tumor otak 3




 enkim otak oleh tumor, edema atau perdarahan. Selain itu, akibat 

penekanan pada saraf kranialis.(103) 

Gejala tumor otak yang tersering yaitu  sakit kepala akibat penekanan pada daerah 

peka nyeri, kejang akibat iritasi pada korteks serebral, dan  perubahan status mental, seperti 

depresi, letargi, apatis, atau confusion. Gejala yang menyerupai “TIA” (transient ischaemic 

attack) atau stroke-like syndrome, dapat terjadi akibat penyumbatan pembuluh darah oleh sel 

tumor atau perdarahan intra tumoral yang dapat didan i kejang fokal.(104) 

Pada tumor infratentorial atau fosa posterior lebih sering memicu  gejala 

peningkatan tekanan intrakranial akibat hidrosefalus atau penekanan langsung pada nukleus 

vagal atau area postrema (vomiting center), sehingga menimbulkan trias klasik dalam waktu 

yang lebih cepat. Adapun efek massa pada hemisfer serebelum dapat berupa ataksia 

ekstremitas, dismetria, atau intention tremor, lesi di bagian vermis dapat berupa  broad based 

gait, ataksia trunkal, atau titubasi. Bila mengenai batang otak dapat memicu  gangguan 

saraf kranialis multipel. (104) 

  

 

 

3.2.2.3. Pemeriksaan Penunjang 

CT scan dengan kontras dipakai  untuk skrining awal, CT Scan dapat 

menggambarkan edema di sekitar tumor (peritumoral edema). Sebagian besar glioma low 

grade tidak menyerap kontras pada CT Scan atau MRI. Biasanya akan nampak hipodense 

pada pemeriksaan dengan CT Scan. Astrositoma anaplastik bersifat dualisme, dapat menyerap 

ataupun tidak menyerap kontras. Sebanyak 31% glioma anaplastik dan 9% astrositoma 

anaplastik sedang, tidak menyangat kontras pada CT. Gambaran kalsifikasi dan kista dapat 

muncul pada astrositoma anaplastik. Pada high grade astrocytoma dapat muncul gambaran 

ring enhance (bagian tengah tumor yang nekrosis tidak menyangat). Cincin ini  merupakan 

tumor seluler, akan tetapi sel-sel tumor juga dapat meluas lebih dari 15 mm di luar gambaran 

cincin. (105) 

MRI sangat bagus untuk menggambarkan edema di sekitar tumor (vasogenik), 

kompresi saraf kranial, kompresi otak dan pembuluh darah otak. Pada astrositoma grade II, 

astrositoma menunjukan hiperintensitas pada MRI T2-weighted. Tidak terlihat kecerahan pada 

MRI T2-weighted, akan menunjukkan daerah dengan peningkatan densitas dan enhancement 

sesudah  dimasukkan bahan kontras. (105) 

Pada MRI fitur DWI (diffusion weighted imaging), tumor tampak isointens sampai 

hiperintens ringan yang menyangat pada T1. Pada grade IV astrositoma (glioblastoma 

multiforme) terdapat ciri khas berupa gambaran nekrosis yang tampak sebagai daerah 

hipointens dan sinyal yang berkurang di bagian tepi menunjukkan edema.(105) 

MR spekstroskopi dipakai  untuk menegakkan diagnosa  banding, pemilihan lokasi 

biopsi, monitoring respons terapi, dan membedakan tumor dengan efek terapi. Data 

spektroskopi MR menunjukkan nilai cholin (Cho), laktat, lipid, dan NAA (N-asetilaspartat) 

yang tinggi. Studi singkat echo-time (TE) menunjukkan adanya puncak mio-inositol yang 

tidak ada atau rendah. Studi perfusi menunjukkan peningkatan rCBV (relative Cerebral Blood 

Volume). Nilai anisotropi fraksional (FA/fractional anisotropy) dari astrositoma menurun, 

tetapi nilai ADC (apparent diffusion coefficient) meningkat. DTI (diffusion tensor imaging)  

sensitif untuk mengevaluasi perubahan patologis yang tidak dapat divisualisasikan pada T2WI. 

Functional MRI dipakai  untuk menentukan daerah eloquen. (105) 

 

 

Derajat keganasan astrositoma dapat diperkirakan dari gambaran radiologis tumor, 

salah satunya yaitu  dengan klasifikasi Karnohan. Pada Kernohan derajat 1) astrositoma 

memiliki gambaran CT scan memiliki densitas rendah dan pada MRI memiliki gambaran 

sinyal abnormal, tidak ditemukan efek massa dan tidak menyangat; derajat 2) memiliki gambaran 

CT scan densitas rendah dan MRI sinyal abnormal; derajat 3) memiliki efek massa namun 

tetap tidak menyangat; derajat 4) memiliki gambaran nekrosis/ring enhance.(105)

 

 

3.2.2.4. diagnosa  

diagnosa  dapat ditegakkan berdasar  anamnesis, pemeriksaan klinis, laboratorium, 

pemeriksaan radiologi, dan patologi anatomi. Walaupun karakteristik imaging dan klinis dapat 

memperkirakan jenis tumor otak spesifik, namun biopsi tetap diperlukan untuk diagnosa  

definitif. Biopsi dapat membedakan tumor dengan lesi lainnya, dan  penting untuk 

klasifikasi.(98) 

Klasifikasi dan gambaran histopatologi astrositoma berdasar  anamnesis, 

pemeriksaan fisik, laboratorium dan patologi anatomi. Dalam pemeriksaan patologi anatomi 

yang menjadi karakteristik penilaian yaitu  hiperselularitas, pleomorfisme, proliferasi 

vaskular, dan nekrosis jaringan. (104-106) 

Astrositoma memiliki aktivitas hiperselularitas yang rendah, pleomorfisme sel dan 

nukleus yang rendah, dan  tidak mengalami proliferasi vaskular dan nekrosis jaringan. 

Astrositoma anaplastik memiliki hiperselularitas dan plemorfisme yang rendah, mengalami 

proliferasi endotel vaskular dan mengalami nekrosis jaringan. Glioblastoma multiforme 

mengalami hiperselularitas yang sedang hingga khas dan mengalami pleomorfisme yang 

sedang yang khas. Proliferasinya bersifat umum dan mengalami pseudopolisading.  (104-106) 

Klasifikasi WHO, guideline EANO dan  guideline NCCN mengintegrasikan 

identifikasi karakteristik molekuler pada pengobatan  astrositoma. Namun demikian hal ini 

masih sulit diterapkan secara komprehensif terutama di negara berkembang seperti Indonesia. 

Apabila fasilitas pelayanan kesehatan di Indonesia memiliki sarana dan prasaran untuk 

melakukan pemeriksaan molekuler maka yang perlu dilakukan mencakup identifikasi mutasi 

gen isocytrate dehydrogenase (IDH), identifikasi status metilasi MGMT (menentukan 

sensitivitas terhadap kemoterapi Temozolomide dan  ko-delesi kromosom 1p dan 19q). 


 

3.2.2.5. Terapi 

Astrositoma yang ganas bersifat incurable, dan tujuan utama pengobatan yaitu  untuk 

memperbaiki gangguan neurologis (seperti fungsi kognitif) dan memperpanjang kelangsungan 

hidup penderita. Pengobatan simptomatis, rehabilitasi, dan dukungan psikologis sangat penting. 

Pemberian steroid umumnya akan memberikan hasil yang membaik sebab  pengurangan efek 

massa tumor yang didan i edema sekitar tumor.(108) 

Modalitas terapi astrocytoma meliputi pembedahan, radioterapi, dan kemoterapi. 

Pemilihan modalitas terapi ditentukan oleh jenis histopatologis tumor. Jenis histopatologis 

tumor dapat diperkirakan dari gambaran imaging dan dikonfirmasi dengan pemeriksaan 

histopatologis. Pemilihan modalitas terapi juga ditentukan oleh karakteritstik molekuler 

astrositoma, antara lain status mutasi gen IDH, ko-delesi promotor 1p19q dan status metilasi 

MGMT.

 

3.2.2.5.1. Medikamentosa 

Antikonvulsan harus diberikan pada pasien dengan glioma sesudah  kejang pertama. 

Terapi obat antiepilepsi (OAE) profilaksis tidak direkomendasikan pada pasien yang tidak ada 

riwayat kejang sebelumnya. OAE profilaksis diberikan pada pasien yang menjalani 

kraniotomi, dan dapat diturunkan bertahap 1-2 minggu sesudah nya, namun masih 

menimbulkan perdebatan.(110)  Pada saat pemilihan OAE, adanya potensi interaksi antara OAE 

dengan agen kemoterapi perlu dipertimbangkan. Demikian pula OAE yang menginduksi 

enzim sitokrom P450, seperti fenitoin dan karbamazepin, dapat meningkatkan metabolisme 

agen kemoterapi di hepar, sehingga bisa menurunkan efikasi obat ini . (111)  

Fenitoin merupakan OAE yang sering dipakai  sebagai generasi awal untuk glioma. 

Namun fenitoin memiliki daya ikat terhadap protein yang tinggi, sehingga dapat menggantikan 

obat yang lain.(112) Fenitoin juga menginduksi metabolisme deksametason di hepar, sehingga 

menurunkan waktu paruh dan bioavailabilitas deksametason secara menonjol . (13) 

Deksametason dianjurkan pada pasien dengan gejala peningkatan tekanan intrakranial 

atau defisit neurologis akibat edema peritumoral. Dosis awal yaitu  bolus 10-20 mg 

dilanjutkan dengan dosis 16 mg per hari bisa ditingkatkan sampai 100 mg/hari dibagi dalam 

2-4 kali. (100, 113) Dosis yang lebih rendah (4-8 mg per hari) dapat diberikan pada pasien dengan 

gejala yang ringan. PPI (Proton Pump Inhibitor) dapat diberikan pada pasien yang menerima 

kortikosteroid dengan dosis 40 mg/hari, memiliki riwayat atau adanya gejala ulkus peptikum, 

berupa golongan penghambat H2, seperti ranitidin dosis 6,25 mg/jam infus kontinyu, atau 50 

mg i.v setiap 6- 8 jam. (10, 111)  

Pada pasien yang menerima steroid jangka panjang memerlukan pemantauan kadar 

glukosa darah,(110) profilaksis PJP (pneumocystis jirovecci pneumonia), misalnya dengan 

kotrimoksazole 960 mg 3 hari/minggu, dan  profilaksis osetoporosis berupa kalsium dan 

vitamin D atau bifosfonat. Kortikosteroid perlu diturunkan bertahap (tappering off) ke dosis 

serendah mungkin untuk menghindari efek samping.(111) Oleh sebab  deksametason memiliki 

lama kerja yang panjang, maka penurunan dosis kira-kira sesudah  empat hari. Pada pasien 

dengan kondisi klinis yang baik, obat dapat diturunkan  hingga 50 % sesudah  empat hari.

 

3.2.2.5.2. Pembedahan 

Pembedahan pada astrositoma memiliki tujuan memperbaiki klinis, dan diagnosa  

patologi anatomi. Bila memungkinkan dapat dilakukan reseksi maksimal yang aman dengan 

preservasi neurologis.(108) 

Awake craniotomy (AC) seringkali dilakukan pada pasien GBM, memungkinkan ahli 

bedah untuk memantau dan bergantung pada fungsionalitas pasien saat  pasien terjaga, dan 

dengan demikian meningkatkan tingkat fungsionalitas pasien saat  pasien terjaga, dan 

dengan demikian meningkatkan tingkat reseksi. Pasien yang ditangani dengan AC memiliki 

reseksi total yang lebih luas, dan  peningkatan status fungsional pasca operasi dan penurunan 

mortalitas pasca operasi pada anestesi umum (GA) untuk reseksi glioma. AC dilakukan pada 

reseksi tumor untuk yang melibatkan eloquent area yakni kortical dan subkortikal sehingga 

dapat menghindari kerusakan jaringan otak yang mewakili bahasa atau pergerakan pasien. 

Pada total reseksi 95-100% tidak ada perbedaan bermakna antara keduanya. (108) 

Tindakan microsurgical resection yang sesuai dengan lokasi glioma, reseksi maksimal 

tumor dapat dicapai dengan perlindungan fungsi neurologis. Di antara 113 pasien dengan 

tindak lanjut jangka panjang (>5 tahun), tingkat ketahanan hidup 5 tahun pasien astrositoma 


low grade, dan astrositoma high grade yaitu  75,4% (52/69), dan 18,2% (8/44).(109)  

Reseksi total merupakan kunci yang memengaruhi perkembangan dan kelangsungan 

hidup pasien dengan high grade glioma dan lebih dapat tercapai dengan pembedahan dengan 

dipandu iMRI dalam kombinasi dengan 5-ALA, sehingga meningkatkan reseksi tumor.(114, 115) 

Pemantauan intraoperatif dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya cedera saat operasi yang 

dapat memberikan luaran lebih baik.(10) 

Reseksi maksimal yang aman direkomendasikan pada pasien dengan peningkatan 

tekanan intrakranial, kejang tidak terkontrol atau adanya progresifitas klinis atau radiologis. 

Pada pasien dengan low grade glioma reseksi tumor awal secara keseluruhan memiliki tingkat 

survival rate lebih tinggi dibandingkan dengan tindakan biopsi dan observasi progresivitas. 

Pasien dengan anaplastik oligodendroglima sebaiknya dilakukan reseksi radikal.(108)

 

Khususnya glioblastoma multiforme, pembedahan dilakukan untuk mengurangi massa tumor 

(debulking) dan diagnosa patologi anatomi. Reseksi luas sesudah  biopsi awal bergantung 

kepada pertimbangan lokasi dan faktor-faktor lainnya.(106)

 

pemakaian  ICG (indocyanine green)  dapat dilakukan untuk membantu monitoring 

tindakan reseksi maksimal pada high grade glioma. Pewarnaan yang dipakai  yakni 

fluorescence-guided surgery (FGS) menunjukkan 100% spesifisitas dan 85 % sensitivitas pada 

tindakan reseksi tumor yang memakai  5-aminolevulinic acid-induced porphyrin 

fluorescence (5-ALA-PpIX).(106) pemakaian  intraoperative MRI (iMRI) secara menonjol  

meningkatkan pencapaian reseksi tumor (gross total resection) yang merupakan factor 

prognostic positif untuk tingkat ketahanan hidup.(116) 

 

3.2.2.5.3. Kemoterapi  

Klasifikasi WHO menentukan tumor berdasar  sel asalnya (astrosit atau 

oligodendrosit), dan membagi menjadi beberapa tingkatan. Sehingga pemberian terapi 

kemoterapi juga akan mengikuti klasifikasi ini . dipakai  beberapa jenis kemoterapi 

ajuvandan  temozolomide. Ajuvankemoterapi yang dipakai  yakni procarbine (hari 8-21 

sebesar 60 mg/m

2

, PO), CCNU lomustine (hari 1 sebesar 110mg/m

2

, PO), dan vinkristin (hari 

8-29 sebesar 1,4 mg/m

2 IV). (108) 

 

1. Low Grade Glioma 

Level I evidence yang mendukung pemakaian  ajuvankemoterapi yang mengikuti 

radioterapi. Pada low grade glioma dengan risiko tinggi yakni usia lebih dari 40 tahun dan atau 

pasien dengan reseksi subtotal, jika diberikan ajuvankemoterapi (PCV, vinkristin, atau 

limostine) selama 6 siklus dan radioterapi (54 Gy) dapat meningkatkan survival rate hingga 

10,4 tahun. 

Level III evidence pada low grade glioma yang memiliki 3 faktor risiko terjadinya 

rekurensi (umur >40 tahun, histologi astrocytoma, tumor bihemisferik, diameter tumor >6 cm, 

fungsi status neurologis preoperasi >1) jika diberikan radiasi 54 Gy yang dibarengi dengan 

pemberian temozolomide (TMZ) harian diikuti bulanan akan meningkatkan 3- years survival 

rate menjadi 75%, dibandingkan dengan tanpa pemberian TMZ peningkatan survival rate-nya 

sebesar 54%. (117) 

Salah satu opsi yang diberikan kepada pasien berdasar  klinis dan faktor molekuler 

yaitu  memulai kemoterapi dan menunda radioterapi, hingga respons kemoterapi dapat 

ditentukan. Pemberian TMZ (75 mg/m

2 sekali sehari selama 21 hari, diulang setiap 23 hari, 

hingga maksimal 12 siklus) tanpa radioterapi tidak terdapat perbedaan yang menonjol  dengan 

pemberian radioterapi saja (50,4 Gy). (117) 

Pemberian kemoterapi dengan TMZ ditawarkan pada pasien dengan tumor yang 

progresif yang menunjukkan kombinasi hilangnya 1p/19q. (108, 114) 

 

2. High grade glioma 

Kemoterapi pada masalah  tumor otak ganas saat ini sudah banyak dipakai  sebab  dapat 

memperpanjang angka kesintasan. Pada glioblastoma concomitant dan adjuvant kemoterapi 

TMZ sebagai tambahan untuk radioterapi secara menonjol  meningkatkan survival rate 2 dan 

5 tahun pada penelitian randomized trial yang besar, dan  sebagai standar terapi pasien 

dengan GBM dengan usia hingga 70 tahun, atau pasien sehat usia tua di atas 70 tahun dengan 

kondisi klinis yang baik. TMZ diberikan dengan dosis 75 mg/m2 selama 6 minggu (selama radioterapi). 

sesudah  radioterapi selesai pemberian Temozolomide dilanjutkan dengan dosis 150-200 mg/m2 pada hari 1-

5 siklus 28 hari selama 6 kali. Hasil lebih baik pada harapan hidup sampai dua tahun pada pasien dengan 

 

 

59 

 

status metilasi promotor MGMT yang positif dibanding yang tidak (49% dan 15%) .(106, 118) 

Pada astrositoma anaplastik sesudah  follow up selama 10 tahun pemakaian  neo 

adjuvant kemoterapi PCV (procarbazine, lomustine, and vinkristin), didapatkan manfaat 

secara prognostik terutama pada subgrup pasien (ko-delesi dari 1p/19q). Tidak terdapat 

perbedaan yang besar efektivitas antara PCV atau TMZ sebagai modalitas kemoterapi. (106) 

 

3.2.2.5.4. Targeted therapy 

Glioblastoma merupakan tipe yang bersifat kemoresisten, namun berkembang 

penelitian mengenai kegunaan temozolomide dan nimotuzumab pada glioblastoma. (106) Terapi 

molekular tertarget (targeted molecular therapy), seperti nimotuzumab sebagai anti-EGFR 

(epidermal growth factor receptor) dan anti-VEGF (vascular endothelial growth factor) 

selektif. Efek samping yang muncul dalam pemberian obat terapi target jauh lebih ringan 

dibandingkan obat kemoterapi konvensional. (119) 

 

3.2.2.5.5. Imunoterapi  

Imunoterapi dapat dipertimbangkan sebagai terapi baru untuk terapi pada pasien 

dengan glioblastoma.

(49) Imunoterapi yaitu  salah satu modalitas terapi yang menjanjikan 

sebab  dapat secara spesifik bekerja pada sel tumor yang menjadi target. Uji klinis fase I/II 

telah dilakukan untuk imunoterapi adoptif dan aktif memakai  lympokhine-activated killer 

cells, sel T sitotoksik, tumor infiltrating lymphocytes, sel tumor autolog, dan sel dendritik. (113, 

116) 

Pada imunoterapi adoptif, dilakukan pemberian sel imun yang diaktivasi secara ex vivo, 

melalui intravena atau langsung ke tumor. Sel imun yang dipakai  dapat berupa lymphokine- 

activated killer cells atau sel T sitotoksik. Sementara itu, prinsip imunoterapi aktif yaitu  

menstimulasi respons imun dengan cara memberikan sel tumor aktif atau bagian-bagian dari 

sel ini , misalnya protein tumor dan peptida dari molekul MHC (major histocompatibility 

complex) kelas I. (113, 116) 

 

 

 

60 

 

3.2.2.5.6. Radioterapi 

Radioterapi memiliki banyak peranan pada berbagai jenis tumor otak ganas. Radioterapi 

diberikan pada pasien dengan keadaan inoperabel, sebagai ajuvanpascaoperasi, atau pada masalah  

rekuren yang sebelumnya telah dilakukan tindakan operasi. Pada dasarnya teknik radioterapi 

yang dipakai yaitu  3D conformal radiotherapy, namun teknik lain dapat juga dipakai  untuk 

pasien tertentu seperti stereotactic radiosurgery/radiotherapy, IMRT (intensity modulated 

radiation therapy), VMAT (volumetric modulated arc therapy), dan tomoterapi.(120) 

Pada glioma derajat rendah (derajat I dan II), volume tumor ditentukan dengan 

memakai  pencitraan pra- dan pascaoperasi, memakai  MRI (T2 dan FLAIR) untuk 

menentukan gross tumor volume (GTV). Clinical target volume (CTV) = GTV ditambah 

margin 1-2 cm, radiasi diberikan dengan dosis 45-60 Gy dengan 1,8 – 2 Gy/fraksi. (120) 

Pada glioma derajat tinggi (derajat III dan IV) volume tumor ditentukan memakai  

pencitraan pra dan pascaoperasi, memakai  MRI (T1 dengan kontras dan FLAIR/T2) untuk 

menentukan gross tumor volume (GTV). CTV ditentukan sebagai GTV ditambah 2-3 cm untuk 

mencakup infiltrasi tumor yang subDiagnosa . (120) 

Pada glioma derajat tinggi, lapangan radiasi dibagi menjadi 2 fase. Dosis yang 

direkomendasikan yaitu  60 Gy dengan 2 Gy/fraksi atau 59,4 Gy dengan 1,8 Gy/fraksi, dosis 

yang sedikit lebih kecil seperti 55,8–59,4 Gy dengan 1,8 Gy/fraksi atau 57 Gy dengan 1,9 

Gy/fraksi dapat dilakukan jika volume tumor terlalu besar (gliomatosis) atau untuk astrositoma 

grade III. (120) 

GTV dapat sangat baik ditentukan memakai  gambaran MRI pre-dan pasca operasi 

dengan sekuense T1 dengan kontras dan FLAIR/T2. Untuk mencakup infiltrasi sub Diagnosa , 

GTV diperluas 1-2cm (CTV) untuk derajat I / II, dan hingga 2-3 cm (CTV) untuk derajat III / 

IV. Walaupun pada GBM biasanya memakai  ekspansi CTV dalam rentang 2 cm, ekspansi 

CTV yang lebih kecil juga dapat dipertimbangkan pada keadaan tertentu. PTV dengan batas 3-

5 mm ditambahkan ke CTV untuk memperhitungkan kesalahan set up harian dan 

ketidaksesuaian pada registrasi gambar. Verifikasi harian dibutuhkan jika ekspansi PTV yang 

lebih kecil dipakai . Apabila edema yang dinilai memakai  T2/FLAIR dan dimasukkan 

sebagai target radiasi pada fase awal radioterapi, maka area ini  biasanya dikurangi untuk 

fase akhir radioterapi (fase boost). Volume target boost hanya akan meliputi residu tumor dan 

 

 

61 

 

rongga reseksi. Startegi ini  agar menghasilkan outcome yang baik. Dosis yang 

direkomendasikan yaitu  60Gy pada 2,0 Gy per fraksi atau 59,4 gy pada 1,8 Gy per fraksi. 

Dosis yang sedikit lebih rendah, seperti 55,8-59,4 Gy pada 1,8 Gy per fraksi atau 57 Gy pada 

1,9Gy per fraksi, dapat dipakai  saat  volume tumor sangat besar (gliomatosis) atau untuk 

astrositoma derajat 3. Jika memakai  radioterapi 2 fase, maka, target volume radiasi pada 

fase awal akan menerima 46 Gy dengan 2 Gy per fraksi atau 45-50.4Gy dengan 1,8 Gy per 

fraksi. Untuk fase akhir atau fase boost akan menerima 14 Gy dalam 2 Gy per fraksi atau 9-

14,4 Gy dalam 1,8 Gy per fraksi. Pada pasien dengan kondisi yang kurang baik atau orang 

lanjut usia radioterapi hipofraksi terakselerasi dapat dipertimbangkan dengan tujuan untuk 

menyelesaikan pengobatan dalam 2-4 minggu. Jadwal fraksinasi yang umum yaitu  

34Gy/10fx, 40,05 Gy/15 fx, atau 50 Gy/20 Fx. Pilihan lain jadwal fraksinasi yang lebih pendek 

dari 25 Gy/5fx mungkin dapat dipertimbangkan untuk orang tua dan/atau pasien lemah dan 

pengobatan agresif mungkin tidak dapat ditoleransi oleh tubuhnya. Pada masalah  kekambuhan 

yang memerlukan reiradiasi, dianjurkan diberikan dengan teknik IMRT, SRT atau SRS. Dosis 

terapi dan dosis toleransi jaringan sehat disesuaikan dengan dosis radiasi sebelumnya dan 

rentang waktu dengan radiasi sebelumnya.(120)  

3.2.2.6. Komplikasi 

Terdapat beberapa komplikasi yang muncul dari pembedahan yang dilakukan sebagai 

pilihan awal terapi. Komplikasi yang paling sering ditemukan yaitu  stroke iatrogenik. Pada 

stroke iatrogenik, terjadi lesi iskemik pasca dilakukan operasi, yang lalu  memicu  

defisit neurologis.(114, 115, 117) Defisit neurologis yang terjadi dapat berupa gangguan kognitif, 

defisit motorik, defisit visual-perseptual, gangguan sensoris, dan defisit nervus kranialis. 

Defisit neurologis ini  umumnya terjadi sesuai dengan lokasi tumor, komplikasi 

perdarahan dan meningitis pasca operasi juga dapat terjadi.(121-125) 

Terjadinya komplikasi pembedahan dapat memicu  memanjangnya durasi rawatan 

dan menjadi beban ekonomi bagi pasien.(126) Komplikasi juga diketahui meningkatkan angka 

mortalitas. Kemoterapi pada pasien astrositoma dapat memicu  komplikasi drug-induced 

liver injury.(120) Radioterapi dapat memicu  komplikasi gangguan hematologi, mual, 

muntah, dan radionekrosis pada parenkim otak.(26, 120) 

3.2.2.7. Prognosis 

 

 

62 

 

Angka harapan hidup pasien astrositoma bergantung pada tipe tumornya, semakin 

rendah golongan tumornya maka akan semakin tinggi angka harapan hidupnya.

(127) Secara 

statistika dalam 5 tahun pada low grade astrositoma yaitu  30-40%, sedang  untuk 

astrositoma anaplastik yaitu  25% dan Glioblastoma multiforme median survival-nya kurang 

dari 2 tahun.(98, 128-132) Guideline NCCN merekomendasikan observasi pasien glioblastoma 

dengan MRI otak 2-6 bulan pascaradioterapi, diteruskan setiap 2-4 bulan selama 3 tahun, dan 

setiap 6 bulan sesudah nya.

 (118) 

3.2.2.8. Guideline NCCN 

 

 

  

 

 

63 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

64 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

65 

 

3.2.3. Adenoma Hipofisis 

3.2.3.1. Definisi dan Patogenesis  

Adenoma hipofisis merupakan tumor jinak dengan pertumbuhan yang lambat, yang 

berasal dari sel kelenjar hipofisis. Penyebab tumor hipofisis belum diketahui sepenuhnya. 

Sebagian besar diduga tumor hipofisis hasil dari perubahan pada DNA dari satu sel, 

memicu  pertumbuhan sel yang tidak terkendali. Penyebab lain yang lebih jarang yaitu  

sindroma neoplasia endokrin multipel tipe I akibat cacat genetik. 

Kemajuan biologi molekuler membuktikan tumor ini berasal dari monoklonal, yang 

timbul dari mutasi sel tunggal diikuti oleh ekspansi klonal. Neoplasia hipofisis merupakan 

proses bertingkat yang meliputi disregulasi pertumbuhan sel atau proliferasi, diferensiasi dan 

produksi hormon. Ini terjadi sebagai hasil pengaktifan fungsi onkogen dan penonaktifan gen 

supresor tumor. Peran onkogen sangat penting sebab  perubahan allel tunggal dapat 

memicu  perubahan fungsi seluler. (132-134) Gen supresor tumor dapat dinonaktifkan bila 

mutasi terjadi pada kedua allel (resesif), sehingga fungsi seluler terganggu. Heterogenitas cacat 

genetik ditemukan pada adenoma hipofisis sesuai dengan proses neoplasma bertingkat. 

Abnormalitas protein G, penurunan ekspresi protein nm23, mutasi gen Ras, delesi gen p53, 14q, 

dan kadar onkogen c-myc tinggi memicu  pertumbuhan adenoma hipofisis. (132-

134)Pertumbuhan progenitor adenoma hipofisis dianggap berasal dari sel berdiferensiasi. Selain 

itu, mutasi umum dari onkogen dan gen supresor tumor, hadir dalam neoplasma nonendokrin, 

seperti PKC (Protein Kinase C), Ras, p53, dan Rb, biasanya tidak ada pada adenoma hipofisis. 

MicroRNA (miRNAs) dan long noncoding RNAs (lncRNAs) memiliki peran mendasar dalam 

patogenesis adenoma hipofisis.(135) 

Penelitian in vitro membuktikan peranan estrogen dalam menginduksi terjadinya 

hiperplasia hipofisis dan replikasi laktotrof. Pituitary tumor transforming gene (PTTG) akibat 

stimulasi estrogen terbukti memicu  transformasi aktivitas seluler dan menginduksi sekresi 

dasar basic Fibroblast Growth Factor (bFGF), sehingga memodulasi angiogenesis hipofisis dan 

pembentukan tumor.(132-134) 

Tumor hipofisis dapat bersifat sekunder akibat anak sebar tumor (metastasis) dari 

tempat lain. Kanker payudara pada perempuan dan kanker paru-paru pada laki-laki merupakan 

kanker yang paling umum untuk menyebar ke kelenjar hipofisis. Kanker lainnya yang 

 

 

66 

 

menyebar ke kelenjar hipofisis termasuk kanker ginjal, kanker prostat, melanoma, dan kanker 

saluran cerna. (132-134) 

 

3.2.3.2. Klasifikasi Adenoma Hipofisis  

3.2.3.2.1. Klasifikasi Adenoma Hipofisis berdasar  Produksi Hormon 

Adenoma hipofisis dapat digolongkan berdasar  produk sekretorinya, yaitu(136) : 

a. Adenoma fungsional yaitu  etiologi tersering adenoma hipofisis. Tumor bergejala pada tahap 

lebih awal sebab  efek fisiologis hormon yang disekresikan.  

b. Adenoma non-fungsional. Pertumbuhan tumor dipicu  oleh pertumbuhan sel bukan 

pensekresi hormon. Gejala yang timbul dipicu  oleh penekanan struktur sekitar, seperti 

nervus optikus, khiasma optikum, dan hipotalamus. 

 

3.2.3.2.2. Klasifikasi Adenoma Hipofisis berdasar  Ukuran 

 berdasar  ukurannya, adenoma hipofisis terbagi menjadi: (133, 136, 137) 

a. Mikroadenoma. Tumor berukuran kurang dari 1 cm, berada dalam sela tursica, dan belum 

menginvasi struktur yang berdekatan, seperti sinus sphenoid dan sinus kavernosus. Namun, 

sekitar 50% tumor sering terdiagnosa  dini pada ukuran <5 mm akibat endokrinopati.  

b. Makroadenoma. Tumor berukuran lebih dari 1 cm, bisanya sudah meluas dari sela tursica, 

dan sudah menginvasi struktur yang berdekatan. Gejala dipicu  oleh efek kompresi 

tumor, seperti bitemporal hemianopsia dan gangguan endokrin baik hipersekresi atau 

hiposekresi hormonal. 

 

3.2.3.3. Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik 

3.2.3.3.1. Manifestasi Klinis Adenoma Hipofisis Non-fungsional 

1. Nyeri kepala 

Adenoma hipofisis cenderung bertambah besar sebelum terdeteksi. Nyeri kepala 

yaitu  salah satu gejala yang tidak spesifik pada adenoma hipofisis non-fungsional. 

akibat penekanan tumor hipofisis pada struktur peka nyeri di sekitar. (133, 136, 137) 

 

 

67 

 

2. Defisit lapang pandang.  

Penekanan tumor pada khiasma optikum memicu  perubahan lapang pandang 

baik yang dapat disadari oleh pasien sendiri atau tidak. Lapang pandang dapat 

dipetakan dengan pemeriksaan lapang pandang Humphrey. Lokasi khiasma 

optikum terhadap sela tursica menimbulkan variasi gejala klinis, yaitu 78% berada 

tepat di atas sela, 5% di depan sela (pre-fixed), dan 17% di belakang sela (post–

fixed).(133) 

Gejala yang muncul dapat berupa(133-136): 

 Penekanan tepat di khiasma optikum (sentral), gejala yang muncul yaitu  

hemianopsia bitemporal.  

 Penekanan nervus optikus (Post-fixed chiasm). Khiasma optikum berada di 

belakang, yaitu dekat dorsum sela. Massa tumor memicu  kompresi pada 

nervus optikus segmen luar superior yang melibatkan knee of Wilbrand bagian 

anterior, sehingga menimbulkan quadrantanopsia kontralateral atau junctional 

scotoma (pie in the sky defect).  

 Penekanan traktus optikus (pre-fixed chiasm). Lokasi khiasma optikum berada 

di depan memicu  tumor menekan traktur optikus, sehingga defisit lapang 

pandang yang ditemukan yaitu  hemianopsia homonim. 

3. Sindroma sinus kavernosus.  

Tumor yang meluas ke sinus kavernosus akan memicu  kelumpuhan pada nervus 

okulomotor, trokelaris, abdusens, trigeminus cabang oftlamika dan maksilaris (III, IV, 

VI, V1, V2), sehingga bergejala sebagai ptosis, diplopia, dan gangguan sensorik wajah. 

Oklusi pada sinus memicu  proptosis, kemosis, dan stenosis arteri karotis interna. 

Namun, oklusi arteri karotis interna  jarang terjadi.(133, 136, 137) 

4. Gangguan hormonal.  

Tumor yang tumbuh perlahan akan memicu  gangguan fungsi hipofisis dalam 

hitungan bulan hingga tahun, yaitu:(133, 136, 137) 

a) Hipotiroidisme: intoleransi suhu dingin, myxedema, rambut yang kasar 

b) Hipoadrenalisme; hipotensi ortostatik, cepat lelah 

 

 

68 

 

c) Hipogonadisme: amenorrhea (perempuan), kehilangan libido dan kesuburan 

d) Diabetes insipidus: poliuria 

 

3.2.3.3.2. Manifestasi Klinis Adenoma Fungsional 

Sebanyak 65% masalah  adenoma hipofisis merupakan jenis yang mengeluarkan hormon 

aktif, yaitu 48% prolaktin, 10% hormon pertumbuhan (growth hormone, GH), 6% 

adrenocorticotropic hormone (ACTH), dan 1% thyroid stimulating hormone (TSH).(126) Gejala 

yang timbul tergantung pada jenis hormon yang disekresikan, yaitu  

a. Adenoma Pensekresi Prolaktin.(133, 136, 137) 

 Hiperprolaktinemia pada wanita memicu  gejala amenorrhea, galactorrhea, 

kemandulan, dan osteoporosis. 

 Dalam prevalensi yang jarang, laki-laki dapat mengalami impotensi dan penurunan gairah 

seksual.  

b. Adenoma Pensekresi Hormon Pertumbuhan (GH). (133, 136, 137) 

Gejala timbul secara perlahan sebab  peningkatan kadar GH dalam jangka panjang. Gejala 

pada tahap dini berupa pertambahan ukuran sepatu dan baju, viseromegali, muka yang kasar 

dan skin tags (hiperplasia fibrosa pada jaringan kutis dan subkutis di jari-jari, bibir, telinga 

dan lidah). Pada tahap lanjut, terjadi perubahan struktur jaringan lunak dan otot rangka, 

kardiomiopati, peningkatan risiko keganasan kolon, hingga gigantisme bila terjadi pada anak 

prapubertas (sebelum penutupan lempeng epifisis).  

c. Adenoma Pensekresi Glikoprotein (TSH, FSH, LH).(26, 124, 127)  

Tumor jenis ini tidak memberikan gejala yang spesifik sehubungan dengan hormon yang 

disekresikan, tetapi ditemukan sesudah memberikan efek kompresi pada struktur 

didekatnya, seperti khiasma optikum atau tangkai hipofisis. Hipertiroidisme akibat adenoma 

pensekresi TSH berbeda dengan penyakit Graves. Terdapat resistensi hormonal pada 

penyakit Graves yang memicu  terjadinya hipersekresi TSH. Gejala yang timbul berupa 

rasa cemas, palpitasi, intoleransi terhadap suhu panas, hiperhidrosis, dan penurunan berat 

badan meskipun asupan makanan normal atau meningkat. Tanda lain meliputi hiperaktif, 

takikardia, ritme irreguler akibat fibrilasi atrium, hiper-refleksia, dan tremor. Selain itu, 

 

 

69 

 

tanda lain yang hanya ditemukan pada penyakit Graves yaitu  goiter, eksoftalmus, dan 

displasia epífisis punktata. Gejala penyerta hipertiroidisme akibat adenoma pensekresi TSH 

yaitu  jenis kelamin perempuan lebih sering, gangguan lapang pandang, edema pretibial, 

dan kadar thyroid stimulating immunoglobulin serum yang rendah. 

d. Adenoma Pensekresi Adrenocorticotropic Hormone (ACTH).(133, 136, 137) 

Tumor biasanya dijumpai pada perempuan usia 40 tahun. Gejala yang muncul yaitu  

obesitas trunkal, hipertensi, hirsutisme, hiperpigmentasi, diabetes atau intolerasi glukosa, 

amenorrhea, acne, striae abdominal, buffallo hump, dan moon facies. Kelainan 

endokrinologik yang berat ini sudah timbul sejak tahap awal tumor. Lebih dari 50% pasien 

dengan penyakit Cushing memiliki tumor hipofisis berdiameter <5 mm, sehingga sulit 

terlihat pada foto CT Scan  atau MRI. Namun, hanya 10% masalah  dengan ukuran cukup besar 

yang memicu  pembesaran sela tursica, defisit lapang pandang, kompresi nervus 

kranialis, dan hipopituitarisme. 

3.2.3.4. Pemeriksaan Penunjang  

3.2.3.4.1. Pemeriksaan Laboratorium 

3.2.3.4.1.1. Adenoma Pensekresi Prolaktin (Prolaktinoma) 

Kadar prolaktin ditemukan meningkat ataupun sangat meningkat.(138) Nilai prolaktin 

serum yang melebihi 150 ng/ml berkorelasi kuat dengan kejadian prolaktinoma. Kadar normal 

prolaktin yaitu  3–30 ng/mL pada perempuan dewasa muda, 10–400ng/mL pada ibu hamil, 

dan 2–20 ng/mL pada perempuan menopause. Elevasi prolaktin serum dikatakan sedang bila 

kadarnya berada di antara 25–150 ng/mL dan elevasi menonjol  jika lebih dari 150 ng/mL. 

Peningkatan kadar prolaktin yang sedikit, yaitu kurang dari 90ng/mL, dipicu  oleh 

gangguan tangkai hipofisis (stalk effect). Kadar prolaktin antara 25–150ng/mL dipicu  oleh 

kompresi tangkai hipofisis, sehingga pengaruh inhibisi dopamin berkurang. Stalk effect dapat 

pula terjadi akibat trauma hipothalamus dan trauma tangkai hipofisis saat pembedahan.  (133, 136, 

137) 

3.2.3.4.1.2. Adenoma Pensekresi Growth Hormone (GH)  

Pengukuran kadar hormon pertumbuhan pada adenoma hipofisis tidak memberikan 

informasi tambahan sebab  pola sekresi hormon yang diurnal. Kadar basal GH normal yaitu  

<1 ng/mL dan kadar basal saat puasa yaitu  <5 ng/mL. Pasien dengan akromegali dapat 

 

 

70 

 

memiliki kadar GH >10 ng/ml atau normal. Level hormon basal yang normal tidak dapat 

diandalkan untuk menentukan nilai normal atau defisiensi. Nilai puncak GH serum yaitu  50 

ng/mL. Pasien dengan akromegali dapat memiliki kadar GH yang rendah.(139) 

Tes Toleransi Glukosa (TTG) dengan pemberian glukosa oral 100 gram bertujuan untuk 

menekan kadar GH hingga <2 ng/mL. Kegagalan penekanan ini menunjukkan adanya 

hipersekresi GH. Pemberian growth-hormone releasing factor (GRF) atau Thyrotropin 

Releasing Hormone (TRH) secara intravena akan meningkatkan kadar GH pada adenoma 

hipofisis. sesudah  memastikan ada hipersekresi GH, tindakan lalu  yaitu  menentukan 

etiologi dengan foto MRI kepala dengan kontras. Jika hasil MRI tidak dijumpai adenoma 

hipofisis, klinisi harus mencari sumber ektopik lain.(26, 125, 127) Pemeriksaan laboratorium yang 

menunjang yaitu  Insulin Like Growth Factor-1 (IGF-1) yang merupakan penanda integratif 

sekresi GH rerata yang sangat baik. Kadar normal tergantung pada usia (memuncak saat 

pubertas) dan jenis kelamin. Pengukuran lain yang dapat dipercaya yaitu  somatomedin C 

sebab  kadarnya konstan dan meningkat pada akromegali, yaitu 6,8 U/mL. Penurunan kadar 

ini  dijumpai pada hipopituitarisme.(140) Kadar normal somatomedin C yaitu  0,67 

U/mL.(141, 142) 

3.2.3.4.1.3. Adenoma Pensekresi Glikoprotein (TSH, FSH, LH) 

1. Pemeriksaan kadar alfa subaraknoid 

Hormon Thyroid Stimulating Hormone (TSH), Luteinizing Hormone (LH), dan 

Follicle Stimulating Hormone (FSH) terdiri atas subunit alfa dan beta subaraknoid. Ketiga 

hormon terssebut memiliki unit alfa subaraknoid yang sama, tetapi berbeda untuk unit beta. 

Keduanya dapat diukur dengan teknik immunohistokimia. Unit alfa subaraknoid 

ditemukan meningkat pada adenoma pensekresi glikoprotein walaupun juga dapat 

dijumpai pada 22% masalah  adenoma non–fungsional. Hingga 33% tumor pensekresi TSH 

yaitu  non-sekretorik. Banyak masalah  dilaporkan tumor bersifat plurihormonal, tetapi 

hormon sekunder tidak menunjukkan gejala klinis. Sebagian besar tumor ini bersifat agresif 

dan invasif, sehingga menimbulkan efek massa.(143) Pencitraan MRI kontras dengan 

gadolinium tidak dapat membedakan adenoma yang satu dengan yang lain.  (133, 136, 

137)Pemeriksaan laboratorium lain yang membantu yaitu  pengukuran kadar gonadotropin 

(FSH, LH) dan hormon seks, yaitu estradiol pada perempuan dan testosteron pada laki-

 

 

71 

 

laki. Penurunan kadar ini  terdapat pada hipogonadotropik akibat penekanan kelenjar 

hipofisis. Sebaliknya, peningkatan kadar ini  terdapat pada adenoma pensekresi 

gonadotropin (FSH, LH).(144, 145) 

2. Pemeriksaan kadar T4 bebas dan TSH 

Penurunan kadar hormon T4 dan peningkatan kadar hormon TSH didapatkan pada 

hipotiroidisme primer. Terputusnya umpan balik negatif hormon tiroid memicu  

peningkatan pelepasan TSH dari hipotalamus, sehingga memicu  hiperplasia 

sekunder sel tirotropik di adenohipofisis. Penurunan kadar hormon T4 dan penurunan 

kadar hormon TSH ataupun normal didapatkan pada hipotiroidisme sekunder.(127, 137-149) 

Hipotiroidisme sentral yaitu  penyebab hipotiroidisme yang jarang, yaitu 1:16.000 hingga 

1:120.000 individu.(143) Sekitar 23% pasien dengan adenoma kromofob mengalami 

hipotiroidisme sekunder jika tidak diobati (penurunan TSH akibat kompresi hipofisis). 

Peningkatan kadar hormon T4 dan penurunan kadar hormon TSH didapatkan pada 

hipertiroidisme primer. Etiologi tersering yaitu  nodul tiroid lokal hiperaktif atau 

hiperplasia tiroid difus (penyakit Graves). Adenoma pensekresi TSH memiliki peningkatan 

kadar hormon T4 dan peningkatan kadar hormon TSH. (137, 141, 144, 149)  

3.2.3.4.1.4. Adenoma Pensekresi ACTH  

Peningkatan hormon kortisol disebut hiperkortisolisme (sindroma Cushing) dan 

penurunan hormon kortisol disebut hiperkortisolisme baik bersifat primer maupun 

sekunder.(150, 151) Secara fisiologis, Corticotropin Releasing Hormone (CRH) dari hipotalamus 

akan merangsang sekresi ACTH dari hipofisis. Peningkatan kadar ACTH akan meningkatkan 

produksi dan sekresi kortisol dari korteks adrenal dan memberikan umpan balik negatif untuk 

menurunkan ACTH.  

Stres fisik dan metabolik memicu  peningkatan kadar kortisol, sehingga 

pengukuran ACTH serum secara klinis menjadi sulit. Alternatif lain yang lebih baik yaitu  

mengukur kortisol dalam sirkulasi dan metabolitnya dalam urin dipakai  untuk melihat 

kelebihan produksi adrenal. (133, 136, 137) Sindroma Cushing dapat dikenali secara klinis dengan 

mudah, tetapi tidak mudah ditentukan etiologinya.  

Pemeriksaan laboratorium pada adenoma hipofisis fungsional yaitu  mengukur kadar 

hormon kortisol pada pukul 08.00 pagi dan kortisol bebas pada urine 24 jam. Pemeriksaan 

 

 

72 

 

berikutnya yaitu  menentukan ada tidaknya hiperkortisolisme melalui penapisan urin bebas 

kortisol 24 jam tanpa memandang etiologi. Pemeriksaan lain yaitu  tes supresi deksametason 

dosis rendah. Tes dilakukan dengan memberikan deksametason 1 mg per oral pada pukul 23.00 

dan dilakukan pemeriksaan kadar kortisol pada pukul 08.00 besok pagi. Jika kadar kortisol <1,8 

mcg/dL, sindroma Cushing dapat disingkirkan. Jika kadar kortisol yaitu  1,8–10 mcg/dL, hasil 

tidak dapat ditarik kesimpulan dan memerlukan pengujian ulang. Jika kortisol mencapai >10 

mcg/dL, sindroma Cushing yaitu  pasti.(152) 

3.2.3.4.1.5. Adenoma Non-fungsional 

Pemeriksaan laboratorium pada adenoma hipofisis non-fungsional tidak spesifik. 

Ukuran tumor yang cukup besar memicu  kompresi struktur sekitar, sehingga 

menimbulkan gangguan lapang pandang dan defisiensi hormon. (141, 142) 

3.2.3.4.2. Radiologi 

1. CT Scan 

Pencitraan dengan CT Scan dapat dipilih untuk visualisasi tumor supratentorial, dan 

pasien memiliki kontraindikasi MRI (misalnya memiliki alat pacu jantung). Angiografi 

serebral juga perlu dipertimbangkan bila ingin melihat arteri karotis interna di parasela. 

Kelemahan CT Scan yaitu  gambar yang dihasilkan kurang tajam dalam membedakan 

batas tumor dengan struktur normal sekitar. Tumor tampak sebagai massa isodens atau 

hipodens dengan edema peritumoral yang berbentuk jari (finger like edema). (153-155) 

2. MRI 

MRI merupakan foto radiologi pilihan utama untuk melihat batas tumor dan  

mendeteksi kemungkinan penyebaran tumor. Resolusi yang tinggi dan kemampuan untuk 

melihat posisi khiasma optikum yang dibutuhkan untuk memutuskan jenis operasi.(153-156) 

Selain itu, MRI dapat memberikan ada tidaknya keterlibatan sinus kavernosus dan arteri 

karotis interna parasela. Namun, hasil negatif palsu pada MRI mencapai 25–45% pada 

penyakit Cushing. Pemeriksaan MRI dinamik diperlukan untuk melihat mikroadenoma. 

Hipofisis potongan koronal dan sagittal tanpa dan dengan kontras sudah cukup untuk 

menilai makroadenoma.(157) 

 Gambaran MRI dapat berupa: 

 

 

73 

 

• T1: Biasanya isointens dibanding hipofisis normal. Bila didan i perdarahan atau 

nekrosis, dapat timbul gambaran hiperintens.  

• T1 kontras: 70–90% tumor menyerap kontras lebih lambat dibanding hipofisis normal.  

• T2: Isointens dibanding hipofisis normal. 

• GRE (Gradient-Echo): Memudahkan evaluasi perdarahan intratumoralal (apopleksi). 

• MRI Dinamik: menggambarkan karakteristik fisiologi jaringan tumor dan analisis 

pembuluh darah yang rusak oleh tumor. Kontras akan memasuki rongga ekstraseluler, 

sehingga memicu  pembuangan kontras lebih lama dibanding keadaan normal.  

 

3.2.3.5. diagnosa  

Pendekatan Diagnosa  pada adenoma hipofisis tergantung kepada gejala dan keluhan 

yang ditimbulkan oleh efek masa lokal ataupun efek endokrin. diagnosa  ini  berdasar  

pada anamnesis efek massa lokal dan efek endokrin, pemeriksaan klinis fungsi penglihatan dan 

kelainan fisik yang ditimbulkan akibat efek endokrin, pemeriksaan laboratorium kadar hormon, 

pemeriksaan radiologis, dan  patologi anatomi.(137) 

3.2.3.6. Terapi 

3.2.3.6.1. Prinsip umum terapi adenoma hipofisis 

Tujuan utama penatalaksanaan adenoma hipofisis yaitu  pemulihan fungsi hormon dan 

pengurangan ukuran tumor. Terapi tergantung pada tipe tumor hipofisis dan apakah terdapat 

perluasan ke struktur sekitar hipofisis. Tumor pensekresi hormon dapat diobati dengan operasi, 

terapi radiasi, atau dengan obat-obatan. Tujuan perawatan disesuaikan dengan aktivitas 

fungsional tumor. Tumor umumnya memiliki respons yang buruk terhadap obat-obatan, 

sehingga operasi menjadi pilihan utama.(158) 

Pengobatan adenoma hipofisis dimulai dengan koreksi elektrolit dan suplementasi 

hormon jika diperlukan. Penggantian hormon tiroid atau adrenal sangat penting. Suplementasi 

hormon steroid harus memadai dalam kondisi stres, salah satunya yaitu  periode perioperatif. 

Untuk tumor endokrin aktif, terapi agresif bertujuan untuk mengembalikan kadar hormon ke 

ambang normal dan mempertahankan fungsi hipofisis. Hal ini umumnya tercapai dengan 

pembedahan, tetapi sebagian masalah  prolaktinoma terkontrol dengan medikamentosa. Untuk 

 

 

74 

 

tumor non-sekresi, pembedahan ditujukan untuk mengurangi efek desak massa dan 

mempertahankan fungsi hipofisis. (133, 136, 137) 

 

3.2.3.6.1.1. Medikamentosa 

Analog Sandostatin merupakan terapi farmakologis utama untuk tumor pensekresi 

hormon pertumbuhan dan TSH. Octreotide dan lareotide akan mengontrol sekresi GH pada 

mayoritas pasien dengan akromegali dan pada beberapa pasien memicu  penyusutan 

tumor.(159, 160) 

Bromokriptin mampu memberikan penyusutan ringan ukuran tumor hanya pada sekitar 

20% pasien. Ini diduga akibat ekspresi reseptor dopaminergik yang rendah pada membran sel 

tumor. Octreotide mengurangi volume tumor pada sekitar 10% masalah . Kedua agen ini 

dipakai  saat pra-operasi dalam beberapa masalah  dengan harapan mengurangi ukuran tumor 

saat operasi. Bromokriptin sering dipakai  pada prolaktinoma. Agonis dopamin, quinagolide, 

bermanfaat pada masalah  relaps atau refraktor terhadap bromokriptin dengan efek samping 

minimal. Selama menunggu efek radioterapi, inhibitor produksi steroid adrenal, seperti 

mitotane dan ketokonazol, dapat diberikan. (136, 161) 

 

3.2.3.6.1.2. Pembedahan  

Pembedahan trans-sfenoid yaitu  pilihan terapi utama pada adenoma hipofisis 

berukuran besar dan memiliki efek kompresi massa. Pembedahan trans-sfenoid dapat mencapai 

tingkat kesembuhan 80-90% bila dikerjakan oleh ahli bedah hipofisis. Dengan 

mempertimbangkan tingkat keberhasilan dan aspek keselamatan, pendekatan trans-sfenoid 

merupakan prosedur terpilih untuk pengangkatan adenoma hipofisis. Sebagian besar tumor 

memiliki konsistensi lunak dan longgar, sehingga pendekatan trans-sfenoid memungkinkan 

pengangkatan tumor dengan perluasan ke suprasela. (133, 136, 137, 160, 162) 

Indikasi pembedahan pada makroadenoma hipofisis hormonal inaktif, yaitu:  

1. Efek kompresi akibat massa: defisit lapang pandang (secara klasik: bitemporal 

hemianopsia) dan panhipopituitarisme;  

 

 

75 

 

2. Beberapa ahli bedah merekomendasikan operasi untuk makroadenoma untuk memperbaiki 

fungsi khiasma optikum walaupun belum ada kelainan endokrin atau defisit lapang 

pandang;  

3. Gangguan penglihatan atau defisit neurologis lain yang akut dan cepat. Ini mencakup 

iskemia pada khiasma optikum atau infark/perdarahan tumor yang memicu  ekspansi 

(apopleksi hipofisis). Bahaya utama yaitu  kebutaan dan hipopiturarisme (dapat diatasi 

sementara dengan penggantian hormon). Defisit lapang pandang membutuhkan 

dekompresi emergensi. Beberapa ahli bedah akan mempertimbangkan pendekatan 

transkranial jika diperlukan, tetapi dekompresi trans-sfenoid biasanya lebih memuaskan;  

4. Mendapatkan jaringan untuk analisis histopatologi pada masalah  yang masih dipertanyakan;  

5. Sindroma Nelson. 

Pembedahan biasanya memiliki minimal salah satu dari empat tujuan di bawah ini, 

yaitu: pengangkatan tumor; debulking tumor multilobular besar sebelum radioterapi; 

dekompresi dari khiasma dan nervus optikus; dan  biopsi jaringan. (133, 136, 137, 160, 162) 

Pembedahan pada mikroadenoma dengan peningkatan hormon bertujuan untuk 

mengontrol kadar hormon yang tinggi. Ini hanya dapat tercapai dengan operasi pengangkatan 

tumor. Pengangkatan seluruh massa tumor makroadenoma juga merupakan tujuan utama, tetapi 

dalam praktiknya, pengangkatan lengkap tumor berukuran besar mungkin dibatasi oleh ekstensi 

lateral atau invasi sinus kavernosus atau dura. Debulking makroadenoma dengan gejala visual 

dapat memperbaiki fungsi penglihatan walaupun reseksi dilakukan tidak sempurna. Gejala 

nyeri kepala juga berkurang dengan debulking, meskipun nyeri kepala ini berhubungan dengan 

sekresi hormon pertumbuhan dari tumor. (133, 136, 137, 160, 162) 

Pilihan pendekatan operasi tergantung dari sangat tergantung dari ukuran tumor, seperti 

yang ditunjukkan klasifikasi Hardy di bawah ini.(163) 

Tabel 3.4 Klasifikasi Hardy untuk Adenoma Hipofisis.(163) 

Grade  

Invasi 

Adenoma Tertutup 

     0    Dasar sela intak dengan kontur yang normal  

     I     Dasar sella Intak dengan kontur yang normal atau sedikit membesar,tumor     

≤10 mm 

     II   Dasar sella Intak dengan sella membesar; tumor ≥10 mm  

 

 

76 

 

Adenoma Invasif 

     III    Destruksi lokal dasar sella 

     IV   Destruksi difus dasar sella 

Ekstensi 

Ekstensi Suprasella  

     A   Terbatas pada Sisterna Suprasella 

     B   Obliterasi ressesus anterior Ventrikel III  

     C   Menggeser dasar Ventrikel III  

Ekstensi Parasella 

     D   Intrakranial Intradural: fossa anterior, media, atau posterior 

     E   Ekstrakranial Extradural: di dalam atau di bawah sinus kavernosus 

 

Mikroadenoma (derajat 0 dan 1) hanya diangkat dengan pendekatan trans-sfenoidal. 

Tumor yang seluruhnya berada di sella (derajat II dan III) juga lebih baik diangkat dari bawah. 

Tumor dengan ekstensi suprasella (Kelas A, B, C, dan D) juga bisa dicapai dengan operasi 

trans-sfenoid baik untuk dekompresi khiasma optikum dan mempertahankan fungsi 

endokrin.(133, 136, 137, 160, 162) Pendekatan bedah untuk regio sella dapat dibagi menjadi tiga 

kelompok dasar, yaitu pendekatan trans-sfenoid, kraniotomi konvensional, dan pendekatan 

alternatif dasar tengkorak. (133, 136, 137, 160, 162) 

Masing-masing memiliki satu atau lebih prosedur standar dan berbagai variasi teknis 

yang memungkinkan operasi disesuaikan dengan situasi yang dihadapi. Saat ini, sebagian besar 

adenoma hipofisis dapat dicapai melalui satu atau lebih variasi pendekatan trans-sfenoid. 

Sebagian kecil membutuhkan pendekatan transkranial, yang terdiri dari baik pterional standar 

atau kraniotomi subfrontal; berbagai pendekatan dasar tengkorak; atau kombinasi keduanya.(133, 

136, 137, 160, 162) 

Prosedur pembedahan terpilih umumnya trans-sfenoid dengan teknik endoskopi/ 

mikroskopik dan transkranial. Tindakan pembedahan yang dilakukan meliputi reseksi tumor, 

dekompresi nervus optikus, atau dekompresi pembuluh darah. 

Intraoperative monitoring (IOM) untuk menilai fungsi penglihatan dapat dilakukan 

dengan penempelan elektroda di skalp daerah lobus oksipitalis untuk mendeteksi respons 

elektrik korteks visual terhadap stimulus visual.(164-168) 

Pembedahan pada masalah  adenoma hipofisis memiliki beberapa risiko, di antaranya 

yaitu  perdarahan, diabetes insipidus, dan Syndrome of Inappropriate Antidiuretic Hormone 

 

 

77 

 

(SIADH). Kunci perawatan perioperatif yaitu  dengan memahami penilaian perioperatif, 

manajemen intraoperatif yang tepat, dan  mengetahui potensi komplikasi dan terapinya. 

Penanganan diabetes insipidus selama periode intraoperatif awal yaitu  vasopressin kerja 

singkat secara subkutan dengan evaluasi berulang terhadap respons pengobatan dan 

menghindari pemberian ADH saat  terjadi fase SIADH. Pada kondisi ini, vasopressin lebih 

dipilih dibandingkan  desmopressin oleh sebab  memiliki waktu paruh yang lebih singkat.  (160, 161) 

 

3.2.3.6.1.3. Kemoterapi  

 Terapi prolaktimoma mengandalkan pemakaian  agonis reseptor dopamin seperti 

bromokriptin, cabergoline dan quinagolide. Agen agonis dopamin lain seperti lisuride dan 

terguride dan  antagonis serotonin seperti metergoline jarang dipakai . pemakaian  agonis 

dopamin secara klinis dihubungkan dengan penurunan ukuran prolaktinoma dengan berbagai 

mekanisme. Kemoterapi dengan TMZ dapat diberikan pada pasien prolaktinoma yang resisten 

terhadap terapi medik, pembedahan maupun dengan radioterapi.(169, 170) 

Agonis dopamin terdiri dari dua kelas, yaitu derivat ergot (bromokriptin, pergolide, dan 

cabergoline) dan  derivat non-ergot, seperti quinagolide. Bromokriptin yaitu  alternatif terbaik 

sesudah  cabergoline dan  merupakan derivat semisintesis terhadap agonis resptor D2 dan 

antagonis reseptor D1. Dibandingkan dengan cabergoline, bromokriptin memiliki waktu paruh 

lebih pendek dan dikonsumsi 2-3 kali sehari dengan dosis 2,5 dan 15 mg perhari. Pada pasien 

dengan resistensi terapi, bromokriptin dapat dinaikkan menjadi 20-30 mg per hari. (158) 

 Adapun dosis Cabergoline dimulai dari 0,5 mg perminggu pada pasien 

hiperprolaktinemia idiopatik atau mikroprolaktinoma. Pada pasien makroprolaktinoma terapi 

cabergoline harus dimulai dengan dosis yang sangat kecil (0,25 mg perminggu), untuk 

mencegah penurunan ukuran tumor yang terlalu cepat, sebab  berisiko perdarahan intratumoral. 

Dosis dinaikkan sesuai kondisi pasien untuk mengontrol pengeluaran prolaktin. sesudah  12-24 

bulan terapi, akan tampak reduksi massa (> 20% dari nilai baseline) pada >80% masalah  dan 

sedang  hilangnya tumor secara total pada 26-36% pasien.(158) 

3.2.3.6.1.4. Radioterapi 

 

 

78 

 

Radioterapi dipertimbangkan pada pasien dengan rese