Tampilkan postingan dengan label penyakit menular 6. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label penyakit menular 6. Tampilkan semua postingan

penyakit menular 6


 erang-kerangan. 

Di daerah endemis di negara tropis, infeksi bisa terjadi sebab  minum air permukaan yang 

tercemar. Infeksi melalui luka dapat terjadi sebab  terpajan dengan lingkungan, biasanya 

 

 111

di perairan asin atau sebab  kecelakaan kerja yang terjadi diantara para nelayan, 

pengumpul kerang dan lain-lain. Septikemi yang terjadi pada mereka yang memiliki  

risiko tinggi, bisa disebabkan sebab  infeksi melalui luka atau sebab  mengkonsumsi 

seafood yang terkontaminasi. 

 

6. Masa inkubasi – Pendek, dari 12 – 24 jam pada KLB dan kira-kira sekitar 10 jam pada 

sukarelawan yang dipakai sebagai percobaan (bervariasi dari 5.5 hingga 96 jam). 

 

7. Masa penularan  

Tidak diketahui apakah di alam dapat terjadi penularan dari orang ke orang atau melalui 

makanan yang terkontaminasi oleh vibrio yang berasal dari manusia. Jika yang disebutkan 

terakhir yang terjadi, maka penularan potensial yaitu   selama penderita mengeluarkan 

vibiro, biasanya berlangsung beberapa hari. 

 

8. Kekebalan dan kerentanan  

Semua orang rentan untuk menderita gastroenteritis jika mereka menelan V. cholerae non-

O1 atau non-O139 dalam jumlah yang cukup dari makanan yang cocok sebagai media 

atau melalui infeksi luka jika luka ini terpajan dengan air atau kerang yang mengandung 

vibrio. Septikemia terjadi hanya pada hospes abnormal seperti orang dengan 

immunocompromised, menderita penyakit hati kronis atau kurang gizi yang berat.  

 

9. Cara pemberantasan. 

A. Cara pencegahan 

1). Berikan penyuluhan kepada konsumen dan warga  tentang risiko yang terjadi 

jika memakan seafood mentah kecuali telah di radiasi. 

2). Berikan penyuluhan kesehatan kepada orang yang menangani dan memproses 

“seafood” tentang upaya pencegahan sebagai berikut : 

a. Pastikan bahwa “seafood” dimasak dengan suhu yang cukup untuk membunuh 

organisme ini dengan cara memanaskan selama 15 menit pada suhu 70 oC/158 

oF (organisme ini bisa hidup pada suhu 60 oC/140 oF sampai dengan 15 menit 

dan pada suhu 80 oC/176 oF untuk beberapa menit). 

b. “Seafood” matang harus ditangani sedemikian rupa untuk menghindari 

pencemaran dengan cara memisahkannya dari “seafood” mentah atau dari air 

laut yang terkontaminasi. 

c. Amankan semua “seafood”, baik yang matang maupun yang mentah, dengan 

dibekukan pada suhu yang tepat sebelum dikonsumsi. 

d. Hindari penggunaan air laut pada tempat pengolahan makanan dikapal seperti 

misalnya dikapal pesiar. 

 

B, C, D. Pengawasan penderita, kontak dan lingkungan sekitar; Upaya penanggulangan 

wabah dan implikasi bencana: lihat Keracunan makanan sebab  Stafilokokus (bagian 1, 

9B kecuali untuk B2, 9C dan 9D). Isolasi : kewaspadaan enterik. 

 

Penderita dengan penyakit hati atau dengan “immunosuppresed” (mereka yang sebab  

mendapat pengobatan atau sebab  penyakit yang menurunkan kekebalan) dan para 

pecandu alkohol di peringatkan untuk tidak mengkonsumsi “seafood” mentah.  

 

 112

Jika muncul penyakit pada orang-orang yang disebut diatas, dan ada riwayat mereka 

makan “seafood” dan terutama jika ditemukan adanya lesi di kulit berbentuk bula maka 

terapi antibiotika harus segera diberikan, berupa kombinasi minosiklin oral (100 mg setiap 

12 jam) dan cefotaksim intravena (2 gram setiap 8 jam) sebagai obat pilihan. Tetrasiklin 

dan siprofloksasin juga efektif. 

 

 

III.  VIBRIO PARAHAEMOLYTICUS ENTERITIS ICD-9 005.4; ICD-10 A05.3 

(Infeksi Vibrio parahaemolyticus) 

 

 

1. Identifikasi  

Gangguan saluran pencernaan ditandai dengan diare cair dan disertai kram perut pada 

sebagian besar kasus, kadang-kadang disertai dengan mual, muntah, demam dan sakit 

kepala. Kadang-kadang, ditemukan gejala seperti disenteri dengan tinja mengandung 

darah dan lendir, demam tinggi dengan jumlah sel darah putih yang meningkat. Penyakit 

ini khas dengan spektrum derajat penyakit sedang, berlangsung sekitar 1 – 7 hari, infeksi 

sistemik dan kematian jarang terjadi. 

 

2. Pemicu  penyakit  

Vibrio parahaemolyticus, yaitu   vibrio halofilik dan telah diidentifikasi ada 12 grup 

antigen “O” dan sekitar 60 tipe antigen “K” yang berbeda. Strain patogen pada umumnya 

(namun  tidak selalu) dapat menimbulkan reaksi hemolitik yang khas (fenomena 

Kanagawa). 

 

3. Distribusi penyakit  

Kasus sporadis dan beberapa KLB dengan common source dilaporkan dari berbagai 

bagian dunia, terutama dari Jepang, Asia Tenggara dan AS. Beberapa KLB dengan korban 

yang banyak terjadi di AS yang disebabkan sebab  mengkonsumsi seafood yang tidak 

dimasak dengan sempurna. Kasus-kasus ini terjadi terutama pada musim panas. Beberapa 

KLB yang akhir-akhir ini terjadi disebabkan oleh strain Kanagawa negatif, dan strain 

urease positif. 

 

4. Reservoir  

Lingkungan pantai yaitu   habitat alaminya. Selama musim dingin, organisme ini 

ditemukan di lumpur laut, sedang  selama musim panas mereka ditemukan di perairan 

pantai dan dalam tubuh ikan dan kerang-kerangan. 

 

5. Cara penularan  

Penularan terjadi sebab  mengkonsumsi ikan mentah atau yang dimasak kurang sempurna. 

Penularan juga terjadi pada makanan yang telah dimasak dengan sempurna namun 

tercemar oleh penjamah yang pada saat yang sama menangani “seafood” mentah. 

Mencuci makanan dengan air tercemar memiliki  risiko terjadi penularan. 

 

6. Masa inkubasi – biasanya antara 12 – 24 jam, namun  dapat berkisar antara 4 – 30 jam. 

 

 

 113

7. Masa penularan - Tidak menular langsung dari orang ke orang. 

8. Kekebalan dan kerentanan – Hampir semua orang rentan. 

 

9. Cara pemberantasan 

A. Cara pencegahan : Sama seperti pada infeksi V. cholerae non-O1 dan non-O139. 

  

B, C dan D. Pengawasan penderita, kontak dan lingkungan sekitar; upaya 

penanggulangan wabah dan implikasi bencana: lihat keracunan sebab  Stafilokokus 

(bagian I, 9B kecuali untuk B2, 9C dan 9D). isolasi : Kewaspadaan enterik. 

 

 

 

IV. INFEKSI VIBRIO VULNIFICUS.   ICD-9 005.8; ICD-10 A05.8 

 

1. Identifikasi  

Infeksi oleh Vibrio vulnificus dapat memicu  terjadinya septikemia pada orang 

dengan penyakit hati kronis, pecandu alkohol kronis atau mereka dengan hemokromatosis; 

atau orang dengan “immunosuppresed”. Penyakit ini muncul 12 jam hingga 3 hari sesudah 

mengkonsumsi seafood mentah atau setengah matang, terutama tiram. Sepertiga dari 

penderita mengalami renjatan pada saat mereka dirawat atau tekanan darah mereka turun 

dalam waktu 12 jam sesudah dirawat di Rumah Sakit. Tiga perempat dari penderita 

mengalami lesi kulit berbentuk bula yang jelas; trombositopeni biasa terjadi dan kadang-

kadang disertai koagulasi intravaskuler disseminata. Lebih dari 50% penderita septikemia 

primer meninggal; mortalitasnya mencapai lebih dari 90% diantara mereka yang 

mengalami hipotensi. V. vulnificus dapat juga menginfeksi luka lama orang yang tinggal 

dipantai atau muara sungai; luka bervariasi mulai dari yang ringan, berupa lesi yang 

sembuh sendiri, atau berkembang dengan cepat menjadi selulitis atau miositis yang mirip 

dengan clostridial myonecrosis kemiripannya yaitu   pada penyebaran yang cepat dan 

destruktif. 

 

2. Pemicu  penyakit  

Vibrio halofilik, biasanya laktosa positif (85% dari isolat) ia merupakan Vibrio laut yang 

secara biokimiawi hampir sama dengan V. parahaemolyticus. Konfirmasi jenis spesies 

kadang-kadang membutuhkan pemeriksaan dengan DNA probes atau dengan taksonomi 

numerik di laboratorium rujukan. V. vulnificus memiliki  kapsul polisakarida, dengan 

multiple antigen dipermukaannya. 

 

3. Distribusi penyakit  

V. vulnificus yaitu   Pemicu  infeksi vibrio serius yang yang paling umum terjadi di AS. 

Di daerah pantai kejadian tahunan infeksi V. vulnivicus sekitar 0.5 kasus per 100.000 

warga ; sekitar 2/3 dari kasus ini yaitu   septikemia primer. Penderita V. vulnivicus 

telah dilaporkan terjadi dari berbagai tempat didunia (misalnya; Jepang, Korea, Taiwan, 

Israel, Spanyol, Turki). 

 

 

 

 

 114

4. Reservoir  

V. vulnificus merupakan flora autochtonous yang hidup  bebas di lingkungan muara 

sungai. Mereka ditemukan dimuara sungai dan dari kerang-kerangan, terutama tiram, 

Vibrio ini dapat diisolasi secara rutin dari tiram yang dibudidayakan selama musim panas. 

 

5. Cara penularan  

Penularan terjadi diantara mereka yang memiliki  risiko tinggi, yaitu orang-orang yang 

“immunocompromised” atau mereka yang memiliki  penyakit hati kronis, infeksi terjadi 

sebab  mengkonsumsi “seafood” mentah atau setengah matang. Sebaliknya, pada hospes 

normal yang imunokompeten, infeksi pada luka biasanya terjadi sesudah terpajan dengan 

air payau (misalnya kecelakaan ketika mengendarai perahu/boat) atau dari luka akibat 

kecelakaan kerja (pengupas tiram, nelayan). 

 

6. Masa inkubasi - Biasanya 12 – 72 jam sesudah mengkonsumsi seafood mentah atau 

setengah matang 

 

7. Masa penularan : Dianggap tidak terjadi penularan dari orang ke orang baik langsung 

atau melalui makanan yang terkontaminasi kecuali seperti yang dijelaskan pada I.5 diatas  

 

8. Kerentanan dan kekebalan  

Orang yang menderita sirosis, hemokromatosis atau penderita penyakit hati kronis lain 

dan hospes “immunocompromised” memiliki  risiko tinggi menderita septikemia jika 

terkena penyakit ini. Berdasarkan catatan dari Dep. Kes Negara Bagian Florida pada 

periode 1981 - 1992, kejadian tahunan V. vulnificus diantara orang dewasa yang menderita 

penyakit hati kronis yang mengkonsumsi tiram mentah yaitu   7.2 per 100.000 warga  

dibandingkan dengan 0.09 per 100.000 warga  diantara mereka yang tanpa penyakit 

hati. 

 

 

9.  Cara pemberantasan 

A. Cara pencegahan; sama dengan pencegahan infeksi V. cholerae untuk non-O1 atau 

non-O139. 

 

 

 

V. INFEKSI VIBRIO LAIN    ICD-9 005.8; ICD-10 A05.8 

 

Infeksi dengan spesies vibrio lain dapat memicu  diare. Vibrio serogrup V. cholerae 

selain O1, yaitu V. mimicus (beberapa strain menghasilkan enterotoksin yang tidak dapat 

dibedakan dengan yang diproduksi oleh V. cholerae O1 & O139), V. fluvialis, V. furnissii 

dan V. hollisae. Septikemi jarang sekali terjadi pada hospes yang menderita penyakit hati 

kronis dan yang memiliki  status “immunocmpromized” atau mereka dengan gizi buruk 

yang disebabkan oleh V. hollisae. V. alginocyticus, dan V. damsela, vibrio ini hanya 

memicu  infeksi pada luka.  

 

 

 

 

 115

CHROMOMYCOSIS     ICD-9 117.2; ICD-10 B43 

(Chromoblastomycosis, Dermatitis Verrucosa) 

 

 

1. Identifikasi  

Mikosis kronis yang menyerang kulit dan jaringan subkutan, biasanya pada tungkai 

bawah. Merembet/menjalar kejaringan sekitarnya sangat lambat, bertahun-tahun, dengan 

lesi berbentuk Verukosa besar atau kadang-kadang berupa massa berbentuk seperti 

kembang kol disertai bendungan saluran limfe. Penyakit ini jarang memicu  

kematian. 

 

Pemeriksaan mikroskopis terhadap spesimen kerokan kulit atau biopsi luka 

memperlihatkan ciri khas yaitu : sel besar, berwarna coklat, berdinding tebal, bulat, 

membelah melalui pembelahan sel menjadi dua bagian. Konfirmasi diagnosa dibuat 

dengan melakukan biopsi dan melakukan kultur dari jamur.  

 

2. Pemicu  penyakit - Phialophora verrucosa, Fonsecae (Phialophora) pedrosoi, F. 

compacta, Cladosporium carrionii, Rhinocladiella aquaspersa, Botryomyces caespitatus, 

Exophiala spinifera dan Exophiala jeanselmei. 

 

3. Distribusi penyakit  

Tersebar diseluruh dunia, kasus tersebar secara sporadis di daerah yang luas, terutama di 

Amerika Tengah, Kepulauan Karibia, Amerika Selatan, Bagian Selatan AS, Kepulauan 

Pasifik Selatan, Australia, Jepang, Madagaskar dan Afrika. Penyakit terutama muncul di 

daerah pedesaan, menyerang petani yang bertelanjang kaki di daerah tropis, mungkin 

sebab  petani sering mengalami luka pada kaki atau bagian tubuh lain yang tidak 

terlindungi oleh baju atau sepatu. Penyakit ini umum terjadi pada pria berumur 30 – 50 

tahun, wanita jarang terinfeksi.  

 

4. Reservoir - Kayu, tanah dan tumbuhan yang membusuk. 

 

5. Cara penularan – Masuk melalui luka, biasanya luka sayat atu tusuk yang  terkontaminasi oleh 

kayu atau material lain. 

 

6. Masa inkubasi – Tidak diketahui, mungkin beberapa bulan. 

 

7. Masa penularan – Tidak ditularkan dari orang ke orang. 

 

8.  Kekebalan dan kerentanan : tidak diketahui, tapi sebab  penyakit ini jarang terjadi dan 

tidak ada orang yang terkena infeksi di laboratorium, ini menunjukkan bahwa manusia 

relatif kebal terhadap penyakit ini. 

 

9. Cara pemberantasan 

A. Cara pencegahan : lindungi diri agar tidak terluka dengan memakai sepatu atau baju. 

 

 

 

 

 116

B. Pengawasan penderita, kontak dan lingkungan sekitar :  

1). Laporan kepada petugas kesehatan setempat: laporan resmi tidak diperlukan, Kelas 

5 (lihat tentang pelaporan penyakit menular). 

2). Isolasi : tidak dilakukan. 

3). Disinfeksi serentak : lakukan disinfeksi terhadap discharge dari lesi serta barang-

barang yang terkontaminasi. 

4). Karantina : tidak dilakukan 

5). Imunisasi kontak : tidak dilakukan 

6). Investigasi kontak dan sumber infeksi : tidak di lakukan. 

7). Pengobatan spesifik : 5-fluorositosin atau itrakonasol oral bermanfaat bagi 

sebagian penderita. Luka besar akan memberikan respons baik jika diberikan 5-

fluorositosin dikombinasi dengan amfoterisin B (Fungizone®) IV. Luka kecil 

kadang-kadang disembuhkan dengan cara melakukan eksisi. 

 

C. Tindakan penanggulangan wabah : Tidak diterapkan, sebab  penyakit bersifat 

sporadis. 

D. Implikasi bencana : tidak ada. 

E. Tindakan lebih lanjut  : tidak ada. 

 

 

CLONORCHIASIS      ICD-9 121; ICD-10 B66.1 

(Penyakit cacing hati oriental atau Cina) 

 

 

1. Identifikasi  

Clonorchiasis yaitu   penyakit trematoda saluran empedu. Gejala klinis mungkin ringan 

atau tidak ada sama sekali pada infeksi ringan; gejala disebabkan oleh iritasi lokal dari 

saluran empedu oleh cacing. Hilang nafsu makan, diare dan rasa tertekan pada perut 

yaitu   gejala awal yang umum terjadi.  

 

Jarang sekali, sumbatan saluran empedu memicu  ikterus diikuti sirosis, 

hepatomegali, melunaknya hati, asites progresif dan edema. Penyakit ini yaitu   penyakit 

kronis, kadang-kadang berlangsung 30 tahun atau lebih, jarang menimbulkan kematian 

langsung dan terkadang sama sekali tidak menampakkan gejala. Namun, penyakit ini 

sebagai faktor risiko yang signifikan untuk berkembang menjadi cholangiocarcinoma. 

Diagnosa dibuat dengan menemukan telur yang khas pada tinja atau cairan cuci 

duodenum. Telur cacing dengan ciri khas ini membedakan cacing ini dengan cacing lain. 

Diagnosa serologis dapat di lakukan dengan ELISA. 

 

2. Pemicu  penyakit – Chlonorchis sinensis, cacing hati Cina. 

 

3. Distribusi penyakit  

Sangat endemis di bagian tenggara Cina, namun tersebar hampir di seluruh daratan Cina 

kecuali di bagian barat daya; juga ditemukan di Jepang, Taiwan, Korea, Vietnam dan 

mungkin di Laos dan Kamboja, terutama di delta sungai Mekong. Di bagian lain dunia, 

 

 117

kasus import ditemukan dikalangan imigran dari Asia. Di kebanyakan daerah endemis 

prevalensi tertinggi ditemukan pada orang dewasa diatas usia 30 tahun. 

 

4. Reservoir – Manusia, kucing, anjing, babi, tikus dan binatang lain. 

 

5. Cara penularan  

Orang terinfeksi sesudah memakan ikan mentah atau setengah matang yang mengandung 

kista larva. Setelah dicerna, larva lepas dari kista dan migrasi melalui saluran empedu 

utama ke cabang-cabang saluran empedu. Telur diletakkan di saluran empedu dan dibuang 

melalui tinja. Telur di dalam tinja mengandung mirasidia yang sudah matang; jika ditelan 

oleh siput (misalnya Parafossarulus), mereka menetas di dalam usus siput, masuk ke 

dalam jaringan dan menjadi larva yang aseksual (serkaria) dan masuk ke dalam air. Pada 

saat kontak dengan hospes perantara kedua (ada sekitar 110 spesies ikan air tawar 

terutama yang masuk dalam famili Cyprinidae), serkaria masuk ke hospes ikan dan 

membentuk kista,  biasanya di otot, terkadang hanya pada bagian bawah dari sisik. Siklus 

hidup yang lengkap, dari manusia ke siput hingga ikan dan akhirnya kembali ke manusia 

lagi, membutuhkan waktu setidaknya 3 bulan. 

 

6. Masa inkubasi – tidak diketahui dengan tepat, bervariasi tergantung jumlah cacing yang 

ada; cacing menjadi dewasa dalam waktu 1 bulan sesudah kista larva tertelan. 

 

7. Masa penularan – Orang yang terinfeksi bisa mengeluarkan telur cacing terus menerus 

selama 30 tahun; penularan tidak  berlangsung dari orang ke orang. 

 

8. Kerentanan dan kekebalan – Semua orang rentan terhadap penyakit ini. 

 

9. Cara – cara pemberantasan 

A. Cara pencegahan : Semua ikan air tawar yang akan dikonsumsi hendaknya dimasak 

dengan benar atau diradiasi. Dianjurkan untuk membekukan ikan pada suhu –10 oC 

(14oF) minimal selama 5 hari atau disimpan dalam waktu beberapa minggu didalam 

larutan garam jenuh, namun  cara ini belum terbukti bermanfaat. 

1). Di daerah endemis; lakukan penyuluhan kepada warga  tentang bahaya 

mengkonsumsi ikan mentah atau yang tidak di masak dengan baik dan pentingnya 

pembuangan tinja dijamban yang saniter untuk menghindari pencemaran terhadap 

sumber makanan ikan. Jangan membuang tinja dan kotoran binatang ke dalam 

kolam ikan. 

 

B. Pengawasan penderita, kontak dan lingkungan sekitar: 

1). Laporan ke instansi kesehatan setempat: laporan resmi tidak dilakukan, Kelas 5 

(lihat tentang pelaporan penyakit menular). 

2). Isolasi : Tidak dilakukan. 

3). Disinfeksi serentak : Lakukan pembuangan tinja pada jamban yang saniter. 

4). Karantina : Tidak dilakukan. 

5). Imunisasi kontak : Tidak dilakukan. 

6). Investigasi kontak dan sumber infeksi : Untuk kasus individual, biasanya tidak 

dilakukan. Penyakit ini merupakan masalah warga  (lihat 9C dibawah). 

 

 118

7). Pengobatan spesifik : Obat yang menjadi pilihan yaitu   praziquantel (Biltricide®) 

 

C. Penanggulangan wabah : Cari dan temukan sumber ikan yang terinfeksi. Ikan yang 

diawetkan atau acar ikan yang dikapalkan dari daerah non endemis diduga sebagai 

sumber penularan. sedang  ikan air tawar segar atau yang dibekukan yang diangkut 

ke AS setiap hari dari daerah endemis juga sebagai sumber penularan. 

 

D. Implikasi bencana : Tidak ada. 

 

E. Tindakan lebih lanjut  : Lakukan pengawasan ikan atau produk ikan yang dimpor 

dari daerah endemis. 

 

 

  

OPISTHORCHIASIS     ICD-9 121.0; ICD-10 B66.0 

 

Opisthorchiasis yaitu   infeksi oleh cacing hati kecil dari kucing atau mamalia pemakan ikan 

lain. Opisthorchiasis felineus ditemukan di Eropa dan Asia, dan menginfeksi 2 juta orang di 

negara bekas Uni Sovyet; O. viverrini endemis di Asia tenggara, terutama di Thailand, kira-

kira 8 juta orang terinfeksi. Cacing ini sebagai Pemicu  utama cholangiocarcinoma di 

seluruh dunia; di Bagian Utara Thailand, angka infeksi tertinggi sebesar 85 per 10.000 

warga . Karakteristik dari cacing pipih ini, ciri-ciri penyakit dan cara-cara 

pemberantasannya sama dengan chlonorchiasis seperti yang telah diberikan diatas. Telur 

cacing ini tidak dapat di bedakan dengan mudah dari telur Chlonorchis.  

 

 

 

 

COCCIDIOIDOMYCOSIS     ICD-9 114; ICD-10 B38 

(Demam Valley, Demam San Joaquin, Demam Gurun, Demam Rematik, Granuloma 

Coccidioidal). 

 

 

1. Identifikasi  

yaitu   mikosis yang menginfeksi bagian dalam tubuh manusia, umumnya dimulai dengan 

infeksi saluran pernapasan. Infeksi primer bisa tanpa gejala atau mirip dengan influenza 

akut disertai demam, menggigil, batuk dan rasa sakit seperti pleuritis (walaupun jarang). 

Sekitar 1/5 dari kasus klinis yang diketahui (kira-kira sekitar 5 % dari infeksi primer) 

membentuk eritema nodosum, kebanyakan terjadi pada wanita Kaukasia dan jarang pada 

pria Afrika-Amerika. Infeksi primer bisa sembuh sempurna tanpa gejala sisa, bisa juga 

meninggalkan fibrosis, terbentuk nodulus pada paru dengan atau tanpa kalsifikasi; 

meninggalkan lubang persisten berdinding tipis, dan walau sangat jarang sekali, penyakit 

ini bisa menyebar keseluruh tubuh. 

 

 

 119

Coccidioidomycosis disseminata yaitu   penyakit progresif, seringkali fatal, namun  

penyakit dengan granulomatosa ini jarang terjadi dan memiliki  ciri-ciri berupa lesi paru 

dan terbentuknya abses di seluruh tubuh, terutama jaringan subkutan, kulit, tulang dan 

SSP. Coccidioidal meningitis mirip dengan meningitis tuberkulosa namun  perjalanan 

penyakitnya bersifat lebih kronis. Kira-kira 1/1.000 kasus coccidioidomycosis akan 

menyebar menjadi bentuk disseminata. 

 

Diagnosa dibuat dengan menemukan jamur melalui pemeriksaan mikroskopis atau kultur 

dari sputum, pus, urin, LCS atau biopsi dari lesi pada kulit atau yang diambil dari organ 

tubuh. (Menangani kultur jamur ini sangat berbahaya dan harus dilakukan dengan fasilitas 

BSL-2 dan BSL-3). Tes kulit memberi hasil positif terhadap spherulin 2 – 3 hari hingga 3 

minggu sesudah timbul gejala. Tes precipitin dan tes CF biasanya memberi hasil positif 

dalam 3 bulan pertama setelah sakit. Tes precipitin untuk mendeteksi antibodi IgM, 

memberi hasil positif 1 – 2 minggu setelah munculnya gejala klinis dan bertahan hingga 3 

– 4 bulan. Complement fixation test dapat mendeteksi antiodi IgG dan memberi hasil 

positif 1 – 2 bulan setelah muncuknya gejala klinis dan bertahan hingga 6 – 8 bulan. 

Rangkaian tes kulit dan serologis dibutuhkan untuk konfirmasi infeksi saat ini atau untuk 

mengetahui adanya penyebaran penyakit, tes kulit memberikan hasil negatif pada kasus 

disseminata dan tes serologis mungkin memberikan hasil negatif pada orang dengan 

immunocompromised. 

 

2. Pemicu  penyakit  

Coccidioides immitis jamur yang dimorfik. Jamur ini tumbuh di tanah dan media kultur 

sebagai jamur saprofit yang berkembang biak dengan arthroconidia; didalam jaringan 

tubuh manusia dan dalam kondisi media kultur tertentu, parasit tumbuh sebagai sel 

berbentuk sferis (Spherale) yang berkembang biak dengan membentuk endospora. 

 

3. Distribusi penyakit  

Infeksi primer umumnya terjadi di daerah yang kering/gersang dan setengah 

kering/gersang di belahan bumi bagian barat, di AS, mulai dari California hingga Texas 

bagian selatan; Argentina Utara, Paraguay, Kolumbia, Venezuela, Meksiko dan Amerika 

Tengah. Di tempat lain, peralatan yang kotor berdebu dari daerah endemis dapat 

menularkan infeksi; penyakit ini menyerang mereka yang bepergian ke daerah endemis.  

 

Penyakit ini menyerang semua usia, jenis kelamin dan segala ras. Lebih dari separuh 

penderita dengan gejala klinis berusia antara 15 – 25 tahun, laki-laki terkena lebih sering 

daripada perempuan, mungkin sebab  pajanan di tempat kerja. Infeksi lebih sering terjadi 

di musim panas setelah musim salju atau musim semi yang basah, terutama sesudah 

adanya badai angin dan debu. Penyakit ini yaitu   penyakit penting yang menyerang 

pekerja migran, arkeolog dan personil militer yang berasal dari daerah non-endemik yang 

sebab  tugas mereka pindah ke daerah endemik. Sejak tahun 1991, peningkatan yang 

cukup bermakna dari coccidioidomycosis telah dilaporkan terjadi di Kalifornia. 

 

4. Reservoir  

Tanah berperan sebagai reservoir, terutama ditempat dan sekitar tempat pembuangan 

kotoran hewan di perkampungan Indian dan di lubang-lubang tikus, di daerah dengan 

 

 120

suhu kelembaban dan kondisi tanah yang sesuai, (Lower Sonoran Life Zone); jamur ini 

menginfeksi manusia, hewan ternak, kucing, anjing, kuda, keledai, kambing, babi, tikus 

padang pasir, coyote (sejenis serigala), chinchilla, lama dan spesies binatang lain. 

 

5. Cara penularan  

Inhalasi dari arthroconidia yangi berasal dari tanah atau sebab  kecelakaan laboratorium 

pada saat menangani kultur jamur. Jamur dalam bentuk parasit biasanya tidak menular, 

inokulasi nanah penderita atau suspensi kultur jamur kedalam kulit atau tulang seseorang 

sebab  kecelakaan dapat menimbulkan pembentukan granuloma. 

 

6. Masa inkubasi  

Pada infeksi primer, masa inkubasi 1 hingga 4 minggu. Penyebaran bisa terjadi sangat 

pelan tapi pasti, terkadang tanpa muncul gejala infeksi paru primer bertahun-tahun 

sesudah infeksi primer. 

 

7. Masa penularan  

Tidak ditularkan langsung dari orang atau binatang ke manusia. C. immitis yang terdapat 

pada pembalut luka dari penderita dapat berubah bentuk dari bentuk parasit menjadi 

bentuk saprofit infektif sesudah 7 hari. 

 

8. Kekebalan dan kerentanan  

Tingkat kejadian infeksi subklinis di daerah endemis di tandai dengan prevalensi yang 

tinggi dari reaksi positif terhadap coccidioidin atau spherulin; penderita yang telah 

sembuh biasanya diikuti dengan terbentuknya kekebalan seumur hidup. Namun reaktivasi 

penyakit dapat terjadi pada mereka yang mendapatkan terapi yang menurunkan kekebalan 

tubuh atau sebab  infeksi HIV. Probabilitas untuk menjadi bentuk disseminata lebih besar 

peluangnya terjadi pada orang-orang Afrika-Amerika, Filipina dan orang-orang Asia 

lainnya, wanita hamil dan penderita AIDS atau pada penderita penyakit lain dengan 

kekebalan tubuh rendah. Kasus meningitis coccidioidal lebih sering terjadi pada pria 

Kaukasus. 

 

9. Cara-cara pemberantasan  

A. Tindakan pencegahan : 

1) Di daerah endemis : tanah kosong di tanami rumput, siram dengan minyak 

lapangan terbang yang tidak diaspal, gunakan alat pengontrol debu lainnya (seperti 

masker, mobil diberi AC dan tanah dibasahi dengan air). 

2) Orang dari daerah non-endemis sebaiknya tidak dipekerjakan di daerah yang 

berdebu, seperti dalam pembangunan jalan. Tes kulit dapat dilakukan untuk 

menyaring orang-orang yang rentan. 

 

B. Pengawasan Penderita, kontak dan lingkungan sekitar. 

1) Laporan pada instansi kesehatan setempat, Kasus yang ditemukan harus 

dilaporkan, terutama jika terjadi KLB, di daerah endemis tertentu di AS; 

sedang  di banyak negara penyakit ini bukan merupakan penyakit yang harus 

dilaporkan, Kelas 3B (lihat tentang pelaporan penyakit menular). 

2) Isolasi : tidak dilakukan. 

 

 121

3) Disinfeksi serentak : dari kotoran dan barang-barang yang terkontaminasi. 

Pembersihan terminal. 

4) Karantina : tidak dilakukan. 

5) Imunisasi kontak : Tidak dilakukan. 

6) Investigasi kontak dan sumber infeksi : Tidak dianjurkan untuk dilakukan kecuali 

kasus muncul di daerah non-endemis; untuk penderita ini tanyakan tempat tinggal, 

pekrjaan dan riwayat perjalanannya. 

7) Pengobatan spesifik : Coccidioidomycosis biasanya akan sembuh spontan tanpa 

pengobatan. Amfoterisin B (fungizone ®) IV bisa diberikan untuk infeksi berat. 

Fluconazole merupakan obat pilihan untuk infeksi selaput otak. Ketoconazole dan 

itraconazole digunakan untuk coccidioidomycosis non meningeral yang kronis. 

 

C. Penanggulangan wabah : KLB terjadi jika sekumpulan orang-orang rentan terinfeksi 

oleh conidia yang ditularkan lewat udara. Lakukan tindakan pengamanan terhadap 

debu (dust control) jika memungkinkan. (lihat 9A1, diatas) 

 

D. Implikasi bencana : Kemungkinan bahaya terjadi jika sekelompok besar orang yang 

rentan, sebab  sesuatu hal harus pindah atau tinggal di daerah berdebu dimana jamur 

ini endemis. 

 

E. Tindakan lebih lanjut  : Tidak ada. 

 

F. Upaya menanggulangi bioterorisme : Arthrospora C. immitis  berpotensi untuk 

digunakan sebagai senjata biologis. Upaya-upaya yang harus dilakukan jika 

menghadapi ancaman arthrospora dari C. immitis secara umum dapat dilihat pada bab 

Antraks butir F. 

 

 

 

 

CONJUNCTIVITIS/KERATITIS  ICD-9 372.0-372.3, 370; ICD-10 H10,H16. 

 

I. KONJUNGTIVITIS BAKTERIIL AKUT   ICD-9 372.0; ICD-10 H10.0 

(“Mata jambon”, “Mata lengket”, Demam purpura Brazilia [ICD-10 A48.4)] 

 

1. Identifikasi – Sekumpulan gejala klinis yang diawali dengan lakrimasi dan hiperemia dari 

konjungtiva palpebralis dan bulbaris dari salah satu atau kedua mata, diikuti oleh 

pembengkakan pada kelopak mata dan disertai discharge mukopurulen. Pada kasus yang 

berat terjadi perdarahan, ecchymoses dari konjungtiva bulbaris dan terbentuk infiltrat 

dipinggir kornea, disertai dengan fotofobia. Penyakit ini tidak fatal (kecuali yang di 

sebutkan di bawah), penyakit ini biasanya berlangsung selama 2 hari hingga 2 – 3 minggu; 

kebanyakan penderita tidak menunjukkan gejala selain hiperemia dari konjungtiva dan 

eksudasi ringan selama beberapa hari. 

Kadang-kadang muncul kasus dengan gejala penyakit sistemik pada anak-anak di Brazil, 

1 – 3 minggu sesudah konjungtivitis yang disebabkan oleh clone invasive yang unik dari 

Haemophilus influenza biogrup aegyptius. Penyakit dengan gejala berat ini, disebut 

 

 122

sebagai Demam purpura Brasilia atau Brazilian purpuric fever (BPF), dengan CFR 70% 

dari sekitar 100 penderita yang ditemukan di wilayah Brazil termasuk di 4 negara bagian; 

secara klinis BPF tidak bisa di bedakan dengan meningokoksemia. Mikroorganisme 

Pemicu  dapat diisolasi dari konjungtiva, faring dan dengan kultur darah.  

 

Konfirmasi diagnosa klinis dilakukan dengan pemeriksaan mikroskopis preparat apus 

dengan pengecatan tertentu atau kultur dari discharge, konfirmasi diagnosa ini di perlukan 

untuk membedakan konjungtivitis sebab  bakteri dan virus atau konjungtivitis sebab  

alergi, atau sebab  infeksi adenovirus atau enterovirus. Konjungtivitis tambahan (lihat 

bawah), trakhoma atau konjungtivitis gonokokus akan dijelaskan secara terpisah. 

 

2. Pemicu  penyakit   

Sebagai Pemicu  utama yaitu   Haemophilus influenza biogrup aegyptius (basil Koch-

Weeks) dan Streptococcus pneumoniae; H. influenzae tipe b, Moraxella dan spesies 

Branhamella, juga bisa sebagai Pemicu  penyakit ini, sedang  H. influenzae biogrup 

aegyptius, gonokokus (lihat infeksi Gonokokus), S. pneumoniae, S. viridans, jenis-jenis 

basil enteritis gram negatif dan walaupun sangat jarang, Pseudomonas aeruginosa bisa 

memicu  konjungtivitis pada bayi baru lahir. 

 

3. Distribusi penyakit : Menyebar luas dan umum terjadi di seluruh dunia, terutama di 

daerah beriklim panas, seringkali menjadi wabah. Di AS, infeksi sebab  H. influenzae 

biogrup aegyptius menyebar secara luas di daerah pedesaan di bagian selatan mulai dari 

Georgia hingga Kalifornia, terutama selama musim panas dan awal musim gugur, di 

Afrika Utara dan Timur Tengah, infeksi terjadi sebagai wabah musiman. Infeksi sebab  

organisme lain juga terjadi di seluruh dunia, kadang-kadang ada kaitannya dengan 

penyakit saluran pernapasan akut yang disebabkan oleh virus selama musim dingin, BPF 

muncul hanya di Brasil; dua kasus yang terjadi di Australia secara klinis sama, namun  

organisme Pemicu  berbeda dengan strain Brasil. 

 

4. Reservoir – Reservoirnya yaitu   Manusia. Carrier H. influenza biogrup aegyptius dan S. 

pneumonia secara umum ditemukan tersebar di berbagai wilayah selama masa interwabah. 

 

5. Cara penularan : Melalui kontak dengan discharge dari konjungtiva atau saluran 

pernapasan bagian atas dari orang sakit; melalui jari tangan yang terkontaminasi, baju atau 

benda-benda lain, termasuk pemakaian make-up untuk mata bersama, obat tetes mata 

multi dosis dan alat-alat yang tidak di sterilikan dengan baik seperti tonometer. Organisme 

ini secara mekanis bisa juga ditularkan oleh agas atau lalat di beberapa daerah tertentu, 

namun  peran mereka sebagai vector mekanik tidak jelas mungkin berbeda dari satu daerah 

ke daerah lain. 

 

6. Masa inkubasi – Biasanya 24 – 72 jam. 

 

7. Masa penularan – Selama infeksi aktif masih berlangsung. 

 

8. Kekebalan dan kerentanan : Anak di bawah usia 5 tahun yaitu   yang terbanyak terkena; 

insidens menurun sesuai dengan usia.  Anak usia sangat muda, orang dengan gangguan 

 

 123

jiwa dan usia tua biasanya rentan terhadap infeksi stafilokokus. Imunitas sesudah sembuh 

dari penyakit biasanya rendah dan bervariasi tergantung pada Pemicu  penyakit. 

 

9. Cara –cara pemberantasan 

A. Tindakan pencegahan : melalui kebersihan perorangan, menjaga kebersihan dan 

mengobati mata yang terinfeksi. 

 

B. Pengawasan penderita, kontak dan lingkungan sekitar 

1). Laporan ke instansi kesehatan setempat : Jika terjadi wabah, wajib dilaporkan; 

untuk kasus penyakit klasik tidak dilaporkan, Kelas 4; untuk penyakit sistemik, 

Kelas 2A (lihat tentang pelaporan penyakit menular). 

2). Isolasi : tindakan kewaspadaan terhadap sekret dan air cucian mata yang sakit. 

Anak-anak sebaiknya tidak pergi ke sekolah dalam stadium akut. 

3). Disinfeksi serentak : disinfeksi terhadap discharge dan benda-benda yang 

terkontaminasi. Pembersihan menyeluruh. 

4). Karantina : tidak dilakukan. 

5). Imunisasi kontak : tidak dilakukan 

6). Investigasi kontak dan sumber infeksi : Biasanya tidak begitu bermanfaat untuk 

konjungtivitis; sebaiknya dilakukan untuk BPF. 

7). Pengobatan spesifik : Pengobatan dengan memakai   obat tetes mata atau zalf 

mata yang mengandung sulfonamide seperti sodium sulfasetamid, gentamisin atau 

kombinasi antibiotika seperti polimiksin B dengan neomisin atau trimetoprim 

biasanya cukup efektif. Untuk BPF, diperlukan pengobatan sistemik; isolat 

sensitive terhadap untuk ampisilin dan kloramfenikol, namun resisten terhadap 

TMP-SMX. Rifamp isin oral (20 mg/kg/hari untuk 2 hari) mungkin lebih efektif 

dari pada pemberian kloramfenikol topikal pada pengobatan clone BPF dan 

bermanfaat untuk mencegah konjungtivitis clone BPF pada anak. (lihat 

konjungtivitis gonokokus, 9B7) 

 

C.  Penanggulangan Wabah 

1). Berikan pengobatan yang tepat terhadap penderita dan kontak terdekat mereka. 

2). Di daerah di mana serangga di curigai sebagai vektor mekanis, upaya untuk 

mencegah agar agas atau lalat tidak hinggap ke mata orang sakit dan mata orang 

sehat. 

3). Lakukan upaya pemberantasan terhadap serangga, tergantung dari jenis vektor 

yang dicurigai. 

D. Implikasi bencana : tidak ada. 

E. Tindakan lebih lanjut  : tidak ada. 

 

 

 

 

 

 

 

 

 124

II. KERATOKONJUNGTIVITIS, ADENOVIRAL   ICD-9 077.1; ICD-10 B30.0 

(Epidemic Keratoconjunctivitis [EKC], Shipyard Conjunctivitis, Shipyard eye). 

 

 

1. Identifikasi  

Penyakit virus akut yang menyerang mata, dengan inflamasi konjungtiva unilateral atau 

bilateral dengan pembengkakan kelopak mata dan jaringan periorbital. Serangan penyakit 

mendadak diikuti dengan rasa sakit, fotofobia, penglihatan kabur dan kadang-kadang 

disertai dengan demam rendah, sakit kepala, malaise dan limfadenopati lunak dibelakang 

telinga, kira-kira 7 hari sesudah onset sekitar separuh dari kasus, terbentuk infiltrat sub 

epitelial berbentuk bulat kecil dan terjadi erosi punctata yang bisa dilihat dengan 

fluorescein. Lamanya konjungtivitis akut sekitar 2 minggu, walaupun keratitis bisa 

berlangsung terus dan menimbulkan bintik-bintik keruh pada jaringan subepitelial yang 

bisa mengganggu penglihatan selama beberapa minggu. Pada kasus yang berat bisa 

mengakibatkan terbentuknya jaringan parut permanen.  

 

Diagnosa dipastikan dengan ditemukannya virus dari kultur sel yang tepat dari spesimen 

usap mata atau kerokan konjungtiva; virus mungkin bisa dilihat dengan pengecatan FA 

dari kerokan konjungtiva atau dengan IEM; antigen virus bisa dideteksi dengan tes 

ELISA. Peningkatan titer spesifik dapat di deteksi dengan tes netralisasi serum atau tes 

HAI. 

 

2. Pemicu  penyakit - Di AS, Pemicu nya yaitu   adenovirus tipe 8, 19 dan 37, walaupun 

tipe adenovirus lain dapat juga sebagai Pemicu . Penyakit yang paling berat disebabkan 

oleh infeksi tipe 8, 5 dan 19. 

 

3. Distribusi penyakit – Kemungkinan tersebar di seluruh dunia. Kasus sporadis dan KLB 

besar telah terjadi di Asia, Hawai, Amerika Utara dan Eropa. 

 

4. Reservoir – Manusia. 

 

5. Cara penularan  

Melalui kontak langsung dengan discharge mata dari orang yang terinfeksi dan secara 

tidak langsung melalui permukaan barang, instrumen ataupun larutan yang 

terkontaminasi. KLB yang terjadi di kawasan industri biasanya bermula dan terkonsentrasi 

di klinik perusahaan, dan apotik perusahaan yang biasanya memberikan pelayanan 

pengobatan untuk trauma minor pada mata; penularan bisa terjadi melalui jari, instrumen 

atau benda lain yang terkontaminasi diklinik itu. KLB yang sama juga bisa terjadi di 

klinik-klinik mata dan klinik medis lainnya. Petugas klinik dan apotik yang terkena 

penyakit ini, bisa menjadi sumber penularan. Penularan di dalam keluarga biasa terjadi, 

dimana anak-anak sebagai sumber penularan pertama. 

 

6. Masa inkubasi – Masa inkubasi biasanya antara 5 hingga 12 hari, namun  kebanyakan, 

masa inkubasi ini bisa lebih panjang. 

 

 

 125

7. Masa penularan – Penderita tetap menular dari hari terakhir masa inkubasi hingga 14 

hari sesudah onset. Dalam beberapa kasus, virus masih ditemukan dalam jangka waktu 

yang lebih lama. 

 

8. Kekebalan dan kerentanan – Imunitas spesifik lengkap muncul sesudah infeksi 

adenovirus. Trauma dan manipulasi pada mata walaupun kecil menambah kemungkinan 

teerjadinya infeksi. 

 

9. Cara-cara pemberantasan 

A. Tindakan pencegahan 

1). Berikan penyuluhan kepada penderita tentang kebersihan perorangan dan risiko 

yang terjadi dengan penggunaan handuk dan barang-barang bersama di kamar 

kecil. Beritahu penderita agar memegang/menyentuh mata seminimal mungkin. 

2). Hindari penggunaan obat tetes mata, obat, make-up mata, instrumen atau handuk 

bersama-sama (untuk umum). 

3). Agar diterapkan prosedur asepsis pada setiap tindakan pemeriksaan mata baik 

diklinik mata dan ditempat lainnya. Hendaknya tangan dicuci secermat mungkin 

sebelum manangani pemeriksaan dan sterilkan peralatan dengan benar setelah 

dipakai; disinfeksi tingkat tinggi (lihat definisinya) harus dilakukan terhadap 

instrumen yang akan dipakai memeriksa konjungtiva atau kelopak mata. Sarung 

tangan sebaiknya digunakan pada saat memeriksa mata penderita yang telah pasti 

terkena EKC. Salep mata atau obat tetes mata yang kontak dengan konjungtiva 

atau kelopak mata sebaiknya dibuang. Petugas kesehatan yang jelas menderita 

konjungtivitis sebaiknya tidak berhubungan dengan pasien. 

4). Pada KLB yang tidak segera mereda, penderita EKC sebaiknya di periksa dengan 

memakai   ruang dan peralatan yang terpisah. 

5). Gunakan alat-alat pelindung seperti kacamata/goggle dikawasan industri. 

 

B. Pengawasan penderita, kontak dan lingkungan sekitar. 

1). Laporan pada instansi kesehtan setempat : Wajib dilaporkan bila terjadi wabah; 

tidak diperlukan laporan kasus secara individu, Kelas 4 (lihat tentang pelaporan 

penyakit menular). 

2). Isolasi : Tindakan kewaspadaan universal terhadap sekret dan air cucian mata; 

penderita sebaiknya memakai   handuk, sprei, sarung bantal yang berbeda 

selama masa akut. Petugas kesehatan yang terinfeksi atau penderita sendiri 

sebaiknya tidak berhubungan dengan penderita penyakit lain yang tidak terinfeksi. 

3). Disinfeksi serentak : Disinfeksi serentak dilakukan terhadap discharge konjungtiva 

dan hidung serta terhadap barang-barang yang terkontaminasi. Pembersihan 

terminal. 

4). Karantina : tidak dilakukan. 

5). Imunisasi kontak : tidak dilakukan 

6). Investigasi kontak dan sumber infeksi : pada saat KLB, dilakukan identifikasi 

sumber infeksi dan kewaspadaan universal untuk mencegah penularan lebih lanjut. 

7). Pengobatan spesifik : tidak dilakukan selama masa aktif. Jika ada gejala sisa 

berupa pengeruhan kornea yang mengganggu kemampuan pasien untuk bekerja, 

 

 126

pemberian kortikosteroid topikal bisa dilakukan oleh dokter ahli mata yang 

kompeten. 

 

C. Penanggulangan Wabah  

1) Apa yang dianjurkan pada 9A diatas sebaiknya diterapkan secara ketat 

2) Siapkan fasilitas yang tepat untuk pemeriksaan dan penegakan diagnosa yang 

cepat, fasilitas yang mengurangi atau meminimalkan kontak antara orang yang 

sakit dan orang yang sehat. 

 

D.  Implikasi bencana : tidak ada 

E.  Tindakan lebih lanjut  : Pusat Kerjasama WHO 

 

 

III. KONJUNGTIVITIS ADENOVIRAL HEMORAGIKA 

         ICD-9 077.2; IDC-10 B30.1 

(Demam Faringokonjungtival)  

 

KONJUNGTIVITIS ENTEROVIRAL HEMORAGIKA      

          ICD-9 077.4; ICD-10 B30.3 

(Penyakit Apollo 11, konjungtivitis hemoragika akuta) 

 

1. Identifikasi  

Pada konjunngtivitis adenovirus biasanya timbul folikel limfoid, konjuntivitis berlangsung 

selama 7 – 15 hari dan biasanya dengan perdarahan kecil subkonjuntiva. Salah satu dari 

sindroma adenovirus, seperti pada Demam Faringokonjungtival (pharyngo conjunctival 

fever, PCF), biasanya disertai dengan penyakit saluran pernafasan atas, demam dengan 

inflamasi ringan epitel kornea (epithelial keratitis) 

Pada konjungtivitis Enteroviral Hemoragika Akuta (AHC) = Acute Hemorrhagic 

Conjunctivitis, onset terjadi secara tiba-tiba ditandai dengan mata merah, bengkak dan 

sakit. Kadang-kadang terjadi pada kedua mata, keadaan ini berlangsung selama 4 – 6 hari, 

dimana perdarahan sub konjuntiva muncul pada konjungtiva bulbaris sebagai petechiae 

yang membesar membentuk perdarahan subkonjungtiva konfluen. Perdarahan luas ini 

biasanya berakhir setelah 7 – 12 hari. Pada KLB besar dari AHC yang disebabkan oleh 

enterovirus ditemukan sejumlah kecil penderita dengan kelumpuhan seperti polio, 

termasuk cerebral palsy, radikulomielitis lumbosakral, dan paralisis neuron motorik 

bawah. Komplikasi neurologis berlangsung beberapa hari hingga beberapa bulan sesudah 

konjungtivitis dan kadang-kadang meninggalkan gejala sisa berupa kelemahan. 

 

Konfirmasi laboratorium infeksi adenovirus dibuat antara lain dengan isolasi virus dari 

spesimen usap konjunngtiva yang ditanam pada kultur sel, deteksi antigen viral dengan 

metode IF, identifikasi asam nukleus virus memakai   DNA probe dan adanya 

peningkatan titer antibodi spesifik. Infeksi enterovirus didiagnosa dengan melakukan 

 

 127

isolasi Pemicu  penyakit, dengan pemeriksaan imunofluoresen serta adanya peningkatan 

titer antibodi atau dengan pemeriksaan PCR. 

 

2. Pemicu  Penyakit -  Adenovirus dan picornavirus. 

Kebanyakan adenovirus dapat memicu  demam Faringo Konjungtiva/PCF (pharyngo 

conjunctival fever), tipe 3, 4 dan 7 yaitu   Pemicu  yang paling umum; KLB PCF 

adenovirus terjadi sebab  penularan di kolam renang yang tidak di klorinasi dengan baik. 

Jenis picornavirus yang paling sering ditemukan dikenal sebagai enterovirus 70; jenis ini 

dan varian coxsackievirus A24 memicu  terjadinya berbagai KLB besar AHC. 

 

3. Distribusi Penyakit 

PCF yang terjadi dikaitkan dengan KLB penyakit saluran pernafasan yang disebabkan 

oleh adenovirus atau muncul sebagai wabah musim panas yang ditularkan melalui kolam 

renang. AHC pertama kali dikenal di Ghana tahun 1969 dan di Indonesia pada tahun 

1970; sejak itu beberapa KLB terjadi di barbagai daerah tropis di Asia, Afrika, Amerika 

Selatan dan Tengah, Kepulauan Karibia, Kepulauan Pasifik dan sebagian Florida serta 

Meksiko. KLB di Semua Amerika pada tahun 1986 sebab  Cokxakievirus varian A24 

diperkirakan menyerang 48% dari warga . KLB yang lebih kecil terjadi di beberapa 

negara Eropa, biasanya dihubungkan dengan penularan di klinik mata. Kasus-kasus AHC 

juga terjadi dikalangan pengungsi yang berasal dari negara-negara Asia Tenggara yang 

tiba di AS serta para pelancong yang kembali ke AS dari daerah yang terkena wabah 

AHC. 

 

4. Reservior - manusia 

  

5. Cara penularan 

Melalui kontak langsung dengan kotoran mata yang terinfeksi. Penularan orang ke orang 

paling banyak terjdi di dalam lingkungan keluarga, dimana angka serangannya biasanya 

tinggi. Adenovirus dapat di tularkan di kolam renang yang tidak diklorinasi dengan baik 

dan dilaporkan sebagai “konjungtivitis kolam renang”; penyakit ini juga ditularkan 

melalui droplet dari saluran pernafasan. Wabah besar AHC di negara berkembang 

berkaitan dengan padatnya warga  dan sanitasi lingkungan yang buruk. Anak sekolah 

berperan dalam penyebaran cepat AHC kepada warga  umum. 

 

6. Masa inkubasi – masa inkubasi untuk infeksi adenovirus yaitu   4 – 12 hari, rata-rata 8 

hari. Untuk infeksi picornavirus 12 jam hingga 3 hari. 

 

7. Masa penularan – infeksi adenovirus bisa menular hingga 14 hari sesudah onset, 

picornavirus setidaknya 4 hari sesudah onset 

 

8. Kerentanan dan kekebalan – infeksi menyerang semua umur. Terjadinya infeksi ulang 

dan atau relaps pernah dilaporkan terjadi. Apakah dapat timbul kekebalan dan berapa lama 

kekebalan ini bertahan tidak diketahui dengan jelas. 

 

 

 

 

 128

9. Cara – cara Pemberantasan 

A. Tindakan pencegahan 

sebab  tidak ada pengobatan yang efektif, pencegahan sangatlah penting, kebersihan 

perorangan sebaiknya ditekankan termasuk menghindari pemakaian handuk bersama 

dan menghindari kerumunan. Jaga selalu keadaan asepsis di klinik-klinik mata; cuci 

tangan sebelum memeriksa pasien. Klinik mata harus yakin bahwa disinfeksi tingkat 

tinggi pada barang-barang yang mungkin terkontaminasi telah dilakukan dengan baik. 

Jika terjadi KLB penutupan sekolah bisa di lakukan. Lakukan klorinasi kolam renang 

dengan baik. 

 

B. Pengobatan penderita, kontak dan lingkungan sekitar 

1) Laporan kepada instansi kesehatan setempat; laporan wajib disampaikan bila 

terjadi wabah, tidak ada kasus individual yang wajib dilaporkan, kelas 4 (lihat 

tentang pelaporan penyakit menular) 

2) Isolasi : lakukan tindakan kewaspadaan terhadap sekret dan buangan air pencuci 

mata, hindari kontak dengan penderita ketika penyakit ini sedang aktif, misalnya 

anak-anak sebaiknya tidak pergi kesekolah pada saat KLB. 

3) Disinfeksi serentak : lakukan disinfeksi terhadap discharge konjungtiva dan 

peralatan yang terkontaminasi. Pembersihan terminal. 

4) Karantina : tidak dilakukan 

5) Imunisasi : tidak dilakukan 

6) Investigasi kontak dan sumber infeksi : cari kasus tambahan untuk melihat apakah 

telah terjadi KLB dengan penularan “common source” 

7) Pengobatan spesifik : tidak ada 

 

C.  Upaya Penanggulangan Wabah 

1) Sediakan fasilitas yang memadai untuk mendiagnosa dan mengobati penderita 

dengan gejala klinis yang jelas. 

2) Tingkatkan standar kebersihan lingkungan dan kebersihan perorangan dan hindari 

kepadatan.  

 

D.  Implikasi bencana : tidak ada 

 

E.  Tindakan lebih lanjut  : Manfatkan pusat-pusat kerjasama WHO 

 

 

IV. KONJUNGTIVITIS KLAMIDIA   ICD-9 077.0; ICD-10 A74.0 

(Inclusion Conjunctivitis, Paratrakhoma, Neonatal inclusion blennorrhea, “mata lengket”) 

– lihat bab yang terpisah untuk Trakhoma. 

 

 

1. Identifikasi  

Pada bayi baru lahir penyakit ini berupa konjungtivitis akut dengan discharge purulen, 

biasanya diketahui dalam waktu 5 – 12 hari sesudah kelahiran. Fase akut biasanya terjadi 

secara spontan dalam waktu beberapa minggu, namun  radang mata bisa berlangsung 

 

 129

selama setahun atau lebih jika tidak diobati dan menimbulkan jaringan parut pada 

konjungtiva dan terbentuk infiltrat pada kornea (mikropanus). Pneumonia klamidia (lihat 

Pneumonia, Klamidia) menyerang bayi serentak dengan terjadinya infeksi pada 

nasofaring. Diagnosa konjungtivits klamidia ditegakkan apabila Infeksi gonokokal bisa di 

kesampingkan 

 

Pada anak-anak dan orang dewasa, konjungtivitis folikuler akut gejalanya sangat khas 

disertai dengan limfadenopati dibelakang telinga pada sisi yang terkena, hiperemia, 

terbentuk infiltrat dan sedikit discharge mukopurulen, kadang-kadang permukaan kornea 

juga terkena. Pada orang dewasa bisa juga ada fase kronis disertai dengan discharge yang 

lengket yang kadang-kadang bertahan selama 1 tahun atau lebih jika tidak diobati. 

Klamidia ini bisa memicu  infeksi epitel urethra pada pria dan wanita dan infeksi 

pada serviks pada wanita dengan atau tanpa konjungtivitis. 

Pemeriksaan laboratorium untuk membantu diagnosa antara lain isolasi dengan kultur sel, 

deteksi antigen memakai   pengecatan langsung preparat apus dengan IF dan 

pemeriksaan dengan DNA probe. 

 

2. Pemicu  penyakit – Chlamidia trachomatis dari serovarian D sampai dengan strain K. 

feline dari Chlamidia psittaci dapat memicu  keratokunjungtivitis folikuler akut pada 

manusia. 

 

3. Distribusi penyakit 

Kasus sporadis konjungtivitis dilaporkan terjadi diseluruh dunia menyerang orang dewasa 

yang memiliki  perilaku seksual aktif. Konjungtivitis pada neonatus sebab  C. 

trachomatis terjadi pada 15 – 35% bayi yang terpajan ibu yang terinfeksi. Diantara orang 

dewasa dengan infeksi Klamidia pada alat kelamin, 1/300 akan berkembang menjadi 

penyakit mata yang disebabkan klamidia. 

 

4. Reservoir – Manusia untuk Chlamidia trachomatis dan kucing untuk C. psittaci 

 

5. Cara penularan 

Pada umumnya ditularkan melalui hubungan seksual. Discharge dari alat kelamin pada 

orang yang terinfeksi biasanya sangat menular. Pada bayi baru lahir, konjungtivitis 

biasanya didapat melalui kontak langsung dengan sekret infeksi jalan lahir. Infeksi 

didalam uterus juga bisa terjadi. Mata pada orang dewasa terinfeksi sebab  penularan dari 

sekret alat kelamin ke mata melalui jari. Kadang kala anak yang lebih besar usianya juga 

bisa terkena konjungtivitis yang didapat dari bayi baru lahir ataupun tertulari anggota 

keluarga yang lain, mereka sebaiknya juga dicurigai kemungkinan sebagai korban 

pelecehan seksual. Beberapa KLB yang dilaporkan terjadi diantara perenang yang 

berenang pada kolam yang tidak diklorinasi belum dikonfirmasikan melalui kultur, bisa 

jadi bukan disebabkan oleh klamidia namun  sebab  adenovirus atau Pemicu  lain yang 

diketahui sebagai Pemicu  konjungtivitis kolam renang 

  

6. Masa inkubasi – pada bayi baru lahir 5 – 12 hari dengan kisaran dari 3 – 6 hari dan 6 – 

19 hari untuk orang dewasa. 

  

 

 130

7. Masa penularan – penularan tetep terjadi pada saat Infeksi pada alat kelamin dan mata 

masih berlangsung; klamidia masih ditemukan pada membrana mukosa lebih dari 2 tahun 

sesudah lahir. 

 

8. Kekebalan dan kerentanan – tidak terbentuk kekebalan sesudah Infeksi, infeksi ulangan 

dapat terjadi, walaupun tingkat berat mungkin berkurang 

 

9. Cara – cara pemberantasan 

A. Tindakan pencegahan 

1) Memakai kondom secara konsisten dan benar jika mengadakan hubungan sex 

bukan dengan pasangannya untuk mencegah penularan penyakit, dan berikan 

pengobatan yang tepat pada orang yang menderita uretritis dan servisitis yang 

disebabkan oleh klamidia. 

2) Tindakan pencegahan umum yang dilakukan untuk penyakit menular seksual dapat 

diterapkan untuk mencegah penularan klamidia (lihat Sifilis, 9A) 

3) Mengenal secara dini infeksi pada wanita hamil dengan risiko tinggi dengan kultur 

atau dengan pemeriksaan antigen. Pengobatan infeksi serviks pada wanita hamil 

untuk mencegah penularan kepada bayi yang dilahirkan. Eritromisin basa 500 mg 

4 kali sehari yang diberikan selama 7 hari biasanya efektif, namun efek samping 

yang muncul berupa keluhan saluran pencernaan dapat mempengaruhi 

kesinambungan pengobatan. 

 

B. Pengawasan penderita, kontak dan lingkungan sekitar 

1) Laporan kepada instansi kesehatan setempat. Kasus yang terjadi pada neonatus 

wajib dilaporkan di sebagian besar negara bagian di AS dan negara-negara lain, 

Kelas 2B (lihat tentang pelaporan penyakit menular) 

2) Isolasi : tindakan kewaspadaan universal terhadap sekret dan air cucian mata 

sampai 96 jam pertama sesudah dimulainya pengobatan. 

3) Disinfeksi serentak : teknik aseptik dan kebiasaan mencuci tangan yang benar oleh 

para petugas kesehatan merupakan tindakan yang tepat untuk mencegah penularan 

diruang perawatan. 

4) Karantina : tidak dilakukan 

5) Imunisasi kontak : tidak dilakukan 

6) Investigasi terhadap kontak dan sumber infeksi : lakukan pelacakan terhadap 

semua kontak seksual pada kasus yang terjadi pada orang dewasa, begitu pula 

terhadap ibu dan ayah dari neonatus yang terinfeksi sebaiknya diperiksa dengan 

teliti dan diobati. Penderita dewasa sebaiknya diteliti lebih lanjut terhadap 

kemungkinan sedang menderita gonorrhoea dan sifilis. 

7) Pengobatan spesifik : infeksi alat kelamin dan mata pada orang dewasa, diobati 

dengan tetrasiklin, eritromisin dan ofloksasin per - oral selama 2 minggu. 

Azitromisin yaitu   terapi dosis tunggal yang juga cukup efektif. 

Pengobatan infeksi mata pada bayi baru lahir dengan eritromisin per – oral selama 2 

minggu dianjurkan untuk mengurangi risiko terjadi pneumonia klamidia, dengan dosis 

10 mg/kg diberikan setiap 12 jam pada minggu pertama kelahiran dan selanjutnya 

diberikan setiap 8 jam. 

 

 

 131

C.  Upaya Penanggulangan Wabah : Lakukan pengawasan terhadap sanitasi kolam 

renang; klorinasi standard sudah cukup memadai. 

 

D.  Implikasi bencana : tidak ada 

 

E.  Tindakan lebih lanjut  : Manfaatkan Pusat – pusat kerjasama WHO 

 

 

 

 

PENYAKIT VIRUS COXSACKIE              ICD-0 074; ICD-10 B34.1 

 

Virus coxsackie merupakan anggota kelompok enterovirus dari keluarga Picornaviridae 

sebagai Pemicu  dari kelompok penyakit yang akan dibicarakan pada bab ini seperti wabah 

mialgia, konjungtivitis enteroviral hemoragika dan meningitis (lihat uraian setiap penyakit ini 

di dalam bab masing-masing) dan karditis yang disebabkan oleh virus coxsackie (lihat 

bawah). Virus ini memicu  penyakit yang menular pada bayi baru lahir dan ada bukti 

keterkaitan infeksi virus ini dengan Juvenile Onset Insulin Dependent Diabetes. 

 

 

I.A. FARINGITIS VESIKULER ENTEROVIRUS ICD-9 074.0; ICD-10 B08.5 

  ( Herpangina, faringitis aftosa) 

 

I.B. STOMATITIS VESIKULER ENTEROVIRUS DENGAN EKSANTEM 

  ( Penyakit tangan, kaki dan mulut )   ICD-9 074.3; ICD-10 B08.4 

 

I.C. FARINGITIS LIMFONODULER ENTEROVIRUS 

  ( Faringitis limfonoduler akut, Faringitis vesikuler ) ICD-9 074.8; ICD-10 B08.8 

 

 

1. Identifikasi  

Faringitis vesikuler (herpangina) yaitu   penyakit akut yang sembuh sendiri tanpa 

pengobatan, penyakit virus yang ditandai dengan serangan tiba-tiba, berupa demam, sakit 

tenggorokan disertai lesi pada faring berukuran 1 – 2 mm berbentuk papulovesikuler 

berwarna abu-abu dengan dasar eritematus dan berkembang secara perlahan menjadi lesi 

yang sedikit lebih besar. Lesi ini yang biasanya muncul pada dinding anterior faucium 

dari tonsil, palatum molle, uvula dan tonsilnya sendiri, muncul sekitar 4 – 6 hari sesudah 

mulai sakit. Penyakit ini tidak fatal. Kejang demam terjadi pada sekitar 5% dari kasus. 

Stomatitis Vesikuler dengan eksantem (penyakit tangan, kaki dan mulut) berbeda 

dengan faringitis vesikuler dimana pada penyakit ini lesi pada mulut lebih menyebar dan 

bisa timbul pada permukaan buccal pada pipi dan gusi dan pada kedua sisi lidah. Lesi 

papulovesikuler yang muncul dan bertahan 7 hingga 10 hari muncul dalam benuk 

eksantem terutama pada jari telapak tangan dan telapak kaki kadang-kadang lesi 

berbentuk makulopapuler muncul pada bagian pantat.  

Penyakit ini sembuh dengan sendirinya tanpa diobati. Kasus fatal pada anak-anak 

walaupun pernah terjadi namun sangat jarang. 

 

 132

Faringitis limfonoduler akut,  berbeda dengan faringitis vesikuler, pada penyakit ini lesi 

nampak jelas, timbul, terpisah, modul berwarna putih hingga kekuningan dikelilingi oleh 

zona eritema berukuran sekitar 3 hingga 6 mm. Biasanya lesi muncul di uvula, dinding 

tonsil bagian anterior dan dinding posterior faring tanpa eksantem. 

 

Stomatitis yang disebabkan oleh virus herpes simpleks perlu dibedakan sebab  pada 

infeksi virus ini lesi lebih besar, lebih dalam, lebih sakit dan biasanya muncul di mulut 

bagian depan. Penyakit ini jangan dikacaukan dengan stomatitis vesikuler yang 

disebabkan oleh virus stomatitis, biasanya menyerang hewan ternak dan kuda, orang yang 

terserang biasanya pekerja yang mengolah produk susu, mereka yang bekerja di 

peternakan dan dokter hewan. Penyakit mulut dan kuku pada hewan ternak, domba dan 

babi jarang menular kepada petugas laboratorium yang menangani virus namun manusia 

dapat menjadi pembawa mekanis dari virus dan menjadi sumber KLB pada binatang. 

Virus secara serologis tidak dapat dibedakan dengan virus coxsackie B-5 yang 

memicu  penyakit vesikuler pada babi yang bisa ditularkan kepada manusia. 

 

Sindroma penyakit yang disebabkan oleh jenis virus coxsackie yang lain dapat dibedakan 

lebih jelas pada waktu KLB. Virus bisa diisolasi dari spesimen yang diambil dari lesi dan 

nasofaring serta tinja yang ditanam pada kultur sel dan atau yang disuntikkan kepada 

tikus. sebab  banyak serotipe bisa memberikan gejala penyakit yang sama dan antigen 

yang umum dipakai untuk pemeriksaan kurang tersedia, maka prosedur diagnostik secara 

serologis tidak dilakukan secara rutin kecuali virus dapat diisolasi untuk digunakan pada 

tes serologis. 

 

2. Pemicu  penyakit 

Untuk faringitis vesikuler, Pemicu nya yaitu   virus coxsackie grup A, tipe 1 – 10, 16 

dan 22. Untuk stomatitis vesikuler, Pemicu nya yaitu   virus coxsackie grup A terutama 

tipe A16 dan tipe 4, 5, 9 dan 10; grup B tipe 2 dan 5 dan yang jarang terjadi yaitu   

enterovirus 71. Untuk faringitis limfonoduler akut, Pemicu nya yaitu   virus coxsakie 

grup A, tipe 10. Enterovirus lain kadang-kadang dapat sebagai Pemicu  munculnya 

penyakit-penyakit ini. 

 

3. Distribusi penyakit 

Untuk faringitis vesikuler dan stomatitis vesikuler tersebar diseluruh dunia keduanya 

muncul sporadis dan dalam bentuk wabah, insidens tertinggi terjadi pada musim panas 

dan awal musim gugur terutama menyerang anak-anak dibawah 10 tahun, namun  kasus 

dewasa (terutama pada dewasa muda) tidak jarang terjadi. KLB terbatas dari faringitis  

limfonoduler akut pada anak-anak bisa terjadi pada musim panas dan awal musim gugur. 

Penyakit-penyakit ini sering muncul sebagai KLB pada anak-anak (misalnya di tempat 

penitipan anak, tempat bermain anak-anak usia pra-sekolah (3-5 tahun)) 

 

4. Reservoir – manusia 

 

5. Cara penularan 

Kontak langsung dengan discharge hidung dan tengorokan serta tinja dari orang yang 

terinfeksi (yang mungkin tanpa gejala) dan melalui droplet yang menyebar melalui udara, 

 

 133

tidak ada bukti bahwa penyakit ini disebarkan oleh seranga, air, makanan atau melalui 

limbah. 

 

6. Masa inkubasi – biasanya 3 – 5 hari untuk faringitis vesikuler dan stomatitis vesikuler, 5 

hari untuk faringitis limponoduler 

 

7. Masa penularan – penularan terjadi selama periode akut dan mungkin berlangsung lebih 

lama lagi semasih virus ini bisa ditemukan pada tinja, biasanya berminggu-minggu. 

 

8. Kerentanan dan kekebalan 

Semua orang rentan terhadap infeksi ini. Kekebalan spesifik mungkin terbentuk baik 

sebab  infeksi tanpa atau infeksi dengan gejala klinis, lamanya kekebalan bertahan tidak 

diketahui. Serangan kedua bisa terjadi pada grup A virus coxsackie dari tipe serologis 

yang berbeda. 

 

9. Cara – cara Pemberantasan 

A. Tindakan pencegahan 

Mengurangi kontak antara orang ke orang, bila memungkinkan dengan cara 

mengurangi kepadatan manusia dan memperbaiki ventilasi. Budayakan perilaku hidup 

bersih dan sehat antara lain kebiasaan cuci tangan dan tindakan higienis lain di rumah. 

 

B. Pengawasan penderita, kontak dan lingkungan sekitar 

1) Laporan kepada instansi kesehatan setempat. Laporan wajib diberikan jika terjadi 

wabah, kasus individual tidak perlu dilaporkan. Kelas 4 (lihat tentang pelaporan 

penyakit menular) 

2) Isolasi : Lakukan tindakan kewaspadaan enterik 

3) Disinfeksi serentak : Lakukan disinfeksi terhadap discharge hidung dan 

tenggorokan. Cuci atau buang barang-barang yang terkontaminasi. Berikan 

perhatian khusus kepada setiap orang untuk mencuci tangan secara tepat jika 

menangani discharge, tinja dan benda-benda yang terkontaminasi. 

4) Karantina : tidak dilakukan 

5) Imunisasi kontak : tidak dilakukan 

6) Investigasi kontak dan sumber infeksi : kecuali untuk mendeteksi kasus tambahan 

pada kelompok-kelompok tertentu atau pada anak-anak prasekolah. 

7) Pengobatan spesifik : tidak ada 

 

C. Upaya – upaya penanggulangan wabah  

Beritahukan kepada dokter praktek swasta bahwa telah terjadi peningkatan insiden 

penyakit ini, disertai dengan penjelasan mengenai onset dan gejala klinisnya. Lakukan 

isolasi terhadap kasus yang terdiagnosa dan terhadap semua anak-anak yang demam, 

dan terhadap mereka yang diagnosanya masih belum diketahui dengan perhatian serta 

kewaspadaan spesifik diberikan terhadap sekret saluran pernafasan dan tinja. 

 

D. Implikasi bencana : tidak ada 

 

E. Tindakan lebih lanjut  : Manfaatkan Pusat kerjasama WHO 

 

 134

KARDITIS yang disebabkan oleh Virus Coxsackie  ICD-9 074.2; ICD-10 B33.2 

(Virus Carditis, Enterovirus Carditis) 

 

 

1. Identifikasi 

Merupakan miokarditis akut atau subakut yang disebabkan oleh virus atau dalam bentuk 

perikarditis yang terjadi sebagai manifestasi  dari infeksi enterovirus terutama virus 

coxsackie grup B (kadang-kadang muncul dengan gejala klinis lain). 

Miokard terkena terutama pada bayi baru lahir, dimana demam dan letargi diikuti dengan 

gagal jantung yang cepat ditandai dengan pucat, sianosis, dispnea, takikardi dan 

pembesaran jantung dan hati. Gagal jantung bisa berlangsung progresif dan fatal, 

penyembuhan bisa terjadi setelah beberapa minggu; beberapa kasus bisa relaps dan 

berlangsung berbulan-bulan dan bisa disertai dengan kerusakan jantung sebagai gejala 

sisa. Pada penderita usia dewasa muda perikarditis merupakan gejala yang sering 

ditemukan disertai dengan sakit dada akut, gangguan denyut dan aroma jantung dan 

kadang-kadang disertai dengan dispnea. Ini bisa mirip dengan infark miokard namun  

seringkali disertai dengan gejala lain dari kelainan pleura dan paru. Penyakit ini dikaitkan 

juga dengan meningitis aseptik, hepatitis, orkhitis, pankreatitis atau mialgia epidemika 

(lihat mialgya, wabah) 

Diagnosa biasanya dibuat dengan melakukan pemeriksaan serologis atau dengan isolasi 

virus dari tinja, namun  hasilnya tidak konklusif, terjadinya kenaikan titer antibodi spesifik 

secara bermakna membantu penegakan diagnosa. Virus jarang dapat diisolasi dari cairan 

pericard, biopsi miokard atau dari jaringan jantung postmortem, namun jika virus dapat di 

solasi akan memberikan diagnosa yang definitif. 

 

2. Pemicu  penyakit – virus coxsackie grup 3 (tipe 1 – 5), kadang-kadang virus coxsackie 

grup A (tipe 1,4,9,16,23) dan enterovirus lain. 

 

3.  Distribusi penyakit – Penyakit ini jarang terjadi namun dapat muncul secara sporadis, 

meningkat pada saat terjadi KLB infeksi virus coxsackie group B. KLB dengan CFR yang 

tinggi pernah dilaporkan terjadi pada bayi baru lahir dirumah bersalin. 

 

4,5,6,7,8,9. Reservoir, cara penularan, masa inkubasi, masa penularan, kerentanan dan 

kekebalan dan cara-cara pemberantasan – sama seperti pada mialgia epidemika (q.v). 

 

 

 

 

KRIPTOKOKOSIS                  ICD-9 117.5; ICD-10 B45 

(Torula) 

 

1. Identifikasi  

Mikosis jaringan tubuh bagian dalam biasanya muncul sebagai meningitis sub akut atau 

kronis; infeksi pada paru, ginjal, prostat dan infeksi tulang. Di kulit infeksi bisa terlihat 

sebagai lesi berbentuk acne, ulcus atau massa seperti tumor sub kutan. Kadang-kadang 

cryptococcus neoformans bisa berperan sebagai saprofit endobronkial pada penderita 

 

 135

dengan penyakit paru lain. Meningitis yang tidak diobati berakibat fatal dalam beberapa 

minggu sampai bulan. 

 

Diagnosa dari meningitis kriptokokal di buat dengan ditemukannya bentuk kuncup 

berkapsul “budding encapsulated” pada pemeriksaan mikroskopis dari LCS, 

memakai   pengecatan tinta India; dari spesimen urin atau pus juga bisa ditemukan 

bentuk ini. Pemeriksaan antigen dari serum dan LCS terkadang juga membantu. Diagnosa 

pasti dilakukan dengan pemeriksaan histopatologi atau dengan kultur (media yang 

mengandung cycloheximide yang menghambat pertumbuhan C. neoformans sebaiknya 

tidak digunakan). Pengecatan dengan memakai   pengecatan Mayer’s mucicarmine 

membantu diagnosa histopatologis dari kriptokokus yang kebanyakan akan nampak 

berwarna merah menyala. 

 

2. Pemicu  penyakit  

Cryptococcus neoformans var neoformans dan C. neoformans var. gattii, yang disebutkan 

terakhir lebih sering ada di iklim tropis dan sub tropis. Stadium seksual sempurna dari 

jamur-jamur ini disebut Filobasidiella neoformans var. neoformans dan F. neoformans 

var. bacillispora. 

 

3. Distribusi penyakit : Muncul sebagai kasus sporadis tersebar di seluruh dunia, terutama 

menyerang orang dewasa. Laki-laki lebih sering terkena daripada wanita. Penderita 

dengan infeksi HIV lanjut lebih rentan terhadap kriptokokosis, hampir terhadap semua 

var. neoformans. Infeksi juga terjadi pada kucing, anjing, kuda, sapi, monyet dan binatang 

lain. 

 

4. Reservoir : Sebagai tumbuhan Saprofit yang tumbuh pada lingkungan sekitar kita. 

Varietas neoformans selalu dapat diisolasi dari sarang dan kotoran burung dara dan dari 

tanah di berbagai tempat di dunia. Varietas gattii diisolasi dari dedaunan dan batang 

species tertentu dari pohon eukaliptus. 

 

5. Cara penularan – diduga melalui inhalasi. 

 

6. Masa inkubasi – Tidak diketahui. Penyakit paru biasanya muncul lebih dulu berlangsung 

berbulan-bulan hingga bertahun-tahun, sebelum infeksi otak terjadi. 

 

7. Masa penularan – Tidak ditularkan langsung dari orang ke orang, atau dari binatang ke 

manusia. 

 

8. Kerentanan dan kekebalan  

Semua ras rentan terhadap penyakit ini, namun dari data epidemiologis menunjukkan 

bahwa manusia cukup kebal terhadap infeksi sebab  jarangnya ditemukan kasus pada 

manusia walaupun C. neoformans ditemukan dilingkungan sekitar kita. 

Kerentanan meningkat pada pemberian terapi kortikosteroid, gangguan imunitas (terutama 

AIDS) dan kelainan pada sistem retikulo endothelial, terutama pada penderita penyakit 

Hodgkins dan sarkoidosis. 

 

 

 136

9.  Cara-cara pemberantasan 

A. Tindakan pencegahan : 

Sementara belum ditemukan adanya kelompok penderita yang terpajan dengan     C. 

neoformans yang biasanya ditemukan pada kotoran burung merpati yang berserakan di 

mana-mana, maka upaya pencegahan yang perlu dilakukan yaitu   dengan 

membersihkan kotoran burung itu. Sebelum dibersihkan lakukan dekontaminasi 

dengan iodofor dan basahi terlebih dahulu kotoran burung ini  dengan air agar 

tidak terjadi aerosolisasi yaitu penyebaran Pemicu  penyakit melalui debu diudara. 

 

B.  Pengawasan penderita, kontak dan lingkungan sekitar. 

1). Laporan pada instansi kesehatan setempat; laporan resmi diperlukan pada kejadian 

tertentu sebagai kemungkinan manifestasi dari AIDS, kelas 2B (lihat tentang 

pelaporan penyakit menular). 

2). Isolasi: tidak dilakukan. 

3). Disinfeksi serentak: Lakukan terhadap discharge penderita dan barang-barang 

yang terkontaminasi. Pembersihan terminal. 

4). Karantina : tidak dilakukan. 

5). Imunisasi kontak : tidak dilakukan. 

6). Investigasi kontak dan sumber infeksi: tidak dilakukan. 

7). Pengobatan spesifik : pemberian Amfoterisin B (Fungizone®) Intra Vena efektif 

pada banyak kasus; 5-fluoro sitosin bermanfaat jika di kombinasi dengan 

Amfoterisin B. Kombinasi kedua jenis obat ini merupakan obat pilihan namun  

sangat toksis, pemberiannya harus dengan hati-hati. Pada penderita AIDS, 

kriptokokosis sulit diobati; pemberian fluconazole cukup memberikan hasil 

sesudah diawali dengan pemberian Amfoterisin B dan pemberian fluconazole ini 

diteruskan seumur hidup. 

 

C. Penanggulangan wabah : Tidak ada. 

D  Implikasi bencana – Tidak ada. 

E.  Tindakan lebih lanjut  – Tidak ada. 

 

 

 

 

KRIPTOSPORIDIOSIS     ICD-9 136.8; ICD-10 A07.2 

 

 

1. Identifikasi  

Infeksi parasit yang cukup penting dalam bidang kedokteran dan kedokteran hewan 

menyerang sel epitel saluran pencernaan manusia, saluran empedu dan saluran 

pernapasan, juga menyerang lebih dari 45 spesies vertebrata termasuk unggas dan burung, 

ikan, reptil, mamalia kecil (tikus, kucing, anjing) dan mamalia besar (terutama sapi dan 

biri-biri). Infeksi tanpa gejala, sering terjadi dan merupakan sumber infeksi bagi yang 

lainnya. Gejala utama pada manusia yaitu   diare cair yang pada anak-anak terjadi 

berulang kali didahului dengan anoreksia dan muntah. Diare diikuti dengan sakit dan kram 

pada perut.  

 

 137

sedang  gejala yang jarang terjadi yaitu   malaise umum, demam, tidak nafsu makan 

dan muntah. Gejala berkurang dan akan hilang dalam waktu kurang dari 30 hari pada 

orang yang secara imunologis sehat. Orang yang imunitasnya rendah, terutama pasien 

AIDS, tubuh mereka tidak mampu membersihkan parasit, dan penyakit cenderung akan 

berlangsung lebih lama menjurus ke keadaan klinis fulminan yang berakhir dengan 

kematian. Gejala kolesistitis bisa terjadi pada infeksi saluran empedu, hubungan antara 

infeksi saluran pernafasan dan gejala klinis yang ditimbulkan tidak jelas. 

 

Diagnosa pada umumnya dibuat dengan ditemukannya oocyst pada sediaan ulas tinja atau 

oocyst ditemukan dari sediaan biopsi usus pada siklus hidup parasit. Oocyst berbentuk 

kecil (4-6 cm) dan bisa dikelirukan dengan ragi jika tidak dilakukan pengecatan dengan 

benar. Pengecatan yang umum dipakai yaitu   auramin-rhodamin, modifikasi dari 

pengecatan tahan asam, dan pengecatan dengan safranin metilen biru. Saat ini 

pemeriksaan dengan tekhnik immunobased ELISA terbaru dan sangat sensitif telah 

tersedia. “Antibodi monoclonal tagged fluorescein” bermanfaat untuk menemukan oocyst 

pada sample lingkungan dan tinja. Infeksi oleh parasit ini tidak mudah dideteksi kecuali 

benar-benar dilakukan pemeriksaan secara spesifik. Pemeriksaan serologis mungkin 

sangat bermanfaat untuk tujuan studi epidemiologis, namun berapa lama antibodi yang 

terbentuk sesudah infeksi dapat bertahan sampai kini tidak diketahui. 

 

2. Pemicu  penyakit – Cryptosporidium parvum, yaitu   protozoa koksidian, spesies yang 

ada hubungannya dengan infeksi pada manusia. 

 

3. Distribusi Penyakit; tersebar diseluruh dunia. Oocyst cryptosporidium ditemukan pada 

spesimen tinja manusia di lebih dari 50 negara di enam benua. Di negara maju seperti AS 

dan Eropa, prevalensinya kurang dari 1 – 4.5 % dari hasil survei pemeriksaan tinja. Di 

negara berkembang, prevalensinya sangat tinggi berkisar antara 3 – 20 %. Anak-anak usia 

dibawah 2 tahun, mereka yang merawat binatang, pelancong, kaum homoseksual dan 

mereka yang kontak erat dengan orang-orang yang terinfeksi (keluarga, petugas kesehatan 

dan perawat di rumah penitipan anak) biasanya lebih mudah tertulari. KLB dilaporkan 

terjadi di tempat penitipan anak hampir diseluruh dunia. KLB juga di sebabkan oleh air 

minum yang tercemar (setidaknya 3 KLB besar yang pernah dilaporkan berkaitan dengan 

fasilitas air minum untuk umum); penularan dapat terjadi di tempat rekreasi yang 

memakai   air seperti “waterslide”, kolam renang dan danau; cuka apel yang tidak 

dipasturisasi yang terkontaminasi dengan kotoran sapi, pernah dilaporkan sebagai 

Pemicu  infeksi.  

 

4.  Reservoir – Manusia, hewan ternak dan binatang peliharaan berperan sebagai reservoir. 

 

5. Cara penularan; Cara penularan melalui rute orofekal, yaitu penularan dari orang ke 

orang, dari binatang ke orang,