tumor otak 2




 tal dosis 60 Gy. (21, 22) 

3.1.6.7. Meningioma 

Meningioma WHO derajat I / II pasca operasi dapat diberikan radiasi konvensional 

dosis 45-60 Gy atau radiasi stereotactic dengan dosis tinggi per fraksi. Lapangan radiasi pada 

meningioma sebaiknya dideliniasi berdasar  MRI brain pre-operasi dan post-operasi T1 

dengan kontras dan T2/FLAIR untuk menentukan gross tumor (jika ada) atau tumor bed dengan 

ekspansi margin clinical target volume (CTV) 1-2 cm dimana ekspansi margin dapat dikurangi 

apabila tidak ada invasi ke parenkim otak. Dosis radiasi diberikan 45-60 Gy dalam fraksi 1,8-2 

Gy bila ukuran tumor cukup besar. Untuk lesi dengan ukuran tumor yang lebih kecil dapat 

dipertimbangkan pemberian stereotactic radiotherapy (SRT) dengan dosis 30-50 Gy dalam 3-

20 fraksi atau stereotactic radiosurgery (SRS) dengan dosis 12-16 Gy dalam fraksi tunggal.(21, 

22) 

Meningioma WHO derajat III memiliki sifat yang lebih ganas sehingga diperlukan 

adjuvant radiasi untuk hampir semua masalah . Lapangan radiasi ditentukan berdasar  MRI 

brain pre-operasi dan post-operasi T1 kontras dan T2/FLAIR untuk deliniasi gross tumor (jika 

ada) dan surgical bed dengan margin CTV 2-3 cm dan dosis radiasi 54-60 Gy dalam 1,8-2 

Gy/fraksi. Apabila lesi tumor pada meningioma WHO derajat III cukup kecil maka juga dapat 

dpertimbangkan pemberian stereotactic radiotherapy (SRT) dengan dosis 30-50 Gy dalam 3-20 

fraksi atau stereotactic radiosurgery (SRS) dengan dosis 12-25 Gy dalam fraksi tunggal. (21, 22) 

3.1.6.8. Metastasis Otak 

Pada masalah  metastasis otak yang didiagnosa berdasar  hasil biopsi lesi otak maupun 

yang didiagnosa  tanpa biospi lesi otak (dengan korelasi klinis dan radiologis) dapat diberikan 

radiasi. Radiasi yang diberikan pada lesi metastasis otak dapat berupa WBRT atau SRT atau 

SRS atau WBRT dengan simultaneous boost (WBRT-SIB) atau WBRT dilanjutkan dengan 

SRT/SRS boost pada lesi tumor. Dosis WBRT bervariasi antara 20-40 Gy dalam 5-20 fraksi; 

SRT antara 20-50 Gy dalam 3-10 fraksi, dan SRS berkisar antara 12-25 Gy disesuaikan dengan 

volume tumor.(25) 

3.1.6.9. Metastasis Leptomeningeal 

Dosis dan volume target radiasi bergantung pada tumor primer dan lokasi yang 

memerlukan paliasi.(25) 

3.1.6.10. Metastasis Spinal 

 Dosis pada metastasis korpus vertebra bergantung pada performa pasien, stabilitas 

spinal, lokasi yang berhubungan dengan medula spinalis dan histologi tumor primer. Dosis 

umum yang diberikan yaitu  15-40 Gy dalam 1-20 fraksi selama 1 hari hingga 4 minggu.(25) 

Pemberian radiasi harus mempertimbangkan dosis kritis pada spinal dan rute saraf. Pada masalah  

tertentu atau masalah  rekurensi sesudah  radiasi sebelumnya, stereotactic body radiotherapy dapat 

dipertimbangkan dengan dosis radiasi antara 8 – 24 Gy dalam 1-8 fraksi. Secara umum, waktu 

antar terapi yang direkomendasikan untuk re-iradiasi pada daerah yang sama yaitu  lebih dari 

6 bulan.(25) 

3.1.7. Kemoterapi sistemik dan terapi target (targeted therapy) 

Kemoterapi pada masalah  tumor otak ganas saat ini sudah banyak dipakai  sebab  

diketahui dapat memperpanjang survival rate dari pasien terutama pada masalah  astrositoma 

derajat ganas. Glioblastoma merupakan tipe yang bersifat kemoresisten, namun saat ini telah 

dipakai  temozolomide (TMZ) dan nimotuzumab pada glioblastoma dengan sebelumnya 

melakukan pemeriksaan jaringan tumor terhadap EGFR (epidermal growth factor receptor) dan 

ada tidaknya mutasi MGMT (methyl guanine methyl transferase).(26)  

Kemoterapi bertujuan untuk menghambat pertumbuhan tumor dan meningkatkan 

kualitas hidup pasien semaksimal mungkin. Kemoterapi biasa dipakai  sebagai kombinasi 

dengan operasi dan/atau radioterapi. Dosis TMZ pada saat diberikan concomitant dengan 

radiasi yaitu  75-100mg/m2, bila diberikan sebagai maintetance yaitu  150-200 mg/m2.(27) 

3.1.7.1. Kemoterapi Intratekal 

pengobatan  tumor otak ganas dengan memakai  kemoterapi seringkali terhambat 

akibat penetrasi kemoterapi sistemik yang rendah untuk menembus sawar darah otak. 

Pemberian kemoterapi intratekal merupakan salah satu usaha  untuk memberikan agen 

antikanker langsung pada susunan saraf pusat. Kemoterapi intratekal dapat diberikan sebagai 

salah satu pengobatan  leptomeningeal metastasis pada keganasan darah, seperti leukemia dan 

limfoma. Tindakan ini dilakukan melalui prosedur lumbal pungsi atau memakai  Omaya 

reservoir. (27) 

3.1.8. Psikiatri 

Pasien dengan tumor otak dapat mengalami gangguan psikiatri hingga 78%, baik 

bersifat organik akibat tumornya atau fungsional yang berupa gangguan penyesuaian, depresi, 

dan ansietas. Hal ini dapat menghambat proses pengobatan  terhadap pasien. Oleh sebab  itu, 

diperlukan pendampingan mulai dari menyampaikan informasi tentang diagnosa  dan keadaan 

pasien (breaking the bad news) melalui pertemuan keluarga (family meeting) dan pada tahap-

tahap pengobatan lalu . Pasien juga dapat diberikan psikoterapi suportif dan relaksasi 

yang akan membantu pasien dan keluarga, terutama pada perawatan paliatif. 

 

3.1.9. Prinsip dukungan nutrisi pada Tumor Otak 

Penanganan tumor otak yang dapat berupa kombinasi operasi, radiasi, dan kemoterapi 

memungkinkan efek samping yang memengaruhi metabolisme, oleh sebab  itu nutrisi berperan 

saat  pasien mengalami efek samping ini . Makan makanan seimbang dapat membantu 

pasien dapat merasa lebih baik dengan terhindar dari penurunan atau peningkatan berat badan 

yang berlebihan, melawan infeksi, membantu efektivitas pengobatan, dan  perbaikan sel dan 

penyembuhan luka dengan pembentukan jaringan baru 

Status gizi merupakan salah satu faktor yang berperan penting pada kualitas hidup 

pasien tumor ganas. Salah satu masalah nutrisi yang perlu mendapat perhatian pada pasien 

tumor ganas yaitu  kaheksia. Kaheksia berkaitan erat pula dengan kondisi malnutrisi. 

Malnutrisi, yang biasa terjadi terlebih dahulu; yaitu  suatu kondisi di mana ada komponen 

nutrisi yang asupannya tidak sesuai anjuran, baik lebih ataupun kurang. Malnutrisi merupakan 

kondisi yang umum ditemukan pada pasien tumor ganas, mencakup hingga 85% pasien.  

Secara umum World Health Organization (WHO) mendefinisikan malnutrisi 

berdasar  Indeks Massa Tubuh (IMT) <18,5 kg/m2, namun menurut European Society of 

Parenteral and Enteral Nutrition (ESPEN) diagnosa  malnutrisi dapat ditegakkan berdasar  

kriteria IMT <18,5 kg/m2 atau penurunan berat badan yang tidak direncanakan >10% dalam 

kurun waktu tertentu atau penurunan berat badan >5% dalam waktu 3 bulan, didan i dengan 

salah satu pilihan berikut:(28) 

a. IMT <20 kg/m2 pada usia <70 tahun atau IMT <22 kg/m2 pada usia ≥70 tahun. 

b. Fat free mass index (FFMI) <15 kg/m2 untuk perempuan atau FFMI <17 kg/m2 untuk 

laki-laki. 

Jika tidak ditangani dengan baik, malnutrisi dapat berkembang menjadi kaheksia. 

Kaheksia didefinisikan sebagai kehilangan massa otot, dengan ataupun tanpa lipolisis, yang 

tidak dapat dipulihkan dengan dukungan nutrisi konvensional. Ditinjau dari gejalanya, kaheksia 

merupakan suatu sindroma yang ditandai tidak nafsu makan (anoreksia), cepat merasa kenyang, 

dan kelemahan tubuh secara umum.(29)  

 

Tabel 3.3. Penegakan diagnosa  Kaheksia(29)  

Kriteria Keterangan 

  Penurunan berat badan 5% atau lebih yang terjadi dalam 12 bulan terakhir 

  Indeks massa tubuh kurang dari 20 kg/m2 

Satu dari dua 

kriteria 

  Penurunan kekuatan otot 

  Kelelahan (fatigue): Keterbatasan fisik dan mental sesudah  aktivitas fisik, atau 

ketidakmampuan untuk terus melakukan aktivitas fisik dengan intensitas sama yang 

didan i penurunan performa. 

  Anoreksia: Keterbatasan asupan makanan sehingga asupan kalori <20 

kkal/kgBB/hari, atau kurangnya nafsu makan. 

  Indeks massa bebas lemak yang rendah (dicirikan dengan lingkar lengan atas kurang 

dari persentil 10 untuk umur dan jenis kelaminnya, indeks otot rangka DEXA (Dual 

Energy X-ray Absorptiometri) <5,45 kg/m2 (wanita) atau <7,25 kg/m2 (pria). 

  Salah satu parameter laboratorium yang tidak normal: 

- Anemia (Hb < 12 g/dL) 

- Kadar albumin serum yang rendah (<3,2 g/dL) 

Tiga dari lima 

kriteria 

Malnutrisi dan kaheksia dapat terjadi pada pasien tumor ganas di stadium mana saja, 

baik pada saat baru didiagnosa , sesudah  dibedah, maupun sesudah  mengalami efek toksisitas 

kemoterapi. European Partnership for Action Against Cancer (EPAAC) dan The European 

Society for Clinical Nutrition and Metabolism (ESPEN) menyatakan bahwa pasien tumor ganas 

perlu dilakukan skrining gizi untuk mendeteksi gangguan nutrisi, asupan nutrisi, penurunan 

berat badan, dan IMT sedini mungkin sejak pasien didiagnosa  tumor ganas. Pada pasien yang 

mengalami hasil skrining abnormal, perlu dilakukan penilaian objektif dan kuantitatif asupan 

nutrisi, kapasitas fungsional, dan derajat inflamasi sistemik.(30) 

Selain syarat ini , terapi dukungan nutrisi masih menunjukkan manfaat yang tidak 

konsisten menurut data uji klinis. Menurut American Society of Parenteral and Enteral 

Nutrition (ASPEN) (2009), sebagian studi menunjukkan bahwa pemberian terapi dukungan 

nutrisi kepada pasien tumor ganas kepala dan leher membantu memperlambat penurunan berat 

badan, namun sebagian studi lainnya gagal memperlihatkan hasil serupa. Sementara itu, terapi 

dukungan nutrisi yang diberikan secara parenteral dapat meningkatkan risiko infeksi. Oleh 

sebab  itulah terapi dukungan nutrisi untuk pasien tumor ganas tidak diberikan secara rutin, 

melainkan harus disesuaikan dengan kondisi pasien secara individual.(31) 

 

 

Seperti halnya kemoterapi, pemberian terapi dukungan nutrisi kepada pasien yang 

menjalani pembedahan terkait tumor ganas juga tidak dianjurkan secara rutin. Namun, 

pemberian terapi dukungan nutrisi secara individual masih dapat disesuaikan, khususnya pada 

pasien-pasien yang mengalami malnutrisi sedang dan berat. Waktu terbaik untuk memberikan 

terapi dukungan nutrisi yaitu  mulai dari 7-14 hari sebelum pembedahan dilakukan, dan dapat 

dilanjutkan sampai setidaknya 7 hari sesudah  pembedahan selesai

Terapi dukungan nutrisi paliatif kepada pasien tumor ganas stadium akhir juga masih 

menjadi kontroversi. Terapi paliatif secara umum ditujukan untuk mempertahankan kualitas 

hidup pasien. Namun sayangnya nutrisi parenteral dapat memperburuk kualitas hidup pasien, 

khususnya yang kondisi umumnya sudah kurang baik. Meskipun demikian, tetap masih ada 

sejumlah pasien yang dapat hidup lebih lama dengan bantuan nutrisi parenteral ini. Kriteria 

pasien yang diharapkan dapat hidup lebih lama dengan bantuan nutrisi parenteral yaitu: pasien 

dengan performance status baik (status Karnofsky di atas 50); pasien yang mengalami obstruksi 

usus inoperable, pasien dengan gejala keterlibatan sel tumor ganas pada sistem saraf pusat, hati, 

dan parunya relatif minimal; dan pasien dengan gejala nyeri relatif minimal.  (32, 33) 

Pasien kaheksia tumor ganas memerlukan multimodalitas terapi. Selain terapi 

pembedahan, kemoterapi, dan terapi radiasi, beberapa hal dapat memberikan manfaat bagi 

pasien tumor ganas, utamanya untuk mencegah kondisi kaheksia refrakter.(34) 

3.1.9.1. Kebutuhan Energi 

Kebutuhan energi pada pasien yaitu  30-35 kkal/kg BB, sedang  pada pasien bed 

ridden: 20-25 kkal/kg BB. Pada pasien obesitas perhitungan kebutuhan energi memakai  

berat badan aktual. Kebutuhan protein sebesar 1.2-2 g/kgBB/perhari, kebutuhan lemak sebesar  

25-30% dari energi total. Sementara kebutuhan karbohidrat yaitu  sisa dari perhitungan protein 

dan lemak.(30) 

Menurut European Society for Parenteral and Enteral Nutrition, anjuran kebutuhan 

asupan energi pasien tumor ganas yaitu  30-35 kkal/kgBB/hari. Kebutuhan asam amino 

pasien tumor ganas yaitu  1,2-2 gram/kgBB/hari, dengan peningkatan kebutuhan terutama 

terhadap asam amino rantai cabang (BCAA/Branched-chain Amino Acids), yang terdiri atas 

valin, leusin, dan isoleusin. Energi dari lemak mencakup 30-50% dari total energi yang 

dibutuhkan, dengan peningkatan kebutuhan terutama terhadap asam lemak omega-3.

3.1.9.2. Jalur Pemberian Nutrisi 

Pilihan pertama pemberian nutrisi melalui jalur oral. Pemberian nutrisi oral merupakan 

pilihan pertama sesudah  pembedahan. Apabila asupan belum adekuat dapat diberikan oral 

nutritional supplementation, hingga asupan optimal.(37) 

Bila 10-14 hari asupan kurang dari 60% dari kebutuhan, maka indikasi pemberian 

enteral. Pemberian enteral jangka pendek (<4-6 minggu) dapat memakai  pipa nasogastrik 

(NGT). Pemberian enteral jangka panjang (>4-6 minggu) memakai  percutaneous 

endoscopic gastrostomy (PEG). Pemasangan pipa nasogastrik tidak harus dilakukan rutin, 

kecuali apabila terdapat ancaman ileus atau asupan nutrisi yang tidak adekuat.(37) 

Nutrisi parenteral dipakai  apabila nutrisi oral dan enteral tidak memenuhi kebutuhan 

nutrisi pasien, atau bila saluran cerna tidak berfungsi normal misalnya perdarahan masif saluran 

cerna, diare berat, obstruksi usus total atau mekanik, malabsorbsi berat.(37) 

Pemberian edukasi nutrisi dapat meningkatkan kualitas hidup dan memperlambat 

toksisitas radiasi pada pasien tumor ganas kolorektal dibandingkan pemberian diet biasa 

dengan atau tanpa suplemen nutrisi.(38)  

3.1.9.3. Nutrien Spesifik 

3.1.9.3.1. Branched-chain Amino Acids (BCAA) 

BCAA merupakan kumpulan tiga asam amino esensial yang memiliki struktur berupa 

rantai cabang; yaitu leusin, isoleusin, dan valin. BCAA merupakan regulator sintesis dan 

degradasi protein, sekaligus merupakan prekursor sumber energi kunci untuk jaringan otot, 

dengan berperan sebagai prekursor sintesis glutamin dan alanin. Oksidasi BCAA merupakan 

proses yang penting untuk menyediakan energi bagi otot, dan berfungsi sebagai mekanisme 

kompensasi atas konsumsi energi yang tinggi untuk mengimbangi kondisi protein yang negatif 

akibat proses inflamasi kronis akibat tumor ganas. Dalam keadaan normal oksidasi BCAA 

memberikan 6-7% energi bagi otot, namun pada kondisi katabolik berat penyediaan energi ini 

dapat mencapai 20%. Oleh sebab  itu, penyediaan BCAA yang cukup sangat penting untuk 

pasien tumor ganas.(39) 

BCAA juga sudah pernah diteliti manfaatnya untuk memperbaiki nafsu makan pada 

pasien tumor ganas yang mengalami anoreksia, lewat sebuah penelitian acak berskala kecil dari 


Cangiano (1996). Bahan makanan sumber BCAA yaitu putih telur, protein hewani, kacang 

kedelai.

3.1.9.3.2. Omega-3 fatty acids (asam lemak omega-3) 

Asam lemak omega-3 dapat mendorong produksi prostaglandin PGE3 dan leukotriene 

LTE5, sehingga kondisi imunitas pasien membaik dan respons inflamasi akan berkurang. Asam 

lemak omega-3 juga menurunkan produksi PGE3 dan LTE4. Secara keseluruhan, efek asam 

lemak omega-3 yaitu  menurunkan jumlah sitokin proinflamasi pada pasien tumor ganas yang 

mengalami kaheksia. Efek ini tetap ada pada saat asam lemak omega-3 dikombinasikan dengan 

obat penghambat cyclooxygenase (COX)-2. Suplementasi asam lemak omega-3 secara enteral 

terbukti mampu mempertahankan berat badan dan memperlambat kecepatan penurunan berat 

badan, meskipun tidak menambah berat badan pasien. Konsumsi harian asam lemak omega-3 

yang dianjurkan untuk pasien tumor ganas yaitu  setara dengan 2 gram asam eikosapentaenoat 

(eicosapentaenoic acid, EPA).1,17 Bahan makanan sumber Omega-3 fatty acids yaitu minyak 

dari ikan laut dan suplemen yang mengandung Omega-3.(36) 

Pada pasien glioma, diduga diet rendah glikemik dan diet ketogenik dapat mereduksi 

pertumbuhan tumor dan meningkatkan survival(40), namun demikian bukti klinik mengenai hal 

ini masih terbatas, masih diperlukan data yang akurat mengenai keamanan dan efikasi  diet ini, 

standar proporsi pemberian lemak dan non lemak pada diet ini, kesesuaian dengan penanganan 

anti-kanker lain, aspek etika, dan dampaknya bagi kualitas hidup pasien kanker.

3.1.9.3.3. Arginin, glutamin, dan asam nukleat 

Makanan formula khusus yang mengandung arginin, RNA (ribonucleic acid, asam 

ribonukleat), dan asam lemak omega-3 telah terbukti dapat memperbaiki daya tahan tubuh dan 

prognosis dari pasien tumor ganas.(31, 42) Meskipun demikian, penelitian yang membuktikan hal 

ini  tidak dimaksudkan untuk menilai seberapa besar perbaikan yang dihasilkan, melainkan 

lebih ditujukan untuk menentukan kapan waktu yang paling baik untuk memulai terapi nutrisi 

enteral yang dimaksud.(27) 

Menurut panduan ASPEN 2009, the U.S. Summit on Immune-Enhancing Enteral 

Therapy telah membuat suatu rekomendasi terkait dengan pemakaian  makanan formula 

khusus yang mengandung arginin, glutamin, RNA, dan kombinasinya dengan asam lemak 

omega-3 untuk pasien yang menjalani pembedahan. Jika pasien sudah mengalami malnutrisi 

sebelum menjalani pembedahan pada kepala dan leher, maka suplementasi nutrisi yang 

diberikan 5-7 hari sebelum pembedahan dapat memberikan manfaat.(43)  

sedang  untuk suplemen yang diberikan secara tunggal, penelitian terhadap 

pemberian suplemen arginin tunggal atau glutamin tunggal masih terbatas, sehingga belum 

dapat dibuat rekomendasi untuk suplemen ini . Bahan makanan sumber Arginin yaitu 

kacang-kacangan.

3.1.9.3.4. Fructooligosaccharide (FOS) dan probiotik 

FOS merupakan suatu prebiotik yang merupakan bahan makanan untuk probiotik 

(bakteri flora normal usus). Beberapa penelitian in vitro dan penelitian pada hewan 

membuktikan bahwa sejumlah mikroorganisme dari bakteri flora normal usus dapat 

memengaruhi karsinogenesis, yaitu bersifat protektif bagi tubuh pejamu terhadap aktivitas zat-

zat karsinogenik. Mekanisme bagaimana efek ini dapat timbul masih dalam tahap hipotesis. 

Diduga bahwa efek protektif ini terjadi lewat inhibisi bakteri secara langsung, ataupun sebab  

bakteri tertentu dapat menginaktivasi sejumlah zat karsinogen. Namun efek ini belum terbukti 

secara klinis,


3.1.9.4. Farmakoterapi 

3.1.9.4.1. Progestin 

Dua jenis progestin dapat bermanfaat dalam mengurangi kaheksia pada pasien tumor 

ganas, yaitu megesterol asetat (MA) dan medroksiprogesteron asetat (MPA). Menurut studi 

meta-analisis MA bermanfaat dalam meningkatkan selera makan dan meningkatkan berat 

badan pada tumor ganas kaheksia, namun tidak memberikan efek dalam peningkatan massa 

otot dan kualitas hidup penderita. Dosis optimal pemakaian  MA yaitu  sebesar 480–800 

mg/hari. pemakaian  dimulai dengan dosis kecil, dan ditingkatkan bertahap apabila selama dua 

minggu tidak memberikan efek optimal. Efek samping pemakaian  MA dan MPA yaitu  

tromboemboli, hiperglikemia, hipertensi, impotensi, vaginal spotting, edema perifer, alopesia, 

dan insufisiensi adrenal.

3.1.9.4.2. Kortikosteroid 

Kortikosteroid merupakan zat oreksigenik yang paling banyak dipakai . Berbagai 

penelitian menunjukkan bahwa pemberian kortikosteroid pada pasien kaheksia dapat 

meningkatkan selera makan dan kualitas hidup pasien. Pada pasien tumor ganas terminal, 

 

kortikosteroid diberikan sebagai terapi paliatif untuk memberi rasa “lebih segar” yang tidak 

berefek menurunkan tingkat mortalitas. pemakaian  kortikosteroid jangka panjang dapat 

menimbulkan berbagai efek samping, sehingga sebaiknya pemberian kortikosteroid tidak lebih 

dari dua minggu dan hanya untuk pasien tumor ganas preterminal. 

3.1.9.4.3. Siproheptadin 

Siproheptadin merupakan antagonis reseptor 5-HT, yang dapat memperbaiki selera 

makan dan meningkatkan berat badan pasien dengan tumor karsinoid. Efek samping yang 

sering timbul yaitu  mengantuk dan pusing. Umumnya dipakai  pada pasien anak dengan 

kaheksia tumor ganas, dan tidak direkomendasikan pada pasien dewasa.

3.1.9.4.4. Moisturizing Spray/ Moisturizing Gel 

Pemberian formula moisturiser diperlukan untuk membantu keseimbangan cairan oral 

dan memberikan sensasi basah pada mukosa mulut.

3.1.9.4.5. Chlorhexidine 0,2% 

Obat kumur yang dapat dipakai  untuk mengurangi rasa nyeri pada mulut yaitu  

chlorhexidine 0,2%.(47) 

3.1.9.4.6. Antiemetik 

Obat ini dipakai  sebagai anti mual dan muntah pada pasien tumor ganas, tergantung 

sediaan yang dipakai , misalnya golongan antagonis reseptor serotonin (5HT3), antihistamin, 

kortikosteroid, antagonis reseptor neurokinin-1 (NK1), antagonis reseptor dopamin, dan 

benzodiazepin.(37) 

3.1.9.4.7. Vitamin B, D, K, Asam Folat, dan Kalsium 

Pasien tumor ganas otak seringkali memerlukan obat anti kejang yang memiliki 

interaksi dengan vitamin dan mineral, yaitu vitamin D, K, asam folat, dan kalsium, yang dapat 

memicu  gangguan mineralisasi tulang dan osteoporosis dan  gangguan profil lipid. 

Pasien harus mendapatkan suplementasi vitamin dan mineral ini , misalnya pada pasien 

yang mendapat fenitoin, disarankan pemberian asam folat sebesar 1 mg/hari. Perlu diperhatikan 

bahwa kalsium dapat menurunkan bioavailabilitas fenitoin, sehingga suplementasi harus 

diberikan dua jam sebelum atau sesudah  pemberian fenitoin.(49) 

 

3.1.10. Prinsip Rehabilitasi Medik pada Tumor Otak 

Rehabilitasi medik bertujuan untuk mengoptimalkan pengembalian gangguan fungsi 

dan aktivitas kehidupan sehari-hari dan  meningkatkan kualitas hidup pasien dengan cara aman 

dan efektif, sesuai kemampuan yang ada. (50, 51) Pendekatan rehabilitasi medik dapat diberikan 

sedini mungkin sejak sebelum pengobatan definitif diberikan dan dapat dilakukan pada 

berbagai tahapan dan pengobatan penyakit yang disesuaikan dengan tujuan penanganan 

rehabilitasi tumor ganas mulai dari preventif, restoratif, suportif atau paliatif. 

3.1.10.1. Gangguan Fungsi/ Disabilitas pada Pasien Tumor Otak 

Kedokteran fisik dan rehabilitasi memerlukan konsep fungsi dan keterbatasan dalam 

penanganan pasien. Pada tumor otak otak ganas, penyakit dan penanganannya dapat 

menimbulkan gangguan fungsi pada manusia sebagai makhluk hidup yang dapat berpotensi 

memicu  terjadinya keterbatasan dalam melakukan aktivitas (disabilitas) dan partisipasi 

sosial dalam kehidupan sehari-hari.(50, 52-54) Gangguan fungsi ini  dapat berupa gangguan 

kognisi (80%), kelemahan (78%), gangguan persepsi visual (53%), dan berbagai disfungsi otak 

lainnya. 

Intervensi rehabilitasi diberikan sesuai dengan gangguan fungsi yang terjadi yang 

berkaitan dengan lokasi tumor dan luasnya area operasi. Program rehabilitasi yang diberikan 

prinsipnya tidak jauh berbeda dengan rehabilitasi pasien stroke dan cedera kepala (stroke like 

syndrome).()  

Keterbatasan Fungsional/Aktifitas 

1. Gangguan kognitif dan perilaku, perubahan kepribadian dan emosi

2. Gangguan mobilisasi, akibat : 

- Gejala peningkatan tekanan intra kranial (sakit kepala, mual, muntah), kejang 

- Gangguan kekuatan otot sesuai dengan lokasi tumor (hemiparesis / plegi)  

- Gangguan koordinasi dan keseimbangan 

- Gangguan visual

- Distonia, diskinesia, ataksia

- Tirah baring lama 

3. Gangguan komunikasi

4. Gangguan menelan / Kesulitan makan

5. Gangguan persepsi 

6. Gangguan pemrosesan sensoris akibat hendaya otak

7. Impending / sindroma dekondisi akibat tirah baring lama(55) 

8. Disfungsi saraf kranial selain di atas 

9. Gangguan fungsi psiko-sosial-spiritual(55) 

Hambatan Partisipasi 

1. Gangguan aktivitas sehari-hari 

2. Gangguan prevokasional dan okupasi 

3. Gangguan leisure 

4. Gangguan seksual pada disabilitas(52-54) 

3.1.10.2. Pemeriksaan Rehab Medik 

3.1.10.2.1. Asesmen 

- Uji fungsi komunikasi 

- Uji fungsi kognisi 

- Uji fungsi kekuatan otot 

- Uji fleksibilitas, lingkup gerak sendi  

- Uji fungsi sensibilitas 

- Uji motorik halus 

- Asesmen nyeri 

- Uji dekondisi 

- Uji fungsi kardiorespirasi  

- Uji kontrol postur 

- Uji fungsi integrasi sensori motor 

- Uji keseimbangan statis dan dinamis 

- Uji fungsi lokomotor 

- Uji pola jalan 

- Uji fungsi eksekusi gerak  

- Uji fungsi menelan  

- Uji fungsi berkemih  

- Uji fungsi defekasi 

- Uji kemampuan fungsional dan perawatan (Barthel Index, Karnofsky 

Performance Scale) 

- Asesmen psikospiritual 

- Evaluasi kondisi sosial dan perilaku rawat  

- Evaluasi ortosis 

- Evaluasi alat bantu jalan(11) 

3.1.10.2.2. Pemeriksaan Penunjang 

- Pemeriksaan darah 

- Rontgen (toraks, kepala) 

- EEG 

- CT Scan/MRI (sesuai indikasi) 

3.1.10.3.  pengobatan  Rehabilitasi 

3.1.10.3.1. Tujuan 

- Mengatasi gangguan kognisi, perilaku, perubahan kepribadian dan emosi 

- Memaksimalkan pengembalian fungsi komunikasi  

- Memaksimalkan pengembalian dan pemeliharaan fungsi gerak 

- Memaksimalkan pengembalian kemampuan mobilisasi 

- Mengatasi gangguan menelan / kesulitan makan 

- Memperbaiki fungsi pemrosesan sensoris dan motorik 

- Mencegah dan meminimalisir sindroma dekondisi 

- Memperbaiki fungsi berkemih 

- Mengembalikan, memelihara dan atau meningkatkan fungsi psiko-sosial-

spiritual 

- Meningkatkan kualitas hidup dengan perbaikan kemampuan aktivitas 

fungsional(52-54) 

3.1.10.3.2. Sebelum tindakan (radioterapi, operasi dan kemoterapi) 

1. Promotif : peningkatan dan pemeliharaan fungsi fisik dan psiko-sosio-

spiritual dan  kualitas hidup 

 

 

2. Preventif terhadap keterbatasan fungsi dan aktivitas dan  hambatan 

partisipasi yang dapat timbul(56) 

3. Penanganan terhadap gangguan psikososial dan spiritual (sesuai kondisi)

3.1.10.3.3. Pasca Tindakan 

Preventif terhadap gangguan fungsi otak yang dapat terjadi pasca tindakan dan 

efek sindroma dekondisi pada tirah baring lama.(56) 

3.1.10.3.4. Rehabilitasi Medik Disabilitas 

1. pengobatan  Gangguan Kognisi 

pengobatan  persepsi kognisi sesuai hendaya yang ada (LEVEL 1) (58, 59) 

2. Terapi edukasi sesuai disabilitas(60) 

3. pengobatan  Gangguan Mobilisasi : 

 Latihan fleksibilitas dan lingkup gerak sendi(55, 59) 

 Latihan penguatan otot(55, 59) 

 Terapi latihan(55) 

 Latihan ambulasi dan keseimbangan(55) 

 Latihan koordinasi dan keterampilan motorik(59) 

 Latihan ketahanan kardiopulmoner(59) 

 Evaluasi orthosis(55, 59) 

 Evaluasi alat bantu jalan 

4. pengobatan  gangguan berbahasa (55, 59) 

5. pengobatan  gangguan menelan(59) 

6. pengobatan  multisensori terintegrasi(55) 

7. pengobatan  gangguan sensasi somatosensoris(55) 

8. pengobatan  pencegahan/ sindroma dekondisi(60) 

9. Evaluasi dan pengobatan  kondisi social dan perilaku rawat(42) 

10. Mengatasi masalah psikospiritual, termasuk perubahan perilaku, 

kepribadian dan emosi(42, 61) 

11. Adaptasi kehidupan sehari-hari  

12. Rehabilitasi prevokasional dan rehabilitasi okupasi(59)  

13. Rehabilitasi medik paliatif(61) 

Gangguan kognitif dan perilaku berupa perubahan kepribadian dan emosi dapat 

dipengobatan  sesuai gangguan yang ada. Untuk gangguan fungsi mobilisasi ambulasi akibat 

gangguan seperti fleksibilitas, kekuatan otot, koordinasi & keseimbangan (sesuai lokasi tumor), 

visual, kinesia, kelemahan umum, dan tirah baring lama dapat dipengobatan  dengan 

mengoptimalkan pengembalian fungsi aktivitas bertahap sesuai kondisi. Sementara itu, untuk 

gangguan fungsi otak lainnya sesuai lokasi tumor (gangguan: menelan/makan, komunikasi, 

persepsi, pemrosesan sensori dan gangguan saraf kranial lainnya) dapat dipengobatan  sesuai 

disfungsi yang ada (stroke like syndrome). Gangguan fungsi kardiorespirasi pasca penanganan 

dipengobatan  sesuai gangguan fungsi paru dan jantung. (42) 

3.1.11. Paliatif 

Dilakukan pada pasien-pasien yang dinyatakan perlu mendapatkan terapi paliatif dan dilakukan 

terapi secara multidisiplin bersama dokter penanggung jawab utama, dan  dokter gizi, 

rehabilitasi medik, psikiatri, dan ahli terapi paliatif.(62) 

3.2. Tumor Otak Primer 

3.2.1. Kranial Meningioma  

3.2.1.1. Definisi 

Meningioma merupakan tumor primer intrakranial yang paling sering ditemui, ekstra 

aksial, dan berasal dari sel araknoid yang menempel pada duramater.(63-65)Karakteristik tumor 

ini dapat tumbuh dengan besar dan cenderung menghasilkan hiperostosis, infiltrasi atau juga 

mengerosi tulang.

3.2.1.2. Epidemiologi  

Angka kejadian meningioma sekitar 36% dari seluruh tumor otak, insidensnya 

diperkirakan 98/100,000 orang, dengan perkiraan rasio 2:1 antara wanita dan pria, dan 

insidensinya meningkat seiring dengan bertambahnya usia. 

3.2.1.3. Etiologi 

Etiologi molekuler meningioma dikaitkan dengan delesi kromosom dan mutasi gen. 

Meningioma dapat terjadi pada pasien yang terradiasi, dengan risiko tinggi terpapar  dosis tinggi 

 

radioterapi, sementara faktor risiko lain seperti hormon, cidera kepala, tumor ganas payudara, 

faktor diet dan alergi, dan  riwayat meningioma pada keluarga. Faktor lain seperti paparan 

telepon seluler masih belum  jelas dan bahkan tidak menonjol  pada beberapa penelitian.  (68-70)  

Perubahan genetik yang sering terjadi pada meningioma yaitu  hilangnya kromosom 22 yang 

berhubungan dengan mutasi pada gen neurofibromatosis tipe 2 (NF2) yang terletak di 

kromosom 22. (71) 

3.2.1.4. Klasifikasi 

berdasar  panduan World Health Organization (WHO), sekitar 80% dari 

meningioma diklasifikasikan sebagai grade I atau jinak, 10-18% sebagai grade II atau atipikal, 

dan sekitar 2-4% sebagai grade III atau ganas.(67) 

Tabel 3.2 Grade Meningioma menurut WHO 2016:(65, 68, 72) 

Grade Keterangan 

Grade I - Benign 

a. Tingkat mitotik rendah, kurang dari 4 per sepuluh HPF (high-

power fields) 

b. Tidak ada invasi ke otak  

c. Sembilan sub tipe 

a) Meningothelial 

b) Fibrous (fibroblastic)  

c) Transitional (mixed)  

d) Psammomatous  

e) Angiomatous  

f) Microcystic  

g) Secretory 

h) Lymphocyte rich  

i) Metaplastic 

Grade II - Atypical 

a. Tingkat mitotik 4-19 per HPF  

b. Atau invasi ke otak  


 

c. Atau 3 dari 5 hitologi spesifik: nekrosis spontan, sheeting, 

prominent nucleoli, selularitas yang tinggi, dan sel-sel kecil 

(Clear cell dan Chordoid) 

Grade III - 

Anaplastic 

a. Tingkat mitotik lebih dari 20 per HPF  

b. Atau histologi spesifik: papillary atau rhabdoid meningioma 

 

3.2.1.5. Lokasi 

Lokasi tumor dapat dikategorikan menjadi tiga grup: convexity / falx/ parasagittal, skull 

base dan lainnya. Lokasi pada skull base dapat didefinisikan sebagai cavernous sinus, 

cerebellopontine angle, clinoid, clivus, foramen magnum, jugular foramen, middle fossa, 

olfactory groove, orbital, parasellar, petroclival, petrous, planum sphenoidale, posterior fossa, 

skull base, sphenoid wing, and tuberculum selae. Lokasi lain diantaranya intraventrikular dan 

tumor multifokal yang tidak dapat dengan mudah diklasifikasikan dalam skull base, convexity, 

atau falx.(70) 

3.2.1.6. Gejala 

Meningioma biasanya merupakan tumor yang tumbuh lambat, gambaran klinis yang 

ditimbulkan tergantung pada lokasi dan ukuran tumor, dan  keterlibatannya dengan struktur 

jaringan sekitar.(73, 74)  

Nyeri kepala mungkin gejala yang paling sering dan bersamaan dengan gejala lain dapat 

mengarah kepada suatu peningkatan tekanan intra kranial. Kejang ditemukan pada 30 % pasien 

yang didiagnosa  dengan meningioma intrakranial. Risiko kejang lebih tinggi pada lokasi selain 

basis kranii (misalnya pada meningioma konveksitas, parasagital, dan falks).  

Gejala fokal yang muncul tergantung pada lokasi spesifik tumor. Gangguan penglihatan 

bisa muncul pada meningioma yang melibatkan jalur penglihatan. Gangguan pendengaran bisa 

muncul pada meningioma di regio sudut cerebellopontine. Anosmia dapat muncul pada 

meningioma di olfactory groove. Gangguan status mental dengan apati dan inatensi dapat 

muncul pada pasien dengan inferior frontal meningioma yang besar. Kelemahan ekstremitas 

juga dapat muncul umumnya berupa hemiparesis walaupun kadang-kadang dapat juga berupa 

paraparesis pada meningioma parasagital di falx yang mengkompresi jalur motoris. Kumpulan 

gejala ini  tidaklah spesifik sebagaimana suatu variasi lesi fokal intrakranial yang berbeda-

beda.(71) 

 

3.2.1.7. Penunjang 

Brain imaging dengan memakai  CT Scan dan MRI membantu deteksi meningioma, 

biasanya tampak sebagai tumor soliter yang menempel pada duramater, dan  menyangat kuat 

dengan pemberian kontras (contrast enhanced).(65, 74) Pemeriksaan ini  merupakan metode 

yang sering dipakai  untuk mendiagnosa , monitoring dan evaluasi pasca tindakan. (75) 

Positron emission tomography dapat membantu pada masalah -masalah  meningioma di skull 

base yang biasanya sulit untuk dilihat pada pemeriksaan CT dan MRI yang standar. 

Meningioma juga diketahui memiliki somatostatin receptor density yang tinggi, sehingga 

memungkinkan untuk octreotide brain scintigraphy membantu menggambarkan ekstensi dari 

penyakit.(75)  

3.2.1.8. pengobatan  

Terapi pasien dengan meningioma sangatlah individual, sebab  sifat meningioma itu 

sendiri dan variasi hasil terapi yang berbeda-beda untuk pasien yang berbeda.(65, 67) Disebab kan 

kurangnya penelitian prospective randomized trials, panduan pengobatan  standar sangatlah sulit 

untuk diformulasikan.(76)  

Modalitas terapi berupa observasi memakai  serial CT atau MRI, pembedahan, 

stereotactic radiosurgery (SRS), fractionated radiotherapy (FRT), kemoterapi, ataupun 

radionuclide therapy. Manajemennya menitikberatkan pada profil klinis, grade WHO, dan 

extent of resection, yang nampaknya mulai suboptimal seiring dengan meningkatnya pengertian 

terhadap biologi tumor ini.(67) Keputusan terapi harus berdasar  gejala yang muncul, lokasi 

meningioma, tampakan tumor terhadap pembuluh darah, pengalaman pembedah, dan 

kemungkinan untuk reseksinya.(77) 

Untuk tumor yang berukuran kecil (<3cm) dan asimtomatik maka berdasar  guideline 

European Association of Neuro-oncology (EANO) maupun National Comprehensive Cancer 

Network (NCCN) dapat dilakukan observasi saja, dengan terapi dilakukan bila tumor membesar 

secara menonjol  atau menjadi simtomatik. Pada fase observasi ini dilakukan MRI pada 3,6 dan  

 

12 bulan pasca diagnosa , dilanjutkan lalu  setiap 6-12 bulan selama lima tahun, diteruskan 

dengan setiap 1-3 tahun tergantung kondisi klinis pasien.(22) 

Untuk tumor yang simtomatik, ataupun asimtomatik namun berukuran besar maka perlu 

dilakukan terapi pembedahan jika memungkinkan.(78) 

 

3.2.1.9. Embolisasi 

Preoperative embolization diperkirakan dapat mengurangi komplikasi intra operatif 

dengan menurunkan lama waktu operasi dan  hilangnya darah. Embolisasi ini ditujukan untuk 

melakukan devaskularisasi dari lesi, yang akan memicu  tumor nekrosis dan 

memfasilitasi reseksi melalui pelunakan massa tumor.

Material embolisasi secara luas didefinisikan atas bentuk fisiknya seperti particulate 

atau agen liquid, dan dengan efek durasinya yang bersifat permanen atau sementara.

Agen particulate diantaranya partikel PVA (Polyvynil Acetate); microspheres (trisacryl 

gelatin microspheres); dan cellulose beads. Agen Liquid diantaranya NBCA (N-butyl 

cyanoacrylate), Onyx (ethylene vinyl alcohol copolymer dissolved in dimethyl sulfoxide) dan 

juga fibrin glue. 

3.2.1.10. Pembedahan 

Pada pasien yang dipertimbangkan sebagai kandidat untuk pembedahan, tujuan 

terapinya yaitu  eksisi total.(75) Kesulitan dalam pembedahan meningioma dapat dibagi 

menjadi dua kategori. Pertama, meningioma pada skull base: meskipun biasanya low grade, 

meningioma ini enclose struktur saraf dan pembuluh darah, memunculkan tantangan 

pembedahan tersendiri dan memicu  risiko fungsional dan vital. Kedua, meningioma 

grade II–III, secara klasik berlokasi pada konveksitas, yang sering tumbuh kembali, terutama 

saat  mengalami invasi ke sinus, sehingga menghalangi reseksi pembedahan secara 

komplit.(68)  

Evaluasi yang paling relevan dari hasil pembedahan yaitu  penilaian Simpson grade.(64, 

71) Pemeriksaan CT dan MRI yang dilakukan sesudah  operasi, dan  temuan histopatologis pada 

saat pembedahan menentukan dasar dari Simpson grading system, suatu sistem untuk 

memprediksi rekurensi dari meningioma ini .

 

Meskipun tujuannya untuk melakukan gross total resection, tujuan ini tidak seharusnya 

memiliki efek pada status neurologis pasien, dan strategi kombinasi dapat dilakukan untuk 

memaksimalkan progression-free survival bersamaan dengan menurunkan risiko neurologis 

yang ditimbulkan pasca operasi.(68)  

Pada masalah  meningioma yang secara potensial mengalami ekstensi hingga ke dasar 

tengkorak seperti sphenoorbital meningioma, operasi rekonstruksi tulang (bone reconstruction) 

direkomendasikan untuk mencegah atrofi otot temporal dan hasil estetika yang buruk pasca 

operasi.

 

3.2.1.11. Radioterapi 

Saat ini peranan dan dampak terhadap prognosa dari radioterapi sebagai suatu terapi 

ajuvansesudah  reseksi pembedahan masih kontroversi untuk meningioma low grade.(83) Terapi 

ini dapat dipertimbangkan untuk meningioma low grade sesudah  reseksi tumor parsial, rekuren, 

dan meningioma maligna dengan sel atipikal dan sel yang anaplastik.(75) pemakaian  

radioterapi dikaitkan dengan luaran yang lebih baik. Sebuah penelitian didapatkan, stereotactic 

radiosurgery dihubungkan dengan kontrol tumor yang lebih baik (mencapai 10%) dan 

komplikasi yang lebih kecil. Stereotactic radiosurgery atau stereotactic radiotherapy pada 

meningioma dapat dipakai  sebagai terapi primer, terutama pada meningioma yang tidak 

dibiospi sebab  akses sulit untuk dilakukan biopsy atau reseksi dan masalah -masalah  dengan lesi 

meningioma yang kecil.(84, 85) 

Teknik radiasi yang disarankan yaitu   conformal radiation therapy (contoh : 3D-CRT/ 

conformal radiotherapy, IMRT/intensity modulated radiotherapy, VMAT/volumetric 

modulated arc therapy, tomoterapi) untuk menyelamatkan organ penting dan meningkatkan 

dosis radiasi pada jaringan yang terlibat. (84, 85) 

Meningioma WHO derajat I/II pascaoperasi dapat diberikan radiasi konvensional dosis 

45-60 Gy atau radiasi stereotactic dengan dosis tinggi per fraksi. Lapangan radiasi pada 

meningioma sebaiknya dideliniasi berdasar  MRI brain pre-operasi dan post-operasi T1 

dengan kontras dan T2/FLAIR untuk menentukan gross tumor (jika ada) atau tumor bed dengan 

ekspansi margin clinical target volume (CTV) 1-2 cm dimana ekspansi margin dapat dikurangi 

apabila tidak ada invasi ke parenkim otak. Dosis radiasi diberikan 45-60 Gy dalam fraksi 1,8-

 

2 Gy bila ukuran tumor cukup besar.(21, 22) Untuk lesi dengan ukuran tumor yang lebih kecil 

dapat dipertimbangkan pemberian SRT dengan dosis 30-50 Gy dalam 3-20 fraksi atau SRS 

dengan dosis 12-25 Gy dalam fraksi tunggal. 

Meningioma WHO derajat III memiliki sifat yang lebih ganas sehingga diperlukan 

ajuvan radiasi untuk hampir semua masalah . Lapangan radiasi ditentukan berdasar  MRI brain 

pre-operasi dan post-operasi T1 kontras dan T2/FLAIR untuk deliniasi gross tumor (jika ada) 

dan surgical bed dengan margin CTV 2-3 cm dan dosis radiasi 54-60 Gy dalam 1,8-2 Gy/fraksi. 

Apabila lesi tumor pada meningioma WHO derajat III cukup kecil maka juga dapat 

dpertimbangkan pemberian stereotactic radiotherapy (SRT) dengan dosis 30-50 Gy dalam 3-20 

fraksi atau stereotactic radiosurgery (SRS) dengan dosis 12-25 Gy dalam fraksi tunggal.(21, 

22),(83-90)  

3.2.1.12. Kemoterapi 

Beberapa pilihan obat kemoterapi telah dipakai  untuk menangani meningioma 

atipikal dan anaplastik.(91) Kemoterapi sejauh ini memberikan hasil yang kurang memuaskan, 

dipertimbangkan hanya bila tindakan operasi dan radioterapi gagal dalam mengontrol kelainan. 

Agen kemoterapi termasuk hidroksiurea, telah dipakai  tapi dengan angka keberhasilan yang 

kecil. Obat lain yang sedang dalam penelitian termasuk temozolamid, RU-468, dan alfa 

interferon, juga memberikan hasil yang kurang memuaskan.(92-94) Pilihan kemoterapinya yaitu   

Interferon Alfa (Kategori 2B)(65), , Somatostatin analog jika octreotide scan positif (66), Sunitinib 

(kategori 2B)(67), , Bevacizumab + everolimus(68) (kategori 2B). 

Pertimbangan uji klinis yang sangat kuat sebelum menangani penyakit rekuren dengan 

kemoterapi standar, dimana terapi tambahan dapat mengeliminasi mayoritas dari pilihan uji 

klinis. Pasien yang memiliki status performa (KPS) yang baik namun memiliki bukti 

progresifitas secara radiologis, dapat mengambil manfaat dari lanjutan bevacizumab untuk 

mencegah penurunan status neurologis yang cepat. Kombinasi terapi bevacizumab dengan  

kemoterapi  lain dapat dipertimbangkan, jika monoterapi bevacizumab gagal.(28, 30, 32, 95) 

 Penelitian randomized controlled trial pada pasien meningioma rekuren, progresif 

atipikal ataupun malignansi hasilnya belum memuaskan. Terdapat tiga terapi sistemik yang 

direkomendasikan oleh NCCN 2012 yaitu hidroksiurea, interferon alfa, dan analog 

somatostatin. Tidak seperti glioma, pembuluh darah pada meningioma tidak memiliki sawar 

otak (blood brain barrier) dan obat yang ada di sirkulasi darah dapat melakukan penetrasi ke 

meningioma. Tetapi hal ini juga dapat meningkatkan risiko peningkatan tekanan intra tumoral, 

disebab kan pembesaran edema vasogenik.  

Imatinib 

 Meningioma diketahui mengekspresikan PDGF-beta (platelet-derived growth factor 

beta), proliferasi meningioma distimulasi oleh autokrin growth factor stimulation  loop. Oleh 

sebab  itu terdapat pengobatan  yang menargetkan PDGF-R yaitu imatinib. Pada 23 pasien yang 

belum diterapi (13 pasien meningioma jinak, 5 meningoma atipikal dan 5 meningioma ganas), 

hasilnya tidak memuaskan dengan hasil progression free survival (PFS) hanya 2 bulan. 

Reardon dkk, memberikan pada 21 pasien dengan hidroksiurea dan imatinib, dengan angka 

PFS6 sebesar 61%.  

Gefitinib dan Erlotinib 

 Disebab kan faktor pertumbuhan epidermal seringkali diekspresikan berlebih pada 

meningioma, dilakukan pemberian gefitinib 500 mg/hari atau erlotinib 150 mg/hari pada 25 

pasien meningioma rekuren (8 pasien meningioma grade I, 9 pasien meningioma atipikal dan 5 

meningioma malignan). Untuk tumor jinak angka PFS6 sebesar 25% dan PFS12 sebesar 13%. 

Pada meningioma atipikal dan maligna, angka PFS6 sebesar 29% dan PFS 12 sebesar 18%. 

32%-nya pasien stabil.  

Bevacizumab 

 Meningioma rekuren memperlihatkan peningkatan densitas mikrovaskular dan ekspresi 

VEGF (Vascular Endothelial Growth Factor), hal ini menunjukkan peran potensial dari 

neoangiogenesis dalam proses proliferasi meningioma. Bevacizumab menginduksi perbaikan 

klinis pada pasien dengan edema peritumoral. Penelitian restrospektif pada 14 pasien 

didapatkan angka PFS6 sebesar 86%, tetapi didapatkan pula satu kejadian perdarahan serebral 

dan satu kejadian perforasi gastrointestinal.(96) 

3.2.1.13. Prognosis 

Grade WHO, grade Simpson dan  ekstensi reseksi tumor tetap menjadi indikator 

prognostik yang penting.(6, 31) Reseksi total dari tumor biasanya memberikan prognosis yang 

sangat baik. Angka harapan hidup 5 tahunan untuk meningioma tipikal lebih dari 80%, dan 

 

 

turun menjadi 60% pada meningioma maligna dan atipikal.(97) Untuk surveilans dilakukan MRI 

pada 3, 6, dan 12 bulan pasca operasi, dilanjutkan lalu  setiap 6-12 bulan selama lima 

tahun, diteruskan dengan setiap 1-3 tahun tergantung kondisi klinis pasien. (22) 

 

3.2.1.14. Algoritma Terapi 

Rekomendasi untuk manajemen terapi meningioma dengan Grade WHO I-III menurut 

EANO guidelines for the diagnosa  and treatment of meningiomas:(65) 


 

Terapi menurut National Comprehensive Cancer Network Guidelines Version 1.2018 untuk 

Central Nervous System Cancers:

 

Catatan: 

a. Pertimbangkan melakukan diskusi multidisiplin untuk rencana terapi  

b. Pilihan pengobatan  harus berdasar  pada penilaian dari variasi faktor-faktor yang 

berhubungan, diantaranya gambaran pasien (misalnya: umur, performance score, 

komorbid, pilihan terapi), gambaran tumor (misalnya: ukuran, grade, laju pertumbuhan, 

lokasi - terhadap struktur penting), potensi memicu  gangguan neurologis bila 

tidak ditangani, dan  faktor terkait terapi (misalnya: potensi gangguan neurologis akibat 

 

dari pembedahan atau radioterapi - seperti reseksi komplit dengan/atau complete 

irradiation dengan SRS, kemampuan pengobatan  tumor bila muncul kembali, 

ketersediaan ahli bedah dan onkologi radiasi). Keputusan untuk pemberian radioterapi 

sesudah  pembedahan juga bergantung pada ekstensi reseksi yang dicapai. 

Direkomendasikan masukan dari tim multidisiplin untuk perencanaan terapi. 

c. MRI post operatif 24–72 jam sesudah  pembedahan.  

d. Principles of Brain Tumor Imaging (BRAIN-A). 

 Brain MRI pasca operasi harus dilakukan dalam 24–72 jam untuk glioma dan tumor 

otak lainnya untuk menentukan ekstensi dari reseksi. 

 Ekstensi dari reseksi harus dinilai dari penilaian pasca operasi dan dipakai  

sebagai dasar untuk menilai efektifitas terapi lalu  atau menilai progresifitas 

dari tumor. 

e. WHO Grade I = Benign meningioma, WHO Grade II = Atypical meningioma, WHO 

Grade III = Malignant (Anaplastic) meningioma. 

f. Radioterapi dapat berupa fractionated external-beam radiotherapy atau stereotactic 

radiosurgery (SRS).  

g. Principles of Brain Tumor Radiation Therapy (BRAIN-C).  

 Meningioma WHO grade I/II dapat ditangani dengan fractionated conformal 

radiotherapy dengan dosis 45-60 Gy.  

 Conformal radiation therapy (contoh: 3D-CRT, IMRT, VMAT, Tomoterapi) 

direkomendasikan untuk pertimbangan minimalisasi dosis struktur penting dan  

jaringan yang tidak terlibat.  

 Meningioma WHO grade I atau grade II juga dapat ditangani dengan SRS dosis 12–

25 Gy dalam suatu fraksi tunggal bila memungkinkan atau SRT dengan dosis 20-50 

Gy dalam 3-8 fraksi. 

 Untuk meningioma WHO grade I / II yang menjalani radiasi, terapi harus diarahkan 

pada gross tumor (bila nampak jelas) dan batas pembedahan + ekspansi (1–2 cm) 

dengan dosis radiasi 45–60 Gy dalam fraksi 1.8–2.0. Pertimbangkan pembatasan 

ekspansi pada parenkim otak bila tidak ditemukan adanya invasi ke parenkim otak 

ini .  

 Meningioma WHO grade III harus ditangani sebagai tumor maligna dengan terapi 

diarahkan ke gross tumor (bila nampak jelas) dan batas pembedahan + ekspansi (2–

3 cm) diberikan dosis radiasi 59.4–60 Gy dalam fraksi 1.8–2.0 Gy.(73-79) 

h. Untuk meningioma yang asimtomatik, observasi untuk tumor yang kecil (≤3 cm), 

kecuali pada tumor dengan faktor risiko terkait pengobatan , misalnya tumor dengan 

perlekatan pada nervus optikus atau pasien dengan keluhan defisit neurologis.  

i. Pertimbangkan folow up setidaknya sesudah  5–10 tahun.  

j. Pencitraan MRI lebih sering dibutuhkan untuk meningioma WHO grade 3. 

k. Principles of Brain Tumor Systemic Therapy (BRAIN-D) pada meningioma: 

• Interferon alfa (kategori 2B) 

• Somatostatin analogue, bila octreotide scan positif 

• Sunitinib (kategori 2B) 

• Bevacizumab + everolimus (Kategori 2B) (73-79) 

 

3.2.2. Astrositoma 

3.2.2.1. Definisi dan Klasifikasi 

Astrositoma yaitu  tumor otak yang berasal dari sel dalam otak yang bernama astrosit 

dan merupakan tumor tersering di antara jenis glioma otak. Tumor ini tidak tumbuh pada 

jaringan di luar otak, medula spinalis ataupun metastasis dari organ lainnya. Insidennya pada 

perempuan dan laki laki 2:1. Insiden dari glioma yang muncul pada usia dewasa yang tersering 

yaitu  GBM, yakni 0,6–3,7 per 100.000 penduduk dengan usia tersering 75-84 tahun.(98) 

WHO pada tahun 2016 telah mempublikasikan World Health Organization 

Classification of Tumors of the Central Nervous System yang memakai  parameter 

molekuler selain histologis untuk mendefinisikan astrositoma (Tabel 3.4). Penanda molekuler 

pada astrositoma ini penting untuk diidentifikasi tidak hanya untuk membantu diagnosa  dan 


 

menentukan prognosis glioma ini , tapi juga untuk memprediksi keberhasilan terapi dan 

pengembangan terapi target.(72) (99) Metode ini diharapkan dapat memberikan hasil yang lebih 

objektif dalam menangani pasien astrositoma dan penelitian eksperimental, walaupun masih 

terdapat kekurangan yang suatu saat dapat dilengkapi.(100) 

Tabel 3.4. Klasifikasi Tumor Otak Astrositoma Menurut WHO Tahun 2016

81 

Tumor Astrositik Difus  Grade Nomor PA 

Diffuse Astrocytoma, ID- Mutan II 9400/3 

Diffuse Astrocytoma, IDH-wildtype II 9400/3 

Diffuse astrocytoma, NOS II 9400/3 

Anaplastic Astrocytoma, IDH-Mutan III 9401/3 

Anaplastic astrocytoma, IDH-wildtype III 9401/3 

Anaplastic astrocytoma, NOS III 9401/3 

Glioblastoma, IDH-wildtype IV 9440/3 

Glioblastoma, IDH-mutan IV 9440/3 

Glioblastoma, NOS IV 9440/3 

Diffuse midline glioma H3 K27M-Mutant IV 9385/3 

Tumor Astrocytic Lainnya   

Pilocytic Astrocytoma I 9421/1 

Subependymal Giant Cell Astrocytoma I 9384/1 

Pleomorpic Xanthoastrocytoma II 9424/3 

Anaplastic Pleomorphic 

Xanthoastrocytoma  

III 9424/3 

 

3.2.2.2. Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik  

Pasien dengan astrositoma dapat mengalami gejala dan tanda yang umum maupun 

fokal atau bisa juga tidak bergejala (asimtomatik). Gejala astrositoma derajat tinggi biasanya 

berkembang dalam hitungan minggu atau bahkan hari, sementara gejala astrositoma derajat 

rendah dapat mengalami progresi dalam hitungan bulan atau tahun. (101) 

Keluhan tersering yaitu  sakit kepala (65%), diikuti dengan fatigue (60%), mual dan 

muntah (60%), dan kejang (40%). Selain itu terdapat kelemahan ekstremitas, gangguan 

penglihatan, gangguan sensorik, ataksia, dan sebagainya.(102) 

Nyeri kepala terkait tumor otak biasanya seperti nyeri kepala tipe tegang (40-80%), 

bersifat tumpul dan konstan. Pasien dapat juga mengeluh nyeri kepala berdenyut seperti 

migrain (10%). Nyeri kepala bersifat progresif dan memberat seiring waktu. Nyeri kepala 

memberat dengan batuk, bersin dan mengejan dan  lebih berat di malam hari sehingga dapat 

 

 

52 

 

membangunkan pasien dari tidur.(101) 

Gejala kejang lebih umum ditemukan pada tumor derajat rendah. Kejang biasanya 

fokal namun dapat berkembang menjadi umum. Manifestasi klinis kejang ini  tergantung 

pada lokasi tumor. Misalnya tumor pada lobus frontal dapat memicu  kejang fokal tonik 

klinik melibatkan satu ekstermitas, sementara kejang akibat tumor regio oksipital dapat 

memicu  gangguan penglihatan. (101) 

Gejala fokal yang ditimbulkan tumor dapat berupa kelemahan anggota gerak, 

gangguan motoris, afasia, maupun gangguan visual. Gangguan kognitif juga umum ditemukan 

pada astositoma. Gejala peningkatan tekanan intrakranial dapat muncul akibat efek masa yang 

besar atau akibat gangguan aliran cairan serebrospinal yang memicu  hidrosefalus. Trias 

klasik peningkatan tekanan intrakranial mencakup nyeri kepala, mual muntah, dan 

papiledema. (101)  

Pemeriksaan fisik bertujuan untuk membedakan gejala dan tanda tumor supra dan infra 

tentorial. Gejala dan tanda tumor supratentorial yakni peningkatan TIK sebagai akibat efek 

massa tumor atau edema dan  akibat blokade aliran cerebrospinal fluid (CSF). Gejala fokal 

defisit neurologis yang progresif dapat terjadi akibat destruksi parenkim otak oleh invasi 

tumor, akibat penekanan par