DNA badak




 Indonesia merupakan negara hutan hujan tropis yang memiliki 

keanekaragaman hayati yang tinggi dan dikenal sebagai salah satu 

Megabiodiversity Country. Pulau Sumatera salah satu pulau di Indonesia yang 

dapat menjadi gambaran kekayaan daerah tropis di Asia. Hal tersebut bisa dilihat 

dari flora dan fauna yang ada di pulau ini, yaitu satu diantaranya adalah badak 

Sumatera (Dicerorhinus sumatrensis, Fischer 1814). 

Terdapat lima jenis badak yang masih hidup di dunia, tiga jenis berada di 

Asia yaitu Rhinoceros unicornis (badak India), Rhinoceros sundaicus (badak 

Jawa), Dicerorhinus sumatrensis (badak Sumatera) dan dua jenis lainnya berada 

di Afrika yaitu Ceratotherium simum (badak putih Afrika) dan Diceros bicornis

(badak hitam Afrika) Lekagul & McNelly (1977). Dari tiga jenis badak yang 

hidup di Asia, dua jenis diantaranya hidup di Indonesia, namun kedua jenis badak 

ini statusnya terancam punah (endangered). Badak Sumatera tersebar di Pulau 

Sumatera dan Kalimantan (Borneo). Akan tetapi daerah penyebaran badak di 

Kalimantan sudah sangat langka dan jarang ditemui, hanya terdapat di Sabah 

dengan jumlah populasi 25 individu. Demikian pula di Sumatera jumlahnya 

semakin menurun dengan peta sebaran yang sudah sangat terbatas pada daerah 

tertentu saja terutama berada di Taman Nasional Gunung Leuser (Aceh), Taman 

Nasional Kerinci Seblat (Jambi), Taman Nasional Bukit Barisan Selatan 

(Sumatera Selatan) dan Taman Nasional Way Kambas, Lampung (YMR 1998). 

Menurut Penny (1987) badak Sumatera mempunyai daerah penyebaran 

yang luas yaitu meliputi daerah Bengal (India), Burma, Pegunungan Thailand, 

Kamboja, Vietnam, Laos dan Malaysia (Foose & van Strein 1997; WWF 2002). 

 Berdasarkan dari Hasil survey Program konservasi Badak Indonesia 

(PKBI) pada tahun 2004 diketahui populasi badak sumatera berdasarkan data jejak 

(footprint) ini yang terdapat di dalam kawasan hutan Taman Nasional Way 

kambas Lampung hanya berjumlah 15-25 ekor, sedangkan Taman Nasional Bukit 

Barisan Selatan 60-80 ekor, dan Taman Nasional Kerinci Seblat 2-3 ekor, dan 

hasil survey terbaru pada tahun 2005 populasi badak Sumatera berdasarkan data  

jejak (footprint) yang dilaporkan hanya tinggal 20 - 27 ekor (Isnan et al. 2005). 

Hal ini menunjukkan bahwa populasi yang ada sekarang ini sangat mencemaskan, 

dan dikhawatirkan kondisi populasi yang sudah kecil itu akan semakin menurun. 

Kondisi ini disebabkan oleh masih terus berlangsungnya perambahan dan 

penjarahan hutan di TNWK termasuk aktivitas perburuan liar. 

Dari informasi yang kami dapat terlihat bahwa populasi badak Sumatera 

dewasa ini semakin terancam keberadaannya. Hal ini disebabkan oleh beberapa 

faktor, diantaranya adalah semakin maraknya perburuan liar, rusaknya habitat 

alamnya yang disebabkan oleh konversi hutan yang cenderung tidak terkendali. 

Menurut Alikodra (2002) populasi satwa liar dapat berkembang stabil ataupun 

menurun sesuai dengan kondisi perubahan komponen lingkungannya. Selain 

faktor diatas terancamnya populasi badak Sumatera juga akibat hidupnya yang 

soliter dan sensitif terhadap aktivitas manusia dan pengganggu lainnya, serta 

proses perkembangbiakan yang lambat dengan keturunan yang dihasilkannya pun 

sangat terbatas. Badak Sumatera memiliki periode masa mengandung (gestation 

period)-nya selama 15-18 bulan dengan 1 anak per kelahiran. Badak Sumatera 

mulai bereproduksi pada usia 7-8 tahun dengan jarak 3-4 tahun antar periode 

anakan atau masa sapih (Nowak 1991). Periode generasi (generation period) yang 

panjang atau lama dan permasalahan dalam tingkat reproduksi (reproduction rate) 

yang rendah merupakan ciri dari populasi mahluk hidup yang rentan dengan 

kepunahan, dan hilangnya keanekaragaman genetik akan lebih cepat pada 

populasi kecil dibandingkan dengan populasi yang besar (Christine et al. 1983; 

Primack 1998). 

Populasi kecil lebih rentan pada sejumlah efek genetik yang merugikan, 

misalnya penurunan keragaman karena efek inbreeding serta terfiksasinya 

beberapa alela tertentu dalam populasi sehingga hewan tersebut menjadi 

monomorf dan mengalami penurunan kemampuan berevolusi atau adaptasinya 

pada lingkungan yang berubah. Selain itu berkurangnya populasi, faktor lain 

adalah terjadinya fragmentasi suatu habitat yang akan mendorong putusnya aliran 

gen (gen flow) dan meningkatnya genetic drift dan inbreeding (kawin silang 

dalam) antar populasi (Frankham et al. 2002).  

Akibat dari populasi yang menurun dengan tajam di alam akan 

mengakibatkan hewan ini berada pada status meningkatnya peluang menuju 

kepunahan (Ellstrand et al. 1993). 

Mempertahankan keanekaragaman genetika dalam suatu populasi 

merupakan salah satu cara dari managemen populasi bagi spesies yang terancam 

punah. Dalam usaha melindungi semua jenis satwa liar dari kepunahan termasuk 

badak Sumatera, pemerintah Republik Indonesia mengeluarkan peraturan 

perundangan untuk perlindungan semua jenis satwa liar yang dikeluarkan pada 

tahun 1931 No. 266. Di samping itu badan Internasional yang bergerak dalam 

bidang konservasi sumberdaya alam IUCN (Internasional Union For 

Conservation of Nature and Natural Resources) juga telah memberikan perhatian 

terhadap kelestarian badak yang dimasukan dalam kategori “Endangered” atau 

genting (IUCN 1996) dengan membuat Suaka Rhino Sumatera (SRS). 

Di SRS telah melakukan usaha konservasi berupa konservasi semi insitu

dalam bentuk penangkaran. Suaka ini terdapat di dalam kawasan Taman Nasional 

Way Kambas dengan areal seluas 9000 Ha, didominasi oleh ekosistem hutan 

hujan dataran rendah sedangkan lainnya adalah hutan rawa dengan lingkup yang 

kecil, dan dikelola secara khusus dan intensif. Tujuan dari suaka badak ini adalah 

untuk peningkatan reproduksi dalam menambah jumlah populasi di alam. Apabila 

usaha ini berhasil maka sangat mendukung dalam menekan laju kepunahan dan 

dapat melestarikan keberadaan badak sumatera tersebut. 

 Keragaman genetik turut menentukan keberhasilan konservasi populasi. 

Oleh karena itu penelitian keragaman genetik dari populasi Badak Sumatera 

merupakan langkah penting yang harus dilakukan, dan apabila penelitian ini 

berhasil maka langkah konservasinya lebih terarah. 

Walaupun data mengenai filogeni (kekerabatan) badak Sumatera belum 

banyak dilaporkan, akan tetapi beberapa peneliti sudah mulai mengeksplorasinya, 

diantaranya Morales et al. (1997) mengungkapkan keragaman genetik, dan 

konservasi badak Sumatera. Dilaporkan juga oleh Xu et al. (1996) mengenai

perbandingan DNA antara badak putih Afrika, badak hitam Afrika dengan badak 

India dengan analisis seluruh pada genom DNA mitokondria (12SrRNA, 

16SrRNA, ND1, ND2, CO I, CO II, ATP, CO III, ND3, ND4, ND5, ND6, Cyt b  

dan D-loop), dan Fernando et al. (2006) mengungkapkan keragaman genetik, 

filogeni dan konservasi badak Jawa dengan analisis pada genom DNA D-Loop. 

Selain itu Jama et al. (1993) mengukapkan mengenai sekuensi daerah D-loop, dan 

bagian, tRNA, tRNAPro, dan tRNAPhe dari badak hitam Afrika (Diceros bicornis). 

Pada penelitian ini penentuan keragaman genetik spesies badak Sumatera 

terutama keragaman individu dalam populasi dilakukan dengan menggunakan 

Cytochrome Oxidase I (CO I) dan D-Loop dari genom DNA mitokondria 

(mtDNA). Penelilitian penentuan keragaman genetik spesies badak Sumatera di 

Indonesia belum pernah dilakukan, dan penelitian ini adalah yang pertama di 

Indonesia. Hasil ini diharapkan dapat dijadikan data base dalam usaha manajemen 

populasi dan konservasinya.  



Badak Sumatera Dicerorhinus sumatrensis 

Klasifikasi 

 

Termasuk dalam kelas Mamalia, 

Ordo Mesaxonia, Sub Ordo Perissodactyla, 

Famili Rhinocerotidae, Genus Dicerorhinus, 

Spesies Dicerorhinus sumatrensis Fischer, 1814. 

 

Gambar 1 Dicerorhinus sumatrensis 

Badak sumatera merupakan anggota famili Rhinocerotidae. Famili ini 

terdiri dari empat genus yaitu Rhinoceros (bercula satu), Dicerorhinus (bercula 

dua), Diceros (bercula dua) dan Ceratotherium (bercula dua). Rhinoceros terdiri 

dari dua species sedangkan Dicerorhinus, Diceros dan Ceratotherium terdiri dari 

satu spesies (Xu & Arnason 1996). Berdasarkan ukurannya maka kelima spesies 

tersebut termasuk dalam mamalia darat yang berukuran besar. Species dari genus 

Rhinoceros terdapat hanya di Asia yaitu badak jawa (Rhinoceros sundicus) di 

Ujung Kulon Jawa Barat, sedangkan Badak India (Rhinoceros unicornis.) terdapat 

di India terutama di daerah Assam. Genus Diceros dan Ceratotherium terdapat di 

Afrika (Diceros bicornis) dan (Ceratotherium simum). Sedangkan genus 

Dicerorhinus satu spesies (Dicerorhinus sumatrensis) berada di Asia. Badak 

bercula dua di Asia memiliki tiga subspesies dengan sebaran geografis yang 

berbeda, yaitu Dicerorhinus sumatrensis sumatrensis di Sumatera-Indonesia, 

Semenanjung Malaysia, dan Thailand; Dicerorhinus sumatrensis harrisoni  

ditemukan di Kalimantan, sedangkan Dicerorhinus sumatrensis lasiotis 

ditemukan di Myanmar (Foose & van Strein 1997) (Tabel 1). 

Tabel 1 Ciri dari tiga sub spesies badak Sumatera (Foose & Strein 1997)  

Ketiga spesies badak Asia dahulu tersebar luas di selatan dan tenggara 

Asia. Jumlah mereka cukup melimpah pada pertengahan abad ke-19. Spesies spesies badak Asia kini menjadi mamalia paling langka dan kehidupannya 

terancam di dunia. Usaha konservasi terhadap badak India cukup berhasil, 

sedangkan badak Jawa dan Sumatera kini berada dalam ancaman kepunahan 

(Foose & van Strein 1997; WWF 2002). 

Badak Sumatera umumnya ditemukan di daerah berbukit-bukit yang dekat 

dengan air. Spesies tersebut menempati hutan hujan tropis dan hutan lumut 

pegunungan, tetapi juga menyukai daerah pinggiran hutan dan hutan sekunder 

(van Strein 1985). Badak Sumatera dapat hidup pada kisaran rentang habitat yang 

luas, mulai dari rawa-rawa dataran rendah hingga hutan pegunungan. Saat ini, 

badak sumatera di temukan di dataran tinggi karena hutan dataran rendah sudah 

berkurang. Dahulu, spesies ini menyebar luas mulai dari daerah dataran rendah 

hingga dataran tinggi, dan bahkan dapat berenang di laut untuk mencapai pesisir 

pulau (van Strein 1985). 

Morfologi 

Badak sumatera memiliki struktur tubuh gelap dengan warna kulit coklat 

kemerahan dan tertutup rambut, sehingga seringkali disebut hairy rhinoceros. 

Badak sumatera adalah satu-satunya badak Asia yang memiliki dua cula, 

meskipun cula posterior lebih tereduksi dan terkadang tidak nampak pada badak 

betina. Panjang dari cula anterior umumya 25 cm dengan cula posterior berukuran 

lebih kecil baik pada jantan maupun betina. Badak sumatera merupakan badak 

terkecil dengan tinggi badan 0,9- 1,5 m dan panjangnya kurang lebih 2,9 m. Berat 

badannya hanya sekitar 600-800 kg, sedangkan spesies lainnya memiliki berat  

badan dapat mencapai 2 ton (Gambar 2). (Nowak 1991; van Strein 2002; WWF 

2002).  


Umumnya, badak jawa memiliki ukuran lebar kaki lebih dari 25 cm 

sedangkan badak Sumatera antara 20-22 cm. Kaki depan dan kaki belakang badak 

Sumatera memiliki jumlah jari yang ganjil yaitu tiga buah sebagai ciri utama dari 

ordo Perissodactyla. Aktifitas badak Sumatera di lapangan sedikit mirip dengan 

tapir yang juga anggota ordo Perissodactyla. Akan tetapi, Lekagul & McNeely 

(1977) mengatakan bahwa telapak kaki tapir biasanya berukuran lebih kecil yaitu 

sekitar 14-17 cm dan tampak lebih runcing. Adapun karakter morfologi dari 

kelima spesies badak dunia dapat dilihat pada Tabel 2 berikut.  

Ekologi 

Van Strein (1985) menyatakan bahwa sifat badak sumatera yang soliter 

menyebabkan terjadinya hidup bersama antara badak jantan dan betina hanya di 

musim kawin saja, akan tetapi antara induk betina dan anaknya tetap hidup 

bersama. Lekagul & McNelly (1977) menyatakan bahwa terkadang beberapa 

individu bersama-sama mendatangi tempat berkubang atau menggaram. Tingkah  

laku badak sumatera yang paling menonjol adalah dalam hal berkomunikasi 

secara tidak langsung antar sesama melalui suara-suara yang keluar dari hidung 

atau mulut dan mengeluarkan feces serta urine sebagai batas dan pengenalan 

wilayah jelajahnya. Beberapa aktivitas penandaan daerah jelajah pada badak 

sumatera menurut van Strein (1985) antara lain berupa: a) gundukan tanah dari 

kaisan kaki; b) patahan sapling, dan c) semprotan urin pada daun atau batang 

tumbuhan. 

Semua spesies badak memerlukan berkubang, begitu juga dengan badak 

Sumatera. Berkubang bertujuan mempertahankan temperatur tubuhnya dan 

melindungi diri dari berbagai macam parasit (Hubback 1983). Badak sumatera 

berkubang paling sedikit satu kali dalam sehari pada siang hari atau menjelang 

pagi hari. Kubangan berbentuk oval dengan diameter 2- 3 meter dan untuk 

menambahkan lumpur pada kubangannya dilakukan dengan menggali atau 

menggoreskan cula pada dinding tanah di dekat kubangan (van Strien 1985). 

Setiap individu badak memiliki daerah jelajah permanen yang di dalamnya 

terdapat tempat penggaraman berupa sungai, selain itu untuk memenuhi mineral 

yang dibutuhkan tubuhnya badak sering menjilati tanah (van Strein 1985). Daerah 

jelajah badak jantan dewasa rata-rata sejauh 30 km dan daerah jelajah betina lebih 

kecil yaitu mencapai hanya 20 km, tetapi terpisah satu individu dengan individu 

lainnya. Oleh karena itu, badak Sumatera betina bersifat teritorial dan saling 

menghindari satu sama lain. Badak betina yang memiliki anak daerah jelajahnya 

lebih kecil namun tidak se-ekslusif badak betina tanpa anak (van Strein 1985). 

Dewasa jantan dan betina secara teratur menandai wilayah mereka dengan 

goresan, tegakan muda yang patah, feses dan urin (Nowak 1991; WWF 2002). 

Penelitian Strein di Sumatera Utara menunjukkan bahwa kelahiran badak 

Sumatera sebagian besar terjadi pada bulan Oktober hingga Mei, yaitu periode 

dengan curah hujan yang tinggi. Proses perkembangbiakan badak Sumatera 

adalah yang lambat dengan keturunan yang dihasilkannya pun sangat terbatas. 

Badak Sumatera memiliki periode masa mengandung (gestation period)-nya 

selama 15-18 bulan dengan 1 anak per kelahiran. Badak Sumatera mulai 

bereproduksi pada usia 7-8 tahun dengan jarak 3-4 tahun antar periode anakan 

atau masa sapih (Nowak 1991).  

Penyebaran 

 Populasi badak Sumatera terpecah dalam kelompok populasi yang berbeda 

dengan sebaran terkonsentrasi pada daerah-daerah tertentu saja. Populasi yang 

ada di Sumatera terdapat di daerah Taman Nasional (TN) Gunung Leuser, TN 

Kerinci Seblat (TNKS), Aceh Utara (Gunung Abong-abong dan Lesten Lukup), 

TN Bukit Barisan Selatan (TNBBS) dan TN Way Kambas (TNWK). Sebaran 

populasi di Kalimantan pernah dilaporkan terdapat di TN Kayan Mentarang dan 

Cagar Alam Ulu Sembakung, tetapi jumlahnya sampai saat ini belum di ketahui 

dengan pasti (Dirjen PHPA Dephut RI & YMR 1994). Adapun peta sebaran 

Badak sumatera di TNWK dan TNBBS dapat dilihat pada gambar 3 berikut ini. 

Keadaan Populasi pada tahun 2004 diketahui populasi badak sumatera 

terdapat di TN Way kambas Lampung hanya berjumlah 15-25 ekor, sedangkan 

TNBB Selatan 60-80 ekor, dan TNKS 2-3 ekor, dan hasil survey terbaru pada 

tahun 2005 populasi badak Sumatera berdasarkan data jejak (footprint) yang 

dilaporkan hanya tinggal 20 - 27 ekor (Isnan et al. 2005)  

Genetika Konservasi

Masalah genetik akhir-akhir ini banyak mendapat perhatian dalam 

hubungannya dengan masalah konservasi. Tolak ukur keberhasilan kegiatan 

konservasi dapat dilihat dari keanekaragaman genetik yang tinggi, sehingga 

keberadaan organisme secara alami dapat dipertahankan dalam kurun waktu yang 

panjang sehingga kepunahannya dapat dihindari. Dengan demikian faktor 

keragaman genetik menjadi indikator kunci yang utama (Soule 1983 ).  

Menurut Frankham et al. (2002) genetika konservasi merupakan salah satu 

dari aplikasi ilmu genetika yang bertujuan mempertahankan spesies sebagai 

entitas dinamis yang memiliki kemampuan untuk mengatasi perubahan 

lingkungan, dengan ruang lingkupnya mencakup manajemen genetika populasi 

berukuran kecil, pemecahan masalah ketidakpastian taksonomi, penentuan unit 

manejemen intraspesifik, dan penggunaan analisis genetik dalam kegiatan 

forensik maupun dalam kajian biologi spesifik. 

Populasi kecil lebih rentan pada sejumlah efek genetik yang merugikan, 

misalnya berkurangnya kemampuan berevolusi, mudah terjadinya hanyutan gen 

(genetic drift), meningkatnya terjadinya silang dalam (inbreeding) dan 

meningkatnya peluang menuju kepunahan (Ellstred et al. 1993) 

Tekanan Silang Dalam (Inbreeding Depression) 

Pada populasi alami dimana jumlah populasinya cukup besar maka 

terdapat mekanisme yang berfungsi mengurangi terjadinya silang dalam yaitu 

individu-individu tersebut tidak akan kawin dengan kerabat dekat dan memilih 

pasangannya dari keluarga yang lain. Kadang-kadang mekanisme pencegahan 

silang dalam ini gagal berfungsi dengan baik pada populasi yang terlalu kecil. 

Perkawinan antara induk – anak, saudara kandung dan sepupu, mendorong 

terjadinya tekanan silang dalam. Akibat dari banyak terjadinya silang dalam ini 

selain menurunnya keragaman genetik dalam populasinya maka dapat pula berupa 

kesulitan untuk menghasilkan keturunan, atau keturunan yang muncul biasanya 

lemah atau mandul (Christine et al.1983). Selain itu karena banyak terjadi 

monomorfik pada gen-gen tertentu maka populasinya menunjukkan kerentanan 

yang relatif tinggi terhadap stess lingkungan. Penjelasan yang mungkin dapat 

diterima mengenai akibat negatif dari terjadinya tekanan silang dalam adalah 

bahwa proses ini dapat memunculkan alel-alel yang merugikan (deleterious) yang 

diwarisi dari kedua induknya (Charleswor 1987). 

 

Tekanan Silang Luar (Out breeding Depression)

Di alam, individu-individu dari spesies yang berbeda jarang melakukan 

perkawinan karena adanya barier reproduksi. Beberapa mekanisme seperti  

perilaku, fisiologis, dan morfologis telah menyebabkan perkawinan hanya 

cenderung terjadi antara anggota spesies yang sama. Namun demikian, apabila 

suatu spesies menjadi langka atau habitatnya menjadi rusak, akan muncul prilaku 

silang luar yaitu perkawinan terjadi dengan individu-individu yang hubungan 

kekerabatannya relatif jauh atau pada spesies yang telah mengalami divergensi 

dari spesies awal. Hal seperti ini memberikan akibat terjadinya tekanan silang luar 

(Out-breeding depression). 

Tekanan silang luar juga dapat terjadi antar sub spesies yang berbeda, 

spesies yang kekerabatannya relatif dekat, atau individu-individu yang tidak 

berhasil menemukan pasangan dari spesies kerabatnya. Hasil dari keadaan ini 

adalah keturunan yang muncul seringkali lemah dan steril. Dalam program 

penangkaran usaha menghindari tekanan silang luar dilakukan dengan mencegah 

sosialisasi antar individu yang mempunyai penyebaran alami terlalu berjauhan. 

Struktur DNA Mitokondria

Pada umumnya material DNA yang digunakan dalam analisa genetik 

berasal dari DNA inti, tetapi sumber DNA untuk organisme eukariot dapat pula 

diperoleh dari organel-organel sitoplasmik. Salah satu organel yang dapat menjadi 

sumber bahan genetik adalah mitokondria (Duryadi 1994). Ukuran genome 

mitokondria hewan relatif kecil dibandingkan dengan mitokondria dan khloroplast 

tanaman yaitu berukuran kurang dari 40 Kb. 

Analisis DNA mitokondria telah digunakan secara luas dalam mempelajari 

evolusi, struktur populasi, aliran gen, hibridisasi, biogeografi dan filogeni suatu 

spesies hewan (Moritz et al. 1987). Di samping itu, hal yang mendukung 

penggunaan mtDNA sebagai penanda genetik salah satunya adalah karena 

mtDNA terdapat dalam copy yang tinggi, sehingga memudahkan dalam 

pengisolasian dan purifikasi untuk berbagai keperluan analisa genomnya (Duryadi 

1994). Selain itu, laju evolusinya tinggi (yaitu 10x lebih cepat dibandingkan pada 

DNA inti), diturunkan secara maternal (maternal inheritance) dan mempunyai 

jumlah copy tinggi. Basa-basa dari gen mitokondria ini dapat di buat copynya 

dalam jumlah besar dengan mengamplifikasinya melalui Polymerase Chain 

Reaction (PCR).  

Kajian komperatif daerah non koding dari DNA mitokondria (D-loop) dari 

famili Rhinoceritidae telah dilakukan secara mendalam yaitu bagian dari 

segmennya telah diketahui terbagi menjadi tiga bagian utama yaitu central 

conserved region, left peripheral domain, dan right peripheral domain. Kedua 

peripheral domain tersebut mengapit central conserved regional. Daerah 

peripheral domain diketahui sebagai daerah yang sangat bervariasi 

(hypervariable) karena cepat bermutasi, terjadinya delesi, atau insersi dan bahkan 

terjadi pengulangan pada segmen tertentu. Oleh karena perubahan urutan 

nukleotida di peripheral domain yang tinggi, maka D-Loop digunakan secara luas 

dalam kajian populasi dan evolusi genetik pada mamalia (Douzery & Randi 

1997). Sedangkan di central conserved region menunjukkan urutan nukleotida 

antar spesies dengan tingkat kesamaan yang tinggi sehingga daerah ini bersifat 

konserve (Brown et al.1986). 

Beberapa peneliti telah menggunakan genom mtDNA untuk analisis 

keragaman antar spesies maupun intra spesies terutama pada daerah non coding 

(CR) yaitu daerah yang mengandung D-loop. Diantara peneliti tersebut adalah 

Morales et al. (1994) Morales et al. (1997), Xu et al. (1996), Fernando et al.

(2006), O'Ryan et al. (1993). Penanda ini telah menunjukkan kemampuannya 

dalam membedakan keragaman antar spesies maupun intra spesies. 

Sekitar 99% dari material genetik organisme eukariot terdapat dalam inti 

dan sisanya 1% terdapat di dalam mitokondria. Mitokondria adalah organel di 

sitoplasma tempat berlangsungnya respirasi. DNA mitokondria mengandung 

sejumlah gen penting untuk respirasi dan fungsi lainnya. Secara fisik mtDNA ini 

terpisah dari DNA lainnya, sehingga relatif lebih mudah untuk mengisolasinya 

(berukuran relatif kecil yaitu hanya 16.000-20.000 pasang basa) dibandingkan jika 

harus mengisolasi milyaran nukleotida dari genom inti (Wallace 1982). 

DNA mitokondria berbentuk sirkuler berutas ganda. Setiap mtDNA 

memberi kode untuk terbentuknya 2 RNA ribosom, 22 RNA transfer dan 13 

polipeptida (beberapa belum diketahui fungsinya). Posisi pada mtDNA telah 

terpetakan, yang terdiri dari daerah 12SrRNA, 16SrRNA, ND1, ND2, CO I, CO 

II, ATP, CO III, ND3, ND4, ND5, ND6, Cyt b dan D-loop (displacement loop)  

yang terkait dalam proses replikasi (Brown et al. 1979). Adapun genom 

mitokondria mamalia dapat dilihat pada gambar 4 berikut ini.  

Posisi yang berbeda dari masing-masing gen-gen mitokondria tersebut 

ternyata memiliki laju evolusi dengan kecepatan yang berbeda pula, yaitu ada 

yang bersifat relatif konserve (laju perubahannya kecil) seperti 16S rRNA dan 12S 

rRNA, lajunya sedang (cytokrom b) dan lajunya cepat (CO I & D-Loop). 

Daerah D-loop atau dikenal juga dengan nama ”daerah kontrol” (control 

region) yaitu tempat yang mengatur replikasi dan transkripsi mtDNA yaitu awal 

dari replikasi rantai berat (Ho) (Foran et al. 1988). Daerah ini telah dibuktikan 

merupakan bagian yang paling bervariasi pada genom mitokondria. Laju mutasi 

pada daerah ini diperkirakan lima kali lebih cepat dibandingkan dengan bagian 

lain pada genom mitokondria ((Douzery & Randi 1997). Mamalia mempunyai D Loop terletak antara tRNAPRO dan tRNA Phe (Foran et al. 1988). Daerah ini terdiri 

dari 3 bagian yaitu : a) bagian kanan D-Loop (region I) yang mengandung 

Promotor Rantai Berat (HSP) dan Promotor Rantai Ringan. Pada bagian ini juga 

terdapat daerah Sekuen Conserve Bloks (CSB 1-3) serta repeat tandem; b) bagian 

tengah yang merupakan Daerah Central Conserve (CCR) berfungsi pada  

pengaturan dari replikasi (Saccone et al. 1991). Diluar CCR masih pada bagian 

tengah ini terdapat tiga Conserve Sekuen Bloks (CSB 1-3) pada ujung tiga dari 

rantai ringan yang berlokasi antara promotor rantai ringan (L- Strand) dan rantai 

berat (H-strand). CSB ini diasosiasikan sebagai inisiasi dari replikasi rantai berat.; 

c) bagian kiri D-Loop yang terdiri dari daerah termination associated sequence 

(TAS) dan bagian lain berupa beberapa dari daerah repeat tendem yang terletak 

dekat dengan tRnaPro (Saconne et al. 1991). Panjang fragment sekuensi yang 

terkecil berukuran 20 bp (Cunningham & Meghen 2001). 

Analisis pada daerah CR (D-loop) digunakan untuk melihat keragaman 

antar su

 oxsidase (CO I) merupakan enzim mitokondria, terdiri atas 

Cytoch

bspecies ataupun antar populasi (Brown 1985). Daerah yang mengandung 

D-Loop ini diketahui amat cepat berkembang dari bagian mtDNA lainnya. Hal ini 

karena terjadinya akumulasi subtitusi basa, proses insersi dan delesi yang lajunya 

amat cepat bila dibandingkan dengan DNA inti (Foran et al. 1988). Pada manusia 

diketahui laju subtitusi daerah tersebut kira-kira 2,8 – 5 kali lebih tinggi dari pada 

laju daerah genom Mt lainnya (Taylor et al. 2001). D-loop cocok digunakan untuk 

mendeteksi perbedaan sekuen nukleotida pada hewan vertebrata (Aquadro & 

Greenberg 1982). Analisis mtDNA pada D-loop juga telah digunakan untuk 

menduga keragaman genetik dan struktur populasi pada hewan avertebrata 

(Brown et al.1988). 

Cytochrome c

rome c oxsidase I, II dan III (Michel et al. 1998). CO I dapat digunakan 

sebagai DNA barcoding (Moritz & Cicero 2004) telah digunakan diantaranya 

pada jenis burung di Amerika utara dan jenis burung yang telah di barcoding 

tersebut dilaporkan berjumlah (260- 667 spesies). CO I merupakan gen kandidat 

sebagai DNA barcoding karena memiliki konsentrasi sekuens asam amino yang 

tinggi dan besar kemampuan pada primer yang digunakan. Menurut (Hebert et al.

(2003) CO I merupakan resolasi dalam mengetahui keanekaragaman pada semua 

jenis hewan. Hal ini menunjukkan bahwa gen CO I cukup variable diantara 

spesies yang dapat digunakan sebagai marker dalam menentukan filogeni dan 

studi populasi. Selain itu gen CO I mutasinya lebih besar di bandingkan dengan 

12S dan 16S (Hebert et al. 2003).  

Polymerase Chain reaction (PCR) 

alisis DNA adalah memecah genom DNA 

menjad

eknik PCR merupakan teknik amplifikasi DNA secara in vitro yang 

diguna

 ganda DNA menjadi utas 

tungga

Langkah awal untuk mengan

i fragmen-fragmen spesifik yang berukuran lebih kecil. Secara alami DNA 

dan protein merupakan suatu molekul polimer yang keberadaannya selalu terkait 

dengan RNA. Sedangkan dalam menganalisis DNA kualitasnya (kemurniannya) 

sangat menentukan untuk proses analisis selanjutnya. DNA murni dengan jumlah 

memadai dapat diperoleh dengan cara mengisolasi DNA memakai prosedur 

tertentu yang telah dijamin hasilnya baik, kemudian mengamplifikasinya memakai 

mesin Polymerase Chain Reaction (PCR). Isolasi DNA adalah proses pemisahan 

fragmen DNA target dari material sel yang diekstraksi, sedangkan amplifikasi 

DNA adalah proses perbanyakan atau sintesis sekuen DNA target dari total genom 

DNA. Metode PCR adalah pengganti dari penggunaan clonning untuk 

memperoleh jumlah purifikasi yang lebih tinggi dari bagian spesifik pada DNA 

genom. 

T

kan untuk mensintesa sekuen DNA tertentu secara enzimatis dengan 

menggunakan dua primer oligonukleotida yang menghibridisasi untaian DNA 

yang berlawanan dan mengapit daerah target DNA. Primer-primer yang 

digunakan untuk inisiasi proses PCR adalah sekuen pendek (kira-kira 20-30 basa 

nukleotida) yang menunjukkan kesamaan sekuen tinggi (khususnya pada ujung 3’ 

& 5’) pada daerah flanking (mengapit) target sekuen. 

Proses PCR dimulai dengan pemisahan utas

l dengan cara pemanasan pada suhu 94o

C – 95o

C (tahap denaturation), 

kemudian dilanjutkan dengan pelekatan primer pada tiap untai DNA utas tunggal 

yang bertindak sebagai template/cetakan (tahap anneling), selanjutnya masuk pada 

tahapan pemanjangan utas DNA (tahap elongasi) dimana prosesnya dibutuhkan 

bahan pembangun basa nukleotida berupa dTNP (dATP,dGTP,dCTP dan dTTP) 

dan enzim polymerase untuk mensisntesa pembuatan DNA utas lain yang 

merupakan komplemen dari DNA cetakannya. Reaksi ini baru dapat dimulai jika 

ada primer dengan urutan basa yang spesifik sebagai titik awal pemanjangan yang 

mengapit target gen/fragmen yang ingin direplikasi. Tahapan tersebut diulang 

dengan jumlah siklus tertentu (minimal 25x) dari proses Denaturasi-Anneling-