ogram pendidikan
kesehatan.
Sedangkan menurut WHO (2008) mengkategorikan beban keluarga
dengan ODGJ dibagi kedalam dua jenis yaitu:
1. Beban obyektif, merupakan beban yang berhubungan dengan kasus dan
pengalaman anggota keluarga, terbatasnya hubungan sosial dan aktivitas
kerja, kesulitan finansial dan dampak negatif terhadap kesehatan fisik
39
39
anggota keluarga.
2. Beban subyektif, merupakan beban yang berhubungan dengan reaksi
psikologis anggota keluarga meliputi perasaan kehilangan, kesedihan,
kecemasan dan malu dalam situasi sosial, koping, stress terhadap
gangguan perilaku dan frustasi yang disebabkan karena perubahan
hubungan.
berdasar kedua pendapat mengenai beban keluarga dengan anggota
keluarga yang mengalami halusinasi untuk regimen terapeutik keluarga inefektif,
maka penelitian ini akan berupaya mengukur beban keluarga yang terdiri dari
beban obyektif dan beban subyektif.
c. Kepatuhan Keluarga ODGJ Untuk Mengikuti Pengobatan
Kepatuhan atau ketaatan merupakan suatu derajat keluarga ODGJ
mengikuti anjuran klinis dari dokter yang mengobatinya (Kaplan & Saddock,
1997). Menurut Sackett (1976) dalam Niven (2002) kepatuhan adalah sejauh
mana perilaku keluarga ODGJ sesuai dengan ketentuan yang diberikan oleh
petugas kesehatan, kepatuhan sebagai suatu tingkatan keluarga ODGJ dalam
melaksanakan cara pengobatan dan perilaku yang disarankan oleh dokter atau
perawat. berdasar dari pengertian di atas dapat dijelaskan bahwa kepatuhan
merupakan suatu ketaatan terhadap anjuran dalam melaksanakan suatu terapi atau
pengobatan yang diberikan oleh petugas kesehatan sesuai dengan ketentuan dan
standar.
Perilaku kepatuhan tergantung pada situasi klinis spesifik, sifat alam
penyakit dan program pengobatan. Seseorang menjadi tidak taat atau tidak patuh
kalau situasinya tidak memungkinkan (Bart, 1994 dalam Niven, 2002). Kondisi
yang dapat menurunkan kepatuhan minum obat antara lain: regimen yang rumit
(banyak macam obat yang diberikan), timbul efek samping secara dini dan terus –
menerus, efek manfaat yang lambat, bila terapi dihentikan dirasa tidak
menimbulkan kekambuhan, pasien sulit menerima informasi, kasus finansial
atau biaya, terlibat banyak dokter, dan buruknya hubungan dokter dan pasien.
40
40
Menurut Sarwono (1997) dalam Niven (2002) bahwa perubahan sikap dan
perilaku individu diawali dengan proses patuh, identifikasi dan tahap terakhir
berupa internalisasi. Pada awalnya individu mematuhi anjuran atau instruksi tanpa
kerelaan untuk melakukan tindakan ini dan seringkali karena ingin
menghindari hukuman atau sanksi jika dia tidak patuh atau untuk memperoleh
imbalan yang dijanjikan jika dia mematuhi anjuran ini . Tahap ini disebut
tahap kepatuhan dan biasanya perubahan yang terjadi dalam tahap ini bersifat
sementara artinya tindakan ini dilakukan selama masih ada pengawasan. Tetapi
begitu pengawasan itu tidaklah perlu berupa kehadiran fisik atau tokoh otoriter,
melainkan cukup rasa takut pada ancaman sanksi berlaku, jika individu tidak
melakukan tindakan ini . Dalam hal ini pengaruh tekanan kelompok sangatlah
besar, sehingga individu terpaksa mengikuti tindakan perilaku mayoritas
kelompok meskipun sebenarnya dia tidak menyetujuinya. Namun, segera sesudah
dia keluar dari kelompok ini , mungkin sekali perilaku akan berubah menjadi
perilaku yang diinginkan sendiri.
Kepatuhan keluarga ODGJ yang berdasar rasa terpaksa atau
ketidakpahaman tentang pentingnya perilaku yang baru dapat disusul dengan
kepatuhan yang berbeda jenisnya, yaitu kepatuhan demi menjaga hubungan baik
dengan petugas kesehatan atau tokoh yang menganjurkan perubahan ini
(change agent).
Kepatuhan timbul karena keluarga ODGJ merasa tertarik atau mengagumi
tokoh ini sampai ingin menirukan tindakannya tanpa memahami sepenuhnya
arti dan manfaat dari tindakan ini . Proses ini disebut identifikasi. Meskipun
motivasi untuk mengubah perilaku individu dalam tahap ini lebih baik daripada
dalam kekambuhan, namun motivasi ini belum dapat dikaitkan perilaku ini
dengan nilai-nilai lain dalam hidupnya, sehingga jika ditinggalkan oleh tokoh
idolanya itu maka dia merasa tidak perlu lagi melanjutan perilaku ini .
Perubahan perilaku individu baru dapat menjadi optimal jika perubahan ini
terjadi melalui proses internalisasi dimana perilaku yang baru itu dianggap
bernilai positif bagi diri individu itu sendiri dan diintegrasikan dengan nilai-nilai
lain dari hidupnya.
41
41
Ketidakpatuhan adalah keadaan dimana keluarga ODGJ berkeinginan
untuk memenuhi tetapi ada faktor yang menghalangi ketaatan terhadap nasehat
yang berkaitan dengan kesehatan yang diberikan oleh petugas kesehatan yang
dipengaruhi oleh mahalnya biaya pengobatan, transportasi, minat dan psikologis
seseorang (Capernito, 2001). Ketidakpatuhan adalah tingkat keluarga ODGJ tidak
melaksanakan cara pengobatan dan perilaku yang disarankan oleh dokter atau
perawat. Ketidakpatuhan sulit dianalisis karena sulit didefinisikan, sulit untuk
diukur dan tergantung pada banyak faktor. Kebanyakan studi berkaitan dengan
ketaatan minum obat sebagai cara pengobatan, misalnya tidak minum cukup obat,
minum obat terlalu banyak, minum obat tambahan tanpa resep dokter dan
sebagainya. Pasien yang tidak taat dipandang sebagai orang yang lalai dan
kasus nya dipandang sebagai kasus kontrol dan harus mendapat perhatian
utama dari keluarga.
Kepatuhan adalah istilah yang menggambarkan penggunaan obat sesuai
dengan petunjuk pada resep. Ini mencakup penggunaannya pada waktu yang
benar dan mengikuti pembatasan makanan yang berlaku, misalnya biasa minum
obat pada pagi dan malam, maka setiap hari harus minum obat pada waktu yang
sama. Selain waktu yang sama, obat ini juga harus diminum seumur hidup.
Bilamana pindah waktu minum atau lupa minum satu hari, maka obat antipsikotik
atau halusinasi tidak akan berfungsi dengan optimal untuk mengontrol
halusinasinya. Obat yang dikonsumsi masuk ke aliran darah dan diangkut ke
seluruh tubuh. Pada saat darah melewati hati dan ginjal, sebagian obat ini
disaring dan dibuang. Jadi jumlah obat dalam aliran darah menjadi semakin kecil,
sehingga penderita memakainya lagi. Hal ini merupakan bagian dari
tanggung jawab keluarga ODGJ untuk pelaksanaan pengobatan dan perawatan
pasien dirumah.
Keluarga ODGJ sering menemukan kasus dalam regimen terapeutik
ODGJ. Seperti beberapa obat diserap lebih baik dan masuk ke aliran darah dengan
tingkat lebih tinggi, bila tidak ada makanan dalam perut. Obat ini harus
dikonsumsi dengan perut kosong. Sementara ada obat lain yang lebih baik masuk
42
42
ke aliran darah bila perutnya penuh. Obat ini sebaiknya dikonsumsi dengan
makan. Dengan beberapa obat pun, makanan tidak penting.
Keluarga pasien harus memberikan informasi kepada pasien diantaranya
pasien harus mengetahui petunjuk untuk penggunaan masing-masing obat agar
selalu ada cukup obat dalam aliran darah. Petunjuk ini termasuk berapa pil harus
digunakan, kapan dan bagaimana. Jika pasien melupakan satu dosis, tidak
menggunakan dosis penuh atau tidak mengikuti petunjuk tentang makanan,
tingkat obat dalam aliran darah dapat menjadi terlalu rendah yang akan
menyebabkan kekambuhan gejala seperti halusinasi. Cara terbaik untuk mencegah
kekambuhan ini adalah dengan kepatuhan terhadap terapi, demikian
kepatuhan pasien merupakan cermin kepatuhan keluarga untuk mengikuti regimen
terapeutik.
Penting bagi keluarga pasien untuk mengembangkan rutinitas (kebiasaan)
yang dapat membantu pasien mengikuti jadwal terapi, yang kadang kala rumit dan
mengganggu kegiatan sehari-hari. Kepatuhan dapat sangat sulit dan pasien akan
memerlukan dukungan agar menjadi biasa dengan perubahan yang
diakibatkannya pada hidup pasien. Ini bisa menjadi hal yang paling penting untuk
dipertimbangkan waktu pasien mulai memakai terapi baru.
Menggalang dukungan dari petugas kesehatan atau teman adalah sangat
penting, agar mengingatkan keluarga pasien ketika waktu pasien harus memakai
obat dan untuk memberikan semangat atau motivasi. Menilai kepatuhan pasien
secara ketat selama satu minggu. Jika hasilnya tampak kurang baik, pasien
memerlukan lebih banyak dukungan yang tersedia. Jika masih ada kasus ,
pasien dapat membahasnya dengan dokter. Jika pasien benar - benar tidak dapat
mencapai tingkat kepatuhan yang tinggi, mungkin sebaiknya pasien berhenti
terapi untuk sementara (Alcorn, 2007) dan keluarga pasien mengamati resiko
kekambuhan dan melaporkannya kepada petugas kesehatan.
Tidak seorang pun dapat mematuhi instruksi jika ia salah paham tentang
instruksi yang diberikan padanya. Ley dan Spelman (1967) dalam Niven (2002)
menemukan bahwa lebih dari 60% yang diwawancarai sesudah bertemu dengan
dokter salah mengerti tentang instruksi yang diberikan pada mereka. Kadang-
43
43
kadang hal ini disebabkan oleh kegagalan profesional kesehatan dalam
memberikan informasi yang lengkap, penggunaan istilah – istilah medis, dan
memberikan banyak instruksi yang harus diingat oleh pasien dan keluarganya.
Anderson (1986) dalam Niven (2002) dalam penelitiannya tentang
komunikasi dokter dan pasiennya di Hongkong, mendapatkan bahwa keluarga
pasien dan pasien yang rata – rata diberi 18 jenis informasi untuk diingat dalam
setiap konsultasi, hanya mampu mengingat 31% saja. Ketepatan dalam
memberikan informasi secara jelas dan eksplisit terutama sekali penting dalam
pemberian antibiotik, karena seringkali keluarga pasien tidak mengetahui atau
sengaja sepakat dengan pasien menghentikan obat sesudah gejala yang dirasakan
pasien hilang bukan saat obat ini habis (Haynes et al, 1979 dalam Niven,
2002).
Pendekatan praktis untuk meningkatkan kepatuhan keluarga pasien dan
pasien dalam pengobatan ditemukan oleh DiNicola dan DiMatteo (1984) dalam
Niven (2002): (1) Buat instruksi tertulis yang jelas dan mudah diiterpretasikan; (2)
Berikan informasi tentang pengobatan sebelum menjelaskan hal-hal lain. Jika
seseorang diberi suatu daftar tertulis tentang hal-hal yang harus diingat; (3) Maka
akan ada efek keunggulan yaitu mereka berusaha mengingat hal-hal yang pertama
kali tertulis. Efek keunggulan ini telah terbukti mampu menguatkan ingatan
tentang informasi-informasi medis. (Ley,1972 dalam Niven, 2002); (4) Instruksi -
instruksi harus ditulis dengan bahasa umum (non-medis) dan hal - hal penting
perlu ditekankan.
Kualitas interaksi antara profesional kesehatan dan keluarga pasien serta
pasien merupakan bagian yang penting dalam menemukan derajat kepatuhan
(Niven, 2002). Korsch dan Negrete (1972) dalam Niven (2002) telah mengamati
800 kunjungan orangtua dan anak - anaknya ke rumah sakit anak di Los Angeles.
Selama 14 hari mereka mewawancarai ibu - ibu ini untuk memastikan
apakah ibu - ibu ini melaksanakan nasihat - nasihat yang diberikan dokter,
dan mereka menemukan bahwa ada kaitan yang erat antara kepuasan ibu terhadap
konsultasi dengan seberapa jauh mereka mematuhi nasihat dokter; tidak ada
kaitan antara lamanya konsultasi dengan kepuasan ibu.
44
44
Derajat dimana seseorang terisolasi dari pendampingan orang lain, isolasi
sosial, secara negatif berhubungan dengan kepatuhan (Baekeland & Lundwall,
1975 dalam Niven, 2002). Anggota - anggota jaringan sosial individu seringkali
mempengaruhi seseorang dalam mencari pelayanan kesehatan (Niven, 2002).
Keyakinan, Sikap dan Kepribadian menurut Becker et al (1979) dalam
Niven (2002) telah membuat suatu usulan bahwa model keyakinan kesehatan
berguna untuk memperkirakan adanya ketidakpatuhan. Ahli psikologis lain telah
melakukan penyelidikan tentang hubungan antara pengukuran kepribadian dan
kepatuhan. Blumental et al (1982) dalam Niven (2002) melakukan sebuah
penelitian dan didapatkan hasil bahwa orang-orang yang tidak patuh adalah orang-
orang yang lebih mengalami depresi, ansietas, sangat memperhatikan
kesehatannya, memiliki kekuatan ego yang lebih lemah dan yang kehidupan
sosialnya lebih memusatkan perhatian kepada dirinya sendiri. Kekuatan ego yang
lemah ditandai dengan kekurangan dalam hal pengendalian diri sendiri dan
kurangnya penguasaan terhadap lingkungan.
Pemusatan terhadap diri sendiri dalam lingkungan sosial mengukur tentang
bagaimana kenyamanan seseorang berada dalam situasi sosial. Blumenthal et al
(1982) dalam Niven (2002) mengatakan bahwa ciri-ciri kepribadian yang
disebutkan di atas itu yang menyebabkan seseorang cenderung tidak patuh (drop
out) dari program pengobatan. Menurut Notoatmodjo (2003), sikap merupakan
reaksi atau respon yang masih tertutup dari seseorang terhadap suatu stimulus atau
objek. Menurut Newcomb, salah seorang ahli psikologis sosial, menyatakan
bahwa sikap itu merupakan kesiapan atau kesediaan untuk bertindak dan bukan
merupakan pelaksanaan motif tertentu. Sikap belum merupakan suatu tindakan
atau aktivitas, akan tetapi merupakan predisposisi tindakan suatu perilaku.
Motivasi adalah dorongan untuk melakukan hal yang positif bagi dirinya
dan orang lain. Motivasi adalah penggerak tingkah laku ke arah suatu tujuan
dengan didasari adanya suatu kebutuhan yang dapat timbul dari dalam individu
ini , atau dapat diperoleh dari luar dan orang lain atau keluarga (Friedman,
1998 dalam Azwar, 2002).
45
45
Biaya pengobatan adalah besarnya biaya yang dikeluarkan oleh seseorang
untuk melakukan pengobatan penyakit yang dideritanya. Kemampuan seseorang
untuk mengeluarkan biaya pengobatan berbeda–beda. Hal ini dapat dipengaruhi
oleh kemampuan pendapatan ekonomi keluarga. Apabila keadaan ekonomi
keluarga berkecukupan, kemungkinan ia dapat mengeluarkan biaya untuk
pengobatan penyakitnya dibandingkan dengan keadaan ekonomi keluarga yang
serba kekurangan. Kondisi seperti ini dapat mempengaruhi kepatuhan terhadap
program pengobatan yang dijalani.
Efek samping adalah dampak dari obat-obatan yang tidak diinginkan. Efek
samping yang terjadi terus menerus dapat menyebabkan kendala dalam
menjalankan kepatuhan terhadap terapi. Disamping itu, peninjauan sistemik
terhadap semua penelitian yang diterbitkan tentang kepatuhan di negara maju dan
berkembang menemukan adanya persamaan kendala pada kepatuhan yang sangat
jelas dan faktor pendukung kepatuhan yang baik di antara semua orang di seluruh
dunia. Adapun kendala - kendala ini antara lain yaitu lupa memakai obat atau
terlalu sibuk, takut statusnya terungkap, mengganggu kehidupan sehari - hari atau
jauh dari rumah, tidak memahami pengobatan, efek samping yang nyata dan
diduga depresi atau keputusasaan, penggunaan narkoba atau alkohol bersamaan,
dan tidak percaya dengan obat - obatan (Alcorn, 2007).
Dukungan keluarga dapat menjadi faktor yang sangat berpengaruh dalam
menentukan keyakinan dan nilai kesehatan individu serta dapat juga menemukan
tentang program pengobatan yang dapat mereka terima (Niven, 2002). Keluarga
juga memberi dukungan dan membuat keputusan mengenai perawatan dari
anggota keluarga yang sakit (Niven, 2002). Dukungan keluarga penting dalam
kepatuhan terhadap regimen terapeutik pada ODGJ, karena tidak dapat dilepaskan
dalam standar tindakan keperawatan antara intervensi atau implementasi
keperawatan terhadap pasien dan keluarga.
Dukungan keluarga terhadap regimen terapeutik sampai pada tahap
kepatuhan akan secara umum menanggulangi beban keluarga merawat ODGJ.
Beberapa beban keluarga yang mempengaruhi regimen terapeutik selalu ada dan
dalam tingkatan yang berbeda-beda pada setiap keluarga pasien, tetapi dengan
46
46
dukungan keluarga yang optimal serta mencapai kepatuhan yang optimal juga
akan mereduksi beban keluarga ini .
47
47
BAB 3 METODE PENELITIAN
3.1 OBYEK PENELITIAN
Penelitian akan mendeskripsikan dan menganalisis mengenai model
penanganan Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) di Provinsi Banten. Sehingga
dengan upaya penelitian ini, diharapkan dapat mendeskripsikan karakteristik
ODGJ, dapat mengetahui model penanganan, dan dapat mengetahui dan
menganalisis bentuk dan upaya yang harus dilakukan sebagai model penanganan
ODGJ di Provinsi Banten.
Obyek penelitian dalam penelitiaan ini dibedakan berdasar karakterisitik
peran masing-masing stakeholders dalam melakukan penanganan ODGJ, yaitu:
(1) SKPD pelaksana kebijakan dari unsur pemerintah daerah dalam penanganan
ODGJ yaitu Dinas Kesahatan dan Dinas Sosial, (2) Unsur Rumah Sakit Umum
Puskesmas, Klinik dan Pengobatan Teraphy Tradisional yang melaksanakan
pelayanan kesehatan jiwa, (3) Unsur Kelompok warga atau lembaga
swadaya warga (NGo) yang menangani rehabilitasi ODGJ, dan (4) Unsur
Keluarga ODGJ) sebagai pihak yang mendapatkan layanan kesehatan dan
rehabilitasi gangguan jiwa baik yang dilaksanakan oleh pemerintah maupun oleh
warga .
3.2 DESAIN PENELITIAN
Desain penelitian yang dilakukan adalah menggunakan metode penelitian
kualitatif berlandaskan fenomenologi. (Raco & Tanod, 2012), menjelaskan
bahwa; menurut fenomenologi adanya dunia alami atau dunia nyata tidak
disangkal keberadaannya, sejalan dengan aliran rasionalisme, fenomenologi juga
mengakui adanya dunia nyata, hanya saja dunia tidak hanya menghadiri dirinya
sendiri, dunia atau sesuatu dihadirkan atau dikenal lewat orang yang menyadari.
Untuk memperjelas konsep fenomenologi (Magee, 2001), menyatakan
bahwa Husserl menciptakan suatu pendekatan baru, berfilsafat untuk menyelidiki
kesadaran dan objek-objek kesadaran. Pendekatan ini adalah sebuah analisis
sistematik atas pengalaman yang kemudian dikenal sebagai “fenomenologi”
48
48
filsafat Husserl membuka kemungkinan untuk menyelidiki segala sesuatu tentang
yang disebut Husserl sebagai lebenswelt atau “dunia kehidupan”. Maka penelitian
tentang orang gila dirasakan cocok menggunakan pendekatan ini. Adapun
alasannya; Gangguan jiwa adalah sindrom atau pola prilaku yang secara klinis
bermakna yang berkaitan langsung distress (penderitaan) dan menimbulkan
hendaya (disabilitas) pada satu atau lebih fungsi kehidupan manusia. Fungsi jiwa
yang terganggu meliputi fungsi biologis, psikologis, sosial, dan spiritual. Secara
umum gangguan fungsi jiwa yang dialami seseorang individu dapat terlihat dari
penampilan, komunikasi, proses berpikir, interaksi dan aktifitasnya sehari-hari
(www.academia.edu, 2017).
Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) dalam hal ini mereka dalam kondisi
yang benar-benar memperihatinkan. Orang-orang yang selama ini dikategorikan
gila dan tidak waras oleh warga berkeliaran di jalanan dan menjadi obyek
hinaan. Orang-orang gila seringkali dipersepsikan sebagai mereka yang
menyimpang dari mayoritas warga , karena mereka dianggap abnormal.
Terhadap mereka, warga merendahkannya sedemikian rupa terkadang
pemerintah menyingkirkan atau mengasingkan mereka. Fenomena kejiwaan
dalam konteks orang gila merupakan sebuah fenomena di dalam warga oleh
karenanya penelitian kualitatif berbasis fenomenologi dirasakan cocok untuk
menggali fenomena orang gila ini .
Mengenai fenomenologi menurut (Simatupang, 2013), sebuah langkah
sederhana untuk memahami pengertian fenomenologi adalah dengan
menelusurinya secara etimologis, phenomology berakar dari phenomenon
(tunggal, phenomena-jamak) yang berarti kejadian, perwujudan, dan gejala,
dengan demikian menurut akar katanya phenomenology dapat dimengerti sebagai
ilmu tentang kejadian, perwujudan, gejala. Namun, pengertian phenomenology
bukanlah seperti itu. Dalam pandangan fenomenolog, kejadian, perwujudan,
maupun gejala apapun baru dapat menjadi obyek perhatian apabila fenomena
ini dialami manusia. Dengan demikian para pendukung fenomenologi
menggeser obyek kajian dari kejadian, perwujudan atau gejala itu sendiri
sebagaimana adanya menjadi kejadian, perwujudan, gejala sebagaimana dialami
49
49
(experience) di mana manusia menempati posisi sentral bagi penyelidikkan,
sehingga fenomenologi kemudian secara umum dimengerti sebagai kajian ilmiah
tentang pengalaman.
Penggunaan pendekatan kualitatif dalam penelitian ini didasarkan atas
pertimbangan bahwa pendekatan ini relevan dan cocok dengan kasus penelitian
melalui interpretasi dari suatu gejala sosial yang selanjutnya digunakan untuk
membangun pemahaman dan memberikan eksplanasi terhadap fenomena yang
diteliti. Penjelasanya fenomena tentang makna ini dijadikan salah satu
metode dominan dalam penelitian ini, dengan maksud untuk pengungkapan
interpretasi makna dari fenomena model penanganan ODGJ di Provinsi Banten.
3.3 LANGKAH PENELITIAN
Proses pelaksanaan penelitian ini dilakukan menjadi dua tahap. Kedua tahap
penelitian ini berlangsung berkesinambungan sampai perolehan data penelitian
dianggap memadai. Tahap pertama, penelitan dilakukan dengan mengadakan
studi pustaka terhadap berbagai konsep, teori dan hasil penelitian terdahulu yang
relevan dengan penelitian ini. sesudah penelitian tahap pertama dilaksanakan
dengan menghasilkan temuan penelitian, selanjutnya dilakukan penelitian; Tahap
kedua dengan melakukan wawancara kepada subjek penelitian. Proses wawancara
dilakukan dalam rangka merekonstruksi pandangan, pendapat dan opini subjek
terhadap fokus penelitian.
Wawancara dilakukan kepada subjek penelitian secara terbuka namun
tetap mendasarkan pada pedoman wawancara yang telah tersusun secara tentatif.
berdasar wawancara yang dilakukan, maka selanjutnya disusun deskripsi hasil
wawancara ke dalam catatan lapangan wawancara, dibuatkan esensi topik,
pengkodean dan analisis isi topik wawancara pada setiap kegiatan wawancara
yang dilakukan oleh peneliti sepanjang proses penelitian lapangan ini. Selanjutnya
didiskusikan lebih lanjut dengan subjek penelitian sampai ditemukan adanya
konsistensi jawaban terhadap fokus kasus sampai pada taraf jenuh. Disamping
proses wawancara, dilakukan pula kegiatan observasi terhadap suasana, situasi,
dan kondisi lingkungan kegiatan subjek saat wawancara. berdasar tahap kedua
50
50
penelitian ini, diharapkan menghasilkan temuan penelitian tentang konstruksi
pandangan, pendapat dan opini subjek tentang fokus penelitian.
3.4 PENENTUAN INFORMAN SUMBER DATA PENELITIAN
Untuk mendapatkan data kualitatif ditetapkan informan, yakni mereka para
stakeholders yang menagani ODGJ dari unsur pemerintah dan unsur warga
itu sendiri. Menggunakan pendekatan purpossive sample yaitu dengan sengaja
menentukan informan berdasar kapasitas dan karakterisitik peran masing-
masing dalam melakukan penanganan ODGJ di Provinsi Banten.
Informan diperoleh secara langsung dari kunjungan lapangan yang di
lakukan pada: (1) SKPD pelaksana kebijakan dari unsur pemerintah daerah dalam
penanganan ODGJ yaitu Dinas Kesahatan dan Dinas Sosial, (2) Unsur Rumah
Sakit Umum Puskesmas, Klinik dan Pengobatan Terapi Tradisional yang
melaksanakan pelayanan kesehatan jiwa, (3) Unsur Kelompok warga atau
lembaga swadaya warga (NGo) yang menangani rehabilitasi ODGJ, dan (4)
Unsur Keluarga ODGJ) sebagai pihak yang mendapatkan layanan kesehatan dan
rehabilitasi gangguan jiwa baik yang dilaksanakan oleh pemerintah maupun oleh
warga .
Sumber data ini diambil dan dilakukan di empat wilayah kabupaten
dan kota, yaitu Kota Cilegon, Kota Tangsel, Kabupaten Serang dan Kabupaten
Pandeglang. Pemilihan lokasi penelitian itu, secara administrasi merupakan lokasi
yang dipandang menggambarkan karakterisitik warga perkotaan dan
perdesaan. Informan ini dipilih dan ditetapkan tidak berdasar pada
jumlah yang dibutuhkan, melainkan berdasar pertimbangan fungsi dan peran
yang diemban informan sesuai fokus kasus penelitian, sehingga jumlah
informan penelitian ini akan diketahui saat penelitian berlangsung. Kaitan
wawancara terhadap informan, maka peneliti melakukan wawancara dengan
menghubungi informan secara intensif berkenaan dengan fokus kasus
penelitian. Proses wawancara dilakukan secara terbuka.
51
51
Tabel: 3.1 Informan Penelitian
No Informan Unsur
Kategori
Informan
Jumlah
Informan
1 Dinas Kesehatan
Provinsi Banten
Unsur Pelaksana
Kebijakan diingkat
Provinsi
Informan
Kunci
1 orang
2 Dinas Sosial Provinsi
Banten
Unsur Pelaksana
Kebijakan diingkat
Provinsi
Informan
Kunci
1 orang
3 Dinas Kesehatan
Kab/Kota
Unsur Pelaksana
Kebijakan diingkat
Kab/kota
Informan
Tambahan
4 orang
4 Dinas Sosial Kab/Kota Unsur Pelaksana
Kebijakan diingkat
Kab/kota
Informan
Kunci
4 orang
5 RSU, Puskesmas,
Klinik dan Teraphy
Tradisoinal di
Kab/Kota
Unsur pelaksana yang
meyelenggarakan layanan
kesehatan jiwa
Informan
Kunci
4 orang
6 Lembaga Swadaya
(NGo)
Unsur warga yang
memberikan penanganan
dan rehabilitasi ODGJ
Informan
Kunci
4 orang
7 Keluarga ODGJ Unsur penerima manfaat
dari layanan kesehatan
jiwa
Informan
Kunci
4 orang
Total Informan 22 orang
Sumber: Catatan peneliti, 2017
3.5 TEKNIK PENGUMPULAN DATA
Teknik pengumpulan data dan pencatatan data dilakukan dengan cara
observasi partisipasif, wawancara dan dokumentasi. Selanjutnya dilakukan
observasi partisipasif yaitu untuk mengumpulkan data dalam bentuk pengamatan.
Pencatatan dilakukan secara sistematis terhadap fenomena yang ada. Oleh karena
itu, selama di lapangan peneliti melakukan observasi (observation). Adapun
Tahapan-tahapan dalam pengumpulan data antara lain:
52
52
3.5.1 Tahap Orientasi
Peneliti menentukan informan selanjutnya peneliti mendatangi untuk
menjelaskan kehadiran peneliti ditengah-tengah mereka agar mau terbuka, dan
tidak menaruh curiga terhadap peneliti.
3.5.2 Pengamatan
Pengamatan (observation) dilakukan pada masing-masing informan
penyelenggara pelayanan Kesehatan Jiwa di Pemerintah Provinsi dengan cara
mengamati tentang kegiatan yang berkaitan aktivitasnya dalam pelayanan dasar
urusan Kesehatan Jiwa. Pengamatan bermakna bahwa data yang dikumpulkan dari
hasil pengamatan secara langsung secara wajar, asli, spontan dan tidak ada
perekayasaan dalam kurun waktu tertentu sehingga diperoleh data yang cermat,
mendalam, dan rinci. Penyajian data hasil pengamatan dicatat secara ringkas pada
buku catatan lapangan, selanjutnya dikembangkan dalam catatan harian yang
lebih lengkap dengan merangkum hasil pengamatan, dan wawancara secara tidak
langsung. Pada catatan harian juga dituliskan analisis dan refleksi peneliti serta
kesimpulan sementara yang berfungsi mengarahkan pada hari berikutnya.
3.5.3 Wawancara Mendalam
Wawancara (in-depth interview) dengan menggunakan bahasa dan istilah
yang berlaku dalam warga dengan menggunakan pendekatan kekeluargaan,
untuk memahami dan menggali informasi secara mendalam dalam menyimpulkan
keterangan penelitian. Selanjutnya cara melakukan wawancara (interview) dengan
menggunakan pedoman wawancara, sedangkan isi kerangka wawancara
disesuaikan dengan aspek yang dikaji. Hasilnya akan dicatat secara rinci untuk
diidentifikasikan sebagai data lapangan.
Wawancara mendalam adalah pengumpulan data dengan mengajukan
pertanyaan secara langsung terhadap informan yang sudah ditentukan. Namun
wawancara ini bisa saja dilakukan di luar daripada informan yang sudah
ditentukan untuk menambah keakuratan data yang diperlukan. Wawancara
dilakukan dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan untuk menggali keterangan
53
53
yang dibutuhkan dalam mengkonstruksi realita yang ada. Pertanyaan harus dibuat
luwes serta disesuaikan dengan kondisi kebutuhan, sehingga baik peneliti maupun
informan dapat saling memahami.
Materi wawancara mengarah kepada hasil obyektivitas mereka terhadap
kondisi-kondisi kekinian yang tercermin dari pola pemahaman mereka yang
dihubungkan dengan nilai-nilai dan pola perubahan kehidupan yang diketahui atau
yang dipahaminya. Dengan pengamatan secara langsung ke lapangan dan
mewawancarai informan secara mendalam ini juga diarahkan untuk mengungkap
kondisi aktual.
3.5.4 Focus Group Discusion (FGD)
sesudah peneliti memperoleh data dari lapangan, maka selanjutnya peneliti
mendiskusikannya kembali kepada informan berkaitan data yang telah diperoleh,
dan mengklarifikasi apakah data yang disajikan sesuai dengan interpretasi
peneliti. Selain diskusi sederhana dilakukan pula Forum Group Discusion (FGD)
yang dilakukan dengan duduk santai dan tetap sedikit formal, dengan membuka
percakapan berkaitan dengan data-data yang penulis peroleh dilapangan. Diskusi
ini dilakukan pula untuk menambah wawasan dan melengkapi data-data yang
dianggap masih kurang sempurna yang diperoleh di lapangan.
Kemudian menyempurnakan atau melengkapinya kembali. Penulis juga
berdiskusi dengan beberapa pakar yang lebih mengetahui sehubungan dengan
topik penelitian. Para pakar atau pengamat/pemerhati warga , baik para pakar
dari perguruan tinggi yang sesuai dengan spesialisasi bidang ilmunya dan juga
para peneliti terdahulu yang pernah meneliti tentang model penanganan Orang
dengan gangguan jiwa berbasis warga .
3.5.5 Penggunaan Panduan Pertanyaan
Panduan pertanyaan secara tertulis dibutuhkan pula peneliti agar pertanyaan
dapat terarah sesuai apa yang diharapkan, maka peneliti membuat secara garis
besar dalam bentuk poin pertanyaan yang dituangkan dalam lembaran kertas
secara terstruktur yang dirancang dan dibuat sendiri oleh peneliti. Penggunaan
54
54
point pertanyaan secara tertulis, penelitian ini hanya dijadikan sebagai panduan
pada saat wawancara terhadap informan. Panduan pertanyaan hanya sebatas alat
atau cara yang digunakan untuk memandu peneliti mengajukan pertanyaan kepada
setiap informan dengan berdasar pada setiap butir pertanyaan. Panduan
pertanyaan tidak diserahkan kepada informan mengingat sebagian informan tidak
bisa membaca dan memahami setiap point pertanyaan. Sehingga peneliti yang
mengarahkan dan mengembangkan setiap point pertanyaan berkaitan dengan data
yang dibutuhkan untuk kelengkapan penelitian.
3.6 METODE ANALISIS DATA
Dalam penelitian ini, data hasil wawancara dan pengamatan ditulis dalam
suatu catatan lapangan yang terinci, data dari catatan lapangan inilah yang
dianalisis secara kualitatif. Analisis data yaitu proses penyederhanaan data ke
dalam formula yang sederhana dan mudah dibaca serta mudah diinterpretasi,
maksudnya analisis data di sini tidak saja memberikan kemudahan interpretasi,
tetapi mampu memberikan kejelasan makna dari setiap fenomena yang diamati,
sehingga implikasi yang lebih luas dari hasil penelitian dapat dijadikan sebagai
bahan simpulan akhir penelitian Analisa telah dimulai sejak pengumpulan data
dan dilakukan lebih intensif lagi sesudah kembali dari lapangan. Seluruh data yang
tersedia di telaah dan direduksi kemudian diabstraksi sehingga terbentuk suatu
informasi. Satuan informasi inilah yang ditafsirkan dan diolah dalam bentuk hasil
penelitian hingga pada tahap kesimpulan.
3.7 KEABSAHAN DATA
Adapun sifat keabsahan data dilihat dari obyektifitas dalam subyektifitas.
Untuk dapat mendapat data yang obyektif berasal dari unsur subyektifitas obyek
penelitian, yaitu bagaimana menginterpretasikan realitas sosial terhadap fenomena
yang ada. Pandangan subyektivitas menjelaskan perilaku manusia agar dapat
dipahami, oleh karena itu sering disebut studi humanistik. Pengetahuan tidak
memiliki sifat yang obyektif dan sifat yang tetap tetapi selalu berubah-ubah dan
bersifat interpretif. Realitas sosial adalah suatu kondisi yang mudah berubah-ubah
55
55
melalui interaksi manusia dalam kehidupan sehari-hari, fenomena yang ada hanya
bersifat sementara. Dalam hal inilah pandangan obyektif mampu mencari
keabsahan datanya.
berdasar pandangan fenomenologi, bahwa tindakan manusia
memiliki makna dan bertujuan (subyektif) pada tingkat keabsahan data, dan
bersifat obyektif. Menurut Moleong (2004) bahwa adanya unsur kualitas yang
melekat pada obyektivitas, artinya dapat dipercaya, faktual dan dapat dipastikan,
sehingga bertumpu pada pengertian objektivitas-objektivitas, yang artinya adanya
kepastian (cinfermability). Tatkala data yang diambil memiliki tingkatan yang
tinggi, atau telah dianggap sesuai apa yang diperlukan.
Selanjutnya teknik keabsahan data adalah dengan menggunakan teknik
triangulasi, yaitu adanya mengadakan pengecekan kembali terhadap derajat
kepercayaan data yang berasal dari wawancara kemudian membandingkan dari
hasil wawancara yang telah disusun kepada beberapa informan. Adapun
maksudnya adalah agar terdapat kesamaan pandangan, pendapat atau pemikiran
antara peneliti dengan informan. Sebagai hasil pembanding terhadap tulisan yang
telah disusun, selanjutnya keabsahan data dievaluasi melalui referensi berupa tape
recorder, kamera foto, dan perlengkapan lainnya yang dapat memperlancar proses
penelitian.
Untuk lebih mempercayai keakuratan data dalam penelitian ini, dianggap
penting uji derajat kepercayaan. Hal ini penting, karena karakteristik sumber
informasi yang beragam serta substansi informasinya yang relatif abstrak.
Beberapa teknik yang digunakan untuk menentukan kredibilitas data dalam
penelitian kualitatif antara lain: (a) memperpanjang masa observasi; (b)
pengamatan yang terus menerus; (c) triangulasi; (d) membicarakan dengan orang
lain; (e) menganalisis kasus negatif; dan (f) menggunakan bahan referensi.
3.8 LOKASI PENELITIAN
Lokasi penelitian ini dilakukan di wilayah Provinsi Banten, dari 8
Kabupaten/Kota yang ada, maka sub lokus yang ditentukan ada 4 wilayah
Kabupaten/Kota. Empat wilayah Kota/Kabupaten di Provinsi Banten ini
56
56
yang dipandang memiliki karakteristik obyek penelitian berbeda. Karakteristik
penelitian dibedakan pada warga perdesaan dan wilayah perkotaan. Lokasi
pertama adalah yang menggambarakan karakteristik warga perkotaan
dilakukan di Kota Cilegon dan Kota Tanggerang. Kedua adalah karakterisitik
yang menggambarakan warga perdesaan yaitu wilayah Kabupaten
Pandeglang dan Kabupaten Serang.
Pertama, Kota Cilegon merupakan kota yang menjadi pintu perlintasan
mobilitas warga antara Pulau Jawa dan Pulau Sumatera. Selain itu, Kota
Cilegon merupakan wilayah industri yang padat serta banyak area wisata. Selain
itu, Kota Cilegon memiliki kasus penderita ODGJ terbanyak yaitu 2923 jiwa
(Dinkes Provinsi Banten, 2017). Kedua, Kota Tanggerang Selatan (Tangsel). Kota
ini merupakan wilayah kota penyangga Ibukota Negara yaitu DKI Jakarta. Kota
Tangsel ini dinilai mewakili fenomena karakterisitik wilayah warga
perkotaan. Kota ini dipandang memiliki arus mobilitas manusianya cukup
tinggi khusunya dari DKI Jakarta umumnya dari luar wilayah Provinsi Banten
yang masuk ke Banten. Kota Tangsel juga adalah kawasan industri, kawasan
perbelanjaan, wisata dan pemukiman yang padat, yang memungkinkan fenomena
gangguan jiwa cukup tinggi disebabkan akibat kehidupan ekonomi dan kehidupan
sosial yang heterogen, dengan jumlah ODGJ sebanyak 338 jiwa (Dinkes Provinsi
Banten, 2017).
Ketiga, Kabupaten Serang. Wilayah ini merupakan gambaran dari
warga yang sebagain besar perdesaan. Karakterisitik warga perdesaan
bisa dikatakan situasi dan kehidupannya lebih banyak ditandai pada warga
pertanian. Keempat, Kabupaten Pandeglang. Wilayah ini juga menggambarkan
warga perdesaan, dimana situasi sosial ekonomi lebih banyak berhubungan
kondisi pertanian. Selain itu, fenomena kasus pasung Kabupaten Pandeglang
memiliki peringkat tertinggi yaitu sebanyak 27 kasus (Dinkes Provinsi Banten,
2017).
3.9 JADWAL PELAKSANAAN PENELITIAN
Kegiatan ini direncanakan dilaksanakan selama 3 (Tiga) bulan yaitu dari
57
57
bulan Agustus sampai dengan bulan November 2017. Kemudian, tahapan kegiatan
penelitian; pembahasan proposal awal, research design, pengumpulan data
lapangan, dan pembahasan laporan akhir.
Tabel 3.2 Jadwal Rencana Kegiatan
No Uraian
Bulan
Agustus September Oktober
1 Persiapan :
a. Rapat Persiapan
b. Penyusunan Tim
2 Pelaksanaan :
a. Pengumpulan Data
b. Pengolahan Data dan Informasi
c. Penyusunan Laporan I
d. Penyusunan Laporan II
e. Penyusunan Laporan III (akhir)
Evaluasi dilaksanakan tiap bulan dan triwulan
3.10 SUSUNAN TIM PENELITI (Terlampir)
3.11 RENCANA ANGGARAN BIAYA (Terlampir)
58
58
BAB 4 HASIL PENELITIAN
Pembahasan pada bab ini merupakan deskripsi hasil penelitian yang
didukung dari dari beberapa sumber data, baik data sekunder maupun data primer
yang dikumpulkan oleh Tim Peneliti. Data-data yang terhimpun diantaranya
bersumber dari Dinas Sosial Provinsi Banten, Dinas Kesehatan Provinsi Banten.
Selain itu data yang terhimpun didapatakan dari Dinas Sosial dan Kesehatan
Kabupaten/Kota serta beberapa yayasan Panti Sosial yang melakukan penanganan
ODGJ di Provinsi Banten. Data ini dipandang merepresentatifkan
karakterisitik objek penelitian. Pembahasan yang akan diuraikan diantaranya,
Karakterisitik ODGJ, model penanganan ODGJ, kendala penanganan ODGJ, dan
bentuk upaya model penanganan yang seharusnya dilakukan di Provinsi Banten.
4.1 KARAKTERISTIK ODGJ DI BANTEN
4.1.1 Karakterisitik Penyebab ODGJ
Menurut UU No. 18 Tahun 2014, yang dimaksud orang dengan gangguan
jiwa (ODGJ) adalah orang yang mengalami gangguan dalam pikiran, perilaku,
dan perasaan yang termanifestasi dalam bentuk sekumpulan gejala dan/atau
perubahan perilaku yang bermakna, serta dapat menimbulkan penderitaan dan
hambatan dalam menjalankan fungsi orang sebagai manusia. Sementara ODMK
(orang dengan kasus kejiwaan) adalah orang yang memiliki kasus fisik,
mental, sosial, pertumbuhan dan perkembangan, dan/atau kualitas hidup sehingga
memiliki risiko mengalami gangguan jiwa (UU No. 18 Tahun 2014 Pasal (2 dan
3). Karakterisitik ODGJ yang diuraikan adalah sesaui dengan definsi berdasar
UU ini yang dibagi pada dua gangguan kejiwaan, yaitu berdasar
gangguan mental emosional dan gangguan jiwa berat.
1) Gangguan Mental Emosional
Gangguan mental emosional merupakan suatu keadaan yang
mengindikasikan individu mengalami suatu perubahan emosional yang dapat
59
59
berkembang menjadi keadaan patologis apabila terus berlanjut. Gangguan mental
emosional merupakan istilah yang sama dengan distres psikologik. Kondisi
ini merupakan keadaan yang mengindikasikan seseorang sedang mengalami
perubahan psikologis. Berbeda dengan gangguan jiwa berat psikosis dan
skizofrenia, gangguan mental emosional adalah gangguan yang dapat dialami
semua orang pada keadaan tertentu, tetapi dapat pulih seperti semula. Gangguan
ini dapat berlanjut menjadi gangguan yang lebih serius apabila tidak berhasil
ditanggulangi. Perkembangannnya berdasar hasil Riskesdas tahun 2007
menunjukkan prevalensi gangguan mental emosional pada warga berumur ≥
15 tahun bisa dilihat pada tabel berikut:
Tabel 4.1 Prevalensi Gangguan Mental Emosional pada warga Berumur 15
Tahun Ke Atas (berdasar Self Reporting Questionnaire-20)* menurut
Kabupaten/kota di Provinsi Banten, Riskesdas 2007
No Kabupaten/Kota Gangguan Mental Emosional (%)
1 Kabupaten Pandeglang 10,9
2 Kabupaten Lebak 7,1
3 Kabupaten Tangerang 14,6
4 Kabupaten Serang 10,5
5 Kota Tangerang 7,9
6 Kota Cilegon 16,9
Banten 11,5
*Nilai Batas Pisah (Cut off Point) ≥ 6
Sumber: Riskesdas 2007, Kementrian Kesehatan RI
berdasar tabel di atas, diketahui prevalensi gangguan mental emosional
pada warga yang berumur ≥ 15 tahun di Provinsi Banten sebesar (11,5%), hal
ini hampir sama dengan prevalensi nasional (11,6%) di Tahun 2017. Di
antara kabupaten/kota, prevalensi tertinggi di Kabupaten Kota Cilegon (16,9%)
60
60
diikuti Kabupaten Tangerang (14,6%) lebih tinggi dari prevalensi nasional.
Kemudian prevalensi gangguan mental emosional paling rendah adalah
Kabupaten Lebak (7,1%) dan disusul Kota Tangerang sebesar (7,9%).
Tabel 4.2 Prevalensi Gangguan Mental Emosional pada warga
berumur 15 Tahun ke atas di Provinsi Banten, Riskesdas 2007
Sumber: Riskesdas 2007, Kementrian Kesehatan RI
61
61
berdasar tabel di atas, diketahui bahwa prevalensi gangguan mental
emosional meningkat sejalan dengan pertambahan umur. Kelompok yang rentan
mengalami gangguan mental emosional antara lain perempuan, pendidikan
rendah, tidak bekerja, tinggal di desa dan tingkat pengeluaran perkapita rumah
tangga rendah.
Adapun untuk gangguan mental emosional menurut hasil Riskesdas 2013
di mana penilaiannya sama dengan tahun 2007 yang menggunakan kuesioner
serta metode pengumpulan data yang sama pula. Berikut di gambarkan prevalensi
Provinsi Banten pada tabel berikut:
Tabel 4.3 Prevalensi gangguan mental emosional pada warga berumur 15 ke
atas (berdasar self reporting questionnaire-20)* menurut Kabupaten/Kota,
Provinsi Banten 2013
No Kabupaten/Kota Gangguan Mental Emosional (%)
1 Kabupaten Pandeglang 7,8
2 Kabupaten Lebak 0,9
3 Kabupaten Tangerang 6,4
4 Kabupaten Serang 3,5
5 Kota Tangerang 7,5
6 Kota Cilegon 9,6
7 Kota Serang 2,4
8 Kota Tangerang Selatan 1,8
Banten 5,1
*Nilai Batas Pisah (Cut off Point) ≥ 6
Sumber: Riskesdas 2013, Kementrian Kesehatan RI
berdasar tabel ini diketahui, bahwa prevalensi warga yang
mengalami gangguan mental emosional di tingkat Provinsi Banten adalah 5,1%.
Sementara, kabupaten/kota dengan prevalensi gangguan mental emosional
tertinggi adalah Kota Cilegon (9,6%), sedangkan yang terendah di Kabupaten
Lebak (0,9%).
62
62
Gambar 4.1 Prevalensi gangguan mental emosional berdasar karakteristik,
Provinsi Banten 2013
Sumber: Riskesdas 2013, Kementrian Kesehatan RI
berdasar gambar prevalensi gangguan mental emosional berdasar
karakteristik di Provinsi Banten 2013, terlihat bahwa pola prevalensi gangguan
mental emosional sesuai kelompok umur, jenis kelamin, dan pendidikan ART dan
tempat tinggal. Prevalensi gangguan mental emosional di perkotaan lebih tinggi
daripada di perdesaan, lebih banyak terjadi pada perempuan (6,5%) daripada laki-
laki (3,7%) dan kelompok usia > 75 tahun sangat mendominasi angka prevalensi
gangguan mental emosional.
2) Gangguan Jiwa Berat
Gangguan jiwa berat adalah gangguan jiwa yang ditandai oleh
terganggunya kemampuan menilai realitas atau tilikan (insight) yang buruk.
Gejala yang menyertai gangguan ini antara lain berupa halusinasi, ilusi, waham,
gangguan proses pikir, kemampuan berpikir, serta tingkah laku aneh, misalnya
agresivitas atau katatonik. Gangguan jiwa berat dikenal dengan sebutan psikosis
dan salah satu contoh psikosis adalah skizofrenia.
63
63
Pada kategori gangguan jiwa berat ini bisa diindikasikan pada keadaan
atau kategori ODGJ (Orang Dengan Gangguan Jiwa) yaitu orang yang mengalami
gangguan dalam pikiran, perilaku, dan perasaan yang termanifestasi dalam bentuk
sekumpulan gejala dan/atau perubahan perilaku yang bermakna, serta dapat
menimbulkan penderitaan dan hambatan dalam menjalankan fungsi orang sebagai
manusia.
Hasil Riskesdas tahun 2013 di Provinsi Banten dengan indikator kesehatan
jiwa yang dinilai antara lain gangguan jiwa berat, gangguan mental emosional
serta cakupan pengobatannya. Berikut perkembangan prevalensi gangguan jiwa
berat menurut kabupaten/kota di Provinsi Banten Tahun 2013:
Tabel 4.4 Prevalensi gangguan jiwa berat menurut kabupaten/kota,
Provinsi Banten 2013
No Kabupaten/Kota
Gangguan Jiwa Berat
(psikosis/skizofrenia) (per mil)
1 Kabupaten Pandeglang 0,7
2 Kabupaten Lebak 0,6
3 Kabupaten Tangerang 0,8
4 Kabupaten Serang 0,3
5 Kota Tangerang 2,3
6 Kota Cilegon 1,7
7 Kota Serang 1,9
8 Kota Tangerang Selatan 1,0
Banten 1,1
Sumber: Riskesdas 2013, Kementrian Kesehatan RI
berdasar tabel ini diketahui, bahwa prevalensi gangguan jiwa
berat di Banten sebesar 1,1 permil masih di bawah prevalensi gangguan jiwa berat
nasional (1,7‰). Terlihat bahwa prevalensi psikosis tertinggi di Kota Tangerang
sebesar 2,3 permil, sedangkan yang terendah di Kabupaten Serang(0,3‰). Berikut
ini prevalansi gangguan jiwa berat (psikosis/skizofrenia) per mil dalam bentuk
Gambar Grafik:
64
64
Gambar 4.2 Riskesdas Provinsi Banten Thn 2013 Prevalensi
Gangguan Jiwa Berat (Psikosis/ Skizofrenia) per mil
Sumber: Riskesdas 2013, Kementrian Kesehatan RI
Tabel 4.5 Proporsi gangguan jiwa berat menurut karakteristik,
di Provinsi Banten 2013
Sumber: Riskesdas 2013, Kementerian Kesehatan RI
Proporsi rumah tangga yang pernah memasung anggotanya yang
mengalami gangguan jiwa berat sebesar 10,3 persen dan terbanyak di perdesaan.
Rumah tangga yang melakukan tindakan pemasungan terbanyak pada kelompok
kuintil indeks kepemilikan terbawah. Proporsi rumah tangga yang pernah
melakukan pemasungan terhadap ART dengan gangguan jiwa berat. Metode
pemasungan tidak terbatas pada pemasungan secara tradisional (menggunakan
kayu atau rantai pada kaki), tetapi termasuk tindakan pengekangan lain yang
0
0,5
1
1,5
2
2,5
Kab Pandeglang
Kab. Lebak
Kab. Tangerang
Kab. Serang
Kota Tangerang
Kota Cilegon
Kota Serang
Kota Tangerang Selatan
BANTEN
0,7
0,6
0,8
0,3 2,3
1,7
1,9
1
1,1
Kab/ Kota
65
65
membatasi gerak, pengisolasian, termasuk mengurung, dan penelantaran yang
menyertai salah satu metode pemasungan.
Faktor penyebab gangguan jiwa terkategori umum dari mulai faktor
predisposisi yang meliputi: biologis, psikologis, sosial, ekonomi, dan budaya.
Terjadi secara komplek, tidak berdiri sendiri. Kecuali pencetusnya atau faktor
presipitasi yang hanya sebagai pemantik tunggal terjadinya gangguan jiwa. ODGJ
di Provinsi Banten ini memiliki beragam penyebab serta pencetusnya.
Secara genetik, penyebab gangguan jiwa muncul dikarenakan oleh
beberapa macam hal seperti infeksi virus saat masa kehamilan yang dapat menjadi
pengganggu perkembangan otak pada janin. Kekurangan gizi pada masa – masa
trimester kehamilan, ibu hamil yang mengalami trauma, kelainan hormonal atau
adanya komplikasi kandungan dan toksin atau racun. Ditemukan lagi jika ada
janin yang memiliki gen abnormal tidak beresiko terjangkit gangguan jiwa kecuali
disertai oleh beberapa faktor pendukung terjadinya gangguan jiwa kelak di
kemudian hari.
Apabila seseorang yang memiliki beberapa macam faktor penyebab
gangguan jiwa mengalami depresi atau stres yang emosional di dalam dirinya dan
kehidupan sehari–hari, maka akan memiliki resiko mengalami gangguan jiwa
lebih besar daripada orang yang sebelumnya tidak memiliki beberapa macam
faktor disebutkan.
Selain faktor genetik, penyebab terjadinya gangguan jiwa dapat
disebabkan oleh beberapa kasus dalam kehidupan atau lingkungan sehari-hari.
Seperti karena kasus ekonomi atau menderita penyakit kronis seseorang akan
dapat beresiko mengalami gangguan kejiwaan. Contohnya seseorang yang
mengalami depresi karena tidak cukup makan dan tidur, sehingga membuat daya
tahan menjadi menurun dan dapat mengalami gangguan fisik atau penyakit fisik.
Namun, apabila seseorang menderita penyakit fisik kronis misalnya kanker atau
tumor juga dapat mengalami penurunan psikologi dan berujung pada depresi
berat. Depresi berat inilah yang dapat beresiko mengalami gangguan jiwa. Hal ini
dapat terjadi pada aksi bullying atau pem-bully-an terhadap sesama teman atau
orang lainnya yang dianggap tidak pantas untuk berteman atau sejajar dengan
66
66
mereka. Apabila hal ini berlangsung secara terus menerus maka akan dapat
mengakibatkan depresi pada si anak yang di bully tadi. Selain gangguan jiwa, bisa
jadi si anak tadi bisa melakukan tindakan kriminal seperti pembunuhan terhadap
seseorang yang sering mem-bully dirinya. Jadi, bully itu tidak diperkenankan dan
seharusnya tidak dilakukan karena dapat menyebabkan gangguan psikis, terlebih
lagi dapat menimbulkan penyimpangan kejiwaan.
Penyebab terjadinya ODGJ di Banten disebabkan oleh beberapa faktor
yang tidak berdiri sendiri sebagai satu penyebab saja, namun sebagai pencetus
lebih banyak dilatarbelakangi oleh gangguan psikologis dan sosiologis. Kondisi
ekonomi dan kemiskinan menjadi sangat dominan, seperti kutipan wawancara
berikut:
“Peneyebab ODGJ sebenarnya di wilayah kita ini lebih banyak disebabkan
oleh faktor psikis dan sosiologis, serta jarang disebabkan oleh faktor
genetis. Fokator ekonomi dan kemiskinan menjadi sangat dominan, karena
rata-rata mereka yang mengalami gangguan jiwa dari mereka keluarga
yang ekonominya kurang berkecukupan, sehingga mereka kesulitan untuk
membawa ke dokter dengan alasan tidak ada biaya. Beberapa kasus
pemasugan mereka dari kelompok keluarga ODGJ yang tidak mampu
Seperti ada di Daerah Pandeglang, ada seorang anak yang mengalami
gangguan kejiwaan diakibatkan karena ingin dibelikan motor, namun tidak
terturuti oleh orang tuanya” (wawancara Dinas Kesehatan Kabupaten
Pandeglang, 2017).
berdasar pernyataan di atas diketahui, bahwa faktor penyabab ODGJ
di Banten lebih banyak disebabkan oleh faktor psikologis dan sosiologis.
Kemudian faktor ekonomi membuat mereka mengalami gangguan jiwa. Sehingga
dalam penanganan untuk penyembuhannya pun sulit dilakukan oleh keluarga
ODGJ, karena keterbatasan biaya. Artinya, faktor didikan dalam keluarga dan
interaksi pada lingkungan disini cukup mempengaruhi munculnya ODGJ. Ada
juga kasus ODGJ di Kabupaten Serang, mengalami kondisi retardasi mental yang
disertai gangguan jiwa.
4.1.2 Karakterisitik Jumlah dan Sebaran ODGJ di Banten
Data angka kejadian gangguan jiwa di Provinsi Banten menurut Riskesdas
Kemenkes (2007) sebesar 2 permil atau ada dua warga dari 1000 warga
67
67
yang mengalami gangguan jiwa, hal ini berdasar estimasi dengan jumlah
warga Provinsi Banten 10.632.166 orang (BPS, 2010) maka dimungkinkan
21.264 orang warga mengalami gangguan jiwa. Sedangkan data hasil
Riskesdas Kemenkes (2013), menunjukan 1 dari 17 warga di Banten memiliki
gangguan mental emosional (anxietas dan depresi) serta sekitar 13.200 warga
di Banten memiliki gangguan jiwa berat (psikotik).
Jumlah dan sebaran ODGJ berdasar laporan data kasus jiwa per
kabupaten/kota pada periode Januari-Juli 2017 dari Dinas Kesehatan Provinsi
Banten (2017). Jumlah ODMK di Banten mencapai dari 5732 kasus dan data
ODGJ mencapai 4881 kasus. Berikut tabel ODMK dan ODGJ secara rinci tahun
2017:
Tabel 4.6 Laporan Data Kasus Jiwa Kabupaten/Kota
di Provinsi Banten Tahun 2017
No Nama Kab/Kota ODMK ODGJ
1 Kab. Serang 228 208
2 Kab. Tangerang 460 244
3 Kab. Pandeglang 580 576
4 Kab. Lebak 758 324
5 Kota Cilegon 2950 2923
6 Kota Tangerang 157 147
7 Kota Serang 241 121
8 Kota Tangsel 358 338
Provinsi 5732 4881
Sumber: Dinkes Provinsi Banten (2017)
berdasar data tabel laporan kasus Jiwa per kabupaten/kota di Provinsi
Banten tahun 2017 di atas, dapat dikethaui bahwa jumlah ODMK terbanyak ada di
Kota Cilegon dengan jumlah sebanyak 2950 jiwa. Selin itu juga, jumlah ODGJ
terbanyak masih di Kota Cilegon dengan yaitu sebanyak 4881 jiwa. Adapun
jumlah yang paling sedikit ODMK dan ODGJ ada di Kota Tangerang yaitu
jumlah ODMK sebayak 157 jiwa dan ODGJ sebanyak 147 jiwa.
68
68
Tabel 4.7 Kasus Pasien ODGJ Yang Dilaporakan berdasar Kab/Kota di
Provinsi Banten Tahun 2014 – 2017
No Nama Kab/Kota
Tahun
2014 2015 2016 2017
1 Kab. Serang 55 65 915 208
2 Kab. Tangerang 1 6 659 460
3 Kab. Pandeglang 0 82 15 576
4 Kab. Lebak 19 10 16 758
5 Kota Cilegon 0 0 8 2923
6 Kota Tangerang 0 0 2 147
7 Kota Serang 13 26 91 241
8 Kota Tangsel 0 0 0 338
Jumlah 88 189 1706 5651
Sumber: Dinkes Provinsi Banten (2017)
berdasar data Dinas Kesehatan Provinsi Banten (2017), diketahui
bahwa perkembangan ODGJ di Provinsi dari data kasus pasien yang dilaporkan
tercatat tahun 2014 hingga tahun 2017 terus mengalami peningkatan. Dari rentang
waktu selama empat tahun ini jumlah cukup siginifikan yaitu sebanyak 5651
ODGJ. Hal ini sudah menghawatikan, dan bisa menjadi bencana untuk
kesehatan jiwa warga Banten.
Keberadaan ODGJ di Provinsi Banten bisa dikategorikan pada dua jenis
berdasar penanganannya. Pertama ODGJ yang masih ditangani oleh
keluarganya dan kedua yaitu ODGJ yang sudah terlepas dari keluarganya yang
keberadaanya terlantar hidup berkeliaran tidak terurus. Jumlah kasus pasien
ODGJ yang ditangani berdasar kab/kota di Provinsi Banten dari Tahun 2014
hingga Tahun 2017, berikut rinciannya pada tabel berikut:
69
69
Tabel 4.8 Kasus Pasien ODGJ Yang Ditangani berdasar Kab/Kota di Provinsi
Banten Tahun 2014 – 2017
No Nama Kab/Kota
Tahun
2014 2015 2016 2017
1 Kab. Serang 51 65 29 208
2 Kab. Tangerang 0 0 659 244
3 Kab. Pandeglang 0 82 15 576
4 Kab. Lebak 19 8 16 324
5 Kota Cilegon 0 0 8 2923
6 Kota Tangerang 0 0 2 147
7 Kota Serang 13 26 91 121
8 Kota Tangsel 0 0 0 338
Jumlah 83 181 820 4881
Sumber: Dinkes Provinsi Banten (2017)
berdasar data Dinas Kesehatan Provinsi Banten (2017), tercatat hingga
Tahun 2017, bahwa ODGJ yang sudah tertangani berjumlah 4881 jiwa. Artinya
dari jumlah pasien ODGJ yang dilaporkan sebanyak 5651 jiwa, masih ada 770
jiwa ODGJ yang terlantar dan masih berkeliaran di warga pada tempat-
tempat umum. Kondisi ini butuh penanganan ODGJ secara menyeluruh
dengan semua lembaga baik lembaga pemerintah maupun lembaga warga .
Kasus pasien ODGJ dari catatan Dinas Kesehatan Provinsi Banten
jumlahnya pada tahun 2017 lebih sedikit, yaitu hanya ada 23 pasien ODGJ yang
sudah dilepas dari pasungan. Jumlah pasien ini dinyatakan dari catatan
keluarga keluarga ODGJ yang melaporkan kepada pemerintah. Artinya
kepedulian warga dalam memberikan informasi perkembangan ODGJ yang
berkoordinasi dengan pemerintah masih dipandang kurang. Sehingga hal ini
perlu menjadi perhatian agar lebih sinergis antar warga dan pemerintah
daerah. Berikut data kasus pasien ODGJ yang dilepas:
70
70
Tabel 4.9 Kasus Pasien ODGJ Yang Dilepas dari pasungan berdasar Kab/Kota
di Provinsi Banten Tahun 2016 – 2017
No Nama Kab/Kota
Tahun
2016 2017
1
Kab. Serang 14 3
2
Kab. Tangerang 0 9
3
Kab. Pandeglang 2 8
4
Kab. Lebak 3 1
5
Kota Cilegon 4 0
6
Kota Tangerang 0 0
7
Kota Serang 2 2
8
Kota Tangsel 0 0
Jumlah 25 23
Sumber: Dinkes Provinsi Banten (2017)
Keberadaan ODGJ kerap menganggu ketertiban warga , dengan
alasan sudah tidak mampuh lagi merawat pasien ODGJ, keluarga pasien banyak
yang melepasnya begitu saja, atau pasiennya sendiri lepas saat dari rumah dan
tidak ditemukan keberadaannya oleh keluarga pasien ODGJ. Metode pasung
menjadi salah satu pilihan warga untuk mengendalikan pasien ODGJ,
sehingga keberadaan ODGJ banyak yang diperlakukan di pasung untuk
menghindari meresahkan warga sekitar.
Timbulnya berbagai kasus pemasungan yang terjadi terhadap ODGJ
disebabkan karena kurangnya pemahaman dari lingkungan warga dalam
menangani adanya fenomena ini . Tindakan pemasungan pada ODGJ
seharunya tidak terjadi, hal ini karena bagaimana ODGJ merupakan warga
negara yang mesti diakomodir pemerintah dan memiliki hak yang sama seperti
manusia normal pada umumnya. Berikut tabel kasus pasien ODGJ yang dipasung
berdasar kab/kota di Provinsi Banten Tahun 2017:
71
71
Tabel 4.10 Kasus Pasien ODGJ Yang Dipasung berdasar Kab/Kota
di Provinsi Banten Tahun 2017
No Nama Kab/Kota ODGJ Dipasung
1 Kab. Serang 21
2 Kab. Tangerang 8
3 Kab. Pandeglang 27
4 Kab. Lebak 27
5 Kota Cilegon 9
6 Kota Tangerang 0
7 Kota Serang 9
8 Kota Tangsel 0
Jumlah 101
Sumber: Dinkes Provinsi Banten (2017)
berdasar data Dinas Kesehatan Provinsi Banten (2017), bahwa kasus
pasien ODGJ yang masih dipasung masih ada 101 pasien ODGJ, di mana jumlah
pasung terbanyak ada di Kabupaten Pandeglang 27 pasien dan Kabupaten
Pandeglang sebanyak 27 pasien. Selain itu juga kasus pasung di Kabupaten
Serang sebanyak 21 pasien, Kabupaten Tangerang 8 pasien dan Kota Cilegon
sebanyak 9 pasien. Adapun Kota Tangerang dan Kota Tangsel tercatat 0 (tidak
ada kasus pemasungan).
Upaya Pemprov Banten melalui Dinas Kesehatan (Dinkes) mencanangkan
program Banten Bebas Pasung 2019, perlu usaha yang berkelanjutan dan serius.
Hal ini , karena masih banyak ODGJ yang terpaksa harus dipasung oleh
keluarganya. Pemasungan terhadap anggota keluarga yang mengalami gangguan
jiwa, ditemukan lebih banyak di daerah pelosok, karena alasan mengganggu dan
mengancam keselamatan orang lain dan menganggap dengan adanya ODGJ
adalah aib yang harus ditutup rapat oleh keluarga.
72
72
4.1.3 Karakterisitik Perilaku Kesehatan Keluarga ODGJ dan warga
Sekitar
Faktor pengetahuan dan sikap keluarga serta warga sekitar terhadap
ODGJ berkembang secara umum masih banyak hal yang keliru. Hal ini
terkait dengan tahu, mau, dan mampu terhadap kesehatan jiwa. Upaya-upaya
kesehatan jiwa yang berkembang dikeluarga dan warga adalah upaya yang
masih berdasar latar belakang tradisi dan sistem nilai atau kepercayaan yang
cenderung turun temurun. Menjadi positif bila tata nilai ini sangat berkaitan
dan logis sebagai suatu upaya yang tepat. Namun demikian ternyata justru hal-hal
yang muncul menjadi suatu hal negatif karena ketidaktahuan terhadap gangguan
jiwa sampai perlakuan terhadap ODGJ.
Pengetahuan yang rendah terhadap gangguan jiwa serta berkembangnya
tata nilai bahkan menjadi tradisi yang buruk. Selanjutnya melahirkan mitos di
dalam warga terkait gangguan jiwa, dimana gangguan jiwa tidak bisa
sembuh, tidak bisa stabil dan tidak dapat diramalkan kondisinya dan kejadiannya,
bisa mungkin berbahaya, dan gangguan jiwa sebagai kutukan dan hukuman. Lebih
lanjut muncul stigma dalam warga terhadap ODGJ serta diskriminasi sosial
secara meluas.
Semua kondisi di atas diperkuat dengan tingkat pendidikan warga
yang rendah, seiring dengan faktor sosial dan ekonomi yang rendah juga. Hal ini
terangkai dalam lingkaran setan dengan kemiskinan. Sehingga gangguan jiwa dan
kemiskinan menjadi satu kondisi yang semakin ironis yang harus dicegah lebih
dini dalam perkembangan warga .
Hal ini di atas sebagai karakteristik penting perilaku kesehatan dari
keluarga dengan ODGJ seiring pendapat beberapa partisipan terkait kondisi
karakteristik ini . Secara umum dinyatakan bahwa karakteristik perilaku
kesehatan keluarga ODGJ dan warga sekitarnya cenderung memiliki
pengetahuan yang rendah, sosial ekonomi dan tingkat pendidikan rendah serta
memiliki tata nilai yang negatif terhadap ODGJ.
73
73
4.2 MODEL PENANGANAN ODGJ DI BANTEN
4.2.1 Model Penanganan ODGJ yang dilakukan Pemerintah
Secara umum Kementerian Kesehatan memiliki program penanganan
sesuai arah pembangunan kesehatan pada RPJMN III 2015-2019, dengan arah
pengembangan upaya kesehatan, dari kuratif dan rehabilitatif bergerak ke arah
promotif dan preventif sesuai kondisi dan kebutuhan, melalui visi warga
sehat yang mandiri dan berkeadilan. Kebijakan penanggulangan ODGJ
difokuskan pada penguatan layanan primer dengan indikator strategis dan
indikator kinerja yang sudah sangat jelas.
Pelayanan kesehatan jiwa dituangkan dari Kemenkes ke dalam kebijakan
pelayanan kesehatan jiwa di fasilitas kesehatan dasar di bawah Direktorat
Kesehatan Jiwa dan Napza. Kebijakan ini berdasar kepada landasan
hukum terkait pelayanan kesehatan jiwa di fasilitas kesehatan dasar berdasar
Undang-Undang No.36 Tahun 2009 tentang kesehatan pasal 144, 246, dan 147
mengenai layanan kesehatan jiwa. Diperkuat dengan Undang-undang No.18
Tahun 2014 tentang kesehatan jiwa pada pasal 33 dan 34. Pelayanan utama pada
level ini termasuk; (1) Identifikasi dini gangguan jiwa; (2) Penatalaksanaan
gangguan jiwa yang umum terjadi di warga ; (3) Menjaga kestabilan kondisi
pasien gangguan jiwa; (4) Melaksanakan rujukan; (5) Perhatian terhadap
kebutuhan kesehatan jiwa bagi pasien gangguan fisik; (6) Promosi kesehatan jiwa
dan prevensi gangguan jiwa. Kebijakan pemerintah pusat di bawah Kemenkes
ini di atas ternyata belum sepenuhnya bisa dilaksanakan di tingkat daerah.
Seperti halnya terjadi di Provinsi Banten, langkah ini baru ditindak lanjuti
dengan Keputusan Gubernur Provinsi Banten tentang Pembentukan Tim Pengarah
Kesehatan Jiwa warga (TPKJM) Tingkat Provinsi Baanten.
“Dalam rangka penanganan ODGJ di Provinsi Banten, Dinkes Provinsi
Banten sudah menginisiasi keputusan Gubernur tentang TPKJM Nomor
441.3.05/Kep. 224-Huk/2016 pada tahun 2016 lalu tetapi pada
pelaksanaanya belum berjalan dengan baik, tetapi pada upaya penanganan
yang lain Dinkes Banten sudah berupaya melalui pengiriman diklat
penanganan ODGJ untuk tenaga dokter dan perawat perwakilan
74
74
kabupaten/kota se Provinsi Banten.” (Wawancara Informan Dinas
Kesehatan Provinsi Banten, 2017).
berdasar pernyataan ini , diketahui bahwa Dinas Kesehatan
Provinsi Banten sampai saat ini belum ada penanganan secara khusus untuk
ODGJ, hal ini dikarenakan terbatasnya sumberdaya yang dimiliki, baik dari
segi fasilitas maupun kompetensi tenaga kesehatannya. Sampai saat ini
penanganan ODGJ masih bersifat berbaur dengan layanan kesehatan umum, baik
di rumah sakit maupun Puskesmas. Hal ini menjadi kendala tersendiri
bagaimana mensinkronkan antara kebijakan kementerian kesehatan dengan
kebijakan daerah.
Penanganan di tingkat Kabupaten/Kota di Provinsi Banten sampai saat
belum ada penanganan secara khusus untuk ODGJ. Namun, hanya melakukan
sosialisasi pada tingkat Puskesmas dan pemberian obat pada ODGJ. Hal ini
disampaikan karena keterbatasan potensi sumberdaya yang dimiliki (fasilitas dan
tenaga kesehatan). Hal ini seperti disampaikan informan sebagai berikut:
“Penanganan ODGJ di Kota Serang sampai saat ini terbatas pada
sosialisasi untuk penanganan ODGJ ke tiap-tiap Puskesmas, memberikan
pelatihan pada tenaga medis dan melalui pengadaan obat. Belum pada
penanganan yang bersifat serius, semua ini terbentur pada kondisi
penganggaran dan fasilitasi ODGJ itu sendiri, sehingga kondisi ini belum
menjadi perkasus an bersama.” (Wawancara Dinas Kesehatan Kota
Serang, 2017).
Program pelayanan kesehatan jiwa oleh pemerintah di bawah Kemenkes
dengan kebijakan pelayanan kesehatan jiwa pada tatanan pelayanan dasar. Ada
tujuh alasan penting pelayanan kesehatan jiwa di fasilitas pelayanan kesehatan
dasar, antara lain; (1) Beban akibat gangguan jiwa sangat besar; (2) kasus
kesehatan jiwa dan kesehatan fisik saling terkait dan mempengaruhi; (3)
Kesenjangan pengobatan pada kasus kesehatan jiwa sangat besar; (4) Pelayanan
kesehatan jiwa di puskesmas meningkatkan akses maasyarakat dalam
mendapatkan kebutuhan akan pelayanan kesehatan jiwa; (5) Pelayanan kesehatan
jiwa di puskesmas meningkatkan rasa menghargai terhadap hak asasi manusia; (6)
75
75
Pelayanan kesehatan jiwa di puskesmas terjangkau secara ekonomi oleh
warga ; (7) Pelayanan kesehatan jiwa di puskesmas menghasilkan outcome
kesehatan secara umum yang lebih baik (WHO&Wonca, Integrating MH Into
Primary Care, 2008).
Gambar 4.3
Piramida Organisasi WHO untuk
Pelayanan Kesehatan Jiwa Komprehensif
berdasar gambar ini , maka dapat dinyatakan bahwa pelayanan
kesehatan jiwa pada tatanan pelayanan fasilitas kesehatan dasar menjadi alternatif
utama kebijakan Kemenkes karena memiliki skala pemenuhan kebutuhan dasar
pada ODGJ yang tinggi dengan penekanan biaya yang bisa lebih rendah. Lebih
lanjut ada sepuluh prinsip pelayanan kesehatan jiwa di fasilitas pelayanan
kesehatan dasar; (1) Kebijakan dan program yang mendukung; (2) Advokasi
kepada pemangku kebijakan untuk mengubah sikap, perilaku dan komitmen
terhadap kesehatan jiwa; (3) Pelatihan tenaga kesehatan puskesmas yang adekuat;
(4) Pelayanan kesehatan jiwa di puskesmas bersifat terbatas dan dapat
dilaksanakan; (5) Psikiater dan tenaga professional kesehatan jiwa lainnya harus
tersedia untuk mendukung pelayanan di puskesmas; (6) Obat-obatan yang
dibutuhkan harus tersedia di puskesmas; (7) Integrasi kesehatan jiwa ke dalam
upaya kesehatan pada umumnya merupakan suatu proses yang berkelanjutan; (8)
76
76
Koordinator dalam pelayanan kesehatan jiwa; (9) Kolaborasi dengan pihak-pihak
lain, seperti sektor pemerintahan non-kesehatan, LSM, tenaga kesehatan di
warga serta para relawan; (10) Sumber daya manusia (SDM) dan dana yang
mendukung (WHO&Wonca, Integrating MH Into Primary Care, 2008). Sehingga
program pelayanan kesehatan jiwa yang berbasis ketahanan keluarga dan
warga menjadi sangat penting.
Program selanjutnya adalah program bebas pasung dengan pencanangan
negarakita Bebas Pasung tahun 2019, dengan dasar hukum UU No. 18 tahun 2014
tentang kesehatan jiwa pada pasal 86. Perpres No.75 tahun 2015 tentang RAN-
HAM 2015-2019 dengan indikator; (1) Jumlah temuan kasus pasung yang
diberikan layanan kesehatan; (2) Jumlah kabupaten/kota yang memiliki
puskesmas dengan layanan kesehatan jiwa; (3) Jumlah Provinsi yang
melaksanakan program bebas pasung. Serta UU No.8 tahun 2016 tentang
penyandang disabilitas pada pasal 68 dan pasal 72 terkait kewajiban pemerintah
daerah untuk menyelenggarakan pelatihan tenaga kesehatan agar mampu
memberikan pelayanan kesehatan kepada penyandang disabilitas serta tindakan
yang sesuai standar dalam pelayanan kesehatan kepada penyandang disabilitas.
Program bebas pasung ini pada awal peluncuran programnya cukup memberikan
kontribusi yang kuat dalam upaya penanganan ODGJ yang direspon positif
diberbagai daerah.
Kementerian kesehatan masih fokus pada ODGJ dengan sasaran ODGJ
yang memiliki keluarga sebagai penanggungjawab dan care giver-nya belum
menelusur kepada ODGJ terlantar sebagaimana bidang kajian di dinas sosial. Di
Provinsi Banten, penanganan ODGJ secara sosial yang ditangani Dinas Sosial
Provinsi Banten belum sfesifik ditangani secara khusus. Penanganan ODGJ masih
disatukan dan bercampur dengan kasus napza dan masuk pada kategori
rehabilitasi sosial. Penanganan diarahkan lebih kepada keterlantaran dari ODGJ
yang berkeliaran lepas dari keluarganya, sehingga kerap mengganggu ketertiban
warga , berikut kutipan wawancara informannya:
“Secara khusus model penanganan ODGJ dari aspek sosisal belum
berjalan dengan baik, karena dari aspek pembiayaan masih belum ada
77
77
alokasi khusus untuk penanganan ODGJ, menurut struktur kewenangan di
Dinsos Provinsi Banten kasus ODGJ masih belum secara khusus di
tangani karena kasus ODGJ masuk pada bidang rehabilitasi Sosisal
yang di dalamnya menangani juga kasus napza dan sebagainya.”
(wawancara Informan Dinas Sosial Provinsi Banten, 2017).
Sementara itu Dinas Sosial Provinsi Banten melakukan penanganan
terhadap ODGJ dengan melakukan identifikasi identitas penderita dan tingkat
keparahan ODGJ. Apabila sesudah dilakukannya identifikasi, ODGJ masih
memiliki keluarga, maka akan diantarkan ke keluarganya, namun apabila identitas
ODGJ sulit untuk diidentifikasi, akan diantarkan ke panti rehabilitasi warga
untuk ditangani secara intensif, kategori bagi ODGJ tanpa identitas digolongkan
oleh Dinas Sosial Provinsi Banten sebagai ODGJ Ketelantaran. Dinas Sosial
Provinsi Banten sejauh ini bertanggung jawab menangani ODGJ ketelantaran dan
ODGJ yang sudah sembuh (eks ODGJ).
Sesuai dengan penyampaian Dinas Sosial Provinsi Banten, di tingkat
Kabupaten/Kota juga penanganan dari segi sosial tidak ada penanganan secara
khusus, seperti disampaikan oleh Dinas Sosial Kabupaten Lebak dan Pandeglang
yang menyatakan bahwa tidak ada penanganan secara khusus untuk ODGJ,
dikarenakan terbentur oleh tugas pokok dan fungsi instansi yang mengharuskan
menangani warga dalam ketelantaran, dalam hal ini ketelantaran yang
dimaksud adalah gelandangan, pengemis dan anak terlantar. Sampai saat ini Dinas
Sosial tingkat Kabupaten/Kota cenderung lebih kepada penanganan ODGJ yang
dianggap membahayakan, seperti contoh kasus yang terjadi di Lebak, terdapat
lima kasus ODGJ yang diantarkan pihak kepolisian setempat kepada Dinas Sosial
Kabupaten Lebak selama kurun waktu Januari sampai dengan September 2017
karena dianggap meresahkan. Namun dikarenakan Lebak tidak memiliki tempat
perawatan/penanganan ODGJ yang memadai, maka ODGJ yang ditangani dibawa
ke Bani Syifa Pamarayan Kabupaten Serang.
Pemerintah Provinsi Banten, melalui Dinas Sosial dan Dinas Kesehatan
belum melakukan upaya dalam penanganan ODGJ secara intensif. Program
pemerintah tingkat Provinsi Banten saat ini masih berorientasi pada sosialisasi
78
78
bebas pasung. Program-program lain yang bersifat serius dalam menangani ODGJ
belum ada meskipun sudah ada Keputusan Gubernur tentang Tim Pengarah
Kesehatan Jiwa warga (TPKJM).
“Sampai saat ini belum ada program khusus dari Provinsi Banten, namun
yang dilakukan sampai saat ini adalah pembebasan pemasungan.”
(Wawancara Informan Dinas Sosial Provinsi Banten, 2017)
Program-program yang terlaksana selain pembebasan pasung pada
warga untuk ODGJ, pemerintah Provinsi Banten melalui Dinas Kesehatan
melakukan pelatihan kepada tenaga kesehatan. Dari pelatihan ini kemudian
menghasilkan tenaga kesehatan, mulai dari dokter dan perawat yang memiliki
kompetensi dasar dalam melakukan pelayanan medis terhadap ODGJ. Berikut
diungkapkan Informan Dinkes Provinsi Banten:
“Terdapat pembinaan pelayanan kesehatan jiwa yang terdapat banyak
kasus, terdapat 5 titik yang sudah dilakukan, yaitu Menes, Cigeulis,
Suradita (Kab Tangerang), Keragilan, Jiput, Prabugantungan Lebak. 5
Puskesmas ini mengajukan permohonan kemudian ditindaklanjuti
dengan mengirimkan dokter spesialis.” (Wawancara Informan Dinkes
Provinsi Banten, 2017)
berdasar ungkapan ini , bahwa pioritas dalam menyiapkan tenaga
kesehatan dilakukan untuk pembinaan pelayanan kesehatan jiwa memiliki banyak
kasus, paling tidak terdapat lima titik pembinaan yang sudah dilakukan, yaitu
Menes, Cigeulis, Suradita (Kabupaten Tangerang), Kragilan, Jiput,
Prabugantungan Kabupaten Lebak. Lima Puskesmas ini mengajukan
permohonan kemudian ditindaklanjuti dengan mengirimkan dokter spesialis
sebagai konsultan dan rujukan bagi tenaga kesehatan pelaksananya.
berdasar hasil penelitian, partisipan mengungkapkan beberapa paket
pelatihan bagi tenaga kesehatan terutama paket dokter umum dan perawat dari
puskesmas yang sampai tahun 2017 ini sudah mencakup 70 puskesmas dari 235
puskesmas di Kabupaten/Kota di Provinsi Banten, dengan dokter umum dan
perawat yang terlatih dalam pelayanan kesehatan jiwa di puskesmas dengan satu
79
79
orang psikiater sebagai konsultannya. Supervisi yang optimal dari Dinas
Kesehatan Provinsi Banten sangat menguatkan keberhasilan program bebas
pasung. Sebagai contoh keberhasilan di Puskesmas Munjul dan Puskesmas
Cigeulis yang sudah mampu melaksanakan program bebas pasung dan pelayanan
kesehatan jiwa di puskesmas yang dirasakan kebermanfaatannya oleh keluarga
dan warga . Kondisi yang sama terjadi di Kota Serang yang juga belum ada
program khusus dalam menangani ODGJ, berikut wawancaranya:
“Belum ada program khusus dari Dinsos Kota Serang, sampai saat ini
program yang dilakukan hanya melalui sosialisasi, pelatihan dan
pembebasan pemasungan yang dilakukan di warga .” (Wawancara
dengan Dinas Kesehatan Kota Serang, 2017).
Kota Serang sendiri sebagai ibu kota Provinsi Banten dari pernyataan di
atas, dalam penanganan ODGJ tidak memiliki program yang cukup untuk
dilaksanakan, dikarenakan faktor anggaran yang kurang memadai. Untuk
menyiapkan tenaga kesehatan dan melakukan program terkait penanganan ODGJ
sampai saat ini hanya mengandalkan program-program sederhana, seperti
melakukan sosialisasi kesehatan jiwa, mengikutsertakan tenaga kesehatan dari
Dinas Kesehatan Kota Serang untuk mengikuti pelatihan dan penyediaan obat-
obatan.
4.2.2 Model Penanganan ODGJ yang Berkembang di warga
Penanganan ODGJ yang dilakukan warga di Provinsi Banten sampai
saat ini masih berorientasi pada panti rehabilitasi warga , puskesmas/rumah
sakit umum dan sebagian warga memilih melakukan pemasungan,
sebagaimana banyak terjadi di wilayah Pandeglang, Kota Serang dan Kota
Cilegon dan Kabupaten Lebak. Banyak warga yang membiarkan ODGJ,
mungkin hal ini juga yang menyebabkan program bebas pasung tidak
berjalan secara baik, karena tidak adanya formulasi yang tepat untuk
dilaksanakan.
80
80
“Penanganan ODGJ yang dilakukan warga sampai saat ini melalui
panti rehabilitasi warga , puskesmas/rumah sakit umum dan sebagian
warga melakukan pemasungan.” (Wawancara dengan Dinas Sosial
Provinsi Banten, 2017).
Sementara itu, untuk penanganan medis, keluarga membawa ODGJ datang
ke puskesmas, kemudian dirujuk untuk dibawa ke RSJ untuk ditangani,
selanjutnya jika dapat ditangani oleh keluarga, maka akan dikembalikan yang
kemudian didampingi oleh Puskesmas. ODGJ harus mengkonsumi obat secara
terus menerus tanpa putus. Penanganan ODGJ yang kompleks memang menjadi
tantangan tersendiri bagi Pemerintah Provinsi Banten, karena harus melibatkan
banyak unsur, mulai dari Dinas Sosial, Dinas Kesehatan, Kepolisian, Babinsa dan
warga , sehingga sosialisasi sampai dengan pelaksanaan penanganan tidak
dapat berdiri sendiri. Program penanggulangan ODGJ oleh warga ini secara
umum masih berkisar pada tatanan kuratif dengan koordinasi yang masih lemah
dengan puskesmas sebagai penyedia fasilitas pelayanan dasar bagi kesehatan jiwa.
“warga banyak yang membiarkan penderita ODGJ, ada pula sebagian
warga yang membawa ke Puskesmas dan lembaga rehabilitasi, ada
pula yang memasung. Untuk penanganan medis Keluarga dari penderita
ODGJ datang ke puskesmas, kemudian dirujuk untuk dibawa ke RSJ untuk
ditangani, selanjutnya jika dapat ditangani oleh keluarga, makan akan
dikembalikan yang kemudian didampingi oleh Puskesmas. Karena
Penderita ODGJ harus mengkonsumi obat secara terus menerus tanpa
putus.” (Wawancara dengan Dinas Kesehatan Provinsi Banten, 2017).
berdasar ungkapan ini diketahui bahwa upaya warga dalam
menangani ODGJ fenomenanya masih banyak yang membiarkan penderita ODGJ.
Upaya warga ada yang membawa ke Puskesmas dan lembaga rehabilitasi,
dan juga dilakukan pemasungan. Upaya penanganan medisnya Keluarga dari
penderita ODGJ membawa ke puskesmas setempat dan ada pula yang dirujuk
untuk dibawa ke RSJ (Rumah Sakit Jiwa). Ada Pula, pasien ODGJ pasca
ditangani medis, dikembalikan kepada keluarga dan dilakukan pendampingan dari
Puskesmas setempat. Kondisi ini seperti halnya terjadi di Kota Serang,
berikut wawancaranya:
81
81
“Pemasungan sampai saat ini masih menjadi pilihan sebagian warga ,
padahal pemasungan bukanlah sebuah solusi, bahkan bertentangan dengan
hak dasar manusia. Tapi di sisi lain, warga juga banyak yang
melakukan penanganan melalui panti rehabilitasi” (Wawancara Informan
Dinas Sosial Kota Serang, 2017).
“Penanganan ODGJ yang berkembang di warga belum cukup
memadai, mengingat tidak ada rumah sakit jiwa. Untuk itu Dinkes Kota
Serang rajin dalam memberikan sosialisasi ke setiap Puskesmas agar dapat
ditangani dengan baik, sehingga warga pun mengerti bagaimana
tindakan yang harusnya dilakukan. Sampai saat ini, warga juga aktif
membawa penderita ODGJ ke puskesmas, tercatat bahwa penanganan
ODGJ paling banyak dilakukan oleh Puskesmas Rau”. (Wawancara
Informan Dinas Kesehatan Kota
.jpeg)
.jpeg)






