erang-kerangan.
Di daerah endemis di negara tropis, infeksi bisa terjadi sebab minum air permukaan yang
tercemar. Infeksi melalui luka dapat terjadi sebab terpajan dengan lingkungan, biasanya
111
di perairan asin atau sebab kecelakaan kerja yang terjadi diantara para nelayan,
pengumpul kerang dan lain-lain. Septikemi yang terjadi pada mereka yang memiliki
risiko tinggi, bisa disebabkan sebab infeksi melalui luka atau sebab mengkonsumsi
seafood yang terkontaminasi.
6. Masa inkubasi – Pendek, dari 12 – 24 jam pada KLB dan kira-kira sekitar 10 jam pada
sukarelawan yang dipakai sebagai percobaan (bervariasi dari 5.5 hingga 96 jam).
7. Masa penularan
Tidak diketahui apakah di alam dapat terjadi penularan dari orang ke orang atau melalui
makanan yang terkontaminasi oleh vibrio yang berasal dari manusia. Jika yang disebutkan
terakhir yang terjadi, maka penularan potensial yaitu selama penderita mengeluarkan
vibiro, biasanya berlangsung beberapa hari.
8. Kekebalan dan kerentanan
Semua orang rentan untuk menderita gastroenteritis jika mereka menelan V. cholerae non-
O1 atau non-O139 dalam jumlah yang cukup dari makanan yang cocok sebagai media
atau melalui infeksi luka jika luka ini terpajan dengan air atau kerang yang mengandung
vibrio. Septikemia terjadi hanya pada hospes abnormal seperti orang dengan
immunocompromised, menderita penyakit hati kronis atau kurang gizi yang berat.
9. Cara pemberantasan.
A. Cara pencegahan
1). Berikan penyuluhan kepada konsumen dan warga tentang risiko yang terjadi
jika memakan seafood mentah kecuali telah di radiasi.
2). Berikan penyuluhan kesehatan kepada orang yang menangani dan memproses
“seafood” tentang upaya pencegahan sebagai berikut :
a. Pastikan bahwa “seafood” dimasak dengan suhu yang cukup untuk membunuh
organisme ini dengan cara memanaskan selama 15 menit pada suhu 70 oC/158
oF (organisme ini bisa hidup pada suhu 60 oC/140 oF sampai dengan 15 menit
dan pada suhu 80 oC/176 oF untuk beberapa menit).
b. “Seafood” matang harus ditangani sedemikian rupa untuk menghindari
pencemaran dengan cara memisahkannya dari “seafood” mentah atau dari air
laut yang terkontaminasi.
c. Amankan semua “seafood”, baik yang matang maupun yang mentah, dengan
dibekukan pada suhu yang tepat sebelum dikonsumsi.
d. Hindari penggunaan air laut pada tempat pengolahan makanan dikapal seperti
misalnya dikapal pesiar.
B, C, D. Pengawasan penderita, kontak dan lingkungan sekitar; Upaya penanggulangan
wabah dan implikasi bencana: lihat Keracunan makanan sebab Stafilokokus (bagian 1,
9B kecuali untuk B2, 9C dan 9D). Isolasi : kewaspadaan enterik.
Penderita dengan penyakit hati atau dengan “immunosuppresed” (mereka yang sebab
mendapat pengobatan atau sebab penyakit yang menurunkan kekebalan) dan para
pecandu alkohol di peringatkan untuk tidak mengkonsumsi “seafood” mentah.
112
Jika muncul penyakit pada orang-orang yang disebut diatas, dan ada riwayat mereka
makan “seafood” dan terutama jika ditemukan adanya lesi di kulit berbentuk bula maka
terapi antibiotika harus segera diberikan, berupa kombinasi minosiklin oral (100 mg setiap
12 jam) dan cefotaksim intravena (2 gram setiap 8 jam) sebagai obat pilihan. Tetrasiklin
dan siprofloksasin juga efektif.
III. VIBRIO PARAHAEMOLYTICUS ENTERITIS ICD-9 005.4; ICD-10 A05.3
(Infeksi Vibrio parahaemolyticus)
1. Identifikasi
Gangguan saluran pencernaan ditandai dengan diare cair dan disertai kram perut pada
sebagian besar kasus, kadang-kadang disertai dengan mual, muntah, demam dan sakit
kepala. Kadang-kadang, ditemukan gejala seperti disenteri dengan tinja mengandung
darah dan lendir, demam tinggi dengan jumlah sel darah putih yang meningkat. Penyakit
ini khas dengan spektrum derajat penyakit sedang, berlangsung sekitar 1 – 7 hari, infeksi
sistemik dan kematian jarang terjadi.
2. Pemicu penyakit
Vibrio parahaemolyticus, yaitu vibrio halofilik dan telah diidentifikasi ada 12 grup
antigen “O” dan sekitar 60 tipe antigen “K” yang berbeda. Strain patogen pada umumnya
(namun tidak selalu) dapat menimbulkan reaksi hemolitik yang khas (fenomena
Kanagawa).
3. Distribusi penyakit
Kasus sporadis dan beberapa KLB dengan common source dilaporkan dari berbagai
bagian dunia, terutama dari Jepang, Asia Tenggara dan AS. Beberapa KLB dengan korban
yang banyak terjadi di AS yang disebabkan sebab mengkonsumsi seafood yang tidak
dimasak dengan sempurna. Kasus-kasus ini terjadi terutama pada musim panas. Beberapa
KLB yang akhir-akhir ini terjadi disebabkan oleh strain Kanagawa negatif, dan strain
urease positif.
4. Reservoir
Lingkungan pantai yaitu habitat alaminya. Selama musim dingin, organisme ini
ditemukan di lumpur laut, sedang selama musim panas mereka ditemukan di perairan
pantai dan dalam tubuh ikan dan kerang-kerangan.
5. Cara penularan
Penularan terjadi sebab mengkonsumsi ikan mentah atau yang dimasak kurang sempurna.
Penularan juga terjadi pada makanan yang telah dimasak dengan sempurna namun
tercemar oleh penjamah yang pada saat yang sama menangani “seafood” mentah.
Mencuci makanan dengan air tercemar memiliki risiko terjadi penularan.
6. Masa inkubasi – biasanya antara 12 – 24 jam, namun dapat berkisar antara 4 – 30 jam.
113
7. Masa penularan - Tidak menular langsung dari orang ke orang.
8. Kekebalan dan kerentanan – Hampir semua orang rentan.
9. Cara pemberantasan
A. Cara pencegahan : Sama seperti pada infeksi V. cholerae non-O1 dan non-O139.
B, C dan D. Pengawasan penderita, kontak dan lingkungan sekitar; upaya
penanggulangan wabah dan implikasi bencana: lihat keracunan sebab Stafilokokus
(bagian I, 9B kecuali untuk B2, 9C dan 9D). isolasi : Kewaspadaan enterik.
IV. INFEKSI VIBRIO VULNIFICUS. ICD-9 005.8; ICD-10 A05.8
1. Identifikasi
Infeksi oleh Vibrio vulnificus dapat memicu terjadinya septikemia pada orang
dengan penyakit hati kronis, pecandu alkohol kronis atau mereka dengan hemokromatosis;
atau orang dengan “immunosuppresed”. Penyakit ini muncul 12 jam hingga 3 hari sesudah
mengkonsumsi seafood mentah atau setengah matang, terutama tiram. Sepertiga dari
penderita mengalami renjatan pada saat mereka dirawat atau tekanan darah mereka turun
dalam waktu 12 jam sesudah dirawat di Rumah Sakit. Tiga perempat dari penderita
mengalami lesi kulit berbentuk bula yang jelas; trombositopeni biasa terjadi dan kadang-
kadang disertai koagulasi intravaskuler disseminata. Lebih dari 50% penderita septikemia
primer meninggal; mortalitasnya mencapai lebih dari 90% diantara mereka yang
mengalami hipotensi. V. vulnificus dapat juga menginfeksi luka lama orang yang tinggal
dipantai atau muara sungai; luka bervariasi mulai dari yang ringan, berupa lesi yang
sembuh sendiri, atau berkembang dengan cepat menjadi selulitis atau miositis yang mirip
dengan clostridial myonecrosis kemiripannya yaitu pada penyebaran yang cepat dan
destruktif.
2. Pemicu penyakit
Vibrio halofilik, biasanya laktosa positif (85% dari isolat) ia merupakan Vibrio laut yang
secara biokimiawi hampir sama dengan V. parahaemolyticus. Konfirmasi jenis spesies
kadang-kadang membutuhkan pemeriksaan dengan DNA probes atau dengan taksonomi
numerik di laboratorium rujukan. V. vulnificus memiliki kapsul polisakarida, dengan
multiple antigen dipermukaannya.
3. Distribusi penyakit
V. vulnificus yaitu Pemicu infeksi vibrio serius yang yang paling umum terjadi di AS.
Di daerah pantai kejadian tahunan infeksi V. vulnivicus sekitar 0.5 kasus per 100.000
warga ; sekitar 2/3 dari kasus ini yaitu septikemia primer. Penderita V. vulnivicus
telah dilaporkan terjadi dari berbagai tempat didunia (misalnya; Jepang, Korea, Taiwan,
Israel, Spanyol, Turki).
114
4. Reservoir
V. vulnificus merupakan flora autochtonous yang hidup bebas di lingkungan muara
sungai. Mereka ditemukan dimuara sungai dan dari kerang-kerangan, terutama tiram,
Vibrio ini dapat diisolasi secara rutin dari tiram yang dibudidayakan selama musim panas.
5. Cara penularan
Penularan terjadi diantara mereka yang memiliki risiko tinggi, yaitu orang-orang yang
“immunocompromised” atau mereka yang memiliki penyakit hati kronis, infeksi terjadi
sebab mengkonsumsi “seafood” mentah atau setengah matang. Sebaliknya, pada hospes
normal yang imunokompeten, infeksi pada luka biasanya terjadi sesudah terpajan dengan
air payau (misalnya kecelakaan ketika mengendarai perahu/boat) atau dari luka akibat
kecelakaan kerja (pengupas tiram, nelayan).
6. Masa inkubasi - Biasanya 12 – 72 jam sesudah mengkonsumsi seafood mentah atau
setengah matang
7. Masa penularan : Dianggap tidak terjadi penularan dari orang ke orang baik langsung
atau melalui makanan yang terkontaminasi kecuali seperti yang dijelaskan pada I.5 diatas
8. Kerentanan dan kekebalan
Orang yang menderita sirosis, hemokromatosis atau penderita penyakit hati kronis lain
dan hospes “immunocompromised” memiliki risiko tinggi menderita septikemia jika
terkena penyakit ini. Berdasarkan catatan dari Dep. Kes Negara Bagian Florida pada
periode 1981 - 1992, kejadian tahunan V. vulnificus diantara orang dewasa yang menderita
penyakit hati kronis yang mengkonsumsi tiram mentah yaitu 7.2 per 100.000 warga
dibandingkan dengan 0.09 per 100.000 warga diantara mereka yang tanpa penyakit
hati.
9. Cara pemberantasan
A. Cara pencegahan; sama dengan pencegahan infeksi V. cholerae untuk non-O1 atau
non-O139.
V. INFEKSI VIBRIO LAIN ICD-9 005.8; ICD-10 A05.8
Infeksi dengan spesies vibrio lain dapat memicu diare. Vibrio serogrup V. cholerae
selain O1, yaitu V. mimicus (beberapa strain menghasilkan enterotoksin yang tidak dapat
dibedakan dengan yang diproduksi oleh V. cholerae O1 & O139), V. fluvialis, V. furnissii
dan V. hollisae. Septikemi jarang sekali terjadi pada hospes yang menderita penyakit hati
kronis dan yang memiliki status “immunocmpromized” atau mereka dengan gizi buruk
yang disebabkan oleh V. hollisae. V. alginocyticus, dan V. damsela, vibrio ini hanya
memicu infeksi pada luka.
115
CHROMOMYCOSIS ICD-9 117.2; ICD-10 B43
(Chromoblastomycosis, Dermatitis Verrucosa)
1. Identifikasi
Mikosis kronis yang menyerang kulit dan jaringan subkutan, biasanya pada tungkai
bawah. Merembet/menjalar kejaringan sekitarnya sangat lambat, bertahun-tahun, dengan
lesi berbentuk Verukosa besar atau kadang-kadang berupa massa berbentuk seperti
kembang kol disertai bendungan saluran limfe. Penyakit ini jarang memicu
kematian.
Pemeriksaan mikroskopis terhadap spesimen kerokan kulit atau biopsi luka
memperlihatkan ciri khas yaitu : sel besar, berwarna coklat, berdinding tebal, bulat,
membelah melalui pembelahan sel menjadi dua bagian. Konfirmasi diagnosa dibuat
dengan melakukan biopsi dan melakukan kultur dari jamur.
2. Pemicu penyakit - Phialophora verrucosa, Fonsecae (Phialophora) pedrosoi, F.
compacta, Cladosporium carrionii, Rhinocladiella aquaspersa, Botryomyces caespitatus,
Exophiala spinifera dan Exophiala jeanselmei.
3. Distribusi penyakit
Tersebar diseluruh dunia, kasus tersebar secara sporadis di daerah yang luas, terutama di
Amerika Tengah, Kepulauan Karibia, Amerika Selatan, Bagian Selatan AS, Kepulauan
Pasifik Selatan, Australia, Jepang, Madagaskar dan Afrika. Penyakit terutama muncul di
daerah pedesaan, menyerang petani yang bertelanjang kaki di daerah tropis, mungkin
sebab petani sering mengalami luka pada kaki atau bagian tubuh lain yang tidak
terlindungi oleh baju atau sepatu. Penyakit ini umum terjadi pada pria berumur 30 – 50
tahun, wanita jarang terinfeksi.
4. Reservoir - Kayu, tanah dan tumbuhan yang membusuk.
5. Cara penularan – Masuk melalui luka, biasanya luka sayat atu tusuk yang terkontaminasi oleh
kayu atau material lain.
6. Masa inkubasi – Tidak diketahui, mungkin beberapa bulan.
7. Masa penularan – Tidak ditularkan dari orang ke orang.
8. Kekebalan dan kerentanan : tidak diketahui, tapi sebab penyakit ini jarang terjadi dan
tidak ada orang yang terkena infeksi di laboratorium, ini menunjukkan bahwa manusia
relatif kebal terhadap penyakit ini.
9. Cara pemberantasan
A. Cara pencegahan : lindungi diri agar tidak terluka dengan memakai sepatu atau baju.
116
B. Pengawasan penderita, kontak dan lingkungan sekitar :
1). Laporan kepada petugas kesehatan setempat: laporan resmi tidak diperlukan, Kelas
5 (lihat tentang pelaporan penyakit menular).
2). Isolasi : tidak dilakukan.
3). Disinfeksi serentak : lakukan disinfeksi terhadap discharge dari lesi serta barang-
barang yang terkontaminasi.
4). Karantina : tidak dilakukan
5). Imunisasi kontak : tidak dilakukan
6). Investigasi kontak dan sumber infeksi : tidak di lakukan.
7). Pengobatan spesifik : 5-fluorositosin atau itrakonasol oral bermanfaat bagi
sebagian penderita. Luka besar akan memberikan respons baik jika diberikan 5-
fluorositosin dikombinasi dengan amfoterisin B (Fungizone®) IV. Luka kecil
kadang-kadang disembuhkan dengan cara melakukan eksisi.
C. Tindakan penanggulangan wabah : Tidak diterapkan, sebab penyakit bersifat
sporadis.
D. Implikasi bencana : tidak ada.
E. Tindakan lebih lanjut : tidak ada.
CLONORCHIASIS ICD-9 121; ICD-10 B66.1
(Penyakit cacing hati oriental atau Cina)
1. Identifikasi
Clonorchiasis yaitu penyakit trematoda saluran empedu. Gejala klinis mungkin ringan
atau tidak ada sama sekali pada infeksi ringan; gejala disebabkan oleh iritasi lokal dari
saluran empedu oleh cacing. Hilang nafsu makan, diare dan rasa tertekan pada perut
yaitu gejala awal yang umum terjadi.
Jarang sekali, sumbatan saluran empedu memicu ikterus diikuti sirosis,
hepatomegali, melunaknya hati, asites progresif dan edema. Penyakit ini yaitu penyakit
kronis, kadang-kadang berlangsung 30 tahun atau lebih, jarang menimbulkan kematian
langsung dan terkadang sama sekali tidak menampakkan gejala. Namun, penyakit ini
sebagai faktor risiko yang signifikan untuk berkembang menjadi cholangiocarcinoma.
Diagnosa dibuat dengan menemukan telur yang khas pada tinja atau cairan cuci
duodenum. Telur cacing dengan ciri khas ini membedakan cacing ini dengan cacing lain.
Diagnosa serologis dapat di lakukan dengan ELISA.
2. Pemicu penyakit – Chlonorchis sinensis, cacing hati Cina.
3. Distribusi penyakit
Sangat endemis di bagian tenggara Cina, namun tersebar hampir di seluruh daratan Cina
kecuali di bagian barat daya; juga ditemukan di Jepang, Taiwan, Korea, Vietnam dan
mungkin di Laos dan Kamboja, terutama di delta sungai Mekong. Di bagian lain dunia,
117
kasus import ditemukan dikalangan imigran dari Asia. Di kebanyakan daerah endemis
prevalensi tertinggi ditemukan pada orang dewasa diatas usia 30 tahun.
4. Reservoir – Manusia, kucing, anjing, babi, tikus dan binatang lain.
5. Cara penularan
Orang terinfeksi sesudah memakan ikan mentah atau setengah matang yang mengandung
kista larva. Setelah dicerna, larva lepas dari kista dan migrasi melalui saluran empedu
utama ke cabang-cabang saluran empedu. Telur diletakkan di saluran empedu dan dibuang
melalui tinja. Telur di dalam tinja mengandung mirasidia yang sudah matang; jika ditelan
oleh siput (misalnya Parafossarulus), mereka menetas di dalam usus siput, masuk ke
dalam jaringan dan menjadi larva yang aseksual (serkaria) dan masuk ke dalam air. Pada
saat kontak dengan hospes perantara kedua (ada sekitar 110 spesies ikan air tawar
terutama yang masuk dalam famili Cyprinidae), serkaria masuk ke hospes ikan dan
membentuk kista, biasanya di otot, terkadang hanya pada bagian bawah dari sisik. Siklus
hidup yang lengkap, dari manusia ke siput hingga ikan dan akhirnya kembali ke manusia
lagi, membutuhkan waktu setidaknya 3 bulan.
6. Masa inkubasi – tidak diketahui dengan tepat, bervariasi tergantung jumlah cacing yang
ada; cacing menjadi dewasa dalam waktu 1 bulan sesudah kista larva tertelan.
7. Masa penularan – Orang yang terinfeksi bisa mengeluarkan telur cacing terus menerus
selama 30 tahun; penularan tidak berlangsung dari orang ke orang.
8. Kerentanan dan kekebalan – Semua orang rentan terhadap penyakit ini.
9. Cara – cara pemberantasan
A. Cara pencegahan : Semua ikan air tawar yang akan dikonsumsi hendaknya dimasak
dengan benar atau diradiasi. Dianjurkan untuk membekukan ikan pada suhu –10 oC
(14oF) minimal selama 5 hari atau disimpan dalam waktu beberapa minggu didalam
larutan garam jenuh, namun cara ini belum terbukti bermanfaat.
1). Di daerah endemis; lakukan penyuluhan kepada warga tentang bahaya
mengkonsumsi ikan mentah atau yang tidak di masak dengan baik dan pentingnya
pembuangan tinja dijamban yang saniter untuk menghindari pencemaran terhadap
sumber makanan ikan. Jangan membuang tinja dan kotoran binatang ke dalam
kolam ikan.
B. Pengawasan penderita, kontak dan lingkungan sekitar:
1). Laporan ke instansi kesehatan setempat: laporan resmi tidak dilakukan, Kelas 5
(lihat tentang pelaporan penyakit menular).
2). Isolasi : Tidak dilakukan.
3). Disinfeksi serentak : Lakukan pembuangan tinja pada jamban yang saniter.
4). Karantina : Tidak dilakukan.
5). Imunisasi kontak : Tidak dilakukan.
6). Investigasi kontak dan sumber infeksi : Untuk kasus individual, biasanya tidak
dilakukan. Penyakit ini merupakan masalah warga (lihat 9C dibawah).
118
7). Pengobatan spesifik : Obat yang menjadi pilihan yaitu praziquantel (Biltricide®)
C. Penanggulangan wabah : Cari dan temukan sumber ikan yang terinfeksi. Ikan yang
diawetkan atau acar ikan yang dikapalkan dari daerah non endemis diduga sebagai
sumber penularan. sedang ikan air tawar segar atau yang dibekukan yang diangkut
ke AS setiap hari dari daerah endemis juga sebagai sumber penularan.
D. Implikasi bencana : Tidak ada.
E. Tindakan lebih lanjut : Lakukan pengawasan ikan atau produk ikan yang dimpor
dari daerah endemis.
OPISTHORCHIASIS ICD-9 121.0; ICD-10 B66.0
Opisthorchiasis yaitu infeksi oleh cacing hati kecil dari kucing atau mamalia pemakan ikan
lain. Opisthorchiasis felineus ditemukan di Eropa dan Asia, dan menginfeksi 2 juta orang di
negara bekas Uni Sovyet; O. viverrini endemis di Asia tenggara, terutama di Thailand, kira-
kira 8 juta orang terinfeksi. Cacing ini sebagai Pemicu utama cholangiocarcinoma di
seluruh dunia; di Bagian Utara Thailand, angka infeksi tertinggi sebesar 85 per 10.000
warga . Karakteristik dari cacing pipih ini, ciri-ciri penyakit dan cara-cara
pemberantasannya sama dengan chlonorchiasis seperti yang telah diberikan diatas. Telur
cacing ini tidak dapat di bedakan dengan mudah dari telur Chlonorchis.
COCCIDIOIDOMYCOSIS ICD-9 114; ICD-10 B38
(Demam Valley, Demam San Joaquin, Demam Gurun, Demam Rematik, Granuloma
Coccidioidal).
1. Identifikasi
yaitu mikosis yang menginfeksi bagian dalam tubuh manusia, umumnya dimulai dengan
infeksi saluran pernapasan. Infeksi primer bisa tanpa gejala atau mirip dengan influenza
akut disertai demam, menggigil, batuk dan rasa sakit seperti pleuritis (walaupun jarang).
Sekitar 1/5 dari kasus klinis yang diketahui (kira-kira sekitar 5 % dari infeksi primer)
membentuk eritema nodosum, kebanyakan terjadi pada wanita Kaukasia dan jarang pada
pria Afrika-Amerika. Infeksi primer bisa sembuh sempurna tanpa gejala sisa, bisa juga
meninggalkan fibrosis, terbentuk nodulus pada paru dengan atau tanpa kalsifikasi;
meninggalkan lubang persisten berdinding tipis, dan walau sangat jarang sekali, penyakit
ini bisa menyebar keseluruh tubuh.
119
Coccidioidomycosis disseminata yaitu penyakit progresif, seringkali fatal, namun
penyakit dengan granulomatosa ini jarang terjadi dan memiliki ciri-ciri berupa lesi paru
dan terbentuknya abses di seluruh tubuh, terutama jaringan subkutan, kulit, tulang dan
SSP. Coccidioidal meningitis mirip dengan meningitis tuberkulosa namun perjalanan
penyakitnya bersifat lebih kronis. Kira-kira 1/1.000 kasus coccidioidomycosis akan
menyebar menjadi bentuk disseminata.
Diagnosa dibuat dengan menemukan jamur melalui pemeriksaan mikroskopis atau kultur
dari sputum, pus, urin, LCS atau biopsi dari lesi pada kulit atau yang diambil dari organ
tubuh. (Menangani kultur jamur ini sangat berbahaya dan harus dilakukan dengan fasilitas
BSL-2 dan BSL-3). Tes kulit memberi hasil positif terhadap spherulin 2 – 3 hari hingga 3
minggu sesudah timbul gejala. Tes precipitin dan tes CF biasanya memberi hasil positif
dalam 3 bulan pertama setelah sakit. Tes precipitin untuk mendeteksi antibodi IgM,
memberi hasil positif 1 – 2 minggu setelah munculnya gejala klinis dan bertahan hingga 3
– 4 bulan. Complement fixation test dapat mendeteksi antiodi IgG dan memberi hasil
positif 1 – 2 bulan setelah muncuknya gejala klinis dan bertahan hingga 6 – 8 bulan.
Rangkaian tes kulit dan serologis dibutuhkan untuk konfirmasi infeksi saat ini atau untuk
mengetahui adanya penyebaran penyakit, tes kulit memberikan hasil negatif pada kasus
disseminata dan tes serologis mungkin memberikan hasil negatif pada orang dengan
immunocompromised.
2. Pemicu penyakit
Coccidioides immitis jamur yang dimorfik. Jamur ini tumbuh di tanah dan media kultur
sebagai jamur saprofit yang berkembang biak dengan arthroconidia; didalam jaringan
tubuh manusia dan dalam kondisi media kultur tertentu, parasit tumbuh sebagai sel
berbentuk sferis (Spherale) yang berkembang biak dengan membentuk endospora.
3. Distribusi penyakit
Infeksi primer umumnya terjadi di daerah yang kering/gersang dan setengah
kering/gersang di belahan bumi bagian barat, di AS, mulai dari California hingga Texas
bagian selatan; Argentina Utara, Paraguay, Kolumbia, Venezuela, Meksiko dan Amerika
Tengah. Di tempat lain, peralatan yang kotor berdebu dari daerah endemis dapat
menularkan infeksi; penyakit ini menyerang mereka yang bepergian ke daerah endemis.
Penyakit ini menyerang semua usia, jenis kelamin dan segala ras. Lebih dari separuh
penderita dengan gejala klinis berusia antara 15 – 25 tahun, laki-laki terkena lebih sering
daripada perempuan, mungkin sebab pajanan di tempat kerja. Infeksi lebih sering terjadi
di musim panas setelah musim salju atau musim semi yang basah, terutama sesudah
adanya badai angin dan debu. Penyakit ini yaitu penyakit penting yang menyerang
pekerja migran, arkeolog dan personil militer yang berasal dari daerah non-endemik yang
sebab tugas mereka pindah ke daerah endemik. Sejak tahun 1991, peningkatan yang
cukup bermakna dari coccidioidomycosis telah dilaporkan terjadi di Kalifornia.
4. Reservoir
Tanah berperan sebagai reservoir, terutama ditempat dan sekitar tempat pembuangan
kotoran hewan di perkampungan Indian dan di lubang-lubang tikus, di daerah dengan
120
suhu kelembaban dan kondisi tanah yang sesuai, (Lower Sonoran Life Zone); jamur ini
menginfeksi manusia, hewan ternak, kucing, anjing, kuda, keledai, kambing, babi, tikus
padang pasir, coyote (sejenis serigala), chinchilla, lama dan spesies binatang lain.
5. Cara penularan
Inhalasi dari arthroconidia yangi berasal dari tanah atau sebab kecelakaan laboratorium
pada saat menangani kultur jamur. Jamur dalam bentuk parasit biasanya tidak menular,
inokulasi nanah penderita atau suspensi kultur jamur kedalam kulit atau tulang seseorang
sebab kecelakaan dapat menimbulkan pembentukan granuloma.
6. Masa inkubasi
Pada infeksi primer, masa inkubasi 1 hingga 4 minggu. Penyebaran bisa terjadi sangat
pelan tapi pasti, terkadang tanpa muncul gejala infeksi paru primer bertahun-tahun
sesudah infeksi primer.
7. Masa penularan
Tidak ditularkan langsung dari orang atau binatang ke manusia. C. immitis yang terdapat
pada pembalut luka dari penderita dapat berubah bentuk dari bentuk parasit menjadi
bentuk saprofit infektif sesudah 7 hari.
8. Kekebalan dan kerentanan
Tingkat kejadian infeksi subklinis di daerah endemis di tandai dengan prevalensi yang
tinggi dari reaksi positif terhadap coccidioidin atau spherulin; penderita yang telah
sembuh biasanya diikuti dengan terbentuknya kekebalan seumur hidup. Namun reaktivasi
penyakit dapat terjadi pada mereka yang mendapatkan terapi yang menurunkan kekebalan
tubuh atau sebab infeksi HIV. Probabilitas untuk menjadi bentuk disseminata lebih besar
peluangnya terjadi pada orang-orang Afrika-Amerika, Filipina dan orang-orang Asia
lainnya, wanita hamil dan penderita AIDS atau pada penderita penyakit lain dengan
kekebalan tubuh rendah. Kasus meningitis coccidioidal lebih sering terjadi pada pria
Kaukasus.
9. Cara-cara pemberantasan
A. Tindakan pencegahan :
1) Di daerah endemis : tanah kosong di tanami rumput, siram dengan minyak
lapangan terbang yang tidak diaspal, gunakan alat pengontrol debu lainnya (seperti
masker, mobil diberi AC dan tanah dibasahi dengan air).
2) Orang dari daerah non-endemis sebaiknya tidak dipekerjakan di daerah yang
berdebu, seperti dalam pembangunan jalan. Tes kulit dapat dilakukan untuk
menyaring orang-orang yang rentan.
B. Pengawasan Penderita, kontak dan lingkungan sekitar.
1) Laporan pada instansi kesehatan setempat, Kasus yang ditemukan harus
dilaporkan, terutama jika terjadi KLB, di daerah endemis tertentu di AS;
sedang di banyak negara penyakit ini bukan merupakan penyakit yang harus
dilaporkan, Kelas 3B (lihat tentang pelaporan penyakit menular).
2) Isolasi : tidak dilakukan.
121
3) Disinfeksi serentak : dari kotoran dan barang-barang yang terkontaminasi.
Pembersihan terminal.
4) Karantina : tidak dilakukan.
5) Imunisasi kontak : Tidak dilakukan.
6) Investigasi kontak dan sumber infeksi : Tidak dianjurkan untuk dilakukan kecuali
kasus muncul di daerah non-endemis; untuk penderita ini tanyakan tempat tinggal,
pekrjaan dan riwayat perjalanannya.
7) Pengobatan spesifik : Coccidioidomycosis biasanya akan sembuh spontan tanpa
pengobatan. Amfoterisin B (fungizone ®) IV bisa diberikan untuk infeksi berat.
Fluconazole merupakan obat pilihan untuk infeksi selaput otak. Ketoconazole dan
itraconazole digunakan untuk coccidioidomycosis non meningeral yang kronis.
C. Penanggulangan wabah : KLB terjadi jika sekumpulan orang-orang rentan terinfeksi
oleh conidia yang ditularkan lewat udara. Lakukan tindakan pengamanan terhadap
debu (dust control) jika memungkinkan. (lihat 9A1, diatas)
D. Implikasi bencana : Kemungkinan bahaya terjadi jika sekelompok besar orang yang
rentan, sebab sesuatu hal harus pindah atau tinggal di daerah berdebu dimana jamur
ini endemis.
E. Tindakan lebih lanjut : Tidak ada.
F. Upaya menanggulangi bioterorisme : Arthrospora C. immitis berpotensi untuk
digunakan sebagai senjata biologis. Upaya-upaya yang harus dilakukan jika
menghadapi ancaman arthrospora dari C. immitis secara umum dapat dilihat pada bab
Antraks butir F.
CONJUNCTIVITIS/KERATITIS ICD-9 372.0-372.3, 370; ICD-10 H10,H16.
I. KONJUNGTIVITIS BAKTERIIL AKUT ICD-9 372.0; ICD-10 H10.0
(“Mata jambon”, “Mata lengket”, Demam purpura Brazilia [ICD-10 A48.4)]
1. Identifikasi – Sekumpulan gejala klinis yang diawali dengan lakrimasi dan hiperemia dari
konjungtiva palpebralis dan bulbaris dari salah satu atau kedua mata, diikuti oleh
pembengkakan pada kelopak mata dan disertai discharge mukopurulen. Pada kasus yang
berat terjadi perdarahan, ecchymoses dari konjungtiva bulbaris dan terbentuk infiltrat
dipinggir kornea, disertai dengan fotofobia. Penyakit ini tidak fatal (kecuali yang di
sebutkan di bawah), penyakit ini biasanya berlangsung selama 2 hari hingga 2 – 3 minggu;
kebanyakan penderita tidak menunjukkan gejala selain hiperemia dari konjungtiva dan
eksudasi ringan selama beberapa hari.
Kadang-kadang muncul kasus dengan gejala penyakit sistemik pada anak-anak di Brazil,
1 – 3 minggu sesudah konjungtivitis yang disebabkan oleh clone invasive yang unik dari
Haemophilus influenza biogrup aegyptius. Penyakit dengan gejala berat ini, disebut
122
sebagai Demam purpura Brasilia atau Brazilian purpuric fever (BPF), dengan CFR 70%
dari sekitar 100 penderita yang ditemukan di wilayah Brazil termasuk di 4 negara bagian;
secara klinis BPF tidak bisa di bedakan dengan meningokoksemia. Mikroorganisme
Pemicu dapat diisolasi dari konjungtiva, faring dan dengan kultur darah.
Konfirmasi diagnosa klinis dilakukan dengan pemeriksaan mikroskopis preparat apus
dengan pengecatan tertentu atau kultur dari discharge, konfirmasi diagnosa ini di perlukan
untuk membedakan konjungtivitis sebab bakteri dan virus atau konjungtivitis sebab
alergi, atau sebab infeksi adenovirus atau enterovirus. Konjungtivitis tambahan (lihat
bawah), trakhoma atau konjungtivitis gonokokus akan dijelaskan secara terpisah.
2. Pemicu penyakit
Sebagai Pemicu utama yaitu Haemophilus influenza biogrup aegyptius (basil Koch-
Weeks) dan Streptococcus pneumoniae; H. influenzae tipe b, Moraxella dan spesies
Branhamella, juga bisa sebagai Pemicu penyakit ini, sedang H. influenzae biogrup
aegyptius, gonokokus (lihat infeksi Gonokokus), S. pneumoniae, S. viridans, jenis-jenis
basil enteritis gram negatif dan walaupun sangat jarang, Pseudomonas aeruginosa bisa
memicu konjungtivitis pada bayi baru lahir.
3. Distribusi penyakit : Menyebar luas dan umum terjadi di seluruh dunia, terutama di
daerah beriklim panas, seringkali menjadi wabah. Di AS, infeksi sebab H. influenzae
biogrup aegyptius menyebar secara luas di daerah pedesaan di bagian selatan mulai dari
Georgia hingga Kalifornia, terutama selama musim panas dan awal musim gugur, di
Afrika Utara dan Timur Tengah, infeksi terjadi sebagai wabah musiman. Infeksi sebab
organisme lain juga terjadi di seluruh dunia, kadang-kadang ada kaitannya dengan
penyakit saluran pernapasan akut yang disebabkan oleh virus selama musim dingin, BPF
muncul hanya di Brasil; dua kasus yang terjadi di Australia secara klinis sama, namun
organisme Pemicu berbeda dengan strain Brasil.
4. Reservoir – Reservoirnya yaitu Manusia. Carrier H. influenza biogrup aegyptius dan S.
pneumonia secara umum ditemukan tersebar di berbagai wilayah selama masa interwabah.
5. Cara penularan : Melalui kontak dengan discharge dari konjungtiva atau saluran
pernapasan bagian atas dari orang sakit; melalui jari tangan yang terkontaminasi, baju atau
benda-benda lain, termasuk pemakaian make-up untuk mata bersama, obat tetes mata
multi dosis dan alat-alat yang tidak di sterilikan dengan baik seperti tonometer. Organisme
ini secara mekanis bisa juga ditularkan oleh agas atau lalat di beberapa daerah tertentu,
namun peran mereka sebagai vector mekanik tidak jelas mungkin berbeda dari satu daerah
ke daerah lain.
6. Masa inkubasi – Biasanya 24 – 72 jam.
7. Masa penularan – Selama infeksi aktif masih berlangsung.
8. Kekebalan dan kerentanan : Anak di bawah usia 5 tahun yaitu yang terbanyak terkena;
insidens menurun sesuai dengan usia. Anak usia sangat muda, orang dengan gangguan
123
jiwa dan usia tua biasanya rentan terhadap infeksi stafilokokus. Imunitas sesudah sembuh
dari penyakit biasanya rendah dan bervariasi tergantung pada Pemicu penyakit.
9. Cara –cara pemberantasan
A. Tindakan pencegahan : melalui kebersihan perorangan, menjaga kebersihan dan
mengobati mata yang terinfeksi.
B. Pengawasan penderita, kontak dan lingkungan sekitar
1). Laporan ke instansi kesehatan setempat : Jika terjadi wabah, wajib dilaporkan;
untuk kasus penyakit klasik tidak dilaporkan, Kelas 4; untuk penyakit sistemik,
Kelas 2A (lihat tentang pelaporan penyakit menular).
2). Isolasi : tindakan kewaspadaan terhadap sekret dan air cucian mata yang sakit.
Anak-anak sebaiknya tidak pergi ke sekolah dalam stadium akut.
3). Disinfeksi serentak : disinfeksi terhadap discharge dan benda-benda yang
terkontaminasi. Pembersihan menyeluruh.
4). Karantina : tidak dilakukan.
5). Imunisasi kontak : tidak dilakukan
6). Investigasi kontak dan sumber infeksi : Biasanya tidak begitu bermanfaat untuk
konjungtivitis; sebaiknya dilakukan untuk BPF.
7). Pengobatan spesifik : Pengobatan dengan memakai obat tetes mata atau zalf
mata yang mengandung sulfonamide seperti sodium sulfasetamid, gentamisin atau
kombinasi antibiotika seperti polimiksin B dengan neomisin atau trimetoprim
biasanya cukup efektif. Untuk BPF, diperlukan pengobatan sistemik; isolat
sensitive terhadap untuk ampisilin dan kloramfenikol, namun resisten terhadap
TMP-SMX. Rifamp isin oral (20 mg/kg/hari untuk 2 hari) mungkin lebih efektif
dari pada pemberian kloramfenikol topikal pada pengobatan clone BPF dan
bermanfaat untuk mencegah konjungtivitis clone BPF pada anak. (lihat
konjungtivitis gonokokus, 9B7)
C. Penanggulangan Wabah
1). Berikan pengobatan yang tepat terhadap penderita dan kontak terdekat mereka.
2). Di daerah di mana serangga di curigai sebagai vektor mekanis, upaya untuk
mencegah agar agas atau lalat tidak hinggap ke mata orang sakit dan mata orang
sehat.
3). Lakukan upaya pemberantasan terhadap serangga, tergantung dari jenis vektor
yang dicurigai.
D. Implikasi bencana : tidak ada.
E. Tindakan lebih lanjut : tidak ada.
124
II. KERATOKONJUNGTIVITIS, ADENOVIRAL ICD-9 077.1; ICD-10 B30.0
(Epidemic Keratoconjunctivitis [EKC], Shipyard Conjunctivitis, Shipyard eye).
1. Identifikasi
Penyakit virus akut yang menyerang mata, dengan inflamasi konjungtiva unilateral atau
bilateral dengan pembengkakan kelopak mata dan jaringan periorbital. Serangan penyakit
mendadak diikuti dengan rasa sakit, fotofobia, penglihatan kabur dan kadang-kadang
disertai dengan demam rendah, sakit kepala, malaise dan limfadenopati lunak dibelakang
telinga, kira-kira 7 hari sesudah onset sekitar separuh dari kasus, terbentuk infiltrat sub
epitelial berbentuk bulat kecil dan terjadi erosi punctata yang bisa dilihat dengan
fluorescein. Lamanya konjungtivitis akut sekitar 2 minggu, walaupun keratitis bisa
berlangsung terus dan menimbulkan bintik-bintik keruh pada jaringan subepitelial yang
bisa mengganggu penglihatan selama beberapa minggu. Pada kasus yang berat bisa
mengakibatkan terbentuknya jaringan parut permanen.
Diagnosa dipastikan dengan ditemukannya virus dari kultur sel yang tepat dari spesimen
usap mata atau kerokan konjungtiva; virus mungkin bisa dilihat dengan pengecatan FA
dari kerokan konjungtiva atau dengan IEM; antigen virus bisa dideteksi dengan tes
ELISA. Peningkatan titer spesifik dapat di deteksi dengan tes netralisasi serum atau tes
HAI.
2. Pemicu penyakit - Di AS, Pemicu nya yaitu adenovirus tipe 8, 19 dan 37, walaupun
tipe adenovirus lain dapat juga sebagai Pemicu . Penyakit yang paling berat disebabkan
oleh infeksi tipe 8, 5 dan 19.
3. Distribusi penyakit – Kemungkinan tersebar di seluruh dunia. Kasus sporadis dan KLB
besar telah terjadi di Asia, Hawai, Amerika Utara dan Eropa.
4. Reservoir – Manusia.
5. Cara penularan
Melalui kontak langsung dengan discharge mata dari orang yang terinfeksi dan secara
tidak langsung melalui permukaan barang, instrumen ataupun larutan yang
terkontaminasi. KLB yang terjadi di kawasan industri biasanya bermula dan terkonsentrasi
di klinik perusahaan, dan apotik perusahaan yang biasanya memberikan pelayanan
pengobatan untuk trauma minor pada mata; penularan bisa terjadi melalui jari, instrumen
atau benda lain yang terkontaminasi diklinik itu. KLB yang sama juga bisa terjadi di
klinik-klinik mata dan klinik medis lainnya. Petugas klinik dan apotik yang terkena
penyakit ini, bisa menjadi sumber penularan. Penularan di dalam keluarga biasa terjadi,
dimana anak-anak sebagai sumber penularan pertama.
6. Masa inkubasi – Masa inkubasi biasanya antara 5 hingga 12 hari, namun kebanyakan,
masa inkubasi ini bisa lebih panjang.
125
7. Masa penularan – Penderita tetap menular dari hari terakhir masa inkubasi hingga 14
hari sesudah onset. Dalam beberapa kasus, virus masih ditemukan dalam jangka waktu
yang lebih lama.
8. Kekebalan dan kerentanan – Imunitas spesifik lengkap muncul sesudah infeksi
adenovirus. Trauma dan manipulasi pada mata walaupun kecil menambah kemungkinan
teerjadinya infeksi.
9. Cara-cara pemberantasan
A. Tindakan pencegahan
1). Berikan penyuluhan kepada penderita tentang kebersihan perorangan dan risiko
yang terjadi dengan penggunaan handuk dan barang-barang bersama di kamar
kecil. Beritahu penderita agar memegang/menyentuh mata seminimal mungkin.
2). Hindari penggunaan obat tetes mata, obat, make-up mata, instrumen atau handuk
bersama-sama (untuk umum).
3). Agar diterapkan prosedur asepsis pada setiap tindakan pemeriksaan mata baik
diklinik mata dan ditempat lainnya. Hendaknya tangan dicuci secermat mungkin
sebelum manangani pemeriksaan dan sterilkan peralatan dengan benar setelah
dipakai; disinfeksi tingkat tinggi (lihat definisinya) harus dilakukan terhadap
instrumen yang akan dipakai memeriksa konjungtiva atau kelopak mata. Sarung
tangan sebaiknya digunakan pada saat memeriksa mata penderita yang telah pasti
terkena EKC. Salep mata atau obat tetes mata yang kontak dengan konjungtiva
atau kelopak mata sebaiknya dibuang. Petugas kesehatan yang jelas menderita
konjungtivitis sebaiknya tidak berhubungan dengan pasien.
4). Pada KLB yang tidak segera mereda, penderita EKC sebaiknya di periksa dengan
memakai ruang dan peralatan yang terpisah.
5). Gunakan alat-alat pelindung seperti kacamata/goggle dikawasan industri.
B. Pengawasan penderita, kontak dan lingkungan sekitar.
1). Laporan pada instansi kesehtan setempat : Wajib dilaporkan bila terjadi wabah;
tidak diperlukan laporan kasus secara individu, Kelas 4 (lihat tentang pelaporan
penyakit menular).
2). Isolasi : Tindakan kewaspadaan universal terhadap sekret dan air cucian mata;
penderita sebaiknya memakai handuk, sprei, sarung bantal yang berbeda
selama masa akut. Petugas kesehatan yang terinfeksi atau penderita sendiri
sebaiknya tidak berhubungan dengan penderita penyakit lain yang tidak terinfeksi.
3). Disinfeksi serentak : Disinfeksi serentak dilakukan terhadap discharge konjungtiva
dan hidung serta terhadap barang-barang yang terkontaminasi. Pembersihan
terminal.
4). Karantina : tidak dilakukan.
5). Imunisasi kontak : tidak dilakukan
6). Investigasi kontak dan sumber infeksi : pada saat KLB, dilakukan identifikasi
sumber infeksi dan kewaspadaan universal untuk mencegah penularan lebih lanjut.
7). Pengobatan spesifik : tidak dilakukan selama masa aktif. Jika ada gejala sisa
berupa pengeruhan kornea yang mengganggu kemampuan pasien untuk bekerja,
126
pemberian kortikosteroid topikal bisa dilakukan oleh dokter ahli mata yang
kompeten.
C. Penanggulangan Wabah
1) Apa yang dianjurkan pada 9A diatas sebaiknya diterapkan secara ketat
2) Siapkan fasilitas yang tepat untuk pemeriksaan dan penegakan diagnosa yang
cepat, fasilitas yang mengurangi atau meminimalkan kontak antara orang yang
sakit dan orang yang sehat.
D. Implikasi bencana : tidak ada
E. Tindakan lebih lanjut : Pusat Kerjasama WHO
III. KONJUNGTIVITIS ADENOVIRAL HEMORAGIKA
ICD-9 077.2; IDC-10 B30.1
(Demam Faringokonjungtival)
KONJUNGTIVITIS ENTEROVIRAL HEMORAGIKA
ICD-9 077.4; ICD-10 B30.3
(Penyakit Apollo 11, konjungtivitis hemoragika akuta)
1. Identifikasi
Pada konjunngtivitis adenovirus biasanya timbul folikel limfoid, konjuntivitis berlangsung
selama 7 – 15 hari dan biasanya dengan perdarahan kecil subkonjuntiva. Salah satu dari
sindroma adenovirus, seperti pada Demam Faringokonjungtival (pharyngo conjunctival
fever, PCF), biasanya disertai dengan penyakit saluran pernafasan atas, demam dengan
inflamasi ringan epitel kornea (epithelial keratitis)
Pada konjungtivitis Enteroviral Hemoragika Akuta (AHC) = Acute Hemorrhagic
Conjunctivitis, onset terjadi secara tiba-tiba ditandai dengan mata merah, bengkak dan
sakit. Kadang-kadang terjadi pada kedua mata, keadaan ini berlangsung selama 4 – 6 hari,
dimana perdarahan sub konjuntiva muncul pada konjungtiva bulbaris sebagai petechiae
yang membesar membentuk perdarahan subkonjungtiva konfluen. Perdarahan luas ini
biasanya berakhir setelah 7 – 12 hari. Pada KLB besar dari AHC yang disebabkan oleh
enterovirus ditemukan sejumlah kecil penderita dengan kelumpuhan seperti polio,
termasuk cerebral palsy, radikulomielitis lumbosakral, dan paralisis neuron motorik
bawah. Komplikasi neurologis berlangsung beberapa hari hingga beberapa bulan sesudah
konjungtivitis dan kadang-kadang meninggalkan gejala sisa berupa kelemahan.
Konfirmasi laboratorium infeksi adenovirus dibuat antara lain dengan isolasi virus dari
spesimen usap konjunngtiva yang ditanam pada kultur sel, deteksi antigen viral dengan
metode IF, identifikasi asam nukleus virus memakai DNA probe dan adanya
peningkatan titer antibodi spesifik. Infeksi enterovirus didiagnosa dengan melakukan
127
isolasi Pemicu penyakit, dengan pemeriksaan imunofluoresen serta adanya peningkatan
titer antibodi atau dengan pemeriksaan PCR.
2. Pemicu Penyakit - Adenovirus dan picornavirus.
Kebanyakan adenovirus dapat memicu demam Faringo Konjungtiva/PCF (pharyngo
conjunctival fever), tipe 3, 4 dan 7 yaitu Pemicu yang paling umum; KLB PCF
adenovirus terjadi sebab penularan di kolam renang yang tidak di klorinasi dengan baik.
Jenis picornavirus yang paling sering ditemukan dikenal sebagai enterovirus 70; jenis ini
dan varian coxsackievirus A24 memicu terjadinya berbagai KLB besar AHC.
3. Distribusi Penyakit
PCF yang terjadi dikaitkan dengan KLB penyakit saluran pernafasan yang disebabkan
oleh adenovirus atau muncul sebagai wabah musim panas yang ditularkan melalui kolam
renang. AHC pertama kali dikenal di Ghana tahun 1969 dan di Indonesia pada tahun
1970; sejak itu beberapa KLB terjadi di barbagai daerah tropis di Asia, Afrika, Amerika
Selatan dan Tengah, Kepulauan Karibia, Kepulauan Pasifik dan sebagian Florida serta
Meksiko. KLB di Semua Amerika pada tahun 1986 sebab Cokxakievirus varian A24
diperkirakan menyerang 48% dari warga . KLB yang lebih kecil terjadi di beberapa
negara Eropa, biasanya dihubungkan dengan penularan di klinik mata. Kasus-kasus AHC
juga terjadi dikalangan pengungsi yang berasal dari negara-negara Asia Tenggara yang
tiba di AS serta para pelancong yang kembali ke AS dari daerah yang terkena wabah
AHC.
4. Reservior - manusia
5. Cara penularan
Melalui kontak langsung dengan kotoran mata yang terinfeksi. Penularan orang ke orang
paling banyak terjdi di dalam lingkungan keluarga, dimana angka serangannya biasanya
tinggi. Adenovirus dapat di tularkan di kolam renang yang tidak diklorinasi dengan baik
dan dilaporkan sebagai “konjungtivitis kolam renang”; penyakit ini juga ditularkan
melalui droplet dari saluran pernafasan. Wabah besar AHC di negara berkembang
berkaitan dengan padatnya warga dan sanitasi lingkungan yang buruk. Anak sekolah
berperan dalam penyebaran cepat AHC kepada warga umum.
6. Masa inkubasi – masa inkubasi untuk infeksi adenovirus yaitu 4 – 12 hari, rata-rata 8
hari. Untuk infeksi picornavirus 12 jam hingga 3 hari.
7. Masa penularan – infeksi adenovirus bisa menular hingga 14 hari sesudah onset,
picornavirus setidaknya 4 hari sesudah onset
8. Kerentanan dan kekebalan – infeksi menyerang semua umur. Terjadinya infeksi ulang
dan atau relaps pernah dilaporkan terjadi. Apakah dapat timbul kekebalan dan berapa lama
kekebalan ini bertahan tidak diketahui dengan jelas.
128
9. Cara – cara Pemberantasan
A. Tindakan pencegahan
sebab tidak ada pengobatan yang efektif, pencegahan sangatlah penting, kebersihan
perorangan sebaiknya ditekankan termasuk menghindari pemakaian handuk bersama
dan menghindari kerumunan. Jaga selalu keadaan asepsis di klinik-klinik mata; cuci
tangan sebelum memeriksa pasien. Klinik mata harus yakin bahwa disinfeksi tingkat
tinggi pada barang-barang yang mungkin terkontaminasi telah dilakukan dengan baik.
Jika terjadi KLB penutupan sekolah bisa di lakukan. Lakukan klorinasi kolam renang
dengan baik.
B. Pengobatan penderita, kontak dan lingkungan sekitar
1) Laporan kepada instansi kesehatan setempat; laporan wajib disampaikan bila
terjadi wabah, tidak ada kasus individual yang wajib dilaporkan, kelas 4 (lihat
tentang pelaporan penyakit menular)
2) Isolasi : lakukan tindakan kewaspadaan terhadap sekret dan buangan air pencuci
mata, hindari kontak dengan penderita ketika penyakit ini sedang aktif, misalnya
anak-anak sebaiknya tidak pergi kesekolah pada saat KLB.
3) Disinfeksi serentak : lakukan disinfeksi terhadap discharge konjungtiva dan
peralatan yang terkontaminasi. Pembersihan terminal.
4) Karantina : tidak dilakukan
5) Imunisasi : tidak dilakukan
6) Investigasi kontak dan sumber infeksi : cari kasus tambahan untuk melihat apakah
telah terjadi KLB dengan penularan “common source”
7) Pengobatan spesifik : tidak ada
C. Upaya Penanggulangan Wabah
1) Sediakan fasilitas yang memadai untuk mendiagnosa dan mengobati penderita
dengan gejala klinis yang jelas.
2) Tingkatkan standar kebersihan lingkungan dan kebersihan perorangan dan hindari
kepadatan.
D. Implikasi bencana : tidak ada
E. Tindakan lebih lanjut : Manfatkan pusat-pusat kerjasama WHO
IV. KONJUNGTIVITIS KLAMIDIA ICD-9 077.0; ICD-10 A74.0
(Inclusion Conjunctivitis, Paratrakhoma, Neonatal inclusion blennorrhea, “mata lengket”)
– lihat bab yang terpisah untuk Trakhoma.
1. Identifikasi
Pada bayi baru lahir penyakit ini berupa konjungtivitis akut dengan discharge purulen,
biasanya diketahui dalam waktu 5 – 12 hari sesudah kelahiran. Fase akut biasanya terjadi
secara spontan dalam waktu beberapa minggu, namun radang mata bisa berlangsung
129
selama setahun atau lebih jika tidak diobati dan menimbulkan jaringan parut pada
konjungtiva dan terbentuk infiltrat pada kornea (mikropanus). Pneumonia klamidia (lihat
Pneumonia, Klamidia) menyerang bayi serentak dengan terjadinya infeksi pada
nasofaring. Diagnosa konjungtivits klamidia ditegakkan apabila Infeksi gonokokal bisa di
kesampingkan
Pada anak-anak dan orang dewasa, konjungtivitis folikuler akut gejalanya sangat khas
disertai dengan limfadenopati dibelakang telinga pada sisi yang terkena, hiperemia,
terbentuk infiltrat dan sedikit discharge mukopurulen, kadang-kadang permukaan kornea
juga terkena. Pada orang dewasa bisa juga ada fase kronis disertai dengan discharge yang
lengket yang kadang-kadang bertahan selama 1 tahun atau lebih jika tidak diobati.
Klamidia ini bisa memicu infeksi epitel urethra pada pria dan wanita dan infeksi
pada serviks pada wanita dengan atau tanpa konjungtivitis.
Pemeriksaan laboratorium untuk membantu diagnosa antara lain isolasi dengan kultur sel,
deteksi antigen memakai pengecatan langsung preparat apus dengan IF dan
pemeriksaan dengan DNA probe.
2. Pemicu penyakit – Chlamidia trachomatis dari serovarian D sampai dengan strain K.
feline dari Chlamidia psittaci dapat memicu keratokunjungtivitis folikuler akut pada
manusia.
3. Distribusi penyakit
Kasus sporadis konjungtivitis dilaporkan terjadi diseluruh dunia menyerang orang dewasa
yang memiliki perilaku seksual aktif. Konjungtivitis pada neonatus sebab C.
trachomatis terjadi pada 15 – 35% bayi yang terpajan ibu yang terinfeksi. Diantara orang
dewasa dengan infeksi Klamidia pada alat kelamin, 1/300 akan berkembang menjadi
penyakit mata yang disebabkan klamidia.
4. Reservoir – Manusia untuk Chlamidia trachomatis dan kucing untuk C. psittaci
5. Cara penularan
Pada umumnya ditularkan melalui hubungan seksual. Discharge dari alat kelamin pada
orang yang terinfeksi biasanya sangat menular. Pada bayi baru lahir, konjungtivitis
biasanya didapat melalui kontak langsung dengan sekret infeksi jalan lahir. Infeksi
didalam uterus juga bisa terjadi. Mata pada orang dewasa terinfeksi sebab penularan dari
sekret alat kelamin ke mata melalui jari. Kadang kala anak yang lebih besar usianya juga
bisa terkena konjungtivitis yang didapat dari bayi baru lahir ataupun tertulari anggota
keluarga yang lain, mereka sebaiknya juga dicurigai kemungkinan sebagai korban
pelecehan seksual. Beberapa KLB yang dilaporkan terjadi diantara perenang yang
berenang pada kolam yang tidak diklorinasi belum dikonfirmasikan melalui kultur, bisa
jadi bukan disebabkan oleh klamidia namun sebab adenovirus atau Pemicu lain yang
diketahui sebagai Pemicu konjungtivitis kolam renang
6. Masa inkubasi – pada bayi baru lahir 5 – 12 hari dengan kisaran dari 3 – 6 hari dan 6 –
19 hari untuk orang dewasa.
130
7. Masa penularan – penularan tetep terjadi pada saat Infeksi pada alat kelamin dan mata
masih berlangsung; klamidia masih ditemukan pada membrana mukosa lebih dari 2 tahun
sesudah lahir.
8. Kekebalan dan kerentanan – tidak terbentuk kekebalan sesudah Infeksi, infeksi ulangan
dapat terjadi, walaupun tingkat berat mungkin berkurang
9. Cara – cara pemberantasan
A. Tindakan pencegahan
1) Memakai kondom secara konsisten dan benar jika mengadakan hubungan sex
bukan dengan pasangannya untuk mencegah penularan penyakit, dan berikan
pengobatan yang tepat pada orang yang menderita uretritis dan servisitis yang
disebabkan oleh klamidia.
2) Tindakan pencegahan umum yang dilakukan untuk penyakit menular seksual dapat
diterapkan untuk mencegah penularan klamidia (lihat Sifilis, 9A)
3) Mengenal secara dini infeksi pada wanita hamil dengan risiko tinggi dengan kultur
atau dengan pemeriksaan antigen. Pengobatan infeksi serviks pada wanita hamil
untuk mencegah penularan kepada bayi yang dilahirkan. Eritromisin basa 500 mg
4 kali sehari yang diberikan selama 7 hari biasanya efektif, namun efek samping
yang muncul berupa keluhan saluran pencernaan dapat mempengaruhi
kesinambungan pengobatan.
B. Pengawasan penderita, kontak dan lingkungan sekitar
1) Laporan kepada instansi kesehatan setempat. Kasus yang terjadi pada neonatus
wajib dilaporkan di sebagian besar negara bagian di AS dan negara-negara lain,
Kelas 2B (lihat tentang pelaporan penyakit menular)
2) Isolasi : tindakan kewaspadaan universal terhadap sekret dan air cucian mata
sampai 96 jam pertama sesudah dimulainya pengobatan.
3) Disinfeksi serentak : teknik aseptik dan kebiasaan mencuci tangan yang benar oleh
para petugas kesehatan merupakan tindakan yang tepat untuk mencegah penularan
diruang perawatan.
4) Karantina : tidak dilakukan
5) Imunisasi kontak : tidak dilakukan
6) Investigasi terhadap kontak dan sumber infeksi : lakukan pelacakan terhadap
semua kontak seksual pada kasus yang terjadi pada orang dewasa, begitu pula
terhadap ibu dan ayah dari neonatus yang terinfeksi sebaiknya diperiksa dengan
teliti dan diobati. Penderita dewasa sebaiknya diteliti lebih lanjut terhadap
kemungkinan sedang menderita gonorrhoea dan sifilis.
7) Pengobatan spesifik : infeksi alat kelamin dan mata pada orang dewasa, diobati
dengan tetrasiklin, eritromisin dan ofloksasin per - oral selama 2 minggu.
Azitromisin yaitu terapi dosis tunggal yang juga cukup efektif.
Pengobatan infeksi mata pada bayi baru lahir dengan eritromisin per – oral selama 2
minggu dianjurkan untuk mengurangi risiko terjadi pneumonia klamidia, dengan dosis
10 mg/kg diberikan setiap 12 jam pada minggu pertama kelahiran dan selanjutnya
diberikan setiap 8 jam.
131
C. Upaya Penanggulangan Wabah : Lakukan pengawasan terhadap sanitasi kolam
renang; klorinasi standard sudah cukup memadai.
D. Implikasi bencana : tidak ada
E. Tindakan lebih lanjut : Manfaatkan Pusat – pusat kerjasama WHO
PENYAKIT VIRUS COXSACKIE ICD-0 074; ICD-10 B34.1
Virus coxsackie merupakan anggota kelompok enterovirus dari keluarga Picornaviridae
sebagai Pemicu dari kelompok penyakit yang akan dibicarakan pada bab ini seperti wabah
mialgia, konjungtivitis enteroviral hemoragika dan meningitis (lihat uraian setiap penyakit ini
di dalam bab masing-masing) dan karditis yang disebabkan oleh virus coxsackie (lihat
bawah). Virus ini memicu penyakit yang menular pada bayi baru lahir dan ada bukti
keterkaitan infeksi virus ini dengan Juvenile Onset Insulin Dependent Diabetes.
I.A. FARINGITIS VESIKULER ENTEROVIRUS ICD-9 074.0; ICD-10 B08.5
( Herpangina, faringitis aftosa)
I.B. STOMATITIS VESIKULER ENTEROVIRUS DENGAN EKSANTEM
( Penyakit tangan, kaki dan mulut ) ICD-9 074.3; ICD-10 B08.4
I.C. FARINGITIS LIMFONODULER ENTEROVIRUS
( Faringitis limfonoduler akut, Faringitis vesikuler ) ICD-9 074.8; ICD-10 B08.8
1. Identifikasi
Faringitis vesikuler (herpangina) yaitu penyakit akut yang sembuh sendiri tanpa
pengobatan, penyakit virus yang ditandai dengan serangan tiba-tiba, berupa demam, sakit
tenggorokan disertai lesi pada faring berukuran 1 – 2 mm berbentuk papulovesikuler
berwarna abu-abu dengan dasar eritematus dan berkembang secara perlahan menjadi lesi
yang sedikit lebih besar. Lesi ini yang biasanya muncul pada dinding anterior faucium
dari tonsil, palatum molle, uvula dan tonsilnya sendiri, muncul sekitar 4 – 6 hari sesudah
mulai sakit. Penyakit ini tidak fatal. Kejang demam terjadi pada sekitar 5% dari kasus.
Stomatitis Vesikuler dengan eksantem (penyakit tangan, kaki dan mulut) berbeda
dengan faringitis vesikuler dimana pada penyakit ini lesi pada mulut lebih menyebar dan
bisa timbul pada permukaan buccal pada pipi dan gusi dan pada kedua sisi lidah. Lesi
papulovesikuler yang muncul dan bertahan 7 hingga 10 hari muncul dalam benuk
eksantem terutama pada jari telapak tangan dan telapak kaki kadang-kadang lesi
berbentuk makulopapuler muncul pada bagian pantat.
Penyakit ini sembuh dengan sendirinya tanpa diobati. Kasus fatal pada anak-anak
walaupun pernah terjadi namun sangat jarang.
132
Faringitis limfonoduler akut, berbeda dengan faringitis vesikuler, pada penyakit ini lesi
nampak jelas, timbul, terpisah, modul berwarna putih hingga kekuningan dikelilingi oleh
zona eritema berukuran sekitar 3 hingga 6 mm. Biasanya lesi muncul di uvula, dinding
tonsil bagian anterior dan dinding posterior faring tanpa eksantem.
Stomatitis yang disebabkan oleh virus herpes simpleks perlu dibedakan sebab pada
infeksi virus ini lesi lebih besar, lebih dalam, lebih sakit dan biasanya muncul di mulut
bagian depan. Penyakit ini jangan dikacaukan dengan stomatitis vesikuler yang
disebabkan oleh virus stomatitis, biasanya menyerang hewan ternak dan kuda, orang yang
terserang biasanya pekerja yang mengolah produk susu, mereka yang bekerja di
peternakan dan dokter hewan. Penyakit mulut dan kuku pada hewan ternak, domba dan
babi jarang menular kepada petugas laboratorium yang menangani virus namun manusia
dapat menjadi pembawa mekanis dari virus dan menjadi sumber KLB pada binatang.
Virus secara serologis tidak dapat dibedakan dengan virus coxsackie B-5 yang
memicu penyakit vesikuler pada babi yang bisa ditularkan kepada manusia.
Sindroma penyakit yang disebabkan oleh jenis virus coxsackie yang lain dapat dibedakan
lebih jelas pada waktu KLB. Virus bisa diisolasi dari spesimen yang diambil dari lesi dan
nasofaring serta tinja yang ditanam pada kultur sel dan atau yang disuntikkan kepada
tikus. sebab banyak serotipe bisa memberikan gejala penyakit yang sama dan antigen
yang umum dipakai untuk pemeriksaan kurang tersedia, maka prosedur diagnostik secara
serologis tidak dilakukan secara rutin kecuali virus dapat diisolasi untuk digunakan pada
tes serologis.
2. Pemicu penyakit
Untuk faringitis vesikuler, Pemicu nya yaitu virus coxsackie grup A, tipe 1 – 10, 16
dan 22. Untuk stomatitis vesikuler, Pemicu nya yaitu virus coxsackie grup A terutama
tipe A16 dan tipe 4, 5, 9 dan 10; grup B tipe 2 dan 5 dan yang jarang terjadi yaitu
enterovirus 71. Untuk faringitis limfonoduler akut, Pemicu nya yaitu virus coxsakie
grup A, tipe 10. Enterovirus lain kadang-kadang dapat sebagai Pemicu munculnya
penyakit-penyakit ini.
3. Distribusi penyakit
Untuk faringitis vesikuler dan stomatitis vesikuler tersebar diseluruh dunia keduanya
muncul sporadis dan dalam bentuk wabah, insidens tertinggi terjadi pada musim panas
dan awal musim gugur terutama menyerang anak-anak dibawah 10 tahun, namun kasus
dewasa (terutama pada dewasa muda) tidak jarang terjadi. KLB terbatas dari faringitis
limfonoduler akut pada anak-anak bisa terjadi pada musim panas dan awal musim gugur.
Penyakit-penyakit ini sering muncul sebagai KLB pada anak-anak (misalnya di tempat
penitipan anak, tempat bermain anak-anak usia pra-sekolah (3-5 tahun))
4. Reservoir – manusia
5. Cara penularan
Kontak langsung dengan discharge hidung dan tengorokan serta tinja dari orang yang
terinfeksi (yang mungkin tanpa gejala) dan melalui droplet yang menyebar melalui udara,
133
tidak ada bukti bahwa penyakit ini disebarkan oleh seranga, air, makanan atau melalui
limbah.
6. Masa inkubasi – biasanya 3 – 5 hari untuk faringitis vesikuler dan stomatitis vesikuler, 5
hari untuk faringitis limponoduler
7. Masa penularan – penularan terjadi selama periode akut dan mungkin berlangsung lebih
lama lagi semasih virus ini bisa ditemukan pada tinja, biasanya berminggu-minggu.
8. Kerentanan dan kekebalan
Semua orang rentan terhadap infeksi ini. Kekebalan spesifik mungkin terbentuk baik
sebab infeksi tanpa atau infeksi dengan gejala klinis, lamanya kekebalan bertahan tidak
diketahui. Serangan kedua bisa terjadi pada grup A virus coxsackie dari tipe serologis
yang berbeda.
9. Cara – cara Pemberantasan
A. Tindakan pencegahan
Mengurangi kontak antara orang ke orang, bila memungkinkan dengan cara
mengurangi kepadatan manusia dan memperbaiki ventilasi. Budayakan perilaku hidup
bersih dan sehat antara lain kebiasaan cuci tangan dan tindakan higienis lain di rumah.
B. Pengawasan penderita, kontak dan lingkungan sekitar
1) Laporan kepada instansi kesehatan setempat. Laporan wajib diberikan jika terjadi
wabah, kasus individual tidak perlu dilaporkan. Kelas 4 (lihat tentang pelaporan
penyakit menular)
2) Isolasi : Lakukan tindakan kewaspadaan enterik
3) Disinfeksi serentak : Lakukan disinfeksi terhadap discharge hidung dan
tenggorokan. Cuci atau buang barang-barang yang terkontaminasi. Berikan
perhatian khusus kepada setiap orang untuk mencuci tangan secara tepat jika
menangani discharge, tinja dan benda-benda yang terkontaminasi.
4) Karantina : tidak dilakukan
5) Imunisasi kontak : tidak dilakukan
6) Investigasi kontak dan sumber infeksi : kecuali untuk mendeteksi kasus tambahan
pada kelompok-kelompok tertentu atau pada anak-anak prasekolah.
7) Pengobatan spesifik : tidak ada
C. Upaya – upaya penanggulangan wabah
Beritahukan kepada dokter praktek swasta bahwa telah terjadi peningkatan insiden
penyakit ini, disertai dengan penjelasan mengenai onset dan gejala klinisnya. Lakukan
isolasi terhadap kasus yang terdiagnosa dan terhadap semua anak-anak yang demam,
dan terhadap mereka yang diagnosanya masih belum diketahui dengan perhatian serta
kewaspadaan spesifik diberikan terhadap sekret saluran pernafasan dan tinja.
D. Implikasi bencana : tidak ada
E. Tindakan lebih lanjut : Manfaatkan Pusat kerjasama WHO
134
KARDITIS yang disebabkan oleh Virus Coxsackie ICD-9 074.2; ICD-10 B33.2
(Virus Carditis, Enterovirus Carditis)
1. Identifikasi
Merupakan miokarditis akut atau subakut yang disebabkan oleh virus atau dalam bentuk
perikarditis yang terjadi sebagai manifestasi dari infeksi enterovirus terutama virus
coxsackie grup B (kadang-kadang muncul dengan gejala klinis lain).
Miokard terkena terutama pada bayi baru lahir, dimana demam dan letargi diikuti dengan
gagal jantung yang cepat ditandai dengan pucat, sianosis, dispnea, takikardi dan
pembesaran jantung dan hati. Gagal jantung bisa berlangsung progresif dan fatal,
penyembuhan bisa terjadi setelah beberapa minggu; beberapa kasus bisa relaps dan
berlangsung berbulan-bulan dan bisa disertai dengan kerusakan jantung sebagai gejala
sisa. Pada penderita usia dewasa muda perikarditis merupakan gejala yang sering
ditemukan disertai dengan sakit dada akut, gangguan denyut dan aroma jantung dan
kadang-kadang disertai dengan dispnea. Ini bisa mirip dengan infark miokard namun
seringkali disertai dengan gejala lain dari kelainan pleura dan paru. Penyakit ini dikaitkan
juga dengan meningitis aseptik, hepatitis, orkhitis, pankreatitis atau mialgia epidemika
(lihat mialgya, wabah)
Diagnosa biasanya dibuat dengan melakukan pemeriksaan serologis atau dengan isolasi
virus dari tinja, namun hasilnya tidak konklusif, terjadinya kenaikan titer antibodi spesifik
secara bermakna membantu penegakan diagnosa. Virus jarang dapat diisolasi dari cairan
pericard, biopsi miokard atau dari jaringan jantung postmortem, namun jika virus dapat di
solasi akan memberikan diagnosa yang definitif.
2. Pemicu penyakit – virus coxsackie grup 3 (tipe 1 – 5), kadang-kadang virus coxsackie
grup A (tipe 1,4,9,16,23) dan enterovirus lain.
3. Distribusi penyakit – Penyakit ini jarang terjadi namun dapat muncul secara sporadis,
meningkat pada saat terjadi KLB infeksi virus coxsackie group B. KLB dengan CFR yang
tinggi pernah dilaporkan terjadi pada bayi baru lahir dirumah bersalin.
4,5,6,7,8,9. Reservoir, cara penularan, masa inkubasi, masa penularan, kerentanan dan
kekebalan dan cara-cara pemberantasan – sama seperti pada mialgia epidemika (q.v).
KRIPTOKOKOSIS ICD-9 117.5; ICD-10 B45
(Torula)
1. Identifikasi
Mikosis jaringan tubuh bagian dalam biasanya muncul sebagai meningitis sub akut atau
kronis; infeksi pada paru, ginjal, prostat dan infeksi tulang. Di kulit infeksi bisa terlihat
sebagai lesi berbentuk acne, ulcus atau massa seperti tumor sub kutan. Kadang-kadang
cryptococcus neoformans bisa berperan sebagai saprofit endobronkial pada penderita
135
dengan penyakit paru lain. Meningitis yang tidak diobati berakibat fatal dalam beberapa
minggu sampai bulan.
Diagnosa dari meningitis kriptokokal di buat dengan ditemukannya bentuk kuncup
berkapsul “budding encapsulated” pada pemeriksaan mikroskopis dari LCS,
memakai pengecatan tinta India; dari spesimen urin atau pus juga bisa ditemukan
bentuk ini. Pemeriksaan antigen dari serum dan LCS terkadang juga membantu. Diagnosa
pasti dilakukan dengan pemeriksaan histopatologi atau dengan kultur (media yang
mengandung cycloheximide yang menghambat pertumbuhan C. neoformans sebaiknya
tidak digunakan). Pengecatan dengan memakai pengecatan Mayer’s mucicarmine
membantu diagnosa histopatologis dari kriptokokus yang kebanyakan akan nampak
berwarna merah menyala.
2. Pemicu penyakit
Cryptococcus neoformans var neoformans dan C. neoformans var. gattii, yang disebutkan
terakhir lebih sering ada di iklim tropis dan sub tropis. Stadium seksual sempurna dari
jamur-jamur ini disebut Filobasidiella neoformans var. neoformans dan F. neoformans
var. bacillispora.
3. Distribusi penyakit : Muncul sebagai kasus sporadis tersebar di seluruh dunia, terutama
menyerang orang dewasa. Laki-laki lebih sering terkena daripada wanita. Penderita
dengan infeksi HIV lanjut lebih rentan terhadap kriptokokosis, hampir terhadap semua
var. neoformans. Infeksi juga terjadi pada kucing, anjing, kuda, sapi, monyet dan binatang
lain.
4. Reservoir : Sebagai tumbuhan Saprofit yang tumbuh pada lingkungan sekitar kita.
Varietas neoformans selalu dapat diisolasi dari sarang dan kotoran burung dara dan dari
tanah di berbagai tempat di dunia. Varietas gattii diisolasi dari dedaunan dan batang
species tertentu dari pohon eukaliptus.
5. Cara penularan – diduga melalui inhalasi.
6. Masa inkubasi – Tidak diketahui. Penyakit paru biasanya muncul lebih dulu berlangsung
berbulan-bulan hingga bertahun-tahun, sebelum infeksi otak terjadi.
7. Masa penularan – Tidak ditularkan langsung dari orang ke orang, atau dari binatang ke
manusia.
8. Kerentanan dan kekebalan
Semua ras rentan terhadap penyakit ini, namun dari data epidemiologis menunjukkan
bahwa manusia cukup kebal terhadap infeksi sebab jarangnya ditemukan kasus pada
manusia walaupun C. neoformans ditemukan dilingkungan sekitar kita.
Kerentanan meningkat pada pemberian terapi kortikosteroid, gangguan imunitas (terutama
AIDS) dan kelainan pada sistem retikulo endothelial, terutama pada penderita penyakit
Hodgkins dan sarkoidosis.
136
9. Cara-cara pemberantasan
A. Tindakan pencegahan :
Sementara belum ditemukan adanya kelompok penderita yang terpajan dengan C.
neoformans yang biasanya ditemukan pada kotoran burung merpati yang berserakan di
mana-mana, maka upaya pencegahan yang perlu dilakukan yaitu dengan
membersihkan kotoran burung itu. Sebelum dibersihkan lakukan dekontaminasi
dengan iodofor dan basahi terlebih dahulu kotoran burung ini dengan air agar
tidak terjadi aerosolisasi yaitu penyebaran Pemicu penyakit melalui debu diudara.
B. Pengawasan penderita, kontak dan lingkungan sekitar.
1). Laporan pada instansi kesehatan setempat; laporan resmi diperlukan pada kejadian
tertentu sebagai kemungkinan manifestasi dari AIDS, kelas 2B (lihat tentang
pelaporan penyakit menular).
2). Isolasi: tidak dilakukan.
3). Disinfeksi serentak: Lakukan terhadap discharge penderita dan barang-barang
yang terkontaminasi. Pembersihan terminal.
4). Karantina : tidak dilakukan.
5). Imunisasi kontak : tidak dilakukan.
6). Investigasi kontak dan sumber infeksi: tidak dilakukan.
7). Pengobatan spesifik : pemberian Amfoterisin B (Fungizone®) Intra Vena efektif
pada banyak kasus; 5-fluoro sitosin bermanfaat jika di kombinasi dengan
Amfoterisin B. Kombinasi kedua jenis obat ini merupakan obat pilihan namun
sangat toksis, pemberiannya harus dengan hati-hati. Pada penderita AIDS,
kriptokokosis sulit diobati; pemberian fluconazole cukup memberikan hasil
sesudah diawali dengan pemberian Amfoterisin B dan pemberian fluconazole ini
diteruskan seumur hidup.
C. Penanggulangan wabah : Tidak ada.
D Implikasi bencana – Tidak ada.
E. Tindakan lebih lanjut – Tidak ada.
KRIPTOSPORIDIOSIS ICD-9 136.8; ICD-10 A07.2
1. Identifikasi
Infeksi parasit yang cukup penting dalam bidang kedokteran dan kedokteran hewan
menyerang sel epitel saluran pencernaan manusia, saluran empedu dan saluran
pernapasan, juga menyerang lebih dari 45 spesies vertebrata termasuk unggas dan burung,
ikan, reptil, mamalia kecil (tikus, kucing, anjing) dan mamalia besar (terutama sapi dan
biri-biri). Infeksi tanpa gejala, sering terjadi dan merupakan sumber infeksi bagi yang
lainnya. Gejala utama pada manusia yaitu diare cair yang pada anak-anak terjadi
berulang kali didahului dengan anoreksia dan muntah. Diare diikuti dengan sakit dan kram
pada perut.
137
sedang gejala yang jarang terjadi yaitu malaise umum, demam, tidak nafsu makan
dan muntah. Gejala berkurang dan akan hilang dalam waktu kurang dari 30 hari pada
orang yang secara imunologis sehat. Orang yang imunitasnya rendah, terutama pasien
AIDS, tubuh mereka tidak mampu membersihkan parasit, dan penyakit cenderung akan
berlangsung lebih lama menjurus ke keadaan klinis fulminan yang berakhir dengan
kematian. Gejala kolesistitis bisa terjadi pada infeksi saluran empedu, hubungan antara
infeksi saluran pernafasan dan gejala klinis yang ditimbulkan tidak jelas.
Diagnosa pada umumnya dibuat dengan ditemukannya oocyst pada sediaan ulas tinja atau
oocyst ditemukan dari sediaan biopsi usus pada siklus hidup parasit. Oocyst berbentuk
kecil (4-6 cm) dan bisa dikelirukan dengan ragi jika tidak dilakukan pengecatan dengan
benar. Pengecatan yang umum dipakai yaitu auramin-rhodamin, modifikasi dari
pengecatan tahan asam, dan pengecatan dengan safranin metilen biru. Saat ini
pemeriksaan dengan tekhnik immunobased ELISA terbaru dan sangat sensitif telah
tersedia. “Antibodi monoclonal tagged fluorescein” bermanfaat untuk menemukan oocyst
pada sample lingkungan dan tinja. Infeksi oleh parasit ini tidak mudah dideteksi kecuali
benar-benar dilakukan pemeriksaan secara spesifik. Pemeriksaan serologis mungkin
sangat bermanfaat untuk tujuan studi epidemiologis, namun berapa lama antibodi yang
terbentuk sesudah infeksi dapat bertahan sampai kini tidak diketahui.
2. Pemicu penyakit – Cryptosporidium parvum, yaitu protozoa koksidian, spesies yang
ada hubungannya dengan infeksi pada manusia.
3. Distribusi Penyakit; tersebar diseluruh dunia. Oocyst cryptosporidium ditemukan pada
spesimen tinja manusia di lebih dari 50 negara di enam benua. Di negara maju seperti AS
dan Eropa, prevalensinya kurang dari 1 – 4.5 % dari hasil survei pemeriksaan tinja. Di
negara berkembang, prevalensinya sangat tinggi berkisar antara 3 – 20 %. Anak-anak usia
dibawah 2 tahun, mereka yang merawat binatang, pelancong, kaum homoseksual dan
mereka yang kontak erat dengan orang-orang yang terinfeksi (keluarga, petugas kesehatan
dan perawat di rumah penitipan anak) biasanya lebih mudah tertulari. KLB dilaporkan
terjadi di tempat penitipan anak hampir diseluruh dunia. KLB juga di sebabkan oleh air
minum yang tercemar (setidaknya 3 KLB besar yang pernah dilaporkan berkaitan dengan
fasilitas air minum untuk umum); penularan dapat terjadi di tempat rekreasi yang
memakai air seperti “waterslide”, kolam renang dan danau; cuka apel yang tidak
dipasturisasi yang terkontaminasi dengan kotoran sapi, pernah dilaporkan sebagai
Pemicu infeksi.
4. Reservoir – Manusia, hewan ternak dan binatang peliharaan berperan sebagai reservoir.
5. Cara penularan; Cara penularan melalui rute orofekal, yaitu penularan dari orang ke
orang, dari binatang ke orang,