Sindrom Down (SD) merupakan kelainan genetik trisomi di mana
terdapat tambahan pada kromosom 21. Kelainan ini paling sering
terjadi dan paling mudah diidentifi kasi. Insiden SD diperkirakan
1:800–1000 kelahiran. Anak SD sering disertai dengan kelainan
di bidang jantung dan pembuluh darah, hormon, pendengaran,
penglihatan, tulang, dan keganasan. Perkembangan anak SD berbeda
dengan perkembangan anak sehat. Ekspresi pada kromosom
berlebih memicu penurunan jumlah sel saraf pada sistem
saraf pusat, keterlambatan mielinisasi, gangguan pengaturan siklus
sel, dan produksi protein berlebih serta neurotransmisi yang tidak
normal. Beberapa kondisi tersebut memicu gangguan kognitif,
komunikasi, konsentrasi, memori, kemampuan melaksanakan
tugas, perkembangan motorik, dan kontrol tubuh. Oleh sebab itu,
untuk mencapai kualitas hidup dan potensi maksimal, diperlukan
optimalisasi dengan identifi kasi dini dan penanganan multidisipliner
dari berbagai disiplin ilmu dengan tujuan yaitu memaksimalkan
kompetensi di seluruh domain perkembangan serta untuk
mencegah dan meminimalkan keterlambatan. Proses intervensi ini
juga membantu keluarga untuk menghadapi tantangan sehari-hari
di rumah dan di warga .
Sindrom Down (SD) merupakan kelainan genetik trisomi di mana
terdapat tambahan pada kromosom 21. Kelainan ini paling sering
terjadi dan paling mudah diidentifi kasi. Insiden SD diperkirakan
1:800–1000 kelahiran. Anak SD sering disertai dengan kelainan
di bidang jantung dan pembuluh darah, hormon, pendengaran,
penglihatan, tulang, dan keganasan. Perkembangan anak SD berbeda
dengan perkembangan anak sehat. Ekspresi pada kromosom
berlebih memicu penurunan jumlah sel saraf pada sistem
saraf pusat, keterlambatan mielinisasi, gangguan pengaturan siklus
sel, dan produksi protein berlebih serta neurotransmisi yang tidak
normal. Beberapa kondisi tersebut memicu gangguan kognitif,
komunikasi, konsentrasi, memori, kemampuan melaksanakan
tugas, perkembangan motorik, dan kontrol tubuh. Oleh sebab itu,
untuk mencapai kualitas hidup dan potensi maksimal, diperlukan
optimalisasi dengan identifi kasi dini dan penanganan multidisipliner
dari berbagai disiplin ilmu dengan tujuan yaitu memaksimalkan
kompetensi di seluruh domain perkembangan serta untuk
mencegah dan meminimalkan keterlambatan. Proses intervensi ini
juga membantu keluarga untuk menghadapi tantangan sehari-hari
di rumah dan di warga .
Pasal 113 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta:
(1) Setiap Orang yang dengan tanpa hak melakukan pelanggaran
hak ekonomi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf
i untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana
penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda paling
banyak Rp100.000.000 (seratus juta rupiah).
(2) Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta
atau pemegang Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi
Pencipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf
c, huruf d, huruf f, dan/atau huruf h untuk Penggunaan Secara
Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga)
tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima
ratus juta rupiah).
(3) Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta
atau pemegang Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi
Pencipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf
a, huruf b, huruf e, dan/atau huruf g untuk Penggunaan Secara
Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat)
tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu
miliar rupiah).
(4) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) yang dilakukan dalam bentuk pembajakan, dipidana dengan
pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana
denda paling banyak Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah).
Sindrom Down merupakan salah satu kelainan
genetik penyebab terbanyak disabilitas intelektual pada anak. Anak
dengan Sindrom Down sering memiliki kelainan medis multiorgan,
antara lain di bidang jantung, endokrin, pendengaran, penglihatan,
tulang dan sendi, hipotonia, serta keganasan. Intelligence Quotients
(IQ) mengalami penurunan dari tahun pertama ke masa kanak-
kanak seiring dengan perlambatan perkembangan. Anak dengan
Sindrom Down mengalami perlambatan perkembangan motorik
dibandingkan anak normal. Perkembangan bahasa, terutama bahasa
ekspresif juga cenderung mengalami perlambatan yang signifikan.
Selain itu, anak dengan Sindrom Down tidak memiliki orientasi
sosial seperti layaknya anak normal.
1.1 DEFINISI SINDROM DOWN
Sindrom Down (SD) merupakan suatu kelainan genetik yang
paling sering terjadi dan paling mudah diidentifikasi. SD atau yang
lebih dikenal sebagai kelainan genetik trisomi, di mana terdapat
tambahan kromosom pada kromosom 21. Kromosom ekstra tersebut
memicu jumlah protein tertentu juga berlebih sehingga
mengganggu pertumbuhan normal dari tubuh dan memicu
perubahan perkembangan otak yang sudah tertata sebelumnya.1
Selain itu, kelainan tersebut dapat memicu keterlambatan
perkembangan fisik, ketidakmampuan belajar, penyakit jantung,
bahkan kanker darah/leukemia.2,3 Kelainan ini sama sekali tidak
berhubungan dengan ras, negara, agama, maupun status sosial
ekonomi.1,4,5
2
Gambar 1.1 Susunan kromosom trisomi 21. Ekstra materi genetik inilah yang
memicu banyak karakteristik fisik dan masalah kesehatan pada anak
dengan Sindrom Down. (Sumber: Evans-Martin FF, 2009)
1.2 SEJARAH SINGKAT SINDROM DOWN
Pada tahun 1866, John Langdon Down, seorang dokter
berkewarganegaraan Inggris, menulis sebuah esai berjudul
“Observation on an ethnic classification of idiots” di mana ia
mendeskripsikan sekelompok anak dengan penampakan umum
yang berbeda dari anak lain yang mengalami retardasi mental dan
selanjutnya disebut sebagai mongolism atau mongolia idiocy. Istilah ini
dibuat berdasarkan persepsi bahwa anak-anak tersebut mempunyai
karakteristik wajah yaitu berupa lipatan epicantus yang sama dengan
ras Blumenbach di Mongolia.1,5,6
Dengan berkembangnya penemuan teknik pemeriksaan
kariotipe, pada tahun 1959, Profesor Jerome Lejeune menemukan
bahwa SD disebabkan oleh ekstra kromosom pada kromosom 21
yang selanjutnya disebut sebagai trisomi 21.5,6
Mengenal Sindrom Down 3
Pada tahun 1961, 19 orang peneliti genetik merekomendasikan
pada majalah The Lancet agar nama yang memalukan dan mempunyai
konotasi negatif tersebut diganti. The Lancet lalu menggunakan nama
Down’s Syndrome. Pada tahun 1965, WHO secara resmi menghentikan
penggunaan istilah mongolism atas permintaan delegasi dari
Mongol.6
Pada tahun 1975, the United States National Institute of Health
merekomendasikan untuk menghilangkan tanda (’) sebab pemberi
nama bukanlah pemilik dari kelainan tersebut. Oleh sebab itu,
sejak saat itu hingga sekarang, istilah yang digunakan yaitu Down
Syndrome.6
1.3 INSIDEN SINDROM DOWN
Insiden kejadian SD diperkirakan 1 di antara 800-1000 kelahiran.
Frekuensi kejadian SD di Indonesia yaitu 1 dalam 600 kelahiran
hidup. Di seluruh dunia, prevalensi keseluruhan yaitu 10 SD per
10.000 kelahiran hidup, meskipun dalam tahun terakhir angka ini
telah meningkat. Insiden penderita SD dilaporkan meningkat di
Finlandia yakni sebesar 1/364 kelahiran, Dubai 1/449, dan Belanda
1/625.7-9 Prevalensi SD tergantung pada beberapa variabel sosial-
budaya.10
Di beberapa negara di mana aborsi merupakan tindakan ilegal
seperti Irlandia dan Uni Emirat Arab, prevalensi SD lebih tinggi.
Sebaliknya, di Prancis, prevalensi SD rendah. Hal ini mungkin
disebabkan sebab persentase penghentian kehamilan yang tinggi
pada anak dengan terdeteksi SD. Di Belanda, data terbaru dari
prevalensi SD yaitu 16 per 10.000 kelahiran hidup. Di Inggris,
prevalensi kehamilan bayi dengan SD telah meningkat secara
signifikan, namun belum ada perubahan secara keseluruhan
prevalensi kelahiran hidup dari SD.10
Usia ibu saat hamil memengaruhi risiko melahirkan anak
dengan SD. Semakin meningkat usia ibu saat kehamilan, semakin
besar risiko melahirkan anak dengan SD.10,11 Pada saat usia ibu 20-24
tahun, risiko kejadian SD yaitu 1:1490, usia 40 tahun sekitar 1:106,
4
dan pada usia 49 tahun sekitar 1:11 kelahiran. Walaupun demikian,
sekitar 80% anak dengan SD lahir dari ibu yang berusia kurang
dari 35 tahun sebab usia tersebut merupakan kelompok usia
subur.1,4,5,12
Gambar 1.2 Hubungan kejadian Sindrom Down dengan usia ibu saat hamil.
(Sumber: Stewart KB, 2007)
Tabel 1.1 Angka kejadian Sindrom Down berkaitan dengan usia ibu saat
kehamilan
Usia Ibu
Melahirkan (tahun)
Peluang
Melahirkan Bayi
Sindrom Down
Usia Ibu
Melahirkan (tahun)
Peluang
Melahirkan Bayi
Sindrom Down
20-24 1:1411 35 1:338
25 1:1383 36 1:259
26 1:1187 37 1:201
27 1:1235 38 1:162
28 1:1147 39 1:113
29 1:1002 40 1:84
30 1:959 41 1:69
31 1:837 42 1:52
32 1:695 43 1:38
33 1:589 44 1:37
34 1:430 45 1:32
(Sumber: Stewart KB, 2007)
Mengenal Sindrom Down 5
Didapatkan peningkatan angka kejadian sindrom down seiring
dengan pertambahan usia ibu saat hamil (Sumber: Stewart KB,
2007).
6
KLASIFIKASI, ETIOLOGI, DAN
FAKTOR RISIKO SINDROM DOWN
BAB 2
2.1 KLASIFIKASI SINDROM DOWN
Berdasarkan kelainan struktur dan jumlah kromosom, Sindrom
Down terbagi menjadi 3 jenis, yaitu:
1. Trisomi 21 klasik yaitu bentuk kelainan yang paling sering
terjadi pada penderita Sindrom Down, di mana terdapat
tambahan kromosom pada kromosom 21. Angka kejadian trisomi
21 klasik ini sekitar 94% dari semua penderita Sindrom Down.
2. Translokasi yaitu suatu keadaan di mana tambahan kromosom
21 melepaskan diri pada saat pembelahan sel dan menempel
pada kromosom yang lainnya. Kromosom 21 ini dapat menempel
dengan kromosom 13, 14, 15, dan 22. Ini terjadi sekitar 3-4%
dari seluruh penderita Sindrom Down. Pada beberapa kasus,
translokasi Sindrom Down ini dapat diturunkan dari orang tua
kepada anaknya. Gejala yang ditimbulkan dari translokasi ini
hampir sama dengan gejala yang ditimbulkan oleh trisomi 21.
Klasifi kasi, Etiologi, dan Faktor Risiko Sindrom Down 7
3. Mosaik yaitu bentuk kelainan yang paling jarang terjadi,
di mana hanya beberapa sel saja yang memiliki kelebihan
kromosom 21 (trisomi 21). Bayi yang lahir dengan Sindrom Down
mosaik akan memiliki gambaran klinis dan masalah kesehatan
yang lebih ringan dibandingkan bayi yang lahir dengan Sindrom
Down trisomi 21 klasik dan translokasi. Trisomi 21 mosaik hanya
mengenai sekitar 2-4% dari penderita Sindrom Down.13
2.2 ETIOLOGI SINDROM DOWN
Hingga saat ini belum diketahui pasti penyebab Sindrom Down.
Namun, diketahui bahwa kegagalan dalam pembelahan sel inti yang
terjadi pada saat pembuahan dapat menjadi salah satu penyebab yang
sering dikemukakan dan penyebab ini tidak berkaitan dengan apa
8
yang dilakukan ibu selama kehamilan. Sindrom Down terjadi sebab
kelainan susunan kromosom ke-21, dari 23 kromosom manusia. Pada
manusia normal, 23 kromosom tersebut berpasang-pasangan hingga
berjumlah 46. Pada penderita Sindrom Down, kromosom 21 tersebut
berjumlah tiga (trisomi), sehingga total menjadi 47 kromosom.2,3
Kelebihan satu salinan kromosom 21 di dalam genom dapat
berupa kromosom bebas yaitu trisomi 21 murni, bagian dari fusi
translokasi Robertsonian yaitu fusi kromosom 21 dengan kromosom
akrosentrik lain, ataupun dalam jumlah yang sedikit sebagai bagian
dari translokasi resiprokal yaitu timbal balik dengan kromosom
lain.3,14,15
Selain nondisjunction, penyebab lain dari Sindrom Down
yaitu anaphase lag, yaitu kegagalan dari kromosom atau kromatid
untuk bergabung ke salah satu nukleus anak yang terbentuk pada
pembelahan sel, sebagai akibat dari terlambatnya perpindahan
atau pergerakan selama anafase. Kromosom yang tidak masuk
ke nukleus sel anak akan menghilang. Ini dapat terjadi pada saat
meiosis ataupun mitosis.3,14,15
Hall menuliskan bahwa Sindrom Down disebabkan oleh
adanya kromosom ekstra pada pasangan kromosom ke 21, yang
dapat mengambil bentuk salah satu di antara 4 pola, yaitu trisomi,
translokasi, mosaik, dan duplikasi.
Trisomi 21 (47, XX, +21) merupakan bentuk Sindrom Down yang
paling umum, meliputi 95% dari semua kasus, yang disebabkan
oleh kesalahan dalam pembelahan sel sehingga terdapat 3 buah
kromosom 21 pada seluruh sel tubuh. Tipe ini sebenarnya tidak
diwariskan walaupun peluang untuk mendapat anak lain dengan
Sindrom Down meningkat menjadi 1 banding 100 pada populasi
umum.1,2,6
Translokasi Robertsonian atau Sindrom Down familial, meliputi
3-4% dari seluruh kasus, di mana lengan panjang kromosom 21
menempel pada kromosom lain, biasanya kromosom 14 (45, XX,
t(14;21q)), atau pada kromosom 21 sendiri dan disebut iso kromosom
(45, XX, t(21q,21q)). Pada tipe ini salah satu dari orang tua akan
Klasifi kasi, Etiologi, dan Faktor Risiko Sindrom Down 9
membawa materi kromosom dengan urutan yang tidak lazim
sehingga diperlukan konseling genetik.1,2,6
Mosaik (46, XX atau 47, XX+21) merupakan bentuk yang jarang
di mana hanya terjadi sekitar 1-2% saja. Pada bentuk ini, terdapat sel
yang mengandung kromosom ekstra dan ada yang tidak. Semakin
sedikit sel yang terpengaruh, semakin kecil derajat gangguan
yang ditimbulkan. Duplikasi bagian dari kromosom 21 (46, XX,
dup(21q)) merupakan bentuk yang sangat jarang. Duplikasi ini akan
memicu bertambahnya gen pada kromosom 21.1,2,6
2.3 FAKTOR RISIKO SINDROM DOWN
Pada Sindrom Down, trisomi 21 dapat terjadi tidak hanya
pada saat meiosis pada waktu pembentukan gamet, tetapi juga
saat mitosis awal dalam perkembangan zigot. Oosit primer yang
perkembangannya terhenti pada saat profase meiosis I, tidak berubah
pada tahap tersebut sampai terjadi ovulasi. Di antara waktu tersebut,
oosit mengalami non-disjunction.2,14
Pada Sindrom Down, meiosis I menghasilkan ovum yang
mengandung 21 autosom dan apabila dibuahi oleh spermatozoa
normal yang membawa autosom 21, maka terbentuk zigot trisomi
21. Nondisjunction ini dapat disebabkan oleh beberapa hal, yaitu:
1. Infeksi virus. Rubela merupakan salah satu jenis infeksi virus
tersering pada prenatal yang bersifat teratogen lingkungan yang
dapat memengaruhi embriogenesis dan mutasi gen sehingga
memicu perubahan jumlah maupun struktur kromosom.
2. Radiasi
Radiasi merupakan salah satu penyebab dari nondisjunctinal
pada Sindrom Down. Sekitar 30% ibu yang melahirkan anak
dengan Sindrom Down pernah mengalami radiasi di daerah
perut sebelum terjadinya konsepsi. Kecelakaan reaktor atom
Chernobyl pada tahun 1986 dikatakan merupakan penyebab
beberapa kejadian Sindrom Down di Berlin.
3. Penuaan sel telur. Peningkatan usia ibu berpengaruh terhadap
kualitas sel telur. Sel telur akan menjadi kurang baik dan pada saat
10
terjadi pembuahan oleh spermatozoa, sel telur akan mengalami
kesalahan dalam pembelahan. Sel telur wanita telah dibentuk
pada saat masih dalam kandungan yang akan dimatangkan
satu per satu setiap bulan pada saat wanita tersebut mengalami
menstruasi. Pada saat wanita memasuki usia tua, kondisi sel
telur tersebut terkadang menjadi kurang baik, sehingga pada saat
dibuahi oleh spermatozoa, sel benih ini mengalami pembelahan
yang salah. Proses selanjutnya disebabkan oleh keterlambatan
pembuahan akibat penurunan frekuensi bersenggama pada
pasangan tua. Faktor selanjutnya disebabkan oleh penuaan sel
spermatozoa laki-laki dan gangguan pematangan sel sperma itu
sendiri di dalam epididimis yang akan berefek pada gangguan
motilitas sel sperma itu sendiri juga dapat berperan dalam efek
ekstra kromosom 21 yang berasal dari ayah.
4. Usia ibu. Wanita dengan usia lebih dari 35 tahun lebih berisiko
melahirkan bayi dengan Sindrom Down dibandingkan dengan
ibu usia muda (kurang dari 35 tahun). Angka kejadian Sindrom
Down dengan usia ibu 35 tahun, sebesar 1 dalam 400 kelahiran.
Sedangkan ibu dengan umur kurang dari 30 tahun, sebesar
kurang dari 1 dalam 1000 kelahiran. Perubahan endokrin
seperti peningkatan sekresi androgen, penurunan kadar
hidroepiandrosteron, penurunan konsentrasi estradiol sistemik,
perubahan konsentrasi reseptor hormon, peningkatan hormon
LH (Luteinizing Hormone) dan FSH (Follicular Stimulating Hormone)
secara mendadak pada saat sebelum dan selama menopause,
dapat meningkatkan kemungkinan terjadinya nondisjunction. 2,14
Kelebihan satu salinan kromosom 21 di dalam genom dapat
berupa kromosom bebas yaitu trisomi 21 murni, bagian dari fusi
translokasi Robertsonian yaitu fusi kromosom 21 dengan kromosom
akrosentrik lain, ataupun dalam jumlah yang sedikit sebagai bagian
dari translokasi resiprokal yaitu timbal balik dengan kromosom
lain.15-17
Selain nondisjunction, penyebab lain dari Sindrom Down
yaitu anaphase lag yang merupakan kegagalan dari kromosom
Klasifi kasi, Etiologi, dan Faktor Risiko Sindrom Down 11
atau kromatid untuk bergabung ke salah satu nukleus anak yang
terbentuk pada pembelahan sel sebagai akibat dari terlambatnya
perpindahan atau pergerakan selama anafase. Kromosom yang tidak
masuk ke nukleus sel anak akan menghilang. Ini dapat terjadi pada
saat meiosis ataupun mitosis.15-17
2.4 KARAKTERISTIK FISIK ANAK SINDROM DOWN
Anak Sindrom Down dapat dikenali dari karakteristik fisiknya.
Beberapa karakteristik fisik khusus, meliputi:
- bentuk kepala yang relatif lebih kecil dibandingkan dengan orang
normal (microchephaly) dengan area datar di bagian tengkuk.
- ubun-ubun berukuran lebih besar dan menutup lebih lambat
(rata-rata usia 2 tahun).
- bentuk mata sipit dengan sudut bagian tengah membentuk
lipatan (epicanthal folds).
- bentuk mulut yang kecil dengan lidah besar (macroglossia)
sehingga tampak menonjol keluar.
- saluran telinga bisa lebih kecil sehingga mudah buntu dan dapat
memicu gangguan pendengaran jika tidak diterapi.
- garis telapak tangan yang melintang lurus/horizontal (simian
crease)
- penurunan tonus otot (hypotonia)
- jembatan hidung datar (depressed nasal bridge), cuping hidung dan
jalan napas lebih kecil sehingga anak Sindrom Down mudah
mengalami hidung buntu.
- tubuh pendek. Kebanyakan orang dengan Sindrom Down tidak
mencapai tinggi dewasa rata-rata.
- dagu kecil (micrognatia)
- gigi geligi kecil (microdontia), muncul lebih lambat dalam urutan
yang tidak sebagaimana mestinya.
- spot putih di iris mata (Brushfield spots).18-20
Sementara itu, Epstein (1991) mendapatkan sebanyak 50-120
karakteristik fisik yang digolongkan sebagai Sindrom Down seperti
yang tercantum dalam tabel berikut.21
12
Tabel 2.1 Karakteristik fisik yang dapat dijumpai pada Sindrom Down
Lokasi Karakteristik Frekuensi (%)
Kepala Brakisefali 75
Mata Oblique palpebral fissure 85-98
Lipatan epicantus 57-79
Brushfield spot 35-75
Hidung Jembatan hidung rata 83-87
Telinga Kecil, letak rendah 34-43
Mulut Kecil, selalu terbuka 40-65
Sudut bibir ke bawah 84
Lidah besar 38-58
Lidah menjulur keluar 22
Leher Pendek 70
Lipatan kulit 60-87
Dada Kelainan iga no 12 15-26
Pectus excavatum 14-18
Pectus carinatum 6-11
Abdomen Hernia umbilikalis 89
Ekstremitas Tangan lebar, jari pendek 38-61
Simian crease 57-60
Jari manis pendek 51
Jari manis tertekuk ke
dalam
43-51
Syndactily 10
Jarak antar jari lebar 64-96
(Sumber: Epstein CJ, 1990)
Bentuk mata yang khas dengan adanya lipatan kecil yang
menutupi sudut bagian dalam mata inilah yang membuat John
Langdon Down menamakannya dengan istilah “mongolism”. Istilah
ini kemudian dinilai tidak pantas dan diganti dengan Sindrom
Down pada tahun 1961.18-20
13
3.1 KELAINAN KROMOSOM SINDROM DOWN
Kromosom yaitu struktur seperti benang yang terdiri atas
DNA dan protein lain. Kromosom-kromosom ini ada pada setiap
sel tubuh dan membawa informasi genetik yang diperlukan oleh
sel untuk berkembang. Gen yaitu unit informasi yang dikodekan
dalam DNA. Sel manusia normal memiliki 46 kromosom yang dapat
disusun dalam 23 pasang. Dari 23 pasang, 22 pasang kromosom
ini sama baik pria maupun wanita yang disebut dengan autosom.
Pasangan kromosom ke-23 yaitu kromosom kelamin (X dan Y).
Setiap anggota dari sepasang kromosom membawa informasi yang
sama, yang berarti bahwa gen yang sama berada di daerah yang
sama pada kromosom. Namun, variasi gen (alel) mungkin dapat
terjadi. Contoh yaitu informasi genetik untuk warna mata disebut
gen, dan variasi untuk biru, hijau, dan lain-lain disebut alel.2,13
KELAINAN KROMOSOM DAN
GEN PADA SINDROM DOWN
BAB 3
14
Terdapat dua cara pembelahan sel pada manusia. Pertama
yaitu pembelahan sel biasa yang disebut mitosis. Dengan cara ini,
satu sel membelah menjadi dua sel yang memiliki jumlah dan tipe
kromosom yang sama persis dengan kromosom sel induk. Kedua
yaitu pembelahan sel yang terjadi dalam ovarium dan testis yang
disebut sebagai meiosis. Pembelahan ini terdiri dari satu sel yang
membelah menjadi dua, dengan jumlah kromosom setengah dari
jumlah kromosom sel induk. Jadi, normalnya sel telur dan sel sperma
hanya memiliki 23 kromosom, bukan 46. 2,13
Terdapat banyak kesalahan yang dapat terjadi selama proses
pembelahan sel. Pada meiosis, beberapa pasang kromosom
membelah diri dan berpisah ke tempat yang berbeda, peristiwa ini
disebut disjungsi. Namun, kadang-kadang salah satu pasang sel
tidak membelah, dan seluruhnya pergi ke satu lokasi. Ini berarti
bahwa dalam sel-sel yang dihasilkan, seseorang akan memiliki
24 kromosom dan yang lain hanya akan memiliki 22 kromosom.
Peristiwa kecelakaan ini disebut dengan nondisjunction dan dapat
terjadi pada meiosis I atau II (lebih sering terjadi pada meiosis I).
Jika sperma atau sel telur dengan jumlah kromosom yang abnormal
menyatu dengan pasangan normal, sel telur yang dibuahi akan
memiliki jumlah kromosom yang abnormal.2,22 Kelainan kromosom
Sindrom Down didapatkan sebesar 8% pada kelahiran yang
memicu sekitar 50% aborsi terjadi pada trimester pertama, 5%
lahir mati, dan 7% kematian neonatus. Kelainan kromosom yang
masih memungkinkan janin hidup tetapi menimbulkan morbiditas
berat terjadi pada 0,65% neonatus. Kelainan kromosom dapat terjadi
baik pada jumlah maupun strukturnya.22
3.2 KELAINAN JUMLAH KROMOSOM (ANEUPLOIDI)
Jumlah kromosom pada manusia yaitu 44 autosom, tersusun
dalam pasangan yang diberi nomor dari 1 hingga 22, dan satu pasang
kromosom seks. Aneuploidi yaitu keadaan di mana seseorang
kehilangan satu kromosom (monosomi) atau memiliki lebih dari
dua kromosom (trisomi). 2,22
Kelainan Kromosom dan Gen pada Sindrom Down 15
1. Trisomi
Kelainan jumlah paling sering disebabkan oleh nondisjunction,
yaitu kromosom berpasangan dengan benar, tetapi gagal
memisah sewaktu meiosis. Risiko nondisjunction meningkat
seiring usia ibu. Trisomi 16 dilaporkan memicu 16%
kematian trimester pertama, namun kelainan ini belum pernah
dijumpai pada kehamilan akhir. Aneuploidi yang memungkinkan
kelangsungan hidup melewati trimester pertama yaitu trisomi
13, 18, dan 21.
Trisomi 21 disebut juga Sindrom Down, terjadi pada 1 dari 800
hingga 1000 neonatus. Hampir 95% kasus Sindrom Down terjadi
akibat nondisjunction kromosom 21 ibu. Trisomi 18 juga dikenal
sebagai Sindrom Edward dan terjadi pada 1 dari 8000 neonatus.
Orang dengan sindrom Edward akan mengalami disabilitas
intelektual berat dan memicu terjadinya kelainan pada
beberapa bagian tubuh. Trisomi 13 juga dikenal sebagai sindrom
Patau dan terjadi pada sekitar 1 dari 20.000 kelahiran. Beberapa
penderita trisomi 13 akan mengalami disabilitas intelektual
berat.
2. Monosomi
Monosomi hampir selalu memicu kematian, kecuali
monosomi X yang juga dikenal sebagai Sindrom Turner.
Sindrom Turner terjadi pada wanita, di mana hanya memiliki
satu kromosom seks. Prevalensi kejadian ini yaitu 1 dari 2500
kelahiran hidup.
3. Poliploidi
Tambahan kromosom merupakan penyebab sekitar 20% abortus
dini dan jarang dijumpai pada kehamilan tahap lanjut. Triploidi
yaitu kelainan yang tersering.
4. Kromosom Seks Tambahan
Wanita dengan 47,XXX dan pria dengan 47,XXY (juga dikenal
dengan Sindrom Klinefelter) cenderung memiliki tubuh yang
tinggi tetapi tidak ada pertumbuhan seks sekunder. Baik pada
XXX maupun XXY memiliki rerata IQ lebih rendah daripada
orang normal. Selain itu, ada juga pria dengan 47,XYY atau
16
disebut juga dengan Sindrom Jacob yang terjadi pada 1 dari 1000
kelahiran hidup.
3.3 KELAINAN STRUKTUR KROMOSOM
Kelainan struktur kromosom terjadi ketika kerusakan tidak
dapat diperbaiki secara benar atau terjadi proses rekombinasi yang
salah antara kromosom yang nonhomolog pada tahap meiosis.
Kelainan ini dapat disebabkan akibat kesalahan pada saat proses
penyatuan yang terjadi saat crossing over pada meiosis I. 2,22
1. Delesi yaitu hilangnya suatu bagian kromosom yang disebabkan
sebab adanya kesalahan crossing over selama meiosis, dan dapat
juga disebabkan sebab adanya penyakit genetik yang serius.
Delesi 4p atau dikenal juga sebagai Sindrom Wolf-Hirschhorn
memicu hambatan pertumbuhan janin, hipotonia,
penampilan wajah yang khas, disabilitas intelektual berat, dan
defek kulit kepala di garis tengah posterior (aplasia kutis).
2. Translokasi yaitu suatu keadaan di mana terjadi perpindahan
materi kromosom yang satu dengan yang lainnya. Pertukaran ini
biasanya tidak disertai dengan hilangnya materi DNA sehingga
disebut balanced translocation. Namun pada carrier balanced
translocation, akan memberikan keturunan dengan unbalanced
translocation, yaitu suatu keadaan di mana perpindahan
materi kromosom ini disertai dengan hilangnya materi DNA.
Translokasi resiprokal atau segmen ganda yaitu tata ulang
materi kromosom, ditandai dengan terjadinya pemutusan di dua
kromosom yang berbeda. Kemudian terjadi pertukaran fragmen–
fragmen sebelum pemutusan tersebut diperbaiki. Translokasi
Robertsonian terjadi akibat fusi di sentromer dua kromosom
akrosentrik, yaitu kromosom 13, 14, 15, 21, dan 22. Translokasi
ini terjadi pada sekitar 1 dari 1000 neonatus.
3. Inversi, terjadi jika terdapat dua pemutusan di kromosom
yang sama dan materi genetik yang terletak di antara titik-titik
pemutusan tersebut mengalami pembalikan (inversi) sebelum
pemutusan diperbaiki. Inversi parasentrik yaitu inversi ketika
Kelainan Kromosom dan Gen pada Sindrom Down 17
bahan genetik yang terbalik berasal hanya dari satu lengan
dan tidak melibatkan sentromer. Inversi perisentrik terjadi
jika pemutusan berlangsung di masing-masing lengan dan
melibatkan sentromer.
4. Isokromosom yaitu suatu keadaan di mana salah satu lengan
kromosom mengalami delesi, kemudian digantikan oleh
duplikasi dari lengan yang lainnya, sehingga lengan panjang
dan lengan pendek tampak identik.
5. Insersi yaitu suatu keadaan yang terjadi sebab segmen dari
salah satu kromosom dimasukkan ke dalam kromosom yang
lain.
6. Duplikasi yaitu adanya dua salinan salah satu segmen kromosom
pada kromosom yang sama.
3.4 MUTASI GENETIK SINDROM DOWN
Sindrom Down dikenal sebagai suatu kelainan genetik yang
disebabkan adanya tiga kromosom 21. Berdasarkan pemeriksaan
sitogenetik, umumnya Sindrom Down dibedakan atas tiga tipe,
yaitu trisomi klasik, translokasi, dan mosaik. Jenis trisomi klasik
merupakan tipe yang paling banyak dijumpai. Frekuensi trisomi
klasik, translokasi, dan mosaik masing-masing pada penelitian yang
dilakukan di Tunisia oleh Chaabouni dkk (1999) di mana frekuensi
masing-masing 91,2%, 4%, dan 4,8% dan penelitian lain di India oleh
Tabel 3.1 Analisis kariotipe terhadap 22 kasus Sindrom Down
Kariotipe Bukan Sindrom Down %
Trisomi 21 regular
47, XY, +21 12 54.6
47, XX, +21 8 36.4
Translokasi Sindrom Down
47, XY, +21, rob (21;21) (q10;q10) 1 4.5
Sindrom Down Mosaik
47, XY, +21/46,XY 1 4.5
Total 22 10220
(Sumber: Belmokhtar F, Belmokhtar R, Kerfouf A, 2016)
18
Verma dkk (2012) dengan frekuensi masing-masing yaitu 91,6%,
4,1% dan 4,1%.2,3,13,23-25
3.5 SINDROM DOWN TRISOMI 21 KLASIK
Pada Sindrom Down, 95% dari semua kasus disebabkan oleh
peristiwa ini, satu sel mempunyai dua kromosom 21 sehingga sel
telur yang dibuahi akan memiliki tiga kromosom 21. Oleh sebab
itu, sering disebut dengan nama ilmiah trisomi 21. Penelitian terbaru
menunjukkan bahwa, dalam kasus ini sekitar 90% dari sel-sel yang
abnormal yaitu sel telur. Penyebab kesalahan nondisjunction tidak
diketahui, tetapi secara pasti memiliki kaitan dengan usia ibu.
Penelitian saat ini bertujuan untuk mencoba menentukan penyebab
dan waktu terjadinya peristiwa nondisjunction. Pada trisomi 21,
kehadiran sebuah gen tambahan memicu ekspresi berlebih
dari gen yang terlibat, sehingga meningkatkan produksi produk
tertentu. Untuk sebagian besar gen, ekspresi yang berlebihan
memiliki pengaruh yang kecil sebab adanya mekanisme tubuh yang
mengatur gen dan produknya. Akan tetapi, gen yang memicu
Sindrom Down tampaknya merupakan suatu pengecualian.23-24
Gambar 3.1 Proses meiosis (a) Proses meiosis normal, (b) Terjadi kesalahan
pada meiosis I, (c) Terjadi kesalahan pada meiosis II. Kesalahan proses
meiosis menimbulkan mutasi genetik yang memicu terjadinya Sindrom Down.
(Sumber: Girirajan S., 2009)
Kelainan Kromosom dan Gen pada Sindrom Down 19
3.6 SINDROM DOWN TRANSLOKASI
Translokasi Robersonian terjadi pada 3-4% dari semua kasus
trisomi 21. Dalam kasus ini, dua pembelahan terjadi di kromosom
yang terpisah, biasanya pada kromosom 14 dan 21. Ada penataan
ulang materi genetik sehingga beberapa dari kromosom 14 digantikan
oleh kromosom 21 tambahan (ekstra). Jadi pada saat jumlah
kromosom normal, terjadi triplikasi dari kromosom 21. Beberapa
anak mungkin hanya terjadi triplikasi pada kromosom 21, bukan
pada keseluruhan kromosom, yang biasa disebut dengan trisomi 21
parsial. Translokasi yang dihasilkan dari trisomi 21 mungkin dapat
diwariskan, jadi penting untuk memeriksa kromosom orang tua
dalam kasus ini untuk melihat apakah anak mungkin memiliki sifat
pembawa (carrier).2,3,13
Translokasi Robersonian dan isokrosomal atau kromosom
cincin merupakan penyebab lain Sindrom Down. Isokromosom
yaitu istilah yang digunakan untuk mendeskripsikan keadaan di
mana dua lengan panjang dan lengan pendek berpisah bersamaan
selama perkembangan sperma ovum. Trisomi (kariotipe 47, XX + 21
untuk perempuan dan 47, XY + 21 untuk laki-laki) disebabkan oleh
kegagalan kromosom 21 untuk membelah selama perkembangan
sperma atau ovum. Pada translokasi Robertsonian yang hanya
muncul pada 2-4% dari semua kasus, lengan panjang dari kromosom
21 menempel dengan kromosom lain (biasanya kromosom 14). 2,3,13
3.7 SINDROM DOWN MOSAIK
Sisa kasus trisomi 21 yaitu sebab kejadian mosaik. Orang-
orang ini memiliki campuran garis sel, beberapa di antaranya
memiliki sejumlah kromosom normal dan lainnya memiliki trisomi
21. Dalam mosaik sel, campuran ini terlihat berbeda dari jenis yang
sama. Dalam mosaik jaringan, satu set sel seperti semua sel darah
mungkin memiliki kromosom normal dan juga tipe yang lain, seperti
semua sel-sel kulit, mungkin memiliki trisomi 21. Proses ini bekerja
dengan kesalahan atau kegagalan pembelahan yang muncul setelah
fertilisasi pada beberapa titik selama pembelahan sel. Sindrom Down
20
mosaik memiliki dua jalur keturunan sel yang berkontribusi pada
jaringan dan organ pada individu dengan mosaikisme (satu dengan
jumlah kromosom normal, dan satu lainnya dengan tambahan pada
21). 2
3.8 GEN YANG BERPENGARUH PADA SINDROM DOWN
Hipotesis ketidakseimbangan gen menyatakan bahwa pasien
dengan Sindrom Down memiliki jumlah salinan gen pada HSA21
yang meningkat, sehingga menimbulkan peningkatan ekspresi gen.
Hipotesis ini mengandung arti bahwa gen atau bagian spesifik dari
gen mungkin mengatur fenotip Sindrom Down tertentu. Hipotesis
ketidakstabilan perkembangan yang makin kuat menyatakan bahwa
dosis dari sejumlah gen trisomi membawa ketidakseimbangan
genetik yang memicu dampak besar pada ekspresi dan
regulasi dari banyak gen sepanjang genom. Analisis fenotip
dilakukan pada individu dengan trisomi sebagian untuk HSA21
teridentifikasi bahwa hanya satu atau beberapa bagian kecil pada
kromosom disebut sebagai “Down Syndrome Critical Regions” (DSCR),
sebuah bagian dengan 3.8–6.5 Mb pada 21q21.22, dengan kira-kira
30 gen yang terkait pada mayoritas fenotip pada Sindrom Down.
Sebelumnya, sebuah bagian dari 1.6 sampai 2.5 Mb dikenali sebagai
penyebab untuk fenotip Sindrom Down. Bagian dari 21q22 diketahui
berpengaruh pada beberapa fenotip termasuk abnormalitas kepala
wajah, penyakit jantung bawaan, klinodaktili pada jari kelima, dan
retardasi mental.25,28
Peranan penting Dual-specificity tyrosine phosphorylation-regulated
kinase (DYRK1A), regulator of calcineurin 1 (RCAN1), dan Down
Syndrome Cell Adhesion Molecule (DSCAM) dalam perkembangan otak
dan telah diidentifikasi sebagai gen kandidat terhadap peningkatan
risiko dari penyakit jantung bawaan pada individu dengan Sindrom
Down. DSCAM merupakan faktor penting pada diferensiasi neural,
pedoman akson, dan penetapan dari jaringan saraf dan diduga
bahwa gangguan dari proses-proses ini berkontribusi pada fenotip
neurokognitif Sindrom Down.29
Kelainan Kromosom dan Gen pada Sindrom Down 21
Transkripsi dari gen trisomi meningkat sekitar 50% dari variasi
sel dan jaringan. Peningkatan ekspresi tersebut dapat mengganggu
fungsi sel yang berdiferensiasi pada peningkatan ekspresi dan
sebagai penentuan mekanisme ekspresi berlebihan gen-gen yang
berkonstribusi pada fenotip Sindrom Down. Ekspresi berlebihan
gen tidak hanya memengaruhi perkembangan dan fungsi sel,
namun juga memengaruhi sel di sebelahnya, yang memicu
perkembangan yang menyimpang sebagai dampak sekunder dari
trisomi. Sedikit bagian dari kromosom 21 yang sebenarnya benar-
benar perlu ditriplikasi untuk membuat efek pada Sindrom Down,
yang disebut sebagai Down’s Syndrome Critical Region. Namun, area
ini bukan merupakan satu daerah yang kecil, tetapi beberapa daerah
yang kemungkinan besar tidak selalu berdampingan. Kromosom 21
mungkin benar-benar memegang 200-250 gen (menjadi kromosom
yang terkecil dalam hal jumlah gen), tetapi diperkirakan bahwa
hanya beberapa persen saja yang mengakibatkan ciri-ciri pada
Sindrom Down.28,29
Adanya Down’s Syndrome Critical Region (DSCR) sebuah segmen
kecil pada kromosom 21 yang mengandung gen-gen yang bertanggung
jawab pada ciri-ciri utama Sindrom Down, telah mendominasi
penelitian Sindrom Down pada tiga dekade terakhir. Gen-gen yang
terdapat pada daerah 5,4 Mb ini dikelompokkan menjadi DSCR1 dan
DSCR2. 28,29 Menurut Davies dkk (2006) DSCR1 yang sekarang diberi
nama Regulator of Calcineurin 1 (RCAN1) diekspresikan berlebih
dalam otak fetus Sindrom Down dan berinteraksi secara fisik dan
fungsional dengan kalsineurin A, sebuah katalitik subunit dari
kalsium/calmodulin-dependent protein phosphatase.30 Patterson D pada
tahun 2007 mengatakan bahwa RCAN1 yang banyak diekspresikan
di otak dan jantung menunjukkan bahwa ekspresi berlebih tersebut
berhubungan dengan patogenesis Sindrom Down, terutama retardasi
mental dan/atau kelainan jantung.28 Sementara itu, Korbel pada tahun
2009 mengungkapkan bahwa DSCR2 lebih banyak diekspresikan
pada semua jaringan dan sel yang berproliferasi, seperti jaringan
fetus, testis, dan sel kanker.29
22
Gen yang mungkin terlibat dalam terjadinya Sindrom Down
meliputi:3,28-30
a. Superoxide Dismustase (SOD1) – ekspresi berlebih yang
memicu penuaan dini dan menurunnya fungsi sistem
imun. Gen ini berperan dalam demensia tipe Alzheimer.
b. COL6A1 – ekspresi berlebih yang memicu cacat jantung.
c. ETS2 – ekspresi berlebih yang memicu kelainan tulang
(abnormalitas skeletal).
d. CAF1A – ekspresi berlebih yang dapat merusak sintesis DNA.
e. Cystathione Beta Synthase (CBS) – ekspresi berlebih yang
memicu gangguan metabolisme dan perbaikan DNA.
f. DYRK – ekspresi berlebih yang memicu retardasi mental.
g. CRYA1 – ekspresi berlebih yang memicu katarak.
h. GART – ekspresi berlebih yang memicu gangguan sintesis
dan perbaikan DNA.
i. IFNAR – gen yang mengekspresikan interferon, ekspresi berlebih
yang dapat mengganggu sistem kekebalan tubuh dan sistem
organ lainnya.
Gen lainnya yang mungkin juga terlibat, di antaranya APP,
GLUR5, S100B, TAM, PFKL, dan beberapa gen lainnya. Sekali lagi,
penting untuk diketahui bahwa belum ada gen yang sepenuhnya
terkait dengan setiap karakteristik yang berhubungan dengan
Sindrom Down.28
23
4.1 SKRINING DAN DIAGNOSIS SINDROM DOWN
Singh dkk (2004), menyarankan dilakukan skrining untuk
Sindrom Down pada ibu hamil yang mempunyai risiko tinggi
yaitu ibu hamil berusia tua. Skrining dapat dilakukan dengan
cara noninvasif, yaitu melalui triple, quad, AFP/free beta, dan nuchal
translucency screening test. Skrining yang positif harus ditindaklanjuti
dengan usaha untuk menegakkan diagnosis prenatal dengan
menggunakan cara yang lebih invasif, yaitu Chorionic Villous Sampling,
Amniocentesis, atau Percutaneus Umbilical Blood Sampling. Sementara
diagnosis Sindrom Down postnatal, dilakukan berdasarkan
identifikasi karakteristik fisik yang sering dijumpai pada bayi baru
lahir dengan Sindrom Down dan dikonfirmasi dengan analisis
kromosom. 1,5,31
SKRINING DAN DIAGNOSIS
SINDROM DOWN
BAB 4
24
4.2 DIAGNOSIS PRENATAL
Prevalensi hasil konsepsi mempunyai kelainan, yaitu sekitar
8%. Hal ini merupakan indikasi untuk dilakukan tes diagnosis
prenatal invasif yang saat ini masih merupakan standar baku.
Diagnosis prenatal pada kehamilan risiko tinggi dapat mengurangi
penurunan terjadinya Sindrom Down melalui amniosintesis dan
Chorion Villus Sampling (CVS).32
Tes skrining pada trimester I (nuchal translucency, free ß-hCG dan
PAPP-A) dan triple test pada trimester II (Feto Protein, Unconjugated
Estradiol 3 dan ß-hCG) merupakan metode yang sering dipakai
untuk skrining kelainan kromosom. Prosedur standar (gold standard)
untuk diagnosis prenatal yaitu dengan fetal karyotyping pada wanita
hamil. Diagnosis definitif ini membutuhkan pemeriksaan invasif
yaitu CVS atau amniosintesis. Terdapat beberapa assay molekuler
seperti Fluorescent in situ Hybridization (FISH), Quantitative Fluorescence
PCR (QF-PCR), dan MLPA Multiplex Probe Ligation Assay (MLPA) yang
juga dapat digunakan untuk diagnosis prenatal.33,34
Amniosintesis dilakukan dengan mengambil sampel air ketuban
yang kemudian diuji untuk menganalisis kromosom janin. Pada
trimester II (minggu ke 14-20 kehamilan), cara tersebut merupakan
teknik invasif yang paling umum digunakan sebab lebih aman dan
lebih mudah (dibandingkan dengan amniosintesis pada trimester I
dan CVS), terpercaya, dan akurat dari segi sitogenetik serta biaya
yang relatif murah daripada metode skrining yang lain. Komplikasi
amniosintesis berkisar antara 0,5-2,2%. Amniosintesis dan CVS
cukup dapat diandalkan tetapi memberikan risiko keguguran sekitar
0,5-1%. CVS dilakukan dengan mengambil sampel sel dari plasenta.
Sampel tersebut akan diuji untuk melihat kromosom janin. Teknik
ini dilakukan pada kehamilan minggu kesembilan hingga empat
belas.33,34 Berdasarkan tanda klinis seperti adanya tulang hidung
yang kecil atau bahkan tidak ada, ventrikel yang besar, dan leher
yang tebal, risiko untuk janin Sindrom Down dapat diidentifikasi
melalui USG pada minggu gestasional ke 14 sampai 24. Peningkatan
Skrining dan Diagnosis Sindrom Down 25
translusensi leher janin mengindikasikan peningkatan risiko dari
Sindrom Down.34
Metode FISH dari nukleus interfase merupakan metode yang
paling sering digunakan dengan menggunakan HSA21 spesifik atau
seluruh HSA21. Metode lain yang sering digunakan di beberapa
negara yaitu QFPCR, di mana tanda polimorfik DNA (mikrosatelit)
pada HSA21 digunakan untuk menentukan keberadaan dari tiga
alel berbeda. Metode ini mengandalkan tanda informatif dan
ketersediaan DNA. Diagnosis cepat dengan metode berdasarkan
PCR menggunakan tanda STR polimorfik mungkin menurunkan
kesulitan dengan pendekatan konvensional. Penggunaan metode
tanda STR dapat mendeteksi trisomi pada 86,67% kasus dengan
hanya dua marker.34,35 Metode tambahan untuk mengukur jumlah
salinan dari urutan DNA termasuk MLPA yang pertama kali
dikenalkan pada 2002 sebagai metode dari kuantifikasi relatif di
DNA. MLPA memberikan berbagai keuntungan, seperti waktu yang
sangat pendek untuk diagnosis (2-4 hari), efektivitas, sederhana,
dan harga yang murah. MLPA tidak dapat mengidentifikasi pada
plasenta yang sedikit.34
Metode terkini disebut Paralogous Sequence Quantification (PSQ),
menggunakan urutan paralog untuk kuantifikasi jumlah salinan
HSA21. PSQ yaitu metode berbasis PCR untuk mendeteksi jumlah
kromosom target yang abnormal yang disebut PSQ, berdasarkan
penggunaan dari gen paralog. Urutan paralog memiliki derajat tinggi
dalam identitas urutan, tetapi akumulasi pengganti nukelotida dalam
lokus spesifik. PSQ mudah digunakan, mudah untuk diatur sebagai
metode untuk diagnosis pada aneuploidi yang umum dan dapat
dilakukan kurang dari 48 jam. Pengurutannya secara kuantitatif
digunakan dengan pyrosequencing. Perbandingan hibridisasi genomik
pada BAC dapat digunakan untuk diagnosis dari trisomi atau
monosomi penuh, dan untuk aneuploidi sebagian.36,37
Sensitivitas penanda uji tapis untuk Sindrom Down berkisar
antara 61%-67%. Pada ibu yang mengandung fetus dengan SD
seringkali didapatkan kadar serum maternal alfa-fetoprotein dan
unconjugated estriol yang lebih rendah dari normal. Sebaliknya,
26
kadar serum maternal beta-human chorionic gonadotropin (beta-
hCG) didapatkan lebih tinggi dari normal. Uji diagnostik prenatal
yang dapat dilakukan yaitu pemeriksaan sampel vilus korionik,
amniosintesis, dan percutaneus blood sampling, dengan tingkat akurasi
98-99%. 37,38
4.3 DIAGNOSIS POSTNATAL
Diagnosis Sindrom Down post natal didasarkan pada gabungan
gambaran fisis yang khas dan konfirmasi dengan pemeriksaan
kariotipe genetik. Seringkali tanda awal yang dapat dijumpai pada
neonatus dengan SD yaitu hipotoni. Gambaran khas lainnya yaitu
brakisefal, fisura palpebra yang oblik, jarak antara jari kaki ke-1 dan
ke-2 yang agak jauh, jaringan kulit yang longgar di belakang leher,
hiperfleksibilitas, low set ears, protrusi lidah, depressed nasal bridge,
lipatan epikantus, bercak Brushfield (titik-titik kecil pada pupil
yang letaknya tidak beraturan dan berwarna kontras), jari ke-5 yang
pendek dan melengkung, simian crease, dan didapatkan tanda-tanda
penyakit jantung bawaan.39
Analisis sitogenetik dari kariotipe metafase masih menjadi
standar praktis dalam identifikasi, tidak hanya trisomi 21, tetapi
segala aneuploidi lainnya dan translokasi yang seimbang. Analisis
sitogenetik yaitu studi tentang jumlah dan struktur umum dari
46 kromosom, yang juga dikenal sebagai kariotipe. Kromosom dari
sel-sel tubuh (biasanya dari sel darah putih) dihitung jumlahnya
apakah normal atau tidak, dan struktur kromosom dilihat apakah
ada delesi atau duplikasi.38,39
Pengambilan darah pasien diambil dari darah vena/kapiler
berheparin. Darah yang telah diambil kemudian diteteskan ke dalam
media-media yang berbeda, yaitu RPMI1640, MEM, dan TC199. Proses
ini disebut sebagai proses penanaman di mana dibutuhkan waktu
sekitar 3-4 hari sebelum proses pemanenan. Pada proses pemanenan
dibutuhkan larutan colchicine atau colcemid yang berperan untuk
menghentikan proses mitosis (metafase). Proses selanjutnya, yaitu
proses pengecatan. Setelah proses pengecatan selesai, preparat dapat
Skrining dan Diagnosis Sindrom Down 27
dilihat di bawah mikroskop untuk dinilai apakah ada kelainan
kromosom atau tidak.39,40
Indikasi untuk dilakukannya analisis sitogenetik yaitu sebagai
berikut: 39,40
1. Gagal tumbuh, keterlambatan perkembangan, perawakan
pendek, alat kelamin ambigu, dan disabilitas intelektual
2. Lahir mati dan kematian neonatus: insiden kelainan kromosom
lebih tinggi pada bayi lahir mati dan bayi yang meninggal tak
lama setelah lahir (masing-masing sekitar 10%) dibandingkan
kelahiran hidup (0,7%). Analisis sitogenetik mungkin dapat
mengidentifikasi penyebab kematian dan memberikan informasi
penting untuk diagnosis prenatal pada kehamilan yang
mendatang
Analisis sitogenetik direkomendasikan untuk wanita hamil
dengan riwayat kehamilan sebelumnya dengan bayi Sindrom Down,
pasangan dengan riwayat infertilitas, dan keguguran berulang.38
Tabel 4.1 Teknik umum yang digunakan untuk diagnosis Sindrom Down
Metode Deskripsi Keuntungan Kerugian
1 Analisis
Sitogenetik
Pemberian tanda
dengan Giemsa
yang dilakukan
pada sel janin saat
fase metafase
pada sel amniosit
(ditumbuhkan
secara in vitro)
atau dari cairan
plasenta.
Cocok untuk
negara dengan
penghasilan rendah
di mana klinisi dapat
dianggap memiliki
kemampuan tinggi
dalam diagnosis
meskipun tidak
adanya layanan
laboratoris
Memakan waktu
Lemah dalam
mendeteksi struktur
abnormal sebab
sel yang membelah
spontan lebih padat
daripada sel pada
kultur in vitro
Pada cairan
plasenta,
kemunculan dari
mosaikisme dan
sel yang abnormal
tidak menjelaskan
keadaan dari janin
tersebut
Kemungkinan untuk
hasil yang positif
palsu dan negatif
palsu
28
Metode Deskripsi Keuntungan Kerugian
2 FISH
(Fluorescence
in situ
hybridization)
FISH melibatkan
hibridisasi dari
urutan DNA
tertentu pada
kromosom
yang terpilih
ditandai dengan
pewarnaan
fluoresen untuk
persiapan pada
kromosom. Urutan
yang telah ditandai
menempel
pada DNA yang
bersangkutan dan
dapat dilihat di
bawah mikroskop.
Teknik ini
menggunakan
jumlah yang lebih
besar dari nukleus
interfase untuk
analisis sehingga
masalah dari dugaan
adanya mosaikisme
teratasi.
Perlu waktu yang
panjang sebab
melibatkan
persiapan slide,
mikroskop fluoresen
dan penghitungan
titik (30 menit per
sampel).
FISH tidak dapat
membedakan XX
dari ibu atau janin.
3 QF-PCR
(Quantitative
fluorescent-
polymerase
chain
reaction)
Melibatkan
amplifikasi dan
deteksi STR
dengan utamanya
yang bertanda
dengan fluoresen.
Produk ini
nantinya terlihat
dan dihitung
sebagai area
puncak dengan
panjang tertentu
menggunakan
pengurut DNA
otomatis dengan
perangkat lunak
scan untuk gen
Sangat dapat
diandalkan dan
dapat digunakan
kembali
Kemungkinan hasil
positif dan negatif
palsu sangat jarang
Kontaminasi
maternal sangat
mudah dikenali
Pendekatan yang
lebih cepat sebab
dapat memberi
diagnosis dalam 24
jam.
Ketika menguji
sampel abnormal
kromosom seks dari
wanita XX normal
mungkin memberi
pola yang tidak
dapat dibedakan
dengan yang sampel
yang memiliki hanya
satu X seperti pada
sindrom Turner.
Skrining dan Diagnosis Sindrom Down 29
Metode Deskripsi Keuntungan Kerugian
4 PSQ
(Paralogous
sequence
quantification)
PCR berdasarkan
metode untuk
deteksi jumlah
abnormal dari
kromosom
target dengan
menggunakan gen
paralelnya.
Model generasi
pertama dari uji
yang membutuhkan
10 reaksi PCR
berbeda per sampel
di mana sangat
menurunkan sampel
dan meningkatkan
kemungkinan
penanganan
kesalahan.
Dapat menangani
30-40 sampel per
hari dan hasilnya
keluar kurang dari
48 jam.
Lebih mahal
dibandingkan
lainnya
5 MLPA
(multiplex
probe ligation
assay)
MLPA
berdasarkan
hibridisasi dan
PCR. Dibagi
menjadi 4 fase:
denaturasi,
hibridisasi kutub
dari urutan target,
ligasi kutub,
dan amplifikasi
dari kutub.
Produknya akan
dianalisis melalui
elektroforesis
kapiler
Waktu diagnosis
yang sangat pendek
(2-4 hari)
Biayanya cukup
murah
Tidak dapat
digunakan saat
konsentrasi
plasenta rendah dan
mosaikisme yang
benar-benar ada.
30
Metode Deskripsi Keuntungan Kerugian
6 NGS (Next
Generation
Sequencing)
Contoh dari
DNA yang
diamplifikasi klonal
diurutkan secara
parallel. Hal ini
memberikan
informasi
kuantitatif, setiap
urutan yang
dibaca yaitu
“tanda urutan”
yang menunjukkan
sebuah contoh
DNA klonal atau
sebuah molekul
DNA tunggal.
Lama waktu untuk
proses, pengurutan,
dan interpretasi data
pada tangan yang
terlatih yaitu 5-8
hari
Harga untuk
pengurutan yaitu
$700 sampai $1000
per sampel
Analisis data yang
rumit
(Sumber: Asim A, et al., 2015)
31
Anak dengan Sindrom Down sering disertai dengan kelainan di
bidang medis, di antaranya kelainan jantung dan pembuluh darah,
hormon, pendengaran, penglihatan, tulang, dan keganasan. Oleh
sebab itu, untuk mencapai kualitas hidup dan potensi maksimal,
diperlukan optimalisasi dengan identifikasi dini dan penanganan
multidisipliner dari berbagai bidang disiplin ilmu.42
5.1 MASALAH JANTUNG DAN PEMBULUH DARAH
(KARDIOVASKULAR)
Kelainan jantung bawaan ditemukan pada 40-60% bayi dengan
Sindrom Down berupa defek kanal atrioventrikuler komplit (60%),
defek septum ventrikel (32%), Tetralogi of Fallot (6%), defek septum
atrium sekundum (1%), dan Isolated Mitral Cleft (1%).41 Pemeriksaan
penunjang yang dapat dilakukan untuk mendeteksi adanya kelainan
jantung bawaan yaitu ekokardiografi. Anak yang lebih muda
MASALAH KESEHATAN
ANAK SINDROM DOWN
BAB 5
32
(<3 tahun) memiliki kelainan jantung lebih banyak dibandingkan
dengan anak yang lebih tua. Beberapa anak bahkan memiliki lebih
dari satu kelainan jantung.42
Anak SD dengan kelainan jantung bawaan berat yang stabil
secara klinis dapat memberikan gejala berat setelah usia 8 bulan.
Insiden dari penyakit jantung bawaan pada bayi yang baru lahir
dengan Sindrom Down mencapai 50%. Gangguan endokardium
berupa gangguan atrium ventrikel merupakan bentuk paling sering
sekitar 40%. Defek septum ventrikel juga muncul pada populasi ini
yang memengaruhi sampai 35% dari semua pasien.44
Mutasi pada non-HSA21, gen CRELD1 (Cysteine rich EGF like
domain 1) berperan dalam perkembangan defek septum atrium
ventrikel di Sindrom Down. CRELD1, terletak di kromosom 3p25,
mengode protein permukaan sel dan berfungsi sebagai molekul
penempelan sel serta diekspresikan selama perkembangan jantung.
Gen CRELD1 mengandung 11 ekson yang memanjang kira-kira 12kb.
Sampai sekarang, dua lokus genetik spesifik untuk defek septum
atrium ventrikel telah dikenali. Salah satu lokus berada pada
kromosom 1p31-p21, lokus lainnya berada pada kromosom 3p25 dan
gen yang terkait yaitu CRELD1. 44
Selain itu, penelitian terbaru menyatakan bahwa terdapat
penurunan kejadian hipertensi pada pasien dengan Sindrom
Down. Trisomi dari miRNA HSA21 HAS-miR-155 berperan dalam
mekanisme ini. HAS-miR-155 bekerja pada satu target alel khusus
pada gen reseptor angiotensin tipe II dan berperan dalam penurunan
risiko hipertensi.45-47
5.2 MASALAH ENDOKRIN/HORMON
Masalah hormon pada anak Sindrom Down tersering yang
berkaitan dengan pertumbuhan dan perkembangan yaitu
gangguan pada hormon tiroid dan gonad.
1. Gangguan Hormon Tiroid
Gangguan hormon tiroid yaitu gangguan hormon yang paling
sering dijumpai pada Sindrom Down.50 Kejadian penyakit tiroid
Masalah Kesehatan Anak Sindrom Down 33
meningkat pada penderita SD. Hipotiroid, baik kongenital
maupun didapat yaitu kelainan yang paling sering dijumpai
pada sekitar 16-20% penderita SD. Program skrining hipotiroid
pada neonatus di New York melaporkan insiden hipotiroidisme
kongenital pada bayi dengan Sindrom Down sebesar 1:141
kelahiran hidup, lebih tinggi dibandingkan kejadian pada bayi
sehat (sebesar 1:3000 hingga 1:4000). Dalam sebuah penelitian di
mana pasien Sindrom Down (usia 0-25 tahun) yang tidak memiliki
gangguan hormon tiroid bawaan saat baru lahir ketika berusia ≤
15 tahun, 35% mengalami gangguan hormon tiroid (33% dengan
hipotiroid dan 2% hipertiroid/kelebihan hormon tiroid). Sekitar
separuh anak dengan Sindrom Down mengalami peningkatan
Thyroid Stimulating Hormon (TSH) dengan nilai T3 dan T4 normal
yang memicu hipotiroid subklinis (tidak memiliki gejala).
Hambatan pematangan jalur hipotalamus pituitari tiroid diduga
sebagai penyebab gangguan hormon ini.52
Tanda dan gejala hipotiroid kadang tidak jelas. Uji tapis penyakit
tiroid dianjurkan dilakukan setiap tahun dengan pemeriksaan
TSH dan FT4. sebab penyakit autoimun banyak ditemui
pada anak dengan SD, maka sebaiknya evaluasi hipotiroid
dengan pemeriksaan antibodi tiroid juga dilakukan pada anak
usia sekolah untuk mencari kemungkinan tiroiditis. Pada
beberapa bayi dan anak dengan SD dapat ditemukan kelainan
hipertirotropinemia idiopatik dengan TSH yang meningkat
dan T4 yang normal. Hal ini dapat merupakan akibat defek
neuroregulator TSH yang berada dalam batas normal sampai
batas atas bila dipantau selama 24 jam. Oleh sebab itu,
pemeriksaan TSH dan T4 dianjurkan setiap 6 bulan dan tidak
diterapi kecuali bila didapatkan kadar T4 yang rendah.50
2. Gangguan Gonad
Pasien dengan Sindrom Down memiliki angka kejadian
tinggi untuk mengalami kelainan perkembangan seksual dan
keterlambatan pubertas di kedua jenis kelamin. Pada perempuan,
dilaporkan kelainan meliputi kekurangan gonad yang ditandai
dengan terlambatnya menstruasi pertama (menarche) atau proses
34
matangnya kelenjar adrenal (adrenarche). Pada laki-laki meliputi
genitalia ambigu, kriptorkismus (testis yang tidak turun),
micropenis (ukuran penis kecil), testis kecil dan sperma hidup
yang rendah serta pertumbuhan rambut ketiak dan janggut yang
sedikit.49
5.3 MASALAH KELAINAN DARAH (HEMATOLOGI) DAN
ONKOLOGI
Penelitian Hasle pada tahun 2000 mengungkapkan bahwa
pasien dengan Sindrom Down memiliki 10-20 kali lipat peningkatan
risiko menderita leukemia dan sebesar 2% dapat terjadi hingga usia
5 tahun dan 2,7% hingga usia 30 tahun.51 Sebesar 2% anak dengan
Sindrom Down menderita leukemia limfoblastik akut (LLA) dan
sekitar 10% menderita kelainan leukemia myeloid akut (LMA).
Leukemogenesis dari leukemia megakaryoblastik akut (LMKA) pada
pasien Sindrom Down berhubungan dengan keberadaan mutasi
somatik yang melibatkan gen GATA1. GATA1 merupakan faktor
transkripsi yang diturunkan terkait kromosom X yang berperan
penting untuk diferensiasi eritroid dan megakaryositik.52
Leukemia yang lebih sering dijumpai pada anak dengan SD
berusia kurang dari 3 tahun yaitu tipe nonlimfositik (leukemia
mielositik akut/LMA). Anak SD biasanya memberikan respons cukup
baik dengan terapi standar dan dapat mencapai remisi pada sekitar
80% kasus. Pada masa neonatus, didapatkan 10% insiden gangguan
mieloproliferatif (reaksi leukemoid) yang pada beberapa kasus dapat
berkembang menjadi LMA.40,51 Polisitemia juga cukup sering ditemui
pada neonatus. Penelitian Shivdasani pada tahun 1997 menyebutkan
bahwa sebesar 64% anak dengan SD mengalami polisitemia pada
saat neonatus.53 Selain itu, laporan kasus juga menyatakan adanya
peningkatan terjadinya retinoblastoma (kanker retina mata), limfoma
(kanker kelenjar getah bening), dan tumor testis pada anak dengan
Sindrom Down.51
Masalah Kesehatan Anak Sindrom Down 35
5.4 MASALAH SALURAN CERNA
Anak dengan Sindrom Down akan mengalami beberapa gejala
saluran cerna dari waktu ke waktu seperti muntah, diare, sulit
buang air besar (konstipasi), nyeri perut, dan ketidaknyamanan
yang dapat hilang dengan intervensi minimal atau bahkan tanpa
terapi. Gangguan struktural dan fungsional saluran cerna dapat
terjadi pada sekitar 10% anak dengan Sindrom Down, terlebih
.jpeg)
.jpeg)
.jpeg)






