Tampilkan postingan dengan label Kanker rahim. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Kanker rahim. Tampilkan semua postingan

Kanker rahim

 





Serviks yaitu  area bagian bawah rahim yang menghubungkan 

rahim dengan vagina. Kanker serviks atau kanker leher rahim terjadi 

apabila   sel-sel serviks menjadi abnormal dan membelah secara tidak 

terkendali. Kanker serviks yaitu  pertumbuhan sel-sel abnormal pada 

serviks yaitu sel-sel normal berubah menjadi sel kanker.  Perubahan akan 

terjadi dalam waktu 10-15 tahun, 80%  wanita yang berisiko terinfeksi oleh 

HPV, dan  50% dari wanita  akan terinfeksi oleh HPV sepanjang masa 

hidupnya. 

Di negara kita , pelayanan deteksi dini kanker serviks baik IVA dan 

papsmear bisa ditanggung oleh Jaminan Kesehatan Nasional. Kerjasama 

Yayasan Kanker negara kita  dengan BPJS Kesehatan memiliki  sasaran 

untuk memberikan tes IVA gratis untuk 5 juta orang dan papsmear gratis 

untuk 1,6 juta orang. Program ini telah bergulir sejak Juni 2014. Program 

pemerintah saat ini lebih ditujukan untuk pemerikasaan IVA gratis. 

ada  beberapa faktor yang menghambat perilaku deteksi dini kanker 

serviks pada pada wanita usia subur. Menurut penelitian yang telah 

dilakukan penulis  pada 2 kelompok perlakuan didapatkan bahwa 

pengetahuan sebelum intervensi pada kategori baik 12 %, cukup 40 % dan 

48 % kurang dan setelah intervensi pengetahuan baik 70%, cukup 24% dan 

kurang 6%, dan sikap sebelum intervensi pada kategori sikap sositif 19% 

dan sikap negatif 81 % dan sikap setelah intervensi pada kategori sikap 

positif 53 % dan sikap negatif sebesar 47%. 

 

Kanker serviks yaitu  kanker paling sering keempat pada 

wanita dengan perkiraan 570.000 kasus baru pada tahun 2018 dan 

mewakili 6,6% dari semua kanker pada wanita. Di seluruh dunia, 

kanker serviks terdiri sekitar 12% dari semua kanker pada wanita. 

Ini yaitu  kanker paling umum kedua pada wanita di seluruh 

dunia, tetapi yang paling umum di negara berkembang. Perkiraan 

global tahunan sekitar tahun 2000 yaitu  untuk 470.600 kasus 

baru dan 233.400 kematian akibat kanker serviks setiap tahun, 

80% dari kasus ini terjadi di negara berkembang.  

Banyak negara yang telah melalui transisi ini berada dalam 

kategori “berpenghasilan menengah”. Diperkirakan bahwa jumlah 

kasus kanker serviks yang lazim didiagnosis dalam lima tahun 

sebelumnya yaitu  sekitar 1.401.400 pada tahun 2000 

dibandingkan dengan 3.860.300 untuk kanker payudara, dengan 

1.064.000 dan 1.552.000 di antaranya terjadi di negara 

berkembang. Jadi meskipun kanker payudara semakin penting di 

banyak negara berkembang, kanker serviks tetap menjadi 

penyebab utama morbiditas dan mortalitas. (WHO, 2018).  

Di negara kita , pelayanan deteksi dini kanker serviks baik 

IVA dan papsmear bisa ditanggung oleh Jaminan Kesehatan 

Nasional. Kerjasama Yayasan Kanker negara kita  dengan BPJS 

 

 

Kesehatan memiliki  sasaran untuk memberikan tes IVA gratis 

untuk 5 juta orang dan papsmear gratis untuk 1,6 juta orang. 

Program ini telah bergulir sejak Juni 2014. Program pemerintah 

saat ini lebih ditujukan untuk pemerikasaan IVA gratis, sedangkan 

perbandingan biaya pap smear secara CS di negara kita  berkisar 

antara Rp 40.000-45.000,- dan LBC berkisar antara Rp 400.000-

Rp 550.000,-. Sebagaimana diketahui, kanker serviks paling 

sering terjadi dan merupakan penyebab kematian yang cukup 

tinggi dari semua jenis kanker pada wanita.  

BPJS Kesehatan mencatat pada Januari-Juni 2016,dan di 

negara kita , Berdasarkan data Sistem Informasi Rumah Sakit 

(SIRS) jumlah pasien rawat jalan maupun rawat inap pada kanker 

serviks yaitu 5.349 orang (12,8%), (K. RI, 2014). Yayasan Kanker 

negara kita  (2014) menyatakan bahwa hingga 2012 jumlah 

perempuan usia 30-50 tahun yang sudah melakukan deteksi dini 

kanker serviks yaitu lebih dari 550 ribu orang dengan hasil IVA 

positif lebih dari 25 ribu orang atau 4,5, suspek kanker serviks 1,2 

per 1000 hal ini disebab kan masih rendahnya kesadaran, 

pengertian, dan pengetahuan warga  tentang kanker serviks. 

Prevalensi kanker serviks pada tahun 2012 di negara kita  

sebesar 16 per 100.000 penduduk. Kanker serviks ini mengalami 

peningkatan pada tahun 2013, meningkat menjadi 17 per 100.000 

(Primadi, 2015). Setiap harinya ada  40 kasus baru kanker 

serviks dan 20 diantaranya meninggal dunia. Di dunia wanita yang 

telah di diagnosa kanker servik meninggal 2 menit sekali. 

 

 

Mengkaji masalah penanggulangan kanker serviks yang 

ada di negara kita  dan adanya pilihan metode yang mudah diujikan 

di berbagai Negara membuat metode IVA (inspeksi visual dengan 

aplikasi asam asetat) layak dipilih sebagai metode screning 

alternative untuk kanker serviks. IVA merupakan metode baru 

deteksi dini kanker serviks dengan mengoleskan asam asetat 

(cuka) kedalam leher rahim. Bila terjadi lesi kanker, maka akan 

terjadi perubahan warna menjadi agak keputihan pada leher rahim 

yang diperiksa. IVA metode yang lebih mudah, sederhana, dan 

mampu terlaksana sehingga screning dapat dilakukan dengan 

cakupan yang lebih luas. Diharapkan temuan kanker serviks dini 

bisa lebih banyak sebab  kemampuan IVA dalam mendeteksi dini 

pada kanker serviks telah dibuktikan oleh berbagai penelitian dan 

program skrining kanker serviks dengan Pap smear telah 

dilakukan di banyak negara maju dan berhasil menurunkan jumlah 

insiden kanker serviks di negara maju tersebut. Meskipun program 

skrining telah berjalan dengan baik di Amerika Serikat, tetapi 

diper- kirakan 30% dari kasus kanker kanker serviks terjadi pada 

wanita yang tidak pernah menjalani Pap smear.  

Program skrining di negara berkembang tidak berjalan 

rutin atau bahkan tidak dilakukan. Wanita di negara berkembang 

yang melakukan Pap smear yaitu hanya sekitar kurang dari 5% 

seluruh total populasi wanita dan hampir 60% dari kasus kanker 

serviks di negara berkembang terjadi pada wanita yang tidak 

pernah melakukan Pap smear. 

 

ada  beberapa yang menghambat perilaku deteksi 

dini kanker serviks pada pada wanita usia subur, menurut 

penelitian yang telah dilakukan penulis  pada 2 kelompok 

perlakuan didapatkan bahwa pengetahuan sebelum intervensi pada 

kategori baik 12 %, cukup 40 % dan 48 % kurang dan setelah 

intervensi pengetahuan baik 70%, cukup 24% dan kurang 6%, dan 

sikap sebelum intervensi pada kategori sikap sositif 19% dan sikap 

negatif 81 % dan sikap setelah intervensi pada kategori sikap 

positif 53 % dan sikap negatif sebesar 47%. 

 Penelitian yang dilakukan oleh penulis tentang faktor-

faktor yang berhubungan dengan perilaku pencegahan kanker 

serviks pada wanita usia subur, didapatkan adanya hubungan 

pengetahuan, sikap dan dukungan sosial terhadap perilaku deteksi 

dini pencegahan kanker serviks, sementara itu dari faktor usia, 

pendidikan, ekonomi, dari hasil statistik penelitian tersebut 

menunjukan ada hubungannya terhadap perilaku deteksi dini  yang 

dilakukan oleh WUS. 

 Dikemukakan bahwa adanya suatu informasi yang 

dilakukan berulang kali tentang deteksi dini kanker serviks akan 

meningkatkan pengetahuan seseorang maupun kelompok. Maka 

dari pengetahuan yang diberikan tersebut akan memberikan sikap 

positif bagi responden maupun kelompok dalam melakukan IVA 

test maupun papsmear. Sehingga penyuluhan ataupun intervensi 

kesehatan dapat memberi pengaruh terhadap pengetahuan, sikap 

baik individu maupun kelompok. Untuk mengatasi hambatan-

hambatan dan mencapai keberhasilan dan timbulnya suatu 

 

motivasi wus untuk melakukan deteksi dini kanker serviks seperti 

faktor di atas maka diperlukan suatu komunikasi yang baik kepada 

WUS yang menjadi sasaran deteksi dini agar terjadi sebuah 

peningkatan pengetahuan, sikap sehingga diharapkan terjadinya 

perubahan perilaku kepada mereka, pendidikan profesional dan 

publik dikombinasikan dengan ketersediaan pengobatan untuk 

tahap awal kanker serviks, memiliki efek penting dalam 

mengurangi morbiditas dan mortalitas dari penyakit, jauh sebelum 

program skrining diperkenalkan. Pendidikan dengan demikian 

merupakan ukuran dasar yang akan berkontribusi pada diagnosis 

dini penyakit, dan yang menjadi dasar skrining yaitu  penting 

bahwa program dirancang untuk budaya negara, dan bahwa 

mereka mengamati mitos yang cenderung lazim tentang kanker.  

Dalam beberapa budaya, pria juga membutuhkan informasi. 

Perempuan tidak boleh dipaksa melakukan skrining, dan mereka 

juga tidak boleh diberi pesan terlalu optimis tentang manfaat. 

Dengan demikian, wanita harus memahami bahwa dengan tes 

tidak menjamin tidak adanya penyakit sekarang atau di masa 

depan, dan sebaliknya, bahwa tes positif tidak berarti kanker, 

tetapi kebutuhan untuk penyelidikan lebih lanjut. Pendidikan 

melalui media hanya efektif. Pendidikan juga akan diperlukan 

pada saat melakukan tes skrining atau merujuk wanita untuk 

diagnosis. Pendidikan semacam itu harus dikelola oleh individu 

yang dapat mencapai interaksi pribadi dengan subjek, dan bersifat 

interaktif. 

 

PATOFISIOLOGI  

KANKER SERVIKS 

 

A. PENGERTIAN KANKER SERVIKS 

Serviks yaitu  area bagian bawah rahim yang 

menghubungkan rahim dengan vagina. Kanker serviks atau kanker 

leher dapat terjadi apabila sel-sel serviks menjadi abnormal dan 

membelah secara tidak terkendali. Kanker serviks yaitu  

pertumbuhan sel-sel abnormal pada serviks yaitu sel-sel normal 

berubah menjadi sel kanker.  Perubahan akan terjadi dalam waktu 

10-15 tahun, 80%  wanita yang berisiko terinfeksi oleh HPV, dan  

50% dari wanita  akan terinfeksi oleh HPV sepanjang masa 

hidupnya . Pada tahun 2013, di negara kita  ada  98.692 kasus 

kanker serviks, data (2009-2016) menunjukkan bahwa mayoritas 

penderita kasus kanker serviks yaitu  perempuan dewasa usia 35-

55 tahun, diikuti usia 56-64 tahun, usia >65 tahun, dan dewasa 

muda usia 18-35 tahun, berturut-turut sebanyak 7013, 2718, 1105, 

dan 453 kasus. Namun, dilaporkan juga adanya 33 kasus kanker 

serviks pada kelompok remaja usia 0-17 tahun. 

Serviks mengalami perubahan selama seumur hidup. 

Pubertas, kehamilan dan menopause semuanya mengubah stuktur 

dan lokasinya. Ada 2 tipe utama kanker serviks, yang paling umum 

yaitu  squamous cell carcinoma (SCC) yang melibatkan epitel 

skuamosa yang melapisi ektoserviks. Namun 20 % kanker serviks 

 

 

 

lainnya yaitu  adenokarsinoma yang melibatkan sel epitel 

glandular yang tersebar di sepanjang kanal endoserviks. Sebagian 

kecil kanker serviks juga terdiri dari jenis histologis langka seperti 

limfoma, sarkoma dan tumor neuroendokrin. 

 

B. PENYEBAB KANKER SERVIKS 

Sampai saat ini penyebab kanker serviks belum diketahui 

secara pasti, namun ada  hubungan yang cukup erat antara 

kanker serviks dengan infeksi HPV (Human Papiloma Virus). 

Human papillomavirus (HPV) yaitu  virus yang paling sering 

dijumpai pada penyakit menular seksual dan diduga berperan 

dalam proses terjadinya kanker. ada  sekitar 130 tipe HPV 

yang telah berhasil diidentifikasi dan lebih dari 40 tipe HPV dapat 

menginfeksi area genital laki-laki dan perempuan, mulut, serta 

tenggorokan. Virus ini terutama ditularkan melalui hubungan 

seksual. Virus ini terutama ditularkan melalui hubungan seksual 

termasuk oral sex, anal sex, dan hand sex. Kanker mulut rahim 

atau disebut juga kanker serviks yaitu  sejenis kanker yang 99,7% 

disebabkan oleh human papilloma virus (HPV) onkogenik, yang 

menyerang leher rahim. Di negara kita  hanya 5 persen yang 

melakukan Penapisan Kanker mulut rahim, sehingga 76,6 persen 

pasien ketika terdeteksi sudah memasuki Stadium Lanjut. 

Penapisan dapat dilakukan dengan melakukan tes Pap smear dan 

Inspeksi Visual Asam Asetat (IVA). Vaksinasi HPV merupakan 

pencegahan primer kanker serviks.Pap smear merupakan bagian 

dari pencegahan sekunder. Pencegahan yang terbaik yaitu  

 

 

 

dengan melakukan vaksinasi dan pap smear untuk menjangkau 

infeksi HPV risiko tinggi lainnya.Vaksinasi HPV diberikan 

dengan tujuan memberikan perlindungan terhadap infeksi virus 

HPV terutama yang dapat menyebabkan kanker serviks yaitu HPV 

tipe 16 dan 18. Vaksinasi diberikan 3 kali pada pada 0 – 1 – 6 bulan 

atau 0 – 2 – 6 bulan (

 

C. PENYEBARAN KANKER SERVIKS  

Kanker Serviks yaitu  kanker yang berasal dari sel epitel 

skuamosa yang terjadi jika sel-sel pada serviks tumbuh tidak terkendali. 

Sebelum kanker terjadi, akan didahului dengan suatu keadaan yang 

disebut lesi prakanker atau Cervical Intraephiteal Neoplasia (CIN). 

Fase prakanker ini sering disebut dengan dysplasia yang merupakan 

perubahan prakeganasan dari sel-sel rahim. ada  tiga tahap utama 

prakanker yang dimulai dengan infeksi pada sel dan berlanjut menjadi 

intraephitelia neoplasia (perkembangan sel-sel abnormal pada serviks)  

dan pada akhirnya berubah menjadi sel kanker pada serviks. 

 

 

 

Kanker Serviks Pertumbuhan sel kanker serviks atau karsinoma 

serviks uteri secara histopatologi diklasifikasikan ke dalam empat 

stadium, yaitu: 

a) Displasia  

Displasia yaitu  pertumbuhan sel yang aktif disertai 

gangguan pada proses pematangan epitel serviks uteri yang 

dimulai dari bagian basal 8 sampai ke lapisan superfisial. 

Displasia dibagi dalam 3 bagian berdasarkan derajat 

pertumbuhannya, yaitu: displasia ringan, sedang, dan berat. 

  

b) Karsinoma 

In situ Karsinoma in situ menyebabkan terjadinya perubahan 

sel epitel di seluruh lapisan epidermis menjadi karsinoma sel 

skuamos, tetapi membran basalis masih dalam keadaan utuh.  

 

c) Karsinoma 

Mikroinvasif perubahan derajat pertumbuhan sel pada 

stadium ini semakin meningkat. Sel tumor menembus 

membran basalis dan terjadi invasi pada stroma sejauh tidak 

lebih dari 5 mm dari membran basalis. Pada pemeriksaan fisik, 

stadium ini biasanya tidak terlihat, tetapi jika menggunakan 

kolposkopi, biasanya dapat dideteksi adanya prakarsinoma. 

 

d) Karsinoma invasif  

Pada stadium ini derajat pertumbuhan sel semakin terlihat 

menonjol, besar, memiliki bentuk yang bervariasi, inti gelap, 

 

 

 

dan kromatin berkelompok tidak merata serta susunan sel 

semakin teratur. Karsinoma invasif dibagi menjadi 3 subtipe, 

yaitu: karsinoma sel skuamos dengan keratin, karsinoma sel 

skuamos tanpa keratin, dan karsinoma sel kecil. 

 

D. TANDA DAN GEJALA KANKER SERVIKS  

       Pada tahap prakanker sering tidak menimbulkan gejala. 

Gejala prakanker biasanya berupa keputihan,  perdarahan sedikit 

yang bisa hilang. Pada tahap kanker  dapat timbul gejala berupa 

keputihan atau keluar cairan encer dari vagina yang berbau, 

perdarahan diluar siklus haid, perdarahan sesudah senggama, 

timbul kembali haid setelah mati haid (menopause), nyeri daerah 

panggul, dan gangguan buang air kecil. Infeksi HPV dan kanker 

serviks pada tahap awal berlangsung tanpa gejala,bila kanker 

sudah mengalami progresivitas atau stadium lanjut, gejalanya 

yaitu: Keputihan: semakin lama semakin berbau busuk dan 

tidak berhenti-henti, terkadang bercampur darah. Perdarahan 

vagina yang tidak normal seperti perdarahan diantara periode 

regular menstruasi periode menstruasi yang lebih lama dan lebih 

banyak dari biasanya, perdarahan setelah hubungan seksual 

atau pemeriksaan panggul, perdarahan pada wanita usia 

menopause, perdarahan kontak setelah senggama merupakan 

gejala kanker serviks 75-80%, perdarahan spontan 

yaituperdarahan yang timbul akibat terbukanya pembuluh darah 

dan semakin lama semakin sering terjadi. Nyeri yaitu : rasa sakit 

saat berhubungan seksual, kesulitan atau nyeri saat buang air 

 

 

 

kecil, nyeri didaerah panggul, bila kanker sudah mencapai 

stadium III keatas, maka akan terjadi pembengkakan diberbagai 

anggota tubuh seperti betis, paha. Anemia pada pasien kanker 

terjadi sebab  adanya aktivasi sistem imun dan inflamasi oleh 

keganasan tersebut. Beberapa sitokin yang dihasilkan oleh sistem 

imun dan inflamasi seperti interferon (INF), tumor necrosing 

factor (TNF) dan interleukin-1 (IL-1) merupakan bahan-bahan 

yang merangsang untuk terjadinya anemia. Di samping itu, 

kanker tersebut juga dapat memiliki  efek langsung untuk 

terjadinya anemia, Gagal ginjal sebagai efek dari infiltrasi sel 

tumor ke ureter yang menyebabkan obstruksi total. 

 

 

 

 

 

 

 

Kanker serviks memiliki beberapa gejala untuk mengenalinya, 

diantaranya yaitu: 

Tahap awal: Pada tahap awal, penyakit ini tidak menimbulkan 

gejala yang mudah diamati. Gejala kanker serviks tingkat 

lanjut: Munculnya rasa sakit dan perdarahan saat berhubungan 

intim (contact bleeding), keputihan yang berlebihan dan tidak 

normal, perdarahan di luar siklus menstruasi, penurunan berat 

badan drastis, apabila karsinoma sudah menyebar ke panggul, 

maka pasien akan menderita keluhan nyeri punggung, dan 

hambatan dalam berkemih, serta pembesaran ginjal. Masa 

preinvasif (pertumbuhan sel-sel abnormal sebelum menjadi 

keganasan) pada penyakit ini terbilang cukup lama, sehingga 

penderita yang berhasil mendeteksinya sejak dini dapat melakukan 

berbagai langkah untuk mengatasinya 

 

E. FAKTOR RESIKO KANKER SERVIKS  

Teori Rasjidi (2010) faktor risiko kanker serviks meliputi :  

1. Hubungan suami istri  

Karsinoma kanker serviks diperkirakan sebagai penyakit 

yang ditularkan secara seksual, dimana beberapa bukti 

menunjukkan adanya hubungan antara riwayat hubungan seksual 

dan risiko penyakit ini. Maka, wanita yang berhubungan seksual 

sebelum usia 18 tahun akan berisiko terkena kanker serviks lima 

kali lipat.  

 


 

2. Hubungan Partner  

Sirkumsisi pernah dipertimbangkan menjadi faktor 

pelindung, tapi sekarang hanya dihubungkan dengan penurunan 

faktor risiko. Studi kasus control menunjukkan bahwa pasien 

kanker serviks lebih sering menjalani seks aktif dengan partner 

yang melakukan seks berulang kali. Selain itu, partner dari pria 

dengan kanker penis atau partner dari pria yang istrinya meninggal 

terkena kanker serviks juga akan meningkatkan risiko kanker 

serviks. 

  

3. Merokok   

Tembakau mengandung bahan-bahan kartsinogen baik 

yang dihisap sebagai rokok atau sigaret yang dikunyah. Asap 

rokok menghasilkan polycycic aromatic hydrpcarbons 

heterocyclic amine yang sangat karsinogen dan mutagen, sedang 

bila dikunyah ia menghasilkan nitrosamine. Bahan yang berasal 

dari tembakau yang dihisap ada  pada getah serviks wanita 

perokok dan dapat menjadi karsinogen infeksi virus.  

 

4. Riwayat Ginekologis  

Walaupun usia menars atau menopause tidak 

mempengaruhi risiko kanker serviks, hamil diusia muda dan 

jumlah kehamilan atau manajemen persalinan yang tidak tepat 

dapat meningkatkan risiko.   

 

 

5. Pekerjaan   

Pasangan yang menderita kanker serviks difokuskan pada 

pria  sebab  ada  paparan pada suatu pekerjaan, misalkan dari 

suatu pekerjaan seperti debu, logam, bahan kimia, tar, atau oli 

mesin bisa  jadi faktor risiko kanker serviks.  

 

6. Kontrasepsi oral  

Risiko  noninvasif dan invasif kanker serviks telah 

menunjukkan hubungan dengan kontrasepsi oral. Bagaimanapun, 

penemuan ini hasilnya tidak selalu konsisten dan tidak semua studi 

dapat membenarkan perkiraan risiko dengan mengontrol pengaruh 

kegiatan seksual.  

 

7. Diet  

Diet rendah karotenoid dan defisiensi asam folat juga 

dimasukkan dalam faktor risiko kanker serviks. Banyak sayur dan 

buah mengandung bahan-bahan antioksidan dan berkhasiat 

mencegah kanker. Dari beberapa penelitian ternyata defisiensi 

terhadap asam folat, vitamin C, E dan beta karotin atau retinal  

berhubungan dengan peningkatan risiko kanker serviks.  

 

8. Faktor sosial dan etnis  

Wanita kelas tinggi lebih rendah risiko daripada wanita 

yang kelas sosialnya lebih rendah. Akses ke system pelayanan 

kesehatan dikacaukan oleh hubungan seksual.   

 

 

 

9. Usia  

Ditemukan bahwa risiko insiden kanker lebih tinggi terjadi 

pada usia dini meningkat, disebabkan sebab  tumor terlihat lebih 

agresif. Pada analisis retrospektif terhadap 2.628 manusia. 

 

10. Imunosupresan  

Imunosupresan yaitu  kelompok obat yang digunakan 

untuk menekan respon imun seperti pencegah penolakan 

trasplantasi organ pada tubuh, mengatasi penyakit autoimun 

(lupus) dan mencegah hemolisis rhesus pada neonatus. 

Imunosupresan dapat melemahkan sistem kekebalan tubuh 

sehingga rentang terserang HPV. Obat ini digunakan oleh 

penderita HIV/AIDS atau orang yang mendapatkan donor organ 

agar tubuh tidak menolak. 

 

11. Diethylstilbestrol  

Diethylstilbestrol (DES) yaitu  bentuk sintetis dari 

hormon estrogen wanita. DES digunakan untuk wanita hamil 

antara tahun 1940 dan 1971 guna mencegah keguguran, persalinan 

prematur, dan komplikasi kehamilan terkait. Penggunaan DES 

menurun setelah penelitian pada tahun 1950 menunjukkan bahwa 

DES tidak efektif dalam mencegah masalah ini. Pada tahun 1971, 

peneliti menghubungkan prenatal (sebelum kelahiran) paparan 

DES terhadap jenis kanker serviks dan vagina yang disebut 

adenokarsinoma sel yang jelas pada sekelompok kecil wanita. 

DES dikenal sebagai bahan kimia yang mengganggu endokrin, 

 


salah satu dari sejumlah zat yang mengganggu sistem endokrin 

menyebabkan kanker, cacat lahir, dan kelainan perkembangan 

lainnya. Efek bahan kimia yang mengganggu endokrin paling 

parah saat terpapar terjadi selama perkembangan janin. 

 

12. Pembalut  

Frekuensi mengganti pembalut sebagai risiko kanker 

serviks lebih dihubungkan dengan menjaga kebersihan organ 

genital. Penggantian pembalut secara teratur dapat mencegah 

bakteri patogen yang memicu timbulnya penyakit. Pembalut 

merupakan benda yang sangat penting bagi wanita ketika seorang 

wanita sedang mengalami menstruasi. Namun, tanpa disadari 

pembalut wanita merupakan salah satu penyebab penyakit 

kewanitaan sebab  adanya zat dioxin yang dapat menyebabkan 

kanker. 

 

13.Penggunaan Sabun  

Kebiasaan mencuci vagina dengan antiseptik berupa obat 

cuci vagina dan deodoran untuk menjaga kebersihan dan 

kesehatan vagina atau alasan lain dapat meningkatkan risiko 

kanker serviks. Pemilihan cairan pembersih juga harus 

diperhatikan dengan memilih pembersih khusus area kewanitaan. 

Berdasarkan Departemen Kesehatan kadar PH dalam sabun 

pencuci vagina yang diizinka yaitu dengan kadar Ph 3-4. 

Penggunaan pembersih dengan dengan kadar Ph yang terlalu 

 

 

 

18 

 

 

tinggi tidak dianjurkan sebab  akan mengakibatkan kulit kelamin 

menjadi keriput dan mematikanbakteri yang berada di vagina 

 

F. KLASIFIKASI KANKER SERVIKS  

       Menurut ahli medis Stadium yaitu  untuk menggambarkan 

tahapan kanker sejauh mana kanker tersebut telah menyebar dan 

menyerang jaringan disekitarnya. Penetapan stadium untuk 

mengetahui dan memilih perawatan yang terbaik untuk 

pengobatan  penyakit  kanker serviks. 

1. Stadium 0 

Stadium 0 disebut juga karsinoma in situ  yang berarti 

kanker belum menyerang bagian yang lain. Pada stadium ini, 

perubahan sel abnormal hanya ditemukan pada permukaan 

serviks. Ini termasuk kondisi prakanker yang bisa diobati dengan 

tingkat kesembuhan mendekati 100%. 

 

2. Stadium I 

Stadium I  kanker  telah tumbuh dalam serviks, namun 

belum menyebar kemanapun. 

 

3. Stadium II 

Pada stadium II, kanker telah menyebar diluar serviks (leher 

rahim) tetapi tidak kedinding panggul atau hanya sepertiga bagian 

bawah vagina. 

 

 

 

19 

 

 

4. Stadium III 

Pada stadium ini, kanker serviks telah menyebar 

kejaringan lunak sekitar vagina dan serviks sepanjang dinding 

panggul. Kemungkinan dapat menghambat aliran urine ke 

kandung kemih. 

 

5. Stadium IV 

Kanker servik stadium IV yaitu  tingkatan kanker yang 

paling parah. Pada stadium ini kanker telah menyebar ke organ-

organ tubuh diluar serviks dan rahim. 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Gambar 4. 

Cervical Cancer 

Sumber: Google 

 

 

 

20 

 

 

0 Karsinoma in situ (karsinoma preinvasif) I Karsinoma serviks 

terbatas di uterus (ekstensi ke korpus uterus dapat diabaikan) IA 

Karsinoma invasif didiagnosis hanya dengan mikroskop. Semua 

lesi yang terlihat secara makroskopik, meskipun invasi hanya 

superfisial, dimasukkan ke dalam stadium IB IA1 Invasi stroma 

tidak lebih dari 3,0 mm kedalamannya dan 7,0 mm atau kurang 

pada ukuran secara horizontal IA2 Invasi stroma lebih dari 3,0 mm 

dan tidak lebih dari 5, 0mm dengan penyebaran horizontal 7,0 mm 

atau kurang IB Lesi terlihat secara klinik dan terbatas di serviks 

atau secara mikroskopik lesi lebih besar dari IA2 IB1 Lesi terlihat 

secara klinik berukuran dengan diameter terbesar 4,0 cm atau 

kurang IB2 Lesi terlihat secara klinik berukuran dengan diameter 

terbesar lebih dari 4,0 cm II Invasi tumor keluar dari uterus tetapi 

tidak sampai ke dinding panggul atau mencapai 1/3 bawah vagina 

IIA Tanpa invasi ke parametrium IIA1 Lesi terlihat secara klinik 

berukuran dengan diameter terbesar 4,0 cm atau kurang IIA2 Lesi 

terlihat secara klinik berukuran dengan diameter terbesar lebih dari 

4,0 cm IIB Tumor dengan invasi ke parametrium III Tumor meluas 

ke dinding panggul atau mencapai 1/3 bawah vagina dan/atau 

menimbulkan hidronefrosis atau afungsi ginjal IIIA Tumor 

mengenai 1/3 bawah vagina tetapi tidak mencapai dinding panggul 

IIIB Tumor meluas sampai ke dinding panggul dan/atau 

menimbulkan hidronefrosis atau afungsi ginjal -8- IVA Tumor 

menginvasi mukosa kandung kemih atau rektum dan/atau meluas 

keluar panggul kecil (true pelvis) IVB Metastasis jauh (termasuk 

penyebaran pada peritoneal, keterlibatan dari kelenjar getah 

 

 

 

21 

 

 

bening supraklavikula, mediastinal, atau para aorta, paru, hati, 

atau tulang). Penyebaran ke korpus uterus tidak mempengaruhi 

stadium. Penumbuhan ke dinding panggul pendek dan induratif, 

kalau tidak nodular dimasukkan sebagai stadium IIB, bukan 

stadium IIIB. Induratif sulit dibedakan apakah proses kanker 

ataukah peradangan.  

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

22 

 

 

BAB III 

PENCEGAHAN  

KANKER SERVIKS 

 

A. PENCEGAHAN KANKER SERVIKS  

Tindakan yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya 

kanker serviks menurut WHO, ada dua buah tindakan yang dapat 

dilakukan untuk mencegah terjadinya kanker serviks yaitu : 

1. Tindakan pencegahan primer dengan pemberian Vaksin 

HPV 

HPV dapat berpindah melalui kontak kulit ke kulit (skin to 

skin). Artinya, meskipun sebagian besar HPV menular melalui 

hubungan seksual, tetapi dapat juga secara non seksual, yaitu 

melalui sentuhan kulit. Pemakaian kondom dapat meminimalisasi 

penularan virus tapi tidak bisa mencegah sepenuhnya sebab  

bagian tubuh lainnya bisa terkena HPV. 

Tindakan primer atau yang terpenting untuk mencegah 

terjadinya kanker serviks yaitu  melalui vaksinasi HPV. 

Vaksinasi HPV membuat tubuh membentuk antibodi terhadap 

virus HPV, sehingga virus yang masuk akan mati dan tidak sampai 

menimbulkan kanker serviks. Vaksin HPV dapat melindungi dari 

HPV tipe 6,11,16,18. HPV tipe 16 dan 18 penyebab 70% kanker 

serviks di seluruh dunia. HPV tipe 6 dan 11 menyebabkan kutil 

kelamin (genital warts). Vaksinasi HPV membuat tubuh 

membentuk antibodi terhadap virus HPV sehingga virus yang 

 

 

 

23 

 

 

masuk akan mati dan tidak sampai menimbulkan kanker serviks 

serta kutil kelamin.Vaksin HPV dapat diberikan kepada anak-anak 

laki dan perempuan mulai usia 9 tahun; bagi perempuan dewasa 

bahkan bisa diberikan sampai usia 55 tahun dianjurkan untuk 

memberikan vaksin HPV pada anak sejak usia dini untuk 

mendapatkan hasil yang maksimal.  

Vaksin HPV yaitu  vaksin inaktif (berisi protein serupa 

struktur cangkang virus HPV yang tidak mengandung DNA virus). 

Sehingga, vaksin ini sangat aman dan tidak mungkin menginfeksi 

manusia. Setelah disuntikkan, vaksin HPV akan merangsang 

pembentukan respon imun di dalam tubuh, sehingga menciptakan 

perlindungan terhadap kanker serviks. Untuk vaksin Quadrivalent 

HPV, jika jadwal vaksinasi terganggu setelah pemberian dosis 

pertama, maka dosis kedua harus diberikan minimal setidaknya 1 

bulan setelah suntikan pertama, dan dosis ketiga harus diberikan 

minimal setidaknya 3 bulan setelah suntikan kedua. Untuk vaksin 

Bivalent HPV, dosis kedua dapat diberikan antara 1-2.5 bulan 

setelah dosis pertama dan dosis ketiga diberikan antara 5-12 bulan 

setelah dosis pertama.  

Vaksin HPV tidak dianjurkan untuk diberikan kepada 

perempuan yang sedang mengandung.  Perempuan yang hamil 

sesudah pemberian dosis pertama, tidak boleh melanjutkan dosis 

kedua dan ketiga saat masa kehamilannya. Mengingat bahwa 

penularan virus HPV bisa terjadi kapan saja dan kepada siapa saja, 

maka pemberian vaksin HPV sebaiknya diberikan segera kepada 

perempuan berusia 9 – 45 tahun. Namun demikian, vaksinasi yang 

 

 

 

24 

 

 

diberikan pada remaja putri pada saat berusia 9 – 13 tahun dinilai 

paling efektif meskipun belum melakukan hubungan 

seksual.  Rentang usia ini dinilai efektif sebab  pada masa inilah 

tubuh memberikan proteksi respon imun yang lebih baik 

dibanding usia di atasnya.  Untuk perempuan berusia 13 – 45 

tahun, vaksinasi masih tetap direkomendasikan untuk yang belum 

pernah divaksinasi atau yang belum menyelesaikan seri vaksinasi 

secara penuh. Dalam uji klinis dan pembuktian setelah digunakan 

di dunia nyata, vaksin HPV dinilai sangat aman.  

Lebih dari 205 juta dosis vaksin sudah terdistribusi di seluruh 

dunia), sejak disetujui pada tahun 2006 oleh Food and Drug 

Administration Amerika Serikat. Organisasi kesehatan 

internasional terkemuka di seluruh dunia termasuk World Health 

Organization (WHO), US Centers for Disease Control and 

Prevention (CDC), Health Canada, European Medicines Agency 

(EMEA), Australia Therapeutic Goods Administration (TGA) dan 

yang lainnya juga terus merekomendasikan penggunaan Vaksin 

HPV.  

WHO GACVS telah mengumpulkan data surveilans pasca-

pemasaran dari Amerika Serikat, Australia, Jepang, dan dari 

perusahaan manufaktur. Data tersebut dikumpulkan dari tahun 

2006 sejak pertama kali diluncurkannya vaksin HPV sampai tahun 

2014. GACVS menyatakan tidak menemukan isu keamanan yang 

dapat merubah rekomendasi vaksinasi HPV. US CDC juga telah 

menyatakan bahwa pemantauan keamanan pasca-lisensi dari Juni 

 

 

 

25 

 

 

2006 hingga Maret 2013 menunjukkan bahwa tidak ada masalah 

keamanan baru terhadap vaksin HPV.  

Efek samping yang mungkin dapat terjadi setelah penyuntikan 

vaksin HPV yaitu  sebagai berikut: 

• Reaksi lokal: Sakit di tempat suntikan, eritema/kemerahan, 

bengkak. 

• Reaksi sistemik: sakit kepala, pireksia, mual,  fatigue 

(kelelahan) 

 

2.  Tindakan pencegahan sekunder melalui deteksi dini 

dengan Tes Pap Smear dan IVA Test. 

Skrining sering kali akan terus berlangsung. Penting sekali 

bahwa skrining demikian jauh lebih tidak efisien dan efektif 

daripada program yang diorganisasi sambil biaya yang lebih besar, 

sebab  tayangan itu cenderung berisiko rendah terkena penyakit. 

Realokasi sumber-sumber ini untuk program yang diorganisasi 

sering kali akan menghemat uang. 

 

B. KEKUATAN YANG KONVENSIONAL TES CYTOLOGI 

SERVIKS  

Cytologi serviks diketahui mengurangi insiden kanker 

serviks dan gerhana total, khususnya dalam program yang 

terorganisasi, meskipun di amerika utara dan beberapa negara di 

eropa memperoleh keuntungan dengan skrining oportunistik yang 

berlebihan. Sebagai tambahan, tes memiliki kekuatan sebagai 

berikut:  

 

 

 

26 

 

 

• Pengalaman penggunaannya selama puluhan tahun  

• Spesifikasi tinggi.  

• Luka yang diidentifikasi mudah diobati.  

• Relatif biaya rendah  

• Tenaga kerja dan sumber daya laboratorium yang disingkirkan 

ada di kebanyakan negara.  

 

Namun, ada keterbatasan tes ini. Hal ini mencakup, antara lain: 

• Tes itu memalukan dan sulit untuk dipahami dalam banyak 

kebudayaan. 

• Membutuhkan personel yang terlatih  

• Kesehatan belakang tidak cukup jelas. 

• Penting untuk mengingat kembali para wanita untuk 

pemeriksaan lebih lanjut jika noda itu tidak cukup. Maupun 

evaluasi untuk kelainan yang dicurigai.  

• Di kebanyakan laboratorium, hanya sedikit kepekaan yang 

dicapai dan berproduksi yaitu  buruk.  

• Sitologi tidak dapat membedakan penyakit progresif dari yang 

ditakdirkan untuk mundur. Ini berlaku untuk yang dilaporkan 

kelas rendah dan tinggi lesi. Kemungkinan menjadi lebih 

rendah untuk kelainan tingkat rendah (37,60,61).  

• Cytologi mungkin kurang efektif pada wanita yang lebih tua. 

Hal ini mencerminkan berkurangnya lesi pada wanita tersebut, 

dan fakta bahwa zona transformator cenderung pindah ke kanal 

endocervical. Akan tetapi, jika para wanita sudah cukup 

diperiksa di antara kisaran usia 35-54 tahun dan tidak pernah 

terjangkit smear yang tidak normal, mereka bisa berhenti 

terjangkit penyakit dan skrining  

• Skrining serviks menggunakan cytologi membutuhkan banyak 

upaya manajemen dan koordinasi sebab  banyaknya lembaga 

yang terlibat. Ini terbukti mahal.  

• Mustahil menghapus penyakit ini melalui pemeriksaan medis. 

Akan ada kasus kanker invasif yang terjadi meskipun skrining 

 

 

 

27 

 

 

sebab  biologi penyakit di tubuh itu menghasilkan 

perkembangan yang sangat cepat untuk deteksi tepat waktu 

menghasilkan perawatan yang efektif. Selain itu, tidak ada 

program yang dapat menjamin cakupan 100% atau efektivitas 

total proses penyaringan. Dengan demikian program ini 

kemungkinan besar mencapai minimal penyebaran kanker 

invasif di populasi, yang mungkin akan mencapai tingkat 10-

20% dari jumlah wabah tanpa skrining. yaitu  penting bahwa 

hal ini dipahami oleh para peserta dalam program tersebut, dan 

oleh mereka yang mendanai dan mendukung program tersebut. 

 

C. TEST PAPSMEAR 

Penyebaran kanker serviks juga dapat dicegah dengan 

tindakan pencegahan sekunder yaitu melalui deteksi dini dengan 

melakukan tes Pap smear. Deteksi dini melalui Tes Paps sebaiknya 

dilakukan seawal mungkin bagi para perempuan yang sudah 

pernah berhubungan seksual. Apabila hasil tes dinyatakan positif 

terhadap adanya sel abnormal pada lapisan serviks, maka tindakan 

terapi dapat dilakukan untuk mencegahnya menjadi kanker. Pap 

smear dapat dilakukan kapan saja, kecuali pada masa haid atau 

dilarang atas petunjuk dokter. Waktu terbaik untuk melakukannya 

yaitu  antara 10-20 hari setelah hari pertama menstruasi. 

Perempuan yang sudah menikah ataupun sudah pernah melakukan 

hubungan seksual dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan Pap 

smear setahun sekali.  

Bagi perempuan yang sedang hamil juga dapat melakukan tes 

pap sebab  prosedur tersebut aman. Pap smear disarankan untuk 

dijalani hanya untuk perempuan yang sudah pernah berhubungan 

 

 

 

28 

 

 

seksual, baik yang masih aktif ataupun tidak. Bagi yang sedang 

dalam kondisi tidak aktif berhubungan seksual disarankan untuk 

melakukan tes pap setiap 3 tahun sekali, sedangkan untuk yang 

masih aktif melakukan hubungan seksual dianjurkan untuk 

melakukan pemeriksaan Pap smear setiap 1 tahun sekali. Pap 

smear dapat dilakukan kapan saja, kecuali pada saat haid atau 

dilarang atas petunjuk dokter. Waktu terbaik untuk Pap smear 

yaitu  antara 10-20 hari setelah hari pertama menstruasi, dan 

sebaiknya perempuan tidak menggunakan douche atau pembersih 

vagina 1-2 hari sebelum pemeriksaan sebab  bahan-bahan tersebut 

dapat menyembunyikan sel-sel abnormal. 

Pap smear merupakan salah satu jenis skrining yang dilakukan 

untuk mendekteksi dini adanya kanker serviks. Pap smear  

dilakukan dengan cara mengambil sel epitel di leher rahim, 

kemudian dilakukan pemeriksaan diklinik laboratorium untuk 

mengetahui apakah sel epitel leher rahim normal atau sudah 

menunjukkan tanda-tanda sel abnormal bahkan kanker.  

Program skrining kanker serviks dengan Pap smear telah 

dilakukan di banyak negara maju dan berhasil menurunkan jumlah 

insiden kanker serviks di negara maju tersebut. Meskipun program 

skrining telah berjalan dengan baik di Amerika Serikat, tetapi 

diper- kirakan 30% dari kasus kanker kanker serviks terjadi pada 

wanita yang tidak pernah menjalani Pap smear.4 Program skrining 

di negara berkembang tidak berjalan rutin atau bahkan tidak 

dilakukan. Wanita di negara berkembang yang melakukan Pap 

smear yaitu hanya sekitar kurang dari 5% seluruh total populasi 

 

 

 

29 

 

 

wanita dan hampir 60% dari kasus kanker serviks di negara 

berkembang terjadi pada wanita yang tidak pernah melakukan Pap 

smear. Oleh sebab  itu perlu dilakukan skrining kanker serviks 

dengan pemeriksaaan Pap smear untuk mendapatkan data kelainan 

sitologi serviks yang meliputi data normal smear, proses 

keradangan, low grade intraepithelial lesion (LSIL), high grade 

intraepithelial lesion (HSIL), carcinoma insitu, dan carcinoma 

invasive serta IVA untuk mendapatkan data kelainan serviks. 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Gambar 5 

Pemeriksaan Pap Smear 

Sumber: Google 

 

 

Alat-alat yang dibutuhkan untuk pemeriksaan pap smear, sebagai 

berikut : 

a. Brooms 

b. Cytobrush 

c. Spatula  

d. Gelas objek/slide 

 

 

 

30 

 

 

e. Sarung tangan  

f. Speculum vagina 

g. Alhocol 96% 

 

Langkah-langkah yang untuk melakukan  pap smear : 

a. Usapkan spatula eyra pada bagian ektoserviks, yaitu bibir 

mulut rahim terlebih dahulu, kemudian hasil usapan pada 

serviks dipulas pada kaca benda. 

b. Usapkan cytobrush pada endoserviks, lalu pulas pada kaca 

benda /slide 

c. Rendam kaca benda dalam alkohol,minilmal 30 menit. 

d. Kirim keklinik laboratorium patologi untuk dilakukan 

pengecekan papanicolau, pengambilan sampel secara 

konvensional dilakukan dengan dua cara yaitu : pertama 

pengambilan sampel dari dorong mulut rahim, kedua 

pengambilan sampel dari bibir mulut rahim. 

 

D.  IVA TEST 

 Skrining dengan IVA merupakan skrining yang murah, 

mudah, dan dapat diaplikasikan di seluruh negara kita . Skrining 

dengan pap smear dapat dilakukan di tempat yang memiliki  

fasilitas pemeriksaan sitologi. 

IVA Test kepanjangan dari inspeksi visual asam asetat, 

deteksi dengan metode ini sangat cocok diterapkan dinegara 

berkembang dengan berbagai alasan, yaitu mudah dilakukan, 

biaya pemeriksaan cukup terjangkau oleh seluruh kalangan 

terutama kalangan menengah ke bawah, efektif serta tidak 

invasive dan bisa dilakukan oleh dokter, perawat, bidan yang 

 

 

 

31 

 

 

sudah mengikuti pelatihan mengenai pemeriksaan dengan metode 

IVA ini. Hasil bisa diketahui dengan mempertimbangkan tingkat 

sensitivitas serta spesivitasnya yang cukup baik dan akurat ( Ria 

riksasi, 2016). 

 

Alat yang digunakan sangat sederhana yaitu : 

a. Speculum vagina 

b. Asam asetat 3-5 % 

c. Kapas lidi 

d. Meja pemeriksaan  

e. Sarung tangan steril 

f. Ruangan dengan cahaya yang cukup terang 

 

Cara melakukan IVA Test dengan cara mengoleskan asam 

asetat 3-5% ke kapas lidi dan diusapkan ke daerah serviks/leher 

rahim. Selanjutnya serviks diobservasi dan diamati beberapa saat 

selanjutnya lakukan penelaian. Kriteria  pemeriksaan IVA atau 

hasil pemeriksaan IVA, sebagai berikut : 

a. Normal 

b. Radang /senvisitis /apitik yaitu  gambaran tidak khas pada 

mulut rahim akibat infeksi, baik akut maupun kronis pada 

mulut rahim. 

c. IVA positif yaitu ditemukan bercak putih berarti 

ditemukan adanya lesi prakenker. 

d. Curiga kanker serviks 

 

 

 

32 

 

 

E. SASARAN PEMERIKSAAN IVA  

 Pemeriksaan IVA pada WUS  yaitu rentang usia antara 15-

49 tahun. Terkhusus bagi wanita yang sudah menikah atau sudah 

pernah melakukan senggama merupakan sasaran untuk 

pemeriksaan IVA. Rata-rata kasus menderita kanker serviks 

berumur antara 30-60 tahun, dan usia terbanyak antara 45-50 

tahun, frekuensinya masih meningkat sampai usia 60 tahun dan 

frekuensi selanjutnya sedikit menurun kembali. Keadaan tersebut 

yang menjadikan WUS jadi sasaran deteksi dini kanker serviks. 

 

F. INTERPRESTASI IVA 

 

 

 

 

 

 

 

 

Gambar 6 

Perjalanan Penyakit Kanker Serviks 

Sumber: Dokter kandungan pribadi – WordPress.com 

  

 

 

 

33 

 

 

Pemeriksaan IVA dikatakan positif apabila adanya ditemukan area 

yang berwarna putih dan permukaannya meninggi dengan batasan 

yang jelas di sekitar Zona Transformasi. 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

34 

 

 

BAB IV 

TEORI MODEL EDUKASI 

DETEKSI DINI  

KANKER SERVIKS 

 

 Landasan teori yang dipakai acuan dalam edukasi deteksi 

dini kanker serviks ini Health Belief Model dan Teori Perubahan 

Perilaku.   

A. TEORI HEALTH BELIEF MODEL (HBM) 

1.  Pengertian Health Belief Model  

 Health Belief Model dikemukakan pertama kali oleh 

Resenstock 1966, kemudian disempurnakan oleh Becker, dkk 

1970 dan 1980. Sejak tahun 1974, teori HBM telah menjadi 

perhatian para peneliti. Model teori ini merupakan formulasi 

konseptual untuk mengetahui persepsi individu apakah mereka 

menerima atau tidak tentang mereka. Variabel yang dinilai 

meliputi keinginan individu untuk menghindari kesakitan, 

kepercayaan mereka bahwa ada  usaha agar menghindari 

penyakit tersebut.  

 HBM merupakan suatu konsep yang mengungkapkan 

34ebagia dari individu untuk mau atau tidak mau melakukan 

perilaku sehat (Janz & Becker, 1984). HBM juga dapat diartikan 

sebagai sebuah konstruk teoretis mengenai kepercayaan individu 

dalam berperilaku sehat.  

 

 

 

35 

 

 

 HBM yaitu  suatu model yang digunakan untuk 

menggambarkan kepercayaan individu terhadap perilaku hidup 

sehat, sehingga individu akan melakukan perilaku sehat, perilaku 

sehat tersebut dapat berupa perilaku pencegahan maupun 

penggunaan fasilitas. HBM ini sering digunakan untuk 

memprediksi perilaku preventif dan juga respon perilaku untuk 

pengobatan pasien dengan penyakit akut dan kronis. Namun akhir-

akhir ini teori HBM digunakan sebagai prediksi berbagai perilaku 

yang berhubungan dengan sebagian.  

Gambaran HBM terdiri dari 6 dimensi, diantaranya:  

a.  Perceived susceptibility atau kerentanan yang dirasakan 

konstruk tentang resiko atau kerentanan (susceptibility) 

personal, Hal ini mengacu pada persepsi subyektif seseorang 

menyangkut risiko dari kondisi kesehatannya. Di dalam kasus 

penyakit secara medis, dimensi tersebut meliputi penerimaan 

terhadap hasil sebagian, perkiraan pribadi terhadap adanya 

resusceptibilily (timbul kepekaan), dan susceptibilily 

(kepekaan) terhadap penyakit secara umum.  

b.  Perceived severity atau keseriusan yang dirasa. Perasaan 

mengenai keseriusan terhadap suatu penyakit, meliputi 

kegiatan evaluasi terhadap konsekuensi klinis dan medis 

(sebagai contoh, kematian, cacat, dan sakit) dan konsekuensi 

yang mungkin terjadi (seperti efek pada pekerjaan, kehidupan 

keluarga, dan hubungan). Banyak ahli yang menggabungkan 

kedua komponen diatas sebagai ancaman yangdirasakan 

(Perceived Threat).  

 

 

 

36 

 

 

c.  Perceived benefits, manfaat yang dirasakan. Penerimaan 

susceptibility sesorang terhadap suatu kondisi yang dipercaya 

dapat menimbulkan keseriusan (perceived threat) yaitu  

mendorong untuk menghasilkan suatu kekuatan yang 

mendukung kearah perubahan perilaku. Ini tergantung pada 

kepercayaan seseorang terhadap efektivitas dari berbagai 

upaya yang tersedia dalammengurangi ancaman penyakit, 

atau keuntungan-keuntungan yang dirasakan (perceived 

benefit) dalam mengambil upaya-upaya sebagian tersebut. 

Ketika seorang memperlihatkan suatu kepercayaan terhadap 

adanya kepekaan (susceptibility) dan keseriusan 

(seriousness), sering tidak diharapkan untuk menerima 

apapun upaya sebagian yang direkomendasikan kecuali jika 

upaya tersebut dirasa manjur dan cocok.  

d.  Perceived barriers atau hambatan yang dirasakan untuk 

berubah, atau apabila individu menghadapi rintangan yang 

ditemukan dalam mengambil sebagian tersebut. Sebagai 

tambahan untuk empat keyakinan (belief) atau persepsi.  

e.  Health motivation dimana konstruk ini terkait dengan 

motivasi individu untuk selalu hidup sehat. Terdiri atas 

36ebagia terhadap kondisi kesehatannya serta health value.  

f.  Cues to action suatu perilaku dipengaruhi oleh suatu hal yang 

menjadi isyarat bagi seseorang untuk melakukan suatu atau 

perilaku. Isyarat-isyarat yang berupa eksternal maupun 

internal, misalnya pesan-pesan pada media massa, nasihat 

atau anjuran kawan atau anggota keluarga lain, aspek 

 

 

 

37 

 

 

sosiodemografis, misalnya tingkat, lingkungan tempat 

tinggal, pengasuhan dan pengawasan orang tua, pergaulan 

dengan teman, agama, suku, keadaan ekonomi, dan budaya, 

self-efficacy yaitu keyakinan seseorang bahwa dia 

memiliki  kemampuan untuk melakukan atau menampilkan 

suatu perilaku tertentu. Health belief model dipengaruhi oleh 

beberapa faktor, diantaranya demografis, karakteristik 

psikologis, dan juga dipengaruhi oleh structural variable, 

contohnya yaitu  ilmu pengetahuan. 

 Edukasi merupakan yang penting sehingga mempengaruhi 

HBM individu. Kurangnya pengetahuan akan menyebabkan 

individu merasa tidak rentan terhadap gangguan, yang dalam suatu 

penelitian yang dilakukan oleh Edmonds dan kawan-kawan yaitu  

osteoporosis. Karakteristik psikololgis merupakan hal yang 

mempengaruhi HBM individu. Dalam penelitian ini, karakteristik 

psikologis yang mempengaruhi health belief model HBM kedua 

responden yaitu  ketakutan kedua responden menjalani 

pengobatan secara medis. 

 

B. TEORI PERILAKU LAWRENCE GREEN  

Setiap individu memiliki perilakunya sendiri yang berbeda 

dengan individu lain, termasuk pada kembar identik sekalipun. 

Perilaku tidak selalu mengikuti urutan tertentu sehingga 

terbentuknya perilaku positif tidak selalu dipengaruhi oleh 

 

 

 

38 

 

 

pengetahuan dan sikap positif  mengklasifikasikan beberapa faktor 

penyebab sebuah tindakan atau perilaku :  

1. Faktor pendorong (predisposing factor)  

Faktor predisposing merupakan faktor yang menjadi dasar 

motivasi atau niat seseorang melakukan sesuatu. Faktor 

pendorong meliputi pengetahuan, sikap, kepercayaan, keyakinan, 

nilai dan persepsi, tradisi, dan unsure lain yang ada  dalam diri 

individu maupun warga  yang berkaitan dengan kesehatan 

(Heri, 2009).  

 

2. Faktor pemungkin (enabling factor)  

Faktor enabling merupakan faktor-faktor yang memungkinkan 

atau yang memfasilitasi perilaku atau tindakan. Faktor pemungkin 

meliputi sarana dan prasarana atau fasilitas-fasilitas atau sarana-

sarana kesehatan. Untuk berperilaku sehat, warga  

memerlukan sarana dan prasarana pendukung, misalnya perilaku 

Pemeriksaan Payudara Sendiri (SADARI), perempuan yang ingin 

mendapatkan informasi harus lebih aktif dalam mencari informasi 

melalui pelayanan kesehatan seperti puskesmas, rumah sakit, 

posyandu, dokter atau bidan praktik, dan juga mencari informasi 

melalui media massa seperti media internet, media cetak, media 

elektronik, dan  media sosial. 

 

 

 

 

 

39 

 

 

3. Faktor pendorong atau pendorong (reinforcing factor)  

Faktor reinforcing merupakan faktor-faktor yang mendorong atau 

memperkuat terjadinya perilaku seseorang yang disebab kan 

adanya sikap suami, orang tua, tokoh warga  atau petugas 

kesehatan. 

  

 

 

 

40 

 

 

BAB V 

GROUP 

A. DEFENISI GROUP 

Soekanto (2006) menjelaskan group sebagai himpunan 

atau kesatuan-kesatuan manusia yang hidup berbagi dalam 

memiliki hubungan timbal balik dan memiliki kesadaran untuk 

saling tolong-menolong. Sarwono 2009 mendefinisikan group 

sebagai dua orang atau lebih yang memiliki persepsi sebagai satu 

kesatuan serta memiliki perasaan sebagai bagian dari group 

tersebut dan memiliki tujuan saling ketergantungan satu sama lain. 

Menurut pola (2004) kelompok yaitu  suatu grup yaitu sejumlah 

orang yang ada antara hubungan satu sama lain hubungan itu 

bersifat sebagai sebuah struktur.  

Sarwono (2009) mengatakan bahwa kelompok group 

yaitu  dua atau lebih individu yang berinteraksi secara langsung 

peduli dengan hubungannya dan dalam sebuah grup saling peduli 

antara anggota grup saling peduli dengan ketergantungan positif 

untuk berusaha mencapai tujuan bahagia. 

 

B. CIRI & SYARAT GRUP 

Ciri- Ciri Grup  

1. Individu yang berinteraksi mengidentifikasi dirinya sebagai 

anggota kelompok group serta memiliki kesadaran bahwa ia 

merupakan bagian dari kelompok; 

 

 

 

41 

 

 

2. Pihak luar mendefinisikan individu yang berinteraksi sebagai 

anggota group; 

3. ada  hubungan yang sifatnya timbal balik. Artinya, dalam 

proses interaksi sehari-hari, baik itu indivdu maupun groupnya 

dapat saling mempengaruhi satu sama lain; 

4. Memiliki norma dan nilai yang disepakati sebagai pengikat 

dalam bersikap dan bertingkah laku antar anggota group 

sehingga timbul kesamaan pola perilaku; 

5. Memiliki rasa kebersamaan dan solidaritas; 

6. Memiliki kesamaan motif, visi dan tujuan; 

7. Bersistem dan berproses, dalam kaitan ini, kelompok group 

terbentuk dalam jangka waktu tertentu dan sebagai konsekuensi 

dari interaksi dan aktivitas yang dilakukan secara terus-

menerus. 

 

Syarat Terbentuknya Grup 

1. Setiap anggota kelompok menyadari bahwa ia merupakan 

bagian dari groupnya. Perlu digaris bawahi bahwa dalam setiap 

group ada  pola hubungan timbal balik. Arti hubungan 

timbal balik yaitu tiap-tiap anggota saling berinteraksi secara 

sadar sebagai upaya untuk mencapai tujuan atau memenuhi 

kebutuhan tertentu. 

2. Setiap anggota group memiliki kesamaan latar belakang atau 

karakterisitk. Mereka cenderung membentuk pola interaksi 

yang lekat sebab  memiliki kesamaan pengalaman serta 

dihadapkan pada suatu masalah yang sama. 

3. ada  struktur, norma dan pola perilaku; 

4.  Suatu group tentunya memiliki ciri khusus yang menjadikannya 

berbeda dengan group yang lain. Struktur dan norma group 

 

 

 

42 

 

 

merupakan elemen pembeda yang penting. Setiap group 

memiliki norma/aturan yang berisi kaidah-kaidah yang bersifat 

mengatur perilaku para anggotanya hingga akhirnya 

terbentuklah pola perilaku tertentu yang menjadi ciri khas 

kelompok tertentu. 

 

C. TEORI-TEORI PEMBENTUKAN GROUP 

Teori terbentuknya Group, mengemukakan beberapa teori 

tentang terbentuknya kelompok atau group antara lain 

1.  Teori kontrak atau perjanjian teori yang berangkat dari sebuah 

pemikiran awal yang menyatakan bahwa terbentuknya sebuah 

negara yaitu  sebab  adanya kesepakatan dari warga  atau 

individu individu dalam warga  untuk melakukan 

kesepakatan atau perjanjian mereka sama-sama mendasarkan 

analisis-analisis mereka pada anggapan dasar bahwa manusia 

sebagai sumber dari kewenangan sebuah negara 

2.  Teori-teori ini berpendapat manusia yang tadinya hidup 

terpisah-pisah kamu jadi hidup dalam pergaulan antar manusia 

disebabkan sebab  pada setiap individu ada  yang 

senantiasa mendorong untuk bergaul dengan sesamanya. 

3.  Teori tenaga yang menggabungkan kelompok terbentuk sebab  

manusia senantiasa hidup dalam satu pergaulan yang didorong 

oleh tenaga-tenaga yang menggabungkan atau 

mengintegrasikan individu dalam suatu pergaulan. 

 

 

 

43 

 

 

4.  Teori kedekatan atau provinsi teori merupakan teori yang 

sangat dasar tentang terbentuknya kelompok yang menjelaskan 

bahwa kelompok terbentuk sebab  adanya afiliasi atau 

perkenalan dari orang-orang tertentu. 

5.  Teori keseimbangan salah satu teori yang agak menyeluruh 

penjelasannya tentang pembentukan kelompok ialah teori 

keseimbangan yang dikembangkan oleh theodor newcomb teori 

ini menyatakan bahwa seseorang tertarik pada yang lain sebab  

adanya kesamaan sikap di dalam menanggapi suatu tujuan 

6.  Teori praktis, teori ini menyatakan bahwa group terbentuk 

sebab  group cenderung memberikan kepuasan atas kebutuhan 

kebutuhan yang mendasar dari orang-orang kelompok 

kebutuhan-kebutuhan social practice tersebut dapat berubah 

ekonomi status keamanan politik dan lainnya. 

 

D. MANFAAT PEMBENTUKAN GRUP 

Manfaat pembentukan group, Samuel (1934) dalam 

bukunya effective public group menyatakan bahwa banyak 

manfaat membuat group selain pertemanan dan salah satu 

kebutuhan hidup berpartisipasi dalam group dalam dapat 

menyelesaikan tugas-tugas yang memerlukan keterampilan dan 

mencapai tujuan setiap individu belajar keterampilan melalui trial 

and error akan tetapi berkelompok dapat menyelesaikan tugas 

dengan lebih cepat sebab  berbagai keterampilan yang berbeda 

pada masing-masing individu dapat digabungkan menjadi satu. 

 

 

 

44 

 

 

Manfaat kedua dari pembentukan group ialah anggota 

group dapat memberikan pendapat untuk menentukan suatu 

pekerjaan prosesnya serta perubahan sehingga tercapainya tujuan 

pengambilan suara dalam group membantu diambilnya keputusan 

dengan tepat. 

Group dapat bekerja efektif dalam terapi konseling 

individual sangat membantu untuk beberapa orang begitu halnya 

dengan konseling kelompok anggota group mengingatkan anggota 

lainnya untuk dalam masalah yang diselesaikan di sisi lain dapat 

saling memberi bantuan dalam menyelesaikan kesulitan. 

Manfaat terakhir ialah melalui group kebutuhan individu 

dapat terpenuhi. Menurut Waldo (1987) membentuk group 

membantu orang lain rasa tentang rasa peduli rasa pengakuan 

keberadaan serta arti dengan tujuan hidup anggota group dapat 

memberi dukungan semasa terjadinya transisi dan perkembangan. 

 

E. KETERBATASAN PEMBENTUKAN GROUP 

Keterbatasan pembentukan group walaupun banyak 

manfaat masuk dalam group akan tetapi ada  juga keterbatasan 

dalam group 1983 menyatakan bahwa keterbatasan dalam group, 

antara lain: 

1.  Primary Retention cenderung muncul pada pertemuan pertama 

kelompok dimana setiap group yang belum saling mengenal 

perasaan malu serta perasaan yang tidak nyaman bertemu 

dengan orang asing anggota group akan merasa waspada dan 

ragu-ragu untuk mengeluarkan pendapat dan berkomunikasi; 

 

 

 

45 

 

 

2.  Social Rejection, penolakan jika melakukan hal-hal yang 

bertentangan dengan norma social; 

3.  Interference, campur tangan orang lain anggota group memiliki 

peran dan tugas yang berbeda tidak dapat dipungkiri kurangnya 

keterampilan salah satu anggota akan turut andil membantu 

agar tujuan tetap tercapai akan tetapi campur tangan yang 

terlalu berlebihan akan menyebabkan pandangan yang kurang 

kompeten di antara anggota lainnya selain itu campur tangan 

orang lain yang tidak sesuai dengan tugasnya akan menambah 

estimasi waktu pencapaian tujuan; 

4.  Personal investment, anggota menginvestasikan sejumlah uang 

seperti uang pendaftaran waktu tenaga bantuan dan lain-lain 

dalam group; 

5.  Reactance, ruang kebebasan dalam group memiliki aturan dan 

norma sehingga anggota tidak dapat berekspresi secara bebas 

sebab  terikat dengan peraturan. 

 

F. JENIS-JENIS GRUP 

Jenis-jenis I menurut Robert Bierstedt dalam Sarwono (2009) 

kelompok memiliki banyak jenis dan dibedakan berdasarkan ada 

tidaknya organisasi hubungan antara group dan kesadaran jenis 

Sarwono kemudian membagi group group menjadi empat macam. 

Yaitu: 

1.  Group yaitu group yang bukan organisasi tidak memiliki 

hubungan dan kesadaran jenis diantaranya  

2.  Group kewarga an yaitu kelompok yang memiliki 

persamaan tetapi tidak memiliki  organisasi dan hubungan 

45ebagi diantara anggotanya 

 

 

 

46 

 

 

3.  Group yaitu group yang anggotanya memiliki kesadaran jenis 

dan hubungan satu dengan yang lainnya tetapi tidak terikat 

dalam ikatan organisasi 

4.  Group asosiasi yaitu kelompok yang anggotanya memiliki 

kesadaran jenis dan ada persamaan kepentingan pribadi 

maupun kepentingan dalam asosiasi para anggotanya 

melakukan hubungan kontak dan komunikasi serta memiliki 

ikatan organisasi formal 

Group merupakan kumpulan dua orang atau lebih melalui 

interaksi dan tujuan tertentu, Sarwono 1959 menggolongkan 

group menjadi  

1.  Group formal yaitu organisasi militer perusahaan kantor 

camat group nonformal arisan geng group belajar teman-

teman bermain golf 

2.  Group kecil dua sahabat keluarga kelas group besar divisi 

46ebagia suku bangsa 

3.  Group jangka pendek panitia penumpang sebuah kendaraan 

umum orang-orang yang membantu memadamkan kebakaran 

atau menolong korban kecelakaan lalu lintas kelompok jangka 

46ebagia bangsa keluarga dan sekolah 

4.  Group kohesif yaitu hubungan erat anggota antar keluarga 

keluarga panitia rombongan umroh 

5.  Group agresif yaitu pelajar tawuran penumpang bus pencopet 

group yang mengeroyok dan menyiksa korban sering sampai 

mati demonstran dan lain-lain 

6.  Group dengan identitas seperti keluarga kesatuan militer 

perusahaan sekolah universitas 

7. Group individual autonomous warga  kota besar 

perusahaan dengan manajemen berat 

8.  Group dengan berbudaya tunggal 

 

 

 

47 

 

 

9.  Group laki-laki tim sepakbola pasukan komando laki-laki 

Jumat salat Jumat. Group perempuan seperti sepak bola 

wanita bang perempuan polisi wanita 

10. Group konsumen dalam hal sumber daya tergantung pada 

pihak lain seperti konsumen persatuan pengibar mobil dan 

group ibu rumah 

11. Group persahabatan seperti arisan teman bermain kumpul 

sahabat group paguyuban alumni SMA 

 

  

 

 

 

48 

 

 

BAB VI 

KONSELING 

 

A. PENGERTIAN KONSELING KELOMPOK  

Konseling kelompok merupakan suatu bantuan pada individu 

dalam situasi kelompok yang bersifat pencegahan dan 

penyembuhan, serta diarahkan pada pemberian kemudahan dalam 

perkembangan dan pertumbuhannya. Latipun mengatakan, 

konseling kelompok yaitu  bentuk konseling yang membantu 

beberapa individu yang diarahkannya mencapai fungsi kesadaran 

secara efektif untuk jangka waktu pendek dan menengah. 

Adhiputra (2014) mendefinisikan konseling kelompok merupakan 

upaya bantuan kepada individu dalam suasana kelompok yang 

bersifat pencegahan dan pengembangan, dan diarahkan kepada 

pemberian kemudahan dalam rangka pengembangan dan 

pertumbuhannya. Konseling kelompok merupakan suatu sistem 

layanan bantuan yang sangat baik untuk membantu 

pengembangan kemampuan pribadi, pencegahan, dan mengenai 

konflik-konflik antarpribadi atau pemecahan masalah. 

Lesmana (2005) mengartikan konseling kelompok sebagai 

hubungan membantu di mana salah satu pihak (konselor) 

bertujuan meningkatkan kemampuan dan fungsi mental pihak lain 

(klien) agar dapat menghadapi persoalan/konflik yang dihadapi 

dengan lebih baik. Di dalam suatu konseling kelompok ada  

bantuan konseling, yaitu dengan menyediakan kondisi, sarana, dan 

 

 

 

49 

 

 

keterampilan yang membuat klien dapat membantu dirinya sendiri 

dalam memenuhi rasa aman, cinta, harga diri, membuat keputusan 

dan aktualisasi diri. Memberikan bantuan juga mencakup 

kesediaan konselor untuk mendengarkan perjalanan hidup klien 

baik masa lalunya, harapan-harapan, keinginan yang tidak 

terpenuhi, kegagalan yang dialami, trauma, dan konflik yang 

sedang dihadapi klien.  

Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan 

bahwa konseling kelompok yaitu  upaya bantuan yang bersifat 

pencegahan dan pengembangan kemampuan pribadi sebagai 

pemecahan masalah secara kelompok atau bersama-sama dari 

seorang konselor kepada klien.  

 

B. KONSELOR 

Konselor yaitu  pihak yang membantu klien dalam proses 

konseling. Sebagai pihak yang paling memahami dasar dan teknik 

konseling secara luas, konselor bukan hanya menjalankan 

perannya sebagai fasilitator bagi klien, melainkan juga bertindak 

sebagai penasihat, guru, konsultan yang mendampingi klien 

sampai klien dapat menemukan dan mengatasi masalah yang 

dihadapinya. Maka tidaklah berlebihan bila dikatakan bahwa 

konselor yaitu  tenaga profesional yang sangat berarti bagi klien. 

 

1. Karakteristik Konselor  

Setelah memahami gambaran seorang konselor secara umum, 

ada  beberapa karakteristik konselor efektif yang 

 

 

 

50 

 

 

dikemukakan oleh beberapa ahli. Karakteristik inilah yang wajib 

dipenuhi oleh seorang konselor untuk mencapai keberhasilannya 

dalam proses konseling. Di awali dari pandangan Carl Rogers 

sebagai peletak dasar konsep konseling. Rogers (1961, dalam 

Lesmana, 2005) menyebutkan ada tiga karakteristik utama yang 

harus dimiliki oleh seorang konselor, yaitu: congruence, 

unconditional positive regard, dan empathy.  

1. Congruence  

Menurut Rogers (1961), seorang konselor haruslah terintegrasi 

dan kongruen. Pengertiannya di sini yaitu  seorang kon- selor 

terlebih dahulu harus memahami dirinya sendiri. Antara pikiran, 

perasaan, dan pengalamannya harus serasi. Konselor harus 

sungguh-sungguh menjadi dirinya sendiri, tanpa menutupi 

kekurangan yang ada pada dirinya. Seperti contoh ka sus; seorang 

konselor yang memiliki fobia terhadap ketinggian bersedia 

berbagi pengalaman kepada klien dengan keluhan ketakutan pada 

hewan berbulu. Konselor tidak berpura-pura mengatakan bahwa ia 

berani dan telah berhasil mengalahkan ketakutannya pada 

ketinggian. Hal ini akan membuat klien merasa bahwa bukan 

hanya dirinya yang memiliki masalah takut pada suatu objek.  

 

2. Unconditional Positive Regard  

Konselor harus dapat menerima/respek kepada klien walaupun 

dengan keadaan yang tidak dapat diterima oleh lingkungan. Setiap 

individu menjalani kehidupannya dengan membawa segala nilai-

nilai dan kebutuhan yang dimilikinya. Rogers mengatakan bahwa 

 

 

 

51 

 

 

setiap manusia memiliki tendensi untuk mengaktualisasikan 

dirinya yang lebih baik. Untuk itulah konselor harus memberikan 

kepercayaan kepada klien untuk mengembangkan diri mereka. 

Apabila seorang klien dengan keluhan selalu melakukan 

masturbasi, konselor tidak langsung menolak atau sinis akan tetapi 

bersikap terbuka dan berpikiran positif bahwa tingkah laku klien 

dapat diubah menjadi lebih baik.  

Brammer, Abrego, dan Shostrom (1989, dalam Lesmana, 

2005) menarmbahkan apa yang disampaikan oleh Rogers bahwa 

klien akan mengalami perubahan yang efektif apabila ia berada 

dalam situasi yang kondusif untuk pertumbuhan. Situasi yang 

kondusif ini misalnya pengalaman penerimaan (acceptance) yaitu 

pengalaman dipahami, dicintai, dan dihargai tanpa syarat.  

 

3. Empathy  

Empathy yaitu  memahami orang lain dari sudut kerangka 

berpikirnya. Selain itu empati yang dirasakan juga harus 

ditunjukkan. Konselor harus dapat menyingkirkan nilai-nilainya 

sendiri tetapi tidak boleh ikut terlarut di dalam nilai-nilai klien. 

Selain itu, Rogers (1961, dalam Willlis, 2009) mengartikan empati 

sebagai kemampuan yang dapat merasakan dunia pribadi klien 

tanpa kehilangan kesadaan diri. Ia menyebutkan komponen yang 

ada  dalam empati meliputi: penghargaan positif (positive 

regard), rasa hormat (respect), kehangatan (warmth), kekonkretan 

(concreteness), kesiapan/kesegaran (immediacy), konfrontasi 

(confrontation), dan keaslian (congruence/genuiness). Seperti 

 

 

 

52 

 

 

mampu memahami bagaimana seorang klien yang melakukan 

hubungan seksual pranikah dengan tidak langsung menilainya 

sebagai perbuatan tercela dan menghakimi klien sebagai manusia 

hina. 

 

2. Peran dan Fungsi Konselor  

Peran dan fungsi dalam pembahasan kali ini sengaja ditulis 

terpisah untuk memperjelas kedudukan konselor dalam peran dan 

fungsinya. Hal ini senada yang diungkapkan oleh Baruth dan 

Robinson III (1987, Lesmana, 2005) yang memisahkan dua 

pengertian itu. Peran (role) didefenisikan sebagai the interaction 

of expectations about a “position” and perceptions of the actual 

person in that position. Dari definisi yang dikemukakan oleh 

Baruth dan Robinson III tersebut, dapat diartikan bahwa peran 

yaitu  apa yang diharapkan dari posisi yang dijalani seorang 

konselor dan persepsi dari orang lain terhadap posisi konselor 

tersebut. Misalnya, seorang konselor harus memiliki kepedulian 

yang tinggi terhadap masalah klien, dan lain-lain. Sementara 

fungsi (function) didefinisikan sebagai what the individual does in 

the way of specific activity (hlm.143). Dari definisi tersebut dapat 

diartikan bahwa fungsi yaitu  hal-hal yang harus dilakukan 

seorang konselor dalam menjalani profesinya. Misalnya, seorang 

konselor harus mampu melakukan wawancara, mampu memimpin 

kelompok pelatihan dan melakukan asesmen atau diagnosis. 

 

 

 

 

 

 

53 

 

 

C. KLIEN 

Willlis (2009) mendefenisikan klien yaitu  setiap individu 

yang diberikan bantuan profesional oleh seorang kon- selor atas 

permintaan dirinya sendiri atau orang lain. Pengertian yang hampir 

sama juga diungkapkan oleh Rogers (1961, dalam Latipun, 2001) 

yang mengartikan klien sebagai individu yang datang kepada 

konselor dalam keadaan cemas dan tidak kongruensi. 

Berikut ini akan diuraikan berbagai karakteristik klien:  

1. Klien Sukarela 

Klien sukarela yaitu  klien yang pada konselor atas kesadaran 

diri sendiri sebab  memiliki maksud dan tujuan tertentu. Hal ini 

dapat berupa keinginan memperoleh informasi, mencari 

penjelasan tentang masalahnya, tentang karier, dan lanjutan studi, 

dan sebagainya. 

 

2. Klien Terpaksa  

Apabila klien sukarela pada konselor atas kemauannya sendiri, 

maka klien terpaksa yaitu  klien yang pada konselor bukan atas 

kemauannya sendiri melainkan atas dorongan teman, keluarga, 

dan sebagainya. 

 

3. Klien Enggan (Reluctant Client)  

Berbeda lagi dengan klien enggan. Klien enggan yaitu  klien 

yang pada konselor bukan untuk dibantu menyelesaikan 

masalahnya melainkan sebab  senang berbincang-bincang dengan 

 

 

 

54 

 

 

konselor. Ada juga beberapa klien enggan yang hanya diam sebab  

tidak suka dibantu masalahnya. 

 

4. Klien Bermusuhan/Menentang  

Klien bermusuhan/menentang merupakan kelanjutan dari 

klien terpaksa yang bermasalah dengan cukup serius. Ciri-ciri dari 

klien bermasuhan/menentang yaitu: tertutup, menentang, 

bermusuhan, dan menolak secara terbuka. 

 

5. Klien Krisis  

Yang terakhir yang mendapat musibah seperti kematian orang-

orang terdekat, kebakaran rumah, pemerkosaan, bencana alam, 

dan lain- lain. Tugas konselor di sini yaitu  memberikan bantuan 

yang dapat membuat klien menjadi stabil dan mampu menyesuai- 

kan diri dengan situasi yang baru. 

 

Kebutuhan Klien 

Sama halnya dengan harapan, klien juga memiliki kebutuhan 

yang menjadi alasannya mengikuti proses konseling. Kebutuhan 

yang mendasari tersebut tentu saja yaitu  kebutuhan psikologis. 

George J. Mouly (dalam Mappiare, 2002) menyebutkan kebutuhan 

psikologis meliputi kebutuhan kasih, rasa memiliki, berprestasi, 

mandiri, pengakuan, dan kebutuhan harga diri. Selanjutnya 

Journad (dalam Mappi-I are, 2002) menambahkan bahwa 

kebutuhan individu meliputi: kebutuhan bertahan hidup. 

Kebutuhan fisik, kebutuhan cinta dan seks, kebutuhan status, 

 

 

 

55 

 

 

sukses dan harga diri, kebutuhan mental dan fisik, kebutuhan 

kebebasan, kebutuhan akan tantangan, kebutuhan ketegasan 

kognitif, dan kebutuhan yang beragam. Tidak terpenuhinya 

kebutuhan-kebutuhan tersebut akan menimbulkan permasalahan 

dalam kehidupan individu. 

 

D. KLIEN DALAM GRUP KONSELING 

Klien dalam konseling kelompok merupakan salah satui 

komponen yang sangat menentukan keberhasilan tujuan suatu 

proses konseling. Ada berbagai tipe klien yang ada i dalam 

konseling kelompok. Konselor harus peka menentukan 

karakteristik klien seperti apakah yang sesuai disertakan dalam 

konseling kelompok. Atau bagaimana menyatukan klien agar  

kompak dan dapat memberikan umpan balik yang positif.  

Konselor juga harus mempertimbangkan kesiapan dan 

kesediaan klien menjalani konseling kelompok. Hal ini 

berdasarkan alasan bahwa tidak semua klien yang meskipun 

masalahnya akan lebih efektif ditangani melalui konseling 

kelompok, memiliki kemauan untuk bergabung dengan klien lain. 

Hal inil harus dapat dimaklumi, sebab  mungkin saja ia yaitu  tipe 

klien tertutup yang tidak dapat menjalin hubungan interpersonall 

dengan semua Orang. Untuk itulah berikut ini penulis sajikan 

beberapa karakteristik klien, baik yang sesuai mengikuti konseling 

kelompok maupun tidak. Menurut Shertzer dan Stone (dalam 

Lubis, 2009), karakteristik klien yang cocok mengikuti konseling 

kelompok yaitu: 

 

 

 

56 

 

 

1.  Klien yang merasa bahwa mereka perlu berbagi sesuatu dengan 

orang lain dimana mereka dapat membicarakani tentang 

kebimbangan, nilai hidup, dan masalah yang dihadapi. 

2.  Klien yang memerlukan dukungan dari teman senasib sehingga 

dapat saling mengerti. 

3.  Klien yang membutuhkan pengalaman dari orang lain untuk 

memahami dan memotivasi diri. 

 

Sementara itu, George dan Cristiani (Latipun, 2001) 

menyatakkan karakteristik klien yang tidak sesuai mengikuti 

konseling kelompok sebagai berikut: 

1.  Klien yang berada dalam keadaan kritis. 

2.  Klien yang tidak ingin masalahnya diketahui orang lain sebab  

bersifat konfidensial sehingga harus dilindungi dan dijaga 

kerahasiaannya. 

3.  Memiliki ketakutan bicara yang luar biasa. 

4.  Tidak mampu menjalin hubungan interpersonal.  

5.  Memiliki kesadaran yang sangat terbatas.  

6.  Klien yang mengalami penyimpangan seksual.  

7.  Klien yang membutuhkan perhatian yang sangat besar. 

 

Selain karakteristik klien tersebut, keefektifan layanan 

konseling kelompok juga dipengaruhi oleh bagaimana anggota 

kelompok menciptakan situasi konseling yang saling mendukung. 

Suasana tersebut antara lain: 

a.  Terjadinya interaksi yang dinamis. 

b.  Keterikatan  emosional. 

c.  Adanya sikap penerimaan antara sesama anggota. 

 

 

 

57 

 

 

d.   Altruistik, yaitu mengutamakan kepedulian terhadap orang 

lain. 

e.  Dapat menambah ilmu dan wawasan anggota kelompok serta 

menumbuhkan ide-ide mengatasi masalah. 

f.  Setiap anggota dapat melakukan katarsis (menyatakan emosi 

yang mengarah pada pengungkapan masalah sebenarnya). 

g.  Setiap anggota dapat berempati satu sama lain. 

 

Oleh sebab  itu, peran serta seluruh anggota kelompok sangat 

diperlukan untuk mewujudkan situasi konseling yang saling 

membangun, mendukung, dan harmonis. Adapun peran serta 

anggota konseling kelompok yaitu: 

a.  Berperan aktifyang ditunjukkan melalui sikap 3M 

(mendengar dengan aktif, memahami dengan positif, dan 

merespons dengan tepat). 

b.  Bersedia berbagi pendapat, ide dan pengalaman.  

c.  Dapat menganalisis. 

d.  Aktif membina keakraban dan menjalin ikatan emosional.  

e.   Dapat mematuhhi etika kelompok. 

f.  Dapat menjaga kerahasiaan, perasaan, dan bersedia mem 

bantu anggota kelompok. 

g.  Membina kelompok dengan tujuan mencapai keberhasilan 

kegiatan kelompok. 

 

 

E. TUJUAN DAN MANFAAT KONSELING  

Dalam menjalankan layanan, konseling kelompok memiliki 

fungsi layanan kuratif dan layanan preventif. Layanan kuratif yaitu 

layanan yang diarahkan untuk mengatasi persoalan yang dialami 

individu. Adapun layanan preventif yaitu layanan konseling yang 

diarahkan untuk mencegah terjadinya persoalan pada diri individu. 

 

 

 

58 

 

 

Menurut Adhiputrai (2016) secara konseptual, fungsi layanan 

konseling kelompoki meliputi dua layanan, yaitu: 

a.  Konseling Individual: hubungan balik antar-individu untuk 

mencapai pemahaman tentang dirinya sendiri, dalam 

hubungannya dengan permasalahan, perkembangan, dan 

pengambilan keputusan dirinya untuk saat ini dan seterusnya. 

b.  Konseling Kelompok: upaya bantuan kepada individu dalam 

suasana kelompok yang bersifat pencegahan dan 

pengembangan, dan diarahkan kepada pemberian kemudahan 

dalam rangka pertumbuhan dan perkembangannya. 

 

Penentuan tujuan konseling mutlak harus dilakukan untuk 

memperjelas apakah yang menjadi klien kepada konselor, apa 

yang ingin dicapai dalam konseling, serta bantuan apa yang harus 

diberikan oleh konselor kepada klien. Biasanya penentuan tujuan 

konseling dilakukan di awal pertemuan untuk membuat proses 

konseling berjalan sistematis.” Jadi, sebelum konseling dilakukan, 

baik konselor maupun klien telah mengetahui tujuan apa yang 

ingin dicapai dan target-target apa yang harus disusun untuk 

mencapai tujuan tersebut. Perumusan tujuan konseling inilah yang 

kemudian menunjukkan arah proses konseling dan kemudian 

menunjukkan kepada konselor apakah penerapan konseling 

berhasil atau tidak. Para ahli membuat penjelasan yang berbeda 

mengenai tujuan konseling. 

Krumboltz (Latipun, 2001) yang beraliran behavioristik 

mengelompokkan tujuan konseling menjadi tiga jenis, yaitu 

 

 

 

59 

 

 

mengubah penyesuaian perilaku yang salah, belajar membuat 

keputusan, dan mencegah timbulnya masalah. 

 

F. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PROSES 

KONSELING 

 

Keberhasilan proses konseling dalam pelaksanaannya 

ditentukan oleh banyak faktor. Dalam hal ini Gladding (2005) 

menjelaskan ada lima faktor yang memengaruhi konseling, yaitu: 

struktur, inisiatif, tatanan (setting fisik, kualitas klien, dan kualitas 

konselor. 

1. Struktur 

Menurut Willis (2009), struktur yaitu  susunan proses 

konseling yang dilakukan konselor secara sistematis. Sementara 

Gladding (2005) mengartikan struktur sebagai konsep mengenai 

karakteristik, kondisi, prosedur, dan parameter konseling yang 

disepakati oleh konselor dan klien. Struktur digunakan untuk 

memperjelas hubungan antara konselor-klien, melindungi hak 

masing-masing, menunjukkan arah dan men jamin konseling 

berhasil. Apabila suatu konseling tidak memiliki struktur yang 

jelas, maka klien tidak dapat memahami konseling sepenuhnya. 

Hal ini akan membuatnya tidak aman bingung, takut, dan tidak 

mau berbagi tanggung jawab untuki keberhasilan konseling. 

Pedoman praktis untuk membangun Struktur telah disusun 

Lesmana (2005) sebagai berikut: 

a.  Time limits (contoh: setiap sesi pertemuan lamanya 50 menit). 

b.  Action limits (untuk mencegah tingkah laku destruktif).  

c.  Role limits (apa yang diharapkan dari masing-masing pihak). 

 

 

 

60 

 

 

d.  Procedural limits (kapan klien diberi tanggung jawab untuk 

menghadapi suatu sasaran atau kebutuhan spesifik).  

e. Fee schedules (kapan harus membayar, bagaimana carai 

pembayaran, dan lain-lain). 

 

2. Inisiatif 

Inisiatif dipandang sebagai motivasi untuk berubah. Klien 

yang memiliki inisiatif untuk mempercepat kesembuhannya dalam 

proses konseling akan memudahkan konselor dalam menangani 

permasalahan yang dihadapinya. Inisiatif biasanya lahir dari klien 

yang menyadari bahwa ia harus keluar dari masalahnya dan 

memiliki keyakinan yang kuat bahwa konseling akan berhasil. 

Sementara bagi klien yang masih enggan meng ungkapkan 

permasalahannya, maka konselor harus berinisiatif mengambil 

tindakan nyata agar dapat menggali akar konfliki klien.  

 

3. Tatanan (Setting) Fisik 

Tatanan fisik turut membantu terciptanya klien yang kondusif. 

Hal yang perlu dilakukan oleh konselor yaitu  bagaimana 

membuat ruang klien nyaman dan memberikan ketenangan pada 

klien. Konselor yang profesional diharapkan memiliki 

keterampilan untuk menyiapkan ruangan klien yang memung 

kinkan klien merasa aman, tenang, rileks, dan senang.  

 

 

 

 

 

 

 

61 

 

 

4. Pengaturan Dekorasi Ruangan  

Dekorasi ruangan klien hendaknya disesuaikan dengan 

keadaan yang familiar dengan klien sehingga diharapkan dapat 

menyenangkan klien. Misalnya jika klien seorang mahasiswa 

maka dekorasi yang dipilih berupa gambar buku, foto kampus, 

gambar ruang kuliah, gambar toga, atau foto wisuda. 

 

5. Pengaturan Tempat Duduk 

Pengaturan tempat duduk hendaknya memungkinkan klien 

dapat berkomunikasi secara terbuka. Untuk itu konselor dan klien 

hendaknya duduk di kursi, berhadap-hadapan satu sama lain tanpa 

meja atau bangku yang menghalang-halangi klien dan konselor. 

Keterbatasan hubungan antara konselor dan klien ini telah diatur 

dalam kode etik klien. 

 

6. Jarak Tenupat Duduk Konselor dan Klien 

Jauh dekatnya jarak tempat duduk konselor dan klien dapat 

pula memengaruhi keakraban hubungan dalam konseling. Jika 

tempat duduk konselor jauh dari tempat duduk klien, maka 

cenderung menimbulkan suasana hubungan yang kurang akrab 

dan klien menjadi kurang “involve” dalam proses konseling. 

Sebaliknya, jika jarak tempat duduk konselor dan klien terlalu 

dekat dapat menimbulkan suasana hubungan yang kaku, terbatas, 

dan merisihkan. Akibat yang dapat terjadi yaitu  klien menjadi 

makin lebih tertutup atau defensif.  

 

 

 

 

62 

 

 

7. Letak Tempat Duduk Klien 

Tempatkan kursi tempat duduk klien sedemikian rupa 

sehingga memungkinkan klien dapat melemparkan pandangan 

keluar jendela. Sedapat mungkin hindari penempatan duduk klien 

yang membelakangi jendela sehingga memungkinkan klien 

merasa bebas, enak, dan tidak tertekan. 

 

8. Ruangan Konseling 

Usahakan pelaksanaan konseling di ruang khusus yang 

membuat klien merasa aman dan bebas mengemukakan 

masalahnya tanpa khawatir didengarkan oleh orang lain. sebab  

keberadaan konselor dan klien yang hanya berdua dalam ruangan 

konseling, maka ahli agama menyarankan agar proses konseling 

dilaksanakan oleh konselor pria jika klien pria, dan oleh konselor 

wanita jika klien wanita. Di samping itu besarnya ruangan klien 

hendaknya cukup luas, paling tidak ruangan konseling itu 

berukuran 3 x 4 m, memiliki  sirkulasi udara yang baik, 

berjendela, cukup terang, dan bersih. Dalam ruang an konseling 

seperti ini, klien akan merasa enak, bebas, dan aman sehingga 

keterlibatannya dalam proses konseling menjadi besar. 

 

9. Kualitas Klien 

Termasuk dalam kualitas klien yaitu  karakteristik klien dan 

kesiapannya menjalani proses konseling. Mengenai kedua hal 

tersebut telah dibahas sebelumnya pada Bab II Pembahasan Klien.  

 

 

 

63 

 

 

10. Kualitas Konselor  

Konselor yaitu  pihak yang paling memahami akan dibawa ke 

mana arah konseling dan mengetahui sejauh mana tingkat 

keberhasilan konseling. Untuk itulah, seorang konselor harus 

memenuhi karakteristik khusus yang harus dipenuhi untuk 

menangani klien.  

Sementara itu, Latipun (2001) menjelaskan faktor-faktor yang 

memengaruhi proses konseling dalam lima kelompok, yaitu: 

1. Faktor-faktor yang berhubungan dengan gangguan. Yang 

termasuk dalam kategori ini yaitu :  

a. Jenis gangguan atau masalah 

Apabila jenis gangguan atau masalah klien telah berulang 

kali ditangani konselor, konselor akan terbantu untuk 

menemukan teknik konseling yang sesuai untuk klien. 

Akan tetapi, bila jenis gangguan/masalah klien ditangani 

konselor untuk pertama kali, maka konselor cenderung 

kesulitan menghadapi klien. Tetapi walaupun begitu, 

konselor tetap dituntut untuk menunjukkan  

keprofesionalannya di hadapan klien. 

 

b.  Berat/ringannya masalah atau gangguan 

Semakin berat masalah yang dihadapi klien, maka konselor 

membutuhkan waktu konseling yang lebih lama. Demikian 

juga dengan kompleksitas masalah klien juga turut 

memengaruhi hasil konseling yang dilakukan. 

 

 

 

 

64 

 

 

c. Konseling sebelumnya 

Klien yang sudah pernah menjalani konseling sebelumnya 

pada konselor lain akan memengaruhi keberhasilan 

konseling yang dijalani saat ini. Jika klien yang sudah 

pernah menjalani konseling memiliki persepsi positif 

tentang konseling, maka permasalahan yang dihadapinya 

akan semakin mudah ditangani. Tetapi sebaliknya, bila 

klien memiliki persepsi negatif pada konselingnya 

terdahulu, ia akan bersikap defensif pada konselor. Hal ini 

akan mengganggu terciptanyai rapport yang menyebabkan 

klien bersikap menutup diri dari konselor. 

 

2.  Faktor-faktor yang berhubungan dengan keadaan klien. 

Yang termasuk dalam hal ini yaitu : 

a. Usia klien 

Untuk membentuk kepribadian positif pada diri klien, 

maka konselor harus melakukan modifikasi terlebih 

dahulu. Klien yang masih remaja lebih mudah 

dimodifikasi perilakunya sebab  kepribadiannya masih 

fleksibel. Berbeda halnya dengan klien dewasa yang telah 

memantapkan kepribadiannya sehingga sulit untuk 

diubah. 

 

 

 

 

 

 

 

65 

 

 

b. Jenis kelamin 

Wanita cenderung lebih mudah dipengaruhi perilakunya 

sebab  kerap kali melakukan modelling dibandingkan 

pria. Dan dalam konseling, factor modeling  

 

c. Tingkat pendidikan 

Klien yang berpendidikan tinggi akan lebih positif 

menyikapi interaksi dan proses yang terjadi dalam 

konseling dibandingkan dengan klien yang 

berpendidikan rendah. 

 

d. Inteligensi 

Dalam hal ini inteligensi berpengaruh terhadap 

kemampuan klien menyesuaikan diri dan cara-cara 

pengambilan keputusan. Klien yang inteligensinya 

baik akan lebih banyak berpartisipasi dalam proses 

konseling. Selain itu, akan lebih cepat dan tepat dalam 

pengambilan keputusan dibandingkan dengan klien 

yang berinteligensi rendah. 

 

e. Status berbagai ekonomi 

Klien yang berasal dari latar belakang berbagai 

ekonomi tinggi akan lebih positif menilai diri dan masa 

depan yang ingin dicapainya dibandingkan dengan 

klien dari latar belakang berbagai ekonomi rendah. 

 

 

 

66 

 

 

f. Sosial budaya 

Ketidakharmonisan antara nilai-nilai yang dianut klien 

berasal dari berbagai budaya tertentu dengan nilai-nilai 

yang ada  dalam konseling akan sangat me 

mengaruhi cara pandang klien terhadap konseling. Bila 

hal ini tidak dapat diantisipasi oleh konselor, klien akan 

mengambil sebagian resistensi terhadap konselor 

sehingga menghambat proses konseling.  

 

3. Faktor-faktor yang berhubungan dengan kepribadian 

klien. Yang tercakup dalam hal ini yaitu : 

a. Motivasi klien  

Kien yang pada konselor atas kemauannya sendiri akan 

lebih berpengaruh positif terhadap konseling 

dibandingkan dengan klien yang 66ebagi atas rujukan 

orang lain. 

 

b. Harapan 

Klien yang memiliki harapan bahwa konseling dapat 

membantunya menyelesaikan masalah akan lebih 

bersemangat menjalani konseling dibandingkan 

dengan klien yang tidak menaruh harapan apapun 

pada konseling. 

 

 

 

 

 

 

67 

 

 

c. Kekuatan ego dan kepribadian 

Kekuatan ego menyangkut dari cara penanganan 

terhadap masalah, kecemasan menghadapi risiko, dan 

kemampuan mengatasi masalah. Jadi. Klien yang 

memiliki kekuatan ego dan kepribadian yang akan 

lebih berhasil daripada klien yang memiliki ego dan 

kepribadian yang lemah. 

 

4.  Faktor-faktor yang berhubungan dengan kehidupan klien.  

a. Keluarga  

Klien yang hidup dengan keluarga yang utuh akan 

memiliki sikap berbeda dibandingkan dengan klien yang 

hidup dengan keluarga tidak stabil. Hal ini disebabkan 

sebab  selain konselor, keluarga juga pihak yang dapat 

memotivasi klien untuk dapat sembuh dan keluar dari 

masalahnya. Dukungan inilah yang menanamkan 

keyakinan dan semangat klien selama menjalani 

konseling. 

 

b. Kehidupan 

Klien yang hidup pada lingkungan social yang 

memberikan dorongan pada klien akan lebih berhasil 

dibandingkan klien yang hidup pada lingkungan yang 

tidak mendorong. Keluasan pergaulan klien juga turut 

memengaruhi.  

 

 

 

 

68 

 

 

5. Faktor-faktor yang berhubungan dengan konselor dan 

proses konseling.  

a. Kemampuan konselor 

Konselor yang memiliki keahlian dan memenuhi 

karakteristik konselorm yang efektif akan dapat 

menghasilkan konseling yang lebih baik dibandingkan 

konselor yang tidak efektif. 

  

 

G. STUKTUR GRUP KONSELING 

Setelah membicarakan tujuan dan berbagai faktor yang 

memengaruhi konseling kelompok, maka hal penting lain yang 

tidak boleh dilupakan yaitu  struktur. Untuk melaksanakan 

konseling kelompok, konselor harus memperhatikan struktur yang 

tepat dan sesuai dengan klien. Corey, Gazda, Ohlsen, dan Yalom 

telah struktur dalam konseling kelompok yang mencakup jumlah 

anggota kelompok, homogenitas kelompok, sifat kelompok, dan 

waktu pelaksanaan konseling kelompok. Berikut ini 

penjelasannya:   

 

1. Jumlah Anggota Kelompok 

Yalom (2001), jumlah keanggotaan pada konseling 

kelompok terdiri dari 4 sampai 12 orang klien sebab  ha sil 

penelitian menunjukkan bahwa apabila jumlah anggotai 

kelompok kurang dari 4 orang dinamika kelompok menjadi 

kurang hidup, sebaliknya bila anggota kelompok lebih dari 12 

 

 

 

69 

 

 

orang maka konselor akan kewalahan mengelola kelompok 

sebab  jumlah anggota kelompok terlalu besar.  

Dalam menentukan jumlah anggota kelompok, konselor 

dapat pula menetapkannya berdasarkan kemampuan dan 

pertimbangan keefektifan proses konseling. Konselor yang 

terbiasa menangani klien dengan format konseling individual 

dapat saja mengalami kesulitan harus menangani klien dalam 

konseling kelompok dengan jumlah klien di atas 5 orang. 

Tetapi hal tersebut tidak berlaku bagi konselor yang terbiasa 

menangani konseling kelompok dengan jumlah klien di atas 5 

orang. Oleh sebab  itu, penetapan jumlah anggota kelompok 

ini bersifat sangat fleksibel dan dapat disesuaikan dengan 

kondisi yang ingin diciptakan klien dan konselor. 

 

2. Homogenitas Kelompok 

Permasalahan homogenitas atau heterogenitas dalam 

konseling kelompok tentu saja sangat, artinya tidak ada 

ketentuan yang baku dalam menentukan karakteristik kliennya 

dapat disebut homogen. Beberapa konseling kelompok 

memandang bahwa homogenitas kelompok dilihat 

berdasarkan jenis kelamin klien yang sama, jenis masalah yang 

sama, kelompok usia yang sama dan lain-lain. Tetapi pada saat 

yang berbeda seorang konselor dalam konseling kelompok 

dapat saja menetapkan bahwa homogenitas klien hanya dilihat 

dari masalah atau gangguan yang dihadapi. Artinya klien yang 

memiliki masalah yang sama dimasukkan dalam kelompok 

 

 

 

70 

 

 

yang sama meskipun dari segi usia yang jauh berbeda. Kaplan 

dan Sadock (2001) mengatakan, bahwa penentuan 

homogenitas ini 70ebagia disesuaikan dengan kebutuhan dan 

kemampuan konselor dalam mengelola konseling kelompok. 

 

3. Sifat Kelompok 

Ada dua macam sifat kelompok yang ada  dalam 

konseling kelompok, yaitu: 

a. Sifat terbuka 

Dikatakan sebagai sifat terbuka sebab  pada kelompok 

ini dapat menerima kehadiran anggota baru setiap saat 

sampai batas yang telah ditetapkan. Contoh: suatu 

kelompok telah terdiri dari 5 orang anggota, kemudian 

minggu berikutnya ada 2 orang klien yang akhirnya 

dimasukkan konselor kedalam anggota kelompok 

sebab  dianggap memiliki homogenitas dengan 

kelompok yang telah terbentuk. Walaupun bersifat 

terbuka, akan tetapi yang perlu diingat yaitu  bahwa 

jumlah maksimal anggota telah ditetapkan oleh 

konselor sebelumnya. Maka setelah anggota kelompok 

berjumlah 12 orang, konselor tidak akan menambah 

anggota lagi. Efek samping dari sifat terbuka yaitu  

anggota kelompok akan kesulitan membentuk 

kohesivitas dengan anggota. 

 

 

 

 

 

71 

 

 

b. Sifat tertutup 

Bersifat tertutup maksudnya yaitu  konselor tidak 

memungkinkan masuknya klien baru untuk tergabung 

dalam kelompok yang telah terbentuk. Contoh: suatu 

kelompok terdiri dari 4 orang, maka sampai proses 

konseling kelompok berakhir, jumlah ini tidak akan 

bertambah. Keuntungan dari sifat tertutup ini yaitu  

memudahkan anggota kelompok untuk membentuk dan 

memelihara kohesivitas. Akan tetapi efek sampingnya 

yaitu  apabila ada anggota kelompok yang keluar 

sebab  pribadi, keanggotaan tidak dapat menerima 

masuknya anggota baru sehingga harus melanjutkan 

konseling dengan sisa anggota yang ada. 

 

4. Waktu Pelaksanaan 

Batas akhir pelaksanaan konseling kelompok sangat 

ditentukan seberapa besar permasalahan yang dihadapi 

kelompok. Biasanya masalah yang tidak terlalu kompleks 

membutuhkan waktu penanganan yang lebih cepat bila 

dibandingkan dengan masalah yang kompleks dan rumit. 

Selain itu, durasi pertemuan konseling sangat ditentukan 

pula oleh situasi dan kondisi anggota kelompok. Yalom 

(2001) mengatakan, bahwa durasi konseling yang terlalu 

lama yaitu di atas dua jam akan menjadi tidak kondusif 

disebab kan anggota mengalarni kelelahan dan 

memungkinkan terjadinya pengulangan pembicaraan. 

 

 

 

72 

 

 

Penentuan pertemuan waktu yang tepat ditentukan 

oleh kebijaksanaan yang dibuat oleh konselor. Tetapi 

secara umum pada konseling kelompok yang bersifat 

jangka pendek (short term group counseling, waktu 

pertemuan berkisar antara 8-20 pertemuan. Frekuensi 

pertemuan 1-3 kali dalam seminggu dengan durasi antara 

60-90 menit/sesi dan waktu yang biasanya ditetapkan pada 

konseling kelompok pada urumnya dilakukan 1-2 kali 

dalam seminggu. Hal ini disebab kan apabila terlalu jarang 

(misalnya: 1 kali dalam 2 minggu) akan menyebabkan 

banyaknya informasi dan umpan balik yang terlupakan. 

 

 

H. TAHAPAN KONSELING KELOMPOK 

Corey dan Yalom (2001) yang membagi tahapan tersebut 

menjadi enam bagian, yaitu: prakonseling, tahap per mulaan, tahap 

transisi. Tahap kerja, tahap akhir, dan pasca konseling. Berikut 

yaitu  uraiannya. 

 

1. Prakonseling 

Tahap prakonseling dianggap sebagai tahap persiapan 

pembentukan kelompok. Adapun hal-hal mendasar yang dibahas 

pada tahap ini yaitu  para klien yang telah diseleksi akan 

dimmasukkan dalam keanggotaan yang sama menurut 

pertimbangan homogenitas. Setelah itu, konselor akan 

menawarkan program yang dapat dijalankan untuk mencapai 

 

 

 

73 

 

 

tujuan. Penting sekali bahwa pada tahap inilah konselor 

menanamkan harapan pada anggota kelompok agar bahu-

membahu mewujud kan tujuan bersama sehingga proses konseling 

akan berjalan efektif. Konselor juga perlu menekankan bahwa 

pada konseling kelompok hal yang paling utama yaitu  

keterlibatan klien untuk ikut berpartisipasi dalam keanggotaannya 

dan tidak sekadar hadir dalam pertemuan kelompok. Selain itu, 

konselor juga perlu memperhatikan kesamaan masalah sehingga 

semua masalah anggota dapat difokuskan kepada inti 

permasalahan yang sebenarnya. 

 

2. Tahap Permulaan 

Tahap ini ditandai dengan dibentuknya struktur kelompok. 

Adapun manfaat dari dibentuknya struktur kelompok ini yaitu  

agar anggota kelompok dapat memahami aturan yang ada dalam 

kelompok. Aturan-aturan ini akan menuntut anggota kelompok 

untuk bertanggung jawab pada tujuan dan proses kelompok. 

Konselor dapat kembali menegaskan tujuan yang harus dicapai 

dalamn konseling. Hal ini dimaksudkan untuk menyadarkan klien 

pada makna kehadirannya terlibat dalam kelompok. Selain itu, 

klien diarahkan untuk memperkenalkan diri mereka masing-

masing yang dipimpin oleh ketua kelompok konselor). Pada saat 

inilah klien menjelaskan tentang dirinya dan tujuan yang ingin 

dicapainya dalam proses konseling, Biasanya klien hanya akan 

menceritakan hal-hal umum yang ada dalam dirinya dan belum 

mengungkapkan permasalahannya. 

 

 

 

74 

 

 

Black (2001) menguraikan secara sistematis langkah yang 

dijalani pada tahap permulaan yaitu  perkenalan, pengungkapan 

tujuan yang ingin dicapai, penjelasan aturan dan penggalian ide 

dan perasaan. Adapun tujuan yang ingin dicapai pada tahap ini 

yaitu  anggota kelompok dapat saling percaya satu sama lain serta 

menjaga hubungan yang berpusat pada kelompok melalui saling 

memberi umpan balik, memberi dukungan, saling toleransi 

terhadap perbedaan dan saling memberi penguatan positif. 

 

3. Tahap Transisi 

Tahap ini disebut sebagai tahap peralihan. Hal umum yang 

sering kali muncul pada tahap ini yaitu  terjadinya suasana 

ketidak seimbangan dalam diri masing-masing anggota kelompok. 

Konselor diharapkan dapat membuka permasalahan masing-

masing anggota sehingga masalah tersebut dapat bersama-sama 

dirumuskan dan diketahui penyebabnya. Walaupun anggota 

kelompok mulai terbuka satu sama lain, tetapi dapat pula terjadi 

kecemasan, resistensi, konflik, dan keengganan anggota kelompok 

membuka diri. Oleh sebab  itu, konselor selaku pimpinan 

kelompok harus dapat mengontrol dan mengarahkan anggotanya 

untuk merasa nyaman dan menjadikan anggota kelompok sebagai 

keluarganya sendiri. 

 

4. Tahap Kerja 

Tahap kerja sering disebut sebagai tahap kegiatan. Tahap ini 

dilakukan setelah permasalahan anggota kelompok diketahui 

 

 

 

75 

 

 

penyebabnya sehingga konselor dapat melakukan langkah 

selanjutnya, yaitu menyusun rencana tindakan. Pada tahap ini 

anggota kelompok diharapkan telah dapat membuka dirinya lebih 

jauh dan menghilangkan defensifnya, adanya perilaku modelling 

yang diperoleh dari mempelajari tingkah laku baru serta belajar 

untuk bertanggung jawab pada tindakan dan tingkah lakunya. 

Akan tetapi, pada tahap ini juga dapat saja terjadi konfrontasi 

antar-anggota dan transferensi. Dan peran konselor dalam hal ini 

yaitu  berupaya menjaga keterlibatan dan ke bersamaan anggota 

kelompok secara aktif. 

Kegiatan kelompok pada tahap ini dipengaruhi pada tahapan 

sebelumnya. Jadi, apabila pada tahap sebelumnya ber langsung 

dengan efektif maka tahap ini juga dapat dilalui dengan baik, 

begitupun sebaliknya. Apabila tahap ini berjalan dengan baik, 

biasanya anggota kelompok dapat melakukan kegiatan tanpa 

mengharapkan campur tangan pemimpin kelompok lebih jauh. 

 

 

5. Tahap Akhir 

Tahap ini yaitu  tahapan dimana anggota kelompok mulai 

mencoba perilaku baru yang telah mereka pelajari dan dapatkan 

dari kelompok. Umpan balik yaitu  hal penting yang sebaiknya 

dilakukan oleh masing-masing anggota kelompok. Hal ini 

dilakukan untuk menilai dan memperbaiki perilaku kelompok 

apabila belum sesuai. Oleh sebab  itu, tahap akhir ini dianggap 

sebagai tahap melatih diri klien untuk melakukan perubahan. 

 

 

 

76 

 

 

Konselor dapat memastikan waktu yang tepat untuk 

mengakhiri proses konseling. Apabila anggota kelompok 

merasakan bahwa tujuan telah tercapai dan telah terjadiperubahan 

perilaku, maka proses konseling dapat segera diakhiri. 

 

6. Pasca Konseling 

Jika proses konseling telah berakhir, sebaiknya konselor 

menetapkan adanya evaluasi sebagai bentuk tindak lanjut dari 

konseling kelompok. Evaluasi bahkan sangat diperlukan apabila 

ada  hambatan dan kendala yang terjadi dalam pelaksanaan 

kegiatan dan perubahan perilaku anggota kelompok setelah proses 

konseling berakhir. 

Konselor dapat menyusun rencana baru atau melakukan 

perbaikan pada rencana yang telah dibuat sebelumnya. Atau dapat 

melakukan perbaikan terhadap cara pelaksanaannya. Apapun hasil 

dari proses konseling kelompok yang telah dilakukan seyogianya 

dapat memberikan peningkatan pada seluruh anggota kelompok. 

sebab  inilah inti dari konseling kelompok, yaitu untuk mencapai 

tujuan bersama. 

 

I. TEORI KONSELING 

Konseling merupakan ilmu yang bersifat 

multireferensial,sebab  mendapat sumbangan dari berbagai ilmu 

yang lain. Fondasi yang melahirkan konseling yaitu bidang 

psikologi, sehingga lapangan psikologi telah banyak berkontribusi 

dalam membangun teori konseling . standardisasi asesmen, teknik 

 

 

 

77 

 

 

konseling kelompok dan individual, serta teori perkembangan 

karier dan pengambuilan keputusan. Disamping beberapa 

sumbangan dari bidang psikologi, ilmu konseling juga mendapat 

kontribusi dari bidang ilmu yang lainnya, seperti sosiologi atau 

untuk pemahaman kelompok manusia dan pengaruh terhadap 

perilaku manusia, antropologi (untuk pemahaman pengaruh 

timbal nbalik kebudayaan dan perilaku manusia), biologi (untuk 

pemahaman organnisasi manusia dan keunikannya, maupun 

teknoklogi atau seperti pemanfaatan komputerr dal;am pernataan 

manajemen konseling, dan sebagainya). Sumbangan ilmu tersebut 

menjadi dasar pengembangan teori-teori konseling yang 

mempermudah perakit  pelayanan konseling. 

Teori dapat diartikan sebgagai model konseptual atau 

seperangkat kosep yang dihasilkan oleh kaum theorist yang 

didalamnya berisi sekolompok asumsi yang relevan dan secara 

sistematik berhubungan satu dengan yang lain, serta seperangkat 

defenisi empiric.  Menurut Burlkk dan steffre (1979), teori secra 

umum mengamdung 2 elemen, yaitu realitas dan keyakinan. 

Realitas yaitu  data atau perilaku yang kita amati dsan mendorong 

kita untuk menjelaskan.  Adapun keyakinan yaitu  cara kita untuk 

mencoba memaknai data dengan menghubungkan apa yang kita 

amati tsb. Dengan penjelasan yang didapat  memperkaya hal 

tersebut, sehingga dapat diterima secara meyakinkan. 

Secara umum, dalam konsekling tidak disarankan untuk 

menggunakan teori tunggal  (single theory) untuk semua kasus 

atau memaksakan penggunaan satu teori tertentu sehingga menjadi 

 

 

 

78 

 

 

kaku. Akan lebih efektif dan efesien apabila seorang konselor 

mampu mengembangkan kreasinya dengan mencoba untuk 

memilih secara selektif bagian-bagian dari beberapa teori yang 

relefan,  kemudian secara sintesis-analitik mecoba menerapkan 

nnya kepada kasus yang dihadapi. Cara ini disebut pendekatan 

kreatif-sintesis-anilitic (CSA) atau penedekatan elektrik.  

Mengingat pentingnya teori dalam konseling, maka dalam 

implementasinya sebaiknya memilih teori-teori yang dianggap 

baik. Secara umum,  teori yang baik memiliki 5 atribut formal, 

yaitu :  

1.  Jelas, dapat dengan mudah dipahami oleh pembacanya ,. Serta 

tidak bertentangan 

2. Komprehensif, memiliki skop dan account untuk benyak 

tingkah laku, dapat menjelaskan apa yang terjadi pada banyak 

orang pada banyak situasi, atau mampui menjlelaskan 

fenoimena secara menyeluruh 

3. Ekspliait, memiliki ketepatan, katrena setiap penjelasan 

didukung dengan data data yang dapat diuji 

4.  Parsimonious, sedrehana, tidak menjelaskan fenomena secara 

berlebihan, mampu merangsang peneliti untuk 

mengembangkan teorinya (burk & Stefflre, 1979). 

 

J. TEORI KONSELING KELOMPOK 

Teori konseling jiikadilihat berdasarkan aspek pemecahan 

masalahnya dapat dibedakan menjadi : 

1. Directive Counseling  

a. Trait anfd factor 

 

 

 

79 

 

 

b. Rational emotive 

c. Gestalt 

d. Reciprocal inhibition 

e. Reality  therapy 

f. Behaviour Therapy 

g. Transactional analysis 

 

2. Non Directive Counseling  

a. Client centered Therapy 

b. Psychoanality 

c. Individual psychology 

d. Humanistic 

e. Existensial 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

80 

 

 

BAB VII 

IMPLEMENTASI EDUKASI 

DENGAN  

GRUP & KONSELING  

BEBAS KANKER SERVIKS  

 

A. PENGERTIAN EDUKASI 

Edukasi atau disebut juga dengan Pendidikan yang merupakan 

segala upaya yang direncanakan untuk mempengaruhi orang lain 

baik individu, kelompok, atau warga  sehingga mereka 

melakukan apa yang diharapkan oleh pelaku. Edukasi merupakan 

proses belajar dari tidak tahu tentang nilai menjadi tahu. 

Pendidikan merupakan kebutuhan yang sangat penting bagi 

kehidupan manusia, sudah semestinya usaha dalam menumbuh 

kembangkan secara sistematis dan berkualitas perlu terus di 

upayakan, sehingga tujuan dari proses dapat dicapai secara 

optimal. Pendidikan memiliki arti penting bagi individu, lebih jauh 

memberikan pengaruh yang besar terhadap kemajuan suatu 

bangsa.  

Dalam konteks relasi, khususnya dalam relasi antara 

warga  yang membutuhkan pada tingkat dan jenjang tertentu 

melalui formal dan pemerintah sebagai penyedia kebutuhan itu 

ada  semacam muatan yang menjadi pengikat dalam relasi itu. 

Hubungan antara warga  dan pemerintah dengan salah satu 

muatannya yaitu  kebutuhan atas dipahami dalam konteks 

 

 

 

81 

 

 

organisasi, keberadaannya dapat dilihat dari sudut pandang 

muatan dalam jaringan dalam suatu organisasi. 

Edukasi kesehatan dapat diartikan sebagai pemberian 

informasi, instruksi, atau peningkatan pemahaman terkait. Edukasi 

kesehatan dapat meliputi jenis terkait potensial dan bagaimana 

potensial dapat tercapai atau terkait bagaimana menghindari 

masalah penyakit tertentu. 

 

B. TUJUAN EDUKASI KESEHATAN 

Tujuan dari Edukasi menurut Undang-Undang Kesehatan No. 

23 tahun 1992 dan WHO yaitu  “meningkatkan kemampuan 

warga  untuk memelihara dan meningkatkan derajat baik 

fisik, mental, dan sosialnya sehingga produktif secara ekonomi 

disemua program baik pemberantasan penyakit menular, sanitasi 

lingkungan, gizi warga  pelayanan maupun program lainnya”. 

Edukasi sangat berpengaruh untuk meningkatkan derajat 

seseorang dengan cara meningkatkan kemampuan warga  

untuk melakukan upaya itu sendiri. 

  

C. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI EDUKASI  

KESEHATAN 

J. Guilbert dalam Nursalam dan Efendi (2008) 

mengelompokkan yang mempengaruhi keberhasilan edukasi 

yaitu: 

 

 

 

82 

 

 

 a. Faktor materi atau hal yang dipelajari yang meliputi kurangnya 

persiapan, kurangnya penguasaan materi yang akan dijelaskan 

oleh pemberi materi, penampilan yang kurang meyakinkan 

sasaran, yang digunakan kurang dapat dimengerti oleh sasaran, 

suara pemberi materi yang terlalu kecil, dan penampilan materi 

yang monoton sehingga membosankan. 

b.  Faktor lingkungan, dikelompokkan menjadi dua yaitu:  

1)  Lingkungan fisik yang terdiri atas suhu, kelembaban udara, 

dan kondisi tempat belajar.  

2)  Lingkungan yaitu manusia dengan segala interaksinya 

serta representasinya seperti keramaian atau kegaduhan, 

lalulintas, pasar dan sebagainya  

c.  Faktor instrument yang terdiri atas perangkat keras (hardware) 

seperti perlengkapan belajar alat-alat peraga dan perangkat 

lunak (software) seperti kurikulum (dalam formal), pengajar 

atau fasilitator belajar, serta metode belajar mengajar.  

d.  Faktor kondisi individu subjek belajar, yang meliputi kondisi 

fisiologis seperti kondisi panca indra (terutama pendengaran 

dan penglihatan) dan kondisi psikologis, misalnya intelegensi, 

pengamatan, daya tangkap, ingatan, motivasi, dan sebagainya. 

 

D. RUANG LINGKUP EDUKASI KESEHATAN 

Ruang lingkup Edukasi dapat dilihat dari 3 dimensi menurut 

Fitriani (2011) yaitu;  

a.  Dimensi sasaran, yaitu   

1)  Pendidikan individu dengan sasarannya yaitu  individu.  

2)  Pendidikan kelompok dengan sasarannya yaitu  kelompok 

warga  tertentu.  

 

 

 

83 

 

 

3) Pendidikan warga  dengan sasarannya yaitu  

warga  luas. 

 b.  Dimensi tempat pelaksanaan, yaitu  

1)  Pendidikan di rumah sakit dengan sasarannya yaitu  

pasien dan keluarga.   

2)  Pendidikan di sekolah dengan sasarannya yaitu  pelajar.  

3) Pendidikan di warga  atau tempat kerja dengan 

sasarannya yaitu  warga  atau pekerja. 

 c.  Dimensi tingkat pelayanan Kesehatan, yaitu 

 1)  Pendidikan untuk promosi (Health Promotion), 

peningkatan gizi, perbaikan sanitasi lingkungan, gaya 

hidup dan sebagainya.  

2)  Pendidikan untuk perlindungan khusus (Specific 

Protection), yaitu imunisasi  

3)  Pendidikan untuk diagnosis dini dan pengobatan tepat 

(Early diagnostic and prompt treatment) dengan 

pengobatan layak dan sempurna dapat menghindari dari 

resiko kecacatan.  

4)  Pendidikan untuk rehabilitasi (Rehabilitation) dengan 

memulihkan kondisi cacat melalui cara tertentu. 

 

E.  DUKUNGAN SOSIAL TERHADAP PERUBAHAN 

PERILAKU 

Dukungan sangat diperlukan oleh siapa saja dalam 

berhubungan dengan oranglain demi melangsungkan hidupnya di 

tengah-tengah warga . Menurut Albrecht dan Adelman, 

dukungan yaitu  komunikasi verbal atau nonverbal antara 

penerima dan pemberi yang mengurangi ketidaktentuan tentang 

 

 

 

84 

 

 

situasi, diri, atau hubungan dan berfungsi meningkatkan nilai 

peresepsi dan sebagai control dalam pengalaman hidup seseorang. 

1. Bentuk dukungan Sosial  

ada  empat bentuk dukungan menurut House & Kahn, 

yaitu 

a. Dukungan Emosional (Emotional Support) 

Berupa ungkapan empati, perlindungan, perhatian dan 

kepercayaan terhadap individu, serta keterbukaan dalam 

memecahkan masalah seseorang. Dukungan ini akan membuat 

seseorang merasa nyaman. 

b. Dukungan Instrumental (Instrumental Support) 

Dukungan dalam bentuk penyediaan sarana yang dapat 

mempermudah tujuan yang ingin dicapai dalam bentuk materi, 

dapat juga berupa jasa, atau pemberian peluang waktu dan 

kesempatan. 

c. Dukungan Informasi (Information Support) 

Bentuk dukungan yang meliputi pemberian nasehat, arahan, 

pertimbangan tentang bagaimana seseorang harus berbuat 

untuk tercapainya pemecahan masalah. 

 

 

 

 

 

85 

 

 

d. Dukungan penilaian  

Berupa pemberian penghargaan atas usaha yang telah 

dilakukan, memberikan umpan balik, mengenai hasil atau 

prestasi yang diambil indiviu. 

 

F. PERILAKU 

Perilaku yaitu  segenap manifestasi hayati individu dalam 

berinteraksi dengan lingkungan, mulai dari perilaku yang paling 

tampak sampai yang tidak tampak, dari yang dirasakan sampai 

paling yang tidak dirasakan. Perilaku merupakan hasil daripada 

segala macam pengalaman serta interaksi manusia dengan 

lingkungannya yang terwujud dalam bentuk pengetahuan, sikap 

dan etika. Perilaku merupakan respon/reaksi seorang individu 

terhadap stimulus yang berasal dari luar maupun dari dalam 

dirinya. Sedangkan menurut Wawan (2011) Perilaku merupakan 

suatu yang dapat diamati dan memiliki  frekuensi spesifik, 

durasi dan tujuan baik disadari maupun tidak. Perilaku yaitu  

kumpulan berbagai yang saling berinteraksi.  

Skiner (1938) dalam Notoatmodjo (2011) merumuskan bahwa 

perilaku merupakan respon atau reaksi seseorang terhadap 

stimulus (rangsangan dari luar). Pengertian ini dikenal dengan 

teori “S-O-R” atau “Stimulus-Organisme-Respon”. Respon 

dibedakan menjadi dua yaitu:  

1. Respon respondent atau reflektif  

 

 

 

86 

 

 

yaitu  respon yang dihasilkan oleh rangsangan-rangsangan 

tertentu. Biasanya respon yang dihasilkan bersifat tetap tenang 

disebut juga eliciting stimuli. Perilaku emosional yang menetap 

misalnya orang akan tertawa apabila mendengar kabar gembira 

atau lucu, sedih jika mendengar musibah, kehilangan dan gagal 

serta minum jika merasa hal itu sebagai tempat pelampiasannya.  

Menurut Notoatmodjo (2011), dilihat dari bentuk respons 

terhadap stimulus, maka perilaku dapat dibedakan menjadi dua.   

a. Bentuk pasif /Perilaku tertutup (covert behavior)  

Respons seseorang terhadap stimulus dalam bentuk 

terselubung atau tertutup. Reaksi terhadap stimulus ini masih 

terbatas pada perhatian, persepsi, pengetahuan atau kesadaran dan 

sikap yang terjadi pada seseorang yang menerima stimulus 

tersebut, dan belum dapat diamati secara jelas oleh orang lain.   

2. Perilaku terbuka (overt behavior)   

Respons terhadap stimulus tersebut sudah jelas dalam bentuk 

86ebagian atau praktik, yang dengan mudah dapat diamati atau 

dilihat orang lain. 

 

G. PERUBAHAN PERILAKU 

Menurut teori Lawrance Green dkk (dalam Notoatmodjo, 

2007) menyatakan bahwa perilaku manusia dipengaruhi oleh dua 

hal pokok, yaitu perilaku (behavior causes) dan diluar perilaku 

 

 

 

87 

 

 

(non behaviour causes). Selanjutnya perilaku itu sendiri 

ditentukan atau terbentuk dari 3 faktor yaitu:   

1.  Faktor predisposisi (predisposing factors), yang mencakup 

pengetahuan, sikap, kepercayaan, keyakinan, nilai-nilai dan 

sebagainya.   

a.  Pengetahuan apabila penerimaan perilaku baru atau adopsi 

perilaku melalui proses yang didasari oleh pengetahuan, 

kesadaran dan sikap yang positif, maka perilaku tersebut 

akan bersifat langgeng (long lasting) daripada perilaku yang 

tidak didasari oleh pengetahuan. Pengetahuan atau kognitif 

merupakan domain yang sangat penting dalam membentuk 

87ebagian seseorang dalam hal ini pengetahuan yang 

tercakup dalam domain kognitif memiliki  tingkatan. 

Untuk lebih jelasnya, bahasan tentang pengetahuan akan 

dibahas pada bab berikutnya.   

b.  Sikap Menurut Zimbardo dan Ebbesen (2008), sikap yaitu  

suatu predisposisi (keadaan mudah terpengaruh) terhadap 

seseorang, ide atau obyek yang berisi komponen-komponen 

cognitive, affective dan behavior. ada  tiga komponen 

sikap, sehubungan dengan faktor lingkungan kerja, sebagai 

berikut:   

1)  Afeksi (affect) yang merupakan komponen emosional 

atau perasaan.   

 

 

 

88 

 

 

2) Kognisi yaitu  keyakinan seseorang. Keyakinan-

keyakinan, dimanifestasi dalam bentuk impresi atau 

kesan baik atau buruk yang dimiliki seseorang terhadap 

objek atau orang tertentu.   

3) Perilaku, yaitu sebuah sikap berhubungan dengan 

kecenderungan seseorang untuk bertindak terhadap 

seseorang atau hal tertentu dengan cara tertentu.  Seperti 

halnya pengetahuan, sikap terdiri dari berbagai tingkatan, 

yaitu: menerima (receiving), menerima diartikan bahwa 

subjek mau dan memperhatikan stimulus yang diberikan. 

Merespon (responding), memberikan jawaban apabila ditanya, 

mengerjakan, dan menyelesaikan tugas yang diberikan yaitu  

suatu indikasi dari sikap. Menghargai (valuing), mengajak orang 

lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan suatu masalah yaitu  

suatu indikasi sikap tingkat tiga. Bertanggungjawab (responsible), 

bertanggungjawab atas segala suatu yang telah dipilihnya dengan 

segala risiko merupakan sikap yang memiliki tingkatan paling 

tinggi manurut Notoatmodjo (2011).  

2.  Faktor pemungkin (enabling factor), yang mencakup 

lingkungan fisik, tersedia atau tidak tersedianya fasilitas-

fasilitas atau sarana-sarana keselamatan kerja, misalnya 

ketersedianya alat pendukung, pelatihan dan sebagainya.   

3.  Faktor penguat (reinforcement factor), faktor ini meliputi 

undang-undang, peraturan-peraturan, pengawasan dan 

sebagainya menurut Notoatmodjo (2007). 

 

 

 

89 

 

 

Bentuk perubahan perilaku sangat bervariasi, sesuai dengan 

konsep yang digunakan oleh para ahli dalam pemahamannya 

terhadap perilaku. Bentuk-bentuk perilaku dikelompokkan 

menjadi tiga yaitu:   

1. Perubahan alamiah (Neonatal chage)    

Perilaku manusia selalu berubah perubahan itu disebabkan 

sebab  kejadian alamiah. Apabila dalam warga  sekitar 

terjadi suatu perubahan lingkungan fisik atau lingkungan, 

budaya dan ekonomi maka anggota warga  didalamnya 

yang akan mengalami perubahan.   

2. Perubahan Rencana (Plane Change)   

Perubahan perilaku ini terjadi sebab  memang direncanakan 

sendiri oleh subjek.  

3. Kesediaan Untuk Berubah (Readiness to Change)   

Apabila terjadi sesuatu inovasi atau program pembangunan di 

dalam warga , maka yang sering terjadi yaitu  orang 

sangat cepat untuk menerima inovasi atau perubahan tersebut 

(berubah perilakunya). Tetapi orang sangat lambat untuk 

menerima perubahan tersebut. Hal ini disebabkan setiap orang 

memiliki  kesediaan untuk berubah yang berbeda-beda 


 

 

H. STRATEGI PERUBAHAN PERILAKU  

Membentuk jenis respon atau perilaku diciptakan adanya suatu 

kondisi tertentu yang disebut “operant conditioning”. Prosedur 

pembentukan perilaku dalam operant conditioning ini menurut 

Skiner (1938) yaitu  sebagai berikut:  

1.  Melakukan identifikasi tentang hal-hal yang merupakan 

penguat atau reinforcer berupa hadiah-hadiah atau reward 

bagi perilaku yang akan dibentuk.  

2. Melakukan analisis untuk mengidentifikasi komponen-

komponen kecil yang membentuk perilaku yang dikehendaki, 

kemudian komponenkomponen tersebut disusun dalam urutan 

yang tepat untuk menuju kepada terbentuknya perilaku yang 

dimaksud.  

3.  Menggunakan secara urut komponen-komponen itu sebagai 

tujuantujuan sementara, mengidentifikasi reinforcer atau 

hadiah untuk masing-masing komponen tersebut.  

4.  Melakukan pembentukan perilaku dengan menggunakan 

urutan komponen yang telah tersusun itu. Apabila komponen 

pertama telah dilakukan, maka hadiahnya diberikan. Hal ini 

akan mengakibatkan komponen perilaku yang kedua yang 

kemudian diberi hadiah (komponen pertama tidak 

memerlukan hadiah lagi). Demikian berulang-ulang sampai 

komponen kedua terbentuk, setelah itu dilanjutkan dengan 

 

 

 

91 

 

 

komponen selanjutnya sampai seluruh perilaku yang 

diharapkan terbentuk