empat mengalami cedera aksonal, akibat besarnya energi mekanik
yang memicu pecahnya pembuluh
darah. Hal inilah yang . dijumpai pada
cedera vaskular difus.
3. Edema otak dan iskemia serebral
Edema otak yaitu gambaran umum
yang ditemukan pada cedera kepala,
terutama pasien anak-anak dan dewasa
muda. Edema otak pada cedera kepala
terjadi melalui beberapa mekanisme,
yaitu: vasodilatasi pembuluh darah otak
yang memicu meningkatnya
volume darah ke otak, rusaknya sawar
darah otak yang memicu bocornya
cairan (edema vasogenik), dan meningkatnya kandungan air di dalam sel neuron pada sistem saraf pusat (edema sitotoksik).
Edema otak akan meningkatkan TIK
dan menurunkan tekanan perfusi otak,
sehingga memicu kerusakan otak
akibat iskemia. Perbedaan tekanan diantara kompartemen otak dapat memicu herniasi otak. Herniasi subfalsin
girus singulatum akan memicu
kompresi pada arteri serebral anterior.
Sementara herniasi transtentorial dapat
menyebabka,n kompresi pada arteri serebral posterior, girus parahipokampus,
dan otak tengah. Herniasi transforamen batang otak memicu iskemia
yang berujung pada menurunnya fungsi
batang dan otak atau kematian.
GEJALA DAN TANDA KLINIS
Cedera kepala dapat diklasifikasikan berdasarkam (1) tingkat kesadaran pasien
menurut Skala Koma Glasgow (SKG), (2) lokasi lesi, dan (3) patologi.
berdasar tingkat kesadaran, cedera kepala dapat dibagi menjadi:
a. Cedera kepala minimal: SKG 15; tidak
ada pingsan, tidak ada defisit neurologis,
CT scan otak normal.
b. Cedera kepala ringan: SKG 13-15, ada pingsan kurang dari 10 menit, tidak ada defisit neurologis, CT scan
otak normal.
c. Cedera kepala sedang: SKG 9-12, ada pingsan 10 menit-6 jam, ada
defisit neurologis, CT scan otak abnormal.
d. Cedera kepala berat: SKG 3-8, ada
pingsan lebih dari 6 jam, ada defisit
neurologis, CT scan otak abnormal.
berdasar lokasi lesi, cedera kepala dapat
dibagi menjadi:
a. Cedera kepala lesi difus: aksonal dan
vaskular
b. Cedera kepala lesi fokal, yang terbagi
menjadi:
- Kontusio dan laserasi serebri
- Perdarahan (hematom) intrakranial:
hematom epidural, hematom subdural, hematom intraparenkim (bematom subaraknoid, hematom intraserebral, hematomintraserebelar).
berdasar patologi, cedera kepala
dapat diklasifikasikan menjadi komosio, kontusio, dan laserasi serebri. Pembagian lain dapat berupa
komosio serebri serta perdarahan
epidural, subdural, subaraknoid, dan
intraserebral, dengan penjelasan sebagai berikut:
1. Komosio serebri
Secara klinis, komosio serebri memiliki manifestasi klinis yang tidak berat.
Pasien dengan komosio serebri umumnya mengalami penurunan kesadaran
kurang lebih 30 menit. Setelah itu, terjadi
pemulihan hingga seperti sebelum terjadinya cedera kepala. Namun, umumnya
pasien akan mengalami amnesia pascatrauma.
Cedera Kepala
Pemeriksaan CT scan atau MRI pada komosio serebri seringkali menunjukkan hasil
normal, padahal sebenarnya sudah terjadi
kerusakan secara mikroskopik pada akson.
Jika didapat kelainan pada pemeriksaan
ini , maka ini membuktikan pasien tidak hanya mengalami komosio serebri.
2. Perdarahanepidural
Perdarahan epidural secara klinis ditandai dengan adanya interval lusid, yaitu
periode kesadaran pulih diantara dua
penurunan kesadaran. Pada awal terjadi
cedera kepala, kesadaran pasien akan
menurun. Selanjutnya pasien akan sadar
penuh, namun kembali kehilangan kesadaran beberapa saat kemudian karena
adanya akumulasi darah. Sementara itu,
15% pasien diketahui tidak mengalami
penurunan kesadaran sesaat setelah
cedera kepala terjadi. Dengan demikian, pasien dengan perdarahan epidural
membutuhkan pemantauan ketat untuk
mencegah pasien jatuh perburukan.
Selain intervallusid, juga dapat ditemukan
tanda dan gejala peningkatan TIK, di antaranya nyeri kepala dan muntah karena akumulasi darah akan meningkatkan volume
di dalam tengkorak, sementara tengkorak
memliki daya akomodasi yang terbatas.
Seiring progresifitas penyakit, beberapa pasien dapat ditemukan penurunan
frekuensi nadi, menurunnya frekuensi
pernapasan, dan meningkatnya tekanan
darah (refleks Cushing). Gejala lain yang
juga dapat menandakan perdarahan epidural sudah berada dalam tahap lanjut
yaitu ditemukannya hemiparesis, refleks patologis Babinski positif, dilatasi
pupil yang menetap pada satu atau ke
dua mata, serta deserebrasi. Tanda-tanda ini mengindikasikan terjadinya
herniasi otak.
3. Perdarahan subdural
Gejala klinis perdarahan subdural mirip
dengan perdarahan epidural. Namun,
perdarahan subdural memiliki gejala
klinis yang sering ditemui berupa kejang. Sementara itu, tanda klinis herniasi lebih jarang ditemukan daripada
perdarahan epidural. Pacta perdarahan
subdural, hematom umumnya berada di
sisi kontralateral fraktur tengkorak, berbeda dengan hematom pacta perdarahan
epidural yang berada di sisi ipsilateral
(Tabel3).
Perdarahan subdural dapat bersifat akut,
subakut, dan kronik. Pacta kasus akut, hematom terbentuk kurang dari 3 hari dan umumnya berhubungan dengan cedera kepala
yang lebih hebat. Adanya koinsidensi perdarahan intraserebral dan epidural menjadi
penyulit perdarahan subdural akut. Kasus
perdarahan subdural akut sering terjadi
pacta pasien usia muda yang tidak mengalami perbaikan kesadaran sejak cedera.
Interval lusid hanya ada pacta kurang dari
30% kasus dan seringkali berkaitan dengan
kasus kontusio dan laserasi otak.
Pacta perdarahan subdural subakut, hematom terbentuk dalam waktu 3 hari hingga
3 minggu pascacedera disertai penurunan
fungsi neurologis sejalan dengan besarnya
hematom yang terbentuk. Ditemukan hemiparesis kontralateral pacta SO% kasus dan
ipsilateral (25% kasus) dengan angka kematian sebesar 25%.
Pacta perdarahan subdural kronik, hematom terbentuk 3 minggu bahkan lebih pascacedera yang Diagnosa nya terlihat dari
gambaran CT scan atau MRI. Secara klinis,
gejala perdarahan subdural kronik dapat
berupa perubahan status mental, disfungsi
neurologis fokal, peningkatan tekanan intrakranial, dan kejang fokal. Pasien dapat
mengalami perubahan tingkat kesadaran
yang fluktuatif, namun bukan merupakan gejala utama.
4. Perdarahan intraserebral
Perdarahan ini umumnya disebabkan
oleh disrupsi parenkim otak akibat penonjolan dari patahan tulang tengkorak
dan memicu pembuluh darah terkait sehingga terbentuk hematom yang
terletak intraparenkim. Klinis yang tampak serupa dengan perdarahan intraparenkim yang sama dengan mekanisme
perdarahan otak lainnya, seperti pada
ruptur aneurisma.
Diagnosa DAN Diagnosa BANDING
Diagnosa cedera kepala harus dilakukan
secara cepat dan akurat, mengingat kondisi
emergensi. Proses anamnesis dan pemeriksaan fisik generalis dan neurologis harus efektif dan efisien, disesuaikan dengan
kondisi lapangan yang membutuhkan tindakan segera.
Berikut ini yaitu hal-hal yang perlu digali
dalam anamnesis:
1. Mekanisme cedera kepala secara detail, meliputi proses terjadinya, posisi
pasien saat kejadian, bagian tubuh yang
pertama kali terkena, kecepatan (jika
kecelakaan lalu lintas) a tau besarnya
kekuatan (jika pukulan atau barang)
obyek yang memicu cedera kepala.
2. Tingkat kesadaran, perlu ditanyakan
k~sadaran memang sudah hilang sejak setelah trauma atau hilang setelah
pasien sempat sadar.
3. Durasi hilangnya kesadaran.
4. Amnesia pascatrauma, tanyakan kondisi
pasien sebelum, saat, dan setelah trauma.
5. Nyeri kepala, perlu dibedakan nyeri akibat peningkatan tekanan intrakranial
atau disebabkan oleh nyeri somatik akibat cedera scalp.
6. Gejala neurologis lain, seperti anosmia,
kejang, kelemahan tubuh sesisi atau
395
Cedera Kepa/a
dua sisi, bingung, diplopia, dan orientasi
pasien terhadap waktu, tempat, serta
orang perlu ditanyakan saat anamnesis.
Gejala berupa bocornya cairan serebrospinal melalui hidung (rinorea) atau telinga
(otorea) juga perlu ditanyakan.
7. Hal lain yang juga perlu ditanyakan
yaitu obat rutin yang sering dikonsumsi pasien, riwayat penyakit dahulu, gaya
hidup (alkohol, rokok, dan narkoba), serta riwayat penyakit keluarga.
Pada pemeriksaan status generalis, pemeriksaan kepala harus dilakukan dengan
detail, serta bagian tubuh lain yang dapat
menunjukkan beratnya trauma. Berikut ini
merupakan tanda diagnostik yang dapat dijadikan tanda awal untuk menDiagnosa :
Tanda diagnostik klinik perdarahan epidural:
• ada intervallusid
• Kesadaran semakin lama semakin
menurun
• Hemiparesis kontralateral lesi yang terjadi belakangan
• Pupil anisokor
• Adanya refleks Babinski di kontralaterallesi
• Fraktur di daerah temporal
Tanda diagnostik perdarahan epidural di
fossa posterior:
• Intervallusid tidak jelas
• Fraktur kranii oksipital
• Hilang kesadaran dengan cepat
• Gangguan serebelum, batang otak, dan
pernapasan
• Pupil isokor
• Pada CT scan otak didapatkan gambaran hiperdens (perdarahan) di tulang
tengkorak dan dura, umumnya di daerah
temporal, dan tampak bikonveks
Tanda diagnostik perdarahan subdural:
• Nyeri kepala
• Kesadaran bisa menurun atau normal
• Pada CT scan otak didapatkan gambaran hiperdens (perdarahan) di antara
dura mater dan araknoid yang tampak
seperti bulan sabit.
Tanda diagnostik fraktur basis kranii:
• Anterior
Keluarnya cairan likuor melalui hidungjrinorea
Perdarahan bilateral periorbital ekimosisjraccoon eye
- Anosmia
• Media
Keluarnya cairan likuor melalui telingajotorea
Gangguan N. VII dan N. VIII
• Posterior
Bilateral mastoid ekimosisjtanda Battle
Kebocoran cairan serebrospinal melalui
telinga atau hidung pada fraktur basis kranii dapat dideteksi dengan adanya halo/
double-ring sign. Hal ini terjadi karena
prinsip kromatografi yang menunjukkan
bahwa cairan serebrospinal dan darah
akan terpisah sesuai koefisien difusi saat
diteteskan di kassajkain. Terpisahnya kedua komponen inilah yang membentuk gambaran menyerupai dua buah cincin (Gambar
10). Tanda ini dapat muncul bila konsentrasi
cairan serebrospinal sekitar 30-90%.
Selain itu, untuk menegakkan Diagnosa
fraktur basis kranii perlu dilakukan peme-
riksaan dengan memakai CT scan.
Tanda diagnostik cedera aksonal difus:
• Pasien mengalam koma dalam waktu
lama pascacedera kepala.
• Disfungsi saraf otonom.
• Gambaran CT scan otak di awal cedera
menunjukkan kondisi normal, tidak ada
tanda perdarahan dan edema. Namun,
setelah 24 jam basil CT scan akan memberikan gambaran edema otak yang luas.
Pemeriksaan Penunjang
1. Pencitraan pada fase akut
Seiring dengan perkembangan teknologi,
pemeriksaan rontgen tengkorak telah digantikan oleh adanya CT scan. CT merupakan pilihan utama dalam kasus cedera
kepala akut. CT scan nonkontras potongan aksial dapat dengan cepat meng-identifikasi massa desak ruang dalam bentuk hematom yang membutuhkan tata
laksana operatif segera. Kemampuan CT
scan untuk memindai jaringan lunak dan
tulang, membuat CT scan unggul dalam
mengidentifikasi fraktur tengkorak jenis
impresi atau linier dan fraktur basis kranii.
Menurut National Institute for Health
and Clinical Excellence (NICE), CT scan
perlu dilakukan jika pasien:
• Memiliki skor SKG kurang dari 13
pascacedera
• Skor SKG 13 atau 14 dua jam pascacedera
• Dicurigai mengalami fraktur terbuka
atau impresi
• Memiliki tanda-tanda fraktur basis
kranii
• Mengalami kejang pascacedera
• Mengalami defisit neurologis sentral
• Mengalami muntah yang lebih dari 1
kali
• Mengalami amnesia tentang kejadian
30 menit sebelum cedera kepala
2. Pencitraan pada fase subakut
Pemeriksaan MRI tidak rutin dilakukan
pada fase subakut. Hal ini berkaitan dengan sulitnya mobilisasi pasien yang berada dalam kondisi kritis. Pemeriksaan
dengan MRI dilakukan setelah pasien
dalam keadaan stabil. MRI dapat memberikan gambaran yang lebih jelas dan
dapat menggambarkan luasnya cedera
serta mampu memberikan informasi
tentang prognosis pasien ketika berada
di ruang rawat intensif. CT scan lebih
unggul dibanding MRI untuk mendeteksi
perdarahan. Namun, MRI lebih unggul
397
Cedera Kepala
dibanding CT scan untuk mendeteksi
cedera aksonal difus.
Diagnosa banding
Apabila klinisi telah melakukan prosedur
anamnesis dan pemeriksaan dengan cermat,
penegakan Diagnosa cedera kepala tidak memerlukan Diagnosa banding~ Hanya pada
kasus-kasus tertentu saja perlu dicurigai
adanya kemungkinan Diagnosa lain. Hampir
semua kelainan intrakranial dapat dijadikan
Diagnosa banding untuk cedera kepala, yaitu
keganasan otak, stroke, dan aneurisma.
Selain pencitraan, pemeriksaan penanda
biokimia, seperti creatine kinase brain type
(CK-BB), neuron-specific enolase (NSE),
protein S100, dapat dilakukan pada pasien
cedera kepala. Penelitian di RSUPN Cipto
Mangunkusumo menunjukkan bahwa kadar
protein S100 yang tinggi cenderung memiliki luaran yang buruk. Sayangnya, penanda
biokimia ini tidak sensitif hanya terhadap
kerusakan otak akibat cedera kepala, melainkan juga pada kondisi stroke, ensefalopati
hepatikum, dan penyakit neurodegeneratif,
seperti Alzheimer.
PENGOBATAN
Dasar PENGOBATAN awal untuk semua kasus
cedera kepala bertujuan untuk menjaga kestabilan hemodinamik, penanganan segera
akibat cedera primer, mencegah cedera jaringan otak sekunder dengan cara mencegah
munculnya faktor-faktor komorbid seperti
hipotensi dan hipoksia, serta mendapatkan
penilaian neurologis yang akurat.
Prinsip PENGOBATAN awal pada cedera kepala secara umum sama seperti cedera di
tempat lain. Penanganan didasari pada
prinsip emergensi dengan survei primer.
Adapun survei primer meliputi tindakan
yang umumnya disingkat ABCD, yaitu:
1. A-Airway Ualan napas)
Prinsipnya yaitu memastikan jalan
napas tidak mengalami sumbatan. Apabila diperlukan dapat dipakai alat bantu
seperti oropharyngeal airway (OPA).
2. 8-Breathing (pernapasan adekuat)
Prinsip pernapasan adekuat yaitu dengan memperhatikan pola napas, gerak
dinding perut, dan kesetaraan pengembangan dinding dada kanan dan kiri.
Apabila alat tersedia, diharapkan saturasi oksigen di atas 92%.
3. C-Circulation ( sirkulasi)
4. D-Disability (melihat adanya disabilitas)
berdasar konsensus Perhimpunan
Dokter Saraf Seluruh Indonesia (PERDOSS!), disabilitas mengacu pada ada
tidaknya lateralisasi dan kondisi umum
dengan memeriksa status umum dan fokal neurologis.
Sebagai tambahan, perlu dilakukan imobilisasi tulang belakang karena cedera kepala seringkali dibarengi dengan adanya
cedera pada medula spinalis. lmobilisasi
dilakukan sampai didapatkan bukti tidak
ada cedera tulang belakang.
PENGOBATAN Farmakologis
Hipotensi yaitu salah satu prediktor mortalitas pada cedera kepala berat. Oleh karena itu,
perlu dilakukan resusitasi dengan cepat begitu tanda-tanda syok ditemukan. Banyak pusat
trauma merekomendasikan kristaloid isotoniksebagai cairan pengganti. Cairan hipotonik
harus dihindari karena dapat mengeksaserbasi edema serebral. Untuk mempertahankan
tekanan perfusi serebral sebesar SOmmHg,
dibutuhkan tekanan darah arteri rerata (mean
arterial pressure/MAP) sekitar 70mmHg.
Dalam penanganan cedera kepala, perlu
diperhatikan adanya tanda-tanda peningkatan TIK karena harus diturunkan segera.
berdasar mekanisme hipoksia yang terjadi pada cedera, maka edema yang terjadi
yaitu edema sitotoksik, sehingga dipakai manito! 20%. Terapi ini memakai
prinsip osmosis diuresis. Manito! memiliki
efek ekspansi plasma yang dapat menghasilkan gradien osmotik dalam waktu cepat.
Cairan ini dapat meningkatkan aliran darah
serebral dan tekanan perfusi serebral yang
akan meningkatkan suplai oksigen.
Dosis pemberian manito! dimulai dari 1-2g/
kgBB dalam waktu lh-1 jam tetes cepat.
Setelah 6 jam pemberian dosis pertama,
dilanjutkan dengan dosis kedua O,SgjkgBB
dalam waktu lh-1 jam tetes cepat. Selanjutnya 12 jam dan 24 jam kemudian diberikan
0,25gjkg88 selama lh-1 jam tetes cepat.
PENGOBATAN Operatif
Tindakan operatif dilakukan sesuai indikasi.
Ada pun tindakan operatif dilakukan apabila
ada kasus seperti disebut di bawah ini:
1. Perdarahan epidural yaitu :
a. Lebih dari 40cc dengan pergeseran
garis tengah pada daerah temporal/
frontal/parietal dengan fungsi batang
masih baik
b. Lebih dari 30cc pada daerah fossa posterior dengan tanda-tanda
penekanan batang otak atau hidrosefalus dengan fungsi batang otak rnasib baik.
c. Perdarahan epidural yang progresif
d. Perdarahan epidural tipis dengan
penurunan kesadaran.
2. Perdarahan subdural yaitu :
a. SDH luas (>40ccj>Smm) dengan skor
SKG>6, fungsi batang otak masih baik.
b. SOH tipis dengan penurunan kesadaran.
c. SDH dengan edema serebrijkontusio serebri disertai pergeseran garis
tengah (midline shift) dengan fungsi
batang otak masih baik.
3. Perdarahan intraserebral yaitu :
a. Penurunan kesadaran progresif.
b. Hipertensi, bradikardi, dan gangguan
pernapasan (refleks Cushing).
c. Terjadi perburukan pada suatu
kondisi defisit neurologis fokal.
4. Fraktur impresi.
5. Fraktur kranii dengan laserasi serebri.
6. Fraktur kranii terbuka.
7. Edema serebri berat yang disertai dengan tanda peningkatan tekanan intrakranial (TIK).
CONTOH KASUS
Laki-laki 42 tahun, dibawa ke IGD dengan
penurunan kesadaran setelah jatuh dari
motor 1 jam sebelum masuk RS. Pasien dibonceng temannya dengan kecepatan 50
kmjjam tanpa memakai helm. Sebelum kejadian, pasien dalam keadaan sehat,
hanya lebih banyak bicara karena sedang
berada di bawah pengaruh alkohol. Pasien
biasanya mengonsumsi alkohol1-2 kali per
minggu. Pasien terjatuh ke belakang dengan
posisi terlentang dan kepala belakang mengenai aspal. ada muntah sebanyak
2x isi makanan, serta ada luka robek
di bagian belakang kepala. Saat diantar ke
Cedera Kepala
RS pasien dalam keadaan tidak sadar. Tidak
ditemukan perdarahan dari telinga, hidung,
dan mulut maupun kejang, serta tidak diketahui adanya keluhan lain.
Pada pemeriksaan fisik tanda vital stabil.
Ditemukan luka robek di kepala kanan belakang dengan tepi tidak rata, dasar otot,
kotor, perdarahan tidak masif, tidak ada nanah, tanda Battle, maupun raccoon
eyes. Pemeriksaan neurologis didapatkan
SKG E2MSV2, refleks cahaya langsung maupun tidak langsung baik, serta kesan tidak
ada defisit sarafkranial dan motorik.
Pertanyaan:
1. Pemeriksaan penunjang apa yang akan
Andalakukan?
2. Apa Diagnosa kerja kasus ini?
3. Apa dasar Diagnosa Saudara?
4. Apa PENGOBATAN awal yang akan Anda
lakukan?
5. Apa saja kondisi yang harus dihindari
dalam perawatan pasien ini?
Jawaban:
1. CT scan kepala tanpa kontras disertai
bone window, Rontgen vertebra servikal proyeksi anteroposterior dan
lateral. Pemeriksaan laboratorium:
darah perifer lengkap, gula darah
sewaktu, hemostasis, Analisa gas darah, fungsi ginjal, fungsi hepar, dan
elektrolit.
2. Cedera kepala sedang.
3. Durasi penurunan kesadaran dalam
rentang waktu >10 menit dan <6 jam
dan nilai SKG 9. Diagnosa patologis
ditegakan setelah dilakukan pencitraan danjatau biopsy histopatologi.
4. PENGOBATAN resusitasi awal ABCDE
( airwa~ breathing, circulation, disability. exposure). Manajemen pengendalian
tekanan intrakranial dengan elevasi kepala 30°, normoksia (Pa02 sekitar 100
mmHg), normokarbia (PaC02 sekitar
35mmHg), normotermia, normoglikemia, analgesia adekuat, nutrisi adekuat,
osmoterapi dengan manito} atau salin
hipertonik Pada beberapa keadaan,
dapat dilakukan sedasi, koma barbituratfpropofol, hipotermia terapetik, dan
dekompresi kraniotomi.
5. Hipertermia, kejang, hipoksia, hipotensi, hipertensi, hipofhiperglikemia,
gangguan elektrolit,
CEDERA MEDULA SPINALIS
Cedera medula spinalis, atau disebut juga
trauma medula spinalis (spinal cord injury),
yaitu trauma langsung a tau tidak langsung
yang memicu jejas pada medula spinalis, sehingga dapat menimbulkan gangguan fungsi sensorik, motorik, dan otonom.
Selain itu, cedera medula spinalis memiliki
mortalitas yang tinggi pada tahun pertama
pascacedera.
Penanganan cedera medula spinalis harus
dilakukan dengan cepat, tepat, dan cermat.
Kesalahan dalam penanganan awal akan
memicu kerusakan sekunder yang fatal dan mempengaruhi tindak lanjut serta
prognosis pasien. Kecepatan penanganan
medis prarumah sakit, sistem transportasi menuju rumah sakit, dan kualitas perawatan di rumah sakit merupakan faktor
penting yang menentukan prognosis penderita cedera medula spinalis. Di negara
dengan sistem pra-RS yang sudah baik,
seperti Amerika, masih ada 5% pasien
cedera medula spinalis yang disertai cedera
sekunder atau perburukan saat tiba di RS.
EPIDEMIOLOGI
WHO memperkirakan insidens cedera medula spinalis global sebanyak 40-80 orang
persejuta populasi setiap tahun. Rasio antara laki-laki dan perempuan 2:1 dengan ke-
lompok usia tertinggi yaitu remaja hingga
dewasa muda. pemicu tersering cedera
medula spinalis yaitu jatuh, diikuti kecelakaan sepeda motor.
Data di Amerika menunjukkan sebanyak
5% pasien cedera kepala juga mengalami
cedera medula spinalis, dengan sebaran
lokasi terutama di servikal (55%), lalu torakal, abdominal, dan lumbosakral masingmasing 15%. Data di Indonesia menyatakan
bahwa kasus cedera kepala dan medula spinalis mencapai 7,5% dari jumlah populasi.
PATOFISIOLOGI
Patofisiologi cedera medula spinalis terbagi
menjadi dua mekanisme, yaitu primer dan
sekunder.
1. Mekanisme Kerusakan Primer
Mekanisme umum dari cedera medula
spinalis yaitu adanya kompresi pada
struktur medula spinalis, baik oleh kelainan tulang, ligamen, herniasi diskus
intervertebralis, maupun proses hematom pada medula spinalis itu sendiri.
Proses kompresi akan memberikan gejala berupa defisit neurologis danjatau
rasa sakit yang dirasakan terus menerus.
Mekanisme lain akibat gaya mekanik
trauma (axial loading, fleksi, ekstensi,
rotasi, lateral bending, distraksi) dapat
berupa luka tembus, peregangan, mau pun robekan pada struktur medula spinalis dan pemb~luh darah.
Kerusakan langsung pada pembuluh darah memicu perdarahan pada medula spinalis yang berlangsung beberapa
menit pascacedera, diikuti gangguan aliran
darah. Kejadian ini memicu hipoksia
dan infark iskemik lokal. Area substansia
grisea lebih rentan mengalami kerusakan
yang pertama kali kemudian menyebar ke
area sekitarnya (kaudal-kranial). Sel-sel
saraf pada area ini akan mengalami kerusakan fisik, penipisan selubung mielin,
edema, dan menarik makrofag di sekitar
area sehingga mengganggu transmisi saraf.
2. Mekanisme Kerusakan Sekunder
Kerusakan sekunder pada cedera medula
spinalis terbagi menjadi dua mekanisme,
yaitu efek lokal dan sistemik. Kerusakan
sekunder ini terjadi akibat defisit energi
yang disebabkan oleh adanya gangguan
perfusi pada tingkat sel. Kondisi ini
dapat diperberat, jika ditemukan keadaan
renjatan neurogenik yang memicu
hipoperfusi sistemik Cedera medula spinalis yang tidak ditatalaksana optimal
dalam 3-24 jam pertama, akan mengalami
perburukan berupa perdarahan, edema,
demielinisasi, pembentukan rongga pada
akson, nekrosis neuronal, peningkatan kadar glutamat, eksitotoksisitas, kerusakan
oksidatif, adanya iskemik, serta peningkatan produksi nitrit oksida dan peroksidasi
lipid pada membran sel yang akan memicu perubahan patologis dan berakhir
menjadi infark
GEJALA DAN TANDA KLINIS
Gejala dan tanda klinis cedera medula spinalis perlu diketahui karena akan menentu-
kan PENGOBATAN dan prognosis. Gambaran
klinis ini diklasifikasikan berdasar :
1. Level Cedera
Level cedera medula spinalis dapat ditentukan melalui pemeriksaan sensorik
(sesuai dermatom) dan motorik (miotom) di sepanjang level medula spinalis. Level cedera neurologis dihitung dari
segmen paling kaudal yang fungsi sensorik dan motoriknya masih baik, pada
kedua sisi (kanan dan kiri).
Perbedaan gejala paling mencolok terjadi
pada level di atas dan di bawah Tl. Pada
level cedera di atas Tl, defisit neurologis yang muncul yaitu tetraplegi dan
sering dijumpai gangguan pernapasan,
akibat paresis otot interkostalis atau diafragma, serta renjatan neurogenik Jika
cedera terjadi di bawah Tl, gejala klinis
yang muncul berupa paraplegi. Penentuan level ini penting karena akan mempengaruhi strategi PENGOBATAN cedera.
2. Derajat Keparahan Defisit Neurologis
Derajat keparahan defisit neurologis pada cedera medula spinalis dapat
ditegakkan pada saat 72 jam hingga 7
hari pascacedera karena mempertimbangkan adanya kemungkinan renjatan
spinal (spinal shock). Secara garis besar,
derajat keparahan ini dibagi menjadi
komplet dan inkomplet. Cedera disebut komplet apabila pasien kehilangan
fungsi sensorik dan motorik pada level
cedera, sedangkan cedera inkomplet jika
pasien hanya kehilangan salah satu fungsi, sensorik atau motorik saja.
Cedera inkomplet memberikan prognosis
yang lebih baik dibandingkan cedera komplet. Ditemukan fenomena sacral sparing
yang tidak ditemukan pada cedera komplet. Sacral sparing menunjukkan fungsi
yang tersisa pada cedera inkomplet, berupa fungsi sensorik di daerah perianal dan
atau kontraksi sadar sfingter anus.
Secara lebih rinci, American Spina/Injury
Association (ASJA)/International Medical
Society of Paraplegia (IMSOP) membagi
derajat keparahan defisit neurologis menjadi 5 derajat (Tabel1).
Cedera Medula Spinalis
3. Sindrom Medula Spinalis
Berbagai mekanisme trauma (gaya axsial
loading, fleksi, ekstensi, rotasi, lateral bending, distraksi) dapat memicu kerusakan medula spinalis yang berbeda berdasar letak lesi dan gejalanya, ada
empat sindrom, yaitu 1) sindrom BrownSequard; 2) sindrom spinalis anterior, 3)
sindrom spinalis sentral, dan 4) ·sindrom
spinalis posterior (Tabel2 dan Gambar 1)
Renjatan Spinal
Selain sindrom-sindrom ini di atas,
perlu diperhatikan juga apakah defisit neurologis yang ada benar disebabkan oleh patologis atau renjatan spinal. Renjatan spinal
yaitu keadaan hilangnya fungsi sensorik,
motorik, dan otonom sementara, karena
sebenarnya tidak terjadi kerusakan struktur pacta segmen medula spinalis ini .
Penelitian pacta hewan menunjukkan bahwa hal ini terjadi lebih kepada proses akut
hilangnya pengaruh fasilitasi supraspinal
yang masih belum diketahui secara pasti,
daripada proses trauma itu sendiri.
Renjatan spinal ditandai dengan hilangnya aktivitas refleks spinal di bawah lesi
dan kelemahan ekstrimitas flaksid. Selain
itu, manifestasinya dapat berupa hilangnya
tonus vesika urinaria, ileus paralitik, dan
hipojanhidrosis di bawah lesi.
Renjatan spinal ditemukan pacta fase akut
pascacedera. Durasi renjatan spinal bervariasi tergantung pacta derajat keparahan dan
level cedera medula spinalis. Pacta sebagian
besar kasus, aktivitas refleks spinal mulai
kembali normal setelah 1-6 minggu pascacedera.
Untuk meyakinkan defisit neurologis bukan
akibat renjatan spinal, maka direkomendasikan agar pemeriksa mengasumsikan bahwa defisit sensorik dan motorik akibat renjatan spinal hanya berlangsung kurang dari
1 jam pascacedera, sehingga disimpulkan
bahwa defisit sensorik dan motorik yang
lebih dari 1 jam merupakan akibat perubahan patologis dan jarang karena renjatan spinal. Adapun defisit komponen otonom dan
refleks pada renjatan spinal dapat berlangsung dalam beberapa hari hingga beberapa
bulan, tergantung beratnya cedera.
Diagnosa DAN Diagnosa BANDING
Penentuan cedera medula spinalis dilakukan
setelah keadaan mengancam nyawa telah
diatasi. Oleh karena itu, penanganan awal
kasus cedera medula spinalis menganut asas
praduga positif, yang berarti semua pasien
trauma harus dicurigai menderita cedera
sampai terbukti bahwa tidak ada cedera medula spinalis. Cedera medula spinalis dapat
dikenali berdasar keluhan klinis pada
pasien yang sadar seperti rasa sakit di sepanjang tulang belakang, sensasi kebas, hingga
kelumpuhan pada anggota gerak.
Anamnesis
Penting didapatkan informasi berupa 1)
mekanisme trauma, 2) riwayat penyakit sebelumnya, dan 3) riwayat pengobatan yang
didapatkan sebelumnya atau dipemudah
dengan akronim AMPLE (Alergy, Medication, Past illness, Last meal, Exposure).
Pemeriksaan Fisik
Pemeri~aan neurologis pasien cedera medula spinalis dilakukan secara bertahap untuk menentukan ada atau tidaknya cedera
dan levelcedera medula spinalis. Penentuan
adanya cedera dilakukan saat pemindahan pasien dari papan spinal (spine board)
dengan teknik log roll. Teknik ini aman dilakukan oleh minimal em pat penolong. Tiga
Cedera Medu/a Spinalis
orang penolong bertugas mempertahankan
kesegarisan tulang belakang saat pasien
dimiringkanfdipindahkan, sedangkan satu
lainnya akan menarik spine board dan mengevaluasi tulang belakang. Evaluasi untuk
menemukan deformitas, krepitasi, nyeri
saat palpasi, dan perlukaan kulit (kontusio,
laserasi, atau penetrasi).
Penentuan level cedera berdasar pemeriksaan sensorik dan motorik. Pemeriksaan sensorik dilakukan dengan memberikan rangsangan nyeri dan menilai respons
pasien sesuai pola dermatom (Gambar 2).
Level cedera ditentukan dari sensorik pola
dermatom terbawah yang masih berfungsi
baik. Perhatian khusus diberikan pada kecurigaan cedera servikal (C1-C4). Apabila
pasien mengeluh hilangnya sensasi di daerah sekitar leher dan klavikula, pemeriksa
harus mengkonfirmasi dengan pemeriksaan
motorik.
Pemeriksaan motorik dilakukan dengan
memeriksa kekuatan otot (Tabel 3) mengikuti pola miotom dan dibandingkan antara
kedua sisi. Level cedera juga ditentukan dari
segmen paling kaudal.
Diutamakan melakukan proteksi kolumna
vertebralis pada pasien tidak sadar agar tidak terjadi cedera sekunder selama mobilisasi dan pemeriksaan. Proteksi ini meliputi
pemasangan bidai servikal (cervical collar
neck) dan meletakkan penderita pada papan
spinal panjang (long spine board) di tempat
kejadian, selama transpor hingga sewaktu
menjalani prosedur pemeriksaan penunjang. Pada penderita tidak sadar; pemeriksaan penunjang menjadi alat penapis utama.
Pemeriksaan Radiologis
Dibutuhkan kerjasama an tara dokter neurologi
dan radiologi untuk mencegah kemungkinan
kerusakan sekunder selama pemeriksaan.
Oleh karena itu seorang dokter neurologi juga
harus mengenal tindakan-tindakan yang perlu
dilakukan selama pemeriksaan. Pacta instansi
dengan fasilitas kesehatan yang lengkap, CT
scan dapat menjadi modalitas penapisan awal
cedera pacta kasus kecurigaan cedera medula
spinalis. Namun pacta instansi dengan fasilitas
terbatas, dapat dilakukan foto Rontgen
dengan posisi tertentu sebagai penapisan
awal, kemudian dilanjutkan CT scan untuk
memperjelas kelainan pacta segmen tertentu.
Pemeriksaan foto rontgen pacta kasus kecurigaan cedera medula spinalis, meliputi:
1. Foto Segmen Servikal (Gambar 4)
Foto segmen servikal dilakukan dengan
posisi lateral, anteroposterior (AP), dan
open-mouth odontoid. Pemeriksaan lateral dilakukan dengan pasien berada dalam
posisi tidur telentang dan film diletakkan
di sam ping pasien. Foto servikal dianggap
Cedera Medula Spinalis
baik jika basis kranii hingga vertebra servikal ke-7 dapat terlihat. Untuk mencapai
itu, seringkali diperlukan proyeksi khusus, yakni swimmer's position.
Posisi AP diperlukan untuk mengidentifikasi dislokasi faset unilateral yang tidak tampak jelas pacta foto lateral. Di sisi
lain, posisi open-mouth odontoid dilakukan khusus untuk melihat area sekitar
segmen servikal 1 dan 2.
2. Foto Segmen Torakolumbal
Perlu diperhatikan kesegarisan korpus
vertebra, jarak antar diskus, pedikel,
prosesus spinosus, dan foramen intervertebralis. Jika dicurigai adanya kelainan maka dibuat proyeksi tambahan baik
lateral maupun oblik.
Modalitas radiologis lain, seperti CT dan
MRI (Gambar 3), dapat dipertimbangkan pacta pasien dengan defisit neurologis yang jelas namun tidak ditemukan
kelainan pacta pemeriksaan radiologis
sebelumnya (spinal cord injury without radiological abnormality /SCIWORA).
Pemeriksaan ini dilakukan untuk mengetahui kecurigaan abnormalitas jaringanlu- .
nak, seperti herniasi diskus, ekstraaksial
hematom, dan abnormalitas ligamen.
Akan namun mempertimbangkan prosedur
pemeriksaan MRI yang sulit dilakukan
dan berisiko, maka MRI sebaiknya dilakukan secara elektif.
PENGOBATAN
Seperti halnya penegakan Diagnosa , konsep
penanganan cedera medula spinalis yaitu
semua korban trauma harus dicurigai mengalami dan ditangani sebagai kasus cedera
medula spinalis sampai terbukti tidak adanya cedera. Selama belum terbukti tidak ada
cedera, pada saat pemeriksaan pasien harus
dilakukan imobilisasi untuk menghindari
cedera sekunder.
ada tiga tujuan utama yang perlu dicapai dalam PENGOBATAN cedera medula spinalis, yaitu maksimalisasi pemulihan neurologis, stabilisasi spinal, dan rehabilitasi. Untuk
itu, ada alur PENGOBATAN yang dimulai
sejak fase pra-RS (prehospital), fase RS (hospital), dan rehabilitasi pascacedera yang
berkesinambungan.
PENGOBATAN Pra-RS (prehospital)
ada 10-25% pasien cedera medula
spinalis yang mengalami defisit neurologis
akibat PENGOBATAN prarumah sakit yang tidak mumpuni. Penanganan fase ini berperan penting dalam menentukan prognosis
pasien trauma medula spinalis.
Dibutuhkan koordinasi yang baik antara
petugas di tempat kejadian dan rumah sakit
tujuan. Rumah sakit tujuan harus dipastikan
dapat melakukan PENGOBATAN lanjutan pada
pasien sebelum dilakukan transfer pasien.
Informasi yang penting diketahui antara
lain yaitu keadaan pasien, waktu terjadinya trauma, dan mekanisme trauma.
Penekanan yang diutamakan pada fase
prarumah sakit yaitu 1) imobilisasi
pasien; 2) penjagaan jalan napas; 3) kontrol
perdarahan dan syok; dan 4) transfer pasien
ke rumah sakit dengan fasilitas memadai sesegera mungkin.
1. Imobilisasi Pasien
Upaya imobilisasi pada fase prarumah
sakit, meliputi imobilisasi area servikal dan
sepanjang tulang belakang (Gambar 4).
a. lmobilisasi area servikal
PENGOBATAN yang dapat dilakukan
untuk melindungi dan imobilisasi
area servikal, antara lain:
• Stabilisasi manual dengan memposisikan kepala sedikit ekstensi dan
minimal distraksi, untuk mencegah
terjadinya fleksi dan kompresi spinal
yang lebih lanjut,
• Memasangkan bidai servikal, atau
• memakai sand bag. atau towel
roll pada sisi lateral atau dengan
mengikat (taping) kepala pada spine
board.
Kelebihan dalam pemakaian bidai servikal yaitu manipulasi minimal pada leher
saat pemasangannya. Bidai se~ dapat
dijadikan sebagai penanda bahwa ada
risiko · cedera servikal yang belum dapat
. disingkirkan. Kombinasi dengan cara lain,
misalnya taping, dapat lebih memfiksasi
leher (Gambar 4).
Yang perlu diperhatikan dalam metode
taping yaitu agitasi pasien. Pasien
dengan agitasi dapat bergerak-gerak
yang dapat menimbulkan cedera spinal
sekunder. Taping daerah dada sebaiknya
diminimalisasi karena mengurangi ruang gerak rongga paru, Taping pada posisi terlentang (supine) meningkatkan
risiko terjadi bronkopneumonia aspirasi.
pemakaian sandbag dipikirkan lebih
aman dibandingkan taping karena tidak
mengganggu jalan napas namun dapat
meminimalisasi timbulnya gerakan yang
tidak diinginkan Sandbag direkomendasikan pada pemindahan pasien pada
keadaan yang tidak memungkinkan
de-ngan spine board. Selain keadaan
ini , sandbag kurang praktis untuk
dipakai . Minimalisasi gerakan lateral kepala pun dapat dilakukan dengan
pengaplikasian towel roll pada kedua sisi
kepala. Sebaiknya pengaplikasian sandbag
atau towel roll tanpa dikombinasikan dengan taping atau pelindung leher tipe rigid.
Pada pasien trauma yang memakai
helm, dapat dipertimbangkan untuk tidak melepaskan helm selama dil~
PENGOBATAN awal kecuali ditemukan adanY<t
gangguan jalan napas pada pasien. Walaupun hal ini memiliki risiko terjadinya
fleksi leher yang mengacu pada kejadian
perdarahan yang mengancam nyawa,
pelepasan helm oleh tenaga yang kurang
terampil dapat memberikan cedera
yang lebih buruk pada region servikal.
Pelepasan helm sebaiknya dilakukan
oleh dua orang sesuai dengan prosedur
dari American College of Surgeon.
b. lmobilisasi sepanjang tulang belakang
Imobilisasi tulang belakang bertujuan
untuk meminimalisir gerakan serta
Cedera Medula Spinalis
menjaga kesejajaran (alignment) tulang
belakang dengan memakai spine
board. Spine board tidak diperuntukkan untuk pemakaian jangka panjang
karena berisiko terjadinya dekubitus
akibat penekanan berlebih di bagian
sakrum, belikat, tumit, dan oksipital.
2. Tindakan Resusitasi
Tindakan resusitasi pada fase pra-RS,
meliputi penjagaan jalan napas dan
kontrol perdarahan serta syok, dengan
tetap mengutamakan imobilisasi pasien.
Protokol tindakan resusitasi ini telah direkomendasikan oleh American College
of Surgeon.
a. Penjagaan jalan napas dan ventilasi
Penjagaan jalan napas wajib dilakukan
pada seluruh pasien trauma terutama
yang mengalami penurunan kesadaran. Pasien dengan jalan napas yang
tidak adekuat akan mengalami gangguan ventilasi yang akan berlanjut
pada kurangnya oksigenasi jaringan
jika terjadi dalam waktu yang lama.
Pembukaan jalan napas pada pasien
dengan trauma spinal prarumah sakit
dapat dilakukan dengan manuver jaw
thrust untuk meminimalisasi pergerakan leher. Pemasangan nasopharyngeal airway atau oropharyngeal airway
dapat dilakukan untuk menjaga jalan
napas tetap terbuka, namun perlu diperhatikan bahwa pemakaian ini
dapat menginduksi refleks muntah dan
memberikan efek agitasi pada pasien.
Pembukaan jalan napas definitif
dilakukan hila alat pembuka jalan
napas sementara tidak adekuat.
Dapat dipertimbangkan tindakan
krikotiroidektomi emergensi atau
trakeostomi definitif di rumah sakit
bila kondisi tidak memungkinkan untuk diintubasi.
Ventilasi adekuat dilakukan setelah
jalan napas dipastikan adekuat. Perlu
diperhatikan ada-tidaknya kegagalan
respirasi pacta pasien trauma medula
spinal. Kondisi ini ditandai oleh adanya gerak dinding dada paradoksikal,
serta kapasitas vital paru yang dipengaruhi oleh postur tubuh pasien.
Posisi tegak dan Tredelenburg sebaiknya dihindari pacta pasien cedera medula spinalis dengan klinis tetraplegia.
Hal ini berkaitan dengan tertariknya
diafragma oleh organ-organ abdomen ke arah kaudal atau terdorong
ke arah rostral, sehingga mengganggu
kapasitas vital pasien.
b. Kontrol perdarahan dan renjatan
Renjatan hipovolemik pacta trauma
spinal merupakan hal yang rumit.
Kondisi hipotensi dapat ditemukan
tanpa disertai dengan adanya hipoperfusi, a tau disebut juga renjatan spinal.
Cedera setinggi segmen servikalis
atau torakalis tinggi dapat dijumpai
hipotensi dan bradikardi. Keadaan ini
dapat terjadi akibat adanya renjatan
spinal, sehingga tidak disarankan untuk dilakukan resusitasi cairan berlebihan.
PENGOBATAN di Rumah Sakit
1. Penanganan gawat darurat
Penanganan gawat darurat pasien cedera
medula spinalis di unit gawat darurat RS
tergantung pada penanganan pertama
pra-RS. Apabila pasien belum mendapatkan pra-RS sebelumnya, maka protokol
penanganan gawat darurat cedera medula spinalis harus dilakukan dari awal.
Berbeda jika pasien telah mendapatkan
penanganan prarumah sakit yang tepat,
maka langkah-langkah dalam protokol
dapat dilewati a tau dimodifikasi setelah
memastikan kembali bahwa tindakan
yang dilakukan sebelumnya tepat dan
keadaan-keadaan yang mengancam nyawa sudah ditangani.
a. lmobilisasi
Imobilisasi pada fase rumah sakit
merupakan lanjutan dari PENGOBATAN
prarumah sakit. Pasien yang datang
dalam keadaan terimobilisasi dengan
spine board dan pelindung leher sebaiknya dipindahkan segera mengingat tindakan imobilisasi juga memberikan
risiko komplikasi. Sebaiknya penilaian
dan pemeriksaan penunjang lengkap
dilakukan dalam waktu tidak lebih dari
dua jam. Apabila dalam dua jam tidak
tercapai, sebaiknya mobilisasi terkontrol
tetap dilakukan dengan memperhatikan
kesegarisan tulang belakang.
b. Primary survey
Tindakan primary survey merupakan
evaluasi ulang dari tindakan prarumah
sakit (Tabel 4). Primary survey tetap dilakukan walaupun sudah dilakukan sebelum tiba di rumah sakit.
c. Secondary survey dan pemeriksaan
neurologis
Setelah primary survey pasien dinyatakan
aman, maka pemeriksaan dilanjutkan ke
secondary survey, meliputi anamnesis dan
pemeriksaan dari kepala hingga ujung
kaki, termasuk pemeriksaan neurologis
lengkap (Tabel 5). Tindakan secondary
survey ini bertujuan untuk mencari tandatanda cedera medula spinalis secara klinis.
d. Medikamentosa akut
Obat-obatan yang dapat diberikan sebagai pengobatan akut, antara lain:
• Glukokortikosteroid dosis tinggi
Studi oleh NASCIS II menghasilkan bahwa pemberian metilprednisolon dosis
tinggi dalam 24 jam pertama memberikan perbaikan fungsi motorik yang
signifikan dibandingkan kelompok
kontrol (plasebo atau nalokson). Penelitian ini telah dikembangkan
dan saat ini sudah ditetapkan metilprednisolon dosis tinggi dalam 8 jam
pertama sebagai PENGOBATAN standar
pasien cedera medula spinalis. Cara
pemberian sebagai berikut:
Pasien onset <3 jam diberikan metilprednisolon 30mgjkgBB IV bolus selama 15 menit, ditunggu selama 45 menit (tidak diberikan metilprednisolon
dalam kurun waktu ini). Dilanjutkan
dengan infus terns menerus selama 23
jam dengan dosis 5,4mgjkgBBjjam.
- Pasien onset 3-8 jam, diberikan dengan cara yang sama namun dosis infus dilakukan selama 47 jam.
- Bila Diagnosa baru ditegakkan >8 jam,
maka pemberian steroid tidak dianjurkan.
• Opiat reseptor antagonis
• Nonglukokortikoid steroid tirilazad
• Monosialoganglioside (GM-1)
1. Perawatan intensif
Perawatan penderita cedera medula spinalis di ruang rawat intensif ditekankan
pada upaya mempertahankan pasien
tetap imobilisasi dan mengevaluasi masalah neurologis maupun kesehatan lain
yang mungkin timbul sebagai keadaan
primer maupun sekunder akibat upaya
imobilisasi sendiri. lnsiden morbiditas
dan mortalitas pasien cedera medula
spinalis lebih tinggi terjadi pada dua
minggu awal pascacedera.
Kriteria tempat tidur yang sesuai dalam
perawatan pasien cedera medula spinalis, antara lain 1) dapat menunjang stabilitas dan kesegarisan tulang belakang;
2) nyaman dan memiliki risiko rendah
ulkus dekubitus; 3) memudahkan akses
perawatan; dan 4) memudahkan upaya
reposisi pasien untuk mencegah komplikasi imobilisasi.
Cedera Medula Spinalis
a. Perawatan masalah kesehatan yang
mungkin muncul
Selama perawatan di rumah sakit, pasien
cedera medula spinalis dapat mengalami
beberapa komplikasi akut atau subakut
(Tabel 6 dan 7). Hal ini harus diperhatikan
oleh klinisi. Komplikasi ini bisa mengenai
sistem kardiovaskular; pemapasan, dan salurancema.
a) Perawatan masalah kardiopulmoner
Masalah kardiopulmuner dapat terjadi pada cedera medula spinalis
karena gangguan sistem saraf otonom simpatis dan parasimpatis serta
pasien yang dalam kondisi imobilisasi. Proses cedera pada segmen
servikal hingga torakal atas (T4)
memicu hilangnya efek simpatis akibat cedera medula spinalis,
sehingga resistensi vaskular sistemik
menurun dan efek parasimpatis meningkat. Hal ini disebut juga renjatan
neurogenik. Manifestasi klinis yang
dijumpai yaitu hipotensi dengan
selisih tekanan sistolik dan diastolik
yang Iebar (wide pulse pressure), bradikardia, serta ekstrimitas yang hangat.
Hal ini berbeda dengan tanda renjatan
pada umumnya yang ditandai dengan
takikardia, hipotensi dengan selisih
tekanan sistolik dan diastolik yang
sempit (narrow pulse pressure), serta
ekstrimitas yang dingin dan pucat
Penanganan awal renjatan neurogenik yaitu resusitasi cairan kristaloid
intravena untuk menjaga kecukupan
volume intravascular. Jika hipotensi
tetap terjadi setelah resusitasi, maka
dapat dipertimbangkan pemakaian
vasopresor. Pemilihan regimen vasopresor yang terbaik hingga saat ini
masih dalam penelitian, namun lebih
diutamakan yang memilki aktivitas
alfa dan beta adrenergik, misalnya
norepinefrin, dopamin, dan adrenalin.
Bila pasien mengalami renjatan hipovolemik, maka terapi utamanya yaitu
resusitasi cairan dengan kristaloid
(NaCl 0,9% atau ringer laktat). Kombinasi dengan koloid, misalnya albumin
5%, dapat juga dipertimbangkan pada
kemungkinan kondisi overload serta
adanya kontraindikasi pemakaian
kristaloid pada cedera kepala. Pemantauan saturasi oksigen memakai
oksimeter (pulse oximeter) perlu dilakukan selama perawatan.
Selain hipotensi, cedera medula spinalis pada segmen servikal dan torakal
atas dapat memicu disritmia
jantung. Sinus bradikardia yang timbul akibat gangguan simpatis supraspinal merupakan bentuk disritmia
yang paling sering terjadi. Selain itu,
blok konduksi atrioventrikular (A-V
block) serta takikardia supraventrikel
dan ventrikel juga dapat ditemukan.
Timbulnya disritmia ini lebih sering
terjadi pada cedera medula spinalis
yang komplet (ASIA/IMSOP derajatA).
Bradiaritmia dapat ditatalaksana dengan
pemberian atrofin. Sebagian kecil pasien
memerlukan pemasangan pacu jantung
untuk mengontrol denyut jantungnya. Bila
hal ini disertai hipotensi, pemakaian vasopresor yang hanya memiliki aktivitas alfa
adrenergik, seperti fenilefrin, sebaiknya
dihindari karena dapat memicu perlambatan kerja jantung dan eksaserbasi
bradikardia.
Gangguan pernapasan sekunder terjadi akibat fungsi otot-otot interkostalis
terganggu pada cedera medula spinalis
servikal, sehingga terjadi gangguan refleks batuk. Pasien menjadi tidak mampu membersihkan sekresi mukus dan
rentan mengalami retensi mukus berulang. Penggunakan tracheal bronchial
suctioning berkala, pulmonary toilet,
dan fisioterapi dada direkomendasikan
untuk masalah ini. Selain itu dapat terjadi atelektasis sebagai salah satu predisposisi pneumonia. Kombinasi gangguan refleks batuk dan atelektasis akan
meningkatkan risiko pneumonia. Oleh
karena itu, pemberian antibiotik dapat
dipertimbangkan sesuai dengan pola kuman di RS. Pasien juga berisiko mengalami aspirasi terutama bila tidak terintubasi. Salah satu cara pencegahan aspirasi
yaitu pemasangan pipa nasogatrik dan
dilakukan suctioning berkala
Pasien dengan ventilator harus diperhatikan antara kebutuhan terhadap
ventilator dan kondisi kemampuan pernapasan pasien sendiri. Penyapihan dari
ventilator harus segera dilakukan bila
fungsi pernapasan pasien kembali membaik, mengingat pemakaian ventilator
juga meningkatkan risiko masalah pernapasan sekunder, seperti ventilator acquired pneumonia (VAP), trakeomalasia,
sinusitis, dan intoksisitas oksigen.
b) Trombosis vena dalam
Kejadian trombosis vena dalam dan emboli paru merupakan dua kemungkinan
komplikasi yang harus diwaspadai selama perawatan penderita cedera medula spinalis. Sebanyak 15% penderita
cedera medula spinalis mengalami trombosis vena dalam dan setengah di antaranya menjadi emboli paru. Oleh karena
itu, upaya pencegahan diutamakan dan
harus dilakukan sedini mungkin. Upaya
yang dapat dilakukan, di antaranya (1)
pemakaian compression stocking; (2)
pemberian heparin dosis rendah; atau
(3) pemasangan filter vena cava inferior
pada kasus kontraindikasi heparin yang
masih harus imobilisasi dalam jangka
waktu yang cukup lama. Selain itu,
upaya mobilisasi penderita segera juga
merupakan langkah untuk menghindari
komplikasi trombosis vena dalam.
c) Perawatan masalah sistem pencemaan
Hal lain yang perlu diperhatikan yaitu
gangguan saluran pencemaan, yaitu salah
satunya ileus. Salah satu gejala ileus yaitu
distensi abdominal yang akan mempengaruhi kinerja diafragma sehingga
mempengaruhi fungsi pemapasan dan
meningkatkan risiko pneumonia aspirasi.
PENGOBATAN akut untuk masalah ileus
yaitu kompresi dengan pipa nasogastrik atau orogastrik.
Adanya risiko perdarahan saluran cema
pada penderita cedera medula spinalis diperberat dengan intervensi pengobatan,
misalnya pada pemberian steroid dosis
tinggi. Pilihan agen profilaksis yang dapat
diberikan, antara lain (1) antasid oral dosis
tinggi; (2) penyekat H2; atau (3) pelindung
mukosa. pemakaian kombinasi dua obat
disarankan untuk pencegahan komplikasi
perdarahan saluran cema pada pasien
dengan riwayat ulkus saluran cema.
Selain kedua hal di atas, kebutuhan energi
tidak kalah penting untuk diperhatikan.
Kebutuhan kalori akan meningkat pada
beberapa hari pertama pascacedera.
Oleh karena itu, penurunan berat badan
penderita cedera medula spinalis pada
minggu-minggu awal perawatan menjadi tidak dapat dihindarkan. Pemberian
nutrisi yang tepat dapat mencegah malnutrisi pada kasus ini.
Terputusnya persarafan otonom kolon
dan rektum dan persarafan volunter otot
din-ding perut dan pelvis memicu
kesulitan defekasi. Jika tidak ditangani dengan tepat, maka impaksi feses dapat terjadi. Penanganan masalah ini dengan
pemberian tambahan asupan makanan
tinggi serat (10-20g per hari) dan agen
pelunak feses. Agen pelunak feses dapat
diberikan secara oral Oaktulosa) maupun
supositoria (gliserin). Selain itu, evakuasi
digital dapat dipertimbangkan 2-3 kali
dalam seminggu sebagai PENGOBATAN akut.
d) Perawatan masalah berkemih
Gangguan berkemih yang sering ditemukan pada kasus cedera medula spinalis,
antara lain (1) retensi urin disertai distensi berlebih kandung kemih dan (2)
priapismus yang sering ditemukan pada
pasien laki-laki. Retensi urin pada penderita cedera medula spinalis dapat diakibatkan oleh (1) kelemahan otot detrusor; (2) hiperaktivitas sfingter, atau (3)
kerja kandung kemih dan sfingter yang
tidak sinergi dalam bentuk lain.
Apapun masalah yang mendasarinya,
PENGOBATAN akut dari retensi urin yaitu
pemasangan kateter urin. Pemasangan
kateter urin indwelling direkomendasikan hingga kondisi stabil, dilanjutkan
dengan pemasangan kateter intermiten
setiap 6 jam. Pemasangan pipa suprapubik dapat dilakukan pada kondisi
priapismus untuk menghindari cedera
sekunder saluran kemih. Penanganan selanjutnya tergantung dari basil pemeriksaan urodinamik.
2. PENGOBATAN operatif
Tujuan utama pembedahan yaitu
melakukan dekompresi terhadap medula spinalis dan melakukan stabilisasi
tulang belakang. Operasi pada pasien
cedera medula spinalis diindikasikan
pada keadaan-keadaan sebagai berikut:
• ada fraktur, pecahan tulang
menekan medula spinalis
• Gambaran neurologis progresifmemburuk
• Fraktur dan dislokasi yang labil
• Herniasi diskus intrevertebralis yang
menekan medula spinalis
Cedera Medula Spinalis
Prognosis penderita sangat tergantung
dari berat cedera dan lamanya pertolongan hingga tindakan pembedahan. Tindakan operatif dapat dilakukan
dalam rentang waktu 24 jam hingga 3
minggu pascacedera namun tindakan
operatif dini ( <24 jam) lebih bermakna
dalam menurunkan risiko komplikasi
dan perburukan neurologis.
PENGOBATAN Rehabilitatif
Rehabilitasi bertujuan untuk meningkatkan
kualitas individu yang mengalami gangguan
secara optimal dalam bidang mental, fisik,
kognitif, dan sosial. Proses rehabilitasi pada
pasien cedera medula spinalis yaitu untuk:
• Memberikan pengertian mengenai cedera
medula spinalis kepada pasien dan keluarga.
• Memaksimalkan fungsi mobilisasi dan kemampuan perawatan diri (kemandirian)
pasien.
• Mencegah masalah kesehatan komorbid,
seperti kontraktur, luka decubitus, masalah pernapasan, dan seterusnya.
Pencapaian ini melibatkan kerjasama multidisiplin, yang dimulai sejak fase akut, perawatan, hingga setelah
perawatan. Adapun tindakan-tindakan
rehabilitasi sendiri, meliputi fisioterapi,
terapi okupasi, latihan miksi dan defekasi rutin, terapi psikologis, dan, konseling.
CONTOH KASUS
Wanita usia 39 tahun datang dengan keluhan
utama kelemahan keempat ekstremitas sejak
1 jam sebelum masuk rumah sakit. Pasien
diketahui mengalami kecelakaan lalu lintas 1
jam sebelum masuk IGD. Pasien mengendarai
sepeda motor dengan kecepatan 20-30km/
jam. Pasien diserempet dari belakang dan ke
mudian terjatuh ke arab depan dengan posisi
tertelungk:up dengan dagu terkena aspal dan
helm terlepas. Pasien terseret beberapa meter ke depan. Pasien sadar dan ingat semua
kejadian sebelum, saat, dan sesudah kecelakaan. Tidak ada darah yang keluar
dari telinga dan hidung. Pasien menyangkal
adanya benturan pada kepala.
Sesaat setelah kejadian, pasien mengeluhkan nyeri hebat pada pada Ieber belakang
disertai dengan kelemahan pada kedua
tangan dan kaki. Kedua lengan masih dapat
digeser, siku dapat ditekuk, jari-jari tangan
masih dapat digerakkan, lengan kiri terasa
lebih berat jika dibandingkan dengan lengan kanan. Kedua kaki sama sekali tidak
dapat digerakkan. Pasien juga merasa baal
dari setinggi bahu sampai tubuh bagian
bawah dan ekstremitas bawah.
Pertanyaan:
1. Ananmnesis apa yang masih kurang?
2. Apa saja pemeriksaan fisik yang akan
dilakukan dan apa basil yang diharapkan?
3. Pemeriksaan penunjang apa yang
akan dilakukan dan apa basil yang
akan diharapkan?
4. Apa Diagnosa dan Diagnosa banding
kasus ini?
5. Apa PENGOBATAN medikamentosa dan
non-medikamentosa yang akan dilakukan?
6. Bagaimana prognosis wanita pada
kasus ini?
KOMPLIKASI PASCACEDERA KEPALA
Komplikasi pascacedera pada kasus-kasus
neurologi dapat terjadi segera ataupun kemudian. Kerusakan sekunder sel saraf akibat cedera kepala traumatik dapat terjadi
dalam hitungan menit hingga hitungan hari
setelah cedera awal. Setiap kali jaringan
saraf mengalami cedera, serangkaian perubahan terjadi pada kompartemen intra
maupun ekstraselular. Perubahan inilah
yang pada akhirnya akan menimbulkan
komplikasi akut maupun kronis. Semakin
berat cedera, tentunya akan meningkatkan
risiko serta besar masalah komplikasi yang
terjadi.
Secara garis besar; komplikasi pascacedera di
bidang neurologi terbagi menjadi komplikasi
neurologis yang terdiri dari komplikasi kognitif dan nonkognitif, serta komplikasi metabolik Komplikasi metabolik yang sering
muncul dan menimbulkan gangguan yaitu
hiponatremia dan koagulopati pascacedera
yang akan dibahas dalam bab ini.
KOMPLIKASI NEUROLOGIS
1. Komplikasi KognitifPascacedera Kepala
Masalah neurobehavior sering terjadi setelah
cedera kepala, di antaranya gejala neuropsikiatrik, masalah kognitif, dan agresi. Gangguan kognitif sering terjadi sekitar 40-60%
dalam 1 sampai 3 bulan pascacedera. JeDiatri Nari Lastri
nis gangguan ini berbeda-beda tergantung
dari berat-ringannya cedera, namun secara
umum dibagi menjadi adanya perubahan
ke-sadaran, gangguan atensifkonsentrasi,
memori, dan fungsi eksekutif. Gangguan
atensi, kecepatan proses pikir; memori
episodik, dan fungsi eksekutif merupa-kan
gangguan yang paling sering terjadi pada
periode cedera subakut.
Gangguan kognitifmerupakan sekuele yang
akan menghambat proses rehabilitasi dan
penyembuhan serta memengaruhi keluaran yang buruk. Hal ini dapat mengganggu
kualitas hidup, kemampuan kembali kerja
dan h'ilangnya produktivitas, serta hilangnya komunikasi terhadap keluarga.
Patofisiologi
Trauma kepala memicu otak bersentuhan dengan tulang tengkorak atau objek luar;
akibat proses akselerasi-deselerasi (Gambar 1 ). Momen inersia akibat mekanisme
akselerasi-deselerasi berhubungan dengan
tarikan, robekan, dan penekanan yang memicu kerusakan akson.
Cedera akibat mekanisme ini terjadi
segera (cedera primer) dan berlangsung seterusnya, sehingga memicu pelepasan
neurotransmiter yang dipicu oleh kaskade
kerusakan eksitotoksik dan hal lain, seperti
hipoksia, edema, dan peningkatan tekanan
intrakranial (cedera sekunder). Lokasi yang paling sering terlibat dalam cedera kepala
yaitu lobus temporal anterior, inferior,
dan laterat serta lobus frontal. ada
keterlibatan perubahan neurotransmiter
pacta sekuele neurobehavior, termasuk
gangguan fungsi kognitif. Perubahan yang
terjadi melibatkan katekolamin, kolinergik,
dan serotonin.
Area frontal-subkortikal dengan tiga
sirkuit utamanya berperan penting pacta
pengaturan perilaku. Area ini tumpang
tindih dengan area yang rentan terhadap
cedera yang memicu perubahan
perilaku dan emosional pascacedera (Gambar 2). Setiap sirkuit memulai perjalanannya dari korteks di frontal dan diproyeksi-
kan secara sekuensial ke striatum, globus
palidus, talamus, dan kembali ke korteks
fro natal.
Sirkuit yang terlibat yaitu (Gam bar 3):
• Frontaljprefrontal-subkotikal dorsolateral akan mengganggu fungsi eksekutif
seperti memori, pengambilan keputusan, penyelesaian masalah, dan fleksibilitas mental.
• Orbitofrontal-subkortikal lateral akan
mengganggu intuisC perilaku sosiat dan
mekanisme konrol diri.
• Medial frontal-subkortikal anterior akan
memicu gangguan motivasi dan
inisiasi.
Gejala dan Tanda Klinis
Modalitas a tau ranah (domain) kognitif dibagi menjadi atensi, fungsi eksekutif, memori,
bahasa, visuospasial-visuokonstruksi, dan
keterampilan motorik serta persepsi sensorik. Gangguan fungsi kognitif pada cedera
kepala dapat berupa cedera difus atau fokal
tergantung dari mekanisme cedera. Cedera
otak difus sering mengikuti cedera otak tertutup akibat mekanisme akselerasi-deselerasi, akan melibatkan banyak ranah kognitif. Gangguan yang bersifat fokal biasanya
akibat cedera kepala penetrasijlaserasi.
Ranah kognitif yang terganggu mengikuti
cedera kepala:
1. Atensi dan kecepatan proses pikir
Gangguan atensi sering mengikuti cedera
kepala dan berkaitan dengan kerusakan
difus atau struktur dan sistem otak multipel termasuk korteks parietal inferior,
korteks frontal, dan sistim limbik. Walaupun ada banyak tipe atensi, yang
paling sering terkena yaitu atensi fokus/
selektif, sustained attentionjkonsentrasi,
atensi terbagi ( distrakbilitas ), dan alternating attention/set shifting (kesulitan
melakukan tugas jamak pada satu waktu ).
Penting untuk menilai kemampuan atensi
karena gangguan atensi mempunyai efek
pada kemampuan kognitif lain, terutama
memori dan fungsi eksekutif.
2. Memori
Gangguan memori merupakan salah satu
gangguan tersering pada cedera kepala,
dan hal ini berkaitan dengan kerusakan
lobus temporal medial, struktur talamus
medial dan garis tengah, basal frontal,
serta sistem koneksi frontal. Perbedaan
an tara amnesia anterograd dan retrograd
penting pada klinis. Amnesia anterograd
atau posttraumatic amnesia (PTA) merupakan ketidakmampuan atau terbatasnya
kemampuan untuk mempelajari informasi baru atau pengetahuan sejak terjadinya
cedera otak, sedangkan amnesia retrograd merupakan ketidakmampuan untuk
memanggil (recallJ kejadian yang mendahului onset cedera otak. Fungsi memori
yang sering terganggu yaitu proses
memori deklaratif, seperti recall kejadian
dan waktu, serta subranah yang berkaitan
seperti encoding dan retrieval.
3. Fungsi eksekutif
Gangguan fungsi eksekutif dapat meliputi, (1) gangguan kemampuan penalaran/
reasoning ( diperlukan untuk mengambil
keputusan), (2) perencanaan, (3) inhibisi, (4) organisasi, dan (5) sequencing.
Gangguan fungsi eksekutif ( sindrom
diseksekutif) pada awalnya dipikirkan
merupakan kerusakan lobus frontal,
namun