Tampilkan postingan dengan label gangguan jiwa 1. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label gangguan jiwa 1. Tampilkan semua postingan

gangguan jiwa 1

 




Seiring dengan dinamisnya kehidupan manusia serta kondisi kasus  

kehidupan yang dihadapi seperti: globalisasi, perubahan demografi, dan tuntutan 

kebutuhan warga . Dampak negatifnya telah merubah perilaku individu, 

keluarga, dan warga . Memunculkan kasus  psikososial dan gangguan 

kesehatan jiwa yang berakibat pada rendahnya kualitas dan produktivitas sumber 

daya manusia. Akhirnya akan menjadi lingkaran setan antara gangguan kesehatan 

jiwa dengan kemiskinan.  

kasus  kesehatan jiwa di dunia sudah menjadi kasus  kesehatan global  

yang sangat serius. Hampir 400 juta warga  dunia menderita kasus  kesehatan 

jiwa dan gangguan perilaku, satu dari empat keluarga sedikitnya memiliki  

seorang anggota keluarga dengan gangguan kesehatan jiwa (WHO, 2011). Setiap 

empat orang yang memerlukan  pelayanan kesehatan seorang diantaranya 

mengalami gangguan jiwa dan sering kali tidak terdiagnosis secara tepat sehingga 

tidak memperoleh perawatan dan pengobatan dengan tepat. Menurut World 

Federation of Mental Health atau disingkat WFMH (2016) dalam (Ikatan Dokter 

negarakita , 2016) ada fakta mencengankan, bahwa satu dari empat orang dewasa 

akan mengalami kasus  kesehatan jiwa pada satu waktu dalam hidupnya. 

Bahkan, setiap 40 detik di suatu tempat di dunia ada seseorang yang meninggal 

karena bunuh diri. 

kasus  jiwa menimbulkan beban yang sangat besar terutama beban sosial 

dan ekonomi, dimana mengakibatkan proporsi besar terhadap beban penyakit 

serta penyebab terbesar disabilitas yang hampir 14% dari beban penyakit global 

yang diukur dengan disability-adjusted life years (DALYs), disebabkan oleh 

gangguan jiwa. Hal ini  akan sangat mempengaruhi pencapaian MDGs/SDGs. 

Selain hal ini  gangguan jiwa (depresi mayor unipolar) menjadi beban global 

penyakit selain penyakit jantung iskemik pada tahun 2020 dan sesudah  HIV-AIDS 

pada tahun 2030 (Global Burden of Disease-WHO, 2012). Fenomena orang 

dengan gangguan jiwa (ODGJ) masih menjadi salah satu perkasus an kesehatan 

yang signifikan di dunia, sehingga trend dan isu kesehatan jiwa global ini akan 

berpengaruh terhadap beberapa Negara termasuk negarakita . 

Data di negarakita  untuk kasus  kesehatan jiwa tertuang dalam hasil 

Riskesdas (2013). Gejala gangguan mental emosional seperti depresi dan anxietas 

pada usia lebih sama dengan 15 tahun sebesar 6% atau sebanyak lebih dari 10 juta 

jiwa. Prediksi ke depan akan semakin menambah angka gangguan jiwa berat 

(psikosis) dengan angka gejala-gejala psikosis sebesar 1,7/1000 atau sebesar lebih 

dari 450.000 jiwa. Akan menjadi fenomena bola salju bila kasus  kesehatan jiwa 

dan fisik dimana terdapat 20% - 30% pasien depresi pada pasien dengan penyakit 

fisik kronis dan orang yang mengalami penyakit fisik kronis cenderung 2-3 kali 

lebih sering mengalami depresi, sebaliknya 2/3 dari orang yang mengalami 

depresi lebih tinggi kemungkinannya untuk timbul penyakit fisik yang kronis. 

Terdapat hubungan yang bermakna antara depresi dengan penyakit fisik kronis 

(penyakit jantung, asma, arthritis). Sebanyak 14,3% (lebih dari 60.000) dari 

warga  negarakita  yang mengalami gangguan jiwa berat, mengatakan pernah 

dipasung. Pemasungan pada orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) merupakan 

salah satu dampak  kesenjangan pengobatan terhadap gangguan jiwa. Begitu besar 

data kejadian kasus  gangguan jiwa yang aktual dan potensial di negarakita  yang 

sangat penting dilakukan penanganan serius, terutama melalui kehadiran 

pemerintah. 

Menurut data statistik direktorat kesehatan jiwa, ODGJ terbesar 

terdiagnosa medis skizofrenia yaitu 70% (Depkes RI, 2003). Kelompok 

skizofrenia menempati 90% ODGJ di rumah sakit jiwa di seluruh negarakita  (Jalil, 

2006). Salah satu kasus  dalam penanganannya menurut Olfson dkk (2000) 

dalam Stuart & Laraia (2005) adalah terjadinya kekambuhan dimana dialami oleh: 

60%-70% pada ODGJ yang mendapatkan terapi medikasi; 40% pada ODGJ yang 

hanya mendapatkan medikasi, serta 15,7% pada ODGJ dengan kombinasi terapi 

medikasi, psikoterapi dan mendapat dukungan dari tenaga kesehatan, keluarga, 

dan warga , kekambuhan ini  terjadi pada satu tahun sesudah  terdiagnosa 

skizofrenia. 

 

 

Prevalensi gangguan mental emosional warga  negarakita  menurut hasil 

Riskesdas (2013) angka tertinggi gangguan jiwa berat ada di Yogyakarta dan 

Aceh (masing masing 2,7%), sedangkan yang terendah yaitu Kalimantan Barat 

(0,7%), sementara untuk Provinsi Banten prevalansinya (1,1%). Adapun untuk 

prevalensi gangguan jiwa berat nasional adalah 1,7 per mil. berdasar  

prevalansi gangguan jiwa berat ini , posisi Provinsi Banten masih di bawah 

angka nasional. Meski demikian Pemerintah Provinsi Banten tidak bisa diam 

untuk berupaya meminimalisir kondisi ini . 

 

berdasar  data gambar ini  diketahui bahwa prevalensi gangguan 

mental emosional berdasar  karakteristik Riskesdas 2007 dan 2013 terjadi 

penurunan. Menurut kelompok umur gangguan mental tertinggi berada di umur 

75 tahun ke atas. Prevalensi untuk jenis kelamin, perempuan merupakan yang 

tertinggi dan untuk tingkat pendidikan posisi tidak sekolah menjadi yang tertinggi. 

Adapun berdasar  karakteristik wilayah, posisi pedesaan adalah merupakan 

paling tinggi dibandingkan perkotaan. 

Frekuensi kekambuhan dan proporsinya dalam satu tahun menambah 

kasus  penanganan skizofrenia pada ODGJ selain angka kekambuhan. Survei 

yang dilakukan pada 697 psikiater serta 1082 keluarga oleh Federasi Kesehatan 

 

 

Jiwa Sedunia (World Federation of Mental Health) tahun 2006 menunjukan hasil 

bahwa hampir 37% keluarga menyatakan ODGJ kambuh lima kali atau lebih 

sesudah  terdiagnosa skizofrenia. Hal ini  diperkuat bahwa ODGJ dengan 

skizofrenia mengalami kekambuhan 50% pada tahun pertama dan 70% pada tahun 

kedua (Sulinger, 1988 yang dikutip oleh Keliat, 2003), bahkan ODGJ dengan 

skizofrenia mengalami kekambuhan 25% pada tahun pertama, 70% pada tahun 

kedua, dan 100% pada tahun ketiga di RS dr. Sardjito Yogyakarta pada tahun 

2003 (Jalil, 2006). 

Beberapa hal ini  di atas tidak terlepas dari kondisi saat ini, dimana 

terdapat kesenjangan pengobatan yang masih tinggi mencapai 90%, adanya 

keterlambatan dalam pengenalan kasus  kesehatan jiwa, keterlambatan dalam 

membawa orang dengan kasus  kejiwaan ke fasilitas kesehatan, serta adanya 

kasus-kasus pemasungan. Sementara sumber daya layanan kesehatan jiwa secara 

nasional masih terbatas. Identifikasi terhadap kesenjangan pengobatan beberapa 

penyebab diantaranya adalah kondisi geografis yang sulit dijangkau, tingkat 

pengetahuan warga  terhadap kesehatan jiwa masih rendah, stigma terhadap 

kesehatan jiwa, sumber daya pendukung layanan kesehatan jiwa masih terbatas, 

serta faktor ekonomi, sosial, dan budaya. 

Gangguan jiwa berat menimbulkan beban bagi pemerintah, keluarga serta 

warga  oleh karena produktivitas pasien menurun dan akhirnya menimbulkan 

beban biaya yang besar bagi pasien dan keluarga. Dari sudut pandang pemerintah, 

gangguan ini menghabiskan biaya pelayanan kesehatan yang besar. Sampai saat 

ini masih terdapat pemasungan serta perlakuan salah pada pasien gangguan jiwa 

berat di negarakita . Hal ini akibat pengobatan dan akses ke pelayanan kesehatan 

jiwa belum memadai. Salah satu upaya yang dilakukan pemerintah melalui 

Kementerian Kesehatan adalah menjadikan negarakita  bebas pasung oleh karena 

tindakan pemasungan dan perlakukan salah merupakan tindakan yang melanggar 

hak asasi manusia (Riskedas Kemenkes, 2013). 

Selain gangguan jiwa berat, Riskesdas Kemenkes (2013) juga melakukan 

penilaian gangguan mental emosional. Gangguan mental emosional merupakan 

istilah yang sama dengan distres psikologik. Kondisi ini  merupakan keadaan 

 

 

yang mengindikasikan seseorang sedang mengalami perubahan psikologis. 

Berbeda dengan gangguan jiwa berat psikosis dan skizofrenia, gangguan mental 

emosional adalah gangguan yang dapat dialami semua orang pada keadaan 

tertentu, tetapi dapat pulih seperti semula. Gangguan ini dapat berlanjut menjadi 

gangguan yang lebih serius apabila tidak berhasil ditanggulangi. Perhatian besar 

ditunjukan WHO (2001), dimana  jika 10% dari populasi warga  mengalami 

kasus  kesehatan jiwa maka harus mendapat perhatian serius karena sudah 

terkategori rawan kesehatan jiwa yang perlu disikapi secara serius oleh semua 

pihak. 

Setiap orang dijamin oleh Negara untuk bisa hidup sejahtera lahir dan 

batin serta memperoleh pelayanan kesehatan, hal ini  merupakan amanat 

UUD Tahun 1945 (Pasal 28 ayat 1). Upaya untuk meminimalisir dan 

mengendalikan perkasus an kesehatan jiwa, Pemerintah negarakita  sudah 

berupaya dengan membuat regulasi dan berbagai program penanganan. 

Keseriusan pemerintah dalam menangani hal ini  dengan dikeluarkannya 

Undang-undang No. 3 Tahun 1966 dan diperbaharui dengan UU No. 18 Tahun 

2014 tentang Kesehatan Jiwa. 

Pemerintah negarakita  juga mencanangkan pada Tahun 2017 ini sebagai 

tahun “bebas pasung”. Kondisi ini  tentunya tidak terlepas dari tingginya 

angka pasung di negarakita , Data Riskesdas (2013) menunjukkan bahwa gangguan 

jiwa berat yang pernah dipasung sebesar 14,3 persen. Tindakan pemasungan 

dilakukan secara tradisional dengan menggunakan kayu atau rantai pada kaki, 

tetapi juga tindakan pengekangan yang membatasi gerak, pengisolasian, termasuk 

mengurung dan penelantaran, yang menyertai salah satu metode pemasungan 

(Kemenkes, 2013). Begitu pun potret di Provinsi Banten yang juga menjadi salah 

satu representasi dari kondisi nasional. 

berdasar  data hasil Riskesdas tahun 2013 menunjukan 1 dari 17 

warga  di Banten memiliki gangguan mental emosional (anxietas dan depresi) 

serta sekitar 13.200 warga  di Banten memiliki gangguan jiwa berat (psikotik). 

Bila disikapi dengan bijak, penanganan ODGJ di Provinsi Banten harus sangat 

serius mengingat pergeseran dari kasus  gangguan emosional yang akan 

 

 

semakin beresiko bergeser ke kasus  gangguan jiwa berat dan lambat atau cepat 

menambah angka ODGJ. Diperkuat dengan laporan data kasus pasung per 

kabupaten/kota pada periode Januari-Juli 2017, dari 5851 yang dilaporkan sudah 

4881 (87%) yang ditangani dengan Kota Cilegon yang melaporkan data kasus 

paling tinggi yaitu 2923 (52%) dan sudah ditangani seluruhnya. Sedangkan 

jumlah pasung yang dilaporkan masih ada 101 ODGJ dengan sebaran terbanyak di 

Kabupaten Pandeglang dan Kabupaten Lebak yaitu masing-masing 27 (27%) 

(Dinkes Provinsi Banten, 2017). Sehingga kondisi kasus  kesehatan jiwa di 

Banten ini perlu segera ditangani dengan model penanganan yang tepat dan 

komprehensif pada semua populasi; populasi sehat, populasi resiko tinggi dan 

populasi dengan gangguan jiwa. 

Sesuai kebijakan dari pemerintah pusat dengan nawa cita, nomor lima 

yaitu upaya meningkatkan kualitas hidup manusia negarakita . Arah pembangunan 

kesehatan di negarakita  sesuai dengan RPJMN III 2015-2019, dari kuratif bergerak 

ke arah promotif dan preventif sesuai dengan kondisi dan kebutuhan. Upaya 

promotif dan preventif kesehatan jiwa meliputi pendekatan siklus kehidupan dan 

kelompok resiko serta terintegrasi pada semua tingkat layanan kesehatan dan 

kegiatan layanan primer dan sekunder. 

Perkembangan ODGJ di Provinsi Banten berdasar  banyaknya kondisi 

yang dipasung jumlahnya terus mengalami peningkatan. Data Riskesdas 

Kemenkes (2013) menyatakan persentasenya mencapai 10,3 persen. Jumlah 

ODGJ di Provinsi Banten terus mengalami peningkatan, data Dinas Kesehatan 

Provinsi Banten (2015) pada Oktober 2015 tercatat ada sebanyak 1.600 orang dan 

pada September 2016 mencapai 1.650 orang. Fenomena ini  perlu menjadi 

perhatian pemerintah daerah untuk ditangani secara serius. 

Penderita gangguan jiwa atau ODGJ ini seringkali menjadi kaum marjinal 

yang dilupakan keberadaannya oleh jutaan warga  di Banten. Padahal, sebagai 

warga negara, warga  penderita gangguan jiwa tetap memiliki hak 

sebagaimana yang dimiliki warga  tanpa gangguan jiwa. Khususnya hak 

mendapatkan pelayanan kesehatan serta hak-hak yang lainnya baik dari 

warga  maupun pemerintah. Fenomena perkasus an orang yang terganggu 

 

 

kesehatan jiwa seringkali berakhir dengan dirantai atau dikurung di ruang yang 

penuh sesak dan sangat tidak sehat, tanpa persetujuan mereka, karena stigma dan 

minimnya perawatan kesehatan jiwa dan dukungan pelayanan berbasis 

warga . Di institusi itu mereka menghadapi kekerasan fisik dan seksual, 

menjalani pengobatan paksa termasuk terapi elektro-syok, diisolasi, dibelenggu, 

dan dipaksa menerima kontrasepsi. 

Pemasungan orang dengan kondisi kesehatan jiwa adalah tindakan ilegal 

di negarakita , tapi ini masih jadi praktik brutal dan berkembang luas, Orang 

menjalani hidupnya selama bertahun-tahun dengan dirantai, diikat di balok kayu, 

atau dikurung di kandang kambing karena keluarga tak tahu lagi yang harus 

dilakukan. Sementara pemerintah belum bisa memberikan solusi alternatif yang 

tepat dalam pengobatan yang manusiawi untuk warga . Berikut ini 

perkembangan data Kasus Pasung di Provinsi Banten dari 2014-2017: 

Tabel 1.1 Data Kasus Pasung di Provinsi Banten dari 2014-2017 

No Perkembangan Kasus Pasung 

Tahun 

2014 2015 2016 2017 

1 Jumlah pasien yang di laporkan 88 189 1706 5651 

2 Jumlah pasien yang ditangani 83 181 820 4881 

3 Jumlah pasien yang dilepas   25 23 

4 Jumlah yang dipasung    101 

5 Jumlah yang rujuk    444 

Sumber: Dinkes Provinsi Banten (2017) 

berdasar  tabel ini  bahwa perkembangan data kasus pasung di 

Provinsi Banten dari 2014-2017 tercatat semakin meningkat. Hal ini  dilihat 

dari jumlah pasien yang dilaporkan di tahun 2017 semakin memuncak sebanyak 

5651 orang, sementara yang dilaporakan 4881 orang, pasien yang dilepas 23 

orang, yang dipasung 101 orang dan jumlah yang dirujuk sebanyak 444 0rang. 

Pemerintah Provinsi Banten melalui Dinas kesehatan secara umum sudah 

memulai upaya penanganan dengan turunan kebijakan dan program dari 

kementrian kesehatan.  Beberapa hal terkait layanan kesehatan jiwa warga  di 

Banten belum terintegrasi dengan baik pada beberapa level seperti rumah sakit 

jiwa (RSJ), layanan psikiatri/psikologi di RSU, layanan kesehatan jiwa di 

puskesmas, kelompok swabantu, LSM peduli kesehatan jiwa, dan perawatan diri 

 

 

di keluarga (self care). kasus  kesehatan jiwa tidak menjadi perhatian pemangku 

kebijakan terkait dengan beberapa hal seperti kesehatan jiwa belum menjadi 

agenda prioritas, investasi pemerintah di bidang kesehatan jiwa masih rendah 

termasuk sumber daya manusia untuk pelayanan kesehatan jiwa, anggaran untuk 

program kesehatanjiwa sangat kecil tidak sebanding dengan beban yang 

ditimbulkan. Sumber daya kesehatan jiwa masih terkonsentrasi di RSJ di kota 

besar sehingga mempengaruhi akses dan kontinuitas layanan kesehatan jiwa. 

Layanan kesehatan jiwa belum secara merata terintegrasi di layanan primer; masih 

kurangnya dokter dan perawat terlatih jiwa, ketersediaan obat baik jenis, dan 

jumlah yang masih kurang, sebagian besar puskesmas tidak menjalankan program 

kesehatan jiwa dengan alasan kesehatan jiwa bukan program psrioritas. Banyak 

Dinas Kesehatan Provinsi, Kabupaten/Kota tidak memiliki pemegang program 

kesehatan jiwa. 

Tabel 1.2 Puskesmas Yang Melaksanakan Layanan Kesehatan Jiwa di 

Kabupaten/Kota Provinsi Banten 

No Kabupaten / Kota Jumlah Puskesmas 

Jumlah Puskesmas 

yang Membuka 

Layanan Jiwa 

1 Kota Serang 16 6 

2 Kabupaten Serang 31 13 

3 Kabupaten Pandeglang 36 11 

4 Kabupaten Lebak 42 11 

5 Kota Tangerang 33 7 

6 Kabupaten Tangerang 44 9 

7 Kota Tangerang Selatan 25 5 

8 Kota Cilegon 8 8 

 

Provinsi 235 70 

Sumber: Dinkes Provinsi Banten (2017) 

 

berdasar  tabel ini  diketahui bahwa jumlah layanan jiwa di 

puskesmas yang ada di Banten baru ada 70 puskesmas dari 235 puskemas yang 

ada di Provinsi Banten. Sejauh ini Pemerintah Provinsi Banten baru sebatas 

mengoptimalkan peran puskesmas yang ada dalam menangani perkasus an 

penyakit ganggunan jiwa, dengan menyediakan obat dan menjadi pusat konsultasi. 

Sejauh ini di Banten belum ada rumah sakit rujukan dan terdapat rumah sakit yang 

 

 

menangani kasus  kesehatan ini  di setiap daerah khususnya daerah dengan 

jumlah Orang Dengan kasus  Kejiwaan (ODMK) dan Orang Dengan Gangguan 

Kejiwaan (ODGJ). 

Keseriusan Pemerintah Provinsi Banten tentunya harus 

mempertimbangkan penanganan kasus  kesehatan jiwa yang mengacu kepada 

sistem kesehatan jiwa antara lain; (1) Regulasi, kebijakan, dan perencanaan; (2) 

Finansial; (3) Kemitraan dan pemberdayaan, pemangku kepentingan; (4) Sistem 

layanan kesehatan jiwa; (5) Infrastruktur; dan (6) Sistem informasi dan evaluasi. 

Sehingga sangat penting dalam upaya melakukan penanganan ODGJ 

mendapatkan data dasar terlebih dahulu terkait kesiapan keenam sistem kesehatan 

jiwa ini . Begitu pula regulasi yang akan menjadi landasan hukum dalam 

pelaksanaan penanganan. 

Payung hukum sudah cukup jelas diturunkan dari mulai UU No.36 tahun 

2009 tentang kesehatan, mengenai layanan kesehatan jiwa pada pasal 144, 146, 

dan 147. UU No.18 tahun 2014 tentang kesehatan jiwa yang terdiri dari 10 bab 

dan 91 pasal, mengenai layanan kesehatan jiwa pada pasal 33 dan 34, serta 

didukung satu peraturan presiden terkait koordinasi dalam pelaksanaan upaya 

kesehatan jiwa, empat peraturan menteri kesehatan dan satu peraturan menteri 

sosial. Bagaimana untuk kesiapan regulasi pada pemerintah daerah?. Hal ini  

tentunya akan berpengaruh terhadap model penanganan yang akan ditetapkan. 

Pemerintah Provinsi Banten secara regulasi di daerah juga belum memiliki 

peraturan daerah yang berkaitan dengan penganan orang dengan gaganguan jiwa. 

hal ini  menyulitkan pemerintah untuk leluasa berinovasi melakukan upaya 

penanganan secara masif. 

Finansial dan pendanaan tentunya pemerintah daerah ketika menggulirkan 

suatu pola kebijakan penanganan kesehatan jiwa perlu merasa memiliki sumber 

dana yang memadai, memiliki  perencanaan pengajuan maupun penggunaan 

dana serta memiliki kapasitas untuk dapat membuat perencanaan dana yang baik. 

Apakah masih tergantung kepada pendanaan pusat, hal ini tentunya harus segera 

menggali potensi daerah untuk mengalokasikan pada kegiatan pelayanan 

kesehatan jiwa ini. 

10 

 

10 

 

Penanganan ODGJ harus melibatkan berbagai pihak dalam kemitraan dan 

pemberdayaan. kasus  kesehatan jiwa harus dipahami dan dinggap menjadi 

kasus  bersama, memiliki mitra pemangku kepentingan, dan upaya advokasi 

yang dilakukan harus dirasakan efektif. Terkait hal penting lain adalah 

membangun system layanan kesehatan jiwa dengan memiliki fasilitas kesehatan 

jiwa yang cukup, memiliki kemampuan dan aktivitas layanan kesehatan yang 

cukup (preventif dan rehabilitatif) dan sistem rujukan berjenjang dan dua arah 

yang berjalan sesuai dengan harapan. Fenomena yang terjadi masih ditemukan 

orang gila (ODGJ) yang berkeliaran di Jalur Protokol yang membuat 

terganggunya ketertiban dan kenyamanan kota. Beberapa upayan razia kerap 

dilakukan oleh Dinas Sosial bersama dengan Satpol PP Pemerintah 

Kabupaten/Kota, namun kondisi ini  belum ampuh menyelesaikan 

perkasus an. Banyaknya ODGJ yang berkeliaran diduga juga ada pihak-pihak 

yang melakukan pengiriman dari luar daerah di Banten. 

Sumber daya manusia, infrastruktur harus terpenuhi secara kuantitas dan 

kualitas dari mulai tingkat dinas, puskesmas, sampai warga . Fisik bangunan, 

obat, dan alat penunjang layanan, transfortasi sesuai kebutuhan. Serta sistem 

informasi dan evaluasi yang meliputi pencatatan dan pelaporan sebagai gambaran 

capaian saat ini untuk menyusun rencana tindak lanjut dan sumber daya manusia 

yang memiliki kapasitas pengelolaan sistem informasi yang baik. 

Upayan Pemerintah Provinsi Banten sejuh ini dalam melakukan 

penanganan ODGJ belum secara masif. Meski sudah ada beberapa upaya seperti 

yang dilakukan oleh Dinas Sosial dan Dinas Kesehatan Provinsi Banten yaitu 

dengan pemeriksaan, menyediakan obat hingga rehabilitasi. Korban ODGJ yang 

ditangani adalah rata-rata mereka yang menjadi korban pemasungan. sesudah  

dilakukan pemeriksaan dan pengobatan, korban ODGJ kemudian diserahkan 

kepada yayasan yang ditunjuk sebagai Instalasi Penerima Wajib Lapor (IPL) 

untuk dilakukan rehabilitasi, di mana ada empat yayasan sejauh ini ditunjuk oleh 

pemerintah daerah, salah satunya Yayasan Bani Sifa di Kecamatan Pamarayan 

Kabupaten Serang. 

11 

 

11 

 

Pemerintah Provinsi Banten juga belum memaksimalkan layanan BPJS 

(Badan Penyelenggaraan Jaminan Sosial) Kesehatan. Padahal langkah ini  

bisa meringkankan beban ekonomi keluarga pasien ODGJ. Fasilitasi 

pelayanannya dengan mengunakan fasilitas BPJS dapat meringkan pengobatan 

keluarga pasien ODGJ. Upaya Pemerintah Provinsi Banten untuk menangani 

perkasus an ODGJ sudah berencana akan mendirikan Rumah Sakit Jiwa (RSJ). 

Tahapan ini  baru sebatas pengamatan bahwa RSJ akan dibangun di 

Kecamatan Ciruas, Kabupaten Serang, seluas lima sampai enam hektar 

(tangselpos.co.id, dikases 24-08-2017). Namun upaya terebut hingga saat ini 

belum ada tanda-tanda akan dibangunnya RSJ di Provinsi Banten ini. 

Fenomena kompleksnya perkasus an penanganan ODGJ di atas, maka 

penanganannya perlu melibatkan oleh semua stakeholders, baik pemerintah 

maupun partisipasi warga . Perlu dilakukan penanganan kesehatan jiwa 

berbasis warga  yaitu dengan cara pemberdayaan serta membangun 

kemandirian warga  dibidang kesehatan jiwa. berdasar  amanat UU No. 8 

Tahun 2014 di atas sudah secara tegas bahwa sistem pelayanan Kesehatan Jiwa 

harus dilakukan secara berjenjang dan komprehensif. Maka pemerintah tentu tidak 

bisa melaksanakan sistem palayanan kesehatan jiwa ini  dengan baik tanpa 

keterlibatan semua pihak khusunya warga . Sehingga, Pemerintah daerah 

perlu mendukung fasilitasi dari penanganan rehabilitasi ODGJ berbasis 

warga . 

berdasar  uraian latar belakang ini  maka untuk menyusun, 

membuat skema dari penanganan ODGJ tentunya terlebih dahulu harus diketahui 

kesiapan sistem kesehatan jiwa di atas, demikian pentingnya diketahui kesiapan 

sistem ini  sehingga harus melalui upaya telaah dengan sebuah penelitian. 

 

1.2 RUMUSAN kasus  

berdasar  latar belakang kasus  yang diuraikan di atas, sesudah  

dilakukan identifikasi perkasus an mengenai “Model Penanganan Orang Dengan 

Gangguan Jiwa (ODGJ) di Provinsi Banten”. Maka, ada beberapa rumusan 

kasus  yang hendak dikaji untuk diteliti dalam penelitian ini, diantaranya: 

12 

 

12 

 

1. Bagaimanakah upaya penanganan Orang dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) 

di Provinsi Banten? 

2. Apa kendala penanganan Orang dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) di 

Provinsi Banten? 

3. Bagaimana bentuk dan upaya yang harus dilakukan untuk penanganan 

Orang dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) di Provinsi Banten? 

 

1.3 TUJUAN  

Tujuan penelitian penelitian model penanganan Orang dengan Gangguan 

Jiwa (ODGJ) di Provinsi Banten adalah bertujuan untuk mengetaui, mengkaji dan 

menganalisis dan serta merumuskan: 

1. Untuk mengetahui model penanganan Orang dengan Gangguan Jiwa 

(ODGJ) di Provinsi Banten. 

2. Untuk Mengetahui kendala penanganan Orang dengan Gangguan Jiwa 

(ODGJ) di Provinsi Banten. 

3. Untuk menganalisis dan menemukan bentuk dan upaya yang harus 

dilakukan sebagai model penanganan Orang dengan Gangguan Jiwa 

(ODGJ) di Provinsi Banten. 

 

1.4 SASARAN 

Untuk dapat merealisasikan tujuan ini  di atas, maka pelaksanaan 

penelitian Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) di Provinsi Banten, di arahkan 

pada sasaran manfaat sebagai berikut : 

1. Diharapkan dapat memberikan masukan dan bahan pertimbangan bagi 

pemerintah daerah dalam merumuskan program kebijakan, khususnya 

masukan alternatif kebijakan dalam upaya penanganan kasus  Orang 

Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) yang berkesinambungan di Provinsi 

Banten. 

2. Dapat menyusun rekomendasi tentang alternatif tindakan dan pemikiran 

mengenai upaya-upaya yang harus dilakukan dalam rangka 

penyempurnaan kebijakan program berkaitan dengan model penanganan 

13 

 

13 

 

kasus  Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) di Provinsi Banten 

secara tuntas. 

3. Diharapakan penelitian model penanganan orang dengan gangguan jiwa 

(ODGJ) di Provinsi Banten, diikuti oleh Aparatur dari Dinsos Provinsi 

Banten, Dinkes Provinsi Banten, Kader Kesehatan, Tokoh warga , 

Tokoh Agama, Aparat Desa, dan unsur SKPD Kabupaten/Kota Provinsi 

Banten dan Aparatur Badan Perencanaan dan Pembangunan Provinsi 

Banten. 

 

1.5 DASAR HUKUM 

1. Undang-Undang Dasar 1945, pasal 25A, Pasal 28H ayat (1), pasal 31 

pasal, dan pasal 33 ayat  (3). 

2. Undang-undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang 

(Lembaran Negara Republik negarakita  Tahun 1992 Nomor 115,  

Tambahan Lembaran Negara Nomor 3501); 

3. Undang-undang Nomor 23 Tahun 2000 tentang Pembentukan Provinsi 

Banten (Lembaran Negara Republik negarakita  Tahun 2000 Nomor 182, 

Tambahan Lembaran Negara Nomor 4010); 

4. Undang-undang Nomor 18 Tahun 2002 tentang Sistem Nasional 

Penelitian, Pengembangan dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan 

Teknologi; 

5. Undang-undang no. 20 tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan 

Nasional. 

6. Undang-undang 25 tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan 

Pembangunan Nasional. 

7. Undang-undang no. 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah 

8. Peraturan Pemerintah RI Nomor 38 tahun 2007 tentang Pembagian 

Kewenangan; 

9. Undang Undang Republik negarakita  Nomor 11 Tahun 2009 Tentang 

Kesejahteraan Sosial; 

14 

 

14 

 

10. Undang Undang Republik negarakita  Nomor 36 Tahun 2009 Tentang 

Kesehatan; 

11. Undang Undang Republik negarakita  Nomor 18 Tahun 2014 Tentang 

Kesehatan Jiwa; 

12. Undang Undang Republik negarakita  Nomor 8 Tahun 2016 Tentang 

Penyandang Disabilitas; 

13. Peraturan Pemerintah RI Nomor 50 tahun 2007 tentang Kebijakan 

Kerjasama Daerah; 

14. Peraturan Pemerintah No. 48 Tahun 2008 tentang Pendanaan 

Pendidikan; 

15. Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 2010 Tentang Perubahan Atas 

Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010 Tentang Pengelolaan dan 

Penyelenggaraan Pendidikan. 

16. Peraturan Pemerintah No. 39 Tahun 2012 Tentang Penyelenggaraan 

Kesejahteraan Sosial; 

17. Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua 

Atas PP No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan; 

18. Perpres Nomor 72 Tahun 2012 tentang Sistem Kesehatan Nasional; 

19. Peraturan Menteri Kesehatan Republik negarakita  Nomor 39 Tahun 

2016 Tentang Pedoman Penyelenggaraan Program negarakita  Sehat 

Dengan Pendekatan Keluarga. 

20. Peraturan Daerah Provinsi Banten Nomor 3 Tahun 2008 tentang 

Pembentukan, Organisasi dan Tata Kerja Dinas Daerah Provinsi 

Banten; 

21. Peraturan Daerah Provinsi Banten Nomor 8 Tahun 2010 Tentang 

Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial. 

15 

 

15 

 

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 

 

2.1 KEBIJAKAN PUBLIK 

Kebijakan secara umum menurut Said Zainal Abidin, (2005) dapat 

dibedakan dalam tiga tingkatan: kebijakan umum, yaitu kebijakan yang menjadi 

pedoman atau petunjuk pelaksanaan baik yang bersifat positif ataupun yang 

bersifat negatif yang meliputi keseluruhan wilayah atau instansi yang 

bersangkutan. Kebijakan pelaksanaan, adalah kebijakan yang menjabarkan 

kebijakan umum. Untuk tingkat pusat, peraturan pemerintah tentang pelaksanaan 

suatu undang-undang. Kebijakan teknis, kebijakan operasional yang berada di 

bawah kebijakan pelaksanaan. 

Definisi kebijakan menurut Aminullah (dalam Muhammadi, 2001) 

Kebijakan adalah suatu upaya atau tindakan untuk mempengaruhi sistem 

pencapaian tujuan yang di inginkan, upaya dan tindakan dimaksud bersifat 

strategis yaitu berjangka panjang dan menyeluruh. Sedangkan menurut Ndraha 

(2003) bahwa kata Kebijakan berasal dari terjemahan kata policy, yang 

memiliki  arti sebagai pilihan terbaik dalam batas-batas kompetensi aktor dan 

lembaga yang bersangkutan dan secara formal mengikat. 

Dari beberapa definisi Kebijakan, maka dapat dibuat kesimpulan bahwa 

Kebijakan adalah suatu keputusan berdasar  hubungan kegiatan yang dilakukan 

oleh aktor politik guna menentukan tujuan dan mendapat hasil berdasar  

pertimbangan situasi tertentu. Jadi, berdasar  beberapa Definisi mengenai 

kebijakan, maka dapat di simpulkan, bahwa Kebijakan adalah intervensi 

pemerintah (dan publik) untuk mencari cara pemecahan kasus  dalam 

pembangunan dan mendukung proses pembangunan yang lebih baik. 

Kebijakan Publik pada dasarnya merupakan keputusan atau pilihan 

tindakan secara langsung yang mengatur pengelolaan dan pendistribusian 

sumberdaya ini , baik sumber daya alam, financial, maupun sumberdaya 

manusia demi kepentingan publik (umum), yaitu rakyat banyak, warga , 

warga  dalam suatu negara. Riant Nugroho (2003) menjelaskan bahwa 

terdapat tiga kegiatan pokok yang berkaitan dengan Kebijakan Publik, yaitu: 

16 

 

16 

 

Pertama, Perumusan Kebijakan. Kedua, Implementasi Kebijakan. Ketiga, 

Evaluasi Kebijakan. Di dalam pengertian Kebijakan Publik, menurut Young dan 

Quinn (dalam Edi Suharto, 2010): 

1. Kebijakan Publik adalah tindakan yang dibuat dan di implementasikan 

oleh badan pemerintah yang memiliki kewenangan hukum, politis dan 

financial untuk melakukannya. 

2. Kebijakan Publik biasanya bukanlah sebuah keputusan tunggal, 

melainkan terdiri dari beberapa pilihan tindakan atau strategi yang 

dibuat untuk mencapai tujuan tertentu demi kepentingan orang banyak. 

3. Kebijakan Publik adalah tindakan kolektif untuk memecahkan kasus  

sosial. Namun, kebijakan publik bisa juga dirumuskan berdasar  

keyakinan bahwa kasus  sosial akan dapat dipecahkan oleh kerangka 

kebijakan yang sudah ada dan karenanya tidak memerlukan tindakan 

tertentu. 

4. Kebijakan Publik adalah kebijakan yang berisi sebuah pernyataan atau 

justifikasi terhadap langkah-langkah atau rencana tindakan yang telah 

dirumuskan, bukan sebuah maksud atau janji yang belum dirumuskan. 

 

Di dalam analisis kebijakan publik yang dibuat terdapat pertimbangan lain 

dalam menetapkan suatu kasus  sosial yang akan dijadikan pusat kajian 

kebijakan adalah penentuan apakah kasus  ini  termasuk kategori kasus  

sosial strategis atau tidak. Suharto (2010) mengajukan empat parameter yang 

dapat dijadikan pedoman untuk memecahkan kasus  sosial. Selanjutnya menurut 

Thomas R. Dye dalam Riant Nugroho, (2008) mendefinisikan kebijakan publik 

sebagai “segala sesuatu yang dikerjakan pemerintah, mengapa mereka melakukan 

dan hasil apa yang membuat kehidupan bersama tampil berbeda”. 

Sementara menurut Harold Laswell (dalam Riant Nugroho, 2008) 

mendefinisikan Kebijakan Publik “sebagai program yang diproyeksikan dengan 

tujuan-tujuan tertentu, nilai-nilai dan praktik-praktik tertentu. Kemudian menurut 

Riant Nugroho (2008), Kebijakan Publik adalah keputusan otoritas Negara yang 

mengatur kehidupan bersama. Dimana tujuan kebijakan publik dapat dibedakan 

dari sisi sumber daya atau risorsis, yaitu antara kebijakan publik yang bertujuan 

mendistribusi sumber daya Negara dan yang bertujuan menyerap sumber daya 

Negara. 

Kemudian menurut Chandler dan Plano (dalam Thoha, 2008) menjelaskan 

beberapa lingkup studi Kebijakan Publik meliputi hal-hal sebagai berikut: 

17 

 

17 

 

1. Adanya partisipasi warga  (public participation). 

Ruang lingkup kebijakan publik yang pertama adalah membangkitkan 

adanya partisipasi warga  untuk bersama-sama memikirkan cara-cara 

untuk mengatasi persoalan-persoalan warga . Tanpa adanya partisipasi 

warga  maka kebijakan publik kurang bermakna. 

2. Adanya kerangka kerja kebijakan (policy framework). 

Kerangka kerja disini dimaksudkan untuk memberikan batas kajian yang 

dilakukan. 

3. Adanya strategi-strategi kebijakan (policy strategies). 

Sesungguhnya kebijakan yang terbaik adalah kebijakan yang berlandaskan 

akan strategi yang tepat pemecahannya berkaitan dengan wilayah 

persoalannya dan sama sekali tidak menghilangkan struktur kekuasaan dan 

instrument-instrumen inovatif yang ada untuk pelaksanaan kebijakan 

publik. 

4. Adanya kejelasan tentang kepentingan warga  (public interst). 

Public interest merupakan suatu objek kepentingan yang setiap orang 

merasa memberikan andil bersama-sama dengan orang lain dalam suatu  

negara untuk menentukan kepentingan bersama yang didasarkan atas 

pemikiran rasional dan adanya saling bertukar pikiran antara orang yang 

satu dengan yang lainnya. 

5. Adanya pelembagaan lebih lanjut dari kemampuan kebijakan public. 

Pelembagaan disini adalah diadakannya suatu lembaga riset yang 

idependen tentang kebijakan publik untuk menggali implikasi jangka 

panjang dari policy dengan menggambarkan pernyataan gambar masa 

depan, membuat unit baru pembuatan kebijakan, merancang kembali 

organisasi yang menangani program, penilaian dan evaluasi dari kebijakan 

yang telah ada. 

 

berdasar  beberapa definisi mengenai kebijakan publik, maka dapat di 

simpulkan, bahwa kebijakan publik adalah keseluruhan aktivitas pemerintah baik 

dilakukan sendiri maupun melalui berbagai badan yang lain, yang dimaksudkan 

untuk mempengaruhi kehidupan warga , dengan kata lain kebijakan publik 

ditempatkan sebagai  pengatur dalam warga , atau bisa di bilang kebijakan 

publik yaitu kebserangkaian kegiatan yang dibuat oleh pemerintah yang berisi 

berbagai pilihan untuk dilakukan maupun tidak dilakukan. 

Kebijakan Sosial, secara umum merupakan suatu perangkat, mekanisme, 

dan sistem yang dapat mengarahkan dan menterjemahkan tujuan-tujuan 

pembangunan. Menurut Magill (dalam Edi Suharto, 2010) bahwa Kebijakan 

Sosial merupakan bagian dari kebijakan publik (public policy). Kebijakan publik 

18 

 

18 

 

meliputi semua kebijakan ekonomi, transportasi, komunikasi, pertahanan 

keamanan (militer), serta fasilitas-fasilitas umum lainnya (air bersih, listrik). 

Selanjutnya, menurut Gilbert (dalam Edi Suharto, 2010) Kebijakan Sosial 

merupkaan satu tipe kebijakan publik yang diarahkan untuk mencapai tujuan-

tujuan sosial. Kemudian, Menurut Spicker (dalam Edi Suharto, 2010) Kebijakan 

Sosial adalah kebijakan yang berkaitan dengan kesejahteraan, baik dalam arti luas, 

yang menyangkut kualitas hidup manusia, maupun dalam arti sempit, yang 

menunjuk pada beberapa jenis pemberian pelayanan kolektif tertentu guna 

melindungi kesejahteraan rakyat. Menurut David Gill (dalam Edi Suharto, 2010) 

Kebijakan Sosial adalah Perangkat dan mekanisme kewarga an yang perlu 

dirubah dari pengembangan sumber-sumber, pengalokasian status, dan 

pendistribusian hak. 

Sejalan kesimpulan berdasar  definisi di atas, Kebijakan Sosial adalah 

perencanaan untuk mengatasi biaya-biaya sosial, peningkatan pemerataan, dan 

pendistribusian pelayanan dan bantuan sosial. berdasar  dari beberapa Definisi 

mengenai kebijakan  Sosial, maka dapat dibuat kesimpulan bahwa kebijakan 

Sosial adalah kebijakan yang mencakup tentang pemecahan kasus  sosial, aspek 

sosial dan lain-lain, serta berkaitan juga dengan tujuan sosial yang akan dilakukan. 

 

2.2 KONSEP PATOLOGI SOSIAL 

Sebelum membahas teori patologi, perlu diketahui bagaimana kita 

memandang manusia sebagai warga . Menurut teori sosial change (perubahan 

sosial), warga  dipandang sebagai sesuatu yang ada dalam pikiran warga  

ini , bukan bentuk riil dari warga  itu sendiri (aliran sosial kritis). 

Sedangkan menurut teori sosial order, manusia dipandang sebagai benda yang 

dapat dikendalikan dan diatur sebagaimana benda (positivistik). Dari cara kita 

memandang masarakat, kemudian digabungkan dengan teori patologi sosial, maka 

diharapkan nantinya dapat menemukan kesimpulan jika diterapkan dengan 

lapangan. 

Konsep Patologi Sosial secara etimologis, kata “patologi” berasal dari 

kata Pathos yang berarti disease/penderitaan/penyakit dan Logos yang berarti 

19 

 

19 

 

berbicara tentang/ilmu. Jadi, patologi adalah ilmu yang membicarakan tentang 

penyakit atau ilmu tentang penyakit. Sedangkan kata “sosial” adalah tempat atau 

wadah pergaulan hidup antar manusia yang perwujudannya berupa kelompok 

manusia atau organisasi yakni individu atau manusia yang 

berinteraksi/berhubungan secara timbal balik bukan manusia atau manusia dalam 

arti fisik. Maka pengertian dari “patologi sosial” adalah ilmu tentang gejala-gejala 

sosial yang dianggap “sakit” disebabkan oleh faktor-faktor sosial atau Ilmu 

tentang asal usul dan sifat-sifatnya, penyakit yang berhubungan dengan hakekat 

adanya manusia dalam hidup warga . 

Menurut Kenneth J Neubeck dkk (2007) dalam bukunya “Social Problem” 

bahwa teori patologi sosial mendasarkan diri pada analogi organisme biologi 

dengan organisme sosial, yang mana suatu kasus  di analogikan dengan 

penyakit. Penyakit yang dimaksudkan di sini adalah penyimpangan dari keadaan 

normal. Suatu keadaan dikatakan normal apabila bagian-bagiannya saling 

memelihara organisme secara keseluruhan. Penyakit sosial itu berbeda menurut 

tempat dan waktu. 

 Menurut Koe Soe Khiam (1963) dalam Kartono Kartini (2003), bahwa 

Patologi Sosial adalah suatu gejala dimana tidak ada persesuaian antara berbagai 

unsur dari suatu keseluruhan sehingga dapat membahayakan kehidupan kelompok 

atau yang merintangi pemuasan keinginan fundamental dari anggota-anggotanya, 

akibatnya pengikatan sosial patah sama sekali. Sedangkan, Blackmar dan Billin 

(1923) dalam Soerjono Soekanto (2012) menyatakan bahwa, patologi 

sosial diartikan sebagai kegagalan individu menyesuaikan diri terhadap kehidupan 

sosial dan ketidakmampuan struktur dan institusi sosial melakukan sesuatu bagi 

perkembangan kepribadian. 

Teori patologi merupakan satu teori tentang kasus  sosial. kasus  sosial 

berbeda dengan problema-problema lainnya di dalam warga . Karena kasus  

sosial ini  berhubungan erat dengan nilai-nilai sosial dan lembaga-lembaga 

kewarga an. kasus  ini  bersifat sosial karena bersangkut paut dengan 

hubungan antar manusia dan di dalam kerangka bagian-bagian kebudayaan yang 

20 

 

20 

 

normatif. Hal ini dinamakan kasus  karena bersangkut paut dengan gejala-gejala 

yang mengganggu kelanggengan dalam warga  (Soerjono Soekanto, 2012). 

Berbagai macam pendapat dari para ahli tentang kasus -kasus  sosial 

yang pada intinya mengacu pada penyimpangan dari berbagai bentuk tingkah laku 

yang mana dianggap sebagai sesuatu yang tidak normal dalam warga . Dari 

berbagai pendapat para ahli dapat disimpulkan bahwa “patologi 

sosial” merupakan semua tingkah laku yang bertentangan dengan norma 

kebaikan, stabilitas lokal, pola kesederhanaan, moral, hak milik, solidaritas 

kekeluargaan, hidup rukun bertetangga, disiplin, kebaikan dan hukum formal. 

 

2.3 ORANG DENGAN GANGGUAN JIWA (ODGJ) 

Dalam panduan klasifikasi gangguan jiwa, gangguan mental atau yang 

lebih umum dikenal dengan “gangguan jiwa”, dikonseptualisasikan sebagai suatu 

perilaku klinis yang signifikan atau pola/sindrom psikologis yang ditemukan pada 

seseorang dan terkait dengan tekanan yang sedang terjadi (misalnya, gejala sakit) 

atau disabilitas (misalnya kerusakan fungsi satu atau beberapa area pening) atau 

dengan peningkatan resiko atas kematian, rasa sakit, diabilitas atau kebebasan 

(Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder IV edition Text Revision 

DSMIV-TR,  2000). 

Lebih lanjut (Halgin & Whitborn, 2007) menjelaskan terdapat empat (4) 

dimensi yang menjadi kriteria seseorang digolongkan mengalami gangguan 

kejiwaan, yaitu: 

a. Tekanan (Distress). 

Pengalaman sakit emosional atau fisikal merupakan hal biasa dalam 

kehidupan sehari-hari. Namun, depresi dalam atau kecemasan berlanjut 

dapat menjadi begitu hebat sehingga seseorang tidak mampu 

menjalankan tugas-tugas kesehariannya. 

b. Kerusakan (Impairment). 

Seringkali tekanan berlebihan menyebabkan seseorang tidak 

dapatberfungsi optimal atau bahkan mencapai fungsi rata-rata . 

c. Resiko terhadap diri sendiri atau orang lain. 

21 

 

21 

 

Resiko disini mengacu pada bahaya dan ancaman terhadap kesejahteraan 

seseorang. 

d. Perilaku yang secara sosial atau budaya tidak dapat diterima. 

Kriteria abnormalitas dipandang dari sudut kewajaran norma yang 

digunakan oleh suatu kelompok sosial atau budaya. 

 

Undang-undang No. 3 Tahun 1966 tentang kesehatan jiwa, menyebutkan 

bahwa “Gangguan Jiwa” merupakan bentuk dari penyimpangan perilaku akibat 

adanya distorsi emosi sehingga ditemukan ketidakwajaran dalam bertingkah laku 

yang diakibatkan oleh menurunnya semua fungsi kejiwaan, yang meliputi proses 

berfikir, emosi, kemauan, dan perilaku psikomotorik, termasuk bicara. Menurut 

UU No. 18 Tahun 2014, yang dimkasud orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) 

adalah orang yang mengalami gangguan dalam pikiran, perilaku, dan perasaan 

yang termanifestasi dalam bentuk sekumpulan gejala dan/atau perubahan perilaku 

yang bermakna, serta dapat menimbulkan penderitaan dan hambatan dalam 

menjalankan fungsi orang sebagai manusia.  Sementara ODMK (orang dengan 

kasus  kejiwaan) adalah orang yang memiliki  kasus  fisik, mental, sosial, 

pertumbuhan dan perkembangan, dan/atau kualitas hidup sehingga memiliki 

risiko mengalami gangguan jiwa (UU No. 18 Tahun 2014 Pasal (2 dan 3). 

 

2.4 KONSEP SKIZOFRENIA 

Skizofrenia menurut Manualy Statisticaly of Mental Disorder IV adalah 

dua atau  lebih dari karakteristik gejala delusi, halusinasi, gangguan bicara 

(disorganitation speech) misalnya inkoheren, tingkah laku katatonik dan adanya 

gejala-gejala negatif (Stuart & Laraia, 2005). Skizofrenia dapat didefinisikan 

sebagai suatu sindrom dengan variasi penyebab (banyak yang belum diketahui) 

dan perjalanan penyakit (tak selalu bersifat kronis) yang luas, serta sejumlah 

akibat yang tergantung pada pengaruh genetik, fisik dan sosial budaya (Kaplan, 

Saddock, & Grebb, 1997). 

Skizofrenia merupakan suatu psiko-fungsional dengan gangguan utama 

pada proses pikir serta disharmoni (keretakan atau perpecahan) antara proses 

22 

 

22 

 

pikir, efek, kemauan dan psikomotor disertai distorsi kenyataan terutama karena 

waham dan halusinasi, asosiasi terbagi-bagi sehingga timbul inkoheren, efek dan 

emosi menjadi inadekuat,  psikomotor menunjukan penarikan diri, ambivalensi, 

autism dan perilaku bizarre (Maramis, 2006). Skizofrenia berdasar  beberapa 

pendapat ini  adalah sekumpulan gejala yang sangat bervariasi terhadap 

kondisi psikologis seseorang dan mengakibatkan perubahan perilaku dalam 

kehidupan sehari-hari. 

Ada beberapa teori yang mengatakan gangguan skizofrenia disebabkan 

oleh faktor gangguan skizofrenia yang berawal dengan keluhan halusinasi dan 

waham kejaran yang khas seperti mendengar pikirannya sendiri diucapkan dengan 

nada keras atau mendengar dua atau lebih memperbincangkan diri penderita 

sehingga merasa menjadi orang ketiga. Teori tentang penyebab skizofrenia 

(Maramis, 2006), yaitu:  

a. Keturunan 

Penelitian pada keluarga penderita skizofrenia terutama anak kembar 

satu telur, angka kesakitan bagi saudara tiri 0,9%-1,8%, bagi saudara 

kandung 7%-15%, anak dengan salah satu menderita skizofrenia 7%-

16%. Apabila kedua orangtua menderita skizofrenia 40%-60% kembar 

dua telur 2%-15%. Kembar satu telur 61%-68%. Menurut hukum 

Mendel skizofrenia diturunkan melalui genetik yang bersifat resesif. 

b. Endokrin. 

Teori ini mengemukakan bahwa sering timbulnya skizofrenia pada 

waktu pubertas, waktu kehamilan dan waktu klimakterus. 

c. Metabolisme 

Gangguan metabolisme pada penderita skizofrenia, tampak pucat dan 

ujung ekstremitas agak sianosis, nafsu makan berkurang serta 

penurunan  berat badan, pada penderita dengan stupor katatonik zat 

asam menurun. 

d. Susunan saraf pusat 

Penyebab skizofrenia ke arah kelainan susunan saraf pusat atau kortek 

otak. 

23 

 

23 

 

Gejala-gejala skizofrenia dapat dibagi menjadi dua kategori utama 

(Vedebeck, 2008) yaitu; (1) Gejala Negatif atau gejala samar, seperti afek datar, 

tidak memiliki kemauan, rasa tidak nyaman dan menarik diri dari warga . 

Gejala negatif sering kali menetap sepanjang waktu dan menjadi penghambat 

utama pemulihan dan perbaikan fungsi dalam kehidupan sehari-hari pasien; (2) 

Gejala Positif atau gejala nyata;  yang mencakup waham, halusinasi dan 

disorganisasi pikiran, bicara dan perilaku yang tidak teratur. Gejala positif seperti 

halusinasi dapat dikontrol dengan pengobatan. 

 

2.5 FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KESEHATAN 

JIWA 

Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi kesehatan jiwa menurut (Halgin 

dan Whitbourne, 2007) membagi penyebab gangguan jiwa menjadi tiga (3) faktor, 

yaitu: 

a. Biologis 

Banyak gangguan jiwa berasal dari keturunan. Penelitian menemukan 

bahwa kemungkinan seorang anak menjadi depresi lebih besar terjadi jika 

orang tuanya juga mengalami depresi ketimbang anak yang berasal dari 

orang tua non depresi. Selain dari gen, para ahli klinis juga mencurigai 

gangguan fisik sebagai penyebab gangguan jiwa. Gangguan ini  dapat 

berasal dari berbagai sumber, misalnya kondisi medis, kerusakan otak, 

atau keterpaparan dalam lingkungan tertentu. 

b. Psikologis 

Gangguan biasanya muncul sebagai akibat dari kesulitan pengalaman 

hidup. Trauma dapat menjadikan beban dalam diri seseorang yang 

mengarah pada gangguan kejiwaan. 

c. Sosiokultural 

Istilah Sosiokultural mengacu pada berbagai lingkaran sosial yang 

mempengaruhi hidup seseorang. Lingkaran paling kecil menunjukkan 

interaksi lokal yang paling intens dilakukan. Lingkaran ini dapat berupa 

keluarga, teman dekat, lingkungan sekolah, pekerjaan dan lingkungan 

24 

 

24 

 

rumah. Abnormalitas dapat terjadi ketika konflik berlangsung antara 

seseorang dengan lingkungan lingkarannya. 

Dalam sudut pandang lain penyebab gangguan jiwa ini dibagi atas: 

a. Faktor Intrinsik 

Faktor intrinsik ini meliputi seluruh pengaruh yang berasal dari diri 

individu, termasuk gen, sistem otak dan aspek fisiologis lain. 

b. Faktor Ekstrinsik 

Faktor ekstrinsik meliputi semua pengaruh yang berasal dari hal di luar 

inidvidu, diantaranya: 

1) Keluarga 

Keluarga merupakan bagian yang paling penting dalam “jaringan 

sosial” anak, sebab anggota keluarga merupakan lingkungan pertama anak 

dan orang yang paling penting selama tahun-tahun formatif awal (Hurlock, 

1976). Orang tua adalah lingkungan terdekat yang mengajarkan kepada 

anak mengenai nilai-nilai dalam warga . Pola asuh orang tua 

berpengaruh besar terhadap kepribadian anak. Sekumpulan nilai-nilai 

dalam rumah tangga cenderung tercermin dalam perilaku anak di 

lingkungan sosial. Menurut (Baumrind, 1971, 1978) pola asuh orang tua 

dapat dibagi atas: 

Pertama Demokratis. orang tua memberikan keleluasaan bagi anak 

untuk diperlakukan secara adil dan sebagai anggota keluarga yang  

dihargai haknya. Pada pola asuh ini terlihat ada sikap terbuka antara orang 

tua dan anak dalam menyetujui aturan-aturan dalam keluarga. 

Kedua Otoriter. Orang tua yang menjalankan pola asuh otoriter 

menempatkan diri sebagai pengatur, penguasa dan penghukum. Orang tua 

tidak mengindahkan otonomi anak dan menerapkan aturan yang harus 

dipatuhi anak. 

Ketiga Permisif. Ini adalah kebalikan dari pola asuh otoriter, dimana 

anak dibiarkan berperilaku sesuai kehendaknya. Sikap orang tua yang 

mengalah terhadap keinginan anak ini menghilangkan media bagi anak 

untuk mengetahui mana yang benar dan yang salah. 

25 

 

25 

 

Keempat Sekolah dan Institusi Pendidikan Sekolah memiliki 

tanggung jawab dalam menjaga kesehatan siswa, bukan hanya secara fisik 

namun juga terkait dengan kesehatan mental, yang sering disebut psikolog 

sebagai wellbeing (kesejahteraan). Konu dan Rimpela merumuskan 

penerapan well-being di sekolah dengan terpenuhinya kebutuhan yang 

berkaitan dengan memiliki  (having), mencintai (loving), ada (being), dan 

sehat (health) (Konu & Rimpela, 2002). 

2) Lingkungan kerja 

Gangguan jiwa yang disebabkan lingkungan kerja rentan terjadi. Hal 

yang menjadi pemicu gangguan ini  adalah ketidak puasan yang 

dilandaskan perbedaan antara keinginan dan kenyataan. Stres keuangan 

merupakan penyebab utama orang gagal di dunia kerja (Heidenreich & 

Pruter, 2009). 

Lebih lanjut menurut Harrington, Bean, Pintelio, dan Matthews 

2001, (dalam Heidenreich & Pruter, 2009) mencatat bahwa pekerja 

cenderung keluar ketika mereka merasa lelah secara emosional, memiliki 

kepuasan kerja rendah, dan tidak puas dengan gaji serta kesempatan 

promosinya. Ditambahkan pula oleh Angerer (2003, dalam Heidenreich & 

Pruter, 2009) menyatakan bahwa tekanan dalam pekerjaan dapat 

menyebabkan burnout dan penurunan tingkat kepuasan kerja. Pada tahun 

1959 Herzberg, Mausner dan Snyderman (dalam Heidenreich & Pruter, 

2009) mereka mengidentifikasikan faktor-faktor seperti prestasi, 

pengenalan, tanggung jawab, kemajuan dan perkembangan pribadi yang 

dianggap sebagai komponen intrinsik pekerjaan, cenderung memotivasi 

karyawan untuk bekerja lebih baik. Faktor seperti gaji, peraturan 

perusahaan, gaya kepemimpinan, kondisi kerja dan hubungan dengan rekan 

kerja cenderung merusak motivasi kerja jika tidak dipenuhi, namun tidak 

meningkatkan motivasi jika dicukupipun. 

 

 

 

26 

 

26 

 

2.6 PENANGANAN ORANG DENGAN GANGGUAN JIWA (ODGJ) 

Sesuai dengan Pasal 144 Undang Undang no 36 Tahun 2009 tentang 

Kesehatan, penanganan gangguan jiwa harus dilakukan dengan standar pelayanan 

kesehatan paripurna yang meliputi: 

1. Promotif. Promosi kesehatan adalah filosofi umum yang ide utamanya 

bahwa kesehatan atau kesejahteraan adalah pencapaian personal dan 

kolektif (Taylor, 2007). Lebih lanjut (Alberry dan Munafo, 2012) 

mendefinisikan promosi kesehatan sebagai segala intervensi, berbasis 

lingkungan dan berbasis behavioral, yang berusaha menunjukkan dan 

memungkinkan perubahanperubahan pada status kesehatan individu dan 

populasi. Aspek ini dilakukan dengan melakukan sosialisasi perilaku 

sehat. Menurut (Taylor, 2007) perilaku sehat adalah perilaku yang 

dilakukan untuk meningkatkan atau menjaga kesehatannya. Perilaku sehat 

yang senantiasa dilakukan akan menjadi kebiasaan sehat. Promosi 

kesehatan jiwa dilakukan untuk mengembangkan kebiasaan positif dalam 

menjaga kesejahteraan jiwa seseorang. Karena perilaku ini harus menjadi 

kebiasaan, maka promosinya dilakukan dari bentuk yang paling kecil dan 

paling sederhana sehingga mudah dilaksanakan sehari-hari. Oleh karena 

itu, pembentukan perilaku sehat jiwa tidak terlepas dari lingkungan hidup 

individu, misalnya keluarga, sekolah, kantor, dan ruang publik. 

Pemerintah sebagai penanggung jawab kesejahteraan warga  memiliki 

tugas untuk mengembangkan peraturan yang berperspektif kesehatan jiwa 

(WHO, 2007). 

2. Preventif. Aspek preventif dalam penanganan kesehatan jiwa dilakukan 

untuk mencegah terjadinya resiko gangguan kejiwaan berkembang. Dalam 

hal menekan perkasus an kejiwaan agar tidak meluas menjadi gangguan 

kejiwaan yang berat, maka mutlak dilakukan intervensi. Untuk aspek ini, 

psikolog berperan besar karena dapat melakukan intervensi di rumah 

tangga, sekolah, kantor dan lingkungan sosial lain tanpa menjadikan 

Orang Dengan Gangguan Jiwa takut dilabeli memiliki kasus  kejiwaan. 

27 

 

27 

 

3. Kuratif. Aspek kuratif dalam penanganan kesehatan jiwa lebih banyak 

menekankan pada intervensi medis. Oleh karena itu dokter spesialis 

kedokteran jiwa dan perawat kejiwaan merupakan tenaga profesional yang 

paling dibutuhkan untuk menyediakan pelayanan kuratif. Selain itu, 

dibutuhkan pula sarana pelayanan kesehatan jiwa yang memadai di rumah 

sakit maupun puskesmas. 

4. Rehabilitatif. Proses rehabilitasi pada penanganan kesehatan jiwa berbeda 

dengan rehabilitasi kesehatan umumnya. Dalam tahapan ini aspek 

rehabilitatif bertujuan untuk mengembalikan fungsi personal dan sosial. 

Seiring dengan perbaikan fungsi ini , pasien masih tetap menjalankan 

prosedur kuratif yang berfungsi untuk mengontrol pemicu gangguan 

kejiwaan. Artinya, aspek rehabilitatif dan kuratif tidak dapat dipisahkan 

dalam perbaikan kualitas hidup ODGJ. 

 

2.7 PERkasus AN PENANGANAN ODGJ 

Dalam mengelola perkasus an kesehatan jiwa di warga , Negara 

memberikan tanggung jawab kepada Kementerian Kesehatan dan Kementerian 

Sosial. Untuk itu dibentuklah direktorat khusus yang fokus menangani isu 

kesehatan jiwa, yang pada Kementerian Kesehatan di sebut Direktorat Bina 

Kesehatan Jiwa, sedangkan di Kementerian Sosial dinamakan Direktorat Jendral 

Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial yang salah satu tugasnya adalah rehabilitasi 

penyandang kasus  kesehatan jiwa. Namun demikian, upaya pemerintah dalam 

upaya penanganan kesehatan jiwa hingga saat ini belum optimal, hal ini terlihat 

dari belum tercerminnya struktur di Kementerian Kesehatan dan Sosial ini  di 

daerah-daerah. Minimnya perhatian dari beberapa daerah terhadap kesehatan jiwa 

ditambah belum adanya payung hukum dalam bentuk undang-undang yang 

khusus untuk penanganan kesehatan jiwa membuat pelayanan kesehatan jiwa 

terabaikan. 

negarakita  pernah memiliki Undang-undang Nomor 3 Tahun 1966 tentang 

Kesehatan Jiwa, namun UU ini  telah dinyatakan tidak berlaku lagi dengan 

hadirnya UU Nomor 23 Tahun 1992. Seiring berjalannya waktu UU Nomor 23 

28 

 

28 

 

Tahun 1992 juga dicabut dengan adanya UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang 

Kesehatan. Pengaturan mengenai Kesehatan Jiwa hanya diatur dengan 7 pasal 

pada UU Nomor 36 Tahun 2009 Bab IX. Yang menjadi sorotan adalah tidak 

idealnya proporsi perhatian yang yang diberikan antara kesehatan fisik dengan 

kesehatan psikis. Pengaturan yang ada masih sangat berorientasi pada kesehatan 

fisik, masih kurang memberikan porsi pada kesehatan psikis, kesehatan jiwa. 

Kurangnya perhatian dari pemerintah terhadap kesehatan jiwa berdampak 

pada kurangnya kebijakan-kebijakan di pemerintah yang pro kesehatan jiwa. 

Minimnya perhatian secara otomatis berdampak pada pendanaan yang minim, dan 

kurangnya tindakan nyata di tingkat akar rumput yang memperhatikan kesehatan 

jiwa warga . Sehingga yang terjadi dilapangan adalah semakin tumbuh 

suburnya gangguan-gangguan jiwa yang berujung pada disabilitas warga . 

Irmansyah (2009) secara detail telah menuliskan dampak minimnya 

perhatian pada kesehatan jiwa di warga , yaitu: (1) Sarana dan prasarana 

(untuk penanganan kesehatan jiwa) yang jauh dari mencukupi. (2) Jumlah tenaga 

profesional dan fasilitas yang sangat sedikit. (3) Tidak efisiennya sistem yang ada 

sekarang, karena berpusat di rumah sakit jiwa (RSJ). (4) Tidak adanya sistem 

kesehatan mental yang berbasis warga . (5) Kesehatan mental tidak menjadi 

program prioritas di puskesmas. (6) Anggaran Kementerian Kesehatan untuk 

kesehatan jiwa selalu dibawah 1% dan umumnya penggunaannya tidak tepat 

sasaran. (7) Di Kementerian Kesehatan, organisasi yang menangani kesehatan 

mental hanya setingkat direktorat, berada di bawah dirjen layanan medis. (8) 

Belum terpenuhinya hak-hak penderita, padahal Hak-hak mereka dijamin dalam 

Deklarasi Universal Hak Azazi Manusia yang juga telah diadopsi dalam UUD 45 

pasal 25H(1) yaitu, “setiap manusia memiliki  hak atas standar kehidupan yang 

cukup, bagi kesehatan diri sendiri dan keluarganya, yang mencakup tempat 

tinggal, pakaian dan pelayanan kesehatan, serta pelayanan sosial yang penting”. 

(9) Akses penderita terhadap layanan kesehatan sangat sulit, mengingat hampir 

semua RSJ terletak di ibukota propinsi. Bahkan masih ada provinsi yang belum 

memiliki  RSJ (seperti di Banten); (10) Obat untuk penderita tidak tersedia di 

layanan primer, bila ada dengan jumlah yang sangat sedikit dan sangat 

29 

 

29 

 

ketinggalan jaman.(11) Kualitas dan kuantitas layanan di rumah sakit jiwa sangat 

tidak mencukupi. (12) Obat dengan kwalitas yang buruk. (13) Jenis layanan lain 

yang direkomendasikan WHO umumnya tidak tersedia. (14) Electro Convulsive 

Therapy masih menggunakan cara-cara kuno yang tidak manusiawi. (15) Isolasi 

pasien masih menggunakan cara-cara ikatan di tempat tidur yang tradisional 

(pasung). (16) Jumlah pegawai yang kurang membuat banyak RSJ mengunci 

penderita diruangnya sebelum jam 5 sore, mengabaikan hak-hak pasien untuk 

menikmati kehidupan yang normal. (17) Tidak ada program jangkauan layanan ke 

warga  membuat banyak pasien yang kambuh hanya beberapa saat sesudah  

kepulangan dari RSJ. (18) Program edukasi dan promosi yang tidak pernah ada. 

Apalagi program pencegahan, sama sekali tidak pernah terdengar. 

Salah satu penyebab begitu banyaknya penderita gangguan jiwa tidak 

mendapatkan pengobatan adalah tidak memadainya informasi tentang kesehatan 

jiwa. Tidak ada informasi memadai kepada publik bahwa gangguan kejiwaan 

adalah kasus  medis yang dapat diobati. Ketidaktahuan ini bukan hanya terjadi 

di pedesaan atau di antara warga  dengan tingkat ekonomi dan pendidikan 

yang rendah, namun merata di semua kelas warga . Untuk itu dibutuhkan 

suatu kegiatan sosialisasi informasi yang bersifat masif, konsisten dan sistemik, 

yang menerangkan kepada publik tentang gangguan kejiwaan dan penanganannya. 

 

2.8 PERAN SERTA warga  DALAM PENANGANAN ODGJ 

Rehabilitasi merupakan tahapan yang sangat penting dalam proses 

penyembuhan penderita gangguan kejiwaan. Selama ini tahap ini dilakukan oleh 

panti-panti sosial baik milik pemerintah maupun swasta. Akan tetapi konsep panti 

rehabilitasi di negarakita  saat ini mirip dengan konsep suaka, dimana penderita 

diasingkan dan ditempatkan disebuah lokasi yang jauh dari warga  agar tidak 

mengganggu ketertiban sosial. Saat ini pendekatan ini  sudah tidak sesuai 

lagi. 

Perkasus an lainnya adalah sedikitnya fasilitas panti di negarakita , 

terutama di Banten sehingga kebanyakan penderita tidak dapat tertampung 

dipanti-panti, sehingga 97% ODGJ tinggal di rumah masing-masing. Selain itu 

30 

 

30 

 

daya tampung panti yang sangat terbatas, biaya operasional yang mahal, lokasinya 

yang jauh dari rumah penderita, dan kurangnya kontrol dari warga . Solusi 

atas perkasus an ini  adalah dengan mendirikan tempat-tempat rehabilitasi 

berbasis warga  sehingga ODGJ dapat tetap tinggal di rumah masing-masing. 

Tempat rehabilitasi ini bisa berbentuk pusat komunitas (Community Centre) yang 

menyediakan fasilitas pendidikan, olah raga, rekreasi, koperasi, dan lain-lainnya 

yang diperuntukkan bagi penyandang disabilitas, baik ODGJ maupun jenis 

disabilitas lainnya, dan di Community centre ini mereka dapat datang dan 

beraktivitas bersama warga  sekitar. 

Kelebihan dari rehabilitasi berbasis warga  ini adalah kebutuhan 

biayanya yang lebih rendah karena penderita tinggal dirumah masing-masing, 

lokasi yang tidak jauh dari rumah penderita, Community Centre juga di desain 

sehingga mengundang warga  umum untuk dapat mengunjungi dan 

menikmati tempat ini  sehingga tercipta interaksi antara penderita dan 

warga  sehingga diharapkan mempercepat proses adaptasi penderita. 

 

2.9 PERAN SERTA PUSKESMAS DAN RUMAH SAKIT UMUM 

DALAM PENANGANAN ODGJ 

Selain mendorong terbentuknya penanganan ODGJ berbasis warga , 

maka strategi lainnya adalah dengan melibatkan peran Pusat Kesehatan 

warga  (Puskesmas) dan Rumah Sakit Umum (RSU), karena keduanya 

merupakan pelayanan kesehatan yang terdekat yang dapat diakses oleh 

warga  baik di perkotaan maupun di pedesaan. Sehingga kedepan Puskesmas 

dan RSU tidak hanya menangani kesehatan fisik saja tetapi juga psikis baik itu 

untuk control, penyediaan obat, ataupun rujukan dalam kondisi akut. 

Orang Dengan Gangguan Jiwa khususnya yang menderita psikotik 

memerlukan kontrol medis dan obat seumur hidupnya. Maka akan sangat 

memudahkan bagi penderita jika fasilitas obat dekat dari tempat tinggal pasien. 

Penanganan kesehatan jiwa sampai saat ini belum sampai ke tengah-tengah 

warga  melalui Puskesmas maupun Rumah Sakit Umum. 

31 

 

31 

 

Fakta saat ini adalah tidak adanya pelayanan di Rumah Sakit Umum di 

lingkungan pemerintahan Provinsi Banten yang memberikan pelayanan terhadap 

Orang Dalam Gangguan Jiwa, sehingga tidak terfasilitasnya penyandang 

disabilitas kejiwaan ini. 

Tiadak adanya layanan kesehatan jiwa menyebabkan provinsi Banten 

dalam keadaan darurat kejiwaan, panti-panti rehabilitasi ODGJ yang tersedia tidak 

memiliki tenaga medis yang memadai, sehingga menimbulkan kecenderungan 

sulitnya penanganan penyandang disabilitas kejiwaan ODGJ. Kondisi ini 

melunturkan semangat kesehatan jiwa di lingkungan Provinsi Banten, terkait 

Daerah bebas pasung. 

 

2.10 PERAN SERTA KELUARGA DALAM PENANGANAN ODGJ 

a. Dukungan Keluarga Pada ODGJ 

Dukungan keluarga adalah sebuah proses yang terjadi sepanjang masa 

kehidupan, sifat dan jenis dukungan berbeda dalam berbagai tahap-tahap siklus 

kehidupan. Dukungan keluarga dapat berupa dukungan sosial internal, seperti 

dukungan dari suami, isteri, atau dukungan dari saudara kandung, dan dapat juga 

berupa dukungan keluarga eksternal bagi keluarga inti. Dukungan keluarga 

membuat keluarga mampu berfungsi dengan berbagai kepandaian dan akal. 

Sebagai akibatnya, hal ini meningkatkan kesehatan dan adaptasi keluarga 

(Friedman, 2010). 

House dan Kahn (1985) dalam Friedman  (2010), menerangkan bahwa 

keluarga memiliki empat fungsi dukungan, diantaranya: 

1. Dukungan Emosional. 

Keluarga sebagai tempat yang aman dan damai untuk istirahat dan 

pemulihan serta membantu penguasaan terhadap emosi. Aspek-aspek dari 

dukungan emosional meliputi dukungan yang diwujudkan dalam bentuk 

afeksi, adanya kepercayaan, perhatian, mendengarkan dan didengarkan. 

Dukungan emosional keluarga merupakan bentuk atau jenis dukungan 

yang diberikan keluarga berupa memberikan perhatian, kasih sayang dan 

empati. Menurut Friedman (1998) dukungan emosional merupakan fungsi 

32 

 

32 

 

afektif keluarga yang harus diterapkan kepada seluruh anggota keluarga 

termasuk anggota keluarga yang mengalami halusinasi. Fungsi afektif 

merupakan fungsi internal keluarga dalam memenuhi kebutuhan 

psikososial anggota keluarga dengan saling mengasuh, cinta kasih, 

kehangatan, dan saling mendukung dan menghargai antar anggota 

keluarga (Friedman, 1998). Dukungan emosional merupakan bentuk 

dukungan atau bantuan yang dapat memberikan rasa aman, cinta kasih, 

membangkitkan semangat, mengurangi putus asa, rasa rendah diri, rasa 

keterbatasan sebagai akibat dari ketidakmampuan fisik (penurunan 

kesehatan dan kelainan yang dialaminya. Pada ODGJ dukungan emosional 

sangat diperlukan dan akan menjadi faktor sangat penting untuk upaya 

perawatan dan pengobatan dalam mengontrol kasus  halusinasinya.  

Dukungan emosional dari keluarga sangat dibutuhkan oleh ODGJ 

yang dapat mempengaruhi status psikososial dan mentalnya yang akan 

ditunjukan dengan perubahan perilaku yang diharapkan dalam upaya 

meningkatkan status kesehatannya. Hal ini  tentunya disebabkan 

karena terjadinya peningkatan perasaan tidak berguna, tidak dihargai, 

merasa dikucilkan dan  kecewa dari ODGJ. Dukungan keluarga dapat 

mempengaruhi kesehatan fisik dan mental seseorang melalui pengaruhnya 

terhadap pembentukan emosional. 

2. Dukungan informasi 

Keluarga berfungsi sebagai sebuah pengumpul dan penyebar 

informasi. Menjelaskan tentang pemberian saran dan sugesti, informasi 

yang dapat digunakan untuk mengungkapkan suatu kasus . Manfaat dari 

dukungan ini adalah dapat menekan munculnya suatu stressor karena 

informasi yang diberikan dapat menyumbangkan aksi sugesti yang khusus 

pada individu. Aspek-aspek dalam dukungan ini adalah nasehat, usulan, 

saran, petunjuk dan pemberian informasi. 

Dukungan informasi merupakan suatu dukungan atau bantuan yang 

diberikan oleh keluarga dalam bentuk memberikan saran atau masukan, 

nasehat atau arahan dan memberikan informasi-informasi penting yang 

33 

 

33 

 

sangat dibutuhkan ODGJ dalam upaya meningkatkan status kesehatannya. 

Menurut Friedman (1998) dukungan informasi yang diberikan keluarga 

terhadap ODGJ merupakan salah satu bentuk fungsi perawatan kesehatan 

keluarga dalam mempertahankan keadaan kesehatan anggota keluarga agar 

tetap memiliki produktivitas yang tinggi. Bentuk fungsi perawatan 

kesehatan yang diterapkan keluarga terhadap ODGJ diantaranya adalah 

memperkenalkan kepada ODGJ tentang kondisi dan penyakit yang 

dialaminya dan menjelaskan cara perawatan yang tepat pada ODGJ agar 

pasien termotivasi menjaga dan mengontrol kesehatannya. 

ODGJ cenderung dan sering mengalami kasus  kemunduran 

kognitif, sehingga keadaan ini juga dapat mengakibatkan munculnya rasa 

pesimis dan putus asa bahkan kepasrahan terhadap kasus  kesehatan 

yang terjadi pada dirinya. Dirasakan penting upaya bantuan informasi 

(saran, nasehat dan pemberian informasi) bagi ODGJ untuk meningkatkan 

semangat dan motivasi agar dapat meningkatkan status kesehatannya 

secara optimal. 

3. Dukungan instrumental 

Keluarga merupakan sebuah sumber pertolongan praktis dan kongkrit 

diantaranya: kesehatan penderita dalam hal kebutuhan makan dan minum, 

istirahat dan terhindarnya penderita dari kelelahan. Dukungan instrumental 

keluarga merupakan suatu dukungan atau bantuan penuh dari keluarga 

dalam bentuk memberikan bantuan tenaga, dana, maupun meluangkan 

waktu untuk membantu atau melayani dan mendengarkan ODGJ dalam 

menyampaikan perasaannya. Serta dukungan instrumental keluarga 

merupakan fungsi ekonomi dan fungsi perawatan kesehatan yang 

diterapkan keluarga terhadap anggota keluarga yang sakit (Friedman, 

1998). 

Fungsi ekonomi keluarga merupakan fungsi keluarga dalam 

memenuhi semua kebutuhan anggota keluarga termasuk kebutuhan 

kesehatan anggota keluarga, sedangkan fungsi perawatan kesehatan 

keluarga merupakan fungsi keluarga dalam mempertahankan keadaan 

34 

 

34 

 

kesehatan anggota keluarga diantaranya adalah merawat anggota keluarga 

yang mengalami halusinasi dan membawa anggota keluarga ke pelayanan 

kesehatan untuk memeriksakan kesehatannya (Friedman, 1998). 

4. Dukungan penilaian 

Keluarga bertindak sebagai pemberi umpan balik, membimbing dan 

menengahi pemecahan kasus , sebagai sumber dan validator indentitas 

anggota keluarga diantaranya memberikan support, penghargaan dan 

perhatian. Dukungan penilaian merupakan suatu dukungan dari keluarga 

dalam bentuk memberikan umpan balik dan penghargaan kepada ODGJ  

dengan menunjukan respon positif yaitu dorongan atau persetujuan 

terhadap gagasan, ide atau perasaan seseorang. Menurut Friedman (1998) 

dukungan penilaian keluarga merupakan bentuk fungsi efektif keluarga 

terhadap ODGJ yang dapat meningkatkan status kesehatan ODGJ. Melalui 

dukungan penghargaan ini, ODGJ akan mendapat pengakuan atas 

kemampuannya sekecil dan sesederhana apapun. 

Dengan demikian dukungan keluarga terhadap ODGJ sangat penting 

dilakukan dalam upaya peningkatan status kesehatan ODGJ. Pasien bisa 

semangat dan termotivasi sehingga menjadikan kehidupan ODGJ lebih 

berharga dan berarti serta bermakna bagi keluarganya, dan ODGJ akan 

merasakan bahwa dirinya masih sangat dibutuhkan oleh orang lain 

khususnya oleh keluarga dimana ODGJ ini  tinggal. 

 

Keluarga yang memiliki  anggota keluarga dengan kasus  gangguan 

halusinasi memiliki  tuntutan pengorbanan ekonomi, sosial dan psikologis yang 

telah lebih besar daripada keluarga yang normal.  Dukungan keluarga pada ODGJ 

dapat diwujudkan dengan adanya upaya perawatan keluarga pada ODGJ ini 

berkaitan erat dengan kasus  yang dihadapi oleh pasien itu sendiri. 

Bila penderita tidak dirawat di institusi rumah sakit, keluarga sangat 

dibutuhkan untuk menjamin pemberian obat di rumah. Salah satu anggota 

keluarga harus dapat melakukan hal ini  dengan baik, juga untuk membawa 

penderita pada pemeriksaan lanjutan (Depkes RI, 1995). Dengan demikian 

35 

 

35 

 

penatalaksanaan regimen terapeutik keluarga sangat diperlukan untuk kasus  

pasien dengan halusinasi ini. 

Sumber dukungan keluarga dimana dukungan keluarga mengacu kepada 

dukungan yang dipandang oleh keluarga sebagai sesuatu yang dapat diakses atau 

diadakan untuk keluarga, tetapi anggota keluarga memandang bahwa orang yang 

bersifat mendukung selalu siap memberikan pertolongan dan bantuan jika 

diperlukan. Dukungan keluarga dapat berupa dukungan keluarga internal seperti 

dukungan dari suami atau istri atau dukungan dari saudara kandung atau 

dukungan keluarga eksternal (Friedman, 1998). 

Manfaat dukungan keluarga adalah sebuah proses yang terjadi sepanjang 

masa kehidupan, sifat dan jenis dukungan sosial berbeda-beda dalam berbagai 

tahap-tahap siklus kehidupan. Namun demikian, dalam semua tahap siklus 

kehidupan dukungan keluarga membuat keluarga mampu berfungsi dengan 

berbagai kepandaian dan akal. Sebagai akibatnya, hal ini meningkatkan kesehatan 

dan adaptasi keluarga (Friedman, 1998). 

Wills (1985) dalam Friedman (1998) menyimpulkan bahwa baik efek-efek 

penyangga (dukungan menahan efek-efek negatif dari stres terhadap kesehatan) 

dan efek-efek utama (dukungan secara langsung mempengaruhi akibat-akibat dari 

kesehatan) pun ditemukan. Sesungguhnya efek-efek penyangga dan utama dari 

dukungan keluarga terhadap kesehatan dan kesejahteraan boleh jadi berfungsi 

bersamaan. Secara lebih spesifik, keberadaan dukungan keluarga yang adekuat 

terbukti berhubungan dengan menurunnya mortalitas, lebih mudah sembuh, dan 

pemulihan fungsi kognitif, fisik serta kesehatan emosi (Ryan & Austin dalam 

Friedman, 1998). 

Faktor yang mempengaruhi dukungan keluarga menurut Feiring dan Lewis 

(1984) dalam Friedman (1998) ada bukti kuat dari hasil penelitian yang 

menyatakan bahwa keluarga besar dan keluarga kecil secara kualitatif 

menggambarkan pengalaman-pengalaman perkembangan. Anak-anak yang 

berasal dari keluarga kecil menerima lebih banyak perhatian daripada anak-anak 

dari keluarga yang besar. Selain itu dukungan yang diberikan orangtua (khususnya 

ibu) juga dipengaruhi oleh usia, menurut Friedman (1998) ibu yang masih muda 

36 

 

36 

 

cenderung untuk lebih tidak bisa merasakan atau mengenali kebutuhan anaknya 

dan juga lebih egosentris dibandingkan ibu-ibu yang lebih tua. 

Faktor-faktor yang mempengaruhi dukungan keluarga lainnya adalah kelas 

sosial ekonomi orangtua. Kelas sosial ekonomi disini meliputi tingkat pendapatan 

atau pekerjaan orang tua dan tingkat pendidikan. Dalam keluarga kelas menengah, 

suatu hubungan yang lebih demokratis dan adil mungkin ada, sementara dalam 

keluarga kelas bawah, hubungan yang ada lebih otoritas atau otokrasi. Selain itu 

orang tua dengan kelas sosial menengah memiliki  tingkat dukungan, afeksi dan 

keterlibatan yang lebih tinggi daripada orang tua dengan kelas sosial bawah. 

Dukungan keluarga berhubungan dengan pemberi perawatan dirumah oleh 

salah satu anggota keluarga berkaitan dengan hal usia menurut Soelaiman (1993) 

dalam Notoatmodjo (2003), usia yang dianggap optimal dalam memahami dan 

mengambil keputusan adalah di atas 20 tahun, karena usia di bawah 20 tahun atau 

kurang dari 20 tahun cenderung dapat mendorong terjadinya kebimbangan dalam 

memahami dan mengambil keputusan. Demikian usia ini berhubungan dengan 

seseorang mampu mengambil keputusan menjadi pemberi perawatan bagi pasien 

yang mengalami halusinasi serta mampu mengikuti regimen terapeutik. 

 

b. Beban Keluarga yang memiliki  ODGJ 

Keberadaan stres seperti halnya terjadi pada individu, begitupun dalam 

sebuah keluarga pada awalnya membantu keluarga untuk memobilisasi sumber-

sumbernya dan untuk bekerja guna memecahkan kasus . Stres menyebabkan 

keseimbangan antara keadaan stabil menjadi berbahaya atau terancam; pada kasus 

ini anggota keluarga pada awalnya mengeluarkan banyak upaya untuk 

mendapatkan kembali keseimbangan dalam keluarga. Akan tetapi,  jika upaya 

awal untuk menyelesaikan kasus  atau memenuhi tuntutan mengalami 

kegagalan, stres akan meningkat. Seringkali suatu stressor pada awalnya 

mempengaruhi individu, diikuti dengan sebuah subsistem dan subsistem yang 

lain, sampai akhirnya semua subsistem keluarga terpengaruh (ripple effect). 

Walaupun stres dapat dialami oleh semua subsistem, setiap subsistem dapat 

menoleransi dan menangani stres secara berbeda. 

37 

 

37 

 

Disabilitas satu anggota keluarga secara signifikan mempengaruhi 

keluarga dan fungsinya, sebagaimana perilaku keluarga dan anggota keluarga 

secara simultan mempengaruhi perjalanan dan karakteristik disabilitas. 

berdasar  asumsi timbal balik, jelas bahwa disabilitas sangat mempengaruhi 

perkembangan keluarga dan juga anggota keluarga, terutama anggota keluarga 

yang tidak mampu. Seringkali ketika suatu keluarga terlambat dalam memenuhi 

tugas perkembangan keluarganya, terdapat interaksi antara tuntutan atau stresor 

perkembangan dan tuntutan atau stresor situasional dalam keluarga secara 

berlebih. Bertambahnya stres keluarga yang diciptakan oleh adanya kedua jenis 

stressor sering kali menghasilkan rendahnya fungsi keluarga, sementara tugas 

perkembangan keluarga menjadi terganggu atau terhambat.  

Besarnya tugas perkembangan dipengaruhi dan tergantung pada beberapa 

faktor antara lain: (1) tahap siklus kehidupan keluarga yang dijalani keluarga; (2) 

anggota keluarga dengan kasus  halusinasi membuat perubahan. Faktor lain 

yang membuat perbedaan dalam dampak disabilitas pada perkembangan keluarga 

adalah sumber formal dan informal yang dimanfaatkan oleh keluarga. Sistem 

dukungan keluarga yang baik pada keluarga besar dan teman-teman, serta 

dukungan psikososial dan kesehatan yang membantu dan kompeten, akan 

menambah kemampuan keluarga untuk lebih cepat kembali melanjutkan 

perkembangan. 

Ketika suatu keluarga yang salah satu anggota keluarganya disabilitas, 

misalnya salah satu anggota keluarga mengalami halusinasi, membandingkan 

tugas perkembangan keluarga yang ideal dalam tahap siklus kehidupan keluarga 

dengan perilaku aktual keluarga akan sangat berguna. Perbandingan ini berguna 

dalam mengevaluasi kemungkinan dampak disabilitas pada keluarga. 

Keluarga menghadapi situasi penuh stres dan ketegangan karena memiliki 

anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa. Situasi penuh stres ini 

diperberat dengan tuntutan ekonomi akan perawatan anggota keluarga yang 

mengalami halusinasi ini  dalam jangka waktu yang tidak singkat dalam 

perawatan, kesabaran tinggi dalam menghadapi emosi, kekhawatiran akan 

perilaku maladaptif dan masa depannya. Situasi-situasi ini  menimbulkan 

38 

 

38 

 

beban keluarga yang tidak ringan, jika tidak mendapatkan intervensi secara 

optimal dapat mengantarkan keluarga ke dalam krisis psikologis. 

Fontaine (2009) mengatakan bahwa beban keluarga adalah tingkat 

pengalaman distress keluarga sebagai efek dari kondisi anggota keluarganya. 

Kondisi ini dapat menyebabkan meningkatnya stres emosional dan ekonomi dari 

keluarga. Sebagaimana respon keluarga terhadap berduka dan trauma, keluarga 

dengan anggota keluarga mengalami halusinasi juga memerlukan  empati dan 

dukungan dari tenaga kesehatan profesional (Mohr & Regan-Kubinski, 2001 

dalam Fontaine, 2009). 

Menurut Mohr (2006), ada tiga jenis beban keluarga yaitu: 

1. Beban Obyektif, merupakan beban dan hambatan yang dijumpai dalam 

kehidupan suatu keluarga yang berhubungan dengan pelaksanaan merawat 

salah satu anggota keluarga yang mengalami halusinasi. Termasuk 

kedalam beban obyektif adalah: beban biaya finansial untuk perawatan dan 

pengobatan, tempat tinggal, makanan, dan transportasi. 

2. Beban Subyektif, merupakan beban yang berupa distress emosional yang 

dialami anggota keluarga yang berkaitan dengan tugas merawat anggota 

keluarga yang mengalami halusinasi. Termasuk beban subyektif 

diantaranya: ansietas akan masa depan, sedih, frustasi, merasa bersalah, 

kesal, dan bosan. 

3. Beban Iatrogenik, merupakan beban yang disebabkan karena tidak 

berfungsinya sistem pelayanan kesehatan jiwa yang dapat mengakibatkan 

intervensi dan rehabilitasi tidak berjalan sesuai fungsinya. Termasuk 

dalam beban ini, bagaimana sistem rujukan dan pr