Serviks yaitu area bagian bawah rahim yang menghubungkan
rahim dengan vagina. Kanker serviks atau kanker leher rahim terjadi
apabila sel-sel serviks menjadi abnormal dan membelah secara tidak
terkendali. Kanker serviks yaitu pertumbuhan sel-sel abnormal pada
serviks yaitu sel-sel normal berubah menjadi sel kanker. Perubahan akan
terjadi dalam waktu 10-15 tahun, 80% wanita yang berisiko terinfeksi oleh
HPV, dan 50% dari wanita akan terinfeksi oleh HPV sepanjang masa
hidupnya.
Di negara kita , pelayanan deteksi dini kanker serviks baik IVA dan
papsmear bisa ditanggung oleh Jaminan Kesehatan Nasional. Kerjasama
Yayasan Kanker negara kita dengan BPJS Kesehatan memiliki sasaran
untuk memberikan tes IVA gratis untuk 5 juta orang dan papsmear gratis
untuk 1,6 juta orang. Program ini telah bergulir sejak Juni 2014. Program
pemerintah saat ini lebih ditujukan untuk pemerikasaan IVA gratis.
ada beberapa faktor yang menghambat perilaku deteksi dini kanker
serviks pada pada wanita usia subur. Menurut penelitian yang telah
dilakukan penulis pada 2 kelompok perlakuan didapatkan bahwa
pengetahuan sebelum intervensi pada kategori baik 12 %, cukup 40 % dan
48 % kurang dan setelah intervensi pengetahuan baik 70%, cukup 24% dan
kurang 6%, dan sikap sebelum intervensi pada kategori sikap sositif 19%
dan sikap negatif 81 % dan sikap setelah intervensi pada kategori sikap
positif 53 % dan sikap negatif sebesar 47%.
Kanker serviks yaitu kanker paling sering keempat pada
wanita dengan perkiraan 570.000 kasus baru pada tahun 2018 dan
mewakili 6,6% dari semua kanker pada wanita. Di seluruh dunia,
kanker serviks terdiri sekitar 12% dari semua kanker pada wanita.
Ini yaitu kanker paling umum kedua pada wanita di seluruh
dunia, tetapi yang paling umum di negara berkembang. Perkiraan
global tahunan sekitar tahun 2000 yaitu untuk 470.600 kasus
baru dan 233.400 kematian akibat kanker serviks setiap tahun,
80% dari kasus ini terjadi di negara berkembang.
Banyak negara yang telah melalui transisi ini berada dalam
kategori “berpenghasilan menengah”. Diperkirakan bahwa jumlah
kasus kanker serviks yang lazim didiagnosis dalam lima tahun
sebelumnya yaitu sekitar 1.401.400 pada tahun 2000
dibandingkan dengan 3.860.300 untuk kanker payudara, dengan
1.064.000 dan 1.552.000 di antaranya terjadi di negara
berkembang. Jadi meskipun kanker payudara semakin penting di
banyak negara berkembang, kanker serviks tetap menjadi
penyebab utama morbiditas dan mortalitas. (WHO, 2018).
Di negara kita , pelayanan deteksi dini kanker serviks baik
IVA dan papsmear bisa ditanggung oleh Jaminan Kesehatan
Nasional. Kerjasama Yayasan Kanker negara kita dengan BPJS
Kesehatan memiliki sasaran untuk memberikan tes IVA gratis
untuk 5 juta orang dan papsmear gratis untuk 1,6 juta orang.
Program ini telah bergulir sejak Juni 2014. Program pemerintah
saat ini lebih ditujukan untuk pemerikasaan IVA gratis, sedangkan
perbandingan biaya pap smear secara CS di negara kita berkisar
antara Rp 40.000-45.000,- dan LBC berkisar antara Rp 400.000-
Rp 550.000,-. Sebagaimana diketahui, kanker serviks paling
sering terjadi dan merupakan penyebab kematian yang cukup
tinggi dari semua jenis kanker pada wanita.
BPJS Kesehatan mencatat pada Januari-Juni 2016,dan di
negara kita , Berdasarkan data Sistem Informasi Rumah Sakit
(SIRS) jumlah pasien rawat jalan maupun rawat inap pada kanker
serviks yaitu 5.349 orang (12,8%), (K. RI, 2014). Yayasan Kanker
negara kita (2014) menyatakan bahwa hingga 2012 jumlah
perempuan usia 30-50 tahun yang sudah melakukan deteksi dini
kanker serviks yaitu lebih dari 550 ribu orang dengan hasil IVA
positif lebih dari 25 ribu orang atau 4,5, suspek kanker serviks 1,2
per 1000 hal ini disebab kan masih rendahnya kesadaran,
pengertian, dan pengetahuan warga tentang kanker serviks.
Prevalensi kanker serviks pada tahun 2012 di negara kita
sebesar 16 per 100.000 penduduk. Kanker serviks ini mengalami
peningkatan pada tahun 2013, meningkat menjadi 17 per 100.000
(Primadi, 2015). Setiap harinya ada 40 kasus baru kanker
serviks dan 20 diantaranya meninggal dunia. Di dunia wanita yang
telah di diagnosa kanker servik meninggal 2 menit sekali.
Mengkaji masalah penanggulangan kanker serviks yang
ada di negara kita dan adanya pilihan metode yang mudah diujikan
di berbagai Negara membuat metode IVA (inspeksi visual dengan
aplikasi asam asetat) layak dipilih sebagai metode screning
alternative untuk kanker serviks. IVA merupakan metode baru
deteksi dini kanker serviks dengan mengoleskan asam asetat
(cuka) kedalam leher rahim. Bila terjadi lesi kanker, maka akan
terjadi perubahan warna menjadi agak keputihan pada leher rahim
yang diperiksa. IVA metode yang lebih mudah, sederhana, dan
mampu terlaksana sehingga screning dapat dilakukan dengan
cakupan yang lebih luas. Diharapkan temuan kanker serviks dini
bisa lebih banyak sebab kemampuan IVA dalam mendeteksi dini
pada kanker serviks telah dibuktikan oleh berbagai penelitian dan
program skrining kanker serviks dengan Pap smear telah
dilakukan di banyak negara maju dan berhasil menurunkan jumlah
insiden kanker serviks di negara maju tersebut. Meskipun program
skrining telah berjalan dengan baik di Amerika Serikat, tetapi
diper- kirakan 30% dari kasus kanker kanker serviks terjadi pada
wanita yang tidak pernah menjalani Pap smear.
Program skrining di negara berkembang tidak berjalan
rutin atau bahkan tidak dilakukan. Wanita di negara berkembang
yang melakukan Pap smear yaitu hanya sekitar kurang dari 5%
seluruh total populasi wanita dan hampir 60% dari kasus kanker
serviks di negara berkembang terjadi pada wanita yang tidak
pernah melakukan Pap smear.
ada beberapa yang menghambat perilaku deteksi
dini kanker serviks pada pada wanita usia subur, menurut
penelitian yang telah dilakukan penulis pada 2 kelompok
perlakuan didapatkan bahwa pengetahuan sebelum intervensi pada
kategori baik 12 %, cukup 40 % dan 48 % kurang dan setelah
intervensi pengetahuan baik 70%, cukup 24% dan kurang 6%, dan
sikap sebelum intervensi pada kategori sikap sositif 19% dan sikap
negatif 81 % dan sikap setelah intervensi pada kategori sikap
positif 53 % dan sikap negatif sebesar 47%.
Penelitian yang dilakukan oleh penulis tentang faktor-
faktor yang berhubungan dengan perilaku pencegahan kanker
serviks pada wanita usia subur, didapatkan adanya hubungan
pengetahuan, sikap dan dukungan sosial terhadap perilaku deteksi
dini pencegahan kanker serviks, sementara itu dari faktor usia,
pendidikan, ekonomi, dari hasil statistik penelitian tersebut
menunjukan ada hubungannya terhadap perilaku deteksi dini yang
dilakukan oleh WUS.
Dikemukakan bahwa adanya suatu informasi yang
dilakukan berulang kali tentang deteksi dini kanker serviks akan
meningkatkan pengetahuan seseorang maupun kelompok. Maka
dari pengetahuan yang diberikan tersebut akan memberikan sikap
positif bagi responden maupun kelompok dalam melakukan IVA
test maupun papsmear. Sehingga penyuluhan ataupun intervensi
kesehatan dapat memberi pengaruh terhadap pengetahuan, sikap
baik individu maupun kelompok. Untuk mengatasi hambatan-
hambatan dan mencapai keberhasilan dan timbulnya suatu
motivasi wus untuk melakukan deteksi dini kanker serviks seperti
faktor di atas maka diperlukan suatu komunikasi yang baik kepada
WUS yang menjadi sasaran deteksi dini agar terjadi sebuah
peningkatan pengetahuan, sikap sehingga diharapkan terjadinya
perubahan perilaku kepada mereka, pendidikan profesional dan
publik dikombinasikan dengan ketersediaan pengobatan untuk
tahap awal kanker serviks, memiliki efek penting dalam
mengurangi morbiditas dan mortalitas dari penyakit, jauh sebelum
program skrining diperkenalkan. Pendidikan dengan demikian
merupakan ukuran dasar yang akan berkontribusi pada diagnosis
dini penyakit, dan yang menjadi dasar skrining yaitu penting
bahwa program dirancang untuk budaya negara, dan bahwa
mereka mengamati mitos yang cenderung lazim tentang kanker.
Dalam beberapa budaya, pria juga membutuhkan informasi.
Perempuan tidak boleh dipaksa melakukan skrining, dan mereka
juga tidak boleh diberi pesan terlalu optimis tentang manfaat.
Dengan demikian, wanita harus memahami bahwa dengan tes
tidak menjamin tidak adanya penyakit sekarang atau di masa
depan, dan sebaliknya, bahwa tes positif tidak berarti kanker,
tetapi kebutuhan untuk penyelidikan lebih lanjut. Pendidikan
melalui media hanya efektif. Pendidikan juga akan diperlukan
pada saat melakukan tes skrining atau merujuk wanita untuk
diagnosis. Pendidikan semacam itu harus dikelola oleh individu
yang dapat mencapai interaksi pribadi dengan subjek, dan bersifat
interaktif.
PATOFISIOLOGI
KANKER SERVIKS
A. PENGERTIAN KANKER SERVIKS
Serviks yaitu area bagian bawah rahim yang
menghubungkan rahim dengan vagina. Kanker serviks atau kanker
leher dapat terjadi apabila sel-sel serviks menjadi abnormal dan
membelah secara tidak terkendali. Kanker serviks yaitu
pertumbuhan sel-sel abnormal pada serviks yaitu sel-sel normal
berubah menjadi sel kanker. Perubahan akan terjadi dalam waktu
10-15 tahun, 80% wanita yang berisiko terinfeksi oleh HPV, dan
50% dari wanita akan terinfeksi oleh HPV sepanjang masa
hidupnya . Pada tahun 2013, di negara kita ada 98.692 kasus
kanker serviks, data (2009-2016) menunjukkan bahwa mayoritas
penderita kasus kanker serviks yaitu perempuan dewasa usia 35-
55 tahun, diikuti usia 56-64 tahun, usia >65 tahun, dan dewasa
muda usia 18-35 tahun, berturut-turut sebanyak 7013, 2718, 1105,
dan 453 kasus. Namun, dilaporkan juga adanya 33 kasus kanker
serviks pada kelompok remaja usia 0-17 tahun.
Serviks mengalami perubahan selama seumur hidup.
Pubertas, kehamilan dan menopause semuanya mengubah stuktur
dan lokasinya. Ada 2 tipe utama kanker serviks, yang paling umum
yaitu squamous cell carcinoma (SCC) yang melibatkan epitel
skuamosa yang melapisi ektoserviks. Namun 20 % kanker serviks
lainnya yaitu adenokarsinoma yang melibatkan sel epitel
glandular yang tersebar di sepanjang kanal endoserviks. Sebagian
kecil kanker serviks juga terdiri dari jenis histologis langka seperti
limfoma, sarkoma dan tumor neuroendokrin.
B. PENYEBAB KANKER SERVIKS
Sampai saat ini penyebab kanker serviks belum diketahui
secara pasti, namun ada hubungan yang cukup erat antara
kanker serviks dengan infeksi HPV (Human Papiloma Virus).
Human papillomavirus (HPV) yaitu virus yang paling sering
dijumpai pada penyakit menular seksual dan diduga berperan
dalam proses terjadinya kanker. ada sekitar 130 tipe HPV
yang telah berhasil diidentifikasi dan lebih dari 40 tipe HPV dapat
menginfeksi area genital laki-laki dan perempuan, mulut, serta
tenggorokan. Virus ini terutama ditularkan melalui hubungan
seksual. Virus ini terutama ditularkan melalui hubungan seksual
termasuk oral sex, anal sex, dan hand sex. Kanker mulut rahim
atau disebut juga kanker serviks yaitu sejenis kanker yang 99,7%
disebabkan oleh human papilloma virus (HPV) onkogenik, yang
menyerang leher rahim. Di negara kita hanya 5 persen yang
melakukan Penapisan Kanker mulut rahim, sehingga 76,6 persen
pasien ketika terdeteksi sudah memasuki Stadium Lanjut.
Penapisan dapat dilakukan dengan melakukan tes Pap smear dan
Inspeksi Visual Asam Asetat (IVA). Vaksinasi HPV merupakan
pencegahan primer kanker serviks.Pap smear merupakan bagian
dari pencegahan sekunder. Pencegahan yang terbaik yaitu
dengan melakukan vaksinasi dan pap smear untuk menjangkau
infeksi HPV risiko tinggi lainnya.Vaksinasi HPV diberikan
dengan tujuan memberikan perlindungan terhadap infeksi virus
HPV terutama yang dapat menyebabkan kanker serviks yaitu HPV
tipe 16 dan 18. Vaksinasi diberikan 3 kali pada pada 0 – 1 – 6 bulan
atau 0 – 2 – 6 bulan (
C. PENYEBARAN KANKER SERVIKS
Kanker Serviks yaitu kanker yang berasal dari sel epitel
skuamosa yang terjadi jika sel-sel pada serviks tumbuh tidak terkendali.
Sebelum kanker terjadi, akan didahului dengan suatu keadaan yang
disebut lesi prakanker atau Cervical Intraephiteal Neoplasia (CIN).
Fase prakanker ini sering disebut dengan dysplasia yang merupakan
perubahan prakeganasan dari sel-sel rahim. ada tiga tahap utama
prakanker yang dimulai dengan infeksi pada sel dan berlanjut menjadi
intraephitelia neoplasia (perkembangan sel-sel abnormal pada serviks)
dan pada akhirnya berubah menjadi sel kanker pada serviks.
Kanker Serviks Pertumbuhan sel kanker serviks atau karsinoma
serviks uteri secara histopatologi diklasifikasikan ke dalam empat
stadium, yaitu:
a) Displasia
Displasia yaitu pertumbuhan sel yang aktif disertai
gangguan pada proses pematangan epitel serviks uteri yang
dimulai dari bagian basal 8 sampai ke lapisan superfisial.
Displasia dibagi dalam 3 bagian berdasarkan derajat
pertumbuhannya, yaitu: displasia ringan, sedang, dan berat.
b) Karsinoma
In situ Karsinoma in situ menyebabkan terjadinya perubahan
sel epitel di seluruh lapisan epidermis menjadi karsinoma sel
skuamos, tetapi membran basalis masih dalam keadaan utuh.
c) Karsinoma
Mikroinvasif perubahan derajat pertumbuhan sel pada
stadium ini semakin meningkat. Sel tumor menembus
membran basalis dan terjadi invasi pada stroma sejauh tidak
lebih dari 5 mm dari membran basalis. Pada pemeriksaan fisik,
stadium ini biasanya tidak terlihat, tetapi jika menggunakan
kolposkopi, biasanya dapat dideteksi adanya prakarsinoma.
d) Karsinoma invasif
Pada stadium ini derajat pertumbuhan sel semakin terlihat
menonjol, besar, memiliki bentuk yang bervariasi, inti gelap,
dan kromatin berkelompok tidak merata serta susunan sel
semakin teratur. Karsinoma invasif dibagi menjadi 3 subtipe,
yaitu: karsinoma sel skuamos dengan keratin, karsinoma sel
skuamos tanpa keratin, dan karsinoma sel kecil.
D. TANDA DAN GEJALA KANKER SERVIKS
Pada tahap prakanker sering tidak menimbulkan gejala.
Gejala prakanker biasanya berupa keputihan, perdarahan sedikit
yang bisa hilang. Pada tahap kanker dapat timbul gejala berupa
keputihan atau keluar cairan encer dari vagina yang berbau,
perdarahan diluar siklus haid, perdarahan sesudah senggama,
timbul kembali haid setelah mati haid (menopause), nyeri daerah
panggul, dan gangguan buang air kecil. Infeksi HPV dan kanker
serviks pada tahap awal berlangsung tanpa gejala,bila kanker
sudah mengalami progresivitas atau stadium lanjut, gejalanya
yaitu: Keputihan: semakin lama semakin berbau busuk dan
tidak berhenti-henti, terkadang bercampur darah. Perdarahan
vagina yang tidak normal seperti perdarahan diantara periode
regular menstruasi periode menstruasi yang lebih lama dan lebih
banyak dari biasanya, perdarahan setelah hubungan seksual
atau pemeriksaan panggul, perdarahan pada wanita usia
menopause, perdarahan kontak setelah senggama merupakan
gejala kanker serviks 75-80%, perdarahan spontan
yaituperdarahan yang timbul akibat terbukanya pembuluh darah
dan semakin lama semakin sering terjadi. Nyeri yaitu : rasa sakit
saat berhubungan seksual, kesulitan atau nyeri saat buang air
kecil, nyeri didaerah panggul, bila kanker sudah mencapai
stadium III keatas, maka akan terjadi pembengkakan diberbagai
anggota tubuh seperti betis, paha. Anemia pada pasien kanker
terjadi sebab adanya aktivasi sistem imun dan inflamasi oleh
keganasan tersebut. Beberapa sitokin yang dihasilkan oleh sistem
imun dan inflamasi seperti interferon (INF), tumor necrosing
factor (TNF) dan interleukin-1 (IL-1) merupakan bahan-bahan
yang merangsang untuk terjadinya anemia. Di samping itu,
kanker tersebut juga dapat memiliki efek langsung untuk
terjadinya anemia, Gagal ginjal sebagai efek dari infiltrasi sel
tumor ke ureter yang menyebabkan obstruksi total.
Kanker serviks memiliki beberapa gejala untuk mengenalinya,
diantaranya yaitu:
Tahap awal: Pada tahap awal, penyakit ini tidak menimbulkan
gejala yang mudah diamati. Gejala kanker serviks tingkat
lanjut: Munculnya rasa sakit dan perdarahan saat berhubungan
intim (contact bleeding), keputihan yang berlebihan dan tidak
normal, perdarahan di luar siklus menstruasi, penurunan berat
badan drastis, apabila karsinoma sudah menyebar ke panggul,
maka pasien akan menderita keluhan nyeri punggung, dan
hambatan dalam berkemih, serta pembesaran ginjal. Masa
preinvasif (pertumbuhan sel-sel abnormal sebelum menjadi
keganasan) pada penyakit ini terbilang cukup lama, sehingga
penderita yang berhasil mendeteksinya sejak dini dapat melakukan
berbagai langkah untuk mengatasinya
E. FAKTOR RESIKO KANKER SERVIKS
Teori Rasjidi (2010) faktor risiko kanker serviks meliputi :
1. Hubungan suami istri
Karsinoma kanker serviks diperkirakan sebagai penyakit
yang ditularkan secara seksual, dimana beberapa bukti
menunjukkan adanya hubungan antara riwayat hubungan seksual
dan risiko penyakit ini. Maka, wanita yang berhubungan seksual
sebelum usia 18 tahun akan berisiko terkena kanker serviks lima
kali lipat.
2. Hubungan Partner
Sirkumsisi pernah dipertimbangkan menjadi faktor
pelindung, tapi sekarang hanya dihubungkan dengan penurunan
faktor risiko. Studi kasus control menunjukkan bahwa pasien
kanker serviks lebih sering menjalani seks aktif dengan partner
yang melakukan seks berulang kali. Selain itu, partner dari pria
dengan kanker penis atau partner dari pria yang istrinya meninggal
terkena kanker serviks juga akan meningkatkan risiko kanker
serviks.
3. Merokok
Tembakau mengandung bahan-bahan kartsinogen baik
yang dihisap sebagai rokok atau sigaret yang dikunyah. Asap
rokok menghasilkan polycycic aromatic hydrpcarbons
heterocyclic amine yang sangat karsinogen dan mutagen, sedang
bila dikunyah ia menghasilkan nitrosamine. Bahan yang berasal
dari tembakau yang dihisap ada pada getah serviks wanita
perokok dan dapat menjadi karsinogen infeksi virus.
4. Riwayat Ginekologis
Walaupun usia menars atau menopause tidak
mempengaruhi risiko kanker serviks, hamil diusia muda dan
jumlah kehamilan atau manajemen persalinan yang tidak tepat
dapat meningkatkan risiko.
5. Pekerjaan
Pasangan yang menderita kanker serviks difokuskan pada
pria sebab ada paparan pada suatu pekerjaan, misalkan dari
suatu pekerjaan seperti debu, logam, bahan kimia, tar, atau oli
mesin bisa jadi faktor risiko kanker serviks.
6. Kontrasepsi oral
Risiko noninvasif dan invasif kanker serviks telah
menunjukkan hubungan dengan kontrasepsi oral. Bagaimanapun,
penemuan ini hasilnya tidak selalu konsisten dan tidak semua studi
dapat membenarkan perkiraan risiko dengan mengontrol pengaruh
kegiatan seksual.
7. Diet
Diet rendah karotenoid dan defisiensi asam folat juga
dimasukkan dalam faktor risiko kanker serviks. Banyak sayur dan
buah mengandung bahan-bahan antioksidan dan berkhasiat
mencegah kanker. Dari beberapa penelitian ternyata defisiensi
terhadap asam folat, vitamin C, E dan beta karotin atau retinal
berhubungan dengan peningkatan risiko kanker serviks.
8. Faktor sosial dan etnis
Wanita kelas tinggi lebih rendah risiko daripada wanita
yang kelas sosialnya lebih rendah. Akses ke system pelayanan
kesehatan dikacaukan oleh hubungan seksual.
9. Usia
Ditemukan bahwa risiko insiden kanker lebih tinggi terjadi
pada usia dini meningkat, disebabkan sebab tumor terlihat lebih
agresif. Pada analisis retrospektif terhadap 2.628 manusia.
10. Imunosupresan
Imunosupresan yaitu kelompok obat yang digunakan
untuk menekan respon imun seperti pencegah penolakan
trasplantasi organ pada tubuh, mengatasi penyakit autoimun
(lupus) dan mencegah hemolisis rhesus pada neonatus.
Imunosupresan dapat melemahkan sistem kekebalan tubuh
sehingga rentang terserang HPV. Obat ini digunakan oleh
penderita HIV/AIDS atau orang yang mendapatkan donor organ
agar tubuh tidak menolak.
11. Diethylstilbestrol
Diethylstilbestrol (DES) yaitu bentuk sintetis dari
hormon estrogen wanita. DES digunakan untuk wanita hamil
antara tahun 1940 dan 1971 guna mencegah keguguran, persalinan
prematur, dan komplikasi kehamilan terkait. Penggunaan DES
menurun setelah penelitian pada tahun 1950 menunjukkan bahwa
DES tidak efektif dalam mencegah masalah ini. Pada tahun 1971,
peneliti menghubungkan prenatal (sebelum kelahiran) paparan
DES terhadap jenis kanker serviks dan vagina yang disebut
adenokarsinoma sel yang jelas pada sekelompok kecil wanita.
DES dikenal sebagai bahan kimia yang mengganggu endokrin,
salah satu dari sejumlah zat yang mengganggu sistem endokrin
menyebabkan kanker, cacat lahir, dan kelainan perkembangan
lainnya. Efek bahan kimia yang mengganggu endokrin paling
parah saat terpapar terjadi selama perkembangan janin.
12. Pembalut
Frekuensi mengganti pembalut sebagai risiko kanker
serviks lebih dihubungkan dengan menjaga kebersihan organ
genital. Penggantian pembalut secara teratur dapat mencegah
bakteri patogen yang memicu timbulnya penyakit. Pembalut
merupakan benda yang sangat penting bagi wanita ketika seorang
wanita sedang mengalami menstruasi. Namun, tanpa disadari
pembalut wanita merupakan salah satu penyebab penyakit
kewanitaan sebab adanya zat dioxin yang dapat menyebabkan
kanker.
13.Penggunaan Sabun
Kebiasaan mencuci vagina dengan antiseptik berupa obat
cuci vagina dan deodoran untuk menjaga kebersihan dan
kesehatan vagina atau alasan lain dapat meningkatkan risiko
kanker serviks. Pemilihan cairan pembersih juga harus
diperhatikan dengan memilih pembersih khusus area kewanitaan.
Berdasarkan Departemen Kesehatan kadar PH dalam sabun
pencuci vagina yang diizinka yaitu dengan kadar Ph 3-4.
Penggunaan pembersih dengan dengan kadar Ph yang terlalu
18
tinggi tidak dianjurkan sebab akan mengakibatkan kulit kelamin
menjadi keriput dan mematikanbakteri yang berada di vagina
F. KLASIFIKASI KANKER SERVIKS
Menurut ahli medis Stadium yaitu untuk menggambarkan
tahapan kanker sejauh mana kanker tersebut telah menyebar dan
menyerang jaringan disekitarnya. Penetapan stadium untuk
mengetahui dan memilih perawatan yang terbaik untuk
pengobatan penyakit kanker serviks.
1. Stadium 0
Stadium 0 disebut juga karsinoma in situ yang berarti
kanker belum menyerang bagian yang lain. Pada stadium ini,
perubahan sel abnormal hanya ditemukan pada permukaan
serviks. Ini termasuk kondisi prakanker yang bisa diobati dengan
tingkat kesembuhan mendekati 100%.
2. Stadium I
Stadium I kanker telah tumbuh dalam serviks, namun
belum menyebar kemanapun.
3. Stadium II
Pada stadium II, kanker telah menyebar diluar serviks (leher
rahim) tetapi tidak kedinding panggul atau hanya sepertiga bagian
bawah vagina.
19
4. Stadium III
Pada stadium ini, kanker serviks telah menyebar
kejaringan lunak sekitar vagina dan serviks sepanjang dinding
panggul. Kemungkinan dapat menghambat aliran urine ke
kandung kemih.
5. Stadium IV
Kanker servik stadium IV yaitu tingkatan kanker yang
paling parah. Pada stadium ini kanker telah menyebar ke organ-
organ tubuh diluar serviks dan rahim.
Gambar 4.
Cervical Cancer
Sumber: Google
20
0 Karsinoma in situ (karsinoma preinvasif) I Karsinoma serviks
terbatas di uterus (ekstensi ke korpus uterus dapat diabaikan) IA
Karsinoma invasif didiagnosis hanya dengan mikroskop. Semua
lesi yang terlihat secara makroskopik, meskipun invasi hanya
superfisial, dimasukkan ke dalam stadium IB IA1 Invasi stroma
tidak lebih dari 3,0 mm kedalamannya dan 7,0 mm atau kurang
pada ukuran secara horizontal IA2 Invasi stroma lebih dari 3,0 mm
dan tidak lebih dari 5, 0mm dengan penyebaran horizontal 7,0 mm
atau kurang IB Lesi terlihat secara klinik dan terbatas di serviks
atau secara mikroskopik lesi lebih besar dari IA2 IB1 Lesi terlihat
secara klinik berukuran dengan diameter terbesar 4,0 cm atau
kurang IB2 Lesi terlihat secara klinik berukuran dengan diameter
terbesar lebih dari 4,0 cm II Invasi tumor keluar dari uterus tetapi
tidak sampai ke dinding panggul atau mencapai 1/3 bawah vagina
IIA Tanpa invasi ke parametrium IIA1 Lesi terlihat secara klinik
berukuran dengan diameter terbesar 4,0 cm atau kurang IIA2 Lesi
terlihat secara klinik berukuran dengan diameter terbesar lebih dari
4,0 cm IIB Tumor dengan invasi ke parametrium III Tumor meluas
ke dinding panggul atau mencapai 1/3 bawah vagina dan/atau
menimbulkan hidronefrosis atau afungsi ginjal IIIA Tumor
mengenai 1/3 bawah vagina tetapi tidak mencapai dinding panggul
IIIB Tumor meluas sampai ke dinding panggul dan/atau
menimbulkan hidronefrosis atau afungsi ginjal -8- IVA Tumor
menginvasi mukosa kandung kemih atau rektum dan/atau meluas
keluar panggul kecil (true pelvis) IVB Metastasis jauh (termasuk
penyebaran pada peritoneal, keterlibatan dari kelenjar getah
21
bening supraklavikula, mediastinal, atau para aorta, paru, hati,
atau tulang). Penyebaran ke korpus uterus tidak mempengaruhi
stadium. Penumbuhan ke dinding panggul pendek dan induratif,
kalau tidak nodular dimasukkan sebagai stadium IIB, bukan
stadium IIIB. Induratif sulit dibedakan apakah proses kanker
ataukah peradangan.
22
BAB III
PENCEGAHAN
KANKER SERVIKS
A. PENCEGAHAN KANKER SERVIKS
Tindakan yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya
kanker serviks menurut WHO, ada dua buah tindakan yang dapat
dilakukan untuk mencegah terjadinya kanker serviks yaitu :
1. Tindakan pencegahan primer dengan pemberian Vaksin
HPV
HPV dapat berpindah melalui kontak kulit ke kulit (skin to
skin). Artinya, meskipun sebagian besar HPV menular melalui
hubungan seksual, tetapi dapat juga secara non seksual, yaitu
melalui sentuhan kulit. Pemakaian kondom dapat meminimalisasi
penularan virus tapi tidak bisa mencegah sepenuhnya sebab
bagian tubuh lainnya bisa terkena HPV.
Tindakan primer atau yang terpenting untuk mencegah
terjadinya kanker serviks yaitu melalui vaksinasi HPV.
Vaksinasi HPV membuat tubuh membentuk antibodi terhadap
virus HPV, sehingga virus yang masuk akan mati dan tidak sampai
menimbulkan kanker serviks. Vaksin HPV dapat melindungi dari
HPV tipe 6,11,16,18. HPV tipe 16 dan 18 penyebab 70% kanker
serviks di seluruh dunia. HPV tipe 6 dan 11 menyebabkan kutil
kelamin (genital warts). Vaksinasi HPV membuat tubuh
membentuk antibodi terhadap virus HPV sehingga virus yang
23
masuk akan mati dan tidak sampai menimbulkan kanker serviks
serta kutil kelamin.Vaksin HPV dapat diberikan kepada anak-anak
laki dan perempuan mulai usia 9 tahun; bagi perempuan dewasa
bahkan bisa diberikan sampai usia 55 tahun dianjurkan untuk
memberikan vaksin HPV pada anak sejak usia dini untuk
mendapatkan hasil yang maksimal.
Vaksin HPV yaitu vaksin inaktif (berisi protein serupa
struktur cangkang virus HPV yang tidak mengandung DNA virus).
Sehingga, vaksin ini sangat aman dan tidak mungkin menginfeksi
manusia. Setelah disuntikkan, vaksin HPV akan merangsang
pembentukan respon imun di dalam tubuh, sehingga menciptakan
perlindungan terhadap kanker serviks. Untuk vaksin Quadrivalent
HPV, jika jadwal vaksinasi terganggu setelah pemberian dosis
pertama, maka dosis kedua harus diberikan minimal setidaknya 1
bulan setelah suntikan pertama, dan dosis ketiga harus diberikan
minimal setidaknya 3 bulan setelah suntikan kedua. Untuk vaksin
Bivalent HPV, dosis kedua dapat diberikan antara 1-2.5 bulan
setelah dosis pertama dan dosis ketiga diberikan antara 5-12 bulan
setelah dosis pertama.
Vaksin HPV tidak dianjurkan untuk diberikan kepada
perempuan yang sedang mengandung. Perempuan yang hamil
sesudah pemberian dosis pertama, tidak boleh melanjutkan dosis
kedua dan ketiga saat masa kehamilannya. Mengingat bahwa
penularan virus HPV bisa terjadi kapan saja dan kepada siapa saja,
maka pemberian vaksin HPV sebaiknya diberikan segera kepada
perempuan berusia 9 – 45 tahun. Namun demikian, vaksinasi yang
24
diberikan pada remaja putri pada saat berusia 9 – 13 tahun dinilai
paling efektif meskipun belum melakukan hubungan
seksual. Rentang usia ini dinilai efektif sebab pada masa inilah
tubuh memberikan proteksi respon imun yang lebih baik
dibanding usia di atasnya. Untuk perempuan berusia 13 – 45
tahun, vaksinasi masih tetap direkomendasikan untuk yang belum
pernah divaksinasi atau yang belum menyelesaikan seri vaksinasi
secara penuh. Dalam uji klinis dan pembuktian setelah digunakan
di dunia nyata, vaksin HPV dinilai sangat aman.
Lebih dari 205 juta dosis vaksin sudah terdistribusi di seluruh
dunia), sejak disetujui pada tahun 2006 oleh Food and Drug
Administration Amerika Serikat. Organisasi kesehatan
internasional terkemuka di seluruh dunia termasuk World Health
Organization (WHO), US Centers for Disease Control and
Prevention (CDC), Health Canada, European Medicines Agency
(EMEA), Australia Therapeutic Goods Administration (TGA) dan
yang lainnya juga terus merekomendasikan penggunaan Vaksin
HPV.
WHO GACVS telah mengumpulkan data surveilans pasca-
pemasaran dari Amerika Serikat, Australia, Jepang, dan dari
perusahaan manufaktur. Data tersebut dikumpulkan dari tahun
2006 sejak pertama kali diluncurkannya vaksin HPV sampai tahun
2014. GACVS menyatakan tidak menemukan isu keamanan yang
dapat merubah rekomendasi vaksinasi HPV. US CDC juga telah
menyatakan bahwa pemantauan keamanan pasca-lisensi dari Juni
25
2006 hingga Maret 2013 menunjukkan bahwa tidak ada masalah
keamanan baru terhadap vaksin HPV.
Efek samping yang mungkin dapat terjadi setelah penyuntikan
vaksin HPV yaitu sebagai berikut:
• Reaksi lokal: Sakit di tempat suntikan, eritema/kemerahan,
bengkak.
• Reaksi sistemik: sakit kepala, pireksia, mual, fatigue
(kelelahan)
2. Tindakan pencegahan sekunder melalui deteksi dini
dengan Tes Pap Smear dan IVA Test.
Skrining sering kali akan terus berlangsung. Penting sekali
bahwa skrining demikian jauh lebih tidak efisien dan efektif
daripada program yang diorganisasi sambil biaya yang lebih besar,
sebab tayangan itu cenderung berisiko rendah terkena penyakit.
Realokasi sumber-sumber ini untuk program yang diorganisasi
sering kali akan menghemat uang.
B. KEKUATAN YANG KONVENSIONAL TES CYTOLOGI
SERVIKS
Cytologi serviks diketahui mengurangi insiden kanker
serviks dan gerhana total, khususnya dalam program yang
terorganisasi, meskipun di amerika utara dan beberapa negara di
eropa memperoleh keuntungan dengan skrining oportunistik yang
berlebihan. Sebagai tambahan, tes memiliki kekuatan sebagai
berikut:
26
• Pengalaman penggunaannya selama puluhan tahun
• Spesifikasi tinggi.
• Luka yang diidentifikasi mudah diobati.
• Relatif biaya rendah
• Tenaga kerja dan sumber daya laboratorium yang disingkirkan
ada di kebanyakan negara.
Namun, ada keterbatasan tes ini. Hal ini mencakup, antara lain:
• Tes itu memalukan dan sulit untuk dipahami dalam banyak
kebudayaan.
• Membutuhkan personel yang terlatih
• Kesehatan belakang tidak cukup jelas.
• Penting untuk mengingat kembali para wanita untuk
pemeriksaan lebih lanjut jika noda itu tidak cukup. Maupun
evaluasi untuk kelainan yang dicurigai.
• Di kebanyakan laboratorium, hanya sedikit kepekaan yang
dicapai dan berproduksi yaitu buruk.
• Sitologi tidak dapat membedakan penyakit progresif dari yang
ditakdirkan untuk mundur. Ini berlaku untuk yang dilaporkan
kelas rendah dan tinggi lesi. Kemungkinan menjadi lebih
rendah untuk kelainan tingkat rendah (37,60,61).
• Cytologi mungkin kurang efektif pada wanita yang lebih tua.
Hal ini mencerminkan berkurangnya lesi pada wanita tersebut,
dan fakta bahwa zona transformator cenderung pindah ke kanal
endocervical. Akan tetapi, jika para wanita sudah cukup
diperiksa di antara kisaran usia 35-54 tahun dan tidak pernah
terjangkit smear yang tidak normal, mereka bisa berhenti
terjangkit penyakit dan skrining
• Skrining serviks menggunakan cytologi membutuhkan banyak
upaya manajemen dan koordinasi sebab banyaknya lembaga
yang terlibat. Ini terbukti mahal.
• Mustahil menghapus penyakit ini melalui pemeriksaan medis.
Akan ada kasus kanker invasif yang terjadi meskipun skrining
27
sebab biologi penyakit di tubuh itu menghasilkan
perkembangan yang sangat cepat untuk deteksi tepat waktu
menghasilkan perawatan yang efektif. Selain itu, tidak ada
program yang dapat menjamin cakupan 100% atau efektivitas
total proses penyaringan. Dengan demikian program ini
kemungkinan besar mencapai minimal penyebaran kanker
invasif di populasi, yang mungkin akan mencapai tingkat 10-
20% dari jumlah wabah tanpa skrining. yaitu penting bahwa
hal ini dipahami oleh para peserta dalam program tersebut, dan
oleh mereka yang mendanai dan mendukung program tersebut.
C. TEST PAPSMEAR
Penyebaran kanker serviks juga dapat dicegah dengan
tindakan pencegahan sekunder yaitu melalui deteksi dini dengan
melakukan tes Pap smear. Deteksi dini melalui Tes Paps sebaiknya
dilakukan seawal mungkin bagi para perempuan yang sudah
pernah berhubungan seksual. Apabila hasil tes dinyatakan positif
terhadap adanya sel abnormal pada lapisan serviks, maka tindakan
terapi dapat dilakukan untuk mencegahnya menjadi kanker. Pap
smear dapat dilakukan kapan saja, kecuali pada masa haid atau
dilarang atas petunjuk dokter. Waktu terbaik untuk melakukannya
yaitu antara 10-20 hari setelah hari pertama menstruasi.
Perempuan yang sudah menikah ataupun sudah pernah melakukan
hubungan seksual dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan Pap
smear setahun sekali.
Bagi perempuan yang sedang hamil juga dapat melakukan tes
pap sebab prosedur tersebut aman. Pap smear disarankan untuk
dijalani hanya untuk perempuan yang sudah pernah berhubungan
28
seksual, baik yang masih aktif ataupun tidak. Bagi yang sedang
dalam kondisi tidak aktif berhubungan seksual disarankan untuk
melakukan tes pap setiap 3 tahun sekali, sedangkan untuk yang
masih aktif melakukan hubungan seksual dianjurkan untuk
melakukan pemeriksaan Pap smear setiap 1 tahun sekali. Pap
smear dapat dilakukan kapan saja, kecuali pada saat haid atau
dilarang atas petunjuk dokter. Waktu terbaik untuk Pap smear
yaitu antara 10-20 hari setelah hari pertama menstruasi, dan
sebaiknya perempuan tidak menggunakan douche atau pembersih
vagina 1-2 hari sebelum pemeriksaan sebab bahan-bahan tersebut
dapat menyembunyikan sel-sel abnormal.
Pap smear merupakan salah satu jenis skrining yang dilakukan
untuk mendekteksi dini adanya kanker serviks. Pap smear
dilakukan dengan cara mengambil sel epitel di leher rahim,
kemudian dilakukan pemeriksaan diklinik laboratorium untuk
mengetahui apakah sel epitel leher rahim normal atau sudah
menunjukkan tanda-tanda sel abnormal bahkan kanker.
Program skrining kanker serviks dengan Pap smear telah
dilakukan di banyak negara maju dan berhasil menurunkan jumlah
insiden kanker serviks di negara maju tersebut. Meskipun program
skrining telah berjalan dengan baik di Amerika Serikat, tetapi
diper- kirakan 30% dari kasus kanker kanker serviks terjadi pada
wanita yang tidak pernah menjalani Pap smear.4 Program skrining
di negara berkembang tidak berjalan rutin atau bahkan tidak
dilakukan. Wanita di negara berkembang yang melakukan Pap
smear yaitu hanya sekitar kurang dari 5% seluruh total populasi
29
wanita dan hampir 60% dari kasus kanker serviks di negara
berkembang terjadi pada wanita yang tidak pernah melakukan Pap
smear. Oleh sebab itu perlu dilakukan skrining kanker serviks
dengan pemeriksaaan Pap smear untuk mendapatkan data kelainan
sitologi serviks yang meliputi data normal smear, proses
keradangan, low grade intraepithelial lesion (LSIL), high grade
intraepithelial lesion (HSIL), carcinoma insitu, dan carcinoma
invasive serta IVA untuk mendapatkan data kelainan serviks.
Gambar 5
Pemeriksaan Pap Smear
Sumber: Google
Alat-alat yang dibutuhkan untuk pemeriksaan pap smear, sebagai
berikut :
a. Brooms
b. Cytobrush
c. Spatula
d. Gelas objek/slide
30
e. Sarung tangan
f. Speculum vagina
g. Alhocol 96%
Langkah-langkah yang untuk melakukan pap smear :
a. Usapkan spatula eyra pada bagian ektoserviks, yaitu bibir
mulut rahim terlebih dahulu, kemudian hasil usapan pada
serviks dipulas pada kaca benda.
b. Usapkan cytobrush pada endoserviks, lalu pulas pada kaca
benda /slide
c. Rendam kaca benda dalam alkohol,minilmal 30 menit.
d. Kirim keklinik laboratorium patologi untuk dilakukan
pengecekan papanicolau, pengambilan sampel secara
konvensional dilakukan dengan dua cara yaitu : pertama
pengambilan sampel dari dorong mulut rahim, kedua
pengambilan sampel dari bibir mulut rahim.
D. IVA TEST
Skrining dengan IVA merupakan skrining yang murah,
mudah, dan dapat diaplikasikan di seluruh negara kita . Skrining
dengan pap smear dapat dilakukan di tempat yang memiliki
fasilitas pemeriksaan sitologi.
IVA Test kepanjangan dari inspeksi visual asam asetat,
deteksi dengan metode ini sangat cocok diterapkan dinegara
berkembang dengan berbagai alasan, yaitu mudah dilakukan,
biaya pemeriksaan cukup terjangkau oleh seluruh kalangan
terutama kalangan menengah ke bawah, efektif serta tidak
invasive dan bisa dilakukan oleh dokter, perawat, bidan yang
31
sudah mengikuti pelatihan mengenai pemeriksaan dengan metode
IVA ini. Hasil bisa diketahui dengan mempertimbangkan tingkat
sensitivitas serta spesivitasnya yang cukup baik dan akurat ( Ria
riksasi, 2016).
Alat yang digunakan sangat sederhana yaitu :
a. Speculum vagina
b. Asam asetat 3-5 %
c. Kapas lidi
d. Meja pemeriksaan
e. Sarung tangan steril
f. Ruangan dengan cahaya yang cukup terang
Cara melakukan IVA Test dengan cara mengoleskan asam
asetat 3-5% ke kapas lidi dan diusapkan ke daerah serviks/leher
rahim. Selanjutnya serviks diobservasi dan diamati beberapa saat
selanjutnya lakukan penelaian. Kriteria pemeriksaan IVA atau
hasil pemeriksaan IVA, sebagai berikut :
a. Normal
b. Radang /senvisitis /apitik yaitu gambaran tidak khas pada
mulut rahim akibat infeksi, baik akut maupun kronis pada
mulut rahim.
c. IVA positif yaitu ditemukan bercak putih berarti
ditemukan adanya lesi prakenker.
d. Curiga kanker serviks
32
E. SASARAN PEMERIKSAAN IVA
Pemeriksaan IVA pada WUS yaitu rentang usia antara 15-
49 tahun. Terkhusus bagi wanita yang sudah menikah atau sudah
pernah melakukan senggama merupakan sasaran untuk
pemeriksaan IVA. Rata-rata kasus menderita kanker serviks
berumur antara 30-60 tahun, dan usia terbanyak antara 45-50
tahun, frekuensinya masih meningkat sampai usia 60 tahun dan
frekuensi selanjutnya sedikit menurun kembali. Keadaan tersebut
yang menjadikan WUS jadi sasaran deteksi dini kanker serviks.
F. INTERPRESTASI IVA
Gambar 6
Perjalanan Penyakit Kanker Serviks
Sumber: Dokter kandungan pribadi – WordPress.com
33
Pemeriksaan IVA dikatakan positif apabila adanya ditemukan area
yang berwarna putih dan permukaannya meninggi dengan batasan
yang jelas di sekitar Zona Transformasi.
34
BAB IV
TEORI MODEL EDUKASI
DETEKSI DINI
KANKER SERVIKS
Landasan teori yang dipakai acuan dalam edukasi deteksi
dini kanker serviks ini Health Belief Model dan Teori Perubahan
Perilaku.
A. TEORI HEALTH BELIEF MODEL (HBM)
1. Pengertian Health Belief Model
Health Belief Model dikemukakan pertama kali oleh
Resenstock 1966, kemudian disempurnakan oleh Becker, dkk
1970 dan 1980. Sejak tahun 1974, teori HBM telah menjadi
perhatian para peneliti. Model teori ini merupakan formulasi
konseptual untuk mengetahui persepsi individu apakah mereka
menerima atau tidak tentang mereka. Variabel yang dinilai
meliputi keinginan individu untuk menghindari kesakitan,
kepercayaan mereka bahwa ada usaha agar menghindari
penyakit tersebut.
HBM merupakan suatu konsep yang mengungkapkan
34ebagia dari individu untuk mau atau tidak mau melakukan
perilaku sehat (Janz & Becker, 1984). HBM juga dapat diartikan
sebagai sebuah konstruk teoretis mengenai kepercayaan individu
dalam berperilaku sehat.
35
HBM yaitu suatu model yang digunakan untuk
menggambarkan kepercayaan individu terhadap perilaku hidup
sehat, sehingga individu akan melakukan perilaku sehat, perilaku
sehat tersebut dapat berupa perilaku pencegahan maupun
penggunaan fasilitas. HBM ini sering digunakan untuk
memprediksi perilaku preventif dan juga respon perilaku untuk
pengobatan pasien dengan penyakit akut dan kronis. Namun akhir-
akhir ini teori HBM digunakan sebagai prediksi berbagai perilaku
yang berhubungan dengan sebagian.
Gambaran HBM terdiri dari 6 dimensi, diantaranya:
a. Perceived susceptibility atau kerentanan yang dirasakan
konstruk tentang resiko atau kerentanan (susceptibility)
personal, Hal ini mengacu pada persepsi subyektif seseorang
menyangkut risiko dari kondisi kesehatannya. Di dalam kasus
penyakit secara medis, dimensi tersebut meliputi penerimaan
terhadap hasil sebagian, perkiraan pribadi terhadap adanya
resusceptibilily (timbul kepekaan), dan susceptibilily
(kepekaan) terhadap penyakit secara umum.
b. Perceived severity atau keseriusan yang dirasa. Perasaan
mengenai keseriusan terhadap suatu penyakit, meliputi
kegiatan evaluasi terhadap konsekuensi klinis dan medis
(sebagai contoh, kematian, cacat, dan sakit) dan konsekuensi
yang mungkin terjadi (seperti efek pada pekerjaan, kehidupan
keluarga, dan hubungan). Banyak ahli yang menggabungkan
kedua komponen diatas sebagai ancaman yangdirasakan
(Perceived Threat).
36
c. Perceived benefits, manfaat yang dirasakan. Penerimaan
susceptibility sesorang terhadap suatu kondisi yang dipercaya
dapat menimbulkan keseriusan (perceived threat) yaitu
mendorong untuk menghasilkan suatu kekuatan yang
mendukung kearah perubahan perilaku. Ini tergantung pada
kepercayaan seseorang terhadap efektivitas dari berbagai
upaya yang tersedia dalammengurangi ancaman penyakit,
atau keuntungan-keuntungan yang dirasakan (perceived
benefit) dalam mengambil upaya-upaya sebagian tersebut.
Ketika seorang memperlihatkan suatu kepercayaan terhadap
adanya kepekaan (susceptibility) dan keseriusan
(seriousness), sering tidak diharapkan untuk menerima
apapun upaya sebagian yang direkomendasikan kecuali jika
upaya tersebut dirasa manjur dan cocok.
d. Perceived barriers atau hambatan yang dirasakan untuk
berubah, atau apabila individu menghadapi rintangan yang
ditemukan dalam mengambil sebagian tersebut. Sebagai
tambahan untuk empat keyakinan (belief) atau persepsi.
e. Health motivation dimana konstruk ini terkait dengan
motivasi individu untuk selalu hidup sehat. Terdiri atas
36ebagia terhadap kondisi kesehatannya serta health value.
f. Cues to action suatu perilaku dipengaruhi oleh suatu hal yang
menjadi isyarat bagi seseorang untuk melakukan suatu atau
perilaku. Isyarat-isyarat yang berupa eksternal maupun
internal, misalnya pesan-pesan pada media massa, nasihat
atau anjuran kawan atau anggota keluarga lain, aspek
37
sosiodemografis, misalnya tingkat, lingkungan tempat
tinggal, pengasuhan dan pengawasan orang tua, pergaulan
dengan teman, agama, suku, keadaan ekonomi, dan budaya,
self-efficacy yaitu keyakinan seseorang bahwa dia
memiliki kemampuan untuk melakukan atau menampilkan
suatu perilaku tertentu. Health belief model dipengaruhi oleh
beberapa faktor, diantaranya demografis, karakteristik
psikologis, dan juga dipengaruhi oleh structural variable,
contohnya yaitu ilmu pengetahuan.
Edukasi merupakan yang penting sehingga mempengaruhi
HBM individu. Kurangnya pengetahuan akan menyebabkan
individu merasa tidak rentan terhadap gangguan, yang dalam suatu
penelitian yang dilakukan oleh Edmonds dan kawan-kawan yaitu
osteoporosis. Karakteristik psikololgis merupakan hal yang
mempengaruhi HBM individu. Dalam penelitian ini, karakteristik
psikologis yang mempengaruhi health belief model HBM kedua
responden yaitu ketakutan kedua responden menjalani
pengobatan secara medis.
B. TEORI PERILAKU LAWRENCE GREEN
Setiap individu memiliki perilakunya sendiri yang berbeda
dengan individu lain, termasuk pada kembar identik sekalipun.
Perilaku tidak selalu mengikuti urutan tertentu sehingga
terbentuknya perilaku positif tidak selalu dipengaruhi oleh
38
pengetahuan dan sikap positif mengklasifikasikan beberapa faktor
penyebab sebuah tindakan atau perilaku :
1. Faktor pendorong (predisposing factor)
Faktor predisposing merupakan faktor yang menjadi dasar
motivasi atau niat seseorang melakukan sesuatu. Faktor
pendorong meliputi pengetahuan, sikap, kepercayaan, keyakinan,
nilai dan persepsi, tradisi, dan unsure lain yang ada dalam diri
individu maupun warga yang berkaitan dengan kesehatan
(Heri, 2009).
2. Faktor pemungkin (enabling factor)
Faktor enabling merupakan faktor-faktor yang memungkinkan
atau yang memfasilitasi perilaku atau tindakan. Faktor pemungkin
meliputi sarana dan prasarana atau fasilitas-fasilitas atau sarana-
sarana kesehatan. Untuk berperilaku sehat, warga
memerlukan sarana dan prasarana pendukung, misalnya perilaku
Pemeriksaan Payudara Sendiri (SADARI), perempuan yang ingin
mendapatkan informasi harus lebih aktif dalam mencari informasi
melalui pelayanan kesehatan seperti puskesmas, rumah sakit,
posyandu, dokter atau bidan praktik, dan juga mencari informasi
melalui media massa seperti media internet, media cetak, media
elektronik, dan media sosial.
39
3. Faktor pendorong atau pendorong (reinforcing factor)
Faktor reinforcing merupakan faktor-faktor yang mendorong atau
memperkuat terjadinya perilaku seseorang yang disebab kan
adanya sikap suami, orang tua, tokoh warga atau petugas
kesehatan.
40
BAB V
GROUP
A. DEFENISI GROUP
Soekanto (2006) menjelaskan group sebagai himpunan
atau kesatuan-kesatuan manusia yang hidup berbagi dalam
memiliki hubungan timbal balik dan memiliki kesadaran untuk
saling tolong-menolong. Sarwono 2009 mendefinisikan group
sebagai dua orang atau lebih yang memiliki persepsi sebagai satu
kesatuan serta memiliki perasaan sebagai bagian dari group
tersebut dan memiliki tujuan saling ketergantungan satu sama lain.
Menurut pola (2004) kelompok yaitu suatu grup yaitu sejumlah
orang yang ada antara hubungan satu sama lain hubungan itu
bersifat sebagai sebuah struktur.
Sarwono (2009) mengatakan bahwa kelompok group
yaitu dua atau lebih individu yang berinteraksi secara langsung
peduli dengan hubungannya dan dalam sebuah grup saling peduli
antara anggota grup saling peduli dengan ketergantungan positif
untuk berusaha mencapai tujuan bahagia.
B. CIRI & SYARAT GRUP
Ciri- Ciri Grup
1. Individu yang berinteraksi mengidentifikasi dirinya sebagai
anggota kelompok group serta memiliki kesadaran bahwa ia
merupakan bagian dari kelompok;
41
2. Pihak luar mendefinisikan individu yang berinteraksi sebagai
anggota group;
3. ada hubungan yang sifatnya timbal balik. Artinya, dalam
proses interaksi sehari-hari, baik itu indivdu maupun groupnya
dapat saling mempengaruhi satu sama lain;
4. Memiliki norma dan nilai yang disepakati sebagai pengikat
dalam bersikap dan bertingkah laku antar anggota group
sehingga timbul kesamaan pola perilaku;
5. Memiliki rasa kebersamaan dan solidaritas;
6. Memiliki kesamaan motif, visi dan tujuan;
7. Bersistem dan berproses, dalam kaitan ini, kelompok group
terbentuk dalam jangka waktu tertentu dan sebagai konsekuensi
dari interaksi dan aktivitas yang dilakukan secara terus-
menerus.
Syarat Terbentuknya Grup
1. Setiap anggota kelompok menyadari bahwa ia merupakan
bagian dari groupnya. Perlu digaris bawahi bahwa dalam setiap
group ada pola hubungan timbal balik. Arti hubungan
timbal balik yaitu tiap-tiap anggota saling berinteraksi secara
sadar sebagai upaya untuk mencapai tujuan atau memenuhi
kebutuhan tertentu.
2. Setiap anggota group memiliki kesamaan latar belakang atau
karakterisitk. Mereka cenderung membentuk pola interaksi
yang lekat sebab memiliki kesamaan pengalaman serta
dihadapkan pada suatu masalah yang sama.
3. ada struktur, norma dan pola perilaku;
4. Suatu group tentunya memiliki ciri khusus yang menjadikannya
berbeda dengan group yang lain. Struktur dan norma group
42
merupakan elemen pembeda yang penting. Setiap group
memiliki norma/aturan yang berisi kaidah-kaidah yang bersifat
mengatur perilaku para anggotanya hingga akhirnya
terbentuklah pola perilaku tertentu yang menjadi ciri khas
kelompok tertentu.
C. TEORI-TEORI PEMBENTUKAN GROUP
Teori terbentuknya Group, mengemukakan beberapa teori
tentang terbentuknya kelompok atau group antara lain
1. Teori kontrak atau perjanjian teori yang berangkat dari sebuah
pemikiran awal yang menyatakan bahwa terbentuknya sebuah
negara yaitu sebab adanya kesepakatan dari warga atau
individu individu dalam warga untuk melakukan
kesepakatan atau perjanjian mereka sama-sama mendasarkan
analisis-analisis mereka pada anggapan dasar bahwa manusia
sebagai sumber dari kewenangan sebuah negara
2. Teori-teori ini berpendapat manusia yang tadinya hidup
terpisah-pisah kamu jadi hidup dalam pergaulan antar manusia
disebabkan sebab pada setiap individu ada yang
senantiasa mendorong untuk bergaul dengan sesamanya.
3. Teori tenaga yang menggabungkan kelompok terbentuk sebab
manusia senantiasa hidup dalam satu pergaulan yang didorong
oleh tenaga-tenaga yang menggabungkan atau
mengintegrasikan individu dalam suatu pergaulan.
43
4. Teori kedekatan atau provinsi teori merupakan teori yang
sangat dasar tentang terbentuknya kelompok yang menjelaskan
bahwa kelompok terbentuk sebab adanya afiliasi atau
perkenalan dari orang-orang tertentu.
5. Teori keseimbangan salah satu teori yang agak menyeluruh
penjelasannya tentang pembentukan kelompok ialah teori
keseimbangan yang dikembangkan oleh theodor newcomb teori
ini menyatakan bahwa seseorang tertarik pada yang lain sebab
adanya kesamaan sikap di dalam menanggapi suatu tujuan
6. Teori praktis, teori ini menyatakan bahwa group terbentuk
sebab group cenderung memberikan kepuasan atas kebutuhan
kebutuhan yang mendasar dari orang-orang kelompok
kebutuhan-kebutuhan social practice tersebut dapat berubah
ekonomi status keamanan politik dan lainnya.
D. MANFAAT PEMBENTUKAN GRUP
Manfaat pembentukan group, Samuel (1934) dalam
bukunya effective public group menyatakan bahwa banyak
manfaat membuat group selain pertemanan dan salah satu
kebutuhan hidup berpartisipasi dalam group dalam dapat
menyelesaikan tugas-tugas yang memerlukan keterampilan dan
mencapai tujuan setiap individu belajar keterampilan melalui trial
and error akan tetapi berkelompok dapat menyelesaikan tugas
dengan lebih cepat sebab berbagai keterampilan yang berbeda
pada masing-masing individu dapat digabungkan menjadi satu.
44
Manfaat kedua dari pembentukan group ialah anggota
group dapat memberikan pendapat untuk menentukan suatu
pekerjaan prosesnya serta perubahan sehingga tercapainya tujuan
pengambilan suara dalam group membantu diambilnya keputusan
dengan tepat.
Group dapat bekerja efektif dalam terapi konseling
individual sangat membantu untuk beberapa orang begitu halnya
dengan konseling kelompok anggota group mengingatkan anggota
lainnya untuk dalam masalah yang diselesaikan di sisi lain dapat
saling memberi bantuan dalam menyelesaikan kesulitan.
Manfaat terakhir ialah melalui group kebutuhan individu
dapat terpenuhi. Menurut Waldo (1987) membentuk group
membantu orang lain rasa tentang rasa peduli rasa pengakuan
keberadaan serta arti dengan tujuan hidup anggota group dapat
memberi dukungan semasa terjadinya transisi dan perkembangan.
E. KETERBATASAN PEMBENTUKAN GROUP
Keterbatasan pembentukan group walaupun banyak
manfaat masuk dalam group akan tetapi ada juga keterbatasan
dalam group 1983 menyatakan bahwa keterbatasan dalam group,
antara lain:
1. Primary Retention cenderung muncul pada pertemuan pertama
kelompok dimana setiap group yang belum saling mengenal
perasaan malu serta perasaan yang tidak nyaman bertemu
dengan orang asing anggota group akan merasa waspada dan
ragu-ragu untuk mengeluarkan pendapat dan berkomunikasi;
45
2. Social Rejection, penolakan jika melakukan hal-hal yang
bertentangan dengan norma social;
3. Interference, campur tangan orang lain anggota group memiliki
peran dan tugas yang berbeda tidak dapat dipungkiri kurangnya
keterampilan salah satu anggota akan turut andil membantu
agar tujuan tetap tercapai akan tetapi campur tangan yang
terlalu berlebihan akan menyebabkan pandangan yang kurang
kompeten di antara anggota lainnya selain itu campur tangan
orang lain yang tidak sesuai dengan tugasnya akan menambah
estimasi waktu pencapaian tujuan;
4. Personal investment, anggota menginvestasikan sejumlah uang
seperti uang pendaftaran waktu tenaga bantuan dan lain-lain
dalam group;
5. Reactance, ruang kebebasan dalam group memiliki aturan dan
norma sehingga anggota tidak dapat berekspresi secara bebas
sebab terikat dengan peraturan.
F. JENIS-JENIS GRUP
Jenis-jenis I menurut Robert Bierstedt dalam Sarwono (2009)
kelompok memiliki banyak jenis dan dibedakan berdasarkan ada
tidaknya organisasi hubungan antara group dan kesadaran jenis
Sarwono kemudian membagi group group menjadi empat macam.
Yaitu:
1. Group yaitu group yang bukan organisasi tidak memiliki
hubungan dan kesadaran jenis diantaranya
2. Group kewarga an yaitu kelompok yang memiliki
persamaan tetapi tidak memiliki organisasi dan hubungan
45ebagi diantara anggotanya
46
3. Group yaitu group yang anggotanya memiliki kesadaran jenis
dan hubungan satu dengan yang lainnya tetapi tidak terikat
dalam ikatan organisasi
4. Group asosiasi yaitu kelompok yang anggotanya memiliki
kesadaran jenis dan ada persamaan kepentingan pribadi
maupun kepentingan dalam asosiasi para anggotanya
melakukan hubungan kontak dan komunikasi serta memiliki
ikatan organisasi formal
Group merupakan kumpulan dua orang atau lebih melalui
interaksi dan tujuan tertentu, Sarwono 1959 menggolongkan
group menjadi
1. Group formal yaitu organisasi militer perusahaan kantor
camat group nonformal arisan geng group belajar teman-
teman bermain golf
2. Group kecil dua sahabat keluarga kelas group besar divisi
46ebagia suku bangsa
3. Group jangka pendek panitia penumpang sebuah kendaraan
umum orang-orang yang membantu memadamkan kebakaran
atau menolong korban kecelakaan lalu lintas kelompok jangka
46ebagia bangsa keluarga dan sekolah
4. Group kohesif yaitu hubungan erat anggota antar keluarga
keluarga panitia rombongan umroh
5. Group agresif yaitu pelajar tawuran penumpang bus pencopet
group yang mengeroyok dan menyiksa korban sering sampai
mati demonstran dan lain-lain
6. Group dengan identitas seperti keluarga kesatuan militer
perusahaan sekolah universitas
7. Group individual autonomous warga kota besar
perusahaan dengan manajemen berat
8. Group dengan berbudaya tunggal
47
9. Group laki-laki tim sepakbola pasukan komando laki-laki
Jumat salat Jumat. Group perempuan seperti sepak bola
wanita bang perempuan polisi wanita
10. Group konsumen dalam hal sumber daya tergantung pada
pihak lain seperti konsumen persatuan pengibar mobil dan
group ibu rumah
11. Group persahabatan seperti arisan teman bermain kumpul
sahabat group paguyuban alumni SMA
48
BAB VI
KONSELING
A. PENGERTIAN KONSELING KELOMPOK
Konseling kelompok merupakan suatu bantuan pada individu
dalam situasi kelompok yang bersifat pencegahan dan
penyembuhan, serta diarahkan pada pemberian kemudahan dalam
perkembangan dan pertumbuhannya. Latipun mengatakan,
konseling kelompok yaitu bentuk konseling yang membantu
beberapa individu yang diarahkannya mencapai fungsi kesadaran
secara efektif untuk jangka waktu pendek dan menengah.
Adhiputra (2014) mendefinisikan konseling kelompok merupakan
upaya bantuan kepada individu dalam suasana kelompok yang
bersifat pencegahan dan pengembangan, dan diarahkan kepada
pemberian kemudahan dalam rangka pengembangan dan
pertumbuhannya. Konseling kelompok merupakan suatu sistem
layanan bantuan yang sangat baik untuk membantu
pengembangan kemampuan pribadi, pencegahan, dan mengenai
konflik-konflik antarpribadi atau pemecahan masalah.
Lesmana (2005) mengartikan konseling kelompok sebagai
hubungan membantu di mana salah satu pihak (konselor)
bertujuan meningkatkan kemampuan dan fungsi mental pihak lain
(klien) agar dapat menghadapi persoalan/konflik yang dihadapi
dengan lebih baik. Di dalam suatu konseling kelompok ada
bantuan konseling, yaitu dengan menyediakan kondisi, sarana, dan
49
keterampilan yang membuat klien dapat membantu dirinya sendiri
dalam memenuhi rasa aman, cinta, harga diri, membuat keputusan
dan aktualisasi diri. Memberikan bantuan juga mencakup
kesediaan konselor untuk mendengarkan perjalanan hidup klien
baik masa lalunya, harapan-harapan, keinginan yang tidak
terpenuhi, kegagalan yang dialami, trauma, dan konflik yang
sedang dihadapi klien.
Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan
bahwa konseling kelompok yaitu upaya bantuan yang bersifat
pencegahan dan pengembangan kemampuan pribadi sebagai
pemecahan masalah secara kelompok atau bersama-sama dari
seorang konselor kepada klien.
B. KONSELOR
Konselor yaitu pihak yang membantu klien dalam proses
konseling. Sebagai pihak yang paling memahami dasar dan teknik
konseling secara luas, konselor bukan hanya menjalankan
perannya sebagai fasilitator bagi klien, melainkan juga bertindak
sebagai penasihat, guru, konsultan yang mendampingi klien
sampai klien dapat menemukan dan mengatasi masalah yang
dihadapinya. Maka tidaklah berlebihan bila dikatakan bahwa
konselor yaitu tenaga profesional yang sangat berarti bagi klien.
1. Karakteristik Konselor
Setelah memahami gambaran seorang konselor secara umum,
ada beberapa karakteristik konselor efektif yang
50
dikemukakan oleh beberapa ahli. Karakteristik inilah yang wajib
dipenuhi oleh seorang konselor untuk mencapai keberhasilannya
dalam proses konseling. Di awali dari pandangan Carl Rogers
sebagai peletak dasar konsep konseling. Rogers (1961, dalam
Lesmana, 2005) menyebutkan ada tiga karakteristik utama yang
harus dimiliki oleh seorang konselor, yaitu: congruence,
unconditional positive regard, dan empathy.
1. Congruence
Menurut Rogers (1961), seorang konselor haruslah terintegrasi
dan kongruen. Pengertiannya di sini yaitu seorang kon- selor
terlebih dahulu harus memahami dirinya sendiri. Antara pikiran,
perasaan, dan pengalamannya harus serasi. Konselor harus
sungguh-sungguh menjadi dirinya sendiri, tanpa menutupi
kekurangan yang ada pada dirinya. Seperti contoh ka sus; seorang
konselor yang memiliki fobia terhadap ketinggian bersedia
berbagi pengalaman kepada klien dengan keluhan ketakutan pada
hewan berbulu. Konselor tidak berpura-pura mengatakan bahwa ia
berani dan telah berhasil mengalahkan ketakutannya pada
ketinggian. Hal ini akan membuat klien merasa bahwa bukan
hanya dirinya yang memiliki masalah takut pada suatu objek.
2. Unconditional Positive Regard
Konselor harus dapat menerima/respek kepada klien walaupun
dengan keadaan yang tidak dapat diterima oleh lingkungan. Setiap
individu menjalani kehidupannya dengan membawa segala nilai-
nilai dan kebutuhan yang dimilikinya. Rogers mengatakan bahwa
51
setiap manusia memiliki tendensi untuk mengaktualisasikan
dirinya yang lebih baik. Untuk itulah konselor harus memberikan
kepercayaan kepada klien untuk mengembangkan diri mereka.
Apabila seorang klien dengan keluhan selalu melakukan
masturbasi, konselor tidak langsung menolak atau sinis akan tetapi
bersikap terbuka dan berpikiran positif bahwa tingkah laku klien
dapat diubah menjadi lebih baik.
Brammer, Abrego, dan Shostrom (1989, dalam Lesmana,
2005) menarmbahkan apa yang disampaikan oleh Rogers bahwa
klien akan mengalami perubahan yang efektif apabila ia berada
dalam situasi yang kondusif untuk pertumbuhan. Situasi yang
kondusif ini misalnya pengalaman penerimaan (acceptance) yaitu
pengalaman dipahami, dicintai, dan dihargai tanpa syarat.
3. Empathy
Empathy yaitu memahami orang lain dari sudut kerangka
berpikirnya. Selain itu empati yang dirasakan juga harus
ditunjukkan. Konselor harus dapat menyingkirkan nilai-nilainya
sendiri tetapi tidak boleh ikut terlarut di dalam nilai-nilai klien.
Selain itu, Rogers (1961, dalam Willlis, 2009) mengartikan empati
sebagai kemampuan yang dapat merasakan dunia pribadi klien
tanpa kehilangan kesadaan diri. Ia menyebutkan komponen yang
ada dalam empati meliputi: penghargaan positif (positive
regard), rasa hormat (respect), kehangatan (warmth), kekonkretan
(concreteness), kesiapan/kesegaran (immediacy), konfrontasi
(confrontation), dan keaslian (congruence/genuiness). Seperti
52
mampu memahami bagaimana seorang klien yang melakukan
hubungan seksual pranikah dengan tidak langsung menilainya
sebagai perbuatan tercela dan menghakimi klien sebagai manusia
hina.
2. Peran dan Fungsi Konselor
Peran dan fungsi dalam pembahasan kali ini sengaja ditulis
terpisah untuk memperjelas kedudukan konselor dalam peran dan
fungsinya. Hal ini senada yang diungkapkan oleh Baruth dan
Robinson III (1987, Lesmana, 2005) yang memisahkan dua
pengertian itu. Peran (role) didefenisikan sebagai the interaction
of expectations about a “position” and perceptions of the actual
person in that position. Dari definisi yang dikemukakan oleh
Baruth dan Robinson III tersebut, dapat diartikan bahwa peran
yaitu apa yang diharapkan dari posisi yang dijalani seorang
konselor dan persepsi dari orang lain terhadap posisi konselor
tersebut. Misalnya, seorang konselor harus memiliki kepedulian
yang tinggi terhadap masalah klien, dan lain-lain. Sementara
fungsi (function) didefinisikan sebagai what the individual does in
the way of specific activity (hlm.143). Dari definisi tersebut dapat
diartikan bahwa fungsi yaitu hal-hal yang harus dilakukan
seorang konselor dalam menjalani profesinya. Misalnya, seorang
konselor harus mampu melakukan wawancara, mampu memimpin
kelompok pelatihan dan melakukan asesmen atau diagnosis.
53
C. KLIEN
Willlis (2009) mendefenisikan klien yaitu setiap individu
yang diberikan bantuan profesional oleh seorang kon- selor atas
permintaan dirinya sendiri atau orang lain. Pengertian yang hampir
sama juga diungkapkan oleh Rogers (1961, dalam Latipun, 2001)
yang mengartikan klien sebagai individu yang datang kepada
konselor dalam keadaan cemas dan tidak kongruensi.
Berikut ini akan diuraikan berbagai karakteristik klien:
1. Klien Sukarela
Klien sukarela yaitu klien yang pada konselor atas kesadaran
diri sendiri sebab memiliki maksud dan tujuan tertentu. Hal ini
dapat berupa keinginan memperoleh informasi, mencari
penjelasan tentang masalahnya, tentang karier, dan lanjutan studi,
dan sebagainya.
2. Klien Terpaksa
Apabila klien sukarela pada konselor atas kemauannya sendiri,
maka klien terpaksa yaitu klien yang pada konselor bukan atas
kemauannya sendiri melainkan atas dorongan teman, keluarga,
dan sebagainya.
3. Klien Enggan (Reluctant Client)
Berbeda lagi dengan klien enggan. Klien enggan yaitu klien
yang pada konselor bukan untuk dibantu menyelesaikan
masalahnya melainkan sebab senang berbincang-bincang dengan
54
konselor. Ada juga beberapa klien enggan yang hanya diam sebab
tidak suka dibantu masalahnya.
4. Klien Bermusuhan/Menentang
Klien bermusuhan/menentang merupakan kelanjutan dari
klien terpaksa yang bermasalah dengan cukup serius. Ciri-ciri dari
klien bermasuhan/menentang yaitu: tertutup, menentang,
bermusuhan, dan menolak secara terbuka.
5. Klien Krisis
Yang terakhir yang mendapat musibah seperti kematian orang-
orang terdekat, kebakaran rumah, pemerkosaan, bencana alam,
dan lain- lain. Tugas konselor di sini yaitu memberikan bantuan
yang dapat membuat klien menjadi stabil dan mampu menyesuai-
kan diri dengan situasi yang baru.
Kebutuhan Klien
Sama halnya dengan harapan, klien juga memiliki kebutuhan
yang menjadi alasannya mengikuti proses konseling. Kebutuhan
yang mendasari tersebut tentu saja yaitu kebutuhan psikologis.
George J. Mouly (dalam Mappiare, 2002) menyebutkan kebutuhan
psikologis meliputi kebutuhan kasih, rasa memiliki, berprestasi,
mandiri, pengakuan, dan kebutuhan harga diri. Selanjutnya
Journad (dalam Mappi-I are, 2002) menambahkan bahwa
kebutuhan individu meliputi: kebutuhan bertahan hidup.
Kebutuhan fisik, kebutuhan cinta dan seks, kebutuhan status,
55
sukses dan harga diri, kebutuhan mental dan fisik, kebutuhan
kebebasan, kebutuhan akan tantangan, kebutuhan ketegasan
kognitif, dan kebutuhan yang beragam. Tidak terpenuhinya
kebutuhan-kebutuhan tersebut akan menimbulkan permasalahan
dalam kehidupan individu.
D. KLIEN DALAM GRUP KONSELING
Klien dalam konseling kelompok merupakan salah satui
komponen yang sangat menentukan keberhasilan tujuan suatu
proses konseling. Ada berbagai tipe klien yang ada i dalam
konseling kelompok. Konselor harus peka menentukan
karakteristik klien seperti apakah yang sesuai disertakan dalam
konseling kelompok. Atau bagaimana menyatukan klien agar
kompak dan dapat memberikan umpan balik yang positif.
Konselor juga harus mempertimbangkan kesiapan dan
kesediaan klien menjalani konseling kelompok. Hal ini
berdasarkan alasan bahwa tidak semua klien yang meskipun
masalahnya akan lebih efektif ditangani melalui konseling
kelompok, memiliki kemauan untuk bergabung dengan klien lain.
Hal inil harus dapat dimaklumi, sebab mungkin saja ia yaitu tipe
klien tertutup yang tidak dapat menjalin hubungan interpersonall
dengan semua Orang. Untuk itulah berikut ini penulis sajikan
beberapa karakteristik klien, baik yang sesuai mengikuti konseling
kelompok maupun tidak. Menurut Shertzer dan Stone (dalam
Lubis, 2009), karakteristik klien yang cocok mengikuti konseling
kelompok yaitu:
56
1. Klien yang merasa bahwa mereka perlu berbagi sesuatu dengan
orang lain dimana mereka dapat membicarakani tentang
kebimbangan, nilai hidup, dan masalah yang dihadapi.
2. Klien yang memerlukan dukungan dari teman senasib sehingga
dapat saling mengerti.
3. Klien yang membutuhkan pengalaman dari orang lain untuk
memahami dan memotivasi diri.
Sementara itu, George dan Cristiani (Latipun, 2001)
menyatakkan karakteristik klien yang tidak sesuai mengikuti
konseling kelompok sebagai berikut:
1. Klien yang berada dalam keadaan kritis.
2. Klien yang tidak ingin masalahnya diketahui orang lain sebab
bersifat konfidensial sehingga harus dilindungi dan dijaga
kerahasiaannya.
3. Memiliki ketakutan bicara yang luar biasa.
4. Tidak mampu menjalin hubungan interpersonal.
5. Memiliki kesadaran yang sangat terbatas.
6. Klien yang mengalami penyimpangan seksual.
7. Klien yang membutuhkan perhatian yang sangat besar.
Selain karakteristik klien tersebut, keefektifan layanan
konseling kelompok juga dipengaruhi oleh bagaimana anggota
kelompok menciptakan situasi konseling yang saling mendukung.
Suasana tersebut antara lain:
a. Terjadinya interaksi yang dinamis.
b. Keterikatan emosional.
c. Adanya sikap penerimaan antara sesama anggota.
57
d. Altruistik, yaitu mengutamakan kepedulian terhadap orang
lain.
e. Dapat menambah ilmu dan wawasan anggota kelompok serta
menumbuhkan ide-ide mengatasi masalah.
f. Setiap anggota dapat melakukan katarsis (menyatakan emosi
yang mengarah pada pengungkapan masalah sebenarnya).
g. Setiap anggota dapat berempati satu sama lain.
Oleh sebab itu, peran serta seluruh anggota kelompok sangat
diperlukan untuk mewujudkan situasi konseling yang saling
membangun, mendukung, dan harmonis. Adapun peran serta
anggota konseling kelompok yaitu:
a. Berperan aktifyang ditunjukkan melalui sikap 3M
(mendengar dengan aktif, memahami dengan positif, dan
merespons dengan tepat).
b. Bersedia berbagi pendapat, ide dan pengalaman.
c. Dapat menganalisis.
d. Aktif membina keakraban dan menjalin ikatan emosional.
e. Dapat mematuhhi etika kelompok.
f. Dapat menjaga kerahasiaan, perasaan, dan bersedia mem
bantu anggota kelompok.
g. Membina kelompok dengan tujuan mencapai keberhasilan
kegiatan kelompok.
E. TUJUAN DAN MANFAAT KONSELING
Dalam menjalankan layanan, konseling kelompok memiliki
fungsi layanan kuratif dan layanan preventif. Layanan kuratif yaitu
layanan yang diarahkan untuk mengatasi persoalan yang dialami
individu. Adapun layanan preventif yaitu layanan konseling yang
diarahkan untuk mencegah terjadinya persoalan pada diri individu.
58
Menurut Adhiputrai (2016) secara konseptual, fungsi layanan
konseling kelompoki meliputi dua layanan, yaitu:
a. Konseling Individual: hubungan balik antar-individu untuk
mencapai pemahaman tentang dirinya sendiri, dalam
hubungannya dengan permasalahan, perkembangan, dan
pengambilan keputusan dirinya untuk saat ini dan seterusnya.
b. Konseling Kelompok: upaya bantuan kepada individu dalam
suasana kelompok yang bersifat pencegahan dan
pengembangan, dan diarahkan kepada pemberian kemudahan
dalam rangka pertumbuhan dan perkembangannya.
Penentuan tujuan konseling mutlak harus dilakukan untuk
memperjelas apakah yang menjadi klien kepada konselor, apa
yang ingin dicapai dalam konseling, serta bantuan apa yang harus
diberikan oleh konselor kepada klien. Biasanya penentuan tujuan
konseling dilakukan di awal pertemuan untuk membuat proses
konseling berjalan sistematis.” Jadi, sebelum konseling dilakukan,
baik konselor maupun klien telah mengetahui tujuan apa yang
ingin dicapai dan target-target apa yang harus disusun untuk
mencapai tujuan tersebut. Perumusan tujuan konseling inilah yang
kemudian menunjukkan arah proses konseling dan kemudian
menunjukkan kepada konselor apakah penerapan konseling
berhasil atau tidak. Para ahli membuat penjelasan yang berbeda
mengenai tujuan konseling.
Krumboltz (Latipun, 2001) yang beraliran behavioristik
mengelompokkan tujuan konseling menjadi tiga jenis, yaitu
59
mengubah penyesuaian perilaku yang salah, belajar membuat
keputusan, dan mencegah timbulnya masalah.
F. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PROSES
KONSELING
Keberhasilan proses konseling dalam pelaksanaannya
ditentukan oleh banyak faktor. Dalam hal ini Gladding (2005)
menjelaskan ada lima faktor yang memengaruhi konseling, yaitu:
struktur, inisiatif, tatanan (setting fisik, kualitas klien, dan kualitas
konselor.
1. Struktur
Menurut Willis (2009), struktur yaitu susunan proses
konseling yang dilakukan konselor secara sistematis. Sementara
Gladding (2005) mengartikan struktur sebagai konsep mengenai
karakteristik, kondisi, prosedur, dan parameter konseling yang
disepakati oleh konselor dan klien. Struktur digunakan untuk
memperjelas hubungan antara konselor-klien, melindungi hak
masing-masing, menunjukkan arah dan men jamin konseling
berhasil. Apabila suatu konseling tidak memiliki struktur yang
jelas, maka klien tidak dapat memahami konseling sepenuhnya.
Hal ini akan membuatnya tidak aman bingung, takut, dan tidak
mau berbagi tanggung jawab untuki keberhasilan konseling.
Pedoman praktis untuk membangun Struktur telah disusun
Lesmana (2005) sebagai berikut:
a. Time limits (contoh: setiap sesi pertemuan lamanya 50 menit).
b. Action limits (untuk mencegah tingkah laku destruktif).
c. Role limits (apa yang diharapkan dari masing-masing pihak).
60
d. Procedural limits (kapan klien diberi tanggung jawab untuk
menghadapi suatu sasaran atau kebutuhan spesifik).
e. Fee schedules (kapan harus membayar, bagaimana carai
pembayaran, dan lain-lain).
2. Inisiatif
Inisiatif dipandang sebagai motivasi untuk berubah. Klien
yang memiliki inisiatif untuk mempercepat kesembuhannya dalam
proses konseling akan memudahkan konselor dalam menangani
permasalahan yang dihadapinya. Inisiatif biasanya lahir dari klien
yang menyadari bahwa ia harus keluar dari masalahnya dan
memiliki keyakinan yang kuat bahwa konseling akan berhasil.
Sementara bagi klien yang masih enggan meng ungkapkan
permasalahannya, maka konselor harus berinisiatif mengambil
tindakan nyata agar dapat menggali akar konfliki klien.
3. Tatanan (Setting) Fisik
Tatanan fisik turut membantu terciptanya klien yang kondusif.
Hal yang perlu dilakukan oleh konselor yaitu bagaimana
membuat ruang klien nyaman dan memberikan ketenangan pada
klien. Konselor yang profesional diharapkan memiliki
keterampilan untuk menyiapkan ruangan klien yang memung
kinkan klien merasa aman, tenang, rileks, dan senang.
61
4. Pengaturan Dekorasi Ruangan
Dekorasi ruangan klien hendaknya disesuaikan dengan
keadaan yang familiar dengan klien sehingga diharapkan dapat
menyenangkan klien. Misalnya jika klien seorang mahasiswa
maka dekorasi yang dipilih berupa gambar buku, foto kampus,
gambar ruang kuliah, gambar toga, atau foto wisuda.
5. Pengaturan Tempat Duduk
Pengaturan tempat duduk hendaknya memungkinkan klien
dapat berkomunikasi secara terbuka. Untuk itu konselor dan klien
hendaknya duduk di kursi, berhadap-hadapan satu sama lain tanpa
meja atau bangku yang menghalang-halangi klien dan konselor.
Keterbatasan hubungan antara konselor dan klien ini telah diatur
dalam kode etik klien.
6. Jarak Tenupat Duduk Konselor dan Klien
Jauh dekatnya jarak tempat duduk konselor dan klien dapat
pula memengaruhi keakraban hubungan dalam konseling. Jika
tempat duduk konselor jauh dari tempat duduk klien, maka
cenderung menimbulkan suasana hubungan yang kurang akrab
dan klien menjadi kurang “involve” dalam proses konseling.
Sebaliknya, jika jarak tempat duduk konselor dan klien terlalu
dekat dapat menimbulkan suasana hubungan yang kaku, terbatas,
dan merisihkan. Akibat yang dapat terjadi yaitu klien menjadi
makin lebih tertutup atau defensif.
62
7. Letak Tempat Duduk Klien
Tempatkan kursi tempat duduk klien sedemikian rupa
sehingga memungkinkan klien dapat melemparkan pandangan
keluar jendela. Sedapat mungkin hindari penempatan duduk klien
yang membelakangi jendela sehingga memungkinkan klien
merasa bebas, enak, dan tidak tertekan.
8. Ruangan Konseling
Usahakan pelaksanaan konseling di ruang khusus yang
membuat klien merasa aman dan bebas mengemukakan
masalahnya tanpa khawatir didengarkan oleh orang lain. sebab
keberadaan konselor dan klien yang hanya berdua dalam ruangan
konseling, maka ahli agama menyarankan agar proses konseling
dilaksanakan oleh konselor pria jika klien pria, dan oleh konselor
wanita jika klien wanita. Di samping itu besarnya ruangan klien
hendaknya cukup luas, paling tidak ruangan konseling itu
berukuran 3 x 4 m, memiliki sirkulasi udara yang baik,
berjendela, cukup terang, dan bersih. Dalam ruang an konseling
seperti ini, klien akan merasa enak, bebas, dan aman sehingga
keterlibatannya dalam proses konseling menjadi besar.
9. Kualitas Klien
Termasuk dalam kualitas klien yaitu karakteristik klien dan
kesiapannya menjalani proses konseling. Mengenai kedua hal
tersebut telah dibahas sebelumnya pada Bab II Pembahasan Klien.
63
10. Kualitas Konselor
Konselor yaitu pihak yang paling memahami akan dibawa ke
mana arah konseling dan mengetahui sejauh mana tingkat
keberhasilan konseling. Untuk itulah, seorang konselor harus
memenuhi karakteristik khusus yang harus dipenuhi untuk
menangani klien.
Sementara itu, Latipun (2001) menjelaskan faktor-faktor yang
memengaruhi proses konseling dalam lima kelompok, yaitu:
1. Faktor-faktor yang berhubungan dengan gangguan. Yang
termasuk dalam kategori ini yaitu :
a. Jenis gangguan atau masalah
Apabila jenis gangguan atau masalah klien telah berulang
kali ditangani konselor, konselor akan terbantu untuk
menemukan teknik konseling yang sesuai untuk klien.
Akan tetapi, bila jenis gangguan/masalah klien ditangani
konselor untuk pertama kali, maka konselor cenderung
kesulitan menghadapi klien. Tetapi walaupun begitu,
konselor tetap dituntut untuk menunjukkan
keprofesionalannya di hadapan klien.
b. Berat/ringannya masalah atau gangguan
Semakin berat masalah yang dihadapi klien, maka konselor
membutuhkan waktu konseling yang lebih lama. Demikian
juga dengan kompleksitas masalah klien juga turut
memengaruhi hasil konseling yang dilakukan.
64
c. Konseling sebelumnya
Klien yang sudah pernah menjalani konseling sebelumnya
pada konselor lain akan memengaruhi keberhasilan
konseling yang dijalani saat ini. Jika klien yang sudah
pernah menjalani konseling memiliki persepsi positif
tentang konseling, maka permasalahan yang dihadapinya
akan semakin mudah ditangani. Tetapi sebaliknya, bila
klien memiliki persepsi negatif pada konselingnya
terdahulu, ia akan bersikap defensif pada konselor. Hal ini
akan mengganggu terciptanyai rapport yang menyebabkan
klien bersikap menutup diri dari konselor.
2. Faktor-faktor yang berhubungan dengan keadaan klien.
Yang termasuk dalam hal ini yaitu :
a. Usia klien
Untuk membentuk kepribadian positif pada diri klien,
maka konselor harus melakukan modifikasi terlebih
dahulu. Klien yang masih remaja lebih mudah
dimodifikasi perilakunya sebab kepribadiannya masih
fleksibel. Berbeda halnya dengan klien dewasa yang telah
memantapkan kepribadiannya sehingga sulit untuk
diubah.
65
b. Jenis kelamin
Wanita cenderung lebih mudah dipengaruhi perilakunya
sebab kerap kali melakukan modelling dibandingkan
pria. Dan dalam konseling, factor modeling
c. Tingkat pendidikan
Klien yang berpendidikan tinggi akan lebih positif
menyikapi interaksi dan proses yang terjadi dalam
konseling dibandingkan dengan klien yang
berpendidikan rendah.
d. Inteligensi
Dalam hal ini inteligensi berpengaruh terhadap
kemampuan klien menyesuaikan diri dan cara-cara
pengambilan keputusan. Klien yang inteligensinya
baik akan lebih banyak berpartisipasi dalam proses
konseling. Selain itu, akan lebih cepat dan tepat dalam
pengambilan keputusan dibandingkan dengan klien
yang berinteligensi rendah.
e. Status berbagai ekonomi
Klien yang berasal dari latar belakang berbagai
ekonomi tinggi akan lebih positif menilai diri dan masa
depan yang ingin dicapainya dibandingkan dengan
klien dari latar belakang berbagai ekonomi rendah.
66
f. Sosial budaya
Ketidakharmonisan antara nilai-nilai yang dianut klien
berasal dari berbagai budaya tertentu dengan nilai-nilai
yang ada dalam konseling akan sangat me
mengaruhi cara pandang klien terhadap konseling. Bila
hal ini tidak dapat diantisipasi oleh konselor, klien akan
mengambil sebagian resistensi terhadap konselor
sehingga menghambat proses konseling.
3. Faktor-faktor yang berhubungan dengan kepribadian
klien. Yang tercakup dalam hal ini yaitu :
a. Motivasi klien
Kien yang pada konselor atas kemauannya sendiri akan
lebih berpengaruh positif terhadap konseling
dibandingkan dengan klien yang 66ebagi atas rujukan
orang lain.
b. Harapan
Klien yang memiliki harapan bahwa konseling dapat
membantunya menyelesaikan masalah akan lebih
bersemangat menjalani konseling dibandingkan
dengan klien yang tidak menaruh harapan apapun
pada konseling.
67
c. Kekuatan ego dan kepribadian
Kekuatan ego menyangkut dari cara penanganan
terhadap masalah, kecemasan menghadapi risiko, dan
kemampuan mengatasi masalah. Jadi. Klien yang
memiliki kekuatan ego dan kepribadian yang akan
lebih berhasil daripada klien yang memiliki ego dan
kepribadian yang lemah.
4. Faktor-faktor yang berhubungan dengan kehidupan klien.
a. Keluarga
Klien yang hidup dengan keluarga yang utuh akan
memiliki sikap berbeda dibandingkan dengan klien yang
hidup dengan keluarga tidak stabil. Hal ini disebabkan
sebab selain konselor, keluarga juga pihak yang dapat
memotivasi klien untuk dapat sembuh dan keluar dari
masalahnya. Dukungan inilah yang menanamkan
keyakinan dan semangat klien selama menjalani
konseling.
b. Kehidupan
Klien yang hidup pada lingkungan social yang
memberikan dorongan pada klien akan lebih berhasil
dibandingkan klien yang hidup pada lingkungan yang
tidak mendorong. Keluasan pergaulan klien juga turut
memengaruhi.
68
5. Faktor-faktor yang berhubungan dengan konselor dan
proses konseling.
a. Kemampuan konselor
Konselor yang memiliki keahlian dan memenuhi
karakteristik konselorm yang efektif akan dapat
menghasilkan konseling yang lebih baik dibandingkan
konselor yang tidak efektif.
G. STUKTUR GRUP KONSELING
Setelah membicarakan tujuan dan berbagai faktor yang
memengaruhi konseling kelompok, maka hal penting lain yang
tidak boleh dilupakan yaitu struktur. Untuk melaksanakan
konseling kelompok, konselor harus memperhatikan struktur yang
tepat dan sesuai dengan klien. Corey, Gazda, Ohlsen, dan Yalom
telah struktur dalam konseling kelompok yang mencakup jumlah
anggota kelompok, homogenitas kelompok, sifat kelompok, dan
waktu pelaksanaan konseling kelompok. Berikut ini
penjelasannya:
1. Jumlah Anggota Kelompok
Yalom (2001), jumlah keanggotaan pada konseling
kelompok terdiri dari 4 sampai 12 orang klien sebab ha sil
penelitian menunjukkan bahwa apabila jumlah anggotai
kelompok kurang dari 4 orang dinamika kelompok menjadi
kurang hidup, sebaliknya bila anggota kelompok lebih dari 12
69
orang maka konselor akan kewalahan mengelola kelompok
sebab jumlah anggota kelompok terlalu besar.
Dalam menentukan jumlah anggota kelompok, konselor
dapat pula menetapkannya berdasarkan kemampuan dan
pertimbangan keefektifan proses konseling. Konselor yang
terbiasa menangani klien dengan format konseling individual
dapat saja mengalami kesulitan harus menangani klien dalam
konseling kelompok dengan jumlah klien di atas 5 orang.
Tetapi hal tersebut tidak berlaku bagi konselor yang terbiasa
menangani konseling kelompok dengan jumlah klien di atas 5
orang. Oleh sebab itu, penetapan jumlah anggota kelompok
ini bersifat sangat fleksibel dan dapat disesuaikan dengan
kondisi yang ingin diciptakan klien dan konselor.
2. Homogenitas Kelompok
Permasalahan homogenitas atau heterogenitas dalam
konseling kelompok tentu saja sangat, artinya tidak ada
ketentuan yang baku dalam menentukan karakteristik kliennya
dapat disebut homogen. Beberapa konseling kelompok
memandang bahwa homogenitas kelompok dilihat
berdasarkan jenis kelamin klien yang sama, jenis masalah yang
sama, kelompok usia yang sama dan lain-lain. Tetapi pada saat
yang berbeda seorang konselor dalam konseling kelompok
dapat saja menetapkan bahwa homogenitas klien hanya dilihat
dari masalah atau gangguan yang dihadapi. Artinya klien yang
memiliki masalah yang sama dimasukkan dalam kelompok
70
yang sama meskipun dari segi usia yang jauh berbeda. Kaplan
dan Sadock (2001) mengatakan, bahwa penentuan
homogenitas ini 70ebagia disesuaikan dengan kebutuhan dan
kemampuan konselor dalam mengelola konseling kelompok.
3. Sifat Kelompok
Ada dua macam sifat kelompok yang ada dalam
konseling kelompok, yaitu:
a. Sifat terbuka
Dikatakan sebagai sifat terbuka sebab pada kelompok
ini dapat menerima kehadiran anggota baru setiap saat
sampai batas yang telah ditetapkan. Contoh: suatu
kelompok telah terdiri dari 5 orang anggota, kemudian
minggu berikutnya ada 2 orang klien yang akhirnya
dimasukkan konselor kedalam anggota kelompok
sebab dianggap memiliki homogenitas dengan
kelompok yang telah terbentuk. Walaupun bersifat
terbuka, akan tetapi yang perlu diingat yaitu bahwa
jumlah maksimal anggota telah ditetapkan oleh
konselor sebelumnya. Maka setelah anggota kelompok
berjumlah 12 orang, konselor tidak akan menambah
anggota lagi. Efek samping dari sifat terbuka yaitu
anggota kelompok akan kesulitan membentuk
kohesivitas dengan anggota.
71
b. Sifat tertutup
Bersifat tertutup maksudnya yaitu konselor tidak
memungkinkan masuknya klien baru untuk tergabung
dalam kelompok yang telah terbentuk. Contoh: suatu
kelompok terdiri dari 4 orang, maka sampai proses
konseling kelompok berakhir, jumlah ini tidak akan
bertambah. Keuntungan dari sifat tertutup ini yaitu
memudahkan anggota kelompok untuk membentuk dan
memelihara kohesivitas. Akan tetapi efek sampingnya
yaitu apabila ada anggota kelompok yang keluar
sebab pribadi, keanggotaan tidak dapat menerima
masuknya anggota baru sehingga harus melanjutkan
konseling dengan sisa anggota yang ada.
4. Waktu Pelaksanaan
Batas akhir pelaksanaan konseling kelompok sangat
ditentukan seberapa besar permasalahan yang dihadapi
kelompok. Biasanya masalah yang tidak terlalu kompleks
membutuhkan waktu penanganan yang lebih cepat bila
dibandingkan dengan masalah yang kompleks dan rumit.
Selain itu, durasi pertemuan konseling sangat ditentukan
pula oleh situasi dan kondisi anggota kelompok. Yalom
(2001) mengatakan, bahwa durasi konseling yang terlalu
lama yaitu di atas dua jam akan menjadi tidak kondusif
disebab kan anggota mengalarni kelelahan dan
memungkinkan terjadinya pengulangan pembicaraan.
72
Penentuan pertemuan waktu yang tepat ditentukan
oleh kebijaksanaan yang dibuat oleh konselor. Tetapi
secara umum pada konseling kelompok yang bersifat
jangka pendek (short term group counseling, waktu
pertemuan berkisar antara 8-20 pertemuan. Frekuensi
pertemuan 1-3 kali dalam seminggu dengan durasi antara
60-90 menit/sesi dan waktu yang biasanya ditetapkan pada
konseling kelompok pada urumnya dilakukan 1-2 kali
dalam seminggu. Hal ini disebab kan apabila terlalu jarang
(misalnya: 1 kali dalam 2 minggu) akan menyebabkan
banyaknya informasi dan umpan balik yang terlupakan.
H. TAHAPAN KONSELING KELOMPOK
Corey dan Yalom (2001) yang membagi tahapan tersebut
menjadi enam bagian, yaitu: prakonseling, tahap per mulaan, tahap
transisi. Tahap kerja, tahap akhir, dan pasca konseling. Berikut
yaitu uraiannya.
1. Prakonseling
Tahap prakonseling dianggap sebagai tahap persiapan
pembentukan kelompok. Adapun hal-hal mendasar yang dibahas
pada tahap ini yaitu para klien yang telah diseleksi akan
dimmasukkan dalam keanggotaan yang sama menurut
pertimbangan homogenitas. Setelah itu, konselor akan
menawarkan program yang dapat dijalankan untuk mencapai
73
tujuan. Penting sekali bahwa pada tahap inilah konselor
menanamkan harapan pada anggota kelompok agar bahu-
membahu mewujud kan tujuan bersama sehingga proses konseling
akan berjalan efektif. Konselor juga perlu menekankan bahwa
pada konseling kelompok hal yang paling utama yaitu
keterlibatan klien untuk ikut berpartisipasi dalam keanggotaannya
dan tidak sekadar hadir dalam pertemuan kelompok. Selain itu,
konselor juga perlu memperhatikan kesamaan masalah sehingga
semua masalah anggota dapat difokuskan kepada inti
permasalahan yang sebenarnya.
2. Tahap Permulaan
Tahap ini ditandai dengan dibentuknya struktur kelompok.
Adapun manfaat dari dibentuknya struktur kelompok ini yaitu
agar anggota kelompok dapat memahami aturan yang ada dalam
kelompok. Aturan-aturan ini akan menuntut anggota kelompok
untuk bertanggung jawab pada tujuan dan proses kelompok.
Konselor dapat kembali menegaskan tujuan yang harus dicapai
dalamn konseling. Hal ini dimaksudkan untuk menyadarkan klien
pada makna kehadirannya terlibat dalam kelompok. Selain itu,
klien diarahkan untuk memperkenalkan diri mereka masing-
masing yang dipimpin oleh ketua kelompok konselor). Pada saat
inilah klien menjelaskan tentang dirinya dan tujuan yang ingin
dicapainya dalam proses konseling, Biasanya klien hanya akan
menceritakan hal-hal umum yang ada dalam dirinya dan belum
mengungkapkan permasalahannya.
74
Black (2001) menguraikan secara sistematis langkah yang
dijalani pada tahap permulaan yaitu perkenalan, pengungkapan
tujuan yang ingin dicapai, penjelasan aturan dan penggalian ide
dan perasaan. Adapun tujuan yang ingin dicapai pada tahap ini
yaitu anggota kelompok dapat saling percaya satu sama lain serta
menjaga hubungan yang berpusat pada kelompok melalui saling
memberi umpan balik, memberi dukungan, saling toleransi
terhadap perbedaan dan saling memberi penguatan positif.
3. Tahap Transisi
Tahap ini disebut sebagai tahap peralihan. Hal umum yang
sering kali muncul pada tahap ini yaitu terjadinya suasana
ketidak seimbangan dalam diri masing-masing anggota kelompok.
Konselor diharapkan dapat membuka permasalahan masing-
masing anggota sehingga masalah tersebut dapat bersama-sama
dirumuskan dan diketahui penyebabnya. Walaupun anggota
kelompok mulai terbuka satu sama lain, tetapi dapat pula terjadi
kecemasan, resistensi, konflik, dan keengganan anggota kelompok
membuka diri. Oleh sebab itu, konselor selaku pimpinan
kelompok harus dapat mengontrol dan mengarahkan anggotanya
untuk merasa nyaman dan menjadikan anggota kelompok sebagai
keluarganya sendiri.
4. Tahap Kerja
Tahap kerja sering disebut sebagai tahap kegiatan. Tahap ini
dilakukan setelah permasalahan anggota kelompok diketahui
75
penyebabnya sehingga konselor dapat melakukan langkah
selanjutnya, yaitu menyusun rencana tindakan. Pada tahap ini
anggota kelompok diharapkan telah dapat membuka dirinya lebih
jauh dan menghilangkan defensifnya, adanya perilaku modelling
yang diperoleh dari mempelajari tingkah laku baru serta belajar
untuk bertanggung jawab pada tindakan dan tingkah lakunya.
Akan tetapi, pada tahap ini juga dapat saja terjadi konfrontasi
antar-anggota dan transferensi. Dan peran konselor dalam hal ini
yaitu berupaya menjaga keterlibatan dan ke bersamaan anggota
kelompok secara aktif.
Kegiatan kelompok pada tahap ini dipengaruhi pada tahapan
sebelumnya. Jadi, apabila pada tahap sebelumnya ber langsung
dengan efektif maka tahap ini juga dapat dilalui dengan baik,
begitupun sebaliknya. Apabila tahap ini berjalan dengan baik,
biasanya anggota kelompok dapat melakukan kegiatan tanpa
mengharapkan campur tangan pemimpin kelompok lebih jauh.
5. Tahap Akhir
Tahap ini yaitu tahapan dimana anggota kelompok mulai
mencoba perilaku baru yang telah mereka pelajari dan dapatkan
dari kelompok. Umpan balik yaitu hal penting yang sebaiknya
dilakukan oleh masing-masing anggota kelompok. Hal ini
dilakukan untuk menilai dan memperbaiki perilaku kelompok
apabila belum sesuai. Oleh sebab itu, tahap akhir ini dianggap
sebagai tahap melatih diri klien untuk melakukan perubahan.
76
Konselor dapat memastikan waktu yang tepat untuk
mengakhiri proses konseling. Apabila anggota kelompok
merasakan bahwa tujuan telah tercapai dan telah terjadiperubahan
perilaku, maka proses konseling dapat segera diakhiri.
6. Pasca Konseling
Jika proses konseling telah berakhir, sebaiknya konselor
menetapkan adanya evaluasi sebagai bentuk tindak lanjut dari
konseling kelompok. Evaluasi bahkan sangat diperlukan apabila
ada hambatan dan kendala yang terjadi dalam pelaksanaan
kegiatan dan perubahan perilaku anggota kelompok setelah proses
konseling berakhir.
Konselor dapat menyusun rencana baru atau melakukan
perbaikan pada rencana yang telah dibuat sebelumnya. Atau dapat
melakukan perbaikan terhadap cara pelaksanaannya. Apapun hasil
dari proses konseling kelompok yang telah dilakukan seyogianya
dapat memberikan peningkatan pada seluruh anggota kelompok.
sebab inilah inti dari konseling kelompok, yaitu untuk mencapai
tujuan bersama.
I. TEORI KONSELING
Konseling merupakan ilmu yang bersifat
multireferensial,sebab mendapat sumbangan dari berbagai ilmu
yang lain. Fondasi yang melahirkan konseling yaitu bidang
psikologi, sehingga lapangan psikologi telah banyak berkontribusi
dalam membangun teori konseling . standardisasi asesmen, teknik
77
konseling kelompok dan individual, serta teori perkembangan
karier dan pengambuilan keputusan. Disamping beberapa
sumbangan dari bidang psikologi, ilmu konseling juga mendapat
kontribusi dari bidang ilmu yang lainnya, seperti sosiologi atau
untuk pemahaman kelompok manusia dan pengaruh terhadap
perilaku manusia, antropologi (untuk pemahaman pengaruh
timbal nbalik kebudayaan dan perilaku manusia), biologi (untuk
pemahaman organnisasi manusia dan keunikannya, maupun
teknoklogi atau seperti pemanfaatan komputerr dal;am pernataan
manajemen konseling, dan sebagainya). Sumbangan ilmu tersebut
menjadi dasar pengembangan teori-teori konseling yang
mempermudah perakit pelayanan konseling.
Teori dapat diartikan sebgagai model konseptual atau
seperangkat kosep yang dihasilkan oleh kaum theorist yang
didalamnya berisi sekolompok asumsi yang relevan dan secara
sistematik berhubungan satu dengan yang lain, serta seperangkat
defenisi empiric. Menurut Burlkk dan steffre (1979), teori secra
umum mengamdung 2 elemen, yaitu realitas dan keyakinan.
Realitas yaitu data atau perilaku yang kita amati dsan mendorong
kita untuk menjelaskan. Adapun keyakinan yaitu cara kita untuk
mencoba memaknai data dengan menghubungkan apa yang kita
amati tsb. Dengan penjelasan yang didapat memperkaya hal
tersebut, sehingga dapat diterima secara meyakinkan.
Secara umum, dalam konsekling tidak disarankan untuk
menggunakan teori tunggal (single theory) untuk semua kasus
atau memaksakan penggunaan satu teori tertentu sehingga menjadi
78
kaku. Akan lebih efektif dan efesien apabila seorang konselor
mampu mengembangkan kreasinya dengan mencoba untuk
memilih secara selektif bagian-bagian dari beberapa teori yang
relefan, kemudian secara sintesis-analitik mecoba menerapkan
nnya kepada kasus yang dihadapi. Cara ini disebut pendekatan
kreatif-sintesis-anilitic (CSA) atau penedekatan elektrik.
Mengingat pentingnya teori dalam konseling, maka dalam
implementasinya sebaiknya memilih teori-teori yang dianggap
baik. Secara umum, teori yang baik memiliki 5 atribut formal,
yaitu :
1. Jelas, dapat dengan mudah dipahami oleh pembacanya ,. Serta
tidak bertentangan
2. Komprehensif, memiliki skop dan account untuk benyak
tingkah laku, dapat menjelaskan apa yang terjadi pada banyak
orang pada banyak situasi, atau mampui menjlelaskan
fenoimena secara menyeluruh
3. Ekspliait, memiliki ketepatan, katrena setiap penjelasan
didukung dengan data data yang dapat diuji
4. Parsimonious, sedrehana, tidak menjelaskan fenomena secara
berlebihan, mampu merangsang peneliti untuk
mengembangkan teorinya (burk & Stefflre, 1979).
J. TEORI KONSELING KELOMPOK
Teori konseling jiikadilihat berdasarkan aspek pemecahan
masalahnya dapat dibedakan menjadi :
1. Directive Counseling
a. Trait anfd factor
79
b. Rational emotive
c. Gestalt
d. Reciprocal inhibition
e. Reality therapy
f. Behaviour Therapy
g. Transactional analysis
2. Non Directive Counseling
a. Client centered Therapy
b. Psychoanality
c. Individual psychology
d. Humanistic
e. Existensial
80
BAB VII
IMPLEMENTASI EDUKASI
DENGAN
GRUP & KONSELING
BEBAS KANKER SERVIKS
A. PENGERTIAN EDUKASI
Edukasi atau disebut juga dengan Pendidikan yang merupakan
segala upaya yang direncanakan untuk mempengaruhi orang lain
baik individu, kelompok, atau warga sehingga mereka
melakukan apa yang diharapkan oleh pelaku. Edukasi merupakan
proses belajar dari tidak tahu tentang nilai menjadi tahu.
Pendidikan merupakan kebutuhan yang sangat penting bagi
kehidupan manusia, sudah semestinya usaha dalam menumbuh
kembangkan secara sistematis dan berkualitas perlu terus di
upayakan, sehingga tujuan dari proses dapat dicapai secara
optimal. Pendidikan memiliki arti penting bagi individu, lebih jauh
memberikan pengaruh yang besar terhadap kemajuan suatu
bangsa.
Dalam konteks relasi, khususnya dalam relasi antara
warga yang membutuhkan pada tingkat dan jenjang tertentu
melalui formal dan pemerintah sebagai penyedia kebutuhan itu
ada semacam muatan yang menjadi pengikat dalam relasi itu.
Hubungan antara warga dan pemerintah dengan salah satu
muatannya yaitu kebutuhan atas dipahami dalam konteks
81
organisasi, keberadaannya dapat dilihat dari sudut pandang
muatan dalam jaringan dalam suatu organisasi.
Edukasi kesehatan dapat diartikan sebagai pemberian
informasi, instruksi, atau peningkatan pemahaman terkait. Edukasi
kesehatan dapat meliputi jenis terkait potensial dan bagaimana
potensial dapat tercapai atau terkait bagaimana menghindari
masalah penyakit tertentu.
B. TUJUAN EDUKASI KESEHATAN
Tujuan dari Edukasi menurut Undang-Undang Kesehatan No.
23 tahun 1992 dan WHO yaitu “meningkatkan kemampuan
warga untuk memelihara dan meningkatkan derajat baik
fisik, mental, dan sosialnya sehingga produktif secara ekonomi
disemua program baik pemberantasan penyakit menular, sanitasi
lingkungan, gizi warga pelayanan maupun program lainnya”.
Edukasi sangat berpengaruh untuk meningkatkan derajat
seseorang dengan cara meningkatkan kemampuan warga
untuk melakukan upaya itu sendiri.
C. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI EDUKASI
KESEHATAN
J. Guilbert dalam Nursalam dan Efendi (2008)
mengelompokkan yang mempengaruhi keberhasilan edukasi
yaitu:
82
a. Faktor materi atau hal yang dipelajari yang meliputi kurangnya
persiapan, kurangnya penguasaan materi yang akan dijelaskan
oleh pemberi materi, penampilan yang kurang meyakinkan
sasaran, yang digunakan kurang dapat dimengerti oleh sasaran,
suara pemberi materi yang terlalu kecil, dan penampilan materi
yang monoton sehingga membosankan.
b. Faktor lingkungan, dikelompokkan menjadi dua yaitu:
1) Lingkungan fisik yang terdiri atas suhu, kelembaban udara,
dan kondisi tempat belajar.
2) Lingkungan yaitu manusia dengan segala interaksinya
serta representasinya seperti keramaian atau kegaduhan,
lalulintas, pasar dan sebagainya
c. Faktor instrument yang terdiri atas perangkat keras (hardware)
seperti perlengkapan belajar alat-alat peraga dan perangkat
lunak (software) seperti kurikulum (dalam formal), pengajar
atau fasilitator belajar, serta metode belajar mengajar.
d. Faktor kondisi individu subjek belajar, yang meliputi kondisi
fisiologis seperti kondisi panca indra (terutama pendengaran
dan penglihatan) dan kondisi psikologis, misalnya intelegensi,
pengamatan, daya tangkap, ingatan, motivasi, dan sebagainya.
D. RUANG LINGKUP EDUKASI KESEHATAN
Ruang lingkup Edukasi dapat dilihat dari 3 dimensi menurut
Fitriani (2011) yaitu;
a. Dimensi sasaran, yaitu
1) Pendidikan individu dengan sasarannya yaitu individu.
2) Pendidikan kelompok dengan sasarannya yaitu kelompok
warga tertentu.
83
3) Pendidikan warga dengan sasarannya yaitu
warga luas.
b. Dimensi tempat pelaksanaan, yaitu
1) Pendidikan di rumah sakit dengan sasarannya yaitu
pasien dan keluarga.
2) Pendidikan di sekolah dengan sasarannya yaitu pelajar.
3) Pendidikan di warga atau tempat kerja dengan
sasarannya yaitu warga atau pekerja.
c. Dimensi tingkat pelayanan Kesehatan, yaitu
1) Pendidikan untuk promosi (Health Promotion),
peningkatan gizi, perbaikan sanitasi lingkungan, gaya
hidup dan sebagainya.
2) Pendidikan untuk perlindungan khusus (Specific
Protection), yaitu imunisasi
3) Pendidikan untuk diagnosis dini dan pengobatan tepat
(Early diagnostic and prompt treatment) dengan
pengobatan layak dan sempurna dapat menghindari dari
resiko kecacatan.
4) Pendidikan untuk rehabilitasi (Rehabilitation) dengan
memulihkan kondisi cacat melalui cara tertentu.
E. DUKUNGAN SOSIAL TERHADAP PERUBAHAN
PERILAKU
Dukungan sangat diperlukan oleh siapa saja dalam
berhubungan dengan oranglain demi melangsungkan hidupnya di
tengah-tengah warga . Menurut Albrecht dan Adelman,
dukungan yaitu komunikasi verbal atau nonverbal antara
penerima dan pemberi yang mengurangi ketidaktentuan tentang
84
situasi, diri, atau hubungan dan berfungsi meningkatkan nilai
peresepsi dan sebagai control dalam pengalaman hidup seseorang.
1. Bentuk dukungan Sosial
ada empat bentuk dukungan menurut House & Kahn,
yaitu
a. Dukungan Emosional (Emotional Support)
Berupa ungkapan empati, perlindungan, perhatian dan
kepercayaan terhadap individu, serta keterbukaan dalam
memecahkan masalah seseorang. Dukungan ini akan membuat
seseorang merasa nyaman.
b. Dukungan Instrumental (Instrumental Support)
Dukungan dalam bentuk penyediaan sarana yang dapat
mempermudah tujuan yang ingin dicapai dalam bentuk materi,
dapat juga berupa jasa, atau pemberian peluang waktu dan
kesempatan.
c. Dukungan Informasi (Information Support)
Bentuk dukungan yang meliputi pemberian nasehat, arahan,
pertimbangan tentang bagaimana seseorang harus berbuat
untuk tercapainya pemecahan masalah.
85
d. Dukungan penilaian
Berupa pemberian penghargaan atas usaha yang telah
dilakukan, memberikan umpan balik, mengenai hasil atau
prestasi yang diambil indiviu.
F. PERILAKU
Perilaku yaitu segenap manifestasi hayati individu dalam
berinteraksi dengan lingkungan, mulai dari perilaku yang paling
tampak sampai yang tidak tampak, dari yang dirasakan sampai
paling yang tidak dirasakan. Perilaku merupakan hasil daripada
segala macam pengalaman serta interaksi manusia dengan
lingkungannya yang terwujud dalam bentuk pengetahuan, sikap
dan etika. Perilaku merupakan respon/reaksi seorang individu
terhadap stimulus yang berasal dari luar maupun dari dalam
dirinya. Sedangkan menurut Wawan (2011) Perilaku merupakan
suatu yang dapat diamati dan memiliki frekuensi spesifik,
durasi dan tujuan baik disadari maupun tidak. Perilaku yaitu
kumpulan berbagai yang saling berinteraksi.
Skiner (1938) dalam Notoatmodjo (2011) merumuskan bahwa
perilaku merupakan respon atau reaksi seseorang terhadap
stimulus (rangsangan dari luar). Pengertian ini dikenal dengan
teori “S-O-R” atau “Stimulus-Organisme-Respon”. Respon
dibedakan menjadi dua yaitu:
1. Respon respondent atau reflektif
86
yaitu respon yang dihasilkan oleh rangsangan-rangsangan
tertentu. Biasanya respon yang dihasilkan bersifat tetap tenang
disebut juga eliciting stimuli. Perilaku emosional yang menetap
misalnya orang akan tertawa apabila mendengar kabar gembira
atau lucu, sedih jika mendengar musibah, kehilangan dan gagal
serta minum jika merasa hal itu sebagai tempat pelampiasannya.
Menurut Notoatmodjo (2011), dilihat dari bentuk respons
terhadap stimulus, maka perilaku dapat dibedakan menjadi dua.
a. Bentuk pasif /Perilaku tertutup (covert behavior)
Respons seseorang terhadap stimulus dalam bentuk
terselubung atau tertutup. Reaksi terhadap stimulus ini masih
terbatas pada perhatian, persepsi, pengetahuan atau kesadaran dan
sikap yang terjadi pada seseorang yang menerima stimulus
tersebut, dan belum dapat diamati secara jelas oleh orang lain.
2. Perilaku terbuka (overt behavior)
Respons terhadap stimulus tersebut sudah jelas dalam bentuk
86ebagian atau praktik, yang dengan mudah dapat diamati atau
dilihat orang lain.
G. PERUBAHAN PERILAKU
Menurut teori Lawrance Green dkk (dalam Notoatmodjo,
2007) menyatakan bahwa perilaku manusia dipengaruhi oleh dua
hal pokok, yaitu perilaku (behavior causes) dan diluar perilaku
87
(non behaviour causes). Selanjutnya perilaku itu sendiri
ditentukan atau terbentuk dari 3 faktor yaitu:
1. Faktor predisposisi (predisposing factors), yang mencakup
pengetahuan, sikap, kepercayaan, keyakinan, nilai-nilai dan
sebagainya.
a. Pengetahuan apabila penerimaan perilaku baru atau adopsi
perilaku melalui proses yang didasari oleh pengetahuan,
kesadaran dan sikap yang positif, maka perilaku tersebut
akan bersifat langgeng (long lasting) daripada perilaku yang
tidak didasari oleh pengetahuan. Pengetahuan atau kognitif
merupakan domain yang sangat penting dalam membentuk
87ebagian seseorang dalam hal ini pengetahuan yang
tercakup dalam domain kognitif memiliki tingkatan.
Untuk lebih jelasnya, bahasan tentang pengetahuan akan
dibahas pada bab berikutnya.
b. Sikap Menurut Zimbardo dan Ebbesen (2008), sikap yaitu
suatu predisposisi (keadaan mudah terpengaruh) terhadap
seseorang, ide atau obyek yang berisi komponen-komponen
cognitive, affective dan behavior. ada tiga komponen
sikap, sehubungan dengan faktor lingkungan kerja, sebagai
berikut:
1) Afeksi (affect) yang merupakan komponen emosional
atau perasaan.
88
2) Kognisi yaitu keyakinan seseorang. Keyakinan-
keyakinan, dimanifestasi dalam bentuk impresi atau
kesan baik atau buruk yang dimiliki seseorang terhadap
objek atau orang tertentu.
3) Perilaku, yaitu sebuah sikap berhubungan dengan
kecenderungan seseorang untuk bertindak terhadap
seseorang atau hal tertentu dengan cara tertentu. Seperti
halnya pengetahuan, sikap terdiri dari berbagai tingkatan,
yaitu: menerima (receiving), menerima diartikan bahwa
subjek mau dan memperhatikan stimulus yang diberikan.
Merespon (responding), memberikan jawaban apabila ditanya,
mengerjakan, dan menyelesaikan tugas yang diberikan yaitu
suatu indikasi dari sikap. Menghargai (valuing), mengajak orang
lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan suatu masalah yaitu
suatu indikasi sikap tingkat tiga. Bertanggungjawab (responsible),
bertanggungjawab atas segala suatu yang telah dipilihnya dengan
segala risiko merupakan sikap yang memiliki tingkatan paling
tinggi manurut Notoatmodjo (2011).
2. Faktor pemungkin (enabling factor), yang mencakup
lingkungan fisik, tersedia atau tidak tersedianya fasilitas-
fasilitas atau sarana-sarana keselamatan kerja, misalnya
ketersedianya alat pendukung, pelatihan dan sebagainya.
3. Faktor penguat (reinforcement factor), faktor ini meliputi
undang-undang, peraturan-peraturan, pengawasan dan
sebagainya menurut Notoatmodjo (2007).
89
Bentuk perubahan perilaku sangat bervariasi, sesuai dengan
konsep yang digunakan oleh para ahli dalam pemahamannya
terhadap perilaku. Bentuk-bentuk perilaku dikelompokkan
menjadi tiga yaitu:
1. Perubahan alamiah (Neonatal chage)
Perilaku manusia selalu berubah perubahan itu disebabkan
sebab kejadian alamiah. Apabila dalam warga sekitar
terjadi suatu perubahan lingkungan fisik atau lingkungan,
budaya dan ekonomi maka anggota warga didalamnya
yang akan mengalami perubahan.
2. Perubahan Rencana (Plane Change)
Perubahan perilaku ini terjadi sebab memang direncanakan
sendiri oleh subjek.
3. Kesediaan Untuk Berubah (Readiness to Change)
Apabila terjadi sesuatu inovasi atau program pembangunan di
dalam warga , maka yang sering terjadi yaitu orang
sangat cepat untuk menerima inovasi atau perubahan tersebut
(berubah perilakunya). Tetapi orang sangat lambat untuk
menerima perubahan tersebut. Hal ini disebabkan setiap orang
memiliki kesediaan untuk berubah yang berbeda-beda
H. STRATEGI PERUBAHAN PERILAKU
Membentuk jenis respon atau perilaku diciptakan adanya suatu
kondisi tertentu yang disebut “operant conditioning”. Prosedur
pembentukan perilaku dalam operant conditioning ini menurut
Skiner (1938) yaitu sebagai berikut:
1. Melakukan identifikasi tentang hal-hal yang merupakan
penguat atau reinforcer berupa hadiah-hadiah atau reward
bagi perilaku yang akan dibentuk.
2. Melakukan analisis untuk mengidentifikasi komponen-
komponen kecil yang membentuk perilaku yang dikehendaki,
kemudian komponenkomponen tersebut disusun dalam urutan
yang tepat untuk menuju kepada terbentuknya perilaku yang
dimaksud.
3. Menggunakan secara urut komponen-komponen itu sebagai
tujuantujuan sementara, mengidentifikasi reinforcer atau
hadiah untuk masing-masing komponen tersebut.
4. Melakukan pembentukan perilaku dengan menggunakan
urutan komponen yang telah tersusun itu. Apabila komponen
pertama telah dilakukan, maka hadiahnya diberikan. Hal ini
akan mengakibatkan komponen perilaku yang kedua yang
kemudian diberi hadiah (komponen pertama tidak
memerlukan hadiah lagi). Demikian berulang-ulang sampai
komponen kedua terbentuk, setelah itu dilanjutkan dengan
91
komponen selanjutnya sampai seluruh perilaku yang
diharapkan terbentuk
.jpeg)
.jpeg)
.jpeg)






