Tampilkan postingan dengan label paparan logam 3. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label paparan logam 3. Tampilkan semua postingan

paparan logam 3

 



ikel dalam darah ibu. 

Nikel juga dapat ditemukan dalam  ASI (Pedersen, 2007).

70 Biomarker Toksisitas Paparan Logam Tingkat Molekuler

Genotoksisitas Nikel

Perubahan  DNA bertanggung jawab atas proses  karsinogenik yang 

diduga terjadi dalam gen. Mengingat bahwa  respons positif diperoleh 

dalam tes Sister-Chromatid Exchange (SCE), maka percobaan tambahan 

harus dilakukan untuk menguji kemampuan senyawa  nikel, seperti  nikel 

karbonil untuk menampilkan sifat  karsinogenik dan teratogenik serta untuk 

menandai terjadinya induksi  mutasi gen pada sel mamalia (Pedersen, 2007). 

Pada penelitian terhadap hamster Cina terdapat penyimpangan  kromosom 

yang diinduksi dalam sel sumsum tulang. Dilaporkan bahwa senyawa  nikel 

menghasilkan hasil negatif di sebagian besar tes  mutasi bakteri. Nikel 

diinduksi sehingga menyebabkan transformasi sel dan meningkatkan 

frekuensi pertukaran kromatid, namun tidak menyebabkan  mutasi gen pada 

sel manusia. Dalam sel-sel hewan in-vitro,  nikel mengalami transformasi 

dan diinduksi oleh sel yang kemudian terjadi  mutasi gen dan kerusakan 

 DNA,  nikel juga menyebabkan pertukaran kromatid dan penyimpangan 

 kromosom. Senyawa  nikel terlarut umumnya memberikan hasil tes yang 

positif pada hewan dan manusia in-vitro (Cangul et al., 2002).  

Metabolisme Nikel dalam Tubuh

Nikel diambil oleh  paru-paru dan melalui rute peroral, tetapi senyawa 

 nikel terionisasi akan disaring melalui  kulit sebelum masuk ke dalam tubuh 

sehingga jumlah  nikel yang terserap berkurang. Setelah masuk ke dalam 

sirkulasi, sebanyak 75%  nikel di plasma berupa  protein, misalnya albumin, 

2-macroglobulin, dan nickeloplasmin. Air garam  nikel terlarut umumnya 

tidak  karsinogenik karena air garam  nikel tidak dapat menembus sel. 

Air senyawa  nikel tidak larut dapat menghasilkan  respons  karsinogenik 

karena mereka secara aktif difagosit ke dalam sel. Senyawa  nikel terlarut 

yang difagosit dapat dilepaskan secara perlahan-lahan, sehingga dapat 

menyebabkan konsentrasi  nikel kemih tinggi bahkan beberapa minggu atau 

bulan setelah terpapar (McGregor, 2000). 

Nikel dapat memasuki tubuh melalui inhalasi, konsumsi, dan 

penyerapan  kulit, tetapi rute di mana  nikel masuk sel ditentukan oleh bentuk 

kimianya. Sebagai contoh,  nikel karbonil larut dalam  lemak dapat melintasi 

membran sel dengan difusi atau melalui saluran kalsium, sedangkan 

partikel  nikel tidak larut masuk ke dalam sel vertebrata oleh fagositosis. 

71Logam dalam Tubuh

Protein transportasi utama  nikel dalam darah adalah albumin, tetapi  nikel 

dapat mengikat histidin dan α2-macroglobulin (Kasprzak et al., 2003), 

dan dalam bentuk ini didistribusikan ke seluruh jaringan. Sejumlah  nikel 

mengikat  protein termasuk α1-antitripsin, α1-lipoprotein, dan prealbumin 

juga dijelaskan. Nikel tertinggi terkonsentrasi secara sistemik ditemukan 

dalam  paru-paru, tulang, ginjal, otak hati, dan endokrin kelenjar. Nikel juga 

ditemukan dalam  ASI, air liur, kuku, dan rambut. Nikel tidak terakumulasi 

dalam tubuh, melainkan diekskreskan dalam urine, tinja, empedu, dan 

keringat (McGregor, 2000). 

Kontak dengan senyawa  nikel dapat menyebabkan berbagai efek buruk 

pada kesehatan manusia, seperti  alergi  nikel dalam bentuk  dermatitis kontak, 

 fibrosis paru, jantung, dan  penyakit ginjal serta  kanker saluran pernapasan. 

Efek merugikan Nikel bergantung pada rute  paparan (inhalasi, oral, atau 

 kulit) dan dapat diklasifikasikan menurut efek sistemik, imunologis, 

neurologis, reproduksi, perkembangan, atau  karsinogenik setelah akut (01 

hari), subklinis (10-100 Hari), dan periode  paparan kronis (100 hari atau 

lebih) (Das, 2008).

Penghirupan  nikel karbonil yang tidak disengaja umumnya 

menyebabkan efek toksiksitas akut dalam dua tahap, segera dan tertunda. 

Gejala langsung meliputi sakit kepala, vertigo, mual, muntah, insomnia, 

mudah tersinggung, yang biasanya berlangsung beberapa jam, diikuti 

dengan interval asimtomatik 12 jam sampai 5 hari. Kemudian gejala yang 

tertunda muncul-sesak dada, batuk tidak produktif, dyspnoea, sianosis, 

takikardia, palpitasi, berkeringat, gangguan penglihatan, vertigo, kelemahan, 

dan kelambanan. Toksisitas subkronis, dala, evaluasi pengelasan paduan 

 nikel tinggi, dilaporkan bahwa  paparan  nikel 6 jam terhadap  nikel (0,07–

1,1 mg  nikel/m3) menyebabkan peningkatan iritasi saluran napas dan 

mata, sakit kepala, dan kelelahan. Paparan inhalasi kronis sebagian besar 

melibatkan  paparan kerja terhadap debu  nikel atau uap  nikel akibat paduan 

 nikel las. Umumnya,  paparan inhalasi kronis pada debu  nikel dan aerosol 

berkontribusi pada gangguan pernapasan seperti  asma, bronkitis, rinitis, 

sinusitis, dan  pneumokoniosis (Das, 2008). Efek kronis bagi kesehatan 

adalah  penyakit lain yang mungkin diakibatkan oleh  paparan jangka panjang 

dengan konsentrasi  polutan yang relatif rendah. Efek kesehatan akut 

umumnya terjadi akibat adanya  paparan jangka pendek dari konsentrasi 

 polutan yang tinggi dan individu yang terpapar memperlihatkan berbagai 

72 Biomarker Toksisitas Paparan Logam Tingkat Molekuler

gejala klinis seperti mual, muntah, perut tidak nyaman, diare, gangguan 

visual, sakit kepala, pusing, dan batuk. Jenis yang paling umum dari reaksi 

terhadap  paparan  nikel adalah ruam  kulit pada tempat kontak. Kulit kontak 

dengan senyawa  nikel  logam atau larut dapat menghasilkan  dermatitis 

 alergi (Kasprzak et al., 2003).

Nikel dicerna dan diserap sebagian kecil oleh tubuh (Sunderman, 

1988), diperkirakan sekitar 10% dari  nikel dalam diet normal yang diserap. 

Penelitian telah menunjukkan bahwa resorpsi rata-rata  nikel melalui diet 

normal adalah antara 20 dan 25% (Flyvholm, 1984). Efek yang merugikan 

kesehatan setelah  paparan hanya terjadi ketika tingkat  nikel melebihi 

banyaknya tingkat  logam biasanya yang terkandung pada makanan atau 

air minum. Rute yang paling berbahaya dari  paparan  nikel adalah dengan 

inhalasi (Heck, 1982). Bentuk  kimia dari  logam dan kelarutan adalah faktor 

yang menentukan kunci dalam mekanisme toksisitas. Senyawa  nikel yang 

larut dalam air dapat diserap oleh  paru-paru ke dalam aliran darah dan 

dihapus oleh ginjal. 

Senyawa  nikel yang tidak larut dapat berakumulasi dan mengendap di 

 paru-paru untuk waktu yang lama. Menghirup  nikel terlarut menyebabkan 

iritasi pada hidung dan sinus dan juga dapat menyebabkan hilangnya 

rasa bau atau perforasi septum hidung. Paparan jangka panjang dapat 

menyebabkan  asma, bronkitis atau  penyakit pernapasan lainnya. Keracunan 

 nikel yang paling akut disebabkan oleh  Ni (CO)4. Paparan karbonil  nikel 

dapat menyebabkan kepala- nyeri, mual, muntah, nyeri dada, dan masalah 

pernapasan, dalam kasus eksposur yang tinggi bahkan dapat menyebabkan 

pneumonia dan  kematian. Menghirup  nikel juga dapat menyebabkan  kanker 

 paru-paru, hidung, dan sinus (Valko et al., 2005). Kanker tenggorokan dan 

perut juga telah dikaitkan dengan  paparan inhalasi  nikel.

Nikel subsulfida (Ni3S2) merupakan zat yang  karsinogen bagi 

pernapasan. Ketika dihirup, partikel dari Ni3S2 masuk ke dalam  paru-paru 

dan kontak dengan sel epitel. Partikel-partikel ini dibersihkan oleh sel 

makrofag yang terdapat di saluran pencernaan. Kondisi  paparan  nikel yang 

tinggi dapat menyebabkan kapasitas makrofag terganggu dan partikel 

(Ni3S2) dapat diambil ke dalam sel epitel pada proses endositosis. Dengan 

cara ini,  nikel dikirimkan ke inti sel epitel paru dan dapat menyebabkan 

pewarisan perubahan dalam  kromosom (Duda dan Blaszczyk, 2008).

73Logam dalam Tubuh

Proses Ekskresi Nikel 

Rute eliminasi untuk  nikel dalam manusia (dan hewan) bergantung 

pada bentuk  kimia dari senyawa dan jenis yang terkonsumsi. Ekskresi 

urine adalah rute utama bagi penghapusan  nikel yang diserap. Ekskresi 

tinja terutama mencerminkan  nikel yang diserap dari makanan dan 

melewati usus. Semua cairan tubuh tampaknya memiliki kemampuan untuk 

mengeluarkan  nikel dan dapat ditemukan dalam air liur, keringat, air mata, 

dan susu. Rambut juga merupakan jaringan ekskretoris untuk  nikel. Orang 

yang terkena senyawa  nikel terlarut, konsentrasi  nikel dalam cairan tubuh 

umumnya meningkat setelah terpapar, tetapi hubungan dengan intensitas 

 paparan relatif rendah (Sunderman et al., 1998). 

Tabel 3. Reaksi hipersensitivitas terhadap dan  paparan beberapa  logam

Nama Logam Hipersensitivitas Reaksi Indikator

Platina I Asma, 

konjungtivitas, 

urtikaria, anafi laksis

IgE ( protein antibodi 

 alergi) bereaksi 

dengan antigen dalam 

sel mast/basofi l dan 

melepaskan amin 

vasoreaktif

Emas, 

garam organik

II Trombositopenia IgG ( protein antibodi 

kekebalan tubuh) 

mengikat komplemen 

dan antigen dalam 

sel, mengakibatkan 

kerusakan sel

Uap  merkuri III Glomerulonefritis, 

proteinuria

Antigen, antibodi, 

dan endapan 

komplemen terdapat 

pada permukaan 

epitel dasar 

glomerulus

Kronium,  nikel, 

barium, dan 

zirkonium

IV Dermatitis 

kontak, 

pembentukan 

granuloma

Sel T (sel penahan 

tubuh) yang sensitif 

bereaksi dengan 

antigen dan 

menyebabkan reaksi 

hipersensitivitas 

tertunda

Sumber: Duda dan Blaszczyk (2008)

74 Biomarker Toksisitas Paparan Logam Tingkat Molekuler

Nikel diekskresikan dalam kotoran, tetapi hal ini merupakan 

hasil dari pembersihan mukosiliar  nikel dari sistem pernapasan pada 

saluran gastrointestinal atau dari  paparan oral melalui permukaan yang 

terkontaminasi (Duda dan Blaszczyk, 2008).

Gangguan Fungsi Imun Akibat Konsumsi Makanan yang Mengandung 

Logam

Konsumsi makanan yang mengandung bahan  logam beracun dapat 

mengakibatkan penghambatan berbagai fungsi imun. Logam- logam lain 

seperti berilium, kromium,  nikel,  emas,  merkuri, platina, dan zirkonium yang 

dapat menginduksi reaksi hipersensitivitas disajikan pada Tabel 3.

Efek Karsinogenik 

Peningkatan risiko  kanker  paru-paru dan saluran hidung telah 

dilaporkan pada pekerja yang terpapar senyawa  nikel selama memanggang, 

sintering dan kalsinasi proses di kilang di Inggris, Norwegia dan Kanada. 

Proses tersebut melibatkan  paparan senyawa  nikel tidak larut seperti  nikel 

dan subsulfida oksida, dan juga garam larut seperti  nikel sulfat. 

Nikel terlarut juga dikaitkan dengan peningkatan risiko  kanker  paru-

paru dan hidung bagian dalam, misalnya pada pekerja elektrolisis dengan 

 paparan yang diperkirakan sebesar 1–2 mg. The IARC menyimpulkan bahwa 

senyawa  nikel diklasifikasikan sebagai grup  karsinogenik bagi manusia. 

Tidak ada peningkatan yang signifikan pada  kanker saluran pernapasan 

yang dilaporkan pada pengguna  nikel elemental bubuk atau pekerja yang 

terlibat dalam pembuatan  nikel (IARC, 1990).

KROMIUM

Pengertian Kromium

Kromium mempunyai nama lain yaitu chromic acid, anhydrous chromic, 

chromium trioxide, chromium (VI) oxide, calcium chromate, lead chromate, 

potassium chromate, potassium bichromate, sodium chromate, sodium 

bichromate, dan zinc chromate.

Kromium adalah salah satu kandungan dalam  logam yang dapat 

menimbulkan  genotoksik ( racun). Tetapi bukti saat ini menunjukkan 

75Logam dalam Tubuh

bahwa senyawa kromium dapat menyebabkan  karsinogenik dan non 

 karsinogenik.

Kromium ada di alam dalam bentuk valensi Cr3+ dan valensi Cr6+. 

Valensi Cr3+ merupakan bentuk yang paling banyak dijumpai. Kebanyakan 

di tanah dan di batuan mengandung sedikit sekali  logam ini, yaitu dalam 

bentuk oksida, dan oleh pengaruh cuaca;  oksidasi; dan kegiatan bakteri 

akan mengubah senyawa yang tidak larut menjadi larut. Valensi Cr3+ banyak 

digunakan dalam penyamakan  kulit, sebagai katalis pada  industri dan 

pewarna pada cat, fungisida, dan juga keramik serta pabrik gelas. Valensi 

Cr3+ merupakan unsur penting sebagai trace element dan masuk ke manusia 

melalui makanan. Kromium (III) adalah unsur esensial bagi manusia, dan 

apabila kekurangan unsur tersebut, maka dapat menyebabkan kondisi 

jantung mengalami gangguan dari  metabolisme dan diabetes. Akan tetapi, 

terlalu banyak penyerapan kromium (III) juga dapat menyebabkan efek 

kesehatan, misalnya ruam  kulit.

Valensi Cr6+ jarang ditemukan di alam, tetapi banyak dijumpai 

di perairan akibat dari kegiatan  industri dan aktivitas domestik di air 

limbahnya. Senyawa Cr heksavalen banyak digunakan di  industri terutama 

produksi Cr  alloy, Cr  metal, dan di  industri  kimia Cr merupakan agen 

oksidator. Kromium heksavalen tidak termasuk dalam zat esensial dan dapat 

menimbulkan efek yang berbahaya bagi manusia, yaitu melalui pernapasan 

dan pencernaan. Selain itu, kandungan total Cr dalam air minum yang 

diperbolehkan adalah kurang dari 0,005 mg/L. 

Penelitian  epidemiologi pada unsur ini dapat diasosiasikan 

dengan masuknya valensi Cr6+ ke dalam tubuh manusia sehingga dapat 

menyebabkan  penyakit  paru-paru terutama pada pekerja yang bekerja 

pada produksi Cr. Banyak data yang mengatakan bahwa Cr dapat juga 

menyebabkan  kanker pada binatang. Selain itu, valensi Cr6+ dapat juga 

menyebabkan  mutasi genetik. Kejadian mutagenik dapat dikurangi atau 

dihilangkan dengan minum zat reduktor seperti gastric juice. Pada saat 

bernapas, apabila terdapat kromium (VI), maka dapat menyebabkan iritasi 

dan hidung mimisan. Masalah kesehatan lainnya yang disebabkan oleh 

kromium (VI) adalah  kulit ruam, sakit perut, dan bisul, masalah pernapasan, 

sistem kekebalan yang lemah, ginjal dan kerusakan hati, perubahan materi 

genetik,  kanker  paru-paru, dan  kematian.

76 Biomarker Toksisitas Paparan Logam Tingkat Molekuler

Studi pada binatang menemukan bahwa secara oral kromium valensi 

3 tidak menyebabkan  kanker ataupun menyebabkan  mutasi genetik. 

Sedangkan kromium valensi 6 dapat menyebabkan  kanker.

Sifat Kromium

Sifat Kromium ada 2 yaitu: 

1. Sifat fisik

 Sifat fisik dari kromium adalah zat padat berbentuk kristal (crystalline 

solids),  logam berkilau, getas, dan keras, serta berwarna  perak abu-abu. 

Ketika dipanaskan, kromium membentuk oksida kromat hijau. Logam 

ini tidak stabil pada  oksigen dan segera menghasilkan lapisan oksida 

tipis.

2. Sifat  kimia

 Kromium adalah sebuah unsur  kimia dalam tabel periodik yang 

memiliki lambang Cr dan nomor atom 24.

Kegunaan Kromium

Logam kromium banyak mempunyai kegunaan diantaranya adalah:

1. Sebagai zat penghambat/anti korosi (corrosion inhibitor), Kromium 

merupakan  logam tahan korosi (tahan karat) dan dapat dipoles menjadi 

mengkilat. Dengan sifat ini, kromium (krom) banyak digunakan sebagai 

pelapis pada ornamen-ornamen bangunan, komponen kendaraan, baik 

seperti knalpot pada sepeda motor maupun sebagai pelapis perhiasan 

seperti  emas. Emas yang dilapisi oleh kromium ini lebih dikenal 

dengan sebutan  emas putih. Perpaduan kromium dengan besi dan  nikel 

menghasilkan baja tahan karat.

2. Kromium trivalen (Cr (III), atau Cr3+) diperlukan dalam jumlah kecil 

dalam  metabolisme gula pada manusia. Kekurangan kromium trivalen 

dapat menyebabkan  penyakit yang disebut  penyakit kekurangan 

kromium (chromium deficiency).

3. Zat warna (pigment)

4. Penyamakan  kulit (leather tanning)

5. Proses pelapisan  logam secara elektris (electroplating)

6. Baja anti karat ( stainless steel)

7. Semen (cement)

77Logam dalam Tubuh

8.  Antioksidan

9. Pengawet kayu (wood preservation)

10. Cat (paint)

Efek Toksik Logam Kromium dan Persenyawaannya

Logam kromium (Cr) dalam tabel periodik merupakan unsur dengan 

nomor atom 24 dan nomor massa 51,996. Atom tersebut terletak pada 

periode 4, golongan IVB, pertama kali ditemukan oleh Vauquelin (1797), 

berwarna putih, tidak terlalu liat, dan tidak dapat ditempa. Jika tidak terkena 

udara, maka akan terbentuk ion-ion kromium (Cr(s) + 2HCl(aq) → Cr2+

(aq) + 

2Cl-

(aq) + H2(g)). Umumnya, di alam ditemukan dalam bentuk persenyawaan 

dengan unsur lain dan sangat jarang ditemukan dalam bentuk unsur 

tunggal. Di alam, Cr ditemukan dalam bentuk chromite (FeO·Cr2O3), tidak 

dapat teroksidasi oleh udara yang lembap dan proses pemanasan cairan. 

Logam kromium mudah larut dalam HCl, H2SO4, dan asam perklorat serta 

mempunyai tingkat  oksidasi yang berbeda-beda. Ion kromium yang telah 

membentuk senyawa mempunyai sifat yang berbeda sesuai dengan tingkat 

oksidasinya (Palar, 2004). 

Kromium tersedia sebagai kromium (III) yang dikenal dengan kromium 

trivalen dan kromium (VI) yang lebih dikenal dengan kromium heksavalen. 

Kromium heksavalen lebih  toksik dibandingkan kromium trivalen, baik 

 paparan akut maupun kronis. Senyawa kromium masing-masing mempunyai 

peranan yang berbeda di  lingkungan dan efek yang berbeda pula terhadap 

kesehatan manusia sesuai dengan bilangan oksidasinya. Dilaporkan bahwa 

kromium (VI) merupakan senyawa kromium yang paling berbahaya 

(misalnya kalium kromat K2CrO4 atau CrO3) (Stoeppler, 1992). Sifat  racun 

yang dibawa oleh  logam ini juga dapat mengakibatkan terjadinya  keracunan 

kronis (Palar, 2008).

Logam kromium adalah bahan  kimia yang bersifat persisten, 

bioakumulatif, dan  toksik yang tinggi serta tidak mampu terurai dalam 

 lingkungan. Kromium sulit diuraikan, dan akhirnya diakumulasi dalam 

tubuh manusia melalui rantai makanan. Keracunan akut yang disebabkan 

oleh senyawa K2Cr2O7 pada manusia ditandai dengan kecenderungan 

terjadinya pembengkakan pada hati. Tingkat  keracunan kromium pada 

manusia diukur melalui kadar atau kandungan kromium dalam urine, 

78 Biomarker Toksisitas Paparan Logam Tingkat Molekuler

kristal asam kromat yang sering digunakan sebagai obat untuk  kulit. Akan 

tetapi, penggunaan senyawa tersebut seringkali mengakibatkan  keracunan 

yang fatal (Palar, 2008). Pemberian senyawa kromium trivalen anorganik 

atau ekstrak ragi bir mengakibatkan penurunan kadar glukosa darah, kadar 

kolesterol, dan regresi plak aterosklerosis. Peningkatan sensitivitas insulin 

juga menghasilkan peningkatan penggabungan asam amino menjadi  protein 

dan transportasi sel asam amino pada tikus yang menerima kromium 

tambahan. 

Defisiensi Cr (III) dapat menyebabkan hiperglisemia, glukosuria, 

meningkatnya cadangan  lemak tubuh, munculnya  penyakit kardiovaskular, 

menurunnya jumlah sperma dan menyebabkan fertilisasi (Yuliani, 2009). 

Kromium (VI) memiliki bilangan  oksidasi +6, bahaya bagi kesehatan manusia, 

terutama bagi orang-orang yang bekerja di  industri baja dan tekstil. Orang 

yang merokok tembakau juga memiliki risiko yang lebih tinggi terpapar 

kromium. Kromium (VI) lebih  toksik dibandingkan kromium (III), baik 

 paparan akut maupun kronis (Yuliani, 2009). Tingkat toksisitas kromium 

(VI) sangat tinggi sehingga bersifat  racun terhadap semua  organisme pada 

konsentrasi > 0,05 ppm. Kromium (VI) bersifat  karsinogenik dan dapat 

menyebabkan iritasi pada  kulit manusia.

Sumber Pencemaran Kromium

Kromium dilepas ke  lingkungan dari sumber alami dan antropogenik, 

dengan pelepasan terbesar terjadi dari  industri. Industri dengan kontribusi 

terbesar terhadap pelepasan krom termasuk pengolahan  logam, fasilitas 

penyamakan  kulit, produksi kromat, pengelasan  stainless steel, dan 

ferokrom, serta produksi pigmen krom. Tingkat kromium di perairan segar 

AS biasanya berkisar dari < 1 hingga 30 μg/L, dengan nilai median 10 μg/L. 

Pasokan air minum AS yang khas mengandung kadar kromium total dalam 

kisaran 0,2–35 μg/L namun, sebagian besar pasokan di AS mengandung < 

5 μg/L kromium. Data pemantauan terbaru dari persediaan air minum di 

California menunjukkan bahwa 86% dari sumber yang diuji memiliki tingkat 

kromium (VI)) di bawah 10 μg/L.

Pada bidang kedokteran gigi,  logam kromium digunakan baik pada 

bidang ortodonsia maupun pada bidang prostodonsia, yaitu sebagai 

 logam tuangan pada bidang prostodonsia atau kawat  stainless steel pada 

79Logam dalam Tubuh

bidang ortodonsia. Logam ini pertama kali ditemukan oleh ahli metalurgi 

Inggris bernama Harry Brearley (tahun 1913). Pada awalnya, kromium 

ditambahkan pada baja rendah karbon dan menyebabkan baja tersebut 

menjadi tahan karat. Penelitian terus dikembangkan, pada tahun 1930an 

kromium mulai diproduksi. Stainless steel dalam metalurgi adalah  alloy 

besi dengan kandungan kromium 10,5–11%. Penambahan kromium (Cr) 

bertujuan meningkatkan ketahanan korosi dengan membentuk lapisan 

oksida Cr2O3 di permukaan  logam  stainless steel. Unsur lain selain besi, 

karbon, dan kromium adalah  nikel, molibdenum dan  titanium dengan 

komposisi yang berbeda-beda sehingga menghasilkan variasi sifat mekanis 

dari beberapa produk  stainless steel yang beredar di pasar. 

Steel adalah suatu  alloy yang terbentuk dari besi dan karbon 

dengan konsentrasi antara 0,5–2%. Stainless steel adalah suatu steel yang 

mengandung lebih dari 11% kromium, biasanya di antara 11,5–27%, 

dan dapat juga mengandung  nikel, vanadium, molibdenum, dan niobium 

dalam jumlah terbatas. Stainless steel banyak diaplikasikan di  industri, 

peralatan rumah tangga, medis, dan alat kedokteran gigi, salah satunya 

bidang ortodonsia. Sebelum  stainless steel ditemukan, bahan dasar kawat, 

ligatur, dan braket ortodonsia terbuat dari  emas 14–18 karat. Emas memiliki 

ketahanan korosi yang tinggi, tetapi harganya sangat mahal. Kepopuleran 

 stainless steel semakin meningkat di kalangan Ortodontist karena memiliki 

kombinasi sifat mekanis yang baik, tahan korosi, dan harga ekonomis. 

Paduan  logam digunakan mulai tahun 1949, lebih dari 80% gigi tiruan 

sebagian menggunakan kobalt-kromium atau  nikel-kromium ( alloy). Menurut 

spesifikasi American Dental Association (ADA)/American National Standard 

Institute (ANSI), berat kromium tidak boleh kurang dari 20% dari berat 

total. Berat total kromium, kobalt, dan  nikel tidak boleh kurang dari 85%.

Toksisitas Kromium pada Tubuh manusia

Akumulasi kromium dalam tubuh manusia dapat mengakibatkan 

kerusakan dalam sistem organ tubuh. Efek toksisitas kromium (Cr) 

dapat merusak serta mengiritasi hidung,  paru-paru, lambung, dan usus. 

Mengonsumsi makanan berbahan kromium dalam jumlah yang sangat 

besar menyebabkan gangguan perut, bisul, kejang, ginjal, kerusakan hati, 

dan bahkan  kematian (Palar, 1994).  Populasi umum terpapar kromium 

80 Biomarker Toksisitas Paparan Logam Tingkat Molekuler

dengan cara menghirup udara ambien, menelan makanan, dan minum air 

yang mengandung kromium. 

Efek Kromium pada Tubuh Manusia

Efek kromium pada tubuh manusia antara lain:

1. Efek  fisiologi

 Kromium (III) merupakan unsur penting dalam makanan yang 

mempunyai fungsi menjaga agar  metabolisme glukosa,  lemak, dan 

kolesterol berjalan normal. Data kebutuhan kromium per hari sekitar 

50–200 μg/hr. Defisiensi kromium jarang terjadi, umumnya hanya pada 

penderita diabetes, malanutrisi, dan mereka yang mendapat makanan 

melalui parenteral. Faktor utama terjadinya toksisitas dari kromium 

adalah “oxidation state” dan daya larutnya. Kromium (VI) mudah 

menembus membran sel dan akan terjadi  reduksi di dalamnya. Organ 

utama yang terserang karena kromium adalah  paru-paru, sedangkan 

organ lain yang dapat terserang adalah ginjal, hati,  kulit, dan sistem 

imunitas (Vincent et al., 2007). Kromium dapat ditransfer ke embrio 

melalui plasenta (Soemirat, 1994).

2. Efek pada  kulit

 Asam kromat, dikromat, dan kromium (VI) merupakan iritan kuat 

dan juga bersifat korosif. Bila terjadi kontak langsung, maka dapat 

menimbulkan  alergi. Letak luka berada di akar kuku, persendian, dan 

selaput antara jari bagian belakang tangan dan lengan. Karakteristik 

luka karena kromium mula-mula melepuh (papulae), kemudian 

terbentuk luka dengan tepi yang meninggi dan keras. Penyembuhan 

luka lambat dapat terjadi selama beberapa bulan, dan luka tidak sakit 

diduga karena terdapat gangguan saraf perifer. Prevalensi Dermatitis 

Atopik (DA) di negara  industri terus mengalami peningkatan sebanyak 

dua sampai tiga kali selama dua dekade terakhir. Prevalensi DA pada 

anak didapatkan sebesar 30%, sedangkan pada dewasa sebesar 2–10%. 

Sebagian besar pasien DA mengalami perbaikan pada masa anak, namun 

DA dapat menetap atau terjadi saat dewasa. Dermatitis  alergi dengan 

eksim pernah dilaporkan terjadi pada pekerja percetakan, semen, 

 metal, pelukis, dan penyamak  kulit. Diperkirakan bahwa kromium (III) 

merupakan  protein kompleks yang bertanggung jawab atas terjadinya 

reaksi  alergi (Vincent et al., 2007).

81Logam dalam Tubuh

3. Efek pada saluran pernapasan

 Efek iritasi  paru-paru disebabkan karena menghirup debu kromium 

yang dihasilkan dari proses produksi dalam jangka panjang dan 

mempunyai efek terhadap iritasi kronis, penyumbatan dan hiperemia, 

rhinitis kronis, polip, trakheobronkhitis, dan faringitis kronis. Kromium 

dilaporkan juga dapat menyebabkan reaksi delayed anaphylactic 

reaction. Meskipun mekanisme terjadinya kelainan ini belum begitu 

jelas, namun onset terjadinya reaksi setelah terjadinya  paparan 

secara inhalasi yang lambat. Kasus reaksi anafilaktoid idiopatik dan 

urtikaria/angioedema kronis terkait dengan pemaparan  lingkungan 

dan pekerjaan harus diselidiki secara hati-hati, untuk dapat mencegah 

reaksi yang mengancam jiwa di masa depan.

 Kromium (VI) ditemukan di zona pernapasan pada pekerja di bagian 

pengelasan dengan konsentrasi antara 3,8–6,6 μg/m3. Pada pekerja 

pelapisan dan penyamakan  kulit sering terjadi kasus luka pada mukosa 

hidung (mukosa bengkak, ulserasi septum, dan perforasi septum), hal 

ini terjadi apabila seseorang terpapar kromium secara periodik dengan 

konsentrasi paling sedikit sebesar 20 μg/m3 dalam 8 jam kerja. AS 

mengizinkan kadar kromium sekitar 100 μg/m3 dalam 8 jam kerja. 

Jangka pemajanan pekerja yang mengalami ulkus di mukosa hidung 

berkisar antara 5 bulan hingga 10 tahun.

4. Efek pada ginjal

 Studi terhadap tukang las dan pelapisan kromium, pajanan lebih dari 

20 μg/m3 mengakibatkan kerusakan pada tubulus renalis. Gangguan 

pada ginjal terjadi setelah menghirup dan menelan kromium. Pernah 

ditemukan kerusakan pada glomerulus ginjal. Kenaikan kadar Beta-2-

mikroglobulin dalam urine merupakan indikator adanya kerusakan 

tubulus. Urineary threshold untuk efek nefrotik diperkirakan sebesar 

15 μg/g kreatinin (WHO, 2009).

5. Efek pada hati

 Pemajanan akut kromium dapat menyebabkan  nekrosis hepar. 

Apabila 20% tubuh terpapar asam kromat, maka akan mengakibatkan 

kerusakan berat pada hepar dan terjadi gagal ginjal akut. Inhalasi 

kronis kromium dapat juga mengakibatkan efek pada hepar. Hepatitis 

akut dengan kuning ( jaundice) pernah dilaporkan pada pekerja wanita 

yang telah bekerja di pabrik pelapisan kromium selama 5 tahun. Pada 

82 Biomarker Toksisitas Paparan Logam Tingkat Molekuler

hasil tes didapatkan adanya kromium dalam jumlah besar dalam urine 

dan pada biopsi liver terlihat adanya kelainan (WHO, 2009).

6. Efek pada saluran pencernaan

 Cara masuk kromium dapat melalui makanan atau tertelan. Jika 

tertelan dapat menyebabkan sakit perut dan muntah (Soemirat, 1994). 

Kandungan kromium dalam makanan berkisar antara 5–250 μg/kg. 

Makanan yang mempunyai kadar kromium tinggi adalah lada dan ragi 

bir (Schroeder et al., 1962).

7. Efek  karsinogenik 

 Studi  epidemiologi berdasarkan Kohort jelas menunjukkan adanya daya 

 karsinogen. Pemantauan pada pekerja di  industri kromat menunjukkan 

bahwa sebanyak 18,2% pekerja menderita  kanker paru yang bekerja 

lebih dari 1 tahun. Studi terhadap pekerja di  industri pigmen kromium, 

pelapisan kromium, dan campuran ferokrom secara statistik terlihat 

adanya hubungan secara bermakna antara pekerja yang terpajan 

kromium dengan  kanker  paru-paru. Kanker paru timbul 20 tahun 

setelah terpajan kromium dengan jangka waktu pemajanan sekitar 2 

tahun (Steinhagen, 2004).

8. Efek terhadap pertumbuhan dan reproduksi

 Kromium (III) merupakan bahan esensial yang dapat menembus 

plasenta, kurang dari 0,5% kromium (III) ditemukan menembus plasenta 

pada tikus. Efek pada binatang terjadi cleft palatum, hydrocephalus, 

proses pembentukan tulang terhambat, bengkak, dan incomplete neural 

tube closure (Ozdener et al., 2011).

Metabolisme Kromium dalam Tubuh 

Senyawa K2Cr2O7 yang larut dalam tubuh akan mengubah kondisi 

fisika- kimia tubuh dari kondisi normal. Kromium yang masuk ke dalam 

tubuh akan ikut dalam proses fisiologis atau  metabolisme tubuh. Interaksi 

yang terjadi antara kromium dengan unsur biologis tubuh menyebabkan 

terganggunya fungsi tertentu yang bekerja dalam proses  metabolisme 

karena ion Cr6+ yang telah masuk ke dalam sel seterusnya larut dalam 

darah (Palar, 2008). 

Studi atau penelitian tentang  metabolisme tubuh terhadap kromium 

pernah dilakukan dengan cara menyuntikkan larutan Na2CrO4 (natrium 

kromat-Cr6+) dan K2Cr2O7 (kalium dikromat-Cr6+) serta CrCl3 (kromium 

83Logam dalam Tubuh

klorida-Cr3+) terhadap marmut. Pada penelitian tersebut, larutan-larutan 

kromium diinjeksikan ke dalam batang tenggorokan marmut sebanyak 

200 μg. Melalui studi atau penelitian tersebut, diketahui bahwa senyawa-

senyawa Cr6+ dapat dihilangkan dengan cepat dari  paru-paru. Pengamatan 

yang dilaksanakan selama 15 menit setelah waktu injeksi dilakukan, 

diketahui bahwa  distribusi kromium dalam organ-organ tubuh sebagai 

berikut: 15% terakumulasi dalam  paru-paru, 20% terakumulasi dalam 

darah, 5% terakumulasi dalam hati, ginjal, dan limpa (Balk et al., 2007).

Setelah 24 jam masa injeksi dilakukan, 13% dari  dosis yang masuk 

dibuang lewat urine, 11% tertinggal di  paru-paru, 8% dalam darah, 1% 

dalam plasma darah, dan 3–4% tertinggal dalam hati dan ginjal (Balk et 

al., 2007). Logam atau persenyawaan kromium yang masuk ke dalam tubuh 

akan ikut dalam proses fisiologis atau  metabolisme tubuh. Logam atau 

persenyawaan kromium akan berinteraksi dengan bermacam-macam unsur 

biologis yang terdapat dalam tubuh. Interaksi yang terjadi antara kromium 

dengan unsur-unsur biologis tubuh dapat menyebabkan terganggunya 

fungsi-fungsi tertentu yang bekerja dalam proses  metabolisme tubuh 

(Cropper et al., 2009)

Senyawa-senyawa yang mempunyai berat molekul rendah seperti yang 

terdapat dalam sel darah rendah, dapat melarutkan kromium dan seterusnya 

ikut terbawa ke seluruh tubuh bersama peredaran darah. Senyawa-senyawa 

ligan penting yang terdapat dalam tubuh juga dapat mengubah kromium 

menjadi bentuk yang mudah terdifusi sehingga dapat masuk ke dalam 

jaringan. Di antara ligan-ligan tersebut adalah pirofosfat, metionin, serin, 

glisin, leusin, lisin, dan prolin. (Cropper et al., 2009).

Faktor yang Memengaruhi Daya Racun Kromium

Beberapa faktor di bawah ini dapat memengaruhi daya kerja 

kromium:

1. Umur

 Telah lama diketahui bahwa neonatus dan  organisme yang sangat 

muda umurnya lebih rentan terhadap kromium dibandingkan dengan 

yang lebih dewasa. Untuk sebagian besar toksikan,  organisme muda 

mempunyai 1,5 sampai 10 kali kesempatan lebih rentan daripada yang 

dewasa (Goldenthal, 1971). Anak-anak kecil sangat rentan terhadap 

toksikan, karena biasanya kepekaan dan tingkat penyerapan dalam 

84 Biomarker Toksisitas Paparan Logam Tingkat Molekuler

saluran cerna lebih besar. Selain itu dapat pula disebabkan oleh defisiensi 

berbagai jenis  enzim detoksikasi (Loomis dan White, 1996).

 Penelitian lain menunjukkan bahwa sejalan dengan bertambahnya umur, 

faktor-faktor diet misalnya, defisiensi  protein, vitamin C dan vitamin 

D, menyebabkan mekanisme kerja  enzim mengalami penurunan dan 

terganggunya fungsi  ekskresi ginjal, sehingga menyebabkan manusia 

yang telah tua menjadi lebih rentan terhadap kromium dan zat  toksik 

lainnya (WHO, 1981). 

2. Berat badan

 Sejumlah penelitian karsinogenesis telah menunjukkan bahwa 

pengurangan jumlah zat makanan dapat menurunkan kejadian tumor. 

Pentingnya diet pada karsinogenesis lebih jauh diperlihatkan oleh fakta 

bahwa tikus dan mencit yang diberi diet kaya  lemak akan menyebabkan 

berat badannya naik dan lebih mudah terkena tumor, dibandingkan 

dengan yang diberi diet terbatas (Franck, 1995). 

 Distribusi zat  toksik dalam tubuh dapat berubah karena meningkatnya 

 lemak tubuh dan berkurangnya air dalam tubuh. Berat badan manusia 

sebagian besar dipengaruhi oleh adanya kandungan  lemak. Defisiensi 

asam-asam  lemak esensial dan  protein dapat menekan aktivitas sistem 

 oksidasi mikrosom (Loomis dan White, 1996).

3. Lama bekerja

 Seperti halnya toksikan lain, efek  toksik kromium berkaitan dengan 

tingkat dan lamanya pajanan. Umumnya, makin tinggi kadar kromium 

di udara dan makin lama pajanan, efek  toksik akan lebih besar (Franck, 

1995). 

4. Jenis kelamin

 Hewan jantan dan betina dari spesies yang sama biasanya bereaksi 

terhadap toksikan dengan cara yang sama pula. Tetapi terdapat 

perbedaan kuantitatif yang menonjol dalam kerentanan mereka, 

terutama pada tikus. Tikus betina juga lebih peka daripada tikus jantan 

terhadap organofosfat, pengebirian, dan pemberian  hormon juga dapat 

menghilangkan perbedaan (Franck, 1995).

Mekanisme Kerja Kromium

Kromium heksavalen melewati membran sel melalui empat mekanisme 

yaitu, difusi pasif lewat membran, filtrasi lewat pori-pori membran, transpor 

85Logam dalam Tubuh

dengan perantaraan carrier, dan pencaplokan oleh sel (pinositosis) (Lu, 1995). 

Kromium heksavalen yang masuk melalui saluran pernapasan ( paru-paru) 

dapat mudah menembus membran sel melalui sistem transportasi anion dan 

memiliki kemampuan meminjam atau mengurangi elektron pada kromium 

(III) (Yilmaz et al., 2010). Sehingga kromium lebih aktif masuk menembus 

membran sel kemudian merusak sel tersebut. Kemudian kromium menembus 

sel epitel endotelial kapiler darah dan masuk dalam aliran darah hingga 

akhirnya ikut dalam proses  metabolisme (Connel dan Miller, 1995).

Mekanisme kerja kromium (VI) sebagai berikut:

1. Absorpsi

 Kromium (VI) dapat menembus dinding sel, sedangkan kromium (III) 

tidak dapat menembus langsung. Namun akan mengikat diri pada 

transfermin, yaitu suatu  protein yang mentranspor Fe dalam plasma. 

Senyawa kromium (III) umumnya jauh lebih sedikit diabsorpsi oleh 

tubuh dibandingkan senyawa-senyawa kromium (VI). Semua itu 

tergantung dari kelarutan senyawa tersebut. Sekitar 0,2–3% dari 

senyawa kromium (III) dan 1–10% kromium (VI) yang masuk melalui 

oral diabsorpsi oleh tubuh.

 Partikel-partikel pigmen kromium, asap kromium dari pengelasan baja 

tahan karat, dan aerosol kabut asam kromat, umumnya lebih kecil dari 

1 μm, mengakibatkan penetrasi  alveolar maksimal. Kelarutan dalam 

air yang lebih tinggi meningkatkan ambilan dan toksisitas senyawa 

kromium.

2. Biotransformasi

 Senyawa kromium (VI) tereduksi menjadi bentuk trivalen (III) dalam 

tubuh, kecepatan tergantung pada jumlah reduktor dalam organ yang 

terpapar dan dalam hal ini memengaruhi toksisitas serta  ekskresi 

senyawa heksavalen (VI).

3. Ekskresi

 Ekskresi kromium melalui urine tanpa ada retensi di organ. Sekitar 60% 

kromium (VI) yang diabsorpsi dikeluarkan dalam bentuk kromium (III) 

dalam waktu 8 jam setelah tertelan. Sepuluh persen akan diekskresi 

melalui empedu dan sebagian kecil melalui rambut, kuku,  ASI, dan 

keringat. 

86 Biomarker Toksisitas Paparan Logam Tingkat Molekuler

Kadar Batas Aman Kromium

Implikasi klinik dapat terjadi apabila tercemar oleh kromium. Keracunan 

tubuh manusia terhadap kromium dapat berakibat buruk terhadap saluran 

pernapasan,  kulit, pembuluh darah, dan ginjal. Efek kromium terhadap 

sistem saluran pernapasan (respiratory sistem effects) berupa  kanker paru 

dan ulkus kronis/perforasi pada septum nasal. Pada  kulit (skin effects), 

berupa ulkus kronis pada permukaan  kulit. Pada pembuluh darah (vascular 

effects), berupa penebalan oleh plak pada pembuluh aorta (atherosclerotic 

aortic plaque). Sedangkan pada ginjal (kidney effects), kelainan berupa 

 nekrosis tubulus ginjal.

Menurut Undang-undang Nomor 13 tahun 2003, tentang 

ketenagakerjaan, yang dimaksud Nilai Ambang Batas (NAB) adalah standar 

faktor bahaya di tempat kerja sebagai pedoman pengendalian agar tenaga 

kerja masih dapat menghadapinya tanpa mengakibatkan  penyakit atau 

gangguan kesehatan dalam pekerjaan sehari-hari untuk waktu tidak lebih 

dari 8 jam sehari atau 40 jam seminggu.

Kadar  logam dalam tubuh makhluk hidup, dapat dideteksi melalui 

darah, urine, rambut, dan kuku. Kadar  logam dalam darah dan urine 

menunjukkan jumlah  logam yang masuk saat pengukuran dilakukan atau 

suatu saat tertentu. Hal ini dikarenakan  logam dalam darah mengalami 

 ekskresi dan urine merupakan hasil  ekskresi. Kadar  logam dalam rambut 

dan kuku berhubungan dengan kadar  logam dalam darah dan urine saat 

rambut dan kuku terbentuk. Dengan demikian rambut dan kuku merupakan 

bagian tubuh yang banyak mengakumulasi  logam. Dalam melakukan 

pemeriksaan spesimen biologi, pemeriksaan terhadap kromium harus 

diperhatikan akan kemungkinan terjadinya kontaminasi dan kehilangan 

kromium selama pengumpulan, transportasi, dan penyimpanan. Pemakaian 

peralatan  stainless steel dapat menaikkan kadar kromium karena adanya 

kromium yang larut dalam alat tersebut (Gani, 1997).

Secara alamiah kandungan kromium di  lingkungan adalah kadar 

total kromium udara ambeien 0.01 – 0.03 μg/m3 untuk udara outdoor di 

kota. Kadar total kromium air permukaan adalah 0.05 ppm dan kadar 

total Cr dalam tanah adalah 1.505 ppm. Sedangkan untuk limbah  industri, 

konsentrasi maksimum yang diperbolehkan adalah 0.5 mg/L (Palar, 

2008). Berikut Kandungan kromium yang diperbolehkan ada dalam tubuh 

manusia: 

87Logam dalam Tubuh

1. Kadar kromium dalam darah dan plasma

 Kromium terdapat dalam eritrosit dan plasma. Kriteria World Health 

Organization (WHO) menyatakan bahwa kadar normal kromium dalam 

darah berkisar antara 0,5 μg/L. Sedangkan menurut Departemen 

Kesehatan, dalam keadaan tidak terpajan kadar kromium berkisar 

antara 2,0–3,0 μg/100 ml. 

2. Kadar kromium dalam urine

 Kromium dalam urine menggambarkan penyerapan lebih dari 1–2 hari 

sebelumnya. Para pekerja dengan kandungan kromium dalam urine 

antara 40–50 μg/L menunjukkan bahwa mereka terpapar kromium 

udara dengan kadar 50 μg/m3. Pada populasi umum, konsentrasi 

kromium dalam urine antara 1,8–11 μg/L (WHO, 1988).

3. Kadar kromium dalam rambut dan kuku

 Kadar kromium pada rambut dan kuku pada pemajanan yang tidak 

diketahui adalah 50–1.000 ppm. Pemeriksaan ini tidak bermakna secara 

klinis (Palar, 2008).

Dampak Kromium terhadap Lingkungan

Kromium relatif stabil di udara dan air, tetapi setelah kontak dengan 

biota, air, udara, dan tanah akan berubah menjadi bentuk kromium trivalen. 

Diperkirakan substansi kromium di dalam  lingkungan sekitar 6,7 x 106 

kg/tahun (WHO, 1988). Kromium pada umumnya berasal dari kegiatan-

kegiatan perindustrian, kegiatan rumah tangga, dan dari pembakaran, serta 

mobilisasi bahan-bahan bakar. 

Selain itu, sumber kromium (ATSDR, 1989) dapat berasal dari pabrik 

yang memproduksi semen yang mengandung kromium, pembakaran sampah 

di beberapa kota, sampah yang berbentuk lumpur, kendaraan bermotor 

(knalpot), menara AC yang menggunakan kromium sebagai inhibitor, limbah 

cair yang berasal dari lapis listrik, penyamakan  kulit, dan  industri tekstil, 

serta sampah dari  industri yang menggunakan kromium.

Sebagian besar kromium di udara pada akhirnya akan menetap dan 

berakhir di perairan atau tanah. Kromium dalam tanah sangat melekat 

pada partikel tanah. Kromium dalam air akan menyerap pada endapan dan 

tidak dapat bergerak. Hanya sebagian kecil dari kromium di air yang pada 

akhirnya akan larut. 

88 Biomarker Toksisitas Paparan Logam Tingkat Molekuler

Dalam perairan, kromium dapat masuk melalui dua cara yaitu secara 

alamiah dan non alamiah. Masuknya kromium secara alamiah dapat 

disebabkan oleh beberapa faktor fisika, seperti  erosi yang terjadi pada 

batuan mineral. Masuknya kromium yang terjadi secara non alamiah lebih 

merupakan dampak atau efek dari aktivitas yang dilakukan oleh manusia. 

Sumber-sumber kromium yang berkaitan dengan aktivitas manusia dapat 

berupa limbah atau buangan  industri sampai buangan rumah tangga (Palar, 

2008 dan Widowati et al., 2008).

Kromium tidak terakumulasi dalam tubuh ikan. Akan tetapi, pada 

konsentrasi tinggi, karena terjadi pembuangan produk-produk  logam di 

permukaan air, maka dapat merusak insang ikan yang berenang di dekat titik 

pembuangan. Pada hewan dan manusia, kromium dapat menyebabkan masalah 

pernapasan, kemampuan yang lebih rendah untuk melawan  penyakit, cacat 

lahir, infertilitas dan tumor (Morrison dan Murphy, 2005). Pemberian senyawa 

kromium trivalen anorganik atau ekstrak ragi bir mengakibatkan penurunan 

kadar glukosa darah dan kadar kolesterol serta regresi plak aterosklerosis.

KOBALT

Pengertian Kobalt

Kobalt adalah suatu unsur  kimia dalam tabel periodik yang memiliki 

lambang Co dan nomor atom 27. Elemen ini biasanya hanya ditemukan dalam 

bentuk campuran di alam. Elemen bebasnya, diproduksi dari peleburan 

reduktif, adalah  logam berwarna abu-abu  perak yang keras dan berkilau. 

Kobalt bukan merupakan bahan dengan toksisitas tinggi, namun  dosis besar 

dari kobalt akan mengakibatkan manifestasi klinis yang parah. Gejala akut 

seperti edema paru,  alergi, mual, muntah, perdarahan, dan gagal ginjal dapat 

terjadi. Gejala kronis dapat melibatkan syndrome paru, kelainan pada  kulit, 

serta kelainan tiroid. Konsentrasi  serum kobalt akan meningkat di atas 

normal pada pasien dengan joint prosthesis yang mengandung kobalt. 

Sifat Kobalt

Sifat Kobalt dapat diuraikan menjadi:

1. Sifat fisika  logam Kobalt:

a. Logam berwarna abu-abu, sedikit berkilauan dan metalik

b. Sedikit magnetis

89Logam dalam Tubuh

c. Kobalt memiliki permeabilitas  logam sekitar dua pertiga daripada 

besi

d. Melebur pada suhu 1490°C dan mendidih pada suhu 3520°C

e. Memiliki 7 tingkat  oksidasi yaitu -1, 0, +1, +2, +3, +4, dan +5.

2. Sifat  kimia  logam Kobalt:

a. Bereaksi lambat dengan asam encer menghasilkan ion dengan 

biloks +2

b. Pelarutan dalam asam nitrat disertai dengan pembentukan 

nitrogen oksida, reaksi yang terjadi adalah:

 Co + 2H+ →   Co2+ + H2

 3Co + 2HNO3 + 6H+ → 3Co2+ + 2NO+ 4H2O

c. Kurang reaktif

d. Dapat membentuk senyawa kompleks

e. Senyawanya umumnya berwarna

f. Dalam larutan air, terdapat sebagai ion Co2+ yang berwarna 

merah

g. Senyawa-senyawa Co (II) yang tak terhidrat atau tak terdisosiasi 

berwara biru

h. Ion Co3+ tidak stabil, tetapi kompleks-kompleksnya stabil baik 

dalam bentuk larutan maupun padatan

i. Kompleks-kompleks Co (II) dapat dioksidasi menjadi kompleks-

kompleks Co (III)

j. Bereaksi dengan hidrogen sulfida membentuk endapan hitam

k. Tahan korosi

Sumber Kobalt

Mineral kobalt terpenting antara lain smaltite (CoAs2), cobaltite 

(CoAsS), dan lemacitte (Co3S4). Sumber utama kobalt disebut “Speisses” yang 

merupakan sisa dalam peleburan bijih arsen dari  Ni, Cu, dan  Pb. Kobalt juga 

terdapat dalam meteorit. Bijih mineral kobalt yang penting ditemukan di 

Zaire, Maroko, dan Kanada. Survei badan geologis AS telah mengumumkan 

bahwa di dasar bagian tengah ke utara Lautan Pasifik kemungkinan kaya 

akan kobalt dengan kedalaman yang relatif dangkal, lebih dekat ke arah 

Kepulauan Hawai dan perbatasan AS lainnya. Unsur kobalt di alam selalu 

didapatkan bergabung dengan  nikel dan biasanya juga dengan arsenik.

90 Biomarker Toksisitas Paparan Logam Tingkat Molekuler

Efek Kesehatan dari Pekerjaan yang Terpajan dengan Kobalt dan 

Persenyawaannya

Kobalt dikenal sebagai perangsang pembentukan sel darah merah yang 

baik. Ion Co+2 dalam kobalt klorida diketahui dapat meningkatkan produksi 

sel darah merah. Kobalt dalam bentuk Vitamin B12 juga mendukung proses 

 metabolisme dan pembentukan sel darah merah. Tetapi, apabila kandungan 

kobalt yang diserap dalam tubuh berlebih maka akan menyebabkan serangan 

jantung,  asma, gangguan pernapasan, dan  kanker  paru-paru.

Konsentrasi Kobalt dalam Darah

Konsentrasi  logam kobalt yang lebih besar dari atau sama dengan 1,0 

μg/ml mengindikasikan adanya kemungkinan  paparan  lingkungan atau 

tempat kerja. Konsentrasi kobalt yang berhubungan dengan toksisitas harus 

diinterpretasi kan dalam konteks sumber  paparan. Jika kobalt tertelan, pada 

konsentrasi lebih dari 5 ml akan memperlihatkan sumber  paparan utama 

dan biasanya  toksik.

Penggunaan  protesa diketahui mengakibatkan kenaikan konsentrasi ion 

 logam dalam sirkulasi. Kebanyakan kenaikan 4–10 μg/ml pada konsentrasi 

kobalt dalam  serum berhubungan dengan  protesa yang digunakan pada 

keadaan yang baik. Konsentrasi  serum yang lebih dari 10 μg/ml pada 

pasien dengan cobalt-based implant memperlihatkan signifikansi akibat 

penggunaan  protesa. Namun, peningkatan  serum trace element concentration 

tanpa disertai dengan informasi klinis yang kuat tidak dapat dipastikan 

penyebabnya akibat  protesa atau kegagalannya. 

Manusia mungkin terpapar kobalt melalui udara, air, dan makanan yang 

mengandung kobalt. Kontak  kulit dengan tanah atau air yang mengandung 

kobalt juga mungkin terjadi. Unsur ini bermanfaat bagi manusia karena 

merupakan bagian dari vitamin B12 yang penting untuk kesehatan. Kobalt 

juga digunakan dalam pengobatan anemia bagi wanita hamil karena mampu 

merangsang produksi sel darah merah. Total asupan harian kobalt bervariasi 

hingga sebanyak 1 mg. Namun, perlu diingat bahwa konsentrasi yang terlalu 

tinggi justru dapat merusak kesehatan. Konsentrasi tinggi kobalt yang 

terhirup melalui udara dapat menimbulkan berbagai keluhan seperti  asma 

dan pneumonia. Hal ini terutama terjadi pada orang-orang yang bekerja 

dengan kobalt. Tanah dekat fasilitas pertambangan dan peleburan mungkin 

91Logam dalam Tubuh

memiliki kandungan kobalt yang tinggi, sehingga saat diasup melalui air atau 

tanaman yang terkontaminasi akan menimbulkan berbagai efek kesehatan. 

Efek kesehatan akibat penyerapan konsentrasi tinggi kobalt di antaranya:

1. Muntah dan mual

2. Masalah penglihatan

3. Masalah jantung

4. Kerusakan tiroid

Efek kesehatan juga dapat disebabkan oleh radiasi isotop radioaktif 

kobalt yang memicu kemandulan, rambut rontok, muntah, perdarahan, 

diare, koma, dan bahkan  kematian. Radiasi ini antara lain digunakan pada 

pasien  kanker untuk menghancurkan tumor. Debu kobalt juga menyebabkan 

berbagai keluhan seperti  asma, batuk, sesak napas, penurunan fungsi paru, 

 fibrosis nodular, hingga  kematian.

Metabolisme Kobalt dalam Tubuh

Kobalt bukan merupakan toksin yang bersifat akumulatif, intake 

normal setiap harinya adalah sekitar 20–40 μg. Setelah terjadi  absorpsi, 

kobalt terdistribusi terutama pada liver. Kobalt diserap sebagai komponen 

B12. Jumlah yang diserap disimpan dalam hati dan ginjal, memiliki fungsi 

untuk membentuk pembuluh darah serta pembangun vitamin B12. 

Mikroorganisme dapat membentuk vitamin B12, hewan memamah biak 

memperoleh kobalamin melalui hubungan simbiosis dengan mikroorganisme 

dalam saluran cerna. Manusia tidak dapat melakukan simbiosis ini, sehingga 

harus memperoleh kobalamin dari makanan hewani seperti hati, ginjal, 

dan daging. Makanan nabati mengandung sedikit kobalt, bergantung pada 

kandungan tanah tempat tumbuhnya. 

Kobalt merupakan vitamin B12 (kobalamin). Vitamin ini diperlukan 

untuk mematangkan sel darah merah dan menormalkan fungsi semua sel. 

Kobalt mungkin juga berperan dalam fungsi berbagai  enzim kobalt. Kobalt 

dalam tubuh terikat dalam vitamin B12 plasma darah dan mengandung 

kurang lebih 1 μg kobalt/100. Pencernaan dan penyerapan Kobalt terjadi 

melalui  absorpsi pada bagian atas usus halus dan mengikuti mekanisme 

 absorpsi, yaitu meningkat bila konsumsi besi rendah. 

92 Biomarker Toksisitas Paparan Logam Tingkat Molekuler

Ekskresi biasanya melalui urine dan sedikit melalui feses. Absorpsi 

pada Gastrointestinal Tract (GIT) terhadap kobalt sekitar 18%. Delapan hari 

setelah penetrasi secara parenteral atau melalui pembuluh darah, 56%, 

dan 11% dari kadar tersebut dieliminasi melalui urine dan feses, proses 

selanjutnya adalah dengan eliminasi 10% dari kadar kobalt dalam tubuh 

yang biasanya membutuhkan waktu hingga 2 tahun. Konsentrasi yang 

relatif tinggi juga ditemukan pada miokardium di jantung.

Konsentrasi 90 μg di udara telah terbukti mengakibatkan konsentrasi 

kobalt dalam urine menjadi sekitar 100 μg/l setelah bekerja. Tubuh bekerja 

untuk mengeluarkan setidaknya setengah dari konsentrasi tersebut dalam 

sehari. Konsentrasi normal dari kobalt di dalam darah dan urine dari non 

occupational exposed person adalah sekitar 0,1–2 μg/l. Level kadar kobalt 

dalam darah dan urine akan meningkat seiring dengan adanya occupational 

exposure dan mungkin dapat digunakan menjadi monitor biologis untuk 

melihat kadar  paparan seseorang.

Gangguan Kesehatan Akibat Paparan Kobalt

Jika  teknisi gigi tidak menggunakan proteksi diri yang baik, maka 

bagian dari  metal fillings, debu keramik, dan debu akrilik, serta bahan 

lainnya yang terdapat di udara pada laboratorium gigi selama pengerjaan 

 protesa dapat mengakibatkan gangguan pada kesehatan. Gangguan 

kesehatan akibat  paparan kobalt di tempat kerja meliputi:

1. Gangguan  paru-paru

 Udara yang terdapat pada laboratorium gigi berpolusi tinggi akibat 

debu bekas penggerindingan, terutama debu yang sangat halus. Debu 

ini akan dapat berpenetrasi jauh ke dalam paru, hingga mengakibatkan 

kerusakan yang serius. Organ pertama yang akan terkena dampak dari 

 paparan  logam berat di tempat kerja pada  teknisi gigi adalah organ paru. 

Saluran pernapasan akan terganggu. Selama proses penggerindingan, 

 logam untuk pembuatan  protesa tetap dan  protesa sebagian merupakan 

bahan  logam, partikel-partikel kecil baik dari precious alloys maupun 

non-precious alloys yang tersebar di udara. Sehingga partikel-partikel 

tersebut dapat terhirup melalui inhalasi. Precious alloys terdiri dari gold, 

palladium, silver, copper, platinum, serta sejumlah kecil zink, indium, dan 

93Logam dalam Tubuh

tin. Sedangkan saat penggerindingan nonprecious alloys, partikel seperti 

cobalt, chromium, molybdenum alloys dapat ditemukan di udara.

 Paparan yang cukup lama terhadap debu anorganik tersebut dapat 

berkelanjutan menjadi  pneumokoniosis,  fibrosis pulmonalis,  kanker 

paru,  kanker sinus pranasal, dan  kanker tenggorokan. Debu yang 

berasal dari cobalt-chromium  alloy dan cobalt-chromium-molybdenum 

 alloy dapat mengakibatkan  pneumokoniosis dan  kanker paru. Saat 

penggerindingan berlangsung, kontaminasi udara dari partikel  logam 

dapat ditemui. Partikel seperti partikel keramik, karbid, dan partikel-

partikel  metal dapat berakibat pada terjadinya pulmonary silicosis 

dan gangguan jalan napas  patologis yang lain, yaitu gangguan kontak 

 dermatitis  alergi.

 Alergi kontak  dermatitis telah menjadi salah satu  penyakit yang paling 

sering terjadi akibat kontak dengan material di tempat kerja yang 

mengakibatkan sakit pada dokter gigi,  teknisi gigi, dan perawat gigi. 

Interval waktu yang dibutuhkan selama kontak dengan material hingga 

mengakibatkan manifestasi klinis biasanya sekitar 12–24 jam. Alergi 

kontak  dermatitis biasanya terjadi setelah kontak dengan alergen dan 

terjadi pada bagian distal phalanges dan permukaan jari. Keracunan 

kronik menimbulkan efek pada pernapasan seperti penurunan 

fungsi paru, wheezing,  asma, pneumonia dan  fibrosis menimbulkan 

kardiomiopati yang ditandai oleh berkurangnya fungsi.


95

BIOMARKER TOKSISITAS 

LOGAM TINGKAT MOLEKULER 

DI TEMPAT KERJA

Kehadiran  xenobiotik di  lingkungan terutama  logam berat selalu 

merupakan risiko bagi  organisme hidup. Namun, berbicara tentang  paparan 

 logam, terdapat kebutuhan untuk mendeteksi  racun dalam  organisme dan 

konsep  keracunan terkait dengan perubahan organ tertentu beserta gejala 

klinisnya. Selain itu, hubungan antara tingkat  racun dan  respons  racun 

dalam  organisme sangat kompleks dan sulit diprediksi, karena tergantung 

pada beberapa faktor, yaitu toksikokinetik dan faktor genetik. Salah satu 

metode untuk mengukur  paparan  xenobiotik dan potensi dampaknya 

pada  organisme hidup, termasuk manusia, adalah pemantauan pada 

penggunaannya yang disebut  biomarker.

Pemantauan biologis memiliki kelebihan dibandingkan pemantauan 

 lingkungan karena mengukur  dosis internal senyawa. Perbedaan antar 

individu harus diperhitungkan baik dalam penyerapan, bioavailabilitas, 

 ekskresi, maupun perbaikan  DNA. Selain itu, perbedaan intraindividu, 

sebagai konsekuensi dari perubahan fisiopatologi tertentu yang terjadi 

dalam periode waktu tertentu, juga harus dipertimbangkan. Ini melibatkan 

sebuah kontrol biologis individual untuk mengevaluasi  paparan  xenobiotik 

tertentu.

Penggunaan penanda biologis ini dalam evaluasi risiko  penyakit telah 

meningkat tajam dalam dekade terakhir. Biomarker adalah titik akhir yang 

dapat diamati yang mengindikasikan peristiwa dalam proses yang mengarah 

ke  penyakit. Metode ini sangat berguna dalam evaluasi  penyakit progresif 

yang manifestasi gejalanya lama setelah  paparan dimulai. 

Kajian tentang  paparan  logam dan dampaknya dapat diprediksi 

dengan  biomarker tertentu yang mengidentifikasikan adanya suatu 

96 Biomarker Toksisitas Paparan Logam Tingkat Molekuler

 penyakit. Paparan konstan paduan  logam berat selama proses pembuatan 

gigi berbahan dasar  logam dengan konsentrasi tinggi  logam Co,  Ni, dan Cr 

(Hariyani et al., 2015) sangat terkait dengan pembentukan  radikal bebas. 

Radikal bebas memiliki sifat yang sangat reaktif yang dapat menyebabkan 

 oksidasi lebih lanjut dari molekul sekitarnya. Pembentukan  organisme 

hidup langsung atau tidak langsung, mampu menginduksi produksi  ROS. 

Walaupun ketiga elemen tersebut ( nikel, kromium, dan kobalt) memiliki 

potensi  karsinogenik pada manusia dan hewan coba,  nikel dan kromium 

memperoleh perhatian terbesar karena laporan atas potensi mereka 

untuk menimbulkan efek  alergi,  toksik atau  karsinogenik. Interpretasi 

atas temuan tersebut harus dilakukan dengan hati-hati karena toksisitas 

yang terdokumentasi biasanya hanya berlaku pada bentuk terlarut dari 

elemen tersebut. Pada saat ini, hubungan apapun antara pelepasan suatu 

 logam dan toksisitas metabolik, bakteriologis, imunologis atau  karsinogenik 

dianggap sebagai dugaan semata, karena hubungan sebab dan akibat belum 

dibuktikan pada manusia. 

Ion  nikel dapat memengaruhi kemotaksis leukosit melalui perubahan 

bentuk, sambil menstimulasi neutrofil untuk menjadi asferis dan bergerak 

lebih lambat, serta menghambat aktivitas kontraktil yang bergantung pada 

ion kalsium dengan mendepolarisasi membran sel neutrofil. Larutan  nikel 

(0,05 μmol/L) dan kobalt (0,01 μmol/L) ditemukan menghambat fagositosis 

bakteri oleh leukosit polimorfonuklear in vitro. 

Nikel juga menghambat kemotaksis pada konsentrasi 2,5–50 ppm. 

Konsentrasi  nikel dalam kisaran tersebut dilepaskan dari dental  alloy dan 

diperlihatkan mengaktifkan monosit dan sel-sel endotel serta menekan 

atau mendukung pelepasan molekul adhesi interseluler oleh sel endotel. 

Sebagian besar literatur menyatakan bahwa keberadaan  nikel berisiko 

menimbulkan  respons inflamasi dalam jaringan lunak. Senyawa  nikel dalam 

bentuk arsenida dan sulfida merupakan  karsinogen, alergen, dan  mutagen 

yang telah diakui.

Nikel dikatakan mampu menstimulasi terjadinya hipoksia, melalui up-

regulasi suatu gen yang mengatur hipoksia, mengaktivasi jalur sinyal hipoksia 

melalui mediasi faktor transkripsi Hypoxia-Inducible Factor (HIF-1). Dengan 

adanya  oksigen, proline 564 pada sub unit HIF-1 mengalami hidroksilasi 

oleh prolyl hydroxylase. Dalam menjalankan fungsinya, prolyl hydroxylase 

membutuhkan  oksigen dan zat besi. Nikel berperan menggantikan zat besi 

97Biomarker Toksisitas Logam Tingkat Molekuler di Tempat Kerja

dan menginaktivasi  enzim prolyl hydroxylase, sehingga terjadi hipoksia 

(Seeley et al., 2017).

Rute berbeda yang mengarah ke kesimpulan yang sama telah 

dikemukakan, di mana stres oksidatif yang disebabkan oleh  paparan 

suatu  logam  genotoksik dapat meningkatkan jumlah  ROS endogen. Nikel 

diperantarai oleh induksi laktat dehidrogenase, lipid  peroksidase, dan 

induksi reaksi  Fenton serta Haber-Weis yang dapat menghasilkan radikal 

hidroksil (•OH dan OH) dan menyebabkan terjadinya kerusakan  DNA 

(Valko et al., 2005). Kerusakan oksidatif  DNA yang diperantarai oleh  ROS 

berperan penting dalam berbagai  penyakit termasuk  kanker 

Proses reaksi  Fenton melibatkan reaksi O2

- dengan  logam kelumit 

oksidatif dan pembentukan O2, yang selanjutnya bereaksi dengan hidrogen 

peroksida untuk membentuk hidroksi radikal dan OH-. Hipotesis tambahan 

bagi stres oksidatif melibatkan induksi pembentukan asetaldehida oleh 

 nikel, sementara bukti atas aksi oksidatif diilustrasikan oleh peningkatan 

reseptor laktoferin setelah pemaparan populasi sel terhadap  nikel. 

Nikel dalam beberapa penelitian menunjukkan konsentrasi nontoksik 

merangsang kerusakan basis  DNA yang bersifat spesifik dan single-

strand scission. Keterlibatan faktor transkripsi NF-kB dan AP-1 telah 

ditetapkan melalui penelitian yang menunjukkan bahwa sel-sel resisten 

 nikel mengurangi level pengikatan kedua faktor tersebut ke sekuens 

 DNA mereka. Kerusakan  DNA akibat  nikel juga dapat timbul secara tidak 

langsung melalui penghambatan  enzim, seperti  8-OHdG dan 5´-triphosphate 

pyrophosphatase, yang mengembalikan perpecahan  DNA. Pada konsentrasi 

nontoksik,  nikel mendorong  mutasi mikrosatelit, menghambat perbaikan 

eksisi nukleotida, dan meningkatkan metilasi genom total. Pengaruh 

tersebut pada ketidakstabilan genetik telah disebutkan sebagai dasar aksi 

 karsinogenik dari  nikel.

Rongga mulut memiliki hubungan yang erat dengan rongga hidung 

sebagai kesatuan jalur mekanisme pernapasan. Dalam menjalankan 

fungsinya, rongga hidung yang terpapar oleh suatu substansi  genotoksik 

akan menyebabkan  rongga mulut juga terpapar. Penumpukan subtansi 

 genotoksik yang mengendap di  rongga mulut oleh karena  paparan yang 

terjadi dalam waktu yang lama dapat menyebabkan adanya perubahan 

struktur  DNA (Haryani et al., 2008).

98 Biomarker Toksisitas Paparan Logam Tingkat Molekuler

Nikel, kromium, dan kobalt memiliki potensi  karsinogenik pada manusia 

dan hewan coba. Paparan  nikel secara inhalasi terbukti menyebabkan tumor 

pada saluran pernapasan hewan coba dan manusia. Dunnick et al. (1995) 

dan Lison et al. (2001) melaporkan efek karsinogenitas pada hewan coba 

yang dipapar oleh kobalt selama 2 tahun selain itu kobalt juga menimbulkan 

efek  genotoksik. Paparan  logam  genotoksik dapat meningkatkan jumlah 

 ROS endogen. Ion  logam kromium, kobalt,  nikel, dan vanadium dapat 

menghasilkan radikal hidroksil (–OH) melalui reaksi  Fenton dan  Haber-

Weiss. Radikal hidroksil tersebut dapat menyebabkan terjadinya kerusakan 

 DNA (Valko et al., 2005). Kerusakan oksidatif  DNA yang diperantarai oleh 

 ROS berperan penting dalam berbagai  penyakit termasuk  kanker (Merzenich 

et al., 2001).

Di bidang Kedokteran Gigi, kobalt-kromium mempunyai sifat wear 

resistant yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan semua jenis  logam 

(Shi, 2006). Wear resistance yang tinggi dari biomaterial ini lebih baik 

daripada wear resistance yang rendah. Wear resistance yang rendah 

akan mempercepat keausan dari suatu biomaterial. Keausan merupakan 

faktor penting yang dapat mempercepat proses korosi, khususnya karena 

pecahnya lapisan pelindung (Traisnel et al., 1990). Kobalt-kromium telah 

cukup dikenal di kedokteran gigi, namun sangat sedikit diketahui sifat dan 

pengaruh biologisnya sebagai material  implan gigi. Campuran komposisi 

 logam kobalt-kromium yang digunakan pada  implan gigi adalah kobalt 

sebesar 27–30%, kromium sebesar 5–7%, molibdenum, dan komponen 

lainnya seperti mangan dan silikon kurang dari 1%, besi kurang dari 0,75%, 

 nikel kurang dari 0,5%, karbon nitrogen, tungsten, fosfor, sulfur, boron, dan 

lain-lain (Hjalmarsson, 2009; Nouri et al., 2010). 

Secara alamiah, hampir semua  logam akan mengalami proses korosi 

sebagai suatu reaksi elektrokimia dalam rangka mencapai kesetimbangan 

termodinamika. Efek yang kurang menguntungkan dari proses korosi adalah 

terlepasnya ion-ion  logam (Geurtsen, 2002). Kondisi  rongga mulut yang 

asam dapat meningkatkan proses terjadinya pelepasan ion. Ion  logam yang 

terlepas akan bebas dan dapat menimbulkan toksisitas melalui mekanisme 

memengaruhi sifat enzimatis suatu sel atau  toksik secara langsung melalui 

infiltrasi membran. Ion  logam dalam cobalt based  alloy yang terlepas akan 

terikat pada  protein sel dan menyebabkan terjadinya koagulasi. Infiltrasi 

membran biasanya terjadi pada ukuran nanopartikel, sehingga partikel 

99Biomarker Toksisitas Logam Tingkat Molekuler di Tempat Kerja

dapat menembus membran sel dan merusak dari dalam sel (Okazakia 

dan Gotoh, 2008; Behl et al., 2013). Ion  logam yang terlepas berpengaruh 

terhadap  metabolisme seluler dengan menghambat aktivitas  enzim 

dehidrogenase dan menghambat pembentukan Adenosin Trifosfat (ATP) 

(O’Brien dan Briggs, 2002). Efek  toksik dari pelepasan ion memungkinkan 

terjadinya reaksi jaringan.

Radikal bebas yang dihasilkan oleh  logam memiliki sifat yang sangat 

reaktif sehingga dapat menyebabkan  oksidasi lebih lanjut pada molekul di 

sekitarnya. Jika  radikal bebas dan hasil  oksidasi bereaksi dengan kompleks 

molekul di dalam sel terutama  kromosom, maka rantai  kromosom menjadi 

terputus dan susunan basa nukleotida berubah. Perubahan tersebut 

mengakibatkan terjadinya kerusakan pada  DNA. Kerusakan lebih lanjut 

akibat dari kerusakan  DNA, yaitu dapat mengakibatkan pembelahan sel 

tertunda, modifikasi, dan perubahan sel secara permanen, serta peningkatan 

kecepatan pembelahan sel sehingga dapat menginduksi terjadinya tumor 

(Shantiningsih dan Diba, 2015). 

Logam dapat memengaruhi tumor supresor gen p53 pada beberapa 

tingkatan, selain efek tidak langsung ( ROS menginduksi perubahan pada 

basis  DNA, mengubah  metabolisme lipid dan homeostasis kalsium) (Aimola, 

2012; Hamann, 2012; Jomova dan Valko, 2011), p53 juga sensitif terhadap 

gangguan lokal yang disebabkan oleh ion  logam itu sendiri. Redoks  logam 

tidak aktif, seperti  kadmium dan  nikel menunjukkan toksisitasnya melalui 

ikatan dengan gugus sulfhidril  protein dan penipisan glutathione. Di sisi lain, 

redoks  logam aktif seperti kobalt adalah perangsang potensial terjadinya 

stres oksidatif, membentuk generasi  radikal bebas. 

Radikal bebas dapat bereaksi dengan komponen dalam sel seperti 

 protein, peroksidasi lipid, dan Deoxyribonucleic Acid ( DNA) pada sel saluran 

pernapasan (Lodovici dan Bigagli, 2011). Radikal hidroksil (•OH) memicu 

kerusakan  DNA terutama ditandai dengan pembentukan  8-OHdG  8-OHdG 

(Valavanidis et al., 2009 ). Mutasi yang secara umum terjadi karena  ROS 

adalah transversi GC→TA (Valvanidis et al., 2009; Hong et al., 2015). Gen 

p53 terlibat dalam berbagai proses biologis seperti regulasi gen yang 

terlibat dalam siklus sel, pertumbuhan sel setelah kerusakan  DNA, dan 

apoptosis (Wang dan Shi., 2001). Dalam redoks  logam tidak aktif, seperti 

 kadmium dan  nikel menunjukkan toksisitasnya melalui ikatan dengan gugus 

sulfhidril  protein dan penipisan glutathione. Di sisi lain, redoks  logam aktif 

100 Biomarker Toksisitas Paparan Logam Tingkat Molekuler

seperti kobalt adalah perangsang potensial terjadinya stres oksidatif dan 

menyebabkan generasi  radikal bebas.

Pada kerusakan  DNA,  protein p53 akan mengaktifkan gen p21 dan 

gen Growth Arrest and  DNA Damage Inducible Protein (GADD45) untuk 

memungkinkan terjadinya repair  DNA. Apabila kerusakan  DNA parah, 

maka  protein p53 akan mengaktifkan gen untuk memicu proses apoptosis 

(Norbury dan Zhivotovsky, 2004; Lu et al., 2013). Apoptosis adalah 

proses eliminasi sel secara aktif melalui jalur terprogram. Kedua jalur 

apoptosis yaitu intrinsik dan ekstrinsik, mengaktifkan caspase 3. Caspase 

3 adalah mediator kunci dalam proses apoptosis karena aktivasi caspase 

3 adalah aktivasi terakhir sebelum terjadi  kematian sel sehingga caspase 

3 banyak digunakan sebagai indikator dalam deteksi apoptosis (Güven, 

et al., 2015). Caspase 3 merupakan variabel untuk mendeteksi apoptosis 

karena mekanisme apoptosis oleh p53 adalah caspase dependent (Putri et 

al., 2018)

Logam  nikel, kobalt, dan kromium juga mengakibatkan  mutasi pada 

gen p53 melalui mekanisme peningkatan produksi  ROS (Zhitkovich, 1998; 

Koedrith dan Rok Seo, 2011; Hong et al., 2015). Dalam keadaan hipoksia 

ringan, HIF-1 dapat menurunkan regulasi p53. HIF-1 dapat mengganggu 

aktivitas p53 melalui down regulation dari  protein supresor tumor 

Homeodomain-Interacting Protein Kinase-2 (HIPK2). HIPK2 memfosforilasi 

p53 di serin 46 sebagai  respons terhadap kerusakan  DNA dan kemudian 

mengaktifkan fungsi apoptosisnya (Obacz et al., 2013). Akumulasi  nikel dapat 

menonaktifkan prolyl hydroxylase yang merupakan  enzim yang berperan 

terhadap kepekaan adanya molekul  oksigen. Nikel juga menurunkan jumlah 

askorbat intraseluler, yang merupakan kofaktor  enzim prolyl hydroxylase. 

Hal tersebut selanjutnya dapat mengakibatkan HIF-1 teraktivasi. HIF-1 

dapat menurunkan regulasi p53. Penurunan p53 menyebabkan gen target 

GADD45 tidak mengalami aktivasi. GADD45 merupakan gen yang berperan 

dalam perbaikan  DNA. Jika GADD45 tidak teraktivasi, maka perbaikan  DNA 

tidak dapat terjadi. Dengan terhambatnya perbaikan  DNA, maka akan terjadi 

kerusakan  kromosom yang selanjutnya berdampak pada terbentuknya 

mikronuklei.

Mutasi gen p53 secara umum berupa transversi GC-TA (Pan et al., 

2008). Mutasi sering terjadi pada kondisi  kanker dan 60–70%  mutasi terjadi 

pada gen p53 dengan 38%  mutasi transversi G-T (Hollstein, 1991; Lubin et 

101Biomarker Toksisitas Logam Tingkat Molekuler di Tempat Kerja

al., 1995). Peningkatan kadar p53 mutan dapat menurunkan kadar p53 wild 

karena efek negatif dominan. Rohmaniar et al. (2017) menyatakan bahwa 

nilai p53 tipe wild rendah (0,282 ng/mg), walaupun kerusakan  kromosom 

(ditandai dengan mikronulei) tinggi. Nilai kontrol pada p53 tipe wild menurut 

(Hideshima et al., 2017; Putri et al., 2018) adalah 4,9 ng/mg. 

Protein p53 mutan tidak dapat menginduksi apoptosis pada  DNA yang 

rusak, diduga hal ini yang menyebabkan transformasi sel menjadi  kanker 

(Norbury dan Zhivotovsky, 2004). Perkembangan teknik biologi molekuler 

dapat menjelaskan bahwa salah satu penyebab terjadinya proses keganasan 

adalah kegagalan atau inaktivasi dari tumor supresor gen p53 (Kurniawan 

et al., 2018) Jika inaktivasi pada tumor supresor gen p53, misalnya pada 

sel yang mengalami  mutasi atau kehilangan gen p53, maka ekspresi P53 

( protein P53) tidak terjadi atau ekspresi  protein P53 terjadi, namun tidak 

dapat berfungsi sebagai pengaktivasi proses transkripsi pada beberapa gen 

target seperti gen (Cyclin Dependent Kinase Inhibitor 1A (CDKN1A) atau p21 

(gen p21) dan GADD45 (Kumar et al., 2010). 

Tumor supresor gen p53 memainkan peran sentral dalam pengawasan 

kerusakan  DNA, perbaikan  DNA, atau menginduksi  kematian sel alternatif 

sebagai solusi akhir dalam pemeliharaan integritas jaringan (Hale et al., 

1996; Levine 1997). Keterlibatan tumor supresor gen p53 tersirat dari 

adanya penurunan kerusakan sel yang disebabkan oleh iskemia, asam kainik, 

atau adrenalektomi pada tikus knock-out (Crumrine et al., 1994; Morrison et 

al., 1996; Sakhi et al., 1994, Sakhi et al., 1996) dan induksi  kematian neuronal 

oleh overekspresi p53 (Jordan et al.,1996; Slack et al., 1996). 

Peningkatan tumor supresor gen p53 dapat memberikan energi 

transaktif gen efektor yang produknya terlibat dalam perbaikan  DNA 

(Tomasevic et al., 1996). Salah satu gen yang bergantung pada p53 ini adalah 

GADD45, awalnya ditemukan dan diinduksi oleh agen-agen perusak  DNA 

dan radiasi pengion (Smith dan Fornace, 1996; Ishikawa et al., 2008). Sebagai 

tambahan, GADD45 berikatan langsung dengan proliferasi antigen inti sel 

(PCNA), komponen penting dari replikasi  DNA dan mesin perbaikan eksisi 

nukleotida (Smith dan Fornace, 1996), dan yang telah terbukti menurunkan 

iskemia serebral pada hippocampal neuron CA1 yang sensitif terhadap 

serangan ini (Tomasevic et al., 1996). Laporan ini menambahkan bobot lebih 

lanjut pada gagasan bahwa kegagalan stres atau  respons perbaikan mungkin 

penting dalam kerusakan neuronal lambat selektif setelah episode iskemik 

102 Biomarker Toksisitas Paparan Logam Tingkat Molekuler

(Honkaniemi dan Sharp 1996; Tomasevic et al., 1996). Dengan terhambatnya 

perbaikan  DNA, maka akan terjadi kerusakan  kromosom yang selanjutnya 

berdampak pada terbentuknya mikronuklei.

Perubahan  DNA akibat zat  genotoksik yang dapat dilihat pada sel 

mukosa bukal adalah mikronuklei (MN). MN dan nuclear abnormalities 

merupakan suatu  biomarker untuk memonitor suatu individu atau populasi 

yang terpapar senyawa yang bersifat mutagenik,  genotoksik, dan teratogenik 

(Torres et al., 2013). Mikronuklei merupakan bentukan kecil di luar inti yang 

terpisah dari bentukan utamanya dan terbentuk selama pembelahan sel 

oleh  kromosom atau fragmen  kromosom yang terlambat (Syaifudin, 2008). 

Kegagalan tersebut terjadi pada saat pembagian  kromosom saat siklus 

anafase pada fase mitosis (Nina et al., 2008). Terdapat beberapa penelitian 

yang menunjukkan frekuensi MN pada Peripheral Blood Lymphocytes (PBL), 

diasosiasikan dengan asupan diet dan konsentrasi plasma folat, vitamin B12, 

ribolavin, biotin, pantotenat, beta karoten, vitamin E, retinol, dan kalsium. 

Nuclear abnormalities merupakan gambaran yang menunjukkan adanya 

suatu diferensiasi seluler secara fisiologis dan juga terjadi selama  kematian 

sel dengan kerusakan  DNA. Nuclear abnormalities terdiri dari karyorrhexis 

(KR), pyknotic nuclei (PN), karyolysis (KL) (Torres, 2013). Mikronuklei pada 

lapisan bukal bagian superfisial dapat digunakan sebagai penanda adanya 

 mutasi gen, oleh karena pada lapisan superfisial juga terdapat mikronuklei 

yang terbawa dari lapisan basal akibat regenerasi sel epitel normal (Bonassi 

et al., 2005). Teknik mikronuklei (MN) pada sel bukal dapat mengevaluasi 

dengan jelas dan tepat munculnya kerusakan genetik yang muncul sebagai 

konsekuensi dari risiko pekerjaan atau  lingkungan. Teknik tersebut dapat 

diandalkan, cepat, relatif sederhana, murah, dan invasif minimal serta tidak 

menyebabkan rasa sakit (Torres et al., 2013).

Generasi stres oksidatif telah dianggap sebagai suatu mekanisme 

utama di balik toksisitas  logam berat. Logam berat memiliki potensi 

menghasilkan produk akhir yang memiliki entitas  kimia reaktif sangat 

tinggi, seperti  radikal bebas yang memiliki kemampuan untuk menyebabkan 

peroksidasi lipid, kerusakan  DNA,  oksidasi kelompok  protein sulfhidril, 

penipisan  protein, dan beberapa efek lainnya. Logam berat ditemukan 

menghasilkan  ROS, yang pada gilirannya menghasilkan efek  racun dalam 

bentuk hepatotoksisitas dan neurotoksi sitas serta nefrotoksisitas pada 

hewan dan manusia. 

103Biomarker Toksisitas Logam Tingkat Molekuler di Tempat Kerja

Beberapa spesies  oksigen reaktif diperlihatkan pada Gambar 7. Sifat-

sifat beberapa karakteristik mereka dan berdampak pada sistem seluler 

dirangkum dalam Tabel 1. Ulasan tentang  biomarker ini merangkum 

informasi tentang  logam berat yang menyebabkan ketidakseimbangan 

dalam sistem redoks, dalam tubuh, dan klinis, serta patofisiologi. Hal 

ini berimplikasi pada penggunaan produk alam dan sintetis tertentu 

untuk mengurangi toksisitas dan efek kesehatan yang dihasilkan melalui 

kerusakan oksidatif dan proses  penyakit.

Analisis  protein p53 mutan dengan menggunakan teknik elisa dapat 

digunakan sebagai alat diagnostik dan untuk membedakan keadaan 

tumor jinak dan ganas (Rohmaniar et al., 2017). Elisa adalah metode yang 

digunakan untuk mendeteksi ekspresi  protein. Elisa digunakan dalam 

penelitian ini dengan alasan karena metode yang sederhana, cepat, dan 

memberikan hasil kuantitatif (Ferrier et al., 1999). Ion  logam menyebabkan 

inhibisi ikatan  DNA dan gangguan konformasi  protein p53 yang dimurnikan 

dan diamati dengan metode  biokimia (EMSA dan ELISA).