STROKE HEMORAGIK
Stroke merupakan penyakit neurologis utama
di usia dewasa, berdasarkan tingginya angka
kejadian, kegawatdaruratan, penyebab utama
kecacatan, dan kematian. Stroke menggambarkan suatu kejadian yang terjadi secara akut
atau tiba-tiba, Berdasarkan patologinya, stroke
dibedakan menjadi stroke iskemik [sumbatan]
dan stroke hemoragik [perdarahan].
Stroke hemoragik, atau yang dikenal juga
sebagai perdarahan intraserebral [PIS]
spontan merupakan salah satu jenis patologi stroke akibat pecahnya pembuluh darah
intraserebral. Kondisi ini menimbulkan gejala neurologis yang terjadi secara
tiba-tiba dan seringkaii diikuti gejala akibat
efek desak ruang atau peningkatan tekanan
intrakranial [TIK]. Itu sebabnya angka kematian pada stroke hemoragik menjadi lebih tinggi dibandingkan stroke iskemik.
Berdasarkan data American Heart Assocation
{AUAj/American Stroke Association [ASA] tahun 2009, angka kematian stroke hemoragik
mencapai 49,2%, hampir dua kali lipat stroke
iskemik [25,9%]. Broderick dkk melaporkan
angka kematian stroke hemoragik dalam waktu 30 hari berkisar 35-52%, dan hanya 20%
pasien yang mengalami pemulihan fimgsional
dalam waktu 6 bulan. Berdasarkan penelitian Elliott, setengah kasus stroke hemoragik
mengalami kematian dalam 24 jam pertama,
menekankan pentingnya tatalaksana yang tepat pada unit gawat darurat [UGD).
Stroke hemoragik memilild faktor risiko penyebab yang hampir sama dengan keadaan stroke
iskemik, namun penanganannya sangat berbeda dan bahkan berlawanan. Pada stroke
iskemik dilakukan terapi trombolisis dan
antiplatelet yang justru tidak boleh dilakukan pada kasus stroke hemoragik, sementara stroke hemoragik lebih didominasi oleh
gejala peningkatan TIK yang membutuhkan
penanganan segera sebagai tindakan life saving. Oleh karena itu, penegakan diagnosa
patologi stroke sangat penting untuk memberikan pengobatan yang tepat, sehingga
didapat keluaran yang lebih baik.
EP1DEMIOLOGI
Secara umum, angka kejadian stroke semakin meningkat. Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar [RISKESDAS] Kementerian
Kesehatan Republik negara kita ada
peningkatan prevalensi stroke dari 8,3 [tahun 2007] menjadi 12,2 [tahun 2013] per
1000 penduduk.
Angka kejadian stroke hemoragik di Asia lebih
tinggi di bandingkan di negara barat. Hal ini
dapat dipicu tingginya angka kejadian
hipertensi pada populasi Asia. Berdasarkan
data Stroke registry di negara kita , yang dimulai sejak tahun 2012 sebagai kerjasama antara Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia (PERDOSSI] dengan Badan Penelitian Dan
Pengembangan Kementrian Kesehatan Republik negara kita , tahun 2014 didapatkan 5411
kasus stroke akut dari 18 RS dengan angka kejadian stroke hemoragik sebesar 33%.
PATOFISIOLOGI
Patofisiologi stroke hemoragik umumnya
didahuiui oleh kerusakan binding pembuluh darah kecil di otak akibat hipertensi.
Penelitian membuktikan bahwa hipertensi
kronik dapat memicu terbentuknya
aneurisma pada pembuluh darah kecil di
otak. Proses turbulensi aliran darah memicu terbentuknya nekrosis fibrinoid,
yaitu nekrosis sel/jaringan dengan akumulasi matriks fibrin. Terjadi pula herniasi
dinding arteriol dan ruptur tunika intima,
sehingga terbentuk mikroaneurisma yang
disebut Charcot-Bouchard [Gambar 1}. Mikroaneurisma ini dapat pecah seketika saat
tekanan darah arteri meningkat mendadak.
Pada beberapa kasus, pecahnya pembuluh
darah tidak didahuiui oleh terbentuknya
aneurisma, namun semata-mata karena peningkatan tekanan darah yang mendadak.
Pada kondisi normal, otak mempunyai sistem
autoregulasi pembuluh darah serebral untuk
mempertahankan aliran darah ke otak. Jika
tekanan darah sistemik meningkat, sistem ini
bekerja melakukan vasokonstriksi pembuluh
darah serebral. Sebaliknya, bila tekanan darah
sistemik menurun, akan terjadi vasodilatasi
pembuluh darah serebral. Pada kasus hipertensi, tekanan darah meningkat cukup tinggi
selama berbulan-bulan atau bertahun-tahun.
Hal ini dapat memicu terjadinya proses hialinisasi pada dinding pembuluh darah,
sehingga pembuluh darah akan kehilangan
elastisitasnya. Kondisi ini berbahaya karena
pembuluh darah serebral tidak lagi bisa menyesuaikan diri dengan fluktuasi tekanan darah sistemik, kenaikan tekanan darah secara
mendadak akan dapat memicu pecahnya pembuluh darah. Darah yang keluar akan terakumulasi dan
membentuk bekuan darah (hematom) di
parenkim otak. Volume hematom ini
akan bertambah, sehingga memberikan efek
desak ruang, menekan parenkim otak, serta
memicu peningkatan TIK. Hal ini akan
memperburuk kondisi klinis pasien, yang
umumnya berlangsung dalam 24-48 jam
onset, akibat perdarahan yang terus berlangsung dengan edema disekitarnya, serta
efek desak ruang hematom yang mengganggu metabolisme dan aliran darah.
Pada hematom yang besar, efek desak ruang
memicu pergeseran garis tengah [midline shift) dan herniasi otak yang pada akhimya memicu iskemia dan perdarahan sekunder. Pergeseran ini juga dapat
menekan sistem ventrikel otak dan mengaldbatkan hidrosefalus sekunder. Kondisi seperti
ini sering terjadi pada kasus stroke hemoragik
aldbat pecahnya pembuluh darah arteri serebri
posterior dan anterior. Keadaan ini akan
semakin meningkatkan TIK dan meningkatkan
tekanan vena di sinus-sinus duramater.
Sebagai kompensasi untuk mempertahankan
perfusi otak, tekanan arteri juga akan meningkat. Dengan demildan, akan didapatkan peningkatan tekanan darah sistemik pascastroke.
Prinsip ini harus menjadi pertimbangan penting dalam memberikan terapi yang bertujuan menurunkan tekanan darah pascastroke,
karena penurunan secara drastis akan menurunkan perfusi darah ke otak dan akan raembahayakan bagian otak yang masih sehat.
Hematom yang sudah terbentuk dapat menyusut sendiri jika terjadi absorbsi. Darah akan
kembali ke peredaran sistemik melalui sistem
ventrikel otak. Selain hipertensi, hematom
intraserebral dapat dipicu oleh trauma,
obat-obatan, gangguan pembekuan darah, dan
proses degeneratif pada pembuluh darah otak.
Stroke hemoragik dapat terjadi melalui berbagai macam mekanisme. Stroke hemoragik
yang dikaitkan dengan hipertensi biasanya
terjadi pada struktur otak bagian dalam
yang diperdarahi oleh penetrating artery
seperti pada area talamus, putamen, pons,
dan serebelum. Stroke hemoragik lobaris
pada usia lanjut dihubungkan dengan cerebral amyloid angiopathy, sedangkan pada
usia muda seringkali dipicu oleh malformasi pembuluh darah.
Stroke hemoragik juga dapat dipicu
etiologi lain seperti tumor intrakranial, penyakit Moyamoya, penyalahgunaan alkohol
dan kokain, pemakaian obat antiplatelet
dan antikoagulan, serta gangguan pembekuan darah, seperti trombositopenia, hemofilia, dan leukemia.
GEJALA D A N TA N D A K L IN IS
Perjalanan klinis pasien stroke hemoragik
dapat berkembang dari defisit neurologis
fokal hingga gejala peningkatan TIK berupa
nyeri kepala, penurunan kesadaran, dan
muntah, serta perburukan klinis defisit neurologis seiring dengan perluasan lesi perdarahan yang memberikan efek desak ruang.
Perkembangan ini dapat berlangsung dalam
periode menit, jam, dan bahkan hari.
Computed tomography [CT) scan menunjukkan hematom akan membesar dalam enam
jam pertama. Keadaan klinis kemudian akan
menetap bila terjadi keseimbangan antara TIK, Iuasnya hematom, efek desak ruang pada jaringan otak, dan berhentinya
perdarahan. TIK dapat berkurang seiring
dengan berkurangnya volume hematom akibat perdarahan yang telah berhenti atau
hematom masukke ruang ventrikel
Selain itu, efek desak ruang juga dipicu
oleh edema di sekitar hematom (perihematomal). Pada beberapa kasus yang mengalami perburukan setelah kondisi klinis stabil
dalam 24-48 jam pertama, diduga mengalami perluasan edema perihematomal.
Beberapa gejala klinis stroke hemoragik antara lain nyeri kepala, penurunan kesadaran,
muntah, kejang, kaku kuduk, serta gejala lain
seperti aritmia jantung dan edema paru. Nyeri
kepala merupakan gejala yang paling sering
dikeluhkan, berkaitan dengan lokasi dan luasnya lesi perdarahan, yaitu pada stroke hemoragik di daerah lobaris, serebelum, dan lokasi
yang berdekatan dengan struktur permukaan
meningen. Pada perdarahan kecil di parenldm
otak yang tidak memiliki serabut nyeri, tidak
ada nyeri kepala saat fase awal perdarahan. Namun seiring perluasan hematom yang
memicu peningkatan TIK dan efek desak
ruang, keluhan nyeri baru muncul yang biasanya disertai muntah dan penurunan kesadaran.
Penurunan kesadaran terjadi pada stroke
hemoragik yang besar atau berlokasi di batang
otak Hal ini dipicu efek desak ruang dan
peningkatan TIK, serta keterlibatan struktur
reticulating activating system [MS] di batang
otak Muntah juga akibat peningkatan TIK atau
kerusakan lokal di ventrikel keempat, biasanya
pada perdarahan sirkulasi posterior. Kejang
merupakan gejala yang dikaitkan dengan lokasi
perdarahan. Lokasi yang bersifat epileptogenik
antara lain perdarahan lobar, gray white matter
junction di korteks serebri, dan putamen.
Gejala lain yang dapat terjadi yaitu kaku
kuduk, aritmia jantung, dan edema paru.
Kaku kuduk dapat terjadi pada perdarahan
di talamus, kaudatus, dan serebelum. Aritmia jantung dan edema paru biasanya berhubungan dengan peningkatan TIK dan
pelepasan katekolamin.
diagnosa DAN diagnosa BANDING
Penegakan diagnosa stroke dilakukan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik
umum dan neurologis, serta pemeriksaan
penunjang. Hal terpenting yaitu menentukan tipe stroke; stroke iskemik atau perdarahan. Hal ini berkaitan dengan pengobatan
yang sangat berbeda antara keduanya, sehingga kesalahan akan memicu morbiditas bahkan mortalitas.
Dalam anamnesis, hal yang perlu ditanyakan
meliputi identitas, kronologis terjadinya keluhan, faktor risiko pada pasien maupun keluarga, dan kondisi sosial ekonomi pasien. Dari
anamnesis seharusnya didapatkan informasi
apakah keluhan terjadi secara tiba-tiba, saat
pasien beraktivitas, atau saat pasien baru
bangun tidur. Pada stroke hemoragik, pasien
umumnya berada dalam kondisi sedang beraktivitas atau emosi yang tidak terkontrol.
Durasi sejak serangan hingga dibawa ke
pusat kesehatan juga merupakan hal penting
yang turut menentukan prognosis.
Keluhan yang dialami pasien juga dapat
menuntun proses penegakan diagnosa .
Pasien dengan keluhan saldt kepala disertai muntah (tanpa mual) dan penurunan kesadaran, umumnya mengarahkan kecurigaan
kepada stroke hemoragik dengan peningkatan TIK akibat efek desak ruang. Meskipun
demildan, pada stroke hemoragik dengan volume perdarahan kecil, gejala dapat menyerupai stroke iskemik tanpa ditemukan tanda-
tanda peningkatan TIK. Perlu ditanyakan juga
faktor risiko stroke yang ada pada pasien dan
keluarganya, seperti diabetes melitus, hipertensi, dislipidemia, obesitas, penyaldt jantung, riwayat trauma kepala, serta pola hidup
(merokok, alkohol, obat-obatan tertentu).
Pemeriksaan fisik dimulai dengan keadaan
umum, kesadaran, dan tanda vital. Pada
stroke hemoragik, keadaan umum pasien
bisa lebih buruk dibandingkan dengan kasus stroke iskemik. Selanjutnya, dilakukan
pemeriksaan kepala, mata, telinga, hi dung
dan tenggorokan (THT), dada (terutama jantung), abdomen, dan ekstremitas. Pemeriksaan ekstremitas bertujuan terutama untuk
mencari edema tungkai akibat trombosis
vena dalam atau gagal jantung.
Pada pemeriksaan tekanan darah, perlu
dibandingkan tekanan darah di ekstremitas kiri dan kanan, serta bagian tubuh atas
dan bawah dengan cara menghitung rerata
tekanan darah arteri (mean arterial blood
pressure/MABP), karena akan mempengaruhi pengobatan stroke. Pola pernapasan
merupakan hal penting yang harus diperhatikan, karena dapat menjadi penunjuk lokasi perdarahan, misalnya: pola pernapasan
Cheyne Stokes, hiperventilasi neurogenik,
Master, apneustik, atau ataksik (Baca bab
Peningkatan Tekanan Intrakranial).
Pemeriksaan neurologis awal yaitu penilaian tingkat kesadaran dengan skala koma
Glasgow (SKG), yang selanjutnya dipantau secara berkala. Kemudian diikuti pemeriksaan
refleks batang otak yang meliputi reaksi pupil
terhadap cahaya (paling sering dilakukan), refleks kornea, dan refleks okulo sefalik, Setelah
itu dilakukan pemeriksaan nervus kranialis
satu persatu serta motorik untuk menilai trofi,
tonus, dan kekuatan otot, dilanjutlcan refleks
fisiologis dan refleks patologis. Hasil pemeriksaan motorik dibandingkan kanan dan kiri,
serta atas dan bawah guna menentukan luas
dan lokasi lesi. Selanjutnya, pemeriksaan sensorik dan pemeriksaan otonom (terutama yang
berkaitan dengan inkontinensia atau retensio
urin dan alvi).
pemakaian sistem skor dapat bermanfaat bila tidak ada fasilitas pencitraan
otak yang dapat membedakan secara jelas
patologi penyebab stroke. Namun sistem
skor tidak dapat dipastikan pada patologi stroke yang terjadi. Hal ini dipicu
karena manifestasi Minis pada stroke
hemoragik dengan volume perdarahan
kecil dapat menyerupai stroke iskemik.
Demikian pula manifestasi Minis stroke
iskemik luas dengan peningkatan TIK mirip dengan stroke hemoragik.
Sistem penskoran yang dapat dipakai
yaitu algoritma stroke Gajah Mada, skor
stroke Djunaedi, dan skor stroke Siriraj. Skor
stroke Siriraj merupakan sistem penskoran
yang sering dipakai untuk membedakan
stroke iskemik atau perdarahan (Tabel 1).
Sistem Penskoran:
(2,5 x kesadaran) + (2 x vomitus) + (2 x
nyeri kepala) + (0,1 x tekanan diastolik) - (3
x ateroma) - 1 2
Intepretasi:
Skor < 1 = stroke iskemik
Skor > 1= perdarahan intraserebral
• Skor 0 = meragukan P e m e rik s a a n P e n u n ja n g
Pencitraan otak memakai CT scan merupakan baku emas dalam diagnosa stroke
hemoragik. CT scan lebih unggul dalam mendeteksi perdarahan langsung berdasarkan
gambaran hiperdensitas di parenkim otak
dibandingkan MRI yang memerlukan perbandingan beberapa sekuens gambar (Gambar 2). Selain itu, pemeriksaan CT scan membutuhkan waktu yang lebih singkat dengan
harga yang lebih ekonomis.
Besarnya volume perdarahan dapat diestimasi dengan memakai metode ABC
(Gambar 3}.
Volume perdarahan (dalam cc] = (A x B x Cl
2
A= diameter terbesar hematom pada salah
satu potongan CT scan (dalam cm)
B= diameter perpendikular terhadap A (dalam
cm)
C= jumlah potongan CT scan yang ada hematom x tebal potongan CT scan (dalam cm).
ada beberapa ketentuan untuk jumlah potongan CT scan dengan hematom
(poin C), yaitu:
1. Potongan CT scan dihitung 1 bila luas
hematom pada potongan ini >75%
2. Potongan CT scan dihitung 0,5 bila luas hematom pada potongan ini 25-75%
3. Potongan CT scan tidak dihitung bila luas
hematom pada potongan ini <25%
pengobatan
pengobatan stroke hemoragik dapat dibagi
menjadi pengobatan umum dan khusus.
pengobatan umum bertujuan untuk menjaga dan mengoptimalkan metabolisme otak
meskipun dalam keadaan patologis. Tata
laksana khusus untuk melakukan koreksi
koagulopati untuk mencegah perdarahan
berlanjut, mengontrol tekanan darah, identifikasi kondisi yang membutuhkan intervensi bedah, serta melakukan diagnosa dan
terapi terhadap penyebab perdarahan.
T a ta la k s a n a u m u m
1. S tab ilisasi Jalan Napas d a n P ern a p a sa n
Untuk mencapai tujuan pengobatan
umum, hal utama yaitu melihat serta
melakukan stabilisasi jalan dan saluran
pernapasan untuk menghindari hipoksia.
bila terjadi gangguan ventilasi, dapat
dilakukan pemasangan pipa endotrakeal
untuk menjaga patensi jalan nafas pasien.
Selain itu juga harus dipastikan kemampuan menelan pasien. Jika terjadi
gangguan menelan atau pasien dalam
keadaan tidak sadar, perlu dilakukan
pemasangan pipa nasogastrik untuk
mencegah terjadinya aspirasi pada pemberian makanan.
2. S ta b ilis a s i H e m o d in a m ik
pengobatan yang harus diperhatikan
berikutnya yaitu stabilisasi hemodinamik. Keadaan hemodinamik pasien
diharapkan tetap stabil dengan tidak
menurunkan tekanan perfusi serebral
(cerebral perfusion pressure/ CPP) hingga
menginduksi hipoksia. Untuk menjaga
hemodinamik atau mengatasi keadaan
dehidrasi, sebaiknya diperhatikan hal
berikut:
a. Pemberian cairan kristaloid atau koloid intravena (IV], hindari cairan hipotonik seperti glukosa.
b. Pemasangan central venous catheter
(CVC) bila diperlukan, untuk memantau kecukupan cairan serta sebagai
sarana memasukkan cairan dan nutrisi dengan target tekanan 5-12mmHg.
c. Optimalisasi tekanan darah (lihat penatalaksanaan khusus)
d. Pada pasien dengan defisit neurologis
nyata, dianjurkan pemantauan berkala status neurologis, nadi, tekanan darah, suhu tubuh, dan saturasi oksigen
dalam 72 jam.
3. T a ta L a k s a n a P e n in g k a ta n T IK
Merupakan pengobatan yang penting
dengan memerhatikan hal-hal berikut:
a. Pemantauan ketat terhadap pasien
yang berisiko mengalami edema serebral dengan memperhatikan perburukan gejala dan tanda klinis neurologis dalam 48 jam pertama serangan
stroke.
b. Monitor tekanan intrakranial terutama pada pasien dengan perdarahan intraventrikular (dilakukan sebagai monitoring tekanan intrakranial
dan evakuasi perdarahan intraventrikular). Target terapi yaitu TIK
<20mmHg dan CPP >70mmHg.
c. Penatalaksanaan peningkatan tekanan intrakranial meliputi:
o Meninggikan posisi kepala 30°
Menghindari penekanan vena
jugularis
Menghindari hipertermia
Pemberian osmoterapi atas indikasi:
- Manitol 0,25-0,50g/kgBB, selama >20 menit, diulangi setiap
4-6 jam dengan target osmolaritas
darah <310mOsm/L. Osmolaritas sebaiknya diperiksa 2 kali
dalam sehari selama pemberian osmoterapi. Agen osmoterapi lain yang dapat dipakai
yaitu NaCl 3%
- Furosemid (atas indikasi) dengan dosis inisial lmg/kgBB IV
• Intubasi (knockdown) untuk menjaga normoventilasi (pC02 35mmHg).
Hiperventilasi mungkin diperlukan
bila akan dilakukan tindakan operatif.
4. Pengendalian Suhu Tubuh
Peningkatan suhu 1°C akan meningatkan
energi 7%. Oleh karena itu, setiap pasien
stroke yang disertai febris harus diberikan
antipiretik, yakni parasetamol lOOOmg 3x
baik peroral atau IV, kemudian dicari dan
diatasi penyebabnya.
5. pengobatan Cairan
a, Pada umumnya kebutuhan cairan
30mL/kgBB/hari (parenteral maupun enteral).
b. Pemberian cairan isotonik seperti
NaCl 0,9% untuk menjaga euvolemia.
Tekanan vena sentral di pertahankan
antara 5-12mmHg.
c. Perhatikan keseimbangan cairan dengan melakukan pengukuran cairan
masuk dan keluar secara ketat.
d. Elektrolit (sodium, kalium, kalsium,
magnesium) harus selalu diperiksa
dan diatasi bila terjadi kekurangan.
e. Gangguan keseimbangan asam basa
harus segera dikoreksi dengan monitor analisis gas darah.
6. N u tris i
a. Pemberian nutrisi enteral harus dilakukan sedini mungkin bila tidak
terjadi perdarahan lambung.
b. Jika terjadi komplikasi perdarahan
lambung, maka pemberian nutrisi enteral dapat ditunda sampai terjadi perbaikan dan sisa cairan lambung dalam
2 jam pertama <150cc. Evaluasi cairan
lambung yang dialirkan setiap 2 jam.
c. Bila ada gangguan menelan atau
kesadaran menurun makanan diberikan melalui pipa nasogastrik.
d. Jika tidak ada gangguan pencernaan atau residu lambung <150cc,
maka dapat diberikan nutrisi enteral
30cc perjam dalam 3 jam pertama.
Jika toleransi baik, berupa tidak ada nya residu pipa nasogastrik
pada saat jam berikutnya, maka dapat
dilanjutkan pemberian makanan enteral. Pemberian nutrisi enteral selanjutnya disesuaikan dengan target
kebutuhan yang terbagi dalam 6 kali
perhari.
e. Pada keadaan akut, kebutuhan kalori
yaitu 20-25 kkal/kg/hari dengan
komposisi:
e Karbohidrat 50 -60 % dari total
kalori
Lemak 25-30%
Protein 10-20%
- Pada keadaan adanya stresor
pada tubuh, kebutuhan protein
l,4-2,0g/kgBB/hari.
- Kebutuhan protein disesuaikan pada gangguan fungsi ginjal yaitu 0,6-0,8 g/kgBB/hari,
f. Jika kemungkinan pemakaian pipa
nasogastrik diperkirakan >6 minggu,
pertimbangkan untuk percutaneous
endoscopic gastrostomy (PEG).
g. Pada keadaan pemberian nutrisi enteral tidak memungkinkan, boleh diberikan secara parenteral
7. Pencegahan dan Penanganan Komplikasi
a. Mobilisasi dan penilaian dini untuk
mencegah komplikasi subakut, seperti aspirasi, malnutrisi, pneumonia,
trombosis vena dalam, emboli paru,
dekubitus, komplikasi ortopedik, dan
kontraktur (AHA/ASA, level B dan C).
b. Pemberian antibiotik atas indikasi
sesuai dengan tes kultur dan sensitivitas human atau minimal terapi
empiris sesuai dengan pola kuman
(AHA/ASA, level A).
c. Pencegahan dekubitus dengan mobilisasi terbatas dan/atau memakai kasur antidekubitus.
d. Pencegahan trombosis vena dalam
dan emboli paru dengan intermittent
pneumatic compression, tidak direkomendasikan pemakaian compression stocking.
e. Pencegahan tromboemboli vena pada
pasien imobilisasi setelah 1-4 hari onset,
dapat diberikan low molecular weight
heparin (LMWH) dosis rendah subkutan
atau unfractionated heparin, setelah terdokumentasi tidak ada lagi perdarahan
(AHA/ASAkelas lib, level B]
f. Antikoagulan sistemik atau pemasangan vena kava filter dapat diindikasikan pada pasien dengan gejala trombosis vena dalam atau emboli paru
(AH A/AS A kelas Ila, level C]. Pemilihan harus mempertimbangkan beberapa faktor, seperti waktu sejak onset
stroke, stabilitas hematom, penyebab
perdarahan, dan kondisi umum pasien
(AHA/ASA kelas Ila, level C).
8. Penatalaksanaan Medik Lain
a. Pemantauan kadar glukosa darah
sangat diperlukan.
Hiperglikemia (kadar glukosa darah >180mg/dL) pada stroke akut
harus diobati dengan titrasi insulin (AHA/ASA kelas I, level C).
Target yang harus dicapai yaitu
normoglikemia.
• Hipoglikemia berat (<50mg/dL) harus diobati dengan dekstrosa 40%
intravena atau infus glukosa 10-20%.
b. Jika pasien gelisah, dapat dilakukan
terapi psikologi atau pemberian major
and minor tranquilizer, seperti benzodiazepin short acting atau propofol.
c. Pemberian analgesik, anti muntah,
dan antagonis H2 sesuai indikasi.
d. Hati-hati dalam menggerakkan, penghisapan lendir [suction), atau memandikan pasien, karena dapat mempengaruhi TIK.
e. Mobilisasi bertahap bila hemodinamik dan pernapasan stabil.
f. Kandung kemih yang penuh dikosongkan, sebaiknya dengan kateterisasi intermiten.
g. Rehabilitasi.
h. Edukasi keluarga.
i. Discharge planning (rencana pengelolaan pasien di luar RS).
9. Pengendalian Kejang
1. Bila kejang, berikan diazepam bolus lambat IV 5-20mg dan diikuti
oleh fenitoin loading dose 15-20mg/kg
bolus dengan kecepatan maksimum
50mg/menit.
2. Bila kejang belum teratasi, maka perlu dirawat di ruang rawat intensif [intensive care unit/ICU).
Tata Lalcsana Khusus
1. Perawatan di Unit Stroke
Perawatan di unit stroke akan menurunkan kematian dan dependensi dibandingkan dengan perawatan di bangsal biasa. Penderita dengan stroke hemoragik
di supratentorial seharusnya dirawat di
unit stroke (AHA/ASA level B).
2. Koreksi Koaguiopati
a. Melakukan pemeriksaan hemostasis,
antara lain prothrombin time (PT), activated partial thrombin time (APTTJ,
international normalized ratio (INRj,
dan trombosit, serta koreksi secepat
mungkin jika didapatkan kelainan.
b. Pasien dengan defisiensi faktor koagulasi berat atau trombositopenia
berat harus diberikan factor replacement therapy atau trombosit (AHA/
ASA kelas I, level C),
c. Pada pasien dengan peningkatan INR
karena pemakaian antagonis vitamin
K (VKA), maka VKA harus dihentikan.
Diberikan terapi untuk menggantikan faktor pembekuan yang besifat
vitamin K-dependent dan memperbaiki INR, serta diberikan vitamin KIV
(AHA/ASA kelas I, level C), Prothrombin complex concentrates (PCC) memiliki efek samping lebih sedikit dan
memperbaiki INR lebih cepat dibandingkan fresh frozen plasma (FFP),
sehingga lebih dianjurkan (AHA/ASA
kelas lib, level B). Recombinant factor
Vila (rFVIIa) tidak disarankan
(AHA/ASA kelas III, level C).
d. Untuk pasien yang mengkonsumsi
dabigatran, rivaroksaban, atau apiksaban, terapi dengan factor eight inhibitor bypass activity (FEIBA), PCC, atau
rFVIIa dapat dipertimbangkan sesuai
kondisi individual pasien. Karbon aktif dapat dipakai jika dosis terakhir
dabigatran, rivaroksaban, atau apiksaban diminum <2 jam. Hemodialisis
dapat dipertimbangkan pada pasien
yang diberikan (AHA/ASA kelas lib,
level C) (rekomendasi baru).
e. Protamin sulfat dapat dipertimbangkan
untuk reversal heparin pada perdarahan
intraserebral akut (AHA/ASA level C).
f. Meskipun dapat membatasi ekspansi perdarahan pada pasien stroke
hemoragik tanpa gangguan koagulasi,
rFVIIa meningkatkan risiko tromboemboli, sehingga tidak direkomendasikan (AHA/ASA kelas III, level A).
3. T e k a n a n D a ra h
Pada stroke hemoragik akut (onset <6
jam), penurunan tekanan darah secara agresif dengan target TD sistolik
<140mmHg dalam waktu <1 jam aman
untuk dilakukan dan lebih superior
dibandingkan dengan target TD sistolik
<180mmHg. Untuk menurunkan tekanan darah, dapat diberikan antihipertensi
intravena seperti nikardipin, labetalol,
atau esmolol maupun antihipertensi
oral Namun tidak ada antihipertensi
yang spesifik.
a. Pada tekanan darah antara sistolik antara 150 sampai 220mmHg dan tanpa
adanya kontraindikasi terapi penurunan tekanan darah alcut, penurunan
TD sistolik akut 140mmHg aman dilakukan (AHA/ASA kelas I, level A) dan
efektif memperbaiki keluaran fungsional (AHA/ASA level B).
b. Pada tekanan darah sistolik >220mmHg,
dapat dilakukan penurunan tekanan darah secara agresif dengan antihipertensi
IV secara kontinu disertai pemantauan
rutin (AHA/ASA kelas lib, level C) (rekomendasi baru).
4. M e m p e rta h a n k a n Cerebral Perfusion
Pressure (C PP)
Pasien stroke hemoragik harus mempunyai tekanan darah yang terkontrol
tanpa melakukan penurunan tekanan
darah yang berlebihan. Usahakan TD sistolik <160mmHg dan CPP dijaga >60-
70mmHg. Hal ini dapat dicapai dengan
menurunkan TIK ke nilai normal dengan
pemberian mannitol atau operasi. Pada
kasus diperlukan pemberian vasopressor, bisa diberikan:
a. Phenylephrine 2-10pg/kg/menit
b. Dopanvn 2-10pg/kg/menit atau
c. Norepinefrin dimulai dengan 0,05-
0,2pg/kg/menit dan dititrasi sampai
efek yang diinginkan.
5. P e n a ta la k s a n a a n B e d a h
Evakuasi rutin hematom dengan pembedahan seharusnya tidak dilakukan.
Tidak didapatkan bukti evakuasi hematom memperbaiki keluaran dan tidak
didapatkan data mengenai kraniektomi
dekompressi memperbaiki keluaran
setelah perdarahan intrakranial (AHA/
ASA kelas lib, level B). Kraniotomi yang
sangat dini dapat disertai peningkatan
risiko perdarahan berulang (AHA/ASA
kelas lib, level B). Namun demikian, tindakan bedah yang dilakukan lebih awal
[early surgery) dapat bermanfaat pada
pasien dengan SKG 9-12. Pada prinsipnya, pengambilan keputusan tergantung lokasi dan ukuran hematom dan
status neurologis penderita.
Secara umum indikasi bedah pada perdarahan intraserebral sebagai berikut:
a. Hematom serebelar dengan diameter
>3cm yang disertai penekanan batang
otak dan atau hidrosefalus akibat obstruksi ventrikel seharusnya dilakukan dengan sesegara mungkin (AHA/
ASA kelas I, level B).
b. Pendarahan dengan kelainan struktur seperti aneurisma atau malformasi arteriovena (MAVJ, (AHA/ASA
kelas II1-V, level C).
c. Perdarahan lobaris dengan ukuran
sedang-besar yang terletak dekat
dengan korteks (<lcm ) pada pasien
berusia <45 tahun dengan SKG 9-12,
dapat dipertimbangkan evakuasi hematom supratentorial dengan kraniotomi standar (AHA/ASA kelas lib,
level B)
d. Evakuasi rutin hematom supratentorial dengan kraniotomi standar
dalam 96 jam tidak direkomendasikan (AHA/ASA kelas III, level A),
kecuali pada hematom lobaris 1cm
dari korteks.
6. P e m b e ria n O b a tA n tie p ile p s i (O A E)
Pemberian OAE yang sesuai seharusnya
selalu dipakai untuk terapi bangkitan
Minis pada pasien dengan stroke hemoragik (AHA/ASA kelas I, level B). Pemberian profilaksis OAE tidak direkomendasikan. Pada pasien koma (SKG <8) termasuk
pada perdarahan profunda di supratentorial [intracerebral hemorrhage supratentorial profunda) dapat dipertimbangkan elektroensefalografi (EEG) monitoring 24 jam.
7. P en ce g a h a n P e rd a ra h a n In tr a s e r e
b r a l B e ru la n g
pengobatan hipertensi non-akut merupakan hal yang sangat penting untuk menurunkan risiko perdarahan berulang (AHA/
ASA kelas I, level A). Kebiasaan merokok,
alkoholisme berat, dan pemakaian kokain merupakan faktor risiko perdarahan
intraserebral, sehingga disarankan
untuk menghentikan kebiasaan ini
(AHA/ASA kelas 1, level B).
8. Rehabilitasi Medik
Selayaknya stroke iskemik, fisioterapi
dan mobilisasi cepat sangat dianjurkan
pada mereka stabil secara klinis (AHA/
ASA kelas I, level C).
PERDARAHANSUBARAKNOID
Perdarahan subaraknoid [PSA) yaitu
ekstravasasi darah menuju ruang subaraknoid di antara membran araknoid dan
pial. Perdarahan dapat terdistribusi di
sistem ventrikel, sisterna, dan fisura [Gambar 1). Istilah PSA ini dapat dipakai untuk kasus traumatik ataupun nontraumatik,
namun dalam bab ini yang akan dibahas
yaitu nontraumatik.PSA dapat dikenali berdasarkan gejala klinis
dan pencitraan. Gejala klinis PSA tersering
yaitu sakit kepala hebat mendadak, walaupun banyak pasien mungldn tidak ke dolcter
pada onset ini. Gejala berikutnya dapat berupa penurunan kesadaran ataupun kejang,
yang membuat pasien dilakukan CT scan.
Pada masa sebelum CT scan, perdarahan intraserebral (PIS) yang minimal masih sering dildasifikasikan sebagai stroke iskemik dan PSA
sering sulit didiagnosa dengan benar. Namun
uniknya, seiring dengan terjangkaunya CT
scan hingga semakin banyak proporsi orang
yang diperiksa dengan CT scan, data epidemiologi terbaru malah menunjukkan penurunan
insidens dalam 30-40 tahun terakhir.
PSA diperkirakan terjadi hanya pada 5%
dari semua angka kejadian stroke, akan
tetapi dampaknya terhadap kehilangan usia
produktifnya serupa dengan infark serebral
ataupun PIS. Hal ini dipicu karena PSA menyerang pada usia yang relatif
muda dan seringkali fatal. Dengan demikian, dibutuhkan kolaborasi antara neurolog,
bedah saraf, ahli neurointervensi, dan intensivist dalam diagnosa dan manajemen akut
dari PSA secara komprehensif.
EPIDEMIOLOGI
Insidens PSA secara keseluruhan berdasarkan satu literatur yaitu 10,5 per 100.000
penduduk pertahun di dunia. Insidens ini
berbeda-beda pada tiap literatur, bergantung pada jenis kelamin, ras, wilayah, dan
usia. Perempuan memiliki risiko 1,6 kali
lipat lebih tinggi dari pria, kulit hitam 2,1
kali lipat lebih sering daripada kulit putih,
serta Jepang dan Finlandia merupakan negara dengan insidens PSA tinggi, yaitu 22-23
per 100.000 penduduk per-tahun (Tabel 1).
Insidens PSA meningkat seiring dengan pertambahan usia, meskipun demikian, separuh
pasien PSA berusia di bawah 55 tahun.
Angka kejadian fatal PSA akibat aneurisma
sekitar 50%; sebanyak 10-15%-nya meninggal sebelum tiba di RS, sementara 20% yang
bertahan akan mengalami ketergantungan
dalam aktivitas sehari-hari.
ETIOLOGI
Penyebab tersering PSA yaitu ruptur aneurisma (85%), diikuti perdarahan perimesensefalik nonaneurisma (10%), dan 5% sisanya
aldbat kondisi lainnya (Tabel 2).
PATOFISIOLOGI
PSA dipicu oleh berbagai macam
etiologi, sehingga mekanisme terjadinya
perdarahan berbeda juga berbeda-beda,
Berikut dibahas patofisiologi dari beberapa etiologi, yakni aneurisma intrakranial,
perdarahan perimesensefalik non-aneurismal, dan diseksi arteri intrakranial. L. Aneurisma Intrakranial
Aneurisma pembuluh darah bukanlah
kongenital, namun didapat dalam perjalanan hidup, terutama pada dekade ke-
2. Pada kasus tertentu ada penyebab yang mendasarinya, seperti trauma,
infeksi, atau penyakit jaringan penunjang. Penyebab aneurisma tumbuh tidak diketahui dengan pasti, meskipun
ada berbagai faktor risiko ataupun
kondisi predisposisi.
Aneurisma lebih sering muncul di intrakranial dibandingkan ekstrakranial, karena
dinding arteri intrakranial lebih tipis. Hal
ini dipicu tunika media yang menipis dan hilangnya lamina elastika eksterna yang dibuktikan pada pemeriksaan mikroskopik. Dinding aneurisma hanya terdiri
dari lapisan intima dan adventisia, serta jaringan fibrohialin interposed dengan jumlah
bervariasi (Gambar 2a).
Tekanan pulsasi tinggi maksimal di titik
percabangan di proksimal arteri sekitar
sirkulus willisi. Oleh karena itu, lokasi percabangan arteri, biasanya di basis kranii,
baik di sirkulus Willisi ataupun di dekat titik percabangan, merupakan lokasi utama
dari pembentukan aneurisma aterosklerosis. Titik ruptur aneurisma biasanya di
kubah lesi (Gambar 2b).
Beberapa faktor predisposisi yang dicurigai sebagai penyebab munculnya
aneurisma yaitu :
a. Struktur abnormal dinding pembuluh
darah
Abnormalitas yang menjadi predisposisi aneurisma dicurigai berupa aefek lapisan muskular dinding tunika
media yang terjadi secara kongenital.
Studi menunjukkan adanya penurunan protein matriks ekstraseluler
pada dinding arteri intrakranial, yaitu
kolagen tipe III, kolagen tipe IV, dan
serat elastin. Penurunan ini akibat gangguan degradasi dan sintesis
konstituen protein matriks ekstraseluler yang diregulasi oleh protease
(seperti matriks me-taloproteinase,
elastase neutrofil atau leukosit), inhibitor protease (seperti tissue inhibitor dari matriks metaloproteinase dan
a l antitripsin), faktor pertumbuhan
(growth factor), dan sitokin. Adanya
akselereasi degradasi protein matriks
ekstraseluler ini dipikirkan akibat
gangguan keseimbangan protease dan
inhibitornya.
Disrupsi protein matriks ekstraseluler tidak hanya ditemukan pada aneurisma, tetapi juga di kulit, serta tidak berbeda antara arteri intrakranial
atau ekstrakranial. Dengan demikian,
aneurisma intrakranial tidak hanya
merepresentasikan penyakit lokal,
namun lebih sesuai dengan gangguan
matriks ekstraseluler umum.
b. Aneurisma familial
Sekitar 10% pasien PSA memiliki
1 atau lebih saudara kandung yang
mempunyai aneurisma juga. Risiko
PSA pada keluarga generasi pertama
5 kali lipat lebih tinggi daripada yang
tidak. Pasien PSA familial pada umumnya memiliki aneurisma yang lebih
besar daripada PSA spontan, serta
onset yang lebih muda. Pada keluarga
dengan dua generasi mengalami PSA,
onset PSA pada generasi yang lebih
muda pada umumnya lebih dini. c. Penyakit ginjal polikistik autosom
dominan (PGPAD)
Aneurisma intrakranial ditemukan
pada sekitar 10% pasien PGPAD.
Meskipun PSA sering terjadi pada
pasien PGPAD, oleh karena kasus PGPAD sedikit, maka pasien PSA dengan
PGPAD kurang dari 1%.
Pertumbuhan aneurisma pada pasien
PGPAD tidak terkait hipertensi, namun
lebih karena mutasi gen. ada 2 kelompok mutasi gen, yaitu PGP 1 (85%)
yang mengalami mutasi pada kromosom 16p dan PGP 2 (15% ) yang mengalami mutasi pada kromosom 4q.
Aneurisma, ditemukan lebih banyak
pada pasien PGP 1.
d. Penyakit Ehlers-Danlos tipe IV
Penyakit ini sangat berhubungan erat
pertumbuhan aneurisma. Namun
karena sangat jarang, maka jarang
pula ditemukan pada pasien dengan
PSA. Penyakit Ehlers-Danlos tipe IV
memiliki defek pada kolagen tipe III
yang diduga sebagai penyebab munculnya aneurisma.
e. Penelitian genetik
Sejauh ini hubungan positif ditemukan
pada gen kolagen tipe III-A1, kolagen
tipe I-A2, a l antitripsin, dan inhibitor
serine proteinase (SERPINA3).
f. Aneurisma baru pascaPSA
Pasien PSA yang dapat bertahan hidup
dan memiliki aneurisma yang sudah ditataiaksana mempunyai risiko terjadinya aneurisma baru dan episode PSA
baru dalam 10 tahun pascaPSA, yakni
16%. Risiko PSA rekuren pascaclipping
sekitar 2-3% dan 20 kali lebih tinggi
dibandingkan dengan orang normal.
g. Faktor risiko yang didapat
ada beberapa faktor yang diduga meningkatkan risiko pertumbuhan
aneurisma secara bermakna, yaitu;
merokok (risk ratio/RR] 2,2 [IK95%
1,3-3,6]), hipertensi (RR 2,5 [2,0-
3,1]), dan konsumsi alkohol (RR 2,1 [1,5-2,8]). Faktor lain seperti etnis
nonkulit putih (RR 1,8 [0,8-4,2]) dan
kontrasepsi oral (RR 5,4 [0,7-43,5])
juga meningkatkan risiko, namuntidak
bermakna. Hormone replacement therapy (RR 0,6 [0,2-l,5]),hiper-kolesterolemia (RR 0,8 [0,6-1,2]), dan diabetes
(RR 0,3 [0-2,2]) diduga menurunkan
resiko, namun juga tidak bermakna.
Selain itu, didapatkan pula penyebab
iatrogenik, seperti: terapi radiasi, acrylate yang dipasang eksternal ke arteri
intrakranial untuk dekompresi mikrovaskuler, dan operasi bypass superficial
temporal artery-middle cerebral artery
dengan pembentukan aneurisma di lokasi anastomosis.
Pemicu Ruptur Aneurisma
Penyebab ruptur masih belum banyak
di-ketahui, yang paling rasional yaitu
peningkatan mendadak tekanan darah. Oleh karena itu, faktor-faktor
yang dapat meningkatkan tekanan darah dipikirkan berhubungan de-ngan
onset PSA, antara lain:
Aktivitas fisik (2-20% ); aktivitas
fisik berat terjadi pada 3% pasien
(RR 15,0; IK95% 4,3-52,2) dan
aktivitas fisik menengah hingga
maksimal 2 jam sebelum PSA terjadi pada 19% (RR 2,7 [1,6-4,6])
• Hubungan seksual (0-11% )
• Aktivitas manuver valsava (4-20%)
• Stres (1-2%)
• Merokok 3 jam sebelum onset PSA
(rasio Odds (RO) 7,0; 1K95% 3,7-13,1)
Konsumsi alkohol lebih dari 5 unit
(RO 4,3 [1,5-12,3)
2. Perdarahan Perim esensefalik
Pada perdarahan perimesensefalik, ada distribusi ekstravasasi darah pada
CT angiografi, terutama di anterior dari
mesensefalon dan sisterna interpedunkular, serta di sisterna kua-drigeminal.
Pola perdarahan tidak spesifik membedakan PSA akibat perdarahan perimesensefalik atau ruptur aneurisma. Satu dari 20
kasus PSA dengan pola perdarahan ini,
memiliki aneurisma. Sebaliknya 10-20%
ruptur aneurisma fossa posterior memiliki
pola perdarahan perimesensefalik. Diperlukan pemeriksaan angiografi untuk membedakan keduanya.
Autopsi postmortem untuk mengetahui penyebab perdarahan perimesensefalik jarang dilakukan, karena umumnya
pasien memiliki keluaran bagus. Oleh
karena itu hingga saat ini tidak diketahui penyebabnya. Namun ada beberapa
pembuluh darah yang diduga sebagai lokasi ruptur, yaitu drainase vena ke batang
otak, aneurisma fossa posterior, dan
vaskularisasi abnormal di batang otak.
Diseksi umumnya terjadi pada arteri
karotis dibandingkan arteri vertebralis, tetapi PSA lebih sering pada arteri
vertebralis. Beberapa penyebab diseksi
yaitu rotasi leher berlebihan, trauma
hiperekstensi, serta iatrogenik akibat
manipulasi osteopatik atau pada operasi
bedah saraf.
Vasospasme
Pada PSA terjadi vasospasme atau penyempitan pembuluh darah, umumnya pada hari
ke-4, mencapai puncaknya mulai hari ke-7
hingga ke-10, dan menghilang spontan
setelah hari ke-21. Hal ini dimulai dengan
adanya kontak antara oksihemoglobin dari
pembuluh darah yang pecah, dengan dinding pembuluh darah bagian luar, Timbulnya vasospasme memicu iskemik
yang disebut sebagai delay cerebral ischemia, yaitu iskemik luas di daerah vasospasme yang dapat menjadi infarlc dan menimbulkan kematian sel otak. Vasospasme
terjadi pada berbagai level di sirkulasi arteri dan arteriol. Penyempitan pembuluh
darah besar dapat dideteksi memakai
angiografi pada 50% kasus PSA dengan gejala iskemia.
GEJALA DAN TANDA KLINIS
Adapun gejala dan tanda yang ditemukan
pada pasien dengan PSA yaitu sebagai
berikut:
1. Sakit Kepala
Kata kunci pada anamnesis yaitu nyeri
kepala hebat yang tidak biasa. Rasa nyeri
muncul tiba-tiba dalam waktu sesaat
atau beberapa menit, memicu
sensasi kilatan, petir dari langit, atau seperti kepala dibenturkan, sehingga sering
disebut sebagai thunderclap headache.
Kecepatan onset dapat membantu membedakan aneurisma dengan perdarahan perimesensefalik. Sakit kepala pada
perdarahan perimesensefalik muncul
dalam hitungan menit (35%], sementara
aneurisma dalam hitungan detik (20%).
Sakit kepala 9x lebih sering ditemukan
pada aneurisma dibandingkan dengan
perdarahan perimesensefalik.
2. Penurunan Kesadaran
Penurunan kesadaran terjadi pada lebih
dari setengah pasien dengan PSA aneurisma. Beberapa pasien mengeluhkan
sakit kepala sebelum mereka kehilangan kesadaran. Sebaliknya pada perdarahan perimesensefalik nonaneurisma,
kesadaran umumnya normal. Meskipun
demikian, penurunan kesadaran tidak
menyingkirkan diagnosa perdarahan
perimesensefalik, karena hidrosefalus
akut dapat memicu koma pada jam pertama setelah perdarahan.
Onset penurunan kesadaran sangat penting diketahui. Penurunan kesadaran yang
munculnya pada awal pemeriksaan perlu
dipildrkan dimulai sejak awal onset atau
tidak. Jika muncul sejak awal onset dipikirkan dipicu oleh arteri, sedangkan jika belakangan berkaitan dengan
gagalnya perfiisi global akibat peningkatan
TIK. Perdarahan yang muncul belakangan,
dipikirkan memilild penyebab yang dapat
ditangani, seperti hidrosefalus akut atau
pembentukan edema di sekitar PIS.
3. Kejang
Kejang epileptik saat onset dapat terjadi
pada 10% pasien PSA aneurisma. Secara
umum, kejang pada pasien berusia <25
tahun dapat dipikirkan PSA aneurisma
bila ada sakit kepala pascaiktal
yang tidak biasa, memberat atau memanjang. Kejang pada PSA juga dapat dihubungkan dengan etiologi non-aneurisma, seperti diseksi arteri vertebralis atau
malformasi vaskular. Namun, kejang belum pernah didokumentasikan pada PSA
perimesensefalik.
4. Riwayat Tambahan
Sakit kepala hebat episode sebelumnya
meningkatkan kemungkinan PSA aneurisma, selain sakit kepala yang mendadak hebat. Sakit kepala ini dipikirkan
akibat adanya rembesan perlahan dari
PSA yang merupakan tanda bahaya yang
disebut sebagai warning leaks. Sepertiga
pasien dapat mengingat episode sakit
kepala ini yang umumnya tidak biasa,
berat, dan bertahan beberapa jam.
Riwayat tambahan lainnya yang dapat
membantu diagnosa yaitu riwayat
cedera kepala dipikirkan fistula dural
arteriovena; gangguan katup jantung
dipikirkan aneurisma mikotik; serta penyakit sickle cell, miksoma jantung, apopleksi hipofisis, dan gangguan koagulasi.
Selain itu, riwayat keluarga dengan PSA
dapat membantu memberi petunjuk
pada pasien dengan sakit kepala mendadak. Hal ini dikarenakan ada peningkatan risiko PSA pada riwayat keluarga inti dengan PSA
5. Kaku Kuduk
Kaku kuduk yaitu tanda umum pada
PSA tetapi membutuhkan waktu beberapa jam untuk terjadi, oleh karena itu
tidak dapat dipakai untuk mengeksklusi diagnosa jika pasien ditemui
segera setelah onset sakit kepala. Kaku
kuduk juga akan menghilang pada koma
dalam. diagnosa banding lain yang harus dipikirkan pada kaku kuduk yaitu
meningitis.
6. Perdarahan Subhialoid
Perdarahan subhialoid (Gambar 3) sebagai salah satu tanda PSA, merupakan
perdarahan preretina. Perdarahan ini
terjadi jika ada peningkatan tekanan cairan serebrospinal [CSS] mendadak
yang masuk ke ruang subaraknoid seldtar nervus optikus dan menyekat aliran
vena dari retina sehingga memicu ruptur
vena retina
7. Demam
Pada banyak pasien, terjadi peningkatan
suhu pada 2-3 hari pertama PSA. Jika
suhu tidak melebihi 38,5°C dan denyut
nadi tidak meningkat, biasanya tidak
dipicu oleh infeksi.
8. Peningkatan Tekanan Darah
Pada pasien dengan PSA ada peningkatan tekanan darah disertai sakit
kepala mendadak, sedangkan jika terjadi
penurunan tekanan darah maka harus
dipikirkan sebagai apopleksi hipofisis
atau karena kerusakan sekunder miokardiak akibat ruptur aneurisma intrakranial. Hal ini dipicu ketika terjadi ruptur aneurisma, terjadi abnormalitas EKG
dan terkadang muncul henti jantung.
Kelainan jantung yang dideteksi pada
EKG saat PSA yaitu dapat berupa depresi atau elevasi gelombang ST, perubahan
gelombang T, munculnya gelombang
Q patologis, dan branch bundle block.
Kelainan jantung ini dapat menambah
risiko terjadinya delayed cerebral ischemia
dan keluaran yang buruk.
9. Defisit Neurologis Fokal
PSA dapat memicu berbagai defisit neurologis fokal dengan mekanisme
yang beragam, yaitu:
Paresis nervus kranialis akibat
penekanan aneurisma
Defisit neurologis fokal akibat hasil
dari kompresi lokal jaringan otak
• Defisit neurologis fokal akibat iskemik jaringan oleh emboli
• Epilepsi fokal hasil dan reorganisasi sel
glia akibat kompresi lokal dan iskemik
jaringan oleh penekanan aneurisma
Hemiparesis akibat PSA yang besar di
fisura Sylvii
Ataksia serebelar akibat diseksi arteri
vertebral is
Paraparesis aldbat penekanan aneurisma arteri komunikans anterior atau
malformasi arteriovena (arteriovenous
malformation/AS/M] spinal
Gangguan melirik ke atas yang mungkin dipicu hidrosefalus atau
penekanan pada bagian proksimal
dari akuaduktus Sylvii.
Selain mengetahui gejala dan tanda ldinis,
penting untuk mengetahui derajat keparahan perdarahan subaraknoid. Penilaian ini
dilakukan dengan memakai beberapa
sistem (Tabel 3), antara lain skor Hunt and
Hess dan skor World Federation o f Neurological Surgeons (WFNS).
Adapun terjadinya vasospasme tidak selalu
memicu gejala. Banyak pasien dengan
penyempitan arteri besar yang tidak mengeluhkan gejala klinis. Di sisi lain, seringkali ditemukan pasien dengan gejala iskemia dan infark
serebri tanpa adanya vasospasme yang terdeteksi. ada beberapa foktor yang berkontribusi dalam memicu iskemia dan infark,
antara lain gangguan mikrosirkulasi distal,
anatomi kolateral yang buruk, variasi genetik
ataupun variasi fisiologis pada toleransi seluler
terhadap keadaan hipoksia. Delayed cerebral
ischemia pada vasospasme merupakan penyebab utama kematian dan kecacatan pada kasus
PSA akibat aneurisma,
diagnosa
diagnosa ditegakkan dengan bantuan beberapa modalitas beserta kekurangan dan
kelebihannya masing-masing berikut ini:
1. CTSca/i
CT scan yaitu pemeriksa penunjang diagnostik lini pertama untuk PSA, karena
kemudahannya untuk menilai ekstravasasi darah serta memiliki sensitivitas dan
spesifisitas yang sangat baik (masing-masing 92,9% dan 100%). CT scan juga dapat
membantu melihat pola perdarahan dan
memperkirakan lokasi aneurisma, yaitu:
a. Perdarahan intraserebral
Perdarahan di sisterna subaraknoid
kurang spesifik untuk menentukan lokasi aneurisma, karena setelah 5 hari,
50% pasien tidak lagi menunjukkan
ekstravasasi darah. Dengan demikian
sangat penting pula untuk melihat dilatasi minimal kornu temporal ventrikel
lateral serta fisura dan sulkus. Adapun
pola perdarahan menurut pembuluh
darah dapat dilihat pada Tabel 4 dan 5.
b. Perdarahan intraventrikular
Perdarahan intraventrikular dapat
merupakan sekunder dari perdarahan
intraserebral. Perdarahan ini umumnya berasal dari arteri komunikans
anterior dengan darah masuk ke ventrikel ke-3 dan ke-4 melalui lamina
terminalis. Perdarahan pada ventrikel
ke-3, tetapi tidak pada ventrikel la-
feral, mengindikasikan ruptur arteri
basilaris, terutama jika bagian posterior sisterna basilar terisi dengan
baik. Pengisian darah pada ventrikel
keempat dan sedikit pada ventrikel
ketiga dapat dicurigai berasal dari arteri serebelaris posterior inferior (posterior inferior cerebellar artery/PICA).
c. Perdarahan subdural
Hanya terjadi pada 2-3% kasus, terutama pada kasus rebleeding. Pascaruptur aneurisma, dapat terjadi perlekatan kubah aneurisma dengan
membran araknoid serta traksi venavena yang berada di ruang subdural
dan memicu perdarahan.
d. Perdarahan perimesensefalik
Sebanyak 15% pasien PSA tidak memiliki aneurisma pada pemeriksaan
angiografi dan 2/3-nya menunjukkan
perdarahan basal, terutama hanya di
sisterna perimesensefalik. Akan tetapi,
1 dari 20 perdarahan perimesensefalik memiliki aneurisma yang berlokasi di posterior. Prediksi ruptur aneurisma pada pasien PSA dengan pola
perdarahan perimesensefalik yang
tidak dilakukan operasi hanya sekitar
5%. Dengan demikian, angiografi dianggap tidak perlu diulang jika pada
angiografi pertama tidak ditemukan
aneurisma. Berbeda dengan pola
perdarahan lain, pada perdarahan
perimesensefalik tetap perlu dilakukan digital subtraction angiography
(DSA) walau CT angiografi menunjukkan tidak ada aneurisma e. Pola perdarahan lain dan sumbernya
Perdarahan basal dapat dipicu
oleh diseksi arteri vertebralis, fistula dura tentorium, AVM pada daerah leher, penyalahgunaan kokain
ataupun aneurisma mikotik dengan
aspergillosis. PSA traumatik dapat
mengisi fisura Sylvii, sehingga sulit
dibedakan dengan PSA akibat ruptur
aneurisma, Selain itu, trauma langsung pada leher atau trauma kepala
dengan pergerakan leher yang hebat dapat memicu perdarahan
basal, yang dipicu robekan atau
ruptur arteri sirkulasi posterior.
2. Magnetic Resonance Imaging (MRI)
MRI baik untuk mengindikasikan [ruling
in) tetapi tidak mengeksklusi [ruling out)
PSA. Pada fase akut, terutama dalam 24
jam pertama, darah dapat diidentifikasi dengan adanya hiperintensitas pada sekuens
spin echo T2-weighted images [WI) dan
bahkan lebih baik pada sekuens T2 gradient echo dengan gambaran hipointensitas.
Sekuens lain yang dapat dipakai yaitu
T1WI yang memberikan gambaran hiperintensitas yang dapat menetap hingga 2
minggu. Hal ini kadang tidak membantu
menunjukkan lokasi aneurisma, walaupun dapat menunjang dugaan PSA sudah
terjadi. Oleh karena kerumitan penilaian
gambaran hiperintens ini sebagai
PSA atau bukan, maka pada pasien PSA onset 2 minggu, pemeriksaan pungsi lumbal
bisa jadi lebih sensitif daripada MRI untuk
mendeteksi adanya PSA.
Tetapi, pada satu penelitian dengan 58
subyek, MRI T2WI, masih dapat mendeteksi deposisi hemosiderin yang tersimpan di ruang subaraknoid di dekat
aneurisma pada 3 dari 4 subyek, hingga
3 bulan onset PSA. Oleh karena itu pada
pasien dengan sakit kepala beberapa
minggu, MRI masih dapat dipakai untuk
mendiagnosa adanya hemosiderin di ruang subaraknoid.
Kekurangan MRI yaitu tidak semua
sekuens sensitif dalam mengidentifikasi
darah, seperti fluid-attenuated inversion
recovery [FLAIR), fast spin echo T2 dan
proton density [PD) weighted images. Pemberian kontras Gadolinium juga dapat
memberikan impresi yang salah, terutama
pada sekuens FLAIR. Kekurangan lainnya
yakni, pemeriksaan yang lama dan tidak
semua RS memiliki MRI.
3. Pungsi Lumbal
Pungsi Lumbal dapat dilakukan untuk menyingkirkan diagnosa pada pasien dengan
klinis PSA tetapi tidak ditemukan perdarahan pada CT scan. Untuk membedakan
darah pada CSS akibat PSA dengan darah
akibat trauma jarum pungsi, maka CSS
dikumpulkan dalam beberapa tabung, biasanya mencapai 3 tabung. bila warna
darah di CSS menetap pada semua tabung,
maka pasien dapat didiagnosa PSA.
4. CTAngiografi
Angiografi diperlukan tidak hanya untuk
mengidentifikasi ruptur aneurisma ataupun aneurisma yang belum ruptur, tetapi
juga memberikan konfigurasi anatomi untuk membantu menentukan pilihan tata
laksana optimal [Gambar 4).
Sensitivitas CT angiografi sudah mencapai 90% di tahun 1998 dan meningkat menjadi 95% pada era teknik CT scan multislice. Sensitivitas bahkan
mencapai 97% pada arteri serebri media. Namun, CT angiografi tidak dapat
mendeteksi aneurisma kecil [diameter
2-3mm). Untuk mendeteksi aneurisma
asimtomatik dengan CT angiografi, diperlukan kontras iodin, sehingga dapat
berisiko alergi.
Kelebihan utama CT angiografi dibandingkan magnetic resonance angiography
[MRA] ataupun DSA adaiah lebih cepat.
CT angiografi dapat dilakukan segera
setelah CT scan, sehingga diagnosa PSA
aneurisma dapat ditegakkan pada saat
pasien masih di mesin CT scan.
5. MR Angiography (MRA)
Sensivitas MRA biasa sekitar 75% dan
meningkat menjadi 80-95% jika dilakukan dengan teknik tiga dimensi. Pada aneurisma kecil [diameter <3mm), angka
deteksi turun menjadi 38%. Keuntungan
MRA terutama pada pasien follow up pascacoiling dan pasien dengan aneurisma
asimtomatis yang dapat dideteksi tanpa
kontras.
6. Digital Sub traction A ngiography (DSA)
ada justifikasi bahwa untuk mendiagnosa dengan tepat, maka DSA wajib diperiksa pada semua kasus PSA.
Meskipun demildan, pemeriksaan ini
membutuhkan pertimbangan manfaat
dan risiko, karena DSA bukan tanpa bahaya. Risiko komplikasi transien atau
permanen mencapai 1,8%. Selain itu
ada risiko ruptur aneurisma selama
prosedur, yakni sebesar 1-2 % dan 6 jam
pascaprosedur meningkat hingga 5%,
Pemeriksaan DSA semakin awal semakin
baik, apalagi jika pasien direncanakan
tindakan segera coiling atau clipping
dalam 3 hari pertama onset PSA. DSA
dengan teknik 3D rotasional menjadi
pilihan bila dengan CT angiografi
belum memberikan data yang jelas.
DSA wajib dilakukan bila ada
kecurigaan penyebab lain PSA, seperti
diseksi pembuluh darah, namun gagal
dikonfirmasi pada CT angiografi dan
MRA, Begitu pula pada pola perdarahan
tertentu yang negatif pada CT angiografi
awal, maka wajib dilakukan DSA. Bahkan jika hasil DSA negatif, diindikasikan
pemeriksaan DSA ulang.
Teknik pencitraan DSA dapat berbeda
menurut pembuluh darah tertentu. Pada
aneurisma arteri komunikans anterior,
dibutuhkan pencitraan kedua teritori
arteri karotis untuk mengidentifikasi
aneurisma dan bagian distal arteri serebri anterior yang terisi. Pada aneurisma
arteri karotis di bagian proksimal arteri
komunikans posterior, sangat penting
diketahui pengisian PCA melalui arteri
basilaris. Pada aneurisma MCA, tidak terlalu dibutuhkan informasi terkait teritori
lain. Pada pola perdarahan sesuai dengan
aneurisma sirkulasi posterior, angiogram
tidak boleh disebut negatif hingga kedua
arteri vertebralis tervisualisasi, karena
aneurisma bisa muncul dari PICA ataupun cabang proksimal arteri vertebralis.
Proses diagnosa delayed cerebral ischemia pada vasospasme masih menjadi
masalah tersendiri. Belum ada studi
komparatif mengenai alur diagnosa
yang membandingkan keluaran. Pemantauan vasospasme dapat dilakukan dengan memakai pemeriksaan penunjang, antara lain Doppler transkranial
[transcranial Doppler/TCD], CT atau MR
perfusi. TCD merupakan pemeriksaan
noninvasif untuk mendiagnosa vasospasme, khususnya arteri serebri media. Pemeriksaan ini dianjurkan dilakukan 1-2 hari sekali. CT atau MR perfusi
dapat membantu mengidentifikasi daerah otak yang mengalami iskemia. CT
perfusi menjanjikan hasil yang lebih
maksimal, namun pemeriksaan berulang dan paparan radiasi membatasi pemakaian CT perfusi.
pengobatan
Pada prinsipnya ada pengobatan
umum dan pengobatan komplikasi.
1. pengobatan Umum
Secara umum, pengobatan PSA sama
dengan pengobatan stroke perdarahan,
sebagai berikut:
a. Hipertensi
pengobatan hipertensi biasanya dimasukkan dalam pengobatan tradisional yang disebut triple-H, yaitu
hipertensi, hipervolemilt, dan hemodilusi. Hipertensi dibuat untuk menjaga tekanan darah tetap tinggi agar
otak mendapat perfusi yang cukup,
tetapi tidak boleh terlalu tinggi untuk
mencegah rebleeding.
Rekomendasi tekanan darah yaitu
diturunkan jika mean arterial pressure
(MAP) mencapai 130mmHg dengan
antihipertensi golongan penyekat
beta secara intravena [IV]. Agen ini
memiliki waktu paruh pendek, dapat
dititrasi dengan mudah, dan tidak
meningkatkan tekanan intrakranial
(TIK). Sebaiknya hindari golongan nitrat (nitroprusid atau nitrogliserin),
karena dapat memicu peningkatan TIK.
b. Peningkatan Tekanan Intrakranial
Perawatan di ICU dengan tirah
baring total dan intubasi. Pasien
dapat dilakukan hiperventilasi
dengan pC02 sekitar 30-35mmHg
untuk mengurangi risiko vasospasme dan iskemik.
Elevasi kepala 30° untuk memastikan drainase vena berjalan baik.
Pemasangan akses arteri, kateter
vena sentral, dan kateter urin untuk menurunkan TIK.
Pemberian pencahar agar pasien
tidak mengedan.
Pemberian sedasi ringan dan ruangan yang hening, gelap, serta cukup
privasi jika ada agitasi.
Pemberian pengobatan untuk
menurunkan TIK seperti:
- Agen osmotik, yaitu manitol,
dapat menurunkan TIK secara
dramatis. Dapat dipakai manitol 20% dengan dosis awal 0,5-
1 gr/kgBB dilanjutkan dosis
rumatan 4-6 x 0,25-0,5 gr/kgBB
- Diuretik, seperti fiirosemid
40mg dapat dipakai dosis
tunggal
- Steroid, meskipun kontroversial tetapi dianfurkan oleh beberapa penulis.
2. pengobatan Komplikasi
a. Rebleeding
Rebleeding dapat terjadi sebanyak
4,1% dalam 24 jam pertama pascaruptur dan risiko kumulatif dalam 14
hari pertama sebesar 19%. Secara keseluruhan angka mortalitas rebleeding sangat tinggi (78% ), sehingga
perlu ditatalaksana pencegahan, Hal
ini dapat dilakukan dengan dua cara,
yakni: tindakan bedah berupa clipping dan tindakan intervensi neurovaskular dengan coiling. Pemilihan
antara coiling atau clipping berdasarkan lokasi lesi, leher aneurisma, akses arteri, ketersediaan, pengalaman
staf medis, serta isu biaya, khususnya
untuk negara berkembang.
Tanpa melihat keterbatasan yang ada,
secara umum coiling lebih diutamakan untuk aneurisma bagian posterior, karena morbiditas dan mortalitas yang lebih rendah dibandingkan
clipping. International Subarachnoid
Aneurysm Trial (ISAT) menunjukkan
bahwa coiling lebih aman secara signifikan dibandingkan clipping pada
aneurisma yang ruptur. Studi ini menjadi dasar coiling sebagai pengobatan
lini pertama ruptur aneurisma.
Pada prinsipnya, waktu tindakan
intervensi yang disarankan yakni
lebih awal lebih baik, namun dapat
disesuaikan dengan kondisi pasien.
Pada pasien dengan kondisi baik, dianjurkan 72 jam pertama pascaonset untuk mencegah rebleeding. Pada pasien
yang kondisinya belum baik, bahkan
setelah pengobatan stabilisasi (terma-
suk pemasangan drainase ventrikel
eksternal), tidak dianjurkan tindakan
clipping pada periode akut dan lebih
dianjurkan coiling. Penundaan intervensi juga disarankan pada
aneurisma raksasa atau rumit. Pada
usia lanjut di atas 80 tahun, intervensi
dapat dilakukan jika prediksi usia harapan hidup lebih lama.
b. Vasospasme
pengobatan vasospasme cukup kompleks. Berbagai penelitian terakhir
menunjukkan nimodipin oral dan
euvolemia efektif dalam mencegah
vasospasme. Tindakan prevensi lain
seperti triple-H (hemodilusi, hipervolemia, dan hipertensi] dan tindakan endovaskular (vasodilator dan
angioplasti balon] belum menunjukkan keuntungan dalam mencegah delayed cerebral ischemia.
Pada saat terjadi delayed cerebral
ischemia, pengobatan pertama yang
dilakukan yaitu induksi hemodinamik untuk memperbaiki perfusi
serebral. Secara konvensional, peningkatan hemodinamik dilakukan
dengan triple-H. Namun saat ini terapi difokuskan pada euvolemia dan
induksi hipertensi. Peningkatan mean
arterial blood pressure [MABP] diduga dapat meningkatkan aliran darah
otak (cerebral blood flo w /CBF) pada
saat terjadi gangguan autoregulasi.
Autoregulasi mengatur MABP 50-
150mmH, jika kurang atau melebihi
itu maka akan memicu gangguan
autoregulasi. Oleh karena itu, jika
rentang tekanan darah masih berada
didalam rentang autoregulasi, otak
masih mampu memngatur aliran darahnya, tetapi ketika melebihi rentang ini , maka dibutuhkan tatalaksana tambahan. Selain itu, diduga
ada efek tekanan transluminal
langsung yang memicu dilatasi arteri.
Belum ada penelitian randomized
controlled trial (RCT) yang menganalisis keluaran dari teknik ini .
Secara umum, hal terpenting untuk
mencegah vasospasme yaitu menjaga normovolemia, normotermia,
dan oksigenasi normal. Status hidrasi
harus dimonitor den