ikel dalam darah ibu.
Nikel juga dapat ditemukan dalam ASI (Pedersen, 2007).
70 Biomarker Toksisitas Paparan Logam Tingkat Molekuler
Genotoksisitas Nikel
Perubahan DNA bertanggung jawab atas proses karsinogenik yang
diduga terjadi dalam gen. Mengingat bahwa respons positif diperoleh
dalam tes Sister-Chromatid Exchange (SCE), maka percobaan tambahan
harus dilakukan untuk menguji kemampuan senyawa nikel, seperti nikel
karbonil untuk menampilkan sifat karsinogenik dan teratogenik serta untuk
menandai terjadinya induksi mutasi gen pada sel mamalia (Pedersen, 2007).
Pada penelitian terhadap hamster Cina terdapat penyimpangan kromosom
yang diinduksi dalam sel sumsum tulang. Dilaporkan bahwa senyawa nikel
menghasilkan hasil negatif di sebagian besar tes mutasi bakteri. Nikel
diinduksi sehingga menyebabkan transformasi sel dan meningkatkan
frekuensi pertukaran kromatid, namun tidak menyebabkan mutasi gen pada
sel manusia. Dalam sel-sel hewan in-vitro, nikel mengalami transformasi
dan diinduksi oleh sel yang kemudian terjadi mutasi gen dan kerusakan
DNA, nikel juga menyebabkan pertukaran kromatid dan penyimpangan
kromosom. Senyawa nikel terlarut umumnya memberikan hasil tes yang
positif pada hewan dan manusia in-vitro (Cangul et al., 2002).
Metabolisme Nikel dalam Tubuh
Nikel diambil oleh paru-paru dan melalui rute peroral, tetapi senyawa
nikel terionisasi akan disaring melalui kulit sebelum masuk ke dalam tubuh
sehingga jumlah nikel yang terserap berkurang. Setelah masuk ke dalam
sirkulasi, sebanyak 75% nikel di plasma berupa protein, misalnya albumin,
2-macroglobulin, dan nickeloplasmin. Air garam nikel terlarut umumnya
tidak karsinogenik karena air garam nikel tidak dapat menembus sel.
Air senyawa nikel tidak larut dapat menghasilkan respons karsinogenik
karena mereka secara aktif difagosit ke dalam sel. Senyawa nikel terlarut
yang difagosit dapat dilepaskan secara perlahan-lahan, sehingga dapat
menyebabkan konsentrasi nikel kemih tinggi bahkan beberapa minggu atau
bulan setelah terpapar (McGregor, 2000).
Nikel dapat memasuki tubuh melalui inhalasi, konsumsi, dan
penyerapan kulit, tetapi rute di mana nikel masuk sel ditentukan oleh bentuk
kimianya. Sebagai contoh, nikel karbonil larut dalam lemak dapat melintasi
membran sel dengan difusi atau melalui saluran kalsium, sedangkan
partikel nikel tidak larut masuk ke dalam sel vertebrata oleh fagositosis.
71Logam dalam Tubuh
Protein transportasi utama nikel dalam darah adalah albumin, tetapi nikel
dapat mengikat histidin dan α2-macroglobulin (Kasprzak et al., 2003),
dan dalam bentuk ini didistribusikan ke seluruh jaringan. Sejumlah nikel
mengikat protein termasuk α1-antitripsin, α1-lipoprotein, dan prealbumin
juga dijelaskan. Nikel tertinggi terkonsentrasi secara sistemik ditemukan
dalam paru-paru, tulang, ginjal, otak hati, dan endokrin kelenjar. Nikel juga
ditemukan dalam ASI, air liur, kuku, dan rambut. Nikel tidak terakumulasi
dalam tubuh, melainkan diekskreskan dalam urine, tinja, empedu, dan
keringat (McGregor, 2000).
Kontak dengan senyawa nikel dapat menyebabkan berbagai efek buruk
pada kesehatan manusia, seperti alergi nikel dalam bentuk dermatitis kontak,
fibrosis paru, jantung, dan penyakit ginjal serta kanker saluran pernapasan.
Efek merugikan Nikel bergantung pada rute paparan (inhalasi, oral, atau
kulit) dan dapat diklasifikasikan menurut efek sistemik, imunologis,
neurologis, reproduksi, perkembangan, atau karsinogenik setelah akut (01
hari), subklinis (10-100 Hari), dan periode paparan kronis (100 hari atau
lebih) (Das, 2008).
Penghirupan nikel karbonil yang tidak disengaja umumnya
menyebabkan efek toksiksitas akut dalam dua tahap, segera dan tertunda.
Gejala langsung meliputi sakit kepala, vertigo, mual, muntah, insomnia,
mudah tersinggung, yang biasanya berlangsung beberapa jam, diikuti
dengan interval asimtomatik 12 jam sampai 5 hari. Kemudian gejala yang
tertunda muncul-sesak dada, batuk tidak produktif, dyspnoea, sianosis,
takikardia, palpitasi, berkeringat, gangguan penglihatan, vertigo, kelemahan,
dan kelambanan. Toksisitas subkronis, dala, evaluasi pengelasan paduan
nikel tinggi, dilaporkan bahwa paparan nikel 6 jam terhadap nikel (0,07–
1,1 mg nikel/m3) menyebabkan peningkatan iritasi saluran napas dan
mata, sakit kepala, dan kelelahan. Paparan inhalasi kronis sebagian besar
melibatkan paparan kerja terhadap debu nikel atau uap nikel akibat paduan
nikel las. Umumnya, paparan inhalasi kronis pada debu nikel dan aerosol
berkontribusi pada gangguan pernapasan seperti asma, bronkitis, rinitis,
sinusitis, dan pneumokoniosis (Das, 2008). Efek kronis bagi kesehatan
adalah penyakit lain yang mungkin diakibatkan oleh paparan jangka panjang
dengan konsentrasi polutan yang relatif rendah. Efek kesehatan akut
umumnya terjadi akibat adanya paparan jangka pendek dari konsentrasi
polutan yang tinggi dan individu yang terpapar memperlihatkan berbagai
72 Biomarker Toksisitas Paparan Logam Tingkat Molekuler
gejala klinis seperti mual, muntah, perut tidak nyaman, diare, gangguan
visual, sakit kepala, pusing, dan batuk. Jenis yang paling umum dari reaksi
terhadap paparan nikel adalah ruam kulit pada tempat kontak. Kulit kontak
dengan senyawa nikel logam atau larut dapat menghasilkan dermatitis
alergi (Kasprzak et al., 2003).
Nikel dicerna dan diserap sebagian kecil oleh tubuh (Sunderman,
1988), diperkirakan sekitar 10% dari nikel dalam diet normal yang diserap.
Penelitian telah menunjukkan bahwa resorpsi rata-rata nikel melalui diet
normal adalah antara 20 dan 25% (Flyvholm, 1984). Efek yang merugikan
kesehatan setelah paparan hanya terjadi ketika tingkat nikel melebihi
banyaknya tingkat logam biasanya yang terkandung pada makanan atau
air minum. Rute yang paling berbahaya dari paparan nikel adalah dengan
inhalasi (Heck, 1982). Bentuk kimia dari logam dan kelarutan adalah faktor
yang menentukan kunci dalam mekanisme toksisitas. Senyawa nikel yang
larut dalam air dapat diserap oleh paru-paru ke dalam aliran darah dan
dihapus oleh ginjal.
Senyawa nikel yang tidak larut dapat berakumulasi dan mengendap di
paru-paru untuk waktu yang lama. Menghirup nikel terlarut menyebabkan
iritasi pada hidung dan sinus dan juga dapat menyebabkan hilangnya
rasa bau atau perforasi septum hidung. Paparan jangka panjang dapat
menyebabkan asma, bronkitis atau penyakit pernapasan lainnya. Keracunan
nikel yang paling akut disebabkan oleh Ni (CO)4. Paparan karbonil nikel
dapat menyebabkan kepala- nyeri, mual, muntah, nyeri dada, dan masalah
pernapasan, dalam kasus eksposur yang tinggi bahkan dapat menyebabkan
pneumonia dan kematian. Menghirup nikel juga dapat menyebabkan kanker
paru-paru, hidung, dan sinus (Valko et al., 2005). Kanker tenggorokan dan
perut juga telah dikaitkan dengan paparan inhalasi nikel.
Nikel subsulfida (Ni3S2) merupakan zat yang karsinogen bagi
pernapasan. Ketika dihirup, partikel dari Ni3S2 masuk ke dalam paru-paru
dan kontak dengan sel epitel. Partikel-partikel ini dibersihkan oleh sel
makrofag yang terdapat di saluran pencernaan. Kondisi paparan nikel yang
tinggi dapat menyebabkan kapasitas makrofag terganggu dan partikel
(Ni3S2) dapat diambil ke dalam sel epitel pada proses endositosis. Dengan
cara ini, nikel dikirimkan ke inti sel epitel paru dan dapat menyebabkan
pewarisan perubahan dalam kromosom (Duda dan Blaszczyk, 2008).
73Logam dalam Tubuh
Proses Ekskresi Nikel
Rute eliminasi untuk nikel dalam manusia (dan hewan) bergantung
pada bentuk kimia dari senyawa dan jenis yang terkonsumsi. Ekskresi
urine adalah rute utama bagi penghapusan nikel yang diserap. Ekskresi
tinja terutama mencerminkan nikel yang diserap dari makanan dan
melewati usus. Semua cairan tubuh tampaknya memiliki kemampuan untuk
mengeluarkan nikel dan dapat ditemukan dalam air liur, keringat, air mata,
dan susu. Rambut juga merupakan jaringan ekskretoris untuk nikel. Orang
yang terkena senyawa nikel terlarut, konsentrasi nikel dalam cairan tubuh
umumnya meningkat setelah terpapar, tetapi hubungan dengan intensitas
paparan relatif rendah (Sunderman et al., 1998).
Tabel 3. Reaksi hipersensitivitas terhadap dan paparan beberapa logam
Nama Logam Hipersensitivitas Reaksi Indikator
Platina I Asma,
konjungtivitas,
urtikaria, anafi laksis
IgE ( protein antibodi
alergi) bereaksi
dengan antigen dalam
sel mast/basofi l dan
melepaskan amin
vasoreaktif
Emas,
garam organik
II Trombositopenia IgG ( protein antibodi
kekebalan tubuh)
mengikat komplemen
dan antigen dalam
sel, mengakibatkan
kerusakan sel
Uap merkuri III Glomerulonefritis,
proteinuria
Antigen, antibodi,
dan endapan
komplemen terdapat
pada permukaan
epitel dasar
glomerulus
Kronium, nikel,
barium, dan
zirkonium
IV Dermatitis
kontak,
pembentukan
granuloma
Sel T (sel penahan
tubuh) yang sensitif
bereaksi dengan
antigen dan
menyebabkan reaksi
hipersensitivitas
tertunda
Sumber: Duda dan Blaszczyk (2008)
74 Biomarker Toksisitas Paparan Logam Tingkat Molekuler
Nikel diekskresikan dalam kotoran, tetapi hal ini merupakan
hasil dari pembersihan mukosiliar nikel dari sistem pernapasan pada
saluran gastrointestinal atau dari paparan oral melalui permukaan yang
terkontaminasi (Duda dan Blaszczyk, 2008).
Gangguan Fungsi Imun Akibat Konsumsi Makanan yang Mengandung
Logam
Konsumsi makanan yang mengandung bahan logam beracun dapat
mengakibatkan penghambatan berbagai fungsi imun. Logam- logam lain
seperti berilium, kromium, nikel, emas, merkuri, platina, dan zirkonium yang
dapat menginduksi reaksi hipersensitivitas disajikan pada Tabel 3.
Efek Karsinogenik
Peningkatan risiko kanker paru-paru dan saluran hidung telah
dilaporkan pada pekerja yang terpapar senyawa nikel selama memanggang,
sintering dan kalsinasi proses di kilang di Inggris, Norwegia dan Kanada.
Proses tersebut melibatkan paparan senyawa nikel tidak larut seperti nikel
dan subsulfida oksida, dan juga garam larut seperti nikel sulfat.
Nikel terlarut juga dikaitkan dengan peningkatan risiko kanker paru-
paru dan hidung bagian dalam, misalnya pada pekerja elektrolisis dengan
paparan yang diperkirakan sebesar 1–2 mg. The IARC menyimpulkan bahwa
senyawa nikel diklasifikasikan sebagai grup karsinogenik bagi manusia.
Tidak ada peningkatan yang signifikan pada kanker saluran pernapasan
yang dilaporkan pada pengguna nikel elemental bubuk atau pekerja yang
terlibat dalam pembuatan nikel (IARC, 1990).
KROMIUM
Pengertian Kromium
Kromium mempunyai nama lain yaitu chromic acid, anhydrous chromic,
chromium trioxide, chromium (VI) oxide, calcium chromate, lead chromate,
potassium chromate, potassium bichromate, sodium chromate, sodium
bichromate, dan zinc chromate.
Kromium adalah salah satu kandungan dalam logam yang dapat
menimbulkan genotoksik ( racun). Tetapi bukti saat ini menunjukkan
75Logam dalam Tubuh
bahwa senyawa kromium dapat menyebabkan karsinogenik dan non
karsinogenik.
Kromium ada di alam dalam bentuk valensi Cr3+ dan valensi Cr6+.
Valensi Cr3+ merupakan bentuk yang paling banyak dijumpai. Kebanyakan
di tanah dan di batuan mengandung sedikit sekali logam ini, yaitu dalam
bentuk oksida, dan oleh pengaruh cuaca; oksidasi; dan kegiatan bakteri
akan mengubah senyawa yang tidak larut menjadi larut. Valensi Cr3+ banyak
digunakan dalam penyamakan kulit, sebagai katalis pada industri dan
pewarna pada cat, fungisida, dan juga keramik serta pabrik gelas. Valensi
Cr3+ merupakan unsur penting sebagai trace element dan masuk ke manusia
melalui makanan. Kromium (III) adalah unsur esensial bagi manusia, dan
apabila kekurangan unsur tersebut, maka dapat menyebabkan kondisi
jantung mengalami gangguan dari metabolisme dan diabetes. Akan tetapi,
terlalu banyak penyerapan kromium (III) juga dapat menyebabkan efek
kesehatan, misalnya ruam kulit.
Valensi Cr6+ jarang ditemukan di alam, tetapi banyak dijumpai
di perairan akibat dari kegiatan industri dan aktivitas domestik di air
limbahnya. Senyawa Cr heksavalen banyak digunakan di industri terutama
produksi Cr alloy, Cr metal, dan di industri kimia Cr merupakan agen
oksidator. Kromium heksavalen tidak termasuk dalam zat esensial dan dapat
menimbulkan efek yang berbahaya bagi manusia, yaitu melalui pernapasan
dan pencernaan. Selain itu, kandungan total Cr dalam air minum yang
diperbolehkan adalah kurang dari 0,005 mg/L.
Penelitian epidemiologi pada unsur ini dapat diasosiasikan
dengan masuknya valensi Cr6+ ke dalam tubuh manusia sehingga dapat
menyebabkan penyakit paru-paru terutama pada pekerja yang bekerja
pada produksi Cr. Banyak data yang mengatakan bahwa Cr dapat juga
menyebabkan kanker pada binatang. Selain itu, valensi Cr6+ dapat juga
menyebabkan mutasi genetik. Kejadian mutagenik dapat dikurangi atau
dihilangkan dengan minum zat reduktor seperti gastric juice. Pada saat
bernapas, apabila terdapat kromium (VI), maka dapat menyebabkan iritasi
dan hidung mimisan. Masalah kesehatan lainnya yang disebabkan oleh
kromium (VI) adalah kulit ruam, sakit perut, dan bisul, masalah pernapasan,
sistem kekebalan yang lemah, ginjal dan kerusakan hati, perubahan materi
genetik, kanker paru-paru, dan kematian.
76 Biomarker Toksisitas Paparan Logam Tingkat Molekuler
Studi pada binatang menemukan bahwa secara oral kromium valensi
3 tidak menyebabkan kanker ataupun menyebabkan mutasi genetik.
Sedangkan kromium valensi 6 dapat menyebabkan kanker.
Sifat Kromium
Sifat Kromium ada 2 yaitu:
1. Sifat fisik
Sifat fisik dari kromium adalah zat padat berbentuk kristal (crystalline
solids), logam berkilau, getas, dan keras, serta berwarna perak abu-abu.
Ketika dipanaskan, kromium membentuk oksida kromat hijau. Logam
ini tidak stabil pada oksigen dan segera menghasilkan lapisan oksida
tipis.
2. Sifat kimia
Kromium adalah sebuah unsur kimia dalam tabel periodik yang
memiliki lambang Cr dan nomor atom 24.
Kegunaan Kromium
Logam kromium banyak mempunyai kegunaan diantaranya adalah:
1. Sebagai zat penghambat/anti korosi (corrosion inhibitor), Kromium
merupakan logam tahan korosi (tahan karat) dan dapat dipoles menjadi
mengkilat. Dengan sifat ini, kromium (krom) banyak digunakan sebagai
pelapis pada ornamen-ornamen bangunan, komponen kendaraan, baik
seperti knalpot pada sepeda motor maupun sebagai pelapis perhiasan
seperti emas. Emas yang dilapisi oleh kromium ini lebih dikenal
dengan sebutan emas putih. Perpaduan kromium dengan besi dan nikel
menghasilkan baja tahan karat.
2. Kromium trivalen (Cr (III), atau Cr3+) diperlukan dalam jumlah kecil
dalam metabolisme gula pada manusia. Kekurangan kromium trivalen
dapat menyebabkan penyakit yang disebut penyakit kekurangan
kromium (chromium deficiency).
3. Zat warna (pigment)
4. Penyamakan kulit (leather tanning)
5. Proses pelapisan logam secara elektris (electroplating)
6. Baja anti karat ( stainless steel)
7. Semen (cement)
77Logam dalam Tubuh
8. Antioksidan
9. Pengawet kayu (wood preservation)
10. Cat (paint)
Efek Toksik Logam Kromium dan Persenyawaannya
Logam kromium (Cr) dalam tabel periodik merupakan unsur dengan
nomor atom 24 dan nomor massa 51,996. Atom tersebut terletak pada
periode 4, golongan IVB, pertama kali ditemukan oleh Vauquelin (1797),
berwarna putih, tidak terlalu liat, dan tidak dapat ditempa. Jika tidak terkena
udara, maka akan terbentuk ion-ion kromium (Cr(s) + 2HCl(aq) → Cr2+
(aq) +
2Cl-
(aq) + H2(g)). Umumnya, di alam ditemukan dalam bentuk persenyawaan
dengan unsur lain dan sangat jarang ditemukan dalam bentuk unsur
tunggal. Di alam, Cr ditemukan dalam bentuk chromite (FeO·Cr2O3), tidak
dapat teroksidasi oleh udara yang lembap dan proses pemanasan cairan.
Logam kromium mudah larut dalam HCl, H2SO4, dan asam perklorat serta
mempunyai tingkat oksidasi yang berbeda-beda. Ion kromium yang telah
membentuk senyawa mempunyai sifat yang berbeda sesuai dengan tingkat
oksidasinya (Palar, 2004).
Kromium tersedia sebagai kromium (III) yang dikenal dengan kromium
trivalen dan kromium (VI) yang lebih dikenal dengan kromium heksavalen.
Kromium heksavalen lebih toksik dibandingkan kromium trivalen, baik
paparan akut maupun kronis. Senyawa kromium masing-masing mempunyai
peranan yang berbeda di lingkungan dan efek yang berbeda pula terhadap
kesehatan manusia sesuai dengan bilangan oksidasinya. Dilaporkan bahwa
kromium (VI) merupakan senyawa kromium yang paling berbahaya
(misalnya kalium kromat K2CrO4 atau CrO3) (Stoeppler, 1992). Sifat racun
yang dibawa oleh logam ini juga dapat mengakibatkan terjadinya keracunan
kronis (Palar, 2008).
Logam kromium adalah bahan kimia yang bersifat persisten,
bioakumulatif, dan toksik yang tinggi serta tidak mampu terurai dalam
lingkungan. Kromium sulit diuraikan, dan akhirnya diakumulasi dalam
tubuh manusia melalui rantai makanan. Keracunan akut yang disebabkan
oleh senyawa K2Cr2O7 pada manusia ditandai dengan kecenderungan
terjadinya pembengkakan pada hati. Tingkat keracunan kromium pada
manusia diukur melalui kadar atau kandungan kromium dalam urine,
78 Biomarker Toksisitas Paparan Logam Tingkat Molekuler
kristal asam kromat yang sering digunakan sebagai obat untuk kulit. Akan
tetapi, penggunaan senyawa tersebut seringkali mengakibatkan keracunan
yang fatal (Palar, 2008). Pemberian senyawa kromium trivalen anorganik
atau ekstrak ragi bir mengakibatkan penurunan kadar glukosa darah, kadar
kolesterol, dan regresi plak aterosklerosis. Peningkatan sensitivitas insulin
juga menghasilkan peningkatan penggabungan asam amino menjadi protein
dan transportasi sel asam amino pada tikus yang menerima kromium
tambahan.
Defisiensi Cr (III) dapat menyebabkan hiperglisemia, glukosuria,
meningkatnya cadangan lemak tubuh, munculnya penyakit kardiovaskular,
menurunnya jumlah sperma dan menyebabkan fertilisasi (Yuliani, 2009).
Kromium (VI) memiliki bilangan oksidasi +6, bahaya bagi kesehatan manusia,
terutama bagi orang-orang yang bekerja di industri baja dan tekstil. Orang
yang merokok tembakau juga memiliki risiko yang lebih tinggi terpapar
kromium. Kromium (VI) lebih toksik dibandingkan kromium (III), baik
paparan akut maupun kronis (Yuliani, 2009). Tingkat toksisitas kromium
(VI) sangat tinggi sehingga bersifat racun terhadap semua organisme pada
konsentrasi > 0,05 ppm. Kromium (VI) bersifat karsinogenik dan dapat
menyebabkan iritasi pada kulit manusia.
Sumber Pencemaran Kromium
Kromium dilepas ke lingkungan dari sumber alami dan antropogenik,
dengan pelepasan terbesar terjadi dari industri. Industri dengan kontribusi
terbesar terhadap pelepasan krom termasuk pengolahan logam, fasilitas
penyamakan kulit, produksi kromat, pengelasan stainless steel, dan
ferokrom, serta produksi pigmen krom. Tingkat kromium di perairan segar
AS biasanya berkisar dari < 1 hingga 30 μg/L, dengan nilai median 10 μg/L.
Pasokan air minum AS yang khas mengandung kadar kromium total dalam
kisaran 0,2–35 μg/L namun, sebagian besar pasokan di AS mengandung <
5 μg/L kromium. Data pemantauan terbaru dari persediaan air minum di
California menunjukkan bahwa 86% dari sumber yang diuji memiliki tingkat
kromium (VI)) di bawah 10 μg/L.
Pada bidang kedokteran gigi, logam kromium digunakan baik pada
bidang ortodonsia maupun pada bidang prostodonsia, yaitu sebagai
logam tuangan pada bidang prostodonsia atau kawat stainless steel pada
79Logam dalam Tubuh
bidang ortodonsia. Logam ini pertama kali ditemukan oleh ahli metalurgi
Inggris bernama Harry Brearley (tahun 1913). Pada awalnya, kromium
ditambahkan pada baja rendah karbon dan menyebabkan baja tersebut
menjadi tahan karat. Penelitian terus dikembangkan, pada tahun 1930an
kromium mulai diproduksi. Stainless steel dalam metalurgi adalah alloy
besi dengan kandungan kromium 10,5–11%. Penambahan kromium (Cr)
bertujuan meningkatkan ketahanan korosi dengan membentuk lapisan
oksida Cr2O3 di permukaan logam stainless steel. Unsur lain selain besi,
karbon, dan kromium adalah nikel, molibdenum dan titanium dengan
komposisi yang berbeda-beda sehingga menghasilkan variasi sifat mekanis
dari beberapa produk stainless steel yang beredar di pasar.
Steel adalah suatu alloy yang terbentuk dari besi dan karbon
dengan konsentrasi antara 0,5–2%. Stainless steel adalah suatu steel yang
mengandung lebih dari 11% kromium, biasanya di antara 11,5–27%,
dan dapat juga mengandung nikel, vanadium, molibdenum, dan niobium
dalam jumlah terbatas. Stainless steel banyak diaplikasikan di industri,
peralatan rumah tangga, medis, dan alat kedokteran gigi, salah satunya
bidang ortodonsia. Sebelum stainless steel ditemukan, bahan dasar kawat,
ligatur, dan braket ortodonsia terbuat dari emas 14–18 karat. Emas memiliki
ketahanan korosi yang tinggi, tetapi harganya sangat mahal. Kepopuleran
stainless steel semakin meningkat di kalangan Ortodontist karena memiliki
kombinasi sifat mekanis yang baik, tahan korosi, dan harga ekonomis.
Paduan logam digunakan mulai tahun 1949, lebih dari 80% gigi tiruan
sebagian menggunakan kobalt-kromium atau nikel-kromium ( alloy). Menurut
spesifikasi American Dental Association (ADA)/American National Standard
Institute (ANSI), berat kromium tidak boleh kurang dari 20% dari berat
total. Berat total kromium, kobalt, dan nikel tidak boleh kurang dari 85%.
Toksisitas Kromium pada Tubuh manusia
Akumulasi kromium dalam tubuh manusia dapat mengakibatkan
kerusakan dalam sistem organ tubuh. Efek toksisitas kromium (Cr)
dapat merusak serta mengiritasi hidung, paru-paru, lambung, dan usus.
Mengonsumsi makanan berbahan kromium dalam jumlah yang sangat
besar menyebabkan gangguan perut, bisul, kejang, ginjal, kerusakan hati,
dan bahkan kematian (Palar, 1994). Populasi umum terpapar kromium
80 Biomarker Toksisitas Paparan Logam Tingkat Molekuler
dengan cara menghirup udara ambien, menelan makanan, dan minum air
yang mengandung kromium.
Efek Kromium pada Tubuh Manusia
Efek kromium pada tubuh manusia antara lain:
1. Efek fisiologi
Kromium (III) merupakan unsur penting dalam makanan yang
mempunyai fungsi menjaga agar metabolisme glukosa, lemak, dan
kolesterol berjalan normal. Data kebutuhan kromium per hari sekitar
50–200 μg/hr. Defisiensi kromium jarang terjadi, umumnya hanya pada
penderita diabetes, malanutrisi, dan mereka yang mendapat makanan
melalui parenteral. Faktor utama terjadinya toksisitas dari kromium
adalah “oxidation state” dan daya larutnya. Kromium (VI) mudah
menembus membran sel dan akan terjadi reduksi di dalamnya. Organ
utama yang terserang karena kromium adalah paru-paru, sedangkan
organ lain yang dapat terserang adalah ginjal, hati, kulit, dan sistem
imunitas (Vincent et al., 2007). Kromium dapat ditransfer ke embrio
melalui plasenta (Soemirat, 1994).
2. Efek pada kulit
Asam kromat, dikromat, dan kromium (VI) merupakan iritan kuat
dan juga bersifat korosif. Bila terjadi kontak langsung, maka dapat
menimbulkan alergi. Letak luka berada di akar kuku, persendian, dan
selaput antara jari bagian belakang tangan dan lengan. Karakteristik
luka karena kromium mula-mula melepuh (papulae), kemudian
terbentuk luka dengan tepi yang meninggi dan keras. Penyembuhan
luka lambat dapat terjadi selama beberapa bulan, dan luka tidak sakit
diduga karena terdapat gangguan saraf perifer. Prevalensi Dermatitis
Atopik (DA) di negara industri terus mengalami peningkatan sebanyak
dua sampai tiga kali selama dua dekade terakhir. Prevalensi DA pada
anak didapatkan sebesar 30%, sedangkan pada dewasa sebesar 2–10%.
Sebagian besar pasien DA mengalami perbaikan pada masa anak, namun
DA dapat menetap atau terjadi saat dewasa. Dermatitis alergi dengan
eksim pernah dilaporkan terjadi pada pekerja percetakan, semen,
metal, pelukis, dan penyamak kulit. Diperkirakan bahwa kromium (III)
merupakan protein kompleks yang bertanggung jawab atas terjadinya
reaksi alergi (Vincent et al., 2007).
81Logam dalam Tubuh
3. Efek pada saluran pernapasan
Efek iritasi paru-paru disebabkan karena menghirup debu kromium
yang dihasilkan dari proses produksi dalam jangka panjang dan
mempunyai efek terhadap iritasi kronis, penyumbatan dan hiperemia,
rhinitis kronis, polip, trakheobronkhitis, dan faringitis kronis. Kromium
dilaporkan juga dapat menyebabkan reaksi delayed anaphylactic
reaction. Meskipun mekanisme terjadinya kelainan ini belum begitu
jelas, namun onset terjadinya reaksi setelah terjadinya paparan
secara inhalasi yang lambat. Kasus reaksi anafilaktoid idiopatik dan
urtikaria/angioedema kronis terkait dengan pemaparan lingkungan
dan pekerjaan harus diselidiki secara hati-hati, untuk dapat mencegah
reaksi yang mengancam jiwa di masa depan.
Kromium (VI) ditemukan di zona pernapasan pada pekerja di bagian
pengelasan dengan konsentrasi antara 3,8–6,6 μg/m3. Pada pekerja
pelapisan dan penyamakan kulit sering terjadi kasus luka pada mukosa
hidung (mukosa bengkak, ulserasi septum, dan perforasi septum), hal
ini terjadi apabila seseorang terpapar kromium secara periodik dengan
konsentrasi paling sedikit sebesar 20 μg/m3 dalam 8 jam kerja. AS
mengizinkan kadar kromium sekitar 100 μg/m3 dalam 8 jam kerja.
Jangka pemajanan pekerja yang mengalami ulkus di mukosa hidung
berkisar antara 5 bulan hingga 10 tahun.
4. Efek pada ginjal
Studi terhadap tukang las dan pelapisan kromium, pajanan lebih dari
20 μg/m3 mengakibatkan kerusakan pada tubulus renalis. Gangguan
pada ginjal terjadi setelah menghirup dan menelan kromium. Pernah
ditemukan kerusakan pada glomerulus ginjal. Kenaikan kadar Beta-2-
mikroglobulin dalam urine merupakan indikator adanya kerusakan
tubulus. Urineary threshold untuk efek nefrotik diperkirakan sebesar
15 μg/g kreatinin (WHO, 2009).
5. Efek pada hati
Pemajanan akut kromium dapat menyebabkan nekrosis hepar.
Apabila 20% tubuh terpapar asam kromat, maka akan mengakibatkan
kerusakan berat pada hepar dan terjadi gagal ginjal akut. Inhalasi
kronis kromium dapat juga mengakibatkan efek pada hepar. Hepatitis
akut dengan kuning ( jaundice) pernah dilaporkan pada pekerja wanita
yang telah bekerja di pabrik pelapisan kromium selama 5 tahun. Pada
82 Biomarker Toksisitas Paparan Logam Tingkat Molekuler
hasil tes didapatkan adanya kromium dalam jumlah besar dalam urine
dan pada biopsi liver terlihat adanya kelainan (WHO, 2009).
6. Efek pada saluran pencernaan
Cara masuk kromium dapat melalui makanan atau tertelan. Jika
tertelan dapat menyebabkan sakit perut dan muntah (Soemirat, 1994).
Kandungan kromium dalam makanan berkisar antara 5–250 μg/kg.
Makanan yang mempunyai kadar kromium tinggi adalah lada dan ragi
bir (Schroeder et al., 1962).
7. Efek karsinogenik
Studi epidemiologi berdasarkan Kohort jelas menunjukkan adanya daya
karsinogen. Pemantauan pada pekerja di industri kromat menunjukkan
bahwa sebanyak 18,2% pekerja menderita kanker paru yang bekerja
lebih dari 1 tahun. Studi terhadap pekerja di industri pigmen kromium,
pelapisan kromium, dan campuran ferokrom secara statistik terlihat
adanya hubungan secara bermakna antara pekerja yang terpajan
kromium dengan kanker paru-paru. Kanker paru timbul 20 tahun
setelah terpajan kromium dengan jangka waktu pemajanan sekitar 2
tahun (Steinhagen, 2004).
8. Efek terhadap pertumbuhan dan reproduksi
Kromium (III) merupakan bahan esensial yang dapat menembus
plasenta, kurang dari 0,5% kromium (III) ditemukan menembus plasenta
pada tikus. Efek pada binatang terjadi cleft palatum, hydrocephalus,
proses pembentukan tulang terhambat, bengkak, dan incomplete neural
tube closure (Ozdener et al., 2011).
Metabolisme Kromium dalam Tubuh
Senyawa K2Cr2O7 yang larut dalam tubuh akan mengubah kondisi
fisika- kimia tubuh dari kondisi normal. Kromium yang masuk ke dalam
tubuh akan ikut dalam proses fisiologis atau metabolisme tubuh. Interaksi
yang terjadi antara kromium dengan unsur biologis tubuh menyebabkan
terganggunya fungsi tertentu yang bekerja dalam proses metabolisme
karena ion Cr6+ yang telah masuk ke dalam sel seterusnya larut dalam
darah (Palar, 2008).
Studi atau penelitian tentang metabolisme tubuh terhadap kromium
pernah dilakukan dengan cara menyuntikkan larutan Na2CrO4 (natrium
kromat-Cr6+) dan K2Cr2O7 (kalium dikromat-Cr6+) serta CrCl3 (kromium
83Logam dalam Tubuh
klorida-Cr3+) terhadap marmut. Pada penelitian tersebut, larutan-larutan
kromium diinjeksikan ke dalam batang tenggorokan marmut sebanyak
200 μg. Melalui studi atau penelitian tersebut, diketahui bahwa senyawa-
senyawa Cr6+ dapat dihilangkan dengan cepat dari paru-paru. Pengamatan
yang dilaksanakan selama 15 menit setelah waktu injeksi dilakukan,
diketahui bahwa distribusi kromium dalam organ-organ tubuh sebagai
berikut: 15% terakumulasi dalam paru-paru, 20% terakumulasi dalam
darah, 5% terakumulasi dalam hati, ginjal, dan limpa (Balk et al., 2007).
Setelah 24 jam masa injeksi dilakukan, 13% dari dosis yang masuk
dibuang lewat urine, 11% tertinggal di paru-paru, 8% dalam darah, 1%
dalam plasma darah, dan 3–4% tertinggal dalam hati dan ginjal (Balk et
al., 2007). Logam atau persenyawaan kromium yang masuk ke dalam tubuh
akan ikut dalam proses fisiologis atau metabolisme tubuh. Logam atau
persenyawaan kromium akan berinteraksi dengan bermacam-macam unsur
biologis yang terdapat dalam tubuh. Interaksi yang terjadi antara kromium
dengan unsur-unsur biologis tubuh dapat menyebabkan terganggunya
fungsi-fungsi tertentu yang bekerja dalam proses metabolisme tubuh
(Cropper et al., 2009)
Senyawa-senyawa yang mempunyai berat molekul rendah seperti yang
terdapat dalam sel darah rendah, dapat melarutkan kromium dan seterusnya
ikut terbawa ke seluruh tubuh bersama peredaran darah. Senyawa-senyawa
ligan penting yang terdapat dalam tubuh juga dapat mengubah kromium
menjadi bentuk yang mudah terdifusi sehingga dapat masuk ke dalam
jaringan. Di antara ligan-ligan tersebut adalah pirofosfat, metionin, serin,
glisin, leusin, lisin, dan prolin. (Cropper et al., 2009).
Faktor yang Memengaruhi Daya Racun Kromium
Beberapa faktor di bawah ini dapat memengaruhi daya kerja
kromium:
1. Umur
Telah lama diketahui bahwa neonatus dan organisme yang sangat
muda umurnya lebih rentan terhadap kromium dibandingkan dengan
yang lebih dewasa. Untuk sebagian besar toksikan, organisme muda
mempunyai 1,5 sampai 10 kali kesempatan lebih rentan daripada yang
dewasa (Goldenthal, 1971). Anak-anak kecil sangat rentan terhadap
toksikan, karena biasanya kepekaan dan tingkat penyerapan dalam
84 Biomarker Toksisitas Paparan Logam Tingkat Molekuler
saluran cerna lebih besar. Selain itu dapat pula disebabkan oleh defisiensi
berbagai jenis enzim detoksikasi (Loomis dan White, 1996).
Penelitian lain menunjukkan bahwa sejalan dengan bertambahnya umur,
faktor-faktor diet misalnya, defisiensi protein, vitamin C dan vitamin
D, menyebabkan mekanisme kerja enzim mengalami penurunan dan
terganggunya fungsi ekskresi ginjal, sehingga menyebabkan manusia
yang telah tua menjadi lebih rentan terhadap kromium dan zat toksik
lainnya (WHO, 1981).
2. Berat badan
Sejumlah penelitian karsinogenesis telah menunjukkan bahwa
pengurangan jumlah zat makanan dapat menurunkan kejadian tumor.
Pentingnya diet pada karsinogenesis lebih jauh diperlihatkan oleh fakta
bahwa tikus dan mencit yang diberi diet kaya lemak akan menyebabkan
berat badannya naik dan lebih mudah terkena tumor, dibandingkan
dengan yang diberi diet terbatas (Franck, 1995).
Distribusi zat toksik dalam tubuh dapat berubah karena meningkatnya
lemak tubuh dan berkurangnya air dalam tubuh. Berat badan manusia
sebagian besar dipengaruhi oleh adanya kandungan lemak. Defisiensi
asam-asam lemak esensial dan protein dapat menekan aktivitas sistem
oksidasi mikrosom (Loomis dan White, 1996).
3. Lama bekerja
Seperti halnya toksikan lain, efek toksik kromium berkaitan dengan
tingkat dan lamanya pajanan. Umumnya, makin tinggi kadar kromium
di udara dan makin lama pajanan, efek toksik akan lebih besar (Franck,
1995).
4. Jenis kelamin
Hewan jantan dan betina dari spesies yang sama biasanya bereaksi
terhadap toksikan dengan cara yang sama pula. Tetapi terdapat
perbedaan kuantitatif yang menonjol dalam kerentanan mereka,
terutama pada tikus. Tikus betina juga lebih peka daripada tikus jantan
terhadap organofosfat, pengebirian, dan pemberian hormon juga dapat
menghilangkan perbedaan (Franck, 1995).
Mekanisme Kerja Kromium
Kromium heksavalen melewati membran sel melalui empat mekanisme
yaitu, difusi pasif lewat membran, filtrasi lewat pori-pori membran, transpor
85Logam dalam Tubuh
dengan perantaraan carrier, dan pencaplokan oleh sel (pinositosis) (Lu, 1995).
Kromium heksavalen yang masuk melalui saluran pernapasan ( paru-paru)
dapat mudah menembus membran sel melalui sistem transportasi anion dan
memiliki kemampuan meminjam atau mengurangi elektron pada kromium
(III) (Yilmaz et al., 2010). Sehingga kromium lebih aktif masuk menembus
membran sel kemudian merusak sel tersebut. Kemudian kromium menembus
sel epitel endotelial kapiler darah dan masuk dalam aliran darah hingga
akhirnya ikut dalam proses metabolisme (Connel dan Miller, 1995).
Mekanisme kerja kromium (VI) sebagai berikut:
1. Absorpsi
Kromium (VI) dapat menembus dinding sel, sedangkan kromium (III)
tidak dapat menembus langsung. Namun akan mengikat diri pada
transfermin, yaitu suatu protein yang mentranspor Fe dalam plasma.
Senyawa kromium (III) umumnya jauh lebih sedikit diabsorpsi oleh
tubuh dibandingkan senyawa-senyawa kromium (VI). Semua itu
tergantung dari kelarutan senyawa tersebut. Sekitar 0,2–3% dari
senyawa kromium (III) dan 1–10% kromium (VI) yang masuk melalui
oral diabsorpsi oleh tubuh.
Partikel-partikel pigmen kromium, asap kromium dari pengelasan baja
tahan karat, dan aerosol kabut asam kromat, umumnya lebih kecil dari
1 μm, mengakibatkan penetrasi alveolar maksimal. Kelarutan dalam
air yang lebih tinggi meningkatkan ambilan dan toksisitas senyawa
kromium.
2. Biotransformasi
Senyawa kromium (VI) tereduksi menjadi bentuk trivalen (III) dalam
tubuh, kecepatan tergantung pada jumlah reduktor dalam organ yang
terpapar dan dalam hal ini memengaruhi toksisitas serta ekskresi
senyawa heksavalen (VI).
3. Ekskresi
Ekskresi kromium melalui urine tanpa ada retensi di organ. Sekitar 60%
kromium (VI) yang diabsorpsi dikeluarkan dalam bentuk kromium (III)
dalam waktu 8 jam setelah tertelan. Sepuluh persen akan diekskresi
melalui empedu dan sebagian kecil melalui rambut, kuku, ASI, dan
keringat.
86 Biomarker Toksisitas Paparan Logam Tingkat Molekuler
Kadar Batas Aman Kromium
Implikasi klinik dapat terjadi apabila tercemar oleh kromium. Keracunan
tubuh manusia terhadap kromium dapat berakibat buruk terhadap saluran
pernapasan, kulit, pembuluh darah, dan ginjal. Efek kromium terhadap
sistem saluran pernapasan (respiratory sistem effects) berupa kanker paru
dan ulkus kronis/perforasi pada septum nasal. Pada kulit (skin effects),
berupa ulkus kronis pada permukaan kulit. Pada pembuluh darah (vascular
effects), berupa penebalan oleh plak pada pembuluh aorta (atherosclerotic
aortic plaque). Sedangkan pada ginjal (kidney effects), kelainan berupa
nekrosis tubulus ginjal.
Menurut Undang-undang Nomor 13 tahun 2003, tentang
ketenagakerjaan, yang dimaksud Nilai Ambang Batas (NAB) adalah standar
faktor bahaya di tempat kerja sebagai pedoman pengendalian agar tenaga
kerja masih dapat menghadapinya tanpa mengakibatkan penyakit atau
gangguan kesehatan dalam pekerjaan sehari-hari untuk waktu tidak lebih
dari 8 jam sehari atau 40 jam seminggu.
Kadar logam dalam tubuh makhluk hidup, dapat dideteksi melalui
darah, urine, rambut, dan kuku. Kadar logam dalam darah dan urine
menunjukkan jumlah logam yang masuk saat pengukuran dilakukan atau
suatu saat tertentu. Hal ini dikarenakan logam dalam darah mengalami
ekskresi dan urine merupakan hasil ekskresi. Kadar logam dalam rambut
dan kuku berhubungan dengan kadar logam dalam darah dan urine saat
rambut dan kuku terbentuk. Dengan demikian rambut dan kuku merupakan
bagian tubuh yang banyak mengakumulasi logam. Dalam melakukan
pemeriksaan spesimen biologi, pemeriksaan terhadap kromium harus
diperhatikan akan kemungkinan terjadinya kontaminasi dan kehilangan
kromium selama pengumpulan, transportasi, dan penyimpanan. Pemakaian
peralatan stainless steel dapat menaikkan kadar kromium karena adanya
kromium yang larut dalam alat tersebut (Gani, 1997).
Secara alamiah kandungan kromium di lingkungan adalah kadar
total kromium udara ambeien 0.01 – 0.03 μg/m3 untuk udara outdoor di
kota. Kadar total kromium air permukaan adalah 0.05 ppm dan kadar
total Cr dalam tanah adalah 1.505 ppm. Sedangkan untuk limbah industri,
konsentrasi maksimum yang diperbolehkan adalah 0.5 mg/L (Palar,
2008). Berikut Kandungan kromium yang diperbolehkan ada dalam tubuh
manusia:
87Logam dalam Tubuh
1. Kadar kromium dalam darah dan plasma
Kromium terdapat dalam eritrosit dan plasma. Kriteria World Health
Organization (WHO) menyatakan bahwa kadar normal kromium dalam
darah berkisar antara 0,5 μg/L. Sedangkan menurut Departemen
Kesehatan, dalam keadaan tidak terpajan kadar kromium berkisar
antara 2,0–3,0 μg/100 ml.
2. Kadar kromium dalam urine
Kromium dalam urine menggambarkan penyerapan lebih dari 1–2 hari
sebelumnya. Para pekerja dengan kandungan kromium dalam urine
antara 40–50 μg/L menunjukkan bahwa mereka terpapar kromium
udara dengan kadar 50 μg/m3. Pada populasi umum, konsentrasi
kromium dalam urine antara 1,8–11 μg/L (WHO, 1988).
3. Kadar kromium dalam rambut dan kuku
Kadar kromium pada rambut dan kuku pada pemajanan yang tidak
diketahui adalah 50–1.000 ppm. Pemeriksaan ini tidak bermakna secara
klinis (Palar, 2008).
Dampak Kromium terhadap Lingkungan
Kromium relatif stabil di udara dan air, tetapi setelah kontak dengan
biota, air, udara, dan tanah akan berubah menjadi bentuk kromium trivalen.
Diperkirakan substansi kromium di dalam lingkungan sekitar 6,7 x 106
kg/tahun (WHO, 1988). Kromium pada umumnya berasal dari kegiatan-
kegiatan perindustrian, kegiatan rumah tangga, dan dari pembakaran, serta
mobilisasi bahan-bahan bakar.
Selain itu, sumber kromium (ATSDR, 1989) dapat berasal dari pabrik
yang memproduksi semen yang mengandung kromium, pembakaran sampah
di beberapa kota, sampah yang berbentuk lumpur, kendaraan bermotor
(knalpot), menara AC yang menggunakan kromium sebagai inhibitor, limbah
cair yang berasal dari lapis listrik, penyamakan kulit, dan industri tekstil,
serta sampah dari industri yang menggunakan kromium.
Sebagian besar kromium di udara pada akhirnya akan menetap dan
berakhir di perairan atau tanah. Kromium dalam tanah sangat melekat
pada partikel tanah. Kromium dalam air akan menyerap pada endapan dan
tidak dapat bergerak. Hanya sebagian kecil dari kromium di air yang pada
akhirnya akan larut.
88 Biomarker Toksisitas Paparan Logam Tingkat Molekuler
Dalam perairan, kromium dapat masuk melalui dua cara yaitu secara
alamiah dan non alamiah. Masuknya kromium secara alamiah dapat
disebabkan oleh beberapa faktor fisika, seperti erosi yang terjadi pada
batuan mineral. Masuknya kromium yang terjadi secara non alamiah lebih
merupakan dampak atau efek dari aktivitas yang dilakukan oleh manusia.
Sumber-sumber kromium yang berkaitan dengan aktivitas manusia dapat
berupa limbah atau buangan industri sampai buangan rumah tangga (Palar,
2008 dan Widowati et al., 2008).
Kromium tidak terakumulasi dalam tubuh ikan. Akan tetapi, pada
konsentrasi tinggi, karena terjadi pembuangan produk-produk logam di
permukaan air, maka dapat merusak insang ikan yang berenang di dekat titik
pembuangan. Pada hewan dan manusia, kromium dapat menyebabkan masalah
pernapasan, kemampuan yang lebih rendah untuk melawan penyakit, cacat
lahir, infertilitas dan tumor (Morrison dan Murphy, 2005). Pemberian senyawa
kromium trivalen anorganik atau ekstrak ragi bir mengakibatkan penurunan
kadar glukosa darah dan kadar kolesterol serta regresi plak aterosklerosis.
KOBALT
Pengertian Kobalt
Kobalt adalah suatu unsur kimia dalam tabel periodik yang memiliki
lambang Co dan nomor atom 27. Elemen ini biasanya hanya ditemukan dalam
bentuk campuran di alam. Elemen bebasnya, diproduksi dari peleburan
reduktif, adalah logam berwarna abu-abu perak yang keras dan berkilau.
Kobalt bukan merupakan bahan dengan toksisitas tinggi, namun dosis besar
dari kobalt akan mengakibatkan manifestasi klinis yang parah. Gejala akut
seperti edema paru, alergi, mual, muntah, perdarahan, dan gagal ginjal dapat
terjadi. Gejala kronis dapat melibatkan syndrome paru, kelainan pada kulit,
serta kelainan tiroid. Konsentrasi serum kobalt akan meningkat di atas
normal pada pasien dengan joint prosthesis yang mengandung kobalt.
Sifat Kobalt
Sifat Kobalt dapat diuraikan menjadi:
1. Sifat fisika logam Kobalt:
a. Logam berwarna abu-abu, sedikit berkilauan dan metalik
b. Sedikit magnetis
89Logam dalam Tubuh
c. Kobalt memiliki permeabilitas logam sekitar dua pertiga daripada
besi
d. Melebur pada suhu 1490°C dan mendidih pada suhu 3520°C
e. Memiliki 7 tingkat oksidasi yaitu -1, 0, +1, +2, +3, +4, dan +5.
2. Sifat kimia logam Kobalt:
a. Bereaksi lambat dengan asam encer menghasilkan ion dengan
biloks +2
b. Pelarutan dalam asam nitrat disertai dengan pembentukan
nitrogen oksida, reaksi yang terjadi adalah:
Co + 2H+ → Co2+ + H2
3Co + 2HNO3 + 6H+ → 3Co2+ + 2NO+ 4H2O
c. Kurang reaktif
d. Dapat membentuk senyawa kompleks
e. Senyawanya umumnya berwarna
f. Dalam larutan air, terdapat sebagai ion Co2+ yang berwarna
merah
g. Senyawa-senyawa Co (II) yang tak terhidrat atau tak terdisosiasi
berwara biru
h. Ion Co3+ tidak stabil, tetapi kompleks-kompleksnya stabil baik
dalam bentuk larutan maupun padatan
i. Kompleks-kompleks Co (II) dapat dioksidasi menjadi kompleks-
kompleks Co (III)
j. Bereaksi dengan hidrogen sulfida membentuk endapan hitam
k. Tahan korosi
Sumber Kobalt
Mineral kobalt terpenting antara lain smaltite (CoAs2), cobaltite
(CoAsS), dan lemacitte (Co3S4). Sumber utama kobalt disebut “Speisses” yang
merupakan sisa dalam peleburan bijih arsen dari Ni, Cu, dan Pb. Kobalt juga
terdapat dalam meteorit. Bijih mineral kobalt yang penting ditemukan di
Zaire, Maroko, dan Kanada. Survei badan geologis AS telah mengumumkan
bahwa di dasar bagian tengah ke utara Lautan Pasifik kemungkinan kaya
akan kobalt dengan kedalaman yang relatif dangkal, lebih dekat ke arah
Kepulauan Hawai dan perbatasan AS lainnya. Unsur kobalt di alam selalu
didapatkan bergabung dengan nikel dan biasanya juga dengan arsenik.
90 Biomarker Toksisitas Paparan Logam Tingkat Molekuler
Efek Kesehatan dari Pekerjaan yang Terpajan dengan Kobalt dan
Persenyawaannya
Kobalt dikenal sebagai perangsang pembentukan sel darah merah yang
baik. Ion Co+2 dalam kobalt klorida diketahui dapat meningkatkan produksi
sel darah merah. Kobalt dalam bentuk Vitamin B12 juga mendukung proses
metabolisme dan pembentukan sel darah merah. Tetapi, apabila kandungan
kobalt yang diserap dalam tubuh berlebih maka akan menyebabkan serangan
jantung, asma, gangguan pernapasan, dan kanker paru-paru.
Konsentrasi Kobalt dalam Darah
Konsentrasi logam kobalt yang lebih besar dari atau sama dengan 1,0
μg/ml mengindikasikan adanya kemungkinan paparan lingkungan atau
tempat kerja. Konsentrasi kobalt yang berhubungan dengan toksisitas harus
diinterpretasi kan dalam konteks sumber paparan. Jika kobalt tertelan, pada
konsentrasi lebih dari 5 ml akan memperlihatkan sumber paparan utama
dan biasanya toksik.
Penggunaan protesa diketahui mengakibatkan kenaikan konsentrasi ion
logam dalam sirkulasi. Kebanyakan kenaikan 4–10 μg/ml pada konsentrasi
kobalt dalam serum berhubungan dengan protesa yang digunakan pada
keadaan yang baik. Konsentrasi serum yang lebih dari 10 μg/ml pada
pasien dengan cobalt-based implant memperlihatkan signifikansi akibat
penggunaan protesa. Namun, peningkatan serum trace element concentration
tanpa disertai dengan informasi klinis yang kuat tidak dapat dipastikan
penyebabnya akibat protesa atau kegagalannya.
Manusia mungkin terpapar kobalt melalui udara, air, dan makanan yang
mengandung kobalt. Kontak kulit dengan tanah atau air yang mengandung
kobalt juga mungkin terjadi. Unsur ini bermanfaat bagi manusia karena
merupakan bagian dari vitamin B12 yang penting untuk kesehatan. Kobalt
juga digunakan dalam pengobatan anemia bagi wanita hamil karena mampu
merangsang produksi sel darah merah. Total asupan harian kobalt bervariasi
hingga sebanyak 1 mg. Namun, perlu diingat bahwa konsentrasi yang terlalu
tinggi justru dapat merusak kesehatan. Konsentrasi tinggi kobalt yang
terhirup melalui udara dapat menimbulkan berbagai keluhan seperti asma
dan pneumonia. Hal ini terutama terjadi pada orang-orang yang bekerja
dengan kobalt. Tanah dekat fasilitas pertambangan dan peleburan mungkin
91Logam dalam Tubuh
memiliki kandungan kobalt yang tinggi, sehingga saat diasup melalui air atau
tanaman yang terkontaminasi akan menimbulkan berbagai efek kesehatan.
Efek kesehatan akibat penyerapan konsentrasi tinggi kobalt di antaranya:
1. Muntah dan mual
2. Masalah penglihatan
3. Masalah jantung
4. Kerusakan tiroid
Efek kesehatan juga dapat disebabkan oleh radiasi isotop radioaktif
kobalt yang memicu kemandulan, rambut rontok, muntah, perdarahan,
diare, koma, dan bahkan kematian. Radiasi ini antara lain digunakan pada
pasien kanker untuk menghancurkan tumor. Debu kobalt juga menyebabkan
berbagai keluhan seperti asma, batuk, sesak napas, penurunan fungsi paru,
fibrosis nodular, hingga kematian.
Metabolisme Kobalt dalam Tubuh
Kobalt bukan merupakan toksin yang bersifat akumulatif, intake
normal setiap harinya adalah sekitar 20–40 μg. Setelah terjadi absorpsi,
kobalt terdistribusi terutama pada liver. Kobalt diserap sebagai komponen
B12. Jumlah yang diserap disimpan dalam hati dan ginjal, memiliki fungsi
untuk membentuk pembuluh darah serta pembangun vitamin B12.
Mikroorganisme dapat membentuk vitamin B12, hewan memamah biak
memperoleh kobalamin melalui hubungan simbiosis dengan mikroorganisme
dalam saluran cerna. Manusia tidak dapat melakukan simbiosis ini, sehingga
harus memperoleh kobalamin dari makanan hewani seperti hati, ginjal,
dan daging. Makanan nabati mengandung sedikit kobalt, bergantung pada
kandungan tanah tempat tumbuhnya.
Kobalt merupakan vitamin B12 (kobalamin). Vitamin ini diperlukan
untuk mematangkan sel darah merah dan menormalkan fungsi semua sel.
Kobalt mungkin juga berperan dalam fungsi berbagai enzim kobalt. Kobalt
dalam tubuh terikat dalam vitamin B12 plasma darah dan mengandung
kurang lebih 1 μg kobalt/100. Pencernaan dan penyerapan Kobalt terjadi
melalui absorpsi pada bagian atas usus halus dan mengikuti mekanisme
absorpsi, yaitu meningkat bila konsumsi besi rendah.
92 Biomarker Toksisitas Paparan Logam Tingkat Molekuler
Ekskresi biasanya melalui urine dan sedikit melalui feses. Absorpsi
pada Gastrointestinal Tract (GIT) terhadap kobalt sekitar 18%. Delapan hari
setelah penetrasi secara parenteral atau melalui pembuluh darah, 56%,
dan 11% dari kadar tersebut dieliminasi melalui urine dan feses, proses
selanjutnya adalah dengan eliminasi 10% dari kadar kobalt dalam tubuh
yang biasanya membutuhkan waktu hingga 2 tahun. Konsentrasi yang
relatif tinggi juga ditemukan pada miokardium di jantung.
Konsentrasi 90 μg di udara telah terbukti mengakibatkan konsentrasi
kobalt dalam urine menjadi sekitar 100 μg/l setelah bekerja. Tubuh bekerja
untuk mengeluarkan setidaknya setengah dari konsentrasi tersebut dalam
sehari. Konsentrasi normal dari kobalt di dalam darah dan urine dari non
occupational exposed person adalah sekitar 0,1–2 μg/l. Level kadar kobalt
dalam darah dan urine akan meningkat seiring dengan adanya occupational
exposure dan mungkin dapat digunakan menjadi monitor biologis untuk
melihat kadar paparan seseorang.
Gangguan Kesehatan Akibat Paparan Kobalt
Jika teknisi gigi tidak menggunakan proteksi diri yang baik, maka
bagian dari metal fillings, debu keramik, dan debu akrilik, serta bahan
lainnya yang terdapat di udara pada laboratorium gigi selama pengerjaan
protesa dapat mengakibatkan gangguan pada kesehatan. Gangguan
kesehatan akibat paparan kobalt di tempat kerja meliputi:
1. Gangguan paru-paru
Udara yang terdapat pada laboratorium gigi berpolusi tinggi akibat
debu bekas penggerindingan, terutama debu yang sangat halus. Debu
ini akan dapat berpenetrasi jauh ke dalam paru, hingga mengakibatkan
kerusakan yang serius. Organ pertama yang akan terkena dampak dari
paparan logam berat di tempat kerja pada teknisi gigi adalah organ paru.
Saluran pernapasan akan terganggu. Selama proses penggerindingan,
logam untuk pembuatan protesa tetap dan protesa sebagian merupakan
bahan logam, partikel-partikel kecil baik dari precious alloys maupun
non-precious alloys yang tersebar di udara. Sehingga partikel-partikel
tersebut dapat terhirup melalui inhalasi. Precious alloys terdiri dari gold,
palladium, silver, copper, platinum, serta sejumlah kecil zink, indium, dan
93Logam dalam Tubuh
tin. Sedangkan saat penggerindingan nonprecious alloys, partikel seperti
cobalt, chromium, molybdenum alloys dapat ditemukan di udara.
Paparan yang cukup lama terhadap debu anorganik tersebut dapat
berkelanjutan menjadi pneumokoniosis, fibrosis pulmonalis, kanker
paru, kanker sinus pranasal, dan kanker tenggorokan. Debu yang
berasal dari cobalt-chromium alloy dan cobalt-chromium-molybdenum
alloy dapat mengakibatkan pneumokoniosis dan kanker paru. Saat
penggerindingan berlangsung, kontaminasi udara dari partikel logam
dapat ditemui. Partikel seperti partikel keramik, karbid, dan partikel-
partikel metal dapat berakibat pada terjadinya pulmonary silicosis
dan gangguan jalan napas patologis yang lain, yaitu gangguan kontak
dermatitis alergi.
Alergi kontak dermatitis telah menjadi salah satu penyakit yang paling
sering terjadi akibat kontak dengan material di tempat kerja yang
mengakibatkan sakit pada dokter gigi, teknisi gigi, dan perawat gigi.
Interval waktu yang dibutuhkan selama kontak dengan material hingga
mengakibatkan manifestasi klinis biasanya sekitar 12–24 jam. Alergi
kontak dermatitis biasanya terjadi setelah kontak dengan alergen dan
terjadi pada bagian distal phalanges dan permukaan jari. Keracunan
kronik menimbulkan efek pada pernapasan seperti penurunan
fungsi paru, wheezing, asma, pneumonia dan fibrosis menimbulkan
kardiomiopati yang ditandai oleh berkurangnya fungsi.
95
BIOMARKER TOKSISITAS
LOGAM TINGKAT MOLEKULER
DI TEMPAT KERJA
Kehadiran xenobiotik di lingkungan terutama logam berat selalu
merupakan risiko bagi organisme hidup. Namun, berbicara tentang paparan
logam, terdapat kebutuhan untuk mendeteksi racun dalam organisme dan
konsep keracunan terkait dengan perubahan organ tertentu beserta gejala
klinisnya. Selain itu, hubungan antara tingkat racun dan respons racun
dalam organisme sangat kompleks dan sulit diprediksi, karena tergantung
pada beberapa faktor, yaitu toksikokinetik dan faktor genetik. Salah satu
metode untuk mengukur paparan xenobiotik dan potensi dampaknya
pada organisme hidup, termasuk manusia, adalah pemantauan pada
penggunaannya yang disebut biomarker.
Pemantauan biologis memiliki kelebihan dibandingkan pemantauan
lingkungan karena mengukur dosis internal senyawa. Perbedaan antar
individu harus diperhitungkan baik dalam penyerapan, bioavailabilitas,
ekskresi, maupun perbaikan DNA. Selain itu, perbedaan intraindividu,
sebagai konsekuensi dari perubahan fisiopatologi tertentu yang terjadi
dalam periode waktu tertentu, juga harus dipertimbangkan. Ini melibatkan
sebuah kontrol biologis individual untuk mengevaluasi paparan xenobiotik
tertentu.
Penggunaan penanda biologis ini dalam evaluasi risiko penyakit telah
meningkat tajam dalam dekade terakhir. Biomarker adalah titik akhir yang
dapat diamati yang mengindikasikan peristiwa dalam proses yang mengarah
ke penyakit. Metode ini sangat berguna dalam evaluasi penyakit progresif
yang manifestasi gejalanya lama setelah paparan dimulai.
Kajian tentang paparan logam dan dampaknya dapat diprediksi
dengan biomarker tertentu yang mengidentifikasikan adanya suatu
96 Biomarker Toksisitas Paparan Logam Tingkat Molekuler
penyakit. Paparan konstan paduan logam berat selama proses pembuatan
gigi berbahan dasar logam dengan konsentrasi tinggi logam Co, Ni, dan Cr
(Hariyani et al., 2015) sangat terkait dengan pembentukan radikal bebas.
Radikal bebas memiliki sifat yang sangat reaktif yang dapat menyebabkan
oksidasi lebih lanjut dari molekul sekitarnya. Pembentukan organisme
hidup langsung atau tidak langsung, mampu menginduksi produksi ROS.
Walaupun ketiga elemen tersebut ( nikel, kromium, dan kobalt) memiliki
potensi karsinogenik pada manusia dan hewan coba, nikel dan kromium
memperoleh perhatian terbesar karena laporan atas potensi mereka
untuk menimbulkan efek alergi, toksik atau karsinogenik. Interpretasi
atas temuan tersebut harus dilakukan dengan hati-hati karena toksisitas
yang terdokumentasi biasanya hanya berlaku pada bentuk terlarut dari
elemen tersebut. Pada saat ini, hubungan apapun antara pelepasan suatu
logam dan toksisitas metabolik, bakteriologis, imunologis atau karsinogenik
dianggap sebagai dugaan semata, karena hubungan sebab dan akibat belum
dibuktikan pada manusia.
Ion nikel dapat memengaruhi kemotaksis leukosit melalui perubahan
bentuk, sambil menstimulasi neutrofil untuk menjadi asferis dan bergerak
lebih lambat, serta menghambat aktivitas kontraktil yang bergantung pada
ion kalsium dengan mendepolarisasi membran sel neutrofil. Larutan nikel
(0,05 μmol/L) dan kobalt (0,01 μmol/L) ditemukan menghambat fagositosis
bakteri oleh leukosit polimorfonuklear in vitro.
Nikel juga menghambat kemotaksis pada konsentrasi 2,5–50 ppm.
Konsentrasi nikel dalam kisaran tersebut dilepaskan dari dental alloy dan
diperlihatkan mengaktifkan monosit dan sel-sel endotel serta menekan
atau mendukung pelepasan molekul adhesi interseluler oleh sel endotel.
Sebagian besar literatur menyatakan bahwa keberadaan nikel berisiko
menimbulkan respons inflamasi dalam jaringan lunak. Senyawa nikel dalam
bentuk arsenida dan sulfida merupakan karsinogen, alergen, dan mutagen
yang telah diakui.
Nikel dikatakan mampu menstimulasi terjadinya hipoksia, melalui up-
regulasi suatu gen yang mengatur hipoksia, mengaktivasi jalur sinyal hipoksia
melalui mediasi faktor transkripsi Hypoxia-Inducible Factor (HIF-1). Dengan
adanya oksigen, proline 564 pada sub unit HIF-1 mengalami hidroksilasi
oleh prolyl hydroxylase. Dalam menjalankan fungsinya, prolyl hydroxylase
membutuhkan oksigen dan zat besi. Nikel berperan menggantikan zat besi
97Biomarker Toksisitas Logam Tingkat Molekuler di Tempat Kerja
dan menginaktivasi enzim prolyl hydroxylase, sehingga terjadi hipoksia
(Seeley et al., 2017).
Rute berbeda yang mengarah ke kesimpulan yang sama telah
dikemukakan, di mana stres oksidatif yang disebabkan oleh paparan
suatu logam genotoksik dapat meningkatkan jumlah ROS endogen. Nikel
diperantarai oleh induksi laktat dehidrogenase, lipid peroksidase, dan
induksi reaksi Fenton serta Haber-Weis yang dapat menghasilkan radikal
hidroksil (•OH dan OH) dan menyebabkan terjadinya kerusakan DNA
(Valko et al., 2005). Kerusakan oksidatif DNA yang diperantarai oleh ROS
berperan penting dalam berbagai penyakit termasuk kanker
Proses reaksi Fenton melibatkan reaksi O2
- dengan logam kelumit
oksidatif dan pembentukan O2, yang selanjutnya bereaksi dengan hidrogen
peroksida untuk membentuk hidroksi radikal dan OH-. Hipotesis tambahan
bagi stres oksidatif melibatkan induksi pembentukan asetaldehida oleh
nikel, sementara bukti atas aksi oksidatif diilustrasikan oleh peningkatan
reseptor laktoferin setelah pemaparan populasi sel terhadap nikel.
Nikel dalam beberapa penelitian menunjukkan konsentrasi nontoksik
merangsang kerusakan basis DNA yang bersifat spesifik dan single-
strand scission. Keterlibatan faktor transkripsi NF-kB dan AP-1 telah
ditetapkan melalui penelitian yang menunjukkan bahwa sel-sel resisten
nikel mengurangi level pengikatan kedua faktor tersebut ke sekuens
DNA mereka. Kerusakan DNA akibat nikel juga dapat timbul secara tidak
langsung melalui penghambatan enzim, seperti 8-OHdG dan 5´-triphosphate
pyrophosphatase, yang mengembalikan perpecahan DNA. Pada konsentrasi
nontoksik, nikel mendorong mutasi mikrosatelit, menghambat perbaikan
eksisi nukleotida, dan meningkatkan metilasi genom total. Pengaruh
tersebut pada ketidakstabilan genetik telah disebutkan sebagai dasar aksi
karsinogenik dari nikel.
Rongga mulut memiliki hubungan yang erat dengan rongga hidung
sebagai kesatuan jalur mekanisme pernapasan. Dalam menjalankan
fungsinya, rongga hidung yang terpapar oleh suatu substansi genotoksik
akan menyebabkan rongga mulut juga terpapar. Penumpukan subtansi
genotoksik yang mengendap di rongga mulut oleh karena paparan yang
terjadi dalam waktu yang lama dapat menyebabkan adanya perubahan
struktur DNA (Haryani et al., 2008).
98 Biomarker Toksisitas Paparan Logam Tingkat Molekuler
Nikel, kromium, dan kobalt memiliki potensi karsinogenik pada manusia
dan hewan coba. Paparan nikel secara inhalasi terbukti menyebabkan tumor
pada saluran pernapasan hewan coba dan manusia. Dunnick et al. (1995)
dan Lison et al. (2001) melaporkan efek karsinogenitas pada hewan coba
yang dipapar oleh kobalt selama 2 tahun selain itu kobalt juga menimbulkan
efek genotoksik. Paparan logam genotoksik dapat meningkatkan jumlah
ROS endogen. Ion logam kromium, kobalt, nikel, dan vanadium dapat
menghasilkan radikal hidroksil (–OH) melalui reaksi Fenton dan Haber-
Weiss. Radikal hidroksil tersebut dapat menyebabkan terjadinya kerusakan
DNA (Valko et al., 2005). Kerusakan oksidatif DNA yang diperantarai oleh
ROS berperan penting dalam berbagai penyakit termasuk kanker (Merzenich
et al., 2001).
Di bidang Kedokteran Gigi, kobalt-kromium mempunyai sifat wear
resistant yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan semua jenis logam
(Shi, 2006). Wear resistance yang tinggi dari biomaterial ini lebih baik
daripada wear resistance yang rendah. Wear resistance yang rendah
akan mempercepat keausan dari suatu biomaterial. Keausan merupakan
faktor penting yang dapat mempercepat proses korosi, khususnya karena
pecahnya lapisan pelindung (Traisnel et al., 1990). Kobalt-kromium telah
cukup dikenal di kedokteran gigi, namun sangat sedikit diketahui sifat dan
pengaruh biologisnya sebagai material implan gigi. Campuran komposisi
logam kobalt-kromium yang digunakan pada implan gigi adalah kobalt
sebesar 27–30%, kromium sebesar 5–7%, molibdenum, dan komponen
lainnya seperti mangan dan silikon kurang dari 1%, besi kurang dari 0,75%,
nikel kurang dari 0,5%, karbon nitrogen, tungsten, fosfor, sulfur, boron, dan
lain-lain (Hjalmarsson, 2009; Nouri et al., 2010).
Secara alamiah, hampir semua logam akan mengalami proses korosi
sebagai suatu reaksi elektrokimia dalam rangka mencapai kesetimbangan
termodinamika. Efek yang kurang menguntungkan dari proses korosi adalah
terlepasnya ion-ion logam (Geurtsen, 2002). Kondisi rongga mulut yang
asam dapat meningkatkan proses terjadinya pelepasan ion. Ion logam yang
terlepas akan bebas dan dapat menimbulkan toksisitas melalui mekanisme
memengaruhi sifat enzimatis suatu sel atau toksik secara langsung melalui
infiltrasi membran. Ion logam dalam cobalt based alloy yang terlepas akan
terikat pada protein sel dan menyebabkan terjadinya koagulasi. Infiltrasi
membran biasanya terjadi pada ukuran nanopartikel, sehingga partikel
99Biomarker Toksisitas Logam Tingkat Molekuler di Tempat Kerja
dapat menembus membran sel dan merusak dari dalam sel (Okazakia
dan Gotoh, 2008; Behl et al., 2013). Ion logam yang terlepas berpengaruh
terhadap metabolisme seluler dengan menghambat aktivitas enzim
dehidrogenase dan menghambat pembentukan Adenosin Trifosfat (ATP)
(O’Brien dan Briggs, 2002). Efek toksik dari pelepasan ion memungkinkan
terjadinya reaksi jaringan.
Radikal bebas yang dihasilkan oleh logam memiliki sifat yang sangat
reaktif sehingga dapat menyebabkan oksidasi lebih lanjut pada molekul di
sekitarnya. Jika radikal bebas dan hasil oksidasi bereaksi dengan kompleks
molekul di dalam sel terutama kromosom, maka rantai kromosom menjadi
terputus dan susunan basa nukleotida berubah. Perubahan tersebut
mengakibatkan terjadinya kerusakan pada DNA. Kerusakan lebih lanjut
akibat dari kerusakan DNA, yaitu dapat mengakibatkan pembelahan sel
tertunda, modifikasi, dan perubahan sel secara permanen, serta peningkatan
kecepatan pembelahan sel sehingga dapat menginduksi terjadinya tumor
(Shantiningsih dan Diba, 2015).
Logam dapat memengaruhi tumor supresor gen p53 pada beberapa
tingkatan, selain efek tidak langsung ( ROS menginduksi perubahan pada
basis DNA, mengubah metabolisme lipid dan homeostasis kalsium) (Aimola,
2012; Hamann, 2012; Jomova dan Valko, 2011), p53 juga sensitif terhadap
gangguan lokal yang disebabkan oleh ion logam itu sendiri. Redoks logam
tidak aktif, seperti kadmium dan nikel menunjukkan toksisitasnya melalui
ikatan dengan gugus sulfhidril protein dan penipisan glutathione. Di sisi lain,
redoks logam aktif seperti kobalt adalah perangsang potensial terjadinya
stres oksidatif, membentuk generasi radikal bebas.
Radikal bebas dapat bereaksi dengan komponen dalam sel seperti
protein, peroksidasi lipid, dan Deoxyribonucleic Acid ( DNA) pada sel saluran
pernapasan (Lodovici dan Bigagli, 2011). Radikal hidroksil (•OH) memicu
kerusakan DNA terutama ditandai dengan pembentukan 8-OHdG 8-OHdG
(Valavanidis et al., 2009 ). Mutasi yang secara umum terjadi karena ROS
adalah transversi GC→TA (Valvanidis et al., 2009; Hong et al., 2015). Gen
p53 terlibat dalam berbagai proses biologis seperti regulasi gen yang
terlibat dalam siklus sel, pertumbuhan sel setelah kerusakan DNA, dan
apoptosis (Wang dan Shi., 2001). Dalam redoks logam tidak aktif, seperti
kadmium dan nikel menunjukkan toksisitasnya melalui ikatan dengan gugus
sulfhidril protein dan penipisan glutathione. Di sisi lain, redoks logam aktif
100 Biomarker Toksisitas Paparan Logam Tingkat Molekuler
seperti kobalt adalah perangsang potensial terjadinya stres oksidatif dan
menyebabkan generasi radikal bebas.
Pada kerusakan DNA, protein p53 akan mengaktifkan gen p21 dan
gen Growth Arrest and DNA Damage Inducible Protein (GADD45) untuk
memungkinkan terjadinya repair DNA. Apabila kerusakan DNA parah,
maka protein p53 akan mengaktifkan gen untuk memicu proses apoptosis
(Norbury dan Zhivotovsky, 2004; Lu et al., 2013). Apoptosis adalah
proses eliminasi sel secara aktif melalui jalur terprogram. Kedua jalur
apoptosis yaitu intrinsik dan ekstrinsik, mengaktifkan caspase 3. Caspase
3 adalah mediator kunci dalam proses apoptosis karena aktivasi caspase
3 adalah aktivasi terakhir sebelum terjadi kematian sel sehingga caspase
3 banyak digunakan sebagai indikator dalam deteksi apoptosis (Güven,
et al., 2015). Caspase 3 merupakan variabel untuk mendeteksi apoptosis
karena mekanisme apoptosis oleh p53 adalah caspase dependent (Putri et
al., 2018)
Logam nikel, kobalt, dan kromium juga mengakibatkan mutasi pada
gen p53 melalui mekanisme peningkatan produksi ROS (Zhitkovich, 1998;
Koedrith dan Rok Seo, 2011; Hong et al., 2015). Dalam keadaan hipoksia
ringan, HIF-1 dapat menurunkan regulasi p53. HIF-1 dapat mengganggu
aktivitas p53 melalui down regulation dari protein supresor tumor
Homeodomain-Interacting Protein Kinase-2 (HIPK2). HIPK2 memfosforilasi
p53 di serin 46 sebagai respons terhadap kerusakan DNA dan kemudian
mengaktifkan fungsi apoptosisnya (Obacz et al., 2013). Akumulasi nikel dapat
menonaktifkan prolyl hydroxylase yang merupakan enzim yang berperan
terhadap kepekaan adanya molekul oksigen. Nikel juga menurunkan jumlah
askorbat intraseluler, yang merupakan kofaktor enzim prolyl hydroxylase.
Hal tersebut selanjutnya dapat mengakibatkan HIF-1 teraktivasi. HIF-1
dapat menurunkan regulasi p53. Penurunan p53 menyebabkan gen target
GADD45 tidak mengalami aktivasi. GADD45 merupakan gen yang berperan
dalam perbaikan DNA. Jika GADD45 tidak teraktivasi, maka perbaikan DNA
tidak dapat terjadi. Dengan terhambatnya perbaikan DNA, maka akan terjadi
kerusakan kromosom yang selanjutnya berdampak pada terbentuknya
mikronuklei.
Mutasi gen p53 secara umum berupa transversi GC-TA (Pan et al.,
2008). Mutasi sering terjadi pada kondisi kanker dan 60–70% mutasi terjadi
pada gen p53 dengan 38% mutasi transversi G-T (Hollstein, 1991; Lubin et
101Biomarker Toksisitas Logam Tingkat Molekuler di Tempat Kerja
al., 1995). Peningkatan kadar p53 mutan dapat menurunkan kadar p53 wild
karena efek negatif dominan. Rohmaniar et al. (2017) menyatakan bahwa
nilai p53 tipe wild rendah (0,282 ng/mg), walaupun kerusakan kromosom
(ditandai dengan mikronulei) tinggi. Nilai kontrol pada p53 tipe wild menurut
(Hideshima et al., 2017; Putri et al., 2018) adalah 4,9 ng/mg.
Protein p53 mutan tidak dapat menginduksi apoptosis pada DNA yang
rusak, diduga hal ini yang menyebabkan transformasi sel menjadi kanker
(Norbury dan Zhivotovsky, 2004). Perkembangan teknik biologi molekuler
dapat menjelaskan bahwa salah satu penyebab terjadinya proses keganasan
adalah kegagalan atau inaktivasi dari tumor supresor gen p53 (Kurniawan
et al., 2018) Jika inaktivasi pada tumor supresor gen p53, misalnya pada
sel yang mengalami mutasi atau kehilangan gen p53, maka ekspresi P53
( protein P53) tidak terjadi atau ekspresi protein P53 terjadi, namun tidak
dapat berfungsi sebagai pengaktivasi proses transkripsi pada beberapa gen
target seperti gen (Cyclin Dependent Kinase Inhibitor 1A (CDKN1A) atau p21
(gen p21) dan GADD45 (Kumar et al., 2010).
Tumor supresor gen p53 memainkan peran sentral dalam pengawasan
kerusakan DNA, perbaikan DNA, atau menginduksi kematian sel alternatif
sebagai solusi akhir dalam pemeliharaan integritas jaringan (Hale et al.,
1996; Levine 1997). Keterlibatan tumor supresor gen p53 tersirat dari
adanya penurunan kerusakan sel yang disebabkan oleh iskemia, asam kainik,
atau adrenalektomi pada tikus knock-out (Crumrine et al., 1994; Morrison et
al., 1996; Sakhi et al., 1994, Sakhi et al., 1996) dan induksi kematian neuronal
oleh overekspresi p53 (Jordan et al.,1996; Slack et al., 1996).
Peningkatan tumor supresor gen p53 dapat memberikan energi
transaktif gen efektor yang produknya terlibat dalam perbaikan DNA
(Tomasevic et al., 1996). Salah satu gen yang bergantung pada p53 ini adalah
GADD45, awalnya ditemukan dan diinduksi oleh agen-agen perusak DNA
dan radiasi pengion (Smith dan Fornace, 1996; Ishikawa et al., 2008). Sebagai
tambahan, GADD45 berikatan langsung dengan proliferasi antigen inti sel
(PCNA), komponen penting dari replikasi DNA dan mesin perbaikan eksisi
nukleotida (Smith dan Fornace, 1996), dan yang telah terbukti menurunkan
iskemia serebral pada hippocampal neuron CA1 yang sensitif terhadap
serangan ini (Tomasevic et al., 1996). Laporan ini menambahkan bobot lebih
lanjut pada gagasan bahwa kegagalan stres atau respons perbaikan mungkin
penting dalam kerusakan neuronal lambat selektif setelah episode iskemik
102 Biomarker Toksisitas Paparan Logam Tingkat Molekuler
(Honkaniemi dan Sharp 1996; Tomasevic et al., 1996). Dengan terhambatnya
perbaikan DNA, maka akan terjadi kerusakan kromosom yang selanjutnya
berdampak pada terbentuknya mikronuklei.
Perubahan DNA akibat zat genotoksik yang dapat dilihat pada sel
mukosa bukal adalah mikronuklei (MN). MN dan nuclear abnormalities
merupakan suatu biomarker untuk memonitor suatu individu atau populasi
yang terpapar senyawa yang bersifat mutagenik, genotoksik, dan teratogenik
(Torres et al., 2013). Mikronuklei merupakan bentukan kecil di luar inti yang
terpisah dari bentukan utamanya dan terbentuk selama pembelahan sel
oleh kromosom atau fragmen kromosom yang terlambat (Syaifudin, 2008).
Kegagalan tersebut terjadi pada saat pembagian kromosom saat siklus
anafase pada fase mitosis (Nina et al., 2008). Terdapat beberapa penelitian
yang menunjukkan frekuensi MN pada Peripheral Blood Lymphocytes (PBL),
diasosiasikan dengan asupan diet dan konsentrasi plasma folat, vitamin B12,
ribolavin, biotin, pantotenat, beta karoten, vitamin E, retinol, dan kalsium.
Nuclear abnormalities merupakan gambaran yang menunjukkan adanya
suatu diferensiasi seluler secara fisiologis dan juga terjadi selama kematian
sel dengan kerusakan DNA. Nuclear abnormalities terdiri dari karyorrhexis
(KR), pyknotic nuclei (PN), karyolysis (KL) (Torres, 2013). Mikronuklei pada
lapisan bukal bagian superfisial dapat digunakan sebagai penanda adanya
mutasi gen, oleh karena pada lapisan superfisial juga terdapat mikronuklei
yang terbawa dari lapisan basal akibat regenerasi sel epitel normal (Bonassi
et al., 2005). Teknik mikronuklei (MN) pada sel bukal dapat mengevaluasi
dengan jelas dan tepat munculnya kerusakan genetik yang muncul sebagai
konsekuensi dari risiko pekerjaan atau lingkungan. Teknik tersebut dapat
diandalkan, cepat, relatif sederhana, murah, dan invasif minimal serta tidak
menyebabkan rasa sakit (Torres et al., 2013).
Generasi stres oksidatif telah dianggap sebagai suatu mekanisme
utama di balik toksisitas logam berat. Logam berat memiliki potensi
menghasilkan produk akhir yang memiliki entitas kimia reaktif sangat
tinggi, seperti radikal bebas yang memiliki kemampuan untuk menyebabkan
peroksidasi lipid, kerusakan DNA, oksidasi kelompok protein sulfhidril,
penipisan protein, dan beberapa efek lainnya. Logam berat ditemukan
menghasilkan ROS, yang pada gilirannya menghasilkan efek racun dalam
bentuk hepatotoksisitas dan neurotoksi sitas serta nefrotoksisitas pada
hewan dan manusia.
103Biomarker Toksisitas Logam Tingkat Molekuler di Tempat Kerja
Beberapa spesies oksigen reaktif diperlihatkan pada Gambar 7. Sifat-
sifat beberapa karakteristik mereka dan berdampak pada sistem seluler
dirangkum dalam Tabel 1. Ulasan tentang biomarker ini merangkum
informasi tentang logam berat yang menyebabkan ketidakseimbangan
dalam sistem redoks, dalam tubuh, dan klinis, serta patofisiologi. Hal
ini berimplikasi pada penggunaan produk alam dan sintetis tertentu
untuk mengurangi toksisitas dan efek kesehatan yang dihasilkan melalui
kerusakan oksidatif dan proses penyakit.
Analisis protein p53 mutan dengan menggunakan teknik elisa dapat
digunakan sebagai alat diagnostik dan untuk membedakan keadaan
tumor jinak dan ganas (Rohmaniar et al., 2017). Elisa adalah metode yang
digunakan untuk mendeteksi ekspresi protein. Elisa digunakan dalam
penelitian ini dengan alasan karena metode yang sederhana, cepat, dan
memberikan hasil kuantitatif (Ferrier et al., 1999). Ion logam menyebabkan
inhibisi ikatan DNA dan gangguan konformasi protein p53 yang dimurnikan
dan diamati dengan metode biokimia (EMSA dan ELISA).
.jpeg)
.jpeg)






