Serang, 2017).
berdasar ungkapan di atas, diketahui bahwa pemasungan masih
menjadi pilihan yang dilakukan warga dalam menangani ODGJ. Selain itu,
mereka juga membawa ke panti rehabilitasi. Selain itu, warga juga aktif
membawa pasien ODGJ ke puskesmas terdekat dari rumah mereka. Untuk di Kota
Serang, penanganan ODGJ tercatat paling sering di kunjungi pasien yaitu
Puskemas Rau.
Untuk wilayah Pandeglang belum ada model penanganan ODGJ yang
dilakukan warga , tetapi ada beberapa kecamatan dimana tokoh
warga nya secara aktif memberikan sosialisasi tentang peran keluarga dalam
rangka upaya penyembuhan yang harus dilakukan. Sementara itu, untuk di Kota
Cilegon, juga terjadi sama, masyarkat belum ada upaya dalam penanganan namun
Keterlibatan tokoh warga sangat membantu dalam penanganan ODGJ mulai
dari Babinsa, Polsek dan tokoh warga itu sendiri dalam membantu petugas
dalam membantu di kelapangan khususnya petugas Puskesmas dan Dinsos.
4.3 KENDALA PENANGANAN ODGJ DI BANTEN
4.3.1 Kendala Perilaku Kesehatan Keluarga ODGJ dan warga
Kondisi keluarga dan warga sekitar sangat mempengaruhi terhadap
penanganan ODGJ. Selama ini terjadi meliputi beberapa hal berikut ini; (1) Mitos
82
82
di keluarga dan warga , seperti tidak akan sembuh, tidak stabil dan tidak
dapat diramalkan, mungkin berbahaya, sebagai kutukan dan hukuman; (2) Stigma,
ODGJ masih menjadi bahan olok-olokan dan dipandang rendah walaupun
memiliki posisi yang sama dengan beberapa penyakit lain secara fisik; (3)
Diskriminasi, ODGJ tidak mendapatkan perhatian, baik dari sudut keluarga,
warga , dan bahkan pemerintah. Hal ini disampaikan informan sebagai
berikut:
“Dukungan keluarga ODGJ memang cukup berpengaruh dalam
mempengaruhi kesembuhan pasien ODGJ, banyak mitos warga
bahwa ODGJ itu susuah sembuh, bisa juga karena kutukan ayau guna-
guna. ODGJ juga kadang rendah oleh warga , dan keluarganya
merasa malu atas anggota keluarganya yang menjadi ODGJ. Kurangnya
kesadaran warga ini terhadap perhatian ODGJ menjadikan pasien
ODGJ terus menjadi perkasus an di warga , karena kerap
mengganggu ketertiban umum di warga .” (Wawancara Dinas
Kesehatan Kabupaten Lebak, 2017).
berdasar pernyataan di atas diketahui bahwa, paradigma berpikir
warga dan keluarga ODGJ masih memandang ODGJ merupakan aib yang
harus ditutupi. Tidak akan pernah berhasil upaya apapun untuk penanggulangan
ODGJ bila tantangan ini masih belum bisa dirubah sampai pengetahuan,
sikap dan bahkan perilaku warga berpihak pada upaya penanganan yang
positif dan bergerak bersama peduli terhadap ODGJ.
Beberapa kondisi yang menjadikan program pelayanan kesehatan jiwa di
fasilitas kesehatan dasar atau puskesmas serta program bebas pasung. Tidak
terlepas dari beberapa faktor berikut; (1) Pelayanan yang tidak memadai; (2)
Tidak ada kesinambungan antara rumah sakit dan warga ; (3) Sikap negatif
terhadap gangguan jiwa; (4) Tidak ada dukungan keluarga; (5) Tidak ada atau
kurangnya dukungan dalam kebijakan, rencana pelayanan, dan pendanaan; (6)
Lemahnya kerjasama intersektoral. Keenam faktor ini menjadi kendala yang
harus segera ditengahi dengan penguatan model dan program yang sudah ada.
Kondisi saat ini kesenjangan pengobatan besar, dengan adanya
keterlambatan dalam pengenalan kasus kesehatan jiwa, keterlambatan dalam
membawa orang dengan kasus kejiwaan ke fasilitas kesehatan, serta adanya
83
83
kasus pemasungan. Sementara, sumber daya layanan kesehatan jiwa masih
terbatas. Pemasungan pada ODGJ merupakan salah satu dampak ekstrim dari
kesenjangan pengobatan terhadap gangguan jiwa. Penyebab kesenjangan
pengobatan diantaranya: kondisi geografis yang sulit dijangkau, tingkat
pengetahuan warga terhadap kesehatan jiwa masih rendah, stigma terhadap
kesehatan jiwa, sumber daya pendukung layanan kesehatan jiwa masih terbatas,
serta faktor ekonomi, sosial dan budaya.
Sebuah studi yang menelaah faktor yang paling dominan terhadap
pemasungan ODGJ di negarakita adalah status ekonomi rumah tangga yang rendah
yang lebih banyak memiliki kasus ketidaktahuan adanya fasilitas kesehatan
serta hampir setengahnya tinggal di pedesaan (Idaiani, 2015). Hal ini juga
sangat jelas terjadi di Provinsi Banten dengan beberapa peta pedesaan dan jauhnya
jangkauan terhadap fasilitas pelayanan kesehatan.
Hasil analisis lanjut Riskesdas 2007 dan 2013 menunjukan bahwa semakin
tinggi disabilitas dan semakin kurang baik gaya hidup maka semakin berat
gangguan mental emosional yang dialami (Wardhani, 2016). Sehingga perlakuan
keluarga dan warga terhadap disabilitas dan gaya hidup yang baik akan
sangat membantu kesehatan mental dan emosional secara umum.
Keluarga dan warga juga diharapkan memiliki expressed emotion
yang baik kepada ODGJ. Meskipun penelitian tentang hubungan expressed
emotion dengan kekambuhan gangguan jiwa mendapatkan hasil yang tidak
konsisten, tetapi dianggap sebagai faktor yang ikut mempengaruhi perjalanan
penyakit pada ODGJ (Hasanat, 2004).
4.3.2 Kendala Regulasi ODGJ dan Urgensi Penanganannya
Regulasi untuk penanganan ODGJ bila dirilis dari interes pemerintah
melalui Keputusan Menteri Kesehatan Republik negarakita No. 220 tahun 2002
tentang Pedoman umum tim Pembina, tim pengarah, tim pelaksana kesehatan jiwa
warga (TP-KJM). Sudah mengatur dengan baik upaya kesehatan jiwa
diwarga . Namun realisai pada pemerintah daerah belum dilakukan dengan
baik, hal ini terjadi di Provinsi Banten.
84
84
Provinsi Banten belum memiliki payung hukum selain Undang-undang
Nomor 18 Tahun 2014. Sampai saat ini Provinsi Banten baru memiliki Keputusan
Gubernur melalui SK Nomor 441.3.05/Kep. 224-Huk/2016 Tentang Pembentukan
Tim Pengarah Kesehatan Jiwa warga Tingkat Provinsi Banten. Belum
adanya kebijakan khusus terkait penanganan ODGJ mengakibatkan gerakan atau
tindakan bersama dalam penanganan ODGJ belum berjalan sebagai suatu program
yang terencana dengan komprehensif, hal ini dikarenakan tidak masuknya
penanganan ODGJ kedalam program strategis Provinsi Banten.
“Dinkes Provinsi Banten sudah menginisiasi keputusan Gubernur tentang
TPKJM Nomor 441.3.05/Kep. 224-Huk/2016 pada tahun 2016 lalu tetapi
pada pelaksanaanya belum berjalan dengan baik, tetapi pada upaya
penanganan yang lain Dinkes Banten sudah berupaya melalui pengiriman
diklat penanganan ODGJ untuk tenaga dokter dan paramedis perwakilan
kabupaten/kota se Provinsi Banten.” (Wawancara dengan Dinas Kesehatan
Provinsi Banten, 2017).
berdasar ungkapan di atas, dapat dikertahui bahwa Pemerintah
Provinsi Banten sudah melakukaan upaya regulasi dengan dikeluarkannya
Keputusan Gubernur tentang TPKJM Nomor 441.3.05/Kep. 224-Huk/2016 pada
tahun 2016. Namun dalam pelaksanaanya belum berjalan dengan baik. Dinkes
Banten sudah berupaya melalui pengiriman diklat penanganan ODGJ untuk
tenaga dokter dan paramedis perwakilan Kabupaten/Kota se Provinsi Banten.
Namun SDM tenaga kesehatan untuk menangani ODGJ masih banyak
kekuarangan.
Kondisi yang terjadi di Provinsi Banten pelayanan kesehatan ODGJ masih
disatukan dengan layanan umum kesehatan lainnya, sehingga ini menjadi salah
satu kendala dalam menangani ODGJ:
“Belum adanya rumah sakit jiwa, masih sedikit puskesmas yang
melakukan pelayanan kesehatan jiwa, belum ada layanan rawat inap untuk
penanganan ODGJ. Secara kuantitas dan kualitas untuk penanganan ODGJ
memang masih rendah” (Wawancara dengan Dinas Kesehatan Provinsi
Banten, 2017).
85
85
berdasar pernyataan di atas, dapat diketahui bahwa salah satu kendala
pemerintah dalam penanganan ODGJ masih belum tersedianya layanan khusus
pasien ODGJ, khusunya Rumah Sakit Jiwa di Banten. Pelaksanaan penanganan
ODGJ dari segi fasilitas, rumah sakit maupun puskesmas di Provinsi Banten saat
ini baru dapat melaksanakan Peraturan Menteri Kesehatan tentang pelayanan
kesehatan dasar. Untuk pelayanan kesehatan Jiwa masih bergabung dalam
pelayanan kesehatan umum, adapun acuan ini untuk penyediaan jumlah
tempat tidur di Rumah Sakit tipe C. Menurut pandangan medis, cukup beresiko
apabila penanganan ODGJ bergabung dengan kesehatan umum, karena ODGJ
pada akhirnya tidak mendapatkan pelayanan rawat inap di Rumah Sakit.
4.3.3 Kecukupan Anggaran dalam Menangani ODGJ
Tidak masuknya kesehatan jiwa dalam prioritas perencanaan strategis
Provinsi Banten menyebabkan tidak memadainya alokasi anggaran untuk
melaksanakan program penanganan ODGJ. Hal ini berkaitan dengan
penganggaran di Dinas Sosial Provinsi Banten, penanganan ODGJ masih
bersumber dari dana Hibah yang diajukan oleh panti rehabilitasi warga .
Kondisi ini disampaikan informan Dinas Sosial Provinsi Banten:
“Sampai saat ini tidak ada alokasi anggaran untuk penanganan ODGJ,
kecuali dana Hibah yang diajukan oleh panti rehabilitasi warga .
Alokasi anggaran Dekonsentrasi dari Kemensos juga untuk penanganan
ODGJ tahun 2016 hanya diberikan untuk 8 orang penderita ODGJ (per
orang Rp. 500.000), padahal penderita ODGJ di Banten sangat tinggi.”
(Wawancara dengan Dinas Sosial Provinsi Banten, 2017).
berdasar pernyataan di atas, dapat diketahui bahwa Secara kecukupan
anggaran Pemerintah Provinsi Banten, hingga saat ini tidak memberikan alokasi
anggaran untuk penanganan ODGJ, kecuali dana hibah yang diajukan oleh panti
rehabilitasi warga . Diketahui adanya alokasi anggaran Dekonsentrasi dari
Kemensos juga untuk penanganan ODGJ pada tahun 2016 diberikan diberikan
hanya untuk 8 orang penderita ODGJ (per orang Rp. 500.000). Sementara, kondisi
penderita ODGJ di Banten cukup tinggi dan mengancam menjadi bencana daerah.
86
86
Kondisi yang sama disamapikan oleh Dinas Kesehatan Provinsi Banten,
bahwa perkasus an anggaran yang belum diprioritaskan oleh pemerintah
terhadap penanganan ODGJ menjadi kendala finansial yang belum teratasi,
sehingga menghambat penanganan secara masif, berikut kutipan wawancara
Informan Dinas Kesehatan Provinsi Banten:
“Alokasi anggaran sampai saat ini hanya 1% dari anggaran Dinas
Kesehatan Provinsi Banten…” (Wawancara dengan Dinas Kesehatan
Provinsi Banten, 2017).
Dinas Kesehatan memiliki anggaran dalam slot anggaran daerah untuk
kesehatan jiwa, namun besarannya pun dirasa masih sangat rendah, yakni hanya
1% dari anggaran Dinas Kesehatan Provinsi Banten. Sehingga pencapaian
cakupan pelayanan kesehatan jiwa masih sangat kecil.
Gambar 4.4 Trend Dukungan Anggaran Program Kesehatan Jiwa
di Provinsi Banten
111.215.000
1.194.492.000 1.182.828.841
24.000.000.000
-
5.000.000.000
10.000.000.000
15.000.000.000
20.000.000.000
25.000.000.000
30.000.000.000
APBD
2013
2014
2015
2016
Sumber: Dinkes Provinsi Banten (2017)
4.3.4 Koordinasi Pemerintah dalam Menangani ODGJ
Perkasus an penanganan ODGJ juga berkait dengan perkasus an
manajerial pemerintahan, dalam hal ini terkait koordinasi antar instansi. Sampai
saat ini penanganan ODGJ masih bersifat sendiri-sendiri, belum terintegrasi
sebagaimana penanganan ODGJ berbasis warga , terkadang terjadi benturan
domain antara Dinas Kesehatan dengan Dinas Sosial. Namun menurut pengakuan
pihak Dinas Sosial Provinsi Banten, mereka akan menyerahkan kepada Dinas
87
87
Kesehatan apabila ada ODGJ yang perlu ditangani secara medis. Serta sebaliknya
bagaimana sesudah tertangani, kemana ODGJ ini akan dikembalikan, masih
menjadi tanda tanya besar.
Panti rehabilitasi warga yang bekerjasama/binaan Dinsos terdapat
lima yayasan, yakni Bani Syifa, Dhira Sumantri Win Toha, Wana Wani Wawuh di
Kabupaten Serang, Nururrohman di Sawah Luhur Kota Serang dan Pondok
Pesantren Hikmah Syahadah di Tigaraksa Kabupaten Tangerang. Semuanya
belum bisa menjawab bagaimana ODGJ bisa kembali ke warga .
“Sampai saat ini panti rehabilitasi warga yang bekerjasama/binaan
Dinsos terdapat 5 yayasan, yakni Bani Syifa, Dhira Sumantri Win Toha,
Wana Wani Wawuh di Kabupaten Serang, Nururrohman di Sawah Luhur
Kota Serang dan Pondok Pesantren Hikmah Syahadah di Tigaraksa Kab.
Tangerang” (Wawancara dengan Dinas Sosial Provinsi Banten, 2017).
Koordinasi sejauh ini terbangun hanya sesekali dilakukan antara Dinas
Sosial dan Dinas Kesehatan, namun belum ada pembahasan yang menyeluruh dan
intens memecahkan penanganan fenomena ODGJ di Banten, berikut kutipan
wawancara informan Dinas Kesehatan Provinsi Banten:
“Dinas kesehatan memiliki FDSKJ (Forum Dokter Spesialis Kesehatan
Jiwa) terdapat 20 Orang anggota (1 orang wilayah Serang dan sekitarnya,
sisanya di wailayah Tangerang Raya), akan tetapi wilayah kerja mereka di
Jakarta dan bukan di Banten. Dinas Kesehatan memiliki Forum Kader
Kesehatan Jiwa yang sudah dilatih agar warga dapat berpartisipasi
secara langsung. Dinas kesehatan memiliki lembaga binaan milik pak
ismail waringin Kurung dan yayasan wana wani wawuh di Ciomas
Kabupaten Serang.” (Wawancara dengan Dinas Kesehatan Provinsi
Banten, 2017).
Belum optimalnya penanganan ODGJ di Provinsi Banten membuat akses
warga pun menjadi sulit dalam menggapai pelayanan kesehatan jiwa, namun
Dinas Kesehatan memiliki FDSKJ (Forum Dokter Spesialis Kesehatan Jiwa)
terdapat 20 Orang anggota (1 orang wilayah Serang dan sekitarnya, sisanya di
wilayah Tangerang Raya), akan tetapi wilayah kerja mereka di Jakarta/Bukan di
Banten. Hal ini juga menjadi kasus tersendiri, karena orientasi pelayanan
88
88
kesehatan jiwa bagi warga Banten menjadi terhambat, karena minim tenaga
kesehatan jiwa berkompetensi untuk lingkup kerja Provinsi Banten. Koordinasi
penganan ODGJ yang dilakukan antara pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota
belum terjalin dengan baik.
“Belum ada komunikasi secara aktif antar lembaga/dinas di Kota Serang
untuk menangani ODGJ (Wawancara Informan Dinas Sosial Kota Serang,
2017).
Untuk melakukan upaya penanganan ODGJ dengan minimnya tenaga
kesehatan yang dimiliki, Dinas Kesehatan memiliki Forum Kader Kesehatan Jiwa
yang sudah dilatih agar warga dapat berpartisipasi secara langsung, begitu
juga untuk pembinaan, Dinas kesehatan memiliki lembaga binaan (Ada satu LSM
di Kecamatan Waringin Kurung dan Yayasan Wana Wani Wawuh di Kecamatan
Ciomas Kabupaten Serang).
4.3.5 Ketersediaan Fasilitas Kesehatan Jiwa
Minimnya pelayanan kesehatan jiwa di Rumah Sakit menjadi kasus
tersendiri, karena sebetulnya dalam penanganan ODGJ ini perlu tempat yang
khusus yang tidak bersatu dengan pelayanan kesehatan umum. Sejauh ini, tidak
adanya rumah sakit jiwa di Banten, pelayanan kesehatan jiwa dilakukan oleh
rumah sakit daerah. Tentu pelayan yang diberikan juga tidak memiliki
optimalisasi yang cukup, karena kendala fasilitas ini berkaitan dengan
ketersediaan tenaga kesehatan. Untuk wilayah Serang, Lebak, Cilegon,
Pandeglang hanya ditangani oleh satu dokter spesialis kesehatan jiwa atau
psikiater sebagai konsultan, yang pada akhirnya penanganan-penanganan ODGJ
di tingkat puskesmas sampai saat ini belum optimal dan menyeluruh.
“Belum adanya rumah sakit jiwa, masih sedikit puskesmas yang
melakukan pelayanan kesehatan jiwa, belum ada layanan rawat inap untuk
penanganan ODGJ. Secara kuantitas dan kualitas untuk penanganan ODGJ
memang masih rendah” (Wawancara dengan Dinas Kesehatan Provinsi
Banten, 2017).
89
89
Terdapat lima yayasan yang bekerja sama dengan Dinas Sosial Provinsi
Banten juga ternyata tidak secara khusus menangani ODGJ, tetapi bergabung
dengan layanan rehabilitasi NAPZA, sehingga sampai saat ini tidak ada
penanganan secara khusus untuk ODGJ.
Gambar 4.5 Peta RS Jiwa di negarakita
Sumber: Kemenkes RI (2015)
Menurut data Direktorat Bina Kesehatan Jiwa Kemenkes RI (2015) bahwa
di negarakita terdapat 33 Rumah Sakit Jiwa (RSJ) milik Pemerintah dan 15 RSJ
milik swasta serta 1 RSKO yang tersebar di 27 Provinsi dari 34 keseluruhan
Provinsi di negarakita . Ada 8 provinsi yang tidak memiliki RSJ, dinataranya
Kepulauan Riau, Banten, Gorontalo, Kalimantan Utara, NTT, Sulawesi Barat,
Maluku dan Papua Barat. Kemudian 3 Provinsi tidak memiliki psikiater yaitu
Kepulauan Riau, Maluku Utara dan Papua. Dari gambaran ini , dengan
kondisi darurat penanganan ODGJ di Banten, perlu segera membuat fasilitas
pelayanan kesehatan jiwa untuk pasien ODGJ, salah satu fasilitas ini dengan
dibangunnya RSJ di Provinsi Banten.
90
90
Tabel 4.11 Puskesmas Yang Melaksanakan Layanan Kesehatan Jiwa di
Kabupaten/Kota Provinsi Banten
No Kabupaten / Kota
Jumlah
Puskesmas
Jumlah Puskesmas yang
Membuka Layanan Jiwa
(1) (2) (3) (4)
1 Kota Serang 16 6
2 Kabupaten Serang 31 13
3 Kabupaten Pandeglang 36 11
4 Kabupaten Lebak 42 11
5 Kota Tangerang 33 7
6 Kabupaten Tangerang 44 9
7 Kota Tangerang Selatan 25 5
8 Kota Cilegon 8 8
Provinsi 235 70
Sumber: Dinkes Provinsi Banten (2017)
berdasar data di atas dapat diketahui bahwa fasilitas kesehatan untuk
layanan pasien ODGJ tidak mesti dilakukan di RSJ, namun layanan kesehatan
ODGJ bisa dilakukan secara dekat di puskemas yang tersebar di warga .
diketahui bahwa ada 70 puskesmas yang sudah memberikan layanan kesehatan
jiwa dari 235 puskesmas yang tersebar di Provinsi Banten.
4.4 BENTUK DAN UPAYA MODEL PENANGANAN ODGJ YANG
SEHARUSNYA DILAKUKAN
4.4.1 Model Penanganan ODGJ Yang Seharusnya Dilakukan Pemerintah
Dinas Sosial Provinsi Banten memandang perlu adanya prioritas anggaran
untuk penanganan ODGJ, pendampingan psikiatri bagi ODGJ, dan model
penanganan ODGJ berbasis warga , karena ODGJ akan lebih mudah terbantu
jika berada dalam lingkungan warga dan tidak boleh ada lagi pemasungan,
karena dengan dilakukan pemasungan akan membebani psikologi ODGJ. Berikut
wawancara Informan Dinas Sosial Provinsi Banten:
91
91
“Memfasilitasi Psikiater untuk pendampingan dan bantuan tenaga medis
dalam ODGJ, sehingga dalam Panti rehabilitasi warga ada
penanganan khusus juga secara medis.” (Wawancara dengan Dinas Sosial
Provinsi Banten, 2017).
ODGJ merupakan kasus lintas sektor dan lintas program. Integrasi
program dalam penanganan ODGJ perlu dilakukan, karena perkasus an yang
kompleks harus ditangani bersama-sama. Belum optimalnya pelayanan kesehatan
jiwa dikarenakan selama ini belum dianggap menjadi kasus bersama.
“Harus ada penanganan secara kolaboratif antara Dinsos dan Dinkes dalam
pengelolaan penanganan ODGJ di Panti Rehabilitasi, karena selama ini
berjalan sendiri-sendiri (Dinsos membawahi panti rehabilitasi dan Dinkes
membawahi Puskesmas-puskesmas), pola ini harus dirubah sehingga
menjadi program bersama dan terintegrasi satu sama lain.” (Wawancara
dengan Dinas Sosial Provinsi Banten, 2017).
“ODGJ merupakan kasus lintas sektor dan lintas program, yaitu Dinas
Kesehatan, Dinas Sosial, Babinsa, Kepolisian dan Kanwil Kumham…
Dinas Kesehatan kedepan menginginkan penanganan ODGJ dilakukan
dengan berbasis warga untuk mendukung program bebas pasung,
ditambah kasus ini juga bukan hanya kasus Dinas Kesehatan, tetapi
antar lini/sektor. Untuk metodenya dapat kita distribusikan ke Kader yang
sudah dilatih.” (Wawancara Informan Dinas Kesehatan Provinsi Banten,
2017).
Dinas Kesehatan menginginkan adanya penanganan ODGJ dilakukan
dengan berbasis warga untuk mendukung program bebas pasung, ditambah
kasus ini juga bukan hanya kasus Dinas Kesehatan, tetapi antar lini/sektor.
Untuk metodenya dapat kita distribusikan ke Kader yang sudah dilatih. Dinas
kesehatan sebagai ujung tombak penerus kebijakan dari kemenkes tentunya sesuai
harapan kemenkes bisa melaksanakan kebijakan nasional terkait penanganan
ODGJ.
4.4.2 Model Penanganan ODGJ Yang Bisa Dikembangkan warga dan
Dukungan Fasilitasi Pemerintah
Untuk melakukan penanganan ODGJ juga penting memfasilitasi Psikiater
dalam pendampingan dan bantuan tenaga kesehatan, sehingga dalam Panti
92
92
Rehabilitasi warga ada penangan khusus juga secara medis untuk ODGJ.
Selain hal ini juga perlu ada penanganan secara kolaboratif antara Dinsos
dan Dinkes dalam pengelolaan penanganan ODGJ di Panti Rehabilitasi, karena
selama ini berjalan sendiri-sendiri (Dinsos membawahi panti rehabilitasi dan
Dinkes membawahi Puskesmas-puskesmas), pola ini harus dirubah sehingga
menjadi program bersama dan terintegrasi satu sama lain.
“Memfasilitasi Psikiater untuk pendampingan dan bantuan tenaga medis
dalam ODGJ, sehingga dalam Panti rehabilitasi warga ada penangan
khusus juga secara medis… Harus ada penanganan secara kolaboratif
antara Dinsos dan Dinkes dalam pengelolaan penanganan ODGJ di Panti
Rehabilitasi, karena selama ini berjalan sendiri-sendiri (Dinsos
membawahi panti rehabilitasi dan Dinkes membawahi Puskesmas-
puskesmas), pola ini harus dirubah sehingga menjadi program bersama dan
terintegrasi satu sama lain.” (Wawancara dengan Dinas Sosial Provinsi
Banten, 2017).
berdasar penyataan ini diketahui bahwa, Pemerintah Provinsi
Banten dalam menanganai ODGJ pelu memfasilitasi Psikiater untuk
pendampingan dan bantuan tenaga medis dalam ODGJ. Sehingga dalam Panti
rehabilitasi warga nantinya ada penangan khusus baik secara terapi yang
dilakukan di Panti sosial maupun juga secara medis yang dilakukan oleh Dinas
Kesehatan maupun Puskemas setempat. Perlunya penanganan secara kolaboratif
antara Dinsos dan Dinkes dalam pengelolaan penanganan ODGJ di Panti
Rehabilitasi, hal ini dikarenakan intansi ini dirasaakan berjalan berjalan
sendiri-sendiri (Dinsos membawahi panti rehabilitasi dan Dinkes membawahi
Puskesmas-puskesmas), pola ini harus dirubah sehingga menjadi program
bersama dan terintegrasi satu sama lain. Artinya koodinasi perlu ditingkatkan
kembali dengan semua stakeholders baik pemerintah maupun warga .
harapan yang sama jug adisampikan Dinas Kesehatan Provinsi Banten:
“Perlu ada kerjasama berbagai lini agar penderita ODGJ dapat tertangani
dengan baik, contoh paling baik yang ada di Ciomas, karena terdapat
komunikasi yang aktif antara yayasan dengan puskesmas serta didukung
oleh kepala desa… Kedepan perkasus an ODGJ harus di prioritaskan.”
(Wawancara dengan Dinas Kesehatan Provinsi Banten, 2017).
93
93
Kerjasama berbagai lini untuk penanganan ODGJ penting agar ODGJ
dapat tertangani dengan baik, contoh kasus paling baik saat ini terdapat di
Ciomas, karena adanya komunikasi yang aktif antara yayasan dengan puskesmas
serta didukung oleh kepala desa. Saat ini Dinas Kesehatan melakukan fasilitasi
baru dalam upaya peningkatan kapasitas SDM melalui pelatihan kader-kader
Kesehatan Jiwa, terdapat juga dana Dekonsentrasi untuk pelatihan ini ,
namun jumlahnya masih sangat sedikit dibandingkan yang ditangani. Sehingga
perkasus an ODGJ kedepan harus menjadi salah satu yang diprioritaskan.
4.4.3 Sistem Rujukan Kesehatan Jiwa
Sampai saat ini belum ada sistem rujukan kesehatan jiwa yang benar-benar
terintegrasi dengan baik, karena memang sampai saat ini tidak menjadi prioritas
baik dari segi anggaran maupun program. Sehingga kedepan perlu ada penguatan
sumberdaya, baik alokasi anggaran, program dan tenaga kesehatan yang memadai.
Kondisi yang masih bertahan menurut partisipan adalah kerjasama
beberapa dinas kesehatan kabupaten/kota dengan Rumah Sakit Jiwa dr. Soeharto
Heerdjan Jakarta Barat. Yaitu dengan menyiapkan minimal 3 ODGJ, selanjutnya
on call ke pihak rumah sakit yang nanti akan dijemput dengan mobil psikiatrik
dari rumah sakit ini . Selanjutnya ODGJ diobati dalam perawatan rumah sakit
dan akan dirujuk pulang kembali kepada keluarga di bawah evaluasi dari
puskesmas. Namun program ini masih terkendala dengan kondisi besarnya
anggaran mobilisasi yang cukup jauh ke Jakarta, sehingga belum bisa menyeluruh
pada cakupan Provinsi Banten.
Ketersediaan rumah sakit jiwa di Provinsi Banten, bila merujuk kepada
pelaksanaan pelayanan kesehatan jiwa yang komprehensif tentunya sangat
diperlukan, dilihat dari aspek kuratif dan rehabilitatif. Terutama berkaitan dengan
jangkauan wilayah yang sangat luas. Rumah sakit jiwa dalam proses
pengadaannya seharusnya mempertimbangkan beberapa hal berikut: (1)
memerlukan sumber daya manusia dan sumber daya lain yang besar; (2)
Kualitas pelayanan bervariasi, jangan sampai hanya seringkali berfungsi sebagai
94
94
tempat pengasingan sehingga hasilnya tidak memuaskan; (3) Berkaitan dengan
stigma dan pelanggaran HAM; (4) Dibanyak daerah sulit diakses karena letaknya
jauh; (5) Berbiaya tingg tetapi jenis pelayanan terbatas; (6) Bukan merupakan pos
pendapatan asli daerah (PAD). Keenam hal ini harus menjadi dasar
pertimbangan penting dalam upaya penyediaan pembangunan rumah sakit jiwa di
Provinsi Banten.
Pengembangan fasilitas penyedia layanan kesehatan jiwa ini tentunya
merupakan hal penting dalam strategi menurunkan kesenjangan pengobatan.
Dimana ada tiga strategi dalam menurunkan kesenjangan pengobatan bagi ODGJ
berdasar survei yang dilakukan pada WPA di 60 negara (2010); (1)
Meningkatkan jumlah psikiater dan professional kesehatan jiwa lainnya; (2)
Meningkatkan keterlibatan penyedia layanan kesehatan jiwa non-spesialis yang
terlatih dengan baik; (3) Keterlibatan aktif orang yang terkena dampak gangguan
jiwa secara langsung (ODGJ, ODMK, dan keluarga). Sebagaimana diketahui
bahwa kesenjangan pengobatan ini yang memacu terjadinya pemasungan pada
ODGJ.
4.4.4 Ketersediaan SDM dalam Menangani ODGJ
Penanganan ODGJ memiliki kasus klasik dalam sumber daya
manusianya. Minimnya tenaga kesehatan dan kader terkait penanganan ODGJ,
serta tidak optimalnya penanganan yang ada membuat perkasus an kesehatan
jiwa tidak terstruktur.
“Sampai saat ini belum ada SDM secara khusus yang tersedia untuk
penanganan ODGJ.” (Wawancara Dinas Sosial Provinsi Banten, 2017).
“Masih minim tenaga medis dan kader terkait kasus ini masih
rendah/belum ideal, untuk daerah Serang saja baru ada 1 orang spesialis
kesehatan jiwa yaitu dr. Anis Trianis. Mengacu ke indeks apotik
Kemenkes 20% puskesmas yang sudah pernah dilatih membuka layanan
kesehatan jiwa dan Rumah sakit harus membuka poli kesehatan jiwa.
Dinas Kesehatan memiliki Kader Kesehatan Jiwa yang sudah dilatih agar
warga dapat berpartisipasi secara langsung”. (Wawancara Dinas
Kesehatan Provinsi Banten, 2017).
95
95
“Belum memadai. Sampai saat ini di Kota Serang baru ada 1 orang dokter
kesehatan jiwa”. (Wawancara Dinas Kesehatan Kota Serang).
“Petugas penanganan ODGJ di Puskesmas Citangkil hanya 1 perawat dan
1 dokter saja namun Keterlibatan tokoh warga sangat membantu
mulai dari babinsa, polsek dan tokoh warga itu sendiri.“ (Wawancara
Informan Puskemas Citangkil, Kota Cilegon, 2017).
berdasar pernyataan di atas, dapat diketahui bahwa, untuk daerah
Kabupaten Serang dengan perluasan cakupan sampai wilayah Banten Utara,
Selatan, dan Barat, hanya terdapat satu orang psikiater. Sementara menurut
Informan bahwa sebenarnya ada 20 psikiater di sekitar Provinsi Banten yang
tergabung dalam sebuah forum, memang benar adanya bahwa hanya satu orang
psikiater yang aktif dalam program penanganan ODGJ ini untuk wilayah Banten
Utara, Selatan, sampai Barat. Sedangkan yang lainnya terblok berdomisili di
Tangerang dan berfokus tugas di wilayah Jakarta. Hal ini menjadi
ketimpangan tersendiri dalam pemerataan beban kerja sumber daya manusia di
wilayah Provinsi Banten.
Mengacu ke indeks apotik Kemenkes, 20% puskesmas yang sudah pernah
dilatih membuka layanan kesehatan jiwa dan Rumah sakit membuka poli
kesehatan jiwa. Hanya kendala pada komitemen tenaga kesehatan jiwa ini bisa
dibagi ke dalam tiga kategori yang meliputi: (1) Resistensi, dimana tenaga
kesehatan ini pada akhirnya resisten terhadap program kesehatan jiwa; (2)
Ignore, tenaga kesehatan mengabaikan begitu saja kasus pelayanan kesehatan
jiwa; (3) Menerima, hal ini menjadi kelangkaan tersendiri untuk tenaga kesehatan
jiwa. Diakui seorang partisipan dalam posisi psikiater bahwa wilayah psikiater
merupakan salah satu bagian profesi kedokteran yang paling kurang menjanjikan.
Posisi tenaga kesehatan jiwa yang diakui partisipan dari kalangan dokter umum
dan perawat, yang benar-benar melaksanakan tugasnya dengan baik tiada lain
adalah karena merasakan sebagai bagian dari panggilan jiwa dan rasa
kemanusiaan yang mendalam serta keyakinan bahwa gangguan jiwa bisa
disembuhkan.
96
96
Pemilihan sumber daya manusia sebagai tenaga kesehatan jiwa seharusnya
melalui suatu komitmen yang tegas untuk bisa menerima marwah tugas
kemanusiaan. Paket pelatihan tenaga kesehatan jiwa yang sudah dikembangkan
oleh Kemenkes melalui Dinas Kesehatan Provinsi tentunya harus mampu
meretensi tenaga ini di suatu wilayah sampai pencapaian keberhasilan
program bisa diukur atau dievaluasi.
4.4.5 Sistem Informasi dan Evaluasi Penanganan ODGJ
Pentingnya pengelolaan informasi dan pengelolaan untuk menangani
ODGJ di Provinsi Banten. Evaluasi penanganan ODGJ, setiap bulan Dinas
Kesehatan Provinsi Banten menerima laporan dari puskesmas-puskesmas dan
rumah sakit yang memiliki pelayanan kesehatan jiwa. Berbeda dengan dinas
kesehatan, tindaklanjut penanganan ODGJ yang dilakukan oleh Dinas Sosial
Provinsi Banten sampai saat ini hanya sekedar penanganan pada ODGJ
ketelantaran. Kemudian dari kedua instansi ini melakukan evaluasi dan
tindak lanjut dengan cara jemput bola/diminta secara langsung pada puskesmas
dan panti rehabilitasi warga .
“Setiap bulan ada laporan secara berkala tindaklanjut penanganan ODGJ
oleh Dinas Sosial sampai.” (Wawancara Dinas Sosial Provinsi Banten,
2017).
“Sampai saat ini dilakukan dengan jemput bola/diminta secara langsung”.
(Wawancara Dinas Sosial Provinsi Banten, 2017)
“Pencatatan selalu dilakukan setiap tahun sekali, diinventarisir melalui
panti rehabilitasi.” (Wawancara Informan Dinas Sosial Kota Serang,
2017).
“Selalu ada pencatatan berkala yang dilakukan setiap terjadi kasus di
setiap puskesmas dan dilaporkan ke Dinkes Kota Serang setiap bulan.”
(Wawancara Informan Dinas Kesehatan Kota Serang, 2017).
berdasar ungkapan informan di atas, dapat diketahui sistem informasi
dan evaluasi data ODGJ yang dilakukan oleh Pemerintah dalam menangani ODGJ
masih terbatas secara manual. Belum ada sistem informasi secara terintegrasi.
97
97
Sehingga informasi ODGJ masih sangat sulit dideteksi dan ditangai untuk dikelola
oleh pemerintah. Dalam hal evaluasi pentingnya adanya konsistensi supervisi,
monitoring, dan evaluasi dari Dinas Kesehatan Provinsi Banten terhadap
pelaksanaan program kesehatan jiwa sudah memberikan makna keberhasilan yang
baik. Seharusnya kegiatan ini di terus menjamin keberlangsungan dan
keberhasilan program pelayanan kesehatan jiwa di puskesmas.
4.5 ALTERNATIF BENTUK MODEL PENANGANAN ODGJ DI
BANTEN
Mengacu kepada prioritas utama kesehatan jiwa meliputi: meningkatkan
status kesehatan jiwa warga , meningkatkan sumberdaya kesehatan jiwa,
menggunakan sumber daya lebih efektif untuk memperkuat pelayanan berbasis
warga , serta melindungi HAM setiap ODGJ. Program pelayanan kesehatan
jiwa dengan dua pemangku kebijakan antara Dinas Kesehatan dan Dinas Sosial
diharapkan dapat bersinergi untuk melaksanakan program pelayanan kesehatan
jiwa, terutama terkait dengan penanggulangan ODGJ.
Alternatif bentuk model penanganan ODGJ yang dimaksud untuk di
Provinsi Banten bila merujuk kepada kebijakan tentang pelayanan kesehatan jiwa
warga yang sudah dirilis oleh kemenkes tentunya adalah bagaimana
pengembangan dari model kebijakan ini yang bisa berupa penguatan
kebijakan melalui regulasi, kebijakan, dan perencanaan, pendanaan, kemitraan
dan pemberdayaan setiap pemangku kepentingan, system layanan kesehatan jiwa,
sumber daya manusia, sarana dan prasarana, dan sistem informasi dan evaluasi.
Sejauhmana kesiapan beberapa hal ini tentunya akan sangat mendasar
menjadi indikator kesiapan dalam pelaksanaan pelayanan kesehatan jiwa
terpenting dalam penanggulangan ODGJ.
Penanggulangan ODGJ yang memiliki keluarga mengikuti alur rujukan
dari fasilitas pelayanan dasar (puskesmas) untuk program kuratif sampai program
rehabilitasi berbasis warga . Penanggulangan ODGJ dengan keluarga ini
harus dikuatkan ketahanan keluarga dan pendidikan kesehatan untuk warga .
98
98
Gambar 4.6 Pelayanan Kesehatan Jiwa (Penanggulangan ODGJ)
RUMAH
Identifikasi G.jiwa
Dukungan untuk
pasien dan keluarga
Unit akut
RSU
Pasien
Saat ini
Pasien Baru
PKM
RSJ
Rujukan Tersier
Perawatan spesialis
jangka panjang
Forensik
Rehabilitasi residensial
Kegawatdaruratan
Psikiatrik
Mis: Psikosis akut
Dukungan
warga
Akomodasi
Manajer Kasus
Follow-up
REHABILITASI
BERBASIS warga
PERAWATAN
BERBASIS
warga
(mis. RJ, Klinik, Tim)
Diadaptasi dari Kemenkes RI, 2016
berdasar gambar di atas dapat diketahui bahwa fokus alur
penanggulangan ODGJ dalam upaya kuratif dengan tujuan penyembuhan dan
pemulihan, pengurangan penderitaan, pengendalian disabilitas, dan pengendalian
gejala penyakit. Sampai upaya rehabilitatif dengan tujuan mencegah dan
mengendalikan disabilitas, memulihkan fungsi sosial, memulihkan fungsi
okupasional, serta mempersiapkan dan memberikan kemampuan agar mandiri di
warga . Ada dua alternatif tempat perawatan kritis untuk kuratif yaitu di
Rumah Sakit Jiwa atau di Puskesmas. Maka demikian sejauhmana kesiapan
pemerintah daerah untuk pengadaan Rumah Sakit Jiwa. Atau penguatan fungsi
Rumah Sakit Umum dan Puskesmas untuk area kuratif ini , terlebih
selanjutnya untuk rehabilitatif. Ada dua alternatif terkait proses rehabilitatif bila
intervensi kritis dilakukan di rumah sakit jiwa, maka struktur rumah sakit jiwa
seharusnya mampu mengadakan lahan rehabilitasi ODGJ. Tetapi bila tidak
sanggup akan kembali kepada rehabilitasi berbasis warga , sehingga fungsi
Rumah Sakit Jiwa bisa dipertajam dengan fungsi puskesmas.
99
99
ODGJ yang terlantar atau dalam terminologi dinas sosial dengan sebutan
ODGJ keterlantaran dalam penanganan kuratif masih belum mendapat kejelasan
dinas mana yang paling berwenang dan bertanggungjawab. Penanganannya
memerlukan penjelasan regulasi teknis yang tepat ditingkat pemerintahan daerah.
Sehingga irisan yang jelas terkait kewenangan antara Dinas Kesehatan dan Dinas
Sosial bisa lebih tegas mana yang kewenangan mandiri masing-masing dan mana
kolaborasi yang diperlukan diantara keduanya.
Rehabilitasi ODGJ masih berada di area abu-abu antara Dinas Sosial
dengan Dinas Kesehatan, karena beberapa penafsiran terkait kewenangan
rehabilitasi sosial menurut Perkemensos Nomor 8 Tahun 2012 dan Nomor 22
Tahun 2014 terkait ODGJ yang telah sembuh atau belum. Ada dua pendapat
dimana yang direhabilitasi oleh dinas sosial adalah eks psikotis atau ODGJ yang
sudah sembuh, sedangkan dalam perjalanan penyakitnya ODGJ memerlukan
waktu pengobatan yang cukup panjang dalam proses penyembuhannya. Sehingga
diperlukan peninjauan peraturan ini untuk turunannya yang akan ditetapkan
oleh pemerintah daerah sebagai regulasi yang tepat terkait teknis rehabilitasi.
Gambar 4.7 Hasil survey keinginan pasien psikiatrik (Hwang, 2001)
Pekerjaan / penghasilan
Tidak kambuh
Dukungan / diterima masy
Tidak ingin makan obat lagi
Dukungan keluarga
Tinggal dilingkungan lebih baik
Banyak teman
Konsultasi dengan dokter
%
0 20 40 60 80
64.9
48.5
48.4
45.4
38.8
36.2
34.5
31
40.7
45.4
Hak mendapatkan obat yang
lebih baik
Waktu berlibur
Sumber: Hwang 2001
100
100
berdasar hasil survei di atas, betapa pentingnya upaya rehabilitasi pada
ODGJ. Seberat apapun kondisi ODGJ, mereka memiliki keinginan untuk tetap
berkreasi dan produktif walaupun dalam keterbatasan minimal. Upaya rehabilitasi
untuk ODGJ masih sangat buruk, karena kondisi perjalanan penyakit gangguan
jiwa memiliki masa pemulihan yang cukup lama.
Program promotif dan preventif dilakukan terintegrasi pada program
puskesmas yang langsung menyasar ke warga secara umum. Sebagaimana
disampaikan beberapa informan:
“Kegiatan promotif dan preventif kesehatan jiwa dilakukan dengan
dimasukan kedalam kegiatan posyandu maupun kegiatan insidental lain
diwarga . Tetapi belum terstruktur dan terprogram dengan baik”.
(Wawancara Dinas Kesehatan Kota Serang).
“Kegiatan dilakukan melalui pendidikan kesehatan jiwa kepada keluarga
dan warga melalui kegiatan posyandu atau pertemuan rutin, tetapi
beberapa kendala kepahaman dan ketertarikan warga terhadap
kesehatan jiwa belum dianggap lebih penting dibandingkan kesehatan
fisik”. (Wawancara Dinas Kesehatan Kota Serang).
“Kegiatan promotif dan preventif dilaksanakan dengan memasukan ke
dalam kegiatan posyandu maupun kegiatan penjaringan kesehatan ke
sekolah-sekolah. Tetapi tema secara khusus terkait kesehatan jiwa belum
terprogram dengan baik.“ (Wawancara Informan Puskemas Citangkil,
Kota Cilegon, 2017).
Sesuai gambaran data hasil penelitian ini di atas. Selayaknya program
promotif dan preventif belum memiliki struktur program yang rutin dilakukan
karena kegiatan yang akan sangat bervariatif di posyandu, posbindu, maupun
sekolah atau komunitas khusus lain. Menjadikan kegiatan ini tidak akan
fokus pada upaya kesehatan jiwa secara utuh. Sehingga evaluasi ketercapaiannya
juga akan sangat diragukan untuk kegiatan ini .
Program promotif dan preventif yang bisa dilaksanakan seharusnya bisa
seimbang dengan kuratif dan rehabilitatif. Upaya promotif dengan tujuan
mempertahankan dan meningkatkan derajat kesehatan jiwa secara optimal,
menghilangkan stigma, diskriminasi, dan pelanggaran HAM ODGJ,
meningkatkan pemahaman dan peran serta warga terhadap kesehatan jiwa,
101
101
meningkatkan peran serta warga terhadap kesehatan jiwa. Sebagai sasaran
dari upaya promotif adalah keluarga, lembaga pendidikan, tempat kerja,
warga , fasilitas pelayanan kesehatan, media massa, lembaga keagamaan, dan
lembaga kewarga an. Sedangkan upaya preventif bertujuan mencegah
terjadinya kasus kesehatan jiwa, mencegah timbulnya kekambuhan,
mengurangi faktor risiko gangguan jiwa pada warga secara umum atau
perorangan, serta mencegah timbulnya dampak kasus psikososial. Sasaran
upaya preventif terdiri dari keluarga, lembaga, dan warga . Upaya promotif
dan preventif merupakan investasi kesehatan. Upaya ini bisa meliputi pendekatan
siklus kehidupan serta pendekatan kelompok risiko.
Layanan yang terbaik adalah berbasis komunitas atau warga , karena
memiliki beberapa keuntungan diantaranya: menyediakan layanan kesehatan
jiwa di warga dalam lingkup yang luas, layanan bersifat lokal dan mudah
diakses, memungkinkan kesinambungan layanan dan tatalaksana di rumah,
tersedianya rehabilitasi sosial dan kebutuhan seseorang secara menyeluruh
(dibandingkan sistem tertutup di rumah sakit jiwa), menggabungkan dukungan
komunitas dan keluarga dalam sistem, menghindari efek yang mengganggu dan
biaya rumah sakit akibat layanan jangka panjang, menghasilkan keluaran
tatalaksana yang lebih baik serta peningkatan kualitas hidup penderita gangguan
jiwa kronis, dan penurunan stigma pada gangguan jiwa.
Program berbasis warga yang dimaksudkan secara nomenklatur
berdasar sudut pandang dari kesehatan dengan sosial cukup berbeda.
berdasar pandangan sosial dengan berkembangnya Lembaga Kesejahteraan
Sosial (LKS), dengan bentuk nyata diwarga seperti panti rehabilitasi sosial.
Itu sudah merupakan upaya penanganan berbasis warga . Sedangkan dari
sudut pandang kesehatan berbasis warga yang dimaksud adalah bagaimana
berkembangnya peran serta keluarga dan warga (tokoh agama, tokoh
pemuda, tokoh pemerintahan, dll) satu paket dalam upaya penanganan kasus
kesehatan. Secara umum di Banten program berbasis warga ini bila ditinjau
dari kedua sudut pandang ini sebenarnya secara nyata sudah ada upaya dan
wadah yang nyata. Tinggal bagaimana upaya koordinasi yang kuat untuk
102
102
kerjasama dalam kesatuan tugas dan pandangan upaya penyelesaian kasus yang
sama dalam pelaksanaannya. Kendala yang umum adalah pembagian tugas pokok
dan regulasi yang mengaturnya yang sangat teknis untuk segera dilakukan.
Gambar 4.8 Sinergi antar sektor yang harus dibangun Pemerintah Daerah
Semua dapat mengkontribusi
Kesehatan Jiwa
Yayasan
Media
Individu
Komunitas
Profesi
LSM
Keluarga
Sektor
Swasta
Pemerintah
& penetap
Kebijakan
Institusi
Pengembang
Keilmuan
berdasar gambar di atas upaya penanggulangan ODGJ berbasis
warga tentunya memerlukan upaya sinergi dan sinkronisasi dari semua
sektor yang seharusnya bisa difasilitasi pemerintah. Melalui leading sektornya
dinas kesehatan dan dinas sosial tentunya bukan hal yang mustahil bisa
diwujudkan oleh pemerintah daerah Provinsi Banten demi menjungjung tinggi
nilai kemanusiaan melalui konsentrasi penanggulangan ODGJ.
103
103
BAB 5
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
5.1. Kesimpulan
berdasar hasil pembahasan di atas terdapat beberapa kesimpulan yang
dapat disampaikan antara lain :
1. Karakterisitik ODGJ di Provinsi Banten:
a. Karakterisitik ODGJ di Banten berdasar penyebabnya dipengaruhi oleh
beberapa faktor yang kompleks, namun lebih banyak dilatarbelakangi oleh
gangguan psikologis, sosiologis, ekonomi, dan kemiskinan.
b. berdasar Karakteristik perilaku kesehatan keluarga ODGJ dan
warga sekitarnya cenderung memiliki pengetahuan yang rendah, sosial
ekonomi dan tingkat pendidikan rendah serta memiliki tata nilai yang
negatif terhadap ODGJ.
c. Karakterisitik sebaran ODGJ jumlahnya terbanyak ada di Kota Cilegon
sebanyak 4881 jiwa dari total 5651 jiwa. Kemudian kasus pasung yang
dilaporakan terbanyak ada di Kabupaten Lebak dan Kabupaten Pandeglang
sebanyak 27 kasus, Kabupaten Serang 21 Kasus, Kota Cilegon dan Kota
Serang 9 kasus, Kabupaten Tangerang 8 kasus, Kota Tangerang dan Kota
Tangsel nihil dan diindikasikan belum teindentifikasi secara jelas bentuk
kasus pemasungannya (Dinkes Provinsi Banten, 2017).
d. Karakteristik keberadaan ODGJ di Provinsi Banten terdiri dari dua
klasifikasi; pertama ODGJ yang masih ditangani dan hidup ditengah
keluarganya dan kedua ODGJ yang sudah terlepas dari keluarganya yang
keberadaanya terlantar hidup berkeliaran tidak terurus.
2. Model Penanganan ODGJ di Provinsi Banten:
a. Pemerintah Daerah dalam melakukan upaya penanganan ODGJ terutama
program bebas pasung belum dilakukan secara menyeluruh dan
komprehensif baik dari penanganan promotif, preventif sampai kuratif dan
rehabilitatif. Kondisi ini dikarenakan terbatasnya sumberdaya yang
dimiliki, baik dari segi anggaran karena belum dianggap proritas. Kemudian
104
104
kurangnya layanan fasilitas kesehatan jiwa dan lemahnya kompetensi serta
kuantitas tenaga kesehatannya. Sampai saat ini penanganan ODGJ masih
bersifat berbaur dengan layanan kesehatan umum, baik di RSU maupun di
Puskesmas. Upaya kegiatan baru sebatas melakukan sosialisasi, pelatihan
kepada tenaga kesehatan dan pemberian obat pada ODGJ di tingkat
puskemas.
b. Penanganan ODGJ yang dilakukan warga di Provinsi Banten sampai
saat ini masih berorientasi pada panti rehabilitasi warga , membawa
pasien ke puskesmas/rumah sakit umum dan masih ada warga yang
memilih melakukan pemasungan. Tidak adanya formulasi yang tepat untuk
menghentikan pemasungan ODGJ oleh pemerintah. Kemudian, dan
ditambah kurang sikap peduli warga pada keberadaan ODGJ
menyebabkan program bebas pasung tidak berjalan secara baik.
Keterbatasan ekonomi dan biaya pengobatan kuratif oleh keluarga ODGJ
ketika akan dirujuk ke puskesmas, RSU, SRJ dan Panti Rehabilitasi milik
swadaya warga .
c. Penanganan ODGJ yang dilakukan oleh warga melalui Panti
Rehabilitasi Lembaga Swadaya warga dengan model terapi dan
pendekatan agama sudah banyak berkembang di Banten. Akan tetapi
keberadaan Panti Rehabilitasi masih terkendala oleh manajerial dan biaya
oprasional dalam mengurus ODGJ. Meski sudah mendapatkan bantuan dari
pemerintah daerah berupa hibah namun sifatnya masih terbatas. Sehingga
masih terbatas dalam menampung ODGJ yang akan di rehabilitasi.
3. Kendala Penanganan ODGJ di Provinsi Banten:
a. Kendala prilaku warga dari keluarga ODGJ masih ada yang melakukan
pemasungan pada ODGJ, dimana keberadaanya lebih banyak di wilayah
pelosok. Kondisi ini masih terjadi karena alasan kesenjangan dalam
upaya pengobatan dan ODGJ dianggap dapat mengancam keselamatan
orang di sekitarnya. Selain itu, pemahaman warga masih menganggap
ODGJ merupakan aib yang harus ditutup rapat oleh keluarga. Akses
geografis menjangkau layanan kesehatan jiwa yang jauh dan kendala
105
105
kemampuan ekonomi serta kemiskinan dari keluarga ODGJ yang juga
lemah.
b. Perkasus an ODGJ sudah menggangu ketertiban sosial dan menjadi
ancaman bencana bagi kehidupan warga . Penanganan ODGJ di tingkat
Kabupaten/Kota di Provinsi Banten sampai saat ini masih terbatas pada
sosialisasi untuk penanganan ODGJ ke tiap-tiap Puskesmas, memberikan
pelatihan pada tenaga medis dan melalui pengadaan obat yang terbatas.
Regulasi yang ada di daerah baru sebatas SK Gubernur tentang TPKJM
yang pelasanaannya belum berjalan baik. Artinya pemerintah daerah belum
memiliki regulasi yang mengatur penanganan ODGJ secara menyeluruh, hal
ini menghambat Pemerintah Daerah dalam melakukan kewenangan
dalam berinovasi melakukan penanganan ODGJ. Khusunya ODGJ yang
terlantar dan ada diindikasi musiman/kiriman dari luar daerah, di mana
penanganan kuratifnya masih belum mendapat kejelasan steakholder yang
berwenang dan bertanggungjawab dalam penanganannya.
c. Kendala kecukupan anggaran dalam penanganan ODGJ oleh Pemerintah
Daerah baik pada OPD Dinsos maupun Dinkes belum diprioritaskan dalam
pos rencana penganggaran daerah, karena hal ini belum dianggap
prioritas. Sehingga kondisi ini menghambat kinerja pemerintah daerah
dalam penanganan ODGJ di Provinsi Banten.
d. Koordinasi lintas OPD dalam menangani ODGJ masih bersifat sendiri-
sendiri, belum terintegrasi dengan baik. Terjadi saling lempar kewenangan
antara Dinkes dengan Dinsos dalam dalam penanganan ODGJ di lapangan,
khusunya yang terlantar.
e. Kendala ketersediaan fasilitas kesehatan jiwa baik di RSU maupun di
tingkat puskesmas belum memadai dengan baik. Hanya ada 70 puskesmas
dari 235 puskesmas yang melaksanakan layanan kesehatan jiwa. Fasilitas
obat-baatan di tingkat puskesmas sering tidak lengkap dan terbatas, belum
adanya RSJ sebagai layanan tersier bagi penderita ODGJ di Provinsi
Banten.
5.1. Rekomendasi
berdasar beberapa kesimpulan di atas, maka diusulkan beberapa rekomendasi kebijakan dan upaya model penanganan
ODGJ di Provinsi Banten:
No Hasil Penelitian Rekomendasi
Sasaran Stakeholders
yang Terlibat
(1) (2) (3) (4)
1 Penyebab ODGJ di Banten
dipengaruhi oleh beberapa faktor
yang kompleks yang banyak
dilatarbelakangi oleh gangguan
psikologis, sosiologis, ekonomi, dan
kemiskinan
- Pemerintah perlu melakukan penanganan secara
promotif-preventif dengan menyediakan layanan
konsultasi psikiatri kesehatan jiwa kepada warga
hingga di tingkat puskesmas. Selain itu bisa melalui
layanan rohaniawan yang difasilitasi pemerintah. Hal
ini untuk membantu warga yang rentan terkena
ODGJ mendapat pencerahan hidup
- Dinkes Provinsi
- Dinkes Kab/Kota
- RSU/RSJ
- Puskesmas
- Kemenag dan Lemabaga
Keagamaan
- Pemerintah perlu melakukan pemberdayaan ekonomi
kepada warga yang rentan mengalami ODGJ,
sehingga diharapkan akan mengurangi potensi
penambahan ODGJ di Banten
- Dinsos Provinsi
- Dinsos Kab/Kota
- OPD lintas sektor
- LSM/ lembaga
pendampingan sosial
107
107
2 Perilaku kesehatan keluarga ODGJ
dan warga sekitarnya
cenderung memiliki pengetahuan
yang rendah, sosial ekonomi dan
tingkat pendidikan rendah serta
memiliki tata nilai yang negatif
terhadap ODGJ
- Pemerintah perlu penanganan promotif-preventif dan
kuratif-rehabilitatif. Alternatifnya bisa dengan
pendampingan dan sosialisasi kepada keluarga ODGJ
serta pada warga sekitar di tempat tinggalnya
ODGJ. Dimana sasarannya diprioritaskan kepada ODGJ
yang banyak dilakukan pemasungan, seperti di Kab.
Lebak, Kab. Pandeglang, Kab. Serang, Kab Tangerang,
Kota Cilegon dan Kota Serang.
- Dinkes Provinsi
- Dinkes Kab/Kota
- Puskesmas
- Dinsos Provinsi
- Dinsos Kab/Kota
- LSM/ lembaga
pendampingan sosial
- Lembaga Perguruan
Tinggi Kesehatan
3 Penanganan ODGJ baru sebatas
melakukan sosialisasi, pelatihan
kepada tenaga kesehatan dan
pemberian obat pada ODGJ di
tingkat puskemas, namun belum
secara menyeluruh dan
komprehensif, dikarenakan
terbatasnya sumberdaya yang
dimiliki pemerintah.
Kendala ketersediaan fasilitas
- Diperlukan penanganan ODGJ yang komperhensif dan
masif serta efektif dan efesien dengan memaksimalkan
program sosialisasi, pelatihan tenaga kesehatan jiwa,
pemberdayaan komunitas atau kader kesehatan jiwa .
- Perlu penyediaan fasilitas obat murah dan berkualitas,
dan dibutuhkan kendaraan ambulan oprasional khusus
ODGJ terutama di wilayah secara geografis yang
jaraknya jauh ke pusat layanan kesehatan jiwa.
- Perlu penguatan dan peningkatan kompetensi Sumber
Daya Manusia (SDM) Kesehatan jiwa di puskesmas
- Dinkes Provinsi
- Dinkes Kab/Kota
- Puskesmas
- RSU/RSJ
- LSM/ lembaga komnitas
peduli keswa
- Lembaga Perguruan
Tinggi Kesehatan
108
108
kesehatan jiwa baik di RSU maupun
di tingkat puskesmas belum
memadai dengan baik. Baru ada 70
puskesmas dari 235 puskesmas yang
melaksanakan layanan kesehatan
jiwa. Fasilitas obat-baatan di tingkat
puskesmas sering tidak lengkap dan
terbatas, belum adanya Rumah Sakit
Jiwa sebagai layanan tersier bagi
penderita ODGJ di Provinsi Banten.
sehingga diharapkan penanganan ODGJ lebih cepat dan
tidak bergantung pada rumah sakit.
- Layanan kesehatan jiwa perlu penguatan dan revitalisasi
di tingkat komunitas warga /panti/yayasan,
penguatan di tingkat puskesmas dan di RSU
- Perlu dibangun RSJ/Lemabag Rehabilitasi Kesehatan
Jiwa yang bersifat pelayanan tersier di Provinsi Banten,
agar pola penanganan bisa dilakukan terjangakau oleh
warga dan tidak perlu keluar daerah. Meski
demikian peran RSU dan Puskesmas harus diperkuat dan
tidak menghilangkan layanan kesehatan jiwanya, agar
layanan kesehatan jiwa tersebar dan merata di setiap
daerah.
4 Penanganan ODGJ yang dilakukan
oleh warga yang berkembang
saat ini adalah melalui Panti
Rehabilitasi Lembaga Swadaya
warga dengan model terapi dan
pendekatan keagamaan. Tetapi,
- Pemerintah perlu memberikan penguatan kepada
Lemabag/Panti rehabilitasi ODGJ yang sudah ada untuk
bisa semakin berkembang dan membantu meminimalisir
keberadaan ODGJ yang ada. Penguatan bisa dilakukan
dengan pemberian bantuan pelatihan peningkatan
kapasitas pengelola panti baik manajeial maupun
- Dinkes Provinsi
- Dinkes Kab/Kota
- Puskesmas
- Dinsos Provinsi
- Dinsos Kab/Kota
- LSM/yayasan/panti
109
109
keberadaannya masih terkendala
oleh manajerial dan pembiayaan
oprasional yang masih terbatas.
Bantuan pemerintah daerah baru
sebatas hibah yang belum memadai.
Sehingga masih terbatas dalam
menampung ODGJ yang akan di
rehabilitasi.
kemampuan pengetahuan kesehatan jiwa. Sealin itu, bisa
dengan penguatan pendaan dan infrastruktur yang bisa
mendorong daya tampung rehabiilitasi ODGJ lebih
banyak.
- Dibtuhkan peningkatan upaya penanganan ODGJ di hulu
(promotif, preventif) melalui penguatan kader kesehatan
jiwa yang melibatkan warga atau mantan-mantan
penderita ODGJ.
- Perlu dikembangkan dan dicari kembali lembaga-
lembaga/panti rehabilitasi ODGJ yang belum
teridentifikasi pemerintah untuk bisa dilakukan
kerjasama.
- Perlu dijalin kerjsama dengan pihak swasta untuk
memberikan bisa membantu panti/yayasan rehabilitasi
ODGJ dengan bantuan dan CSR (corporate social
responsiblity)
rehabilitasi
- Lembaga Swasta
penyalur CSR
5 Perkasus an ODGJ sudah
menggangu ketertiban sosial dan
menjadi ancaman bencana bagi
- Pemerintah daerah perlu membat regulasi yang
komperhensif dalam mendesaiin penanganan ODGJ,
sehingga permsalahan ODGJ bisa diatasi secara tuntas
- Kepala Daerah
- Lembaga
Legislatif/DPRD
110
110
kehidupan warga , namun
penanganan masih belum maksimal
dilakukan pemerintah. Regulasi yang
ada di daerah baru sebatas SK
Gubernur tentang TPKJM, artinya
pemerintah daerah belum memiliki
regulasi yang mengatur penanganan
ODGJ secara menyeluruh, hal
ini menjadi kendala pemerintah
daerah dalam melakukan
kewenangan dalam berinovasi
melakukan penanganan ODGJ
dan masif.
- Perlu regulasi yang menagtur kewenangan yang leluasa
baik kepada ODGJ yang masih berada di lingkungan
keluarga ODGJ dan ODGJ yang keberadaanya sudah
terlantar.
- Regulasi harus mengatur penanganan dari muali
keterlibatan pemerintah (OPD terkait, RSU/RSJ, dan
puskesmas), perguruan tinggi, warga (lembaga
swadaya warga /yayasan/panti), dan lembaga swasta
yang menyalurkan CSR.
- Regulasi juga perlu mengatur lembaga pendampingan
yang akan menangani ODGJ.
- warga
- Swasta
6 Kendala kecukupan anggaran dalam
penanganan ODGJ oleh pemerintah
daerah baik pada OPD Dinsos
maupun Dinkes belum diprioritaskan
dalam pos rencana penganggaran
daerah, karena hal ini belum
dianggap prioritas. Sehingga kondisi
- Perlu penguatan dan dorongan kepada Perencana
Anggaran Pemerintah Daerah untuk memberikan pos
anggaran yang cukup dalam penanganan ODGJ secara
tuntas.
- Dibutuhakn peningkatan kualitas perencanaan anggaran
penanganan ODGJ terutama penyediaan logistik
pengobatan sehingga kejadian kekurangan obat untuk
- Kepala Daerah
- Lembaga
Legislatif/DPRD
- Dinkes Provinsi
- Dinkes Provinsi
ini menghambat kinerja
pemerintah daerah dalam
penanganan ODGJ di Provinsi
Banten
ODGJ tidak terjadi
- Penguatan program pelayanan kesehatan jiwa dengan
pola rujukan dua arah untuk mendekatkan jangkauan
layanan kesehatan jiwa yang murah dan efektif.
7 Koordinasi lintas OPD dalam
menangani ODGJ masih bersifat
sendiri-sendiri, belum terintegrasi
dengan baik. Terjadi saling lempar
kewenangan antara Dinkes dengan
Dinsos dalam dalam penanganan
ODGJ di lapangan, khusunya yang
terlantar
- Perlu penguatan dan penegasan regulasi yang mengatur
kewenangan OPD dalam menanganai ODGJ
- Dibutuhkan koordinasi yang intens agar ada solusi
penanganan dari semua pihak, karena permsalahan ODGJ
harus ditangani oleh semua OPD yang terkait dan
keaktifan stakeholders untuk mau mengatasinya.
- Perlu pemberdayaan mantan ODGJ agar tidak kembali
menjadi ODGJ, sehinga perlu penguatan dan kerjasama
dengan semua pihak baik lintas ODGJ maupun
stakeholders lainnya khusunya dalam penguatan
keberdayaan ekonomi.
- Dinkes Provinsi
- Dinkes Kab/Kota
- RSU/RSJ
- Puskesmas
- Dinsos Provinsi
- Dinsos Kab/Kota
- OPD tekait
- LSM/yayasan/panti
rehabilitasi
- Lembaga Swasta
penyalur CSR
- Lembaga Swasta
.jpeg)
.jpeg)






