dak diobati selayaknya, sepsis pada umumnya berakibat fatal. Yang
terkenal yaitu sepsis yang menyertai infeksi
oleh stafilokok atau meningokok (Neisseria meningitides) yang terutama menyerang
anak-anak dan remaja, yang tanpa pertanda
dapat berlangsung fatal dalam beberapa jam.
Lihat juga Bab 50 Sera dan vaksin, Vaksin
meningokok.
2. SEJARAH KEMOTERAPI
Sejak zaman purbakala, orang kuno telah
mempraktikkan fitoterapi (Y. phytos = tanaman) dengan coba-mencoba (empiris, trial and
error). Orang Yunani dan Aztec (di Meksiko)
menggunakan masing-masing pakis pria
(Filix mas) dan minyak chenopodi untuk
membasmi cacing dalam usus. Orang Hindu
sudah beribu-ribu tahun lalu mengobati lepra
dengan minyak chaulmogra dan di Cina serta
di pulau Mentawai (Sumatera Barat) sejak
dahulu kala borok diobati dengan jamurjamur tertentu sebagai pelopor antibiotika.
Orang dari negara Cina dan Vietnam sejak
dua ribu tahun lalu menggunakan tanaman
qinghaosu (mengandung artemisinin) untuk
mengobati malaria, sedangkan suku-suku
Indian di Amerika Selatan memanfaatkan
kulit pohon kina. Pada abad ke-16 air raksa
(merkuri) mulai dipakai sebagai kemoterapeutikum pertama terhadap sifilis.
Kemoterapi modern mulai berkembang pada
akhir abad ke-19. Saat itu peneliti Dr Robert
Koch dan Dr Louis Pasteur membuktikan
bahwa banyak penyakit diakibatkan oleh
bakteri dan protozoa. Dr Paul Ehrlich yaitu
sarjana pertama yang melontarkan konsepsi
dan istilah kemoterapi dan indeks terapi. Pada
penelitiannya dengan jaringan dan bakteri
yang diwarnai dengan anilin dan metilenbiru,
ia menemukan khasiat bakterisid dari zat-zat
warna tersebut. Pada tahun 1891 ia berhasil
menyembuhkan hewan yang terinfeksi parasit malaria dengan metilenbiru. Kemudian pada tahun 1907 ditemukan obat antispirokheta arsfenamin (Salvarsan) yang merupakan obat standar sifilis pada saat itu
sampai kemudian terdesak sesudah ditemukannya penisilin. Kemoterapeutika penting
yang disintesis atas dasar zat-zat warna
yaitu obat malaria pamaquin dan mepakrin
(1930).
Dengan penemuan sulfonamida (1935) kemungkinan terapi —yang hingga saat itu
hanya terbatas pada infeksi protozoa dan
spirokheta— sangat diperluas dengan banyak
bakteri lain. Antara lain banyak penyebab
penyakit fatal seperti radang selaput otak
(meningitis) dan radang paru-paru (pneumonia) mulai dapat ditanggulangi dan disembuhkan dengan terapi sistemik, yaitu melalui
peredaran darah.
Titik-titik puncak dalam perkembangan selanjutnya yang membuka babak baru dalam
pengobatan sistemik penyakit infeksi yaitu
diperkenalkannya penisilin (1941) dengan
khasiat dan toksisitas yang sangat selektif.
Antibiotikum pertama ini disusul oleh banyak antibiotika lain, seperti kloramfenikol
dan kelompok sefalosporin, tetrasiklin, aminoglikosida, makrolida, polipeptida, linkomisin dan rifamisin. Selain sulfonamida dikembangkan juga kemoterapeutika sintetik,
seperti senyawa nitrofuran (1944), asam
nalidiksat (1962) serta turunannya (fluorkinolon, 1985), obat-obat TBC (PAS, INH) dan
obat-obat protozoa (kloroquin, proguanil,
metronidazol, dan lain-lain). Banyak zat
antimikroba baru telah dikembangkan yang
mampu menyembuhkan hampir semua infeksi mikroba, kecuali infeksi dengan kebanyakan virus.
3. PENGGOLONGAN ZATZAT ANTIBAKTERI
Kemoterapeutika antimikroba dapat digolongkan atas dasar mekanisme kerjanya da -
lam zat-zat bakterisid dan bakteriostatik sebagai
berikut.
A. zat-zat bakterisid (L. caedere = mematikan), yang pada dosis biasa berkhasiat
mematikan kuman. Obat-obat ini dapat
dibagi pula dalam dua kelompok yang
bekerja:
– terhadap fase pertumbuhan, misalnya penisilin dan sefalosporin, polipeptida (polimiksin, basitrasin), rifampisin, asam nalidiksat dan kuinolonkuinolon. Zat-zat ini kurang efektif
terhadap kuman dalam fase istirahat.
– terhadap fase istirahat misalnya aminoglikosida, nitrofurantoin, INH, kotrimoksazol dan juga polipeptida tersebut di atas.
B. zat-zat bakteriostatik (L. stasis = menghentikan), yang pada dosis biasa terutama berkhasiat menghentikan pertumbuhan dan perbanyakan kuman. Pemusnahannya harus dilakukan oleh sistem
tangkis tubuh sendiri dengan jalan fagositosis (‘dimakan’ oleh limfosit), lihat
Bab 49, Dasar-dasar imunologi. Contohnya yaitu sulfonamida, kloramfenikol,
tetrasiklin, makrolida dan linkomisin,
PAS serta asam fusidat.
Penggolongan ini tidak mutlak, karena faktor
konsentrasi (dosis) dan waktu turut menentukan efek obat. Kebanyakan bakteriostatika
menjadi bakterisid pada dosis sangat tinggi,
yang biasanya terlalu toksik untuk diberikan
pada manusia. Lagipula kepekaan kuman bagi
obat memegang peranan; pada dosis tertentu
obat dapat berefek bakterisid untuk suatu
kuman dan hanya bakteriostatik bagi kuman
lain. Secara klinis perbedaan ini biasanya
tidaklah penting, karena pada akhirnya daya tahan tubuh juga memegang peranan
bagi pemusnahan kuman-kuman patogen.
Pengecualian yaitu pengobatan infeksi dari
penderita yang memiliki daya tahan tubuh
terganggu, mis. penderita AIDS, pengguna
kortikosteroida, sitostatika dan obat-obat
yang menekan imunitas. Pada kasus demikian
obat-obat bakterisid yang harus dipakai .
Penggolongan lain yang juga sering digunakan yaitu berdasar luas aktivitasnya,
artinya aktif terhadap banyak atau sedikit
jenis kuman. Dapat dibedakan antibiotika
dengan aktivitas sempit dan luas.
a. Antibiotika narrow-spectrum (aktivitas
sempit). Obat-obat ini terutama aktif terhadap beberapa jenis kuman saja, misalnya penisilin-G dan penisilin-V, eritromisin,
klindamisin, kanamisin dan asam fusidat
hanya bekerja terhadap kuman Grampositif (lihat di bawah). Sedangkan streptomisin, gentamisisn, polimiksin-B dan asam
nalidiksat khusus aktif terhadap kuman
Gram-negatif.
b. Antibiotika broad-spectrum (aktivitas luas) bekerja terhadap lebih banyak baik jenis kuman Gram-positif maupun Gramnegatif. Antara lain sulfonamida, ampisilin,
sefalosporin, kloramfenikol, tetrasiklin dan
rifampisin.
Istilah antibiotika sering kali dipakai
dalam arti luas dan dengan demikian tidak
terbatas pada hanya obat-obat antibakteri
yang dihasilkan fungi dan kuman (definisi
dari Waksman untuk antibiotika), melainkan
juga untuk obat-obat sintetik seperti sulfonamida, INH, PAS, nalidiksat dan fluorkuinolon. Istilah dengan arti luas tersebut
yang selanjutnya akan dipakai dalam
buku ini. Zat-zat sintetik lainnya dengan
kerja antibakteri yaitu obat-obat tbc,lepra
dan metronidazol. Antibiotika dengan kerja fungistatik dibahas dalam Bab 6. Antimikotika.
4. PARASIT-PARASIT
PATOGEN
Secara global bakteri dapat dibagi dalam dua
kelompok besar sesudah diwarnai menurut
metode sarjana Denmark dr Gram, yakni
kuman Gram-positif dan kuman Gramnegatif. Menurut bentuknya dapat pula dibedakan beberapa jenis kuman, yaitu cocci
(tunggal: coccus = biji bundar), bacilli (tunggal: bacillus = batang silindris) serta spirokheta dan vibrio yang kedua-duanya berbentuk spiral.
Kuman Gram-negatif memiliki membran
luar yang untuk sebagian besar terdiri dari
suatu kompleks lipopolisakarida-endotoksin,
yang menyebabkan toksisitasnya. Kebanyakan kuman ini seperti Meningococci dan
Chlamydiae, bersifat sangat virulen akibat
endotoksin tersebut dan ada nya salut
polisakarida yang kebal terhadap fagositosis
oleh sel-sel sistem imun. Kuman-kuman ini
sering kali mengakibatkan bakteremia dan
sepsis yang sangat membahayakan jiwa.
Di antara virus yang jauh lebih kecil
daripada bakteri dan fungi (jamur) ada
banyak pembangkit penyakit. Begitu pula di
antara protozoa yang yaitu jasad-jasad
renik satu-sel terendah.
Untuk mempermudah pengertian dari pembahasan selanjutnya, pada halaman berikut
diberikan sebuah tabel ikhtisar yang mencantumkan parasit terpenting, yang dapat
menimbulkan penyakit infeksi pada manusia
serta kemoterapeutika yang pada umumnya
dipakai untuk pengobatannya.
P a r a s i t Penyakit Obat pilihan utama Obat pilihan kedua
1 Kuman2 Gram positif
a c o c c i
Staphyloc. Aureus a p e m AK, Ps St, Sf, Vm
Streptoc. Pyogenes f o p s Pv, Pg Ss, Vm
Enterococcus u e As Sf, Nf
b b a c i l i
Bacillus anthracis p Pg Em, Ts
Clostridium tetani T serum+vaks., pg Ts, Em
Corynebact. Diphther. difteri antitoksin, Em Pg + Rf
Listeria monocytogenes b m As, Pg (+Ag) Kt, Ka, Ts
2 Kuman² Gram negatif
a c o c c i
Branhamella catarrh. o t p AK, Kt Em, Sf
Meningococci m Pg St, Ka
Neisseria gonorrh. gonore As/Pg + Pb Sp, St
b b a c i l i
Bacteroides fragilis a e b Mn, Km Mn, Ss
Campylobact. Jejuni j e g Sf, Em Ts, Km
Enterobact. spec. u umum Sp, Ag Ts, Kt
Escherichia coli u umum Kt, Sf AK, Sf
Haemophil. influ. B o s p m Sp, St AK, As
Klebsiella pneumon. u p Sp, St At, Kt
Legionella pneumoph. pk veteran Em (+Rf) Sf, Kt
Proteus mirabilis u As Ss, Ag
Pseudomon. aerugin. u p b Ps + Ag St + Ag
Salmonella typhi t b Kt, Ka Sp, St
Shigella spec. g Kt Sp
Vibrio cholerae kolera Ts Kt, Ka, Sf
Yersinia pestis pes (plague) Sf, Ag, Ka Ts, Ka
3 Kuman² tahan-asam
Mycobact. tubercul. tbc I + Rf + Pa I+Rf+etambutol
Mycobact. Leprae kusta Rf + dapson klofazimin
4 Spirochaeta dan lain-lain
Borrelia burdorferi pk Lyme Pg St, Ts
Leptospira pk Weil Pg Ts
Treponema pallidum sifilis Pg St, Ts
P a r a s i t Penyakit Obat pilihan utama Obat pilihan kedua
5 V i r u s - virus
Hepatitis-B virus hepatitis _ _
Herpes simplex pk kelamin asiklovir Vidarabin
Herpes zoster sinaga asiklovir Vidarabin
HIV AIDS AZT+3TC+indinavir
Influenza-A2 influenza amantadin, Relenza
6 Fungi – ragi
dermatofit dermatitis Kk
Candida albicans vaginitis nistatin, Kk
Pitosporum ovale ketombe Kk
7 Protozoa
Entamoeba histolyt. amubiasis Mn, diloksanida
Plasmodium vivax/falcip. malaria kinin, klorokuin
Trichomonas vaginalis vaginitis Mn, Kk
8 Lainnya
Chlamydia trachom. trachom Ts, Kt
Mycoplasma pneumon. p atipis Em, Ts
Rickettsia T, Q-fever Ts, Ka
a : abces o: otitis media
b : bacteremia p: pneumonia
pk: penyakit
B : bronchitis s: sinusitis
e : endocarditis t: tifus
f: faringitis
g : gastro-enteritis T: tetanus
m : meningitis u: inf. sal. urin
Ag : aminoglikosida Pv: penisilin-V
As : amoksisilin Pa: pirazinamida
AK : amoks.+klavulanat Pb: probenesid
At : aztreonam Pg: penisilin-G
Em : eritromisin Ps: piperasilin
I : INH
Fk : fluorkuinolon Rf: rifampisin
Ka : kloramfenikol Sf: siprofloksacin
Kk : ketokonazol Sp: sefperazon
Km : klindamisin Ss: sefalosporin
Kt : kotrimoksazol St: seftriakson
Mn : metronidazol Tk: tikarsilin
Nf : nitrofurantoin Ts: tetrasiklin
Vm : vankomisin
Tabel II-1: Mikroorganisme patogen dengan penyakit yang dapat ditimbulkan serta
pengobatannya
5. MEKANISME KERJA
Kemoterapeutika dapat melakukan aktivitasnya lewat beberapa mekanisme, terutama
melalui penghambatan sintesis materi penting bakteri misalnya:
a. dinding sel: sintesisnya terganggu sehingga dinding menjadi kurang sempurna dan tidak tahan terhadap tekanan
osmotik dari plasma dengan akibat pecah. Contohnya: kelompok penisilin, sefalosporin, dan vankomisin.
b. membran sel: molekul lipoprotein dari
membran plasma (di dalam dinding sel)
dikacaukan sintesisnya, sehingga menjadi
lebih permeabel dan zat-zat penting dari
isi sel dapat merembes keluar. Contohnya:
antibiotika polyen (nistatin, amfoterisin)
dan imidazol (mikonazol, ketokonazol).
c. protein sel: sintesisnya terganggu, misalnya oleh kloramfenikol, tetrasiklin, aminoglikosida dan makrolida.
d. asam-asam inti (DNA, RNA): rifampisin
(RNA), asam nalidiksat dan kuinolon,
IDU dan asiklovir (DNA). Juga termasuk
di sini senyawa-senyawa imidazol.
e. Antagonisme saingan. Obat menyaingi
zat-zat yang penting untuk metabolisme
kuman sehingga pertukaran zatnya terhenti, antara lain sulfonamida, trimetoprim, PAS dan INH.
6. PILIHAN OBAT
Pada infeksi berat selalu dilakukan pembiakan dari cairan tubuh (darah, urin, dahak)
untuk mendeteksi kuman pembangkit infeksi
dan menentukan obat yang paling aktif terhadapnya. Tetapi dalam praktik sehari-hari,
karena pertimbangan praktis, dokter memilih
obat atas dasar jenis dan beratnya infeksi
serta pengalamannya.
Bila harus dipilih antara beberapa obat
dengan aktivitas dan sifat farmakokinetik
yang lebih kurang sama, hendaknya diperhatikan beberapa faktor sebagai berikut.
a. Zat bakterisid lebih diutamakan daripada zat bakteriostatik, terutama bila daya
tangkis pasien sudah berkurang, seperti pada penderita penyakit darah (agranulositosis), endocarditis, pada pembawa bakteri (carriers) dan sesudah pembedahan
berat. Pada pasien-pasien ini sel-sel tangkis (limfosit) kurang aktif lagi untuk memusnahkan kuman yang telah dihambat pertumbuhannya oleh bakteriostatika. Begitu pula pasien lanjut usia sering
kali sistem imunnya tidak optimal lagi,
oleh karena itu lebih baik mereka diberi
misalnya ampisilin daripada doksisiklin.
b. Zat dengan daya-penetrasi baik ke dalam
organ atau CCS lebih diutamakan karena
lebih mudah meresap ke lokasi infeksi.
Hal ini sangat penting bila sumber infeksi
terletak pada jaringan dengan sirkulasi
darah buruk. Misalnya rongga dahi dan
prostat sukar dicapai oleh kebanyakan
antibiotika.
Obat dengan penetrasi baik ke dalam
jaringan yaitu amoksisilin, linkosin dan
rifampisin. Begitu pula spiramisin khusus
ke dalam jaringan mulut dan tenggorok, serta fluorkuinolon ke antara lain
prostat. Sulfonamida, kloramfenikol dan
tetrasiklin agak baik difusinya, sedangkan
antibiotika lainnya kurang baik.
Obat dengan penetrasi baik ke dalam
CCS yaitu sulfonamida, kloramfenikol,
rifampisin dan minosiklin. berdasar
itu obat-obat tersebut yaitu obat
utama pada meningitis. Penyerapannya
ke CCS tergantung dari lipofilitas obat,
semakin lipofil semakin baik penetrasinya.
c. Zat dengan pentakaran 1-2 x sehari
lebih disukai daripada obat yang harus
ditakarkan 3-4 kali. Telah dibuktikan
bahwa kesetiaan minum obat (drug compliance) dalam hal pertama yaitu lebih baik. Dengan demikian obat akan
diminum secara teratur dan berhasilnya
kur lebih terjamin.
d. Zat dengan pengikatan protein (PP)
rendah diutamakan, karena hanya obat
bebas dapat mendifusi ke tempat infeksi.
7. pemakaian
Dosis selalu dipilih sedemikian tinggi agar
kadar obat di tempat infeksi melampaui
MIC-nya untuk kuman (Minimum Inhibitory Concentration, lihat Bab 3, sub 2). Guna
mencapai kadar puncak dalam darah dan
jaringan sering kali perlu diawali dengan
dosis ganda (loading dose), misalnya pada
sulfonamida, doksisiklin dan klorokuin.
Atau juga dimulai dengan pemberian parenteral pada infeksi parah dan selanjutnya
diteruskan secara oral, misalnya penisilin-G,
tetrasiklin atau kinin.
Frekuensi pentakaran tergantung dari plasma half-life obat (t½) yang seperti telah diuraikan yaitu ukuran untuk kecepatan
eliminasinya. Obat dengan masa paruh pendek
perlu diberikan sering kali, sampai 5x sehari,
sedangkan obat dengan masa paruh panjang
cukup diberikan 1x sehari, bahkan 1x seminggu.
Lamanya terapi dengan kemoterapeutika
harus cukup panjang agar menjamin semua
mikroorganisme telah mati dan menghindarkan kambuhnya penyakit. Lazimnya terapi diteruskan sampai 2-3 hari sesudah gejala hilang. Pengobatan beberapa penyakit
tertentu perlu dilanjutkan lebih lama, misalnya pada tifus, malaria, TBC dan endocarditis,
bahkan pada lepra kerap kali seumur hidup.
8. EFEK SAMPING
pemakaian kemoterapeutika yang sembarangan atau tidak tepat dosisnya dapat menggagalkan terapi. Di samping itu juga dapat
menimbulkan risiko sensitasi, resistensi dan
suprainfeksi, lihat pula Bab 4, sub 7.
sesudah dipakai secara topikal banyak
obat dapat menimbulkan kepekaan berlebihan atau sensitasi dan pasien menjadi hipersensitif. Bila kemudian obat yang sama
dipakai secara sistemik (oral atau parenteral), ada kemungkinan terjadinya suatu
reaksi alergi. Gejalanya berupa gatal-gatal,
kemerah-merahan dan bentol-bentol, tetapi
kadang-kadang juga lebih hebat seperti demam, kelainan darah, bahkan shock anafilaktis fatal! Oleh karena itu untuk menghindari sensitasi, sebaiknya jangan menggunakan obat-obat demikian dalam sediaan topikal (salep, krem, lotion, dan sebagainya).
Antibiotika yang terkenal dapat menimbulkan sensitasi yaitu antara lain penisilin, kloramfenikol dan sulfonamida. Sebaliknya
framisetin, fusidat dan juga tetrasiklin yang
jarang sekali menimbulkan sensitasi banyak
dipakai topikal. Neomisin dan basitrasin
semakin banyak dilaporkan sebagai penyebab alergi kontak.
Bila antibiotika dipakai dengan dosis
terlampau rendah atau masa terapi kurang
lama, cara ini dapat mempercepat terbentuknya suku-suku resisten. Oleh karena itu
perlu selalu dipakai dosis cukup tinggi
untuk waktu yang cukup lama. Cara lain
untuk mencegah resistensi yaitu menggunakan kombinasi dari dua atau tiga obat, khususnya pada tbc, lepra, AIDS dan sebagainya.
Lihat Gambar II-1 dan juga Bab 4, sub 7,
Resistensi bakteri.
Supra infeksi yaitu infeksi sekunder
dengan parasit berlainan yang timbul setelah infeksi primer (L. supra = atas). Infeksi
ini terutama terjadi pada pemakaian antibiotika broad-spectrum yang sering kali
mengganggu keseimbangan antar-bakteri
di dalam usus, saluran napas dan saluran
urogenital. Suku mikroorganisme yang lebih
kuat dan resisten hilang saingannya, menjadi dominan dan menimbulkan infeksi baru.
Yang sangat dikhawatirkan yaitu suprainfeksi dengan suku Stafilokok resisten, Proteus
dan Pseudomonas, begitu pula dengan Candida
dan fungi lain. Obat-obat yang dapat menimbulkan supra-infeksi yaitu ampisilin, kloram-fenikol dan tetrasiklin. Begitu
juga obat-obat yang menekan sistem tangkis
tubuh (kortikosteroida dan sitostatika).
9. pemakaian
kombinasi
Pada umumnya pemakaian kombinasi dari dua atau lebih antibiotika (multiple drug
therapy, MDT) tidak dianjurkan, terlebih pula
kombinasi dengan dosis tetap (fixed dose).
Terapi terarah mungkin lebih rasional (misalnya satu jenis bakterisid untuk gangguan
tertentu), tetapi beberapa kombinasi dapat
bermanfaat, sebagai berikut:
• pada infeksi campuran, misalnya kombinasi obat-obat antikuman dan antifungi.
Atau dua antibiotika dengan spektrum
sempit (Gram-positif + Gram-negatif) untuk memperluas aktivitas terapi, misalnya
basitrasin + polimiksin dalam sediaan
topikal.
• untuk potensiasi, misalnya sulfametoksazol dengan trimetoprim (= kotrimoksazol) dan sefsulodin dengan gentamisin
pada infeksi dengan Pseudomonas.
• Multi drug therapy (AZT + 3TC + ritonavir) terhadap AIDS juga memberikan efek
sangat baik.
• untuk mengatasi resistensi, misalnya
amoksisilin + asam klavulanat yang
menginaktivasi enzim penisilinase.
• untuk menghambat resistensi, khususnya pada infeksi menahun seperti pada
tuberkulosa (rifampisin + INH + pirazinamida) dan kusta (dapson + klofazimin
dan/atau rifampisin). Berperan pula pada MDT terhadap AIDS.
• untuk mengurangi toksisitas, misalnya
trisulfa dan sitostatika, karena dosis masing-masing komponen dapat dikurangi.
10. ANTAGONISME-SINERGISME
DARI KOMBINASI
Pada umumnya kombinasi antibiotika dari
berbagai kelompok menghasilkan adisi atau
potensiasi dari khasiatnya masing-masing.
Hanya kombinasi tertentu dapat menimbulkan antagonisme dengan penurunan atau
peniadaan efek terapi. Contoh yang terkenal
dari antagonisme yaitu kombinasi penisilin/sefalosporin dengan tetrasiklin/kloramfenikol. Oleh karena itu hingga kini tidak
dianjurkan kombinasi zat-zat bakterisid yang
bekerja terhadap fase tumbuh dengan zat-zat
bakteriostatik, misalnya ampisilin + kloramfenikol pada meningitis bakterial dan aminoglikosida dengan linkosin/klindamisin pada
infeksi usus.
Tetapi dalam praktik ternyata bahwa interaksi demikian dalam kebanyakan hal
tidak berlaku secara klinis. Penyebabnya
mungkin karena efek bakteriostatik —bila sistem imun utuh— sudah mencukupi untuk
menanggulangi infeksi. Hanya pada pasien
dengan neutropenia,meningitis dan endocarditis
sebaiknya jangan dipakai kombinasi,
tetapi monoterapi dengan zat bakterisid.
Kombinasi penisilindansulfa yang dahulu
banyak dipakai tidak menghasilkan antagonisme, tetapi adisi.
11. PEMBAHASAN
Dalam bab-bab berikut akan dibahas berturut-turut golongan besar kemoterapeutika,
yaitu Antibiotika (arti sempit), Antimikotika,
Virustatika, Kuinolon dan Antiseptika saluran
kemih, Tuberkulostatika, Leprostatika, Obatobat malaria, Obat-obat Amubiasis dan Trichomonas, Anthelmintika, Sitostatika dan
Antiseptika lokal.
Antibiotika(L. anti = lawan, bios = hidup)
yaitu zat-zat kimia yang dihasilkan oleh
fungi dan bakteri, yang memiliki khasiat
mematikan atau menghambat pertumbuhan
kuman, sedangkan toksisitasnya bagi manusia relatif kecil. Turunan zat-zat ini yang
dibuat secara semi-sintetik, juga termasuk
kelompok ini, begitu pula semua senyawa
sintetik dengan khasiat antibakteri.
Kegiatan antibiotik untuk pertama kalinya diketemukan secara kebetulan oleh dr.
Alexander Fleming (Inggris, 1928, penisilin).
Tetapi penemuan ini baru dikembangkan dan
dipakai di tahun 1941 pada permulaan
Perang Dunia II, ketika obat-obat antibakteri
sangat diperlukan untuk menangani infeksi
dari luka-luka akibat pertempuran.
Kemudian, para peneliti di seluruh dunia
menghasilkan banyak zat lain dengan khasiat antibiotik. Tetapi berhubung dengan
sifat toksiknya bagi manusia, hanya sebagian kecil saja yang dapat dipakai sebagai
obat. Yang terpenting di antaranya yaitu
streptomisin (1944), kloramfenikol (1947), tetrasiklin (1948), neomisin 1949, eritromisin (1952),
vankomisin (1955),rifampisin (1960), gentamisin 1963, bleomisin (1965), doksorubisin (1969),
minosiklin (1972) dan tobramisin (1974).
Pembuatannya
Pada umumnya antibiotika dibuat secara
mikrobiologi, yaitu fungi dibiakkan dalam
tangki-tangki besar bersamaan dengan zatzat gizi khusus. Oksigen atau udara steril
disalurkan ke dalam cairan pembiakan untuk
mempercepat pertumbuhan fungi dan meningkatkan produksi antibiotikanya. sesudah
diisolasi dari cairan kultur, antibiotika ini dimurnikan dan aktivitasnya ditentukan.
* Antibiotika semisintetik. Apabila pada
persemaian (culture substrate) dibubuhi
zat-zat pelopor tertentu, maka zat-zat
ini diinkorporasi ke dalam antibiotika
dasarnya. Hasilnya disebut senyawa semisintetik, misalnya penisilin-V.
* Antibiotika sintetik kini tidak lagi dibuat
secara biosintetik, melainkan seluruhnya
melalui sintesis kimiawi, misalnya kloramfenikol.
Mekanisme kerja
Cara kerjanya yang terpenting yaitu
perintangan sintesis protein, sehingga kuman musnah atau tidak berkembang lagi,
misalnya kloramfenikol, tetrasiklin, aminoglikosida, makrolida dan linkomisin. Selain
itu beberapa antibiotika bekerja terhadap
dinding sel (penisilin dan sefalosporin) atau
membran sel (polimiksin, zat-zat polyen
dan imidazol), lihat pendahuluan Seksi II.
Antibiotika tidak aktif terhadap kebanyakan virus kecil, mungkin karena virus tidak
memiliki proses metabolisme sesungguhnya,
melainkan tergantung seluruhnya dari metabolisme tuan-rumah.
Aktivitasnya
Pada umumnya aktivitasnya dinyatakan
dengan satuan berat (mg), kecuali zat-zat
yang belum dapat diperoleh murni 100%
dan terdiri dari campuran beberapa zat.
Misalnya, polimiksin B, basitrasin dan
nistatin, yang aktivitasnya selalu dinyatakan dalam Satuan Internasional (I.U. atau
International Unit). Begitu pula senyawa
kompleks dari penisilin, yaitu prokain- dan
benzatin-penisilin. Lihat juga Bab 2, Bioassay dan standardisasi.
pemakaian
Antibiotika dipakai untuk mengobati
berbagai jenis infeksi akibat kuman atau juga
untuk prevensi infeksi, misalnya pada pembedahan besar. Secara profilaktik juga diberikan
pada pasien dengan sendi dan klep jantung
buatan, juga sebelum cabut gigi.
pemakaian penting non-terapeutik yaitu
sebagai perangsang pertumbuhan dalam peternakan sapi, babi dan ayam. Efek ini secara
kebetulan diketemukan sekitar tahun 1940,
tetapi mekanisme kerjanya belum diketahui
dengan jelas. Diperkirakan bahwa antibiotika bekerja setempat di dalam usus dengan
menstabilisasi flora usus hewan tersebut.
Kuman-kuman "buruk" yang merugikan dikurangi jumlah dan aktivitasnya, sehingga
zat-zat gizi dapat dimanfaatkan lebih baik.
Pertumbuhan dapat distimulasi dengan ratarata 10%. Meskipun di kebanyakan negara
Barat cara penyalahgunaan ini dilarang keras,
namun masih tetap banyak dipakai dalam
makanan ternak, terutama makrolida dan glikopeptida. Jumlahnya kini sudah meningkat
sampai lebih dari 3 kali pemakaian nya sebagai obat manusia.
Di bawah ini dibahas berturut-turut
enam kelompok antibiotika, yaitu penisilin
dan sefalosporin, kelompok tetrasiklin,
aminoglikosida, makrolida dan linkosin,
polipeptida serta kelompok sisa (polyen,
rifamisin, dan lain-lain).
A. PENISILIN
Antibiotika ini dibagi menjadi dua kelompok,
yaitu kelompok penisilin dan sefalosporin.
* Penisilin diperoleh dari jamur Penicillium
chrysogenum; dari berbagai jenis yang dihasilkan, perbedaannya hanya terletak pada
gugusan-samping-R saja, lihat Rumus bangun. Benzilpenisilin (pen-G) ternyata yang
paling aktif.
Perubahan-perubahan pada gugusansamping-R menghasilkan derivat-derivat
dengan sifat berlainan. Misalnya terbentuknya
derivat yang tahan asam dan dapat dipakai
per oral (fenoksimetilpenisilin atau penisilin-V).
Bila pada radikal fenil dari benzilpenisilin dimasukkan gugusan amino, keampuhan dan
juga luas spektrum antimikrobanya akan meningkat dengan mencakup banyak organisme
Gram-positif dan Gram-negatif. Modifikasi
dari gugusan-R juga dapat membuatnya
resisten terhadap penisilinase kuman (mis. flukloksasilin).
* Sefalosporin diperoleh dari jamur Cephalorium acremonium yang berasal dari Sicilia
(1943).
Kedua kelompok antibiotika tersebut
memiliki rumus bangun serupa, keduanya
memiliki cincin beta-laktam dengan rumus dasar yang tertera di halaman berikut.
Cincin ini yaitu syarat mutlak untuk
khasiatnya. Jika cincin ini dibuka misalnya
oleh enzim beta-laktamase (penisilinase
atau sefalosporinase), maka zat menjadi
inaktif! Pada umumnya penisilinase hanya
dapat menginaktifkan penisilin dan tidak
sefalosporin, kebalikannya berlaku untuk
sefalosporinase.
Aktivitas
Penisilin-G dan turunannya bersifat bakterisid terhadap terutama kuman Gram-positif
(khususnya cocci) dan hanya beberapa
kuman Gram-negatif. Penisilin termasuk
antibiotika dengan spektrum sempit, begitu
pula penisilin-V dan analognya. Ampisilin
dan turunannya, serta sefalosporin memiliki spektrum kerja lebih luas yang
meliputi banyak kuman Gram-negatif, a.l.
H. influenzae, E. coli dan P. mirabilis. Beberapa
sefalosporin bahkan aktif terhadap kuman
„sulit“ Pseudomonas. Sebagaimana telah
diutarakan, antibiotika bakterisid ini tidak dapat dikombinasikan dengan bakteriostatika
seperti tetrasiklin, kloramfenikol, eritromisin dan asam fusidat. Hal ini disebabkan
zat-zat yang disebut terakhir menghambat
pertumbuhan sel dan dindingnya. Kombinasi
dengan sulfonamida yaitu pengecualian.
Mekanisme kerja
Dinding sel kuman terdiri dari suatu jaringan peptidoglikan, yaitu polimer dari senyawa
amino dan gula yang saling terikat satu
dengan yang lain (crosslinked) dan dengan demikian memberikan kekuatan mekanis pada
dinding. Penisilin dan sefalosporin menghalangi sintesis lengkap dari polimer ini yang
spesifik bagi kuman dan disebut murein. Bila
sel tumbuh dan plasmanya bertambah atau
menyerap air melalui osmosis, maka dinding
sel yang tak sempurna itu akan pecah dan
bakteri musnah. Dinding sel manusia dan
hewan tidak terdiri dari murein, maka antibiotika ini tidak toksik untuk manusia.
Resistensi
Masalah resistensi antibiotik yang terusmenerus meningkat yaitu sesuatu
yang sangat gawat dewasa ini. Menurut
WHO tiap tahun di Uni Eropa saja 25.000
orang meninggal akibat masalah ini. Oleh
karena itu dalam tahun 2014 WHO telah memutuskan suatu Global Action Plan untuk
menanggulangi resistensi antibiotika.
Cara terpenting dari kuman untuk melindungi diri terhadap efek mematikan dari
antibiotika beta-laktam yaitu pembentukan enzim beta-laktamase. Semula hanya
Stafilococci dan E. coli mampu membentuk
penisilinase dalam plasmid, yang mengandung gen-gen (faktor keturunan) untuk sifat
ini. Tetapi gen-gen tersebut telah ditularkan
ke kuman lain dengan jalan penggabungan
(konyugasi). Maka kini kebanyakan kuman
memiliki kemampuan ini dan resistensi
telah disebarluaskan dengan pesat.
Untuk mengatasi masalah resistensi kuman terhadap khusus antibiotik penisilin
yang sangat serius ini, para peneliti telah
mensintesis dua jenis senyawa penisilin,
yaitu derivat yang tahan laktamase dan yang
memblokir laktamase.
a. Zat-zat tahan laktamase, antara lain
metisilin dan turunannya (kloksasilin, flukloksasilin) serta sefalosporin tertentu yang
terdiri dari sefotaksim, seftizoksim dan seftriakson. Molekul dari zat-zat ini mengandung
gugusan yang 'mengelilingi dan melindungi‘
cincin beta-laktam. Karena perintangan
ruang ini (steric hindrance), maka enzim tidak
dapat mendekati molekul untuk menguraikannya. Kloksasilin dan turunannya hanya
tahan terhadap penisilinase yang berasal
dari Stafilococci, tetapi masih peka terhadap laktamase dari kuman lain. Turunan
sefalosporin tersebut di atas tahan terhadap
bermacam-macam laktamase yang dibentuk
oleh berbagai kuman.
Sejak akhir tahun 1980-an telah muncul kuman Stafilokok yang ternyata sangat resisten
terhadap penisilin dan sangat meresahkan
rumah sakit. Kuman itu dinamakan MRSA
(Methicillin Resistent Staphylococcus Aureus).
Dalam rentang waktu agak singkat, kuman
ini telah menjadi resisten terhadap hampir semua antibiotika. Pengecualian yaitu
antibiotika dari kelompok glikopeptida:
vankomisin dan teikoplanin (Targocid). Tetapi
pada akhir tahun 1998 telah diketemukan
beberapa suku yang resisten terhadap vankomisin.
Teikoplanin disebut “antibiotik cadangan”,
yaitu pemakaian nya khusus dicadangkan
untuk pengobatan infeksi yang desebabkan
oleh stafilokok yang resisten terhadap metisilin (MRSAKo).
b. Laktamase blockers, antara lain asam
klavulanat dan sulbaktam (Unasyn). Senyawa
ini merintangi efek laktamase dengan jalan
mengikatnya sebagai kompleks. Namun zat
ini tidak berdaya terhadap banyak sefalosporinase jenis tertentu. Kombinasinya dengan
amoksisilin atau ampisilin sangat penting
dalam usaha melawan kuman yang resisten.
Efek samping
Yang terpenting yaitu reaksi alergi akibat
hipersensitasi, yang (jarang sekali) dapat
menimbulkan shock anafilaktik (dan kematian). Pada prokain-benzilpenisilin diduga
prokain yang memegang peranan pada hipersensitasi tersebut.
Pada penisilin broad-spectrum agak sering
terjadi gangguan-gangguan lambung-usus
(diare, mual, muntah). Diare dapat dicegah
dengan pemberian probiotika(Lactobacillus,
Bifidobacterium) selama masa terapi.11,12 Pada
dosis (sangat) tinggi dapat terjadi reaksi
nefrotoksik dan neurotoksik, seperti pada
aminoglikosida tertentu.
Wanita hamil dan laktasi
Semua penisilin dianggap aman bagi wanita
hamil dan yang menyusui, walaupun dalam
jumlah kecil ada dalam darah janin dan
air susu ibu.
Interaksi
Lama kerjanya diperpanjang oleh obat-obat
encok probenesid dan sulfinpirazon, juga oleh
asetosal dan indometasin. Kombinasi dengan probenesid sering dipakai untuk
maksud tersebut. Efek penisilin dikurangi
oleh antibiotika bakteriostatik (tetrasiklin,
kloramfenikol dan makrolida).
Penggolongan
Penisilin dapat dibagi dalam beberapa jenis menurut aktivitas dan resistensinya
terhadap laktamase sebagai berikut:
a. zat-zat dengan spektrum sempit: benzilpenisilin, penisilin-V dan fenetisilin.
Zat-zat ini terutama aktif terhadap kuman Gram-positif dan diuraikan oleh
penisilinase;
b. zat-zat tahan laktamase: metisilin, kloksasilin dan flukloksasilin. Zat ini hanya
aktif terhadap Stafilokok dan Streptokok.
Asam klavulanat, sulbaktam dan tazobaktam
memblokir laktamase dan dengan demikian mempertahankan aktivitas penisilin
yang diberikan bersamaan;
c. zat-zat dengan spektrum luas: ampisilin dan amoksisilin, aktif terhadap
kuman-kuman Gram-positif dan sejumlah kuman Gram-negatif, kecuali antara
lain Pseudomonas, Klebsiella dan B. fragilis. Tidak tahan-laktamase, maka sering
dipakai terkombinasi dengan suatu
laktamase-blocker, umumnya klavulanat;
d. zat-zat anti-Pseudomonas: tikarsilin dan
piperasilin. Antibiotika berspektrum luas
ini meliputi lebih banyak kuman Gramnegatif, termasuk Pseudomonas, Proteus,
Klebsiella dan Bacteroides fragilis. Tidak
tahan laktamase, oleh karena itu digunakan bersamaan dengan laktamase-blocker.
MONOGRAFI
1. Benzilpenisilin: penisilin-G yaitu salah
satu antibiotikum berspektrum sempit yang
dihasilkan oleh Penicillium chrysogenum.
Semula berkhasiat kuat terhadap terutama
cocci (stafilokok, meningokok, streptokok,
pneumokok), tetapi kini lebih dari 80% kedua kuman pertama sudah menjadi resisten.
Resistensi ini disebabkan kuman-kuman ini
memproduksi enzim (beta-laktamase, penisilinase) yang dapat “membuka” cincin
beta-laktam, gugusan yang integritasnya
esensial bagi kegiatan antibakterial dari kelompok antibiotika ini.
Meskipun sudah ada banyak
derivatnya dan antibiotika lain, tetapi penisilin-induk ini masih banyak sekali dipakai
berkat khasiat bakterisidnya yang sangat
kuat dan toksisitasnya yang relatif rendah.
Pen-G antara lain masih yaitu pilihan
pertama pada infeksi dengan kuman-kuman Gram-positif mis. pneumokok: radang
paru-paru (pneumonia) dan radang otak (meningitis). Begitu pula sebagai obat profilaksis
terhadap penyakit tertentu (a.l. sifilis, gonore,
endocarditis, polyarthritis reumatica).
Resorpsi. Penisilin-G tidak tahan asam, maka
hanya dipakai sebagai injeksi i.m. atau
infus intravena. PP-nya lebih kurang 60%;
plasma-t½-nya sangat singkat, hanya 30 menit dan kadar darahnya cepat menurun. Maka
obat ini khusus diberikan secara parenteral
sebagai senyawa-prokain dan -benzatinnya
dengan kerja panjang dan dalam dosis sangat
tinggi. Ekskresinya berlangsung sebagian besar melalui transpor aktif tubuler dari ginjal
dan dalam keadaan utuh.
Distribusinya ke jaringan dan cairan intraseluler baik (sendi, pleura, pericard, empedu),
juga kadarnya di hati, ginjal, usus dan limfa
baik. Penetrasinya ke jaringan otak dan cairan intra-okuler buruk, tetapi menjadi lebih
baik bila ada radang selaput otak (meningitis).
Efek samping. Senyawa-senyawa penisilin memiliki toksisitas yang rendah, tetapi
kadar tinggi dapat mengakibatkan encephalopathy fatal, terutama pada pasien gagal
ginjal. Efek samping utama yaitu hipersensitivitas yang dapat mengakibatkan radang
kulit, urticaria dan jarang-jarang shock anafilaktik yang 10% berakibat fatal.
Dosis: pada infeksi umum i.m./i.v. 4-6 dd 1-4
MU dari garam-garam long-acting-nya.
* Sediaan long-acting terdiri dari garam penG dengan basa organik yang disuspensikan
dalam air atau minyak. Dalam plasma garam-garam tersebut lambat laun terurai dan
membebaskan kembali penisilin aktif. Yang
banyak dipakai yaitu :
- prokain-penisilin-G (F.I.): Bicilline yang
dikombinasi dengan garam-Na-nya agar
segera mulai kerjanya;
- benzathin-penisilin-G (Penidural, Retarpen)
kerjanya lebih panjang dari prok-pen-G dan
adakalanya dikombinasi dengan Bicilline.
Aktivitas penG masih dinyatakan dalam Unit
Internasional (UI). Atas dasar aktivitas penisilinG natrium murni, telah dikalkulasikan satuan
garam-garamnya lewat Berat Molekulnya sebagai berikut.
1 mg pen-G Na = 1667 UI; 1 mg prok-penG = 1595 UI
1 mg pen-G K = 1595 UI; 1 mg benzathinpen-G = 1211 UI
2. Fenoksimetilpenisilin: penisilin-V, Fenocin,
Acipen-V, Ospen.
Derivat semisintetik ini (1956) tahan asam
dan memiliki spektrum kerja yang dapat
disamakan dengan pen-G, tetapi terhadap
kuman Gram-negatif (a.l. suku Neisseria dan
bacilli H. influenzae) 5-10 kali lebih lemah.
Obat ini terutama dipakai pada infeksi
Streptokok ringan sampai yang agak parah,
a.l. radang hulu kerongkongan (pharyngitis).
Resorpsi. Pen-V tidak diuraikan oleh asam
lambung, berlainan dengan penisilin-G.
PP-nya lebih kurang 80%, plasma-t½ nya
30-60 menit. Sebagian besar zat dirombak di
dalam hati dan rata-rata 30% diekskresikan
lewat kemih dalam keadaan utuh.
Dosis: oral 3-4 dd 250-500 mg 1 jam sebelum atau 2 jam sesudah makan, karena
penyerapan diperlambat oleh makanan.
* Fenetisilin(Broxil) yaitu derivat fenoksietil (1960) dengan sifat lebih kurang
sama, resorpsinya dari usus sedikit lebih kuat
(±70%). berdasar satuannya dalam mg,
aktivitasnya lebih ringan daripada pen-V, tetapi efek klinisnya tidak berbeda.
Dosis: oral 3-6 dd 250-500 mg 1 jam a.c.
atau 2 jam p.c.
3. Kloksasilin:Meixam, Orbenin.
Derivat pertama yang tahan laktamase adalah metisilin(1960) yang karena diuraikan oleh
asam lambung hanya diberikan sebagai injeksi. Kuman stafilokok resisten yang ditakuti
yaitu MRSA(Methicilin Resistant Staphyloccus
Aureus). Kloksasilin selain tahan laktamase
juga tahan asam (1962) dan segera mendesak
metisilin. Khusus dipakai pada infeksi dengan kuman yang memproduksi laktamase.
Resorpsinya ± 50%, PP-nya lebih dari 90%
dan plasma-t½-nya 30-60 menit. Ekskresinya
berlangsung terutama lewat kemih, untuk
±40% dalam keadaan utuh.
Dosis: oral 4-6 dd 500 mg a.c.; i.m./i.v. 4-6
dd 250–1.000 mg (garam-Na).
* Flukloksasilin (Floxapen) yaitu derivat
fluor semi-sintetik dari kloksasilin dengan
sifat lebih kurang sama, tetapi resorpsi dan
plasma-t½-nya agak lebih tinggi. Efektif
terhadap stafilokoki yang memproduksi
beta-laktamase, karena ada nya gugusanisoksazolil pada R1
yang yaitu halangan
ruang (steric hindrance) bagi enzim terhadap
cincin beta-laktam.
Dosis: oral 3-4 dd 500-1000 mg a.c.
4. Asam klavulanat: *Augmentin, *Timentin.
Senyawa beta-laktam ini diperoleh dari
Streptomyces clavuligerus (Inggeris 1976)
dengan kerja antimikroba ringan. Tetapi
berkhasiat memblokir dan menginaktifkan kebanyakan laktamase yang berasal
dari stafilokok dan kuman Gram-negatif
(antara lain E. coli, Klebsiella, Proteus dan H.
influenzae). Terhadap sefalosporinase dan
laktamase dari Pseudomonas dan Enterobacter tidak berdaya, kecuali yang berasal
dari B. fragilis. dipakai pada infeksi (a.l.
saluran kemih) yang penyebabnya diperkirakan yaitu kuman yang resisten berkat
laktamase.
Resorpsinya dari usus ±70%, PP-nya 20%
dan plasma-t½nya ±65 menit. Ekskresinya
terutama berlangsung lewat kemih sebagai
metabolit inaktif 40% dan dalam keadaan utuh
50%.
Efek sampingnya berupa mual dan muntah, terutama pada dosis di atas 600 mg
sehari yang dapat diatasi bila tablet ditelan
bersama makanan.
Sediaan kombinasi:
* Augmentin: tablet amoksisilin 250/500 +
klavulanat 125/125 mg
* Timentin : vial (i.v) tikarsilin 750/3000 +
klavulanat 50/200 mg
Kombinasi tersebut bekerja sinergistis;
khasiat amoksisilin menjadi sekitar 50
kali lebih kuat terhadap E. coli, H. influenzae dan S. aureus.
* Sulbaktam (*Unasyn IM) yaitu senyawa baktam (1987) dengan khasiat
memblokir laktamase, seperti asam klavulanat. dipakai sebagai injeksi i.m./
i.v. 250/500 mg + ampisilin 500/1.000 mg.
* Sultamisilin(*Unasyn oral) yaitu senyawa equimolekuler dari ampisilin +
sulbaktam, yang dalam tubuh dihidrolisis
menjadi komponennya.
Dosis: oral 2 dd 375-750 mg.
* Tazobaktam (*Tazocin) yaitu derivat
(1993) yang hanya dipakai intravena.
Tazocin = tazobaktam 250/500 mg + piperasilin 2/4 g, khusus bermanfaat pada
infeksi dengan Pseudomonas.
* Sulperazon: sulbaktam 500 mg + sefoperazon 500 mg
5. Ampisilin: Penbritin, Ultrapen, Binotal,
Viccillin
Penisilin broad-spectrum ini (1961) tahan asam
dan lebih luas spektrum kerjanya, yang meliputi banyak kuman Gram-negatif yang hanya
peka bagi pen-G dalam dosis i.v. tinggi sekali. Sebetulnya kuman Gram-negatif (kuman
Gram-positif tidak) memiliki membran fosfolipid di bagian luar yang dapat menghindari
akses dari obat ke dinding sel. Tetapi ampisilin
dan juga amoksisilin dapat menembus membran fosfolipid ini melalui pori-porinya.
Kuman-kuman yang memproduksi penisilinase tetap resisten terhadap ampisilin (dan
amoksisilin). Ampisilin efektif terhadap E.coli,
H. influenzae, Salmonella dan beberapa suku
Proteus. Tidak aktif terhadap Pseudomonas,
Klebsiella dan Enterococci, sama halnya
dengan pen-G. Khasiatnya terhadap kuman
Gram-positif lebih rendah daripada pen-G.
Obat ini banyak dipakai untuk mengatasi infeksi, antara lain dari saluran napas
(bronchitis kronis), saluran cerna dan saluran
kemih, telinga (otitis media), gonore, infeksi
kulit dan jaringan bagian lunak (otot dan sebagainya).
Resorpsinya dari usus 30-40 % (dihambat
oleh makanan); plasma-t½-nya 1-2 jam. PPnya jauh lebih ringan daripada pen-G dan
pen-V: difusinya ke jaringan juga lebih baik.
Penetrasinya ke CCS ringan, tetapi dalam
dosis tinggi ternyata efektif pada meningitis.
Ekskresinya sebagian besar berlangsung lewat ginjal, yaitu 30-45% dalam keadaan utuh
aktif dan sisanya sebagai metabolit. Sebagian
kecil ekskresi melalui empedu (siklus enterohepatik) seperti pen-G.
Efek samping. Dibandingkan dengan derivat penisilin lain, ampisilin lebih sering menimbulkan gangguan lambung-usus
yang mungkin disebabkan oleh penyerapannya yang kurang baik. Begitu pula reaksi
alergi kulit (rash, ruam) dapat terjadi.
Dosis: oral 4 dd sehari 0,5-1 g (garam-K
atau trihidrat) a.c; infeksi saluran kemih 3-4
dd 0,5 g, gonore 1 dd 3,5 g + probenesid 1 g,
tifus/paratifus 4 dd 1-2 g selama 2 minggu.
Juga rektal maupun secara i.m. dan i.v.
• Amoksisilin (Amoxillin, Flemoxin, Hiconcil,
Widecillin, *Augmentin) yaitu derivat hidroksi
(1972) dengan aktivitas sama seperti ampisilin.
Tetapi resorpsinya lebih lengkap (±80%) dan
pesat dengan kadar darah dua kali lipat. PP
dan plasma-t½-nya lebih kurang sama, tetapi
difusinya ke jaringan dan cairan tubuh lebih
baik, a.l. ke dalam air liur penderita bronchitis kronis. Begitu pula kadar bentuk aktifnya
dalam kemih jauh lebih tinggi daripada ampisilin (±70%) maka lebih tepat dipakai pada
infeksi saluran kemih.
Kombinasi dengan asam klavulanat (inhibitor kuat beta-laktamase bakterial) membuat
antibiotik ini (ko-amoksiklav, Augmentin)
efektif terhadap kuman yang memproduksi
penisilinase. Terutama dipakai terhadap
infeksi saluran-kemih dan pernapasan yang
resisten terhadap amoksisilin.
Efek samping: gangguan lambung usus dan
radang kulit lebih jarang terjadi.
Dosis: oral 3 dd 375-1.000 mg, anak-anak < 10
tahun 3 dd 10 mg/kg, 3-10 tahun 3 dd 250 mg,
1-3 tahun 3 dd 125 mg. Juga diberikan secara
i.m./i/v.
• Piperasilin (Ledercil, *Tazocin) yaitu
turunan (1980) yang bekerja lebih kuat
terhadap Pseudomonas (dan Klebsiella). Aktivitasnya terhadap Streptokok dan Enterokok
baik, tetapi tidak aktif terhadap MRSA.
Terhadap kuman yang membentuk penisilinase, zat ini perlu dikombinasi dengan
suatu laktamase-blocker untuk melindunginya
terhadap inaktivasi oleh enzim tersebut [tazobaktam (*Tazocin)]. dipakai bersama
dengan gentamisin pada infeksi Pseudomonas
yang resisten terhadap banyak antibiotika
dan dapat mengakibatkan infeksi-infeksi
oportunistik, termasuk pneumonia dan septicaemia.
Dosis: i.m./i.v. 2-4 dd 1-2 g (garam-Na),
pada gonore 1 dd 2 g + probenesid 1g.
B. SEFALOSPORIN
Sefalosporin termasuk antibiotika beta-laktam
yang aktivitasnya telah diperbaiki dengan
perubahan-perubahan kimiawi. Struktur, khasiat dan sifatnya banyak mirip penisilin, tetapi
dengan keuntungan-keuntungan sebagai berikut:
- spektrum antibakterinya lebih luas tetapi
tidak mencakup enterokoki dan kumankuman anaerob;
- resisten terhadap penisilinase asal stafilokoki, tetapi tetap tidak efektif terhadap
stafilokoki yang resisten terhadap metisilin (MRSA)
Diperoleh secara semisintetik dari sefalosporin-C yang dihasilkan jamur Cephalosporium
acremonium. Inti senyawa ini yaitu 7-ACA
(7-amino-cephalosporanic acid) yang sangat mirip inti-penisilin 6-APA(6-aminopenicillanic
acid). Pada dasawarsa terakhir, puluhan turunan sefalosporin baru telah dipasarkan
yang strukturnya secara kimiawi dirubah
dengan maksud memperbaiki aktivitasnya.
Pembahasan golongan besar ini akan dibatasi
sampai senyawa-senyawa yang terpenting
saja.
Spektrum-kerjanya luas dan meliputi banyak kuman Gram-positif dan Gram-negatif,
termasuk E. coli, Klebsiella dan Proteus.
Berkhasiat bakterisid dalam fase pertumbuhan kuman, berdasar penghambatan
sintesis peptidoglikan yang diperlukan oleh
kuman untuk ketangguhan dindingnya.
Kepekaannya terhadap beta-laktamase lebih
rendah daripada penisilin.
Penggolongan. berdasar khasiat antimikroba dan resistensinya terhadap
beta-laktamase, sefalosporin digolongkan
dalam kelompok-kelompok yang disebut generasi. Perbedaan utama yaitu pembagian
antara sefalosporin yang peka dan yang tidak peka terhadap beta-laktamase.
Peka terhadap beta-laktamase yaitu generasi ke-1 sefaleksin dan sefradin yang hanya
dipakai per oral, dan sefalotin dan sefazolin yang hanya dipakai parenteral.
Generasi pertama ini peka terhadap betalaktamase dari kuman Gram-negatif tetapi
tidak terhadap laktamase dari stafilokok.
Tidak peka terhadap beta-laktamase adalah yang dari generasi kedua seperti sefaklor
dan sefuroksimasetil yang pemakaian nya
per oral; lalu sefamandol dan sefurokisim
yang hanya dipakai parenteral. Di sini
juga termasuk sefalosporin dari generasi
ketiga seperti seftibuten (hanya per oral)
dan sefotaksim, seftazidim dan seftriakson
(hanya pemakaian parenteral).
Penggolongan lengkapnya dalam generasi
yaitu sebagai berikut:
a. generasi ke-1: sefalotin dan sefazolin,
sefradin, sefaleksin dan sefa-droksil. Zatzat ini terutama aktif terhadap cocci
Gram-positif, tidak berdaya terhadap
gonococci, H. influenzae, Bacteroides
dan Pseudomonas. Pada umumnya tidak
tahan terhadap laktamase.
b. generasi ke-2: sefaklor, sefamandol, sefmetazol dan sefuroksim lebih aktif terhadap
kuman Gram-negatif, termasuk H. influenzae, Proteus, Klebsiella, gonococci
dan kuman-kuman yang resisten terhadap amoksisilin. Obat-obat ini tahan
terhadap laktamase. Khasiatnya terhadap kuman Gram-positif (Staph. dan
Strep.) lebih kurang sama.
c. generasi ke-3: sefoperazon, sefotaksim
(Claforan), seftizoksim (Cefizox), seftriakson
(Rocephin), sefotiam (Cefradol), sefiksim
(Sofix), sefpodoksim (Banan) dan sefprozil
(Cefzil). Aktivitasnya terhadap kuman
Gram-negatif lebih kuat dan lebih luas
lagi serta meliputi Pseudomonas dan
Bacteroides, khususnya seftazidim.
Resistensinya terhadap laktamase juga
lebih kuat, tetapi khasiatnya terhadap
stafilokok jauh lebih rendah. Tidak aktif
terhadap MRSA dan MRSE.
d. generasi ke-4: sefepim dan sefpirom. Obatobat ini (1993) sangat resisten terhadap
laktamase; sefepim juga sangat aktif terhadap Pseudomonas.
pemakaian nya. Sebagian besar dari sefalosporin perlu diberikan parenteral sedangkan
sefalosporin oral tidak cocok untuk digunakan terhadap infeksi parah.
Zat-zat gen-1 sering dipakai per oral
pada infeksi ringan saluran kemih dan sebagai obat pilihan kedua pada infeksi saluran
napas dan kulit yang tidak begitu parah dan
bila ada alergi untuk penisilin.
Zat-zat gen-2/3 dipakai parenteral pada
infeksi serius yang resisten terhadap amoksisilin dan sefalosporin gen-1, juga terkombinasi
dengan aminoglikosida (gentamisin, tobramisin) untuk memperluas dan memperkuat
aktivitasnya. Begitu pula profilaktik pada a.l.
bedah jantung, usus dan di bidang ginekologi. Sefoksitin dan sefuroksim (gen-2) dipakai
pada gonore (kencing nanah) akibat gonokok
yang membentuk laktamase.
Zat-zat gen-3, seftriakson dan sefotaksim kini
sering dianggap sebagai obat pilihan pertama untuk gonore, terutama bila telah timbul
resistensi terhadap senyawa fluorkuinolon
(siprofloksasin).13 Sefoksitin dipakai pada
infeksi Bacteroides fragilis.
Zat-zat gen-4 dapat dipakai bila dibutuhkan efektivitas lebih besar pada infeksi
dengan kuman Gram-positif.
Kinetik. Resorpsi obat oral dari usus berlangsung praktis lengkap dan cepat, bentuk
ester dari sefuroksim (-axetil) lebih aktif. PP-nya
bervariasi antara 14-90%; plasma-t½-nya terletak antara 30 -150 menit. Distribusinya ke
jaringan dan cairan tubuh baik, tetapi penetrasi
ke otak, mata dan CCS buruk, kecuali sefotaksim. Ekskresi dari kebanyakan sefalosporin
berlangsung melalui kemih praktis lengkap
dan untuk lebih dari 80% dalam keadaan utuh,
mekanismenya yaitu filtrasi glomeruler dan
sekresi tubuler. Seperti penisilin, proses terakhir dapat dihambat oleh probenesid untuk
memperpanjang daya kerjanya.
Efek samping. Pada umumnya, sama dengan kelompok penisilin, tetapi lebih jarang
dan lebih ringan. Obat oral dapat menimbulkan terutama gangguan lambung-usus
(diare, nausea dan sebagainya), jarang sekali
juga reaksi alergi (rash, urticaria). Alergi silang dengan derivat penisilin dapat terjadi.
Nefrotoksisitas terutama ada pada
beberapa senyawa generasi-1, khususnya sefaloridin dan sefalotin (dosis tinggi). Senyawa
dari generasi berikutnya jauh kurang
toksik bagi ginjal daripada, misalnya, aminoglikosida dan polimiksin. Beberapa obat
memperlihatkan reaksi-disulfiram bila digunakan bersamaan dengan alkohol, yakni
sefamandol dan sefoperazon.
* Re