rada
di sekitar vertebra. Semakin tebal jaringan
lunaknya, semakin rendah efektivitas dari
korset itu sendiri. Selain ketebalan jaringan
lunak, panjang korset juga mempengaruhi
efektivitas. Korset yang panjang memberikan stabilisasi spinal yang lebih baik daripada korset yang pendek.
Selain korset, rehabilitasi yang bisa diberikan pada pasien tumor spinal yaitu terapi
fisik dan okupasi. Pasien dengan tumor
spinal biasanya memiliki keterbatasan mobilisasi. Kondisi ini selanjuntnya dapat menimbulkan gangguan respitasi, penurunan
fungsi otot, dan gangguan integritas integumen ( dekubitus ). Terapi fisik meliputi
mobilisasi bertahap, mulai di tempat tidur
hingga berjalan, dan latihan (exercise) penguatan otot abdomen dan ekstensor. Terapi
okupasi meliputi pemberian alat bantu dan
pembelajaran untuk bisa ke kamar mandi
dan mengurus diri sendiri.
CONTOH KASUS
Kasus 1
Perempuan 52 tahun datang dengan keluhan nyeri pada punggung sejak 8 bulan lalu.
Nyeri dirasakan di antara kedua tulang belikat. Awalnya, nyeri masih hilang timbul dan
berkurang dengan minum obat penghilang
nyeri dari warung. Sejak 2 bulan lalu, nyeri
punggung bertambah berat dan mengganggu
aktivitas. Selain itu, pasien juga mulai mengeluhkan kelemahan pada kedua tungkai. Sejak
sebulan lalu, pasien mulai mengeluhkan baa!
pada kedua tungkai. Keluhan nyeri punggung,
kelemahan tungkai, dan baa! pada kedua tungkai dirasakan semakin progresifhingga akhirnya pasien sekarang hanya dapat berbaring di
tempat tidur dan mulai mengompol. Pasien
memiliki riwayat operasi mastektomi mammae kiri 10 tahun lalu. Hasil patologi anatomi
dikatakan karsinoma mammae duktal invasif jenis solid tubular; grade II. Pasien sempat
menjalani kemoterapi 3 tahun lalu.
Pemeriksaan neurologi menunjukkan
paraplegia UMN, hipestesi setinggi dermatom torakal 7 ke bawah, dan retensi uri.
Pemeriksaan MRI vertebra dengan kontras
menunjukkan proses metastasis intrakorpus vertebra Th 8 (Gambar 12).
Pasien diDiagnosa tumor spinal metastasis ekstradural dengan primer karsinoma
mammae. PENGOBATAN pada pasien ini
yaitu pemberian korset, radioterapi paliatif, dan terapi bisfosfonat.
Kasus 2
Perempuan 60 tahun memiliki keluhan kesemutan pada kedua tungkai sejak 8 bulan lalu.
Kesemutan disertai rasa kencang dari perut
bawah sampai telapak kaki. Keluhan ini dirasakan terus menerus. Sejak 7 bulan lalu, pasien
mengeluhkan kulitnya terasa kering dan jarang
berkeringat dari perut bawah sampai kedua
tungkai. Kedua tungkai mulai terasa berat 'untu!< berjalan. Sejak 3 bulan lalu, kelemahan
kedua tungkai memberat. Pasien juga mengeluh ada rasa terikat di daerah pinggang. Selain
itu, pasien juga mengeluhkan sulit menahan
berkemih dan buang air besar. Pasien memiliki
riwayat pemakaian pil KB selama 5 tahun dan
riwayat kanker payudara pada anak pasien.
Tumor Spinal
Pemeriksaan fisik neurologi menunjukkan
paraparesis UMN (kekuatan 2/5 pada kedua
tungkai), hipestesi setinggi dermatom torakal 12 ke bawah, dan inkontinensia uri et
alvi. Pemeriksaan MRI vertebra toral<al dengan kontras menunjukkan tumor intradural, ekstramedula setinggi vertebra torakal
10 yang mendesak dan menekan mielum ke
arab kanan (Gambar 13). Pasien kemudian
dilakukan operasi dan basil patologi anatomi menunjukkan meningioma campuran
jenis meningothelimatosa, transisional dan
jenis psammomatosa (WHO grade 1). Diagnosis pasien ini yaitu tumor spinal intradural ekstramedula, yaitu meningioma.
PRINSIP DASAR NEURORESTORASI
PASCACEDERA SARAF
Neurorestorasi berasal dari kata "neuro-logy"
dan "re-store" yang berarti upaya renovasi untuk mengembalikan ke kondisi atau
fungsi semula. Neurorestorasi didefinisikan
sebagai cabang ilmu neurologi yang menerapkan prosedur aktif dalam meningkatkan atau
memperbaiki fungsi sistem sarafyang terganggu, baik secara fungsional maupun patologis.
Pendekatan ini dilakukan melalui modifikasi
selektif pada struktur dan fungsi sarafyang abnormal berdasar mekanisme penyakit, serta ekskalasi kapasitas fungsional sistim saraf
yang tersisa danfatau aktivasi sistim sarafyang
sebelumnya masih tersamar (World Congress of
Neurology Hamburg, 1985).
Ilmu yang mempelajari neurorestorasi disebut neurorestoratologi, yang didefinisikan
sebagai ilmu neurosains yang mempelajari
regenerasi neuron, neural structural repair
of replacement, neuroplastisitas, dan neuromodulasi. Tujuan utama dari pengembangan
ilmu ini yaitu untuk meningkatkan proses
pemulihan fungsional neuron yang rusak
atau terganggu karena sebab apapun, termasuk akibat penyakit neurodegeneratif.
Ada 5 dogma yang berperan dalam ilmu
neurorestorasi, yang disebut sebagai 5N's
dogma, yaitu neuroregenerasi, neurorepair,
neuroplastisitas, neuromodulasi, dan neurorehabilitasi. "Neuroproteksi" sendiri di-
anggap sudah terca~p dalam definisi neurorestorasi secara urn urn.
Ada 4 prinsip yang penting untuk dipikirkan
dalam melakukan upaya neurorestorasi,
yaitu:
1. Keterbatasan regenerasi neuron (limited
regeneration)
2. Tidak instan, melainkan melalui proses
pembelajaran ulang (relearning)
3. Kapasitas reservasi otakfsarafyangkurang
memadai (insufficient reserve); konsep
yang men~mbarkan diskrepansi antara
derajat kerusakan saraf secara patologis
dengan derajat manifestasi klinis.
4. Lifelong reinforcement; sama seperti keterampilan yang perlu terus dilatih dan
diasah seumur hidup.
Ada aturan 4 langkah dalam neurorestoratologi yang perlu dilakukan untuk mendapatkan basil yang efektif, yaitu:
1. Neurorestorasi struktural neuron
2. Signaling neurorestorasi
3. Neurorestorasi rehabilitatif
4. Neurorestorasi fungsional
Pada bab ini akan dibahas juga aplikasi neurorestorasi pada keadaan khusus yang paling sering terjadi dan membutuhkan prosedur terse but, yaitu pascastroke dan afasia.
NEUROPLASTISITAS
Di masa yang lampau, para ahli berpendapat
bahwa otak berhenti tumbuh pada masa
kanak-kanak dan tidak mempunyai kemampuan untuk beregenerasi. Mereka juga percaya bahwa koneksi antar saraf (sinaps) hanya terbentuk pada suatu peri ode kritis pada
masa kanak-kanak ini dan menetap,
tidak berubah seiring dengan pertambahan
umur. Oleh karena itu, pada masa ini
jika ada suatu kerusakan area di otak,
akibat yang terjadi akan bersifat permanen,
karena serabut saraf tidak bisa beregenerasi
maupun membentuk sinaps baru.
Namun studi dan eksperimen baik pada
hewan coba maupun pada manusia menunjukkan sebaliknya. Otak terbukti memiliki kemampuan untuk beregenerasi dan
melakukan modifikasi bentuk struktural
dan sekaligus fungsinya secara kontinu
sepanjang hidupnya. Perubahan struktural dan fungsional ini terjadi melalui mekanisme penambahan atau pengurangan
koneksi sinaps. Fenomena ini dikenal dengan istilah neuroplastisitas. Neuroplastisitas, berasal dari kata "neuro" dan
bahasa Yunani "plastos" yang berarti molded
atau materi yang bisa dibentuk, seperti tanah
liat. Dengan neuroplastisitas inilah neuron di
otak beradaptasi dan menyesuaikan fungsinya
sebagai respons terhadap situasi baru atau
perubahan yang terjadi. Adanya paparan terhadap stimulus pada umumnya akan memicu penambahan dan perubahan sinaps
(Gambar 1), misal saat seseorang mempelajari keterampilan baru, seperti belajar naik
sepeda, belajar menyetir; bela jar berjalan, atau
belajar berbicara. Namun penambahan jumlah sinaps juga dapat berakibat merugikan,
seperti yang terjadi pada nyeri neuropatik.
Sebaliknya pada kondisi hilangnya paparan
suatu stimulus, misalnya akibat kematian sel
pascastroke, atau adanya suatu keterampilan
yang pernah dipelajari dan tidak dipergunakan kembali, maka fenomena neuroplastisitas
yang terjadi berupa pengurangan sinaps yang
telah terbentuk sebelumnya. Secara kllinis
hal ini bermanifestasi sebagai hilangnya atau
berkurangnya kemampuan seseorang dalam
melakukan keterampilan terse but.
Paparan stimulus akan memicu terbentuknya sinaps-sinaps baru: (A) kondisi
sebelum paparan stimulus; (B) kondisi
pascapaparan stimulus; (C) variasi bentuk
dendrit yang berubah pascaterbentuknya
sinaps-sinaps baru
Cederapadasusunansarafpusat(SSP)akan
mempengaruhi baik neuron pre maupun
pascasinaps melalui beberapa mekanisme,
yaitu perubahan proyeksi aksonal, denervasi, dan eliminasi sebagian neuron. Berikut
akan dibahas proses yang terjadi pacta neuron-neuron terse but pascacedera SSP.
PERUBAHAN PADA NEURON PRESINAPS
Suatu cedera yang memicu terputusnya
akson [axotomy) akan memicu degenerasi pacta bagian distal dari area yang
mengalami cedera, yang disebut degenerasi
Wallerian. Kontak neuron presinaps dengan
neuron pascasinaps akan terputus. Neuron presinaps dari sel-sel yang mengalami
Prinsip Dasar Neurorestorasi Pascacedera Saraf
kerusakan akan kehilangan sel target untuk
diinervasi. Akibat proses ini, ada beberapa perubahan pacta neuron presinaps,
an tara lain:
1. Atrofi dan degenerasi retrograd
Neuron presinaps mengalami atrofi dan
degenerasi (kematian sel) yang dimulai
dari bagian akson terminal, mundur ke
belakang sampai ke bagian badan sel
(Gambar 2).
Ada beberapa faktor yang memengaruhi
derajat atrofi dan degenerasi retrograd,
di antaranya:
a. Lokasi trauma; semakin proksimallesi,
semakin berat atrofi dan degenerasi.
b. Ekstensi serabut proyeksi ke sel target; semakin banyak proyeksi kolateral dari akson yang mengalami cedera,
semakin ringan derajat atrofi dan degenerasi retrograd yang terjadi.
2. Synaptic stripping
Pada kerusakan akson, sinaps-sinaps antarneuron disekitarnya juga akan mengalami
gangguan. Sinaps yang mengalami disfung-
. si ini akan dieliminasi oleh mikroglia
sebagai mekanisme alamiah tubuh. Sinaps
yang hilang ini dapat terbentuk kembali jika
neuron pascasinaps beregenerasi kembali.
3. Degenerasi berantai (cascading degeneration)
Proses kematian sel neuron dapat terjadi
secara retrograd dan mempengaruhi sekelompok neuron (transneuronal). Degenerasi retrograd dan transneuronal tidak
selalu terbatas pada satu jaringan sinaps
saja, melainkan bisa terjadi pada seluruh
jaringan sinaps di neuron ini Bila
ada neuron yang mengalami denervasi,
maka neuron sekitar yang menjadi sel
target juga akan dapat mengalami denervasi dan degenerasi. Proses ini dapat terus
berlanjut dan mempengaruhi neuron-neuron berikutnya sehingga memicu
kerusakan yang luas. Fenomena ini dikenal
sebgai fenomena degenerasi berantai.
4. Delayed neuronal death pascaiskemia
berdasar studi, ada sekelompok,
neuron }rang dapat bertahan pada iskemia akut Bila iskemia berlanjut, neuronneuron ini akan mengalami kematian
dalam waktu beberapa jam hingga beberapa.hari kemudian. Kelompok neuron
yang rentan terhadap proses ini ada
di daerah korteks dan hipokampus.
5. Demielinisasi
Salah satu bentuk lain degenerasi sebagai
respons terhadap cedera akson yaitu kematian sel oligodendroglia yang berujung
pada demielinisasi akson. Proses kematian
ini terjadi melalui proses apoptosis yang
terus berlangsung selama beberapa hari
sampai beberapa minggu pascacedera
PERUBAHAN NEURON PASCASINAPS
Kematian sel neuron presinaps dapat memicu perubahan neuron pascasinaps
akibat hilangnya input sinaps normal. Perubahan ini dapat bervariasi dari ringan
sampai berat, antara lain:
1. Supersensitifitas denervasional
Pada fenomena ini, sel pascasinaps menjadi
lebih sensitif terhadap neurotransmiter.
ada peningkatan jumlah dan distribusi reseptor di membran pascasinaps.
2. Atrofi transneuronal
Denervasi akan memicu ukuran sel
pascasinaps mengecil atau mengalami
kematian sel. Fenomena ini dapat bersifat
reversibel. Sebagai contoh, ukuran neuron yang mengalami atrofi dapat kembali
seperti semula hila terjadi reinervasi.
3. Degenerasi transneuronal
Pada degenerasi transneuronal, denervasi memicu kematian neuron
pascasinaps.
REORGANISASI KONEKSI NEURONAL
PASCACEDERA
Proses regenerasi pascakerusakan akson
· merupakan bagian dari proses reorganisasi koneksi neuronal. Saat akson terputus,
bagian distal dari lokasi cedera akan mengalami degenerasi Wallerian, sedangkan
segmen proksimal akart memendek dan
membentuk retraction ball pada bagian
ujung yang terputus (Gam bar 3).
Proses regenerasi akson dan reorganisasi
koneksi neuronal selanjutnya tergantung
dari situasi dan kondisi yang ada, akan berbentuk salah satu atau beberapa proses
berikut:
1. Regenerasi bonafide: pemanjangan akson saja tanpa cabang-cabang kolateral
2. Regenerasi abortif: ditandai dengan terbentuknya konus dystrophic growth dan
tangled arbors (Gambar 4).
3. Regenerasi produktif: terjadi formasi
cabang-cabang kolateral baru pada
ujung situs cedera
a. Regenerasi dan sprouting aksonal
Akson beregenerasi dengan menumbuhkan cabang-cabang akson terminal
baru (Gambar 5).
b. Regenerasi supernumerary co/laterals
Regenerasi akson terjadi dengan menumbuhkan cabang-cabang kolateral
dari badan akson, bukan dari bagian
akson terminal (Gambar 5).
4. Pruning-related sprouting
Pada beberapa kasus, neuron yang kehilangan beberapa sel target akan memperbanyak jumlah koneksi tambahan di
area lain yang tidak mengalami kerusakan.
Sebagai contoh, pada sebuah neuron yang
memiliki 2 proyeksi kolateral ke sel-sel target yang berbeda, kematian salah satu sel
target akan meningkatkan jumlah proyeksi
kolateral sel target yang masih utuh (Gambar 6). Fenomena ini dikenal pula dengan
istilah ectopic axonal re-direction.
Sprouting kolateral yang terbentuk akibat kematian salah satu neuron pascasinaps justru memperkuat innervasi
neuron pascasinaps lain, yang tidak
mengalami cedera (normal).
Berbagai mekanisme ini merupakan
tantangan bagi pengemban ilmu penyakit
saraf untuk dapat mempergunakan fenomena
neruoplastisitas dalam pemulihan lesi saraf.
Ada beberapa hal yang mempengaruhi efektivitas reinervasi dari neuron yang mengalami denervasi, yaitu:
1. Prinsip proksimitas
Semakin kecil jarak antara lokasi cedera,
semakin besar kemungkinan terjadinya
reinervasi sinaps.
2. Fokalitas denervasi yang terjadi
Prognosis reinervasi pada suatu denervasi yang bersifat difus lebih baik daripada reinervasi pada denervasi yang
bersifat fokal (Gam bar 7).
3. Spesifisitas dan kompetisi
Bila dua sistem yang homolog sama-sama
menginervasi suatu area, hilangnya salah
satu sistem akan memicu sprouting
dari sistem yang masih utuhfsehat Bila
area ini memiliki preferensial terhadap suatu stimulus tertentu, maka sprouting yang terjadi bisa berupa akson yang
memberikan stimulus yang sama ( spesi-
fik), namun bisa pula berupa stimulus yang
berbeda dari preferensinya (kompetitif).
4. Target availability
Pembentukan sinaps atau sinaptogenesis,
baik akibat regenerasi sprouting, pruningrelated sprouting, maupun axonal redirection tidak akan terjadi tanpa peran
sel target (neuron pascasinaps). Neuron
pascasinaps harus bisa mengirimkan
sinyal-sinyal penting untuk "memanggil"
dan merangsang regenerasi agar dapat
mencapai sel target, dan meminimalkan
proyeksi ektopik (misdirection sprouting).
5. Usia
Regenerasi lebih baik dan lebih cepat
terjadi pada usia muda bila dibandingkan usia lebih tua.
NEURORESTORASI FUNGSIONAL
Proses reorganisasi otak pascastroke
merupakan contoh yang paling baik untuk
memahami proses neurorestorasi fungsional pasca suatu cedera SSP. Dari banyak
studi yang telah dilakukan, terutama yang
mempelajari fisiologi pemulihan fungsi motorik pascastroke, proses reorganisasi ini
terbagi menjadi beberapa jenis, yaitu:
1. Reorganisasi lokal
Salah satu proses reorganisasi otak untuk memulihkan fungsi kontrol motorik
yang rusak yaitu melalui reorganisasi
somatotopik, atau fenomena yang disebut vikariasi (vicariation). Fenomena
ini diajukan oleh Donoghue pada tahun
1990. Area di sekeliling infark (penumbra) akan mengambil alih kontrol motorik dengan mengaktifkan jaras-jaras
dengan representasi motorik yang sebelumnya "tertidur".
2. Pemulihan diaskisis (diaschisis)
Disebut juga lesi imbas, yaitu gangguan
fungsinal pada area yang secara anatomi
terletak jauh dari area yang rusak. Diaskisis merupakan respons alamiah akibat
terganggunya sistem "networlt' fungsional
di otak. Lesi ini umumnya terjadi pada
area-area yang bekeija sama dengan erat,
misalnya pusat menelan dan pusat motorik primer untuk ekstremitas. Contohnya,
pada stroke akut yang menunjukkan
iskemia hanya pada area korteks motorik primer (tanpa tanda-tanda iskemia
di daerah batang otak), sering dijumpai
gangguan menelan (disfagia) akut yang
menyertai hemiplegia kontralateral. Disfagia ini teijadi sebagai akibat fenomena
diaskisis ini , teijadi gangguan fungsional tanpa kelainan struktural di area
yang letaknya jauh dari lesi primer. Hal ini
umumnya hanya berlangsung sebentar
dan dapat pulih seperti sediakala.
3. Reorganisasi area sekunder
Pada kerusakan luas yang memicu
kerusakan sel neuron perilesional ( di sekeliling lesi) dengan fungsi somatotopik,
reorganisasi akan teijadi pada area somatotopik sekunder yang letak anatominya
beijauhan dengan lesi. Sebagai contoh,
aktivasi jaras di area korteks premotorik dan area motorik suplementer atau
supplementary motor area (SMA) pada
kerusakan korteks motorik primer.
4. Reorganisasi bihemisfer
Berbagai studi pencitraan terhadap
masa pemulihan pascastroke memperlihatkan aktivitas sensorimotor yang meluas hingga ke hemisfer yang sehat atau
hemisfer kontralesi. Pada awalnya di-
Prinsip Dasar Neurorestorasi Pascacedera Saraf
duga bahwa aktivasi hemisfer kontralesi
dapat meningkatkan prognosis pemulihan fungsi motorik. Namun beberapa
studi terbaru cenderung membuktikan
hal sebaliknya, yaitu aktivasi hemisfer
yang sehat cenderung merugikan atau
dihubungkan dengan pemulihan fungsi
motorik yang lebih buruk.
Pasien dengan perbaikan fungsi motorik
minimal menunjukkan peningkatan aktivitas pada hemisfer kontralesi dan aktivasi
minimal pada hemisfer ipsilesi. Adapun
pasien dengan pemulihan fungsi motorik
optimal menunjukkan aktivasi di hemisfer
ipsilesi yang lebih tinggi dibandingkan aktivasi hemisfer kontralesi. Hingga saat ini,
peran area homolog di hemisfer kontralesi
masih menjadi perdebatan, sebagai pemicu buruknya pemulihan fungsi motorik
atau hanya merupakan epifenomena akibat ketidakmampuan hemisfer ipsilesi untuk mengaktifkan area yang dibutuhkan.
NEURORESTORASIPASCASTROKE
Saat ini, hanya kurang dari 10% penderita
stroke iskemik yang bisa mendapatkan
terapi rTPA yang secara bermakna memperbaiki luaran pasca stroke ini. Sisanya,
stroke survivors harus mengadapi berbagai
masalah disabilitas berat, seperti hemiparesis, disfagia, afasia, dan lain sebagainya.
Kemajuan sains dan teknologi mutakhir telah
membuka jalan bagi perkembangan ilmu neurosdence, neurobiologis, neuroprosteti~ robotic,
biomedical engineering untuk program neurorestorasi pasien dengan gangguan neurologis.
Rangkuman berbagai modalitas neurorestorasi pascastroke yang sedang berkembang dapat dilihat pada Tabell.
Adapun PENGOBATAN neurorestorasi mempunyai strategi dan tujuan yang berbeda pada
stroke fase akut, subakut, dan kronik, yaitu:
PENGOBATAN atau intervensi pada pasien
pascastroke hams mempertimbangkan proses patologik ( sumbatan atau perdarahan ),
onset, serta mekanisme neuroanatomi dan
neurofisiologi. Penatalaksanaan multidisiplin
yang terpadu (organized stroke care) di unit
stroke RSUPN Cipto Mangunkusumo yang
sesuai dengan penemuan di kawasan lain di
dunia berhasil menurunkan angka kematian
akibat stroke sampai di bawah 5%.
1. PENGOBATAN Neurorestorasi Rehabilitatif Fase Akut
Intervensi neurorestorasi rehabilitatif
pada fase akut ditujukan sedini mungkin
untuk meminimalkan gejala sisa dengan
membantu perbaikan perfusi otak dan
mencegah komplikasi imobilisasi, sehingga tercapai pemulihan fungsional
yang optimal.
a. Mobilisasi, posturing, serta kontrol
trunkal
Selain untuk mencegah kontraktur,
dekubitus, dan stasis sirkulasi hemodinamik, mobilisasi-posturing-kontrol
trunkal berguna untuk mempertahankan fungsi antigravitasi otot trunkal.
Otot trunkal berperan dalam menjaga
postur tubuh dan merupakan jangkar
dari gerak ekstremitas.
Pada fase akut, PENGOBATAN pasien
stroke mencakup posisi tirah baring
untuk menjaga MAP dan CBF yang
optimal. Pada posisi tirah baring,
gravitasi menjadi nol, sehingga otototot ekstesor trunkal yang dibutuhkan untuk aktivitas yang melawan
gravitasi (misal untuk duduk, bangun,
berdiri, berjalan, dan seterusnya) sama
sekali tidak bekerja. Jika dibiarkan
berkepanjangan, dapat terjadi fenomena neuroplastisitas negatif, seperti
pruning synapses (lihat penjelasan
bah Neurorestorasi) yang memicu atrofi otot-otot trunkal.
Atrofi ini akan menyulitkan
aktivitas antigravitasi dan juga gangguan pada kontrol ekstremitas yang
akan menambah permasalahan
disahilitas dan program terapi fisik
pada fase kronik. Oleh karena itu,
pengaturan posisi merupakan hal
paling dini yang harus diterapkan
pada pasien stroke akut sesudah kegawatdaruratan teratasi.
Tindakan elevasi kepala dapat meminimalkan gravitasi untuk meningkatkan aliran halik vena, mencegah aspirasi, menurunkan TIK, meningkatkan
cerebral perfusion pressure (CPP), serta
menurunkan tekanan darah rerata
arteri (mean arterial blood pressure/
MABP).
Mohilisasi duduk dan latihan gerak
yang lehih hersifat aktif, pada umumnya haru dilakukan saat hemodinamik
& kondisi medis stahil, tekanan rerata
arteri (mean arterial pressure/MAP)
pada stroke iskemik <130mmHg, gula
darah >90mg/dL atau <250mg/dL,
dan saturasi oksigen >95% (tanpa
pemherian 0 2).
Latihan ruang lingkup sendi dan peregangan juga dapat dilakukan secara
pasif maupun aktif dengan tujuan
mencegah atau mengurangi kekakuan
sendi semata, tidak terlalu hermanfaat
hagi untuk tujuan fungsional.
b. Deteksi dan PENGOBATAN gangguan
men elan
Setengah dari pasien stroke akut
dengan kesadaran penuh juga didiag-·
nosis dengan disfagia. Disfagia yang
tidak ditangani dengan haik dapat menyehahkan komplikasi herupa pneumonia aspirasi, dehidrasi, dan malnutrisi. Pneumonia merupakan penyehah
kematian terhanyak pada pasien stroke
akut Oleh karena itu, penting untuk
melakukan identifikasi disfagia sejak
dini dengan melakukan skrining aspirasi pada pasien stroke untuk segera
dilanjutkan dengan terapinya. Tahap
ini akan dilanjutkan dengan tes kemampuan menelan hila pada skrining
ditemukan adanya disfagia.
Berikut heherapa tahapan dalam melakukan skrining aspirasi:
1) Pasien diposisikan elevasi kepala 60°.
2) Kepala pasien ditekuk ke lateral, ke
sisi yang sakit.
3) Pasien diherikan minum 1 sendok teh air.
4) Amati tanda hatuk a tau tersedak, hila
tersedak, maka skrining dihentikan.
Lakukan suction hila perlu.
5) Jika tidak ada hatuk atau tersedak,
maka dilanjutkan dengan memherikan pasien minum setengah gelas air
secara perlahan.
Karena skrining aspirasi cukup sederhana dan tidak memerlukan keahlian
khusus, maka dapat dilakukan oleh perawat atau dokter sesegera mungkin
saat pasien admisi di ruangan. Skrining
ini dilanjutkan ke tahap diagnostik dengan memakai metoda yang lehih
sensitif oleh terapis wicara ( dalam waktu <72 jam setelah admisi) untuk mengkonfirmasi ada atau tidaknya disfagia.
Bila basil skrining menyatakan tidak
ada aspirasi, maka proses dapat dilanjutkan dengan tes kemampuan
menelan dengan memakai 4 hahan yang herheda, yaitu: air, makanan
setengah cair, makanan setengah padat, dan puree. Umumnya tes kemam
puan menelan ini dilakukan oleh terapis wicara yang terlatih melakukan
tes fungsi menelan.
PENGOBATAN yang diberikan pada
pasien disesuaikan dengan hasil tes
menelan ini , yaitu:
1) Pasien dapat menelan air tanpa
tersedak: diet normal.
2) Pasien dapat menelan makanan
setengah encer tanpa tersedak: dilakukan pemasangan nasogastric
tube (NGT) no.12 (hanya air).
3) Pasien dapat menelan makanan
setengah padat tanpa tersedak:
dilakukan pemasangan NGT no.14
(susufdiet cair komersial, obat).
Setengah porsi diberikan secara
peroral (PO) dan setengah porsi
diberikan melalui NGT.
4) Pasien dapat menelan puree tanpa
tersedak: dilakukan pemasangan
NGT no.16. Seluruh porsi diberikan
via NGT atau nothing peroral (NPO)
atau ~ porsi diberikan secara PO,
%. porsi diberikan melalui NGT.
Secara umum, PENGOBATAN disfagia dapat
dilakukan dengan beberapa tindakan
berikut:
1) Latihanfterapi menelan direk (direct
swallowing therapy).
2) Modifikasi konsistensiftekstur /volume
makanan.
3) Manuver & pengaturan posisi kepala,
leher, tubuh (maneuver & adjusting
body position).
4) Stimulasifunctional training:
• Stimulasi pasif.
• Sensory enhancement techniques (meningkatkan tekanan sendok pada lidah
ketika menyuapkan bolus makanan,
memberikan bolus dengan rasa asam,
bolus dengan temperatur dingin, bolus
yang harus dikunyah, dan sebagainya).
• Thermal tactile oral stimulation.
• Deep pharyngeal neuromuscular stimulation.
• Neuromuscular electric stimulation.
• Transcranial magnetic stimulation.
5) Fisioterapi dada (chest physiotherapy).
c. Gangguan pengosongan kandung kemih
Sepertiga sampai dua pertiga pasien
stroke akut, khususnya pasien usia Ianjut, mengalami gangguan pengosongan
kandung kemih. Hal ini disebabkan beberapa macam pemicu yaitu: infeksi,
overflow, impaksi feses, diabetes melitus, dan instabilitas destrusor. Infeksi
kandung kencing merupakan pemicu
komplikasi infeksi terbanyak pascastroke akut.
Tujuan penanganan yaitu menstimulasi pusat mikturisi, jika retensi
urin > 100cc akan berisiko infeksi
dan hila perlu dilakukan intermitten
catheterization (IMC). Ada beberapa
teknik penanganan gangguan pengosongan kandung kemih, yaitu dengan
cara pemeriksaan pola huang air kecil,
ada atau tidak masalah prostat, dan
melakukan monitor kapasitas bladder/
sisa urin. Beberapa studi menyarankan untuk memakai urinal terlebih dahulu dan menghindari pemakaian dower kateter.
d. Terapi fisik dada
Pneumonia dan acute respiratory
failure termasuk ke dalam kelompok
komplikasi tersering pada stroke.
Studi Morris dkk menunjukkan bahwa
pasien yang mendapatkan terapi fisik
dada sejak masa perawatan dini dapat
menurunkan masa perawatan secara
bermakna.
e. Stimulasi sensoris multimodaljstimulasi koma
Teknik memakai paparan sensorik eksternal multimodal pada
penderita koma untuk memancing
arousal dan respons behavior. Walaupun tingkat efektifitasnya sangat diragukan, teknik ini mudah, murah, dan
tidak invasif, sehingga tetap populer
untuk dipraktekkan.
2. PENGOBATAN Neurorestorasi RehabilitatifFase Subakut (Bisa Saat Rawat Inap
Maupun Rawat Jalan)
Stroke fase subakut ditandai oleh kondisi
hemodinamik dan proses neurologis yang
telah stabil. PENGOBATAN neurorestorasi
pada fase ini mulai ditambah dengan
program neurorestorasi fungsional termasuk aplikasi berbagai teknik neuromodulasi.
Gangguan komunikasi seperti afasia, disartria, dan kognisi harus ditangani sedini
mungkin. Jika ada gangguan menelan
(disfagia) maka dilakukan penanganan
gangguan menelan yang lebih intensif,
sehingga pasien terbebas dari NGT. Jika
ada gangguan ambulasi berjalan, seperti
pada pasien yang belum mampu berjalan, maka harus dilatih berjalan dan
Prinsip Dasar Neurorestorasi Pascacedera Saraf
atau komponen berjalan sesuai dengan
kemampuan pasien, terus menerus sebanyak dan sesering mungkin.
Adapun preskripsi latihan berupa:
• Teknik latihan untuk ambulasi berjalan terdiri dari latihan dasar persiapan berjalan, ambulasi berjalan,
berjalan secara fungsional, dan endurance berjalan.
• Teknik latihan dasar persiapan berjalan.
• Pemilihan modalitas alat terapi, pemakaian alat bantu berjalan, ortosis
dapat pula diberikan sesuai dengan
preskripsi dokter SpKFR.
Metode neurorestoratif rehabillitatif
fungsional yang dianggap paling bermanfaat untuk memperbaiki kontrol
motorik yaitu dengan teknik neurofasilitasi, yaitu berupa:
a. Bobath
Konsep yang diperkenalkan oleh
Berta dan Karel Bobath ini berfokus
kepada respon kontrol yang timbul
sebagai respons terhadap kerusakan
refleks postural. Prinsip utamanya
yaitu teknik paparan fasilitasi dan
pola gerak normal.
b. Brunnstrom
Salah satu konsep terapi neurorehabilitatif untuk pasien stroke yang populer
dipakai di seluruh dunia.
c. Rood
Banyak menerapkan aktifitas dalam
fase developmental, stimulasi sensorik
(terutama jenis stimuli kutaneus),
dan klasifikasi kerja otot.
d. Proprioceptive neuromuscular facilitation (PFN)
Banyak memakai stimulasi proprioseptif perifer seperti peregangan
dan resistensi gerak untuk meningkatkan respon motorik yang ada.
Jika ada gangguan perawatan
diri dan aktivitas sehari-hari, maka
pemakaian teknik latihan yang spesifik diberikan sesuai dengan disabilitas yang ada. Jika ada gangguan
miksi dan defekasi termasuk kontrolnya, dilakukan latihan khusus
dengan atau tanpa pressure feedback.
Pada penurunan kebugaran kardiorespirasi, dilakukan program rehabilitasi berupa exercise training dibawah
pengawasan ketat dokter rehabilitasi
medik dengan memperhatikan hemodinamik, seperti saturasi 0 dan 2
tanda vital). Jika ada gangguan aktivitas sehari-hari akibat masalah visual,
maka setiap pasien stroke sebaiknya
dilakukan penapisan gangguan visual
agar dapat ditangani secara tepat.
PENGOBATAN disabilitas lain yang sering
dijumpai sebagai komplikasi pascastroke yaitu :
• Spastisitasjpeningkatan tonus otot
karena pemulihan sinergis pada ekstremitas atas dan bawah; dapat diberikan intervensi berupa pemberian
toksin botulinum A, kombinasi latihan,
terapi manual, hingga dynamic splinting.
• Pemendekan otot, kekakuan sendi,
dan kontraktur; otot harus diposisikan dalam posisi eksentrik, latihan peregangan, lingkup gerak sendi, hingga
casting.
• Subluksasi bahu, nyeri bahu, dan
shoulder hand syndrome; Perubahan
biomekanik yang berbeda dengan
proses traumatic shoulder problem,
sehingga diperlukan Rontgen hingga
USG muskuloskeletal atas indikasi.
pemakaian alat bantu, stimulasi
otot, latihan hingga modalitas alat
yang sesuai kondisi pasien.
Ulkus dekubitus merupakan salah satu
komplikasi yang sering terjadi. Sebagai
pencegahan, harus dilakukan positioning,
posturing, dan teknik transfer yang tepat
minimal lxjhari. Pencegahan tromboemboli juga hal yang penting untuk diperhatikan dengan cara perubahan posisi dalam
waktu 48 jam terutama pada tungkai
bawah dan memperhatikan antikoagulan
yang telahjsedang diberikan. Pemakaian
stocking anti trombotik juga dapat bermanfaat pada kasus-kasus tertentu.-
3. PENGOBATAN Neurorestorasi Rehabilitatif Fase Kronik (Saat Rawat }alan)
Pada stroke fase kronik pada umumnya
sudah terbentuk reorganisasi sistem
saraf yang kuat (established), baik yang
berdampak positif, yang negatif. Pada
fase ini, PENGOBATAN didasarkan pada
adaptasi dan kompensasi terhadap disabilitas yang ada.
Manajemen rehabilitasi yang dilakukan
umumnya meliputi:
• Memaksimalkan kemampuan fungsionaljmelakukan tugasjaktivitas tertentu.
• Kebugaran kardiorespirasi. Pasien
harus mendapatkan program latihan
penguatan dan aerobik regular yang
disesuaikan dengan komorbiditas dan
keterbatasan fungsi pasien dan telah
melewati exercise testing sebelumnya.
• Persiapan kembali ke tempat kerja. Pekerja pascastroke harus diberi kesempatan untuk mendapatkan pelatihan
ketrampilan yang diperlukan kembali
serta kesempatan bekerja yang fleksibel.
• Kembali ke masyarakat. Pasien stroke
dengan risiko jatuh di komunitas
harus mendapatkan intervensi komprehensif, seperti program exercise
spesifik perindividu untuk mencegah
atau mengurangi kejadian dan keparahan akibat jatuh.
NEURORESTORASI PADA AFASIA
Pada fase akut sampai dengan tahun pertama
pascacedera otak, kelompok keluaran baik
memperlihatkan peningkatan aktivitas pada
area sekeliling lesi di hemisfer dominan
yang lebih tinggi dibandingkan peningkatan
aktivitas di area homotopik hemisfer nondominan. Adapun pada kelompok keluaran
buruk dijumpai hal yang berlawanan, yaitu
peningkatan aktivitas lebih banyak pada
area homotopik hemisfer non-dominan. Pada
fase kronik, proses pemulihan berlangsung
lebih lambat dan terjadi secara gradual. Pada
kelompok keluaran baik, terjadi peningkatan
aktivitas kompensasi gradual pada area
homotopikterutamadaerahfrontaldantalamus
di hemisfer nondominan. Pada kelompok
keluaran buruk, terjadi pula peningkatan
aktivitas di hemisfer nondominan, namun
dengan intensitas yang jauh lebih rendah. Oleh
karena itu, upaya neurorestorasi afasia perlu
memperhatikan onset (fase akutjkronik) dan
fungsi areafhemisfer yang perlu diaktifkan
atau dideaktivasi.
Prinsip Dasar Neurorestorasi Pascacedera Sara[
Dasar strategi upaya neurorestorasi afasia
dapat memakai alternatif dan gabungan
strategi alternatif sebagai berikut:
a. Mengembalikan fungsi bahasa dan
bicara, dengan fokus pada modalitas
yang terganggu (language impairedbased treatment).
b. Membantu restorasi modalitas bahasa
yang terganggu dengan modalitas
bahasa lain yang masih intak.
c. Mengompensasi gangguan bahasa
yang ada dengan memakai modalitas fungsi luhur fkognitif yang lain.
d. Partisipasi aktif dari caregiver dan
pemakaian aplikasi dan teknologi
stimulasi bahasa khusus.
Dalam menentukan teknis menjalankan
strategi ini meliputi pemilihan program,
penjadwalan, skala prioritas, dan aspek lainnya diperlukan komunikasi, koordinasi, dan
evaluasi yang baik antara dokter, terapis,
caregiver, dan keluarga pasien.
A. Language Impairment-Based Treatment
Yang termasuk ke dalam strategi herbasis fokus pada modalitas bahasa yang
terganggu ini yaitu :
1. Terapi Modalitas Bahasa dari Aspek
Neurokognitif
a. Terapi untuk gangguan membaca
b. Terapi untuk gangguan menulis
c. Terapi untuk gangguan komprehensi
dan produksi kata
d. Terapi untuk gangguan word finding
1) Word retrieval cueing strategies
(semantic & cueing verbs)
Pendekatan memakai "petun
juk'' untuk memancing pasien menemukan kata yang diinginkan. Misalnya, suku pertama dari suatu kata
atau petunjuk kontekstuallainnya.
2) Gesturalfadlitation of naming (GES)
Metoda ini memanfaatkan mekanisme kognitif intak pasien,
memakai asos1s1 gestural
ikonik untuk memancing word retrieval secara verbal.
3) Response elaboration training
Terapis wicara berlaborasi dengan
gumamanfucapan penderita untuk
memperbaiki kemampuan bicara.
4) Semantic feature analysis treatment
Penderita afasia dibantu mengidentifikasi keterangan semantik penting yang berkaitan dengan kata target (misalnya gedung, buku, dan
tenang untuk "perpustakaan").
2. Verb Network Strengthening Treatment
Terapi yang didesain terutama untuk
memperbaiki kesukaran mencari kata
dalam suatu kalimat aktif sederhana
Metoda ini memakai pasangan kata
yang berhubungan dengan kata target
a. Chaining (forward & reverse)
Pendekatan dengan cara memecah
kata/kalimat menjadi pendekpendek, kemudian belajar merangkaikan dari awal (atau akhir).
b. Sentence production program
for aphasia
Program terapi spesifik yang didisain untuk memfasilitasi produksi
kalimat spesifik tertentu.
3. Constraint-therapy
Constraint-induced aphasia therapy
(CIAT) atau yang dikenal juga dengan
constraint-induced language therapy
(CILT) merupakan modifikasi dari
constraint-induced movement therapy
(CIMT). Metode ini meliputi latihan
berbahasa selama periode waktu
tertentu (setidaknya 30 jam setiap
latihan selama dua minggu) dengan
meminimalkan komunikasi nonverbal
yang diharapkan dapat meningkatkan
keluaran verbal. Keterlibatan anggota
keluarga dan ternan dalam latihan
meningkatkan efikasi dari rehabilitasi.
Prinsip dari terapi ini ada tiga yaitu:
a. Constraint, berarti menghindari pemakaian strategi berkomunikasi yang
lain, misalnya dengan gerakan, menggambar dan menulis.
b. Forced use, berarti satu-satunya cara
berkomunikasi yang dipakai yaitu
dengan berbicara.
c. Massed practice, yaitu melakukan
latihan terapi sebanyak 2-4 jam per
hari.
B. Membantu Restorasi Gangguan Modalitas Bahasa dengan Modalitas Bahasa Lain yang Masih Intak
Program yang memakai dasar ini
untuk restorasi kemampuan bahasa
pasien di antaranya yaitu :
1. Melodic Intonation Therapy (MIT)
Terapi ini memakai kemampuan bersenandung dan prosodia pasien yang biasanya masih intak dari aspek intonasi,
melodi, dan ritme untuk meningkatkan
kemampuan jumlah pengucapan frasa
dan kalimat MIT telah lama direkomendasikan untuk memperbaiki kemampuan berbahasa pasien-pasien yang
mengalami afasia nonfluen. Kandidat
lain yang menunjukkan respons baik
memakai MIT yaitu pasien yang
menunjukkan rasa frustasi karena kesulitan berbicaranya, mengulang jargon
tertentu, gagal dalam tes penamaan konfrontasional, gangguan repetisi, menunjukkan upaya keras untuk mengkoreksi
ucapannya, dan memiliki komprehensi/
kognisi yang relatifbaik
Frasa atau kalimat yang dipakai
dalam metode terapi ini merupakan
frasa-frasa yang umum dan sering dipakai sehari-hari ( misalnya i love you,
assalaamu'alaikum, dan sebagainya).
Walaupun tampaknya mudah, keluarga/
caregiver pasien perlu mendapat instruksi spesifik tentang tata cara
latihan atau pengulangan metode ini
di rumah masing-masing.
2. Musical Speech Stimulation (MUSfiM)
Merupakan teknik lain dari neurology
music therapy (NMT) yang dapat dipakai untuk inisiasi bicara spantan. Teknik ini baik dipakai untuk
pasien-pasien afasia nonfluen dan
primary progressive aphasia. Berbeda
dengan MIT yang memakai intonasi dalam pengucapan frasa seharihari, teknik MUSTIM memakai
lagu-lagu yang familier bagi pasien.
Umumnya lagu-lagu favorit pasien atau
lagu-lagu hafalan masa kanak-kanak,
seperti Naik-naik ke Puncak Gunung,
Garuda Pancasila, dan sebagainya.
Prinsip Dasar Neurorestorasi Pascacedera Sara[
3. Augmentative Alternative Communication (AAC)
memakai alat bantu augmentasi,
seperti papan gambar dan simbol,
atau alat elektronik, untuk membantu
penderita afasia mengekspresikan
komunikasinya. Umumnya di awal
yang mudah diakses karena banyaknya
pemakaian ponsel dan komputer
yaitu mengetik di ponsel dan keyboard komputer.
c. Mengompensasi Gangguan Bahasa
yang Ada dengan memakai Modalitas Fungsi Luhur /Kognitifyang Lain
Strategi ini dirancang khusus dengan
mempertimbangkan neuroanatomi klinis pusat bahasa yang terganggu dan
sirkuit-sirkuit stimulasi dan kognitifyang
intak, sehingga program berjalan efektif
dan efisien. Umumnya dirancang pada
afasia dengan gangguan komprehensi bahasa pasien danjatau penamaan. Prinsip
dasarnya ialah memberi variasi stimulasi
sensorik ( menebakjmenceritakan gam bar,
menebak benda dengan rabaan sambil
menutup mata, menebak lagu, menebak
bau, mempelajari bahasa isyarat, dan sebagainya) yang kaya serta merangsang
imajinasi, memori, dan fungsi kognitif
lain untuk memperbaiki komprehensi
bahasa.
Yang termasuk ke dalam metode terapi
multimodal berbahasa ini di antaranya
yaitu :
1. Visual Action Therapy (VAT)
Program yang dipakai bagi penderita afasia global. Pendekatan
nonverbal ini melatih penderita
untuk memakai gestur tangan
untuk menyatakan suatu benda
atau aktivitas spesifik.
2. Promoting Aphasics' Communication Effectiveness (PACE)
Program yang didesain untuk meningkatkan kemampuan berkomunikasi memakai semua modalitas dalam bertukar pesan.
Penderita maupun klinisi secara bergantian mengarnbil peran sebagai pembawa dan penerima pesan. Metode
ini akan mendorong penderita afasia
untuk berperan lebih aktif dalam
berkomunikasi.
3. Oral Reading for Language in Aphasia(ORLA)
Metoda yang memakai petunjuk
auditorik, visual, dan tulisan untuk
membantu penderita afasia membaca
dengan suara keras (reading sentences
aloucfJ.
D. Partisipasi Aktif dari Caregiver dan
pemakaian Aplikasi dan Teknologi
Stimulasi Bahasa Khusus
Beberapa program yang dapat diterapkan yaitu :
1. Partner Approaches
Teknik yang terrnasuk ke dalam
metode pendekatan ini yaitu :
a. Conversational coaching
Terapi yang didesain untuk memperbaiki komunikasi antara penderita
afasia dengan partner komunikasi
primernya. Klinisi berperan sebagai
pelatih (coach) bagi penderita sekaligus partnernya.
b. Supported communication intervention (SCI)
Metode komunikasi multimodal antara penderita, pelatihan bagi lawan
komunikasi primernya, dan dalam
interaksi sosial (termasuk partisipasi
dalam grup afasia).
c. Social and life participation effectiveness
Pendekatan yang berfokus pada pencapaian target di kehidupan sehari-hari,
termasuk pertimbangan apakah pasien
memiliki keluarga yang dapat mendukung dan membantu keseharian hidup
penderita.
2. iPad- Based Speech Therapy
Penelitian pada tahun 1983 menunjukkan bahwa latihan bicara sendiri memakai aplikasi berbasis komputer
yang terstandarisasi pada pasien afasia
akut dan kronik mendapatkan hasil
yang memuaskan. Terapi ini penting
pada pasien-pasien yang membutuhkan
latihan terapi jangka panjang, sehingga
bisa dilakukan secara mandiri. Tujuannya yaitu untuk membiarkan pasien
berperan penting dalarn proses terapinya sendiri, mulai dari menentukan dosis
latihan, batasan kemarnpuan maksimal,
dan target keberhasilan terapinya.
Penelitian terhadap 25 pasien afasia
kronik dengan terapi berbasis komputer
memakai aplikasi terapi berbahasa
tactus therapy solutions pada iPad
memperlihatkanperbaikankemarnpuan
bahasa Aplikasi ini terbagi menjadi
empat kategori latihan, yaitu membaca,
menarnai obyek, memaharni kalimat,
dan menulis, serta menyediakan latihan
kemarnpuan fonologi dan semantik
pada setiap kategori disertai umpan
balik. Terapi ini berpotensi besar untuk
diserta~ dalann program restorasi
jangka panjang pasien afasia dengan
nneneliti serta nnenerjennahkan sesuai
kaidah dan budaya bahasa Indonesia.
3. Repetitive Transcranial Magnetic
Simulation (rTMS)
Saat ini nnulai banyak berkennbang
prosedur stinnulasi langsung (direct)
non-invasif sebagai konnplennenter terapi wicara untuk nnennpercepat proses
pennulihan afasia. Salah satu nnetode
yang saat ini populer yaitu stinnulasi
nnenggunakan transcranial magnetic
stimulation secara repetitif ( rTMS).
TMS nnerupakan suatu nnetode noninvasif dalann nnenginduksi depolarisasi neuron kortikal di bawah tulang
kraniunn. TMS yang diberikan secara
repetitif (rTMS) dengan frekuensi
rendah (<5Hz) pada unnunnnya nnenghasilkan inhibisi sinaps yang serupa
dengan fenonnena long-term depression (LTD). Pada rTMS frekuensi tinggi
(>5Hz) ~ nnenghasilkan fasilitasif
eksitasi sinaps, nnirip dengan fenonnena
long-term potentiation (LTP). Seperti
halnya LTP dan LTD, efek eksitasi dan
inhibisi sinaps yang dihasilkan oleh
rTMS tetap dapat bertahan beberapa
nnenit hingga beberapa jann setelah
stinnulus dihentikan.
Naesser dkk, Martin dkk, Weiduschat
dkk nnelaporkan pemakaian rTMS
frekuensi rendah pada hennisfer nondonninan sebagai terapi konnplennenter
terhadap terapi wicara konvensional
pada penderita afasia pascastroke
nnennberikan hasil yang nnennuaskan.
Tiksnadi dalann laporan kasusnya
Prinsip Dasar Neurorestorasi Pascacedera Sara[
nnenyebutkan hal serupa, bahwa ada perbaikan yang cukup signifikan terhadap kennannpuan berbahasa
sebelunn dan sesudah dilakukan rTMS
pada afasia pascastroke subkortikal.
Didapatkan perbaikan signifikan pada
sennua konnponen nnodalitas bahasa
pascaaplikasi rTMS harlan dengan
frekuensi 4Hz selanna 2 nninggu pada
hennisfer kontralesi. Secara unnunn
terapi ini cukup nnenjanjikan.
PENUTUP
Pada nnasa lannpau, PENGOBATAN penyakitpenyakit neurologi banyak dibatasi oleh
dognna kennustahilan yang nnennbuat orang
(bahkan ternnasuk para neurolog) berpikir
bahwa tidak ada harapan untuk "sennbuh".
Pada nnasa kini dengan kennajuan teknologi
nnutakhir, pennahannan nnengenai patofisiologi penyakit neurologis dan fisiologi proses reorganisasi sistenn saraf yang nnendasari
neurorestoratologi nnenjadi sennakin jelas.
Hal ini turut nnennacu dan nnenjadi dasar
perkennbangan ilnnu neurosains, neurobiologis, neuroprostetik, robotik, dan biomedical engineering untuk kepentingan progrann
neurorestorasi bagi pasien dengan gangguan neurologis. Oleh karena itu, sebaiknya
dipahanni dasar dan prinsip neurorestorasi
denni nnennberikan pelayanan dan tata laksana yang paripurna bagi para pasien.
CEDERA KEPALA
Cedera (injury) merupakan suatu keadaan
yang ditandai adanya stimulus patologis
yang melampaui kemampuan pemulihan (recovery) suatu sel atau jaringan. Bentuk dari
stimulus patologis ini bersifat umum, bisa
berupa r·auma, infeksi, iskemia, atau neoplasma. Dengan demikian, trauma merupakan
salah satu pemicu cedera pada suatu sel
atau jaringan di tubuh man usia.
Cedera kepala yaitu perubahan fungsi otak
atau ada bukti patologi pada otak yang
disebabkan oleh kekuatan mekanik eksternal. Cedera kepala dapat diakibatkan oleh
trauma mekanik pada kepala baik secara
langsung atau tidak langsung yang memicu gangguan fungsi neurologis berupa
gangguan fisik, kognitif, dan fungsi psikososial secara sementara maupun permanen.
Dalam buku ini, istilah cedera kepala sama
pengertiannya dengan trauma kepala.
Konsekuensi akibat cedera kepala dipengaruhi beberapa faktor, seperti usia, faktor komorbid, sepsis, dan PENGOBATAN yang
didapatkan. Selain itu, faktor genetik kini
diketahui turut mempengaruhi konsekuensi
patologis yang mungkin didapatkan pasien.
Komplikasi tersering pascacedera meliputi
aspek neurologis dan non-neurologis. Adanya komplikasi neurologis berupa gangguan
kognitif dan cedera saraf kranial sering tera-
baikan dalam perawatan, sehingga menurunkan kualitas hidup pasien. Oleh karena
itu, dibutuhkan peran neurolog dalam diagnosis dan penanganan tepat sedini mungkin
untuk merestorasi otak dan mengurangi kecacatan hidup semaksimal mungkin.
EPIDEMIOLOGI
Cedera kepala memicu kematian dan
disabilitas di banyak negara di dunia. berdasar data yang didapatkan dari CDC,
sebanyak 1, 7 juta orang mengalami cedera
kepala setiap tahun di Amerika Serikat.
Prevalensi nasional cedera kepala menurut
Riskesdas 2013 yaitu 8,2%, meningkat
0,7% dibandingkan tahun 2007. Sebanyak
40,6% cedera kepala diakibatkan oleh kecelakaan motor. Menurut sebaran kelompok usia, cedera kepala lebih banyak terjadi
pada pasien dengan usia produktif. Hal ini
tentunya berdampak besar pada aspek sosial ekonomi.
PATOFISIOLOGI
Patofisiologi cedera kepala diawali dengan
pemahaman mengenai biomekanika trauma. Benturan kepala akan menimbulkan
respons pada tengkorak dan otak, misalnya
perge-rakan (displacement). Secara klinis,
respons ini dapat berupa fraktur dan cedera
otak. Risiko pasien mengalami fraktur dan
cedera otak ini bergantung kepada faktor akselerasi kepala dan durasi gaya mekanik
pada kepala. Benturan pada permukaan
yang keJ;"aS memiliki durasi singkat dengan akselerasi tinggi. Sementara itu, durasi yang lebih lama pada permukaan yang
kurang keras menurunkan risiko fraktur,
namun tidak untuk cedera otak, asalkan akselerasinya tetap tinggi. Pemahaman inilah
yang memicu ada kasus dengan fraktur tengkorak tanpa perdarahan otak, atau
cedera aksonal difus tanpa fraktur tengkorak.
Akselerasi kepala memiliki dua komponen
sesuai arah vektornya, yaitu translasi ( sumbu
sagital, koronal, dan aksial) dan rotasi. Akselerasi translasi membuat kepala bergerak
secara sirkular. Sementara itu, akselerasi
rotasi membuat kepala berubah sudutnya
terhadap sumbu sentral. Selain akselerasi,
kepala juga dapat mengalami deselerasi/
perlambatan yang merupakan bentuk negatif dari akselerasi. Akselerasi timbul karena
kepala yang bergerak, sedangkan deselerasi
muncul sebagai akibat dari kepala yang terbentur. Saat kepala yang sedang bergerak
lalu terbentur, terjadi kombinasi akselerasi
translasi dan rotasi serta deselerasi. Pergerakan akibat proses akselerasi dan deselerasi
ini yang menimbulkan tarikan dan regangan
pada otak dan gesekan antara otak dengan
tengkorak, sehingga bermanifestasi klinis
dan terlihat kelainan pada pencitraan.
ada dua tipe cedera kepala yang terbentuk, yaitu cedera tumpul dan cedera
tembus. Adanya penetrasi dura mater
merupakan tolok ukur untuk menentukan
cedera kepala disebut tumpul atau tembus.
Cedera tumpul umumnya disebabkan oleh
mekanisme akselerasi atau deselerasi cepat
pada kepala dengan atau tanpa benturan
(Gambar 1). Tipe cedera ini umumnya terjadi pada kasus kecelakaan lalu lintas atau
jatuh dari ketinggian. Di lain pihak, cedera
tembus merupakan cedera akibat penetrasi
tulang tengkorak oleh objek eksternal, misalnya tembakan peluru atau tusukan benda tajam. Cedera tembus juga dapat merupakan cedera kolateral akibat adanya obyek
eksternal yang mengenai kepala dan memicu fraktur impresi hingga terjadi
penetrasi ke dalam rongga kranial.
Cedera tembus kecepatan rendah memicu cedera langsung pada pembuluh
darah, saraf, dan jaringan otak, dengan komplikasi perdarahan dan infeksi. Cedera ternbus kecepatan tinggi, misalnya tembakan
peluru, seringkali memicu terbentuknya luka tembus masuk dan keluar pada
tengkorak dan memicu kerusakan
otak ekstensif.
Gaya mekanik eksternal yang mengenai kepala menimbulkan cedera otak primer dan
sekunder. Cedera otak primer terjadi karena
efek sangat segera (immedia te effect) pada
otak akibat gaya mekanik eksternal saat
trauma terjadi. Di lain pihak, cedera otak
sekunder terjadi beberapa saat setelah kejadian trauma akibat jalur kompleks, yang
berkembang dan memicu kerusakan
otak lebih luas. Baik cedera otak primer
maupun sekunder dapat memicu
lesi patologis fokal atau difus (Tabel 1).
Pada cedera otak primer, lesi difus dapat
berupa cedera aksonal difus dan cedera
vaskular difus, sedangkan lesi fokal berupa
kontusio fokal, perdarahan intraserebral,
perdarahan subdural, dan perdarahan epidural. Sementara itu, bentuk cedera otak
sekunder dapat berupa edema otak, cedera
iskemik, cedera hipoksik, difus, dan disfungsi metabolik. Semua bentuk cedera otak
sekunder dapat terjadi secara difus atau fokal. Pada kenyataannya, beberapa lesi dapat
terjadi pada setiap kasus cedera kepala,
misalnya perdarahan epidural dan kontusio
fokal, atau cedera aksonal difus dan perdarahan subaraknoid.
Di samping cedera otak sekunder ini , konsekuensi lanjutan dari cedera otak
primer dapat berupa kerusakan sekunder
(secondary insult), seperti hipotensi, hipoksia, demam, hipojhiperglikemia, gangguan
elektrolit, anemia, kejang, dan vasospasme.
Di antara semua itu, faktor yang paling berpengaruh terhadap prognosis buruk yaitu
hipotensi dan hipoksia yang akan memperberat cedera_otak.
Cedera otak primer akibat benturan pada
kepala menimbulkan serangkaian proses
yang pada akhirnya menjadi cedera otak
sekunder (Gambar 2). Saat benturan terjadi, neuron mengalami regangan dan
tarikan yang termasuk dalam cedera otak
primer. Peristiwa ini mengganggu integritas dan kerja pampa ion membran sel, terjadi perpindahan ion natrium dan kalsium
ke intrasel dan ion kalium ke ekstrasel. Hal
ini akan meningkatkan konsentrasi ion kalsium intrasel yang kemudian memiliki konsekuensi, yaitu aktivasi calpain yang bisa
mendegradasi protein sitoskeletal dan in-
duksi penglepasan glutamat yang akhirnya
mengaktivasi reseptor N-metil-0-aspartat
(NMDA).
Selanjutnya terjadi konsentrasi ion kalsium
di mitokondria, sehi ngga terbentuk banyak
radikal be bas (reactive oxygen speciesjROS),
aktivasi kaspase, apoptosis neuron, dan
fosforilasi oksidatif inefisien. Konsekuensi
terakhir ini selanjutnya akan memicu
metabolisme anaerob dan pada akhirnya
kegagalan energi. Inilah yang menjadi inti
permasalahan karena neuron membutuhkan energi yang cukup pada kondisi cedera.
Neuron dengan kegagalan energi tidak
dapat berfungsi normal dan selanjutnya terjadi asidosis, edema, dan iskemia yang menambah berat kerusakan otak.
Berikut yaitu beberapa contoh lesi fokal
dan difus akibat cedera kepala:
Lesi Fokal
1. Cedera scalp
Cedera fokal pada scalp dalam bentuk laserasi dan abrasi dapat menjadi penanda
penting untuk menentukan tempat terjadinya benturan dan dapat memberikan gambaran obyek yang mengenainya.
Laserasi scalp merupakan hal penting
yang harus diperhatikan karena dapat
menjadi jalur masuk infeksi dan sumber perdarahan. Sementara, adanya memar tidak selalu menjadi penanda yang
berhubungan dengan lokasi benturan,
sebagai contoh: (1) memar periorbita
seringkali berkaitan dengan patah tulang orbita akibat cedera contra-coup
pada oksiput, (2) memar pada mastoid
(tanda Battle) dapat disebabkan oleh aliran darah dari fraktur yang terjadi pada
tulang temporal pars petrosus.
2. Fraktur basis kranii
Fraktur basis kranii dapat menjadi indikasi besarnya energi mekanik yang
mengenai kepala. Energi mekanik yang
mengenai daerah yang luas pada tengkorak memicu fraktur kominutif, sedangkan pada daerah yang sempit
memicu fraktur impresi. Fraktu
basis kranii dapat memicu bocornya cairall. serebrospinal dan mengisi sinus-sinus, sehingga dapat menjadi
sumberinfekshntrakranial (Gambar 3).
3. Kontusio dan laserasi serebri
Robekan (laserasi) pada pia mater
seringkali berhubungan dengan jejas
pada otak (kontusio). Pada kontusio
serebri, parenkim otak mengalami edema dan perdarahan.
Jejas yang ada tepat di titik trauma
disebut jejas coup, sedangkan yang ada
di sisi kontralateral titik trauma disebut jejas countercoup (Gambar 4). Sebagai contoh, benturan di kepala bagian depan akan
menghasilkan jejas coup di lobus frontal
dan jejas countercoup di lobus oksipital
Jejas coup umumnya terjadi pada kasus akselerasi cepat, misalnya saat kepala dipukul
dengan benda keras. Sementara itu, jejas
countercoup umumnya terjadi pada kasus
d_eselerasi cepat, misalnya jatuh dari atas
gedung. Saat seseorang jatuh dari suatu
ketinggian, kepala mengalami akselerasi
akibat gravitasi bumi dan diikuti deselerasi
cepat akibat menghantam tanah.
Perdarahan pada .kontusio serebri dapat
meningkatkan tekanan intrakranial (TIK).
Perdarahan dapat meluas hingga ke substansia alba dan rongga subdural, yang
umumnya terjadi pada lobus frontal dan
temporal (Gambar 5). Dalam beberapa hari,
perdarahan ini akan diabsorbsi oleh otak,
sehingga menghasilkan kavitas pada girus
otak. Perdarahan dapat bersifat asimptomatik, namun memiliki risiko memicu
epilepsi di kemudian hari. Diskontinuitas jaringan otak akibat kontusio disebut sebagai
laserasi otak.
4. Perdarahan intrakranial
a. Perdarahan e'pidural
Perdarahan ini lebih sering terjadi
pada pasien usia muda (10- 30 tahun). Hal ini diakibatkan adanya
fraktur linear tengkorak, terutama di
tulang temporal pars skuamosa yang
memicu robeknya arteri meningea media. Oleh karena itu predileksi perdarahan epidural dLarea temporal atau temporo-parietal (70- 80%).
Perdarahan ini ditandai dengan akumulasi darah di antara dura mater
dan tulang tengkorak, sehingga gambaran hematomnya khas berbentuk
cembung atau bikonveks (Gambar 6).
Volume perdarahan merupakan penanda
luaran pasien dengan perdarahan epidural. Pasien dengan volume darah lebih
dari 150mL memiliki prognosis yang
lebih buruk.
b. Perdarahan subdural
Perdarahan subdural (Gambar 7)
merupakan perdarahan akibat robeknya vena jembatan (bridging vein) terutama yang berdekatan dengan sinus
sagital superior. Perdarahan subdural
umumnya diseb.abkan oleh akselerasi
atau deselerasi kepala dengan atau
tanpa benturan langsung. Perdarahan subdural seringkali dialami oleh
pasien lanjut usia karena umumnya
telah terjadi atrofi otak yang memicu meningkatnya kapasitas otak
untuk bergerak di dalam rongga otak.
Perdarahan subdural dapat terjadi
akut ( <3 hari), subakut (3 hari - 3 minggu awitan), atau kronik (lebih dari 3
minggu awitan). Perdarahan subdural
akut terdiri atas bekuan darah yang
lembut (seperti gel). Setelah beberapa
hari, bekuan ini akan dipecah
menjadi cairan serosa dan setelah
1-2 minggu akan terbentuk jaringan
granulasi dengan fibroblas dan pembuluh darah baru.
Walaupun perdarahan biasanya akan
direabsorbsi, seringkali terjadi perdarahan ulang akibat pembuluh darah
baruyangimatur. Disampingitu, perdarahan subdural kronik seringkali terjadi pada pasien lanjut usia, orang
yang rutin mengonsumsi alkohol, dan
pasien dengan tekanan intrakranial
rendah, seperti pasien hidrosefalus
dengan pirau ventrikuloperitoneal
(ventriculoperitonea/ shunt).
c.
Akumulasi darah di subaraknoid dapat terjadi setelah cedera kepala, terutama yang
berhubungan dengan kontusio dan laserasi.
seringkali menjadi penyulit pada kasus perdarahan intraventrikular karena kebocoran (leakage)
darah e ruang sUbaraknoid melalui foramen Luschka dan Magendie. Perdarahan
subaraknoid karena cedera kepala biasanya terdistribusi di sulkus-sulkus serebri di
sekitar verteks dan tidak mengenai sistema
basalis (Gambar 8). seringkali terjadi akibat benturan
pada otak atau leher dan memicu hilangnya kesadaran secara langsung. Komplikasi kronik
yaitu terbentuknyahidrosefalus.
d. Perdarahan intraventrikular
Perdarahan intraventrikular pada cedera
kepala biasanya akibat sekunder dari
perdarahan intraserebral pada daerah
ganglia basal atau kontusio serebri.
e. Perdarahan intraserebral
Perdarahan intraserebral (Gambar 9)
dapat muncul secara sekunder dengan
kontusio atau berhubungan dengan cedera
akson difus. Perdarahan ini umumnya terbentuk di daerah ganglia basal, talamus,
dan substansia alba bagian parasagital.
Lesi Difus
1. Cedera aksonal difus
Cedera aksonal difus memiliki beberapa
pemicu . Selain cedera kepala, hal ini
juga dapat disebabkan oleh hipoksia,
iskemia, dan hipoglikemia. Karakteristik cedera akson yang diakibatkan oleh
cedera kepala berbeda dengan keadaan
hipoksik iskemik.
Cedera aksonal difus disebabkan oleh
akselerasi atau deselerasi cepat kepala,
terutama jika ada gerakan rotasional
atau koronal. Umumnya terjadi pada kasus kecelakaan lalu lintas dan jatuh dari
ketinggian. Secara patologi, cedera aksonal difus dicirikan dengan kerusakan
akson dan perdarahan petekie. Petekie
ini muncul secara instan dan menentukan derajat cedera aksonal aksonal difus
(Tabel2).
Secara klinis, pasien akan kehilangan
kesadaran sejak terjadinya cedera, disabilitas berat, dan status vegetatif yang
persisten. Oleh karena kerusakan yang
terjadi di tingkat akson, maka gambaran CT scan sering tidak menunjukkan
kelainan. Pada kondisi ini, pemeriksaan
MRI dapat dikerjakan untuk melihat lesi
patologis di parenkim.
2. Cedera vaskular difus
Berbeda dengan cedera aksonal difus
yang melibatkan akson, cedera vaskular
difus didominasi oleh keterlibatan pembuluh darah. Beberapa pasien cedera
kepala yang mengalami akselerasi atau
deselerasi cepat dan parah dapat mengalami perdarahan petekie pada otak
tanpa s