Tampilkan postingan dengan label penyakit menular 2. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label penyakit menular 2. Tampilkan semua postingan

penyakit menular 2


 is menyatakan bahwa infektivitas 

meningkat dengan bertambahnya defisiensi imunologis, tanda-tanda klinis dan adanya 

Penyakit Menular Seksual (PMS) lainnya. Studi epidemiologis menyatakan bahwa 

infektivitas menjadi tinggi selama periode awal sesudah infeksi. 

 

8. Kerentanan dan kekebalan  

Tidak diketahui, namun  suseptibilitas diasumsikan bersifat umum : ras, jenis kelamin dan 

kehamilan tidak mempengaruhi suseptibilitas terhatap infeksi HIV atau AIDS. Adanya 

STD lain, terutama luka, menambah suseptibilitas, begitu juga pada pria yang tidak 

dikhitan. Faktor terakhir ini terkait dengan masalah kebersihan penis. Mengapa warga  

Afrika yang terkena infeksi HIV lebih cepat berkembangnya menjadi AIDS dibandingkan 

dengan populasi lain, masih terus dalam penelitian. Satu - satunya faktor yang dapat 

diterima, yang mempengaruhi perkembangan infeksi HIV menjadi AIDS yaitu   usia pada 

saat infeksi. Dewasa muda dan pria serta wanita dewasa yang terinfeksi HIV pada usia 

muda, biasanya lambat menderita AIDS, dibandingkan jika terinfeksi pada usia lebih tua. 

Adanya potensi interaksi antara infeksi HIV dengan infeksi penyakit lainnya menjadi 

masalah kesehatan warga  yang memprihatinkan. Interkasi utama yang sampai saat 

ini diketahui yaitu   interaksi HIV dengan Mycobacterium Tuberculosis (Mtbc). 

Mereka yang didalam tubuhnya mengidap infeksi Mtbc laten, jika terinfeksi HIV akan 

berkembang menjadi penderita TB klinis dengan cepat. Dikatakan risiko seorang dewasa 

terkena TB yaitu   10%, namun jika mereka terinfeksi HIV maka risikonya menjadi 60 – 

80% terkena TB. Interaksi antara HIV dengan Mtbc mengakibatkan terjadinya penderita 

TB paralel dengan HIV/AIDS. Di negara-negara Sub Sahara didaerah perkotaan 10–15 % 

orang dewasa mengalami infeksi HIV dan Mtbc secara bersamaan (“Dual Infection”), 

didaerah ini angka prevalensi TB meningkat 5–10 kali lipat pada pertengahan tahun 1990 

an. 

Tidak ada bukti konklusif yang menunjukkan bahwa infeksi lain termasuk TB 

mempercepat perkembangan infeksi HIV menjadi AIDS. 

 

 

 5

9. Cara – cara Pencegahan  

A. Upaya Pencegahan   

Program pencegahan HIV/AIDS hanya dapat efektif bila dilakukan dengan komitmen 

warga  dan komitmen politik yang tinggi untuk mencegah dan atau mengurangi 

perilaku risiko tinggi terhadap penularan HIV. Upaya pencegahan meliputi : 

1) Pemberian penyuluhan kesehatan di sekolah dan di warga  harus menekankan 

bahwa memiliki  pasangan seks yang berganti-ganti serta penggunaan obat 

suntik bergantian dapat meningkatkan risiko terkena infeksi HIV. Pelajar juga 

harus dibekali pengetahuan bagaimana untuk menghindari atau mengurangi 

kebiasaan yang mendatangkan risiko terkena infeksi HIV. Program untuk anak 

sekolah harus dikembangkan sedemikian rupa sesuai dengan perkembangan 

mental serta kebutuhan mereka, begitu juga bagi mereka yang tidak sekolah. 

Kebutuhan kelompok minoritas, orang-orang dengan bahasa yang berbeda dan 

bagi penderita tuna netra serta tuna rungu juga harus dipikirkan. 

2) Satu-satunya jalan agar tidak terinfeksi yaitu   dengan tidak melakukan hubungan 

seks atau hanya berhubungan seks dengan satu orang yang diketahui tidak 

mengidap infeksi. Pada situasi lain, kondom lateks harus digunakan dengan benar 

setiap kali seseorang melakukan hubungan seks secara vaginal, anal atau oral. 

Kondom lateks dengan pelumas berbahan dasar air dapat menurunkan risiko 

penularan melalui hubungan seks. 

3) Memperbanyak fasilitas pengobatan bagi pecandu obat terlarang akan mengurangi 

penularan HIV. Begitu pula Program “Harm reduction”yang menganjurkan para 

pengguna jarum suntik untuk memakai   metode dekontaminasi dan 

menghentikan penggunaan jarum bersama telah terbukti efektif. 

4) Menyediakan fasilitas Konseling HIV dimana identitas penderita dirahasiakan atau 

dilakukan secara anonimus serta menyediakan tempat-tempat untuk melakukan 

pemeriksaan darah. Faslitas ini  saat ini telah tersedia di seluruh negara bagian 

di AS. Konseling, tes HIV secara sukarela dan rujukan medis dianjurkan dilakukan 

secara rutin pada klinik keluarga berencana dan klinik bersalin, klinik bagi kaum 

homo dan terhadap komunitas dimana seroprevalens HIV tinggi. Orang yang 

aktivitas seksualnya tinggi disarankan untuk mencari pengobatan yang tepat bila 

menderita Penyakit Menular Seksual (PMS). 

5) Setiap wanita hamil sebaiknya sejak awal kehamilan disarankan untuk dilakukan 

tes HIV sebagai kegiatan rutin dari standar perawatan kehamilan. Ibu dengan HIV 

positif harus dievaluasi untuk memperkirakan kebutuhan mereka terhadap terapi 

zidovudine (ZDV) untuk mencegah penularan HIV melalui uterus dan perinatal. 

6) Berbagai peraturan dan kebijakan telah dibuat oleh USFDA, untuk mencegah 

kontaminasi HIV pada plasma dan darah. Semua darah donor harus diuji antibodi 

HIV nya. Hanya darah dengan hasil tes negatif yang digunakan. Orang yang 

memiliki  kebiasaan risiko tinggi terkena HIV sebaiknya tidak mendonorkan 

plasma, darah, organ-organ untuk transplantasi, sel atau  jaringan (termasuk cairan 

semen untuk inseminasi buatan). Institusi (termasuk bank sperma, bank susu atau 

bank tulang) yang mengumpulkan plasma, darah atau organ harus 

menginformasikan tentang peraturan dan kebijakan ini kepada donor potensial dan 

tes HIV harus dilakukan terhadap semua donor. Apabila mungkin, donasi sperma, 

susu atau tulang harus dibekukan dan disimpan selama 3 – 6 bulan. Donor yang 

 

 6

tetap negatif setelah masa itu dapat di asumsikan tidak terinfeksi pada waktu 

menjadi donor. 

7) Jika hendak melakukan transfusi Dokter harus melihat kondisi pasien dengan teliti 

apakah ada indikasi medis untuk transfusi. Transfusi otologus sangat dianjurkan. 

8) Hanya produk faktor pembekuan darah yang sudah di seleksi dan yang telah 

diperlakukan dengan semestinya untuk menonaktifkan HIV yang bisa digunakan. 

9) Sikap hati-hati harus dilakukan pada waktu penanganan, pemakaian dan 

pembuangan jarum suntik atau semua jenis alat-alat yang berujung tajam lainnya 

agar tidak tertusuk. Petugas kesehatan harus memakai   sarung tangan lateks, 

pelindung mata dan alat pelindung lainnya untuk menghindari kontak dengan 

darah atau cairan yang mengandung darah. Setiap tetes darah pasien yang 

mengenai tubuh petugas kesehatan harus dicuci dengan air dan sabun sesegera 

mungkin. Kehati-hatian ini harus di lakukan pada semua pasien dan semua 

prosedur laboratorium (tindakan kewaspadaan universal). 

10) WHO merekomendasikan pemberian imunisasi bagi anak-anak dengan infeksi 

HIV tanpa gejala dengan vaksin-vaksin EPI (EXPANDED PROGRAMME ON 

IMMUNIZATION); anak-anak yang menunjukkan gejala sebaiknya tidak 

mendapat vaksin BCG. Di AS, BCG dan vaksin oral polio tidak direkomendasikan 

untuk diberikan kepada anak-anak yang terinfeksi HIV tidak perduli terhadap ada 

tidaknya gejala, sedang  vaksin MMR (measles-mumps-rubella) dapat diberikan 

kepada anak dengan infeksi HIV. 

 

B. Pengawasan penderita, kontak dan lingkungan sekitarnya : 

1). Laporan kepada instansi kesehatan setempat; mengirimkan laporan resmi kasus 

AIDS yaitu   wajib di semua jajaran kesehatan di AS dan hampir di semua negara 

di dunia. Sebagian besar negara bagian di AS menerapkan sistem pelaporan infeksi 

HIV ini. Laporan resmi mungkin dibutuhkan di berbagai negara atau provinsi, 

Kelas 2B (lihat tentang pelaporan penyakit menular) 

2). Isolasi; mengisolasi orang dengan HIV positif secara terpisah tidak perlu, tidak 

efektif dan tidak dibenarkan. “Universal Precaution”(kewaspadaan universal) 

(q.v) diterapkan untuk semua penderita yang dirawat. Tindakan kewaspadaan 

tambahan tertentu perlu dilakukan pada infeksi spesifik yang terjadi pada penderita 

AIDS. 

3). Disinfeksi serentak; dilakukan terhadap alat alat yang terkontaminasi dengan darah 

atau cairan tubuh dengan memakai   larutan pemutih (chlorine) atau germisida 

tuberkulosidal. 

4). Karantina; tidak diperlukan. Penderita HIV/AIDS dan pasangan seks mereka 

sebaiknya tidak mendonasikan darah, plasma, organ untuk transplantasi, jaringan, 

sel, semen untuk inseminasi buatan atau susu untuk bank susu manusia. 

5). Imunisasi dari orang orang yang kontak; tidak ada. 

6). Investigasi terhadap kontak dan sumber infeksi; Di AS pasangan seks dari para 

penderita HIV/AIDS atau pasangan pengguna jarum suntik bersama, bila 

memungkinkan, di laporkan sendiri oleh si penderita. Rujukan oleh petugas di 

benarkan bila pasien, sesudah dilakukan konseling, tetap menolak untuk 

memberitahukan pasangan seks mereka, dan untuk itu petugas harus betul-betul 

yakin bahwa tidak akan terjadi sesuatu yang membahayakan indeks kasus bila 

 

 7

pasangannya diberitahu. Tindakan yang sangat hati-hati harus dilakukan untuk 

melindungi kerahasiaan penderita. 

7). Pengobatan spesifik : di sarankan untuk melakukan diagnosa dini dan melakukan 

rujukan untuk evaluasi medis. Rujuklah sumber informasi mutakhir tentang obat 

yang tepat, jadwal dan dosisnya. Pedoman pengobatan HIV/AIDS yang selalu 

diperbaharui setiap saat tersedia pada “CDC National Clearing house” (1-800-458-

5231) dan dapat diakses melalui Clearing house World Wide Website 

(http:www.cdcnpin.org). 

a. Sebelum ditemukan pengobatan antiretrovirus yang relatif efektif, dan tersedia 

secara rutin di AS sekitar tahun 90-an, pengobatan yang ada pada waktu itu 

hanya ditujukan kepada penyakit “opportunistic” yang diakibatkan oleh infeksi 

HIV. Penggunaan TMP-SMX oral untuk tujuan profilaktik, dengan pentamidin 

aerosol kurang efektif, obat ini di rekomendasikan untuk mencegah penumonia 

P. carinii. Semua orang yang terinfeksi HIV terhadap mereka harus dilakukan 

tes tuberkulin dan dievaluasi apakah mereka penderita TBC aktif. Jika 

diketahui menderita TB aktif, pasien harus diberi terapi anti tuberkulosa. Jika 

bukan TB aktif, pasien dengan tes tuberkulin positif atau yang anergik namun  

baru saja terpajan dengan TB harus diberikan terapi dengan isoniazid untuk 12 

bulan. 

b. Keputusan untuk memulai atau merubah terapi antiretrovirus harus di pandu 

dengan memonitor hasil pemeriksaan parameter laboratorium baik Plasma HIV 

RNA (viral load) maupun jumlah sel CD4+T dan dengan melihat kondisi klinis 

dari pasien. Hasil dari dua parameter ini memberikan informasi penting tentang 

status virologi dan imunologi dari pasien dan risiko dari perkembangan 

penyakit menjadi AIDS. Sekali keputusan untuk memberi terapi antiretrovirus 

diambil, pengobatan harus di lakukan dengan agresif dengan tujuan menekan 

virus semaksimal mungkin. Pada umumnya, harus diawali dengan penggunaan 

inhibitor protease dan dua inhibitor “non nucleoside reverse transcriptase”. 

Regimen lain mungkin digunakan namun  dianggap kurang optimal. 

Pertimbangan spesifik di berikan kepada orang dewasa dan wanita hamil, dan 

bagi pasien pasien ini sebaiknya digunakan regimen pengobatan spesifik. 

c. Hingga pertengahan tahun 1999, satu-satunya obat yang dapat mengurangi 

risiko penularan HIV perinatal hanya AZT dan di berikan sesuai dengan 

regimen berikut: diberikan secara oral sebelum kelahiran, mulai 14 minggu 

usia kehamilan dan diteruskan sepanjang kehamilan, diberikan intravena 

selama periode intra-partum; diberikan oral bagi bayi baru lahir hingga berusia 

6 minggu. Regimen “chemoprophylactic” ini menurunkan risiko penularan 

HIV hingga 66 %. Terapi AZT yang lebih singkat mengurangi risiko penularan 

hingga 40%. Dari studi di Uganda, dilaporkan bahwa pada bulan Juli 1999 

dosis tunggal nevirapine yang diberikan kepada ibu yang terinfeksi HIV diikuti 

dengan dosis tunggal kepada bayi hingga berusia 3 hari, memberi hasil yang 

lebih baik dibandingkan dengan kedua terapi diatas. Hanya 13.1 % dari bayi 

yang mendapat terapi nevirapine yang terinfeksi HIV, dibandingkan dengan 

25.1 % dari kelompok yang mendapat terapi AZT. Harga Nevirapine kurang 

dari 4 dollar satu dosisnya, sehingga prospek untuk melindungi penularan ibu 

ke anak di negara berkembang lebih memungkinkan di era milinium ini. 

 

 8

Namun, kurang tersedianya fasilitas tes HIV dan jasa konsultasi bagi wanita 

hamil di negara-negara berkembang yang termiskin di Afrika tetap merupakan 

sebuah tantangan yang berat. Disamping itu kurang tersedianya pengobatan 

anti HIV bagi orang dewasa membuat angka anak-anak yang menjadi yatim-

piatu bertambah di negara-negara ini. 

d. Penanganan tenaga kesehatan yang sehari-harinya terpajan darah dan cairan 

tubuh yang mungkin mengandung virus HIV sangat kompleks. Sifat pajanan 

dan faktor-faktor seperti kemungkinan hamil dan strain HIV yang resisten 

terhadap obat harus dipertimbangkan sebelum Profilaksis HIV pasca 

pemajanan (Postexposure prophylaxis = PEP) di berikan. Akhir tahun 1999, 

pemberian PEP yang dianjurkan termasuk pemberian regimen dasar selama 4 

minggu yang terdiri dari 2 jenis obat (zidovudine dan lamivudine) untuk semua 

jenis pemajanan HIV, termasuk juga regimen yang telah dikembangkan, 

dengan tambahan protease inhibitor (indinavir atau nelfinavir) yang ditujukan 

bagi orang yang terpajan kuman HIV yang keberadaannya membuat mereka 

memiliki  risiko tinggi tertular atau utnuk mereka yang diketahui atau 

dicurigai resisten terhadap satu atau lebih obat antiretroviral yang 

direkomendasikan untuk PEP. Institusi pelayanan kesehatan seharusnya 

memiliki  pedoman yang mempermudah dan memberikan akses yang tepat 

untuk perawatan pasca pemajanan bagi petugas kesehatan dan pengembangan 

sistem pencatatan dan pelaporan peristiwa pemajanan. 

 

C. Penanggulangan wabah - HIV saat ini sudah pandemik, dengan jumlah penderita 

yang sangat besar di laporkan di Amerika, Eropa, Afrika dan Asia Tenggara. Lihat 9A, 

diatas untuk rekomendasi. 

 

D. Implikasi bencana - Petugas emergensi harus mengikuti prosedur kewaspadaan 

universal, jika sarung tangan lateks tidak tersedia dan permukaan kulit kontak dengan 

darah, harus dicuci sesegera mungkin. Masker, kacamata pelindung dan pakaian 

pelindung di sarankan untuk dipakai ketika melakukan tindakan yang bisa 

memicu  semburan atau percikan darah atau cairan tubuh. Transfusi untuk 

keadaan darurat sebaiknya memakai   darah donor yang telah diskrining terhadap 

antibodi HIV, jika uji saring tidak mungkin dilakukan maka donasi sebaiknya di 

terima hanya dari donor yang tidak memiliki  perilaku yang memungkinkan 

terinfeksi oleh HIV, dan lebih disukai donor yang sebelumnya terbukti negatif untuk 

antibodi HIV. 

 

E. Tindakan lebih lanjut  - Program pencegahan dan pengobatan global dikoordinasi 

oleh WHO yang dimulai pada tahun 1987. Sejak tahun 1995, program AIDS global 

dikoordinasikan oleh UNAIDS. Sebenarnya semua negara di seluruh dunia telah 

mengembangkan program perawatan dan pencegahan AIDS. Beberapa negara telah 

melembagakan keharusan pemeriksaan AIDS atau HIV untuk masuknya pendatang 

asing (terutama bagi mereka yang meminta visa tinggal atau visa yang lebih panjang, 

seperti visa belajar atau visa kerja) WHO dan UNAIDS belum mendukung tindakan 

ini. 

 

 9

ACTINOMYCOSIS       ICD-9 039; ICD-10 A42 

 

1. Identifikasi - Peyakit bakteri kronis, paling sering ditemukan di rahang, thoraks dan 

rongga perut. Lesi jelas terlihat berupa jaringan indurasi bernanah dan fibrotik, menyebar 

secara perlahan pada jaringan sekitarnya; bisa terjadi sinusitis yang mengeluarkan 

discharge dan menembus ke permukaan. Didalam jaringan yang terinfeksi, organisme 

tumbuh bergerombol, disebut sebagai “granula sulfur”.  

Diagnosa dibuat dengan ditemukannya, basil berbentuk langsing gram positif dengan atau 

tanpa cabang yang tidak membentuk spora, atau ditemukannya “granula sulfur” pada 

jaringan atau luka infeksi, atau dengan cara mengisolasi mikroorganisme dari sampel yang 

tidak terkontaminasi dengan flora normal selama pengambilan.  

Diagnosa klinis dan kultur bisa membedakan antara actinomycosis dan actinomycetoma, 

dua penyakit yang sama sekali berbeda. 

 

2. Pemicu  penyakit. 

Actinomyces israelii yaitu   mikroorganisme patogen bagi manusia; A. naeslundii, A. 

meyeri, A. odontolyticus dan Propionibacterium propionicus (Arachnia propionica atau 

Actinomyces propionicus) juga telah dilaporkan memicu  actinomycosis pada 

manusia. A. viscosus jarang dilaporkan memicu  actinomycosis pada manusia namun  

dapat memicu  penyakit periodontal. Semua spesies yaitu   gram positif, tidak tahan 

asam bersifat, anaerob sampai dengan mikroaerofilik merupakan flora normal pada 

manusia. 

 

3. Distribusi penyakit. 

Infeksi pada manusia jarang terjadi, muncul sporadis di seluruh dunia. Semua ras, jenis 

kelamin dan kelompok umur bisa terserang penyakit ini, tersering menyerang kelompok 

umur 15 hingga 35 tahun; rasio laki-laki dan perempuan kira kira 2:1. Penyakit yang 

menyerang ternak, kuda dan binatang lainnya disebabkan oleh spesies lain dari 

Actinomyces. 

 

4. Reservoir. 

Manusia merupakan reservoir alami dari A. israelii dan agen lain. Pada rongga mulut 

normal, organisme hidup sebagai mahluk saprofit pada lapisan plak gigi dan kripte tonsil, 

tanpa penetrasi yang jelas atau tanpa perubahan dari jaringan sekitarnya. Survei yang 

dilakukan di AS, Swedia dan di beberapa negara lain secara mikroskopis, ditemukan 

adanya A. israelii pada 40% dari granula kripte tonsil yang diambil, dan dengan kultur 

anaerob, A. israelii ditemukan pada 30 – 48% dari spesimen ludah atau sampel dari karies 

gigi. 

A. israelii ditemukan di sekret vagina dari kira-kira 10 % wanita yang  memakai   alat 

kontrasepsi spiral. Tidak ditemukan adanya reservoir diluar manusia seperti pada sedotan 

minuman atau tanah. 

 

5. Cara penularan. 

Diasumsikan terjadinya penularan melalui kontak dari orang ke orang dan merupakan 

bagian dari flora mulut yang normal. Dari rongga mulut organisme ini masuk ke paru-paru 

atau masuk ke tenggorokan melalui luka, dengan pencabutan gigi atau abrasi dari lapisan 

 

 10

mukosa. Penyakit pada saluran pencernaan dan rongga perut penularan biasanya berasal 

dari usus buntu. Sumber penyakit bersifat endogen. 

 

6. Masa inkubasi. 

Tidak pasti, mungkin beberapa tahun sesudah kolonisasi pada jaringan rongga mulut, dan 

berhari-hari hingga berminggu-minggu sesudah terjadi luka dan penetrasi jaringan. 

 

7. Masa penularan. 

Waktu dan cara bagaimana spesies Actinomyces dan Arachnia menjadi bagian dari flora 

normal rongga mulut tidak diketahui; kecuali sebab  gigitan manusia yang jarang terjadi, 

infeksi tidak berhubungan dengan pajanan spesifik dengan orang yang terinfeksi. 

 

8. Kerentanan dan kekebalan. 

Kerentanan alami biasanya rendah. Imunitas yang terjadi sesudah terkena infeksi belum 

pernah dilaporan. 

 

9. Cara pemberantasan. 

A. Tindakan pencegahan. 

Tidak ada, kecuali dengan menjaga kesehatan dan kebersihan mulut dengan baik, 

menghilangkan plak gigi akan mengurangi risiko infeksi mulut. 

 

B. Pengawasan dari penderita, kontak dan lingkungan sekitar. 

1). Laporan pada instansi kesehatan setempat; laporan resmi biasanya tidak dilakukan. 

Kelas 5 ( lihat tentang pelaporan penyakit menular) 

2). Isolasi : tidak dilakukan. 

3). Disinfeksi serentak : tidak dilakukan. 

4). Karantina : tidak dilakukan. 

5). Imunisasi kontak : tidak dilakukan. 

6). Investigasi dari kontak dan sumber infeksi : tidak perlu. 

7). Pengobatan spesifik : tidak terjadi penyembuhan spontan. Pemberian penisilin 

jangka panjang dengan dosis tinggi biasanya efektif; tetrasiklin, eritromisin, 

klindamisin dan sefalosporin yaitu   pengobatan alternatif yang lain. Drainase  

abses dengan tindakan bedah kadang diperlukan. 

 

C. Penanggulangan wabah :  

Tidak dilakukan, merupakan penyakit yang sporadis. 

 

D. Implikasi bencana : tidak ada. 

 

E. Tindakan lebih lanjut  : tidak ada 

 

 

 

 

 

 

 

 

 11

AMOEBIASIS       ICD – 9 006; ICD-10 A06 

(Amebiasis).  

 

1. Identifikasi  

Infeksi oleh protozoa ada dalam 2 bentuk; dalam bentuk kista yang infektif dan bentuk 

lain yang lebih rapuh, berupa trofosoit yang patogen. Parasit bisa menjadi komensal atau 

menyerang jaringan dan naik ke saluran pencernaan atau menjadi penyakit 

ekstraintestinal. Kebanyakan infeksi tidak memberikan gejala, namun muncul gejala klinis 

pada kondisi tertentu. Penyakit pada saluran pencernaan bervariasi mulai dari akut atau 

berupa disenteri fulminan dengan gejala demam, menggigil, diare dengan darah atau diare 

mukoid (disenteri amoeba), hingga hanya berupa perasaan tidak nyaman pada abdomen 

dengan diare yang mengandung darah atau lendir dengan periode konstipasi atau remisi. 

Amoeba granulomata (ameboma), kadang-kadang dikira sebagai kanker, bisa muncul di 

dinding usur besar pada penderita dengan disenteri intermiten atau pada kolitis kronis. 

Luka pada kulit, di daerah perianal, sangat jarang terjadi sebagai perluasan langsung dari 

lesi saluran pencernaan atau abses hati yang disebabkan oleh amoeba, lesi pada penis bisa 

terjadi pada orang dengan perilaku homoseksual aktif. Penyebaran melalui aliran darah 

mengakibatkan abses di hati, atau yang lebih jarang di paru-paru atau di otak. 

 

Kolitis yang disebabkan oleh amoeba sering dikelirukan dengan berbagai bentuk penyakit 

radang usus seperti kolitis ulserativa; harus hati-hati dalam membedakan kedua penyakit 

ini sebab  pemberian kortikosteroid bisa memperburuk kolitis oleh amoeba. Amoebiasis 

juga mirip dengan berbagai penyakit saluran pencernaan non-infeksi dan infeksi. 

Sebaliknya, ditemukannya amoeba dalam tinja bisa dikira sebagai Pemicu  diare pada 

orang yang penyakit saluran pencernaannya disebabkan oleh sebab lain. 

Diagnosa dibuat dengan ditemukannya trofosoit atau kista pada spesimen tinja segar, atau 

preparat apus dari aspirat atau kerokan jaringan yang didapat dari proctoscopy atau aspirat 

dari abses atau dari potongan jaringan. Adanya trofosoit yang mengandung eritrosit 

mengindikasikan adanya invasive amoebiasis. 

Pemeriksaan sebaiknya dilakukan pada spesimen segar oleh seorang yang terlatih sebab  

organisme ini harus di bedakan dari amoeba non patogen dan makrofag. Tes deteksi 

antigen pada tinja saat ini telah tersedia; namun  tes ini tidak dapat membedakan organisme 

patogen dari organisme non-patogen. Diharapkan kelak dikemudian hari, pengujian 

spesifik terhadap Entamoeba histolityca telah tersedia. Diperlukan adanya laboratorium 

rujukan. Banyak tes serologis yang tersedia sebagai tes tambahan untuk mendiagnosa 

amoebiasis ekstraintestinal, seperti abses hati dimana pemeriksaan tinja kadang-kadang 

hasilnya negatif. Tes serologis terutama imunodifusi HIA dan ELISA, sangat bermanfaat 

untuk mendiagnosa penyakit invasif. Scintillography, USG dan pemindaian CAT sangat 

membantu menemukan dan menentukan lokasi dari abses hati amoeba dan sebagai 

penegakan diagnosa apabila disertai dengan ditemukannya antibodi spesifik terhadap 

Entamoeba histolityca. 

  

2. Pemicu  penyakit. 

Entamoeba histolityca yaitu   parasit yang berbeda dengan E. hartmanni, Escherishia coli 

atau protozoa saluran pencernaan lainnya. Membedakan E. histolityca patogen dengan 

 

 12

organisme non-patogen yang secara morfologis sama yaitu E. dispar didasarkan pada 

perbedaan imunologis dan pola isoenzim nya. Ada 9 patogen dan 13 nonpatogen 

zymodemes (yang di klasifikasikan sebagai E. dispar) telah diidentifikasi dan di isolasi 

dari 5 benua. Kebanyakan kista yang ditemukan dalam tinja orang tanpa gejala yaitu   E. 

dispar. 

3. Distribusi penyakit. 

Amoebiasis ada dimana-mana. Invasive amoebiasis biasanya terjadi pada dewasa muda. 

Abses hati terjadi terutama pada pria. Amoebiasis jarang terjadi pada usia dibawah 5 

tahun dan terutama di bawah 2 tahun, pada usia ini disenteri biasanya sebab  shigella. 

Angka prevalensi kista yang di publikasikan, biasanya didasarkan pada bentuk morfologi 

dari kista, sangat bervariasi dari satu tempat ketempat lain. Pada umumnya, angka ini 

lebih tinggi di tempat dengan sanitasi buruk (sebagian besar daerah tropis), di institusi 

perawatan mental dan diantara para homoseksual pria, (kemungkinan kista dari E. dispar). 

Di daerah dengan sanitasi yang baik, infeksi amoeba cenderung terjadi di rumah tangga 

dan institusi. Proporsi dari pembawa kista yang menunjukkan gejala klinis biasanya 

rendah. 

 

4. Reservoir : Manusia; biasanya penderita kronis atau pembawa kista yang tidak 

menampakkan gejala. 

 

5. Cara penularan.  

Penularan terjadi terutama dengan mengkonsumsi makanan atau air yang terkontaminasi 

tinja dan mengandung kista amoeba yang relatif resisten terhadap klorin. Penularan 

mungkin terjadi secara seksual melalui kontak oral-anal. Penderita dengan disentri 

amoeba akut mungkin tidak akan membahayakan orang lain sebab  tidak adanya kista dan 

trofosoit pada kotoran. 

 

6. Masa inkubasi : Bervariasi, mulai dari beberapa hari hingga beberapa bulan atau tahun, 

biasanya 2 – 4 minggu. 

 

7.  Masa penularan : Selama ada E. histolytica, kista dikeluarkan melalui tinja dan ini bisa 

berlangsung selama bertahun-tahun. 

 

8. Kekebalan dan kerentanan. 

Semua orang rentan tertulari, orang-orang yang terinfeksi E. dispar tidak akan menjadi 

sakit. Infeksi ulang mungkin tejadi namun  sangat jarang. 

 

9.  Cara pemberantasan. 

A. Tindakan pencegahan. 

1) Memberi penyuluhan kepada warga  tentang kebersihan perorangan, terutama 

pembuangan tinja yang saniter, dan mencuci tangan sesudah buang air besar dan 

sebelum memasak atau menjamah makanan. Menyebarkan informasi tentang 

risiko mengkonsumsi buah atau sayuan mentah atau yang tidak dimasak dan 

minum air yang tidak terjamin kebersihannya. 

2) Membuang tinja dengan cara yang saniter. 

 

 13

3) Melindungi sumber air umum dari kontaminasi tinja. Saringan air dari pasir 

menghilangkan hampir semua kista dan filter tanah diatomaceous menghilangkan 

semua kista. Klorinasi air yang biasanya dilakukan pada pengolahan air untuk 

umum tidak selalu membunuh kista; air dalam jumlah sedikit seperti di kantin atau 

kantong Lyster sangat baik bila di olah dengan yodium dalam kadar tertentu, 

apakah itu dalam bentuk cairan (8 tetes larutan yodium tincture 2% per quart air 

atau 12,5 ml/ltr larutan jenuh kristal yodium) atau sebagai tablet pemurni air (satu 

tablet tetraglycin hydroperiodide, Globaline ®, per quart air). Biarkan lebih kurang 

selama 10 menit (30 menit jika dingin) sebelum air bisa diminum. Filter yang 

mudah dibawa dengan ukuran pori kurang dari 1,0 µm efektif untuk digunakan. 

Air yang kualitasnya diragukan dapat digunakan dengan aman bila di rebus selama 

1 menit. 

4) Mengobati orang yang diketahui sebagai “carriers”; perlu ditekankan pentingnya 

mencuci tangan dengan baik sesudah buang air besar untuk menghindari infeksi 

ulang dari tetangga atau anggota keluarga yang terinfeksi. 

5) Memberi penyuluhan kepada orang dengan risiko tinggi untuk menghindari 

hubungan seksual oral yang dapat memicu  penularan fekal-oral. 

6) Instansi kesehatan sebaiknya membudayakan perilaku bersih dan sehat bagi orang-

orang yang menyiapkan dan mengolah makanan untuk umum dan menjaga 

kebersihan dapur dan tempat-tempat makan umum. Pemeriksaan rutin bagi 

penjamah makanan sebagai tindakan pencegahan sangat tidak praktis. Supervisi 

yang ketat perlu dilakukan terhadap pembudayaan perilaku hidup bersih dan sehat 

ini. 

7) Disinfeksi dengan cara merendam buah dan sayuran dengan disinfektan yaitu   

cara yang belum terbukti dapat mencegah penularan E. histolytica. Mencuci 

tangan dengan baik dengan air bersih dan menjaga sayuran dan buah tetap kering 

bisa membantu upaya pencegahan; kista akan terbunuh dengan pengawetan, yaitu 

dengan suhu diatas 50oC dan dengan iradiasi. 

8) Penggunaan kemopropilaktik tidak dianjurkan. 

 

B. Pengawasan penderita, kontak dan lingkungan sekitar. 

1). Laporan kepada instansi kesehatan setempat; pada daerah endemis tertentu; di 

sebagian besar negara bagian di AS dan sebagian besar negara didunia penyakit ini 

tidak wajib dilaporkan, Kelas 3C (lihat tentang pelaporan penyakit menular). 

2). Isolasi : Untuk penderita yang di rawat di rumah sakit, tindakan kewaspadaan 

enterik dilakukan pada penanganan tinja, baju yang terkontaminasi dan sprei. 

Mereka yang terinfeksi dengan E. histolityca dijauhkan dari kegiatan pengolahan 

makanan dan tidak diizinkan merawat pasien secara langsung. Ijinkan mereka 

kembali bekerja sesudah kemoterapi selesai. 

3). Disinfeksi serentak : Pembuangan tinja yang saniter. 

4). Karantina : Tidak diperlukan. 

5). Imunisasi kontak : Tidak dilakukan. 

6). Investigasi kontak dan sumber infeksi : Terhadap anggota rumah tangga dan 

kontak lain yang dicurigai sebaiknya dilakukan pemeriksaan tinja secara 

mikroskopis. 

 

 14

7). Pengobatan spesifik : Disentri amoebik akut dan amoebiasis ekstraintestinal 

sebaiknya diobati dengan metronidazole (Flagyl), diikuti dengan iodoquinol 

(Diodoquin), paromomycin (Humatin®) atau diloxanide furoate (Furamide®). 

Dehydroemetine (Mebadin®), diikuti dengan iodoquinol, paromomycin atau 

diloxanide furoate, yaitu   pengobatan alternatif yang cocok untuk penyakit 

saluran pencernaan yang sukar disembuhkan atau yang berat. Pada penderita 

dengan abses hati dengan demam yang berlanjut 72 jam sesudah terapi dengan 

metronidazole, aspirasi non-bedah bisa dilakukan. Kadang-kadang klorokuin 

ditambahkan pada terapi dengan metronidazole atau dehydroemetine untuk 

pengobatan abses hati yang sulit disembuhkan. Kadang-kadang abses hati 

membutuhkan tindakan aspirasi bedah jika ada risiko pecah atau abses yang 

semakin melebar walaupun sudah diobati. Pembawa kista yang tidak memiliki  

gejala diobati dengan iodoquinol, paromomycin atau diloxanide furoate. 

Metronidazole tidak direkomendasikan untuk digunakan selama kehamilan 

trimester pertama, namun belum ada bukti adanya teratogenisitas pada manusia. 

Dehydroemetin merupakan kontraindikasi selama kehamilan. Diloxanide furoate 

dan dehydroemetin tersedia di CDC Drug Service, CDC, Atlanta, telp 404-639-

3670. 

 

C. Penanggulangan Wabah:  

Terhadap mereka yang diduga terinfeksi sebaiknya dilakukan pemeriksaan laboratorium 

untuk menghindari “false positive” dari E. histolityca atau oleh etiologi lain. Investigasi 

epidemiologis dilakukan untuk mengetahui sumber dan cara penularan. Jika sumber 

penularan bersifat “common source”, misalnya berasal dari air atau makanan, tindakan 

yang tepat perlu dilakukan untuk mencegah penularan lebih lajut.  

 

D. Implikasi bencana : 

Buruknya fasilitas sanitasi dan fasilitas pengolahan makanan memudahkan timbulnya 

KLB amoebiasis, terutama pada kelompok warga  yang sebagian besar yaitu   

pembawa kista. 

 

E. Tindakan lebih lanjut  : tidak ada. 

 

 

 

 

ANGIOSTRONGYLIASIS         ICD-9 128.8; ICD-10 B83.2 

(Eosinophilic meningoenchepalitis, Eosinophilic meningitis) 

 

1. Identifikasi. 

Penyakit nematoda dari Susunan Saraf Pusat (SSP) terutama menyerang selaput otak. 

Invasi parasit mungkin tidak memberikan gejala atau muncul gejala yang ringan, pada 

umumnya ditandai dengan sakit kepala berat, kaku pada leher dan punggung dengan 

paresthesia yang bervariasi. Kira kira 5 % penderita mengalami kelumpuhan pada muka 

dan terjadi secara temporer. Demam ringan mungkin muncul. Cacing ditemukan di Liquor 

Cerebrospinalis (LCS) dan mata. LCS biasanya menunjukkan gejala pleositosis dengan 

 

 15

lebih dari 20 % eosinofil; Eosinofilia tidak selalu ada namun  mencapai sekitar 82 %. 

Penyakit berlangsung dari beberapa hari hingga beberapa bulan. Jarang terjadi kematian. 

 

Diferensial diagnosis yaitu   dengan cysticercosis otak, paragonimiasis, echinococcosis, 

gnathomiasis, tuberculous meningitis, coccidiodal meningitis, aseptic meningitis dan 

neurosyphillis. 

 

Diagnosa, terutama di daerah endemis, yaitu dengan ditemukannya sel eosinofil di dalam 

LCS dan adanya riwayat pernah mengkonsumsi kerang mentah. Tes imunodiagnostik 

bersifat presumtif; ditemukannya cacing di dalam LCS atau pada otopsi lebih menegaskan 

diagnosa. 

 

2. Pemicu  penyakit 

Parastrongylus (Angiostrongylus) cantonensis, yaitu   nematoda (cacing paru dari tikus). 

Larva stadium 3 pada  hospes intermediair (kerang darat atau kerang laut) infektif 

terhadap manusia. 

 

3. Disribusi penyakit. 

Penyakit ini endemis di Hawaii, Tahiti, banyak pulau di Kepulauan Pasifik, Vietman, 

Thailand, Malaysia, Cina, Indonesia, Taiwan, Filipina dan Kuba. Nematoda ditemukan di 

bagian utara Jepang, Selatan Brisbane, Australia dan di Afrika ditemukan di  bagian barat 

Pantai Gading dan juga dilaporkan ditemukan di Madagaskar, Mesir, Puertorico dan New 

Orleans (AS). 

 

4. Reservoir : tikus (Rattus and Bandicota spp) 

 

5. Cara penularan : 

sebab  memakan siput mentah atau setengah matang, siput dan planarian darat yang 

merupakan hospes intermediair atau berperan sebagai alat transport yang mengandung 

larva infektif. Udang, ikan dan kepiting darat yang memakan kerang atau siput bisa 

membawa larva infektif. Salada dan sayuran lainnya yang terkontaminasi oleh kerang 

kecil bisa berperan sebagai sumber infeksi. Kerang terinfeksi oleh larva stadium pertama 

yang diekskresikan oleh tikus yang terinfeksi; pada saat larva stadium ketiga berkembang 

didalam kerang, maka tikus (dan manusia) yang menelan kerang juga akan terinfeksi. Di 

dalam tubuh tikus, larva pindah ke otak dan di otak matang menjadi stadium dewasa; larva 

dewasa muda pindah ke permukaan otak dan melalui pembuluh vena mencapai tujuan 

akhir mereka di arteri pulmonaris. 

Sesudah kawin, cacing betina meninggalkan telur-telurnya yang kemudian menetas di 

ujung arteri pulmonaris; larva stadium pertama memasuki sistem bronkhi, melewati 

trakhea, tertelan dan keluar melalui tinja. Pada manusia, siklus ini jarang sekali melewati 

stadium SSP (Susunan Saraf Pusat). 

 

6. Masa inkubasi : Biasanya 1 – 3 minggu, bisa juga lebih pendek atau lebih panjang. 

 

7. Masa penularan : Tidak ditularkan dari orang ke orang. 

 

 

 

 16

8. Kerentanan dan kekebalan. 

Semua orang rentan terhadap infeksi. Malnutrisi dan penyakit penyakit yang melemahkan 

keadaan umum bisa membuat penyakit ini bertambah berat bahkan fatal. 

 

9. Cara pemberantasan. 

A. Tindakan pencegahan. 

1). Memberi penyuluhan kepada warga  umum tentang cara-cara menyiapkan 

makanan mentah dan  makanan yang berasal dari siput baik siput darat maupun 

laut. 

2). Pengendalian tikus. 

3). Rebus siput, udang, ikan dan kepiting selama 3 – 5 menit atau bekukan pada – 15 

oC (5oF) selama 24 jam; tindakan ini efektif membunuh larva. 

4). Hindari makan makanan mentah yang terkontaminasi oleh siput dan mollusca, 

membersihkan salada dan sayur-sayuran dengan seksama untuk menghilangkan 

mollusca tidak selalu dapat menghilangkan larva yang infektif. Radiasi dan 

pasturisasi akan sangat efektif. 

 

B.  Pengawasan dari penderita, kontak dan lingkungan sekitar. 

1). Laporan kepada institusi kesehatan setempat; laporan resmi tidak dilakukan. Class 

5 (lihat tentang pelaporan penyakit menular). 

2). Isolasi: tidak dilakukan. 

3). Disinfeksi serentak : Tidak diperlukan. 

4). Karantina : tidak dilakukan. 

5). Imunisasi kontak : tidak dilakukan. 

6). Investigasi dari kontak dan sumber infeksi : perlu dilakukan investigasi terhadap 

makanan yang diduga sebagai sumber infeksi serta cara-cara makanan ini  

disiapkan. 

7). Pengobatan spesifik : Mebendazole dan albendazole efektif untuk pengobatan 

anak-anak di Taiwan. 

 

C.  Penanggulangan wabah : Jika ditemukan adanya pengelompokan sejumlah kasus 

dalam wilayah geografis tertentu atau pada suatu institusi tertentu, segera lakukan 

penyelidikan epidemiologis. 

 

D.  Implikasi bencana : tidak ada. 

 

E.  Tindakan lebih lanjut  : tidak ada. 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 17

ANGIOSTRONGYLIASIS  ABDOMINALIS    ICD-9 128.8 

ANGIOSTRONGYLIASIS INTESTINALIS    ICD-10 B81.3 

 

 

Pada tahun 1967, sindroma yang mirip dengan penyakit usus buntu ditemukan di Costa Rica, 

terutama pada anak-anak dibawah usia 13 tahun, dengan rasa sakit dan tegang pada perut dan 

fosa iliaca kanan dan punggung, demam, tidak nafsu makan, muntah, terasa kaku pada 

abdomen, teraba massa seperti tumor di bagian kanan bawah dan terasa sakit ketika dilakukan 

tuse rektal. Lekositosis umumnya berada pada angka 20.000 dan 30.000/cu mm (unit SI: 20 – 

30 x 109/L) dengan eosinofil berkisar dari 11 % hingga 61 %. Pada waktu dilakukan operasi, 

ditemukan jaringan granulasi berwarna kuning pada lapisan subserosa  dinding usus. Dan 

telur serta larva dari Parastrongylus (Angiostrongylus) costaricensis ditemukan di pembuluh 

limfe, dinding usus dan omentum; cacing dewasa ditemukan di arteri kecil, pada umumnya di 

daerah ileosekal. Infeksi ditemukan pada warga  di Amerika Tengah, Amerika Selatan dan 

di AS. 

Reservoir parasit ini yaitu   tikus (tikus kapas, Sigmodon hispidus, cacing ini antara lain 

ditemukan di daerah selatan AS), siput biasanya selalu merupakan hospes intermediair. 

Cacing dewasa hidup di arteria mesenterika di daerah sekal, dan telur-telurnya dibawa ke 

dinding usus halus.  Pada masa embrionasi, larva stadium pertama pindah ke lumen usus, 

dikeluarkan bersama tinja dan di telan oleh siput. Didalam tubuh siput, larva ini berkembang 

hingga stadium tiga, yang sudah infektif bagi manusia dan tikus. Larva infektif ini ditemukan 

pada lendir keong yang ditinggalkan di permukaan tanah dan permukaan tempat-tempat lain. 

Jika lendir atau keong kecil ini ditelan oleh manusia, maka larva infektif ini masuk ke dalam 

dinding usus, menjadi matang di kelenjar limfe dan pembuluh darah limfa. Cacing dewasa 

migrasi ke arteriolae mesenterika di daerah ileosekal dimana telur-telur  diletakkan.  Pada 

manusia, sebagian besar telur dan larva ini mengalami degenerasi dan memicu  reaksi 

granulomatosa. Tidak ada pengobatan spesifik, tindakan bedah kadang-kadang perlu 

dilakukan. 

 

 

 

 

ANISAKIASIS      ICD-9 127.1; ICD-10 B81.0 

 

 

1. Identifikasi. 

Merupakan penyakit parasit dari saluran pencernaan manusia biasanya ditandai dengan 

gejala sakit pada abdomen, kejang dan muntah, oleh sebab  mengkonsumsi makanan 

mentah atau ikan laut yang belum diolah, yang mengandung larva cacing ascaridoid. 

Larva yang motil bergerak menembus dinding lambung menimbulkan lesi atau ulkus akut 

disertai dengan mual, muntah dan sakit epigastrik, kadang disertai dengan hematemesis. 

Larva ini mungkin migrasi ke atas dan menempel di dinding orofaring dan memicu  

batuk. Di usus halus, larva menimbulkan abses eosinofil, dengan gejala menyerupai 

apendisitis atau enteritis. Pada saat larva menembus masuk rongga peritoneal, jarang 

sekali mengenai usus besar. 

 

 18

Diagnosa dibuat dengan menemukan larva dengan panjang 2 cm yang masuk kedaerah 

orofaring atau dengan menemukan larva melalui pemeriksaan gastroskopik atau 

menemukan larva pada sampel jaringan yang diambil dengan cara pembedahan. Tes 

serologis sedang dalam pengembangan. 

 

2. Pemicu  penyakit. 

Larva nematoda dari sub famili Anisakinae genera Anisakis dan Pseudoterranova.  

 

3. Distribusi penyakit. 

Penyakit menimpa orang yang mengkonsumsi ikan laut, gurita atau cumi mentah atau 

yang tidak ditangani dengan baik (dibekukan, diasinkan, direndam garam atau diasap). 

Kebiasaan makan ikan mentah ini umum terjadi di Jepang (sushi dan sashimi), Belanda 

(herring), Skandinavia (gravlax), dan di Pantai Pasifik dari Amerika Latin (ceviche). 

Lebih dari 12.000 kasus ditemukan di Jepang. Dahulu penyakit ini sering ditemukan di 

Belanda. Namun sekarang terlihat jumlah penderita bertambah hampir diseluruh Eropa 

Barat dan AS dengan meningkatnya konsumsi ikan mentah. 

 

4. Reservoir. 

Anisakinae tersebar luas di alam, namun  hanya jenis tertentu saja yang menjadi parasit pada 

mamalia laut dan merupakan ancaman bagi manusia. Siklus hidup parasit ini dialam 

meliputi transmisi larva dari satu predator ke predator lain, yaitu dari crustacea yang 

dimakan oleh cumi, gurita atau ikan, lalu dimakan oleh mamalia laut sedang  manusia 

sebagai hospes insidental. 

 

5. Cara penularan 

Larva infektif hidup di dalam mesenterium perut ikan; seringkali sesudah  ikan mati larva 

pindah ke otot ikan. Ketika dimakan oleh manusia larva dilepaskan pada waktu dicerna 

dalam perut, larva bisa menembus mukosa lambung atau mukosa usus.  

 

6. Masa inkubasi 

Gejala-gejala pada lambung bisa muncul dalam beberapa jam sesudah menelan larva 

infektif. Gejala pada usus besar dan usus halus muncul dalam beberapa hari hingga 

beberapa minggu tergantung dari jumlah, besar dan lokasi larva. 

 

7. Masa penularan : Penularan langsung dari orang ke orang tidak terjadi. 

 

8. Kerentanan dan Kekebalan : Setiap orang rentan terhadap penyakit ini. 

 

9. Cara - cara pemberantasan. 

A. Tindakan pencegahan  

1). Hindari mengkonsumsi ikan laut yang tidak dimasak dengan baik. Panaskan ikan 

laut hingga 60 oC(140 oF) selama 10 menit, bekukan hingga – 35 oC (-31oF) atau 

lebih rendah selama 15 jam atau bekukan dengan cara biasa pada – 23oC (-10oF) 

selama paling tidak 7 hari, cara ini akan membunuh larva. Cara pengendalian yang 

dikembangkan akhir-akhir ini dilaksanakan dengan sukses di Belanda. Irradiasi 

efektif membunuh parasit. 

 

 19

2). Membersihkan dan membuang usus (eviscerasi) ikan secepat mungkin sesudah 

ditangkap dapat mengurangi jumlah larva yang masuk ke dalam otot mesenterik. 

3). Penerangan dengan lilin direkomendasikan untuk menerangi produk ikan dimana 

dengan penerangan ini parasit bisa dilihat. 

 

B. Pengawasan penderita, kontak dan lingkungan sekitar. 

1). Laporan pada instansi kesehatan setempat : tidak dianjurkan, Kelas 5 (lihat 

Tentang pelaporan penyakit menular). Namun perlu dilaporkan jika ditemukan 

satu kasus atau lebih di daerah yang sebelumnya tidak pernah dilaporkan ada 

kasus, atau didaerah dimana tindakan pengendalian sedang berlangsung, kasus 

yang ditemukan sebaiknya dilaporkan. 

2). Isolasi : tidak diperlukan . 

3). Disinfeksi serentak : tidak diperlukan. 

4). Karantina : tidak diperlukan. 

5). Imunisasi kontak : tidak diperlukan 

6). Investigasi kontak dan sumber infeksi : tidak ada. 

7). Pengobatan spesifik : menghilangkan larva dengan cara gastroskopik, eksisi dari 

luka. 

C. Penanggulangan wabah : tidak ada 

 

D. Implikasi bencana : tidak ada. 

 

E. Tindakan lebih lanjut  : tidak ada. 

 

 

 

 

ANTHRAX       ICD-9 022; ICD-10 A22 

(Malignant pustule, Malignant edema, Woolsorter disease, Ragpicker disease) 

 

 

1. Identifikasi 

yaitu   penyakit bakteri akut biasanya mengenai kulit, sangat jarang mengenai orofaring, 

mediastinum atau saluran pencernaan. Pada anthrax kulit rasa gatal pada kulit yang 

terpajan yaitu   hal yang pertama kali terjadi, diikuti dengan lesi yang berubah menjadi 

papulair, kemudian vesikulair dan selama 2 – 6 hari berubah menjadi jaringan parut hitam. 

Jaringan parut ini biasanya dikelilingi oleh bengkak ekstensif sedang, hingga berat. 

Kadangkala disertai dengan gelembung kecil. Rasa sakit jarang muncul dan jika ada 

biasanya sebab  infeksi sekunder atau bengkak. Kepala, dahi dan tangan merupakan 

tempat dimana infeksi biasa muncul. Lesi ini kadang keliru dibedakan dengan Orf pada 

manusia (lihat penyakit virus Orf). Infeksi yang tidak diobati bisa menyebar ke daerah 

kelenjar limfe dan ke sistem peredaran darah dengan akibat terjadi septikemi. Selaput otak 

bisa terkena. Anthrax kulit yang tidak diobati memiliki  angka “case fatality” antara 5 % 

- 20 %, dengan terapi antibiotik yang efektif, hanya terjadi sedikit kematian. Lesi 

berkembang berupa lesi yang sangat khas pada kulit bahkan sesudah dimulainya terapi 

antibiotik.  

 

 20

Gejala awal sebab  inhalasi anthrax mula-mula sangat ringan dan tidak spesifik termasuk 

demam, malaise dan batuk ringan atau sakit dada. Kemudian muncul gejala akut berupa 

gangguan pernapasan, gambaran sinar-x melebarnya mediastinum; demam dan syok akan 

terjadi dalam 3 – 5 hari dan tidak lama kemudian akan mengakibatkan kematian. Anthrax 

usus jarang terjadi dan lebih sulit untuk dikenal terkecuali jika muncul sebagai KLB 

keracunan makanan, dengan gejala berupa gangguan abdominal diikuti dengan demam, 

tanda-tanda septikemi dan kematian pada kasus-kasus tertentu. Bentuk orofaringeal dari 

penyakit primer pernah ditemukan. 

 

Konfirmasi laboratorium dibuat dengan ditemukannya organisme Pemicu  penyakit di 

dalam darah, lesi atau discharge dengan pengecatan langsung Polikrom metilen biru 

(M’Fadyean) atau dengan kultur atau dengan inokulasi dari tikus, marmoot atau kelinci. 

 

Identifikasi cepat dari organisme dengan memakai   tes Imunodiagnostik, ELISA & 

PCR mungkin hanya tersedia pada laboratorium rujukan tertentu. 

 

2. Pemicu  penyakit. 

Bacillus anthracis, bakteri gram positif, berkapsul, membentuk spora, berbentuk batang 

yang tidak bergerak. 

 

3. Distribusi penyakit. 

Merupakan penyakit utama herbivora, sedang  manusia dan karnivora merupakan 

hospes insidential. Infeksi anthrax pada manusia bersifat sporadis dan jarang terjadi 

disebagian besar negara maju. Ia merupakan penyakit akibat kerja (occupational disease) 

utama para pekerja yang memproses kulit, bulu (terutama kambing) tulang, produk tulang 

dan wol, dokter hewan dan pekerja pertanian, pekerja yang menangani binatang liar 

(wildlife) dan mengenai mereka yang menangani binatang sakit. Anthrax pada manusia 

endemis di wilayah pertanian, dimana didaerah itu kejadian anthrax pada binatang sangat 

umum ditemukan ; ini termasuk negara-negara di Amerika Tengah dan Selatan, Bagian 

Selatan dan Timur, Asia, Afrika. Munculnya daerah baru infeksi anthrax pada hewan 

ternak bisa terjadi melalui import makanan ternak yang mengandung tulang yang 

terkontaminasi. Kejadian bencana alam seperti banjir bisa memicu timbulnya epizootik. 

Antrhax di anggap sebagai alat yang sangat potensial untuk bioterorisme dan “biowarfare” 

(perang dengan memakai   senjata biologis), pada saat terjadi perang biologis, anthrax 

dapat muncul sebagai kejadian yang secara epidemiologis sangat luar biasa. 

 

4. Reservoir 

Binatang, (biasanya herbivora, baik hewan ternak maupun liar), menyebarkan basil pada 

saat terjadi perdarahan atau tumpahnya darah pada saat hewan ini  disembelih atau 

mati. Pada pajanan udara, bentuk vegetatif akan membentuk spora, dan spora dari B. 

anthraxis sangat resisten pada kondisi lingkungan yang kurang baik dan begitu juga 

disinfeksi tidak mempan, spora bisa hidup terus di tanah yang terkontaminasi selama 

bertahun-tahun. B. anthraxis yaitu   bakteri komensal tanah yang tersebar di berbagai 

tempat di seluruh dunia. Pertumbuhan bakteri dan kepadatan spora tanah bisa meningkat 

sebab  banjir atau pada kondisi ekologi tertentu. Tanah juga dapat terkontaminasi oleh 

 

 21

tahi/kotoran burung kering, yang menyebarkan organisme dari satu tempat ke tempat lain 

oleh sebab  burung ini  habis makan bangkai yang terkontaminasi anthrax.  

Kulit kering atau kulit yang diproses serta kulit dari binatang yang terinfeksi bisa 

membawa spora hingga bertahun-tahun dan merupakan media  penyebaran penyakit ke 

seluruh dunia. 

 

5. Cara penularan. 

Infeksi kulit terjadi melalui kontak dengan jaringan binatang (sapi, biri-biri, kambing, 

kuda, babi dan sebagainya) yang mati sebab  sakit; mungkin juga sebab  gigitan lalat 

yang hinggap pada binatang-binatang yang mati sebab  anthrax, atau sebab  kontak 

dengan bulu yang terkontaminasi, wol, kulit atau produk yang dibuat dari binatang-

binatang ini seperti kendang, sikat atau karpet; atau sebab  kontak dengan tanah yang 

terkontaminasi oleh hewan. Tanah dapat juga tercemar anthrax sebab  dipupuk dengan 

limbah pakan ternak yang terbuat dari tulang yang tercemar. Inhalasi spora anthrax dapat 

terjadi pada proses industri yang berisiko, seperti pada waktu mewarnai kulit dan pada 

pemrosesan wol atau tulang; dimana saat itu dapat terjadi percikan dari spora B. anthracis. 

Anthrax usus dan orofaringeal muncul sebab  memakan daging terkontaminasi yang tidak 

dimasak dengan baik; tidak ada bukti bahwa susu dari binatang terinfeksi dapat 

menularkan anthrax. Penyakit menyebar diantara binatang pemakan rumput melalui 

makanan dan tanah yang terkontaminasi; sedang  penyebaran penyakit pada omnivora 

dan karnivora melalui daging, tulang atau makanan lain dan penyebaran pada binatang liar 

terjadi sebab  binatang ini  makan bangkai yang terkontaminasi anthrax. Infeksi tidak 

sengaja bisa terjadi pada petugas laboratorium.  

 

Pada Tahun 1979, telah terjadi KLB sebab  inhalasi anthrax di Yekaterinburg 

(Sverdlovsk), Rusia, dimana pada waktu itu 66 orang tewas dan 11 orang lainnya 

selamat. Di duga saat itu masih ada banyak kasus lain yang terjadi. Hasil investigasi 

memperlihatkan bahwa kasus anthrax ini diduga berasal dari sebuah institut penelitian 

biologi dan disimpulkan bahwa KLB terjadi sebab  percikan yang tidak disengaja sebagai 

akibat kecelakaan kerja pada kegiatan penelitian senjata biologis. 

 

6. Masa inkubasi 

Dari 1 – 7 hari. Walaupun masa inkubasi dapat mencapai 60 hari (di Sverdlovsk masa 

inkubasi mencapai 43 hari). 

 

7.  Masa penularan. 

Penularan dari orang ke orang sangat jarang. Barang dan tanah yang terkontaminasi oleh 

spora bisa tetap infektif hingga puluhan tahun. 

 

8.  Kerentanan dan kekebalan. 

Timbulnya kekebalan setelah infeksi tidak jelas; ada beberapa bukti dari infeksi yang 

tidak manifest (‘inapparent”) diantara orang yang sering kontak dengan agen Pemicu  

penyakit; serangan ke dua dapat terjadi, namun  jarang dilaporkan. 

 

 

 

 

 22

9.  Cara pemberantasan 

A. Tindakan pencegahan. 

1). Berikan imunisasi kepada orang dengan risiko tinggi dengan vaksin cell-free yang 

disiapkan dari filtrat kultur yang mengandung antigen protektif (tersedia di AS dari 

“Bioport corporation”, 3500 N. Martin Luther King, Jr. Boulevard, Lansing MI 

48909). Terbukti bahwa vaksin ini efektif mencegah anthrax kulit dan pernapasan.; 

direkomendasikan untuk diberikan kepada petugas labororatorium yang secara 

rutin bekerja dengan B. anthracis dan para pekerja yang menangani bahan industri 

mentah yang potensial terkontaminasi. Vaksin ini juga dapat digunakan untuk 

melindungi personil militer yang terpajan senjata perang biologis. 

2). Beri penyuluhan kepada para pekerja yang menangani bahan-bahan yang potensial 

terkontaminasi anthrax sebagai penular anthrax, sebaiknya para pekerja menjaga 

kulit agar tidak lecet dan menjaga kebersihan perorangan. 

3). Membersihkan debu dan membuat ventilasi yang baik di tempat-tempat kerja pada 

industri berbahaya; terutama yang menangani bahan mentah. Selalu melakukan 

supervisi medis pada para pekerja dan melakukan perawatan spesifik pada luka 

dikulit. Pekerja sebaiknya memakai   baju pelindung dan tersedia fasilitas yang 

baik untuk mencuci tangan dan pakaian dan mengganti sesudah kerja. Tempatkan 

ruang makan jauh dari tempat kerja. Uap formaldehid digunakan untuk disinfeksi 

pabrik tekstil yang terkontaminasi anthrax. 

4). Lakukan pencucian secara menyeluruh, disinfeksi atau sterilkan bulu, wol dan 

tulang atau bagian dari tubuh binatang lainnya yang akan dijadikan pakan ternak 

sebelum diproses. 

5). Kulit binatang yang terpajan anthrax jangan di jual. Bangkai binatang yang 

terpajan anthrax jangan digunakan sebagai bahan pakan ternak. 

6). Jika dicurigai terkena anthrax, jangan melakukan nekropsi pada binatang ini . 

Jika ingin mengambil sampel darah untuk kultur lakukan secara aseptis. Hindari 

kontaminasi tempat pengambilan sampel. Jika nekrospi dilakukan dengan tidak 

hati-hati, sterilkan seluruh bahan dan alat yang dipakai dengan otoklaf, insinerator 

atau dilakukan disinfeksi dan fumigasi dengan bahan kimia. 

sebab  spora anthrax bisa hidup selama berpuluh-puluh tahun jika bangkai 

dikubur, maka teknik pemusnahan yang paling baik yaitu   membakar bangkai 

binatang ini  dengan suhu tinggi (insinerasi) di tempat binatang itu mati atau 

dengan mengangkut bangkai ini  ke tempat insenerator, hati-hati agar tidak 

terjadi kontaminasi sepanjang jalan menuju insenerator. Jika cara ini tidak 

memungkinkan, kuburlah dalam-dalam bangkai binatang itu di tempat binatang itu 

mati; jangan dibakar di lapangan terbuka. Tanah yang terkontaminasi dengan 

bangkai atau kotoran binatang didekontaminasi dengan lye 5% atau kalsium oksida 

anhydrous (quicklime). Bangkai yang dikubur dalam-dalam sebaiknya di taburi 

dengan quicklime. 

7). Awasi dengan ketat buangan air limbah dari tempat yang menangani binatang-

binatang yang potensial terkontaminasi anthrax dan limbah dari pabrik yang 

menghasilkan produk bulu, wol, tulang atau kulit yang mungkin terkontaminasi.  

8). Berikan Imunisasi sedini mungkin dan lakukan imunisasi ulang setiap tahun 

kepada semua hewan yang berisiko terkena anthrax. Obati hewan yang 

menunjukkan gejala anthrax dengan penisilin atau tetrasiklin, berikan imunisasi 

 

 23

sesudah terapi dihentikan. Hewan ini sebaiknya tidak disembelih hingga beberapa 

bulan setelah sembuh. Pengobatan sebagai pengganti imunisasi dapat diberikan 

kepada hewan yang terpajan sumber infeksi, seperti terpajan dengan makanan 

ternak komersiil yang terkontaminasi. 

 

B. Pengawasan penderita, kontak dan lingkungan sekitarnya. 

1) Laporan kepada instansi kesehatan setempat; kasus anthrax wajib dilaporkan di 

sebagian besar negara bagian dan negara-negara lain di dunia, Kelas 2A (lihat 

tentang pelaporan penyakit menular). Laporan kepada badan yang berwenang 

menangani pertanian dan hewan ternak wajib dilakukan juga. 

Walaupun hanya ditemukan satu kasus anthrax pada manusia; terutama jenis 

pernafasan, dianggap sebagai kejadian luar biasa sehingga harus dilaporkan segera 

kepada pejabat yang berwenang di bidang kesehatan warga  dan kepada 

penegak hukum sebagai bahan pertimbangan kemungkinan bahwa KLB ini 

bersumber dari kegiatan terorisme. 

2). Isolasi : untuk anthrax kulit dan pernapasan lakukan tindakan kewaspadaan standar 

selama sakit. Dengan pemberian terapi antibiotik yang tepat lesi kulit bebas dari 

bakteri dalam waktu 24 jam namun lesi ini tetap berkembang sesuai dengan siklus 

yang sangat khas dari lesi anthrax  yaitu adanya ulcerasi, pengelupasan dan 

resolusi. 

3). Disinfeksi serentak :  

Disinfeksi dilakukan terhadap discharge dari lesi dan terhadap alat-alat yang 

kontak dengan tanah. Hipoklorit sangat baik dipakai untuk disinfeksi sebab  dapat 

membunuh spora dan digunakan jika bahan yang akan didisinfeksi volumenya 

kecil dan bahan ini  tidak mudah korosif; hidrogen peroksida, asam perasetik 

dan glutaraldehid bisa menjadi alternatif; formaldehid, etilen oksida dan iradiasi 

kobalt juga sering digunakan. Memusnahkan spora dilakukan dengan sterilisasi 

uap, otoklaf atau dibakar untuk meyakinkan bahwa spora ini  betul-betul telah 

musnah. Fumigasi dan disinfeksi kimia dapat digunakan untuk alat-alat berharga. 

Lakukan pembersihan menyeluruh. 

4). Karantina : tidak diperlukan. 

5). Imunisasi kontak : tidak diperlukan. 

6). Investigasi kontak dan sumber infeksi : 

Lakukan investigasi terhadap kemungkinan adanya riwayat seseorang terpajan 

dengan binatang yang terinfeksi atau terpajan dengan produk dari binatang, dan 

lacak tempat asalnya. Pada pabrik yang mengolah produk binatang, periksa apakah 

telah dilakukan tindakan preventif yang tepat seperti yang dijelaskan pada 9A 

diatas, Seperti dijelaskan pada 9B1 kemungkinan Anthrax bersumber dari kegiatan 

bioterorisme tidak bisa dikesampingkan terutama untuk kasus anthrax pada 

manusia, kasus-kasus ini  sumber infeksinya tidak jelas. 

7). Pengobatan spesifik; penisilin yaitu   obat pilihan untuk anthrax kulit dan 

diberikan selama 5 – 7 hari. Tetrasiklin, eritromisin dan klorampenikol juga 

efektif. Angkatan bersenjata Amerika merekomendasikan pemberian 

Ciprofloxacin parenteral atau doksisiklin untuk anthrax pernapasan, lama 

pengobatan tidak dijelaskan secara rinci. 

 

 

 24

C. Penanggulangan  wabah 

KLB anthrax merupakan penyakit akibat kerja pada peternakan. Wabah anthrax yang 

jarang terjadi di AS yaitu   KLB yang bersifat lokal terjadi dikalangan pekerja yang 

mengolah produk binatang, terutama bulu kambing. KLB anthrax yang terjadi 

berkaitan dengan penanganan dan konsumsi daging ternak yang terinfeksi terjadi di 

Asia, Afrika dan bekas negara Uni Sovyet. 

 

D.  Implikasi bencana : 

Tidak ada, kecuali jika terjadi banjir di daerah yang terinfeksi. 

 

E.  Tindakan lebih lanjut  : 

Sterilkan bahan pakan ternak import yang mengandung tulang sebelum digunakan 

sebagai makanan ternak. Disinfeksi wol, bulu dan produk lain dari binatang jika ada 

indikasi terinfeksi. 

 

F.  Pengamanan bioterorisme. 

Selama  tahun 1998, lebih dari 2 lusin ancaman anthrax terjadi di AS. Tidak ada 

satupun dari ancaman ini terjadi. Prosedur umum di AS untuk menangani ancaman ini 

yaitu   : 

1). Siapapun yang menerima ancaman penyebaran anthrax, segera melaporkan kepada 

FBI (Federal Bureau of Investigation).  

2). Di AS, FBI bertanggung jawab penuh untuk melakukan investigasi terhadap 

ancaman senjata biologis dan lembaga lain harus bekerja sama memberikan 

bantuan jika diminta oleh FBI. 

3). Departemen kesehatan negara bagian dan Dinas Kesehatan setempat sebaiknya 

juga di beritahu jika ada ancaman ini dan siap memberikan bantuan dan tindak 

lanjut yang mungkin diperlukan. 

4). Orang yang terpajan anthrax tidak menular, sehingga tidak perlu dikarantina. 

5). Orang yang mungkin terpajan, sebaiknya di sarankan menunggu hasil 

laboratorium dan tidak perlu diberi kemoprofilaksis. Jika mereka menjadi sakit 

sebelum hasil tes laboratorium selesai, mereka harus segera menghubungi Dinas 

Kesehatan setempat dan segera ke Rumah Sakit yang ditunjuk untuk mendapatkan 

perawatan gawat darurat, dan mereka harus memberi tahukan kepada petugas 

medis bahwa ia kemungkinan terpajan anthrax. 

6). Jika penderita terbukti terpajan anthrax yang ditularkan melalui udara, penderita 

harus segera mendapat pengobatan profilaktik pasca pajanan dengan antibiotik 

yang tepat (fluorokinolon yaitu   obat pilihan dan doksisiklin yaitu   obat 

alternatif) dan vaksin. Imunisasi pasca pajanan dengan vaksin bebas sel yang tidak 

aktif di indikasikan sebagai tindak lanjut pemberian kemoprofilaksis sesudah suatu 

insiden biologis. Imunisasi direkomendasikan sebab  kita tidak tahu apakah spora 

yang terhirup akan berkembang biak atau tidak. Imunisasi pasca pajanan terdiri 

dari 3 suntikan : sesegera mungkin sesudah terpajan dan pada minggu ke 2 dan ke 

4 sesudah terpajan. Terhadap vaksin ini  belum dilakukan evaluasi efektifitas dan 

keamanannya bagi anak-anak kurang dari 18 tahun dan  orang dewasa berusia 60 

tahun atau lebih.  

 

 25

7). Setiap orang harus mengikuti petunjuk teknis yang diberikan jika menghadapi 

ancaman biologis 

8). Setiap orang dapat dilindungi dari spora anthrax dengan  memakai   jubah  

pelindung, sarung tangan dan respirator yang menutupi seluruh muka dengan filter 

yang memiliki efektifitas tinggi terhadap partikel udara “High-efficiency Particle 

Air” – (HEPA), filter (level C) atau perlengkapan pernafasan “Self-Contained 

Breathing Apparatus” (SCBA) (level B) 

9). Orang yang terpajan dan kemungkinan besar terkontaminasi sebaiknya di 

dekontaminasi dengan memakai   sabun dan dibilas dengan air mengalir dalam 

jumlah yang banyak. Biasanya larutan klorin tidak diperlukan. Cairan klorin 

rumah tangga dengan perbandingan 1 : 10  (konsentrasi hipoklorit 0,5%) 

digunakan bila terjadi kontaminasi luas dan bahan yang terkontaminasi ini tidak 

bisa dibersihkan dengan air dan sabun. Melakukan dekontaminasi dengan klorin 

hanya direkomendasikan sesudah dilakukan dekontaminasi dengan air dan sabun, 

dan larutan klorin ini harus dibersihkan sesudah 10 hingga 15 menit. 

10). Semua orang yang di dekontaminasi harus melepaskan pakaian dan barang-barang 

mereka dan memasukkannya ke dalam tas plastik, yang di beri keterangan yang 

jelas, berisi nama pemilik barang, nomer telpon yang bisa dihubungi, dan 

keterangan tentang isi tas plastik ini . Barang-barang ini akan di simpan 

sebagai barang bukti terhadap kemungkinan adanya tindakan kriminal dan barang 

ini akan dikembalikan kepada pemiliknya bila ancaman ini tidak terbukti.  

11). Jika paket atau amplop yang dicurigai berisi anthrax dalam keadaan tertutup (tidak 

terbuka), mereka yang menemukan amplop ini sebaiknya tidak melakukan apapun 

selain menghubungi FBI. Upaya karantina, evakuasi, dekontaminasi dan 

kemoprofilaksis sebaiknya tidak dilakukan bila amplop atau paket dalam keadaan 

tertutup. Untuk kejadian yang disebabkan oleh surat yang mungkin terkontaminasi, 

lingkungan yang kontak langsung dengan surat ini  harus di dekontaminasi 

dengan larutan hipoklorit 0,5 % sesudah dilakukan investigasi terhadap 

kemungkinan adanya tindakan kriminal. Barang-barang pribadi juga perlu 

didekontaminasi dengan cara yang sama. 

12). Bantuan teknis dapat diberikan segera dengan menghubungi “National Response 

Center” di 800-424-8802 atau “Weapon of Mass Destruction Coordinator FBI” 

setempat.  

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 26

DEMAM BERDARAH ARENAVIRAL  AFRIKA SELATAN  

         ICD-9 078.7; ICD-10 A 96 

DEMAM BERDARAH JUNIN (ARGENTINIAN)     ICD-10 A96.0 

DEMAM BERDARAH MACHUPO (BOLIVIAN)     ICD-10 A96.1 

DEMAM BERDARAH GUANARITO (VENEZUELAN)    ICD-10 A96.8 

DEMAM BERDARAH SABIA (BRAZILIAN)      ICD-10 A96.8 

 

 

 

1. Identifikasi. 

Demam akut viral, berlangsung selama 7-15 hari. Onset berlangsung secara perlahan 

dimulai dengan malaise, sakit kepala, sakit “retro orbital “, mata merah dan demam, 

berkeringat diikuti dengan kelelahan. Mungkin ada petekie dan ekimose diikuti dengan 

eritema di muka, leher dan dada bagian atas. Enantem dengan petekie pada palatum molle 

sering terjadi. Infeksi yang berat memicu  epistaksis, hematemesis, melena, hematuri 

dan perdarahan gusi, ensefalopati, tremor dan sering terjadi berkurangnya reflex tendon. 

Bradikardi dan hipotensi disertai syok/renjatan sering ditemukan, dengan karakteristik 

adanya lekopeni dan trombositopeni. Albuminuria sering ditemukan disertai adanya 

silinder seluler dan granuler serta silinder epitel sel yang berlobang di dalam urin. CFR 

berkisar antara 15-30%. Diagnosis dibuat dengan mengisolasi virus atau ditemukannya 

antigen dalam darah dan organ dengan pemeriksaan PCR atau serologis dengan IgM 

ELISA atau deteksi dari neutralizing antibody yang meningkat atau meningkatnya titer 

ELISA atau IFA. Studi laboratorium untuk isolasi virus dan tes neutralizing antibody” 

membutuhkan BSL-4 (Biosafety Level – 4) 

 

2.  Pemicu  Infeksi. 

Kompleks Tacaribe dari arenavirus : yaitu virus Junin untuk penyakit Demam Berdarah 

Argentina; virus yang sangat dekat dengan virus Machupo untuk Demam Berdarah 

Bolivia; virus Guanarito untuk Demam Berdarah  Venezuela; virus Sabia untuk Demam 

Berdarah Brazilia. (virus ini berhubungan dengan demam Lassa dan koriomeningitis 

Limfositik). 

 

3. Distribusi Penyakit. 

Demam berdarah Argentina pertama kali ditemukan diantara para pemetik jagung di 

Argentina pada tahun 1955. Sekitar 200-300 kasus dilaporkan dari daerah endemis di 

Argentina setiap tahun sebelum dilakukan imunisasi secara luas; Saat ini insidensnya 

sekitar 100 kasus atau kurang pada tahun-tahun terakhir. Penyakit ini biasanya muncul 

dari bulan Maret hingga Oktober (musim gugur dan salju). Kejadiannya lebih sering pada 

laki-laki dibandingkan dengan perempuan terutama menimpa usia 15-60 tahun. 

 

Penyakit yang sama, yaitu Demam Berdarah Bolivia, disebabkan oleh virus yang hampir 

sama. Terjadi secara sporadis atau muncul sebagai wabah didaerah pedesaan timur laut di 

Bolovia. Pada bulan Juli –Sept 1994, ada 9 kasus, dengan 7 meninggal. 

Pada tahun 1989, Terjadi KLB penyakit dengan gejala perdarahan berat di Guanarito, 

Venezuela. Ada 104 kasus, 24 diantaranya meninggal yang terjadi antara bulan Mei 1990 

sampai dengan Maret 1991. Menimpa warga  pedesaan Guanarito dan daerah 

 

 27

sekitarnya. Semenjak itu kasus-kasus yang sama di laporkan secara intermiten, dan Virus 

ini tetap ditemukan pada tikus. Virus Sabia memicu  penyakit yang fatal dengan 

gejala perdarahan dan terjadi di Brazil pada tahun 1990. Infeksi laboratorium yang terjadi 

di Brasilia pada tahun 1992 dan di AS diobati dengan Ribavirin. 

 

4. Reservoir 

Di Argentina, sebagai reservoir untuk virus Junin yaitu   tikus liar yang hidup di padang 

rumput (terutama Calomys musculinus) sedang  di Bolivia, C. callosus yaitu   sebagai 

binatang reservoir. Tikus tebu (Zyangodontomys brevicauda) diduga sebagai reservoir 

Guanarito. Reservoir virus Sabia tidak diketahui, walaupun tikus diperkirakan sebagai 

tuan rumah. 

 

5. Cara Penularan. 

Penularan pada manusia terjadi terutama dengan menghirup partikel melayang yang 

berasal dari kotoran tikus yang mengandung virus, atau yang berasal dari air liur tikus dan 

tubuh tikus yang terpotong-potong oleh alat-alat pertanian. Virus yang ada di lingkungan 

sekitar kita bisa menjadi infektif apabila terbentuk partikel melayang yang dihasilkan dari 

proses kegiatan pertanian masuk kedalam saluran pernafasan atau pencernaan, namun 

walaupun sangat jarang terjadi penularan virus Machupo dari orang ke orang pernah 

dilaporan terjadi di lingkungan fasilitas pelayanan kesehatan dan keluarga. 

 

6. Masa Inkubasi : Biasanya antara 7-16 hari. 

 

7. Masa penularan. 

Jarang terjadi penularan langsung dari orang ke orang, walaupun pernah dilaporkan terjadi 

pada penyakit Demam Berdarah Bolivia dan Argentina. 

 

8. Kerentanan dan kekebalan. 

Nampaknya semua usia rentan terhadap penyakit ini, timbul kekebalan tubuh yang 

bertahan dalam waktu yang tidak diketahui sesudah infeksi. Terjadi juga infeksi subklinis. 

 

9. Cara-cara pemberantasan. 

A. Tindakan Pencegahan. 

Pengendalian tikus di rumah telah dilakukan dengan sukses di Bolivia. Di Argentina, 

kontak dengan manusia biasanya terjadi di ladang dan penyebaran tikus yang begitu 

luas membuat pengendalian menjadi lebih sulit. Vaksin Junin yang dibuat dari virus 

yang dilemahkan dan sangat efektif telah digunakan terhadap 150.000 orang lebih di 

Argentina. Vaksin ini tidak terdaftar di AS. Pada binatang percobaan vaksin ini efektif 

melawan virus Machupo tapi tidak terhadap virus Guanarito. 

 

B. P engawasan penderita, kontak dan lingkungan sekitarnya. 

1). Laporan ke instansi kesehatan setempat : Di daerah endemis tertentu; di banyak 

negara penyakit ini tidak termasuk penyakit yang wajib dilaporkan, dia termasuk 

kelas 3A (lihat tentang pelaporan penyakit menular). 

2). Isolasi : Dilakukan isolasi ketat selama periode demam akut. Melindungi sistem 

pernapasan mungkin dibutuhkan dilakukan bersama-sama dengan metode 

perlindungan yang lainnya. 

 

 28

3). Disinfeksi serentak : dilakukan terhadap sputum dan sekret saluran pernapasan, 

dan barang barang yang terkontaminasi darah penderita. 

4). Karantina : tidak dilakukan. 

5). Imunisasi kontak : tidak dilakukan. 

6). Investigasi kontak dan sumber infeksi : lakukan pengamatan terhadap binatang 

pengerat, jika memungkinkan lakukan pemberantasan. 

7). Pengobatan spesifik : Plasma kebal spesifik diberikan dalam waktu 8 hari saat 

mulai sakit untuk Demam Berdarah Argentina sedang  pemberian Ribavirin 

bermanfaat untuk keempat jenis Demam Berdarah.  

 

C. Penanggulangan wabah : Pemberantasan Tikus, pertimbangkan pemberian 

imunisasi. 

  

D. Implikasi Bencana : tidak ada. 

 

E. Tindakan lebih lanjut  : tidak ada. 

 

 

 

ARTHROPOD-BORNE VIRAL DISEASES (Penyakit Arbovirus) 

 

Pendahuluan 

 

Banyak jenis arbovirus di ketahui memicu  terjadinya infeksi klinis dan subklinis pada 

manusia. Ada 4 sindroma klinis utama pada penyakit Arbovirus: 

1. Penyakit SSP (Susunan Saraf Pusat) yang gejala klinisnya bervariasi mulai dari aseptik 

meningitis ringan sampai ensefalitis, dengan koma, paralisis dan mati. 

2. Demam akut awal yang terjadi sangat singkat, dengan atau tanpa eksantema, ada juga 

dengan gejala yang lebih serius menyerang SSP atau disertai dengan perdarahan. 

3. Demam berdarah, termasuk demam akut dengan perdarahan luas, luar dan dalam, 

seringkali serius dan berhubungan dengan kebocoran kapiler, syok dan dengan angka 

kematian yang tinggi, (semuanya mungkin memicu  terjadinya kerusakan hati, namun  

kerusakan hati yang terberat terjadi pada demam kuning yang diikuti dengan ikterus yang 

jelas) 

4. Terjadi Polyarthritis dan ruam, dengan atau tanpa demam, dengan lama yang bervariasi, 

gejalanya bisa ringan atau dengan gejala sisa berupa artralgia yang berlangsung selama 

beberapa minggu hingga beberapa bulan. 

Gambaran klinis ini  merupakan gejala dasar diagnosa penyakit ini. 

 

Sebagian besar dari virus ini memerlukan binatang untuk siklus hidupnya. Manusia tidak 

begitu penting dalam siklus kehidupan mereka, infeksi pada manusia biasanya terjadi sebab  

kebetulan yaitu pada saat vector serangga menghisap darah manusia. Hanya dalam beberapa 

kasus diketahui bahwa manusia berperan sebagai sumber utama perkembang biakan virus dan 

penularan kepada vector, seperti dengue dan demam kuning. Sebagian besar virus ini 

ditularkan oleh nyamuk, sementara sisanya oleh kutu, lalat pasir atau gigitan sejenis lalat 

kecil. Infeksi di laboratorium mungkin terjadi, termasuk infeksi melalui udara. 

 

 

  

29

Walaupun Pemicu nya berbeda, penyakit-penyakit ini memiliki  ciri-ciri epidemiologis 

yang sama (perbedaan terutama berhubungan dengan vektornya). Sebagai konsekuensinya, 

penyakit penyakit ini  dengan gejala-gejala klinis tertentu di bagi dalam 4 kelompok, 

yaitu yang ditularkan nyamuk (mosquito-borne), yang ditularkan oleh sejenis lalat 

(midgeborne), yang ditularkan oleh kutu (tickborne), yang ditularkan lalat pasir   (sand fly-

borne) dan vector penular yang tidak diketahui. Penyakit-penyakit yang tergolong penting di 

jelaskan secara tersendiri atau dikelompokkan dalam kelompok penyakit dengan gambaran 

klinis dan epidemiologis yang sama. 

 

Virus-virus yang ada hubungannya dengan penyakit pada manusia tertera dalam tabel berikut 

serta dijelaskan tentang jenis vektor, ciri-ciri utama penyakit ini  dan penyebaran 

geografisnya. Dalam beberapa hal, kasus-kasus penyakit yang diketahui disebabkan oleh virus 

tertentu jumlahnya terlalu sedikit untuk dapat dikaitkan dengan gejala klinis yang umum. 

Beberapa jenis virus tertentu hanya dapat memicu  penyakit pada infeksi sebab  terpajan 

di laboratorium. Virus-virus yang menginfeksi manusia, dimana buktinya hanya didasarkan 

pada hasil survei serologis tidak dimasukkan ke dalam table ini