neurologi 26

 











rada 

di sekitar vertebra. Semakin tebal jaringan 

lunaknya, semakin rendah efektivitas dari 

korset itu sendiri. Selain ketebalan jaringan 

lunak, panjang korset juga mempengaruhi 

efektivitas. Korset yang panjang memberikan stabilisasi spinal yang lebih baik daripada korset yang pendek.  

Selain korset, rehabilitasi yang bisa diberikan pada pasien tumor spinal yaitu  terapi 

fisik dan okupasi. Pasien dengan tumor 

spinal biasanya memiliki keterbatasan mobilisasi. Kondisi ini selanjuntnya dapat menimbulkan gangguan respitasi, penurunan 

fungsi otot, dan gangguan integritas integumen ( dekubitus ). Terapi fisik meliputi 

mobilisasi bertahap, mulai di tempat tidur  

hingga berjalan, dan latihan (exercise) penguatan otot abdomen dan ekstensor. Terapi 

okupasi meliputi pemberian alat bantu dan 

pembelajaran untuk bisa ke kamar mandi 

dan mengurus diri sendiri. 

CONTOH KASUS 

Kasus 1 

Perempuan 52 tahun datang dengan keluhan nyeri pada punggung sejak 8 bulan lalu. 

Nyeri dirasakan di antara kedua tulang belikat. Awalnya, nyeri masih hilang timbul dan 

berkurang dengan minum obat penghilang 

nyeri dari warung. Sejak 2 bulan lalu, nyeri 

punggung bertambah berat dan mengganggu 

aktivitas. Selain itu, pasien juga mulai mengeluhkan kelemahan pada kedua tungkai. Sejak 

sebulan lalu, pasien mulai mengeluhkan baa! 

pada kedua tungkai. Keluhan nyeri punggung, 

kelemahan tungkai, dan baa! pada kedua tungkai dirasakan semakin progresifhingga akhirnya pasien sekarang hanya dapat berbaring di 

tempat tidur dan mulai mengompol. Pasien 

memiliki riwayat operasi mastektomi mammae kiri 10 tahun lalu. Hasil patologi anatomi 

dikatakan karsinoma mammae duktal invasif jenis solid tubular; grade II. Pasien sempat 

menjalani kemoterapi 3 tahun lalu. 

Pemeriksaan neurologi menunjukkan 

paraplegia UMN, hipestesi setinggi dermatom torakal 7 ke bawah, dan retensi uri. 

Pemeriksaan MRI vertebra dengan kontras 

menunjukkan proses metastasis intrakorpus vertebra Th 8 (Gambar 12). 

Pasien diDiagnosa  tumor spinal metastasis ekstradural dengan primer karsinoma 

mammae. PENGOBATAN pada pasien ini 

yaitu  pemberian korset, radioterapi paliatif, dan terapi bisfosfonat.  

Kasus 2 

Perempuan 60 tahun memiliki keluhan kesemutan pada kedua tungkai sejak 8 bulan lalu. 

Kesemutan disertai rasa kencang dari perut 

bawah sampai telapak kaki. Keluhan ini dirasakan terus menerus. Sejak 7 bulan lalu, pasien 

mengeluhkan kulitnya terasa kering dan jarang 

berkeringat dari perut bawah sampai kedua 

tungkai. Kedua tungkai mulai terasa berat 'untu!< berjalan. Sejak 3 bulan lalu, kelemahan 

kedua tungkai memberat. Pasien juga mengeluh ada rasa terikat di daerah pinggang. Selain 

itu, pasien juga mengeluhkan sulit menahan 

berkemih dan buang air besar. Pasien memiliki 

riwayat pemakaian  pil KB selama 5 tahun dan 

riwayat kanker payudara pada anak pasien. 

Tumor Spinal 

Pemeriksaan fisik neurologi menunjukkan 

paraparesis UMN (kekuatan 2/5 pada kedua 

tungkai), hipestesi setinggi dermatom torakal 12 ke bawah, dan inkontinensia uri et 

alvi. Pemeriksaan MRI vertebra toral<al dengan kontras menunjukkan tumor intradural, ekstramedula setinggi vertebra torakal 

10 yang mendesak dan menekan mielum ke 

arab kanan (Gambar 13). Pasien kemudian 

dilakukan operasi dan basil patologi anatomi menunjukkan meningioma campuran 

jenis meningothelimatosa, transisional dan 

jenis psammomatosa (WHO grade 1). Diagnosis pasien ini yaitu  tumor spinal intradural ekstramedula, yaitu meningioma.  



PRINSIP DASAR NEURORESTORASI 

PASCACEDERA SARAF 


Neurorestorasi berasal dari kata "neuro-logy" 

dan "re-store" yang berarti upaya renovasi untuk mengembalikan ke kondisi atau 

fungsi semula. Neurorestorasi didefinisikan 

sebagai cabang ilmu neurologi yang menerapkan prosedur aktif dalam meningkatkan atau 

memperbaiki fungsi sistem sarafyang terganggu, baik secara fungsional maupun patologis. 

Pendekatan ini dilakukan melalui modifikasi 

selektif pada struktur dan fungsi sarafyang abnormal berdasar  mekanisme penyakit, serta ekskalasi kapasitas fungsional sistim saraf 

yang tersisa danfatau aktivasi sistim sarafyang 

sebelumnya masih tersamar (World Congress of 

Neurology Hamburg, 1985). 

Ilmu yang mempelajari neurorestorasi disebut neurorestoratologi, yang didefinisikan 

sebagai ilmu neurosains yang mempelajari 

regenerasi neuron, neural structural repair 

of replacement, neuroplastisitas, dan neuromodulasi. Tujuan utama dari pengembangan 

ilmu ini yaitu  untuk meningkatkan proses 

pemulihan fungsional neuron yang rusak 

atau terganggu karena sebab apapun, termasuk akibat penyakit neurodegeneratif. 

Ada 5 dogma yang berperan dalam ilmu 

neurorestorasi, yang disebut sebagai 5N's 

dogma, yaitu neuroregenerasi, neurorepair, 

neuroplastisitas, neuromodulasi, dan neurorehabilitasi. "Neuroproteksi" sendiri di- 

anggap sudah terca~p dalam definisi neurorestorasi secara urn urn. 

Ada 4 prinsip yang penting untuk dipikirkan 

dalam melakukan upaya neurorestorasi, 

yaitu: 

1. Keterbatasan regenerasi neuron (limited 

regeneration) 

2. Tidak instan, melainkan melalui proses 

pembelajaran ulang (relearning) 

3. Kapasitas reservasi otakfsarafyangkurang 

memadai (insufficient reserve); konsep 

yang men~mbarkan diskrepansi antara 

derajat kerusakan saraf secara patologis 

dengan derajat manifestasi klinis. 

4. Lifelong reinforcement; sama seperti keterampilan yang perlu terus dilatih dan 

diasah seumur hidup. 

Ada aturan 4 langkah dalam neurorestoratologi yang perlu dilakukan untuk mendapatkan basil yang efektif, yaitu: 

1. Neurorestorasi struktural neuron 

2. Signaling neurorestorasi 

3. Neurorestorasi rehabilitatif 

4. Neurorestorasi fungsional 

Pada bab ini akan dibahas juga aplikasi neurorestorasi pada keadaan khusus yang paling sering terjadi dan membutuhkan prosedur terse but, yaitu pascastroke dan afasia.  

NEUROPLASTISITAS 

Di masa yang lampau, para ahli berpendapat 

bahwa otak berhenti tumbuh pada masa 

kanak-kanak dan tidak mempunyai kemampuan untuk beregenerasi. Mereka juga percaya bahwa koneksi antar saraf (sinaps) hanya terbentuk pada suatu peri ode kritis pada 

masa kanak-kanak ini  dan menetap, 

tidak berubah seiring dengan pertambahan 

umur. Oleh karena itu, pada masa ini  

jika ada suatu kerusakan area di otak, 

akibat yang terjadi akan bersifat permanen, 

karena serabut saraf tidak bisa beregenerasi 

maupun membentuk sinaps baru. 

Namun studi dan eksperimen baik pada 

hewan coba maupun pada manusia menunjukkan sebaliknya. Otak terbukti memiliki kemampuan untuk beregenerasi dan 

melakukan modifikasi bentuk struktural 

dan sekaligus fungsinya secara kontinu 

sepanjang hidupnya. Perubahan struktural dan fungsional ini terjadi melalui mekanisme penambahan atau pengurangan 

koneksi sinaps. Fenomena ini dikenal dengan istilah neuroplastisitas.  Neuroplastisitas, berasal dari kata "neuro" dan 

bahasa Yunani "plastos" yang berarti molded 

atau materi yang bisa dibentuk, seperti tanah 

liat. Dengan neuroplastisitas inilah neuron di 

otak beradaptasi dan menyesuaikan fungsinya 

sebagai respons terhadap situasi baru atau 

perubahan yang terjadi. Adanya paparan terhadap stimulus pada umumnya akan memicu penambahan dan perubahan sinaps 

(Gambar 1), misal saat seseorang mempelajari keterampilan baru, seperti belajar naik 

sepeda, belajar menyetir; bela jar berjalan, atau 

belajar berbicara. Namun penambahan jumlah sinaps juga dapat berakibat merugikan, 

seperti yang terjadi pada nyeri neuropatik. 

Sebaliknya pada kondisi hilangnya paparan 

suatu stimulus, misalnya akibat kematian sel 

pascastroke, atau adanya suatu keterampilan 

yang pernah dipelajari dan tidak dipergunakan kembali, maka fenomena neuroplastisitas 

yang terjadi berupa pengurangan sinaps yang 

telah terbentuk sebelumnya. Secara kllinis 

hal ini bermanifestasi sebagai hilangnya atau 

berkurangnya kemampuan seseorang dalam 

melakukan keterampilan terse but.  

Paparan stimulus akan memicu terbentuknya sinaps-sinaps baru: (A) kondisi 

sebelum paparan stimulus; (B) kondisi 

pascapaparan stimulus; (C) variasi bentuk 

dendrit yang berubah pascaterbentuknya 

sinaps-sinaps baru 

Cederapadasusunansarafpusat(SSP)akan 

mempengaruhi baik neuron pre maupun 

pascasinaps melalui beberapa mekanisme, 

yaitu perubahan proyeksi aksonal, denervasi, dan eliminasi sebagian neuron. Berikut 

akan dibahas proses yang terjadi pacta neuron-neuron terse but pascacedera SSP. 

PERUBAHAN PADA NEURON PRESINAPS 

Suatu cedera yang memicu terputusnya 

akson [axotomy) akan memicu degenerasi pacta bagian distal dari area yang 

mengalami cedera, yang disebut degenerasi 

Wallerian. Kontak neuron presinaps dengan 

neuron pascasinaps akan terputus. Neuron presinaps dari sel-sel yang mengalami 

Prinsip Dasar Neurorestorasi Pascacedera Saraf 

kerusakan akan kehilangan sel target untuk 

diinervasi. Akibat proses ini, ada beberapa perubahan pacta neuron presinaps, 

an tara lain: 

1. Atrofi dan degenerasi retrograd 

Neuron presinaps mengalami atrofi dan 

degenerasi (kematian sel) yang dimulai 

dari bagian akson terminal, mundur ke 

belakang sampai ke bagian badan sel 

(Gambar 2). 

Ada beberapa faktor yang memengaruhi 

derajat atrofi dan degenerasi retrograd, 

di antaranya: 

a. Lokasi trauma; semakin proksimallesi, 

semakin berat atrofi dan degenerasi. 

b. Ekstensi serabut proyeksi ke sel target; semakin banyak proyeksi kolateral dari akson yang mengalami cedera, 

semakin ringan derajat atrofi dan degenerasi retrograd yang terjadi.  

2. Synaptic stripping 

Pada kerusakan akson, sinaps-sinaps antarneuron disekitarnya juga akan mengalami 

gangguan. Sinaps yang mengalami disfung-

. si ini  akan dieliminasi oleh mikroglia 

sebagai mekanisme alamiah tubuh. Sinaps 

yang hilang ini dapat terbentuk kembali jika 

neuron pascasinaps beregenerasi kembali. 

3. Degenerasi berantai (cascading degeneration) 

Proses kematian sel neuron dapat terjadi 

secara retrograd dan mempengaruhi sekelompok neuron (transneuronal). Degenerasi retrograd dan transneuronal tidak 

selalu terbatas pada satu jaringan sinaps 

saja, melainkan bisa terjadi pada seluruh 

jaringan sinaps di neuron ini  Bila 

ada neuron yang mengalami denervasi, 

maka neuron sekitar yang menjadi sel 

target juga akan dapat mengalami denervasi dan degenerasi. Proses ini dapat terus 

berlanjut dan mempengaruhi neuron-neuron berikutnya sehingga memicu  

kerusakan yang luas. Fenomena ini dikenal 

sebgai fenomena degenerasi berantai. 

4. Delayed neuronal death pascaiskemia 

berdasar  studi, ada sekelompok, 

neuron }rang dapat bertahan pada iskemia akut Bila iskemia berlanjut, neuronneuron ini akan mengalami kematian 

dalam waktu beberapa jam hingga beberapa.hari kemudian. Kelompok neuron 

yang rentan terhadap proses ini ada 

di daerah korteks dan hipokampus. 

5. Demielinisasi 

Salah satu bentuk lain degenerasi sebagai 

respons terhadap cedera akson yaitu  kematian sel oligodendroglia yang berujung 

pada demielinisasi akson. Proses kematian 

ini terjadi melalui proses apoptosis yang 

terus berlangsung selama beberapa hari 

sampai beberapa minggu pascacedera 

PERUBAHAN NEURON PASCASINAPS 

Kematian sel neuron presinaps dapat memicu perubahan neuron pascasinaps 

akibat hilangnya input sinaps normal. Perubahan ini  dapat bervariasi dari ringan 

sampai berat, antara lain: 

1. Supersensitifitas denervasional 

Pada fenomena ini, sel pascasinaps menjadi 

lebih sensitif terhadap neurotransmiter. 

ada peningkatan jumlah dan distribusi reseptor di membran pascasinaps. 

2. Atrofi transneuronal 

Denervasi akan memicu ukuran sel 

pascasinaps mengecil atau mengalami 

kematian sel. Fenomena ini dapat bersifat 

reversibel. Sebagai contoh, ukuran neuron yang mengalami atrofi dapat kembali 

seperti semula hila terjadi reinervasi. 

3. Degenerasi transneuronal 

Pada degenerasi transneuronal, denervasi memicu kematian neuron 

pascasinaps. 

REORGANISASI KONEKSI NEURONAL 

PASCACEDERA 

Proses regenerasi pascakerusakan akson 

· merupakan bagian dari proses reorganisasi koneksi neuronal. Saat akson terputus, 

bagian distal dari lokasi cedera akan mengalami degenerasi Wallerian, sedangkan 

segmen proksimal akart memendek dan 

membentuk retraction ball pada bagian 

ujung yang terputus (Gam bar 3).  

Proses regenerasi akson dan reorganisasi 

koneksi neuronal selanjutnya tergantung 

dari situasi dan kondisi yang ada, akan berbentuk salah satu atau beberapa proses 

berikut: 

1. Regenerasi bonafide: pemanjangan akson saja tanpa cabang-cabang kolateral 

2. Regenerasi abortif: ditandai dengan terbentuknya konus dystrophic growth dan 

tangled arbors (Gambar 4). 

3. Regenerasi produktif: terjadi formasi 

cabang-cabang kolateral baru pada 

ujung situs cedera  

a. Regenerasi dan sprouting aksonal 

Akson beregenerasi dengan menumbuhkan cabang-cabang akson terminal 

baru (Gambar 5). 

b. Regenerasi supernumerary co/laterals 

Regenerasi akson terjadi dengan menumbuhkan cabang-cabang kolateral 

dari badan akson, bukan dari bagian 

akson terminal (Gambar 5). 

4. Pruning-related sprouting 

Pada beberapa kasus, neuron yang kehilangan beberapa sel target akan memperbanyak jumlah koneksi tambahan di  

area lain yang tidak mengalami kerusakan. 

Sebagai contoh, pada sebuah neuron yang 

memiliki 2 proyeksi kolateral ke sel-sel target yang berbeda, kematian salah satu sel 

target akan meningkatkan jumlah proyeksi 

kolateral sel target yang masih utuh (Gambar 6). Fenomena ini dikenal pula dengan 

istilah ectopic axonal re-direction. 

Sprouting kolateral yang terbentuk akibat kematian salah satu neuron pascasinaps justru memperkuat innervasi 

neuron pascasinaps lain, yang tidak 

mengalami cedera (normal). 

Berbagai mekanisme ini  merupakan 

tantangan bagi pengemban ilmu penyakit 

saraf untuk dapat mempergunakan fenomena 

neruoplastisitas dalam pemulihan lesi saraf. 

Ada beberapa hal yang mempengaruhi efektivitas reinervasi dari neuron yang mengalami denervasi, yaitu: 

1. Prinsip proksimitas 

Semakin kecil jarak antara lokasi cedera, 

semakin besar kemungkinan terjadinya 

reinervasi sinaps. 

2. Fokalitas denervasi yang terjadi 

Prognosis reinervasi pada suatu denervasi yang bersifat difus lebih baik daripada reinervasi pada denervasi yang 

bersifat fokal (Gam bar 7). 

3. Spesifisitas dan kompetisi 

Bila dua sistem yang homolog sama-sama 

menginervasi suatu area, hilangnya salah 

satu sistem akan memicu  sprouting 

dari sistem yang masih utuhfsehat Bila 

area ini  memiliki preferensial terhadap suatu stimulus tertentu, maka sprouting yang terjadi bisa berupa akson yang 

memberikan stimulus yang sama ( spesi- 

fik), namun  bisa pula berupa stimulus yang 

berbeda dari preferensinya (kompetitif). 

4. Target availability 

Pembentukan sinaps atau sinaptogenesis, 

baik akibat regenerasi sprouting, pruningrelated sprouting, maupun axonal redirection tidak akan terjadi tanpa peran 

sel target (neuron pascasinaps). Neuron 

pascasinaps harus bisa mengirimkan 

sinyal-sinyal penting untuk "memanggil" 

dan merangsang regenerasi agar dapat 

mencapai sel target, dan meminimalkan 

proyeksi ektopik (misdirection sprouting). 

5. Usia 

Regenerasi lebih baik dan lebih cepat 

terjadi pada usia muda bila dibandingkan usia lebih tua. 

NEURORESTORASI FUNGSIONAL 

Proses reorganisasi otak pascastroke 

merupakan contoh yang paling baik untuk 

memahami proses neurorestorasi fungsional pasca suatu cedera SSP. Dari banyak 

studi yang telah dilakukan, terutama yang 

mempelajari fisiologi pemulihan fungsi motorik pascastroke, proses reorganisasi ini 

terbagi menjadi beberapa jenis, yaitu: 

1. Reorganisasi lokal 

Salah satu proses reorganisasi otak untuk memulihkan fungsi kontrol motorik 

yang rusak yaitu  melalui reorganisasi 

somatotopik, atau fenomena yang disebut vikariasi (vicariation). Fenomena 

ini diajukan oleh Donoghue pada tahun 

1990. Area di sekeliling infark (penumbra) akan mengambil alih kontrol motorik dengan mengaktifkan jaras-jaras 

dengan representasi motorik yang sebelumnya "tertidur".  

2. Pemulihan diaskisis (diaschisis) 

Disebut juga lesi imbas, yaitu gangguan 

fungsinal pada area yang secara anatomi 

terletak jauh dari area yang rusak. Diaskisis merupakan respons alamiah akibat 

terganggunya sistem "networlt' fungsional 

di otak. Lesi ini umumnya terjadi pada 

area-area yang bekeija sama dengan erat, 

misalnya pusat menelan dan pusat motorik primer untuk ekstremitas. Contohnya, 

pada stroke akut yang menunjukkan 

iskemia hanya pada area korteks motorik primer (tanpa tanda-tanda iskemia 

di daerah batang otak), sering dijumpai 

gangguan menelan (disfagia) akut yang 

menyertai hemiplegia kontralateral. Disfagia ini teijadi sebagai akibat fenomena 

diaskisis ini , teijadi gangguan fungsional tanpa kelainan struktural di area 

yang letaknya jauh dari lesi primer. Hal ini 

umumnya hanya berlangsung sebentar 

dan dapat pulih seperti sediakala. 

3. Reorganisasi area sekunder 

Pada kerusakan luas yang memicu 

kerusakan sel neuron perilesional ( di sekeliling lesi) dengan fungsi somatotopik, 

reorganisasi akan teijadi pada area somatotopik sekunder yang letak anatominya 

beijauhan dengan lesi. Sebagai contoh, 

aktivasi jaras di area korteks premotorik dan area motorik suplementer atau 

supplementary motor area (SMA) pada 

kerusakan korteks motorik primer. 

4. Reorganisasi bihemisfer 

Berbagai studi pencitraan terhadap 

masa pemulihan pascastroke memperlihatkan aktivitas sensorimotor yang meluas hingga ke hemisfer yang sehat atau 

hemisfer kontralesi. Pada awalnya di- 

Prinsip Dasar Neurorestorasi Pascacedera Saraf 

duga bahwa aktivasi hemisfer kontralesi 

dapat meningkatkan prognosis pemulihan fungsi motorik. Namun beberapa 

studi terbaru cenderung membuktikan 

hal sebaliknya, yaitu aktivasi hemisfer 

yang sehat cenderung merugikan atau 

dihubungkan dengan pemulihan fungsi 

motorik yang lebih buruk. 

Pasien dengan perbaikan fungsi motorik 

minimal menunjukkan peningkatan aktivitas pada hemisfer kontralesi dan aktivasi 

minimal pada hemisfer ipsilesi. Adapun 

pasien dengan pemulihan fungsi motorik 

optimal menunjukkan aktivasi di hemisfer 

ipsilesi yang lebih tinggi dibandingkan aktivasi hemisfer kontralesi. Hingga saat ini, 

peran area homolog di hemisfer kontralesi 

masih menjadi perdebatan, sebagai pemicu  buruknya pemulihan fungsi motorik 

atau hanya merupakan epifenomena akibat ketidakmampuan hemisfer ipsilesi untuk mengaktifkan area yang dibutuhkan. 

NEURORESTORASIPASCASTROKE 

Saat ini, hanya kurang dari 10% penderita 

stroke iskemik yang bisa mendapatkan 

terapi rTPA yang secara bermakna memperbaiki luaran pasca stroke ini. Sisanya, 

stroke survivors harus mengadapi berbagai 

masalah disabilitas berat, seperti hemiparesis, disfagia, afasia, dan lain sebagainya. 

Kemajuan sains dan teknologi mutakhir telah 

membuka jalan bagi perkembangan ilmu neurosdence, neurobiologis, neuroprosteti~ robotic, 

biomedical engineering untuk program neurorestorasi pasien dengan gangguan neurologis. 

Rangkuman berbagai modalitas neurorestorasi pascastroke yang sedang berkembang dapat dilihat pada Tabell.  

Adapun PENGOBATAN neurorestorasi mempunyai strategi dan tujuan yang berbeda pada 

stroke fase akut, subakut, dan kronik, yaitu: 

PENGOBATAN atau intervensi pada pasien 

pascastroke hams mempertimbangkan proses patologik ( sumbatan atau perdarahan ), 

onset, serta mekanisme neuroanatomi dan 

neurofisiologi. Penatalaksanaan multidisiplin 

yang terpadu (organized stroke care) di unit 

stroke RSUPN Cipto Mangunkusumo yang 

sesuai dengan penemuan di kawasan lain di 

dunia berhasil menurunkan angka kematian 

akibat stroke sampai di bawah 5%. 

1. PENGOBATAN Neurorestorasi Rehabilitatif Fase Akut 

Intervensi neurorestorasi rehabilitatif 

pada fase akut ditujukan sedini mungkin 

untuk meminimalkan gejala sisa dengan 

membantu perbaikan perfusi otak dan 

mencegah komplikasi imobilisasi, sehingga tercapai pemulihan fungsional 

yang optimal. 

a. Mobilisasi, posturing, serta kontrol 

trunkal 

Selain untuk mencegah kontraktur,  

dekubitus, dan stasis sirkulasi hemodinamik, mobilisasi-posturing-kontrol 

trunkal berguna untuk mempertahankan fungsi antigravitasi otot trunkal. 

Otot trunkal berperan dalam menjaga 

postur tubuh dan merupakan jangkar 

dari gerak ekstremitas. 

Pada fase akut, PENGOBATAN pasien 

stroke mencakup posisi tirah baring 

untuk menjaga MAP dan CBF yang 

optimal. Pada posisi tirah baring, 

gravitasi menjadi nol, sehingga otototot ekstesor trunkal yang dibutuhkan untuk aktivitas yang melawan 

gravitasi (misal untuk duduk, bangun, 

berdiri, berjalan, dan seterusnya) sama 

sekali tidak bekerja. Jika dibiarkan 

berkepanjangan, dapat terjadi fenomena neuroplastisitas negatif, seperti 

pruning synapses (lihat penjelasan 

bah Neurorestorasi) yang memicu atrofi otot-otot trunkal. 

Atrofi ini  akan menyulitkan 

aktivitas antigravitasi dan juga gangguan pada kontrol ekstremitas yang 

akan menambah permasalahan  

disahilitas dan program terapi fisik 

pada fase kronik. Oleh karena itu, 

pengaturan posisi merupakan hal 

paling dini yang harus diterapkan 

pada pasien stroke akut sesudah kegawatdaruratan teratasi. 

Tindakan elevasi kepala dapat meminimalkan gravitasi untuk meningkatkan aliran halik vena, mencegah aspirasi, menurunkan TIK, meningkatkan 

cerebral perfusion pressure (CPP), serta 

menurunkan tekanan darah rerata 

arteri (mean arterial blood pressure/ 

MABP). 

Mohilisasi duduk dan latihan gerak 

yang lehih hersifat aktif, pada umumnya haru dilakukan saat hemodinamik 

& kondisi medis stahil, tekanan rerata 

arteri (mean arterial pressure/MAP) 

pada stroke iskemik <130mmHg, gula 

darah >90mg/dL atau <250mg/dL, 

dan saturasi oksigen >95% (tanpa 

pemherian 0 2). 

Latihan ruang lingkup sendi dan peregangan juga dapat dilakukan secara 

pasif maupun aktif dengan tujuan 

mencegah atau mengurangi kekakuan 

sendi semata, tidak terlalu hermanfaat 

hagi untuk tujuan fungsional. 

b. Deteksi dan PENGOBATAN gangguan 

men elan 

Setengah dari pasien stroke akut 

dengan kesadaran penuh juga didiag-· 

nosis dengan disfagia. Disfagia yang 

tidak ditangani dengan haik dapat menyehahkan komplikasi herupa pneumonia aspirasi, dehidrasi, dan malnutrisi. Pneumonia merupakan penyehah 

kematian terhanyak pada pasien stroke  

akut Oleh karena itu, penting untuk 

melakukan identifikasi disfagia sejak 

dini dengan melakukan skrining aspirasi pada pasien stroke untuk segera 

dilanjutkan dengan terapinya. Tahap 

ini akan dilanjutkan dengan tes kemampuan menelan hila pada skrining 

ditemukan adanya disfagia. 

Berikut heherapa tahapan dalam melakukan skrining aspirasi: 

1) Pasien diposisikan elevasi kepala 60°. 

2) Kepala pasien ditekuk ke lateral, ke 

sisi yang sakit. 

3) Pasien diherikan minum 1 sendok teh air. 

4) Amati tanda hatuk a tau tersedak, hila 

tersedak, maka skrining dihentikan. 

Lakukan suction hila perlu. 

5) Jika tidak ada hatuk atau tersedak, 

maka dilanjutkan dengan memherikan pasien minum setengah gelas air 

secara perlahan. 

Karena skrining aspirasi cukup sederhana dan tidak memerlukan keahlian 

khusus, maka dapat dilakukan oleh perawat atau dokter sesegera mungkin 

saat pasien admisi di ruangan. Skrining 

ini dilanjutkan ke tahap diagnostik dengan memakai  metoda yang lehih 

sensitif oleh terapis wicara ( dalam waktu <72 jam setelah admisi) untuk mengkonfirmasi ada atau tidaknya disfagia. 

Bila basil skrining menyatakan tidak 

ada aspirasi, maka proses dapat dilanjutkan dengan tes kemampuan 

menelan dengan memakai  4 hahan yang herheda, yaitu: air, makanan 

setengah cair, makanan setengah padat, dan puree. Umumnya tes kemam 

puan menelan ini dilakukan oleh terapis wicara yang terlatih melakukan 

tes fungsi menelan. 

PENGOBATAN yang diberikan pada 

pasien disesuaikan dengan hasil tes 

menelan ini , yaitu: 

1) Pasien dapat menelan air tanpa 

tersedak: diet normal. 

2) Pasien dapat menelan makanan 

setengah encer tanpa tersedak: dilakukan pemasangan nasogastric 

tube (NGT) no.12 (hanya air). 

3) Pasien dapat menelan makanan 

setengah padat tanpa tersedak: 

dilakukan pemasangan NGT no.14 

(susufdiet cair komersial, obat). 

Setengah porsi diberikan secara 

peroral (PO) dan setengah porsi 

diberikan melalui NGT. 

4) Pasien dapat menelan puree tanpa 

tersedak: dilakukan pemasangan 

NGT no.16. Seluruh porsi diberikan 

via NGT atau nothing peroral (NPO) 

atau ~ porsi diberikan secara PO, 

%. porsi diberikan melalui NGT. 

Secara umum, PENGOBATAN disfagia dapat 

dilakukan dengan beberapa tindakan 

berikut: 

1) Latihanfterapi menelan direk (direct 

swallowing therapy). 

2) Modifikasi konsistensiftekstur /volume 

makanan. 

3) Manuver & pengaturan posisi kepala, 

leher, tubuh (maneuver & adjusting 

body position). 

4) Stimulasifunctional training: 

• Stimulasi pasif.  

• Sensory enhancement techniques (meningkatkan tekanan sendok pada lidah 

ketika menyuapkan bolus makanan, 

memberikan bolus dengan rasa asam, 

bolus dengan temperatur dingin, bolus 

yang harus dikunyah, dan sebagainya). 

• Thermal tactile oral stimulation. 

• Deep pharyngeal neuromuscular stimulation. 

• Neuromuscular electric stimulation. 

• Transcranial magnetic stimulation. 

5) Fisioterapi dada (chest physiotherapy). 

c. Gangguan pengosongan kandung kemih 

Sepertiga sampai dua pertiga pasien 

stroke akut, khususnya pasien usia Ianjut, mengalami gangguan pengosongan 

kandung kemih. Hal ini disebabkan beberapa macam pemicu  yaitu: infeksi, 

overflow, impaksi feses, diabetes melitus, dan instabilitas destrusor. Infeksi 

kandung kencing merupakan pemicu  

komplikasi infeksi terbanyak pascastroke akut. 

Tujuan penanganan yaitu  menstimulasi pusat mikturisi, jika retensi 

urin > 100cc akan berisiko infeksi 

dan hila perlu dilakukan intermitten 

catheterization (IMC). Ada beberapa 

teknik penanganan gangguan pengosongan kandung kemih, yaitu dengan 

cara pemeriksaan pola huang air kecil, 

ada atau tidak masalah prostat, dan 

melakukan monitor kapasitas bladder/ 

sisa urin. Beberapa studi menyarankan untuk memakai  urinal terlebih dahulu dan menghindari pemakaian dower kateter.  

d. Terapi fisik dada 

Pneumonia dan acute respiratory 

failure termasuk ke dalam kelompok 

komplikasi tersering pada stroke. 

Studi Morris dkk menunjukkan bahwa 

pasien yang mendapatkan terapi fisik 

dada sejak masa perawatan dini dapat 

menurunkan masa perawatan secara 

bermakna. 

e. Stimulasi sensoris multimodaljstimulasi koma 

Teknik memakai  paparan sensorik eksternal multimodal pada 

penderita koma untuk memancing 

arousal dan respons behavior. Walaupun tingkat efektifitasnya sangat diragukan, teknik ini mudah, murah, dan 

tidak invasif, sehingga tetap populer 

untuk dipraktekkan. 

2. PENGOBATAN Neurorestorasi RehabilitatifFase Subakut (Bisa Saat Rawat Inap 

Maupun Rawat Jalan) 

Stroke fase subakut ditandai oleh kondisi 

hemodinamik dan proses neurologis yang 

telah stabil. PENGOBATAN neurorestorasi 

pada fase ini mulai ditambah dengan 

program neurorestorasi fungsional termasuk aplikasi berbagai teknik neuromodulasi. 

Gangguan komunikasi seperti afasia, disartria, dan kognisi harus ditangani sedini 

mungkin. Jika ada gangguan menelan 

(disfagia) maka dilakukan penanganan 

gangguan menelan yang lebih intensif, 

sehingga pasien terbebas dari NGT. Jika 

ada gangguan ambulasi berjalan, seperti 

pada pasien yang belum mampu berjalan, maka harus dilatih berjalan dan  

Prinsip Dasar Neurorestorasi Pascacedera Saraf 

atau komponen berjalan sesuai dengan 

kemampuan pasien, terus menerus sebanyak dan sesering mungkin. 

Adapun preskripsi latihan berupa: 

• Teknik latihan untuk ambulasi berjalan terdiri dari latihan dasar persiapan berjalan, ambulasi berjalan, 

berjalan secara fungsional, dan endurance berjalan. 

• Teknik latihan dasar persiapan berjalan. 

• Pemilihan modalitas alat terapi, pemakaian  alat bantu berjalan, ortosis 

dapat pula diberikan sesuai dengan 

preskripsi dokter SpKFR. 

Metode neurorestoratif rehabillitatif 

fungsional yang dianggap paling bermanfaat untuk memperbaiki kontrol 

motorik yaitu  dengan teknik neurofasilitasi, yaitu berupa: 

a. Bobath 

Konsep yang diperkenalkan oleh 

Berta dan Karel Bobath ini berfokus 

kepada respon kontrol yang timbul 

sebagai respons terhadap kerusakan 

refleks postural. Prinsip utamanya 

yaitu  teknik paparan fasilitasi dan 

pola gerak normal. 

b. Brunnstrom 

Salah satu konsep terapi neurorehabilitatif untuk pasien stroke yang populer 

dipakai  di seluruh dunia. 

c. Rood 

Banyak menerapkan aktifitas dalam 

fase developmental, stimulasi sensorik 

(terutama jenis stimuli kutaneus), 

dan klasifikasi kerja otot.  

d. Proprioceptive neuromuscular facilitation (PFN) 

Banyak memakai  stimulasi proprioseptif perifer seperti peregangan 

dan resistensi gerak untuk meningkatkan respon motorik yang ada. 

Jika ada gangguan perawatan 

diri dan aktivitas sehari-hari, maka 

pemakaian  teknik latihan yang spesifik diberikan sesuai dengan disabilitas yang ada. Jika ada gangguan 

miksi dan defekasi termasuk kontrolnya, dilakukan latihan khusus 

dengan atau tanpa pressure feedback. 

Pada penurunan kebugaran kardiorespirasi, dilakukan program rehabilitasi berupa exercise training dibawah 

pengawasan ketat dokter rehabilitasi 

medik dengan memperhatikan hemodinamik, seperti saturasi 0 dan 2 

tanda vital). Jika ada gangguan aktivitas sehari-hari akibat masalah visual, 

maka setiap pasien stroke sebaiknya 

dilakukan penapisan gangguan visual 

agar dapat ditangani secara tepat. 

PENGOBATAN disabilitas lain yang sering 

dijumpai sebagai komplikasi pascastroke yaitu : 

• Spastisitasjpeningkatan tonus otot 

karena pemulihan sinergis pada ekstremitas atas dan bawah; dapat diberikan intervensi berupa pemberian 

toksin botulinum A, kombinasi latihan, 

terapi manual, hingga dynamic splinting. 

• Pemendekan otot, kekakuan sendi, 

dan kontraktur; otot harus diposisikan dalam posisi eksentrik, latihan peregangan, lingkup gerak sendi, hingga 

casting.  

• Subluksasi bahu, nyeri bahu, dan 

shoulder hand syndrome; Perubahan 

biomekanik yang berbeda dengan 

proses traumatic shoulder problem, 

sehingga diperlukan Rontgen hingga 

USG muskuloskeletal atas indikasi. 

pemakaian  alat bantu, stimulasi 

otot, latihan hingga modalitas alat 

yang sesuai kondisi pasien. 

Ulkus dekubitus merupakan salah satu 

komplikasi yang sering terjadi. Sebagai 

pencegahan, harus dilakukan positioning, 

posturing, dan teknik transfer yang tepat 

minimal lxjhari. Pencegahan tromboemboli juga hal yang penting untuk diperhatikan dengan cara perubahan posisi dalam 

waktu 48 jam terutama pada tungkai 

bawah dan memperhatikan antikoagulan 

yang telahjsedang diberikan. Pemakaian 

stocking anti trombotik juga dapat bermanfaat pada kasus-kasus tertentu.-

3. PENGOBATAN Neurorestorasi Rehabilitatif Fase Kronik (Saat Rawat }alan) 

Pada stroke fase kronik pada umumnya 

sudah terbentuk reorganisasi sistem 

saraf yang kuat (established), baik yang 

berdampak positif, yang negatif. Pada 

fase ini, PENGOBATAN didasarkan pada 

adaptasi dan kompensasi terhadap disabilitas yang ada. 

Manajemen rehabilitasi yang dilakukan 

umumnya meliputi: 

• Memaksimalkan kemampuan fungsionaljmelakukan tugasjaktivitas tertentu. 

• Kebugaran kardiorespirasi. Pasien 

harus mendapatkan program latihan 

penguatan dan aerobik regular yang 

disesuaikan dengan komorbiditas dan 

keterbatasan fungsi pasien dan telah 

melewati exercise testing sebelumnya. 

• Persiapan kembali ke tempat kerja. Pekerja pascastroke harus diberi kesempatan untuk mendapatkan pelatihan 

ketrampilan yang diperlukan kembali 

serta kesempatan bekerja yang fleksibel. 

• Kembali ke masyarakat. Pasien stroke 

dengan risiko jatuh di komunitas 

harus mendapatkan intervensi komprehensif, seperti program exercise 

spesifik perindividu untuk mencegah 

atau mengurangi kejadian dan keparahan akibat jatuh. 

NEURORESTORASI PADA AFASIA 

Pada fase akut sampai dengan tahun pertama 

pascacedera otak, kelompok keluaran baik 

memperlihatkan peningkatan aktivitas pada 

area sekeliling lesi di hemisfer dominan 

yang lebih tinggi dibandingkan peningkatan 

aktivitas di area homotopik hemisfer nondominan. Adapun pada kelompok keluaran 

buruk dijumpai hal yang berlawanan, yaitu 

peningkatan aktivitas lebih banyak pada 

area homotopik hemisfer non-dominan. Pada 

fase kronik, proses pemulihan berlangsung 

lebih lambat dan terjadi secara gradual. Pada 

kelompok keluaran baik, terjadi peningkatan 

aktivitas kompensasi gradual pada area 

homotopikterutamadaerahfrontaldantalamus 

di hemisfer nondominan. Pada kelompok 

keluaran buruk, terjadi pula peningkatan 

aktivitas di hemisfer nondominan, namun 

dengan intensitas yang jauh lebih rendah. Oleh 

karena itu, upaya neurorestorasi afasia perlu 

memperhatikan onset (fase akutjkronik) dan 

fungsi areafhemisfer yang perlu diaktifkan 

atau dideaktivasi.  

Prinsip Dasar Neurorestorasi Pascacedera Sara[ 

Dasar strategi upaya neurorestorasi afasia 

dapat memakai alternatif dan gabungan 

strategi alternatif sebagai berikut: 

a. Mengembalikan fungsi bahasa dan 

bicara, dengan fokus pada modalitas 

yang terganggu (language impairedbased treatment). 

b. Membantu restorasi modalitas bahasa 

yang terganggu dengan modalitas 

bahasa lain yang masih intak. 

c. Mengompensasi gangguan bahasa 

yang ada dengan memakai  modalitas fungsi luhur fkognitif yang lain. 

d. Partisipasi aktif dari caregiver dan 

pemakaian  aplikasi dan teknologi 

stimulasi bahasa khusus. 

Dalam menentukan teknis menjalankan 

strategi ini meliputi pemilihan program, 

penjadwalan, skala prioritas, dan aspek lainnya diperlukan komunikasi, koordinasi, dan 

evaluasi yang baik antara dokter, terapis, 

caregiver, dan keluarga pasien. 

A. Language Impairment-Based Treatment 

Yang termasuk ke dalam strategi herbasis fokus pada modalitas bahasa yang 

terganggu ini yaitu : 

1. Terapi Modalitas Bahasa dari Aspek 

Neurokognitif 

a. Terapi untuk gangguan membaca 

b. Terapi untuk gangguan menulis 

c. Terapi untuk gangguan komprehensi 

dan produksi kata 

d. Terapi untuk gangguan word finding 

1) Word retrieval cueing strategies 

(semantic & cueing verbs) 

Pendekatan memakai  "petun 

juk'' untuk memancing pasien menemukan kata yang diinginkan. Misalnya, suku pertama dari suatu kata 

atau petunjuk kontekstuallainnya. 

2) Gesturalfadlitation of naming (GES) 

Metoda ini memanfaatkan mekanisme kognitif intak pasien, 

memakai  asos1s1 gestural 

ikonik untuk memancing word retrieval secara verbal. 

3) Response elaboration training 

Terapis wicara berlaborasi dengan 

gumamanfucapan penderita untuk 

memperbaiki kemampuan bicara. 

4) Semantic feature analysis treatment 

Penderita afasia dibantu mengidentifikasi keterangan semantik penting yang berkaitan dengan kata target (misalnya gedung, buku, dan 

tenang untuk "perpustakaan"). 

2. Verb Network Strengthening Treatment 

Terapi yang didesain terutama untuk 

memperbaiki kesukaran mencari kata 

dalam suatu kalimat aktif sederhana 

Metoda ini memakai  pasangan kata 

yang berhubungan dengan kata target 

a. Chaining (forward & reverse) 

Pendekatan dengan cara memecah 

kata/kalimat menjadi pendekpendek, kemudian belajar merangkaikan dari awal (atau akhir). 

b. Sentence production program 

for aphasia 

Program terapi spesifik yang didisain untuk memfasilitasi produksi 

kalimat spesifik tertentu.  

3. Constraint-therapy 

Constraint-induced aphasia therapy 

(CIAT) atau yang dikenal juga dengan 

constraint-induced language therapy 

(CILT) merupakan modifikasi dari 

constraint-induced movement therapy 

(CIMT). Metode ini meliputi latihan 

berbahasa selama periode waktu 

tertentu (setidaknya 30 jam setiap 

latihan selama dua minggu) dengan 

meminimalkan komunikasi nonverbal 

yang diharapkan dapat meningkatkan 

keluaran verbal. Keterlibatan anggota 

keluarga dan ternan dalam latihan 

meningkatkan efikasi dari rehabilitasi. 

Prinsip dari terapi ini ada tiga yaitu: 

a. Constraint, berarti menghindari pemakaian  strategi berkomunikasi yang 

lain, misalnya dengan gerakan, menggambar dan menulis. 

b. Forced use, berarti satu-satunya cara 

berkomunikasi yang dipakai  yaitu  

dengan berbicara. 

c. Massed practice, yaitu melakukan 

latihan terapi sebanyak 2-4 jam per 

hari. 

B. Membantu Restorasi Gangguan Modalitas Bahasa dengan Modalitas Bahasa Lain yang Masih Intak 

Program yang memakai  dasar ini 

untuk restorasi kemampuan bahasa 

pasien di antaranya yaitu : 

1. Melodic Intonation Therapy (MIT) 

Terapi ini memakai kemampuan bersenandung dan prosodia pasien yang biasanya masih intak dari aspek intonasi, 

melodi, dan ritme untuk meningkatkan  

kemampuan jumlah pengucapan frasa 

dan kalimat MIT telah lama direkomendasikan untuk memperbaiki kemampuan berbahasa pasien-pasien yang 

mengalami afasia nonfluen. Kandidat 

lain yang menunjukkan respons baik 

memakai  MIT yaitu  pasien yang 

menunjukkan rasa frustasi karena kesulitan berbicaranya, mengulang jargon 

tertentu, gagal dalam tes penamaan konfrontasional, gangguan repetisi, menunjukkan upaya keras untuk mengkoreksi 

ucapannya, dan memiliki komprehensi/ 

kognisi yang relatifbaik 

Frasa atau kalimat yang dipakai  

dalam metode terapi ini merupakan 

frasa-frasa yang umum dan sering dipakai  sehari-hari ( misalnya i love you, 

assalaamu'alaikum, dan sebagainya). 

Walaupun tampaknya mudah, keluarga/ 

caregiver pasien perlu mendapat instruksi spesifik tentang tata cara 

latihan atau pengulangan metode ini 

di rumah masing-masing. 

2. Musical Speech Stimulation (MUSfiM) 

Merupakan teknik lain dari neurology 

music therapy (NMT) yang dapat dipakai  untuk inisiasi bicara spantan. Teknik ini baik dipakai  untuk 

pasien-pasien afasia nonfluen dan 

primary progressive aphasia. Berbeda 

dengan MIT yang memakai  intonasi dalam pengucapan frasa seharihari, teknik MUSTIM memakai  

lagu-lagu yang familier bagi pasien. 

Umumnya lagu-lagu favorit pasien atau 

lagu-lagu hafalan masa kanak-kanak, 

seperti Naik-naik ke Puncak Gunung, 

Garuda Pancasila, dan sebagainya.  

Prinsip Dasar Neurorestorasi Pascacedera Sara[ 

3. Augmentative Alternative Communication (AAC) 

memakai  alat bantu augmentasi, 

seperti papan gambar dan simbol, 

atau alat elektronik, untuk membantu 

penderita afasia mengekspresikan 

komunikasinya. Umumnya di awal 

yang mudah diakses karena banyaknya 

pemakaian  ponsel dan komputer 

yaitu  mengetik di ponsel dan keyboard komputer. 

c. Mengompensasi Gangguan Bahasa 

yang Ada dengan memakai  Modalitas Fungsi Luhur /Kognitifyang Lain 

Strategi ini dirancang khusus dengan 

mempertimbangkan neuroanatomi klinis pusat bahasa yang terganggu dan 

sirkuit-sirkuit stimulasi dan kognitifyang 

intak, sehingga program berjalan efektif 

dan efisien. Umumnya dirancang pada 

afasia dengan gangguan komprehensi bahasa pasien danjatau penamaan. Prinsip 

dasarnya ialah memberi variasi stimulasi 

sensorik ( menebakjmenceritakan gam bar, 

menebak benda dengan rabaan sambil 

menutup mata, menebak lagu, menebak 

bau, mempelajari bahasa isyarat, dan sebagainya) yang kaya serta merangsang 

imajinasi, memori, dan fungsi kognitif 

lain untuk memperbaiki komprehensi 

bahasa. 

Yang termasuk ke dalam metode terapi 

multimodal berbahasa ini di antaranya 

yaitu : 

1. Visual Action Therapy (VAT) 

Program yang dipakai  bagi penderita afasia global. Pendekatan 

nonverbal ini melatih penderita 

untuk memakai  gestur tangan  

untuk menyatakan suatu benda 

atau aktivitas spesifik. 

2. Promoting Aphasics' Communication Effectiveness (PACE) 

Program yang didesain untuk meningkatkan kemampuan berkomunikasi memakai  semua modalitas dalam bertukar pesan. 

Penderita maupun klinisi secara bergantian mengarnbil peran sebagai pembawa dan penerima pesan. Metode 

ini akan mendorong penderita afasia 

untuk berperan lebih aktif dalam 

berkomunikasi. 

3. Oral Reading for Language in Aphasia(ORLA) 

Metoda yang memakai  petunjuk 

auditorik, visual, dan tulisan untuk 

membantu penderita afasia membaca 

dengan suara keras (reading sentences 

aloucfJ. 

D. Partisipasi Aktif dari Caregiver dan 

pemakaian  Aplikasi dan Teknologi 

Stimulasi Bahasa Khusus 

Beberapa program yang dapat diterapkan yaitu : 

1. Partner Approaches 

Teknik yang terrnasuk ke dalam 

metode pendekatan ini yaitu : 

a. Conversational coaching 

Terapi yang didesain untuk memperbaiki komunikasi antara penderita 

afasia dengan partner komunikasi 

primernya. Klinisi berperan sebagai 

pelatih (coach) bagi penderita sekaligus partnernya. 

b. Supported communication intervention (SCI)  

Metode komunikasi multimodal antara penderita, pelatihan bagi lawan 

komunikasi primernya, dan dalam 

interaksi sosial (termasuk partisipasi 

dalam grup afasia). 

c. Social and life participation effectiveness 

Pendekatan yang berfokus pada pencapaian target di kehidupan sehari-hari, 

termasuk pertimbangan apakah pasien 

memiliki keluarga yang dapat mendukung dan membantu keseharian hidup 

penderita. 

2. iPad- Based Speech Therapy 

Penelitian pada tahun 1983 menunjukkan bahwa latihan bicara sendiri memakai  aplikasi berbasis komputer 

yang terstandarisasi pada pasien afasia 

akut dan kronik mendapatkan hasil 

yang memuaskan. Terapi ini penting 

pada pasien-pasien yang membutuhkan 

latihan terapi jangka panjang, sehingga 

bisa dilakukan secara mandiri. Tujuannya yaitu  untuk membiarkan pasien 

berperan penting dalarn proses terapinya sendiri, mulai dari menentukan dosis 

latihan, batasan kemarnpuan maksimal, 

dan target keberhasilan terapinya. 

Penelitian terhadap 25 pasien afasia 

kronik dengan terapi berbasis komputer 

memakai  aplikasi terapi berbahasa 

tactus therapy solutions pada iPad 

memperlihatkanperbaikankemarnpuan 

bahasa Aplikasi ini terbagi menjadi 

empat kategori latihan, yaitu membaca, 

menarnai obyek, memaharni kalimat, 

dan menulis, serta menyediakan latihan 

kemarnpuan fonologi dan semantik 

pada setiap kategori disertai umpan 

balik. Terapi ini berpotensi besar untuk  

diserta~ dalann program restorasi 

jangka panjang pasien afasia dengan 

nneneliti serta nnenerjennahkan sesuai 

kaidah dan budaya bahasa Indonesia. 

3. Repetitive Transcranial Magnetic 

Simulation (rTMS) 

Saat ini nnulai banyak berkennbang 

prosedur stinnulasi langsung (direct) 

non-invasif sebagai konnplennenter terapi wicara untuk nnennpercepat proses 

pennulihan afasia. Salah satu nnetode 

yang saat ini populer yaitu  stinnulasi 

nnenggunakan transcranial magnetic 

stimulation secara repetitif ( rTMS). 

TMS nnerupakan suatu nnetode noninvasif dalann nnenginduksi depolarisasi neuron kortikal di bawah tulang 

kraniunn. TMS yang diberikan secara 

repetitif (rTMS) dengan frekuensi 

rendah (<5Hz) pada unnunnnya nnenghasilkan inhibisi sinaps yang serupa 

dengan fenonnena long-term depression (LTD). Pada rTMS frekuensi tinggi 

(>5Hz) ~ nnenghasilkan fasilitasif 

eksitasi sinaps, nnirip dengan fenonnena 

long-term potentiation (LTP). Seperti 

halnya LTP dan LTD, efek eksitasi dan 

inhibisi sinaps yang dihasilkan oleh 

rTMS tetap dapat bertahan beberapa 

nnenit hingga beberapa jann setelah 

stinnulus dihentikan. 

Naesser dkk, Martin dkk, Weiduschat 

dkk nnelaporkan pemakaian  rTMS 

frekuensi rendah pada hennisfer nondonninan sebagai terapi konnplennenter 

terhadap terapi wicara konvensional 

pada penderita afasia pascastroke 

nnennberikan hasil yang nnennuaskan. 

Tiksnadi dalann laporan kasusnya  

Prinsip Dasar Neurorestorasi Pascacedera Sara[ 

nnenyebutkan hal serupa, bahwa ada perbaikan yang cukup signifikan terhadap kennannpuan berbahasa 

sebelunn dan sesudah dilakukan rTMS 

pada afasia pascastroke subkortikal. 

Didapatkan perbaikan signifikan pada 

sennua konnponen nnodalitas bahasa 

pascaaplikasi rTMS harlan dengan 

frekuensi 4Hz selanna 2 nninggu pada 

hennisfer kontralesi. Secara unnunn 

terapi ini cukup nnenjanjikan. 

PENUTUP 

Pada nnasa lannpau, PENGOBATAN penyakitpenyakit neurologi banyak dibatasi oleh 

dognna kennustahilan yang nnennbuat orang 

(bahkan ternnasuk para neurolog) berpikir 

bahwa tidak ada harapan untuk "sennbuh". 

Pada nnasa kini dengan kennajuan teknologi 

nnutakhir, pennahannan nnengenai patofisiologi penyakit neurologis dan fisiologi proses reorganisasi sistenn saraf yang nnendasari 

neurorestoratologi nnenjadi sennakin jelas. 

Hal ini turut nnennacu dan nnenjadi dasar 

perkennbangan ilnnu neurosains, neurobiologis, neuroprostetik, robotik, dan biomedical engineering untuk kepentingan progrann 

neurorestorasi bagi pasien dengan gangguan neurologis. Oleh karena itu, sebaiknya 

dipahanni dasar dan prinsip neurorestorasi 

denni nnennberikan pelayanan dan tata laksana yang paripurna bagi para pasien.  





CEDERA KEPALA 


Cedera (injury) merupakan suatu keadaan 

yang ditandai adanya stimulus patologis 

yang melampaui kemampuan pemulihan (recovery) suatu sel atau jaringan. Bentuk dari 

stimulus patologis ini bersifat umum, bisa 

berupa r·auma, infeksi, iskemia, atau neoplasma. Dengan demikian, trauma merupakan 

salah satu pemicu  cedera pada suatu sel 

atau jaringan di tubuh man usia. 

Cedera kepala yaitu  perubahan fungsi otak 

atau ada bukti patologi pada otak yang 

disebabkan oleh kekuatan mekanik eksternal. Cedera kepala dapat diakibatkan oleh 

trauma mekanik pada kepala baik secara 

langsung atau tidak langsung yang memicu gangguan fungsi neurologis berupa 

gangguan fisik, kognitif, dan fungsi psikososial secara sementara maupun permanen. 

Dalam buku ini, istilah cedera kepala sama 

pengertiannya dengan trauma kepala. 

Konsekuensi akibat cedera kepala dipengaruhi beberapa faktor, seperti usia, faktor komorbid, sepsis, dan PENGOBATAN yang 

didapatkan. Selain itu, faktor genetik kini 

diketahui turut mempengaruhi konsekuensi 

patologis yang mungkin didapatkan pasien. 

Komplikasi tersering pascacedera meliputi 

aspek neurologis dan non-neurologis. Adanya komplikasi neurologis berupa gangguan 

kognitif dan cedera saraf kranial sering tera- 

baikan dalam perawatan, sehingga menurunkan kualitas hidup pasien. Oleh karena 

itu, dibutuhkan peran neurolog dalam diagnosis dan penanganan tepat sedini mungkin 

untuk merestorasi otak dan mengurangi kecacatan hidup semaksimal mungkin. 

EPIDEMIOLOGI 

Cedera kepala memicu kematian dan 

disabilitas di banyak negara di dunia. berdasar  data yang didapatkan dari CDC, 

sebanyak 1, 7 juta orang mengalami cedera 

kepala setiap tahun di Amerika Serikat. 

Prevalensi nasional cedera kepala menurut 

Riskesdas 2013 yaitu  8,2%, meningkat 

0,7% dibandingkan tahun 2007. Sebanyak 

40,6% cedera kepala diakibatkan oleh kecelakaan motor. Menurut sebaran kelompok usia, cedera kepala lebih banyak terjadi 

pada pasien dengan usia produktif. Hal ini 

tentunya berdampak besar pada aspek sosial ekonomi. 

PATOFISIOLOGI 

Patofisiologi cedera kepala diawali dengan 

pemahaman mengenai biomekanika trauma. Benturan kepala akan menimbulkan 

respons pada tengkorak dan otak, misalnya 

perge-rakan (displacement). Secara klinis, 

respons ini dapat berupa fraktur dan cedera 

otak. Risiko pasien mengalami fraktur dan 

cedera otak ini bergantung kepada faktor akselerasi kepala dan durasi gaya mekanik 

pada kepala. Benturan pada permukaan 

yang keJ;"aS memiliki durasi singkat dengan akselerasi tinggi. Sementara itu, durasi yang lebih lama pada permukaan yang 

kurang keras menurunkan risiko fraktur, 

namun  tidak untuk cedera otak, asalkan akselerasinya tetap tinggi. Pemahaman inilah 

yang memicu ada kasus dengan fraktur tengkorak tanpa perdarahan otak, atau 

cedera aksonal difus tanpa fraktur tengkorak. 

Akselerasi kepala memiliki dua komponen 

sesuai arah vektornya, yaitu translasi ( sumbu 

sagital, koronal, dan aksial) dan rotasi. Akselerasi translasi membuat kepala bergerak 

secara sirkular. Sementara itu, akselerasi 

rotasi membuat kepala berubah sudutnya 

terhadap sumbu sentral. Selain akselerasi, 

kepala juga dapat mengalami deselerasi/ 

perlambatan yang merupakan bentuk negatif dari akselerasi. Akselerasi timbul karena 

kepala yang bergerak, sedangkan deselerasi 

muncul sebagai akibat dari kepala yang terbentur. Saat kepala yang sedang bergerak 

lalu terbentur, terjadi kombinasi akselerasi 

translasi dan rotasi serta deselerasi. Pergerakan akibat proses akselerasi dan deselerasi 

ini yang menimbulkan tarikan dan regangan 

pada otak dan gesekan antara otak dengan 

tengkorak, sehingga bermanifestasi klinis 

dan terlihat kelainan pada pencitraan. 

ada dua tipe cedera kepala yang terbentuk, yaitu cedera tumpul dan cedera 

tembus. Adanya penetrasi dura mater 

merupakan tolok ukur untuk menentukan 

cedera kepala disebut tumpul atau tembus.  

Cedera tumpul umumnya disebabkan oleh 

mekanisme akselerasi atau deselerasi cepat 

pada kepala dengan atau tanpa benturan 

(Gambar 1). Tipe cedera ini umumnya terjadi pada kasus kecelakaan lalu lintas atau 

jatuh dari ketinggian. Di lain pihak, cedera 

tembus merupakan cedera akibat penetrasi 

tulang tengkorak oleh objek eksternal, misalnya tembakan peluru atau tusukan benda tajam. Cedera tembus juga dapat merupakan cedera kolateral akibat adanya obyek 

eksternal yang mengenai kepala dan memicu  fraktur impresi hingga terjadi 

penetrasi ke dalam rongga kranial. 

Cedera tembus kecepatan rendah memicu cedera langsung pada pembuluh 

darah, saraf, dan jaringan otak, dengan komplikasi perdarahan dan infeksi. Cedera ternbus kecepatan tinggi, misalnya tembakan 

peluru, seringkali memicu  terbentuknya luka tembus masuk dan keluar pada 

tengkorak dan memicu kerusakan 

otak ekstensif. 

Gaya mekanik eksternal yang mengenai kepala menimbulkan cedera otak primer dan 

sekunder. Cedera otak primer terjadi karena 

efek sangat segera (immedia te effect) pada 

otak akibat gaya mekanik eksternal saat 

trauma terjadi. Di lain pihak, cedera otak 

sekunder terjadi beberapa saat setelah kejadian trauma akibat jalur kompleks, yang 

berkembang dan memicu  kerusakan 

otak lebih luas. Baik cedera otak primer 

maupun sekunder dapat memicu  

lesi patologis fokal atau difus (Tabel 1).  

Pada cedera otak primer, lesi difus dapat 

berupa cedera aksonal difus dan cedera 

vaskular difus, sedangkan lesi fokal berupa 

kontusio fokal, perdarahan intraserebral, 

perdarahan subdural, dan perdarahan epidural. Sementara itu, bentuk cedera otak 

sekunder dapat berupa edema otak, cedera 

iskemik, cedera hipoksik, difus, dan disfungsi metabolik. Semua bentuk cedera otak 

sekunder dapat terjadi secara difus atau fokal. Pada kenyataannya, beberapa lesi dapat 

terjadi pada setiap kasus cedera kepala, 

misalnya perdarahan epidural dan kontusio 

fokal, atau cedera aksonal difus dan perdarahan subaraknoid. 

Di samping cedera otak sekunder ini , konsekuensi lanjutan dari cedera otak 

primer dapat berupa kerusakan sekunder 

(secondary insult), seperti hipotensi, hipoksia, demam, hipojhiperglikemia, gangguan 

elektrolit, anemia, kejang, dan vasospasme. 

Di antara semua itu, faktor yang paling berpengaruh terhadap prognosis buruk yaitu  

hipotensi dan hipoksia yang akan memperberat cedera_otak. 

Cedera otak primer akibat benturan pada 

kepala menimbulkan serangkaian proses 

yang pada akhirnya menjadi cedera otak 

sekunder (Gambar 2). Saat benturan terjadi, neuron mengalami regangan dan 

tarikan yang termasuk dalam cedera otak 

primer. Peristiwa ini mengganggu integritas dan kerja pampa ion membran sel, terjadi perpindahan ion natrium dan kalsium 

ke intrasel dan ion kalium ke ekstrasel. Hal 

ini akan meningkatkan konsentrasi ion kalsium intrasel yang kemudian memiliki konsekuensi, yaitu aktivasi calpain yang bisa 

mendegradasi protein sitoskeletal dan in- 

duksi penglepasan glutamat yang akhirnya 

mengaktivasi reseptor N-metil-0-aspartat 

(NMDA). 

Selanjutnya terjadi konsentrasi ion kalsium 

di mitokondria, sehi ngga terbentuk banyak 

radikal be bas (reactive oxygen speciesjROS), 

aktivasi kaspase, apoptosis neuron, dan 

fosforilasi oksidatif inefisien. Konsekuensi 

terakhir ini selanjutnya akan memicu 

metabolisme anaerob dan pada akhirnya 

kegagalan energi. Inilah yang menjadi inti 

permasalahan karena neuron membutuhkan energi yang cukup pada kondisi cedera. 

Neuron dengan kegagalan energi tidak 

dapat berfungsi normal dan selanjutnya terjadi asidosis, edema, dan iskemia yang menambah berat kerusakan otak. 

Berikut yaitu  beberapa contoh lesi fokal 

dan difus akibat cedera kepala: 

Lesi Fokal 

1. Cedera scalp 

Cedera fokal pada scalp dalam bentuk laserasi dan abrasi dapat menjadi penanda 

penting untuk menentukan tempat terjadinya benturan dan dapat memberikan gambaran obyek yang mengenainya. 

Laserasi scalp merupakan hal penting 

yang harus diperhatikan karena dapat 

menjadi jalur masuk infeksi dan sumber perdarahan. Sementara, adanya memar tidak selalu menjadi penanda yang 

berhubungan dengan lokasi benturan, 

sebagai contoh: (1) memar periorbita 

seringkali berkaitan dengan patah tulang orbita akibat cedera contra-coup 

pada oksiput, (2) memar pada mastoid 

(tanda Battle) dapat disebabkan oleh aliran darah dari fraktur yang terjadi pada 

tulang temporal pars petrosus.  

2. Fraktur basis kranii 

Fraktur basis kranii dapat menjadi indikasi besarnya energi mekanik yang 

mengenai kepala. Energi mekanik yang 

mengenai daerah yang luas pada tengkorak memicu  fraktur kominutif, sedangkan pada daerah yang sempit 

memicu  fraktur impresi. Fraktu 

basis kranii dapat memicu  bocornya cairall. serebrospinal dan mengisi sinus-sinus, sehingga dapat menjadi 

sumberinfekshntrakranial (Gambar 3).  

3. Kontusio dan laserasi serebri 

Robekan (laserasi) pada pia mater 

seringkali berhubungan dengan jejas 

pada otak (kontusio). Pada kontusio 

serebri, parenkim otak mengalami edema dan perdarahan. 

Jejas yang ada tepat di titik trauma 

disebut jejas coup, sedangkan yang ada 

di sisi kontralateral titik trauma disebut jejas countercoup (Gambar 4). Sebagai contoh, benturan di kepala bagian depan akan 

menghasilkan jejas coup di lobus frontal 

dan jejas countercoup di lobus oksipital  

Jejas coup umumnya terjadi pada kasus akselerasi cepat, misalnya saat kepala dipukul 

dengan benda keras. Sementara itu, jejas 

countercoup umumnya terjadi pada kasus 

d_eselerasi cepat, misalnya jatuh dari atas  

gedung. Saat seseorang jatuh dari suatu 

ketinggian, kepala mengalami akselerasi 

akibat gravitasi bumi dan diikuti deselerasi 

cepat akibat menghantam tanah. 

Perdarahan pada .kontusio serebri dapat 

meningkatkan tekanan intrakranial (TIK). 

Perdarahan dapat meluas hingga ke substansia alba dan rongga subdural, yang 

umumnya terjadi pada lobus frontal dan 

temporal (Gambar 5). Dalam beberapa hari, 

perdarahan ini akan diabsorbsi oleh otak, 

sehingga menghasilkan kavitas pada girus 

otak. Perdarahan dapat bersifat asimptomatik, namun  memiliki risiko memicu  

epilepsi di kemudian hari. Diskontinuitas jaringan otak akibat kontusio disebut sebagai 

laserasi otak. 

4. Perdarahan intrakranial 

a. Perdarahan e'pidural 

Perdarahan ini lebih sering terjadi 

pada pasien usia muda (10- 30 tahun). Hal ini diakibatkan adanya 

fraktur linear tengkorak, terutama di 

tulang temporal pars skuamosa yang 

memicu robeknya arteri meningea media. Oleh karena itu predileksi perdarahan epidural dLarea temporal atau temporo-parietal (70- 80%). 

Perdarahan ini ditandai dengan akumulasi darah di antara dura mater 

dan tulang tengkorak, sehingga gambaran hematomnya khas berbentuk 

cembung atau bikonveks (Gambar 6). 

Volume perdarahan merupakan penanda 

luaran pasien dengan perdarahan epidural. Pasien dengan volume darah lebih 

dari 150mL memiliki prognosis yang 

lebih buruk. 

b. Perdarahan subdural 

Perdarahan subdural (Gambar 7) 

merupakan perdarahan akibat robeknya vena jembatan (bridging vein) terutama yang berdekatan dengan sinus 

sagital superior. Perdarahan subdural 

umumnya diseb.abkan oleh akselerasi 

atau deselerasi kepala dengan atau 

tanpa benturan langsung. Perdarahan subdural seringkali dialami oleh 

pasien lanjut usia karena umumnya 

telah terjadi atrofi otak yang memicu meningkatnya kapasitas otak 

untuk bergerak di dalam rongga otak. 

Perdarahan subdural dapat terjadi 

akut ( <3 hari), subakut (3 hari - 3 minggu awitan), atau kronik (lebih dari 3 

minggu awitan). Perdarahan subdural 

akut terdiri atas bekuan darah yang 

lembut (seperti gel). Setelah beberapa 

hari, bekuan ini  akan dipecah 

menjadi cairan serosa dan setelah 

1-2 minggu akan terbentuk jaringan 

granulasi dengan fibroblas dan pembuluh darah baru.  

Walaupun perdarahan biasanya akan 

direabsorbsi, seringkali terjadi perdarahan ulang akibat pembuluh darah 

baruyangimatur. Disampingitu, perdarahan subdural kronik seringkali terjadi pada pasien lanjut usia, orang 

yang rutin mengonsumsi alkohol, dan 

pasien dengan tekanan intrakranial 

rendah, seperti pasien hidrosefalus 

dengan pirau ventrikuloperitoneal 

(ventriculoperitonea/ shunt).  

c. 

Akumulasi darah di subaraknoid dapat terjadi setelah cedera kepala, terutama yang 

berhubungan dengan kontusio dan laserasi. 

seringkali menjadi penyulit pada kasus perdarahan intraventrikular karena kebocoran (leakage) 

darah e ruang sUbaraknoid melalui foramen Luschka dan Magendie. Perdarahan 

subaraknoid karena cedera kepala biasanya terdistribusi di sulkus-sulkus serebri di 

sekitar verteks dan tidak mengenai sistema 

basalis (Gambar 8). seringkali terjadi akibat benturan 

pada otak atau leher dan memicu hilangnya kesadaran secara langsung. Komplikasi kronik 

yaitu  terbentuknyahidrosefalus. 

d. Perdarahan intraventrikular 

Perdarahan intraventrikular pada cedera  

kepala biasanya akibat sekunder dari 

perdarahan intraserebral pada daerah 

ganglia basal atau kontusio serebri. 

e. Perdarahan intraserebral 

Perdarahan intraserebral (Gambar 9) 

dapat muncul secara sekunder dengan 

kontusio atau berhubungan dengan cedera 

akson difus. Perdarahan ini umumnya terbentuk di daerah ganglia basal, talamus, 

dan substansia alba bagian parasagital. 

Lesi Difus 

1. Cedera aksonal difus 

Cedera aksonal difus memiliki beberapa 

pemicu . Selain cedera kepala, hal ini 

juga dapat disebabkan oleh hipoksia, 

iskemia, dan hipoglikemia. Karakteristik cedera akson yang diakibatkan oleh 

cedera kepala berbeda dengan keadaan 

hipoksik iskemik.  


Cedera aksonal difus disebabkan oleh 

akselerasi atau deselerasi cepat kepala, 

terutama jika ada gerakan rotasional 

atau koronal. Umumnya terjadi pada kasus kecelakaan lalu lintas dan jatuh dari 

ketinggian. Secara patologi, cedera aksonal difus dicirikan dengan kerusakan 

akson dan perdarahan petekie. Petekie 

ini muncul secara instan dan menentukan derajat cedera aksonal aksonal difus 

(Tabel2). 

Secara klinis, pasien akan kehilangan 

kesadaran sejak terjadinya cedera, disabilitas berat, dan status vegetatif yang 

persisten. Oleh karena kerusakan yang 

terjadi di tingkat akson, maka gambaran CT scan sering tidak menunjukkan 

kelainan. Pada kondisi ini, pemeriksaan 

MRI dapat dikerjakan untuk melihat lesi 

patologis di parenkim. 

2. Cedera vaskular difus 

Berbeda dengan cedera aksonal difus 

yang melibatkan akson, cedera vaskular 

difus didominasi oleh keterlibatan pembuluh darah. Beberapa pasien cedera 

kepala yang mengalami akselerasi atau 

deselerasi cepat dan parah dapat mengalami perdarahan petekie pada otak 

tanpa s