Tampilkan postingan dengan label penyakit menular 15. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label penyakit menular 15. Tampilkan semua postingan

penyakit menular 15


 rang, hanya terjadi pada 

orang tertentu dan di daerah tertentu.  

Diantara jenis virus RNA golongan retrovirus termasuk human T-cell lymphotropic virus 

(HTLV-1)  dan Human Virus Deficiency (HIV)  ada yang menjadi Pemicu   human T-cell 

leukemia/lymphoma. Berbeda dengan virus DNA yang onkogenik, virus RNA kurang luas 

penyebarannya, hanya tersebar di tempat-tempat pada wilayah geografis tertentu. Virus DNA 

ini terbukti sangat kuat sekali sebagai Pemicu  terjadinya keganasan dan dapat dibuktikan 

secara serologis, virologis dan epidemiologis. 

 

 

I. KARSINOMA HEPATOSELULER   ICD-9 155.0; ICD-10 C22.0 

 (HCC, Kanker hati primer (primary liver cancer), Primary hepatocellular carcinoma) 

 

Pemicu  utama terjadinya kanker hati primer yaitu   infeksi menahun (kronis) hepatitis B 

atau hepatitis C. Studi prospektif yang dilakukan di Taiwan menunjukkan bahwa risiko 

terjadinya karsinoma hepatoseluler pada carrier virus hepatitis B yaitu   100 kali lipat 

dibandingkan noncarrier. Kebanyakan penderita kanker hati ini mengalami hepatitis hati. 

Dengan melakukan skrining terhadap virus hepatitis B (HBV) secara rutin untuk mengetahui 

ada tidaknya carrier melalui pemeriksaan alfa fetoprotein sebagai pertanda (marker) terhadap 

karsinoma hepatoseluler (HCC) dan dengan pemeriksaan USG untuk kasus-kasus tertentu 

dapat mendeteksi secara dini adanya tumor pada stadium dini sehingga dapat dilakukan 

reseksi tumor lebih dini. Karsinoma hepatoseluler yaitu   jenis tumor ganas yang paling sering 

ditemukan di Asia dan Afrika; frekuensi tertinggi ditemukan pada wilayah dengan prevalensi 

carrier hepatitis B yang tinggi. Daerah dengan prevalensi carrier  hepatitis B tinggi yaitu   

sebagian besar Asia, Afrika dan wilayah Asia Pasifik. Prevalensi sedang ditemukan di anak 

Benua India dan Timur Tengah. Prevalensi relatif rendah di wilayah Amerika Utara dan 

Eropa bagian barat. Dari hasil penelitian yang dilakukan dengan rancang bangun kasus-

kontrol ditemukan adanya hubungan yang sangat kuat antara infeksi virus hepatitis C dengan 

karsinoma hepatoseluler. Asosiasi kuat ini terjadi pada infeksi virus hepatitis C yang disertai 

dengan infeksi HIV maupun tanpa infeksi HIV. Terbukti juga dari hasil pemeriksaan 

laboratorium bahwa ada kemampuan transformasi dari virus hepatitis C.  

Di Jepang infeksi hepatitis C terbukti sebagai faktor dominan Pemicu  karsinoma 

hepatoseluler. Lihat bab cara-cara pemberantasan virus hepatitis B. Terjadinya tumor hati 

dapat dicegah dengan pemberian imunisasi hepatitis B saja atau disertai dengan pemberian 

hepatitis B immune globulin (HBIG) kepada semua bayi yang baru lahir. Pemberian imunisasi 

segera setelah lahir akan memutus rantai penularan dari ibu ke bayi. WHO menganjurkan agar 

semua negara mengintegrasikan imunisasi hepatitis B kedalam program imunisasi rutin 

mereka. Saat ini banyak negara termasuk Indonesia sudah mengintegrasikan imunisasi 

hepatitis B kedalam program imunisasi dasar mereka. Program imunisasi hepatitis B ini dalam 

jangka panjang bertujuan untuk mengeliminasi infeksi virus hepatitis B dan sekaligus 

mencegah terjadinya karsinoma hepatoseluler primer yang disebabkan oleh infeksi virus 

hepatitis B. Saat ini vaksin untuk virus hepatitis C belum ada, untuk mencegah terjadinya 

infeksi melalui transfusi darah, maka skrining darah donor harus dilakukan. 

 

 

 

 339

II. LIMFOMA BURKITT     ICD-9 200.2; ICD-10 C83.7 

(BL, African Burkitt lymphoma, Endemic Burkitt lymphoma, Tumor Burkitt) 

 

Limfoma Burkitt (BL) yaitu   tumor monoklonal dari sel B. Penyakit ini tersebar di seluruh 

dunia terutama di daerah endemis malaria seperti di daerah tropis Afrika dan dataran rendah 

Papua Nugini, dimana curah hujan sangat tinggi (40 inchi/tahun) pada ketinggian kurang dari 

3.000 kaki. Di Afrika, pada anak-anak, penyakit ini sering menyerang daerah rahang. Tumor 

juga dapat terjadi pada penderita dengan kondisi imunosupresi, walaupun sangat jarang 

misalnya pada penderita yang menerima transplantasi organ, mereka dengan imunodefisiensi 

sebab  garis keturunan dan mereka dengan x-linked immunodeficiency dan paling sering 

terjadi pada penderita AIDS, hampir sekitar 25%- 30% terkait dengan EBV (Eepstein-Barr 

virus). Tumor yang terjadi bisa dalam bentuk monoklonal, poliklonal atau campuran 

keduanya; namun tidak semua dengan tipe Burkitt; namun semuanya dalam bentuk sarkoma 

limfoblastik akut. 

EBV, virus herpes berperan terhadap terjadinya mononukleosis infeksiosa yang berperan 

penting dalam patofisiologi terjadinya sekitar 97% dari kasus-kasus BL di Afrika dan Papua 

Nugini dimana infeksi EBV terjadi pada bayi. Dimana yang berperan sebagai kofaktor yaitu   

penyakit malaria yang holoendemik di daerah ini . EBV juga dikaitkan sebagai Pemicu  

sekitar 30% dari kasus-kasus BL di daerah endemis rendah BL dan di daerah nonendemis 

malaria (disebut dengan American BL). Waktu yang dibutuhkan untuk terjadinya tumor 

setelah infeksi EBV diperkirakan antara 2 – 12 tahun, dan waktu ini lebih pendek pada 

penderita AIDS dimana pada orang ini telah terbentuk limfoma pada SSP yang dikaitkan 

dengan infeksi EBV. Infeksi EBV sangat erat kaitannya sebagai Pemicu  BL di Afrika, hal 

ini telah dibuktikan baik secara serologis, virologis maupun secara epidemiologis. Mencegah 

infeksi secara dini dan upaya pemberantasan malaria dapat menurunkan insidensi tumor ini di 

Afrika dan Papua Nugini (lihat bab malaria, seksi 9).  Vaksin subunit untuk EBV saat ini 

masih dalam taraf pengembangan. Pengobatan dengan kemoterapi cukup efektif jika 

diberikan setelah tumor sudah berkembang. Kasus BL harus dilaporkan kepada sistem 

registrasi tumor.  

 

 

 

III. KARSINOMA NASOFARINGEAL   ICD-9 147.9; ICD-10 C11 

 

Nasopharingeal Carcinoma (NPC) yaitu   tumor ganas pada sel epitel dari faring yang 

biasanya terjadi pada umur dewasa antara 20-40 tahun. Insidensi lebih tinggi ditemukan 

pada orang-orang Cina di daratan Cina bagian selatan dan Taiwan; insidensi masih tetap 

tinggi walaupun orang-orang dari kedua negara ini  sudah berpindah ke negara lain 

(termasuk di Amerika Serikat) jika dibandingkan  dengan warga  setempat secara 

umum.  Insidensi karsinoma nasofaring dikalangan imigran ini menurun pada generasi 

berikutnya.  

Adanya antibodi IgA terhadap kapsid antigen virus EBV pada serum maupun sekret 

nasofaring merupakan ciri khas dari penyakit ini dan di Cina penemuan antibodi ini 

dipakai untuk tes penyaringan (screening test) terhadap tumor ini. Antibodi ini  

muncul beberapa tahun sebelum munculnya gejala klinis NPC dan muncul kembali 

setelah dilakukan pengobatan ulang.  

 

 340

Secara serologis dan virologis hubungan antara infeksi EBV dan timbulnya NPC sama 

dengan hubungan dengan kejadian BL di Afrika yaitu titer antibodi EBV yang tinggi dan 

ditemukannya genom virus pada sel tumor, dan hubungan antara infeksi EBV dan NPC 

tidak ada kaitannya dengan wilayah geografis asal penderita. Tumor ini tersebar di seluruh 

dunia dan insidensi tertinggi ditemukan di Cina bagian selatan, Asia Tenggara, Afrika 

bagian utara dan bagian timur, Kutub Utara. Perbandingan antara penderita laki-laki dan 

perempuan yaitu   2:1. Orang-orang Cina dengan antigen HLA-2 dan SIN-2 didalam 

tubuhnya memiliki  risiko terkena karsinoma nasofaring lima kali lebih tinggi 

dibandingkan dengan mereka  yang tidak memiliki antigen ini  dalam tubuhnya.  

Di wilayah dimana prevalensi karsinoma nasofaring tinggi biasanya infeksi virus EBV 

sudah terjadi pada usia dini namun tumor biasanya muncul pada usia 20-40 tahun. Hal ini 

sebagai bukti bahwa diduga ada faktor yang berperan sebagai faktor reaktivasi yang 

memicu  terjadinya invasi virus pada sel epitel pada usia lebih tua. Faktor penting 

yang diduga berperan sebagai faktor reaktivasi yaitu   infeksi pada saluran pernapasan 

yang terjadi berulang-ulang atau sebab  terjadinya iritasi oleh bahan kimia misalnya  

kandungan nitrosamine dalam makanan kering. Tingginya frekuensi kejadian karsinoma 

nasofaring diantara orang-orang yang berasal dari Cina bagian selatan, walaupun 

kemudian mereka beremigrasi ke negara lain,  dan adanya kaitan antara timbulnya 

karsinoma nasofaring dengan HLA haplotypes tertentu, memperkuat dugaan adanya faktor 

genetik timbulnya karsinoma nasofaring. Menurunnya frekuensi karsinoma nasofaring 

pada orang-orang ini  yang telah menjadi imigran di negara lain seperti AS, 

memperkuat dugaan bahwa ada faktor lingkungan sebagai kofaktor yang berperan, seperti 

kandungan nitrosamine dalam ikan asap atau makanan lainnya.  

Deteksi dini dari tumor ini di daerah endemis yaitu   dengan cara melakukan skrining 

terhadap antibodi IgA terhadap antigen kapsid virus EBV dapat membantu dilakukannya 

pengobatan dini. Vaksin subunit untuk infeksi EBV saat ini sedang dikembangkan. Satu-

satunya pengobatan spesifik untuk tumor ini yaitu   pemberian kemoterapi setelah tumor 

ini terdiagnosa. Kasus karsinoma nasofaring harus dilaporkan kedalam sisten register 

tumor. 

 

 

 

IV.  KEGANASAN YANG KEMUNGKINAN DISEBABKAN INFEKSI EBV 

 

A.  PENYAKIT HODGKIN’S     ICD-9 201; ICD-10 C81 

 

Penyakit Hodgkin’s (HD) yaitu   suatu tumor sistem limfatik yang memberikan gambaran 4 

subtipe histologis yaitu: sklerosis noduler, predominan limfosit, bentuk campuran dan bentuk 

deplesi limfosit. Gambaran histologis yang sangat khas dari penyakit hodgkin’s yaitu   

ditemukannya sel yang spesifik yang disebut dengan Reed-Sternberg Cell (RSC). Sel ini tidak 

patognomonis untuk HD, sebab  sel ini juga ditemukan pada penderita dengan infeksi 

mononukleosis infeksiosa (IM).  

Pemicu  HD belum diketahui dengan pasti, namun dari hasil pemeriksaan laboratorium dan 

gambaran epidemiologis menunjukkan 50% lebih penderita HD mengalami infeksi EBV. HD 

lebih sering ditemukan di negara-negara maju dengan insidensi yang relatif rendah pada age 

adjusted. HD lebih sering ditemukan pada warga  dengan status sosial ekonomi yang 

 

 341

tinggi, pada anggota keluarga kecil dan lebih sering dijumpai pada ras kaukasus dibandingkan 

dengan orang Amerika kulit hitam.  

HD yang timbul setelah infeksi oleh mononukleosis infeksiosa di AS insidensi tertinggi 

dijumpai pada kelompok usia 17-19 tahun, biasanya muncul sekitar 10 tahun setelah infeksi. 

HD pada usia yang lebih tua biasanya ada hubungannya dengan infeksi EBV, sebagai akibat 

reaktivasi virus sebab  menurunnya sistem kekebalan tubuh. Tingginya frekuensi infeksi EBV 

yang ditemukan pada penderita HD penyandang AIDS, dimana masa inkubasi munculnya HD 

relatif pendek, diduga sebagai akibat terjadinya immunodefisiensi yang berat akibat infeksi 

HIV.  Belum diketahui apakah keberadaan virus EBV didalam sel tumor sebagai Pemicu  

ataukah sebagai akibat.  

HD yang ditemukan pada penderita AIDS, terutama pada penderita AIDS yang diakibatkan 

pemakaian NAPZA suntikan sebagian besar ada hubungannya dengan infeksi EBV. Penderita 

HD harus dilaporkan kedalam sistem registrasi tumor. 

 

 

 

B.  LIMFOMA NON-HODGKIN’S   ICD-10 B21.2, C83.0, C83.8, C83.9, C85 

 

Insidensi limfoma pada penderita AIDS berkisar antara 50-100 kali jika dibandingkan 

warga  umum. Sebagian besar limfoma disebabkan oleh infeksi EBV sedang  virus 

yang diduga kuat sebagai Pemicu  tumor limfoma non-Hodgkin’s (NHL), seperti tumor 

limfoma SSP dan limfoma tingkat tinggi yaitu   HIV. Sejak tahun 1980-an terjadi peningkatan 

insidensi NHL di kalangan anak usia muda kulit putih, bujangan, yang menderita AIDS. 

Sekitar 4% penderita AIDS ditemukan menderita limfoma, dan diperkirakan 30% penderita 

AIDS akan menderita limfoma apabila mereka masih hidup agak lama. Sampai saat ini belum 

diketahui dengan pasti apakah adanya virus EBV didalam sel sebagai faktor Pemicu  

ataukah hanya secara kebetulan saja virus EBV masuk kedalam sel tumor setelah tumor 

terbentuk. Namun dari berbagai bukti-bukti yang telah dikumpulkan kuat dugaan bahwa EBV 

yaitu   sebagai faktor Pemicu .  

Meningkatnya frekuensi kejadian NHL tidak dapat dijelaskan dengan meningkatnya penderita 

AIDS. sebab  NHL juga sering ditemukan pada penderita imunodefisiensi bentuk lain seperti 

pada penderita pasca transplantasi, pada mereka yang menerima pengobatan imunosupresif 

dan pada penderita imunodefisiensi herediter. Sedikit sekali pengetahuan epidemiologis yang 

kita miliki tentang faktor risiko yang melatarbelakangi timbulnya NHL. Perubahan pola 

antibodi terhadap karakteristik infeksi EBV dapat dilihat pada penderita dengan status 

imunodefisiensi, ditemukan pada sebagian besar penderita NHL. Perubahan-perubahan pola 

antibodi ini terlihat sebelum munculnya NHL. Dengan teknik molekuler, genom EBV 

ditemukan pada 10-15% sel tumor penderita NHL bentuk spontan. Kasus NHL harus 

dilaporkan kedalam sistem register tumor. 

 

 

 

 

 

 

 342

V.  SARKOMA KAPOSI     ICD-9 173.0-173.9; ICD-10 C46.0-46.9 

 (Idiophatic multiple pigmented hemorrhagic sarcoma) 

 

 

Sarkoma Kaposi (KS) yaitu   neoplasma vaskuler sebagai akibat terjadinya proliferasi dari sel 

jaringan ikat. KS ditandai dengan timbulnya makula yang berwarna merah ungu atau biru-

coklat, plak (plaque) dan nodula pada kulit dan organ tubuh yang lain. Lesi pada kulit jelas, 

keras atau lembek, soliter atau bergerombol. KS pertama kali ditemukan pada tahun 1872 

yang pada waktu itu disebut sebagai tumor yang etiologinya tidak diketahui, sebelum penyakit 

ini ditemukan pada pasien AIDS.  

Ada empat bentuk yang berbeda secara epidemiologis dari KS. Bentuk KS klasik terjadi pada 

laki-laki dewasa terutama pada orang Mediterania atau orang Eropa Timur keturunan Yahudi. 

Bentuk kedua, bentuk endemis ditemukan di daerah katulistiwa Afrika dan ditemukan pada 

semua golongan umur. Kedua bentuk KS ini tidak diketahui faktor pencetusnya apakah 

sebab  faktor lingkungan ataukah defisiensi imunitas. Dan kedua tipe KS terakhir sebaliknya 

berhubungan dengan penerima transplantasi organ yang memperoleh terapi imunosuprseif dan 

orang yang terkena infeksi HIV-1, keduanya diikuti dengan menurunnya kekebalan.  Dari 

semua bentuk KS, laki-laki paling banyak terkena. Bentuk epidemik dari KS menunjukkan 

gejala klinis yang paling agresif dan sering ditemukan pada penderita infeksi HIV. Meskipun 

berbeda manifestasi klinis dan status serologis dari HIV-1 sebaiknya keempat jenis tumor KS 

digolongkan menjadi satu entitas oleh sebab  adanya persamaan gambaran 

Immunohistochemical dari sel jaringan ikat dari tumor.   

Sekarang diketahui bahwa virus herpes sarkoma kaposi (KSHV)  yang juga disebut dengan 

virus herpes-8 pada manusia (HHV-8) sebagai Pemicu  KS. Virus herpes ini ditemukan pada 

tahun 1994 sebagai virus baru (novel virus) yaitu Gammaherpesvirus pada manusia yang 

memiliki  hubungan dengan virus herpes onkogenik pada kera yaitu Herpesvirussaimiri. 

Bukti-bukti adanya infeksi virus sangat jelas, selalu ditemukan pada semua kasus KS dan 

bukti-bukti lain yang ditemukan juga mengarah pada peran kunci dari infeksi  virus sebagai 

faktor etiologis terjadinya KS. Adanya infeksi KSHV sebelum munculnya gejala klinis KS, 

pada berbagai penelitian epidemiologis membuktikan kuatnya asosiasi antara infeksi KSHV 

dengan tingginya angka kejadian KS di warga .  Infeksi virus ini dengan target sel-sel 

jaringan ikat (endothelium)  dianggap sebagai determinan utama terjadinya proses 

pembentukan tumor KS. KSHV juga diketahui merangsang terjadinya transformasi sel-sel 

endothelial primer.  

Dari hasil penelitian seroepidemiologis menunjukkan bahwa distribusi geografis dari KSHV 

lebih terbatas dibandingkan dengan distribusi geografis dari 7 jenis virus herpes yang lain 

pada manusia. Sebagai contoh di Amerika Utara, seroprevalensi virus ini bervariasi antara 0-

1% pada donor darah dan pada penderita infeksi HIV sekitar 35%, sedang  pada penderita 

KS pengidap AIDS, 100%.  Sebaliknya di Milan, Italia, dimana KS endemis, seroprevalensi 

KSHV pada darah donor sebesar 4%. Prevalensi tinggi ditemukan di Afrika Tengah yaitu 

58% orang berusia 14-84 tahun positif terinfeksi KSHV. Seroprevalensi meningkat secara 

linear menurut umur dan tidak ada perbedaan pada laki-laki dan perempuan. 

Analisis serologis menunjukkan bahwa infeksi virus ini terjadi terutama pada orang-orang 

yang aktif secara seksual terutama pada homoseksual. Kesimplan ini didukung oleh fakta 

bahwa adanya perbedaan yang sangat mencolok antara risiko terjadinya KS pada penderita 

AIDS yang HIV-nya diperoleh melalui transfusi darah dan produk darah lainnya.  

 

 343

Proporsi penderita hemofilia dan penderita AIDS yang memperoleh infeksi HIV melalui 

transfusi darah dan kemudian menderita KS yaitu   berkisar antara 1-3%. Bukti lain 

menunjukkan bahwa bagi yang lahir dari ibu yang positif HIV-1 ternyata menderita KS pada 

usia yang sangat muda. Di Afrika, dari data yang dikumpulkan menunjukkan tingginya 

seroprevalensi KSHV pada dewasa muda dan terjadinya hubungan linear peningkatan 

seroprevalensi dengan bertambahnya usia, membuktikan bahwa modus transmisi KSHV yang 

paling penting yaitu   melalui rute nonseksual. KS tidak bisa disembuhkan, belum ada 

pengobatan untuk KS walaupun diketahui terjadi remisi parsial ataupun lengkap. KS harus 

dilaporkan melalui register tumor.  

 

 

 

VI.  KEGANASAN PADA JARINGAN LIMFE  

      ICD-9 202; ICD-10 C84.1, C84.5, C91.4, C91.5 

(Adult T-cell leukemia [ATL], T-cell lymphosarcoma [TLCL], peripheral T-cell lymphoma 

[Sèzary disease], Hairy cell leukemia) 

 

T-cell leukemia dewasa (ATL) yaitu   leukemia/limfoma yang berasal dari  T-cell yang 

sering ditemukan di Jepang, identik dengan T-cell lymphoma sarcoma-cell leukemia 

(TLCL), yang jarang ditemukan di Kepulauan Karibia, pantai Pasifik Afrika Selatan, 

daerah katulistiwa Afrika dan AS bagian selatan. Proses keganasan yang terjadi pada 

orang dewasa ini dikaitkan dengan infeksi Human T-cell lymphotropic virus (HTLV-1), 

anggota familia retrovirus.  Infeksi pada bayi melalui ASI dapat memicu  

terbentuknya tumor yang biasanya muncul pada usia 50 tahun. Ini membuktikan bahwa 

risiko untuk mendapatkan ATL lebih renah apabila infeksi virus terjadi pada usia yang 

lebih dewasa, misalnya infeksi yang terjadi melalui transfusi darah, hubungan seksual 

ataupun sebab  pemakaian jarum suntik bersama para pecandu NAPZA. Virus yang sama 

dapat memicu  apa yang disebut dengan tropical spastic paraparesis (TSP; di Jepang 

disebut dengan HTLV-1 associated myelopathy (HAM)). Dewasa muda Jepang dan kulit 

hitam Karibia, memiliki  risiko paling tinggi terkena ATL. 

Bukti-bukti serologis, virologis dan epidemiologis menunjukkan bahwa HTLV-1 berperan 

sangat kuat sebagai Pemicu  leukemia/limfoma. Secara umum upaya pencegahan 

terhadap AIDS (lihat tentang AIDS, seksi 9). Efektivitas skrining pada darah donor untuk 

menemukan antibodi terhadap HTLV-1 dan 2 belum terbukti. Di AS penularan virus 

melalui darah donor sangat jarang terjadi oleh sebab  rendahnya prevalensi infeksi virus 

ini pada warga  umum. Walaupun demikian skrining darah donor untuk mendeteksi 

virus ini menjadi prosedur standar di AS. Tumor ganas jaringan limfe ini hendaknya 

dilaporkan melalui sistem register tumor. 

 

 

 

VII.  KANKER SERVIKS (CERVICAL CANCER)  ICD-9 180; ICD-10 C53 

  (Karsinoma leher rahim) 

 

Kanker serviks menempati urutan keenam  sebagai Pemicu  kanker di dunia dan tertinggi 

prevalensinya diantara wanita di negara berkembang. Kanker ini  banyak juga terjadi 

 

 344

di negara Barat. Menurut penelitian, insidensi yang paling tinggi ditemukan pada wanita 

yang memiliki  riwayat melakukan hubungan seksual terlalu muda, dan sering 

melakukan hubungan seksual dengan banyak pasangan, biasanya pada warga  dengan 

status sosial ekonomi rendah. Tiga perempat penderita karsinoma serviks ada di negara 

berkembang.  

Human papillomavirus (HPV)  pada manusia terbukti sebagai Pemicu  terjadinya kanker 

serviks. Sementara itu HPV biasanya selama ini sebagai Pemicu  cuplak jinak (benign 

wart) dan verrucae (lihat Warts dan virus). Terbukti bahwa HPV tipe 16 dan 18 

ditemukan pada jaringan tumor dari neoplasma serviks. Genom virus ini ditemukan di 

dalam sel pada 80-90% dari penderita neoplasma. Hendaknya kasus karsinoma serviks 

dilaporkan kedalam sistem register tumor. 

 

 

 

CAMPAK       ICD-9 055; ICD-10 B05 

(Rubeola, hard measles, Red measles, Morbilli) 

 

 

1.   Identifikasi 

Suatu penyakit virus akut yang sangat menular dengan gejala awal berupa demam, 

konjungtivitis, pilek, batuk dan binti-bintik kecil dengan bagian tengah berwarna putih 

atau putih kebiru-biruan dengan dasar kemerahan di daerah mukosa pipi (bercak Koplik). 

Tanda khas bercak kemerahan dikulit timbul pada hari ketiga sampai ketujuh; dimulai di 

daerah muka, kemudian menyeluruh, berlangsung selama 4-7 hari, dan kadang-kadang 

berakhir dengan pengelupasan kulit berwarna kecoklatan. Sering timbul lekopenia. 

Penyakit lebih berat pada bayi dan orang dewasa dibandingkan dengan anak-anak. 

Komplikasi dapat terjadi sebagai akibat replikasi virus atau sebab  superinfeksi bakteri 

antara lain berupa otitis media, pneumonia, laryngotracheobronchitis (croup), diare, dan 

ensefalitis.  

Di Amerika Serikat sekitar tahun 1990-an, kematian sebab  campak sebesar 2-3 per 1.000 

kasus; kematian terutama pada anak-anak dibawah 5 tahun, terutama sebab  pneumonia 

dan kadang-kadang oleh sebab  ensefalitis. Campak lebih berat diderita oleh anak-anak 

usia dini dan yang kekurangan gizi, pada penderita golongan ini biasanya ditemukan ruam 

dengan perdarahan, kehilangan protein sebab  enteropathy, otitis media, sariawan, 

dehidrasi, diare, kebutaan dan infeksi kulit yang berat. Anak-anak dengan defisiensi 

vitamin A subklinis atau klinis berisiko tinggi  menderita kelainan di atas. CFR di negara 

berkembang diperkirakan sebesar 3-5% namun  seringkali di beberapa lokasi berkisar antara 

10%-30%.  Dilaporkan adanya kematian akut dan tertunda pada bayi dan anak-anak. Pada 

anak-anak dalam kondisi garis batas kekurangan gizi, campak seringkali sebagai pencetus 

terjadinya kwasiorkor akut dan eksaserbasi defisiensi vitamin A yang dapat memicu  

kebutaan. Sangat jarang sekali timbul Subacute sclerosing panencephalitis (SSPE), hanya 

sekitar 1 per 100.000 dan terjadi beberapa tahun setelah infeksi; lebih dari 50% kasus-

kasus SSPE pernah menderita campak pada 2 tahun pertama umur kehidupan. 

Diagnosa biasanya dibuat berdasarkan gejala klinis dan epidemiologis walaupun 

konfirmasi laboratorium dianjurkan untuk dilakukan. Pemeriksaan laboratorium dilakukan 

untuk mendeteksi antibodi IgM spesifik campak yang timbul pada hari ke 3-4 setelah 

 

 345

timbulnya ruam atau untuk mendeteksi peningkatan yang signifikan titer antibodi antara 

serum akut dan konvalesens untuk memastikan diagnosis campak. Teknik yang jarang 

digunakan antara lain identifikasi antigen virus dengan usap mukosa nasofaring 

memakai   teknik FA atau dengan isolasi virus dengan kultur sel dari sample darah 

atau usap nasofaring yang diambil sebelum hari keempat timbulnya ruam atau dari 

spesimen air seni yang diambil sebelum hari kedelapan timbulnya ruam. 

 

2.  Pemicu  infeksi  - virus campak, anggota genus Morbillivirus dari famili 

Paramyxoviridae. 

 

3.   Distribusi penyakit 

Sebelum kegiatan imunisasi dilakukan secara luas, campak sering terjadi pada masa 

kanak-kanak, lebih dari 90% warga  telah terinfeksi pada saat mereka mencapai usia 20 

tahun; sedikit sekali orang yang terbebas dari serangan campak selama hidupnya. Campak 

endemis di warga  metropolitan dan mencapai proporsi untuk terjadi KLB setiap 2-3 

tahun. Pada kelompok warga  dan daerah yang lebih kecil, KLB cenderung terjadi 

lebih luas dan lebih berat. Dengan interval antar KLB (honeymoon period) yang lebih 

panjang seperti yang terjadi di daerah Kutub Utara dan di beberapa pulau tertentu, KLB 

campak sering menyerang sebagian warga  dengan angka kematian yang tinggi. 

Dengan program imunisasi yang efektif untuk bayi dan anak, kasus-kasus campak di 

Amerika Serikat, Kanada dan negara-negara lainnya (seperti Finlandia, Republik Czech) 

turun sebesar 99% dan pada umumnya  campak hanya menyerang anak-anak yang tidak 

diimunisasi atau anak-anak yang lebih besar, remaja atau dewasa muda yang hanya 

menerima vaksin satu dosis.  

Di Amerika Serikat pernah ada peningkatan insidensi campak pada tahun 1989-1991. 

kebanyakan kasus terjadi pada anak-anak yang tidak mendapatkan imunisasi, termasuk 

anak-anak di bawah umur 15 bulan. KLB yang berkepanjangan timbul pada populasi anak 

sekolah diantara 2-5% dari mereka yang gagal membentuk antibodi; tidak terjadi 

serokonversi setelah mendapat vaksinasi 1 dosis. Sejak jadwal imunisasi 2 dosis 

diterapkan , insidensi campak telah menurun, pada level yang sangat rendah dan data 

terakhir menunjukkan adanya pemutusan rantai penularan endogenous di Amerika 

Serikat. Di sebagian besar negara-negara Amerika Latin, pemberian vaksin campak 

sebagai tambahan pada saat kampanye Pekan Imunisasi Nasional (PIN)  memberikan hasil 

hampir terjadi eliminasi campak dinegara ini . Pada tahun 1994, negara-negara Barat 

menetapkan target eliminasi campak untuk dicapai pada akhir tahun 1005. Di daerah iklim 

sedang campak timbul terutama pada akhir musim dingin dan pada awal musim semi. Di 

daerah tropis campak timbul biasanya pada musim panas.  

 

4.   Reservoir -  manusia. 

 

5.   Cara penularan 

Melalui udara dengan penyebaran droplet, kontak langsung, melalui sekret hidung atau 

tenggorokan dari orang-orang yang terinfeksi dan agak jarang melalui benda-benda yang 

terkena sekret hidung atau sekret tenggorokan. Campak merupakan salah satu penyakit 

infeksi yang sangat menular. 

 

 

 346

6.   Masa inkubasi 

Masa inkubasi berlangsung sekitar 10 hari, tapi bisa berkisar antara 7-18 hari dari saat 

terpajan sampai timbul gejala demam, biasanya 14 hari sampai timbul ruam. Jarang sekali 

lebih lama dari 19-21 hari. IG untuk perlindungan pasif yang diberikan setelah hari ketiga 

masa inkubasi dapat memperpanjang masa inkubasi. 

 

7.   Masa penularan 

Masa penularan berlangsung mulai dari hari pertama sebelum munculnya gejala 

prodromal (biasanya sekitar 4 hari  sebelum timbulnya ruam) sampai 4 hari setelah timbul 

ruam; minimal setelah hari kedua timbulnya ruam. Virus vaksin yang dilemahkan sampai 

saat ini tidak pernah dilaporkan menular. 

 

8.   Kerentanan dan kekebalan 

Semua orang yang belum pernah terserang penyakit ini dan mereka yang belum pernah 

diimunisasi serta nonresponders rentan terhadap penyakit ini. Imunitas yang didapat 

setelah sakit bertahan seumur hidup. Bayi yang baru lahir dari ibu yang pernah menderita 

campak akan terlindungi kira-kira selama 6-9 bulan pertama atau lebih lama tergantung 

dari titer antibodi maternal yang tersisa pada saat kehamilan dan tergantung dari titer 

maternal yang tersisa pada saat kehamilan dan tergantung pada kecepatan degradasi 

antibodi ini . Antibodi maternal mengganggu respons terhadap vaksin. Imunisasi 

yang diberikan pada usia 12-15 bulan memberikan imunitas kepada 94-98% penerima, 

imunisasi dapat menaikkan tingkat imunitas sampai sekitar 99%. Bayi yang baru lahir dari 

ibu yang memperoleh kekebalan sebab  vaksinasi campak, menerima antibodi pasif dari 

ibunya lebih sedikit jika dibandingkan dengan bayi yang lahir dari ibu yang mendapatkan 

kekebalan alamiah. Dan bayi ini lebih mudah terkena campak sehingga membutuhkan 

imunisasi campak pada usia yang lebih dini dari jadwal yang biasanya dilakukan. 

 

9.   Cara-cara pemberanasan 

A. Cara-cara pencegahan 

1) Di Amerika Serikat diberikan penyuluhan kepada warga  oleh Departemen 

Kesehatan dan dokter praktek swasta yang menganjurkan imunisasi campak untk 

semua bayi, anak remaja dan dewasa muda yang masih rentan yang lahir pada dan 

setelah tahun 1957. Apabila pemberian vaksinasi campak merupakan 

kontraindikasi dan bagi orang-orang yang tidak diimunisasi dan orang ini  

diketahui dalam waktu lebih dari 72 jam terpajan campak di lingkungan keluarga 

atau di lingkungan institusi, dapat dilindungi sebagian atau sepenuhnya dengan 

pemberian IG yang diberikan dalam waktu 6 hari setelah terpajan. 

2) Imunisasi:  Vaksin campak yang mengandung virus yang dilemahkan yaitu   

vaksin pilihan digunakan bagi semua orang yang tidak kebal terhadap campak, 

kecuali ada kontraindikasi (lihat 9A 2c, di bawah). Pemberian dosis tunggal vaksin 

campak hidup (live attenuated) biasanya dikombinasikan dengan vaksin hidup 

lainnya (mumps, rubella), dapat diberikan bersama-sama dengan vaksin yang 

diinaktivasi lainnya atau bersama-sama toksoid; dapat memberikan imunitas aktif 

pada 94-98% individu-individu yang rentan, kemungkinan kekebalan yang timbul 

dapat bertahan seumur hidup, kalaupun terjadi infeksi maka bentuk infeksinya 

 

 347

sangat ringan atau infeksi tidak nampak dan tidak menular. Dosis kedua vaksin 

campak dapat meningkatkan tingkat kekebalan sampai 99%.  

Sekitar 5-15% dari orang setelah divaksinasi menunjukkan gejala kelesuan dan 

demam mencapai 39.4°C (103°F). gejala ini muncul antara 5-12 hari setelah 

diimunisasi, biasanya akan berakhir  setelah 1-2 hari, namun tidak begitu 

mengganggu. Ruam, pilek, batuk ringan dan bercak Koplik kadang-kadang juga 

dapat timbul. Kejang demam dapat pula timbul, namun sangat jarang dan tanpa 

menimbulkan gejala sisa. Insidensi tertinggi terjadinya kejang demam yaitu   pada 

anak-anak dengan riwayat atau keluarga dekat (orang tua atau saudaranya) 

memiliki  riwayat kejang demam. Ensefalitis dan ensefalopati pernah dilaporkan 

terjadi setelah diimunisasi campak (kejadiannya kurang dari 1 kasus per 1 juta 

dosis yang diberikan). Di Indonesia kejadian-kejadian seperti ini dipantau oleh 

Pokja KIPI (Kejadian Ikutan Paska Imunisasi).  

Untuk mengurangi jumlah kegagalan pemberian vaksin, di Amerika Serikat jadwal 

rutin pemberian vaksin campak 2 dosis, dengan dosis awal diberikan pada umur 

12-15 bulan atau sesegera mungkin setelah usia itu. Dosis kedua diberikan pada 

saat masuk sekolah (umur 4-6 tahun) namun dapat juga dosis kedua ini diberikan 

sedini mungkin, 4 minggu setelah dosis pertama dalam situasi dimana risiko untuk 

terpajan campak sangat tinggi. Kedua dosis diberikan sebagai vaksin kombinasi 

MMR (measles, mumps dan rubella). Imunisasi rutin dengan MMR pada umur 12 

bulan penting dilakukan di wilayah dimana timbul kasus campak. Selama terjadi 

KLB di warga , usia yang direkomendasikan untuk imunisasi memakai   

vaksin campak monovalent dapat diturunkan menjadi 6-11 bulan. Dosis kedua 

vaksin campak kemudian diberikan pada umur 12-15 bulan dan dosis ketiga pada 

waktu masuk sekolah. 

Dari hasil penelitian di Afrika dan Amerika Latin menunjukkan bahwa umur 

optimal untuk diimunisasi di negara berkembang sangat tergantung pada antibodi 

maternal yang masih bertahan pada bayi dan tingkat risiko terpajan campak pada 

umur yang lebih muda. Secara umum WHO Menganjurkan pemberian imunisasi 

campak pada umur 9 bulan. Di Amerika Latin, PAHO (Pan American Health 

Organization) sekarang merekomendasikan pemberian imunisasi rutin pada umur 

12 bulan dan pemberian imunisasi tambahan secara berkala pada kampanye Pekan 

Imunisasi Nasional untuk mencegah terjadinya KLB. 

a) Penyimpanan dan pengiriman vaksin: Imunisasi bisa tidak memberikan 

perlindungan apabila vaksin tidak ditangani atau disimpan dengan benar. 

Sebelum dilarutkan, vaksin campak disimpan dalam keadaan kering dan beku, 

relatif stabil dan dapat disimpan di freezer atau pada suhu lemari es (2-8°C; 

35,6-46,4°F) secara aman selama setahun atau lebih. Vaksin yang telah dipakai 

harus dibuang dan jangan dipakai ulang. Baik vaksin beku-kering atau yang 

sedang dipakai  dilapangan harus dilindungi dari sinar ultraviolet yang lama 

sebab  dapat memicu  virus menjadi tidak aktif. 

b) Imunisasi ulang: Di Amerika Serikat sebagai tambahan terhadap imunisasi 

rutin imunisasi ulang diberikan pada anak-anak yang baru masuk sekolah, 

imunisasi ulang diperlukan lagi bagi anak-anak yang memasuki SMA, bagi 

mereka yang akan masuk perguruan tinggi atau kepada mereka yang akan 

masuk ke fasilitas perawatn penderita, kecuali bagi mereka yang memiliki 

 

 348

riwayat pernah terkena campak atau ada bukti serologis telah memiliki 

imunitas terhadap campak atau telah menerima 2 dosis vaksin campak.  Bagi 

mereka yang hanya menerima vaksin campak yang telah diinaktivasi, 

imunisasi ulang dapat menimbulkan reaksi lebih berat seperti bengkak lokal 

dan indurasi, limfadenopati dan demam, namun mereka akan terlindungi 

terhadap sindroma campak atipik.  

c) Kontra indikasi penggunaan vaksin virus hidup: 

d) Vaksin yang mengandung virus hidup tidak boleh diberikan kepada pasien 

dengan penyakit defisiensi imunitas primer yang mengenai fungsi sel T atau 

defisiensi imunitas yang didapat sebab  leukemia, limfoma, penyakit 

keganasan lain atau terhadap mereka yang mendapatkan pengobatan dengan 

kortikosteroid, radiasi, obat-obat alkilating atau anti metabolit, infeksi oleh 

HIV bukan merupakan kontra indikasi yang mutlak. Di Amerika Serikat 

imunisasi MMR dapat dipertimbangkan untuk diberikan kepada orang dengan 

infeksi HIV asimptomatis tanpa bukti adanya supresi imunologis yang berat. 

WHO merekomendasikan pemberian imunisasi campak kepada semua bayi 

dan anak-anak dengan mengabaikan status HIV-nya, sebab risiko untuk 

terkena campak yang berat pada ana-anak itu lebih besar.  

e) Penderita dengan penyakit akut yang berat dengan atau tanpa demam, 

pemberian imunisasi ditunda sampai mereka sembuh dari fase akut penyakit 

yang diderita; penyakit ringan seperti diare atau ISPA bukan merupakan kontra 

indikasi. 

f) Orang dengan riwayat hipersensivitas anafilaktik terhadap pemberian vaksin 

campak sebelumnya, mereka yang sensitif terhadap gelatin atau neomisin, 

tidak boleh menerima vaksin campak. Alergi terhadap telur, meskipun bila 

terjadi anafilaktik tidak dianggap sebagai kontra indikasi. 

g) Kehamilan. Secara teoritis vaksinasi tidak diberikan pada wanita hamil; 

mereka diberi penjelasan tentang risiko teoritis kemungkinan terjadi kematian 

janin apabila mereka menjadi hamil dalam waktu 1 bulan setelah mendapat 

vaksin campak monovalen atau 3 bulan setelah mendapat vaksin MMR. 

h) Vaksinasi harus diberikan paling lambat 14 hari sebelum pemberian IG atau 

sebelum transfusi darah.  IG atau produk darah dapat mengganggu respons 

terhadap vaksin campak dengan lama waktu yang bervariasi tergantung 

daripada dosis IG. Dosis yang biasa diberikan untuk Hepatitis A dapat 

mengganggu respons terhadap vaksin selama 3 bulan; dosis IG yang sangat 

besar yang diberikan melalui intravena dapat mengganggu respons terhadap 

vaksin sampai selama 11 bulan. 

3) Imunisasi campak sebagai persyaratan bagi anak-anak yang akan masuk sekolah 

dan bagi anak-anak pada pusat penitipan anak sampai dengan mahasiswa 

perguruan tinggi, telah terbukti efektif dalam penanggulangan campak di Amerika 

Serikat dan di beberapa propinsi di Kanada. Sejak KLB yang berkepanjangan 

terjadi di sekolah-sekolah walaupun cakupan imunisasi pada anak-anak ini  

mencapai  lebih dari 95%, tingkat kekebalan yang lebih tinggi dibutuhkan untuk 

mencegah timbulnya KLB. Hal ini dapat dicapai melalui imunisasi ulang yang 

diberikan secara rutin sebagai persyaratan untuk memasuki sekolah. 

 

 

 349

B.  Pengawasan penderita, kontak dan lingkungan perantara 

1) Laporan ke kantor Dinas Kesehatan setempat: Campak wajib dilaporkan di semua 

negara bagian di Amerika Serikat dan di banyak negara, Kelas 2A (lihat pelaporan 

penyakit menular). Laporan disampaikan secepatnya (dalam waktu 24 jam) untuk 

memberi kesempatan penanggulangan KLB yang lebih baik. 

2) Isolasi: tidak praktis dilakukan untuk warga  yang besar; Anak yang 

menderita campak jangan masuk sekolah selama 4 hari setelah timbulnya ruam. Di 

rumah sakit isolasi yang dilakukan mulai stadium kataral pada periode prodromal 

sampai dengan hari ke-4 timbulnya ruam dapat mengurangi keterpajanan pasien-

pasien dengan risiko tinggi lainnya. 

3) Disinfeksi serentak: Tidak ada. 

4) Karantina:  Biasanya tidak praktis. Karantina yang dilakukan pada institusi, 

bangsal atau penginapan kadang-kadang bermanfaat; lakukan pemisahan yang 

tegas terhadap bayi-bayi yang sehat apabila ditemukan penderita campak di sebuah 

institusi.  

5) Imunisasi kontak:  Vaksin virus hidup, bila diberikan dalam waktu 72 jam setelah 

terpajan dapat memberikan perlindungan. IG dapat diberikan dalam waktu 6 hari 

setelah terpajan bagi anggota keluarga yang rentan dan bagi kontak lainnya dimana 

orang-orang ini  memiliki  risiko komplikasi sangat tinggi (terutama kontak 

yang berumur di bawah 1 tahun, wanita hamil atau orang-orang dengan kelainan 

imunologis) atau diberikan kepada orang yang memiliki  kontra indikasi 

terhadap vaksinasi campak. Dosis IG yaitu   0,25 ml/kg BB (0,11 ml.lb) sampai 

dengan dosis maksimum  sebesar 15 ml. Vaksin campak virus hidup dapat 

diberikan kepada orang ini 5-6 bulan kemudian apabila tidak ada kontra indikasi. 

6) Investigasi kontak dan sumber infeksi: Lakukan investigasi terhadap orang-orang 

yang rentan yang terpajan dan kepada orang ini diberi imunisasi untuk mencegah 

penularan penyakit. Status carrier tidak diketahui. 

7) Pengobatan spesifik:  Tidak ada. 

 

C.   Penanggulangan KLB 

1) Laporkan segera (dalam waktu 24 jam) kasus-kasus tersangka campak yang 

ditemukan dan lakukan kegiatan imunisasi yang komprehensif bagi semua orang 

yang rentan untuk mencegah penularan. Jika terjadi KLB campak di tempat 

penitipan anak, sekolah dan perguruan tinggi di Amerika Serikat, maka terhadap 

semua orang yang tidak memiliki Catatan vaksinasi pada waktu bayi dengan 2 

dosis dengan interval minimal 1 bulan harus diimunisasi, kecuali jika mereka 

memiliki Catatan dari dokter bahwa mereka pernah menderita campak atau 

memiliki bukti laboratorium tentang status imunisasinya. 

2) Apabila KLB terjadi di suatu institusi, penghuni baru harus diberi vaksinasi atau 

IG. 

3) Di banyak negara berkembang, CFR campak masih tinggi. Apabila vaksin 

tersedia, pemberian vaksinasi pada awal suatu KLB membantu mencegah 

penyebaran lebih lanjut. Apabila persediaan vaksin terbatas, prioritas harus 

diberikan kepada anak-anak dengan risiko yang paling tinggi. 

 

 

 

 350

D.  Implikasi bencana 

Masuknya virus campak pada pengungsi dengan proporsi mereka yang rentan masih 

cukup tinggi dapat memicu  terjadinya KLB yang berat dengan angka kematian 

yang tinggi. 

 

E. Tindakan lebih lanjut :  Tidak ada. 

 

 

 

 

MELIOIDOSIS      ICD-9 025; ICD-10 A2A 

(Penyakit Whitmore) 

 

1. Identifikasi 

Suatu penyakit infeksi oleh bakteri yang sangat jarang terjadi dengan spektrum gejala 

klinis mulai dari tanpa gejala atau konsolidasi paru-paru yang asimptomatik sampai  

kepada pneumonia nekrotis dan atau septicemia yang fatal. Dapat menyerupai demam 

tifoid, atau lebih sering menyerupai TBC; gambaran klinis dapat berupa terbentuknya 

cavernae pada paru-paru, empiema, abses kronis dan osteomielitis. 

Diagnosa ditegakkan dengan isolasi kuman Pemicu ; peningkatan titer antibodi pada 

pemeriksaan serologis merupakan diagnosa pasti. Kemungkinan diagnosa melioidosis 

harus dipikirkan pada setiap penderita dengan gejala supurasi yang tidak dapat dijelaskan, 

terutama pada penderita penyakit paru-paru dengan kavitasi dan orang ini  tinggal 

atau baru kembali dari Asia Tenggara dan wilayah endemis lainnya; dapat juga penyakit 

ini baru tampak gejalanya 25 tahun setelah terpajan. 

 

2. Pemicu  Infeksi:  Pseudomonas pseudomallei, basilus Whitmore. 

 

3. Distribusi Penyakit 

 Penyakit ini dengan gejala klinis yang jelas jarang terjadi, umumnya penyakit ini 

menyerang orang-orang dengan kulit terkelupas, sobek, terbakar yang kontak erat dengan 

tanah atau air yang terkontaminasi. Dapat timbul sebagai komplikasi dari luka yang jelas 

atau setelah teraspirasi air. Penderita penyakit ini pernah dilaporkan tidak hanya terbatas 

di Asia Tenggara (Myanmar, Thailand, Malaysia, Indonesia, Vietnam, Filipina), Iran, 

Turki, Australia, Papua Nugini, Guam, Burkina Faso (Volta Hulu), Ivory Coast, Sri 

Lanka, Madagaskar, Brazil, Ekuador, Panama, Meksiko, Haiti, El Savador, Puerto Rico 

dan Aruba, di tempat lain kemungkinan penyakit ini juga ada. Di beberapa tempat di 

wilayah ini  5-20% dari pekerja di bidang pertanian ditemukan antibodi di dalam 

tubuhnya tapi tidak ada riwayat dari penyakit ini secara jelas; di Thailand dianggap 

sebagai penyakit petani beras. 

 

4. Reservoir  

Organisme ini saprofit di tanah dan di air. Beberapa jenis binatang seperti kambing, 

domba, kuda, babi, monyet dan roden (dan beberapa binatang lainnya dan burung di 

kebun binatang) bisa terinfeksi. Tidak ada bukti bahwa mereka merupakan reservoir yang 

penting kecuali bahwa mereka berperan memindahkan agen ke fokus baru. 

 

 351

5. Cara penularan 

Biasanya melalui kontak dengan tanah atau air yang terkontaminasi melalui luka kulit 

yang nampak jelas atau yang tidak nampak, melalui aspirasi atau tertelannya cairan yang 

terkontaminasi atau melalui inhalasi debu tanah. 

 

6. Masa inkubasi 

Dapat singkat hanya 2 hari. Tapi bisa juga berlangsung beberapa tahun sejak terpajan 

hingga timbulnya gejala penyakit. 

 

7. Periode penularan 

Tidak terbukti adanya penularan dari orang ke orang. Pernah dilaporkan terjadi penularan 

setelah kontak seksual dengan orang yang menderita infeksi prostat. Infeksi yang didapat 

sebab  bekerja di laboratorium jarang terjadi, namun  bisa terjadi terutama apabila cara kerja 

pemeriksaan laboratorium ini  menghasilkan uap (aerosol). 

 

8. Kerentanan dan kekebalan 

Penyakit ini jarang terjadi pada manusia, bahkan pada orang yang tinggal di daerah 

endemis yang memiliki  kontak dekat dengan tanah atau air yang mengandung agen ini. 

Banyak penderita kronis tanpa gejala, timbul gejala klinis setelah suatu luka berat, luka 

baker atau penyakit timbul oleh sebab  adanya kondisi predisposisi yang mendasarinya 

seperti diabetes atau gagal ginjal. Kondisi-kondisi ini dapat memicu penyakit atau 

recrudescense penyakit pada individu yang terinfeksi namun tanpa memperlihatkan 

gejala. 

 

9. Cara-cara pemberantasan 

 A. Cara-cara pencegahan 

 1) Orang dengan debilitas dan penyakit-penyakit lain yang menurunkan imunitas dan 

mereka dengan luka akibat trauma harus menghindarkan diri dari terpajan dengan 

tanah atau air seperti misalnya di sawah di daerah endemis. 

2) Di daerah endemis lecet di kulit, abrasi atau luka bakar yang terkontaminasi 

dengan tanah atau air permukaan harus segera dibersihkan dengan benar. 

 

B.  Pengawasan penderita, kontak dan lingkungan sekitarnya 

1)  Laporan ke Dinas Kesehatan setempat: tidak ada pelaporan resmi, Kelas 5 (lihat 

pelaporan penyakit menular). 

2) Isolasi: Hati-hati terhadap  discharge sinus dan saluran nafas. 

3) Disinfeksi serentak:  Buanglah discharge dengan cara yang aman. 

4) Karantina:  Tidak dilakukan. 

5) Imunisasi kontak: Tidak dilakukan. 

6) Investigasi terhadap kontak dan sumber infeksi: Carrier pada manusia tidak ada. 

7) Pengobatan spesifik: yang paling efektif yaitu   TMP-SMX. Pengobatan ini 

memberikan hasil yang baik jika diberikan kepada kasus-kasus subakut dan kronis. 

Untuk penderita dengan sepsis akut, direkomendasikan pemberian ceftazidime 

dikombinasikandengan TMP-SMX dan gentamicin. Dari hasil penelitian di 

Thailand, relaps berkurang setelah pemberian terapi dengan obat kombinasi per 

oral kloramfenikol, doksisiklin dan TMP-SMX. Obat terbaik untuk kasus-kasus 

 

 352

septikemi berat yaitu   ceftazidime intravena dengan amoksisiklin/clavulanate 

sebagai obat alternatif. 

 

C.  Penanggulangan wabah 

Prosedur dan cara-cara penanggulangan wabah/KLB tidak diterapkan pada penyakit 

ini sebab  ia merupakan penyakit yang sporadis. 

 

D. Implikasi bencana:  Tidak ada. 

 

E. Tindakan lebih lanjut :  Tidak ada. 

Prosedur lebih lanjut  baku perlu dipertimbangkan apabila mengangkut/membawa 

binatang dari suatu daerah ke daerah yang selama ini belum pernah dilaporkan terjadi 

penyakit ini. 

 

 

 

 

GLANDERS       ICD-9 024; ICD-10 A24.0 

   

Glanders  yaitu   penyakit yang sangat menular pada kuda, bagal, keledai; telah lama hilang di 

banyak wilayah di dunia, walaupun fokus-fokus enzootic diduga masih ada di Asia dan di 

daerah bagian selatan negara-negara Mediteran. Secara klinis penyakit glanders tidak 

ditemukan lagi di negara-negara Barat. Infeksi pada manusia sangat jarang terjadi biasanya 

muncul secara sporadis dan hanya pada mereka yang pekerjaannya berhubungan dengan 

binatang atau pada mereka yang bekerja di laboratorium (seperti dokter hewan, jagal dan ahli 

patologi). Pemicu  infeksi yaitu   organisme Pseudomonas mallei (Actinobacillus mallei), 

basilus Pemicu  glanders tidak bisa dibedakan secara serologis dari P. pseudomallei; 

diagnosis spesifik dapat dibuat hanya dengan menemukan/mengisolasi organisme ini . 

Upaya pencegahan sangat tergantung pada upaya pemberantasan glanders pada binatang dan 

tindakan kewaspadaan pada waktu menangani organisme Pemicu . Pengobatannya sama 

dengan pengobatan melioidosis. 

 

 

 

 

MENINGITIS 

 

I. MENINGITIS VIRAL     ICD-9 047; ICD-10 A87 

(Meningitis Aseptik, Meningitis serosa, Meningitis non bakteriai atau Meningitis Abakterial) 

(Meningitis Nonpiogenik)     ICD-9 322.0; ICD-10 G03.0 

 

1. Identifikasi 

Relatif sering ditemukan namun penyakit ini jarang sekali  ditemukan dengan sindroma 

klinis serius atau dengan Pemicu  virus yang multiple, ditandai dengan munculnya 

demam tiba-tiba dengan gejala dan tanda-tanda meningeal. Pemeriksaan likuor 

serebrospinal  ditemukan pleositosis (biasanya mononukleosis tapi bisa juga polimorfo 

 

 353

nuklier pada tahap-tahap awal), kadar protein meningkat, gula normal dan tidak 

ditemukan bakteri. Ruam seperti rubella sebagai ciri infeksi yang disebabkan oleh virus 

echo dan virus coxsackie; ruam vesikuler dan petekie bisa juga timbul. Penyakit dapat 

berlangsung sampai 10 hari. Paresis sementara dan manifestasi ensefalitis dapat terjadi; 

sedang  kelumpuhan jarang terjadi. Gejala-gejala sisa dapat bertahan sampai 1 tahun 

atau lebih, berupa kelemahan, spasme otot, insomnia dan perubahan kepribadian. 

Penyembuhan biasanya sempurna. Gejala pada saluran pencernaan dan saluran pernafasan 

biasanya sebab  infeksi enterovirus. Berbagai jenis penyakit lain disebabkan oleh bukan 

virus gejalanya dapat menyerupai meningitis aseptik; misalnya seperti pada meningitis 

purulenta yang tidak diobati dengan baik, meningitis sebab  TBC dan meningitis 

kriptokokus, meningitis yang disebabkan oleh jamur, sifilis serebrovaskuler dan LGV. 

Reaksi pasca infeksi dan pasca vaksinasi perlu dibedakan dengan meningitis aseptik 

antara lain gejala sisa akibat campak, mumps, varicella  dan reaksi pasca  imunisasi 

terhadap rabies dan cacar; gejala yang muncul biasanya tipe ensefalitis. Leptospirosis, 

listeriosis, sifilis, limfositik choriomeningitis, hepatitis, infeksi mononucleosis, influenza 

dan penyakit-penyakit lain dapat memperlihatkan gejala klinis yang sama dan penyakit-

penyakit ini akan dibahas pada bab tersendiri. Pada kondisi optimal identifikasi spesifik 

penyakit ini dapat dibuat terhadap hampir separuh dari kasus-kasus yang ditemukan 

dengan memakai   teknik serologis dan isolasi. Virus dapat diisolasi pada stadium awal 

penyakit dari bilas tenggorok dan tinja, kadang-kadang virus ditemukan dari likuor 

serebrospinal dan darah dengan teknik biakan jaringan dan inokulasi pada binatang. 

 

2. Pemicu  infeksi 

Berbagai macam organisme dapat sebagai Pemicu  infeksi, banyak diantaranya sebagai 

Pemicu  penyakit spesifik lainnya. Banyak sekali jenis virus yang dapat menimbulkan 

gejala meningeal. Separuh lebih dari kasus tidak ditemukan Pemicu nya. Pada waktu 

terjadi KLB mumps, virus ini diketahui sebagai Pemicu  lebih dari 25% kasus meningitis 

aseptik pada populasi yang tidak diimunisasi. Di Amerika Serikat enterovirus (virus 

picorna) diketahui sebagi Pemicu  dari kasus-kasus meningitis apetik yang diketahui 

etiologinya. Virus coxsackie grup B tipe 1-6 sebagai Pemicu  dari 1/3 kasus; dan 

echovirus tipe 2,5,6,7,9 (kebanyakan), 10, 11, 14, 18 dan 30, kira-kira sebagai Pemicu  

separuh kasus. Virus coxsackie grup A (tipe 2,3,4,7,9 dan 10), arbovirus, campak, herpes 

simplex I dan virus varicella, virus Choriomeningitis limfositik, adenovirus dan virus jenis 

lain bertanggungjawab terhadap terjadinya kasus-kasus sporadis. Insidensi dari tipe-tipe 

spesifik bervariasi menurut wilayah geografis dan waktu. Leptospira bertanggungjawab 

terhadap lebih dari 20% kasus-kasus meningitis aseptik di berbagai wilayah di dunia ini 

(lihat Leptospirosis).  

 

3. Distribusi penyakit 

Tersebar di seluruh dunia, timbul sebagai kasus-kasus endemis dan sporadis. Angka 

insidensi yang sebenarnya tidak diketahui. Meningkatnya jumlah kasus berhubungan 

dengan musim, pada akhir musim panas dan awal musim semi jumlah penderita 

meningkat terutama yang disebabkan oleh arbovirus dan enterovirus sementara KLB 

meningitis aseptik yang terjadi di akhir musim dingin terutama disebabkan oleh mumps. 

 

4., 5., 6., 7. dan 8.  Reservoir, cara penularan, masa inkubasi, periode penularan, 

 

 354

kerentanan dan kekebalan – Bervariasi tergantung pada agen Pemicu  spesifik dari 

infeksi (lihat pada bab masing-masing penyakit). 

 

9. Cara-cara Pemberantasan 

 A.  Upaya Pencegahan 

Upaya pencegahan tergantung pada Pemicu  penyakit (lihat pada bab masing-masing 

penyakit spesifik). 

B.  Pengawasan penderita, kontak dan lingkungan sekitarnya 

1) Laporan ke kantor Instansi Kesehatan setempat: di daerah endemis tertentu 

penyakit ini wajib dilaporkan; di beberapa negara dan negara bagian di Amerika 

Serikat bukan sebagai penyakit yang harus dilaporkan, Kelas 3 B (lihat tentang 

pelaporan penyakit menular). Bila Pemicu  infeksi dapat dipastikan melalui 

pemeriksaan laboratorium maka didalam laporan sebutkan Pemicu  infeksinya; 

sebaliknya apabila Pemicu nya tidak diketahui laporkan sebagai kasus yang tidak 

diketahui etiologinya. 

2) Isolasi:  Diagnosa pasti ditegakkan berdasarkan hasil pemeriksaan laboratorium 

biasanya baru didapat setelah penderita sembuh. Oleh sebab  itu kewaspadaan 

enterik sudah harus dilakukan 7 hari setelah mulai sakit, kecuali kalau diagnosa 

pasti sudah menyatakan bahwa Pemicu nya yaitu   nonenterovirus. 

3) Disinfeksi serentak:  Tidak diperlukan kewaspadaan khusus selain menerapkan 

sanitasi rutin. 

4) Karantina: Tidak ada. 

5) Imunisasi kontak: Lihat uraian masing-masing penyakit. 

6) Investigasi kontak dan sumber infeksi:  Biasanya tidak dilakukan. 

7) Pengobatan spesifik: Seperti halnya pada penyakit yang disebabkan oleh virus, 

tidak ada pengobatan spesifik. 

 

C. Penanggulangan KLB:  Lihat pada bab masing-masing penyakit. 

 

D. Implikasi bencana:  Tidak ada. 

 

E.  Tindakan lebih lanjut :  Manfaatkan Kerja sama WHO. 

 

 

 

II.  MENINGITIS BAKTERIAL     ICD-9 320; ICD-10 G00 

 

Angka insidensi meningitis bakterial yang dilaporkan di Amerika Serikat, 10 tahun setelah 

pertama kali vaksin terhadap Haemophillus influenza serotipe b (Hib) diijinkan beredar 

yaitu   2,2/100.000/tahun dan kira-kira sepertiga penderita anak berumur 5 tahun. Hampir 

semua bakteri dapat memicu  infeksi pada semua umur, namun  seperti yang 

dilaporkan pada akhir tahun 1990-an Pemicu  yang paling sering yaitu   Neisseria 

meningitidis dan Streptococcus pneumoniae. sedang  penyakit yang disebabkan oleh 

infeksi meningokokus, timbul secara sporadis dan kadang-kadang muncul sebagai KLB; 

di banyak negara meningokokus merupakan Pemicu  utama dari meningitis bakterial. 

Meningitis yang disebabkan oleh Hib, sebelumnya merupakan salah satu Pemicu  yang 

paling sering dari meningitis bakterial, namun saat ini di AS hampir telah tereliminasi. 

 

 355

Bakteri Pemicu  meningitis yang paling jarang yaitu   stafilokok, bakteri enterik, grup B 

streptokokus dan Listeria yang menyerang orang dengan kerentanan yang spesifik (seperti 

pada neonatus, penderita gangguan sistem imunitas) atau sebagai akibat trauma pada 

kepala. 

 

 

 

II. A. INFEKSI MENINGOKOKUS   ICD-9 136; ICD-10 A39 

(Demam Serebrospinal) 

MENINGITIS MENINGOKOKUS   ICD-9 036.0; ICD-10 A39.0 

(Meningococcemia, bukan Meningitis:  ICD-10 A39.2-A39.4) 

 

 

1. Identifikasi 

 Penyakit bakterial akut dengan katarektistik  muncul demam mendadak, nyeri kepala 

hebat, mual dan sering disertai muntah, kaku kuduk dan seringkali timbul ruam petekie 

dengan makula merah muda atau sangat jarang berupa vesikel. Sering terjadi delirium dan 

koma; pada kasus fulminan berat timbul gejala prostrasi mendadak, ecchymoses dan syok. 

Dulu angka kematian mencapai >50% namun dengan diagnosa dini, terapi modern dan 

tindakan suportif, angka kematian 5-15%. Lebih dari 5-15% warga  di negara endemis 

merupakan carrier tanpa gejala, ditemukan koloni Neisseria meningitidis di daerah 

nasofaring. Sebagian kecil dari orang ini akan berkembang menjadi penyakit yang invasif 

dengan ditandai satu atau lebih gejala klinis seperti bakteremia, sepsis, meningitis atau 

pneumonia. Banyak pada penderita sepsis timbul ruam petekie, kadang-kadang disertai 

dengan nyeri dan radang sendi. Meningococcemia dapat timbul tanpa mengenai selaput 

otak dan harus dicurigai  pada kasus-kasus demam akut yang tidak diketahui Pemicu nya 

dengan ruam petekie dan lekositosis. Pada meningococcemia fulminan angka kematian 

tetap tinggi walaupun telah diobati dengan antibiotika yang tepat. Diagnosis pasti dibuat 

dengan ditemukannya meningococci pada LCS atau darah. Pada kasus dengan kultur 

negatif, diagnosis dibuat didukung dengan ditemukannya polisakarida terhadap grup 

sepesifik meningococcal pada LCS dengan teknik IA, CIE dan teknik koaglutinasi; atau 

ditemukannya DNA meningococcal pada LCS atau pada plasma dengan PCR. 

Pemeriksaan mikroskopis dengan pewarnaan gram, sediaan yang diambil dari petekie 

organismenya dapat diketahui. 

 

2. Pemicu  Infeksi 

 N. meningitidis, suatu jenis meningokokus N. meningitidis grup A, Pemicu  utama KLB 

di AS (tidak ditemukan sejak tahun 1945) dan di tempat lian; sedang  grup B, C dan Y 

diakhir tahun 1990-an sebagai Pemicu  kebanyakan kasus di AS. Genotipe tertentu 

tercatat sebagai Pemicu  terjadinya beberapa KLB. Serogrup lainnya diketahui juga 

berperan sebagai patogen (misalnya grup W-135, X dan Z). Organisme dari kelompok ini 

kurang begitu virulen, namun kasus-kasus fatal dan infeksi sekunder pernah dilaporkan 

disebabkan oleh hampir semua serogroup. KLB N. meningitidis biasanya disebabkan oleh 

strain yang berdekatan. Untuk mengetahui strain Pemicu  KLB dan luasnya KLB, maka 

subtyping dari isolat dengan memakai   metoda seperti disebutkan di bawah ini sangat 

bermanfaat: 

 

 356

- multilocus enzyme electrophoresis 

- pulsed-field gel electrophoresis 

- enzyme-restricted DNA fragments. 

 

3. Distribusi penyakit 

 Infeksi oleh meningokokus terjadi dimana-mana, namun puncaknya terjadi pada akhir 

musim dingin dan awal musim semi. Pada awalnya infeksi meningokokus terjadi pada 

anak-anak dan dewasa muda, di banyak negara laki-laki lebih banyak terserang daripada 

wanita, dan sering terjadi pada pendatang baru yang berkumpul/berjejalan pada suatu 

tempat seperti di dalam barak dan asrama penampungan. Wilayah yang selama ini 

diketahui sebagai daerah yang insidensinya tinggi yaitu   AfrikaTengah dimana infeksi 

disebabkan oleh grup A. Pada tahun 1996 wabah meningokokus dilaporkan terjadi di 

Afrika Barat dengan total penderita yang dilaporkan yaitu   150.000 penderita, terjadi di 

Burkina Faso, Chad, Mali, Niger dan Nigeria. Pada kurun waktu 10 tahun terakhir KLB 

yang disebabkan oleh grup A dilaporkan terjadi di Nepal, India, Ethiopia, Sudan dan 

beberapa negara Afrika lainnya. Selama tahun 1980 dan 1990-an, grup B diketahui 

sebagai Pemicu  infeksi di benua Eropa dan Amerika. Wabah yang terjadi biasanya 

ditandai dengan peningkatan jumlah kasus 5-10 kali dari biasanya, dan akhir-akhir ini 

dilaporkan terjadi di Selandia baru, daerah timur laut negara bagian Amerika Serikat yang 

menghadap laut Pasifik. Sejak tahun 1990-an KLB yang disebabkan oleh grup C 

dilaporkan terjadi di AS dan Kanada. KLB ini biasanya menyerang anak-anak usia 

sekolah, mahasiswa dan penularan kadang-kadang terjadi di bar dan kelab malam dimana 

banyak orang berkumpul di dalamnya.  Pada tahun 1990-an, di AS ternyata grup Y makin 

sering dijumpai sebagai Pemicu  infeksi seperti halnya grup B dan grup C. Beredarnya 

strain baru dari meningokokus biasanya ditandai dengan meningkatnya insidensi infeksi 

meningokokus yang menyerang hampir semua kelompok umur. 

 

4. Reservoir – Manusia. 

 

5. Cara penularan 

 Penularan terjadi dengan kontak langsung seperti melalui droplet dari hidung dan 

tenggorokan orang yang terinfeksi. Infeksi biasanya memicu  infeksi subklinis pada 

mukosa. Invasi dengan jumlah bakteri yang cukup untuk memicu  terjadinya 

penyakit sistemik sangat jarang. Prevalensi carrier yang mencapai 25% atau lebih dapat 

terjadi tanpa ada kasus meningitis. Selama KLB lebih dari setengah laki-laki personil 

militer mungkin sebagai carrier sehat kuman meningokokus. Penyebaran melalui barang 

dan alat-alat tidak terbukti. 

 

6. Masa inkubasi – Bervariasi dari 2-10 hari, biasanya 3-4 hari. 

 

7. Masa penularan 

 Penularan dapat terus terjadi sampai kuman meningokokus tidak ditemukan lagi di hidung 

dan mulut. Meningokokus biasanya hilang dari nasofaring dalam waktu 24 jam setelah 

pengobatan dengan antibiotika trerhadap mikroba yang masih sensitif terhadap antibiotika 

ini  apabila kadar obat mencapai konsentrasi yang cukup di dalam sekret orofaring. 

Penisilin dapat menekan jumlah organisme untuk sementara namun biasanya tidak dapat 

menghilangkan organisme ini dari oronasofaring. 

 

 357

8. Kerentanan dan kekebalan 

 Kerentanan terhadap penyakit klinis rendah dan menurun sesuai dengan umur; rasio antara 

carrier dengan kasus sangat tinggi. Dan mereka yang di dalam darahnya kekurangan 

beberapa komponen komplemen sangat mudah kambuh dan terserang penyakit ini lagi. 

Orang yang telah diambil limpanya sangat mudah mengalami bakteriemia walaupun 

hanya mengalami infeksi subklinis. Dapat muncul kekebalan spesifik terhadap grup 

bakteri yang menginfeksi. Lamanya antibodi spesifik ini bertahan belum diketahui. 

 

9. Cara-cara pemberantasan 

A. Cara-cara pencegahan 

1) Berikan penyuluhan kepada warga  untuk mengurangi kontak langsung dan 

menghindari terpajan dengan droplet penderita. 

2) Mengurangi tingkat kepadatan di lingkungan perumahan dan di lingkungan seperti 

dalam barak, sekolah, tenda dan kapal. 

3) Vaksin yang mengandung polisakarida meningokokus grup A, C, Y dan W-135 

telah terdaftar dan beredar di Amerika Serikat dan negara lainnya untuk digunakan 

pada orang dewasa dan anak-anak yang lebih besar, saat ini hanya vaksin 

kuadrivalen yang tersedia di Amerika Serikat. Vaksin meningokokus efektif pada 

orang dewasa diberikan pada saat melakukan rekruitmen militer di AS sejak tahun 

1972. Vaksin ini juga digunakan untuk mengendalikan KLB grup C yang terjadi di 

warga  dan di sekolah pada tahun 1990-an. Vaksin ini harus diberikan kepada 

kelompok risiko tinggi tertentu yaitu anak-anak pada usia di atas 2 tahun yang 

rentan terhadap infeksi berat meningokokus termasuk harus diberikan kepada 

penderita yang limpanya sudah diambil, orang dengan defisiensi komplemen 

terminal, staf laboratorium yang terpajan secara rutin dengan N. meningitidis. 

Sayang sekali komponen  C memiliki  imunogenisitas rendah dan tidak efektif 

bila diberikan bagi anak di bawah usia 2 tahun. Vaksin serogroup A mungkin 

efektif bila diberikan kepada anak usia lebih muda, 3 bulan sampai 2 tahun, pada 

usia ini diberikan 2 dosis vaksin dengan interval 3 bulan. sedang  untuk anak 

usia di atas 2 tahun hanya diberi dosis tunggal. Waktu perlindungan sangat 

terbatas, terutama pada anak usia kurang dari 5 tahun. Imunisasi rutin bagi 

warga  umum di Amerika Serikat tidak dianjurkan. Pemberian imunisasi 

kepada para pelancong akan mengurangi risiko tertulari apabila mereka 

berkunjung ke negara yang pernah mengalami wabah meningokokus grup A atau 

C. Imunisasi ulang dapat dipertimbangkan untuk diberikan dalam jangka waktu 3-

5 tahun apabila tidak ada indikasi untuk mendapatkan vaksinasi.  Tidak ada vaksin 

yang terdaftar saat ini di AS efektif terhadap infeksi grup B, walaupun beberapa 

jenis vaksin telah dikembangkan dan telah diujicoba menunjukkan efikasi yang 

lumayan bila diberikan kepada anak-anak yang lebih besar dan kepada orang 

dewasa. Vaksin konyugat terhadap serogroup A dan C masih dalam proses uji 

coba klinis, namun efikasinya sampai tahun 1999 belum dievaluasi. Untuk bayi 

dan anak-anak, vaksin meningokokus konyugat serogroup A, C, Y dan W-135 

telah dikembangkan dengan metoda yang sama dengan metoda pembuatan vaksin 

konyugat untuk Haemophilus influenzae tipe b. Vaksin-vaksin ini diharapkan 

sudah dapat digunakan rutin di Inggris mulai tahun 2000 dan di Amerika Serikat 

dalam waktu 2-4 tahun kemudian. 

 

 358

B.  Pengawasan penderita, kontak dan lingkungan sekitar 

1) Laporan ke instansi kesehatan setempat: Wajib dilaporkan di banyak negara 

bagian (di Amerika) dan di beberapa negara di dunia, Kelas 2 A (lihat pelaporan 

penyakit menular). 

2) Isolasi: Lakukan isolasi saluran nafas selama 24 jam setelah dimulai pemberian 

chemotherapy. 

3) Disinfeksi serentak: lakukan desinfeksi terhadap discharge yang berasal dari sekret 

hidung dan tenggorokan, dan barang-barang yang terkontaminasi. Pembersihan 

menyeluruh. 

4) Karantina: Tidak dilakukan. 

5) Perlindungan kontak:  Lakukan surveilans ketat terhadap anggota keluarga 

penderita, rumah penitipan anak dan kontak dekat lainnya untuk menemukan 

penderita secara dini, khususnya terhadap mereka yang demam agar segera 

dilakukan pengobatan yang tepat secara dini; pemberian profilaktik, kemoterapi 

yang efektif untuk melindungi kontak (kontak diantara anggota keluarga satu 

rumah, personil militer yang berbagi tempat tidur dan orang-orang yang secara 

sosial sangat dekat untuk saling bertukar peralatan makan seperti teman dekat di 

sekolah, tapi bukan seluruh kelas.  Anak-anak di tempat penitipan merupakan 

pengecualian dan walaupun bukan teman dekat maka semua harus diberikan 

pengobatan profilaksis setelah ditemukan satu kasus indeks. Pilihan antibiotika 

profilaksis yaitu   rifampisin, diberikan 2 kali sehari selama 2 hari: orang dewasa 

600 mg per dosis; bayi di atas 1 tahun 10 mg/kg BB; anak umur kurang dari 1 

bulan 5 mg/kg BB. Rifampisin harus dihindari untuk diberikan bagi wanita hamil. 

Rifampisin dapat mengurangi efektivitas kontrasepsi oral. Untuk orang dewasa, 

ceftriaxone 250 mg IM dapat diberikan sebagai dosis tunggal dan terbukti cukup 

efektif; 125 mg IM untuk anak di bawah umur 15 tahun. Ciprofloxacin 500 mg per 

oral dosis tunggal dapat juga diberikan untuk orang dewasa. Bila kuman sensitif 

terhadap sulfadiazine, dapat diberikan pada orang dewasa dan anak-anak yang 

lebih besar dengan dosis 1 gram setiap 12 jam, dalam 4 dosis; untuk bayi dan 

anak-anak dosisnya yaitu   125-150 mg/kg BB/hari dibagi dalam 4 dosis, setiap 2 

hari sekali. Pada tahun 1993 sulfadiazine tidak lagi diproduksi di Amerika Serikat 

dan diperlukan bantuan dari CDC Atlanta untuk mendapatkan obat ini. Petugas 

kesehatan jarang sekali berada dalam risiko tertulari sekalipun dia merawat 

penderita, hanya mereka yang kontak erat dengan sekret nasofaring (seperti pada 

waktu resusitasi mulut ke mulut) yang memerlukan pengobatan profilaksis. 

Pemberian imunisasi kepada kontak dalam lingkungan keluarga kurang 

bermanfaat sebab  tidak cukup waktu. 

6) Investigasi kontak dan sumber infeksi: Kultur dari tenggorokan dan nasofaring 

tidak bermanfaat untuk menentukan siapa saja yang harus menerima pengobatan 

profilaksis sebab  pembawa kuman sangat bervariasi dan tidak ada hubungan yang 

konsisten antara koloni yang ditemukan secara normal pada populasi umum 

dengan koloni yang ditemukan pada saat terjadi KLB. 

7) Pengobatan spesifik: Penisilin yang diberikan parenteral dalam dosis yang adekuat 

merupakan obat pilihan untuk mengobati penyakit yang disebabkan oleh infeksi 

meningokokus; ampisilin dan kloramfenikol juga efektif. Telah dilaporkan ada 

strain yang resisten terhadap penisilin di banyak negara di Spanyol, Inggris dan 

 

 359

Amerika; strain yang resisten terhadap kloramfenikol dilaporkan di Vietnam dan 

Perancis. Pengobatan harus segera dimulai bila diagnosa terhadap tersangka telah 

ditegakkan, bahkan sebelum kuman meningokokus dapat diidentifikasi. Pada 

penderita anak-anak sambil menunggu agen Pemicu  spesifik dapat diidentifikasi, 

pengobatan harus segera diberikan dengan obat yang efektif terhadap Haemophilus 

influenzae tipe B (Hib) dan terhadap Streptococcus pneumonia. Ampisilin 

merupakan obat pilihan untuk kedua bakteri ini  selama mereka masih sensitif 

terhadap ampisilin. Ampisilin harus dikombinasikan dengan generasi ketiga 

cephaloposporin, atau dengan kloramfenikol, atau dengan vancomycin sebagai 

subsitusi  di wilayah dimana ditemukan H. influenzae dan S. pneumoniae yang 

resisten terhadap ampisilin. Pasien dengan infeksi meningokokus atau Hib harus 

diberi rifampisin sebelum dipulangkan dari rumah sakit apabila sebelumnya tidak 

diberikan obat generasi ketiga cephalosporin atau ciprofloxacin. Hal ini dilakukan 

agar ada kepastian bahwa organisme telah terbasmi. 

 

C. Penanggulangan KLB 

1) Bila terjadi KLB, upaya paling penting yang harus dilakukan yaitu   meningkatkan 

kegiatan surveilans, diagnosa dan pengobatan dini dari kasus-kasus yang dicurigai. 

Kepanikan dan kecurigaan yang terlalu tinggi tidak bermanfaat. 

2) Pisahkan orang-orang yang pernah terpajan dengan penderita dan berikan ventilasi 

yang cukup terhadap tempat tinggal dan ruang tidur bagi orang-orang yang 

terpajan dengan kuman yang disebabkan sebab  kepadatan (misalnya: barak dan 

asrama tentara, pekerja tambang dan tahanan). 

3) Pengobatan pencegahan masal biasanya tidak efektif untuk mengatasi KLB. Pada 

KLB yang terjadi pada sekelompok kecil warga  (misalnya di suatu sekolah), 

pemberian pengobatan pencegahan pada semua orang dikelompok itu dapat 

dipertimbangkan terutama apabila KLB ini  disebabkan oleh serogrup yang 

tidak termasuk dalam vaksin yang ada. Bila dilakukan pengobatan masal harus 

diberikan pada seluruh anggota warga  pada saat yang sama. Semua kontak 

dekat harus dipertimbangkan untuk mendapat pengobatan profilaksis, tanpa 

melihat apakah seluruh anggota warga  sudah diobati (lihat 9B5 di atas). 

4) Pemberian vaksin pada semua kelompok umur yang terkena seharusnya 

dipertimbangkan dengan sungguh-sungguh apabila terjadi KLB di suatu institusi 

yang besar atau di warga  dimana kasus disebabkan oleh infeksi grup A, C, 

W-135 dan Y (lihat 9A3 di atas). Vaksin meningokokus sangat efektif untuk 

menghentikan wabah yang disebabkan oleh serogrup A dan C. Hal-hal yang 

diuraikan berikut ini dapat membantu apakah kita perlu memberikan imunisasi 

kepada orang-orang yang berisiko pada saat terjadi KLB yang diduga disebabkan 

oleh grup C:  a) Pastikan terlebih dahulu bahwa telah terjadi KLB dan deskripsikan 

secara epidemiologis untuk menemukan kelompok umur yang terkena dan 

denominator sosial lainnya (misalnya: sekolah, tempat penitipan anak, organisasi 

kewarga an, kelab malam, kota) dari orang-orang yang terkena; b) hitung 

attack rate strain bakteri yang memicu  KLB pada populasi yang berisiko; c) 

bila mungkin, lakukan isolasi subtipe N. meningotidis Pemicu  KLB 

memakai   metoda molekuler. Bila paling tidak ditemukan tiga kasus yang 

disebabkan oleh grup C dengan subtipe yang sama selama 3 bulan dan kasus baru 

 

 360

tetap muncul dan attack rate meningkat menjadi 10 kasus grup C per 100.000 

warga , maka pemberian imunisasi kepada kelompok warga  yang berisiko 

ini  harus dipertimbangkan. 

 

D. Implikasi bencana: KLB dapat timbul dalam situasi dimana orang harus tinggal 

dalam kondisi berdesak-desakan. 

 

E.  Penanganan lebih lanjut :  Manfaatkan Pusat Kerja sama WHO. Walaupun tidak 

diwajibkan dalam International Health Regulation, sertifikat imunisasi yang masih 

berlaku untuk meningitis meningokokus diwajibkan oleh beberapa negara seperti Arab 

Saudi bagi jemaah yang datang untuk ibadah haji. 

 

 

 

II.B.  HAEMOPHILUS MENINGITIS   ICD-9 320.0; ICD-10 G00.0 

 (Meningitis yang disebabkan oleh Haemophilus influenzae) 

 

1. Identifikasi 

 Di masa vaksin konyugat Haemophilus b belum dipakai secara luas, H. influenzae 

merupakan Pemicu  meningitis bakterial yang paling utama pada anak-anak umur 2 

bulan sampai dengan 5 tahun di Amerika. Biasanya disebabkan oleh sebab  terjadi 

bakteriemia. Timbulnya gejala dapat subakut namun  biasanya muncul mendadak; gejalanya 

berupa demam, muntah, letargi dan iritasi meningeal, dengan ubun-ubun menonjol pada 

bayi atau kaku kuduk dan kaku punggung pada anak yang lebih besar. Sering cepat terjadi 

stupor atau koma. Biasanya didahului dengan demam ringan selama beberapa hari dengan 

gejala SSP yang samar.  

 Diagnosis dibuat dengan melakukan isolasi organisme Pemicu  dari darah atau cairan 

serebro spinal. Polisakarida kapsular spesifik dapat diidentifikasi dengan memakai   

teknik CIE atau LA. 

 

2. Pemicu  infeksi 

 Pemicu  paling sering yaitu   H. influenzae serotipe b (Hib). Organisme ini dapat juga 

memicu  epiglottitis, pneumonia, septic arthritis, cellulites, pericarditis, empyema 

dan osteomyelitis. Serotipe lainnya jarang sekali memicu  meningitis. 

 

3. Distribusi penyakit 

 Tersebar di seluruh dunia; paling prevalens diantara amak umur 2 bulan sampai 3 tahun; 

jarang terjadi pada usia 5 tahun. Di negara berkembang, puncak insidensi yaitu   pada 

anak usia kurang dari 6 bulan; di Amerika Serikat pada anak usia 6-12 bulan. Sebelum 

adanya vaksin untuk Hib di Amerika Serikat, kira-kira 12.000 kasus meningitis Hib 

dilaporkan terjadi pada anak umur kurang dari 5 tahun dibandingkan dengan hanya 25 

kasus pada tahun 1998. Sejak tahun 1990-an, dengan penggunaan vaksin secara luas pada 

anak-anak, meningitis yang disebabkan Hib boleh dikatakan telah menghilang; sekarang 

banyak kasus  terjadi pada orang dewasa dibandingkan pada anak-anak. Kasus sekunder 

dapat terjadi di lingk