sistensi dapat timbul dengan cepat,
maka antibiotika ini sebaiknya jangan digunakan sembarangan dan dicadangkan
untuk infeksi berat. Resistensi-silang dengan penisilin pun dapat terjadi.
Kehamilan dan laktasi. Sefalosporin dapat
dengan mudah melintasi plasenta, tetapi
kadarnya dalam darah janin lebih rendah
daripada dalam darah ibunya. Sefalotin dan
sefaleksin telah dipakai selama kehamilan
tanpa adanya laporan efek buruk bagi bayi.
Dari obat lainnya belum tersedia cukup
data sedangkan percobaan binatang tidak
memberikan indikasi negatif. Kebanyakan
sefalosporin dapat mencapai air susu ibu.
Dari sefaklor, sefotaksim, seftriakson dan seftazidim hanya dalam jumlah kecil, yang
dianggap aman bagi bayi. Dari obat lainnya
belum ada kepastian mengenai keamanannya.
MONOGRAFI
1. Sefaleksin: Keforal, Ospexin, Tepaxin,
Madlexin
Derivat tahan-asam pertama ini (1970)
juga tidak begitu peka terhadap penisilinase,
maka aktivitasnya meliputi suku stafilokok
yang resisten terhadap penisilin. Tidak aktif
terhadap kuman yang membentuk sefalosporinase, misalnya gonococci, H. influenzae dan
Pseudomonas. Sefaleksin terutama dipakai
pada infeksi saluran kemih dan saluran napas
dengan dosis oral 4 dd 250-500 mg a.c.
* Sefadroksil (Duricef) yaitu derivat
p-hidroksi (1977) dengan sifat dan
pemakaian sama dengan sefaleksin.
Dianjurkan pula untuk pengobatan
radang hulu kerongkongan (sakit tenggorok, pharyngitis) dan infeksi saluran
kemih. Dosis: oral 2 dd 0,5-1 g a.c.
* Sefaklor (Ceclor) yaitu derivat klor (1979)
dari sefaleksin yang aktif terhadap H. influenzae (tetapi tidak sekuat amoksisilin).
Oleh karenanya zat ini termasuk dalam
generasi-2 dan terutama dianjurkan pada
infeksi saluran napas dan pada radang
rongga gendang (otitis media), yang sering kali disebabkan oleh kuman tersebut.
Dosis: oral 3 dd 250-500 mg a.c.
* Sefradin (Velosef, Maxisporin) bukan
derivat, tetapi struktur, khasiat dan
pemakaian nya sangat mirip sefaleksin
(1972). Lebih tahan terhadap laktamase dan dapat dipakai sebagai injeksi.
Dosis: oral 2 dd 500 mg a.c., i.m./i.v. 4 dd
0,5-1 g.
2. Sefamandol: Dardokef, Mandol.
Senyawa mandelat gen-2 (1977) dengan
gugusan tetrazolyl-S (cincin-5 dengan 4 atomN). Zat ini baru menjadi aktif sesudah dalam
tubuh dihidrolisis menjadi sefamandol bebas. dipakai i.m. dan i.v. pada berbagai
infeksi.
* Sefaperazon (Cefobid) yaitu juga senyawa tetrazolyl-S yang termasuk gen-3,
karena aktivitasnya lebih luas terhadap
kuman Gram-negatif, mis. Pseudomonas.
dipakai a.l. pada gonore sebagai injeksi
i.m. single dose 1g.
3. Sefuroksim: Zinacef.
Sefalosporin generasi-2 ini (1977) berkhasiat terhadap kuman Gram-positif dan
sejumlah kuman Gram-negatif (H. influenzae, Proteus sp. dan Klebsiella). Sefuroksim
terutama dipakai pada infeksi sedang
sampai agak berat dari saluran napas bagian atas dan gonore dengan kuman yang
memproduksi laktamase. Pada pembedahan
dipakai parenteral bersama metronidazol
sebagai profilaktikum terhadap infeksi oleh
kuman anaerob.
Dosis: i.m./i.v. 3 dd 0,75 -1,5 g; gonore oral
single dose 1000 mg.
* Sefuroksim-axetil(Zinnat) yaitu bentukester inaktif, yang sesudah resorpsi segera
dihidrolisis oleh mukosa usus dan darah
menjadi sefuroksim aktif. Resorpsi berlangsung optimal (±55%) bila diminum
sesudah makan. Plasma-t½-nya 1-1,5 jam;
ekskresinya untuk 95% melalui kemih secara utuh.
Dosis: infeksi saluran napas (bronchitis),
saluran kemih dan penyakit kulit: oral 2 dd
250-500 mg p.c. Gonore: single dose 1 g (bersama probenesid 1 g), otitis media pada anak-anak
2 dd 125 -250 mg p.c.
4. Sefotaksim: Claforan.
Derivat thiazolyl (cincin-5 dengan atom
N dan S) ini dari gen-3 (1980) memiliki
sifat anti-laktamase kuat dan khasiat antiPseudomonas sedang. Sefotaksim terutama
dipakai pada infeksi dengan kuman
Gram-negatif, a.l. pada gonore i.m. single
dose 1g.
* Seftriakson (Rocephin) yaitu juga derivat-thiazolyl (1983) dari gen-3 dengan sifat
anti-laktamase dan anti-kuman Gramnegatif kuat, kecuali Pseudomonas.
Memiliki t½ lebih panjang daripada sefalosporin lain, sehingga dapat diberikan
satu kali sehari.
Obat ini juga dipakai pada gonore
i.m. single dose 250 mg.
* Seftazidim: (Fortum) yaitu generasi
ketiga antibiotik sefalosporin dan juga
yaitu derivat-thiazolyl (1983) yang
berkhasiat kuat terhadap Pseudomonas.
dipakai pada infeksi berat dengan
kuman tersebut, a.l. dari saluran kemih, sering pula dikombinasi dengan
aminoglikosida. Seftazidim juga digunakan profilaktik pada bedah prostat.
Dapat mencapai SSP sehingga juga
dipakai pada meningitis akibat infeksi dengan kuman Gram-negatif.Pada
dekade yll timbul masalah resistensi serius terhadap antibiotik ini akibat bakteri
yang memprodusir “extended-spectrum
beta-lactamase” dan mampu menguraikannya. Untuk menghindari hal ini telah
dikembangkan senyawa avibactam yang
dapat memblokir betalaktamase tersebut. Dosis seftazidim:i.m/i.v. 2 dd 0,5-1 g.
* Sefepim (Maxipime) yaitu derivatthiazolyl (1993) yang juga sangat aktif
terhadap Pseudomonas. Lagi pula lebih tahan laktamase daripada seftazidim dan
sefsulodin, maka sering dinamakan generasi-ke 4 (seperti juga sefpirom). Obat
ini terutama dipakai pada infeksi berat dengan kuman Gram-negatif. Dosis:
i.m./i.v. 2 dd 1 g.
ANTIBIOTIKA LAKTAM
LAINNYA
5. Aztreonam: Azactam.
Monobaktam ini terdiri hanya atas satu
cincin-laktam (monosiklis) tanpa gugusan
cincin lainnya, berlainan dengan zat-zat
penisilin/sefalosporin, oleh karena itu
dinamakan monobaktam. Aztreonam dihasilkan oleh antara lain Chromobacterium
violaceum, tetapi sebagai obat dibuat
secara sintetik (1986). Khusus bekerja terhadap kuman Gram-negatif aerob, termasuk
Pseudomonas, H. influenzae dan gonococci
yang resisten terhadap penisilinase. Tidak
aktif terhadap kuman Gram-positif dan anaerob. Berkhasiat bakterisid berdasar
mekanisme yang sama dengan penisilin
dan sefalosporin, yakni penghambatan sintesis dinding sel kuman.
Bersifat sangat resisten terhadap inaktivasi oleh enzim beta-laktamase. Khusus
dipakai pada infeksi saluran kemih.
Resorpsinya dari usus buruk sekali, maka
tidak dipakai per oral. sesudah injeksi
i.m/i.v. PP-nya rata-rata 50%, plasma-t½-nya
1,5-2 jam, difusinya ke CCS baik, terutama
pada meningitis. Ekskresinya 60-70% secara
utuh lewat kemih dan ±12 % lewat tinja.
Efek sampingnya berupa gangguan lambung-usus, reaksi kulit, pusing, nyeri kepala
dan otot, demam, juga hepatitis dan kelainan
hematologi. Untuk pemakaian nya selama
kehamilan belum ada cukup data; obat
ini melintasi plasenta.
Dosis: infeksi saluran kemih 2-3 dd
0,5-1 g i.m./i.v. Infeksi sistemik lain (a.l.
Pseudomonas) 2-4 dd 1-2 g, bersama antibiotika lain. Gonore i.m. single-dose 1 g.
6. Imipenem: *Tienam
Zat ini yaitu antibiotikum beta-laktam
sintetik (1985) dari kelompok karbapenem,
juga disebut zat-zat thienamisin. Khasiat
bakterisidnya berdasar perintangan
sintesis dinding sel kuman, seperti juga penisilin dan sefalosporin. Spektrum kerjanya
luas, meliputi banyak kuman Gram-positif
dan Gram-negatif termasuk Pseudomonas,
Enterococcus dan Bacteroides, juga kuman patogen anaerob. Tidak aktif terhadap
MRSA, Clostridium difficile dan Chlamydia
trachomatis. Tahan terhadap kebanyakan
beta-laktamase kuman, tetapi bisa menginduksi produksi enzim ini. Oleh enzim
ginjal dehidropeptidase-1 dirombak menjadi metabolit nefrotoksik, maka hanya
dipakai terkombinasi dengan suatu
penghambat enzim, yaitu cilastatin (+imipenem = *Tienam).
pemakaian . Antibiotika ini dipakai
terhadap banyak jenis infeksi (saluran napas dan saluran kemih, tulang, sendi, kulit
dan jaringan bagian lunak), terutama bila
diperkirakan adanya bakteri Gram-negatif
multi-resisten dan infeksi campuran oleh
kuman aerob maupun anaerob.
Efek sampingnya sama dengan antibiotika beta-laktam lainnya, yakni mual,
muntah dan diare. Berhubung imipenem
dapat mengakibatkan kejang-kejang, maka
tidak dapat dipakai untuk pengobatan
meningitis. Sebagai penggantinya yang aman
yaitu meropenem.
Dosis: terkombinasi dengan cilastatin i.v
sebagai infus 250 -1000 mg setiap 5 jam.
* Meropenem (Meronem) yaitu derivat
(1994) dengan khasiat dan pemakaian
yang sama. Karena tahan terhadap enzim
ginjal, maka dapat dipakai sebagai
obat tunggal, tanpa tambahan cilastatin.
Penetrasinya ke dalam semua jaringan
baik, juga kedalam CCS, maka juga efektif
pada meningitis bakterial. Dosis: intravena
atau infus 10-120 mg/kg dalam 3-4 dosis
atau setiap 8-12 jam.
* Ertapenem (Invanz): bakteri Grampositif,
Gramnegatif dan anaerob peka terhadap
zat ini. Resisten yaitu stafilokok-metisilinresisten, enterokok, penyebab infeksi
intra-abdominal, infeksi ginekologi akut,
infeksi kulit dan jaringan lunak kaki
(„kaki diabetik“). Efek samping sering kali
diare, mual, muntah, sakit kepala dan
gangguan kulit. Dosis: i.v. 1 dd 1000 mg,
sering kali selama 3-14 hari.
* Doripenem (Doribax) Antibiotikum
beta-laktam yang bersifat bakterisid
ini juga termasuk dalam kelompok
karbapenem. Tidak peka terhadap kebanyakan beta-laktamase dan memiliki
daya kerja broadspectrum yang meliputi
bakteri Grampositif, Gramnegatif, bakteri aerob maupun anaerob. Sama
seperti ertapenem resisten terhadap stafilokok-metisilinresisten, enterokok dan
Legionella.
Dapat menembus berbagai cairan tubuh dan
jaringan seperti jaringan uterus dan prostat
serta jaringan kantong empedu.
dipakai pada infeksi pneumoni nocosomial, infeksi intra-abdominal dan infeksi
saluran urin yang berkomplikasi. Efek samping tersering yaitu sakit kepala, flebitis,
kandidiasis oral dan infeksi jamur alat kelamin wanita, mual, diare dan gangguan
kulit. Dosis: tiap 8 jam 500-1000 mg selama
5-14 hari tergantung dari parahnya infeksi.
C. AMINOGLIKOSIDA
Aminoglikosida dihasilkan oleh jenis-jenis
fungi Streptomyces dan Micromonospora.
Semua senyawa dan turunan semi-sintetiknya mengandung dua atau tiga gula-amino di
dalam molekulnya yang saling terikat secara
glukosidis. Dengan adanya gugusan amino,
zat-zat ini bersifat basa lemah dan garam
sulfatnya yang dipakai dalam terapi mudah larut dalam air.
Penggolongan. Aminoglikosida dapat dibagi
atas dasar rumus kimianya, sebagai berikut.
- streptomisin yang mengandung satu
molekul gula-amino dalam molekulnya;
- kanamisin dengan turunannya amikasin,
dibekasin, gentamisin dan turunannya
netilmisin dan tobramisin, yang semuanya
memiliki dua molekul gula yang dihubungkan oleh sikloheksan;
- neomisin, framisetin dan paromomisin dengan tiga gula-amino.
Spektrum-kerjanya luas dan meliputi terutama banyak bacilli Gram-negatif, a.l. E. coli,
H. influenzae, Klebsiella, Proteus, Enterobacter,
Salmonella dan Shigella. Obat ini juga aktif terhadap gonococci dan sejumlah kuman Grampositif (antara lain Staph.aureus/epidermis).
Streptomisin, kanamisin dan amikasin aktif
terhadap kuman tahan-asam Mycobacterium
(tbc dan lepra). Amikasin dan tobramisin
berkhasiat kuat terhadap Pseudomonas, sedangkan gentamisin lebih lemah. Tidak
aktif terhadap kuman anaerob. Amikasin
memiliki spektrum kerja yang paling luas,
sedangkan aktivitas kerja gentamisin dan
tobramisin sangat mirip.
Aktivitas bakterisidnya berdasar khasiatnya untuk menembus dinding bakteri
dan mengikat diri pada ribosom di dalam sel.
Proses translasi (RNA dan DNA) diganggu
sehingga biosintesis proteinnya dikacaukan.
(Ribosom yaitu partikel-partikel kecil dalam
protoplasma sel yang kaya akan RNA, tempat terjadinya sintesis protein). Efek ini tidak
saja terjadi pada fase pertumbuhan, tetapi
juga bila kuman tidak membelah diri.
Efek pasca-antibiotik. Aminoglikosida –
berlainan dengan antibiotika lain seperti
antibiotika betalaktam– sesudah dihentikan
pemakaian ya dan kadar darahnya menurun
sampai di bawah MIC-nya, masih mempertahankan efek antibiotiknya. Semakin besar
dosis yang dipakai , semakin besar pula
“efek sisa” ini.
pemakaian . Streptomisin (dan kanamisin)
hanya dipakai parenteral pada tuberkulosa, dikombinasi dengan rifampisin, INH dan
pirazinamida. Juga bersamaan dengan benzilpenisilin berkat efek potensiasi pada infeksi
Streptokok atau Enterokok (endocarditis).
Gentamisin dan tobramisin sering dipakai
bersamaan suatu penisilin atau sefalosporin
pada infeksi dengan Pseudomonas. Amikasin
terutama dicadangkan untuk kasus bilamana ada resistensi bagi aminoglikosida
lainnya.
Topikal. Gentamisin, tobramisin dan neomisin
selain secara sistemik juga sering digunakan topikal sebagai salep atau tetes mata/
telinga, sering kali dikombinasi dengan
suatu polipeptida (polimiksin, basitrasin).
Framisetin khusus dipakai secara topikal. Jarang ada laporan mengenai reaksi
hipersensitasi maupun hipersensitasi silang
pada cara pemakaian ini.
Efek samping. Semua aminoglikosida terutama pada pemakaian parenteral dapat
mengakibatkan kerusakan pada organ pendengaran dan keseimbangan (ototoksik)
terutama pada lansia, akibat kerusakan pada
saraf otak kedelapan. Gejalanya berupa vertigo, telinga berde-ngung (tinnitus), bahkan
ketulian yang tidak reversibel. Netilmisin
kurang ototoksik dibandingkan dengan
obat-obat lainnya. Selain itu juga dapat merusak ginjal (nefrotoksis) secara reversibel
karena ditimbun dalam sel-sel tubuler ginjal. Jarang terjadi blokade neuromuskuler
dengan kelemahan otot dan depresi pernapasan. Toksisitas untuk telinga dan ginjal
tidak tergantung dari tingginya kadar dalam
darah, tetapi dari lamanya pemakaian serta jenis aminoglikosida. Maka sebaiknya
ditakarkan maksimal 1-2 x sehari!
Pada pemakaian oral dapat terjadi nausea,
muntah dan diare, khususnya pada dosis
tinggi.
Resistensi dapat terjadi agak cepat akibat
terbentukya enzim yang merombak struktur
antibiotikum. Informasi genetik bagi enzimenzim itu dapat “ditulari” melalui plasmid,
sehingga resistensi dapat “menjalar“ ke kuman lain. Streptomisin dan kanamisin paling
sering menimbulkan resistensi, amikasin
paling jarang. Kombinasi dengan antibiotika beta-laktam menghambat terjadinya resistensi.
Di samping itu, kombinasi demikian juga saling memperkuat daya kerjanya (potensiasi).
*Resistensi silang sering terjadi, kecuali
dengan amikasin dan netilmisin.
Kehamilan dan laktasi. Aminoglikosida dapat melintasi plasenta dan merusak ginjal serta
menimbulkan ketulian pada bayi. Maka tidak
dianjurkan selama kehamilan. Obat-obat ini
mencapai air susu ibu dalam jumlah kecil dan
aman diberikan selama laktasi.MONOGRAFI
1. Streptomisin (F.I.).
Streptomisin diperoleh dari Streptomyces
griseus oleh Waksman (1943) dan segera dipakai sebagai obat tuberkulosid.
pemakaian nya pada terapi TBC sebagai
obat pilihan utama sudah lama terdesak oleh
obat-obat primer lainnya berhubung toksisitasnya, lihat Bab 9, Obat tuberkulosa. Hanya
bila ada resistensi atau intoleransi bagi
obat-obat tersebut, streptomisin masih digunakan.
Resorpsinya dari usus praktis nihil,
distribusinya ke jaringan dan CCS buruk, tetapi dapat melintasi plasenta. PP-nya ±35%,
plasma-t½-nya 2-3 jam, ekskresinya lewat
ginjal rata-rata 60% dalam bentuk utuh.
Efek sampingya terhadap ginjal dan organ
pendengaran yaitu hambatan serius.
Ketulian sering kali tidak reversibel pada
anak-anak kecil dan orang di atas usia 40
tahun.
Dosis: TBC tergantung dari usia i.m. 1
dd 0,5-1 g selama maksimal 2 bulan, selalu
dikombinasi dengan obat-obat lain. Pada
sampar (pest/plague, disebabkan oleh Yersinia
pestis): i.m. 1dd 1-2 g.
2. Gentamisin: Garamycin, Gentamerck.
Diperoleh dari Micromonospora purpurea
dan M. echinospora (1963). Berkhasiat terhadap Pseudomonas, Proteus dan Stafilokok
yang resisten terhadap penisilin dan metisilin (MRSA). Maka obat ini sering dipakai
pada infeksi dengan kuman-kuman tersebut, juga sering kali dikombinasi dengan
suatu sefalosporin gen-3. Tidak aktif terhadap mycobacterium, streptokok dan kuman
anaerob. PP-nya di atas 25%, plasma-t½-nya
2-3 jam, ekskresinya rata-rata 70% melalui
kemih dalam keadaan utuh. Efek sampingnya lebih ringan daripada streptomisin dan
kanamisin, agak jarang mengganggu pendengaran tetapi adakalanya menimbulkan
gangguan alat keseimbangan.
Dosis: i.m./i.v. 3-5 mg/kg/hari dalam 2-3
dosis (garam sulfat). Krem 0,1%, salep mata
dan tetes mata 0,3 %: 4-6 dd 1-2 tetes (Garamycin).
* Tobramisin (Optosin, Obracin) yaitu derivat yang dihasilkan oleh Streptomyces
tenebrarius (1974). Spektrum antimikrobanya mirip gentamisin, tetapi khasiat anti-Pseudomonasnya in vitro
lebih kuat. dipakai pada infeksi
Pseudomonas yang resisten untuk gentamisin. Kadarnya dalam kemih sangat
tinggi karena diekskresi untuk ±90% secara utuh. Plasma-t½-nya 2-3 jam. Efek
sampingnya pada umumnya lebih ringan.
Dosis: i.m./i.v.3-5 mg/kg/hari dalam 2-3
dosis. Salep dan tetes mata 0,3%.
* Netilmisin (Netromycin) yaitu senyawa
semi-sintetik (1981) dengan struktur dan
spektrum kerja kurang lebih sama dengan gentamisin. Aktivitasnya in vitro
terhadap Pseudomonas 2-3 kali lebih
lemah daripada tobramisin. ada
indikasi bahwa obat ini lebih ringan ototoksisitasnya daripada aminoglikosida
lain.
Dosis: i.m./i.v. 2-3 dd 1,5 - 2 mg/kg (garam
sulfat).
3. Amikasin: Amikin, Amukin.
Derivat kanamisin semi-sintetik ini
(1976) memiliki spektrum kerja terluas
dari semua aminoglikosida, termasuk terhadap Mycobacteria. Aktivitasnya bagi
Pseudomonas paling kuat, tetapi terhadap
basil Gram-negatif lainnya 2-3 kali lebih
lemah (kecuali Mycobacterium). Amikasin
juga aktif terhadap suku-suku yang resisten
untuk gentamisin dan tobramisin. Zat ini
terutama dipakai untuk terapi singkat
pada infeksi yang resisten terhadap aminoglikosida lain. Untuk menghindari resistensi, jangan dipakai lebih lama dari 10 hari.
Distribusinya ke organ dan cairan tubuh
baik, kecuali ke CCS. Tetapi bila selaput
otak meradang (meningitis), kadarnya dalam
CCS dapat mencapai 50% dari kadar darah.
Ekskresinya lewat kemih untuk lebih dari
94% dalam keadaan utuh.
Efek sampingnya lebih ringan daripada
obat-obat lainnya
Dosis: i.m./i.v. 15 mg/kg/har* Kanamisin (Kanoxin) yaitu senyawa
induk amikasin yang dihasilkan oleh
Streptomyces kanamyceticus (Umezawa,
1958). Sifatnya mirip streptomisin,
spektrum kerjanya lebih luas, termasuk Mycobacterium tuberculosa yang
resisten untuk streptomisin. Antibiotik
ini juga dapat menimbulkan resistensi
dengan cepat. pemakaian nya terhadap
TBC sudah praktis ditinggalkan dengan
adanya obat TBC yang lebih kuat dan kurang toksik.
Dosis: infeksi usus/disentri basiler oral 50-
100 mg/kg/hari dalam 3-4 dosis, i.m./i.v. 15
mg/kg/hari dalam 2-4 dosis, maksimal 1 g
sehari (garam sulfat).
4. Neomisin: Neobiotic, *Otosporin, *Nebacetin.
Campuran dari neomisin A, B dan C ini
diperoleh dari Streptomyces fradiae (1949) dalam perbandingan lebih kurang 2 : 85 : 13.
Neomisin A yaitu inaktif. Zat ini berkhasiat
lebih kuat daripada semua aminoglikosida
terhadap kuman usus, sedangkan resorpsinya hanya 3%.
pemakaian . Tidak dipakai secara
parenteral karena toksisitasnya yang terkuat
dari semua aminoglikosida, khususnya ketulian irreversibel. Hanya dipakai per oral
untuk sterilisasi usus pra-bedah. Bila digunakan untuk waktu lama, neomisin dapat
mengakibatkan perubahan mukosa usus dengan terganggunya penyerapan gizi (sindroma malabsorpsi). Walaupun sukar diabsorpsi,
pemakaian oral terus-menerus dapat
mengakibatkan ototoksisitas. pemakaian
lain yaitu pada hiperlipidemia untuk
menurunkan kolesterol-LDL. Efek ini berdasarkan pengikatan asam kolat di usus
halus, yang menyebabkan berkurangnya
absorpsi kolesterol. Selain itu, zat ini banyak
dipakai secara topikal pada conjunctivitis dan otitis media dikombinasi dengan antibiotika lain untuk memperlambat timbulnya
resistensi dan memperluas daya kerjanya.
Misalnya, dikombinasi dengan basitrasin
(salep mata Nebacetin) dan polimiksin B
(tetes kuping Otosporin).
Dosis: pada hiperkolesterolemia primer
oral 0,5-2 g sehari dalam 2-3 dosis.
* Framisetin (*Sofradex, *Topifram) diperoleh
dari Strept. decaris dan praktis identik dengan neomisinB. Obat ini tidak dipakai
sistemik, karena sangat ototoksik (ketulian
irreversibel). Framisetin hanya dipakai
dalam salep, tetes mata/telinga atau sebagai kasa yang diimpregnasi (Sofratulle).
Dalam tetes mata, zat ini diperkirakan
kurang toksik bagi sel dan lebih jarang
menimbulkan radang daripada neomisin,
terutama pada pemakaian lama.
5. Paromomisin:Gabbroral, Humatin.
Dihasilkan oleh Streptomyces rimosus
(1960) dan praktis tidak diabsorpsi oleh
usus, maka hanya dipakai secara oral
pada infeksi usus (antara lain disentri ameba), juga untuk mensterilkan usus sebelum
pembedahan. Paromomisin terlampau ototoksik untuk dipakai parenteral. Pada
pemakaian lama dapat terjadi gangguan
absorpsi gizi.
Dosis: disentri amuba oral 35 mg/kg/hari
dalam 3 dosis selama 5-10 hari (garam sulfat), cryptosporidiosis oral 4 dd 500-750 mg.
D. TETRASIKLIN
Senyawa tetrasiklin semula (1948) diperoleh dari Streptomyces aureofaciens
(klortetrasiklin) dan Streptomyces rimosus
(oksitetrasiklin). sesudah tahun 1960 zat induk tetrasiklin mulai dibuat seluruhnya
secara sintetik, yang kemudian disusul
oleh derivat -oksi dan -klor serta senyawa
long-acting doksisiklin dan minosiklin.
Khasiatnya bakteriostatik, hanya melalui
injeksi intravena dapat dicapai kadar plasma yang bakterisid lemah. Mekanisme
kerjanya berdasar diganggunya sintesis
protein kuman. Spektrum antibakterinya luas
dan meliputi banyak cocci Gram-positif
dan Gram-negatif serta kebanyakan bacilli.
Tidak efektif terhadap Pseudomonas dan
Proteus, tetapi aktif terhadap mikroba khusus seperti Chlamydia trachomatis (penyebab
penyakit mata trachoma dan penyakit kela-
min), Rickettsiae (scrubtyphus), spirokheta
(sifilis, framboesia), leptospirae (penyakit Weil),
Actinomyces dan beberapa protozoa (amuba).
Kimia. Semua tetrasiklin berwarna kuning
dan bersifat amfoter, garamnya dengan
klorida/fosfat paling banyak dipakai .
Larutan garam tersebut hanya stabil pada
pH < 2 dan terurai pesat pada pH lebih
tinggi. Begitu pula kapsul yang disimpan di
tempat panas dan lembap mudah terurai, terutama di bawah pengaruh cahaya. Produk
penguraiannya epi- dan anhidrotetrasiklin bersifat sangat toksik bagi ginjal. Oleh karena
itu, suspensi atau kapsul tetrasiklin yang sudah tersimpan lama atau sudah berwarna kuning
tua sampai cokelat tidak boleh diminum lagi!
pemakaian . Berhubung kegiatan antibakterinya yang luas, tetrasiklin sejak
lama sekali yaitu obat terpilih untuk
banyak infeksi akibat bermacam-macam
kuman, terutama infeksi campuran. Akan
tetapi, karena perkembangan resistensi dan
efek sampingnya pada pemakaian selama
kehamilan dan pada anak kecil, maka sekarang ini hanya dicadangkan untuk infeksi
tertentu dan bila ada intoleransi bagi
antibiotika pilihan pertama. Antara lain digunakan pada infeksi saluran napas dan
paru-paru, saluran kemih, kulit dan mata.
pemakaian nya pada acne hebat berkat khasiat menghambatnya aktivitas enzim lipase
dari kuman yang memegang peranan penting pada acne (Propionibacter acnes). Pada
bronchitis kronis adakalanya tetrasiklin digunakan sebagai profilaksis serangan akut.
Kinetik. Resorpsi tetrasiklin dari usus pada
perut kosong yaitu ±75% dan agak lambat. Baru sesudah 3-4 jam tercapai kadar
puncak dalam darah. Pengecualian yaitu
doksisiklin dan minosiklin yang diserap baik
sekali (90-100%), juga bila diminum bersamaan dengan makanan. PP paling tinggi
yaitu pada doksisiklin (±90%), lalu minoksiklin (75%), disusul oleh oksitetrasiklin
(35%). Plasma-t½ TC dan OTC berkisar antara 9 jam, rata-rata 18 jam untuk minosiklin
dan 23 jam untuk doksisiklin. Daya penetrasi ke dalam jaringan agak baik berkat sifat
lipofilnya dengan afinitas khusus untuk tulang, gigi, kuku, kulit meradang, mata dan
prostat. Difusinya ke dalam CCS buruk,
kecuali mungkin minosiklin. Ekskresi
tetrasiklin terutama secara utuh melalui
ginjal, maka kadarnya dalam kemih tinggi. Doksisiklin dan minosiklin terutama
diekskresi melalui empedu dan tinja. Berkat
siklus enterohepatik ini, kadarnya dalam empedu tinggi sekali.
Efek samping. Pada umumnya antibiotika
golongan tetrasiklin yaitu obat yang
aman, walaupun dapat memperburuk kondisi gagal ginjal yang sudah ada. Dalam
hal ini doksisiklin lebih aman daripada senyawa-senyawa lain dalam kelompoknya.
Pada pemakaian oral sering kali terjadi
gangguan lambung-usus (mual, muntah,
diare). Penyebabnya yaitu rangsangan
kimiawi terhadap mukosa lambung dan/
atau perubahan flora usus oleh bagian obat
yang tak diserap, terutama pada tetrasiklin.
Hal terakhir juga dapat menimbulkan suprainfeksi oleh antara lain jamur Candida albicans
(dengan gejala mulut dan tenggorok nyeri,
gatal sekitar anus dan diare).
Efek samping yang lebih serius yaitu
sifat penyerapannya pada jaringan tulang
dan gigi yang sedang tumbuh pada janin
dan anak-anak. Pembentukan kompleks tetrasiklin-kalsiumfosfat dapat menimbulkan
gangguan pada struktur kristal dari gigi
serta pewarnaan dengan titik-titik kuningcokelat yang lebih mudah berlubang (caries).
Efek samping lain yaitu fotosensitasi, yaitu
kulit menjadi peka terhadap cahaya, menjadi kemerah-merahan dan gatal-gatal. Oleh
karena itu selama terapi dengan tetrasiklin,
hendaknya jangan terkena sinar matahari
yang kuat.
Kehamilan Karena penghambatan pembentukan tulang yang mengakibatkan tulang
menjadi lebih rapuh dan kalsifikasi gigi
terpengaruh secara buruk, semua tetrasiklin
tidak boleh diberikan sesudah bulan keempat
dari kehamilan. Begitu pula tidak bagi wanita yang menyusui dan pada anak-anak sampai
usia 8 tahun.
Interaksi. Tetrasiklin membentuk kompleks
tak-larut dengan sediaan besi, aluminium,
magnesium dan kalsium, sehingga resorpsinya
dari usus gagal. Oleh karena itu tetrasiklin,
terkecuali doksisiklin dan minosiklin, tidak
boleh diminum bersamaan dengan makanan (khususnya susu) atau antasida. TC,
OTC dan minosiklin dapat menghambat
hidrolisa dari 'conjugated estrogen‘ dalam
usus. Turunnya kadar estrogen dalam darah
dapat menimbulkan "spotting‘ sesudah penggunaan antikonseptiva yang mengandung
etinilestradiol atau mestranol.
Resistensi semakin sering terjadi melalui R-plasmid (ekstrakromosomal). Banyak
stafilokok dan streptokok sudah menjadi
resisten, begitu pula kebanyakan kuman
Gram-negatif (Pseudomonas, Proteus,
Klebsiella, Enterobacter, Serratia). Antara
masing-masing derivat tetrasiklin ada resistensi-silang, kecuali minosiklin
terhadap Staphylococcus aureus.
MONOGRAFI
1. Tetrasiklin: TC, Achromycin, Hostacycline,
Steclin.
dipakai per oral dan juga parenteral.
Absorpsinya dari saluran cerna dihambat
oleh a.l. ion-ion kalsium (susu), magnesium
(antasida), makanan dan sediaan yang
mengandung besi. yaitu obat pilihan
terhadap infeksi-infeksi yang diakibatkan
oleh organisme intraseluler, karena dapat
menembus makrofag dengan baik, mis. infeksi dengan chlamydia (trachoma, urethritis),
rickettsia (demam Q) dan terhadap Lyme disease. pemakaian yang meluas akhir-akhir
ini menyebabkan timbulnya banyak kuman
resisten seperti stafilokoki, streptokoki,
pneumokoki dan kuman coliform.
Selain pada infeksi saluran napas dan
acne, tetrasiklin juga dipakai pada infeksi
saluran kemih berhubung kadarnya yang
tinggi dalam kemih (sampai 60%). Pada
eradikasi Helicobacter pylori (penyebab tukak usus/lambung), tetrasiklin yaitu
salah satu obatnya bersama obat-obat lain
seperti bismutsitrat, metronidazol dan omeprazol (lihat Bab 16, Obat-obat Lambung).
Adakalanya tetrasiklin dipakai pada malaria, bersama kinin. Juga dipakai pada
disenteri basiler, tetapi untuk disenteri ameba bukan yaitu pilihan pertama.
Pada infeksi berat dapat diberikan secara
i.v. atau i.m. Secara topikal dipakai sebagai salep kulit 3%, salep mata 1% dan tetes
mata 0,5%.
Dosis: infeksi umum 4 dd 250-500 mg (garam HCl/fosfat) 1 jam a.c. atau 2 jam p.c..
Infeksi Chlamydia: 4 dd 500 mg selama 7 hari,
acne 3-4 dd 250 mg selama 1 bulan, setiap
minggu dikurangi dengan 250 mg sampai tercapai stabilisasi (selama 3-6 bulan).
Malaria: 4 dd 250-500 mg selama 7-10 hari
dikombinasi dengan kinin. Infeksi H. pylori:
4 dd 500 mg selama 1-2 minggu.
* Oksitetrasiklin (OTC, Terramycin) adalah derivat-oksi (1950) dengan sifat dan
pemakaian yang sama.
Dosis: 4 dd 250-500 mg (garam HCl) 1 jam
a.c. atau 2 jam p.c.
* Tigesiklin (Tygacil) antibiotika glisilsiklin ini secara struktural mirip dengan
kelompok tetrasiklin dan bersifat bakteriostatik. Bakteri yang peka terhadap
antibiotikum ini yaitu Stafilokokus
aureus, Streptokoki, Escherichia coli dan
Klebsiela, tetapi Ps. aeruginosa tidak
peka.
Efek samping sama seperti tetrasiklin, antara lain pewarnaan permanen pada gigi dan
gangguan perkembangan tulang janin selama pertengahan terakhir dari kehamilan.
Dosis: sebagai larutan infus permulaan 100
mg disusul dengan 50 mg tiap 12 jam selama
5-14 hari.
2. Doksisiklin: Vibramycin, Dumoxin, Doxin,
Siclidon.
Derivat long-acting ini (1966) berkhasiat
bakteriostatik terhadap banyak kuman yang
resisten untuk TC atau penisilin. Resorpsinya
dari usus hampir lengkap, maka tidak membahayakan terganggunya flora usus. BA-nya
tidak dipengaruhi oleh makanan atau susu
seperti TC dan OTC, tetapi tetap tidak boleh
dikombinasi dengan logam berat (besi, bismut dan aluminium).
Masa paruhnya panjang (14-17 jam),
maka cukup ditakarkan 1 x sehari 100 mg
sesudah diawali dengan 'loading-dose‘ dari
200 mg. Karena pentakaran yang sederhana
ini doksisiklin sering kali dipakai pada
banyak infeksi, termasuk penyakit kelamin
(gonore, sifilis dan chlamydia). Adakalanya
zat ini juga dipakai pada malaria dan
profilaksisnya.
Dosis: infeksi umum/malaria (bersama
kinin): dimulai dengan 200 mg, kemudian 1
dd 100 mg (garam hyclate/HCl) selama 7-10
hari. Anak-anak semula 4 mg/kg, lalu 2 mg/
kg/hari. Gonore, chlamydia: 2 dd 100 mg selama 7 hari, sifilis: 1 dd 200 mg selama 15-30
hari atau 300 mg/hari selama 10 hari. Malaria
profilaksis: di atas 12 tahun 1 dd 100 mg. Pada
infeksi berat, doksisiklin diberikan secara i.v./
infus.
Perhatian! Doksisiklin (dan derivatderivatnya) dapat menimbulkan borok
kerongkongan bila ditelan pada keadaan
berbaring atau dengan terlampau sedikit air!
* Minosiklin (Minocin) juga yaitu
derivat long-acting (1972) yang diresorpsi hampir lengkap dari usus. Sifatnya
mirip doksisiklin. Bersifat lipofil, maka
penetrasinya ke dalam CCS baik, juga ke
dalam liur dan kulit, maka dianjurkan
pada meningitis, bronchitis kronis dan
acne. Lebih sering menimbulkan efek
samping seperti mual dan muntah, juga
gangguan vestibuler (organ keseimbangan) dengan gejala pusing tujuh keliling.
Dosis: infeksi umum semula 200 mg, kemudian 1 dd 100 mg selama 5 -10 hari, gonore
semula 200 mg, lalu 2 dd 100 mg selama 4-6
hari. Acne: 1 dd 100 mg.
E. MAKROLIDA DAN
LINKOMISIN
Kelompok antibiotika ini terdiri dari eritromisin (EM) dengan derivatnya klaritromisin
(KM), roksitromisin (RM), azitromisin (AM),
dan diritromisin (DM).
Spiramisin dianggap termasuk kelompok ini
karena rumus bangunnya yang serupa, yaitu
cincin lakton besar (makro) padamana terikat
turunan gula. Linkomisin dan klindamisin
secara kimiawi berbeda dengan eritromisin,
tetapi mirip sekali mengenai aktivitas, mekanisme kerja dan pola resistensinya, bahkan
ada resistensi silang dan antagonisme
dengannya.
Aktivitas. Eritromisin bekerja bakteriostatik
terhadap terutama bakteri Gram-positif dan
spektrum kerjanya mirip penisilin-G, oleh
karena itu dapat dipakai oleh penderita
yang alergis terhadap penisilin. Mekanisme kerjanya sama seperti tetrasiklin, yaitu
melalui pengikatan reversibel pada ribosom
kuman, sehingga sintesis proteinnya dirintangi. Bila dipakai terlalu lama atau
sering dapat terjadi resistensi. Absorpsinya
tidak teratur, agak sering menimbulkan efek
samping saluran cerna, sedangkan masa
paruhnya singkat, maka perlu ditakarkan
sampai 4x sehari.
pemakaian . Eritromisin yaitu pilihan pertama pada khususnya infeksi
paru-paru dengan Legionella pneumophila
(penyakit veteran) dan Mycoplasma pneumoniae (radang paru 'atipis'- tidak khas), juga
pada infeksi usus dengan Campylobacter jejuni (lihat Bab 18, Obat-obat Diare). Pada
infeksi lain (saluran napas, kulit) khusus
dipakai sebagai pilihan kedua bilamana
ada resistensi atau hipersensitivas untuk penisilin. Pada indikasi tertentu, seperti
bacteremia (sepsis) serta endocarditis dan pada
pasien dengan granulocytopenia (daya tangkis berkurang) atau usia lanjut sebaiknya
dipakai antibiotika bakterisid, misalnya
penisilin atau sefalosporin.
Kinetik. Derivat eritromisin memiliki sifat
farmakokinetik yang jauh lebih baik dibandingkan eritromisin. Antara lain resorpsinya
dari usus lebih tinggi karena lebih tahan
asam dan begitu pula daya tembusnya ke
jaringan dan intra-seluler . Di samping itu
juga t½-nya lebih panjang yang memung-
kinkan pemberian dosis hanya 1 atau 2 kali
sehari dengan kesetiaan terapi meningkat.
Roksitromisin (t½ = 11 j) dan klaritromisin (t½
= 4 j) dosisnya 2x sehari, sedangkan azitromisin (t½ =13 j) dan diritromisin (t½ = 44 j) hanya
satu kali sehari. Pada umumnya derivat EM
mengakibatkan keluhan lambung-usus lebih
ringan.
Azitromisin juga aktif terhadap beberapa kuman Gram-negatif, a.l. H. influenzae,
pengakibat infeksi saluran napas. AM dan
KM efektif pula terhadap beberapa kuman
yang sering kali menghinggapi pasien AIDS,
yakni Toxoplasma gondii (toxoplasmosis) dan
Mycobacterium avium intracellulare (penyebab
semacam radang paru-paru).
BA-nya tergantung dari formulasi (cara
pembuatan), bentuk garam atau ester.
Makanan memperburuk resorpsinya, maka
sebaiknya diminum pada saat perut kosong,
seperti juga dengan roksitromisin dan azitromisin (37%); BA klaritromisin (55%)
dan diritromisin tidak dipengaruhi oleh
makanan.
Pengikatan pada protein (PP). Roksitromisin
memiliki BA yang tertinggi, rata-rata 80%,
tetapi keuntungan ini ditiadakan oleh PP
yang tinggi pula, ±85%. PP dari EM, KM,
AM dan DM yaitu masing-masing ±30,
55, 7-50% (tergantung dari kadar serumnya)
dan 22%.
Kadar jaringan. Pada umumnya penetrasi ke dalam jaringan dan organ baik, maka
terutama kadar intraseluler tinggi. Hal ini
mungkin menjelaskan efektivitasnya terhadap infeksi dengan kuman intrasel,
seperti Legionella, Mycoplasma dan Chlamydia.
Infeksi dengan kebanyakan kuman lainnya
berlangsung di luar sel.
Metabolisme. Semua makrolida diuraikan dalam hati, sebagian oleh sistem enzim oksidatif
cytochrom-P450, menjadi metabolit inaktif.
Pengecualian yaitu metabolit-OH dari KM
dengan aktivitas cukup baik. Ekskresinya berlangsung melalui empedu, tinja serta kemih,
terutama dalam bentuk inaktif.
Efek samping Yang terpenting terhadap
lambung-usus berupa diare, nyeri perut,
nausea dan kadang-kadang muntah, yang
terutama nampak pada EM akibat penguraiannya oleh asam lambung. Lebih jarang
nyeri kepala dan reaksi kulit. EM pada dosis
tinggi dapat menimbulkan ketulian reversibel, mungkin akibat pengaruhnya terhadap
SSS.
Semua makrolida dapat mengganggu
fungsi hati, yang tampak sebagai peningkatan nilai-nilai enzim tertentu dalam
serum. Juga nyeri kepala dan pusing dapat
terjadi. EM dan RM dapat mengakibatkan
reaksi alergi.
Interaksi dengan obat-obat lain dapat
terjadi. Atas dasar pengikatan pada cytochrom P450, eritromisin memperlihatkan
penghambatan enzimatik dari metabolisme
teofilin, karbamazepin, kumarin, rifampisin,
astemizol, terfenadin dan siklosporin, sehingga mengakibatkan akumulasi (warfarin!).
Interaksi ini baru menjadi nyata pada dosis
tinggi dan pemakaian lama. Pembentukan kompleks dengan enzim tersebut
tidak terjadi pada derivatnya. Hanya KM
berinteraksi secara signifikan dengan
karbamazepin. EM dan KM dapat meningkatkan kadar plasma dari digoksin melalui
perintangan sejenis kuman tertentu yang
menginaktivasi digoksin dalam usus. KM
dan RM tidak dapat dikombinasi dengan
ergotamin, karena menimbulkan kejang arteri dan reaksi ischemia.
Kehamilan dan laktasi. Eritromisin dapat
diberikan dengan aman, sedangkan bagi
derivatnya belum ada kepastian. Ada kemungkinan RM dapat diminum selama
menyusui. KM ternyata mengganggu perkembangan janin hewan percobaan, maka
sebaiknya jangan dipakai pada trimester
pertama kehamilan.
MONOGRAFI
1. Eritromisin: Erythrocin, Eryc.
Dihasilkan oleh Streptomyces erythreus (Filipina, 1952). Eritromisin diuraikan oleh asam
lambung, maka harus diberikan dalam sediaan enteric coated (dengan selaput tahan
asam) atau sebagai garam atau esternya (stearat dan etilsuksinat).
Dosis: oral 2-4 dd 250-500 mg pada saat
perut kosong, untuk anak-anak 20-40mg/
kg b.b./hari selama maksimal 7 hari. Untuk
acne: lotion 2% + propilenglikol dalam alkohol dilutum (Eryderm, Abbott).
* Roksitromisin(Rulid) yaitu derivat semi
sintetik (1989) yang tahan asam, maka resorpsinya juga lebih baik. Kadarnya dalam
darah dan jaringan (a.l. di tonsil, paru-paru
dan prostat) lebih kurang 4x lebih tinggi
daripada EM, begitu pula kadar intraselnya.
Aktivitasnya in vitro terhadap Legionella lebih kuat daripada EM.
Efek sampingnya di lambung-usus jauh lebih ringan, tetapi reaksi alergi sering kali
dilaporkan.
Dosis: Berhubung masa paruhnya panjang,
lebih kurang 11 jam (anak-anak 20 jam), maka
dosisnya dapat dibatasi pada 2 dd 150 mg a.c.
Anak-anak di atas 6 th: 5 mg/kg/hari dalam
2 dosis setiap 12 jam, selama 7-10 hari.
* Klaritromisin(Abbotic) yaitu derivat
6-O-metil (1990) yang sama efektivitasnya
dengan EM (dan amoksisilin) pada infeksi
saluran napas bawah akibat Legionella. Dari
3 metabolitnya hanya turunan 14-OH-nya
aktif secara biologis.
Sering dipakai sebagai unsur ketiga
dalam triple terapi untuk memberantas Helicobacter pylori, bersama suatu protonpump inhibitor dan metronidazol, Lihat Bab 16, Obatobat Lambung.
yaitu penghambat kuat dari enzim
CYP3A4 dalam hati sehingga meningkatkan
kadar dari obat-obat hipertensi yang banyak
dipakai seperti amlodipin dan nifedipin
(Koopmans, R. Claritromycine met calciumantagonisten leidt tot ernstige problemen
NTvG 2014;158)
Dosis: 2 dd 250-500 mg selama 6-14 hari,
anak-anak 7,5 mg/kg 2 dd selama 5-10 hari.
Diminum sebelum makan.
2. Azitromisin: Zithromax, Binozyt
Zat ini termasuk kelompok azalida, yakni
makrolida dengan atom-N di cincin laktonnya (1991). Azitromisin terikat sangat baik
pada jaringan, dengan kadar sampai 50 kali
lebih besar daripada dalam plasma. Begitu
pula kadarnya dalam lekosit, makrofag dan
fibroblas lebih tinggi daripada eritromisin.
Masa paruhnya sangat panjang (40-60 jam).
Dianjurkan pada infeksi saluran napas,
kulit dan otot, infeksi saluran kemih dan
juga pada infeksi dengan Mycobacterium
avium pada pasien HIV. Dewasa ini digunakan untuk pengobatan trachoma, suatu
penyakit mata (terutama pada anak-anak)
akibat infeksi oleh Chlamydia trachomatis,
yang yaitu sebab utama kebutaan di
seluruh dunia. Trachoma yaitu suatu
penyakit akibat kemiskinan yang terutama
ada di daerah tropik dan Timur Tengah.
Selain itu Chlamydia juga sering kali timbul
bersamaan dengan penyakit kelamin lain
yaitu gonore.
Dosis: 1 dd 500 mg 1 jam a.c atau 2 jam p.c.
selama 3 hari. Pada infeksi penyakit kelamin
dengan Chlamydia ternyata 1 dd 1000 mg
sangat efektif. M. avium intercellulare: 1 x seminggu 1200 mg.
3. Spiramisin (Rovamycin, Spiradan)
Terdiri dari campuran 3 zat spiramisin I,
II dan III, yang dibentuk oleh Streptomyces
ambofaciens (1955). Spektrum kerjanya mirip
eritromisin hanya lebih lemah. Penetrasi dan
konsentrasinya dalam jaringan mulut, tenggorok dan saluran napas baik. Maka khusus
dianjurkan untuk pengobatan infeksi di
tempat-tempat tersebut yang sering kali sukar dicapai oleh antibiotika lain. Begitu pula
terhadap toksoplasmosis pada wanita hamil
dan bayi sebagai alternatif bagi sulfadiazin
dan pirimetamin. Resorpsinya tidak konstan,
PP-nya 30% dan masa paruhnya 4-8 jam tergantung dari dosis.
Efek sampingnya ringan. Rasanya sangat
pahit. Wanita hamil dapat minum obat ini,
tetapi tidak dianjurkan selama masa laktasi
karena kadarnya dalam ASI sangat tinggi.
Dosis: oral 4 dd 0,5-1 g, anak-anak 50-100
mg/kg/hari selama 5 hari, untuk toksoplasmosis selama 3-4 minggu.
4. Linkomisin : Lincocin.
Dihasilkan oleh Streptomyces lincolnensis
(AS 1960). Khasiatnya bakteriostatik dengan spektrum kerja lebih sempit daripada makrolida, terutama terhadap kuman Grampositif dan anaerob.
Berhubung efek sampingnya yang hebat
(colitis), di banyak negara kini hanya digunakan bila ada resistensi terhadap
antibiotika lain. Misalnya, pada infeksi dengan kuman anaerob, seperti Bacteroides
yang sangat peka baginya. Berkat efek
baiknya terhadap Propionibacter acnes, zat ini
dipakai secara topikal pada acne.
Resorpsinya dari usus agak buruk, ±40%,
PP-nya ±45% , masa paruhnya ±5 jam dan
distribusinya ke seluruh jaringan sama
baiknya dengan kloramfenikol. Ekskresinya
sebagai metabolit inaktif terutama melalui empedu dan tinja, hanya sebagian kecil
melalui kemih.
Efek sampingnya yang sering kali terjadi
yaitu gangguan lambung-usus, diare,
mual dan muntah, jarang reaksi alergi kulit. Lebih berat tetapi jarang yaitu colitis
pseudomembraneus, semacam radang usus
besar yang diakibatkan oleh toksin dari kuman Clostridium difficile. Kuman ini dapat
berkembang cepat, karena kuman anaerob
(yang bersaingan) telah dimusnahkan oleh
linkomisin. Colitis ini dapat diatasi dengan
vankomisin atau metronidazol.
Dosis: oral 3-4 dd 500 mg a.c., injeksi i.m.1-
2 dd 600 mg.
* Klindamisin (klorlinkosin, Dalacin-C)
pada garis besarnya memiliki sifat dan
pemakaian yang sama dengan linkomisin, hanya khasiatnya ±4 x lebih kuat.
Resorpsinya juga jauh lebih baik, sampai 90%, juga pada lambung terisi. Masa
paruhnya ±3 jam. Klindamisin sudah banyak menggantikan senyawa induknya.
Banyak dipakai topikal pada acne
berkat efek menghambatnya terhadap
Propionibacterium acnes. Resistensi belum
dilaporkan.
Efek sampingnya sama dengan linkomisin,
pada pemakaian topikal dapat menyebabkan kulit kering atau berlemak, iritasi, eritem
dan rasa terbakar pada mata. Dosis: oral 4 dd
150-450 mg, anak-anak 8-20 mg/kg/hari,
minimal 3 dd 37,5 mg. Pada acne: lotion 1%
(Dalacin-T), yakni larutan dalam alkohol dilut. + 10% propilenglikol.
F. POLIPEPTIDA
Kelompok ini terdiri dari polimiksin B,
polimiksin E (= kolistin), basitrasin dan
gramisidin, yang bercirikan struktur polipeptida siklis dengan gugusan amino bebas.
Berlainan dengan antibiotika lainnya yang
diperoleh dari jamur, obat-obat ini dihasilkan oleh sejenis bakteri. Polimiksin hanya
aktif terhadap kuman Gram-negatif termasuk Pseudomonas, sedangkan basitrasin dan
gramisidin terutama aktif terhadap kuman
Gram-positif.
Khasiat bakterisidnya berdasar aktivitas permukaan dan kemampuannya untuk
melekatkan diri pada membran sel bakteri,
sehingga permeabilitas sel meningkat dan
akhirnya sel meletus. Kerjanya tidak tergantung dari keadaan membelah tidaknya
kuman, maka dapat dikombinasi dengan
antibiotika bakteriostatik, seperti kloramfenikol dan tetrasiklin.
pemakaian . Antibiotika ini sangat toksik bagi ginjal, polimiksin juga bagi organ
pendengaran. Oleh karena itu pemakaian
parenteralnya pada infeksi Pseudomonas
kini sudah ditinggalkan dengan tersedianya
antibiotika lain yang lebih aman, seperti
gentamisin dan sefalosporin.
Resorpsinya dari usus praktis nihil, maka
kini terutama dipakai secara topikal pada
infeksi kulit, mata dan telinga, sering kali
bersama antibiotika lain atau zat kortikoid.
MONOGRAFI
1. Polimiksin B: *Otosporin, *Maxitrol.
Diperoleh dari Bacillus polymyxa dan sering
kali dikombinasi dengan tetrasiklin, neomisin
dan basitrasin dalam salep (0,2%), tetes telinga atau mata. Aktivitasnya masih dinyatakan
dalam kesatuan, karena belum dapat diisolasi
secara murni: 1 mg polimiksin B = 10.000 U.I.
* Otosporin yaitu tetes kuping yang mengandung polimiksin sulfat 10.000 U,
neomisin sulfat 3.400 U dan hidrokortison 10 mg per ml.
* Kolistin (polimiksin E, Colistine) ber -
asal dari bakteri Aerobacillus colistinus
(Jepang, 1957). dipakai sebagai colistinemethaat terhadap infeksi oleh
kuman Gram-negatif yang multiresisten.
Nefrotoksisitas dan ototoksisitasnya lebih
ringan daripada polimiksin. Dosis: oral 3-4
dd 1-2 tb dari 1,5 MU (juta U.I.)
2. Basitrasin: *Nebacetin.
Dihasilkan oleh Bacillus subtilis (Inggeris,
1945). Nefrotoksik pada pemakaian parenteral, maka khusus dipakai sebagai
salep atau tetes mata, biasanya bersamaan
dengan neomisin dan/atau polimiksin untuk memperluas spektrum kerjanya, juga
bersama hidrokortison. Aktivitasnya juga
dinyatakan dalam satuan unit: 1 mg basitrasin = ±40 U.I.
* Nebacetin yaitu salep mata dengan basitrasin 250 U + neomisin sulfat 5 mg per g.
3. Gramisidin: *Sofradex, *Topifram.
Dihasilkan oleh Bacillus brevis dan hanya
dipakai secara topikal (salep, tablet isap),
karena terlalu toksik untuk pemakaian
sistemik.
* Sofradex yaitu tetes mata dengan gramisidin 0,05 mg + framisetin sulfat 5 mg per ml.
* Topifram yaitu krem dengan gramisidin 2,5 mg + framisetin sulfat 75 mg +
desoksimetason 25 mg + fenilmerkurinitrat 2 mg per g.
G. ANTIBIOTIKA LAINNYA
1. Kloramfenikol: Kemicetine
Semula diperoleh dari sejenis Streptomyces
(1947), tetapi kemudian dibuat secara sintetik.
Antibiotikum broadspectrum ini berkhasiat
bakteriostatik terhadap hampir semua kuman
Gram-positif dan sejumlah kuman Gramnegatif, juga terhadap spirochaeta, Chlamydia
trachomatis dan Mycoplasma. Bersifat bakterisidterhadap Str. pneumoniae, Neiss. meningitides
dan H. influenzae. Mekanisme kerjanya berdasarkan perintangan sintesis polipeptida
kuman.Terhadap kebanyakan suku Pseudomonas, Proteus dan Enterobacter, kloramfenikol
tidak aktif.
pemakaian nya. Berhubung risiko anemia
aplastik fatal, kloramfenikol di negara Barat
sejak tahun 1970-an jarang dipakai lagi
per oral untuk terapi manusia. Dewasa ini
hanya dianjurkan pada beberapa jenis infeksi bila tidak ada kemungkinan lain, yaitu
pada infeksi tifus(Salmonella typhi) dan meningitis (khusus akibat H. influenzae), juga
pada infeksi anerob yang sukar dicapai
obat, khususnya abses otak oleh B. fragilis.
Untuk infeksi tersebut sebetulnya juga tersedia antibiotika lain yang lebih aman dengan
efektivitas sama.
pemakaian topikal. Kloramfenikol digunakan sebagai salep 3% dan tetes/salep mata
0,25-1% sebagai pilihan kedua, jika fusidat
dan tetrasiklin tidak efektif. Berhubung
perkiraan adanya kaitan antara terjadinya
fotodegradasi (lihat di bawah) dari zat ini
dan myelodepresi pada pasien yang peka,
maka hendaknya hanya dipakai pada
conjunctivitis bakterial selama maksimal 2
minggu. Lebih baik menggunakan salep
mata 1 dd malam hari daripada tetes mata
beberapa kali sehari. Tetes telinga (10%) tidak
boleh dipakai lagi, karena propilenglikol
sebagai pelarut ternyata ototoksik.
Resorpsinya dari usus cepat dan agak lengkap, dengan BA 75-90%. Difusi ke dalam
jaringan, rongga dan cairan tubuh baik sekali, kecuali ke dalam empedu. Kadarnya
dalam CCS tinggi sekali dibandingkan dengan antibiotika lain, juga bila tidak ada
meningitis. PP-nya ±50%, plasma-t½-nya
rata-rata 3 jam. Dalam hati 90% dari zat ini
dirombak menjadi glukuronida inaktif. Bayi
yang baru lahir belum memiliki sistem enzim detoksifikasi secukupnya, maka mudah
mengalami keracunan dengan akibat fatal
(“grey baby” sindrom). Ekskresinya melalui
ginjal, terutama sebagai metabolit inaktif
dan ±10% secara utuh.
Esternya (palmitat dan stearat) tidak pahit
berlainan dengan kloramfenikol sebagai basa,
maka sering dipakai untuk sediaan berupa
suspensi. Ester inaktif ini dalam usus dihidrolisis oleh enzim lipase dan menghasilkan basa
aktif kembali. Syarat penting untuk hidrolisa
lengkap yaitu particle size serbuk yang digunakan untuk membuat suspensi, yaitu harus
microfine (= 1-5 mikron). Untuk injeksi diguna- kan garam-Na dari ester suksinat yang mudah
larut dan dalam jaringan dirombak menjadi
kloramfenikol aktif.
Efek samping umum berupa a.l. gangguan
lambung-usus, neuropati optik dan perifer,
radang lidah dan mukosa mulut. Tetapi yang
sangat berbahaya yaitu depresi sumsum
tulang (myelodepresi) yang dapat berwujud
dalam dua bentuk anemia, yakni sebagai:
a. penghambatan pembentukan sel-sel darah (eritrosit, trombosit dan granulosit)
yang timbul dalam waktu 5 hari sesudah
dimulainya terapi. Gangguan ini tergantung dari dosis serta lamanya terapi dan
bersifat reversibel.
b. anemia aplastik, yang dapat timbul sesudah beberapa minggu sampai beberapa
bulan pada pemakaian oral, parenteral
dan okuler, maka tetes mata tidak boleh dipakai lebih lama dari 10 hari!
Myelodepresi bersifat tidak reversibel dan
terjadi agak jarang (1 : 4.000--50.000), tetapi sering kali berakibat fatal.
Menurut perkiraan kerusakan sumsum tulang
ini disebabkan oleh metabolit kloramfeni