Indonesia merupakan negara hutan hujan tropis yang memiliki
keanekaragaman hayati yang tinggi dan dikenal sebagai salah satu
Megabiodiversity Country. Pulau Sumatera salah satu pulau di Indonesia yang
dapat menjadi gambaran kekayaan daerah tropis di Asia. Hal tersebut bisa dilihat
dari flora dan fauna yang ada di pulau ini, yaitu satu diantaranya adalah badak
Sumatera (Dicerorhinus sumatrensis, Fischer 1814).
Terdapat lima jenis badak yang masih hidup di dunia, tiga jenis berada di
Asia yaitu Rhinoceros unicornis (badak India), Rhinoceros sundaicus (badak
Jawa), Dicerorhinus sumatrensis (badak Sumatera) dan dua jenis lainnya berada
di Afrika yaitu Ceratotherium simum (badak putih Afrika) dan Diceros bicornis
(badak hitam Afrika) Lekagul & McNelly (1977). Dari tiga jenis badak yang
hidup di Asia, dua jenis diantaranya hidup di Indonesia, namun kedua jenis badak
ini statusnya terancam punah (endangered). Badak Sumatera tersebar di Pulau
Sumatera dan Kalimantan (Borneo). Akan tetapi daerah penyebaran badak di
Kalimantan sudah sangat langka dan jarang ditemui, hanya terdapat di Sabah
dengan jumlah populasi 25 individu. Demikian pula di Sumatera jumlahnya
semakin menurun dengan peta sebaran yang sudah sangat terbatas pada daerah
tertentu saja terutama berada di Taman Nasional Gunung Leuser (Aceh), Taman
Nasional Kerinci Seblat (Jambi), Taman Nasional Bukit Barisan Selatan
(Sumatera Selatan) dan Taman Nasional Way Kambas, Lampung (YMR 1998).
Menurut Penny (1987) badak Sumatera mempunyai daerah penyebaran
yang luas yaitu meliputi daerah Bengal (India), Burma, Pegunungan Thailand,
Kamboja, Vietnam, Laos dan Malaysia (Foose & van Strein 1997; WWF 2002).
Berdasarkan dari Hasil survey Program konservasi Badak Indonesia
(PKBI) pada tahun 2004 diketahui populasi badak sumatera berdasarkan data jejak
(footprint) ini yang terdapat di dalam kawasan hutan Taman Nasional Way
kambas Lampung hanya berjumlah 15-25 ekor, sedangkan Taman Nasional Bukit
Barisan Selatan 60-80 ekor, dan Taman Nasional Kerinci Seblat 2-3 ekor, dan
hasil survey terbaru pada tahun 2005 populasi badak Sumatera berdasarkan data
jejak (footprint) yang dilaporkan hanya tinggal 20 - 27 ekor (Isnan et al. 2005).
Hal ini menunjukkan bahwa populasi yang ada sekarang ini sangat mencemaskan,
dan dikhawatirkan kondisi populasi yang sudah kecil itu akan semakin menurun.
Kondisi ini disebabkan oleh masih terus berlangsungnya perambahan dan
penjarahan hutan di TNWK termasuk aktivitas perburuan liar.
Dari informasi yang kami dapat terlihat bahwa populasi badak Sumatera
dewasa ini semakin terancam keberadaannya. Hal ini disebabkan oleh beberapa
faktor, diantaranya adalah semakin maraknya perburuan liar, rusaknya habitat
alamnya yang disebabkan oleh konversi hutan yang cenderung tidak terkendali.
Menurut Alikodra (2002) populasi satwa liar dapat berkembang stabil ataupun
menurun sesuai dengan kondisi perubahan komponen lingkungannya. Selain
faktor diatas terancamnya populasi badak Sumatera juga akibat hidupnya yang
soliter dan sensitif terhadap aktivitas manusia dan pengganggu lainnya, serta
proses perkembangbiakan yang lambat dengan keturunan yang dihasilkannya pun
sangat terbatas. Badak Sumatera memiliki periode masa mengandung (gestation
period)-nya selama 15-18 bulan dengan 1 anak per kelahiran. Badak Sumatera
mulai bereproduksi pada usia 7-8 tahun dengan jarak 3-4 tahun antar periode
anakan atau masa sapih (Nowak 1991). Periode generasi (generation period) yang
panjang atau lama dan permasalahan dalam tingkat reproduksi (reproduction rate)
yang rendah merupakan ciri dari populasi mahluk hidup yang rentan dengan
kepunahan, dan hilangnya keanekaragaman genetik akan lebih cepat pada
populasi kecil dibandingkan dengan populasi yang besar (Christine et al. 1983;
Primack 1998).
Populasi kecil lebih rentan pada sejumlah efek genetik yang merugikan,
misalnya penurunan keragaman karena efek inbreeding serta terfiksasinya
beberapa alela tertentu dalam populasi sehingga hewan tersebut menjadi
monomorf dan mengalami penurunan kemampuan berevolusi atau adaptasinya
pada lingkungan yang berubah. Selain itu berkurangnya populasi, faktor lain
adalah terjadinya fragmentasi suatu habitat yang akan mendorong putusnya aliran
gen (gen flow) dan meningkatnya genetic drift dan inbreeding (kawin silang
dalam) antar populasi (Frankham et al. 2002).
Akibat dari populasi yang menurun dengan tajam di alam akan
mengakibatkan hewan ini berada pada status meningkatnya peluang menuju
kepunahan (Ellstrand et al. 1993).
Mempertahankan keanekaragaman genetika dalam suatu populasi
merupakan salah satu cara dari managemen populasi bagi spesies yang terancam
punah. Dalam usaha melindungi semua jenis satwa liar dari kepunahan termasuk
badak Sumatera, pemerintah Republik Indonesia mengeluarkan peraturan
perundangan untuk perlindungan semua jenis satwa liar yang dikeluarkan pada
tahun 1931 No. 266. Di samping itu badan Internasional yang bergerak dalam
bidang konservasi sumberdaya alam IUCN (Internasional Union For
Conservation of Nature and Natural Resources) juga telah memberikan perhatian
terhadap kelestarian badak yang dimasukan dalam kategori “Endangered” atau
genting (IUCN 1996) dengan membuat Suaka Rhino Sumatera (SRS).
Di SRS telah melakukan usaha konservasi berupa konservasi semi insitu
dalam bentuk penangkaran. Suaka ini terdapat di dalam kawasan Taman Nasional
Way Kambas dengan areal seluas 9000 Ha, didominasi oleh ekosistem hutan
hujan dataran rendah sedangkan lainnya adalah hutan rawa dengan lingkup yang
kecil, dan dikelola secara khusus dan intensif. Tujuan dari suaka badak ini adalah
untuk peningkatan reproduksi dalam menambah jumlah populasi di alam. Apabila
usaha ini berhasil maka sangat mendukung dalam menekan laju kepunahan dan
dapat melestarikan keberadaan badak sumatera tersebut.
Keragaman genetik turut menentukan keberhasilan konservasi populasi.
Oleh karena itu penelitian keragaman genetik dari populasi Badak Sumatera
merupakan langkah penting yang harus dilakukan, dan apabila penelitian ini
berhasil maka langkah konservasinya lebih terarah.
Walaupun data mengenai filogeni (kekerabatan) badak Sumatera belum
banyak dilaporkan, akan tetapi beberapa peneliti sudah mulai mengeksplorasinya,
diantaranya Morales et al. (1997) mengungkapkan keragaman genetik, dan
konservasi badak Sumatera. Dilaporkan juga oleh Xu et al. (1996) mengenai
perbandingan DNA antara badak putih Afrika, badak hitam Afrika dengan badak
India dengan analisis seluruh pada genom DNA mitokondria (12SrRNA,
16SrRNA, ND1, ND2, CO I, CO II, ATP, CO III, ND3, ND4, ND5, ND6, Cyt b
dan D-loop), dan Fernando et al. (2006) mengungkapkan keragaman genetik,
filogeni dan konservasi badak Jawa dengan analisis pada genom DNA D-Loop.
Selain itu Jama et al. (1993) mengukapkan mengenai sekuensi daerah D-loop, dan
bagian, tRNA, tRNAPro, dan tRNAPhe dari badak hitam Afrika (Diceros bicornis).
Pada penelitian ini penentuan keragaman genetik spesies badak Sumatera
terutama keragaman individu dalam populasi dilakukan dengan menggunakan
Cytochrome Oxidase I (CO I) dan D-Loop dari genom DNA mitokondria
(mtDNA). Penelilitian penentuan keragaman genetik spesies badak Sumatera di
Indonesia belum pernah dilakukan, dan penelitian ini adalah yang pertama di
Indonesia. Hasil ini diharapkan dapat dijadikan data base dalam usaha manajemen
populasi dan konservasinya.
Badak Sumatera Dicerorhinus sumatrensis
Klasifikasi
Termasuk dalam kelas Mamalia,
Ordo Mesaxonia, Sub Ordo Perissodactyla,
Famili Rhinocerotidae, Genus Dicerorhinus,
Spesies Dicerorhinus sumatrensis Fischer, 1814.
Gambar 1 Dicerorhinus sumatrensis
Badak sumatera merupakan anggota famili Rhinocerotidae. Famili ini
terdiri dari empat genus yaitu Rhinoceros (bercula satu), Dicerorhinus (bercula
dua), Diceros (bercula dua) dan Ceratotherium (bercula dua). Rhinoceros terdiri
dari dua species sedangkan Dicerorhinus, Diceros dan Ceratotherium terdiri dari
satu spesies (Xu & Arnason 1996). Berdasarkan ukurannya maka kelima spesies
tersebut termasuk dalam mamalia darat yang berukuran besar. Species dari genus
Rhinoceros terdapat hanya di Asia yaitu badak jawa (Rhinoceros sundicus) di
Ujung Kulon Jawa Barat, sedangkan Badak India (Rhinoceros unicornis.) terdapat
di India terutama di daerah Assam. Genus Diceros dan Ceratotherium terdapat di
Afrika (Diceros bicornis) dan (Ceratotherium simum). Sedangkan genus
Dicerorhinus satu spesies (Dicerorhinus sumatrensis) berada di Asia. Badak
bercula dua di Asia memiliki tiga subspesies dengan sebaran geografis yang
berbeda, yaitu Dicerorhinus sumatrensis sumatrensis di Sumatera-Indonesia,
Semenanjung Malaysia, dan Thailand; Dicerorhinus sumatrensis harrisoni
ditemukan di Kalimantan, sedangkan Dicerorhinus sumatrensis lasiotis
ditemukan di Myanmar (Foose & van Strein 1997) (Tabel 1).
Tabel 1 Ciri dari tiga sub spesies badak Sumatera (Foose & Strein 1997)
Ketiga spesies badak Asia dahulu tersebar luas di selatan dan tenggara
Asia. Jumlah mereka cukup melimpah pada pertengahan abad ke-19. Spesies spesies badak Asia kini menjadi mamalia paling langka dan kehidupannya
terancam di dunia. Usaha konservasi terhadap badak India cukup berhasil,
sedangkan badak Jawa dan Sumatera kini berada dalam ancaman kepunahan
(Foose & van Strein 1997; WWF 2002).
Badak Sumatera umumnya ditemukan di daerah berbukit-bukit yang dekat
dengan air. Spesies tersebut menempati hutan hujan tropis dan hutan lumut
pegunungan, tetapi juga menyukai daerah pinggiran hutan dan hutan sekunder
(van Strein 1985). Badak Sumatera dapat hidup pada kisaran rentang habitat yang
luas, mulai dari rawa-rawa dataran rendah hingga hutan pegunungan. Saat ini,
badak sumatera di temukan di dataran tinggi karena hutan dataran rendah sudah
berkurang. Dahulu, spesies ini menyebar luas mulai dari daerah dataran rendah
hingga dataran tinggi, dan bahkan dapat berenang di laut untuk mencapai pesisir
pulau (van Strein 1985).
Morfologi
Badak sumatera memiliki struktur tubuh gelap dengan warna kulit coklat
kemerahan dan tertutup rambut, sehingga seringkali disebut hairy rhinoceros.
Badak sumatera adalah satu-satunya badak Asia yang memiliki dua cula,
meskipun cula posterior lebih tereduksi dan terkadang tidak nampak pada badak
betina. Panjang dari cula anterior umumya 25 cm dengan cula posterior berukuran
lebih kecil baik pada jantan maupun betina. Badak sumatera merupakan badak
terkecil dengan tinggi badan 0,9- 1,5 m dan panjangnya kurang lebih 2,9 m. Berat
badannya hanya sekitar 600-800 kg, sedangkan spesies lainnya memiliki berat
badan dapat mencapai 2 ton (Gambar 2). (Nowak 1991; van Strein 2002; WWF
2002).
Umumnya, badak jawa memiliki ukuran lebar kaki lebih dari 25 cm
sedangkan badak Sumatera antara 20-22 cm. Kaki depan dan kaki belakang badak
Sumatera memiliki jumlah jari yang ganjil yaitu tiga buah sebagai ciri utama dari
ordo Perissodactyla. Aktifitas badak Sumatera di lapangan sedikit mirip dengan
tapir yang juga anggota ordo Perissodactyla. Akan tetapi, Lekagul & McNeely
(1977) mengatakan bahwa telapak kaki tapir biasanya berukuran lebih kecil yaitu
sekitar 14-17 cm dan tampak lebih runcing. Adapun karakter morfologi dari
kelima spesies badak dunia dapat dilihat pada Tabel 2 berikut.
Ekologi
Van Strein (1985) menyatakan bahwa sifat badak sumatera yang soliter
menyebabkan terjadinya hidup bersama antara badak jantan dan betina hanya di
musim kawin saja, akan tetapi antara induk betina dan anaknya tetap hidup
bersama. Lekagul & McNelly (1977) menyatakan bahwa terkadang beberapa
individu bersama-sama mendatangi tempat berkubang atau menggaram. Tingkah
laku badak sumatera yang paling menonjol adalah dalam hal berkomunikasi
secara tidak langsung antar sesama melalui suara-suara yang keluar dari hidung
atau mulut dan mengeluarkan feces serta urine sebagai batas dan pengenalan
wilayah jelajahnya. Beberapa aktivitas penandaan daerah jelajah pada badak
sumatera menurut van Strein (1985) antara lain berupa: a) gundukan tanah dari
kaisan kaki; b) patahan sapling, dan c) semprotan urin pada daun atau batang
tumbuhan.
Semua spesies badak memerlukan berkubang, begitu juga dengan badak
Sumatera. Berkubang bertujuan mempertahankan temperatur tubuhnya dan
melindungi diri dari berbagai macam parasit (Hubback 1983). Badak sumatera
berkubang paling sedikit satu kali dalam sehari pada siang hari atau menjelang
pagi hari. Kubangan berbentuk oval dengan diameter 2- 3 meter dan untuk
menambahkan lumpur pada kubangannya dilakukan dengan menggali atau
menggoreskan cula pada dinding tanah di dekat kubangan (van Strien 1985).
Setiap individu badak memiliki daerah jelajah permanen yang di dalamnya
terdapat tempat penggaraman berupa sungai, selain itu untuk memenuhi mineral
yang dibutuhkan tubuhnya badak sering menjilati tanah (van Strein 1985). Daerah
jelajah badak jantan dewasa rata-rata sejauh 30 km dan daerah jelajah betina lebih
kecil yaitu mencapai hanya 20 km, tetapi terpisah satu individu dengan individu
lainnya. Oleh karena itu, badak Sumatera betina bersifat teritorial dan saling
menghindari satu sama lain. Badak betina yang memiliki anak daerah jelajahnya
lebih kecil namun tidak se-ekslusif badak betina tanpa anak (van Strein 1985).
Dewasa jantan dan betina secara teratur menandai wilayah mereka dengan
goresan, tegakan muda yang patah, feses dan urin (Nowak 1991; WWF 2002).
Penelitian Strein di Sumatera Utara menunjukkan bahwa kelahiran badak
Sumatera sebagian besar terjadi pada bulan Oktober hingga Mei, yaitu periode
dengan curah hujan yang tinggi. Proses perkembangbiakan badak Sumatera
adalah yang lambat dengan keturunan yang dihasilkannya pun sangat terbatas.
Badak Sumatera memiliki periode masa mengandung (gestation period)-nya
selama 15-18 bulan dengan 1 anak per kelahiran. Badak Sumatera mulai
bereproduksi pada usia 7-8 tahun dengan jarak 3-4 tahun antar periode anakan
atau masa sapih (Nowak 1991).
Penyebaran
Populasi badak Sumatera terpecah dalam kelompok populasi yang berbeda
dengan sebaran terkonsentrasi pada daerah-daerah tertentu saja. Populasi yang
ada di Sumatera terdapat di daerah Taman Nasional (TN) Gunung Leuser, TN
Kerinci Seblat (TNKS), Aceh Utara (Gunung Abong-abong dan Lesten Lukup),
TN Bukit Barisan Selatan (TNBBS) dan TN Way Kambas (TNWK). Sebaran
populasi di Kalimantan pernah dilaporkan terdapat di TN Kayan Mentarang dan
Cagar Alam Ulu Sembakung, tetapi jumlahnya sampai saat ini belum di ketahui
dengan pasti (Dirjen PHPA Dephut RI & YMR 1994). Adapun peta sebaran
Badak sumatera di TNWK dan TNBBS dapat dilihat pada gambar 3 berikut ini.
Keadaan Populasi pada tahun 2004 diketahui populasi badak sumatera
terdapat di TN Way kambas Lampung hanya berjumlah 15-25 ekor, sedangkan
TNBB Selatan 60-80 ekor, dan TNKS 2-3 ekor, dan hasil survey terbaru pada
tahun 2005 populasi badak Sumatera berdasarkan data jejak (footprint) yang
dilaporkan hanya tinggal 20 - 27 ekor (Isnan et al. 2005)
Genetika Konservasi
Masalah genetik akhir-akhir ini banyak mendapat perhatian dalam
hubungannya dengan masalah konservasi. Tolak ukur keberhasilan kegiatan
konservasi dapat dilihat dari keanekaragaman genetik yang tinggi, sehingga
keberadaan organisme secara alami dapat dipertahankan dalam kurun waktu yang
panjang sehingga kepunahannya dapat dihindari. Dengan demikian faktor
keragaman genetik menjadi indikator kunci yang utama (Soule 1983 ).
Menurut Frankham et al. (2002) genetika konservasi merupakan salah satu
dari aplikasi ilmu genetika yang bertujuan mempertahankan spesies sebagai
entitas dinamis yang memiliki kemampuan untuk mengatasi perubahan
lingkungan, dengan ruang lingkupnya mencakup manajemen genetika populasi
berukuran kecil, pemecahan masalah ketidakpastian taksonomi, penentuan unit
manejemen intraspesifik, dan penggunaan analisis genetik dalam kegiatan
forensik maupun dalam kajian biologi spesifik.
Populasi kecil lebih rentan pada sejumlah efek genetik yang merugikan,
misalnya berkurangnya kemampuan berevolusi, mudah terjadinya hanyutan gen
(genetic drift), meningkatnya terjadinya silang dalam (inbreeding) dan
meningkatnya peluang menuju kepunahan (Ellstred et al. 1993)
Tekanan Silang Dalam (Inbreeding Depression)
Pada populasi alami dimana jumlah populasinya cukup besar maka
terdapat mekanisme yang berfungsi mengurangi terjadinya silang dalam yaitu
individu-individu tersebut tidak akan kawin dengan kerabat dekat dan memilih
pasangannya dari keluarga yang lain. Kadang-kadang mekanisme pencegahan
silang dalam ini gagal berfungsi dengan baik pada populasi yang terlalu kecil.
Perkawinan antara induk – anak, saudara kandung dan sepupu, mendorong
terjadinya tekanan silang dalam. Akibat dari banyak terjadinya silang dalam ini
selain menurunnya keragaman genetik dalam populasinya maka dapat pula berupa
kesulitan untuk menghasilkan keturunan, atau keturunan yang muncul biasanya
lemah atau mandul (Christine et al.1983). Selain itu karena banyak terjadi
monomorfik pada gen-gen tertentu maka populasinya menunjukkan kerentanan
yang relatif tinggi terhadap stess lingkungan. Penjelasan yang mungkin dapat
diterima mengenai akibat negatif dari terjadinya tekanan silang dalam adalah
bahwa proses ini dapat memunculkan alel-alel yang merugikan (deleterious) yang
diwarisi dari kedua induknya (Charleswor 1987).
Tekanan Silang Luar (Out breeding Depression)
Di alam, individu-individu dari spesies yang berbeda jarang melakukan
perkawinan karena adanya barier reproduksi. Beberapa mekanisme seperti
perilaku, fisiologis, dan morfologis telah menyebabkan perkawinan hanya
cenderung terjadi antara anggota spesies yang sama. Namun demikian, apabila
suatu spesies menjadi langka atau habitatnya menjadi rusak, akan muncul prilaku
silang luar yaitu perkawinan terjadi dengan individu-individu yang hubungan
kekerabatannya relatif jauh atau pada spesies yang telah mengalami divergensi
dari spesies awal. Hal seperti ini memberikan akibat terjadinya tekanan silang luar
(Out-breeding depression).
Tekanan silang luar juga dapat terjadi antar sub spesies yang berbeda,
spesies yang kekerabatannya relatif dekat, atau individu-individu yang tidak
berhasil menemukan pasangan dari spesies kerabatnya. Hasil dari keadaan ini
adalah keturunan yang muncul seringkali lemah dan steril. Dalam program
penangkaran usaha menghindari tekanan silang luar dilakukan dengan mencegah
sosialisasi antar individu yang mempunyai penyebaran alami terlalu berjauhan.
Struktur DNA Mitokondria
Pada umumnya material DNA yang digunakan dalam analisa genetik
berasal dari DNA inti, tetapi sumber DNA untuk organisme eukariot dapat pula
diperoleh dari organel-organel sitoplasmik. Salah satu organel yang dapat menjadi
sumber bahan genetik adalah mitokondria (Duryadi 1994). Ukuran genome
mitokondria hewan relatif kecil dibandingkan dengan mitokondria dan khloroplast
tanaman yaitu berukuran kurang dari 40 Kb.
Analisis DNA mitokondria telah digunakan secara luas dalam mempelajari
evolusi, struktur populasi, aliran gen, hibridisasi, biogeografi dan filogeni suatu
spesies hewan (Moritz et al. 1987). Di samping itu, hal yang mendukung
penggunaan mtDNA sebagai penanda genetik salah satunya adalah karena
mtDNA terdapat dalam copy yang tinggi, sehingga memudahkan dalam
pengisolasian dan purifikasi untuk berbagai keperluan analisa genomnya (Duryadi
1994). Selain itu, laju evolusinya tinggi (yaitu 10x lebih cepat dibandingkan pada
DNA inti), diturunkan secara maternal (maternal inheritance) dan mempunyai
jumlah copy tinggi. Basa-basa dari gen mitokondria ini dapat di buat copynya
dalam jumlah besar dengan mengamplifikasinya melalui Polymerase Chain
Reaction (PCR).
Kajian komperatif daerah non koding dari DNA mitokondria (D-loop) dari
famili Rhinoceritidae telah dilakukan secara mendalam yaitu bagian dari
segmennya telah diketahui terbagi menjadi tiga bagian utama yaitu central
conserved region, left peripheral domain, dan right peripheral domain. Kedua
peripheral domain tersebut mengapit central conserved regional. Daerah
peripheral domain diketahui sebagai daerah yang sangat bervariasi
(hypervariable) karena cepat bermutasi, terjadinya delesi, atau insersi dan bahkan
terjadi pengulangan pada segmen tertentu. Oleh karena perubahan urutan
nukleotida di peripheral domain yang tinggi, maka D-Loop digunakan secara luas
dalam kajian populasi dan evolusi genetik pada mamalia (Douzery & Randi
1997). Sedangkan di central conserved region menunjukkan urutan nukleotida
antar spesies dengan tingkat kesamaan yang tinggi sehingga daerah ini bersifat
konserve (Brown et al.1986).
Beberapa peneliti telah menggunakan genom mtDNA untuk analisis
keragaman antar spesies maupun intra spesies terutama pada daerah non coding
(CR) yaitu daerah yang mengandung D-loop. Diantara peneliti tersebut adalah
Morales et al. (1994) Morales et al. (1997), Xu et al. (1996), Fernando et al.
(2006), O'Ryan et al. (1993). Penanda ini telah menunjukkan kemampuannya
dalam membedakan keragaman antar spesies maupun intra spesies.
Sekitar 99% dari material genetik organisme eukariot terdapat dalam inti
dan sisanya 1% terdapat di dalam mitokondria. Mitokondria adalah organel di
sitoplasma tempat berlangsungnya respirasi. DNA mitokondria mengandung
sejumlah gen penting untuk respirasi dan fungsi lainnya. Secara fisik mtDNA ini
terpisah dari DNA lainnya, sehingga relatif lebih mudah untuk mengisolasinya
(berukuran relatif kecil yaitu hanya 16.000-20.000 pasang basa) dibandingkan jika
harus mengisolasi milyaran nukleotida dari genom inti (Wallace 1982).
DNA mitokondria berbentuk sirkuler berutas ganda. Setiap mtDNA
memberi kode untuk terbentuknya 2 RNA ribosom, 22 RNA transfer dan 13
polipeptida (beberapa belum diketahui fungsinya). Posisi pada mtDNA telah
terpetakan, yang terdiri dari daerah 12SrRNA, 16SrRNA, ND1, ND2, CO I, CO
II, ATP, CO III, ND3, ND4, ND5, ND6, Cyt b dan D-loop (displacement loop)
yang terkait dalam proses replikasi (Brown et al. 1979). Adapun genom
mitokondria mamalia dapat dilihat pada gambar 4 berikut ini.
Posisi yang berbeda dari masing-masing gen-gen mitokondria tersebut
ternyata memiliki laju evolusi dengan kecepatan yang berbeda pula, yaitu ada
yang bersifat relatif konserve (laju perubahannya kecil) seperti 16S rRNA dan 12S
rRNA, lajunya sedang (cytokrom b) dan lajunya cepat (CO I & D-Loop).
Daerah D-loop atau dikenal juga dengan nama ”daerah kontrol” (control
region) yaitu tempat yang mengatur replikasi dan transkripsi mtDNA yaitu awal
dari replikasi rantai berat (Ho) (Foran et al. 1988). Daerah ini telah dibuktikan
merupakan bagian yang paling bervariasi pada genom mitokondria. Laju mutasi
pada daerah ini diperkirakan lima kali lebih cepat dibandingkan dengan bagian
lain pada genom mitokondria ((Douzery & Randi 1997). Mamalia mempunyai D Loop terletak antara tRNAPRO dan tRNA Phe (Foran et al. 1988). Daerah ini terdiri
dari 3 bagian yaitu : a) bagian kanan D-Loop (region I) yang mengandung
Promotor Rantai Berat (HSP) dan Promotor Rantai Ringan. Pada bagian ini juga
terdapat daerah Sekuen Conserve Bloks (CSB 1-3) serta repeat tandem; b) bagian
tengah yang merupakan Daerah Central Conserve (CCR) berfungsi pada
pengaturan dari replikasi (Saccone et al. 1991). Diluar CCR masih pada bagian
tengah ini terdapat tiga Conserve Sekuen Bloks (CSB 1-3) pada ujung tiga dari
rantai ringan yang berlokasi antara promotor rantai ringan (L- Strand) dan rantai
berat (H-strand). CSB ini diasosiasikan sebagai inisiasi dari replikasi rantai berat.;
c) bagian kiri D-Loop yang terdiri dari daerah termination associated sequence
(TAS) dan bagian lain berupa beberapa dari daerah repeat tendem yang terletak
dekat dengan tRnaPro (Saconne et al. 1991). Panjang fragment sekuensi yang
terkecil berukuran 20 bp (Cunningham & Meghen 2001).
Analisis pada daerah CR (D-loop) digunakan untuk melihat keragaman
antar su
oxsidase (CO I) merupakan enzim mitokondria, terdiri atas
Cytoch
bspecies ataupun antar populasi (Brown 1985). Daerah yang mengandung
D-Loop ini diketahui amat cepat berkembang dari bagian mtDNA lainnya. Hal ini
karena terjadinya akumulasi subtitusi basa, proses insersi dan delesi yang lajunya
amat cepat bila dibandingkan dengan DNA inti (Foran et al. 1988). Pada manusia
diketahui laju subtitusi daerah tersebut kira-kira 2,8 – 5 kali lebih tinggi dari pada
laju daerah genom Mt lainnya (Taylor et al. 2001). D-loop cocok digunakan untuk
mendeteksi perbedaan sekuen nukleotida pada hewan vertebrata (Aquadro &
Greenberg 1982). Analisis mtDNA pada D-loop juga telah digunakan untuk
menduga keragaman genetik dan struktur populasi pada hewan avertebrata
(Brown et al.1988).
Cytochrome c
rome c oxsidase I, II dan III (Michel et al. 1998). CO I dapat digunakan
sebagai DNA barcoding (Moritz & Cicero 2004) telah digunakan diantaranya
pada jenis burung di Amerika utara dan jenis burung yang telah di barcoding
tersebut dilaporkan berjumlah (260- 667 spesies). CO I merupakan gen kandidat
sebagai DNA barcoding karena memiliki konsentrasi sekuens asam amino yang
tinggi dan besar kemampuan pada primer yang digunakan. Menurut (Hebert et al.
(2003) CO I merupakan resolasi dalam mengetahui keanekaragaman pada semua
jenis hewan. Hal ini menunjukkan bahwa gen CO I cukup variable diantara
spesies yang dapat digunakan sebagai marker dalam menentukan filogeni dan
studi populasi. Selain itu gen CO I mutasinya lebih besar di bandingkan dengan
12S dan 16S (Hebert et al. 2003).
Polymerase Chain reaction (PCR)
alisis DNA adalah memecah genom DNA
menjad
eknik PCR merupakan teknik amplifikasi DNA secara in vitro yang
diguna
ganda DNA menjadi utas
tungga
Langkah awal untuk mengan
i fragmen-fragmen spesifik yang berukuran lebih kecil. Secara alami DNA
dan protein merupakan suatu molekul polimer yang keberadaannya selalu terkait
dengan RNA. Sedangkan dalam menganalisis DNA kualitasnya (kemurniannya)
sangat menentukan untuk proses analisis selanjutnya. DNA murni dengan jumlah
memadai dapat diperoleh dengan cara mengisolasi DNA memakai prosedur
tertentu yang telah dijamin hasilnya baik, kemudian mengamplifikasinya memakai
mesin Polymerase Chain Reaction (PCR). Isolasi DNA adalah proses pemisahan
fragmen DNA target dari material sel yang diekstraksi, sedangkan amplifikasi
DNA adalah proses perbanyakan atau sintesis sekuen DNA target dari total genom
DNA. Metode PCR adalah pengganti dari penggunaan clonning untuk
memperoleh jumlah purifikasi yang lebih tinggi dari bagian spesifik pada DNA
genom.
T
kan untuk mensintesa sekuen DNA tertentu secara enzimatis dengan
menggunakan dua primer oligonukleotida yang menghibridisasi untaian DNA
yang berlawanan dan mengapit daerah target DNA. Primer-primer yang
digunakan untuk inisiasi proses PCR adalah sekuen pendek (kira-kira 20-30 basa
nukleotida) yang menunjukkan kesamaan sekuen tinggi (khususnya pada ujung 3’
& 5’) pada daerah flanking (mengapit) target sekuen.
Proses PCR dimulai dengan pemisahan utas
l dengan cara pemanasan pada suhu 94o
C – 95o
C (tahap denaturation),
kemudian dilanjutkan dengan pelekatan primer pada tiap untai DNA utas tunggal
yang bertindak sebagai template/cetakan (tahap anneling), selanjutnya masuk pada
tahapan pemanjangan utas DNA (tahap elongasi) dimana prosesnya dibutuhkan
bahan pembangun basa nukleotida berupa dTNP (dATP,dGTP,dCTP dan dTTP)
dan enzim polymerase untuk mensisntesa pembuatan DNA utas lain yang
merupakan komplemen dari DNA cetakannya. Reaksi ini baru dapat dimulai jika
ada primer dengan urutan basa yang spesifik sebagai titik awal pemanjangan yang
mengapit target gen/fragmen yang ingin direplikasi. Tahapan tersebut diulang
dengan jumlah siklus tertentu (minimal 25x) dari proses Denaturasi-Anneling-