Tampilkan postingan dengan label Kejang demam. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Kejang demam. Tampilkan semua postingan

Kejang demam

 




Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi pada anak berumur 6 

bulan sampai 5 tahun yang mengalami kenaikan suhu tubuh (suhu di atas 

380C, dengan metode pengukuran suhu apa pun) yang tidak disebabkan 

oleh proses intrakranial. 

Keterangan:

1. Kejang terjadi karena kenaikan suhu tubuh, bukan karena gangguan 

elektrolit atau metabolik lainnya.

2. Bila ada riwayat kejang tanpa demam sebelumnya maka tidak disebut 

sebagai kejang demam.

3. Anak berumur antara 1-6 bulan masih dapat mengalami kejang 

demam, namun jarang sekali.

 National Institute of Health (1980) menggunakan batasan lebih dari 

3 bulan, sedangkan Nelson dan Ellenberg (1978), serta ILAE (1993) 

menggunakan batasan usia lebih dari 1 bulan. Bila anak berumur 

kurang dari 6 bulan mengalami kejang didahului demam, pikirkan 

kemungkinan lain, terutama infeksi susunan saraf pusat.

4. Bayi berusia kurang dari 1 bulan tidak termasuk dalam rekomendasi 

ini melainkan termasuk dalam kejang neonatus


Rekomendasi Penatalaksanaan Kejang Demam2

Epidemiologi 

Kejang demam terjadi pada 2-5% anak berumur 6 bulan – 5 tahun.

Klasifikasi

1. Kejang demam sederhana (simple febrile seizure)

2. Kejang demam kompleks (complex febrile seizure)

1. Kejang demam sederhana

Kejang demam yang berlangsung singkat (kurang dari 15 menit), bentuk 

kejang umum (tonik dan atau klonik), serta tidak berulang dalam waktu 24 

jam. 

Keterangan:

1. Kejang demam sederhana merupakan 80% di antara seluruh kejang 

demam

2. Sebagian besar kejang demam sederhana berlangsung kurang dari 5 

menit dan berhenti sendiri.

2.  Kejang demam kompleks

Kejang demam dengan salah satu ciri berikut:

1. Kejang lama (>15 menit)

2. Kejang fokal atau parsial satu sisi, atau kejang umum didahului kejang 

parsial

3. Berulang atau lebih dari 1 kali dalam waktu 24 jam.


Keterangan:

1. Kejang lama adalah kejang yang berlangsung lebih dari 15 menit atau 

kejang berulang lebih dari 2 kali dan di antara bangkitan kejang anak 

tidak sadar. Kejang lama terjadi pada 8% kejang demam. 

2. Kejang fokal adalah kejang parsial satu sisi, atau kejang umum yang 

didahului kejang parsial. 

3. Kejang berulang adalah kejang 2 kali atau lebih dalam 1 hari, dan di 

antara 2 bangkitan kejang anak sadar. Kejang berulang terjadi pada 

16% anak yang mengalami kejang demam.

Shinnar S. Febrile seizure. Dalam: Swaiman KS, Ashwal S, penyunting. 

Pediatric Neurology Principles and Practice. Elsevier Saunders 2012.p.790-8.

Rekomendasi Penatalaksanaan Kejang Demam4

Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan laboratorium

Pemeriksaan laboratorium tidak dikerjakan secara rutin pada kejang demam, 

tetapi dapat dikerjakan untuk mengevaluasi sumber infeksi penyebab 

demam. Pemeriksaan laboratorium yang dapat dikerjakan atas indikasi 

misalnya darah perifer, elektrolit, dan gula darah (level of evidence 2, derajat 

rekomendasi B).

Pungsi lumbal

Pemeriksaan cairan serebrospinal dilakukan untuk menegakkan atau 

menyingkirkan kemungkinan meningitis. Berdasarkan bukti-bukti terbaru, 

saat ini pemeriksaan pungsi lumbal tidak dilakukan secara rutin pada 

anak berusia <12 bulan yang mengalami kejang demam sederhana dengan 

keadaan umum baik.

Indikasi pungsi lumbal (level of evidence 2, derajat rekomendasi B):

1. Terdapat tanda dan gejala rangsang meningeal

2. Terdapat kecurigaan adanya infeksi SSP berdasarkan anamnesis dan 

pemeriksaan klinis

3. Dipertimbangkan pada anak dengan kejang disertai demam yang 

sebelumnya telah mendapat antibiotik dan pemberian antibiotik 

tersebut dapat mengaburkan tanda dan gejala meningitis.

5

Elektroensefalografi (EEG)

Indikasi pemeriksaan EEG:

Pemeriksaan EEG tidak diperlukan untuk kejang demam, KECUALI 

apabila bangkitan bersifat fokal.

Keterangan:

EEG hanya dilakukan pada kejang fokal untuk menentukan adanya fokus 

kejang di otak yang membutuhkan evaluasi lebih lanjut.

Kesepakatan UKK Neurologi IDAI. 2016.

Pencitraan

Pemeriksaan neuroimaging (CT scan atau MRI kepala) tidak rutin dilakukan 

pada anak dengan kejang demam sederhana (level of evidence 2, derajat 

rekomendasi B). Pemeriksaan tersebut dilakukan bila terdapat indikasi, 

seperti kelainan neurologis fokal yang menetap, misalnya hemiparesis atau 

paresis nervus kranialis.

Rekomendasi Penatalaksanaan Kejang Demam6

Prognosis

Kecacatan atau kelainan neurologis

Prognosis kejang demam secara umum sangat baik. Kejadian kecacatan 

sebagai komplikasi kejang demam tidak pernah dilaporkan. Perkembangan 

mental dan neurologis umumnya tetap normal pada pasien yang sebelumnya 

normal. Kelainan neurologis dapat terjadi pada kasus kejang lama atau kejang 

berulang, baik umum maupun fokal. Suatu studi melaporkan terdapat 

gangguan recognition memory pada anak yang mengalami kejang lama. Hal 

tersebut menegaskan pentingnya terminasi kejang demam yang berpotensi 

menjadi kejang lama.

Kemungkinan berulangnya kejang demam 

Kejang demam akan berulang kembali pada sebagian kasus. Faktor risiko 

berulangnya kejang demam adalah:

1. Riwayat kejang demam atau epilepsi dalam keluarga

2. Usia kurang dari 12 bulan

3. Suhu tubuh kurang dari 39 derajat Celsius saat kejang

4. Interval waktu yang singkat antara awitan demam dengan terjadinya 

kejang. 

5. Apabila kejang demam pertama merupakan kejang demam kompleks.

Bila seluruh faktor tersebut di atas ada, kemungkinan berulangnya 

kejang demam adalah 80%, sedangkan bila tidak terdapat faktor tersebut 

7

kemungkinan berulangnya kejang demam hanya 10-15%. Kemungkinan 

berulangnya kejang demam paling besar pada tahun pertama.

Faktor risiko terjadinya epilepsi

Faktor risiko menjadi epilepsi di kemudian hari adalah: 

1. Terdapat kelainan neurologis atau perkembangan yang jelas sebelum 

kejang demam pertama

2. Kejang demam kompleks

3. Riwayat epilepsi pada orangtua atau saudara kandung

4. Kejang demam sederhana yang berulang 4 episode atau lebih dalam 

satu tahun.

Masing-masing faktor risiko meningkatkan kemungkinan kejadian 

epilepsi sampai 4-6%, kombinasi dari faktor risiko tersebut akan 

meningkatkan kemungkinan epilepsi menjadi 10-49%. Kemungkinan 

menjadi epilepsi tidak dapat dicegah dengan pemberian obat rumatan pada 

kejang demam.

Kematian

Kematian langsung karena kejang demam tidak pernah dilaporkan. Angka 

kematian pada kelompok anak yang mengalami kejang demam sederhana 

dengan perkembangan normal dilaporkan sama dengan populasi umum. 

Rekomendasi Penatalaksanaan Kejang Demam8

Tata laksana saat kejang  

Pada umumnya kejang berlangsung singkat (rerata 4 menit) dan pada 

waktu pasien datang, kejang sudah berhenti. Apabila saat pasien datang 

dalam keadaan kejang, obat yang paling cepat untuk menghentikan kejang 

adalah diazepam intravena. Dosis diazepam intravena adalah 0,2-0,5 mg/kg 

perlahan-lahan dengan kecepatan 2 mg/menit atau dalam waktu 3-5 menit, 

dengan dosis maksimal 10 mg. Secara umum, penatalaksanaan kejang akut 

mengikuti algoritma kejang pada umumnya.  

Obat yang praktis dan dapat diberikan oleh orangtua di rumah 

(prehospital)adalah diazepam rektal. Dosis diazepam rektal adalah 0,5-0,75 

mg/kg atau diazepam rektal 5 mg untuk anak dengan berat badan kurang 

dari 12 kg dan 10 mg untuk berat badan lebih dari 12 kg. 

Bila setelah pemberian diazepam rektal kejang belum berhenti, dapat 

diulang lagi dengan cara dan dosis yang sama dengan interval waktu 5 menit. 

Bila setelah 2 kali pemberian diazepam rektal masih tetap kejang, dianjurkan 

ke rumah sakit. Di rumah sakit dapat diberikan diazepam intravena.

Jika kejang masih berlanjut, lihat algoritme tatalaksana status 

epileptikus. 

Bila kejang telah berhenti, pemberian obat selanjutnya tergantung dari 

indikasi terapi antikonvulsan profilaksis.

9

Pemberian obat pada saat demam

Antipiretik

Tidak ditemukan bukti bahwa penggunaan antipiretik mengurangi risiko 

terjadinya kejang demam (level of evidence 1, derajat rekomendasi A). 

Meskipun demikian,  dokter neurologi anak di Indonesia sepakat bahwa 

antipiretik tetap dapat diberikan. Dosis parasetamol yang digunakan adalah 

10-15 mg/kg/kali diberikan tiap 4-6 jam. Dosis ibuprofen 5-10 mg/kg/kali, 

3-4 kali sehari. 

Antikonvulsan

Pemberian obat antikonvulsan intermiten

Yang dimaksud dengan obat antikonvulsan intermiten adalah obat 

antikonvulsan yang diberikan hanya pada saat demam.

Profilaksis intermiten diberikan pada kejang demam dengan salah satu 

faktor risiko di bawah ini:

Kelainan neurologis berat, misalnya palsi serebral 

Berulang 4 kali atau lebih dalam setahun

Usia <6 bulan

Bila kejang terjadi pada suhu tubuh kurang dari 39 derajat Celsius

Apabila pada episode kejang demam sebelumnya, suhu tubuh 

meningkat dengan cepat.

Sugai K. Brain Dev. 2010;32:64-70.

Rekomendasi Penatalaksanaan Kejang Demam10

Recommendations for the management of febrile seizures: Ad Hoc Task Force of LICE 

Guidelines. Epilepsia.2009;50(1):2-6.

Kesepakatan UKK Neurologi IDAI. 2016.

Obat yang digunakan adalah diazepam oral 0,3 mg/kg/kali per oral 

atau rektal 0,5 mg/kg/kali (5 mg untuk berat badan <12 kg dan 10 mg 

untuk berat badan >12 kg), sebanyak 3 kali sehari, dengan dosis maksimum 

diazepam 7,5 mg/kali. Diazepam intermiten diberikan selama 48 jam 

pertama demam. Perlu diinformasikan pada orangtua bahwa dosis tersebut 

cukup tinggi dan dapat menyebabkan ataksia, iritabilitas, serta sedasi.

Knudsen FU.Epilepsia. 2000;41(1):2-9. 

Kesepakatan UKK Neurologi IDAI. 2016.

Pemberian obat antikonvulsan rumat

Berdasarkan bukti ilmiah bahwa kejang demam tidak berbahaya dan 

penggunaan obat dapat menyebabkan efek samping yang tidak diinginkan, 

maka pengobatan rumat hanya diberikan terhadap kasus selektif dan dalam 

jangka pendek (level of evidence 3, derajat rekomendasi D). 

Indikasi pengobatan rumat:

1. Kejang fokal

2. Kejang lama >15 menit

3. Terdapat kelainan neurologis yang nyata sebelum atau sesudah kejang, 

misalnya palsi serebral, hidrosefalus, hemiparesis.

American Academy of Pediatrics. Practice parameter: Long-term treatment of the child with 

simple febrile seizures. Pediatrics. 1999;103:1307-9.

Kesepakatan UKK Neurologi IDAI. 2016.

Sugai K. Brain Dev. 2010;32:64-70.

Keterangan:

Kelainan neurologis tidak nyata, misalnya keterlambatan 

perkembangan, BUKAN merupakan indikasi pengobatan rumat.

Kejang fokal atau fokal menjadi umum menunjukkan bahwa anak 

mempunyai fokus organik yang bersifat fokal.

11

Pada anak dengan kelainan neurologis berat dapat diberikan edukasi 

untuk pemberian terapi profilaksis intermiten terlebih dahulu, jika 

tidak berhasil/orangtua khawatir dapat diberikan terapi antikonvulsan 

rumat

Jenis antikonvulsan untuk pengobatan rumat

Pemberian obat fenobarbital atau asam valproat setiap hari efektif dalam 

menurunkan risiko berulangnya kejang (level of evidence 1, derajat 

rekomendasi B).

Mamelle C. Neuropediatrics. 1984;15:37-42.

Farwell JR. N Engl J Med. 1990;322:364-9.

Pemakaian fenobarbital setiap hari dapat menimbulkan gangguan 

perilaku dan kesulitan belajar pada 40-50% kasus. Obat pilihan saat ini 

adalah asam valproat. Pada sebagian kecil kasus, terutama yang berumur 

kurang dari 2 tahun, asam valproat dapat menyebabkan gangguan fungsi 

hati. Dosis asam valproat adalah 15-40 mg/kg/hari dibagi dalam 2 dosis, dan 

fenobarbital 3-4 mg/kg/hari dalam 1-2 dosis. 

American Academy of Pediatrics. Committee on Drugs. Pediatr 1995;96:538-40.

American Academy of Pediatrics. Pediatr 1999;103:1307-9.

Knudsen FU. Epilepsia. 2000;41(1):2-9.

Lama pengobatan rumat

Pengobatan diberikan selama 1 tahun, penghentian pengobatan rumat 

untuk kejang demam tidak membutuhkan tapering off, namun dilakukan 

pada saat anak tidak sedang demam.

Knudsen FU. Brain Dev. 1996;18:438-49.

Kesepakatan UKK Neurologi IDAI. 2016.

Rekomendasi Penatalaksanaan Kejang Demam12

Edukasi pada orangtua

Kejang merupakan peristiwa yang menakutkan bagi setiap orangtua. Pada 

saat kejang, sebagian besar orangtua beranggapan bahwa anaknya akan 

meninggal. Kecemasan tersebut harus dikurangi dengan cara diantaranya:

1. Meyakinkan orangtua bahwa kejang demam umumya mempunyai 

prognosis baik.

2. Memberitahukan cara penanganan kejang.

3. Memberikan informasi mengenai kemungkinan kejang kembali.

4. Pemberian obat profilaksis untuk mencegah berulangnya kejang 

memang efektif, tetapi harus diingat adanya efek samping obat.


13

Beberapa hal yang harus dikerjakan 

bila anak kejang

1. Tetap tenang dan tidak panik.

2. Longgarkan pakaian yang ketat terutama di sekitar leher.

3. Bila anak tidak sadar, posisikan anak miring. Bila terdapat muntah, 

bersihkan muntahan atau lendir di mulut atau hidung.

4. Walaupun terdapat kemungkinan (yang sesungguhnya sangat kecil) 

lidah tergigit, jangan memasukkan sesuatu kedalam mulut.

5. Ukur suhu, observasi, dan catat bentuk dan lama kejang.

6. Tetap bersama anak selama dan sesudah kejang.

7. Berikan diazepam rektal bila kejang masih berlangsung lebih dari 5 

menit. Jangan berikan bila kejang telah berhenti. Diazepam rektal 

hanya boleh diberikan satu kali oleh orangtua.

8. Bawa ke dokter atau rumah sakit bila kejang berlangsung 5 menit atau 

lebih, suhu tubuh lebih dari 40 derajat Celsius, kejang tidak berhenti 

dengan diazepam rektal, kejang fokal, setelah kejang anak tidak sadar, 

atau terdapat kelumpuhan.

Fukuyama Y. Brain Dev. 1996;18:479-84.

Recommendations for the management of febrile seizures: Ad Hoc Task Force of LICE 

Guidelines. Epilepsia.2009;50(1):2-6.

Rekomendasi Penatalaksanaan Kejang Demam14

Vaksinasi

Sampai saat ini tidak ada kontraindikasi untuk melakukan vaksinasi pada 

anak dengan riwayat kejang demam. Kejang setelah demam karena vaksinasi 

sangat jarang. Suatu studi kohort menunjukkan bahwa risiko relatif kejang 

demam terkait vaksin (vaccine-associated febrile seizure) dibandingkan dengan 

kejang demam tidak terkait vaksin (non vaccine-associated febrile seizure) 

adalah 1,6 (IK95% 1,27 sampai 2,11). Angka kejadian kejang demam 

pascavaksinasi DPT adalah 6-9 kasus per 100.000 anak yang divaksinasi, 

sedangkan setelah vaksin MMR adalah 25-34 kasus per 100.000 anak. 

Pada keadaan tersebut, dianjurkan pemberian diazepam intermiten dan 

parasetamol profilaksis.


15

Lampiran

Peringkat bukti

Peringkat bukti yang digunakan berdasar atas Oxford Centre for Evidence-

Based Medicine 2011 Levels of Evidence, yang dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Oxford Centre for Evidence-Based Medicine 2011 Levels of Evidence

Level 1* Level 2* Level 3* Level 4* Level 5*

Diagnosis Telaah sistematis 

studi potong 

lintang dengan 

acuan  baku dan 

ketersamaran 

yang konsisten

Studi potong lint-

ang tunggal den-

gan acuan baku 

dan ketersamaran 

yang konsisten

Studi non-kon-

sekutif atau studi 

tanpa acuan baku 

yang konsisten

Studi kasus-kon-

trol atau “acuan 

baku yang kurang 

baik atau non-

independen”

Penalaran 

atas dasar 

mekanisme 

penyakit 

(mechanism-

based reason-

ing)

Terapi 

(manfaat)

Telaah sistematis 

studi acak, 

telaah sistematis 

studi nested case-

control, n-of-1 trial 

menggunakan 

pasien yang 

bersangkutan, 

atau studi obser-

vasional dengan 

efek dramatis

Studi randomisasi 

tunggal atau studi 

observasional den-

gan efek yang luar 

biasa dramatis

Studi kohort 

terkontrol 

tanpa randomis-

asi (surveilans 

pascapemasaran) 

dengan syarat 

jumlah subjek 

cukup besar untuk 

memastikan tidak 

adanya suatu efek 

buruk yang sering. 

(Untuk efek buruk 

jangka panjang, 

durasi follow-up 

harus cukup 

lama.)**

Seri kasus, studi 

kasus-kontrol, 

atau studi dengan 

kontrol masa 

lampau (historical 

control)

Penalaran 

atas dasar 

mekanisme 

penyakit 

(mechanism-

based reason-

ing)

Terapi (efek 

samping)

Telaah sistematis 

studi acak atau 

studi n-of-1

Studi acak atau 

studi observasional 

dengan efek yang 

luar biasa dramatis

Prognosis Telaah sistematis 

studi kohort 

insepsi (inception 

cohort)

Studi kohort 

insepsi

Studi kohort atau 

kelompok kontrol 

studi acak*

Seri kasus atau 

studi kasus-

kontrol, atau studi 

kohort prognostic 

bermutu rendah**

Tidak aplika-

bel

Catatan: 

*) Peringkat dapat diturunkan atas dasar kualitas studi, presisi yang buruk, inkonsistensi antarstudi, atau karena 

effect size sangat kecil. Peringkat dapat dinaikkan apabila effect size sangat besar.

**) Telaah sistematis umumnya selalu lebih baik dibandingkan studi tunggal.


Tabel 2. Rekomendasi menurut Strength of Recommendation Taxonomy

Rekomendasi Definisi

A Rekomendasi atas dasar bukti berorientasi pasien yang konsisten 

dan berkualitas*

B Rekomendasi atas dasar bukti berorientasi pasien yang kurang kon-

sisten dengan kualitas terbatas*

C Rekomendasi atas dasar Rekomendasi, kelaziman dalam praktik, 

pendapat ahli, bukti berorientasi penyakit,* atau seri kasus untuk 

studi mengenai diagnosis, terapi, pencegahan, atau skrining.

Konsistensi antarstudi

Konsisten Sebagian besar studi mendapatkan simpulan yang serupa atau 

setidaknya koheren (koheren berarti perbedaan dapat dijelaskan)

atau

Jika ada telaah sistematis atau meta-analisis berkualitas tinggi dan 

mutakhir, studi-studi tersebut mendukung rekomendasi

Inkonsisten Variasi bermakna antarstudi dan kurangnya koherensi

atau

Jika ada telaah sistematis atau meta-analisis berkualitas tinggi dan 

mutakhir, studi-studi tersebut tidak menemukan bukti konsisten 

yang menyokong rekomendasi