravaskular 

dapat dilihat pada Gambar 4.2. 

 

 

   

  

 

 

 

Gambar 4.2. Mekanisme hemolisis ekstravaskular 

Sumber. http://pedsinreview.aappublications.org 

 

B.1.2. Hemolisis intravaskular 

Hemolisis intravaskular merupakan lisis sel darah merah yang terjadi di pembuluh darah. 

Reaksi terjadi jika Ab pasien bereaksi dengan Ag yang berasal dari donor. Ikatan Ag dan Ab 

ini  mengaktifkan komplemen dan membentuk membrane attachment complex (MAC) 

dan sel darah merah lisis/pecah . Molekul Hb yang keluar dari sel darah merah yang telah lisis 

akan diikat oleh haptoglobin. Kompleks Hb-haptoglobin akan disingkirkan dari plasma oleh sel 

retikuloendotelial hati. Jika jumlah haptoglobin berkurang atau bahkan habis, maka molekul 

Hb akan berada bebas di dalam darah (hemoglobinemia), sehingga ikut tersaring di ginjal dan 

Hb dapat berada di urin (hemoglobinuria), sehingga mengakibatkan warna urin menjadi 

merah/gelap. 

Sebagai contoh, pasien golongan darah O ditransfusi dengan darah golongan A, maka 

anti A pasien akan bereaksi dengan Ag A dari darah donor. Komplemen akan teraktifkan dan 

mengakibatkan sel darah merah lisis. Jenis Ab yang dapat memicu  reaksi hemolisis 

intravaskular selain anti A dan anti B adalah anti-Jka, -Jkb, Vel, -PP1PPk, -Lea. Mekanisme 

hemolisis intravaskular dapat dilihat pada Gambar 4.3 berikut ini.  

 

1   

  

  

 

 

Gambar 4.3. Mekanisme hemolisis intravaskular 

Sumber. http://pedsinreview.aappublications.org 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Perbedaan klinis antar kedua jenis hemolisis, yaitu intravaskular dan ekstravaskular, 

melibatkan banyaknya sel darah merah yang dihancurkan. Hemolisis ekstravaskular terbatas 

pada kapasitas sistem retikuloendotelial (RES) dalam menghancurkan sel darah merah. 

Sebagai contoh, pada pasien dengan berat badan 70 Kg, RES dapat menghancurkan sel darah 

merah sebanyak 18 mL pada komponen Packed Red Cells dalam waktu 1 jam, dan lebih dari 

400 mL selama 24 jam. Sementara, hemolisis intravaskular dapat menghancurkan 200 mL sel 

darah merah atau lebih, dalam waktu 1 jam. Kondisi ini dapat menurunkan kadar Hb sebanyak 

5 g/dL dalam waktu 1 jam, yang dapat berakibat fatal jika tidak segera ditransfusikan dengan 

darah yang sesuai. 

Hemolisis ekstravaskular terjadi karena adanya aktivasi makrofag yang akan 

memfagositosis ikatan Ag, Ab dan atau komplemen yang tidak membentuk MAC, proses 

lisis lebih banyak terjadi di luar pembuluh darah, sedangkan hemolisis intravaskular 

terjadi karena adanya aktivasi komplemen sampai membentuk MAC sehingga sel darah 

merah lisis di dalam pembuluh darah.  

 

   

  

 

 

Setelah membaca penjelasan mengenai hemolisis intravaskular dan ekstravaskular, jawablah 

pertanyaan berikut : 

 

Sebutkan minimal tiga perbedaan antara lisis ekstravaskular dan intravaskular. 

 

No. Perbedaan Hemolisis ekstravaskular Hemolisis intravaskular 

 

 

 

 

 

 

 

  

 

 

 

 

 

 

 

 

 

  

 

 

 

 

 

 

 

 

 

  

 

 

Reaksi hemolitik akut dapat terjadi melalui mekanisme lisis intravaskular maupun 

ekstravaskular. Penyebab reaksi hemolitik akut, yang paling utama adalah inkompatibilitas 

golongan darah ABO. Jenis inkompatibilitas ini, seringkali disebabkan karena kesalahan 

interpretasi golongan darah atau adanya kesalahan penulisan label antara komponen darah 

donor dan pasien.  

Pada awalnya, gejala klinis hemolitik akut seringkali tidak spesifik. Jika reaksi terjadi pada 

pasien dengan kondisi sadar, maka tubuh pasien menggigil, pasien akan merasakan panas di 

area infus, nyeri di bagian dada, perut atau punggung, kepala pusing, mual dan muntah. Gejala 

lainnya yang dapat terjadi pada pasien yang tidak sadarkan diri, seperti, demam (peningkatan 

suhu tubuh > 10 C), perubahan kondisi kulit (seperti pembengkakan/oedem, pucat),  takikardia 

(detak jantung di atas normal), tekanan darah di bawah nilai normal (hipotensi), dan 

perubahan warna urin menjadi kemerahan karena adanya Hemoglobin (Hb) pada urin. Pasien 

dapat mengalami reaksi koagulasi intravaskular diseminata (disseminated intravascular 

1   

  

  

coagulation/DIC) karena adanya perdarahan cukup luas yang dapat memicu faktor koagulasi 

pasien bekerja ekstra sehingga terbentuk bekuan dan menutup pembuluh darah. Selain itu 

pasien dapat mengalami anuria karena ginjal tidak dapat memproduksi urin (gagal ginjal).  

Kondisi ini dapat memicu  kematian pasien. 

Gejala klinis reaksi hemolitik akut intravaskular lebih berat dibandingkan hemolisis 

ekstravaskular. 

  

B.2. Febrile non hemolytic transfusion reaction (FNHTR) 

FNHTR merupakan reaksi transfusi dengan gejala klinis yang ditimbulkan berupa demam 

dan tidak diikuti dengan reaksi hemolisis sel darah merah. Reaksi FNHTR terjadi karena 

dilepaskannya sitokin dari sel lekosit. Pelepasan sitokin dari sel lekosit dapat terjadi melalui 

tiga mekanisme yang dapat dilihat pada Gambar 4.4, yaitu : (A) Sel lekosit donor yang dapat 

mengaktivasi sistem imun pasien, sehingga lekosit pasien menghasilkan dan melepaskan 

sitokin. (B) Reaksi antara Ab lekosit pada plasma pasien dengan komponen darah donor yang 

mengandung Ag lekosit (HLA/HNA) yang sesuai. Ab akan bereaksi dengan lekosit membentuk 

kompleks Ag – Ab dan memicu  dilepaskannya sitokin. Mekanisme ketiga (C) yaitu sitokin 

dilepaskan oleh sel lekosit selama proses penyimpanan komponen darah.  

Sitokin yang dilepaskan melalui berbagai mekanisme ini  akan merangsang 

hipotalamus sehingga pasien merasakan demam. Mekanisme pelepasan sitokin dapat dilihat 

pada Gambar 4.4. 

 

 

Gambar 4.4. Mekanisme pelepasan sitokin pada reaksi FNHTR 

Sumber. https://www.researchgate.net 

   

  

 

FNHTR terjadi jika ada  kenaikan suhu tubuh > 1O C pada saat  atau selama 24 jam 

paska transfusi yang disertai dengan gejala menggigil, demam, sakit kepala, nyeri otot. Selain 

itu, pasien dapat menderita hipotensi, muntah dan pernapasan terganggu. 

 

B.3. Alergi 

Reaksi alergi merupakan jenis reaksi transfusi yang cukup sering terjadi. Reaksi ini terjadi 

karena berbagai unsur yang bertindak sebagai alergen yang dapat mengaktifkan sel mast 

maupun basofil. Mekanisme terjadinya reaksi alergi terbagi melalui tiga jalur, yaitu :  

1. Allergen dependent pathway (yang ditunjukkan dengan warna pink pada Gambar 4.5.) 

memiliki  mekanisme yaitu alergen yang dapat berupa protein plasma, protein 

makanan ataupun zat kimia seperti methylen blue akan terikat pada Ab (IgE/IgG) yang 

kemudian akan menempel dan terikat pada reseptor (FcRs) sel mast maupun basofil. Sel 

yang teraktivasi mengeluarkan substan kimia, seperti histamin maupun platelet activating 

factor (PAF). Pada reaksi alergi yang melibatkan sel mast, (allergen-dependent-mast cell 

mediated sub-pathway), unsur lain yang terlibat adalah IgE dan FcƐRs, sehingga sel mast 

teraktifkan dan menghasilkan substan histamin  . Pada reaksi alergi yang melibatkan sel 

basofil (allergen-dependent-basophil mediated sub-pathway) , unsur lain yang terlibat 

adalah IgG dan FcƳRs sehingga sel basofil teraktifkan dan melepaskan substan PAF. 

2. Allergen independent pathway (yang ditunjukkan dengan warna biru muda pada Gambar 

4.5. memiliki  mekanisme alergen yang disebut dengan biological response modifiers 

(BRMs) berupa sitokin yang dihasilkan selama proses penyimpanan komponen darah. 

BRMs dapat terikat langsung ke reseptor (FcRs) sel mast maupun basofil, sehingga sel 

teraktivasi. Mekanisme reaksi alergi dapat dilihat pada Gambar 4.5. 

 

1   

  

  

 

 

Gambar 4.5. Mekanisme reaksi alergi 

Sumber. British Journal of Haematology 

 

 

 

 

 

 

 

Pelepasan substan karena adanya aktivasi sel mast, yaitu histamin akan memicu  

vasodilatasi (pelebaran pembuluh darah) yang ditandai dengan warna kulit kemerahan. Gejala 

klinis lainnya yang dapat dirasakan pasien adalah gatal,  pembengkakan pada area wajah, 

termasuk bibir atau mulut. Jika kondisi semakin parah, pasien dapat kesulitan bernapas. 

Reaksi alergi biasanya terjadi pada saat transfusi atau satu jam setelahnya.  

 

B.4. Reaksi anafilaktik dan anaphylactoid 

Reaksi anafilaktik dan anaphylactoid merupakan reaksi hipersensitivitas pada respon 

sistem imun yang merupakan bagian dari reaksi alergi. Komplikasi ini jarang terjadi, namun 

dapat membahayakan jiwa pasien.  Reaksi dapat terjadi pada pasien dengan 

defisiensi/kekurangan terhadap jenis Ab / immunoglobulin / protein tertentu, dalam hal ini 

adalah defisiensi terhadap immunoglobulin A (IgA), sehingga ada  Ab terhadap IgA karena 

adanya riwayat paparan dengan IgA sebelumnya. Gejala klinis pasien akan terjadi setelah 

Alergen yang dapat memicu reaksi alergi, bisa berasal dari darah donor ataupun 

pasien yang akan bereaksi dengan Ab yang berasal dari darah pasien maupun 

komponen darah donor.  

 

   

  

 

transfusi beberapa mL plasma atau transfusi komponen darah yang ada  plasma di 

dalamnya. 

Reaksi anafilaktik dan anaphylactoid dibedakan dari jenis IgA yang lebih spesifik dan 

gejala klinisnya. Reaksi anafilaktik, yaitu reaksi terhadap pasien dengan defisiensi IgA, 

sehingga memiliki  anti-IgA dari paparan sebelumnya. Gejala klinis reaksi anafilaktik berupa 

: batuk, sesak napas, mual, muntah, sakit di bagian dada, hipotensi, diare, bisa memicu  

shock, hilang kesadaran yang dapat berujung pada kematian. Reaksi anaphylactoid terjadi 

pada pasien dengan konsentrasi IgA normal, tetapi memiliki  beberapa jenis IgA yang dapat 

bereaksi dengan bagian rantai ringan (light chain) IgA donor. Reaksi anaphylactoid, biasanya 

tidak separah reaksi anafilaktik, dengan gejala klinis berupa : urtikaria, sesak napas. 

 

B.5. Transfusion related acute lung injury (TRALI) 

TRALI merupakan reaksi transfusi yang dapat membahayakan jiwa pasien, hal ini 

disebabkan karena organ yang diserang adalah paru-paru, sehingga pasien mengalami sulit 

napas. Gejala klinis, biasanya terjadi pada kisaran 6 jam selama proses transfusi. 

TRALI disebabkan oleh Ab terhadap lekosit (anti-HLA) atau Ab terhadap sel netrofil (anti-

HNA) pada plasma donor. Ab yang berasal dari donor diperoleh dari riwayat paparan Ag 

sebelumnya pada donor, yang disebabkan, donor pernah transfusi darah sebelumnya atau 

donor memiliki  riwayat melahirkan beberapa kali (wanita multipara). 

Ab yang ada  di plasma dapat mengaktivasi netrofil pasien pada saat ditransfusikan. 

Sel netrofil bermigrasi ke paru-paru dan menempel pada bagian kapiler paru,  serta 

melepaskan berbagai macam substan, seperti enzim proteolitik, oksigen yang bersifat radikal 

bebas. Pelepasan berbagai macam substan ini  akan merusak sel endotel kapiler paru, 

yang berakibat pada kebocoran kapiler, sehingga cairan dan protein akan keluar menuju 

alveoli dan berakibat pembengkakan pada paru-paru. Mekanisme reaksi TRALI dapat dilihat 

pada Gambar 4.6. berikut. Gejala klinis yang timbul pada pasien berupa demam, hipotensi, 

sesak napas, penurunan tekanan oksigen di dalam tubuh. Pada kondisi ini, pasien 

membutuhkan suplai oksigen.  


Gambar Mekanisme reaksi TRALI 

Ket. gambar : Anti-HNA / anti-MHC kelas I / anti-HLA yang berasal dari komponen darah yang ditransfusikan 

dapat mengaktivasi netrofil yang ada  pada pembuluh darah kapiler. Anti MHC kelas I juga dapat langsung 

mengenali dan menempel pada MHC kelas I di endotel pembuluh darah. Selain itu, kompleks imun antara anti 

HNA / anti MHC kelas I dan HNA / MHC kelas I terlarut juga dapat mengaktifasi netrofil. Aktivasi netrofil pada 

pembuluh darah kapiler memicu  kerusakan sel endotel kapiler.  

 


 

C. REAKSI IMUN TUNDA 

C.1. Reaksi hemolitik tunda 

Reaksi hemolitik tunda disebabkan karena respon imun sekunder terhadap Ag pada sel 

darah merah donor. Hal ini terjadi karena pasien sudah pernah terpapar dengan jenis Ag yang 

sama sebelumnya sehingga pasien sudah memiliki  Ab terhadap Ag ini . Jenis Ab pada 

respon imun sekunder, biasanya adalah jenis IgG yang berada pada jumlah maksimal selama 

3 – 7 hari setelah paparan dengan Ag yang sesuai. Pada kisaran hari ini , sel darah merah 

donor masih berada di aliran darah pasien, dan dapat dihancurkan secara cepat karena 

bereaksi dengan Ab yang sesuai.  

Ab yang dapat memicu  reaksi hemolitik tunda , adalah Ab yang berasal dari sistem 

Rh, Kidd, Duffy, Kell dan MNSs. Jenis Ab ini  adalah anti-c, anti-E, anti-Jka, anti-K, anti-Fya, 

anti-Jkb, anti-M, anti-s, anti-Fyb, anti-Fy3, anti-Kpa, anti-N dan anti-U. 

Gejala klinis pada pasien dengan reaksi transfusi tunda lebih ringan dibandingkan reaksi 

transfusi akut. Gejalanya antara lain : demam dan gejala anemia. Adanya penurunan Hb dan 

ikterus dapat terjadi 1 minggu setelah transfusi, terkadang dapat terjadi hemoglobinuria, 

namun tidak sampai terjadi gagal ginjal.  

 

C.2. Aloimunisasi 

Reaksi komplikasi jangka panjang karena transfusi, salah satunya adalah reaksi 

aloimunisasi yaitu terbentuknya Ab terhadap paparan dengan Ag sel darah merah, lekosit 

maupun trombosit sebelumnya. Reaksi aloimunisasi biasanya terjadi pada pasien yang 

mendapat beberapa kali transfusi darah.  

Gejala klinis yang timbul, biasanya  tidak terlalu parah, seperti demam dan penurunan 

konsentrasi Hb. Namun demikian, reaksi aloimunisasi dapat memiliki  gejala klinis yang 

berat jika terjadi perdarahan, sebagai contoh : pada transfusi trombosit terjadi reaksi antara 

Ab trombosit pada pasien dengan trombosit yang ditransfusikan, sehingga terjadi penurunan 

trombosit yang signifikan (trombositopenia), jika reaksi berlanjut dapat memicu  

perdarahan. Jika allo Ab yang terbentuk memiliki  reaksi yang kuat, efeknya dapat sulit 

untuk menemukan komponen darah yang sesuai pada transfusi berikutnya. 

Untuk deteksi ada tidaknya reaksi aloimunisasi, dapat dilakukan pemeriksaan Coomb’s 

test maupun skrining dan identifikasi Ab. 

 

C.3. Post transfusion purpura (PTP) 

PTP merupakan reaksi transfusi yang melibatkan komponen trombosit. Kondisi ini 

terjadi karena reaksi allo Ab terhadap trombosit yang ditransfusikan. Allo Ab trombosit 

melekat pada permukaan trombosit yang memicu dekstruksi ekstravaskular oleh 

retikuloendotelial sistem (RES), sehingga terjadi penurunan jumlah trombosit 

(trombositopenia).  

Gejala klinis pada pasien seperti demam, hipotensi berasal dari aktivitas sitokin yang 

dilepaskan sel lekosit yang distimulus pada reaksi hemolisis intravaskular maupun 

ekstravaskular.  


Gejala klinis yang terjadi berupa purpura (kulit kemerahan)  dan trombositopenia  

sekitar 1 – 2 minggu setelah transfusi. Trombositopenia berat dapat terjadi dengan penurunan 

jumlah trombosit sampai 10.000/µL darah. Reaksi ini  dapat mendorong terjadinya 

hematuria, perdarahan pada saluran pencernaan sehingga terjadi kondisi melena. 

 

C.4. Transfusion-associated graft vs host disease (TA-GVHD) 

Reaksi ini cukup jarang terjadi pada transfusi, namun dapat bersifat fatal. Reaksi yang 

terjadi adalah limfosit T donor yang memicu sistem imun pasien. Sel limfosit  donor dikenali 

sebagai substan asing oleh sistem imun pasien, sehingga sel limfosit yang ditransfusikan 

dihancurkan di dalam tubuh pasien.ada  tiga faktor yang dapat mempengaruhi reaksi ini, 

yaitu; status imun pasien, kecocokan HLA antara donor dan pasien, dan berapa banyak sel T 

yang teraktifkan karena proses transfusi. 

Jika darah yang mengandung limfosit ditransfusikan pada pasien dengan gangguan 

sistem imun, seperti pasien AIDS atau pada pasien yang sedang terapi penyakit kanker, maka 

reaksi TA-GVHD tidak terjadi. Namun demikian, pada kondisi ini , sel limfosit dapat 

berproliferasi dan menimbulkan penyakit yang lebih serius.  Sel limfosit donor juga tidak 

dihancurkan di tubuh pasien, jika HLA donor dan pasien memiliki  haplotype yang sama.  

Reaksi TA-GVHD seringkali tidak dikenali dan salah diagnosis dengan reaksi sepsis atau 

reaksi pengobatan. Gejala klinis terjadi 1 – 6 minggu setelah transfusi, yaitu berupa : diare, 

sakit pada bagian perut, mual dan muntah.  Jika organ hati terkena, maka terjadi peningkatan 

konsentrasi bilirubin. Warna kulit kemerahan jika reaksi mempengaruhi kulit. Reaksi yang 

paling fatal terjadi, jika melibatkan sumsum tulang. 


D. PENCEGAHAN REAKSI TRANSFUSI IMUN 

Terapi transfusi darah memiliki  manfaat untuk menyembuhkan pasien bahkan dapat 

menyelamatkan jiwa pasien, akan tetapi, proses transfusi memiliki  resiko atau efek 

samping. Upaya pencegahan-pun dilakukan untuk meminimalisir dan mencegah reaksi 

ini .  

Upaya yang dilakukan untuk pencegahan reaksi transfusi dimulai dari pengambilan 

darah donor, kontrol kualitas komponen darah yang akan diberikan ke pasien sampai dengan 

proses distribusi darah ke pasien. Setiap proses yang dilakukan harus terstandar dengan baik 

dan dikontrol. Sebagai contoh, penentuan dan penulisan jenis golongan darah donor dan 

pasien tidak boleh ada kesalahan, baik pada proses pemeriksaannya, maupun pelaporan dan 

penulisan hasil, karena jika terjadi kesalahan dapat fatal akibatnya. Validasi pemeriksaan dan 

crosscheck terhadap hasil golongan darah ABO pasien dan donor dapat mencegah kesalahan 

penentuan golongan darah donor yang dapat memicu  reaksi transfusi hemolitik akut. 

Reaksi transfusi hemolitik tunda maupun reaksi aloimunisasi dapat dicegah dengan 

melakukan pemeriksaan pre-transfusi yang disertai dengan pemeriksaan khusus skrining dan 

identifikasi Ab sebelum proses transfusi dilakukan. Pemeriksaan ini dilakukan untuk 

mengetahui ada tidaknya allo Ab yang terbentuk karena riwayat paparan dengan Ag sel darah 

merah sebelumnya. Pemeriksaan harus dilakukan pada pasien yang memiliki  riwayat 

transfusi sebelumnya, terlebih pada pasien yang menjalani terapi transfusi rutin, seperti : 

penderita thalasemia. Selain itu, baik dilakukan juga pada pasien yang beresiko terpapar oleh 

Ag sel darah merah lain, yaitu pada pasien yang memiliki  riwayat pernah melahirkan 

beberapa kali (multipara). Pada pencegahan reaksi TRALI yang banyak disebabkan oleh anti-

HNA dapat dilakukan dengan meminimalisir wanita dengan riwayat multipara untuk donor 

plasma.  

Pembuatan dan pengolahan komponen darah untuk transfusi juga memegang peranan 

penting untuk mencegah reaksi transfusi. Reaksi FNHTR,  TRALI, PTP dapat dicegah dengan 

memberikan komponen darah ‘miskin’ lekosit (leukopoor / leukoreduced), yaitu darah yang 

diproses tertentu sehingga lekosit dapat berkurang secara efektif. Proses pengurangan atau 

penyingkiran lekosit dapat dilakukan dengan proses penyaringan menggunakan filter khusus 

yang ada  pada bagian selang kantong darah (

 

Gambar  proses filtrasi lekosit pada sel darah merah 

 

Selain pembuatan komponen darah ‘miskin’ lekosit, cara lainnya untuk menyingkirkan 

lekosit maupun trombosit, dapat dilakukan dengan pembuatan komponen ‘washed 

erythrocyte’ (WE), yaitu sel darah merah yang dibuang bagian plasmanya dan dicuci dengan 

larutan NaCl 0.9%. Komponen WE juga dapat diberikan untuk mencegah reaksi alergi setelah 

transfusi. Pada pasien transfusi dengan indikasi alergi, dapat dilakukan tahapan pencegahan, 

yaitu : penulisan / dokumentasi riwayat alergi sebelumnya, diberikan obat pencegah alergi, 

sebelum transfusi dilakukan dan tranfusi dengan komponen darah yang leukopoor ataupun 

komponen darah dengan pengurangan bagian plasma. Komponen darah miskin plasma , juga 

baik dipakai  untuk mencegah reaksi anafilaktik dan anaphylactoid.  

Pasien dengan indikasi klinis ke arah gangguan sistem imun yang dapat mengalami 

reaksi transfusi TA-GVHD dapat diberikan komponen darah yang diberi perlakuan radiasi sinar 

gamma.  

Proses penyimpanan komponen darah juga memberikan efek terhadap reaksi transfusi 

darah. Hal ini berkaitan dengan proses metabolisme darah selama proses penyimpanan. 

Tempat penyimpanan harus disesuaikan dengan suhu, kapasitas penampungan, supaya 

mencegah atau meminimalisir kerusakan komponen darah dan teraktivasinya berbagai 

substan sel darah selama penyimpanan.   Penggunaan komponen darah PRC dengan masa 

simpan < 14 hari dan trombosit < 2 hari dapat mengurangi efek aktivitas Ab, protein dan unsur 

biologis lainnya yang ada  di dalam plasma. 

Dokumentasi terhadap reaksi transfusi baik dipakai  untuk mencegah reaksi transfusi 

pada pasien dengan kondisi khusus, yaitu : alergi pada protein plasma, reaksi aloimunisasi, 

dan sebagainya. Dokumentasi ini  dapat dipakai  untuk rekomendasi terhadap 

pemeriksaan pre-transfusi khusus seperti pemeriksaan skirining dan identifikasi Ab pada 

reaksi aloimunisasi, pemeriksaan terhadap Ab HLA untuk mencegah reaksi PTP atau 

pemberian komponen darah khusus, seperti komponen darah yang diberikan sinar radiasi 

untuk mencegah reaksi TA-GVHD. Pengetahuan dan latihan untuk mengenali gejala klinis 

terhadap reaksi transfusi juga dapat dipakai  untuk mencegah kemungkinan reaksi transfusi 

pada pasien. 


Topik 2 

Reaksi Transfusi Non Imun 

 

A. KONSEP DASAR 

Reaksi transfusi non imun yang dimaksud di sini adalah reaksi yang tidak melibatkan 

sistem imun (reaksi Ag dan Ab) secara langsung. Reaksi transfusi non imun lebih banyak 

disebabkan oleh efek pemberian komponen darah yang berpengaruh terhadap metabolisme 

tubuh, seperti penumpukan zat besi (Fe) di dalam tubuh pasien, maupun efek karena 

penyimpanan komponen darah yang menghasilkan berbagai macam substan yang 

mempengaruhi metabolisme tubuh. Berdasarkan waktu munculnya gejala klinis pada pasien, 

reaksi transfusi non imun dapat bersifat akut maupun tunda. Reaksi transfusi  non imun yang 

bersifat akut termasuk kontaminasi bakteri, oversirkulasi darah, dan reaksi fisik serta kimia 

terkait penyimpanan komponen darah. Reaksi non imun yang bersifat tunda , yaitu adanya 

infeksi menular lewat transfusi darah seperti infeksi virus dan parasit (akan dibahas tersendiri 

di bab 5) serta akumulasi Fe di dalam darah.   

 

B. REAKSI TRANSFUSI NON IMUN AKUT 

B.1 Sepsis karena kontaminasi bakteri di dalam kantong darah 

Sepsis merupakan reaksi tubuh terhadap infeksi yang cukup berat, jika tidak tertangani 

dengan baik, maka dapat terjadi kerusakan organ. Kontaminasi bakteri merupakan penyebab 

utama terjadinya infeksi pada pasien paska transfusi. Berdasarkan beberapa studi, diketahui 

bahwa resiko kontaminasi bakteri pada komponen darah lebih besar dibandingkan infeksi 

menular lewat transfusi darah, seperti : HIV, hepatitis C (HCV), hepatitis B (HBV). Jenis 

komponen darah yang sering terkontaminasi bakteri adalah komponen trombosit. 

Kontaminasi biasanya  berasal dari bakteri kontaminan yang berasal dari kulit lengan 

donor pada saat pengambilan darah. Proses antisepsis kulit donor yang kurang baik 

memicu  bakteri yang normal ada  di kulit donor dapat ikut bersama dengan aliran 

darah ke dalam kantong darah.  

Proses pengolahan komponen darah, juga rentan terhadap kontaminasi bakteri dalam 

kantong darah donor. Pembuatan komponen darah yang tidak aseptik memungkinkan bakteri 

dapat tumbuh dan memperbanyak diri di dalam kantong komponen darah. Pada pembuatan 

komponen wash erythrocyte (WE) kemungkinan darah di dalam kantong dapat kontak dengan 

udara luar dan memperbesar resiko kontaminasi bakteri. Oleh karena itu, masa simpan 

komponen darah ini pendek.  

Kontaminasi juga bisa terjadi pada proses penyimpanan komponen darah. Seperti 

diketahui, komponen darah untuk transfusi disimpan dalam kisaran suhu yang beragam, 

sebagai contoh : komponen trombosit yang disimpan pada suhu 22±20 C. Kondisi ini  

memungkinkan bakteri dapat tumbuh dan memperbanyak diri. Selain itu, jenis kantong 

komponen trombosit yang berpori, dapat meningkatkan kemungkinan kontaminasi bakteri 

dari lingkungan sekitar. Oleh karena itu, masa penyimpanan trombosit maksimal adalah lima 

hari. Selain itu, jika komponen darah yang disimpan pada suhu dingin, kemudian ditaruh di 

suhu ruang lebih dari 30 menit, maka dapat meningkatkan reaksi kontaminasi bakteri.   

Komponen sel darah merah juga dapat terkontaminasi oleh bakteri yang berasal dari 

donor, akan tetapi tidak menimbulkan gejala klinis pada donor, sehingga tidak terdeteksi pada 

saat seleksi donor. Sebagai contoh, bakteri Yersinia enterolitica yang tidak terlalu 

menampakkan gejala klinis, yaitu donor hanya menderita diare ringan. Yersinia enterolitica, 

diketahui juga dapat memproduksi toksin pada suhu rendah.  

Beberapa jenis bakteri dapat tumbuh dan berkembang pada suhu dingin, sehingga 

memungkinkan komponen sel darah merah, dengan suhu simpan 4±2O C dapat 

terkontaminasi bakteri. Jenis bakteri yang dapat mengontaminasi yaitu : Bakteri batang Gram 

negatif (Yersinia enterocolitica, E.coli, Enterobacter/Pantoea sp, Serratia marcescens dan 

S.liquifaciens, Pseudomonas sp) dan bakteri kokus Gram positif (Staph. Epidermidis, 

Propionibacteria,  Staph aureus).  Kontaminasi bakteri juga dapat mencetus sel lekosit yang 

ada di dalam kantong darah untuk memproduksi sitokin yang dapat memicu efek demam pada 

pasien. 

Gejala klinis pasien yang diakibatkan karena kontaminasi bakteri, yaitu : demam 

(kenaikan suhu dapat > 20 C), menggigil, mual, muntah, hipotensi dan dapat terjadi shock. 

Gejala ini dapat terjadi beberapa menit pada saat transfusi. Jika reaksi sepsis terjadi pada 

pasien  transfusi, dengan gejala kenaikan suhu tubuh > 20 C dan hipotensi, maka komponen 

darah yang ditransfusikan perlu diperiksa dengan pewarnaan Gram dan kultur bakteri. Sampel 

pasien setelah transfusi juga dikultur, untuk mengetahui kesamaan dari jenis bakteri yang 

ada  pada masing-masing sampel. 

 

 


  

B.2. Efek transfusi terhadap komponen darah simpan      

Komponen darah yang disimpan dalam jangka waktu tertentu, akan memberikan reaksi 

transfusi terhadap pasien. Faktor fisik sel darah maupun faktor kimia dari komponen darah 

dapat mempengaruhi kualitas komponen darah simpan. Faktor fisik diantaranya adalah : 

kerusakan sel darah terutama sel darah merah (hemolisis) pada proses pengolahan komponen 

darah dan penyimpanan. Faktor kimia terkait dengan unsur kimia yang teraktivasi pada proses 

pengolahan maupun komponen darah, sebagai contoh, kalium yang keluar dari dalam sel 

darah ke plasma selama proses penyimpanan darah.  

 Selama penyimpanan komponen darah, perubahan-perubahan metabolik terjadi baik 

di dalam sel darah maupun di plasma. Perubahan yang terjadi dapat mempengaruhi efek 

terapi dan pengobatan yang diberikan. Pada proses penyimpanan komponen darah tidak ada 

keseimbangan antara produksi dan destruksi, sintesis dan pemecahan protein, hanya ada 

destruksi tanpa ada produksi s

Related Posts:

  • bank darah 3   … Read More
  • bank darah 3, okteran militer karena sel darah merah yang disimpan dengan cara ini memiliki waktu simpan yang lama. Penyimpanan ini juga mempermudah penyimpanan darah dari golongan-golongan darah yang jarang diperlukan … Read More