spermatologi 2




























 mentara Na+

 sebaliknya. Gradien ionik ini diyakini diatur oleh pompa 

penukaran Na+/ K+

 yang bermedia ATP ase. Konsentrasi Na+dan K+

 intra selluler spermatozoa mammalia pada cauda epididimis yaitu  sekitar 20 dan 14 

mM. Perubahan konsentrasi selama kapasitasi masih belum diketahui. 

Arus masuk secara besar-besaran dari Ca2+ ekstraselluler melalui selaput 

kepala spermatozoa memicu terjadinya reaksi akrosom, akan tetapi masih sedikit diketahui tentang kinetika Ca2+ intraselluler selama kapasitasi. Pada 

umumnya diterima anggapan bakwa konsentrasi Ca2+ intraselluler dalam spermatozoa yaitu  cukup rendah, baik pada kepala maupun ekornya, dipicu  

adanya mekanisme pemompa Ca2+ bermedia ATP ase dan pembuluh balik Na+/ 

K+

 pada selaput plasma. Hilangnya ikatan Ca2+ pada permukaan spermatozoa, 

bukan karena penetrasi ke dalam spermatozoa, dengan memakai  queen2, 

indikator luoresen yang selektif terhadap kalsium diketahui bahwa konsentrasi 

ion Ca2+ intraselluler di dalam spermatozoa kelinci tidak berubah saat kapasitasi 

secara in vitro. Teknik ini  dipakai  untuk menghitung kandungan ion

Ca2+ spermatozoa secara kelompok, bukan individu. Para peneliti menyebutkan bahwa konsentrasi ion Ca2+ mungkin berubah pada daerah tertentu atau 

terlokalisir pada daerah tertentu. Hal ini merupakan hipotesa yang menarik, 

karena peningkatan konsentrasi Ca2+ intraselluler selama kapasitasi menstimulasi adenilate cyclase spermatozoa yang mendukung pentingnya cAMP yang pada 

awal nya dibutuhkan untuk pembuahan. Seperti pada gambar 23, sedangkan 

mekanisme molekuler yang lain ada  pada gambar 24.  

4. Perubahan pada akrosom

Struktur akrosom pada banyak spesies tidak berubah secara nyata 

selama kapasitasi. Perkecualian dari tupai bulu emas, matriks akrosomnya 

berubah segera sesudah  spermatozoa mengalami kapasitasi. Alasannya belum 

jelas, namun mungkin dipicu  keluarnya beberapa molekul-molekul kecil 

melalui plasma dan selaput akrosom terluar dan tidak diketahui mulainya dari 

proses reaksi akrosom. Proses reaksi akrosom yaitu  perubahan pro akrosin

yang tidak aktif secara enzim di dalam akrosom menjadi aktif secara enzim di dalam 

akrosom. Hal ini dilakukan oleh glycosaminoglicans dalam uteri, tapi bagaimana cara 

molekul besar glycosaminoglicans berpenetrasi ke dalam akrosom melalui selaput akrosom 

dan plasma spermatozoa belum diketahui. Dan apakah enzim-enzim akrosom tetap dalam 

bentuk inaktif atau berubah aktif selama kapasitasi berlangsung (sebelum reaksi akrosom) 

masih menjadi pertanyaan.

5. Perubahan pada Inti

Inti spermatozoa pada kebanyakan mammalia merupakan struktur yang 

sangat stabil dipicu  cross-link oleh ikatan 5-5, tapi sedikit ekstensif dibandingkan dengan spesies lain. Pada plasma semen ada  Zn2+ yang berasal dari 

kelenjar prostat mengikat radikal bebas 5H+

 dari protein inti spermatozoa saat 

ejakulasi memicu stabilitas temporer pada protein inti. Selama kapasitasi 

inti kehilangan ion Zn2+ dan stabilitasnya meningkat yang mungkin dipicu  

oleh oksidasi pada radikal 5 H+

 yang lepas pada ikatan disulida (Lelannou et 

al, 1985) 

6. Perubahan pada selaput Plasma

Selaput plasma berhubungan langsung pada lingkungan kapasitasi, sehingga terjadi perubahan mencolok pada selaput ini  selama kapasitasi. 

Pelepasan atau perubahan material-material pelapis permukaan spermatozoa 

merupakan bagian terpenting dari kapasitasi, bukti-bukti yang mendukung 

pendapat ini telah banyak.

Akrosom spermatozoa yang berasal dari kauda epididimis tikus mengandung antigen yang tak dapat dilepas dengan mudah dari permukaan spermatozoa dengan pencucian berulang-ulang, akan tetapi tidak ada saat spermatozoa 

memasuki ruang vittelin sel telur dan antigen ini harus dilepas atau dirubah  selama kapasitasi.

Menurut model “mosaik cairan” yang secara luas diterima pada selaputselaput biologis, protein-protein (atau glikoprotein) secara non kovalen berhubungan dengan lapisan ganda lipida yang membentuk matrik selaput. Proteinprotein intrinsik yang menempel dengan kuat pada lapisan ini dapat dilepas hanya 

dengan perlakuan kasar (misalnya dengan detergen), sementara protein-protein 

pembungkus yang berhubungan dengan selaput terutama melalui interaksi 

elektrostatika dapat dilepaskan dengan sedikit penambahan “Chelating agent” 

atau dengan penambahan pH atau kekuatan ionic. Glikoprotein-glikoprotein 

yang dilepas dari dan atau ditambahkan pada permukaan spermatozoa selama 

kapasitasi masih belum pasti diketahui. Salah satunya yaitu  mungkin ibronectin

atau semacam ibronectin. Diduga ibronectin akan membekukan pergerakan lateralnya pada lapisan ganda lipida. Pelepasannya dari selaput ini memicu 

protein intrinsik bergerak dengan bebas dalam lapisan ganda lipida.

Pengujian kerusakan selaput plasma sebelum dan sesudah  kapasitasi yaitu  

melalui Partikel-Partikel Intra Membran (IMPs) yang merupakan protein-protein 

intrinsik pada lapisan ganda lipida berubah penyebarannya pada daerah kepala 

maupun ekornya. IMPs yang menyebar hampir merata pada plasma membran 

diatas akrosom spermatozoa marmut yang tidak kapasitasi, sedangkan pada 

spermatozoa yang kapasitasi ada  potongan-potongan kecil yang bebas 

IMPs, demikian juga pada spermatozoa manusia. IMPs terkonsentrasi di dekat 

helix mitokondria hanya ada pada spermatozoa yang tidak kapasitasi, selama 

kapasitasi terjadi perubahan isika dan kimia pada lapisan ganda lipida.

Komposisi phospholipid membran plasma mengalami perubahan selama 

kapasitasi, akan tetapi perhatian banyak tercurah pada kandungan kolesterol pada 

plasma membran. Hal ini karena kolesterol memicu pengaruh yang sangat 

jelas pada sifat semua sel biologis (Misalnya permeabilitas ion aktif dan pasif) 

dengan mengatur luiditas dan ketebalan selaput lipida. Spermatozoa tikus pada 

media kapasitasi akan kehilangan sebagian kolesterol, ini merupakan hal yang 

penting pada proses kapasitasi, hal ini dipicu  karena ada nya albumin 

yang memicu penipisan kolesterol. Penipisan kolesterol ini tidaklah merata 

dan hanya sedikit bagian yang bebas kolesterol. Hal ini mungkin karena pemisahan selaput lipida dan kolesterol secara lateral dari molekul-molekul ini  

didalam lapisan ganda lipida untuk membantu domain dan bukannya terjadi  arus keluarnya kolesterol dari selaput. Fluiditas lipida dari selaput membran 

plasma kepala dan ekor spermatozoa mengalami perubahan akibat kapasitasi. 

Perlu diingat bahwa sering kali dilakukan riset  secara mikroskopis yang 

ringan, perubahan luiditas yang kecil pada area terlokalisir mungkin merupakan 

bagian terpenting yang sulit dideteksi (Yanagimachi, 1988)  

ENZIM-ENZIM DALAM AKROSOM

Bentuk ikatan membran akrosom dengan struktur mirip topi yang menyelubungi daerah permukaan inti spermatozoa. Meskipun ukuran dan bentuk 

dari akrosom bermacam-macam diantara spesies akan tetapi struktur dasarnya 

sama. Akrosom diyakini analog dengan lysosom atau granul zymogen dari sel-sel 

pancreas. Sebenarnya zat ini mengandung susunan enzim hydrolitik yang besar. 

Meski beberapa dari enzim-enzim ini dapat terlokalisir di dalam atau permukaan akrosom, bukan di dalam matriks akrosom, enzim ini  memiliki  

kemampuan hidrolisa yang kuat.

Hyaluronidase dan akrosin yaitu  dua jenis enzim akrosom yang telah 

dipelajari secara luas dan terkarakteristik dengan baik. Keberadaannya di dalam 

matrik akrosom telah ditunjukkan secara meyakinkan dengan teknik citokimia 

atau immunocitokimia dengan memakai  mikroskop elektron. Meski 

beberapa peneliti menyatakan bahwa sebagian hyaluronidase akrosom dan akrosin bergabung dengan kuat pada selaput akrosom, akan tetapi bukti dengan 

mikroskop elektron belum dapat ditunjukkan.

Karbohidrat merupakan komponen utama dari akrosom. Selaput tipis 

glikoprotein yang menyelubungi permukaan sebelah dalam selaput terluar akrosom mungkin berfungsi untuk menjaga agar terjadinya plasma tervesukulasi dan 

selaput akrosom secara bersama-sama selama reaksi akrosom. Glikoproteinglikoprotein lainnya dan zat-zat yang mengandung karbohidrat di dalam matriks 

akrosom bisa membantu konversi enzim-enzim akrosom dari bentuk ion aktif 

(misalnya proakrosin) menjadi bentuk aktif (misalnya akrosin). 

ARTI FUNGSIONAL REAKSI AKROSOM

Sel telur dari kebanyakan binatang diselubungi oleh gliko protein, sehingga 

spermatozoa harus menembusnya sebelum mencapai selaput plasma sel telur. 

Pada beberapa invertebrata, “Lysin” yang dilepaskan akrosom spermatozoa 

akan melarutkan lapisan sel telur secara lokal untuk menghasilkan lubang tempat 

spermatozoa memasuki oosit.

Pelarutan lapisan oleh lysin dilakukan secara enzimatis atau interaksi 

inter molekuler hidrofobik. Pada mammalia lapisan tebal glikoprotein ini  

disebut dengan zona pellusida. Zona pellusida ini  masih diselimuti oleh 

kumulus oophorus yang tersusun dari sel-sel kumulus. Komponen utama kumulus yaitu  asam hyaluronic. Hialuronidase yang dilepas oleh spermatozoa 

bereaksi dengan akrosom, mencerna kumulus dan akrosin yang terbawa di 

permukaan spermatozoa bereaksi dengan zona, sehingga spermatozoa dapat 

masuk kedalam sel telur. Atau dengan kata lain reaksi akrosom sedikitnya bertujuan untuk (1) membantu spermatozoa menembus zona dan (2) Meleburkan 

selaput plasma sel telur.

Gambaran Spermatozoa yang telah mengalami Reaksi Akrosom dengan

pewarnaan FITC Concanavaline A seperti pada gambar 4.2. 

Pewarnaan FITC Concanavalin A pada prinsipnya yaitu  pewarnaan 

D-Mannosa yang terikat pada inner membrane akrosom, bila  membrane 

akrosom masih intak, maka pewarna/luoresen akan mewarnai bagian akrosom 

dan bila  spermatozoa sudah tidak ada  akrosom, maka bagian atas kepala 

spermatozoa berwarna gelap atau tidak ada pendaran luoresen.

4.3. MORFOLOGI DAN KINETIKA REAKSI AKROSOM.

1. Perbedaan antara Reaksi Akrosom “True” dan “False”.

Karena akrosom mengandung bermacam-macam enzim penghidrolisa 

yang kuat, maka spermatozoa yang mati atau sekarat akan rusak membrannya 

atau akrosomnya.  

Membran akrosom yang terluar relatif stabil dan selaput plasma bagian 

atas dapat dihancurkan sebagian atau keseluruhannya atau lepaskan dari 

bagian utama spermatozoa. Spermatozoa tanpa akrosom bila diamati dengan 

mikroskop cahaya sama dengan spermatozoa sesudah  reaksi akrosom. Sangat 

penting membedakan akrosom yang degeneratif dengan reaksi akrosom secara 

isiologis 

Banyak teknik untuk mengamati hilangnya, tetapi semua dilakukan pada 

spermatozoa pada kondisi mati. Sangat diharapkan agar dikembangkan suatu 

teknik baru yang dapat mengamati reaksi akrosom pada kondisi spermatozoa 

hidup, sehingga dapat dibedakan spermatozoa tanpa akrosom karena faktor 

degeneratif atau secara fungsional terjadi reaksi akrosom. 

2. Sifat Alamiah Exocytotic pada Reaksi Akrosom

Reaksi akrosom selaput akrosom terluar dan selaput plasma bagian atas 

yang memungkinkan isi akrosom untuk lepas. 

Lokasi tempat penggabungan antara selaput plasma dan akrosom terluar 

bermula terjadi dapat bervariasi menurut jenis spesies. Pada kelinci, letaknya 

didaerah depan dan sekeliling daerah pembungkus akrosomal. Pada Tupai bulu 

emas, biri-biri dan manusia letaknya di dekat perbatasan dari pembungkus akrosom dan equatorial akrosom. Hal ini tidak mengherankan sebab spermatozoa 

pada banyak spesies selaput terluar akrosom dan selaput plasma tidak stabil, 

dan selaput plasma terluar ini  sangat kaya akan kalsium.

3. Waktu Reaksi Akrosom

Kecepatan reaksi akrosom tergantung dari spesiesnya, kondisi spermatozoa dan lingkungannya. Spermatozoa marmut dalam medium yang mengandung ion kalsium selesai dalam 2 menit. Spermatozoa tikus dan dipreinkubasi 

dalam media kapasitasi selama 1 jam dapat berpenetrasi kedalam zona sebesar  

15% menjelang 11 menit, sesudah  9 menit berikutnya 80% sel telur terpenetrasi. 

Kemungkinan besar spermatozoa melebur seluruhnya pada saat pertama kali 

menyentuh zona pellusida. Setidaknya beberapa spermatozoa memulai dan menyelesaikan reaksi akrosom 10-15 menit saat bersentuhan dengan zona. Semua 

fakta ini  kelihatannya mengindikasikan bahwa spermatozoa berkapasitasi 

dan mengalami reaksi akrosom secara tepat.

4. Faktor pemicu  alami reaksi akrosom

Sel telur landak laut diselubungi selaput tipis glycoprotein yang disebut 

dengan lapisan vitelline dan masih diselubungi lagi dengan lapisan jelly yang 

tebal. Lapisan vitelline ini  homolog dengan zona pellusida dari sel 

telur mammalia, sedangkan jelly ini  homolog dengan sel-sel kumulus 

dari mammalia. Pada banyak spesies landak laut, reaksi akrosom terjadi saat 

spermatozoa menyentuh jelly atau saat spermatozoa melewatinya. Secara 

biokimia, jelly yaitu  campuran glycoprotein dan polimer sulfat fucose. Reaksi 

akrosom terjadi karena jelly mengandung sulfa, sedangkan mekanismenya 

masih belum jelas. Pengikatan komponen-komponen jelly yang aktif pada 

protein selaput plasma spermatozoa memicu perubahan permeabilitas 

ion kalsium temporer.

Faktor yang memicu reaksi akrosom pada mammalia tampaknya 

yaitu  kumulus oophorus dan atau zona pelusida. Pada waktu spermatozoa 

menempel pada zona pellusida kemudian mengalami reaksi akrosom, karena 

materi-materi pada zona memicu terjadinya reaksi akrosom dengan eisien. 

Satu dari tiga glikoprotein zona yaitu ZP3 yang mengikat selaput plasma di 

luar pembungkus akrosom. Rantai polypeptida dalam molekul ZP3 tampaknya 

berfungsi sebagai pemicu dari reaksi akrosom.

Apakah kumulus oophorus memiliki  kemampuan untuk memicu 

terjadinya reaksi akrosom masih kontroversial, Adanya kumulus pada media 

yang kekurangan albumin dapat meningkatkan keberhasilan pembuahan, akan 

tetapi tidak ada bukti yang jelas tentang pengaruh sel kumulus terhadap reaksi 

akrosom, akan tetapi kemungkinan komponen kumulus mengawali terjadinya 

reaksi akrosom dan komponen ini bekerjasama dengan zona untuk menyelesaikan reaksi akrosom.

Pemicu reaksi akrosom bukannya suatu substansi khusus, sebagai contoh  

reaksi akrosom landak laut dapat dipacu dengan bahan kimia dan isika, sedangkan mamalia dapat mengalami reaksi akrosom tanpa adanya sel telur dan materi 

yang berhubungan dengan sel telur (Misal sel kumulus dan zona). Bahan-bahan

yang secara langsung atau tidak langsung merubah permeabilitas membran 

akrosom terhadap ion-ion (Misal Ca++ dan Na++), sehingga spermatozoa yang 

berkapasitasi mengalami reaksi akrosom.

Reaksi akrosom diinduksi oleh bertemunya reseptor membran spermatozoa dengan ZP3, salah satu protein dalam ZP3 yaitu  galaktosil transferase 1

(GaLT-1), suatu enzim intra membranosa yang memiliki lokasi aktif di permukaan dan selanjutnya akan mengikat residu karbohidrat pada ZP3. Setiap 

ZP3 dapat mengikat dua atau tiga molekul GaLT-1 (Miller et al , 1992). Ikatan 

ini  mengaktifkan G-protein spesiik pada membran spermatozoa serta 

phospholipase C (PLC) yang memicu  depolarisasi membran, sehingga 

membukanya channel Ca2+. Kondisi ini akan meningkatkan konsentrasi Ca2+

dalam sitoplasma dan pH meningkat, sehingga vesikula akrosom mengalami 

eksositosis (Shi et al , 2001; Florman et al , 1998) Selanjutnya beberapa komponen signal transduksi yang berperan dalam inisiasi reaksi akrosom yaitu G 

protein, inositol-3,4,5 triphosphat (IP3) dan reseptor IP3, Phospholipasi C, 

Ca2+, saluran Ca2+ (channel Ca2+/tipe T) yang sensitif terhadap permeabilitas 

membran sel (Florman et al, 1998).

Eksositosis dari vesikula akrosom melepaskan bermacam-macam 

protease, sehingga melisiskan Zona Pellusida. Enzim ini menimbulkan suatu 

lubang/pori yang akan dilewati spermatozoa sehingga sapat masuk ke membran 

sel telur (Shi et al, 2001)

4. Mekanisme Reaksi Akrosom

Spermatozoa landak laut tidak mengalami kapasitasi seperti pada mammalia, spermatozoa siap membuahi sel telur sesudah  keluar dari pejantan. Pada 

kebanyakan spermatozoa dari spesies landak laut mengalami reaksi akrosom 

di dalam jelly sel telur. Jelly sel telur yang diduga berinteraksi dengan reseptor 

selaput plasma melewati dua lintasan parallel. Salah satunya yaitu  lintasan yang 

tak bergantung ion kalsium yang mengarah pada peningkatan pH intraselluler 

lewat arus masuk Na++ dan arus keluar H+

. Satunya yaitu  depolarisasi selaput 

yang bergantung pada ion Ca++ dan peningkatan pH intraselluler yang meng 

hasilkan arus besar-besaran ion Ca++ ekstraselluler. Ion Ca++ yang berpenetrasi 

pada selaput plasma memicu penggabungan antara plasma dan selaput akrosom 

terluar, mencapai puncaknya dalam suatu eksositosis kandungan akrosom. Meski 

konsentrasi cAMP intraselluler dari spermatozoa landak laut dalam kondisi yang 

mendukung reaksi akrosom dan hubungan yang pasti antara cAMP dengan 

reaksi akrosom belum jelas. 

Arus masuk nya ion Ca++ merupakan tahap penting dari reaksi akrosom 

spermatozoa mammalia. Jelas sekali bahwa semua komponen yang berada di 

dalam dan di luar akrosom terlibat langsung pada proses reaksi akrosom. Untuk 

menjalani reaksi akrosom pada waktu dan tempat yang tepat, maka spermatozoa 

mammalia harus dapat bertahan hidup lama. Konsentrasi ion K+

 intraselluler 

dijaga tetap tinggi dan konsentrasi ion Ca++ dan Na+

 intraselluler dijaga tetap 

rendah, hal ini sangat penting untuk kelangsungan hidup spermatozoa dan 

perlindungan spermatozoa dari reaksi akrosom dini. Semua ini dilakukan oleh 

ikatan membran Na+

 - K+

 ATP ase (yang memompa ion Na+

 keluar dan ion K+

ke dalam sel) dan Ca++ -ATP ase ( yang memompa Ca++ keluar dari sel). Selama 

kapasitasi, lapisan permukaan makromolekul spermatozoa dilepas atau dirubah, sehingga protein-protein membran intrinsik (termasuk zona atau reseptor 

kumulus dalam selaput plasma spermatozoa diatas akrosom) menjadi berubah. 

Pelepasan ini  memicu protein membran intrinsik dapat bergerak 

lebih bebas di dalam lapisan ganda lipida. Lapisan ganda lipida sendiri merubah 

susunan molekulernya selama kapasitasi yang dilakukan oleh faktor-faktor endogen dan eksogen. Albumin merupakan satu dari faktor-faktor eksogen yang 

bertanggung jawab pada pengorganisasian kembali lipida-lipida membran saat   Glicosaminoglicans sel kumulus atau glicoprotein zona pellusida mengikat 

reseptor. Zona atau reseptor kumulus ini berupa protein pembawa ion Ca++

reseptor membantu difusi ion Ca++ ekstra selluler. Arus masuk ion Ca++ besarbesaran menonaktifkan Na+

-K+

-ATP ase, sehingga meningkatkan konsentrasi 

ion Na+

 intraselluler. Hal ini memicu arus keluar ion H+

 (melalui pembuluh balik Na+/H+

) yang memicu pH intra selluler naik. Ion Ca++ yang 

telah berpenetrasi akan bekerja dengan atau tanpa calmodulin pada selaput 

plasma. Ion Ca++ membantu penggabungan antara kedua membran dengan 

perlekatan pada phospolipid dan memicu pemisahan phospoliphid membran. 

Phospholidase-phospholidase aktif menyerang phospolipid-phospolipid untuk menghasilkan produk-produk gabungan (misalnya asam arachidonic dan 

phospholipid). Saat membran akan bergabung atau telah bergabung, ion Ca++

masuk dan ion H+

 keluar dari matrik akrosom. Hal ini memicu perubahan 

proacrosin menjadi akrosin aktif secara enzim dan mendispersi akrosom yang 

mengandung enzim-enzim lainnya. 

Spermatozoa mammalia memulai reaksi akrosomnya secara spontan 

dalam media kapasitasi spermatozoa, hal ini dipicu  oleh (a) Aktivasi spon 

tan dari zona oleh reseptor-reseptor kumulus atau protein pembawa ion Ca++

dalam membran plasma spermatozoa atau oleh (b) Penonaktifan mekanisme 

pemompa ion Ca++ (Ca++-ATP ase). Pada spermatozoa yang sekarat atau mati, 

ion-ion intraselluler akan mengalir keluar dan ion-ion eksternal berpenetrasi 

dengan bebas ke dalam sel. Hal ini dipicu  oleh lemah atau non aktifnya ATP 

ase. Acrosin dan enzim-enzim akrosomal lainnya akan menyerang membran 

spermatozoa yang memicu  hilangnya sebagian atau seluruh pembungkus 

akrosom. Hal ini disebut dengan reaksi akrosom “false”.

 

Hiperaktifasi Spermatozoa

Spermatozoa pada beberapa spesies mulai bergerak sangat aktif sebelum 

berlangsungnya reaksi akrosom yang disebut hiperaktivasi. Istilah ini untuk 

membedakan dengan kata aktivasi yang menunjukkan gerak aktif dari epididimis 

saat bertemu dengan seminal plasma.

Spermatozoa mulai bergerak sangat aktif saat kontak dengan media 

kapasitasi, beberapa jam bergerak sangat kaku kemudian bergerak bebas. Mula mula spermatozoa berenang dalam bentuk linier mulai menunjukkan gerakan 

tunggal yang ditandai dengan gerakan ekor seperti tali cambuk dan dihentikan 

dengan gerakan lurus-lurus pendek. Kedua tipe ini secara gabungan disebut 

hiperaktivasi. Motilitas spermatozoa terhiperaktivasi secara in vitro sama dengan 

secara in vivo yaitu pergerakan dalam oviduct saat fertilisasi.

 

Spermatozoa secara in vivo memulai gerakan hiperaktivasi, terjadi di 

beberapa tempat dan beberapa spesies terjadi di dalam istmus. Saat hiperaktivasi ini spermatozoa memiliki  daya dorong yang tinggi, hal ini selain untuk 

bergerak menuju ampulla juga untuk menembus zona pellusida yang keras, 

dan ada korelasi positif antara motilitas spermatozoa terhiperaktivasi dengan 

kemampuan spermatozoa menembus zona. Komponen-komponen medium 

secara keseluruhan mempengaruhi inisiasi dan mempertahankan motilitas 

spermatozoa yang hiperaktivasi, misalnya Ca++, HCO3

, K+

, substrat energi dan 

albumin, semuanya untuk mengontrol hiperaktivasi.

Tidak ada basis molekuler pada hiperaktivasi, sebab beberapa makromolekul yang menutup membran plasma dipindahkan selama kapasitasi. 

Membran plasma ekor spermatozoa pre hiperaktivasi mengalami perubahan 

karakteristik isik dan kimia lipida membran ekor selama kapasitasi. Salah satu  

perubahan lipid membran yaitu  methylsi phospholipid. Methylsi phospholipid membantu masuknya Ca++ ke dalam sel, peningkatan Ca++ yang masuk 

kedalam membran spermatozoa merangsang adenylate cyclase yang menghasilkan 

cAMP. Ca++ dan cAMP yaitu  yang mengatur pergerakan ekor spermatozoa. 

Spermatozoa hiperhativasi pergerakan ekornya kaku, sedangkan spermatozoa 

yang telah hiperaktivasi bergerak lentur atau terbebas dari kebekuan. Hal ini 

dipicu  oleh menghalusnya serat kasar bagian luar oleh Mg-ATP, hal ini 

dibuktikan dengan terhiperaktivasinya kembali spermatozoa sesudah  diberi MgATP ke serat-serat spermatozoa.  




Proses fertilisasi yaitu  suatu peristiwa secara seri mulai dari penempelan 

spermatozoa pada oosit, penembusan zona pelusida, perivitellin, sitoplasma 

hingga fusinya pronuclei yang berasal dari spermatozoa dengan pronuclei yang 

berasal dari oosit.

Spermatozoa banyak mengalami perubahan isiologi di membran sel 

mulai dari proses spermatogenesis hingga terjadinya fertilisasi. Fertilisasi merupakan awal dimulainya proses perubahan dari sel tunggal menjadi organisme 

multi selluler (Evans, 2001).

Perubahan atau perkembangan dari spermatozoa ini  terjadi beberapa mekanisme yaitu: 1) Proses biosintesis sel-sel spermatogenik sebelum 

proses meiosis (2) Mekanisme kontak langsung antara sel sertoli pada proses 

spermatogenesis (3) interaksi spermatozoa dengan seminal plasma dan proses 

pematangan di epididimis serta saat interaksi dengan cairan dalam saluran reproduksi betina dan kapasitasi (4) mekanisme fertilisasi (Thaller and Cardullo, 

1990) 

Proses fertilisasi terdiri dari 4 tahap yaitu: (1) Kontak dan pengenalan 

antara spermatozoa dengan sel telur (2) Proses masuknya spermatozoa sel telur 

(3) Fusi materi genetik spermatozoa dengan sel telur serta (4) aktivasi metabolisme zigot untuk memulai perkembangannya (Hinsch et al, 1994)  

PENETRASI SPERMATOZOA PADA SEL TELUR

Sel telur dilindungi oleh sel pelindung, sel pelindung terluar yaitu  zona 

pelusida yang relatif tebal yang bersifat elastis dan tersusun oleh glicoprotein.  

Pada mammalia zona pelusida masih dikelilingi oleh kumulus oophorus saat 

terjadinya fertilisasi in vitro. Kumulus tersusun dari komponen selluler dan 

aselluler. Karbohidrat (termasuk asam hyaluronat) dan protein merupakan 

komponen utama dari kumulus. Pada domba, sapi dan binatang berkantung 

ada  kumulus sesudah  ovulasi dalam waktu singkat, sehingga zona merupakan 

satu-satunya pelindung sel telur dan spermatozoa harus mampu menembusnya 

sebelum mencapai plasma telur.

5.2. PENETRASI SPERMATOZOA DALAM MENEMBUS KUMULUS OOPHORUS

Di saat banyak spermatozoa berenang mengelilingi masing-masing sel 

telur untuk menghamburkan kumulus, maka salah satu spermatozoa melakukan 

penetrasi ke dalam sel telur. Sering kali spermatozoa tidak dijumpai pada lumen 

kumulus akan tetapi sudah terjadi penetrasi, hal ini menunjukkan bahwa proses 

penetrasi ini  sangat eisien di dalam ampulla.

Spermatozoa yang menembus ke dalam sel kumulus harus sudah mengalami kapasitasi dan ada  acrosomal caps, hal ini karena bila  spermatozoa 

berada di dalam sel kumulus dalam keadaan belum kapasitasi, maka spermatozoa 

ini  tidak akan mampu melakukan penetrasi ke dalam zona.

Bagaimana spermatozoa terkapasitasi menembus kumulus untuk mencapai permukaan zona pellusida? Apakah reaksi akrosom dan enzim-enzim 

akrosom terlibat dalam proses ini? Membran plasma spermatozoa membawa 

enzim hyaluronidase untuk penetrasi kedalam kumulus, Hal ini  banyak 

diyakini orang, akan tetapi tidak ada bukti yang kuat. Kemungkinan enzimenzim akrosom keluar melalui akrosom luar dan membran plasma, sedangkan 

enzim-enzim selain hyaluronidase yaitu  yang dapat melisis kumulus belum 

diketahui.

Fungsi yang tepat dari hyaluronidase dalam fertilisasi masih kontroversi. Hyaluronidase sudah lama sekali dapat teridentiikasi dan terkarakterisasi. 

Hyaluronidase sapi tidak memiliki  fungsi biologis karena (a) Hyaluronidase 

tidak mampu menghamburkan sel-sel kumulus yang menyelubungi oosit (b) 

Oosit mengalir secara spontan di dalam oviduct tanpa pengaruh hyaluronidase, 

sehingga para peneliti menyimpulkan enzim dari akrosom ini tidak berfungsi 

pada spesies ini. Hyaluronidase berfungsi dalam depolimerisasi asam hyaluro- 

nat dari sel kumulus sehinga dikatakan hyaluronidase juga berperanan dalam 

penetrasi spermatozoa.

Aksi penghambatan fertilisasi oleh andibodi-antihyaluronidase lebih 

banyak di zona dari pada sel kumulus. Myocrisin (Na-aurothiomalat suatu inhibitor hyaluronidase) menghambat masuknya spermatozoa yang terkapasitasi 

walaupun motilitasnya tinggi. Dengan daya ini spermatozoa lengket pada sel 

kumulus, sehingga tidak dapat menerobos ke dalam sel kumulus. Hialuronidase 

dapat bertindak sebagai lumbrikan bagi spermatozoa yang masuk melalui sel 

kumulus. Jika hialuronidase diperlukan untuk penetrasi kumulus, maka berarti 

ada  ikatan diantara keduanya yang mengembalikan kemampuan spermatozoa untuk menembus kumulus. 

PENETRASI SPERMATOZOA KE DALAM ZONA PELLUSIDA.

1. Karakteristik Kimia Zona Pellusida

Zona pelusida merupakan suatu glikoprotein. Sebagai contoh zona babi 

meliputi protein 71%, Heksosa netral 19%, asam sialat 2,7% dan sulfat 2,7%.  

Zona babi ada  empat golongan glycoprotein yaitu: ZP1 (BM=82.000); 

ZP2 (BM=61.000); ZP3 (BM=55.000) dan ZP4 (BM=21.000). Zona Tikus 

memiliki  3 macam zona yaitu ZP1 (BM=200.000), ZP2 (BM=120.000), 

ZP3 (BM=83.000), zona hamster juga ada tiga yaitu ZP1 (BM=240.000), 

ZP2 (BM=150.000) dan ZP3 (BM=80.000). Pada tiap spesies juga ada  

perbedaan berat molekul, perbedaan ini  bisa terjadi bila  memakai  teknik yang berbeda. Integritas struktur zona tampaknya dipertahankan 

oleh kekuatan non kovalen meskipun ada beberapa ikatan disulida molekuler. 

Bagaimana golongan glykoprotein yang berbeda di distribusikan dalam zona 

masih belum diketahui sepenuhnya, tetapi sebagai contoh glikoprotein ZP2 dari 

zona tikus didistribusikan pada zona yang paling tebal. Pada babi ZP1, ZP2 

dan ZP3 semua terletak pada permukaan yang bila diamati dengan mikroskop 

scanning luar pemukaannya ada  tempat untuk penetrasi berupa kisi-kisi 

yang tidak teratur. 

Zona tidak mengalami perubahan selama proses maturasi sel telur sampai 

terjadinya ovulasi, zona kehilangan glycosaminoglicans beberapa jam sebelum 

ovulasi. Pada saat sel telur ditransportasikan dari ovarium ke oviduk, maka oleh 

oviduk ditambahkan glikoprotein. Diketahui pada banyak spesies penyusun 

zona berubah drastis pada saat fertilisasi, sehingga spermatozoa yang lain tidak 

bisa menerobosnya. Hal ini disebut dengan reaksi zona. Pada reaksi ini yaitu  

hidrolisis glikoprotein ZP2 dan ZP3 oleh granula cortical. Akan tetapi pada 

mammalia reaksinya tidak kuat. Pada beberapa spesies, misalnya tikus dan kelinci 

zona kembali dapat dipenetrasi oleh beberapa spermatozoa pada beberapa jam 

sesudah  ada spermatozoa yang masuk ke dalam sel telur. Meskipun susunan kimia 

zona berubah karena hasil hidrolisa dari granula cortical.

2. Penyerangan Spermatozoa Pada Zona

Spermatozoa yang fertil akan menempel erat pada zona sebelum penetrasi 

kedalamnya. Ikatan zona-spermatozoa yang kuat ini karena adanya interaksi 

antara molekul spermatozoa dengan zona. Gwatkin dan Williams berpendapat 

bahwa keberadaan zona terlarut dalam media fertilisasi akan mencegah kapasitasinya spermatozoa. Zona terlarut tampaknya tidak mempengaruhi pergerakan 

spermatozoa. Hal ini karena permukaan spermatozoa terjadi penjenuhan reseptor molekul-molekul zona yang memicu  spermatozoa tidak mengenali 

zona yang asli, sehingga dapat dikatakan bahwa membran spermatozoa membawa glikoprotein dengan ainitas yang kuat ke molekul zona.

Molekul-molekul zona yang bertanggung jawab terhadap ikatan spermatozoa dan zona telah diteliti secara luas pada tikus oleh Wassarman dan 

kelompoknya. Glikoprotein ZP3 dan ZP2, bukan ZP1 yang memiliki  aktivitas 

reseptor spermatozoa. ZP3 yaitu  reseptor spermatozoa yang utama, sedangkan 

ZP2 yaitu  reseptor sekunder. ZP3 yaitu  reseptor sperma yang memiliki  

aktivitas menginduksi reaksi akrosom pada bagian rantai sakarida-O. ZP3 bertanggung jawab terhadap aktivitas reseptor utama, sedangkan polipeptidanya 

terlibat dalam fungsi induksi-reaksi akrosom glikoprotein.

Spermatozoa hasil ejakulasi atau dari epididimis mengikat sel telur secara 

homolog atau heterolog. Tampaknya spermatozoa yang belum masak dari epididimis mampu menempel erat pada zona. Apakah ini berarti bahwa reseptorreseptor zona pada spermatozoa disusun pada permukaan spermatozoa dan 

siap mempengaruhi zona jauh sebelum spermatozoa membuahi sel telur? Paling 

tidak ada beberapa materi penutup permukaan spermatozoa yang dirubah selama 

pematangan. Pada kondisi alami, hanya spermatozoa yang mengalami kapasitasi 

spermatozoa secara penuh saja yang dapat bertemu dengan zona, sehingga untuk 

mengenali reseptor zona harus pada spermatozoa yang terkapasitasi.

Keberadaan material pengikat pectin pada membran spermatozoa terkapasitasi dan pada plasma membran akrosom bagian dalam dari spermatozoa 

yang telah reaksi akrosom ada  beberapa glikoprotein integral yang didapatkan selama kapasitasi dan reaksi akrosom. Sampai saat ini masih belum jelas 

secara keseluruhan apakah reseptor zona pada spermatozoa berupa protein, 

glikoprotein atau komponen-komponen glikoprotein. Sakarida-sakarida terminal 

glikoprotein misalnya N-asetil-D-glukosamin, mannosa, fruktosa, galaktosa 

dan asam sialat memiliki  aktiitas-aktiitas reseptor. Beberapa peneliti yang 

lain mengatakan berpendapat bahwa protein-protein membran memiliki  

aktiitas reseptor zona. Ikatan protein-fruktosa pada membran spermatozoa 

babi merupakan reseptor zona, tetapi ada lagi yang menyatakan bahwa protein 

dengan glikoreansferase atau dengan aktiitas protein dapat bertindak sebagai 

reseptor zona pada spermatozoa. Peptida-peptida yang dihasilkan dari autokatalisis akrosin bertindak sebagai reseptor zona pada spermatozoa.

Di mana letak reseptor-reseptor zona pada spermatozoa? Sebelum  

menjawab pertanyaan ini ada baiknya bila kita membicarakan struktur mana 

pada spermatozoa yang melakukan kontak dengan zona. Pada tikus ada  

pada membran plasma diatas akrosom. Hanya spermatozoa yang memiliki  

akrosom sempurna yang dapat melekat pada permukaan zona. Spermatozoa 

yang telah tereaksi yaitu yang telah hilang membran plasma bagian luar penutup 

akrosom tidak akan mampu mengikat zona. Dengan kata lain bahwa membran 

plasma di atas penutup akrosom yaitu  reseptor zona, akan tetapi dengan mencuci spermatozoa dengan sentrifugasi gradien dextran, sehingga akrosomnya 

tereaksi, kemudian spermatozoa dipertemukan dengan sel telur sehingga ada  ikatan yang lemah antara spermatozoa dengan zona. Pada Golden Hamster, 

pada spermatozoa yang belum dan sudah tereaksi akrosom dapat menyerang 

zona, dengan kata lain reseptor zona yang ada di spermatozoa tidak hanya pada 

plasma membran diatas penutup akrosom, tetapi juga pada tempat yang lainnya 

dari kepala spermatozoa atau membran akrosom bagian dalam.

Apakah tempat reseptor zona berbeda diantara spesies? reseptor zona pada 

spermatozoa yang terkapasitasi terletak pada bagian atas akrosom, sedangkan reseptor ZP terletak pada bagian dalam akrosom. Hal ini menunjukkan bahwa pada 

permukaan spermatozoa ada  tipe reseptor yang berbeda yang menjadi aktif 

dan tidak aktif selama interaksi antara zona dengan spermatozoa. Jika spermatozoa hanya memiliki satu type reseptor zona pada membran plasma di atas 

penutup akrosom, maka spermatozoa yang telah mengalami reaksi akrosom yaitu 

spermatozoa yang telah kehilangan membran plasma penutup akrosom tidak 

akan dapat melakukan penetrasi sel telur. Yang penting reseptor spermatozoa 

ada  pada permukaan spermatozoa yang akan tereaksi dan terjadi ikatan 

yang lunak dengan sel telur, sebab bila ikatan itu kuat maka spermatozoa tidak 

bisa menembus sel telur dan hanya menempel pada zonanya saja

Membran plasma di seluruh kepala spermatozoa kelinci memiliki  

reseptor zona. sesudah  reaksi akrosom, reseptor-reseptor zona ini ada  di 

sisi depan. Segmen equatorial dan bagian depan daerah pasca akrosom. Selama 

fertilisasi spermatozoa kelinci harus memakai  reseptor zona pada membran 

plasma akrosom pertama, kemudian membran plasma setengah bagian belakang 

spermatozoa untuk mengikat zona. Spermatozoa harus memakai  reseptor 

zona yang terletak pada membran plasma bagian belakang kepala spermatozoa 

untuk mengikat zona.  

3. Bagaimana reseptor-reseptor spermatozoa pada zona dan reseptor- reseptor zona saling berinteraksi satu dengan lainnya?

Reseptor spermatozoa pada zona dan reseptor zona pada spermatozoa 

menjadi pelengkap satu dengan lainnya. Aktivitas reseptor spermatozoa menempati oligosakarida pada rantai O pada salah satu glikoprotein zona yaitu 

ZP3. Oligo sakarida ini  mengandung N-acetyl-D-Glucosamine, asam sialat, 

fruktosa dan atau galaktosa yang menyusun bagian-bagian aktif reseptor spermatozoa pada zona.

Reseptor-reseptor zona pada spermatozoa merupakan lectin protein 

dengan sakarida sebagai aktivitas pengikat. Beberapa protein yang diisolasi 

dari spermatozoa diketahui memiliki  kemampuan untuk mengikat molekulmolekul zona, tetapi tidak jelas apakah reseptor zona merupakan protein murni 

atau protein konjugasi. Banyak yang menyatakan reaksi zona menempati bagian 

protein, tetapi Shur dan kelompoknya menyatakan bahwa galactose transferase 

merupakan reseptor zona pada zona dan terminal N-acetyl-D-Glucosamine merupakan reseptor spermatozoa pelengkap zona. Ikatan spermatozoa–zona terjadi 

dalam bentuk enzim substrat yaitu sialil transferase spermatozoa dan asam sialat 

zona berinteraksi pada ikatan zona-spermatozoa.

ada  keterlibatan tripsin pada ikatan spermatozoa-zona dan ada  

inhibitor dari proteinase. Molekul-molekul non enzim dapat sebagai pengikat 

zona yang kemungkinan berada di membran plasma, karena spermatozoa yang 

terkapasitasi sesudah  menempel pada zona akan menyelesaikan reaksi akrosomnya. Macam dari molekul ini  masih dalam pertanyaan.

4. Penetrasi spermatozoa dalam Menembus Zona Pellusida

Spermatozoa yang mengalami reaksi akrosom dalam aksinya menembus 

zona akan kehilangan semua komponen akrosomnya, kecuali segmen equator 

dan membran akrosom bagian dalam yang menutup bagian depan. Setengah 

kepala yang berhubungan langsung dengan material zona dan menembus zona 

dengan menggerakkan ekornya secara kuat. Gerakan ekor yang kuat ini  

penting untuk keberhasilan penetrasi zona, yang diikuti dengan gerakan memotong sisi ke sisi dan gerakan maju dan mundur dari kepala spermatozoa. 

Spermatozoa yang membuahi selalu meninggalkan celah penetrasi yang tajam 

dan tipis secara vertical dalam menembus zona. 

Ada beberapa hipotesis tentang penembusan spermatozoa ke zona:

1. Hipotesa mekanik

Penembusan spermatozoa dalam sel telur benar-benar secara mekanik. 

Satu-satunya tujuan reaksi akrosom yaitu  membuka lubang pada akrosom. 

Kemudian membuat titik lubang yang tajam dan membuka zona secara mekanik 

sejalan dengan cara menggerakkan ekor spermatozoa secara kuat.

2. Hipotesa enzimatis

Berlawanan dengan hipotesis diatas, setiap tahap alasan spermatozoa 

dalam menerobos pelindung telur tergantung enzim. Hyaluronidase akrosom 

dilepas selama aliran spermatozoa menembus kumulus. Beberapa enzim lain di 

permukaan spermatozoa membantu ikatan antara zona dengan spermatozoa.

Akrosin tidak menghancurkan zona, tetapi menghidrolisa glikoprotein 

zona yang spesiik untuk melunakkan zona. Ikatan enzim-enzim ini memecah 

molekul zona sejalan dengan gerakan spermatozoa yang kuat. Kemungkinan 

ikatan lisin itu meliputi akrosin, proteinase yang bukan akrosin, hyaluronidase,

Aryesulfatase, glycosulfatase dan N-asetylhexosaminidase.

Hipotesis mekanik berdasarkan pertimbangan sebagai berikut:

Secara teoritis, tenaga yang dipakai  spermatozoa bisa sebesar 100PN. Hal ini 

cukup besar untuk pembebasan tekanan dari hubungan non kovalen glikoprotein 

zona yang bertindak sebagai cairan viscoelastis.

1. Celah penetrasi spermatozoa memiliki  batas yang jelas, seolah-olah

memotong zona.

2. Zona kelinci sesudah  dicerna tripsin dan akrosin masih dapat dipenetrasi.

3. Protein inhibitor menghalangi penempelan spermatozoa di permukaan 

zona, tetapi sekali ikatan terjadi maka spermatozoa dapat menerobos 

zona.

 Jika spermatozoa mammalia menerobos pelindung tanpa bantuan enzim, 

mengapa akrosom memiliki  enzim-enzim yang kuat, seperti hyaluronisade 

dan akrosin yang mampu menghidrolisa matrik kumulus dan zona. Jika akrosom 

dan enzim merupakan kekuatan evolusi, maka kita harus menemukan beberapa 

spesies mammalia yang spermatozoanya secara total tidak memiliki  akrosom atau enzim-enzim akrosom. Oleh sebab itu akrosom dan enzimnya harus 

memiliki  fungsi yang sangat penting.

Hipotesa enzimatis juga memiliki  titik kelemahan, jika penetrasi kumu- 

lus tergantung sepenuhnya pada hyaluronidase, maka pada spermatozoa yang 

tidak memiliki  enzim ini (Sea urching dan Rooster) pasti tidak menembus 

kumulus. Spermatozoa binatang berkantung dan burung melepaskan enzim 

akrosom (termasuk hyaluronidase dan akrosin) pada permukaan zona untuk 

melunakkan zona sebelum spermatozoa memasukinya. 

Enzim-enzim pada akrosom berperanan penting pada tahap awal pemasukan spermatozoa kedalam zona. Spermatozoa manusia melakukan penetrasi 

ke dalam lendir servik lebih eisien jika spermatozoa dalam seminal plasma dari 

pada jika berada dalam larutan garam buatan. Enzim-enzim seminal membantu 

spermatozoa ke dalam lendir servik. Enzim akrosom yang dilepaskan oleh 

spermatozoa pada permukaan zona akan membantu masuknya spermatozoa 

ke dalam zona. Jumlah enzim akrosom yang diperlukan untuk pemasukan awal 

ini bervariasi pada spesies yang berbeda.

Yang paling mungkin yaitu  spermatozoa memakai  sarana mekanik dan enzimatis untuk menembus zona. Spermatozoa tidak pernah bisa 

menerobos zona yang keras jika dalam keadaan immotil atau sedikit motil. 

Spermatozoa harus memiliki daya dorong yang kuat untuk dapat menembus 

zona. Materi-materi akrosom termasuk enzim yang jalan aliran spermatozoa. 

Beberapa materi akrosom yang dilepas bisa merubah molekul-molekul zona 

atau melunakkan zona agar dapat dipenetrasi.

Arand dkk mengusulkan hipotesis ikat lepas interaksi spermatozoa. 

Pertama-tama protein terikat zona-spermatozoa (ZBP) yang memiliki  ikatan 

dengan ainitas tinggi diikuti dengan degradasi tinggi dan pelepasan ikatan ZP 

oleh enzim-enzim spermatozoa. ZBP ini  mengikat ZP yang baru tanpa 

gerak maju spermatozoa. penetrasi tidak akan terjadi jika aktiitas enzimatis 

spermatozoa atau kemampuannya untuk memindahkan ikatan ligand dihalangi 

(missal penambahan inhibitor), maka ikatan ZP tidak akan didegradasi. ZBP 

akan kembali jenuh dengan reseptor dan penetrasi tidak terjadi. Hipotesis ini 

dapat menjelaskan kekhasan spesies dalam penetrasi zona. 

5. Penggabungan Spermatozoa dengan Zona.

Selama menembus zona pelusida, kepala spermatozoa menerobos ruang 

vitellin, menuju ke vitelus dan secara bertahap bergabung ke dalamnya. Proses 

dinamis ini dapat diamati secara kontinyu pada kondisi in vitro secara cermat.

Pada binatang berkantung, Burung dan hewan laut juga invertebrata laut 

fusi sel telur dengan spermatozoa dimulai antara membran akrosom bagian 

dalam dan membran plasma telur. Keadaan yang berbeda terjadi pada mammalia, yaitu pada membran plasma spermatozoa tidak pada membran akrosom 

bagian dalam yang bergabung pertama kali dengan membran plasma telur. Ini  

pertama kali ditemukan pada tikus. Pemasukan kepala spermatozoa ke dalam 

sel telur diikuti oleh penggabungan secara bertahap ekor spermatozoa secara 

keseluruhan.

. TEMPAT-TEMPAT INISIASI FUSI SPERMATOZOA DAN 

TELUR

Mula-mula disebutkan fusi dimulai pada membran plasma spermatozoa 

bagian post akrosom. Akan tetapi bila diamati secara cermat aksi penggabungan 

terletak pada segmen equator. Hal ini bisa terjadi sesudah  spermatozoa mengalami 

reaksi akrosom. Bila spermatozoa telah kapasitasi sempurna tetapi tidak reaksi 

maka tidak dapat bergabung dengan sel telur. Perubahan isiologis yang penting 

yang harus terjadi pada membran plasma segmen equatorial sebagai hasil dari 

reaksi akrosom, walaupun terjadi pada membran masih belum jelas.

Permukaan telur memiliki  sejumlah mikrovili, kecuali daerah di atas

spindle sesudah  pembelahan meiosis ke dua. Daerah bebas mikrovilli kaya akan 

aktin yang terpolarisasi. Fusi antara spermatozoa dengan sel telur tidak akan 

atau jarang terjadi pada daerah yang gundul ini. Meskipun spermatozoa menuju 

ke kelompok mikrovilli, tetapi banyak peneliti yang beranggapan bahwa yang 

berperanan pada fusi yaitu  daerah intermicrovilli, karena membran plasma microvilli bukan diperuntukkan untuk fusi antara spermatozoa dengan sel telur. 

5.5. KEJADIAN-KEJADIAN SESUDAH FUSI

Sel telur sesudah  dipenetrasi oleh spermatozoa secara metabolis bangkit 

untuk serangkaian peristiwa morfologi dan biokimia yang mengarah ke deferensiasi dan formasi individu baru, pembangkitan dianggap sebagai aktivitas. 

Indikasi yang mudah dikenal dalam aktivasi sel telur pada mammalia yaitu 

exocytosis granula-granula cortical dan rangkaian meiosis. Nukleus sel telur yang 

sesudah  metatahap  II istirahat, maka mulai meiosis lagi sesudah  fusi antara sel telur 

dan spermatozoa. Nukleus haploid mentransformasi ke dalam pronukleus sel 

telur. Sementara nukleus spermatozoa merata dan mentransformasi ke dalam 

pronucleus spermatozoa. Sintesa DNA (duplikasi akrosom) terjadi sesudah  penggabungan kedua pronukleus. Pembungkus intinya meluruh dan akrosomnya 

bercampur. 

Untuk pembelahan meiosis pertama, pencampuran kromosom dapat 

dianggap sebagai akhir fertilisasi dan awal perkembangan embrio. Pada beberapa 

invertebrata dan vertebrata non mammalia, interval antara fusi spermatozoa 

dengan telur dan inisiasi pembelahan pertama yaitu  dalam beberapa jam, 

sedang mammalia biasanya memerlukan 12 jam atau lebih. 

AKTIFITAS SEL TELUR

Fisiologi dan biokimia aktivasi telur telah diteliti secara luas pada mammalia dan invertebrata terutama sea-urchin. Namun aktivasi ini  belum 

diketahui secara menyeluruh. Fusi spermatozoa dan sel telur memicu 

pelepasan ion Ca2+ dari intra selluler (Misalnya retikulum indoplasma). Ca2+

intra selluler meningkatkan masuknya Na+/H+

 yang memicu pH intra 

selluler meningkat temporer. Peningkatan pH temporer ini tampaknya menutup protein penghambat dalam sitoplasma sel telur yang menghasilkan aktivasi 

irreversible jalur oksidatif telur, metabolisme lipid, reduksinucotinamide serta 

sintesis protein DNA.

Sangat sedikit diketahui tentang mekanisme aktivasi sel telur pada mammalia. Pada sel telur Hamster, pelepasan secara eksplosif Ca2+ terjadi 10 – 30 

detik sesudah  penetrasi spermatozoa ke dalam membran plasma sel telur. Yang 

menarik, ledakan atau keluarnya Ca2+ terjadi secara berulang dengan interval 

sekitar 3 menit selama 100 menit. Signiicansi biologis pelepasan Ca

2+ berulang  

tidak diketahui, tetapi dapat dihubungkan dengan beberapa aktivitas sistim 

cytoskeleton, sebagai contoh depolimerisasi dan polimerisasi tubulin.

Komponen sel telur termasuk membran plasma telur berubah karakter 

biologis dan biokimianya sesudah  terjadi aktivasi telur. Contohnya permeabilitas 

membran plasma sel telur tikus terhadap gliserol meningkat secara dramatis 

dalam waktu 3 jam sesudah  fertilisasi/aktivasi sel telur.

 

 Sejumlah chanel voltage-gated Ca2+ dalam membran plasma telur meningkat 

secara nyata selama satu jam pertama diikuti dengan aktivasi sel telur. Fertilisasi 

atau aktivasi telur memiliki  sedikit pengaruh terhadap permeabilitas membran 

plasma sel telur tikus. Juga mobilitas molekul-molekul lipid dalam membran 

plasma membran sel telur tidak berubah secara nyata selama aktivasi sel telur.

 Sel telur mammalia dapat diaktivasi oleh variasi rangsangan isik dan 

kimia. Semua rangsangan pengaktifan ini tampak memicu peningkatan 

konsentrasi Ca2+ intraselluler. Kebanyakan rangsangan ini tampak menginisiasi 

beberapa respons pada level membran plasma sel telur. Tak seorangpun tahu 

secara tepat bagaimana spermatozoa memulai aktivasi sel telur. Spermatozoa 

membawa substansi pengaktifasi telur yang spesiik ke dalam sel telur sudah 

lama diketahui, akan tetapi juga diketahui bahwa pada serangga, ikan dan kadal 

diketahui sel-sel telur dapat teraktivasi tanpa adanya spermatozoa, mereka telah 

memproduksi generasinya secara parthenogenesis untuk mendapatkan keturunannya. Meskipun sel telur mammalia secara potensial mampu menginisiasi 

perkembangan tanpa spermatozoa, maka tidak berarti bahwa spermatozoa tidak 

memiliki  fungsi dalam aktivasi sel telur, sebab pada kondisi yang normal, 

spermatozoa yang mengaktivasi sel telur. Pada landak laut dan tikus penyuntikan 

Ca2+ ke dalam sitoplasma sel telur akan mengaktivasi sel telur secara eisien, 

akan tetapi kita masih belum bisa secara pasti mengatakan pengaktifasi sel telur 

yaitu  ion Ca2+ masih membutuhkan pendukung yang lebih kuat.

Lamina tebal post acrosome domba sangat kaya kalsium, dapat dibayangkan 

bahwa ion Ca2+ yang dilepaskan dari lamina sesudah  fusi spermatozoa dengan 

sel telur memicu aktivasi sel telur. Inositol triphosphattase yang diinjeksikan 

secara microsurgical ke dalam sel telur landak laut akan mengaktivasi sel telur 

dengan sangat eisien. 

EXOCYTOSIS GRANULA-GRANULA CORTICAL DAN 

HAMBATAN POLYSPERMA 

Granula-granula kecil yang berbentuk bola pada membran pembatas 

organel ditemukan di bawah membran plasma sel telur masak yang tidak 

dibuahi, hal ini banyak dijumpai pada kebanyakan vertebrata dan kebanyakan 

invertebrata. Dengan memakai  mikroskop tahap kontras ditemukan adanya 

granula-granula ini  juga pada mammalia. Banyak granula kecil pada bagian 

korteks telur hamster yang tidak dibuahi dan akan hilang selama fertilisasi, dengan demikian dapat disimpulkan bahwa granula-granula ini homolog dengan 

granula-granula cortical landak laut yang berperan dalam modiikasi penutup 

sel telur selama fertilisasi. 

Pada landak laut dan ikan, eksositosis dimulai pada dekat titik fusi spermatozoa dan akan segera menyebar dalam bentuk seperti gelombang ketempat 

yang berlawanan pada sel telur. Gelombang eksositosis granula cortical landak 

laut ini didahului oleh gelombang intraselluler Ca2+ yang dilepaskan. Eksositosis 

granula cortical yaitu  suatu proses yang tergantung pada Ca2+. Pada hamster 

pelepasan Ca2+ intraselluler mulai dekat fusi spermatozoa sel telur, tetapi gelombang seperti penyebaran exocytosis granula cortical belum dapat dibuktikan.

Granula cortical sel telur mammalia mengandung enzim-enzim hidrolitik 

dan komponen-komponen sakarida. Pada beberapa spesies kandungan granula 

cortical yang dilepaskan dari korteks sel telur selama fertilisasi atau aktivasi 

sel telur akan merubah karakteristik isik dan kimia zona pellusida, sehingga 

zona dapat dipenetrasi oleh spermatozoa, ini yang disebut dengan reaksi zona. 

Reaksi zona yaitu  hidrolisis (inaksivasi) glikoprotein zona oleh proteinase 

atau glikosidase yang dilepaskan oleh germinal cortical selama aksositosis. Spermatozoa bertanggung jawab pada penyerangan yang kuat terhadap zona, 

sehingga spermatozoa mengalami hidrolisis dan zona tidak dapat menangkap 

spermatozoa dengan kuat. Reaksi akrosom yang memiliki  kemampuan untuk 

menginduksi zona juga dihilangkan, akibatnya spermatozoa tidak mampu lagi 

menembus zona.

Germinal cortical juga untuk menghambat polyspermi. Membran plasma 

telur juga memiliki kemampuan untuk membuang kelebihan spermatozoa. 

Penghambatan polyspermi ini pada level membran plasma disebut dengan 

Vittelline Block atau egg plasma membrane block. Sayangnya sifat dan mekanisme vitteline block ini masih sedikit diketahui, meskipun beberapa peneliti telah 

menyebutkan kemungkinan keterlibatan material germinal cortical dalam pembentukan vitteline block masih belum ada bukti yang kuat untuk mendukung 

pernyataan ini. Pada landak laut, membran plasma sel telur menolak kelebihan 

spermatozoa dalam beberapa detik sesudah  penyerangan spermatozoa yang 

pertama. Panghambatan yang cepat terhadap polyspermi ini bersifat elektrik. 

Peningkatan potensial membran yang tiba-tiba dipicu  oleh fusi antara 

spermatozoa dengan sel telur, hal ini mencegah terjadinya fusi yang berlebihan 

dari spermatozoa. Sampai saat ini belum ada bukti yang kuat bahwa vitteline block

pada mammalia dicapai oleh mekanisme elektrik yang sama. 

Eisiensi reaksi zona dan vitteline block dapat disimpulkan dengan mempelajari sejumlah spermatozoa yang memasuki ruang perivittelin dan sitoplasma 

sel telur yang diikuti perkawinan alami atau Inseminasi Buatan. Dengan cara ini 

telur-telur hamster, anjing, domba diketahui mengalami reaksi zona yang 

sangat kuat. Sedangkan telur-telur kelinci dan tikus sebaliknya, yaitu tidak tampak 

mengalami reaksi zona atau hanya reaksi lemah pada kondisi alami. Telur-telur 

ini  hampir sepenuhnya tergantung dari vittelin Block untuk menghindari 

polyspermy. Sel-sel telur tikus besar, mencit, marmut, kucing secara in vitro sama 

dengan manusia yaitu mengalami reaksi zona yang kuat, bahkan ketika diinseminasikan dengan sejumlah spermatozoa, maka sebagian besar spermatozoa 

mengikat permukaan zona lebih dari jumlah yang biasa pada bagian dalam zona. 

Sangat mungkin zona bagian dalam merupakan tempat reaksi zona, sehingga 

fertilisasi polispermi bisa terjadi. Salah satu sebab yang mungkin polyspermi 

pada manusia yaitu  penundaan eksocytosis germinal cortical dan memicu  penundaan terjadinya reaksi zona. Kerusakan zona bertanggung jawab  

terhadap ketidak eisienan atau bagian penghambat terhadap polyspermi pada 

level zona.

 

Sel telur tikus mensekresikan suatu faktor yang disebut dengan ovum 

faktor yang secara langsung atau tidak langsung merangsang produksi progesterone induk. Ovum faktor bukan merupakan ovum tunggal, dia dalam bentuk 

molekul ganda. Ovum faktor pertama kali dilepaskan sel telur pada saat fertilisasi 

(aktivasi parthenogenesis) dan terus diproduksi sedikitnya pada tahap blastosit. 

Sehingga diduga ovum faktor yaitu  komponen germinal cortical yang dikeluarkan. Ovum faktor juga terus dikeluarkan oleh embrio selama perkembangan 

preimplantasi, sehingga diduga ovum faktor tidak saja merupakan komponen 

germinal kortical tetapi yang lainnya.

Exositosis germinal kortical juga terjadi saat fertilisasi, akan tetapi jumlahnya lebih banyak dikeluarkan selama telur berada di ovarium.  

Exocytosis germinal cortical premature memiliki  dua fungsi:

1. Dapat mendukung pembentukan perivitellin. Sangat mungkin bahwa preksistensi ruang perivittelin membentau sperma telur pada mammalia. Jika 

ruang perrivittelin tidak ada sebelum fertilisasi, ujung akrosom spermatozoa tereaksi yang telah menembus zona menjadi lengket pada permukaan 

kortek telur. Dengan dicegah dari kemajuan lebih lanjut, spermatozoa 

tidak akan fusi membran plasma telur karena membran akrosom bagian 

dalam yang menutup bagian depan akrosom spermatozoa tereaksi bersifat 

nonfusigenik. Sebaliknya jika ruang vittelin ada kepala spermatozoa yang 

telah menembus zona dapat bergerak bebas. Membran plasma sperma 

fusigenik pada equatorial akrosom bisa bergabung dengan membran plasma 

telur tanpa kesulitan.

2. Exositosis premature sedikit merubah karakteristik isik dan kimia zona 

pellusida dan membran plasma telur dengan cara sedemikian rupa sehingga 

hanya spermatozoa yang motil dan sangat kuat yang dapat melakukan penetrasi telur. Ini beralasan untuk berpendapat bahwa exositosis CG premature selama fertilisasi dan pemecahan pada exositosis CG selama fertilisasi 

bekerja secara sinergis dalam melindungi telur dari bahaya polispermi atau 

fertilisasi oleh spermatozoa yang lemah. 

DEKONDENSASI NUKLEUS SPERMATOZOA DALAM SITOPLASMA TELUR 

Pada tahap akhir ketika berlangsungnya pemadatan nucleus sperma, 

hampir semua histon somatic di dalam sperma dipindahkan oleh sekelompok 

tertentu histon atau protemine-protemine yang kaya akan arginine, serine 

cysteine. Diyakini bahwa, kekompleksan DNA spermatozoa terhadap muatan 

asam amino merupakan dasar yang memungkinkan kromatin beraktiitas.

Salah satu gambaran tunggal tentang nucleus spermatozoa mammalia 

yaitu  rantai silang SS ekstensif protamine-protamine inti yang terjadi selama 

spermatozoa di epididimis. Hasilnya, nucleus spermatozoa yang sudah masak memiliki  kekuatan yang elastis. Hal ini menguntungkan untuk aliran 

spermatozoa secara mekanik melalui zona pellusida yang tebal dan agak ulet. 

Rantai silang yang berlebihan akan menyulitkan nukleus untuk mengkondensasi 

kedalam sitoplasma telur. Pada manusia Zn2+ yang berasal dari prostat dapat 

bertindak dalam pencegahan pembentukan rantai silang SS yang berlebihan dari 

protein/protamin yang terjadi selama kapasitasi spermatozoa.

Salah satu kejadian ketika nucleus bergabung kedalam sitoplasma telur 

yaitu  disintegrasi yang cepat menutup inti. Kromatin spermatozoa secara 

langsung membuka sitoplasma telur. Ini memungkinkan faktor-faktor dalam 

sitoplasma telur untuk mencapai jalan masuk ke kromatin dan dengan demikian 

merubah komposisinya. Sifat dari faktor-faktor inilah yang bertanggung jawab 

terhadap disintegrasi telur secara cepat pada telur sesudah  dibuahi.

Sekali penutup sel telur disintegrasi, kromatin spermatozoa mulai kehilangan protamin-protamin dengan cepat, bahwa sebelum dekondensasi kromatin 

terbukti. Meskipun protein-protein dasar yang baru disintesis akan menggantikan protamin-protamin pada suatu periode tertentu (Misalnya selama tahap 

akhir dekondensasi kromatin). Ketika kromatin spermatozoa tanpa protamin dan 

histon-histon somatic. Jika ini benar ia mewakili kondisi tunggal, sebab seperti 

pada pembelahan sel secara cepat, histon-histon disimpan dengan cepat dalam 

DNA. Sintesa DNA mulai sesudah  perpindahan protamin dan dekondensasi 

kromatin selesai.

Nukleus spermatozoa mammalia didekondensasi oleh duhiothreito 

(DDT) dan sodium dodecyl sulfat, banyak senyawa tambahan ditunjukkan untuk dekondensasi nucleus spermatozoa dengan cara yang kurang lebih sama.  

Dekondensasi didalam sel telur (secara in vitro) nucleus spermatozoa dibantu 

oleh reduksi SS protein inti. Reasgen yang keras seperti DDT dapat menjadi 

faktor dekondensasi inti alami dalam bentuk reduksi glutathionine (GSH). Kenyataannya reduksi buatan GSH didalam sel telur (dengan menghambat GSH 

sinhetahap ) memicu sel telur tak mampu mengkonsendasi sel spermatozoa. 

Bagaimanapun juga GSH tidak dapat menjadi satu-satunya faktor yang bertanggung jawab pada dekondensasi inti secara in vitro, karena sitoplasma telur 

hamster yang tidak masak (pada tahap germinal vesikel) dan telur hamster yang 

masak sepenuhnya kaya akan GSH, namun yang pertama tidak sama dengan 

yang berikutnya yaitu tidak mampu mengkondensasi nucleus spermatozoa.

Karena nucleus-nukleus spermatozoa hamster yang diperlakukan dengan 

DDT dapat mengkondensasi dalam sitoplasma telur yang tidak masak pada tahap germinal vesicle dapat dibayangkan bahwa (a) Sesuatu di dalam sitoplasma 

telur yang tidak masak menghalangi GSH dari aksi protein ini. (b) Sesuatu selain 

GSH hilang dari sitoplasma. Nukleus-nukleus katak, tikus dan hamster tidak 

dikondensasi sama sekali atau mereka hanya dikondensasi sangat kecil tanpa 

keberadaan bahan germinal vesicle (GV) dalam sitoplasma telur. Material GV 

(atau beberapa produk interaksinya dengan komponen sitoplasma sel telur) 

harus memindah/menutup beberapa faktor penghalang yang diperlukan untuk 

suatu kondensasi nucleus spermatozoa yang eisien. Kemungkinan lain faktor 

dekondensasi nucleus spermatozoa secara bertahap diakumulasikan ke dalam 

sitoplasma pertumbuhan telur dan diaktifasi oleh material GV sesudah  pemecahan GV. Penting untuk dicatat bahwa sitoplasma untuk binatang lain (Misal : 

anjing, Ikan, Moluska) dapat mengkondensasi nucleus spermatozoa sebelum 

pemecahan GV atau ketika pemecahan GV dihambat pada kondisi eksperimen. 

Tampaknya pada telur-telur binatang ini faktor dekondensasi sperma aktif atau 

menjadi aktif sebelum material GV bercampur dengan sitoplasma telur. Ini 

yaitu  suatu pemikiran bahwa suatu proteinase yang bergabung dalam nucleus 

spermatozoa terlibat dalam dekondensasi inti spermatozoa, tetapi riset  

selanjutnya belum mampu mendukung riset  ini .. Namun demikian 

keterlibatan secara langsung atau tidak langsung proteinase-proteinase dalam 

sitoplasma sel telur masih merupakan suatu kemungkinan. Sel Telur Hamster 

yang tidak dibuahi memiliki  amino peptidase dan aktiitas-aktiitas seperti 

elastase. Apakah aktiitas-aktiitas enzim sedemikian berperan dalam dekonden- 

sasi nucleus plasma tinggal ditentukan. Gulationine reduktase dan protein kinase 

ada  pada sel telur yang dihomogenisasi. Beberapa peneliti berpendapat 

(a) Phosphorilase antara protein kinase, protamine inti spermatozoa membantu 

melepaskan protamine-protamine dari DNA (b) GSH yang diproduksi dan

dipertahankan oleh gluthationine reduksi ikatan SS molekul-molekul protamine 

yang dilepaskan.

 

Metode standard untuk evaluasi fertilitas pejantan yaitu  kemampuan 

membuntingi yang dapat diprediksikan dengan memastikan kualitas semennya. 

menyatakan Tidak ada satu uji kualitas pun yang dapat 

memprediksi fertilitas secara akurat. Pedoman berdasar pada persatuan theriogenology minimal dari karakteristik kualitas semen pada pejantan yang dipergunakan untuk breeding pada sapi dengan klasiikasi:

1. spermatozoa lebih dari 500 juta/ml Jumlah 

2. Lebih dari 50% bergerak progressif 

3. Lebih dari 80% memiliki  morfologi normal

Ternak dinyatakan steril kalau tidak ada spermatozoa yang motil.

Analisa diagnostik yang menunjukkan fungsi testis dan epididimis yang diperiksa 

beberapa kali dan minimum disebut fertil bila  sampel semennya:

1. Motilitas tidak kurang dari 65%

2. spermatozoa abnormal Kurang dari 20% morfologi