gangguan jiwa 3



 Serang, 2017). 

 

berdasar  ungkapan di atas, diketahui bahwa pemasungan masih 

menjadi pilihan yang dilakukan warga  dalam menangani ODGJ. Selain itu, 

mereka juga membawa ke panti rehabilitasi. Selain itu, warga  juga aktif 

membawa pasien ODGJ ke puskesmas terdekat dari rumah mereka. Untuk di Kota 

Serang, penanganan ODGJ tercatat paling sering di kunjungi pasien yaitu 

Puskemas Rau. 

Untuk wilayah Pandeglang belum ada model penanganan ODGJ yang 

dilakukan warga , tetapi ada beberapa kecamatan dimana tokoh 

warga nya secara aktif memberikan sosialisasi tentang peran keluarga dalam 

rangka upaya penyembuhan yang harus dilakukan. Sementara itu, untuk di Kota 

Cilegon, juga terjadi sama, masyarkat belum ada upaya dalam penanganan namun 

Keterlibatan tokoh warga  sangat membantu dalam penanganan ODGJ mulai 

dari Babinsa, Polsek dan tokoh warga  itu sendiri dalam membantu petugas 

dalam membantu di kelapangan khususnya petugas Puskesmas dan Dinsos. 

 

4.3 KENDALA PENANGANAN ODGJ DI BANTEN 

4.3.1 Kendala Perilaku Kesehatan Keluarga ODGJ dan warga  

Kondisi keluarga dan warga  sekitar sangat mempengaruhi terhadap 

penanganan ODGJ. Selama ini terjadi meliputi beberapa hal berikut ini; (1) Mitos 

82 

 

82 

 

di keluarga dan warga , seperti tidak akan sembuh, tidak stabil dan tidak 

dapat diramalkan, mungkin berbahaya, sebagai kutukan dan hukuman; (2) Stigma, 

ODGJ masih menjadi bahan olok-olokan dan dipandang rendah walaupun 

memiliki  posisi yang sama dengan beberapa penyakit lain secara fisik; (3) 

Diskriminasi, ODGJ tidak mendapatkan perhatian, baik dari sudut keluarga, 

warga , dan bahkan pemerintah. Hal ini  disampaikan informan sebagai 

berikut: 

“Dukungan keluarga ODGJ memang cukup berpengaruh dalam 

mempengaruhi kesembuhan pasien ODGJ, banyak mitos warga  

bahwa ODGJ itu susuah sembuh, bisa juga karena kutukan ayau guna-

guna.  ODGJ juga kadang rendah oleh warga , dan keluarganya 

merasa malu atas anggota keluarganya yang menjadi ODGJ. Kurangnya 

kesadaran warga  ini terhadap perhatian ODGJ menjadikan pasien 

ODGJ terus menjadi perkasus an di warga , karena kerap 

mengganggu ketertiban umum di warga .” (Wawancara Dinas 

Kesehatan Kabupaten Lebak, 2017). 

 

berdasar  pernyataan di atas diketahui bahwa, paradigma berpikir 

warga  dan keluarga ODGJ masih memandang ODGJ merupakan aib yang 

harus ditutupi. Tidak akan pernah berhasil upaya apapun untuk penanggulangan 

ODGJ bila tantangan ini  masih belum bisa dirubah sampai pengetahuan, 

sikap dan bahkan perilaku warga  berpihak pada upaya penanganan yang 

positif dan bergerak bersama peduli terhadap ODGJ. 

Beberapa kondisi yang menjadikan program pelayanan kesehatan jiwa di 

fasilitas kesehatan dasar atau puskesmas serta program bebas pasung. Tidak 

terlepas dari beberapa faktor berikut; (1) Pelayanan yang tidak memadai; (2) 

Tidak ada kesinambungan antara rumah sakit dan warga ; (3) Sikap negatif 

terhadap gangguan jiwa; (4) Tidak ada dukungan keluarga; (5) Tidak ada atau 

kurangnya dukungan dalam kebijakan, rencana pelayanan, dan pendanaan; (6) 

Lemahnya kerjasama intersektoral. Keenam faktor ini  menjadi kendala yang 

harus segera ditengahi dengan penguatan model dan program yang sudah ada. 

Kondisi saat ini kesenjangan pengobatan besar, dengan adanya 

keterlambatan dalam pengenalan kasus  kesehatan jiwa, keterlambatan dalam 

membawa orang dengan kasus  kejiwaan ke fasilitas kesehatan, serta adanya 

83 

 

83 

 

kasus pemasungan. Sementara, sumber daya layanan kesehatan jiwa masih 

terbatas. Pemasungan pada ODGJ merupakan salah satu dampak ekstrim dari 

kesenjangan pengobatan terhadap gangguan jiwa. Penyebab kesenjangan 

pengobatan diantaranya: kondisi geografis yang sulit dijangkau, tingkat 

pengetahuan warga  terhadap kesehatan jiwa masih rendah, stigma terhadap 

kesehatan jiwa, sumber daya pendukung layanan kesehatan jiwa masih terbatas, 

serta faktor ekonomi, sosial dan budaya. 

Sebuah studi yang menelaah faktor yang paling dominan terhadap 

pemasungan ODGJ di negarakita  adalah status ekonomi rumah tangga yang rendah 

yang lebih banyak memiliki kasus  ketidaktahuan adanya fasilitas kesehatan 

serta hampir setengahnya tinggal di pedesaan (Idaiani, 2015). Hal ini  juga 

sangat jelas terjadi di Provinsi Banten dengan beberapa peta pedesaan dan jauhnya 

jangkauan terhadap fasilitas pelayanan kesehatan. 

Hasil analisis lanjut Riskesdas 2007 dan 2013 menunjukan bahwa semakin 

tinggi disabilitas dan semakin kurang baik gaya hidup maka semakin berat 

gangguan mental emosional yang dialami (Wardhani, 2016). Sehingga perlakuan 

keluarga dan warga  terhadap disabilitas dan gaya hidup yang baik akan 

sangat membantu kesehatan mental dan emosional  secara umum.  

Keluarga dan warga  juga diharapkan memiliki expressed emotion 

yang baik kepada ODGJ. Meskipun penelitian tentang hubungan expressed 

emotion dengan kekambuhan gangguan jiwa mendapatkan hasil yang tidak 

konsisten, tetapi dianggap sebagai faktor yang ikut mempengaruhi perjalanan 

penyakit pada ODGJ (Hasanat, 2004). 

 

4.3.2 Kendala Regulasi ODGJ dan Urgensi Penanganannya 

Regulasi untuk penanganan ODGJ bila dirilis dari interes pemerintah 

melalui Keputusan Menteri Kesehatan Republik negarakita  No. 220 tahun 2002 

tentang Pedoman umum tim Pembina, tim pengarah, tim pelaksana kesehatan jiwa 

warga  (TP-KJM). Sudah mengatur dengan baik upaya kesehatan jiwa 

diwarga . Namun realisai pada pemerintah daerah belum dilakukan dengan 

baik, hal ini  terjadi di Provinsi Banten. 

84 

 

84 

 

Provinsi Banten belum memiliki payung hukum selain Undang-undang 

Nomor 18 Tahun 2014. Sampai saat ini Provinsi Banten baru memiliki Keputusan 

Gubernur melalui SK Nomor 441.3.05/Kep. 224-Huk/2016 Tentang Pembentukan 

Tim Pengarah Kesehatan Jiwa warga  Tingkat Provinsi Banten. Belum 

adanya kebijakan khusus terkait penanganan ODGJ mengakibatkan gerakan atau 

tindakan bersama dalam penanganan ODGJ belum berjalan sebagai suatu program 

yang terencana dengan komprehensif, hal ini  dikarenakan tidak masuknya 

penanganan ODGJ kedalam program strategis Provinsi Banten. 

 

“Dinkes Provinsi Banten sudah menginisiasi keputusan Gubernur tentang 

TPKJM Nomor 441.3.05/Kep. 224-Huk/2016 pada tahun 2016 lalu tetapi 

pada pelaksanaanya belum berjalan dengan baik, tetapi pada upaya 

penanganan yang lain Dinkes Banten sudah berupaya melalui pengiriman 

diklat penanganan ODGJ untuk tenaga dokter dan paramedis perwakilan 

kabupaten/kota se Provinsi Banten.” (Wawancara dengan Dinas Kesehatan 

Provinsi Banten, 2017). 

berdasar  ungkapan di atas, dapat dikertahui bahwa Pemerintah 

Provinsi Banten sudah melakukaan upaya regulasi dengan dikeluarkannya 

Keputusan Gubernur tentang TPKJM Nomor 441.3.05/Kep. 224-Huk/2016 pada 

tahun 2016. Namun dalam pelaksanaanya belum berjalan dengan baik. Dinkes 

Banten sudah berupaya melalui pengiriman diklat penanganan ODGJ untuk 

tenaga dokter dan paramedis perwakilan Kabupaten/Kota se Provinsi Banten. 

Namun SDM tenaga kesehatan untuk menangani ODGJ masih banyak 

kekuarangan. 

Kondisi yang terjadi di Provinsi Banten pelayanan kesehatan ODGJ masih 

disatukan dengan  layanan umum kesehatan lainnya, sehingga ini menjadi salah 

satu kendala dalam menangani ODGJ: 

 

“Belum adanya rumah sakit jiwa, masih sedikit puskesmas yang 

melakukan pelayanan kesehatan jiwa, belum ada layanan rawat inap untuk 

penanganan ODGJ. Secara kuantitas dan kualitas untuk penanganan ODGJ 

memang masih rendah” (Wawancara dengan Dinas Kesehatan Provinsi 

Banten, 2017). 

 

85 

 

85 

 

berdasar  pernyataan di atas, dapat diketahui bahwa salah satu kendala 

pemerintah dalam penanganan ODGJ masih belum tersedianya layanan khusus 

pasien ODGJ, khusunya Rumah Sakit Jiwa di Banten. Pelaksanaan penanganan 

ODGJ dari segi fasilitas, rumah sakit maupun puskesmas di Provinsi Banten saat 

ini baru dapat melaksanakan Peraturan Menteri Kesehatan tentang pelayanan 

kesehatan dasar. Untuk pelayanan kesehatan Jiwa masih bergabung dalam 

pelayanan kesehatan umum, adapun acuan ini  untuk penyediaan jumlah 

tempat tidur di Rumah Sakit tipe C. Menurut pandangan medis, cukup beresiko 

apabila penanganan ODGJ bergabung dengan kesehatan umum, karena ODGJ 

pada akhirnya tidak mendapatkan pelayanan rawat inap di Rumah Sakit. 

 

4.3.3 Kecukupan Anggaran dalam Menangani ODGJ 

Tidak masuknya kesehatan jiwa dalam prioritas perencanaan strategis 

Provinsi Banten menyebabkan tidak memadainya alokasi anggaran untuk 

melaksanakan program penanganan ODGJ. Hal ini  berkaitan dengan 

penganggaran di Dinas Sosial Provinsi Banten, penanganan ODGJ masih 

bersumber dari dana Hibah yang diajukan oleh panti rehabilitasi warga .  

Kondisi ini  disampaikan informan Dinas Sosial Provinsi Banten: 

 

“Sampai saat ini tidak ada alokasi anggaran untuk penanganan ODGJ, 

kecuali dana Hibah yang diajukan oleh panti rehabilitasi warga . 

Alokasi anggaran Dekonsentrasi dari Kemensos juga untuk penanganan 

ODGJ tahun 2016 hanya diberikan untuk 8 orang penderita ODGJ (per 

orang Rp. 500.000), padahal penderita ODGJ di Banten sangat tinggi.” 

(Wawancara dengan Dinas Sosial Provinsi Banten, 2017). 

 

berdasar  pernyataan di atas, dapat diketahui bahwa Secara kecukupan 

anggaran Pemerintah Provinsi Banten, hingga saat ini tidak memberikan alokasi 

anggaran untuk penanganan ODGJ, kecuali dana hibah yang diajukan oleh panti 

rehabilitasi warga . Diketahui adanya alokasi anggaran Dekonsentrasi dari 

Kemensos juga untuk penanganan ODGJ pada tahun 2016 diberikan diberikan 

hanya untuk 8 orang penderita ODGJ (per orang Rp. 500.000). Sementara, kondisi 

penderita ODGJ di Banten cukup tinggi dan mengancam menjadi bencana daerah. 

86 

 

86 

 

Kondisi yang sama disamapikan oleh Dinas Kesehatan Provinsi Banten, 

bahwa perkasus an anggaran yang belum diprioritaskan oleh pemerintah 

terhadap penanganan ODGJ menjadi kendala finansial yang belum teratasi, 

sehingga menghambat penanganan secara masif, berikut kutipan wawancara 

Informan Dinas Kesehatan Provinsi Banten: 

 

“Alokasi anggaran sampai saat ini hanya 1% dari anggaran Dinas 

Kesehatan Provinsi Banten…” (Wawancara dengan Dinas Kesehatan 

Provinsi Banten, 2017). 

 

Dinas Kesehatan memiliki anggaran dalam slot anggaran daerah untuk 

kesehatan jiwa, namun besarannya pun dirasa masih sangat rendah, yakni hanya 

1% dari anggaran Dinas Kesehatan Provinsi Banten. Sehingga pencapaian 

cakupan pelayanan kesehatan jiwa masih sangat kecil. 

Gambar 4.4 Trend Dukungan Anggaran Program Kesehatan Jiwa

di Provinsi Banten

111.215.000 

1.194.492.000 1.182.828.841 

24.000.000.000 

-

5.000.000.000 

10.000.000.000 

15.000.000.000 

20.000.000.000 

25.000.000.000 

30.000.000.000 

APBD

2013

2014

2015

2016

 

Sumber: Dinkes Provinsi Banten (2017) 

 

 

4.3.4 Koordinasi Pemerintah dalam Menangani ODGJ 

Perkasus an penanganan ODGJ juga berkait dengan perkasus an 

manajerial pemerintahan, dalam hal ini terkait koordinasi antar instansi. Sampai 

saat ini penanganan ODGJ masih bersifat sendiri-sendiri, belum terintegrasi 

sebagaimana penanganan ODGJ berbasis warga , terkadang terjadi benturan 

domain antara Dinas Kesehatan dengan Dinas Sosial. Namun menurut pengakuan 

pihak Dinas Sosial Provinsi Banten, mereka akan menyerahkan kepada Dinas 

87 

 

87 

 

Kesehatan apabila ada ODGJ yang perlu ditangani secara medis. Serta sebaliknya 

bagaimana sesudah  tertangani, kemana ODGJ ini  akan dikembalikan, masih 

menjadi tanda tanya besar. 

Panti rehabilitasi warga  yang bekerjasama/binaan Dinsos terdapat 

lima yayasan, yakni Bani Syifa, Dhira Sumantri Win Toha, Wana Wani Wawuh di 

Kabupaten Serang, Nururrohman di Sawah Luhur Kota Serang dan Pondok 

Pesantren Hikmah Syahadah di Tigaraksa Kabupaten Tangerang. Semuanya 

belum bisa menjawab bagaimana ODGJ bisa kembali ke warga . 

 

“Sampai saat ini panti rehabilitasi warga  yang bekerjasama/binaan 

Dinsos terdapat 5 yayasan, yakni Bani Syifa, Dhira Sumantri Win Toha, 

Wana Wani Wawuh di Kabupaten Serang, Nururrohman di Sawah Luhur 

Kota Serang dan Pondok Pesantren Hikmah Syahadah di Tigaraksa Kab. 

Tangerang” (Wawancara dengan Dinas Sosial Provinsi Banten, 2017). 

 

Koordinasi sejauh ini terbangun hanya sesekali dilakukan antara Dinas 

Sosial dan Dinas Kesehatan, namun belum ada pembahasan yang menyeluruh dan 

intens memecahkan penanganan fenomena ODGJ di Banten, berikut kutipan 

wawancara informan Dinas Kesehatan Provinsi Banten: 

 

“Dinas kesehatan memiliki FDSKJ (Forum Dokter Spesialis Kesehatan 

Jiwa) terdapat 20 Orang anggota (1 orang wilayah Serang dan sekitarnya, 

sisanya di wailayah Tangerang Raya), akan tetapi wilayah kerja mereka di 

Jakarta dan bukan di Banten. Dinas Kesehatan memiliki Forum Kader 

Kesehatan Jiwa yang sudah dilatih agar warga  dapat berpartisipasi 

secara langsung. Dinas kesehatan memiliki lembaga binaan milik pak 

ismail waringin Kurung dan yayasan wana wani wawuh di Ciomas 

Kabupaten Serang.” (Wawancara dengan Dinas Kesehatan Provinsi 

Banten, 2017). 

 

Belum optimalnya penanganan ODGJ di Provinsi Banten membuat akses 

warga  pun menjadi sulit dalam menggapai pelayanan kesehatan jiwa, namun 

Dinas Kesehatan memiliki FDSKJ (Forum Dokter Spesialis Kesehatan Jiwa) 

terdapat 20 Orang anggota (1 orang wilayah Serang dan sekitarnya, sisanya di 

wilayah Tangerang Raya), akan tetapi wilayah kerja mereka di Jakarta/Bukan di 

Banten. Hal ini juga menjadi kasus  tersendiri, karena orientasi pelayanan 

88 

 

88 

 

kesehatan jiwa bagi warga  Banten menjadi terhambat, karena minim tenaga 

kesehatan jiwa berkompetensi untuk lingkup kerja Provinsi Banten. Koordinasi 

penganan ODGJ yang dilakukan antara pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota 

belum terjalin dengan baik. 

 

“Belum ada komunikasi secara aktif antar lembaga/dinas di Kota Serang 

untuk menangani ODGJ (Wawancara Informan Dinas Sosial Kota Serang, 

2017). 

 

Untuk melakukan upaya penanganan ODGJ dengan minimnya tenaga 

kesehatan yang dimiliki,  Dinas Kesehatan memiliki Forum Kader Kesehatan Jiwa 

yang sudah dilatih agar warga  dapat berpartisipasi secara langsung, begitu 

juga untuk pembinaan, Dinas kesehatan memiliki lembaga binaan (Ada satu LSM 

di Kecamatan Waringin Kurung dan Yayasan Wana Wani Wawuh di Kecamatan 

Ciomas Kabupaten Serang). 

 

4.3.5 Ketersediaan Fasilitas Kesehatan Jiwa 

Minimnya pelayanan kesehatan jiwa di Rumah Sakit menjadi kasus  

tersendiri, karena sebetulnya dalam penanganan ODGJ ini perlu tempat yang 

khusus yang tidak bersatu dengan pelayanan kesehatan umum. Sejauh ini, tidak 

adanya rumah sakit jiwa di Banten, pelayanan kesehatan jiwa dilakukan oleh 

rumah sakit daerah. Tentu pelayan yang diberikan juga tidak memiliki 

optimalisasi yang cukup, karena kendala fasilitas ini berkaitan dengan 

ketersediaan tenaga kesehatan. Untuk wilayah Serang, Lebak, Cilegon, 

Pandeglang hanya ditangani oleh satu dokter spesialis kesehatan jiwa atau 

psikiater sebagai konsultan, yang pada akhirnya penanganan-penanganan ODGJ 

di tingkat puskesmas sampai saat ini belum optimal dan menyeluruh. 

 

“Belum adanya rumah sakit jiwa, masih sedikit puskesmas yang 

melakukan pelayanan kesehatan jiwa, belum ada layanan rawat inap untuk 

penanganan ODGJ. Secara kuantitas dan kualitas untuk penanganan ODGJ 

memang masih rendah” (Wawancara dengan Dinas Kesehatan Provinsi 

Banten, 2017). 

 

89 

 

89 

 

Terdapat lima yayasan yang bekerja sama dengan Dinas Sosial Provinsi 

Banten juga ternyata tidak secara khusus menangani ODGJ, tetapi bergabung 

dengan layanan rehabilitasi NAPZA, sehingga sampai saat ini tidak ada 

penanganan secara khusus untuk ODGJ. 

 

 

Gambar 4.5 Peta RS Jiwa di negarakita  

 

Sumber: Kemenkes RI (2015) 

 

Menurut data Direktorat Bina Kesehatan Jiwa Kemenkes RI (2015) bahwa 

di negarakita  terdapat 33 Rumah Sakit Jiwa (RSJ) milik Pemerintah dan 15 RSJ 

milik swasta serta 1 RSKO yang tersebar di 27 Provinsi dari 34 keseluruhan 

Provinsi di negarakita . Ada 8 provinsi yang tidak memiliki RSJ, dinataranya 

Kepulauan Riau, Banten, Gorontalo, Kalimantan Utara, NTT, Sulawesi Barat, 

Maluku dan Papua Barat. Kemudian 3 Provinsi tidak memiliki psikiater yaitu 

Kepulauan Riau, Maluku Utara dan Papua. Dari gambaran ini , dengan 

kondisi darurat penanganan ODGJ di Banten, perlu segera membuat fasilitas 

pelayanan kesehatan jiwa untuk pasien ODGJ, salah satu fasilitas ini  dengan 

dibangunnya RSJ di Provinsi Banten. 

 

 

 

90 

 

90 

 

Tabel 4.11 Puskesmas Yang Melaksanakan Layanan Kesehatan Jiwa di 

Kabupaten/Kota Provinsi Banten 

 

No Kabupaten / Kota 

Jumlah 

Puskesmas 

Jumlah Puskesmas yang 

Membuka Layanan Jiwa 

(1) (2) (3) (4) 

1 Kota Serang 16 6 

2 Kabupaten Serang 31 13 

3 Kabupaten Pandeglang 36 11 

4 Kabupaten Lebak 42 11 

5 Kota Tangerang 33 7 

6 Kabupaten Tangerang 44 9 

7 Kota Tangerang Selatan 25 5 

8 Kota Cilegon 8 8 

 

Provinsi 235 70 

Sumber: Dinkes Provinsi Banten (2017) 

 

berdasar  data di atas dapat diketahui bahwa fasilitas kesehatan untuk 

layanan pasien ODGJ tidak mesti dilakukan di RSJ, namun layanan kesehatan 

ODGJ bisa dilakukan secara dekat di puskemas yang tersebar di warga . 

diketahui bahwa ada 70 puskesmas yang sudah memberikan layanan kesehatan 

jiwa dari 235 puskesmas yang tersebar di Provinsi Banten. 

 

 

4.4 BENTUK DAN UPAYA MODEL PENANGANAN ODGJ YANG 

SEHARUSNYA DILAKUKAN 

 

4.4.1 Model Penanganan ODGJ Yang Seharusnya Dilakukan Pemerintah 

Dinas Sosial Provinsi Banten memandang perlu adanya prioritas anggaran 

untuk penanganan ODGJ, pendampingan psikiatri bagi ODGJ, dan model 

penanganan ODGJ berbasis warga , karena ODGJ akan lebih mudah terbantu 

jika berada dalam lingkungan warga  dan tidak boleh ada lagi pemasungan, 

karena dengan dilakukan pemasungan akan membebani psikologi ODGJ. Berikut 

wawancara Informan Dinas Sosial Provinsi Banten: 

91 

 

91 

 

 

“Memfasilitasi Psikiater untuk pendampingan dan bantuan tenaga medis 

dalam ODGJ, sehingga dalam Panti rehabilitasi warga  ada 

penanganan khusus juga secara medis.” (Wawancara dengan Dinas Sosial 

Provinsi Banten, 2017). 

ODGJ merupakan kasus  lintas sektor dan lintas program. Integrasi 

program dalam penanganan ODGJ perlu dilakukan, karena perkasus an yang 

kompleks harus ditangani bersama-sama. Belum optimalnya pelayanan kesehatan 

jiwa dikarenakan selama ini belum dianggap menjadi kasus  bersama. 

 

“Harus ada penanganan secara kolaboratif antara Dinsos dan Dinkes dalam 

pengelolaan penanganan ODGJ di Panti Rehabilitasi, karena selama ini 

berjalan sendiri-sendiri (Dinsos membawahi panti rehabilitasi dan Dinkes 

membawahi Puskesmas-puskesmas), pola ini harus dirubah sehingga 

menjadi program bersama dan terintegrasi satu sama lain.” (Wawancara 

dengan Dinas Sosial Provinsi Banten, 2017). 

“ODGJ merupakan kasus  lintas sektor dan lintas program, yaitu Dinas 

Kesehatan, Dinas Sosial, Babinsa, Kepolisian dan Kanwil Kumham… 

Dinas Kesehatan kedepan menginginkan penanganan ODGJ dilakukan 

dengan berbasis warga  untuk mendukung program bebas pasung, 

ditambah kasus  ini juga bukan hanya kasus  Dinas Kesehatan, tetapi 

antar lini/sektor. Untuk metodenya dapat kita distribusikan ke Kader yang 

sudah dilatih.” (Wawancara Informan Dinas Kesehatan Provinsi Banten, 

2017). 

Dinas Kesehatan menginginkan adanya penanganan ODGJ dilakukan 

dengan berbasis warga  untuk mendukung program bebas pasung, ditambah 

kasus  ini juga bukan hanya kasus  Dinas Kesehatan, tetapi antar lini/sektor. 

Untuk metodenya dapat kita distribusikan ke Kader yang sudah dilatih. Dinas 

kesehatan sebagai ujung tombak penerus kebijakan dari kemenkes tentunya sesuai 

harapan kemenkes bisa melaksanakan kebijakan nasional terkait penanganan 

ODGJ. 

 

4.4.2 Model Penanganan ODGJ Yang Bisa Dikembangkan warga  dan 

Dukungan Fasilitasi Pemerintah 

Untuk melakukan penanganan ODGJ juga penting memfasilitasi Psikiater 

dalam pendampingan dan bantuan tenaga kesehatan, sehingga dalam Panti 

92 

 

92 

 

Rehabilitasi warga  ada penangan khusus juga secara medis untuk ODGJ. 

Selain  hal ini  juga perlu ada penanganan secara kolaboratif antara Dinsos 

dan Dinkes dalam pengelolaan penanganan ODGJ di Panti Rehabilitasi, karena 

selama ini berjalan sendiri-sendiri (Dinsos membawahi panti rehabilitasi dan 

Dinkes membawahi Puskesmas-puskesmas), pola ini harus dirubah sehingga 

menjadi program bersama dan terintegrasi satu sama lain. 

 

“Memfasilitasi Psikiater untuk pendampingan dan bantuan tenaga medis 

dalam ODGJ, sehingga dalam Panti rehabilitasi warga  ada penangan 

khusus juga secara medis… Harus ada penanganan secara kolaboratif 

antara Dinsos dan Dinkes dalam pengelolaan penanganan ODGJ di Panti 

Rehabilitasi, karena selama ini berjalan sendiri-sendiri (Dinsos 

membawahi panti rehabilitasi dan Dinkes membawahi Puskesmas-

puskesmas), pola ini harus dirubah sehingga menjadi program bersama dan 

terintegrasi satu sama lain.” (Wawancara dengan Dinas Sosial Provinsi 

Banten, 2017). 

berdasar  penyataan ini  diketahui  bahwa, Pemerintah Provinsi 

Banten dalam menanganai ODGJ pelu memfasilitasi Psikiater untuk 

pendampingan dan bantuan tenaga medis dalam ODGJ. Sehingga dalam Panti 

rehabilitasi warga  nantinya ada penangan khusus baik secara terapi yang 

dilakukan di Panti sosial maupun juga secara medis yang dilakukan oleh Dinas 

Kesehatan maupun Puskemas setempat. Perlunya penanganan secara kolaboratif 

antara Dinsos dan Dinkes dalam pengelolaan penanganan ODGJ di Panti 

Rehabilitasi, hal ini  dikarenakan intansi ini  dirasaakan berjalan berjalan 

sendiri-sendiri (Dinsos membawahi panti rehabilitasi dan Dinkes membawahi 

Puskesmas-puskesmas), pola ini harus dirubah sehingga menjadi program 

bersama dan terintegrasi satu sama lain. Artinya koodinasi perlu ditingkatkan 

kembali dengan semua stakeholders baik pemerintah maupun warga . 

harapan yang sama jug adisampikan Dinas Kesehatan Provinsi Banten:  

“Perlu ada kerjasama berbagai lini agar penderita ODGJ dapat tertangani 

dengan baik, contoh paling baik yang ada di Ciomas, karena terdapat 

komunikasi yang aktif antara yayasan dengan puskesmas serta didukung 

oleh kepala desa… Kedepan perkasus an ODGJ harus di prioritaskan.” 

(Wawancara dengan Dinas Kesehatan Provinsi Banten, 2017). 

93 

 

93 

 

 

Kerjasama berbagai lini untuk penanganan ODGJ penting agar ODGJ 

dapat tertangani dengan baik, contoh kasus paling baik saat ini terdapat di 

Ciomas, karena adanya komunikasi yang aktif antara yayasan dengan puskesmas 

serta didukung oleh kepala desa. Saat ini Dinas Kesehatan melakukan fasilitasi 

baru dalam upaya peningkatan kapasitas SDM melalui pelatihan kader-kader 

Kesehatan Jiwa, terdapat juga dana Dekonsentrasi untuk pelatihan ini , 

namun jumlahnya masih sangat sedikit dibandingkan yang ditangani. Sehingga 

perkasus an ODGJ kedepan harus menjadi salah satu yang diprioritaskan. 

 

4.4.3 Sistem Rujukan Kesehatan Jiwa 

Sampai saat ini belum ada sistem rujukan kesehatan jiwa yang benar-benar 

terintegrasi dengan baik, karena memang sampai saat ini tidak menjadi prioritas 

baik dari segi anggaran maupun program. Sehingga kedepan perlu ada penguatan 

sumberdaya, baik alokasi anggaran, program dan tenaga kesehatan yang memadai. 

Kondisi yang masih bertahan menurut partisipan adalah kerjasama 

beberapa dinas kesehatan kabupaten/kota dengan Rumah Sakit Jiwa dr. Soeharto 

Heerdjan Jakarta Barat. Yaitu dengan menyiapkan minimal 3 ODGJ, selanjutnya 

on call ke pihak rumah sakit yang nanti akan dijemput dengan mobil psikiatrik 

dari rumah sakit ini . Selanjutnya ODGJ diobati dalam perawatan rumah sakit 

dan akan dirujuk pulang kembali kepada keluarga di bawah evaluasi dari 

puskesmas. Namun program ini  masih terkendala dengan kondisi besarnya 

anggaran mobilisasi yang cukup jauh ke Jakarta, sehingga belum bisa menyeluruh 

pada cakupan Provinsi Banten. 

Ketersediaan rumah sakit jiwa di Provinsi Banten, bila merujuk kepada 

pelaksanaan pelayanan kesehatan jiwa yang komprehensif tentunya sangat 

diperlukan, dilihat dari aspek kuratif dan rehabilitatif. Terutama berkaitan dengan 

jangkauan wilayah yang sangat luas. Rumah sakit jiwa dalam proses 

pengadaannya seharusnya mempertimbangkan beberapa hal berikut: (1) 

memerlukan  sumber daya manusia dan sumber daya lain yang besar; (2) 

Kualitas pelayanan bervariasi, jangan sampai hanya seringkali berfungsi sebagai 

94 

 

94 

 

tempat pengasingan sehingga hasilnya tidak memuaskan; (3) Berkaitan dengan 

stigma dan pelanggaran HAM; (4) Dibanyak daerah sulit diakses karena letaknya 

jauh; (5) Berbiaya tingg tetapi jenis pelayanan terbatas; (6) Bukan merupakan pos 

pendapatan asli daerah (PAD). Keenam hal ini  harus menjadi dasar 

pertimbangan penting dalam upaya penyediaan pembangunan rumah sakit jiwa di 

Provinsi Banten. 

Pengembangan fasilitas penyedia layanan kesehatan jiwa ini tentunya 

merupakan hal penting dalam strategi menurunkan kesenjangan pengobatan. 

Dimana ada tiga strategi dalam menurunkan kesenjangan pengobatan bagi ODGJ 

berdasar  survei yang dilakukan pada WPA di 60 negara (2010); (1) 

Meningkatkan jumlah psikiater dan professional kesehatan jiwa lainnya; (2) 

Meningkatkan keterlibatan penyedia layanan kesehatan jiwa non-spesialis yang 

terlatih dengan baik; (3) Keterlibatan aktif orang yang terkena dampak gangguan 

jiwa secara langsung (ODGJ, ODMK, dan keluarga). Sebagaimana diketahui 

bahwa kesenjangan pengobatan ini yang memacu terjadinya pemasungan pada 

ODGJ. 

 

4.4.4 Ketersediaan SDM dalam Menangani ODGJ 

Penanganan ODGJ memiliki kasus  klasik dalam sumber daya 

manusianya. Minimnya tenaga kesehatan dan kader terkait penanganan ODGJ, 

serta tidak optimalnya penanganan yang ada membuat perkasus an kesehatan 

jiwa tidak terstruktur. 

 

“Sampai saat ini belum ada SDM secara khusus yang tersedia untuk 

penanganan ODGJ.” (Wawancara Dinas Sosial Provinsi Banten, 2017). 

 

“Masih minim tenaga medis dan kader terkait kasus  ini masih 

rendah/belum ideal, untuk daerah Serang saja baru ada 1 orang spesialis 

kesehatan jiwa yaitu dr. Anis Trianis. Mengacu ke indeks apotik 

Kemenkes 20% puskesmas yang sudah pernah dilatih membuka layanan 

kesehatan jiwa dan Rumah sakit harus membuka poli kesehatan jiwa. 

Dinas Kesehatan memiliki Kader Kesehatan Jiwa yang sudah dilatih agar 

warga  dapat berpartisipasi secara langsung”. (Wawancara Dinas 

Kesehatan Provinsi Banten, 2017). 

95 

 

95 

 

“Belum memadai. Sampai saat ini di Kota Serang baru ada 1 orang dokter 

kesehatan jiwa”. (Wawancara Dinas Kesehatan Kota Serang).  

 

“Petugas penanganan ODGJ di Puskesmas Citangkil hanya 1 perawat dan 

1 dokter saja namun Keterlibatan tokoh warga  sangat membantu 

mulai dari babinsa, polsek dan tokoh warga  itu sendiri.“ (Wawancara 

Informan Puskemas Citangkil, Kota Cilegon, 2017). 

 

berdasar  pernyataan di atas, dapat diketahui bahwa, untuk daerah 

Kabupaten Serang dengan perluasan cakupan sampai wilayah Banten Utara, 

Selatan, dan Barat, hanya terdapat satu orang psikiater. Sementara menurut 

Informan bahwa sebenarnya ada 20 psikiater di sekitar Provinsi Banten yang 

tergabung dalam sebuah forum, memang benar adanya bahwa hanya satu orang 

psikiater yang aktif dalam program penanganan ODGJ ini untuk wilayah Banten 

Utara, Selatan, sampai Barat. Sedangkan yang lainnya terblok berdomisili di 

Tangerang dan berfokus tugas di wilayah Jakarta. Hal ini  menjadi 

ketimpangan tersendiri dalam pemerataan beban kerja sumber daya manusia di 

wilayah Provinsi Banten. 

 Mengacu ke indeks apotik Kemenkes, 20% puskesmas yang sudah pernah 

dilatih membuka layanan kesehatan jiwa dan Rumah sakit membuka poli 

kesehatan jiwa. Hanya kendala pada komitemen tenaga kesehatan jiwa ini bisa 

dibagi ke dalam tiga kategori yang meliputi: (1) Resistensi, dimana tenaga 

kesehatan ini  pada akhirnya resisten terhadap program kesehatan jiwa; (2) 

Ignore, tenaga kesehatan mengabaikan begitu saja kasus  pelayanan kesehatan 

jiwa; (3) Menerima, hal ini menjadi kelangkaan tersendiri untuk tenaga kesehatan 

jiwa. Diakui seorang partisipan dalam posisi psikiater bahwa wilayah psikiater 

merupakan salah satu bagian profesi kedokteran yang paling kurang menjanjikan. 

Posisi tenaga kesehatan jiwa yang diakui partisipan dari kalangan dokter umum 

dan perawat, yang benar-benar melaksanakan tugasnya dengan baik tiada lain 

adalah karena merasakan sebagai bagian dari panggilan jiwa dan rasa 

kemanusiaan yang mendalam serta keyakinan bahwa gangguan jiwa bisa 

disembuhkan. 

96 

 

96 

 

Pemilihan sumber daya manusia sebagai tenaga kesehatan jiwa seharusnya 

melalui suatu komitmen yang tegas untuk bisa menerima marwah tugas 

kemanusiaan. Paket pelatihan tenaga kesehatan jiwa yang sudah dikembangkan 

oleh Kemenkes melalui Dinas Kesehatan Provinsi tentunya harus mampu 

meretensi tenaga ini  di suatu wilayah sampai pencapaian keberhasilan 

program bisa diukur atau dievaluasi. 

 

4.4.5 Sistem Informasi dan Evaluasi Penanganan ODGJ 

Pentingnya pengelolaan informasi dan pengelolaan untuk menangani 

ODGJ di Provinsi Banten. Evaluasi penanganan ODGJ, setiap bulan Dinas 

Kesehatan Provinsi Banten menerima laporan dari puskesmas-puskesmas dan 

rumah sakit yang memiliki pelayanan kesehatan jiwa. Berbeda dengan dinas 

kesehatan, tindaklanjut penanganan ODGJ yang dilakukan oleh Dinas Sosial 

Provinsi Banten sampai saat ini hanya sekedar penanganan pada ODGJ 

ketelantaran. Kemudian dari kedua instansi ini  melakukan evaluasi dan 

tindak lanjut dengan cara jemput bola/diminta secara langsung pada puskesmas 

dan panti rehabilitasi warga . 

 

“Setiap bulan ada laporan secara berkala tindaklanjut penanganan ODGJ 

oleh Dinas Sosial sampai.” (Wawancara Dinas Sosial Provinsi Banten, 

2017). 

 

“Sampai saat ini dilakukan dengan jemput bola/diminta secara langsung”. 

(Wawancara Dinas Sosial Provinsi Banten, 2017) 

 

“Pencatatan selalu dilakukan setiap tahun sekali, diinventarisir melalui 

panti rehabilitasi.” (Wawancara Informan Dinas Sosial Kota Serang, 

2017).  

 

“Selalu ada pencatatan berkala yang dilakukan setiap terjadi kasus di 

setiap puskesmas dan dilaporkan ke Dinkes Kota Serang setiap bulan.” 

(Wawancara Informan Dinas Kesehatan Kota Serang, 2017). 

 

berdasar  ungkapan informan di atas, dapat diketahui sistem informasi 

dan evaluasi data ODGJ yang dilakukan oleh Pemerintah dalam menangani ODGJ 

masih terbatas secara manual. Belum ada sistem informasi secara terintegrasi. 

97 

 

97 

 

Sehingga informasi ODGJ masih sangat sulit dideteksi dan ditangai untuk dikelola 

oleh pemerintah. Dalam hal evaluasi pentingnya adanya konsistensi supervisi, 

monitoring, dan evaluasi dari Dinas Kesehatan Provinsi Banten terhadap 

pelaksanaan program kesehatan jiwa sudah memberikan makna keberhasilan yang 

baik. Seharusnya kegiatan ini  di terus menjamin keberlangsungan dan 

keberhasilan program pelayanan kesehatan jiwa di puskesmas. 

 

4.5 ALTERNATIF BENTUK MODEL PENANGANAN ODGJ DI 

BANTEN 

Mengacu kepada prioritas utama kesehatan jiwa meliputi: meningkatkan 

status kesehatan jiwa warga , meningkatkan sumberdaya kesehatan jiwa, 

menggunakan sumber daya lebih efektif untuk memperkuat pelayanan berbasis 

warga , serta melindungi HAM setiap ODGJ. Program pelayanan kesehatan 

jiwa dengan dua pemangku kebijakan antara Dinas Kesehatan dan Dinas Sosial 

diharapkan dapat bersinergi untuk melaksanakan program pelayanan kesehatan 

jiwa, terutama terkait dengan penanggulangan ODGJ. 

Alternatif bentuk model penanganan ODGJ yang dimaksud untuk di 

Provinsi Banten bila merujuk kepada kebijakan tentang pelayanan kesehatan jiwa 

warga  yang sudah dirilis oleh kemenkes tentunya adalah bagaimana 

pengembangan dari model kebijakan ini  yang bisa berupa penguatan 

kebijakan melalui regulasi, kebijakan, dan perencanaan, pendanaan, kemitraan 

dan pemberdayaan setiap pemangku kepentingan, system layanan kesehatan jiwa, 

sumber daya manusia, sarana dan prasarana, dan sistem informasi dan evaluasi. 

Sejauhmana kesiapan beberapa hal ini  tentunya akan sangat mendasar 

menjadi indikator kesiapan dalam pelaksanaan pelayanan kesehatan jiwa 

terpenting dalam penanggulangan ODGJ. 

Penanggulangan ODGJ yang memiliki  keluarga mengikuti alur rujukan 

dari fasilitas pelayanan dasar (puskesmas) untuk program kuratif sampai program 

rehabilitasi berbasis warga . Penanggulangan ODGJ dengan keluarga ini 

harus dikuatkan ketahanan keluarga dan pendidikan kesehatan untuk warga . 

 

98 

 

98 

 

Gambar 4.6 Pelayanan Kesehatan Jiwa (Penanggulangan ODGJ) 

RUMAH

Identifikasi G.jiwa

Dukungan untuk

pasien dan keluarga

Unit akut

RSU

Pasien

Saat ini 

Pasien Baru

PKM

RSJ

Rujukan Tersier

Perawatan spesialis

jangka panjang

Forensik

Rehabilitasi residensial

Kegawatdaruratan

Psikiatrik

Mis: Psikosis akut

Dukungan

warga 

Akomodasi

Manajer Kasus

Follow-up

REHABILITASI

BERBASIS warga 

PERAWATAN 

BERBASIS 

warga 

(mis.  RJ, Klinik, Tim)

Diadaptasi dari Kemenkes RI, 2016 

 

 

berdasar  gambar di atas dapat diketahui bahwa fokus alur 

penanggulangan ODGJ dalam upaya kuratif dengan tujuan penyembuhan dan 

pemulihan, pengurangan penderitaan, pengendalian disabilitas, dan pengendalian 

gejala penyakit. Sampai upaya rehabilitatif dengan tujuan mencegah dan 

mengendalikan disabilitas, memulihkan fungsi sosial, memulihkan fungsi 

okupasional, serta mempersiapkan dan memberikan kemampuan agar mandiri di 

warga . Ada dua alternatif tempat perawatan kritis untuk kuratif yaitu di 

Rumah Sakit Jiwa atau di Puskesmas. Maka demikian sejauhmana kesiapan 

pemerintah daerah untuk pengadaan Rumah Sakit Jiwa. Atau penguatan fungsi 

Rumah Sakit Umum dan Puskesmas untuk area kuratif ini , terlebih 

selanjutnya untuk rehabilitatif. Ada dua alternatif terkait proses rehabilitatif bila 

intervensi kritis dilakukan di rumah sakit jiwa, maka struktur rumah sakit jiwa 

seharusnya mampu mengadakan lahan rehabilitasi ODGJ. Tetapi bila tidak 

sanggup akan kembali kepada rehabilitasi berbasis warga , sehingga fungsi 

Rumah Sakit Jiwa bisa dipertajam dengan fungsi puskesmas. 

99 

 

99 

 

ODGJ yang terlantar atau dalam terminologi dinas sosial dengan sebutan 

ODGJ keterlantaran dalam penanganan kuratif masih belum mendapat kejelasan 

dinas mana yang paling berwenang dan bertanggungjawab. Penanganannya 

memerlukan penjelasan regulasi teknis yang tepat ditingkat pemerintahan daerah. 

Sehingga irisan yang jelas terkait kewenangan antara Dinas Kesehatan dan Dinas 

Sosial bisa lebih tegas mana yang kewenangan mandiri masing-masing dan mana  

kolaborasi yang diperlukan diantara keduanya. 

Rehabilitasi ODGJ masih berada di area abu-abu antara Dinas Sosial 

dengan Dinas Kesehatan, karena beberapa penafsiran terkait kewenangan 

rehabilitasi sosial menurut Perkemensos Nomor 8 Tahun 2012 dan Nomor 22 

Tahun 2014 terkait ODGJ yang telah sembuh atau belum. Ada dua pendapat 

dimana yang direhabilitasi oleh dinas sosial adalah eks psikotis atau ODGJ yang 

sudah sembuh, sedangkan dalam perjalanan penyakitnya ODGJ memerlukan 

waktu pengobatan yang cukup panjang dalam proses penyembuhannya. Sehingga 

diperlukan peninjauan peraturan ini  untuk turunannya yang akan ditetapkan 

oleh pemerintah daerah sebagai regulasi yang tepat terkait teknis rehabilitasi. 

 

Gambar 4.7 Hasil survey keinginan pasien psikiatrik (Hwang, 2001) 

Pekerjaan / penghasilan

Tidak kambuh

Dukungan / diterima masy

Tidak ingin makan obat lagi

Dukungan keluarga

Tinggal dilingkungan lebih baik

Banyak teman

Konsultasi dengan dokter

%

0 20 40 60 80

64.9

48.5

48.4

45.4

38.8

36.2

34.5

31

40.7

45.4

Hak mendapatkan obat yang 

lebih baik

Waktu berlibur

Sumber: Hwang 2001

 

100 

 

100 

 

berdasar  hasil survei di atas, betapa pentingnya upaya rehabilitasi pada 

ODGJ. Seberat apapun kondisi ODGJ, mereka memiliki  keinginan untuk tetap 

berkreasi dan produktif walaupun dalam keterbatasan minimal. Upaya rehabilitasi 

untuk ODGJ masih sangat buruk, karena kondisi perjalanan penyakit gangguan 

jiwa memiliki  masa pemulihan yang cukup lama. 

Program promotif dan preventif dilakukan terintegrasi pada program 

puskesmas yang langsung menyasar ke warga  secara umum. Sebagaimana 

disampaikan beberapa informan: 

 “Kegiatan promotif dan preventif kesehatan jiwa dilakukan dengan 

dimasukan kedalam kegiatan posyandu maupun kegiatan insidental lain 

diwarga . Tetapi belum terstruktur dan terprogram dengan baik”. 

(Wawancara Dinas Kesehatan Kota Serang).  

 

“Kegiatan dilakukan melalui pendidikan kesehatan jiwa kepada keluarga 

dan warga  melalui kegiatan posyandu atau pertemuan rutin, tetapi 

beberapa kendala kepahaman dan ketertarikan warga  terhadap 

kesehatan jiwa belum dianggap lebih penting dibandingkan kesehatan 

fisik”. (Wawancara Dinas Kesehatan Kota Serang).  

 

“Kegiatan promotif dan preventif dilaksanakan dengan memasukan ke 

dalam kegiatan posyandu maupun kegiatan penjaringan kesehatan ke 

sekolah-sekolah. Tetapi tema secara khusus terkait kesehatan jiwa belum 

terprogram dengan baik.“ (Wawancara Informan Puskemas Citangkil, 

Kota Cilegon, 2017). 

 

Sesuai gambaran data hasil penelitian ini  di atas. Selayaknya program 

promotif dan preventif belum memiliki  struktur program yang rutin dilakukan 

karena kegiatan yang akan sangat bervariatif di posyandu, posbindu, maupun 

sekolah atau komunitas khusus lain. Menjadikan kegiatan ini  tidak akan 

fokus pada upaya kesehatan jiwa secara utuh. Sehingga evaluasi ketercapaiannya 

juga akan sangat diragukan untuk kegiatan ini . 

Program promotif dan preventif yang bisa dilaksanakan seharusnya bisa 

seimbang dengan kuratif dan rehabilitatif. Upaya promotif dengan tujuan 

mempertahankan dan meningkatkan derajat kesehatan jiwa secara optimal, 

menghilangkan stigma, diskriminasi, dan pelanggaran HAM ODGJ, 

meningkatkan pemahaman dan peran serta warga  terhadap kesehatan jiwa, 

101 

 

101 

 

meningkatkan peran serta warga  terhadap kesehatan jiwa. Sebagai sasaran 

dari upaya promotif adalah keluarga, lembaga pendidikan, tempat kerja, 

warga , fasilitas pelayanan kesehatan, media massa, lembaga keagamaan, dan 

lembaga kewarga an. Sedangkan upaya preventif bertujuan mencegah 

terjadinya kasus  kesehatan jiwa, mencegah timbulnya kekambuhan, 

mengurangi faktor risiko gangguan jiwa pada warga  secara umum atau 

perorangan, serta mencegah timbulnya dampak kasus  psikososial. Sasaran 

upaya preventif terdiri dari keluarga, lembaga, dan warga . Upaya promotif 

dan preventif merupakan investasi kesehatan. Upaya ini bisa meliputi pendekatan 

siklus kehidupan serta pendekatan kelompok risiko. 

Layanan yang terbaik adalah berbasis komunitas atau warga , karena 

memiliki  beberapa keuntungan diantaranya: menyediakan layanan kesehatan 

jiwa di warga  dalam lingkup yang luas, layanan bersifat lokal dan mudah 

diakses, memungkinkan kesinambungan layanan dan tatalaksana di rumah, 

tersedianya rehabilitasi sosial dan kebutuhan seseorang secara menyeluruh 

(dibandingkan sistem tertutup di rumah sakit jiwa), menggabungkan dukungan 

komunitas dan keluarga dalam sistem, menghindari efek yang mengganggu dan 

biaya rumah sakit akibat layanan jangka panjang, menghasilkan keluaran 

tatalaksana yang lebih baik serta peningkatan kualitas hidup penderita gangguan 

jiwa kronis, dan penurunan stigma pada gangguan jiwa.  

Program berbasis warga  yang dimaksudkan secara nomenklatur 

berdasar  sudut pandang dari kesehatan dengan sosial cukup berbeda. 

berdasar  pandangan sosial dengan berkembangnya Lembaga Kesejahteraan 

Sosial (LKS), dengan bentuk nyata diwarga  seperti panti rehabilitasi sosial. 

Itu sudah merupakan upaya penanganan berbasis warga . Sedangkan dari 

sudut pandang kesehatan berbasis warga  yang dimaksud adalah bagaimana 

berkembangnya peran serta keluarga dan warga  (tokoh agama, tokoh 

pemuda, tokoh pemerintahan, dll) satu paket dalam upaya penanganan kasus  

kesehatan. Secara umum di Banten program berbasis warga  ini bila ditinjau 

dari kedua sudut pandang ini  sebenarnya secara nyata sudah ada upaya dan 

wadah yang nyata. Tinggal bagaimana upaya koordinasi yang kuat untuk 

102 

 

102 

 

kerjasama dalam kesatuan tugas dan pandangan upaya penyelesaian kasus  yang 

sama dalam pelaksanaannya. Kendala yang umum adalah pembagian tugas pokok 

dan regulasi yang mengaturnya yang sangat teknis untuk segera dilakukan. 

 

Gambar 4.8 Sinergi antar sektor yang harus dibangun Pemerintah Daerah 

Semua dapat mengkontribusi

Kesehatan Jiwa

Yayasan

Media

Individu

Komunitas

Profesi

LSM

Keluarga

Sektor

Swasta

Pemerintah

& penetap

Kebijakan 

Institusi

Pengembang

Keilmuan

 

 

berdasar  gambar di atas upaya penanggulangan ODGJ berbasis 

warga  tentunya memerlukan upaya sinergi dan sinkronisasi dari semua 

sektor yang seharusnya bisa difasilitasi pemerintah. Melalui leading sektornya 

dinas kesehatan dan dinas sosial tentunya bukan hal yang mustahil bisa 

diwujudkan oleh pemerintah daerah Provinsi Banten demi menjungjung tinggi 

nilai kemanusiaan melalui konsentrasi penanggulangan ODGJ. 

103 

 

103 

 

BAB 5 

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 

 

5.1. Kesimpulan 

berdasar  hasil pembahasan di atas terdapat beberapa kesimpulan yang 

dapat disampaikan antara lain : 

1. Karakterisitik ODGJ di Provinsi Banten: 

a. Karakterisitik ODGJ di Banten berdasar  penyebabnya dipengaruhi oleh 

beberapa faktor yang kompleks, namun lebih banyak dilatarbelakangi oleh 

gangguan psikologis, sosiologis,  ekonomi,  dan kemiskinan. 

b. berdasar  Karakteristik perilaku kesehatan keluarga ODGJ dan 

warga  sekitarnya cenderung memiliki pengetahuan yang rendah, sosial 

ekonomi dan tingkat pendidikan rendah serta memiliki  tata nilai yang 

negatif terhadap ODGJ. 

c. Karakterisitik sebaran ODGJ jumlahnya terbanyak ada di Kota Cilegon 

sebanyak 4881 jiwa dari total 5651 jiwa. Kemudian kasus pasung yang 

dilaporakan terbanyak ada di Kabupaten Lebak dan Kabupaten Pandeglang 

sebanyak 27 kasus, Kabupaten Serang 21 Kasus, Kota Cilegon dan Kota 

Serang 9 kasus, Kabupaten Tangerang 8 kasus, Kota Tangerang dan Kota 

Tangsel nihil dan diindikasikan belum teindentifikasi secara jelas bentuk 

kasus pemasungannya (Dinkes Provinsi Banten, 2017). 

d. Karakteristik keberadaan ODGJ di Provinsi Banten terdiri dari dua 

klasifikasi; pertama ODGJ yang masih ditangani dan hidup ditengah 

keluarganya dan kedua ODGJ yang sudah terlepas dari keluarganya yang 

keberadaanya terlantar hidup berkeliaran tidak terurus. 

2. Model Penanganan ODGJ di Provinsi Banten: 

a. Pemerintah Daerah dalam melakukan upaya penanganan ODGJ terutama 

program bebas pasung belum dilakukan secara menyeluruh dan 

komprehensif baik dari penanganan promotif, preventif sampai kuratif dan 

rehabilitatif. Kondisi ini  dikarenakan terbatasnya sumberdaya yang 

dimiliki, baik dari segi anggaran karena belum dianggap proritas. Kemudian 

104 

 

104 

 

kurangnya layanan fasilitas kesehatan jiwa dan lemahnya kompetensi serta 

kuantitas tenaga kesehatannya. Sampai saat ini penanganan ODGJ masih 

bersifat berbaur dengan layanan kesehatan umum, baik di RSU maupun di 

Puskesmas. Upaya kegiatan baru sebatas melakukan sosialisasi, pelatihan 

kepada tenaga kesehatan dan pemberian obat pada ODGJ di tingkat 

puskemas. 

b. Penanganan ODGJ yang dilakukan warga  di Provinsi Banten sampai 

saat ini masih berorientasi pada panti rehabilitasi warga , membawa 

pasien ke puskesmas/rumah sakit umum dan masih ada warga  yang 

memilih melakukan pemasungan. Tidak adanya formulasi yang tepat untuk 

menghentikan pemasungan ODGJ oleh pemerintah. Kemudian, dan 

ditambah kurang sikap peduli warga  pada keberadaan ODGJ 

menyebabkan program bebas pasung tidak berjalan secara baik. 

Keterbatasan ekonomi dan biaya pengobatan kuratif oleh keluarga ODGJ 

ketika akan dirujuk ke puskesmas, RSU, SRJ dan Panti Rehabilitasi milik 

swadaya warga . 

c. Penanganan ODGJ yang dilakukan oleh warga  melalui Panti 

Rehabilitasi Lembaga Swadaya warga  dengan model terapi dan 

pendekatan agama sudah banyak berkembang di Banten. Akan tetapi 

keberadaan Panti Rehabilitasi masih terkendala oleh manajerial dan biaya 

oprasional dalam mengurus ODGJ. Meski sudah mendapatkan bantuan dari 

pemerintah daerah berupa hibah namun sifatnya masih terbatas. Sehingga 

masih terbatas dalam menampung ODGJ yang akan di rehabilitasi. 

3. Kendala Penanganan ODGJ di Provinsi Banten: 

a. Kendala prilaku warga  dari keluarga ODGJ masih ada yang melakukan 

pemasungan pada ODGJ, dimana keberadaanya lebih banyak di wilayah 

pelosok. Kondisi ini  masih terjadi karena alasan kesenjangan dalam 

upaya pengobatan dan ODGJ dianggap dapat mengancam keselamatan 

orang di sekitarnya. Selain itu, pemahaman warga  masih menganggap 

ODGJ merupakan aib yang harus ditutup rapat oleh keluarga. Akses 

geografis menjangkau layanan kesehatan jiwa yang jauh dan kendala 

105 

 

105 

 

kemampuan ekonomi serta kemiskinan dari keluarga ODGJ yang juga 

lemah. 

b. Perkasus an ODGJ sudah menggangu ketertiban sosial dan menjadi 

ancaman bencana bagi kehidupan warga . Penanganan ODGJ di tingkat 

Kabupaten/Kota di Provinsi Banten sampai saat ini masih terbatas pada 

sosialisasi untuk penanganan ODGJ ke tiap-tiap Puskesmas, memberikan 

pelatihan pada tenaga medis dan melalui pengadaan obat yang terbatas. 

Regulasi yang ada di daerah baru sebatas SK Gubernur tentang TPKJM 

yang pelasanaannya belum berjalan baik. Artinya pemerintah daerah belum 

memiliki regulasi yang mengatur penanganan ODGJ secara menyeluruh, hal 

ini  menghambat Pemerintah Daerah dalam melakukan kewenangan 

dalam berinovasi melakukan penanganan ODGJ. Khusunya ODGJ yang 

terlantar dan ada diindikasi musiman/kiriman dari luar daerah, di mana 

penanganan kuratifnya masih belum mendapat kejelasan steakholder yang 

berwenang dan bertanggungjawab dalam penanganannya. 

c. Kendala kecukupan anggaran dalam penanganan ODGJ oleh Pemerintah 

Daerah baik pada OPD Dinsos maupun Dinkes belum diprioritaskan dalam 

pos rencana penganggaran daerah, karena hal ini  belum dianggap 

prioritas. Sehingga kondisi ini  menghambat kinerja pemerintah daerah 

dalam penanganan ODGJ di Provinsi Banten. 

d. Koordinasi lintas OPD dalam menangani ODGJ masih bersifat sendiri-

sendiri, belum terintegrasi dengan baik. Terjadi saling lempar kewenangan 

antara Dinkes dengan Dinsos dalam dalam penanganan ODGJ di lapangan, 

khusunya yang terlantar. 

e. Kendala ketersediaan fasilitas kesehatan jiwa baik di RSU maupun di 

tingkat puskesmas belum memadai dengan baik. Hanya ada 70 puskesmas 

dari 235 puskesmas yang melaksanakan layanan kesehatan jiwa. Fasilitas 

obat-baatan di tingkat puskesmas sering tidak lengkap dan terbatas, belum 

adanya RSJ sebagai layanan tersier bagi penderita ODGJ di Provinsi 

Banten. 

5.1. Rekomendasi  

berdasar  beberapa kesimpulan di atas, maka diusulkan beberapa rekomendasi kebijakan dan upaya model penanganan 

ODGJ di Provinsi Banten: 

 

No Hasil Penelitian Rekomendasi 

Sasaran Stakeholders 

yang Terlibat 

(1) (2) (3) (4) 

1 Penyebab ODGJ di Banten 

dipengaruhi oleh beberapa faktor 

yang kompleks yang banyak 

dilatarbelakangi oleh gangguan 

psikologis, sosiologis,  ekonomi, dan 

kemiskinan 

- Pemerintah perlu melakukan penanganan secara 

promotif-preventif dengan menyediakan layanan 

konsultasi psikiatri kesehatan jiwa kepada warga  

hingga di tingkat puskesmas. Selain itu bisa melalui 

layanan rohaniawan yang difasilitasi pemerintah. Hal 

ini  untuk membantu warga  yang rentan terkena 

ODGJ mendapat pencerahan hidup  

- Dinkes Provinsi 

- Dinkes Kab/Kota 

- RSU/RSJ 

- Puskesmas 

- Kemenag dan Lemabaga 

Keagamaan 

- Pemerintah perlu melakukan pemberdayaan ekonomi 

kepada warga  yang rentan mengalami ODGJ, 

sehingga diharapkan akan mengurangi potensi 

penambahan ODGJ di Banten 

- Dinsos Provinsi 

- Dinsos Kab/Kota 

- OPD lintas sektor 

- LSM/ lembaga 

pendampingan sosial 

107 

 

107 

 

2 Perilaku kesehatan keluarga ODGJ 

dan warga  sekitarnya 

cenderung memiliki pengetahuan 

yang rendah, sosial ekonomi dan 

tingkat pendidikan rendah serta 

memiliki  tata nilai yang negatif 

terhadap ODGJ 

- Pemerintah perlu penanganan promotif-preventif dan 

kuratif-rehabilitatif. Alternatifnya bisa dengan 

pendampingan dan sosialisasi kepada keluarga ODGJ 

serta pada warga  sekitar di tempat tinggalnya 

ODGJ. Dimana sasarannya diprioritaskan kepada ODGJ 

yang banyak dilakukan pemasungan, seperti di Kab. 

Lebak, Kab. Pandeglang, Kab. Serang, Kab Tangerang, 

Kota Cilegon dan Kota Serang. 

- Dinkes Provinsi 

- Dinkes Kab/Kota 

- Puskesmas 

- Dinsos Provinsi 

- Dinsos Kab/Kota 

- LSM/ lembaga 

pendampingan sosial 

- Lembaga Perguruan 

Tinggi Kesehatan 

3 Penanganan ODGJ baru sebatas 

melakukan sosialisasi, pelatihan 

kepada tenaga kesehatan dan 

pemberian obat pada ODGJ di 

tingkat puskemas, namun belum 

secara menyeluruh dan 

komprehensif, dikarenakan  

terbatasnya sumberdaya yang 

dimiliki pemerintah. 

Kendala ketersediaan fasilitas 

- Diperlukan penanganan ODGJ yang komperhensif dan 

masif serta efektif dan efesien dengan memaksimalkan 

program sosialisasi, pelatihan tenaga kesehatan jiwa, 

pemberdayaan komunitas atau kader kesehatan jiwa . 

- Perlu penyediaan fasilitas obat murah dan berkualitas, 

dan dibutuhkan kendaraan ambulan oprasional khusus 

ODGJ terutama di wilayah secara geografis yang 

jaraknya jauh ke pusat layanan kesehatan jiwa. 

- Perlu penguatan dan peningkatan kompetensi Sumber 

Daya Manusia (SDM) Kesehatan jiwa di puskesmas 

- Dinkes Provinsi 

- Dinkes Kab/Kota 

- Puskesmas 

- RSU/RSJ 

- LSM/ lembaga komnitas 

peduli keswa 

- Lembaga Perguruan 

Tinggi Kesehatan 

108 

 

108 

 

kesehatan jiwa baik di RSU maupun 

di tingkat puskesmas belum 

memadai dengan baik. Baru ada 70 

puskesmas dari 235 puskesmas yang 

melaksanakan layanan kesehatan 

jiwa. Fasilitas obat-baatan di tingkat 

puskesmas sering tidak lengkap dan 

terbatas, belum adanya Rumah Sakit 

Jiwa sebagai layanan tersier bagi 

penderita ODGJ di Provinsi Banten. 

sehingga diharapkan penanganan ODGJ lebih cepat dan 

tidak bergantung pada rumah sakit. 

- Layanan kesehatan jiwa perlu penguatan dan revitalisasi 

di tingkat komunitas warga /panti/yayasan, 

penguatan di tingkat puskesmas dan di RSU 

- Perlu dibangun RSJ/Lemabag Rehabilitasi Kesehatan 

Jiwa yang bersifat pelayanan tersier di Provinsi Banten, 

agar pola penanganan bisa dilakukan terjangakau oleh 

warga  dan tidak perlu keluar daerah. Meski 

demikian peran RSU dan Puskesmas harus diperkuat dan 

tidak menghilangkan layanan kesehatan jiwanya, agar 

layanan kesehatan jiwa tersebar dan merata di setiap 

daerah. 

4 Penanganan ODGJ yang dilakukan 

oleh warga  yang berkembang 

saat ini adalah melalui Panti 

Rehabilitasi Lembaga Swadaya 

warga  dengan model terapi dan 

pendekatan keagamaan. Tetapi, 

- Pemerintah perlu memberikan penguatan kepada 

Lemabag/Panti rehabilitasi ODGJ yang sudah ada untuk 

bisa semakin berkembang dan membantu meminimalisir 

keberadaan ODGJ yang ada. Penguatan bisa dilakukan 

dengan pemberian bantuan pelatihan peningkatan 

kapasitas pengelola panti baik manajeial maupun 

- Dinkes Provinsi 

- Dinkes Kab/Kota 

- Puskesmas 

- Dinsos Provinsi 

- Dinsos Kab/Kota 

- LSM/yayasan/panti 

109 

 

109 

 

keberadaannya masih terkendala 

oleh manajerial dan pembiayaan 

oprasional yang masih terbatas. 

Bantuan pemerintah daerah baru 

sebatas hibah yang belum memadai. 

Sehingga masih terbatas dalam 

menampung ODGJ yang akan di 

rehabilitasi. 

kemampuan pengetahuan kesehatan jiwa. Sealin itu, bisa 

dengan penguatan pendaan dan infrastruktur yang bisa 

mendorong daya tampung rehabiilitasi ODGJ lebih 

banyak. 

- Dibtuhkan peningkatan upaya penanganan ODGJ di hulu 

(promotif, preventif) melalui penguatan kader kesehatan 

jiwa yang melibatkan warga  atau mantan-mantan 

penderita ODGJ. 

- Perlu dikembangkan dan dicari kembali lembaga-

lembaga/panti rehabilitasi ODGJ yang belum 

teridentifikasi pemerintah untuk bisa dilakukan 

kerjasama. 

- Perlu dijalin kerjsama dengan pihak swasta untuk 

memberikan bisa membantu panti/yayasan rehabilitasi 

ODGJ dengan bantuan dan CSR (corporate social 

responsiblity) 

rehabilitasi 

- Lembaga Swasta 

penyalur CSR 

5 Perkasus an ODGJ sudah 

menggangu ketertiban sosial dan 

menjadi ancaman bencana bagi 

- Pemerintah daerah perlu membat regulasi yang 

komperhensif dalam mendesaiin penanganan ODGJ, 

sehingga permsalahan ODGJ bisa diatasi secara tuntas 

- Kepala Daerah 

- Lembaga 

Legislatif/DPRD 

110 

 

110 

 

kehidupan warga , namun 

penanganan masih belum maksimal 

dilakukan pemerintah. Regulasi yang 

ada di daerah baru sebatas SK 

Gubernur tentang TPKJM, artinya 

pemerintah daerah belum memiliki 

regulasi yang mengatur penanganan 

ODGJ secara menyeluruh, hal 

ini  menjadi kendala pemerintah 

daerah dalam melakukan 

kewenangan dalam berinovasi 

melakukan penanganan ODGJ 

dan masif. 

- Perlu regulasi yang menagtur kewenangan yang leluasa 

baik kepada ODGJ yang masih berada di lingkungan 

keluarga ODGJ dan ODGJ yang keberadaanya sudah 

terlantar. 

- Regulasi harus mengatur penanganan dari muali 

keterlibatan pemerintah (OPD terkait, RSU/RSJ, dan 

puskesmas), perguruan tinggi, warga  (lembaga 

swadaya warga /yayasan/panti), dan lembaga swasta 

yang menyalurkan CSR. 

- Regulasi juga perlu mengatur lembaga pendampingan 

yang akan menangani ODGJ. 

- warga  

- Swasta 

6 Kendala kecukupan anggaran dalam 

penanganan ODGJ oleh pemerintah 

daerah baik pada OPD Dinsos 

maupun Dinkes belum diprioritaskan 

dalam pos rencana penganggaran 

daerah, karena hal ini  belum 

dianggap prioritas. Sehingga kondisi 

- Perlu penguatan dan dorongan kepada Perencana 

Anggaran Pemerintah Daerah untuk memberikan pos 

anggaran yang cukup dalam penanganan ODGJ secara 

tuntas. 

- Dibutuhakn peningkatan kualitas perencanaan anggaran 

penanganan ODGJ terutama penyediaan logistik 

pengobatan sehingga kejadian kekurangan obat untuk 

- Kepala Daerah 

- Lembaga 

Legislatif/DPRD 

- Dinkes Provinsi 

- Dinkes Provinsi 

 

ini  menghambat kinerja 

pemerintah daerah dalam 

penanganan ODGJ di Provinsi 

Banten 

ODGJ tidak terjadi 

- Penguatan program pelayanan kesehatan jiwa dengan 

pola rujukan dua arah untuk mendekatkan jangkauan 

layanan kesehatan jiwa yang murah dan efektif. 

7 Koordinasi lintas OPD dalam 

menangani ODGJ masih bersifat 

sendiri-sendiri, belum terintegrasi 

dengan baik. Terjadi saling lempar 

kewenangan antara Dinkes dengan 

Dinsos dalam dalam penanganan 

ODGJ di lapangan, khusunya yang 

terlantar 

- Perlu penguatan dan penegasan regulasi yang mengatur 

kewenangan OPD dalam menanganai ODGJ 

- Dibutuhkan koordinasi yang intens agar ada solusi 

penanganan dari semua pihak, karena permsalahan ODGJ 

harus ditangani oleh semua OPD yang terkait dan 

keaktifan stakeholders untuk mau mengatasinya. 

- Perlu pemberdayaan mantan ODGJ agar tidak kembali 

menjadi ODGJ, sehinga perlu penguatan dan kerjasama 

dengan semua pihak baik lintas ODGJ maupun 

stakeholders lainnya khusunya dalam penguatan 

keberdayaan ekonomi. 

- Dinkes Provinsi 

- Dinkes Kab/Kota 

- RSU/RSJ 

- Puskesmas 

- Dinsos Provinsi 

- Dinsos Kab/Kota 

- OPD tekait 

- LSM/yayasan/panti 

rehabilitasi 

- Lembaga Swasta 

penyalur CSR 

- Lembaga Swasta