Tampilkan postingan dengan label penyakit menular 12. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label penyakit menular 12. Tampilkan semua postingan

penyakit menular 12


 kesehatan. 

Menurut WHO, pada akhir tahun 1990 an diperkirakan 1% warga  dunia terinfeksi oleh 

HCV. Di Eropa dan Amerika Utara prevalensi hepatiis C sekitar 0,5% sampai dengan 

2,4%; dibeberapa tempat di Afrika prevalensinya mencapai 4%. Hampir 1,5 juta orang 

terinfeksi oleh HCV di Eropa dan sekitar 4 juta orang di Amerika Serikat. 

 

 

 266

4. Reservoir 

Manusia berperan sebagai reservoir; hasil penelitian eksperimen tes ternyata virus dapat 

ditularkan pada simpanse. 

 

5. Cara Penularan 

Cara penularan HCV yang paling umum yaitu   secara parenteral. Penularan melalui 

hubungan seksual pernah dilaporkan terjadi, namum kurang efisien jika dibandingkan 

dengan penularan melalui cara parenteral. 

 

6. Masa Inkubasi 

Berkisar antara 2 minggu sampai dengan 6 bulan; biasanya 6-9 minggu. Infeksi kronis 

dapat berlangsung lama sampai dengan 20 tahun sebelum timbulnya gejala cirrhosis atau 

hepatoma. 

 

7. Masa Penularan 

Penularan terjadi dalam seminggu atau lebih sebelum timbulnya gejala klinis pertama, 

penularan dapat berlangsung lama pada kebanyakan orang. Puncak konsentrasi virus 

dalam darah memiliki  koreksi dengan puncak aktivitas ALT.    

 

8. Kerentanan dan Kekebalan 

Semua orang rentan terhadap infeksi. Tingkat kekebalan yang timbul setelah infeksi tidak 

diketahui; infeksi ulang oleh HCV ditemukan pada model dengan binatang percobaan 

simpanse. 

 

9. Cara-cara pemberantasan 

A. Upaya Pencegahan 

Langkah-langkah penanggulangan secara umum terhadap infeksi HBV berlaku juga 

untuk HCV (lihat bagian II, 9A). Pemberian IG profilaksis tidak efektif. Pada kegiatan 

operasional di bank darah, seluruh darah donor harus diskrining secara rutin terhadap 

anti-HCV. Selanjutnya, semua donor dengan  kadar enzyme hati yang meningkat dan 

orang-orang yang positif anti-HBC tidak boleh menjadi donor. Lakukan inaktivasi 

virus terhadap produk dari plasma, berikan konseling cara-cara mengurangi risiko 

untuk orang yang belum tertulari namun  berisiko tinggi (sebagai contoh petugas pada 

pelayanan kesehatan) dan pertahankan kegiatan pengendalian infeksi nosokomial. 

 

B. Pananganan penderita, Kontak dan Lingkungan sekitar 

Upaya pemberantasan yang dilakukan terhadap HBV berlaku juga untuk HCV. Data 

yang ada menunjukkan bahwa tindakan profilaksis pasca pajanan dengan IG tidak 

efektif dalam pencegahan infeksi. Pengobatan dengan alpha interferon memberi hasil 

yang baik pada sekitar 25% kasus hepatitis C kronis; pemberian kortikosteroid dan 

acyclovir tidak efektif. Penelitian yang dilakukan pada penderita yang diberi 

kombinasi ribavirin dan interferon memberikan hasil yang baik secara bermakna 

dengan angka response berkelanjutan mencapai 40% -50%. Namun, kedua cara 

pengobatan ini  menimbulkan efek samping cukup signifikan yang memerlukan 

monitoring secara ketat. Ribavirin bersifat teratogenik; sehingga seorang ibu tidak 

boleh hamil selama dilakukan pengobatan. 

 

 267

   

C. Upaya penanggulangan  wabah: sama seperti upaya penanggulangan wabah untuk 

hepatitis B. 

 

D. Implikasi menjadi bencana: sama dengan hepatitis B. 

 

E. Tindakan lebih lanjut : Lakukan pengawasan agar terhadap semua produk-produk 

biologis yang diperdagangkan secara lebih lanjut  telah dilakukan inaktivasi terhadap 

virus. 

 

 

IV. HEPATITIS DELTA               ICD-9 070.5; ICD-10 B17.0 

(Hepatitis D sebab  virus, Virus hepatitis Delta, ∆ hepatitis, Delta agent hepatitis, hepatitis 

yang berkaitan dengan Delta) 

 

 

1. Identifikasi 

Biasanya timbul mendadak, dengan tanda dan gejala yang mirip dengan hepatitis B; 

gejalanya mungkin parah dan selalu dikaitkan bersamaan dengan infeksi virus hepatitis B. 

Hepatitis delta mungkin dapat sembuh dengan sendirinya atau dapat berkembang menjadi 

hepatitis kronis. Penderita anak-anak mungkin menunjukkan gejala klinis yang berat dan 

selalu berlanjut menjadi hepatitis kronis aktif. Virus hepatitis Delta (HDV) dan virus 

hepatitis B (HBV) kemungkinan menyerang secara bersamaan, atau infeksi virus delta 

menyerang orang dengan infeksi HBV kronis. Pada keadaan yang disebut terakhir, 

hepatitis delta dapat dikelirukan sebagai hepatitis B kronis yang eksaserbasi. Pada 

berbagai penelitian yang dilakukan di Eropa dan Amerika Serikat, 25% – 50% kasus 

hepatitis fulminan diperkirakan disebabkan oleh HBV saja, ternyata disertai dengan 

infeksi HDV. Ternyata sebagian besar kasus hepatitis fulminan terjadi pada orang dengan 

super infeksi daripada hanya dengan koinfeksi; infeksi kronis lebih sering terjadi pada 

orang dengan super infeksi. 

Diagnosis ditegakkan dengan ditemukannya antibodi total HDV (anti-HDV) dengan 

memakai   RIA atau EIA. Apabila titer IgM positif berati virus sedang replikasi. RT - 

PCR merupakan cara pemeriksaan yang paling sensitive untuk mendeteksi viremia HDV. 

  

2. Pemicu  Infeksi 

HDV merupakan partikel menyerupai virus yang berukuran 35-37 nm terdiri dari satu 

lapisan pelindung seperti HbsAg dan antigen internal yang khas yang dinamakan antigen 

delta. Dalam satu kapsul dibungkus dengan antigen delta yaitu   genome, a single stranded 

RNA yang dapat berbentuk konformasi garis linear atau konformasi lingkaran. RNA tidak 

dicangkokkan dengan DNA HBV. HDV tidak dapat menginfeksi suatu sel sendiri dan 

memerlukan koinfeksi bersama dengan HBV untuk dapat melangsungkan siklus replikasi 

yang lengkap. Sintesis HDV akhirnya mengakibatkan terjadinya supresi temporer sintesis 

komponen HBV.  HDV dengan demikian paling baik dianggap sebagai famili ”satelit” 

baru dari subvirion, satu diantaranya pathogen terhadap tanaman yang lebih tinggi.  

Hepatitis D satu-satunya dari familia ini yang menyerang spesies binatang. Ada tiga jenis 

genotipe HDV yang ditemukan yaitu : Genotipe I yaitu   yang paling prevalen dan 

 

 268

tersebar luas, Genotipe II diwakili oleh dua isolat dari Jepang dan Taiwan, dan Genotipe 

III ditemukan hanya di lembah Amazon, yang dapat memicu  hepatitis fulminan 

berat dengan steatosis mikrovesikuler (spongiositosis). 

 

3. Distribusi Penyakit 

Tersebar di seluruh dunia, dengan prevalensi yang sangat bervariasi. Diperkirakan ada 10 

juta warga  terinfeksi oleh virus hepatitis D dan dibantu oleh virus HBV. Dapat muncul 

secara endemis atau dalam bentuk KLB pada populasi yang memiliki  risiko tinggi 

terinfeksi HBV, misalnya pada populasi dimana hepatitis B endemis (tertinggi di Rusia, 

Romania, Italia sebelah selatan, Afrika dan Amerika Selatan) yaitu; pada hemophiliacs, 

pecandu obat-obatan terlarang dan lainnya yaitu mereka yang lebih sering kontak dengan 

darah; di institusi untuk merawat penyandang cacat, dan pada laki-laki homoseksual. 

Beberapa KLB yang cukup besar terjadi di Amerika selatan tropis (Brasilia, Venezuela, 

Kolombia), di Republik Afrika Tengah dan diantara para pecandu obat-obatan terlarang di 

Worcester, Massachusetts (Amerika Serikat). 

 

4. Reservoir 

Manusia berperan sebagai reservoirnya. Virus dapat ditularkan secara eksperimental pada 

simpanse dan pada woodchuck sejenis marmut yang terinfeksi oleh HBV dan virus 

hepatitis woodchuck secara bersamaan. 

 

5. Cara Penularan 

Diperkirakan cara penularannya memiliki  kesamaan dengan HBV – yaitu oleh sebab  

pajanan dengan darah yang terinfeksi dan cairan serous tubuh, jarum semprit yang 

terkontaminasi, turunan plasma yang terinfeksi seperti faktor antihemofili dan penularan 

melalui hubungan seksual. 

 

6. Masa Inkubasi - Rata-rata 2-8 minggu. 

 

7. Masa Penularan 

Darah potensial sangat menular selama semua fase aktif infeksi hepatitis delta. Puncak 

penularan mungkin terjadi terutama pada saat sakit akut yaitu pada saat partikel yang 

berisi antigen delta sudah terdeteksi didalam darah. Saat berikutnya, viremia mungkin 

menurun secara cepat sampai pada tingkat terendah atau sampai tidak terdekteksi sama 

sekali. HDV ditularkan pada simpanse dengan bahan yang berasal dari darah pasien kronis 

dimana partikel yang berisi antigen delta tidak dapat dideteksi. 

 

8. Kerentanan dan kekebalan 

Semua orang rentan terhadap infeksi HBV atau orang dengan HBV kronis dapat tertulari 

HDV. Penyakit berat dapat terjadi meskipun pada usia anak-anak. 

 

9. Cara-cara Pemberantasan  

A. Cara Pencegahan 

Untuk orang yang rentan terhadap infeksi HBV, upaya pencegahannya sama dengan 

untuk hepatitis B seperti yang diuraikandi atas. Pencegahan infeksi HBV dengan 

vaksin hepatitis B dapat mencegah infeksi oleh HDV.  

 

 269

Bagi orang-orang dengan HBV kronis, maka upaya pencegahan yang paling efektif 

yaitu   hanya dengan menjauhkan diri dari pemajaman dengan sumber potensial HDV. 

HBIG, IG dan vaksin hepatitis B tidak dapat melindungi seseorang dengan HBV 

kronis untuk terkena infeksi HDV. Penelitian di Taiwan menunjukkan bahwa Upaya 

yang dilakukan dengan cara mengurangi pemajanan seksual dan penggunaan jarum 

suntik bersama memicu  terjadinya penurunan insisdens infeksi HDV. 

 

B, C, D dan E. Penanganan penderita, kontak dan lingkungan sekitar; Pengendalian 

wabah; Implikasi bencana dan Tindakan lebih lanjut : Sama seperti halnya yang 

sudah diuraikan dan untuk hepatitis B di atas. 

 

 

V. HEPATITIS E AKIBAT VIRUS   ICD-9 070.5; ICD-10 B17.2 

 (Hepatitis non-A non-B yang ditularkan secara enteric [ET-NANB], hepatitis non-A non-

B Epidemika, hepatitis non-A non-B fekal-oral) 

 

1. Identifikasi 

Gejala klinis penyakit ini mirip dengan hepatitis A, tidak ditemukan bentuk kronis.  Case 

fatality rate penyakit ini mirip dengan hepatitis A kecuali pada wanita hamil, dimana 

angkanya dapat mencapai 20% dari ibu-ibu hamil yang terinfeksi selama trimester ketiga 

kehamilan. Kasus muncul secara sporadis dan dalam bentuk wabah.  

Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala klinis dan gambaran epidemiologis serta dengan 

cara menyingkirkan etiologi lain dari hepatitis, khususnya hepatitis A dengan pemeriksaan 

serologis. Pemeriksaan serologis sedang dikembangkan saat ini untuk mendeteksi antibodi 

HEV, namun  belum tersedia secara komersial di Amerika Serikat. Meskipun demikian, 

beberapa jenis tes diagnostik tersedia di berbagai laboratorium riset antara lain : enzyme 

immunoassay dan Western blot assay untuk mendeteksi IgM dan IgG anti HEV dalam 

serum; tes PCR untuk mendeteksi HEV RNA dalam serum darah dan tinja, dan 

immunofluorescent antibody blocking assay untuk mendeteksi antibodi terhdap HEV 

antigen didalam serum darah dan hati. 

 

2. Pemicu  Penyakit 

Pemicu  penyakit yaitu   Virus hepatitis E (HEV), berbentuk sferis, tidak bersampul, 

single stranded RNA virus yang berdiameter 32 sampai dengan 34 nm. HEV 

dikelompokkan kedalam famili Caliciviridae. Meskipun demikian, organisasi/struktur  

genome HEV berbeda secara mendasar dengan calicivirus yang lain dan HEV seharusnya 

dikelompokkan kedalam famili tersendiri. 

 

3.  Distribusi Penyakit  

HEV merupakan Pemicu  utama hepatitis non-A non-B enterik di seluruh dunia. KLB 

hepatitis E dan kasus sporadis telah terjadi meliputi wilayah yang sangat luas, terutama 

timbul di negara-negara dengan sanitasi lingkungan yang kurang baik. KLB sering 

muncul sebagai wabah yang ditularkan melalui air, namun  pernah dilaporkan terjadi kasus 

sporadis dan wabah tidak jelas kaitannya dengan air.  Angka tertinggi Distribusi Penyakit 

yaitu   pada anak muda sampai dengan usia pertengahan; angka lebih rendah ditemukan 

pada kelompok umur yang lebih muda sebagai akibat dari infeksi anicteric dan atau 

 

 270

infeksi subklinis HEV. Di Amerika Serikat dan sebagian besar negara maju lainnya, kasus 

hepatitis E dilaporkan terjadi diantara wisatawan yang kembali dari daerah endemis HEV. 

KLB ditemukan di India, Myanmar (Burma), Iran, Bangladesh, Ethiopia, Nepal, Pakistan, 

Republik Asia Tengah dari bekas Uni Soviet, Algeria, Libya, Somalia, Meksiko, 

Indonesia dan China. KLB akibat penularan melalui air  yang luas dengan korban 3,682 

penderita terjadi pada tahun 1993 di Uttar Pradesh. 

 

4. Reservoir 

Dari sejumlah penelitian yang dilakukan saat ini menunjukkan bahwa yang kemungkinan 

menjadi reservoir yaitu   binatang domestik, termasuk babi; namun, belum terbukti. HEV 

dapat ditularkan kepada simpanse, cynomolgus macaque, tamarin dan babi. 

 

5. Cara Penularan 

HEV terutama ditularkan melalui jalur fekal-oral; air minum yang tercemar tinja 

merupakan media penularan yang paling sering terjadi. Penularan mungkin juga terjadi 

dari orang ke orang dengan jalur fekal-oral, namun kasus sekunder dilingkungan rumah 

tangga jarang terjadi selama KLB. Dari berbagai penelitian yang dilakukan saat ini  

menunjukkan bahwa hepatitis E kemungkinan merupakan infeksi zoonotic yang secara 

kebetulan menyebar dengan manusia secara cepat. 

 

6. Masa Inkubasi 

Berkisar antara 15 sampai dengan 64 hari.; masa inkubasi rata-rata bervariasi dari 26 

sampai dengan 42 hari  pada KLB yang berbeda. 

 

7. Masa Penularan 

Tidak diketahui. Namun demikian, HEV ditemukan dalam tinja 14 hari setelah timbulnya 

gejala icterus (jaundice) dan rata-rata 4 minggu setelah mengkonsumsi makanan atau air 

yang tercemar dan bertahan selama sekitar 2 minggu. 

 

8. Kerentanan dan Kekebalan 

Tingkat kerentanan seseorang tidak diketahui. Lebih 50% dari infeksi HEV mungkin 

anicteric, gejala icterus meningkat dengan bertambahnya usia. Wanita pada kehamilan 

trimester ketiga sangat rentan untuk terjadinya penyakit fulminan. Terjadinya beberapa 

KLB besar yang pernah terjadi pada kelompok usia dewasa muda di beberapa daerah 

dimana virus enterik yang lain endemis tinggi diwilayah itu dan sebagian besar warga  

mendapatkan infeksi pada masa bayi, belum dapat dijelaskan secara tuntas. 

 

9. Cara-cara Pemberantasan 

A. Cara-cara Pencegahan 

Berikan penyuluhan kesehatan kepada masayarakat dengan menekankan pada 

perlunya pembuangan tinja secara saniter dan mencuci tangan dengan benar setelah 

buang air besar dan sebelum menjamah makanan; ikuti cara-cara prosedur dasar untuk 

mencegah terjadinya penularan fekal-oral, sebagaimana telah dijelaskan pada bab 

demam typhoid, 9 A. Nampaknya belum bisa dipercaya bahwa IG yang dibuat dari 

serum donor di Amerika Serikat atau Eropa dapat melindungi seseorang terhadap 

hepatitis E. 

 

 271

 

B. Penanganan penderita, Kontak dan Lingkungan sekitar 

1), 2) dan 3)  Laporan kepada Instansi kesehatan setempat, Isolasi dan Disinfeksi 

serentak: sama seperti yang telah diuraikan untuk hepatitis A, di atas. 

4) Karantina: tidak diperlukan. 

5) Imunisasi kontak: Tidak ada produk vaksin yang tersedia untuk mencegah 

hepatitis E. IG yang disiapkan dari plasma yang dikumpulkan dari daerah non-

endemik HEV tidak efektif untuk mencegah seseorang jatuh sakit selama terjadi 

KLB hepatitis E, dan efikasi IG yang berasal dari plasma yang dikumpulkan dari 

daerah endemis tidak jelas. Pada penelitian yang dilakukan dengan memakai   

prototipe vaksin pada binatang, vaksin ini  dapat merangsang pembentukan 

antibodi yang melemahkan infeksi HEV namun  tidak dapat mencegah ekskresi 

virus dalam tinja. 

6) Investigasi kontak dan sumber infeksi: Sama seperti yang diuraikan untuk hepatitis 

A di atas. 

7) Pengobatan spesifik: Tidak ada. 

 

 C.  Cara-cara penanggulangan  wabah 

Lakukan penyelidikan Epidemiologis terhadap cara-cara penularan; selidiki persediaan 

air dan lakukan pemetaan warga  dengan risiko tinggi untuk terinfeksi. Lakukan 

upaya khusus untuk meningkatkan sanitasi dan membudayakan perilaku hidup bersih 

dan sehat untuk mencegah terjadinya pencemaran pada makanan dan air. 

 

D. Implikasi bencana 

Bahaya penularan terjadi pada bencana, kerusuhan, dimana terjadi pengungsian, oleh 

sebab  sanitasi yang jelek dan persediaan air yang tidak mencukupi. Jika kasus terjadi, 

tingkatkan upaya mendesak untuk memperbaiki sanitasi lingkungan dan penyediaan 

air bersih dalam jumlah yang mencukupi. 

  

E. Tindakan lebih lanjut :  Tidak ada.  

 

 

 

 

HERPES SIMPLEX      ICD-9 054;  ICD-10 B00 

INFEKSI VIRUS HERPES ANOGENITAL   ICD-10 A60 

(Penyakit virus alphaherpes, herpesvirus hominis, virus herpes pada manusia 1 dan 2) 

 

 

1. Identifikasi 

Herpes simpleks merupakan infeksi virus yang ditandai dengan lesi primer terlokalisir, 

laten dan adanya kecendurangan untuk kambuh kembali. Ada 2 jenis virus – yaitu  virus 

herpes simpleks (HSV) tipe 1 dan 2 pada umumnya menimbulkan gejala klinis yang 

berbeda, tergantung pada  jalan masuknya.  Dapat menyerang alat-alat genital atau 

mukosa mulut. 

Infeksi primer dengan HSV 1 mungkin ringan tanpa gejala, terjadi pada awal masa kanak-

kanak.  

 

 272

Kira-kira 10% dari infeksi primer, muncul sebagai suatu penyakit dengan spektrum gejala 

klinis yang beragam, ditandai dengan panas dan malaise sampai 1 minggu atau lebih, 

mungkin disertai dengan  gingivostomatitis yang berat diikuti dengan lesi vesikuler pada 

orofaring, keratoconjunctivitis berat, dan disertai munculnya gejala dan komplikasi kulit 

menyerupai eczema kronis, meningoencephalitis atau beberapa infeksi fatal yang terjadi 

pada bayi baru lahir (congenital herpes simplex, ICD-9 771.2; ICD-10 P35.2). HSV 1 

sebagai Pemicu  sekitar 2% faringotonsilitis akut, biasanya sebagai infeksi primer.  

Reaktivasi infeksi laten biasanya memicu  herpes labialis (demam blister atau cold 

sores) ditandai dengan munculnya vesikula superfisial yang jelas dengan dasar 

erythematous, biasanya pada muka atau bibir, mengelupas dan akan sembuh dalam 

beberapa hari. Reaktivasi dipercepat oleh berbagai macam trauma, demam, perubahan 

psikologis atau penyakit kambuhan dan mungkin juga menyerang jaringan tubuh yang 

lain; hal ini terjadi sebab  adanya circulating antibodies, dan antibodi ini jarang sekali 

meningkat oleh sebab  reaktivasi. Penyebaran infeksi yang luas dan mungkin terjadi pada 

orang-orang dengan immunosuppressed. 

Dapat menyerang SSP bisa disebabkan oleh infeksi primer ataupun sebab  terjadi 

recrudescence. HSV 1 yaitu   Pemicu  utama dari meningoencephalitis. Dapat timbul 

gejala panas, sakit kepala, leukositosis, iritasi selaput otak, drowsiness, bingung, stupor, 

koma dan tanda-tanda neurologis fokal, dan sering dikaitkan dengan satu atau wilayah 

temporal lain. Gejala-gejala ini mungkin dikacaukan dengan berbagai lesi intracranial lain 

seperti absespada otak dan meningitis TB. sebab  terapi antiviral dapat menurunkan 

angka kematian yang tinggi, maka pemeriksaan PCR untuk DNA virus herpes pada LCS 

atau biopsi dari jaringan otak seharusnya segera dilakukan pada tersangka untuk 

menegakkan diagnosa pasti. 

Genital herpes, biasanya disebabkan oleh HSV2 terjadi terutama pada orang dewasa dan 

penderita penyakit menular seksual. Infeksi pertama dan infeksi ulang terjadi dengan atau 

tanpa gejala. Pada wanita cervix dan vulva. Infeksi ulang umumnya menyerang vulva, 

kulit daerah perineum, kaki dan pantat. Pada laki-laki, lesi muncul pada glans penis atau 

daerah preputium, dan pada anus dan rectum pada orang yang melakukan anal seks. 

Daerah lain yang terkena selain alat kelamin dan daerah perineal, antara lain yaitu   mulut, 

terjadi pada kedua jenis kelamin, tergantung dari kebiasaan hubungan seksual yang 

dilakukan oleh orang ini . Infeksi oleh HSV 2 lebih sering memicu  meningitis 

aseptik dan radikulitis daripada meningoencephalitis. 

Infeksi neonatal dapat dibagi menjadi 3 jenis gejala klinis yaitu: infeksi yang menyebar 

dan umumnya menyerang hati, encephalitis dan infeksi yang terbatas pada kulit, mata dan 

mulut. Bentuk pertama dan kedua sering memicu  kematian. Infeksi umumnya 

disebabkan oleh HSV 2 namun  infeksi yang disebabkan oleh HSV1 juga sering terjadi. 

Risiko terjadinya infeksi pada anak-anak tergantung kepada 2 faktor utama pada ibu; yaitu 

usia kehamilan pad saat ibu hamil ini  mengeluarkan HSV dan tergantung juga 

kepada apakah infeksi yang dialami infeksi sekunder atau infeksi primer. Hanya ekskresi 

yang mengandung HSV yang dikeluarkan saat persalinan yang berbahaya bagi bayi yang 

baru lahir dengan pengecualian walaupun jarang infeksi intrauterine dapat terjadi. Infeksi 

primer pada ibu dapat meningkatkan risiko infeksi pada bayi dari 3% menjadi 30% 

diperkirakan sebab  imunitas pada ibu dapat memberikan perlindungan.Diagnosa 

ditegakkan berdasarkan terjadinya perubahan sitologis yang khas 

 

 

 273

 (multinucleated giant cell dengan intranuclear inclusion pada kerokan jaringan atau 

biopsi), namun  harus dikonfirmasi dengan pemeriksaan FA secara langsung atau dengan 

isolasi virus dari lesi mulut atau lesi alat kelamin atau dari biopsi otak pada kasus-kasus 

encephalitis atau dengan ditemukannya DNA HSV pada lesi atau cairan LCS dengan 

PCR. Diagnosis pada infeksi primer dipastikan dengan adanya kenaikan 4 kali pada titer 

paired sera dengan berbagai macam tes serologis; adanya imunoglobulin spesifik IgM 

untuk herpes mengarah pada suspek namun  antibodi konklusif terhadap infeksi primer. 

Teknik-teknik yang dapat diandalkan untuk membedakan antibodi tipe 1 dan tipe 2 saat 

ini tersedia diberbagai laboratorium diagnostik; isolat virus dapat dibedakan dari yang lain 

dengan analisis DNA. Tes serologis yang spesifik belum tersedia secara luas. 

 

2. Pemicu  Infeksi 

Pemicu  infeksi yaitu   Virus herpes simpleks termasuk dalam famili herpesviridae, 

subfamili alphaherpesvirinae. HSV tipe 1 dan tipe 2 dapat dibedakan secara imunologis 

(terutama kalau digunakan antibody spesifik atau antibody monoclonal). Dan HSV tipe 1 

dan tipe 2 juga berbeda kalau dilihat dari pola pertumbuhan dari virus ini  pada kultur 

sel, embryo telur dan pada binatang percobaan. 

  

3. Distribusi Penyakit  

Tersebar di seluruh dunia. Hamapir 50%-90% orang dewasa memiliki antibodi terhadap 

HSV 1. Infeksi awal HSV 1 biasanya terjadi sebelum usia 5 tahun, namun saat ini banyak 

infeksi primer ditemukan terjadi pada orang dewasa. Infeksi HSV 2 biasanya dimulai 

sebab  aktivitas seksual dan jarang terjadi sebelum menginjak dewasa, kecuali kalau 

terjadi sexual abused pada anak-anak. Antibodi HSV 2 ditemukan sekitar 20%-30% pada 

orang Amerika dewasa. Prevalensi antibodi HSV 2 meningkat (lebih dari 60%) pada 

kelompok sosial ekonomi rendah dan pada orang-orang yang berganti-ganti pasangan. 

 

4. Reservoir – Manusia berperan sebagai reservoir. 

 

5. Cara-cara Penularan 

Kontak dengan virus HSV 1 pada saliva dari  carrier mungkin cara yang paling penting 

dalam penyebaran penyakit ini. Infeksi dapat terjadi melalui perantaraan petugas 

pelayanan kesehatan (seperti dokter gigi) yaitu dari pasien HSV mengakibatkan lesi 

herpes bernanah (herpetic whitlow). Penularan HSV2 biasanya melalui hubungan seksual. 

Kedua tipe baik tipe 1 dan tipe 2 mungkin ditularkan keberbagai lokasi dalam tubuh 

melalui kontak oral-genital, oral-anal, atau anal-genital. Penularan kepada neonatas 

biasanya terjadi melalui jalan lahir yang terinfeksi, jarang terjadi didalam uterus atau 

postpartum. 

 

6. Masa Inkubasi 

Masa inkubasi berlangsung dari 2 sampai dengan 12 hari. 

 

7.  Masa Penularan 

HSV dapat diisolasi dalam 2 minggu dan kadang-kadang lebih dari 7 minggu setelah 

muncul stomatitis primer atau muncul lesi genital primer. Keduanya, yaitu baik infeksi 

primer maupun infeksi ulang mungkin terjadi tanpa gejala. Setelah itu, HSV mungkin 

 

 274

ditemukan secara intermittent pada mukosal selama bertahun-tahun dan bahkan mungkin 

seumur hidup, dengan atau tanpa gejala klinis. Pada lesi yang berulang, infektivitis lebih 

pendek dibandingkan infeksi primer dan biasanya virus tidak bisa ditemukan lagi setelah 5 

hari. 

 

8. Kerentanan dan Kekebalan 

Manusia pada umumnya rentan. 

 

9. Cara-cara Pemberantasan 

A.  Upaya Pencegahan 

1). Berikan penyuluhan kesehatan kepada warga  dan tentang kebersihan 

perorangan yang bertujuan untuk  mengurangi perpindahan bahan-bahan infeksius. 

2). Mencegah kontaminasi kulit dengan penderita eksim melalui bahan-bahan 

infeksius. 

3). Petugas kesehatan harus memakai   sarung tangan pada saat berhubungan 

langsung dengan lesi yang berpotensi untuk menular. 

4). Disarankan untuk melakukan operasi Cesar sebelum ketuban pecah pada ibu 

dengan infeksi herpes genital primer yang terjadi pada kehamilan trimester akhir, 

sebab  risiko yang tinggi terjadinya infeksi neonatal (30-50%). Penggunaan 

elektrida pada kepala merupakan kontra indikasi. Risiko dari infeksi neonatal yang 

fatal setelah infeksi berulang lebih rendah (3-5%) dan operasi Cesar disarankan 

hanya jika terjadi lesi aktif pada saat persalinan. 

5). memakai   kondom lateks saat melakukan hubungan seksual mengurangi risiko 

infeksi; belum ada anti virus yang dapat digunakan untuk mencegah terjadinya 

infeksi primer meskipun acyclovir mungkin dapat digunakan untuk pencegahan 

untuk menurunkan insidensi kekambuhan, dan untuk mencegah infeksi herpes 

pada pasien dengan defisiensi imunitas. 

 

B. Pengawasan penderita, Kontak dan Lingkungan sekitar 

1) Laporan kepada Instansi kesehatan setempat; laporan resmi penderita dewasa 

biasanya tidak diwajibkan, namun  beberapa negara bagian mengharuskan laporan 

untuk herpes genital, kelas 5; infeksi neonatal di beberapa negara bagian wajib 

dilaporkan, kelas 3 B (lihat pelaporan tentang penyakit menular). 

2) Isolasi: Lakukan isolasi kontak terhadap infeksi neonatal dan terhadao lesi yang 

menyebar atau lesi primer yang berat; untuk lesi yang berulang, perlu dilakukan 

kewaspadaan terhadap discharge dn sekret. Pasien dengan lesi herpetic dilarang 

berhubungan dengan bayi baru lahir, anak-anak dengan eksim atau anak dengan 

luka bakar atau pasien dengan immunosuppresed. 

3) Disinfeksi serentak: tidak dilakukan. 

4) Karantina: Tidak dilakukan. 

5) Imunisasi kontak:  Tidak ada. 

6) Penyelidikan kontak dan sumber infeksi: Jarang  dilakukan sebab  tidak praktis. 

7) Pengobatan spesifik: Gejala akut dari herpetic keratitis dan stadium awal dendritic 

ulcers diobati dengan trifluridin atau adenine arabisonide (vidarabine, via-A® atau 

Ara-A®) dalam bentuk ophthalmic ointment atau solution. Corticosteroid jangan 

digunakan untuk herpes mata kecuali dilakukan oleh seorang ahli mata yang 

 

 275

sangat berpengalaman. Acyclovir IV sangat bermanfaat untuk mengobati herpes 

simpleks encephalitis namun  mungkin tidak dapat mencegah terjadinya gejala sisa 

neurologis. Acyclovir (zovirax®) digunakan secara oral, intravena atau topical 

untuk mengurangi menyebarnya virus, mengurangi rasa sakit dan mempercepat 

waktu penyembuhan  pada infeksi genital primer dan infeksi herpes berulang, 

rectal herpes dan herpeticwhitrow (lesi pada sudut mulut bernanah). Preparat oral 

paling nyaman digunakan dan mungkin sangat bermanfaat bagi pasien dengan 

infeksi ekstensif berulang. Namun, telah dilaporkan adanya mutasi strain virus 

herpes yang resosten terhadap acyclovir. Valacyclovir dan famciclovir baru-baru 

ini diberi lisensi untuk beredar sebagai pasangan acyclovir dengan efikasi yang 

sama. Pemberian profilaksis harian obat ini  dapat menurunkan frekuensi 

infeksi HSV berulang pada orang dewasa. Infeksi neonatal seharusnya diobati 

dengan acyclovir intravena. 

 

C. Penanggulangan  wabah: Tidak dilakukan. 

 

D. Implikasi bencana:  Tidak ada. 

 

E. Tindakan  lebih lanjut : Tidak ada. 

 

 

 

 

 

MENINGOENCEPHALITIS DISEBABKAN CERCOPITHECINE HERPES  

VIRUS 1       ICD-9 054.3; ICD-10 B00.4 

(B-virus, Penyakit Simian B) 

 

Meskipun HSV 1 (biasanya, tipe 2) dapat memicu  meningoencephalitis, gambarannya 

sangat jelas berbeda dengan infeksi virus B, penyakit SSP yang disebabkan oleh 

cercopithecine herpesvirus 1, suatu jenis virus yang sangat dekat dengan HSV. Virus ini 

memicu  meningkatnya kejadian encephalomyelitis pada dokter hewan, petugas 

laboratorium, dan orang-orang yang sering kontak dekat dengan kera yang berasal dari 

belahan timur bumi atau kontak dengan kultur sel kera. Setelah masa inkubasi yang 

berlangsung antara 3 hari sampai dengan 3 minggu maka akan terjadi demam akut disertai 

dengan sakit kepala, lesi lokal berbentuk vesikuler, lymphocytic pleocytosis dan berbagai pola 

gejala neurologis yang berbeda. Lebih dari 70% dari kasus ini berakhir dengan kematian, 1 

hari atau 3 minggu setelah mulai timbul gejala. Terjadinya penyembuhan kadang-kadang 

diikuti dengan terjadinya gejala sisa berupa kecacatan menetap, namun beberapa kasus, baru-

baru ini yang diobati dengan acyclovir dapat sembuh total. Virus Pemicu  infeksi secara 

alamiah pada kera analog dengan infeksi HSV pada manusia; 30%-80% dari kera rhesus 

ditemukan seropositif. Selama mengalami stress (sewaktu diangkat dalam pelayaran dilautan 

dan pengangkutan didarat), terjadi peningkatan angka virus pada kera ini. Angka kesakitan 

pada manusia sangat jarang tapi kalau terjadi sangat fatal, biasanya infeksi didapat sebab  

gigitan kera yang kelihatannya normal atau kulit yang tidak terlindungi atau membrana 

mukosa terpajan dengan saliva monyet yang terinfeksi atau dengan kultur sel kera. 

 

 276

Pencegahan sangat tergantung pada penggunaan baju pelindung yang benar atau tindakan 

yang hati-hati untuk mengurangi pajanan pada kera. Setiap gigitan atau luka garukan yang 

didapatkan dari kera macaques atau dari kadang monyet yang mungkin sudah terkontaminasi 

dengan sekret kera macaque dan mengakibatkan perdarahan harus segera dicuci dengan benar 

memakai   sabun dan air. Pengobatan profilaksis dengan antiviral seperti acyclovir, perlu 

dipertimbangkan pada seseorang yang menangani binatang, yang mendapat luka tusukan yang 

agak dalam yang tidak dapat dibersihkan dan dirawat dengan sempurna; status apakah kera 

ini  mengandung virus-B ataukan tidak harus diketahui dengan jelas. Timbulnya beberapa 

lesi pada kulit atau timbulnya gejala-gejala neurologis seperti gatal-gatal, nyeri atau mati rasa 

di sekitar luka perlu dilakukan konsultasi dan diagnosis dengan ahli untuk mendapatkan 

pengobatan. 

 

 

 

HISTOPLASMOSIS            ICD-9 115; ICD-10 B39 

 

 

Dua mycoses dengan gejala klinis yang berbeda disebutkan sebagai histoplasmosis kerena 

patogen Pemicu  tidak dapat dibedakan secara morfologis pad saat dibiakkan dalam kultur 

media yang tumbuh sebagai jamur (molds). Informasi lebih rinci akan diberikan untuk infeksi 

yang disebabkan oleh Histoplasma capsulatum var. capsulatum, dan diikuti dengan 

penjelasan singkat tingkat histoplasmosis yang disebabkan oleh H. capsulatum var. duboisii.  

 

I.  INFEKSI OLEH HISTOPLASMA CAPSULATUM ICD-9 115.0; ICD-10 B39.4 

(Histoplasmosis capsulati, Histoplasmosis akibat infeksi H. capsulatum var. capsulatum, 

American histoplasmosis) 

 

1. Identifikasi 

Mycosis sistemik dengan spektrum klinis yang bervariasi, dengan lesi utama terjadi pada 

paru-paru. Walaupun infeksi sering terjadi, namun penyakit ini muncul dengan gejala 

klinis yang jelas sangat jarang. Lima bentuk gejala klinis sebagai berikut sering 

ditemukan: 

1) Tanpa gejala dan hanya ditandai dengan gejala hypersensitive terhadap histoplasmin. 

2) Berupa tumor pernafasan akut yang jinak, dengan variasi mulai dari penyakit yang 

ringan pada saluran pernafasan sampai dengan tidak dapat melakukan aktivitas sebab  

tidak enak badan, demam, kedinginan, sakit kepala, myalgia, nyeri dada dan batuk 

nonproduktif, kadang-kadang timbul erythema multiforme dan erythema nodosum. 

Ditemukan adanya pengapuran kecil-kecil tersebar pada paru-paru, pengapuran pada 

kelenjar limfe, hiler dan limpa merupakan gejala lanjut dari penyakit ini. 

3) Histoplasmosis disseminata akut dengan demam yang menguras tenaga, gejala GI, 

timbulnya gejala supresi sum-sum tulang, hepatosplenomegali, limfadenopati dan 

yang berlangsung cepat, lebih sering terjadi pada bayi, anak muda dan pasien dengan 

gangguan kekebalan termasuk mereka dengan AIDS. Tanpa pengobatan benar, bentuk 

penyakit ini  biasanya mengakibatkan kematian. 

4) Histoplasma kronis disseminata dengan demam ringan berlanjut, kehilangan berat 

badan, lemah, hepatosplenomegali, abnormalitas hematologi ringan dan penyakit fokal 

 

 277

(seperti endocarditis, meningitis, ulcus pada mukosa mulut, laring, sakit perut atau 

muncul sebagai penyakit pada saluran pencernaan dan penyakit Addison). Bentuk 

penyakit ini  berlangsung secara subakut dengan perjalanan penyakit lebih dari 

10-11 bulan dan biasanya mematikan apabila tidak diobati. 

5) Sakit paru-paru kronis dengan gejala klinis dan radiologis menyerupai tuberculosis 

paru kronis dengan caverne, terjadi paling sering pada usia pertengahan dan pria 

berusia tua dengan penyakit yang mendasari berupa emfisema dan berlangsung selama 

beberapa bulan atau tahun dengan periode inaktif dan kadang-kadang sembuh secara 

spontan (tiba-tiba). 

 

Diagnosa klinis ditegakkan dengan kultur atau ditemukannya jamur pada sediaan apus 

dengan pengecatan Giemsa atau sediaan apus dengan pengecatan Wright yang diambil 

dari eksudat ulcus, sum-sum tulang, sputum atau darah; teknik pengecatan khusus penting 

dilakukan untuk bisa melihat jamur-jamur pada sediaan biopsi yang diambil dari hati dan 

ulkus atau kelenjar limfe paru. Dari berbagai jenis pemeriksaan serologis yang ada saat 

ini, maka pemeriksaan imunodifusi yaitu   yang paling spesifik dan dapat dipercaya. 

Terjadinya peningkatan pada titer CF dengan paired sera mungkin ditemukan pada awal 

infeksi akut dan sebagai bukti dari penyakit aktif; meskipun demikian, hasil skin test yang 

positif terhadap histoplasmin yang baru saja dilakukan akan meningkatkan titer terhadap 

bentuk mycelial, dan dengan pemeriksaan serologis dapat terjadi reaksi silang dengan 

mikosis lain. Hasil tes positif palsu cukup banyak terjadi dibandingkan dengan hasil 

pemeriksaan serologis yang negatif tidak menyingkirkan diagnosa. Deteksi antigen pada 

serum atau urin berguna untuk menegakkan diagnosa dan digunakan untuk memantau 

hasil pengobatan histoplasmosis disseminata. Pemeriksaan skin test terhadap histoplasmin 

bermanfaat pada studi epidemiologis namun bukan untuk menegakkan diagnosa. 

 

2. Pemicu  Infeksi 

Histoplasma capsulatum var. capsulatum (Ajellomyces capsulatus), suatu jamur 

dimorphic yang tumbuh subur di tanah sebagai jamur dan sebagai ragi pada binatang atau 

manusia. 

 

3. Distribusi penyakit 

Infeksi biasanya terjadi pada fokus-fokus didaerah tertentu yang tersedia luas di Amerika, 

Afrika, Asia timur dan Australia, jarang terjadi di Eropa. Terjadinya hipersensitifitas 

terhadap histoplasmin menunjukkan adanya infeksi sebelumnya, kadang-kadang 

ditemukan pada 80% populasi  di bagian timur dan tengah Amerika Serikat. Secara klinis 

penyakit ini sangat jarang terjadi, dan jarang menjadi berat. Prevalensi meningkat dari 

masa kanak-kanak sampai dengan umur 15 tahun, perbedaan gender biasanya tidak 

nampak kecuali bentuk paru-paru kronis lebih banyak terjadi pada pria. Wabah terjadi 

pada daerah endemis di lingkungan keluarga, pelajar, pekerja yang terpajan dengan 

burung, ayam atau terpajan dengan kotoran kelelawar yang mengontamisai tanah. 

Histoplasmosis juga terjadi pada anjing, kucing, kuda, tikus,  sigung, opossum, rubah atau 

binatang lainnya, sering dengan gambaran klinis yang sama dengan penyakit pada 

manusia. 

 

 

 

 278

4. Reservoir 

Tanah dengan kandungan organik yang tinggi dan kotoran burung yang berserakan dapat 

menjadi reservoir, terutama di sekitar dan pada kandang ayam yang berumur tua, pada gua 

tempat kelelawar bersembunyi dan di sekitar sarang burung jalak, burung gagak dan 

tempat bertengger burung merpati. 

 

5. Cara penularan 

Jamur yang tumbuh dalam tanah menghasilkan microconidia dan tuberculate 

macroconidia; infeksi sebagai akibat sebab  menghirup conidia yang berada di udara. 

Penularan dari orang ke orang dapat terjadi jika jaringan yang terinfeksi dicangkokkan ke 

orang yang sehat. 

 

6.  Masa Inkubasi 

Gejala-gejala muncul dalam 3-17 hari setelah terpajan namun memungkinkan lebih 

pendek pada tingkat pemajanan yang tinggi; biasanya 10 hari. 

 

7. Masa Penularan : Tidak ditularkan dari orang ke orang. 

 

8. Kerentanan dan Kekebalan 

Semua orang rentan terhadap infeksi. Infeksi tersembunyi sangat umum terjadi di daerah 

endemis dan biasanya mengakibatkan terjadinya peningkatan kekebalan terhadap infeksi. 

Infeksi opportunistic dapat terjadi pada orang dengan kekebalan tubuh yang rendah. 

 

9. Cara-cara Pemberantasan 

A.  Cara-cara Pencegahan 

Kurangi pajanan dengan debu di lingkungan yang tercemar, seperti  kandang ayam 

dan tanah di sekelilingnya. Semprot tanah disekitar lingkungan yang tercemar dengan 

air atau minyak untuk mengurangi debu; gunakan masker pelindung. 

 

B. Penanganan penderita, kontak dan lingkungan sekitar 

1) Laporan kepada instansi kesehatan setempat: di daerah endemis tertentu wajib 

dilaporkan (di Amerika Serikat); di banyak negara, bukan merupakan penyakit 

yang harus dilaporkan, Kelas 3B (lihat pelaporan tentang penyakit menular). 

2) Isolasi:  Tidak perlu. 

3) Disinfeksi serentak:  Lakukan disinfeksi terhadap Sputum dan alat-alat yang 

tercemar. Lakukan kebersihan menyeluruh. 

4) Karantina: Tidak diperlukan. 

5) Imunisasi kontak:  Tidak diperlukan. 

6) Investigasi kontak dan sumber infeksi:  Lakukan investigasi tehadap kontak 

serumah dan kontak dalam lingkungan pekerjaan untuk membuktikan bahwa telah 

terjadi infeksi yang bersumber dari lingkungan biasa. 

7) Pengobatan spesifik: Ketoconazole secara oral dipakai untuk pengobatan pada 

pasien yang memiliki  sistem kekebalan yang baik. Itraconazole peroral dapat 

juga diberikan bagi individu non-HIV dengan histoplasmosis paru dan 

histoplasmosis disseminata. Tidak diberikan pada penderita dengan gejala SSP. 

Untuk pasien dengan histoplasmosis disseminata, amphotericin B (Fungizone®) 

 

 279

IV merupakan obat pilihan. Itraconazole efektif digunakan untuk pengobatan 

supresif kronis pada penderita AIDS yang sebelumnya telah diberikan 

amphotericin B. 

 

C. Upaya Penanggulangan  wabah 

Apabila ditemukan sejumlah kasus penderita penyakit paru akut di daerah ataupun di 

luar daerah endemis, khususnya  dengan riwayat pajanan dengan debu dalam ruangan 

tertutup di dalam gua atau didalam gedung, lantai bawah gedung harus dicurigai 

kemungkinan infeksi histoplasmosis. Tempat yang perlu diwaspadai seperti loteng, 

lantai dasar, gua atau konstruksi bangunan dengan kotoran burung dalam jumlah 

banyak atau dengan kotoran kelelawar harus dilakukan penyelidikan epidemiologi 

yang benar. 

 

D.  Implikasi  bencana 

Tidak ada implikasi bencana. Bahaya mungkin terjadi apablia ada orang berkelompok 

dalam jumlah besar, khususnya orang yang berasal dari daerah nonendemis, sebab  

sesuatu hal harus pindah atau tinggal di daerah endemis jamur. 

 

E.  Tindakan  lebih lanjut :  Tidak ada. 

 

 

 

II. HISTOPLASMOSIS DUBOISII  ICD-9 115.1; ICD-10 B39.5 

 (Histoplasmosis akibat H. capsulatum var. duboisii, Histoplasmosis Afrika) 

 

Penyakit ini biasanya muncul sebagai granuloma subakut pada kulit atau tulang. Infeksi, 

biasanya setempat, atau menyebar pada kulit, jaringan di bawah kulit, kelenjar limfe,  tulang 

sendi, paru dan organ dalam rongga perut. Penyakit ini lebih banyak terjadi pada pria dan 

menyerang semua umur, khususnya pada dekade kedua kehidupan. Sejauh ini, penyakit 

ini  hanya diketemukan di Afrika dan Madagaskar. Diagnosa dibuat dengan kultur dan 

dengan ditemukannya sel ragi dari H. capsulatum var. duboisii dalam jaringan yang dilakukan 

pada preparat apus atau dari jaringan biopsi. Sel-sel ini berukuran lebih besar dibandingkan 

dengan sel ragi dari H. capsulatum var. capsulatum. Prevalensi yang sebenarnya dari H. 

duboisii, reservoir, dan cara penularan serta masa inkubasi belum diketahui dengan jelas. 

Penyakit ini tidak ditularkan dari orang ke orang. Pengobatan mungkin sama dengan 

histoplasmosis di Amerika. 

 

 

 

PENYAKIT CACING TAMBANG (HOOKWORM DISEASE)  ICD-9 126; ICD-10 B76 

(Ancylostomiasis, Uncinariasis, Necatoriasis) 

 

1. Identifikasi 

Suatu infeksi parasit kronis yang sering terjadi dan muncul dengan berbagai gejala, 

biasanya proporsi terbesar dengan berbagai tingkat anemia. Pada infeksi berat, akibat 

darah diisap oleh cacing mengakibatkan terjadinya kekurangan zat besi dan memicu  

 

 280

terjadinya anemia hipokromik, anemia mikrositik, sebagai Pemicu  utama disabilitas. 

Anak-anak dengan infeksi berat dalam jangka waktu lama dapat menderita 

hipoproteinemia dan mengalami keterbelakangan mental dan keterbelakangan 

perkembangan fisiknya. Kadang-kadang, reaksi paru akut yang berat dan gejala GI dapat 

terjadi mengikuti pemajanan infeksi larva. Kematian jarang terjadi  dan biasanya 

disebabkan oleh infeksi yang lain. Infeksi cacing tambang ringan umumnya ditandai 

dengan beberapa atau tanpa gejala klinis. 

Diagnosa adanya Infeksi ditegakkan dengan ditemukannya telur cacing tambang dalam 

tinja; pemeriksaan tinja mungkin negatif pada awalnya perjalan penyakitnya sampai 

cacing menjadi dewasa. Untuk melakukan diferensiasi spesies memerlukan pemeriksaan 

mikroskopis kultur larva yang berasal dari tinja, atau pemeriksaan cacing dewasa yang 

dikeluarkan dengan obat pencahar setelah diberi obat cacing (Vermifuga). Membedakan 

spesies dapat juga dilakuakn dengan memakai   teknik PCR-RFLP. 

 

2. Pemicu  Penyakit 

Necator americanus, Ancylostoma duodenale, A. ceylanicum dan A. caninum.  

 

3. Distribusi Penyakit 

Endemis secara luas di negara tropis dan subtropis dimana pembuangan tinja manusia 

yang tidak saniter, dimana keadaan tanah, keadaan suhu dan kelembaban yang 

mendukung hidupnya larva infektif.  Dapat juga ditemukan didaerah beriklim sedang 

dengan keadaan lingkungan yang serupa (contohnya didaerah pertambangan). Necator 

dan Ancylostoma ditemukan di banyak tempat di Asia (terutama di Asia Tenggara), 

Pasifik selatan dan Afrika timur. N. americanus merupakan spesies yang umum 

ditemukan di Asia terutama Asia Tenggara, sebagian besar di daerah tropis Afrika dan 

Amerika; A. duodenale banyak ditemukan di Afrika Utara, termasuk di lembah Nile, di 

bagian utara India, di agian utara Timur Jauh dan daerah Andean di Amerika selatan. 

A.ceylanicum terdapat di Asia Tenggara namun lebih jarang jika dibandingkan dengan N. 

americanus atau A. duodenale. A. caninum di Australia diketahui sebagai Pemicu  

sindroma eosinophilic enteritis di Australia.  

 

4. Reservoir 

Manusia yaitu   reservoir untuk N. americanus dan A. duodenale; sedang  kucing dan 

anjing untuk A. ceylanicum dan A. caninum. 

 

5. Cara Penularan 

Telur dalam tinja yang di deposit didalam tanah dan menetas ditanah; dalam kondisi yang 

sesuai yaitu udara yang lembab, suhu dan tipe tanah yang sesuai, larva berkembang 

menjadi stadium tiga, menjadi infektif dalam 7-10 hari. Infeksi pada manusia terjadi 

ketika larva infektif masuk melalui kulit, biasanya pada kaki; kemudian, mengakibatkan 

terjadinya dermatitis yang khas (ground itch). Larva A. caninum mati dalam kulit, 

memicu  terjadinya larva migrans pad kulit. Larva Necator dan Ancylostoma yang 

lain biasanya masuk ke kulit dan lewat saluran limfe dan aliran darah menuju paru-paru, 

masuk ke alveoli, pindah ke trachea kemudian ke faring, ditelan dan mencapai usus halus 

dimana mereka menyerang dinding usus halus, berkembang menjadi dewasa dalam 6-7 

minggu (3-4 minggu pada kasus A. ceylanicum) dan sangat khas dapat menghasilkan 

ribuan telur per hari. Infeksi Ancylostoma bisa juga didapat sebab  menelan larva infektif; 

kemungkinan terjadinya penularan vertikal pernah dilaporkan. 

 

 281

6. Masa Inkubasi 

Gejala dapat muncul dalam beberapa minggu sampai dengan berbulan-bulan, tergantung 

kepada infeksi dan masukan zat besi pada pejamu. Infiltrasi paru, batuk dan tracheitis 

mungkin dapat terjadi selama fase migrasi di paru, khususnya infeksi Necator. Setelah 

memasuki tubuh manuasia, A. duodenale menjadi dormant selama sekitar 8 bulan, setelah 

itu cacing mulai tumbuh dan berkembang lagi, dengan infeksi patent (tinja yang berisi 

telur) terjadi satu bulan kemudian. 

 

7. Masa Penularan 

Tidak ada penularan dari orang ke orang, namun  seorang yang terinfeksi dapat mencemari 

tanah selama beberapa tahun bila tanpa pengobatan. Dalam keadaan yang  baik, larva 

tetap infektif dalam tanah selama beberapa minggu. 

 

8. Kerentanan dan Kekebalan 

Berlaku umum, tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa kekebalan terjadi akibat 

terinfeksi. 

 

9. Cara-cara Penanggulangan 

A. Cara-cara Pencegahan 

1) Berikan penyuluhan kepada warga  tentang bahaya tanah yang tercemar oleh 

tinja manusia, kotoran kucing dan kotoran anjing, dan tentang upaya pencegahan 

yang harus dilakukan seperti memakai sepatu di daerah endemis. 

2) Lakukan pencegahan pencemaran terhadap tanah dengan membangun sistem 

pembuangan tinja yang saniter, khususnya pembuangan jamban umum di daerah 

pedesaan. Pemupukan tanaman dengan tinja dan sistem pembuangan air limbah 

yang buruk sangat berbahaya. 

3) Lakukan pemeriksaan dan Pengobatan terhadap warga  yang pindah dari daerah 

endemis ke daerah reseptif non-endemis, khususnya mereka yang bekerja tanpa 

memakai   sepatu pada pertambangan, konstruksi bendungan atau pada sektor 

pertanian. 

 

B Penanganan Penderita, Kontak dan Lingkungan sekitar 

1) Laporan kepada instansi kesehatan setempat:  Laporan kasus tidak wajib 

dilakukan; Kelas 5 (lihat pelaporan tentang penyakit menular) 

2) Isolasi:  tidak ada. 

3) Disinfeksi serentak:  Pembuangan tinja yang saniter untuk mencegah pencemaran 

tanah. 

4) Karantina:  Tidak diperlukan. 

5) Imunisasi kontak:  Tidak ada. 

6) Investigasi kontak dan sumber infeksi:  Setiap kontak yang terinfeksi dan Carrier 

merupakan penyebar infeksi tidak langsung yang sangat potensial maupun nyata. 

7) Pengobatan spesifik: Pengobatan dosis tunggal dapat diberikan dengan 

mebendazole (Vermox®), albendazole (Zentel®), levamisole (Ketrax®),  atau 

pyrantel pamoat (Antiminth®). Pemeriksaan tinja lanjut dibekukan 2 minggu 

setelah pengobatan, dan Pengobatan harus diulang  jika infestasi cacing cukup 

berat. Pemberian suplemen zat besi akan memperbaiki anemia dan harus diberikan 

bersamaan dengan pengobatan cacing.  

 

 282

Transfusi diperlukan untuk anemia berat. Sebagai peganggan umum, wanita hamil 

pada trimester pertama kehamilan jika tidak ada indikasi kuat untuk diberikan 

pengobatan, sebaiknya jangan diberi obat cacing. 

 

C.  Upaya penanggulangan  wabah:  

Lakukan survei prevalensi di daerah endemis tinggi dan berikan pengobatan massal 

secara periodik. Berikan penyuluhan kesehatan kepada warga  tentang sanitasi 

lingkungan dan kebersihan perorangan, dan sediakan sarana yang cukup untuk 

pembuangan tinja. 

 

D.  Implikasi bencana:  Tidak ada. 

 

E.  Tindakan  lebih lanjut :  Tidak ada. 

 

 

 

HYMENOLEPIASIS     ICD-9 123.6; ICD-10 B71.0 

 

I. HYMENOLEPIASIS sebab  HYMENOLEPSIS NANA 

 (dwarf tapeworm infection) 

 

1. Identifikasi 

yaitu   Infeksi intestinal oleh cacing pita yang sangat kecil; infeksi ringan biasanya tanpa 

gejala. Cacing dalam jumlah besar dapat mengakibatkan enteritis dengan atau tanpa diare, 

nyeri perut dan gejala tidak jelas lainnya seperti muka pucat, kehilangan berat badan dan 

lemah. 

Diagnosis dibuat dengan pemeriksaan mikroskop untuk menemukan telur cacing dalam 

tinja. 

 

2. Pemicu  penyakit 

Hymenolepis nana (dwarf tapeworm), cacing pita yang hanya menyerang manusia tanpa 

ada pejamu obilgatif intermedier. 

 

3. Distribusi Penyakit 

Tersebar di seluruh dunia; lebih banyak terjadi di daerah panas daripada dingin, dan di 

iklim kering daripada iklim basah. Cacing pita dwarf merupakan cacing pita yang paling 

sering ditemukan pada manusia di Amerika Serikat dan Amerika Latin. Hal itu juga 

terjadi di Australia, negara-negara di Timur Tengah, Timur Dekat dan India. 

 

4. Reservoir - Manusia, mungkin juga tikus. 

 

5. Cara Penularan 

Telur H. nana sudah infentif ketika dikeluarkan melalui tinja. Infeksi didapat sebab  

menelan telur cacing yang terdapat dalam makanan atau air yang tercemar; penularan 

secara langsung dapat terjadi melalui jari yang tercemar (auto infeksi secara langsung atau 

penularan dari orang ke orang); atau sebab  menelan serangga yang mengandung larva 

yang berkembang dari telur yang ditelan oleh serangga. Pada saat telur H. nana ditelan, 

 

 283

telur ini  menetas dalam usus, melepascan oncosphere yang masuk ke villi mukosa 

usus dan berkembang menjadi cysticercoid; cysticercoid ini akan pecah kedalam lumen 

dan tumbuh menjadi cacing pita dewasa. Banyak telur H. nana yang langsung infeksius 

ketika lepas dari proglottid pada usus manusia; sehingga terjadi autoinfeksi atau dapat 

terjadi penularan dari orang ke orang. Jika telur H. nana tertelan oleh mealworm (cacing 

gelang), kutu pemakan larva, kumbang atau serangga lainnya, mereka dapat berkembang 

menjadi cysticercoid yang infektif terhadap manusia dan binatang pengerat ketika tertelan. 

 

6.  Masa Inkubasi 

Saat timbulnya gejala dapat bervariasi; perkembangan menjadi cacing dewasa 

memerlukan waktu sekitar 2 minggu. 

 

7. Masa Penularan : Seseorang dapat menular sepanjang telur masih ditemukan dalam 

tinja. Infeksi H. nana dapat berlangsung dan bertahan hingga beberapa tahun. 

 

8. Kerentanan dan Kekebalan 

Setiap orang rentan terhadap infeksi; infeksi dapat menimbulkan kekebalan untuk infeksi 

ulang. Anak-anak lebih rentan untuk terserang daripada dewasa; infeksi intensif terjadi 

pada anak-anak yang memiliki kekebalan tubuh yang rendah dan kurang gizi. 

 

9. Cara-cara Pemberantasan 

A. Cara-cara Pencegahan 

1) Berikan penyuluhan kepada warga  mengenai kebersihan perorangan dan 

cara-cara pembuangan tinja yang saniter. 

2) Sediakan dan lakukan pemeliharaan sarana jamban yang saniter. 

3) Lindungi makanan dan air dari kontaminasi oleh tinja manusia dan tinja binatang 

pengerat. 

4) Lakukan pengobatan terhadap penderita untuk menghilangkan sumber infeksi 

5) Berantas tikus dari lingkungan rumah. 

 

B. Penanganan Penderita, Kontak dan Lingkungan sekitar 

1) Laporan kepada instansi kesehatan setempat; laporan tidak wajib dilakukan, Kelas 

5 (lihat pelaporan tentang penyekit menular). 

2) Isolasi:  Tidak diperlukan. 

3) Disinfeksi serentak:  Pembuangan tinja yang saniter. 

4) Karantina:  Tidak diperlukan. 

5) Imunisasi kontak:  Tidak diterapkan. 

6) Investigasi kontak dan sumber infeksi:  Lakukan Pemeriksaan tinja dari anggota 

keluarga atau institusi. 

7) Pengobatan spesifik: Pemberian Praziquantel (Biltricide®) atau niclosamide 

(Yomesan®, Niclocide®) cukup efektif. 

 

C. Upaya penanggulangan wabah: KLB yang terjadi di sekolah dan institusi dapat 

dikendalikan dengan baik dengan memberikan pengobatan kepada individu yang 

terinfeksi dan dengan perhatian khusus pada kebersihan perorangan dan kelompok. 

 

 

 284

D. Implikasi bencana: Tidak ada. 

 

E. Tindakan  lebih lanjut : Tidak ada. 

 

 

 

II. HYMENOLEPIASIS AKIBAT HYMENOLEPSIS DIMINUTA 

         ICD-9 123.6; ICD-10 B71.0 

 (Infeksi cacing pita tikus, Hymenolepiasis diminuta)    

 

Cacing pita tikus, H. diminuta, infeksi cacing ini terjadi secara kebetulan pada manusia, 

biasanya pada anak-anak kecil. Telur yang dilepaskan melalui tinja binatang pengerat 

tertelan oleh serangga seperti kutu pemakan larva, kumbang padi-padian dan kecoak 

dimana cysticercoid berkembang dalam hemosel. Cacing pita dewasa berkembang dalam 

tikus, celurut atau binatang pengerat lainnya ketika menelan serangga. warga  jarang 

sekali dan secara kebetulan menjadi pejamu, biasanya infeksi yang terjadi yaitu   oleh 

cacing pita tungal atau oleh beberapa ekor cacing pita; infeksi pada manusia jarang 

menunjukkan gejala. Diagnosis yang tepat didapatkan dengan menemukan telur cacing 

dalam tinja; pengobatan sama dengan pengobatan pada H. nana. 

 

 

 

III. DIPLYDIASIS      ICD-9 123.8; ICD-10 B71.1 

 (Infeksi cacing pita pada anjing) 

 

Anak-anak kecil yang baru belajar berjalan kadangkala terinfeksi oleh cacing pita anjing 

(Dipylidium caninum), cacing dewasa ditemukan di seluruh dunia pada anjing dan kucing. 

Infeksi jarang terjadi kalaupun terjadi infeksi dengan ditemukan gejala pada anak 

membuat orang tua sangat cemas sebab  melihat adanya proglotid (ruas cacing pita) 

seperti biji pada anus atau pada permukaan tinja bergerak-gerak. Infeksi didapat sebab  

anak menelan kutu, dimana kutu ini  pada waktu stadium larva, telah menelan telur 

cacing dari proglottid. Dalam waktu 3-4 minggu cacing pita menjadi dewasa. Infeksi 

dapat dicegah dengan cara menjaga anjing dan kucing bebas dari kutu dan cacing; 

Pengobatan yang efektif yaitu   dengan memakai   niclosamide atau praziquantel. 

 

 

 

 

INFLUENZA       ICD-9 487; ICD-10 J10, 11 

 

1.  Identifikasi 

 Influenza yaitu   penyakit virus akut yang menyerang saluran pernafasan ditandai dengan 

timbulnya demam, sakit kepala, mialgia, lesi, coryza, sakit tenggorokan dan batuk. Batuk 

biasanya keras dan panjang namun gejala-gejala lainnya bisanya hilang dengan 

sendirinya. Penyakit ini sembuh dalam waktu 2-7 hari. Penyakit ini dikenal sebab  

karakteristik epidemiologisnya; kasus sporadis diketahui hanya dengan pemeriksaan 

laboratorium. Influenza pada seseorang dapat dibedakan dengan penyakit yang 

 

 285

disebabkan oleh virus pernafasan lainnya. Gambaran klinis dapat berkisar mulai dari  

Common cold, Croup, bronchiolitis, pneumonia akibat virus dan penyakit pernafasan akut 

lain yang tidak jelas. Gejala pada saluran pencernaan (mual, muntah, diare) jarang terjadi, 

namun  bisa saja gejala ini  terjadi menyertai fase pernafasan pada anak yang terserang 

influenza, dan dilaporkan lebih dari 25% anak-anak pada KLB yang terjadi di sekolah 

disebabkan influenza B dan A (H1N1) mengalami gejala gastrointestinal. 

Influenza menjadi penting sebab  dari kecepatannya menyebar dan menjadi wabah, 

luasnya penyebaran penyakit dan timbulnya komplikasi yang serius khususnya terjadi, 

pneumonia akibat virus dan bakteri. Selama terjadinya wabah yang meluas, dapat terjadi 

penyakit yang berat dengan angka kematian yang tinggi, terutama pada orang dengan usia 

lanjut dan orang-rang yang lemah akibat berbagai penyakit seperti penyakit jantung, paru, 

ginjal atau penyakit gangguan metabolisme kronis. Proporsi kematian yang diakibatkan 

pneumonia dan influenza jika dibandingkan dengan angka kematian yang normal terjadi 

pada tahun-tahun ini  berbeda dari wabah ke wabah dan tergantung pada prevalensi 

tipe virus. Dari tahun 1972-1973 sampai dengan tahun 1994-1995, diperkirakan lebih dari 

20.000 kematian sebab  influenza terjadi pada salah satu dari sebelas kali kejadian wabah 

yang berbeda di Amerika Serikat, dan lebih dari 40.000 kasus influenza meninggal selama 

6 dari 11 kali kejadian wabah ini ,  80%-90% kematian terjadi pada orang yang 

berusia lebih dari 65 tahun. Namun demikian, pada pandemi yang terjadi pada tahun 1918, 

angka kematian tertinggi terjadi dikalangan dewasa muda.  Sindroma Reye, yang 

menyerang SSP dan hati, merupakan komplikasi yang jarang dan terjadi pada anak-anak 

yang menelan obat salisilat; komplikasi ini terjadi terutama pada anak-anak dengan 

penyakit influenza B dan jarang terjadi pada anak dengan influenza A. 

Selama penyakit pada fase demam, konfirmasi laboratorium dibuat dengan melakukan 

isolasi virus influenza dari sekret faring atau secret hidung atau hasil cucian faring atau 

hidung yang ditanam pada kultur sel atau pada telur yang sudah berembrio. Dapat juga 

dengan identifikasi langsung antigen virus pada sel nasofaring dan cairan nasofaring 

dengan memakai   tes FA atau ELISA, atau dengan amplifikasi RNA virus. Infeksi 

dapat juga ditegakkan dengan ditemukannya respons serologis spesifik antara serum akut 

dan konvalesen. 

 

2. Pemicu  Infeksi 

Tiga tipe virus influenza yang dikenal yaitu: A, B dan C. Tipe A terdiri dari 3 subtipe 

(H1N1, H2N2 dan H3N2) yang dikaitkan dengan terjadinya epidemi dan pandemi yang 

luas. Tipe B jarang sekali memicu  terjadinya KLB regional atau yang menyebar 

luas. Tipe C dikaitkan dengan timbulnya kasus sporadis dan KLB kecil yang terlokalisir. 

Tipe virus ditentukan oleh sifat antigen dari dua struktur protein internal yang relatif stabil 

ditentukan oleh nukeloprotein dan matrik protein. 

Subtipe influenza A dikelompokkan sesuai dengan sifat antigen dari glikoprotein 

permukaan, hemaglutinin (H) dan neuraminidase (N). Seringnya terjadi mutasi dari gen 

yang membawa kode-kode genetik pada permukaan glycoprotein dari virus influenza A 

dan virus influenza B mengakibatkan timbulnya varian baru yang dibedakan dengan 

wilayah geografis darimana virus ini  diisolasi, nomer kultur dan tahun isolasi. 

Beberapa contoh dari prototipe strain ini dengan cara penandaan ini  yaitu   

A/Beijing/262/95 (H1N1), A/Japan/305/57 (H2N2), A/Sydney/5/97 (H3N2) dan 

B/Yamanashi/166/98. 

 

 286

Munculnya subtipe yang benar-benar baru (perubahan antigen) terjadi dengan interval 

yang tidak beraturan dan hanya terjadi dengan virus tipe A; virus ini memicu   

terjadinya pandemi dan diakibatkan sebab  terjadinya rekombinasi dari antigen manusia, 

babi dan unggas yang tidak dapat diramalkan terjadi. Perubahan relatif dari antigen minor 

(penyimpangan antigen) dari virus A dan B mengakibatkan sering terjadi wabah dan KLB 

regional  dan setiap tahun harus dilakukan reformulasi tahunan untuk vaksin influenza. 

 

3. Distribusi Penyakit 

Muncul sebagai terjadi Pandemi, Epidemi, KLB setempat atau sebagai kasus sporadis. 

Sejak lebih dari 100 tahun yang lalu, pandemi terjadi pada tahun 1889, 1918, 1957 dan 

1968. Attack Rate selama terjadinya wabah berkisar antara 10% sampai dengan 20% 

diwarga  umum dan Attack rate sampai lebih dari 50% pada populasi tertentu seperti  

di asrama sekolah atau perumahan perawat. Wabah influenza di Amerika Serikat terjadi 

hampir setiap tahun; wabah ini diakibatkan  terutama oleh virus Tipe A, kadang-kadang 

disebabkan oleh virus tipe B ataupun kedua-duanya. Di daerah beriklim sedang, wabah 

cenderung terjadi pada musim dingin, sedang  di daerah tropis, wabah sering terjadi 

pada musim hujan, namun KLB atau kasus sporadis dapat terjadi setiap bulan.  

Infeksi oleh virus influenza dengan subtipe antigen yang berbeda juga dapat terjadi secara 

alami pada babi, kuda, cerpelai dan anjing laut, dan  pada spesies unggas peliharaan dan 

unggas liar di berbagai tempat di dunia. Penularan antar spesies dan pembauran kembali 

(Reassortment) dari virus influenza A dilaporkan terjadi diantara babi, manusia dan 

unggas domestik dan unggas liar. Virus influenza pada manusia yang memicu  

terjadinya pandemik pada tahun 1918, 1957 dan 1968 berisi dari segmen gen yang dekat 

kaitannya dengan virus influenza pada burung. 

 

4. Reservoir 

Manusia merupakan reservoir utama untuk infeksi yang terjadi pada manusia, namun 

demikian, reservoir mamalia seperti babi dan burung  nerupakan sumber subtipe baru pada 

manusia yang muncul sebab  pencampuran gen (gene reassortment). Subtipe baru dari 

suatu starin virus virulen dengan surface antigens baru mengakibatkan pandemik 

influenza yang menyebar terutama kepada warga  yang rentan.  

 

5. Cara Penularan 

Penularan melalui udara terutama terjadi pada daerah yang padat warga  pada ruangan 

tertutup, seperti pada bis sekolah; penularan dapat juga terjadi dengan kontak langsung, 

oleh sebab  virus influenza dapat hidup berjam-jam diluar tubuh manusia, khususnya di 

daerah dingin dan di daerah dengan kelembaban yang rendah. 

 

6. Masa Inkubasi - Pendek, biasanya 1-3 hari. 

 

7. Masa Penularan 

Masa penularan mungkin berlangsung selama 3-5 hari sejak timbulnya gejala klinis pada 

orang dewasa; sampai 7 hari pada anak-anak muda. 

 

8. Kerentanan dan Kekebalan  

Apabila subtipe baru muncul, semua anak dan orang dewasa rentan, kecuali mereka telah 

 

 287

mengalami KLB yang terjadi sebelumnya yang disebabkan oleh subtipe yang sama atau 

subtipe yang antigennya mirip. Infeksi akan menimbulkan kekebalan terhadap virus 

spesifik, namun lamanya antibodi bertahan dan luasnya spektrum kekebalan tergantung 

pada tingkat perubahan antigen dan banyaknya infeksi sebelumnya. Vaksinasi 

menghasilkan respons serologis spesifik terhadap jenis virus yang ada didalam vaksin dan 

memberi respons booster untuk strain yang sama pada sesorang yang pernah mengalami 

infeksi oleh virus dengan strain yang sama sebelumnya. 

Age specific Attack rate selama epidemi menggambarkan bahwa kekebalan masih tetap 

ada terhadap strain virus yang sama dengan subtipe yang menimbulkan epidemi apabila 

KLB yang dialami sebelumnya juga dari subtipe yang sama, sehingga insidensi infeksi 

pada epidemi yang sedang terjadi sering tertinggi pada anak-anak usia sekolah. Oleh 

sebab  itu maka wabah H1N1 yang terjadi setelah tahun 1977, ditemukan insidensi 

penyakit tertinggi pada mereka yang lahir setelah tahun 1957; sebagian besar warga  

yang lahir sebelumnya  memiliki  kekebalan parsial dari infeksi oleh antigen virus 

H1N1 sejenis yang berlangsung selama tahun 1918 sampai dengan 1957. 

 

9. Cara-cara pemberantasan 

Petunjuk secara terperinci untuk pencegahan dan pengendalian influenza dikeluarkan 

setahun sekali oleh CDC dan WHO.  

A. Cara Pencegahan 

1) Berikan penyuluhan kepada warga  dan tenaga pelayanan kesehatan tentang 

dasar-dasar kebersihan perorangan, khususnya mengenai bahayanya batuk dan 

bersin tanpa menutup mulut dan hidung, dan bahaya penularan melalui tangan ke 

selaput lendir. 

2) Imunisasi dengan memakai   vaksin virus yang tidak aktif dapat memberikan 

70%-80% perlindungan terhadap infeksi pada orang dewasa muda yang sehat 

apabila antigen yang ada didalam vaksin sama atau dekat dengan strain virus yang 

orang bersirkulasi. Pada orang dengan usia lanjut, pemberian imunisasi mungkin 

kurang bermanfaat untuk pencegahan infeksi namun pemberian imunisasi 

mungkin dapat mengurangi beratnya penyakit  dan terjadinya komplikasi sebesar 

50%-60% dan terjadinya kematian rata-rata 80%. Mereka yang dirawat di rumah 

sakit yang berusia 65 tahun keatas yang menderita pneumonia dan influenza di 

Amerika Serikat selama kurun waktu lebih tahun 1989 – 1992 telah turun sekitar 

30%-50% dengan pemberian imunisasi. Imunisasi influenza harus diberikan 

bersamaan dengan pemberian imunisasi terhadap pneumonia akibat peneumococci 

(q.v.) 

Satu dosis tunggal sudah cukup bagi mereka yang sebelumnya pernah terpajan 

dengan virus influenza A dan B;  2 dosis vaksin dengan interval 1 bulan 

diperlukan bagi mereka yang sebelumnya belum pernah diimunisasi. Imunisasi 

rutin diarahkan terutama kepada mereka yang paling berisiko mendapatkan 

komplikasi serius atau kematian kalau terserang influenza (lihat Identifikasi yang 

diuraikan di atas) dan terhadap mereka yang dapat menularkan penyakit kepada 

mereka yang rentan (tenaga kesehatan atau kontak serumah yang brisiko tinggi). 

Imunisasi bagi anak-anak yang mendapatkan

juga disarankan untuk mencegah terjadinya sindroma Reye sebab  infeksi 

influenza. Vaksin yang diberikan intra nasal, yaitu vaksin influenza trivalent cold 

 pengobatan aspirin jangka panjang 

 

 288

adapted live attenuated masih dalam uji klinis tahap akhir untuk melihat efikasi 

pada anak-anak dan dewasa dan diharapkan sudah beredar pada  awal millennium 

ini. 

Pemberian Imunisasi harus juga dipertimbangkan untuk diberikan kepada mereka 

yang bergerak pada bidang pelayanan warga  dan kepada personil militer. 

Namun sebetulnya jika diberikan maka, setiap orang akan memperoleh 

keuntungan dari imunisasi. 

Imunisasi harus diberikan setiap tahun sebelum penularan influenza terjadi di 

warga  (yaitu pada bulan November sampai dengan bulan Maret di Amerika 

Serikat). Bagi mereka yang tinggal dan bepergian ke luar Amerika Serikat, waktu 

pemberian imunisasi harus didasarkan pada pola musiman  dari virus influenza 

dinegara ini  (biasanya dari bulan April sampai dengan bulan September di 

wilayah Bumi bagian Selatan dan didaerah topis). Rekomendasi biannual untuk 

menentukan jenis komponen yang harus ada dalam vaksin yang akan dibuat 

didasarkan pada strain virus yang sedang beredar saat ini yang dapat diketahui  

dari kegiatan surveilans lebih lanjut . 

Kontraindikasi: Mereka yang hipersensitif dan alergi terhadap protein telur atau 

terhadap komponen vaksin yang lain merupakan kontraindikasi pemberian 

imunisasi. Selama dilakukan program vaksinasi untuk babi pada tahun 1976, 

peningkatan risiko berkembangnya sindroma Guillain-Barre (GBS) 6 minggu 

setelah vaksinasi di Amerika Serikat. Vaksin yang dibuat pada periode belakangan 

ini yang dibuat dari strain virus yang berbeda  belum jelas memiliki  kaitan 

dengan peningkatan risiko GBS. 

3) Hydrochloride amantadine (Symmetrel®, Symadine®) atau rimantadine 

hydrochloride (Flumadine®) efektif sebagai obat kemoprofilaksis untuk influenza 

A, namun tidak efektif untuk influenza tipe B. Amantadine dapat memicu  

terjadinya efek samping pada SSP pada 5%-10% dari mereka yang divaksinasi; 

mereka yang mendapat komplikasi lebih parah yaitu   kelompok usia lanjut atau 

mereka dengan fungsi ginjal yang tidak baik. Untuk alasan ini, seseorang dengan 

penurunan fungsi ginjal harus diberikan dosis vaksin yang dikurangi sesuai dengan 

tingkat kerusakan ginjal. Rimantadine  dilaporkan mengakibatkan lebih banyak 

terjadinya efek pada SSP. Penggunaan obat-obatan ini  harus dipertimbangkan  

benar bagi mereka yang belum pernah diimunisasi atau bagi mereka yang 

memiliki  risiko tinggi terjadinya komplikasi, seperti penghuni asrama atau 

penghuni rumah-rumah jompo, atau obat ini diberikan apabila vaksin yang tepat 

tidak tersedia atau sebagai suplemen terhadap vaksinasi yang sedang diberikan 

apabila perlindungan maksimal sangat mendesak diperlukan terhadap infeksi 

influenza A. Pemberian obat harus dilanjutkan selama terjadinya wabah; hal itu 

tidak akan mempengaruhi respons terhadap vaksin influenza. Inhibitor terhadap 

neuraminidase influenza cukup aman dan cukup efektif untuk pencegahan dan 

pengobatan terhadap influenza A dan B. Obat-obat baru ini  pada awalnya 

digunakan di Australia dan Swedia, dan pada pertengahan tahun 1999 digunakan 

di Amerika Serikat. Neuraminidase Inhibitor diharapkan tersedia secara luas 

dipasaran pada awal millennium ini. 

 

 

 289

B. Penanganan Penderita, Kontak dan Lingkungan sekitar 

1) Laporan ke institusi kesehatan setempat; laporan terjadinya KLB dan konfirmasi 

laboratorium dapat membantu kegiatan surveilans penyakit. Laporan Pemicu  

infeksi pada KLB bila mungkin harus ditegakkan dengan pemeriksaan 

laboratorium, Kelas 1 A (lihat pelaporan tentang penyakit menular). 

2) Isolasi:  Tidak dilakukan sebab  tidak praktis oleh sebab  keterlambatan diganosa, 

kecuali diagnosa dapat ditegakkan dalam waktu singkat, maka isolasi bermanfaat 

pemeriksaan langsung virus tersedia. Pada keadaan epidemi, dengan adanya 

peningkatan jumlah penderita, perlu dilakukan isolasi terhadap penderita 

(khususnya terhadap bayi dan anak-anak usia muda) yang diduga menderita 

influenza dengan cara menempatkan mereka di ruangan yang sama (secara cohort) 

selama 5-7 hari pertama sakit. 

3) Disinfeksi serentak:  Tidak diperlukan. 

4) Karantina:  Tidak ada. 

5) Perlindungan Kontak: Pemberian obat kemofrofilaksis seperti amantadine atau 

rimantadine cukup bermanfaat terhadap strain tipe A (lihat 9A3, di atas). 

6) Investigasi kontak dan sumber infeksi: Tidak praktis. 

7) Pengobatan spesifik:  Amantadine atau rimantadine diberikan dalam 48 jam 

setelah timbulnya gejala akibat influenza A dan diberikan selama 3-5 hari untuk 

mengurangi gejala dan titer virus di dalam sekret saluran pernafasan. Dosis 

pemberian yaitu   5 mg/kg/hari yang dibagi dalam 2 dosis bagi mereka yang 

berusia antara 1-9 tahun dan 100 mg dua kali sehari bagi mereka yang berumur 9 

tahun ke atas (jika berat badan kurang dari 45 kg, gunakan 5 mg/kg/hari dalam 2 

dosis) selama 2-5 hari. Dosis harus dikurangi bagi mereka yang berusia 65 tahun 

keatas atau mereka dengan penurunan fungsi ginjal dan hati. Neuramididase 

inhibitor baru yang saat ini sedang berkembang dapat dipertimbangkan dipakai 

untuk pengobatan influenza A dan B, preparat ini beredar di Amerika Serikat pada 

musim influenza 1999/2000. 

Selama dilakukan pengobatan dengan obat ini , mungkin muncul virus yang 

resisten terhadap obat ini  dan selama berlangsungnya pengobatan dapat 

ditularkan kepada orang lain; oleh sebab  itu perlu dilakukan Cohorting pada 

waktu melakukan pengobatan antiviral, khususnya pada populasi yang tertutup 

dengan banyak individu yang memiliki  risiko tinggi. Penderita harus diamati 

terus untuk melihat terjadinya komplikasi bakteri untuk dapat segera diberikan 

antibiotik. sebab  ada kaitannya dengan munculnya sindroma Reye, maka salisilat 

tidak dibolehkan diberikan pada anak-anak. 

 

C.  Upaya penanggulangan wabah 

1) Akibat yang berat dan mengganggu yang disebabkan epidemi influenza disuatu 

warga  dapat dikurangi dengan melakukan penyuluhan kesehatan dan 

membuat perencanaan kesehatan yang efektif, khususnya perencanaan program 

imunisasi bagi penderita dengan risiko tinggi dan kepada orang-orang yang 

merawat penderita. Surveilans dan laporan penemuan kasus oleh petugas 

kesehatan pada saat merebaknya KLB dan sangat penting dilakukan.  

 

 290

2) Menutup kegiatan sekolah secara khusus tidak terbukti sebagai tindakan 

pengendalian yang efektif; oleh sebab  umumnya dilakukan cukup terlambat dan 

biasanya penutupan sekolah dilakukan sebab  tingginya absensi murid dan staff. 

3) Manajemen rumah sakit harus mengantisipasi terjadinya peningkatan kebutuhan 

akan pelayanan kesehatan lainnya selama masa berlangsungnya wabah; mungkin 

juga terjadi peningkatan absensi tenaga pelayanan kesehatan sebab  influenza. 

Untuk mencegah hal ini, petugas kesehatan harus diberikan imunisasi setiap tahun 

atau diberikan obat antiviral selama terjadinya wabah influenza. A. 

4) Penyediaan obat antiviral dalam jumlah yang cukup untuk mengobati penderita 

yang berisiko tinggi dan untuk melindungi mereka yang masuk kategori 

tenaga/staf penting pada saat terjadinya pandemi dengan strain baru dimana belum 

tersedia vaksin yang tepat pada waktu gelombang pertama kasus. 

 

D. Implikasi bencana :  Apabila orang berada pada lingkungan hunian yang berdesakan 

maka begitu virus influenza masuk maka akan terjadi KLB. 

 

E. Tindakan  lebih lanjut  :  Termasuk Disease under Surveillance, WHO. Hal-hal 

berikut ini disarankan untuk dilakukan : 

1) Laporkan apabila terjadi wabah (epidemic) disuatu negara kepada WHO. 

2) Sebutkan jenis virus Pemicu  terjadinya KLB/wabah pada laporan, dan 

kumpulkan prototype strain kepada salah satu dari 4 Pusat Referensi dan Riset