kesehatan.
Menurut WHO, pada akhir tahun 1990 an diperkirakan 1% warga dunia terinfeksi oleh
HCV. Di Eropa dan Amerika Utara prevalensi hepatiis C sekitar 0,5% sampai dengan
2,4%; dibeberapa tempat di Afrika prevalensinya mencapai 4%. Hampir 1,5 juta orang
terinfeksi oleh HCV di Eropa dan sekitar 4 juta orang di Amerika Serikat.
266
4. Reservoir
Manusia berperan sebagai reservoir; hasil penelitian eksperimen tes ternyata virus dapat
ditularkan pada simpanse.
5. Cara Penularan
Cara penularan HCV yang paling umum yaitu secara parenteral. Penularan melalui
hubungan seksual pernah dilaporkan terjadi, namum kurang efisien jika dibandingkan
dengan penularan melalui cara parenteral.
6. Masa Inkubasi
Berkisar antara 2 minggu sampai dengan 6 bulan; biasanya 6-9 minggu. Infeksi kronis
dapat berlangsung lama sampai dengan 20 tahun sebelum timbulnya gejala cirrhosis atau
hepatoma.
7. Masa Penularan
Penularan terjadi dalam seminggu atau lebih sebelum timbulnya gejala klinis pertama,
penularan dapat berlangsung lama pada kebanyakan orang. Puncak konsentrasi virus
dalam darah memiliki koreksi dengan puncak aktivitas ALT.
8. Kerentanan dan Kekebalan
Semua orang rentan terhadap infeksi. Tingkat kekebalan yang timbul setelah infeksi tidak
diketahui; infeksi ulang oleh HCV ditemukan pada model dengan binatang percobaan
simpanse.
9. Cara-cara pemberantasan
A. Upaya Pencegahan
Langkah-langkah penanggulangan secara umum terhadap infeksi HBV berlaku juga
untuk HCV (lihat bagian II, 9A). Pemberian IG profilaksis tidak efektif. Pada kegiatan
operasional di bank darah, seluruh darah donor harus diskrining secara rutin terhadap
anti-HCV. Selanjutnya, semua donor dengan kadar enzyme hati yang meningkat dan
orang-orang yang positif anti-HBC tidak boleh menjadi donor. Lakukan inaktivasi
virus terhadap produk dari plasma, berikan konseling cara-cara mengurangi risiko
untuk orang yang belum tertulari namun berisiko tinggi (sebagai contoh petugas pada
pelayanan kesehatan) dan pertahankan kegiatan pengendalian infeksi nosokomial.
B. Pananganan penderita, Kontak dan Lingkungan sekitar
Upaya pemberantasan yang dilakukan terhadap HBV berlaku juga untuk HCV. Data
yang ada menunjukkan bahwa tindakan profilaksis pasca pajanan dengan IG tidak
efektif dalam pencegahan infeksi. Pengobatan dengan alpha interferon memberi hasil
yang baik pada sekitar 25% kasus hepatitis C kronis; pemberian kortikosteroid dan
acyclovir tidak efektif. Penelitian yang dilakukan pada penderita yang diberi
kombinasi ribavirin dan interferon memberikan hasil yang baik secara bermakna
dengan angka response berkelanjutan mencapai 40% -50%. Namun, kedua cara
pengobatan ini menimbulkan efek samping cukup signifikan yang memerlukan
monitoring secara ketat. Ribavirin bersifat teratogenik; sehingga seorang ibu tidak
boleh hamil selama dilakukan pengobatan.
267
C. Upaya penanggulangan wabah: sama seperti upaya penanggulangan wabah untuk
hepatitis B.
D. Implikasi menjadi bencana: sama dengan hepatitis B.
E. Tindakan lebih lanjut : Lakukan pengawasan agar terhadap semua produk-produk
biologis yang diperdagangkan secara lebih lanjut telah dilakukan inaktivasi terhadap
virus.
IV. HEPATITIS DELTA ICD-9 070.5; ICD-10 B17.0
(Hepatitis D sebab virus, Virus hepatitis Delta, ∆ hepatitis, Delta agent hepatitis, hepatitis
yang berkaitan dengan Delta)
1. Identifikasi
Biasanya timbul mendadak, dengan tanda dan gejala yang mirip dengan hepatitis B;
gejalanya mungkin parah dan selalu dikaitkan bersamaan dengan infeksi virus hepatitis B.
Hepatitis delta mungkin dapat sembuh dengan sendirinya atau dapat berkembang menjadi
hepatitis kronis. Penderita anak-anak mungkin menunjukkan gejala klinis yang berat dan
selalu berlanjut menjadi hepatitis kronis aktif. Virus hepatitis Delta (HDV) dan virus
hepatitis B (HBV) kemungkinan menyerang secara bersamaan, atau infeksi virus delta
menyerang orang dengan infeksi HBV kronis. Pada keadaan yang disebut terakhir,
hepatitis delta dapat dikelirukan sebagai hepatitis B kronis yang eksaserbasi. Pada
berbagai penelitian yang dilakukan di Eropa dan Amerika Serikat, 25% – 50% kasus
hepatitis fulminan diperkirakan disebabkan oleh HBV saja, ternyata disertai dengan
infeksi HDV. Ternyata sebagian besar kasus hepatitis fulminan terjadi pada orang dengan
super infeksi daripada hanya dengan koinfeksi; infeksi kronis lebih sering terjadi pada
orang dengan super infeksi.
Diagnosis ditegakkan dengan ditemukannya antibodi total HDV (anti-HDV) dengan
memakai RIA atau EIA. Apabila titer IgM positif berati virus sedang replikasi. RT -
PCR merupakan cara pemeriksaan yang paling sensitive untuk mendeteksi viremia HDV.
2. Pemicu Infeksi
HDV merupakan partikel menyerupai virus yang berukuran 35-37 nm terdiri dari satu
lapisan pelindung seperti HbsAg dan antigen internal yang khas yang dinamakan antigen
delta. Dalam satu kapsul dibungkus dengan antigen delta yaitu genome, a single stranded
RNA yang dapat berbentuk konformasi garis linear atau konformasi lingkaran. RNA tidak
dicangkokkan dengan DNA HBV. HDV tidak dapat menginfeksi suatu sel sendiri dan
memerlukan koinfeksi bersama dengan HBV untuk dapat melangsungkan siklus replikasi
yang lengkap. Sintesis HDV akhirnya mengakibatkan terjadinya supresi temporer sintesis
komponen HBV. HDV dengan demikian paling baik dianggap sebagai famili ”satelit”
baru dari subvirion, satu diantaranya pathogen terhadap tanaman yang lebih tinggi.
Hepatitis D satu-satunya dari familia ini yang menyerang spesies binatang. Ada tiga jenis
genotipe HDV yang ditemukan yaitu : Genotipe I yaitu yang paling prevalen dan
268
tersebar luas, Genotipe II diwakili oleh dua isolat dari Jepang dan Taiwan, dan Genotipe
III ditemukan hanya di lembah Amazon, yang dapat memicu hepatitis fulminan
berat dengan steatosis mikrovesikuler (spongiositosis).
3. Distribusi Penyakit
Tersebar di seluruh dunia, dengan prevalensi yang sangat bervariasi. Diperkirakan ada 10
juta warga terinfeksi oleh virus hepatitis D dan dibantu oleh virus HBV. Dapat muncul
secara endemis atau dalam bentuk KLB pada populasi yang memiliki risiko tinggi
terinfeksi HBV, misalnya pada populasi dimana hepatitis B endemis (tertinggi di Rusia,
Romania, Italia sebelah selatan, Afrika dan Amerika Selatan) yaitu; pada hemophiliacs,
pecandu obat-obatan terlarang dan lainnya yaitu mereka yang lebih sering kontak dengan
darah; di institusi untuk merawat penyandang cacat, dan pada laki-laki homoseksual.
Beberapa KLB yang cukup besar terjadi di Amerika selatan tropis (Brasilia, Venezuela,
Kolombia), di Republik Afrika Tengah dan diantara para pecandu obat-obatan terlarang di
Worcester, Massachusetts (Amerika Serikat).
4. Reservoir
Manusia berperan sebagai reservoirnya. Virus dapat ditularkan secara eksperimental pada
simpanse dan pada woodchuck sejenis marmut yang terinfeksi oleh HBV dan virus
hepatitis woodchuck secara bersamaan.
5. Cara Penularan
Diperkirakan cara penularannya memiliki kesamaan dengan HBV – yaitu oleh sebab
pajanan dengan darah yang terinfeksi dan cairan serous tubuh, jarum semprit yang
terkontaminasi, turunan plasma yang terinfeksi seperti faktor antihemofili dan penularan
melalui hubungan seksual.
6. Masa Inkubasi - Rata-rata 2-8 minggu.
7. Masa Penularan
Darah potensial sangat menular selama semua fase aktif infeksi hepatitis delta. Puncak
penularan mungkin terjadi terutama pada saat sakit akut yaitu pada saat partikel yang
berisi antigen delta sudah terdeteksi didalam darah. Saat berikutnya, viremia mungkin
menurun secara cepat sampai pada tingkat terendah atau sampai tidak terdekteksi sama
sekali. HDV ditularkan pada simpanse dengan bahan yang berasal dari darah pasien kronis
dimana partikel yang berisi antigen delta tidak dapat dideteksi.
8. Kerentanan dan kekebalan
Semua orang rentan terhadap infeksi HBV atau orang dengan HBV kronis dapat tertulari
HDV. Penyakit berat dapat terjadi meskipun pada usia anak-anak.
9. Cara-cara Pemberantasan
A. Cara Pencegahan
Untuk orang yang rentan terhadap infeksi HBV, upaya pencegahannya sama dengan
untuk hepatitis B seperti yang diuraikandi atas. Pencegahan infeksi HBV dengan
vaksin hepatitis B dapat mencegah infeksi oleh HDV.
269
Bagi orang-orang dengan HBV kronis, maka upaya pencegahan yang paling efektif
yaitu hanya dengan menjauhkan diri dari pemajaman dengan sumber potensial HDV.
HBIG, IG dan vaksin hepatitis B tidak dapat melindungi seseorang dengan HBV
kronis untuk terkena infeksi HDV. Penelitian di Taiwan menunjukkan bahwa Upaya
yang dilakukan dengan cara mengurangi pemajanan seksual dan penggunaan jarum
suntik bersama memicu terjadinya penurunan insisdens infeksi HDV.
B, C, D dan E. Penanganan penderita, kontak dan lingkungan sekitar; Pengendalian
wabah; Implikasi bencana dan Tindakan lebih lanjut : Sama seperti halnya yang
sudah diuraikan dan untuk hepatitis B di atas.
V. HEPATITIS E AKIBAT VIRUS ICD-9 070.5; ICD-10 B17.2
(Hepatitis non-A non-B yang ditularkan secara enteric [ET-NANB], hepatitis non-A non-
B Epidemika, hepatitis non-A non-B fekal-oral)
1. Identifikasi
Gejala klinis penyakit ini mirip dengan hepatitis A, tidak ditemukan bentuk kronis. Case
fatality rate penyakit ini mirip dengan hepatitis A kecuali pada wanita hamil, dimana
angkanya dapat mencapai 20% dari ibu-ibu hamil yang terinfeksi selama trimester ketiga
kehamilan. Kasus muncul secara sporadis dan dalam bentuk wabah.
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala klinis dan gambaran epidemiologis serta dengan
cara menyingkirkan etiologi lain dari hepatitis, khususnya hepatitis A dengan pemeriksaan
serologis. Pemeriksaan serologis sedang dikembangkan saat ini untuk mendeteksi antibodi
HEV, namun belum tersedia secara komersial di Amerika Serikat. Meskipun demikian,
beberapa jenis tes diagnostik tersedia di berbagai laboratorium riset antara lain : enzyme
immunoassay dan Western blot assay untuk mendeteksi IgM dan IgG anti HEV dalam
serum; tes PCR untuk mendeteksi HEV RNA dalam serum darah dan tinja, dan
immunofluorescent antibody blocking assay untuk mendeteksi antibodi terhdap HEV
antigen didalam serum darah dan hati.
2. Pemicu Penyakit
Pemicu penyakit yaitu Virus hepatitis E (HEV), berbentuk sferis, tidak bersampul,
single stranded RNA virus yang berdiameter 32 sampai dengan 34 nm. HEV
dikelompokkan kedalam famili Caliciviridae. Meskipun demikian, organisasi/struktur
genome HEV berbeda secara mendasar dengan calicivirus yang lain dan HEV seharusnya
dikelompokkan kedalam famili tersendiri.
3. Distribusi Penyakit
HEV merupakan Pemicu utama hepatitis non-A non-B enterik di seluruh dunia. KLB
hepatitis E dan kasus sporadis telah terjadi meliputi wilayah yang sangat luas, terutama
timbul di negara-negara dengan sanitasi lingkungan yang kurang baik. KLB sering
muncul sebagai wabah yang ditularkan melalui air, namun pernah dilaporkan terjadi kasus
sporadis dan wabah tidak jelas kaitannya dengan air. Angka tertinggi Distribusi Penyakit
yaitu pada anak muda sampai dengan usia pertengahan; angka lebih rendah ditemukan
pada kelompok umur yang lebih muda sebagai akibat dari infeksi anicteric dan atau
270
infeksi subklinis HEV. Di Amerika Serikat dan sebagian besar negara maju lainnya, kasus
hepatitis E dilaporkan terjadi diantara wisatawan yang kembali dari daerah endemis HEV.
KLB ditemukan di India, Myanmar (Burma), Iran, Bangladesh, Ethiopia, Nepal, Pakistan,
Republik Asia Tengah dari bekas Uni Soviet, Algeria, Libya, Somalia, Meksiko,
Indonesia dan China. KLB akibat penularan melalui air yang luas dengan korban 3,682
penderita terjadi pada tahun 1993 di Uttar Pradesh.
4. Reservoir
Dari sejumlah penelitian yang dilakukan saat ini menunjukkan bahwa yang kemungkinan
menjadi reservoir yaitu binatang domestik, termasuk babi; namun, belum terbukti. HEV
dapat ditularkan kepada simpanse, cynomolgus macaque, tamarin dan babi.
5. Cara Penularan
HEV terutama ditularkan melalui jalur fekal-oral; air minum yang tercemar tinja
merupakan media penularan yang paling sering terjadi. Penularan mungkin juga terjadi
dari orang ke orang dengan jalur fekal-oral, namun kasus sekunder dilingkungan rumah
tangga jarang terjadi selama KLB. Dari berbagai penelitian yang dilakukan saat ini
menunjukkan bahwa hepatitis E kemungkinan merupakan infeksi zoonotic yang secara
kebetulan menyebar dengan manusia secara cepat.
6. Masa Inkubasi
Berkisar antara 15 sampai dengan 64 hari.; masa inkubasi rata-rata bervariasi dari 26
sampai dengan 42 hari pada KLB yang berbeda.
7. Masa Penularan
Tidak diketahui. Namun demikian, HEV ditemukan dalam tinja 14 hari setelah timbulnya
gejala icterus (jaundice) dan rata-rata 4 minggu setelah mengkonsumsi makanan atau air
yang tercemar dan bertahan selama sekitar 2 minggu.
8. Kerentanan dan Kekebalan
Tingkat kerentanan seseorang tidak diketahui. Lebih 50% dari infeksi HEV mungkin
anicteric, gejala icterus meningkat dengan bertambahnya usia. Wanita pada kehamilan
trimester ketiga sangat rentan untuk terjadinya penyakit fulminan. Terjadinya beberapa
KLB besar yang pernah terjadi pada kelompok usia dewasa muda di beberapa daerah
dimana virus enterik yang lain endemis tinggi diwilayah itu dan sebagian besar warga
mendapatkan infeksi pada masa bayi, belum dapat dijelaskan secara tuntas.
9. Cara-cara Pemberantasan
A. Cara-cara Pencegahan
Berikan penyuluhan kesehatan kepada masayarakat dengan menekankan pada
perlunya pembuangan tinja secara saniter dan mencuci tangan dengan benar setelah
buang air besar dan sebelum menjamah makanan; ikuti cara-cara prosedur dasar untuk
mencegah terjadinya penularan fekal-oral, sebagaimana telah dijelaskan pada bab
demam typhoid, 9 A. Nampaknya belum bisa dipercaya bahwa IG yang dibuat dari
serum donor di Amerika Serikat atau Eropa dapat melindungi seseorang terhadap
hepatitis E.
271
B. Penanganan penderita, Kontak dan Lingkungan sekitar
1), 2) dan 3) Laporan kepada Instansi kesehatan setempat, Isolasi dan Disinfeksi
serentak: sama seperti yang telah diuraikan untuk hepatitis A, di atas.
4) Karantina: tidak diperlukan.
5) Imunisasi kontak: Tidak ada produk vaksin yang tersedia untuk mencegah
hepatitis E. IG yang disiapkan dari plasma yang dikumpulkan dari daerah non-
endemik HEV tidak efektif untuk mencegah seseorang jatuh sakit selama terjadi
KLB hepatitis E, dan efikasi IG yang berasal dari plasma yang dikumpulkan dari
daerah endemis tidak jelas. Pada penelitian yang dilakukan dengan memakai
prototipe vaksin pada binatang, vaksin ini dapat merangsang pembentukan
antibodi yang melemahkan infeksi HEV namun tidak dapat mencegah ekskresi
virus dalam tinja.
6) Investigasi kontak dan sumber infeksi: Sama seperti yang diuraikan untuk hepatitis
A di atas.
7) Pengobatan spesifik: Tidak ada.
C. Cara-cara penanggulangan wabah
Lakukan penyelidikan Epidemiologis terhadap cara-cara penularan; selidiki persediaan
air dan lakukan pemetaan warga dengan risiko tinggi untuk terinfeksi. Lakukan
upaya khusus untuk meningkatkan sanitasi dan membudayakan perilaku hidup bersih
dan sehat untuk mencegah terjadinya pencemaran pada makanan dan air.
D. Implikasi bencana
Bahaya penularan terjadi pada bencana, kerusuhan, dimana terjadi pengungsian, oleh
sebab sanitasi yang jelek dan persediaan air yang tidak mencukupi. Jika kasus terjadi,
tingkatkan upaya mendesak untuk memperbaiki sanitasi lingkungan dan penyediaan
air bersih dalam jumlah yang mencukupi.
E. Tindakan lebih lanjut : Tidak ada.
HERPES SIMPLEX ICD-9 054; ICD-10 B00
INFEKSI VIRUS HERPES ANOGENITAL ICD-10 A60
(Penyakit virus alphaherpes, herpesvirus hominis, virus herpes pada manusia 1 dan 2)
1. Identifikasi
Herpes simpleks merupakan infeksi virus yang ditandai dengan lesi primer terlokalisir,
laten dan adanya kecendurangan untuk kambuh kembali. Ada 2 jenis virus – yaitu virus
herpes simpleks (HSV) tipe 1 dan 2 pada umumnya menimbulkan gejala klinis yang
berbeda, tergantung pada jalan masuknya. Dapat menyerang alat-alat genital atau
mukosa mulut.
Infeksi primer dengan HSV 1 mungkin ringan tanpa gejala, terjadi pada awal masa kanak-
kanak.
272
Kira-kira 10% dari infeksi primer, muncul sebagai suatu penyakit dengan spektrum gejala
klinis yang beragam, ditandai dengan panas dan malaise sampai 1 minggu atau lebih,
mungkin disertai dengan gingivostomatitis yang berat diikuti dengan lesi vesikuler pada
orofaring, keratoconjunctivitis berat, dan disertai munculnya gejala dan komplikasi kulit
menyerupai eczema kronis, meningoencephalitis atau beberapa infeksi fatal yang terjadi
pada bayi baru lahir (congenital herpes simplex, ICD-9 771.2; ICD-10 P35.2). HSV 1
sebagai Pemicu sekitar 2% faringotonsilitis akut, biasanya sebagai infeksi primer.
Reaktivasi infeksi laten biasanya memicu herpes labialis (demam blister atau cold
sores) ditandai dengan munculnya vesikula superfisial yang jelas dengan dasar
erythematous, biasanya pada muka atau bibir, mengelupas dan akan sembuh dalam
beberapa hari. Reaktivasi dipercepat oleh berbagai macam trauma, demam, perubahan
psikologis atau penyakit kambuhan dan mungkin juga menyerang jaringan tubuh yang
lain; hal ini terjadi sebab adanya circulating antibodies, dan antibodi ini jarang sekali
meningkat oleh sebab reaktivasi. Penyebaran infeksi yang luas dan mungkin terjadi pada
orang-orang dengan immunosuppressed.
Dapat menyerang SSP bisa disebabkan oleh infeksi primer ataupun sebab terjadi
recrudescence. HSV 1 yaitu Pemicu utama dari meningoencephalitis. Dapat timbul
gejala panas, sakit kepala, leukositosis, iritasi selaput otak, drowsiness, bingung, stupor,
koma dan tanda-tanda neurologis fokal, dan sering dikaitkan dengan satu atau wilayah
temporal lain. Gejala-gejala ini mungkin dikacaukan dengan berbagai lesi intracranial lain
seperti absespada otak dan meningitis TB. sebab terapi antiviral dapat menurunkan
angka kematian yang tinggi, maka pemeriksaan PCR untuk DNA virus herpes pada LCS
atau biopsi dari jaringan otak seharusnya segera dilakukan pada tersangka untuk
menegakkan diagnosa pasti.
Genital herpes, biasanya disebabkan oleh HSV2 terjadi terutama pada orang dewasa dan
penderita penyakit menular seksual. Infeksi pertama dan infeksi ulang terjadi dengan atau
tanpa gejala. Pada wanita cervix dan vulva. Infeksi ulang umumnya menyerang vulva,
kulit daerah perineum, kaki dan pantat. Pada laki-laki, lesi muncul pada glans penis atau
daerah preputium, dan pada anus dan rectum pada orang yang melakukan anal seks.
Daerah lain yang terkena selain alat kelamin dan daerah perineal, antara lain yaitu mulut,
terjadi pada kedua jenis kelamin, tergantung dari kebiasaan hubungan seksual yang
dilakukan oleh orang ini . Infeksi oleh HSV 2 lebih sering memicu meningitis
aseptik dan radikulitis daripada meningoencephalitis.
Infeksi neonatal dapat dibagi menjadi 3 jenis gejala klinis yaitu: infeksi yang menyebar
dan umumnya menyerang hati, encephalitis dan infeksi yang terbatas pada kulit, mata dan
mulut. Bentuk pertama dan kedua sering memicu kematian. Infeksi umumnya
disebabkan oleh HSV 2 namun infeksi yang disebabkan oleh HSV1 juga sering terjadi.
Risiko terjadinya infeksi pada anak-anak tergantung kepada 2 faktor utama pada ibu; yaitu
usia kehamilan pad saat ibu hamil ini mengeluarkan HSV dan tergantung juga
kepada apakah infeksi yang dialami infeksi sekunder atau infeksi primer. Hanya ekskresi
yang mengandung HSV yang dikeluarkan saat persalinan yang berbahaya bagi bayi yang
baru lahir dengan pengecualian walaupun jarang infeksi intrauterine dapat terjadi. Infeksi
primer pada ibu dapat meningkatkan risiko infeksi pada bayi dari 3% menjadi 30%
diperkirakan sebab imunitas pada ibu dapat memberikan perlindungan.Diagnosa
ditegakkan berdasarkan terjadinya perubahan sitologis yang khas
273
(multinucleated giant cell dengan intranuclear inclusion pada kerokan jaringan atau
biopsi), namun harus dikonfirmasi dengan pemeriksaan FA secara langsung atau dengan
isolasi virus dari lesi mulut atau lesi alat kelamin atau dari biopsi otak pada kasus-kasus
encephalitis atau dengan ditemukannya DNA HSV pada lesi atau cairan LCS dengan
PCR. Diagnosis pada infeksi primer dipastikan dengan adanya kenaikan 4 kali pada titer
paired sera dengan berbagai macam tes serologis; adanya imunoglobulin spesifik IgM
untuk herpes mengarah pada suspek namun antibodi konklusif terhadap infeksi primer.
Teknik-teknik yang dapat diandalkan untuk membedakan antibodi tipe 1 dan tipe 2 saat
ini tersedia diberbagai laboratorium diagnostik; isolat virus dapat dibedakan dari yang lain
dengan analisis DNA. Tes serologis yang spesifik belum tersedia secara luas.
2. Pemicu Infeksi
Pemicu infeksi yaitu Virus herpes simpleks termasuk dalam famili herpesviridae,
subfamili alphaherpesvirinae. HSV tipe 1 dan tipe 2 dapat dibedakan secara imunologis
(terutama kalau digunakan antibody spesifik atau antibody monoclonal). Dan HSV tipe 1
dan tipe 2 juga berbeda kalau dilihat dari pola pertumbuhan dari virus ini pada kultur
sel, embryo telur dan pada binatang percobaan.
3. Distribusi Penyakit
Tersebar di seluruh dunia. Hamapir 50%-90% orang dewasa memiliki antibodi terhadap
HSV 1. Infeksi awal HSV 1 biasanya terjadi sebelum usia 5 tahun, namun saat ini banyak
infeksi primer ditemukan terjadi pada orang dewasa. Infeksi HSV 2 biasanya dimulai
sebab aktivitas seksual dan jarang terjadi sebelum menginjak dewasa, kecuali kalau
terjadi sexual abused pada anak-anak. Antibodi HSV 2 ditemukan sekitar 20%-30% pada
orang Amerika dewasa. Prevalensi antibodi HSV 2 meningkat (lebih dari 60%) pada
kelompok sosial ekonomi rendah dan pada orang-orang yang berganti-ganti pasangan.
4. Reservoir – Manusia berperan sebagai reservoir.
5. Cara-cara Penularan
Kontak dengan virus HSV 1 pada saliva dari carrier mungkin cara yang paling penting
dalam penyebaran penyakit ini. Infeksi dapat terjadi melalui perantaraan petugas
pelayanan kesehatan (seperti dokter gigi) yaitu dari pasien HSV mengakibatkan lesi
herpes bernanah (herpetic whitlow). Penularan HSV2 biasanya melalui hubungan seksual.
Kedua tipe baik tipe 1 dan tipe 2 mungkin ditularkan keberbagai lokasi dalam tubuh
melalui kontak oral-genital, oral-anal, atau anal-genital. Penularan kepada neonatas
biasanya terjadi melalui jalan lahir yang terinfeksi, jarang terjadi didalam uterus atau
postpartum.
6. Masa Inkubasi
Masa inkubasi berlangsung dari 2 sampai dengan 12 hari.
7. Masa Penularan
HSV dapat diisolasi dalam 2 minggu dan kadang-kadang lebih dari 7 minggu setelah
muncul stomatitis primer atau muncul lesi genital primer. Keduanya, yaitu baik infeksi
primer maupun infeksi ulang mungkin terjadi tanpa gejala. Setelah itu, HSV mungkin
274
ditemukan secara intermittent pada mukosal selama bertahun-tahun dan bahkan mungkin
seumur hidup, dengan atau tanpa gejala klinis. Pada lesi yang berulang, infektivitis lebih
pendek dibandingkan infeksi primer dan biasanya virus tidak bisa ditemukan lagi setelah 5
hari.
8. Kerentanan dan Kekebalan
Manusia pada umumnya rentan.
9. Cara-cara Pemberantasan
A. Upaya Pencegahan
1). Berikan penyuluhan kesehatan kepada warga dan tentang kebersihan
perorangan yang bertujuan untuk mengurangi perpindahan bahan-bahan infeksius.
2). Mencegah kontaminasi kulit dengan penderita eksim melalui bahan-bahan
infeksius.
3). Petugas kesehatan harus memakai sarung tangan pada saat berhubungan
langsung dengan lesi yang berpotensi untuk menular.
4). Disarankan untuk melakukan operasi Cesar sebelum ketuban pecah pada ibu
dengan infeksi herpes genital primer yang terjadi pada kehamilan trimester akhir,
sebab risiko yang tinggi terjadinya infeksi neonatal (30-50%). Penggunaan
elektrida pada kepala merupakan kontra indikasi. Risiko dari infeksi neonatal yang
fatal setelah infeksi berulang lebih rendah (3-5%) dan operasi Cesar disarankan
hanya jika terjadi lesi aktif pada saat persalinan.
5). memakai kondom lateks saat melakukan hubungan seksual mengurangi risiko
infeksi; belum ada anti virus yang dapat digunakan untuk mencegah terjadinya
infeksi primer meskipun acyclovir mungkin dapat digunakan untuk pencegahan
untuk menurunkan insidensi kekambuhan, dan untuk mencegah infeksi herpes
pada pasien dengan defisiensi imunitas.
B. Pengawasan penderita, Kontak dan Lingkungan sekitar
1) Laporan kepada Instansi kesehatan setempat; laporan resmi penderita dewasa
biasanya tidak diwajibkan, namun beberapa negara bagian mengharuskan laporan
untuk herpes genital, kelas 5; infeksi neonatal di beberapa negara bagian wajib
dilaporkan, kelas 3 B (lihat pelaporan tentang penyakit menular).
2) Isolasi: Lakukan isolasi kontak terhadap infeksi neonatal dan terhadao lesi yang
menyebar atau lesi primer yang berat; untuk lesi yang berulang, perlu dilakukan
kewaspadaan terhadap discharge dn sekret. Pasien dengan lesi herpetic dilarang
berhubungan dengan bayi baru lahir, anak-anak dengan eksim atau anak dengan
luka bakar atau pasien dengan immunosuppresed.
3) Disinfeksi serentak: tidak dilakukan.
4) Karantina: Tidak dilakukan.
5) Imunisasi kontak: Tidak ada.
6) Penyelidikan kontak dan sumber infeksi: Jarang dilakukan sebab tidak praktis.
7) Pengobatan spesifik: Gejala akut dari herpetic keratitis dan stadium awal dendritic
ulcers diobati dengan trifluridin atau adenine arabisonide (vidarabine, via-A® atau
Ara-A®) dalam bentuk ophthalmic ointment atau solution. Corticosteroid jangan
digunakan untuk herpes mata kecuali dilakukan oleh seorang ahli mata yang
275
sangat berpengalaman. Acyclovir IV sangat bermanfaat untuk mengobati herpes
simpleks encephalitis namun mungkin tidak dapat mencegah terjadinya gejala sisa
neurologis. Acyclovir (zovirax®) digunakan secara oral, intravena atau topical
untuk mengurangi menyebarnya virus, mengurangi rasa sakit dan mempercepat
waktu penyembuhan pada infeksi genital primer dan infeksi herpes berulang,
rectal herpes dan herpeticwhitrow (lesi pada sudut mulut bernanah). Preparat oral
paling nyaman digunakan dan mungkin sangat bermanfaat bagi pasien dengan
infeksi ekstensif berulang. Namun, telah dilaporkan adanya mutasi strain virus
herpes yang resosten terhadap acyclovir. Valacyclovir dan famciclovir baru-baru
ini diberi lisensi untuk beredar sebagai pasangan acyclovir dengan efikasi yang
sama. Pemberian profilaksis harian obat ini dapat menurunkan frekuensi
infeksi HSV berulang pada orang dewasa. Infeksi neonatal seharusnya diobati
dengan acyclovir intravena.
C. Penanggulangan wabah: Tidak dilakukan.
D. Implikasi bencana: Tidak ada.
E. Tindakan lebih lanjut : Tidak ada.
MENINGOENCEPHALITIS DISEBABKAN CERCOPITHECINE HERPES
VIRUS 1 ICD-9 054.3; ICD-10 B00.4
(B-virus, Penyakit Simian B)
Meskipun HSV 1 (biasanya, tipe 2) dapat memicu meningoencephalitis, gambarannya
sangat jelas berbeda dengan infeksi virus B, penyakit SSP yang disebabkan oleh
cercopithecine herpesvirus 1, suatu jenis virus yang sangat dekat dengan HSV. Virus ini
memicu meningkatnya kejadian encephalomyelitis pada dokter hewan, petugas
laboratorium, dan orang-orang yang sering kontak dekat dengan kera yang berasal dari
belahan timur bumi atau kontak dengan kultur sel kera. Setelah masa inkubasi yang
berlangsung antara 3 hari sampai dengan 3 minggu maka akan terjadi demam akut disertai
dengan sakit kepala, lesi lokal berbentuk vesikuler, lymphocytic pleocytosis dan berbagai pola
gejala neurologis yang berbeda. Lebih dari 70% dari kasus ini berakhir dengan kematian, 1
hari atau 3 minggu setelah mulai timbul gejala. Terjadinya penyembuhan kadang-kadang
diikuti dengan terjadinya gejala sisa berupa kecacatan menetap, namun beberapa kasus, baru-
baru ini yang diobati dengan acyclovir dapat sembuh total. Virus Pemicu infeksi secara
alamiah pada kera analog dengan infeksi HSV pada manusia; 30%-80% dari kera rhesus
ditemukan seropositif. Selama mengalami stress (sewaktu diangkat dalam pelayaran dilautan
dan pengangkutan didarat), terjadi peningkatan angka virus pada kera ini. Angka kesakitan
pada manusia sangat jarang tapi kalau terjadi sangat fatal, biasanya infeksi didapat sebab
gigitan kera yang kelihatannya normal atau kulit yang tidak terlindungi atau membrana
mukosa terpajan dengan saliva monyet yang terinfeksi atau dengan kultur sel kera.
276
Pencegahan sangat tergantung pada penggunaan baju pelindung yang benar atau tindakan
yang hati-hati untuk mengurangi pajanan pada kera. Setiap gigitan atau luka garukan yang
didapatkan dari kera macaques atau dari kadang monyet yang mungkin sudah terkontaminasi
dengan sekret kera macaque dan mengakibatkan perdarahan harus segera dicuci dengan benar
memakai sabun dan air. Pengobatan profilaksis dengan antiviral seperti acyclovir, perlu
dipertimbangkan pada seseorang yang menangani binatang, yang mendapat luka tusukan yang
agak dalam yang tidak dapat dibersihkan dan dirawat dengan sempurna; status apakah kera
ini mengandung virus-B ataukan tidak harus diketahui dengan jelas. Timbulnya beberapa
lesi pada kulit atau timbulnya gejala-gejala neurologis seperti gatal-gatal, nyeri atau mati rasa
di sekitar luka perlu dilakukan konsultasi dan diagnosis dengan ahli untuk mendapatkan
pengobatan.
HISTOPLASMOSIS ICD-9 115; ICD-10 B39
Dua mycoses dengan gejala klinis yang berbeda disebutkan sebagai histoplasmosis kerena
patogen Pemicu tidak dapat dibedakan secara morfologis pad saat dibiakkan dalam kultur
media yang tumbuh sebagai jamur (molds). Informasi lebih rinci akan diberikan untuk infeksi
yang disebabkan oleh Histoplasma capsulatum var. capsulatum, dan diikuti dengan
penjelasan singkat tingkat histoplasmosis yang disebabkan oleh H. capsulatum var. duboisii.
I. INFEKSI OLEH HISTOPLASMA CAPSULATUM ICD-9 115.0; ICD-10 B39.4
(Histoplasmosis capsulati, Histoplasmosis akibat infeksi H. capsulatum var. capsulatum,
American histoplasmosis)
1. Identifikasi
Mycosis sistemik dengan spektrum klinis yang bervariasi, dengan lesi utama terjadi pada
paru-paru. Walaupun infeksi sering terjadi, namun penyakit ini muncul dengan gejala
klinis yang jelas sangat jarang. Lima bentuk gejala klinis sebagai berikut sering
ditemukan:
1) Tanpa gejala dan hanya ditandai dengan gejala hypersensitive terhadap histoplasmin.
2) Berupa tumor pernafasan akut yang jinak, dengan variasi mulai dari penyakit yang
ringan pada saluran pernafasan sampai dengan tidak dapat melakukan aktivitas sebab
tidak enak badan, demam, kedinginan, sakit kepala, myalgia, nyeri dada dan batuk
nonproduktif, kadang-kadang timbul erythema multiforme dan erythema nodosum.
Ditemukan adanya pengapuran kecil-kecil tersebar pada paru-paru, pengapuran pada
kelenjar limfe, hiler dan limpa merupakan gejala lanjut dari penyakit ini.
3) Histoplasmosis disseminata akut dengan demam yang menguras tenaga, gejala GI,
timbulnya gejala supresi sum-sum tulang, hepatosplenomegali, limfadenopati dan
yang berlangsung cepat, lebih sering terjadi pada bayi, anak muda dan pasien dengan
gangguan kekebalan termasuk mereka dengan AIDS. Tanpa pengobatan benar, bentuk
penyakit ini biasanya mengakibatkan kematian.
4) Histoplasma kronis disseminata dengan demam ringan berlanjut, kehilangan berat
badan, lemah, hepatosplenomegali, abnormalitas hematologi ringan dan penyakit fokal
277
(seperti endocarditis, meningitis, ulcus pada mukosa mulut, laring, sakit perut atau
muncul sebagai penyakit pada saluran pencernaan dan penyakit Addison). Bentuk
penyakit ini berlangsung secara subakut dengan perjalanan penyakit lebih dari
10-11 bulan dan biasanya mematikan apabila tidak diobati.
5) Sakit paru-paru kronis dengan gejala klinis dan radiologis menyerupai tuberculosis
paru kronis dengan caverne, terjadi paling sering pada usia pertengahan dan pria
berusia tua dengan penyakit yang mendasari berupa emfisema dan berlangsung selama
beberapa bulan atau tahun dengan periode inaktif dan kadang-kadang sembuh secara
spontan (tiba-tiba).
Diagnosa klinis ditegakkan dengan kultur atau ditemukannya jamur pada sediaan apus
dengan pengecatan Giemsa atau sediaan apus dengan pengecatan Wright yang diambil
dari eksudat ulcus, sum-sum tulang, sputum atau darah; teknik pengecatan khusus penting
dilakukan untuk bisa melihat jamur-jamur pada sediaan biopsi yang diambil dari hati dan
ulkus atau kelenjar limfe paru. Dari berbagai jenis pemeriksaan serologis yang ada saat
ini, maka pemeriksaan imunodifusi yaitu yang paling spesifik dan dapat dipercaya.
Terjadinya peningkatan pada titer CF dengan paired sera mungkin ditemukan pada awal
infeksi akut dan sebagai bukti dari penyakit aktif; meskipun demikian, hasil skin test yang
positif terhadap histoplasmin yang baru saja dilakukan akan meningkatkan titer terhadap
bentuk mycelial, dan dengan pemeriksaan serologis dapat terjadi reaksi silang dengan
mikosis lain. Hasil tes positif palsu cukup banyak terjadi dibandingkan dengan hasil
pemeriksaan serologis yang negatif tidak menyingkirkan diagnosa. Deteksi antigen pada
serum atau urin berguna untuk menegakkan diagnosa dan digunakan untuk memantau
hasil pengobatan histoplasmosis disseminata. Pemeriksaan skin test terhadap histoplasmin
bermanfaat pada studi epidemiologis namun bukan untuk menegakkan diagnosa.
2. Pemicu Infeksi
Histoplasma capsulatum var. capsulatum (Ajellomyces capsulatus), suatu jamur
dimorphic yang tumbuh subur di tanah sebagai jamur dan sebagai ragi pada binatang atau
manusia.
3. Distribusi penyakit
Infeksi biasanya terjadi pada fokus-fokus didaerah tertentu yang tersedia luas di Amerika,
Afrika, Asia timur dan Australia, jarang terjadi di Eropa. Terjadinya hipersensitifitas
terhadap histoplasmin menunjukkan adanya infeksi sebelumnya, kadang-kadang
ditemukan pada 80% populasi di bagian timur dan tengah Amerika Serikat. Secara klinis
penyakit ini sangat jarang terjadi, dan jarang menjadi berat. Prevalensi meningkat dari
masa kanak-kanak sampai dengan umur 15 tahun, perbedaan gender biasanya tidak
nampak kecuali bentuk paru-paru kronis lebih banyak terjadi pada pria. Wabah terjadi
pada daerah endemis di lingkungan keluarga, pelajar, pekerja yang terpajan dengan
burung, ayam atau terpajan dengan kotoran kelelawar yang mengontamisai tanah.
Histoplasmosis juga terjadi pada anjing, kucing, kuda, tikus, sigung, opossum, rubah atau
binatang lainnya, sering dengan gambaran klinis yang sama dengan penyakit pada
manusia.
278
4. Reservoir
Tanah dengan kandungan organik yang tinggi dan kotoran burung yang berserakan dapat
menjadi reservoir, terutama di sekitar dan pada kandang ayam yang berumur tua, pada gua
tempat kelelawar bersembunyi dan di sekitar sarang burung jalak, burung gagak dan
tempat bertengger burung merpati.
5. Cara penularan
Jamur yang tumbuh dalam tanah menghasilkan microconidia dan tuberculate
macroconidia; infeksi sebagai akibat sebab menghirup conidia yang berada di udara.
Penularan dari orang ke orang dapat terjadi jika jaringan yang terinfeksi dicangkokkan ke
orang yang sehat.
6. Masa Inkubasi
Gejala-gejala muncul dalam 3-17 hari setelah terpajan namun memungkinkan lebih
pendek pada tingkat pemajanan yang tinggi; biasanya 10 hari.
7. Masa Penularan : Tidak ditularkan dari orang ke orang.
8. Kerentanan dan Kekebalan
Semua orang rentan terhadap infeksi. Infeksi tersembunyi sangat umum terjadi di daerah
endemis dan biasanya mengakibatkan terjadinya peningkatan kekebalan terhadap infeksi.
Infeksi opportunistic dapat terjadi pada orang dengan kekebalan tubuh yang rendah.
9. Cara-cara Pemberantasan
A. Cara-cara Pencegahan
Kurangi pajanan dengan debu di lingkungan yang tercemar, seperti kandang ayam
dan tanah di sekelilingnya. Semprot tanah disekitar lingkungan yang tercemar dengan
air atau minyak untuk mengurangi debu; gunakan masker pelindung.
B. Penanganan penderita, kontak dan lingkungan sekitar
1) Laporan kepada instansi kesehatan setempat: di daerah endemis tertentu wajib
dilaporkan (di Amerika Serikat); di banyak negara, bukan merupakan penyakit
yang harus dilaporkan, Kelas 3B (lihat pelaporan tentang penyakit menular).
2) Isolasi: Tidak perlu.
3) Disinfeksi serentak: Lakukan disinfeksi terhadap Sputum dan alat-alat yang
tercemar. Lakukan kebersihan menyeluruh.
4) Karantina: Tidak diperlukan.
5) Imunisasi kontak: Tidak diperlukan.
6) Investigasi kontak dan sumber infeksi: Lakukan investigasi tehadap kontak
serumah dan kontak dalam lingkungan pekerjaan untuk membuktikan bahwa telah
terjadi infeksi yang bersumber dari lingkungan biasa.
7) Pengobatan spesifik: Ketoconazole secara oral dipakai untuk pengobatan pada
pasien yang memiliki sistem kekebalan yang baik. Itraconazole peroral dapat
juga diberikan bagi individu non-HIV dengan histoplasmosis paru dan
histoplasmosis disseminata. Tidak diberikan pada penderita dengan gejala SSP.
Untuk pasien dengan histoplasmosis disseminata, amphotericin B (Fungizone®)
279
IV merupakan obat pilihan. Itraconazole efektif digunakan untuk pengobatan
supresif kronis pada penderita AIDS yang sebelumnya telah diberikan
amphotericin B.
C. Upaya Penanggulangan wabah
Apabila ditemukan sejumlah kasus penderita penyakit paru akut di daerah ataupun di
luar daerah endemis, khususnya dengan riwayat pajanan dengan debu dalam ruangan
tertutup di dalam gua atau didalam gedung, lantai bawah gedung harus dicurigai
kemungkinan infeksi histoplasmosis. Tempat yang perlu diwaspadai seperti loteng,
lantai dasar, gua atau konstruksi bangunan dengan kotoran burung dalam jumlah
banyak atau dengan kotoran kelelawar harus dilakukan penyelidikan epidemiologi
yang benar.
D. Implikasi bencana
Tidak ada implikasi bencana. Bahaya mungkin terjadi apablia ada orang berkelompok
dalam jumlah besar, khususnya orang yang berasal dari daerah nonendemis, sebab
sesuatu hal harus pindah atau tinggal di daerah endemis jamur.
E. Tindakan lebih lanjut : Tidak ada.
II. HISTOPLASMOSIS DUBOISII ICD-9 115.1; ICD-10 B39.5
(Histoplasmosis akibat H. capsulatum var. duboisii, Histoplasmosis Afrika)
Penyakit ini biasanya muncul sebagai granuloma subakut pada kulit atau tulang. Infeksi,
biasanya setempat, atau menyebar pada kulit, jaringan di bawah kulit, kelenjar limfe, tulang
sendi, paru dan organ dalam rongga perut. Penyakit ini lebih banyak terjadi pada pria dan
menyerang semua umur, khususnya pada dekade kedua kehidupan. Sejauh ini, penyakit
ini hanya diketemukan di Afrika dan Madagaskar. Diagnosa dibuat dengan kultur dan
dengan ditemukannya sel ragi dari H. capsulatum var. duboisii dalam jaringan yang dilakukan
pada preparat apus atau dari jaringan biopsi. Sel-sel ini berukuran lebih besar dibandingkan
dengan sel ragi dari H. capsulatum var. capsulatum. Prevalensi yang sebenarnya dari H.
duboisii, reservoir, dan cara penularan serta masa inkubasi belum diketahui dengan jelas.
Penyakit ini tidak ditularkan dari orang ke orang. Pengobatan mungkin sama dengan
histoplasmosis di Amerika.
PENYAKIT CACING TAMBANG (HOOKWORM DISEASE) ICD-9 126; ICD-10 B76
(Ancylostomiasis, Uncinariasis, Necatoriasis)
1. Identifikasi
Suatu infeksi parasit kronis yang sering terjadi dan muncul dengan berbagai gejala,
biasanya proporsi terbesar dengan berbagai tingkat anemia. Pada infeksi berat, akibat
darah diisap oleh cacing mengakibatkan terjadinya kekurangan zat besi dan memicu
280
terjadinya anemia hipokromik, anemia mikrositik, sebagai Pemicu utama disabilitas.
Anak-anak dengan infeksi berat dalam jangka waktu lama dapat menderita
hipoproteinemia dan mengalami keterbelakangan mental dan keterbelakangan
perkembangan fisiknya. Kadang-kadang, reaksi paru akut yang berat dan gejala GI dapat
terjadi mengikuti pemajanan infeksi larva. Kematian jarang terjadi dan biasanya
disebabkan oleh infeksi yang lain. Infeksi cacing tambang ringan umumnya ditandai
dengan beberapa atau tanpa gejala klinis.
Diagnosa adanya Infeksi ditegakkan dengan ditemukannya telur cacing tambang dalam
tinja; pemeriksaan tinja mungkin negatif pada awalnya perjalan penyakitnya sampai
cacing menjadi dewasa. Untuk melakukan diferensiasi spesies memerlukan pemeriksaan
mikroskopis kultur larva yang berasal dari tinja, atau pemeriksaan cacing dewasa yang
dikeluarkan dengan obat pencahar setelah diberi obat cacing (Vermifuga). Membedakan
spesies dapat juga dilakuakn dengan memakai teknik PCR-RFLP.
2. Pemicu Penyakit
Necator americanus, Ancylostoma duodenale, A. ceylanicum dan A. caninum.
3. Distribusi Penyakit
Endemis secara luas di negara tropis dan subtropis dimana pembuangan tinja manusia
yang tidak saniter, dimana keadaan tanah, keadaan suhu dan kelembaban yang
mendukung hidupnya larva infektif. Dapat juga ditemukan didaerah beriklim sedang
dengan keadaan lingkungan yang serupa (contohnya didaerah pertambangan). Necator
dan Ancylostoma ditemukan di banyak tempat di Asia (terutama di Asia Tenggara),
Pasifik selatan dan Afrika timur. N. americanus merupakan spesies yang umum
ditemukan di Asia terutama Asia Tenggara, sebagian besar di daerah tropis Afrika dan
Amerika; A. duodenale banyak ditemukan di Afrika Utara, termasuk di lembah Nile, di
bagian utara India, di agian utara Timur Jauh dan daerah Andean di Amerika selatan.
A.ceylanicum terdapat di Asia Tenggara namun lebih jarang jika dibandingkan dengan N.
americanus atau A. duodenale. A. caninum di Australia diketahui sebagai Pemicu
sindroma eosinophilic enteritis di Australia.
4. Reservoir
Manusia yaitu reservoir untuk N. americanus dan A. duodenale; sedang kucing dan
anjing untuk A. ceylanicum dan A. caninum.
5. Cara Penularan
Telur dalam tinja yang di deposit didalam tanah dan menetas ditanah; dalam kondisi yang
sesuai yaitu udara yang lembab, suhu dan tipe tanah yang sesuai, larva berkembang
menjadi stadium tiga, menjadi infektif dalam 7-10 hari. Infeksi pada manusia terjadi
ketika larva infektif masuk melalui kulit, biasanya pada kaki; kemudian, mengakibatkan
terjadinya dermatitis yang khas (ground itch). Larva A. caninum mati dalam kulit,
memicu terjadinya larva migrans pad kulit. Larva Necator dan Ancylostoma yang
lain biasanya masuk ke kulit dan lewat saluran limfe dan aliran darah menuju paru-paru,
masuk ke alveoli, pindah ke trachea kemudian ke faring, ditelan dan mencapai usus halus
dimana mereka menyerang dinding usus halus, berkembang menjadi dewasa dalam 6-7
minggu (3-4 minggu pada kasus A. ceylanicum) dan sangat khas dapat menghasilkan
ribuan telur per hari. Infeksi Ancylostoma bisa juga didapat sebab menelan larva infektif;
kemungkinan terjadinya penularan vertikal pernah dilaporkan.
281
6. Masa Inkubasi
Gejala dapat muncul dalam beberapa minggu sampai dengan berbulan-bulan, tergantung
kepada infeksi dan masukan zat besi pada pejamu. Infiltrasi paru, batuk dan tracheitis
mungkin dapat terjadi selama fase migrasi di paru, khususnya infeksi Necator. Setelah
memasuki tubuh manuasia, A. duodenale menjadi dormant selama sekitar 8 bulan, setelah
itu cacing mulai tumbuh dan berkembang lagi, dengan infeksi patent (tinja yang berisi
telur) terjadi satu bulan kemudian.
7. Masa Penularan
Tidak ada penularan dari orang ke orang, namun seorang yang terinfeksi dapat mencemari
tanah selama beberapa tahun bila tanpa pengobatan. Dalam keadaan yang baik, larva
tetap infektif dalam tanah selama beberapa minggu.
8. Kerentanan dan Kekebalan
Berlaku umum, tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa kekebalan terjadi akibat
terinfeksi.
9. Cara-cara Penanggulangan
A. Cara-cara Pencegahan
1) Berikan penyuluhan kepada warga tentang bahaya tanah yang tercemar oleh
tinja manusia, kotoran kucing dan kotoran anjing, dan tentang upaya pencegahan
yang harus dilakukan seperti memakai sepatu di daerah endemis.
2) Lakukan pencegahan pencemaran terhadap tanah dengan membangun sistem
pembuangan tinja yang saniter, khususnya pembuangan jamban umum di daerah
pedesaan. Pemupukan tanaman dengan tinja dan sistem pembuangan air limbah
yang buruk sangat berbahaya.
3) Lakukan pemeriksaan dan Pengobatan terhadap warga yang pindah dari daerah
endemis ke daerah reseptif non-endemis, khususnya mereka yang bekerja tanpa
memakai sepatu pada pertambangan, konstruksi bendungan atau pada sektor
pertanian.
B Penanganan Penderita, Kontak dan Lingkungan sekitar
1) Laporan kepada instansi kesehatan setempat: Laporan kasus tidak wajib
dilakukan; Kelas 5 (lihat pelaporan tentang penyakit menular)
2) Isolasi: tidak ada.
3) Disinfeksi serentak: Pembuangan tinja yang saniter untuk mencegah pencemaran
tanah.
4) Karantina: Tidak diperlukan.
5) Imunisasi kontak: Tidak ada.
6) Investigasi kontak dan sumber infeksi: Setiap kontak yang terinfeksi dan Carrier
merupakan penyebar infeksi tidak langsung yang sangat potensial maupun nyata.
7) Pengobatan spesifik: Pengobatan dosis tunggal dapat diberikan dengan
mebendazole (Vermox®), albendazole (Zentel®), levamisole (Ketrax®), atau
pyrantel pamoat (Antiminth®). Pemeriksaan tinja lanjut dibekukan 2 minggu
setelah pengobatan, dan Pengobatan harus diulang jika infestasi cacing cukup
berat. Pemberian suplemen zat besi akan memperbaiki anemia dan harus diberikan
bersamaan dengan pengobatan cacing.
282
Transfusi diperlukan untuk anemia berat. Sebagai peganggan umum, wanita hamil
pada trimester pertama kehamilan jika tidak ada indikasi kuat untuk diberikan
pengobatan, sebaiknya jangan diberi obat cacing.
C. Upaya penanggulangan wabah:
Lakukan survei prevalensi di daerah endemis tinggi dan berikan pengobatan massal
secara periodik. Berikan penyuluhan kesehatan kepada warga tentang sanitasi
lingkungan dan kebersihan perorangan, dan sediakan sarana yang cukup untuk
pembuangan tinja.
D. Implikasi bencana: Tidak ada.
E. Tindakan lebih lanjut : Tidak ada.
HYMENOLEPIASIS ICD-9 123.6; ICD-10 B71.0
I. HYMENOLEPIASIS sebab HYMENOLEPSIS NANA
(dwarf tapeworm infection)
1. Identifikasi
yaitu Infeksi intestinal oleh cacing pita yang sangat kecil; infeksi ringan biasanya tanpa
gejala. Cacing dalam jumlah besar dapat mengakibatkan enteritis dengan atau tanpa diare,
nyeri perut dan gejala tidak jelas lainnya seperti muka pucat, kehilangan berat badan dan
lemah.
Diagnosis dibuat dengan pemeriksaan mikroskop untuk menemukan telur cacing dalam
tinja.
2. Pemicu penyakit
Hymenolepis nana (dwarf tapeworm), cacing pita yang hanya menyerang manusia tanpa
ada pejamu obilgatif intermedier.
3. Distribusi Penyakit
Tersebar di seluruh dunia; lebih banyak terjadi di daerah panas daripada dingin, dan di
iklim kering daripada iklim basah. Cacing pita dwarf merupakan cacing pita yang paling
sering ditemukan pada manusia di Amerika Serikat dan Amerika Latin. Hal itu juga
terjadi di Australia, negara-negara di Timur Tengah, Timur Dekat dan India.
4. Reservoir - Manusia, mungkin juga tikus.
5. Cara Penularan
Telur H. nana sudah infentif ketika dikeluarkan melalui tinja. Infeksi didapat sebab
menelan telur cacing yang terdapat dalam makanan atau air yang tercemar; penularan
secara langsung dapat terjadi melalui jari yang tercemar (auto infeksi secara langsung atau
penularan dari orang ke orang); atau sebab menelan serangga yang mengandung larva
yang berkembang dari telur yang ditelan oleh serangga. Pada saat telur H. nana ditelan,
283
telur ini menetas dalam usus, melepascan oncosphere yang masuk ke villi mukosa
usus dan berkembang menjadi cysticercoid; cysticercoid ini akan pecah kedalam lumen
dan tumbuh menjadi cacing pita dewasa. Banyak telur H. nana yang langsung infeksius
ketika lepas dari proglottid pada usus manusia; sehingga terjadi autoinfeksi atau dapat
terjadi penularan dari orang ke orang. Jika telur H. nana tertelan oleh mealworm (cacing
gelang), kutu pemakan larva, kumbang atau serangga lainnya, mereka dapat berkembang
menjadi cysticercoid yang infektif terhadap manusia dan binatang pengerat ketika tertelan.
6. Masa Inkubasi
Saat timbulnya gejala dapat bervariasi; perkembangan menjadi cacing dewasa
memerlukan waktu sekitar 2 minggu.
7. Masa Penularan : Seseorang dapat menular sepanjang telur masih ditemukan dalam
tinja. Infeksi H. nana dapat berlangsung dan bertahan hingga beberapa tahun.
8. Kerentanan dan Kekebalan
Setiap orang rentan terhadap infeksi; infeksi dapat menimbulkan kekebalan untuk infeksi
ulang. Anak-anak lebih rentan untuk terserang daripada dewasa; infeksi intensif terjadi
pada anak-anak yang memiliki kekebalan tubuh yang rendah dan kurang gizi.
9. Cara-cara Pemberantasan
A. Cara-cara Pencegahan
1) Berikan penyuluhan kepada warga mengenai kebersihan perorangan dan
cara-cara pembuangan tinja yang saniter.
2) Sediakan dan lakukan pemeliharaan sarana jamban yang saniter.
3) Lindungi makanan dan air dari kontaminasi oleh tinja manusia dan tinja binatang
pengerat.
4) Lakukan pengobatan terhadap penderita untuk menghilangkan sumber infeksi
5) Berantas tikus dari lingkungan rumah.
B. Penanganan Penderita, Kontak dan Lingkungan sekitar
1) Laporan kepada instansi kesehatan setempat; laporan tidak wajib dilakukan, Kelas
5 (lihat pelaporan tentang penyekit menular).
2) Isolasi: Tidak diperlukan.
3) Disinfeksi serentak: Pembuangan tinja yang saniter.
4) Karantina: Tidak diperlukan.
5) Imunisasi kontak: Tidak diterapkan.
6) Investigasi kontak dan sumber infeksi: Lakukan Pemeriksaan tinja dari anggota
keluarga atau institusi.
7) Pengobatan spesifik: Pemberian Praziquantel (Biltricide®) atau niclosamide
(Yomesan®, Niclocide®) cukup efektif.
C. Upaya penanggulangan wabah: KLB yang terjadi di sekolah dan institusi dapat
dikendalikan dengan baik dengan memberikan pengobatan kepada individu yang
terinfeksi dan dengan perhatian khusus pada kebersihan perorangan dan kelompok.
284
D. Implikasi bencana: Tidak ada.
E. Tindakan lebih lanjut : Tidak ada.
II. HYMENOLEPIASIS AKIBAT HYMENOLEPSIS DIMINUTA
ICD-9 123.6; ICD-10 B71.0
(Infeksi cacing pita tikus, Hymenolepiasis diminuta)
Cacing pita tikus, H. diminuta, infeksi cacing ini terjadi secara kebetulan pada manusia,
biasanya pada anak-anak kecil. Telur yang dilepaskan melalui tinja binatang pengerat
tertelan oleh serangga seperti kutu pemakan larva, kumbang padi-padian dan kecoak
dimana cysticercoid berkembang dalam hemosel. Cacing pita dewasa berkembang dalam
tikus, celurut atau binatang pengerat lainnya ketika menelan serangga. warga jarang
sekali dan secara kebetulan menjadi pejamu, biasanya infeksi yang terjadi yaitu oleh
cacing pita tungal atau oleh beberapa ekor cacing pita; infeksi pada manusia jarang
menunjukkan gejala. Diagnosis yang tepat didapatkan dengan menemukan telur cacing
dalam tinja; pengobatan sama dengan pengobatan pada H. nana.
III. DIPLYDIASIS ICD-9 123.8; ICD-10 B71.1
(Infeksi cacing pita pada anjing)
Anak-anak kecil yang baru belajar berjalan kadangkala terinfeksi oleh cacing pita anjing
(Dipylidium caninum), cacing dewasa ditemukan di seluruh dunia pada anjing dan kucing.
Infeksi jarang terjadi kalaupun terjadi infeksi dengan ditemukan gejala pada anak
membuat orang tua sangat cemas sebab melihat adanya proglotid (ruas cacing pita)
seperti biji pada anus atau pada permukaan tinja bergerak-gerak. Infeksi didapat sebab
anak menelan kutu, dimana kutu ini pada waktu stadium larva, telah menelan telur
cacing dari proglottid. Dalam waktu 3-4 minggu cacing pita menjadi dewasa. Infeksi
dapat dicegah dengan cara menjaga anjing dan kucing bebas dari kutu dan cacing;
Pengobatan yang efektif yaitu dengan memakai niclosamide atau praziquantel.
INFLUENZA ICD-9 487; ICD-10 J10, 11
1. Identifikasi
Influenza yaitu penyakit virus akut yang menyerang saluran pernafasan ditandai dengan
timbulnya demam, sakit kepala, mialgia, lesi, coryza, sakit tenggorokan dan batuk. Batuk
biasanya keras dan panjang namun gejala-gejala lainnya bisanya hilang dengan
sendirinya. Penyakit ini sembuh dalam waktu 2-7 hari. Penyakit ini dikenal sebab
karakteristik epidemiologisnya; kasus sporadis diketahui hanya dengan pemeriksaan
laboratorium. Influenza pada seseorang dapat dibedakan dengan penyakit yang
285
disebabkan oleh virus pernafasan lainnya. Gambaran klinis dapat berkisar mulai dari
Common cold, Croup, bronchiolitis, pneumonia akibat virus dan penyakit pernafasan akut
lain yang tidak jelas. Gejala pada saluran pencernaan (mual, muntah, diare) jarang terjadi,
namun bisa saja gejala ini terjadi menyertai fase pernafasan pada anak yang terserang
influenza, dan dilaporkan lebih dari 25% anak-anak pada KLB yang terjadi di sekolah
disebabkan influenza B dan A (H1N1) mengalami gejala gastrointestinal.
Influenza menjadi penting sebab dari kecepatannya menyebar dan menjadi wabah,
luasnya penyebaran penyakit dan timbulnya komplikasi yang serius khususnya terjadi,
pneumonia akibat virus dan bakteri. Selama terjadinya wabah yang meluas, dapat terjadi
penyakit yang berat dengan angka kematian yang tinggi, terutama pada orang dengan usia
lanjut dan orang-rang yang lemah akibat berbagai penyakit seperti penyakit jantung, paru,
ginjal atau penyakit gangguan metabolisme kronis. Proporsi kematian yang diakibatkan
pneumonia dan influenza jika dibandingkan dengan angka kematian yang normal terjadi
pada tahun-tahun ini berbeda dari wabah ke wabah dan tergantung pada prevalensi
tipe virus. Dari tahun 1972-1973 sampai dengan tahun 1994-1995, diperkirakan lebih dari
20.000 kematian sebab influenza terjadi pada salah satu dari sebelas kali kejadian wabah
yang berbeda di Amerika Serikat, dan lebih dari 40.000 kasus influenza meninggal selama
6 dari 11 kali kejadian wabah ini , 80%-90% kematian terjadi pada orang yang
berusia lebih dari 65 tahun. Namun demikian, pada pandemi yang terjadi pada tahun 1918,
angka kematian tertinggi terjadi dikalangan dewasa muda. Sindroma Reye, yang
menyerang SSP dan hati, merupakan komplikasi yang jarang dan terjadi pada anak-anak
yang menelan obat salisilat; komplikasi ini terjadi terutama pada anak-anak dengan
penyakit influenza B dan jarang terjadi pada anak dengan influenza A.
Selama penyakit pada fase demam, konfirmasi laboratorium dibuat dengan melakukan
isolasi virus influenza dari sekret faring atau secret hidung atau hasil cucian faring atau
hidung yang ditanam pada kultur sel atau pada telur yang sudah berembrio. Dapat juga
dengan identifikasi langsung antigen virus pada sel nasofaring dan cairan nasofaring
dengan memakai tes FA atau ELISA, atau dengan amplifikasi RNA virus. Infeksi
dapat juga ditegakkan dengan ditemukannya respons serologis spesifik antara serum akut
dan konvalesen.
2. Pemicu Infeksi
Tiga tipe virus influenza yang dikenal yaitu: A, B dan C. Tipe A terdiri dari 3 subtipe
(H1N1, H2N2 dan H3N2) yang dikaitkan dengan terjadinya epidemi dan pandemi yang
luas. Tipe B jarang sekali memicu terjadinya KLB regional atau yang menyebar
luas. Tipe C dikaitkan dengan timbulnya kasus sporadis dan KLB kecil yang terlokalisir.
Tipe virus ditentukan oleh sifat antigen dari dua struktur protein internal yang relatif stabil
ditentukan oleh nukeloprotein dan matrik protein.
Subtipe influenza A dikelompokkan sesuai dengan sifat antigen dari glikoprotein
permukaan, hemaglutinin (H) dan neuraminidase (N). Seringnya terjadi mutasi dari gen
yang membawa kode-kode genetik pada permukaan glycoprotein dari virus influenza A
dan virus influenza B mengakibatkan timbulnya varian baru yang dibedakan dengan
wilayah geografis darimana virus ini diisolasi, nomer kultur dan tahun isolasi.
Beberapa contoh dari prototipe strain ini dengan cara penandaan ini yaitu
A/Beijing/262/95 (H1N1), A/Japan/305/57 (H2N2), A/Sydney/5/97 (H3N2) dan
B/Yamanashi/166/98.
286
Munculnya subtipe yang benar-benar baru (perubahan antigen) terjadi dengan interval
yang tidak beraturan dan hanya terjadi dengan virus tipe A; virus ini memicu
terjadinya pandemi dan diakibatkan sebab terjadinya rekombinasi dari antigen manusia,
babi dan unggas yang tidak dapat diramalkan terjadi. Perubahan relatif dari antigen minor
(penyimpangan antigen) dari virus A dan B mengakibatkan sering terjadi wabah dan KLB
regional dan setiap tahun harus dilakukan reformulasi tahunan untuk vaksin influenza.
3. Distribusi Penyakit
Muncul sebagai terjadi Pandemi, Epidemi, KLB setempat atau sebagai kasus sporadis.
Sejak lebih dari 100 tahun yang lalu, pandemi terjadi pada tahun 1889, 1918, 1957 dan
1968. Attack Rate selama terjadinya wabah berkisar antara 10% sampai dengan 20%
diwarga umum dan Attack rate sampai lebih dari 50% pada populasi tertentu seperti
di asrama sekolah atau perumahan perawat. Wabah influenza di Amerika Serikat terjadi
hampir setiap tahun; wabah ini diakibatkan terutama oleh virus Tipe A, kadang-kadang
disebabkan oleh virus tipe B ataupun kedua-duanya. Di daerah beriklim sedang, wabah
cenderung terjadi pada musim dingin, sedang di daerah tropis, wabah sering terjadi
pada musim hujan, namun KLB atau kasus sporadis dapat terjadi setiap bulan.
Infeksi oleh virus influenza dengan subtipe antigen yang berbeda juga dapat terjadi secara
alami pada babi, kuda, cerpelai dan anjing laut, dan pada spesies unggas peliharaan dan
unggas liar di berbagai tempat di dunia. Penularan antar spesies dan pembauran kembali
(Reassortment) dari virus influenza A dilaporkan terjadi diantara babi, manusia dan
unggas domestik dan unggas liar. Virus influenza pada manusia yang memicu
terjadinya pandemik pada tahun 1918, 1957 dan 1968 berisi dari segmen gen yang dekat
kaitannya dengan virus influenza pada burung.
4. Reservoir
Manusia merupakan reservoir utama untuk infeksi yang terjadi pada manusia, namun
demikian, reservoir mamalia seperti babi dan burung nerupakan sumber subtipe baru pada
manusia yang muncul sebab pencampuran gen (gene reassortment). Subtipe baru dari
suatu starin virus virulen dengan surface antigens baru mengakibatkan pandemik
influenza yang menyebar terutama kepada warga yang rentan.
5. Cara Penularan
Penularan melalui udara terutama terjadi pada daerah yang padat warga pada ruangan
tertutup, seperti pada bis sekolah; penularan dapat juga terjadi dengan kontak langsung,
oleh sebab virus influenza dapat hidup berjam-jam diluar tubuh manusia, khususnya di
daerah dingin dan di daerah dengan kelembaban yang rendah.
6. Masa Inkubasi - Pendek, biasanya 1-3 hari.
7. Masa Penularan
Masa penularan mungkin berlangsung selama 3-5 hari sejak timbulnya gejala klinis pada
orang dewasa; sampai 7 hari pada anak-anak muda.
8. Kerentanan dan Kekebalan
Apabila subtipe baru muncul, semua anak dan orang dewasa rentan, kecuali mereka telah
287
mengalami KLB yang terjadi sebelumnya yang disebabkan oleh subtipe yang sama atau
subtipe yang antigennya mirip. Infeksi akan menimbulkan kekebalan terhadap virus
spesifik, namun lamanya antibodi bertahan dan luasnya spektrum kekebalan tergantung
pada tingkat perubahan antigen dan banyaknya infeksi sebelumnya. Vaksinasi
menghasilkan respons serologis spesifik terhadap jenis virus yang ada didalam vaksin dan
memberi respons booster untuk strain yang sama pada sesorang yang pernah mengalami
infeksi oleh virus dengan strain yang sama sebelumnya.
Age specific Attack rate selama epidemi menggambarkan bahwa kekebalan masih tetap
ada terhadap strain virus yang sama dengan subtipe yang menimbulkan epidemi apabila
KLB yang dialami sebelumnya juga dari subtipe yang sama, sehingga insidensi infeksi
pada epidemi yang sedang terjadi sering tertinggi pada anak-anak usia sekolah. Oleh
sebab itu maka wabah H1N1 yang terjadi setelah tahun 1977, ditemukan insidensi
penyakit tertinggi pada mereka yang lahir setelah tahun 1957; sebagian besar warga
yang lahir sebelumnya memiliki kekebalan parsial dari infeksi oleh antigen virus
H1N1 sejenis yang berlangsung selama tahun 1918 sampai dengan 1957.
9. Cara-cara pemberantasan
Petunjuk secara terperinci untuk pencegahan dan pengendalian influenza dikeluarkan
setahun sekali oleh CDC dan WHO.
A. Cara Pencegahan
1) Berikan penyuluhan kepada warga dan tenaga pelayanan kesehatan tentang
dasar-dasar kebersihan perorangan, khususnya mengenai bahayanya batuk dan
bersin tanpa menutup mulut dan hidung, dan bahaya penularan melalui tangan ke
selaput lendir.
2) Imunisasi dengan memakai vaksin virus yang tidak aktif dapat memberikan
70%-80% perlindungan terhadap infeksi pada orang dewasa muda yang sehat
apabila antigen yang ada didalam vaksin sama atau dekat dengan strain virus yang
orang bersirkulasi. Pada orang dengan usia lanjut, pemberian imunisasi mungkin
kurang bermanfaat untuk pencegahan infeksi namun pemberian imunisasi
mungkin dapat mengurangi beratnya penyakit dan terjadinya komplikasi sebesar
50%-60% dan terjadinya kematian rata-rata 80%. Mereka yang dirawat di rumah
sakit yang berusia 65 tahun keatas yang menderita pneumonia dan influenza di
Amerika Serikat selama kurun waktu lebih tahun 1989 – 1992 telah turun sekitar
30%-50% dengan pemberian imunisasi. Imunisasi influenza harus diberikan
bersamaan dengan pemberian imunisasi terhadap pneumonia akibat peneumococci
(q.v.)
Satu dosis tunggal sudah cukup bagi mereka yang sebelumnya pernah terpajan
dengan virus influenza A dan B; 2 dosis vaksin dengan interval 1 bulan
diperlukan bagi mereka yang sebelumnya belum pernah diimunisasi. Imunisasi
rutin diarahkan terutama kepada mereka yang paling berisiko mendapatkan
komplikasi serius atau kematian kalau terserang influenza (lihat Identifikasi yang
diuraikan di atas) dan terhadap mereka yang dapat menularkan penyakit kepada
mereka yang rentan (tenaga kesehatan atau kontak serumah yang brisiko tinggi).
Imunisasi bagi anak-anak yang mendapatkan
juga disarankan untuk mencegah terjadinya sindroma Reye sebab infeksi
influenza. Vaksin yang diberikan intra nasal, yaitu vaksin influenza trivalent cold
pengobatan aspirin jangka panjang
288
adapted live attenuated masih dalam uji klinis tahap akhir untuk melihat efikasi
pada anak-anak dan dewasa dan diharapkan sudah beredar pada awal millennium
ini.
Pemberian Imunisasi harus juga dipertimbangkan untuk diberikan kepada mereka
yang bergerak pada bidang pelayanan warga dan kepada personil militer.
Namun sebetulnya jika diberikan maka, setiap orang akan memperoleh
keuntungan dari imunisasi.
Imunisasi harus diberikan setiap tahun sebelum penularan influenza terjadi di
warga (yaitu pada bulan November sampai dengan bulan Maret di Amerika
Serikat). Bagi mereka yang tinggal dan bepergian ke luar Amerika Serikat, waktu
pemberian imunisasi harus didasarkan pada pola musiman dari virus influenza
dinegara ini (biasanya dari bulan April sampai dengan bulan September di
wilayah Bumi bagian Selatan dan didaerah topis). Rekomendasi biannual untuk
menentukan jenis komponen yang harus ada dalam vaksin yang akan dibuat
didasarkan pada strain virus yang sedang beredar saat ini yang dapat diketahui
dari kegiatan surveilans lebih lanjut .
Kontraindikasi: Mereka yang hipersensitif dan alergi terhadap protein telur atau
terhadap komponen vaksin yang lain merupakan kontraindikasi pemberian
imunisasi. Selama dilakukan program vaksinasi untuk babi pada tahun 1976,
peningkatan risiko berkembangnya sindroma Guillain-Barre (GBS) 6 minggu
setelah vaksinasi di Amerika Serikat. Vaksin yang dibuat pada periode belakangan
ini yang dibuat dari strain virus yang berbeda belum jelas memiliki kaitan
dengan peningkatan risiko GBS.
3) Hydrochloride amantadine (Symmetrel®, Symadine®) atau rimantadine
hydrochloride (Flumadine®) efektif sebagai obat kemoprofilaksis untuk influenza
A, namun tidak efektif untuk influenza tipe B. Amantadine dapat memicu
terjadinya efek samping pada SSP pada 5%-10% dari mereka yang divaksinasi;
mereka yang mendapat komplikasi lebih parah yaitu kelompok usia lanjut atau
mereka dengan fungsi ginjal yang tidak baik. Untuk alasan ini, seseorang dengan
penurunan fungsi ginjal harus diberikan dosis vaksin yang dikurangi sesuai dengan
tingkat kerusakan ginjal. Rimantadine dilaporkan mengakibatkan lebih banyak
terjadinya efek pada SSP. Penggunaan obat-obatan ini harus dipertimbangkan
benar bagi mereka yang belum pernah diimunisasi atau bagi mereka yang
memiliki risiko tinggi terjadinya komplikasi, seperti penghuni asrama atau
penghuni rumah-rumah jompo, atau obat ini diberikan apabila vaksin yang tepat
tidak tersedia atau sebagai suplemen terhadap vaksinasi yang sedang diberikan
apabila perlindungan maksimal sangat mendesak diperlukan terhadap infeksi
influenza A. Pemberian obat harus dilanjutkan selama terjadinya wabah; hal itu
tidak akan mempengaruhi respons terhadap vaksin influenza. Inhibitor terhadap
neuraminidase influenza cukup aman dan cukup efektif untuk pencegahan dan
pengobatan terhadap influenza A dan B. Obat-obat baru ini pada awalnya
digunakan di Australia dan Swedia, dan pada pertengahan tahun 1999 digunakan
di Amerika Serikat. Neuraminidase Inhibitor diharapkan tersedia secara luas
dipasaran pada awal millennium ini.
289
B. Penanganan Penderita, Kontak dan Lingkungan sekitar
1) Laporan ke institusi kesehatan setempat; laporan terjadinya KLB dan konfirmasi
laboratorium dapat membantu kegiatan surveilans penyakit. Laporan Pemicu
infeksi pada KLB bila mungkin harus ditegakkan dengan pemeriksaan
laboratorium, Kelas 1 A (lihat pelaporan tentang penyakit menular).
2) Isolasi: Tidak dilakukan sebab tidak praktis oleh sebab keterlambatan diganosa,
kecuali diagnosa dapat ditegakkan dalam waktu singkat, maka isolasi bermanfaat
pemeriksaan langsung virus tersedia. Pada keadaan epidemi, dengan adanya
peningkatan jumlah penderita, perlu dilakukan isolasi terhadap penderita
(khususnya terhadap bayi dan anak-anak usia muda) yang diduga menderita
influenza dengan cara menempatkan mereka di ruangan yang sama (secara cohort)
selama 5-7 hari pertama sakit.
3) Disinfeksi serentak: Tidak diperlukan.
4) Karantina: Tidak ada.
5) Perlindungan Kontak: Pemberian obat kemofrofilaksis seperti amantadine atau
rimantadine cukup bermanfaat terhadap strain tipe A (lihat 9A3, di atas).
6) Investigasi kontak dan sumber infeksi: Tidak praktis.
7) Pengobatan spesifik: Amantadine atau rimantadine diberikan dalam 48 jam
setelah timbulnya gejala akibat influenza A dan diberikan selama 3-5 hari untuk
mengurangi gejala dan titer virus di dalam sekret saluran pernafasan. Dosis
pemberian yaitu 5 mg/kg/hari yang dibagi dalam 2 dosis bagi mereka yang
berusia antara 1-9 tahun dan 100 mg dua kali sehari bagi mereka yang berumur 9
tahun ke atas (jika berat badan kurang dari 45 kg, gunakan 5 mg/kg/hari dalam 2
dosis) selama 2-5 hari. Dosis harus dikurangi bagi mereka yang berusia 65 tahun
keatas atau mereka dengan penurunan fungsi ginjal dan hati. Neuramididase
inhibitor baru yang saat ini sedang berkembang dapat dipertimbangkan dipakai
untuk pengobatan influenza A dan B, preparat ini beredar di Amerika Serikat pada
musim influenza 1999/2000.
Selama dilakukan pengobatan dengan obat ini , mungkin muncul virus yang
resisten terhadap obat ini dan selama berlangsungnya pengobatan dapat
ditularkan kepada orang lain; oleh sebab itu perlu dilakukan Cohorting pada
waktu melakukan pengobatan antiviral, khususnya pada populasi yang tertutup
dengan banyak individu yang memiliki risiko tinggi. Penderita harus diamati
terus untuk melihat terjadinya komplikasi bakteri untuk dapat segera diberikan
antibiotik. sebab ada kaitannya dengan munculnya sindroma Reye, maka salisilat
tidak dibolehkan diberikan pada anak-anak.
C. Upaya penanggulangan wabah
1) Akibat yang berat dan mengganggu yang disebabkan epidemi influenza disuatu
warga dapat dikurangi dengan melakukan penyuluhan kesehatan dan
membuat perencanaan kesehatan yang efektif, khususnya perencanaan program
imunisasi bagi penderita dengan risiko tinggi dan kepada orang-orang yang
merawat penderita. Surveilans dan laporan penemuan kasus oleh petugas
kesehatan pada saat merebaknya KLB dan sangat penting dilakukan.
290
2) Menutup kegiatan sekolah secara khusus tidak terbukti sebagai tindakan
pengendalian yang efektif; oleh sebab umumnya dilakukan cukup terlambat dan
biasanya penutupan sekolah dilakukan sebab tingginya absensi murid dan staff.
3) Manajemen rumah sakit harus mengantisipasi terjadinya peningkatan kebutuhan
akan pelayanan kesehatan lainnya selama masa berlangsungnya wabah; mungkin
juga terjadi peningkatan absensi tenaga pelayanan kesehatan sebab influenza.
Untuk mencegah hal ini, petugas kesehatan harus diberikan imunisasi setiap tahun
atau diberikan obat antiviral selama terjadinya wabah influenza. A.
4) Penyediaan obat antiviral dalam jumlah yang cukup untuk mengobati penderita
yang berisiko tinggi dan untuk melindungi mereka yang masuk kategori
tenaga/staf penting pada saat terjadinya pandemi dengan strain baru dimana belum
tersedia vaksin yang tepat pada waktu gelombang pertama kasus.
D. Implikasi bencana : Apabila orang berada pada lingkungan hunian yang berdesakan
maka begitu virus influenza masuk maka akan terjadi KLB.
E. Tindakan lebih lanjut : Termasuk Disease under Surveillance, WHO. Hal-hal
berikut ini disarankan untuk dilakukan :
1) Laporkan apabila terjadi wabah (epidemic) disuatu negara kepada WHO.
2) Sebutkan jenis virus Pemicu terjadinya KLB/wabah pada laporan, dan
kumpulkan prototype strain kepada salah satu dari 4 Pusat Referensi dan Riset