gangguan jiwa 2

 



ogram pendidikan 

kesehatan. 

 

Sedangkan menurut WHO (2008) mengkategorikan beban keluarga 

dengan ODGJ dibagi kedalam dua jenis yaitu: 

1. Beban obyektif, merupakan beban yang berhubungan dengan kasus  dan 

pengalaman anggota keluarga, terbatasnya hubungan sosial dan aktivitas 

kerja, kesulitan finansial dan dampak negatif terhadap kesehatan fisik 

39 

 

39 

 

anggota keluarga. 

2. Beban subyektif, merupakan beban yang berhubungan dengan reaksi 

psikologis anggota keluarga meliputi perasaan kehilangan, kesedihan, 

kecemasan dan malu dalam situasi sosial, koping, stress terhadap 

gangguan perilaku dan frustasi yang disebabkan karena perubahan 

hubungan. 

 

berdasar  kedua pendapat mengenai beban keluarga dengan anggota 

keluarga yang mengalami halusinasi untuk regimen terapeutik keluarga inefektif, 

maka penelitian ini akan berupaya mengukur beban keluarga yang terdiri dari 

beban obyektif  dan beban subyektif. 

 

c. Kepatuhan Keluarga ODGJ Untuk Mengikuti Pengobatan 

Kepatuhan atau ketaatan merupakan suatu derajat  keluarga ODGJ  

mengikuti anjuran klinis dari dokter yang mengobatinya (Kaplan & Saddock, 

1997). Menurut Sackett (1976) dalam Niven (2002) kepatuhan adalah sejauh 

mana perilaku keluarga ODGJ sesuai dengan ketentuan yang diberikan oleh 

petugas kesehatan, kepatuhan sebagai suatu tingkatan keluarga ODGJ dalam 

melaksanakan cara pengobatan dan perilaku yang disarankan oleh dokter atau 

perawat. berdasar  dari pengertian di atas dapat dijelaskan bahwa kepatuhan 

merupakan suatu ketaatan terhadap anjuran dalam melaksanakan suatu terapi atau 

pengobatan yang diberikan oleh petugas kesehatan sesuai dengan ketentuan dan 

standar. 

Perilaku kepatuhan tergantung pada situasi klinis spesifik, sifat alam 

penyakit dan program pengobatan. Seseorang menjadi tidak taat atau tidak patuh 

kalau situasinya tidak memungkinkan (Bart, 1994 dalam Niven, 2002). Kondisi 

yang dapat menurunkan kepatuhan minum obat antara lain: regimen yang rumit 

(banyak macam obat yang diberikan), timbul efek samping secara dini dan terus – 

menerus, efek manfaat yang lambat, bila terapi dihentikan dirasa tidak 

menimbulkan kekambuhan, pasien sulit menerima informasi, kasus  finansial 

atau biaya, terlibat banyak dokter, dan buruknya hubungan dokter dan pasien. 

40 

 

40 

 

Menurut Sarwono (1997) dalam Niven (2002) bahwa perubahan sikap dan 

perilaku individu diawali dengan proses patuh, identifikasi dan tahap terakhir 

berupa internalisasi. Pada awalnya individu mematuhi anjuran atau instruksi tanpa 

kerelaan untuk melakukan tindakan ini  dan seringkali karena ingin 

menghindari hukuman atau sanksi jika dia tidak patuh atau untuk memperoleh 

imbalan yang dijanjikan jika dia mematuhi anjuran ini . Tahap ini disebut 

tahap kepatuhan dan biasanya perubahan yang terjadi dalam tahap ini bersifat 

sementara artinya tindakan ini dilakukan selama masih ada pengawasan. Tetapi 

begitu pengawasan itu tidaklah perlu berupa kehadiran fisik atau tokoh otoriter, 

melainkan cukup rasa takut pada ancaman sanksi berlaku, jika individu tidak 

melakukan tindakan ini . Dalam hal ini pengaruh tekanan kelompok sangatlah 

besar, sehingga individu terpaksa mengikuti tindakan perilaku mayoritas 

kelompok meskipun sebenarnya dia tidak menyetujuinya. Namun, segera sesudah  

dia keluar dari kelompok ini , mungkin sekali perilaku akan berubah menjadi 

perilaku yang diinginkan sendiri. 

Kepatuhan keluarga ODGJ yang berdasar  rasa terpaksa atau 

ketidakpahaman tentang pentingnya perilaku yang baru dapat disusul dengan 

kepatuhan yang berbeda jenisnya, yaitu kepatuhan demi menjaga hubungan baik 

dengan petugas kesehatan atau tokoh yang menganjurkan perubahan ini  

(change agent). 

Kepatuhan timbul karena keluarga ODGJ merasa tertarik atau mengagumi 

tokoh ini  sampai ingin menirukan tindakannya tanpa memahami sepenuhnya 

arti dan manfaat dari tindakan ini . Proses ini disebut identifikasi. Meskipun 

motivasi untuk mengubah perilaku individu dalam tahap ini lebih baik daripada 

dalam kekambuhan, namun motivasi ini belum dapat dikaitkan perilaku ini  

dengan nilai-nilai lain dalam hidupnya, sehingga jika ditinggalkan oleh tokoh 

idolanya itu maka dia merasa tidak perlu lagi melanjutan perilaku ini . 

Perubahan perilaku individu baru dapat menjadi optimal jika perubahan ini  

terjadi melalui proses internalisasi dimana perilaku yang baru itu dianggap 

bernilai positif bagi diri individu itu sendiri dan diintegrasikan dengan nilai-nilai 

lain dari hidupnya. 

41 

 

41 

 

Ketidakpatuhan adalah keadaan dimana keluarga ODGJ berkeinginan 

untuk memenuhi tetapi ada faktor yang menghalangi ketaatan terhadap nasehat 

yang berkaitan dengan kesehatan yang diberikan oleh petugas kesehatan yang 

dipengaruhi oleh mahalnya biaya pengobatan, transportasi, minat dan psikologis 

seseorang (Capernito, 2001). Ketidakpatuhan adalah tingkat keluarga ODGJ tidak 

melaksanakan cara pengobatan dan perilaku yang disarankan oleh dokter atau 

perawat. Ketidakpatuhan sulit dianalisis karena sulit didefinisikan, sulit untuk 

diukur dan tergantung pada banyak faktor. Kebanyakan studi berkaitan dengan 

ketaatan minum obat sebagai cara pengobatan, misalnya tidak minum cukup obat, 

minum obat terlalu banyak, minum obat tambahan tanpa resep dokter dan 

sebagainya. Pasien yang tidak taat dipandang sebagai orang yang lalai dan 

kasus nya dipandang sebagai kasus  kontrol dan harus mendapat perhatian 

utama dari keluarga. 

Kepatuhan adalah istilah yang menggambarkan penggunaan obat sesuai 

dengan petunjuk pada resep. Ini mencakup penggunaannya pada waktu yang 

benar dan mengikuti pembatasan makanan yang berlaku, misalnya biasa minum 

obat pada pagi dan malam, maka setiap hari harus minum obat pada waktu yang 

sama. Selain waktu yang sama, obat ini  juga harus diminum seumur hidup. 

Bilamana pindah waktu minum atau lupa minum satu hari, maka obat antipsikotik 

atau halusinasi tidak akan berfungsi dengan optimal untuk mengontrol 

halusinasinya. Obat yang dikonsumsi masuk ke aliran darah dan diangkut ke 

seluruh tubuh. Pada saat  darah melewati hati dan ginjal, sebagian obat ini  

disaring dan dibuang. Jadi jumlah obat dalam aliran darah menjadi semakin kecil, 

sehingga penderita memakainya lagi. Hal ini  merupakan bagian dari 

tanggung jawab keluarga ODGJ untuk pelaksanaan pengobatan dan perawatan 

pasien dirumah. 

Keluarga ODGJ sering menemukan kasus  dalam regimen terapeutik 

ODGJ. Seperti beberapa obat diserap lebih baik dan masuk ke aliran darah dengan 

tingkat lebih tinggi, bila tidak ada makanan dalam perut. Obat ini harus 

dikonsumsi dengan perut kosong. Sementara ada obat lain yang lebih baik masuk 

42 

 

42 

 

ke aliran darah bila perutnya penuh. Obat ini sebaiknya dikonsumsi dengan 

makan. Dengan beberapa obat pun, makanan tidak penting. 

Keluarga pasien harus memberikan informasi kepada pasien diantaranya 

pasien harus mengetahui petunjuk untuk penggunaan masing-masing obat agar 

selalu ada cukup obat dalam aliran darah. Petunjuk ini termasuk berapa pil harus 

digunakan, kapan dan bagaimana. Jika pasien melupakan satu dosis, tidak 

menggunakan dosis penuh atau tidak mengikuti petunjuk tentang makanan, 

tingkat obat dalam aliran darah dapat menjadi terlalu rendah yang akan 

menyebabkan kekambuhan gejala seperti halusinasi. Cara terbaik untuk mencegah 

kekambuhan ini  adalah dengan kepatuhan terhadap terapi, demikian 

kepatuhan pasien merupakan cermin kepatuhan keluarga untuk mengikuti regimen 

terapeutik. 

Penting bagi keluarga pasien untuk mengembangkan rutinitas (kebiasaan) 

yang dapat membantu pasien mengikuti jadwal terapi, yang kadang kala rumit dan 

mengganggu kegiatan sehari-hari. Kepatuhan dapat sangat sulit dan pasien akan 

memerlukan  dukungan agar menjadi biasa dengan perubahan yang 

diakibatkannya pada hidup pasien. Ini bisa menjadi hal yang paling penting untuk 

dipertimbangkan waktu pasien mulai memakai terapi baru. 

Menggalang dukungan dari petugas kesehatan atau teman adalah sangat 

penting, agar mengingatkan keluarga pasien ketika waktu pasien harus memakai 

obat dan untuk memberikan semangat atau motivasi.  Menilai kepatuhan pasien 

secara ketat selama satu minggu. Jika hasilnya tampak kurang baik, pasien 

memerlukan  lebih banyak dukungan yang tersedia. Jika masih ada kasus , 

pasien dapat membahasnya dengan dokter. Jika pasien benar - benar tidak dapat 

mencapai tingkat kepatuhan yang tinggi, mungkin sebaiknya pasien berhenti 

terapi untuk sementara (Alcorn, 2007) dan keluarga pasien mengamati resiko 

kekambuhan dan melaporkannya kepada petugas kesehatan. 

Tidak seorang pun dapat mematuhi instruksi jika ia salah paham tentang 

instruksi yang diberikan padanya. Ley dan Spelman (1967) dalam Niven (2002) 

menemukan bahwa lebih dari 60% yang diwawancarai sesudah  bertemu dengan 

dokter salah mengerti tentang instruksi yang diberikan pada mereka. Kadang-

43 

 

43 

 

kadang hal ini disebabkan oleh kegagalan profesional kesehatan dalam 

memberikan informasi yang lengkap, penggunaan istilah – istilah medis, dan 

memberikan banyak instruksi yang harus diingat oleh pasien dan keluarganya.  

Anderson (1986) dalam Niven (2002) dalam penelitiannya tentang 

komunikasi dokter dan pasiennya di Hongkong, mendapatkan bahwa keluarga 

pasien dan pasien yang rata – rata diberi 18 jenis informasi untuk diingat dalam 

setiap konsultasi, hanya mampu mengingat 31% saja. Ketepatan dalam 

memberikan informasi secara jelas dan eksplisit terutama sekali penting dalam 

pemberian antibiotik, karena seringkali keluarga pasien tidak mengetahui atau 

sengaja sepakat dengan pasien menghentikan obat sesudah  gejala yang dirasakan 

pasien hilang bukan saat obat ini  habis (Haynes et al, 1979 dalam Niven, 

2002). 

Pendekatan praktis untuk meningkatkan kepatuhan keluarga pasien dan 

pasien dalam pengobatan ditemukan oleh DiNicola dan DiMatteo (1984) dalam 

Niven (2002): (1) Buat instruksi tertulis yang jelas dan mudah diiterpretasikan; (2) 

Berikan informasi tentang pengobatan sebelum menjelaskan hal-hal lain. Jika 

seseorang diberi suatu daftar tertulis tentang hal-hal yang harus diingat; (3) Maka 

akan ada efek keunggulan yaitu mereka berusaha mengingat hal-hal yang pertama 

kali tertulis. Efek keunggulan ini telah terbukti mampu menguatkan ingatan 

tentang informasi-informasi medis. (Ley,1972 dalam Niven, 2002); (4) Instruksi - 

instruksi harus ditulis dengan bahasa umum (non-medis) dan hal - hal penting 

perlu ditekankan. 

Kualitas interaksi antara profesional kesehatan dan keluarga pasien serta 

pasien merupakan bagian yang penting dalam menemukan derajat kepatuhan 

(Niven, 2002). Korsch dan Negrete (1972) dalam Niven (2002) telah mengamati 

800 kunjungan orangtua dan anak - anaknya ke rumah sakit anak di Los Angeles. 

Selama 14 hari mereka mewawancarai ibu - ibu ini  untuk memastikan 

apakah ibu - ibu ini  melaksanakan nasihat - nasihat yang diberikan dokter, 

dan mereka menemukan bahwa ada kaitan yang erat antara kepuasan ibu terhadap 

konsultasi dengan seberapa jauh mereka mematuhi nasihat dokter; tidak ada 

kaitan antara lamanya konsultasi dengan kepuasan ibu. 

44 

 

44 

 

Derajat dimana seseorang terisolasi dari pendampingan orang lain, isolasi 

sosial, secara negatif berhubungan dengan kepatuhan (Baekeland & Lundwall, 

1975 dalam Niven, 2002). Anggota - anggota jaringan sosial individu seringkali 

mempengaruhi seseorang dalam mencari pelayanan kesehatan (Niven, 2002).  

Keyakinan, Sikap dan Kepribadian  menurut Becker et al (1979) dalam 

Niven (2002) telah membuat suatu usulan bahwa model keyakinan kesehatan 

berguna untuk memperkirakan adanya ketidakpatuhan. Ahli psikologis lain telah 

melakukan penyelidikan tentang hubungan antara pengukuran kepribadian dan 

kepatuhan. Blumental et al (1982) dalam Niven (2002) melakukan sebuah 

penelitian dan didapatkan hasil bahwa orang-orang yang tidak patuh adalah orang-

orang yang lebih mengalami depresi, ansietas, sangat memperhatikan 

kesehatannya, memiliki kekuatan ego yang lebih lemah dan yang kehidupan 

sosialnya lebih memusatkan perhatian kepada dirinya sendiri. Kekuatan ego yang 

lemah ditandai dengan kekurangan dalam hal pengendalian diri sendiri dan 

kurangnya penguasaan terhadap lingkungan. 

Pemusatan terhadap diri sendiri dalam lingkungan sosial mengukur tentang 

bagaimana kenyamanan seseorang berada dalam situasi sosial. Blumenthal et al 

(1982) dalam Niven (2002) mengatakan bahwa ciri-ciri kepribadian yang 

disebutkan di atas itu yang menyebabkan seseorang cenderung tidak patuh (drop 

out) dari program pengobatan. Menurut Notoatmodjo (2003), sikap merupakan 

reaksi atau respon yang masih tertutup dari seseorang terhadap suatu stimulus atau 

objek. Menurut Newcomb, salah seorang ahli psikologis sosial, menyatakan 

bahwa sikap itu merupakan kesiapan atau kesediaan untuk bertindak dan bukan 

merupakan pelaksanaan motif tertentu. Sikap belum merupakan suatu tindakan 

atau aktivitas, akan tetapi merupakan predisposisi tindakan suatu perilaku. 

Motivasi adalah dorongan untuk melakukan hal yang positif bagi dirinya 

dan orang lain. Motivasi adalah penggerak tingkah laku ke arah suatu tujuan 

dengan didasari adanya suatu kebutuhan yang dapat timbul dari dalam individu 

ini , atau dapat diperoleh dari luar dan orang lain atau keluarga (Friedman, 

1998 dalam Azwar, 2002). 

45 

 

45 

 

Biaya pengobatan adalah besarnya biaya yang dikeluarkan oleh seseorang 

untuk melakukan pengobatan penyakit yang dideritanya. Kemampuan seseorang 

untuk mengeluarkan biaya pengobatan berbeda–beda. Hal ini dapat dipengaruhi 

oleh kemampuan pendapatan ekonomi keluarga. Apabila keadaan ekonomi 

keluarga berkecukupan, kemungkinan ia dapat mengeluarkan biaya untuk 

pengobatan penyakitnya dibandingkan dengan keadaan ekonomi keluarga yang 

serba kekurangan. Kondisi seperti ini dapat mempengaruhi kepatuhan terhadap 

program pengobatan yang dijalani. 

Efek samping adalah dampak dari obat-obatan yang tidak diinginkan. Efek 

samping yang terjadi terus menerus dapat menyebabkan kendala dalam 

menjalankan kepatuhan terhadap terapi. Disamping itu, peninjauan sistemik 

terhadap semua penelitian yang diterbitkan tentang kepatuhan di negara maju dan 

berkembang menemukan adanya persamaan kendala pada kepatuhan yang sangat 

jelas dan faktor pendukung kepatuhan yang baik di antara semua orang di seluruh 

dunia. Adapun kendala - kendala ini  antara lain yaitu lupa memakai obat atau 

terlalu sibuk, takut statusnya terungkap, mengganggu kehidupan sehari - hari atau 

jauh dari rumah, tidak memahami pengobatan, efek samping yang nyata dan 

diduga depresi atau keputusasaan,  penggunaan narkoba atau alkohol bersamaan, 

dan tidak percaya dengan obat - obatan (Alcorn, 2007). 

Dukungan keluarga dapat menjadi faktor yang sangat berpengaruh dalam 

menentukan keyakinan dan nilai kesehatan individu serta dapat juga menemukan 

tentang program pengobatan yang dapat mereka terima (Niven, 2002). Keluarga 

juga memberi dukungan dan membuat keputusan mengenai perawatan dari 

anggota keluarga yang sakit (Niven, 2002). Dukungan keluarga penting dalam 

kepatuhan terhadap regimen terapeutik pada ODGJ, karena tidak dapat dilepaskan 

dalam standar tindakan keperawatan antara intervensi atau implementasi 

keperawatan terhadap pasien dan keluarga. 

Dukungan keluarga terhadap regimen terapeutik sampai pada tahap 

kepatuhan akan secara umum menanggulangi beban keluarga merawat ODGJ. 

Beberapa beban keluarga yang mempengaruhi regimen terapeutik selalu ada dan 

dalam tingkatan yang berbeda-beda pada setiap keluarga pasien, tetapi dengan 

46 

 

46 

 

dukungan keluarga yang optimal serta mencapai kepatuhan yang optimal juga 

akan mereduksi beban keluarga ini . 

 

 

 

 

 

 

47 

 

47 

 

BAB 3 METODE PENELITIAN 

 

3.1 OBYEK PENELITIAN 

Penelitian akan mendeskripsikan dan menganalisis mengenai model 

penanganan Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) di Provinsi Banten. Sehingga 

dengan upaya penelitian ini, diharapkan dapat mendeskripsikan karakteristik 

ODGJ, dapat mengetahui model penanganan, dan dapat mengetahui dan 

menganalisis bentuk dan upaya yang harus dilakukan sebagai model penanganan 

ODGJ di Provinsi Banten. 

Obyek penelitian dalam penelitiaan ini dibedakan berdasar  karakterisitik 

peran masing-masing stakeholders dalam melakukan penanganan ODGJ, yaitu: 

(1) SKPD pelaksana kebijakan dari unsur pemerintah daerah dalam penanganan 

ODGJ yaitu Dinas Kesahatan dan Dinas Sosial, (2) Unsur Rumah Sakit Umum 

Puskesmas, Klinik dan Pengobatan Teraphy Tradisional yang melaksanakan 

pelayanan kesehatan jiwa, (3) Unsur Kelompok warga  atau lembaga 

swadaya warga  (NGo) yang menangani rehabilitasi ODGJ, dan (4) Unsur 

Keluarga ODGJ) sebagai pihak yang mendapatkan layanan kesehatan dan 

rehabilitasi gangguan jiwa baik yang dilaksanakan oleh pemerintah maupun oleh 

warga . 

 

3.2  DESAIN PENELITIAN 

Desain penelitian yang dilakukan adalah menggunakan metode penelitian 

kualitatif berlandaskan fenomenologi. (Raco & Tanod, 2012), menjelaskan 

bahwa; menurut fenomenologi adanya dunia alami atau dunia nyata tidak 

disangkal keberadaannya, sejalan dengan aliran rasionalisme, fenomenologi juga 

mengakui adanya dunia nyata, hanya saja dunia tidak hanya menghadiri dirinya 

sendiri, dunia atau sesuatu dihadirkan atau dikenal lewat orang yang menyadari. 

Untuk memperjelas konsep fenomenologi (Magee, 2001), menyatakan 

bahwa Husserl menciptakan suatu pendekatan baru, berfilsafat untuk menyelidiki 

kesadaran dan objek-objek kesadaran. Pendekatan ini adalah sebuah analisis 

sistematik atas pengalaman yang kemudian dikenal sebagai “fenomenologi” 

48 

 

48 

 

filsafat Husserl membuka kemungkinan untuk menyelidiki segala sesuatu tentang 

yang disebut Husserl sebagai lebenswelt atau “dunia kehidupan”. Maka penelitian 

tentang orang gila dirasakan cocok menggunakan pendekatan ini. Adapun 

alasannya; Gangguan jiwa adalah sindrom atau pola prilaku yang secara klinis 

bermakna yang berkaitan langsung distress (penderitaan) dan menimbulkan 

hendaya (disabilitas) pada satu atau lebih fungsi kehidupan manusia. Fungsi jiwa 

yang terganggu meliputi fungsi biologis, psikologis, sosial, dan spiritual. Secara 

umum gangguan fungsi jiwa yang dialami seseorang individu dapat terlihat dari 

penampilan, komunikasi, proses berpikir, interaksi dan aktifitasnya sehari-hari 

(www.academia.edu, 2017). 

Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) dalam hal ini mereka dalam kondisi 

yang benar-benar memperihatinkan. Orang-orang yang selama ini dikategorikan 

gila dan tidak waras oleh warga  berkeliaran di jalanan dan menjadi obyek 

hinaan. Orang-orang gila seringkali dipersepsikan sebagai mereka yang 

menyimpang dari mayoritas warga , karena mereka dianggap abnormal. 

Terhadap mereka, warga  merendahkannya sedemikian rupa terkadang 

pemerintah menyingkirkan atau mengasingkan mereka. Fenomena kejiwaan 

dalam konteks orang gila merupakan sebuah fenomena di dalam warga  oleh 

karenanya penelitian kualitatif berbasis fenomenologi dirasakan cocok untuk 

menggali fenomena orang gila ini . 

Mengenai fenomenologi menurut (Simatupang, 2013), sebuah langkah 

sederhana untuk memahami pengertian fenomenologi adalah dengan 

menelusurinya secara etimologis, phenomology berakar dari phenomenon 

(tunggal, phenomena-jamak) yang berarti kejadian, perwujudan, dan gejala, 

dengan demikian menurut akar katanya phenomenology dapat dimengerti sebagai 

ilmu tentang kejadian, perwujudan, gejala. Namun, pengertian phenomenology 

bukanlah seperti itu. Dalam pandangan fenomenolog, kejadian, perwujudan, 

maupun gejala apapun baru dapat menjadi obyek perhatian apabila fenomena 

ini  dialami manusia. Dengan demikian para pendukung fenomenologi 

menggeser obyek kajian dari kejadian, perwujudan atau gejala itu sendiri 

sebagaimana adanya menjadi kejadian, perwujudan, gejala sebagaimana dialami 

49 

 

49 

 

(experience) di mana manusia menempati posisi sentral bagi penyelidikkan, 

sehingga fenomenologi kemudian secara umum dimengerti sebagai kajian ilmiah 

tentang pengalaman. 

Penggunaan pendekatan kualitatif dalam penelitian ini didasarkan atas 

pertimbangan bahwa pendekatan ini relevan dan cocok dengan kasus  penelitian 

melalui interpretasi dari suatu gejala sosial yang selanjutnya digunakan untuk 

membangun pemahaman dan memberikan eksplanasi terhadap fenomena yang 

diteliti. Penjelasanya fenomena tentang makna ini  dijadikan salah satu 

metode dominan dalam penelitian ini, dengan maksud untuk pengungkapan 

interpretasi makna dari fenomena model penanganan ODGJ di Provinsi Banten. 

 

3.3  LANGKAH PENELITIAN 

Proses pelaksanaan penelitian ini dilakukan menjadi dua tahap. Kedua tahap 

penelitian ini berlangsung berkesinambungan sampai perolehan data penelitian 

dianggap memadai. Tahap pertama, penelitan dilakukan dengan mengadakan 

studi pustaka terhadap berbagai konsep, teori dan hasil penelitian terdahulu yang 

relevan dengan penelitian ini. sesudah  penelitian tahap pertama dilaksanakan 

dengan menghasilkan temuan penelitian, selanjutnya dilakukan penelitian; Tahap 

kedua dengan melakukan wawancara kepada subjek penelitian. Proses wawancara 

dilakukan dalam rangka merekonstruksi pandangan, pendapat dan opini subjek 

terhadap fokus penelitian. 

 Wawancara dilakukan kepada subjek penelitian secara terbuka namun 

tetap mendasarkan pada pedoman wawancara yang telah tersusun secara tentatif. 

berdasar  wawancara yang dilakukan, maka selanjutnya disusun deskripsi hasil 

wawancara ke dalam catatan lapangan wawancara, dibuatkan esensi topik, 

pengkodean dan analisis isi topik wawancara pada setiap kegiatan wawancara 

yang dilakukan oleh peneliti sepanjang proses penelitian lapangan ini. Selanjutnya 

didiskusikan lebih lanjut dengan subjek penelitian sampai ditemukan adanya 

konsistensi jawaban terhadap fokus kasus  sampai pada taraf jenuh. Disamping 

proses wawancara, dilakukan pula kegiatan observasi terhadap suasana, situasi, 

dan kondisi lingkungan kegiatan subjek saat wawancara. berdasar  tahap kedua 

50 

 

50 

 

penelitian ini, diharapkan menghasilkan temuan penelitian tentang konstruksi 

pandangan, pendapat dan opini subjek tentang fokus penelitian. 

 

3.4 PENENTUAN INFORMAN SUMBER DATA PENELITIAN 

Untuk mendapatkan data kualitatif ditetapkan informan, yakni mereka para 

stakeholders yang menagani ODGJ dari unsur pemerintah dan unsur warga  

itu sendiri. Menggunakan pendekatan purpossive sample yaitu dengan sengaja 

menentukan informan berdasar  kapasitas dan karakterisitik peran masing-

masing dalam melakukan penanganan ODGJ di Provinsi Banten. 

Informan diperoleh secara langsung dari kunjungan lapangan yang di 

lakukan pada: (1) SKPD pelaksana kebijakan dari unsur pemerintah daerah dalam 

penanganan ODGJ yaitu Dinas Kesahatan dan Dinas Sosial, (2) Unsur Rumah 

Sakit Umum Puskesmas, Klinik dan Pengobatan Terapi Tradisional yang 

melaksanakan pelayanan kesehatan jiwa, (3) Unsur Kelompok warga  atau 

lembaga swadaya warga  (NGo) yang menangani rehabilitasi ODGJ, dan (4) 

Unsur Keluarga ODGJ) sebagai pihak yang mendapatkan layanan kesehatan dan 

rehabilitasi gangguan jiwa baik yang dilaksanakan oleh pemerintah maupun oleh 

warga . 

Sumber data ini  diambil dan dilakukan di empat wilayah kabupaten 

dan kota, yaitu Kota Cilegon, Kota Tangsel, Kabupaten Serang dan Kabupaten 

Pandeglang. Pemilihan lokasi penelitian itu, secara administrasi merupakan lokasi 

yang dipandang menggambarkan karakterisitik warga  perkotaan dan 

perdesaan. Informan ini  dipilih dan ditetapkan tidak berdasar  pada 

jumlah yang dibutuhkan, melainkan berdasar  pertimbangan fungsi dan peran 

yang diemban informan sesuai fokus kasus  penelitian, sehingga jumlah 

informan penelitian ini akan diketahui saat penelitian berlangsung. Kaitan 

wawancara terhadap informan, maka peneliti melakukan wawancara dengan 

menghubungi informan secara intensif berkenaan dengan fokus kasus  

penelitian. Proses wawancara dilakukan secara terbuka. 

 

 

51 

 

51 

 

Tabel: 3.1 Informan Penelitian 

No Informan Unsur 

Kategori 

Informan 

Jumlah 

Informan 

1 Dinas Kesehatan 

Provinsi Banten 

Unsur Pelaksana 

Kebijakan diingkat 

Provinsi 

Informan 

Kunci 

1 orang 

2 Dinas Sosial Provinsi 

Banten 

Unsur Pelaksana 

Kebijakan diingkat 

Provinsi 

Informan 

Kunci 

1 orang 

3 Dinas Kesehatan 

Kab/Kota 

Unsur Pelaksana 

Kebijakan diingkat 

Kab/kota 

Informan 

Tambahan 

4 orang 

4 Dinas Sosial Kab/Kota Unsur Pelaksana 

Kebijakan diingkat 

Kab/kota 

Informan 

Kunci 

4 orang 

5 RSU, Puskesmas, 

Klinik dan Teraphy 

Tradisoinal di 

Kab/Kota 

Unsur pelaksana yang 

meyelenggarakan layanan 

kesehatan jiwa 

Informan 

Kunci 

4 orang 

6 Lembaga Swadaya 

(NGo) 

Unsur warga  yang 

memberikan penanganan 

dan rehabilitasi ODGJ 

Informan 

Kunci 

4 orang 

7 Keluarga ODGJ  Unsur penerima manfaat 

dari layanan kesehatan 

jiwa 

Informan 

Kunci 

4 orang 

Total Informan 22 orang 

Sumber: Catatan peneliti, 2017 

 

3.5 TEKNIK PENGUMPULAN DATA  

Teknik pengumpulan data dan pencatatan data dilakukan dengan cara 

observasi partisipasif, wawancara dan dokumentasi. Selanjutnya dilakukan 

observasi partisipasif yaitu untuk mengumpulkan data dalam bentuk pengamatan. 

Pencatatan dilakukan secara sistematis terhadap fenomena yang ada. Oleh karena 

itu, selama di lapangan peneliti melakukan observasi (observation). Adapun 

Tahapan-tahapan dalam pengumpulan data antara lain: 

 

 

 

 

52 

 

52 

 

3.5.1 Tahap Orientasi 

Peneliti menentukan informan selanjutnya peneliti mendatangi untuk 

menjelaskan kehadiran peneliti ditengah-tengah mereka agar mau terbuka, dan 

tidak menaruh curiga terhadap peneliti. 

 

3.5.2 Pengamatan 

Pengamatan (observation) dilakukan pada masing-masing informan 

penyelenggara pelayanan Kesehatan Jiwa di Pemerintah Provinsi dengan cara 

mengamati tentang kegiatan yang berkaitan aktivitasnya dalam pelayanan dasar 

urusan Kesehatan Jiwa. Pengamatan bermakna bahwa data yang dikumpulkan dari 

hasil pengamatan secara langsung secara wajar, asli, spontan dan tidak ada 

perekayasaan dalam kurun waktu tertentu sehingga diperoleh data yang cermat, 

mendalam, dan rinci. Penyajian data hasil pengamatan dicatat secara ringkas pada 

buku catatan lapangan, selanjutnya dikembangkan dalam catatan harian yang 

lebih lengkap dengan merangkum hasil pengamatan, dan wawancara secara tidak 

langsung. Pada catatan harian juga dituliskan analisis dan refleksi peneliti serta 

kesimpulan sementara yang berfungsi mengarahkan pada hari berikutnya. 

 

3.5.3 Wawancara Mendalam 

Wawancara (in-depth interview) dengan menggunakan bahasa dan istilah 

yang berlaku dalam warga  dengan menggunakan pendekatan kekeluargaan, 

untuk memahami dan menggali informasi secara mendalam dalam menyimpulkan 

keterangan penelitian. Selanjutnya cara melakukan wawancara (interview) dengan 

menggunakan pedoman wawancara, sedangkan isi kerangka wawancara 

disesuaikan dengan aspek yang dikaji. Hasilnya akan dicatat secara rinci untuk 

diidentifikasikan sebagai data lapangan. 

Wawancara mendalam adalah pengumpulan data dengan mengajukan 

pertanyaan secara langsung terhadap informan yang sudah ditentukan. Namun 

wawancara ini bisa saja dilakukan di luar daripada informan yang sudah 

ditentukan untuk menambah keakuratan data yang diperlukan. Wawancara 

dilakukan dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan untuk menggali keterangan 

53 

 

53 

 

yang dibutuhkan dalam mengkonstruksi realita yang ada. Pertanyaan harus dibuat 

luwes serta disesuaikan dengan kondisi kebutuhan, sehingga baik peneliti maupun 

informan dapat saling memahami. 

Materi wawancara mengarah kepada hasil obyektivitas mereka terhadap 

kondisi-kondisi kekinian yang tercermin dari pola pemahaman mereka yang 

dihubungkan dengan nilai-nilai dan pola perubahan kehidupan yang diketahui atau 

yang dipahaminya. Dengan pengamatan secara langsung ke lapangan dan 

mewawancarai informan secara mendalam ini juga diarahkan untuk mengungkap 

kondisi aktual. 

 

3.5.4 Focus Group Discusion (FGD) 

sesudah  peneliti memperoleh data dari lapangan, maka selanjutnya peneliti 

mendiskusikannya kembali kepada informan berkaitan data yang telah diperoleh, 

dan mengklarifikasi apakah data yang disajikan sesuai dengan interpretasi 

peneliti. Selain diskusi sederhana dilakukan pula Forum Group Discusion (FGD) 

yang dilakukan dengan duduk santai dan tetap sedikit formal, dengan membuka 

percakapan berkaitan dengan data-data yang penulis peroleh dilapangan. Diskusi 

ini dilakukan pula untuk menambah wawasan dan melengkapi data-data yang 

dianggap masih kurang sempurna yang diperoleh di lapangan. 

Kemudian menyempurnakan atau melengkapinya kembali. Penulis juga 

berdiskusi dengan beberapa pakar yang lebih mengetahui sehubungan dengan 

topik penelitian. Para pakar atau pengamat/pemerhati warga , baik para pakar 

dari perguruan tinggi yang sesuai dengan spesialisasi bidang ilmunya dan juga 

para peneliti terdahulu yang pernah meneliti tentang model penanganan Orang 

dengan gangguan jiwa berbasis warga . 

 

3.5.5 Penggunaan  Panduan Pertanyaan 

Panduan pertanyaan secara tertulis dibutuhkan pula peneliti agar pertanyaan 

dapat terarah sesuai apa yang diharapkan, maka peneliti membuat secara garis 

besar dalam bentuk poin pertanyaan yang dituangkan dalam lembaran kertas 

secara terstruktur yang dirancang dan dibuat sendiri oleh peneliti. Penggunaan 

54 

 

54 

 

point pertanyaan secara tertulis, penelitian ini hanya dijadikan sebagai panduan 

pada saat wawancara terhadap informan. Panduan pertanyaan hanya sebatas alat 

atau cara yang digunakan untuk memandu peneliti mengajukan pertanyaan kepada 

setiap informan dengan berdasar pada setiap butir pertanyaan. Panduan 

pertanyaan tidak diserahkan kepada informan mengingat sebagian informan tidak 

bisa membaca dan memahami setiap point pertanyaan. Sehingga peneliti yang 

mengarahkan dan mengembangkan setiap point pertanyaan berkaitan dengan data 

yang dibutuhkan untuk kelengkapan penelitian.  

 

3.6 METODE ANALISIS DATA 

Dalam penelitian ini, data hasil wawancara dan pengamatan ditulis dalam 

suatu catatan lapangan yang terinci, data dari catatan lapangan inilah yang 

dianalisis secara kualitatif. Analisis data yaitu proses penyederhanaan data ke 

dalam formula yang sederhana dan mudah dibaca serta mudah diinterpretasi, 

maksudnya analisis data di sini tidak saja memberikan kemudahan interpretasi, 

tetapi mampu memberikan kejelasan makna dari setiap fenomena yang diamati, 

sehingga implikasi yang lebih luas dari hasil penelitian dapat dijadikan sebagai 

bahan simpulan akhir penelitian Analisa telah dimulai sejak pengumpulan data 

dan dilakukan lebih intensif lagi sesudah  kembali dari lapangan. Seluruh data yang 

tersedia di telaah dan direduksi kemudian diabstraksi sehingga terbentuk suatu 

informasi. Satuan informasi inilah yang ditafsirkan dan diolah dalam bentuk hasil 

penelitian hingga pada tahap kesimpulan. 

 

3.7 KEABSAHAN DATA 

Adapun sifat keabsahan data dilihat dari obyektifitas dalam subyektifitas. 

Untuk dapat mendapat data yang obyektif berasal dari unsur subyektifitas obyek 

penelitian, yaitu bagaimana menginterpretasikan realitas sosial terhadap fenomena 

yang ada. Pandangan subyektivitas menjelaskan perilaku manusia agar dapat 

dipahami, oleh karena itu sering disebut studi humanistik. Pengetahuan tidak 

memiliki  sifat yang obyektif dan sifat yang tetap tetapi selalu berubah-ubah dan 

bersifat interpretif. Realitas sosial adalah suatu kondisi yang mudah berubah-ubah 

55 

 

55 

 

melalui interaksi manusia dalam kehidupan sehari-hari, fenomena yang ada hanya 

bersifat sementara. Dalam hal inilah pandangan obyektif mampu mencari 

keabsahan datanya. 

berdasar  pandangan fenomenologi, bahwa tindakan manusia 

memiliki  makna dan bertujuan (subyektif) pada tingkat keabsahan data, dan 

bersifat obyektif. Menurut Moleong (2004) bahwa adanya unsur kualitas yang 

melekat pada obyektivitas, artinya dapat dipercaya, faktual dan dapat dipastikan, 

sehingga bertumpu pada pengertian objektivitas-objektivitas, yang artinya adanya 

kepastian (cinfermability). Tatkala data yang diambil memiliki  tingkatan yang 

tinggi, atau telah dianggap sesuai apa yang diperlukan. 

Selanjutnya teknik keabsahan data adalah dengan menggunakan teknik 

triangulasi, yaitu adanya mengadakan pengecekan kembali terhadap derajat 

kepercayaan data yang berasal dari wawancara kemudian membandingkan dari 

hasil wawancara yang telah disusun kepada beberapa informan. Adapun 

maksudnya adalah agar terdapat kesamaan pandangan, pendapat atau pemikiran 

antara peneliti dengan informan. Sebagai hasil pembanding terhadap tulisan yang 

telah disusun, selanjutnya keabsahan data dievaluasi melalui referensi berupa tape 

recorder, kamera foto, dan perlengkapan lainnya yang dapat memperlancar proses 

penelitian. 

Untuk lebih mempercayai keakuratan data dalam penelitian ini, dianggap 

penting uji derajat kepercayaan. Hal ini penting, karena karakteristik sumber 

informasi yang beragam serta substansi informasinya yang relatif abstrak. 

Beberapa teknik yang digunakan untuk menentukan kredibilitas data dalam 

penelitian kualitatif antara lain: (a) memperpanjang masa observasi; (b) 

pengamatan yang terus menerus; (c) triangulasi; (d) membicarakan dengan orang 

lain; (e) menganalisis kasus negatif; dan (f) menggunakan bahan referensi. 

  

3.8 LOKASI PENELITIAN 

Lokasi penelitian ini dilakukan di wilayah Provinsi Banten, dari 8 

Kabupaten/Kota yang ada, maka sub lokus yang ditentukan ada 4 wilayah 

Kabupaten/Kota. Empat wilayah Kota/Kabupaten di Provinsi Banten ini  

56 

 

56 

 

yang dipandang memiliki karakteristik obyek penelitian berbeda. Karakteristik 

penelitian dibedakan pada warga  perdesaan dan wilayah perkotaan. Lokasi 

pertama adalah yang menggambarakan karakteristik warga  perkotaan 

dilakukan di Kota Cilegon dan Kota Tanggerang. Kedua adalah karakterisitik 

yang menggambarakan warga  perdesaan yaitu wilayah Kabupaten 

Pandeglang dan Kabupaten Serang. 

Pertama, Kota Cilegon merupakan kota yang menjadi pintu perlintasan 

mobilitas warga  antara Pulau Jawa dan Pulau Sumatera. Selain itu, Kota 

Cilegon merupakan wilayah industri yang padat serta banyak area wisata. Selain 

itu, Kota Cilegon memiliki kasus penderita ODGJ terbanyak yaitu 2923 jiwa 

(Dinkes Provinsi Banten, 2017). Kedua, Kota Tanggerang Selatan (Tangsel). Kota 

ini merupakan wilayah kota penyangga Ibukota Negara yaitu DKI Jakarta. Kota 

Tangsel ini dinilai mewakili fenomena karakterisitik wilayah warga  

perkotaan. Kota ini  dipandang memiliki arus mobilitas manusianya cukup 

tinggi khusunya dari DKI Jakarta umumnya dari luar wilayah Provinsi Banten 

yang masuk ke Banten. Kota Tangsel juga adalah kawasan industri, kawasan 

perbelanjaan, wisata dan pemukiman yang padat, yang memungkinkan fenomena 

gangguan jiwa cukup tinggi disebabkan akibat kehidupan ekonomi dan kehidupan 

sosial yang heterogen, dengan jumlah ODGJ sebanyak 338 jiwa (Dinkes Provinsi 

Banten, 2017). 

Ketiga, Kabupaten Serang. Wilayah ini merupakan gambaran dari 

warga  yang sebagain besar perdesaan. Karakterisitik warga  perdesaan 

bisa dikatakan situasi dan kehidupannya lebih banyak ditandai pada warga  

pertanian. Keempat, Kabupaten Pandeglang. Wilayah ini juga menggambarkan 

warga  perdesaan, dimana situasi sosial ekonomi lebih banyak berhubungan 

kondisi pertanian. Selain itu, fenomena kasus pasung Kabupaten Pandeglang 

memiliki peringkat tertinggi yaitu sebanyak 27 kasus (Dinkes Provinsi Banten, 

2017). 

 

3.9 JADWAL PELAKSANAAN PENELITIAN 

Kegiatan ini direncanakan dilaksanakan selama 3 (Tiga) bulan yaitu dari 

57 

 

57 

 

bulan Agustus sampai dengan bulan November 2017. Kemudian, tahapan kegiatan 

penelitian; pembahasan proposal awal, research design, pengumpulan data 

lapangan, dan pembahasan laporan akhir. 

 

Tabel 3.2 Jadwal Rencana Kegiatan 

No Uraian 

Bulan 

Agustus September Oktober 

1 Persiapan :    

a. Rapat Persiapan    

b. Penyusunan Tim    

2 Pelaksanaan :    

a. Pengumpulan Data    

b. Pengolahan Data dan Informasi    

c. Penyusunan Laporan I    

d. Penyusunan Laporan II    

e. Penyusunan Laporan III (akhir)    

Evaluasi dilaksanakan tiap bulan dan triwulan 

 

 

3.10 SUSUNAN TIM PENELITI (Terlampir) 

3.11 RENCANA ANGGARAN BIAYA (Terlampir) 

 

 

 

58 

 

58 

 

BAB 4  HASIL PENELITIAN 

 

Pembahasan pada bab ini merupakan deskripsi hasil penelitian yang 

didukung dari dari beberapa sumber data, baik data sekunder maupun data primer 

yang dikumpulkan oleh Tim Peneliti. Data-data yang terhimpun diantaranya 

bersumber dari Dinas Sosial Provinsi Banten, Dinas Kesehatan Provinsi Banten. 

Selain itu data yang terhimpun didapatakan dari Dinas Sosial dan Kesehatan 

Kabupaten/Kota serta beberapa yayasan Panti Sosial yang melakukan penanganan 

ODGJ di Provinsi Banten. Data ini  dipandang merepresentatifkan 

karakterisitik objek penelitian. Pembahasan yang akan diuraikan diantaranya, 

Karakterisitik ODGJ, model penanganan ODGJ, kendala penanganan ODGJ, dan 

bentuk upaya model penanganan yang seharusnya dilakukan di Provinsi Banten. 

 

4.1 KARAKTERISTIK ODGJ DI BANTEN 

4.1.1 Karakterisitik Penyebab ODGJ 

Menurut UU No. 18 Tahun 2014, yang dimaksud orang dengan gangguan 

jiwa (ODGJ) adalah orang yang mengalami gangguan dalam pikiran, perilaku, 

dan perasaan yang termanifestasi dalam bentuk sekumpulan gejala dan/atau 

perubahan perilaku yang bermakna, serta dapat menimbulkan penderitaan dan 

hambatan dalam menjalankan fungsi orang sebagai manusia.  Sementara ODMK 

(orang dengan kasus  kejiwaan) adalah orang yang memiliki  kasus  fisik, 

mental, sosial, pertumbuhan dan perkembangan, dan/atau kualitas hidup sehingga 

memiliki risiko mengalami gangguan jiwa (UU No. 18 Tahun 2014 Pasal (2 dan 

3). Karakterisitik ODGJ yang diuraikan adalah sesaui dengan definsi berdasar  

UU ini  yang dibagi pada dua gangguan kejiwaan, yaitu berdasar  

gangguan mental emosional dan gangguan jiwa berat. 

 

1) Gangguan Mental Emosional 

Gangguan mental emosional merupakan suatu keadaan yang 

mengindikasikan individu mengalami suatu perubahan emosional yang dapat 

59 

 

59 

 

berkembang menjadi keadaan patologis apabila terus berlanjut. Gangguan mental 

emosional merupakan istilah yang sama dengan distres psikologik. Kondisi 

ini  merupakan keadaan yang mengindikasikan seseorang sedang mengalami 

perubahan psikologis. Berbeda dengan gangguan jiwa berat psikosis dan 

skizofrenia, gangguan mental emosional adalah gangguan yang dapat dialami 

semua orang pada keadaan tertentu, tetapi dapat pulih seperti semula. Gangguan 

ini dapat berlanjut menjadi gangguan yang lebih serius apabila tidak berhasil 

ditanggulangi. Perkembangannnya berdasar  hasil Riskesdas tahun 2007 

menunjukkan prevalensi gangguan mental emosional pada warga  berumur ≥ 

15 tahun bisa dilihat pada tabel berikut: 

 

Tabel 4.1 Prevalensi Gangguan Mental Emosional pada warga  Berumur 15 

Tahun Ke Atas (berdasar  Self Reporting Questionnaire-20)* menurut 

Kabupaten/kota di Provinsi Banten, Riskesdas 2007 

 

No Kabupaten/Kota Gangguan Mental Emosional (%) 

1 Kabupaten Pandeglang 10,9 

2 Kabupaten Lebak 7,1 

3 Kabupaten Tangerang 14,6 

4 Kabupaten Serang 10,5 

5 Kota Tangerang 7,9 

6 Kota Cilegon 16,9 

 Banten 11,5 

*Nilai Batas Pisah (Cut off Point) ≥ 6 

Sumber: Riskesdas 2007, Kementrian Kesehatan RI 

 

berdasar  tabel di atas, diketahui prevalensi gangguan mental emosional 

pada warga  yang berumur ≥ 15 tahun di Provinsi Banten sebesar (11,5%), hal 

ini  hampir sama dengan prevalensi nasional (11,6%) di Tahun 2017. Di 

antara kabupaten/kota, prevalensi tertinggi di Kabupaten Kota Cilegon (16,9%) 

60 

 

60 

 

diikuti Kabupaten Tangerang (14,6%) lebih tinggi dari prevalensi nasional. 

Kemudian prevalensi gangguan mental emosional paling rendah adalah 

Kabupaten Lebak (7,1%) dan disusul Kota Tangerang sebesar (7,9%). 

 

Tabel 4.2 Prevalensi Gangguan Mental Emosional pada warga  

berumur 15 Tahun ke atas di Provinsi Banten, Riskesdas 2007 

 

 

Sumber: Riskesdas 2007, Kementrian Kesehatan RI 

 

61 

 

61 

 

berdasar  tabel di atas, diketahui bahwa prevalensi gangguan mental 

emosional meningkat sejalan dengan pertambahan umur. Kelompok yang rentan 

mengalami gangguan mental emosional antara lain perempuan, pendidikan 

rendah, tidak bekerja, tinggal di desa dan tingkat pengeluaran perkapita rumah 

tangga rendah. 

Adapun untuk gangguan mental emosional menurut hasil Riskesdas 2013 

di mana penilaiannya sama dengan tahun 2007 yang  menggunakan kuesioner 

serta metode pengumpulan data yang sama pula. Berikut di gambarkan prevalensi 

Provinsi Banten pada tabel berikut: 

 

Tabel 4.3 Prevalensi gangguan mental emosional pada warga  berumur 15 ke 

atas (berdasar  self reporting questionnaire-20)* menurut Kabupaten/Kota, 

Provinsi Banten 2013 

 

No Kabupaten/Kota Gangguan Mental Emosional (%) 

1 Kabupaten Pandeglang 7,8 

2 Kabupaten Lebak 0,9 

3 Kabupaten Tangerang 6,4 

4 Kabupaten Serang 3,5 

5 Kota Tangerang 7,5 

6 Kota Cilegon 9,6 

7 Kota Serang 2,4 

8 Kota Tangerang Selatan 1,8 

 Banten 5,1 

*Nilai Batas Pisah (Cut off Point) ≥ 6 

Sumber: Riskesdas 2013, Kementrian Kesehatan RI 

 

berdasar  tabel ini  diketahui, bahwa prevalensi warga  yang 

mengalami gangguan mental emosional di tingkat Provinsi Banten adalah 5,1%. 

Sementara, kabupaten/kota dengan prevalensi gangguan mental emosional 

tertinggi adalah Kota Cilegon (9,6%), sedangkan yang terendah di Kabupaten 

Lebak (0,9%). 

62 

 

62 

 

Gambar 4.1 Prevalensi gangguan mental emosional berdasar  karakteristik, 

Provinsi Banten 2013 

 

 

Sumber: Riskesdas 2013, Kementrian Kesehatan RI 

 

 

berdasar  gambar prevalensi gangguan mental emosional berdasar  

karakteristik di Provinsi Banten 2013, terlihat bahwa pola prevalensi gangguan 

mental emosional sesuai kelompok umur, jenis kelamin, dan pendidikan ART dan 

tempat tinggal. Prevalensi gangguan mental emosional di perkotaan lebih tinggi 

daripada di perdesaan, lebih banyak terjadi pada perempuan (6,5%) daripada laki-

laki (3,7%) dan kelompok usia > 75 tahun sangat mendominasi angka prevalensi 

gangguan mental emosional. 

 

2) Gangguan Jiwa Berat 

Gangguan jiwa berat adalah gangguan jiwa yang ditandai oleh 

terganggunya kemampuan menilai realitas atau tilikan (insight) yang buruk. 

Gejala yang menyertai gangguan ini antara lain berupa halusinasi, ilusi, waham, 

gangguan proses pikir, kemampuan berpikir, serta tingkah laku aneh, misalnya 

agresivitas atau katatonik. Gangguan jiwa berat dikenal dengan sebutan psikosis 

dan salah satu contoh psikosis adalah skizofrenia. 

63 

 

63 

 

Pada kategori gangguan jiwa berat ini bisa diindikasikan pada keadaan 

atau kategori ODGJ (Orang Dengan Gangguan Jiwa) yaitu orang yang mengalami 

gangguan dalam pikiran, perilaku, dan perasaan yang termanifestasi dalam bentuk 

sekumpulan gejala dan/atau perubahan perilaku yang bermakna, serta dapat 

menimbulkan penderitaan dan hambatan dalam menjalankan fungsi orang sebagai 

manusia. 

Hasil Riskesdas tahun 2013 di Provinsi Banten dengan indikator kesehatan 

jiwa yang dinilai antara lain gangguan jiwa berat, gangguan mental emosional 

serta cakupan pengobatannya. Berikut perkembangan prevalensi gangguan jiwa 

berat menurut kabupaten/kota di Provinsi Banten Tahun 2013: 

 

Tabel 4.4 Prevalensi gangguan jiwa berat menurut kabupaten/kota, 

Provinsi Banten 2013 

No Kabupaten/Kota 

Gangguan Jiwa Berat 

(psikosis/skizofrenia) (per mil) 

1 Kabupaten Pandeglang 0,7 

2 Kabupaten Lebak 0,6 

3 Kabupaten Tangerang 0,8 

4 Kabupaten Serang 0,3 

5 Kota Tangerang 2,3 

6 Kota Cilegon 1,7 

7 Kota Serang 1,9 

8 Kota Tangerang Selatan 1,0 

 Banten 1,1 

Sumber: Riskesdas 2013, Kementrian Kesehatan RI 

 

berdasar  tabel ini  diketahui, bahwa prevalensi gangguan jiwa 

berat di Banten sebesar 1,1 permil masih di bawah prevalensi gangguan jiwa berat 

nasional (1,7‰). Terlihat bahwa prevalensi psikosis tertinggi di Kota Tangerang 

sebesar 2,3 permil, sedangkan yang terendah di Kabupaten Serang(0,3‰). Berikut 

ini prevalansi gangguan jiwa berat (psikosis/skizofrenia) per mil dalam bentuk 

Gambar Grafik: 

64 

 

64 

 

Gambar 4.2 Riskesdas Provinsi Banten Thn 2013 Prevalensi 

Gangguan Jiwa Berat (Psikosis/ Skizofrenia) per mil 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Sumber: Riskesdas 2013, Kementrian Kesehatan RI 

 

Tabel 4.5 Proporsi gangguan jiwa berat menurut karakteristik, 

di Provinsi Banten 2013 

 

Sumber: Riskesdas 2013, Kementerian Kesehatan RI 

 

 

Proporsi rumah tangga yang pernah memasung anggotanya yang 

mengalami gangguan jiwa berat sebesar 10,3 persen dan terbanyak di perdesaan. 

Rumah tangga yang melakukan tindakan pemasungan terbanyak pada kelompok 

kuintil indeks kepemilikan terbawah. Proporsi rumah tangga yang pernah 

melakukan pemasungan terhadap ART dengan gangguan jiwa berat. Metode 

pemasungan tidak terbatas pada pemasungan secara tradisional (menggunakan 

kayu atau rantai pada kaki), tetapi termasuk tindakan pengekangan lain yang 

0

0,5

1

1,5

2

2,5

Kab Pandeglang

Kab. Lebak

Kab. Tangerang

Kab. Serang

Kota Tangerang

Kota Cilegon

Kota Serang

Kota Tangerang Selatan

BANTEN

0,7

0,6

0,8

0,3 2,3

1,7

1,9

1

1,1

Kab/ Kota

65 

 

65 

 

membatasi gerak, pengisolasian, termasuk mengurung, dan penelantaran yang 

menyertai salah satu metode pemasungan. 

Faktor penyebab gangguan jiwa terkategori umum dari mulai faktor 

predisposisi yang meliputi: biologis, psikologis, sosial, ekonomi, dan budaya. 

Terjadi secara komplek, tidak berdiri sendiri. Kecuali pencetusnya atau faktor 

presipitasi yang hanya sebagai pemantik tunggal terjadinya gangguan jiwa. ODGJ 

di Provinsi Banten ini memiliki  beragam penyebab serta pencetusnya. 

Secara genetik, penyebab gangguan jiwa muncul dikarenakan oleh 

beberapa macam hal seperti infeksi virus saat masa kehamilan yang dapat menjadi 

pengganggu perkembangan otak pada janin. Kekurangan gizi pada masa – masa 

trimester kehamilan, ibu hamil yang mengalami trauma, kelainan hormonal atau 

adanya komplikasi kandungan dan toksin atau racun. Ditemukan lagi jika ada 

janin yang memiliki gen abnormal tidak beresiko terjangkit gangguan jiwa kecuali 

disertai oleh beberapa faktor pendukung terjadinya gangguan jiwa kelak di 

kemudian hari. 

Apabila seseorang yang memiliki beberapa macam faktor penyebab 

gangguan jiwa mengalami depresi atau stres yang emosional di dalam dirinya dan 

kehidupan sehari–hari, maka akan memiliki resiko mengalami gangguan jiwa 

lebih besar daripada orang yang sebelumnya tidak memiliki beberapa macam 

faktor disebutkan. 

Selain faktor genetik, penyebab terjadinya gangguan jiwa dapat 

disebabkan oleh beberapa kasus  dalam kehidupan atau lingkungan sehari-hari. 

Seperti karena kasus  ekonomi atau menderita penyakit kronis seseorang akan 

dapat beresiko mengalami gangguan kejiwaan. Contohnya seseorang yang 

mengalami depresi karena tidak cukup makan dan tidur, sehingga membuat daya 

tahan menjadi menurun dan dapat mengalami gangguan fisik atau penyakit fisik. 

Namun, apabila seseorang menderita penyakit fisik kronis misalnya kanker atau 

tumor juga dapat mengalami penurunan psikologi dan berujung pada depresi 

berat. Depresi berat inilah yang dapat beresiko mengalami gangguan jiwa. Hal ini 

dapat terjadi pada aksi bullying atau pem-bully-an terhadap sesama teman atau 

orang lainnya yang dianggap tidak pantas untuk berteman atau sejajar dengan 

66 

 

66 

 

mereka. Apabila hal ini berlangsung secara terus menerus maka akan dapat 

mengakibatkan depresi pada si anak yang di bully tadi. Selain gangguan jiwa, bisa 

jadi si anak tadi bisa melakukan tindakan kriminal seperti pembunuhan terhadap 

seseorang yang sering mem-bully dirinya. Jadi, bully itu tidak diperkenankan dan 

seharusnya tidak dilakukan karena dapat menyebabkan gangguan psikis, terlebih 

lagi dapat menimbulkan penyimpangan kejiwaan.  

Penyebab terjadinya ODGJ di Banten disebabkan oleh beberapa faktor 

yang tidak berdiri sendiri sebagai satu penyebab saja, namun sebagai pencetus 

lebih banyak dilatarbelakangi oleh gangguan psikologis dan sosiologis. Kondisi 

ekonomi dan kemiskinan menjadi sangat dominan, seperti kutipan wawancara 

berikut: 

“Peneyebab ODGJ sebenarnya di wilayah kita ini lebih banyak disebabkan 

oleh faktor psikis dan sosiologis, serta jarang disebabkan oleh faktor 

genetis. Fokator ekonomi dan kemiskinan menjadi sangat dominan, karena 

rata-rata mereka yang mengalami gangguan jiwa dari mereka keluarga 

yang ekonominya kurang berkecukupan, sehingga mereka kesulitan untuk 

membawa ke dokter dengan alasan tidak ada biaya. Beberapa kasus 

pemasugan mereka dari kelompok keluarga ODGJ yang tidak mampu 

Seperti ada di Daerah Pandeglang, ada seorang anak yang mengalami 

gangguan kejiwaan diakibatkan karena ingin dibelikan motor, namun tidak 

terturuti oleh orang tuanya” (wawancara Dinas Kesehatan Kabupaten 

Pandeglang, 2017). 

 

berdasar  pernyataan di atas diketahui,  bahwa faktor penyabab ODGJ 

di Banten lebih banyak disebabkan oleh faktor psikologis dan sosiologis. 

Kemudian faktor ekonomi membuat mereka mengalami gangguan jiwa. Sehingga 

dalam penanganan untuk penyembuhannya pun sulit dilakukan oleh keluarga 

ODGJ, karena keterbatasan biaya. Artinya, faktor didikan dalam keluarga dan 

interaksi pada lingkungan disini cukup mempengaruhi munculnya ODGJ. Ada 

juga kasus ODGJ di Kabupaten Serang, mengalami kondisi retardasi mental yang 

disertai gangguan jiwa. 

 

4.1.2 Karakterisitik Jumlah dan Sebaran ODGJ di Banten 

Data angka kejadian gangguan jiwa di Provinsi Banten  menurut Riskesdas 

Kemenkes (2007) sebesar 2 permil atau ada dua warga  dari 1000 warga  

67 

 

67 

 

yang mengalami gangguan jiwa, hal ini  berdasar  estimasi dengan jumlah 

warga  Provinsi Banten 10.632.166 orang (BPS, 2010) maka dimungkinkan 

21.264 orang warga  mengalami gangguan jiwa. Sedangkan data hasil 

Riskesdas Kemenkes (2013), menunjukan 1 dari 17 warga  di Banten memiliki 

gangguan mental emosional (anxietas dan depresi) serta sekitar 13.200 warga  

di Banten memiliki gangguan jiwa berat (psikotik). 

Jumlah dan sebaran ODGJ berdasar  laporan data kasus jiwa per 

kabupaten/kota pada periode Januari-Juli 2017 dari Dinas Kesehatan Provinsi 

Banten (2017). Jumlah ODMK di Banten mencapai dari 5732 kasus dan data 

ODGJ mencapai 4881 kasus. Berikut tabel ODMK dan ODGJ secara rinci tahun 

2017: 

 

Tabel 4.6 Laporan Data Kasus Jiwa Kabupaten/Kota 

di Provinsi Banten Tahun 2017 

No Nama Kab/Kota ODMK ODGJ 

1 Kab. Serang 228 208 

2 Kab. Tangerang 460 244 

3 Kab. Pandeglang 580 576 

4 Kab. Lebak 758 324 

5 Kota Cilegon 2950 2923 

6 Kota Tangerang 157 147 

7 Kota Serang 241 121 

8 Kota Tangsel 358 338 

  Provinsi 5732 4881 

Sumber: Dinkes Provinsi Banten (2017) 

 

berdasar  data tabel laporan kasus Jiwa per kabupaten/kota di Provinsi 

Banten tahun 2017 di atas, dapat dikethaui bahwa jumlah ODMK terbanyak ada di 

Kota Cilegon dengan jumlah sebanyak 2950 jiwa. Selin itu juga, jumlah ODGJ 

terbanyak masih di Kota Cilegon dengan yaitu sebanyak 4881 jiwa. Adapun 

jumlah yang paling sedikit ODMK dan ODGJ ada di Kota Tangerang yaitu 

jumlah ODMK sebayak 157 jiwa dan ODGJ sebanyak 147 jiwa. 

68 

 

68 

 

Tabel 4.7 Kasus Pasien ODGJ Yang Dilaporakan berdasar  Kab/Kota di 

Provinsi Banten Tahun 2014 – 2017 

 

No Nama Kab/Kota 

Tahun 

2014 2015 2016 2017 

1 Kab. Serang 55 65 915 208 

2 Kab. Tangerang 1 6 659 460 

3 Kab. Pandeglang 0 82 15 576 

4 Kab. Lebak 19 10 16 758 

5 Kota Cilegon 0 0 8 2923 

6 Kota Tangerang 0 0 2 147 

7 Kota Serang 13 26 91 241 

8 Kota Tangsel 0 0 0 338 

  Jumlah 88 189 1706 5651 

Sumber: Dinkes Provinsi Banten (2017) 

 

berdasar  data Dinas Kesehatan Provinsi Banten (2017), diketahui 

bahwa perkembangan ODGJ di Provinsi dari data kasus pasien yang dilaporkan 

tercatat tahun 2014 hingga tahun 2017 terus mengalami peningkatan. Dari rentang 

waktu selama empat tahun ini  jumlah cukup siginifikan yaitu sebanyak 5651 

ODGJ. Hal ini  sudah menghawatikan, dan bisa menjadi bencana untuk 

kesehatan jiwa warga  Banten. 

Keberadaan ODGJ di Provinsi Banten bisa dikategorikan pada dua jenis 

berdasar  penanganannya. Pertama ODGJ yang masih ditangani oleh 

keluarganya dan kedua yaitu ODGJ yang sudah terlepas dari keluarganya yang 

keberadaanya terlantar hidup berkeliaran tidak terurus. Jumlah kasus pasien 

ODGJ yang ditangani berdasar  kab/kota di Provinsi Banten dari Tahun 2014 

hingga  Tahun 2017, berikut rinciannya pada tabel berikut: 

 

 

 

 

69 

 

69 

 

Tabel 4.8 Kasus Pasien ODGJ Yang Ditangani berdasar  Kab/Kota di Provinsi 

Banten Tahun 2014 – 2017 

 

No Nama Kab/Kota 

Tahun 

2014 2015 2016 2017 

1 Kab. Serang 51 65 29 208 

2 Kab. Tangerang 0 0 659 244 

3 Kab. Pandeglang 0 82 15 576 

4 Kab. Lebak 19 8 16 324 

5 Kota Cilegon 0 0 8 2923 

6 Kota Tangerang 0 0 2 147 

7 Kota Serang 13 26 91 121 

8 Kota Tangsel 0 0 0 338 

  Jumlah 83 181 820 4881 

Sumber: Dinkes Provinsi Banten (2017) 

 

berdasar  data Dinas Kesehatan Provinsi Banten (2017), tercatat hingga 

Tahun 2017, bahwa ODGJ yang sudah tertangani berjumlah 4881 jiwa. Artinya 

dari jumlah pasien ODGJ yang dilaporkan sebanyak 5651 jiwa, masih ada 770 

jiwa ODGJ yang terlantar dan masih berkeliaran di warga  pada tempat-

tempat umum. Kondisi ini  butuh penanganan ODGJ secara menyeluruh 

dengan semua lembaga baik lembaga pemerintah maupun lembaga warga . 

Kasus pasien ODGJ dari catatan Dinas Kesehatan Provinsi Banten 

jumlahnya pada tahun 2017 lebih sedikit, yaitu hanya ada 23 pasien ODGJ yang 

sudah dilepas dari pasungan. Jumlah pasien ini  dinyatakan dari catatan 

keluarga keluarga ODGJ yang melaporkan kepada pemerintah. Artinya 

kepedulian warga  dalam memberikan informasi perkembangan ODGJ yang 

berkoordinasi dengan pemerintah masih dipandang kurang. Sehingga hal ini  

perlu menjadi perhatian agar lebih sinergis antar warga  dan pemerintah 

daerah. Berikut data kasus pasien ODGJ yang dilepas: 

 

 

 

70 

 

70 

 

Tabel 4.9 Kasus Pasien ODGJ Yang Dilepas dari pasungan berdasar  Kab/Kota 

di Provinsi Banten Tahun 2016 – 2017 

 

No Nama Kab/Kota 

Tahun 

2016 2017 

Kab. Serang 14 3 

Kab. Tangerang 0 9 

Kab. Pandeglang 2 8 

Kab. Lebak 3 1 

Kota Cilegon 4 0 

Kota Tangerang 0 0 

Kota Serang 2 2 

Kota Tangsel 0 0 

  Jumlah 25 23 

Sumber: Dinkes Provinsi Banten (2017) 

 

Keberadaan ODGJ kerap menganggu ketertiban warga , dengan 

alasan sudah tidak mampuh lagi merawat pasien ODGJ, keluarga pasien banyak 

yang melepasnya begitu saja, atau pasiennya sendiri lepas saat dari rumah dan 

tidak ditemukan keberadaannya oleh keluarga pasien ODGJ. Metode pasung 

menjadi salah satu pilihan warga  untuk mengendalikan pasien ODGJ, 

sehingga keberadaan ODGJ banyak yang diperlakukan di pasung untuk 

menghindari meresahkan warga  sekitar. 

Timbulnya berbagai kasus pemasungan yang terjadi terhadap ODGJ 

disebabkan karena kurangnya pemahaman dari lingkungan warga  dalam 

menangani adanya fenomena ini . Tindakan pemasungan pada ODGJ 

seharunya tidak terjadi, hal ini  karena bagaimana ODGJ merupakan warga 

negara yang mesti diakomodir pemerintah dan memiliki hak yang sama seperti 

manusia normal pada umumnya. Berikut tabel kasus pasien ODGJ yang dipasung 

berdasar  kab/kota di Provinsi Banten Tahun 2017: 

 

 

71 

 

71 

 

Tabel 4.10 Kasus Pasien ODGJ Yang Dipasung berdasar  Kab/Kota 

di Provinsi Banten Tahun 2017 

 

No Nama Kab/Kota ODGJ Dipasung 

1 Kab. Serang 21 

2 Kab. Tangerang 8 

3 Kab. Pandeglang 27 

4 Kab. Lebak 27 

5 Kota Cilegon 9 

6 Kota Tangerang 0 

7 Kota Serang 9 

8 Kota Tangsel 0 

  Jumlah 101 

Sumber: Dinkes Provinsi Banten (2017) 

 

 

berdasar  data Dinas Kesehatan Provinsi Banten (2017), bahwa kasus 

pasien ODGJ yang masih dipasung masih ada 101 pasien ODGJ, di mana jumlah 

pasung terbanyak ada di Kabupaten Pandeglang 27 pasien dan Kabupaten 

Pandeglang sebanyak 27 pasien. Selain itu juga kasus pasung di Kabupaten 

Serang sebanyak 21 pasien, Kabupaten Tangerang 8 pasien dan Kota Cilegon 

sebanyak 9 pasien. Adapun Kota Tangerang dan Kota Tangsel tercatat 0 (tidak 

ada kasus pemasungan). 

Upaya Pemprov Banten melalui Dinas Kesehatan (Dinkes) mencanangkan 

program Banten Bebas Pasung 2019, perlu usaha yang berkelanjutan dan serius. 

Hal ini , karena masih banyak ODGJ yang terpaksa harus dipasung oleh 

keluarganya. Pemasungan terhadap anggota keluarga yang mengalami gangguan 

jiwa, ditemukan lebih banyak  di daerah pelosok, karena alasan mengganggu dan 

mengancam keselamatan orang lain dan menganggap dengan adanya ODGJ 

adalah aib yang harus ditutup rapat oleh keluarga. 

 

 

72 

 

72 

 

4.1.3 Karakterisitik Perilaku Kesehatan Keluarga ODGJ dan warga  

Sekitar 

Faktor pengetahuan dan sikap keluarga serta warga  sekitar terhadap 

ODGJ berkembang secara umum masih banyak hal yang keliru. Hal ini  

terkait dengan tahu, mau, dan mampu terhadap kesehatan jiwa. Upaya-upaya 

kesehatan jiwa yang berkembang dikeluarga dan warga  adalah upaya yang 

masih berdasar  latar belakang tradisi dan sistem nilai atau kepercayaan yang 

cenderung turun temurun. Menjadi positif  bila tata nilai ini  sangat berkaitan 

dan logis sebagai suatu upaya  yang tepat. Namun demikian ternyata justru hal-hal 

yang muncul menjadi suatu hal negatif karena ketidaktahuan terhadap gangguan 

jiwa sampai perlakuan terhadap ODGJ. 

Pengetahuan yang rendah terhadap gangguan jiwa serta berkembangnya 

tata nilai bahkan menjadi tradisi yang buruk. Selanjutnya melahirkan mitos di 

dalam warga  terkait gangguan jiwa, dimana gangguan jiwa tidak bisa 

sembuh, tidak bisa stabil dan tidak dapat diramalkan kondisinya dan kejadiannya, 

bisa mungkin berbahaya, dan gangguan jiwa sebagai kutukan dan hukuman. Lebih 

lanjut muncul stigma dalam warga  terhadap ODGJ serta diskriminasi sosial 

secara meluas. 

Semua kondisi di atas diperkuat dengan tingkat pendidikan warga  

yang rendah, seiring dengan faktor sosial dan ekonomi yang rendah juga. Hal ini 

terangkai dalam lingkaran setan dengan kemiskinan. Sehingga gangguan jiwa dan 

kemiskinan menjadi satu kondisi yang semakin ironis yang harus dicegah lebih 

dini dalam perkembangan warga . 

Hal ini  di atas sebagai karakteristik penting perilaku kesehatan dari 

keluarga dengan ODGJ seiring pendapat beberapa partisipan terkait kondisi 

karakteristik ini . Secara umum dinyatakan bahwa karakteristik perilaku 

kesehatan keluarga ODGJ dan warga  sekitarnya cenderung memiliki 

pengetahuan yang rendah, sosial ekonomi dan tingkat pendidikan rendah serta 

memiliki  tata nilai yang negatif terhadap ODGJ. 

 

 

73 

 

73 

 

4.2 MODEL PENANGANAN ODGJ DI BANTEN 

4.2.1 Model Penanganan ODGJ yang dilakukan Pemerintah 

Secara umum Kementerian Kesehatan memiliki  program penanganan 

sesuai arah pembangunan kesehatan pada RPJMN III 2015-2019, dengan arah 

pengembangan upaya kesehatan, dari kuratif dan rehabilitatif bergerak ke arah 

promotif dan preventif sesuai kondisi dan kebutuhan, melalui visi warga  

sehat yang mandiri dan berkeadilan. Kebijakan penanggulangan ODGJ 

difokuskan pada penguatan layanan primer dengan indikator strategis dan 

indikator kinerja yang sudah sangat jelas. 

Pelayanan kesehatan jiwa dituangkan dari Kemenkes ke dalam kebijakan 

pelayanan kesehatan jiwa di fasilitas kesehatan dasar di bawah Direktorat 

Kesehatan Jiwa dan Napza. Kebijakan ini  berdasar  kepada landasan 

hukum terkait pelayanan kesehatan jiwa di fasilitas kesehatan dasar berdasar  

Undang-Undang No.36 Tahun 2009 tentang kesehatan pasal 144, 246, dan 147 

mengenai layanan kesehatan jiwa. Diperkuat dengan Undang-undang No.18 

Tahun 2014 tentang kesehatan jiwa pada pasal 33 dan 34. Pelayanan utama pada 

level ini termasuk; (1) Identifikasi dini gangguan jiwa; (2) Penatalaksanaan 

gangguan jiwa yang umum terjadi di warga ; (3) Menjaga kestabilan kondisi 

pasien gangguan jiwa; (4) Melaksanakan rujukan; (5) Perhatian terhadap 

kebutuhan kesehatan jiwa bagi pasien gangguan fisik; (6) Promosi kesehatan jiwa 

dan prevensi gangguan jiwa. Kebijakan pemerintah pusat di bawah Kemenkes 

ini  di atas ternyata belum sepenuhnya bisa dilaksanakan di tingkat daerah. 

Seperti halnya terjadi di Provinsi Banten, langkah ini  baru ditindak lanjuti 

dengan Keputusan Gubernur Provinsi Banten tentang Pembentukan Tim Pengarah 

Kesehatan Jiwa warga  (TPKJM) Tingkat Provinsi Baanten. 

 

“Dalam rangka penanganan ODGJ di Provinsi Banten, Dinkes Provinsi 

Banten sudah menginisiasi keputusan Gubernur tentang TPKJM Nomor 

441.3.05/Kep. 224-Huk/2016 pada tahun 2016 lalu tetapi pada 

pelaksanaanya belum berjalan dengan baik, tetapi pada upaya penanganan 

yang lain Dinkes Banten sudah berupaya melalui pengiriman diklat 

penanganan ODGJ untuk tenaga dokter dan perawat perwakilan 

74 

 

74 

 

kabupaten/kota se Provinsi Banten.” (Wawancara Informan Dinas 

Kesehatan Provinsi Banten, 2017). 

 

berdasar  pernyataan ini , diketahui bahwa Dinas Kesehatan 

Provinsi Banten sampai saat ini belum ada penanganan secara khusus untuk 

ODGJ, hal ini  dikarenakan terbatasnya sumberdaya yang dimiliki, baik dari 

segi fasilitas maupun kompetensi tenaga kesehatannya. Sampai saat ini 

penanganan ODGJ masih bersifat berbaur dengan layanan kesehatan umum, baik 

di rumah sakit maupun Puskesmas. Hal ini  menjadi kendala tersendiri 

bagaimana mensinkronkan antara kebijakan kementerian kesehatan dengan 

kebijakan daerah. 

Penanganan di tingkat Kabupaten/Kota di Provinsi Banten sampai saat 

belum ada penanganan secara khusus untuk ODGJ. Namun, hanya melakukan 

sosialisasi pada tingkat Puskesmas dan pemberian obat pada ODGJ. Hal ini  

disampaikan karena keterbatasan potensi sumberdaya yang dimiliki (fasilitas dan 

tenaga kesehatan). Hal ini  seperti disampaikan informan sebagai berikut: 

 

“Penanganan ODGJ di Kota Serang sampai saat ini terbatas pada 

sosialisasi untuk penanganan ODGJ ke tiap-tiap Puskesmas, memberikan 

pelatihan pada tenaga medis dan melalui pengadaan obat. Belum pada 

penanganan yang bersifat serius, semua ini terbentur pada kondisi 

penganggaran dan fasilitasi ODGJ itu sendiri, sehingga kondisi ini belum 

menjadi perkasus an bersama.” (Wawancara Dinas Kesehatan Kota 

Serang, 2017). 

 

Program pelayanan kesehatan jiwa oleh pemerintah di bawah Kemenkes 

dengan kebijakan pelayanan kesehatan jiwa pada tatanan pelayanan dasar. Ada 

tujuh alasan penting pelayanan kesehatan jiwa di fasilitas pelayanan kesehatan 

dasar, antara lain; (1) Beban akibat gangguan jiwa sangat besar; (2) kasus  

kesehatan jiwa dan kesehatan fisik saling terkait dan mempengaruhi; (3) 

Kesenjangan pengobatan pada kasus  kesehatan jiwa sangat besar; (4) Pelayanan 

kesehatan jiwa di puskesmas meningkatkan akses maasyarakat dalam 

mendapatkan kebutuhan akan pelayanan kesehatan jiwa; (5) Pelayanan kesehatan 

jiwa di puskesmas meningkatkan rasa menghargai terhadap hak asasi manusia; (6) 

75 

 

75 

 

Pelayanan kesehatan jiwa di puskesmas terjangkau secara ekonomi oleh 

warga ; (7) Pelayanan kesehatan jiwa di puskesmas menghasilkan outcome 

kesehatan secara umum yang lebih baik (WHO&Wonca, Integrating MH Into 

Primary Care, 2008). 

 

Gambar 4.3  

Piramida Organisasi WHO untuk

Pelayanan Kesehatan Jiwa Komprehensif

 

 

berdasar  gambar ini , maka dapat dinyatakan bahwa pelayanan 

kesehatan jiwa pada tatanan pelayanan fasilitas kesehatan dasar menjadi alternatif 

utama kebijakan Kemenkes karena memiliki  skala pemenuhan kebutuhan dasar 

pada ODGJ yang tinggi dengan penekanan biaya yang bisa lebih rendah. Lebih 

lanjut ada sepuluh prinsip pelayanan kesehatan jiwa di fasilitas pelayanan 

kesehatan dasar; (1) Kebijakan dan program yang mendukung; (2) Advokasi 

kepada pemangku kebijakan untuk mengubah sikap, perilaku dan komitmen 

terhadap kesehatan jiwa; (3) Pelatihan tenaga kesehatan puskesmas yang adekuat; 

(4) Pelayanan kesehatan jiwa di puskesmas bersifat terbatas dan dapat 

dilaksanakan; (5) Psikiater dan tenaga professional kesehatan jiwa lainnya harus 

tersedia untuk mendukung pelayanan di puskesmas; (6) Obat-obatan yang 

dibutuhkan harus tersedia di puskesmas; (7) Integrasi kesehatan jiwa ke dalam 

upaya kesehatan pada umumnya merupakan suatu proses yang berkelanjutan; (8) 

76 

 

76 

 

Koordinator dalam pelayanan kesehatan jiwa; (9) Kolaborasi dengan pihak-pihak 

lain, seperti sektor pemerintahan non-kesehatan, LSM, tenaga kesehatan di 

warga  serta para relawan; (10) Sumber daya manusia (SDM) dan dana yang 

mendukung (WHO&Wonca, Integrating MH Into Primary Care, 2008). Sehingga 

program pelayanan kesehatan jiwa yang berbasis ketahanan keluarga dan 

warga  menjadi sangat penting. 

Program selanjutnya adalah program bebas pasung dengan pencanangan 

negarakita  Bebas Pasung tahun 2019, dengan dasar hukum UU No. 18 tahun 2014 

tentang kesehatan jiwa pada pasal 86. Perpres No.75 tahun 2015 tentang RAN-

HAM 2015-2019 dengan indikator; (1) Jumlah temuan kasus pasung yang 

diberikan layanan kesehatan; (2) Jumlah kabupaten/kota yang memiliki 

puskesmas dengan layanan kesehatan jiwa; (3) Jumlah Provinsi yang 

melaksanakan program bebas pasung. Serta UU No.8 tahun 2016 tentang 

penyandang disabilitas pada pasal 68 dan pasal 72 terkait kewajiban pemerintah 

daerah untuk menyelenggarakan pelatihan tenaga kesehatan agar mampu 

memberikan pelayanan kesehatan kepada penyandang disabilitas serta tindakan 

yang sesuai standar dalam pelayanan kesehatan kepada penyandang disabilitas. 

Program bebas pasung ini pada awal peluncuran programnya cukup memberikan 

kontribusi yang kuat dalam upaya penanganan ODGJ yang direspon positif 

diberbagai daerah. 

Kementerian kesehatan masih fokus pada ODGJ dengan sasaran ODGJ 

yang memiliki  keluarga sebagai penanggungjawab dan care giver-nya belum 

menelusur kepada ODGJ terlantar sebagaimana bidang kajian di dinas sosial. Di 

Provinsi Banten, penanganan ODGJ secara sosial yang ditangani Dinas Sosial 

Provinsi Banten belum sfesifik ditangani secara khusus. Penanganan ODGJ masih 

disatukan dan bercampur dengan kasus  napza dan masuk pada kategori 

rehabilitasi sosial. Penanganan diarahkan lebih kepada keterlantaran dari ODGJ 

yang berkeliaran lepas dari keluarganya, sehingga kerap mengganggu ketertiban 

warga , berikut kutipan wawancara informannya: 

 

“Secara khusus model penanganan ODGJ dari aspek sosisal belum 

berjalan dengan baik, karena dari aspek pembiayaan masih belum ada 

77 

 

77 

 

alokasi khusus untuk penanganan ODGJ, menurut struktur kewenangan di 

Dinsos Provinsi Banten kasus  ODGJ masih belum secara khusus di 

tangani karena kasus  ODGJ masuk pada bidang rehabilitasi Sosisal 

yang di dalamnya menangani juga kasus  napza dan sebagainya.” 

(wawancara Informan Dinas Sosial Provinsi Banten, 2017). 

 

Sementara itu Dinas Sosial Provinsi Banten melakukan penanganan 

terhadap ODGJ dengan melakukan identifikasi identitas penderita dan tingkat 

keparahan ODGJ. Apabila sesudah  dilakukannya identifikasi, ODGJ masih 

memiliki keluarga, maka akan diantarkan ke keluarganya, namun apabila identitas 

ODGJ sulit untuk diidentifikasi, akan diantarkan ke panti rehabilitasi warga  

untuk ditangani secara intensif, kategori bagi ODGJ tanpa identitas digolongkan 

oleh Dinas Sosial Provinsi Banten sebagai ODGJ Ketelantaran. Dinas Sosial 

Provinsi Banten sejauh ini bertanggung jawab menangani ODGJ ketelantaran dan 

ODGJ yang sudah sembuh (eks ODGJ). 

Sesuai dengan penyampaian Dinas Sosial Provinsi Banten, di tingkat 

Kabupaten/Kota juga penanganan dari segi sosial tidak ada penanganan secara 

khusus, seperti disampaikan oleh Dinas Sosial Kabupaten Lebak dan Pandeglang 

yang menyatakan bahwa tidak ada penanganan secara khusus untuk ODGJ, 

dikarenakan terbentur oleh tugas pokok dan fungsi instansi yang mengharuskan 

menangani warga  dalam ketelantaran, dalam hal ini ketelantaran yang 

dimaksud adalah gelandangan, pengemis dan anak terlantar. Sampai saat ini Dinas 

Sosial tingkat Kabupaten/Kota cenderung lebih kepada penanganan ODGJ yang 

dianggap membahayakan, seperti contoh kasus yang terjadi di Lebak, terdapat 

lima kasus ODGJ yang diantarkan pihak kepolisian setempat kepada Dinas Sosial 

Kabupaten Lebak selama kurun waktu Januari sampai dengan September 2017 

karena dianggap meresahkan. Namun dikarenakan Lebak tidak memiliki tempat 

perawatan/penanganan ODGJ yang memadai, maka ODGJ yang ditangani dibawa 

ke Bani Syifa Pamarayan Kabupaten Serang. 

Pemerintah Provinsi Banten, melalui Dinas Sosial dan Dinas Kesehatan 

belum melakukan upaya dalam penanganan ODGJ secara intensif. Program 

pemerintah tingkat Provinsi Banten saat ini masih berorientasi pada sosialisasi 

78 

 

78 

 

bebas pasung. Program-program lain yang bersifat serius dalam menangani ODGJ 

belum ada meskipun sudah ada Keputusan Gubernur tentang Tim Pengarah 

Kesehatan Jiwa warga  (TPKJM). 

 

“Sampai saat ini belum ada program khusus dari Provinsi Banten, namun 

yang dilakukan sampai saat ini adalah pembebasan pemasungan.” 

(Wawancara Informan Dinas Sosial Provinsi Banten, 2017) 

 

Program-program yang terlaksana selain pembebasan pasung pada 

warga  untuk ODGJ, pemerintah Provinsi Banten melalui Dinas Kesehatan 

melakukan pelatihan kepada tenaga kesehatan. Dari pelatihan ini  kemudian 

menghasilkan tenaga kesehatan, mulai dari dokter dan perawat yang memiliki 

kompetensi dasar dalam melakukan pelayanan medis terhadap ODGJ. Berikut 

diungkapkan Informan Dinkes Provinsi Banten: 

 

“Terdapat pembinaan pelayanan kesehatan jiwa yang terdapat banyak 

kasus, terdapat 5 titik yang sudah dilakukan, yaitu Menes, Cigeulis, 

Suradita (Kab Tangerang), Keragilan, Jiput, Prabugantungan Lebak. 5 

Puskesmas ini  mengajukan permohonan kemudian ditindaklanjuti 

dengan mengirimkan dokter spesialis.” (Wawancara Informan Dinkes 

Provinsi Banten, 2017) 

 

berdasar  ungkapan ini , bahwa pioritas dalam menyiapkan tenaga 

kesehatan dilakukan untuk pembinaan pelayanan kesehatan jiwa memiliki banyak 

kasus, paling tidak terdapat lima titik pembinaan yang sudah dilakukan, yaitu 

Menes, Cigeulis, Suradita (Kabupaten Tangerang), Kragilan, Jiput, 

Prabugantungan Kabupaten Lebak. Lima Puskesmas ini  mengajukan 

permohonan kemudian ditindaklanjuti dengan mengirimkan dokter spesialis 

sebagai konsultan dan rujukan bagi tenaga kesehatan pelaksananya.  

berdasar  hasil penelitian, partisipan mengungkapkan beberapa paket 

pelatihan bagi tenaga kesehatan terutama paket dokter umum dan perawat dari 

puskesmas yang sampai tahun 2017 ini sudah mencakup 70 puskesmas dari 235 

puskesmas di Kabupaten/Kota di Provinsi Banten, dengan dokter umum dan 

perawat yang terlatih dalam pelayanan kesehatan jiwa di puskesmas dengan satu 

79 

 

79 

 

orang psikiater sebagai konsultannya. Supervisi yang optimal dari Dinas 

Kesehatan Provinsi Banten sangat menguatkan keberhasilan program bebas 

pasung. Sebagai contoh keberhasilan di Puskesmas Munjul dan Puskesmas 

Cigeulis yang sudah mampu melaksanakan program bebas pasung dan pelayanan 

kesehatan jiwa di puskesmas yang dirasakan kebermanfaatannya oleh keluarga 

dan warga . Kondisi yang sama terjadi di Kota Serang yang juga belum ada 

program khusus dalam menangani ODGJ, berikut wawancaranya: 

 

“Belum ada program khusus dari Dinsos Kota Serang, sampai saat ini 

program yang dilakukan hanya melalui sosialisasi, pelatihan dan 

pembebasan pemasungan yang dilakukan di warga .” (Wawancara 

dengan Dinas Kesehatan Kota Serang, 2017). 

 

Kota Serang sendiri sebagai ibu kota Provinsi Banten dari pernyataan di 

atas, dalam penanganan ODGJ tidak memiliki program yang cukup untuk 

dilaksanakan, dikarenakan faktor anggaran yang kurang memadai. Untuk 

menyiapkan tenaga kesehatan dan melakukan program terkait penanganan ODGJ 

sampai saat ini hanya mengandalkan program-program sederhana, seperti 

melakukan sosialisasi kesehatan jiwa, mengikutsertakan tenaga kesehatan dari 

Dinas Kesehatan Kota Serang untuk mengikuti pelatihan dan penyediaan obat-

obatan. 

  

4.2.2 Model Penanganan ODGJ yang Berkembang di warga  

Penanganan ODGJ yang dilakukan warga  di Provinsi Banten sampai 

saat ini masih berorientasi pada panti rehabilitasi warga , puskesmas/rumah 

sakit umum dan sebagian warga  memilih melakukan pemasungan, 

sebagaimana banyak terjadi di wilayah Pandeglang, Kota Serang dan Kota 

Cilegon dan Kabupaten Lebak. Banyak warga  yang membiarkan ODGJ, 

mungkin hal ini  juga yang menyebabkan program bebas pasung tidak 

berjalan secara baik, karena tidak adanya formulasi yang tepat untuk 

dilaksanakan. 

 

80 

 

80 

 

“Penanganan ODGJ yang dilakukan warga  sampai saat ini melalui 

panti rehabilitasi warga , puskesmas/rumah sakit umum dan sebagian 

warga  melakukan pemasungan.” (Wawancara dengan Dinas Sosial 

Provinsi Banten, 2017). 

 

Sementara itu, untuk penanganan medis, keluarga membawa ODGJ datang 

ke puskesmas, kemudian dirujuk untuk dibawa ke RSJ untuk ditangani, 

selanjutnya jika dapat ditangani oleh keluarga, maka akan dikembalikan yang 

kemudian didampingi oleh Puskesmas. ODGJ harus mengkonsumi obat secara 

terus menerus tanpa putus. Penanganan ODGJ yang kompleks memang menjadi 

tantangan tersendiri bagi Pemerintah Provinsi Banten, karena harus melibatkan 

banyak unsur, mulai dari Dinas Sosial, Dinas Kesehatan, Kepolisian, Babinsa dan 

warga , sehingga sosialisasi sampai dengan pelaksanaan penanganan tidak 

dapat berdiri sendiri. Program penanggulangan ODGJ oleh warga  ini secara 

umum masih berkisar pada tatanan kuratif dengan koordinasi yang masih lemah 

dengan puskesmas sebagai penyedia fasilitas pelayanan dasar bagi kesehatan jiwa. 

 

“warga  banyak yang membiarkan penderita ODGJ, ada pula sebagian 

warga  yang membawa ke Puskesmas dan lembaga rehabilitasi, ada 

pula yang memasung. Untuk penanganan medis Keluarga dari penderita 

ODGJ datang ke puskesmas, kemudian dirujuk untuk dibawa ke RSJ untuk 

ditangani, selanjutnya jika dapat ditangani oleh keluarga, makan akan 

dikembalikan yang kemudian didampingi oleh Puskesmas. Karena 

Penderita ODGJ harus mengkonsumi obat secara terus menerus tanpa 

putus.” (Wawancara dengan Dinas Kesehatan Provinsi Banten, 2017). 

 

berdasar  ungkapan ini  diketahui bahwa upaya warga  dalam 

menangani ODGJ fenomenanya masih banyak yang membiarkan penderita ODGJ. 

Upaya warga  ada yang membawa ke Puskesmas dan lembaga rehabilitasi, 

dan juga dilakukan pemasungan. Upaya penanganan medisnya Keluarga dari 

penderita ODGJ membawa ke puskesmas setempat dan ada pula yang dirujuk 

untuk dibawa ke RSJ (Rumah Sakit Jiwa). Ada Pula, pasien ODGJ pasca 

ditangani medis, dikembalikan kepada keluarga dan dilakukan pendampingan dari 

Puskesmas setempat. Kondisi ini  seperti halnya terjadi di Kota Serang, 

berikut wawancaranya: 

81 

 

81 

 

“Pemasungan sampai saat ini masih menjadi pilihan sebagian warga , 

padahal pemasungan bukanlah sebuah solusi, bahkan bertentangan dengan 

hak dasar manusia. Tapi di sisi lain, warga  juga banyak yang 

melakukan penanganan melalui panti rehabilitasi” (Wawancara Informan 

Dinas Sosial Kota Serang, 2017). 

 

“Penanganan ODGJ yang berkembang di warga  belum cukup 

memadai, mengingat tidak ada rumah sakit jiwa. Untuk itu Dinkes Kota 

Serang rajin dalam memberikan sosialisasi ke setiap Puskesmas agar dapat 

ditangani dengan baik, sehingga warga  pun mengerti bagaimana 

tindakan yang harusnya dilakukan. Sampai saat ini, warga  juga aktif 

membawa penderita ODGJ ke puskesmas, tercatat bahwa penanganan 

ODGJ paling banyak dilakukan oleh Puskesmas Rau”. (Wawancara 

Informan Dinas Kesehatan Kota