terapi Hiv 1

 





Dengan makin berkembangnya teknologi dan ilmu pengetahuan, makin 

kompleksnya masalah pengobatan ARV, serta komplikasi dan efek samping 

obat pada ODHA, maka diperlukan Pedoman ARV yang terus menerus 

disesuaikan dengan perkembangan tersebut, termasuk terapi ARV lini ke-2. 

Buku pedoman  dirumuskan kembali oleh tim perumus yang didukung oleh 

panel ahli yang dipimpin oleh Kementerian Kesehatan dengan mengadaptasi 

Pedoman WHO tahun 2010: Antiretroviral Therapy For HIV Infection In Adults 

And Adolescents In Resource-Limited Settings: Towards Universal Access 

Recommendations For A Public Health Approach dan juga mengacu pada 

buku Management of HIV Infection and Antiretroviral Therapy in Adults and 

Adolescents, A Clinical Manual, yang diterbitkan oleh WHO SEARO 2007. 

Buku Pedoman Nasional Terapi Antiretroviral edisi tahun 2011 merupakan 

pemutakhiran buku Pedoman Nasional Penggunaan Terapi Antiretroviral yang 

diterbitkan pada tahun 2007 dengan menambahkan tentang pedoman 

tatalaksana infeksi oportunistik dengan pendekatan sindrom. 

Buku pedoman tatalaksana ini disusun oleh Panel Ahli yang terdiri dari 

para klinisi dan ahli (akademisi maupun non-akademisi) yang cukup 

mempunyai wawasan luas dan pengalaman memberikan layanan rawatan HIV 

dan AIDS dan pengobatan antiretroviral dan berasal dari berbagai institusi 

pendidikan, rumah sakit dan lembaga swadaya masyarakat di Indonesia. 

Anggota panel ahli tersebut ditunjuk oleh Sub Direktorat AIDS, Direktorat 

Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan, Kementerian 

Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman Nasional Terapi Antiretroviral akan 

terus diperbaharui secara periodik dengan mengacu pada perkembangan bukti 

ilmiah yang diakui secara internasional dan diharapkan dapat digunakan oleh 

para klinisi dan pengambil kebijakan di berbagai tingkat fasilitas pelayanan 

kesehatan. 

Pedoman Nasional Terapi Antiretroviral edisi tahun 2011 ini memuat 

rekomendasi tentang terapi dan pemantauan terapi ARV yang dimaksudkan 

sebagai satu komponen perawatan paripurna  berkesinambungan di Indonesia, 

antara lain pencegahan  dan pengobatan infeksi oportunistik yang meliputi 

informasi tentang saat untuk memulai terapi ARV (when to start), cara memilih 

obat (what to start), pemantauan dan kepatuhan terapi, penggantian  paduan 

obat (substitute) bila ada efek samping atau toksisitas, penggantian paduan 

(switch) bila harus ganti ke lini berikutnya dan tentang pemantauan terapi untuk 

jangka panjang.    


 DAFTAR SINGKATAN DAN ISTILAH 

 

ABC Abacavir 

AIDS  acquired immune deficiency syndrome (kumpulan gejala penyakit 

akibat penurunan daya tahan tubuh yang didapat) 

ALT  alanine aminotransferase (= SGPT) 

ARV  obat antiretroviral 

AST aspartate aminotransferase (=SGOT)  

ATV  Atazanavir 

AZT zidovudine yang sering disingkat pula sebagai ZDV 

BB Berat badan 

CD4  limfosit-T CD4+ 

CRO Cairan rehidrasi oral – oralit 

d4T  Stavudine 

ddI  Didanosine 

EFV  Efavirenz 

ENF (T-20)  Enfuvirtide 

Fasyankes Fasilitas Layanan Kesehatan 

FDC  Fixed-dose combination (kombinasi beberapa obat dalam satu 

pil) 

FNA Fine Needle Aspiration = Aspirasi dengan Jarum Halus 

FTC  Emtricitabine 

GI  gastrointestinal (saluran cerna) 

HAART  highly active antiretroviral therapy (terapi ARV) 

HBV Hepatitis B virus 

HCV Hepatitis C virus 

HIV  human immunodeficiency virus = virus penyebab AIDS 

HLA Human Leukocyte Antigen 

IC Infection Control 

ICF Intensive case finding 

IDU  Injecting drug user (pengguna NAPZA suntik) 

IDV  Indinavir 

IMS Infeksi menular(secara) seksual 

IPT Isoniazid preventive treatment 

 vii 

IRIS Immune reconstitution inflamatory syndrome (Sindrom Pulih 

Imun) 

Kepatuhan merupakan terjemahan dari adherence, yaitu kepatuhan dan 

kesinambungan berobat yang lebih menekankan pada peran dan 

kesadaran pasien (bukan hanya mengikuti perintah dokter), 

dengan dibantu dokter atau petugas kesehatan, pendamping dan 

ketersediaan obat 

KTIP Konseling dan Tes atas Inisiasi Petugas (PITC) 

KTS Konseling dan Tes Sukarela (VCT) 

LPV  Lopinavir 

LSL Lelaki Seks dengan Lelaki 

LSM Lembaga swadaya masyarakat 

MTCT  mother-to-child transmission (of HIV); penularan HIV dari ibu ke 

anak 

NAPZA narkotik, alkohol, psikotropik dan zat adiktif lain 

NFV  Nelfinavir 

NNRTI  non-nucleoside reverse transcriptase inhibitor 

NsRTI  nucleoside analogue reverse transcriptase inhibitor 

NtRTI  nucleotide analogue reverse transcriptase inhibitor 

NVP  Nevirapine 

OAT obat anti tuberkulosis 

ODHA orang dengan HIV dan AIDS 

PCR  polymerase chain reaction (reaksi rantai polimerasi) 

PDP Perawatan, Dukungan dan Pengobatan (=CST – Care Support 

and Treatment ) 

Penasun Pengguna NAPZA Suntik (IDU = Injecting Drug User) 

PI  Protease inhibitor 

PITC Provider-initiated Testing and Counseling (Konseling dan Tes 

atas Inisiasi Petugas Kesehatan-KTIP) 

PMO Pengawas Minum Obat, yaitu seseorang yang membantu 

pengawasan minum obat ODHA agar menurunkan kejadian 

resistensi   

PMTCT prevention of mother-to-child transmission = pencegahan 

penularan dari ibu ke anak (PPIA) 

PPP profilaksis pascapajanan = post exposure prophylaxis 

PSK Pekerja Seks Komersial 

RL Ringer‟s Lactate Solution 

RT  Reverse transcriptase 

 viii 

RTI  Reverse transcriptase inhibitor 

RTV-PI  ritonavir-boosted protease inhibitor (PI yang diperkuat dengan 

ritonavir) 

SGOT serum glutamic oxaloacetic transaminase (=AST) 

SGPT serum glutamic pyruvate transaminase (=ALT) 

SMX Sulfametoksasol 

SQV  Saquinavir 

SSP sistem saraf pusat 

TB  Tuberkulosis 

TB EP Tuberkulosis ekstraparu 

TDF  tenofovir disoproxil fumarate 

terapi ARV Antiretroviral Therapy yang biasanya disingkat sebagai ART  

TLC  Total lymphocyte count (jumlah limfosit total) 

TMP Trimetoprim 

ULN Upper-limit Normal (Nilai normal tertinggi) 

UNAIDS  Joint United Nations Programme on HIV/ AIDS 

VCT voluntary counseling and testing (tes HIV secara sukarela disertai 

dengan konseling) 

WHO  World Health Organization 

ZDV  zidovudine (juga dikenal sebagai AZT) 

 

 

 

RINGKASAN PEDOMAN  

Pemberian 

Kotrimoksasol 

Diberikan pada semua pasien  dengan stadium klinis 2, 3 dan 4 

atau jumlah CD4 < 200 sel/mm3 

Berikan dua minggu sebelum mulai terapi ARV untuk  memastikan 

tidak ada efek samping yang tumpang tindih antara Kotrimoksasol 

dan obat ARV 

Saat Memulai 

terapi ARV 

ODHA dengan CD4 < 350 sel/mm3, terlepas ada tidaknya gejala 

klinis.  

 ODHA dengan gejala klinis yang berat (Stadium klinis 3 atau 4) 

berapapun jumlah CD4nya. 

Jenis obat 

ARV Lini 

Pertama 

Terapi Lini Pertama harus berisi 2 NRTI + 1NNRTI , dengan 

pilihan: 

AZT + 3TC + NVP 

AZT + 3TC + EFV 

TDF + 3TC  (atau FTC) + NVP 

TDF + 3TC (atau FTC) + EFV 

Pemerintah akan mengurangi penggunaan (phasing out) Stavudin 

(d4T) sebagai paduan lini pertama karena pertimbangan 

toksisitasnya  

Jenis obat 

ARV Lini 

Kedua 

Terapi lini kedua harus memakai Protease Inhibitor (PI) yang 

diperkuat oleh Ritonavir (ritonavir-boosted) ditambah 2 NRTI, 

dengan pemilihan Zidovudine (AZT) atau Tenofovir (TDF) 

tergantung dari apa yang digunakan pada lini pertama dan 3TC.  

PI yang ada di Indonesia dan dianjurkan digunakan adalah 

Lopinavir/ritonavir (LPV/r)  

Pemantauan 

Laboratoris 

ODHA perlu mempunyai akses pemeriksaan CD4 untuk rawatan 

pra-terapi ARV dan manajemen terapi ARV yang lebih optimum. 

Pemeriksaan HIV RNA (viral load) dianjurkan untuk memastikan 

kemungkinan gagal terapi. 

Pemantauan toksisitas obat  berdasarkan gejala dan hasil 

laboratorium 

Koinfeksi 

HIV/TB 

Berapapun jumlah CD4nya, pasien dengan koinfeksi HIV dan TB 

harus memulai terapi ARV sesegera setelah terapi OAT dapat 

ditoleransi dan keadaan stabil (2 - 8 minggu setelah mulai OAT)  

Koinfeksi 

HIV/HBV 

Berapapun jumlah CD4nya atau stadium klinisnya, ODHA yang 

memerlukan terapi untuk infeksi HBV perlu memulai terapi ARV.  

Paduan  ARV untuk keadaan ini menggunakan Tenofovir (TDF) 

dan Lamivudine (3TC) atau Emtricitabine (FTC)  

Ibu Hamil Mulai terapi ARV pada semua ibu hamil terinfeksi HIV, apapun 

stadium klinisnya atau berapapun jumlah CD4. 

Hindari penggunaan Efavirenz (EFV) selama trimester I 

kehamilan. 

 x 

Perbedaan Antara Pedoman Nasional Terapi ARV Tahun 2007 dan 2011  

Populasi Target 

Pedoman terapi ARV 

2007 

Pedoman terapi ARV 

2011 

INDIKASI MULAI TERAPI ARV 

Odha tanpa gejala klinis 

(stadium klinis 1) dan 

belum pernah mendapat 

terapi ARV (ARV-naïve) 

CD4 < 200 sel/mm3  • CD4 < 350 sel/mm3 

Odha dengan gejala klinis 

dan belum pernah 

mendapat terapi ARV 

(ARV-naïve) 

• Semua pasien CD4 < 

200 sel/mm3  

• Stadium klinis 3 atau 4, 

berapapun jumlah CD 4  

• Stadium klinis 2 bila CD4 

< 350 sel/mm3 

Atau 

• Stadium klinis 3 atau 4, 

berapapun jumlah CD4 

Perempuan hamil dengan 

HIV  

• Stadium klinis 1 atau 2 

dan CD4 < 200 sel/mm3 

• Stadium klinis 3 dan 

CD4 < 350 sel/mm3 

• Stadium klinis 4 

berapapun jumlah CD4  

• Semua ibu hamil 

berapapun jumlah CD4 

atau apapun stadium 

klinis  

Odha dengan Koinfeksi TB 

yang belum pernah 

mendapat terapi ARV  

• Adanya gejala TB aktif 

dan CD4 < 350 sel/mm3 

• Mulai terapi berapapun 

jumlah CD4  

Odha dengan Koinfeksi 

Hepatitis B (HBV) yang 

belum pernah mendapat 

terapi ARV  

• Tidak ada rekomendasi 

khusus 

• Odha dengan koinfeksi 

Hepatitis B (kronis aktif), 

berapapun jumlah CD4. 

PADUAN TERAPI ARV 

Odha yang belum pernah 

mendapat terapi ARV 

(ARV-naïve) 

• AZT atau d4T + 3TC 

(atau FTC) + EFV atau 

NVP 

• Menggunakan TDF 

sebagai lini pertama 

• Perlunya memulai 

phase-out d4T dan 

memulai terapi dengan 

AZT atau TDF, 

mengingat efek samping 

Perempuan hamil HIV + • AZT + 3TC + NVP 

• AZT atau TDF sebagai 

lini pertama  

Koinfeksi TB-HIV 

• AZT atau d4T + 3TC 

(atau FTC) + EFV 

• TDF menggantikan d4T 

sebagai lini pertama 

 

Koinfeksi HIV-Hepatitis B 

(kronis aktif) 

• TDF + 3TC (atau FTC) + 

EFV 

• Diperlukan paduan NRTI 

yang berisi TDF + 3TC 

(atau FTC) 

Tatalaksana Klinis Infeksi HIV dan Terapi Antiretroviral pada orang Dewasa 

 

 1 

1 PENDAHULUAN 

A. Situasi Epidemi dan Program Penanggulangan 

HIV/AIDS di Indonesia 

Penemuan obat antiretroviral (ARV) pada tahun 1996 mendorong 

suatu revolusi dalam perawatan ODHA di negara maju. Meskipun belum 

mampu menyembuhkan penyakit dan menambah tantangan dalam hal 

efek samping serta resistensi kronis terhadap obat, namun secara 

dramatis terapi ARV menurunkan angka kematian dan kesakitan, 

meningkatkan kualitas hidup ODHA, dan meningkatkan harapan 

masyarakat, sehingga pada saat ini HIV dan AIDS telah diterima sebagai 

penyakit yang dapat dikendalikan dan tidak lagi dianggap sebagai 

penyakit yang menakutkan.  

Di Indonesia, sejak tahun 1999 telah terjadi peningkatan jumlah 

ODHA pada kelompok orang berperilaku risiko tinggi tertular HIV yaitu 

para penjaja seks komersial dan penyalah-guna NAPZA suntikan di 

beberapa provinsi seperti DKI Jakarta, Riau, Bali, Jawa Barat dan Jawa 

Timur sehingga provinsi tersebut tergolong sebagai daerah dengan 

tingkat epidemi terkonsentrasi (concentrated level of epidemic). Tanah 

Papua sudah memasuki tingkat epidemi meluas (generalized epidemic). 

Hasil estimasi tahun 2009, di Indonesia terdapat 186.000 orang dengan 

HIV positif.  

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia telah menetapkan 

sebanyak 278 rumah sakit rujukan Odha (Surat Keputusan Menteri 

Kesehatan Republik Indonesia Nomor 780/MENKES/SK/IV/2011 tentang 

Penetapan Lanjutan Rumah Sakit Rujukan Bagi Orang dengan HIV (lihat 

Lampiran 1)) yang tersebar di hampir semua provinsi di Indonesia.  

 Dari Laporan Situasi Perkembangan HIV & AIDS di Indonesia 

sampai dengan September 2011 tercatat jumlah Odha yang 

mendapatkan terapi ARV sebanyak 22.843 dari 33 provinsi dan 300 

kab/kota, dengan rasio laki-laki dan perempuan 3 : 1, dan persentase 

tertinggi pada kelompok usia 20-29 tahun.  

Program penanggulangan AIDS di Indonesia mempunyai 4 pilar, 

yang semuanya menuju pada paradigma Zero new infection, Zero 

AIDS-related death dan Zero Discrimination.  

Empat pilar tersebut adalah: 

1. Pencegahan (prevention); yang meliputi pencegahan penularan HIV 

melalui transmisi seksual dan alat suntik, pencegahan di lembaga 

pemasyarakatan dan rumah tahanan, pencegahan HIV dari ibu ke 

Tatalaksana Klinis Infeksi HIV dan Terapi Antiretroviral pada orang Dewasa 

 

 2 

bayi (Prevention Mother to Child Transmission, PMTCT), pencegahan 

di kalangan pelanggan penjaja seks, dan lain-lain. 

2. Perawatan, dukungan dan pengobatan (PDP); yang meliputi 

penguatan dan pengembangan layanan kesehatan, pencegahan dan 

pengobatan infeksi oportunistik, pengobatan antiretroviral dan 

dukungan serta pendidikan dan pelatihan bagi ODHA. Program PDP 

terutama ditujukan untuk menurunkan angka kesakitan dan rawat 

inap, angka kematian yang berhubungan dengan AIDS, dan 

meningkatkan kualitas hidup orang terinfeksi HIV (berbagai stadium). 

Pencapaian tujuan tersebut dapat dilakukan antara lain dengan 

pemberian terapi antiretroviral (ARV).  

3. Mitigasi dampak berupa dukungan psikososio-ekonomi.  

4. Penciptaan lingkungan yang kondusif (creating enabling environment) 

yang meliputi program peningkatan lingkungan yang kondusif adalah 

dengan penguatan kelembagaan dan manajemen, manajemen 

program serta penyelarasan kebijakan dan lain-lain. 

B. Tujuan Pedoman  

1. Menyediakan pedoman nasional terapi antiretroviral. 

2. Menyediakan pedoman layanan HIV sebagai bagian dari rawatan 

HIV secara paripurna. 

C. Sasaran Pengguna Pedoman  

1. Para klinisi di fasilitas layanan kesehatan (Fasyankes) yang 

memberikan layanan tatalaksana HIV dan Terapi Antiretroviral.  

2. Para pengelola program pengendalian HIV/AIDS di tingkat 

nasional, provinsi, dan kabupaten/kota dan perencana kesehatan 

lain yang terlibat dalam program perawatan dan pengobatan HIV 

sebagai rujukan untuk perencanaan program. 

3. Badan dan organisasi yang bekerja sama dengan pemerintah 

yang memberikan layanan tatalaksana HIV dan Terapi 

Antiretroviral. 

Pedoman Nasional ini akan terus diperbaharui secara periodik 

dengan mengacu pada perkembangan bukti ilmiah dan dinamika 

ketersediaan layanan kesehatan di Indonesia. yang diakui secara 

internasional. 

Pedoman Nasional Terapi Antiretroviral edisi tahun 2011 ini  berisi 

tatalaksana  klinis infeksi HIV dan terapi antiretroviral untuk orang dewasa 

yang meliputi kegiatan layanan mulai dari tes HIV, pencegahan dan 

pengobatan infeksi oportunistik hingga persiapan terapi ARV. Sedangkan 

bagian terapi ARV memuat informasi tentang saat untuk memulai terapi 

ARV (when to start), cara memilih obat (what to start), pemantauan dan 

kepatuhan terapi, penggantian paduan obat (substitute) bila ada efek 

samping atau toksisitas, dan penggantian paduan (switch) bila harus ganti 

ke lini berikutnya, pemantauan terapi untuk jangka panjang 

Tatalaksana Klinis Infeksi HIV dan Terapi Antiretroviral pada orang Dewasa 

 

 3 

2 KOMPONEN LAYANAN HIV  

A. Kegiatan layanan HIV di Fasilitas Layanan Kesehatan 

Layanan terkait HIV meliputi upaya dalam menemukan pasien HIV 

secara dini dengan melakukan tes dan konseling HIV pada pasien yang 

datang ke fasyankes, perawatan kronis bagi Odha dan dukungan lain 

dengan sistem rujukan ke berbagai fasilitas layanan lain yang dibutuhkan 

Odha. Layanan perlu dilakukan secara terintegrasi, paripurna, dan 

berkesinambungan. Infeksi HIV merupakan infeksi kronis dengan 

berbagai macam infeksi oportunistik yang memiliki dampak sosial terkait 

stigma dan diskriminasi serta melibatkan berbagai unsur dengan 

pendekatan tim. 

Setiap daerah diharapkan menyediakan semua komponen layanan 

HIV yang terdiri dari : 

1. Informed consent untuk tes HIV seperti tindakan medis lainnya. 

2. Mencatat semua kegiatan layanan dalam formulir yang sudah 

ditentukan (Lampiran 2) 

3. Anamnesis dan pemeriksaan fisik lengkap oleh dokter.  

4. Skrining TB dan infeksi oportunistik.(lampiran 3) 

5. Konseling bagi Odha perempuan usia subur tentang KB dan 

kesehatan reproduksi termasuk rencana untuk mempunyai anak. 

6. Pemberian obat kotrimoksasol sebagai pengobatan pencegahan 

infeksi oportunistik. 

7. Pemberian ARV untuk Odha yang telah memenuhi syarat. 

8. Pemberian ARV profilaksis pada bayi segera setelah dilahirkan 

oleh ibu hamil dengan HIV. 

9. Pemberian imunisasi dan pengobatan pencegahan kotrimoksasol 

pada bayi yang lahir dari ibu dengan HIV positif. 

10. Anjuran rutin tes HIV, malaria, sifilis dan IMS lainnya pada 

perawatan antenatal (ANC).  

11. Konseling untuk memulai terapi. 

12. Konseling tentang gizi, pencegahan penularan, narkotika dan 

konseling lainnya sesuai keperluan.  

13. Menganjurkan tes HIV pada pasien TB, infeksi menular seksual 

(IMS), dan kelompok risiko tinggi beserta pasangan seksualnya, 

sesuai dengan ketentuan yang berlaku. 

14. Pendampingan oleh lembaga non kesehatan sesuai dengan 

kebutuhan pasien 

Sesuai dengan unsur tersebut maka perlu terus diupayakan untuk 

meningkatkan akses pada perangkat pemantau kemajuan terapi, seperti 

pemeriksaan CD4 dan tes viral load. Komponen layanan tersebut harus 

disesuaikan dengan ketersediaan sumber daya setempat. Semakin dini 

Odha terjangkau di layanan kesehatan untuk akses ARV, maka semakin 

Tatalaksana Klinis Infeksi HIV dan Terapi Antiretroviral pada orang Dewasa 

 

 4 

kurang risiko untuk mendapatkan penyakit infeksi oportunistik maupun 

menularkan infeksi HIV.  

B. Konseling dan Tes HIV  

Terdapat dua macam pendekatan untuk tes HIV 

1) Konseling dan tes HIV sukarela (KTS-VCT = Voluntary 

Counseling & Testing) 

2) Tes HIV dan konseling atas inisiatif petugas kesehatan (KTIP – 

PITC = Provider-Initiated Testing and Counseling) 

KTIP merupakan kebijakan pemerintah untuk dilaksanakan di 

layanan kesehatan yang berarti semua petugas kesehatan harus 

menganjurkan tes HIV setidaknya pada ibu hamil, pasien TB, pasien yang 

menunjukkan gejala dan tanda klinis diduga terinfeksi HIV (lihat Tabel 1), 

pasien dari kelompok berisiko (penasun, PSK-pekerja seks komersial, 

LSL – lelaki seks dengan lelaki), pasien IMS dan seluruh pasangan 

seksualnya. Kegiatan memberikan anjuran dan pemeriksaan tes HIV 

perlu disesuaikan dengan prinsip bahwa pasien sudah mendapatkan 

informasi yang cukup dan menyetujui untuk tes HIV dan semua pihak 

menjaga kerahasiaan (prinsip 3C – counseling, consent, confidentiality) 

Tabel 1.  Gejala dan Tanda Klinis yang Patut Diduga Infeksi 

HIV 

Keadaan Umum 

 Kehilangan berat badan >10% dari berat badan dasar 

 Demam (terus menerus atau intermiten, temperatur oral >37,5oC) yang lebih 

dari satu bulan 

 Diare (terus menerus atau intermiten) yang lebih dari satu bulan 

 Limfadenopati meluas 

Kulit 

 PPE* dan kulit kering yang luas* merupakan dugaan kuat infeksi HIV. 

Beberapa kelainan seperti kutil genital (genital warts), folikulitis dan psoriasis 

sering terjadi pada ODHA tapi tidak selalu terkait dengan HIV 

Infeksi 

Infeksi jamur  Kandidiasis oral* 

 Dermatitis seboroik* 

 Kandidiasis vagina berulang 

Infeksi viral  Herpes zoster (berulang atau melibatkan lebih dari satu 

dermatom)* 

 Herpes genital (berulang) 

 Moluskum kontagiosum 

 Kondiloma  

Tatalaksana Klinis Infeksi HIV dan Terapi Antiretroviral pada orang Dewasa 

 

 5 

Gangguan 

pernafasan 

 Batuk lebih dari satu bulan 

 Sesak nafas 

 Tuberkulosis 

 Pneumonia berulang 

 Sinusitis kronis atau berulang 

Gejala neurologis  Nyeri kepala yang semakin parah (terus menerus dan 

tidak jelas penyebabnya) 

 Kejang demam 

 Menurunnya fungsi kognitif 

* Keadaan tersebut merupakan dugaan kuat terhadap infeksi HIV  

Sumber : WHO SEARO 2007 

 

C. Pemeriksaan Laboratorium Untuk Tes HIV  

Prosedur pemeriksaan laboratorium untuk HIV sesuai dengan 

panduan nasional yang berlaku pada saat ini, yaitu dengan menggunakan 

strategi 3 dan selalu didahului dengan konseling pra tes atau informasi 

singkat. Ketiga tes tersebut dapat menggunakan reagen tes cepat atau 

dengan ELISA. Untuk pemeriksaan pertama (A1) harus digunakan tes 

dengan sensitifitas yang tinggi (>99%), sedang untuk pemeriksaan 

selanjutnya (A2 dan A3) menggunakan tes dengan spesifisitas tinggi 

(>99%).  

Antibodi biasanya baru dapat terdeteksi dalam waktu 2 minggu 

hingga 3 bulan setelah terinfeksi HIV yang disebut masa jendela. Bila tes 

HIV yang dilakukan dalam masa jendela menunjukkan hasil ”negatif”, 

maka perlu dilakukan tes ulang, terutama bila masih terdapat perilaku 

yang berisiko. 

Tatalaksana Klinis Infeksi HIV dan Terapi Antiretroviral pada orang Dewasa 

 

 6 

Gambar  1. Bagan Alur Pemerikaan Laboratorium Infeksi HIV 

Dewasa 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Tabel 2. Interpretasi dan tindak lanjut hasil tes A1  

Hasil Interpretasi Tindak Lanjut 

A1 (-) 

atau  

A1 (-) A2 (-) A3 (-) 

Non-reaktif 

 Bila yakin tidak ada faktor risiko dan atau 

perilaku berisiko dilakukan LEBIH DARI tiga 

bulan sebelumnya maka pasien diberi konseling 

cara menjaga tetap negatif  

 Bila belum yakin ada tidaknya faktor risiko dan 

atau perilaku berisiko dilakukan DALAM tiga 

bulan terakhir maka dianjurkan untuk TES 

ULANG dalam 1 bulan    

A1 (+)  A2 (+)  A3 (-) 

Atau 

A1 (+) A2 (-) A3 (-) 

Indeterminate 

Ulang tes dalam 1 bulan  

Konseling cara menjaga agar tetap negatif ke 

depannya 

A1 (+) A2 (+) A3 (+) 

Reaktif atau 

Positif 

Lakukan konseling hasil tes positif dan rujuk untuk 

mendapatkan paket layanan PDP 

Ya  Ya  

Orang yang bersedia 

Menjalani tes HIV 

Tes Antibodi HIV 

A1  

Antibodi HIV  

Positif? 

Adakah 

manifestasi 

klinis? 

Antibodi HIV  

Positif pada 

kedua nya 

Antibodi HIV  

Positif? 

Tes Antibodi HIV 

A2  

Tes Antibodi HIV 

A3  

Ulangi Tes A1 dan 

A2  

A1 +, A2+, 

A3+? 

Diagnosis Pasti 

infeksi HIV  

Antibodi HIV  

Positif pada 

salah satu? 

A1 +, dan sala 

satu A2/ A3 

+? 

A1 +, A2+, 

A3+? 

A1 +, A2+, 

A3+? 

Indeterminate  

Anggap tidak 

ditemukan 

antibodi HIV  

Tidak  

Tidak  

Tidak  Ya  

Tidak  

Tidak  

Ya  Ya  

Ya  

Tidak  

Tidak  

Ya  

Tidak  

Ya  

Tatalaksana Klinis Infeksi HIV dan Terapi Antiretroviral pada orang Dewasa 

 

 7 

D. Pengobatan Pencegahan Kotrimoksasol (PPK)  

Beberapa infeksi oportunistik (utamanya PCP dan 

Toksoplasmosis) dapat dicegah dengan pemberian Kotrimoksasol. 

Keterangan dan panduan lebih lengkap dibahas di bab tersendiri. 

E. Infeksi Menular Seksual (IMS) 

Layanan pra-terapi ARV dan terapi ARV merupakan peluang untuk 

memberikan layanan IMS secara paripurna, yang meliputi diagnosis yang 

tepat berdasarkan gejala atau tes laboratorium, pemberian terapi efektif 

pada saat diagnosis, pemberitahuan dan pengobatan pasangan, 

pengurangan risiko perilaku dan penularan melalui edukasi, serta 

dilakukan konseling dan penyediaan kondom. Dianjurkan skrining 

laboratorium yang meliputi tes serologis untuk sifilis, terutama perempuan 

hamil dan tes HIV untuk semua pasien IMS. 

F. Aspek Pencegahan dalam Pengobatan (Treatment as 

Prevention) 

Pengobatan ARV terbukti mempunyai peran yang bermakna dalam 

pencegahan penularan HIV, karena obat ARV memiliki mekanisme kerja 

mencegah replikasi virus yang secara bertahap menurunkan jumlah virus 

dalam darah. Penurunan jumlah virus ini berhubungan dengan penurunan 

kadar virus dalam duh genital dengan catatan tidak terdapat IMS. 

Penelitian observasional menunjukkan penurunan penularan HIV pada 

pasangan serodiscordant (berbeda status  HIV-nya) yang mendapatkan 

pengobatan ARV. 

G. Positive Prevention 

Sangat penting untuk disadari bahwa penurunan jumlah virus 

akibat terapi ARV harus disertai dengan perubahan perilaku berisiko. 

Dengan demikian terapi ARV harus disertai dengan pencegahan lain 

seperti, penggunaan kondom, perilaku seks dan NAPZA yang aman, 

pengobatan IMS dengan paduan yang tepat. 

H. Kesiapan menerima terapi antiretroviral 

ODHA harus mendapatkan informasi yang lebih mengutamakan 

manfaat terapi ARV sebelum terapi dimulai. Bila informasi dan rawatan 

HIV dimulai lebih awal sebelum memerlukan terapi ARV maka pasien 

mempunyai kesempatan lebih panjang untuk mempersiapkan diri demi 

keberhasilan terapi ARV jangka panjang, melalui konseling pra-terapi 

ARV yang meliputi cara dan ketepatan minum obat, efek samping yang 

mungkin terjadi, interaksi dengan obat lain, pemantauan keadaan klinis 

dan pemantauan pemeriksaan laboratorium secara berkala termasuk 

pemeriksaan jumlah CD4.  

Tatalaksana Klinis Infeksi HIV dan Terapi Antiretroviral pada orang Dewasa 

 

 8 

Gambar  2. Bagan alur layanan HIV 

 

 

Odha ada  kendala 

kepatuhan 

(adherence) 

Odha  

Langkah tatalaksana terdiri dari :  

 Pemeriksaan fisik lengkap dan lab untuk 

mengidentifikasi IO 

 Penentuan stadium klinis 

 Skrining TB (dengan format skrining TB) 

 Skrining IMS, sifilis, dan malaria untuk 

BUMIL 

 Pemeriksaan CD4 (bila tersedia) untuk 

menentukan PPK dan ART 

 Pemberian PPK bila tidak tersedia tes 

CD4 

 Identifikasi solusi terkait adherence 

 Konseling positive prevention 

 Konseling KB (jika rencana punyaanak) 

  

memenuhi syarat 

ARV 

belum memenuhi syarat 

ARV 

Tidak ada IO Ada IO 

MULAI 

TERAPI ARV 

Obati IO 2 minggu 

selanjutnya  MULAI ARV 

Cari solusi 

terkait 

kepatuhan 

secara tim 

hingga Odha 

dapat patuh dan 

mendapat akses 

Terapi ARV 

 Berikan rencana 

pengobatan dan 

pemberian  Terapi 

ARV 

 Vaksinasi bila pasien 

mampu 

 MULAI ARV jika 

Odha sudah 

memenuhi syarat 

Terapi ARV 

 

Tatalaksana Klinis Infeksi HIV dan Terapi Antiretroviral pada orang Dewasa 

 

 9 

3 PEMERIKSAAN DAN 

TATALAKSANA SETELAH 

DIAGNOSIS HIV DITEGAKKAN  

Setelah dinyatakan terinfeksi HIV maka pasien perlu dirujuk ke 

layanan PDP untuk menjalankan serangkaian layanan yang meliputi 

penilaian stadium klinis, penilaian imunologis dan penilaian virologi. Hal 

tersebut dilakukan untuk: 1) menentukan apakah pasien sudah memenuhi 

syarat untuk terapi antiretroviral; 2) menilai status supresi imun pasien; 3) 

menentukan infeksi oportunistik yang pernah dan sedang terjadi; dan 4) 

menentukan paduan obat ARV yang sesuai.  

A. Penilaian Stadium Klinis 

Stadium klinis harus dinilai pada saat kunjungan awal dan setiap 

kali kunjungan untuk penentuan terapi ARV dengan lebih tepat waktu. 

Stadium klinis dapat dilihat pada Lampiran 4. 

B. Penilaian Imunologi (Pemeriksaan jumlah CD4) 

Jumlah CD4 adalah cara untuk menilai status imunitas ODHA. 

Pemeriksaan CD4 melengkapi pemeriksaan klinis untuk menentukan 

pasien yang memerlukan pengobatan profilaksis IO dan terapi ARV. Rata 

rata penurunan CD4 adalah sekitar 70-100 sel/mm3/tahun, dengan 

peningkatan setelah pemberian ARV antara 50 – 100 sel/mm3/tahun. 

Jumlah limfosit total (TLC) tidak dapat menggantikan pemeriksaan CD4. 

C. Pemeriksaan laboratorium sebelum memulai terapi 

Pada dasarnya pemantauan laboratorium bukan merupakan 

persyaratan mutlak untuk menginisiasi terapi ARV. Pemeriksaan CD4 dan 

viral load juga bukan kebutuhan mutlak dalam pemantauan pasien yang 

mendapat terapi ARV, namun pemantauan laboratorium atas indikasi 

gejala yang ada sangat dianjurkan untuk memantau keamanan dan 

toksisitas pada ODHA yang menerima terapi ARV. Hanya apabila 

sumberdaya memungkinkan maka dianjurkan melakukan pemeriksaan 

viral load pada pasien tertentu untuk mengkonfirmasi adanya gagal terapi 

menurut kriteria klinis dan imunologis.  

Tatalaksana Klinis Infeksi HIV dan Terapi Antiretroviral pada orang Dewasa 

 

 10 

Di bawah ini adalah pemeriksaan laboratorium yang ideal sebelum 

memulai ART apabila sumber daya memungkinkan: 

 Darah lengkap* 

 Jumlah CD4* 

 SGOT / SGPT* 

 Kreatinin Serum* 

 Urinalisa* 

 HbsAg* 

 Anti-HCV (untuk ODHA IDU 

atau dengan riwayat IDU) 

 Profil lipid serum 

 Gula darah  

 VDRL/TPHA/PRP 

 Ronsen dada (utamanya bila 

curiga ada infeksi paru) 

 Tes Kehamilan (perempuan 

usia reprodukstif dan 

perluanamnesis mens terakhir) 

 PAP smear / IFA-IMS untuk 

menyingkirkan adanya Ca 

Cervix yang pada ODHA bisa 

bersifat progresif) 

 Jumlah virus / Viral Load RNA 

HIV** dalam plasma (bila 

tersedia dan bila pasien 

mampu) 

 

 

Catatan: 

* adalah pemeriksaan yang minimal perlu dilakukan sebelum terapi 

ARV karena berkaitan dengan pemilihan obat ARV. Tentu saja hal ini 

perlu mengingat ketersediaan sarana dan indikasi lainnya. 

** pemeriksaan jumlah virus memang bukan merupakan anjuran untuk 

dilakukan sebagai pemeriksaan awal tetapi akan sangat berguna (bila 

pasien punya data) utamanya untuk memantau perkembangan dan 

menentukan suatu keadaan gagal terapi. 

D. Persyaratan lain sebelum memulai terapi ARV 

Sebelum mendapat terapi ARV pasien harus dipersiapkan secara 

matang dengan konseling kepatuhan karena terapi ARV akan 

berlangsung seumur hidupnya. 

Untuk ODHA yang akan memulai terapi ARV dalam keadaan 

jumlah CD4 di bawah 200 sel/mm3 maka dianjurkan untuk memberikan 

Kotrimoksasol (1x960mg sebagai pencegahan IO) 2 minggu sebelum 

terapi ARV. Hal ini dimaksudkan untuk: 1. Mengkaji kepatuhan pasien 

untuk minum obat,dan 2. Menyingkirkan kemungkinan efek samping 

tumpang tindih antara kotrimoksasol dan obat ARV, mengingat bahwa 

banyak obat ARV mempunyai efek samping yang sama dengan efek 

samping kotrimoksasol. 

E. Pengobatan Pencegahan Kotrimoksasol (PPK)  

Beberapa infeksi oportunistik (IO) pada ODHA dapat dicegah 

dengan pemberian pengobatan profilaksis. Terdapat dua macam 

Tatalaksana Klinis Infeksi HIV dan Terapi Antiretroviral pada orang Dewasa 

 

 11 

pengobatan pencegahan, yaitu profilaksis primer dan profilaksis 

sekunder. 

 Profilaksis primer adalah pemberian pengobatan pencegahan 

untuk mencegah suatu infeksi yang belum pernah diderita. 

 Profilaksis sekunder adalah pemberian pengobatan pencegahan 

yang ditujukan untuk mencegah berulangnya suatu infeksi yang 

pernah diderita sebelumnya 

Berbagai penelitian telah membuktikan efektifitas pengobatan 

pencegahan kotrimoksasol dalam menurunkan angka kematian dan 

kesakitan pada orang yang terinfeksi HIV. Hal tersebut dikaitkan dengan 

penurunan insidensi infeksi bakterial, parasit (Toxoplasma) dan 

Pneumocystis carinii pneumonia (sekarang disebut P. jiroveci, disingkat 

sebagai PCP). Pemberian kotrimoksasol untuk mencegah (secara primer 

maupun sekunder) terjadinya PCP dan Toxoplasmosis disebut sebagai 

Pengobatan Pencegahan Kotrimoksasol (PPK) 

PPK dianjurkan bagi: 

 ODHA yang bergejala (stadium klinis 2, 3, atau 4) termasuk 

perempuan hamil dan menyusui. Walaupun secara teori kotrimoksasol 

dapat menimbulkan kelainan kongenital, tetapi karena risiko yang 

mengancam jiwa pada ibu hamil dengan jumlah CD4 yang rendah 

(<200) atau gejala klinis supresi imun (stadium klinis 2, 3 atau 4), 

maka perempuan yang memerlukan kotrimoksasol dan kemudian 

hamil harus melanjutkan profilaksis kotrimoksasol. 

 ODHA dengan jumlah CD4 di bawah 200 sel/mm3 (apabila tersedia 

pemeriksaan dan hasil CD4). 

Tatalaksana Klinis Infeksi HIV dan Terapi Antiretroviral pada orang Dewasa 

 

 12 

Tabel 3. Pemberian kotrimoksasol sebagai profilaksis 

primer.  

Indikasi Saat penghentian Dosis Pemantauan 

Bila tidak tersedia 

pemeriksaan jumlah sel 

CD4, semua pasien 

diberikan kotrimoksasol 

segera setelah 

dinyatakan HIV positif 

2 tahun setelah 

penggunaan 

kotrimoksasol jika 

mendapatkan ARV. 

 

960 mg/ hari 

dosis tunggal 

Efek samping 

berupa tanda 

hipersensitivitas 

seperti demam, 

rash, sindrom 

Steven Johnson,  

tanda penekanan 

sumsum tulang 

seperti anemi, 

trombositopeni, 

lekopeni, 

pansitopeni 

Interaksi obat 

dengan ARV dan 

obat lain yang 

digunakan dalam 

pengobatan 

penyakit terkait 

HIV. 

Bila tersedia 

pemeriksaan jumlah sel 

CD4 dan terjangkau, 

kotrimoksasol diberikan 

pada pasien dengan 

jumlah CD4 <200 

sel/mm

3

 

Bila sel CD4 naik >200 

sel/mm

3

 pada 

pemeriksaan dua kali 

interval 6 bulan berturut-

turut jika mendapatkan 

ARV 

Semua bayi lahir dari ibu 

hamil HIV positif berusia 

6 minggu 

Dihentikan pada usia 18 

bulan dengan hasil test 

HIV negatif 

Jika test HIV positif 

dihentikan pada usia 18 

bulan jika mendapatkan 

terapi ARV 

 

Trimetropim 8 

– 10 mg/kg 

BB dosis 

tunggal 

 

Kotrimoksasol untuk pencegahan sekunder diberikan setelah terapi 

PCP atau Toxoplasmosis selesai dan diberikan selama 1 tahun. 

ODHA yang akan memulai terapi ARV dengan CD4 di bawah 200 sel/mm3;  

dianjurkan untuk memberikan kotrimoksasol 2 minggu sebelum ARV. Hal 

tersebut berguna untuk 1) mengkaji kepatuhan pasien dalam minum obat 

dan 2) menyingkirkan efek samping yang tumpang tindih antara 

kotrimoksasol dengan obat ARV, mengingat bahwa banyak obat ARV 

mempunyai efek samping yang sama dengan efek samping kotrimoksasol. 

1. Desensitisasi Kotrimoksasol  

Dalam keadaan terjadi reaksi hipersensitivitas terhadap 

Kotrimoksasol dan kemudian akan memulai lagi maka perlu dilakukan 

desensitisasi obat. Angka keberhasilan desensitisasi kotrimoksasol cukup 

tinggi yaitu 70% dari ODHA yang pernah mengalami reaksi alergi yang 

ringan hingga sedang. 

Desensitisasi jangan dicobakan pada ODHA dengan riwayat 

mengalami reaksi alergi yang berat (derajat hipersensitivitas 3 atau 4), 

berarti ODHA tidak memperoleh terapi profilaksis. Untuk itu perlu 

pengawasan ketat sebelum timbul infeksi oportunistik terkait dan mulai 

pemberian ARV untuk mencegah pasien masuk dalam fase lanjut. 

Tatalaksana Klinis Infeksi HIV dan Terapi Antiretroviral pada orang Dewasa 

 

 13 

Tabel 4. Protokol desensitisasi kotrimoksasol 

Langkah Dosis 

Hari 1 80 mg SMX + 16 mg TMP (2 ml sirup) 

Hari 2 160 mg SMX + 32 mg TMP (4 ml sirup) 

Hari 3 240 mg SMX + 48 mg TMP (6 ml sirup) 

Hari 4 320 mg SMX + 64 mg TMP (8 ml sirup) 

Hari 5 1 tablet dewasa SMX - TMP (400 mg SMX + 80 mg 

TMP) 

Hari 6 2 tablet dewasa SMX - TMP atau 1 tablet forte (800 

mg SMX + 160 mg TMP  

Keterangan: 

Setiap 5 ml sirup Kotrimoksasol mengandung 200 mg SMX + 

40 mg TMP  

 

 

Selain protokol desensitisasi seperti di atas, terdapat Desensitisasi 

cepat kotrimoksasol yang dapat dilakukan dalam waktu 5 jam (dilakukan 

pada pasien rawat jalan), dengan protokol sebagai berikut: 

Tabel 5. Protokol desensitisasi cepat kotrimoksasol.  

Waktu 

(jam) 

Dosis (TMP/SMX) Dilusi (Pengenceran) 

0 0,004/0,02mg 1:10.000 (5mL) 

1 0,04/0,2mg 1:1.000 (5 mL) 

2 0,4/2mg 1:100 (5mL) 

3 4/20mg 1:10 (5 mL) 

4 40/200mg Tidak diencerkan (5mL) 

5 160/800mg 1 tablet forte 

 

 

 

 

Tatalaksana Klinis Infeksi HIV dan Terapi Antiretroviral pada orang Dewasa 

 

 14 

4 TATALAKSANA PEMBERIAN 

ARV  

A. Saat Memulai Terapi ARV 

Untuk memulai terapi antiretroviral perlu dilakukan pemeriksaan 

jumlah CD4 (bila tersedia) dan penentuan stadium klinis infeksi HIV-nya. 

Hal tersebut adalah untuk menentukan apakah penderita sudah 

memenuhi syarat terapi antiretroviral atau belum. Berikut ini adalah 

rekomendasi cara memulai terapi ARV pada ODHA dewasa. 

a. Tidak tersedia pemeriksaan CD4 

Dalam hal tidak tersedia pemeriksaan CD4, maka penentuan mulai 

terapi ARV adalah didasarkan pada penilaian klinis.   

b. Tersedia pemeriksaan CD4 

Rekomendasi :  

1. Mulai terapi ARV pada semua pasien dengan jumlah CD4 <350 

sel/mm3 tanpa memandang stadium klinisnya. 

2. Terapi ARV dianjurkan pada semua pasien dengan TB aktif, ibu 

hamil dan koinfeksi Hepatitis B tanpa memandang jumlah CD4.   

Tabel 6. Saat memulai terapi pada ODHA dewasa 

Target 

Populasi 

Stadium 

Klinis 

Jumlah sel CD4 Rekomendasi 

ODHA dewasa  Stadium klinis 1 

dan 2  

> 350 sel/mm

3

 Belum mulai terapi. 

Monitor gejala klinis dan 

jumlah sel CD4 setiap 6-

12 bulan 

< 350 sel/mm

3

 Mulai terapi 

Stadium klinis 3 

dan 4 

Berapapun jumlah 

sel CD4 

Mulai terapi 

Pasien dengan 

ko-infeksi TB  

Apapun Stadium 

klinis 

Berapapun jumlah 

sel CD4 

Mulai terapi 

Pasien dengan 

ko-infeksi 

Hepatitis B 

Kronik aktif 

Apapun Stadium 

klinis 

Berapapun jumlah 

sel CD4 

Mulai terapi 

Ibu Hamil Apapun Stadium 

klinis 

Berapapun jumlah 

sel CD4 

Mulai terapi 

 

Tatalaksana Klinis Infeksi HIV dan Terapi Antiretroviral pada orang Dewasa 

 

 15 

B. Memulai Terapi ARV pada Keadaan Infeksi 

Oportunistik (IO) yang Aktif 

Infeksi oportunistik dan penyakit terkait HIV lainnya yang perlu 

pengobatan atau diredakan sebelum terapi ARV dapat dilihat dalam tabel 

di bawah ini. 

Tabel 7. Tatalaksana IO sebelum memulai terapi ARV 

Jenis Infeksi Opportunistik Rekomendasi 

Progresif Multifocal Leukoencephalopathy, 

Sarkoma Kaposi, Mikrosporidiosis, CMV, 

Kriptosporidiosis 

ARV diberikan langsung setelah 

diagnosis infeksi ditegakkan 

 

Tuberkulosis, PCP, Kriptokokosis, MAC 

ARV diberikan setidaknya 2 minggu  

setelah pasien mendapatkan 

pengobatan infeksi opportunistik 

C. Paduan ARV Lini Pertama yang Dianjurkan 

Pemerintah menetapkan paduan yang digunakan dalam 

pengobatan ARV berdasarkan pada 5 aspek yaitu: 

• Efektivitas 

• Efek samping / toksisitas 

• Interaksi obat 

• Kepatuhan 

• Harga obat 

Prinsip dalam pemberian ARV adalah  

1. Paduan obat ARV harus menggunakan 3 jenis obat yang terserap dan 

berada dalam dosis terapeutik. Prinsip tersebut untuk menjamin 

efektivitas penggunaan obat. 

2. Membantu pasien agar patuh minum obat antara lain dengan 

mendekatkan akses pelayanan ARV . 

3. Menjaga kesinambungan ketersediaan obat ARV dengan menerapkan 

manajemen logistik yang baik. 

1. Anjuran Pemilihan Obat ARV Lini Pertama 

Paduan yang ditetapkan oleh pemerintah untuk lini pertama 

adalah:  

2 NRTI + 1 NNRTI 

Tatalaksana Klinis Infeksi HIV dan Terapi Antiretroviral pada orang Dewasa 

 

 16 

Mulailah terapi antiretroviral dengan salah satu dari paduan di 

bawah ini: 

AZT + 3TC + NVP (Zidovudine + Lamivudine + 

Nevirapine) 

ATAU 

AZT + 3TC + EFV (Zidovudine + Lamivudine + 

Efavirenz) 

ATAU 

TDF + 3TC (atau FTC) + 

NVP 

(Tenofovir + Lamivudine (atau 

Emtricitabine) + Nevirapine) 

ATAU 

TDF + 3TC (atau FTC) + 

EFV 

(Tenofovir + Lamivudine (atau 

Emtricitabine) + Efavirenz) 

 

 

Daftar obat ARV yang ada di Indonesia dapat dilihat di Lampiran 5 

 

Tabel 8. Paduan Lini Pertama yang direkomendasikan pada 

orang dewasa yang belum pernah mendapat terapi 

ARV (treatment-naïve) 

Populasi Target 

Pilihan yang 

direkomendasikan 

Catatan 

Dewasa dan anak AZT atau TDF + 3TC 

(atau FTC) + EFV atau 

NVP 

Merupakan pilihan paduan yang sesuai 

untuk sebagian besar pasien 

Gunakan FDC jika tersedia 

Perempuan hamil AZT + 3TC + EFV atau 

NVP 

Tidak boleh menggunakan EFV pada 

trimester pertama 

TDF bisa merupakan pilihan 

Ko-infeksi HIV/TB AZT atau TDF + 3TC 

(FTC) + EFV 

Mulai terapi ARV segera setelah terapi 

TB dapat ditoleransi (antara 2 minggu 

hingga 8 minggu) 

Gunakan NVP atau triple NRTI bila EFV 

tidak dapat digunakan 

Ko-infeksi  

HIV/Hepatitis B 

kronik aktif 

TDF + 3TC (FTC) + EFV 

atau NVP 

Pertimbangkan pemeriksaan HBsAg 

terutama bila TDF merupakan paduan lini 

pertama. Diperlukan penggunaan 2 ARV 

yang memiliki aktivitas anti-HBV  

  

D. Berbagai pertimbangan dalam penggunaan dan 

pemilihan Paduan terapi ARV 

1. Memulai dan Menghentikan Non-Nucleoside Reverse 

Transcriptase Inhibitor (NNRTI) 

Nevirapine dimulai dengan dosis awal 200 mg setiap 24 jam 

selama 14 hari pertama dalam paduan ARV lini pertama bersama AZT 

atau TDF + 3TC. Bila tidak ditemukan tanda toksisitas hati, dosis 

Tatalaksana Klinis Infeksi HIV dan Terapi Antiretroviral pada orang Dewasa 

 

 17 

dinaikkan menjadi 200 mg setiap 12 jam pada hari ke-15 dan selanjutnya. 

Mengawali terapi dengan dosis rendah tersebut diperlukan karena selama 

2 minggu pertama terapi NVP menginduksi metabolismenya sendiri. 

Dosis awal tersebut juga mengurangi risiko terjadinya ruam dan hepatitis 

oleh karena NVP yang muncul dini. 

Bila NVP perlu dimulai lagi setelah pengobatan dihentikan selama 

lebih dari 14 hari, maka diperlukan kembali pemberian dosis awal yang 

rendah tersebut.  

Cara menghentikan paduan yang mengandung NNRTI 

 Hentikan NVP atau EFV 

 Teruskan NRTI (2 obat ARV saja) selama 7 hari setelah 

penghentian Nevirapine dan Efavirenz, (ada yang menggunakan 

14 hari setelah penghentian Efavirenz) kemudian hentikan semua 

obat. Hal tersebut guna mengisi waktu paruh NNRTI yang panjang 

dan menurunkan risiko resistensi NNRTI. 

Penggunaan NVP dan EFV  

 NVP dan EFV mempunyai efikasi klinis yang setara  

 Ada perbedaan dalam profil toksisitas, potensi interaksi dengan 

obat lain, dan harga 

 NVP berhubungan dengan insidensi ruam kulit, sindrom Steven-

Johnson dan hepatotosksisitas yang lebih tinggi dibanding EFV. 

 Dalam keadaan reaksi hepar atau kulit yang berat maka NVP 

harus dihentikan dan tidak boleh dimulai lagi 

 Gunakan NVP atau PI untuk ibu hamil trimester 1 atau triple NRTI 

jika NVP dan PI tidak dapat digunakan. Triple NRTI hanya 

diberikan selama 3 bulan lalu dikembalikan kepada paduan lini 

pertama 

 Perlu kehati-hatian penggunaan NVP pada perempuan dengan 

CD4 >250 sel/mm3 atau yang tidak diketahui jumlah CD4-nya dan 

pada laki-laki dengan jumlah CD4 >400 sel/mm3 atau yang tidak 

diketahui jumlah CD4-nya. 

 Perlu dilakukan lead-in dosing pada penggunaan NVP, yaitu 

diberikan satu kali sehari selama 14 hari pertama kemudian 

dilanjutkan dengan 2 kali sehari.  

 EFV dapat digunakan sekali sehari dan biasanya ditoleransi 

dengan baik, hanya saja biayanya lebih mahal dan kurang banyak 

tersedia dibandingkan NVP 

 Toksisitas utama EFV adalah berhubungan dengan sistem saraf 

pusat (SSP) dan ada kemungkinan (meski belum terbukti kuat) 

bersifat teratogenik bila diberikan pada trimester 1 (tetapi tidak 

pada triemester dua dan tiga) dan ruam kulit yang biasanya ringan 

dan hilang sendiri tanpa harus menghentikan obat. Gejala SSP 

cukup sering terjadi, dan meskipun biasanya hilang sendiri dalam 

Tatalaksana Klinis Infeksi HIV dan Terapi Antiretroviral pada orang Dewasa 

 

 18 

2-4 minggu, gejala tersebut dapat bertahan beberapa bulan dan 

sering menyebabkan penghentian obat oleh pasien 

 EFV perlu dihindari pada pasien dengan riwayat penyakit psikiatrik 

berat, pada perempuan yang berpotensi hamil dan pada kehamilan 

trimester pertama. 

 EFV merupakan NNRTI pilihan pada keadaan ko-infeksi TB/HIV 

yang mendapat terapi berbasis Rifampisin. 

Dalam keadaan penggantian sementara dari NVP ke EFV selama 

terapi TB dengan Rifampisin dan akan mengembalikan ke NVP 

setelah selesai terapi TB maka tidak perlu dilakukan lead-in dosing 

2. Pilihan pemberian Triple NRTI 

Regimen triple NRTI digunakan hanya jika pasien tidak dapat 

menggunakan obat ARV berbasis NNRTI, seperti dalam keadaan berikut: 

• Ko-infeksi TB/HIV, terkait dengan interaksi terhadap Rifampisin 

• Ibu Hamil, terkait dengan kehamilan dan ko-infeksi TB/HIV 

• Hepatitis, terkait dengan efek hepatotoksik karena NVP/EFV/PI  

Anjuran paduan triple NRTI yang dapat dipertimbangkan adalah      

AZT+3TC +TDF 

Penggunaan Triple NRTI dibatasi hanya untuk 3 bulan lamanya, 

setelah itu pasien perlu di kembalikan pada penggunaan lini pertama 

karena supresi virologisnya kurang kuat. 

3. Penggunaan AZT dan TDF 

 AZT dapat menyebabkan anemi dan intoleransi gastrointestinal 

 Indeks Massa Tubuh (IMT / BMI = Body Mass Index) dan jumlah 

CD4 yang rendah merupakan faktor prediksi terjadinya anemi 

oleh penggunaan AZT 

 Perlu diketahui faktor lain yang berhubungan dengan anemi, 

yaitu antara lain malaria, kehamilan, malnutrisi dan stadium HIV 

yang lanjut 

 TDF dapat menyebabkan toksisitas ginjal. Insidensi 

nefrotoksisitas dilaporkan antara 1% sampai 4% dan angka 

Sindroma Fanconi sebesar 0.5% sampai 2%  

 TDF tidak boleh digunakan pada anak dan dewasa muda dan 

sedikit data tentang keamanannya pada kehamilan 

 TDF juga tersedia dalam sediaan FDC (TDF+FTC) dengan 

pemberian satu kali sehari yang lebih mudah diterima ODHA 

Tatalaksana Klinis Infeksi HIV dan Terapi Antiretroviral pada orang Dewasa 

 

 19 

4. Perihal Penggunaan d4T 

Stavudin (d4T) merupakan ARV dari golongan NRTI yang poten 

dan telah digunakan terutama oleh negara yang sedang berkembang 

dalam kurun waktu yang cukup lama. Keuntungan dari d4T adalah tidak 

membutuhkan data laboratorium awal untuk memulai serta harganya 

yang relatif sangat terjangkau dibandingkan dengan NRTI yang lain 

seperti Zidovudin (terapi ARV), Tenofovir (TDF) maupun Abacavir (ABC). 

Namun dari hasil studi didapat data bahwa penggunaan d4T, mempunyai 

efek samping permanen yang bermakna, antara lain lipodistrofi dan 

neuropati perifer yang menyebabkan cacat serta laktat asidosis yang 

menyebabkan kematian. 

Efek samping karena penggunaan d4T sangat berkorelasi dengan 

lama penggunaan d4T (semakin lama d4T digunakan semakin besar 

kemungkinan timbulnya efek samping). WHO dalam pedoman tahun 2006 

merekomendasikan untuk mengevaluasi penggunaan d4T setelah 2 

tahun dan dalam pedoman pengobatan ARV untuk dewasa tahun 2010 

merekomendasikan untuk secara bertahap mengganti penggunaan d4T 

dengan Tenofovir (TDF). 

Berdasarkan kesepakatan dengan panel ahli, maka pemerintah 

memutuskan sebagai berikut: 

• Menggunakan AZT atau TDF pada pasien yang baru memulai terapi 

dan belum pernah mendapat terapi ARV sebelumnya 

• Pada pasien yang sejak awal menggunakan d4T dan tidak dijumpai 

efek samping dan/atau toksisitas maka direkomendasikan untuk diganti 

setelah 6 bulan 

• Jika terjadi efek samping akibat penggunaan AZT (anemia), maka 

sebagai obat substitusi gunakan TDF. 

• Pada saat sekarang penggunaan Stavudin (d4T) dianjurkan untuk 

dikurangi karena banyaknya efek samping. Secara nasional dilakukan 

penarikan secara bertahap (phasing out) dan mendatang tidak 

menyediakan lagi d4T setelah stok nasional habis. 

5. Penggunaan Protease Inhibitor  (PI)  

Obat ARV golongan Protease Inhibitor (PI) TIDAK dianjurkan 

untuk terapi Lini Pertama, hanya digunakan sebagai Lini Kedua. 

Penggunaan pada Lini Pertama hanya bila pasien benar-benar 

mengalami Intoleransi  terhadap golongan NNRTI (Efavirenz atau 

Nevirapine). Hal ini dimaksudkan untuk tidak menghilangkan kesempatan 

pilihan untuk Lini Kedua. mengingat sumber daya yang masih terbatas 

Tatalaksana Klinis Infeksi HIV dan Terapi Antiretroviral pada orang Dewasa 

 

 20 

6. Paduan Obat ARV yang Tidak Dianjurkan 

Tabel 9. Paduan ARV yang tidak dianjurkan 

Paduan ARV Alasan tidak dianjurkan 

Mono atau dual terapi untuk 

pengobatan infeksi HIV kronis 

Cepat menimbulkan resisten 

d4T + AZT Antagonis (menurunkan khasiat kedua obat) 

d4T + ddI Toksisitas tumpang tindih (pankreatitis, hepatitis dan 

lipoatrofi) 

Pernah dilaporkan kematian pada ibu hamil 

3TC + FTC Bisa saling menggantikan tapi tidak boleh digunakan 

secara bersamaan 

TDF + 3TC + ABC atau  

TDF + 3TC + ddI 

Paduan tersebut meningkatkan mutasi K65R dan 

terkait dengan seringnya kegagalan virologi secara 

dini 

TDF + ddI + NNRTI manapun Seringnya kegagalan virologi secara dini 

E. Sindrom Pulih Imun (SPI - immune reconstitution 

syndrome = IRIS) 

Sindrom Pulih Imun (SPI) atau Immune Reconstitution 

Inflammatory Syndrome (IRIS) adalah perburukan kondisi klinis sebagai 

akibat respons inflamasi berlebihan pada saat pemulihan respons imun 

setelah pemberian terapi antiretroviral. Sindrom pulih imun mempunyai 

manifestasi dalam bentuk penyakit infeksi maupun non infeksi. 

Manifestasi tersering pada umumnya adalah berupa inflamasi dari 

penyakit infeksi. Sindrom pulih imun infeksi ini didefinisikan sebagai 

timbulnya manifestasi klinis atau perburukan infeksi yang ada sebagai 

akibat perbaikan respons imun spesifik patogen pada ODHA yang 

berespons baik terhadap ARV. 

Mekanisme SPI belum diketahui dengan jelas, diperkirakan hal ini 

merupakan respon imun berlebihan dari pulihnya sistem imun terhadap 

rangsangan antigen tertentu setelah pemberian ARV. 

Insidens sindrom pulih imun secara keseluruhan berdasarkan meta 

analisis adalah 16.1%. Namun, insidens ini juga berbeda pada tiap 

tempat, tergantung pada rendahnya derajat sistem imun dan prevalensi 

infeksi oportunistik dan koinfeksi dengan patogen lain. 

Pada saat ini dikenal dua jenis SPI yang sering tumpang tindih, 

yaitu sindrom pulih imun unmasking (unmasking IRD) dan sindrom pulih 

imun paradoksikal. Jenis unmasking terjadi pada pasien yang tidak 

terdiagnosis dan tidak mendapat terapi untuk infeksi oportunistiknya dan 

langsung mendapatkan terapi ARV-nya. Pada jenis paradoksikal, pasien 

telah mendapatkan pengobatan untuk infeksi oportunistiknya. Setelah 

Tatalaksana Klinis Infeksi HIV dan Terapi Antiretroviral pada orang Dewasa 

 

 21 

mendapatkan ARV, terjadi  perburukan klinis dari penyakit infeksinya 

tersebut. 

Manifestasi klinis yang muncul sangat bervariasi dan tergantung 

dari bahan infeksi atau non-infeksi yang terlibat, sehingga diagnosis 

menjadi tidak mudah. Pada waktu menegakkan diagnosis SPI perlu 

dicantumkan penyakit infeksi atau non infeksi yang menjadi penyebabnya 

(misal IRIS TB, IRIS Toxoplasmosis). 

International Network Study of HIV-associated IRIS (INSHI) 

membuat konsensus untuk kriteria diagnosis sindrom pulih imun sebagai 

berikut.   

1. Menunjukkan respons terhadap terapi ARV dengan: 

a. mendapat terapi ARV 

b. penurunan viral load > 1 log kopi/ml (jika tersedia) 

2. Perburukan gejala klinis infeksi atau timbul reaksi inflamasi yang 

terkait dengan inisiasi terapi ARV 

3. Gejala klinis tersebut bukan disebabkan oleh: 

a. Gejala klinis dari infeksi yang diketahui sebelumnya yang telah 

berhasil disembuhkan (Expected clinical course of a previously 

recognized and successfully treated infection) 

b. Efek samping obat atau toksisitas 

c. Kegagalan terapi 

d. Ketidakpatuhan menggunakan ARV 

Beberapa faktor risiko terjadinya SPI adalah jumlah CD4 yang 

rendah saat memulai terapi ARV, jumlah virus RNA HIV yang tinggi saat 

memulai terapi ARV, banyak dan beratnya infeksi oportunistik, penurunan 

jumlah virus RNA HIV yang cepat selama terapi ARV, belum pernah 

mendapat ARV saat diagnosis infeksi oportunistik, dan pendeknya jarak 

waktu antara memulai terapi infeksi oportunistik dan memulai terapi ARV.  

Tatalaksana SPI meliputi pengobatan patogen penyebab untuk 

menurunkan jumlah antigen dan meneruskan terapi ARV. Terapi 

antiinflamasi seperti obat antiiflamasi non steroid dan steroid dapat 

diberikan. Dosis dan lamanya pemberian kortikosteroid belum pasti, 

berkisar antara 0,5- 1 mg/kg/hari prednisolon. 

Tatalaksana Klinis Infeksi HIV dan Terapi Antiretroviral pada orang Dewasa 

 

 22 

Tabel 10. Penyakit infeksi dan non infeksi penyebab SPI pada 

ODHA 

Penyakit Infeksi Penyakit non Infeksi 

Mycobacteria 

 Mycobacterium 

tuberculosis   

 Mycobacterium avium 

complex  

 Mycobacteria lainnya 

Cytomegalovirus  

Herpes viruses Guillain-

Barre' syndrome  

Herpes zoster  

Herpes simpleks 

Sarkoma Kaposi's  

Cryptococcus neoformans 

Pneumocystis jirovecii 

pneumonia (PCP) 

  

Histoplasmosis capsulatum  

Toksoplasmosis  

Hepatitis B  

Hepatitis C  

Lekoensefalitis multifokal 

progresif  

Parvovirus B19 [110] 

Strongyloides stercoralis 

infection  

Infeksi parasit lainnya  

Molluscum contagiosum & 

kutil genital  

Sinusitis  

Folikulitis 

Penyakit 

rematologi/otoimun 

Artritis rematoid  

Systemic lupus 

erythematosus (SLE)  

Graves disease  

Penyakit tiroid otoimun  

Sarkoidosis & reaksi 

granulomatus  

Tinta tato  

Limfoma terkait AIDS  

Guillain-Barre' syndrome  

Pneumonitis limfoid 

intersisial  

 

Sumber : Murdoch D. Immune reconstitution inflammatory syndrome (IRIS): review of common 

infectious manifestations and treatment options. AIDS Research and Therapy 2007, 4:9 

doi:10.1186/1742-6405-4-9 

 

F. Kepatuhan 

Kepatuhan atau adherence pada terapi adalah sesuatu keadaan 

dimana pasien mematuhi pengobatannya atas dasar kesadaran sendiri, 

bukan hanya karena mematuhi perintah dokter. Hal ini penting karena 

diharapkan akan lebih meningkatkan tingkat kepatuhan minum obat. 

Adherence atau kepatuhan harus selalu dipantau dan dievaluasi secara 

teratur pada setiap kunjungan. Kegagalan terapi ARV sering diakibatkan 

oleh ketidak-patuhan pasien mengkonsumsi ARV. . 

Untuk mencapai supresi virologis yang baik diperlukan tingkat 

kepatuhan terapi ARV yang sangat tinggi. Penelitian menunjukkan bahwa 

untuk mencapai tingkat supresi virus yang optimal, setidaknya 95% dari 

semua dosis tidak boleh terlupakan. Resiko kegagalan terapi timbul jika 

pasien sering lupa minum obat. Kerjasama yang baik antara tenaga 

kesehatan dengan pasien serta komunikasi dan suasana pengobatan 

yang konstruktif akan membantu pasien untuk patuh minum obat. 

Faktor-faktor yang mempengaruhi atau faktor prediksi kepatuhan: 

1. Fasilitas layanan kesehatan. Sistem layanan yang berbelit,  sistem 

pembiayaan kesehatan yang mahal, tidak jelas dan birokratik adalah 

penghambat yang berperan sangat signifikan terhadap kepatuhan, 

karena hal tersebut menyebabkan pasien tidak dapat mengakses 

layanan kesehatan dengan mudah. Termasuk diantaranya ruangan 

Tatalaksana Klinis Infeksi HIV dan Terapi Antiretroviral pada orang Dewasa 

 

 23 

yang nyaman, jaminan kerahasiaan dan penjadwalan yang baik, 

petugas yang ramah dan membantu pasien.  

2. Karakteristik Pasien.  Meliputi faktor sosiodemografi (umur, jenis 

kelamin, ras / etnis, penghasilan, pendidikan, buta/melek huruf, 

asuransi kesehatan, dan  asal kelompok dalam masyarakat misal 

waria atau pekerja seks komersial) dan faktor psikososial (kesehatan 

jiwa, penggunaan napza, lingkungan dan dukungan sosial, 

pengetahuan dan perilaku terhadap HIV dan terapinya). 

3. Paduan terapi ARV. Meliputi jenis obat yang digunakan dalam 

paduan, bentuk paduan (FDC atau bukan FDC), jumlah pil yang harus 

diminum, kompleksnya paduan (frekuensi minum dan pengaruh 

dengan makanan), karakteristik obat dan efek samping dan mudah 

tidaknya akses untuk mendapatkan ARV. 

4. Karakteristik penyakit penyerta. Meliputi stadium klinis dan lamanya 

sejak terdiagnosis HIV, jenis infeksi oportunistik penyerta, dan gejala 

yang berhubungan dengan HIV. Adanya infeksi oportunistik atau 

penyakit lain menyebabkan penambahan jumlah obat yang harus 

diminum.  

5. Hubungan pasien-tenaga kesehatan. Karakteristik hubungan pasien-

tenaga kesehatan yang dapat mempengaruhi kepatuhan meliputi: 

kepuasan dan kepercayaan pasien terhadap tenaga kesehatan dan 

staf klinik, pandangan pasien terhadap kompetensi tenaga kesehatan, 

komunikasi yang melibatkan pasien dalam proses penentuan 

keputusan, nada afeksi dari hubungan tersebut (hangat, terbuka, 

kooperatif, dll) dan kesesuaian kemampuan dan kapasitas tempat 

layanan dengan kebutuhan pasien 

Sebelum memulai terapi, pasien harus memahami program terapi 

ARV beserta konsekuensinya. Proses pemberian informasi, konseling 

dan dukungan kepatuhan harus dilakukan  oleh petugas (konselor 

dan/atau pendukung sebaya/ODHA). Tiga langkah yang harus dilakukan 

untuk meningkatkan kepatuhan antara lain:  

Langkah 1: Memberikan informasi 

Klien diberi informasi dasar tentang pengobatan ARV, rencana 

terapi, kemungkinan timbulnya efek samping dan konsekuensi 

ketidakpatuhan. Perlu diberikan informasi yang mengutamakan aspek 

positif dari pengobatan sehingga dapat membangkitkan komitmen  

kepatuhan berobat.  

Langkah 2: Konseling perorangan 

Petugas kesehatan perlu membantu klien untuk mengeksplorasi 

kesiapan pengobatannya. Sebagian klien sudah jenuh dengan beban 

keluarga atau rumah tangga, pekerjaan dan tidak dapat menjamin 

kepatuhan berobat.  

Sebagian  klien  tidak siap untuk membuka status nya kepada 

orang lain. Hal ini sering mengganggu kepatuhan minum ARV, sehingga 

Tatalaksana Klinis Infeksi HIV dan Terapi Antiretroviral pada orang Dewasa 

 

 24 

sering menjadi hambatan dalam  menjaga kepatuhan. Ketidak siapan 

pasien bukan merupakan dasar untuk tidak memberikan ARV, untuk itu 

klien perlu didukung agar mampu menghadapi kenyataan dan 

menentukan siapa yang perlu mengetahui statusnya. 

Langkah 3:  Mencari penyelesaian masalah praktis dan membuat 

rencana terapi. 

Setelah memahami keadaan dan masalah klien, perlu dilanjutkan 

dengan diskusi untuk mencari penyelesaian masalah tersebut secara 

bersama dan membuat perencanaan praktis. Hal-hal praktis yang perlu 

didiskusikan antara lain: 

 Di mana obat ARV akan disimpan? 

 Pada jam berapa akan diminum? 

 Siapa yang akan mengingatkan setiap hari untuk minum  obat?  

 Apa yang akan diperbuat bila terjadi penyimpangan kebiasaan 

sehari-hari? 

Harus direncanakan mekanisme untuk mengingatkan klien 

berkunjung dan mengambil obat secara teratur sesuai dengan kondisi 

pasien. 

Perlu dibangun hubungan yang saling percaya antara klien dan 

petugas kesehatan. Perjanjian berkala dan kunjungan ulang menjadi 

kunci kesinambungan perawatan dan pengobatan pasien. Sikap petugas 

yang mendukung dan peduli, tidak mengadili dan menyalahkan pasien, 

akan mendorong klien untuk bersikap jujur tentang kepatuhan makan 

obatnya.  

Kesiapan Pasien Sebelum Memulai Terapi ARV 

Menelaah kesiapan pasien untuk terapi ARV. Mempersiapan 

pasien untuk memulai terapi ARV dapat dilakukan dengan cara: 

 Mengutamakan manfaat minum obat daripada membuat pasien takut 

minum obat dengan semua kemunginan efek samping dan kegagalan 

pengobatan. 

 Membantu pasien agar mampu  memenuhi janji berkunjung ke klinik 

 Mampu minum obat profilaksis IO secara teratur dan tidak terlewatkan 

 Mampu menyelesaikan  terapi TB dengan sempurna. 

 Mengingatkan pasien bahwa terapi harus dijalani seumur hidupnya. 

 Jelaskan bahwa waktu makan obat adalah sangat penting, yaitu kalau 

dikatakan dua kali sehari berarti harus ditelan setiap 12 jam.  

 Membantu pasien mengenai cara minum obat dengan menyesuaikan 

kondisi pasien baik kultur, ekonomi, kebiasaan hidup (contohnya jika 

perlu disertai dengan banyak minum wajib menanyakan sumber air, 

dll). 

 Membantu pasien mengerti efek samping dari setiap obat tanpa 

membuat pasien takut terhadap pasien, ingatkan bahwa semua obat 

Tatalaksana Klinis Infeksi HIV dan Terapi Antiretroviral pada orang Dewasa 

 

 25 

mempunyai efek samping untuk menetralkan ketakutan terhadap 

ARV. 

 Tekankan bahwa meskipun sudah menjalani terapi ARV harus tetap 

menggunakan kondom ketika melakukan aktifitas seksual atau 

menggunakan alat suntik steril bagi para penasun. 

 Sampaikan bahwa obat tradisional (herbal) dapat berinteraksi dengan 

obat ARV yang diminumnya. Pasien perlu diingatkan untuk 

komunikasi dengan dokter untuk diskusi dengan dokter tentang obat-

obat yang boleh terus dikonsumsi dan tidak.  

 Menanyakan cara yang terbaik untuk menghubungi pasien agar dapat 

memenuhi janji/jadwal berkunjung. 

 Membantu pasien dalam menemukan solusi penyebab ketidak 

patuhan tanpa menyalahkan pasien atau memarahi pasien jika lupa 

minum obat. 

 Mengevaluasi sistem internal rumah sakit dan etika petugas dan 

aspek lain diluar pasien sebagai bagian dari prosedur tetap untuk 

evaluasi ketidak patuhan pasien. 

Unsur Konseling untuk Kepatuhan Berobat 

 Membina  hubungan saling percaya dengan pasien 

 Memberikan  informasi yang benar dan mengutamakan manfaat postif 

dari ARV 

 Mendorong  keterlibatan kelompok dukungan sebaya dan membantu 

menemukan seseorang sebagai pendukung berobat 

 Mengembangkan rencana terapi secara individual yang sesuai 

dengan gaya hidup sehari-hari pasien dan temukan cara yang dapat 

digunakan sebagai pengingat minum obat 

 Paduan obat ARV harus disederhanakan untuk mengurangi jumlah pil 

yang harus diminum dan frekuensinya (dosis sekali sehari atau dua 

kali sehari), dan meminimalkan efek samping obat.   

 Penyelesaian masalah kepatuhan yang tidak optimum adalah 

tergantung dari faktor penyebabnya. 

Semakin sederhana paduan obat ARV semakin tinggi angka kepatuhan 

minum obat. 

Kepatuhan sangat diperlukan untuk keberhasilan pengobatan, akan tetapi 

kepatuhan tidak boleh menjadi hambatan untuk akses pengobatan ARV 

sehingga petugas kesehatan mempunyai kewajiban untuk menjalin 

hubungan yang baik dan membantu pasien untuk mencapai kondisi 

kepatuhan yang baik 

Perlu diingat bahwa pasien yang tidak dapat mengambil obat TIDAK selalu 

berarti tidak patuh minum obat. 

Kepatuhan dapat dinilai dari laporan pasien sendiri, dengan 

menghitung sisa obat yang ada dan laporan dari keluarga atau 

pendamping yang membantu pengobatan. Konseling kepatuhan 

dilakukan pada setiap kunjungan dan dilakukan secara terus menerus 

dan berulang kali dan perlu dilakukan tanpa membuat pasien merasa 

bosan. 

Tatalaksana Klinis Infeksi HIV dan Terapi Antiretroviral pada orang Dewasa 

 

 26 

5 TERAPI ANTIRETROVIRAL 

PADA POPULASI KHUSUS 

Terdapat beberapa kelompok dan keadaan khusus yang 

memerlukan suatu perhatian khusus ketika akan memulai terapi 

antiretroviral. Kelompok khusus tersebut antara lain kelompok perempuan 

hamil; kelompok pecandu NAPZA suntik dan yang menggunakan 

Metadon. Sementara keadaan khusus yang perlu diperhatikan adalah 

keadaan Koinfeksi HIV dengan TB dan Koinfeksi HIV dengan Hepatitis B 

dan C. 

A. Terapi ARV untuk ibu hamil 

Terapi antiretroviral/ARV/HAART (Highly Active Antiretroviral 

Therapy) dalam program PMTCT (Prevention Mother to Child 

Transmission – PPIA = Pencegahan Penularan Ibu ke Anak) adalah 

penggunaan obat antiretroviral jangka panjang (seumur hidup) untuk 

mengobati perempuan hamil HIV positif dan mencegah penularan HIV 

dari ibu ke anak. 

Pemberian obat antiretroviral dalam program PMTCT/PPIA 

ditujukan pada keadaan seperti terpapar berikut ini. 

Tabel 11. Pemberian Antiretroviral pada ibu hamil dengan 

berbagai Situasi Klinis 

No. Situasi Klinis 

Rekomendasi Pengobatan 

(Paduan untuk Ibu) 

1 ODHA dengan indikasi Terapi ARV dan 

kemungkinan hamil atau sedang hamil 

 

 AZT + 3TC + NVP atau 

 TDF + 3TC(atau FTC) + NVP 

Hindari EFV pada trimester pertama 

 AZT + 3TC + EVF* atau 

 TDF + 3TC (atau FTC) + EVF* 

2 ODHA sedang menggunakan Terapi ARV 

dan kemudian hamil 

 

 Lanjutkan paduan (ganti dengan 

NVP atau golongan PI jika sedang 

menggunakan EFV pada trimester 

I) 

 Lanjutkan dengan ARV yang 

sama selama dan sesudah 

persalinan 

3 ODHA hamil dengan jumlah CD4 

>350/mm3 atau dalam stadium klinis 1. 

ARV mulai pada minggu ke 14 

kehamilan 

Paduan sesuai dengan butir 1 

4 ODHA hamil dengan jumlah CD4 < 

350/mm3 atau dalam stadium klinis 2, 3 

atau 4 

Segera Mulai Terapi ARV  

Tatalaksana Klinis Infeksi HIV dan Terapi Antiretroviral pada orang Dewasa 

 

 27 

Tabel 11. Pemberian Antiretroviral pada ibu hamil dengan 

berbagai Situasi Klinis 

No. Situasi Klinis 

Rekomendasi Pengobatan 

(Paduan untuk Ibu) 

5 ODHA hamil dengan Tuberkulosis  aktif 

 

OAT yang sesuai tetap diberikan  

Paduan untuk ibu, bila pengobatan 

mulai trimester II dan III: 

 AZT (TDF) + 3TC + EFV 

6 Ibu hamil dalam masa persalinan dan 

tidak diketahui status HIV 

 

 

 Tawarkan tes dalam masa 

persalinan; atau tes setelah 

persalinan. 

 Jika hasil tes reaktif maka dapat 

diberikan paduan pada butir 1 

7 ODHA datang pada masa persalinan dan 

belum mendapat Terapi ARV 

 Paduan pada butir 1 

Keterangan: 

*: Efavirenz tidak boleh diberikan pada ODHA hamil trimester pertama 

B. Terapi ARV untuk Ko-infeksi HIV/Hepatitis B (HBV) 

dan Hepatitis C (HCV) 

Hepatitis merupakan salah satu penyakit yang ditularkan melalui 

darah (blood borne disease) dan merupakan salah satu penyakit ko-

infeksi pada HIV khususnya hepatitis B & C. Infeksi hepatitis C sering 

dijumpai sebagai ko-infeksi pada ODHA pengguna NAPZA suntik. Infeksi 

hepatitis B dan hepatitis C tidak mempengaruhi progresivitas penyakit 

HIV, namun infeksi HIV akan mempercepat progresivitas penyakit 

hepatitis B dan C dan mempercepat terjadinya end stage liver disease 

(ESLD) 

1. Terapi ARV untuk koinfeksi hepatitis B 

Interpretasi hasil laboratorium untuk Hepatitis B dapat dilihat 

Lampiran 6  

 Hepatitis B dan HIV mempunyai beberapa kemiripan karakter, di 

antaranya adalah merupakan blood-borne disease, membutuhkan 

pengobatan seumur hidup, mudah terjadi resisten terutama jika 

digunakan monoterapi dan menggunakan obat yang sama yaitu 

Tenofovir, lamivudine dan emtricitabine. Entecavir, obat anti hepatits B 

mempunyai efek anti retroviral pada HIV juga akan tetapi tidak 

digunakan dalam pengobatan HIV. 

 Perlu diwaspadai timbulnya flare pada pasien ko-infeksi HIV/Hep B 

jika pengobatan HIV yang menggunakan TDF/3TC dihentikan karena 

alasan apapun. 

 Mulai ART pada semua individu dengan ko-infeksi HIV/HBV yang 

memerlukan terapi untuk infeksi HBV-nya (hepatitis kronik aktif), tanpa 

memandang jumlah CD4 atau stadium klinisnya. Perhimpunan Peneliti 

Tatalaksana Klinis Infeksi HIV dan Terapi Antiretroviral pada orang Dewasa 

 

 28 

Hati Indonesia (PPHI) merekomendasikan memulai terapi hepatitis B 

pada infeksi hepatitis B kronik aktif jika terdapat: peningkatan 

SGOT/SGPT lebih dari 2 kali selama 6 bulan dengan HBeAg positif 

atau HBV DNA positif. 

 Adanya rekomendasi tersebut mendorong untuk dilakukan diagnosis 

HBV pada HIV dan terapi yang efektif untuk ko-infeksi HIV/HBV 

 Gunakan paduan antiretroviral yang mengandung aktivitas terhadap 

HBV dan HIV, yaitu TDF + 3TC atau FTC untuk peningkatan respon 

VL HBV dan penurunan perkembangan HBV yang resistensi obat 

Pada pengobatan ARV untuk koinfeksi hepatitis B perlu 

diwaspadai munculnya hepatic flare dari hepatitis B. Penampilan flare 

khas sebagai kenaikan tidak terduga dari  SGPT/SGOT dan munculnya 

gejala klinis hepatitis (lemah, mual, nyeri abdomen, dan ikterus) dalam 6-

12 minggu pemberian ART. Flares sulit dibedakan dari reaksi toksik pada 

hati yang dipicu oleh ARV atau obat hepatotoksik lainnya seperti 

kotrimoksasol, OAT, atau sindrom pulih imun hepatitis B. Obat anti 

Hepatitis B harus diteruskan selama gejala klinis yang diduga flares 

terjadi. Bila tidak dapat membedakan antara kekambuhan hepatitis B 

yang berat dengan gejala toksisitas ARV derajat 4, maka terapi ARV perlu 

dihentikan hingga pasien dapat distabilkan. Penghentian TDF, 3TC, atau 

FTC juga dapat menyebabkan hepatic flare. 

2. Terapi ARV untuk koinfeksi hepatitis C 

Interpretasi hasil laboratorium untuk Hepatitis C dapat dilihat 

Lampiran 6.  

 Zidovudine dan Stavudine mempunyai efek samping tumpang tindih 

dalam hal hematologi dan hepatotoksisitas dengan pengobatan yang 

digunakan dalam hepatitis C khususnya ribavirin seperti pada tabel 12. 

Oleh karena itu, pada saat pemberian bersama terapi hepatitis C perlu 

dilakukan substitusi sementara dengan TDF. 

 Terapi hepatitis C dianjurkan dimulai pada saat CD4 > 350 sel/mm3 

dan setelah terapi ARV stabil untuk mencapai tingkat SVR yang lebih 

tinggi. 

Paduan terapi ARV pada keadaan ko-infeksi HIV/HCV adalah 

mengikuti infeksi HIV pada orang dewasa. Hanya saja perlu memantau 

ketat karena risiko hepatotoksisitas yang berhubungan dengan obat dan 

interaksi antar obat. Beberapa interaksi yang perlu perhatian antara lain: 

Tabel 12.  Risiko dari kombinasi obat untuk HIV/HCV 

Kombinasi Obat Risiko Anjuran 

Ribavirin + ddI Pankreatitis / asidosis 

laktat 

tidak boleh diberikan secara 

bersamaan 

Ribavirin + AZT Anemia Perlu pengawasan ketat 

Interferon + EFV Depresi berat Perlu pengawasan ketat 

Tatalaksana Klinis Infeksi HIV dan Terapi Antiretroviral pada orang Dewasa 

 

 29 

 

Tabel 13.  Pengobatan Hepatitis C 

Indikasi Kriteria Pemberian Keterangan 

Pasien Hepatitis C kronik 

dengan compensated liver 

disease dengan riwayat 

belum pernah 

mendapatkan interferon 

sebelumnya 

Anti HCV + dan HCV 

RNA + 

Peningkatan SGPT 

Tidak dalam keadaan 

menyusui atau hamil 

Pegylated interferon dan 

ribavirin bersifat teratogenik, 

pemeriksaan kehamilan dan 

penggunaan alat KB perlu 

dilakukan. 

Pengobatan yang diberikan adalah Pegylated Interferon Alfa 2A/2B + Ribavirin. Perlu 

dilakukan pemeriksaan genotyping HCV sebelum pengobatan. Lama pemberian 

tergantung dari genotype dari Hepatitis C. Pada genotype 2 & 3 diberikan selama 24 

minggu dan genotype 1 & 4 diberikan selama 48 minggu. Dosis pegylated interferon Alfa 

2A+ Ribavirin adalah 180µg/minggu + Ribavirin 1000( BB < 75kg) – 1200 mg ( BB > 

75kg). Dosis Pegylated interferon Alfa 2 B +ribavirin adalah 1,5µg/kg/minggu + Ribavirin 

800 ( < 65kg) – 1200 mg ( > 65kg).  

Di adaptasi dari:  

Ghanny et all. Diagnosis, Management, and Treatment of Hepatitis C: An Update. 

HEPATOLOGY, Vol. 49, No. 4, 2009.  

ASHM guideline.HIV, Viral Hepatitis and STIs, a guide for primary care. 2008 edition 

Pemantauan pengobatan hepatitis C 

Untuk memantau pengobatan hepatitis C perlu dilakukan 

pemeriksaan: 

1. Serum transaminase, yang dilakukan setiap minggu selama 4 minggu 

dan selanjutnya setiap bulan atau jika diperlukan 

2. Jumlah HCV RNA, yang dilakukan setelah pengobatan 4 minggu 

(pilihan), 12 minggu, 24 minggu dan 48 minggu untuk melihat respon 

pengobatan ditinjau dari segi virologi seperti terpapar pada  Tabel 14 

berikut ini. 

Tabel 14. Respon Virologis Pengobatan Hepatitis C 

Respon Virologi Definisi 

Rapid virological response 

(RVR) 

HCV RNA tidak terdeteksi pada pengobatan minggu 

ke 4 

Early virological response 

(EVR) 

Penurunan HCV RNA  > 2 log dibandingkan dengan 

data dasar atau HCV RNA menjadi tidak terdeteksi 

pada pengobatan minggu ke 12.(Complete EVR) 

End-of-treatment response 

(ETR) 

HCV RNA menjadi tidak terdeteksi pada minggu ke 24 

atau 48 

Sustained virological response 

(SVR) 

HCV RNA tetap tidak terdeteksi 24 minggu setelah 

penghentian pengobatan 

Breakthrough HCV RNA timbul kembali sementara dalam 

pengobatan 

Relapse HCV RNA timbul kembali setelah pengobatan 

dihentikan 

Tatalaksana Klinis Infeksi HIV dan Terapi Antiretroviral pada orang Dewasa 

 

 30 

Respon Virologi Definisi 

Non Responder Gagal untuk clearance HCV RNA setelah 24 minggu 

pengobatan 

Null responder Penurunan < 2 log HCV RNA setelah 24 minggu 

pengobatan 

Partial responder Penurunan > 2 log HCV RNA dan HCV RNA masih 

terdeteksi setelah 24 minggu pengobatan 

Sumber : Ghanny et all. Diagnosis, Management, and Treatment of Hepatitis C: An Update. 

HEPATOLOGY, Vol. 49, No. 4, 2009 

C. Terapi ARV untuk Ko-infeksi Tuberkulosis 

Terapi ARV diketahui dapat menurunkan laju TB sampai sebesar 

90% pada tingkat individu dan sampai sekitar 60% pada tingkat populasi, 

dan menurunkan rekurensi TB sebesar 50%.  

Rekomendasi terapi ARV pada Ko-Infeksi Tuberkulosis 

 Mulai terapi ARV pada semua individu HIV dengan TB aktif, 

berapapun jumlah CD4. 

 Gunakan EFV sebagai pilihan NNRTI pada pasien yang 

memulai terapi ARV selama dalam terapi TB. 

 Mulai terapi ARV sesegera mungkin setelah terapi TB dapat 

ditoleransi. Secepatnya 2 minggu dan tidak lebih dari 8 minggu. 

Rekomendasi tersebut diharapkan dapat menurunkan angka 

kematian ko-infeksi TB-HIV, potensi menurunkan transmisi bila semua 

pasien HIV memulai terapi ARV lebih cepat, dan meningkatkan kualitas 

hidup, menurunkan kekambuhan TB dan meningkatkan manajemen TB 

pada pasien ko-infeksi TB-HIV.  

Tabel 15.  Terapi ARV untuk Pasien Ko-infeksi TB-HIV 

CD4 Paduan yang Dianjurkan Keterangan 

Berapapun 

jumlah CD4 

Mulai terapi TB.  

Gunakan paduan yang mengandung EFV 

(AZT atau TDF) + 3TC + EFV (600 

mg/hari).  

Setelah OAT selesai maka bila perlu EFV 

dapat diganti dengan NVP 

Pada keadaan dimana paduan berbasis 

NVP terpaksa digunakan bersamaan 

dengan pengobatan TB maka NVP 

diberikan tanpa lead-in dose (NVP 

diberikan tiap 12 jam sejak awal terapi) 

Mulai terapi ARV segera 

setelah terapi TB dapat 

ditoleransi (antara 2 

minggu hingga 8 

minggu) 

CD4 tidak 

mungkin 

diperiksa 

Mulai terapi TB. Mulai terapi ARV segera 

setelah terapi TB dapat 

ditoleransi (antara 2 

minggu hingga 8 

minggu) 

Tatalaksana Klinis Infeksi HIV dan Terapi Antiretroviral pada orang Dewasa 

 

 31 

 

 

1. Pilihan NRTI 

 Paduan triple NRTI hanya diberikan bila ada kontraindikasi atau 

tidak dapat mentoleransi NNRTI atau terjadi toksisitas. 

 Paduan triple NRTI yang dapat diberikan adalah:  AZT+ 3TC +TDF 

akan tetapi paduan triple NRTI tersebut kurang poten dibanding 

dengan paduan berbasis NNRTI (lihat Bab 4D tentang Pilihan 

pemberian Triple NRTI) 

 Pilihan NNRTI 

EFV merupakan pilihan utama dibandingkan NVP, karena 

penurunan kadar dalam darah akibat interaksi dengan rifampisin adalah 

lebih kecil dan efek hepatotoksik yang lebih ringan.  

Pada keadaan TB terdiagnosis atau muncul dalam 6 bulan sejak 

memulai terapi ARV lini pertama maupun lini kedua, maka perlu 

mempertimbangkan substitusi obat ARV karena berkaitan dengan 

interaksi obat TB khususnya Rifampisin dengan NNRTI dan PI. 

Tabel 16 berikut merupakan panduan pemakaian terapi ARV pada 

pasien yang terdiagnosis TB dalam 6 bulan setelah mulai terapi ARV lini 

pertama.  

Tabel 16.  Paduan ARV bagi ODHA yang Kemudian Muncul TB 

Aktif 

Paduan ARV  

Paduan ARV 

pada Saat TB 

Muncul 

Pilihan Terapi ARV 

Lini pertama 2 NRTI + EFV Teruskan dengan 2 NRTI + EFV 

2 NRTI + NVP Ganti dengan EFV atau 

Teruskan dengan 2 NRTI + NVP. Triple 

NRTI dapat dipertimbangkan digunakan 

selama 3 bulan jika NVP dan EFV tidak 

dapat digunakan. 

Lini kedua 2 NRTI + PI/r Mengingat rifampisin tidak dapat digunakan 

bersamaan dengan LPV/r, 

dianjurkanmenggunakan paduan OAT 

tanpa rifampisin. Jika rifampisin perlu 

diberikan maka pilihan lain adalah 

menggunakan gi LPV/r dengan dosis 800 

mg/200 mg dua kali sehari). Perlu evaluasi 

fungsi hati ketat jika menggunakan 

Rifampisin dan dosis ganda LPV/r 

 

Tatalaksana Klinis Infeksi HIV dan Terapi Antiretroviral pada orang Dewasa 

 

 32 

Bila terapi TB sudah lengkap dapat dipertimbangkan kembali untuk 

mengganti paduan ARV ke NVP kembali 

D. Terapi ARV pada Pengguna NAPZA suntik 

Kriteria klinis dan imunologis untuk pemberian terapi ARV pada 

pasien dengan ketergantungan NAPZA tidak berbeda dengan 

rekomendasi umum. Pengguna NAPZA suntik yang memenuhi 

persyaratan untuk mendapatkan terapi ARV harus pula dijamin dapat 

menjangkau obat. Perhatian khusus untuk populasi tersebut adalah 

berhubungan dengan gaya hidup yang tidak menentu sepanjang 

hidupnya sehingga dapat mempengaruhi kepatuhan terapinya. Selain itu 

perlu diperhatikan kemungkinan terjadi interaksi antara terapi ARV 

dengan zat-zat yang mereka gunakan seperti misalnya Metadon. 

Dianjurkan pengembangan suatu program yang memadukan perawatan 

ketergantungan obat (termasuk terapi substitusi) dengan HIV sehingga 

pasien terpantau dengan lebih baik. Penggunaan paduan ARV dengan 

dosis sekali sehari  masih dalam penelitian untuk diterapkan sehingga 

bisa untuk mempermudah terapi.  

E. Terapi ARV untuk individu dengan penggunaan 

Metadon 

Pemberian metadon bersamaan dengan EFV, NVP atau RTV 

untuk ODHA dengan riwayat NAPZA suntik berakibat menurunnya kadar 

metadon dalam darah dan tanda-tanda ketagihan opiat. Pemantauan 

tanda ketagihan harus dilakukan dan dosis metadon perlu dinaikkan ke 

tingkat yang sesuai untuk mengurangi gejala ketagihan tersebut. 

 Sangat direkomendasi untuk memulai terapi ARV tanpa harus 

menghentikan metadon dan sebaliknya 

 Paduan yang direkomendasi adalah AZT atau TDF + 3TC + EFV 

atau NVP 

 ARV bukan merupakan kontraindikasi pada penasun (pengguna 

napza suntik) yang masih menggunakan NAPZA atau sedang 

dalam terapi rumatan Metadon 

 Keputusan memberikan terapi ARV pada penasun yang masih aktif 

menggunakan NAPZA ditentukan oleh tim medis dengan 

mempertimbangkan kepatuhan  

 Perlunya memperhatikan (kemungkinan) interaksi obat antara 

ARV, Metadon dan obat lain yang digunakan, sehingga dosis 

metadon kadang perlu dinaikk