Seiring dengan dinamisnya kehidupan manusia serta kondisi kasus
kehidupan yang dihadapi seperti: globalisasi, perubahan demografi, dan tuntutan
kebutuhan warga . Dampak negatifnya telah merubah perilaku individu,
keluarga, dan warga . Memunculkan kasus psikososial dan gangguan
kesehatan jiwa yang berakibat pada rendahnya kualitas dan produktivitas sumber
daya manusia. Akhirnya akan menjadi lingkaran setan antara gangguan kesehatan
jiwa dengan kemiskinan.
kasus kesehatan jiwa di dunia sudah menjadi kasus kesehatan global
yang sangat serius. Hampir 400 juta warga dunia menderita kasus kesehatan
jiwa dan gangguan perilaku, satu dari empat keluarga sedikitnya memiliki
seorang anggota keluarga dengan gangguan kesehatan jiwa (WHO, 2011). Setiap
empat orang yang memerlukan pelayanan kesehatan seorang diantaranya
mengalami gangguan jiwa dan sering kali tidak terdiagnosis secara tepat sehingga
tidak memperoleh perawatan dan pengobatan dengan tepat. Menurut World
Federation of Mental Health atau disingkat WFMH (2016) dalam (Ikatan Dokter
negarakita , 2016) ada fakta mencengankan, bahwa satu dari empat orang dewasa
akan mengalami kasus kesehatan jiwa pada satu waktu dalam hidupnya.
Bahkan, setiap 40 detik di suatu tempat di dunia ada seseorang yang meninggal
karena bunuh diri.
kasus jiwa menimbulkan beban yang sangat besar terutama beban sosial
dan ekonomi, dimana mengakibatkan proporsi besar terhadap beban penyakit
serta penyebab terbesar disabilitas yang hampir 14% dari beban penyakit global
yang diukur dengan disability-adjusted life years (DALYs), disebabkan oleh
gangguan jiwa. Hal ini akan sangat mempengaruhi pencapaian MDGs/SDGs.
Selain hal ini gangguan jiwa (depresi mayor unipolar) menjadi beban global
penyakit selain penyakit jantung iskemik pada tahun 2020 dan sesudah HIV-AIDS
pada tahun 2030 (Global Burden of Disease-WHO, 2012). Fenomena orang
dengan gangguan jiwa (ODGJ) masih menjadi salah satu perkasus an kesehatan
yang signifikan di dunia, sehingga trend dan isu kesehatan jiwa global ini akan
berpengaruh terhadap beberapa Negara termasuk negarakita .
Data di negarakita untuk kasus kesehatan jiwa tertuang dalam hasil
Riskesdas (2013). Gejala gangguan mental emosional seperti depresi dan anxietas
pada usia lebih sama dengan 15 tahun sebesar 6% atau sebanyak lebih dari 10 juta
jiwa. Prediksi ke depan akan semakin menambah angka gangguan jiwa berat
(psikosis) dengan angka gejala-gejala psikosis sebesar 1,7/1000 atau sebesar lebih
dari 450.000 jiwa. Akan menjadi fenomena bola salju bila kasus kesehatan jiwa
dan fisik dimana terdapat 20% - 30% pasien depresi pada pasien dengan penyakit
fisik kronis dan orang yang mengalami penyakit fisik kronis cenderung 2-3 kali
lebih sering mengalami depresi, sebaliknya 2/3 dari orang yang mengalami
depresi lebih tinggi kemungkinannya untuk timbul penyakit fisik yang kronis.
Terdapat hubungan yang bermakna antara depresi dengan penyakit fisik kronis
(penyakit jantung, asma, arthritis). Sebanyak 14,3% (lebih dari 60.000) dari
warga negarakita yang mengalami gangguan jiwa berat, mengatakan pernah
dipasung. Pemasungan pada orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) merupakan
salah satu dampak kesenjangan pengobatan terhadap gangguan jiwa. Begitu besar
data kejadian kasus gangguan jiwa yang aktual dan potensial di negarakita yang
sangat penting dilakukan penanganan serius, terutama melalui kehadiran
pemerintah.
Menurut data statistik direktorat kesehatan jiwa, ODGJ terbesar
terdiagnosa medis skizofrenia yaitu 70% (Depkes RI, 2003). Kelompok
skizofrenia menempati 90% ODGJ di rumah sakit jiwa di seluruh negarakita (Jalil,
2006). Salah satu kasus dalam penanganannya menurut Olfson dkk (2000)
dalam Stuart & Laraia (2005) adalah terjadinya kekambuhan dimana dialami oleh:
60%-70% pada ODGJ yang mendapatkan terapi medikasi; 40% pada ODGJ yang
hanya mendapatkan medikasi, serta 15,7% pada ODGJ dengan kombinasi terapi
medikasi, psikoterapi dan mendapat dukungan dari tenaga kesehatan, keluarga,
dan warga , kekambuhan ini terjadi pada satu tahun sesudah terdiagnosa
skizofrenia.
3
3
Prevalensi gangguan mental emosional warga negarakita menurut hasil
Riskesdas (2013) angka tertinggi gangguan jiwa berat ada di Yogyakarta dan
Aceh (masing masing 2,7%), sedangkan yang terendah yaitu Kalimantan Barat
(0,7%), sementara untuk Provinsi Banten prevalansinya (1,1%). Adapun untuk
prevalensi gangguan jiwa berat nasional adalah 1,7 per mil. berdasar
prevalansi gangguan jiwa berat ini , posisi Provinsi Banten masih di bawah
angka nasional. Meski demikian Pemerintah Provinsi Banten tidak bisa diam
untuk berupaya meminimalisir kondisi ini .
berdasar data gambar ini diketahui bahwa prevalensi gangguan
mental emosional berdasar karakteristik Riskesdas 2007 dan 2013 terjadi
penurunan. Menurut kelompok umur gangguan mental tertinggi berada di umur
75 tahun ke atas. Prevalensi untuk jenis kelamin, perempuan merupakan yang
tertinggi dan untuk tingkat pendidikan posisi tidak sekolah menjadi yang tertinggi.
Adapun berdasar karakteristik wilayah, posisi pedesaan adalah merupakan
paling tinggi dibandingkan perkotaan.
Frekuensi kekambuhan dan proporsinya dalam satu tahun menambah
kasus penanganan skizofrenia pada ODGJ selain angka kekambuhan. Survei
yang dilakukan pada 697 psikiater serta 1082 keluarga oleh Federasi Kesehatan
4
4
Jiwa Sedunia (World Federation of Mental Health) tahun 2006 menunjukan hasil
bahwa hampir 37% keluarga menyatakan ODGJ kambuh lima kali atau lebih
sesudah terdiagnosa skizofrenia. Hal ini diperkuat bahwa ODGJ dengan
skizofrenia mengalami kekambuhan 50% pada tahun pertama dan 70% pada tahun
kedua (Sulinger, 1988 yang dikutip oleh Keliat, 2003), bahkan ODGJ dengan
skizofrenia mengalami kekambuhan 25% pada tahun pertama, 70% pada tahun
kedua, dan 100% pada tahun ketiga di RS dr. Sardjito Yogyakarta pada tahun
2003 (Jalil, 2006).
Beberapa hal ini di atas tidak terlepas dari kondisi saat ini, dimana
terdapat kesenjangan pengobatan yang masih tinggi mencapai 90%, adanya
keterlambatan dalam pengenalan kasus kesehatan jiwa, keterlambatan dalam
membawa orang dengan kasus kejiwaan ke fasilitas kesehatan, serta adanya
kasus-kasus pemasungan. Sementara sumber daya layanan kesehatan jiwa secara
nasional masih terbatas. Identifikasi terhadap kesenjangan pengobatan beberapa
penyebab diantaranya adalah kondisi geografis yang sulit dijangkau, tingkat
pengetahuan warga terhadap kesehatan jiwa masih rendah, stigma terhadap
kesehatan jiwa, sumber daya pendukung layanan kesehatan jiwa masih terbatas,
serta faktor ekonomi, sosial, dan budaya.
Gangguan jiwa berat menimbulkan beban bagi pemerintah, keluarga serta
warga oleh karena produktivitas pasien menurun dan akhirnya menimbulkan
beban biaya yang besar bagi pasien dan keluarga. Dari sudut pandang pemerintah,
gangguan ini menghabiskan biaya pelayanan kesehatan yang besar. Sampai saat
ini masih terdapat pemasungan serta perlakuan salah pada pasien gangguan jiwa
berat di negarakita . Hal ini akibat pengobatan dan akses ke pelayanan kesehatan
jiwa belum memadai. Salah satu upaya yang dilakukan pemerintah melalui
Kementerian Kesehatan adalah menjadikan negarakita bebas pasung oleh karena
tindakan pemasungan dan perlakukan salah merupakan tindakan yang melanggar
hak asasi manusia (Riskedas Kemenkes, 2013).
Selain gangguan jiwa berat, Riskesdas Kemenkes (2013) juga melakukan
penilaian gangguan mental emosional. Gangguan mental emosional merupakan
istilah yang sama dengan distres psikologik. Kondisi ini merupakan keadaan
5
5
yang mengindikasikan seseorang sedang mengalami perubahan psikologis.
Berbeda dengan gangguan jiwa berat psikosis dan skizofrenia, gangguan mental
emosional adalah gangguan yang dapat dialami semua orang pada keadaan
tertentu, tetapi dapat pulih seperti semula. Gangguan ini dapat berlanjut menjadi
gangguan yang lebih serius apabila tidak berhasil ditanggulangi. Perhatian besar
ditunjukan WHO (2001), dimana jika 10% dari populasi warga mengalami
kasus kesehatan jiwa maka harus mendapat perhatian serius karena sudah
terkategori rawan kesehatan jiwa yang perlu disikapi secara serius oleh semua
pihak.
Setiap orang dijamin oleh Negara untuk bisa hidup sejahtera lahir dan
batin serta memperoleh pelayanan kesehatan, hal ini merupakan amanat
UUD Tahun 1945 (Pasal 28 ayat 1). Upaya untuk meminimalisir dan
mengendalikan perkasus an kesehatan jiwa, Pemerintah negarakita sudah
berupaya dengan membuat regulasi dan berbagai program penanganan.
Keseriusan pemerintah dalam menangani hal ini dengan dikeluarkannya
Undang-undang No. 3 Tahun 1966 dan diperbaharui dengan UU No. 18 Tahun
2014 tentang Kesehatan Jiwa.
Pemerintah negarakita juga mencanangkan pada Tahun 2017 ini sebagai
tahun “bebas pasung”. Kondisi ini tentunya tidak terlepas dari tingginya
angka pasung di negarakita , Data Riskesdas (2013) menunjukkan bahwa gangguan
jiwa berat yang pernah dipasung sebesar 14,3 persen. Tindakan pemasungan
dilakukan secara tradisional dengan menggunakan kayu atau rantai pada kaki,
tetapi juga tindakan pengekangan yang membatasi gerak, pengisolasian, termasuk
mengurung dan penelantaran, yang menyertai salah satu metode pemasungan
(Kemenkes, 2013). Begitu pun potret di Provinsi Banten yang juga menjadi salah
satu representasi dari kondisi nasional.
berdasar data hasil Riskesdas tahun 2013 menunjukan 1 dari 17
warga di Banten memiliki gangguan mental emosional (anxietas dan depresi)
serta sekitar 13.200 warga di Banten memiliki gangguan jiwa berat (psikotik).
Bila disikapi dengan bijak, penanganan ODGJ di Provinsi Banten harus sangat
serius mengingat pergeseran dari kasus gangguan emosional yang akan
6
6
semakin beresiko bergeser ke kasus gangguan jiwa berat dan lambat atau cepat
menambah angka ODGJ. Diperkuat dengan laporan data kasus pasung per
kabupaten/kota pada periode Januari-Juli 2017, dari 5851 yang dilaporkan sudah
4881 (87%) yang ditangani dengan Kota Cilegon yang melaporkan data kasus
paling tinggi yaitu 2923 (52%) dan sudah ditangani seluruhnya. Sedangkan
jumlah pasung yang dilaporkan masih ada 101 ODGJ dengan sebaran terbanyak di
Kabupaten Pandeglang dan Kabupaten Lebak yaitu masing-masing 27 (27%)
(Dinkes Provinsi Banten, 2017). Sehingga kondisi kasus kesehatan jiwa di
Banten ini perlu segera ditangani dengan model penanganan yang tepat dan
komprehensif pada semua populasi; populasi sehat, populasi resiko tinggi dan
populasi dengan gangguan jiwa.
Sesuai kebijakan dari pemerintah pusat dengan nawa cita, nomor lima
yaitu upaya meningkatkan kualitas hidup manusia negarakita . Arah pembangunan
kesehatan di negarakita sesuai dengan RPJMN III 2015-2019, dari kuratif bergerak
ke arah promotif dan preventif sesuai dengan kondisi dan kebutuhan. Upaya
promotif dan preventif kesehatan jiwa meliputi pendekatan siklus kehidupan dan
kelompok resiko serta terintegrasi pada semua tingkat layanan kesehatan dan
kegiatan layanan primer dan sekunder.
Perkembangan ODGJ di Provinsi Banten berdasar banyaknya kondisi
yang dipasung jumlahnya terus mengalami peningkatan. Data Riskesdas
Kemenkes (2013) menyatakan persentasenya mencapai 10,3 persen. Jumlah
ODGJ di Provinsi Banten terus mengalami peningkatan, data Dinas Kesehatan
Provinsi Banten (2015) pada Oktober 2015 tercatat ada sebanyak 1.600 orang dan
pada September 2016 mencapai 1.650 orang. Fenomena ini perlu menjadi
perhatian pemerintah daerah untuk ditangani secara serius.
Penderita gangguan jiwa atau ODGJ ini seringkali menjadi kaum marjinal
yang dilupakan keberadaannya oleh jutaan warga di Banten. Padahal, sebagai
warga negara, warga penderita gangguan jiwa tetap memiliki hak
sebagaimana yang dimiliki warga tanpa gangguan jiwa. Khususnya hak
mendapatkan pelayanan kesehatan serta hak-hak yang lainnya baik dari
warga maupun pemerintah. Fenomena perkasus an orang yang terganggu
7
7
kesehatan jiwa seringkali berakhir dengan dirantai atau dikurung di ruang yang
penuh sesak dan sangat tidak sehat, tanpa persetujuan mereka, karena stigma dan
minimnya perawatan kesehatan jiwa dan dukungan pelayanan berbasis
warga . Di institusi itu mereka menghadapi kekerasan fisik dan seksual,
menjalani pengobatan paksa termasuk terapi elektro-syok, diisolasi, dibelenggu,
dan dipaksa menerima kontrasepsi.
Pemasungan orang dengan kondisi kesehatan jiwa adalah tindakan ilegal
di negarakita , tapi ini masih jadi praktik brutal dan berkembang luas, Orang
menjalani hidupnya selama bertahun-tahun dengan dirantai, diikat di balok kayu,
atau dikurung di kandang kambing karena keluarga tak tahu lagi yang harus
dilakukan. Sementara pemerintah belum bisa memberikan solusi alternatif yang
tepat dalam pengobatan yang manusiawi untuk warga . Berikut ini
perkembangan data Kasus Pasung di Provinsi Banten dari 2014-2017:
Tabel 1.1 Data Kasus Pasung di Provinsi Banten dari 2014-2017
No Perkembangan Kasus Pasung
Tahun
2014 2015 2016 2017
1 Jumlah pasien yang di laporkan 88 189 1706 5651
2 Jumlah pasien yang ditangani 83 181 820 4881
3 Jumlah pasien yang dilepas 25 23
4 Jumlah yang dipasung 101
5 Jumlah yang rujuk 444
Sumber: Dinkes Provinsi Banten (2017)
berdasar tabel ini bahwa perkembangan data kasus pasung di
Provinsi Banten dari 2014-2017 tercatat semakin meningkat. Hal ini dilihat
dari jumlah pasien yang dilaporkan di tahun 2017 semakin memuncak sebanyak
5651 orang, sementara yang dilaporakan 4881 orang, pasien yang dilepas 23
orang, yang dipasung 101 orang dan jumlah yang dirujuk sebanyak 444 0rang.
Pemerintah Provinsi Banten melalui Dinas kesehatan secara umum sudah
memulai upaya penanganan dengan turunan kebijakan dan program dari
kementrian kesehatan. Beberapa hal terkait layanan kesehatan jiwa warga di
Banten belum terintegrasi dengan baik pada beberapa level seperti rumah sakit
jiwa (RSJ), layanan psikiatri/psikologi di RSU, layanan kesehatan jiwa di
puskesmas, kelompok swabantu, LSM peduli kesehatan jiwa, dan perawatan diri
8
8
di keluarga (self care). kasus kesehatan jiwa tidak menjadi perhatian pemangku
kebijakan terkait dengan beberapa hal seperti kesehatan jiwa belum menjadi
agenda prioritas, investasi pemerintah di bidang kesehatan jiwa masih rendah
termasuk sumber daya manusia untuk pelayanan kesehatan jiwa, anggaran untuk
program kesehatanjiwa sangat kecil tidak sebanding dengan beban yang
ditimbulkan. Sumber daya kesehatan jiwa masih terkonsentrasi di RSJ di kota
besar sehingga mempengaruhi akses dan kontinuitas layanan kesehatan jiwa.
Layanan kesehatan jiwa belum secara merata terintegrasi di layanan primer; masih
kurangnya dokter dan perawat terlatih jiwa, ketersediaan obat baik jenis, dan
jumlah yang masih kurang, sebagian besar puskesmas tidak menjalankan program
kesehatan jiwa dengan alasan kesehatan jiwa bukan program psrioritas. Banyak
Dinas Kesehatan Provinsi, Kabupaten/Kota tidak memiliki pemegang program
kesehatan jiwa.
Tabel 1.2 Puskesmas Yang Melaksanakan Layanan Kesehatan Jiwa di
Kabupaten/Kota Provinsi Banten
No Kabupaten / Kota Jumlah Puskesmas
Jumlah Puskesmas
yang Membuka
Layanan Jiwa
1 Kota Serang 16 6
2 Kabupaten Serang 31 13
3 Kabupaten Pandeglang 36 11
4 Kabupaten Lebak 42 11
5 Kota Tangerang 33 7
6 Kabupaten Tangerang 44 9
7 Kota Tangerang Selatan 25 5
8 Kota Cilegon 8 8
Provinsi 235 70
Sumber: Dinkes Provinsi Banten (2017)
berdasar tabel ini diketahui bahwa jumlah layanan jiwa di
puskesmas yang ada di Banten baru ada 70 puskesmas dari 235 puskemas yang
ada di Provinsi Banten. Sejauh ini Pemerintah Provinsi Banten baru sebatas
mengoptimalkan peran puskesmas yang ada dalam menangani perkasus an
penyakit ganggunan jiwa, dengan menyediakan obat dan menjadi pusat konsultasi.
Sejauh ini di Banten belum ada rumah sakit rujukan dan terdapat rumah sakit yang
9
9
menangani kasus kesehatan ini di setiap daerah khususnya daerah dengan
jumlah Orang Dengan kasus Kejiwaan (ODMK) dan Orang Dengan Gangguan
Kejiwaan (ODGJ).
Keseriusan Pemerintah Provinsi Banten tentunya harus
mempertimbangkan penanganan kasus kesehatan jiwa yang mengacu kepada
sistem kesehatan jiwa antara lain; (1) Regulasi, kebijakan, dan perencanaan; (2)
Finansial; (3) Kemitraan dan pemberdayaan, pemangku kepentingan; (4) Sistem
layanan kesehatan jiwa; (5) Infrastruktur; dan (6) Sistem informasi dan evaluasi.
Sehingga sangat penting dalam upaya melakukan penanganan ODGJ
mendapatkan data dasar terlebih dahulu terkait kesiapan keenam sistem kesehatan
jiwa ini . Begitu pula regulasi yang akan menjadi landasan hukum dalam
pelaksanaan penanganan.
Payung hukum sudah cukup jelas diturunkan dari mulai UU No.36 tahun
2009 tentang kesehatan, mengenai layanan kesehatan jiwa pada pasal 144, 146,
dan 147. UU No.18 tahun 2014 tentang kesehatan jiwa yang terdiri dari 10 bab
dan 91 pasal, mengenai layanan kesehatan jiwa pada pasal 33 dan 34, serta
didukung satu peraturan presiden terkait koordinasi dalam pelaksanaan upaya
kesehatan jiwa, empat peraturan menteri kesehatan dan satu peraturan menteri
sosial. Bagaimana untuk kesiapan regulasi pada pemerintah daerah?. Hal ini
tentunya akan berpengaruh terhadap model penanganan yang akan ditetapkan.
Pemerintah Provinsi Banten secara regulasi di daerah juga belum memiliki
peraturan daerah yang berkaitan dengan penganan orang dengan gaganguan jiwa.
hal ini menyulitkan pemerintah untuk leluasa berinovasi melakukan upaya
penanganan secara masif.
Finansial dan pendanaan tentunya pemerintah daerah ketika menggulirkan
suatu pola kebijakan penanganan kesehatan jiwa perlu merasa memiliki sumber
dana yang memadai, memiliki perencanaan pengajuan maupun penggunaan
dana serta memiliki kapasitas untuk dapat membuat perencanaan dana yang baik.
Apakah masih tergantung kepada pendanaan pusat, hal ini tentunya harus segera
menggali potensi daerah untuk mengalokasikan pada kegiatan pelayanan
kesehatan jiwa ini.
10
10
Penanganan ODGJ harus melibatkan berbagai pihak dalam kemitraan dan
pemberdayaan. kasus kesehatan jiwa harus dipahami dan dinggap menjadi
kasus bersama, memiliki mitra pemangku kepentingan, dan upaya advokasi
yang dilakukan harus dirasakan efektif. Terkait hal penting lain adalah
membangun system layanan kesehatan jiwa dengan memiliki fasilitas kesehatan
jiwa yang cukup, memiliki kemampuan dan aktivitas layanan kesehatan yang
cukup (preventif dan rehabilitatif) dan sistem rujukan berjenjang dan dua arah
yang berjalan sesuai dengan harapan. Fenomena yang terjadi masih ditemukan
orang gila (ODGJ) yang berkeliaran di Jalur Protokol yang membuat
terganggunya ketertiban dan kenyamanan kota. Beberapa upayan razia kerap
dilakukan oleh Dinas Sosial bersama dengan Satpol PP Pemerintah
Kabupaten/Kota, namun kondisi ini belum ampuh menyelesaikan
perkasus an. Banyaknya ODGJ yang berkeliaran diduga juga ada pihak-pihak
yang melakukan pengiriman dari luar daerah di Banten.
Sumber daya manusia, infrastruktur harus terpenuhi secara kuantitas dan
kualitas dari mulai tingkat dinas, puskesmas, sampai warga . Fisik bangunan,
obat, dan alat penunjang layanan, transfortasi sesuai kebutuhan. Serta sistem
informasi dan evaluasi yang meliputi pencatatan dan pelaporan sebagai gambaran
capaian saat ini untuk menyusun rencana tindak lanjut dan sumber daya manusia
yang memiliki kapasitas pengelolaan sistem informasi yang baik.
Upayan Pemerintah Provinsi Banten sejuh ini dalam melakukan
penanganan ODGJ belum secara masif. Meski sudah ada beberapa upaya seperti
yang dilakukan oleh Dinas Sosial dan Dinas Kesehatan Provinsi Banten yaitu
dengan pemeriksaan, menyediakan obat hingga rehabilitasi. Korban ODGJ yang
ditangani adalah rata-rata mereka yang menjadi korban pemasungan. sesudah
dilakukan pemeriksaan dan pengobatan, korban ODGJ kemudian diserahkan
kepada yayasan yang ditunjuk sebagai Instalasi Penerima Wajib Lapor (IPL)
untuk dilakukan rehabilitasi, di mana ada empat yayasan sejauh ini ditunjuk oleh
pemerintah daerah, salah satunya Yayasan Bani Sifa di Kecamatan Pamarayan
Kabupaten Serang.
11
11
Pemerintah Provinsi Banten juga belum memaksimalkan layanan BPJS
(Badan Penyelenggaraan Jaminan Sosial) Kesehatan. Padahal langkah ini
bisa meringkankan beban ekonomi keluarga pasien ODGJ. Fasilitasi
pelayanannya dengan mengunakan fasilitas BPJS dapat meringkan pengobatan
keluarga pasien ODGJ. Upaya Pemerintah Provinsi Banten untuk menangani
perkasus an ODGJ sudah berencana akan mendirikan Rumah Sakit Jiwa (RSJ).
Tahapan ini baru sebatas pengamatan bahwa RSJ akan dibangun di
Kecamatan Ciruas, Kabupaten Serang, seluas lima sampai enam hektar
(tangselpos.co.id, dikases 24-08-2017). Namun upaya terebut hingga saat ini
belum ada tanda-tanda akan dibangunnya RSJ di Provinsi Banten ini.
Fenomena kompleksnya perkasus an penanganan ODGJ di atas, maka
penanganannya perlu melibatkan oleh semua stakeholders, baik pemerintah
maupun partisipasi warga . Perlu dilakukan penanganan kesehatan jiwa
berbasis warga yaitu dengan cara pemberdayaan serta membangun
kemandirian warga dibidang kesehatan jiwa. berdasar amanat UU No. 8
Tahun 2014 di atas sudah secara tegas bahwa sistem pelayanan Kesehatan Jiwa
harus dilakukan secara berjenjang dan komprehensif. Maka pemerintah tentu tidak
bisa melaksanakan sistem palayanan kesehatan jiwa ini dengan baik tanpa
keterlibatan semua pihak khusunya warga . Sehingga, Pemerintah daerah
perlu mendukung fasilitasi dari penanganan rehabilitasi ODGJ berbasis
warga .
berdasar uraian latar belakang ini maka untuk menyusun,
membuat skema dari penanganan ODGJ tentunya terlebih dahulu harus diketahui
kesiapan sistem kesehatan jiwa di atas, demikian pentingnya diketahui kesiapan
sistem ini sehingga harus melalui upaya telaah dengan sebuah penelitian.
1.2 RUMUSAN kasus
berdasar latar belakang kasus yang diuraikan di atas, sesudah
dilakukan identifikasi perkasus an mengenai “Model Penanganan Orang Dengan
Gangguan Jiwa (ODGJ) di Provinsi Banten”. Maka, ada beberapa rumusan
kasus yang hendak dikaji untuk diteliti dalam penelitian ini, diantaranya:
12
12
1. Bagaimanakah upaya penanganan Orang dengan Gangguan Jiwa (ODGJ)
di Provinsi Banten?
2. Apa kendala penanganan Orang dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) di
Provinsi Banten?
3. Bagaimana bentuk dan upaya yang harus dilakukan untuk penanganan
Orang dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) di Provinsi Banten?
1.3 TUJUAN
Tujuan penelitian penelitian model penanganan Orang dengan Gangguan
Jiwa (ODGJ) di Provinsi Banten adalah bertujuan untuk mengetaui, mengkaji dan
menganalisis dan serta merumuskan:
1. Untuk mengetahui model penanganan Orang dengan Gangguan Jiwa
(ODGJ) di Provinsi Banten.
2. Untuk Mengetahui kendala penanganan Orang dengan Gangguan Jiwa
(ODGJ) di Provinsi Banten.
3. Untuk menganalisis dan menemukan bentuk dan upaya yang harus
dilakukan sebagai model penanganan Orang dengan Gangguan Jiwa
(ODGJ) di Provinsi Banten.
1.4 SASARAN
Untuk dapat merealisasikan tujuan ini di atas, maka pelaksanaan
penelitian Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) di Provinsi Banten, di arahkan
pada sasaran manfaat sebagai berikut :
1. Diharapkan dapat memberikan masukan dan bahan pertimbangan bagi
pemerintah daerah dalam merumuskan program kebijakan, khususnya
masukan alternatif kebijakan dalam upaya penanganan kasus Orang
Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) yang berkesinambungan di Provinsi
Banten.
2. Dapat menyusun rekomendasi tentang alternatif tindakan dan pemikiran
mengenai upaya-upaya yang harus dilakukan dalam rangka
penyempurnaan kebijakan program berkaitan dengan model penanganan
13
13
kasus Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) di Provinsi Banten
secara tuntas.
3. Diharapakan penelitian model penanganan orang dengan gangguan jiwa
(ODGJ) di Provinsi Banten, diikuti oleh Aparatur dari Dinsos Provinsi
Banten, Dinkes Provinsi Banten, Kader Kesehatan, Tokoh warga ,
Tokoh Agama, Aparat Desa, dan unsur SKPD Kabupaten/Kota Provinsi
Banten dan Aparatur Badan Perencanaan dan Pembangunan Provinsi
Banten.
1.5 DASAR HUKUM
1. Undang-Undang Dasar 1945, pasal 25A, Pasal 28H ayat (1), pasal 31
pasal, dan pasal 33 ayat (3).
2. Undang-undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang
(Lembaran Negara Republik negarakita Tahun 1992 Nomor 115,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3501);
3. Undang-undang Nomor 23 Tahun 2000 tentang Pembentukan Provinsi
Banten (Lembaran Negara Republik negarakita Tahun 2000 Nomor 182,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 4010);
4. Undang-undang Nomor 18 Tahun 2002 tentang Sistem Nasional
Penelitian, Pengembangan dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan
Teknologi;
5. Undang-undang no. 20 tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan
Nasional.
6. Undang-undang 25 tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan
Pembangunan Nasional.
7. Undang-undang no. 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
8. Peraturan Pemerintah RI Nomor 38 tahun 2007 tentang Pembagian
Kewenangan;
9. Undang Undang Republik negarakita Nomor 11 Tahun 2009 Tentang
Kesejahteraan Sosial;
14
14
10. Undang Undang Republik negarakita Nomor 36 Tahun 2009 Tentang
Kesehatan;
11. Undang Undang Republik negarakita Nomor 18 Tahun 2014 Tentang
Kesehatan Jiwa;
12. Undang Undang Republik negarakita Nomor 8 Tahun 2016 Tentang
Penyandang Disabilitas;
13. Peraturan Pemerintah RI Nomor 50 tahun 2007 tentang Kebijakan
Kerjasama Daerah;
14. Peraturan Pemerintah No. 48 Tahun 2008 tentang Pendanaan
Pendidikan;
15. Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 2010 Tentang Perubahan Atas
Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010 Tentang Pengelolaan dan
Penyelenggaraan Pendidikan.
16. Peraturan Pemerintah No. 39 Tahun 2012 Tentang Penyelenggaraan
Kesejahteraan Sosial;
17. Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua
Atas PP No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan;
18. Perpres Nomor 72 Tahun 2012 tentang Sistem Kesehatan Nasional;
19. Peraturan Menteri Kesehatan Republik negarakita Nomor 39 Tahun
2016 Tentang Pedoman Penyelenggaraan Program negarakita Sehat
Dengan Pendekatan Keluarga.
20. Peraturan Daerah Provinsi Banten Nomor 3 Tahun 2008 tentang
Pembentukan, Organisasi dan Tata Kerja Dinas Daerah Provinsi
Banten;
21. Peraturan Daerah Provinsi Banten Nomor 8 Tahun 2010 Tentang
Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial.
15
15
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 KEBIJAKAN PUBLIK
Kebijakan secara umum menurut Said Zainal Abidin, (2005) dapat
dibedakan dalam tiga tingkatan: kebijakan umum, yaitu kebijakan yang menjadi
pedoman atau petunjuk pelaksanaan baik yang bersifat positif ataupun yang
bersifat negatif yang meliputi keseluruhan wilayah atau instansi yang
bersangkutan. Kebijakan pelaksanaan, adalah kebijakan yang menjabarkan
kebijakan umum. Untuk tingkat pusat, peraturan pemerintah tentang pelaksanaan
suatu undang-undang. Kebijakan teknis, kebijakan operasional yang berada di
bawah kebijakan pelaksanaan.
Definisi kebijakan menurut Aminullah (dalam Muhammadi, 2001)
Kebijakan adalah suatu upaya atau tindakan untuk mempengaruhi sistem
pencapaian tujuan yang di inginkan, upaya dan tindakan dimaksud bersifat
strategis yaitu berjangka panjang dan menyeluruh. Sedangkan menurut Ndraha
(2003) bahwa kata Kebijakan berasal dari terjemahan kata policy, yang
memiliki arti sebagai pilihan terbaik dalam batas-batas kompetensi aktor dan
lembaga yang bersangkutan dan secara formal mengikat.
Dari beberapa definisi Kebijakan, maka dapat dibuat kesimpulan bahwa
Kebijakan adalah suatu keputusan berdasar hubungan kegiatan yang dilakukan
oleh aktor politik guna menentukan tujuan dan mendapat hasil berdasar
pertimbangan situasi tertentu. Jadi, berdasar beberapa Definisi mengenai
kebijakan, maka dapat di simpulkan, bahwa Kebijakan adalah intervensi
pemerintah (dan publik) untuk mencari cara pemecahan kasus dalam
pembangunan dan mendukung proses pembangunan yang lebih baik.
Kebijakan Publik pada dasarnya merupakan keputusan atau pilihan
tindakan secara langsung yang mengatur pengelolaan dan pendistribusian
sumberdaya ini , baik sumber daya alam, financial, maupun sumberdaya
manusia demi kepentingan publik (umum), yaitu rakyat banyak, warga ,
warga dalam suatu negara. Riant Nugroho (2003) menjelaskan bahwa
terdapat tiga kegiatan pokok yang berkaitan dengan Kebijakan Publik, yaitu:
16
16
Pertama, Perumusan Kebijakan. Kedua, Implementasi Kebijakan. Ketiga,
Evaluasi Kebijakan. Di dalam pengertian Kebijakan Publik, menurut Young dan
Quinn (dalam Edi Suharto, 2010):
1. Kebijakan Publik adalah tindakan yang dibuat dan di implementasikan
oleh badan pemerintah yang memiliki kewenangan hukum, politis dan
financial untuk melakukannya.
2. Kebijakan Publik biasanya bukanlah sebuah keputusan tunggal,
melainkan terdiri dari beberapa pilihan tindakan atau strategi yang
dibuat untuk mencapai tujuan tertentu demi kepentingan orang banyak.
3. Kebijakan Publik adalah tindakan kolektif untuk memecahkan kasus
sosial. Namun, kebijakan publik bisa juga dirumuskan berdasar
keyakinan bahwa kasus sosial akan dapat dipecahkan oleh kerangka
kebijakan yang sudah ada dan karenanya tidak memerlukan tindakan
tertentu.
4. Kebijakan Publik adalah kebijakan yang berisi sebuah pernyataan atau
justifikasi terhadap langkah-langkah atau rencana tindakan yang telah
dirumuskan, bukan sebuah maksud atau janji yang belum dirumuskan.
Di dalam analisis kebijakan publik yang dibuat terdapat pertimbangan lain
dalam menetapkan suatu kasus sosial yang akan dijadikan pusat kajian
kebijakan adalah penentuan apakah kasus ini termasuk kategori kasus
sosial strategis atau tidak. Suharto (2010) mengajukan empat parameter yang
dapat dijadikan pedoman untuk memecahkan kasus sosial. Selanjutnya menurut
Thomas R. Dye dalam Riant Nugroho, (2008) mendefinisikan kebijakan publik
sebagai “segala sesuatu yang dikerjakan pemerintah, mengapa mereka melakukan
dan hasil apa yang membuat kehidupan bersama tampil berbeda”.
Sementara menurut Harold Laswell (dalam Riant Nugroho, 2008)
mendefinisikan Kebijakan Publik “sebagai program yang diproyeksikan dengan
tujuan-tujuan tertentu, nilai-nilai dan praktik-praktik tertentu. Kemudian menurut
Riant Nugroho (2008), Kebijakan Publik adalah keputusan otoritas Negara yang
mengatur kehidupan bersama. Dimana tujuan kebijakan publik dapat dibedakan
dari sisi sumber daya atau risorsis, yaitu antara kebijakan publik yang bertujuan
mendistribusi sumber daya Negara dan yang bertujuan menyerap sumber daya
Negara.
Kemudian menurut Chandler dan Plano (dalam Thoha, 2008) menjelaskan
beberapa lingkup studi Kebijakan Publik meliputi hal-hal sebagai berikut:
17
17
1. Adanya partisipasi warga (public participation).
Ruang lingkup kebijakan publik yang pertama adalah membangkitkan
adanya partisipasi warga untuk bersama-sama memikirkan cara-cara
untuk mengatasi persoalan-persoalan warga . Tanpa adanya partisipasi
warga maka kebijakan publik kurang bermakna.
2. Adanya kerangka kerja kebijakan (policy framework).
Kerangka kerja disini dimaksudkan untuk memberikan batas kajian yang
dilakukan.
3. Adanya strategi-strategi kebijakan (policy strategies).
Sesungguhnya kebijakan yang terbaik adalah kebijakan yang berlandaskan
akan strategi yang tepat pemecahannya berkaitan dengan wilayah
persoalannya dan sama sekali tidak menghilangkan struktur kekuasaan dan
instrument-instrumen inovatif yang ada untuk pelaksanaan kebijakan
publik.
4. Adanya kejelasan tentang kepentingan warga (public interst).
Public interest merupakan suatu objek kepentingan yang setiap orang
merasa memberikan andil bersama-sama dengan orang lain dalam suatu
negara untuk menentukan kepentingan bersama yang didasarkan atas
pemikiran rasional dan adanya saling bertukar pikiran antara orang yang
satu dengan yang lainnya.
5. Adanya pelembagaan lebih lanjut dari kemampuan kebijakan public.
Pelembagaan disini adalah diadakannya suatu lembaga riset yang
idependen tentang kebijakan publik untuk menggali implikasi jangka
panjang dari policy dengan menggambarkan pernyataan gambar masa
depan, membuat unit baru pembuatan kebijakan, merancang kembali
organisasi yang menangani program, penilaian dan evaluasi dari kebijakan
yang telah ada.
berdasar beberapa definisi mengenai kebijakan publik, maka dapat di
simpulkan, bahwa kebijakan publik adalah keseluruhan aktivitas pemerintah baik
dilakukan sendiri maupun melalui berbagai badan yang lain, yang dimaksudkan
untuk mempengaruhi kehidupan warga , dengan kata lain kebijakan publik
ditempatkan sebagai pengatur dalam warga , atau bisa di bilang kebijakan
publik yaitu kebserangkaian kegiatan yang dibuat oleh pemerintah yang berisi
berbagai pilihan untuk dilakukan maupun tidak dilakukan.
Kebijakan Sosial, secara umum merupakan suatu perangkat, mekanisme,
dan sistem yang dapat mengarahkan dan menterjemahkan tujuan-tujuan
pembangunan. Menurut Magill (dalam Edi Suharto, 2010) bahwa Kebijakan
Sosial merupakan bagian dari kebijakan publik (public policy). Kebijakan publik
18
18
meliputi semua kebijakan ekonomi, transportasi, komunikasi, pertahanan
keamanan (militer), serta fasilitas-fasilitas umum lainnya (air bersih, listrik).
Selanjutnya, menurut Gilbert (dalam Edi Suharto, 2010) Kebijakan Sosial
merupkaan satu tipe kebijakan publik yang diarahkan untuk mencapai tujuan-
tujuan sosial. Kemudian, Menurut Spicker (dalam Edi Suharto, 2010) Kebijakan
Sosial adalah kebijakan yang berkaitan dengan kesejahteraan, baik dalam arti luas,
yang menyangkut kualitas hidup manusia, maupun dalam arti sempit, yang
menunjuk pada beberapa jenis pemberian pelayanan kolektif tertentu guna
melindungi kesejahteraan rakyat. Menurut David Gill (dalam Edi Suharto, 2010)
Kebijakan Sosial adalah Perangkat dan mekanisme kewarga an yang perlu
dirubah dari pengembangan sumber-sumber, pengalokasian status, dan
pendistribusian hak.
Sejalan kesimpulan berdasar definisi di atas, Kebijakan Sosial adalah
perencanaan untuk mengatasi biaya-biaya sosial, peningkatan pemerataan, dan
pendistribusian pelayanan dan bantuan sosial. berdasar dari beberapa Definisi
mengenai kebijakan Sosial, maka dapat dibuat kesimpulan bahwa kebijakan
Sosial adalah kebijakan yang mencakup tentang pemecahan kasus sosial, aspek
sosial dan lain-lain, serta berkaitan juga dengan tujuan sosial yang akan dilakukan.
2.2 KONSEP PATOLOGI SOSIAL
Sebelum membahas teori patologi, perlu diketahui bagaimana kita
memandang manusia sebagai warga . Menurut teori sosial change (perubahan
sosial), warga dipandang sebagai sesuatu yang ada dalam pikiran warga
ini , bukan bentuk riil dari warga itu sendiri (aliran sosial kritis).
Sedangkan menurut teori sosial order, manusia dipandang sebagai benda yang
dapat dikendalikan dan diatur sebagaimana benda (positivistik). Dari cara kita
memandang masarakat, kemudian digabungkan dengan teori patologi sosial, maka
diharapkan nantinya dapat menemukan kesimpulan jika diterapkan dengan
lapangan.
Konsep Patologi Sosial secara etimologis, kata “patologi” berasal dari
kata Pathos yang berarti disease/penderitaan/penyakit dan Logos yang berarti
19
19
berbicara tentang/ilmu. Jadi, patologi adalah ilmu yang membicarakan tentang
penyakit atau ilmu tentang penyakit. Sedangkan kata “sosial” adalah tempat atau
wadah pergaulan hidup antar manusia yang perwujudannya berupa kelompok
manusia atau organisasi yakni individu atau manusia yang
berinteraksi/berhubungan secara timbal balik bukan manusia atau manusia dalam
arti fisik. Maka pengertian dari “patologi sosial” adalah ilmu tentang gejala-gejala
sosial yang dianggap “sakit” disebabkan oleh faktor-faktor sosial atau Ilmu
tentang asal usul dan sifat-sifatnya, penyakit yang berhubungan dengan hakekat
adanya manusia dalam hidup warga .
Menurut Kenneth J Neubeck dkk (2007) dalam bukunya “Social Problem”
bahwa teori patologi sosial mendasarkan diri pada analogi organisme biologi
dengan organisme sosial, yang mana suatu kasus di analogikan dengan
penyakit. Penyakit yang dimaksudkan di sini adalah penyimpangan dari keadaan
normal. Suatu keadaan dikatakan normal apabila bagian-bagiannya saling
memelihara organisme secara keseluruhan. Penyakit sosial itu berbeda menurut
tempat dan waktu.
Menurut Koe Soe Khiam (1963) dalam Kartono Kartini (2003), bahwa
Patologi Sosial adalah suatu gejala dimana tidak ada persesuaian antara berbagai
unsur dari suatu keseluruhan sehingga dapat membahayakan kehidupan kelompok
atau yang merintangi pemuasan keinginan fundamental dari anggota-anggotanya,
akibatnya pengikatan sosial patah sama sekali. Sedangkan, Blackmar dan Billin
(1923) dalam Soerjono Soekanto (2012) menyatakan bahwa, patologi
sosial diartikan sebagai kegagalan individu menyesuaikan diri terhadap kehidupan
sosial dan ketidakmampuan struktur dan institusi sosial melakukan sesuatu bagi
perkembangan kepribadian.
Teori patologi merupakan satu teori tentang kasus sosial. kasus sosial
berbeda dengan problema-problema lainnya di dalam warga . Karena kasus
sosial ini berhubungan erat dengan nilai-nilai sosial dan lembaga-lembaga
kewarga an. kasus ini bersifat sosial karena bersangkut paut dengan
hubungan antar manusia dan di dalam kerangka bagian-bagian kebudayaan yang
20
20
normatif. Hal ini dinamakan kasus karena bersangkut paut dengan gejala-gejala
yang mengganggu kelanggengan dalam warga (Soerjono Soekanto, 2012).
Berbagai macam pendapat dari para ahli tentang kasus -kasus sosial
yang pada intinya mengacu pada penyimpangan dari berbagai bentuk tingkah laku
yang mana dianggap sebagai sesuatu yang tidak normal dalam warga . Dari
berbagai pendapat para ahli dapat disimpulkan bahwa “patologi
sosial” merupakan semua tingkah laku yang bertentangan dengan norma
kebaikan, stabilitas lokal, pola kesederhanaan, moral, hak milik, solidaritas
kekeluargaan, hidup rukun bertetangga, disiplin, kebaikan dan hukum formal.
2.3 ORANG DENGAN GANGGUAN JIWA (ODGJ)
Dalam panduan klasifikasi gangguan jiwa, gangguan mental atau yang
lebih umum dikenal dengan “gangguan jiwa”, dikonseptualisasikan sebagai suatu
perilaku klinis yang signifikan atau pola/sindrom psikologis yang ditemukan pada
seseorang dan terkait dengan tekanan yang sedang terjadi (misalnya, gejala sakit)
atau disabilitas (misalnya kerusakan fungsi satu atau beberapa area pening) atau
dengan peningkatan resiko atas kematian, rasa sakit, diabilitas atau kebebasan
(Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder IV edition Text Revision
DSMIV-TR, 2000).
Lebih lanjut (Halgin & Whitborn, 2007) menjelaskan terdapat empat (4)
dimensi yang menjadi kriteria seseorang digolongkan mengalami gangguan
kejiwaan, yaitu:
a. Tekanan (Distress).
Pengalaman sakit emosional atau fisikal merupakan hal biasa dalam
kehidupan sehari-hari. Namun, depresi dalam atau kecemasan berlanjut
dapat menjadi begitu hebat sehingga seseorang tidak mampu
menjalankan tugas-tugas kesehariannya.
b. Kerusakan (Impairment).
Seringkali tekanan berlebihan menyebabkan seseorang tidak
dapatberfungsi optimal atau bahkan mencapai fungsi rata-rata .
c. Resiko terhadap diri sendiri atau orang lain.
21
21
Resiko disini mengacu pada bahaya dan ancaman terhadap kesejahteraan
seseorang.
d. Perilaku yang secara sosial atau budaya tidak dapat diterima.
Kriteria abnormalitas dipandang dari sudut kewajaran norma yang
digunakan oleh suatu kelompok sosial atau budaya.
Undang-undang No. 3 Tahun 1966 tentang kesehatan jiwa, menyebutkan
bahwa “Gangguan Jiwa” merupakan bentuk dari penyimpangan perilaku akibat
adanya distorsi emosi sehingga ditemukan ketidakwajaran dalam bertingkah laku
yang diakibatkan oleh menurunnya semua fungsi kejiwaan, yang meliputi proses
berfikir, emosi, kemauan, dan perilaku psikomotorik, termasuk bicara. Menurut
UU No. 18 Tahun 2014, yang dimkasud orang dengan gangguan jiwa (ODGJ)
adalah orang yang mengalami gangguan dalam pikiran, perilaku, dan perasaan
yang termanifestasi dalam bentuk sekumpulan gejala dan/atau perubahan perilaku
yang bermakna, serta dapat menimbulkan penderitaan dan hambatan dalam
menjalankan fungsi orang sebagai manusia. Sementara ODMK (orang dengan
kasus kejiwaan) adalah orang yang memiliki kasus fisik, mental, sosial,
pertumbuhan dan perkembangan, dan/atau kualitas hidup sehingga memiliki
risiko mengalami gangguan jiwa (UU No. 18 Tahun 2014 Pasal (2 dan 3).
2.4 KONSEP SKIZOFRENIA
Skizofrenia menurut Manualy Statisticaly of Mental Disorder IV adalah
dua atau lebih dari karakteristik gejala delusi, halusinasi, gangguan bicara
(disorganitation speech) misalnya inkoheren, tingkah laku katatonik dan adanya
gejala-gejala negatif (Stuart & Laraia, 2005). Skizofrenia dapat didefinisikan
sebagai suatu sindrom dengan variasi penyebab (banyak yang belum diketahui)
dan perjalanan penyakit (tak selalu bersifat kronis) yang luas, serta sejumlah
akibat yang tergantung pada pengaruh genetik, fisik dan sosial budaya (Kaplan,
Saddock, & Grebb, 1997).
Skizofrenia merupakan suatu psiko-fungsional dengan gangguan utama
pada proses pikir serta disharmoni (keretakan atau perpecahan) antara proses
22
22
pikir, efek, kemauan dan psikomotor disertai distorsi kenyataan terutama karena
waham dan halusinasi, asosiasi terbagi-bagi sehingga timbul inkoheren, efek dan
emosi menjadi inadekuat, psikomotor menunjukan penarikan diri, ambivalensi,
autism dan perilaku bizarre (Maramis, 2006). Skizofrenia berdasar beberapa
pendapat ini adalah sekumpulan gejala yang sangat bervariasi terhadap
kondisi psikologis seseorang dan mengakibatkan perubahan perilaku dalam
kehidupan sehari-hari.
Ada beberapa teori yang mengatakan gangguan skizofrenia disebabkan
oleh faktor gangguan skizofrenia yang berawal dengan keluhan halusinasi dan
waham kejaran yang khas seperti mendengar pikirannya sendiri diucapkan dengan
nada keras atau mendengar dua atau lebih memperbincangkan diri penderita
sehingga merasa menjadi orang ketiga. Teori tentang penyebab skizofrenia
(Maramis, 2006), yaitu:
a. Keturunan
Penelitian pada keluarga penderita skizofrenia terutama anak kembar
satu telur, angka kesakitan bagi saudara tiri 0,9%-1,8%, bagi saudara
kandung 7%-15%, anak dengan salah satu menderita skizofrenia 7%-
16%. Apabila kedua orangtua menderita skizofrenia 40%-60% kembar
dua telur 2%-15%. Kembar satu telur 61%-68%. Menurut hukum
Mendel skizofrenia diturunkan melalui genetik yang bersifat resesif.
b. Endokrin.
Teori ini mengemukakan bahwa sering timbulnya skizofrenia pada
waktu pubertas, waktu kehamilan dan waktu klimakterus.
c. Metabolisme
Gangguan metabolisme pada penderita skizofrenia, tampak pucat dan
ujung ekstremitas agak sianosis, nafsu makan berkurang serta
penurunan berat badan, pada penderita dengan stupor katatonik zat
asam menurun.
d. Susunan saraf pusat
Penyebab skizofrenia ke arah kelainan susunan saraf pusat atau kortek
otak.
23
23
Gejala-gejala skizofrenia dapat dibagi menjadi dua kategori utama
(Vedebeck, 2008) yaitu; (1) Gejala Negatif atau gejala samar, seperti afek datar,
tidak memiliki kemauan, rasa tidak nyaman dan menarik diri dari warga .
Gejala negatif sering kali menetap sepanjang waktu dan menjadi penghambat
utama pemulihan dan perbaikan fungsi dalam kehidupan sehari-hari pasien; (2)
Gejala Positif atau gejala nyata; yang mencakup waham, halusinasi dan
disorganisasi pikiran, bicara dan perilaku yang tidak teratur. Gejala positif seperti
halusinasi dapat dikontrol dengan pengobatan.
2.5 FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KESEHATAN
JIWA
Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi kesehatan jiwa menurut (Halgin
dan Whitbourne, 2007) membagi penyebab gangguan jiwa menjadi tiga (3) faktor,
yaitu:
a. Biologis
Banyak gangguan jiwa berasal dari keturunan. Penelitian menemukan
bahwa kemungkinan seorang anak menjadi depresi lebih besar terjadi jika
orang tuanya juga mengalami depresi ketimbang anak yang berasal dari
orang tua non depresi. Selain dari gen, para ahli klinis juga mencurigai
gangguan fisik sebagai penyebab gangguan jiwa. Gangguan ini dapat
berasal dari berbagai sumber, misalnya kondisi medis, kerusakan otak,
atau keterpaparan dalam lingkungan tertentu.
b. Psikologis
Gangguan biasanya muncul sebagai akibat dari kesulitan pengalaman
hidup. Trauma dapat menjadikan beban dalam diri seseorang yang
mengarah pada gangguan kejiwaan.
c. Sosiokultural
Istilah Sosiokultural mengacu pada berbagai lingkaran sosial yang
mempengaruhi hidup seseorang. Lingkaran paling kecil menunjukkan
interaksi lokal yang paling intens dilakukan. Lingkaran ini dapat berupa
keluarga, teman dekat, lingkungan sekolah, pekerjaan dan lingkungan
24
24
rumah. Abnormalitas dapat terjadi ketika konflik berlangsung antara
seseorang dengan lingkungan lingkarannya.
Dalam sudut pandang lain penyebab gangguan jiwa ini dibagi atas:
a. Faktor Intrinsik
Faktor intrinsik ini meliputi seluruh pengaruh yang berasal dari diri
individu, termasuk gen, sistem otak dan aspek fisiologis lain.
b. Faktor Ekstrinsik
Faktor ekstrinsik meliputi semua pengaruh yang berasal dari hal di luar
inidvidu, diantaranya:
1) Keluarga
Keluarga merupakan bagian yang paling penting dalam “jaringan
sosial” anak, sebab anggota keluarga merupakan lingkungan pertama anak
dan orang yang paling penting selama tahun-tahun formatif awal (Hurlock,
1976). Orang tua adalah lingkungan terdekat yang mengajarkan kepada
anak mengenai nilai-nilai dalam warga . Pola asuh orang tua
berpengaruh besar terhadap kepribadian anak. Sekumpulan nilai-nilai
dalam rumah tangga cenderung tercermin dalam perilaku anak di
lingkungan sosial. Menurut (Baumrind, 1971, 1978) pola asuh orang tua
dapat dibagi atas:
Pertama Demokratis. orang tua memberikan keleluasaan bagi anak
untuk diperlakukan secara adil dan sebagai anggota keluarga yang
dihargai haknya. Pada pola asuh ini terlihat ada sikap terbuka antara orang
tua dan anak dalam menyetujui aturan-aturan dalam keluarga.
Kedua Otoriter. Orang tua yang menjalankan pola asuh otoriter
menempatkan diri sebagai pengatur, penguasa dan penghukum. Orang tua
tidak mengindahkan otonomi anak dan menerapkan aturan yang harus
dipatuhi anak.
Ketiga Permisif. Ini adalah kebalikan dari pola asuh otoriter, dimana
anak dibiarkan berperilaku sesuai kehendaknya. Sikap orang tua yang
mengalah terhadap keinginan anak ini menghilangkan media bagi anak
untuk mengetahui mana yang benar dan yang salah.
25
25
Keempat Sekolah dan Institusi Pendidikan Sekolah memiliki
tanggung jawab dalam menjaga kesehatan siswa, bukan hanya secara fisik
namun juga terkait dengan kesehatan mental, yang sering disebut psikolog
sebagai wellbeing (kesejahteraan). Konu dan Rimpela merumuskan
penerapan well-being di sekolah dengan terpenuhinya kebutuhan yang
berkaitan dengan memiliki (having), mencintai (loving), ada (being), dan
sehat (health) (Konu & Rimpela, 2002).
2) Lingkungan kerja
Gangguan jiwa yang disebabkan lingkungan kerja rentan terjadi. Hal
yang menjadi pemicu gangguan ini adalah ketidak puasan yang
dilandaskan perbedaan antara keinginan dan kenyataan. Stres keuangan
merupakan penyebab utama orang gagal di dunia kerja (Heidenreich &
Pruter, 2009).
Lebih lanjut menurut Harrington, Bean, Pintelio, dan Matthews
2001, (dalam Heidenreich & Pruter, 2009) mencatat bahwa pekerja
cenderung keluar ketika mereka merasa lelah secara emosional, memiliki
kepuasan kerja rendah, dan tidak puas dengan gaji serta kesempatan
promosinya. Ditambahkan pula oleh Angerer (2003, dalam Heidenreich &
Pruter, 2009) menyatakan bahwa tekanan dalam pekerjaan dapat
menyebabkan burnout dan penurunan tingkat kepuasan kerja. Pada tahun
1959 Herzberg, Mausner dan Snyderman (dalam Heidenreich & Pruter,
2009) mereka mengidentifikasikan faktor-faktor seperti prestasi,
pengenalan, tanggung jawab, kemajuan dan perkembangan pribadi yang
dianggap sebagai komponen intrinsik pekerjaan, cenderung memotivasi
karyawan untuk bekerja lebih baik. Faktor seperti gaji, peraturan
perusahaan, gaya kepemimpinan, kondisi kerja dan hubungan dengan rekan
kerja cenderung merusak motivasi kerja jika tidak dipenuhi, namun tidak
meningkatkan motivasi jika dicukupipun.
26
26
2.6 PENANGANAN ORANG DENGAN GANGGUAN JIWA (ODGJ)
Sesuai dengan Pasal 144 Undang Undang no 36 Tahun 2009 tentang
Kesehatan, penanganan gangguan jiwa harus dilakukan dengan standar pelayanan
kesehatan paripurna yang meliputi:
1. Promotif. Promosi kesehatan adalah filosofi umum yang ide utamanya
bahwa kesehatan atau kesejahteraan adalah pencapaian personal dan
kolektif (Taylor, 2007). Lebih lanjut (Alberry dan Munafo, 2012)
mendefinisikan promosi kesehatan sebagai segala intervensi, berbasis
lingkungan dan berbasis behavioral, yang berusaha menunjukkan dan
memungkinkan perubahanperubahan pada status kesehatan individu dan
populasi. Aspek ini dilakukan dengan melakukan sosialisasi perilaku
sehat. Menurut (Taylor, 2007) perilaku sehat adalah perilaku yang
dilakukan untuk meningkatkan atau menjaga kesehatannya. Perilaku sehat
yang senantiasa dilakukan akan menjadi kebiasaan sehat. Promosi
kesehatan jiwa dilakukan untuk mengembangkan kebiasaan positif dalam
menjaga kesejahteraan jiwa seseorang. Karena perilaku ini harus menjadi
kebiasaan, maka promosinya dilakukan dari bentuk yang paling kecil dan
paling sederhana sehingga mudah dilaksanakan sehari-hari. Oleh karena
itu, pembentukan perilaku sehat jiwa tidak terlepas dari lingkungan hidup
individu, misalnya keluarga, sekolah, kantor, dan ruang publik.
Pemerintah sebagai penanggung jawab kesejahteraan warga memiliki
tugas untuk mengembangkan peraturan yang berperspektif kesehatan jiwa
(WHO, 2007).
2. Preventif. Aspek preventif dalam penanganan kesehatan jiwa dilakukan
untuk mencegah terjadinya resiko gangguan kejiwaan berkembang. Dalam
hal menekan perkasus an kejiwaan agar tidak meluas menjadi gangguan
kejiwaan yang berat, maka mutlak dilakukan intervensi. Untuk aspek ini,
psikolog berperan besar karena dapat melakukan intervensi di rumah
tangga, sekolah, kantor dan lingkungan sosial lain tanpa menjadikan
Orang Dengan Gangguan Jiwa takut dilabeli memiliki kasus kejiwaan.
27
27
3. Kuratif. Aspek kuratif dalam penanganan kesehatan jiwa lebih banyak
menekankan pada intervensi medis. Oleh karena itu dokter spesialis
kedokteran jiwa dan perawat kejiwaan merupakan tenaga profesional yang
paling dibutuhkan untuk menyediakan pelayanan kuratif. Selain itu,
dibutuhkan pula sarana pelayanan kesehatan jiwa yang memadai di rumah
sakit maupun puskesmas.
4. Rehabilitatif. Proses rehabilitasi pada penanganan kesehatan jiwa berbeda
dengan rehabilitasi kesehatan umumnya. Dalam tahapan ini aspek
rehabilitatif bertujuan untuk mengembalikan fungsi personal dan sosial.
Seiring dengan perbaikan fungsi ini , pasien masih tetap menjalankan
prosedur kuratif yang berfungsi untuk mengontrol pemicu gangguan
kejiwaan. Artinya, aspek rehabilitatif dan kuratif tidak dapat dipisahkan
dalam perbaikan kualitas hidup ODGJ.
2.7 PERkasus AN PENANGANAN ODGJ
Dalam mengelola perkasus an kesehatan jiwa di warga , Negara
memberikan tanggung jawab kepada Kementerian Kesehatan dan Kementerian
Sosial. Untuk itu dibentuklah direktorat khusus yang fokus menangani isu
kesehatan jiwa, yang pada Kementerian Kesehatan di sebut Direktorat Bina
Kesehatan Jiwa, sedangkan di Kementerian Sosial dinamakan Direktorat Jendral
Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial yang salah satu tugasnya adalah rehabilitasi
penyandang kasus kesehatan jiwa. Namun demikian, upaya pemerintah dalam
upaya penanganan kesehatan jiwa hingga saat ini belum optimal, hal ini terlihat
dari belum tercerminnya struktur di Kementerian Kesehatan dan Sosial ini di
daerah-daerah. Minimnya perhatian dari beberapa daerah terhadap kesehatan jiwa
ditambah belum adanya payung hukum dalam bentuk undang-undang yang
khusus untuk penanganan kesehatan jiwa membuat pelayanan kesehatan jiwa
terabaikan.
negarakita pernah memiliki Undang-undang Nomor 3 Tahun 1966 tentang
Kesehatan Jiwa, namun UU ini telah dinyatakan tidak berlaku lagi dengan
hadirnya UU Nomor 23 Tahun 1992. Seiring berjalannya waktu UU Nomor 23
28
28
Tahun 1992 juga dicabut dengan adanya UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang
Kesehatan. Pengaturan mengenai Kesehatan Jiwa hanya diatur dengan 7 pasal
pada UU Nomor 36 Tahun 2009 Bab IX. Yang menjadi sorotan adalah tidak
idealnya proporsi perhatian yang yang diberikan antara kesehatan fisik dengan
kesehatan psikis. Pengaturan yang ada masih sangat berorientasi pada kesehatan
fisik, masih kurang memberikan porsi pada kesehatan psikis, kesehatan jiwa.
Kurangnya perhatian dari pemerintah terhadap kesehatan jiwa berdampak
pada kurangnya kebijakan-kebijakan di pemerintah yang pro kesehatan jiwa.
Minimnya perhatian secara otomatis berdampak pada pendanaan yang minim, dan
kurangnya tindakan nyata di tingkat akar rumput yang memperhatikan kesehatan
jiwa warga . Sehingga yang terjadi dilapangan adalah semakin tumbuh
suburnya gangguan-gangguan jiwa yang berujung pada disabilitas warga .
Irmansyah (2009) secara detail telah menuliskan dampak minimnya
perhatian pada kesehatan jiwa di warga , yaitu: (1) Sarana dan prasarana
(untuk penanganan kesehatan jiwa) yang jauh dari mencukupi. (2) Jumlah tenaga
profesional dan fasilitas yang sangat sedikit. (3) Tidak efisiennya sistem yang ada
sekarang, karena berpusat di rumah sakit jiwa (RSJ). (4) Tidak adanya sistem
kesehatan mental yang berbasis warga . (5) Kesehatan mental tidak menjadi
program prioritas di puskesmas. (6) Anggaran Kementerian Kesehatan untuk
kesehatan jiwa selalu dibawah 1% dan umumnya penggunaannya tidak tepat
sasaran. (7) Di Kementerian Kesehatan, organisasi yang menangani kesehatan
mental hanya setingkat direktorat, berada di bawah dirjen layanan medis. (8)
Belum terpenuhinya hak-hak penderita, padahal Hak-hak mereka dijamin dalam
Deklarasi Universal Hak Azazi Manusia yang juga telah diadopsi dalam UUD 45
pasal 25H(1) yaitu, “setiap manusia memiliki hak atas standar kehidupan yang
cukup, bagi kesehatan diri sendiri dan keluarganya, yang mencakup tempat
tinggal, pakaian dan pelayanan kesehatan, serta pelayanan sosial yang penting”.
(9) Akses penderita terhadap layanan kesehatan sangat sulit, mengingat hampir
semua RSJ terletak di ibukota propinsi. Bahkan masih ada provinsi yang belum
memiliki RSJ (seperti di Banten); (10) Obat untuk penderita tidak tersedia di
layanan primer, bila ada dengan jumlah yang sangat sedikit dan sangat
29
29
ketinggalan jaman.(11) Kualitas dan kuantitas layanan di rumah sakit jiwa sangat
tidak mencukupi. (12) Obat dengan kwalitas yang buruk. (13) Jenis layanan lain
yang direkomendasikan WHO umumnya tidak tersedia. (14) Electro Convulsive
Therapy masih menggunakan cara-cara kuno yang tidak manusiawi. (15) Isolasi
pasien masih menggunakan cara-cara ikatan di tempat tidur yang tradisional
(pasung). (16) Jumlah pegawai yang kurang membuat banyak RSJ mengunci
penderita diruangnya sebelum jam 5 sore, mengabaikan hak-hak pasien untuk
menikmati kehidupan yang normal. (17) Tidak ada program jangkauan layanan ke
warga membuat banyak pasien yang kambuh hanya beberapa saat sesudah
kepulangan dari RSJ. (18) Program edukasi dan promosi yang tidak pernah ada.
Apalagi program pencegahan, sama sekali tidak pernah terdengar.
Salah satu penyebab begitu banyaknya penderita gangguan jiwa tidak
mendapatkan pengobatan adalah tidak memadainya informasi tentang kesehatan
jiwa. Tidak ada informasi memadai kepada publik bahwa gangguan kejiwaan
adalah kasus medis yang dapat diobati. Ketidaktahuan ini bukan hanya terjadi
di pedesaan atau di antara warga dengan tingkat ekonomi dan pendidikan
yang rendah, namun merata di semua kelas warga . Untuk itu dibutuhkan
suatu kegiatan sosialisasi informasi yang bersifat masif, konsisten dan sistemik,
yang menerangkan kepada publik tentang gangguan kejiwaan dan penanganannya.
2.8 PERAN SERTA warga DALAM PENANGANAN ODGJ
Rehabilitasi merupakan tahapan yang sangat penting dalam proses
penyembuhan penderita gangguan kejiwaan. Selama ini tahap ini dilakukan oleh
panti-panti sosial baik milik pemerintah maupun swasta. Akan tetapi konsep panti
rehabilitasi di negarakita saat ini mirip dengan konsep suaka, dimana penderita
diasingkan dan ditempatkan disebuah lokasi yang jauh dari warga agar tidak
mengganggu ketertiban sosial. Saat ini pendekatan ini sudah tidak sesuai
lagi.
Perkasus an lainnya adalah sedikitnya fasilitas panti di negarakita ,
terutama di Banten sehingga kebanyakan penderita tidak dapat tertampung
dipanti-panti, sehingga 97% ODGJ tinggal di rumah masing-masing. Selain itu
30
30
daya tampung panti yang sangat terbatas, biaya operasional yang mahal, lokasinya
yang jauh dari rumah penderita, dan kurangnya kontrol dari warga . Solusi
atas perkasus an ini adalah dengan mendirikan tempat-tempat rehabilitasi
berbasis warga sehingga ODGJ dapat tetap tinggal di rumah masing-masing.
Tempat rehabilitasi ini bisa berbentuk pusat komunitas (Community Centre) yang
menyediakan fasilitas pendidikan, olah raga, rekreasi, koperasi, dan lain-lainnya
yang diperuntukkan bagi penyandang disabilitas, baik ODGJ maupun jenis
disabilitas lainnya, dan di Community centre ini mereka dapat datang dan
beraktivitas bersama warga sekitar.
Kelebihan dari rehabilitasi berbasis warga ini adalah kebutuhan
biayanya yang lebih rendah karena penderita tinggal dirumah masing-masing,
lokasi yang tidak jauh dari rumah penderita, Community Centre juga di desain
sehingga mengundang warga umum untuk dapat mengunjungi dan
menikmati tempat ini sehingga tercipta interaksi antara penderita dan
warga sehingga diharapkan mempercepat proses adaptasi penderita.
2.9 PERAN SERTA PUSKESMAS DAN RUMAH SAKIT UMUM
DALAM PENANGANAN ODGJ
Selain mendorong terbentuknya penanganan ODGJ berbasis warga ,
maka strategi lainnya adalah dengan melibatkan peran Pusat Kesehatan
warga (Puskesmas) dan Rumah Sakit Umum (RSU), karena keduanya
merupakan pelayanan kesehatan yang terdekat yang dapat diakses oleh
warga baik di perkotaan maupun di pedesaan. Sehingga kedepan Puskesmas
dan RSU tidak hanya menangani kesehatan fisik saja tetapi juga psikis baik itu
untuk control, penyediaan obat, ataupun rujukan dalam kondisi akut.
Orang Dengan Gangguan Jiwa khususnya yang menderita psikotik
memerlukan kontrol medis dan obat seumur hidupnya. Maka akan sangat
memudahkan bagi penderita jika fasilitas obat dekat dari tempat tinggal pasien.
Penanganan kesehatan jiwa sampai saat ini belum sampai ke tengah-tengah
warga melalui Puskesmas maupun Rumah Sakit Umum.
31
31
Fakta saat ini adalah tidak adanya pelayanan di Rumah Sakit Umum di
lingkungan pemerintahan Provinsi Banten yang memberikan pelayanan terhadap
Orang Dalam Gangguan Jiwa, sehingga tidak terfasilitasnya penyandang
disabilitas kejiwaan ini.
Tiadak adanya layanan kesehatan jiwa menyebabkan provinsi Banten
dalam keadaan darurat kejiwaan, panti-panti rehabilitasi ODGJ yang tersedia tidak
memiliki tenaga medis yang memadai, sehingga menimbulkan kecenderungan
sulitnya penanganan penyandang disabilitas kejiwaan ODGJ. Kondisi ini
melunturkan semangat kesehatan jiwa di lingkungan Provinsi Banten, terkait
Daerah bebas pasung.
2.10 PERAN SERTA KELUARGA DALAM PENANGANAN ODGJ
a. Dukungan Keluarga Pada ODGJ
Dukungan keluarga adalah sebuah proses yang terjadi sepanjang masa
kehidupan, sifat dan jenis dukungan berbeda dalam berbagai tahap-tahap siklus
kehidupan. Dukungan keluarga dapat berupa dukungan sosial internal, seperti
dukungan dari suami, isteri, atau dukungan dari saudara kandung, dan dapat juga
berupa dukungan keluarga eksternal bagi keluarga inti. Dukungan keluarga
membuat keluarga mampu berfungsi dengan berbagai kepandaian dan akal.
Sebagai akibatnya, hal ini meningkatkan kesehatan dan adaptasi keluarga
(Friedman, 2010).
House dan Kahn (1985) dalam Friedman (2010), menerangkan bahwa
keluarga memiliki empat fungsi dukungan, diantaranya:
1. Dukungan Emosional.
Keluarga sebagai tempat yang aman dan damai untuk istirahat dan
pemulihan serta membantu penguasaan terhadap emosi. Aspek-aspek dari
dukungan emosional meliputi dukungan yang diwujudkan dalam bentuk
afeksi, adanya kepercayaan, perhatian, mendengarkan dan didengarkan.
Dukungan emosional keluarga merupakan bentuk atau jenis dukungan
yang diberikan keluarga berupa memberikan perhatian, kasih sayang dan
empati. Menurut Friedman (1998) dukungan emosional merupakan fungsi
32
32
afektif keluarga yang harus diterapkan kepada seluruh anggota keluarga
termasuk anggota keluarga yang mengalami halusinasi. Fungsi afektif
merupakan fungsi internal keluarga dalam memenuhi kebutuhan
psikososial anggota keluarga dengan saling mengasuh, cinta kasih,
kehangatan, dan saling mendukung dan menghargai antar anggota
keluarga (Friedman, 1998). Dukungan emosional merupakan bentuk
dukungan atau bantuan yang dapat memberikan rasa aman, cinta kasih,
membangkitkan semangat, mengurangi putus asa, rasa rendah diri, rasa
keterbatasan sebagai akibat dari ketidakmampuan fisik (penurunan
kesehatan dan kelainan yang dialaminya. Pada ODGJ dukungan emosional
sangat diperlukan dan akan menjadi faktor sangat penting untuk upaya
perawatan dan pengobatan dalam mengontrol kasus halusinasinya.
Dukungan emosional dari keluarga sangat dibutuhkan oleh ODGJ
yang dapat mempengaruhi status psikososial dan mentalnya yang akan
ditunjukan dengan perubahan perilaku yang diharapkan dalam upaya
meningkatkan status kesehatannya. Hal ini tentunya disebabkan
karena terjadinya peningkatan perasaan tidak berguna, tidak dihargai,
merasa dikucilkan dan kecewa dari ODGJ. Dukungan keluarga dapat
mempengaruhi kesehatan fisik dan mental seseorang melalui pengaruhnya
terhadap pembentukan emosional.
2. Dukungan informasi
Keluarga berfungsi sebagai sebuah pengumpul dan penyebar
informasi. Menjelaskan tentang pemberian saran dan sugesti, informasi
yang dapat digunakan untuk mengungkapkan suatu kasus . Manfaat dari
dukungan ini adalah dapat menekan munculnya suatu stressor karena
informasi yang diberikan dapat menyumbangkan aksi sugesti yang khusus
pada individu. Aspek-aspek dalam dukungan ini adalah nasehat, usulan,
saran, petunjuk dan pemberian informasi.
Dukungan informasi merupakan suatu dukungan atau bantuan yang
diberikan oleh keluarga dalam bentuk memberikan saran atau masukan,
nasehat atau arahan dan memberikan informasi-informasi penting yang
33
33
sangat dibutuhkan ODGJ dalam upaya meningkatkan status kesehatannya.
Menurut Friedman (1998) dukungan informasi yang diberikan keluarga
terhadap ODGJ merupakan salah satu bentuk fungsi perawatan kesehatan
keluarga dalam mempertahankan keadaan kesehatan anggota keluarga agar
tetap memiliki produktivitas yang tinggi. Bentuk fungsi perawatan
kesehatan yang diterapkan keluarga terhadap ODGJ diantaranya adalah
memperkenalkan kepada ODGJ tentang kondisi dan penyakit yang
dialaminya dan menjelaskan cara perawatan yang tepat pada ODGJ agar
pasien termotivasi menjaga dan mengontrol kesehatannya.
ODGJ cenderung dan sering mengalami kasus kemunduran
kognitif, sehingga keadaan ini juga dapat mengakibatkan munculnya rasa
pesimis dan putus asa bahkan kepasrahan terhadap kasus kesehatan
yang terjadi pada dirinya. Dirasakan penting upaya bantuan informasi
(saran, nasehat dan pemberian informasi) bagi ODGJ untuk meningkatkan
semangat dan motivasi agar dapat meningkatkan status kesehatannya
secara optimal.
3. Dukungan instrumental
Keluarga merupakan sebuah sumber pertolongan praktis dan kongkrit
diantaranya: kesehatan penderita dalam hal kebutuhan makan dan minum,
istirahat dan terhindarnya penderita dari kelelahan. Dukungan instrumental
keluarga merupakan suatu dukungan atau bantuan penuh dari keluarga
dalam bentuk memberikan bantuan tenaga, dana, maupun meluangkan
waktu untuk membantu atau melayani dan mendengarkan ODGJ dalam
menyampaikan perasaannya. Serta dukungan instrumental keluarga
merupakan fungsi ekonomi dan fungsi perawatan kesehatan yang
diterapkan keluarga terhadap anggota keluarga yang sakit (Friedman,
1998).
Fungsi ekonomi keluarga merupakan fungsi keluarga dalam
memenuhi semua kebutuhan anggota keluarga termasuk kebutuhan
kesehatan anggota keluarga, sedangkan fungsi perawatan kesehatan
keluarga merupakan fungsi keluarga dalam mempertahankan keadaan
34
34
kesehatan anggota keluarga diantaranya adalah merawat anggota keluarga
yang mengalami halusinasi dan membawa anggota keluarga ke pelayanan
kesehatan untuk memeriksakan kesehatannya (Friedman, 1998).
4. Dukungan penilaian
Keluarga bertindak sebagai pemberi umpan balik, membimbing dan
menengahi pemecahan kasus , sebagai sumber dan validator indentitas
anggota keluarga diantaranya memberikan support, penghargaan dan
perhatian. Dukungan penilaian merupakan suatu dukungan dari keluarga
dalam bentuk memberikan umpan balik dan penghargaan kepada ODGJ
dengan menunjukan respon positif yaitu dorongan atau persetujuan
terhadap gagasan, ide atau perasaan seseorang. Menurut Friedman (1998)
dukungan penilaian keluarga merupakan bentuk fungsi efektif keluarga
terhadap ODGJ yang dapat meningkatkan status kesehatan ODGJ. Melalui
dukungan penghargaan ini, ODGJ akan mendapat pengakuan atas
kemampuannya sekecil dan sesederhana apapun.
Dengan demikian dukungan keluarga terhadap ODGJ sangat penting
dilakukan dalam upaya peningkatan status kesehatan ODGJ. Pasien bisa
semangat dan termotivasi sehingga menjadikan kehidupan ODGJ lebih
berharga dan berarti serta bermakna bagi keluarganya, dan ODGJ akan
merasakan bahwa dirinya masih sangat dibutuhkan oleh orang lain
khususnya oleh keluarga dimana ODGJ ini tinggal.
Keluarga yang memiliki anggota keluarga dengan kasus gangguan
halusinasi memiliki tuntutan pengorbanan ekonomi, sosial dan psikologis yang
telah lebih besar daripada keluarga yang normal. Dukungan keluarga pada ODGJ
dapat diwujudkan dengan adanya upaya perawatan keluarga pada ODGJ ini
berkaitan erat dengan kasus yang dihadapi oleh pasien itu sendiri.
Bila penderita tidak dirawat di institusi rumah sakit, keluarga sangat
dibutuhkan untuk menjamin pemberian obat di rumah. Salah satu anggota
keluarga harus dapat melakukan hal ini dengan baik, juga untuk membawa
penderita pada pemeriksaan lanjutan (Depkes RI, 1995). Dengan demikian
35
35
penatalaksanaan regimen terapeutik keluarga sangat diperlukan untuk kasus
pasien dengan halusinasi ini.
Sumber dukungan keluarga dimana dukungan keluarga mengacu kepada
dukungan yang dipandang oleh keluarga sebagai sesuatu yang dapat diakses atau
diadakan untuk keluarga, tetapi anggota keluarga memandang bahwa orang yang
bersifat mendukung selalu siap memberikan pertolongan dan bantuan jika
diperlukan. Dukungan keluarga dapat berupa dukungan keluarga internal seperti
dukungan dari suami atau istri atau dukungan dari saudara kandung atau
dukungan keluarga eksternal (Friedman, 1998).
Manfaat dukungan keluarga adalah sebuah proses yang terjadi sepanjang
masa kehidupan, sifat dan jenis dukungan sosial berbeda-beda dalam berbagai
tahap-tahap siklus kehidupan. Namun demikian, dalam semua tahap siklus
kehidupan dukungan keluarga membuat keluarga mampu berfungsi dengan
berbagai kepandaian dan akal. Sebagai akibatnya, hal ini meningkatkan kesehatan
dan adaptasi keluarga (Friedman, 1998).
Wills (1985) dalam Friedman (1998) menyimpulkan bahwa baik efek-efek
penyangga (dukungan menahan efek-efek negatif dari stres terhadap kesehatan)
dan efek-efek utama (dukungan secara langsung mempengaruhi akibat-akibat dari
kesehatan) pun ditemukan. Sesungguhnya efek-efek penyangga dan utama dari
dukungan keluarga terhadap kesehatan dan kesejahteraan boleh jadi berfungsi
bersamaan. Secara lebih spesifik, keberadaan dukungan keluarga yang adekuat
terbukti berhubungan dengan menurunnya mortalitas, lebih mudah sembuh, dan
pemulihan fungsi kognitif, fisik serta kesehatan emosi (Ryan & Austin dalam
Friedman, 1998).
Faktor yang mempengaruhi dukungan keluarga menurut Feiring dan Lewis
(1984) dalam Friedman (1998) ada bukti kuat dari hasil penelitian yang
menyatakan bahwa keluarga besar dan keluarga kecil secara kualitatif
menggambarkan pengalaman-pengalaman perkembangan. Anak-anak yang
berasal dari keluarga kecil menerima lebih banyak perhatian daripada anak-anak
dari keluarga yang besar. Selain itu dukungan yang diberikan orangtua (khususnya
ibu) juga dipengaruhi oleh usia, menurut Friedman (1998) ibu yang masih muda
36
36
cenderung untuk lebih tidak bisa merasakan atau mengenali kebutuhan anaknya
dan juga lebih egosentris dibandingkan ibu-ibu yang lebih tua.
Faktor-faktor yang mempengaruhi dukungan keluarga lainnya adalah kelas
sosial ekonomi orangtua. Kelas sosial ekonomi disini meliputi tingkat pendapatan
atau pekerjaan orang tua dan tingkat pendidikan. Dalam keluarga kelas menengah,
suatu hubungan yang lebih demokratis dan adil mungkin ada, sementara dalam
keluarga kelas bawah, hubungan yang ada lebih otoritas atau otokrasi. Selain itu
orang tua dengan kelas sosial menengah memiliki tingkat dukungan, afeksi dan
keterlibatan yang lebih tinggi daripada orang tua dengan kelas sosial bawah.
Dukungan keluarga berhubungan dengan pemberi perawatan dirumah oleh
salah satu anggota keluarga berkaitan dengan hal usia menurut Soelaiman (1993)
dalam Notoatmodjo (2003), usia yang dianggap optimal dalam memahami dan
mengambil keputusan adalah di atas 20 tahun, karena usia di bawah 20 tahun atau
kurang dari 20 tahun cenderung dapat mendorong terjadinya kebimbangan dalam
memahami dan mengambil keputusan. Demikian usia ini berhubungan dengan
seseorang mampu mengambil keputusan menjadi pemberi perawatan bagi pasien
yang mengalami halusinasi serta mampu mengikuti regimen terapeutik.
b. Beban Keluarga yang memiliki ODGJ
Keberadaan stres seperti halnya terjadi pada individu, begitupun dalam
sebuah keluarga pada awalnya membantu keluarga untuk memobilisasi sumber-
sumbernya dan untuk bekerja guna memecahkan kasus . Stres menyebabkan
keseimbangan antara keadaan stabil menjadi berbahaya atau terancam; pada kasus
ini anggota keluarga pada awalnya mengeluarkan banyak upaya untuk
mendapatkan kembali keseimbangan dalam keluarga. Akan tetapi, jika upaya
awal untuk menyelesaikan kasus atau memenuhi tuntutan mengalami
kegagalan, stres akan meningkat. Seringkali suatu stressor pada awalnya
mempengaruhi individu, diikuti dengan sebuah subsistem dan subsistem yang
lain, sampai akhirnya semua subsistem keluarga terpengaruh (ripple effect).
Walaupun stres dapat dialami oleh semua subsistem, setiap subsistem dapat
menoleransi dan menangani stres secara berbeda.
37
37
Disabilitas satu anggota keluarga secara signifikan mempengaruhi
keluarga dan fungsinya, sebagaimana perilaku keluarga dan anggota keluarga
secara simultan mempengaruhi perjalanan dan karakteristik disabilitas.
berdasar asumsi timbal balik, jelas bahwa disabilitas sangat mempengaruhi
perkembangan keluarga dan juga anggota keluarga, terutama anggota keluarga
yang tidak mampu. Seringkali ketika suatu keluarga terlambat dalam memenuhi
tugas perkembangan keluarganya, terdapat interaksi antara tuntutan atau stresor
perkembangan dan tuntutan atau stresor situasional dalam keluarga secara
berlebih. Bertambahnya stres keluarga yang diciptakan oleh adanya kedua jenis
stressor sering kali menghasilkan rendahnya fungsi keluarga, sementara tugas
perkembangan keluarga menjadi terganggu atau terhambat.
Besarnya tugas perkembangan dipengaruhi dan tergantung pada beberapa
faktor antara lain: (1) tahap siklus kehidupan keluarga yang dijalani keluarga; (2)
anggota keluarga dengan kasus halusinasi membuat perubahan. Faktor lain
yang membuat perbedaan dalam dampak disabilitas pada perkembangan keluarga
adalah sumber formal dan informal yang dimanfaatkan oleh keluarga. Sistem
dukungan keluarga yang baik pada keluarga besar dan teman-teman, serta
dukungan psikososial dan kesehatan yang membantu dan kompeten, akan
menambah kemampuan keluarga untuk lebih cepat kembali melanjutkan
perkembangan.
Ketika suatu keluarga yang salah satu anggota keluarganya disabilitas,
misalnya salah satu anggota keluarga mengalami halusinasi, membandingkan
tugas perkembangan keluarga yang ideal dalam tahap siklus kehidupan keluarga
dengan perilaku aktual keluarga akan sangat berguna. Perbandingan ini berguna
dalam mengevaluasi kemungkinan dampak disabilitas pada keluarga.
Keluarga menghadapi situasi penuh stres dan ketegangan karena memiliki
anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa. Situasi penuh stres ini
diperberat dengan tuntutan ekonomi akan perawatan anggota keluarga yang
mengalami halusinasi ini dalam jangka waktu yang tidak singkat dalam
perawatan, kesabaran tinggi dalam menghadapi emosi, kekhawatiran akan
perilaku maladaptif dan masa depannya. Situasi-situasi ini menimbulkan
38
38
beban keluarga yang tidak ringan, jika tidak mendapatkan intervensi secara
optimal dapat mengantarkan keluarga ke dalam krisis psikologis.
Fontaine (2009) mengatakan bahwa beban keluarga adalah tingkat
pengalaman distress keluarga sebagai efek dari kondisi anggota keluarganya.
Kondisi ini dapat menyebabkan meningkatnya stres emosional dan ekonomi dari
keluarga. Sebagaimana respon keluarga terhadap berduka dan trauma, keluarga
dengan anggota keluarga mengalami halusinasi juga memerlukan empati dan
dukungan dari tenaga kesehatan profesional (Mohr & Regan-Kubinski, 2001
dalam Fontaine, 2009).
Menurut Mohr (2006), ada tiga jenis beban keluarga yaitu:
1. Beban Obyektif, merupakan beban dan hambatan yang dijumpai dalam
kehidupan suatu keluarga yang berhubungan dengan pelaksanaan merawat
salah satu anggota keluarga yang mengalami halusinasi. Termasuk
kedalam beban obyektif adalah: beban biaya finansial untuk perawatan dan
pengobatan, tempat tinggal, makanan, dan transportasi.
2. Beban Subyektif, merupakan beban yang berupa distress emosional yang
dialami anggota keluarga yang berkaitan dengan tugas merawat anggota
keluarga yang mengalami halusinasi. Termasuk beban subyektif
diantaranya: ansietas akan masa depan, sedih, frustasi, merasa bersalah,
kesal, dan bosan.
3. Beban Iatrogenik, merupakan beban yang disebabkan karena tidak
berfungsinya sistem pelayanan kesehatan jiwa yang dapat mengakibatkan
intervensi dan rehabilitasi tidak berjalan sesuai fungsinya. Termasuk
dalam beban ini, bagaimana sistem rujukan dan pr
.jpeg)
.jpeg)






