neurologi 29












 yang sangat 

berbahaya, yakni nikotin. Nikotin diduga 

berpengaruh pada sistem saraf simpatis dan proses trombotik Dengan adanya 

nikotin, kerja sistem saraf simpatis akan 

meningkat, termasuk jalur simpatis sistem 

kardiovaskular, sehingga akan terjadi peningkatan tekanan darah, denyut jantung, 

dan meningkatnya aliran darah ke otak. 

Pengaruh nikotin terhadap proses trombotik melalui enzim siklooksigenase, 

yang memicu penurunan produksi  

prostasiklin dan tromboksan. Hal itu 

memicu  peningkatan agregasi 

trombosit dan penyempitan lumen pembuluh darah, sehingga memudahkan 

terjadinya stroke iskemik. Selain itu, 

merokok dalam waktu lama akan meningkatkan agregasi trombosit, kadar 

fibrinogen, dan viskositas darah, serta 

menurunkan aliran darah ke otak yang 

memicu terjadinya stroke iskemik. 

Karbondioksida juga dipikirkan memiliki pengaruh. lkatan karbondioksida 

di dalam darah 200 kali lebih tinggi 

dibandingkan oksigen, sehingga seolaholah oksigen di dalam darah sedikit. Hal 

ini memicu peningkatan produksi 

eritrosit oleh tubuh, sehingga komposisi 

eritrosit plasma tinggi, yang terlihat sebagai peningkatan nilai hematokrit yang 

disebut polisitemia sekunder. 

4. Asam Urat 

Salah satu penelitian di J epang terhadap 

usia SO:... 79 tahun selama 8 tahun menunjukkan hiperurisemia merupakan faktor 

risiko penting terjadinya stroke. Penelitian kohort di Honolulu dengan rentang 

usia 55-64 tahun selama 23 tahun memperlihatkan hubungan bermakna antara 

asam urat, kadar kolesterol, tekanan 

darah sistolik, dan kadar trigliserida terhadap kejadian aterosklerosis berupa 

penyakit jantung dan stroke. Kondisi 

hiperurisemia diduga merupakan salah 

satu faktor yang dapat meningkatkan 

agregasi trombosit. 

5. Dislipidemia 

Meskipun tidak seberat yang dilaporkan 

sebagai pemicu  penyakit jan tung, salah 

satu penelitian observasional menunjuk 

kan hubungan peningkatan kadar lipid 

plasma dan kejadian stroke iskemik. 

MetaAnalisa  terhadap studi kohort juga 

menunjukkan kekuatan hubungan antara 

hiperlipidemia dan stroke. Komponen dislipidemia yang diduga berperan, yakni kadar HDL yang rendah dan kadar low density lipoprotein (LDL) yang tinggi. Kedua 

hal ini  mempercepat aterosklerosis 

pembuluh darah koroner dan serebral. 

6. Usia, Jenis Kelamin, dan Ras/Suku 

Ban gsa 

Angka kejadian stroke meningkat seiring 

bertambahnya usia, yaitu 0,4% (usia 18-

44tahun), 2,4% (usia 65-74tahun), hingga 9,7% (usia 75 tahun atau lebih), sesuai 

dengan studi Framingham yang berskala 

besar. Hal ini disebabkan oleh peningkatan terjadinya aterosklerosis seiring 

peningkatan usia yang dihubungkan pula 

dengan faktor risiko stroke lainnya, seperti atrial fibrilasi (atrial fibrillation/ AF) 

dan hipertensi. AF dan hipertensi sering 

dijumpai pada usia lanjut. 

Laki-laki memiliki risiko stroke 1,25-2,5 

kali lebih tinggi dibandingkan perempuan. Namun, angka ini berbeda pada usia 

lanjut. Prevalensi stroke pada penduduk 

Amerika perempuan (tahun 1999-2000) 

berusia ~75 tahun lebih tinggi (84,9%) 

dibandingkan laki-laki (70,7%). 

Data pasien stroke di Indonesia juga 

menunjukkan rerata . usia . perempuan 

(60,4±13,8 tahun) lebih tua dibandingkan 

laki-laki (57,5±12,7 tahun). Hal ini dipikirkan berhubungan dengan estrogen. 

Estrogen berperan dalam pencegahan 

plak aterosklerosis seluruh pembuluh 

darah, termasuk pembuluh darah sere- 

Stroke Iskemik 

bral. Dengan demikian, perempuan pada 

usia produktifmemiliki proteksi terhadap 

kejadian penyakit vaskular dan aterosklerosis yang memicu kejadian stroke 

lebih rendah dibandingkan lelaki. Namun, pada keadaan premenopause dan 

menopause yang terjadi pada usia lanjut, 

produksi estrogen menurun sehingga 

menurunkan efek proteksi terse but. 

berdasar  suku bangsa, didapatkan 

suku kulit hitam Amerika mengalami 

risiko stroke lebih tinggi dibandingkan 

kulit putih. lnsidens stroke pada kulit hitam sebesar 246 per 100.000 penduduk 

dibandingkan 147 per 100.000 penduduk untuk kulit putih. 

Patofisiologi Stroke Iskemik Akut 

Pada dasarnya, proses terjadinya stroke 

iskemik diawali oleh adanya sumbatan pembuluh darah oleh trombus atau emboli yang 

memicu  sel otak mengalami gangguan metabolisme, karena tidak mendapat 

suplai darah, oksigen, dan energi (Gambar 

1 ). Trombus terbentuk oleh adanya proses 

aterosklerosis pada arkus aorta, arteri karotis, maupun pembuluh darah serebral. Proses ini diawali oleh cedera endotel dan inflamasi yang memicu  terbentuknya 

plak pada dinding pembuluh darah. Plak 

akan berkembang semakin lama semakin 

tebal dan sklerotik. Trombosit kemudian 

akan melekat pada plak serta melepaskan 

faktor-faktor yang menginisiasi kaskade koagulasi dan pembentukan trombus. 

Trombus dapat lepas dan menjadi embolus 

atau tetap pada lokasi asal dan memicu 

oklusi dalam pembuluh darah ini . Emboli merupakan bagian dari trombus yang 

terlepas dan menyumbat pembuluh darah  

di bagian yang lebih distal. Emboli ini dapat 

berasal dari trombus di pembuluh darah, 

namun  sebagian besar berasal dari trombus 

di jan tung yang terbentuk pada keadaan tertentu, seperti atrial fibrilasi dan riwayat infark miokard. Bila proses ini berlanjut, akan 

terjadi iskemia jaringan otak yang memicu kerusakan yang bersifat sementara 

atau menjadi permanen yang disebut infark. 

Di sekeliling area sel otak yang mengalami 

infark biasanya hanya mengalami gangguan 

metabolisme dan gangguan perfusi yang 

bersifat sementara yang disebut daerah 

penumbra (Gambar 2). Daerah ini masih 

bisa diselamatkan jika dilakukan perbaikan 

aliran darah kembali (reperfusi) segera, sehingga mencegah kerusakan sel yang lebih 

luas, yang berarti mencegah kecacatan 

dan kematian. Namun jika penumbra tidak 

dapat diselamatkan, maka akan menjadi 

daerah infark. Infark ini  bukan saja 

disebabkan oleh sumbatan, namun  juga akibat proses inflamasi, gangguan sawar darah 

otak (SDO) atau (blood brain barrierjBBB), 

zat neurotoksik akibat hipoksia, menurunnya aliran darah mikrosirkulasi kolateral, 

dan PENGOBATAN untuk reperfusi. 

Pacta daerah di sekitar penumbra, ada 

berbagai tingkatan keCEipatan aliran darah 

serebral atau cerebral blood flow (CBF). 

Aliran pacta jaringan otak normal yaitu  

40-SOccjlOOg otakjmenit, namun pada 

daerah infark, tidak ada aliran sama sekali 

(CBF OmL/lOOg otakjmenit) (Gambar 2). 

Pacta daerah yang dekat dengan infark CBF 

yaitu  sekitar lOccjlOOg otakjmenit. Daerah ini disebut juga daerah dengan am bang 

kematian sel (threshold of neuronal death), 

oleh karena sel otak tidak dapat hidup bila 

CBF di bawah SccjlOOg otakjmenit. 

Pacta daerah yang lebih jauh dari infark, 

dapatkan CBF sekitar 20ccj100g otakjmenit. Pacta daerah ini aktivitas listrik ne-uTonal 

terhenti dan struktur intrasel tidak terintegrasi dengan baik. Sel di daerah ini  

memberikan kontribusi pacta terjadinya defisit neurologis, namun memberikan respons 

yang baik jika dilakukan terapi optimal. 

Bagian yang lebih luar mendapatkan CBF 

30-40ccj100g otakjmenit, yang disebut 

dengan daerah oligemia. Bagian terluar 

yaitu  bagian otak yang n_o_rmal. Bagian ini 

mendapatkan CBF 40-SOccjlOOg otakjmenit. Bila kondisi penumbra tidak ditolong 

secepatnya maka tidak menutup kemungkinan daerah yang mendapat aliran darah 

dengan kecepatan kurangtadi akan berubah 

menjadi daerah yang infark dan infark yang 

terjadi akan semakin luas. 

Pacta daerah yang mengalami iskemia, terjadi penurunan kadar adenosine triphosphate (ATP), sehingga terjadi kegagalan 

pompa kalium dan natrium serta pening- 

katan kadar laktat intraselular. Kegagalan 

pompa kalium dan natrium memicu 

depolarisasi dan peningkatan pelepasan 

neurotransmiter glutamat. 

Depolarisasi meningkatkan kadar kalsium intraselular, sedangkan glutamat yang 

dilepaskan akan berikatan dengan reseptor glutamat, yakni N-metil-D-aspartat 

(NMDA) dan a-amino-3-hydroxy-5-methy/-

4-isonazo/ipropionid-acid (AMPA), yang 

selanjutnya akan memicu masuknya 

kalsium intraselular. Dengan demikian, 

hal ini  semakin meningkatkan kadar 

kalsium intraselular. Kalsium intraselular 

memicu terbentuknya radikal bebas, nitrit oksida (NO), inflamasi, dan kerusakan 

DNA melalui jalur enzimatik seperti Ca 2

• -

ATPase, calsium-dependent phospholipase, 

protease, endonuklease, dan kaspase yang 

keseluruhannya berkontribusi terhadap 

kematian sel.  

Faktor Lain yang Memengaruhi Daerah 

Penumbra 

Selain CBF yang sangat berpengaruh pacta 

daerah penumbra, ada beberapa faktor lain 

yang berperan terhadap perkembangan 

pasien pacta fase akut, antara lain stres oksidatif, asidosis derah penumbra, depolarisasi 

daerah penumbra, dan faktor inflamasi. 

1. Kondisi stres oksidatif, merupakan 

kondisi diproduksinya radikal bebas 

berupa 0 2

, hidroksil (OH), dan NO pacta keadaan iskemia serebral. Radikal bebas ini 

sangat mempengaruhi daerah penumbra 

akibat pembentukan rantai reaksi yang 

dapat menghancurkan membran sel, deoxyribonucleic acid (DNA), dan protein. 

Radikal bebas juga memicu gangguan mikrosirkulasi dan merusak sawar 

darah otak hingga memicu edema. 

Proses ini  akan terus berlangsung 

selama keadaan iskemia tidak segera ditangani, oleh karena radikal be bas bereaksi khususnya dengan lemak tidak jenuh 

(unsaturated lipid) yang banyak berada di 

membran neuron dan sel glia. 

2. Asidosis daerah penumbra terjadi akibat peningkatan metabolisme anaerob 

yang disebabkan oleh proses iskemia. 

Peningkatan metabolisme ini memicu 

pembentukan asam laktat, sehingga terjadi asidosis. ~sidos s memicu masuknya natrium (Na+) dan CJ·ke dalam sel 

melalui ikatan Na+j W dengan CI-/ HC03

-, 

sehingga terjadi edema intrasel dan peningkatan tekanan intrakranial (TIK). 

3. Depolarisasi daerah penumbra terjadi 

akibat kegagalan pompaNa+ jK+ dan berakibat terjadinya peningkatan kalium ekstra-

458 

sel. Sel neuronjsel glia akan mengalami 

penurunan aktivitas bioelektrik, kehilangan 

extracellular ionic gradient, dan masuknya 

Na diikuti Cl ke dalam sel. Seluruh proses ini 

akan berujung pacta edema intrasel. 

4. lnflamasi pada daerah penumbra akibat adanya iskemia. Respons inflamasi 

ini merupakan respons normal yang bertujuan untuk pembersihan debris sel, 

namun juga cenderung meningkatkan 

kerusakan jaringan serebral. Respons inflamasi berupa aktivasi brain resident cells 

seperti mikroglia dan astrosit, infiltrasi selsel inflamasi ke jaringan iskemik, seperti 

neutrofil, monosit, makrofag dan limfosit, 

serta peningkatan aktivasi mediator inflamasi dan infiltrasi mediator inflamasi 

ke jaringan otak. Adapun mediator yang 

bersifat pro-inflamasi terse but antara lain 

tumor necrosis factor (TN F)-a, interleukin 

(IL)-1~, interferon (IF)-~, serta IL-6) yang 

diproduksi oleh limfosit. 

GEJALA DAN TANDA KLINIS 

Tanda dan gejala klinis stroke sangat mudah 

dikenali. Hal ini secara praktis mengacu pada 

definisi stroke, yaitu kumpulan gejala akibat 

gangguan fungsi otak akut baik fokal maupun global yang mendadak, disebabkan oleh 

berkurang atau hilangnya aliran darah pada 

parenkim otak, retina, atau medula spinalis, 

yang dapat disebabkan oleh penyumbatan 

atau pecahnya pembuluh darah arteri maupun vena yang dibuktikan dengan pemeriksaan pencitraan otak danj atau patologi. 

Gejala gangguan fungsi otak pacta stroke sangat tergantung pada daerah otak yang terkena. Defisit neurologis yang ditimbulkannya 

dapat bersifat fokal maupun global, yaitu:  

• Kelumpuhan sesisijkedua sisi, kelumpuhan satu ekstremitas, kelumpuhan 

otot-otot penggerak bola mata, kelumpuhan otot-otot untuk proses menelan, 

bicara, dan sebagainya 

• Gangguan fungsi keseimbangan 

• Gangguan fungsi penghidu 

• Gangguan fungsi penglihatan 

• Gangguan fungsi pendengaran 

• Gangguan fungsi somatik sensoris 

• Gangguan fungsi kognitif, seperti: gangguan atensi, memori, bicara verbal, 

gangguan mengerti pembicaraan, gangguan pengenalan ruang, dan sebagainya 

• Gangguan global berupa gangguan kesadaran 

Pemeriksaan sederhana untuk mengenali 

gejala dan tanda stroke yang disusun oleh 

Cincinnati memakai  singkatan FAST, 

mencakup F yaitufacial droop (mulut mencongjtidak sirnetris), A yaitu arm weakness 

(kelemahan pada tangan), S yaitu speech 

difficulties (kesulitan bicara), serta T, yaitu 

time to seek medical help (waktu tiba di RS 

secepat mungkin). FAST memiliki sensitivitas 85% dan spesifisitas 68% untuk menegakkan stroke, serta reliabilitas yang baik 

pada dokter dan paramedis. 

Tanda klinis stroke juga dapat dilakukan 

dengan cara pemeriksaan fisik neurologi 

untuk mengkonfirmasi kembali tanda dan 

gejala yang didapatkan berdasar  anamnesis. Pemeriksaan fisik yang utama meliputi penurunan kesadaran berdasar  

Skala Koma Glasgow (SKG), kelumpuhan 

saraf kranial, kelemahan motorik, defisit 

sensorik, gangguan otonom, gangguan fungsi kognitif, dan lain-lain.  

Stroke Jskemik 

Diagnosa  DAN Diagnosa  BANDING 

Kriteria Diagnosa  stroke iskemik yaitu  

ada gejala defisit neurologis global 

atau salah satujbeberapa defisit neurologis 

fokal yang terjadi mendadak dengan bukti 

gambaran pencitraan otak (CT scan atau 

MRI). Adapun Diagnosa  banding yang paling sering, yakni stroke hemoragik (bila belum dilakukan CT / MRI otak). 

Diperlukan pemeriksaan penunjang untuk 

memastikan Diagnosa  serta untuk mengeksplorasi faktor risiko dan etiologi stroke 

iskemik berupa: 

a. Elektrokardiogram (EKG) 

b. Pencitraan otak: CT scan kepala non kontras, CT angiografi atau MRI dengan perfusi dan difusi serta magnetic resonance 

angiogram (MRA) 

c. Doppler karotis dan vertebralis 

d. Doppler transkranial (transcranial dop -

plerjTCD) 

e. Pemeriksaan laboratorium 

Pemeriksaan laboratorium di IGD yakni 

hematologi rutin, glukosa darah sewaktu, 

dan fungsi ginjal (ureum, kreatinin). Selanjutnya di ruang perawatan dilakukan pemeriksaan rutin glukosa darah puasa dan 2 jam 

pascaprandial, HbAlC, profil lipid, c-reactive protein (CRP), dan laju endap darah. 

Pemeriksaan hemostasis, seperti activated 

partial thrombin time (APTT), prothrombin time (PT), dan international normalized ratio (INR), enzim jantung (troponin, 

creatine kinase MB/CKMB), fungsi hati, tes 

uji fungsi trombosit (uji resistensi aspirin 

dan klopidogrel), serta elektrolit dilakukan 

atas indikasi.  

Pemeriksaan penunjang lain disesuaikan 

dengan indikasi (sebagian dapat dilakukan 

di ruang rawat) meliputi: 

1. Digital substraction angiography (DSA) 

serebral 

2. MR difusi dan perfusi a tau CT perfusi otak 

3. Ekokardiografi (transtorakal danjatau 

transesofageal) 

4. Rontgen toraks 

5. Saturasi oksigen, dan Analisa  gas darah 

6. Pungsi lumbal jika dicurigai adanya namun pada CT scan 

tidak ditemukan gambaran perdarahan 

7. EKG halter, jika dicurigai ada AF 

paroksismal 

8. Elektroensefalografi (EEG) jika dicurigai adanya kejang 

9. Penapisan toksikologi (misalnya alkohol, kecanduan obat) 

10. Pemeriksaan antikardiolipin dan antibodi antinuklear (ANA) jika dicurigai 

adanyalupus 

11. Pemeriksaan neurobehaviour 

Pemeriksaan Evaluasi Komplikasi 

Komplikasi pada stroke akut dapat berupa 

pneumonia, infeksi saluran kemih, trombosis 

vena dalam atau deep vein thrombosis (DVT), 

dekubitus, spastisitas dan nyeri, depresi, 

gangguan fungsi kognitif, serta komplikasi 

metabolik lain seperti gangguan elektrolit. 

PENGOBATAN 

PENGOBATAN untuk stroke iskemik akut baik 

secara umum maupun khusus mengacu dari 

pedoman yang telah dibuat di berbagai negara, sebagian besar dari AHA/ ASA (American Stroke Association) dan European Stroke 

Organisation (ESO) yang terbaru. Acuan ini 

terbagi dalam kekuatan rekomendasi kelas 

I-III (class) dengan kelas I yang terkuat dan 

kualitas bukti (level of evidence) dari A-C 

dengan level A yang tertinggi. 

PENGOBATAN Umum 

1. Stabilisasi }alan Napas dan Pernapasan 

a. Pemantauan status neurologis, adi, 

tekanan darah, suhu tubuh, dan saturasi oksigen secara kontinu dalam 72 

jam pertama (ESO kelas IV, good clinical practicejGCP) 

b. Pemberian oksigen jika saturasi oksigen <95% (ESO kelas IV, GCP) 

c. Perbaikan jalan nafas termasuk pemasangan pipa orofaring pada pasien 

yang tidak sadar; pemberian bantuan 

ventilasi pad a pasien yang mengalami 

penurunan kesadaran atau disfungsi 

bulbar dengan gangguan jalan napas 

(AHA/ASA kelas I, level C).  

d. Intubasi endotracheal tube (ETT) atau 

laryngeal mask airway (LMA) diperlukan pada pasien dengan hipoksia 

(p02 <60mmHg atau pC02 >SOmmHg), 

syok, atau pada pasien yang berisiko 

untuk mengalami aspirasi. 

e. Pipa endotrakeal diusahakan terpasang tidak lebih darL2 minggu, kalau 

lebih maka dianjurkan dilakukan trakeostomi. 

2. Stabilisasi Hemodinamik (Sirkulasi) 

a. Pemberian cairan kristaloid atau koloid 

intravena (IV), dan hindari pemberian 

cairan hipotonik seperti glukosa. 

b. Dianjurkan pemasangan kateter vena 

sentral (central venous catheterjCVC),  

upayakan tekanan vena sentral (central venous pressurej CVP) 5-12mmHg. 

c. Optimalisasi tekanan darah (lihat penatalaksanaan khusus). 

d. 8ila tekanan darah (TD) sistolik dibawah 120mmHg dan cairan sudah 

mencukupi, dapat diberikan agen 

vasopresor secara titrasi, seperti dopamin dosis sedang/ tinggi, norepinefrin atau epinefrin dengan target TD 

sistolik berkisar 140mmHg. 

e. Pemantauan jantung (cardiac monitoring) harus dilakukan selama 24 jam 

pertama setelah awitan serangan stroke 

iskemik (AHA/ ASA kelas I, level 8). 

f. 8ila ada adanya penyakit jantung kongestif, segera atasi (konsul 

kardiologi). 

3. Pengendalian Peningkatan Tekanan 

Intrakranial (TIK) 

a. Pemantauan ketat pada kasus dengan 

risiko edema serebri dengan memperhatikan perburukan gejala dan 

tanda neurologis pada hari-hari pertama setelah serangan stroke (AHA/ 

ASA kelas I, level 8). 

b. Monitor TIK harus di pasang pada pasien dengan GCS <9 dan pasien dengan 

penurunan kesadaran karena kenaikan 

TIK. (AHA/ ASA kelas V, level C). 

c. Sasaran-terapi yaitu  TIK kurang dari 

20 mmHg dan tekanan perfusi otak 

(cerebral perfusion pressure j CPP) 

>70mmHg. 

d. Penatalaksanaan peningkatan TIK 

meliputi:  

Stroke Iskemik 

1. Meninggikan posisi kepala 20-30° 

2. Memposisikan pasien dengan menghindari penekanan vena jugulare 

3. Menghindari pemberian cairan glukosa a tau cairan hipotonik 

4. Menghindari hipertermia 

5. Menjaga normovolemia 

6. Pemberian osmoterapi atas indikasi: 

• Manito! 0,25-0,50 grj kg88, 

selama >20 menit, diulangi setiap 4-6 jam dengan arget osmolaTitas ::::;310m0sm/ L (AHA/ 

ASA: kelas V, level C). 

• Jika perlu, berikan furosemid 

dengan dosis inisial lmg/ 

kg88 IV 

7. Intubasi untukmenjaga normoventilasi (pC02 35-40mmHg). Hiperventilasi mungkin diperlukan bila 

akan dilakukan tindakan operatif. 

8. Paralisis neuromuskular yang 

dikombinasi dengan sedasi yang 

adekuat dapat mengurangi peningkatan TIK dengan cara mengurangi naiknya tekanan intratorakal 

dan tekanan vena akibat batuk, 

suction, atau bucking ventilator 

(AHA/ASA: kelas III-V, level C). 

Agen nondepolarisasi seperti venkuronium atau pankuronium yang 

sedikit berefek pada histamin dan 

blok pada ganglion lebih baik dipakai  (AHA/ ASA kelas III-V, 

level C). Pasien dengan kenaikan 

kritis TIK sebaiknya diberikan 

pelemas otot (muscle relaxant)  

sebelum suction atau lidokain sebagai alternatif. 

9. Drainase ventrikular dianjurkan 

pada hidrosefalus akut akibat 

stroke iskemik serebelar (AHA/ ASA 

kelas I, level B). 

10. Tindakan bedah dekompresif 

pada keadaan iskemik serebelar yang menimbulkan efek masa 

(AHA/ ASA kelas I, level B). 

4. Pengendalian Kejang 

a. Bila kejang, dilakukan pemberian 

diazepam IV bolus lambat 5-20mg 

dan diikuti oleh fenitoin dosis bolus 15-20mgjkg dengan kecepatan 

maksimum 50mgjmenit. 

b. Obat kejang lain yang dapat diberikan 

yaitu  valproat, topiramat, atau levetirasetam, sesuai dengan klinis dan 

penyulit pada pasien. 

c. Bila kejang belum teratasi, rawat di I CU. 

5. Pengendalian Suhu Tubuh 

a. Setiap pasien stroke yang disertai febris harus diobati dengan antipiretik 

(asetaminofen) dan diatasi pemicu nya (AHA/ ASA kelas I, level C). 

b. Pada pasien demam berisiko terjadi infeksi, harus dilakukan kultur (trakeal, darah, dan urin) dan 

diberikan antibiotik. Jika memakai 

kateter ventrikular, Analisa  cairan 

serebrospinal harus dilakukan untuk mendeteksi meningitis. 

6. PENGOBATAN Cairan 

a. Pemberian cairan isotonis seperti 

NaCl 0,9%, ringer laktat, dan ringer 

asetat, dengan tujuan menjaga eu- 

volemi. CVP di pertahankan antara 

5-12mmHg 

b. Cairan yang hipotonik atau mengandung glukosa hendaklah dihindari, kecuali pada keadaan hipoglikemia. 

7. Nutrisi 

a. Nutrisi enteral paling lambat sudah 

harus diberikan dalam 48 jam, nutrisi oral hanya boleh diberikan setelah 

basil tes fungsi menelan baik. 

b. Bila ada gangguan menelan 

atau kesadaran menurun makanan 

diberikan melalui pipa nasogastrik. 

c. Pada keadaan akut kebutuhan kalori 

25-30kkal/kg/hari dengan komposisi: 

1) Karbohidrat 30-40% dari total 

kalori. 

2) Lemak 20-35% (pada gangguan 

nafas dapat lebih tinggi 35-55%). 

3) Protein 20-30% (pada keadaan 

stres kebutuhan protein 1,4-2,0g/ 

kgBB/hari (pada gangguan fungsi 

ginjal <0,8 gjkgBBjhari). 

d. Apabila kemungkiiian pemakaian 

pipa nasogastrik diperkirakan >6 

minggu, pertimbangkan untuk gastrostomi. 

e. Pada keadaan tertentuyaitu pemberian nutrisi enteral tidak memungkinkan, dukungan nutrisi boleh diberikan secara parenteral. 

f. Perhatikan diit pasien yang tidak bertentangan dengan obat-obatan yang 

diberikan ( misal: hindarkan makanan 

yang banyak mengandpng vitamin K 

pada pasien yang mendapat warfarin).  

8. Pencegahan dan Mengatasi Komplikasi 

a. Mobilisasi dan penilaian dini untuk 

mencegah komplikasi subakut (aspirasi, malnutrisi, pneumonia, DVT, 

emboli paru, dekubitus, komplikasi 

ortopedik, dan kontraktur perlu dilakukan) (AHA/ASA level B dan C). 

b. Berikan antibiotik atas indikasi dan 

usahakan sesuai dengan tes kultur 

dan sensitivitas kuman atau minimal 

terapi empiris sesuai dengan pola kuman (AHA/ASAlevelA). 

c. Pencegahan dekubitus dengan mobilisasi terbatas danfatau memakai kasur antidekubitus. 

d. Pada pasien tertentu yang berisiko 

menderita DVT seperti pasien dengan 

trombofilia, perlu diberikan heparin 

subkutan S.OOOIU dua kali sehari atau 

lO.OOOIU drip per24 jam, atau LMWH 

atau heparinoid. (AHA/ ASA level A). 

Perlu diperhatikan terjadinya risiko 

perdarahan sistemik dan perdarahan 

intraserebral. Pada pasien yang tidak 

bisa menerima antikoagulan, untuk 

mencegah DVT pada pasien imobilisasi direkomendasikan pemakaian  

stoking eksternal atau Aspirin (AHA/ 

ASA level A dan B). 

9. Penatalaksanaan Medik Umum Lain 

a. Hiperglikemia (kadar glukosa darah 

>180mg/dL) pada stroke akut harus 

diatasi dengan titrasi insulin (AHA/ 

ASA kelas I, level C). Target yang harus dicapai yaitu  normoglikemia. 

b. Hipoglikemia berat ( <SOmgfdL) harus diatasi dengan dekstrosa 40% IV  

Stroke Iskemik 

atau infus glukosa 10-20%. 

c. Manajemen hipertensi sesuai dengan protokol PENGOBATAN hipertensi stroke akut. 

d. Jika gelisah lakukan terapi psikologi, 

kalau perlu berikan major atau minor 

tranquilizer, seperti benzodiazepin 

kerja cepat atau propofol. 

e. Analgesik dan anti muntah sesuai 

indikasi. 

f. Pemberian antagonis HZ apabila ada 

indikasi (perdarahan lambung). 

g. Hati-hati dalam menggerakkan tubuh, penyedotan lendir atau memandikan pasien karena dapat mempengaruhi TIK. 

h. Mobilisasi bertahap bilahemodinamik dan pernafasan stabil. 

i. Kandung kemih yang penuh dikosongkan, sebaiknya dengan kateterisasi intermitten. 

j. Rehabilitasifrestorasi fisik, wicara 

dan okupasi. 

k. Atasi masalah psikologis ( depresi, ansietas, dan lain-lain), jika ada. 

I. Edukasi keluarga. 

m. Discharge planning (rencana pengelolaan pasien di luar RS). 

PENGOBATAN Spesifik 

1. Trombolisis Intravena 

Terapi trombolisis memakai  recombinant tissue plasminogen activator 

(rTPA) seperti alteplase dapat diberikan 

pada stroke iskemik akut dengan onset 

<6 jam secara intravena dengan mengikuti protokol serta kriteria inklusi dan 

eksklusi yang ditetapkan. Dosis yang  

dianjurkan adalab 0,6-0,9 mg/kgBB. Di 

RSUPN Cipto Mangunkusumo yang memiliki Code Stroke sebagai acuan tatalaksana trombolisis IV, memakai  dosis 

0,6 mg berdasar  studi]apan Alteplase 

Clinical Trial (JACT 2006). 

2. Terapi Neurointervensi/Endovaskular 

Adalab terapi yang memakai  kateterisasi untuk melenyapkan trombus 

di pembulub darab dengan cara melisiskan trombus secara langsung (trombolisis intraarterial) atau dengan menarik 

trombus yang menyumbat dengan alat 

khusus (trombektomi mekanik). 

Hal ini bermula dari sejarab dipakai nya trombolisis untukmelisiskan trombus 

yang mengobstruksi arteri dalam upaya 

mengembalikan tekanan perfusi. Pada 

1995 Food Drug Administration (FDA) 

menyetujui recombinant tissue-type 

plasminogen activator (r-tPA) intravena 

(IV) sebagai tatalaksana efektif untuk 

stroke akut berdasar  basil penelitian 

randomized controlled trial (RCT) yang 

menunjukkan efektivitas rTPA ini. 

Sampai 2015, rTPA adalab satu-satunya 

tatalaksana definitif pada pasien stroke 

dengan onset kurang dari 4,5 jam dan 

menjadi tatalaksana tunggal yang terbukti efektif untuk stroke iskemik. Setarna 22 tabun terakhir ini rTPA dilakukan 

pada sekitar 13% pasien, dengan basil 

sebanyak 30% sembub tanpa sekuele 

ataupun sekuele ringan. 

Namun pada kasus oklusi proksimal dari 

arteri serebri, keluaran klinis kurang 

baik, karena angka rekanalisasi awal 

pasca trombolisis IV yang rendab. Selain  

itu ada faktor eksklusi yang mengbalangi pasien untuk mendapatkan terapi definitif rTPA. Oleb karena itu dipikirkan tatalaksana yang dapat menjangkau 

emboli a tau trombus tepat di arteri yang 

dioklusinya yang disebut sebagai tindakan neurointervensifendovaskular. 

Sepanjang sejarab penelitian neurointervensi untuk membuang trombus pada 

stroke iskemik akut, basilnya mengecewakan selama 20 tahun terakhir. Dimulai 

dengan penelitian Proact II 1999 berupa 

pemberian Prourokinase langsung di lesi 

oklusi arteri serebri media (middle cerebral arteryfMCA) gagal mendapatkan 

persetujuan FDA, bingga penelitian Merci 

(coil retriever) yang walaupun mendapatkan persetujuan dari FDA, namun  basilnya 

bel urn meyakinkan AHA/ ASA untuk memasukkannya ke dalam guideline. 

Akhirnya, pada Desember 2014 muncul 

4 penelitian RCT sekaligus dalam waktu 

berdekatan, babkan pada April 2015 

muncul basil penelitian RCT ke-5 yang 

menjawab teka-teki yang membingungkan dalam 20 tabun terakhir ini. Kelima 

penelitian ini yaitu  Multicenter Randomized. Clinical Trial of Endovascular 

Treatment for Acute Ischemic Stroke in 

the Netherlands (MR CLEAN), Endovascular Treatment for Small Core and Anterior 

Circulation Proximal Occlusion with Emphasis on Minimizing CT to Recanalization 

Times (ESCAPE), Extending the Time for 

Thrombolysis in Emergency Neurological 

De-ficits-Intra-Arterial (EXTEND lA), 

Solitaire with the Intention for Thrombectomy as Primary Endovascular Treatment 

Trial (SWIFT PRIME), dan Randomized  

Trial of Revascularization with the Solitaire FR Device Versus Best Medical Therapy 

in the Treatment of Acute Stroke Due to Anterior Circulation Large Vessel Occlusion 

Presenting within Eight Hours of Symptom 

Onset (REVASCAT) Studies. 

Hasil dari kelima penelitian inilah yang 

membuat AHA/ ASA mengeluarkan pedoman tatalaksana neurointervensi baru 

pada kasus stroke iskemik akut, yaitu tindakan neurointervensi dengan alat stent 

retriever diakui sebagai salah satu tindakan definitif untuk tatalaksana stroke 

iskemik akut dengan trombusfemboli di 

pembuluh darah MCA. 

Trombektomi mekanik merupakan suatu 

prosedur endovasklilar yang dilakukan 

pada pasien yang memenuhi persyaratan 

sesuai rekomendasi terapi neurointervensifendovaskular pada stroke iskemik 

akut, yaitu: 

a. Pasien yang memenuh kriteria pemberian trombolisis IV dan akan dilakukan terapi endovaskular harus 

tetap diberikan trombolisis terlebih 

dahulu (AHA/ ASA kelas I; level A). 

b. Pasien harus mendapatkan terapi 

endovaskular dengan memakai  

stent retriever jika memenuhi semua 

kriteria berikut (AHA/ ASA kelas I; 

level A): 

1) Skor modified rankin scale (mRS) 

pre-stroke 0 sampai 1 

2) Stroke iskemik akut yang telah 

mendapatkan terapi trombolisis 

intravena dalam waktu 4,5 jam 

setelah onset  

Stroke lskemik 

3) Stroke disebabkan karena oklusi 

pada arteri karotis interna atau arteri serebri media cabang proksimal 

4) Usia ~18 tahun 

5) Skor National Institutes of Health 

Stroke Scale (NIHSS) ~6 

6) Skor Alberta Stroke Programme 

Early CT Score (ASPECTS) ~6 

ASPECTS merupakan skor yang dipakai  untuk membantu mengidentifikasi kandidat terapi trombolisis pada stroke akut. Sistem skor 

ini dipakai  untuk mendeteksi perubahan iskemik awal (early ischemic changes) pada pemeriksaan CT 

scan di daerah yang diperdarahi oleh 

MCA Gambaran perubahan iskemik 

ini dapat berupa hipoatenuasi, penurunan diferensiasi substansia grisea 

dan substansia alba, serta edema fokal. 

Skor ASPECTS membagi teritori MCA 

menjadi 10 area (Gambar 3, Tabel1). 

Prosedur ini idealnya dilakukan 

dalam anestesi umum. Tindakan dilakukan bersamaan dengan prosedur 

angiografi konvensional dengan 

mikrokateter sebagai pemandu untuk menentukan lokasi trombus, kemudian alat stent retriever dipakai  

untuk menghilangkan trombus yang 

menyumbat sehingga diharapkan 

terjadi rekanalisasi pembuluh darah 

(Gambar4). 

7) Terapi dapat dimulai melalui tindakan groin puncture atau pungsi 

arteri femoralis maksimal 6 jam 

setelah onset stroke  

c. Sejak 2015, AHA/ ASA membuat pedoman baru mengenai tatalaksana 

trombektomi pada pasien stroke 

iskemik akut dengan onset dibawah 

6 jam. Pada pasien yang terindikasi 

trombektomi, pemakaian  stent retriever dapat dijadikan pilihan.  

d. Meskipun manfaatnya belum jelas, 

pada kasus stroke yang disebabkan 

oklusi di arteri serebri media cabang 

M2 atau M3, arteri serebri anterior, 

arteri vertebralis, arteri basilaris atau 

arteri serebri posterior, pemakaian  

terapi endovaskular dengan stent re 

triever dapat dipertimbangkan (AHA/ 

ASA: kelas lib; level C). 

e. Pada stroke yang disebabkan karena 

oklusi pembuluh darah sirkulasi posterior ( arteri vertebralis, arteri basilaris atau arteri serebri posterior), 

groin puncture maksimal dapat dilakukan 24 jam setelah onset stroke. 

4. Pemberian Antikoagulan sebagai 

Pencegahan Sekunder 

a. Pemberian antikoagulan rutin terhadap pasien stroke iskemik akut 

dengan tujuan untuk memperbaiki keluaran atau sebagai pencegahan dini 

terjadinya stroke ulang tidak direkomendasi (AHA/ ASA: kelas III, level A). 

b. Pengobatan antikoagulan dalam 24 

jam terhadap pasien yang mendapat 

rTPA intravena tidak direkomendasi 

(AHA/ ASA: kelas III, level B). 

Stroke Jskemik 

c. Pemberian antikoagulan tidak dilakukan sampai ada hasil pemeriksaan 

pencitraan otak memastikan tidak ada 

perdarahan intrakranial primer. Pasien 

yang mendapat antikoagulan perlu dilakukan monitor kadar antikoagulan. 

d. Tidak ditemukan manfaat pemberian 

heparin pada pasien stroke akut dengan AF, walaupun masih dapat diberikan pada pasien yang selektif. Aspirin 

dan dilanjutkan dengan pemberian 

warfarin untuk prevensi jangka panjang dapat diberikan. 

e. Warfarin merupakan pengobatan lini 

p~rtama untuk P..enceiahan sekunder 

stroke iskemjk...pada kebanyakan kasus stroke kardio-emboli. 

f. pemakaian  warfarin harus hati-hati, 

karena dapat meningkatkan resiko 

perdarahan. Oleh karena itu perlu monitor INR paling sedikit 1 bulan sekali.  

g. Warfarin dapat mencegab terjadinya · 

stroke emboli kardiogenik dan mencegah emboli ulang pada keadaan risiko 

mayor. Dapat dimulai dari dosis 2mg 

:e_erharl dengan target INR 2,0-3.0, 

Pemeriksaan INR awal yaitu  rutin per 

3 bari selama 2 mjnggu Selanjutnya pe-

~antauan 1 minggu sekali dan setelah 

1 bulan dilakukan 1 bulan sekali. 

h. Selain warfarin, pada stroke kardioemboli yang disebabkan karena fibrilasi atrial nonvalvular dapat diherikan new oral anticoq,gulant (NOAC) 

sepeiti dabigatran (2 x 75mg atau 2 x 

· 110mg), rivaroksaban (1 x 10mg atau 

1 x 15 mg), dari apiksaban [1 x 5 mg), 

sebagai pencegahan sekunder. Tidak 

ada pemeriksaan darab untuk pemantauan khusus pada pemberian NOAC. 

5. Pemberian Antiagregasi Trombosit 

a. Pemberian aspirin dengan dosis awal 

~25mg dcilam 12 jam setelah onset 

stroke dianjurkan untuk setiap stroke 

iskemik akut (AHA/ ASA: kelas I, level A). 

b. Aspirin diberikan sebagai terapi 

pencegaban sekunder, sebingga tidak 

boleb dipakai  sebagai pengganti 

tindakan intervensi yang bertujuan 

untuk revaskularisasi (seperti trombolisis intravena) (AHA/ ASA: kelas 

III, level B). 

c. Jika direncanakan pemberian trombolisis, aspirin jangan diberikan. 

d. Tidak direkomendasikan pemakaian  

aspirin sebagai terapi ajuvan dalam 24 

jam setelab pemberian obat trombolitik [AHA/ ASA: kelas III, level A). 

e. Pemberian antitrombosit intravena 

yang mengbambat reseptor glikopro- 

tein lib/Ilia tidak dianjurkan (AHA/ 

ASA: kelas III, level B). 

f. Untuk pencegaban kejadian stroke 

iskemik, infark jantung, dan kematian 

akibat vaskuler, klopidogrel 75mg 

lebib baik dibandingkan dengan aspirin dan dapat diberikan pada fase 

akut atau setelab fase akut selesai. 

g. Pemberian klopidoR!_el dikombinasikan dengari aspirin selama 21 bari 

sampai 3 bulan ~ang dilanjutkan de-

~gan pemberian clopidogrel s~, superior untuk mencegab stroke pada 

pasien TIA dan stroke iskemik ringan 

(NIHSS <5). 

6. PENGOBATAN Spesifik Lain dan Neuroproteksi 

a. Hemodilusi tidak dianjurkan dalam 

terapi stroke iskemik akut (AHA/ 

ASA: kelas III, level A). 

b. Pemakaian obat bemoreologik seperti pentoksifilin dapat dipertimbangkan pada stroke iskemik akut dengan 

biperviskositas. 

c. Tindakan carotid endarterectomy 

(CEA) dan carotid artery stenting 

(CAS) dapat dipertimbangkan untuk 

dikerjakan pada pasien stroke iskemik dengan stenosis karotis komunis/ 

interna C?:50% sebagai upaya pencegaban sekunder. Namun demikian, 

tindakan ini  dilakukan setalab 

fase akut. (AHA/ ASA: kelas I, level A). 

d. Meskipun berbagi basil penelitian 

menunjukkan basil yang berbeda, 

pemakaian  agen neuroprotektor dan 

neurorecovery seperti sitikolin, piracetam, pentoksifilin, neuropeptida ProS 

Gly9-Pro10 ACTH (4-10), DLBS 1033, 

dan MLC 601 dapat dipertimbangkan. 

e. Edema serebri yaitu  pemicu  

utama dari kemunduran dini dan kematian pada pasien dengan stroke 

iskemik luas (teritorial). Edema ini 

biasanya berkembang antara hari 

ke-2 dan ke-5 dari awitan stroke, 

namun  menjelang hari ke-3, pasien 

dapat mengalami kemunduran neurologi dalam 24 jam sesudah awitan 

keluhan. Direkomendasikan ·pasien 

dengan stroke iskemik luasfteritorial untuk dirawat di ICU/HCU dalam 

1 minggu pertama sejak onset stroke. 

f. Kraniektomi dekompresi direkomendasikan pada pasien stroke iskemik 

luas yang mengalami edema serebri 

(malignant brain infarction) untuk menyelamatkan jiwa namun dengan risiko 

gejala sisa gangguan neurologik yang 

berat. Tindakan dilakukan dalam 48 

jam sesudah awitan keluhan dan direkomendasikan pada pasien yang 

·berusia <60 tahun (AHA/ ASA: kelas 

I, level A). 

g. Mild hypothermia (dengan targettemperatur otak antara 33-35°C) mengurangi mortalitas pada pasien dengan 

infark arteri serebri media luas, namun dapat memicu efek samping yang berat meliputi krisis TIK 

sepanjang pengembalian suhu tubuh. 

h. Direkomendasikan tindakan pirau ventrikel peritoneal (VP shunt) atau bedah 

dekompresi untuk terapi infark serebelum luas yang menekan batang otak. 

i. Penatalaksanaan trombosis vena serebral dilakukan secara komprehen- 

Stroke lskemik 

sif, yaitu dengan terapi anti trombotik 

(terutama antikogulan), terapi simtomatik, dan terapi penyakit dasar. 

j. Tidak ada data penelitian tentang 

lama pemberian antikoagulan untuk trombosis vena serebral. Beberapa studi merekomendasikan 

pemberian antikoagulan sekurangkurangnya 3 bulan, diikuti pemberian terapi antitrombosit (AHA/ ASA: 

kelas II A, level C). 

Neurorehabilitasi/Neurorestorasi Pascastroke 

Tatalaksana neurorehabilitatif pascastroke 

mengalami perubahan dalam 15 tahun terakhir. Konsep masa kini untuk pemulihan de: 

fisit neurologis pascastroke mencakup ranah 

yang lebih luas dan berkembang menjadi 

cabang ilmu neurologi yang dikenal sebagai 

neurorestoratologi. Hal ini mencakup neurorestorasi struktural dan signaling neuron, 

dan neuromodulasi, selain tindakan neurorestorasi rehabilitatif. Tindakan neurorestorasi pascastroke diberikan mulai dari fase akut, 

sub-akut, sampai dengan fase kronik. Untuk 

selengkapnya dapat dilihat pada bah Prinsip 

Dasar Neurorestorasi Pascacedera Saraf. 

Edukasi 

Oleh karena stroke memicu keadaan 

morbiditas yang tinggi, maka dibutuhkan pemahaman dan kerja sama antara 

pasien dan keluarga dengan klinisi, untuk 

mendapatkan basil terapi yang maksimal, 

antara lain dengan pemberian edukasi yang 

informatif mengenai: 

• Penjelasan sebelum masuk RS (rencana 

rawat, biaya, pengobatan, prosedur, masa 

dan tindakan pemulihan dan latihan, 

manajemen nyeri, risiko dan komplikasi). 

 

• Penjelasan mengenai stroke iskemik, 

risiko dan komplikasi selama perawatan. 

• Penjelasan mengenai faktor risiko dan 

pencegahan stroke berulang. 

• Penjelasan program pemulangan pasien 

(discharge planning). 

• Penjelasan mengenai gejala stroke, dan 

yang harus dilakukan sebelum dibawa 

keRS. 

Adapun prognosis ad vitam, ad sanationam, 

dan ad fungsionam pasien biasanya dubia 

adbonam. 

CONTOH KASUS 

1. Seorang perempuan umur 42 tahun, 

datang ke IGD dengan keluhan utama 

kelemahan anggota gerak kiri sejak 4 

jam sebelum masuk RS. Empat jam sebelum masuk RS, saat pasien duduk 

nonton televisi di rumah, tiba-tiba 

pasien merasa mengalami kelemahan 

pada tangan dan kaki sebelah kiri. Keluhan disertai bicara pelo dan mulut 

mencong. Tidak ada keluhan nyeri kepala, muntah, penurunan kesadaran 

maupun kejang. CT scan kepala dalam 

batas normal. Pasien memenuhi kriteria 

inklusi trombolisis dan diberikan terapi 

ini . Setelah pemantauan selama 

24 jam, ada perbaikan klinis. Tidak 

ditemukan efek samping. 

Dua belas tahun tahun lalu, didapatkan 

riwayat kelemahan dan baal tubuh sisi 

kiri. Keluhan ini  membaik dalam 

waktu kurang dari 8 jam. Hasil pemeriksaan MRI menunjukkan adanya infark multipel. Tidak ditemukan faktor 

risiko mayor (hipertensi, diabetes melitus, atrial fibrilasi, merokok). Berdasar- 

kan konsul ke bagian hematologi, pasien 

dikatakan menderita antiphospholipid 

syndrome (APS) dengan kadar ACA 40 

unit. Pasien mendapatkan pengobatan 

warfarin lx2mg dan asam asetilsalisilat 

lx80mg. Pada riwayat persalinan, pasien 

memiliki 2 orang anak laki-laki dengan 

riwayat kelahiran normal. Selama 8 bulan terakhir, pasien tidak minum obat 

karena tidak merasa ada keluhan. 

Pertanyaan: 

a. Apakah yang memicu terjadinya stroke berulang pada pasien? 

b. Apakah jenis stroke yang tidak diketahuipemicu nya? 

c. Bagaimana pencegahan stroke yang 

paling tepat untuk pasien? 

d. Apakah tidak ada kontraindikasi 

trombolisis pada kasus APS? 

Jawaban: 

a. Faktor risiko terjadinya stroke berulang pada pasien yaitu  APS yang 

merupakan suatu kelainan genetik 

Hal ini terjadi karena pasien tidak 

mengkonsumsi obat sejak 8 bulan 

terakhir. Tanpa PENGOBATAN yang optimal, pasien rentan mengalami trombosis di seluruh tubuh. 

b. Stroke yang tidak diketahui faktor 

risikonya disebut stroke kriptogenik 

AHA/ ASA tahun 2015 mendapatkan 

data bahwa angka kejadian stroke 

kriptogenik mencapai 30%, terdiri 

dari occult paroxysmal atrial fibrillation (AF), APS, dan patent foramen 

ovule (PFO) 

c. PENGOBATAN terbaik untuk pencegahan stroke berulang yaitu  pemberian  

antikoagulan (warfarin 1x2mg) dan 

antitrombosit (aspilet 1x80mg) dengan target INR 2-3. 

d. Kasus APS bukan merupakan kontraindikasi trombolisis. Malah APS 

merupakan salah satu faktor risiko 

terjadinya kasus trombosis vena 

dalam yang juga dapat ditatalaksana 

dengan trombolisis. 

2. Laki-laki, umur 58 tahun, datang ke !GO 

dengan keluhan kelemahan lengan dan 

tungkai kanan mendadak 3 jam sebelum 

masuk RS. ada riwayat hipertensi, 

OM, dan fibrilasi atrial. Pasien mengkonsumsi warfarin 2 mg setiap hari dan tidak 

ada keluhan apapun sebelumnya. 

Oari pemeriksaan fisik didapatkan TO 

110/70mmHg dan frekuensi nadi 110x/ 

menit ireguler, dan SKG E4M6Vafasia 

global dengan NIHSS 15. EKG didapatkan kesan atrial fibrilasi rapid response 

(AFRR). Pasien terindikasi trombolisis 

dan code stroke diaktifkan. Pada CT scan 

Stroke lskemik 

didapatkan hyperdense MCA sign kiri, 

early ischemic changes di kiri (Gambar 

5), tidak ditemukan perdarahan (skor 

ASPECTS=10) 

berdasar  gejala klinis dan pencitraan, 

diduga ada emboli pada pembuluh 

darah besar otak. Pasien direncanakan 

menjalani terapi trombolisis IV sesuai 

pedoman AHA/ ASA 2015. Pasien sedang 

dalam terapi warfarin dari dokter sebelumnya. Hasil INR 1,29 dan tidak menjadi 

kontraindikasi trombolisis IV (kontraindikasi bila INR> 1,5). 

Pasien diberikan alteplase dengan dosis 

0,6mgjkgBB. Pertama diberikan 10% 

dosis melalui bolus IV. Setelah istirahat 

15 menit, dilanjutkan 90% dosis sisanya 

dalam waktu 45 menit. Ketika pasien 

sedang dalam terapi rumatan ini , 

pasien menjalani persia pan OSA di ruang 

tindakan (catheterization Ia bora tory). 

Hasil OSA didapatkan oklusi pada MCA 

kiri di M1 (Gambar 6). 

 

Pasien dilakukan trombektomi memakai  stent retriever sesuai dengan kriteria 

AHA/ ASA 2015, yaitu: 

a. Skor mRS prestroke pasien ini = 0 

b. Stroke iskemik akut yang telah 

mendapatkan terapi trombolisis intravena dalam waktu 4,5 jam setelah onset 

c. Stroke akibat oklusi pada arteri serebri 

media cabang proksimal 

d. Usia ~18 tahun, yaitu 58 tahun 

e. Skor NIHSS ~6, yaitu 15 

f. Skor ASPECTS=10 

g. Pasien dapat dilakukan tindakan pungsi 

arteri femoralis maksimal 6 jam setelah 

onset stroke 

Alat yang dipakai  yaitu  Solitairetm, salah 

satu pilihan stent retriever yang tersedia di 

Indonesia dengan hasil penelitian yang baik. 

Stent dimasukkan, kemudian ujung stent dipasang pada M1-M2junction di arteri sere-

472 

bri media dan diletakkan selama 5 menit 

hingga mengembang sempurna (Gambar 7). 

Ketika stent ditarik, seluruh embolijtrombus 

dapat ditarik sempurna tanpa meninggalkan 

sisa embolijtrombus yang baru ke arah distal. Setelah itu, stent ditarik dan dikeluarkan. 

Pasien menjalani pemeriksaan angiografi 

ulang dan didapatkan oklusi MCA kiri telah 

terbuka. Pada pasien ini terjadi rekanalisasi 

dengan skala thrombolysis in cerebral infarction (TIC!) perfusion scale 2bf3 (Gambar 6). 

Pada stent retriever yang telah ditarik, didapatkan bekuan darah emboli yang sudah 

dievakuasi (Gam bar 8). 

Pascatindakan, pasien dirawat di ruang rawat 

intensif. Pada hari kedua, ada perbaikan 

NIHSS menjadi 10. Pasien pulang setelah 

hari perawatan ke-16 dengan NIHSS akhir 8 

setelah perbaikan kondisi AFRR dan terapi 

warfarin sebagai prevensi stroke sekunder.  











CEREBRAL SMALL VESSEL DISEASE 


Otak manusia yaitu  organ yang sangat 

menakjubkan. Dengan berat ±1320gram 

(2% berat badan manusia), otak mempunyai kebutuhan besar terhadap energi oksigen dan glukosa untuk menjalankan fungsinya secara normal. Kebutuhan ini akan 

bergantung pacta sirkulasi darah yang dikenal dengan cerebral blood flow, mengalir 

ke seluruh otak sejumlah 50mL/100gram 

otakjmenit (setara dengan 972Lj hari) dan 

memberikan energi pacta 151,5 milyar sel 

sarafyang memiliki 150 triliun sinaps untuk 

melakukan komunikasi internal. 

Energi oksigen yang dibutuhkan otak yaitu  

72Ljhari (3,7mL/100gram otakjmenit), 

dengan kebutuhan glukosa otak sebanyak 

107gj hari (5,5mgj 100g otakjmenit). Kebutuhan energi yang berasal dari adenosine triphosphate (ATP) yaitu  17,4mmoL/ 

hari (1,1mmolj100g otakjmenit). Sebagian 

besar energi (87%) dibutuhkan untuk aktivitas potensial aksi membran sel dan 13% 

dipakai  sebagai rumatan potensial membran sel dalam keadaan istirahat.   

Distribusi kebutuhan energi dalam sistem 

sirkulasi otak disuplai melalui 3 pembuluh 

darah utama yaitu pembuluh darah parent 

artery dilanjutkan cortical branch artery dan 

diakhiri dengan penetrating artery (Gambar 

1). Yang termasuk pembuluh darah parent 

artery yaitu  a. serebri media, a. serebri anterior, a. serebri posterior, a. vertebralis, dan a. 

basilaris. Pengembalian aliran darah menuju 

pusat akan melalui pembuluh darah vena, yaitu melalui vena kapiler, dilanjutkan ke venula 

dan selanjutnya ke vena. Penetrating artery 

merupakan pembuluh darah kecil yang merupakan bagian terakhir dari sistem arteri yang 

akan berhubungan dengan vena-vena kapiler. 

Gangguan pembuluh darah kecil (small vessel 

disease) meliputi gangguan yang terjadi pad a 

penetrating vessels dan vena kapiler yang 

dapat menghambat pengembalian sirkulasi 

darah kotorini  (Gambar 2). Manifestasi 

klinis gangguan ini  berimbang dengan 

lesi yang ditimbulkannya di otak. Pada 

Cerebral Small Vessel Disease 

umumnya manifestasi ini berupa gangguan 

pada sel, serabut saraf, maupun pembuluh 

darah halus. Gambaran dari small vessel 

disease dapat berupa infark lakunar, white 

matter lesion atau leukoaraiosis maupun 

perdarahan mikro. pemicu  kelainannya 

juga sangat beragam mulai dari kelainan 

vaskular berupa arteriosklerosis, infeksi, 

inflamasi dan autoimun, angiopati genetik 

seperti cerebral amyloid angiopathy dan 

venous collagenosis, serta penyakit-penyakit 

pembuluh darah kecillainnya. 

DEFINISI 

Cerebral small vessel disease (CSVD) merupakan kondisi klinikopatologis yang sangat 

penting karena merupakan 20% dari pemicu  stroke di seluruh dunia, dan merupakan 

pemicu  tersering demensia vaskular maupun demensia campuran (demensia vaskular dan penyakit Alzheimer). lstilah CSVD 

dipakai  dalam berbagai aspek termasuk 

aspek klinis, patologis, dan pencitraan.  

Dalam aspek klinis, pengertian CSVD memiliki spektrum yang sangat luas yang dapat 

memberikan manifestasi klinis maupun tidak. Manifestasi klinis dapat bervariasi seperti sakit kepala, gangguan fungsi kognitif, 

gangguan gait, hingga kelumpuhan. Oleh 

karena itu, pengertian CSVD lebih mengacu 

pada gambaran patologis pembuluh darah 

kecil di otak. termasuk arteri kecil, arteriol, 

kapiler, vena kapiler, venula, dan vena. Namun, seringkali istilah ini hanya ditujukan 

kepada pembuluh darah arterial, sedangkan 

kompartemen vena kurang mendapat perhatian, sehingga CSVD disebut juga sebagai 

arterial small vessel disease. 

Pembuluh darah otak yang terlibat dalam 

CSVD yaitu  pembuluh darah kecil di leptomeningeal dan intraparenkimal, seperti 

pembuluh darah ganglia basal, bagian perifer substansia alba (white matter), arteri 

leptomeningeal, pembuluh darah pada substansia alba serebelum dan talamus, dan 

pembuluh darah batang otak. Meskipun 

umumnya pembuluh darah kortikal tidak 

terlibat dalam CSVD, namun CSVD dapat 

ditemukan pada korteks bagian dalam (deep 

gray matter). 

Pembuluh darah kecil sendiri diartikan sebagai pembuluh darah yang berdiameter 

<SOOf.Lm yang berlokasi di subkortikal (dan 

merupakan end arteries) atau pembuluh darah berdiameter <SOf.Lm yang berasal dari 

basal (yang disebut sebagai small perforating arteries). Pembuluh darah kecil seperti 

arteri kecil, arteriol, dan kapiler memiliki 

perbedaan struktur histologis. Arteriol dan 

arteri kecil sama-sama mempuny;:~i tunika 

muskularis namun  arteriol tidak mempunyai 

lamina elastika.  

Cerebral arterial small vessels berasal dari 2 

cabang, yaitu cabang superfisial dan cabang 

profunda. Cabang superfisial yaitu  cabang 

sirkulasi subaraknoid yang merupakan 

pembuluh darah terminal dari pembuluh 

darah berukuran sedang. Cabang profunda 

berasal dari bagian basal, yang merupakan 

cabang langsung dari pembuluh darah besar yang selanjutnya masuk ke dalam parenkim menjadi arteri perforator. Kedua sistem 

pembuluh darah ini  berjalan menuju 

bagian dalam dari parenkim. Setelah melewati lapisan kortikal serta deep gray structures, kedua sistem pembuluh darah ini  akan bersatu di watershed area, suatu 

area terdalam dari subcortical white matter. 

Hal yang penting diperhatikan yakni pembuluh darah kecil tidak dapat divisualisasikan, berbeda dengan pembuluh darah besar. 

Oleh karena itu, lesi parenkim otak sebagai 

akibat perubahan pembuluh darah kecil dipakai  sebagai penanda CSVD. Selain itu, 

istilah CSVD seringkali dipakai  untuk 

menggambarkan komponen iskemik dari 

proses patologis pembuluh darah kecil, meliputi infark lakunar dan white matter lesion. 

Namun yang ada yang perlu diperhatikan 

yaitu  pasien dengan small vessel disease 

juga sangat berisiko untuk terjadi perdarahan. Jenis patologis yang terjadi juga dipengaruhi oleh lokasi pembuluh darah yang 

terkena. Kelainan pada pembuluh darah kecil cabang superfisial dapat memicu 

angiopati amiloid serebral (cerebral amyloid 

angiopathyjCAA) dan lobar microbleeds. Sementara itu, kelainan pada pembuluh darah 

profunda dikaitkan dengan kelainan berupa 

arteriosklerosis, deep microbleeds, perubahan white matter, dan infark lakunar (Gambar 3).  

KLASIFIKASI DAN EPIDEMIOLOGI CSVD 

Lesi CSVD sangat bervariasi, dapat mengenai daerah tertentu seperti subkortikal, namun dapat meluas seperti yang terjadi pacta 

white matter lesion. Klasifikasi CSVD didasarkan pacta etiopatologi, antara lain arteriosklerosis, cerebral amyloid angiopathy 

(CAA), CSVD yang diturunkan secara genetik, CSVD akibat inflamasi dan immunologi, 

kelainan vena, dan CSVD lainnya (Tabell). 

Penilaian CSVD dinilai berdasar  konsep 

pencitraan, oleh karenanya ada standar penilaian yang disebut standards for reporting 

vascular changes on neuroimaging (STRIVE), 

yang meliputi: 

1. 6 tipe Jesi pencitraan: 

a. Infark subkortikal (infark lakunar) 

b. Lacune karena gangguan vaskular  

c. White matter lesion karena gangguan 

vaskular 

d. Virchow Robbin space atau rongga 

perivaskular 

e. Cerebral microbleeds 

f. Atrofi otak 

2. pemakaian  bahasa dan istilah yang 

sama untuk manifestasi CSVD yang terlihat pacta gam bar MRI 

3. Penetapan standar minimum image acquisition dan Analisa  pencitraan 

4. Kesepakatan standar pelaporan ilmiah 

terhadap perubahan parenkim otak terkait CSVD pacta pencitraan. Selain itu 

dilakukan review teknik pencitraan terbaru urrtuk mendeteksi dan mengkuantifikasi manifestasi preklinik CSVD.  


Kesepakatan standar pelaporan ilmiah terhadap perubahan parenkim otak terkait 

CSVD pada pencitraan. Selain itu dilakukan 

review teknik pencitraan terbaru untuk 

mendeteksi dan mengkuantifikasi manifestasi preklinik CSVD. 

480 

CSVD tipe 1 (arteriosklerosis) dan tipe 2 

(Cerebral amyloid angiopathy (CAA) sporadik dan herediterJ yaitu  yang paling 

sering ditemukan, sementara CSVD tipe 3 

termasuk jarang. Di antara penyakit yang 

tergolong dalam tipe ini, cerebral autosomal  


dominant arteriopathy with subcortical ischemic strokes and leukoencephalopathy (CADASIL) dan penyakit Fabry (Fabry's disease) 

yaitu  yang paling banyak ditemukan dan 

penting sebagai dasar pemahaman patogenesis CSVD sporadik. 

CSVD dapat dimediasi oleh proses inflamasi 

dan imunologi yang didapat (bukan herediter). Kelainan ini dimasukkan dalam CSVD 

tipe 4. CSVD tipe 5 berupa venous collagenosis, yang merupakan gambaran patologis 

dari vena dan venula yang berlokasi dekat 

dengan ventrikellateral. Abnormalitas komponen kolagen memicu penebalan 

dinding vena, sehingga menimbulkan penyempitan lumen dan terjadi oklusi. 

CSVD tipe 6 (small vessel disease lainnya) 

mencakup angiopati pasca radiasi dan CSVD 

non-amyloid pada kapiler dan membran basal pasien Alzheimer. Angiopati pascaradiasi merupakan efek samping yang tertunda 

dari cerebral irradiation therapy (setelah 

bebe-rapa bulan atau tahun). CSVD pascaradiasi ini  paling sering mengenai 

pembuluh darah kecil di white matter yang 

menunjukkan adanya nekrosis fibrinoid, 

penebalan dinding pembuluh darah karena 

penumpukan hialin, penyempitan lumen, 

dan sumbatan trombotik sehingga memicu diffuse leucoencephalopathy dengan degenerasi serabut hialin yang sangat 

berat. Pada beberapa kasus terjadi kondisi 

nekrosis koagulatif. Keseluruhan perubahan parenkim ini disebabkan proses iskemik, 

Pembahasan mengenai CSVD akan dibatasi 

pada beberapa CSVD yang sering ditemukan 

saja, diantaranya yaitu  arteriosklerosis, 

cerebral amyloid angiopathy (CAA), CADA- 

Cerebral Small Vessel Disease 

SIL dan white matter lesion termasuk penyakit Binswanger. 

Arteriosklerosis 

Arteriosklerosis merupakan gangguan pembuluh darah yang didasari kelainan pada 

dinding pembuluh darah dan berlanjut dengan komplikasinya pada pembuluh darah. 

Arteriosklerosis bersifat difus, tidak hanya 

mengenai pembuluh darah otak, namun  

dapat juga menimbulkan kerusakan multi 

organ, seperti pembuluh darah jantung, retina, maupun ginjal. 

Manifestasi arteriosklerosis yang khas 

yaitu  mikroaneurisma dan lipohialinosis. 

Mikroaneurisma terjadi akibat penipisan 

otot polos pada tunika media pembuluh 

darah yang dapat memicu  microbleeding. Lipohialinosis didasarkan adanya 

deposit material, seperti fibrohialin, yang 

dapat menyempitkan lumen pembuluh darah, sehingga dapat memicu  infark 

lacunar. Timbulnya mikroaneurisma dan 

lipohialinosis ini disebabkan oleh tekanan 

darah yang tidak terkontrol dan diakselerasi oleh adanya penyakit metabolik, seperti 

hiperhomosisteinemia, diabetes melitus, dan 

dislipidemia, serta faktor risiko lain seperti 

merokok dan imobilisasi. Faktor usia juga 

dipikirkan berperan pada proses terjadinya 

arteriosklerosis ini. 

Usia yang berkontribusi terhadap munculnya 

arteriosklerosis ini, telah bergeser ke arah 

yang lebih muda. Hal ini disebabkan karena 

peranan faktor risiko penyakit metabolik 

telah diakselerasi oleh perubahan perilaku, 

yakni kebiasaan merokok Penyandang hipertensi dan penyakit metabolik akan mengalami 

CSVD pada usia yang lebih muda, jika disertai 

faktor risiko tambahan, yakni merokok  


Merokok tidak saja berpengaruh pada elastisitas dinding pembuluh darah, namun  juga 

pada viskositas darah dan deformabilitas 

sel darah merah ( eritrosit). berdasar  

sejumlah penelitian, terjadi peningkatan 

fibrinogen pada perokok. Peningkatan fibrinogen akan memicu sistem prokoagulasi, 

sehingga terjadi kondisi hiperkoagulasi. 

Tingginya kadar fibrinogen dalam darah 

juga akan meningkatkan viskositas darah. 

Efek lain peningkatan fibrinogen ini terkait 

dengan deformabilitas eritrosit. Muatan 

negatif pada dinding eritrosit yang disebut 

zeta potensial akan berkurang akibat berikatan dengan fibrinogen yang bermuatan 

positif. Hal ini memicu berkurangnya 

kemampuan eritrosit untuk berubah bentuk 

atau disebut juga deformabilitas eritrosit. 

Selain itu, kandungan karbon monoksida 

memicu peningkatan produksi eritrosit, sehingga juga akan meningkatkan viskositas 

darah. Keberadaan arteriosklerosis dan faktor risiko yang telah disebutkan sebelumnya 

akan mempercepat timbulnya CSVD, berupa 

infark lakunar dan cerebral demyelinisation, 

dengan segala manifestasi klinisnya 

Cerebral Amyloid Angiopathy (CAA) 

CAA menggambarkan sekelompok gangguan susunan saraf pusat (SSP) dengan berbagai manifestasi klinis yang didasari kelainan pembuluh darah (angiopati) akibat 

deposit amyloid fibrils pada dinding pembuluh darah. Deposit ini  terdistribusi 

pada dinding pembuluh darah berukuran 

kecil hingga sedang, yakni arteri dan arteriol terutama di ruang leptomeningeal dan 

korteks, dan jarang pada kapiler maupun  

vena. Dengan demikian, CAA merupakan 

salah satu CSVD yang dapat bermanifestasi 

dalam bentuk lesi perdarahan ( microbleed 

dan perdarahan intraserebral (PIS) lobar) 

maupun iskemik (infark lakunar, white matter lesion). 

Adanya deposit sera but amiloid (amyloid fibrils) pada pembuluh darah serebral dapat 

melemahkan dinding pembuluh darah dan 

memicu ruptur, sehingga menimbulkan microbleeds asimtomatis dan perdarahan intraserebral lobar. Selain itu, deposit 

ini  juga dapat merusak lumen pembuluh darah yang menimbulkan iskemia 

(infark serebral, 'incomplete infarction': 

leukoaraiosis ), Von sattel dkk menggolongkan CAA berdasar  tingkat keparahan 

perubahan patologis pembuluh darah yaitu: 

(1) ringan, jika amiloid terbatas pada tunika 

media, tanpa kerusakan signifikan sel otot 

polos; (2) sedang, jika tunika media digantikan oleh amiloid sehingga lebih tebal 

dibandingkan kondisi normal; dan (3) berat, apabila ada disposisi amiloid yang 

luas, fragmentasi dinding fokal atau double 

barreling dinding pembuluh darah, pembentukan mikroaneurisma, nekrosis fibrinoid, dan kebocoran plasma melalui dinding 

pembuluh darah. 

ada lebih dari 25 protein man usia yang 

ditemukan terlibat dalam benang-benang 

amiloid (amyloid fibrils) secara in vivo, namun hanya 7 protein yang bermanifestasi 

sebagai gangguan SSP, diantaranya yaitu  

protein amiloid tipe ~ (A~). Deposit A~ inilah pada dinding pembuluh darah inilah 

yang mendasari CAA (Tabel2).  


Terjadinya deposit A~ dipikirkan oleh karena terjadi gangguan produksi dan eliminasi 

peptida A~. Peptida A~ berasal dari sistem 

neuronal, diproduksi oleh protein prekursor yakni amyloid precursor protein (APP) 

dan disekresi oleh b- and g-secretase. Peptida ini mengalami eliminasi melalui empat 

jalur: (1) degradasi proteolitik oleh endoCerebral Small Vessel Disease 

peptidase; (2) degradasi oleh astrosit dan 

mikroglia; (3) transportasi aktif melalui 

sa war darah otak (transendotelial); dan ( 4) 

drainase perivaskular (Gambar 4). Seiring 

pertambahan usia, akan terjadi penurunan 

fungsi eliminasi ini dan peningkatan deposisi A~ pada pembuluh darah.  

Secara umum CAA terbagi menjadi dua bentuk, 

yakni CAA herediter dan CAA sporadik. CAA 

herediter berkaitan dengan mutasi gen yang 

mengkode protein amiloid termasuk prekursornya. Bentuk ini umumnya ditemukan pada 

usia muda. CAA sporadik biasanya dikaitkan 

dengan polymorphisms of disease-susceptible 

genes dan biasanya ditemukan pada usia Ianjut Polimorfisme gen yang berkontribusi pada 

pathogenesis penyakit Alzheimer dan diduga 

berkaitan dengan CAA sporadik, yakni apolipoprotein E (APO-E), presenilin 1 (PS1), a1-

antichymotrypsin (ACT), dan neprilsin (NEP). 

Diantara polimorfisme gen ini , yang paling banyak diteliti yaitu  ApoE yang dianggap berkontribusi terhadap patogenesis CAA. 

Selain itu, polimorfisme APO-E juga berkontribusi pada patogenesis penyakit Alzheimer. 

Beberapa studi mengAnalisa  hubungan antara 

APO-E, penyakitAlzheimer, dan CAA.AlelApoE 

memiliki efek yang berbeda terhadap proses 

produksi, eliminasi dan deposisi A~. Aiel APOE £4 dikaitkan dengan amiloidogenesis, deposisi A~, dan neurotoksisitas. Aiel A poE £4 juga 

di-laporkan berkaitan dengan deposisi A~ 

kapiler yang menyertai neuritis degeneratif positif tau (perivascular plaquesjdrusige 

Entartungjdysphoric angiopathy), yang bermanifestasi demensia dan sering disebut sebagai variasi vaskular dari penyakit Alzheimer. 

Sebaliknya, aiel APO-E £2 merupakan proteksi 

penyakit Alzheimer, namun dikaitkan dengan 

peningkatan risiko perdarahan pada CAA. Hal 

ini akibat kontribus