kontak dan lingkungan sekitar
1) Laporan kepada instansi kesehatan setempat: Laporan resmi tidak diwajibkan,
kelas 5 (lihat Laporan tentang Penyakit Menular).
2) Isolasi: Tidak dilakukan.
3) Disinfeksi serentak: Dilakukan disinfeksi terhadap sputum dan tinja.
4) Karantina: Tidak ada.
5) Imunisasi: Tidak ada.
6) Investigasi: Tidak dilakukan.
7) Pengobatan spesifik: Praziquantel (Biltricide®), Triclabendazole dan Bithionol
(Bitin®). Obat yang disebutkan terakhir sudah tidak diproduksi lagi namun masih
tersedia di Amerika Serikat yaitu di CDC Atlanta, dipergunakan untuk keperluan
domestik dan tidak diekspor.
C. Cara-cara penanggulangan KLB
Di daerah endemis apabila ditemukan kasus walaupun jumlahnya kecil atau bahkan
infeksi yang muncul secara sporadis, segera lakukan pemeriksaan air di daerah
ini terhadap kemungkinan terinfeksinya kerang, keong, udang karang di perairan
ini . Cari dan selidiki mamalia yang mungkin berperan sebagai reservoir.
D. Implikasi bencana: Tidak ada.
E. Tindakan lebih lanjut : Manfaatkan WHO Collaborating Centres.
PEDICULOSIS DAN PHTHIRIASIS ICD-9 132; ICD-10 B85
1. Identifikasi
Infestasi oleh kutu kepala (Pediculus humanus capitis) menyerang rambut kepala, alis
mata dan bulu mata. Infestasi oleh kutu badan (P.h. corporis) yang bersembunyi pada
pakaian, terutama bagian dalam dan pada jahitan pakaian. Kutu ketam (Phthirus pubis)
biasanya menyerang daerah pubis; kutu-kutu ini dapat juga menghuni bulu-bulu
wajah (termasuk bulu mata untuk infestasi berat), bulu ketika dan bulu pada permukaan
tubuh. Gangguan berupa rasa gatal yang hebat dan ekskoriasi pada kulit kepala dan kulit
tubuh. Infeksi sekunder dapat terjadi disertai dengan limfadenitis (khususnya kelenjar
daerah cervical).
2. Pemicu penyakit
Pediculus humanus capitis, kutu kepala; P.h. corporis, kutu badan; dan Phthirus pubis,
kutu ketam; kutu dewasa, nimfe dan telur-telur kutu menghuni tubuh manusia. Kutu
biasanya bersifat host specific dan kutu dari binatang yang rendahtidak mengganggu
manusia walaupun kadang-kadang ditemukan pada manusia namun bersifat transient
(sementara). Kutu jantan dan betina keduanya menghisap darah.
389
Kutu badan yaitu spesies yang bertanggung jawab terhadap terjadinya KLB typhus
epidemika yang disebabkan oleh Rickettsia prowazeki, demam trench yang disebabkan
oleh R. Quintana dan demam bolak-balik disebabkan oleh Borrelia recurrentis.
3. Distribusi penyakit
Tersebar di seluruh dunia. Wabah kutu kepala sering terjadi di kalangan anak-anak di
sekolah dan di asrama. Kutu badan menyerang warga dengan kebersihan perorangan
dan kebersihan lingkungan yang jelek, khususnya di daerah dengan cuaca dingin dimana
orang biasanya memakai baju tebal dan jarang mandi atau menyerang pengungsi yang
tidak pernah mengganti pakaiannya.
4. Reservoir: Manusia.
5. Cara penularan
Untuk kutu kepala dan kutu badan, cara penularan yaitu sebab kontak langsung dengan
orang yang terkena dan barang-barang yang mereka pakai; untuk kutu badan, cara
penularan yaitu sebab kontak tidak langsung dengan barang milik orang yang
terkena,khususnya sebab saling bertukar pakaian dan tutup kepala. Kutu kepala dan
badan apabila tanpa makanan hanya dapat bertahan hidup selama seminggu. Kutu ketam
biasanya ditularkan melalui hubungan seksual. Kutu akan meninggalkan tubuh tuan rumah
yang mengalami demam; demam dan kepadatan yang berlebihan meningkatkan penularan
dari orang ke orang.
6. Masa inkubasi
Siklus hidup terdiri dari 3 tahap: telur, nymphs dan dewasa. Umumnya suhu yang cocok
untuk siklus hidup kutu yaitu 320C (89,60F). telur dari kutu kepala tidak menetas pada
suhu kurang dari 220C (71,60F). Dibawah kondisi yang optimal, telur-telur kutu menetas
dalam 7-10 hari. Nymphs selama 7-13 hari tergantung pada suhu. Siklus dari telur ke telur
rata-rata berlangsung sekitar 3 minggu. Rata-rata siklus hidup dari kutu kepala atau kutu
badan lebih dari 18 hari dan kutu ketam 15 hari.
7. Masa penularan
Orang dapat menularkan kepada orang lain selama kutu atau telur tetap hidup pada orang
yang diserang atau barang-barang yang dipakai. Umur kutu dewasa kira-kira sebulan.
Telur kutu (nits) tetap dapat hidup pada pakaian selama sebulan. Kutu badan dan kutu
kepala hidup selama seminggu tanpa makanan, tanpa makanan kutu ketam hanya bertahan
2 hari, Nymphs (nimfe) dapat bertahan selama 24 jam tanpa makanan.
8. Kerentanan dan kekebalan
Setiap orang dapat terserang kutu apabila kondisi paparannya sesuai. Infestasi berulang
dapat menimbulkan hypersensivitas pada kulit.
9. Cara-cara pemberantasan
A. Cara-cara pencegahan
1) Beri penyuluhan kesehatan kepada masyatakat tentang cara-cara memusnahkan
telur dan kutu dengan cara deteksi dini, mencuci rambut yang cermat dan aman,
390
mencuci pakaian dan selimut dengan air panas (550C atau 1310F selama 20 menit),
pengeringan (dry cleaning) atau memasang pengering rambut pada tombol siklus
yang panas.
2) Hindari kontak fisik dengan orang yang terinfeksi dan juga dengan barang-barang
milik mereka, khususnya pakaian dan selimut.
3) Lakukan pemeriksaan langsung terhadap kelompok anak-anak, Periksalah kepala
untuk menemukan kutu kepala dan apabila ada indikasi, Periksalah tubuh dan
pakaian mereka untuk menemukan kutu badan.
4) Pada daerah yang berisiko tinggi, gunakan repelan untuk rambut, kulit dan
pakaian.
B. Pengawasan penderita, kontak dan lingkungan sekitar
1) Laporan kepada instansi kesehatan setempat: Laporan resmi biasanya tidak
diperlukan. Apabila ada penyebaran kutu di sekolah, guru dan kepala sekolah
diberitahu, Kelas 5 (lihat Laporan tentang Penyakit Menular).
2) Isolasi: Untuk kutu badan, lakukan isolasi kontak jika memungkinkan sampai 24
jam setelah pemakaian insektisida yang efektif.
3) Disinfeksi serentak: Pakaian, selimut dan barang-barang yang diduga
terkontaminasi dibersihkan dengan cara mencuci dalam air panas, dry cleaning
atau diberi insektisida yang efektif (lihat 9B7 berikut).
4) Karantina: Tidak dilakukan.
5) Imunisasi: Tidak dilakukan.
6) Investigasi kontak dan sumber infeksi: Lakukan pemeriksaan pada keluarga dan
orang yang dekat dengan kontak dan obati orang yang terkena.
7) Pengobatan spesifik: Untuk kutu kepala dan kutu pubis, pengobatan dilakukan
dengan permethrin 1% (peyrethroid sintetis) cream rinse (NIX®), pyrethrins
dicampur dengan piperonyl butoxide (A-200 Pyrinate®, RID® dan XXX®, Pronto,
R & C yaitu produk komersial yang mengandung pyrethrins dan piperonyl
butoxide), carbaryl, benzyl benzoate; dan 1% gamma benzene hexachloride
lotions (Lindane, Kwell®; tidak boleh dipakai untuk bayi, anak-anak (balita),
wanita hamil maupun menyusui). Tidak satupun dari obat-obatan di atas 100%
efektif, sehingga pengobatan ulang perlu dilakukan dalam jangka waktu 7-10 hari
sebab telur kemungkinan masih tetap hidup.
Untuk kutu badan; pakaian dan selimut harus dicuci dengan air panas dengan
mesin cuci otomatis atau ditaburi dengan pestisida pembunuh kutu dengan
memakai mesin penabur (duster). Bedak mengandung pestisida yang
direkomendasikan oleh WHO yaitu 1% malathion, 0,5% permethrin, 2% temefos,
5% iodofenphos, 1% propoxur, 5% carbaryl, 10% DDT atau 1% gamma benzene
hexachloride atau lindane.
C. Cara-cara penanggulangan KLB
Berikan pengobatan massal seperti yang direkomendasikan pada bagian 9B7 di atas,
dengan memakai insektisida yang sudah dikenal dengan pengawasan yang ketat
cukup efektif untuk mengendalikan kutu. Pada saat terjadi KLB tifus epidemika
Lindungi diri dengan meakai pakaian dari sutera atau plastic yang ketat dan dibuat
rapat di sekitar leher, pergelangan tangan, pergelangan kaki dan mencelup pakaian
dengan insektisida.
391
D. Implikasi bencana
Penyakit-penyakit yang ditularkan oleh kutu badan dan kutu kepala sebagai vektor
biasanya cenderung terjadi pada waktu perang, kerusuhan dan pergolakan sosial (lihat
demam typhus, bagian I, epidemic louseborne).
E. Tindakan lebih lanjut : Tidak ada.
PERTUSSIS ICD-9 033.0; ICD-10 A37.0
PARA PERTUSSIS ICD-9 033.1; ICD-10 A37.1
(Whooping Cough, Di Indonesia disebut juga dengan batuk rejan, batuk bangkong, batuk
seratus hari, kinghus)
1. Identifikasi
yaitu penyakit bakterial akut yang menyerang saluran pernapasan. Stadium kataral
ditandai dengan serangan berupa batuk iritatif yang pada awalnya insidius kemudian
menjadi paroxysmal, biasanya berlangsung selama 1-2 minggu dan berakhir dalam 1-2
bulan atau lebih. Serangan paroxysmal ini ditandai dengan batuk keras beruntun, setiap
seri batuk seperti burung gagak yang khas atau dengan tarikan napas yang keras dan
melengking. Serangan paroxysmal ini biasanya diakhiri dengan keluarnya lendir jernih
dan liat, sering diikuti dengan muntah. Pada penderita bayi berumur kurang dari 6 bulan,
remaja dan pada penderita dewasa sering tidak ditemukan batuk dengan suara yang khas
atau batuk paroxysmal.
Angka kematian sebab pertusis di Amerika Serikat rendah, sekitar 80% kematian terjadi
pada anak-anak berumur dibawah 1 tahun, dan 70% terjadi pada anak berumur dibawah 6
bulan. Case Fatality Rate (CFR) di bawah 1% pada bayi dibawah 6 bulan. Angka
kesakitan sedikt lebih tinggi pada wanita dewasa disbanding pria. Pada kelompok
warga yang tidak diimunisasi, khususnya mereka dengan kondisi dasar kurang gizi
dan infeksi ganda pada saluran pencernaan dan pernapasan, pertusis dapat menjadi
penyakit yang mematikan pada bayi dan anak-anak. Pneumonia merupakan sebab
kematian yang paling sering. Encephalopathy yang fatal, hypoxia dan inanisi sebab
muntah yang berulang kadang-kadang dapat terjadi.
Akhir-akhir ini di Amerika Serikat, frekuensi remaja dan dewasa muda yang terserang
pertusis meningkat dimana gejalanya bervariasi mulai dari ringan, gejala saluran
pernapasan yang tidak sampai dengan timbulnya gejala khas pertusis. Banyak juga kasus-
kasus pertusis terjadi pada orang yang telah diimunisasi sebelumnya, ini menunjukkan
terjadinya penurunan imunitas setelah diimunisasi.
Parapertusis mirip dengan pertusis biasanya merupakan penyakit yang lebih ringan.
Parapertusis biasa menyerang anak usia sekolah, dan relatif jarang. Perbedaan antara
Bordetella parapertussis dan B. pertussis didasarkan pada perbedaan pada biakan,
perbedaan ciri biokimiawi dan imunologis. Suatu sindroma klinis akut yang mirip dengan
pertusis pernah dilaporkan yang disebabkan infeksi virus, khususnya adenovirus, namun
392
lamanya batuk biasanya kurang dari 28 hari.
Diagnosa didasarkan pada penemuan organisme Pemicu dari spesimen nasofaring yang
diambil selama stadium catarrhal dan stadium paroxysmal awal, ditanam pada media
biakan yang tepat. Pemeriksaan dengan pewarnaan DFA (Direct Fluorescent Antibody
Test) dari sekret nasofaring dapat memberikan diagnosa Perkiraan yang cepat namun
membutuhkan teknisi laboratorium yang berpengalaman sebab dapat terjadi positif palsu
dan negatif palsu. Pemeriksaan dengan PCR dan tes serologis untuk diagnosa pertusis
belum distandarisasi. Teknik ini sebaiknya digunakan sebagai upaya untuk menegakkan
diagnosa presumtif bersamaan dengan kultur.
2. Pemicu penyakit: B. pertussis, basil pertusis; B. parapertussis yaitu Pemicu
parapertusis.
3. Distribusi penyakit
Penyakit endemis yang sering enyerang anak-anak (khususnya usia dini) tersebar di
seluruh dunia, tidak tergantung etnis, cuaca ataupun lokasi geografis. KLB terjadi secara
periodik. Terjadi penurunan yang nyata dari angka kesakitan pertusis selama empat
decade terakhir, terutama pada warga dimana program imunisasi berjalan dengan
baik serta tersedia pelayanan kesehatan yang cukup dan gizi yang baik. Sejak tahun 1980
sampai dengan tahun 1989 rata-rata kasus yang dilaporkan pertahun di Amerika Serikat
yaitu 2.800, namun jumlah kasus ini meningkat pada tahun 1995-1998 menjadi rata-rata
6.500. Dengan peningkatan cakupan imunisasi di Amerika Latin, kasus pertusis yang
dilaporkan menurun dari 120.000 pada tahun 1980 menjadi 40.000 pada tahun 1990.
Angka insidensi meningkat di negara-negara dimana cakupan imunisasi pertusis yang
menurun (antara lain di Inggris, Jepang pada awal tahun 1980-an dan di Swedia).
4. Reservoir: Saat ini manusia dianggap sebagai satu-satunya hospes.
5. Cara-cara penularan
Penularan terutama melalui kontak langsung dengan discharge selaput lendir saluran
pernapasan dari orang yang terinfeksi lewat udara, kemungkinan juga penularan terjadi
melalui percikan ludah. Seringkali penyakit dibawa pulang oleh anggota saudara yang
lebih tua atau orang tua dari penderita.
6. Masa inkubasi: Umumnya 7-20 hari.
7. Masa penularan
Sangat menular pada stadium kataral awal sebelum stadium paroxysmal. Selanjutnya
tingkat penularannya secara bertahap menurun dan dapat diabaikan dalam waktu 3
minggu untuk kontak bukan serumah, walaupun batuk spasmodic yang disertai “whoop”
masih tetap ada. Untuk kepentingan penanggulangan, stadium menular diperluas dari awal
stadium kataral sampa dengan 3minggu setelah munculnya batuk paroxysmal yang khas
pada penderita yang tidak mendapatkan terapi antibiotika. Bila diobati dengan
erythromycin, masa menularnya biasanya 5 hari atau kurang setelah pemberian terapi.
393
8. Kerentanan dan kekebalan
Anak-anak yang tidak diimunisasi umumnya rentan terhadap infeksi. Imunitas
transplacental pada bayi tidak ada. Penyakit ini umumnya menyerang anak-anak. Angka
insidensi penyakit yang dilaporkan tertinggi pada anak umur dibawah 5 tahun. Kasus yang
ringan atau kasus atypic yang tidak terdeteksi terjadi pada semua kelompok umur. Sekali
serangan biasanya menimbulkan kekebalan dalam waktu yang lama, walaupun dapat
terjadi serangan kedua (diantaranya disebabkan oleh B. parapertussis). Di Amerika
Serikat kasus yang terjadi pada remaja atau orang dewasa yang sebelumnya sudah pernah
diimunisasi disebabkan oleh penurunan imunitas dan berperan sebagi sumber infeksi bagi
anak-anak yang belum diimunisasi.
9. Cara-cara pemberantasan
A. Upaya pencegahan
1) Lakukan penyuluhan kepada warga , khususnya kepada orang tua bayi,
tentang bahaya pertusis dan manfaat memberikan imunisasi mulai usia 2 bulan dan
mengikuti jadwal pemberian imunisasi yang dianjurkan. Penyebarluasan informasi
ini penting untuk meningkatkan cakupan imunisasi apalagi reaksi samping yang
muncul sangat jarang.
2) Imunisasi dasar untuk mencegah infeksi B. pertussis yang direkomendasikan
yaitu 3 dosis vaksin yang mengandung suspensi bakteri yang telah dimatikan,
biasanya dikombinasi dengan diphtheria dan tetanus toxoid yang diserap dalam
garam aluminium (vaksin absorbsi Diphtheria dan Tetanus Toxoid dan Pertusis,
USP, DPT). Preparat aseluler (DTaP) yang berisi dua atau lebih antigen protektif
untuk B. pertussis dipakai di Amerika Serikat untuk serial imunisasi dasar
(sebanyak 3 dosis) dan untuk booster. Preparat nonabsorbed (plain) tidak tersedia
kecuali di Michigan, vaksin ini kurang bermanfaat untuk imunisasi dasar maupun
untuk booster. Di Amerika Serikat DTaP direkomendasikan untuk diberikan pada
usia 2, 4 dan 6 bulan sedang booster direkomendasikan untuk diberikan pada
umur 15-18 bulan dan pada usia masuk sekolah. Vaksin yang berisi pertusis tidak
dianjurkan untuk diberikan setelah umur 7 tahun. Negara-negara tertentu
menerapkan pemberian imunisasi pada umur yang berbeda atau dengan dosis yang
berbeda. Sebagian besar negara berkembang memberikan DTaP/DTP pada umur 6,
10 dan 14 minggu.
Vaksin DTaP/DTP dapat diberikan secara simultan dengan vaksin oral polio
(OPV), Inactivated Poliovirus Vaccine (IPV), Haemophilus influenzae type B
(Hib), vaksin hepatitis B dan campak, vaksin Mumps dan rubella (MMR) pada
tempat suntikan yang berbeda. Vaksin kombinasi berisi DTaP/DTP dan Hib saat
ini tersedia di AS.
Di AS adanya riwayat keluarga dengan serangan kejang tidak merupakan
kontraindikasi pemberian vaksin pertusis; pemberian antipiretika dapat mencegah
terjadinya serangan kejang demam. Imunisasi dengan DTaP/DTP sebaiknya
ditunda apabila anak menderita infeksi dengan demam yang naik turun. Namun
penyakit ringan dengan atau tanpa demam bukan merupakan kontraindikasi
pemberian imunisasi. Pada bayi yang masih kecil dengan perkiraan adanya
kelainan syaraf yang progresif, imunisasi sebaiknya ditunda sampai beberapa
bulan kemudian untuk memberikan kesempatan memastikan diagnosa untuk
394
mencegah kerancuan Pemicu timbulnya gejala. Pada beberapa kasus dengan
kelainan syaraf progresif, seorang anak sebaiknya diberikan DT saja daripada
diberikan DTaP/DTP. Kelainan neurologist yang sudah stabil bukan merupakan
kontraindikasi pemberian vaksinasi. Secara umum, vaksin pertusis tidak diberikan
kepada anak berumur 7 tahun atau lebih, sebab reaksi terhadap vaksin meningkat
pada anak yang besar atau dewasa. Anak dengan riwayat pernah mengalami reaksi
berat seperti kejang, menangis keras dan lama, pernah kolaps atau suhu tubuh
lebih dari 40,50C (atau lebih tinggi dari 1050F) sebaiknya tidak diberikan dosis
selanjutnya vaksin yang berisi pertusis apabila risiko pemberian vaksin lebih besar
daripada manfaatnya. Pada situasi dimana imunisasi pertusis harus diberikan
(seperti pada saat terjadi KLB pertusis), sebaiknya digunakan DTaP. Reaksi
anaphylactic atau encephalopathy akut dalam 48-72 jam setelah imunisasi
merupakan kontraindikasi absolute pemberian imunisasi selanjutnya dengan
vaksin yang mengandung pertusis. Reaksi sistemik yang kurang serius atau reaksi
lokal jarang terjadi setelah imunisasi DTaP dan reaksi ini bukan kontraindikasi
untuk pemberian dosis pertusis selanjutnya.
Efikasi vaksin pada anak yang telah mendapatkan paling sedikit 3 dosis
diperkirakan sebesar 80%; memberikan perlindungan terhadap timbulnya penyakit
yang berat dan perlindungan mulai menurun setelah sekitar 3 tahun. Imunisasi
aktif yang diberikan setelah pajanan tidak akan melindungi seseorang terhadap
penyakit setelah pajanan namun tidak merupakan kontraindikasi. Proteksi yang
paling baik didapat apabila mengikuti jadwal imunisasi yang dianjurkan. Imunisasi
pasif tidak efektif, dan IG pertusis saat ini tidak ada lagi dipasaran. Vaksin pertusis
tidak melindungi terhadap infeksi yang disebabkan oleh B. parapertussis.
3) Pada kejadian luar biasa, dipertimbangkan untuk memberikan perlindungan
kepada petugas kesehatan yang terpajan dengan kasus pertusis yaitu dengan
memberikan erythromycin selama 14 hari. Walaupun vaksin DTaP sejak 1999
tidak dianjurkan untuk diberikan kepada anak berumur 7 tahun atau lebih,
nampaknya vaksin aseluler (DTaP) baru, mungkin dapat diberikan pada usia itu.
B. Pengawasan penderita, kontak dan lingkungan sekitarnya
1) Laporan kepada instansi kesehatan setempat: Laporan adanya kasus wajib
dilakukan di semua negara bagian di AS dan sebagian besar negara-negara di
dunia, Kelas 2B (lihat Laporan tentang Penyakit Menular). Laporan dini
memungkinkan dilakukan penanggulangan KLB yang lebih baik.
2) Isolasi: Untuk kasus yang diketahui dengan pasti dilakukan isolasi saluran
pernapasan. Untuk tersangka kasus segera dipindahkan dari lingkungan anak-anak
kecil dan bayi, khususnya dari bayi yang belum diimunisasi, sampai dengan
penderita ini diberi paling sedikit 5 hari dari 14 hari dosis antibiotika yang
harus diberikan. Kasus tersangka yang tidak mendapatkan antibiotika harus
diisolasi paling sedikit selama 3 minggu.
3) Disinfeksi serentak: Disinfeksi dilakukan terhadap discharge dari hidung dan
tenggorokan, serta barang-barang yang dipakai penderita. Pembersihan
menyeluruh.
4) Karantina: Lakukan karantinan terhadap kontak yang tidak pernah diimunisasi atau
yang tidak diimunisasi lengkap. Mereka tidak diijinkan masuk sekolah, atau
395
berkunjung ke tempat penitipan anak atau tidak diijinkan berkunjung ke tempat
dimana banyak orang berkumpul. Larangan ini berlaku sampai dengan 21
hari sejak terpajan dengan penderita atau sampai dengan saat penderita dan kontak
sudah menerima antibiotika minimal 5 hari dari 14 hari yang diharuskan.
5) Perlindungan terhadap kontak: Imunisasi pasif tidak efektif dan pemberian
imunisasi aktif kepada kontak untuk melindungi terhadap infeksi setelah terpajan
dengan penderita juga tidak efektif. Kontak yang berusia dibawah 7 tahun dan
yang belum mendapatkan 4 dosis DTaP/DTP atau yang tidak mendapat
DTaP/DTP dalam 3 tahun terakhir harus segera diberikan suntikan satu dosis
setelah terpapar. Dianjurkan pemberian erythromycin selama 14 hari bagi anggota
keluarga dan kontak dekat tanpa memandang status imunisasi dan umur.
6) Penyelidikan terhadap kontak dan sumber infeksi: Lakukan pencarian kasus secara
dini, cari juga kasus yang tidak dilaporkan dan kasus-kasus atipik. Oleh sebab
bayi-bayi dan anak tidak diimunisasi memiliki risiko tertular.
7) Pengobatan spesifik: Pengobatan dengan erythromycin memperpendek masa
penularan, namun tidak mengurangi gejala kecuali bila diberikan selama masa
inkubasi, pada stadium kataral atau awal stadium paroxysmal.
C. Cara-cara penanggulangan Wabah
Lakukan Pencarian kasus yang tidak terdeteksi dan yang tidak dilaporkan untuk
melindungi anak-anak usia prasekolah dari paparan dan agar dapat diberikan
perlindungan yang adekuat bagi anak-anak usia di bawah 7 tahun yang terpapar.
Akselerasi pemberian imunisasi dengan dosis pertama diberikan pada umur 4-6
minggu, dan dosis kedua dan ketiga diberikan dengan interval 4 minggu, mungkin
diperlukan; bagi anak-anak yang imunisasinya belum lengkap, sebaiknya dilengkapi.
D. Implikasi bencana: Pertusis berpotensi menjadi masalah besar apabila terjadi
penularan dalam komunitas yang padat seperti pada kamp pengungsi dengan banyak
anak yang belum diimunisasi.
E. Tindakan lebih lanjut
Bagi bayi dan anak-anak yang akan melakukan perjalan ke luar negeri agar dipastikan
bahwa yang bersangkutan telah menerima imunisasi dasar lengkap. Dilihat apakah
perlu dilakukan pemberian dosis booster. Manfaatkan Pusat-pusat Kerja sama WHO.
PINTA ICD-9 103; ICD-10 A67
(Carate)
1. Identifikasi
yaitu infeksi kulit akut dan kronis yang disebabkan oleh nonvenereal treponema.
Muncul benjolan papula tanpa rasa sakit disertai dengan lymphadenopathy satelit yang
muncul 1-8 minggu setelah infeksi, biasanya pada tangan, kaki atau pada punggung kaki.
Dalam 3-12 bulan kemudian, muncul ruam sekunder yang erythematous berbentuk
makulopapuler dan mungkin berkembang menjadi bentuk tertier berbintik-bintik dengan
396
pigmentasi (diskromik) dalam ukuran yang bervariasi. Makula yang berisi treponeman ini
berkembang melewati tahapan-tahapan pigmentasi dari biru ke ungu kemudian menjadi
cokelat, Akhirnya menjadi jaringan parut (scar) yang tidak berwarna (akromik) yang
bebas treponema. Lesi yang muncul terdiri dari lesi dengan tahapan yang berbeda dan
yang paling sering ditemukan di wajah dan ekstremitas. Sistem organ tubuh tidak terkena,
tidak terjadi kecacatan fisik dan kematian.
Spirochaeta bisa ditemukan pada lesi diskomik (tidak ditemukan pada lesi akromik),
diperiksa dengan mikroskop medan gelap atau dengan pemeriksaan mikroskopis dengan
teknik (direct FA). Tes serologis untuk syphilis biasanya memberikan hasil reaktif
sebelum atau selama periode munculnya ruam sekunder seperti pada sifilis veneri.
2. Pemicu penyakit: Treponema carateum, termasuk spirochaeta.
3. Distribusi penyakit
Ditemukan di daerah pedesaan yang terisolir dimana warga nya hidup berjejal dengan
kondisi lingkungan tidak sehat di Amerika tropis. Umumnya menyerang anak yang besar
atau orang dewasa. Survei yang dilakukan pada pertengahan tahun 1990 oleh
PAHO/WHO yang dilakukan pada warga Amazon di Brasil, Venezuela dan Peru,
sedikit sekali ditemukan penderita dan umumnya kasus lama yang tidak aktif. WHO
menyimpulkan bahwa Pinta merupakan masalah sissa dan infeksi penyakit ini sedang
menuju ke arah eliminasi atau eradikasi.
4. Reservoir: Manusia.
5. Cara penularan
Diduga dari orang ke orang melalui kontak langsung dalam waktu lama dengan lesi inisial
dan lesi diskromik awal. Lokasi lesi primer membuktikan bahwa trauma Menyediakan
pintu masuk bagi infeksi; lesi pada anak-anak muncul pada bagian tubuh yang sering
digaruk. Berbagai serangga khususnya lalat hitam (black flies) dicurigai namun belum
terbukti sebagai vektor biologis.
6. Masa inkubasi: Biasanya 2-3 minggu.
7. Masa penularan: Tidak diketahui yang berpotensi dapat menular yaitu lesi kulit
diskromik aktif, kadang-kadang dapat menular sampai beberapa tahun. Tidak menular
dengan cepat; beberapa tahun kontak intim diperlukan untuk terjadi penularan.
8. Kerentanan dan kekebalan: tidak diketahui dengan jelas, diduga sama dengan
treponematoses yang lain.
9. Cara-cara pemberantasan
A. Cara pencegahan: Cara-cara pencegahan yang diterapkan untuk trepanomatoses
nonveneral yang lain tidak bisa diterapkan pada pinta; lihat Frambusia (Yaws) pada
seksi 9 A.
397
B. Pengawasan penderita, kontak dan lingkungan sekitar
1) Laporan kepada institusi kesehatan setempat: di beberapa daerah endemis tertentu
penyakit ini wajib dilaporkan; di sebagian besar negara-negara di dunia bukan
merupakan kasus yang harus dilaporkan, Kelas 3B (lihat Leporan tentang Penyakit
Menular).
2), 3), 4), 5), 6) dan 7. Isolasi, Disinfeksi serentak, Karantina, Imunisasi Kontak,
Penyelidikan kontak dan sumber infeksi serta Pengobatan spesifik: sama seperti
pada frambusia, lihat uraian pada seksi 9B2 sampai dengan 9B7.
C. Penanggulangan wabah: Serupa dengan Frambusia.
D. Implikasi bencana: Serupa dengan Frambusia.
E. Tindakan lebih lanjut : Serupa dengan Frambusia.
PLAGUE ICD-9 020; ICD-10 A20
(Pestis)
1. Identifikasi
Penyakit zoonosis spesifik yang melibatkan binatang mengerat dan pinjal yang hidup
padanya, yang menyebarkan infeksi bakteri kepada berbagai binatang dan manusia. Tanda
dan gejala awal bisa tidak khas berupa demam, menggigil, lemah, nyeri otot, mual, sakit
tenggorokan dan sakit kepala. Umumnya muncul radang kelenjar getah bening
(lymphadenitis) yaitu pada kelenjar yang bermuara pada lokasi gigitan pinjal, dimana lesi
ini merupakan lesi awal. Ini disebut dengan pes kelenjar (bubonic plague), dan lebih
sering (90%) terjadi pada kelenjar getah bening di daerah selangkang (inguinal) dan
jarang terjadi pada aderah ketika atau leher. Kelenjar yang terkenan akan menjadi
bengkak, meradang dan menjadi lunak serta kemungkinan bernanah. Demam biasanya
muncul. Semua bentuk penyakit pes termasuk yang limfadenopatinya tidak jelas, dapat
berlanjut menjadi septicemic plague menyebar bersama aliran darah ke bagian lain dari
tubuh, termasuk selaput otak. Endotoxic shock dan Disseminated Intravascular
Coagulation (DIC) dapat terjadi tanpa menunjukkan tanda lokasi infeksi. Paru-paru
terkena dampak sekunder mengakibatkan terjadi pneumonia, mediastinitis atau efusi
pleura (pleural effusions). Pes paru (pneumonial plague) sekunder memiliki makna
khusus mengingat percikan napas dapat berfungsi sebagai sumber penularan dari manusia
ke manusia dengan akibat pes pneumonia primer atau pes faringeal; dan ini dapat
memicu terjadi suatu KLB yang terlokalisir atau wabah yang hebat. Walaupun pes
yang didapat secara alamiah umumnya berbentuk pes kelenjar (bubonic plague), namun
penyebaran yang disengaja sebagai bagian dari perang kuman atau terorisme dapat
berbentuk terutama sebagai pes paru (pneumonic plague). Pes kelenjar yang tidak diobati
memiliki CFR sekitar 50-60%. Organisme Pemicu pes dapat ditemukan dari
pembiakan tenggorokan kontak tanpa gejala dengan seorang penderita pes paru.
398
Kasus primer dengan septikemi dan pes paru yang tidak diobati umumnya fatal. Terapi
modern secara nyata dapat menurunkan kematian akan pes kelenjar, pes pneumonic dan
pes septikemik, juga memberikan respons yang baik bila terdiagnosa dan diobati secara
dini. Namun penderita pes pneumonik yang tidak diberi terapi adekuat dalam waktu 18
jam setelah timbul gejala-gejala pada saluran pernafasan biasanya kemungkinan tertolong
sangat kecil.
Diagnosa adanya infeksi ditegakkan dengan ditemukannya bakteri gram negatif basil
bipolar berbentuk ”safety pin” ovoid dengan pemeriksaan mikroskopis dari spesimen
yang diambil dari bubo, sputum atau LCS. Diagnosa dengan pemeriksaan mikroskopis ini
bersifat sugestif tidak konklusif. Pemeriksaan dengan tes FA atau ELISA lebih pesifik
terutama bermanfaat pada kasus yang sporadis. Diagnosa pasti dibuat dengan
ditemukannya bakteri Pemicu dengan kultur dari spesimen yang diambil dari eksudat
yang diaspirasi dari bubo, darah atau LCS atau sputum atau dengan pemeriksaan serologis
ditemukan adanya peningkatan atau penurunan titer antibodi sebesar 4 kali lipat atau
lebih. Pertumbuhan yang lambat dari organisme ini pada suhu inkubasi normal dapat
memicu terjadinya misidentifikasi dengan sistem otomasi. Tes PHA dengan
memakai antigen fraksi 1 yersenia pestis yaitu tes yang paling sering dipakai untuk
serodiagnosis. Setiap petugas medis di daerah endemis hendaknya selalu waspada akan
adanya kasus pes agar dapat ditegakkan diagnosa dan pengobatan pes secara dini; saying
sekali seringkali terjadi misdiagnosis terhadap pes terutama pada pelancong yang
mengalami sakit setelah pulang dari daerah endemis.
2. Pemicu penyakit: Yersenia pestis, basil pes.
3. Distribusi penyakit
Pes tetap menjadi ancaman sebab masih banyak tikus liar yang terkena infeksi pada
daerah yang cukup luas. Kontak antara redentia liar dengan tikus rumah masih sering
terjadi di daerah enzootik tertentu. Pes pada rodentia liar masih tetap ditemukan di
separuh bagian barat AS; sebagian besar Amerika Selatan, Afrika tengah bagian Utara,
bagian Timur dan Selatan Afrika, Asia Tengah dan Asia Tnggara, ujung Tenggara Eropa
dekat Laut Kaspia. Ditemukan banyak fokus-fokus pes secara alamiah di republik
Federasi Rusia dan Kazakhtan. Sementara pes di daerah perkotaan sudah dapat
ditanggulangi di sebagian besar negara-negara di dunia. Pes pada manusia muncul pada
tahun 1990-an di Afrika yaitu di Bostwana, Kenya, Madagaskar, Malawi, Mosambik,
Tanzania,Uganda, Zambia, Zimbabwe dan Republik Demokrasi Kongo. Sementara itu
penyakit endemis di Cina, Laos, Mongolia, Myanmar, India dan terutama di Vietnam. Dda
tahun 1962 sampai dengan 1972 telah dilaporkan ribuan penderita pes bubo di daerah
pedesaan dan perkotaan disertai dengan KLB pes pneumonik yang menyebar. Di benua
Amerika, fokus pes ditemukan di Brasilia, wilayah Andrean (peru, Ekuador dan Bolivia).
Di daerah ini secara terus-menerus ditemukan kasus pes sporadis dan kadang-kadang
muncul sebagai KLB, misalnya pada tahun 1998 di Ekador terjadi KLB pes pneumonik.
Pes pada manusia di bagian barat AS bersifat sporadis, biasanya ditemukan satu dua orang
penderita, penularannya bersifat ”common source” dalam bentuk klaster di suatu wilayah
dengan rodentia liar atau dengan kutu mereka. Selama kurun waktu 10 tahun lebih yaitu
pada periode dari tahun 1987 sampai dengan 1996 ditemukan 10 penderita pes setiap
tahun (berkisar antara 2-15 penderita). Sejak tahun 1925 di AS tidak ditemukan adanya
399
penularan dari orang ke orang walaupun akhir-akhir ini ditemukan pes pneumonik
sekunder yang berasal dari 20% pes bubonik. Pada periode antara tahun 1977-1994
ditemukan 17 penderita pes pneumonik primer yang tertulari oleh kucing peliharaan yang
menderita pneumonia yang disebabkan oleh pes.
4. Reservoir
Pengerat liar (khususnya tupai tanah) merupakan reservoir alamiah untuk pes. Lagomorph
(kelinci dan sejenisnya), binatang pemakan daging liar dan kucing domestik bisa menjadi
sumber infeksi bagi manusia. Walaupn oganisme tetap hidup beberapa minggu di air dan
dimakanan serta padia-padian yang lembab, organsime ini akan mati dengan paparan
panas matahari beberapa jam.
5. Cara penularan
Pes pada manusia yang didapat secara alamiah terjadi sebab masuknya manusia kedalam
siklus zoonotik (disebut juga dengan istilah sylvatic atau rural) selama atau setelah terjadi
penyebaran secara epizootic, atau masuknya binatang pengerat sylvatic atau pinjalnya
yang terinfeksi kedalam habitat manusia dengan menulari tikus domestik dan kutunya.
Hal ini akan mengakibatkan terjadiya penularan pada tikus rumah berupa epizootic dan
pes endemik. Hewan piaraan khususnya kucing dan anjing dapat membawa kutu hewan
pengerat liar yang terinfeksi pes kedalam rumah, dan kucing kadang-kadang menularkan
melalui gigitan atau cakarannya; pada kucing dapat berkembang abses pes yang
merupakan sumber penularan bagi dokter hewan.
Sumber paparan yang paling sering yang menghasilkan penyakit pada manusia di seluruh
dunia yaitu gigitan pinjal yang telah terinfeksi (khususnya Xenopsylla cheopis, kutu
tikus oriental). Sumber penularan penting yang lain termasuk pada waktu penanganan
jaringan binatang yang terinfeksi, khususnya binatang pengerat dan kelinci, selain juga
pemakan daging; jarang sekali penularan terjadi melalui percikan udara dari penderita
manusia atau kucing rumah yang menderita pes tenggorokan atau pneumonia; atau sebab
ceroboh pada saat menangani biakan pes di labratorium. Dalam rangka bioterorisme,
bakteri pes dapat ditularkan dalam bentuk aerosol. Penularan dari orang ke orang melalui
gigitan pinjal Pulex irritans, kutu manusia, diduga merupakan faktor penting penlaran
penyakit ini d wilayah Andean Amerika Selatan dan di tempat lain dimana pes muncul
dan pinjal ini banyak ditemukan pada hewan domestik. Jenis pekerjaan tertentu dan gaya
hidup tertentu (seperti berburu, memasang perangkap, memelihara kucing dan tinggal di
daerah pedesaan), meningkatkan risiko paparan.
6. Masa inkubasi
Dari 1 sampai 7 hari; mungkin beberapa hari lebih lama pada orang yang sudah
diimunisasi. Untuk pes pneumonia primer masa inkubasi yaitu 1-4 hari dan biasanya
lebih pendek.
7. Masa penularan
Pinjal tetap bisa infektif selama beberapa bulan pada kondisi suhu dan kelembaban yang
tepat. Pes bubo biasanya tidak ditularkan secara langsung dari orang ke orang kecuali
pernah kontak langsung dengan nanah dari bubo. Pes pneumonia lebih menular pada
kondisi iklim yang tepat; kepadatan yang tinggi mempercepat penularan.
400
8. Kerentanan dan kekebalan
Semua orang rentan terhadap penyakit ini, timbulnya kekebalan setelah sembuh dari sakit
bersifat relatif, tidak melindungi seseorang jika terjadi inokulasi dalam jumlah banyak.
9. Cara-cara pemberantasan
A. Cara-cara pencegahan
Tujuan utama dari upaya pencegahan yaitu mengurangi kemungkinan orang terkena
gigitan pinjal yang terinfeksi, mencegah kontak langsung dengan jaringan yang
terinfeksi atau dengan eksudat dari penderita, atau terpajan dengan penderita pes
pneumonia.
1) Berikan penyuluhan kepada warga di daerah enzootik mengenai cara-cara
bagaimana manusia dan binatang domestik terpajan, pentingnya bangunan yan
bebas tikus, mencegah binatang pengerat peridomestik memunyai akses terhadap
makanan dan pemukiman denganmelakukan penyimpanan yang benar serta
pembuangan makanan sisa, sampah dan barang bekas secara benar. Serta
pentingnya menghindari gigitan pinjal dengan memakai insektisida dan
repelan. Pada daerah sylvatic atau daerah pedesaan endemsi pes, warga
dianjurkan untuk memakai repelan serangga serta diingatkan janganberkemah
di dekat sarang binatang pengerat dan jangan memegang binatang pengerat dan
melaporkan kalau ada binatang yang sakit atau mati kepada otoritas kesehatan
setemat atau kepada petugas kehutanan. Anjing dan kucing di daerah endemis
ini harus secara berkala ditaburi dengan bubuk insektisida yang tepat.
2) Lakukan survei populasi binatang pengerat seara berkala untuk menentukan
efektivitas program sanitasi dan untuk mengevaluasi potensi pes epizotic.
Pengurangan jumah populasi tikus dengan peracunan (lihat 9B6 di bawah) ungkin
diperlkan untuk mendukung upaya sanitasi dasar lingkungan. Pembasmian tikus
harus dilaukan sebelum dilakukan upaya penanggulangan pinjal. Mempertahankan
kegiatan surveilans terhadap fokus-fokus alamiah dengan melakukan tes
bakteriologis terhadap karnivora lar serta anjing dan kucing yang berkeliaran di
lar rumah dalam rangka memetakan wilayah pes. Lakukan pengumpulan dan
pemeriksaan terhadap pinjal dari binaang pengerat dan dari sarangnya.
3) Penanggulangan tikus pada kapal atau dermaga atau gudang dilakukan dengan
desain bangunan anti tikus atau dengan fumigasi, bila perlu dapat dikombinasi
dengan upaya pemusnahan tikus dan kutunya di kapal dan kargo, terutama kargo
dengan kontainer, sebelum pengapalan dan pada waktu tiba dari daerah endemis
pes.
4) Gunakan sarung tangan pada waktu berburu dan menangani binatang liar.
5) Imunisasi aktif dengan vaksin yang berisi bakteri yang dimatkan memberikan
proteksi terhadap pes bubo (namun tidak untukpes pneumonia primer) palng tidak
selama beberapa bulan bla diberikan sebanyak 3 dosis, dosis 1 dan 2 dengan
interval 1-3 bulan diikuti dosis 3 diberikan 5-6 bulan kemudian; suntikan booster
diperlukan setiap 6 bulan apabila risiko terpapar berlanjut. Setelah pemberian
boster ketiga, interval dapat dijarangkanmenjadi 1-2 tahun. Pemberian imunisasi
bagi pendatang yang berkunjung ke daerah endemis atau bagi petugas
laboratorium serta pekerja yang menangani bakteri pes atau binatang yangerinfeksi
dapat dilakukan namun jangan sampai memiliki anggapan bahwa imunisasi
401
sebagai satu-satunya upaya pencegahan. Imunisasi rutin tidak dilakukan walaupun
bagi orang-orang yang tingal di daerah enzootik seperti di AS bagian barat. Vaksin
yang berasal dari bakteri yang dilemahkan digunakan di beberapa negara, namun
lebih banyak memicu terjadinya reaksi samping dan tidak ada bukti bahwa
aksin ini lebih protektif.
B. Pengawasan pnderita, kontak dan lingkungan sekitar
1) Laporan kepada institusi kesehatan setempat: Laporan resmi adanya kasus
tersangka dan kasus pasti secara umum diperlukan yang diatur didalam Peraturan
Kesehatan lebih lanjut (International Halth Regulation), Kelas 1 (lihat tentang
pelaporan penyakit menular). sebab saat ini terjadinya kasus primer pes
pneumonia sudah sangat jarang maka walaupun ditemkan hanya satu kasus saja
harus segera dilaporkan kepada otorias kesehatan dan otoritas penegak hukum
sebab kemungkinan adanya bioterorisme/perang kuman.
2) Isolasi: Bersihkan penderita khususnya pakaian dan barang-barang yang dipakai
dari pinjal dengan memakai insektisida yang efektif terhadap kutu lokal dan
yang aman untuk manusia. Bila memungkinkan kirim penderita ke rumah sakit.
Untuk penderita dengan pes bubo (bila tidak disertai batuk dan hasil foto toraks
negatif),lakukan kewaspadaan universal terhadap drainase dan sekret penderita 48
jam sejak mulai diberikan pengobatan yang efektif. Untuk penderita dengan pes
pneumonia dilakukan isolasi ketat dengan kewaspadaan terhadap kemungkinan
penyebaran lewat udara, dilakukan sampai dengan 48 jam setelah pemberian terapi
yang efektif selesai, dimana pemberian terapi ini memberikan respons klinis
yang memuaskan (lihat 9B7 di bawah).
3) Disinfeksi serentak: Disinfeksi serentak dilakukan terhadap dahak (sputum) dan
discharge purulen serta alat-alat yang tercemar. Pembersihan serentak menyeluruh
jenazah serta bangkai binatang yang mati sebab pes harus ditangani dengan
kewaspadaan aseptik yang tinggi.
4) Karantina: Mereka yang tinggal serumah atau kontak langsung dengan penderita
pes pneumonik harus diobati dengan kemoprofilaksis (lihat 9B5 di bawah) dan di
bawah pengawasan ketat selama 7 hari terhadap mereka yang menolak pengobatan
dengan kemoprofilaksis harus tetap dilakukan isolasi ketat dengan surveilans yang
ketat selama 7 hari.
5) Proteksi terhadap kontak: Pada situasi wabah dimana diketahui bahwa kutu
manusia ikut berperan maka terhadap mereka yang kontak dengan penderita pes
bubo harus didisinfeksi dengan insektisida yang tepat. Terhadap semua kontak
dekat harus dilakukan evaluasi untuk pemberian kemoprofilaksis. Kontak dekat
dengan tersangka kasus atau kasus pasti pes pneumonia (termasuk petugas medi)
harus diberikan pengobatan kemoprofilaksis dengan tetrasiklin (15-30 mg/kg BB)
atau kloramfenikol (30 mg/kg BB) setiap hari dibagi dalam 4 dosis untuk satu
minggu setelah paparan selesai.
6) Investigasi konak dan sumber infeksi: Lakkan pencarian anggota keluarga ata
orang yang kontak langsung dengan penderita pes pneumnia dan binatang
pengerat yang sakit atau mati beserta kutunya. Pemberantasan pinjal harus
dlakukan sebeum atau bersamaan dengan upaya pemberanasan tikus. Taburi jalur
tempat lewatnya tikus, tempat persembunyian, lubang dan sarang di sekitar daerah
402
yang diduga atau dipastikan sebagai daerah pes dengan insektisa khusus untuk
pinjal serta dketahui insektisida ini efektif terhadap kutu lokal. Bla dketahui
ada jenis binatang pengerat yang tidak membuat lubang berperan dalam penularan,
insektisida berbentuk umpan dapat digunakan. Apabila tikus kotajuga berperan,
lakukan disinfestasi dengan menaburi rumah, sekiar rumah dan peralatan rumah
dengan insektida; taburi badan dan pakaian seluruh penhuni rumah dan sekitarnya.
Tekan jumlah populasi tikus dengan perencanaan yang matang serta lakukan
kampanye peracunan dan upaya-upaya lain secara serentak untuk mengurangi
tempat persembunyian tikus dan sumber makanannya.
7) Pengobatan spesifik: Streptomycin merupakan obat pilihan utama. Gentamycin
dapat dipakai bila streptomycin tidak tersedia. Tetrasiklin dan kloramfenikol
merupakan pilihan alternatif. Kloramfenikol dipakai untuk pengobatan meningitis
pes. Semua obat ini efektivitasnya tinggi bla digunakan seacra dini (dalam
waktu 8-18 jam setelah serangan pes pneumonia). Setelah timbul respons yang
memuaskan sebab pemberian terapi, demam dapat timbul kembali sebagai akibat
dari infeksi sekunder atau bubo bernanah yang memerlukan tindakan untuk
pengeluaran pus.
C. Cara-cara penanggulangan Wabah
1) Lakukan penyeldikan terhadap setiap kasus kematian yang diduga sebab pes
dengan otopsi dan pemeriksaan laboratorium bila ada indikasi. Lakukan kegiatan
pencarian kasus. Segera sediakan fasilitas sebaik mungkin untuk mendiagnosa dan
pengobatan. Memerintahkan setiap fasilitas kesehatan untuk melaporkan sesegera
mungkin setiap kasus yang ditemukan dan gunakan fasilitas diagnosa dan
pengobatan yang ada.
2) Usahakan untuk mengatasi histeria massa dengan memberikan informasi yang
benar dan tepat serta lakukan penyuluhan melalui media.
3) Lakukan upaya pemberantasan pinjal yang intensif pada daerah yang lebih luas
dari fokus-fokus yang diketahui.
4) Upaya pemusnahan binatang pengerat di dalam wilayah yang terinfeksi baru
dilakukan setelah upaya pemberantasan pinjal selesai dilakukan dengan baik.
5) Lindungi setiap kontak seperti diuraikan pada seksi 9B5 di atas.
6) Lindungi para pekerja lapangan terhadap pinjal; taburi pakaian mereka dengan
serbuk insektisida dan gunakan repelan seranga setiap hari.
D. Implikasi bencana: Pes dapat menjadi masalah besar di daerah endemis apabila terjadi
bencana sosial, kepadatan dan kondisi yang tidak higienis. Lihat uraian pada paragraf
sebelum dan sesudahnya untuk tindakan yang tepat untuk kondisi seperti ini.
E. Tindakan lebih lanjut
1) Pemerintah harus melaporkan dalam waktu 24 jam kepada WHO dan negara-
negara tetangga tentang kasus impor pertama, kasus transfer atau kasus pes bukan
impor di daerah yang sebelumnya bebas penyakit ini. Laporkan apabila ditemukan
kasus baru atau terjadinya reaktivasi foci pes pada binatang pengerat.
2) Lakukan semua upaya yang diwajibkan bagi kapal, pesawat udara serta alat-alat
transportasi darat yang datang dari daerah pes seperti yang dinyatakan dalam
403
International Health Regulations. Regulasi ini sedang direvisi,namun regulasi baru
belum akan diberlakukan sebelum tahun 2002 atau sesudahnya.
3) Semua kapal harus bebas dari binatang pengerat atau secara berkala dibersihkan
dari tikus (deratted).
4) Bangunan di pelabuhan dan bandara harus bebas dari tikus; gunakan insektisida
yang tepat, hapuskan tikus dengan rodentia yang efektif.
5) Bagi mereka yang akan melakukan perjalanan lebih lanjut IHR mewajibkan
mereka untuk diisolasi selama 6 hari sebelum berangkat dihitung dari saat terakhir
mereka terpajan apabla orang ini berasal dari daerah yang tidak terjangkit pes
paru-paru. Mereka yang diisolasi yaitu mereka yang diduga kuat telah terpajan
dengan penderita. Terhadap alat angkut dan orang-orang yang datang dari daerah
wabah dilakukan upaya pemberantasan tikus dan pinjal sesuai dengan standar
prosedur. Lakukan surveilans yang ketat selama 6 hari terhadap penumpang dan
alat angkut sejak hari pertama mereka terhadap tiba. Imunisasi tidak
dipersyaratkan bagi mereka yang memasuki suatu negara.
6) Manfaatkan Pusat-pusat Kerja sama WHO.
F. Upaya Penanggulangan Bioterorisme
Y. pestis tersebar di seluruh dunia; teknik untuk memproduksi secara massal dan
penyebaran dalam bentuk aerosol saat ini sudah tersedia; dan CFR dari pes pneumonia
primer sangat tinggi dan berpotensi untuk menyebar secara sekunder. Oleh sebab itu
serangan biologis dengan memakai pes merupakan ancaman yang serius terhadap
kesehatan warga . Beberapa kasus sporadis tidak akan terdeteksi atau tidak akan
disadari sebagai aksi bioterorisme. Setiap kasus tersangka pes harus segera dilaporkan
melalui telepon kepada institusi kesehatan setempat. Apabila di suatu daerah tiba-tiba
ditemukan banyak penderita datang dengan demam, batuk fulminan dan dengan
tingkat kematian yang tinggi harus dicurigai sebagai kemungkinan anthrax atau pes;
apabila setiap batuk disertai dengan darah (hemoptysis), gejala ini mengarah pada
diagnosa tentatif pes pneumonik. Untuk kejadian yang diduga sebagai KLB pes
pneumonik dan untuk KLB yang sudah pasti ikuti prosedur pengobatan dan upaya
penanggulangan seperti yang sudah diuraikan pada seksi 9B di atas.
PNEUMONIA
I. PNEUMOCOCCAL PNEUMONIA ICD-9 481; ICD-10 J13
1. Identifikasi
Merupakan infeksi bakteri akut ditandai dengan serangan mendadak dengan demam
menggigil, nyeri pleural, dyspnea, tachypnea, batuk produktif dengan dahak kemerahan
serta lekositosis. Serangan ini biasanya tidak begitu mendadak, khususnya pada orang tua
dan hasil foto toraks mungkin memberi gambaran awal adanya pneumonia. Pada bayi dan
anak kecil, demam, muntah dan kejang dapat merupakan gejala awal penyakit.
Konsolidasi yang terjadi mungkin berupa bronchopneumonia, khususnya pada anak dan
orang tua, bukan pneumonia segmental atau lober. Pneumoni pneumokokus sebagai
404
Pemicu kematian utama pada bayi dan orang tua. CFR sebelumnya mencapai 20-40%
diantara penderita yang dirawat di rumah sakit dan telah menurun 5-10% dengan terapi
antimicrobial dan tetap sekitar 20-40% pada penderita yang memiliki latar belakang
penyakit lain atau pada pecandu alcohol. Di Negara berkembang CFR pada anak-anak
sering mencapai lebih dari 10% dan bahkan mencapai 60% pada bayi usia dibawah 6
bulan.
Diagnosa etiologis secara dini sangat penting untuk mengarahkan pemberian terapi
spesifik. Diagnosa pneumoni pneumokokus dapat diduga apabila ditemukannya
diplococci gram positif pada sputum bersamaan dengan ditemukannya lekosit
polymorphonuclear. Diagnosa dapat dipastikan dengan isolasi pneumococci dari
spesimen darah atau sekret yang diambil dari saluran pernafasan baian bawah orang
dewasa yang diperoleh dengan asprasi percutaneous transtracheal.
2. Pemicu penyakit: Streptococcus pneumoniae (pneumococcus). Dari 83 tipe kapsula
yang diketahui, 23 diperkirakan memicu 90% infesi yang terjadi di AS.
3. Distribusi penyakit
Merupakan penyakit yang endemisitasnya berkelanjutan,khususnya menyerang bayi dan
usia lanjut serta orang-orang yang menderita penyakit tertentu; lebih sering menyerang
kelompok dengan tingkat sosial ekonomi rendah di negara berkembang. Penyakit ini
muncul pada semua iklim dan musim, tapi insidensi paling tinggi pada musim dingin dan
musim semi. Biasanya sporadis di AS, bisa terjadi KLB pada warga yang padat dan
pada urbanisasi yang cepat. KLB yang berulang pernah terjadi pada kelompok pekerja
tambang di Afrika Selatan; insidensi yang tinggi ditemukan pada daerah geografis tertentu
(misalnya Papua Nugini) dan di banyak negara berkembang; menyerang anak-anak dan
merupakan Pemicu kematian terbesar pada anak. Peningkatan insidensi biasanya
mengikuti KLB influenza. Tingkat resistensi yang tinggi terhadap penisilin dan kadang-
kadang terhadap generasi ketiga cephalosporin semakin meningkat di seluruh dunia.
4. Reservoir: Manusia. Pneumococci umum ditemukan pada saluran pernafasan bagian atas
dari orang yang sehat di seluruh dunia.
5. Cara penularan
Melalui percikan ludah, kontak langsung lewat mulut atau kontak tidak langsung melalui
peralatan yang terkontaminasi discharge saluran pernafasan. Biasanya penularan
organisme terjadi dari orang ke orang, namun penularan melalui kontak sesaat jarang
terjadi.
6. Masa inkubasi: Tidak diketahui dengan pasti, mungkin hanya 1-3 hari.
7. Masa penularan
Diperkirakan penularan berlangsung sampai dengan saat dimana liur dan ingus dari
hidung tidak lagi mengandung pneumococci yang virulen dalam jumlah yang bermakna.
Apabila bakteri masih sensitif terhadap penisilin maka pemberian penisilin akan
membunuh bakteri dalam waktu 24-48 jam sehinga penderita tidak menjadi infeksius lagi.
405
8. Kerentanan dan kekebalan
Orang akan semakin rentan terhadap infeksi pneumokokus apabila integritas struktur
anatomi dan fisiologi dari saluran pernafasan bagian bawah terganggu. Gangguan ini bisa
disebabkan oleh influenza, edema paru oleh berbagai sebab, aspirasi pada pecandu alkohol
atau sebab lain, penyakit paru kronis, atau sebab terpajan bahan kimia yang iritatif dari
udara. Orang tua dan orang-orang dengan penyakit-penyakit seperti yang disebutkan
berikut berisiko tinggi terserang infeksi: asplenia, penyakit sickle cell, penyakit
kardiovaskuler kronis, diabetes mellitus, sirosis hati, penyakit Hodgkins,limfoma, multiple
myeloma, gagal ginjal kronis, sindroma nefrotik, infeksi HIV dan transplantasi organ.
Kekebalan spesifik terhadap serotipe kapsul bakteri dapat terbentuk setelah mengalami
infeksi dan kekebalan ini daat bertahan sampai bertahun-tahun. Di negara berkembang
Pemicu penting sebagai kofaktor timbulnya pneumonia pada bai dan anak-anak yaitu
malnutrisi dan berat badan lahir rendah.
9. Cara-cara pemberantasan
A. Cara-cara pencegahan
1) Hindari kepadatan hunian bila mungkin, khususnya pada institusi, barak-barak dan
kapal.
2) Berikan vaksin polivalen kepada orang dengan risiko tinggi. Vaksin ini berisi
polisakarida dari 23 tipe pneumokokus Pemicu 90% dari semua infeksi
pneumokokus di AS. Vaksin ini tidak efektif apabila diberikan pada anak umur
kurang dari 2 tahun. Mereka yang berisiko tinggi terhadap infeksi fatal yaitu
orang yang berumur 65 tahun keatas, mereka dengan asplenia anatomis maupun
fungsional, penyakit sickel cel, infeksi HIV dan berbagai penyakit sistemik yang
kronis, termasuk penyakit jantung dan paru, sirosis hati, gangguan fungsi ginjal
dan diabetes mellitus. Oleh sebab risiko infeksi dan CFR meningkat sejalan
dengan meningkatnya umur, maka manfaat imunisasipun juga meningkat. Bagi
sebagian besar orang vaksin 23 valent pneumcoccal hanya diperlukan sekali,
namun imunisasi ulang pada umumnya aman dan vaksinasi sebaiknya diberikan
kepada orang yang status imunisasinya tidak jelas. Reimunisasi direkomendasikan
untuk diberikan kepada anak usia dua tahun yang berisiko tinggi untuk
mendapatkan infeksi pneumokokus yang serius (misalnya penderita asplenik) dan
diberikan kepada mereka yang memiliki kecenderungan penurunan titer
antibodi secara cepat dengan catatan sudah lima tahun atau lebih sejakpemberian
dosis terakhir. Reimunisasi 3 tahun kemudian sejak dosis terakhir juga harus
dipertimbangkan pada anak dengan asplenia anatomik atau fungsional (misanya
penyakit sickel cell atau splenektomi). Dan reimunisasi juga perlu diberikan
kepada mereka dengan kondisi yang dapat memicu terjadinya penurunan
antibodi yang cepat setelah pemberian imunisasi inisial (misalnya sindroma
nefrotik, gagal ginjal, transplantasi ginjal), mereka harus berumur 10 tahun atau
lebih pada saat reimunisasi. Sebagai tambahan orang yang berusia 65 tahun keatas
harus diberikan imunisasi ulangan apabila mereka imunisasi terakhir sudah lebih
dari 5 tahun yang lalu, dengan catatan usia pada saat menerima imunisasi ini
kurang dari 65 tahun. Sebagian besar tipe antigen pneumococcal pada vaksin 23-
valent, imunogenitasnya rendah jika diberikan pada anak berumur kurang dari 2
tahun. sebab perbedaan daam prevalensi serotipe, maka vaksin ini
406
memiliki efikasi yang rendah di negara berkembang. Pada akhir tahun 1999
vaksin pneumococcal conjugate protein sedang dievaluasi dalam satu uji
klinis,dan apabila terbukti efektif maka akan diijinan untuk digunakan pada anak.
B. Pengawasan penderita, kontak dan lingkungan sekitarnya
1) Laporan ke institusi kesehatan setempat: Wajib dilaporkan kalau ada wabah
(KLB); kasus individual tidak dilaorkan, Kelas 4 (lihat tentang Laporan penyakit
menular). Beberapa negara bagian mewajibkan melaporkan isolat yang resistens
terhadap penisilin.
2) Isolasi: Di rumah sakit islasi pernafasan dilakukan pada penerita infeksi yang
resistens terhadap antibiotika sebab penderita ini mungkin dapat menularkan ke
penderita lain yang memiliki risiko tinggi.
3) Disinfeksi serentak: Disinfeksi dilakukan terhadap discharge dari hidung dan
tenggorokan. Pembersihan menyeluruh.
4) Karantina: Tidak diperlukan.
5) Imunisasi: Tidak diperlukan.
6) Investigasi terhadap kontak dan sumber infeksi: Tidak praktis.
7) Pengobatan spesifik: Apabila fasilitas diagnosa terbatas dan penundaan
pengobatan bisa berakibat fatal, maka pengobatan dengan antibiotika terhadap
bayi dan anak kecil harus segera dimulai dngan diagnosa presumptive berdasarkan
gejala klinis, khususnya kalau terjadi trachypnea dan chest indrawing. Bayi umur
2 bulan atau kurang harus segera dirujuk ke rumah sakit untuk mendapatkan
perawatan tanpa boleh ditunda. Penicilline G parenteral yaitu obat piliha,
gunakan erythromycin untuk yang hypersensitive terhadap penicilline. Oleh sebab
pneumococci yang resisten terhadap penicilline dan antimikrobial yanglain
semakin banyak ditemukan, maka tes sensitivitas terhadap strain dari siolat yang
diambil dari tempat yang dalam kadaan nomral steril, seperti cairan serebrospinal
darah harus dilakukan. Di AS dimana resistensi terhadap beta-lactam umum
ditemukan, maka vancomycin harus dimasukkan dalam regimen awal pengobatan
meningitis yang diduga disebabkan oleh pneumococci sampai hasil tes sensitivitas
diketahui. Untuk pengobatan pneumonia dan infeksi pneumokokal yang lain,
dengan antibiotika beta-lactam secara parenteral kemungkinan masih efektif pada
sebagian besar kasus. Vancomycin jarang digunakan pada penderita infeksi
pneumokokus di luar sistem saraf pusat. Untuk negara berkembang, WHO
menganjurkan penggunaan salah satu dari obat-obat erikut apakah TMP-SMX,
ampicillin atau amoxicillin untuk pengobatan di rumah bagi penderita pneumonia
yang tidak berat (batuk dan tachypnea, tanpa chest indrawing) bagi anak berusia
dibawah lima tahun.
C. Penanggulangan Wabah
Jika KLB terjadi di rumah sakit atau terjadi pada warga yang berkelompok, maka
imunisasi dengan vaksin 23-valent harus diberikan kecuali kalau sudah diketahui
bahwa Pemicu penyakit tidak termasuk didalam strain vaksin.
D. Implikasi Bencana: Tempat-tempat penampungan pengungsi memiliki risiko tinggi
terjadi KLB, terutama dapat terjadi pada anak-anak dan orang tua.
E. Tindakan lebih lanjut : Tidak ada.
407
II. MYCOPLASMAL PNEUMONIA ICD-9 483; ICD-10 J15.7
(Primary atypical pneumonia)
1. Identifikasi
Infeksi ini umum menyerang saluran pernafasan bagian bawah dengan gejala febris.
Walaupun sangat jarang faringitis dapat berkembang menjadi bronkhitis dan berlanjut
menjadi pneumonia. Perjalanan penyakit berlangsung secara graduil berupa sakit kepala,
malaise, batuk biasanya paroxysmal, sakit tenggorokan, kadang-kadang sakit didada
kemungkinan pleuritis. Pada awalnya sputum sedikit lama-lama bertambah banyak. Foto
toraks memberikan gambaran adanya infiltrat pada paru-paru. Infiltrat berbentuk bintik-
bintik menyebar kesannya lebih berat dibandingkan dengan gejala klinis. Pada kasus yang
berat, pneumonia menyebar dari satu lobus ke lobus lainnya dan dapat juga bilateral.
Sepertiga dari kasus menunjukkan adanya lekositosis pada minggu pertama. Lama sakit
berlangsung dari beberapa hari sampai satu bulan lebih. Infeksi sekunder oleh bakteri lain
dan komplikasi lain dapat terjadi. Komplikasi lain yang bisa terjadi walaupun sangat
jarang misalnya infeksi SSP, timbul Stevens-johnson syndrome, biasanya tidak fatal.
Infeksi oleh Mycoplasma pneumoniae ini harus dibedakan dengan infeksi yang
disebabkan oleh mikroba lain seperti: infeksi oleh bakteri lain, adenovirus, respiratory
syncytial virus, parainfluenza, campak, Q-fever, psittacosis, mycosis tertentu dan TBC.
Diagnosa didasarkan pada adanya peningkatan titer antibodi antara serum akut dan serum
convalescent. Titer meningkat setelah beberapa minggu. ESR (erythrocite sedimentation
rate) hampir selalu tinggi. Cold hemagglutinin (CA) dapat muncul pada separuh sampai
dua pertiga kasus yang dirawat di rumah sakit, namun ini merupakan temuan yang tidak
spesifik. Titer CA menggambarkan tingkat beratnya penyakit. Bakteri Pemicu penyakit
dapat ditanam pada media khusus.
2. Pemicu penyakit: Mycoplasma pneumoniae, bakteri keluarga Mycoplasmataceae.
3. Distribusi penyakit
Tersebar di seluruh dunia, sporadis, endemis dan kadang-kadang muncul sebagai
wabah/KLB terutama menyerang anggota militer atau institusi tertentu. Attact rate
bervariasi antara 5 atau lebih dari 50 per 1.000 per tahun pada kelompok militer dan 1
sampai 3 per 1.000 per tahun pada warga sipil. KLB lebih sering terjadi pada akhir
musim panas dan musim gugur, penyakit endemis ini tidak mengikuti pola musiman,
namun bervariasi dari tahun ketahun dan bervariasi menurut daerah geografis yang
berbeda. Menyerang semua jenis kelamin dan ras. Penyakit ini dapat menyerang semua
kelompok umur dan sangat ringan pada anak balita, biasanya penyakit dengan gejaa klinis
yang jelas yaitu pada anak usia sekolah atau dewasa muda.
4. Reservoir: Manusia.
5. Cara penularan
Diperkirakan penularan terjadi melalui percikan ludah yang dihirup oleh orang lain,
melalui kontak langsung dengan orang yang terinfeksi (termasuk kontak dengan infeksi
subklinis) atau dengan benda-benda yang tercemar dengan discharge hidung dan
tenggorokan dari penderita akut dan penderita batuk. Sering terjadi pneumonia sekunder
diantara kontak, anggota keluarga dan pengunjung pasien.
408
6. Masa inkubasi: dari 6 sampai 32 hari.
7. Masa penularan: Tidak diketahui, diperkirakan kurang dari 20 hari. Pengobatan yang
diberikan tidak dapat membasmi organisme dari saluran pernafasan dan bakteri ini dapat
terus betahan sampai 13 minggu.
8. Kerentanan dan kekebalan
Pneumonia klinis terjadi pada 3%-30% infeksi yang disebabkan oleh M. Pneumoniae, dan
sangat tergantung pada usia. Gejala klinis bervariasi mulai dari faringitis ringan tanpa
demam sampai dengan penyakit dengan gejala demam sebagai akibat infeksi menyerang
saluran pernafasan bagian atas dan bawah. Lamanya kekebalan bertahan tidak diketahui
dengan pasti. Kekebalan yang muncul setelah terjadi infeksi dikaitkan dengan
terbentuknya antibodi humoral yang bertahan sampai dengan satu tahun.
9. Cara-cara pemberantasan
A. Cara-cara pencegahan: Hindari kegiatan hunian dan kepadatan ruang tidur bila
memungkinkan, khususnya pada panti-panti, asrama dan kapal.
B. Pengawasan penderita, kontak dan lingkungan sekitarnya
1) Laporan kepada institusi kesehatan setempat: Kewajiban melaporkan kalau ada
wabah, kasus individual tidak dilaporkan, Kelas 4 (lihat laporan penyakit
menular).
2) Isolasi: Tidak ada, sekret saluran nafas kemungkinan infeksius.
3) Disnfeksi serentak: Disinfeksi dilakukan terhadap discharge hidung dan
tenggorokan, pembersihan menyeluruh.
4) Karantina: Tidak ada.
5) Imunisasi Kontak: Tidak ada.
6) Investigasi terhadap kontak dan sumber infeksi: Investigasi sangat bermanfaat
dalam upaya menemukan penderita secara dini pada anggota kelarga agar
dilakukan pengobatan dini.
7) Pengobatan spesifik: Erythromycin atau makrolide lainnya, atau tetracyclin.
Erythromycin atau mikrolide lainnya dianjurkan untuk anak umur dibawah 8
tahun untuk mencegah terjadinya pewarnaan tetracyclin pada gigi susu. Tidak ada
antibiotika yang dapat mengeliminisasi organisme dari pharynx, selama
pengobatan, maka mycoplasma yang resisten teradap erythromycin dapat
diketahui.
C. Penanggulangan Wabah: Tidak ada cara-cara penangglangan ang efektif.
D. Implikasi bencana: Tidak ada.
E. Tindakan lebih lanjut : Manfaatkan WHO Collaborating Center.
409
III. PNEUMOCYSTIS PNEUMONIA ICD-9 136.3; ICD-10 B59
(Interstitial plasma-cell pneumonia, PCP)
1. Identifikasi
yaitu penyakit paru mulai dari akut sampai subakut bahkan seringkali fatal, khususnya
menyerang bayi yang kurang gizi, sakit kronis dan prematur. Pada anak yang lebih tua
dan dewasa, penyakit ini muncul sebagai penyakit oportunistik yang berkaitan dengan
pemakaian immunosupresan dan penyakit sistem imunitas. Penyakit ini merupakan
masalah yang besar bagi penderita AIDS. Secara klinis didapati gejala dyspnea yang
progresif, tachypnea dan cyanosis, demam mungkin tidak muncul. Tanda-tanda
auskultasi selain ronchi gejala lain biasanya minimal bahkan tidak ada. Pada foto toraks
secara khas menunjukkan adanya infiltrat interstitial bilateral. Pada pemeriksaan
postmortem didapati paru-paru yang berat tanpa udara, septum alveoler yang menebal dan
pada ruang alveoler didapati material seperti busa yang berisi parasit.
Diagnosa ditegakkan dengan ditemukannya agen Pemicu dalam material yang berasal
dari sikatan bronchial, biopsi paru terbuka dan aspirasi paru atau dari preparat apus lendir
tracheobronchial. Otganisme yang diidentifikasi dengan pengecatan methenamine-silver,
toluidine blue O, Gram-Weigert, cresyl-echt-violet atau metoda pewarnaan IFA. Sampai
saat ini tidak ada metoda kultur pada media atau tes serologis yang memuaskan untuk
dipakai secara rutin.
2. Pemicu penyakit: Pneumocystis carinii. Umumnya dianggap sebagai protozoa;
peneltian yang dilakukan kemudian menunjukkan bahwa susunan DNA organisme
ini mendekati kepada jamur.
3. Distribusi penyakit
Penyakit ini telah dikenal di seluruh dunia; endemis dan kadang-kadang muncul sebagai
KLB pada bayi yang kurang gizi, debilitas atau pada bayi yang mengalami imunosupresi.
Penyakit ini menyerang hampir 60% penderita AIDS di Amerika Serikat, Eropa dan
Australia sebelum dilakukan pengobatan profilaktis secara rutin. Hampir tidak ada laporan
PCP pada penderita AIDS di Afrika.
4. Reservoir
Manusia. Organisme dapat ditemukan pada binatang mengerat, ternak, anjing dan hewan
lain, namun dengan ditemukannya organisme dimana-mana dan ditambah dengan bahwa
terjadi infeksi subklinis yang bertahan pada manusia, kecil sekali kemungkinan bahwa
sumber penularan pada manusia berasal dari binatang.
5. Cara penularan
Penularan dari binatang ke binatang melalui udara dapat dilihat terjadi pada tikus. Cara
penularan pada manusia tidak diketahui. Pada satu penelitian didapatkan sekitar 75% dari
individu normal dilaporkan telah memiliki anibodi humoral terhadap P. Carinii setelah
umur 4 tahun. Hal ini menunjukkan bahwa infeksi sublinis umum terjadi di AS.
Pneumonitis pada hospes immunocompromize sebagai akibat dari salah satu apakah telah
terjadi reaktivasi dari infeksi laten atau oleh sebab infeksi yang baru didapat.
410
6. Masa inkubasi: Tidak diketahui. Analisis dari data KLB yang terjadi pada panti-panti dan
penelitian yang dilakukan pada binatang menunjukkan bahwa serangan penyakit biasanya
terjadi 1-2 bulan setelah terbentuknya status imunosupresi.
7. Masa penularan: Tidak diketahui.
8. Kerentanan dan Kekebalan
Kerentanan meningkat dengan prematuritas, penyakit kronis yang melemahkan keadaan
umum dan pada penyakit-penyakit atau pengobatan yang memicu mekanisme
kekebalan tubuh terganggu. Infeksi HIV merupakan faktor risiko predominan untuk
penyakit PCP.
9. Cara-cara pemberantasan
A. Cara-cara pencegahan
Pengobatan profilaksis dengan salah satu obat apakah dengan TMP-SMX atau dengan
pentamidine (berupa aerosol), terbukti efektif (selama penderita dapat menerima obat
ini) dalam mencegah reakivasi endogeneous pada penderita imunosupresi, khususnya
mereka dengan infeksi HIV dan mereka yang mendapatkan pengobatan lymphatic
leukemia dan mereka yang menerima transplantasi organ.
B. Pengawasan penderita, kontak dan lingkungan sekitarnya
1) Laporan kepada institusi kesehatan setempat: Laporan resmi biasanya tidak
diperlukan, Kelas 5 (lihat tentang pelaporan penyakit menular). Bla PCP muncul
pada orang dengan infeksi HIV, kasus ini wajib dilaporkan hampir di semua
negara bagian, Kelas 2B (lihat tentang pelaporan penyakit menular).
2) Isolasi: Tidak ada.
3) Disinfeksi serentak: Tidak cukup pengetahuan tentang hal ini.
4) Karanina: Tidak dilakukan.
5) Imunisasi kontak: Tidak ada.
6) Penyelidikan terhadap kontak dan sumber infeksi: Tidak ada.
7) Pengobatan spesifik: TMP-SMX merupakan obat pilihan. Oba alternatif yaitu
pentamidine (IM atau IV) dan trometrexate dengan leucoviron; berbagai jenis obat
saat ini sedang dalam tahap evaluasi.
C. Penangulangan wabah: Pengetahuan kita tentang asal organisme ini dan cara-cara
penularan sangat tidak lengkap sehingga sampai saat ini tidak ada cara
penanggulangan yang dapat diterima secara umum.
D. Implikasi bencana: Tidak ada.
E. Penanganan lebih lanjut : Tidak ada.
411
IV. CHLAMYDIAL PNEUMONIAS
IV.A. PNEUMONIA DISEBABKAN OLEH CHLAMYDIA TRACHOMATIS
ICD-9 482.8; ICD-10 P23.1
(Neonatal eosinophilic pneumonia, Congenital pneumonia yang disebabkan oleh Chlamydia)
1. Identifikasi
Penyakit paru yang disebabkan oleh chlamydia bersifat subakut menyerang neonatus yang
ibunya menderita infeksi pada cervix uteri. Secara klinis penyait ini ditandai dengan
serangan insidius, berupa batuk (khas staccato), demam ringan, bercak-bercak infiltrat
pada foto toraks dengan hiperiniltrasi, eosinophilia dan adanya peningkatan IgM dan IgG.
Sekitar setengah dari kasus pada bayi memiliki gejala prodromal berupa rhinitis dan
conjunctivitis. Lama sakit umumnya 1-3 minggu, dapat memanjang sampai 2 bulan.
Spektrum penyakit ini cukup luas, mulai dari rhinitis sampai kepada pneumonia berat.
Banyak bayi dengan pneumonia akhirnya berkembang menjadi asthma atau penyakit paru
obstruktif.
Diagnosa biasanya ditegakkan dengan teknik IF langsung. Definisi dari immunotype
organisme yang menginfeksi didasarkan kepada isolasi biakan sel dari agen Pemicu
yang didapat dari spesimen nasopharynx bagian belakang atau adanya serum antibodi
spesifik dengan titer 1:32 atau lebih dengan teknik mikro IF. Titer antibodi spesifik IgG
yang tinggi mendukung diagnosa.
2. Pemicu penyakit: Chlamydia trachomatis dari imunotipe D sampai K (kecuali
imunotipe yang memicu lymphogranuloma venereum).
3. Distribusi penyakit: Sama dengan penyebaran infeksi chlamydia genital di seluruh dunia.
Penyakit ini telah lama dikenal di Amerika Serikat dan sejumlah negara Eropa. Belum
pernah terjadi wabah penyakit ini.
4. Reservoir: Manusia. Infeksi secara eksperimental dengan C. Trachomatis dicoba
dilakukan pada primata bukan manusia dan mencit; infeksi pada binatang diketahui belum
pernah terjadi secara alamiah.
5. Cara penularan: Ditularkan dari cervix yang terinfeksi kepada bayi pada saat persalinan,
dengan akibat terjadi infeksi nasopharynx (dan kadang-kadang conjunctivitis chlamydial).
Penularan melalui saluran pernafasan belum pernah terjadi.
6. Masa inkubasi: Tidak diketahui, namun pneumonia dapat muncul pada bayi berumur 1
sampai 18 minggu (lebih sering terjadi antara 4 sampai 12 minggu). Infeksi nasopharynx
biasanya tidak terjadi sebelum umur 2 minggu.
7. Masa penularan: Tidak diketahui.
8. Kerentanan dan kekebalan: Tidak diketahui. Antibodi maternal tidak mencegah bayi
dari infeksi.
412
9. Cara-cara pemberantasan
A. Cara-cara pencegahan: cara-cara pencegahan sama halnya seperti terhadap
Chlamydial conjunctivitis (lihat Conjunctivitis, pada seksi IV).
B. Pengawasan penderita, kontak dan lingkungan sekitarnya
1) Laporan kepada instansi kesehatan setempat: Laporan resmi biasanya tidak
diperlukan, Kelas 5 (lihat tentang pelaporan penaykit menular).
2) Isolasi: Lakukan kewaspadaan universal.
3) Disinfeksi serentak: Terhadap discharge hidung dan tenggorokan.
4) Karantina: Tidak ada.
5) Imunisasi kontak: Tidak ada.
6) Penyelidikan kontak dan sumber infeksi: Pemeriksaan dilakukan pada orang tua
terhadap kemungkinan infeksi dan bila ditemukan segera diobati.
7) Pengobatan spesifik: Saat ini Erythromycin oral (50 mg/kg/hari) merupakan obat
pilihan untuk bayi. Sulfisoxazole merupakan alternatif yang dapat diberikan.
C. Penanggulangan Wabah: Belum pernah terjadi KLB/Wabah.
D. Implikasi bencana: Tidak ada.
E. Tindakan lebih lanjut : Tidak ada.
IV.B. PNEUMONIA DISEBABKAN OLEH CHLAMYDIA PNEUMONIAE
ICD-9 482.8; ICD-10 J16.0
1. Identifikasi
Suatu penyakit saluran pernafasan akut yang disebabkan oleh ch