yang sangat
berbahaya, yakni nikotin. Nikotin diduga
berpengaruh pada sistem saraf simpatis dan proses trombotik Dengan adanya
nikotin, kerja sistem saraf simpatis akan
meningkat, termasuk jalur simpatis sistem
kardiovaskular, sehingga akan terjadi peningkatan tekanan darah, denyut jantung,
dan meningkatnya aliran darah ke otak.
Pengaruh nikotin terhadap proses trombotik melalui enzim siklooksigenase,
yang memicu penurunan produksi
prostasiklin dan tromboksan. Hal itu
memicu peningkatan agregasi
trombosit dan penyempitan lumen pembuluh darah, sehingga memudahkan
terjadinya stroke iskemik. Selain itu,
merokok dalam waktu lama akan meningkatkan agregasi trombosit, kadar
fibrinogen, dan viskositas darah, serta
menurunkan aliran darah ke otak yang
memicu terjadinya stroke iskemik.
Karbondioksida juga dipikirkan memiliki pengaruh. lkatan karbondioksida
di dalam darah 200 kali lebih tinggi
dibandingkan oksigen, sehingga seolaholah oksigen di dalam darah sedikit. Hal
ini memicu peningkatan produksi
eritrosit oleh tubuh, sehingga komposisi
eritrosit plasma tinggi, yang terlihat sebagai peningkatan nilai hematokrit yang
disebut polisitemia sekunder.
4. Asam Urat
Salah satu penelitian di J epang terhadap
usia SO:... 79 tahun selama 8 tahun menunjukkan hiperurisemia merupakan faktor
risiko penting terjadinya stroke. Penelitian kohort di Honolulu dengan rentang
usia 55-64 tahun selama 23 tahun memperlihatkan hubungan bermakna antara
asam urat, kadar kolesterol, tekanan
darah sistolik, dan kadar trigliserida terhadap kejadian aterosklerosis berupa
penyakit jantung dan stroke. Kondisi
hiperurisemia diduga merupakan salah
satu faktor yang dapat meningkatkan
agregasi trombosit.
5. Dislipidemia
Meskipun tidak seberat yang dilaporkan
sebagai pemicu penyakit jan tung, salah
satu penelitian observasional menunjuk
kan hubungan peningkatan kadar lipid
plasma dan kejadian stroke iskemik.
MetaAnalisa terhadap studi kohort juga
menunjukkan kekuatan hubungan antara
hiperlipidemia dan stroke. Komponen dislipidemia yang diduga berperan, yakni kadar HDL yang rendah dan kadar low density lipoprotein (LDL) yang tinggi. Kedua
hal ini mempercepat aterosklerosis
pembuluh darah koroner dan serebral.
6. Usia, Jenis Kelamin, dan Ras/Suku
Ban gsa
Angka kejadian stroke meningkat seiring
bertambahnya usia, yaitu 0,4% (usia 18-
44tahun), 2,4% (usia 65-74tahun), hingga 9,7% (usia 75 tahun atau lebih), sesuai
dengan studi Framingham yang berskala
besar. Hal ini disebabkan oleh peningkatan terjadinya aterosklerosis seiring
peningkatan usia yang dihubungkan pula
dengan faktor risiko stroke lainnya, seperti atrial fibrilasi (atrial fibrillation/ AF)
dan hipertensi. AF dan hipertensi sering
dijumpai pada usia lanjut.
Laki-laki memiliki risiko stroke 1,25-2,5
kali lebih tinggi dibandingkan perempuan. Namun, angka ini berbeda pada usia
lanjut. Prevalensi stroke pada penduduk
Amerika perempuan (tahun 1999-2000)
berusia ~75 tahun lebih tinggi (84,9%)
dibandingkan laki-laki (70,7%).
Data pasien stroke di Indonesia juga
menunjukkan rerata . usia . perempuan
(60,4±13,8 tahun) lebih tua dibandingkan
laki-laki (57,5±12,7 tahun). Hal ini dipikirkan berhubungan dengan estrogen.
Estrogen berperan dalam pencegahan
plak aterosklerosis seluruh pembuluh
darah, termasuk pembuluh darah sere-
Stroke Iskemik
bral. Dengan demikian, perempuan pada
usia produktifmemiliki proteksi terhadap
kejadian penyakit vaskular dan aterosklerosis yang memicu kejadian stroke
lebih rendah dibandingkan lelaki. Namun, pada keadaan premenopause dan
menopause yang terjadi pada usia lanjut,
produksi estrogen menurun sehingga
menurunkan efek proteksi terse but.
berdasar suku bangsa, didapatkan
suku kulit hitam Amerika mengalami
risiko stroke lebih tinggi dibandingkan
kulit putih. lnsidens stroke pada kulit hitam sebesar 246 per 100.000 penduduk
dibandingkan 147 per 100.000 penduduk untuk kulit putih.
Patofisiologi Stroke Iskemik Akut
Pada dasarnya, proses terjadinya stroke
iskemik diawali oleh adanya sumbatan pembuluh darah oleh trombus atau emboli yang
memicu sel otak mengalami gangguan metabolisme, karena tidak mendapat
suplai darah, oksigen, dan energi (Gambar
1 ). Trombus terbentuk oleh adanya proses
aterosklerosis pada arkus aorta, arteri karotis, maupun pembuluh darah serebral. Proses ini diawali oleh cedera endotel dan inflamasi yang memicu terbentuknya
plak pada dinding pembuluh darah. Plak
akan berkembang semakin lama semakin
tebal dan sklerotik. Trombosit kemudian
akan melekat pada plak serta melepaskan
faktor-faktor yang menginisiasi kaskade koagulasi dan pembentukan trombus.
Trombus dapat lepas dan menjadi embolus
atau tetap pada lokasi asal dan memicu
oklusi dalam pembuluh darah ini . Emboli merupakan bagian dari trombus yang
terlepas dan menyumbat pembuluh darah
di bagian yang lebih distal. Emboli ini dapat
berasal dari trombus di pembuluh darah,
namun sebagian besar berasal dari trombus
di jan tung yang terbentuk pada keadaan tertentu, seperti atrial fibrilasi dan riwayat infark miokard. Bila proses ini berlanjut, akan
terjadi iskemia jaringan otak yang memicu kerusakan yang bersifat sementara
atau menjadi permanen yang disebut infark.
Di sekeliling area sel otak yang mengalami
infark biasanya hanya mengalami gangguan
metabolisme dan gangguan perfusi yang
bersifat sementara yang disebut daerah
penumbra (Gambar 2). Daerah ini masih
bisa diselamatkan jika dilakukan perbaikan
aliran darah kembali (reperfusi) segera, sehingga mencegah kerusakan sel yang lebih
luas, yang berarti mencegah kecacatan
dan kematian. Namun jika penumbra tidak
dapat diselamatkan, maka akan menjadi
daerah infark. Infark ini bukan saja
disebabkan oleh sumbatan, namun juga akibat proses inflamasi, gangguan sawar darah
otak (SDO) atau (blood brain barrierjBBB),
zat neurotoksik akibat hipoksia, menurunnya aliran darah mikrosirkulasi kolateral,
dan PENGOBATAN untuk reperfusi.
Pacta daerah di sekitar penumbra, ada
berbagai tingkatan keCEipatan aliran darah
serebral atau cerebral blood flow (CBF).
Aliran pacta jaringan otak normal yaitu
40-SOccjlOOg otakjmenit, namun pada
daerah infark, tidak ada aliran sama sekali
(CBF OmL/lOOg otakjmenit) (Gambar 2).
Pacta daerah yang dekat dengan infark CBF
yaitu sekitar lOccjlOOg otakjmenit. Daerah ini disebut juga daerah dengan am bang
kematian sel (threshold of neuronal death),
oleh karena sel otak tidak dapat hidup bila
CBF di bawah SccjlOOg otakjmenit.
Pacta daerah yang lebih jauh dari infark,
dapatkan CBF sekitar 20ccj100g otakjmenit. Pacta daerah ini aktivitas listrik ne-uTonal
terhenti dan struktur intrasel tidak terintegrasi dengan baik. Sel di daerah ini
memberikan kontribusi pacta terjadinya defisit neurologis, namun memberikan respons
yang baik jika dilakukan terapi optimal.
Bagian yang lebih luar mendapatkan CBF
30-40ccj100g otakjmenit, yang disebut
dengan daerah oligemia. Bagian terluar
yaitu bagian otak yang n_o_rmal. Bagian ini
mendapatkan CBF 40-SOccjlOOg otakjmenit. Bila kondisi penumbra tidak ditolong
secepatnya maka tidak menutup kemungkinan daerah yang mendapat aliran darah
dengan kecepatan kurangtadi akan berubah
menjadi daerah yang infark dan infark yang
terjadi akan semakin luas.
Pacta daerah yang mengalami iskemia, terjadi penurunan kadar adenosine triphosphate (ATP), sehingga terjadi kegagalan
pompa kalium dan natrium serta pening-
katan kadar laktat intraselular. Kegagalan
pompa kalium dan natrium memicu
depolarisasi dan peningkatan pelepasan
neurotransmiter glutamat.
Depolarisasi meningkatkan kadar kalsium intraselular, sedangkan glutamat yang
dilepaskan akan berikatan dengan reseptor glutamat, yakni N-metil-D-aspartat
(NMDA) dan a-amino-3-hydroxy-5-methy/-
4-isonazo/ipropionid-acid (AMPA), yang
selanjutnya akan memicu masuknya
kalsium intraselular. Dengan demikian,
hal ini semakin meningkatkan kadar
kalsium intraselular. Kalsium intraselular
memicu terbentuknya radikal bebas, nitrit oksida (NO), inflamasi, dan kerusakan
DNA melalui jalur enzimatik seperti Ca 2
• -
ATPase, calsium-dependent phospholipase,
protease, endonuklease, dan kaspase yang
keseluruhannya berkontribusi terhadap
kematian sel.
Faktor Lain yang Memengaruhi Daerah
Penumbra
Selain CBF yang sangat berpengaruh pacta
daerah penumbra, ada beberapa faktor lain
yang berperan terhadap perkembangan
pasien pacta fase akut, antara lain stres oksidatif, asidosis derah penumbra, depolarisasi
daerah penumbra, dan faktor inflamasi.
1. Kondisi stres oksidatif, merupakan
kondisi diproduksinya radikal bebas
berupa 0 2
, hidroksil (OH), dan NO pacta keadaan iskemia serebral. Radikal bebas ini
sangat mempengaruhi daerah penumbra
akibat pembentukan rantai reaksi yang
dapat menghancurkan membran sel, deoxyribonucleic acid (DNA), dan protein.
Radikal bebas juga memicu gangguan mikrosirkulasi dan merusak sawar
darah otak hingga memicu edema.
Proses ini akan terus berlangsung
selama keadaan iskemia tidak segera ditangani, oleh karena radikal be bas bereaksi khususnya dengan lemak tidak jenuh
(unsaturated lipid) yang banyak berada di
membran neuron dan sel glia.
2. Asidosis daerah penumbra terjadi akibat peningkatan metabolisme anaerob
yang disebabkan oleh proses iskemia.
Peningkatan metabolisme ini memicu
pembentukan asam laktat, sehingga terjadi asidosis. ~sidos s memicu masuknya natrium (Na+) dan CJ·ke dalam sel
melalui ikatan Na+j W dengan CI-/ HC03
-,
sehingga terjadi edema intrasel dan peningkatan tekanan intrakranial (TIK).
3. Depolarisasi daerah penumbra terjadi
akibat kegagalan pompaNa+ jK+ dan berakibat terjadinya peningkatan kalium ekstra-
458
sel. Sel neuronjsel glia akan mengalami
penurunan aktivitas bioelektrik, kehilangan
extracellular ionic gradient, dan masuknya
Na diikuti Cl ke dalam sel. Seluruh proses ini
akan berujung pacta edema intrasel.
4. lnflamasi pada daerah penumbra akibat adanya iskemia. Respons inflamasi
ini merupakan respons normal yang bertujuan untuk pembersihan debris sel,
namun juga cenderung meningkatkan
kerusakan jaringan serebral. Respons inflamasi berupa aktivasi brain resident cells
seperti mikroglia dan astrosit, infiltrasi selsel inflamasi ke jaringan iskemik, seperti
neutrofil, monosit, makrofag dan limfosit,
serta peningkatan aktivasi mediator inflamasi dan infiltrasi mediator inflamasi
ke jaringan otak. Adapun mediator yang
bersifat pro-inflamasi terse but antara lain
tumor necrosis factor (TN F)-a, interleukin
(IL)-1~, interferon (IF)-~, serta IL-6) yang
diproduksi oleh limfosit.
GEJALA DAN TANDA KLINIS
Tanda dan gejala klinis stroke sangat mudah
dikenali. Hal ini secara praktis mengacu pada
definisi stroke, yaitu kumpulan gejala akibat
gangguan fungsi otak akut baik fokal maupun global yang mendadak, disebabkan oleh
berkurang atau hilangnya aliran darah pada
parenkim otak, retina, atau medula spinalis,
yang dapat disebabkan oleh penyumbatan
atau pecahnya pembuluh darah arteri maupun vena yang dibuktikan dengan pemeriksaan pencitraan otak danj atau patologi.
Gejala gangguan fungsi otak pacta stroke sangat tergantung pada daerah otak yang terkena. Defisit neurologis yang ditimbulkannya
dapat bersifat fokal maupun global, yaitu:
• Kelumpuhan sesisijkedua sisi, kelumpuhan satu ekstremitas, kelumpuhan
otot-otot penggerak bola mata, kelumpuhan otot-otot untuk proses menelan,
bicara, dan sebagainya
• Gangguan fungsi keseimbangan
• Gangguan fungsi penghidu
• Gangguan fungsi penglihatan
• Gangguan fungsi pendengaran
• Gangguan fungsi somatik sensoris
• Gangguan fungsi kognitif, seperti: gangguan atensi, memori, bicara verbal,
gangguan mengerti pembicaraan, gangguan pengenalan ruang, dan sebagainya
• Gangguan global berupa gangguan kesadaran
Pemeriksaan sederhana untuk mengenali
gejala dan tanda stroke yang disusun oleh
Cincinnati memakai singkatan FAST,
mencakup F yaitufacial droop (mulut mencongjtidak sirnetris), A yaitu arm weakness
(kelemahan pada tangan), S yaitu speech
difficulties (kesulitan bicara), serta T, yaitu
time to seek medical help (waktu tiba di RS
secepat mungkin). FAST memiliki sensitivitas 85% dan spesifisitas 68% untuk menegakkan stroke, serta reliabilitas yang baik
pada dokter dan paramedis.
Tanda klinis stroke juga dapat dilakukan
dengan cara pemeriksaan fisik neurologi
untuk mengkonfirmasi kembali tanda dan
gejala yang didapatkan berdasar anamnesis. Pemeriksaan fisik yang utama meliputi penurunan kesadaran berdasar
Skala Koma Glasgow (SKG), kelumpuhan
saraf kranial, kelemahan motorik, defisit
sensorik, gangguan otonom, gangguan fungsi kognitif, dan lain-lain.
Stroke Jskemik
Diagnosa DAN Diagnosa BANDING
Kriteria Diagnosa stroke iskemik yaitu
ada gejala defisit neurologis global
atau salah satujbeberapa defisit neurologis
fokal yang terjadi mendadak dengan bukti
gambaran pencitraan otak (CT scan atau
MRI). Adapun Diagnosa banding yang paling sering, yakni stroke hemoragik (bila belum dilakukan CT / MRI otak).
Diperlukan pemeriksaan penunjang untuk
memastikan Diagnosa serta untuk mengeksplorasi faktor risiko dan etiologi stroke
iskemik berupa:
a. Elektrokardiogram (EKG)
b. Pencitraan otak: CT scan kepala non kontras, CT angiografi atau MRI dengan perfusi dan difusi serta magnetic resonance
angiogram (MRA)
c. Doppler karotis dan vertebralis
d. Doppler transkranial (transcranial dop -
plerjTCD)
e. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan laboratorium di IGD yakni
hematologi rutin, glukosa darah sewaktu,
dan fungsi ginjal (ureum, kreatinin). Selanjutnya di ruang perawatan dilakukan pemeriksaan rutin glukosa darah puasa dan 2 jam
pascaprandial, HbAlC, profil lipid, c-reactive protein (CRP), dan laju endap darah.
Pemeriksaan hemostasis, seperti activated
partial thrombin time (APTT), prothrombin time (PT), dan international normalized ratio (INR), enzim jantung (troponin,
creatine kinase MB/CKMB), fungsi hati, tes
uji fungsi trombosit (uji resistensi aspirin
dan klopidogrel), serta elektrolit dilakukan
atas indikasi.
Pemeriksaan penunjang lain disesuaikan
dengan indikasi (sebagian dapat dilakukan
di ruang rawat) meliputi:
1. Digital substraction angiography (DSA)
serebral
2. MR difusi dan perfusi a tau CT perfusi otak
3. Ekokardiografi (transtorakal danjatau
transesofageal)
4. Rontgen toraks
5. Saturasi oksigen, dan Analisa gas darah
6. Pungsi lumbal jika dicurigai adanya namun pada CT scan
tidak ditemukan gambaran perdarahan
7. EKG halter, jika dicurigai ada AF
paroksismal
8. Elektroensefalografi (EEG) jika dicurigai adanya kejang
9. Penapisan toksikologi (misalnya alkohol, kecanduan obat)
10. Pemeriksaan antikardiolipin dan antibodi antinuklear (ANA) jika dicurigai
adanyalupus
11. Pemeriksaan neurobehaviour
Pemeriksaan Evaluasi Komplikasi
Komplikasi pada stroke akut dapat berupa
pneumonia, infeksi saluran kemih, trombosis
vena dalam atau deep vein thrombosis (DVT),
dekubitus, spastisitas dan nyeri, depresi,
gangguan fungsi kognitif, serta komplikasi
metabolik lain seperti gangguan elektrolit.
PENGOBATAN
PENGOBATAN untuk stroke iskemik akut baik
secara umum maupun khusus mengacu dari
pedoman yang telah dibuat di berbagai negara, sebagian besar dari AHA/ ASA (American Stroke Association) dan European Stroke
Organisation (ESO) yang terbaru. Acuan ini
terbagi dalam kekuatan rekomendasi kelas
I-III (class) dengan kelas I yang terkuat dan
kualitas bukti (level of evidence) dari A-C
dengan level A yang tertinggi.
PENGOBATAN Umum
1. Stabilisasi }alan Napas dan Pernapasan
a. Pemantauan status neurologis, adi,
tekanan darah, suhu tubuh, dan saturasi oksigen secara kontinu dalam 72
jam pertama (ESO kelas IV, good clinical practicejGCP)
b. Pemberian oksigen jika saturasi oksigen <95% (ESO kelas IV, GCP)
c. Perbaikan jalan nafas termasuk pemasangan pipa orofaring pada pasien
yang tidak sadar; pemberian bantuan
ventilasi pad a pasien yang mengalami
penurunan kesadaran atau disfungsi
bulbar dengan gangguan jalan napas
(AHA/ASA kelas I, level C).
d. Intubasi endotracheal tube (ETT) atau
laryngeal mask airway (LMA) diperlukan pada pasien dengan hipoksia
(p02 <60mmHg atau pC02 >SOmmHg),
syok, atau pada pasien yang berisiko
untuk mengalami aspirasi.
e. Pipa endotrakeal diusahakan terpasang tidak lebih darL2 minggu, kalau
lebih maka dianjurkan dilakukan trakeostomi.
2. Stabilisasi Hemodinamik (Sirkulasi)
a. Pemberian cairan kristaloid atau koloid
intravena (IV), dan hindari pemberian
cairan hipotonik seperti glukosa.
b. Dianjurkan pemasangan kateter vena
sentral (central venous catheterjCVC),
upayakan tekanan vena sentral (central venous pressurej CVP) 5-12mmHg.
c. Optimalisasi tekanan darah (lihat penatalaksanaan khusus).
d. 8ila tekanan darah (TD) sistolik dibawah 120mmHg dan cairan sudah
mencukupi, dapat diberikan agen
vasopresor secara titrasi, seperti dopamin dosis sedang/ tinggi, norepinefrin atau epinefrin dengan target TD
sistolik berkisar 140mmHg.
e. Pemantauan jantung (cardiac monitoring) harus dilakukan selama 24 jam
pertama setelah awitan serangan stroke
iskemik (AHA/ ASA kelas I, level 8).
f. 8ila ada adanya penyakit jantung kongestif, segera atasi (konsul
kardiologi).
3. Pengendalian Peningkatan Tekanan
Intrakranial (TIK)
a. Pemantauan ketat pada kasus dengan
risiko edema serebri dengan memperhatikan perburukan gejala dan
tanda neurologis pada hari-hari pertama setelah serangan stroke (AHA/
ASA kelas I, level 8).
b. Monitor TIK harus di pasang pada pasien dengan GCS <9 dan pasien dengan
penurunan kesadaran karena kenaikan
TIK. (AHA/ ASA kelas V, level C).
c. Sasaran-terapi yaitu TIK kurang dari
20 mmHg dan tekanan perfusi otak
(cerebral perfusion pressure j CPP)
>70mmHg.
d. Penatalaksanaan peningkatan TIK
meliputi:
Stroke Iskemik
1. Meninggikan posisi kepala 20-30°
2. Memposisikan pasien dengan menghindari penekanan vena jugulare
3. Menghindari pemberian cairan glukosa a tau cairan hipotonik
4. Menghindari hipertermia
5. Menjaga normovolemia
6. Pemberian osmoterapi atas indikasi:
• Manito! 0,25-0,50 grj kg88,
selama >20 menit, diulangi setiap 4-6 jam dengan arget osmolaTitas ::::;310m0sm/ L (AHA/
ASA: kelas V, level C).
• Jika perlu, berikan furosemid
dengan dosis inisial lmg/
kg88 IV
7. Intubasi untukmenjaga normoventilasi (pC02 35-40mmHg). Hiperventilasi mungkin diperlukan bila
akan dilakukan tindakan operatif.
8. Paralisis neuromuskular yang
dikombinasi dengan sedasi yang
adekuat dapat mengurangi peningkatan TIK dengan cara mengurangi naiknya tekanan intratorakal
dan tekanan vena akibat batuk,
suction, atau bucking ventilator
(AHA/ASA: kelas III-V, level C).
Agen nondepolarisasi seperti venkuronium atau pankuronium yang
sedikit berefek pada histamin dan
blok pada ganglion lebih baik dipakai (AHA/ ASA kelas III-V,
level C). Pasien dengan kenaikan
kritis TIK sebaiknya diberikan
pelemas otot (muscle relaxant)
sebelum suction atau lidokain sebagai alternatif.
9. Drainase ventrikular dianjurkan
pada hidrosefalus akut akibat
stroke iskemik serebelar (AHA/ ASA
kelas I, level B).
10. Tindakan bedah dekompresif
pada keadaan iskemik serebelar yang menimbulkan efek masa
(AHA/ ASA kelas I, level B).
4. Pengendalian Kejang
a. Bila kejang, dilakukan pemberian
diazepam IV bolus lambat 5-20mg
dan diikuti oleh fenitoin dosis bolus 15-20mgjkg dengan kecepatan
maksimum 50mgjmenit.
b. Obat kejang lain yang dapat diberikan
yaitu valproat, topiramat, atau levetirasetam, sesuai dengan klinis dan
penyulit pada pasien.
c. Bila kejang belum teratasi, rawat di I CU.
5. Pengendalian Suhu Tubuh
a. Setiap pasien stroke yang disertai febris harus diobati dengan antipiretik
(asetaminofen) dan diatasi pemicu nya (AHA/ ASA kelas I, level C).
b. Pada pasien demam berisiko terjadi infeksi, harus dilakukan kultur (trakeal, darah, dan urin) dan
diberikan antibiotik. Jika memakai
kateter ventrikular, Analisa cairan
serebrospinal harus dilakukan untuk mendeteksi meningitis.
6. PENGOBATAN Cairan
a. Pemberian cairan isotonis seperti
NaCl 0,9%, ringer laktat, dan ringer
asetat, dengan tujuan menjaga eu-
volemi. CVP di pertahankan antara
5-12mmHg
b. Cairan yang hipotonik atau mengandung glukosa hendaklah dihindari, kecuali pada keadaan hipoglikemia.
7. Nutrisi
a. Nutrisi enteral paling lambat sudah
harus diberikan dalam 48 jam, nutrisi oral hanya boleh diberikan setelah
basil tes fungsi menelan baik.
b. Bila ada gangguan menelan
atau kesadaran menurun makanan
diberikan melalui pipa nasogastrik.
c. Pada keadaan akut kebutuhan kalori
25-30kkal/kg/hari dengan komposisi:
1) Karbohidrat 30-40% dari total
kalori.
2) Lemak 20-35% (pada gangguan
nafas dapat lebih tinggi 35-55%).
3) Protein 20-30% (pada keadaan
stres kebutuhan protein 1,4-2,0g/
kgBB/hari (pada gangguan fungsi
ginjal <0,8 gjkgBBjhari).
d. Apabila kemungkiiian pemakaian
pipa nasogastrik diperkirakan >6
minggu, pertimbangkan untuk gastrostomi.
e. Pada keadaan tertentuyaitu pemberian nutrisi enteral tidak memungkinkan, dukungan nutrisi boleh diberikan secara parenteral.
f. Perhatikan diit pasien yang tidak bertentangan dengan obat-obatan yang
diberikan ( misal: hindarkan makanan
yang banyak mengandpng vitamin K
pada pasien yang mendapat warfarin).
8. Pencegahan dan Mengatasi Komplikasi
a. Mobilisasi dan penilaian dini untuk
mencegah komplikasi subakut (aspirasi, malnutrisi, pneumonia, DVT,
emboli paru, dekubitus, komplikasi
ortopedik, dan kontraktur perlu dilakukan) (AHA/ASA level B dan C).
b. Berikan antibiotik atas indikasi dan
usahakan sesuai dengan tes kultur
dan sensitivitas kuman atau minimal
terapi empiris sesuai dengan pola kuman (AHA/ASAlevelA).
c. Pencegahan dekubitus dengan mobilisasi terbatas danfatau memakai kasur antidekubitus.
d. Pada pasien tertentu yang berisiko
menderita DVT seperti pasien dengan
trombofilia, perlu diberikan heparin
subkutan S.OOOIU dua kali sehari atau
lO.OOOIU drip per24 jam, atau LMWH
atau heparinoid. (AHA/ ASA level A).
Perlu diperhatikan terjadinya risiko
perdarahan sistemik dan perdarahan
intraserebral. Pada pasien yang tidak
bisa menerima antikoagulan, untuk
mencegah DVT pada pasien imobilisasi direkomendasikan pemakaian
stoking eksternal atau Aspirin (AHA/
ASA level A dan B).
9. Penatalaksanaan Medik Umum Lain
a. Hiperglikemia (kadar glukosa darah
>180mg/dL) pada stroke akut harus
diatasi dengan titrasi insulin (AHA/
ASA kelas I, level C). Target yang harus dicapai yaitu normoglikemia.
b. Hipoglikemia berat ( <SOmgfdL) harus diatasi dengan dekstrosa 40% IV
Stroke Iskemik
atau infus glukosa 10-20%.
c. Manajemen hipertensi sesuai dengan protokol PENGOBATAN hipertensi stroke akut.
d. Jika gelisah lakukan terapi psikologi,
kalau perlu berikan major atau minor
tranquilizer, seperti benzodiazepin
kerja cepat atau propofol.
e. Analgesik dan anti muntah sesuai
indikasi.
f. Pemberian antagonis HZ apabila ada
indikasi (perdarahan lambung).
g. Hati-hati dalam menggerakkan tubuh, penyedotan lendir atau memandikan pasien karena dapat mempengaruhi TIK.
h. Mobilisasi bertahap bilahemodinamik dan pernafasan stabil.
i. Kandung kemih yang penuh dikosongkan, sebaiknya dengan kateterisasi intermitten.
j. Rehabilitasifrestorasi fisik, wicara
dan okupasi.
k. Atasi masalah psikologis ( depresi, ansietas, dan lain-lain), jika ada.
I. Edukasi keluarga.
m. Discharge planning (rencana pengelolaan pasien di luar RS).
PENGOBATAN Spesifik
1. Trombolisis Intravena
Terapi trombolisis memakai recombinant tissue plasminogen activator
(rTPA) seperti alteplase dapat diberikan
pada stroke iskemik akut dengan onset
<6 jam secara intravena dengan mengikuti protokol serta kriteria inklusi dan
eksklusi yang ditetapkan. Dosis yang
dianjurkan adalab 0,6-0,9 mg/kgBB. Di
RSUPN Cipto Mangunkusumo yang memiliki Code Stroke sebagai acuan tatalaksana trombolisis IV, memakai dosis
0,6 mg berdasar studi]apan Alteplase
Clinical Trial (JACT 2006).
2. Terapi Neurointervensi/Endovaskular
Adalab terapi yang memakai kateterisasi untuk melenyapkan trombus
di pembulub darab dengan cara melisiskan trombus secara langsung (trombolisis intraarterial) atau dengan menarik
trombus yang menyumbat dengan alat
khusus (trombektomi mekanik).
Hal ini bermula dari sejarab dipakai nya trombolisis untukmelisiskan trombus
yang mengobstruksi arteri dalam upaya
mengembalikan tekanan perfusi. Pada
1995 Food Drug Administration (FDA)
menyetujui recombinant tissue-type
plasminogen activator (r-tPA) intravena
(IV) sebagai tatalaksana efektif untuk
stroke akut berdasar basil penelitian
randomized controlled trial (RCT) yang
menunjukkan efektivitas rTPA ini.
Sampai 2015, rTPA adalab satu-satunya
tatalaksana definitif pada pasien stroke
dengan onset kurang dari 4,5 jam dan
menjadi tatalaksana tunggal yang terbukti efektif untuk stroke iskemik. Setarna 22 tabun terakhir ini rTPA dilakukan
pada sekitar 13% pasien, dengan basil
sebanyak 30% sembub tanpa sekuele
ataupun sekuele ringan.
Namun pada kasus oklusi proksimal dari
arteri serebri, keluaran klinis kurang
baik, karena angka rekanalisasi awal
pasca trombolisis IV yang rendab. Selain
itu ada faktor eksklusi yang mengbalangi pasien untuk mendapatkan terapi definitif rTPA. Oleb karena itu dipikirkan tatalaksana yang dapat menjangkau
emboli a tau trombus tepat di arteri yang
dioklusinya yang disebut sebagai tindakan neurointervensifendovaskular.
Sepanjang sejarab penelitian neurointervensi untuk membuang trombus pada
stroke iskemik akut, basilnya mengecewakan selama 20 tahun terakhir. Dimulai
dengan penelitian Proact II 1999 berupa
pemberian Prourokinase langsung di lesi
oklusi arteri serebri media (middle cerebral arteryfMCA) gagal mendapatkan
persetujuan FDA, bingga penelitian Merci
(coil retriever) yang walaupun mendapatkan persetujuan dari FDA, namun basilnya
bel urn meyakinkan AHA/ ASA untuk memasukkannya ke dalam guideline.
Akhirnya, pada Desember 2014 muncul
4 penelitian RCT sekaligus dalam waktu
berdekatan, babkan pada April 2015
muncul basil penelitian RCT ke-5 yang
menjawab teka-teki yang membingungkan dalam 20 tabun terakhir ini. Kelima
penelitian ini yaitu Multicenter Randomized. Clinical Trial of Endovascular
Treatment for Acute Ischemic Stroke in
the Netherlands (MR CLEAN), Endovascular Treatment for Small Core and Anterior
Circulation Proximal Occlusion with Emphasis on Minimizing CT to Recanalization
Times (ESCAPE), Extending the Time for
Thrombolysis in Emergency Neurological
De-ficits-Intra-Arterial (EXTEND lA),
Solitaire with the Intention for Thrombectomy as Primary Endovascular Treatment
Trial (SWIFT PRIME), dan Randomized
Trial of Revascularization with the Solitaire FR Device Versus Best Medical Therapy
in the Treatment of Acute Stroke Due to Anterior Circulation Large Vessel Occlusion
Presenting within Eight Hours of Symptom
Onset (REVASCAT) Studies.
Hasil dari kelima penelitian inilah yang
membuat AHA/ ASA mengeluarkan pedoman tatalaksana neurointervensi baru
pada kasus stroke iskemik akut, yaitu tindakan neurointervensi dengan alat stent
retriever diakui sebagai salah satu tindakan definitif untuk tatalaksana stroke
iskemik akut dengan trombusfemboli di
pembuluh darah MCA.
Trombektomi mekanik merupakan suatu
prosedur endovasklilar yang dilakukan
pada pasien yang memenuhi persyaratan
sesuai rekomendasi terapi neurointervensifendovaskular pada stroke iskemik
akut, yaitu:
a. Pasien yang memenuh kriteria pemberian trombolisis IV dan akan dilakukan terapi endovaskular harus
tetap diberikan trombolisis terlebih
dahulu (AHA/ ASA kelas I; level A).
b. Pasien harus mendapatkan terapi
endovaskular dengan memakai
stent retriever jika memenuhi semua
kriteria berikut (AHA/ ASA kelas I;
level A):
1) Skor modified rankin scale (mRS)
pre-stroke 0 sampai 1
2) Stroke iskemik akut yang telah
mendapatkan terapi trombolisis
intravena dalam waktu 4,5 jam
setelah onset
Stroke lskemik
3) Stroke disebabkan karena oklusi
pada arteri karotis interna atau arteri serebri media cabang proksimal
4) Usia ~18 tahun
5) Skor National Institutes of Health
Stroke Scale (NIHSS) ~6
6) Skor Alberta Stroke Programme
Early CT Score (ASPECTS) ~6
ASPECTS merupakan skor yang dipakai untuk membantu mengidentifikasi kandidat terapi trombolisis pada stroke akut. Sistem skor
ini dipakai untuk mendeteksi perubahan iskemik awal (early ischemic changes) pada pemeriksaan CT
scan di daerah yang diperdarahi oleh
MCA Gambaran perubahan iskemik
ini dapat berupa hipoatenuasi, penurunan diferensiasi substansia grisea
dan substansia alba, serta edema fokal.
Skor ASPECTS membagi teritori MCA
menjadi 10 area (Gambar 3, Tabel1).
Prosedur ini idealnya dilakukan
dalam anestesi umum. Tindakan dilakukan bersamaan dengan prosedur
angiografi konvensional dengan
mikrokateter sebagai pemandu untuk menentukan lokasi trombus, kemudian alat stent retriever dipakai
untuk menghilangkan trombus yang
menyumbat sehingga diharapkan
terjadi rekanalisasi pembuluh darah
(Gambar4).
7) Terapi dapat dimulai melalui tindakan groin puncture atau pungsi
arteri femoralis maksimal 6 jam
setelah onset stroke
c. Sejak 2015, AHA/ ASA membuat pedoman baru mengenai tatalaksana
trombektomi pada pasien stroke
iskemik akut dengan onset dibawah
6 jam. Pada pasien yang terindikasi
trombektomi, pemakaian stent retriever dapat dijadikan pilihan.
d. Meskipun manfaatnya belum jelas,
pada kasus stroke yang disebabkan
oklusi di arteri serebri media cabang
M2 atau M3, arteri serebri anterior,
arteri vertebralis, arteri basilaris atau
arteri serebri posterior, pemakaian
terapi endovaskular dengan stent re
triever dapat dipertimbangkan (AHA/
ASA: kelas lib; level C).
e. Pada stroke yang disebabkan karena
oklusi pembuluh darah sirkulasi posterior ( arteri vertebralis, arteri basilaris atau arteri serebri posterior),
groin puncture maksimal dapat dilakukan 24 jam setelah onset stroke.
4. Pemberian Antikoagulan sebagai
Pencegahan Sekunder
a. Pemberian antikoagulan rutin terhadap pasien stroke iskemik akut
dengan tujuan untuk memperbaiki keluaran atau sebagai pencegahan dini
terjadinya stroke ulang tidak direkomendasi (AHA/ ASA: kelas III, level A).
b. Pengobatan antikoagulan dalam 24
jam terhadap pasien yang mendapat
rTPA intravena tidak direkomendasi
(AHA/ ASA: kelas III, level B).
Stroke Jskemik
c. Pemberian antikoagulan tidak dilakukan sampai ada hasil pemeriksaan
pencitraan otak memastikan tidak ada
perdarahan intrakranial primer. Pasien
yang mendapat antikoagulan perlu dilakukan monitor kadar antikoagulan.
d. Tidak ditemukan manfaat pemberian
heparin pada pasien stroke akut dengan AF, walaupun masih dapat diberikan pada pasien yang selektif. Aspirin
dan dilanjutkan dengan pemberian
warfarin untuk prevensi jangka panjang dapat diberikan.
e. Warfarin merupakan pengobatan lini
p~rtama untuk P..enceiahan sekunder
stroke iskemjk...pada kebanyakan kasus stroke kardio-emboli.
f. pemakaian warfarin harus hati-hati,
karena dapat meningkatkan resiko
perdarahan. Oleh karena itu perlu monitor INR paling sedikit 1 bulan sekali.
g. Warfarin dapat mencegab terjadinya ·
stroke emboli kardiogenik dan mencegah emboli ulang pada keadaan risiko
mayor. Dapat dimulai dari dosis 2mg
:e_erharl dengan target INR 2,0-3.0,
Pemeriksaan INR awal yaitu rutin per
3 bari selama 2 mjnggu Selanjutnya pe-
~antauan 1 minggu sekali dan setelah
1 bulan dilakukan 1 bulan sekali.
h. Selain warfarin, pada stroke kardioemboli yang disebabkan karena fibrilasi atrial nonvalvular dapat diherikan new oral anticoq,gulant (NOAC)
sepeiti dabigatran (2 x 75mg atau 2 x
· 110mg), rivaroksaban (1 x 10mg atau
1 x 15 mg), dari apiksaban [1 x 5 mg),
sebagai pencegahan sekunder. Tidak
ada pemeriksaan darab untuk pemantauan khusus pada pemberian NOAC.
5. Pemberian Antiagregasi Trombosit
a. Pemberian aspirin dengan dosis awal
~25mg dcilam 12 jam setelah onset
stroke dianjurkan untuk setiap stroke
iskemik akut (AHA/ ASA: kelas I, level A).
b. Aspirin diberikan sebagai terapi
pencegaban sekunder, sebingga tidak
boleb dipakai sebagai pengganti
tindakan intervensi yang bertujuan
untuk revaskularisasi (seperti trombolisis intravena) (AHA/ ASA: kelas
III, level B).
c. Jika direncanakan pemberian trombolisis, aspirin jangan diberikan.
d. Tidak direkomendasikan pemakaian
aspirin sebagai terapi ajuvan dalam 24
jam setelab pemberian obat trombolitik [AHA/ ASA: kelas III, level A).
e. Pemberian antitrombosit intravena
yang mengbambat reseptor glikopro-
tein lib/Ilia tidak dianjurkan (AHA/
ASA: kelas III, level B).
f. Untuk pencegaban kejadian stroke
iskemik, infark jantung, dan kematian
akibat vaskuler, klopidogrel 75mg
lebib baik dibandingkan dengan aspirin dan dapat diberikan pada fase
akut atau setelab fase akut selesai.
g. Pemberian klopidoR!_el dikombinasikan dengari aspirin selama 21 bari
sampai 3 bulan ~ang dilanjutkan de-
~gan pemberian clopidogrel s~, superior untuk mencegab stroke pada
pasien TIA dan stroke iskemik ringan
(NIHSS <5).
6. PENGOBATAN Spesifik Lain dan Neuroproteksi
a. Hemodilusi tidak dianjurkan dalam
terapi stroke iskemik akut (AHA/
ASA: kelas III, level A).
b. Pemakaian obat bemoreologik seperti pentoksifilin dapat dipertimbangkan pada stroke iskemik akut dengan
biperviskositas.
c. Tindakan carotid endarterectomy
(CEA) dan carotid artery stenting
(CAS) dapat dipertimbangkan untuk
dikerjakan pada pasien stroke iskemik dengan stenosis karotis komunis/
interna C?:50% sebagai upaya pencegaban sekunder. Namun demikian,
tindakan ini dilakukan setalab
fase akut. (AHA/ ASA: kelas I, level A).
d. Meskipun berbagi basil penelitian
menunjukkan basil yang berbeda,
pemakaian agen neuroprotektor dan
neurorecovery seperti sitikolin, piracetam, pentoksifilin, neuropeptida ProS
Gly9-Pro10 ACTH (4-10), DLBS 1033,
dan MLC 601 dapat dipertimbangkan.
e. Edema serebri yaitu pemicu
utama dari kemunduran dini dan kematian pada pasien dengan stroke
iskemik luas (teritorial). Edema ini
biasanya berkembang antara hari
ke-2 dan ke-5 dari awitan stroke,
namun menjelang hari ke-3, pasien
dapat mengalami kemunduran neurologi dalam 24 jam sesudah awitan
keluhan. Direkomendasikan ·pasien
dengan stroke iskemik luasfteritorial untuk dirawat di ICU/HCU dalam
1 minggu pertama sejak onset stroke.
f. Kraniektomi dekompresi direkomendasikan pada pasien stroke iskemik
luas yang mengalami edema serebri
(malignant brain infarction) untuk menyelamatkan jiwa namun dengan risiko
gejala sisa gangguan neurologik yang
berat. Tindakan dilakukan dalam 48
jam sesudah awitan keluhan dan direkomendasikan pada pasien yang
·berusia <60 tahun (AHA/ ASA: kelas
I, level A).
g. Mild hypothermia (dengan targettemperatur otak antara 33-35°C) mengurangi mortalitas pada pasien dengan
infark arteri serebri media luas, namun dapat memicu efek samping yang berat meliputi krisis TIK
sepanjang pengembalian suhu tubuh.
h. Direkomendasikan tindakan pirau ventrikel peritoneal (VP shunt) atau bedah
dekompresi untuk terapi infark serebelum luas yang menekan batang otak.
i. Penatalaksanaan trombosis vena serebral dilakukan secara komprehen-
Stroke lskemik
sif, yaitu dengan terapi anti trombotik
(terutama antikogulan), terapi simtomatik, dan terapi penyakit dasar.
j. Tidak ada data penelitian tentang
lama pemberian antikoagulan untuk trombosis vena serebral. Beberapa studi merekomendasikan
pemberian antikoagulan sekurangkurangnya 3 bulan, diikuti pemberian terapi antitrombosit (AHA/ ASA:
kelas II A, level C).
Neurorehabilitasi/Neurorestorasi Pascastroke
Tatalaksana neurorehabilitatif pascastroke
mengalami perubahan dalam 15 tahun terakhir. Konsep masa kini untuk pemulihan de:
fisit neurologis pascastroke mencakup ranah
yang lebih luas dan berkembang menjadi
cabang ilmu neurologi yang dikenal sebagai
neurorestoratologi. Hal ini mencakup neurorestorasi struktural dan signaling neuron,
dan neuromodulasi, selain tindakan neurorestorasi rehabilitatif. Tindakan neurorestorasi pascastroke diberikan mulai dari fase akut,
sub-akut, sampai dengan fase kronik. Untuk
selengkapnya dapat dilihat pada bah Prinsip
Dasar Neurorestorasi Pascacedera Saraf.
Edukasi
Oleh karena stroke memicu keadaan
morbiditas yang tinggi, maka dibutuhkan pemahaman dan kerja sama antara
pasien dan keluarga dengan klinisi, untuk
mendapatkan basil terapi yang maksimal,
antara lain dengan pemberian edukasi yang
informatif mengenai:
• Penjelasan sebelum masuk RS (rencana
rawat, biaya, pengobatan, prosedur, masa
dan tindakan pemulihan dan latihan,
manajemen nyeri, risiko dan komplikasi).
• Penjelasan mengenai stroke iskemik,
risiko dan komplikasi selama perawatan.
• Penjelasan mengenai faktor risiko dan
pencegahan stroke berulang.
• Penjelasan program pemulangan pasien
(discharge planning).
• Penjelasan mengenai gejala stroke, dan
yang harus dilakukan sebelum dibawa
keRS.
Adapun prognosis ad vitam, ad sanationam,
dan ad fungsionam pasien biasanya dubia
adbonam.
CONTOH KASUS
1. Seorang perempuan umur 42 tahun,
datang ke IGD dengan keluhan utama
kelemahan anggota gerak kiri sejak 4
jam sebelum masuk RS. Empat jam sebelum masuk RS, saat pasien duduk
nonton televisi di rumah, tiba-tiba
pasien merasa mengalami kelemahan
pada tangan dan kaki sebelah kiri. Keluhan disertai bicara pelo dan mulut
mencong. Tidak ada keluhan nyeri kepala, muntah, penurunan kesadaran
maupun kejang. CT scan kepala dalam
batas normal. Pasien memenuhi kriteria
inklusi trombolisis dan diberikan terapi
ini . Setelah pemantauan selama
24 jam, ada perbaikan klinis. Tidak
ditemukan efek samping.
Dua belas tahun tahun lalu, didapatkan
riwayat kelemahan dan baal tubuh sisi
kiri. Keluhan ini membaik dalam
waktu kurang dari 8 jam. Hasil pemeriksaan MRI menunjukkan adanya infark multipel. Tidak ditemukan faktor
risiko mayor (hipertensi, diabetes melitus, atrial fibrilasi, merokok). Berdasar-
kan konsul ke bagian hematologi, pasien
dikatakan menderita antiphospholipid
syndrome (APS) dengan kadar ACA 40
unit. Pasien mendapatkan pengobatan
warfarin lx2mg dan asam asetilsalisilat
lx80mg. Pada riwayat persalinan, pasien
memiliki 2 orang anak laki-laki dengan
riwayat kelahiran normal. Selama 8 bulan terakhir, pasien tidak minum obat
karena tidak merasa ada keluhan.
Pertanyaan:
a. Apakah yang memicu terjadinya stroke berulang pada pasien?
b. Apakah jenis stroke yang tidak diketahuipemicu nya?
c. Bagaimana pencegahan stroke yang
paling tepat untuk pasien?
d. Apakah tidak ada kontraindikasi
trombolisis pada kasus APS?
Jawaban:
a. Faktor risiko terjadinya stroke berulang pada pasien yaitu APS yang
merupakan suatu kelainan genetik
Hal ini terjadi karena pasien tidak
mengkonsumsi obat sejak 8 bulan
terakhir. Tanpa PENGOBATAN yang optimal, pasien rentan mengalami trombosis di seluruh tubuh.
b. Stroke yang tidak diketahui faktor
risikonya disebut stroke kriptogenik
AHA/ ASA tahun 2015 mendapatkan
data bahwa angka kejadian stroke
kriptogenik mencapai 30%, terdiri
dari occult paroxysmal atrial fibrillation (AF), APS, dan patent foramen
ovule (PFO)
c. PENGOBATAN terbaik untuk pencegahan stroke berulang yaitu pemberian
antikoagulan (warfarin 1x2mg) dan
antitrombosit (aspilet 1x80mg) dengan target INR 2-3.
d. Kasus APS bukan merupakan kontraindikasi trombolisis. Malah APS
merupakan salah satu faktor risiko
terjadinya kasus trombosis vena
dalam yang juga dapat ditatalaksana
dengan trombolisis.
2. Laki-laki, umur 58 tahun, datang ke !GO
dengan keluhan kelemahan lengan dan
tungkai kanan mendadak 3 jam sebelum
masuk RS. ada riwayat hipertensi,
OM, dan fibrilasi atrial. Pasien mengkonsumsi warfarin 2 mg setiap hari dan tidak
ada keluhan apapun sebelumnya.
Oari pemeriksaan fisik didapatkan TO
110/70mmHg dan frekuensi nadi 110x/
menit ireguler, dan SKG E4M6Vafasia
global dengan NIHSS 15. EKG didapatkan kesan atrial fibrilasi rapid response
(AFRR). Pasien terindikasi trombolisis
dan code stroke diaktifkan. Pada CT scan
Stroke lskemik
didapatkan hyperdense MCA sign kiri,
early ischemic changes di kiri (Gambar
5), tidak ditemukan perdarahan (skor
ASPECTS=10)
berdasar gejala klinis dan pencitraan,
diduga ada emboli pada pembuluh
darah besar otak. Pasien direncanakan
menjalani terapi trombolisis IV sesuai
pedoman AHA/ ASA 2015. Pasien sedang
dalam terapi warfarin dari dokter sebelumnya. Hasil INR 1,29 dan tidak menjadi
kontraindikasi trombolisis IV (kontraindikasi bila INR> 1,5).
Pasien diberikan alteplase dengan dosis
0,6mgjkgBB. Pertama diberikan 10%
dosis melalui bolus IV. Setelah istirahat
15 menit, dilanjutkan 90% dosis sisanya
dalam waktu 45 menit. Ketika pasien
sedang dalam terapi rumatan ini ,
pasien menjalani persia pan OSA di ruang
tindakan (catheterization Ia bora tory).
Hasil OSA didapatkan oklusi pada MCA
kiri di M1 (Gambar 6).
Pasien dilakukan trombektomi memakai stent retriever sesuai dengan kriteria
AHA/ ASA 2015, yaitu:
a. Skor mRS prestroke pasien ini = 0
b. Stroke iskemik akut yang telah
mendapatkan terapi trombolisis intravena dalam waktu 4,5 jam setelah onset
c. Stroke akibat oklusi pada arteri serebri
media cabang proksimal
d. Usia ~18 tahun, yaitu 58 tahun
e. Skor NIHSS ~6, yaitu 15
f. Skor ASPECTS=10
g. Pasien dapat dilakukan tindakan pungsi
arteri femoralis maksimal 6 jam setelah
onset stroke
Alat yang dipakai yaitu Solitairetm, salah
satu pilihan stent retriever yang tersedia di
Indonesia dengan hasil penelitian yang baik.
Stent dimasukkan, kemudian ujung stent dipasang pada M1-M2junction di arteri sere-
472
bri media dan diletakkan selama 5 menit
hingga mengembang sempurna (Gambar 7).
Ketika stent ditarik, seluruh embolijtrombus
dapat ditarik sempurna tanpa meninggalkan
sisa embolijtrombus yang baru ke arah distal. Setelah itu, stent ditarik dan dikeluarkan.
Pasien menjalani pemeriksaan angiografi
ulang dan didapatkan oklusi MCA kiri telah
terbuka. Pada pasien ini terjadi rekanalisasi
dengan skala thrombolysis in cerebral infarction (TIC!) perfusion scale 2bf3 (Gambar 6).
Pada stent retriever yang telah ditarik, didapatkan bekuan darah emboli yang sudah
dievakuasi (Gam bar 8).
Pascatindakan, pasien dirawat di ruang rawat
intensif. Pada hari kedua, ada perbaikan
NIHSS menjadi 10. Pasien pulang setelah
hari perawatan ke-16 dengan NIHSS akhir 8
setelah perbaikan kondisi AFRR dan terapi
warfarin sebagai prevensi stroke sekunder.
CEREBRAL SMALL VESSEL DISEASE
Otak manusia yaitu organ yang sangat
menakjubkan. Dengan berat ±1320gram
(2% berat badan manusia), otak mempunyai kebutuhan besar terhadap energi oksigen dan glukosa untuk menjalankan fungsinya secara normal. Kebutuhan ini akan
bergantung pacta sirkulasi darah yang dikenal dengan cerebral blood flow, mengalir
ke seluruh otak sejumlah 50mL/100gram
otakjmenit (setara dengan 972Lj hari) dan
memberikan energi pacta 151,5 milyar sel
sarafyang memiliki 150 triliun sinaps untuk
melakukan komunikasi internal.
Energi oksigen yang dibutuhkan otak yaitu
72Ljhari (3,7mL/100gram otakjmenit),
dengan kebutuhan glukosa otak sebanyak
107gj hari (5,5mgj 100g otakjmenit). Kebutuhan energi yang berasal dari adenosine triphosphate (ATP) yaitu 17,4mmoL/
hari (1,1mmolj100g otakjmenit). Sebagian
besar energi (87%) dibutuhkan untuk aktivitas potensial aksi membran sel dan 13%
dipakai sebagai rumatan potensial membran sel dalam keadaan istirahat.
Distribusi kebutuhan energi dalam sistem
sirkulasi otak disuplai melalui 3 pembuluh
darah utama yaitu pembuluh darah parent
artery dilanjutkan cortical branch artery dan
diakhiri dengan penetrating artery (Gambar
1). Yang termasuk pembuluh darah parent
artery yaitu a. serebri media, a. serebri anterior, a. serebri posterior, a. vertebralis, dan a.
basilaris. Pengembalian aliran darah menuju
pusat akan melalui pembuluh darah vena, yaitu melalui vena kapiler, dilanjutkan ke venula
dan selanjutnya ke vena. Penetrating artery
merupakan pembuluh darah kecil yang merupakan bagian terakhir dari sistem arteri yang
akan berhubungan dengan vena-vena kapiler.
Gangguan pembuluh darah kecil (small vessel
disease) meliputi gangguan yang terjadi pad a
penetrating vessels dan vena kapiler yang
dapat menghambat pengembalian sirkulasi
darah kotorini (Gambar 2). Manifestasi
klinis gangguan ini berimbang dengan
lesi yang ditimbulkannya di otak. Pada
Cerebral Small Vessel Disease
umumnya manifestasi ini berupa gangguan
pada sel, serabut saraf, maupun pembuluh
darah halus. Gambaran dari small vessel
disease dapat berupa infark lakunar, white
matter lesion atau leukoaraiosis maupun
perdarahan mikro. pemicu kelainannya
juga sangat beragam mulai dari kelainan
vaskular berupa arteriosklerosis, infeksi,
inflamasi dan autoimun, angiopati genetik
seperti cerebral amyloid angiopathy dan
venous collagenosis, serta penyakit-penyakit
pembuluh darah kecillainnya.
DEFINISI
Cerebral small vessel disease (CSVD) merupakan kondisi klinikopatologis yang sangat
penting karena merupakan 20% dari pemicu stroke di seluruh dunia, dan merupakan
pemicu tersering demensia vaskular maupun demensia campuran (demensia vaskular dan penyakit Alzheimer). lstilah CSVD
dipakai dalam berbagai aspek termasuk
aspek klinis, patologis, dan pencitraan.
Dalam aspek klinis, pengertian CSVD memiliki spektrum yang sangat luas yang dapat
memberikan manifestasi klinis maupun tidak. Manifestasi klinis dapat bervariasi seperti sakit kepala, gangguan fungsi kognitif,
gangguan gait, hingga kelumpuhan. Oleh
karena itu, pengertian CSVD lebih mengacu
pada gambaran patologis pembuluh darah
kecil di otak. termasuk arteri kecil, arteriol,
kapiler, vena kapiler, venula, dan vena. Namun, seringkali istilah ini hanya ditujukan
kepada pembuluh darah arterial, sedangkan
kompartemen vena kurang mendapat perhatian, sehingga CSVD disebut juga sebagai
arterial small vessel disease.
Pembuluh darah otak yang terlibat dalam
CSVD yaitu pembuluh darah kecil di leptomeningeal dan intraparenkimal, seperti
pembuluh darah ganglia basal, bagian perifer substansia alba (white matter), arteri
leptomeningeal, pembuluh darah pada substansia alba serebelum dan talamus, dan
pembuluh darah batang otak. Meskipun
umumnya pembuluh darah kortikal tidak
terlibat dalam CSVD, namun CSVD dapat
ditemukan pada korteks bagian dalam (deep
gray matter).
Pembuluh darah kecil sendiri diartikan sebagai pembuluh darah yang berdiameter
<SOOf.Lm yang berlokasi di subkortikal (dan
merupakan end arteries) atau pembuluh darah berdiameter <SOf.Lm yang berasal dari
basal (yang disebut sebagai small perforating arteries). Pembuluh darah kecil seperti
arteri kecil, arteriol, dan kapiler memiliki
perbedaan struktur histologis. Arteriol dan
arteri kecil sama-sama mempuny;:~i tunika
muskularis namun arteriol tidak mempunyai
lamina elastika.
Cerebral arterial small vessels berasal dari 2
cabang, yaitu cabang superfisial dan cabang
profunda. Cabang superfisial yaitu cabang
sirkulasi subaraknoid yang merupakan
pembuluh darah terminal dari pembuluh
darah berukuran sedang. Cabang profunda
berasal dari bagian basal, yang merupakan
cabang langsung dari pembuluh darah besar yang selanjutnya masuk ke dalam parenkim menjadi arteri perforator. Kedua sistem
pembuluh darah ini berjalan menuju
bagian dalam dari parenkim. Setelah melewati lapisan kortikal serta deep gray structures, kedua sistem pembuluh darah ini akan bersatu di watershed area, suatu
area terdalam dari subcortical white matter.
Hal yang penting diperhatikan yakni pembuluh darah kecil tidak dapat divisualisasikan, berbeda dengan pembuluh darah besar.
Oleh karena itu, lesi parenkim otak sebagai
akibat perubahan pembuluh darah kecil dipakai sebagai penanda CSVD. Selain itu,
istilah CSVD seringkali dipakai untuk
menggambarkan komponen iskemik dari
proses patologis pembuluh darah kecil, meliputi infark lakunar dan white matter lesion.
Namun yang ada yang perlu diperhatikan
yaitu pasien dengan small vessel disease
juga sangat berisiko untuk terjadi perdarahan. Jenis patologis yang terjadi juga dipengaruhi oleh lokasi pembuluh darah yang
terkena. Kelainan pada pembuluh darah kecil cabang superfisial dapat memicu
angiopati amiloid serebral (cerebral amyloid
angiopathyjCAA) dan lobar microbleeds. Sementara itu, kelainan pada pembuluh darah
profunda dikaitkan dengan kelainan berupa
arteriosklerosis, deep microbleeds, perubahan white matter, dan infark lakunar (Gambar 3).
KLASIFIKASI DAN EPIDEMIOLOGI CSVD
Lesi CSVD sangat bervariasi, dapat mengenai daerah tertentu seperti subkortikal, namun dapat meluas seperti yang terjadi pacta
white matter lesion. Klasifikasi CSVD didasarkan pacta etiopatologi, antara lain arteriosklerosis, cerebral amyloid angiopathy
(CAA), CSVD yang diturunkan secara genetik, CSVD akibat inflamasi dan immunologi,
kelainan vena, dan CSVD lainnya (Tabell).
Penilaian CSVD dinilai berdasar konsep
pencitraan, oleh karenanya ada standar penilaian yang disebut standards for reporting
vascular changes on neuroimaging (STRIVE),
yang meliputi:
1. 6 tipe Jesi pencitraan:
a. Infark subkortikal (infark lakunar)
b. Lacune karena gangguan vaskular
c. White matter lesion karena gangguan
vaskular
d. Virchow Robbin space atau rongga
perivaskular
e. Cerebral microbleeds
f. Atrofi otak
2. pemakaian bahasa dan istilah yang
sama untuk manifestasi CSVD yang terlihat pacta gam bar MRI
3. Penetapan standar minimum image acquisition dan Analisa pencitraan
4. Kesepakatan standar pelaporan ilmiah
terhadap perubahan parenkim otak terkait CSVD pacta pencitraan. Selain itu
dilakukan review teknik pencitraan terbaru urrtuk mendeteksi dan mengkuantifikasi manifestasi preklinik CSVD.
Kesepakatan standar pelaporan ilmiah terhadap perubahan parenkim otak terkait
CSVD pada pencitraan. Selain itu dilakukan
review teknik pencitraan terbaru untuk
mendeteksi dan mengkuantifikasi manifestasi preklinik CSVD.
480
CSVD tipe 1 (arteriosklerosis) dan tipe 2
(Cerebral amyloid angiopathy (CAA) sporadik dan herediterJ yaitu yang paling
sering ditemukan, sementara CSVD tipe 3
termasuk jarang. Di antara penyakit yang
tergolong dalam tipe ini, cerebral autosomal
dominant arteriopathy with subcortical ischemic strokes and leukoencephalopathy (CADASIL) dan penyakit Fabry (Fabry's disease)
yaitu yang paling banyak ditemukan dan
penting sebagai dasar pemahaman patogenesis CSVD sporadik.
CSVD dapat dimediasi oleh proses inflamasi
dan imunologi yang didapat (bukan herediter). Kelainan ini dimasukkan dalam CSVD
tipe 4. CSVD tipe 5 berupa venous collagenosis, yang merupakan gambaran patologis
dari vena dan venula yang berlokasi dekat
dengan ventrikellateral. Abnormalitas komponen kolagen memicu penebalan
dinding vena, sehingga menimbulkan penyempitan lumen dan terjadi oklusi.
CSVD tipe 6 (small vessel disease lainnya)
mencakup angiopati pasca radiasi dan CSVD
non-amyloid pada kapiler dan membran basal pasien Alzheimer. Angiopati pascaradiasi merupakan efek samping yang tertunda
dari cerebral irradiation therapy (setelah
bebe-rapa bulan atau tahun). CSVD pascaradiasi ini paling sering mengenai
pembuluh darah kecil di white matter yang
menunjukkan adanya nekrosis fibrinoid,
penebalan dinding pembuluh darah karena
penumpukan hialin, penyempitan lumen,
dan sumbatan trombotik sehingga memicu diffuse leucoencephalopathy dengan degenerasi serabut hialin yang sangat
berat. Pada beberapa kasus terjadi kondisi
nekrosis koagulatif. Keseluruhan perubahan parenkim ini disebabkan proses iskemik,
Pembahasan mengenai CSVD akan dibatasi
pada beberapa CSVD yang sering ditemukan
saja, diantaranya yaitu arteriosklerosis,
cerebral amyloid angiopathy (CAA), CADA-
Cerebral Small Vessel Disease
SIL dan white matter lesion termasuk penyakit Binswanger.
Arteriosklerosis
Arteriosklerosis merupakan gangguan pembuluh darah yang didasari kelainan pada
dinding pembuluh darah dan berlanjut dengan komplikasinya pada pembuluh darah.
Arteriosklerosis bersifat difus, tidak hanya
mengenai pembuluh darah otak, namun
dapat juga menimbulkan kerusakan multi
organ, seperti pembuluh darah jantung, retina, maupun ginjal.
Manifestasi arteriosklerosis yang khas
yaitu mikroaneurisma dan lipohialinosis.
Mikroaneurisma terjadi akibat penipisan
otot polos pada tunika media pembuluh
darah yang dapat memicu microbleeding. Lipohialinosis didasarkan adanya
deposit material, seperti fibrohialin, yang
dapat menyempitkan lumen pembuluh darah, sehingga dapat memicu infark
lacunar. Timbulnya mikroaneurisma dan
lipohialinosis ini disebabkan oleh tekanan
darah yang tidak terkontrol dan diakselerasi oleh adanya penyakit metabolik, seperti
hiperhomosisteinemia, diabetes melitus, dan
dislipidemia, serta faktor risiko lain seperti
merokok dan imobilisasi. Faktor usia juga
dipikirkan berperan pada proses terjadinya
arteriosklerosis ini.
Usia yang berkontribusi terhadap munculnya
arteriosklerosis ini, telah bergeser ke arah
yang lebih muda. Hal ini disebabkan karena
peranan faktor risiko penyakit metabolik
telah diakselerasi oleh perubahan perilaku,
yakni kebiasaan merokok Penyandang hipertensi dan penyakit metabolik akan mengalami
CSVD pada usia yang lebih muda, jika disertai
faktor risiko tambahan, yakni merokok
Merokok tidak saja berpengaruh pada elastisitas dinding pembuluh darah, namun juga
pada viskositas darah dan deformabilitas
sel darah merah ( eritrosit). berdasar
sejumlah penelitian, terjadi peningkatan
fibrinogen pada perokok. Peningkatan fibrinogen akan memicu sistem prokoagulasi,
sehingga terjadi kondisi hiperkoagulasi.
Tingginya kadar fibrinogen dalam darah
juga akan meningkatkan viskositas darah.
Efek lain peningkatan fibrinogen ini terkait
dengan deformabilitas eritrosit. Muatan
negatif pada dinding eritrosit yang disebut
zeta potensial akan berkurang akibat berikatan dengan fibrinogen yang bermuatan
positif. Hal ini memicu berkurangnya
kemampuan eritrosit untuk berubah bentuk
atau disebut juga deformabilitas eritrosit.
Selain itu, kandungan karbon monoksida
memicu peningkatan produksi eritrosit, sehingga juga akan meningkatkan viskositas
darah. Keberadaan arteriosklerosis dan faktor risiko yang telah disebutkan sebelumnya
akan mempercepat timbulnya CSVD, berupa
infark lakunar dan cerebral demyelinisation,
dengan segala manifestasi klinisnya
Cerebral Amyloid Angiopathy (CAA)
CAA menggambarkan sekelompok gangguan susunan saraf pusat (SSP) dengan berbagai manifestasi klinis yang didasari kelainan pembuluh darah (angiopati) akibat
deposit amyloid fibrils pada dinding pembuluh darah. Deposit ini terdistribusi
pada dinding pembuluh darah berukuran
kecil hingga sedang, yakni arteri dan arteriol terutama di ruang leptomeningeal dan
korteks, dan jarang pada kapiler maupun
vena. Dengan demikian, CAA merupakan
salah satu CSVD yang dapat bermanifestasi
dalam bentuk lesi perdarahan ( microbleed
dan perdarahan intraserebral (PIS) lobar)
maupun iskemik (infark lakunar, white matter lesion).
Adanya deposit sera but amiloid (amyloid fibrils) pada pembuluh darah serebral dapat
melemahkan dinding pembuluh darah dan
memicu ruptur, sehingga menimbulkan microbleeds asimtomatis dan perdarahan intraserebral lobar. Selain itu, deposit
ini juga dapat merusak lumen pembuluh darah yang menimbulkan iskemia
(infark serebral, 'incomplete infarction':
leukoaraiosis ), Von sattel dkk menggolongkan CAA berdasar tingkat keparahan
perubahan patologis pembuluh darah yaitu:
(1) ringan, jika amiloid terbatas pada tunika
media, tanpa kerusakan signifikan sel otot
polos; (2) sedang, jika tunika media digantikan oleh amiloid sehingga lebih tebal
dibandingkan kondisi normal; dan (3) berat, apabila ada disposisi amiloid yang
luas, fragmentasi dinding fokal atau double
barreling dinding pembuluh darah, pembentukan mikroaneurisma, nekrosis fibrinoid, dan kebocoran plasma melalui dinding
pembuluh darah.
ada lebih dari 25 protein man usia yang
ditemukan terlibat dalam benang-benang
amiloid (amyloid fibrils) secara in vivo, namun hanya 7 protein yang bermanifestasi
sebagai gangguan SSP, diantaranya yaitu
protein amiloid tipe ~ (A~). Deposit A~ inilah pada dinding pembuluh darah inilah
yang mendasari CAA (Tabel2).
Terjadinya deposit A~ dipikirkan oleh karena terjadi gangguan produksi dan eliminasi
peptida A~. Peptida A~ berasal dari sistem
neuronal, diproduksi oleh protein prekursor yakni amyloid precursor protein (APP)
dan disekresi oleh b- and g-secretase. Peptida ini mengalami eliminasi melalui empat
jalur: (1) degradasi proteolitik oleh endoCerebral Small Vessel Disease
peptidase; (2) degradasi oleh astrosit dan
mikroglia; (3) transportasi aktif melalui
sa war darah otak (transendotelial); dan ( 4)
drainase perivaskular (Gambar 4). Seiring
pertambahan usia, akan terjadi penurunan
fungsi eliminasi ini dan peningkatan deposisi A~ pada pembuluh darah.
Secara umum CAA terbagi menjadi dua bentuk,
yakni CAA herediter dan CAA sporadik. CAA
herediter berkaitan dengan mutasi gen yang
mengkode protein amiloid termasuk prekursornya. Bentuk ini umumnya ditemukan pada
usia muda. CAA sporadik biasanya dikaitkan
dengan polymorphisms of disease-susceptible
genes dan biasanya ditemukan pada usia Ianjut Polimorfisme gen yang berkontribusi pada
pathogenesis penyakit Alzheimer dan diduga
berkaitan dengan CAA sporadik, yakni apolipoprotein E (APO-E), presenilin 1 (PS1), a1-
antichymotrypsin (ACT), dan neprilsin (NEP).
Diantara polimorfisme gen ini , yang paling banyak diteliti yaitu ApoE yang dianggap berkontribusi terhadap patogenesis CAA.
Selain itu, polimorfisme APO-E juga berkontribusi pada patogenesis penyakit Alzheimer.
Beberapa studi mengAnalisa hubungan antara
APO-E, penyakitAlzheimer, dan CAA.AlelApoE
memiliki efek yang berbeda terhadap proses
produksi, eliminasi dan deposisi A~. Aiel APOE £4 dikaitkan dengan amiloidogenesis, deposisi A~, dan neurotoksisitas. Aiel A poE £4 juga
di-laporkan berkaitan dengan deposisi A~
kapiler yang menyertai neuritis degeneratif positif tau (perivascular plaquesjdrusige
Entartungjdysphoric angiopathy), yang bermanifestasi demensia dan sering disebut sebagai variasi vaskular dari penyakit Alzheimer.
Sebaliknya, aiel APO-E £2 merupakan proteksi
penyakit Alzheimer, namun dikaitkan dengan
peningkatan risiko perdarahan pada CAA. Hal
ini akibat kontribus